Panggung Kematian 1
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian Bagian 1
Abu keisel http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://tiraikasih.com
http://dewi.ofees.com
T. Hidayat PANGGUNG KEMATIAN
ACINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
PANGGUNG KEMATIAN
oieh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Panggung Kematian
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Hiaaat...!"
Pekikan itu terdengar demikian keras, hingga terasa menulikan telinga. Sedang
sosok yang mengeluarkan suara, tengah melayang di udara, menuju sosok lain yang
berada di depannya.
Bettt! Bettt! Serangkaian serangan yang dilancarkan sosok di atas itu memang hebat dan
berbahaya sekali.
Sehingga orang yang menjadi sasaran serangan itu kewalahan menghadapinya.
Whuuut...! "Aaah...!"
Sosok tinggi besar berwajah keras berseru kaget.
Hampir saja kepalanya terkena tamparan lawan.
Untunglah tubuhnya masih sempat menghindar, meskipun harus bergulingan ke
samping. Kerumunan orang yang menyaksikan dari bawah panggung bersorak, menjagoi lelaki
tegap berwajah tampan yang saat itu berada di atas angin.
"Hayo! Habisi lawanmu, Kakang Somanggala...!"
teriak seorang lelaki tinggi kurus, memberi semangat kepada sosok tegap berwajah
tampan. "Hei, Ludingga! Jangan mau kalah! Kau harus memenangkan pertarungan ini...!"
Penonton lain memberi semangat kepada lelaki tinggi besar berwajah keras yang
menjadi lawan Somanggala. Memang, kedua orang yang tengah ber-laga di atas
panggung itu mempunyai pendukung masing-masing, dan pendukung Somanggala jauh
lebih banyak. Sementara, pertarungan di atas panggung masih berlangsung sengit Somanggala
nampak bersemangat sekali ingin segera menundukkan lawan. Serangan-serangannya
semakin lama semakin bertambah cepat dan kuat.
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, Somanggala memekik keras,
mengejutkan lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya menceiat ke udara sambil
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Ludingga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keras, nampaknya tidak bisa
diharapkan untuk dapat memenangkan pertarungan. Serangan lawan yang laksana air
bah, tidak dapat dihindari-nya. Sehingga....
Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
Serangan gencar yang dilancarkan Somanggala tidak sia-sia. Dua pukulannya
mendarat telak di tubuh lawan. Akibatnya Ludingga terjengkang ke belakang, dan
hampir terjatuh ke bawah panggung.
Terdengar sorak-sorai penonton ketika tubuh Ludingga terjatuh akibat pukulan
lawan. Pendukung Somanggala berteriak-teriak ribut memberi semangat kepada
jagoannya untuk segera menghabisi lawan.
Tanpa diperingatkan pun, Somanggala akan
menghabisi nyawa lawannya. Karena sudah menjadi peraturan penyelenggara
pertarungan. Siapa saja yang ingin maju bertarung, berarti harus mempertaruhkan
nyawanya! Maka ketika melihat lawannya masih mampu
bangkit, Somanggala tidak mau berpikir lagi. Saat itu juga tubuhnya melesat ke
depan. Sepasang tangannya bergerak berputaran. Kemudian mendorong sepasang
telapak tangannya ke dada lawan, yang saat itu baru bangkit berdiri.
Bresssh...! "Aaa...!"
Terdengar jerit kematian merobek angkasa saat sepasang telapak tangan Somanggala
yang berisi tenaga penuh menghajar telak sasarannya.
Tanpa ampun lagi, tubuh Ludingga terjungkal ke bawah panggung disertai semburan
darah segar yang termuntah dari mulutnya. Tubuh besar itu berkelojotan sesaat
bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian diam tak bergerak. Tewas!
"Hidup Somanggata...!"
Terdengar pekik riuh dari bawah panggung menyambut kemenangan Somanggala. Lelaki
itu hanya tersenyum sambil membungkukkan tubuh ke empat penjuru. Butir-butir
keringat yang berle-lehan di tubuh bagian atasnya yang telanjang tidak
dipedulikan. Dan melangkah turun ke bawah panggung dengan tenang.
"Ini bagianmu, Somanggala...," ucap seorang lelaki pendek gemuk yang wajahnya
berminyak. Tangannya terulur menyerahkan sebuah bungkusan kepada Somanggala, yang
menerimanya dengan
wajah cerah. 'Terima kasih, Kakang Jarangka. Kutunggu kabar berikutnya...," ujar Somanggala
seraya melangkah lebar meninggalkan panggung yang telah banyak menelan korban.
Somanggala menyambar pakaiannya dari tangan seorang pendukungnya. Kemudian
bergegas meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata penuh kekaguman dari
para pendukungnya. Kemenangan lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu,
membuat mereka ikut gembira. Karena hampir semua penonton mempertaruhkan
hartanya dengan memilih salah satu dari kedua petarung. Dan kemenangan
Somanggala, berarti kemenangan bagi orang-orang yang bertaruh atas nama lelaki
itu. Somanggala beranjak pergi tanpa mempedu-likan orang-orang yang masih sibuk
membicarakan pertarungan tadi. Sedang mayat lelaki tinggi besar yang menjadi lawan
Somanggala, telah dibawa kawan-kawannya untuk dimakamkan. Keadaan di sekitar
panggung pun mulai sepi, ketika satu persatu penonton meninggalkan tempat itu.
Tinggallah panggung pertarungan berdiri angker, ditemani hembusan angin yang
sesekali bertiup keras.
*** Di bawah siraman matahari pagi yang menyentuh kulit, sesosok lelaki gemuk
bergerak turun dari kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kemudian melangkah
memasuki halaman sebuah rumah sederhana, dengan diiringi dua lelaki kekar
berwajah kasar. Sekali pandang dapat diketahui, dua lelaki kekar itu adalah
pengawal lelaki gemuk pendek yang tidak lain dari Ki Jarangka.
Seorang lelaki tergesa-gesa menyambut keda-
tangan Ki Jarangka dengan senyum mengembang.
Kelihatan sekali kalau ielaki itu sangat senang dengan kedatangan tamunya.
"Kau tampak sehat. Adi Somanggala...," tegur Ki Jarangka melihat tubuh tegap
yang masih ber-telanjang dada dan basah oleh keringat.
"Hm.... Sebagai seorang juara, aku dituntut harus selalu menjaga kesehatan,
kelincahan, dan keperkasaan. Jadi jangan heran jika sepagi ini Kakang melihat
tubuhku sudah berpeluh. Aku baru saja menyelesaikan latihan...," sahut lelaki
tegap yang tidak lain dari Somanggala. Kemudian, dipersilakan-nya Ki Jarangka
masuk ke dalam rumah.
"Kau pasti sudah bisa menebak maksud kedatanganku, Adi Somanggala," ujar Ki
Jarangka ketika keduanya telah duduk berhadapan. Sementara, kedua orang tukang
pukulnya berdiri di kiri kanannya.
"Hm...."
Somanggala bergumam perlahan dengan mata
berbinar. P"muda itu paling suka pertarungan. Itulah sebabnya, mengapa
Somanggala menyertakan diri sebagai petarung. Keberuntungan masih mengikuti
langkahnya. Terbukti dari kemenangan-kemenangan yang telah belasan kali
diperolehnya. Entah sudah berapa banyak nyawa yang terbang oleh sepasang tangannya. Satu-
satunya yang menjadi saksi bisu bagi kemenangan-kemenangan Somanggala hanya
sebuah panggung yang dijuluki orang Panggung Kematian. Karena bagi siapa yang
kalah, tidak ada pilihan lain kecuali kematian. Para peserta telah menerima
peraturan itu sebelum bertarung. Dan sejauh ini pertarungan yang diseleng-
garakan Ki Jarangka masih berjalan lancar tanpa hambatan.
"Siapa lawanku kali ini, Kakang...?" tanya Somanggala yang memanggil lelaki
pendek gemuk bermata sipit itu kakang.
"Hm.... Kau mungkin sudah pernah mendengar namanya. Orang itu berasal dari
daerah selatan.
Keistimewaannya terletak pada kedua kakinya. Coba kau terka siapa orang itu...?"
jawab Ki Jarangka berteka-teki.
Somanggala kelihatan agak kaget mendengar
penjelasan Ki Jarangka tentang ciri-ciri calon lawannya. Wajah pemuda itu tampak
bersungguh-sungguh ketika memberi jawaban atas pertanyaan Ki Jarangka, yang
selalu mencarikan lawan untuknya.
"Maksud Kakang Jarangka, orang yang akan menjadi lawanku kali ini Garbanaka
alias si Tendangan Angin Topan...?" tegas Somanggala menatap tajam wajah lelaki
gemuk di depannya.
"Tepat sekali, Adi Somanggala!" seru Ki Jarangka dengan senyum lebar.
"Bagaimana..." Apakah kau menerima tantangannya" Bayaran yang akan kau terima
jauh lebih besar dari pertarungan sebelum-nya...."
Ki Jarangka sengaja menyebutkan soal bayaran untuk menarik minat Somanggala,
jagoan panggung yang belum terkalahkan.
"Bukan soal bayaran yang membuatku berpikir, Kakang. Tapi.... Apakah Kakang
tidak pernah mendengar siapa Garbanaka, dan bagaimana perangai-nya" Itu yang
menjadi pikiranku...," sahut Somanggala yang kali ini tidak bersemangat
menanggapi rencana pertarungan. Padahal biasanya kabar dari Ki Jarangka selalu
disambut gembira.
"Maksudmu, Adi...?" sergah Ki Jarangka meminta ketegasan Somanggala. Seolah-olah
tidak tahu maksud ucapan jagoan panggung itu.
"Kakang.... Garbanaka adalah seorang berhati licik dan berangasan. Dia tidak
akan segan-segan berbuat curang untuk memperoleh kemenangan. Itu yang membuatku
belum bisa memutuskan untuk
menghadapinya," jelas Somanggala yang rupanya pernah mendengar sepak terjang dan
sifat calon lawannya.
Ki Jarangka tidak segera menanggapi ucapan
Somanggala. Lelaki pendek gemuk yang kelihatan licik dan selalu mendapatkan
keuntungan besar dalam setiap penampilan Somanggala itu, terlihat mengangguk-
angguk perlahan. Meskipun demikian terlihat kerutan pada keningnya. Pertanda
tidak menyetujui penilaian Somanggala tentang Garbanaka.
"Dengan kata lain kau takut menghadapi Garbanaka, dan hendak melepaskan sebutan
jagoan panggung...?" tanya Ki Jarangka memancing. Sepasang matanya yang memang
sudah sipit, tampak semakin mengecil menatap wajah Somanggala.
Somanggala agak kaget mendengar ucapan Ki
Jarangka. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pemuda itu. Namun bayangan
kemarahan itu sirna, sebelum sempat tertangkap Ki Jarangka. Rupanya Somanggala
segera menyadari orang yang duduk di depannya itu tidak pantas menjadi tumpuan
ke-marahannya. Karena segala yang didapatnya selama ini bersumber dari Ki
Jarangka. Akhirnya Somanggala hanya bisa menghela napas panjang tanda kegundahan
hatinya. "Bukan Garbanaka yang kupikirkan, Kang. Tapi orang di belakangnyalah yang
membuatku berpikir dua kali untuk menghadapinya. Ki Gending
Sendapa pasti tidak akan tinggal diam jika murid kesayangannya binasa di
tanganku...."
Dengan sangat terpaksa, Somanggala meng-
ungkapkan perasaan yang mengganjal di hatinya.
"Ha ha ha...!"
Ki Jarangka tertawa mendengar alasan Somanggala. Jelas kalau lelaki itu tidak
sependapat dengan Somanggala.
"Mengapa Kakang menertawakan aku.,.?" tegur Somanggala dengan kening berkerut
"Bagaimana aku tidak geli, Somanggala. Bukankah kau tahu peraturan pertarungan"
Sebelum pertarungan berlangsung, kita sudah sepakat tidak ada dendam, meski apa
pun yang terjadi di atas panggung. Sekarang aku bertanya padamu. Pernah-kah
selama ini ada pihak lawan-lawanmu terdahulu yang menuntut balas" Padahal kau
telah banyak menewaskan orang, bukan" Coba kau jawab...?"
ujar Ki Jarangka menjelaskan alasannya menertawakan kekhawatiran Somanggala.
"Sampai saat ini memang belum ada yang men-dendam kepadaku. Tapi... Siapa yang
akan mampu menahan bila Ki Gending Sendapa mengamuk,
seandainya Garbanaka tewas di tanganku?" bantah Somanggala lagi, masih belum
bisa menerima penjelasan Ki Jarangka.
"Hm.... Sepertinya kau demikian yakin bisa mengalahkan lawanmu, Adi Somanggala,"
kata Ki Jarangka dengan nada yang sedikit menghina.
"Sehebat apa pun ilmu Tendangan Angin Topan'
milik Garbanaka, aku masih bisa menanggulanginya. Meski harus berjuang keras,
aku yakin bisa menundukkannya...," jawab Somanggala sedikit menyombong karena
merasa tersinggung dengan ucapan Ki Jarangka, yang menganggap dirinya tidak
mampu menghadapi Garbanaka yang berjuluk
Tendangan Angin Topan.
"Sekarang begini saja. Kau bersedia memenuhi tantangan Garbanaka atau tidak" Aku
minta jawa-banmu sekarang juga! Kalau tidak, aku akan menyerahkan gelar juaramu
kepada Garbanaka, dan mencarikan lawan untuknya...!" ujar Ki Jarangka dengan
nada tinggi. Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk itu bangkit dari kursinya dengan
wajah tidak sedap.
"Baiklah! Aku terima tantangannya...," jawab Somanggala lantang.
Keputusan itu diambil bukran karena tidak rela melepaskan gelar yang
disandangnya. Tapi karena tidak ingin dianggap seorang pengecut. Somanggala
sadar siapa Ki Jarangka. Lelaki gemuk itu pasti akan menyebarluaskan berita
penolakannya bertarung dengan Garbanaka. Kalau sampai berita itu tersebar luas,
celakalah dirinya. Dia pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang
banyak. Somanggala lebih memilih mati daripada hidup terhina!
"Bagus! Persiapkan dirimu baik-baik. Satu ming-gu dari sekarang, pertarungan
akan diselenggarakan di tempat biasa.... Sadarlah, kau telah menjadi milik orang
banyak, hingga harus selalu memenuhi keinginan penggemarmu kalau tidak ingin
hancur dan menjadi bahan ejekan mereka...," tandas Ki Jarangka, segera beranjak
pergi setelah melemparkan sekantung uang ke pangkuan Somanggala.
Sepeninggal Ki Jarangka, Somanggala termenung dengan wajah muram. Pemuda itu
menyesali tin-dakannya yang telanjur menceburkan diri ke dalam perangkap Ki
Jarangka. Orang banyak hanya tahu dirinya seorang jagoan panggung, tapi tidak
tahu kehidupan yang dijalaninya sangat berat. Sebenarnya Somanggala tak ubahnya
seperti sapi perahan bagi Ki Jarangka. Meskipun tidak dapat dibantah, pekerjaan
yang dijalaninya mendatangkan hasil cukup banyak bagi dirinya dan kedua
orangtuanya, yang semula hidup miskin sebagai petani peng-garap.
Sekarang ayahnya tidak perlu lagi menggarap sawah orang lain. Uang hasil
kemenangannya di-belikan sawah yang cukup untuk menghidupi kedua orangtuanya.
Bahkan sekarang mereka mempunyai pekerja untuk membantu menggarap sawah.
Di sisi lain, orang-orang di sekitarnya menaruh hormat kepada keluarga
Somanggala. Semua itu bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Tapi dengan kerja keras
mempertaruhkan nyawa di atas Panggung Kematian!
Merasa kepalanya agak pening, Somanggala
melangkah ke luar untuk menyegarkan pikiran.
Pemuda itu sadar pka ditolaknya permintaan Ki Jarangka, bukan hanya dirinya yang
terhina dan celaka. Tapi kedua orangtuanya pun akan menanggung akibatnya.
Somanggala mengenal betul siapa Ki Jarangka sebenarnya.
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan wajah tertunduk, Somanggala melang-
kah melintasi jalan besar yang membelah desa. Dan berbelok masuk perkebunan,
menuju sebuah sungai yang berair jernih. Tapi baru saja pemuda itu akan duduk di
atas sebuah batu, terdengar jeritan minta tolong seorang wanita!
Somanggala berpaling ke kiri dan kanan mencari sumber teriakan tadi. Serentak
tubuh tegapnya melesat ke timur, setelah memastikan dari mana arah jeritan
berasal. Tidak sulit bagi Somanggala untuk menemukan sumber jeritan itu. Tidak berapa
lama kemudian, sampailah di suatu tempat yang agak jauh dari desa. Sepasang mata
pemuda itu berkilat ketika menyaksikan pemandangan di depannya.
"Lepaskan gadis itu, Keparat..!" bentak Somanggala kepada dua lelaki berwajah
bengis yang tengah berusaha menyeret seorang gadis ke semak-semak. Cepat
tubuhnya berkelebat disertai tamparan.
Whuuut...! Salah satu dari dua lelaki bengis itu bergerak ke depan menyambut serangan
Somanggala. Tangan kanannya terangkat memapaki tamparan pemuda bertubuh tegap
itu. Plak! "Aihhh..."!"
Lelaki kekar dengan wajah terdapat bekas luka di pipinya, terpekik kaget.
Tubuhnya hampir tercebur ke sungai akibat menangkis tamparan Somanggala.
Untunglah lelaki kekar itu masih sempat menyelamatkan diri. Meskipun demikian,
wajahnya meringis sambil mengurut lengan kanannya yang terasa ngilu bukan main. Jelas hal
itu menandakan kalau tenaganya kalah jauh dengan pemuda tegap yang baru datang.
"Siapa kau, Bedebah! Mengapa mencampuri urusan kami..."!" bentak lelaki kekar
itu yang sudah meloloskan goloknya, siap untuk menghadapi Somanggala.
"Hm.... Akulah yang seharusnya bertanya! Apa yang kalian kerjakan di wilayah
Desa Jari Mulya ini"
Dan siapa kalian...?" ujar Somanggala tak kalah gertak. Sepasang matanya
berkilat tajam penuh amarah.
"Ooo.... Kau ingin disebut pahlawan, heh"! Kau salah alamat, Kisanak. Nyawamu
akan melayang sia-sia!" geram lelaki kekar itu sambil mengacung-acungkan
goloknya. Somanggala tidak mempedulikan ocehan laki-laki kekar itu. Tubuhnya berkelebat ke
arah laki-laki yang satunya. Somanggala ingin membebaskan wanita muda yang
berada dalam cengkeraman mereka.
Orang itu rupanya sadar akan bahaya yang
mengancam. Terbukti, langsung mendorong pe-
rempuan muda itu, hingga jatuh terguling-guling.
Kemudian senjatanya dicabut untuk memapaki
serangan Somanggala.
Bettt! Bettt...!
Kilatan sinar putih berkelebat ketika laki-laki bercambang bauk itu mengibaskan
goloknya ke kiri dan kanan secara bersilangan. Rupanya laki-laki itu sempat
melihat kawannya terpental karena menangkis tamparan Somanggala. Sehingga begitu
serangan Somanggala tiba, langsung senjatanya dike-lebatkan untuk melindungi
dirinya dari serangan lawan.
Somanggala pun tidak ingin kehilangan lengan.
Serangannya ditarik pulang, sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Kemudian kaki
kirinya bergerak menyodok perut lawan dengan kecepatan mengagumkan.
Bukkk! Tanpa dapat dielakkan lagi, tendangan So-
manggala bersarang telak di tubuh lawan. Lelaki brewok itu terjungkal diiringi
teriakan kesakitan.
Dan Somanggala tidak lagi mempedulikan lawannya.
Pemuda itu bergerak menyelamatkan perempuan muda yang tengah terbelalak
ketakutan dengan air mata berlinang membasahi wajahnya.
* * * 2 "Bangsat!" maki lelaki brewok seraya menyusut lelehan darah pada ujung bibir.
Sepasang matanya merah karena marah Lalu
bersama kawannya, bergerak mengepung Somanggala.
"Kalian yang bangsat, tidak punya belas kasihan pada gadis ini! Karena itu,
kalian harus diberi pelajaran...!" geram Somanggala tidak mau kalah gertak, dan
langsung menyerang.
"Haaat..!"
Diiringi pekik menggetarkan jantung, tubuh
Somanggala melesat ke depan. Sepasang tangannya menyambar ganas dengan pukulan-
pukulan berbahaya.
Bettt! Bettt! Kedua lelaki berwajah bengis bergerak mundur saat merasakan terpaan angin
pukulan Somanggala.
Agaknya mereka sadar kalau serangan lawan sangat berbahaya, dan tidak mungkin
dapat ditahan. "Mampus...!"
Begitu dapat menghindarkan diri dari pukulan Somanggala, lelaki berwajah codet
yang berada di kirinya, melancarkan serangan balasan dengan tebasan golok. Tapi
dengan manis Somanggala memutar tubuh. Kemudian, mengirimkan tendangan kilat ke
dada lawan. Bukkk! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, lelaki itu terbanting jatuh dan memuntahkan darah segar. Golok
yang tergenggam di tangannya, terpental entah ke mana.
Tanpa mempedulikan korban tendangannya,
Somanggala memutar tubuh dengan langkah ke
samping, menghindari tebasan golok dari lawan yang lain.
"Hiaaah...!"
Dibarengi bentakan menggetarkan, pemuda itu bergerak maju setelah melihat
pertahanan lawan kosong.
Desis...! Hantaman sepasang telapak tangan Somanggala singgah tepat di tubuh lawan. Tanpa
ampun lagi, orang itu langsung terjungkal muntah darah!
"Jangan bunuh mereka...!" tiba-tiba terdengar seruan halus, saat Somanggala siap
menamatkan riwayat lelaki brewok dengan sebuah pukulan ke kepala.
Dengan wajah heran. Somanggala berpaling ke arah asal suara. Dilihatnya dara
cantik berusia sekitar sembilan belas tahun, yang nyaris menjadi korban
kebiadaban kedua orang itu tengah berdiri menatapnya.
"Mengapa, Nisanak" Bukankah mereka hampir mencelakakanmu?" tanya Somanggala
penasaran melihat gadis itu memintakan ampun orang yang hendak menodainya.
"Mereka..., sudah tidak berdaya. Barangkali dengan tidak membunuhnya, mereka
akan sadar. Dan tidak akan mengulanginya lagi...," jelas gadis itu dengan ragu-ragu.
"Hm...."
Somanggala bergumam dengan kening berkerut
Meskipun kurang setuju, gerakannya tidak di-lanjutkan. Kemudian, kepalan
tangannya yang siap menghancurkan batok kepala ditarik pulang.
Somanggala memendam debaran jantungnya
ketika menerima senyum manis dara cantik itu.
Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah dua orang lawannya
"Nasib kalian rupanya masih baik. Pergilah sebelum aku berubah pikiran...," usir
Somanggala yang dengan senang hati terpaksa melepaskan mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua lelaki itu bergegas pergi. Beberapa kali mereka
menoleh ke-belakang, seakan-akan tidak percaya ucapan pemuda yang melepasnya.
"Hhh...."
Setelah kedua lelaki itu lenyap dari pandangan, Somanggala menghela napas
panjang. Dan pemuda itu tidak menoleh ketika terdengar suara langkah halus menghampiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang.
Entah apa jadinya aku, jika Kakang tidak cepat datang...," ujar gadis cantik itu
dengan suara bening mendayu-dayu.
Somanggala merasa bagai mendengar nyanyian di telinga, membuat hatinya sejuk.
"Simpanlah ucapan terima kasihmu, Nisanak.
Kalau aku boleh bertanya, mengapa kau berada di tempat sesepi ini seorang diri"
Di mana tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala, heran melihat dara secantik itu
berada di tempat yang jauh dari desa, dan seorang diri.
"Rumahku tidak jauh dari sini. Marilah singgah sebentar, Kakang...," jawab dara
cantik itu singkat.
Tanpa menunggu jawaban Somanggala, gadis itu segera membalikkan tubuh
meninggalkan tepian sungai.
Setelah berpikir sejenak, Somanggala bergegas mengikuti langkah dara cantik yang
telah membuatnya gelisah itu Diam-diam sepasang matanya mencuri pandang sosok
dara itu dari belakang.
Untuk kesekian kalinya, darah pemuda gagah itu berdesir. Sosok di depannya
demikian padat dan menggairahkan, membuatnya harus membuang
pandang matanya ke arah lain. Gadis ini terlalu menarik, bisiknya dalam hati.
Mau tak mau Somanggala harus mengakui kelebihan-kelebihan gadis di depannya.
Dan Somanggala merasa waktu demikian singkat, ketika dara cantik itu menunjuk
sebuah gubuk sederhana yang letaknya agak terpencil.
"Itukah tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala tak bisa menahan
keingintahuannya.
"Yaaah, di gubuk itulah aku tinggal. Kedua orang tuaku telah meninggal. Kini aku
seorang diri...," sahut gadis cantik itu sambil menundukkan wajahnya yang
kelihatan menyimpan duka.
"Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu sedih...."
Somanggala merasa iba melihat kedukaan
membayang di wajah gadis itu. Ingin rasanya memeluk dan menghiburnya dengan
kata-kata lembut.
Tapi Somanggala tidak berani. Mereka baru saja bertemu, dan nama gadis cantik
itu pun belum dike-tahuinya.
"Silakan, Kakang...," ucap gadis itu, mempersilakan Somanggala masuk.
Untuk beberapa saat pemuda itu berdiri di
ambang pintu, memperhatikan ruangan yang hanya diisi sebuah balai-balai bambu.
Itu pun kelihatan sudah tua dan reot Somanggala duduk di balai-balai menanti
gadis cantik yang telah masuk ke dalam.
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu muncul kembali membawa dua buah gelas
bambu di tangan kanannya. Dan menyerahkannya kepada Somanggala.
"Hanya air teh dingin, Kakang. Aku takut kalau menghangatkan Kakang akan
menunggu lama...,"
ujar gadis cantik itu dengan tatapan minta maaf.
"Tidak apa, ini sudah cukup," sahut Somanggala menyambut gelas bambu.
Dada pemuda itu kembali berdebar ketika tanpa sengaja jemari tangan mereka
bersentuhan. "Mmm.... Namaku Somanggala. Dan, biasa dipanggil Soma...," lanjutnya
memperkenalkan diri.
"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri.
Namaku Seruni," ujar gadis cantik itu setelah sadar kalau mereka belum
berkenalan. "Seruni...," desah Somanggala mengulang nama itu, seolah ingin melekatkannya
dalam hati. "Sebuah nama yang sangat indah dan serasi dengan pemilik-nya...."
"Ahhh...."
Seruni mendesah dengan wajah tertunduk malu.
Gadis itu merasa jengah dengan pujian Somanggala.
"Ahhh..., hari sudah sore. Aku harus segera pulang, Seruni Lain kali aku akan
singgah ke sini Tentu saja kalau kau tidak keberatan...," ujar Somanggala seraya
melepaskan pandang ke luar jendela disertai desahan penuh sesal, karena
sebenarnya ingin berdekatan lebih lama dengan gadis cantik itu.
"Tentu saja aku tidak keberatan, Kakang. Jangan-jangan Kakang sendiri yang
enggan datang kemari. Karena rumahku hanya gubuk tua yang reot..," kilah Seruni
tersenyum manis, membuat Somanggala kembali harus membuang muka, tak tahan
melihat senyum gadis cantik itu.
"Hhh... Kalau saja aku tidak mengingat tata kesopanan, mungkin aku akan bermalam
di sini, Seruni...," kata Somanggala terus-terang, seraya menatap wajah Seruni
dengan sinar mata aneh.
Seruni hanya tersipu menundukkan wajah. Sebagai seorang gadis yang cukup dewasa,
dapat ditangkap arti tatapan mata Somanggala.
"Seruni..."
Gadis cantik itu tersentak kaget ketika tahu-tahu Somanggala telah berdiri di
depannya, dan meng-genggam jemari tangannya. Wajahnya semakin merah karena
jengah. Meskipun demikian, genggaman tangan Somanggala tidak berusaha
dilepaskannya. Sehingga pemuda itu semakin berani menyentuh wajah Seruni.
"Apabila urusanku telah selesai, aku akan kembali untuk membawamu tinggal di
rumahku...," ujar Somanggala dengan suara agak parau terbawa
perasaan. Seruni masih tidak bergerak ketika Somanggala melepaskan genggaman tangannya dan
beranjak pergi. Gadis itu baru berani mengangkat wajah, saat bayangan pemuda
tegap itu sudah jauh. Sekilas terlihat senyum aneh di bibir gadis cantik itu.
*** Dua sosok tubuh bergerak memasuki sebuah
kedai makan yang banyak didatangi pengunjung.
Keduanya langsung mengambil tempat kosong.
Meskipun letak meja itu agak ke sudut, namun cukup leluasa untuk memperhatikan
sekeliling ruangan kedai. Mereka duduk diam menanti hidangan yang telah dipesan.
"Desa apakah ini. Paman" Nampaknya, penduduknya cukup padat...," tanya pemuda
tampan yang tubuhnya terbungkus jubah putih, pada pelayan kedai yang datang
membawa pesanan mereka.
"Wah...! Kalian rupanya pendatang dari jauh, ya"
Desa ini bernama Jati Mulya. Penduduknya tidak terlalu padat Jika dalam beberapa
hari ini kelihatan sangat ramai, karena akan ada pertarungan di atas Panggung
Kematian. Peristiwa inilah yang membuat Desa Jati Mulya ramai, dan banyak
didatangi orang dari luar desa. Peristiwa ini juga membuat orang-orang yang
membuka usaha seperti kami, bisa mendapat keuntungan berlipat..," pelayan
berusia separuh baya itu terkekeh ketika mengakhiri pen-jelasannya. Sedangkan
pemuda tampan berjubah putih itu hanya tersenyum.
"Pertarungan di atas Panggung Kematian..." Apa itu. Paman" Kedengarannya aneh
dan menyeram-kan...," tanya pemuda tampan itu lagi.
"Panggung Kematian itu sebenarnya hanya sebutan untuk tempat pertarungan mati-
matian. Setiap kali ada pertarungan, korban pasti jatuh. Itulah sebabnya, arena
adu ilmu kesaktian itu disebut Panggung Kematian," jelas pelayan kedai dengan
wajah berseri. Karena merasa bangga bisa mem-beritahukan peristiwa menarik itu
kepada pengunjung kedainya.
"Maksud Paman, orang-orang yang bertarung baru dinyatakan menang apabila dapat
menewaskan lawan...?" tanya pemuda tampan itu menegasi.
Sedang dara jelita di sebelahnya hanya mende-ngarkan tanpa terlihat keinginan
untuk menimpali pembicaraan itu.
"Begitulah peraturan yang ditetapkan Ki Jarangka, yang menjadi penyelenggara
pertarungan,"
jawab pelayan kedai.
"Lalu.... Apa yang dicari para petarung itu"
Apakah mereka mendapatkan uang sebagai imbalannya...?" pemuda tampan itu kembali
melanjutkan pertanyaannya dengan penuh keingintahuan.
"Benar. Petarung yang memenangkan perkelahian, akan mendapat imbalan uang yang
cukup besar. Itu pun sudah menjadi ketetapan pihak penyelenggara. Karena orang-
orang yang menyaksikan pertarungan dikenakan biaya beberapa keping uang.
Nah, dari hasil pungutan itulah, sang Juara mendapatkan bayarannya...," jelas
pelayan kedai yang rupanya penggemar pertarungan Panggung Kematian.
Pemuda tampan berjubah putih merasa cukup
puas dengan keterangan yang diperolehnya. Kepalanya mengangguk sopan saat
pelayan kedai minta diri untuk melayani pengunjung lain yang berda-tangan.
"Kelihatannya kau sangat tertarik dengan pertarungan Panggung Kematian,
Kakang...?" tegur dara jelita berpakaian hijau di sebelah pemuda tampan itu,
sesaat setelah pelayan kedai meninggalkan mereka.
"Kedengarannya cukup menarik. Kalau kau tidak keberatan, kita bermalam di desa
ini. Dengan demikian, kita bisa menyaksikan peristiwa itu esok hari...," sahut
pemuda tampan itu.
"Untuk apa menyaksikan pertarungan itu, Kakang. Mereka hanya orang-orang kasar
yang memiliki sedikit kepandaian. Kemudian memanfaatkannya untuk mencari uang
dan ketenaran, agar dita-kuti dan dihormati orang...," bantah dara jelita itu.
Agaknya usul pemuda tampan berjubah putih itu kurang disetujuinya.
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan berprasangka buruk dulu, Kenanga.
Siapa tahu mereka bukan orang-orang kasar seperti yang kau sangka. Walaupun
benar petarung-petarung itu melakukannya untuk uang dan
ketenaran, tapi yang jelas pertarungan itu berbeda dengan yang kita ketahui
selama ini. Bisanya para petarung mencari kemenangan dan imbalan. Entah itu
berupa julukan, keperkasaan, atau suatu jaba-tan. Tapi mereka hanya sebatas
memperoleh kemenangan, tanpa harus membunuh lawan. Sedangkan pertarungan
Panggung Kematian harus membunuh lawan, baru kemudian dinyatakan menang. Nah,
bukankah ini sangat menarik untuk diketahui latar belakangnya...?" jelas pemuda
tampan berjubah putih itu yang dapat dipastikan bernama Panji.
Sebab, siapa lagi yang bersama Kenanga kalau bukan Panji, yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Terserah Kakang sajalah...," ujar Kenanga menyerah. "Menurutku, mereka orang-
orang kasar yang tidak menghargai nyawa manusia. Hal seperti itu tidak perlu
diselidiki, tapi harus diberantas!
Sebab, bisa saja kawan atau kerabat pihak yang kalah dan terbunuh akan menuntut
balas di Panggung Kematian. Jadi lebih banyak mendatangkan akibat buruk,
daripada kebaikan atau keuntungan...," bantah Kenanga.
"Kita lihat saja besok. Apakah mereka orang-orang kasar yang hanya mengandalkan
sedikit kepandaian, atau orang-orang berkepandaian tinggi yang gila bertarung.
Sebab, tidak sedikit tokoh-tokoh seperti itu dalam dunia persilatan...," jelas
Panji yang rupanya tetap ingin menyaksikan pertarungan di atas Panggung
Kematian. Kenanga tidak membantah lagi. Gadis itu jadi penasaran ingin melihat kepandaian
para petarung. Tanpa banyak cakap lagi, perhatiannya dialihkan pada hidangan di atas meja.
Kemudian, menyan-tapnya perlahan.
"Kita harus segera mencari penginapan. Aku khawatir tidak mendapatkannya bila
terlambat me-mesan. Melihat banyaknya orang yang datang ke desa ini, bukan tidak
mungkin penginapan penuh,"
kata Panji saat mereka menyusuri jalan utama Desa Jari Mulya.
Karena kedai makan tadi tidak menyediakan
kamar untuk menginap, maka mereka harus mencari di tempat lain.
Kekhawatiran Panji terbukti. Semua penginapan yang memang tidak banyak di Desa
Jari Mulya, telah penuh. Sehingga, mereka tidak mendapat tempat untuk melewatkan
malam. "Apa yang harus kita perbuat, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa putus asa
setelah gagal mencari tempat menginap, walaupun mereka telah mengelilingi desa.
"Kita datangi rumah penduduk. Siapa tahu di antara mereka ada yang bersedia
menerima kita untuk bermalam," usul Panji yang rupanya tidak kehilangan akal
mendapatkan tempat bermalam.
Kenanga menurut saja ketika kekasihnya me-
langkah menuju rumah terdekat. Rupanya nasib mereka masih cukup baik. Penghuni
rumah sederhana itu mengizinkan mereka menginap. Meskipun hanya dua balai-balai
bambu yang sudah reot, tapi mereka menerima dengan gembira.
"Hanya ini yang bisa Paman berikan untuk Tuan Muda berdua. Maklumlah, kami orang
miskin...,"
sesal orang tua itu, meminta maaf tidak bisa menyediakan tempat yang lebih baik
bagi tamunya. "Tidak mengapa, Paman. Ini sudah lebih dari cukup. Diizinkan untuk menginap
saja, sudah baik bagi kami...," sahut Panji tersenyum kepada lelaki tua berusia
setengah baya itu.
Setelah mempersilakan kedua tamunya untuk
beristirahat, lelaki setengah baya itu pun bergegas menuju kamarnya. Karena
Panji dan Kenanga berada di ruang depan.
"Kelihatannya pemilik rumah ini benar-benar miskin, Kakang...," bisik Kenanga.
Saat itu mereka telah membaringkan tubuh di balai-balai masing-masing, yang
letaknya tidak ber-jauhan.
"Hm..., kita jauh lebih miskin daripada orang tua itu, Kenanga. Karena kita
tidak mempunyai tempat tinggal. Sedangkan orang tua itu masih punya, meskipun
hanya sebuah gubuk tua...," sahut Panji, membuat Kenanga mencibirkan bibir,
bersungut-sungut.
Panji tersenyum melihat kekasihnya memalingkan wajah ke bilik tidak mau
memandangnya lagi.
"Kau ingin aku membangun rumah untuk kita berdua tinggal...?" tanya Panji,
sekadar ingin meng-goda kekasihnya.
"Tidak tahu ah! Aku mau tidur...," sahut Kenanga, yang kemudian tidak berkata-
kata lagi. Panji tahu Kenanga tidak mungkin bisa tidur dengan cepat. Tapi pemuda itu tidak
menggang-gunya lagi. Matanya kemudian dipejamkan dengan bibir masih mengulas
senyum. * * * 3 Pagi ini di sebuah lapangan rumput yang le-
taknya cakup jauh dari Desa Jati Mulya, tampak orang berkerumun mengelilingi
sebuah panggung yang cukup luas. Tapi itu tidaklah mengherankan.
Karena pada pagi itu akan berlangsung pertarungan antara Somanggala melawan
Garbanaka. Somanggala yang telah berkali-kali memenangkan pertarungan di atas Panggung
Kematian, kini harus berhadapan dengan seorang tokoh dari selatan yang berjuluk
Tendangan Angin Topan. Selain terkenal dengan kehebatan ilmu tendangannya,
Garbanaka juga seorang yang licik dan selalu mem-banggakan kepandaiannya. Tidak
jarang Garbanaka bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan kesaktiannya.
Sedang Somanggala yang dijuluki Jagoan Panggung, adalah seorang pemuda sederhana
yang se-nantiasa selalu menjunjung tinggi kegagahan. Jika harus membunuh lawan-
lawannya di atas panggung, itu karena terikat peraturan, dan demi ke-langsungan
hidup keluarga. Sayang, Somanggala terlambat menyadari keterlibatannya. Sudah
telanjur menceburkan diri, tidak ada istilah mundur kecuali sudah bosan hidup.
Saat orang-orang yang berkerumun di bawah
panggung telah semakin padat, muncullah seorang lelaki tinggi besar berwajah
brewok. Langkahnya demikian mantap. Lelaki itu menaiki panggung dengan dada
membusung. Sepasang matanya bergerak ke kiri dan kanan disertai senyum mengejek,
menandakan kesombongan hati.
"Hidup Garbanaka...!"
Terdengar sorak-sorai dan teriakan di sana-sini, menyambut kemunculan lelaki
kekar yang tidak lain Garbanaka atau lebih dikenal berjuluk Tendangan Angin
Topan. Dan. orang-orang yang berteriak itu adalah pendukung Garbanaka. Beberapa
di antara mereka bertaruh untuk kemenangan Tendangan
Angin Topan. "Hidup Tendangan Angin Topan...!"
Beberapa kelompok yang berada di kanan
panggung, ikut bersorak menyambut Garbanaka.
Membuat lelaki kekar berwajah brewok itu semakin congkak saja. Tangan kanannya
melambai ke arah para pendukungnya.
Tidak berapa lama kemudian, sosok yang di-
tunggu-tunggu muncul dengan segala kesederha-na-annya. Sosok tegap berwajah
tampan itu tak lain dari Somanggala. Beberapa pendukung pemuda itu tampak
mengerutkan alis ketika melihat wajah Somanggala pucat. Tentu saja mereka heran.
Sebab tidak biasanya Somanggala sepucat itu dalam menghadapi lawan-lawannya.
Kenyataan itu menimbulkan bermacam pertanyaan di hati para pendukungnya.
"Aneh..." Mengapa jagoan kita kelihatan gelisah dan pucat" Apakah dia gentar
menghadapi Garbanaka...?" desis seorang lelaki tinggi kurus yang mengenakan
pakaian cukup mewah.
Melihat penampilannya, agaknya orang itu bertaruh cukup besar untuk kemenangan
Somanggala. "Hm.... Mustahil Somanggala gentar menghadapi tokoh dari selatan itu. Bukankah
dia sering bertarung melawan orang-orang yang kepandaiannya hampir setingkat
dengan Garbanaka" Mungkin
Somanggala sedang sakit..," sahut lelaki gemuk berwajah kelimis, yang rupanya
juga pendukung Somanggala.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak lepas dari wajah Somanggala.
Nampak kekhawatiran membayang jelas di wajahnya. Bukan khawatir jika Somanggala
mengalami cidera atau kalah. Tapi khawatir jika harta yang dipertaruhkannya
untuk kemenangan pemuda itu hilang.
"Ha ha ha...!"
Garbanaka tergelak dengan sikap yang sangat jumawa. Lelaki itu menertawakan
Somanggala yang kelihatan pucat dan tidak bersemangat. Bahkan di kening pemuda
tegap berwajah tampan itu terlihat bintik-bintik keringat. Entah apa yang
dirasakan Jagoan Panggung itu.
Somanggala seperti tak peduli dengan tawa mengejek calon lawannya. Pemuda itu
terus melangkah ke kanan panggung. Dan berdiri tegak setelah membungkukkan tubuh
ke empat penjuru untuk
memberi penghormatan.
Saat kedua petarung sudah siap di sudut masing-masing, muncul seorang lelaki
tinggi kurus, melangkah ke tengah panggung dengan senyum lebar.
"Saudara-saudara sekalian. Sebentar lagi kita menyaksikan sebuah pertarungan
yang sangat mendebarkan. Di kanan saya Somanggala, si Jagoan Panggung. Sedang
lawannya kali ini seorang tokoh dari selatan yaitu Garbanaka, alias Tendangan
Angin Topan," ujar lelaki tinggi kurus memperkenalkan kedua petarung kepada
penonton yang ber-jubel.
Ketika penonton berteriak-teriak agar pertarungan segera dilaksanakan, lelaki
tinggi kurus segera memerintahkan kepada Somanggala dan Garbanaka maju ke tengah
panggung. "Kalian pasti sudah tahu peraturan pertarungan iri, bukan..,?" tanya lelaki
tinggi kurus seraya menoleh kepada Somanggala dan Garbanaka berganti-ganti.
Kedua petarung menganggukkan kepala dengan
gerakan pasti. Kemudian mundur beberapa tindak, ketika lelaki tinggi kurus itu
memerintahkan untuk bersiap.
"Hmhhh...!"
Garbanaka menggeram sambil memasang kuda-
kuda kokoh dan kuat. Sepasang matanya men-
corong tajam dan tangannya terbuka, siap melancarkan serangan.
Somanggala kelihatan sepera orang kurang bersemangat. Meskipun butir-butir
keringat di keningnya semakin banyak, namun pemuda itu tidak
mempedulikannya. Melihat lawannya bersiap, Somanggala menarik mundur kaki
kanannya sambil merendahkan tubuh. Dan menggeser kaki kiri ke samping, dengan
kedua tangan menekuk ke kanan.
"Kakang, lelaki tegap yang bernama Somanggala itu rupanya tidak siap bertarung.
Lihat saja wajahnya yang pucat dan berkeringat..."
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang menyaksikan pertarungan di kanan
panggung, berbisik kepada pemuda tampan berjubah putih di sebelahnya. Tampak
jelas kalau dara jelita itu mence-maskan keadaan Somanggala yang tidak siap
bertarung. "Benar. Aku pun agak mengkhawatirkannya.
Tapi..., kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pertarungan ini kuhentikan,
penonton akan marah. Jadi kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Aku belum
tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda yang bernama Somanggala itu. Jarak
antara panggung dengan kita cukup jauh," sahut pemuda tampan berjubah putih,
yang tak lain dari Panji.
Memang jarak antara Panji dan Kenanga dengan Panggung Kematian, terpisah sekitar
tiga tombak lebih.
"Mungkin Somanggala gentar menghadapi lawannya, Kakang...?" tanya Kenanga lagi,
yang rupanya oelum bisa menghilangkan keheranan di hatinya.
"Entahlah, Kenanga. Tapi menurutku bukan itu persoalannya. Sebagai petarung yang
sudah beberapa kali mengalahkan lawan-lawannya, Somanggala tidak lagi mengenal
kata takut. Mungkin hanya kurang sehat," jawab Panji.
"Jika benar Somanggala tidak siap bertarung karena kesehatannya terganggu, apa
tidak sebaik-nya pertarungan itu ditunda dulu, Kakang...?" ujar Kenanga lagi,
tidak setuju jika pertarungan tetap berlangsung. Padahal salah seorang petarung
tidak siap bertarung.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Jika dugaanmu benar kalau Somanggala kurang
sehat, aku akan berusaha menghentikan pertarungan. Sebaiknya ki-ta lihat saja
dulu...," sahut Panji akhirnya.
Kenanga tampaknya puas dengan jawaban ke-
kasihnya. Terbukti pandangannya sudah beralih ke atas panggung, dan
memperhatikan kedua petarung yang saling bergerak mendekati.
"Haaat...!"
Garbanaka rupanya ingin menyelesaikan per-
tarungan secepatnya. Serangan-serangannya mengandung tenaga dan kecepatan yang
menggetarkan. Agaknya lelaki itu ingin melumpuhkan lawannya hanya dengan satu
serangan. Bettt! Wuttt...!
Kaki dan tangan Garbanaka bergerak cepat menimbulkan desiran angin tajam,
mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan. Somanggala kelihatan tidak berani
menyambut serangan lawan secara langsung. Terbukti pemuda tegap berwajah tampan
itu menggeser langkahnya ke samping. Dan ketika serangan lawan luput dari
sasaran, kaki kanannya digeser ke depan seraya mengirimkan sodokan jari-jari
tangan yang mengancam ulu hati dan iga Garbanaka.
Wuttt...! Dua buah serangan balasan yang dilancarkan
Somanggala memang cukup berbahaya, dan memiliki kecepatan yang mengagumkan. Tapi
Garbanaka tidak berusaha menghindari serangan itu. Tubuhnya malah bergerak ke
depan sambil menyilangkan kedua lengannya menangkis serangan lawan. Dan....
Dukkk! Plakkk! Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan yang dilindungi tenaga sakti
saling berbenturan keras. Dan para pendukung Somanggala serentak terpekik kaget.
Betapa tidak" Tampak jagoan mereka terjajar mundur, hampir terpelanting ke bawah
panggung. Untunglah pemuda itu dapat menyelamatkan diri dengan bergulingan ke
samping, dan bangkit dengan kuda-kuda goyah.
"Ha ha ha...! Mana kekuatanmu, Somanggala"
Ayo tunjukkan padaku...!"
Garbanaka tertawa terbahak-bahak melihat tubuh lawan hampir terpelanting ke
bawah panggung. Lelaki kekar bercambang bauk itu semakin sombong saja saat
melihat wajah Somanggala bertambah pucat. Garbanaka merasa kemenangan
telah berada di depan mata.
Somanggala rupanya tidak bergairah menanggapi ejekan lawan. Keadaan tubuhnya
kelihatan semakin lemah. Dan tatapan matanya layu. Kenyataan itu membuat para
pendukungnya khawatir. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak memberi
semangat kepada pemuda tegap berwajah tampan itu.
"Somanggala! Jangan kecewakan kami! Tunjukkan kehebatanmu, lumpuhkan lawanmu
seperti kau menjatuhkan lawan-lawanmu terdahulu...!" teriak seorang pendukung
Somanggala. Orang itu agaknya mempertaruhkan banyak
harta demi kemenangan Somanggala. Tidak heran jika ia lebih bersemangat memberi
dorongan kepada jagoannya, yang kali ini sangat loyo dan tidak bisa diharapkan
"Hm..,. Jelas sudah, Somanggala memang tidak siap bertarung. Kau lihat sendiri,
Kakang. Rasanya mustahil jika hanya sekali berbenturan saja, pemuda itu sudah
tidak berdaya. Kita harus segera bertindak, Kakang...."
Kenanga yang melihat keadaan Somanggala
semakin parah, tidak bisa menahan diri lagi. Kalau saja Panji tidak cepat
mencegah, mungkin tubuh dara Jelita itu sudah melayang ke atas panggung.
"Sabarlah, Kenanga. Kita tidak bisa turun-tangan begitu saja. Tunggulah sebentar
lagi. Percayalah, aku tidak akan berdiam diri melihat ketidakadilan terjadi di
depan mata...," ujar Panji ketika dara jelita itu memandangnya dengan tatapan
penuh teguran. Untuk kesekian kalinya, Kenanga kembali me-
nuruti kata-kata kekasihnya. Meskipun rasa penasaran masih membayang di
wajahnya, dara jelita itu tetap berdiri di tempatnya menunggu kejadian yang
terjadi di atas Panggung Kematian.
"Yeaaa...!"
Garbanaka yang semakin bernafsu menghabisi
lawan, menerjang maju sambil mengeluarkan bentakan nyaring menggelegar. Tubuh
lelaki kekar itu melesat ke depan dengan sebuah pukulan keras yang menerbitkan
deruan angin tajam.
Serangan pertama masih dapat dielakkan So-
manggala dengan susah-payah. Tapi pada serangan-serangan berikutnya, tubuh
pemuda tegap itu terpaksa harus menerima pukulan dan tendangan lawan.
Bukkk! Desss...!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Somanggala terpe-
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lanting. Darah segar termuntah seiring dengan terbantingnya tubuh tegap itu ke
lantai panggung.
"Uhhh...!"
Meskipun keadaan tubuhnya semakin bertambah lemah, Somanggala berusaha bangkit
dan melanjutkan pertarungan.
"Yeaaah...!"
Baru saja Somanggala bergerak bangkit, Gar-
banaka sudah meluncur dengan sebuah tendangan berputar!
Desss...! "Aaakh...!"
Tendangan yang keras itu, membuat tubuh So-
manggala tersentak dan kembali terbanting di lantai panggung dengan suara
berdebum. Darah segar kembali termuntah dari mulutnya. Kali ini Somanggala tidak
mampu bangkit berdiri. Pemuda itu merasa dadanya sesak akibat hantaman telapak
kaki lawan. 'Tamatlah riwayatmu, Somanggala...!" desis Garbanaka dengan sorot mata tajam
menggambarkan nafsu membunuh yang berkobar dalam dadanya.
Usai berkata demikian, tubuh lelaki brewok itu kembali meluncur.
"Hiaaah...!"
Agaknya Garbanaka ingin meremukkan kepala
lawan dengan sekali pijak. Lelaki kekar berwajah brewok itu melesat ke udara.
Kemudian meluncur turun dengan sepasang kaki siap dijejakkan ke batok kepala
Somanggala, yang hanya bisa menunggu datangnya maut dengan mata terpejam.
Namun malaikat maut enggan mengambil nyawa
pemuda tegap itu. Ketika sepasang telapak kaki Garbanaka meluncur turun dengan
deras, sesosok bayangan putih berkelebat ke atas panggung, menyambut serangan
maut Garbanaka.
Bresssh...! "Aihhh..."!"
Garbanaka memekik kaget ketika melihat sosok bayangan putih menyambut
serangannya. Benturan keras tak terelakkan lagi. Akibatnya tubuh Garbanaka yang
tinggi besar dan kekar, terlempar balik bagai membentur benda kenyal.
Tapi lelaki kekar itu masih mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan dua
kali putaran di udara yang dibarengi bentakan nyaring, Garbanaka meluncur turun
di lantai panggung dengan kedua kaki lebih dahulu. Kenyataan itu menunjuk-kan
kalau ilmu meringankan tubuh Garbanaka
tidak bisa dipandang ringan.
"Bagus...!"
Pujian itu datang dari sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa
Somanggala dari kematian. Sosok sedang dengan sorot mata tajam itu berdiri tegak
di dekat Somanggala yang masih belum menyadari nyawanya telah diselamatkan.
Somanggala yang merasa heran serangan lawan belum menghantamnya, perlahan
membuka mata. Sepasang matanya yang semula redup terbeliak heran melihat sosok berjubah putih
berdiri membe-lakangi. Sama sekali tidak disangka kalau sosok berjubah putih itu
telah menyelamatkannya dari kematian. Selama ini tidak ada yang berani
mencampuri pertarungan di atas Panggung Kematian.
Itulah sebabnya, Somanggala merasa heran saat menyadari apa yang dilakukan sosok
berjubah putih itu.
Perbuatan sosok berjubah putih itu tidak hanya membangkitkan kemarahan
Garbanaka, yang merasa hampir mencapai kemenangan. Para penonton yang berkerumun
di sekitar panggung pun berteriak-teriak mencela perbuatannya. Demikian juga Ki
Jarangka yang menjadi ketua penyelenggara pertarungan maut itu. Kalau ada pihak
pendukung Somanggala yang diam-diam bersyukur atas kejadian itu, hanya beberapa
gelintir saja. Suasana jadi ribut dengan teriakan-teriakan dan makian yang
ditujukan kepada sosok berjubah putih itu.
"Hei, Bocah Goblok! Apa kau tidak tahu peraturan pertandingan"! Ayo, lekas
turun! Biarkan Tendangan Angin Topan menyelesaikan pertanding-an...!" seru
seorang penonton pendukung Garbanaka.
Orang itu marah karena perbuatan sosok ber-
jubah putih yang tidak lain Panji, membuat kemenangan yang hampir dapat
diraihnya terbang.
'Turun kau, Pemuda Tolol! Tidak seharusnya kau berada di atas panggung dan
mencampuri pertarungan...!" teriak penonton lain, geram.
Sementara, Ki Jarangka bergerak bangkit dari kursi. Namun langkahnya tertunda
saat melihat Garbanaka maju menghampiri pemuda tampan
berjubah putih itu dengan sorot mata berapi. Rupanya kemarahan lelaki kekar itu
jauh lebih besar daripada penonton maupun penyelenggara pertarungan.
Langkah Garbanaka berhenti beberapa tindak di hadapan sosok berjubah putih itu.
Sepasang matanya yang memerah saga, mencorong tajam, bagai hendak menelan bulat-
bulat sosok di depannya.
Sedangkan Panji tetap tenang, seperti tidak mempedulikan kemarahan si Tendangan
Angin Topan itu.
"Bocah! Kau pasti bukan penduduk daerah sini.
Dan belum tahu peraturan pertandingan yang
berlaku di atas panggung, bukan" Nah, ketahuilah.
Pertarungan di atas panggung baru berakhir dan seorang petarung menang jika
telah berhasil menewaskan lawan. Sekarang menyingkirlah dari sini, sebelum aku
melemparmu ke bawah!" ujar Garbanaka, berbaik hati di hadapan orang banyak.
Lelaki brewok itu tidak ingin langsung menghajar Pendekar Naga Putih, yang
mungkin mempunyai kawan di antara para penonton. Agaknya, Garbanaka telah
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang merugikan jika langsung menghajar
Panji. " "Garbanaka," ujar Panji tenang, membuat Garbanaka mengerutkan kening. "Aku sudah
tahu peraturan yang berlaku di atas panggung mi. Menurutku pertarungan seperti
ini tidak pantas dilakukan orang-orang gagah yang menjunjung tinggi keadilan.
Aku percaya kau termasuk orang yang kumaksud. Alasan itu yang membuatku terpaksa
mencampuri ketidakadilan ini. Apalagi aku melihat Somanggala tidak siap
bertarung. Kau lihat sendiri, bukan" Apa kau tidak malu memperoleh kemenangan
dari lawan yang tubuhnya tidak sehat"
Somanggala sedang sakit, Garbanaka...," jelas Panji panjang lebar.
Suaranya yang lantang dan jelas terdengar,
membuat pendukung Somanggala menganggukkan
kepala, membenarkan ucapan pemuda itu. Apalagi beberapa pendukung Somanggala
yang sempat merasa heran melihat jagoan mereka naik ke atas panggung dengan wajah pucat dan
tidak bersemangat.
"Pemuda itu benar! Somanggala memang sedang sakit, jadi wajar saja jika tidak
bisa bertarung dengan baik. Pertarungan ini tidak sah...!" teriak seorang
pendukung Somanggala, membenarkan
ucapan Panji. Teriakan itu tidak sepenuhnya ingin membela Somanggala secara tulus, tapi karena
takut uangnya lenyap. Itu bisa terjadi jika Somanggala tewas di tangan
Garbanaka. Tapi setidaknya, teriakan itu mengundang simpati orang pada
Somanggala. Panji mengetahui hal itu. Pemuda itu tersenyum tenang. Apa pun alasan pendukung
Somanggala yang membenarkan ucapannya, tidak menjadi soal.
Yang penting bisa menghentikan pertarungan dan menyelamatkan Somanggala dari
kematian. "Bohong! Aku tidak percaya kalau Somanggala kurang sehat! la hanya berpura-pura
membenarkan ucapanmu, takut uangnya lenyap karena kalah bertaruh! Pertandingan
ini sah, dan akan kulanjut-kan!" bentak Garbanaka dengan suara menggelegar.
Lelaki kekar berjuluk Tendangan Angin Topan itu tidak mau menerima alasan yang
dikemukakan Panji maupun pendukung Somanggala. Bahkan
kelihatan sudah siap menghabisi nyawa Somanggala yang. terduduk di belakang
Panji. Agaknya Garbanaka tidak peduli jika pemuda tampan di depannya menghalangi
niatnya. "Tahan amarahmu, Garbanaka! Kalau niatmu
kau teruskan, aku terpaksa bertindak sedikit kasar...!" cegah Panji seraya
mengulurkan tangan, menghalangi niat Garbanaka.
"Keparat! Rupanya kau minta dilenyapkan lebih dulu, Bocah Tolol!" geram
Garbanaka tidak bisa dicegah lagi kehendaknya.
Sadar Garbanaka harus dicegah dengan jalan
kekerasan. Panji bergerak mundur beberapa langkah. Maksudnya hendak membawa
Somanggala ke tepi panggung dihentikan, ketika matanya menangkap sesosok
bayangan hijau bergerak ke atas panggung dan meluncur turun di dekatnya.
"Biar aku yang mengurus Somanggala, Kakang.
Kau berikan sedikit pelajaran kepada lelaki brewok itu, agar terbuka matanya dan
tidak lagi memandang dirinya orang yang paling pandai..," ujar sosok ramping
terbungkus pakaian hijau, yang tidak lain Kenanga. Tanpa menunggu jawaban Panji,
Kenanga langsung menyambar tubuh Somanggala, siap
dibawa turun ke bawah panggung.
Tapi penonton yang mendukung Garbanaka
sudah telanjur marah. Melihat seorang gadis siap melarikan Somanggala, belasan
orang yang berada di bawah panggung melempari dengan batu-batu.
Tentu saja Kenanga yang mendapat serangan dari segala arah itu menjadi jengkel.
Dengan sebelah tangan, dikibaskannya semua serangan. Dan kibasan lengan dara
jelita itu dilakukan dengan tenaga sakti yang amat kuat.
"Hiaaah,..!"
Kibasan lengannya yang mempunyai kekuatan
menggetarkan, berakibat fatal bagi penonton yang berada di sekitar panggung.
Belasan orang yang berada di barisan depan berteriak kesakitan, ketika batu-batu
itu berbalik menghantam tubuh dan kepala mereka. Kejadian itu membuat suasana
yang sudah ribut semakin bertambah kacau. Apalagi di antara korban lemparan batu
ada yang jatuh pingsan. Tentu saja kerumunan penonton itu menjadi kacau-balau.
Penonton yang.di antaranya tidak sedikit memiliki kepandaian, marah melihat
kejadian itu. Mereka segera berloncatan ke atas panggung. Jelas, mereka ingin
mengeroyok Panji dan Kenanga yang dianggap telah membuat kerusuhan di tempat
itu. * * * 4 Melihat belasan penonton yang memiliki ke-
pandaian silat berlompatan ke atas panggung, Panji segera menggeser tubuhnya
mendekati Kenanga.
"Cepat bawa pergi Somanggala dari tempat ini.
Biar aku akan menahan mereka, agar tidak menge-jarmu...," bisik Panji tanpa
mengalihkan pandangan dari calon lawan-lawannya.
"Mengapa kita harus melarikan diri seperti seorang pengecut, Kakang" Aku sanggup
merobohkan mereka...," bantah Kenanga marah melihat orang-orang yang menurutnya
pantas dihajar.
"Kenanga, keadaan Somanggala belum kita ketahui pasti. Bisa saja kita merobohkan
mereka tanpa mengerahkan banyak tenaga. Tapi bagaimana, seandainya Somanggala
keburu tewas saat kita bertarung" Lagi pula kita berada di pihak yang salah,
selama persoalan ini belum jelas. Kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya.
Aku khawatir penonton lain yang jumlahnya ratusan mulai terpengaruh dan beramai-
ramai mengeroyok kita.
Daripada orang-orang tidak bersalah menjadi korban, lebih baik kita pergi...,"
tegas Panji, berbisik.
Kali ini ditatapnya Kenanga, seolah minta penger-tian dara jelita itu agar mau
bersabar dan melihat kenyataan.
"Kalau begitu keinginanmu, baiklah, Kakang...,"
sahut Kenanga mengalah dan bersiap meninggalkan Panggung Kematian.
"Cegah gadis itu...! Jangan biarkan membawa Somanggala...!"
Garbanaka yang tidak ingin kehilangan lawannya, segera berseru memerintahkan
orang-orang di bawah panggung agar mencegah kepergian Kenanga.
Penonton yang kebanyakan pendukung Garba-
naka, segera mencabut senjata masing-masing untuk menghalangi kepergian Kenanga.
Maka, saat dara jelita itu menjejakkan kaki di bawah panggung, puluhan orang
telah mengepungnya dengan senjata terhunus.
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manis..." Apa masih kurang puas dengan satu lelaki,
hingga ingin membawa Somanggala yang tegap dan gagah itu...?" ejek seorang
lelaki bermuka hitam dengan perawakan tinggi tegap.
Lelaki itu menghadang Kenanga sambil menye-
ringai menampakkan giginya yang kehitaman.
Kenanga yang menangkap maksud kotor di balik ucapan laki-laki bermuka hitam,
menggeram dengan wajah merah. Sepasang matanya berkilat meman-carkan api
kemarahan yang berkobar di dalam dadanya. Tanpa banyak bicara, tubuhnya melesat
ke depan seraya melontarkan sebuah pukulan yang mengarah lambung lelaki itu.
Whuttt..! Kepalan tangan Kenanga yang halus dan mungil meluncur cepat disertai sambaran
angin menderu. Lelaki bermuka hitam yang semula memandang
rendah gadis itu terkejut. Cepat dia melompat mundur, menjauhi serangan lawan.
"Keroyok gadis binal itu...!" teriak lelaki bermuka hitam, memerintah temannya
untuk menyerbu Kenanga. "Heaaa...!"
"Haaat...!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan lelaki dengan senjata terhunus langsung
bergerak maju mengeroyok Kenanga. Sehingga Kenanga yang semula hendak mengejar
lawan, terpaksa menarik pulang serangannya, dan langsung dikibaskan ke kiri
sambil membentak nyaring.
"Hiaaah...!"
Whusss! "Ahhh..."!"
Delapan lelaki yang menerjang Kenanga dari
sebelah kanan, terkejut bukan main. Tubuh mereka tertolak balik, akibat deruan
angin keras yang berasal dari kibasan lengan dara jelita itu.
"Haiiit..!"
Gerakan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Kibasan lengannya langsung
disusul dengan lesatan tubuh ke arah lawan yang masih belum memperbaiki
kedudukan. Dan melancarkan totokan kilat yang menimbulkan suara angin mencicit
tajam. Terdengar pekik kesakitan susul-menyusul ketika jari-jari tangan mungil namun
mengandung kekuatan hebat itu mengenai sasaran. Delapan orang pengeroyok
terjungkal pingsan. Kejadian yang tidak disangka-sangka para pengeroyoknya itu,
membuat mereda gentar, dan bergerak mundur tanpa diperintah.
"Goblok! Mengapa kalian takut dengan gadis liar itu"! Hayo serbu..!" bentak
lelaki bermuka hitam, jengkel melihat yang lainnya bergerak mundur.
Begitu ucapannya selesai, lelaki bermuka hitam itu langsung melesat ke depan
sambil memutar pedang di tangannya.
"Heaaah...!"
Bettt! Whuuut...!
Kilatan sinar putih terpancar saat pedang di tangan lelaki bermuka hitam datang
mengancam Kenanga. Melihat dari sambaran angin pedang yang terdengar cukup kuat,
Kenanga sadar lelaki bermuka hitam itu berbeda dengan lawan-lawannya yang lain.
Kenanga tidak mau bertindak ceroboh.
Apalagi harus bertanggung jawab atas keselamatan Somanggala yang berada di bahu
kirinya. Maka saat serangan pedang lawan datang, dara jelita itu menggeser
tubuhnya dengan lompatan pendek ke samping. Kemudian melontarkan tendangan kilat
yang meluncur deras ke lambung lawan.
Zebbb! Gerakan lelaki bermuka hitam itu cukup lincah juga. Meskipun tendangan Kenanga
datang tak ter-duga, orang itu masih sempat melempar tubuhnya ke samping dan
bergulingan menjauh. Begitu me-lenting bangkit, dia langsung membangun serangan
kembali. Orang-orang yang tadi merasa gentar dengan
sepak teriang dara jelita berpakaian serba hijau itu, mulai bergerak maju.
Sebentar saja, Kenanga kembali harus menghadapi para pengeroyoknya.
*** Di atas panggung Panji pun harus menghadapi keroyokan banyak lawan. Sebenarnya,
pemuda itu dapat merobohkan lawan dengan pukulan-pukulannya yang cepat dan kuat.
Tapi karena tidak ingin melukai lawan, pemuda itu agak sibuk juga menghadapi
keroyokan Garbanaka dan kawan-kawannya.
"Haiiit..!"
Garbanaka yang sangat dendam kepada Panji,
selalu mengirim serangan mautnya bertubi-tubi.
Agaknya lelaki kekar berwajah brewok itu ingin menewaskan lawannya. Serangan-
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangannya selalu ditujukan ke jalan darah kematian di tubuh pemuda itu.
Bettt...! Lagi-lagi sebuah tusukan jari-jari tangan Garbanaka datang mengarah tenggorokan
Panji. Sadar kalau lelaki brewok itu bukan orang baik-baik, Pendekar Naga Putih
menjadi jengkel juga. Saat tusukan jari-jari tangan yang berisi tenaga dalam itu
meluncur menuju sasaran, Panji memiringkan tubuh sedikit, kemudian membalas
dengan sebuah tamparan ke dada lawan.
Whuttt...! Tindakan Garbanaka rupanya cukup cepat.
Buktinya dapat mengelakkan dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih dengan
menarik mundur kaki depannya. Bahkan tubuh lelaki kekar itu langsung berputar
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke bawah pusar lawan.
"Keji...!" desis Panji, mulai marah melihat sasaran-sasaran serangan Garbanaka.
Cepat Pendekar Naga Putih mengulur tangannya dengan kuda-kuda serong, melindungi
sasaran tendangan Garbanaka. Begitu serangan lawan datang, Panji menekan
lengannya ke bawah.
Dukkk! "Akh..."!"
Tanpa dapat dihindari lagi, lengan dan kaki mereka berbenturan keras. Garbanaka
terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh terguling-guling.
Ketika lelaki kekar itu bergerak bangkit, kelihatan langkahnya terpincang-
pincang. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa sakit yang dirasakan.
"Haaat...!"
"Heaaa!"
"Hm...."
Panji yang mulai merasa jengkel dengan lawan-lawannya segera menyilangkan kedua
lengannya di depan dada, saat para pengeroyoknya datang menyerbu. Kemudian....
"Heaaah...!"
Dibarengi bentakan menggelegar, tubuh Pendekar Naga Putih melesat di antara
sambaran senjata lawan. Sambil mengelak, sepasang tangannya bergantian
melancarkan totokan yang sukar ditangkap mata. Akibatnya....
"Akh..."!"
"Ahhh..."!"
Satu persatu belasan orang pengeroyoknya
bertumbangan, akibat totokan yang melumpuhkan tubuh mereka. Bahkan beberapa di
antaranya langsung tak sadarkan diri. Karena totokan pemuda itu demikian kuat
menghantam tubuh mereka.
"Gila..."!"
Garbanaka yang menyaksikan kejadian itu, terbelalak heran. Meskipun disadarinya
kalau pemuda tampan itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, tapi
tidak diduganya sampai demikian hebat Hingga mampu merobohkan lawan-
lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin Garbanaka tidak akan
mempercayainya. Apalagi usia Panji masih muda.
Sukar untuk dipercaya!
Tidak berapa lama kemudian, belasan pengeroyok itu tidak tersisa lagi. Semuanya
bergeletakan dalam keadaan lumpuh atau pingsan. Tinggal Garbanaka seorang yang
kini telah melolos senjata, dan meng-genggam erat-erat.
"Hm.... Aku tidak punya permusuhan pribadi denganmu, Garbanaka. Sebaiknya
menyingkirlah, biarkan aku pergi...," ancam Panji.
Rupanya Pendekar Naga Putih masih enggan
melukai Garbanaka. Panji menganggap lelaki kekar berwajah brewok itu tidak
mempunyai kesalahan terhadapnya. Jika benar Garbanaka seorang yang kejam dan
licik. Panji tetap tidak mempunyai alasan kuat untuk menghukumnya. Itu sebabnya,
mengapa Panji masih mencoba mencari jalan damai.
"Semula di antara kita memang tidak ada permusuhan, Kisanak. Tapi setelah kau
memperma-lukanku di hadapan orang banyak, dan menghancurkan pertarungan yang
hampir kumenangkan, maka di antara kita telah tertanam bibit-bibit permusuhan.
Jadi jangan harap kau pergi dari tempat ini dengan nyawa melekat di badan...!"
sahut Garbanaka semakin bertambah benci pada pemuda di depannya.
Maka tanpa banyak bicara lagi, lelaki kekar itu segera melompat disertai kibasan
pedangnya. "Hm..!"
Panji bergumam melihat serangan pedang yang siap merencah tubuhnya. Kaki
kanannya digeser ke samping sambil merendahkan kuda-kuda, ketika tebasan pedang
Garbanaka meluncur hendak menebas lehernya.
Whuttt..! Begitu pedang lawan lewat satu jengkal di atas kepala. Panji mengulurkan lengan
menyambar pergelangan lawan. Kecepatan geraknya sukar ditangkap mata, membuat
Garbanaka tak sempat mengelak. Dan...
Kreppp!Whuttt! "Desss...!"
"Aaargh...!"
Kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, hingga Garbanaka tidak tahu apa
yang telah menimpa dirinya. Tahu-tahu saja tubuhnya terlempar ke udara dengan
dada sesak. Setelah menangkap pergelangan tangan lawan, Panji langsung mengirimkan hantaman
telapak tangannya ke dada Garbanaka. Tanpa mempedulikan keadaan lelaki kekar
itu, Pendekar Naga Putih segera melompat turun dari atas panggung. Kemudian,
mengajak Kenanga segera pergi dari tempat itu.
Kenanga yang melihat Panji tiba-tiba saja berada di dekatnya, langsung bergerak
meninggalkan tempat itu. Para pengeroyoknya yang tinggal beberapa belas orang,
bergerak menyingkir dengan wajah gentar. Setelah lelaki bermuka hitam roboh di
tangan Kenanga, tidak ada lagi yang berani mencegah kepergian mereka membawa
Somanggala. Para pengeroyok itu hanya bisa memandang dengan hati penasaran dan
gentar. Pariji dan Kenanga yang tidak lagi dihalangi, terus bergerak meninggalkan tempat
itu. Arah yang mereka tuju bukan Desa Jati Mulya. Melainkan ke selatan desa yang
merupakan daerah perbukitan.
Garbanaka yang menyaksikan kepergian kedua
orang itu, hanya bisa menatap penuh dendam sambil mendekap dada. Jari-jari
tangan kanannya di-kepalkan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara berkerotokan
yang cukup keras.
'Tunggulah pembalasanku, Bocah Keparat! Ja-
ngan sangka tidak ada orang yang bisa mengalah-kanmu...," geram Garbanaka yang
berjanji dalam hati akan meminta bantuan gurunya.
Tubuh lelaki kekar itu meluncur turun dari atas panggung, setelah bayangan Panji
dan Kenanga lenyap dari pandangan. Dia hanya mendengus kasar kepada Ki Jarangka
yang sejak tadi bersembunyi.
"Bayaranmu belum bisa kuberikan, Garbanaka.
Somanggala belum sepenuhnya kau kalahkan...,"
ujar Ki Jarangka yang rupanya mengerti arti tatapan Garbanaka, hingga dia
langsung mengatakannya.
"Hm...."
Garbanaka menggeram gusar. Tapi tidak berani berbuat apa-apa. Karena di kiri dan
kanan Ki Jarangka ada empat orang tukang pukul lelaki gemuk itu. Sadar kalau
keempat tukang pukul itu bukan orang sembarangan, Garbanaka pergi meninggalkan
tempat itu setelah berkata dengan nada mengancam.
"Tunggulah kedatanganku untuk mengambil uang hasil kemenangan yang kuperoleh
tadi...!" Ki Jarangka hanya tersenyum sinis. Lelaki gemuk itu agaknya tidak merasa gentar
dengan ancaman Garbanaka. Dipandanginya punggung lelaki kekar yang berlalu dari
hadapannya itu. Kemudian, mengajak keempat tukang pukulnya pergi dari tempat
itu, setelah bayangan Garbanaka menjauh.
Panggung Kematian berdiri kokoh dengan segala keangkerannya. Tidak peduli pada
orang-orang yang pergi meninggalkan tempat itu satu persatu. Hingga tempat itu
kembali sunyi, tanpa satu sosok manusia pun terlihat. Hanya hembusan angin yang
bertiup keras dan pancaran matahari, menemani Panggung Kematian yang telah
banyak meminta korban.
* * * 5 Panji dan Kenanga berlari mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, menuju daerah perbukitan.
Untung daerah itu tidak terlalu gersang, cukup banyak pepohonan tumbuh di sana.
Hingga mereka bisa mencari tempat berteduh dan terhindar dari sengatan matahari
siang yang terasa menggigit kulit.
"Kita beristirahat di sini saja, Kenanga. Aku ingin memeriksa keadaan
Somanggala. Mudah-mudahan tidak mengalami luka dalam yang terlalu berat..,"
ujar Panji memperiambat larinya, lalu berhenti.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga memper-
lambat dan menghentikan larinya. Kemudian tubuh Somanggala yang sejak tadi
dipondongnya diserahkan kepada kekasihnya. Panji langsung menyambutnya, dan
merebahkan tubuh Somanggala di atas sebuah batu yang cukup besar dengan
permukaan datar, sehingga tidak menyakitkan Somanggala.
"Bagaimana, Kakang" Apa yang terjadi dengannya...?" tanya Kenanga tidak sabar.
Saat itu Panji masih memeriksa tubuh Somanggala. Dan melakukan totokan di
beberapa tempat yang merupakan jalan darah.
Tidak berapa lama kemudian, Panji mengangkat kepala disertai helaan napas berat.
Sehingga Kenanga semakin penasaran ingin segera mendapat jawaban dari
kekasihnya. "Hm.... Ada sejenis racun aneh di dalam tubuhnya. Tidak membunuh seketika, tapi
Mencari Bende Mataram 14 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 15
Abu keisel http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://tiraikasih.com
http://dewi.ofees.com
T. Hidayat PANGGUNG KEMATIAN
ACINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
PANGGUNG KEMATIAN
oieh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Panggung Kematian
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Hiaaat...!"
Pekikan itu terdengar demikian keras, hingga terasa menulikan telinga. Sedang
sosok yang mengeluarkan suara, tengah melayang di udara, menuju sosok lain yang
berada di depannya.
Bettt! Bettt! Serangkaian serangan yang dilancarkan sosok di atas itu memang hebat dan
berbahaya sekali.
Sehingga orang yang menjadi sasaran serangan itu kewalahan menghadapinya.
Whuuut...! "Aaah...!"
Sosok tinggi besar berwajah keras berseru kaget.
Hampir saja kepalanya terkena tamparan lawan.
Untunglah tubuhnya masih sempat menghindar, meskipun harus bergulingan ke
samping. Kerumunan orang yang menyaksikan dari bawah panggung bersorak, menjagoi lelaki
tegap berwajah tampan yang saat itu berada di atas angin.
"Hayo! Habisi lawanmu, Kakang Somanggala...!"
teriak seorang lelaki tinggi kurus, memberi semangat kepada sosok tegap berwajah
tampan. "Hei, Ludingga! Jangan mau kalah! Kau harus memenangkan pertarungan ini...!"
Penonton lain memberi semangat kepada lelaki tinggi besar berwajah keras yang
menjadi lawan Somanggala. Memang, kedua orang yang tengah ber-laga di atas
panggung itu mempunyai pendukung masing-masing, dan pendukung Somanggala jauh
lebih banyak. Sementara, pertarungan di atas panggung masih berlangsung sengit Somanggala
nampak bersemangat sekali ingin segera menundukkan lawan. Serangan-serangannya
semakin lama semakin bertambah cepat dan kuat.
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, Somanggala memekik keras,
mengejutkan lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya menceiat ke udara sambil
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Ludingga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keras, nampaknya tidak bisa
diharapkan untuk dapat memenangkan pertarungan. Serangan lawan yang laksana air
bah, tidak dapat dihindari-nya. Sehingga....
Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
Serangan gencar yang dilancarkan Somanggala tidak sia-sia. Dua pukulannya
mendarat telak di tubuh lawan. Akibatnya Ludingga terjengkang ke belakang, dan
hampir terjatuh ke bawah panggung.
Terdengar sorak-sorai penonton ketika tubuh Ludingga terjatuh akibat pukulan
lawan. Pendukung Somanggala berteriak-teriak ribut memberi semangat kepada
jagoannya untuk segera menghabisi lawan.
Tanpa diperingatkan pun, Somanggala akan
menghabisi nyawa lawannya. Karena sudah menjadi peraturan penyelenggara
pertarungan. Siapa saja yang ingin maju bertarung, berarti harus mempertaruhkan
nyawanya! Maka ketika melihat lawannya masih mampu
bangkit, Somanggala tidak mau berpikir lagi. Saat itu juga tubuhnya melesat ke
depan. Sepasang tangannya bergerak berputaran. Kemudian mendorong sepasang
telapak tangannya ke dada lawan, yang saat itu baru bangkit berdiri.
Bresssh...! "Aaa...!"
Terdengar jerit kematian merobek angkasa saat sepasang telapak tangan Somanggala
yang berisi tenaga penuh menghajar telak sasarannya.
Tanpa ampun lagi, tubuh Ludingga terjungkal ke bawah panggung disertai semburan
darah segar yang termuntah dari mulutnya. Tubuh besar itu berkelojotan sesaat
bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian diam tak bergerak. Tewas!
"Hidup Somanggata...!"
Terdengar pekik riuh dari bawah panggung menyambut kemenangan Somanggala. Lelaki
itu hanya tersenyum sambil membungkukkan tubuh ke empat penjuru. Butir-butir
keringat yang berle-lehan di tubuh bagian atasnya yang telanjang tidak
dipedulikan. Dan melangkah turun ke bawah panggung dengan tenang.
"Ini bagianmu, Somanggala...," ucap seorang lelaki pendek gemuk yang wajahnya
berminyak. Tangannya terulur menyerahkan sebuah bungkusan kepada Somanggala, yang
menerimanya dengan
wajah cerah. 'Terima kasih, Kakang Jarangka. Kutunggu kabar berikutnya...," ujar Somanggala
seraya melangkah lebar meninggalkan panggung yang telah banyak menelan korban.
Somanggala menyambar pakaiannya dari tangan seorang pendukungnya. Kemudian
bergegas meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata penuh kekaguman dari
para pendukungnya. Kemenangan lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu,
membuat mereka ikut gembira. Karena hampir semua penonton mempertaruhkan
hartanya dengan memilih salah satu dari kedua petarung. Dan kemenangan
Somanggala, berarti kemenangan bagi orang-orang yang bertaruh atas nama lelaki
itu. Somanggala beranjak pergi tanpa mempedu-likan orang-orang yang masih sibuk
membicarakan pertarungan tadi. Sedang mayat lelaki tinggi besar yang menjadi lawan
Somanggala, telah dibawa kawan-kawannya untuk dimakamkan. Keadaan di sekitar
panggung pun mulai sepi, ketika satu persatu penonton meninggalkan tempat itu.
Tinggallah panggung pertarungan berdiri angker, ditemani hembusan angin yang
sesekali bertiup keras.
*** Di bawah siraman matahari pagi yang menyentuh kulit, sesosok lelaki gemuk
bergerak turun dari kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kemudian melangkah
memasuki halaman sebuah rumah sederhana, dengan diiringi dua lelaki kekar
berwajah kasar. Sekali pandang dapat diketahui, dua lelaki kekar itu adalah
pengawal lelaki gemuk pendek yang tidak lain dari Ki Jarangka.
Seorang lelaki tergesa-gesa menyambut keda-
tangan Ki Jarangka dengan senyum mengembang.
Kelihatan sekali kalau ielaki itu sangat senang dengan kedatangan tamunya.
"Kau tampak sehat. Adi Somanggala...," tegur Ki Jarangka melihat tubuh tegap
yang masih ber-telanjang dada dan basah oleh keringat.
"Hm.... Sebagai seorang juara, aku dituntut harus selalu menjaga kesehatan,
kelincahan, dan keperkasaan. Jadi jangan heran jika sepagi ini Kakang melihat
tubuhku sudah berpeluh. Aku baru saja menyelesaikan latihan...," sahut lelaki
tegap yang tidak lain dari Somanggala. Kemudian, dipersilakan-nya Ki Jarangka
masuk ke dalam rumah.
"Kau pasti sudah bisa menebak maksud kedatanganku, Adi Somanggala," ujar Ki
Jarangka ketika keduanya telah duduk berhadapan. Sementara, kedua orang tukang
pukulnya berdiri di kiri kanannya.
"Hm...."
Somanggala bergumam perlahan dengan mata
berbinar. P"muda itu paling suka pertarungan. Itulah sebabnya, mengapa
Somanggala menyertakan diri sebagai petarung. Keberuntungan masih mengikuti
langkahnya. Terbukti dari kemenangan-kemenangan yang telah belasan kali
diperolehnya. Entah sudah berapa banyak nyawa yang terbang oleh sepasang tangannya. Satu-
satunya yang menjadi saksi bisu bagi kemenangan-kemenangan Somanggala hanya
sebuah panggung yang dijuluki orang Panggung Kematian. Karena bagi siapa yang
kalah, tidak ada pilihan lain kecuali kematian. Para peserta telah menerima
peraturan itu sebelum bertarung. Dan sejauh ini pertarungan yang diseleng-
garakan Ki Jarangka masih berjalan lancar tanpa hambatan.
"Siapa lawanku kali ini, Kakang...?" tanya Somanggala yang memanggil lelaki
pendek gemuk bermata sipit itu kakang.
"Hm.... Kau mungkin sudah pernah mendengar namanya. Orang itu berasal dari
daerah selatan.
Keistimewaannya terletak pada kedua kakinya. Coba kau terka siapa orang itu...?"
jawab Ki Jarangka berteka-teki.
Somanggala kelihatan agak kaget mendengar
penjelasan Ki Jarangka tentang ciri-ciri calon lawannya. Wajah pemuda itu tampak
bersungguh-sungguh ketika memberi jawaban atas pertanyaan Ki Jarangka, yang
selalu mencarikan lawan untuknya.
"Maksud Kakang Jarangka, orang yang akan menjadi lawanku kali ini Garbanaka
alias si Tendangan Angin Topan...?" tegas Somanggala menatap tajam wajah lelaki
gemuk di depannya.
"Tepat sekali, Adi Somanggala!" seru Ki Jarangka dengan senyum lebar.
"Bagaimana..." Apakah kau menerima tantangannya" Bayaran yang akan kau terima
jauh lebih besar dari pertarungan sebelum-nya...."
Ki Jarangka sengaja menyebutkan soal bayaran untuk menarik minat Somanggala,
jagoan panggung yang belum terkalahkan.
"Bukan soal bayaran yang membuatku berpikir, Kakang. Tapi.... Apakah Kakang
tidak pernah mendengar siapa Garbanaka, dan bagaimana perangai-nya" Itu yang
menjadi pikiranku...," sahut Somanggala yang kali ini tidak bersemangat
menanggapi rencana pertarungan. Padahal biasanya kabar dari Ki Jarangka selalu
disambut gembira.
"Maksudmu, Adi...?" sergah Ki Jarangka meminta ketegasan Somanggala. Seolah-olah
tidak tahu maksud ucapan jagoan panggung itu.
"Kakang.... Garbanaka adalah seorang berhati licik dan berangasan. Dia tidak
akan segan-segan berbuat curang untuk memperoleh kemenangan. Itu yang membuatku
belum bisa memutuskan untuk
menghadapinya," jelas Somanggala yang rupanya pernah mendengar sepak terjang dan
sifat calon lawannya.
Ki Jarangka tidak segera menanggapi ucapan
Somanggala. Lelaki pendek gemuk yang kelihatan licik dan selalu mendapatkan
keuntungan besar dalam setiap penampilan Somanggala itu, terlihat mengangguk-
angguk perlahan. Meskipun demikian terlihat kerutan pada keningnya. Pertanda
tidak menyetujui penilaian Somanggala tentang Garbanaka.
"Dengan kata lain kau takut menghadapi Garbanaka, dan hendak melepaskan sebutan
jagoan panggung...?" tanya Ki Jarangka memancing. Sepasang matanya yang memang
sudah sipit, tampak semakin mengecil menatap wajah Somanggala.
Somanggala agak kaget mendengar ucapan Ki
Jarangka. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pemuda itu. Namun bayangan
kemarahan itu sirna, sebelum sempat tertangkap Ki Jarangka. Rupanya Somanggala
segera menyadari orang yang duduk di depannya itu tidak pantas menjadi tumpuan
ke-marahannya. Karena segala yang didapatnya selama ini bersumber dari Ki
Jarangka. Akhirnya Somanggala hanya bisa menghela napas panjang tanda kegundahan
hatinya. "Bukan Garbanaka yang kupikirkan, Kang. Tapi orang di belakangnyalah yang
membuatku berpikir dua kali untuk menghadapinya. Ki Gending
Sendapa pasti tidak akan tinggal diam jika murid kesayangannya binasa di
tanganku...."
Dengan sangat terpaksa, Somanggala meng-
ungkapkan perasaan yang mengganjal di hatinya.
"Ha ha ha...!"
Ki Jarangka tertawa mendengar alasan Somanggala. Jelas kalau lelaki itu tidak
sependapat dengan Somanggala.
"Mengapa Kakang menertawakan aku.,.?" tegur Somanggala dengan kening berkerut
"Bagaimana aku tidak geli, Somanggala. Bukankah kau tahu peraturan pertarungan"
Sebelum pertarungan berlangsung, kita sudah sepakat tidak ada dendam, meski apa
pun yang terjadi di atas panggung. Sekarang aku bertanya padamu. Pernah-kah
selama ini ada pihak lawan-lawanmu terdahulu yang menuntut balas" Padahal kau
telah banyak menewaskan orang, bukan" Coba kau jawab...?"
ujar Ki Jarangka menjelaskan alasannya menertawakan kekhawatiran Somanggala.
"Sampai saat ini memang belum ada yang men-dendam kepadaku. Tapi... Siapa yang
akan mampu menahan bila Ki Gending Sendapa mengamuk,
seandainya Garbanaka tewas di tanganku?" bantah Somanggala lagi, masih belum
bisa menerima penjelasan Ki Jarangka.
"Hm.... Sepertinya kau demikian yakin bisa mengalahkan lawanmu, Adi Somanggala,"
kata Ki Jarangka dengan nada yang sedikit menghina.
"Sehebat apa pun ilmu Tendangan Angin Topan'
milik Garbanaka, aku masih bisa menanggulanginya. Meski harus berjuang keras,
aku yakin bisa menundukkannya...," jawab Somanggala sedikit menyombong karena
merasa tersinggung dengan ucapan Ki Jarangka, yang menganggap dirinya tidak
mampu menghadapi Garbanaka yang berjuluk
Tendangan Angin Topan.
"Sekarang begini saja. Kau bersedia memenuhi tantangan Garbanaka atau tidak" Aku
minta jawa-banmu sekarang juga! Kalau tidak, aku akan menyerahkan gelar juaramu
kepada Garbanaka, dan mencarikan lawan untuknya...!" ujar Ki Jarangka dengan
nada tinggi. Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk itu bangkit dari kursinya dengan
wajah tidak sedap.
"Baiklah! Aku terima tantangannya...," jawab Somanggala lantang.
Keputusan itu diambil bukran karena tidak rela melepaskan gelar yang
disandangnya. Tapi karena tidak ingin dianggap seorang pengecut. Somanggala
sadar siapa Ki Jarangka. Lelaki gemuk itu pasti akan menyebarluaskan berita
penolakannya bertarung dengan Garbanaka. Kalau sampai berita itu tersebar luas,
celakalah dirinya. Dia pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang
banyak. Somanggala lebih memilih mati daripada hidup terhina!
"Bagus! Persiapkan dirimu baik-baik. Satu ming-gu dari sekarang, pertarungan
akan diselenggarakan di tempat biasa.... Sadarlah, kau telah menjadi milik orang
banyak, hingga harus selalu memenuhi keinginan penggemarmu kalau tidak ingin
hancur dan menjadi bahan ejekan mereka...," tandas Ki Jarangka, segera beranjak
pergi setelah melemparkan sekantung uang ke pangkuan Somanggala.
Sepeninggal Ki Jarangka, Somanggala termenung dengan wajah muram. Pemuda itu
menyesali tin-dakannya yang telanjur menceburkan diri ke dalam perangkap Ki
Jarangka. Orang banyak hanya tahu dirinya seorang jagoan panggung, tapi tidak
tahu kehidupan yang dijalaninya sangat berat. Sebenarnya Somanggala tak ubahnya
seperti sapi perahan bagi Ki Jarangka. Meskipun tidak dapat dibantah, pekerjaan
yang dijalaninya mendatangkan hasil cukup banyak bagi dirinya dan kedua
orangtuanya, yang semula hidup miskin sebagai petani peng-garap.
Sekarang ayahnya tidak perlu lagi menggarap sawah orang lain. Uang hasil
kemenangannya di-belikan sawah yang cukup untuk menghidupi kedua orangtuanya.
Bahkan sekarang mereka mempunyai pekerja untuk membantu menggarap sawah.
Di sisi lain, orang-orang di sekitarnya menaruh hormat kepada keluarga
Somanggala. Semua itu bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Tapi dengan kerja keras
mempertaruhkan nyawa di atas Panggung Kematian!
Merasa kepalanya agak pening, Somanggala
melangkah ke luar untuk menyegarkan pikiran.
Pemuda itu sadar pka ditolaknya permintaan Ki Jarangka, bukan hanya dirinya yang
terhina dan celaka. Tapi kedua orangtuanya pun akan menanggung akibatnya.
Somanggala mengenal betul siapa Ki Jarangka sebenarnya.
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan wajah tertunduk, Somanggala melang-
kah melintasi jalan besar yang membelah desa. Dan berbelok masuk perkebunan,
menuju sebuah sungai yang berair jernih. Tapi baru saja pemuda itu akan duduk di
atas sebuah batu, terdengar jeritan minta tolong seorang wanita!
Somanggala berpaling ke kiri dan kanan mencari sumber teriakan tadi. Serentak
tubuh tegapnya melesat ke timur, setelah memastikan dari mana arah jeritan
berasal. Tidak sulit bagi Somanggala untuk menemukan sumber jeritan itu. Tidak berapa
lama kemudian, sampailah di suatu tempat yang agak jauh dari desa. Sepasang mata
pemuda itu berkilat ketika menyaksikan pemandangan di depannya.
"Lepaskan gadis itu, Keparat..!" bentak Somanggala kepada dua lelaki berwajah
bengis yang tengah berusaha menyeret seorang gadis ke semak-semak. Cepat
tubuhnya berkelebat disertai tamparan.
Whuuut...! Salah satu dari dua lelaki bengis itu bergerak ke depan menyambut serangan
Somanggala. Tangan kanannya terangkat memapaki tamparan pemuda bertubuh tegap
itu. Plak! "Aihhh..."!"
Lelaki kekar dengan wajah terdapat bekas luka di pipinya, terpekik kaget.
Tubuhnya hampir tercebur ke sungai akibat menangkis tamparan Somanggala.
Untunglah lelaki kekar itu masih sempat menyelamatkan diri. Meskipun demikian,
wajahnya meringis sambil mengurut lengan kanannya yang terasa ngilu bukan main. Jelas hal
itu menandakan kalau tenaganya kalah jauh dengan pemuda tegap yang baru datang.
"Siapa kau, Bedebah! Mengapa mencampuri urusan kami..."!" bentak lelaki kekar
itu yang sudah meloloskan goloknya, siap untuk menghadapi Somanggala.
"Hm.... Akulah yang seharusnya bertanya! Apa yang kalian kerjakan di wilayah
Desa Jari Mulya ini"
Dan siapa kalian...?" ujar Somanggala tak kalah gertak. Sepasang matanya
berkilat tajam penuh amarah.
"Ooo.... Kau ingin disebut pahlawan, heh"! Kau salah alamat, Kisanak. Nyawamu
akan melayang sia-sia!" geram lelaki kekar itu sambil mengacung-acungkan
goloknya. Somanggala tidak mempedulikan ocehan laki-laki kekar itu. Tubuhnya berkelebat ke
arah laki-laki yang satunya. Somanggala ingin membebaskan wanita muda yang
berada dalam cengkeraman mereka.
Orang itu rupanya sadar akan bahaya yang
mengancam. Terbukti, langsung mendorong pe-
rempuan muda itu, hingga jatuh terguling-guling.
Kemudian senjatanya dicabut untuk memapaki
serangan Somanggala.
Bettt! Bettt...!
Kilatan sinar putih berkelebat ketika laki-laki bercambang bauk itu mengibaskan
goloknya ke kiri dan kanan secara bersilangan. Rupanya laki-laki itu sempat
melihat kawannya terpental karena menangkis tamparan Somanggala. Sehingga begitu
serangan Somanggala tiba, langsung senjatanya dike-lebatkan untuk melindungi
dirinya dari serangan lawan.
Somanggala pun tidak ingin kehilangan lengan.
Serangannya ditarik pulang, sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Kemudian kaki
kirinya bergerak menyodok perut lawan dengan kecepatan mengagumkan.
Bukkk! Tanpa dapat dielakkan lagi, tendangan So-
manggala bersarang telak di tubuh lawan. Lelaki brewok itu terjungkal diiringi
teriakan kesakitan.
Dan Somanggala tidak lagi mempedulikan lawannya.
Pemuda itu bergerak menyelamatkan perempuan muda yang tengah terbelalak
ketakutan dengan air mata berlinang membasahi wajahnya.
* * * 2 "Bangsat!" maki lelaki brewok seraya menyusut lelehan darah pada ujung bibir.
Sepasang matanya merah karena marah Lalu
bersama kawannya, bergerak mengepung Somanggala.
"Kalian yang bangsat, tidak punya belas kasihan pada gadis ini! Karena itu,
kalian harus diberi pelajaran...!" geram Somanggala tidak mau kalah gertak, dan
langsung menyerang.
"Haaat..!"
Diiringi pekik menggetarkan jantung, tubuh
Somanggala melesat ke depan. Sepasang tangannya menyambar ganas dengan pukulan-
pukulan berbahaya.
Bettt! Bettt! Kedua lelaki berwajah bengis bergerak mundur saat merasakan terpaan angin
pukulan Somanggala.
Agaknya mereka sadar kalau serangan lawan sangat berbahaya, dan tidak mungkin
dapat ditahan. "Mampus...!"
Begitu dapat menghindarkan diri dari pukulan Somanggala, lelaki berwajah codet
yang berada di kirinya, melancarkan serangan balasan dengan tebasan golok. Tapi
dengan manis Somanggala memutar tubuh. Kemudian, mengirimkan tendangan kilat ke
dada lawan. Bukkk! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, lelaki itu terbanting jatuh dan memuntahkan darah segar. Golok
yang tergenggam di tangannya, terpental entah ke mana.
Tanpa mempedulikan korban tendangannya,
Somanggala memutar tubuh dengan langkah ke
samping, menghindari tebasan golok dari lawan yang lain.
"Hiaaah...!"
Dibarengi bentakan menggetarkan, pemuda itu bergerak maju setelah melihat
pertahanan lawan kosong.
Desis...! Hantaman sepasang telapak tangan Somanggala singgah tepat di tubuh lawan. Tanpa
ampun lagi, orang itu langsung terjungkal muntah darah!
"Jangan bunuh mereka...!" tiba-tiba terdengar seruan halus, saat Somanggala siap
menamatkan riwayat lelaki brewok dengan sebuah pukulan ke kepala.
Dengan wajah heran. Somanggala berpaling ke arah asal suara. Dilihatnya dara
cantik berusia sekitar sembilan belas tahun, yang nyaris menjadi korban
kebiadaban kedua orang itu tengah berdiri menatapnya.
"Mengapa, Nisanak" Bukankah mereka hampir mencelakakanmu?" tanya Somanggala
penasaran melihat gadis itu memintakan ampun orang yang hendak menodainya.
"Mereka..., sudah tidak berdaya. Barangkali dengan tidak membunuhnya, mereka
akan sadar. Dan tidak akan mengulanginya lagi...," jelas gadis itu dengan ragu-ragu.
"Hm...."
Somanggala bergumam dengan kening berkerut
Meskipun kurang setuju, gerakannya tidak di-lanjutkan. Kemudian, kepalan
tangannya yang siap menghancurkan batok kepala ditarik pulang.
Somanggala memendam debaran jantungnya
ketika menerima senyum manis dara cantik itu.
Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah dua orang lawannya
"Nasib kalian rupanya masih baik. Pergilah sebelum aku berubah pikiran...," usir
Somanggala yang dengan senang hati terpaksa melepaskan mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua lelaki itu bergegas pergi. Beberapa kali mereka
menoleh ke-belakang, seakan-akan tidak percaya ucapan pemuda yang melepasnya.
"Hhh...."
Setelah kedua lelaki itu lenyap dari pandangan, Somanggala menghela napas
panjang. Dan pemuda itu tidak menoleh ketika terdengar suara langkah halus menghampiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang.
Entah apa jadinya aku, jika Kakang tidak cepat datang...," ujar gadis cantik itu
dengan suara bening mendayu-dayu.
Somanggala merasa bagai mendengar nyanyian di telinga, membuat hatinya sejuk.
"Simpanlah ucapan terima kasihmu, Nisanak.
Kalau aku boleh bertanya, mengapa kau berada di tempat sesepi ini seorang diri"
Di mana tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala, heran melihat dara secantik itu
berada di tempat yang jauh dari desa, dan seorang diri.
"Rumahku tidak jauh dari sini. Marilah singgah sebentar, Kakang...," jawab dara
cantik itu singkat.
Tanpa menunggu jawaban Somanggala, gadis itu segera membalikkan tubuh
meninggalkan tepian sungai.
Setelah berpikir sejenak, Somanggala bergegas mengikuti langkah dara cantik yang
telah membuatnya gelisah itu Diam-diam sepasang matanya mencuri pandang sosok
dara itu dari belakang.
Untuk kesekian kalinya, darah pemuda gagah itu berdesir. Sosok di depannya
demikian padat dan menggairahkan, membuatnya harus membuang
pandang matanya ke arah lain. Gadis ini terlalu menarik, bisiknya dalam hati.
Mau tak mau Somanggala harus mengakui kelebihan-kelebihan gadis di depannya.
Dan Somanggala merasa waktu demikian singkat, ketika dara cantik itu menunjuk
sebuah gubuk sederhana yang letaknya agak terpencil.
"Itukah tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala tak bisa menahan
keingintahuannya.
"Yaaah, di gubuk itulah aku tinggal. Kedua orang tuaku telah meninggal. Kini aku
seorang diri...," sahut gadis cantik itu sambil menundukkan wajahnya yang
kelihatan menyimpan duka.
"Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu sedih...."
Somanggala merasa iba melihat kedukaan
membayang di wajah gadis itu. Ingin rasanya memeluk dan menghiburnya dengan
kata-kata lembut.
Tapi Somanggala tidak berani. Mereka baru saja bertemu, dan nama gadis cantik
itu pun belum dike-tahuinya.
"Silakan, Kakang...," ucap gadis itu, mempersilakan Somanggala masuk.
Untuk beberapa saat pemuda itu berdiri di
ambang pintu, memperhatikan ruangan yang hanya diisi sebuah balai-balai bambu.
Itu pun kelihatan sudah tua dan reot Somanggala duduk di balai-balai menanti
gadis cantik yang telah masuk ke dalam.
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu muncul kembali membawa dua buah gelas
bambu di tangan kanannya. Dan menyerahkannya kepada Somanggala.
"Hanya air teh dingin, Kakang. Aku takut kalau menghangatkan Kakang akan
menunggu lama...,"
ujar gadis cantik itu dengan tatapan minta maaf.
"Tidak apa, ini sudah cukup," sahut Somanggala menyambut gelas bambu.
Dada pemuda itu kembali berdebar ketika tanpa sengaja jemari tangan mereka
bersentuhan. "Mmm.... Namaku Somanggala. Dan, biasa dipanggil Soma...," lanjutnya
memperkenalkan diri.
"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri.
Namaku Seruni," ujar gadis cantik itu setelah sadar kalau mereka belum
berkenalan. "Seruni...," desah Somanggala mengulang nama itu, seolah ingin melekatkannya
dalam hati. "Sebuah nama yang sangat indah dan serasi dengan pemilik-nya...."
"Ahhh...."
Seruni mendesah dengan wajah tertunduk malu.
Gadis itu merasa jengah dengan pujian Somanggala.
"Ahhh..., hari sudah sore. Aku harus segera pulang, Seruni Lain kali aku akan
singgah ke sini Tentu saja kalau kau tidak keberatan...," ujar Somanggala seraya
melepaskan pandang ke luar jendela disertai desahan penuh sesal, karena
sebenarnya ingin berdekatan lebih lama dengan gadis cantik itu.
"Tentu saja aku tidak keberatan, Kakang. Jangan-jangan Kakang sendiri yang
enggan datang kemari. Karena rumahku hanya gubuk tua yang reot..," kilah Seruni
tersenyum manis, membuat Somanggala kembali harus membuang muka, tak tahan
melihat senyum gadis cantik itu.
"Hhh... Kalau saja aku tidak mengingat tata kesopanan, mungkin aku akan bermalam
di sini, Seruni...," kata Somanggala terus-terang, seraya menatap wajah Seruni
dengan sinar mata aneh.
Seruni hanya tersipu menundukkan wajah. Sebagai seorang gadis yang cukup dewasa,
dapat ditangkap arti tatapan mata Somanggala.
"Seruni..."
Gadis cantik itu tersentak kaget ketika tahu-tahu Somanggala telah berdiri di
depannya, dan meng-genggam jemari tangannya. Wajahnya semakin merah karena
jengah. Meskipun demikian, genggaman tangan Somanggala tidak berusaha
dilepaskannya. Sehingga pemuda itu semakin berani menyentuh wajah Seruni.
"Apabila urusanku telah selesai, aku akan kembali untuk membawamu tinggal di
rumahku...," ujar Somanggala dengan suara agak parau terbawa
perasaan. Seruni masih tidak bergerak ketika Somanggala melepaskan genggaman tangannya dan
beranjak pergi. Gadis itu baru berani mengangkat wajah, saat bayangan pemuda
tegap itu sudah jauh. Sekilas terlihat senyum aneh di bibir gadis cantik itu.
*** Dua sosok tubuh bergerak memasuki sebuah
kedai makan yang banyak didatangi pengunjung.
Keduanya langsung mengambil tempat kosong.
Meskipun letak meja itu agak ke sudut, namun cukup leluasa untuk memperhatikan
sekeliling ruangan kedai. Mereka duduk diam menanti hidangan yang telah dipesan.
"Desa apakah ini. Paman" Nampaknya, penduduknya cukup padat...," tanya pemuda
tampan yang tubuhnya terbungkus jubah putih, pada pelayan kedai yang datang
membawa pesanan mereka.
"Wah...! Kalian rupanya pendatang dari jauh, ya"
Desa ini bernama Jati Mulya. Penduduknya tidak terlalu padat Jika dalam beberapa
hari ini kelihatan sangat ramai, karena akan ada pertarungan di atas Panggung
Kematian. Peristiwa inilah yang membuat Desa Jati Mulya ramai, dan banyak
didatangi orang dari luar desa. Peristiwa ini juga membuat orang-orang yang
membuka usaha seperti kami, bisa mendapat keuntungan berlipat..," pelayan
berusia separuh baya itu terkekeh ketika mengakhiri pen-jelasannya. Sedangkan
pemuda tampan berjubah putih itu hanya tersenyum.
"Pertarungan di atas Panggung Kematian..." Apa itu. Paman" Kedengarannya aneh
dan menyeram-kan...," tanya pemuda tampan itu lagi.
"Panggung Kematian itu sebenarnya hanya sebutan untuk tempat pertarungan mati-
matian. Setiap kali ada pertarungan, korban pasti jatuh. Itulah sebabnya, arena
adu ilmu kesaktian itu disebut Panggung Kematian," jelas pelayan kedai dengan
wajah berseri. Karena merasa bangga bisa mem-beritahukan peristiwa menarik itu
kepada pengunjung kedainya.
"Maksud Paman, orang-orang yang bertarung baru dinyatakan menang apabila dapat
menewaskan lawan...?" tanya pemuda tampan itu menegasi.
Sedang dara jelita di sebelahnya hanya mende-ngarkan tanpa terlihat keinginan
untuk menimpali pembicaraan itu.
"Begitulah peraturan yang ditetapkan Ki Jarangka, yang menjadi penyelenggara
pertarungan,"
jawab pelayan kedai.
"Lalu.... Apa yang dicari para petarung itu"
Apakah mereka mendapatkan uang sebagai imbalannya...?" pemuda tampan itu kembali
melanjutkan pertanyaannya dengan penuh keingintahuan.
"Benar. Petarung yang memenangkan perkelahian, akan mendapat imbalan uang yang
cukup besar. Itu pun sudah menjadi ketetapan pihak penyelenggara. Karena orang-
orang yang menyaksikan pertarungan dikenakan biaya beberapa keping uang.
Nah, dari hasil pungutan itulah, sang Juara mendapatkan bayarannya...," jelas
pelayan kedai yang rupanya penggemar pertarungan Panggung Kematian.
Pemuda tampan berjubah putih merasa cukup
puas dengan keterangan yang diperolehnya. Kepalanya mengangguk sopan saat
pelayan kedai minta diri untuk melayani pengunjung lain yang berda-tangan.
"Kelihatannya kau sangat tertarik dengan pertarungan Panggung Kematian,
Kakang...?" tegur dara jelita berpakaian hijau di sebelah pemuda tampan itu,
sesaat setelah pelayan kedai meninggalkan mereka.
"Kedengarannya cukup menarik. Kalau kau tidak keberatan, kita bermalam di desa
ini. Dengan demikian, kita bisa menyaksikan peristiwa itu esok hari...," sahut
pemuda tampan itu.
"Untuk apa menyaksikan pertarungan itu, Kakang. Mereka hanya orang-orang kasar
yang memiliki sedikit kepandaian. Kemudian memanfaatkannya untuk mencari uang
dan ketenaran, agar dita-kuti dan dihormati orang...," bantah dara jelita itu.
Agaknya usul pemuda tampan berjubah putih itu kurang disetujuinya.
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan berprasangka buruk dulu, Kenanga.
Siapa tahu mereka bukan orang-orang kasar seperti yang kau sangka. Walaupun
benar petarung-petarung itu melakukannya untuk uang dan
ketenaran, tapi yang jelas pertarungan itu berbeda dengan yang kita ketahui
selama ini. Bisanya para petarung mencari kemenangan dan imbalan. Entah itu
berupa julukan, keperkasaan, atau suatu jaba-tan. Tapi mereka hanya sebatas
memperoleh kemenangan, tanpa harus membunuh lawan. Sedangkan pertarungan
Panggung Kematian harus membunuh lawan, baru kemudian dinyatakan menang. Nah,
bukankah ini sangat menarik untuk diketahui latar belakangnya...?" jelas pemuda
tampan berjubah putih itu yang dapat dipastikan bernama Panji.
Sebab, siapa lagi yang bersama Kenanga kalau bukan Panji, yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Terserah Kakang sajalah...," ujar Kenanga menyerah. "Menurutku, mereka orang-
orang kasar yang tidak menghargai nyawa manusia. Hal seperti itu tidak perlu
diselidiki, tapi harus diberantas!
Sebab, bisa saja kawan atau kerabat pihak yang kalah dan terbunuh akan menuntut
balas di Panggung Kematian. Jadi lebih banyak mendatangkan akibat buruk,
daripada kebaikan atau keuntungan...," bantah Kenanga.
"Kita lihat saja besok. Apakah mereka orang-orang kasar yang hanya mengandalkan
sedikit kepandaian, atau orang-orang berkepandaian tinggi yang gila bertarung.
Sebab, tidak sedikit tokoh-tokoh seperti itu dalam dunia persilatan...," jelas
Panji yang rupanya tetap ingin menyaksikan pertarungan di atas Panggung
Kematian. Kenanga tidak membantah lagi. Gadis itu jadi penasaran ingin melihat kepandaian
para petarung. Tanpa banyak cakap lagi, perhatiannya dialihkan pada hidangan di atas meja.
Kemudian, menyan-tapnya perlahan.
"Kita harus segera mencari penginapan. Aku khawatir tidak mendapatkannya bila
terlambat me-mesan. Melihat banyaknya orang yang datang ke desa ini, bukan tidak
mungkin penginapan penuh,"
kata Panji saat mereka menyusuri jalan utama Desa Jari Mulya.
Karena kedai makan tadi tidak menyediakan
kamar untuk menginap, maka mereka harus mencari di tempat lain.
Kekhawatiran Panji terbukti. Semua penginapan yang memang tidak banyak di Desa
Jari Mulya, telah penuh. Sehingga, mereka tidak mendapat tempat untuk melewatkan
malam. "Apa yang harus kita perbuat, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa putus asa
setelah gagal mencari tempat menginap, walaupun mereka telah mengelilingi desa.
"Kita datangi rumah penduduk. Siapa tahu di antara mereka ada yang bersedia
menerima kita untuk bermalam," usul Panji yang rupanya tidak kehilangan akal
mendapatkan tempat bermalam.
Kenanga menurut saja ketika kekasihnya me-
langkah menuju rumah terdekat. Rupanya nasib mereka masih cukup baik. Penghuni
rumah sederhana itu mengizinkan mereka menginap. Meskipun hanya dua balai-balai
bambu yang sudah reot, tapi mereka menerima dengan gembira.
"Hanya ini yang bisa Paman berikan untuk Tuan Muda berdua. Maklumlah, kami orang
miskin...,"
sesal orang tua itu, meminta maaf tidak bisa menyediakan tempat yang lebih baik
bagi tamunya. "Tidak mengapa, Paman. Ini sudah lebih dari cukup. Diizinkan untuk menginap
saja, sudah baik bagi kami...," sahut Panji tersenyum kepada lelaki tua berusia
setengah baya itu.
Setelah mempersilakan kedua tamunya untuk
beristirahat, lelaki setengah baya itu pun bergegas menuju kamarnya. Karena
Panji dan Kenanga berada di ruang depan.
"Kelihatannya pemilik rumah ini benar-benar miskin, Kakang...," bisik Kenanga.
Saat itu mereka telah membaringkan tubuh di balai-balai masing-masing, yang
letaknya tidak ber-jauhan.
"Hm..., kita jauh lebih miskin daripada orang tua itu, Kenanga. Karena kita
tidak mempunyai tempat tinggal. Sedangkan orang tua itu masih punya, meskipun
hanya sebuah gubuk tua...," sahut Panji, membuat Kenanga mencibirkan bibir,
bersungut-sungut.
Panji tersenyum melihat kekasihnya memalingkan wajah ke bilik tidak mau
memandangnya lagi.
"Kau ingin aku membangun rumah untuk kita berdua tinggal...?" tanya Panji,
sekadar ingin meng-goda kekasihnya.
"Tidak tahu ah! Aku mau tidur...," sahut Kenanga, yang kemudian tidak berkata-
kata lagi. Panji tahu Kenanga tidak mungkin bisa tidur dengan cepat. Tapi pemuda itu tidak
menggang-gunya lagi. Matanya kemudian dipejamkan dengan bibir masih mengulas
senyum. * * * 3 Pagi ini di sebuah lapangan rumput yang le-
taknya cakup jauh dari Desa Jati Mulya, tampak orang berkerumun mengelilingi
sebuah panggung yang cukup luas. Tapi itu tidaklah mengherankan.
Karena pada pagi itu akan berlangsung pertarungan antara Somanggala melawan
Garbanaka. Somanggala yang telah berkali-kali memenangkan pertarungan di atas Panggung
Kematian, kini harus berhadapan dengan seorang tokoh dari selatan yang berjuluk
Tendangan Angin Topan. Selain terkenal dengan kehebatan ilmu tendangannya,
Garbanaka juga seorang yang licik dan selalu mem-banggakan kepandaiannya. Tidak
jarang Garbanaka bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan kesaktiannya.
Sedang Somanggala yang dijuluki Jagoan Panggung, adalah seorang pemuda sederhana
yang se-nantiasa selalu menjunjung tinggi kegagahan. Jika harus membunuh lawan-
lawannya di atas panggung, itu karena terikat peraturan, dan demi ke-langsungan
hidup keluarga. Sayang, Somanggala terlambat menyadari keterlibatannya. Sudah
telanjur menceburkan diri, tidak ada istilah mundur kecuali sudah bosan hidup.
Saat orang-orang yang berkerumun di bawah
panggung telah semakin padat, muncullah seorang lelaki tinggi besar berwajah
brewok. Langkahnya demikian mantap. Lelaki itu menaiki panggung dengan dada
membusung. Sepasang matanya bergerak ke kiri dan kanan disertai senyum mengejek,
menandakan kesombongan hati.
"Hidup Garbanaka...!"
Terdengar sorak-sorai dan teriakan di sana-sini, menyambut kemunculan lelaki
kekar yang tidak lain Garbanaka atau lebih dikenal berjuluk Tendangan Angin
Topan. Dan. orang-orang yang berteriak itu adalah pendukung Garbanaka. Beberapa
di antara mereka bertaruh untuk kemenangan Tendangan
Angin Topan. "Hidup Tendangan Angin Topan...!"
Beberapa kelompok yang berada di kanan
panggung, ikut bersorak menyambut Garbanaka.
Membuat lelaki kekar berwajah brewok itu semakin congkak saja. Tangan kanannya
melambai ke arah para pendukungnya.
Tidak berapa lama kemudian, sosok yang di-
tunggu-tunggu muncul dengan segala kesederha-na-annya. Sosok tegap berwajah
tampan itu tak lain dari Somanggala. Beberapa pendukung pemuda itu tampak
mengerutkan alis ketika melihat wajah Somanggala pucat. Tentu saja mereka heran.
Sebab tidak biasanya Somanggala sepucat itu dalam menghadapi lawan-lawannya.
Kenyataan itu menimbulkan bermacam pertanyaan di hati para pendukungnya.
"Aneh..." Mengapa jagoan kita kelihatan gelisah dan pucat" Apakah dia gentar
menghadapi Garbanaka...?" desis seorang lelaki tinggi kurus yang mengenakan
pakaian cukup mewah.
Melihat penampilannya, agaknya orang itu bertaruh cukup besar untuk kemenangan
Somanggala. "Hm.... Mustahil Somanggala gentar menghadapi tokoh dari selatan itu. Bukankah
dia sering bertarung melawan orang-orang yang kepandaiannya hampir setingkat
dengan Garbanaka" Mungkin
Somanggala sedang sakit..," sahut lelaki gemuk berwajah kelimis, yang rupanya
juga pendukung Somanggala.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak lepas dari wajah Somanggala.
Nampak kekhawatiran membayang jelas di wajahnya. Bukan khawatir jika Somanggala
mengalami cidera atau kalah. Tapi khawatir jika harta yang dipertaruhkannya
untuk kemenangan pemuda itu hilang.
"Ha ha ha...!"
Garbanaka tergelak dengan sikap yang sangat jumawa. Lelaki itu menertawakan
Somanggala yang kelihatan pucat dan tidak bersemangat. Bahkan di kening pemuda
tegap berwajah tampan itu terlihat bintik-bintik keringat. Entah apa yang
dirasakan Jagoan Panggung itu.
Somanggala seperti tak peduli dengan tawa mengejek calon lawannya. Pemuda itu
terus melangkah ke kanan panggung. Dan berdiri tegak setelah membungkukkan tubuh
ke empat penjuru untuk
memberi penghormatan.
Saat kedua petarung sudah siap di sudut masing-masing, muncul seorang lelaki
tinggi kurus, melangkah ke tengah panggung dengan senyum lebar.
"Saudara-saudara sekalian. Sebentar lagi kita menyaksikan sebuah pertarungan
yang sangat mendebarkan. Di kanan saya Somanggala, si Jagoan Panggung. Sedang
lawannya kali ini seorang tokoh dari selatan yaitu Garbanaka, alias Tendangan
Angin Topan," ujar lelaki tinggi kurus memperkenalkan kedua petarung kepada
penonton yang ber-jubel.
Ketika penonton berteriak-teriak agar pertarungan segera dilaksanakan, lelaki
tinggi kurus segera memerintahkan kepada Somanggala dan Garbanaka maju ke tengah
panggung. "Kalian pasti sudah tahu peraturan pertarungan iri, bukan..,?" tanya lelaki
tinggi kurus seraya menoleh kepada Somanggala dan Garbanaka berganti-ganti.
Kedua petarung menganggukkan kepala dengan
gerakan pasti. Kemudian mundur beberapa tindak, ketika lelaki tinggi kurus itu
memerintahkan untuk bersiap.
"Hmhhh...!"
Garbanaka menggeram sambil memasang kuda-
kuda kokoh dan kuat. Sepasang matanya men-
corong tajam dan tangannya terbuka, siap melancarkan serangan.
Somanggala kelihatan sepera orang kurang bersemangat. Meskipun butir-butir
keringat di keningnya semakin banyak, namun pemuda itu tidak
mempedulikannya. Melihat lawannya bersiap, Somanggala menarik mundur kaki
kanannya sambil merendahkan tubuh. Dan menggeser kaki kiri ke samping, dengan
kedua tangan menekuk ke kanan.
"Kakang, lelaki tegap yang bernama Somanggala itu rupanya tidak siap bertarung.
Lihat saja wajahnya yang pucat dan berkeringat..."
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang menyaksikan pertarungan di kanan
panggung, berbisik kepada pemuda tampan berjubah putih di sebelahnya. Tampak
jelas kalau dara jelita itu mence-maskan keadaan Somanggala yang tidak siap
bertarung. "Benar. Aku pun agak mengkhawatirkannya.
Tapi..., kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pertarungan ini kuhentikan,
penonton akan marah. Jadi kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Aku belum
tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda yang bernama Somanggala itu. Jarak
antara panggung dengan kita cukup jauh," sahut pemuda tampan berjubah putih,
yang tak lain dari Panji.
Memang jarak antara Panji dan Kenanga dengan Panggung Kematian, terpisah sekitar
tiga tombak lebih.
"Mungkin Somanggala gentar menghadapi lawannya, Kakang...?" tanya Kenanga lagi,
yang rupanya oelum bisa menghilangkan keheranan di hatinya.
"Entahlah, Kenanga. Tapi menurutku bukan itu persoalannya. Sebagai petarung yang
sudah beberapa kali mengalahkan lawan-lawannya, Somanggala tidak lagi mengenal
kata takut. Mungkin hanya kurang sehat," jawab Panji.
"Jika benar Somanggala tidak siap bertarung karena kesehatannya terganggu, apa
tidak sebaik-nya pertarungan itu ditunda dulu, Kakang...?" ujar Kenanga lagi,
tidak setuju jika pertarungan tetap berlangsung. Padahal salah seorang petarung
tidak siap bertarung.
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Jika dugaanmu benar kalau Somanggala kurang
sehat, aku akan berusaha menghentikan pertarungan. Sebaiknya ki-ta lihat saja
dulu...," sahut Panji akhirnya.
Kenanga tampaknya puas dengan jawaban ke-
kasihnya. Terbukti pandangannya sudah beralih ke atas panggung, dan
memperhatikan kedua petarung yang saling bergerak mendekati.
"Haaat...!"
Garbanaka rupanya ingin menyelesaikan per-
tarungan secepatnya. Serangan-serangannya mengandung tenaga dan kecepatan yang
menggetarkan. Agaknya lelaki itu ingin melumpuhkan lawannya hanya dengan satu
serangan. Bettt! Wuttt...!
Kaki dan tangan Garbanaka bergerak cepat menimbulkan desiran angin tajam,
mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan. Somanggala kelihatan tidak berani
menyambut serangan lawan secara langsung. Terbukti pemuda tegap berwajah tampan
itu menggeser langkahnya ke samping. Dan ketika serangan lawan luput dari
sasaran, kaki kanannya digeser ke depan seraya mengirimkan sodokan jari-jari
tangan yang mengancam ulu hati dan iga Garbanaka.
Wuttt...! Dua buah serangan balasan yang dilancarkan
Somanggala memang cukup berbahaya, dan memiliki kecepatan yang mengagumkan. Tapi
Garbanaka tidak berusaha menghindari serangan itu. Tubuhnya malah bergerak ke
depan sambil menyilangkan kedua lengannya menangkis serangan lawan. Dan....
Dukkk! Plakkk! Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan yang dilindungi tenaga sakti
saling berbenturan keras. Dan para pendukung Somanggala serentak terpekik kaget.
Betapa tidak" Tampak jagoan mereka terjajar mundur, hampir terpelanting ke bawah
panggung. Untunglah pemuda itu dapat menyelamatkan diri dengan bergulingan ke
samping, dan bangkit dengan kuda-kuda goyah.
"Ha ha ha...! Mana kekuatanmu, Somanggala"
Ayo tunjukkan padaku...!"
Garbanaka tertawa terbahak-bahak melihat tubuh lawan hampir terpelanting ke
bawah panggung. Lelaki kekar bercambang bauk itu semakin sombong saja saat
melihat wajah Somanggala bertambah pucat. Garbanaka merasa kemenangan
telah berada di depan mata.
Somanggala rupanya tidak bergairah menanggapi ejekan lawan. Keadaan tubuhnya
kelihatan semakin lemah. Dan tatapan matanya layu. Kenyataan itu membuat para
pendukungnya khawatir. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak memberi
semangat kepada pemuda tegap berwajah tampan itu.
"Somanggala! Jangan kecewakan kami! Tunjukkan kehebatanmu, lumpuhkan lawanmu
seperti kau menjatuhkan lawan-lawanmu terdahulu...!" teriak seorang pendukung
Somanggala. Orang itu agaknya mempertaruhkan banyak
harta demi kemenangan Somanggala. Tidak heran jika ia lebih bersemangat memberi
dorongan kepada jagoannya, yang kali ini sangat loyo dan tidak bisa diharapkan
"Hm..,. Jelas sudah, Somanggala memang tidak siap bertarung. Kau lihat sendiri,
Kakang. Rasanya mustahil jika hanya sekali berbenturan saja, pemuda itu sudah
tidak berdaya. Kita harus segera bertindak, Kakang...."
Kenanga yang melihat keadaan Somanggala
semakin parah, tidak bisa menahan diri lagi. Kalau saja Panji tidak cepat
mencegah, mungkin tubuh dara Jelita itu sudah melayang ke atas panggung.
"Sabarlah, Kenanga. Kita tidak bisa turun-tangan begitu saja. Tunggulah sebentar
lagi. Percayalah, aku tidak akan berdiam diri melihat ketidakadilan terjadi di
depan mata...," ujar Panji ketika dara jelita itu memandangnya dengan tatapan
penuh teguran. Untuk kesekian kalinya, Kenanga kembali me-
nuruti kata-kata kekasihnya. Meskipun rasa penasaran masih membayang di
wajahnya, dara jelita itu tetap berdiri di tempatnya menunggu kejadian yang
terjadi di atas Panggung Kematian.
"Yeaaa...!"
Garbanaka yang semakin bernafsu menghabisi
lawan, menerjang maju sambil mengeluarkan bentakan nyaring menggelegar. Tubuh
lelaki kekar itu melesat ke depan dengan sebuah pukulan keras yang menerbitkan
deruan angin tajam.
Serangan pertama masih dapat dielakkan So-
manggala dengan susah-payah. Tapi pada serangan-serangan berikutnya, tubuh
pemuda tegap itu terpaksa harus menerima pukulan dan tendangan lawan.
Bukkk! Desss...!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Somanggala terpe-
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lanting. Darah segar termuntah seiring dengan terbantingnya tubuh tegap itu ke
lantai panggung.
"Uhhh...!"
Meskipun keadaan tubuhnya semakin bertambah lemah, Somanggala berusaha bangkit
dan melanjutkan pertarungan.
"Yeaaah...!"
Baru saja Somanggala bergerak bangkit, Gar-
banaka sudah meluncur dengan sebuah tendangan berputar!
Desss...! "Aaakh...!"
Tendangan yang keras itu, membuat tubuh So-
manggala tersentak dan kembali terbanting di lantai panggung dengan suara
berdebum. Darah segar kembali termuntah dari mulutnya. Kali ini Somanggala tidak
mampu bangkit berdiri. Pemuda itu merasa dadanya sesak akibat hantaman telapak
kaki lawan. 'Tamatlah riwayatmu, Somanggala...!" desis Garbanaka dengan sorot mata tajam
menggambarkan nafsu membunuh yang berkobar dalam dadanya.
Usai berkata demikian, tubuh lelaki brewok itu kembali meluncur.
"Hiaaah...!"
Agaknya Garbanaka ingin meremukkan kepala
lawan dengan sekali pijak. Lelaki kekar berwajah brewok itu melesat ke udara.
Kemudian meluncur turun dengan sepasang kaki siap dijejakkan ke batok kepala
Somanggala, yang hanya bisa menunggu datangnya maut dengan mata terpejam.
Namun malaikat maut enggan mengambil nyawa
pemuda tegap itu. Ketika sepasang telapak kaki Garbanaka meluncur turun dengan
deras, sesosok bayangan putih berkelebat ke atas panggung, menyambut serangan
maut Garbanaka.
Bresssh...! "Aihhh..."!"
Garbanaka memekik kaget ketika melihat sosok bayangan putih menyambut
serangannya. Benturan keras tak terelakkan lagi. Akibatnya tubuh Garbanaka yang
tinggi besar dan kekar, terlempar balik bagai membentur benda kenyal.
Tapi lelaki kekar itu masih mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan dua
kali putaran di udara yang dibarengi bentakan nyaring, Garbanaka meluncur turun
di lantai panggung dengan kedua kaki lebih dahulu. Kenyataan itu menunjuk-kan
kalau ilmu meringankan tubuh Garbanaka
tidak bisa dipandang ringan.
"Bagus...!"
Pujian itu datang dari sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa
Somanggala dari kematian. Sosok sedang dengan sorot mata tajam itu berdiri tegak
di dekat Somanggala yang masih belum menyadari nyawanya telah diselamatkan.
Somanggala yang merasa heran serangan lawan belum menghantamnya, perlahan
membuka mata. Sepasang matanya yang semula redup terbeliak heran melihat sosok berjubah putih
berdiri membe-lakangi. Sama sekali tidak disangka kalau sosok berjubah putih itu
telah menyelamatkannya dari kematian. Selama ini tidak ada yang berani
mencampuri pertarungan di atas Panggung Kematian.
Itulah sebabnya, Somanggala merasa heran saat menyadari apa yang dilakukan sosok
berjubah putih itu.
Perbuatan sosok berjubah putih itu tidak hanya membangkitkan kemarahan
Garbanaka, yang merasa hampir mencapai kemenangan. Para penonton yang berkerumun
di sekitar panggung pun berteriak-teriak mencela perbuatannya. Demikian juga Ki
Jarangka yang menjadi ketua penyelenggara pertarungan maut itu. Kalau ada pihak
pendukung Somanggala yang diam-diam bersyukur atas kejadian itu, hanya beberapa
gelintir saja. Suasana jadi ribut dengan teriakan-teriakan dan makian yang
ditujukan kepada sosok berjubah putih itu.
"Hei, Bocah Goblok! Apa kau tidak tahu peraturan pertandingan"! Ayo, lekas
turun! Biarkan Tendangan Angin Topan menyelesaikan pertanding-an...!" seru
seorang penonton pendukung Garbanaka.
Orang itu marah karena perbuatan sosok ber-
jubah putih yang tidak lain Panji, membuat kemenangan yang hampir dapat
diraihnya terbang.
'Turun kau, Pemuda Tolol! Tidak seharusnya kau berada di atas panggung dan
mencampuri pertarungan...!" teriak penonton lain, geram.
Sementara, Ki Jarangka bergerak bangkit dari kursi. Namun langkahnya tertunda
saat melihat Garbanaka maju menghampiri pemuda tampan
berjubah putih itu dengan sorot mata berapi. Rupanya kemarahan lelaki kekar itu
jauh lebih besar daripada penonton maupun penyelenggara pertarungan.
Langkah Garbanaka berhenti beberapa tindak di hadapan sosok berjubah putih itu.
Sepasang matanya yang memerah saga, mencorong tajam, bagai hendak menelan bulat-
bulat sosok di depannya.
Sedangkan Panji tetap tenang, seperti tidak mempedulikan kemarahan si Tendangan
Angin Topan itu.
"Bocah! Kau pasti bukan penduduk daerah sini.
Dan belum tahu peraturan pertandingan yang
berlaku di atas panggung, bukan" Nah, ketahuilah.
Pertarungan di atas panggung baru berakhir dan seorang petarung menang jika
telah berhasil menewaskan lawan. Sekarang menyingkirlah dari sini, sebelum aku
melemparmu ke bawah!" ujar Garbanaka, berbaik hati di hadapan orang banyak.
Lelaki brewok itu tidak ingin langsung menghajar Pendekar Naga Putih, yang
mungkin mempunyai kawan di antara para penonton. Agaknya, Garbanaka telah
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang merugikan jika langsung menghajar
Panji. " "Garbanaka," ujar Panji tenang, membuat Garbanaka mengerutkan kening. "Aku sudah
tahu peraturan yang berlaku di atas panggung mi. Menurutku pertarungan seperti
ini tidak pantas dilakukan orang-orang gagah yang menjunjung tinggi keadilan.
Aku percaya kau termasuk orang yang kumaksud. Alasan itu yang membuatku terpaksa
mencampuri ketidakadilan ini. Apalagi aku melihat Somanggala tidak siap
bertarung. Kau lihat sendiri, bukan" Apa kau tidak malu memperoleh kemenangan
dari lawan yang tubuhnya tidak sehat"
Somanggala sedang sakit, Garbanaka...," jelas Panji panjang lebar.
Suaranya yang lantang dan jelas terdengar,
membuat pendukung Somanggala menganggukkan
kepala, membenarkan ucapan pemuda itu. Apalagi beberapa pendukung Somanggala
yang sempat merasa heran melihat jagoan mereka naik ke atas panggung dengan wajah pucat dan
tidak bersemangat.
"Pemuda itu benar! Somanggala memang sedang sakit, jadi wajar saja jika tidak
bisa bertarung dengan baik. Pertarungan ini tidak sah...!" teriak seorang
pendukung Somanggala, membenarkan
ucapan Panji. Teriakan itu tidak sepenuhnya ingin membela Somanggala secara tulus, tapi karena
takut uangnya lenyap. Itu bisa terjadi jika Somanggala tewas di tangan
Garbanaka. Tapi setidaknya, teriakan itu mengundang simpati orang pada
Somanggala. Panji mengetahui hal itu. Pemuda itu tersenyum tenang. Apa pun alasan pendukung
Somanggala yang membenarkan ucapannya, tidak menjadi soal.
Yang penting bisa menghentikan pertarungan dan menyelamatkan Somanggala dari
kematian. "Bohong! Aku tidak percaya kalau Somanggala kurang sehat! la hanya berpura-pura
membenarkan ucapanmu, takut uangnya lenyap karena kalah bertaruh! Pertandingan
ini sah, dan akan kulanjut-kan!" bentak Garbanaka dengan suara menggelegar.
Lelaki kekar berjuluk Tendangan Angin Topan itu tidak mau menerima alasan yang
dikemukakan Panji maupun pendukung Somanggala. Bahkan
kelihatan sudah siap menghabisi nyawa Somanggala yang. terduduk di belakang
Panji. Agaknya Garbanaka tidak peduli jika pemuda tampan di depannya menghalangi
niatnya. "Tahan amarahmu, Garbanaka! Kalau niatmu
kau teruskan, aku terpaksa bertindak sedikit kasar...!" cegah Panji seraya
mengulurkan tangan, menghalangi niat Garbanaka.
"Keparat! Rupanya kau minta dilenyapkan lebih dulu, Bocah Tolol!" geram
Garbanaka tidak bisa dicegah lagi kehendaknya.
Sadar Garbanaka harus dicegah dengan jalan
kekerasan. Panji bergerak mundur beberapa langkah. Maksudnya hendak membawa
Somanggala ke tepi panggung dihentikan, ketika matanya menangkap sesosok
bayangan hijau bergerak ke atas panggung dan meluncur turun di dekatnya.
"Biar aku yang mengurus Somanggala, Kakang.
Kau berikan sedikit pelajaran kepada lelaki brewok itu, agar terbuka matanya dan
tidak lagi memandang dirinya orang yang paling pandai..," ujar sosok ramping
terbungkus pakaian hijau, yang tidak lain Kenanga. Tanpa menunggu jawaban Panji,
Kenanga langsung menyambar tubuh Somanggala, siap
dibawa turun ke bawah panggung.
Tapi penonton yang mendukung Garbanaka
sudah telanjur marah. Melihat seorang gadis siap melarikan Somanggala, belasan
orang yang berada di bawah panggung melempari dengan batu-batu.
Tentu saja Kenanga yang mendapat serangan dari segala arah itu menjadi jengkel.
Dengan sebelah tangan, dikibaskannya semua serangan. Dan kibasan lengan dara
jelita itu dilakukan dengan tenaga sakti yang amat kuat.
"Hiaaah,..!"
Kibasan lengannya yang mempunyai kekuatan
menggetarkan, berakibat fatal bagi penonton yang berada di sekitar panggung.
Belasan orang yang berada di barisan depan berteriak kesakitan, ketika batu-batu
itu berbalik menghantam tubuh dan kepala mereka. Kejadian itu membuat suasana
yang sudah ribut semakin bertambah kacau. Apalagi di antara korban lemparan batu
ada yang jatuh pingsan. Tentu saja kerumunan penonton itu menjadi kacau-balau.
Penonton yang.di antaranya tidak sedikit memiliki kepandaian, marah melihat
kejadian itu. Mereka segera berloncatan ke atas panggung. Jelas, mereka ingin
mengeroyok Panji dan Kenanga yang dianggap telah membuat kerusuhan di tempat
itu. * * * 4 Melihat belasan penonton yang memiliki ke-
pandaian silat berlompatan ke atas panggung, Panji segera menggeser tubuhnya
mendekati Kenanga.
"Cepat bawa pergi Somanggala dari tempat ini.
Biar aku akan menahan mereka, agar tidak menge-jarmu...," bisik Panji tanpa
mengalihkan pandangan dari calon lawan-lawannya.
"Mengapa kita harus melarikan diri seperti seorang pengecut, Kakang" Aku sanggup
merobohkan mereka...," bantah Kenanga marah melihat orang-orang yang menurutnya
pantas dihajar.
"Kenanga, keadaan Somanggala belum kita ketahui pasti. Bisa saja kita merobohkan
mereka tanpa mengerahkan banyak tenaga. Tapi bagaimana, seandainya Somanggala
keburu tewas saat kita bertarung" Lagi pula kita berada di pihak yang salah,
selama persoalan ini belum jelas. Kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya.
Aku khawatir penonton lain yang jumlahnya ratusan mulai terpengaruh dan beramai-
ramai mengeroyok kita.
Daripada orang-orang tidak bersalah menjadi korban, lebih baik kita pergi...,"
tegas Panji, berbisik.
Kali ini ditatapnya Kenanga, seolah minta penger-tian dara jelita itu agar mau
bersabar dan melihat kenyataan.
"Kalau begitu keinginanmu, baiklah, Kakang...,"
sahut Kenanga mengalah dan bersiap meninggalkan Panggung Kematian.
"Cegah gadis itu...! Jangan biarkan membawa Somanggala...!"
Garbanaka yang tidak ingin kehilangan lawannya, segera berseru memerintahkan
orang-orang di bawah panggung agar mencegah kepergian Kenanga.
Penonton yang kebanyakan pendukung Garba-
naka, segera mencabut senjata masing-masing untuk menghalangi kepergian Kenanga.
Maka, saat dara jelita itu menjejakkan kaki di bawah panggung, puluhan orang
telah mengepungnya dengan senjata terhunus.
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manis..." Apa masih kurang puas dengan satu lelaki,
hingga ingin membawa Somanggala yang tegap dan gagah itu...?" ejek seorang
lelaki bermuka hitam dengan perawakan tinggi tegap.
Lelaki itu menghadang Kenanga sambil menye-
ringai menampakkan giginya yang kehitaman.
Kenanga yang menangkap maksud kotor di balik ucapan laki-laki bermuka hitam,
menggeram dengan wajah merah. Sepasang matanya berkilat meman-carkan api
kemarahan yang berkobar di dalam dadanya. Tanpa banyak bicara, tubuhnya melesat
ke depan seraya melontarkan sebuah pukulan yang mengarah lambung lelaki itu.
Whuttt..! Kepalan tangan Kenanga yang halus dan mungil meluncur cepat disertai sambaran
angin menderu. Lelaki bermuka hitam yang semula memandang
rendah gadis itu terkejut. Cepat dia melompat mundur, menjauhi serangan lawan.
"Keroyok gadis binal itu...!" teriak lelaki bermuka hitam, memerintah temannya
untuk menyerbu Kenanga. "Heaaa...!"
"Haaat...!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan lelaki dengan senjata terhunus langsung
bergerak maju mengeroyok Kenanga. Sehingga Kenanga yang semula hendak mengejar
lawan, terpaksa menarik pulang serangannya, dan langsung dikibaskan ke kiri
sambil membentak nyaring.
"Hiaaah...!"
Whusss! "Ahhh..."!"
Delapan lelaki yang menerjang Kenanga dari
sebelah kanan, terkejut bukan main. Tubuh mereka tertolak balik, akibat deruan
angin keras yang berasal dari kibasan lengan dara jelita itu.
"Haiiit..!"
Gerakan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Kibasan lengannya langsung
disusul dengan lesatan tubuh ke arah lawan yang masih belum memperbaiki
kedudukan. Dan melancarkan totokan kilat yang menimbulkan suara angin mencicit
tajam. Terdengar pekik kesakitan susul-menyusul ketika jari-jari tangan mungil namun
mengandung kekuatan hebat itu mengenai sasaran. Delapan orang pengeroyok
terjungkal pingsan. Kejadian yang tidak disangka-sangka para pengeroyoknya itu,
membuat mereda gentar, dan bergerak mundur tanpa diperintah.
"Goblok! Mengapa kalian takut dengan gadis liar itu"! Hayo serbu..!" bentak
lelaki bermuka hitam, jengkel melihat yang lainnya bergerak mundur.
Begitu ucapannya selesai, lelaki bermuka hitam itu langsung melesat ke depan
sambil memutar pedang di tangannya.
"Heaaah...!"
Bettt! Whuuut...!
Kilatan sinar putih terpancar saat pedang di tangan lelaki bermuka hitam datang
mengancam Kenanga. Melihat dari sambaran angin pedang yang terdengar cukup kuat,
Kenanga sadar lelaki bermuka hitam itu berbeda dengan lawan-lawannya yang lain.
Kenanga tidak mau bertindak ceroboh.
Apalagi harus bertanggung jawab atas keselamatan Somanggala yang berada di bahu
kirinya. Maka saat serangan pedang lawan datang, dara jelita itu menggeser
tubuhnya dengan lompatan pendek ke samping. Kemudian melontarkan tendangan kilat
yang meluncur deras ke lambung lawan.
Zebbb! Gerakan lelaki bermuka hitam itu cukup lincah juga. Meskipun tendangan Kenanga
datang tak ter-duga, orang itu masih sempat melempar tubuhnya ke samping dan
bergulingan menjauh. Begitu me-lenting bangkit, dia langsung membangun serangan
kembali. Orang-orang yang tadi merasa gentar dengan
sepak teriang dara jelita berpakaian serba hijau itu, mulai bergerak maju.
Sebentar saja, Kenanga kembali harus menghadapi para pengeroyoknya.
*** Di atas panggung Panji pun harus menghadapi keroyokan banyak lawan. Sebenarnya,
pemuda itu dapat merobohkan lawan dengan pukulan-pukulannya yang cepat dan kuat.
Tapi karena tidak ingin melukai lawan, pemuda itu agak sibuk juga menghadapi
keroyokan Garbanaka dan kawan-kawannya.
"Haiiit..!"
Garbanaka yang sangat dendam kepada Panji,
selalu mengirim serangan mautnya bertubi-tubi.
Agaknya lelaki kekar berwajah brewok itu ingin menewaskan lawannya. Serangan-
Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangannya selalu ditujukan ke jalan darah kematian di tubuh pemuda itu.
Bettt...! Lagi-lagi sebuah tusukan jari-jari tangan Garbanaka datang mengarah tenggorokan
Panji. Sadar kalau lelaki brewok itu bukan orang baik-baik, Pendekar Naga Putih
menjadi jengkel juga. Saat tusukan jari-jari tangan yang berisi tenaga dalam itu
meluncur menuju sasaran, Panji memiringkan tubuh sedikit, kemudian membalas
dengan sebuah tamparan ke dada lawan.
Whuttt...! Tindakan Garbanaka rupanya cukup cepat.
Buktinya dapat mengelakkan dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih dengan
menarik mundur kaki depannya. Bahkan tubuh lelaki kekar itu langsung berputar
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke bawah pusar lawan.
"Keji...!" desis Panji, mulai marah melihat sasaran-sasaran serangan Garbanaka.
Cepat Pendekar Naga Putih mengulur tangannya dengan kuda-kuda serong, melindungi
sasaran tendangan Garbanaka. Begitu serangan lawan datang, Panji menekan
lengannya ke bawah.
Dukkk! "Akh..."!"
Tanpa dapat dihindari lagi, lengan dan kaki mereka berbenturan keras. Garbanaka
terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh terguling-guling.
Ketika lelaki kekar itu bergerak bangkit, kelihatan langkahnya terpincang-
pincang. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa sakit yang dirasakan.
"Haaat...!"
"Heaaa!"
"Hm...."
Panji yang mulai merasa jengkel dengan lawan-lawannya segera menyilangkan kedua
lengannya di depan dada, saat para pengeroyoknya datang menyerbu. Kemudian....
"Heaaah...!"
Dibarengi bentakan menggelegar, tubuh Pendekar Naga Putih melesat di antara
sambaran senjata lawan. Sambil mengelak, sepasang tangannya bergantian
melancarkan totokan yang sukar ditangkap mata. Akibatnya....
"Akh..."!"
"Ahhh..."!"
Satu persatu belasan orang pengeroyoknya
bertumbangan, akibat totokan yang melumpuhkan tubuh mereka. Bahkan beberapa di
antaranya langsung tak sadarkan diri. Karena totokan pemuda itu demikian kuat
menghantam tubuh mereka.
"Gila..."!"
Garbanaka yang menyaksikan kejadian itu, terbelalak heran. Meskipun disadarinya
kalau pemuda tampan itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, tapi
tidak diduganya sampai demikian hebat Hingga mampu merobohkan lawan-
lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin Garbanaka tidak akan
mempercayainya. Apalagi usia Panji masih muda.
Sukar untuk dipercaya!
Tidak berapa lama kemudian, belasan pengeroyok itu tidak tersisa lagi. Semuanya
bergeletakan dalam keadaan lumpuh atau pingsan. Tinggal Garbanaka seorang yang
kini telah melolos senjata, dan meng-genggam erat-erat.
"Hm.... Aku tidak punya permusuhan pribadi denganmu, Garbanaka. Sebaiknya
menyingkirlah, biarkan aku pergi...," ancam Panji.
Rupanya Pendekar Naga Putih masih enggan
melukai Garbanaka. Panji menganggap lelaki kekar berwajah brewok itu tidak
mempunyai kesalahan terhadapnya. Jika benar Garbanaka seorang yang kejam dan
licik. Panji tetap tidak mempunyai alasan kuat untuk menghukumnya. Itu sebabnya,
mengapa Panji masih mencoba mencari jalan damai.
"Semula di antara kita memang tidak ada permusuhan, Kisanak. Tapi setelah kau
memperma-lukanku di hadapan orang banyak, dan menghancurkan pertarungan yang
hampir kumenangkan, maka di antara kita telah tertanam bibit-bibit permusuhan.
Jadi jangan harap kau pergi dari tempat ini dengan nyawa melekat di badan...!"
sahut Garbanaka semakin bertambah benci pada pemuda di depannya.
Maka tanpa banyak bicara lagi, lelaki kekar itu segera melompat disertai kibasan
pedangnya. "Hm..!"
Panji bergumam melihat serangan pedang yang siap merencah tubuhnya. Kaki
kanannya digeser ke samping sambil merendahkan kuda-kuda, ketika tebasan pedang
Garbanaka meluncur hendak menebas lehernya.
Whuttt..! Begitu pedang lawan lewat satu jengkal di atas kepala. Panji mengulurkan lengan
menyambar pergelangan lawan. Kecepatan geraknya sukar ditangkap mata, membuat
Garbanaka tak sempat mengelak. Dan...
Kreppp!Whuttt! "Desss...!"
"Aaargh...!"
Kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, hingga Garbanaka tidak tahu apa
yang telah menimpa dirinya. Tahu-tahu saja tubuhnya terlempar ke udara dengan
dada sesak. Setelah menangkap pergelangan tangan lawan, Panji langsung mengirimkan hantaman
telapak tangannya ke dada Garbanaka. Tanpa mempedulikan keadaan lelaki kekar
itu, Pendekar Naga Putih segera melompat turun dari atas panggung. Kemudian,
mengajak Kenanga segera pergi dari tempat itu.
Kenanga yang melihat Panji tiba-tiba saja berada di dekatnya, langsung bergerak
meninggalkan tempat itu. Para pengeroyoknya yang tinggal beberapa belas orang,
bergerak menyingkir dengan wajah gentar. Setelah lelaki bermuka hitam roboh di
tangan Kenanga, tidak ada lagi yang berani mencegah kepergian mereka membawa
Somanggala. Para pengeroyok itu hanya bisa memandang dengan hati penasaran dan
gentar. Pariji dan Kenanga yang tidak lagi dihalangi, terus bergerak meninggalkan tempat
itu. Arah yang mereka tuju bukan Desa Jati Mulya. Melainkan ke selatan desa yang
merupakan daerah perbukitan.
Garbanaka yang menyaksikan kepergian kedua
orang itu, hanya bisa menatap penuh dendam sambil mendekap dada. Jari-jari
tangan kanannya di-kepalkan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara berkerotokan
yang cukup keras.
'Tunggulah pembalasanku, Bocah Keparat! Ja-
ngan sangka tidak ada orang yang bisa mengalah-kanmu...," geram Garbanaka yang
berjanji dalam hati akan meminta bantuan gurunya.
Tubuh lelaki kekar itu meluncur turun dari atas panggung, setelah bayangan Panji
dan Kenanga lenyap dari pandangan. Dia hanya mendengus kasar kepada Ki Jarangka
yang sejak tadi bersembunyi.
"Bayaranmu belum bisa kuberikan, Garbanaka.
Somanggala belum sepenuhnya kau kalahkan...,"
ujar Ki Jarangka yang rupanya mengerti arti tatapan Garbanaka, hingga dia
langsung mengatakannya.
"Hm...."
Garbanaka menggeram gusar. Tapi tidak berani berbuat apa-apa. Karena di kiri dan
kanan Ki Jarangka ada empat orang tukang pukul lelaki gemuk itu. Sadar kalau
keempat tukang pukul itu bukan orang sembarangan, Garbanaka pergi meninggalkan
tempat itu setelah berkata dengan nada mengancam.
"Tunggulah kedatanganku untuk mengambil uang hasil kemenangan yang kuperoleh
tadi...!" Ki Jarangka hanya tersenyum sinis. Lelaki gemuk itu agaknya tidak merasa gentar
dengan ancaman Garbanaka. Dipandanginya punggung lelaki kekar yang berlalu dari
hadapannya itu. Kemudian, mengajak keempat tukang pukulnya pergi dari tempat
itu, setelah bayangan Garbanaka menjauh.
Panggung Kematian berdiri kokoh dengan segala keangkerannya. Tidak peduli pada
orang-orang yang pergi meninggalkan tempat itu satu persatu. Hingga tempat itu
kembali sunyi, tanpa satu sosok manusia pun terlihat. Hanya hembusan angin yang
bertiup keras dan pancaran matahari, menemani Panggung Kematian yang telah
banyak meminta korban.
* * * 5 Panji dan Kenanga berlari mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, menuju daerah perbukitan.
Untung daerah itu tidak terlalu gersang, cukup banyak pepohonan tumbuh di sana.
Hingga mereka bisa mencari tempat berteduh dan terhindar dari sengatan matahari
siang yang terasa menggigit kulit.
"Kita beristirahat di sini saja, Kenanga. Aku ingin memeriksa keadaan
Somanggala. Mudah-mudahan tidak mengalami luka dalam yang terlalu berat..,"
ujar Panji memperiambat larinya, lalu berhenti.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga memper-
lambat dan menghentikan larinya. Kemudian tubuh Somanggala yang sejak tadi
dipondongnya diserahkan kepada kekasihnya. Panji langsung menyambutnya, dan
merebahkan tubuh Somanggala di atas sebuah batu yang cukup besar dengan
permukaan datar, sehingga tidak menyakitkan Somanggala.
"Bagaimana, Kakang" Apa yang terjadi dengannya...?" tanya Kenanga tidak sabar.
Saat itu Panji masih memeriksa tubuh Somanggala. Dan melakukan totokan di
beberapa tempat yang merupakan jalan darah.
Tidak berapa lama kemudian, Panji mengangkat kepala disertai helaan napas berat.
Sehingga Kenanga semakin penasaran ingin segera mendapat jawaban dari
kekasihnya. "Hm.... Ada sejenis racun aneh di dalam tubuhnya. Tidak membunuh seketika, tapi
Mencari Bende Mataram 14 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 15