Pencarian

Pusaka Bernoda Darah 2

Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Bagian 2


amarahnya benar-benar memuncak Wa-jahnya yang kian mengelam itu tampak menakut-
kan. "Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Anak Setan! Yeaaat..!" Ki Palwaka yang sudah
tidak sanggup menahan kemarahannya itu berteriak keras sambil melompat menerjang
Panji. "Kakang, awas...!" Kenanga yang saat itu ber-pakaian serba hijau berteriak
memperingatkan Panji.
Sebenarnya Kenanga tidak perlu berteriak se-perti itu.
Karena, saat itu juga tubuh Panji telah berbalik menghadap ke arah si kakek yang
tengah meluncur untuk melancarkan serangan berbahaya.
Melihat hal itu Panji segera menggeser tubuhnya ke samping dan membiarkan
serangan iawan lewat setengah jengkal di sisi tubuhnya. Saat itu juga, kaki
kirinya mencelat melakukan tendangan kilat menuju dagu Ki Palwaka.
Zebbb! "Hmh...!"
Ki Palwaka mendengus kasar melihat tendangan lawan.
Tubuh orang tua itu meliuk menggunakan tenaga pinggang.
Begitu tendangan itu lewat, tangan kanannya terulur ke depan ke arah leher
Panji. *** 4 Wut! Sambaran angin kuat mengiringi cengkeraman tangan Ki Palwaka. Seperfinya kakek
itu berniat menghancurkan tulang leher lawan dengan sekali remas.
Sadar kalau kekuatan lawan begitu tinggi, Panji bergegas mengangkat tangan
kanannya memapak cengkeraman itu.
Dikerahkannya sebagian besar tenaga dalam karena tidak ingin menganggap remeh
lawan. Plak! "Hei...!"
Benturan dua gelombang tenaga dalam tinggi itu menimbulkan ledakan yang
memekakkan telinga. Ki Palwaka berteriak kaget ketika tangkisan pemuda itu
membuat tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Lengan yang
tertangkis itu terasa sangat nyeri. Hal ini benar-benar tak masuk akal. Ki Pal-
waka menggelengkan kepalanya setengah tidak per-caya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Palwaka.
Keterkejutan kakek itu semakin bertambah ke-tika melihat selapis kabut bersinar
putih keperakan menyelimuti tubuh pemuda yang menjadi lawannya itu.
"Pendekar Naga Putih..."!" Seru Sanjaya yang tak kalah kaget.
Sementara itu, Ki Aji Barga dan Ki Bukaran baru saja tiba bersama dengan enam
orang lainnya. Me-reka langsung terkesiap melihat kehadiran Pendekar Naga Putih
sehingga tanpa sadar menyebut julukan Panji.
Sanjaya meskipun belum pernah turun gunung, namun pemah mendengar tentang sepak
terjang se-orang pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Cerita itu didapat
dari gurunya, Ki Shindupala. Be-gitu mengetahui kalau pemuda tampan yang meno-
longnya itu adalah pendekar yang sering dipuji-puji gurunya, maka Sanjaya
semakin mempercayai maksud baik Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersohor itu?" Gumam Ki Aji
Barga dengan nada meremehkan.
Panji yang mendengar gumaman itu sama-sekali tidak merasa marah. Senyumnya tetap
terkembang menghiasi wajahnya yang tampan. Kemudian, pemuda itu melangkah
mendekati Sanjaya dan Kenanga.
"Kisanak, pergilah. Selamatkan dirimu, dan biar aku yang akan menahan mereka di
sini," bisik Panji ke telinga Sanjaya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga Putih.
Tapi, maaf. Aku terpaksa tidak dapat me-menuhi permintaanmu itu, karena tidak
ingin ada orang yang menjadi korban lagi karena membelaku. Jadi, biarlah aku
tetap di sini untuk ikut meng-hadapi mereka," tegas Sanjaya, mantap.
Sepasang mata pemuda itu tampak memancar-kan sinar berkilat ketika bayangan
gurunya kembali melintas di pelupuk matanya. Sebab, dengan hadir-nya orang yang
mengeroyok Ki Shindupala, sudah dapat dipastikan kalau gurunya telah tewas di
tangan mereka. Pikiran itu membuat semangat dan kemarahan pemuda itu kian
berkobar-kobar.
"Bukaran! Hadapilah murid si keparat Shindu-pala. Rebut peti yang berada di
tangannya. Bunuh dia sekalian!" Bisik Ki Aji Barga kepada Ki Bukaran di
sebelahnya. Ki Bukaran mengangguk cepat Tubuhnya yang agak gemuk itu langsung melompat dan
menerjang dengan serangan bertubi-tubi.
Bet! Bet..! Empat buah pukulan yang dilancarkannya ber-turut-turut berhasil dielakkan
Sanjaya. Pemuda itu berlompatan sambil menyabetkan pedang ke ping-gang Ki
Bukaran. Kenanga yang berniat membantu Sanjaya segera dicegah Ki Palwaka.
Sedangkan Panji kini sudah bertarung melawan Ki Aji Barga.
Enam orang murid ketiga kakek sakti itu pun ikut pula terjun dalam kancah
pertempuran. Mereka segera berloncatan mengeroyok Sanjaya. Tentu saja pemuda
tinggi tegap itu menjadi keiabakan dibuat-nya.
Sanjaya terus bertahan sambil mundur tanpa menyadari kalau di belakangnya
menganga sebuah jurang yang dalam.
Serangan para pengeroyok yang susul-menyusul itu membuatnya kian terdesak dan
terus bergerak mundur.
"Hiyaaat...!"
Ki Bukaran yang melihat keadaan itu tentu saja menjadi gembira. Sambil berteriak
keras, tubuhnya berkelebat dari samping Sanjaya. Tangan kanannya terayun ke
leher, sedangkan kaki kanannya menen-dang ke arah peti yang dihimpit di tangan
kiri pe-muda itu.
Melihat adanya serangan dari samping kiri, tan-pa sadar pemuda tinggi tegap itu
melompat ke bela-kang untuk menyelamatkan dirinya. Tapi sayang! Sanjaya tidak
mengetahui kalau di belakangnya ter-dapat sebuah jurang yang siap menelan
tubuhnya. "Aaa...!"
Pemuda tinggi tegap itu menjerit ngeri ketika tubuhnya melayang ke dalam jurang
yang kedala-mannya tidak diketahui pasti. Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu pun
sudah tak kelihatan lagi, namun gema suaranya masih terdengar. Dan kini, sayup-
sayup mulai hilang.
Ki Bukaran menjengukkan kepalanya ke dalam mulut jurang.
Wajah kakek itu tampak membayang-kan perasaan kecewa yang amat dalam, karena
tidak berhasil menyelamatkan peti yang berisi benda pusaka yang diperebutkan
itu. Memang peti itu ikut tertelan di jurang bersama tubuh Sanjaya.
Ki Aji Barga yang tengah bertarung melawan Panji, sempat melihat kejadian itu.
Dia pun begitu terkejut. Maka cepat tubuhnya berkelebat menuju tempat itu.
Demikian pula Ki Palwaka. Tubuhnya yang kurus itu cepat melesat ke arah Ki
Bukaran berada.
"Adi Bukaran, mana peti itu?" Tanya Ki Aji Barga meskipun sudah dapat menduga
apa yang telah ter-jadi ketika melihat di tangan Ki Bukaran tidak ada peti itu.
"Peti itu..., ikut tercebur ke dalam jurang, Kakang," sahut Ki Bukaran lesu.
"Hhh.... Bodoh!" Maki Ki Aji Barga gusar.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Aji Barga segera mengajak kedua orang muridnya untuk
meninggal-kan tempat itu. Mereka kini berkelebat menyelinap di antara pepohonan
hutan yang tumbuh rapat.
Ki Bukaran dan Ki Palwaka pun segera meng-ajak murid-muridnya untuk meninggalkan
tempat itu. "Hei, tunggu...!" Seru Panji menahan langkah mereka yang herdak meninggalkan
tempat itu. Tubuh pemuda itu melompat dan berputar di udara, kemudian kedua
kakinya mendarat ringan di hada-pan keenam orang itu.
"Hm.... Minggirlah, Anak Muda. Kami tidak mempunyai urusan denganmu!" Bentak Ki
Bukaran gusar melihat pemuda tampan yang berjuluk Pende-kar Naga Putih itu
menghadang jalannya.
"Huh! Tidak ada urusan katamu"! Apakah sete-lah kau membunuh pemuda tak berdosa
itu dapat bebas begitu saja"!"
Kata Panji dengan sinar mata mencorong tajam.
"Keparat! Sudah kubilang aku tidak mempunyai urusan denganmu! Hihhh...!" Dengan
gusar, Ki Bukaran menggerakkan tangan kanannya ke arah Panji.
Serrr! Serrr! Seketika pukthan batang jarum halus melesat cepat bagai kilat Begitu jarum-
jarumnya terlontar, keertam orang itu pun
melompat ke arah gerum-bulan semak yang banyak terdapat di tempat itu.
Panji bergegas mengebutkan tangannya untuk meruntuhkan jarum-jarum halus yang
mengancam tubuhnya itu.
"Bangsat licik!" Teriak Panji marah, setelah ber-hasil merontokkan senjata
rahasia itu. Cepat bagai kilat tubuh pemuda itu mengejar keenam orang itu. Kenanga pun
bergegas menyertai-nya. Namun mereka menjadi kecewa ketika tak me-nemukan
mereka. Memang, pepohonan yang tum-buh di hutan itu begitu rapat, sehingga
Pendekar Naga Putih sulit untuk menemukan mereka.
Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil, Panji dan Kenanga bergegas
meninggalkan tempat itu.
*** Tubuh Sanjaya meluncur deras menuju dasar jurang.
Pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar tubuhnya terlindungi dari
benturan-benturan. Namun tak urung beberapa kali mulutnya mengaduh ketika batang
pohon yang menjulur dari dinding jurang terlanggar tubuhnya. Pemuda itu
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya.
Meskipun dalam keadaan seperti itu, namun Sanjaya tetap menggenggam erat batang
pedang dan mengempit peti pemberian gurunya. Tekad pemuda itu sudah bulat.
Hancur bersama pusaka pening-galan perguruannya, atau selamat juga bersama-sama
pusaka itu. Byurrr! Air seketika berdebur tinggi saat tubuh Sanjaya menimpa permukaannya. Untunglah
pemuda itu masih bertahan untuk tidak pingsan, selama tubuh-nya meluncur tadi.
Kalau tidak, mungkin sudah tewas tenggelam di dasar sungai yang membelah tebing
tinggi itu. Meskipun sekujur tubuhnya terasa pedih, pe-muda yang tekadnya telah bulat itu
berusaha be-renang ke tepi. Air sungai yang bening dan sejuk itu sempat membuat
pemuda itu merasa segar karena-nya.
Dengan dengusan napas memburu, Sanjaya me-rangkak naik. Tepian sungai yang tidak
terlalu tinggi itu membuatnya tak mengalami kesulitan untuk menjangkaunya.
Sanjaya membiarkan tubuhnya yang lelah itu re-bah telentang di atas tanah
berumput kering. Pe-dang dan peti pemberian gurunya tetap berada di sampingnya.
Rasa lelah yang amat sangat mem-buatnya langsung tertidur pulas tanpa sadar.
"Uhhh...!"
Entah berapa lama sudah pemuda itu terlelap. Yang jelas begitu terbangun, hari
sudah menjadi gelap. Bergegas ia bangkit dan melangkah tertatih-tatih mencari
tempat yang lebih aman untuk ber-malam.
"Hm.... Biariah untuk malam ini aku beristirahat di bawah dinding yang menonjol
ini. Besok, baru aku akan mencari jalan keluar dari tempat ini," gu-mam Sanjaya
sambil menyandarkan tubuhnya pada lekukan dinding batu yang menonjol
menaunginya. Sejenak pemuda itu melepaskan pandangan ke atas, seolah-olah ingin memastikan
berapa tingginya dinding jurang.
Murid tunggal Ki Shindupala itu menarik napas dalam-dalam.
Wajahnya yang gagah tampak mu-rung saat melihat berapa tingginya dinding jurang
itu. Sepertinya Sanjaya tak mungkin dapat keluar dari lembah itu.
Tubuh Sanjaya menggelinjang ketika angin dingin berhembus menyusup ke tulang
sumsumnya. Bergegas dikumpulkannya ranting kering yang banyak berserakan di
sekitamya. Tak berapa lama kemudian, api unggun pun mulai berkobar meng-
hangatkan tubuhnya.
Pemuda tinggi tegap itu termenung memikirkan kejadian-kejadian yang dialaminya
beberapa saat yang lalu. Sepertinya masih belum bisa dipercayai kalau kejadian
itu telah menimpa dirinya. Karena, segalanya terjadi demikian singkat hingga tak
ubah-nya sebuah mimpi buruk yang mengerikan.
"Eyang.... Aku bersumpah akan membalaskan sakit hatimu terhadap saudara-saudara
seperguru-anmu yang berhati busuk itu! Hatiku tidak akan pemah bisa tenteram
selagi orang-orang biadab itu masih berada di muka bumi ini. Tenangkanlah
hatimu, Eyang. Berilah aku kekuatan untuk mak-sudku itu,"
desis Sanjaya. Kembali dada pemuda itu terasa sesak ketika teringat akan gurunya. Buku-buku
jarinya berkero-tokan ketika telapaknya mengepal kuat-kuat. Sepasang matanya
tampak mencorong menyiratkan den-dam yang amat sangat.
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu tersen-tak bagai disengat kalajengking,
dan kedua tangan-nya tampak gemetar ketika memegang pemberian gurunya yang
berjuluk Dewa Jubah Putih.
Diangkatnya peti itu di atas kepala untuk meng-hormati si pemilik ataupun si
pembuat kedua benda yang berada di dalamnya. Setelah agak lama pemuda itu
bersujud sambil
mengangkat peti di atas kepalanya, lalu perlahan-lahan bangkit dan duduk
bersila. Jari-jari tangan Sanjaya tampak gemetar ketika membuka tutup peti yang
panjangnya tak lebih dari dua jengkal itu.
Serangkum hawa harum seketika menyebar menyergap hidung pemuda itu pada saat
penutup peti terbuka.
"Hm.... Benda apa ini...?" gumam Sanjaya.
Pemuda itu terheran-heran ketika di dalam peti itu terdapat tiga butir benda
bulat sebesar anggur, berwarna merah dan telah kering. Sanjaya semula berniat
mengambil benda bulat itu. Namun seketika niatnya diurungkan ketika melihat
goresan-goresan huruf yang tertera di bagian dalam penutup peti.
Tulisan itu berbunyi,
Siapa pun yang ingin mempelajari isi kitab.
Dan memiliki senjata pusaka ini.
Maka dia harus menelan buah pertama.
Yang berjodoh akan selamat...!
Sanjaya tertegun setelah membaca kalimat yang tertera itu.
Hatinya berdebar ketika membaca baris terakhir. Sepertinya, di situ terkandung
sebuah an-caman yang berbau maut.
"Yang berjodoh akan selamat....'" Sanjaya me-ngulang baris terakhir dari goresan
itu. Kening pemuda itu berkerut, mencari arti dari tulisan baris terakhir itu.
Dirapatkannya penutup peti. Lalu dilangkahkan kakinya perlahan-lahan sambil
memikirkan makna dari baris terakhir tuli-san tadi.
"Ah! Kalau saja eyang berada di sini, tentu aku tidak perlu susah-susah
menanyakannya. Sebab, aku yakin kalau eyang
pasti mengetahui makna ter-sembunyi di balik tulisan itu,"
gumam Sanjaya lirih.
Kedua kaki pemuda itu terus saja melangkah bolak-balik di sekttar tempat itu.
Rupanya sebelum mendapatkan arti kata-kata pada baris terakhir, Sanjaya tidak
mau bertindak gegabah.
Karena sampai lama belum juga dapat ditemu-kan jawabannya, akhirnya Sanjaya
merebahkan tubuhnya. Sisa-sisa kelelahan yang masih terasa, membuatnya cepat
terlelap. *** Kehangatan sinar mentari dan kicauan burung pagi membangunkan Sanjaya dari
tidurnya. Pemuda itu bangkit sambil menggosok-gosok kedua matanya yang silau
oleh semburat sinar matahari.
"Uhhh...!"
Sanjaya mengeluh ketika seluruh tubuhnya terasa nyeri dan linu. Dengan tertatih-
tatih kakinya melangkah menuju ke sungai yang hanya terpisah beberapa tombak di
depannya. Setelah melepas se-luruh pakaiannya, pemuda tinggi tegap itu bergegas terjun ke
dalam sungai yang berair jernih.
Byurrr! Permukaan air sungai menyibak ketika tubuh pemuda itu jatuh menimpanya. Sambil
menggigit bibir menahankan rasa perih akibat luka-luka luar-nya, Sanjaya
membersihkan seluruh tubuh agar luka-lukanya itu tidak membengkak.
Tak lama kemudian, pemuda itu kembali naik ke darat Wajahnya sudah mulai nampak
kemerahan. Kini perut Sanjaya terasa lapar. Untung tadi dia telah menangkap
beberapa ekor ikan yang banyak di sungai ini. Dan kini, dia telah duduk dekat api unggun
sambil menikmati ikan bakar.
Sanjaya kini merasa tubuhnya lebih segar. Se-lesai menjemur pakaiannya yang
telah dicuci bersih-bersih, dia duduk bersila di atas sebuah batu besar yang


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permukaannya lebar dan pipih sehingga tidak menyakitkan. Sesaat kemudian,
Sanjaya telah teng-gelam dalam semadinya.
Sanjaya bangkit dari semadinya ketika tenaga dalamnya terasa mulai pulih.
Bergegas pemuda itu mengenakan pakaiannya yang telah kering.
"Haiiit...!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda itu melambung ke udara. Setelah
melakukan bebe-rapa kali putaran di udara, kedua kakinya mendarat empuk di atas
permukaan tanah berumput.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut..! Sanjaya mulai menggerak-gerakkan tangan me-latih ilmu silatnya. Meskipun
tenaganya belum selu-ruhnya pulih, namun angin pukulan yang menyam-bar dari
kedua tangannya sudah dahsyat Sanjaya terus memainkan jurus-jurus silatnya.
Setelah me-rasa agak lelah, gerakannya pun dihentikan Di-hirupnya udara banyak-
banyak, kemudian dihem-buskannya kuat-kuat.
"Hm.... Rasanya kesehatanku sudah hampir pulih. Sekarang tinggal memikirkan, apa
yang harus kulakukan selanjutnya.
Tinggal di tempat ini, atau mencari jalan untuk keluar," gumam pemuda tinggi
tegap itu seperfi ditujukan pada dirinya sendiri.
Sepasang mata Sanjaya berputar merayapi da-erah di sekitar tempat itu. Dilangkahkan kakinya perlahan ke tempat ia semalam beristirahat.
Wajahnya yang semula cerah, kembali murung begitu matanya tertumbuk pada peti
pemberian gurunya. Sepasang alisnya bertaut memikirkan apa yang harus
dilakukannya terhadap benda di dalam peti itu. Sejenak hatinya meragu ketika
teringat kata-kata pada baris terakhir yang masih menjadi teka-teki.
Sanjaya membalikkan tubuhnya menghadap ke sungai.
Dipandanginya permukaan air sungai yang tampak tenang mengalir dan penuh
kedamaian. Pemuda itu tersentak ketika di atas permukaan air sungai, tampak
bayangan gurunya yang tengah dikeroyok Seluruh tubuh Ki Shindupala tampak
dipenuhi luka. Pakaian yang dikenakan orang tua itu pun telah penuh ternoda
darah. "Eyang..., maafkan aku...," bisik pemuda tinggi tegap itu dengan suara bergetar.
Sanjaya menggelengkan kepala mengusir pergi bayangan yang mengganggunya itu.
Kembali dihi-rupnya udara banyak-banyak untuk melonggarkan rongga dadanya yang
terasa sesak. Sekujur tubuh pemuda itu gemetar teringat akan nasib gurunya.
"Eyang pasti sudah tewas di tangan orang-orang biadab dan serakah itu! Aku harus
membalasnya! Harus!" Desis pemuda itu dengan wajah geram. Sepasang matanya
memancarkan api dendam yang berkobar-kobar.
Begitu teringat akan kematian gurunya, tanpa berpikir panjang lagi diraihnya
peti yang berisi benda pusaka itu.
"Aku tidak peduli, apa yang akan kualami nanti!" Desis Sanjaya sambil membuka
penutup peti. Sepasang mata pemuda itu kembali terbentur pada tulisan yang terdapat di dalam
penutup peti. Tanpa ragu-ragu lagi, diambilnya buah pertama yang disebutkan
dalam tulisan tadi.
Sepasang mata Sanjaya membelalak seperti hen-dak melompat keluar. Seluruh
permukaan kulit tubuhnya tampak memerah bagai kepiting rebus. Bukan main ngeri
hatinya ketika merasakan ada hawa panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya.
Hawa panas itu seperti melonjak-lonjak, dan akan menjebol seluruh jalan
darahnya. Uap tipis berwarna putih pun tampak mengepul dari ubun-ubun kepala.
Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak cairan merah mengalir. Tapi meskipun
demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa sakit.
Tidak berapa lama kemudian, keadaan pemuda itu mulai kembali seperti sediakala.
Permukaan kulit tubuhnya tidak lagi merah. Hawa panas yang melonjak-lonjak pun
hilang entah ke mana.
"Aneh! Mengapa tubuhku terasa lebih segar dari biasa"
Apakah ini pengaruh buah kering berwarna merah yang kutelan tadi" Lalu, apa pula
keguna-annya" Mungkinkah buah itu dapat menambah tenaga?"
Berbagai macam pertanyaan memenuhi benak Sanjaya. Tapi, tak satu pun yang dapat
dijawab. "Ahhh, biarlah. Yang penting tidak apa-apa pada tubuhku!"
gumam pemuda itu sambil menggeleng-kan kepala mengusir bayangan-bayangan buruk
yang jelas mengganggu.
Kini rasa keraguan semakin tipis. Perlahan di-ulurkan tangannya untuk menyentuh
kitab yang terdapat di dalam peti
itu Dengan jari-jari gemetar, diangkatnya kitab itu dari tempatnya.
"Kitab ilmu silat 'Penakluk Sukma'...," mulut pemuda itu bergerak-gerak membaca
baris kalimat yang tertera pada sampul kitab. Kemudian, dibuka-nya lembar
pertama. Sanjaya mengangguk-angguk-kan kepala begitu membaca baris-baris kalimat
yang berbunyi, Kitab ini hanya dapat dipelajari orang berjiwa bersih, dan menurut apa yang
tertulis di balik penutup peti ini: Bagi mereka yang hanya memikirkan kepen-
tingan pribadi saja, tidak akan bisa mempelajari isi kitab.
Sebab sampul kitab ini dilumuri racun yang hanya bisa ditangkal dengan buah
berwarna merah.
"Ahhh..., syukurlah. Aku telah menuruti pesan yang tertera di balik penutup peti
ini. Kalau tidak, pasti aku sudah tewas oleh racun ganas yang melapisi sampul
kitab ini," desah Sanjaya dengan wajah agak memucat Diam-diam hatinya merasa
bersyukur karena tidak langsung menyentuh kitab itu tadi.
Hati pemuda itu berdebar penuh kegembiraan ketika mengetahui kalau kitab itu
berisikan pelaja-ran ilmu silat tingkat tinggi. Setelah puas melihat-lihat
seluruh isi kitab, Sanjaya kembali menutup-nya. Diletakkannya kitab itu di
tempat semula, ke-mudian diambilnya senjata yang terdapat di sebelah kitab.
Sanjaya memandangi senjata yang terbuat dari perak dalam genggamannya. Senjata
itu berupa sebuah lempengan-lempengan perak yang bersam-bung satu sama lain.
Pada tiap-tiap lubang sambun-gan, diikat oleh kawat baja yang menghubungkan
lempengan satu sama Iain. Sedangkan pada
bagian gagangnya tak bedanya dengan gagang pedang.
Sebuah senjata yang aneh dan jarang terdapat dalam dunia persilatan.
"Hm.... Entah apa nama senjata yang berbentuk aneh ini"
Rasanya baru kali ini aku melihat senjata macam ini?" gumam Sanjaya samba tak
puas-puasnya menatapi senjata yang berkilauan tertimpa cahaya matahari itu.
*** 5 Pagi ini, suasana begitu cerah. Angin bertiup semilir membawa kabut yang
bergerak perlahan-lahan. Hart ini, sudah memasuki tiga butan Sanjaya berada di
dasar jurang. Hanya karena kemurahan Yang Maha Kuasa saja pemuda itu bisa
selamat sewaktu terjerumus ke dalam jurang. Untunglah, daya tahan tubuhnya juga
cukup hebat, sehingga dia tidak mengalami luka yang berarti.
Dan semenjak tenaganya pulih, Sanjaya mulai melatih ilmu-ilmu yang tertera pada
kitab itu, tanpa mengenal lelah dan tidak mempedulikan waktu. Se-tiap waktu
luang selalu dipergunakan untuk melatih ilmu 'Penakluk Sukma'.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk...! Senjata berwarna perak yang panjangnya tiga jengkal tangan orang dewasa itu
menderu dahsyat menimbulkan
sambaran angin kuat. Sesekali terde-ngar suara gemerincing ketika senjata itu
digetar-kan. Kalau saja ada orang lain di sekitar tempat itu, barulah akan dapat
diketahui kegunaan bunyi itu. Sebab bunyi itu demikian kuat dan dapat
menggetarkan udara di sekitarnya.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun menghentikan gerakannya. Tubuhnya
yang ber-telanjang dada itu tampak tegap dan kuat. Kejan-tanannya semakin nyata
tatkala tubuhnya dihiasi butiran-butiran keringat, sehingga tampak berkilat
tertimpa cahaya matahari.
Setelah menutup gerakannya, Sanjaya berdiri tegak mengatur jalan napasnya.
Dadanya yang bidang itu bergelombang turun naik secara teratur. Wajahnya tampak
segar pertanda telah benar-benar sehat.
"Hm.... Telah hampir tiga bulan aku berada di sini. Meskipun yang kupelajari
belum ada separuh-nya, namun nyata sekali kalau ilmu silat 'Penakluk Sukma' ini
benar-benar langka.
Pantaslah kalau orang-orang seperti Ki Aji Barga, Ki Bukaran dan yang Iain-lain
menginginkan kedua pusaka ini," gumam Sanjaya sambil melangkahkan kakinya.
Diambilnya kitab 'Penakluk Sukma', lalu diselipkan di balik bajunya. Sementara,
senjatanya telah diling-karkan di pinggang.
Sanjaya memandangi tebing jurang yang hampir tak terlihat tepinya. Tekadnya
hanya satu. Keluar dari dalam jurang ini.
Sebentar kemudian, pemuda itu mengempos tenaganya.
Kemudian tubuhnya me-lenting, berputaran beberapa kali di udara. Dengan gerak
tangkas, tangannya meraih dahan pohon yang menjulur keluar dari dinding tebing.
Setahap demi setahap, Sanjaya melompat naik dari satu pohon, ke pohon lain yang
banyak terda-pat di dinding tebing.
Gerakannya demikian ringan, hingga tak terasa pemuda itu telah sampai di bibir
jurang. Dengan sekali lentingan dan putaran beberapa kali di udara, Sanjaya telah
berdiri tegak membela-kangi jurang. Pemuda itu berdiri kokoh, menatap mulut
sebuah hutan yang menghadang di depannya.
Pemuda tinggi tegap itu terus melangkahkan kakinya memasuki hutan lebat itu.
Pohon-pohon besar yang tumbuh rapat bukan merupakan hala-ngan baginya untuk
meneruskan langkah kakinya. Hingga tidak berapa lama kemudian, Sanjaya pun tiba
di sebuah tempat yang agak lapang.
Di tempat yang jarang terdapat pohon besar itu, tampak berdiri sebuah pondok
yang sederhana, ber-dindingkan kayu.
Entah siapa yang membuatnya. Yang jelas, tempat itu cocok untuk beristirahat.
Sanjaya memang harus memiliki pondok untuk dijadikan tempat tinggal. Di situ dia
akan menyerap seluruh ilmu yang berada di dalam kitab itu.
*** Hari demi hari terus berlalu. Sang surya terus berputar mengikuti peredaran
masa. Hingga tanpa terasa, telah genap satu tahun Sanjaya tinggal di pondok itu.
Seperti biasanya, pada setiap pagi pemuda itu tak pernah lupa untuk berlatih.
Demikian juga dengan pagi hari ini.
"Hiyaaa...! Heyaaat..!"
Diselingi teriakan-teriakan nyaring, tubuh pe-muda itu berloncatan ke kiri dan
ke kanan dengan gerakan lincah.
Senjata di tangannya berkelebatan cepat membentuk gulungan
sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sesekali senjata itu bergerak meliuk
bagaikan seekor ular yang tengah merayap di atas permukaan tanah.
"Haiiit..!"
Suatu ketika tubuh pemuda itu melambung di-sertai bentakan yang menggetarkan
jantung. Sambil bersalto beberapa kali, Sanjaya menggetarkan senjatanya hingga
memperdengarkan suara hiruk-pikuk.
Angin bertiup keras ketika senjata itu bergetar. Pohon-pohon yang berada
beberapa tombak dari pemuda itu, berderak-derak ribut bagai hendak roboh.
Beberapa pohon kecil bahkan sempat tercabut sam-pai ke akar-akarnya karena
kerasnya tiupan angin yang diciptakan getaran senjata di tangan Sanjaya.
Setelah beberapa kali melakukan putaran, tu-buh pemuda itu melayang turun ke
atas permukaan tanah. Begitu kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali
melambung, lalu berjungldr balik menuju ke arah sebuah batu besar yang terpisah
enam tombak dari tempatnya.
"Yiaaat...!"
Dibarengi bentakan nyaring, senjata di tangan pemuda itu tiba-tiba bergulung
melipat. Sesaat kemudian, kembali menyentak membuka.
Darrr! Terdengar ledakan keras ketika senjata di tangan Sanjaya menghantam batu sebesar
perut kerbau. Debu mengepul tinggi disertai batu-batu kecil yang beterbangan ke
udara. Batu besar itu langsung pecah terkena ujung senjata pemuda itu.
Tubuh Sanjaya kembali melenting balik meng-hindari terpaan batu kecil yang
berpentalan ke segala arah.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepa-sang kaki pemuda itu menjejak
permukaan bumi. Senyum puas tampak membayang di wajahnya. Meskipun napasnya
terlihat agak memburu, namun jelas sekali kalau dia merasa gembira dengan hasil
yang dicapainya selama ini.
Sambil tetap memandang kepulan debu yang mulai menipis, Sanjaya mengelus-elus
senjatanya yang tampak agak kotor itu.
Kemudian dengan gera-kan perlahan, dilibatkannya senjata itu ke pinggang.
Ternyata, senjata itu dapat pula dipergunakan sebagai sabuk!
Setelah menyimpan senjatanya, pemuda tinggi tegap itu menjatuhkan kedua lututnya
di atas tanah. Wajahnya langsung ditengadahkan meman-dang langit biru jernih.
"Eyang.... Hari ini aku telah berhasil menamat-kan kitab
'Penakluk Sukma'. Tenanglah arwahmu di sisi-Nya, Eyang. Aku akan mencari
manusia-manu-sia keparat itu untuk meminta pertanggung-jawa-ban mereka. Berilah
restumu, Eyang," desah San-jaya dengan suara lirih yang menggeletar.
Berbagai perasaan berbaur menjadi satu dalam hati pemuda gagah itu. Agak lama
dia tertunduk dengan mata terpejam, seolah-olah tengah menunggu jawaban dan
restu Ki Shindupala, atau Dewa Jubah Putih.
Tidak berapa lama kemudian, Sanjaya bangkit perlahan-lahan. Kemudian kakinya
melangkah meninggalkan tampat itu.
Pemuda tinggi tegap itu kembali menuju ke pondoknya yang berada di dalam hutan.
Begitu berada di dalam pondoknya, Sanjaya mengambil kitab pusaka yang berada di
dalam peti. Diambilnya pemantik api, lalu dinyalakan. Beberapa saat kemudian,
api pun mulai menggerogoti permu-kaan sampul kitab itu. Sanjaya memang
membakar kitab yang berisikan ilmu 'Penakluk Sukma' seba-gaimana yang dipesankan
di halaman terakhir.
Sanjaya duduk bersila memandangi lidah-lidah api yang berkobar memusnahkan kitab
itu. Pemuda itu baru bangkit setelah kitab itu hanya tinggal arang hitam yang
tak berarti. Kini, Sanjaya bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu untuk mencari orang-
orang yang telah membunuh gurunya.
*** Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya yang kuning keemasan menerobos sela-
sela rimbu-nan dedaunan, membias membentuk lingkaran yang memecah menyilaukan
mata. Saat itu matahari sudah mulai condong ke Barat.
Tiupan angin yang silir-silir mengiringi langkah seorang pemuda tinggi tegap.
Rambutnya yang pan-jang melewati bahu itu berkibaran lembut. Langkah-nya ringan
dan mantap menerobos semak-semak yang menghalangi jalannya. Sama sekali teriknya
sinar matahari siang itu bukan halangan baginya.
Sesekali pemuda gagah itu menghentikan lang-kahnya.
Kepalanya menengadah merayapi awan-awan biru yang berarak. Sepertinya, ingin
memasti-kan ke mana arah tujuannya. Sesaat kemudian, kakinya kembali terayun,
dan tangannya bergerak menyibak dedaunan.
Pemuda gagah yang tak lain adalah Sanjaya itu terus melangkah menuju sebuah
tempat yang agak tinggi. Diedarkan pandangannya ketika telah berada di atas
sebuah batu besar.
Lama juga pemuda itu meneliti dan memandang jauh sambil memayungi matanya dengan
telapak tangan.
"Hm.... Kalau aku tidak salah, Gunung Kalaban tempat dulu aku tinggal, terletak
di daerah Barat. Ada baiknya kalau aku menuju daerah itu dulu. Siapa tahu aku
dapat meminta petunjuk penduduk di sana," gumam Sanjaya.
Setelah berpikir demikian, pemuda gagah itu melesat turun dari atas puncak bukit
kecil itu. Gerakannya demikian cepat dan ringan. Seolah-olah kedua kakinya tidak
lagi menginjak tanah.
Dari sini saja sudah dapat dilihat kalau pemuda itu sekarang telah memiliki
kepandaian yang jauh lebih hebat di-banding setahun yang lalu. Semua itu
diperolehnya setelah berhasil menguras seluruh isi kitab 'Pe-nakluk Sukma'.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, San-jaya bergerak menuju daerah Barat
Tubuhnya ber-kelebat di antara pepohonan hingga tak ubahnya seekor bulling yang
tengah melayang-layang bebas di angkasa raya.
Sanjaya yang tengah berlari cepat itu, tiba-tiba menahan gerakannya. Telinganya
yang tajam, sa-mar-samar mendengar suara seperti orang bertem-pur. Namun suara
itu terdengar sangat jauh, se-hingga hatinya menjadi ragu.
Sambil terus mempertajam indra pendengaran-nya, pemuda gagah itu melangkahkan
kakinya mencari sumber suara orang bertempur itu. Sanjaya semakin mempercapat
langkahnya manakala sema-kin jelas mendengar suara-suara teriakan dan den tang
senjata yang mengusik telinganya.
"Hm.... Siapakah yang tengah bertempur di da-lam hutan yang lebat ini?" Dengan
hati penuh tanda tanya, Sanjaya semakin mempercepat langkahnya.
Tidak berapa lama kemudian, dari kejauhan ter-lihat belasan orang tengah
bertempur. Sanjaya me-nyelinap di antara semak belukar agar tidak terlihat.
Merasa terlalu jauh untuk melihat
lebih jelas, maka pemuda itu mengendap-endap mendekati arena per-tempuran.
Bruk! "Aaah...!"


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanjaya semakin merendahkan tubuhnya ketika salah seorang dari mereka tiba-tiba
terlempar bebe-rapa tombak di dekat persembunyiannya.
Laki-laki tinggi kurus itu merangkak bangkit sambil mengeluh dan mendekap
lambung kirinya. Darah tampak merembes dari sela-sela jari tangan-nya. Dengan
gerakan limbung, orang itu berusaha untuk dapat berdiri tegak.
"Aaa...!"
Terdengar jeritan kematian yang berturut-turut Bersamaan dengan itu, empat sosok
tubuh ber-pakaian serba hitam terjungkal roboh mandi darah. Sesaat kemudian,
mati. "Biadab!" Maki si lelaki kurus dengan wajah yang semakin pucat "Ayo, kalian
bunuh saja aku sekalian!"
Seorang laki-laki gemuk berwajah hitam dan berperut buncit melangkah maju
menghampiri orang itu. Wajahnya yang buruk dan hitam itu memperlihatkan seringai
kejam. "He he he...! Dengar, Gayana! Sengaja kau tidak kubunuh agar dapat melaporkan
kepada kepala sukumu. Katakan padanya kalau aku tidak akan membuat kekacauan
lagi apabila ia bersedia meng-angkat kepala suku kami sebagai menantunya!" Ancam
orang gendut bermuka hitam itu galak.
"Huh! Jangan mimpi kau, Manusia Buruk! Bagaimana mungkin kepala sukumu yang tua
renta itu bisa disejajarkan dengan putri kepala suku kami yang masih muda dan
cantik. Apalagi, kepala suku-mu telah memiliki empat orang istri,"
sahut lelaki kurus yang dipanggil Gayana itu, sambil menyem-burkan ludah
berkali-kali sebagai tanda tak gentar terhadap ancaman itu.
"Keparat! Apakah kau sudah bosan hidup se-hingga berani menghina kepala suku
kami"! Hih...!"
Setelah memaki dengan penuh kemarahan, lelaki gendut bermuka hitam itu
melayangkan kaki-nya.
Buk! "Hukh...!"
Gayana yang sudah terluka itu tidak mampu lagi untuk menghindari tendangan si
muka hitam. Tubuhnya terlempar sejauh satu tombak. Darah segar langsung mengalir
dari sudut bibirnya. Lelaki kurus itu terbungkuk-bungkuk menahan rasa mual
akibat tendangan keras tadi.
"Baiklah, kalau kau memang lebih memilih mati daripada melaporkan permintaanku
kepada kepala sukumu itu!"
Setelah berkata dengan penuh kegeraman, laki-laki bermuka hitam itu mencabut
pedangnya yang pan-jang dan besar.
Pedang yang melengkung pada bagian tengahnya itu berkilau tertimpa cahaya
matahari yang memantul.
Lelaki tinggi kurus itu merapatkan giginya kuat-kuat, seperti memang lebih
memilih mati ketimbang menyampaikan ucapan si muka buruk itu. Dengan pandangan
tidak berkedip, ia menanri datangnya kematian.
Sanjaya yang hanya empat tombak berada di belakang lelaki kurus itu menjadi
kagum dibuatnya.
"Hebat! Orang yang setia dan tak takut ber-korban nyawa demi kepentingan orang
yang disebut sebagai kepala suku oleh
si muka hitam itu," gu-mam Sanjaya sambil menggeleng-gelengkan kepala sebagai
tanda kekagumannya.
Pemuda tinggi tegap yang berada di balik semak-semak itu sebenarnya merasa
terkejut sekali mendengar ucapan 'kepala suku' yang disebut orang-orang itu.
Dari perkataan dan sebutan mereka, dapat diduga kalau dirinya tengah berada di
daerah suku-suku pedalaman yang jauh dari kota maupun desa.
Saat itu si muka hitam sudah tiba di hadapan Gayana.
Senjatanya yang mirip pedang itu teracung ke alas, siap membelah tubuh laki-laki
tinggi kurus itu. Wajah si muka hitam tampak menyeringai gem-bira, seolah-olah
pekerjaan membunuh adalah salah satu kesenangannya.
Namun lelaki tinggi kurus yang tengah terduduk itu sama sekali tidak merasa
gentar. Dengan berani, ditatapnya mata si muka hitam lekat lekat Meskipun
wajahnya pucat, namun sepasang matanya tetap terbuka lebar. Bahkan mulutnya
menyunggingkan senyum sinis yang membuat si muka hitam sema-kin mengkelap marah.
Wuttt..! Senjata yang bentuknya perpaduan antara pe-dang dan golok itu meluruk ke arah si
tinggi kurus. Dan belum lagi senjata itu sempat mengenai sasa-rannya, tiba-tiba
sebentuk sinar hitam melesat bagai anak parah.
Trak...! "Aduhhh...!"
Si muka hitam menjerit kesakitan ketika benda hitam sebesar kerikil itu tepat
menghantam pergola-ngan tangannya.
Tubuhnya terjajar mundur bebe-rapa langkah ke belakang.
Sedangkan senjatanya terpental dari tangannya.
Lelaki gendut bermuka hitam itu memijat-mijat pergelangannya yang terasa
bagaikan remuk. Bibir-nya yang tebal dan juga berwarna hitam itu men-desis-desis
persis seperti orang yang habis makan sambal pedas.
Sementara itu, di samping laki-laki yang ber-nama Gayana telah berdiri seorang
pemuda gagah bertubuh tinggi tegap.
Wajahnya yang kokoh tam-pak menyiratkan kejantanan.
Sedangkan sepasang matanya mencorong tajam, menatap si muka hitam dan kawan-
kawannya. Pemuda itu tak lain adalah Sanjaya, yang telah turun tangan menolong
Gayana. "Siapa kau, Anak Muda"! Apakah kau anggota Suku Gandas"!" Bentak si muka hitam
galak. Suaranya terdengar berat dan parau. Sepasang matanya yang lebar dan besar
itu bagaikan hendak melompat keluar merayapi wajah Sanjaya.
Sedangkan delapan orang kawan si muka hitam sudah bergerak mengepung kedua orang
itu. Wajah mereka tampak buas menyiratkan nafsu mem-bunuh. Senjata mereka yang
berbentuk tombak, teracung lurus ke arah Sanjaya dan Gayana.
"Hm.... Aku adalah Sanjaya. Dan aku sama-sekali tidak mengenal Suku Gandas.
Tapi, aku ada-lah orang yang paling tidak suka melihat kekejaman bertangsung di
depan mataku,"
sahut Sanjaya yang menjadi marah melihat kekejaman orang-orang itu.
"Bunuh mereka!" Perintah si muka hitam yang sudah kehilangan kesabaran itu.
Setelah berkata demikian, si muka hitam memu-ngut senjatanya yang tidak jauh
dari tempatnya ber-diri itu.
"Yaaa...!"
Dengan sebuah teriakan parau, delapan orang laki-laki berwajah menyeramkan itu
melompat dan menari-nari
mengettlingi kedua orang itu. Mereka terus berlarian mengitari Sanjaya dan
Gayana sam-bil mengeluarkan teriakan-teriakan parau.
Sanjaya terkejut melihat gerakan yang masih asing baginya itu. Sehingga tanpa
sadar tubuhnya berputar mengikuti arah putaran ke delapan orang itu. Pemuda itu
semakin terkejut ketika kepalanya terasa pusing melihat gerakan-gerakan delapan
orang itu. Sementara itu gerak melingkar yang dibuat delapan orang suku liar itu tampak
semakin mengecil. Gerakan berputar mereka semakin cepat dan ber-ubah-ubah arah.
"Hm.... Gerakan-gerakan yang mereka lakukan sepertinya sengaja mengaburkan
pandangan lawan," gumam Sanjaya mulai mengerti.
Kini Sanjaya tidak lagi berputar seperti semula, dan hanya berdiri tegak sambil
memejamkan mata-nya. Sepertinya dia ingin menggunakan indra pen-dengaran untuk
menghadapi kedelapan orang suku liar itu.
Wut! Wut...! "Heaaa...!"
Sambil terus berteriak-teriak ribut, delapan orang itu mulai menusuk-nusukkan
ujung tongkat-nya. Sehingga keadaan dl tempat itu semakin ribut Tapi sampai
sejauh itu, mereka hanya menggerak-gerakkan tombak tanpa berniat menyerang.
Sanjaya cukup terkejut juga melihat gaya penyerangan suku liar itu. Teriakan-
teriakan dan tusukan tombak membuat pemuda gagah itu memutar tubuhnya sambil
tetap memejamkan mata, namun kemudian indra pendengarannya semakin dipertajam.
"Heaaa...!"
Wut! Sebatang tombak meluncur dari sebelah kanannya. Pemuda itu mengelak sambil
memutar langkah kaki mendekati lawan.
Tangan kanannya terayun deras mencari sasaran.
Bukkk.,1 "Aaah...!"
Kepalan tangan kanan Sanjaya tepat menghan-tam lambung salah seorang, sehingga
sampai ber-teriak kesakitan. Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Orang yang
menyerang itu langsung jatuh pingsan tanpa ingat apa-apa lagi, karena pukulan
yang dilancarkan Sanjaya memang sangat dahsyat mengandung tenaga dalam tinggi.
Setelah menjatuhkan salah seorang lawannya, tubuh Sanjaya berkelebat cepat ke
arah dua orang di sebelah kirinya.
Plak! Plak! "Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang itu lang-sung terpelanting akibat tamparan
telapak tangan pemuda itu. Darah seketika mengucur dari mulut mereka yang
menjadi bengkak-bengkak.
Wut! Wut..! Tubuh Sanjaya melenting ketika empat batang tombak mengincar dari belakang.
Cepat bagai kilat, pemuda itu menukik turun tak ubahnya seekor elang menyambar
anak ayam. Desss! Bukkk! Desss...!
Keempat orang suku Bar itu langsung berjatu-han akibat tamparan dan tendangan
Sanjaya. Amu-kan pemuda gagah itu benar-benar membuat lawan-lawan terkejut.
Lawannya yang tinggal seorang hanya berdiri tanpa berani menyerang. Wajahnya
terlihat pucat bagai melihat hantu di siang bolong.
"Keparat! Kubunuh kau...!" Si muka hitam ma-rah bukan main melihat anak buahnya
berjatuhan hanya beberapa gebrakan saja. Kalau saja tidak disaksikan dengan mata
kepala sendiri, mungkin ia tidak akan mempercayainya.
*** 6 "Yeaaat..!"
Disertai teriakan parau, tubuh gemuk dan ber-perut buncit itu melesat sambil
mengibaskan senjata di tangannya.
Meskipun gerakannya terlihat aneh, namun sambaran angin pedangnya cukup kuat dan
berbahaya. "Hm.... Sepertinya orang bermuka hitam ini mempunyai tenaga dalam tinggi," gumam
Sanjaya begitu melihat gerakan-gerakan si muka hitam yang aneh dan kaku.
Wut! Wut..! Sanjaya hanya meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari serangan si muka hitam.
Gerakan-gerakannya diartjkan si muka
hitam bagai tengah mengejeknya. Tentu saja kemarahannya semakin berkobar.
Bet! Pukulan Sanjaya berhasil dielakkan si muka hitam dengan menarik mundur wajahnya.
Tapi sa-yang, gerakannya kalah cepat. Dia tidak sempat lagi melihat ayunan kaki
Sanjaya menjegal kakinya.
"Aaa...!"
Brug! Tubuh tambun itu kontan terbanting jatuh ke-tika kedua kakinya tersepak kaki
pemuda itu. Na-mun, ternyata si gendut itu cukup gesit. Tubuhnya langsung
melenting bangkit seketika itu juga, tapi lagi-lagi harus menelan pil pahit.
Karena saat itu juga telapak kaki Sanjaya telah mendarat di dada-nya.
Bukkk! "Hughk...!"
Tendangan telapak kaki Sanjaya yang dialiri tenaga dalam yang tinggi itu membuat
tubuh gendut itu terpental beberapa tombak ke belakang. Darah segar langsung
memercik dari mulutnya. Debu me-ngepul ketika tubuh gendut itu terbanting keras
di atas.tanah. "Uhhh...!"
Sambil mendekap dadanya yang terasa remuk, si muka hitam merangkak bangkit
Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap.
"Lari...!" Seru si muka hitam sambil berbalik meninggalkan tempat itu.
"Eh, oh...!"
Kawannya yang tinggal seorang itu kebingungan melihat pemimpinnya melarikan
diri. Sejenak kepa-lanya menoleh ke arah Sanjaya dan Gayana. Begitu melihat
kedua orang itu sama sekali tidak bergerak, maka ia pun segera mengambil langkah
seribu. "Marilah kau kuantar pulang, Paman," ajak Sanjaya sambil menolong Gayana
bangkit. "Terima kasih, Kisanak. Nanti pun suku mereka akan datang untuk mengurusnya,"
ucap Gayana ketika melihat pemuda penolongnya merasa bingung dengan tujuh sosok
tubuh yang bergeletakan itu.
"Hm..., baiklah. Mari, Paman," ajak Sanjaya sambil memapah tubuh tinggi kurus
itu. Keduanya kini segera meninggalkan tempat itu.
*** Kedatangan Gayana dan Sanjaya langsung disambut hangat oleh Kepala Suku Gandas.
Apalagi setelah Gayana menceritakan bagaimana sepak ter-jang pemuda penolongnya
itu. Maka, semakin ber-tambah kagumlah orang-orang yang mendengarnya.
"Ha ha ha...! Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Perkenalkan. Aku, Galira yang menjadi Kepala Suku Gandas,"
jelas kakek tinggi besar yang bercambang bauk lebat itu.
Suaranya yang besar dan berat menggema ke sekitar tempat itu.
"Namaku Sanjaya. Dan aku hanya kebetulan le-wat saja ketika melihat Paman Gayana
dikeroyok orang-orang liar itu,"
sahut Sanjaya memperkenal-kan diri. Memang, pemuda itu sudah pula ber-kenalan
dengan Gayana selagi dalam perjalanan.
"Ha ha ha...! Ini, Anakku. Namanya Garlih. Dia hendak diambil oleh orang tua
gila Suku Mogula itu. Kau lihatlah, Anak Muda. Siapa orangnya yang sudi
menyerahkan anak gadisnya yang secantik ini kepada tua bangka Mogul yang sudah
dekat liang kubur itu?" Tegas Galira lalu sambil wajahnya diarahkan ke wajah
anak gadisnya yang canfik itu.
Wajah anak Kepala Suku Gandas yang bernama Garlih itu tampak memerah karena malu
mendengar perkataan ayahnya.
Namun meskipun demikian, hatinya merasa bangga dipuji-puji didepan seorang
pemuda gagah seperti Sanjaya. Sepasang matanya tampak mengerling penuh arti.
Namun hanya se-kilas, tidak ada yang sempat memperhatikannya.
Terus terang, Sanjaya sebenarnya sempat ter-getar hatinya melihat kecantikan
putri Kepala Suku Gandas itu. Namun, cepat-cepat dibuangnya pikiran itu jauh-
jauh ketika teringat akan tujuannya semula.
Dan kini Kepala Suku Gandas mengajak Sanjaya masuk ke dalam rumahnya yang hanya
terbuat dari atap rumbia itu.
Kakek tinggi besar itu masih saja tertawa-tawa gembira.
"Sanjaya. Kalau kau memang berniat untuk me-nolong kami, janganlah tanggung-
tanggung," ujar Galira setelah mereka duduk mengitari sebuah meja dari kayu
pohon jari hitam. Tawa kakek itu Ienyap ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Apa maksud Kepala Suku?" Tanya Sanjaya yang belum mengerti, ke mana arah
pembicaraan orang tua itu.
"Hm.... Begini, Anak Muda. Meskipun kami adalah suku-suku liar, tapi kami
memegang teguh pera-turan nenek moyang.
Mogul, sang Kepala Suku Mogula adalah orang terkuat di antara suku yang banyak
di daerah ini. la menginginkan putriku untuk dijadikan istrinya yang kelima. Dan
terus terang, aku sendiri tidak mungkin mampu menyela-matkan putriku apabila dia
datang menyerbu suku kami yang kecil ini. Tapi, ada satu peraturan yang tidak
bisa dibantah suku-suku mana pun di dunia ini. Yaitu, apabila anakku mempunyai
seorang Ksatria yang dapat melindunginya, maka Kepala Su-ku Moguta akan
mengalah. Tentu saja, setelah sang Ksatria itu dapat mengalahkannya. Nah!
Bagaimana pendapatmu, Anak Muda?"
Tanya Galira menutup keterangannya.
Pucat wajah Sanjaya ketika mendengar ketera-ngan Kepala Suku Gandas itu. Tentu
saja pemuda itu tahu, apa yang dimaksudkan sebagai pelindung. Sanjaya bukan
tidak tertarik dengan putri kepala suku yang memang cantik itu, tapi memang
benar-benar tidak berpikir sampai di situ.
Kepala Suku Gandas pun berubah wajahnya. Tawanya tidak lagi terdengar. Dan
senyumnya pun hilang seketika. Ditatapnya wajah pemuda di depan-nya yang belum
dapat menghilangkan keterkejutan-nya.
"Anak muda. Apakah putriku kurang cantik! Ataukah kau lebih suka kalau putriku
itu kuberikan kepada bandot tua gila itu?" Tanya Galira yang membuat Sanjaya
semakin kebingungan.
"Bukan begitu maksudku. Tapi... Tapi masih ba-nyak tugas yang harus
kulaksanakan. Dan.... Dan aku belum berpikir ke arah itu," akhirnya Sanjaya
dapat juga mengeluarkan suaranya meskipun agak tersendat
"Hm.... Baiklah. Sekarang kau boleh pilih. Bersedia menjadi pelindung putriku,


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau tinggalkan kami. Biarlah kalau memang
sudah demikian nasib putriku," Galira mengakhiri penjelasannya dengan helaan
napas berat. 'Tapi, aku benar-benar belum bisa menjawab-nya, Ki," sahut Sanjaya dengan suara
perlahan Bah-kan nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba saja telinga Sanjaya menangkap suara isak yang ditahan. Hati pemuda
itu menjadi tere-nyuh karena tahu, siapa yang mengeluarkan isak tangis itu.
Siapa lagi kalau bukan isak tangis Garlih yang rupanya ikut mendengarkan
pembicaraan me-reka dari kamarnya.
"Ibu..., aku ingin mati saja...!" Ratap suara mer-du itu lirih dan sangat
menyentuh perasaan.
"Garlih, mau ke mana kau"!" Seru suara seorang wanita lain agak keras. Terdengar
suara dua orang yang tengah berlari.
Sanjaya terpukul hatinya mendengar isak tangis dan ucapan yang menyentuh
perasaan itu. Tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya segera berkelebat mengejar
Garlih yang pasti tengah berlari menuju hutan.
"Garlih, tunggu...!" teriak Sanjaya.
Pemuda itu tiba di belakang rumah dan melhat sesosok tubuh ramping berlari
sambil menutup wa-jahnya. Kemudian, tubuhnya melompat dan ber-putar tiga kali di
udara. "Ohhh...!" Garlih menutup mulutnya menahan seruan ketika tahu-tahu saja pemuda
gagah itu telah berdiri tegak di hadapannya.
"Garlih. Aku akan suka menjadi pelindungmu. Tapi, tugasku harus dilaksanakan
lebih dulu. Bagaimana?" Tegas Sanjaya yang merasa tak tega untuk membiarkan
wanita cantik itu menderita.
"Sungguh...?" Tanya suara merdu itu dengan pandangan ragu. Sepasang mata itu
demikian jernih dan lembut sehingga membuat darah Sanjaya ber-desir seketika.
'Tentu..," sahut Sanjaya. Suara pemuda itu agak serak karena perasaan terguncang
melihat kecanti-kan putri kepala suku itu.
Dengan lembut, Sanjaya menyentuh bahu gadis itu, lalu membawanya kembali kepada
orang tua-nya. Mereka melangkah perlahan-lahan tanpa ada yang bersuara lagi.
Kini mereka telah kembali duduk di dalam rua-ngan rumah itu. Kemudian Sanjaya
segera meng-utarakan syaratnya. Dan ternyata, Kepala Suku Gandas itu menyetujui
usul yang diajukan Sanjaya.
Sejenak suasana menjadi hening, namun isak tangis Garlih sesekali masih
terdengar. Dan belum lagi mereka bersuara, mendadak di luar terdengar suara
ribut-ribut, seperti ada orang bertengkar mulut.
Tiba-tiba salah seorang anak buah Galira me-langkah masuk tergesa-gesa dan
melaporkan kalau Mogul telah datang bersama seluruh prajuritnya. Galira,
Sanjaya, dan yang lainnya langsung tersen-tak kaget Tanpa banyak cakap lagi,
mereka bergegas berlari keluar.
Tampak didepan halaman rumah Kepala Desa Gandas, puluhan orang Suku Mogula telah
berbaris rapi, dan bersenjata lengkap. Berada palingdepan, tampak Mogul dengan
pakaian kebesarannya di atas punggung kuda.
"Hei, Galira! Serahkan putrimu atau kubumihanguskan seluruh perkampungan Suku
Gandas ini!" ancam Mogul dengan suara lantang.
Tidak bisa, Mogul! Putriku telah mempunyai seorang pelindung. Jadi kalau kau
ingin memliki-nya, kau harus mengalahkan pelindung putriku dulu!" sahut Galira,
tak kalah keras.
Tidak terdengar sahutan ketika Galira mengata-kan hal itu.
Terlihat Mogul melompat turun dari atas punggung kuda, kemudian kakinya
melangkah lebar menghampiri.
Mogul menghentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Galira. Wajahnya yang
buruk dan dipenuhi cambang bauk itu tampak menyiratkan kekejaman.
"Aku menantang orang yang menjadi pelindung putrimu itu untuk bertarung secara
ksatria. Seka-rang, mana orangnya"!
Ingin segera kuhirup darah-nya!" kata Mogul dengan suara berat.
"Akulah orangnya! Aku siap menerima tanta-nganmu, Mogul," sahut Sanjaya sambil
melangkah ke tengah arena, dengan sikap tenang.
"Hm.... Kaukah yang telah melukai anak buah-ku, Anak Muda?" Tanya Mogul, sinis.
Namun sepa-sang matanya menatap tajam ke arah Sanjaya.
"Benar! Akulah yang telah melukai orang-orang-mu," jawab Sanjaya tenang tanpa
kegentaran sedikit pun.
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah!" desis Mogul geram.
Setelah berkata demikian, senjatanya dicabut. Pedang panjang dan lebar itu kini
telah disilangkan di depan dada.
"Aku sudah siap!" sahut Sanjaya sambil melolos-kan senjatanya yang membelit
pinggang. Sanjaya terpaksa mengeluarkan senjatanya ka-rena telah diberi tahu Galira kalau
lawannya benar-benar tangguh. Karena
kalau dilawan dengan ta-ngan kosong, akan berarti penghinaan bagi Mogul.
"Saaat..!"
Mogul berteriak keras sambil mengayunkan sen-jatanya hingga menimbulkan suara
angin menderu. WuH Wut..! Sanjaya menggeser kaki sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan kilat
Pemuda itu juga sudah diberi tahu kalau harus memberi perlawanan pada Mogul dan
tidak boleh selalu mengelak. Maka Sanjaya segera mengerahkan senjata untuk
menye-rang Mogul. Lebih cepat menjatuhkan lawan, akan lebih terhormat. Itulah
yang dikatakan Galira.
Trang! "Uhhh...!"
Mogul terjajar mundur dengan wajah pucat ketika senjata mereka bertumbukan
keras. Hampir saja Mogul tidak mempercayai dengan apa yang di-alaminya itu. la
yang terkenal sebagai orang terkuat di antara para kepala suku, ternyata dapat
diimba-ngi pemuda asing itu.
"Gila!" umpat kakek bertubuh tinggi besar itu penasaran.
Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap. Ia benar-benar merasa dipermalukan di
hada-pan rakyatnya.
"Grrrh...!"
Sambil menggereng keras, Mogul kembali me-lompat menerjang. Senjatanya terayun
deras karena seluruh tenaga dalamnya langsung dikerahkan. Sementara itu, semua
orang yang hadir di situ hanya bisa menahan napas dan menyangka kalau tubuh
pemuda gagah itu akan hancur oleh sabetan pedang Kepala Suku Mogula itu.
"Ohhh...!"
Garlih yang tak kuasa melihat, langsung me-nutup wajahnya sambil menahan jerit.
Wajah gadis cantik itu seketika pucat melihat pemuda yang telah mencuri sekeping
hatinya terancam bahaya. Hampir saja ia berlari ke tengah arena kalau tidak
keburu dicegah ayahnya.
Sanjaya yang sudah dapat menebak kalau ke-pala suku liar itu hanya mempunyai
tenaga luar yang besar, tidak menjadi gentar karenanya. Sera-ngan Mogul yang
terlihat cepat dan ganas, masih terlalu lambat baginya. Pemuda itu hanya menekuk
Tiga Macan Lembah Neraka 1 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Bukit Pemakan Manusia 3
^