Pembunuh Bayaran 1
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran Bagian 1
PEMBUNUH BAYARAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pembunuh Bayaran
128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Saat itu matahari menampakkan sinar jingga di su-
dut cakrawala timur, menggantikan tugas malam yang
baru saja usai. Semilir angin sejuk yang membawa ke-segaran, menemani munculnya
sang Raja Siang. Ceri-
cit burung sesekali terdengar dari rimbun pepohonan, membuat suasana pagi
bertambah indah dan hidup.
"Kadipaten Balaraja...."
Ucapan itu keluar dari bibir seorang gadis bertubuh ramping yang mengenakan
pakaian serba hijau. Wajahnya demikian memancarkan pesona. Membuat ma-
ta lelaki tidak akan sudi melewatkannya, meski hanya untuk menatap sekilas.
Sepasang mata bulat berbulu
lentik miliknya, demikian terang laksana bintang pagi.
Perpaduan kulit yang putih halus laksana gumpalan
salju dengan pakaian berwarna hijau yang dikenakan, semakin menambah cahaya pada
kulit tubuhnya. Benar-benar seorang dara yang luar biasa. Tentunya
mampu membuat lelaki sudi bertekuk lutut di bawah
pesonanya. Dara jelita itu rupanya tidak seorang diri. Di sebelah kanannya terlihat pemuda
bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Penampilan-
nya pun tidak kalah menarik dengan dara jelita di sisinya. Meskipun tubuhnya
tidak terlalu kekar, namun terlihat padat dan kokoh. Sepasang matanya bersinar
tajam, memancarkan perbawa yang kuat. Wajahnya
yang bersih tampan dengan bibir yang selalu terse-
nyum ramah. Jelas, bahwa dia pun seorang pemuda
pilihan yang sangat menarik hati wanita.
Keduanya berdiri tegak menatap tembok batu se-
tinggi bahu, yang bertuliskan huruf-huruf besar dan
indah, sebagai tanda perbatasan sebuah kadipaten.
"Kita akan melewati Kota Kadipaten Balaraja. Ayo-
lah kita bergegas, mumpung hari masih pagi," ujar
pemuda tampan itu sambil menoleh ke arah dara jelita di sebelahnya. Melihat nada
bicara dan caranya menatap, jelas hubungan di antara mereka bukan sekadar
teman seperjalanan. Sudah pasti lebih dari itu.
"Ayolah, Kakang...," sahut dara jelita itu bernada riang serta menyiratkan
kemanjaan. Sepasang bola
matanya berkedip jenaka ketika berkata demikian.
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, menyen-
tuh wajah jelita yang begitu membakar asmara di ha-
tinya. Jelas, dia agak terpengaruh menyaksikan wajah yang semakin mempesona itu.
"Kau cantik sekali...," desahnya sambil membelai
wajah dara berpakaian serba hijau itu.
Dara itu sendiri tidak berusaha mengelak. Bahkan
tangannya diangkat, lalu ditekannya punggung tangan pemuda itu kuat-kuat ke
wajahnya yang halus. Terlihat pancaran kebahagiaan pada sepasang bola ma-
tanya mendengar pujian tadi.
"Betulkah ucapanmu itu, Kakang...?" tanyanya
manja dengan senyum meruntuhkan iman lelaki.
"Hm.... Untuk apa aku harus berdusta...?" sahut
pemuda tampan sambil menarik tubuh ramping itu da-
lam pelukan. Bibir merah merekah dan penuh pesona
itu dikecupnya sepenuh kasih. Dalam sekejap, kedua-
nya terlena dalam buaian dewi asmara.
Cukup lama keduanya terlupa keadaan sekitar. Ak-
hirnya pemuda tampan itu melepas pelukannya perla-
han, saat disadarinya gelora nafsu yang semakin
membakar dada. Kalau tidak segera dicegah, mereka
bisa terperosok semakin dalam. Perbuatannya menjadi tanda kalau dia adalah
pemuda yang digembleng ma-
tang, sehingga mampu menahan keinginan yang tidak
baik dalam dirinya.
"Kau terlalu cantik, Kenanga. Aku takut terperosok
apabila kita tidak segera menghentikannya...," desahnya dengan suara bergetar,
karena pengaruh buaian
dewi asmara yang melenakan barusan.
"Kau benar, Kakang. Aku pun hampir lupa diri...,"
aku dara jelita itu sejujurnya. Wajahnya tampak keme-rahan. Entah perasaan apa
yang terkandung dalam
hatinya saat itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjala-
nan ini...," sergah pemuda tampan, yang tak lain dari Panji, seraya melangkah
menyusuri jalan berbatu yang cukup lebar. Di sebelahnya, Kenanga mengikuti tanpa
kata. Tidak lama kemudian, mereka tiba di gerbang Kota
Kadipaten Balaraja. Keduanya agak heran melihat ke-
tatnya penjagaan gerbang masuk itu. Terlihat dari pemeriksaan yang dilakukan
para prajurit kadipaten terhadap beberapa pendatang.
"Entah sudah terjadi apa di Kota Kadipaten Balara-
ja, sehingga penjagaan demikian ketat, dan harus me-lalui pemeriksaan terlebih
dahulu...?" gumam Panji
sambil melangkah lambat, mendekati gerbang kota ka-
dipaten. Sedangkan Kenanga sama sekali tidak berkata-kata.
Dara jelita itu menjadi sedikit gelisah ketika disadari kalau di pinggangnnya
terselip senjata. Sebab, kalau memang ucapan Panji barusan benar, ada
kemungkinan pedangnya akan dilucuti dan disita penjaga ger-
bang. Walaupun begitu, kakinya tetap melangkah
mengikuti kekasihnya, karena mereka memang berniat
memasuki kota kadipaten itu.
"Kalian harap berhenti sebentar...!" seru seorang
prajurit sambil melangkah menghadang jalan, mena-
han Panji dan Kenanga. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya menuruti kehendak
prajurit itu. "Hm.... Kalian bukan penduduk Kota Kadipaten Ba-
laraja...?" tanya prajurit bertubuh sedang sambil meneliti wajah dan penampilan
kedua orang muda itu.
Sepasang matanya terhenti agak lama pada wajah dan
tubuh sintal Kenanga. Jelas, tersirat kekaguman yang tidak bisa
disembunyikannya.
"Kami memang bukan penduduk kota kadipaten ini,
Tuan. Tapi, apa ada larangan bagi orang luar untuk
memasuki kota ini...?" sahut Panji, sekaligus melontarkan pertanyaan kepada
prajurit tadi. "Sebenarnya tidak, kecuali kali ini. Karena kalian
adalah orang asing, maka kami terpaksa menahan ka-
lian untuk sementara...," ujar prajurit yang tampak mencurigai Panji dan
Kenanga. Wajah Panji tidak menunjukkan perubahan. Dimak-
luminya kalau prajurit itu hanya melaksanakan tugas.
Jadi, dia tidak bisa disalahkan. Selain itu, Panji melihat ada beberapa
pendatang lain yang juga ditahan
untuk diperiksa. Jadi, Panji pun tidak keberatan untuk diperiksa.
"Mari kalian ikut kami menghadap komandan jaga,"
kata prajurit itu lagi, bermaksud menggiring pasangan pendekar itu ke pos
jaganya. "Hey...! Kami bukan penjahat, kenapa harus dita-
han dan diperiksa seperti pesakitan" Aku kebera-
tan...!" Kenanga yang tidak bersedia untuk diperiksa, langsung mengemukakan
perasaannya tanpa kenal takut. Sebab, dia merasa tidak bersalah apa-apa.
"Maaf, Nisanak. Kami hanya melaksanakan tugas
dari senapati. Kuharap kalian tidak memperberat tu-
gas kami...," ujar prajurit bertubuh sedang itu.
"Sudahlah, Kenanga. Tak ada salahnya mengikuti
peraturan yang berlaku di kadipaten ini, selama tidak menyusahkan kita," bujuk
Panji menenangkan kekasihnya.
"Tapi, Kakang. Biasanya kalau kita menurut saja,
mereka akan berbuat sesuka hati...," bantah Kenanga tidak menuruti bujukan
Panji. Tentu saja Panji tidak tahu kekhawatiran kekasihnya jika Pedang Sinar
Rembulan yang melingkar di pinggangnya disita oleh prajurit kadipaten. Itu
alasan mengapa Kenanga merasa keberatan.
"Kenanga. Selama kita tidak berbuat macam-
macam, mereka tetap akan memperlakukan kita den-
gan baik. Kalaupun mereka berbuat kasar, mengapa
kita harus takut...?" bujuk Panji lagi dengan suara perlahan.
"Baiklah, Kakang," Kenanga akhirnya mengalah.
"Tapi Kakang harus berjanji untuk tidak mencegahku
apabila mereka melakukan hal yang tidak kuinginkan
..." "Aku berjanji...," jawab Panji, merasa tidak ada ru-ginya mengabulkan
syarat yang diajukan Kenanga.
Karena Kenanga sudah berhasil dibujuk, keduanya
pun digiring prajurit bertubuh sedang itu menuju pos jaga untuk dihadapkan
kepada komandan jaga mereka. "Tuan Komandan. Mereka adalah orang asing yang
hendak memasuki kota kadipaten. Kami menahan me-
reka untuk diperiksa...," lapor prajurit itu kepada seorang komandan bertubuh
gemuk dengan wajah bulat
dihiasi sepasang mata sipit, karena wajahnya keba-
nyakan lemak. "Hm.". Kau boleh kembali ke tempatmu...," perintah
komandan itu kepada prajurit yang membawa Kenanga
dan Panji. Sesaat setelah kepergian prajurit tadi, komandan
itu beringsut bangkit dari kursi. Kakinya melangkah terseret, mengitari Panji
dan Kenanga. Sikapnya terlihat demikian angkuh, seolah sedang memeriksa pesa-
kitan yang melakukan kesalahan.
"Kalian siapa, dan berasal dari mana...?" tanya ko-
mandan bermata sipit itu dengan nada sinis.
Mulutnya berkata demikian, tapi sepasang matanya
menjilati sekujur tubuh ramping Kenanga dengan la-
hap. Sehingga, bulu-bulu di tubuh dara jelita itu me-remang. Kenanga merasa
bukan sedang berhadapan
dengan manusia, melainkan seekor serigala lapar yang tergiur kijang muda. Kalau
saja di tempat itu tidak ada Panji, mungkin sudah dicongkelnya sepasang mata
kurang ajar itu.
"Nama hamba Panji, Tuan Komandan. Sedangkan
sahabat hamba ini bernama Kenanga. Kami adalah pe-
rantau yang tidak mempunyai tempat tinggal...," jawab Panji dengan nada hormat.
"Hm...!"
Komandan bermata sipit itu hanya bergumam tak
jelas mendengar jawaban Panji.
"Lalu, apa tujuan kalian ke kota kadipaten ini...?"
lanjutnya penuh selidik.
"Seperti yang hamba kemukakan tadi, kami adalah
pengembara yang mengikuti ke mana kaki kami me-
langkah. Datang ke Kota Kadipaten Balaraja ini sekadar singgah, tanpa maksud
tertentu," urai Panji, tetap dengan sikap hormat.
"Kalian tidak mempunyai sanak keluarga di kota
ini...?" "Tidak, Tuan Komandan...."
Sambil mengangguk-anggukkan kepala, kaki ko-
mandan bermata sipit itu kembali bergerak mengitari Panji dan Kenanga. Sepasang
matanya menjelajahi sekujur tubuh Panji maupun Kenanga. Wajahnya bersi-
nar kaget saat melihat sembulan gagang pedang di
pinggang bagian depan Kenanga. Langkahnya terhenti
tiba-tiba di depan dara jelita itu.
Kenanga menarik napas perlahan, menekan kema-
rahan yang meletup-letup dalam dadanya. Sebenarnya, dia sudah begitu jengkel dan
muak pada komandan
bermata sipit itu. Tapi, karena komandan itu belum
memperlihatkan sikap kurang ajar, Kenanga masih
menahan luapan amarah. Diam-diam hatinya berharap
agar orang menyebalkan itu berbuat di luar batas, agar ada alasan untuk
melabraknya. "Kalian orang-orang rimba persilatan, heh..."!" dengus komandan bermata sipit
itu agak kasar. Kali ini pertanyaannya ditujukan kepada Kenanga.
"Tepatnya kami adalah...."
"Diam! Aku tidak bertanya padamu...!" bentaknya
menggelegar, memotong kalimat Panji yang belum selesai. "Aku bertanya kepada
gadis ini, bukan kau! Mengerti"! Jadi, gadis ini yang harus menjawab, tidak
perlu kau wakili!"
Bentakan itu membuat hati Panji tidak senang. Ke-
palanya kemudian diangkat, dan ditentangnya pan-
dangan komandan itu dengan sinar mencorong meng-
getarkan jantung.
"Tuan Komandan! Pertanyaan tadi menggunakan
kata 'kalian'. Jadi jelas, siapa pun dari kami yang men-jawabnya tidak menjadi
soal. Selain itu, Tuan pun tidak berhak membentak salah seorang dari kami. Kami
bukan pesakitan yang dapat dihina dengan sesuka ha-
ti...," bantah Panji dengan suara mengandung perbawa menggetarkan hati komandan
bermata sipit itu. Se-
hingga, tubuhnya sempat beringsut mundur tanpa sa-
dar. Empat orang prajurit dalam ruangan cukup besar
itu langsung menggenggam gagang pedang masing-
masing. Mereka serentak maju melihat ketegangan terjadi antara kedua orang asing
dengan komandannya.
Tampaknya mereka siap turun tangan bila terjadi se-
suatu. Semula komandan bermata sipit itu agak gentar
dengan sorot mata dan sikap menentang yang ditun-
jukkan Panji. Namun, ketika teringat posisinya sebagai komandan, sikap angkuhnya
kembali muncul, mengu-bur kegentarannya.
"Hei, Orang Asing!" geramnya seraya menudingkan
jari telunjuk ke wajah Panji. "Aku bisa saja menghukum mu karena begitu lancang
melawan petugas! Si-
kap memberontak mu itu bisa membawamu ke dalam
penjara, tahu"!"
Melihat kekasihnya mulai bersitegang dengan ko-
mandan bermata sipit, Kenanga tidak menyia-
nyiakannya. Dengan wajah berang, kakinya digerak-
kan mendekati komandan gemuk yang telah mem-
buatnya muak sejak pertama kali melihat caranya
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang dirinya.
"Kau pikir kami akan menurut diancam seperti itu"
Kau salah, Tuan Komandan. Jangankan seorang ko-
mandan, kalaupun Adipati Balaraja sendiri melontar-
kan ancaman, kami sama sekali tidak takut! Mau di-
anggap pemberontak, silakan! Mau ditangkap dan di-
masukkan ke dalam penjara, boleh! Tegasnya, kami tidak suka caramu dan kami
tidak sudi lagi diperiksa
seperti pesakitan!" seru Kenanga dengan sepasang ma-ta berkilat penuh
kejengkelan. Setelah berkata demikian, dara jelita itu langsung
mengajak Panji meninggalkan tempat itu.
"Ayo kita pergi dari sini, Kakang...!"
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan
Kenanga. Dia pun tidak suka dengan komandan ber-
mata sipit itu. Kalau pada mulanya mau diperiksa, hal itu karena Panji mengira
akan diperlakukan secara
baik. "Hei, tunggu...! Jangan harap kalian dapat pergi begitu saja dari sini...!"
bentak komandan bermata sipit itu. Tubuh gemuknya melesat ke depan, bermaksud
mencegah kepergian pasangan pendekar muda itu.
Mulanya, baik Panji maupun Kenanga tidak mem-
pedulikan seruan tadi. Tapi, ketika mereka dikepung belasan prajurit kadipaten,
terpaksa keduanya me-nunda langkah.
"Tangkap mereka...!" perintah komandan itu kepada
para prajurit yang mengepung Panji dan Kenanga. Se-
pertinya dia tidak ingin banyak bicara lagi.
"Baik.... Jangan salahkan jika kami melawan. Ka-
lian terlalu memaksa...!" ujar Panji seraya mengedarkan pandang satu demi satu
pada wajah tegang para
pengepung. Lalu berhenti pada wajah penuh lemak
yang bermata sipit.
"Hm.... Kalian berdua memang sangat mencuriga-
kan. Patut dikaitkan dengan kejadian semalam," geram komandan bermata sipit itu
tanpa berani menentang
pandangan Panji. "Tangkap mereka hidup-hidup, teru-
tama gadis itu...!"
Sambil berkata demikian, jari telunjuk lelaki gemuk bermata sipit itu menunjuk
ke arah Kenanga. Maka,
tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit Kadipaten Balaraja itu langsung
menerjang dengan senjata di
tangan. "Kurang ajar! Monyet gendut ini benar-benar licik!
Bisanya hanya memerintah prajuritnya saja untuk
menyerang kita, sedang dia sendiri enak-enakan berdi-ri menonton. Akan kuberi
pelajaran monyet gendut kurang ajar itu...!" umpat Kenanga berang, melihat
kelicikan komandan bermata sipit itu. Tanpa dapat dice-
gah, tubuhnya melayang menuju sasaran.
"Hei..."!"
Bukan main terkejutnya komandan bermata sipit
itu ketika melihat sekelebat bayangan hijau meluncur deras ke arahnya. Merasa
ada sambaran angin kuat
datang mengancam kepalanya, tubuh gemuknya den-
gan susah payah menghindar ke belakang.
Kenanga yang sangat ingin memberi pelajaran ke-
pada komandan memuakkan itu, tak berhenti sampai
di situ. Tamparan-tamparannya datang bertubi-tubi diiringi sambaran angin
menderu, membuat komandan
bermata sipit itu menjadi kalang-kabut!
"Rasakan akibat kesombonganmu...!" bentak Ke-
nanga. Kakinya melontarkan sebuah tendangan kilat,
menyusul tamparan yang masih sempat dihindari la-
wan. Bukkk! "Hegkh...!"
Tendangan dara jelita itu singgah telak di perut
gendut lawannya. Tanpa dapat ditahan, tubuh gemuk
itu pun jatuh terguling-guling bermandi debu. Tapi, meski tubuhnya kelihatan
sulit bergerak, komandan
itu ternyata mampu bertindak gesit. Terbukti tubuhnya dapat langsung melenting
bangkit, dan segera bersiap menghadapi gempuran Kenanga berikutnya.
"Gila! Tidak kusangka kalau dara cantik yang terli-
hat lembut ini memiliki kepandaian tinggi...!" desis komandan bermata sipit itu.
Kini pedangnya sudah diloloskan. Senjata itu dipu-
tar demikian rupa membentuk gulungan sinar putih
yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Menilik
dari gerakan dan deru angin yang ditimbulkan, jelas dia memiliki tenaga dalam
yang cukup tinggi, meski
tentu saja masih jauh di bawah Kenanga.
"Rasakan pedangku, Gadis Binal...!" bentak koman-
dan bermata sipit itu. Kali ini, serangannya dibuka lebih dulu.
Bettt! Bettt! Pedang di tangan komandan bertubuh gemuk itu
berkelebatan cepat mencari sasarannya.
Namun serangan-serangan pedang itu sama sekali
tidak membuat Kenanga menjadi kewalahan. Hanya
mengandalkan kegesitan, setiap sambaran pedang la-
wan selalu saja dapat dihindari. Bahkan tangan dan
kaki dara itu terlihat lebih berbahaya ketimbang serangan pedang lawannya.
Sehingga, komandan itu ma-
lah menjadi kewalahan ketika tangan dan kaki dara jelita itu melancarkan
serangan balasan.
Bukkk! Desss. "Aaakh...!"
Pukulan dan tendangan Kenanga kembali singgah
di tubuh lawan. Kali ini kekuatannya telah ditambah.
Sehingga akibatnya pun lebih parah ketimbang ten-
dangan pertama tadi.
Komandan bertubuh gemuk itu merangkak bangkit
dengan tubuh terasa remuk. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Kenyataan
itu membuatnya menjadi
gentar. "Hm.... Kurasa pelajaran hari ini cukup membuat-
mu lain kali lebih berhati-hati...," ujar Kenanga, puas dengan hasil
perbuatannya. Setelah berkata demikian, tubuhnya berbalik lalu melayang ke arah
pertempuran lain yang masih berlangsung.
"Kakang, ayo tinggalkan tempat ini...!" seru dara jelita itu kepada Panji yang
masih menghadapi keroyo-
kan para prajurit.
Panji yang tidak sungguh-sungguh menghadapi la-
wan-lawannya, segera saja melesat bersama Kenanga
meninggalkan ajang pertempuran.
"Kejar...!" perintah seorang prajurit dibarengi lompatan untuk melakukan
pengejaran. Tapi, mana mereka
mampu mengimbangi kecepatan gerak pasangan pen-
dekar muda yang sakti itu. Sebentar saja mereka telah kehilangan buruannya.
Sedangkan kedua sosok yang
dikejar sudah demikian jauh dari jangkauan mereka.
*** 2 "Kita harus cari tahu; sebenarnya apa yang terjadi
di Kota Kadipaten Balaraja, Kakang. Kalau perlu, akan kudatangi Adipati Balaraja
untuk melaporkan sikap
prajuritnya yang mencoreng citra kadipaten itu," ucap Kenanga, mengungkapkan
rasa penasaran yang meng-ganjal hatinya.
Saat itu mereka duduk pada sebuah batu besar, da-
lam kerimbunan hutan kecil.
"Untuk menghadap adipati, tidak semudah perki-
raan kita, Kenanga. Selain harus menuruti peraturan yang rumit, kita pun harus
punya alasan tepat. Belum lagi kalau di antara penjaga istana kadipaten meminta
uang pelicin. Lebih baik buang saja pikiran untuk menemui Adipati Balaraja.
Mengenai kejadian yang
mungkin menggegerkan kadipaten itu, sudah menjadi
kewajiban kita menyelidikinya. Susahnya, mungkin ki-
ni kita jadi buronan kadipaten," jawab Panji, menimpali ucapan Kenanga.
"Ah! Apa sulitnya bagi kita memasuki sebuah kadi-
paten" Saat hari gelap, kita bisa menyusup masuk dan mencari tahu apa yang
terjadi di sana. Bagaimana menurut Kakang...?"
"Hm.... Kalau hanya menyelinap ke dalam kota ka-
dipaten, tentu saja tidak sulit. Tapi, apa mungkin semua penduduk tahu tentang
kejadian di dalam ko-
tanya" Sebab, seingatku komandan bermata sipit yang memeriksa kita sama sekali
tidak menjelaskan tujuannya mengadakan pemeriksaan. Hal itu membuktikan
kalau kejadian menggemparkan itu terjadi dalam ista-na kadipaten. Mereka sengaja
merahasiakan...," urai Panji lagi yang rupanya sangat teliti menghadapi segala
sesuatu, sampai-sampai ucapan komandan bermata
sipit yang memeriksa mereka masih dapat diingatnya
dengan baik. "Kalau begitu, kejadiannya pasti menyangkut kea-
manan Kadipaten Balaraja. Tidak mustahil kalau yang terlibat di dalamnya adalah
orang-orang penting," ujar Kenanga setelah terdiam beberapa saat, untuk men-
cerna ucapan kekasihnya.
"Menurutku pun demikian...," timpal Panji yang ru-
panya punya perkiraan serupa dengan Kenanga. "Biar
bagaimanapun kita harus tahu kejadian yang mem-
buat kadipaten itu geger...."
"Aku setuju, Kakang. Bagaimana kalau nanti malam
kita langsung menyelinap ke dalam istana kadipaten"
Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah lagi
bertanya ke sana-sini...," usul Kenanga penuh semangat.
"Hhh...."
Panji hanya menghela napas panjang. Diam-diam
Pendekar Naga Putih merasa bangga dengan semangat
petualangan Kenanga.
"Sebaiknya kita pikirkan dulu masak-masak segala
tindakan yang akan kita ambil. Selain itu, mungkin ki-ta tidak bisa mendapat
keterangan dalam waktu sing-
kat. Kuharap kau tidak terburu-buru dalam menyeli-
diki persoalan yang masih gelap ini...," nasihat Panji kepada dara jelita di
sisinya. Kenanga langsung mengerti. Terbukti dari anggu-
kan kepalanya perlahan.
"Percayalah, Kakang. Aku akan berhati-hati dan
mencoba sabar menghadapi segala sesuatunya...."
Bibir Panji tersenyum melihat sikap Kenanga. Ke-
mudian, mulai mengatur rencana untuk menyelidiki
pergolakan yang mungkin terjadi di Kota Kadipaten
Balaraja. "Ada orang datang...," bisik Panji tiba-tiba.
Saat keduanya membicarakan rencana penyusupan
ke dalam istana kadipaten, telinga Panji menangkap
langkah kaki menuju tempat mereka berada.
"Mungkin hanya pencari kayu yang hendak lewat,
Kakang...," sergah Kenanga seperti tidak menaruh curiga.
"Biar bagaimanapun, kita harus tetap waspada. Kau
ingat, kita baru saja membuat keributan di gerbang
kadipaten" Siapa tahu yang datang itu utusan kadipaten yang sengaja diperintah
membekuk kita...," ujar Panji membantah dugaan Kenanga. Sekaligus mengingatkan
dara jelita itu bahwa mereka kini merupakan buronan Kadipaten Balaraja.
"Maaf aku lupa, Kakang...," sesal dara jelita itu perlahan.
Kemudian, Kenanga ikut menajamkan indera pen-
dengarannya. Wajahnya berubah sungguh-sungguh,
setelah telinganya menangkap langkah kaki itu.
"Langkah kaki mereka demikian ringan, Kakang. Je-
las orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak
rendah," tuturnya lagi setengah berbisik.
Kepala Panji mengangguk sebagai tanggapan atas
ucapan kekasihnya. Satu jarinya digerakkan, memberi isyarat pada Kenanga agar
mereka pindah ke tempat
yang lebih tersembunyi. Tanpa suara, tubuh Panji melenting ringan ke sebuah
dahan pohon besar. Kenanga lalu menyusulnya.
Tidak lama kemudian, muncul tiga lelaki yang ber-
lari melewati tempat Panji dan Kenanga semula duduk.
Celakanya, ketiga lelaki itu menghentikan larinya, tak jauh dari persembunyian
pasangan pendekar muda
itu. Sehingga, baik Panji maupun Kenanga mengatur
pernapasan sehalus mungkin agar tidak tertangkap
indera pendengaran ketiga orang itu. Sebab, keduanya yakin kalau mereka bukan
orang-orang sembarangan.
"Hm.... Ke mana perginya mereka" Hampir seluruh
pelosok hutan kecil ini telah kita jelajahi. Tapi, hasil-nya tetap nol!" gerutu
lelaki gemuk dan kekar, yang hanya mengenakan rompi sebagai penutup tubuh
sebelas atas. Suara lelaki itu parau dan berat, dengan sepasang
mata tajam mencorong, pertanda kalau dirinya seorang ahli tenaga dalam.
"Mungkin kedua orang itu sudah pergi jauh me-
ninggalkan daerah ini, Kakang Dawanta. "Sebaiknya
kita kembali saja melaporkan seadanya...," sahut orang kedua, bertubuh agak
kurus dan sedikit lebih tinggi dari orang pertama.
Dia mengenakan jubah berwarna biru tua, yang
terbuka pada bagian dadanya. Dari, balik jubah itu
terlihat pisau-pisau kecil berbaris rapi. Mudah ditebak,
kalau lelaki berwajah agak pucat itu seorang ahli senjata rahasia.
"Benar apa yang dikatakan Adi Songgara barusan.
Sebaiknya kita kembali saja dan melaporkan hal ini,"
timpal orang ketiga.
Tubuhnya jauh lebih pendek dari kedua orang ka-
wannya. Bahkan bisa dikatakan kalau orang ketiga itu bertubuh cebol. Meskipun
demikian, baik Dawanta
maupun Songgara terlihat menaruh rasa segan kepa-
danya. Mungkin karena lelaki cebol itu lebih tua di antara mereka bertiga,
sekaligus merupakan pemimpin
ketiganya. Mendengar ucapan itu, Dawanta tidak segera me-
nyahut. Lelaki kekar dan kokoh bagai batu karang itu malah terdiam sambil
mengawasi sekitarnya dengan
mata menyipit. Kedua orang kawannya hanya bisa sal-
ing pandang melihat tingkah Dawanta.
"Siapa ketiga orang itu, Kakang...?" Kenanga yang
mengintip dari sela-sela dedaunan, berbisik kepada
Panji di sebelahnya. Sejak tadi diperhatikannya ketiga orang itu, dan dicoba
untuk mengenalinya. Setelah
memutar otak tanpa bisa mengenali mereka, akhirnya
Kenanga bertanya kepada Panji.
"Entahlah. Aku belum mengenal mereka, Kenanga.
Mungkin ketiga orang itu baru keluar dari tempat tinggalnya," sahut Panji yang
juga tidak bisa mengetahui siapa adanya ketiga orang lelaki yang kelihatan
memiliki tatapan mata dingin yang menyembunyikan keke-
jaman mengerikan itu.
Sedangkan tiga orang itu sepertinya sudah men-
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gambil keputusan untuk pergi. Terlihat mereka me-
langkah melewati pohon tempat Panji dan Kenanga
bersembunyi. Sehingga, pasangan pendekar muda itu
terpaksa menahan napas kembali. Tapi sesuatu di luar
perhitungan terjadi.
"Aaah...! Setan...!" pekik Kenanga tiba-tiba. Tubuhnya serabutan tak terkendali
sambil mengumpat jeng-
kel. Panji tentu saja terkejut ketika melihat kekasihnya sibuk mengebut-
ngebutkan pakaian. Pemuda tampan
berjubah putih itu tidak perlu bertanya lagi ketika sepasang matanya mengerling
ke dahan yang diduduki,
dilihatnya semut-semut merah berduyun-duyun me-
nuju ke arahnya.
"Hm.... Rupanya binatang ini penyebabnya," desis
Panji. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya meluncur
turun dari atas pohon itu, menyusul Kenanga yang lebih dahulu meluruk panik.
Sedangkan tiga orang lelaki yang hendak mening-
galkan tempat itu mendadak membalikkan tubuh saat
mendengar teriakan seorang gadis dari atas pohon.
Kaki mereka serentak mundur melihat tubuh ramping
meluncur turun dari atas pohon yang sibuk mengebut-
ngebutkan pakaiannya. Sehingga, ketiganya terpaku
beberapa saat. Mereka baru sadar ketika melihat tubuh lain berjubah panjang yang
berwarna putih me-
nyusul turun. "Setan! Kiranya mereka bersembunyi di atas po-
hon...!" geram Dawanta, menjadi marah karena merasa dipermainkan.
Tahan, Kisanak...!" cegah Panji. Langsung saja dia
bergerak maju untuk melindungi kekasihnya.
Sementara, Kenanga masih sibuk membersihkan
pakaian dari rayapan semut-semut merah.
Dawanta menahan langkah ketika melihat pemuda
tampan berjubah putih itu berdiri menghadang. Sepa-
sang matanya menatap penuh selidik.
"Hm..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" tanya Dawanta sinis, seperti tidak percaya kalau pemuda tampan di
depannya adalah orang yang
berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Bagaimana kalau kalian lebih dulu memper-
kenalkan diri. Setelah itu, baru aku dan kawanku
akan memperkenalkan nama kami. Cukup adil, bu-
kan?" ujar Panji, lebih dulu ingin mengetahui dengan siapa dia berhadapan Tentu
saja jawaban yang tak diharapkan itu membuat Dawanta naik darah.
Songgara dan Malingga melangkah maju dengan
mata dingin menusuk jantung, lalu berdiri mendam-
pingi Dawanta. Tiga pasang mata mereka menjelajah
sekujur tubuh Panji dari ujung kaki sampai ujung
rambut. "Bocah...," desis Malingga dengan suara serak,
sambil menentang pandangan Panji. "Jawab saja per-
tanyaan kami atau kau akan menyesal telah dilahirkan ibumu ke dunia ini...!"
Panji sama sekali tidak marah atau kelihatan gen-
tar, bahkan tatapan Malingga dibalas dengan sikap tenang. Pemuda itu tersenyum
sambil menghela napas
perlahan. "Kisanak. Seingatku kita belum pernah bertemu se-
belumnya. Mengapa kalian bertiga tampak sangat
membenci dan memusuhiku" Mungkin kalian keliru
mengenali orang," sahut Panji. Masih juga belum menjawab pertanyaan ketiga orang
itu. "Mau apa mereka, Kakang" Apakah kita yang mere-
ka cari?" Kenanga yang baru selesai dengan urusan-
nya, bertanya kepada Panji. Sepasang mata dara jelita itu meneliti tiga orang di
depannya. "He he he...! Kau betul-betul beruntung, Bocah. Da-
ri mana kau dapatkan bidadari itu..." Boleh kami me-minjamnya barang semalam?"
Songgara yang rupanya
seorang lelaki mata keranjang, langsung tergiur melihat kejelitaan dan kemolekan
Kenanga. Lelaki kurus
bermata dingin itu sampai meneguk air liur yang hampir menetes.
"Kurang ajar...!" desis Kenanga yang tidak bisa lagi menahan kemarahannya
mendengar ucapan tak bera-dat itu.
"Sabar, Kenanga...," cegah Panji sambil memegang
lengan kekasihnya untuk mencegah melabrak lelaki
kurus berwajah pucat itu.
"Untuk apa berdebat dengan iblis-iblis seperti mere-ka, Kakang. Kalau mereka
hendak mencelakai kita,
mengapa tidak kita layani saja" Kalau dibiarkan, sikap mereka pasti akan semakin
kurang ajar...," bantah Kenanga dengan kemarahan yang meluruk sampai ke
ubun-ubun. "Bagus, Bidadari Cantik. Kau pasti tidak akan me-
nyesal bila melayaniku di ranjang...," cemooh Songgara lagi, membuat Kenanga
memberontak dari cekalan
tangan kekasihnya. Panji tidak bisa mencegah lagi, justru pegangannya sengaja
dikendurkan. Dianggapnya
kata-kata Songgara telah melewati batas.
"Pecah mulutmu...!" bentak Kenanga yang langsung
melakukan tamparan ke wajah Songgara.
Whuuut...! Songgara tentu saja tidak sudi wajahnya dibuat ca-
cat oleh dara jelita itu. Cepat tubuhnya ditarik mundur satu langkah, sambil
menyiapkan serangan balasan.
Kenanga tidak mau memberikan kesempatan kepa-
da lawannya untuk membalas. Begitu tamparannya
luput, tangannya kembali menurunkan tamparan-
tamparan kuat. "Hebat..!" Songgara mau tak mau memuji kecepatan
gerak dan kelincahan dara jelita itu. Sadar dia akan
celaka kalau terus-menerus mengelak, maka tamparan
berikutnya ditangkis.
Plakkk! "Akh..."!"
Bukan main terkejut hati Songgara ketika lengan
yang digunakan untuk menangkis terpental balik!
Bahkan terasa nyeri dan membuat kuda-kudanya ter-
seret sejauh empat langkah.
Kenanga tak kalah terkejut merasakan telapak tan-
gannya panas akibat benturan itu. Dia lantas paham
kalau lelaki kurus berwajah pucat itu ternyata memiliki tenaga dalam kuat.
Mungkin hanya setingkat di bawahnya, karena dia sendiri tidak sampai, terjajar
mundur akibat benturan keras tadi.
Untuk sesaat, pertempuran itu terhenti. Songgara
telah menggeser langkah ke samping kanan, siap
menghadapi serangan lawan berikut. Kenanga sendiri
mempersiapkan jurus-jurusnya. Disadari kalau lawan-
nya tidak bisa dipandang ringan.
*** "Haiiit...!"
Diiringi sebuah pekik melengking, Kenanga mence-
lat ke depan dengan serangan-serangan yang jauh le-
bih hebat dari sebelumnya. Kaki dan tangannya bergerak cepat melakukan tamparan-
tamparan dan tendan-
gan yang menerbitkan deruan angin tajam!
"Heaaa...!"
Songgara tidak tinggal diam. Tubuhnya bergerak
maju menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar
saja keduanya sudah saling terjang dengan jurus-jurus pilihan.
Melihat kekasihnya terlibat dalam sebuah pertarun-
gan sengit, Panji sadar kalau keadaan memang tidak
mungkin bisa diubah lagi. Dengan langkah tenang,
pemuda tampan itu bergerak mendekati dua orang
lainnya, Dawanta dan Malingga.
Kedua lelaki bermata dingin itu sepertinya sudah
bersiap untuk menggebrak Panji. Begitu melihat pe-
muda berjubah putih itu melangkah maju, Dawanta
dan Malingga merenggang ke kiri dan kanan. Jelas,
kedua orang itu hendak mengeroyok Panji dari dua
arah. "Jawablah pertanyaan kami yang terakhir, Bocah!
Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih..."!"
bentak Malingga kasar. Rupanya dia masih penasaran
karena belum mendapat kepastian tentang jati diri
pemuda tampan berjubah putih itu. Itu sebabnya, se-
belum bertarung, pertanyaan itu kembali dilontarkan.
"Hm.... Siapa pun aku, itu tidak penting. Katakan
dulu, siapa kalian bertiga, dan apa maksud kalian
mencariku...?" sahut Panji, masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Malingga.
Pemuda itu sengaja hen-
dak membuat lawannya penasaran.
"Keparat! Bocah keras kepala! Rupanya kau lebih
suka mampus daripada memperkenalkan namamu...!"
geram Malingga jengkel bukan main. Dia merasa di-
permainkan oleh seorang pemuda seperti Panji. Tanpa banyak cakap lagi, langsung
saja tubuh cebolnya melesat dengan sebuah serangan maut mematikan ke
arah kepala Panji.
"Remuk kepalamu, Bocah...!" teriak Malingga berin-
gas. Bibir Panji memperlihatkan senyum meledek men-
dengar teriakan lawan. Pendekar Naga Putih hanya
menggeser kaki kanannya seraya memutar tubuh.
Disusul satu kibasan lengan ke punggung lawan.
"Yeaaah...!"
Malingga kaget melihat kecepatan gerak lawan yang
hampir tidak bisa ditangkap oleh matanya itu. Segera dia membentak nyaring
sambil memutar tubuh dengan
kuda-kuda rendah. Tangan kanannya dilintangkan ke
depan, memapaki kibasan lengan Panji yang disertai
tenaga dalam kuat. Akibatnya....
Dukkk! "Ahhh..."!"
Bukan main terperanjatnya Malingga ketika tangki-
sannya justru membuat tubuhnya hampir terjengkang
ke tanah. Untunglah tubuhnya masih sempat dikuasai
dengan melambung ke udara dan berputar beberapa
kali sebelum kakinya menjejak tanah.
"Hmhhh...!"
Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada,
Malingga menggereng keras. Kedua lengannya diki-
baskan ke kiri dan kanan bersama bentakan lantang.
Gerakan itu dilakukannya untuk mengusir hawa din-
gin yang membekukan aliran darah di tubuhnya.
"Keparat! Tenaga yang kau gunakan itu pasti 'Tena-
ga Sakti Gerhana Bulan'. Tidak salah lagi, kau me-
mang benar-benar Pendekar Naga Putih. Tapi, menga-
pa kau begitu pengecut untuk mengakuinya?" desis
Malingga dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu
membunuh. "Hm..., aku tidak mengenal siapa kalian. Aku juga
tidak tahu apa maksud kalian mencari serta memusu-
hiku. Jadi untuk apa aku memperkenalkan nama ka-
lau akhirnya kita akan bertarung juga...?" jawab Panji dengan raut wajah yang
tetap tenang, membuat kemarahan Malingga semakin menjadi-jadi.
"Bocah sombong! Kau tidak perlu tahu julukan ka-
mi! Yang jelas, kami datang untuk membunuhmu...!"
bentak Malingga. Kembali disiapkannya jurus baru untuk menggempur Pendekar Naga
Putih. Wunggg! Tiba-tiba saja telinga Panji menangkap deruan ta-
jam dari belakang. Cepat kepalanya menoleh, dan
langsung merunduk ketika melihat sebuah benda bu-
lat meluncur menuju kepalanya.
Ketika benda bulat itu hanya lewat satu jengkal di atas kepala Panji, benda itu
langsung berputar balik, lalu kembali mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Blarrr...! Terdengar ledakan keras bagai mengguncang bumi
ketika, benda bulat itu menghantam tanah tempat
Panji berpijak. Untunglah pemuda itu telah melempar tubuh ke udara dan langsung
berputar sebelum mendarat di permukaan tanah.
"He he he...! Sebentar lagi kepalamu pasti akan re-
muk oleh bola bajaku ini, Pendekar Naga Putih...!" ujar Dawanta seraya tertawa
parau. Rupanya lelaki kekar berotot itu yang menyerang
Pendekar Naga Putih secara licik. Dawanta memutar
senjata andalannya yang berbentuk rantai dengan
ujung bola berduri di atas kepalanya.
Panji mengangkat kepala menatap bola berduri yang
menderu di atas kepala lawannya yang bertubuh ke-
kar. Disadari kalau senjata lawan sangat berbahaya.
Terbukti tanah tempatnya berpijak tadi telah berlu-
bang besar terhantam bola baja berduri itu. Pendekar Naga Putih memutar otak
untuk mencari cara menghadapi lawan bersenjata aneh yang baru kali ini dite-
muinya. *** 3 "Yeaaah...!"
Disertai bentakan nyaring, Dawanta melontarkan
bola berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.
Whusss...! Senjata maut yang mengerikan itu meluncur den-
gan kecepatan tinggi. Panji yang sudah memper-
siapkan diri untuk menghadapi senjata maut itu, baru menggeser tubuh saat bola
itu tinggal satu jengkal dari tubuhnya. Gerakan menghindar secepat kilat tadi
tidak sulit dilakukan Panji, karena ilmu meringankan
tubuhnya memang telah mencapai tingkat kesempur-
naan. Baru saja terhindar dari serangan yang satu, seran-
gan lainnya sudah datang mengancam.
Jtarrr... ctarrr...!
Suara ledakan cambuk yang menyakitkan telinga
itu, datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar
Naga Putih. Rupanya, Malingga pun telah mempergu-
nakan senjata andalan untuk mengeroyok Panji. Tentu saja pemuda itu semakin
terkejut dan kagum melihat
kehebatan lawan-lawannya. Hatinya bertanya-tanya,
siapa gerangan tiga lelaki bermata dingin yang berkepandaian tinggi itu" Dan,
mengapa mereka memusu-
hiku" Tapi, Pendekar Naga Putih tidak sempat memikir-
kan jawaban semua pertanyaan yang memenuhi be-
naknya. Karena dia harus menyelamatkan diri dari ancaman ujung cambuk yang
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengincar setiap jalan da-
rah besar di tubuhnya.
Ketika ujung cambuk datang mengancam untuk ke-
sekian kalinya, Panji yang ingin mengetahui kekuatan
lawan secara pasti, langsung mengibaskan lengan,
memapaki patukan ujung cambuk. Dan....
Prattt...! "Aaah...!"
Malingga terpekik saat ujung cambuknya terpental
balik akibat kibasan lengan lawan. Bahkan, hawa dingin yang mengalir dari
telapak tangan lawan sampai
pada telapak tangannya. Membuat lengannya menjadi
kaku beberapa saat lamanya.
"Heaaah...!"
Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
Segera saja jarinya menusuk deras ke tubuh lawan.
Tukkk! "Aaakh...!"
Tusukan jari tangan Pendekar Naga Putih telak
mengenai sasaran. Akibatnya, tubuh Malingga ter
jengkang ke belakang, lalu jatuh berguling-guling. Jelas hantaman yang
dilontarkan Panji terlalu kuat baginya, karena pemuda itu mengerahkan tenaga
dalam- nya lebih dari separoh.
"Uhhh...!"
Meskipun dengan tulang iga terasa remuk, Malingga
berusaha bangkit untuk melanjutkan pertarungan.
Darah segar mengalir turun dari sudut bibirnya, pertanda kalau hantaman jari-
jari tangan Pendekar Naga Putih mengakibatkan luka dalam yang lumayan parah.
"Haaat...!"
Bagai tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita, Malingga kembali melesat ke
tengah arena. Saat itu
Panji berusaha keras melumpuhkan senjata maut di
tangan Dawanta yang menerjang bertubi-tubi.
Wunggg...! Untuk kesekian kalinya bola maut itu mengancam
batok kepala Pendekar Naga Putih. Kali ini Panji hanya
merunduk, dan segera mengangkat tangan saat bola
maut itu lewat di atas kepalanya.
Dan.... Wrettt! Rantai maut Dawanta langsung terjerat di pergelan-
gan tangan Panji. Lalu secepat kilat tangannya men-
cengkeram rantai senjata maut itu, membuat Dawanta
terperangah melihat senjatanya dapat dilumpuhkan
lawan. "Hahhh!"
Disertai bentakan menggeledek, Dawanta menge-
rahkan seluruh tenaga untuk membetot rantai di tan-
gannya. Rrrttt..! Rantai baja itu menegang ketika Panji mempererat
genggamannya serta menambah kekuatannya ketika
merasakan tenaga lawan benar-benar sangat kuat Ter-
jadilah adu tarik yang menegangkan, membuat rantai
baja yang menjadi ajang adu kekuatan itu berderak-
derak. "Haiiit...!"
Saat Dawanta mengerahkan segenap kekuatannya
agar dapat merebut senjata mautnya kembali, tiba-tiba saja Panji mengendurkan
tarikannya, dan membiarkan
dirinya melayang terbawa sentakan lawan. Hal itu bukan berarti kalau kekuatan
Dawanta lebih besar. Na-
mun, Panji memang menghendaki hal itu.
Dengan memanfaatkan tenaga sentakan lawan, tu-
buh Panji melesat bagai anak panah menuju Dawanta.
Sebelum Dawanta sempat menyadari yang terjadi, ten-
dangan Panji telah mengancam dadanya.
Desss...! Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak kaki Panji yang dialiri 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan', mendarat telak di
dada Dawanta! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun, tubuh kekar itu terpental deras ke
belakang. Darah segar termuntah, membasahi tanah di bawahnya. Kendati demikian,
rantai berujung bola
berduri itu tidak terlepas juga dari tangannya. Karena ujung lainnya terikat
erat di pergelangan lengan kanan Dawanta.
Semula Panji hendak memutuskan rantai yang teri-
kat di pergelangan tangannya. Tapi, terpaksa niatnya itu ditunda, karena saat
itu Malingga merangsek kembali dengan serangan pecutnya. Sehingga, Panji ter-
paksa harus menggeser tubuh untuk menghindari le-
cutan cambuk lawan.
"Hiaaah...!"
Tanpa terlepas dari libatan rantai pada pergelangan tangannya, Panji bergerak
menghindar dan secepat kilat melangkah maju begitu ujung cambuk lawan luput.
Kemudian, kaki kanannya mencelat ke iga kanan la-
wan. Bukkk! "Huakkkh...!"
Untuk kedua kalinya, tubuh Malingga terpental ke
belakang. Kali ini mulutnya memuntahkan darah segar akibat tendangan sekeras
palu godam yang menimpa
tubuhnya. Untuk kesekian kalinya tubuh cebol itu jatuh terguling-guling. Bahkan
kali ini mendapat kesu-karan untuk dapat segera bangkit.
"Aaakh...!"
Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Maling-
ga, terdengar jerit kesakitan lain. Kemudian disusul dengan melayangnya sesosok
tubuh kurus yang kemudian terbanting di atas tanah, tidak jauh dari tempat
Malingga terjatuh.
"Adi Songgara..."!" rintih Malingga melihat siapa
yang terbanting itu. Lelaki cebol itu nampak kaget melihat cairan merah
termuntah juga dari mulut rekan-
nya itu. - "Lari...!"
Setelah berseru begitu, Malingga terseok-seok mela-
rikan diri dari tempat itu. Disusul oleh Dawanta yang terpaksa harus melepaskan
senjatanya. Melihat kedua rekannya telah melarikan diri, Song-
gara bergegas bangkit dan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
"Hei! Jangan harap kalian dapat lolos begitu saja...!"
Kenanga yang tak sudi melepaskan lawan-lawannya,
melesat untuk melakukan pengejaran.
"Kenanga, tahan...!" cegah Panji. Dia sadar kalau
ketiga orang itu adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Bisa saja mereka berbuat licik untuk melepaskan diri dari kejaran Kenanga.
Apa yang diduga Panji ternyata tidak meleset Pemu-
da itu melihat Songgara mendadak berbalik, dan men-
gibaskan lengannya ke arah Kenanga.
Syuuut... syuuut..!
Terdengar desingan halus diiringi kilatan sinar pu-
tih yang meluncur ke arah Kenanga yang berada dua
tombak dari Songgara.
"Hait..!"
Sadar kalau benda berkilau itu adalah pisau-pisau
terbang sebagai senjata rahasia Songgara,
Kenanga langsung melolos Pedang Sinar Rembulan
dari pinggangnya. Kemudian, dengan gerakan menyi-
lang, dihalaunya ketiga pisau kecil itu.
Darrr... darrr..,!
Hati Kenanga terkejut bukan main ketika benda itu
mendadak meledak saat berbenturan dengan senja-
tanya. Asap tipis yang harum menebar di sekitar tubuh dara jelita itu. Sesaat
kemudian Kenanga jatuh tak sadarkan diri. Kedua bagian lengan pakaiannya ter-
koyak, seperti terbakar api.
"Kenanga...!" seru Panji khawatir.
Tubuhnya segera melesat menghampiri kekasihnya
yang tergeletak pingsan.
"Kenanga...," desis Panji sambil memeriksa keadaan
kekasihnya. Wajah Pendekar Naga Putih terlihat agak cemas ketika mengetahui
kekasihnya terkena jenis racun ganas yang mematikan.
Setelah menotok beberapa bagian tubuh kekasih-
nya, Panji mengangkat tubuh lunglai dara jelita yang dicintainya itu. Kemudian,
dibawanya ke tempat yang lebih aman, agar dapat mengobatinya dengan tenang.
Sementara itu, kegelapan merayap perlahan, me-
nyelimuti permukaan bumi. Angin dingin berdesir lembut, menyambut datangnya dewi
malam di cakrawala
yang mulai menampakkan keanggunan cahayanya.
*** Bayangan putih itu bergerak menerobos sepinya
malam di bawah sinar bulan yang redup. Jubah putih-
nya berkibar mengikuti gerakannya yang cepat bagai
bayangan hantu. Di bahu kanannya terlihat sesosok
tubuh lain, tergantung lemah tak berdaya. Sosok berjubah putih itu terus melesat
ke selatan dengan cahaya rembulan sebagai penerang jalan.
Tidak berapa lama kemudian, sosok berjubah putih
itu menghentikan larinya. Setelah terdiam sesaat sambil menatap tajam sebuah
pondok sederhana di de-
pannya, kakinya melangkah perlahan mendekati pintu
pondok. Tok, tok, tok! Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, sosok
yang ternyata pemuda berjubah putih itu mundur dua
tindak. Dinantinya sang Empunya rumah membuka-
kan pintu baginya.
"Siapa di luar...?" tanya suara gemetar dari dalam
rumah. "Maaf kalau aku mengganggu. Aku seorang pen-
gembara yang membutuhkan pertolongan. Tidak usah
cemas, aku bukan orang jahat..," sahut pemuda berjubah putih dengan lantang dan
jelas hingga terdengar ke dalam rumah.
"Carilah tempat lain. Kami tidak mempunyai apa-
apa yang bisa menolongmu...!" sahut pemilik rumah
sederhana itu, belum juga mau membukakan pintu.
Rupanya dia belum mempercayai jawaban yang baru-
san didengarnya.
"Bukalah! Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat Temanku sedang sakit, dan dia harus segera ditolong...!" pinta
pemuda berjubah putih, setengah memaksa. Setelah berkata demikian, kakinya me-
langkah, lalu telapak tangannya ditempelkan pada
daun pintu. Kreeek...! Tanpa kesulitan sedikit pun, daun pintu itu lang-
sung terdorong, padahal pemuda berjubah putih itu
sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga.
"Ahhh...!"
Terdengar jeritan tertahan dari dalam rumah. Lelaki berusia sekitar lima puluh
lima tahun, yang sejak tadi telah menunggu dengan jantung berdetak tegang,
langsung menyambar sebilah golok di bilik rumahnya.
Kemudian, diserbunya bayangan putih yang menyem-
bul dari balik daun pintu.
"Perampok keparat! Mampus kau...!" bentaknya
bergetar. Disusul kelebatan sinar putih yang meluncur ke arah tamu tak diundang
itu. Orang yang dirangsek hanya memiringkan tubuh,
dan menerima bacokan itu dengan pangkal lengan.
Trakkk! Bacokan mata golok itu memang tepat mengenai sa-
saran. Tapi, yang terjadi justru sangat mengejutkan si pemilik rumah. Sebab,
orang yang diserangnya sama
sekali tidak berteriak kesakitan, apalagi sampai mengeluarkan darah. Malah golok
di genggamannya ter-
lempar begitu saja ke tanah. Tubuh pemilik rumah itu terjajar mundur sambil
meringis memegangi pergelangan tangan yang terasa sakit bukan main.
"Maaf, Paman. Aku sama sekali tidak bermaksud
menyakiti. Aku hanya butuh tempat yang baik untuk
mengobati sahabatku yang keracunan...," ujar pemuda berjubah putih itu. Kakinya
kembali melangkah tenang, lalu tangannya diulurkan kepada si pemilik rumah.
Ketika wajah pemuda berjubah putih itu tertimpa
sinar lampu minyak, hati pemilik rumah itu agak sedikit lega. Sebab, dilihatnya
wajah pemuda itu tidak
menggambarkan sifat-sifat jahat.
Pemuda tampan yang tak lain dari Panji itu, terse-
nyum seraya menganggukkan kepala. Kemudian tan-
gannya yang terulur itu, memijat lengan orang tua di depannya dengan pengerahan
'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Hawa dingin tiba-tiba mengalir dari jari-jari pemuda itu, membuat rasa
nyeri pada pergelangan
pemilik rumah langsung lenyap.
"Ohhh..."!"
Mulut lelaki tua itu sampai ternganga ketika mera-
sakan semua itu. Apalagi ketika dirasakan betapa
nikmatnya pijatan itu.
"Kau..., kau siapakah...?" tanya orang tua itu terga-gap. Sepertinya dia menduga
kalau tamunya sebangsa
siluman. Tentu saja Panji yang melihat gelagat itu
menjadi tersenyum.
"Namaku Panji, Paman. Dan aku membutuhkan
tempat untuk mengobati luka kawanku ini. Aku seo-
rang manusia biasa, sama seperti Paman," jelas Panji, membuat orang tua itu
mengangguk-angguk, menyadari kekeliruannya.
"Silakan, Nak Panji...," ujar orang tua itu, sudah
merasa yakin kalau pemuda tampan berjubah putih
itu bukan orang jahat, atau sebangsa siluman. Segera diajaknya Panji ke sebuah
kamar, dan mengizinkannya untuk digunakan.
"Terima kasih, Paman...," ucap Panji. Segera tubuh
Kenanga direbahkannya di atas balai-balai bambu
yang kelihatan sudah cukup tua itu.
"Kalau kau memerlukan sesuatu, silakan ambil
sendiri di belakang. Aku hendak beristirahat...," pamit orang tua itu. Rupanya
dia tidak mau mencampuri
urusan tamunya. Kemudian, bergerak keluar dari da-
lam kamar itu. Sepeninggal orang tua itu, Panji mulai melakukan
pengobatan terhadap kekasihnya. Setelah merasa ya-
kin kalau keadaan Kenanga sudah tidak terlalu berbahaya, Panji pun melepaskan
lelah sambil bersemadi.
Hal itu lebih berguna ketimbang tidur. Karena dengan melakukan semadi, tubuhnya
akan cepat terasa segar.
***
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uhhh...."
Panji sudah menyelesaikan semadi dan menunggu
kekasihnya siuman. Dihampirinya balai-balai bambu
tempat Kenanga terbaring, dan duduk di tepinya.
Perlahan-lahan sepasang mata indah dara jelita itu
terbuka. Bibirnya bergerak ketika melihat seraut wajah tampan tengah tersenyum
kepadanya. "Kaukah itu, Kakang...?" tanya Kenanga yang ru-
panya masih samar-samar mengenali Panji.
"Benar, Kenanga. Tetaplah berbaring, kau masih
terlalu lemah," cegah Panji seraya menekan perlahan kedua bahu kekasihnya yang
hendak bangkit Dara jelita itu kembali berbaring.
Yakin kalau orang yang berada di sisinya adalah
Panji, Kenanga kembali memejamkan mata. Dia men-
coba mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya.
Perlahan-lahan, ingatannya kembali pada kejadian
yang telah menimpa dirinya.
"Pisau terbang itu pasti mengandung racun ganas,
hingga tubuhku terasa lemah dibuatnya...," ucap Ke-
nanga perlahan. Kemudian dara jelita itu membuka
matanya dan menatap Panji, seakan meminta penjela-
san. "Racun yang terhisap olehmu memang tidak terlalu
berbahaya, Kenanga. Tapi, untuk beberapa hari pere-
daran darahmu akan terganggu. Meskipun tidak akan
menyebabkan kematian, tapi racun itu sanggup me-
lumpuhkan daya pikir seseorang. Itu sebabnya menga-
pa kau masih belum bisa berpikir secara baik, dan tenagamu pun masih belum pulih
seluruhnya. Untuk
memulihkan kesehatanmu, kau harus beristirahat se-
tidaknya tiga hari...," jelas Panji, membuat Kenanga menghela napas menyesali
kecerobohannya waktu itu.
"Jadi, Kakang akan menyelidiki Istana Kadipaten
Balaraja seorang diri" Sedangkan aku harus berbaring di sini menunggumu...?"
tanya Kenanga, sudah dapat
menebak apa yang akan dilakukan Panji.
"Kau tidak perlu berbaring terus-menerus, Kenanga.
Bisa saja kau berlatih ataupun bersemadi guna mem-
percepat pemulihan tenagamu. Mengenai penyelidikan
itu, kelihatannya memang aku harus melakukannya
sendiri. Kalau tidak, mungkin saja kita terlambat. Dan keadaan berubah semakin
sulit..," ujar Panji lagi, meminta pengertian kekasihnya.
"Yaaah.... Baiklah, Kakang. Kalau memang aku su-
dah sehat betul, aku akan menyusul...," sahut Kenan-ga, memaklumi kekhawatiran
kekasihnya. Setelah menitipkan Kenanga kepada pemilik rumah,
Panji pun meninggalkan tempat itu menuju Kadipaten
Balaraja. *** 4 Di Istana Kadipaten Balaraja saat itu terjadi kesibukan. Atas perintah Senapati
Marganta, para pejabat
kadipaten berkumpul di ruang pertemuan. Tujuannya
untuk menenangkan suasana istana yang dilanda ke-
resahan. "Saudara-saudara sekalian..-.!"
Terdengar seorang lelaki gagah berusia lima puluh
tahun membuka pertemuan.
"Aku berharap agar peristiwa ini tidak tersebar luas.
Kalau sampai hal itu terjadi, kemungkinan besar ma-
syarakat akan menjadi resah. Selain itu, bahaya yang lebih besar mungkin akan
melanda kadipaten ini. Salah satunya adalah serangan dari luar dengan maksud
merebut istana ini dari tangan kita. Untuk itu, kuha-
rap kalian semua dapat mengerti...," lanjut lelaki gagah yang dikenal sebagai
Senapati Marganta.
"Tuan Senapati! Boleh kami mengajukan penda-
pat..?" seorang pejabat yang berada di sudut, mohon izin untuk berbicara.
"Silakan...," ujar Senapati Marganta dengan suara
berwibawa. Sepasang mata lelaki gagah itu agak me-
nyipit, seolah menilai perwira yang ingin mengajukan pendapatnya itu.
"Karena kejadian ini menyangkut kewibawaan Ka-
dipaten Balaraja, tidakkah sebaiknya kalau diam-diam kita memerintahkan pasukan
untuk melakukan penyelidikan" Siapa tahu manusia jahanam itu belum lari
jauh dari daerah ini. Dengan begitu, kita akan mudah menangkapnya. Sebab kalau
hal ini dibiarkan, kita bi-sa celaka. Mungkin di antara kita tidak akan ada yang
membocorkan rahasia ini. Tapi, apakah mulut manusia laknat itu dapat kita jaga
pula" Bagaimana kalau dia sendiri yang akan menyebarluaskan berita ini...?"
tutur perwira berwajah brewok yang memiliki sepasang mata tajam itu dengan suara
yang lantang, hingga terdengar oleh semua orang yang hadir di ruangan itu.
Terdengar kasak-kusuk yang membuat ruangan itu
menjadi bising. Beberapa pejabat tampak mengang-
guk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan perwira
bertubuh kekar tadi.
"Benar apa yang dikemukakan Perwira Duranta itu,
Tuan Senapati. Rasanya kita tidak bisa berdiam diri setelah mengetahui perbuatan
manusia jahat itu terhadap kadipaten yang kita cintai ini. Aku ikut mendukung
pendapat Perwira Duranta...," timpal lelaki tinggi kurus yang wajahnya terhias
kumis tipis. Dia pun ber-pangkat perwira, seperti halnya Duranta.
"Hm...," Senapati Marganta tidak segera menyahuti
ataupun menyetujui pendapat kedua perwira itu. Dia
hanya bergumam sambil mempermainkan jenggotnya
yang tercukur rapi. Pandang matanya menerawang
jauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Saudara-saudara sekalian. Aku bukan tidak setuju
dengan pendapat Perwira Duranta maupun Perwira
Sanggira. Tapi, apakah di antara kita ada yang me-
nyaksikan kejadian itu, dan sempat mengenali manu-
sia laknat itu" Kalau kita mengirim sepasukan prajurit untuk menyelidiki,
bukankah hal itu hanya buang-buang tenaga" Sebab, siapa orang yang harus kita
cari itu" Adakah di antara kalian yang mengetahuinya...?"
Para pejabat kadipaten yang berkumpul di ruang
pertemuan itu kembali saling berbicara satu sama lain.
Kepala mereka tertunduk lesu. Sebab, apa yang dika-
takan Senapati Marganta memang tidak bisa dibantah!
Tak seorang pun tahu ke mana dan siapa yang harus
mereka cari"
"Tuan Senapati, menurut laporan beberapa prajurit
penjaga gerbang, kemarin ada seorang pemuda yang
ciri-cirinya sangat cocok dengan pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih. Bahkan setelah mendengar laporan, hamba merasa yakin kalau pemuda
itu adalah Pendekar Naga Putih. Nah, bagaimana kalau kita meminta bantuannya
untuk mengungkapkan rahasia yang masih gelap ini...?" Duranta tampak belum putus
harapan. Maksud hatinya dikemukakan tanpa
keraguan sedikit pun.
"Aku pun sudah mendengar peristiwa yang terjadi
di gerbang barat kemarin. Tapi, mengingat para prajurit telah bentrok dengannya,
rasanya aku kurang yakin kalau pendekar muda itu masih berada di sekitar daerah
ini Kemungkinan besar pendekar itu telah melan-
jutkan perjalanannya, dan tidak jadi singgah di kadi-
paten ini. Jadi buanglah keinginan yang tidak mung-
kin terwujud itu, Perwira Duranta. Sebaiknya kita perketat saja penjagaan di
istana. Dan berharap agar
bangsat itu muncul kembali di tempat ini...," jawab Senapati Marganta,
menyelesaikan pertemuan. Langsung saja ditutupnya pertemuan itu, karena tidak
menghasilkan jalan keluar yang diharapkan.
Setelah Senapati Marganta mengetukkan palu di
tangannya sebagai tanda pertemuan telah berakhir,
para pejabat istana kadipaten pun bubar menuju tem-
patnya masing-masing. Beberapa di antara para peja-
bat itu ada yang merasa belum puas dengan keputu-
san pertemuan itu. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menerima dengan
terpaksa. *** Malam sudah lama turun membasahi permukaan
bumi. Suara jangkrik dan serangga-serangga malam
menyemarakkan suasana. Bulan yang menggantung
separuh di langit kelam, tak mampu menerobos kege-
lapan. Seiring berhembusnya angin malam yang sesekali
keras, tampak tiga tubuh bergerak ringan melompati
tembok yang mengelilingi Kadipaten Balaraja. Dan terus melesat di atap rumah
penduduk yang tengah ter-
buai mimpi. Ketiga sosok hitam yang memiliki kepandaian tinggi
itu, terus bergerak menuju Istana Kadipaten Balaraja.
Dengan memilih jalan yang terlindung bayang-
bayang pohon maupun tembok gelap, ketiga sosok hi-
tam itu tenis menyelinap ke istana, tanpa seorang penjaga pun menyadarinya.
Ketiganya terus bergerak me-
nuju bagian belakang, tempat para jawara Kadipaten
Balaraja tinggal.
"Kita habisi mereka di tempat ini, atau kita pancing ke luar, Kakang...?" tanya
sosok bertubuh tinggi kurus dan mengenakan jubah panjang hingga ke lutut.
"Tidak perlu memancing. Kita habisi saja di sini...,"
sahut lelaki bertubuh gemuk namun kekar berotot, ju-ga dengan suara berbisik
perlahan. Tapi, meski ketiga sosok itu telah melangkah hati-
hati, tetap saja langkah dan dengus napas mereka tertangkap oleh penghuni rumah.
Buktinya terdengar su-
ara orang bertanya dari dalam rumah itu.
"Siapa di luar..."!" tegur suara lantang. Disusul ber-kelebatnya sesosok tubuh
tegap dari dalam rumah
yang cukup besar itu.
Karuan saja ketiganya menjadi terkejut bukan
main. Cepat mereka bergerak menyelinap ke tempat
yang terlindung dari sinar obor yang tertempel di dinding rumah.
"Hm...," gumam sosok tegap itu perlahan sambil
mengedarkan pandangan ke sekitar.
Meskipun tidak menemukan sesuatu yang mencuri-
gakan, sosok tegap itu menanti beberapa saat untuk
memastikan bahwa sekeliling rumahnya memang
aman. Tapi.... "Eh..."!" sosok tegap itu menahan seruannya saat
mendengar desiran angin tajam menuju ke arahnya
dari belakang. "Haiiit..!"
Seiring teriakan nyaring, sosok tegap itu melenting ke udara, menghindari
sambaran tiga pisau terbang
yang sekaligus mengancam tiga jalan darah kematian
di tubuhnya. Meskipun telah berhasil menghindari serangan ge-
lap itu, tak urung sosok tegap itu kecolongan juga. Se-
buah tendangan keras yang datang cepat, membuat-
nya terlempar keras, memuntahkan darah segar!
Sadar kalau dirinya dalam bahaya besar, lelaki te-
gap yang merupakan salah satu jawara kadipaten,
langsung menggulingkan tubuhnya ke tempat yang le-
bih aman. Baru saja tubuhnya melenting bangkit, dan belum
sempat mengatur kuda-kuda, terdengar desingan ta-
jam yang mengancam kepalanya.
Whuuut...! "Aaah...!"
Meski agak gugup, lelaki tegap itu masih sempat
menundukkan kepalanya. Sehingga, sambaran mata
pedang itu lewat satu jengkal di atas kepalanya. Namun bukan berarti dia sudah
terlepas dari bahaya. Pe-nyerang berpedang itu ternyata memiliki gerakan yang
gesit. Begitu bacokan pedangnya luput, kakinya langsung melancarkan tendangan
kilat yang mengenai
punggung lawan.
Desss...! Tendangan berputar yang dilancarkan sosok kekar
berotot itu, membuat tubuh lawan terjerembab men-
cium tanah. Sebelum tubuhnya sempat bangkit, seba-
tang pedang berkelebat di antara sinar obor, menyambar cepat memutuskan batang
lehernya! Crakkk! Darah segar menyembur saat kepala lelaki tegap itu
terpental dari badannya. Tewaslah jawara Kadipaten
Balaraja itu, tanpa sempat berteriak lagi.
"Hei...! Siapa kalian"!"
Tiba-tiba terdengar teguran dari belakang ketiga sosok hitam yang berkumpul di
dekat mayat korbannya.
Cepat mereka menoleh ke belakang.
"Pendekar Golok Sakti..."!" desis sosok yang bertu-
buh cebol ketika melihat seorang lelaki tinggi tegap yang barusan menegur
mereka. "Untuk apa menunggu lagi" Habisi dia...!" seru lela-ki bertubuh kekar berotot
seraya menerjang lelaki tegap yang berjuluk Pendekar Golok Sakti.
"Yeaaah...!"
Bettt..! Sambaran mata pedang berkeredep, dibarengi suara
mengaung mengerikan yang mengancam lelaki tadi,
segera dielakkannya dengan menggeser tubuh ke ka-
nan. Tranggg! Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di tan-
gan lelaki tegap itu telah tergenggam sebatang golok berwarna putih mengkilat,
yang langsung digunakan
untuk memapaki serangan lawan berikutnya. Akibat-
nya, kedua orang itu terdorong mundur sejauh empat
langkah. Hal itu membuktikan kalau kekuatan mereka
berimbang. "Keparat! Siapa kalian..."! Apa maksud kalian men-
datangi tempat ini"!" geram Pendekar Golok Sakti
sambil mengelebatkan goloknya dengan gerak menyi-
lang di depan dada.
"Hm.... Kami adalah malaikat maut yang akan
membunuhmu...!" dengus lelaki tinggi kurus berjubah panjang yang langsung
mengibaskan kedua lengannya
bergantian. Terdengarlah desingan yang berasal dari enam bilah pisau terbang
yang dilepaskannya.
"Hait..!"
Pendekar Golok Sakti ternyata sangat hati-hati. Dia tidak menyambut serangan
senjata rahasia itu dengan tebasan goloknya. Tapi, memilih menghindar dengan
cara melambung ke udara.
"Haaat...!"
Selagi tubuh Pendekar Golok Sakti melayang di
udara, lelaki kekar yang menggunakan pedang lang-
sung melesat dan mengirimkan serangannya sekuat
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga. "Yeaaah...!"
Sadar kalau berusaha menghindar jelas sangat su-
lit, Pendekar Golok Sakti tak segan-segan menyambut tebasan pedang lawan dengan
kelebatan senjatanya.
Sehingga.... Trang! Trang...!
Tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras pun terja-
di, membuat percikan bunga api menerangi arena per-
tarungan itu. Tubuh keduanya terpental balik, dan
sama-sama berputar beberapa kali sebelum menyen-
tuh permukaan tanah.
"Kalian Tiga Setan Lembah Mayat..."! Siapa..., siapa yang membayar kalian untuk
membunuhku...?" desis
Pendekar Golok Sakti.
Rupanya lelaki bertubuh tegap itu mengenali ketiga
lawannya. Dia pun tahu pula kalau ketiga orang itu
merupakan pembunuh bayaran yang bersedia melaku-
kan apa saja demi beberapa kantong uang. Tentu saja Pendekar Golok Sakti menjadi
terkejut setelah mengetahui siapa ketiga orang lawannya itu.
"Hm.... Setelah mengetahui siapa kami, kau harus
mati, Pendekar Golok Sakti...!" geram orang pertama dari Tiga Setan Lembah
Mayat, yang tidak lain dari
Malingga. "Suiiit...!"
Tiba-tiba Pendekar Golok Sakti memperdengarkan
siulan panjang yang melengking tinggi, membuat keti-ga orang lawannya terkejut.
Mereka menduga kalau
Pendekar Golok Sakti tengah memanggil bala bantuan.
"Keparat! Mampus kau...!" geram Songgara menjadi
marah. Langsung dilepaskannya tiga bilah pisau ter-
bang ke arah lelaki tegap itu.
Syuuut...! Belum lagi benda-benda tajam itu benar-benar de-
kat, lelaki bertubuh kekar berotot bernama Dawanta
sudah menyusul dengan serangan pedangnya. Mem-
buat, Pendekar Golok Sakti kerepotan oleh serangan-
serangan maut itu.
Merasa agak kaget mendapat serangan yang cukup
mendadak itu, Pendekar Golok Sakti segera saja men-
gayunkan golok, menyambut datangnya sebilah pisau
terbang yang mengarah tenggorokannya. Dan....
Darrr...! "Aaah....!"
Pendekar Golok Sakti yang tak menduga kalau sen-
jata rahasia itu akan meledak akibat tangkisannya,
memekik tertahan. Tubuhnya terlempar balik di antara kepulan asap tipis beraroma
memabukkan. "Tamat riwayatmu...!"
Sebelum Pendekar Golok Sakti sempat berbuat se-
suatu, Dawanta sudah tiba dengan satu sabetan pe-
dang, yang langsung merobek sepanjang dada lelaki
gagah itu. Breeet...! "Aaa...!"
Jeritan menyayat terdengar saat mata pedang Da-
wanta menghabisi nyawa Pendekar Golok Sakti. Seir-
ing robohnya tubuh jawara kadipaten itu, terdengar
derap langkah banyak orang mendatangi tempat perta-
rungan maut itu. Dari kejauhan terlihat sinar terang berasal dari obor yang
dibawa serombongan prajurit
kadipaten. "Lari...!" perintah Malingga, mengetahui sepasukan
prajurit berlarian memandangi mereka.
Tanpa diperintah dua kali, Dawanta dan Songgara
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dalam sekejap, tubuh Tiga Setan Lembah
Mayat melambung ke atas
atap, dan terus berkelebat menuju keluar lingkungan istana kadipaten.
"Kejar...!" teriak seorang lelaki gagah berpakaian
senapati. Seketika itu juga, tidak kurang dari seratus orang
prajurit di bawah pimpinannya, bergerak menyebar
untuk melakukan pengejaran.
Namun, Tiga Setan Lembah Mayat tidak bodoh. Me-
reka lari berpencar untuk mengacaukan para penge-
jarnya. Sehingga, para prajurit kadipaten menjadi bingung dan berlarian ke sana
kemari. "Kejar salah seorang dari mereka...!"
Lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Margan-
ta, kembali memberi perintah kepada pasukannya
yang kacau-balau itu. Setelah memberi perintah tadi, tubuhnya sendiri melesat
melakukan pengejaran,
mendahului para prajuritnya. Senapati Marganta se-
pertinya tidak ingin kehilangan buruan hanya karena kelambatan para prajuritnya
dalam melakukan pengejaran.
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Keparat..."!" geram
Senapati Marganta.
Saat itu, dilihatnya sesosok bayangan berkelebat
dalam jarak satu tombak lebih. Cepat Senapati Mar-
ganta melakukan pengejaran, dengan membawa seba-
tang obor yang disambarnya dari dinding bangunan.
"Hei! Berhenti...!" bentak Senapati Marganta sambil melayang ke depan dengan
berputar di udara beberapa kali.
Sedangkan sosok tubuh yang dikejar, terlihat
menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke bela-
kang, saat menyadari sesosok tubuh berputaran di
udara ke arahnya. Dia pun melangkah mundur dua
tindak "Menyerahlah, Pembunuh Keji...!" bentak Senapati
Marganta begitu kedua kakinya mendarat di atas ta-
nah, beberapa langkah di hadapan sosok bertubuh se-
dang berjubah panjang yang berwarna putih.
Sosok bertubuh sedang itu tampak agak tertegun
mendengar perkataan Senapati Marganta. Namun, le-
laki gagah itu berpikir lain. Khawatir kalau-kalau sosok berjubah putih itu
berbuat curang, Senapati Marganta bergegas melolos senjatanya, lalu maju mener-
jang. Sebelumnya dia bersiul panjang, sebagai isyarat kepada pasukannya untuk
datang ke tempat itu.
"Hei! Ada apa ini..."!" seru sosok berjubah putih
yang segera menarik tubuhnya ke belakang, untuk
menghindari sambaran pedang lawannya.
"Tidak perlu banyak cakap! Menyerahlah, atau kau
kubunuh di tempat ini..."!" ancam Senapati Marganta penuh kegeraman. Kembali
pedangnya dibabatkan
dengan gerakan mendatar.
Bettt...! Sosok berjubah putih itu kembali melompat mun-
dur, menghindari sambaran pedang yang nyaris mero-
bek perutnya. Kemudian, kaki depannya mencuat den-
gan maksud melumpuhkan pedang lawan.
Dukkk! Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Tubuh Se-
napati Marganta terjajar mundur sejauh enam lang-
kah. Sedangkan sosok berjubah putih itu tetap tegak tanpa bergeming sedikit pun
dari tempatnya semula.
Kenyataan itu tentu saja membuat Senapati Marganta
menjadi terkejut.
"Bangsat! Pantas saja kau berani mati mengacau di
dalam istana kadipaten. Rupanya kau memiliki kepan-
daian tinggi.... Walau begitu, jangan harap kau dapat lolos dari tempat ini...!"
geram Senapati Marganta.
Kembali pedangnya disilangkan di depan dada, dan
bersiap menghadapi pertarungan selanjutnya.
Tapi, sebelum keduanya saling menggebrak, terden-
gar derap langkah dari empat penjuru. Sosok berjubah putih itu kelihatan kaget
begitu menyaksikan puluhan prajurit kadipaten muncul mengepung dirinya.
"Tuan Senapati, harap jangan teruskan kesalahpa-
haman ini. Hamba hanya kebetulan tengah berkeliling di sekitar istana kadipaten.
Karena hamba mendengar terjadi sesuatu yang menggemparkan di dalam lingkungan
istana. Itu sebabnya, hamba berada di tempat ini...," sosok berjubah putih itu
berusaha menjelaskan duduk persoalannya.
"Hm.... Jadi kau tetap tidak mau mengakui perbua-
tanmu yang telah menewaskan dua orang jawara kadi-
paten...?" ujar Senapati Marganta dengan wajah sinis.
Jelas sekali kalau lelaki gagah itu tidak mempercayai omongan orang yang
dianggapnya sebagai pembunuh
keji. "Membunuh jawara kadipaten" Apa maksud Tuan"
Hamba sama sekali tidak mengerti...," bantah sosok
berjubah putih itu yang tetap tidak menerima tuduhan Senapati Marganta
kepadanya. "Tidak usah berpura-pura lagi, Manusia Keji! Bebe-
rapa hari yang lalu kau telah membunuh Adipati Balaraja secara keji! Malam ini
kau kembali menewaskan dua orang jawara yang sangat dipercaya oleh Gusti
Adipati. Apa sebenarnya maksudmu" Mengapa kau
berbuat sekeji itu"!" Senapati Marganta tetap berkeras menuduh orang itu telah
melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.
Tanpa mau mendengar bantahan-bantahan pemuda
berjubah putih itu, Senapati Marganta segera saja
memerintahkan para prajuritnya untuk mengepung
dan menangkap sosok berjubah putih itu untuk dihu-
kum atas segala perbuatannya.
*** 5 "Tuan Senapati. Percayalah, hamba sama sekali ti-
dak melakukan perbuatan keji itu. Bahkan hamba siap membantu sepenuh tenaga
apabila diperlukan...," pemuda berjubah putih itu masih berusaha untuk meya-
kinkan Senapati Marganta kalau dirinya sama sekali
tidak bersalah.
Tapi, senapati gagah itu sama sekali tidak mempe-
dulikan ucapan tersebut. Kakinya malah melangkah
mundur untuk memberikan tempat kepada para praju-
rit yang siap menangkap pemuda berjubah putih itu.
"Hujani dengan anak panah...!" perintah Senapati
Marganta dengan suara menggelegar.
Mendengar perintah itu, pemuda berjubah putih
yang tidak lain Panji itu tentu saja menjadi terkejut.
Sadar kalau dirinya terancam bahaya besar, segera dikerahkannya 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' untuk me-
lindungi sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian, hawa
dingin menusuk tulang menebar seiring munculnya
lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Ahhh...! Dia..., Pendekar Naga Putih..."!" teriak beberapa orang perwira yang
rupanya pernah mendengar
tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih.
Karena itu, begitu melihat tubuh pemuda berjubah
putih itu diselimuti kabut berhawa dingin, mereka
langsung mengenalinya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis Senapati Marganta
dengan wajah penuh tanda tanya.
Senapati Kadipaten Balaraja itu sama terkejutnya
ketika menyaksikan lapisan kabut menyelimuti seku-
jur tubuh orang yang semula dituduh sebagai pembu-
nuh itu. Enam orang perwira yang ikut di dalam pengepun-
gan itu, menoleh ke arah Senapati Marganta. Tampak
mereka meminta pendapat Senapati Marganta, setelah
mengetahui jati diri pemuda berjubah putih yang me-
reka kepung itu.
"Hm.... Bagaimanapun juga, pendekar itu tetap ha-
rus ditangkap. Bisa saja pembunuhan di dalam ling-
kungan istana dilakukannya. Siapa lagi yang mampu
membunuh Gusti Adipati tanpa seorang pun yang
mengetahuinya" Kedua pengawal pribadi Gusti Adipati yang terbunuh pun bukan
orang sembarangan. Mengapa keduanya dapat tewas demikian mudah" Bukan-
kah semua itu berarti kalau pembunuhnya memang
memiliki kepandaian sangat tinggi" Dan, pemuda ini
salah satu dari sekian orang yang mampu melakukan-
nya. Lebih baik dia dilenyapkan saja, sebelum menimbulkan bencana baru bagi kita
semua...," ujar Senapati Marganta, masih tetap pada pendiriannya semula.
"Seraaang...!"
Setelah menetapkan keputusannya, Senapati Mar-
ganta segera memerintahkan pasukan panah yang te-
lah bersiap-siap untuk segera menyerang Pendekar
Naga Putih. Singgg... zinggg...!
Puluhan anak panah meluncur menghujani Panji
dengan kecepatan yang mengerikan. Sepertinya Pen-
dekar Naga Putih akan segera tewas terhunjam pulu-
han batang anak panah.
"Hm...," gumam Panji yang sama sekali tidak mera-
sa gentar sedikit pun menghadapi hujan anak panah
itu. Tanpa bergeser dari tempatnya, kedua tangannya digerakkan untuk menangkapi
anak panah yang menuju kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya
sama sekali tidak dipedulikan. Sebelum kulit tubuhnya tersentuh, anak panah itu
berguguran dalam keadaan
patah. Tentu saja. semua itu akibat lapisan kabut yang melindungi tubuhnya.
"Gila..."!" Senapati Marganta sampai memekik ter-
tahan menyaksikan pemandangan itu. Kenyataan yang
terjadi di depan matanya, membuat Senapati Marganta sadar kalau Pendekar Naga
Putih benar-benar seorang yang sangat sakti. Dia sendiri telah membuktikan
dengan mata kepalanya sendiri.
"Serbuuu...!" perintah senapati gagah itu kembali.
Senapati Marganta sepertinya tidak berkecil hati.
Menurutnya, betapapun saktinya pemuda berjubah
putih itu, pasti ada batasnya. Jadi, kalau diserang terus-menerus, bukan tidak
mungkin pemuda itu akan
kehilangan banyak tenaga. Pikiran itulah yang mem-
buat Senapati Marganta memerintahkan para prajurit-
nya untuk menerjang kembali.
Melihat para prajurit meluruk dengan senjata di
Suling Emas Dan Naga Siluman 9 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Warisan Laknat 3
PEMBUNUH BAYARAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pembunuh Bayaran
128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Saat itu matahari menampakkan sinar jingga di su-
dut cakrawala timur, menggantikan tugas malam yang
baru saja usai. Semilir angin sejuk yang membawa ke-segaran, menemani munculnya
sang Raja Siang. Ceri-
cit burung sesekali terdengar dari rimbun pepohonan, membuat suasana pagi
bertambah indah dan hidup.
"Kadipaten Balaraja...."
Ucapan itu keluar dari bibir seorang gadis bertubuh ramping yang mengenakan
pakaian serba hijau. Wajahnya demikian memancarkan pesona. Membuat ma-
ta lelaki tidak akan sudi melewatkannya, meski hanya untuk menatap sekilas.
Sepasang mata bulat berbulu
lentik miliknya, demikian terang laksana bintang pagi.
Perpaduan kulit yang putih halus laksana gumpalan
salju dengan pakaian berwarna hijau yang dikenakan, semakin menambah cahaya pada
kulit tubuhnya. Benar-benar seorang dara yang luar biasa. Tentunya
mampu membuat lelaki sudi bertekuk lutut di bawah
pesonanya. Dara jelita itu rupanya tidak seorang diri. Di sebelah kanannya terlihat pemuda
bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Penampilan-
nya pun tidak kalah menarik dengan dara jelita di sisinya. Meskipun tubuhnya
tidak terlalu kekar, namun terlihat padat dan kokoh. Sepasang matanya bersinar
tajam, memancarkan perbawa yang kuat. Wajahnya
yang bersih tampan dengan bibir yang selalu terse-
nyum ramah. Jelas, bahwa dia pun seorang pemuda
pilihan yang sangat menarik hati wanita.
Keduanya berdiri tegak menatap tembok batu se-
tinggi bahu, yang bertuliskan huruf-huruf besar dan
indah, sebagai tanda perbatasan sebuah kadipaten.
"Kita akan melewati Kota Kadipaten Balaraja. Ayo-
lah kita bergegas, mumpung hari masih pagi," ujar
pemuda tampan itu sambil menoleh ke arah dara jelita di sebelahnya. Melihat nada
bicara dan caranya menatap, jelas hubungan di antara mereka bukan sekadar
teman seperjalanan. Sudah pasti lebih dari itu.
"Ayolah, Kakang...," sahut dara jelita itu bernada riang serta menyiratkan
kemanjaan. Sepasang bola
matanya berkedip jenaka ketika berkata demikian.
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, menyen-
tuh wajah jelita yang begitu membakar asmara di ha-
tinya. Jelas, dia agak terpengaruh menyaksikan wajah yang semakin mempesona itu.
"Kau cantik sekali...," desahnya sambil membelai
wajah dara berpakaian serba hijau itu.
Dara itu sendiri tidak berusaha mengelak. Bahkan
tangannya diangkat, lalu ditekannya punggung tangan pemuda itu kuat-kuat ke
wajahnya yang halus. Terlihat pancaran kebahagiaan pada sepasang bola ma-
tanya mendengar pujian tadi.
"Betulkah ucapanmu itu, Kakang...?" tanyanya
manja dengan senyum meruntuhkan iman lelaki.
"Hm.... Untuk apa aku harus berdusta...?" sahut
pemuda tampan sambil menarik tubuh ramping itu da-
lam pelukan. Bibir merah merekah dan penuh pesona
itu dikecupnya sepenuh kasih. Dalam sekejap, kedua-
nya terlena dalam buaian dewi asmara.
Cukup lama keduanya terlupa keadaan sekitar. Ak-
hirnya pemuda tampan itu melepas pelukannya perla-
han, saat disadarinya gelora nafsu yang semakin
membakar dada. Kalau tidak segera dicegah, mereka
bisa terperosok semakin dalam. Perbuatannya menjadi tanda kalau dia adalah
pemuda yang digembleng ma-
tang, sehingga mampu menahan keinginan yang tidak
baik dalam dirinya.
"Kau terlalu cantik, Kenanga. Aku takut terperosok
apabila kita tidak segera menghentikannya...," desahnya dengan suara bergetar,
karena pengaruh buaian
dewi asmara yang melenakan barusan.
"Kau benar, Kakang. Aku pun hampir lupa diri...,"
aku dara jelita itu sejujurnya. Wajahnya tampak keme-rahan. Entah perasaan apa
yang terkandung dalam
hatinya saat itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjala-
nan ini...," sergah pemuda tampan, yang tak lain dari Panji, seraya melangkah
menyusuri jalan berbatu yang cukup lebar. Di sebelahnya, Kenanga mengikuti tanpa
kata. Tidak lama kemudian, mereka tiba di gerbang Kota
Kadipaten Balaraja. Keduanya agak heran melihat ke-
tatnya penjagaan gerbang masuk itu. Terlihat dari pemeriksaan yang dilakukan
para prajurit kadipaten terhadap beberapa pendatang.
"Entah sudah terjadi apa di Kota Kadipaten Balara-
ja, sehingga penjagaan demikian ketat, dan harus me-lalui pemeriksaan terlebih
dahulu...?" gumam Panji
sambil melangkah lambat, mendekati gerbang kota ka-
dipaten. Sedangkan Kenanga sama sekali tidak berkata-kata.
Dara jelita itu menjadi sedikit gelisah ketika disadari kalau di pinggangnnya
terselip senjata. Sebab, kalau memang ucapan Panji barusan benar, ada
kemungkinan pedangnya akan dilucuti dan disita penjaga ger-
bang. Walaupun begitu, kakinya tetap melangkah
mengikuti kekasihnya, karena mereka memang berniat
memasuki kota kadipaten itu.
"Kalian harap berhenti sebentar...!" seru seorang
prajurit sambil melangkah menghadang jalan, mena-
han Panji dan Kenanga. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya menuruti kehendak
prajurit itu. "Hm.... Kalian bukan penduduk Kota Kadipaten Ba-
laraja...?" tanya prajurit bertubuh sedang sambil meneliti wajah dan penampilan
kedua orang muda itu.
Sepasang matanya terhenti agak lama pada wajah dan
tubuh sintal Kenanga. Jelas, tersirat kekaguman yang tidak bisa
disembunyikannya.
"Kami memang bukan penduduk kota kadipaten ini,
Tuan. Tapi, apa ada larangan bagi orang luar untuk
memasuki kota ini...?" sahut Panji, sekaligus melontarkan pertanyaan kepada
prajurit tadi. "Sebenarnya tidak, kecuali kali ini. Karena kalian
adalah orang asing, maka kami terpaksa menahan ka-
lian untuk sementara...," ujar prajurit yang tampak mencurigai Panji dan
Kenanga. Wajah Panji tidak menunjukkan perubahan. Dimak-
luminya kalau prajurit itu hanya melaksanakan tugas.
Jadi, dia tidak bisa disalahkan. Selain itu, Panji melihat ada beberapa
pendatang lain yang juga ditahan
untuk diperiksa. Jadi, Panji pun tidak keberatan untuk diperiksa.
"Mari kalian ikut kami menghadap komandan jaga,"
kata prajurit itu lagi, bermaksud menggiring pasangan pendekar itu ke pos
jaganya. "Hey...! Kami bukan penjahat, kenapa harus dita-
han dan diperiksa seperti pesakitan" Aku kebera-
tan...!" Kenanga yang tidak bersedia untuk diperiksa, langsung mengemukakan
perasaannya tanpa kenal takut. Sebab, dia merasa tidak bersalah apa-apa.
"Maaf, Nisanak. Kami hanya melaksanakan tugas
dari senapati. Kuharap kalian tidak memperberat tu-
gas kami...," ujar prajurit bertubuh sedang itu.
"Sudahlah, Kenanga. Tak ada salahnya mengikuti
peraturan yang berlaku di kadipaten ini, selama tidak menyusahkan kita," bujuk
Panji menenangkan kekasihnya.
"Tapi, Kakang. Biasanya kalau kita menurut saja,
mereka akan berbuat sesuka hati...," bantah Kenanga tidak menuruti bujukan
Panji. Tentu saja Panji tidak tahu kekhawatiran kekasihnya jika Pedang Sinar
Rembulan yang melingkar di pinggangnya disita oleh prajurit kadipaten. Itu
alasan mengapa Kenanga merasa keberatan.
"Kenanga. Selama kita tidak berbuat macam-
macam, mereka tetap akan memperlakukan kita den-
gan baik. Kalaupun mereka berbuat kasar, mengapa
kita harus takut...?" bujuk Panji lagi dengan suara perlahan.
"Baiklah, Kakang," Kenanga akhirnya mengalah.
"Tapi Kakang harus berjanji untuk tidak mencegahku
apabila mereka melakukan hal yang tidak kuinginkan
..." "Aku berjanji...," jawab Panji, merasa tidak ada ru-ginya mengabulkan
syarat yang diajukan Kenanga.
Karena Kenanga sudah berhasil dibujuk, keduanya
pun digiring prajurit bertubuh sedang itu menuju pos jaga untuk dihadapkan
kepada komandan jaga mereka. "Tuan Komandan. Mereka adalah orang asing yang
hendak memasuki kota kadipaten. Kami menahan me-
reka untuk diperiksa...," lapor prajurit itu kepada seorang komandan bertubuh
gemuk dengan wajah bulat
dihiasi sepasang mata sipit, karena wajahnya keba-
nyakan lemak. "Hm.". Kau boleh kembali ke tempatmu...," perintah
komandan itu kepada prajurit yang membawa Kenanga
dan Panji. Sesaat setelah kepergian prajurit tadi, komandan
itu beringsut bangkit dari kursi. Kakinya melangkah terseret, mengitari Panji
dan Kenanga. Sikapnya terlihat demikian angkuh, seolah sedang memeriksa pesa-
kitan yang melakukan kesalahan.
"Kalian siapa, dan berasal dari mana...?" tanya ko-
mandan bermata sipit itu dengan nada sinis.
Mulutnya berkata demikian, tapi sepasang matanya
menjilati sekujur tubuh ramping Kenanga dengan la-
hap. Sehingga, bulu-bulu di tubuh dara jelita itu me-remang. Kenanga merasa
bukan sedang berhadapan
dengan manusia, melainkan seekor serigala lapar yang tergiur kijang muda. Kalau
saja di tempat itu tidak ada Panji, mungkin sudah dicongkelnya sepasang mata
kurang ajar itu.
"Nama hamba Panji, Tuan Komandan. Sedangkan
sahabat hamba ini bernama Kenanga. Kami adalah pe-
rantau yang tidak mempunyai tempat tinggal...," jawab Panji dengan nada hormat.
"Hm...!"
Komandan bermata sipit itu hanya bergumam tak
jelas mendengar jawaban Panji.
"Lalu, apa tujuan kalian ke kota kadipaten ini...?"
lanjutnya penuh selidik.
"Seperti yang hamba kemukakan tadi, kami adalah
pengembara yang mengikuti ke mana kaki kami me-
langkah. Datang ke Kota Kadipaten Balaraja ini sekadar singgah, tanpa maksud
tertentu," urai Panji, tetap dengan sikap hormat.
"Kalian tidak mempunyai sanak keluarga di kota
ini...?" "Tidak, Tuan Komandan...."
Sambil mengangguk-anggukkan kepala, kaki ko-
mandan bermata sipit itu kembali bergerak mengitari Panji dan Kenanga. Sepasang
matanya menjelajahi sekujur tubuh Panji maupun Kenanga. Wajahnya bersi-
nar kaget saat melihat sembulan gagang pedang di
pinggang bagian depan Kenanga. Langkahnya terhenti
tiba-tiba di depan dara jelita itu.
Kenanga menarik napas perlahan, menekan kema-
rahan yang meletup-letup dalam dadanya. Sebenarnya, dia sudah begitu jengkel dan
muak pada komandan
bermata sipit itu. Tapi, karena komandan itu belum
memperlihatkan sikap kurang ajar, Kenanga masih
menahan luapan amarah. Diam-diam hatinya berharap
agar orang menyebalkan itu berbuat di luar batas, agar ada alasan untuk
melabraknya. "Kalian orang-orang rimba persilatan, heh..."!" dengus komandan bermata sipit
itu agak kasar. Kali ini pertanyaannya ditujukan kepada Kenanga.
"Tepatnya kami adalah...."
"Diam! Aku tidak bertanya padamu...!" bentaknya
menggelegar, memotong kalimat Panji yang belum selesai. "Aku bertanya kepada
gadis ini, bukan kau! Mengerti"! Jadi, gadis ini yang harus menjawab, tidak
perlu kau wakili!"
Bentakan itu membuat hati Panji tidak senang. Ke-
palanya kemudian diangkat, dan ditentangnya pan-
dangan komandan itu dengan sinar mencorong meng-
getarkan jantung.
"Tuan Komandan! Pertanyaan tadi menggunakan
kata 'kalian'. Jadi jelas, siapa pun dari kami yang men-jawabnya tidak menjadi
soal. Selain itu, Tuan pun tidak berhak membentak salah seorang dari kami. Kami
bukan pesakitan yang dapat dihina dengan sesuka ha-
ti...," bantah Panji dengan suara mengandung perbawa menggetarkan hati komandan
bermata sipit itu. Se-
hingga, tubuhnya sempat beringsut mundur tanpa sa-
dar. Empat orang prajurit dalam ruangan cukup besar
itu langsung menggenggam gagang pedang masing-
masing. Mereka serentak maju melihat ketegangan terjadi antara kedua orang asing
dengan komandannya.
Tampaknya mereka siap turun tangan bila terjadi se-
suatu. Semula komandan bermata sipit itu agak gentar
dengan sorot mata dan sikap menentang yang ditun-
jukkan Panji. Namun, ketika teringat posisinya sebagai komandan, sikap angkuhnya
kembali muncul, mengu-bur kegentarannya.
"Hei, Orang Asing!" geramnya seraya menudingkan
jari telunjuk ke wajah Panji. "Aku bisa saja menghukum mu karena begitu lancang
melawan petugas! Si-
kap memberontak mu itu bisa membawamu ke dalam
penjara, tahu"!"
Melihat kekasihnya mulai bersitegang dengan ko-
mandan bermata sipit, Kenanga tidak menyia-
nyiakannya. Dengan wajah berang, kakinya digerak-
kan mendekati komandan gemuk yang telah mem-
buatnya muak sejak pertama kali melihat caranya
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang dirinya.
"Kau pikir kami akan menurut diancam seperti itu"
Kau salah, Tuan Komandan. Jangankan seorang ko-
mandan, kalaupun Adipati Balaraja sendiri melontar-
kan ancaman, kami sama sekali tidak takut! Mau di-
anggap pemberontak, silakan! Mau ditangkap dan di-
masukkan ke dalam penjara, boleh! Tegasnya, kami tidak suka caramu dan kami
tidak sudi lagi diperiksa
seperti pesakitan!" seru Kenanga dengan sepasang ma-ta berkilat penuh
kejengkelan. Setelah berkata demikian, dara jelita itu langsung
mengajak Panji meninggalkan tempat itu.
"Ayo kita pergi dari sini, Kakang...!"
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah tindakan
Kenanga. Dia pun tidak suka dengan komandan ber-
mata sipit itu. Kalau pada mulanya mau diperiksa, hal itu karena Panji mengira
akan diperlakukan secara
baik. "Hei, tunggu...! Jangan harap kalian dapat pergi begitu saja dari sini...!"
bentak komandan bermata sipit itu. Tubuh gemuknya melesat ke depan, bermaksud
mencegah kepergian pasangan pendekar muda itu.
Mulanya, baik Panji maupun Kenanga tidak mem-
pedulikan seruan tadi. Tapi, ketika mereka dikepung belasan prajurit kadipaten,
terpaksa keduanya me-nunda langkah.
"Tangkap mereka...!" perintah komandan itu kepada
para prajurit yang mengepung Panji dan Kenanga. Se-
pertinya dia tidak ingin banyak bicara lagi.
"Baik.... Jangan salahkan jika kami melawan. Ka-
lian terlalu memaksa...!" ujar Panji seraya mengedarkan pandang satu demi satu
pada wajah tegang para
pengepung. Lalu berhenti pada wajah penuh lemak
yang bermata sipit.
"Hm.... Kalian berdua memang sangat mencuriga-
kan. Patut dikaitkan dengan kejadian semalam," geram komandan bermata sipit itu
tanpa berani menentang
pandangan Panji. "Tangkap mereka hidup-hidup, teru-
tama gadis itu...!"
Sambil berkata demikian, jari telunjuk lelaki gemuk bermata sipit itu menunjuk
ke arah Kenanga. Maka,
tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit Kadipaten Balaraja itu langsung
menerjang dengan senjata di
tangan. "Kurang ajar! Monyet gendut ini benar-benar licik!
Bisanya hanya memerintah prajuritnya saja untuk
menyerang kita, sedang dia sendiri enak-enakan berdi-ri menonton. Akan kuberi
pelajaran monyet gendut kurang ajar itu...!" umpat Kenanga berang, melihat
kelicikan komandan bermata sipit itu. Tanpa dapat dice-
gah, tubuhnya melayang menuju sasaran.
"Hei..."!"
Bukan main terkejutnya komandan bermata sipit
itu ketika melihat sekelebat bayangan hijau meluncur deras ke arahnya. Merasa
ada sambaran angin kuat
datang mengancam kepalanya, tubuh gemuknya den-
gan susah payah menghindar ke belakang.
Kenanga yang sangat ingin memberi pelajaran ke-
pada komandan memuakkan itu, tak berhenti sampai
di situ. Tamparan-tamparannya datang bertubi-tubi diiringi sambaran angin
menderu, membuat komandan
bermata sipit itu menjadi kalang-kabut!
"Rasakan akibat kesombonganmu...!" bentak Ke-
nanga. Kakinya melontarkan sebuah tendangan kilat,
menyusul tamparan yang masih sempat dihindari la-
wan. Bukkk! "Hegkh...!"
Tendangan dara jelita itu singgah telak di perut
gendut lawannya. Tanpa dapat ditahan, tubuh gemuk
itu pun jatuh terguling-guling bermandi debu. Tapi, meski tubuhnya kelihatan
sulit bergerak, komandan
itu ternyata mampu bertindak gesit. Terbukti tubuhnya dapat langsung melenting
bangkit, dan segera bersiap menghadapi gempuran Kenanga berikutnya.
"Gila! Tidak kusangka kalau dara cantik yang terli-
hat lembut ini memiliki kepandaian tinggi...!" desis komandan bermata sipit itu.
Kini pedangnya sudah diloloskan. Senjata itu dipu-
tar demikian rupa membentuk gulungan sinar putih
yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Menilik
dari gerakan dan deru angin yang ditimbulkan, jelas dia memiliki tenaga dalam
yang cukup tinggi, meski
tentu saja masih jauh di bawah Kenanga.
"Rasakan pedangku, Gadis Binal...!" bentak koman-
dan bermata sipit itu. Kali ini, serangannya dibuka lebih dulu.
Bettt! Bettt! Pedang di tangan komandan bertubuh gemuk itu
berkelebatan cepat mencari sasarannya.
Namun serangan-serangan pedang itu sama sekali
tidak membuat Kenanga menjadi kewalahan. Hanya
mengandalkan kegesitan, setiap sambaran pedang la-
wan selalu saja dapat dihindari. Bahkan tangan dan
kaki dara itu terlihat lebih berbahaya ketimbang serangan pedang lawannya.
Sehingga, komandan itu ma-
lah menjadi kewalahan ketika tangan dan kaki dara jelita itu melancarkan
serangan balasan.
Bukkk! Desss. "Aaakh...!"
Pukulan dan tendangan Kenanga kembali singgah
di tubuh lawan. Kali ini kekuatannya telah ditambah.
Sehingga akibatnya pun lebih parah ketimbang ten-
dangan pertama tadi.
Komandan bertubuh gemuk itu merangkak bangkit
dengan tubuh terasa remuk. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Kenyataan
itu membuatnya menjadi
gentar. "Hm.... Kurasa pelajaran hari ini cukup membuat-
mu lain kali lebih berhati-hati...," ujar Kenanga, puas dengan hasil
perbuatannya. Setelah berkata demikian, tubuhnya berbalik lalu melayang ke arah
pertempuran lain yang masih berlangsung.
"Kakang, ayo tinggalkan tempat ini...!" seru dara jelita itu kepada Panji yang
masih menghadapi keroyo-
kan para prajurit.
Panji yang tidak sungguh-sungguh menghadapi la-
wan-lawannya, segera saja melesat bersama Kenanga
meninggalkan ajang pertempuran.
"Kejar...!" perintah seorang prajurit dibarengi lompatan untuk melakukan
pengejaran. Tapi, mana mereka
mampu mengimbangi kecepatan gerak pasangan pen-
dekar muda yang sakti itu. Sebentar saja mereka telah kehilangan buruannya.
Sedangkan kedua sosok yang
dikejar sudah demikian jauh dari jangkauan mereka.
*** 2 "Kita harus cari tahu; sebenarnya apa yang terjadi
di Kota Kadipaten Balaraja, Kakang. Kalau perlu, akan kudatangi Adipati Balaraja
untuk melaporkan sikap
prajuritnya yang mencoreng citra kadipaten itu," ucap Kenanga, mengungkapkan
rasa penasaran yang meng-ganjal hatinya.
Saat itu mereka duduk pada sebuah batu besar, da-
lam kerimbunan hutan kecil.
"Untuk menghadap adipati, tidak semudah perki-
raan kita, Kenanga. Selain harus menuruti peraturan yang rumit, kita pun harus
punya alasan tepat. Belum lagi kalau di antara penjaga istana kadipaten meminta
uang pelicin. Lebih baik buang saja pikiran untuk menemui Adipati Balaraja.
Mengenai kejadian yang
mungkin menggegerkan kadipaten itu, sudah menjadi
kewajiban kita menyelidikinya. Susahnya, mungkin ki-
ni kita jadi buronan kadipaten," jawab Panji, menimpali ucapan Kenanga.
"Ah! Apa sulitnya bagi kita memasuki sebuah kadi-
paten" Saat hari gelap, kita bisa menyusup masuk dan mencari tahu apa yang
terjadi di sana. Bagaimana menurut Kakang...?"
"Hm.... Kalau hanya menyelinap ke dalam kota ka-
dipaten, tentu saja tidak sulit. Tapi, apa mungkin semua penduduk tahu tentang
kejadian di dalam ko-
tanya" Sebab, seingatku komandan bermata sipit yang memeriksa kita sama sekali
tidak menjelaskan tujuannya mengadakan pemeriksaan. Hal itu membuktikan
kalau kejadian menggemparkan itu terjadi dalam ista-na kadipaten. Mereka sengaja
merahasiakan...," urai Panji lagi yang rupanya sangat teliti menghadapi segala
sesuatu, sampai-sampai ucapan komandan bermata
sipit yang memeriksa mereka masih dapat diingatnya
dengan baik. "Kalau begitu, kejadiannya pasti menyangkut kea-
manan Kadipaten Balaraja. Tidak mustahil kalau yang terlibat di dalamnya adalah
orang-orang penting," ujar Kenanga setelah terdiam beberapa saat, untuk men-
cerna ucapan kekasihnya.
"Menurutku pun demikian...," timpal Panji yang ru-
panya punya perkiraan serupa dengan Kenanga. "Biar
bagaimanapun kita harus tahu kejadian yang mem-
buat kadipaten itu geger...."
"Aku setuju, Kakang. Bagaimana kalau nanti malam
kita langsung menyelinap ke dalam istana kadipaten"
Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah lagi
bertanya ke sana-sini...," usul Kenanga penuh semangat.
"Hhh...."
Panji hanya menghela napas panjang. Diam-diam
Pendekar Naga Putih merasa bangga dengan semangat
petualangan Kenanga.
"Sebaiknya kita pikirkan dulu masak-masak segala
tindakan yang akan kita ambil. Selain itu, mungkin ki-ta tidak bisa mendapat
keterangan dalam waktu sing-
kat. Kuharap kau tidak terburu-buru dalam menyeli-
diki persoalan yang masih gelap ini...," nasihat Panji kepada dara jelita di
sisinya. Kenanga langsung mengerti. Terbukti dari anggu-
kan kepalanya perlahan.
"Percayalah, Kakang. Aku akan berhati-hati dan
mencoba sabar menghadapi segala sesuatunya...."
Bibir Panji tersenyum melihat sikap Kenanga. Ke-
mudian, mulai mengatur rencana untuk menyelidiki
pergolakan yang mungkin terjadi di Kota Kadipaten
Balaraja. "Ada orang datang...," bisik Panji tiba-tiba.
Saat keduanya membicarakan rencana penyusupan
ke dalam istana kadipaten, telinga Panji menangkap
langkah kaki menuju tempat mereka berada.
"Mungkin hanya pencari kayu yang hendak lewat,
Kakang...," sergah Kenanga seperti tidak menaruh curiga.
"Biar bagaimanapun, kita harus tetap waspada. Kau
ingat, kita baru saja membuat keributan di gerbang
kadipaten" Siapa tahu yang datang itu utusan kadipaten yang sengaja diperintah
membekuk kita...," ujar Panji membantah dugaan Kenanga. Sekaligus mengingatkan
dara jelita itu bahwa mereka kini merupakan buronan Kadipaten Balaraja.
"Maaf aku lupa, Kakang...," sesal dara jelita itu perlahan.
Kemudian, Kenanga ikut menajamkan indera pen-
dengarannya. Wajahnya berubah sungguh-sungguh,
setelah telinganya menangkap langkah kaki itu.
"Langkah kaki mereka demikian ringan, Kakang. Je-
las orang-orang itu memiliki kepandaian yang tidak
rendah," tuturnya lagi setengah berbisik.
Kepala Panji mengangguk sebagai tanggapan atas
ucapan kekasihnya. Satu jarinya digerakkan, memberi isyarat pada Kenanga agar
mereka pindah ke tempat
yang lebih tersembunyi. Tanpa suara, tubuh Panji melenting ringan ke sebuah
dahan pohon besar. Kenanga lalu menyusulnya.
Tidak lama kemudian, muncul tiga lelaki yang ber-
lari melewati tempat Panji dan Kenanga semula duduk.
Celakanya, ketiga lelaki itu menghentikan larinya, tak jauh dari persembunyian
pasangan pendekar muda
itu. Sehingga, baik Panji maupun Kenanga mengatur
pernapasan sehalus mungkin agar tidak tertangkap
indera pendengaran ketiga orang itu. Sebab, keduanya yakin kalau mereka bukan
orang-orang sembarangan.
"Hm.... Ke mana perginya mereka" Hampir seluruh
pelosok hutan kecil ini telah kita jelajahi. Tapi, hasil-nya tetap nol!" gerutu
lelaki gemuk dan kekar, yang hanya mengenakan rompi sebagai penutup tubuh
sebelas atas. Suara lelaki itu parau dan berat, dengan sepasang
mata tajam mencorong, pertanda kalau dirinya seorang ahli tenaga dalam.
"Mungkin kedua orang itu sudah pergi jauh me-
ninggalkan daerah ini, Kakang Dawanta. "Sebaiknya
kita kembali saja melaporkan seadanya...," sahut orang kedua, bertubuh agak
kurus dan sedikit lebih tinggi dari orang pertama.
Dia mengenakan jubah berwarna biru tua, yang
terbuka pada bagian dadanya. Dari, balik jubah itu
terlihat pisau-pisau kecil berbaris rapi. Mudah ditebak,
kalau lelaki berwajah agak pucat itu seorang ahli senjata rahasia.
"Benar apa yang dikatakan Adi Songgara barusan.
Sebaiknya kita kembali saja dan melaporkan hal ini,"
timpal orang ketiga.
Tubuhnya jauh lebih pendek dari kedua orang ka-
wannya. Bahkan bisa dikatakan kalau orang ketiga itu bertubuh cebol. Meskipun
demikian, baik Dawanta
maupun Songgara terlihat menaruh rasa segan kepa-
danya. Mungkin karena lelaki cebol itu lebih tua di antara mereka bertiga,
sekaligus merupakan pemimpin
ketiganya. Mendengar ucapan itu, Dawanta tidak segera me-
nyahut. Lelaki kekar dan kokoh bagai batu karang itu malah terdiam sambil
mengawasi sekitarnya dengan
mata menyipit. Kedua orang kawannya hanya bisa sal-
ing pandang melihat tingkah Dawanta.
"Siapa ketiga orang itu, Kakang...?" Kenanga yang
mengintip dari sela-sela dedaunan, berbisik kepada
Panji di sebelahnya. Sejak tadi diperhatikannya ketiga orang itu, dan dicoba
untuk mengenalinya. Setelah
memutar otak tanpa bisa mengenali mereka, akhirnya
Kenanga bertanya kepada Panji.
"Entahlah. Aku belum mengenal mereka, Kenanga.
Mungkin ketiga orang itu baru keluar dari tempat tinggalnya," sahut Panji yang
juga tidak bisa mengetahui siapa adanya ketiga orang lelaki yang kelihatan
memiliki tatapan mata dingin yang menyembunyikan keke-
jaman mengerikan itu.
Sedangkan tiga orang itu sepertinya sudah men-
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gambil keputusan untuk pergi. Terlihat mereka me-
langkah melewati pohon tempat Panji dan Kenanga
bersembunyi. Sehingga, pasangan pendekar muda itu
terpaksa menahan napas kembali. Tapi sesuatu di luar
perhitungan terjadi.
"Aaah...! Setan...!" pekik Kenanga tiba-tiba. Tubuhnya serabutan tak terkendali
sambil mengumpat jeng-
kel. Panji tentu saja terkejut ketika melihat kekasihnya sibuk mengebut-
ngebutkan pakaian. Pemuda tampan
berjubah putih itu tidak perlu bertanya lagi ketika sepasang matanya mengerling
ke dahan yang diduduki,
dilihatnya semut-semut merah berduyun-duyun me-
nuju ke arahnya.
"Hm.... Rupanya binatang ini penyebabnya," desis
Panji. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya meluncur
turun dari atas pohon itu, menyusul Kenanga yang lebih dahulu meluruk panik.
Sedangkan tiga orang lelaki yang hendak mening-
galkan tempat itu mendadak membalikkan tubuh saat
mendengar teriakan seorang gadis dari atas pohon.
Kaki mereka serentak mundur melihat tubuh ramping
meluncur turun dari atas pohon yang sibuk mengebut-
ngebutkan pakaiannya. Sehingga, ketiganya terpaku
beberapa saat. Mereka baru sadar ketika melihat tubuh lain berjubah panjang yang
berwarna putih me-
nyusul turun. "Setan! Kiranya mereka bersembunyi di atas po-
hon...!" geram Dawanta, menjadi marah karena merasa dipermainkan.
Tahan, Kisanak...!" cegah Panji. Langsung saja dia
bergerak maju untuk melindungi kekasihnya.
Sementara, Kenanga masih sibuk membersihkan
pakaian dari rayapan semut-semut merah.
Dawanta menahan langkah ketika melihat pemuda
tampan berjubah putih itu berdiri menghadang. Sepa-
sang matanya menatap penuh selidik.
"Hm..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" tanya Dawanta sinis, seperti tidak percaya kalau pemuda tampan di
depannya adalah orang yang
berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Bagaimana kalau kalian lebih dulu memper-
kenalkan diri. Setelah itu, baru aku dan kawanku
akan memperkenalkan nama kami. Cukup adil, bu-
kan?" ujar Panji, lebih dulu ingin mengetahui dengan siapa dia berhadapan Tentu
saja jawaban yang tak diharapkan itu membuat Dawanta naik darah.
Songgara dan Malingga melangkah maju dengan
mata dingin menusuk jantung, lalu berdiri mendam-
pingi Dawanta. Tiga pasang mata mereka menjelajah
sekujur tubuh Panji dari ujung kaki sampai ujung
rambut. "Bocah...," desis Malingga dengan suara serak,
sambil menentang pandangan Panji. "Jawab saja per-
tanyaan kami atau kau akan menyesal telah dilahirkan ibumu ke dunia ini...!"
Panji sama sekali tidak marah atau kelihatan gen-
tar, bahkan tatapan Malingga dibalas dengan sikap tenang. Pemuda itu tersenyum
sambil menghela napas
perlahan. "Kisanak. Seingatku kita belum pernah bertemu se-
belumnya. Mengapa kalian bertiga tampak sangat
membenci dan memusuhiku" Mungkin kalian keliru
mengenali orang," sahut Panji. Masih juga belum menjawab pertanyaan ketiga orang
itu. "Mau apa mereka, Kakang" Apakah kita yang mere-
ka cari?" Kenanga yang baru selesai dengan urusan-
nya, bertanya kepada Panji. Sepasang mata dara jelita itu meneliti tiga orang di
depannya. "He he he...! Kau betul-betul beruntung, Bocah. Da-
ri mana kau dapatkan bidadari itu..." Boleh kami me-minjamnya barang semalam?"
Songgara yang rupanya
seorang lelaki mata keranjang, langsung tergiur melihat kejelitaan dan kemolekan
Kenanga. Lelaki kurus
bermata dingin itu sampai meneguk air liur yang hampir menetes.
"Kurang ajar...!" desis Kenanga yang tidak bisa lagi menahan kemarahannya
mendengar ucapan tak bera-dat itu.
"Sabar, Kenanga...," cegah Panji sambil memegang
lengan kekasihnya untuk mencegah melabrak lelaki
kurus berwajah pucat itu.
"Untuk apa berdebat dengan iblis-iblis seperti mere-ka, Kakang. Kalau mereka
hendak mencelakai kita,
mengapa tidak kita layani saja" Kalau dibiarkan, sikap mereka pasti akan semakin
kurang ajar...," bantah Kenanga dengan kemarahan yang meluruk sampai ke
ubun-ubun. "Bagus, Bidadari Cantik. Kau pasti tidak akan me-
nyesal bila melayaniku di ranjang...," cemooh Songgara lagi, membuat Kenanga
memberontak dari cekalan
tangan kekasihnya. Panji tidak bisa mencegah lagi, justru pegangannya sengaja
dikendurkan. Dianggapnya
kata-kata Songgara telah melewati batas.
"Pecah mulutmu...!" bentak Kenanga yang langsung
melakukan tamparan ke wajah Songgara.
Whuuut...! Songgara tentu saja tidak sudi wajahnya dibuat ca-
cat oleh dara jelita itu. Cepat tubuhnya ditarik mundur satu langkah, sambil
menyiapkan serangan balasan.
Kenanga tidak mau memberikan kesempatan kepa-
da lawannya untuk membalas. Begitu tamparannya
luput, tangannya kembali menurunkan tamparan-
tamparan kuat. "Hebat..!" Songgara mau tak mau memuji kecepatan
gerak dan kelincahan dara jelita itu. Sadar dia akan
celaka kalau terus-menerus mengelak, maka tamparan
berikutnya ditangkis.
Plakkk! "Akh..."!"
Bukan main terkejut hati Songgara ketika lengan
yang digunakan untuk menangkis terpental balik!
Bahkan terasa nyeri dan membuat kuda-kudanya ter-
seret sejauh empat langkah.
Kenanga tak kalah terkejut merasakan telapak tan-
gannya panas akibat benturan itu. Dia lantas paham
kalau lelaki kurus berwajah pucat itu ternyata memiliki tenaga dalam kuat.
Mungkin hanya setingkat di bawahnya, karena dia sendiri tidak sampai, terjajar
mundur akibat benturan keras tadi.
Untuk sesaat, pertempuran itu terhenti. Songgara
telah menggeser langkah ke samping kanan, siap
menghadapi serangan lawan berikut. Kenanga sendiri
mempersiapkan jurus-jurusnya. Disadari kalau lawan-
nya tidak bisa dipandang ringan.
*** "Haiiit...!"
Diiringi sebuah pekik melengking, Kenanga mence-
lat ke depan dengan serangan-serangan yang jauh le-
bih hebat dari sebelumnya. Kaki dan tangannya bergerak cepat melakukan tamparan-
tamparan dan tendan-
gan yang menerbitkan deruan angin tajam!
"Heaaa...!"
Songgara tidak tinggal diam. Tubuhnya bergerak
maju menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar
saja keduanya sudah saling terjang dengan jurus-jurus pilihan.
Melihat kekasihnya terlibat dalam sebuah pertarun-
gan sengit, Panji sadar kalau keadaan memang tidak
mungkin bisa diubah lagi. Dengan langkah tenang,
pemuda tampan itu bergerak mendekati dua orang
lainnya, Dawanta dan Malingga.
Kedua lelaki bermata dingin itu sepertinya sudah
bersiap untuk menggebrak Panji. Begitu melihat pe-
muda berjubah putih itu melangkah maju, Dawanta
dan Malingga merenggang ke kiri dan kanan. Jelas,
kedua orang itu hendak mengeroyok Panji dari dua
arah. "Jawablah pertanyaan kami yang terakhir, Bocah!
Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih..."!"
bentak Malingga kasar. Rupanya dia masih penasaran
karena belum mendapat kepastian tentang jati diri
pemuda tampan berjubah putih itu. Itu sebabnya, se-
belum bertarung, pertanyaan itu kembali dilontarkan.
"Hm.... Siapa pun aku, itu tidak penting. Katakan
dulu, siapa kalian bertiga, dan apa maksud kalian
mencariku...?" sahut Panji, masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Malingga.
Pemuda itu sengaja hen-
dak membuat lawannya penasaran.
"Keparat! Bocah keras kepala! Rupanya kau lebih
suka mampus daripada memperkenalkan namamu...!"
geram Malingga jengkel bukan main. Dia merasa di-
permainkan oleh seorang pemuda seperti Panji. Tanpa banyak cakap lagi, langsung
saja tubuh cebolnya melesat dengan sebuah serangan maut mematikan ke
arah kepala Panji.
"Remuk kepalamu, Bocah...!" teriak Malingga berin-
gas. Bibir Panji memperlihatkan senyum meledek men-
dengar teriakan lawan. Pendekar Naga Putih hanya
menggeser kaki kanannya seraya memutar tubuh.
Disusul satu kibasan lengan ke punggung lawan.
"Yeaaah...!"
Malingga kaget melihat kecepatan gerak lawan yang
hampir tidak bisa ditangkap oleh matanya itu. Segera dia membentak nyaring
sambil memutar tubuh dengan
kuda-kuda rendah. Tangan kanannya dilintangkan ke
depan, memapaki kibasan lengan Panji yang disertai
tenaga dalam kuat. Akibatnya....
Dukkk! "Ahhh..."!"
Bukan main terperanjatnya Malingga ketika tangki-
sannya justru membuat tubuhnya hampir terjengkang
ke tanah. Untunglah tubuhnya masih sempat dikuasai
dengan melambung ke udara dan berputar beberapa
kali sebelum kakinya menjejak tanah.
"Hmhhh...!"
Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada,
Malingga menggereng keras. Kedua lengannya diki-
baskan ke kiri dan kanan bersama bentakan lantang.
Gerakan itu dilakukannya untuk mengusir hawa din-
gin yang membekukan aliran darah di tubuhnya.
"Keparat! Tenaga yang kau gunakan itu pasti 'Tena-
ga Sakti Gerhana Bulan'. Tidak salah lagi, kau me-
mang benar-benar Pendekar Naga Putih. Tapi, menga-
pa kau begitu pengecut untuk mengakuinya?" desis
Malingga dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu
membunuh. "Hm..., aku tidak mengenal siapa kalian. Aku juga
tidak tahu apa maksud kalian mencari serta memusu-
hiku. Jadi untuk apa aku memperkenalkan nama ka-
lau akhirnya kita akan bertarung juga...?" jawab Panji dengan raut wajah yang
tetap tenang, membuat kemarahan Malingga semakin menjadi-jadi.
"Bocah sombong! Kau tidak perlu tahu julukan ka-
mi! Yang jelas, kami datang untuk membunuhmu...!"
bentak Malingga. Kembali disiapkannya jurus baru untuk menggempur Pendekar Naga
Putih. Wunggg! Tiba-tiba saja telinga Panji menangkap deruan ta-
jam dari belakang. Cepat kepalanya menoleh, dan
langsung merunduk ketika melihat sebuah benda bu-
lat meluncur menuju kepalanya.
Ketika benda bulat itu hanya lewat satu jengkal di atas kepala Panji, benda itu
langsung berputar balik, lalu kembali mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Blarrr...! Terdengar ledakan keras bagai mengguncang bumi
ketika, benda bulat itu menghantam tanah tempat
Panji berpijak. Untunglah pemuda itu telah melempar tubuh ke udara dan langsung
berputar sebelum mendarat di permukaan tanah.
"He he he...! Sebentar lagi kepalamu pasti akan re-
muk oleh bola bajaku ini, Pendekar Naga Putih...!" ujar Dawanta seraya tertawa
parau. Rupanya lelaki kekar berotot itu yang menyerang
Pendekar Naga Putih secara licik. Dawanta memutar
senjata andalannya yang berbentuk rantai dengan
ujung bola berduri di atas kepalanya.
Panji mengangkat kepala menatap bola berduri yang
menderu di atas kepala lawannya yang bertubuh ke-
kar. Disadari kalau senjata lawan sangat berbahaya.
Terbukti tanah tempatnya berpijak tadi telah berlu-
bang besar terhantam bola baja berduri itu. Pendekar Naga Putih memutar otak
untuk mencari cara menghadapi lawan bersenjata aneh yang baru kali ini dite-
muinya. *** 3 "Yeaaah...!"
Disertai bentakan nyaring, Dawanta melontarkan
bola berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.
Whusss...! Senjata maut yang mengerikan itu meluncur den-
gan kecepatan tinggi. Panji yang sudah memper-
siapkan diri untuk menghadapi senjata maut itu, baru menggeser tubuh saat bola
itu tinggal satu jengkal dari tubuhnya. Gerakan menghindar secepat kilat tadi
tidak sulit dilakukan Panji, karena ilmu meringankan
tubuhnya memang telah mencapai tingkat kesempur-
naan. Baru saja terhindar dari serangan yang satu, seran-
gan lainnya sudah datang mengancam.
Jtarrr... ctarrr...!
Suara ledakan cambuk yang menyakitkan telinga
itu, datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar
Naga Putih. Rupanya, Malingga pun telah mempergu-
nakan senjata andalan untuk mengeroyok Panji. Tentu saja pemuda itu semakin
terkejut dan kagum melihat
kehebatan lawan-lawannya. Hatinya bertanya-tanya,
siapa gerangan tiga lelaki bermata dingin yang berkepandaian tinggi itu" Dan,
mengapa mereka memusu-
hiku" Tapi, Pendekar Naga Putih tidak sempat memikir-
kan jawaban semua pertanyaan yang memenuhi be-
naknya. Karena dia harus menyelamatkan diri dari ancaman ujung cambuk yang
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengincar setiap jalan da-
rah besar di tubuhnya.
Ketika ujung cambuk datang mengancam untuk ke-
sekian kalinya, Panji yang ingin mengetahui kekuatan
lawan secara pasti, langsung mengibaskan lengan,
memapaki patukan ujung cambuk. Dan....
Prattt...! "Aaah...!"
Malingga terpekik saat ujung cambuknya terpental
balik akibat kibasan lengan lawan. Bahkan, hawa dingin yang mengalir dari
telapak tangan lawan sampai
pada telapak tangannya. Membuat lengannya menjadi
kaku beberapa saat lamanya.
"Heaaah...!"
Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
Segera saja jarinya menusuk deras ke tubuh lawan.
Tukkk! "Aaakh...!"
Tusukan jari tangan Pendekar Naga Putih telak
mengenai sasaran. Akibatnya, tubuh Malingga ter
jengkang ke belakang, lalu jatuh berguling-guling. Jelas hantaman yang
dilontarkan Panji terlalu kuat baginya, karena pemuda itu mengerahkan tenaga
dalam- nya lebih dari separoh.
"Uhhh...!"
Meskipun dengan tulang iga terasa remuk, Malingga
berusaha bangkit untuk melanjutkan pertarungan.
Darah segar mengalir turun dari sudut bibirnya, pertanda kalau hantaman jari-
jari tangan Pendekar Naga Putih mengakibatkan luka dalam yang lumayan parah.
"Haaat...!"
Bagai tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita, Malingga kembali melesat ke
tengah arena. Saat itu
Panji berusaha keras melumpuhkan senjata maut di
tangan Dawanta yang menerjang bertubi-tubi.
Wunggg...! Untuk kesekian kalinya bola maut itu mengancam
batok kepala Pendekar Naga Putih. Kali ini Panji hanya
merunduk, dan segera mengangkat tangan saat bola
maut itu lewat di atas kepalanya.
Dan.... Wrettt! Rantai maut Dawanta langsung terjerat di pergelan-
gan tangan Panji. Lalu secepat kilat tangannya men-
cengkeram rantai senjata maut itu, membuat Dawanta
terperangah melihat senjatanya dapat dilumpuhkan
lawan. "Hahhh!"
Disertai bentakan menggeledek, Dawanta menge-
rahkan seluruh tenaga untuk membetot rantai di tan-
gannya. Rrrttt..! Rantai baja itu menegang ketika Panji mempererat
genggamannya serta menambah kekuatannya ketika
merasakan tenaga lawan benar-benar sangat kuat Ter-
jadilah adu tarik yang menegangkan, membuat rantai
baja yang menjadi ajang adu kekuatan itu berderak-
derak. "Haiiit...!"
Saat Dawanta mengerahkan segenap kekuatannya
agar dapat merebut senjata mautnya kembali, tiba-tiba saja Panji mengendurkan
tarikannya, dan membiarkan
dirinya melayang terbawa sentakan lawan. Hal itu bukan berarti kalau kekuatan
Dawanta lebih besar. Na-
mun, Panji memang menghendaki hal itu.
Dengan memanfaatkan tenaga sentakan lawan, tu-
buh Panji melesat bagai anak panah menuju Dawanta.
Sebelum Dawanta sempat menyadari yang terjadi, ten-
dangan Panji telah mengancam dadanya.
Desss...! Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak kaki Panji yang dialiri 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan', mendarat telak di
dada Dawanta! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun, tubuh kekar itu terpental deras ke
belakang. Darah segar termuntah, membasahi tanah di bawahnya. Kendati demikian,
rantai berujung bola
berduri itu tidak terlepas juga dari tangannya. Karena ujung lainnya terikat
erat di pergelangan lengan kanan Dawanta.
Semula Panji hendak memutuskan rantai yang teri-
kat di pergelangan tangannya. Tapi, terpaksa niatnya itu ditunda, karena saat
itu Malingga merangsek kembali dengan serangan pecutnya. Sehingga, Panji ter-
paksa harus menggeser tubuh untuk menghindari le-
cutan cambuk lawan.
"Hiaaah...!"
Tanpa terlepas dari libatan rantai pada pergelangan tangannya, Panji bergerak
menghindar dan secepat kilat melangkah maju begitu ujung cambuk lawan luput.
Kemudian, kaki kanannya mencelat ke iga kanan la-
wan. Bukkk! "Huakkkh...!"
Untuk kedua kalinya, tubuh Malingga terpental ke
belakang. Kali ini mulutnya memuntahkan darah segar akibat tendangan sekeras
palu godam yang menimpa
tubuhnya. Untuk kesekian kalinya tubuh cebol itu jatuh terguling-guling. Bahkan
kali ini mendapat kesu-karan untuk dapat segera bangkit.
"Aaakh...!"
Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Maling-
ga, terdengar jerit kesakitan lain. Kemudian disusul dengan melayangnya sesosok
tubuh kurus yang kemudian terbanting di atas tanah, tidak jauh dari tempat
Malingga terjatuh.
"Adi Songgara..."!" rintih Malingga melihat siapa
yang terbanting itu. Lelaki cebol itu nampak kaget melihat cairan merah
termuntah juga dari mulut rekan-
nya itu. - "Lari...!"
Setelah berseru begitu, Malingga terseok-seok mela-
rikan diri dari tempat itu. Disusul oleh Dawanta yang terpaksa harus melepaskan
senjatanya. Melihat kedua rekannya telah melarikan diri, Song-
gara bergegas bangkit dan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
"Hei! Jangan harap kalian dapat lolos begitu saja...!"
Kenanga yang tak sudi melepaskan lawan-lawannya,
melesat untuk melakukan pengejaran.
"Kenanga, tahan...!" cegah Panji. Dia sadar kalau
ketiga orang itu adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Bisa saja mereka berbuat licik untuk melepaskan diri dari kejaran Kenanga.
Apa yang diduga Panji ternyata tidak meleset Pemu-
da itu melihat Songgara mendadak berbalik, dan men-
gibaskan lengannya ke arah Kenanga.
Syuuut... syuuut..!
Terdengar desingan halus diiringi kilatan sinar pu-
tih yang meluncur ke arah Kenanga yang berada dua
tombak dari Songgara.
"Hait..!"
Sadar kalau benda berkilau itu adalah pisau-pisau
terbang sebagai senjata rahasia Songgara,
Kenanga langsung melolos Pedang Sinar Rembulan
dari pinggangnya. Kemudian, dengan gerakan menyi-
lang, dihalaunya ketiga pisau kecil itu.
Darrr... darrr..,!
Hati Kenanga terkejut bukan main ketika benda itu
mendadak meledak saat berbenturan dengan senja-
tanya. Asap tipis yang harum menebar di sekitar tubuh dara jelita itu. Sesaat
kemudian Kenanga jatuh tak sadarkan diri. Kedua bagian lengan pakaiannya ter-
koyak, seperti terbakar api.
"Kenanga...!" seru Panji khawatir.
Tubuhnya segera melesat menghampiri kekasihnya
yang tergeletak pingsan.
"Kenanga...," desis Panji sambil memeriksa keadaan
kekasihnya. Wajah Pendekar Naga Putih terlihat agak cemas ketika mengetahui
kekasihnya terkena jenis racun ganas yang mematikan.
Setelah menotok beberapa bagian tubuh kekasih-
nya, Panji mengangkat tubuh lunglai dara jelita yang dicintainya itu. Kemudian,
dibawanya ke tempat yang lebih aman, agar dapat mengobatinya dengan tenang.
Sementara itu, kegelapan merayap perlahan, me-
nyelimuti permukaan bumi. Angin dingin berdesir lembut, menyambut datangnya dewi
malam di cakrawala
yang mulai menampakkan keanggunan cahayanya.
*** Bayangan putih itu bergerak menerobos sepinya
malam di bawah sinar bulan yang redup. Jubah putih-
nya berkibar mengikuti gerakannya yang cepat bagai
bayangan hantu. Di bahu kanannya terlihat sesosok
tubuh lain, tergantung lemah tak berdaya. Sosok berjubah putih itu terus melesat
ke selatan dengan cahaya rembulan sebagai penerang jalan.
Tidak berapa lama kemudian, sosok berjubah putih
itu menghentikan larinya. Setelah terdiam sesaat sambil menatap tajam sebuah
pondok sederhana di de-
pannya, kakinya melangkah perlahan mendekati pintu
pondok. Tok, tok, tok! Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, sosok
yang ternyata pemuda berjubah putih itu mundur dua
tindak. Dinantinya sang Empunya rumah membuka-
kan pintu baginya.
"Siapa di luar...?" tanya suara gemetar dari dalam
rumah. "Maaf kalau aku mengganggu. Aku seorang pen-
gembara yang membutuhkan pertolongan. Tidak usah
cemas, aku bukan orang jahat..," sahut pemuda berjubah putih dengan lantang dan
jelas hingga terdengar ke dalam rumah.
"Carilah tempat lain. Kami tidak mempunyai apa-
apa yang bisa menolongmu...!" sahut pemilik rumah
sederhana itu, belum juga mau membukakan pintu.
Rupanya dia belum mempercayai jawaban yang baru-
san didengarnya.
"Bukalah! Aku hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat Temanku sedang sakit, dan dia harus segera ditolong...!" pinta
pemuda berjubah putih, setengah memaksa. Setelah berkata demikian, kakinya me-
langkah, lalu telapak tangannya ditempelkan pada
daun pintu. Kreeek...! Tanpa kesulitan sedikit pun, daun pintu itu lang-
sung terdorong, padahal pemuda berjubah putih itu
sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga.
"Ahhh...!"
Terdengar jeritan tertahan dari dalam rumah. Lelaki berusia sekitar lima puluh
lima tahun, yang sejak tadi telah menunggu dengan jantung berdetak tegang,
langsung menyambar sebilah golok di bilik rumahnya.
Kemudian, diserbunya bayangan putih yang menyem-
bul dari balik daun pintu.
"Perampok keparat! Mampus kau...!" bentaknya
bergetar. Disusul kelebatan sinar putih yang meluncur ke arah tamu tak diundang
itu. Orang yang dirangsek hanya memiringkan tubuh,
dan menerima bacokan itu dengan pangkal lengan.
Trakkk! Bacokan mata golok itu memang tepat mengenai sa-
saran. Tapi, yang terjadi justru sangat mengejutkan si pemilik rumah. Sebab,
orang yang diserangnya sama
sekali tidak berteriak kesakitan, apalagi sampai mengeluarkan darah. Malah golok
di genggamannya ter-
lempar begitu saja ke tanah. Tubuh pemilik rumah itu terjajar mundur sambil
meringis memegangi pergelangan tangan yang terasa sakit bukan main.
"Maaf, Paman. Aku sama sekali tidak bermaksud
menyakiti. Aku hanya butuh tempat yang baik untuk
mengobati sahabatku yang keracunan...," ujar pemuda berjubah putih itu. Kakinya
kembali melangkah tenang, lalu tangannya diulurkan kepada si pemilik rumah.
Ketika wajah pemuda berjubah putih itu tertimpa
sinar lampu minyak, hati pemilik rumah itu agak sedikit lega. Sebab, dilihatnya
wajah pemuda itu tidak
menggambarkan sifat-sifat jahat.
Pemuda tampan yang tak lain dari Panji itu, terse-
nyum seraya menganggukkan kepala. Kemudian tan-
gannya yang terulur itu, memijat lengan orang tua di depannya dengan pengerahan
'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Hawa dingin tiba-tiba mengalir dari jari-jari pemuda itu, membuat rasa
nyeri pada pergelangan
pemilik rumah langsung lenyap.
"Ohhh..."!"
Mulut lelaki tua itu sampai ternganga ketika mera-
sakan semua itu. Apalagi ketika dirasakan betapa
nikmatnya pijatan itu.
"Kau..., kau siapakah...?" tanya orang tua itu terga-gap. Sepertinya dia menduga
kalau tamunya sebangsa
siluman. Tentu saja Panji yang melihat gelagat itu
menjadi tersenyum.
"Namaku Panji, Paman. Dan aku membutuhkan
tempat untuk mengobati luka kawanku ini. Aku seo-
rang manusia biasa, sama seperti Paman," jelas Panji, membuat orang tua itu
mengangguk-angguk, menyadari kekeliruannya.
"Silakan, Nak Panji...," ujar orang tua itu, sudah
merasa yakin kalau pemuda tampan berjubah putih
itu bukan orang jahat, atau sebangsa siluman. Segera diajaknya Panji ke sebuah
kamar, dan mengizinkannya untuk digunakan.
"Terima kasih, Paman...," ucap Panji. Segera tubuh
Kenanga direbahkannya di atas balai-balai bambu
yang kelihatan sudah cukup tua itu.
"Kalau kau memerlukan sesuatu, silakan ambil
sendiri di belakang. Aku hendak beristirahat...," pamit orang tua itu. Rupanya
dia tidak mau mencampuri
urusan tamunya. Kemudian, bergerak keluar dari da-
lam kamar itu. Sepeninggal orang tua itu, Panji mulai melakukan
pengobatan terhadap kekasihnya. Setelah merasa ya-
kin kalau keadaan Kenanga sudah tidak terlalu berbahaya, Panji pun melepaskan
lelah sambil bersemadi.
Hal itu lebih berguna ketimbang tidur. Karena dengan melakukan semadi, tubuhnya
akan cepat terasa segar.
***
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uhhh...."
Panji sudah menyelesaikan semadi dan menunggu
kekasihnya siuman. Dihampirinya balai-balai bambu
tempat Kenanga terbaring, dan duduk di tepinya.
Perlahan-lahan sepasang mata indah dara jelita itu
terbuka. Bibirnya bergerak ketika melihat seraut wajah tampan tengah tersenyum
kepadanya. "Kaukah itu, Kakang...?" tanya Kenanga yang ru-
panya masih samar-samar mengenali Panji.
"Benar, Kenanga. Tetaplah berbaring, kau masih
terlalu lemah," cegah Panji seraya menekan perlahan kedua bahu kekasihnya yang
hendak bangkit Dara jelita itu kembali berbaring.
Yakin kalau orang yang berada di sisinya adalah
Panji, Kenanga kembali memejamkan mata. Dia men-
coba mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya.
Perlahan-lahan, ingatannya kembali pada kejadian
yang telah menimpa dirinya.
"Pisau terbang itu pasti mengandung racun ganas,
hingga tubuhku terasa lemah dibuatnya...," ucap Ke-
nanga perlahan. Kemudian dara jelita itu membuka
matanya dan menatap Panji, seakan meminta penjela-
san. "Racun yang terhisap olehmu memang tidak terlalu
berbahaya, Kenanga. Tapi, untuk beberapa hari pere-
daran darahmu akan terganggu. Meskipun tidak akan
menyebabkan kematian, tapi racun itu sanggup me-
lumpuhkan daya pikir seseorang. Itu sebabnya menga-
pa kau masih belum bisa berpikir secara baik, dan tenagamu pun masih belum pulih
seluruhnya. Untuk
memulihkan kesehatanmu, kau harus beristirahat se-
tidaknya tiga hari...," jelas Panji, membuat Kenanga menghela napas menyesali
kecerobohannya waktu itu.
"Jadi, Kakang akan menyelidiki Istana Kadipaten
Balaraja seorang diri" Sedangkan aku harus berbaring di sini menunggumu...?"
tanya Kenanga, sudah dapat
menebak apa yang akan dilakukan Panji.
"Kau tidak perlu berbaring terus-menerus, Kenanga.
Bisa saja kau berlatih ataupun bersemadi guna mem-
percepat pemulihan tenagamu. Mengenai penyelidikan
itu, kelihatannya memang aku harus melakukannya
sendiri. Kalau tidak, mungkin saja kita terlambat. Dan keadaan berubah semakin
sulit..," ujar Panji lagi, meminta pengertian kekasihnya.
"Yaaah.... Baiklah, Kakang. Kalau memang aku su-
dah sehat betul, aku akan menyusul...," sahut Kenan-ga, memaklumi kekhawatiran
kekasihnya. Setelah menitipkan Kenanga kepada pemilik rumah,
Panji pun meninggalkan tempat itu menuju Kadipaten
Balaraja. *** 4 Di Istana Kadipaten Balaraja saat itu terjadi kesibukan. Atas perintah Senapati
Marganta, para pejabat
kadipaten berkumpul di ruang pertemuan. Tujuannya
untuk menenangkan suasana istana yang dilanda ke-
resahan. "Saudara-saudara sekalian..-.!"
Terdengar seorang lelaki gagah berusia lima puluh
tahun membuka pertemuan.
"Aku berharap agar peristiwa ini tidak tersebar luas.
Kalau sampai hal itu terjadi, kemungkinan besar ma-
syarakat akan menjadi resah. Selain itu, bahaya yang lebih besar mungkin akan
melanda kadipaten ini. Salah satunya adalah serangan dari luar dengan maksud
merebut istana ini dari tangan kita. Untuk itu, kuha-
rap kalian semua dapat mengerti...," lanjut lelaki gagah yang dikenal sebagai
Senapati Marganta.
"Tuan Senapati! Boleh kami mengajukan penda-
pat..?" seorang pejabat yang berada di sudut, mohon izin untuk berbicara.
"Silakan...," ujar Senapati Marganta dengan suara
berwibawa. Sepasang mata lelaki gagah itu agak me-
nyipit, seolah menilai perwira yang ingin mengajukan pendapatnya itu.
"Karena kejadian ini menyangkut kewibawaan Ka-
dipaten Balaraja, tidakkah sebaiknya kalau diam-diam kita memerintahkan pasukan
untuk melakukan penyelidikan" Siapa tahu manusia jahanam itu belum lari
jauh dari daerah ini. Dengan begitu, kita akan mudah menangkapnya. Sebab kalau
hal ini dibiarkan, kita bi-sa celaka. Mungkin di antara kita tidak akan ada yang
membocorkan rahasia ini. Tapi, apakah mulut manusia laknat itu dapat kita jaga
pula" Bagaimana kalau dia sendiri yang akan menyebarluaskan berita ini...?"
tutur perwira berwajah brewok yang memiliki sepasang mata tajam itu dengan suara
yang lantang, hingga terdengar oleh semua orang yang hadir di ruangan itu.
Terdengar kasak-kusuk yang membuat ruangan itu
menjadi bising. Beberapa pejabat tampak mengang-
guk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan perwira
bertubuh kekar tadi.
"Benar apa yang dikemukakan Perwira Duranta itu,
Tuan Senapati. Rasanya kita tidak bisa berdiam diri setelah mengetahui perbuatan
manusia jahat itu terhadap kadipaten yang kita cintai ini. Aku ikut mendukung
pendapat Perwira Duranta...," timpal lelaki tinggi kurus yang wajahnya terhias
kumis tipis. Dia pun ber-pangkat perwira, seperti halnya Duranta.
"Hm...," Senapati Marganta tidak segera menyahuti
ataupun menyetujui pendapat kedua perwira itu. Dia
hanya bergumam sambil mempermainkan jenggotnya
yang tercukur rapi. Pandang matanya menerawang
jauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Saudara-saudara sekalian. Aku bukan tidak setuju
dengan pendapat Perwira Duranta maupun Perwira
Sanggira. Tapi, apakah di antara kita ada yang me-
nyaksikan kejadian itu, dan sempat mengenali manu-
sia laknat itu" Kalau kita mengirim sepasukan prajurit untuk menyelidiki,
bukankah hal itu hanya buang-buang tenaga" Sebab, siapa orang yang harus kita
cari itu" Adakah di antara kalian yang mengetahuinya...?"
Para pejabat kadipaten yang berkumpul di ruang
pertemuan itu kembali saling berbicara satu sama lain.
Kepala mereka tertunduk lesu. Sebab, apa yang dika-
takan Senapati Marganta memang tidak bisa dibantah!
Tak seorang pun tahu ke mana dan siapa yang harus
mereka cari"
"Tuan Senapati, menurut laporan beberapa prajurit
penjaga gerbang, kemarin ada seorang pemuda yang
ciri-cirinya sangat cocok dengan pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih. Bahkan setelah mendengar laporan, hamba merasa yakin kalau pemuda
itu adalah Pendekar Naga Putih. Nah, bagaimana kalau kita meminta bantuannya
untuk mengungkapkan rahasia yang masih gelap ini...?" Duranta tampak belum putus
harapan. Maksud hatinya dikemukakan tanpa
keraguan sedikit pun.
"Aku pun sudah mendengar peristiwa yang terjadi
di gerbang barat kemarin. Tapi, mengingat para prajurit telah bentrok dengannya,
rasanya aku kurang yakin kalau pendekar muda itu masih berada di sekitar daerah
ini Kemungkinan besar pendekar itu telah melan-
jutkan perjalanannya, dan tidak jadi singgah di kadi-
paten ini. Jadi buanglah keinginan yang tidak mung-
kin terwujud itu, Perwira Duranta. Sebaiknya kita perketat saja penjagaan di
istana. Dan berharap agar
bangsat itu muncul kembali di tempat ini...," jawab Senapati Marganta,
menyelesaikan pertemuan. Langsung saja ditutupnya pertemuan itu, karena tidak
menghasilkan jalan keluar yang diharapkan.
Setelah Senapati Marganta mengetukkan palu di
tangannya sebagai tanda pertemuan telah berakhir,
para pejabat istana kadipaten pun bubar menuju tem-
patnya masing-masing. Beberapa di antara para peja-
bat itu ada yang merasa belum puas dengan keputu-
san pertemuan itu. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menerima dengan
terpaksa. *** Malam sudah lama turun membasahi permukaan
bumi. Suara jangkrik dan serangga-serangga malam
menyemarakkan suasana. Bulan yang menggantung
separuh di langit kelam, tak mampu menerobos kege-
lapan. Seiring berhembusnya angin malam yang sesekali
keras, tampak tiga tubuh bergerak ringan melompati
tembok yang mengelilingi Kadipaten Balaraja. Dan terus melesat di atap rumah
penduduk yang tengah ter-
buai mimpi. Ketiga sosok hitam yang memiliki kepandaian tinggi
itu, terus bergerak menuju Istana Kadipaten Balaraja.
Dengan memilih jalan yang terlindung bayang-
bayang pohon maupun tembok gelap, ketiga sosok hi-
tam itu tenis menyelinap ke istana, tanpa seorang penjaga pun menyadarinya.
Ketiganya terus bergerak me-
nuju bagian belakang, tempat para jawara Kadipaten
Balaraja tinggal.
"Kita habisi mereka di tempat ini, atau kita pancing ke luar, Kakang...?" tanya
sosok bertubuh tinggi kurus dan mengenakan jubah panjang hingga ke lutut.
"Tidak perlu memancing. Kita habisi saja di sini...,"
sahut lelaki bertubuh gemuk namun kekar berotot, ju-ga dengan suara berbisik
perlahan. Tapi, meski ketiga sosok itu telah melangkah hati-
hati, tetap saja langkah dan dengus napas mereka tertangkap oleh penghuni rumah.
Buktinya terdengar su-
ara orang bertanya dari dalam rumah itu.
"Siapa di luar..."!" tegur suara lantang. Disusul ber-kelebatnya sesosok tubuh
tegap dari dalam rumah
yang cukup besar itu.
Karuan saja ketiganya menjadi terkejut bukan
main. Cepat mereka bergerak menyelinap ke tempat
yang terlindung dari sinar obor yang tertempel di dinding rumah.
"Hm...," gumam sosok tegap itu perlahan sambil
mengedarkan pandangan ke sekitar.
Meskipun tidak menemukan sesuatu yang mencuri-
gakan, sosok tegap itu menanti beberapa saat untuk
memastikan bahwa sekeliling rumahnya memang
aman. Tapi.... "Eh..."!" sosok tegap itu menahan seruannya saat
mendengar desiran angin tajam menuju ke arahnya
dari belakang. "Haiiit..!"
Seiring teriakan nyaring, sosok tegap itu melenting ke udara, menghindari
sambaran tiga pisau terbang
yang sekaligus mengancam tiga jalan darah kematian
di tubuhnya. Meskipun telah berhasil menghindari serangan ge-
lap itu, tak urung sosok tegap itu kecolongan juga. Se-
buah tendangan keras yang datang cepat, membuat-
nya terlempar keras, memuntahkan darah segar!
Sadar kalau dirinya dalam bahaya besar, lelaki te-
gap yang merupakan salah satu jawara kadipaten,
langsung menggulingkan tubuhnya ke tempat yang le-
bih aman. Baru saja tubuhnya melenting bangkit, dan belum
sempat mengatur kuda-kuda, terdengar desingan ta-
jam yang mengancam kepalanya.
Whuuut...! "Aaah...!"
Meski agak gugup, lelaki tegap itu masih sempat
menundukkan kepalanya. Sehingga, sambaran mata
pedang itu lewat satu jengkal di atas kepalanya. Namun bukan berarti dia sudah
terlepas dari bahaya. Pe-nyerang berpedang itu ternyata memiliki gerakan yang
gesit. Begitu bacokan pedangnya luput, kakinya langsung melancarkan tendangan
kilat yang mengenai
punggung lawan.
Desss...! Tendangan berputar yang dilancarkan sosok kekar
berotot itu, membuat tubuh lawan terjerembab men-
cium tanah. Sebelum tubuhnya sempat bangkit, seba-
tang pedang berkelebat di antara sinar obor, menyambar cepat memutuskan batang
lehernya! Crakkk! Darah segar menyembur saat kepala lelaki tegap itu
terpental dari badannya. Tewaslah jawara Kadipaten
Balaraja itu, tanpa sempat berteriak lagi.
"Hei...! Siapa kalian"!"
Tiba-tiba terdengar teguran dari belakang ketiga sosok hitam yang berkumpul di
dekat mayat korbannya.
Cepat mereka menoleh ke belakang.
"Pendekar Golok Sakti..."!" desis sosok yang bertu-
buh cebol ketika melihat seorang lelaki tinggi tegap yang barusan menegur
mereka. "Untuk apa menunggu lagi" Habisi dia...!" seru lela-ki bertubuh kekar berotot
seraya menerjang lelaki tegap yang berjuluk Pendekar Golok Sakti.
"Yeaaah...!"
Bettt..! Sambaran mata pedang berkeredep, dibarengi suara
mengaung mengerikan yang mengancam lelaki tadi,
segera dielakkannya dengan menggeser tubuh ke ka-
nan. Tranggg! Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di tan-
gan lelaki tegap itu telah tergenggam sebatang golok berwarna putih mengkilat,
yang langsung digunakan
untuk memapaki serangan lawan berikutnya. Akibat-
nya, kedua orang itu terdorong mundur sejauh empat
langkah. Hal itu membuktikan kalau kekuatan mereka
berimbang. "Keparat! Siapa kalian..."! Apa maksud kalian men-
datangi tempat ini"!" geram Pendekar Golok Sakti
sambil mengelebatkan goloknya dengan gerak menyi-
lang di depan dada.
"Hm.... Kami adalah malaikat maut yang akan
membunuhmu...!" dengus lelaki tinggi kurus berjubah panjang yang langsung
mengibaskan kedua lengannya
bergantian. Terdengarlah desingan yang berasal dari enam bilah pisau terbang
yang dilepaskannya.
"Hait..!"
Pendekar Golok Sakti ternyata sangat hati-hati. Dia tidak menyambut serangan
senjata rahasia itu dengan tebasan goloknya. Tapi, memilih menghindar dengan
cara melambung ke udara.
"Haaat...!"
Selagi tubuh Pendekar Golok Sakti melayang di
udara, lelaki kekar yang menggunakan pedang lang-
sung melesat dan mengirimkan serangannya sekuat
Pendekar Naga Putih 56 Pembunuh Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga. "Yeaaah...!"
Sadar kalau berusaha menghindar jelas sangat su-
lit, Pendekar Golok Sakti tak segan-segan menyambut tebasan pedang lawan dengan
kelebatan senjatanya.
Sehingga.... Trang! Trang...!
Tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras pun terja-
di, membuat percikan bunga api menerangi arena per-
tarungan itu. Tubuh keduanya terpental balik, dan
sama-sama berputar beberapa kali sebelum menyen-
tuh permukaan tanah.
"Kalian Tiga Setan Lembah Mayat..."! Siapa..., siapa yang membayar kalian untuk
membunuhku...?" desis
Pendekar Golok Sakti.
Rupanya lelaki bertubuh tegap itu mengenali ketiga
lawannya. Dia pun tahu pula kalau ketiga orang itu
merupakan pembunuh bayaran yang bersedia melaku-
kan apa saja demi beberapa kantong uang. Tentu saja Pendekar Golok Sakti menjadi
terkejut setelah mengetahui siapa ketiga orang lawannya itu.
"Hm.... Setelah mengetahui siapa kami, kau harus
mati, Pendekar Golok Sakti...!" geram orang pertama dari Tiga Setan Lembah
Mayat, yang tidak lain dari
Malingga. "Suiiit...!"
Tiba-tiba Pendekar Golok Sakti memperdengarkan
siulan panjang yang melengking tinggi, membuat keti-ga orang lawannya terkejut.
Mereka menduga kalau
Pendekar Golok Sakti tengah memanggil bala bantuan.
"Keparat! Mampus kau...!" geram Songgara menjadi
marah. Langsung dilepaskannya tiga bilah pisau ter-
bang ke arah lelaki tegap itu.
Syuuut...! Belum lagi benda-benda tajam itu benar-benar de-
kat, lelaki bertubuh kekar berotot bernama Dawanta
sudah menyusul dengan serangan pedangnya. Mem-
buat, Pendekar Golok Sakti kerepotan oleh serangan-
serangan maut itu.
Merasa agak kaget mendapat serangan yang cukup
mendadak itu, Pendekar Golok Sakti segera saja men-
gayunkan golok, menyambut datangnya sebilah pisau
terbang yang mengarah tenggorokannya. Dan....
Darrr...! "Aaah....!"
Pendekar Golok Sakti yang tak menduga kalau sen-
jata rahasia itu akan meledak akibat tangkisannya,
memekik tertahan. Tubuhnya terlempar balik di antara kepulan asap tipis beraroma
memabukkan. "Tamat riwayatmu...!"
Sebelum Pendekar Golok Sakti sempat berbuat se-
suatu, Dawanta sudah tiba dengan satu sabetan pe-
dang, yang langsung merobek sepanjang dada lelaki
gagah itu. Breeet...! "Aaa...!"
Jeritan menyayat terdengar saat mata pedang Da-
wanta menghabisi nyawa Pendekar Golok Sakti. Seir-
ing robohnya tubuh jawara kadipaten itu, terdengar
derap langkah banyak orang mendatangi tempat perta-
rungan maut itu. Dari kejauhan terlihat sinar terang berasal dari obor yang
dibawa serombongan prajurit
kadipaten. "Lari...!" perintah Malingga, mengetahui sepasukan
prajurit berlarian memandangi mereka.
Tanpa diperintah dua kali, Dawanta dan Songgara
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dalam sekejap, tubuh Tiga Setan Lembah
Mayat melambung ke atas
atap, dan terus berkelebat menuju keluar lingkungan istana kadipaten.
"Kejar...!" teriak seorang lelaki gagah berpakaian
senapati. Seketika itu juga, tidak kurang dari seratus orang
prajurit di bawah pimpinannya, bergerak menyebar
untuk melakukan pengejaran.
Namun, Tiga Setan Lembah Mayat tidak bodoh. Me-
reka lari berpencar untuk mengacaukan para penge-
jarnya. Sehingga, para prajurit kadipaten menjadi bingung dan berlarian ke sana
kemari. "Kejar salah seorang dari mereka...!"
Lelaki gagah yang dikenal sebagai Senapati Margan-
ta, kembali memberi perintah kepada pasukannya
yang kacau-balau itu. Setelah memberi perintah tadi, tubuhnya sendiri melesat
melakukan pengejaran,
mendahului para prajuritnya. Senapati Marganta se-
pertinya tidak ingin kehilangan buruan hanya karena kelambatan para prajuritnya
dalam melakukan pengejaran.
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Keparat..."!" geram
Senapati Marganta.
Saat itu, dilihatnya sesosok bayangan berkelebat
dalam jarak satu tombak lebih. Cepat Senapati Mar-
ganta melakukan pengejaran, dengan membawa seba-
tang obor yang disambarnya dari dinding bangunan.
"Hei! Berhenti...!" bentak Senapati Marganta sambil melayang ke depan dengan
berputar di udara beberapa kali.
Sedangkan sosok tubuh yang dikejar, terlihat
menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke bela-
kang, saat menyadari sesosok tubuh berputaran di
udara ke arahnya. Dia pun melangkah mundur dua
tindak "Menyerahlah, Pembunuh Keji...!" bentak Senapati
Marganta begitu kedua kakinya mendarat di atas ta-
nah, beberapa langkah di hadapan sosok bertubuh se-
dang berjubah panjang yang berwarna putih.
Sosok bertubuh sedang itu tampak agak tertegun
mendengar perkataan Senapati Marganta. Namun, le-
laki gagah itu berpikir lain. Khawatir kalau-kalau sosok berjubah putih itu
berbuat curang, Senapati Marganta bergegas melolos senjatanya, lalu maju mener-
jang. Sebelumnya dia bersiul panjang, sebagai isyarat kepada pasukannya untuk
datang ke tempat itu.
"Hei! Ada apa ini..."!" seru sosok berjubah putih
yang segera menarik tubuhnya ke belakang, untuk
menghindari sambaran pedang lawannya.
"Tidak perlu banyak cakap! Menyerahlah, atau kau
kubunuh di tempat ini..."!" ancam Senapati Marganta penuh kegeraman. Kembali
pedangnya dibabatkan
dengan gerakan mendatar.
Bettt...! Sosok berjubah putih itu kembali melompat mun-
dur, menghindari sambaran pedang yang nyaris mero-
bek perutnya. Kemudian, kaki depannya mencuat den-
gan maksud melumpuhkan pedang lawan.
Dukkk! Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Tubuh Se-
napati Marganta terjajar mundur sejauh enam lang-
kah. Sedangkan sosok berjubah putih itu tetap tegak tanpa bergeming sedikit pun
dari tempatnya semula.
Kenyataan itu tentu saja membuat Senapati Marganta
menjadi terkejut.
"Bangsat! Pantas saja kau berani mati mengacau di
dalam istana kadipaten. Rupanya kau memiliki kepan-
daian tinggi.... Walau begitu, jangan harap kau dapat lolos dari tempat ini...!"
geram Senapati Marganta.
Kembali pedangnya disilangkan di depan dada, dan
bersiap menghadapi pertarungan selanjutnya.
Tapi, sebelum keduanya saling menggebrak, terden-
gar derap langkah dari empat penjuru. Sosok berjubah putih itu kelihatan kaget
begitu menyaksikan puluhan prajurit kadipaten muncul mengepung dirinya.
"Tuan Senapati, harap jangan teruskan kesalahpa-
haman ini. Hamba hanya kebetulan tengah berkeliling di sekitar istana kadipaten.
Karena hamba mendengar terjadi sesuatu yang menggemparkan di dalam lingkungan
istana. Itu sebabnya, hamba berada di tempat ini...," sosok berjubah putih itu
berusaha menjelaskan duduk persoalannya.
"Hm.... Jadi kau tetap tidak mau mengakui perbua-
tanmu yang telah menewaskan dua orang jawara kadi-
paten...?" ujar Senapati Marganta dengan wajah sinis.
Jelas sekali kalau lelaki gagah itu tidak mempercayai omongan orang yang
dianggapnya sebagai pembunuh
keji. "Membunuh jawara kadipaten" Apa maksud Tuan"
Hamba sama sekali tidak mengerti...," bantah sosok
berjubah putih itu yang tetap tidak menerima tuduhan Senapati Marganta
kepadanya. "Tidak usah berpura-pura lagi, Manusia Keji! Bebe-
rapa hari yang lalu kau telah membunuh Adipati Balaraja secara keji! Malam ini
kau kembali menewaskan dua orang jawara yang sangat dipercaya oleh Gusti
Adipati. Apa sebenarnya maksudmu" Mengapa kau
berbuat sekeji itu"!" Senapati Marganta tetap berkeras menuduh orang itu telah
melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.
Tanpa mau mendengar bantahan-bantahan pemuda
berjubah putih itu, Senapati Marganta segera saja
memerintahkan para prajuritnya untuk mengepung
dan menangkap sosok berjubah putih itu untuk dihu-
kum atas segala perbuatannya.
*** 5 "Tuan Senapati. Percayalah, hamba sama sekali ti-
dak melakukan perbuatan keji itu. Bahkan hamba siap membantu sepenuh tenaga
apabila diperlukan...," pemuda berjubah putih itu masih berusaha untuk meya-
kinkan Senapati Marganta kalau dirinya sama sekali
tidak bersalah.
Tapi, senapati gagah itu sama sekali tidak mempe-
dulikan ucapan tersebut. Kakinya malah melangkah
mundur untuk memberikan tempat kepada para praju-
rit yang siap menangkap pemuda berjubah putih itu.
"Hujani dengan anak panah...!" perintah Senapati
Marganta dengan suara menggelegar.
Mendengar perintah itu, pemuda berjubah putih
yang tidak lain Panji itu tentu saja menjadi terkejut.
Sadar kalau dirinya terancam bahaya besar, segera dikerahkannya 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' untuk me-
lindungi sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian, hawa
dingin menusuk tulang menebar seiring munculnya
lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Ahhh...! Dia..., Pendekar Naga Putih..."!" teriak beberapa orang perwira yang
rupanya pernah mendengar
tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih.
Karena itu, begitu melihat tubuh pemuda berjubah
putih itu diselimuti kabut berhawa dingin, mereka
langsung mengenalinya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis Senapati Marganta
dengan wajah penuh tanda tanya.
Senapati Kadipaten Balaraja itu sama terkejutnya
ketika menyaksikan lapisan kabut menyelimuti seku-
jur tubuh orang yang semula dituduh sebagai pembu-
nuh itu. Enam orang perwira yang ikut di dalam pengepun-
gan itu, menoleh ke arah Senapati Marganta. Tampak
mereka meminta pendapat Senapati Marganta, setelah
mengetahui jati diri pemuda berjubah putih yang me-
reka kepung itu.
"Hm.... Bagaimanapun juga, pendekar itu tetap ha-
rus ditangkap. Bisa saja pembunuhan di dalam ling-
kungan istana dilakukannya. Siapa lagi yang mampu
membunuh Gusti Adipati tanpa seorang pun yang
mengetahuinya" Kedua pengawal pribadi Gusti Adipati yang terbunuh pun bukan
orang sembarangan. Mengapa keduanya dapat tewas demikian mudah" Bukan-
kah semua itu berarti kalau pembunuhnya memang
memiliki kepandaian sangat tinggi" Dan, pemuda ini
salah satu dari sekian orang yang mampu melakukan-
nya. Lebih baik dia dilenyapkan saja, sebelum menimbulkan bencana baru bagi kita
semua...," ujar Senapati Marganta, masih tetap pada pendiriannya semula.
"Seraaang...!"
Setelah menetapkan keputusannya, Senapati Mar-
ganta segera memerintahkan pasukan panah yang te-
lah bersiap-siap untuk segera menyerang Pendekar
Naga Putih. Singgg... zinggg...!
Puluhan anak panah meluncur menghujani Panji
dengan kecepatan yang mengerikan. Sepertinya Pen-
dekar Naga Putih akan segera tewas terhunjam pulu-
han batang anak panah.
"Hm...," gumam Panji yang sama sekali tidak mera-
sa gentar sedikit pun menghadapi hujan anak panah
itu. Tanpa bergeser dari tempatnya, kedua tangannya digerakkan untuk menangkapi
anak panah yang menuju kepalanya. Sedangkan yang mengarah tubuhnya
sama sekali tidak dipedulikan. Sebelum kulit tubuhnya tersentuh, anak panah itu
berguguran dalam keadaan
patah. Tentu saja. semua itu akibat lapisan kabut yang melindungi tubuhnya.
"Gila..."!" Senapati Marganta sampai memekik ter-
tahan menyaksikan pemandangan itu. Kenyataan yang
terjadi di depan matanya, membuat Senapati Marganta sadar kalau Pendekar Naga
Putih benar-benar seorang yang sangat sakti. Dia sendiri telah membuktikan
dengan mata kepalanya sendiri.
"Serbuuu...!" perintah senapati gagah itu kembali.
Senapati Marganta sepertinya tidak berkecil hati.
Menurutnya, betapapun saktinya pemuda berjubah
putih itu, pasti ada batasnya. Jadi, kalau diserang terus-menerus, bukan tidak
mungkin pemuda itu akan
kehilangan banyak tenaga. Pikiran itulah yang mem-
buat Senapati Marganta memerintahkan para prajurit-
nya untuk menerjang kembali.
Melihat para prajurit meluruk dengan senjata di
Suling Emas Dan Naga Siluman 9 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Warisan Laknat 3