Pencarian

Penjaga Alam Akhirat 2

Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat Bagian 2


mencari Pendekar Naga Putih, membuat gadis itu termenung sejenak. Terlintas
dalam benaknya bayangan tubuh Panji yang rebah tergolek tampak seorang diri di
tengah hutan. Ia menarik napas dalam-dalam. Di dalam dirinya sedang berkecamuk
dua pilihan yang amat sulit. Pergi me-ninggalkan Eyang Wiku Ginting atau mencari
kekasih-nya yang sekarang tidak tahu ke mana rimbanya. Jelas sekali kalau gadis
itu tidak berdaya untuk mengambil keputusan.
Eyang Wiku Ginting tersenyum ketika melihat pancingannya membawa hasil. Rasa
haru menyeruak di hati tuanya ketika mengetahui apa yang tengah dipikirkan gadis
jelita itu. Ditepuk-tepuknya bahu sang cucu seolah-olah dengan cara begitu sang
kakek ingin memberi tambahan kekuatan kepada murid keponakannya itu.
"Nah, sekarang pergilah, Cucuku. Semoga kau berhasil menemukan kekasihmu itu,"
ujar Eyang Wiku Ginting seraya tersenyum lemah.
'Tapi... bagaimana dengan Eyang?" Sahut Kenanga yang masih cemas terhadap nasib
paman gurunya. "Sudahlah, sebelum kau datang pun Eyang selalu menghadapi hal-hal seperti ini.
Karena sebagai se-orang yang memiliki kepandaian silat, kita selalu me-nemukan
kejadian yang berbau maut," tukas si kakek itu tenang.
"Baiklah, Eyang, saya pergi dulu. Jagalah diri Eyang baik-baik. Mudah-mudahan
kita dapat berjum-pa lagi kelak."
Akhirnya Kenanga dengan berat hati pergi meninggalkan paman gurunya, ia melesat
keluar pondok terus berlari menuruni lereng bukit itu hingga tak tampak lagi
batang hidungnya.
Tentu saja kedua orang berkerudung itu tidak mau membiarkan gadis jelita itu
lepas begitu saja. Salah seorang dari mereka sudah melesat untuk men-cegah
Kenanga. "Jangan ganggu dia! Bukankah kedatangan kalian kemari untuk berurusan denganku!"
Bentak Eyang Wiku Ginting agak gusar ketika melihat salah seorang dari musuhnya
hendak menahan kepergian murid keponakannya itu. Teriakannya tidak digubris
orang berkerudung yang tetap hendak menahan kepergian gadis jelita itu, maka
tubuh si kakek itu pun segera melesat memapaki si orang berkerudung yang siap
menangkap Kenanga.
"Huh!"
Wuttt! Hantaman telapak tangan si kakek berhasil membuat si orang berkerudung menunda
maksudnya itu. Ketika serangan telapak tangan lewat disisi tubuh-nya, si orang
berkerudung membalas melepaskan sebuah tendangan kilat yang meluncur deras
menuju lambung Eyang Wiku Ginting. Sesaat kemudian,
ke-dua orang itu pun sudah teriibat dalam sebuah per-kelahian sengit!
"Hiaaa!"
Wuttt! Wuttt! Plak! Plak! Plak!
"Uhhh...!"
Tubuh kedua orang sakti itu terjajar mundur ke-tika beberapa buah pukulan mereka
saling berben-turan hingga menimbulkan ledakan-ledakan yang cukup keras.
"Hm!"
Si orang berkerudung menggeram gusar karena pada pertemuan tenaga yang kedua
kalinya itu, tubuhnya sempat hampir terpelanting akibat kuatnya tenaga yang
terkandung dalam tangkisan dan puku-lan kakek itu. Dari sini jelas terihat bahwa
kekuatan tenaga dalam si orang berkerudung ternyata masih di bawah tenaga dalam
Eyang Wiku Ginting.
Sebenarnya wajar saja kalau tenaga yang dimiliki si orang berkerudung masih
kalah dengan tenaga yang dimiliki kakek tua itu. Karena kedudukan Eyang Wiku
Ginting pada masa itu boleh dibilang termasuk tokoh-tokoh tingkat atas. Dan
jarang ada tokoh-tokoh sesat yang berani membuat persoalan dengannya. Hanya saja
pada beberapa tahun terakhir ini ia jarang sekali muncul di dunia ramai hingga
orang-orang kalangan dunia persilatan hampir melupakan nama-nya.
Namun, hal itu bukan merupakan jaminan bah-wa kepandaiannya sudah menurun.
"Hm... mengapa kau berhenti, Penjagal Alam Akherat"
Apakah kau merubah keputusanmu dan berniat meninggalkan tempatku ini?" ujar
Eyang Wiku Ginting masih tetap ramah
meskipun dalam ucapan-nya itu terkandung ejekan yang tersembunyi.
Si orang berkerudung tidak menanggapi ucapan lawannya itu, sekilas ia menoleh ke
arah kawannya yang tengah melangkah menghampirinya. Sejenak ter-lihat keduanya
saling pandang. Sedetik kemudian, dua orang berkerudung itu pun mengalihkan
pandang ke arah Eyang Wiku Ginting yang saat itu juga tengah menatap kedua orang
lawannya itu. Sadar bahwa mereka serempak akan menyerang, si kakek siap memasang kuda-kuda dan
menyilang-kan kedua tangannya.
"Hm..., 'Lapisan Benteng Menahan Pasukan Ber-kuda'...!"
Seru salah seorang berkerudung mendengus mengejek.
"Gila, siapa sebenarnya dua orang yang menge-nakan kerudung ini" Kalau mereka
dapat mengenali ilmu yang jarang kupergunakan ini, jelas mereka bukan orang
sembarangan! Aku harus lebih berhati-hati menghadapinya. Siapa tahu mereka sudah
mengetahui akan ketemahan-kelemahan dari ilmuku ini,"
gumam si kakek mawas diri.
"Hiaaat..!"
Disertai teriakan menggelegar, tubuh kedua orang berkerudung itu melesat
serentak. Tubuh mereka jungkir balik di udara, kemudian melepaskan sera-ngan
dari dua jurusan yang berlawanan. Serangan mereka sangat hebat dan
membingungkan. Melihat lawannya menyerang dari dua jurusan, Eyang Wiku Ginting tidak kalah
sigap melepaskan deru angin kuat melalui daya pukul kedua tangannya.
"Aaakh...!"
Di luar perhitungan mereka, serangan mereka tidak bisa menembus, seakan-akan ada
dinding pemisah yang amat kuat.
Akibatnya serangan mereka gagal, bahkan mereka menderita cidera.
"Hiaaat!"
Sambil melengking keras, mereka mencoba menembus dinding yang tak tampak itu.
Kedua tangan mereka bergerak berganti-bergantian hingga menim-bulkan deru angin
kencang. Di sekitar arena perta-ru-ngan menjadi agak gelap oleh debu-debu kering beter-
bangan. "Hekhhh...!"
Tenaga dalam Eyang Wiku Ginting kembali ber-tambah.
Wajah si kakek merah padam menangkis te-kanan gelombang tenaga dahsyat yang
menghimpit-nya dari dua arah.
"Hiaaat!"
Disertai teriakan keras, tubuh si kakek melam-bung ke udara melepaskan benteng
pertahanannya. Ia sadar, kekuatan tenaganya tak akan mampu mena-han tenaga
himpitan lawan.
Beberapa kali jungkir balik di udara, si kakek langsung menghunus pedang
saktinya. Walaupun Eyang Wiku Ginting lebih banyak men-dalami ilmu pengobatan dari pada
ilmu silat tapi kepandaian silatnya tidak berbeda jauh dengan adik
seperguruannya, si Raja Pedang Pemutus Urat yang tewas di tangan Jaya Sukma.
(Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: Malaikat Maut Pencabut Nyawa')
Wunggg! Wunggg!
Angin pedang menderu berkesiutan ketika Eyang Wiku Ginting menggerakkan pedang
di tangannya. Meskipun ia tidak
mampu untuk mempelajari 'Ilmu Pedang Pemutus Urat' yang dimiliki adik
seperguruannya, namun 'Ilmu Pedang Bunga Teratai' yang dimili-kinya tidak bisa
dipandang remeh.
Saat itu dua orang berkerudung yang menjadi lawannya mendorongkan pukulan
telapak tangan jarak jauhnya secara berbarengan.
Wusss! Dhuarrr! Debu dan daun-daun kering membumbung tinggi ketika pukulan mereka menghantam
tanah tempat di mana Eyang Wiku Ginting berdiri. Untunglah si kakek cepat
mengelak. Sedikit saja ia lengah, maka tidak ayal lagi pukulan jarak jauh yang dilepaskan
lawan dapat menghancurkan tubuhnya.
"Hiaaat..!" teriak si kakek balik menyerang, tubuh renta itu meluncur deras ke
arah mereka. Kedua orang kakek.
Penglihatan mereka terganggu oleh sinar kilatan yang menyilaukan dari pedang
kakek itu yang menyilaukan dari pedang si kakek itu.
Dua orang berkerudung terus berloncatan meng-hindari sabetan pedang si kakek
yang siap mencabut nyawa mereka.
Gulungan sinar pedang yang terka-dang mirip bunga teratai itu benar-benar
membuat dua orang Penjagal Alam Akherat itu dibuat sibuk. Kalau saja kepandaian
mereka tidak betul-betul tinggi, rasanya mereka tidak mungkin akan berani
menyatroni kediaman kakek sakti itu.
Pada jurus yang keenam puluh tiga, tebasan pedang Eyang Wiku Ginting menderu
dalam posisi men-datar. Sinamya yang berwarna kekun'mgan itu ber-keredep Iaksana
sambaran kilat yang menerangi per-mukaan bumi. Salah seorang dari kawannya
bergegas menggeser tubuhnya menghindari tebasan
maut itu. Sambil menghindari serangan, jari-jari tangan si orang berkerudung
meluncur tajam menuju lambung Eyang Wiku Ginting.
CuittH "Aiilhhh...!"
Eyang Wiku Ginting meliukkan tubuhnya sehingga tusukan jari tangan yang dapat
mencoblos batu ka-rang itu dapat dihindarinya. Tapi siapa sangka lawan-nya telah
memperhitungkan gerak pukulannya secara cermat Sebuah tendangan kilat meluncur
mengancam dada si kakek. Merasa tidak mempunyai peluang lagi untuk menghindari,
kakek itu terpaksa menyabetkan pedangnya dengan maksud membabat putus kaki
lawan. Tapi rupanya tendangan si orang berkerudung itu hanya merupakan tipuan! Tepat
pada saat sabetan pedang si kakek menyambut kakinya, si orang berke-rudung
segera menarik pulang tendangannya. Dan pada saat itu juga, sebuah tamparan dari
si orang berkerudung yang satunya lagi telah menghantam pelipis kakek itu.
Wuttt! Plakkk! "Uhhh...!"
Tubuh si kakek terpelanting seketika! Tampak darah segar meleleh di sela
bibirnya. Untung dalam keadaan terpojok ia sempat menundukkan kepalanya sehingga
tamparan dahsyat itu hanya mengenai bahu-nya. Namun, meskipun hanya mengenai
bahu, tamparan orang berkerudung Itu telah pula membuat dada dalamnya terluka.
Entah apa jadinya apabila tamparan itu benar-benar mengenai pelipisnya. Mung-kin
kepalanya itu akan pecah berantakan!
Kesempatan yang hanya beberapa detik tidak disia-siakan lawan-lawannya. Mereka
menghujani pukulan dengan dorongan sepasang telapak tangannya. Tak pelak lagi,
serangan dahsyat itu tak dapat dihindarinya. Maka....
Desss! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Eyang Wiku Ginting menjerit ngeri ketika hanta-man empat pasang telapak tangan
yang berkekuatan itu menghantam tubuhnya. Sehingga tubuh tua renta itu terhempas
bagai sehelai daun kering yang tertiup angin. Darah segar menyembur dari
mulutnya, sebelum tubuh kakek tua itu terbanting di tanah, dua orang berkerudung
itu melontarkan pukulan jarak jauh secara bersamaan.
"Hiaaat..!"
Whuuusss! Blaaarrr! "Aaa...!"
Mengerikan sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan Penjagal-Penjagal
Alam Akherat itu. Bagaikan sebuah mercon, tubuh Eyang Wiku Ginting pecah
berhamburan diiringi teriakan kematian yang menyayat. Kakek tua sakti itu tewas
di tangan dua orang berkerudung yang mengaku sebagai Penjagal-Penjagal Alam
Akherat dengan tubuh hancur dan tak dapat dikenali lagi.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dua orang berkerudung itu pun melesat
meninggalkan tempat kediaman Eyang Wiku Ginting. Semilir angin bertiup sejuk
seolah-olah mengusir si Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu.
*** 6 Di sebuah ruangan pertemuan bangunan induk perguruan yang letaknya di sudut Desa
Jati Alur, tampak tujuh orang laki-laki duduk mengitari sebuah meja.
"Jadi bagaimana menurutmu, Nak Panji?" Tanya seorang laki-laki bertubuh pendek.
Orang itu tidak lain adalah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Tapak Maut. Setelah men-ceritakan berbagai kejadian yang dialaminya, ia
pun meminta pendapat Pendekar Naga Putih yang juga dikenal dengan panggilan
akrab Panji. Panji tidak langsung menjawab. Ia termenung sejenak, memikirkan langkah yang
akan mereka ambil untuk menghentikan keganasan kawanan Penjagal Alam Akherat.
Kening pemuda itu berkerut, ia seperti tengah berpikir keras.
Jarga Lawa dan lima orang tokoh lainnya tidak berani untuk bertanya lebih
lanjut. Mereka sadar apa yang akan dikatakan pemuda itu nanti, bukankah ucapan
yang asal jadi saja. Oleh karena itu, mereka hanya berdiam diri saja melihat
Panji termenung.
'Paman, kira-kira berapa perguruan silat yang ter-besar di wilayah Selatan ini?"
Tanya Panji tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan yang cukup aneh itu, enam orang tokoh yang hadir dalam
pertemuan itu saling memandang tak mengerti. Namun ketika mereka me-lihat
kesungguhan Panji,
mereka pun mengerti bahwa Panji pasti mempunyai maksud dengan pertanyaan itu.
"Hm... kurang lebih sekitar delapan perguruan. Itu hanya yang terbesar.
Sedangkan yang lainnya tidak terhitung," jawab Jarga Lawa. la kelihatan agak bi-
ngung karena sama sekali belum dapat menduga jalan pemikiran Panji.
"Menurut cerita yang Paman tuturkan padaku, saat ini hanya tinggal Perguruan
Golok Sakti yang belum diganggu kawanan iblis itu Benar begitu, Paman?" ujar
Panji memastikan. Orang yang berjuluk Pendekar Tapak Maut mengangguk. "Nah,
karena hanya tinggal perguruan itu yang belum diganggu, apakah bukan tidak
mungkin suatu hari kelak juga mendapat giliran sasaran kawanan Penjagal Alam
Akherat"!" tukas Panji lagi.
"Aaahhh...?" gumam para pendekar serentak.
Pemyataan Panji menyadarkan mereka bahwa peristiwa itu bisa saja di Perguruan
Golok Sakti. "Ah, betapa bodohnya aku! Mengapa selama ini tidak pernah terlintas dalam
pikiranku?" kata Jarga Lawa sambil menepuk dahinya.
"Benar! Mengapa kita tidak pernah berpikir ke sana!" Seru lainnya, yang juga
baru tersadar apa yang dikhawatirkan Panji.
"Kalau begitu sasaran mereka kali ini pastilah Per-guruan Golok Sakti. Perguruan
itulah satu-satunya yang belum ditaklukkan kawanan Penjagal Alam Akherat," sahut
yang lainnya menimpali.
"Jika benar demikian, ayolah kita berangkat! Jangan-jangan kita akan kedahuluan
oleh iblis-iblis keparat!" perintah Jarga Lawa seraya keluar meninggalkan ruang
perguruan. Rombongan para pendekar termasuk Panji ber-siap-siap berangkat menuju Perguruan
Golok Sakti. Rombongan dipimpin langsung Pendekar Tapak Maut.
"Paman, sebaiknya kita jangan terlalu banyak membawa orang. Biar perjalanan kita
bisa lebih cepat," bisik Panji yang berjalan di sisi Jarga Lawa. Panji sengaja
berbicara pelan agar tidak didengar teman-temannya yang lain. Salah-salah bisa
menyingung pe-rasaan mereka.
"Baiklah, Panji. Aku akan memilih beberapa orang saja yang kira-kira
kepandaiannya dapat di andal-kan," jawab Jarga Lawa yang langsung menyetujui
usul Pendekar Naga Putih alias Panji.
Jarga Lawa pun segera memilih dua belas orang dari perguruan yang berlainan.
Kemudian dipilih lagi dua orang tokoh dari tiap-tiap perguruan untuk me-wakili
perguruan masing-masing. Setelah segala se-suatunya dipersiapkan, maka pagi itu
juga rombo-ngan yang terdiri dari sembilan belas orang berangkat meninggalkan
Desa Jati Alur.
*** Tidak seperti biasanya, hari itu halaman Pergu-ruan Golok Sakti tampak ramai.
Puluhan orang murid berjajar rapi membentuk sebuah barisan yang cukup panjang.
Di muka barisan para murid itu, tampak seorang laki-laki setengah baya yang
seluruh wajahnya di tumbuhi brewok, berdiri angker.
Sepasang matanya yang bulat dan lebar itu merayapi wajah puluhan orang murid
yang berdiri tegang. Di kanan-kirinya tampak dua orang laki-laki gagah berdiri
tegap. Pada bagian dada sebelah kiri pakaian mereka bergambar golok bersulam
benang perak. Kedua pendekar itu adalah tokoh-tokoh tingkat utama dari Perguruan
Golok Sakti. "Murid-muridku sekalian, dengarlah!" Teriak laki-laki brewok lantang. Suaranya
yang didorong tenaga dalam itu terdengar nyaring hingga barisan yang paling


Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang. Hal ini menandakan bahwa kekuatan tenaga dalam si brewok itu sudah
sangat tinggi. "Hari ini, aku sengaja mengumpulkan kalian. Karena per-guruan
kita mungkin akan menjadi sasaran kebiada-ban Penjagal-Penjagal Alam Akherat
yang pada saat ini tengah mengganas. Jadi aku minta agar kalian bersiap-siap.
Dan kalau ada sesuatu yang mencuriga-kan, kalian harus cepat melapor, mengerti!"
"Kami mengerti, Guru!" Sahut para murid serentak.
Setelah memberikan beberapa pesan lainnya yang kira-kira diperlukan, maka laki-
laki brewok yang juga adalah ketua Perguruan Golok Sakti itu pun segera
membubarkan murid-muridnya.
Puluhan orang murid membubarkan diri. Mereka segera melaksanakan tugas masing-
masing yang dibe-rikan gurunya.
Sedangkan dua orang laki-laki gagah yang berpakaian biru muda, mengiringi guru
besar mereka yang berjalan memasuki bangunan induk perguruan.
"Guru, benarkah kawanan Penjagal Alam Akherat itu akan menyerang perguruan
kita?" Tanya salah seorang berseragam biru muda itu kepada sang Guru. Rupanya ia
belum merasa yakin apa yang dikatakan gurunya tadi.
"Entahlah, Prawida. Aku sendiri masih meragukan hal itu.
Tapi tidak ada salahnya kita bersiap-siap. Karena beberapa perguruan terbesar di
wilayah ini telah hancur ditaklukkan Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Siapa tahu
mereka mengincar..." Sahut sang guru yang dalam rimba persilatan dijuluki Pendekar
Golok Kembar. "Jadi masih kabar burung?" Tanya lelaki berseragam biru muda yang lainnya.
"Hm..." Pendekar Golok Kembar hanya bergumam, sehingga membuat kedua orang itu
terdiam. Mereka sadar bahwa guru mereka sudah tidak ingin mem-bicarakan masalah
itu lagi. Belum sampai Hga orang itu menginjakkan kaki di pintu, tiba-tiba terdengar
jeritan menyayat. Mereka saling memandang penuh tandatanya. Kemudian mereka
meluncur menuju ke tempat asal suara jeritan tadi.
Pendekar Golok Kembar dan dua orang murid uta-manya itu terkejut ketika mereka
melihat dari kejauhan dua orang berpakaian hitam-hitam sedang mengamuk dikeroyok
belasan orang murid Perguruan Golok Sakti. Para pengeroyok banyak yang berja-
tuhan. "Guru, sepertinya kedua orang berkerudung...!?" Kata murid utama yang bernama
Prawida tak berani meneruskan ucapannya.
"Ya! Itulah mereka, kawanan Penjagal Alam Akhe-rat!" Tukas sang guru tegas. la
geram melihat belasan orang muridnya bergeletakan tak bernyawa.
"Tapi... Bukankah biasanya mereka datang malam hari?"
Tanya murid utama yang satunya lagi tak per-caya.
"Hm... mungkin iblis-iblis keparat itu sudah tak sabar untuk membantai kita,"
sahut Pendekar Golok Kembar, seraya melambungkan tubuhnya ke udara. Dengan
beberapa kali putaran, kedua kakinya men-darat tepat di tengah-tengah arena
perkelahian yang sedang berlangsung itu.
"Tahan...!" teriak keras sang guru. Sambil mem-bentak keras ketua Perguruan
Golok Sakti mendo-rongkan sepasang telapak tangannya kedepan. Angin pukulannya
menderu keras mengejutkan si orang berkerudung yang berada dua tombak di
hadapannya. "Hm!"
Sambil mendengus keras si orang berkerudung melompat ke belakang. Tangan
kanannya dikibaskan menyambut dorongan ketua Perguruan Golok Sakti.
Bresss! "Uhhh...!"
Terdengar suara Ietupan kecil di udara ketika dua gelombang tenaga sakti itu
saling bertemu. Pendekar Golok Kembar terpekik kaget. Tubuhnya terjajar mundur
sejauh enam langkah ke belakang. la benar-benar merasa terkejut ketika mendapat
kenyataan bahwa tenaga si orang berkerudung itu tidak berada di ba-wahnya.
Sedangkan si orang berkerudung sendiri tidak ka-lah terkejutnya ketika merasakan
kekuatan tenaga orang yang menyerangnya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah
ketika berbenturan dengan laki-laki brewok yang baru tiba itu. Si orang
berkerudung melakukan beberapa kali salto guna mematahkan doro-ngan itu. Kedua
kakinya mendarat ringan beberapa tombak di depan lawannya.
'"Guru...!" teriak kedua murid utamanya.
Dua orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid utama bergegas menghampiri
Pendekar Golok Kembar. Kedua orang itu sempat terkejut ketika melihat tubuh guru
besar mereka sempat terdorong aki-bat benturan tenaga sakti si orang
berkerudung. Meskipun mereka sudah mendengar
tentang kehe-batan Penjagal Alam Akherat. Namun sama sekali di luar dugaan
mereka kalau iblis-iblis itu dapat me-mukul mundur guru besarnya hanya dalam
segebrak-kan saja.
"Hm... kalian berhati-hatilah! Kepandaian Pen-jagal-Penjagal Alam Akherat itu
sepertinya tidak berada di bawah kepandaianku," bisik sang guru mempe-ringatkan
dua orang murid utamanya.
Mendengar peringatan gurunya, kedua orang laki-laki berpakaian biru itu
mengangguk mengiyakan. Mereka pun sadar bahwa kepandaian orang-orang berkerudung
itu memang sangat tinggi. Dan hal itu telah mereka lihat sendiri ketika guru
mereka mengadu tenaga dengan salah seorang dari dua orang berkerudung itu.
Saat itu juga, sang guru memerintahkan semua murid-murid dan dua murid utamanya
segera mun-dur. Mereka berdiri dan membentuk lingkaran dalam jarak sepuluh
tombak dari kedua orang berkerudung itu. Senjata mereka masih tergenggam erat
dan siap untuk hertempur kembali.
"Hm..., Penjagal-penjagal Alam Akherat! Kedata-ngan kalian memang sudah kami
tunggu-tunggu, tapi tidak kusangka kalian datang demikian cepat. Nah, sekarang
mari kita selesaikan urusan ini," seru Pendekar Golok Kembar siap dengan golok
kembarnya yang memancarkan sinar keperakan.
Dua orang berkerudung itu hanya menggeram pe-lahan tanpa menjawab ucapan
lawannya Sedetik kemudian, keduanya menggeser kaki masing-masing dan berpencar
ke arah yang berlawanan.
"Gggrh...!"
Dibarengi sebuah geraman yang menggetarkan jantung, Penjagal-Penjagal Alam
Akherat itu pun melompat berbarengan ke arah lawan-lawannya.
"Kalian hadapilah orang berkerudung yang di se-belah kanan. Biar aku akan
menghadapi orang berkerudung yang berada di sebelah kiri," perintah Pende-kar
Golok Kembar kepada kedua orang murid utama-nya itu.
Mendengar perintah gurunya, dua orang laki-laki gagah itu serentak melompat
menyambut serangan si orang berkerudung. Sesaat kemudian, mereka pun sudah
saling serang dengan ganas.
Prawida yang merupakan murid tertua dari Perguruan Golok Sakti mengisyaratkan
kepada adik seper-guruannya agar mereka melakukan pertempuran ber-pasangan.
Karena dengan cara bertempur seperti itu mereka dapat saling melindungi dan
tenaga tangkisan atau pukulan mereka pun akan lebih kuat daripada melakukan
pertempuran sendiri-sendiri.
Wuuut! Sebuah tamparan telapak tangan lawan berhasil dihindarkan Prawida dengan baik.
Dan pada detik itu juga adik seperguruannya melontarkan sebuah puku-lan yang
disusul babatan goloknya mengancam lam-bung si orang berkerudung.
Dua serangan berbahaya meluncur cepat. Si orang berkerudung bukan menghindari
malah sebaliknya melangkah maju menyambut serangan lawan. Tentu hal itu sengaja
mereka lakukan agar lawan terkecoh. Dua murid andalan guru besar dari Perguruan
Golok Sakti itu begitu bernapsu untuk menghabisi lawan-nya.
Plakkk! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Dengan kecepatan yang tak tampak oleh mata, si orang berkerudung bergerak
menangkis serangan lawannya, hingga serangan golok lawan luput dari tubuhnya.
Demikian cepatnya gerakan Penjagal Alam Akherat itu, hingga pengawal yang
bernama Prawida tak sempat lagi untuk menyelamatkan adik seperguruannya dari
hantaman lawan.
Tubuh laki-laki gagah, murid kedua dari Pergu-ruan Golok Sakti itu terlempar ke
belakang. Darah pun mengucur deras dari mulutnya. Rupanya puku-lan dan tendangan
si orang berkerudung telah meng-hantam dada dan lambungnya. Tanpa sempat ber-
pesan lagi, adik seperguruan Prawida tewas seketika. Bagian dada dan lambungnya
telah remuk akibat hantaman yang sangat kuat itu.
"Keparat! Kau harus menebusnya dengan nya-wamu! Lihat pukulanku!" Teriak Prawida
marah ke-tika melihat adik seperguruannya telah tewas. Tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya lagi, Prawida me-ngamuk. Tapi sayang yang dihadapinya kali
ini bukan tokoh sembarangan. Orang berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam
Akherat itu adalah tokoh yang sangat ditakuti. Kepandaian ilmu silatnya sangat
tinggi, jarang tertandingi meski oleh tokoh-tokoh ting-katan atas sekalipun.
Wajarlah kalau serangan-sera-ngan yang dilontarkan Prawida sama sekali tidak ada
artinya buat si orang berkerudung itu.
"Hm!"
Si orang berkerudung mendengus kasar. Sedetik kemudian, tubuhnya melompat ke
belakang menjauhi Prawida. Tapi ia sama sekali tidak bersiap untuk menyerang.
Orang itu hanya berdiri tegak sambil me-natap lawannya.
Sementara itu, pertarungan lain berlangsung sengit antara Pendekar Golok Kembar
dan Penjagal Alam Akherat yang
lainnya, tampak berlangsung se-ngit. Sepasang golok perak di tangan laki-laki
brewok itu berkelebat cepat dan menyambar-nyambar. Pe-mimpin Perguruan Golok
Sakti itu benar-benar telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menundukkan
si orang berkerudung yang satunya lagi.
"Hiaaat...!"
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, ketua Perguruan Golok Sakti membentak keras
sambil mengi-bas-ngibaskan gotoknya secara bersilangan. Kilatan-kilatan mata
golok yang memantulkan sinar matahari sangat menyilaukan membuat si orang
berkerudung terpaku untuk beberapa saat lamanya. Dan pada saat sepasang golok
itu hampir membabat batang lehernya, si orang berkerudung menundukkan kepalanya.
Tentu saja hal itu sangat mengejutkan hati Pendekar Golok Kembar.
Karena sabetan sepasang goloknya yang luput itu, membuat tubuhnya kehilangan
kese-imbangan. Namun hal itu bukan sesuatu yang me-nyulitkan baginya. Dengan
sebuah gerakan yang indah laki-laki brewok itu mengayunkan kedua golok-nya ke
bawah kuat-kuat. Sedetik kemudian tubuhnya meluncur dan berputar mejauhi
lawannya. Tapi begitu kedua kakinya mendarat ringan, tahu-tahu saja sepasang tangan lawan
telah mengancam lambung dan pelipisnya. Cepat ia memutar tubuhnya hingga
serangan itu mengenai tempat kosong. Secepat ia mengelak, secepat itu pula ia
melempar tubuhnya ke belakang sambil melepaskan dua buah tendangan kilat yang
mengarah dada si orang berkerudung.
Gerakan si orang berkerudung pun tidak kalah cepatnya.
Begitu kedua kaki lawannya naik, ia pun bergegas menarik pulang kedua tangannya
dan langsung melakukan tangkisan dengan pengerahan tenaga dalamnya yang terkenal
sangat kuat itu. Maka....
Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Pendekar Golok Kembar memekik pelahan ketika sepasang tangan lawan menepiskan
kakinya Tubuh pendekar itu terguling-guling menjauhi tempat lawan-nya berada.
Setelah merasa agak jauh dari lawannya, laki-laki brewok itu pun melenting
bangkit. Kedua kakinya yang masih terasa linu itu agak gemetar ketika ia gunakan
untuk menahan berat tubuhnya.
"Huh! Jangan merasa takabur dulu Keparat! Aku masih belum kalah!" Seru ketua
Perguruan Golok Sakti geram. Seraya kembali melintangkan sepasang golok peraknya
didepan dada dan siap melakukan serangan balasan.
Si orang berkerudung melangkah tenang meng-hampiri lawannya. Sepasang matanya
menatap tajam penuh hawa membunuh.
"Heaaat..!"
Dengan teriakan keras, tubuh Pendekar Golok Sakti melesat ke arah lawannya.
Kedua golok kembar-nya menyambar ganas membentuk dua gulungan si-nar perak yang
melindungi tubuhnya Sedetik kemu-dian salah satu mata goloknya menyembul dari
balik gulungan sinar dan meluncur mengancam teng-gorokan lawan.
Ketua Perguruan Golok Sakti sempat terkejut ketika melihat orang berkerudung itu
sama sekali tidak menghindari serangannya. Sedetik kemudian meragu karena la
tidak mengetahui apa maksud lawannya berbuat demikian. Hingga perbuatan lawannya
itu sempat membuat konsentrasinya terganggu.
Memang itu yang diharapkan si orang berkeru-dung. Dengan terpecahnya konsentrasi
lawan, maka serangannya pun menjadi berkurang kekuatan dan ketepatannya. Dan
ketika mata golok itu hampir me-nyentuh kulit leher lawannya, tangan kiri
Penjaga Alam Akherat bergerak secepat kilat melakukan tangkisan dari dalam
keluar. Secepat tangan kirinya menangkis, secepat itu pula tangan kanannya ber-
gerak menggedor dada lawannya yang terbuka lebar itu.
Plakkk! Bukkk! "Uhhh...!"
Pendekar Golok Kembar terpelanting disertai ke-luhannya yang lirih. Darah tampak
mengalir dari se-la-sela bibirnya.
Untunglah pada saat telapak tangan lawannya meluncur ke arah dada ia masih
sempat untuk memirlngkan tubuhnya hingga hantaman itu tidak terlalu telak
mengenainya. Kalau tidak, jangan harap ia sempat untuk bernapas lagi.
Pada saat tubuh lawannya berputar limbung. Penjagal Alam Akherat melompat sambil
mendorong-kan sepasang telapak tangannya. Rupanya ia berniat menghabisi nyawa
ketua Perguruan Golok Sakti yang tengah tak berdaya itu. Sehingga pendekar itu
hanya dapat memandang pasrah.
Blarrr! "Aaargh...!"
Suara benturan bagaikan hendak merobohkan ge-dung perguruan itu, yang diiringi
teriakan ngeri mem-belah langit.
Tubuh si orang berkerudung terpental balik dengan dahsyatnya. Darah segar
menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terbanting di tanah dan menggelepar gelepar
disertai suara erangan dari mu-lutnya. Sesaat kemudian tubuh Penjagal Alam Akhe-
rat itu diam tak bergerak lagi. Si orang berkerudung itu
tewas seketika akibat benturan gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu.
Sementara itu, di tengah-tengah arena pertaru-ngan telah berdiri sesosok tubuh
berjubah putih. Kabut bersinar putih keperakan berpendar mengeli-lingi tubuhnya
hingga jarak dua tombak. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu yang telah memapaki pukulan maut yang dilancarkan orang berkerudung
itu. Sesaat setelah kehadiran pemuda itu, beberapa sosok tubuh lainnya berloncatan
memasuki halaman perguruan itu.
"Ki Palasana...!" Teriak seorang dari mereka yang bertubuh pendek berlari
mendatangi Pendekar Golok Kembar. Orang yang tak lain dari Jarga Lawa itu telah
mengenali Ketua Perguruan Golok Sakti.
"Ahhh, Jarga Lawa, terima kasih atas kedatangan-mu yang benar-benar sangat
kubutuhkan ini." sam-but Ketua Perguruan Golok Sakti yang ternyata ber-nama Ki
Palasana. Keduanya berangkulan erat bagai dua orang sahabat yang sudah lama tak
jumpa. *** 7 Di tengah suasana gembira dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu tiba-tiba
dikejutkan oleh suara jerit melengking merobek langit. Suara jerit itu dibarengi
dengan terlempamya sesosok tubuh yang menyemburkan darah segar dari mulutnya.
"Prawida...!" Teriak Ki Palasana tersentak dan ber-gegas melepaskan pelukkannya
dari Jarga Lawa. Se-cepat kilat ketua Perguruan Golok Sakti memburu tubuh murid
utamanya yang telah tergolek tak ber-nyawa di tanah.
Rupanya pada saat yang hampir bersamaan dengan tewasnya salah seorang Penjagal
Alam Akherat, Prawida bertarung mati-matian dalam keadaan ter-desak! Sehingga
ketika pukulan lawannya meluncur ke arah bagian bawah perutnya, ia sudah tak
dapat mengindari serangan lawan.
Akibatnya pukulan si orang berkerudung yang sangat kuat itu bersarang te-pat dan
menghancurkan bagian dalam perutnya.
"Prawida...!" Guru Besar Perguruan Golok Sakti itu memanggil parau. Namun, murid
utama yang sangat disayanginya itu telah tewas tanpa sempat mengetahui apa-apa
lagi. Jarga Lawa yang sudah berada di sampingnya berusaha mencegah Ki Palasana yang
sudah siap untuk mengadu nyawa dengan Penjagal Alam Akherat yang telah membunuh
muridnya itu. "Sabarlah, Ki Palasana. Jangan memperturutkan emosi yang hanya akan membawa
kerugian pada di-rimu. Mari kita hadapi iblis keparat itu bersama-sama," ujar
Pendekar Tapak Maut, yang juga turut prihatin.
Hari Ki Palasana sedikit terhibur mendengar nasihat sahabatnya itu. Karena apa
yang diucapkan Jarga Lawa benar tidak dapat dibantah. Pendekar Golok Sakti
menatap wajah sahabatnya lekat-lekat.
"Terima kasih, Jarga Lawa. Kedatanganmu benar-benar sangat berarti bagi diriku,"
sahut Ki Palasana serak karena rasa haru yang menyesak dadanya.
"Kepung iblis berkerudung itu! Jangan biarkan dia lolos!"


Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jarga Lawa berteriak memerintahkan kawan-kawannya dan puluhan orang murid
Perguruan Golok Sakti."
Saat itu juga puluhan orang murid dan belasan tokoh perguruan lainnya serentak
mengurung si Penjagal Alam Akherat. Sehingga orang berkerudung itu berada di
dalam lingkaran yang dibuat oleh puluhan orang itu.
Si orang berkerudung tampak gelisah. la menoleh ke kiri dan kanan mencari jalan
untuk meloloskan diri. Sesaat kemudian tubuhnya melambung dan ber-niat menjebol
barisan pengepung yang berada di se-belah kirinya.
Sesosok tubuh bersinar putih keperakan menyam-but terjangan orang berkerudung
itu dengan dorongan telapak tangannya. Penjagal Alam Akherat itu rupanya sadar
bahwa tenaganya tidak dapat menandingi te-naga dalam Pendekar Naga Putih. Maka
ia pun me-lempar tubuhnya ke samping dan mendarat kembali di tengah-tengah
kurungan orang-orang.
Sedangkan tubuh Panji juga mendarat ringan di tanah, dan Panji kembali
menjejakkan kakinya menghampiri Pendekar Tapak Maut.
"Paman, sebaiknya kita lepaskan orang berkeru-dung itu.
Biar aku yang akan mengikutinya. Siapa tahu ada seorang tokoh yang tersembunyi
di balik mereka," bisik Panji memberikan usul yang sudah berada di sampingnya.
Sejenak terlihat sinar keraguan di mata Pendekar Tapak Maut. Biar bagaimanapun
juga sebenarnya ia lebih suka kalau orang berkerudung itu dibunuh saja. Tapi
ketika ia mendengar alasan yang dikemukakan pemuda itu, maka pendekar itu pun
mengangguk me-nyetujui.
'Terima kasih, Paman!" jawab Panji berseri.
Maka ketika Penjagal Alam Akherat itu kembali hendak meloloskan diri, Panji
tidak mencoba untuk mencegahnya.
"Awaaas...!" Jarga Lawa dan Ki Palasana berteriak serempak memperingatkan para
pengepung untuk menghindari. Beberapa orang pengepung yang tak sempat
menghindarkan diri, terpelanting tewas akibat hantaman telapak tangan orang
berkerudung yang mengandung maut itu. Begitu kepungannya terbuka. Penjagal Alam
Akherat itu langsung melarikan diri tanpa menoleh lagi ke belakang. Sehingga ia
sama se-kali tidak sadar bahwa beberapa tombak di belakang-nya, tampak Pendekar
Naga Putih membayanginya.
*** Sepeninggal Panji, Jarga Lawa atau Pendekar Tapak Maut menghampiri mayat
Penjagal Alam Akherat yang tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Ki Palasana dan
Salangi ikut mendampingi, begitu tiba Jarga Lawa membungkuk dan menyingkap
kerudung yang selama ini menyembunyikan wajah Penjagal Alam Akherat itu. Ki
Palasana dan Salangi menunggu tegang.
"Ahhh...!"
Tiga orang tokoh rimba persilatan itu tersentak mundur ketika menyaksikan wajah
si orang berkerudung yang selama ini tersembunyi itu membelalak pu-cat bagaikan
melihat hantu di siang bolong!
"Ini... ini...," Salangi, laki-laki berusia empat puluh tahun itu tak sanggup
meneruskan kata-katanya. Laki-laki gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya
seolah-olah tak percaya apa yang dilihatnya.
"Gila! Benar juga apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih itu ada benarnya.
Pastilah ada orang di belakang layar yang mengendalikan serta mempenga-ruhi
mereka!" Seru ketua Perguruan Golok Sakti terdengar penuh kegeraman.
Sementara Jarga Lawa hanya berdiri tercenung. Tak sepatah kata pun yang terucap
dari bibirnya. Hanya wajahnya saja yang sebentar merah sebentar pucat menandakan
bahwa hari pendekar itu tengah terguncang!
Keributan di dekat mayat orang berkerudung itu mengundang perhatian yang
lainnya. Beberapa orang tokoh persilaian lain bergegas mendatangi mayat ber-
kerudung dengan wajah penasaran.
"Guru...!"
Tiba-tiba dua orang laki-laki yang mengenakan pa-kaian kuning gading menyeruak
di antara kerumunan para tokoh itu.
Keduanya serentak berlutut di sisi mayat si orang berkerudung itu. Rupanya si
orang berkerudung itu adalah ketua perguruan mereka yang beberapa bulan lalu
menghilang. "Guru... mengapa... mengapa... ahhh," laki-laki berpakaian kuning gading yang
usianya lebih tua dari kawannya tak mampu untuk meneruskan kata-katanya. Ia
benar-benar tidak mengerti mengapa guru yang mereka hormati itu sampai tega
berbuat demi-kian. Hal itu yang membuat mereka tak sanggup untuk meneruskan
kata-katanya. "Sudahlah, Suraga. Kita semua belum mengetahui apakah gurumu melakukan
perbuatan-perbuatannya selama ini dengan kesadaran atau beliau dalam pengaruh
suatu kekuatan yang tidak mampu untuk dilawannya, dan hal ini menjadi kewajiban
kita untuk menyelidikinya," ujar Jarga Lawa menghibur sambil menepuk-nepuk bahu
Suraga. Seolah dengan cara begitu ia
ingin memberikan tambahan kekuatan bagi Suraga menghadapi kenyataan pahit.
"Benar, Suraga! Siapa tahu guru kami yang lenyap tanpa jejak itu termasuk kawan
Penjagal Alam Akhe-rat yang kini masih hidup itu," sahut seorang laki-laki
berpakaian merah hati.
Di bagian dadanya tergambar kepalan tangan bersulam benang putih. Ia adalah
salah seorang tokoh Perguruan Kepalan Sakti yang juga sedang mencari gurunya.
"Demikian pula halnya dengan guru kami. Ia menghilang beberapa bulan yang lalu,"
tutur orang pendekar lain menimpali.
"Hm.. Aku pun telah mendengar tentang hal itu. Tapi aku sama sekali tidak
menduga kalau Penjagal Alam Akherat yang seorang ini adalah guru besar Suraga.
Sebaiknya hal ini kita rundingkan dengan Pendekar Naga Putih nanti. Kita akan
meminta kepada pendekar muda itu agar tidak segera membunuh Penjagal Alam
Akherat lainnya. Sebab siapa tahu kalau para penjagal yang masih tersisa itu
adalah guru kalian yang lenyap tanpa berita itu," ujar Jarga Lawa mengambil
keputusan demi untuk menenangkan para tokoh-tokoh perguruan yang sekarang
berkumpul di Perguruan Golok Sakti.
"Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Jarga Lawa," ki Palasana ikut pula angkat
bicara. Ia merupakan satu-satunya tokoh kelas atas di tempat itu, maka para
tokoh dari beberapa perguruan itu pun mengangguk setuju.
*** Dengan menggunakan ilmu 'Lari Terbang di Atas Angin', Panji terus mengikuti si
orang berkerudung. Ilmu lari cepat
yang dipergunakan Panji memang hebat sekali! Kedua kakinya bergerak cepat
bagaikan tidak menyentuh permukaan tanah, sehingga si orang berkerudung yang
memiliki kepandaian tinggi itu pula sampai tidak mendengar suara langkah kaki
Panji si Pendekar Naga Putih itu.
Penjagal Alam Akherat memperlambat larinya ketika ia hampir mencapai kaki bukit.
Kedua kakinya berloncatan lincah menotol bebatuan yang menonjol di atas
permukaan sebuah kali. Setelah melewati kali yang membujur di kaki bukit itu, si
orang berke-rudung menghentikan langkahnya sejenak Ditolehkan kepalanya ke
belakang guna memastikan bahwa diri-nya tidak diikuti lawan.
Panji yang masih berada di seberang kali bergegas melompat ke atas pohon ketika
ia melihat si orang berkerudung menghentikan tangkahnya. Untunglah gerakan yang
dilakukan pemuda itu sangat cepat sehingga Penjagal Alam Akherat itu tidak
keburu me-mergokinya. Setelah memastikan bahwa ia tidak di-ikuti, si orang
berkerudung itu pun bergegas mendekati bukit di depannya. Tubuhnya yang tinggi
besar itu berlompatan bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main di
angkasa luas. Selang beberapa waktu kemudian, si orang berkerudung itu pun tiba didepan sebuah
bangunan tua yang di kelilingi tembok yang sudah mulai rusak di beberapa bagian.
Tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya lagi, ia pun bergegas memasuki
halaman bangunan tua itu. Begitu mengetahui tempat tinggal Penjagal-Penjagal
Alam Akherat itu, Panji pun bergegas kembali melaporkan kepada Jarga Lawa. Kali
ini ia mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari yang dimilikinya dengan maksud
agar ia dapat tiba di Perguruan Golok Sakti secepat mungkin. Dalam waktu sekejap
tubuh pemuda itu
berubah wujud menjadi bayangan samar-samar yang berkelebatan seperti hantu.
Panji tiba di Perguruan Golok Sakti itu, disambut hangat oleh belasan orang
tokoh dari berbagai perguruan. Kecemasan yang menyelimuti perasaan mereka lenyap
seketika begitu mereka melihat Pendekar Naga Putih tiba dengan selamat.
"Bagaimana, Nak Panji" Apa kau sudah menemu-kan tempat persembunyian iblis-iblis
itu?" Tanya seorang tokoh Perguruan Kepalan Sakti tak sabar.
"Sabarlah, Adi. Biar pemuda ini beristirahat dulu," ujar Jarga Lawa menengahi.
"Mari kita bicara di da-lam saja," ajak pendekar itu sambil menggamit tangan
pemuda itu dan dibawanya masuk ke dalam pendopo Perguruan Golok Sakti.
"Ada apa ini, Paman" Mengapa mereka tampak cemas"
Apakah ada sesuatu yang terjadi sepening-galku tadi?" Tanya Panji sambil
mengikuti Jarga Lawa.
"Nantilah aku ceritakan!" Sahut Pendekar Tapak Maut cepat.
Dengan ditemani Ki Palasana, Salangi, Suraga dan beberapa orang tokoh lainnya,
Jarga Lawa mencerita-kan apa-apa yang telah terjadi di tempat itu.
Wajah Panji yang dingin dan kaku itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi ketika
mendengar cerita Jarga Lawa.
Meskipun semua yang diceritakan pendekar itu tak luput dari pendengarannya.
"Oleh karena itu, maka kami bersepakat meminta bantuanmu untuk melumpuhkan
Penjagal-Penjagal Alam Akherat yang masih ada tanpa membunuhnya. Kami khawatir
di antara para penjagal yang masih ada itu adalah salah seorang dari ketua-ketua
perguruan yang lenyap," ujar Jarga Lawa mengakhiri ceritanya dalam nada penuh
harapan. "Jadi, orang berkerudung yang kubunuh itu adalah salah seorang ketua perguruan
yang menyamar itu?" Tanya Panji penasaran.
"Ya, begitulah. Tapi yang kami khawatirkan adalah ada orang di belakang layar
yang mengendahkan atau mempengaruhi mereka, seperti dugaanmu itu," jawab
Pendekar Tapak Maut itu.
'Tapi... Rasanya sulit sekali untuk melumpuhkan orang berkerudung itu tanpa
harus melukainya. Se-bab kepandaian yang dimilikinya boleh dibilang jarang
terdapat di dunia persilatan pada masa kini. Tapi, akan kucoba
mengusahakannya, Paman," janji Panji meskipun ia sendiri merasa ragu bisa
melakukan itu. Namun, untuk tidak membuat hati para tokoh pendekar itu resah,
Panji terpaksa menyanggupinya.
"Nah, sekarang kita harus segera berangkat! Sebagai kepala rombongan ini, kurasa
Ki Palasana-lah orang yang tepat. Selain ia lebih berpengalaman, Ki Palasana
merupakan orang yang paling tua di antara kita. Bagaimana?" usul Jarga Lawa.
Tanpa ragu-ragu lagi, belasan tokoh pendekar dari beberapa perguruan silat
mengangguk setuju. Mereka percaya apa yang dikatakan Pendekar Tapak Maut, karena
mereka sudah mengenai siapa itu Ki Palasana yang dijuluki Pendekar Golok Kembar.
Setelah semua tokoh menyetujui, maka mereka pun membuat beberapa rencana. Hari
itu juga rombongan yang terdiri dari dua puluh orang tokoh persilatan segera
berang-kat menuju tempat persembunyian Penjagal Alam Akherat.
*** Di bawah siraman cahaya matahari siang itu, dua puluh orang tokoh persilatan
pimpinan Pendekar Golok Kembar tampak tengah mendaki bukit tempat kediaman
Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Para tokoh rimba persilatan itu berjalan dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh agar kedatangan mereka tidak segera
diketahuinya. Wajah-wajah mereka tampak diliputi tegang! Karena mereka sadar
bahwa dengan memasuki tempat itu, sama saja memasuki sa-rang harimau. Taruhannya
adalah nyawa! Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tiba di sekitar tanah lapang yang
merupakan puncak bukit ini. Dua puluh orang tokoh itu bergegas merapatkan
tubuhnya ke pepohonan yang banyak tumbuh di se-kitar tempat ini. Didepan mereka
tampak sebuah bangunan tua berdiri angker!
"Biar, aku yang akan menyelidikinya sebentar," ujar Panji melihat puluhan orang
tokoh itu tampak ragu-ragu. Begitu ucapannya selesai tubuh pemuda itu lenyap
dari pandangan mereka. Mau tidak mau para tokoh itu menggelengkan kepala melihat
kepan-daian ilmu silat yang dimiliki pemuda tampan itu.
"Luar biasa! Pemuda itu tak ubahnya seperti orang yang pandai menghilang saja!"
gumam salah seorang tokoh yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan Panji.
Tidak lama kemudian, terlihat pendekar muda yang mereka bicarakan itu tampak
memberikan isya-rat bahwa keadaan didepan mereka aman. Cepat Pen-dekar Golok
Kembar menggerakkan tangannya agar para tokoh memecah menjadi dua kelompok.
Mereka segera bergerak mendekati bangunan tua itu dari arah samping. Jarga Lawa
memimpin delapan orang tokoh melewati samping sebelah kiri. Ki Palasana dan sem-
bilan orang tokoh lainnya mendekati bangunan dari samping kanan.
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang masuk duluan melalui depan bangunan, bergerak
cepat menotok dua orang penjaga
gerbang. Dua orang penjaga itu melorot jatuh sebelum sempat berteriak. Dengan
kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata, pemuda itu melesat menuju samping
gedung. Ia me-ngerutkan keningnya ketika pada bagian samping ka-nan gedung itu
ia melihat empat sosok tubuh meng-geletak berlumuran darah.
"Hm... rupanya Ki Palasana sudah masuk ke dalam," gumam Panji pelahan. Secepat
kilat Panji menjejakkan kakinya ke atas bangunan ketika ia mendengar suara
pertempuran yang berasal dari bagian samping kiri bangunan. Di tempat itu
terlihat rombongan yang dipimpin Jarga Lawa tengah berta-rung melawan enam orang
penjaga yang rupanya memergoki rombongan Pendekar Tapak Maut itu.
'Terlihat Paman Jarga Lawa tidak mengalami ke-sulitan, dalam menghadapi enam
orang penjaga ber-sama-sama kawan-kawannya," kata Panji dalam hati, melihat akan
hal itu ia berniat meninggalkan tempat pertempuran. Tapi matanya tertumbuk
delapan orang penjaga lainnya yang berlari menghampiri arena per-tarungan.
Hingga langkah kakinya tertahan. Jarga Lawa dan Suraga melompat menghadang
kedelapan orang penjaga yang mendatangi tempat itu. Kedua orang pendekar itu
segera menerjang lawan-lawannya cepat dan ganas. Karena keduanya ingin cepat-
cepat menyelesaikan sebelum diketahui oleh penjaga-pen-jaga lainnya. Namun Jarga
Lawa dan Suraga terkejut mendapat perlawanan sengit.
Delapan orang penjaga yang baru datang itu temyata lebih hebat dari enam orang
sebelumnya. Hingga dalam lima jurus mereka menerjang tapi senjata-senjata mereka
belum juga dapat melukai tubuh lawan-lawannya. Tentu saja hal itu membuat mereka
cemas! Delapan orang penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi terus
mendesak Jarga Lawa dan Suraga yang menjadi lawan mereka. Sinar-sinar pedang
mereka berkelebatan mencari sasaran, sehingga Jarga Lawa dan Suraga kewalahan
dibuatnya. Cepat keduanya melompat kebelakang guna memper-siapkan serangan
berikutnya. "Hiaaa...!"
Disertai teriakan yang nyaring, tubuh Jarga Lawa dan Suraga melayang ke arah
delapan orang lawannya. Senjata Suraga menderu membentuk gulungan-gulungan
cahaya yang menyilaukan mata.
Traaang! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Dua di antara delapan orang penjaga itu terguling mandi darah. Tebasan golok
Suraga meskipun ber-hasil drtangkis lawannya. Tapi ia masih bisa menem-bus dan
membabat tubuh dua orang lawannya berkat kelihaiannya. Hingga tewas!
Desss! Desss! "Aaargh...!"
Kembali terdengar dua jeritan kematian yang me-robek udara, disusul terlempamya
dua orang penjaga lainnya. Tubuh kedua orang itu terbanting keras di tanah.
Darah segar menyembur dari mulut mereka hingga dua orang itu menghembuskan napas
terakhir. Pada bagian dada mereka tampak memerah akibat hantaman telapak tangan
Jarga Lawa yang amat kuat itu.
"Keparat!"
Salah seorang penjaga yang berwajah kehltaman menggeram marah, ia meluncur cepat
ke arah dua orang pendekar itu.
Jarga Lawa dan Suraga melompat menghindari se-rangan yang berbahaya itu. Pada
saat senjata lawan lewat di sampingnya, Jarga Lawa melepaskan sebuah tendangan
kilat yang meluncur deras ke lambung lawannya. Si penjaga itu rupanya cukup
cerdik. Secepat itu juga, senjatanya memutar dan menebas kaki Pendekar Tapak
Maut Cepat Jarga Lawa menarik pulang tendangannya. Sambil melompat berputar,
pendekar itu melakukan sebuah tendangan ke pelipis si penjaga berwajah kehitaman
itu. Dan.... Blakkk! "Aduhhh!"
Penjaga itu menjerit kesakitan ketika tumit Pendekar Tapak Maut tepat menghantam
pelipisnya. Tubuh orang itu melintir bagaikan sebuah gasing. Sesaat kemudian, ia
pun ambruk dan tak mampu bangkit lagi karena tengkorak kepalanya telah retak
akibat tendangan maut yang dilakukan Jarga Lawa.
Kini tinggal tiga orang penjaga lagi yang masih tersisa, dan berniat melarikan
diri dari tempat itu. Na-mun, wajah mereka mendadak pucat ketika didepan mereka
berjajar tujuh orang pendekar dengan tatapan penuh ancaman. Rupanya para kawanan
pendekar itu telah pula menghabisi keenam orang musuhnya.


Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji yang merasa bahwa Jarga Lawa dan yang lainnya tidak membutuhkan bantuan,
bergegas meninggalkan arena pertarungan. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat di
atas atap bangunan itu. la berniat untuk mencari orang berkerudung yang sampai
saat ini belum juga muncul.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang mem-belah udara.
Parqi mendengar suara teriakan mem-percepat larinya dan
mencari dari mana asal suara teriakan itu. Alangkah terkejutnya Pendekar Naga
Putih ketika melihat rombongan yang dipimpin Ki Palasana tengah bertarung sengit
melawan orang berkerudung yang dicari-carinya. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
tubuh Pariji meluncur dari atas atap dan lang-sung menerjunkan dirinya ke dalam
kancah pertaru-ngan.
*** 8 Dukkk! "Uhhh...!"
Terdengar suara benturan keras ketika Panji menangkis pukulan orang berkerudung
yang meng-ancam salah seorang anggota rombongan Ki Palasana. Penjagal Alam
Akherat itu mengeluh dan tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah
kebelakang. Si orang berkerudung menggigil sesaat menahan hawa dingin yang masuk
ke dalam tubuhnya.
"Grhhh...!"
Penjagal Alam Akherat itu menggeram marah ketika melihat kemunculan pemuda
berpakaian serba putih itu. Selintas terlihat kegentaran yang terpancar dari
matanya. Sedetik kemudian rasa gentar sudah berubah menjadi beringas!
"Nak Panji, dalam melumpuhkannya hati-hati tan-pa harus membunuh. Siapa tahu
orang berkerudung itu adalah salah satu dari ketua perkumpulan yang hilang,"
bisik Ki Paiasana mengingatkan pemuda itu akan janjinya.
"Akan kucoba, Ki!" sahut Panji cepat menenang-kan hati ketua Perguruan Golok
Sakti dan yang lainnya.
"Hm!"
Sambil mendengus gusar, tubuh si Penjagal Alam Akherat melayang ke arah Panji
dengan tangan ter-kembang, deru angin mengiringi serangannya. Rupa-nya dalam
kemarahannya orang berkerudung itu me-ngerahkan seluruh kekuatan tenaganya untuk
meng-hadapi Pendekar Naga Putih yang diketahui kepan-daiannya. Untunglah Panji
cepat menguasai dirinya agar kekuatan tenaga sakti liar yang meronta-ronta di
dalam tubuhnya terkendalikan. Lapisan kabut bersi-nar putih keperakan berpendar
di sekeliling tubuh-nya. Beberapa orang pendekar segera menyingkir dari tempat
itu ketika merasakan hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka.
"Gila! Kekuatan tenaga sakti yang dimiliki pemuda itu rasanya mustahil mengingat
usianya yang masih demikian muda"!" Gumam Salangi, seolah tak percaya apa yang
disaksikannya. Panji berkelebat di antara sambaran pukulan-pukulan maut
lawannya. Sampai saat itu ia masih dapat menguasai alam pikirannya sehingga ia
tidak sampai melepaskan pukulan-puku-lan pembawa maut bagi si orang berkerudung
itu. Ia hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya guna menghindari serangan
Penjagal Alam Akherat itu.
Sambil terus menghindari, sesekali Panji mem-balas serangan lawan. Serangan
balasannya itu di-maksudkan hanya untuk meredam pukulan-pukulan maut lawan agar
tidak sampai terdesak. Pemuda itu masih tetap lebih banyak menghindar, guna
mencari kelemahan lawan.
"Hiaaat'"
Wuttt! Wuttt! Dua buah pukulan yang memperdengarkan suara mencicit tajam lewat di sisi kepala
Panji. Ketika pemuda itu memiringkan kepalanya menghindari puku-lan itu. Pada
saat itu juga, tangannya bergerak me-lakukan beberapa kali totokan kilat.
Namun, alangkah terkejutnya Panji ketika melihat lawannya sama sekali tidak
berusaha untuk menghindarkan totokannya itu. Pendekar Naga Putih terpaksa
menarik pulang toto-kan kilatnya. Tentu saja Panji menjadi geram melihat
kelicikan lawan. Dan posisi Panji kini menjadi lebih sulit, karena setiap kali
ia melakukan totokan, si orang berkerudung sama sekali tidak berusaha mengelak.
Malah ia sengaja membarenginya dengan pukulan yang mematikan! Sehingga dalam
jurus-jurus berikutnya, Panji dibuat sibuk oleh pukulan-pukulan yang dilancarkan
lawannya. Si orang ber-kerudung kini tidak merasa kuatir dengan serangan-
serangan pemuda itu yang dianggapnya tidak mem-bahayakan keselamatannya. Karena
si orang berkeru-dung sudah membaca maksud yang tersembunyi di balik pikiran
pemuda itu. "Keparat licik!" Maki Panji gusar, karena ia benar-benar dibuat tidak berdaya
oleh si orang berkerudung.
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, sebuah pukulan si orang berkerudung tak
dapat lagi dihindari Panji. Pukulan yang didorong tenaga yang amat kuat itu
menghantam dada Panji.
Bukkk! "Ahhh...!?"
Apa yang terjadi"! Para tokoh persilatan yang me-nyaksikan pertarungan itu
terbelalak! Para tokoh per-silatan itu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak
percaya dengan apa yang disaksikannya itu!
Aneh! Pukulan si orang berkerudung luput menghantam dada Panji. Lapisan kabut
yang melindungi tubuh Panji
berpendar menyilaukan mata! Disertai jeritan kengerian, tubuh si orang
berkerudung terpen-tal dan menghantam sebuah tembok yang berada di belakangnya.
Tembok batu yang kokoh itu hancur be-rantakan hingga menimbulkan suara ribut!
Ki Palasana dan para tokoh yang lainnya begitu tersadar dari keterkejutannya
langsung berlari mem-buru ke arah si orang berkerudung. Wajah mereka memucat
ketika melihat tubuh si orang berkerudung yang tergeletak tak berdaya itu tampak
di kelilingi oleh kabut yang bersinar putih keperakan seperti kabut yang selalu
menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih. Tubuh Penjagal Alam Akherat itu mengejang
kaku bagaikan mayat yang dibekukan di dalam gum-palan es!
"Gila! Padahal kekuatan tenaga dalam orang ber-kerudung ini sudah tak ada yang
menandingi. Tapi ternyata kekuatannya itu tak berarti banyak bagi pemuda itu!
Entah kekuatan apa yang dimiliki pemuda itu hingga sampai sedemikian
dahsyatnya!" gumam Ki Palasana tak habis mengerri dengan keja-dian yang
disaksikannya itu.
Jangankan orang lain. Sedangkan Panji sendiri sampai terkejut ketika menyaksikan
kejadian yang dialaminya itu.
Pemuda itu memang merasakan suatu kekuatan raksasa bergolak di dalam tubuhnya.
Dan kekuatan raksasa itu membobol keluar ketika puku-lan Penjagal Alam Akherat
menghantam dadanya. Pemuda itu baru menyadari betapa dahsyatnya kekuatan tenaga
sakti liar yang tersembunyi di dalam tubuhnya. Dan hal itu membuatnya semakin
me-nyadari betapa berbahayanya. Kemudian Panji meng-hampiri Ki Palasana.
"Maafkan aku, Paman. Aku... Aku sama sekali tidak bermaksud membunuhnya." Ujar
Panji ketika ia sudah berada di samping Pendekar Golok Kembar yang tengah
memperhatikan mayat orang berkeru-dung itu.
Ki Palasana mengangguk lemah. la pun mengetahui bahwa kejadian itu memang bukan
kehendak Pendekar Naga Putih.
Ketua Perguruan Golok Sakti itu berdiri dan menepuk-nepuk bahu Panji pelahan
agar pemuda itu tidak terlalu merasa telah berbuat ke-salahan.
"Benar, Nak Panji. Meskipun mayat orang berkerudung ini adalah ketua perguruan
kami, namun kami sama sekali tidak menyalahkanmu. Karena kami tahu bahwa engkau
sudah berusaha untuk tidak membunuhnya. Jadi janganlah engkau merasa ber-salah
atas kematiannya," selak laki-laki gagah berpakaian merah hari dari Perguruan
Kepalan Sakti kepada pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat Panji menjadi lega,
karena orang berkerudung yang menjadi mayat itu adalah Ketua Perguruan Kepalan
Sakti itu. "Terima kasih, Kisanak. Ucapanmu itu benar-benar telah membuatku menjadi lega,"
sahut Panji, ter-senyum menyeringai dengan rasa nyeri pada dirinya.
"Hm... entah apa yang tengah diderita pemuda ini.
Tampaknya ia begitu tertekan sekali," kata Ki Pala-sana dalam hati melihat
senyum yang aneh di wajah pemuda yang dikaguminya itu. Sebagai seorang pen-dekar
yang telah memiliki pengalaman yang luas, pendekar itu dapat mengetahui bahwa
anak muda yang dikaguminya itu tengah mengalami suatu teka-nan batin yang cukup
hebat. "Setan belang! Siapa pula yang telah berani mati membuat keonaran ditempatku
ini?" Tiba-tiba terdengar bentakan yang menggeledek. Dan belum suara gema itu
lenyap. Sesosok tubuh kurus telah melayang turun.
Panji dan para tokoh persilatan yang berada di tempat itu terkejut di hadapan
mereka berdiri sesosok tubuh tinggi kurus yang berambut panjang. Orang itu
berdiri dalam jarak lima
tombak. Sinar matanya liar menyapu wajah para tokoh persilatan yang berada di
hadapannya itu.
Sesaat orang tinggi kurus itu termangu ketika me-lihat sosok tubuh berpakaian
hitam yang telah men-jadi mayat itu.
Sepasang matanya bergerak menye-lidik seolah ia ingin mencari siapa gerangan
yang telah membunuh orang berpakaian hitam itu.
Sebelum orang tinggi kurus yang menyeramkan itu membuka suaranya, tiba-tiba
beberapa sosok tu-buh melayang dan mendarat ringan di dekat Panji dan yang
lainnya. Mereka tidak lain adalah Jarga Lawa, Suraga dan para tokoh lainnya yang
telah selesai membunuh para penjaga.
"Ke mana yang lainnya, Jarga?" Tanya Ki Palasana ketika melihat kedatangan Jarga
Lawa yang hanya di-iringi enam orang itu.
"Mereka telah tewas, Ki," sahut Jarga Lawa lesu. Setelah berkata demikian,
pendekar itu menolehkan wajahnya ke arah laki-laki tinggi kurus yang kebe-tulan
saat itu juga menatap tajam ke arahnya. Sesaat kening pendekar itu berkerut
seolah sedang meng-ingat-ingat sesuatu.
"Ki Kalianjar...!?" Gumam Pendekar Tapak Maut agak terkejut.
"Kau mengenai kakek tinggi kurus itu, Paman?" Tanya Panji yang mendengar gumam
Jarga Lawa ingin tahu.
"He he he... rupanya kau masih ingat kepadaku, Jarga Lawa," ujar kakek tinggi
kuais itu sambil mem-permainkan jenggotnya yang panjang dan berwarna putih itu.
"Dia adalah kakak seperguruan guruku yang telah menyeleweng dari perguruan. Dia
telah diusir oleh kakek guruku sepuluh tahun yang lalu karena tertang-kap basah
ketika hendak menodai istri guruku. Entah apa keperluannya ia muncul di tempat
ini?" Tutur Jarga Lawa dengan suara rendah.
"Sepertinya dialah orang di belakang layar yang tengah mempengaruhi ketua-ketua
perguruan dan membentuknya menjadi Penjagat-Penjagal Alam A-kherat. Mungkin
tujuannya adalah untuk membalas sakit hatinya itu," jelas Panji menduga-duga.
"He he he... Tidak salah apa yang kau katakan itu, Anak Muda. Memang aku yang
telah melakukan pen-culikan-penculikan terhadap beberapa ketua pergu-ruan di
daerah Selatan ini pada beberapa bulan yang lalu. Kemudian kuberi minuman
sejenis ramuan kepada mereka hingga mereka tak ubahnya sesosok mayat hidup yang
selalu mematuhi perintahku. Lalu aku perintahkan kepada mereka untuk membunuh
siapa saja yang mereka jumpai terutama membinasa-kan seluruh perguruan yang ada
di daerah Selatan ini." Tutur kakek itu terkekeh gembira karena usaha-nya telah
berhasil dengan baik.
"Keparat! Kau sembunyikan di mana guruku seka-rang?"
Teriak Pendekar Tapak Maut menggeram marah ketika mendengar pengakuan Ki
Kalianjar. la benar-benar tidak menduga sama sekali bahwa biang keladi dari
bencana yang terjadi selama ini adalah eyang gurunya yang sesat itu.
"He he he... dia hanya tinggal menunggu kemati-annya saja karena telah dilukai
oleh seorang yang berkepandaian lebih tinggi darinya," sahut kakek tua yang
bernama Ki Kalianjar itu terkekeh.
"Tapi mengapa para Penjagal Alam Akherat yang kau perintah itu tidak
mempergunakan ilmu aslinya?" Desak Ki Palasana penasaran.
"Tentu saja aku tidak sebodoh itu membiarkan mereka mempergunakan ilmunya
sendiri. Kalau begitu caranya bisa berantakan rencanaku karena kalian tidak
mungkin mau untuk menghadapi guru kalian sendiri. Karena itu aku sengaja
memasukkan ke dalam tubuh mereka sejenis ramuan dari tum-buhan yang dapat
melipat gandakan kekuatan tenaga dalam mereka. Juga kulatih mereka dengan ilmu
baru yang kuciptakan selama sepuluh tahun. Dengan de-mikian, maka rencanaku pun
berjalan mulus. He he he...!" Kakek itu membuka rahasia yang selama ini
disimpannya, karena ia begitu yakin para tokoh persilatan itu tidak akan berumur
panjang. "Keparat kau manusia sesat! Terimalah pembala-sanku!
Hiaaat..!" Sambil berteriak keras, Jarga Lawa melompat dan menerjang dengan
menggunakan ilmu andalannya.
"He he he. Kau ingin memamerkan ilmu 'Tapak Pembeku Darah' itu kepadaku, Jarga
Lawa. Nah, kau lihat baik-baik bahwa ilmu andalanmu itu tak lebih dari sekadar
permainan anak-anak," seru Ki Kalianjar mengejek sambil menggeser kaki kanannya
hingga hantaman telapak tangan Jarga Lawa mengenai tempat kosong. Begitu pula
dengan dua buah serangan lainnya. Kedua serangan itu pun dapat dielakkannya
dengan mudah. Tentu saja hal itu membuat Jarga Lawa penasaran. Dengan mengempos
semangatnya pendekar itu kembali menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga
dalamnya. "Hm!"
Sambil mendengus gusar, Ki KaBanjar mengang-kat lengannya memapak pukulan
telapak tangan yang dilancarkan Jarga Lawa. Dan....
Plakkk! Plakkk! Desss!
"Hukkk...!"
Tubuh Jarga Lawa terlempar mundur akibat tang-kisan yang luar biasa kuatnya.
Sebelum ia sempat bertindak, tahu-tahu saja kepalan lawan telah ber-sarang di
perutnya. Pendekar Tapak Maut terlempar keras. Darah segar menyembur dari
mulutnya. Untunglah pada saat itu Panji melompat dan menang-kap tubuh pendekar
itu. Kalau tidak, tubuh pendekar itu past akan membentur tembok di belakangnya.
"Berisrirahatlah, Paman. Biar aku yang akan men-coba untuk menghadapi kakek
itu," ujar Pendekar Naga Putih sambil menyerahkan tubuh Pendekar Tapak Maut
kepada tokoh yang lainnya. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar muda itu
melompat ke-hadapan Ki KaBanjar.
"Siapa kau, Anak Muda" Rasanya aku belum per-nah mengenalmu?" Tanya kakek itu
sambil menatap seluruh tubuh Panji penuh selidik. Tiba-tiba sepasang mata kakek
itu tertumbuk pada gagang pedang yang melingkar di pinggang pemuda itu. "Hm...
apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih, Anak Muda?"
"Benar! Akulah Pendekar Naga Putih yang akan mengakhiri segala kejahatanmu,
Kakek lblis!" Jawab Panji yang membuat sepasang mata kakek itu terbe-lalak.
"He he he... Orang lain boleh takut mendengar nama julukanmu, Pendekar Naga
Putih. Tapi kali ini aku akan membuatmu jatuh berlutut dan mencium telapak
kakiku," ujar Ki KaBanjar bersumbar.
"Hm... kalau begitu bersiaplah, Kakek Tua!" Seru Panji memperingatkan. Darah
Panji mendidih di be-naknya terbayang mayat-mayat penduduk desa yang ditemuinya
dl dalam perjalanan. "Orang seperti kakek ini tidak pantas untuk dibiarkan hidup
lebih lama. Karena la hanya akan menimbulkan bencana di muka bumi Ini," kata
Panji daiam hati.
Tenaga sakti yang mengendap di dalam tubuh pe-muda itu seketika bergolak. Ia
menarik napas dalam-dalam seraya menggerakkan tangan membentuk ca-kar naga.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu pun meluncur ke arah lawan.
Kedua tangannya menyam-bar-nyambar laksana seekor naga yang sedang mur-ka!
Sadar bahwa ia berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang terkenal itu, Ki Kalianjar
segera menge-luarkan ilmu andalannya. Sesaat kemudian tubuh kakek itu berputar
cepat bagaikan baling-baling, se-hingga tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang
samar yang meluncur ke tubuh lawan. Sesekali jari-jari tangannya muncul memapaki
ke tubuh lawan. Sesekali jari-jari tangannya muncul secara tak ter-duga, siap
mengancam tubuh lawannya. Begitu baya-ngan kakek itu hampir di dekat Panji,
tiba-tiba saja bayangan tubuh orang itu terpecah menjadi tujuh bagian. Itu salah
satu keistimewaan ilmunya yang bernama 'Tujuh Bayangan Iblis'. Namun, daya tang-
kap sepasang mata Panji tentu tidak bisa disamakan dengan daya tangkap orang
lain. Hingga di mata orang lain bayangan kakek itu tampak terpecah-pecah, tapi
bagi Panji hal itu tidak berlaku. Oleh karena itu me-ngapa Panji dapat
menghindari cengkeraman lawan-nya demikian mudah.
Wuttt! Wuttt! Kembali dua kali cengkeraman kakek itu berhasil dielakkan Panji. Dan pemuda itu
pun langsung mem-balasnya dengan tidak kalah cepat. Jari-jari tangan Panji yang
membentuk cakar naga menyambar sece-pat kilat ke arah tenggorokan lawan.
Wrrrt! "Hm!"
Ki Kalianjar mendengus sambil memiringkan ke-palanya sehingga serangan pemuda
itu menyambar angin. Sambil
memiringkan kepalanya, kakek itu me-lepaskan tendangan kilat ke lambung Panji.
Namun dengan cepat tangan yang mencakar itu menepis tendangan Ki Kalianjar.
Plakkk! "Uhhh...!"
Tubuh kedua orang sakti itu terpental mundur. Wajah Ki Kalianjar menyeringai
menahan rasa sakit Tulang keringnya terhantam lengan Panji. Ia merasa-kan tulang


Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya seperti baru saja bertemu dengan gumpalan salju yang sekeras bagai baja.
Kakek itu terlihat agak terpincang-pincang.
"Uh, Bangsat Keparat! Rasakan pembalasanku!" Teriak Ki Kalianjar menggeram
marah. Di tangannya telah tergenggam sebatang tongkat berkepala ular.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh si kakek melesat sambil memutar tongkatnya
hingga menim-bulkan deru angin dahsyat. Debu, daun-daun kerihg dan batu kerikil
beterbangan bagaikan dilanda angin topan yang hebat!
Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan dari jarak jauh, terpaksa
berlari menghindari, karena batu-batu kecil yang beterbangan mengenai tubuh
mereka. Hingga para tokoh persilatan terpaksa harus bersembunyi.
"Mudah-mudahan saja Pendekar Naga Putih dapat mengatasi kakek iblis itu," desah
Jarga Lawa yang ter-lihat cemas, melihat kepandaian yang dimiliki eyang gurunya
yang sesat itu. Setelah menghilang sepuluh tahun.
"Aku rasa pemuda itu mampu menundukkan si kakek itu,"
kata Ki Palasana yakin. Ia sudah melihat bagaimana Panji menghadapi Penjagal
Alam Akherat yang akhirnya tewas begitu
pukulannya mengenai tubuh pemuda itu. Hal ini membuat pendekar itu merasa yakin.
Saat itu pertarungan sudah memasuki pada jurus yang ke sembilan puluh tujuh.
Tubuh Ki Kalianjar melesat ke arah Panji sambil mengayunkan tongkat ularnya.
Tongkat itu meluncur mengancam kepala Panji. Panji merendahkan tubuhnya sedikit
dalam menghadapi sambaran tongkat lawan. Dan secepat kilat tangan kanannya
meluncur menghantam tepat di tengah-tengah tongkat itu.
Wuuut! Krakkk! "Aaakh...!"
Ki Kalianjar menjerit kaget! Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Dari
sela-sela bibirnya tampak menetes darah segar. Sedangkan tongkat kepala ularnya
telah patah menjadi dua bagian. Wajah kakek itu pucat bagaikan tak dialiri
darah. Ia sama sekali tidak menyangka kecepatan Panji melebihi kecepatan
geraknya sendiri. Dan hal itu benar-benar di luar perhitungannya!
"Keparaaat!" Geram Ki Kalianjar sambil menyeka darah yang menetes dari sela-seta
bibirnya. Tangkisan pemuda itu rupanya juga telah membuat dadanya sesak. Kedua
tangannya cepat melakukan gerakan untuk mengusir hawa dingin yang merasuk ke
tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali meluncur sambil mendorongkan
sepasang telapak tangannya.
"Yeaaat..!"
Angin keras menderu menyertai dorongan sepasang telapak tangan kakek sakti itu.
Rupanya kali ini ia benar-benar hendak mengadu nyawa dengan Pendekar Naga Putih.
"Hiaaat..!"
Melihat lawannya melompat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya, Panji
pun berseru keras. Detik itu juga tubuhnya meluncur dengan dorongan telapak
tangannya. Kabut bersinar putih keperakan berpendar disertai hawa dingin yang
menusuk tulang.
Beberapa orang pendekar yang tenaga dalamnya kurang kuat, jatuh melorot ketika
mendengar teriakan Panji yang melebihi ledakan guntur. Sedang yang lainnya cepat
mengerahkan tenaga batin guna melin-dungi dada mereka agar tidak terguncang.
Blarrr! "Aaa...!"
Luar biasa! Benturan dua gelombang tenaga sakti yang dahsyat telah menggetarkan
bangunan tua di sekitarnya.
Beberapa bagian runtuh karena pengaruh getaran yang ditimbulkan benturan itu.
Tubuh Ki Kalianjar melayang bagaikan sehelai daun kering yang diterbangkan
angin. Tubuh tua renta itu terus meluncur menabrak dinding bangunan hingga
jebol! Darah segar seketika muncrat dari mulut kakek tua itu. Setelah menjebol
dinding, tubuh orang tua itu pun jatuh berdebuk di atas runtuhan tembok itu.
Darah terus mengalir menggenang di bagian kepalanya karena pembuluh darah kepala
orang tua itu telah pecah akibat benturan yang sangat dahsyat itu! Ki Kalianjar
tewas seketika itu juga.
Sedangkan Panji masih jungkir balik di udara. Guna mematahkan akibat benturan
yang hebat itu. Pemuda itu benar-benar kagum akan kekuatan tenaga dalam kakek
tua itu yang benar-benar hampir men-capai titik kesempurnaan. Panji mendarat
ringan di tanah. Wajahnya tetap dingin dan kaku.
"Nak Panji! Kau tidak apa-apa?" Tanya Jarga Lawa setelah mendatangi pemuda itu.
Wajah Jarga Lawa itu tampak cemas.
Sepertinya ia mengkhawatirkan ke-adaan pemuda itu.
"Terima kasih, Paman, aku tidak apa-apa," jawab Panji cepat. Setelah berkata
demikian, Panji segera mohon pamit kepada Jarga Lawa, yang berjuluk Pen-dekar
Tapak Maut itu.
"Maaf, Paman, aku harus per-gi," pamit Panji. Tanpa menunggu jawaban Pendekar
Tapak Maut, tubuh pemuda itu sudah melesat me-ninggalkan tempat itu.
Jarga Lawa tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah kepergian Panji. Lalu ia
menghampiri ka-wan-kawannya yang tengah berkerumun di dekat mayat Ki Kalianjar.
Sang Matahari sudah naik semakin tinggi. Tak lama kemudian, kegelapan pun mulai
nampak di per-mukaan bumi.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Edit : Adnan Sutekad
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Memburu Iblis 12 Mustika Lidah Naga 4 Manusia Harimau Jatuh Cinta 7
^