Rahasia Pedang Naga Langit 1
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit Bagian 1
RAHASIA PEDANG NAGA LANGIT (Lanjutan : Malaikat Gerbang Neraka)
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Rahasia Pedang Naga Langit
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Bakar...! Ayo, musnahkan seluruh isi desa
ini...!" Salah seorang dari tiga wanita cantik yang berada
di atas punggung kuda tampak berteriak-teriak membe-
ri perintah. Wajahnya yang cantik nampak berseri me-
nyaksikan pemandangan di depannya. Sepasang ma-
tanya yang indah, menyiratkan kekejaman yang men-
gerikan. Sedangkan puluhan orang laki-laki berwajah ben-
gis yang juga menunggang kuda, berlarian menyerbu ru-
mah-rumah penduduk Desa Batu Apung. Beberapa di
antaranya memegang obor menyala di tangan.
"Heaaa....!"
Sambil berteriak-teriak, gerombolan laki-laki berwa-
jah bengis itu melemparkan obor-obor ke atap rumah
penduduk. Dalam sekejap saja, api pun berkobar melalap
beberapa rumah.
"Tolong...! Tolooong...!"
Para penghuni rumah berlarian keluar sambil berte-
riak-teriak ketakutan. Namun begitu melewati pintu ru-
mah, gerombolan penunggang kuda berwajah bengis itu
langsung menyambut dengan senjata.
"Mampus kau...!" bentak salah seorang gerombolan itu sambil mengibaskan golok
panjangnya. Brettt... brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika mata golok
laki-laki kasar itu merobek tubuh beberapa orang pen-
duduk yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
orang-orang malang itu ambruk bermandikan darah se-
gar. Malam yang seharusnya hening, kini menjadi ramai
oleh teriakan-teriakan menyayat penduduk Desa Batu
Apung. Mereka berlarian ke sana kemari tak tentu arah.
Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semua-
nya berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tak ada
lagi harta yang sempat dibawa. Jangankan harta.
Nyawa pun seperti tak luput dari incaran para peram-
pok itu. Kekejaman yang dilakukan gerombolan itu tentu
saja semakin membuat para penduduk Desa Batu
Apung semakin kalang-kabut. Sadarlah mereka kalau
orang-orang itu adalah gerombolan perampok kejam
dan tak kenal ampun.
"Biadab...! Kalian lebih patut menjadi penghuni neraka! Di sanalah tempat kalian
bersama segala macam
iblis dan dedemit!" maki seorang laki-laki setengah baya yang wajahnya ditumbuhi
brewok. Dengan kemarahan meluap-luap, golok di tangannya diayunkan.
Namun, kemarahan laki-laki brewok itu malah se-
makin membuat para perampok tertawa puas. Seorang
di antaranya bergegas menyambut ayunan golok yang
mengarah ke tubuhnya.
Tranggg...! Terdengar benturan nyaring ketika dua batang
senjata bertemu. Namun, laki-laki berwajah brewok itu
rupanya berkepandaian juga. Begitu goloknya terben-
tur, secepat itu pula arah sambarannya diputar menggu-
nakan tenaga benturan tadi.
Wuttt! Brettt! "Aaakh...!"
Sambaran golok yang tak terduga itu membuat si pe-
rampok menjerit ngeri. Karena, mata golok laki-laki brewok itu telah merobek
kulit tubuhnya. Maka tanpa dapat
dicegah lagi, tubuhnya ambruk dalam keadaan tewas!
"Bangsat! Rupanya kau cukup berisi. Pantas saja
berani bertingkah!" bentak salah seorang perampok
lainnya. Dia sempat terkejut melihat tubuh kawannya tewas
akibat sambaran pedang laki-laki brewok itu. Maka
dengan wajah geram, empat orang rekannya diisya-
ratkan untuk mengeroyok laki-laki brewok itu. Dalam
sekejap saja, laki-laki brewok itu sudah terkurung oleh lima orang gerombolan
perampok. "Majulah kalian, Manusia-Manusia Biadab! Aku,
Galung tidak ,akan menyerah begitu saja!" tantang laki-laki brewok yang mengaku
bernama Galung, tanpa
rasa gentar sedikit pun.
Wuttt... wuttt...!
Galung memutar-mutar golok untuk melindungi tu-
buhnya. Sadar kalau tidak mungkin bisa meloloskan di-
ri dari kematian, maka tekadnya pun semakin bulat. Be-
berapa orang dari para perampok itu harus dibunuh un-
tuk menebus nyawanya.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh kelima orang pe-
rampok itu berloncatan menyerbu Galung. Senjata mere-
ka langsung saja meluncur, mengancam lima bagian tu-
buh laki-laki gemuk brewok itu.
Namun tekad membaja yang tertanam di hati Ga-
lung sudah demikian kuat. Sehingga, tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya.
Maka begitu lima batang senjata meluruk deras ke arahnya, laki-laki brewok itu
menggeser tubuh sebisa mungkin untuk menghindari sambaran
senjata lawan. Sayang, kepandaian yang dimiliki kelima orang pe-
rampok itu cukup lumayan. Apalagi kali ini dengan cara
keroyokan. Maka, tentu saja Galung menjadi kerepotan.
Sehingga, dalam beberapa jurus saja tubuh laki-laki
brewok itu sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata
pengeroyoknva. Brettt.... Crattt!
"Aaargh.,.!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kese-
puluh, Galung tidak mampu menghindar lagi dari te-
basan dua batang pedang lawan. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya pun terjungkal dan roboh mandi darah. Setelah berkelojotan
sesaat, leher laki-laki brewok itu pun terkulai. Tewas!
Namun, kelima orang perampok itu sepertinya
sangat mendendam kepada Galung. Meskipun laki-laki
brewok itu telah tewas, tubuhnya masih juga dicincang
dengan bengis! Benar-benar keji kelakuan kelima
orang perampok itu. Jelas, hati mereka benar-benar
telah mati dan tanpa perasaan.
Sementara itu, tiga orang wanita cantik yang jelas
merupakan pimpinan para perampok, kembali ber-
teriak memberi perintah.
"Ayo, cepat...! Kita harus segera meninggalkan
desa ini! Angkut semua barang berharga yang mereka
miliki!" teriak salah seorang dari ketiga wanita cantik itu dengan suara nyaring
dan lantang. Puluhan laki-laki berwajah bengis yang masing-
masing sudah menggondol buntalan berisi harta ram-
pokan itu bergegas melompat ke atas punggung kuda.
Namun sebelum sempat meninggalkan Desa Batu
Apung, terdengar bentakan yang disusul berloncatan
nya beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan
mereka. "Mau lari ke mana kalian, Manusia-manusia Bia-
dab"! Huh! Jangan harap dapat pergi begitu saja dari
desa ini!" ancam seorang laki-laki tinggi kurus, namun memiliki sikap gagah dan
jantan. Sedangkan di belakang laki-laki tinggi kurus itu,
tampak belasan sosok tubuh bersenjata terhunus.
"Samilaga! Jangan biarkan mereka meninggalkan
desa kita seenak perutnya!"
Terdengar seruan keras yang diiringi suara derap
kaki kuda. Tak lama kemudian, tampak seorang laki-
laki berusia sekitar lima puluh lima tahun di atas
punggung kuda. Dia bergerak cepat mendatangi tempat
itu. Melihat sikapnya yang berwibawa, jelas kalau laki-
laki separuh baya itu merupakan orang terpandang di
Desa Batu Apung.
Sementara laki-laki tinggi kurus yang dipanggil
Samilaga itu menolehkan kepala ke arah asal seruan
nyaring tadi. Wajahnya tampak berseri begitu mengenali
orang yang datang menunggang kuda hitam itu.
"Ki Wanareja...!" seru Samilaga dengan nada
gembira. Bergegas disambutnya kedatangan lelaki penung-
gang kuda hitam yang ternyata bernama Ki Wanareja,
penuh rasa hormat. Melihat dari sikap yang ditunjuk-
kan Samilaga, jelas kalau Ki Wanareja merupakan ata-
sannya. Sikap hormat yang ditunjukkan Samilaga tentu
saja tidak berlebihan. Memang, Ki Wanareja adalah Ke-
pala Desa Batu Apung. Sedangkan ia sendiri sebagai
kepala keamanan.
Kedatangan Ki Wanareja tentu saja membuat hati
Samilaga bertambah lega Sebab, kepala desa itu telah
beberapa hari pergi menghadap Adipati Blambang ko-
ta kadipaten. Sehingga, kehadirannya memang sangat
tepat pada saat yang diperlukan.
Namun bukan hanya Samilaga saja yang merasa
lega. Bahkan belasan orang berseragam hitam yang
merupakan anggota keamanan Desa Batu Apung
bertambah keberaniannya. Maka rasa kegentaran terha-
dap banyaknya anggota perampok, seketika lenyap.
Tapi ketiga wanita cantik yang memimpin gerombo-
lan perampok itu ternyata tidak merasa khawatir. Malah
salah seorang yang memakai pakaian serba kuning mem-
perdengarkan tawanya yang merdu dan nyaring.
"Ha ha ha...! Untunglah kau cepat datang, Wanareja.
Jadi kami tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Bagaimana kabar Adipati
Tunggul Wulung" Bukankah kau ba-
ru saja menghadap adipati tolol itu?" kata wanita cantik itu, bernada mengejek.
Melihat dari cara berbicaranya, jelas wanita itu telah cukup mengenal Kepala
Desa Batu Apung. "Hm.... Kiranya Tiga Dewi Pulau Setan yang da-
tang berkunjung ke desaku ini. Apa yang telah
membuat kalian sampai jauh-jauh ke sini" Atau kalian sudah tidak kerasan lagi
tinggal di tempat yang me-nyeramkan itu?" sahut Ki Wanareja. Suaranya tetap
tenang, dan tanpa hawa amarah.
"Hik hik hik.... Bagus kau masih mengenali kami,
Wanareja. Dan kuharap, kau pun tidak terlalu pelit
memberikan hartamu sebelum kami meninggalkan de-
sa kotor ini," timpal wanita cantik yang mengenakan pakaian ungu.
Dia memiliki lesung pipit, sehingga tampak sema-
kin menambah kemanisannya ketika tersenyum. Sayang,
sinar mata yang dimilikinya tampak demikian sayu.
Sepertinya mengandung undangan bercinta. Sehing-
ga sekali pandang saja, orang sudah dapat menilai
kalau dia bukanlah wanita baik-baik.
"Hm.... Tentu saja aku suka memberikannya kepada
kalian. Hanya saja, aku ragu. Apakah kalian akan sang-
gup melangkahi mayatku dulu?" sahut Ki Wanareja
sambil menyunggingkan senyum tenang.
Tentu saja ucapan yang lebih tepat sebuah tan-
tangan, membuat wajah ketiga wanita cantik itu
menjadi merah. Dengan sinar mata bengis, wanita
yang mengenakan pakaian serba kuning, mengibaskan
lengan kanannya ke depan.
"Anak-anak! Habisi orang-orang itu. Biar kakek
peot yang sombong ini menjadi bagianku," perintah
wanita cantik berpakaian serba kuning dengan suara
nyaring. Setelah memberi perintah, tubuh ramping itu pun
melayang turun. Kemudian, dia hinggap sejauh satu
tombak di hadapan Ki Wanareja. Gerakannya indah, se-
hingga membuat Ki Wanareja terpukau.
"Bagus...!" puji Ki Wanareja.
Mau tidak mau, dia menjadi terkejut juga melihat
kehebatan ilmu meringankan tubuh calon lawannya.
Meskipun telah lama mendengar kalau ilmu meringankan
tubuh Tiga Dewi Pulau Setan cukup tinggi, namun ia
sama sekali tidak menduga akan sehebat itu. Tentu sa-
ja kenyataan ini membuatnya harus mengambil sikap le-
bih berhati- hati dalam menghadapi gadis-gadis cantik
yang terlihat lemah-lembut itu.
"Jangan cuma bengong seperti ayam sakit begitu,
Wanareja. Lebih baik bersiap-siaplah. Agar kematianmu
bisa terasa lebih nikmat," ujar wanita cantik itu dengan suara bengis.
Namun, meskipun ucapan gadis berpakaian kuning
itu terdengar ketus, tapi bibirnya yang segar tampak
mengembangkan senyum manis.
Namun tidak demikian halnya Ki Wanareja. la
yang telah cukup mengenal banyak tokoh rimba
persilatan, tentu saja tidak merasa aneh atas sikap
wanita cantik itu. Memang tidak salah apa yang telah didengarnya. Justru pada
saat kemarahan tokoh cantik Pu-
lau Setan itu semakin memuncak, maka akan semakin
murahlah senyumnya diobral.
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun demikian, di balik senyuman yang semakin
manis itu, ternyata tersembunyi kekejaman yang me-
ngerikan!. Sehingga, bagi para tokoh persilatan yang telah mengenal perangainya
akan semakin ciut nyalinya.
Melihat senyum dara berpakaian serba kuning se-
makin bertambah manis, hati Ki Wanareja seketika berge-
tar tenang. Cepat ia melompat turun dari punggung ku-
danya. Memang, selain memiliki kepandaian ilmu me-
ringankan tubuh yang tinggi, kepandaian Tiga Dewi Pulau Setan dalam permainan
senjata beracun pun sudah
sangat terkenal. Tentu saja ingatan itu membuatnya
semakin berhati-hati.
Dan apa yang diduga Ki Wanareja ternyata cukup be-
ralasan. Tepat pada saat tubuhnya di udara, dara
cantik berpakaian serba kuning tampak mengibaskan
tangan ke arahnya.
Wuttt...! Serangkum angin lembut mengiringi luncuran pul u-
han jarum beracun. Sasarannya, Ki Wanareja.
Untungnya lelaki setengah baya itu cepat mencapai
tanah, dan langsung bersalto beberapa kali di udara.
Sehingga, jarum-jarum beracun yang mematikan itu
pun tidak sampai menghunjam tubuhnya. Hanya sa-
ja, kudanya harus rela jadi korban sasaran senjata ra-
hasia itu. "Gila! Wanita cantik itu benar-benar tidak berjantung!"
desis Ki Wanareja sambil mengusap peluh dingin yang
membasahi keningnya. Ngeri juga hatinya menyaksikan
kuda tunggangannya kontan menggelepar tewas dalam
keadaan tubuh hangus bagai terbakar.
"Hik hik hik.... Kau terkejut, Tua Bangka Peot?" ejek wanita cantik itu, sambil
tertawa bagai iblis. Sepertinya, kematian kuda itu hanya merupakan lelucon
yang menggelitik perutnya.
"Jangan keburu sombong dulu, Iblis Betina! Kelak kau akan merasakan tajamnya
sepasang golokku ini!" sahut Ki Wanareja tanpa memperlihatkan kegentaran.
"Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan sepasang golok bututmu itu?"
tantang dara cantik berpakaian serba kuning itu, sinis.
Usai berkata demikian, tubuhnya yang ramping itu
berkelebat menerjang Kepala Desa Batu Apung.
"Haittt ..!"
Ki Wanareja tentu saja tidak ingin tubuhnya di-
jadikan sasaran pukulan bertangan keji. Maka pada saat
lengan halus itu hendak mencengkeram lehernya, Ki
Wanareja bergerak menggeser ke samping. Gerakan itu
masih diiringi tebasan golok di tangan kanannya.
Wuuut...! Sambaran yang dilancarkan Ki Wanareja ternyata
cukup cepat. Bahkan meskipun tebasan pertamanya
dapat digagalkan lawan, lelaki setengah baya itu masih dapat menyusuli dengan
serangan berikutnya.
"Heaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Ki Wanareja
berkelebat disertai sambaran sepasang goloknya. Cepat
dan mantap sekali gerakannya. Sehingga mau tidak
mau, dara berbaju kuning yang menjadi lawannya ber-
gerak mundur. Meskipun serangan-serangannya telah membuat
lawan terdesak, namun Ki Wanareja tidak mau terpancing
amarahnya. Tebasan-tebasan yang dilakukannya pun,
tetap terarah tepat. Bahkan terkadang masih ditam-
bah dengan tendangan-tendangan kilat yang menda-
dak. "Yeaaat..!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh,
dara berpakaian serba kuning itu menjadi penasaran!
Sambil berteriak melengking, tubuhnya berkelebat ce-
pat dan menyelinap di antara sambaran golok lawan.
Sedangkan sepasang tangannya meluncur cepat den-
gan cengkeraman-cengkeraman yang menebarkan
bau amis. Wuuut.... Wuuut...!
Bukan main terperanjatnya hati Ki Wanareja
melihat serangan yang menimbulkan hawa beracun
itu. Cepat tubuhnya dilempar hingga satu tombak ke
belakang. Whusss...! "Akhhh...!"
Sayang lemparan tubuh yang dilakukan Ki Wana-
reja masih kalah cepat dengan gerakan lawan. Se-
hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya siap men-
jadi sasaran pukulan lawan.
Bukkk...! Ki Wanareja menjerit ketika tubuhnya terbanting
ambruk di atas tanah. Pukulan dara berpakaian kuning
itu tepat menghantam dadanya. Darah kental berwar-
na kehitaman, tampak mengalir dan mulutnya. Wajah-
nya pun perlahan-lahan berubah kehijauan.
"Hekhhh.... Hekhhh...."
Dan sungguh aneh akibat pukulan itu.
Bagaikan orang gila, Ki Wanareja mencekik lehernya
sendiri. Pengaruh racun yang memasuki tubuhnya, terasa
bagai hawa panas tertelan olehnya. Sehingga, kerongkongannya terasa kering
kerontang. Samilaga yang saat itu juga tengah bertarung de-
ngan para anggota perampok, cepat menoleh. Namun,
wajahnya kontan memucat. Bergegas lelaki kurus itu
melompat ke arah kepala desanya yang seperti tengah
bertarung dengan diri sendiri.
"Ki...! Kau..., kau...."
Samilaga tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
Bahkan dia langsung melompat mundur begitu melihat
keadaan Ki Wanareja yang mengerikan itu.
Meskipun dalam keadaan sekarat seperti itu, ter-
nyata Ki Wanareja masih sempat mendengar teriakan
Samilaga. Maka, kepalanya pun berpaling cepat ke
samping. Samilaga yang menjadi tangan kanan Ki Wanareja,
kembali melompat mundur melihat tatapan mata kepala
desa itu. Memang, sepasang mata Ki Wanareja berubah
menjadi liar. Bahkan otaknya tak lagi menunjukkan ke-
warasan. Jelas, orang nomor satu di Desa Batu Apung
itu telah menjadi gila, karena rasa sakit dan penderi-
taan yang menimpa.
"Hik hik hik.... Hayo lumatkan dia! Hancurkan sa-
ja tubuhnya!"
Dara berpakaian serba kuning yang merupakan
salah seorang dan Tiga Dewi Pulau Setan, berteriak
memerintah kepada Ki Wanareja untuk menerkam Sa-
milaga. Tentu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut.
Dengan penuh amarah, Samilaga menolehkan
kepala ke arah dara berbaju kuning itu. Sepasang ma-
tanya tampak menyiratkan luka yang menerbitkan
dendam. "Iblis keji! Kau benar-benar bukan manusia! Kau se-pantasnya tidak hidup di
dunia ini. Tempat yang cocok
buat orang sepertimu hanyalah neraka!" maki
Samilaga dengan sorot mata penuh dendam.
Dan tanpa basa-basi lagi, tubuh lelaki tinggi kurus
itu pun langsung melesat disertai tebasan goloknya.
Wuuut...! Sambaran golok di tangan Samilaga, sama sekali ti-
dak membuat dara berpakaian kuning itu kewalahan.
Dengan gerakan yang sangat meremehkan, dia bergeser
ke kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.
Zebbb.... Desss...!
Tendangan dara berpakaian kuning yang tak
terduga itu telak menghajar lambung Samilaga. Maka, tu-
buh tinggi kurus itu pun langsung terpental deras di-
iringi jerit kesakitannya.
Sebenarnya, kalau Samilaga tidak terlalu termakan
amarahnya, belum tentu dapat begitu mudah dijatuh-
kan lawan. Sayang, kemarahan telah membuatnya
mata gelap. Sehingga, tendangan kilat itu tidak bisa
dihindarinya lagi. Memang, yang terpikir saat itu
hanyalah membunuh, dan mencincang tubuh lawan
secepatnya. Tentu saja hal itu membuat kewaspadaan-
nya hilang. Sehingga, kerugianlah yang harus diterima.
Dara cantik berpakaian serba kuning itu ternyata ti-
dak membiarkan Samilaga begitu saja. Dengan bibir me-
nyunggingkan senyum manis, dara cantik itu melang-
kahkan kakinya mendekati tubuh lawan yang hendak
bergerak bangkit.
"Hik hik hik...! Kau boleh menyusulnya kalau
memang suka...," ujar dara berpakaian kuning itu, disertai kerdipan matanya.
Kemudian, tangannya bergerak. Maka seketika
bertebaran semacam bulu-bulu ke seluruh tubuh Samila-
ga. Kejadian yang menimpa Samilaga setelah tubuhnya
terserang bulu-bulu halus, memang mengerikan sekali.
Bagaikan orang gila, lelaki tinggi kurus itu mulai mendesis-desis sambil
menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepa-
sang matanya membelalak. Seluruh kulit muka dan
tubuhnya, merah bagai terpanggang api.
"Uhhh.... Uhhh.... Uhhh...."
Makin lama, suara mendesis yang keluar dari
mulut Samilaga semakin cepat dan keras. Kemudian, ia
mulai menggaruk satu bagian tubuhnya. Setelah itu ber-pindah ke lain tempat.
Begitu seterusnya, seluruh tubuh dan wajahnya kebagian.
Perbuatan Samilaga semakin menggila. Meskipun se-
kujur kulit wajah dan tubuhnya telah terkelupas, na-
mun ia tetap saja menggaruk kuat-kuat. Sehingga, darah
segar pun mulai mengalir dari luka-luka yang ditimbul-
kan akibat garukan itu.
"Hik hik hik...! Kau lucu sekali, Lelaki Gagah. Ting-kahmu tak jauh berbeda
dengan monyet Sayang, wajahmu
jauh lebih jelek dari monyet," ejek dara berpakaian serba kuning itu sambil
memperdengarkan tawa iblisnya.
Setelah kedua orang tokoh Desa Batu Apung itu meng-
gelepar tewas, barulah rombongan perampok itu bergerak meninggalkan desa. Tak
seorang pun dari para pengawal kepala desa, ataupun penduduk yang dibiarkan
hidup. Seluruhnya tewas dibantai para pengikut Tiga Dewi Pulau
Setan. Desa Batu Apung yang semula tenang dan penuh
kedamaian, kini terlihat lengang dan sunyi. Sedang di jalan-jalan utama,
hanyalah ceceran darah dan sosok- so-
sok mayat bergelimpangan tumpang-tindih.
Rumah-rumah penduduk yang semula berjajar ra-
pi, kini tinggal puing-puing hitam. Semua yang ada di
Desa Batu Apung lenyap dalam sekejap, akibat kega-
nasan gerombolan perampok yang dikepalai Tiga Dewi
Pulau Setan. *** 2 "Kurang ajar...!"
Brakkk! Bentakan keras yang disusul suara berderak itu,
membuat beberapa orang yang duduk langsung me-
nundukkan kepala dengan wajah memucat. Mereka
seakan-akan tak berani menatap wajah laki-laki seten-
gah baya yang tengah menahan amarah bergejolak.
"Mereka benar-benar telah menginjak mukaku! Ini sudah keterlaluan, dan tidak
boleh didiamkan! Kalau hari
ini mereka sudah berani menjarah dan memusnahkan
Desa Batu Apung, bukan tidak mungkin kalau esok
atau lusa akan berani menginjak Kota Kadipaten. Dan
kalau hal itu benar-benar terjadi, hancur sudah kewi-
bawaan Kadipaten Blambang."
Kembali suara penuh kemarahan dari lelaki pendek
gemuk berkepala botak itu, menggelegar di ruang perte-
muan itu. Dia adalah Adipati Blambang. Namanya, Ja-
la Tungga. "Ampun Gusti Adipati.... Hamba kira, hal ini hanya merupakan pancingan saja.
Sengaja desa yang letaknya
paling dekat dengan kadipaten ini dimusnahkan. Dan
apabila kita mengirimkan pasukan untuk membasmi
mereka, hamba rasa akan sia-sia saja, Paduka
Gusti. Bahkan bukan tidak mungkin pada saat pra-
jurit kita dalam perjalanan menuju Desa Batu Apung,
gerombolan perampok itu akan menyerbu kadipaten.
Nah, bukankah hal itu akan lebih berbahaya lagi, Gus-
ti?" sergah salah seorang perwira.
Dia berusia lima puluh tahun. Pakaiannya tampak di-
hiasi beberapa tanda jasa. Tampaknya, pengabdiannya pa-
da Kadipaten Blambang telah cukup lama. Dan kini, kem-
bali dia duduk di tempatnya semula.
"Mengapa kau menduga demikian, Pragala" Apakah
kau pikir mereka akan dapat merebut kadipaten ini
hanya dengan lima puluh orang" Huh! Jangankan baru
lima puluh orang perampok, lima ratus orang prajurit ter-latih pun belum tentu
sanggup merebut Kota Kadipaten ini dan tanganku. Mengerti kau, Pragala?" sahut
Adipati Jala Tungga. Jelas kalau ia merasa sangat keberatan atas usul yang
diajukan perwira bernama Pragala itu.
"Maaf, Gusti Adipati. Dugaan hamba ini tentu saja di-dasari alasan kuat.
Pertama, selama ini tidak pernah ada desa-desa terdekat yang mendapatkan
gangguan perampok.
Jangankan desa terdekat. Yang letaknya agak jauh dan
kadipaten pun, tidak pernah ada gangguan. Jadi ka-
lau sekarang ini ada gerombolan perampok gila yang be-
rani mengacau desa paling dekat dengan Kadipaten
Blambang ini, jelas kalau mereka memang mempunyai niat
lain yang tersembunyi. Begitulah apa yang menjadi du-
gaan hamba, Gusti," jelas Pragala yang rupanya memiliki pandangan tertentu
sehubungan peristiwa yang menimpa Desa Batu Apung.
"Tapi sepengetahuanku, yang menjadi kepala para perampok itu adalah tiga orang
tokoh sesat yang men-
giriskan. Menurut apa yang pernah kudengar, mereka
adalah murid seorang nenek tua berwatak cabul yang
menjadi penguasa Bukit Setan. Itulah sebabnya, menga-
pa ketiga orang muridnya yang cantik-cantik itu dijulu-
ki sebagai Tiga Dewi Pulau Setan. Meskipun sangat can-
tik layaknya dewi kahyangan, namun kekejaman mereka
justru melebihi kekejaman iblis neraka. Jadi menurut
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendapat hamba, ya wajar saja. Tokoh-tokoh sesat ber-
kepandaian tinggi seperti mereka tentu saja tidak
merasa takut meski untuk mengacau Kota Kadipaten
sekalipun..!" timpal seorang laki-laki lain yang juga berpakaian seorang
perwira. Dan pendapat yang di-kemukakannya, jelas sangat bertolak belakang den-
gan pendapat Pragala.
"Nah! Bagaimana pendapatmu, Pragala..." Apa
yang diucapkan Lukanji itu, jelas lebih tepat. Dan kalau kita tetap diam diri
saja, bukan tidak mungkin esok
mereka akan datang mengacau Kota Kadipaten Blambang
ini. Sudahlah, sebaiknya, sekarang seratus orang prajurit pilihan harus
dikumpulkan. Basmi gerombolan peram-" S.4 "
pok kurang ajar itu sampai tuntas. Dan, ingat! Kau ku-
larang kembali sebelum para perampok laknat itu ber-
hasil ditumpas. Masih keberatan, Pragala...?" ujar Adipati Jala Tungga sambil
menatap wajah Pragala lekat-
lekat. "Tentu saja tidak, Gusti Adipati. Segala titah Gusti, akan hamba jalankan
sebaik-baiknya," sahut perwira berusia sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah
tenang. "Kapan kami harus berangkat, Gusti...?"
"Secepatnya. Usai persiapan, langsung bawa pasu-
kanmu ke Desa Batu Apung. Kuharap, kau dapat men-
jalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya, Pragala,"
sahut Adipati Jala Tungga dengan suara berwibawa.
"Hamba, Gusti Adipati...."
Setelah memberi hormat, Pragala pun beranjak ke-
luar dari ruang pertemuan itu. Langkahnya terlihat lebar dan mantap. Jelas,
lelaki bertubuh tegap itu merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh.
"Hamba ragu kalau dia akan dapat menjalankan tu-
gas ber at ini, Gusti...! Kata perwira berusia
empat puluh tahun yang tadi dipanggil Lukanji. Mimik
wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka kepada
Pragala. "Hm.... Apakah kau merasa lebih mampu mengem-
ban tugas ini?" sahut Adipati Jala Tungga. Nadanya seperti memperingatkan akan
ucapan bawahannya itu.
Tentu saja Lukanji yang usulnya didengar Adipati Blam-
bang tadi menjadi terkejut. Semula karena usulnya di-perhatikan, perwira itu
merasa lebih disukai ketim-
bang Pragala. Buktinya, nyata sekali kalau Adipati Jala Tungga membelanya tadi.
Tapi, dugaannya ternyata meleset. Meskipun ucapan Pragala tadi tidak disukai
sang Adipati, namun ternyata masih lebih dipercaya daripa-
da Lukanji. Dan terus terang, perwira muda itu memang
kurang begitu suka terhadap Pragala.
"Bagaimana, Lukanji" Apakah kau merasa lebih
mampu daripada Pragala?" tanya Adipati Jala Tungga lagi ketika melihat perwira
itu hanya memandanginya.
"Bukan begitu maksud hamba, Gusti Adipati. Hanya
saja, Kakang Pragala terlihat sudah cukup berumur.
Jadi, rasanya tugas yang diberikan kepadanya mung-
kin terlalu berat, Gusti," meski agak gugup, Lukanji tetap memberikan jawaban.
Sedang sepasang matanya
tampak gelisah mencari jalan keluar.
"Hm.... Jadi kau bermaksud hendak mengganti-
kannya" Begitu?" desak sang Adipati lagi. Hingga wajah Lukanji tampak semakin
gelisah. "Maaf, Gusti. Sama sekali hamba tidak bermaksud
demikian. Hamba hanya..., hanya.... Ah, lebih baik
hamba pamit dulu, Gusti. Hamba masih mempunyai
pekerjaan yang belum diselesaikan."
Dan tanpa menunggu jawaban dari junjungannya,
perwira yang mempunyai kemauan tinggi itu pun ber-
gegas meninggalkan ruangan pertemuan tanpa menoleh
lagi. Adipati Jala Tungga hanya tersenyum melihat ke-
lakuan perwira muda yang baru beberapa bulan men-
jadi pembantunya. Meskipun sang Adipati sendiri
sudah mengetahui wataknya, namun tidak terlihat
adanya sifat-sifat jelek yang ditunjukkan Lukanji. .Jadi tidak ada alasan untuk
memecat pembantunya yang
memiliki kepandaian cukup tinggi dan bisa diandalkan.
Tiga orang pengawal rahasia Adipati Jala Tungga
yang ikut hadir dalam pertemuan itu, tersenyum geli.
Mereka memang diperbolehkan mengikuti pertemuan
itu, namun tidak diperbolehkan mengutarakan penda-
pat. Ketiga orang pengawal rahasia itu bukan meru-
pakan tentara kadipaten, namun keberadaannya sa-
ngat disegani baik oleh prajurit tingkat rendah, sampai perwira kadipaten
sendiri. Memang, mereka merupakan pengawal rahasia yang bertugas melindungi
keselamatan Adipati Jala Tungga. Itulah yang menye-
babkan ketiga orang itu berada di ruang pertemuan.
Dan ketika sang Adipati sendiri mulai beranjak
meninggalkan ruang pertemuan itu, maka ketiga orang
pengawal rahasia itu pun bergegas mengikuti junjung-
annya. *** Pragala, perwira tertua di Kadipaten Blambang itu
membawa seratus orang prajurit pilihannya menuju
Desa Batu Apung. Meskipun hal itu tidak terlalu dis-
etujuinya, namun perintah junjungannya tetap dituruti.
Biar bagaimanapun dia harus mengabdikan diri pada
Kadipaten Blambang.
Sebenarnya, Pragala bukanlah orang asing dalam
dunia persilatan. Sebagai murid sebuah perguruan
yang cukup besar dan cukup terkenal dalam rimba
persilatan, maka ia pun telah banyak mengenal tokoh
rimba persilatan. Hanya saja, nama Tiga Dewi Pulau Se-
tan memang belum pernah didengarnya. Dan itu me-
mang wajar, karena ketiga orang tokoh sesat yang kabar-
nya cantik bagai seorang dewi itu jarang sekali muncul di dunia ramai. Mereka
lebih suka menyembunyikan diri di
pulau kediaman mereka. Maka kalau sampai keluar dan
melakukan perampokan, tentu ada sesuatu yang menye-
babkannya. "Hm.... Aneh-aneh saja orang-orang rimba persilatan itu. Kalau memang benar
mereka berwajah cantik bagai seorang dewi, mengapa harus merampok" Rasanya kalau
me- reka muncul di Kota Kadipaten, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan jodoh
seorang putra adipati. Bukankah itu
lebih baik ketimbang menjadi perampok hina?" Batin Pragala tak habis mengerti
akan ulah ketiga tokoh aneh
yang dikabarkan sangat cantik itu.
Sementara, rombongan yang dibawa Pragala sudah
mulai memasuki perbatasan Desa Batu Apung. Perwira
setengah baya itu memerintahkan dengan isyarat tan-
gan agar pasukan di belakangnya memperlambat langkah.
Pragala menjalankan kudanya perlahan memeriksa
sekeliling tempat itu. Sedang pasukan di belakang-
nya berhenti dan menunggu isyarat lagi. Sementara
dua orang perwira lain yang masing-masing berusia tiga
puluh tahun dan tiga puluh lima tahun, bergerak men-
dampingi Pragala.
Dengan naluri peka, Pragala seperti bisa merasa-
kan kalau daerah di sekitar tempat itu sama sekali tidak mengandung ancaman
bahaya. Meski di sekeliling mereka rapat ditumbuhi semak-semak, namun semua itu
sama sekali tidak menimbulkan rasa tegang di hati Pra-
gala. Tak lama setelah itu, Pragala mengibaskan lengan kanannya ke depan sebagai
isyarat untuk maju. Sedang-
kan ia sendiri, terus melangkahkan kudanya perlahan di
depan. Kening perwira setengah baya itu baru berkerut keti-
ka mereka hampir tiba di mulut Desa Batu Apung.
Sepasang lengan Pragala memberi isyarat kepada para
prajuritnya untuk menyebar dan mengurung mulut de-
sa itu. Kemudian, setelah pasukan terpecah menjadi tiga kelompok, mereka pun
mulai bergerak hati-hati memasuki desa.
"Aaaa.....!"
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang memecah kete-
gangan para prajurit Kadipaten Blambang itu. Cepat ba-
gai kilat, mereka berlompatan ke arah asal jeritan tadi.
Namun, apa yang disaksikan oleh para prajurit itu be-
nar-benar membuat keberanian seketika lenyap! Di depan
mereka, tampak lima orang prajurit berkelojotan sekarat Sekujur tubuh mereka
berwarna kehijauan, dan dari mu-
lut keluar lendir yang berbau busuk.
"Gila! Hati-hati! Desa ini telah dipenuhi racun jahat! Ayo, cepat keluar...!"
Pragala yang segera saja dapat membaca apa yang te-
lah menimpa lima prajuritnya, cepat mengambil sikap.
Diperintahkannya para prajurit yang lain untuk segera keluar dari dalam desa.
Dan rasanya, Pragala tidak perlu mengulang perin-
tahnya. Memang tanpa diperintah sekalipun, para pra-
jurit yang sudah dicekam rasa ngeri itu pasti akan lari lin-tang-pukang
meninggalkan desa itu.
Dalam waktu singkat saja, puluhan orang prajurit Ka-
dipaten Blambang telah keluar dari Desa Batu Apung.
Dan kini mereka hanya berdiri menanti perintah perwira mereka.
"Bagaimana ini, Kakang" Apa yang harus kita perbuat?"
tanya salah seorang perwira kepada Pragala yang meru-
pakan pimpinan rombongan.
"Kita ambil jalan memutar melalui hutan di depan
itu...," sahut Pragala sambil melepaskan pandangannya ke sebuah mulut hutan yang
terpisah beberapa belas
tombak dari tempat mereka berdiri.
"Bukankah hal itu akan lebih berbahaya, Kakang. Apalagi, kita sama sekali belum
tahu keadaan hutan itu," salah seorang perwira bawahan Pragala, mencoba memberi
pandangannya. Jelas kalau ia sudah terpengaruh oleh kejadian
yang baru saja menimpa lima orang prajuritnya. Sehingga kedua orang perwira itu
bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil langkah berikutnya.
"Hm.... Kurasa jalan itu akan lebih baik daripada harus melewati desa yang
seluruhnya mungkin telah terce-
mar racun keji itu. Nah, menurutmu jalan mana yang le-
bih baik, Adi?" tanya Pragala meminta pendapat kedua orang pembantunya, meskipun
sebenarnya ia tidak
memberi pilihan pada kedua orang perwira itu.
"Yah.... Rasanya memang tidak ada pilihan lagi un-
tuk kita, Kakang. Dan satu-satunya jalan, memang hutan
di depan itulah yang harus kita tembus," sahut salah seorang perwira pembantu
Pragala yang memiliki tahi lalat besar di pipi sebelah Kirinya. Dia bernama
Jatalu. "Hm.... Bagaimana, Jaladra" Apakah punya jalan ke-
luar yang lebih baik?" tanya Pragala kepada perwira yang bernama Jaladra.
"Tidak, Kakang. Memang itulah satu-satunya jalan terdekat yang kita miliki saat
ini," sahut Jaladra cepat.
"Kumpulkan mereka. Kita harus keluar dari dalam hutan itu saat hari belum gelap.
Ayo kita berangkat," perintah Pragala yang segera melompat naik ke punggung
kuda, dan menggebahnya perlahan-lahan.
Rombongan prajurit Kadipaten Blambang itu pun kem-
bali bergerak. Kali ini mereka harus melewati hutan le-
bat, namun tidak terlalu besar. Sehingga, dapat dilalui tanpa harus bermalam di
dalamnya. Matahari sudah semakin naik tinggi ketika rom-
bongan yang di bawah pimpinan Pragala hampir melewati
hutan lebat itu. Mereka terus bergerak tanpa mengenal le-lah.
*** Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba di
luar hutan. Namun baru saja rombongan terakhir keluar
dari dalam hutan, terdengar teriakan ngeri yang disusul ber-tumbangannya
beberapa orang prajurit
Jaladra, perwira bertubuh kekar itu, bergegas meng-
hampiri enam sosok anak buahnya yang diam tak berge-
rak. "Gila! Mereka tewas semua, Kakang. Entah apa yang menyebabkannya?" lapor
Jaladra ketika melihat Pragala sudah berdiri di sebelahnya.
"Hm.... Mereka tergigit semut merah yang mengan-
dung racun api. Kau lihat saja kulit tubuh mereka yang
melepuh bagaikan terbakar itu," sahut Pragala yang segera mengedarkan pandangan
ke tanah tempatnya berpi-
jak. "Ahhh...! Mundur...!"
Pragala yang melihat barisan semut merah yang be-
sarnya dua kali semut biasa, bergerak cepat merayap
menuju ke arah rombongan.
"Hik hik hik...! Ayo, Manis. Nikmatilah makan soremu untuk hari ini."
Tiba-tiba terdengar suara merdu yang entah dari
mana datangnya. Dan tahu-tahu saja, seorang dara
cantik bagaikan seorang dewi telah duduk mencang-
kung di atas sebatang ranting pohon yang cukup tinggi.
"Keparat! Dasar kau iblis betina keji! Turunlah kalau memang ingin membunuh
kami. Mengapa harus ber-
sembunyi dan mengandalkan binatang beracun sebagai
pelindungmu"!" tantang Pragala yang menjadi marah
sekali ketika melihat gadis cantik itu di atas cabang
pohon. "Hik hik hik.... Jangan takabur, Perwira Peot Lihatlah dirimu, apa yang kau
andalkan untuk menghadapiku"
Pasukanmu, bukan" Lalu, apa bedamu dengan aku yang
hanya mengandalkan beberapa ratus ekor semut sebagai
pelindung. Apakah itu salah?" balas wanita cantik berusia sekitar tiga puluh
tahun itu. Wanita itu mengenakan pakaian berwarna ungu. Itu-
lah sebabnya, dia berjuluk Dewi Baju Ungu. Rambutnya
yang tebal dan gemuk, tampak diikat sehelai selendang
yang juga berwarna ungu. Benar-benar seorang wanita
yang sangat cantik dan menarik!
"Bangsat! Anak-anak, hujani iblis wanita itu dengan anak panah. Cepat..!" teriak
Pragala memerintah sambil menudingkan tangan kanannya ke tempat wanita itu
duduk. Namun, sebelum para prajurit Pragala sempat me-
nyiapkan anak panah dan busurnya, tiba-tiba terdengar
suara mendengung laksana ribuan lebah mengamuk.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan-jeritan kematian yang merobek ke-
tenangan suasana sore itu. Kemudian, disusul berjatu-
hannya puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang da-
lam keadaan tewas.
Ternyata sebelum para prajurit Kadipaten Blambang
sempat melepaskan anak panah, mereka telah dihujani
puluhan batang anak panah dari empat penjuru. Dan se-
belum yang lain sempat menyadari keadaan itu, tiba-tiba puluhan sosok tubuh
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlompatan dari balik semak-semak di sekeliling mereka.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan parau dan jerit kematian pun su-
sul menyusul ketika pertarungan besar-besaran itu tidak bisa dihindari lagi.
Puluhan orang kasar yang ternyata memang ge-
rombolan perampok di bawah pimpinan Tiga Dewi Pulau
Setan, terus mendesak prajurit kadipaten tanpa membe-
ri peluang sedikit pun. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, tentara
Kadipaten Blambang sudah lebih da-ri separuhnya yang tewas.
Jaladra dan Jatalu tengah berjuang mati-matian un-
tuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman senjata para
pengeroyok "Haiiit...!"
Sambil berseru nyaring, Jaladra melompat Setinggi bahu dan langsung mengibaskan
goloknya sekuat tenaga.
Bettt...! Brettt! Brettt!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang pengepung
yang berada di sebelah kanannya terjungkal mandi da-
rah. Namun, sebelum Jaladra sempat memperbaiki kea-
daannya, sebuah bacokan keras telah membuat tubuhnya
terhuyung dengan luka menganga di punggung.
"Aaakh...!"
Jaladra meraung merasakan sakit luar biasa pada
punggungnya. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu,
tahu-tahu saja sebuah benda halus telah menjerat leher-
nya. "Haaat ..!"
Terdengar sebuah bentakan nyaring yang dibarengi
terangkatnya tubuh Jaladra. Tentu saja kenyataan ini
membuat perwira itu semakin bertambah pucat. Saat itu
juga langsung dapat ditebak ketika keharuman yang
menebar dari selendang hijau yang melilit batang le-
hernya tercium. Dia adalah salah seorang dari Tiga
Dewi Pulau Setan, yang berjuluk Dewi Baju Hijau.
Tampak Dewi Baju Hijau yang berusia dua puluh tujuh
tahun dan memiliki paras memikat itu tengah tertawa-
tawa. Tangannya sibuk mempermainkan selendang hijau
yang ujungnya melilit di leher Jaladra.
" Hait ..!"
Tiba-tiba sambil memperdengarkan teriakan nyaring,
Dewi Baju Hijau melecutkan selendang hijaunya ke ba-
wah. Dan tentu saja gerakan selendang gadis itu membuat tubuh Jaladra meluncur
deras ke atas tanah! Dan....
Prakkk! Darah segar berhamburan ketika kepala Jaladra
terjatuh menimpa sebuah batu cadas cukup besar. Tanpa
ampun lagi, laki-laki pendek kekar itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir
dengan keadaan menge-
naskan. Sedangkan Pragala yang merasa sangat dendam ter-
hadap Dewi Baju Ungu sudah pula bertarung sengit Na-
mun, bukan main terkejutnya hati perwira setengah baya
itu ketika mendapat kenyataan kalau kepandaiannya ma-
sih berada di bawah dara jelita itu. Tentu saja kenyataan pahit itu menimbulkan
kecemasan dalam hatinya.
"Sahabat, kami datang menolong...!"
Terdengar seruan nyaring yang disusul berkelebatnya
belasan sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba
putih. Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung saja menerjunkan diri ke
dalam kancah pertempuran.
"Heaaat...!"
Salah seorang dari mereka yang dari teriakan dan ge-
rakannya jelas adalah seorang wanita, mengamuk hebat!
Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, enam
orang anggota perampok Tiga Dewi Pulau Setan telah da-
pat dirobohkannya.
Tentu saja kenyataan itu membuat Pragala menarik
napas lega. Bayangkan saja! la yang merasa sudah tidak
mempunyai harapan hidup lagi, tiba-tiba saja datang
belasan sosok jubah berpakaian serba putih yang
langsung menerjunkan
diri dalam pertempuran.
Sedangkan ia sendiri sudah dibantu seorang berpakaian
putih yang wajahnya ditumbuhi brewok.
Gerakan golok besar di tangan laki-laki brewok itu ter-
nyata sanggup membendung serangan Dewi Baju Ungu.
Maka, selamatlah nyawa Pragala dari kematian.
Tengah para perampok itu terdesak hebat, terdengar
suara siulan melengking panjang dan menggetarkan.
Sehingga pertempuran yang tengah berlangsung sengit
itu terhenti sejenak.
Siulan melengking itu, rupanya merupakan isyarat bagi
para perampok. Mendengar suara itu, Dewi Baju Hijau dan Dewi Baju Ungu serentak
memberi isyarat kembali dengan nada yang sama. Saat itu juga keduanya mening-
galkan arena pertempuran, diikuti para anggotanya.
Pragala dan orang-orang berpakaian serba putih ter-
sentak kaget Ternyata sebelum meninggalkan arena per-
tarungan, Dewi Baju Ungu sempat melepaskan Semut Ra-
cun Api yang tadi telah dimasukkannya ke dalam bum-
bung bambu. Untunglah baik Pragala maupun laki-laki brewok
yang menolongnya sempat melompat mundur. Se-
hingga, keduanya yang memang berada paling dekat
dengan Dewi Baju Ungu dapat menyelamatkan dirt dari
binatang-binatang beracun itu.
Beberapa orang prajurit yang tak sempat menghindarkan
diri, langsung menggelepar tewas dengan kulit tubuh melepuh. Tentu saja hal itu
membuat yang lain menjadi kalang-kabut!
"Ayo, cepat tinggalkan tempat celaka ini...!" seru brewok, cepat mengambil
tindakan tepat Kemudian, tu-
buhnya langsung melesat mendahului yang lain.
Mendengar seruan itu, Pragala pun tersadar dari keter-
pakuannya. Cepat diperintahkannya para prajurit untuk
segera menjauhi tempat itu.
Tanpa diperintah dua kali, sisa para prajurit Kadipa-
ten Blambang bergegas mengikuti pemimpinnya. Se-
bentar saja, tempat itu pun menjadi sunyi. Yang ting-
gal hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sang tum-
pang tindih. Sementara, bau amis yang disertai bau
anyir darah, menyebar memenuhi tempat itu.
**** 3 Seorang pemuda tampan mengenakan jubah ber-
warna putih, tengah melangkah diiringi hembusan
angin pagi. Jubah panjangnya, berkibar dipermainkan
angin. Rambutnya yang jatuh di bahu, bergoyang
mengikuti ayunan kakinya.
Menilik gerak-gerik maupun ayunan langkahnya
yang ringan dan mantap, jelas kalau pemuda tampan
itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya yang ta-
jam, menyiratkan perbawa dan kekuatan hebat. Apa-
lagi jika orang melihat gagang pedang yang menyembul
di balik bahunya. Jelas sudah kalau pemuda tampan itu
memang seorang tokoh rimba persilatan.
Melihat ciri-ciri maupun Pedang Naga Langit yang ter-
sampir di punggung, sudah dapat ditebak kalau pe-
muda itu pasti Panji yang lebih dikenal Pendekar Naga
Putih. Ketika tiba pada sebuah tepi sungai, Panji meng-
hentikan langkahnya sejenak. Pandangannya segera
beredar ke sekeliling tempat itu. Pendekar Naga Putih teringat akan tugas yang
diberikan Raja Obat, sehingga terpaksa harus berpisah, setelah berhasil
meloloskan diri
dari tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka.
Memang, Raja Obat menginginkan Panji agar menyelidiki
tokoh yang mengiriskan itu. Dan tugas itu telah disang-
gupinya. Raja Obat sendiri akan menghubungi tokoh-tokoh go-
longan putih lain, karena kehadiran tokoh sesat itu jelas merupakan ancaman bagi
golongan putih. Dan Raja
Obat berniat mengadakan pertemuan sehubungan
dengan munculnya Malaikat Gerbang Neraka (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang pertemuan Pendekar Naga Pu-
tih dan Raja Obat, silakan mengikuti episode "Malaikat Gerbang Neraka").
"Hm.... Apa sebenarnya yang tengah direncanakan
para tokoh golongan sesat itu" Rasanya tidak mung-
kin kalau hanya sekadar menguasai dunia persilatan sa-
ja. Aku harus mencari keterangan tentang rencana me-
reka yang sebenarnya," gumam Panji menanamkan tekad dalam hati.
Setelah mengambil keputusan demikian, Pendekar Na-
ga Putih pun mengayun langkahnya. Sungai lebar yang
membentang di depan, sama sekali tidak menghalangi ge-
raknya. Dengan bertumpu pada permukaan batu-batu
yang menyembul di permukaan air, pemuda itu menyebe-
rangi aliran sungai tanpa kesulitan.
Bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-
main di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih berloncatan
menuju seberang sungai. Dalam beberapa kejapan mata sa-
ja, tubuhnya sudah tiba di seberang sana.
Tanpa terburu-buru, pendekar muda itu melanjutkan
perjalanannya menyusuri dataran berumput tebal. Panji
mengerutkan keningnya ketika tiba pada sebuah jalan le-
bar. Tampak orang berbondong-bondong tengah menuju
ke arahnya. Kalau saja Panji tidak melihat raut wajah mereka yang
ketakutan dan juga buntalan-buntalan besar di bahu me-
reka, tentu tidak akan mengambil peduli. Namun karena
tingkah laku mereka demikian menarik perhatian, tentu saja pemuda itu pun
menjadi ingin mengetahuinya.
Ketika rombongan orang yang mirip pengungsi itu lewat
di sampingnya, Panji bergegas merendengi salah seorang di antara mereka.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku tahu" Hendak ke manakah
tujuan kalian sebenarnya" Dan mengapa terlihat begitu terburu-buru?" tanya Panji
sambil mengiringi langkah kaki salah seorang dan mereka yang berusia sekitar
lima puluh tahun lebih.
"Kau sendiri, hendak menuju ke manakah, Anak Mu-
da?" tanya laki-laki itu balik bertanya.
Orang itu menatap wajah dan sekujur tubuh Pendekar
Naga Putih. Keningnya terlihat berkerut ketika sepasang matanya tertumbuk pada
gagang pedang di punggung pemuda itu. Jelas, sepasang mata itu menyiratkan rasa
ti- dak suka melihat gagang pedang yang tersembul di balik
bahu pemuda itu.
"Maaf, Paman. Kebetulan aku hendak menuju ke arah
yang kalian tinggalkan. Jadi, aku ingin mengetahui
apa yang tengah terjadi di desa depan sana?" s a h u t P a n j i s a m b i l m e
n u d i n g ke belakang.
"Hm.... Kalau ingin mendapat celaka, pergilah ke sa-na. Di depan sana, bukan
sebuah desa seperti yang kau
kira. Tapi, sebuah kota kadipaten. Dan tempat itu sekarang telah menjadi neraka!
Empat orang laki-laki berwatak seperti iblis, telah mengamuk dan menguasai
Kadipaten Blambang. Tak lama setelah seluruh kota dikuasai, da-
tang serombongan orang berkuda yang mungkin meru-
pakan pengikutnya. Dan ternyata rombongan orang itu
lebih jahat lagi. Mereka merampok dan mengganggu
anak gadis serta istri orang. Siapa saja yang melawan,
dibunuh tanpa ampun. Itulah sebabnya, mengapa kami
para penduduk kadipaten hendak mengungsi dan men-
cari tempat lain yang lebih aman," jelas laki-laki setengah baya itu tanpa
menghentikan langkah sedikit pun.
"Apakah Paman tidak bisa mengenali, siapa adanya
orang-orang itu" Dan ke mana perginya penguasa Kadipa-
ten Blambang" Bukankah Gusti Adipati memiliki banyak
prajurit tangguh" Mengapa mereka tidak melakukan per-
lawanan?" tanya Panji lagi merasa belum puas atas keterangan orang itu.
"Hm.... Apakah kau tidak tahu, hampir sebagian prajurit pilihan telah dikerahkan
untuk menumpas ge-
rombolan perampok yang mengacau Desa Batu
Apung. Nah, tak lama setelah kepergian para prajurit yang dipimpin perwira
Pragala, datanglah keempat manusia
iblis itu. Mereka mengamuk dan membunuhi seluruh pra-
jurit yang mencoba melawan. Bahkan tiga orang jagoan
kadipaten pun, kabarnya tak mampu membendung amukan
mereka. Sampai-sampai Gusti Adipati sendiri harus tun-
duk di bawah kekuasaan keempat orang itu," tutur laki-laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu menghentikan ceritanya
sejenak. Di matanya, tampak memancar sinar ketakutan.
Rupanya, peristiwa di Kadipaten Blambang sangat memu-
kul batinnya. Betapa tidak" Anak gadisnya telah diperko-sa anggota perampok,
lalu dibunuh! "Karena tidak ada lagi yang dapat diharapkan un-
tuk melindungi keselamatan kami, maka para penduduk
yang masih selamat bergegas meninggalkan kota kadipa-
ten. Kalau boleh kunasihatkan, Anak Muda! Jika masih
menyayangi nyawamu, sebaiknya tinggalkanlah tempat
ini. Urungkan saja niatmu untuk melihat tempat yang kini telah menjadi sarang
manusia iblis itu," lanjut lelaki setengah baya itu sambil menasihati Panji.
Kemudian dia bergegas menyusul rombongannya.
Setelah merasa kalau keterangan yang didapat cu-
kup lengkap, Panji pun menghentikan langkahnya. Di-
biarkannya lelaki setengah baya itu melangkah terburu-
buru menyusul kawan-kawannya yang lain.
"Hm.... Orang-orang yang menguasai Kadipaten
Blambang sudah hampir pasti para pengikut Malaikat Ger-
bang Neraka. Tahulah aku sekarang, mereka pasti bukan
hanya sekadar ingin menguasai kadipaten itu. Tapi,
mungkin saja tengah merencanakan sesuatu yang lebih
besar lagi," gumam Panji sambil melangkah menyusuri jalan lebar yang berhubungan
langsung dengan Kota
Kadipaten Blambang. "Aku harus menyelidikinya."
Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh
Panji pun segera berkelebat cepat menuju Kota Kadipa-
ten Blambang. Pemuda itu sengaja mengambil jalan mela-
lui hutan kecil agar tidak berpapasan dengan para pen-
gungsi ataupun gerombolan pengacau. Masalahnya,
bukan tidak mungkin kalau para pengacau itu akan
mengadakan pembersihan di sekitar daerah ini.
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Naga Putih menyelinap di balik semak-
semak ketika tiba di gerbang sebelah Barat. Tampak
beberapa belas orang tengah berjaga-jaga di sana.
Panji memutar otaknya untuk mencari jalan agar
dapat memasuki kota kadipaten tanpa harus menga-
lami kesulitan. Karena tidak juga menemukan jalan
masuk, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk me-
nyelidiki kota pada waktu malam. Hanya kegelapan
malamlah yang diharapkan dapat membantunya.
*** Saat itu, kegelapan sudah menyelimuti permukaan
Kota Kadipaten Blambang. Tampak sesosok bayangan
putih melesat melewati tempat-tempat sunyi dan gelap.
Melihat dari sikapnya, jelas kalau kedatangannya tidak
ingin diketahui orang.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang telah menca-
pai titik kesempurnaan, sosok bayangan putih itu
bergerak cepat di atas rumah-rumah penduduk. Kare-
na gerakannya sangat cepat dan hanya merupakan ke-
lebatan bayangan, maka tak seorang pun yang merasa
tertarik. Apalagi ia selalu bergerak di tempat-tempat yang terlindung kegelapan.
Maka sosok tubuh itu tidak sampai terlihat dari bawah.
Tak lama kemudian, sosok bayangan putih itu terlihat
menghentikan gerakannya. Tubuhnya direndahkan un-
tuk mengamati sebuah bangunan megah yang jelas me-
rupakan tempat kediaman Adipati Jala Tungga.
Dengan mengandalkan pancaran cahaya obor
yang terpancang di depan bangunan megah itu,
matanya melihat belasan sosok tubuh tengah hilir-
mudik berjaga-jaga di depan gerbang.
Sosok bayangan putih itu kemudian melayang tu-
run ketika beberapa orang penjaga tampak meninggalkan
tempat itu untuk berkeliling. Maka kesempatan itu pun
dipergunakannya untuk membungkam seorang penjaga
yang kebetulan memisahkan diri dari kawan-kawannya.
Tanpa mengalami kesulitan, dibekuknya penjaga yang
tengah merapat ke semak-semak itu.
"Cepat katakan, siapa saja yang saat ini mendiami
bangunan besar itu! Jawab kalau tidak ingin melayat
ke akhirat!" ancam bayangan putih yang ternyata
Pendekar Naga Putih, setelah menyeret orang itu ke
semak-semak yang letaknya cukup jauh dari pintu ger-
bang. Wajah orang itu pucat seperti mayat ketika melihat so-
sok tubuh bersinar putih keperakan menyergapnya. Kalau
saja Pendekar Naga Putih tidak menyangganya, pastilah tubuh orang itu sudah
melorot jatuh. Memang, kedua lutut
orang itu terasa lemas bagaikan tak bertulang.
"Cepat jawab! Atau kau memang telah rindu dengan
api neraka!" desis Panji ketika orang itu belum juga bisa menjawab
pertanyaannya. "Oh..., eh...! Datuk... Panglima Sesat, Memedi Ka-
rang Api..., Raja Iblis Baju Merah, dan.... Kuntilanak Bukit
Mandau.... Mereka... itulah yang berada dalam gedung," jawab lelaki itu dengan
suara terpatah-patah.
"Hm.... Apakah orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka ada bersama mereka?"
tanya Panji lagi.
"Tidak.... Pemimpin Agung kami belum datang," sahut orang itu lagi dengan suara
semakin lemah. "Bagaimana dengan Tengkorak Hutan Jati dan Ga-
ruda Mata Satu" Apakah keduanya tidak berada di tempat
ini?" "Ya, mereka juga di dalam gedung...."
"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah di sini,"
ucap Panji, langsung melancarkan totokan pelumpuh.
Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu pun melorot jatuh dalam keadaan pingsan.
Setelah menyembunyikan sosok
tubuh itu di semak yang tersembunyi, tubuh Panji pun segera melesat menuju
tembok samping bangunan megah
itu. Yakin kalau dirinya tidak terlihat oleh seorang pun, Panji segera menjejak
tanah. Saat itu juga tubuhnya langsung
melambung melewati tembok setinggi dua tombak. Begi-
tu kakinya mendarat di halaman samping gedung, pemuda
itu kembali melesat melewati taman yang terletak di
samping gedung itu.
Malang! Baru saja pemuda itu hendak menyelinap di
balik sebatang pohon, sesosok tubuh memergoki nya!
"Hei, berhenti...!" seru sosok tinggi kurus yang langsung melesat mengejar
Panji. "Celaka...! Bukankah orang itu yang berjuluk
Tengkorak Hutan Jati...!Hm.... Aku harus se-
gera membungkamnya," gumam Panji yang merasa ter-
kejut ketika dapat mengenali orang itu.
Panji merapatkan tubuhnya dengan batang pohon
sambil menanti kedatangan Tengkorak Hutan Jati.
Dan begitu sosok tubuh tinggi kurus itu semakin men-
dekati tempatnya, tubuh pemuda itu langsung melesat
dan melancarkan serangan maut!
Bettt...! "Aaakh...!"
Tengkorak Hutan Jati berseru kaget melihat da-
tangnya serangan dahsyat itu. Cepat tubuhnya digeser ke-samping sambil mengirim
serangan balasan dengan jurus
'Cakar Penghancur Tulang'nya.
Namun, yang kali ini dihadapi adalah Pendekar Naga
Pedang Angin Berbisik 19 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Jodoh Rajawali 10
RAHASIA PEDANG NAGA LANGIT (Lanjutan : Malaikat Gerbang Neraka)
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
Rahasia Pedang Naga Langit
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Bakar...! Ayo, musnahkan seluruh isi desa
ini...!" Salah seorang dari tiga wanita cantik yang berada
di atas punggung kuda tampak berteriak-teriak membe-
ri perintah. Wajahnya yang cantik nampak berseri me-
nyaksikan pemandangan di depannya. Sepasang ma-
tanya yang indah, menyiratkan kekejaman yang men-
gerikan. Sedangkan puluhan orang laki-laki berwajah ben-
gis yang juga menunggang kuda, berlarian menyerbu ru-
mah-rumah penduduk Desa Batu Apung. Beberapa di
antaranya memegang obor menyala di tangan.
"Heaaa....!"
Sambil berteriak-teriak, gerombolan laki-laki berwa-
jah bengis itu melemparkan obor-obor ke atap rumah
penduduk. Dalam sekejap saja, api pun berkobar melalap
beberapa rumah.
"Tolong...! Tolooong...!"
Para penghuni rumah berlarian keluar sambil berte-
riak-teriak ketakutan. Namun begitu melewati pintu ru-
mah, gerombolan penunggang kuda berwajah bengis itu
langsung menyambut dengan senjata.
"Mampus kau...!" bentak salah seorang gerombolan itu sambil mengibaskan golok
panjangnya. Brettt... brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika mata golok
laki-laki kasar itu merobek tubuh beberapa orang pen-
duduk yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
orang-orang malang itu ambruk bermandikan darah se-
gar. Malam yang seharusnya hening, kini menjadi ramai
oleh teriakan-teriakan menyayat penduduk Desa Batu
Apung. Mereka berlarian ke sana kemari tak tentu arah.
Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semua-
nya berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tak ada
lagi harta yang sempat dibawa. Jangankan harta.
Nyawa pun seperti tak luput dari incaran para peram-
pok itu. Kekejaman yang dilakukan gerombolan itu tentu
saja semakin membuat para penduduk Desa Batu
Apung semakin kalang-kabut. Sadarlah mereka kalau
orang-orang itu adalah gerombolan perampok kejam
dan tak kenal ampun.
"Biadab...! Kalian lebih patut menjadi penghuni neraka! Di sanalah tempat kalian
bersama segala macam
iblis dan dedemit!" maki seorang laki-laki setengah baya yang wajahnya ditumbuhi
brewok. Dengan kemarahan meluap-luap, golok di tangannya diayunkan.
Namun, kemarahan laki-laki brewok itu malah se-
makin membuat para perampok tertawa puas. Seorang
di antaranya bergegas menyambut ayunan golok yang
mengarah ke tubuhnya.
Tranggg...! Terdengar benturan nyaring ketika dua batang
senjata bertemu. Namun, laki-laki berwajah brewok itu
rupanya berkepandaian juga. Begitu goloknya terben-
tur, secepat itu pula arah sambarannya diputar menggu-
nakan tenaga benturan tadi.
Wuttt! Brettt! "Aaakh...!"
Sambaran golok yang tak terduga itu membuat si pe-
rampok menjerit ngeri. Karena, mata golok laki-laki brewok itu telah merobek
kulit tubuhnya. Maka tanpa dapat
dicegah lagi, tubuhnya ambruk dalam keadaan tewas!
"Bangsat! Rupanya kau cukup berisi. Pantas saja
berani bertingkah!" bentak salah seorang perampok
lainnya. Dia sempat terkejut melihat tubuh kawannya tewas
akibat sambaran pedang laki-laki brewok itu. Maka
dengan wajah geram, empat orang rekannya diisya-
ratkan untuk mengeroyok laki-laki brewok itu. Dalam
sekejap saja, laki-laki brewok itu sudah terkurung oleh lima orang gerombolan
perampok. "Majulah kalian, Manusia-Manusia Biadab! Aku,
Galung tidak ,akan menyerah begitu saja!" tantang laki-laki brewok yang mengaku
bernama Galung, tanpa
rasa gentar sedikit pun.
Wuttt... wuttt...!
Galung memutar-mutar golok untuk melindungi tu-
buhnya. Sadar kalau tidak mungkin bisa meloloskan di-
ri dari kematian, maka tekadnya pun semakin bulat. Be-
berapa orang dari para perampok itu harus dibunuh un-
tuk menebus nyawanya.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh kelima orang pe-
rampok itu berloncatan menyerbu Galung. Senjata mere-
ka langsung saja meluncur, mengancam lima bagian tu-
buh laki-laki gemuk brewok itu.
Namun tekad membaja yang tertanam di hati Ga-
lung sudah demikian kuat. Sehingga, tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya.
Maka begitu lima batang senjata meluruk deras ke arahnya, laki-laki brewok itu
menggeser tubuh sebisa mungkin untuk menghindari sambaran
senjata lawan. Sayang, kepandaian yang dimiliki kelima orang pe-
rampok itu cukup lumayan. Apalagi kali ini dengan cara
keroyokan. Maka, tentu saja Galung menjadi kerepotan.
Sehingga, dalam beberapa jurus saja tubuh laki-laki
brewok itu sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata
pengeroyoknva. Brettt.... Crattt!
"Aaargh.,.!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kese-
puluh, Galung tidak mampu menghindar lagi dari te-
basan dua batang pedang lawan. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya pun terjungkal dan roboh mandi darah. Setelah berkelojotan
sesaat, leher laki-laki brewok itu pun terkulai. Tewas!
Namun, kelima orang perampok itu sepertinya
sangat mendendam kepada Galung. Meskipun laki-laki
brewok itu telah tewas, tubuhnya masih juga dicincang
dengan bengis! Benar-benar keji kelakuan kelima
orang perampok itu. Jelas, hati mereka benar-benar
telah mati dan tanpa perasaan.
Sementara itu, tiga orang wanita cantik yang jelas
merupakan pimpinan para perampok, kembali ber-
teriak memberi perintah.
"Ayo, cepat...! Kita harus segera meninggalkan
desa ini! Angkut semua barang berharga yang mereka
miliki!" teriak salah seorang dari ketiga wanita cantik itu dengan suara nyaring
dan lantang. Puluhan laki-laki berwajah bengis yang masing-
masing sudah menggondol buntalan berisi harta ram-
pokan itu bergegas melompat ke atas punggung kuda.
Namun sebelum sempat meninggalkan Desa Batu
Apung, terdengar bentakan yang disusul berloncatan
nya beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan
mereka. "Mau lari ke mana kalian, Manusia-manusia Bia-
dab"! Huh! Jangan harap dapat pergi begitu saja dari
desa ini!" ancam seorang laki-laki tinggi kurus, namun memiliki sikap gagah dan
jantan. Sedangkan di belakang laki-laki tinggi kurus itu,
tampak belasan sosok tubuh bersenjata terhunus.
"Samilaga! Jangan biarkan mereka meninggalkan
desa kita seenak perutnya!"
Terdengar seruan keras yang diiringi suara derap
kaki kuda. Tak lama kemudian, tampak seorang laki-
laki berusia sekitar lima puluh lima tahun di atas
punggung kuda. Dia bergerak cepat mendatangi tempat
itu. Melihat sikapnya yang berwibawa, jelas kalau laki-
laki separuh baya itu merupakan orang terpandang di
Desa Batu Apung.
Sementara laki-laki tinggi kurus yang dipanggil
Samilaga itu menolehkan kepala ke arah asal seruan
nyaring tadi. Wajahnya tampak berseri begitu mengenali
orang yang datang menunggang kuda hitam itu.
"Ki Wanareja...!" seru Samilaga dengan nada
gembira. Bergegas disambutnya kedatangan lelaki penung-
gang kuda hitam yang ternyata bernama Ki Wanareja,
penuh rasa hormat. Melihat dari sikap yang ditunjuk-
kan Samilaga, jelas kalau Ki Wanareja merupakan ata-
sannya. Sikap hormat yang ditunjukkan Samilaga tentu
saja tidak berlebihan. Memang, Ki Wanareja adalah Ke-
pala Desa Batu Apung. Sedangkan ia sendiri sebagai
kepala keamanan.
Kedatangan Ki Wanareja tentu saja membuat hati
Samilaga bertambah lega Sebab, kepala desa itu telah
beberapa hari pergi menghadap Adipati Blambang ko-
ta kadipaten. Sehingga, kehadirannya memang sangat
tepat pada saat yang diperlukan.
Namun bukan hanya Samilaga saja yang merasa
lega. Bahkan belasan orang berseragam hitam yang
merupakan anggota keamanan Desa Batu Apung
bertambah keberaniannya. Maka rasa kegentaran terha-
dap banyaknya anggota perampok, seketika lenyap.
Tapi ketiga wanita cantik yang memimpin gerombo-
lan perampok itu ternyata tidak merasa khawatir. Malah
salah seorang yang memakai pakaian serba kuning mem-
perdengarkan tawanya yang merdu dan nyaring.
"Ha ha ha...! Untunglah kau cepat datang, Wanareja.
Jadi kami tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Bagaimana kabar Adipati
Tunggul Wulung" Bukankah kau ba-
ru saja menghadap adipati tolol itu?" kata wanita cantik itu, bernada mengejek.
Melihat dari cara berbicaranya, jelas wanita itu telah cukup mengenal Kepala
Desa Batu Apung. "Hm.... Kiranya Tiga Dewi Pulau Setan yang da-
tang berkunjung ke desaku ini. Apa yang telah
membuat kalian sampai jauh-jauh ke sini" Atau kalian sudah tidak kerasan lagi
tinggal di tempat yang me-nyeramkan itu?" sahut Ki Wanareja. Suaranya tetap
tenang, dan tanpa hawa amarah.
"Hik hik hik.... Bagus kau masih mengenali kami,
Wanareja. Dan kuharap, kau pun tidak terlalu pelit
memberikan hartamu sebelum kami meninggalkan de-
sa kotor ini," timpal wanita cantik yang mengenakan pakaian ungu.
Dia memiliki lesung pipit, sehingga tampak sema-
kin menambah kemanisannya ketika tersenyum. Sayang,
sinar mata yang dimilikinya tampak demikian sayu.
Sepertinya mengandung undangan bercinta. Sehing-
ga sekali pandang saja, orang sudah dapat menilai
kalau dia bukanlah wanita baik-baik.
"Hm.... Tentu saja aku suka memberikannya kepada
kalian. Hanya saja, aku ragu. Apakah kalian akan sang-
gup melangkahi mayatku dulu?" sahut Ki Wanareja
sambil menyunggingkan senyum tenang.
Tentu saja ucapan yang lebih tepat sebuah tan-
tangan, membuat wajah ketiga wanita cantik itu
menjadi merah. Dengan sinar mata bengis, wanita
yang mengenakan pakaian serba kuning, mengibaskan
lengan kanannya ke depan.
"Anak-anak! Habisi orang-orang itu. Biar kakek
peot yang sombong ini menjadi bagianku," perintah
wanita cantik berpakaian serba kuning dengan suara
nyaring. Setelah memberi perintah, tubuh ramping itu pun
melayang turun. Kemudian, dia hinggap sejauh satu
tombak di hadapan Ki Wanareja. Gerakannya indah, se-
hingga membuat Ki Wanareja terpukau.
"Bagus...!" puji Ki Wanareja.
Mau tidak mau, dia menjadi terkejut juga melihat
kehebatan ilmu meringankan tubuh calon lawannya.
Meskipun telah lama mendengar kalau ilmu meringankan
tubuh Tiga Dewi Pulau Setan cukup tinggi, namun ia
sama sekali tidak menduga akan sehebat itu. Tentu sa-
ja kenyataan ini membuatnya harus mengambil sikap le-
bih berhati- hati dalam menghadapi gadis-gadis cantik
yang terlihat lemah-lembut itu.
"Jangan cuma bengong seperti ayam sakit begitu,
Wanareja. Lebih baik bersiap-siaplah. Agar kematianmu
bisa terasa lebih nikmat," ujar wanita cantik itu dengan suara bengis.
Namun, meskipun ucapan gadis berpakaian kuning
itu terdengar ketus, tapi bibirnya yang segar tampak
mengembangkan senyum manis.
Namun tidak demikian halnya Ki Wanareja. la
yang telah cukup mengenal banyak tokoh rimba
persilatan, tentu saja tidak merasa aneh atas sikap
wanita cantik itu. Memang tidak salah apa yang telah didengarnya. Justru pada
saat kemarahan tokoh cantik Pu-
lau Setan itu semakin memuncak, maka akan semakin
murahlah senyumnya diobral.
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun demikian, di balik senyuman yang semakin
manis itu, ternyata tersembunyi kekejaman yang me-
ngerikan!. Sehingga, bagi para tokoh persilatan yang telah mengenal perangainya
akan semakin ciut nyalinya.
Melihat senyum dara berpakaian serba kuning se-
makin bertambah manis, hati Ki Wanareja seketika berge-
tar tenang. Cepat ia melompat turun dari punggung ku-
danya. Memang, selain memiliki kepandaian ilmu me-
ringankan tubuh yang tinggi, kepandaian Tiga Dewi Pulau Setan dalam permainan
senjata beracun pun sudah
sangat terkenal. Tentu saja ingatan itu membuatnya
semakin berhati-hati.
Dan apa yang diduga Ki Wanareja ternyata cukup be-
ralasan. Tepat pada saat tubuhnya di udara, dara
cantik berpakaian serba kuning tampak mengibaskan
tangan ke arahnya.
Wuttt...! Serangkum angin lembut mengiringi luncuran pul u-
han jarum beracun. Sasarannya, Ki Wanareja.
Untungnya lelaki setengah baya itu cepat mencapai
tanah, dan langsung bersalto beberapa kali di udara.
Sehingga, jarum-jarum beracun yang mematikan itu
pun tidak sampai menghunjam tubuhnya. Hanya sa-
ja, kudanya harus rela jadi korban sasaran senjata ra-
hasia itu. "Gila! Wanita cantik itu benar-benar tidak berjantung!"
desis Ki Wanareja sambil mengusap peluh dingin yang
membasahi keningnya. Ngeri juga hatinya menyaksikan
kuda tunggangannya kontan menggelepar tewas dalam
keadaan tubuh hangus bagai terbakar.
"Hik hik hik.... Kau terkejut, Tua Bangka Peot?" ejek wanita cantik itu, sambil
tertawa bagai iblis. Sepertinya, kematian kuda itu hanya merupakan lelucon
yang menggelitik perutnya.
"Jangan keburu sombong dulu, Iblis Betina! Kelak kau akan merasakan tajamnya
sepasang golokku ini!" sahut Ki Wanareja tanpa memperlihatkan kegentaran.
"Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kehebatan sepasang golok bututmu itu?"
tantang dara cantik berpakaian serba kuning itu, sinis.
Usai berkata demikian, tubuhnya yang ramping itu
berkelebat menerjang Kepala Desa Batu Apung.
"Haittt ..!"
Ki Wanareja tentu saja tidak ingin tubuhnya di-
jadikan sasaran pukulan bertangan keji. Maka pada saat
lengan halus itu hendak mencengkeram lehernya, Ki
Wanareja bergerak menggeser ke samping. Gerakan itu
masih diiringi tebasan golok di tangan kanannya.
Wuuut...! Sambaran yang dilancarkan Ki Wanareja ternyata
cukup cepat. Bahkan meskipun tebasan pertamanya
dapat digagalkan lawan, lelaki setengah baya itu masih dapat menyusuli dengan
serangan berikutnya.
"Heaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Ki Wanareja
berkelebat disertai sambaran sepasang goloknya. Cepat
dan mantap sekali gerakannya. Sehingga mau tidak
mau, dara berbaju kuning yang menjadi lawannya ber-
gerak mundur. Meskipun serangan-serangannya telah membuat
lawan terdesak, namun Ki Wanareja tidak mau terpancing
amarahnya. Tebasan-tebasan yang dilakukannya pun,
tetap terarah tepat. Bahkan terkadang masih ditam-
bah dengan tendangan-tendangan kilat yang menda-
dak. "Yeaaat..!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh,
dara berpakaian serba kuning itu menjadi penasaran!
Sambil berteriak melengking, tubuhnya berkelebat ce-
pat dan menyelinap di antara sambaran golok lawan.
Sedangkan sepasang tangannya meluncur cepat den-
gan cengkeraman-cengkeraman yang menebarkan
bau amis. Wuuut.... Wuuut...!
Bukan main terperanjatnya hati Ki Wanareja
melihat serangan yang menimbulkan hawa beracun
itu. Cepat tubuhnya dilempar hingga satu tombak ke
belakang. Whusss...! "Akhhh...!"
Sayang lemparan tubuh yang dilakukan Ki Wana-
reja masih kalah cepat dengan gerakan lawan. Se-
hingga, tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya siap men-
jadi sasaran pukulan lawan.
Bukkk...! Ki Wanareja menjerit ketika tubuhnya terbanting
ambruk di atas tanah. Pukulan dara berpakaian kuning
itu tepat menghantam dadanya. Darah kental berwar-
na kehitaman, tampak mengalir dan mulutnya. Wajah-
nya pun perlahan-lahan berubah kehijauan.
"Hekhhh.... Hekhhh...."
Dan sungguh aneh akibat pukulan itu.
Bagaikan orang gila, Ki Wanareja mencekik lehernya
sendiri. Pengaruh racun yang memasuki tubuhnya, terasa
bagai hawa panas tertelan olehnya. Sehingga, kerongkongannya terasa kering
kerontang. Samilaga yang saat itu juga tengah bertarung de-
ngan para anggota perampok, cepat menoleh. Namun,
wajahnya kontan memucat. Bergegas lelaki kurus itu
melompat ke arah kepala desanya yang seperti tengah
bertarung dengan diri sendiri.
"Ki...! Kau..., kau...."
Samilaga tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
Bahkan dia langsung melompat mundur begitu melihat
keadaan Ki Wanareja yang mengerikan itu.
Meskipun dalam keadaan sekarat seperti itu, ter-
nyata Ki Wanareja masih sempat mendengar teriakan
Samilaga. Maka, kepalanya pun berpaling cepat ke
samping. Samilaga yang menjadi tangan kanan Ki Wanareja,
kembali melompat mundur melihat tatapan mata kepala
desa itu. Memang, sepasang mata Ki Wanareja berubah
menjadi liar. Bahkan otaknya tak lagi menunjukkan ke-
warasan. Jelas, orang nomor satu di Desa Batu Apung
itu telah menjadi gila, karena rasa sakit dan penderi-
taan yang menimpa.
"Hik hik hik.... Hayo lumatkan dia! Hancurkan sa-
ja tubuhnya!"
Dara berpakaian serba kuning yang merupakan
salah seorang dan Tiga Dewi Pulau Setan, berteriak
memerintah kepada Ki Wanareja untuk menerkam Sa-
milaga. Tentu saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut.
Dengan penuh amarah, Samilaga menolehkan
kepala ke arah dara berbaju kuning itu. Sepasang ma-
tanya tampak menyiratkan luka yang menerbitkan
dendam. "Iblis keji! Kau benar-benar bukan manusia! Kau se-pantasnya tidak hidup di
dunia ini. Tempat yang cocok
buat orang sepertimu hanyalah neraka!" maki
Samilaga dengan sorot mata penuh dendam.
Dan tanpa basa-basi lagi, tubuh lelaki tinggi kurus
itu pun langsung melesat disertai tebasan goloknya.
Wuuut...! Sambaran golok di tangan Samilaga, sama sekali ti-
dak membuat dara berpakaian kuning itu kewalahan.
Dengan gerakan yang sangat meremehkan, dia bergeser
ke kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.
Zebbb.... Desss...!
Tendangan dara berpakaian kuning yang tak
terduga itu telak menghajar lambung Samilaga. Maka, tu-
buh tinggi kurus itu pun langsung terpental deras di-
iringi jerit kesakitannya.
Sebenarnya, kalau Samilaga tidak terlalu termakan
amarahnya, belum tentu dapat begitu mudah dijatuh-
kan lawan. Sayang, kemarahan telah membuatnya
mata gelap. Sehingga, tendangan kilat itu tidak bisa
dihindarinya lagi. Memang, yang terpikir saat itu
hanyalah membunuh, dan mencincang tubuh lawan
secepatnya. Tentu saja hal itu membuat kewaspadaan-
nya hilang. Sehingga, kerugianlah yang harus diterima.
Dara cantik berpakaian serba kuning itu ternyata ti-
dak membiarkan Samilaga begitu saja. Dengan bibir me-
nyunggingkan senyum manis, dara cantik itu melang-
kahkan kakinya mendekati tubuh lawan yang hendak
bergerak bangkit.
"Hik hik hik...! Kau boleh menyusulnya kalau
memang suka...," ujar dara berpakaian kuning itu, disertai kerdipan matanya.
Kemudian, tangannya bergerak. Maka seketika
bertebaran semacam bulu-bulu ke seluruh tubuh Samila-
ga. Kejadian yang menimpa Samilaga setelah tubuhnya
terserang bulu-bulu halus, memang mengerikan sekali.
Bagaikan orang gila, lelaki tinggi kurus itu mulai mendesis-desis sambil
menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepa-
sang matanya membelalak. Seluruh kulit muka dan
tubuhnya, merah bagai terpanggang api.
"Uhhh.... Uhhh.... Uhhh...."
Makin lama, suara mendesis yang keluar dari
mulut Samilaga semakin cepat dan keras. Kemudian, ia
mulai menggaruk satu bagian tubuhnya. Setelah itu ber-pindah ke lain tempat.
Begitu seterusnya, seluruh tubuh dan wajahnya kebagian.
Perbuatan Samilaga semakin menggila. Meskipun se-
kujur kulit wajah dan tubuhnya telah terkelupas, na-
mun ia tetap saja menggaruk kuat-kuat. Sehingga, darah
segar pun mulai mengalir dari luka-luka yang ditimbul-
kan akibat garukan itu.
"Hik hik hik...! Kau lucu sekali, Lelaki Gagah. Ting-kahmu tak jauh berbeda
dengan monyet Sayang, wajahmu
jauh lebih jelek dari monyet," ejek dara berpakaian serba kuning itu sambil
memperdengarkan tawa iblisnya.
Setelah kedua orang tokoh Desa Batu Apung itu meng-
gelepar tewas, barulah rombongan perampok itu bergerak meninggalkan desa. Tak
seorang pun dari para pengawal kepala desa, ataupun penduduk yang dibiarkan
hidup. Seluruhnya tewas dibantai para pengikut Tiga Dewi Pulau
Setan. Desa Batu Apung yang semula tenang dan penuh
kedamaian, kini terlihat lengang dan sunyi. Sedang di jalan-jalan utama,
hanyalah ceceran darah dan sosok- so-
sok mayat bergelimpangan tumpang-tindih.
Rumah-rumah penduduk yang semula berjajar ra-
pi, kini tinggal puing-puing hitam. Semua yang ada di
Desa Batu Apung lenyap dalam sekejap, akibat kega-
nasan gerombolan perampok yang dikepalai Tiga Dewi
Pulau Setan. *** 2 "Kurang ajar...!"
Brakkk! Bentakan keras yang disusul suara berderak itu,
membuat beberapa orang yang duduk langsung me-
nundukkan kepala dengan wajah memucat. Mereka
seakan-akan tak berani menatap wajah laki-laki seten-
gah baya yang tengah menahan amarah bergejolak.
"Mereka benar-benar telah menginjak mukaku! Ini sudah keterlaluan, dan tidak
boleh didiamkan! Kalau hari
ini mereka sudah berani menjarah dan memusnahkan
Desa Batu Apung, bukan tidak mungkin kalau esok
atau lusa akan berani menginjak Kota Kadipaten. Dan
kalau hal itu benar-benar terjadi, hancur sudah kewi-
bawaan Kadipaten Blambang."
Kembali suara penuh kemarahan dari lelaki pendek
gemuk berkepala botak itu, menggelegar di ruang perte-
muan itu. Dia adalah Adipati Blambang. Namanya, Ja-
la Tungga. "Ampun Gusti Adipati.... Hamba kira, hal ini hanya merupakan pancingan saja.
Sengaja desa yang letaknya
paling dekat dengan kadipaten ini dimusnahkan. Dan
apabila kita mengirimkan pasukan untuk membasmi
mereka, hamba rasa akan sia-sia saja, Paduka
Gusti. Bahkan bukan tidak mungkin pada saat pra-
jurit kita dalam perjalanan menuju Desa Batu Apung,
gerombolan perampok itu akan menyerbu kadipaten.
Nah, bukankah hal itu akan lebih berbahaya lagi, Gus-
ti?" sergah salah seorang perwira.
Dia berusia lima puluh tahun. Pakaiannya tampak di-
hiasi beberapa tanda jasa. Tampaknya, pengabdiannya pa-
da Kadipaten Blambang telah cukup lama. Dan kini, kem-
bali dia duduk di tempatnya semula.
"Mengapa kau menduga demikian, Pragala" Apakah
kau pikir mereka akan dapat merebut kadipaten ini
hanya dengan lima puluh orang" Huh! Jangankan baru
lima puluh orang perampok, lima ratus orang prajurit ter-latih pun belum tentu
sanggup merebut Kota Kadipaten ini dan tanganku. Mengerti kau, Pragala?" sahut
Adipati Jala Tungga. Jelas kalau ia merasa sangat keberatan atas usul yang
diajukan perwira bernama Pragala itu.
"Maaf, Gusti Adipati. Dugaan hamba ini tentu saja di-dasari alasan kuat.
Pertama, selama ini tidak pernah ada desa-desa terdekat yang mendapatkan
gangguan perampok.
Jangankan desa terdekat. Yang letaknya agak jauh dan
kadipaten pun, tidak pernah ada gangguan. Jadi ka-
lau sekarang ini ada gerombolan perampok gila yang be-
rani mengacau desa paling dekat dengan Kadipaten
Blambang ini, jelas kalau mereka memang mempunyai niat
lain yang tersembunyi. Begitulah apa yang menjadi du-
gaan hamba, Gusti," jelas Pragala yang rupanya memiliki pandangan tertentu
sehubungan peristiwa yang menimpa Desa Batu Apung.
"Tapi sepengetahuanku, yang menjadi kepala para perampok itu adalah tiga orang
tokoh sesat yang men-
giriskan. Menurut apa yang pernah kudengar, mereka
adalah murid seorang nenek tua berwatak cabul yang
menjadi penguasa Bukit Setan. Itulah sebabnya, menga-
pa ketiga orang muridnya yang cantik-cantik itu dijulu-
ki sebagai Tiga Dewi Pulau Setan. Meskipun sangat can-
tik layaknya dewi kahyangan, namun kekejaman mereka
justru melebihi kekejaman iblis neraka. Jadi menurut
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendapat hamba, ya wajar saja. Tokoh-tokoh sesat ber-
kepandaian tinggi seperti mereka tentu saja tidak
merasa takut meski untuk mengacau Kota Kadipaten
sekalipun..!" timpal seorang laki-laki lain yang juga berpakaian seorang
perwira. Dan pendapat yang di-kemukakannya, jelas sangat bertolak belakang den-
gan pendapat Pragala.
"Nah! Bagaimana pendapatmu, Pragala..." Apa
yang diucapkan Lukanji itu, jelas lebih tepat. Dan kalau kita tetap diam diri
saja, bukan tidak mungkin esok
mereka akan datang mengacau Kota Kadipaten Blambang
ini. Sudahlah, sebaiknya, sekarang seratus orang prajurit pilihan harus
dikumpulkan. Basmi gerombolan peram-" S.4 "
pok kurang ajar itu sampai tuntas. Dan, ingat! Kau ku-
larang kembali sebelum para perampok laknat itu ber-
hasil ditumpas. Masih keberatan, Pragala...?" ujar Adipati Jala Tungga sambil
menatap wajah Pragala lekat-
lekat. "Tentu saja tidak, Gusti Adipati. Segala titah Gusti, akan hamba jalankan
sebaik-baiknya," sahut perwira berusia sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah
tenang. "Kapan kami harus berangkat, Gusti...?"
"Secepatnya. Usai persiapan, langsung bawa pasu-
kanmu ke Desa Batu Apung. Kuharap, kau dapat men-
jalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya, Pragala,"
sahut Adipati Jala Tungga dengan suara berwibawa.
"Hamba, Gusti Adipati...."
Setelah memberi hormat, Pragala pun beranjak ke-
luar dari ruang pertemuan itu. Langkahnya terlihat lebar dan mantap. Jelas,
lelaki bertubuh tegap itu merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh.
"Hamba ragu kalau dia akan dapat menjalankan tu-
gas ber at ini, Gusti...! Kata perwira berusia
empat puluh tahun yang tadi dipanggil Lukanji. Mimik
wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka kepada
Pragala. "Hm.... Apakah kau merasa lebih mampu mengem-
ban tugas ini?" sahut Adipati Jala Tungga. Nadanya seperti memperingatkan akan
ucapan bawahannya itu.
Tentu saja Lukanji yang usulnya didengar Adipati Blam-
bang tadi menjadi terkejut. Semula karena usulnya di-perhatikan, perwira itu
merasa lebih disukai ketim-
bang Pragala. Buktinya, nyata sekali kalau Adipati Jala Tungga membelanya tadi.
Tapi, dugaannya ternyata meleset. Meskipun ucapan Pragala tadi tidak disukai
sang Adipati, namun ternyata masih lebih dipercaya daripa-
da Lukanji. Dan terus terang, perwira muda itu memang
kurang begitu suka terhadap Pragala.
"Bagaimana, Lukanji" Apakah kau merasa lebih
mampu daripada Pragala?" tanya Adipati Jala Tungga lagi ketika melihat perwira
itu hanya memandanginya.
"Bukan begitu maksud hamba, Gusti Adipati. Hanya
saja, Kakang Pragala terlihat sudah cukup berumur.
Jadi, rasanya tugas yang diberikan kepadanya mung-
kin terlalu berat, Gusti," meski agak gugup, Lukanji tetap memberikan jawaban.
Sedang sepasang matanya
tampak gelisah mencari jalan keluar.
"Hm.... Jadi kau bermaksud hendak mengganti-
kannya" Begitu?" desak sang Adipati lagi. Hingga wajah Lukanji tampak semakin
gelisah. "Maaf, Gusti. Sama sekali hamba tidak bermaksud
demikian. Hamba hanya..., hanya.... Ah, lebih baik
hamba pamit dulu, Gusti. Hamba masih mempunyai
pekerjaan yang belum diselesaikan."
Dan tanpa menunggu jawaban dari junjungannya,
perwira yang mempunyai kemauan tinggi itu pun ber-
gegas meninggalkan ruangan pertemuan tanpa menoleh
lagi. Adipati Jala Tungga hanya tersenyum melihat ke-
lakuan perwira muda yang baru beberapa bulan men-
jadi pembantunya. Meskipun sang Adipati sendiri
sudah mengetahui wataknya, namun tidak terlihat
adanya sifat-sifat jelek yang ditunjukkan Lukanji. .Jadi tidak ada alasan untuk
memecat pembantunya yang
memiliki kepandaian cukup tinggi dan bisa diandalkan.
Tiga orang pengawal rahasia Adipati Jala Tungga
yang ikut hadir dalam pertemuan itu, tersenyum geli.
Mereka memang diperbolehkan mengikuti pertemuan
itu, namun tidak diperbolehkan mengutarakan penda-
pat. Ketiga orang pengawal rahasia itu bukan meru-
pakan tentara kadipaten, namun keberadaannya sa-
ngat disegani baik oleh prajurit tingkat rendah, sampai perwira kadipaten
sendiri. Memang, mereka merupakan pengawal rahasia yang bertugas melindungi
keselamatan Adipati Jala Tungga. Itulah yang menye-
babkan ketiga orang itu berada di ruang pertemuan.
Dan ketika sang Adipati sendiri mulai beranjak
meninggalkan ruang pertemuan itu, maka ketiga orang
pengawal rahasia itu pun bergegas mengikuti junjung-
annya. *** Pragala, perwira tertua di Kadipaten Blambang itu
membawa seratus orang prajurit pilihannya menuju
Desa Batu Apung. Meskipun hal itu tidak terlalu dis-
etujuinya, namun perintah junjungannya tetap dituruti.
Biar bagaimanapun dia harus mengabdikan diri pada
Kadipaten Blambang.
Sebenarnya, Pragala bukanlah orang asing dalam
dunia persilatan. Sebagai murid sebuah perguruan
yang cukup besar dan cukup terkenal dalam rimba
persilatan, maka ia pun telah banyak mengenal tokoh
rimba persilatan. Hanya saja, nama Tiga Dewi Pulau Se-
tan memang belum pernah didengarnya. Dan itu me-
mang wajar, karena ketiga orang tokoh sesat yang kabar-
nya cantik bagai seorang dewi itu jarang sekali muncul di dunia ramai. Mereka
lebih suka menyembunyikan diri di
pulau kediaman mereka. Maka kalau sampai keluar dan
melakukan perampokan, tentu ada sesuatu yang menye-
babkannya. "Hm.... Aneh-aneh saja orang-orang rimba persilatan itu. Kalau memang benar
mereka berwajah cantik bagai seorang dewi, mengapa harus merampok" Rasanya kalau
me- reka muncul di Kota Kadipaten, bukan tidak mungkin bisa mendapatkan jodoh
seorang putra adipati. Bukankah itu
lebih baik ketimbang menjadi perampok hina?" Batin Pragala tak habis mengerti
akan ulah ketiga tokoh aneh
yang dikabarkan sangat cantik itu.
Sementara, rombongan yang dibawa Pragala sudah
mulai memasuki perbatasan Desa Batu Apung. Perwira
setengah baya itu memerintahkan dengan isyarat tan-
gan agar pasukan di belakangnya memperlambat langkah.
Pragala menjalankan kudanya perlahan memeriksa
sekeliling tempat itu. Sedang pasukan di belakang-
nya berhenti dan menunggu isyarat lagi. Sementara
dua orang perwira lain yang masing-masing berusia tiga
puluh tahun dan tiga puluh lima tahun, bergerak men-
dampingi Pragala.
Dengan naluri peka, Pragala seperti bisa merasa-
kan kalau daerah di sekitar tempat itu sama sekali tidak mengandung ancaman
bahaya. Meski di sekeliling mereka rapat ditumbuhi semak-semak, namun semua itu
sama sekali tidak menimbulkan rasa tegang di hati Pra-
gala. Tak lama setelah itu, Pragala mengibaskan lengan kanannya ke depan sebagai
isyarat untuk maju. Sedang-
kan ia sendiri, terus melangkahkan kudanya perlahan di
depan. Kening perwira setengah baya itu baru berkerut keti-
ka mereka hampir tiba di mulut Desa Batu Apung.
Sepasang lengan Pragala memberi isyarat kepada para
prajuritnya untuk menyebar dan mengurung mulut de-
sa itu. Kemudian, setelah pasukan terpecah menjadi tiga kelompok, mereka pun
mulai bergerak hati-hati memasuki desa.
"Aaaa.....!"
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang memecah kete-
gangan para prajurit Kadipaten Blambang itu. Cepat ba-
gai kilat, mereka berlompatan ke arah asal jeritan tadi.
Namun, apa yang disaksikan oleh para prajurit itu be-
nar-benar membuat keberanian seketika lenyap! Di depan
mereka, tampak lima orang prajurit berkelojotan sekarat Sekujur tubuh mereka
berwarna kehijauan, dan dari mu-
lut keluar lendir yang berbau busuk.
"Gila! Hati-hati! Desa ini telah dipenuhi racun jahat! Ayo, cepat keluar...!"
Pragala yang segera saja dapat membaca apa yang te-
lah menimpa lima prajuritnya, cepat mengambil sikap.
Diperintahkannya para prajurit yang lain untuk segera keluar dari dalam desa.
Dan rasanya, Pragala tidak perlu mengulang perin-
tahnya. Memang tanpa diperintah sekalipun, para pra-
jurit yang sudah dicekam rasa ngeri itu pasti akan lari lin-tang-pukang
meninggalkan desa itu.
Dalam waktu singkat saja, puluhan orang prajurit Ka-
dipaten Blambang telah keluar dari Desa Batu Apung.
Dan kini mereka hanya berdiri menanti perintah perwira mereka.
"Bagaimana ini, Kakang" Apa yang harus kita perbuat?"
tanya salah seorang perwira kepada Pragala yang meru-
pakan pimpinan rombongan.
"Kita ambil jalan memutar melalui hutan di depan
itu...," sahut Pragala sambil melepaskan pandangannya ke sebuah mulut hutan yang
terpisah beberapa belas
tombak dari tempat mereka berdiri.
"Bukankah hal itu akan lebih berbahaya, Kakang. Apalagi, kita sama sekali belum
tahu keadaan hutan itu," salah seorang perwira bawahan Pragala, mencoba memberi
pandangannya. Jelas kalau ia sudah terpengaruh oleh kejadian
yang baru saja menimpa lima orang prajuritnya. Sehingga kedua orang perwira itu
bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil langkah berikutnya.
"Hm.... Kurasa jalan itu akan lebih baik daripada harus melewati desa yang
seluruhnya mungkin telah terce-
mar racun keji itu. Nah, menurutmu jalan mana yang le-
bih baik, Adi?" tanya Pragala meminta pendapat kedua orang pembantunya, meskipun
sebenarnya ia tidak
memberi pilihan pada kedua orang perwira itu.
"Yah.... Rasanya memang tidak ada pilihan lagi un-
tuk kita, Kakang. Dan satu-satunya jalan, memang hutan
di depan itulah yang harus kita tembus," sahut salah seorang perwira pembantu
Pragala yang memiliki tahi lalat besar di pipi sebelah Kirinya. Dia bernama
Jatalu. "Hm.... Bagaimana, Jaladra" Apakah punya jalan ke-
luar yang lebih baik?" tanya Pragala kepada perwira yang bernama Jaladra.
"Tidak, Kakang. Memang itulah satu-satunya jalan terdekat yang kita miliki saat
ini," sahut Jaladra cepat.
"Kumpulkan mereka. Kita harus keluar dari dalam hutan itu saat hari belum gelap.
Ayo kita berangkat," perintah Pragala yang segera melompat naik ke punggung
kuda, dan menggebahnya perlahan-lahan.
Rombongan prajurit Kadipaten Blambang itu pun kem-
bali bergerak. Kali ini mereka harus melewati hutan le-
bat, namun tidak terlalu besar. Sehingga, dapat dilalui tanpa harus bermalam di
dalamnya. Matahari sudah semakin naik tinggi ketika rom-
bongan yang di bawah pimpinan Pragala hampir melewati
hutan lebat itu. Mereka terus bergerak tanpa mengenal le-lah.
*** Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu tiba di
luar hutan. Namun baru saja rombongan terakhir keluar
dari dalam hutan, terdengar teriakan ngeri yang disusul ber-tumbangannya
beberapa orang prajurit
Jaladra, perwira bertubuh kekar itu, bergegas meng-
hampiri enam sosok anak buahnya yang diam tak berge-
rak. "Gila! Mereka tewas semua, Kakang. Entah apa yang menyebabkannya?" lapor
Jaladra ketika melihat Pragala sudah berdiri di sebelahnya.
"Hm.... Mereka tergigit semut merah yang mengan-
dung racun api. Kau lihat saja kulit tubuh mereka yang
melepuh bagaikan terbakar itu," sahut Pragala yang segera mengedarkan pandangan
ke tanah tempatnya berpi-
jak. "Ahhh...! Mundur...!"
Pragala yang melihat barisan semut merah yang be-
sarnya dua kali semut biasa, bergerak cepat merayap
menuju ke arah rombongan.
"Hik hik hik...! Ayo, Manis. Nikmatilah makan soremu untuk hari ini."
Tiba-tiba terdengar suara merdu yang entah dari
mana datangnya. Dan tahu-tahu saja, seorang dara
cantik bagaikan seorang dewi telah duduk mencang-
kung di atas sebatang ranting pohon yang cukup tinggi.
"Keparat! Dasar kau iblis betina keji! Turunlah kalau memang ingin membunuh
kami. Mengapa harus ber-
sembunyi dan mengandalkan binatang beracun sebagai
pelindungmu"!" tantang Pragala yang menjadi marah
sekali ketika melihat gadis cantik itu di atas cabang
pohon. "Hik hik hik.... Jangan takabur, Perwira Peot Lihatlah dirimu, apa yang kau
andalkan untuk menghadapiku"
Pasukanmu, bukan" Lalu, apa bedamu dengan aku yang
hanya mengandalkan beberapa ratus ekor semut sebagai
pelindung. Apakah itu salah?" balas wanita cantik berusia sekitar tiga puluh
tahun itu. Wanita itu mengenakan pakaian berwarna ungu. Itu-
lah sebabnya, dia berjuluk Dewi Baju Ungu. Rambutnya
yang tebal dan gemuk, tampak diikat sehelai selendang
yang juga berwarna ungu. Benar-benar seorang wanita
yang sangat cantik dan menarik!
"Bangsat! Anak-anak, hujani iblis wanita itu dengan anak panah. Cepat..!" teriak
Pragala memerintah sambil menudingkan tangan kanannya ke tempat wanita itu
duduk. Namun, sebelum para prajurit Pragala sempat me-
nyiapkan anak panah dan busurnya, tiba-tiba terdengar
suara mendengung laksana ribuan lebah mengamuk.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan-jeritan kematian yang merobek ke-
tenangan suasana sore itu. Kemudian, disusul berjatu-
hannya puluhan orang prajurit Kadipaten Blambang da-
lam keadaan tewas.
Ternyata sebelum para prajurit Kadipaten Blambang
sempat melepaskan anak panah, mereka telah dihujani
puluhan batang anak panah dari empat penjuru. Dan se-
belum yang lain sempat menyadari keadaan itu, tiba-tiba puluhan sosok tubuh
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlompatan dari balik semak-semak di sekeliling mereka.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan parau dan jerit kematian pun su-
sul menyusul ketika pertarungan besar-besaran itu tidak bisa dihindari lagi.
Puluhan orang kasar yang ternyata memang ge-
rombolan perampok di bawah pimpinan Tiga Dewi Pulau
Setan, terus mendesak prajurit kadipaten tanpa membe-
ri peluang sedikit pun. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, tentara
Kadipaten Blambang sudah lebih da-ri separuhnya yang tewas.
Jaladra dan Jatalu tengah berjuang mati-matian un-
tuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman senjata para
pengeroyok "Haiiit...!"
Sambil berseru nyaring, Jaladra melompat Setinggi bahu dan langsung mengibaskan
goloknya sekuat tenaga.
Bettt...! Brettt! Brettt!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang pengepung
yang berada di sebelah kanannya terjungkal mandi da-
rah. Namun, sebelum Jaladra sempat memperbaiki kea-
daannya, sebuah bacokan keras telah membuat tubuhnya
terhuyung dengan luka menganga di punggung.
"Aaakh...!"
Jaladra meraung merasakan sakit luar biasa pada
punggungnya. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu,
tahu-tahu saja sebuah benda halus telah menjerat leher-
nya. "Haaat ..!"
Terdengar sebuah bentakan nyaring yang dibarengi
terangkatnya tubuh Jaladra. Tentu saja kenyataan ini
membuat perwira itu semakin bertambah pucat. Saat itu
juga langsung dapat ditebak ketika keharuman yang
menebar dari selendang hijau yang melilit batang le-
hernya tercium. Dia adalah salah seorang dari Tiga
Dewi Pulau Setan, yang berjuluk Dewi Baju Hijau.
Tampak Dewi Baju Hijau yang berusia dua puluh tujuh
tahun dan memiliki paras memikat itu tengah tertawa-
tawa. Tangannya sibuk mempermainkan selendang hijau
yang ujungnya melilit di leher Jaladra.
" Hait ..!"
Tiba-tiba sambil memperdengarkan teriakan nyaring,
Dewi Baju Hijau melecutkan selendang hijaunya ke ba-
wah. Dan tentu saja gerakan selendang gadis itu membuat tubuh Jaladra meluncur
deras ke atas tanah! Dan....
Prakkk! Darah segar berhamburan ketika kepala Jaladra
terjatuh menimpa sebuah batu cadas cukup besar. Tanpa
ampun lagi, laki-laki pendek kekar itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir
dengan keadaan menge-
naskan. Sedangkan Pragala yang merasa sangat dendam ter-
hadap Dewi Baju Ungu sudah pula bertarung sengit Na-
mun, bukan main terkejutnya hati perwira setengah baya
itu ketika mendapat kenyataan kalau kepandaiannya ma-
sih berada di bawah dara jelita itu. Tentu saja kenyataan pahit itu menimbulkan
kecemasan dalam hatinya.
"Sahabat, kami datang menolong...!"
Terdengar seruan nyaring yang disusul berkelebatnya
belasan sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba
putih. Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung saja menerjunkan diri ke
dalam kancah pertempuran.
"Heaaat...!"
Salah seorang dari mereka yang dari teriakan dan ge-
rakannya jelas adalah seorang wanita, mengamuk hebat!
Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, enam
orang anggota perampok Tiga Dewi Pulau Setan telah da-
pat dirobohkannya.
Tentu saja kenyataan itu membuat Pragala menarik
napas lega. Bayangkan saja! la yang merasa sudah tidak
mempunyai harapan hidup lagi, tiba-tiba saja datang
belasan sosok jubah berpakaian serba putih yang
langsung menerjunkan
diri dalam pertempuran.
Sedangkan ia sendiri sudah dibantu seorang berpakaian
putih yang wajahnya ditumbuhi brewok.
Gerakan golok besar di tangan laki-laki brewok itu ter-
nyata sanggup membendung serangan Dewi Baju Ungu.
Maka, selamatlah nyawa Pragala dari kematian.
Tengah para perampok itu terdesak hebat, terdengar
suara siulan melengking panjang dan menggetarkan.
Sehingga pertempuran yang tengah berlangsung sengit
itu terhenti sejenak.
Siulan melengking itu, rupanya merupakan isyarat bagi
para perampok. Mendengar suara itu, Dewi Baju Hijau dan Dewi Baju Ungu serentak
memberi isyarat kembali dengan nada yang sama. Saat itu juga keduanya mening-
galkan arena pertempuran, diikuti para anggotanya.
Pragala dan orang-orang berpakaian serba putih ter-
sentak kaget Ternyata sebelum meninggalkan arena per-
tarungan, Dewi Baju Ungu sempat melepaskan Semut Ra-
cun Api yang tadi telah dimasukkannya ke dalam bum-
bung bambu. Untunglah baik Pragala maupun laki-laki brewok
yang menolongnya sempat melompat mundur. Se-
hingga, keduanya yang memang berada paling dekat
dengan Dewi Baju Ungu dapat menyelamatkan dirt dari
binatang-binatang beracun itu.
Beberapa orang prajurit yang tak sempat menghindarkan
diri, langsung menggelepar tewas dengan kulit tubuh melepuh. Tentu saja hal itu
membuat yang lain menjadi kalang-kabut!
"Ayo, cepat tinggalkan tempat celaka ini...!" seru brewok, cepat mengambil
tindakan tepat Kemudian, tu-
buhnya langsung melesat mendahului yang lain.
Mendengar seruan itu, Pragala pun tersadar dari keter-
pakuannya. Cepat diperintahkannya para prajurit untuk
segera menjauhi tempat itu.
Tanpa diperintah dua kali, sisa para prajurit Kadipa-
ten Blambang bergegas mengikuti pemimpinnya. Se-
bentar saja, tempat itu pun menjadi sunyi. Yang ting-
gal hanyalah mayat-mayat bergelimpangan sang tum-
pang tindih. Sementara, bau amis yang disertai bau
anyir darah, menyebar memenuhi tempat itu.
**** 3 Seorang pemuda tampan mengenakan jubah ber-
warna putih, tengah melangkah diiringi hembusan
angin pagi. Jubah panjangnya, berkibar dipermainkan
angin. Rambutnya yang jatuh di bahu, bergoyang
mengikuti ayunan kakinya.
Menilik gerak-gerik maupun ayunan langkahnya
yang ringan dan mantap, jelas kalau pemuda tampan
itu bukan orang sembarangan. Sorot matanya yang ta-
jam, menyiratkan perbawa dan kekuatan hebat. Apa-
lagi jika orang melihat gagang pedang yang menyembul
di balik bahunya. Jelas sudah kalau pemuda tampan itu
memang seorang tokoh rimba persilatan.
Melihat ciri-ciri maupun Pedang Naga Langit yang ter-
sampir di punggung, sudah dapat ditebak kalau pe-
muda itu pasti Panji yang lebih dikenal Pendekar Naga
Putih. Ketika tiba pada sebuah tepi sungai, Panji meng-
hentikan langkahnya sejenak. Pandangannya segera
beredar ke sekeliling tempat itu. Pendekar Naga Putih teringat akan tugas yang
diberikan Raja Obat, sehingga terpaksa harus berpisah, setelah berhasil
meloloskan diri
dari tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka.
Memang, Raja Obat menginginkan Panji agar menyelidiki
tokoh yang mengiriskan itu. Dan tugas itu telah disang-
gupinya. Raja Obat sendiri akan menghubungi tokoh-tokoh go-
longan putih lain, karena kehadiran tokoh sesat itu jelas merupakan ancaman bagi
golongan putih. Dan Raja
Obat berniat mengadakan pertemuan sehubungan
dengan munculnya Malaikat Gerbang Neraka (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang pertemuan Pendekar Naga Pu-
tih dan Raja Obat, silakan mengikuti episode "Malaikat Gerbang Neraka").
"Hm.... Apa sebenarnya yang tengah direncanakan
para tokoh golongan sesat itu" Rasanya tidak mung-
kin kalau hanya sekadar menguasai dunia persilatan sa-
ja. Aku harus mencari keterangan tentang rencana me-
reka yang sebenarnya," gumam Panji menanamkan tekad dalam hati.
Setelah mengambil keputusan demikian, Pendekar Na-
ga Putih pun mengayun langkahnya. Sungai lebar yang
membentang di depan, sama sekali tidak menghalangi ge-
raknya. Dengan bertumpu pada permukaan batu-batu
yang menyembul di permukaan air, pemuda itu menyebe-
rangi aliran sungai tanpa kesulitan.
Bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-
main di angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih berloncatan
menuju seberang sungai. Dalam beberapa kejapan mata sa-
ja, tubuhnya sudah tiba di seberang sana.
Tanpa terburu-buru, pendekar muda itu melanjutkan
perjalanannya menyusuri dataran berumput tebal. Panji
mengerutkan keningnya ketika tiba pada sebuah jalan le-
bar. Tampak orang berbondong-bondong tengah menuju
ke arahnya. Kalau saja Panji tidak melihat raut wajah mereka yang
ketakutan dan juga buntalan-buntalan besar di bahu me-
reka, tentu tidak akan mengambil peduli. Namun karena
tingkah laku mereka demikian menarik perhatian, tentu saja pemuda itu pun
menjadi ingin mengetahuinya.
Ketika rombongan orang yang mirip pengungsi itu lewat
di sampingnya, Panji bergegas merendengi salah seorang di antara mereka.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku tahu" Hendak ke manakah
tujuan kalian sebenarnya" Dan mengapa terlihat begitu terburu-buru?" tanya Panji
sambil mengiringi langkah kaki salah seorang dan mereka yang berusia sekitar
lima puluh tahun lebih.
"Kau sendiri, hendak menuju ke manakah, Anak Mu-
da?" tanya laki-laki itu balik bertanya.
Orang itu menatap wajah dan sekujur tubuh Pendekar
Naga Putih. Keningnya terlihat berkerut ketika sepasang matanya tertumbuk pada
gagang pedang di punggung pemuda itu. Jelas, sepasang mata itu menyiratkan rasa
ti- dak suka melihat gagang pedang yang tersembul di balik
bahu pemuda itu.
"Maaf, Paman. Kebetulan aku hendak menuju ke arah
yang kalian tinggalkan. Jadi, aku ingin mengetahui
apa yang tengah terjadi di desa depan sana?" s a h u t P a n j i s a m b i l m e
n u d i n g ke belakang.
"Hm.... Kalau ingin mendapat celaka, pergilah ke sa-na. Di depan sana, bukan
sebuah desa seperti yang kau
kira. Tapi, sebuah kota kadipaten. Dan tempat itu sekarang telah menjadi neraka!
Empat orang laki-laki berwatak seperti iblis, telah mengamuk dan menguasai
Kadipaten Blambang. Tak lama setelah seluruh kota dikuasai, da-
tang serombongan orang berkuda yang mungkin meru-
pakan pengikutnya. Dan ternyata rombongan orang itu
lebih jahat lagi. Mereka merampok dan mengganggu
anak gadis serta istri orang. Siapa saja yang melawan,
dibunuh tanpa ampun. Itulah sebabnya, mengapa kami
para penduduk kadipaten hendak mengungsi dan men-
cari tempat lain yang lebih aman," jelas laki-laki setengah baya itu tanpa
menghentikan langkah sedikit pun.
"Apakah Paman tidak bisa mengenali, siapa adanya
orang-orang itu" Dan ke mana perginya penguasa Kadipa-
ten Blambang" Bukankah Gusti Adipati memiliki banyak
prajurit tangguh" Mengapa mereka tidak melakukan per-
lawanan?" tanya Panji lagi merasa belum puas atas keterangan orang itu.
"Hm.... Apakah kau tidak tahu, hampir sebagian prajurit pilihan telah dikerahkan
untuk menumpas ge-
rombolan perampok yang mengacau Desa Batu
Apung. Nah, tak lama setelah kepergian para prajurit yang dipimpin perwira
Pragala, datanglah keempat manusia
iblis itu. Mereka mengamuk dan membunuhi seluruh pra-
jurit yang mencoba melawan. Bahkan tiga orang jagoan
kadipaten pun, kabarnya tak mampu membendung amukan
mereka. Sampai-sampai Gusti Adipati sendiri harus tun-
duk di bawah kekuasaan keempat orang itu," tutur laki-laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu menghentikan ceritanya
sejenak. Di matanya, tampak memancar sinar ketakutan.
Rupanya, peristiwa di Kadipaten Blambang sangat memu-
kul batinnya. Betapa tidak" Anak gadisnya telah diperko-sa anggota perampok,
lalu dibunuh! "Karena tidak ada lagi yang dapat diharapkan un-
tuk melindungi keselamatan kami, maka para penduduk
yang masih selamat bergegas meninggalkan kota kadipa-
ten. Kalau boleh kunasihatkan, Anak Muda! Jika masih
menyayangi nyawamu, sebaiknya tinggalkanlah tempat
ini. Urungkan saja niatmu untuk melihat tempat yang kini telah menjadi sarang
manusia iblis itu," lanjut lelaki setengah baya itu sambil menasihati Panji.
Kemudian dia bergegas menyusul rombongannya.
Setelah merasa kalau keterangan yang didapat cu-
kup lengkap, Panji pun menghentikan langkahnya. Di-
biarkannya lelaki setengah baya itu melangkah terburu-
buru menyusul kawan-kawannya yang lain.
"Hm.... Orang-orang yang menguasai Kadipaten
Blambang sudah hampir pasti para pengikut Malaikat Ger-
bang Neraka. Tahulah aku sekarang, mereka pasti bukan
hanya sekadar ingin menguasai kadipaten itu. Tapi,
mungkin saja tengah merencanakan sesuatu yang lebih
besar lagi," gumam Panji sambil melangkah menyusuri jalan lebar yang berhubungan
langsung dengan Kota
Kadipaten Blambang. "Aku harus menyelidikinya."
Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh
Panji pun segera berkelebat cepat menuju Kota Kadipa-
ten Blambang. Pemuda itu sengaja mengambil jalan mela-
lui hutan kecil agar tidak berpapasan dengan para pen-
gungsi ataupun gerombolan pengacau. Masalahnya,
bukan tidak mungkin kalau para pengacau itu akan
mengadakan pembersihan di sekitar daerah ini.
Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Naga Putih menyelinap di balik semak-
semak ketika tiba di gerbang sebelah Barat. Tampak
beberapa belas orang tengah berjaga-jaga di sana.
Panji memutar otaknya untuk mencari jalan agar
dapat memasuki kota kadipaten tanpa harus menga-
lami kesulitan. Karena tidak juga menemukan jalan
masuk, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk me-
nyelidiki kota pada waktu malam. Hanya kegelapan
malamlah yang diharapkan dapat membantunya.
*** Saat itu, kegelapan sudah menyelimuti permukaan
Kota Kadipaten Blambang. Tampak sesosok bayangan
putih melesat melewati tempat-tempat sunyi dan gelap.
Melihat dari sikapnya, jelas kalau kedatangannya tidak
ingin diketahui orang.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang telah menca-
pai titik kesempurnaan, sosok bayangan putih itu
bergerak cepat di atas rumah-rumah penduduk. Kare-
na gerakannya sangat cepat dan hanya merupakan ke-
lebatan bayangan, maka tak seorang pun yang merasa
tertarik. Apalagi ia selalu bergerak di tempat-tempat yang terlindung kegelapan.
Maka sosok tubuh itu tidak sampai terlihat dari bawah.
Tak lama kemudian, sosok bayangan putih itu terlihat
menghentikan gerakannya. Tubuhnya direndahkan un-
tuk mengamati sebuah bangunan megah yang jelas me-
rupakan tempat kediaman Adipati Jala Tungga.
Dengan mengandalkan pancaran cahaya obor
yang terpancang di depan bangunan megah itu,
matanya melihat belasan sosok tubuh tengah hilir-
mudik berjaga-jaga di depan gerbang.
Sosok bayangan putih itu kemudian melayang tu-
run ketika beberapa orang penjaga tampak meninggalkan
tempat itu untuk berkeliling. Maka kesempatan itu pun
dipergunakannya untuk membungkam seorang penjaga
yang kebetulan memisahkan diri dari kawan-kawannya.
Tanpa mengalami kesulitan, dibekuknya penjaga yang
tengah merapat ke semak-semak itu.
"Cepat katakan, siapa saja yang saat ini mendiami
bangunan besar itu! Jawab kalau tidak ingin melayat
ke akhirat!" ancam bayangan putih yang ternyata
Pendekar Naga Putih, setelah menyeret orang itu ke
semak-semak yang letaknya cukup jauh dari pintu ger-
bang. Wajah orang itu pucat seperti mayat ketika melihat so-
sok tubuh bersinar putih keperakan menyergapnya. Kalau
saja Pendekar Naga Putih tidak menyangganya, pastilah tubuh orang itu sudah
melorot jatuh. Memang, kedua lutut
orang itu terasa lemas bagaikan tak bertulang.
"Cepat jawab! Atau kau memang telah rindu dengan
api neraka!" desis Panji ketika orang itu belum juga bisa menjawab
pertanyaannya. "Oh..., eh...! Datuk... Panglima Sesat, Memedi Ka-
rang Api..., Raja Iblis Baju Merah, dan.... Kuntilanak Bukit
Mandau.... Mereka... itulah yang berada dalam gedung," jawab lelaki itu dengan
suara terpatah-patah.
"Hm.... Apakah orang yang berjuluk Malaikat Gerbang Neraka ada bersama mereka?"
tanya Panji lagi.
"Tidak.... Pemimpin Agung kami belum datang," sahut orang itu lagi dengan suara
semakin lemah. "Bagaimana dengan Tengkorak Hutan Jati dan Ga-
ruda Mata Satu" Apakah keduanya tidak berada di tempat
ini?" "Ya, mereka juga di dalam gedung...."
"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah di sini,"
ucap Panji, langsung melancarkan totokan pelumpuh.
Tanpa sempat berteriak lagi, orang itu pun melorot jatuh dalam keadaan pingsan.
Setelah menyembunyikan sosok
tubuh itu di semak yang tersembunyi, tubuh Panji pun segera melesat menuju
tembok samping bangunan megah
itu. Yakin kalau dirinya tidak terlihat oleh seorang pun, Panji segera menjejak
tanah. Saat itu juga tubuhnya langsung
melambung melewati tembok setinggi dua tombak. Begi-
tu kakinya mendarat di halaman samping gedung, pemuda
itu kembali melesat melewati taman yang terletak di
samping gedung itu.
Malang! Baru saja pemuda itu hendak menyelinap di
balik sebatang pohon, sesosok tubuh memergoki nya!
"Hei, berhenti...!" seru sosok tinggi kurus yang langsung melesat mengejar
Panji. "Celaka...! Bukankah orang itu yang berjuluk
Tengkorak Hutan Jati...!Hm.... Aku harus se-
gera membungkamnya," gumam Panji yang merasa ter-
kejut ketika dapat mengenali orang itu.
Panji merapatkan tubuhnya dengan batang pohon
sambil menanti kedatangan Tengkorak Hutan Jati.
Dan begitu sosok tubuh tinggi kurus itu semakin men-
dekati tempatnya, tubuh pemuda itu langsung melesat
dan melancarkan serangan maut!
Bettt...! "Aaakh...!"
Tengkorak Hutan Jati berseru kaget melihat da-
tangnya serangan dahsyat itu. Cepat tubuhnya digeser ke-samping sambil mengirim
serangan balasan dengan jurus
'Cakar Penghancur Tulang'nya.
Namun, yang kali ini dihadapi adalah Pendekar Naga
Pedang Angin Berbisik 19 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Jodoh Rajawali 10