Pencarian

Pusaka Bernoda Darah 3

Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah Bagian 3


lutut sambil merendahkan kepala ketika serangan lawan tiba. Kemudian, secepat
kilat kakinya men-celat menghantam dagu lawan.
Dug! "Aaargh...!"
Mogul mengerang kesakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu langsung ambruk begitu
dagunya terkena tendangan Sanjaya.
Meskipun bibimya tam-pak mengeluarkan darah, namun ia bergegas bang-kit dan
kembali menyerang. Kali ini kakek itu meng-gunakan kepalannya yang sebesar
kepala bayi untuk menyerang. Karena, senjatanya telah terjatuh pada waktu
terkena tendangan tadi. Dan memang, sudah menjadi adat suku-suku liar kalau
tidak di-perbolehkan mengambil senjata apabila telah ter-jatuh. Apabila diambil
juga, maka sama saja meng-hina dirinya sendiri.
Wut! Wut! Dua buah pukulan yang keras melayang meng-ancam tubuh Sanjaya Pemuda itu temyata
juga mengetahui kalau tubuh Mogul sangat kuat Maka segera tenaga dalamnya
dikempos. Dan dengan sebuah gerakan yang hampir tidak terlihat, tangan kiri Sanjaya
bergerak menangkis.
Plak! Plak! "Uhhh...!"
Mogul terjajar mundur sambil menahan rasa nyeri pada jari-jari tangan yang
terkena tangkisan pemuda itu. Dan sebelum dirinya sempat terkuasai, tahu-tahu
sebuah tendangan keras dan pukulan telapak tangan lawan telak menghantam dada
dan perutnya! Bug! Des! "Hughk...!"
Darah segar seketika menyembur dari mulut ka-kek raksasa itu. Tubuhnya jatuh
berdebum hingga menimbulkan kepulan debu yang cukup tinggi. Kali ini Kepala Suku
Mogula itu tak mampu untuk bangkit kembali.
"Horeee...!"
Galira dan para pengikutnya berteriak gembira sambil bertepuk tangan. Bukan main
bangganya hati orang-orang Suku Gandas menyaksikan keme-nangan Sanjaya yang
tidak disangka-sangka.
Tanpa malu-malu lagi, putri Kepala Suku Gan-das itu segera berlari dan memeluk
tubuh Sanjaya. Diciuminya wajah pemuda itu karena kegembiraan yang meluap-luap.
Sepertinya dia tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Tampak air
mata bahagia mengalir membasahi pipi yang halus itu.
Sementara para anggota Suku Mogula bergegas mengangkat tubuh kepala sukunya dan
membawa-nya pergi. Pertarungan tadi sama sekali tidak me-nimbulkan dendam di
hati mereka, sebab berlang-sung jujur dan sangat dijunjung tinggi.
Galira, Sanjaya, Garlih dan para anggota Suku Gandas pun masuk kembali ke rumah
besar milik kepala suku itu. Sebab mulai saat ini, suku mereka-lah yang paling
dihormati oleh suku-suku lain. Dan sekaligus, Suku Gandas menjadi penguasa bagi
suku-suku liar lainnya.
"Karena tugasku telah selesai di tempat ini, maka mohon pamit sekarang, Paman,"
kata Sanjaya ketika telah berada di tengah-tengah keluarga Ga-lira.
Dan ia pun telah memanggjl kakek itu dengan paman.
"Mengapa begitu terburu-buru, Sanjaya" Tidakkah sebaiknya kau mendampingi anakku
dahulu?" pinta Galira, agak berat melepas kepergian pemuda gagah itu.
"Maaf, Paman Sebelum hutang nyawa guruku terbalas, apakah patut kalau aku
bersenang-senang" Percayalah, Paman.
Begitu tugasku selesai, aku akan segera kembali ke sini," janji Sanjaya, mantap.
Karena memang sudah berjanji sebelumnya, maka meskipun dengan berat hati,
akhimya mereka melepaskan kepergian pemuda itu. Sementara itu Galira
membekalinya seekor kuda yang indah dan kuat untuk mempercepat perjalanan pemuda
itu. Sanjaya kini siap berangkat setelah mendapatkan sedikit petunjuk dari
Kepala Suku Gandas.
*** 7 Seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita tengah mengayunkan langkah
memasuki mulut sebuah desa. Beberapa
pasang mata menatap penuh kagum ke arah pasangan yang serasi itu. Bahkan
beberapa pemuda menatap penuh iri kepada pe-muda tampan itu.
"Ah! Kalau aku mempunyai istri secantik dia, tentu tidak akan kubiarkan
tertidur," desah seorang pemuda berwajah kehitaman karena terlalu sering terkena
sinar matahari.
"Eh, mengapa begitu?" Tanya temannya sete-ngah berbisik, seraya memandang heran
wajah kawannya.
'Tentu saja, agar aku dapat mencumbunya se-panjang malam," sahut pemuda berwajah
kehitaman sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang ke-hitaman.
"Ah, dasar otak kotor!" Maki kawannya juga tersenyum.
"Lagi pula, mana mungkin orang sepertimu bisa mendapat istri cantik seperti
bidadari itu?"
Sementara dua orang yang mereka bicarakan terus saja mengayun langkahnya tanpa
mempeduli-kan pandangan penduduk desa itu. Mereka terus melangkah mendekati
sebuah kedai makan.
Brukkk! "Aduhhh...!"
Pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpa-kaian serba hijau itu menahan
langkahnya. Karena, dari dalam sebuah rumah yang akan dilewati, tiba-tiba
sesosok tubuh terlempar keluar dan tersuruk persis di depan kaki mereka.
Sambil mengaduh kesakitan, orang itu bergegas bangkit.
Tanpa melihat kanan-kiri, orang itu kem-bali melangkah masuk.
"Kembalikan anakku! Akan kubayar seluruh hu-tang-hutangku!" Teriak laki-laki
setengah baya itu serak. Ia berusaha melangkah masuk meskipun ter-pincang-
pincang. "Hm.... Dengan apa kau akan membayar hutang-hutangmu, Lengga" Seluruh sawahmu
sudah habis tergadai. Lalu, dari mana akan mendapatkan uang, hah"!" Sahut
seorang laki-laki berwajah kasar dan bopeng. Bergegas orang itu menghadang
didepan pintu untuk menghalangi jalan orang yang dipanggil Lengga itu.
"Aku berjanji akan melunasinya dalam minggu ini juga, asalkan anak gadisku kau
kembalikan!" Pinta Lengga tetap hendak memaksa masuk.
"Hei! Dengar, Orang Gila Judi! Kau boleh meng-ambil anak gadismu setelah seluruh
hutangmu dilu-nasi. Nah, sekarang pergilah sebelum aku meng-gunakan kekerasan,"
sahut laki-laki bopeng itu pe-lan namun mengandung ancaman yang tidak main-main.
"Huh! Bagaimana bisa kupercayai kalau anakku berada dalam tangan majikanmu yang
mata keran-jang itu?" Bantah Lengga yang masih juga bersi-keras hendak mengambil
anaknya. "He he he.... Jangan khawatir. Majikanku tentu akan suka mengembalikannya
setelah.... He he he...! Sayang kan kalau anak gadismu yang manis itu di-diamkan
begitu saja," sahut si bopeng seraya ter-kekeh serak.
"Bajingan!" maki Lengga marah.
Tentu saja laki-laki itu mengerti apa yang dimak-sudkan si muka bopeng. Tanpa
mempedulikan orang itu, Lengga pun menerobos masuk.
"Heit! Mau ke mana kau...?" Ejek si bopeng sam-bil menangkap lengan Lengga dan
menyeretnya ke luar. "Lebih baik pergilah, Lengga. Jangan sampai aku berbuat
kejam kepadamu!"
Nampaknya kesabaran orang bopeng itu sudah mulai hilang.
Dengan gerakan kasar, didorongnya tubuh Lengga hingga kembali terjerembab ke
tanah. "Bangsat!" Maki Lengga dengan wajah merah.
Begitu bangkit, Lengga langsung mengayunkan tinjunya ke wajah si bopeng. Rupanya
laki-laki setengah baya itu cukup mengerti tentang ilmu silat. Ini terlihat dari
pukulannya yang tampak terarah dan cukup berisi.
"Uts!"
Si muka bopeng memiringkan wajahnya sehingga serangan itu pun tidak mengenai
sasaran. Dan dengan cepat tangannya terayun menampar wajah Lengga.
Plak! "Aaah...!"
Rupanya kepandaian si muka bopeng itu jauh lebih tinggi dari Lengga. Akibatnya
tubuh laki-laki setengah baya itu melintir. Untunglah sepasang ta-ngan kokoh
telah menahan tubuhnya sehingga tidak kembali terbanting.
Lengga menoleh melihat orang yang telah meno-longnya itu.
Temyata dia adalah seorang pemuda tampan berjubah putih yang kemudian tersenyum
tenang kepadanya. Di sampingnya, tampak seorang gadis jelita.
"Sabarlah, Paman. Apa sebenarnya yang ter-jadi?" Tanya pemuda tampan itu tanpa
melepaskan senyumnya.
Lelaki setengah baya yang bernama Lengga me-lepaskan pegangan pemuda jubah putih
itu. Tanpa menjawab sepatah kata pun, Lengga kembali mener-jang si muka bopeng.
Kali ini golok yang tergantung di pinggangnya telah dicabut.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk..! Si muka bopeng menggeser tubuhnya menghin-dari bacokan yang bertubi-tubi itu.
Begitu melihat pertahanan lawannya terbuka, tangan dan kakinya langsung bergerak
menghantam tubuh Lengga.
Buk! Des! "Hukkkh...!"
Tubuh Lengga kontan terbungkuk menerima hantaman pada perutnya, dan langsung
terjungkal ketika tendangan lawan mendarat di tubuhnya. Darah segar muncrat
membasahi permukaan tanah.
"Hm...," kembali sepasang tangan pemuda berjubah putih itu menyambar tubuh
Lengga hingga tidak sempat terjatuh.
"Lepaskan penjudi tua tak tahu adat itu, Ki-sanak. Biar kuhajar dia sampai
kapok!" Pinta si muka bopeng yang sudah melangkah maju meng-hampiri Lengga.
"Hm.... Berapa banyak hutang bapak ini, Kisanak?" Tanya pemuda berjubah putih
itu tanpa mem-pedulikan seruan si muka bopeng.
"He he he...! Apakah kau akan membayarkan hutang-hutangnya?" Tanya si muka
bopeng menye-ringai.
Laki-laki itu kemudian menyebutkan sejumlah uang yang membuat beberapa penduduk
yang me-nyaksikan kejadian itu menggelengkan kepalanya. Karena, jumlah yang
disebutkan si bopeng sangat besar bagi ukuran para petani.
"Hm.... Ambillah uang ini. Dan, kembalikan anak gadis bapak ini," kata pemuda
berjubah putih itu sambil melemparkan sekantung uang yang jumlah-nya melebihi
hutang-hutang Lengga.
"He he he...! Tidak semudah itu, Kisanak. Kau harus menebus gadis itu dengan dua
kantung uang," sahut si muka bopeng sambil tersenyum licik. Ditimang-timangnya
uang pemberian pemuda itu.
"Keparat! Kalau itu kemauanmu, terimalah ini!" Bentak gadis jelita berpakaian
serba hijau yang ber-diri di samping pemuda itu.
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu segera melesat sambil melakukan
tamparan yang menim-bulkan angin menderu.
Wut! "Eh!"
Si muka bopeng terkejut melihat serangan itu. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke
belakang karena tamparan itu demikian cepat datangnya. Setelah berputar sebanyak
tiga kali di udara, tubuhnya pun melayang turun sejauh dua tombak didepan gadis
jelita itu. Namun sayang si muka bopeng terlalu memandang ringan lawan yang hanya seorang
gadis muda. Dan ketika gadis itu melesat cepat, sama sekali tak disadari.
Sehingga ia terpaksa harus menerima sebuah tamparan yang keras pada wajahnya,
ketika tangan gadis Itu bergerak cepat tak terhindari.
Plak! "Aduhhh...!"
Si muka bopeng menjerit kesakitan ketika tela-pak tangan yang halus itu hinggap
di wajahnya. Tubuhnya langsung terpelanting ke belakang dan bibirnya pecah
mengeluarkan darah. Sinar matanya memancarkan kebingungan, seolah-olah tidak
per-caya dengan apa yang dialaminya itu. Si muka
bopeng benar-benar tak habis mengerti, bagaimana tahu-tahu gadis itu telah
berada di depannya.
"Jawablah. Apakah bayaran itu masih kurang"!" Tanya gadis jelita berpakalan
hijau itu dengan pan-dangan galak.
"Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Apakah dikira aku sudah kalah" Lihatlah,
apakah kau ma-sih bisa menamparku sekeras tadi! Atau sebaliknya, malah akan
mengelus-elus mesra wajahku!" Tan-tang si bopeng yang rupanya belum menyadari
kelihaian gadis berpakaian serba hijau itu. Orang itu rupanya merasa kalau
tamparan tadi bukanlah karena kelihaian si gadis, melainkan karena dirinya
terlalu menganggap remeh.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia Ko-tor!" Bentak gadis itu marah. Tapi
sebelum sempat menyerang, sebuah tangan menahan gerakannya.
"Sabarlah, Kenanga. Kita cari jalan damai saja," bujuk si pemuda berjubah putih.
Gadis jelita yang memang Kenanga itu memandang pemuda berjubah putih dengan
wajah cem-berut. Pemuda itu memang tak lain dari Panji atau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih.
'Tidak, Kakang. Orang itu telah berani mengeluarkan kata-kata yang menghinaku.
Maaf, Kakang. Biarlah kali ini aku menyelesaikannya terlebih da-hulu," bantah
Kenanga Gadis itu segera melepaskan tangannya dan melangkah menghampiri si
bopeng. "He he he...!" Si muka bopeng terkekeh mem-besarkan hatinya.
"Nah! Kau terima hukuman atas kekurang-ajaranmu itu!"
tegas Kenanga ketus. Sesaat kemu-dian, tubuh ramping itu pun melesat dengan
kece-patan yang sulit ditangkap mata biasa.
Orang bermuka bopeng yang telah siap mengha-dapi gadis itu, segera menggeser
tubuhnya ke sam-ping. Sepasang tangannya bergerak cepat untuk me-mapak serangan
itu. Namun, kali ini pun ia harus kembali menelan pil pahit. Sebab begitu melancar-
kan serangan balasan, tahu-tahu tubuh lawan telah berpindah ke sebelah kirinya.
Dan.... Plak! Buk! "Aaahk...!"
Sebuah tamparan keras menghantam pipi si muka bopeng.
Dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, sebuah pukulan telak telah
ber-sarang di lambungnya. Tubuh orang itu pun terpen-tal keras tanpa ampun, dan
langsung tersuruk di tanah.
SI muka bopeng merangkak bangkit sambil mering-s kesakitan. Wajahnya tampak
berlumuran darah, karena beberapa buah giginya telah tanggal akibat tamparan
yang sangat keras itu.
"Hei, ada apa ini..."!" Tiba-tiba terdengar seru seseorang.
Seorang laki-laki kurus tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari Kenanga sambil
memandang dengan alis berkerut. Beberapa orang laki-laki bertampang galak tampak
menyertainya. Rupanya ketika mende-ngar ribut-ribut tadi, para tukang pukul rumah judi itu
segera menghambur keluar. Dan semuanya men-jadi terkejut melihat kawan mereka
yang bermuka bopeng itu tampak tengah merintih sambil menekap wajahnya.
Tanpa mempedulikan orang-orang yang baru datang itu, Kenanga segera memasukkan
kantung uang yang telah dirampasnya dari si muka bopeng. Kemudian, pandangannya
kembali terarah kepada si muka bopeng yang telah dikerumuni
kawan-kawan-nya itu. Kenanga melihat si muka bopeng menun-juk-nunjuk dirinya.
Orang bertubuh kurus itu segera melangkah mendekati Kenanga. Sepasang matanya
tampak me-mancarkan kemarahan. Buku-buku jari tangannya terdengar bergemeletuk
ketika tangannya dikepal-kan.
"Siapa dirimu, Nisanak" Mengapa melukai temanku?" Tanya si kurus, datar.
"Mengapa harus bertanya padaku" Tanyakanlah kepada temanmu itu?" Sahut Kenanga
ketus. Mata gadis jelita itu berkilat menantang pandang mata lawan bicaranya
itu. Bulu kuduk laki-laki kurus itu seketika mere-mang saat melihat sinar mata gadis
jelita itu yang berkilat tajam. Diam-diam ia menjadi terkejut. Apa-kah mungkin
gadis di hadapannya ini memiliki tenaga dalam tinggi hingga mampu menyalurkannya
melalui mata"
Panji yang melihat kalau keadaan akan semakin bertambah runyam, segera melangkah
mendekati Kenanga. Wajah Pendekar Naga Putih tetap me-nyunggingkan senyum sabar.
Kemudian, dengan suara jelas, diterangkannya duduk persoalan ke-pada lelaki
kurus itu. "Hm.... Lebih baik tinggalkan desa ini, Anak Muda. Sebab aku tidak akan segan-
segan bertindak kasar terhadap orang yang usilan sepertimu dan gadis itu!" Ancam
orang bertubuh kurus.
"Dengar, Kisanak, Aku akan membayar hutang-hutang orang tua itu asalkan kau
bersedia mem-bebaskan anak gadisnya yang kalian tawan," kata Panji masih mencoba
untuk bersabar.
"Huh! Tidak semudah itu, Kisanak. Selain harus menebus gadis yang kami tawan


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan dua kan-tung uang, kau pun
harus membayar kerugian aki-bat luka-luka yang diderita kawan kami itu. Bagai-
mana?" Sikap sabar Panji ternyata semakin mem-buat orang bertubuh kurus itu
besar kepala dan menekannya.
"Keparat kau, Tikus Kering! Kau sengaja hendak memeras orang muda ini. Dasar
tidak tahu malu!" Maki Lengga yang menjadi geram mendengar per-mintaan yang
diajukan orang bertubuh kurus itu.
"Bedebah kau, Tua Bangka! Rasakan kepalan-ku!" Bentak orang itu marah mendengar
makian Lengga. Setelah berkata demikian, tangan kanannya me-layang ke wajah Lengga.
Plak! "Uhhh...!"
Orang bertubuh kurus itu terjajar beberapa langkah ke belakang ketika
tamparannya ditepis oleh telapak tangan pemuda berjubah putih. Wajah-nya tampak
menyeringai kesakitan, karena merasa-kan tangannya tak ubahnya membentur besi
baja yang keras dan kuat.
"Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak mencari keributan, Anak Muda! Kepung
dia!" Perintah si kurus kepada lima orang anak buahnya. Seketika kelima orang
tukang pukul rumah judi itu mencabut senjata masing-masing.
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kelima orang tukang pukul itu langsung
melompat sambil mengayunkan senjatanya.
"Kenanga, mundurlah!" ujar Panji sambil meng-gerakkan kakinya ke samping sambil
memiringkan tubuhnya.
Kenanga yang semula bemiat menuruti per-kataan Panji, terpaksa menahan geraknya.
Karena pada saat itu, golok di tangan lelaki kurus itu berkelebat mengancam
tubuhnya. Cepat gadis itu meliukkan tubuhnya sehingga serangan lawan lewat di
atas kepala. Kemudian, Kenanga menggeser kaki kirinya ke samping sambil
melepaskan sebuah pu-kulan keras ke lambung lawan.
Wut! Orang bertubuh kurus itu bergegas menarik tubuhnya ke belakang sehingga pukulan
gadis itu tidak mengenai sasaran.
Namun, begitu pukulannya berhasil dielakkan lawan, tahu-tahu kaki kanannya
mencelat melakukan tendangan kilat ke arah tangan yang me-megang golok.
Plak! "Aaah...!"
Golok di tangan laki-laki kurus itu langsung terlempar ketika tendangan Kenanga
tepat menghan-tam pergelangan tangan.
Belum lagi sempat menya-dari apa yang terjadi, sebuah hantaman sisi telapak
tangan telah mengenai lambungnya.
Desss! "Hughk...!"
Terdengar keluhan tertahan yang keluar dari mulut laki-laki kurus itu. Tubuhnya
kontan terpe-lanting sejauh dua tombak Ketika ia tengah ber-usaha bangkit,
kembali sebuah tendangan meng-hantam wajahnya. Dengan napas satu-satu dan wajah
berlumur darah, laki-laki kurus itu kini telentang tak berdaya.
Berbarengan dengan jatuhnya tubuh si kurus, lima orang yang menyerang pemuda
berjubah putih itu langsung terkejut.
Mereka yang tengah me-lancarkan serangan bertubi-tubi, tahu-
tahu saja ke-hilangan lawannya. Dan sebelum mereka sempat menyadarinya, pemuda
berjubah putih itu telah ber-diri tegak sambil menggenggam lima batang golok.
"Hah..."!"
Kelima orang tukang pukul rumah judi itu ter-belalak dengan wajah pucat. Mereka
benar-benar tidak mengerti, bagaimana senjata-senjata mereka kini telah berada
di tangan pemuda itu.
Mereka hanya sempat melihat bayangan putih itu melayang cepat mengintari mereka.
"Bedebah! Apa kau pikir kami akan gentar dengan ilmu sihir pasaranmu itu!
Sambutlah ini. Heaaat..!" Teriak salah seorang tukang pukul rumah judi itu.
Tubuh orang itu melangkah ke depan dibarengi pukulan yang mengancam tubuh Panji.
Rupanya ia belum juga mau menyadari kalau pemuda itu telah berbuat baik karena
tidak melukai mereka.
Melihat kawannya sudah mulai menyerang, maka keempat orang lainnya bergegas
menerjang pemuda berjubah putih itu.
Mereka berteriak-teriak sambil melancarkan pukulan dan tendangan.
Agak kesal juga hati Panji melihat kebandelan para tukang pukul itu. Karena,
mereka ternyata be-lum juga jera dengan apa yang ditunjukkannya itu.
"Hm.... Aku harus memberi sedikit pelajaran agar mereka benar-benar kapok!"
Gumam Pendekar Naga Putih perlahan.
Bet! Bet..! Panji menggeser kedua kakinya bergantian un-tuk menghindari serangan lima orang
pengeroyok-nya itu. Lewat dua jurus kemudian, tiba-tiba tubuh pemuda itu
berputar dan langsung melontarkan tamparan-tamparan yang menimbulkan deruan angin keras.
Plak! Plak..! "Aduhhh...!"
"Aaah...!"
Dibarengi teriakan-teriakan kesakitan, kelima orang itu berjatuhan satu persatu.
Setelah pipi me-reka masing-masing telah membengkak akibat tam-paran Panji.
"Hm.... Bagaimana" Apakah kalian masih akan meneruskan pertarungan ini?" Tanya
Panji dengan suara tenang.
"Ampun.... Kisanak Kami menyerah...!" Ratap sa-lah seorang di antara lima tukang
pukul itu sambil mengusap-usap wajahnya yang membengkak.
"Nah! Sekarang, tunjukkan di mana anak gadis bapak ini ditahan?" Ujar Panji
selanjutnya. Tanpa berani menentang tatapan Pendekar Naga Putih, maka laki-laki itu pun
memberitahu di mana putri Lengga berada.
"Kenanga, kau tinggallah di sini. Biar aku dan Ki Lengga yang akan mencarinya,"
kata Panji. Setelah berkata demikian, kedua orang itu pun bergegas memasuki rumah judi.
Kenanga hanya mengangguk mendengar permin-taan Panji, kemudian memandang
kepergian kedua orang itu yang telah menghilang di balik pintu rumah judi.
Tidak berapa lama kemudian, Panji dan Ki Lengga telah kembali membawa seorang
gadis manis berambut panjang.
Panji dan Kenanga segera me-ngantarkan kedua orang itu
kembali ke rumahnya. Kepergian mereka diiringi oleh pandangan mata penuh dendam
dari para tukang pukul rumah judi.
*** 8 "Hei, Lengga, keluar kau! Di mana kau sembu-nyikan pemuda sombong itu"! Hayo
keluar atau ku-bakar habis gubukmu ini!" teriak seseorang. Suara-nya terdengar
berat dan kasar.
Panji dan Kenanga yang dipaksa untuk singgah di rumah Lengga menjadi terkejut
mendengarnya. Pendekar Naga Putih bergegas bangkit meninggal-kan hidangan yang
tengan dinikmatinya. Dia me-langkah ke luar setelah menyuruh yang lainnya untuk
tetap di tempat.
"Kalian mencari aku?" Tanya Panji tenang, se-telah berada di ambang pintu.
Sambil menuruni anak tangga yang terdapat di bawah pintu rumah, pemuda tampan
itu mengerut-kan alisnya ketika melihat beberapa orang yang per-nah
dicundanginya didepan rumah judi.
"Hm.... Itukah pemuda yang telah mengacau rumah judimu?" Tanya salah seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Jelas sekali terpancar sinar
kesombongan pada wajahnya.
"Betul, Kakang. Itulah pemuda yang telah meru-sak rumah judiku," sahut laki-laki
bertubuh kurus yang wajahnya tampak dibalut kain berwama putih.
"Hm.... Jadi dia masih belum kapok Dan kali ini bahkan mengundang beberapa orang
jagoan," gu-mam Panji dalam hati.
"Hei, Kisanak! Siapa kau sebenarnya"! Dan apa maksudmu merusak rumah judi milik
laki-laki ini?" Tanya pemuda sombong itu dengan suara lantang ke arah_s.
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa selain menolong bisa_a yang tengah mengalami
kesusa-han. Itu saja," sahut Panji dengan wajah tetap tenang.
"Hm.... Hebat sekali kata-katamu itu. Sadarkah kau kalau akibat perbuatanmu itu
berarti telah mencari kesulitan dengan kami?" Kembali si pemuda sombong itu
berkata keras. Bahkan kali ini nada suaranya seperti mengandung ancaman.
"Oh"! Jadi kalian adalah anjing-anjing peliha-raan cacing kurus itu. Berapa
kalian dibayar untuk melakukan penyiksaan kepada penduduk yang tidak sanggup
membayar hutang-hutang judinya" Tidak-kah kalian sadar kalau perbuatan kalian
itu sama saja dengan menjerat leher penduduk desa!" Tegas Panji tak kalah garang
sambil melangkah maju beberapa tindak kearah orang-orang itu.
"Ahhh, tunggu apa lagi! Sumbat saja mulutnya dengan kepalan, kan beres!" Pancing
salah seorang anak buah pemuda sombong itu, seperti tak sabar mendengar mereka
saling berbantahan.
'Ya, tunggu apa lagi"! Tanganku rasanya sudah tidak bisa ditahan lagi?" Yang
lain ikut menimpali sambil memandang Panji dengan mata melotot.
"Hm.... Coba kalian urus dia!" Sahut si pemuda sombong itu sambil mengulapkan
tangannya tanda tak peduli.
Begitu mendapat persetujuan dari pemuda sombong itu, empat orang kawannya segera
melangkah mendekati Panji.
Dari cara mendekat, jelas sekali kalau mereka sangat menganggap remeh Pendekar
Naga Putih. Keempat orang itu mendekati Panji dengan lagak menakut-nakuti.
"Hm.... Kau rasailah bogem mentahku ini, Kisanak!"
Sambil berkata demikian, salah seorang dari mereka mengulur tangannya dengan
gerakan yang terfihat dilambatkan. Dia seolah-olah sengaja ber-buat demikian
untuk melihat tanggapan pemuda itu. Padahal, laki-laki kurus yang memiliki rumah
judi itu sudah memperingatkan, namun jelas sekali kalau mereka belum mempercayai
kelihaian pemuda itu.
Jelas, mereka terlihat masih memandang remeh pemuda berjubah putih itu.
Went! Panji menggeser kaki kanan ke belakang sambil memiringkan tubuhnya sedikit
Kepalan orang itu lewat beberapa jari didepan tubuh Panji. Dengan gerakan yang
terlihat sembarangan, telapak tangan pemuda itu bergerak ke wajah lawannya.
Plak! "Aduhhh...!"
Orang itu menjerit kesakitan ketika tangan Panji hinggap di wajahnya. Ia benar-
benar heran, bagai-mana mungkin tamparan itu masih juga mengenai-nya. Karena,
saat itu wajahnya telah ditarik untuk menghindari tamparan pemuda berjubah putih
itu. "Keparat! Kubunuh kau...!" Pekik orang itu marah sambil mencabut keluar goloknya.
Kemudian dengan kalap Panji mulai diterjang dengan samba-ran-sambaran senjatanya
itu. Wut Wut..! Panji menggeser kakinya bergantian sambil meli-ukkan tubuh untuk menghindari
sabetan golok lawan. Tiga orang lainnya sudah pula mencabut senjata masing-
masing. Setelah melihat seorang telah menerjang kalang-kabut, ketiga orang itu
pun bergegas mengeroyok Panji.
Plak! "Aaakh...!"
Salah seorang pengeroyok itu terjungkal akibat hantaman telapak tangan Pendekar
Naga Putih yang telah menghajar lambungnya. Orang itu kontan ter-jengkang
pingsan seketika itu juga. Rupanya hanta-man pemuda itu terlalu keras baginya.
Wuk! Wuk! Panji merundukkan wajahnya sehingga dua serangan golok lawan lewat setengah
jengkal di atas kepalanya. Dan saat itu juga kaki kanannya ber-gerak menyabet
kaki lawan. Namun lawan yang satu ini ter-nyata cukup lihai. Maka cepat-cepat ia
me-lompat sambil melakukan tendangan ke wajah Panji.
Zebbb! "Uhhh...!"
Tendangan orang itu hanya menerpa tempat kosong, karena Panji telah lebih cepat
mengegoskan wajahnya ke kiri. Secepat kilat tubuh Panji berputar sambil
mengirimkan sebuah tendangan ke perut lawannya.
Desss! "Hukkk...!"
Darah menyemprot keluar ketika tendangan Panji telak menghajar perut bagian atas
lawan. Tu-buh orang itu kontan terpental ke belakang hingga beberapa tombak
jauhnya, dan langsung mengge-letak pingsan tanpa mampu bangkit lagi.
Lawannya yang tinggal dua orang itu melangkah mundur dengan wajah agak memucat.
Mereka be-nar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu dapat merobohkan dua orang
teman mereka hanya dalam beberapa jurus saja. Padahal, kepandaian kedua orang
itu tidak bisa dibilang rendah. Tapi, pemuda berjubah putih itu ternyata enak
saja menjatuh-kannya. Seolah-olah, kedua orang itu memang tidak memiliki
kepandaian yang berarti!
Wajah si pemuda sombong nampak berubah be-gitu melihat kedua orang kawannya
dapat dijatuh-kan pemuda berjubah putih dengan mudahnya. Sesaat kemudian,
tubuhnya pun melayang ke arah Panji.
"Jangan merasa bangga dulu, Kisanak Sambut-lah seranganku ini!"
Setelah berkata demikian, pemuda sombong itu segera melancarkan serangan yang
menimbulkan deru angin keras.
Wut! Wut..! Panji melompat mundur menghindari serangan itu. Pendekar Naga Putih sempat
terkejut melihat kehebatan kecepatan gerak lawan.
"Hm.... Pantas ia begitu memandang rendah orang lain.
Rupanya ilmu kepandaiannya lumayan juga," gumam Panji sambil mengelak dari
tendangan lawan yang mengincar perutnya. Secepat kilat dibalasnya serangan lawan
dengan pukulan telapak tangan bertubi-tubi.
Bet! Bet..! Mendapat serangan yang cepat dan bertubi-tubi, pemuda sombong itu berlompatan
menghindarinya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang ketika baru saja dadanya
terhantam telapak tangan pemuda berjubah putih itu.
"Hm.... Ternyata kepandaianmu boleh juga, Kisanak!" Puji pemuda sombong itu.
Namun, dia masih juga menganggap kepandaiannya lebih tinggi dari lawannya.
"Sekarang tahanlah serangan pedangku ini! Haaat..!"
Wut! Wuk..! Pendekar Naga Putih berjungkir balik ke bela-kang ketika mendapat serangan
beruntun dari lawannya. Diam-diam pemuda itu harus mengakui kehebatan ilmu
pedang lawan. "Hm...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Panji menyedot udara sebanyak-banyaknya. Sesaat
kemudian, se-lapis kabut bersinar putih keperakan pun mulai me-nyelimuti
tubuhnya. Wusss! Serangkum angin yang sangat dingin berhembus keras mengiringi tarikan napas
pemuda itu. Dua anak buah pemuda sombong dan lelaki kurus yang menyaksikan
pertarungan itu bergegas menjauh. Mereka memang tak sanggup menahan sergapan
hawa dingin yang terasa membekukan seluruh urat-urat tubuh.
"Pendekar Naga Putih...!" Desis si pemuda sombong dengan wajah berubah tegang.
Kali ini kesombongannya langsung lenyap, ke-tika melihat kabut bersinar putih
yang menyelimuti tubuh Panji. Ternyata lawan yang semula dianggap remeh itu
adalah seorang pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini. Tentu
saja hal itu membuatnya bungkam beberapa saat lamanya.
"Aaah...!" Si pemuda sombong menggelengkan kepalanya seperti berusaha hendak
mengusir kegen-taran yang menguasai hatinya.
"Heaaat..!"
Merasa sudah kepalang tanggung, maka si pemuda sombong itu segera menerjang
Pendekar Naga Putih. Begitu mengetahui kalau lawannya bu-kanlah orang
sembarangan, maka seluruh kemam-puannya dikerahkan dalam penyerangan kali ini.
Panji yang sudah tidak ingin memperpanjang waktu lagi, bergegas melompat memapak
serangan lawan. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga itu bergerak
berputaran mengaburkan panda-ngan lawan. Sehingga, dalam lima jurus saja pe-muda
sombong itu pun dibuat kalang-kabut.
"Yeaaat...!"
Memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-tiba Panji berteriak nyaring. Saat itu juga
tubuhnya bergerak cepat sambil melontarkan serangan-serangan yang datangnya
bagai air bah. Wut! Wut..! "Aaah...!"
Pemuda sombong itu terkejut bukan main me-lihat kecepatan gerak lawannya. Susah
payah ia berusaha menyelamatkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu. Namun
dua buah pukulan tetap saja bersarang telak di dada dan perutnya.
Buk! Desss! "Aaah...!"


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda som-bong itu pun tedempar keras diiringi
semburan darahnya. Tubuhnya terbanting keras di atas per-mukaan tanah.
"Hm.... Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" Ancam Pendekar Naga Putih dengan
tatapan tajam. Dengan langkah tertatih-tatih, pemuda sombong itu pun melangkah meninggalkan
tempat itu. Dua orang kawannya yang tergeletak pingsan dibawa dua orang
kawannya. Sedangkan si pemilik rumah judi menggandeng tangan pemuda sombong itu.
"Wah! Orang-orang seperti mereka semestinya tidak usah diberi ampun, Nak Panji.
Aku yakin tidak lama lagi mereka akan datang dengan jumlah yang lebih besar dan
membawa jagoan-jagoannya," tegas Lengga yang sudah melangkah mendekati Pendekar
Naga Putih. "Benar, Kakang Panji. Mereka tidak akan pernah jera sebelum menjadi mayat!"
Gadis putri laki-laki setengah baya itu ikut menimpali.
"Bagaimana menurutmu, Kenanga?" Panji me-malingkan wajah ke arah kekasihnya.
Ingin didengarnya sendiri, apa pendapat kekasihnya tentang hal itu.
"Menurutku, sebaiknya kita datangi saja tempat mereka.
Karena kalau mereka sampai datang ke tempat ini, bukan tidak mungkin penduduk
akan menjadi korban," sahut Kenanga.
Panji mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar usul gadis jelita itu. Segera
disetujuinya usul yang diajukan Kenanga. Tak lama kemudian, kedua-nya pun segera
berpamitan setelah terlebih dahulu menanyakan di mana letak kediaman orang-orang
itu. Kenanga dan Pendekar Naga Putih terkejut ketika tiba di sebuah bangunan yang
dikelilingi tembok kokoh, terdengar teriakan orang bertempur. Keduanya cepat-
cepat berlari ke arah samping ba-ngunan, lalu bergerak naik ke atas sebatang
pohon yang tumbuh di dekat tembok itu.
"Eh, siapa orang berambut meriap itu" Tampak-nya ia tengah terdesak oleh
keroyokan ketiga orang kakek itu, Kakang," bisik Kenanga terkejut.
"Nanti dulu, Kenanga!" Cegah Panji begitu me-lihat kekasihnya hendak melompat
turun untuk me-nolong orang berambut meriap, "Kita belum menge-tahui secara
pasti, siapa adanya orang berambut meriap itu dan siapa ketiga kakek itu?"
"Mari kita lihat lebih dekat, Kakang!" Ajak gadis jelita itu yang segera
melayang turun dan menye-linap di balik tembok.
Panji bergegas melayang turun mengikuti ke-kasihnya.
Gerakan mereka ringan sekali, pertanda telah memiliki ilmu meringankan tubuh
yang begitu tinggi. Keduanya segera bergerak dan berindap-indap mendekati arena
pertarungan. "Lihat, Kakang. Senjata yang digunakan orang berambut riap-riapan itu aneh
sekali bentuknya!" jelas Kenanga, heran melihat senjata yang diguna-kan orang
berambut meriap itu.
"Hm.... Tapi kehebatan gerak serta keampuhan senjatanya tampak jelas sekali. Kalau
saja mereka berhadapan satu persatu, ada kemungkinan orang berambut meriap itu
akan dapat mengatasi lawan-nya," duga Panji setelah mengamati pertarungan itu
beberapa saat iamanya.
"Lihat, Kakang! Nampaknya orang itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi!"
seru Kenanga lirih.
Wajah gadis itu terlihat agak cemas. Sepertinya meskipun belum mengetahui duduk
persoalannya, namun gadis itu telah berpihak kepada orang yang berambut meriap.
Tubuh Panji segera melesat ketika tubuh orang berambut meriap terguling akibat
tendangan salah seorang lawannya.
Dan sebelum sempat bangkit, salah seorang lainnya bergegas mengayunkan pedangnya
siap membelah tubuh orang itu.
Wut..! Plak! "Aaah...!"
Pada saat yang berbahaya, tubuh Panji melesat bagal anak panah. Langsung
tangannya diulurkan untuk memapak serangan orang itu. Tubuh kakek itu terjajar
mundur diiringi seruan kagetnya.
"Hm.... Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih!" Ujar salah seorang kakek yang berusia
paling tua di antara ketiganya.
Wajah kakek itu nampak geram melihat sesosok tubuh yang terbungkus lapisan kabut
bersinar putih keperakan telah menggagalkan serangan kawannya.
Panji mengerutkan keningnya, berusaha mengi-ngat kakek itu. Hatinya benar-benar
terkejut dan juga gembira ketika melihat wajah kakek itu.
"Hm.... Kalau tidak salah, kalian bertiga pernah membunuh seorang pemuda di Kaki
Gunung Kala-ban." Panji seolah-olah meminta ketegasan dari ketiga orang kakek
yang memang tak lain adalah Ki Aji Barga, Ki Bukaran, dan Ki Palwaka yang tahun
lalu telah mengeroyok Ki Shindupala dan muridnya.
"Benar! Dan akulah pemuda itu, Kisanak!" Sahut sosok tegap berambut meriap,
seraya bergerak bangkit
Panji langsung menoleh ke arah suara tadi. Keningnya agak berkerut ketika
mengenali pemuda itu.
"Untuk kedua kalinya kau kembali menolongku, Pendekar Naga Putih. Entah
bagaimana caranya aku harus membalas kebaikanmu itu?" Orang berambut riap-riapan
itu ternyata Sanjaya. Rupanya ia telah berhasil menemukan orang-orang yang telah
mem-bunuh gurunya.
"Ah! Syukurlah kau selamat, Kisanak," sahut Panji cukup terkejut dibuatnya.
Memang waktu itu dia melihat jelas kalau pe-muda itu telah jatuh ke dalam
jurang. Entah apa yang telah dialami pemuda itu sehingga dapat se-lamat. Dan
kepandaiannya pun telah jauh lebih lihai menurut penglihatan Panji.
"Mengapa kau bisa berada di tempat ini, Pen-dekar Naga Putih. Sepertinya kau
bagai seorang malaikat saja?" Tanya Sanjaya yang merasa heran melihat kedatangan
pemuda yang dulu pernah me-nolongnya itu.
Panji lalu menceritakan secara singkat apa se-babnya sehingga bisa berada di
tempat ini. "Hm... Rupanya kau benar-benar telah berubah jauh Ki Aji Barga. Kini kau pun telah
pula berse-kongkol dengan para bajingan pemilik rumah judi dan pelacuran! Tidak
kusangka kau akan sebejat itu!" Ucap Sanjaya sinis.
"Tak perlu kau mencampuri urusanku, Murid Murtad! Kami sengaja menunggumu.
Karena kami yakin kau belum tewas di dalam jurang itu," sahut Ki Bukaran ikut
menimpali. "Hm.... Bagaimana kalian tahu kalau aku selamat?" Tanya Sanjaya heran.
"Firasat kami yang mengatakannya. Nah! Sekarang, bersiaplah untuk menyusul arwah
gurumu!" Ki Aji Barga kembali menyahuti.
Setelah berkata demikian, ketiga kakek itu pun kembali bersiap untuk menghadapi
Sanjaya dan Pendekar Naga Putih.
Sanjaya dan Pendekar Naga Putih merenggang untuk menghadapi lawan masing-masing.
Kedua pemuda itu nampaknya telah bersiap menghadapi ke-tiga tokoh sakti itu.
"Haaat..!"
Sambil berseru keras, Sanjaya memutar senjatanya menerjang Ki Aji Barga yang
menjadi sasa-ran utamanya.
Karena orang tua itulah yang telah menga-kibatkan kematian gurunya.
Ki Aji Barga pun bukanlah orang bodoh. La tahu kalau pemuda itu pasti telah
berhasil menguasai ilmu pusaka warisan perguruannya. Makanya ia tidak ragu-ragu
lagi untuk menggunakan senjata dalam menghadapi pemuda gagah berambut riap-
riapan itu. Wut..! Trang! Terdengar dentingan yang memekakkan telinga ketika kedua senjata mereka saling
berbenturan keras. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang.
Ki Aji Barga sempat terkejut ketika merasakan kalau tenaga pemuda itu temyata
lebih tinggi sedikit.
*** 9 Sanjaya yang hatinya telah diracuni dendam kembali menerjang dahsyat. Senjata di
tangannya berputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deruan angin keras.
Seluruh kekuatannya dikerah-kan dalam melancarkan serangan kali ini.
Ki Aji Barga pun tktek mau kalah. Pedang di tangannya diputar hingga membentuk
gulungan sinar yang membungkus tubuhnya. Sesaat kemudian, ke-duanya kembali
saling menerjang hebat.
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang yang masih satu aliran itu benar-
benar hebat. Batu-batu dan pasir beterbangan tersepak kaki-kaki me-reka.
Keduanya menguras seluruh kepandaian masing-masing untuk segera saling
menjatuhkan! Di tempat lain, Panji sudah pula berhadapan dengan Ki Bukaran dan Ki Palwaka.
Kedua orang to-koh itu juga telah menggunakan senjata masing-masing, sehingga
serangan-serangan mereka tidak bisa dibuat main-main!
Wut! Wut..! Panji melempar tubuhnya ke belakang. Setelah berjungkir balik sebanyak tiga
kali, tubuhnya men-darat ringan di atas permukaan tanah. Sadar kalau kedua orang
lawannya bukan tokoh sembarangan, maka pemuda itu bergegas mencabut keluar
Pedang Naga Langit yang tersampir di punggungnya.
Wuk! Wuk..! Angin dingin bertiup kencang ketika Pendekar Naga Putih mulai menggerakkan
senjata pusakanya. Suaranya mengaung dahsyat bagai raungan seekor naga yang
marah! Dua orang kakek itu bergegas melompat mundur sambil menyiapkan jurus-jurus
andalan. Mereka maklum kalau pemuda yang dihadapinya adalah se-orang pendekar
ternama yang telah banyak mero-bohkan tokoh sakti dari berbagai aliran.
Maka kini mereka harus berhati-hati dalam menghadapinya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi pekikan keras, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur dengan jurus
andalannya. Pedang di tangannya berputar menimbulkan terpaan angin dingin yang
kuat. Sehingga, kedua orang lawannya harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk
menghadapinya. Pertarungan berlangsung seru dan mendebar-kan. Gulungan sinar pedang ketiga
tokoh sakti itu saling libat dan saling mendorong hebat. Dalam waktu yang
singkat saja, ketiga orang tokoh itu telah bertempur selama kurang lebih enam
puluh jurus. Namun sampai sejauh itu belum terlihat siapa yang akan keluar
sebagai pemenang.
Pada jurus yang ketujuh puluh lima, Panji ber-seru nyaring mengejutkan lawan-
lawannya. Saat itu juga tubuhnya meluruk setelah terlebih dahulu me-lambung ke
atas. Werrr! Terpaan angin dingin semakin kuat dan mem-belenggu tubuh kedua orang kakek itu.
Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus pamungkas Pendekar
Naga Putih menampak-kan kehebatannya. Sinar pedang yang membentuk lingkaran itu
berpendar menyilaukan pendangan kedua orang lawan. Mereka pun tak sempat lagi
untuk menghindar ketika senjata di tangan pemuda itu membeset tubuh mereka.
Bret! Bret..! "Aaargh...!"
Ki Bukaran dan Ki Palwaka meraung keras ketika Pedang Naga Langit membeset bahu
dan lam-bungnya. Tubuh kedua tokoh sakti itu terjungkal keras. Darah langsung
menyembur dari luka me-manjang pada tubuh mereka.
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih!" Teriak seorang laki-laki gagah yang
berusia sekitar empat puluh tahun. Lima orang lainnya berturut-turut mengikuti
gerakan orang itu, untuk menge-pung Panji.
"Haiiit..!"
Tiba-tiba sesosok tubuh ramping berjungkir balik memasuki arena pertempuran.
Kedua kakinya mendarat ringan di tengah-tengah kepungan lima orang murid
kesayangan tiga orang kakek sakti itu.
"Kau jangan serakah, Kakang...!" ujar gadis jelita yang tak lain Kenanga sambil
tersenyum. Di tangan gadis itu tergenggam sebatang pedang bersinar putih
keperakan. "Heaaat..!"
Dua orang di antara pengepung itu melesat me-nerjang Kenanga. Sedangkan empat
orang lainnya bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih.
Sepasang pendekar muda itu segera mehggerak-kan senjatanya menyambut serangan
lawan. Sesaat kemudian, pertarungan segera berkecamuk.
Dua orang pengeroyok Kenanga yang merupakan murid Ki Bukaran, menyerang ganas
dan cepat Kepandaian kedua orang
itu tidak bisa dipandang rendah, karena mereka murid-murid kesayangan kakek
sakti itu. Sehingga, pertarungan pun semakin seru dan sengit.
Sedangkan Panji yang menghadapi empat orang lawan, berkelebat cepat bagai
bayangan hantu. Sesekali Pedang Naga Langitnya menusuk tiba-tiba dan mengejutkan
para pengeroyoknya. Pemuda Itu rupanya tidak berniat membunuh lawan-lawannya.
Buktinya, terlihat serangan serangan pedangnya tidak terlalu ganas. Bahkan
jarang sekali melakukan serangan secara beruntun.
Namun hal itu dianggap sebagai suatu peng-hinaan oleh empat orang lawannya itu.
Sehingga, mereka menyerang semakin ganas dan berbahaya.
"Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Apakah kau pikir kepandaianmu sudah setinggi
langjt hingga menganggap remeh kepada kami!"
Sambil berteriak marah, orang itu menyabetkan pedangnya secara mendatar.
Suaranya mengaung tajam, karena seluruh tenaganya telah dikerahkan.
Wuuut! Tubuh Panji menyelinap di antara sambaran pedang lainnya.
Pendekar itu kemudian metompat jauh ke belakang, sehingga membuat keempat orang
lawannya semakin penasaran.
"Maaf, Kisanak. Aku hanya tidak ingin kalian mengikuti jejak guru kalian yang
sesat itu!" Sahut Panji sambil mengibaskan senjatanya menghalau pedang lawan.
"Tak perlu menggurui kami! Kalau memang mampu, hadapilah pedang kami! Jangan
hanya ber-kelit saja!" Ejek salah seorang yang mengenakan ikat kepala putih.
Setelah berkata demikian, ia pun segera me-lompat sambil membacokkan goloknya
untuk mem-belah tubuh pemuda itu.
"Hm.... Kalian memang harus diberi pelajaran biar kapok!"
tegas Panji agak kesal. Dan begitu uca-pannya selesai, tubuh pemuda itu bergerak
cepat melakukan serangan hebat!
Trang! Trang! "Uhhh...!"
Dua orang lawannya terjajar mundur ketika me-nangkis pedang Panji. Dan sebelum
mereka sempat mengatur serangan, kaki pemuda itu telah melaku-kan tendangan dua
kali berturut-turut.
Desss! Desss! "Ughhh...!"
Dua orang pengeroyok itu kontan terjungkal ke belakang.
Dada dan perut mereka telak terkena tendangan Pendekar Naga Putih. Darah pun
lang-sung menyembur dari mulut keduanya Saat itu juga keduanya menggeletak
pingsan. "Keparat! Ciaaat..!"
Dibarengi sebuah pekik kemarahan, tubuh salah seorang lawannya meluncur ke arah
Panji disertai ayunan senjatanya.
Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi menyabetkan senjatanya dari atas ke
bawah. "Hmh...!"
Sambil mendengus kasar, pedang di tangan Panji berkelebat dua kali berturut-
turut. Trang! Trang! "Aaah...!"
Kedua orang itu terpekik kaget. Seketika itu juga senjata mereka terlepas dari
genggaman. Kembali pedang Pendekar Naga Putih berkelebat menyilau-kan mata.
Breti Bret! "Aaargh...!"
Darah segar menyembur ketika mata pedang itu membeset dada kedua orang itu.
Tubuh keduanya terjajar ke belakang sejauh dua tombak. Panji kembali melompat
dan menendang dengan kedua kakinya. Tak ayal lagi, kedua orang itu langsung
ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan.
Sedangkan di arena yang lain, Sanjaya sudah pula berhasil mendesak Ki Aji Barga.
Senjata di tangan pemuda gagah itu benar-benar membuatnya mati langkah. Beberapa
kali tubuhnya nyaris ter-makan senjata yang berbentuk aneh itu.
Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Sehingga, hanya pakaiannya saja
yang telah robek di sana sini.
Pada jurus yang keseratus lima, Sanjaya tiba-tiba menggetarkan senjatanya.
Terdengar suara ber-denting yang menyakitkan telinga. Ki Aji Barga cepat
melompat ke belakang sambil memejamkan mata-nya untuk menahan serangan suara
yang meng-getarkan rongga dadanya.
Sanjaya yang memang telah menunggu-nunggu kesempatan baik itu, tidak ingin
menyia-nyiakan-nya. Saat itu juga tubuhnya berkelebat disertai ayu-nan
senjatanya secara mendatar.


Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt! Senjata berbentuk pedang yang disambung-sam-bung itu, berkelebat dengan
kecepatan kilat Sasa-rannya adalah batang leher Ki Aji Barga!
Crakl Ki Aji Barga yang tengah berusaha menenang-kan debaran dalam dadanya tak sempat
lagi meng-hindar. Kepalanya langsung terpisah dari badan ketika senjata di
tangan Sanjaya tepat membacok batang lehemya. Darah segar kontan menyemprot dari
leher yang terpapas buntung itu.
Melihat tubuh lawannya masih juga berdiri goyah, pemuda itu kembali mengayunkan
senjata-nya. Kali ini sasarannya adalah perut lawan.
Creb...! Darah segar kembali menyembur dari luka lebar yang menganga di tubuh Ki Aji
Barga. Tubuh tanpa kepala itu kini terjerembab dan diam tak berkutik lagi.
"Guru..,. Muridmu telah dapat membalaskan sa-kit hatjmu.
Semoga arwahmu menjadi tenang," ucap Sanjaya dengan suara berbisik. Setelah
mengucap-kan kata-kata demikian, pemuda tinggi tegap itu pun bergegas bangkit
berdiri. Sanjaya menolehkan kepalanya ketika mende-ngar jeritan menyayat. Jeritan itu
dibarengi jatuh-nya dua sosok tubuh yang berlumuran darah.
Kenanga melangkah menghampiri dua orang lawannya yang telah terluka itu.
Sepasang matanya tampak menyiratkan ancaman yang mengerikan.
"Ampun, Nisanak.... Kami menyerah!" Ratap orang itu sambil menekap dadanya yang
terluka. Sedangkan yang seorang lagi telah tewas karena pedang gadis itu terlalu
dalam melukai perutnya.
"Kenanga! Biarkan orang itu!" Seru Panji yang samar-samar mendengar ratapan
orang itu. Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkah menghampiri
kekasihnya. Saat itu Ki Bukaran dan Ki Palwaka yang terluka parah oleh Panji, tampak
bergerak bangkit Kedua kakek itu merintih sambil menekap lukanya.
"Keparat, rupanya kalian masih belum mampus!" Bentak Sanjaya ketika melihat
tubuh dua orang kakek itu tengah berusaha untuk bangkit berdiri. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, tubuh pemuda itu kembali melompat disertai ayunan senjatanya.
"Sanjaya, jangann..!" Cegah Panji ketika menge-tahui apa yang akan diperbuat
oleh pemuda itu. Namun sayang, teriakan Panji sudah terlambat. Karena dua orang
kakek itu telah menjerit ngeri.
Sanjaya menghela napas berulang-ulang sambil menatap tubuh dua orang kakek yang
telah menjadi mayat itu. Senjata pemuda itu tampak masih me-neteskan cairan
kental berwarna merah.
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku khilaf," ucap Sanjaya dengan wajah
tertunduk. "Hm.... Semuanya telah terjadi. Tak perlu dise-sali," sahut Panji sambil menepuk
perlahan bahu pemuda itu.
"Dendamku sudah terbalas. Aku tidak mem-punyai urusan lagi di tempat ini. Aku
mohon diri, Pendekar Naga Putih, Kenanga," ujar Sanjaya sambil melangkah
meninggalkan tempat itu. Sanjaya telah memutuskan untuk kembali ke tempat Suku
Gan-das di mana calon istrinya menunggu.
"Selamat jalan, Sahabat...," ucap Panji lirih sam-bil melambaikan tangannya.
Sedangkan Kenanga telah berdiri di samping kekasihnya sambil meng-genggam tangan
pemuda itu. Setelah mengobati orang-orang yang terluka, Panji dan Kenanga bergegas
meninggalkan tempat itu. Tak lupa pemuda
itu berpesan agar mereka tidak mengikuti jejak guru mereka yang sesat.
Sinar matahari semakin naik tinggi. Sinarnya mulai memudar, karena sebentar lagi
akan menye-lesaikan tugasnya untuk hari ini.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkah perlahan sambil berpegangan tangan.
Sang mentari pun ikut tersenyum menyaksikan kemesraan sepa-sang kekasih itu.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Adnan Sutekad
Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Suling Emas 20 Gento Guyon 11 Bidadari Biru Keturunan Pendekar 1
^