Pencarian

Mencari Jejak Pembunuh 3

Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh Bagian 3


kejadian itu semakin membuat kawanan perampok yang lainnya gentar!
Melihat anak buahnya menjadi gentar, empat orang pimpinan perampok segera
melompat maju dan langsung mengurung Panji.
"Huh! Rupanya kau makin sombong sehingga berani mencampuri urusan kami, Pendekar
Naga Putih!" bentak pemimpin pertama yang berusia sekitar lima puluh tahun,
geram. Tiba-tiba tangan orang itu berkelebat, mencabut sepasang trisula yang
terbuat dari baja putih.
"Hm... membasmi kejahatan adalah urusanku, Kisanak. Itu memang sudah menjadi
tugasku sebagai pendekar penegak keadilan!" sahut Panji tenang.
"Keparat sombong! Mampuslah!" bentak pemimpin yang satunya lagi. Orang itu
langsung melesat sambil menebaskan golok bergerigi yang berdesing tajam.
Ketika golok bergerigi lawan hampir menembus tubuh Pendekar Naga Putih, kedua
kakinya segera tarik mundur. Begitu senjata perampok lewat, tangan kanannya
berkelebat mencengkeram leher lawan.
Namun, Panji terpaksa cepat menarik tangannya karena ada saat yang bersamaan,
dari arah samping kiri telah menyambar pedang salah seorang kawanan perampok.
"Haiiit."
Pendekar Naga Putih berteriak nyaring sambil melompat ke belakang. Dan ketika
kembali ke tanah, telapak tangannya langsung didorongkan ke depan.
Seketika serangkum angin berhawa dingin
berhembus keras menyertai pukulan jarak jauh itu.
Blarrr! "Iiih...!"
Untunglah kedua penyerang itu sempat menghindar dari pukulan maut tersebut.
Kalau tidak, tubuh mereka pasti remuk akibat kedahsyatan pukulan yang
dilancarkan Panji. Setelah melepas pukulan, Panji yang mendapat kesempatan
meloloskan diri, langsung meninggalkan tempat itu. Pemuda berjubah putih sengaja
berlari ke arah berlawanan dengan jalan yang diambil Ayuning dan Kuntara. Dengan
jalan itu berharap Kuntara dan Ayuning dapat melepaskan dari kejaran para
perampok. "Kejar...!" teriak keempat pimpinan perampok
kepada anak buahnya seraya melompat ke punggung kuda dan langsung melakukan
pengejaran. Senja yang mulai remang-remang sangat menguntungkan Panji. Pendekar Naga Putih
dengan mudah dapat menghindari kejaran para perampok dengan mengerahkan ilmu
lari cepat *** Setelah lolos dari kejaran kawanan perampok, Panji segera mengambil jalan pintas
menuju Desa Kertasari. Tubuh pemuda itu melesat cepat bagai tak menginjak tanah.
Dia sengaja mengerahkan ilmu lari cepat agar dapat menyusul Ayuning dan Kuntara.
Setibanya di mulut desa, kening Panji agak berkerut melihat api obor terang-
benderang menyambut kedatangannya.
"Hei! Itu Kakang Panji...!" seru sebuah suara merdu yang berasal dari mulut
gadis cantik berpakaian biru muda. Gadis itu tidak lain adalah Ayuning.
"Benar! Itu Saudara Panji!" seru Kuntara yang berjalan di sisi gadis cantik itu.
"Kuntara..., Ayuning...! Syukurlah kalian selamat!"
seru Panji sambil mengayunkan langkah menghampiri kedua sahabatnya. Wajah mereka
berseri-seri karena semua telah selamat.
"Mari ikut bersama kami, Saudara Panji," ajak Kuntara sambil menyerahkan seekor
kuda kepada Panji. Setelah berkata demikian, putra Kepala Desa Kertasari segera
melompat ke punggung kuda yang telah tersedia di tempat itu.
"Eh, mau ke mana kita, Kuntara..." Ayuning...?"
tanya Panji yang masih belum mengerti maksud pemuda itu. Namun akhirnya pendekar
perkasa itu terpaksa melompat juga ke atas punggung kuda ketika melihat Kuntara dan Ayuning
hanya tersenyum sambil menggebah kuda mereka.
"Hendak ke mana kita?" tanya Panji lagi yang tak dapat menahan keheranannya.
"Ke balai desa!" jawab Kuntara singkat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kuntara
bergegas mempercepat lari kuda hingga mendahului kedua kawannya.
Panji dan Ayuning pun ikut menggebah kuda mereka hingga dapat menyusul Kuntara.
Meskipun sebenarnya merasa heran atas sikap kedua sahabatnya, tapi pemuda
berjubah putih tidak bertanya karena keduanya seolah-olah sengaja menyembunyikan
sesuatu. Tidak lama kemudian, mereka tiba di depan balai desa. Ketiganya terus memasuki
halaman balai desa yang dijaga dua laki-laki gagah.
Kuntara mengangguk kepada kedua penjaga yang menyambut kedatangan mereka dengan
ramah. Sepertinya putra Kepala Desa Kertasari ini memang sudah mengenal kedua orang
itu. "Eh, ke mana perginya begundal-begundal Patala?"
pikir Panji heran ketika tidak melihat seorang pun perampok berseragam hitam
yang tempo hari pernah mengeroyoknya di balai desa. Pendekar Naga Putih
memperhatikan dua laki-laki gagah yang tadi berteguran dengan Kuntara. Dua
penjaga berseragam baju putih dan celana hitam kembali mengangguk ramah. Di dada
mereka tertera lambang burung elang membentangkan sayap.
"Siapa penjaga itu, Kuntara" Sepertinya mereka bukan orang-orang Patala"!" tanya
Panji kepada Kuntara setelah keduanya turun dari kuda dan masuk balai desa.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku yang pernah kuceritakan kepadamu," jawab
Kuntara seraya tersenyum.
Sebelum pemuda berjubah putih sempat bertanya lebih jauh, dari ruang dalam balai
desa muncul Ki Kalari didampingi laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh
tahun. Keduanya bergegas menyambut kedatangan Panji, Ayuning, dan Kuntara.
"Selamat datang, Pendekar Naga Putih! Mari silakan masuk!" sambut Ki Kalari dan
laki-laki gagah itu berbarengan sambil memberi jalan kepada ketiga orang itu.
Meskipun masih diliputi rasa heran, Pendekar Naga Putih membalas juga senyum
ramah kedua orang itu sambil terus memasuki ruang dalam balai desa. Pikiran
Panji masih dipenuhi berbagai macan pertanyaan.
*** 7 "Demikianlah, Panji. Ketika aku dan Ayuning tiba di desa, ternyata segalanya
telah dibereskan paman guru, dan saudara-saudara seperguruanku," Kuntara
mengakhiri ceritanya sekaligus menjawab semua pertanyaan yang ada dalam benak
pemuda berjubah putih.
"O, jadi selagi Patala belum kembali, semua pengikutnya telah habis kalian
basmi?" desah Pendekar Naga Putih seolah berkata kepada dirinya sendiri.
"Ya! Karena aku tahu kalau anak keparat itu tidak akan kembali dalam waktu
singkat. Paling tidak dia menginap dua atau tiga hari di tempat kediaman Setan
Kepalan Besi, ayah kandungnya," ujar Ki Sentanu, paman guru Kuntara menerangkan.
"Hm... bagaimana Ki Sentanu dapat mengenaliku"
Padahal seingatku kita belum pernah bertemu," ucap Panji yang tak dapat
menyembunyikan rasa penasaran karena Ki Sentanu telah tahu kalau dirinya adalah
Pendekar Naga Putih.
"Ha ha ha... memang benar kita belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi bukan
berarti aku belum pernah melihatmu! Ingatkah kau dengan orang bermuka tikus yang
meminta pedangmu tempo hari"
Nah, di situlah aku melihat bagaimana kau dapat merobohkan si muka tikus. Saat
itu aku memang belum dapat mengenai siapa dirimu. Tapi pada saat engkau
melingkarkan pedangmu di pinggang, aku segera sadar kalau kau adalah Pendekar
Naga Putih yang selama ini telah mengguncangkan dunia
persilatan," jelas Ki Sentanu menghilangkan rasa penasaran di hati Panji.
"Lalu bagaimana dengan ibu dan adikmu, Kuntara" Bagaimana kalau kepala perampok
itu tahu Desa Kertasari telah kembali ke tangan Ki Kalari?"
tanya Panji. Tapi mendadak ucapan pemuda ini membuat orang-orang yang berkumpul
di tempat itu menunduk cemas. "Ah, maafkan pertanyaanku tadi.
Aku tidak bermaksud membuat kalian sedih. Tapi kupikir tidak ada salahnya kalau
mulai dari sekarang kita sudah memikirkan keselamatan mereka."
"Ah, tidak apa-apa, Saudara Panji. Justru hal ini lah yang ingin kami bicarakan
denganmu," sahut Ki Kalari mulai angkat bicara.
"Maksud Aki?" tanya Pendekar Naga Putih yang belum mengerti maksud pembicaraan
Kepala Desa Kertasari itu.
"Begini, Saudara Panji. Sebelum Patala kembali ke desa ini, kami bermaksud
meminta kesediaanmu menolong istri dan anak perempuanku yang ditahan di
perkampungan para perampok. Tentu saja kalau kau tidak keberatan," ujar Ki
Kalari sambil menatap wajah pemuda berjubah putih.
Panji menatap wajah orang tua itu sejenak.
Permintaan Ki Kalari tidak langsung dijawab. Pemuda itu tidak bisa memutuskan
langsung begitu saja mengingat tugas yang dibebankan kepadanya kali ini tidaklah
mudah. "Baiklah, Ki. Akan kucoba. Tapi kuminta kesediaan Kuntara dan Ayuning untuk
membantuku," akhirnya Panji bersedia menerima tugas membebaskan istri dan anak
Kepala Desa Kertasari.
"Aku siap!" sahut Kuntara mantap, tanpa keraguan sedikit pun.
"Aku juga bersedia!" Ayuning pun cepat menimpali.
"Baiklah! Kalau begitu kita harus sudah berangkat sebelum fajar!" ujar Panji
memutuskan kesepakatan itu. "Yah, kalau memang begitu, silakan kalian
beristirahat agar besok sudah segar kembali," ucap Ki Kalari yang segera bangkit
dari kursinya. "Baiklah, kami permisi dulu!" sahut Panji mewakili Ayuning dan Kuntara yang
sudah terlebih dahulu melangkah keluar dari balai desa.
"Ayuning, ke mana gurumu" Mengapa kau tidak bersama beliau?" tanya Panji kepada
Ayuning dalam perjalanan menuju kediaman Ki Kalari.
"Guruku menyerahkan tugas itu kepadaku.
Sedangkan beliau sendiri terus pulang ke per-tapaannya," kata Ayuning.
"Lalu, apakah kau sudah menemukan jejak gerombolan Patala," tanya Panji lagi.
"Belum! Kakang sudah menemukannya?" Ayuning balik bertanya.
"Juga belum."
Kuntara yang tahu kalau Panji dan Ayuning telah saling mengenal sebelumnya tak
ingin mencampuri urusan kedua sahabatnya.
"Selamat beristirahat, Saudara Panji, Ayuning...,"
ujar Kuntara ketika tiba di kediaman kepala desa.
Kuntara yang telah menunjukkan kamar untuk kedua sahabatnya, bergegas
meninggalkan mereka dan masuk kamarnya sendiri.
"Selamat malam...," jawab Panji dan Ayuning berbarengan. Kemudian, keduanya pun
berpisah memasuki kamar masing-masing.
Sang malam terus merayap ditingkahi suara nyanyian binatang malam yang semarak.
*** Malam hampir berganti pagi ketika terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan
menyambut daangnya sang fajar. Di bawah keremangan fajar, tampak tiga orang
memacu kuda keluar dari Desa Kertasari. Mereka adalah Panji, Kuntara, dan
Ayuning yang akan menunaikan tugas untuk menyelamatkan keluarga Ki Kalari dari
cengkeraman kawanan perampok di bawah pimpinan Setan Kepalan Besi.
Ketiga muda-mudi itu terus memacu kudanya menerobos udara yang masih dingin.
Angin bersilir lembut seolah-olah ingin mengiringi kepergian tiga pendekar muda
menunaikan tugasnya.
Tidak lama kemudian, mereka mulai memasuki wilayah hutan kecil tempat
perkampungan perampok.
"Kuntara, kau tunggulah di sini! Aku dan Ayuning akan mencoba menyelinap ke
dalam sarang perampok. Ingat! Jangan sekali-kali kau tinggalkan tempat ini sebelum aku dan
Ayuning membawa ibu dan adikmu," pesan Panji setibanya di atas bukit dekat
perkampungan perampok. Mereka sengaja memilih tempat yang agak tersembunyi dan
jauh dari pengawasan perampok.
"Baiklah, Saudara Panji. Apa pun yang terjadi aku akan menunggumu di sini! Hati-
hatilah kalian!" jawab Kuntara sambil melompat dari punggung kudanya,
menambatkan tali kekang binatang tunggangannya pada sebatang pohon. Begitu pula
Panji dan Ayuning.
Setelah menambatkan kudanya di pohon, keduanya menyelinap masuk ke perkampungan
perampok. Kuntara mengawasi kepergian dua orang
sahabatnya yang rela menghadapi maut demi keluarganya. Padahal dua orang itu
baru dua hari dikenalnya. Tapi mereka cepat sekali akrab, seperti telah saling mengenal
bertahun-tahun.
"Ah, mereka benar-benar sahabat terbaik yang pernah kukenal. Mereka rela
mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang lain. Hm... keduanya benar-benar
pendekar sejati yang selalu membela kebenaran tanpa pamrih. Sungguh bahagia aku
dapat menjadi sahabat orang-orang berjiwa pendekar seperti mereka," gumam
Kuntara yang merasa sangat beruntung dapat berkenalan dengan Panji dan Ayuning.
Sebentar saja, kedua pendekar muda itu telah lenyap dari pandangan Kuntara.
Mereka bergerak cepat, menyelinap di antara bebatuan dan pepohonan. Tak lama
kemudian akhirnya keduanya tiba di dekat perkampungan perampok.
Panji memberi isyarat menunjuk rumah besar dan paling megah di antara rumah-
rumah lain yang diduganya sebagai tempat tinggal kepala perampok.
Tubuh pemuda itu pun melayang ke atas atap salah satu rumah perampok yang
terletak agak ke pinggir.
Sedangkan Ayuning mengikuti dari belakang tanpa banyak cakap. Wajah gadis
berpakaian biru muda itu teriihat tegang karena sadar kalau kini mereka telah
memasuki sarang harimau. Sekali saja membuat kesalahan, bukan tidak mustahil
nyawa mereka akan melayang.
Setelah menyusuri beberapa buah rumah, akhirnya mereka tiba di bagian belakang
bangunan yang paling besar dan megah. Kedua pendekar muda itu melompati tembok
setinggi empat meter dan melayang turun di taman belakang. Setelah menjejak
tanah, keduanya bergegas menyelinap di antara pepohonan yang tumbuh di taman
itu. "Kau tunggu di sini sebentar, Ayuning. Aku akan menyergap salah seorang penjaga
untuk mencari keterangan," bisik Panji ke telinga Ayuning. Selesai berkata
demikian, Pendekar Naga Putih bergegas mendekati dua penjaga yang tampak
terkantuk-kantuk.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Panji berhasil melumpuhkan kedua penjaga
yang tak sempat berteriak. Salah seorang penjaga yang berhasil dilumpuhkan,
diseret ke tempat Ayuning menunggu, sedangkan penjaga yang pingsan disembunyikan
di semak-semak.
"Kalau kau masih ingin hidup, cepat katakan di mana tempat istri dan anak Kepala
Desa Kertasari ditahan!" ancam Panji setelah membebaskan totokan pada penjaga
itu. Dengan terbata-bata, penjaga itu akhirnya memberi tahu tempat tahanan keluarga
Ki Kalari. Selesai memberi keterangan, tangan Panji kembali bergerak cepat menotok lumpuh
orang itu. Tindakan selanjutnya, Panji dan Ayuning melesat menuju tempat tawanan
yang ditunjukkan penjaga tadi.
Keduanya terus menyelinap, memeriksa ruang demi ruang sampai akhirnya terpaksa
berhenti sejenak ketika mendengar suara para penjaga yang tengah asyik bermain
kartu. Panji memberi isyarat kepada Ayuning menyergap keempat penjaga. Sesaat
kemudian mereka melesat berbarengan. Dan....
Desss! Desss! "Hughk...!"
"Heghk...!"
Dalam sekejap tubuh empat penjaga langsung rebah tidak berkutik lagi. Cepat
Pendekar Naga Putih menyambar kunci yang tergantung di dinding ruang
jaga. Lalu dibukanya salah satu kamar tahanan di mana istri dan anak gadis Ki
Kalari mendekam.
Kedua pendekar muda itu terus bergerak keluar membawa wanita setengah baya dan
gadis remaja berusia sekitar lima belas tahun.
"Hei, siapa itu?" tiba-tiba muncul penjaga malam yang saat itu memasuki ruang
tahanan. Sejenak Panji terkejut mendengar teguran itu. Tapi tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda berjubah putih itu langsung mencelat dan melontarkan dua serangan
mematikan sekaligus.
Bukkk! Desss! "Aaargh...!"
Kedua penjaga menjerit ngeri ketika telapak tangan Panji hinggap di leher mereka
berbarengan. Keduanya langsung roboh bersimbah darah segar yang keluar dari mulut mereka.
Keduanya tewas dengan tulang leher patah!
Sebelum tewas, keduanya sempat mengeluarkan teriakan yang didengar empat penjaga
lain yang saat itu sedang melintas di depan ruang tahanan.
"Eh, seperti teriakan orang kesakitan?" ucap salah seorang dari empat orang
penjaga. "Man kita periksa!" ajak yang satunya lagi seraya melangkah cepat menuju pintu


Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruang tahanan. Namun begitu tangannya menyentuh daun pintu, mendadak pintu terbuka dan ada
sebuah tangan kuat yang langsung menarik penjaga itu ke dalam.
"Hei! Siapa itu?" seru salah seorang penjaga yang temannya ditarik ke dalam.
"Cepat bunyikan kentongan tanda bahaya!"
Saat itu Panji dan Ayuning berusaha menerobos keluar sambil membawa kabur dua
orang wanita yang berhasil mereka bebaskan. Tangan pemuda berjubah
putih itu langsung bergerak melepaskan tamparan maut ke arah penjaga yang tadi
berteriak. Plak! "Aaakh...!"
Penjaga itu kontan terpelanting tewas. Tengkorak kepalanya retak akibat tamparan
tangan Panji yang sudah dialiri tenaga dalam. Sedangkan dua penjaga lain sempat
berlari untuk memukul kentongan tanda bahaya.
Tidak lama kemudian, di perkampungan perampok terdengar suara kentongan
bersahut-sahutan hingga membuat suasana dinihari yang hening menjadi gaduh.
Panji dan Ayuning segera melompati pagar tembok tempat mereka masuk tadi bersama
dua orang bawaannya. Sesaat kemudian, tubuh keduanya telah mendarat empuk di
luar gedung besar tempat kediaman kepala perampok.
Baru saja beberapa langkah mereka berlari, di depan mereka telah menghadang
puluhan anggota perampok.
"Ayuning! Selamatkan dua orang ini! Aku akan mencerai-beraikan kawanan perampok.
Dan selagi aku membuat keributan, cepat kau bawa mereka ke tempat Kuntara
menunggu! Dan langsung ke desa!
Jangan pikirkan aku!" seru Panji kepada Ayuning yang hanya dapat menganggukkan
kepala dengan wajah pucat!
"Heaaat..!"
Disertai pekikan nyaring, Pendekar Naga Putih langsung menggebrak barisan para
perampok yang menghadang. Angin dingin yang menusuk tulang segera menebar dari
tubuh pemuda itu. Seketika selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti
sekujur tubuhnya.
Blarrr! Belasan perampok yang mencoba mengurung
berpentalan dihantam pukulan keras Panji. Seketika debu mengepul tinggi hingga
pandangan di sekitar tempat itu menjadi terhalang.
"Ayuning, lari...!" teriak Panji sambil mempersiapkan pukulan susulan. Di saat
ketegangan memuncak dalam diri Pendekar Naga Putih, mendadak tenaga sakti inti
gerhana bulan bergolak dahsyat menembus aliran darah di sekujur tubuh Panji.
Lapisan kabut bersinar putih keperakan kian melebar, hampir setengah tombak dari
tubuh pemuda perkasa itu. Angin dingin pun semakin kuat menderu-deru di sekitar
tempat itu. Bersamaan dengan kepulan debu yang meng-
halangi penglihatan, tubuh Ayuning berkelebat cepat meninggalkan para perampok.
Meskipun membawa dua orang di bahunya pendekar cantik itu sama sekali tidak
merasa terganggu gerakannya.
Murid tunggal Dewa Tanpa Bayangan itu benar-benar memiliki ilmu lari cepat yang
sangat tinggi. Seperti ilmu yang dimiliki gurunya yang terkenal karena kecepatan geraknya, maka
gadis itu pun mewarisi ilmu lari cepat yang luar biasa. Jangankan para perampok,
Panji pun rasanya sulit untuk menandingi kecepatan lari Ayuning kalau dalam
keadaan biasa. Pada saat Ayuning bersama dua orang bawaannya melesat meninggalkan arena
pertarungan, Pendekar Naga Putih kembali melontarkan pukulan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang menggiriskan!
Wusss! Blarrr! Kembali belasan perampok berpentalan tewas seketika dengan tubuh membiru.
Seluruh permukaan kulit mereka dirasuki hawa dingin yang mampu memecahkan
seluruh pembuluh darah.
"Mundur...! Jauhi pemuda berilmu setan itu!" teriak salah seorang pimpinan
gerombolan yang terkejut melihat kedahsyatan tenaga dalam pemuda berjubah putih.
Kawanan para perampok berlompatan mundur dengan wajah pucat dan gigi-gigi
bergemeletukan menahan hawa dingin yang menyebar di sekitar tempat itu.
Sesaat kemudian, puluhan perampok lain mulai berdatangan. Panji yang belum
merasa yakin kalau Ayuning belum terlalu jauh berlari, tidak segera meninggalkan
tempat itu. Pemuda perkasa itu bertekad untuk menghalau kawanan para perampok
sampai benar-benar yakin kalau Ayuning dan Kuntara telah selamat.
"Gila! Perbuatan siapa ini!" bentak seorang laki-laki tinggi besar setibanya di
tempat pertarungan.
Sepasang bola matanya yang besar dan menakutkan membelalak, seolah-olah tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Pemuda gila itulah yang telah membunuh mereka, Ketua!" lapor salah seorang
pimpinan perampok yang bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat.
"Mengapa kalian mundur! Bunuh pemuda itu!"
perintah ketua perampok yang berjuluk Setan Kepalan Besi murka. Wajahnya yang
hitam tampak semakin gelap menahan kemarahan yang
menggelegak. Saat Panji benar-benar dalam bahaya, mendadak
tenaga liar yang mengendap di dalam tubuhnya bergolak semakin dahsyat. Perlahan-
lahan kesadarannya mulai hilang, sehingga dia tidak dapat lagi membedakan mana
kawan dan mana lawan.
Kalau saja saat itu Ayuning masih berada di dekatnya, bukan tidak mungkin Panji
akan menyerangnya.
"Yeaaat..!"
Empat orang pimpinan perampok berteriak-teriak sambil mengayunkan senjata
menyerbu Pendekar Naga Putih. Senjata-senjata mereka berdesingan hingga
menimbulkan angin berkesiutan yang memekakkan telinga. Pertanda kalau kepandaian
mereka memang tinggi dan tidak bisa dibuat main-main.
Panji yang sudah berubah seperti binatang terluka, mengamuk membabi buta! Pemuda
berjubah putih itu tidak peduli lagi siapa yang diserangnya. Setiap perampok
datang menyerang, disikat tanpa ampun!
Yang dipikirkan saat itu hanyalah bagaimana mengeluarkan tenaga liar yang
bergolak dahsyat sebanyak-banyaknya. Maka tidak mengherankan kalau pukulan yang
dilontarkannya selalu berakibat maut bagi lawan-lawannya.
"Kreaaa...!"
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan jeritan parau yang mengerikan! Bumi di sekitar
ajang pertarungan bergetar hebat bagai diguncang gempa! Saat itu juga kedua
tangannya didorong ke segala arah hingga menimbulkan suara mencicit tajam
membeset udara pagi. Hembusan angin dingin menderu keras setiap kali tangannya
didorongkan. Belasan perampok bergulingan seketika mendengar raungan Pendekar Naga Putih itu.
Dari telinga, mulut, dan hidung mereka mengalir darah segar!
Belasan orang itu tewas karena tak sanggup menahan raungan yang luar biasa
dahsyatnya! Bahkan beberapa orang yang tingkat kepandaiannya cukup tinggi pun mengeluh
sambil mendekap dada mereka yang terguncang hebat.
Yang lebih mengerikan lagi adalah nasib yang dialami empat orang pimpinan
perampok yang pada saat itu menyerang Panji. Tatkala tubuh mereka melesat di
udara, mendadak keempatnya tersentak balik bagai dilempar sebuah kekuatan
raksasa yang tak tampak.
Desss! Desss! Desss!
"Aaargh...!"
Empat pimpinan perampok itu meraung sekuat-kuatnya merasakan tubuh mereka bagai
dicerai-beraikan binatang buas. Seketika darah membanjir di sekitar tempat
pertarungan. Tak dapat disangkal lagi, keempat pimpinan perampok tewas seketika
dengan tubuh hampir tidak berbentuk lagi!
Pertarungan kejam itu makin menggemparkan kawanan perampok. Puluhan perampok
termasuk ketuanya, bergegas melompat mundur dengan wajah pucat bagai tak dialiri
darah. Nyali mereka hampir melayang menyaksikan kekuatan Pendekar Naga Putih
yang hanya dapat mereka dengar dalam dongeng. Kalau saja tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, mereka mungkin tidak akan percaya.
"Gila! Mustahil! Pemuda iblis!" teriak Setan Kepalan Besi tak mempercayai apa
yang disaksikan-nya. Hatinya benar-benar merasa gentar dan terkejut.
Hati kecil Setan Kepalan Besi sebenarnya gentar bukan kepalang. Namun sebagai
seorang ketua yang disegani dan ditakuti, akhirnya diberanikan juga mengeluarkan
senjata andalannya. Senjata ber-
bentuk rantai baja dengan bola berduri pada ujungnya itu diputar-putar di atas
kepala hingga menimbulkan angin keras yang menderu tajam.
Saat itu Panji berada dalam keadaan yang sangat mengerikan. Wajahnya seperti
bukan wajah manusia lagi. Sepasang matanya menyipit karena seluruh wajahnya
mengembang bagai sebuah balon udara.
Rupanya 'Inti Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang mengendap dalam tubuh pemuda itu
bergejolak kembali. Tapi di saat dirinya benar-benar berada dalam kesulitan
seperti itu, kehadiran tenaga liar justru sangat menguntungkan.
''Heaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, Setan Kepalan Besi melontarkan senjata mautnya ke
arah Panji. Kepala pemuda itu pastilah remuk apabila terhantaman bola berduri
yang dimainkan dengan pengerahan tenaga dalam dahsyat.
Panji yang saat itu hanya mengandalkan nalurinya saja, mengangkat tangan kanan
memapak senjata lawan. Meskipun gerakan tangannya terlihat sembarangan, tapi
sambaran angin yang ditimbulkan sangat menggiriskan!
Planggg! "Aaah...!"
Terdengar suara berdentang nyaring ketika telapak tangan Pendekar Naga Putih
menampar bola berduri yang mengancam kepalanya. Bagaikan ditolakkan sebuah
tenaga yang dahsyat, bola berduri berbalik mengancam majikannya sendiri.
Serangan balik yang tiba-tiba itu membuat Setan Kepalan Besi menjerit tertahan.
Bummm! Debu mengepul tinggi ketika bola baja berduri
jatuh berdebum di tanah. Untunglah Setan Kepalan Besi sempat menghindar. Kalau
tidak, mungkin saat itu tubuhnya sudah hancur tak berbentuk lagi.
Ketua perampok itu mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya.
"Gila! Bagaimana cara melumpuhkan pemuda yang memiliki kepandaian tak terukur
ini" Hampir tidak mungkin rasanya kalau di kolong jagat ini ada tenaga dalam
yang demikian hebat! Entah dari mana pemuda ini berasal?" gumam Setan Kepalan
Besi tak habis mengerti.
"Yeaaat...!"
Bagaikan harimau lapar, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur disertai teriakan
yang menggetarkan seluruh kawasan hutan. Kedua tangannya didorong bergantian ke
arah perampok-perampok yang sudah ciut nyalinya.
Blarrr...! Glarrr...!
"Aaa...!"
Kembali belasan kawanan perampok yang tak sempat menghindar, berpentalan tewas
disikat pukulan Panji. Darah pun semakin membanjir, membasahi arena pertempuran.
Sadar kalau pemuda itu tak mungkin dapat dilawan, Setan Kepalan Besi segera
mengambil langkah seribu. Tanpa malu-malu lagi ketua rampok yang terkenal kejam
itu kabur meninggalkan arena pertempuran. Belum jauh kaki kepala rampok berlari,
tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat ke arahnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba tengkuknya diceng-keram bayangan putih yang tidak
lain adalah Pendekar Naga Putih.
"Ampun...! Ampunkan saya...! Jangan bunuh
saya...!" rintih Setan Kepalan Besi tak ubahnya seperti seorang anak kecil.
Ketua perampok yang tadinya sangat ditakuti itu kini menangis menggerung-gerung
dalam cengkeraman seorang pemuda seusia
anaknya. Panji yang saat itu sudah tak berbeda dengan binatang buas, sama sekali tidak
mempedulikan rengekan Setan Kepalan Besi. Jari-jari tangannya makin lama makin
mencengkeram keras. Dan....
Krekkk! "Hekh...!"
Terdengar bunyi tulang berpatahan disertai suara mengorok mirip ayam disembelih.
Sesaat tubuh Setan Kepalan Besi menggelepar-gelepar! Tak lama kemudian, kepala
rampok itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas!
Melihat ketua mereka telah tewas, kawanan perampok yang hanya tersisa beberapa
puluh orang itu pun langsung lari terbirit-birit tak tentu arah.
Sementara itu Panji masih terus melepaskan pukulan-pukulan maut. Angin
pukulannya yang maha dahsyat menyambar-nyambar ke segala arah. Tidak sedikit
pepohonan dan beberapa rumah di sekitarnya yang ambruk akibat terhantam pukulan
nyasar. Setelah puas mengumbar tenaganya, Pendekar Naga Putih berlari tertatih-tatih
karena lelah yang amat sangat mulai mendera tubuhnya.
Di kala itu cahaya kemerahan mulai tampak di kaki langit sebelah Timur. Pagi
mulai menampak, menggantikan sang malam yang harus menjalankan tugasnya di
belahan bumi lain.
*** 8 "Kakang Panji...!"
"Saudara Panji...!"
Ayuning dan Kuntara berlari menyambut Panji dengan wajah cemas. Keduanya sangat
terkejut melihat Panji melangkah tertatih-tatih menuju Desa Kertasari. Sekujur
tubuh pemuda itu kotor oleh bercak-bercak darah yang hampir mengering.
Serentak kedua muda-muda itu menyambar tubuh Panji yang hampir ambruk. Ayuning
hampir menitik-kan air mata karena mengira darah yang mengotori seluruh tubuh
Panji adalah luka-lukanya sendiri.
Akhirnya gadis berpakaian biru muda itu menghela napas lega ketika tahu kalau
sahabatnya tidak terluka. Ternyata darah yang melekat di baju Pendekar Naga
Putih adalah darah musuh.
Demikian pula Kuntara. Hatinya diliputi keharuan yang amat dalam. Betapa tidak"
Panji adalah sahabat yang belum lama dikenalnya. Dan pemuda itu rela
mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain walaupun bukan sanak ataupun
keluarganya sendiri.
Hampir saja putra Kepala Desa Kertasari tak dapat menahan keharuan hatinya
melihat pemuda itu datang dalam keadaan yang amat mengerikan. Hati Kuntara baru
agak tenang ketika tahu kalau darah yang membasahi seluruh pakaian dan wajah
sahabatnya ternyata bukan berasal dari lukanya.
Tubuh pemuda itu sama sekali tidak terluka. Diam-diam kekaguman di hati Kuntara
semakin menebal melihat keperkasaan sahabatnya.
"Kakang...!" Ayuning berseru kaget ketika menyambar tubuh Panji yang langsung
terkulai pingsan!
"Saudara Panji...!" Kuntara pun berteriak cemas ketika memegang lengan
sahabatnya yang langsung terkulai tak sadarkan diri.
"Hm... benar-benar pemuda luar biasa! Rupanya dia telah berjuang keras
menyelamatkan dirinya dari kawanan perampok. Untunglah dia tidak apa-apa!
Hanya saja tubuhnya terlalu lelah," ujar paman guru Kuntara yang sudah berada di
dekat mereka. Tentu saja saja ucapan orang tua itu membuat hati Kuntara dan
Ayuning menjadi lega.
Mendengar ucapan Ki Sentanu, Kuntara bergegas membawa sahabatnya ke rumah
penduduk terdekat.
Lalu dibaringkannya Panji di atas balai-balai bambu.
Hati-hati sekali Kuntara merebahkan tubuh sahabatnya di atas pembaringan.
Seolah-olah takut kalau penyelamat desanya itu terjaga apabila tidak berhati-
hati meletakkannya.
Tanpa diperintah, Ayuning bergegas menyediakan air hangat untuk Panji. Tak lama
kemudian, gadis cantik itu sudah kembali membawa air hangat dalam baskom dan
sehelai kain putih bersih. Dengan penuh kesabaran, dibersihkannya seluruh darah
kering yang melekat di seluruh tubuh pemuda itu.
"Berapa lama kira-kira dia dalam keadaan pingsan seperti itu, Paman Guru?" tanya
Kuntara kepada Ki Sentanu setelah meninggalkan sahabatnya yang tengah diurus
Ayuning. Saat itu Kuntara dan paman gurunya sedang duduk di atas balai-balai
bambu di luar rumah.
"Entahlah" Mungkin bisa sampai setengah hari atau bahkan lebih. Tapi kau tidak
perlu khawatir,
Kuntara. Pendekar Naga Putih memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan terlatih
baik," sahut paman gurunya dengan wajah berseri.
"Syukurlah. Tadinya aku sangat khawatir ketika tubuhnya terkulai begitu
kusentuh. Rupanya Saudara Panji telah mengalami suatu kejadian yang hebat!
Tapi, aku tidak dapat membayangkan bagaimana dia dapat menyelamatkan diri dari
kepungan kawanan perampok yang amat banyak jumlahnya," desah Kuntara yang
rupanya masih belum mengerti bagaimana sahabatnya dapat meloloskan diri dari
kepungan para perampok yang terkenal ganas dan ber-jumlah banyak.


Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti saja kau tanyakan padanya," ujar paman gurunya tersenyum. "Kuntara, kau
dapat belajar banyak dari pemuda perkasa itu. Cobalah meminta beberapa petunjuk
setelah dia siuman nanti. Jangan kau ragu-ragu! Siapa tahu Pendekar Naga Putih
itu bersedia memberikan petunjuk padamu. Kurasa hal itu akan sangat berguna bagi
kemajuan ilmumu."
"Nanti akan kucoba, Paman Guru. Ah, sebaiknya aku melaporkan hal ini dulu kepada
ayah," ujar Kuntara bergegas bangkit dari duduknya. Setelah berpamitan kepada
paman gurunya, Kuntara segera menuju kediaman Kepala Desa Kertasari.
*** Hari telah mulai gelap ketika Panji mulai membuka matanya. Pemuda itu mengerjap-
ngerjapkan matanya karena cahaya pelita yang terasa menyilaukan.
Samar-samar dilihatnya seraut wajah cantik tengah duduk di sisi pembaringan.
"Adik Kenanga... kaukah itu...?" desah Panji sambil
mengulurkan tangan kanan berniat menyentuh wajah gadis itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Ayuning hanya terpaku mendengar ucapan Pendekar
Naga Putih. Namun, kejadian itu hanya berlangsung sesaat.
Karena sekejap kemudian, wajah gadis itu sudah kembali seperti biasa. Lalu
tangannya diulurkan menyambut tangan pemuda yang hendak mengusap wajahnya.
"Ah, Kakang, rupanya kau masih mengigau" Lihat baik-baik, apakah kau masih
mengenaliku?" tanya Ayuning lembut sambil menggenggam jemari tangan pemuda yang
dikaguminya. "Ayuning!" seru Panji kaget ketika pandangannya sudah semakin jelas. Mendadak
tubuhnya tersentak bagai disengat kalajengking sambil menarik tangannya dari
genggaman Ayuning.
Tentu saja gerakan Panji yang tiba-tiba membuat Ayuning terkejut. Gadis cantik
itu cepat meloncat beberapa langkah hingga tubuhnya hampir merapat pada dinding
bilik kamar. "Huh! Kau membuatu terkejut, Kakang!" ucap gadis itu setelah menyadari kalau
pemuda itu hanya mengalami rasa keterkejutan saja.
"Ah, maafkan... maafkan aku, Ayuning. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Maafkan
aku...," jawab Panji terbata-bata.
"Tidak apa-apa, Kakang. Kau tadi menyebut nama seorang gadis. Kalau tidak salah
namanya... mmm...
Kenanga. Boleh aku tahu siapa dia, Kang"
Kekasihmukah?" tanya gadis itu tanpa malu-malu.
Memang sudah menjadi sifat gadis itulah yang selalu terbuka dalam membicarakan
segala sesuatu tanpa tedeng aling-aling.
"Di mana, Kuntara...?" tanya Panji seraya berusaha bangkit dari pembaringan
karena kesehatannya dirasakan telah pulih seperti semula. Sesaat tangan dan
kakinya digerak-gerakkan seolah-olah ingin melemaskan urat-urat tubuhnya yang
kaku akibat tertidur hampir setengah harian lebih.
"Entahlah" Mungkin dia berada di luar," jawab gadis itu datar. Ayuning yang
menyadari kalau pemuda ini tidak ingin rahasianya diketahui orang lain, tidak
berusaha mendesak. Dan gadis ini pun tahu kalau itu bukan urusannya.
"Mari kita menemuinya, Kang!" ajak Ayuning sambil melangkah keluar mendahului
Panji. "Ah, Saudara Panji, kau sudah sehat?" sapa Kuntara sambil bangkit dari duduknya,
ketika melihat kedatangan sahabatnya yang diiringi Ayuning.
"Terima kasih!" jawab Panji tersenyum.
"Mmm... bagaimana kalau sekarang kita menghadap ayahku" Kau tidak keberatan
bukan?" ajak Kuntara setelah berbasa-basi sejenak.
"Baiklah, ayo!" sahut pemuda berjubah putih sambil memandang Ayuning. "Ayo,
Ayuning." Beberapa saat kemudian, ketiga pendekar muda itu terlihat menuju rumah kepala
desa dengan menunggang kuda.
Dalam waktu singkat, ketiganya tiba di depan kediaman Ki Kalari. Namun belum
lagi memasuki halaman rumah kepala desa, tiba-tiba terdengar suara tawa
menggelegar yang disusul dengan ber-kelebatnya dua sosok tubuh ke arah ketiga
pendekar muda itu.
Panji, Kuntara, dan Ayuning terkejut mendengar tawa yang mengandung tenaga dalam
yang amat kuat. Bahkan Kuntara sampai terjatuh dari punggung
kudanya. Memang hanya pemuda itulah yang tenaga dalamnya paling rendah di antara
mereka bertiga.
Melihat Kuntara terjatuh, cepat Panji melompat dari punggung kudanya. Gerakan
pemuda itu pun diikuti Ayuning yang segera melompat dari punggung tunggangannya.
"Hm! Siapa di antara kalian yang bernama Pendekar Naga Putih?" tanya seorang
laki-laki tinggi yang hampir tidak terlihat daging di tubuhnya. Wajah pucat dan
kaku itu mirip wajah mayat hingga penampilannya amat menyeramkan.
"Tidak usah banyak tanya lagi, Kakek Guru! Aku yakin pemuda itulah yang telah
membunuh ayah!"
ujar seorang laki-laki muda yang datang bersama kakek itu seraya menunjuk ke
arah Panji. Pemuda itu tidak lain adalah Patala. Dan pada waktu Pendekar Naga
Putih tengah menyelamatkan ibu dan adik Kuntara, Patala tidak berada di
perkampungan. Putra kepala perampok itu tengah mengunjungi kakek gurunya untuk
meminta ilmu silat yang lebih tinggi dengan maksud mengalahkan Panji.
"Hm..., Anak Muda! Benarkah kau yang telah membunuh Setan Kepalan Besi?" tanya
kakek itu lagi karena masih belum percaya kalau muridnya bisa dikalahkan oleh
pemuda yang terlihat halus dan sopan itu.
"Entalah, Kakek Tua" Aku tidak tahu?" jawab Panji sungguh-sungguh. Karena memang
sesungguhnya tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya saat dikeroyok oleh
hampir dua ratus anggota perampok.
Hal itu disebabkan kesadarannya sudah tidak bekerja lagi ketika tenaga liar
mulai menguasai pikirannya.
"Keparat kau pemuda usilan! Semua anak buah ayahku mengatakan kalau pembunuh
ayahku adalah pemuda berjubah putih yang dijuluki Pendekar Naga Putih! Hm.... Rupanya kau
seorang pengecut sehingga tidak berani mengakui perbuatanmu!" ejek Patala.
"Hm... dengar Anak Muda! Aku benar-benar tidak mengetahui apakah telah membunuh
Setan Kepalan Besi ataupun setan-setan lainnya! Yang membunuh orang-orang di
perkampungan perampok itu memang akulah orangnya! Aku tidak menyangkal!" sahut
Panji dingin. Meskipun hatinya terbakar ketika dimaki pengecut, namun pemuda itu
masih dapat menahan diri.
"Nah, itu baru namanya pendekar!" sahut Patala masih penuh ejekan. "Ayo, Kakek
Guru, tunggu apa lagi" Bunuh saja pemuda keparat itu!"
"Hm... meskipun aku belum percaya, tapi bersiaplah Anak Muda! Kau tidak akan
rugi bila tewas di tangan Iblis Sembilan Nyawa!" ujar kakek itu parau.
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu terulur menjambret leher baju Panji.
"Ayuning, Kuntara, mundurlah! Kelihatannya kakek ini bukan orang sembarangan.
Biar kucoba me-nahannya," seru Pendekar Naga Putih sambil mengibaskan tangan
sebagai isyarat agar kedua orang sahabatnya menjauhi tempat itu.
Kuntara yang menyadari kalau keluarganya masih berada dalam bahaya, segera
menyingkir. Pemuda itu segera berlari menuju ke dalam bersama Ayuning.
Dan begitu sampai di ruang depan dilihatnya beberapa penjaga tergolek tak
bernyawa. Mata kedua muda-mudi itu meneliti mayat-mayat yang tergeletak di
lantai, tapi yang mereka cari tidak terlihat.
Kuntara yang hatinya semakin bergolak, segera memburu ke ruang tengah. Di
sanalah baru terlihat ibu, adik, dan ayahnya yang terikat pada kursi-kursi.
Seketika hati Kuntara menjadi lega melihat keadaan keluarganya selamat. Dia pun
segera membebaskan ikatan yang membelenggu tubuh keluarganya.
Patala rupanya tidak menyadari kalau Kuntara dan Ayuning masuk ke dalam rumah.
Pemuda berperangai kasar itu terpesona menyaksikan kehebatan Pendekar Naga Putih
menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan kakek gurunya yang berjuluk Iblis
Sembilan Nyawa.
Wuttt! Cengkeraman tangan Iblis Sembilan Nyawa luput ketika Panji menggeser kedua
kakinya ke belakang.
Namun, pemuda berjubah putih itu sempat terkejut melihat tangan kakek itu
berputar dan tahu-tahu kembali mengincar leher bajunya.
Panji kembali menggeser tubuhnya lebih menjauh.
Tapi anehnya, tangan laki-laki kurus itu masih tetap mengejar, hingga membuat
pemuda itu semakin terkejut dan penasaran. Bagaimana tidak" Tangan itu selalu
mengejar ke mana saja dia menghindar.
Akhirnya Panji yang sudah kehabisan akal terpaksa menggerakkan tangan kanannya
untuk menangkis cengkeraman itu.
Plak! "Eh!?"
Terdengar suara benturan keras ketika kedua tangan yang terisi tenaga sakti itu
saling bertemu di udara. Tangan Iblis Sembilan Nyawa langsung membalik disertai
jeritan keheranan.
"Gila! Mustahil tenaga dalam bocah ini demikian tingginya?" gumam kakek renta
itu hampir tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Padahal selama ini setiap
tokoh yang pernah berhadapan dengannya akan jatuh terguling setiap kali beradu
tenaga. Maka wajar lah kalau kakek itu menjadi heran ketika merasakan lengannya
kesemutan akibat benturan tadi.
"He he he... bersiaplah, Anak Muda! Kali ini aku akan lebih bersungguh-sungguh!"
ucap Iblis Sembilan Nyawa memperingatkan Panji. Setelah berkata demikian, tubuh
kakek tua itu langsung mencelat ke atas sambil mengirimkan serangan-serangan
yang ganas dan mematikan.
Werrr! Werrr! Desiran angin tajam berkesiutan mengiringi setiap sambaran kedua tangan kakek
itu. Debu-debu dan batu kerikil beterbangan tersambar angin pukulan Iblis
Sembilan Nyawa yang benar-benar menggiriskan.
Dan.... Desss! Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu telapak tangan guru Setan Kepalan Besi
itu telah mengenai dada Panji. Tapi akibatnya tidak seperti yang diharap-kan.
Bukan tubuh Panji yang terpental, malah tubuh orang tua itulah yang jungkir
balik beberapa tombak ke belakang akibat daya tolak tenaga liar yang mengeram
dalam tubuhnya. Memang, setiap kali terkena pukulan, dengan sendirinya tenaga
liar akan menyebar melindungi tubuhnya.
"Keparat! Ilmu macam apa yang digunakan pemuda setan itu!" teriak Iblis Sembilan
Nyawa memaki-maki. Dari bibirnya meleleh cairan berwarna merah! Rupanya kakek
itu mengalami luka dalam akibat pukulannya yang terpental balik (Untuk
mengetahui dari mana Panji memperoleh tenaga liar yang mengeram dalam tubuhnya,
silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Raja Iblis dari Utara").
Panji pun tak kalah terkejut ketika melihat kakek guru Patala tidak tewas akibat
pukulan yang terpental balik itu. Diam-diam Pendekar Naga Putih mengakui
kehebatan Iblis Sembilan Nyawa.
"Eh!" sepasang mata pemuda berjubah putih seketika membelalak ketika melihat
sinar kemerahan berpendar dari telapak tangan si kakek. Sekilas terbayang
kembali mayat Eyang Tirta Yasa yang pada bagian dadanya terdapat tanda telapak
tangan berwarna merah. Jantungnya berdebar keras ketika teringat pada tanda
telapak tangan berwarna merah pada mayat gurunya.
"Kakek iblis! Kaukah yang telah membunuh Malaikat Petir beberapa bulan yang
lalu?" tanya Panji dengan wajah yang mulai tegang karena kemungkinan besar saat
ini dirinya sedang berhadapan dengan pembunuh Eyang Tirta Yasa.
"Mengapa" Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir?" kakek itu malah balik bertanya.
Diam-diam hatinya merasa terkejut mendengar pertanyaan yang tidak pernah
diduganya. "Jawab pertanyaanku! Kaukah yang membunuh Malaikat Petir!" teriak Panji yang
sudah mulai dikuasai kemarahan. Meskipun wajahnya terlihat pucat, namun sinar
matanya mencorong tajam bagaian hendak menelan tubuh Iblis Sembilan Nyawa.
"Gila! Pemuda ini benar-benar seperti iblis!" desis kakek itu yang tanpa sadar
melangkah mundur melihat tatapan Pendekar Naga Putih. Iblis Sembilan Nyawa sudah
dapat menduga kalau pemuda di hadapannya adalah murid Malaikat Petir. "Ya!
Memang aku pembunuhnya! Aku dan gurumu
merupakan musuh bebuyutan. Sudah puluhan tahun aku menyembunyikan diri dan terus
memperdalam ilmu kesaktian untuk membalas kematian kakak seperguruanku yang tewas di tangan
Malaikat Petir.
Aku belum dapat hidup tenang sebelum tua bangka sombong itu tewas di tanganku.
Dan kini dendamku sudah terlunasi. Ha ha ha...!"
"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak Panji sambil meraung murka. Sesaat kemudian
pemuda itu melayang ke arah kakek kurus itu dengan kedua tangan terkembang.
Begitu mendekati lawan, sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak susul-
menyusul mencecar titik kelemahan lawan.
Wusss! Wuttt! "Aiiih...!"
Iblis Sembilan Nyawa berteriak kaget ketika merasakan sambaran hawa dingin yang
dapat membekukan urat-urat tubuhnya, keluar dari sepasang tangan Panji. Meskipun
berhasil menghindar, namun tak urung tubuh renta itu
sempoyongan bagai terombang-ambing angin topan yang sangat kuat. Karuan saja
Iblis Sembilan Nyawa semakin terkejut dan heran.
"Keparat! Rasakan pembalasanku!" bentak kakek guru Patala sambil menerjang Panji
dengan hantaman telapak tangan yang mengeluarkan cahaya kemerahan.
Bresss! "Aaa...!"
Hantaman telapak tangan Iblis Sembilan Nyawa tepat mengenai dada Panji. Namun
kembali kakek itu terpental balik bagai dilempar kekuatan raksasa yang tak
tampak. Tubuh si kakek terbanting keras di atas rerumputan kering diiringi
semburan darah segar dari mulutnya.
"Huagk....!"
Kembali kakek itu memuntahkan darah segar setelah terbatuk-batuk Rupanya luka
dalam yang dialami kali ini jauh lebih parah, karena tenaga dalam yang tadi
dipergunakannya jauh lebih besar dari pukulan sebelumnya.
Diam-diam Pendekar Naga Putih semakin terkejut melihat daya tahan tubuh yang
dimiliki kakek renta itu.
"Heaaa...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji melompat sambil mendorongkan sepasang
telapak tangannya ke arah Iblis Sembilan Nyawa yang sudah kembali bersiap.
Sambaran angin dingin yang keluar dari telapak tangan pemuda itu menimbulkan
suara mencicit tajam.
Iblis Sembilan Nyawa yang masih merasa
penasaran segera memutar kedua tangannya di depan dada sehingga menciptakan
sebuah dinding pertahanan yang tak tampak. Begitu sepasang tangan Pendekar Naga
Putih hampir mencapainya, tiba-tiba kakek guru Patala membentak keras sambil
mendorongkan sepasang telapak tangannya
menyambut pukulan Panji. Maka....
Blarrr! "Wuaaa...!"
Hebat sekali akibat pertemuan tenaga dalam yang dahsyat itu! Bumi di sekitar
tempat itu bagaikan diguncang gempa! Beberapa buah bangunan
berderak roboh akibat guncangan yang cukup kuat itu!
Sedangkan tubuh kakek yang berjuluk Iblis Sembilan Nyawa meluncur deras bagaikan
daun kering yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu menabrak sebatang pohon
hingga tumbang! Daya
luncur tubuh Iblis Sembilan Nyawa baru terhenti ketika membentur tembok depan
balai desa hingga runtuh!
Sesaat tubuh renta itu bergerak-gerak lemah. Tak lama kemudian tak bergerak-
gerak lagi. Tewas dengan tulang-tulang berpatahan akibat hantaman dan benturan-
benturan keras yang dialaminya.
"Eyang...! Hari ini telah kubalas sakit hatimu!
Semoga arwahmu tenang di alam baka," bisik Panji sambil menengadahkan kepalanya
ke cakrawala. Patala yang melihat kejadian itu hampir tak percaya kalau kakek gurunya tewas di
tangan pemuda yang sangat dibencinya. Begitu terbayang wajah-wajah korban
kekejamannya, pemuda itu pun segera berlari menyelamatkan diri.
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar gerakan yang ditimbulkan Patala.
Saat itu juga, pemuda berjubah putih itu mengejar Patala yang sudah kehilangan
keberaniannya. Kreppp! "Aaakh...!"
Patala tak mampu berbuat apa-apa lagi ketika tangan Pendekar Naga Putih yang
mengandung hawa dingin telah mencengkeram lehernya. Patala berteriak-teriak
ketakutan ketika merasakan jari-jari tangan yang mencengkeramnya semakin
mengeras. "Kakang Panji, tahan...!" tiba-tiba terdengar teriakan merdu yang terlontar dari
dalam rumah Ki Kalari. Suara merdu itu tak lain adalah suara Ayuning yang tahu-
tahu telah melompat keluar untuk mencegah Panji yang sudah siap mematahkan


Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang leher Patala. "Kakang, jangan bunuh dia! Serahkan laki-laki busuk itu
kepada Kuntara. Biar dia dan ayahnya yang akan mengadili pemuda bejat itu."
Ayuning menyentuh lembut lengan Panji, setelah berada di sampingnya. Sesaat
Panji tertegun mendengar ucapan gadis itu. Sinar matanya mulai meredup dan
perlahan-lahan cengkeramannya mulai merenggang hingga akhirnya terlepas sama
sekali. "Terima kasih, Kakang," jawab Ayuning sambil menyerahkan Patala kepada Kuntara
dan Ki Kalari yang berdiri di belakangnya.
Pendekar Naga Putih yang kesadarannya sudah hampir pulih, mulai dapat mengenali
orang-orang di sekelilingnya. Dipandanginya orang-orang itu lekat-lekat seolah-
olah berusaha untuk melekatkan wajah mereka dalam ingatannya.
"Kuntara, Ayuning, dan Ki Kalari, maafkan aku. Aku tidak bisa menemani kalian
lebih lama. Selamat tinggal!" setelah mengucapkan kata-kata itu, tubuh Panji
langsung melesat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk. Dalam sekejap
tubuhnya telah menghilang dari pandangan.
"Kalau begitu, aku pun juga harus cepat-cepat pergi, Kuntara. Selamat
tinggal...!" ujar Ayuning yang segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Selamat jalan, sahabat-sahabatku...!" desah Kuntara menahan keharuan yang
menyesak dadanya.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Rahasia Kunci Wasiat 8 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Naga Beracun 4
^