Pencarian

Mencari Jejak Pembunuh 1

Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
1 Panji berdiri tegak menatap Bukit Gua Harimau yang berdiri kokoh dan angker di
hadapannya. Pohon-pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun bertebaran di
segala penjuru bagai raksasa penjaga hutan. Keadaan itu memang sudah sewajarnya
karena Bukit Gua Harimau terletak di Hutan Randu Apus, sebuah hutan angker yang
hampir tidak pernah didatangi manusia.
"Hm... bukit ini tampaknya tidak banyak mengalami perubahan selama kutinggalkan.
Hanya beberapa jenis tumbuhan liar saja yang semakin menutupinya," gumam Panji
seraya melangkahkan kakinya merayapi lereng bukit, tempat di mana gurunya yang
dijuluki Malaikat Petir menggembleng dirinya dulu.
Matahari semakin tinggi ketika pemuda berjubah putih itu mulai mendaki lereng
bukit. Wajahnya yang tampan tampak berseri-seri membayangkan kalau sebentar lagi
akan bertemu dengan gurunya. Panji semakin mempercepat langkahnya ketika
membayangkan wajah Eyang Tirta Yasa yang sudah pasti akan gembira melihat
kedatangannya. Tak lama kemudian sampailah Panji alias
Pendekar Naga Putih di tanah datar yang cukup luas.
Sebuah pondok sederhana berdiri kokoh beberapa belas tombak di depannya.
"Eyang...," panggil pemuda berbaju putih itu sambil mendorong pintu pondok yang
ternyata tidak terkunci.
Panji bergegas masuk ketika tidak mendengar
sahutan dari dalam.
"Eh, ke mana perginya Eyang?" gumam Panji tatkala tidak mendapati gurunya di
dalam pondok. Bergegas Pendekar Naga Putih berlari ke arah sungai yang terletak tidak jauh di
belakang pondok.
Panji semakin heran ketika di sungai itu pun tidak juga menemukan Eyang Tirta
Yasa. Kening pemuda itu berkerut dalam. Nalurinya membisikkan ada sesuatu yang
terjadi dengan gurunya. Namun berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk
yang ada dalam benaknya.
"Ah, siapa tahu Eyang sedang bersemadi di tempat biasa," pikir Panji seraya
bergegas menuju tempat Eyang Tirta Yasa biasa bersemadi. Jantung pemuda berjubah
putih itu berdebar keras ketika melihat tempat berlatihnya dulu telah porak-
poranda. Berbagai macam dugaan mulai bergayut di kepala pemuda itu. Nalurinya membaui
sesuatu yang tidak wajar telah menimpa diri orang yang selama ini telah banyak
berjasa kepadanya.
"Hm.... Belum lama di tempat ini tampaknya telah menjadi ajang pertarungan yang
sangat hebat! Mungkinkah Eyang telah bertempur dengan
seseorang" Kalau memang benar, siapa gerangan orang yang berani mati datang ke
tempat ini" Lalu di mana sekarang beliau berada?" berbagai pertanyaan memenuhi
benak Panji. Namun, semua pertanyaan itu tak satu pun dapat dijawab. Kecemasan
dan kekhawatiran mulai membuat hatinya resah.
Pemuda berjubah putih itu melangkahkan kakinya meneliti bekas-bekas pertarungan.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih tertegun ketika mendapati tanda hitam di
bagian tengah sebatang pohon yang tumbang. Di tempat lain ternyata dia pun
menemukan tanda yang sama pada beberapa batang pohon yang tumbang. Panji mulai dapat
memastikan kalau yang telah bertarung di tempat ini memang gurunya.
"Hm... pohon-pohon ini pasti tumbang akibat pukulan 'Telapak Tangan Petir' Eyang
yang nyasar! Lalu siapa orang yang jadi lawannya?" tanya pemuda itu pada dirinya sendiri.
Namun sampai sekian jauh menyelidik, tak satu pun yang dapat dijadikan pegangan
untuk mengetahui siapa yang telah bertarung dengan Eyang Tirta Yasa.
Murid tunggal Malaikat Petir itu terpaksa menunda penyelidikan ketika hari mulai
gelap. Lalu diputuskan untuk melanjutkan penyelidikan keesokan harinya.
Panji berjanji dalam hati tidak akan berhenti menyelidiki sebelum menemukan
gurunya dalam keadaan hidup atau mati!
*** "Eyang...!" panggil pemuda tampan berjubah putih sambil menatap sesosok tubuh
kurus yang berdiri tegak di tengah lapisan kabut putih tipis.
Pemuda yang tidak lain adalah Panji menajamkan matanya menerobos lapisan kabut
yang menghalangi pandangan. Perlahan pemuda itu bangkit dan menghampiri orang
tua yang tidak lain adalah gurunya.
Meskipun wajahnya tampak pucat dan sangat letih, namun Eyang Tirta Yasa atau
Malaikat Petir tetap tersenyum lembut. Sepasang matanya menatap wajah murid
tunggalnya penuh kerinduan.
"Eyang...," sapa Panji sambil mendekati laki-laki tua yang selama ini banyak
membimbingnya. Kedua kaki pemuda berjubah putih itu melangkah semakin cepat ketika melihat
kedua lengan gurunya
mengembang seolah-olah menyambut kedatangannya. Tapi Panji tidak sempat berpikir
kalau setelah sekian jauh kakinya melangkah, jarak antara dirinya dan sang Guru
tidak pernah berubah. Padahal semula jarak antara mereka tidak lebih dari empat
tombak. Tiba-tiba tubuh Eyang Tirta Yasa terdorong mundur bagai segumpal kapas tertiup
angin. Dan semakin Panji mempercepat langkahnya, tubuh Malaikat Petir terdorong
semakin jauh. "Eyang...!"
Panji berteriak-teriak memanggil sambil mengulurkan kedua tangannya untuk
menggapai lengan Eyang Tirta Yasa. Namun, bayangan tubuh Eyang Tirta Yasa
semakin menjauh. Dan, kemudian lenyap sama sekali tanpa meninggalkan bekas
sedikit pun! "Eyang...!"
Panji berteriak-teriak putus asa. Kedua tangannya terus terulur menggapai-gapai.
Tapi tiba-tiba tubuhnya tersentak dengan napas memburu. Seluruh pakaian yang
dikenakannya basah oleh peluh yang menganak sungai.
"Oh... rupanya aku bermimpi," desah pemuda itu sambil menarik napas lega.
"Apakah ini merupakan sebuah pertanda buruk" Atau hanya karena aku terlalu
mengkhawatirkan keselamatan Eyang?"
Panji duduk termenung di balai-balai tempat tidurnya semalam. Benaknya masih
dibayang-bayangi mimpi buruk yang mengerikan. Berbagai dugaan berkecamuk dalam
kepala pemuda itu. Kehadiran Eyang Tirta Yasa dalam mimpinya telah membuat
hatinya semakin resah.
Pendekar Naga Putih bergegas melompat dari atas pembaringan ketika sinar
matahari menerobos masuk nelalui celah-celah jendela. Cepat dia
berkemas untuk melanjutkan pencarian gurunya.
Bekas-bekas pertempuran yang ditemukan
kemarin diteliti. Setelah beberapa saat meneliti, tiba-tiba sepasang matanya
menemukan tetesan darah yang telah mengering. Bergegas Panji menyusuri tetesan
darah yang berceceran di atas tanah berumput.
"Hm... ceceran darah ini berakhir tepat di bibir jurang. Mungkinkah ada orang
terjatuh atau dilempar ke dalam jurang" Aku harus menemukan sendiri jawaban
pertanyaanku ini!" Berpikir demikian, Panji pun bergegas mencari jalan setapak
untuk menuruni jurang yang cukup curam.
Pemuda berjubah putih itu mengencangkan sabuk yang melingkar di pinggangnya
ketika mencium bau busuk menyengat dari bawah jurang. Hampir saja seluruh isi
perutnya tumpah kalau saja tidak cepat mengerahkan tenaga dalam untuk menekan
rasa mual yang amat kuat. Perlahan-lahan murid tunggal Malaikat Petir
melangkahkan kakinya mencari sumber yang menyebabkan bau busuk.
"Eyang...," desah Panji lirih ketika menemukan sesosok tubuh kurus tergeletak di
semak-semak. Dari potongan tubuh dan pakaiannya, sudah dapat diduga kalau sosok
mayat ini pastilah gurunya.
Pendekar Naga Putih menghembuskan napasnya kuat-kuat guna membangkitkan tenaga
liar yang mengeram di dalam tubuhnya. Seketika angin dingin berhembus kuat
mengusir bau busuk yang
menyengat hidung. Kemudian perlahan-lahan kedua telapak tangannya didorongkan ke
arah mayat yang tergolek di semak-semak.
Wusss! Angin dingin yang menggigit sampai ke tulang
sumsum berhembus keras ketika Pendekar Naga Putih mendorong telapak tangan.
Seketika semak-semak yang berada di sekitar mayat itu beterbangan bagai tercabut
tangan-tangan tak tampak. Beberapa saat kemudian, semak-semak itu pun habis
tersapu bersih sehingga mayat Eyang Tirta Yasa yang ter-selubung kabut bersinar
putih keperakan terlihat jelas.
Panji bergegas menghampiri mayat Eyang Tirta Yasa dengan hati berdebar keras.
Dadanya terasa sesak ketika mendapati mayat gurunya dalam keadaan menyedihkan.
Hampir-hampir dia tidak dapat mempercayai kenyataan di hadapannya.
Maka.... "Yeaaat..!" Panji kembali menghentakkan tenaga sakti hingga keadaan di
sekelilingnya menjadi dingin sekali! Pemuda itu benar-benar terpukul dengan
kematian orang yang telah membimbingnya sejak kecil. Orang yang telah memberinya
berbagai ilmu kesaktian, hingga dirinya disegani kawan maupun lawan.
"Huhhh...!" pemuda berjubah putih itu menarik napas perlahan-lahan, dan
menghembuskannya kembali untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya.
Bau busuk yang semula menyengat itu pun lenyap seketika karena diredam hawa
sakti yang telah menyelimuti sekujur mayat gurunya. Tanpa rasa jijik,
ditelitinya seluruh tubuh Malaikat Petir. Mendadak kening pemuda itu berkerut
ketika melihat tanda merah berbentuk telapak tangan tergambar jelas di dada
mayat Eyang Tirta Yasa.
"Hm... akan kucari orang yang memiliki ilmu pukulan bergambar telapak tangan
ini," janji Panji sambil menggeram marah. Sepasang matanya
tampak berkilat-kilat ketika mengucapkan kata-kata itu.
Seusai mengubur jenazah gurunya, Pendekar Naga Putih segera berlutut di atas
gundukan tanah merah.
"Eyang, aku berjanji akan mencari pembunuhmu.
Hidupku tidak akan tenteram sebelum menemukan manusia kejam yang telah
membunuhmu. Aku mohon pamit, Eyang," bisik Panji lirih.
Selesai mengucapkan janji di sisi makam gurunya, Panji kembali ke pondok. Pemuda
yang tengah berkabung itu berniat tinggal semalam lagi di Bukit Gua Harimau.
*** Hari menjelang sore ketika terdengar teriakan nyaring di sekitar Bukit Gua
Harimau. Teriakan yang berat dan nyaring itu memantul dan bergema memenuhi
puncak bukit hingga ke lembah-lembah di sekitarnya.
"Hei, Malaikat Petir! Aku datang memenuhi janjiku!"
Panji yang baru saja selesai membersihkan tubuh menjadi terkejut mendengar
teriakan yang didorong kekuatan tenaga dalam dahsyat. Kening murid Malaikat
Petir berkerut dalam ketika mendengar nama gurunya disebut-sebut. Bergegas
pemuda itu keluar pondok untuk melihat orang yang berteriak.
Beberapa tombak di depan pondok, tampak
seorang kakek bertubuh kecil kurus dan berwajah kekanak-kanakan tengah berdiri
dengan kaki mengangkang. Senyum jenaka selalu menghiasi wajahnya, seolah-olah
tidak pernah mengalami kesedihan.
Di sebelah kiri kakek jenaka, berdiri seorang gadis cantik berpakaian biru muda.
Dan seperti halnya si kakek, gadis itu juga selalu memperlihatkan senyum manis
yang membuat wajahnya semakin enak dipandang. Rambutnya yang hitam dan lebat
diikat dengan pita biru muda pada bagian atasnya. Benar-benar seorang gadis yang
sangat menarik!
"Kakek siapa" Dan apa maksud kedatangan Kakek kemari!" tanya Panji halus dan
sopan meskipun masih dalam keadaan berduka.
"Di mana si Tua Bangka Tirta Yasa" Suruh dia keluar!" seru kakek jenaka sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Pertanyaan Panji sama sekali tidak dihiraukan-nya.
Seketika darah muda Panji mendidih begitu mendengar sebutan kasar dan bernada
tidak meng-hormat gurunya. Wajah murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu merah padam
menahan emosi yang hampir meluap. Namun tidak percuma Eyang Tirta Yasa
menggemblengnya selama sepuluh tahun. Meskipun amarahnya telah meluap, namun
kesadaran dan sikap yang di tunjukkan Panji benar-benar patut dipuji. Amarah
yang menyesakkan dadanya berusaha ditekan dengan menarik napas panjang berulang-
ulang. "Kalau Kakek bersedia memperkenalkan nama dan mengatakan keperluan Kakek, baru
akan ku-panggilkan Eyang Tirta Yasa," sahut Panji tegas.
Suaranya tetap tenang dan sopan.
"He he he... siapakah kau, Anak Muda" Apa keperluanmu berada di kediaman
Malaikat Petir ini?"
kakek jenaka kembali melemparkan pertanyaan tanpa mempedulikan perasaan pemuda
berjubah putih. Sepertinya memang sengaja berbuat demikian
untuk memancing amarah Panji.
"Hm... Orang Tua. Sebagai tuan rumah, seharusnya akulah yang bertanya lebih
dulu. Dan itu sudah menjadi aturan yang tidak tertulis," ujar Panji yang
emosinya sudah bangkit sehingga merubah
panggilannya kepada tamu tak diundang itu.
"Kurang ajar! Biar kutampar mulutnya yang lancang itu, Eyang," selak gadis
berpita biru muda yang sejak tadi hanya diam saja. Setelah berkata demikian,
tubuh gadis yang berada di samping kakek jenaka langsung melesat ke arah Panji.
Gerakannya cepat sekali hingga yang terlihat hanya bayangan biru muda saja.
Wut! Wut...! "Hm...!"
Dua pukulan gadis itu berhasil dielakkan Panji hanya dengan menggeser tubuhnya
ke samping kiri.
Ketika gadis cantik itu menyusuli pukulannya dengan tendangan kilat, Panji yang
masih sungkan membalas segera melempar tubuhnya beberapa tombak ke belakang.
"Tahan seranganmu, Nisanak! Kita tidak punya alasan untuk bertarung," ujar Panji
mencoba mengingatkan gadis cantik berbaju biru muda.
"Hm.... Kau telah bersikap kurang ajar kepada guruku. Dan itu sudah cukup
kujadikan alasan untuk menampar mulutmu yang tidak mengenal sopan,"
sahut gadis cantik dengan ketus. Anehnya, meskipun kelihatan marah, tapi
bibirnya tetap menyunggingkan senyum manis. Tentu saja sikap gadis itu membuat
Panji terheran-heran.
"Kalau aku tidak salah duga, gadis ini pasti murid si kakek. Entah dari mana
mereka berasal. Sikap mereka sangat aneh dan tidak wajar. Dan apa pula
keperluan mereka mencari guruku," kata Panji dalam hati, tak habis mengerti
melihat sikap aneh kedua orang itu.
"He he he.... Tunggu dulu, Ayuning. Sepertinya aku mengenal gerakan pemuda sok
jago ini," cegah kakek jenaka ketika gadis itu bersiap-siap hendak menyerang.
Entah kapan bergeraknya, tahu-tahu saja kakek kecil kurus telah berada di
samping gadis cantik yang tadi dipanggil Ayuning. Dari sini saja sudah dapat
ditebak kalau kepandaian orang tua aneh ini tidak bisa dibuat main-main.
Kakek kecil kurus meneliti tubuh Panji dari atas ke bawah bagaikan sedang
menaksir-naksir. Kemudian seenaknya mengitari tubuh pemuda itu sambil tak henti-
hentinya tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak Muda, lihat serangan!"
Tiba-tiba saja tubuh kakek jenaka yang tengah mengitari Panji sudah melompat
seraya melepaskan serangan beruntun. Angin tajam berkesiutan menandakan kuatnya
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan si kakek.
Meskipun Panji sudah bersiap-siaga sejak semula, namun sempat terkejut melihat
kecepatan yang diperlihatkan tamu tak diundang itu. Sungguh tidak disangka kalau
orang tua aneh itu dapat bergerak sedemikian cepat, hingga membuatnya kalang-
kabut menghindar.
"Hiaaat..!"
Plak! Plak! "Aih...!"
Serangan kakek kecil kurus yang bagai angin topan membuat Panji tak punya
pilihan lain selain menangkis. Posisi kuda-kudanya sudah tidak
memungkinkan lagi menghindari serangan yang demikian cepat.
"Gila! Tidak mungkin!" teriak kakek itu dengan wajah keheranan. Seketika wajah
yang biasanya ber-hiaskan senyum jenaka berubah tegang. Si kakek benar-benar
tidak habis mengerti ketika tubuhnya terjajar mundur akibat dua tangkisan
Pendekar Naga Putih. Bahkan lengannya pun sempat tergetar akibat pertemuan
tenaga dalam tadi.
Demikian pula halnya dengan Panji yang sejak semula memang sudah menduga kalau
lawan memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi sama sekali tidak disangkanya kalau
tenaga dalam si kakek sampai sekuat itu. Padahal tangkisannya sudah dialiri
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang di saat itu mulai bergolak liar. Untunglah
setelah mengalami beberapa kali pertempuran, pemuda itu sedikit demi sedikit
sudah mulai dapat mengendalikan tenaga liar yang mengeram dalam tubuhnya hingga
dapat mengukur pengeluaran tenaganya.


Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak Muda. Kalau menilik gerakanmu, kau pastilah murid Tua Bangka Tirta Yasa.
Tapi apakah kau juga belajar dari orang lain?" tanya kakek itu penasaran ketika
mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Panji. Dan sebagai
seorang ahli silat yang berpengalaman, dia pun sadar kalau tenaga dalam sehebat
itu tidak mungkin dapat dimiliki orang seusia Panji. Tenaga dalam yang dimiliki
pemuda itu sepatutnya sudah terhimpun setelah bersemadi selama ratusan tahun.
Jadi, jangankan pemuda seperti Panji, sedangkan kakek itu sendiri yang sudah
berumur delapan puluh tahun belum tentu dapat memiliki tenaga dalam sekuat itu
meskipun rajin berlatih siang malam. Tenaga dalam
yang dimiliki pemuda ini rasanya hanya ada dalam dongeng saja.
"Benar! Aku adalah murid Eyang Tirta Yasa. Dan aku tidak pernah berguru kepada
orang lain selain kepada beliau. Mengapa kau bertanya demikian, Orang Tua?"
Panji balas bertanya karena merasa heran pada pertanyaan yang diajukan tamunya.
Pemuda itu tidak habis mengerti maksud si kakek bertanya demikian. Apa pula yang
telah menyebabkannya" tanya Panji dalam hati.
"Hm... apakah yang mengajarmu menghimpun hawa murni si tua bangka itu juga?"
kembali kakek itu menegaskan pertanyaannya karena belum merasa puas dengan
jawaban Panji. "Orang Tua! Berhentilah menyebut guruku dengan sebutan tua bangka! Kata-kata itu
bisa menyebabkan kau mendapat kesulitan!" bentak Panji dengan teriakan
mengguntur karena benar-benar marah sekali mendengar gurunya berkali-kali
disebut tua bangka. Tubuh pemuda itu bergetar menahan hawa amarah yang sudah
hampir mencapai ubun-ubun.
Kakek kecil kurus rupanya tidak tega juga melihat wajah pemuda di hadapannya
agak kemerahan menahan kemarahan. Tapi tiba-tiba tangannya bergerak mencegah
muridnya yang sudah ingin merangsek lagi ketika pemuda itu membentak gurunya.
Sesaat gadis berpakaian biru muda itu sempat hampir terjatuh mendengar bentakan
Panji yang bagaikan ledakan petir di telinganya.
"Hm... ketahuilah, Anak Muda. Aku adalah sahahat lama gurumu. Dan panggilan itu
memang sudah menjadi kebiasaan kami sejak muda. Sebutan tua bangka kuberikan
karena dia selalu saja
menasihatiku setiap kali aku melakukan perbuatan
yang menurut pendapatnya tidak benar. Apakah gurumu tidak pernah bercerita
tentang sahabat-sahabatnya, Anak Muda?" ujar kakek itu serius karena melihat
perubahan sikap yang tidak wajar pada diri pemuda berbaju putih di hadapannya.
Mendengar keterangan yang diberikan kakek kecil kurus, kening Panji berkerut
dalam. Pemuda itu berusaha mengingat-ingat cerita Eyang Tirta Yasa mengenai
sahabat-sahabatnya. Ditelitinya penampilan kakek itu sambil mengingat ciri-ciri
sahabat-sahabat gurunya yang pernah diceritakan kepadanya.
"Apakah... apakah Eyang yang berjuluk Dewa Tanpa Bayangan?" tanya Panji
memastikan dugaannya. Wajah pemuda itu tampak agak tegang karena kalau kakek ini
memang benar sahabat lama gurunya, maka kemungkinan besar pasti tahu siapa-siapa
saja musuh gurunya. Terutama seorang tokoh yang memiliki ilmu pukulan telapak
tangan. "He he he... bagus kalau kau sudah dapat mengingatnya, Anak Muda. Nah, sekarang
cepat panggilkan gurumu. Apakah dia sudah jadi seorang pengecut yang tidak
berani memenuhi janjinya?" ujar kakek kecil kurus yang ternyata adalah seorang
tokoh tua sahabat lama Eyang Tirta Yasa.
"Kalau Eyang tidak keberatan, bolehkan aku tahu maksud Eyang mencari guruku?"
tanya Panji yang masih juga ingin mengetahui maksud kedatangan kakek itu.
"Huh, pemuda ini ceriwis sekali, Eyang. Rasanya dia lebih pantas menjadi
perempuan daripada laki-laki," tiba-tiba gadis cantik dan manis yang bernama
Ayuning menyelak tak senang.
Wajah Panji merah padam mendengar kata-kata gadis itu. Ditatapnya wajah Ayuning
dengan gemas. Namun, yang ditatap malah membalas dengan mata membelalak, seolah-olah
menantang. Karuan saja Panji terpaksa mengalah.
"Lebih baik kita masuk ke dalam dulu, Eyang," ajak murid tunggal Malaikat Petir
sambil melangkah mendahului guru dan murid itu.
*** 2 "Itulah sebabnya mengapa aku mencurigai kedatangan Eyang berdua," ujar Panji
menutup ceritanya. Wajahnya kembali diliputi kedukaan yang mendalam ketika
teringat kematian gurunya.
Kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Tanpa Bayangan terkejut mendengar cerita
Panji. Seketika juga senyum jenaka yang biasanya selalu menghias wajahnya
lenyap. Kelihatan sekali kalau kakek itu merasa sangat terpukul mendengar
kematian Eyang Tirta Yasa.
"Hhh... kedatanganku kemari sia-sia saja. Apakah kau tidak menemukan ciri-ciri
ilmu si pembunuh?"
tanya Dewa Tanpa Bayangan penuh sesal ketika mengingat kematian sahabat
kentalnya. "Aku memang telah menemukan ciri-ciri ilmu pembunuh Eyang Tirta Yasa. Tapi
sayangnya aku tidak tahu siapa tokoh persilatan yang punya ilmu pukulan telapak
tangan seperti yang terdapat pada jenazah Eyang Tirtayasa. Kurasa banyak sekali
tokoh persilatan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu,"
jawab Panji sambil menerangkan jenis ilmu pukulan yang telah merenggut nyawa
gurunya. "Hm... ya. Ilmu pukulan sejenis itu memang banyak sekali dimiliki tokoh
persilatan. Tapi sepengetahuan-ku, sulit sekali mencari tokoh persilatan yang
mampu menandingi kesaktian Tirta Yasa. Apalagi membunuh-nya dengan ilmu pukulan
pasaran seperti itu.
Menurutku, bukan tidak mungkin kalau pembunuh itu sengaja hendak menyamarkan
ilmunya. Atau mungkin juga ilmu kepandaian orang itu memang di atas kepandaian gurumu. Dan
pada saat dia sudah terluka berat, barulah pembunuh itu melontarkan pukulan yang
bergambar telapak tangan. Mungkin itu dilakukannya hanya untuk menyamarkan
saja," ujar Dewa Tanpa Bayangan memberikan beberapa
penjelasan agar Panji tidak sembarangan melacak pembunuh gurunya itu.
Mendengar keterangan yang diberikan sahabat gurunya, pemuda yang tengah
berkabung itu termenung sejenak memikirkan latar belakang pembunuhan yang
misterius itu. "Apakah Kakang Panji tidak menemukan tanda-tanda lain pada mayat Eyang Tirta
Yasa?" tanya Ayuning menimpali. Rupanya rasa simpati di hati gadis itu timbul
juga mendengar malapetaka yang tengah menimpa murid sahabat gurunya. Gadis yang
sebenarnya lemah lembut itu sudah melupakan kejadian yang tidak menyenangkan di
antara mereka beberapa saat sebelumnya.
"Tidak, Adik Ayuning. Hanya tanda telapak tangan merah itulah yang kutemukan
pada jenazah guru,"
jawab Panji yang juga telah melupakan pertengkaran di antara mereka.
"Panji. Sebenarnya kedatanganku kemari bukan tidak mempunyai tujuan. Lima belas
tahun lalu kami sama-sama berjanji mengadakan pertemuan di sini.
Dan waktu yang telah kami tentukan jatuh pada hari ini. Tapi, mengingat musibah
ini, maka aku akan menunda sampai kau menemukan pembunuh
gurumu. Aku tidak akan menjanjikan apa-apa kepadamu. Tapi percayalah, kami akan
berusaha membantumu mencari pembunuh Tirta Yasa. Apabila aku sudah menemukannya,
kau akan kuberitahukan,"
hibur Dewa Tanpa Bayangan sambil tersenyum.
"Tapi, Eyang belum mengatakan keperluan Eyang mencari guru," desak Panji
menuntut jawaban.
"Kami hanya ingin menjajal ilmu-ilmu yang kami sempurnakan selama lima belas
tahun ini. Tapi sayang, gurumu telah pergi lebih dulu," sahut Dewa Tanpa
Bayangan datar. Gairahnya telah hilang karena kematian sahabat kentalnya itu.
"Kalau begitu, aku pergi dulu."
Setelah berkata demikian, sahabat kental Malaikat Petir itu bangkit dan
melangkah keluar pondok.
"Nanti dulu, Eyang. Di mana Eyang akan menemuiku kalau Eyang ternyata lebih dulu
menemukan pembunuh itu?" tanya Panji sambil mengikuti langkah kakek itu.
"Eh, dasar sudah pikun! Mengapa aku sampai lupa," seru kakek itu sambil
menempelkan tangannya di dahi. "Hm... begini saja. Kalau ternyata aku yang lebih
dulu menemukan jejak pembunuh gurumu, aku akan menunggumu di tempat ini pada
hari ketujuh bulan lima nanti. Bagaimana?"
"Hm... berarti masih tiga bulan dari sekarang.
Baiklah, Eyang. Tepat pada waktu yang ditentukan, aku akan datang kemari," jawab
Panji yang segera menyetujui usul kakek.
"Ayo, Ayuning, kita berangkat!" setelah berkata demikian, kakek kecil kurus itu
sudah melesat meninggalkan pondok.
"Selamat tinggal, Kakang Panji. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi," pamit
Ayuning sambil meIambaikan tangannya ke arah Panji.
"Selamat jalan, Adik Ayuning," balas pemuda berjubah putih yang juga melambaikan
tangannya kepada Ayuning. "Seorang gadis yang lincah dan
mudah sekali membuat orang tertawa dan marah."
Tidak lama setelah kepergian Dewa Tanpa
Bayangan dan muridnya, pemuda yang baru ditinggal mati gurunya itu berkemas-
kemas mencari pembunuh Eyang Tirta Yasa. Angin bukit berhembus lembut mengiringi
langkah Pendekar Naga Putih menuruni Bukit Gua Harimau.
*** Belasan pasang mata menatap penuh selidik ketika Panji dengan tenang memasuki
pintu sebuah kedai makan. Tatapan belasan pasang mata itu sama sekali tidak
dipedulikan. Pemuda itu melangkah dengan mantap menuju sebuah meja kosong yang
terletak dekat jendela sambil menggerakkan tangannya memanggil pelayan. Panji
menyebutkan nama beberapa macam makanan yang kemudian segera dihidangkan. Dan
tanpa banyak cakap lagi pemuda itu pun segera menyantap pesanannya tanpa
mempedulikan beberapa pasang mata yang masih terus menatapnya. Tampaknya pemuda
yang tengah mencari jejak pembunuh gurunya ini memang betul-betul menikmati
makanannya. Dua orang laki-laki yang duduk di sudut berbisik-bisik sambil sesekali melirik
ke arah Panji. Salah seorang di antara mereka yang berwajah seperti tikus tampak
agak terkejut melihat kedatangan Panji.
Sepasang matanya yang menjelajah ke seluruh tubuh pemuda itu semakin membelalak
ketika melihat pedang lentur yang melingkari pinggang pemuda itu.
"Hm...," sambil bergumam perlahan, si muka tikus melangkah ke tempat Panji yang
tengah menikmati makanannya. Begitu tiba di hadapan pemuda itu,
muka tikus mengangkat kaki kirinya ke atas kursi.
"Kisanak! Apakah kau tidak tahu peraturan yang berlaku di desa ini?" tanya si
muka tikus memasang tampang galak. Gagang senjatanya sengaja ditonjolkan untuk
menciutkan nyali Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau orang itu memang sengaja hendak mencari perkara, mencoba
menahan diri agar tidak menimbulkan keributan di dalam kedai. Segera kepalanya
diangkat dengan wajah berpura-pura keheranan.
"Maaf, aku sama sekali tidak tahu peraturan di sini. Aku hanya kebetulan lewat
dan hanya ingin melepaskan letih barang sejenak. Apakah aku telah menyalahi
peraturan, Paman?" sahut Panji mencoba mengikuti kemauan laki-laki bermuka
tikus. Brak! "Bangsat! Berani kau berbicara sambil menatap wajahku! Apa kau tidak kenal siapa
yang tengah berbicara denganmu, heh"!" bentak si muka tikus geram. Meja di
hadapan Panji pecah berantakan akibat tamparan tangan laki-laki kasar yang
tengah murka itu. Rupanya laki-laki galak ini memang sudah terbiasa ditakuti
penduduk setempat. Sehingga tidak mengherankan kalau menjadi sangat marah ketika
Panji berbicara sambil menatap tanpa rasa takut.
Sekilas terlihat wajah Pendekar Naga Putih memucat. Bukan karena takut kepada si
muka tikus, melainkan khawatir tidak mampu menahan gejolak tenaga liar yang
mengendap dalam tubuhnya. Hal inilah yang membuat wajahnya menjadi pucat.
Si muka tikus yang tidak mengetahui apa yang tengah dipikirkan pemuda itu
semakin berlagak.
Begitu melihat Panji menunduk diam, maka tingkah
yang diperlihatkannya semakin menjadi-jadi.
Beberapa pengunjung yang tidak ingin terlibat keributan, cepat-cepat
meninggalkan kedai. Mereka yang telah mengenal siapa si muka tikus hanya dapat
memandang iba pada pemuda tampan yang terlihat lemah dan sopan.
"Ketahuilah, Kisanak. Kalau kau membawa senjata ke Desa Kertasari, berarti kau
telah melanggar peraturan! Dan sebagai hukumannya, kau harus menyerahkan
pedangmu kepadaku!" desak si muka tikus galak. Laki-laki galak ini sengaja
berkata demikian, karena tahu kalau senjata adalah nyawa kedua bagi kaum
persilatan. Dan apabila seseorang meminta senjatanya, berarti sebuah penghinaan
yang sudah melampaui batas! Rupanya si muka tikus memang sengaja hendak
memancing kemarahan pemuda itu. Sehingga punya alasan untuk
menghajarnya. Panji yang mengetahui apa yang ada dalam otak biang onar di Desa Kertasari ini
dengan tenang melepas Pedang Sinar Rembulan yang melilit pinggangnya. Setelah
menyodorkan pedang kepada si muka tikus, pemuda itu pun meninggalkan kedai
setelah membayar makanannya.
Tinggallah si muka tikus dan kawan-kawannya termangu bagai orang kehilangan
akal. Mereka benar-benar tak habis mengerti mengapa pemuda itu menyerahkan
pedangnya dengan sukarela. Padahal pedang itu adalah sebuah pedang pusaka yang
jarang ada duanya dalam dunia persilatan. Beberapa saat lamanya mereka hanya
melongo melihat kepergian Pendekar Naga Putih dengan kening berkerut.
Si muka tikus baru tersadar ketika bayangan pemuda berjubah putih lenyap di
balik pintu kedai.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya langsung melesat mengejar diikuti
kawan-kawannya.
"Kisanak, tunggu...!" si muka tikus berteriak sambil melambaikan tangannya
begitu melihat Panji tengah melangkah tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu pada dirinya.
Pemuda yang tengah berduka itu menghentikan langkahnya ketika mendengar
panggilan si muka tikus. Kening Panji berkerut ketika menoleh ke belakang,
matanya tertumbuk pada si muka tikus dan kawannya sedang berlari menyusulnya.
Sekilas terlihat sepasang matanya berkilat tajam tanda tak senang.
"Ada apa lagi, Kisanak?" tanya Panji begitu si muka tikus dan kawannya sudah
berada dua tombak di hadapannya. Dari ucapannya yang sudah berubah, jelas sekali
kalau pemuda itu bangkit emosinya.
"Ucapanku tadi belum lengkap. Hukuman atas pelanggaran yang kau lakukan bukan
hanya harus menyerahkan senjatamu saja. Selain itu kau harus cepat-cepat
meninggalkan desa ini," ujar si muka tikus yang rupanya masih belum puas
mempermainkan Pendekar Naga Putih.
Gigi Panji bergemeletuk mendengar permintaan yang benar-benar telah melampui
batas. Tadinya dia memang sengaja mengalah dengan menyerahkan pedang meskipun
harga dirinya telah terhina. Tapi di balik itu Panji sudah dapat menduga kalau
si muka tikus dan kawannya memang sengaja hendak mempermainkan dirinya. Dugaan
pemuda itu ternyata tidak meleset!
"Hm... jadi begitu!" tegas Pendekar Naga Putih sambil menatap tajam wajah si
muka tikus yang tersentak kaget melihat sinar mata mencorong yang
menggetarkan jantungnya. "Kalau boleh kutahu, siapa yang membuat peraturan keji
ini?" Suara Panji yang dingin dan berwibawa yang membuat hati si muka tikus kecut.
"Eh... oh... peraturan itu... peraturan itu...," si muka tikus yang tak sanggup
meneruskan kata-katanya tiba-tiba menggigil seperti orang terserang demam!
Wajahnya yang semula angker dan galak mendadak pucat pasi.
"Hm... siapa yang membuat peraturan sekeji itu"
Jawab..."!" geram Panji semakin menggetarkan sehingga membuat si muka tikus tak
mampu lagi untuk menahan bobot tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuh laki-laki
berangasan itu melorot bagai karung basah.
Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih telah membuat keberaniannya terbang
entah ke mana. Karena si muka tikus tidak juga mampu menjawab pertanyaannya, Panji pun tidak
lagi mendesak. Segera diraihnya pedang yang berada di genggaman orang itu. Setelah melilitkan
kembali Pedang Sinar Rembulan ke pinggangnya, Pendekar Naga Putih meninggalkan
si muka tikus dan kawan-kawannya yang terpaku bagai patung. Beberapa penduduk
yang menyaksikan kejadian itu hanya dapat memandang bingung. Mereka pun tidak
mengerti mengapa laki-laki bermuka tikus terjatuh. Padahal pemuda itu sama
sekali tidak terlihat menggerakkan tangan.
Aneh, pikir mereka menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti.
Kejadian yang tidak masuk akal itu ternyata tak lepas dari pengamatan seorang
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Keningnya agak berkerut ketika
menyaksikan peristiwa itu.
"Gila! Entah ilmu apa yang dimiliki pemuda itu!
Apakah dia memiliki ilmu sihir" Kalau tidak, mengapa dapat membuat lawan tak


Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdaya hanya dengan memandangnya saja" Benar-benar seorang pemuda hebat dan
berbahaya. Aku harus berhati-hati menyelidikinya. Siapa tahu dia musuh?" gumam
laki-laki berperawakan tinggi sedang itu.
Kalau dilihat dari penampilannya, pastilah laki-laki itu tidak asing dalam dunia
persilatan. Tapi melihat pinggangnya yang tak bersenjata, maka orang pun akan
ragu. Barangkali memang itulah yang diinginkan laki-laki itu.
Sementara itu, Panji meneruskan langkahnya memasuki desa tanpa mempedulikan
keadaan di sekelilingnya. Murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu sama sekali tidak
mempedulikan sorot mata penduduk yang memperhatikan dirinya dengan perasaan
takut bercampur kagum. Entah apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing.
Hanya merekalah yang tahu.
Belum lagi Panji melangkah jauh, tiba-tiba terdengar jeritan dari sebuah rumah
beberapa tombak di sampingnya. Sebagai pendatang yang belum mengetahui keadaan
Desa Kertasari, tentu saja pemuda itu tidak terlalu menaruh perhatian pada
jeritan tadi. Pendekar Naga Putih hanya berhenti sejenak sambil melirik ke arah
rumah itu, seolah-olah ingin memastikan apa yang tengah terjadi di dalam sana.
Panji tidak jadi meneruskan langkahnya ketika melihat tiga laki-laki berwajah
seram bersenjata pedang tengah berdiri di muka pintu. Tak lama kemudian, dari
dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun
sambil menyeret seorang wanita yang wajahnya bersimbah air mata. Rupanya jeritan
wanita itulah yang tadi
didengar Pendekar Naga Putih.
"Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" bentak laki-laki itu sambil menyeret
wanita itu keluar. "Apa kau lebih suka kalau seluruh keluargamu digantung, heh"
Sudah bagus Ki Kalari masih mau
membebaskan seluruh hutang-hutang ayahmu asal kau bersedia bekerja di rumahnya."
Wanita malang itu hanya bisa menangis tanpa mampu melakukan perlawanan. Wajahnya
yang babak belur, menandakan kalau dirinya habis disiksa sebelum diseret keluar
oleh laki-laki itu.
Sebagai seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi keadilan, tentu saja hati
Panji tergerak untuk mengetahui duduk persoalan lebih jauh. Tanpa ragu-ragu lagi
kakinya dilangkahkan mendekati rumah itu.
Tapi baru saja beberapa tindak kakinya melangkah, tiba-tiba laki-laki bercaping
yang sejak tadi menguntit Panji mendekati.
"Jangan pedulikan mereka kalau kau tidak ingin mendapat kesulitan!" bisik laki-
laki bercaping memperingatkan Panji. Setelah memberi peringatan, orang itu terus
berlalu. Sepertinya laki-laki bercaping memang telah mengetahui duduk persoalan
yang tengah dihadapi keluarga malang itu. Tapi, entah apa yang menyebabkan dia
tidak mau mencampuri urusan.
Pendekar Naga Putih yang tidak sempat membalas peringatan orang bercaping,
segera mengerahkan ilmu 'Mengirim Suara Jarak Jauh'. Beberapa saat kemudian,
bibirnya terlihat berkomat-kamit mengucapkan sesuatu.
"Maafkan aku, Kisanak. Aku tidak bisa menutup mata melihat kekejaman berlangsung
di depan mataku. Sekali lagi maafkan aku. Aku terpaksa tidak
menuruti nasihatmu."
Orang bercaping terkejut ketika menerima kiriman suara yang demikian jelas di
telinganya. Tapi laki-laki misterius itu tahu kalau Panji lah yang telah
mengucapkan kata-kata itu.
Orang bercaping hanya dapat menghela napas ketika melihat tubuh Panji sudah
melesat ke rumah keluarga malang itu. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah berdiri
beberapa langkah di depan empat lelaki berwajah seram.
"Lepaskan gadis itu!" seru Panji tanpa basa-basi dan sudah merasa yakin kalau
kejadian itu bukan sekadar kesalahpahaman.
Empat laki-laki kasar itu terkejut melihat ada seorang pemuda yang berani
mencegah tindakan mereka. Beberapa saat lamanya keempat orang itu hanya berdiri
termangu. "Hm... siapakah kau, Kisanak" Mengapa mencampuri urusan kami?" tanya laki-laki
yang masih menyeret tubuh wanita malang heran. Bukankah selama ini tidak ada
seorang pun yang berani mencegah perbuatan mereka" pikir laki-laki itu.
"Lepaskan gadis itu kataku!" ancam Panji lagi tanpa mempedulikan pertanyaan
orang itu. "Bangsat! Rupanya kau memang sengaja cari mampus, Kisanak!" bentak salah seorang
dari tiga laki-laki yang berada di muka pintu. Laki-laki itu sangat berang
melihat sikap keras kepala yang diperlihatkan Pendekar Naga Putih. Tanpa berkata
apa-apa lagi, orang itu segera mencabut senjata dan langsung ditusukkan ke tubuh
Panji. Wuttt! "Hm...."
Panji hanya bergumam pelan melihat serangan itu.
Begitu ujung pedang hampir menyentuh kulitnya, kaki
kanannya segera digeser ke samping hingga tusukan pedang hanya mengenai tempat
kosong. Begitu melihat serangannya luput, laki-laki itu menjadi semakin marah.
Cepat senjatanya diputar seraya kembali mempersiapkan serangan susulan bertubi-
tubi. Namun tetap saja tak satu pun serangannya dapat menyentuh tubuh pemuda
itu. "Hm... kalian jangan paksa aku bertindak kasar!"
ancam Panji dingin. Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan jantung.
"Keparat! Beri pemuda itu pelajaran agar lebih sopan apabila bertemu denganku
lagi!" bentak laki-laki yang menyeret tubuh wanita malang gusar.
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang sejak tadi hanya menonton pertarungan
langsung mencabut pedang. Serentak keduanya membantu kawannya yang hampir
kehabisan napas karena serangannya tidak juga mengenai sasaran.
"Sesalilah dirimu yang berani berurusan dengan Tuan Muda Patala, Kisanak!
Perbuatanmu sudah cukup jadi alasan untuk mengirim dirimu ke neraka!"
pekik salah seorang pengeroyok seraya menyabetkan senjatanya. Dari desing
pedangnya, dapat ditebak kalau tenaga dalam orang ini jauh lebih kuat daripada
penyerang pertama. Meskipun begitu, kepandaiannya masih terlalu jauh jika
dibandingkan dengan kepandaian Panji.
Dua orang lainnya juga mengayunkan senjata dengan cepat dan ganas. Ketiga laki-
laki berwajah seram itu tampaknya memang benar-benar bernafsu menghabisi nyawa
Pendekar Naga Putih. Sehingga tak mengherankan kalau serangan-serangan yang
mereka lancarkan pun tidak main-main.
Pada jurus keempat, tiga batang pedang meluruk
berbarengan ke arah Panji. Namun pemuda itu sepertinya tidak melihat dan tetap
berdiri tegak seolah-olah pasrah menerima ajal! Trak! Trak!
"Aaa...!"
*** 3 Terdengar suara berdesing nyaring ketika tiga batang pedang menghantam tubuh
Panji. Aneh! Bukan tubuh pemuda itu yang terluka, melainkan tubuh tiga
pengeroyok itulah yang terpental diiringi jerit kesakitan. Sedangkan pedang
mereka berpentalan dari genggaman entah ke mana.
"Ilmu iblis...!" teriak penyerang pertama sambil berusaha merangkak bangun meski
dengan susah payah. Dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah.
"Pemuda setan...!" seru yang lainnya bersamaan seraya berusaha bangkit. Sesekali
terdengar suara mengaduh dari mulut mereka.
Dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, ketiga laki-laki yang menjadi tukang
pukul orang bernama Patala buru-buru mundur menjauhi pemuda itu. Jelas sekali
kalau ketiga orang itu merasa gentar menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Keparat sombong! Jangan dulu kau membusung-kan dada hanya karena mengalahkan
tiga pembantu-ku! Kau boleh merasa bangga setelah merasakan kepalanku ini,
Bangsat!" bentak Patala marah. Panji langsung diterjangnya dengan kepalan-
kepalannya yang menimbulkan rangkuman angin berhawa panas.
Wusss! Wusss! Panji menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan menghindari pukulan yang mengandung
hawa panas. Diam-diam pemuda itu terkejut melihat kepandaian laki-laki yang hanya beberapa
tahun lebih tua darinya.
Sama sekali tidak disangkanya kalau orang itu
memiliki kepandaian cukup tinggi dan juga pukulan-pukulan yang mematikan.
Memasuki jurus kelima, Panji mengangkat tangan kanannya sambil mengerahkan
sebagian tenaga dalam saat pukulan Patala menderu datang! Dan celakanya tenaga
yang diperkirakan hanya sebagian itu ternyata telah melebihi takaran. Maka
akibatnya.... Plak! "Uhhh...!"
Terdengar letupan kecil yang disertai kepulan asap tipis ketika sepasang tangan
kekar bertemu di udara.
Tubuh Patala terjajar mundur sejauh delapan tombak diiringi jeritan kaget.
Wajahnya masih pucat ketika berusaha memperbaiki posisi kuda-kudanya. Seketika
dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah.
Rupanya pertemuan tenaga dalam itu telah mengguncangkan isi dadanya. Setelah
berdiri kembali, mata Patala memandang berkeliling.
Beberapa orang penduduk yang tertarik melihat pertarungan mulai berdatangan.
"Lari...!" seru Patala seraya membalikkan tubuhnya dan langsung melesat
meninggalkan tempat itu.
Melihat majikannya telah melarikan diri, ketiga tukang pukul itu pun bergegas
mengambil langkah seribu. Beberapa penduduk melempari mereka dengan batu-batu
kecil sehingga membuat ketiganya lari pontang-panting.
Setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan, Pendekar Naga Putih
bergegas menghampiri wanita muda yang masih terduduk lemas.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" tanya Panji seraya mengulurkan tangan untuk
menolong wanita itu bangkit.
"Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Tapi
ketahuilah, pertolongan Kisanak justru semakin menyulitkan kami. Karena setelah
kepergian Kisanak, Tuan Muda Patala pasti datang lagi dengan membawa lebih
banyak tukang pukul. Dan sudah pasti nasib keluarga kami akan lebih buruk lagi.
Selain aku yang akan mereka bawa, mereka pun akan membunuh seluruh keluargaku,"
ujar wanita muda itu panjang lebar. Seolah-olah lebih suka menerima perlakuan
orang-orang itu daripada ditolong Panji.
"Siapakah dia, Nisanak?" tanya Panji mencoba mencari tahu tentang pemuda yang
bernama Patala.
Namun, alangkah herannya hati pemuda itu karena wanita muda yang diajak bicara
baik-baik itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita itu malah
melangkah masuk ke dalam rumah dan tidak lagi mempedulikan penolongnya.
"Mengapa Nisanak tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Panji penasaran dan tanpa
sadar ikut melangkah masuk ke dalam rumah.
Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun dan seorang wanita berumur
lima puluhan, bangkit dari balai-balai bambu berlapis selembar tikar usang.
Kedua orang tua itu bergerak mencegah pemuda yang hendak mengejar putrinya.
"Pergilah, Kisanak. Tinggalkan desa ini secepatnya.
Kehadiranmu di sini hanya akan membuat kami semakin susah. Mereka pasti akan
melakukan tindakan yang lebih kejam terhadap keluarga kami sebagai pelampiasan
dendam atas perbuatanmu,"
ujar laki-laki tua sambil menggerakkan tangan mengusir Panji. Entah apa yang
mendorong mereka lebih suka ditinggalkan daripada ditolong!
Pendekar Naga Putih tertegun mendengar ucapan
keluarga yang baru saja ditolongnya. Selama ber-petualang, baru kali ini dia
menemui peristiwa seperti ini. Tiba-tiba Panji teringat ucapan orang bercaping
yang tadi berusaha memperingatkannya. Samar-samar pemuda itu dapat meraba
kesulitan macam apa yang dimaksud orang bercaping.
"Tapi, Paman, apakah tindakanku salah?" akhirnya keluar juga perkataan yang
mewakili perasaan Panji.
Sikap yang ditunjukkan oleh keluarga yang ditolongnya itu masih belum
dimengertinya. "Tidak, Kisanak. Tindakanmu sama sekali bukan kesalahan. Tapi, apalah artinya
pertolongan Kisanak tadi jika dibandingkan dengan penderitaan yang akan kami
alami setelah kepergian Kisanak nanti.
Beberapa waktu yang lalu juga ada dua pendekar yang menolong salah satu keluarga
di desa ini. Pertolongan kedua pendekar itu memang berhasil membebaskan keluarga itu dari
ancaman maut. Tapi itu hanya berlangsung sementara. Setelah kedua pendekar
meninggalkan desa, keluarga itu disiksa habis-habisan hingga semuanya tewas
secara menyedihkan. Rasanya musibah yang sama akan menimpa keluarga kami," ujar
orang tua itu menerangkan sebab-sebab yang membuat mereka semakin ketakutan
setelah ditolong pemuda berjubah putih.
Setelah mendengar keterangan orang tua itu, barulah Pendekar Naga Putih tahu
penyebab keluarga malang itu malah semakin ketakutan menerima pertolongannya.
"Kalau begitu, aku akan tetap tinggal di desa ini sampai orang-orang itu jera
dan tidak berani lagi mengganggu penduduk," tegas Panji menenangkan kecemasan di
hati orang tua itu.
"Hhh... tidak ada gunanya, Kisanak. Kau tidak tahu siapa mereka. Daripada kau
mati sia-sia, lebih baik cepat tinggalkan desa ini. Tak usah pikirkan keadaan
kami. Kami sudah terbiasa dengan segala macam penderitaan," orang tua itu tetap
bersikeras menghendaki kepergian penolongnya. Menurut anggapan-nya, mana mungkin
pemuda ini mampu menghadapi anak buah Patala yang jumlahnya besar dan terdapat
orang-orang sakti di antaranya.
"Biarlah, Paman. Aku tidak takut menghadapi kematian selama tidak menyeleweng
dari jalan kebenaran," tegas Panji mantap sambil mengatupkan rahangnya kuat-kuat
"Hhh... segala usahamu akan sia-sia, Kisanak, akan sia-sia...," desah orang tua
itu karena tidak berhasil menyuruh Panji meninggalkan Desa Kertasari. Tanpa
berkata apa-apa lagi, suami istri berusia lanjut itu melangkah masuk ke dalam
kamarnya. Tinggallah Pendekar Naga Putih termenung memikirkan kejadian yang baru saja
dialaminya. Perlahan-lahan kakinya dilangkahkan keluar dari rumah. Dalam hatinya, pemuda itu
bersumpah untuk membuat penduduk desa ini hidup tenang sebagai-mana desa-desa
lainnya. *** Di dalam rumah besar yang menjadi kediaman Kepala Desa Kertasari, tampak Patala
berjalan mondar-mandir sambil melipat tangannya ke belakang. Sesekali tangannya
diremas-remas penuh kegeraman. Rupanya orang ini masih penasaran karena
perbuatannya digagalkan Panji.
"Huh! Takkan puas hatiku sebelum mencincang
tubuh pemuda keparat itu!" geram Patala sambil meninju telapak tangannya kuat-
kuat. "Apa kau tidak tahu siapa dia dan dari mana asalnya?" tanya laki-laki tua yang
duduk men-cangkung di atas kursi. Di wajah laki-laki tua itu terlihat garis-
garis penderitaan hingga membuatnya nampak jauh lebih tua dari usia
sesungguhnya. Sepertinya orang tua itu tengah mengalami tekanan batin yang sangat berat.
"Ah, sayang sekali aku tidak sempat bertanya. Saat itu aku benar-benar terkejut
melihat ada orang yang berani menentangku. Tapi rasa-rasanya aku belum pernah
melihat pemuda itu sebelumnya. Menurut dugaanku dia pasti bukan penduduk desa
ini," sahut Patala menanggapi ucapan orang tua itu. Meskipun kata-katanya tidak
terdengar kasar, namun menilik cara berbicaranya, Patala seolah-olah tidak
menaruh hormat sama sekali kepada orang lawan bicaranya.
"Hm... kalau pemuda itu hanya pengembara yang kebetulah lewat, biarkan saja.
Beberapa hari lagi pasti dia sudah meninggalkan desa," ujar orang tua itu datar.
"Tidak bisa, Ki. Perbuatannya yang telah mem-permainkanku di depan mata penduduk
harus kubalas! Dan itu harus!" tegas Patala yang rupanya tidak bisa melupakan
kekalahannya terhadap Panji.
"Lalu, apa rencanamu sekarang" Dan bagaimana cara kau membalasnya" Sedangkan
menurut penuturanmu, kepandaian pemuda berpakaian putih itu sangat tinggi," kembali
orang tua itu mencoba mengingatkan Patala.
"Hm... malam ini aku akan menyatroni rumah itu.
Akan kubawa beberapa orang yang kepandaiannya dapat diandalkan. Siapa tahu
pemuda keparat itu
masih ada di sana."
Setelah berkata demikian, Patala buru-buru keluar dari ruangan itu. Tinggallah
si orang tua termenung menatap langit-langit ruangan.
*** Malam belum larut Bintang-bintang yang ber-taburan di langit tampak berkedip-
kedip menghiasi sang malam. Angin dingin berhembus perlahan diiringi suara
nyanyian binatang malam yang saling bersahutan. Di tengah semaraknya nyanyian
binatang malam, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
Derap kaki belasan ekor kuda terus bergema menuju sebelah Timur Desa Kertasari.
Penunggang kuda yang berada paling depan tidak lain adalah Patala. Lari kudanya
sengaja diperlambat agar tidak terlalu menimbulkan suara berisik.
Nampaknya Patala benar-benar ingin membuktikan ucapannya untuk menyatroni rumah


Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mana tadi pagi Panji mempecundanginya.
Tak lama kemudian, Patala menghentikan lari kuda yang diikuti belasan anak
buahnya. Patala dan belasan tukang pukul bergegas melompat dari punggung kuda.
Setelah menambatkan kuda pada sebatang pohon, orang-orang itu segera mengendap-
endap mendekati rumah yang dituju. Patala menjentikkan jemari tangan sebagai
isyarat kepada dua tukang pukul agar maju mendekat.
"Benar juga apa yang dikatakan Ki Kalari. Pemuda keparat itu rupanya telah
meninggalkan desa.
Sekarang kalian berputar dan masuk dari jalan belakang. Kalian harus berhasil
menculik gadis itu untukku. Awas jangan sampai gagal! Kalau sampai
gagal, kepala kalian jadi gantinya, mengerti"!"
perintah Patala berbisik pelan.
"Baik, Tuan Muda," sahut kedua tukang pukul mengangguk seraya bergegas
menjalankan perintah tuan mudanya. Tak lama kemudian kedua orang tadi sudah
lenyap ditelan kegelapan malam.
Namun sebelum kedua orang itu melangkah lebih jauh, tiba-tiba dari atas batang
pohon melayang sesosok bayangan putih. Sesaat kemudian, bayangan putih itu telah
menghadang di depan mereka.
"Hm.... Hendak mencuri apakah dua ekor tikus busuk mengendap-endap di tengah
malam buta seperti ini?" tanya sosok bayangan putih yang tidak lain adalah Panji
dengan nada mengejek.
Ternyata Panji belum pergi meninggalkan desa seperti yang dugaan Patala. Rupanya
Pendekar Naga Putih sengaja bersembunyi di atas pohon menanti kedatangan Patala
yang menurut firasatnya masih menyimpan rasa penasaran. Dan dugaannya ternyata
tidak meleset! "Keparat! Siapa kau" Apa maksudmu menghadang kami?" tanya salah seorang dari
kedua tukang pukul seraya mencabut senjata.
"Siapa aku, itu bukan urusanmu! Sebaliknya akulah yang harus bertanya kepada
kalian. Apa maksud kalian mengendap-endap mendekati rumah orang di malam buta
seperti ini?" ujar Panji tak kalah gertak. Meskipun sudah dapat menebak maksud
kedatangan kedua orang itu, namun untuk memastikan dugaannya, pemuda itu ingin
mendengar sendiri dari mulut mereka.
"Bangsat! Mampuslah!" bentak salah seorang tukang pukul sambil menyabetkan golok
membelah tubuh murid tunggal Eyang Tirta Yasa.
"Hm... aku tidak butuh senjatamu! Aku hanya butuh jawaban!" seru Panji sambil
menggeser tubuh menghindari bacokan. Dan tanpa disangka-sangka tangan Pendekar
Naga Putih menotok pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Tukkk! "Aaah...!"
Tukang pukul itu menjerit kesakitan! Tubuhnya bergetar hebat bagai terkena
demam. Tapi sebelum sempat menyadari keadaannya, tahu-tahu sebuah tamparan yang
cukup kuat singgah di kepalanya.
Seketika itu juga tubuhnya menggelepar pingsan dan tidak tahu lagi kejadian
selanjutnya. Pada saat tangan Panji bergerak menampar, kawannya yang seorang lagi mengayunkan
golok ke leher. Pemuda itu segera menggeser kakinya ke belakang. Sesaat
kemudian, tubuhnya sudah berputar sambil mengayunkan kaki menghantam tengkuk
pembokongnya. Panji yang tahu kalau kedua orang itu hanyalah orang-orang
suruhan, sengaja hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Di benaknya sama
sekali tidak ada niatan untuk membunuh mereka. Cukuplah hanya memberi sedikit
pelajaran agar mereka jera, pikir Panji.
Ternyata gerakan orang yang satu ini cukup gesit.
Pada saat kaki Panji terayun mengancam leher, tukang pukul Patala ini cepat
merendahkan kuda-kuda hingga tendangan itu lewat sejengkal di atas kepalanya.
Kitab Pusaka 1 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Pertarungan Dua Naga 1
^