Pencarian

Raja Iblis Dari Utara 1

Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara Bagian 1


RAJA IBLIS DARI UTARA Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Rusli K.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Raja Iblis dari Utara 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Suasana pagi yang indah dan tenang di Puncak Gunung Kebat, tiba-tiba dipecahkan
oleh teriakan-teriakan dan bentakan yang nyaring! Burung-burung yang berkicauan
di dahan-dahan pohon terbang berserabutan karena terkejut. Bahkan beberapa di
antaranya jatuh tergeletak mati akibat kedahsyatan bentakan itu!
Di sebuah tanah lapang, tampak dua
sosok tubuh tengah bertempur sengit.
Beberapa batang pohon sepelukan orang dewasa roboh terkena pukulan nyasar.
Dapat dibayangkan betapa hebatnya
kepandaian kedua orang yang tengah
bertarung itu! "Heaaat...!"
Sesosok tubuh kurus jangkung berjubah putih memekik keras! Tubuhnya melayang di
udara sambil melontarkan dua buah pukulan yang menimbulkan suara mencicit tajam,
pertanda tenaga dalamnya hampir mencapai kesempurnaan.
Sementara lawannya yang bertubuh
tinggi besar dan bercambang bauk menggeram keras. Kedua belah tangannya
diputar-putar sedemikian rupa hingga menimbulkan putaran angin kencang. Demikian
hebatnya putaran angin yang ditimbulkan, sehingga daerah di sekitarnya bagaikan
tengah dilanda angin topan! Bukan main!
Rupanya kedua orang yang sedang bertarung itu merupakan tokoh-tokoh tingkat
tinggi yang jarang tertandingi.
"Yeaaat...!"
Sambil memekik nyaring, tubuh si
tinggi besar melesat memapak serangan lawannya. Dan....
Blarrr! Terdengar suara ledakan menggelegar.
Akibatnya tubuh kedua orang sakti itu terpental ke belakang, seolah-olah ada
tangan-tangan raksasa yang melempar tubuh mereka. Namun keduanya segera
melakukan salto di udara, sehingga dapat menjejak permukaan bumi dengan baik.
"Ha ha ha.... Ayo! Keluarkan seluruh ilmu yang kau miliki, Dewa Gunung Kebat!"
teriak orang yang bertubuh tinggi besar sambil tertawa menantang. Perutnya yang
buncit turut terguncang-guncang ketika tertawa. Luar biasa sekali kekuatan daya
tahan tubuh orang ini! Sedikit pun ia tidak terpengaruh oleh benturan tenaga
dalam tadi, malah ia masih dapat
memanaskan perut lawannya.
"Hm..., jangan kau merasa sombong dulu, Reksa Pati! Ilmu 'Perogoh Sukma'
milikmu tak banyak berarti bagiku!" sahut si kakek tak mau kalah. Wajahnya yang
sudah berkeriput tampak tenang. Rupanya kakek yang berjuluk Dewa Gunung Kebat
itu pun tidak menderita luka.
"Jangan takabur dulu, peot! Ilmu yang kukeluarkan itu belum seberapa! Lebih baik
kau berdoa agar kematianmu nanti dapat lebih mudah," ejek orang yang disebut
Reksa Pati tadi. Wajahnya yang bertotol-totol hitam itu tampak memerah karena
gembira. Luar biasa sekali keberanian yang
dimiliki si tinggi besar itu. Padahal musuh di hadapannya bukanlah tokoh
sembarangan, tapi ia masih sempat tertawa-tawa mengejek.
Dewa Gunung Kebat hanya tersenyum
menanggapi ucapan lawannya. Wajahnya tetap tenang. Wajah seorang tua bijaksana
dan penuh wibawa yang merasa yakin akan kemampuannya.
"Hm..., kau mau bertarung atau cuma ingin mengumbar kesombongan, Reksa Pati?"
tanya kakek itu tetap sabar.
"Bangsat! Hei manusia peot, ayo kita lanjutkan pertarungan kita!" bentak Reksa
Pati gusar. Laki-laki tinggi besar
berusia enam puluhan itu menghentak-hentakkan kakinya dengan geram. Kemudian
tangannya kembali bergerak menutup dan mengembang. Wajahnya kemerahan karena
saat itu ia tengah mulai memusatkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Asap tipis
mengepul ketika kedua belah telapak tangannya digosok-gosokkan.
"Hm..., ilmu 'Telapak Lidah Api'...,"
gumam Dewa Gunung Kebat. Setelah berkata demikian, kakek itu pun bergegas
melakukan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya. Sepasang tangannya berputar-
putar bersilangan. Makin lama semakin cepat hingga menimbulkan pusaran hawa
dingin yang menusuk tulang sum-sum.
"Hm..., ilmu 'Tapak Sakti Inti Salju'...," si tinggi besar bergumam ketika ia
melihat ilmu yang diperlihatkan lawannya.
"Heaaat..!"
"Hiaaa...!"
Kedua tokoh itu kembali melompat
saling terjang! Reksa Pati yang
menggunakan ilmu 'Telapak Lidah Api', menjulurkan kedua belah tangannya
bergantian. Lidah-lidah api menyembur keluar dari telapak tangannya. Ilmu yang
dipergunakan si tinggi besar benar-benar berbahaya sekali. Berkali-kali Dewa
Gunung Kebat hampir terjilat lidah api itu. Untunglah ilmu meringankan tubuhnya
yang hebat itu dapat membuat tubuhnya bergerak gesit, sehingga serangan-serangan
Reksa Pati selalu mengenai angin kosong.
Krak! Brill! Sebatang pohon yang berada di
belakang Dewa Gunung Kebat berderak patah. Bagian tengah batangnya hangus
terbakar akibat terkena pukulan ilmu
'Telapak Lidah Api' yang nyasar.
"Ha ha ha..., sebentar lagi tubuh peotmu itulah yang hangus terbakar!" ejek
Reksa Pati seraya tertawa bergelak.
"Jangan sesumbar dulu, Reksa Pati!
Lihat seranganku!" balas Dewa Gunung Kebat sambil melontarkan sebuah pukulan
kilat 'Tapak Sakti Inti Salju' yang terkenal ampuh.
Wusss! Serangkum angin dingin berhembus
keras mengiringi pukulan yang dilancarkan pendekar tua itu.
Blarrr! Sebuah batu sebesar perut kerbau
pecah berhamburan diikuti dengan suara ledakan keras! Untunglah Reksa Pati
sempat menghindari pukulan maut itu.
Kalau saja ia lengah, dapat dipastikan tubuhnya luluh lantak tak berbentuk lagi.
Reksa Pati mendecakkan lidahnya takjub!
"Hiahhh...!" secepat kilat Reksa Pati melontarkan pukulan balasan yang tidak
kalah ganasnya. Hawa panas berkesiuran menyertai pukulannya.
Dewa Gunung Kebat menggeser kaki
kanannya ke belakang. Serangan pertama lewat hanya beberapa rambut di samping
tubuhnya. Ketika pukulan kedua meluncur deras ke arah pelipis, kakek itu segera
mengangkat tangan kanannya sambil
merendahkan kuda-kuda.
"Aaakh...!"
"Uuukh...!"
Cesss! Terdengar suara mendesis bagaikan
bara api dicelupkan ke dalam air ketika kedua pukulan yang berlawanan itu
bertemu. Tubuh keduanya terjajar mundur sejauh tiga tombak. Darah segar menetes
pelahan dari sela-sela bibir Dewa Gunung Kebat. Cepat-cepat dikerahkannya hawa
murni untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk dadanya. Dari sini dapat
diketahui bahwa tenaga dalamnya berada satu tingkat di bawah lawan.
"Hm...! Terimalah kematianmu, peot!"
sambil membentak keras, Reksa Pati yang sama sekali tidak terluka itu sudah
melompat sambil mengirimkan dua pukulan beruntun mematikan!
Singgg! "Aihhh...!"
Reksa Pati berteriak kaget! Cepat
dilempar tubuhnya ke belakang sambil melakukan salto sebanyak empat putaran.
Tubuhnya mendarat ringan sejauh empat batang tombak dari lawan. Wajahnya agak
pucat karena perutnya nyaris tertusuk pedang.
Rupanya pada saat gawat itu, Dewa
Gunung Kebat sempat mencabut pedang di pinggangnya. Secepat ia mencabut, secepat
itu pula pedangnya berdesing menyambar tubuh lawan. Untunglah Reksa Pati cepat
mengetahui gerakan itu. Kalau tidak, dapat dipastikan bahwa perutnya sudah
terburai. "Keparat!" laki-laki tinggi besar itu menjadi gusar. Kedua tangannya meraba
pinggang. Sesaat kemudian, di tangannya telah tergenggam dua buah senjata kecer.
Senjata itu berbentuk bulat tipis
bagaikan piling lebar. Pada bagian
dalamnya terdapat tempat untuk jari-jari tangan.
Cerrr! Cerrr! Sepasang senjata itu dibenturkan satu sama lain hingga menimbulkan suara
memekakkan telinga. Inilah senjata an-dalan Reksa Pati. Senjata itu memiliki
gerigi pada sisinya. Benar-benar sebuah senjata yang aneh dan mengerikan!
Dewa Gunung Kebat cepat memutar-
mutarkan pedangnya hingga menimbulkan suara berdengung untuk mengatasi suara
kecer. Pikirannya dipusatkan agar tidak terpengaruh suara tersebut.
"Ha ha ha..., bersiaplah menerima kematianmu, kakek peot!" setelah berkata
demikian, tubuh Reksa Pati
kembali melesat bagai kilat menerjang.
Kakek itu mencelat ke atas ketika
senjata Reksa Pati mengancam lambungnya.
Secepat kilat ia melakukan balasan dengan
sabetan pedang ditujukan ke kepala lawan.
Terdengar suara berdentang nyaring ketika pedang di tangan pendekar tua itu
beradu dengan senjata Reksa Pati yang berusaha melindungi kepalanya. Kakek itu
melompat dan berputar beberapa kali menjauhi lawannya.
Reksa Pati kembali membenturkan
senjatanya hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Dewa Gunung Kebat
terkejut mundur sambil mendekap telinga-nya. Pada saat itu tubuh lawannya
melayang ke arahnya. Sepasang kecernya ber-siutan menyambar-nyambar mencari
sasaran. Trang! Trang! Dua kali si kakek berhasil mematahkan serangan lawan. Namun karena posisi
lawannya lebih kuat menekan, maka tubuh tua itu terdesak mundur. Reksa Pati
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Pada saat itu juga sepasang kakinya terangkat menghantam dada lawan yang terbuka
pertahanannya. Des! "Ughhh...!"
Tubuh kurus itu terlempar ke
belakang. Tendangan kedua kaki Reksa Pati yang disertai dorongan tenaga sakti
itu tepat mengenai sasaran.
"Huakkk...!"
Segumpal darah segar keluar dari
mulut Dewa Gunung Kebat. Dadanya terasa
remuk redam. Si kakek berdiri terhuyung-huyung sambil berusaha memperbaiki
posisi kuda- kudanya. Tapi Reksa Pati tidak memberi kesempatan. Secepat kilat
tubuhnya melesat dengan sepasang senjata berdesing
mengancam leher dan perut
lawan. Trang! Sambaran kecer yang meluncur ke arah perutnya masih sempat ditangkis walaupun
dengan susah payah. Namun sayang sambaran kecer yang menuju lehernya tak sempat
lagi dielakkan. Maka....
Cras! Dewa Gunung Kebat tak sempat lagi
bersuara. Tahu-tahu kepalanya sudah menggelinding putus terbabat kecer!
Desss! Reksa Pati kembali melontarkan sebuah tendangan ke arah tubuh tanpa kepala yang
masih berdiri tegak. Tubuh jangkung tanpa kepala itu terlempar sejauh enam
tombak. Darah segar mengucur deras dari luka-luka di lehernya. Setelah berkelojotan
beberapa saat, akhirnya tubuh itu tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-
lamanya. "Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan Reksa Pati
bergema ke lembah-lembah.
Reksa Pati berlari cepat menuruni Lereng Gunung Kebat. Tubuh tinggi besar itu melayang
bagaikan seekor burung besar yang tengah
bermain-main. *** Beberapa hari kemudian, tampak tujuh orang laki-laki gagah berjalan beriringan
mendatangi Lereng Gunung Kebat. Dari langkah-langkahnya yang ringan, jelas
terlihat kalau mereka rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Tak berapa lama
kemudian, tujuh orang itu pun telah tiba di atas puncak gunung.
"Aneh, perasaanku tidak enak, Kakang?" ujar salah seorang dari mereka lirih.
Orang itu bertubuh sedang. Pada raut wajahnya yang tampan, terhias
sebaris kumis tipis. Di punggungnya tergantung sebatang pedang serupa dengan
milik keenam orang lainnya.
"Hm...," yang diajak bicara hanya bergumam tak jelas. Langkahnya dihentikan
sambil mengedarkan pandangannya merayapi daerah di sekitarnya. Sepertinya ia pun
memiliki perasaan yang sama.
Ketujuh orang itu meneruskan langkahnya menuju sebuah pondok yang terletak tidak
jauh dari tempat mereka berdiri.
Dari sikapnya, jelas terlihat seperti membaui sesuatu yang tak beres.
"Guru...!" seru orang tertua sambil mengulurkan tangannya membuka pintu pondok.
"Hm..., tidak terkunci?" gumamnya
heran. Sementara ia membuka pintu pondok, enam orang lainnya bersiaga sambil
mencabut pedang di punggung mereka.
"Kalian bertiga tunggu di luar! Biar aku dan yang lainnya yang memeriksa keadaan
di dalam pondok!" ucap yang satunya lagi pelan seraya bergerak
mengikuti langkah saudara tertuanya memasuki pondok. Orang itu bertubuh kekar
dan berkumis tebal.
Empat orang laki-laki gagah itu
mengerutkan alisnya ketika mendapati isi pondok itu ternyata kosong! Meskipun
mereka memeriksa hingga ke ruang
belakang, namun tidak dijumpainya juga orang yang dicarinya. Keempat orang itu
segera bergegas menemui saudara-saudaranya di luar.
"Kosong!" ujar laki-laki gagah yang berusia paling tua itu cepat sebelum yang
lainnya sempat bertanya.
Rupanya ketujuh orang laki-laki gagah itu adalah murid-murid Dewa Gunung Kebat.
Dalam rimba persilatan mereka dijuluki Tujuh Pedang Pembelah Samudra. Pada hari
ini mereka bermaksud mengunjungi sang guru setelah merantau kurang lebih dua
tahun lamanya. "Apa tidak sebaiknya kita berpencar, Kakang Bandawa?" usul salah seorang dari
mereka kepada orang tertua yang bernama Bandawa itu.
"Baik sekali usulmu, Gumadi. Kalau begitu, mari kita berpencar. Apabila salah
seorang dari kita menemukan Guru, berilah tanda dengan siulan," ujar laki-laki
tertua yang dipanggil Bandawa tadi.
Sedetik kemudian, ketujuh murid Dewa Gunung Kebat itu sudah berpencar. Sekali
menggerakkan tubuh saja, ketujuh orang itu telah lenyap ditelan rimbunan pohon.


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tolong..., tolong...!" tiba-tiba terdengar sebuah teriakan memecah
keheningan. Bandawa yang berada paling dekat dari asal suara itu segera melesat menuju arah
sumber suara. Beberapa saat kemudian, sepasang matanya. yang tajam menangkap
sesosok tubuh yang tengah berlari
tunggang langgang menuruni lereng gunung.
"Hup!"
Kedua kaki Bandawa menjejak bumi.
Sesaat kemudian tubuh laki-laki gagah itu sudah melayang mengejar orang itu.
Dalam beberapa lompatan saja, Bandawa telah berdiri menghadang.
"Hah! Se... setan...! Tolong ada setaaan...!" orang itu berteriak-teriak
ketakutan ketika tahu-tahu saja di
hadapannya telah berdiri seorang laki-laki gagah.
"Tenang, Kisanak. Aku bukan setan
seperti yang kau kira. Aku manusia biasa seperti kau. Lihatlah baik-baik," ujar
Bandawa ramah. "Betulkah..., betulkah kau bukan setan" Tapi..., tapi mengapa kau bisa terbang?"
tanya laki-laki yang rupanya seorang pencari kayu. Sambil berkata demikian,
laki-laki itu memandangi Bandawa mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.
"Hm..., sudahlah," hibur Bandawa sambil tangannya terulur menyentuh bahu si
pencari kayu dengan lembut "Nah, sekarang coba kau ceritakan kepadaku.
Mengapa engkau sampai berlari bagai dikejar hantu" Apa yang kau lihat di atas
sana?" tanya Bandawa pelan.
"Mayat!" jawabnya orang itu sambil menengok ke kiri-kanan seolah-olah ia takut
kalau mayat itu mengejarnya.
"Mayat"! Di mana" Mayat siapa" Ayo tunjukkan padaku!" tanya Bandawa berdebar.
Karena ketegangan yang
menyelimuti dirinya, tanpa sadar ia menekan pundak si pencari kayu kuat-kuat.
Bandawa baru tersadar ketika orang itu mengaduh kesakitan. Cepat dilepaskannya
cengkeraman di pundak orang itu.
"Tapi..., mayat itu tanpa kepala...."
sambil berkata demikian, matanya berputar liar. Sepertinya orang itu memang
benar-benar takut.
"Tidak perlu takut! Kalau mayat itu bangkit, biar aku yang akan menghadapinya
nanti. Ayo!" Bandawa yang mulai tak sabar itu segera menarik tangan orang itu.
Dengan terpaksa si pencari kayu
menuruti kemauan Bandawa. Kedua kakinya agak gemetar ketika melangkah.
Tidak berapa lama kemudian, mereka
pun tiba di bagian sebelah Barat puncak gunung itu. Di hadapan mereka terbentang
sebuah tanah lapang yang cukup luas.
Bandawa merayapi sekitar tempat itu dengan kening berkerut. Jantungnya
berdebar tegang ketika didapatinya daerah sekitar tempat itu banyak pohon-pohon
yang tumbang. "Hm..., sepertinya di tempat ini telah terjadi pertempuran pada beberapa hari
yang lalu," gumam laki-laki gagah itu semakin tegang. Secepat kilat
tubuhnya melesat ke tengah-tengah tanah lapang berumput tebal itu.
"Di mana mayat itu?" tanya Bandawa agak memburu. Ketegangan dan kekhawatiran
akan keselamatan gurunya membuat Bandawa tak dapat bersikap tenang lagi.
"Di dekat pohon itu...!" sahut orang itu gugup. Setelah berkata demikian, dia
pun langsung melarikan diri meninggalkan Bandawa. Rupanya rasa takut yang
menguasainya, benar-benar sudah tak dapat dikendalikan lagi.
Sementara itu Bandawa sudah melesat menghampiri pohon yang ditunjuk orang
tadi. Laki-laki gagah itu berdiri dengan wajah pucat! Kedua lututnya terasa
lemas melihat pemandangan di hadapannya.
"Guru...," Bandawa menjatuhkan kedua lututnya di tanah. Laki-laki gagah itu tak
mampu lagi membendung air matanya.
Pikirannya kacau hingga tak ingat lagi untuk memberi tanda kepada saudara-
saudaranya yang lain. Hatinya benar-benar terguncang melihat mayat orang tua
yang amat dihormatinya itu.
Setelah berhasil menguasai perasaannya, barulah Bandawa teringat untuk
memberitahu saudara-saudaranya. Suara siulan Bandawa bergetar karena kesedihan
hatinya yang mendalam.
"Kakang, kau menemukan sesuatu?"
belum lagi gema siulannya lenyap, keenam adik seperguruannya sudah berlompatan
menghampiri Bandawa. Keenam orang itu tak sempat bertanya lagi. Tubuh mereka
langsung bergetar ketika mengenali sosok mayat tanpa kepala terpampang di
hadapannya. "Guru...!" enam orang laki-laki gagah yang pan-tang menangis dalam menghadapi
apa pun itu, akhirnya menitikkan air mata di hadapan mayat sang guru.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra yang
selama ini ditakuti kaum sesat itu, kini menangis tersedu-sedu mengelilingi guru
mereka yang telah menjadi mayat!
2 "Kakang, kita harus mencari penggalan kepala guru kita. Aku yakin kepalanya
pasti masih berada di sekitar sini," ujar seorang adik seperguruan Bandawa yang
bertubuh gemuk dan berwajah bulat Mendengar perkataan itu, saudara-saudaranya
mengangguk setuju. Sesaat kemudian, mereka sudah menyebar mencari penggalan
kepala Dewa Gunung Kebat.
Setelah berhasil menemukan penggalan kepala gurunya, ketujuh orang itu segera
menguburkan jenazahnya.
"Guru, kami tujuh orang muridmu berjanji akan mencari pembunuhmu sampai dapat.
Untuk sementara kami akan menetap di sini guna memperdalam ilmu silat kami.
Karena kami sadar kalau kepandaian pembunuhmu pastilah sangat tinggi," janji
Bandawa mewakili saudara-saudaranya yang lain. Ketujuh murid Dewa Gunung Kebat
itu bangkit dan memberikan penghormatan terakhir di hadapan makam guru mereka.
Mulai hari itu ketujuh murid Dewa
Gunung Kebat berlatih giat. Mereka terus memperdalam ilmu 'Tujuh Pedang Membelah
Samudra' yang merupakan ilmu tertinggi yang pernah diajarkan guru mereka. Tanpa
mengenal lelah, tujuh laki-laki gagah itu terus berlatih guna menuntut balas
atas kematian guru mereka.
"Hari ini adalah hari terakhir kita berlatih. Marilah kita satukan seluruh
perhatian dan kekuatan kita," ujar Bandawa yang memimpin adik-adik sepergi-
ruannya dalam setiap latihan. Setelah berkata demikian, orang tertua dari Tujuh
Pedang Pembelah Samudra itu melompat ke belakang. Kedua kakinya menekuk rendah.
Kaki kanannya yang berada di depan, berada dalam posisi jinjit. Sementara tangan
kanannya yang menggenggam pedang terangkat ke atas, melintang di atas kepala.
Sedangkan tangan kirinya berada di depan dada.
Gerakan Bandawa segera diikuti oleh saudara-saudaranya. Namun posisi kuda-kuda
mereka berlainan. Inilah salah satu keistimewaan ilmu 'Tujuh Pedang Membelah
Samudra'. Masing-masing mempunyai gerakan yang berlainan. Meskipun demikian
mereka tetap mempunyai kekuatan dan tujuan yang satu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bandawa berseru keras.
Pedang di tangan kanannya bergerak cepat menimbulkan angin berkesiuran. Sinar
pedangnya bergulung-gulung bagaikan ingin membelah gelombang samudra!
Bentakan Bandawa disambut bentakan-
bentakan lainnya. Satu persatu adik seperguruannya mulai bergerak sesuai dengan
tugasnya masing-masing. Hebat
sekali ilmu pedang yang dimainkan ketujuh orang murid Dewa Gunung Kebat itu.
Angin keras berdesing menyambar-nyambar ke
segala penjuru. Kadang-kadang ujung-ujung pedang mereka nampak laksana seekor
ular yang tengah meliuk-liuk di atas rerumputan. Namun di lain saat ketujuh mata
pedang itu menyambar ganas bagaikan seekor burung elang menyambar mangsa.
Benar-benar hebat sekali ilmu yang
dipertunjukkan tujuh jago pedang itu!
"Heaaat..!"
Pada akhir gerakan, ketujuh orang
pendekar itu berteriak nyaring secara bersamaan. Teriakan itu sengaja mereka
lakukan guna membuyarkan perhatian lawan.
Tapi pada saat itu juga, ketujuh orang itu melesat secara bergelombang saling
susul menyusul.
Singgg! Singgg! Singgg...!
Sinar pedang berkelebatan sambil
mengeluarkan sinar yang menyilaukan.
Tujuannya adalah untuk mengaburkan
pandangan lawan.
Tujuh pedang itu secara bergantian
membabat dalam posisi yang berlainan.
Setelah itu mereka pun berloncatan mundur sambil menyusut keringat yang meleleh
membasahi wajah.
Memang hebat sekali ilmu pedang yang dipertunjukkan tujuh murid Dewa Gunung
Kebat. Apabila lawan tidak berhati-hati,
pastilah sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi serbuan tujuh mata pedang yang
bagaikan tak pernah habis itu.
"Hhh..., puas rasanya hatiku melihat kemajuan yang kita capai selama beberapa
bulan ini," ucap Bandawa berseri-seri.
Wajahnya tampak segar kemerahan. Beberapa tetes keringat masih menghias
wajahnya. "Yahhh..., tidak sia-sia jerih payah kita selama ini. Semoga arwah guru merasa
bahagia melihat keberhasilan kita,"
timpal Gumadi yang merupakan orang kedua setelah Bandawa. Wajahnya yang gagah,
mengulum senyum puas.
"Kalau begitu, besok kita dapat meninggalkan tempat ini," sahut yang lainnya
gembira. Biar bagaimanapun, kembali ke dunia ramai merupakan suatu hal yang
sangat menyenangkan.
Selesai berlatih, ketujuh orang
saudara seperguruan itu berkemas-kemas untuk meninggalkan Gunung Kebat keesokan
harinya. Angin sejuk bertiup agak keras seolah-olah ikut menyambut kegembiraan
Tujuh Pedang Pembelah Samudra.
*** Matahari belum lagi menampakkan
sinarnya. Kokok ayam hutan telah
terdengar bersahut-sahutan menyambut datangnya sang pagi. Alam masih
terselimut kegelapan yang meremang.
Di tengah keremangan pagi itu, tampak Tujuh Pedang Pembelah Samudra berlutut di
depan sebuah makam yang terawat rapi.
Makam itu adalah tempat beristirahatnya Dewa Gunung Kebat, guru mereka.
"Guru..., kami mohon restu untuk mencari pembunuhmu. Semoga kami dapat
membalaskan kematianmu sesuai dengan apa yang telah dilakukannya terhadapmu,"
Bandawa memejamkan matanya menahan
keharuan yang menyeruak dalam rongga dadanya. Sesaat kemudian, ia pun bangkit.
Setelah menarik napas panjang, Bandawa melangkah meninggalkan makam gurunya
diikuti adik-adik seperguruannya.
Bersamaan dengan munculnya cahaya
keperakan di kaki langit sebelah Timur, tampak tujuh sosok berlarian menuruni
Lereng Gunung Kebat. Kabut putih yang memenuhi lereng gunung, tidak menjadi
halangan bagi mereka. Sorot mata mereka yang tajam mampu menembus kepekatan sang
kabut. Sesekali tubuh ketujuh orang itu
tampak melambung ke atas melompati batu besar yang banyak bertonjolan di
sepanjang jalan. Gerakan-gerakan mereka tampak lebih gesit dan lincah daripada
beberapa bulan sebelumnya. Mereka benar-benar telah mencapai kemajuan pesat
sekali. Pada saat sinar matahari mulai
menebar ke permukaan bumi, ketujuh orang itu sudah tiba di kaki gunung. Sebuah
aliran sungai yang berair jernih
menghadang perjalanan mereka.
"Arah mana yang sebaiknya kita tuju, Kakang?" tanya salah seorang adik
seperguruannya kepada Bandawa, sambil mengedarkan pandangannya.
"Hm..., bagaimana menurutmu, Adi Gumadi?" Bandawa melemparkan pertanyaan kepada
adik seperguruannya yang lain.
Meskipun keputusan berada di tangannya, namun ia ingin meminta pendapat dari
saudara-saudaranya terlebih dahulu.
"Bagaimana kalau kita ke arah Barat saja dulu, Kakang" Arah itu lebih cepat
menuju desa terdekat. Bukankah kita harus mencari keterangan terlebih dahulu
tentang rupa dan ciri-ciri si pembunuh?"
ujar Gumadi. "Baiklah! Kalau begitu kita ke arah Barat," sahut Bandawa sambil bergegas
melangkahkan kakinya menyeberangi sungai.
Sepasang kakinya bergerak lincah berloncatan di atas tonjolan batu-batu yang
banyak terdapat di sungai itu.
"Kita harus mempercepat perjalanan, ayo!" ajak Bandawa, begitu mereka telah
melewati sungai. Sambil berkata demikian, Bandawa pun melesat mendahului yang
lainnya. Gerakan orang tertua dari Tujuh
Pedang Pembelah Samudra ini cepat sekali.
Sekali lompat saja tubuhnya sudah berada jauh beberapa tombak di depan saudara-
saudaranya. "Ayo, kita berlomba!" usul Gumadi latah. Seketika itu juga tubuh mereka melesat
saling mendahului.
Bandawa yang saat itu berada paling depan, mengembangkan senyumnya melihat
kegembiraan adik-adik seperguruannya.
Baru beberapa puluh tombak ia berlari, mendadak matanya menangkap sosok tubuh
yang terbujur agak tersembunyi di balik semak-semak.
Dengan penuh waspada, Bandawa
melangkah mendekati sosok itu. Kening pendekar itu berkerut ketika melihat
percikan darah yang telah mengering menempel pada dedaunan. Cepat ia mencabut
pedang di punggungnya. Sekali lompatan saja, tubuhnya sudah berada di balik
semak belukar itu.
"Ahhh...!"
Bandawa terguling ke kiri ketika kaki kanannya menginjak sebuah benda bulat.
Setelah melenting bangkit, Bandawa
mencari benda yang membuatnya terguling itu. Alangkah terperanjatnya pendekar
itu ketika mengetahui benda bulat yang
diinjaknya tadi ternyata adalah kepala manusia!
Bandawa menyarungkan pedangnya
setelah sebelumnya dipergunakan untuk memapas rerimbunan semak yang menutupi
mayat itu. Pelahan-lahan sosok mayat itu ditariknya keluar dari rerimbunan
semak. "Ada apa, Kakang" Mayat siapa itu?"
tanya Gumadi begitu tiba di tempat itu.
Saudara-saudaranya yang lain ikut
berkerumun dan menghujani Bandawa dengan berbagai pertanyaan.
Laki-laki gagah berusia empat puluh tahun itu mengangkat tangannya ke atas.
Agaknya ia meminta saudara-saudaranya bersabar. Setelah keadaan menjadi hening,
barulah Bandawa angkat bicara.
"Kalian kenali mayat ini baik-baik!
Siapakah dia?" ujar Bandawa kepada saudara-saudaranya. Sambil
melontarkan pertanyaan itu, ditunjuknya kepala yang telah terpisah dari tubuhnya.
"Pendekar Golok Sakti..."!" teriak keenam saudara seperguruan Bandawa
terkejut bercampur heran. Mereka kenal betul dengan Pendekar Golok Sakti. Beliau
adalah seorang pendekar besar yang
namanya menjadi momok bagi kaum sesat.
Keharuman nama pendekar ini boleh
dibilang hampir sejajar dengan guru mereka.
"Biadab! Pembunuhnya pastilah orang yang juga membunuh guru kita! Benar-benar
iblis yang haus darah! Rasanya aku ingin mencincang tubuh iblis itu sampai
lumat!" geram salah seorang adik seperguruan Bandawa sambil mengepalkan tangannya kuat-
kuat. "Sabarlah, Adi Supena. Pembunuh itu pastilah orang yang berilmu tinggi.
Nyatanya guru kita dan Pendekar Golok Sakti saja tewas di tangannya," ujar
Gumadi menenangkan adik seperguruannya yang bernama Supena. Hatinya pun
sebenarnya merasa geram. Namun ia masih dapat menguasainya.
"Hm..., itu pun belum pasti, Adi Gumadi. Bisa jadi pembunuh itu tidak bertindak
seorang diri. Mungkin saja guru kita dan juga pendekar ini tewas
dikeroyok," Bandawa memberikan tanggapan atas dugaan Gumadi. Ia sengaja
mengeluarkan pendapat demikian karena tidak ingin nyali adik-adiknya menjadi


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ciut bila membayangkan pembunuh guru mereka adalah seorang yang benar-benar
berilmu tinggi.
"Ya! Mungkin saja, Kakang. Siapa tahu mereka memang tewas dikeroyok!" sahut
Supena menyetujui ucapan kakak tertuanya itu.
"Sudahlah! Sekarang lebih baik kita kuburkan jenazah Pendekar Golok Sakti ini,"
ajak Bandawa kepada yang lainnya.
Dalam waktu singkat, di tempat itu
sudah terlihat sebuah gundukan tanah merah yang letaknya agak ke tepi jalan.
Tujuh Pedang Pembelah Samudra kemudian bergegas meninggalkan tempat itu
meneruskan perjalanannya.
*** Seorang laki-laki tinggi besar
berusia enam puluhan melangkah tegap. Di punggungnya tampak sepasang kecer yang
bergerigi pada sisinya. Wajahnya yang bertotol-totol hitam menyiratkan
kebengisan. Orang itu terus melangkah menghampiri sebuah pintu gerbang
perguruan. "Hm...!" orang yang tak lain adalah Reksa Pati, menggeram pelahan. Sesaat
kemudian, tubuh gendut itu melesat
menjambret papan nama yang bertuliskan
'Perguruan Gagak Putih'. Papan nama yang terbuat dari kayu jati tebal dan kuat
itu lalu diinjaknya hingga hancur berkeping-keping.
Setelah menghancurkan papan nama
Perguruan Gagak Putih, Reksa Pati
mengayunkan kakinya yang besar ke depan pintu gerbang perguruan itu.
"Hiah...!"
Brakkk! Pintu gerbang perguruan yang kokoh
kuat itu jebol hingga menimbulkan suara gaduh. Kakek tinggi besar dan menakutkan
itu mengibaskan tangannya menghalau
kepingan-kepingan kayu yang bertebaran ke arahnya, sambil mengayunkan kakinya
memasuki halaman perguruan.
"Hei! Orang gila dari mana datang-datang membuat keributan"!" bentak salah
seorang dari dua penjaga pintu gerbang yang berlari mendatangi. Orang itu segera
mengayunkan pedangnya membacok tubuh si pendatang.
"Hm...!"
Reksa Pati hanya mendengus kasar.
Sedikit pun ia tidak mempedulikan
sambaran pedang yang membabat perutnya.
Bagaikan orang yang tidak tahu bahaya, dia terus melanjutkan langkahnya.
"Mampuslah!" seru orang itu geram.
Meskipun sebenarnya
hati penjaga itu
terkejut, namun ia tetap saja tidak menahan bacokannya.
Singgg! Trak! "Aaakh...!"
Aneh! Penjaga itu malah menjerit
kesakitan ketika mata pedangnya
menghantam perut gendut itu. Perut Reksa Pati sama sekali tidak terobek seperti
yang dibayangkan si penjaga. Malah
pedangnya patah menjadi dua ketika
bertemu perut si kakek. Si penjaga
terpukul roboh. Tulang tangannya terasa patah. Penjaga gerbang itu beringsut
menjauh dengan mata terbelalak ngeri.
"Huh! Tikus busuk tak tahu diri!"
bentak Reksa Pati gusar. Setelah berkata demikian, tahu-tahu tubuh si penjaga
yang masih telentang itu terangkat naik!
"Oh! Tolong...! Tolooong...!" orang itu berteriak-teriak ketakutan. Tubuhnya
sudah terangkat kira-kira satu tombak di atas permukaan tanah! Benar-benar
pertunjukan tenaga dalam yang sukar diukur kehebatannya.
"Pergilah!" bentak Reksa Pati sambil mengibaskan tangannya, bagaikan mengusir
seekor lalat yang menjijikkan.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan oleh gerakan pergelangan tangan itu.
Tubuh penjaga gerbang terpental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak
tampak. Tubuh itu terus meluncur ke arah sebatang pohon yang berjarak sekitar
empat tombak jauhnya.
Derrr! "Heghk...!"
Krak! Terdengar suara berderak keras tanda tulang-belulang orang itu berpatahan ketika
tubuhnya membentur batang pohon sepelukan orang dewasa. Darah berhamburan dari
mulut dan kepalanya yang retak.
Sesaat kemudian, terdengar suara
berderak yang disusul suara hiruk pikuk!
Kiranya batang pohon tadi ikut pula tumbang! Dapat dibayangkan, betapa hebat-
nya tenaga sakti yang dimiliki kakek tinggi besar yang menyeramkan itu.
"Pembunuh gila! Kucincang tubuhmu!
Hiaaat...!" penjaga yang seorang lagi berteriak marah. Meskipun hatinya
berdebar melihat kesaktian si kakek, tapi kematian temannya membuat ia tidak
berpikir tentang rasa takut Tanpa pikir panjang lagi, penjaga itu menusukkan
tombaknya ke perut Reksa Pati.
Trak! Tombak itu patah menjadi tiga bagian ketika menyentuh perut Reksa Pati. Orang
itu terbelalak pucat. Tubuhnya gemetar.
Ketika tangan kakek tinggi besar itu menampar kepalanya, terdengar suara
gemeretak. Penjaga gerbang itu tewas seketika. Tamparan yang kelihatannya
pelahan itu ternyata telah membuat kepala si penjaga pecah! Darah segar
bercampur cairan putih menggenang membasahi
pekarangan Perguruan Gagak Putih.
"Tolooong...! Ada pembunuh gila...!"
teriak beberapa orang murid yang ikut menyaksikan kejadian itu sambil berlarian
ketakutan. Perguruan Gagak Putih gempar!
Dalam waktu singkat, tempat itu telah dipenuhi puluhan orang murid Perguruan
Gagak Putih. Mereka mengepung Reksa Pati yang masih berdiri di tengah pelataran.
Beberapa di antaranya berteriak-teriak marah sambil mengacung-acungkan senja-
tanya. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang berani maju. Kekejaman yang
baru saja dipertunjukkan Reksa Pati membuat mereka harus berpikir dua kali untuk
maju. "Iblis biadab!" maki seorang murid yang ikut mengepung.
"Kita bunuh saja iblis itu!" seru yang lainnya sambil mengacung-acungkan
tombaknya. Reksa Pati menatap para pengepungnya dengan wajah dingin. Sedikit pun dia tidak
mempedulikan teriakan-teriakan itu.
Kakek tinggi besar itu malah melangkah menuju gedung yang menjadi pusat
perguruan. Para pengepung yang berada di
depannya bergerak mundur. Wajah-wajah mereka terlihat tegang dan pucat.
"Hm...!"
Wusss! Reksa Pati mendengus gusar seraya
mengayunkan tangannya melontarkan pukulan jarak jauh. Terdengar suara angin
berkesiuran mengiringi datangnya pukulan maut itu.
"Aaa...!"
Belasan pengepung di depannya
terlempar bagaikan daun-daun kering.
Beberapa orang di antaranya langsung tergeletak tewas! Dari mulut, hidung, dan
telinga mereka mengalir darah segar.
Sedangkan sisanya berkelojotan meregang
nyawa! Bukan main terkejutnya para murid
Perguruan Gagak Putih. Sesaat kemudian kepungan itu pun merenggang. Mereka yang
tadinya berteriak-teriak marah, langsung bungkam. Kegentaran dan kengerian
menyelimuti hari mereka.
"Ihhh...!"
Belasan pengepung yang berada di kiri kanan si kakek serentak mundur dibarengi
seruan-seruan ngeri ketika tatapan Reksa Pati merayapi mereka. Demikian
dinginnya tatapan mata Reksa Pati, sehingga membuat tubuh mereka menggigil!
"Hm..., siapa yang berani mati mengacau perguruan kami?" tiba-riba terdengar
suara berat dan berwibawa memecah keheningan. Belum lagi gema suaranya lenyap,
tahu-tahu lima orang laki-laki gagah telah mendaratkan kakinya ke tengah
kepungan. "Kakang, kakek buruk itu kejam sekali! Bunuh saja dia!" seru salah seorang
pengepung ketika melihat murid-murid utama telah datang ke tempat itu.
"Benar, Kakang! Bunuh saja! Lihatlah!
Dia sudah membunuh puluhan saudara kita!"
teriak yang lainnya geram. Meskipun begitu, mereka tetap saja tidak berani maju
mendekati Reksa Pati.
"Hm..., siapakah kau, Kakek Tua" Apa kesalahan saudara-saudara kami sampai kau
tega menurunkan tangan maut kepada
mereka?" tanya salah seorang murid utama Perguruan Gagak Putih. Orang itu
berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya gagah dengan sorot mata yang
menyiratkan kesabaran dan keluasan pandangan.
"Mana gurumu si Gagak Sakti" Suruh dia keluar!" Reksa Pati sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan tadi. Malah sebaliknya ia bertanya menuntut dengan
dingin. Ia sama sekali tidak memandang sebelah mata pun kepada laki-laki gagah
di depannya. Begitulah sifat-sifat tokoh-tokoh sesat yang berkepandaian tinggi!
"Bangsat! Akan kurobek mulutmu yang lancang, kakek buruk!" bukan main marahnya
hati salah seorang murid utama Perguruan Gagak Putih demi mendengar ucapan Reksa
Pati. Detik itu juga
tubuhnya melesat disertai ayunan
pedangnya yang berdesing membelah udara.
Reksa Pati sama sekali tidak menaruh perhatian pada serangan itu. Tepat pada
saat mata pedang hampir tiba menusuk lehernya, ia hanya mengangkat sebelah
tangannya ke atas. Sebuah getaran
gelombang tenaga yang sukar diukur
tingginya memagari tubuh kakek itu.
Sehingga mata pedang murid utama tadi tertahan beberapa rambut dari lehernya.
Murid utama Perguruan Gagak Putih itu terbelalak kaget. Wajahnya pucat
seketika. Keringat sebesar biji-biji jagung menetes membasahi wajahnya. Dia
berusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik pulang senjatanya. Tapi
anehnya senjata itu bagai dijepit tenaga yang tak tampak! Sehingga dia tidak
dapat menarik ataupun mendorong senjatanya itu.
"Oh..., ah..., hhh...!"
Dengan napas yang semakin memburu
karena rasa takut dan ngeri, orang itu terus berusaha melepaskan senjatanya.
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Reksa Pati
mengibaskan tangannya dari bawah ke atas.
Seketika itu juga, tubuh orang itu kontan melayang bagai disentakkan tenaga
dahsyat! Darah segar memercik dari mulut dan hidungnya.
"Wuaaa...!"
Brak! Tubuh orang itu terbanting di atap
gedung perguruan. Jerit kematian menggema memenuhi tempat itu. Murid utama
Perguruan Gagak Putih itu tewas karena isi perutnya telah hancur akibat pukulan
tenaga dalam yang dahsyat dari Reksa Pati.
*** 3 Empat orang murid utama dan puluhan murid lainnya membelalak pucat! Reksa Pati
kembali telah menunjukkan kehebatan dan kekejamannya yang tidak lumrah
manusia itu. Tanpa sadar, mereka bergerak semakin mundur menjauh.
"Hm.... Cepat panggil gurumu sebelum kesabaranku habis!" geram Reksa Pati penuh
ancaman. Sepasang matanya kali ini mencorong tajam bagaikan mata seekor harimau
buas. Sambil berkata demikian, Reksa Pati mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Puluhan orang murid yang semula
mengepungnya menjadi buyar dan berlarian menyelamatkan diri. Beberapa orang di
antaranya bergegas melaporkan kejadian itu kepada guru mereka. Rupanya ancaman
kakek tinggi besar itu telah merenggut seluruh keberanian di hari mereka.
Beberapa saat kemudian, tampak
seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun berjalan tergesa-gesa menuju
halaman depan perguruan. Langkah kaki orang tua itu sangat ringan, pertanda
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sepasang matanya jernih menyiratkan kesabaran. Wajah seorang tua yang bijak
sana. "Raja Iblis dari Utara...!" gumam kakek itu ketika dari kejauhan ia melihat
Reksa Pati. Wajahnya yang semula tenang, berubah cemas. Jelas sekali kalau orang
tua yang berjuluk Pendekar Gagak Sakti ini merasa gentar! Langkahnya dihentikan
sejauh sepuluh batang tombak di hadapan Reksa Pati yang berjuluk Raja Iblis dari
Utara itu. "Ha ha ha...! Pendekar Gagak Sakti, mengapa kau tidak segera menyambut
kedatanganku. Jangan salahkan aku kalau orang-orangmu yang lancang terpaksa
kuberi sedikit pelajaran," Reksa Pati tertawa bergelak begitu melihat kehadiran
orang yang dicarinya. Sesaat kemudian, wajahnya kembali beku. Dingin dan
menakutkan! "Guru...!"
Empat orang murid utama Perguruan
Gagak Putih serentak menjatuhkan dirinya berlutut ketika melihat kedatangan guru
mereka. Salah seorang di antara mereka yang hendak berbicara terpaksa
mengurungkan niatnya ketika sang guru mengangkat sebelah tangannya sebagai
isyarat untuk diam.
"Hm..., beruntunglah kalian masih selamat. Ketahuilah, kakek tinggi besar ini
adalah seorang datuk sesat dari wilayah Utara. Tidak ada seorang pun di kalangan
persilatan yang dapat mengukur
kepandaiannya. Kekejamannya yang seperti iblis, membuat dunia persilatan men-
julukinya Raja Iblis dari Utara!"
Pendekar Gagak Sakti menghentikan ucapannya sejenak. Orang tua itu menarik napas
panjang sambil matanya berkeliling menatap murid-muridnya.
"Satu pesanku kepada kalian. Apabila aku sampai bertarung melawan iblis itu,
kalian harus segera pergi menyelamatkan diri. Aku tidak yakin akan mampu
menghadapinya," ujar Ketua Perguruan Gagak Putih itu lirih.
"Tapi, Guru...!" murid utama Pendekar Gagak Sakti yang paling tua mencoba
membantah ucapan gurunya.
"Sudahlah, turuti saja pesanku!"
sahut pendekar itu cepat. Setelah berkata demikian, Pendekar Gagak Sakti segera
melangkah mendekati Reksa Pati.
Ketua Perguruan Gagak Putih itu
menghentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan kakek iblis itu. Wajah yang
biasanya selalu tenang, kini tampak gelisah. Orang tua itu gelisah bukan
memikirkan nasibnya. Tapi ia memikirkan keselamatan murid-muridnya. Apabila dia
kalah, sudah dapat dipastikan Perguruan Gagak Putih akan musnah. Pendekar Gagak
Sakti kenal betul sifat Raja Iblis dari Utara yang tidak pernah kepalang
tanggung dalam melakukan setiap kejahatan.
"Hm..., Raja Iblis dari Utara, apa maksudmu membuat keonaran di tempatku"
Setahuku di antara kita tidak pernah ada persoalan?" ucap Pendekar Gagak Sakti
mencela kakek tinggi besar itu.
"Ha ha ha...! Hei! Adiyasa. Perlu kau ketahui! Aku tidak pernah sudi mengurusi
cecunguk-cecunguk seperti murid-muridmu itu. Tapi mereka sendirilah yang mencari
celaka," sahut kakek iblis itu tanpa merasa bersalah sedikit pun. Malah
sebaliknya ia menyalahkan murid-murid Pendekar Gagak Sakti.
"Apa maksud kedatanganmu mencariku?"
tanya Pendekar Gagak Sakti yang bernama Ki Adiyasa, mencoba menekan
kemarahannya. Meskipun ia telah mendengar sepak terjang Reksa Pati beberapa bulan belakangan
ini, namun ia ingin mendengar sendiri
pengakuannya. "Apakah kau tidak pernah mendengar berita selama beberapa bulan terakhir ini"
Baiklah! Aku akan mengatakannya kepadamu. Seperti halnya kepada para pendekar
yang telah kubunuh itu, aku pun ingin menanyakan di mana aku bisa
menemukan Pendekar Naga Putih" Jangan coba-coba membohongiku bila kau tidak


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin mengalami nasib seperti mereka!"
ancam Raja Iblis dari Utara, mulai hilang keramahannya.
"Pendekar Naga Putih" Aku memang
pernah berjumpa dengannya. Tapi
sepengetahuanku, tidak ada seorang tokoh pun yang mengetahui tempat tinggalnya.
Mengapa kau menanyakan hal itu kepadaku?"
Ki Adiyasa mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ia tahu bahwa pertanyaan itu
hanyalah alasan yang dibuat-buat.
"Ha ha ha...! Sudah kuduga bahwa kau tidak akan memberitahukannya kepadaku!
Baiklah kalau begitu, aku akan
menggunakan caraku sendiri untuk
memancing keluar pendekar sombong itu.
Nah, sekarang bersiaplah untuk kukirim ke neraka, Adiyasa!" ucap Reksa Pati
ringan. "Tunggu dulu! Kalau boleh kutahu, apa urusanmu mencari Pendekar Naga Putih?"
tanya Ki Adiyasa penasaran.
"Hm..., pendekar sombong itu telah membunuh tiga orang muridku! Aku ingin tahu
sampai di mana kepandaiannya hingga berani membunuh muridku," Reksa Pati
menurunkan tangannya yang semula sudah siap melontarkan serangan.
"Siapakah muridmu itu?"
"Muridku adalah Tiga Setan Sungai Kandal. Sudahlah! Lebih baik kau bersiap-siap
menghadapi kematianmu yang sudah di ambang pintu," setelah berkata demikian,
Raja Iblis dari Utara menggerakkan kedua tangannya menutup dan mengembang. Asap
tipis tampak mengepul ketika ia mulai menggosok-gosokkan kedua belah telapak
tangannya. "Ilmu 'Telapak Lidah Api'!" seru Ki Adiyasa terkejut. Ia sudah mendengar
kehebatan ilmu itu yang belum pernah tertandingi oleh tokoh mana pun. Cepat-
cepat digerakkan tangannya menyilang di depan dada.
Ki Adiyasa sadar kalau lawan yang
dihadapi kali ini bukanlah tokoh
sembarangan. Mau tak mau harus dikerahkan seluruh kepandaiannya kalau masih
ingin hidup lebih lama.
"Hm...!" Ketua Perguruan Gagak Putih itu menggeram pelahan. Buku-buku jari
tangannya berkerotokan pertanda kalau orang tua itu tengah mengempos tenaga
dalamnya. Wajahnya yang semula bersih itu tampak kemerahan.
"Mulailah, Raja Iblis !" seru Pendekar Gagak Sakti mempersilakan
lawannya menyerang terlebih dahulu.
"Ha ha ha..., kaulah yang harus mulai lebih dulu, Adiyasa. Kuberi kau kesempatan
menyerang sebanyak sepuluh jurus,"
jawab Reksa Pati mengejek lawannya.
"Tidak! Aku adalah tuan rumah di
sini. Sudah sepatutnya kalau memberi kesempatan kepada tamuku terlebih
dahulu!" sahut Ki Adiyasa tetap pada pendiriannya.
"Kalau memang itu maumu, baiklah!
Lihat serangan!" belum lagi gema suaranya
lenyap, tubuh Reksa Pati telah meluncur cepat sambil mengayunkan kedua tangannya
bergantian. Hawa panas yang menyengat kulit menyebar memenuhi pekarangan depan
Perguruan Gagak Putih.
Empat orang murid utama Ki Adiyasa
bergegas menepi. Mereka menjauhi arena pertarungan yang menegangkan itu.
Sebentar saja tubuh keempat murid utama itu basah bersimbah peluh.
"Gila! Ilmu apa yang dipergunakan iblis itu?" maki murid tertua itu mengumpat.
Kalau keempat orang muridnya yang
berada agak jauh dari arena pertarungan saja sudah merasa kegerahan, apalagi Ki
Adiyasa sendiri yang memang menjadi sasaran serangan. Pakaian yang dikenakan
orang tua itu basah kuyup bagai dicelup ke dalam air. Meskipun demikian, ia
tetap berusaha mengadakan perlawanan sengit.
Setiap kali mendapat kesempatan, orang tua itu mencoba membalas.
"Hiaaat...!"
Ki Adiyasa berteriak nyaring sambil melontarkan sebuah pukulan dengan
pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Angin pukulannya menderu-deru membuyarkan
hawa panas yang menyengat itu. Telapak tangannya yang terbuka, meluncur dan
berputar mengancam titik kelemahan lawan.
Wut! Wut! Dua buah pukulan yang dilontarkan
Ketua Perguruan Gagak Putih berhasil dihindari Reksa Pati. Sambil menggeser
tubuhnya, Raja Iblis dari Utara langsung melontarkan sebuah tendangan kilat ke
lambung lawan. Melihat serangan balasan yang tak terduga itu Ki Adiyasa melempar
tubuhnya ke belakang sambil bersalto beberapa kali menjauhi lawannya.
Tapi baru saja kedua kakinya menjejak tanah, terdengar suara mencicit tajam
menyambar ke arahnya. Ki Adiyasa
meliukkan tubuhnya menghindari dua buah pukulan jari tangan lawan. Begitu
serangan lawan luput, lalu dilanjutkannya dengan sebuah pukulan sisi
telapak tangannya ke arah pelipis Reksa Pati.
Dukkk! "Ahhh...!"
Ki Adiyasa terdorong ke belakang
ketika hantaman sisi telapak tangannya disambut tangkisan lawan. Meski
agak limbung, orang tua itu masih sempat memperbaiki kuda-kudanya sehingga tidak
sampai terjatuh.
Pendekar Gagak Sakti meringis menahan sakit pada pergelangan tangannya. Tulang-
tulang lengannya seperti remuk ketika bertemu lengan Reksa Pati yang sekeras
baja. Ki Adiyasa terkejut melihat bagian bawah lengannya ternyata melepuh
bagaikan terbakar api saja layaknya. Sadar kalau
kepandaiannya masih beberapa tingkat di bawah lawan, orang tua itu segera
mencabut pedang yang tergantung di
pinggangnya. Sring! Seberkas sinar kebiruan terpancar
ketika Ki Adiyasa mencabut keluar
senjatanya. Pedang itu lalu diputarnya hingga menimbulkan suara berdesing tajam.
"He he he.... Ayo keluarkan seluruh kepandaianmu, Adiyasa!" ejek Reksa Pati
bergelak. Ki Adiyasa tidak menimpali ucapan
lawan yang sengaja memanasinya. Ketua Perguruan Gagak Putih itu terus bergerak
maju sambil memainkan jurus pedangnya.
Dibarengi sebuah bentakan nyaring,
diputar dan ditusuk pedangnya ke perut gendut lawan.
Raja Iblis dari Utara sama sekali
tidak menghindar ketika pedang lawannya berdesing menuju perutnya. Kakek tinggi
besar itu hanya mengangkat kedua lengannya ke depan dada. Tepat pada saat ujung
pedang hampir menyentuh kulit tubuhnya, kedua tangannya bergerak
merangkap di depan, menjepit pedang itu.
Tappp! "Hiah...!"
Pendekar Gagak Sakti mengerahkan
seluruh tenaganya untuk menekan ujung pedangnya. Namun sepasang tangan Raja
Iblis dari Utara yang laksana jepitan baja itu ternyata tak dapat ditembusnya.
Gagal menekan, Ki Adiyasa mencoba
menyentak pedangnya dari jepitan telapak tangan lawan. Sayang usahanya tetap
tidak berhasil!
Asap tipis mulai mengepul dari ubun-ubun Ki Adiyasa. Pertanda kalau orang tua
itu telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Raja Iblis dari Utara tidak
menghindar ketika pedang Pendekar Gagak Sakti berdesing cepat. Tepat pada saat
ujung pedang hampir menyentuhnya, kedua tangannya bergerak menjepit pedang itu.
"Hiah...!" Pendekar Gagak Sakti berusaha sekuat tenaga menusukkan ujung
pedangnya! Tiba-tiba Raja Iblis dari Utara
menyentakkan pedang itu ke kiri.
Terdengar suara 'kletak' saat pedang itu patah menjadi dua. Sebelum Ki Adiyasa
sempat menyadarinya, Reksa Pati melangkahkan kaki kanannya ke depan. Sambil
merendahkan tubuhnya, kakek tinggi besar itu mendorong kedua telapak tangannya
ke dada Pendekar Gagak Sakti.
Bughk! "Ahhh...!"
Ketua Perguruan Gagak Putih terlempar ke belakang diiringi jerit tertahan.
Darah segar menyembur dari mulutnya. Debu tipis mengepul ketika tubuh pendekar
tua itu terbanting keras di tanah. Baju di bagian dadanya hangus bagaikan
termakan api. Sedangkan di dadanya tampak tergambar dua buah telapak tangan yang
hitam, melepuh dan menimbulkan bau sengit daging terbakar. Itulah pukulan
'Telapak Lidah Api' yang terkenal ganas dan keji!
"Guru...!" murid tertua Ki Adiyasa berlari memburu tubuh gurunya diikuti ketiga
adik seperguruannya.
Orang tua itu terkapar lemah. Napasnya sudah tak beraturan lagi. Pukulan lawan
yang telak itu rupanya telah
menghancurkan isi dadanya. Darah segar masih saja mengalir dari mulutnya. Sesaat
kemudian, kepala Ki Adiyasa terkulai di atas pangkuan murid tertuanya. Ketua
Perguruan Gagak Putih tewas tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun kepada
murid-muridnya!
"Guru...!"
Keempat orang murid utama Ki Adiyasa itu berteriak-teriak sambil mengguncang-
guncangkan tubuh gurunya. Namun, Ketua Perguruan Gagak Putih telah membisu untuk
selama-lamanya.
"Keparat kau, Iblis Utara! Kau harus menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
seru salah seorang murid utama geram.
Dengan wajah masih bersimbah air mata, dia bangkit seraya mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya.
"Jangan...!" murid tertua Ki Adiyasa berteriak mencegah adik seperguruannya.
Tapi sayang ia sudah terlambat untuk mencegah. Adik seperguruannya yang telah
gelap mata itu sudah tiba di hadapan Raja Iblis dari Utara
Trak! Krep! Pedang di tangan orang itu memang
berhasil menyentuh tubuh Reksa Pati. Tapi bukan perut Raja Iblis dari Utara yang
robek, melainkan pedang itu yang patah menjadi dua. Sebelum sempat murid
Perguruan Gagak Putih itu menyadari, tahu-tahu tangan kakek tinggi besar itu
sudah terulur menangkap lehernya.
"Hekh...!"
Krek! Terdengar suara gemeretak bunyi
tulang yang patah ketika Reksa Pati mengerahkan tenaga pada cengkeramannya.
Tubuh orang itu lalu dilemparkannya ke arah tiga orang murid utama yang masih
berdiri terpaku. Serentak ketiganya melompat maju menangkap tubuh adik
seperguruannya yang telah menjadi mayat.
"Pergilah! Selamatkan diri kalian.
Biar aku dan murid-murid yang lainnya menghadapi iblis itu," ujar murid tertua
kepada dua orang adik seperguruannya.
Setelah berkata demikian, segera dicabut pedangnya dan bersiap menghadapi Reksa
Pati. "Tidak, Kakang! Lebih baik kami mari daripada harus lari seperti anjing
pengecut!" bantah salah seorang di antaranya.
"Kalau kalian ikut mati, siapa yang akan membalaskan dendam ini kelak"
Sudahlah, pergilah kalian sesuai pesan guru kita."
"Tidak, Kakang! Biarkan kami di sini bersamamu untuk...."
"Pergi kataku!" murid tertua Ki Adiyasa membentak marah. Akhirnya kedua adik
seperguruannya itu dengan hati pilu meninggalkan halaman gedung utama
Perguruan Gagak Putih, dan menyelinap masuk ke pintu di balik gedung.
"Ha ha ha..., jangan harap kalian dapat lolos dari tanganku!" seru Raja Iblis
dari Utara bergelak. Sesaat
kemudian, tubuh tinggi besar itu melesat mengejar dua orang murid utama yang
hendak lari itu.
"Seraaang...!" murid tertua Ki Adiyasa berteriak memberi peringatan kepada
puluhan orang murid yang berada di belakangnya. Sambil berkata demikian, ia
mendahului yang lainnya melompat maju.
Puluhan orang murid Perguruan Gagak Putih itu serentak berlari menerjang Raja
Iblis dari Utara yang hendak mengejar dua orang murid utama itu. Mereka sudah
tidak lagi mempedulikan kematian
yang akan dihadapi. Hanya satu tekad mereka yaitu mencegah Raja Iblis dari Utara agar
tidak mengejar kakak seperguruan mereka yang hendak meloloskan diri.
"Hm...!"
Bukan main marahnya Raja Iblis dari
Utara melihat kenekatan puluhan murid Perguruan Gagak Putih. Sambil mendengus
gusar, kakek tinggi besar itu segera membagi-bagi pukulan dan tamparannya.
Blarrr! "Aaa...!"
Puluhan orang murid Perguruan Gagak Putih beterbangan bagaikan daun-daun kering.
Darah muncrat menggenangi
pelataran depan perguruan. Bau anyir darah mulai menyebar memenuhi tempat itu.
Amukan si kakek iblis benar-benar
menggiriskan sekali! Dalam beberapa gebrak saja, puluhan mayat murid
perguruan itu sudah saling tumpang tindih tak karuan.
"Hiaaa...!"
Murid tertua Ki Adiyasa melompat
sambil mengayunkan pedangnya membabat leher Reksa Pati. Namun, Raja Iblis dari
Utara yang sudah bagaikan malaikat
pencabut nyawa, segera melontarkan
tamparan yang menimbulkan suara mencicit tajam.
Prak! Tanpa sempat berteriak lagi, orang
itu ambruk dengan kepala pecah! Darah bercampur cairan putih kental, memercik
menyebarkan bau anyir yang makin kuat Setelah menewaskan murid tertua
Perguruan Gagak Putih, Raja Iblis dari Utara
berkelebat mengejar dua orang
lainnya yang bermaksud meloloskan diri.
Sesaat kemudian, dua orang murid utama Ki Adiyasa itu sudah berhasil dikejarnya.
Bukan main terkejutnya hati kedua
orang itu ketika tahu-tahu di depan mereka telah menghadang Raja Iblis dari
Utara. "Ha ha ha...! Mau lari ke mana kalian" Jangan harap kalian dapat lolos dari
kematian!" ujar Reksa Pati sambil tertawa sinis.
"Huh! Jangan harap kami akan menyerah begitu saja, iblis! Heaaat...!" sambil
berteriak keras, salah seorang dari murid utama Perguruan Gagak Putih itu
menerjang disertai ayunan senjatanya.
Melihat kawannya sudah menerjang,
yang seorang lagi bergegas mencabut senjatanya. Sesaat kemudian, ia pun bergegas
membantu kawannya yang sudah lebih dahulu menerjang Raja Iblis dari Utara.
"Hm...!"
Disertai dengusan kasar, Reksa Pati mengembang-kan sepasang tangannya memapak
serangan dua orang itu.
Plak! Plak! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun terjengkang akibat
tangkisan Raja Iblis dari Utara.
Dan sebelum keduanya sempat bangkit, sepasang kaki yang besar dan kuat telah
menjejak perut mereka. Terdengar bunyi gemeretak tulang-tulang yang berpatahan!
Darah segar pun langsung mengalir dari mulut kedua orang murid utama Perguruan
Gagak Putih itu.
Raja Iblis dari Utara mengangkat
kedua kakinya begitu tubuh yang
diinjaknya sudah tidak bergerak lagi.
Diiringi gelak tawa yang menyeramkan, kakek iblis itu pun berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu.
4 Sepak terjang Raja Iblis dari Utara dan kekejamannya dalam membantai tokoh-tokoh


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan maupun perguruan-perguruan silat golongan putih, benar-benar
menggemparkan dunia persilatan.
Hampir di setiap pelosok, orang ramai membicarakan tentang peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan itu. Cerita tentang keganasan Raja Iblis dari Utara benar-
benar menjadi wabah saat itu.
"Gila! Kalau begini caranya, bisa habis tokoh-tokoh persilatan golongan putih
dibantainya. Siapa yang sanggup menghentikan perbuatan Raja Iblis dari Utara
itu?" ujar seorang laki-laki
berwajah bulat bernada penasaran. Tangannya menggebrak meja agak keras sehingga
para pengunjung kedai makan di sekitarnya serentak memalingkan wajah ke arah
orang itu. "Jangan terlalu keras bicaramu, Adi Gantara. Ucapanmu bisa-bisa membawamu
melayat ke akherat nanti!" ucap kawannya mengingatkan. Orang itu menekan
suaranya serendah mungkin agar tidak terdengar pengunjung yang lain.
"Benar apa yang dikatakan Kakang Ranjalu, Adi Guntara. Kita tidak boleh
sembarangan membicarakan hal itu. Kalau mata-mata iblis itu mendengar, bisa
runyam urusannya," bisik yang satunya lagi lirih. Sambil berkata demikian
matanya melirik ke kiri-kanan. Raut wajahnya menyiratkan keemasan.
"Bukan itu saja. Kalau ada tokoh persilatan golongan putih yang merasa
tersinggung dengan ucapanmu, bisa repot kita," orang paling tua yang bernama
Ranjalu itu kembali mengingatkan.
"Huh! Untuk apa kita takut" Bukankah benar perkataanku tadi! Daripada harus
tersinggung, bukankah lebih baik
menumpahkan rasa kedongkolan kepada Raja Iblis dari Utara! Bukan kepada kita?"
orang berwajah bulat yang bernama Guntara itu tetap saja mengobral rasa tak
puasnya terhadap sikap kebanyakan tokoh-tokoh
golongan putih saat itu. Ia terus saja mengumbar ucapannya keras-keras.
"Iya, tapi jangan di tempat umum seperti ini!" geram Ranjalu merasa agak kesal.
Wajahnya mulai memerah karena amarahnya sudah bangkit melihat
kebandelan adik seperguruannya.
"Benar yang dikatakan Saudara
Guntara!" tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya berambut sebahu, melangkah
menghampiri meja di mana ketiga laki-laki itu duduk. Laki-laki itu mengucapkan
kata-katanya sambil memperlihatkan senyum lebar. "Boleh aku bergabung di meja
kalian?" pinta orang itu ramah.
"Silakan, silakan Kisanak," sahut Ranjalu membalas keramahan orang itu.
Wajahnya yang semula sudah
memerah, kembali berubah seperti sediakala. Ia tidak ingin kalau pertengkaran antara dia
dan adik seperguruannya sampai diketahui orang lain.
"Namaku Karmapala. Aku menjadi tertarik untuk bergabung ikut mendengar-kan
obrolan kalian tadi. Rasa-rasanya apa yang diucapkan Saudara Guntara tadi, sama
dengan apa yang ada dalam pikiranku,"
laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri, sambil mengungkapkan sikapnya
dalam menanggapi persoalan yang tengah melanda dunia persilatan pada masa itu.
"Aku Ranjalu. Dan kedua orang ini
adalah saudara-saudara seperguruanku,"
sahut Ranjalu sambil memperkenalkan nama kedua orang adik seperguruannya. Ia
sengaja tidak menyebutkan nama
perguruannya, karena laki-laki setengah baya itu juga tidak menyebutkan nama
perguruan atau partainya.
"Nah! Benar kan ucapanku tadi, Kakang" Nyatanya Ki Karmapala pun
berpikiran sama sepertiku. Bukankah begitu, Ki?" tegas Guntara sambil menatap
laki-laki setengah baya itu. Pemuda berusia dua puluh tahun itu merasa
gembira karena mendapat teman sependirian.
"Hm...," Ranjalu hanya bergumam menanggapi ucapan adiknya. Rupanya ia masih
tetap belum dapat menerima pendapat Guntara.
"Kalau menurut pendapatku, orang yang mesti kita cari adalah Pendekar Naga
Putih!" Ki Karmapala sengaja menekan pada kalimat 'Pendekar Naga Putih', untuk
melihat reaksi ketiga orang itu. Sengaja suaranya agak dikeraskan sedikit agar
dapat didengar semua pengunjung kedai makan itu.
"Eh, mengapa harus begitu?" Ranjalu terpaksa menyahut ketika mendengar
disebutnya nama Pendekar Naga Putih yang selama ini mereka kagumi.
"Ya, mengapa harus Pendekar Naga
Putih yang kita cari?" Guntara pun mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan
Ki Karmapala yang cukup menga-getkan itu.
"Tentu Saja!" jawab Ki Karmapala tambah bersemangat ketika melihat
perhatian ketiga orang gagah itu mulai tercurah kepadanya. Laki-laki setengah
baya itu mulai mengemukakan pendapat dan pandangannya. Ternyata bukan hanya tiga
orang itu saja yang tertarik. Bahkan hampir semua pengunjung kedai makan ikut
memasang telinga guna mendengar lebih jelas tentang apa yang diceritakan dan
direncanakan Ki Karmapala.
"Hm..., rasanya pendapat Ki Karmapala boleh kita coba!" usul Guntara yang
disambut anggukan dua orang kakak
seperguruannya. Selesai berkata demikian, ia pun bangkit berdiri diikuti ketiga
orang lainnya. Rupanya keempat orang gagah itu berniat meninggalkan kedai itu.
Beberapa saat setelah kepergian
keempat orang gagah itu, beberapa orang yang menyandang pedang,
bangkit dari kursinya. Setelah membayar harga makanan, orang-orang itu bergegas mengikuti
arah yang diambil empat orang gagah tadi.
*** Panji atau yang dikenal berjuluk
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya lambat-lambat Kepalanya tertunduk
memandangi batu-batu kerikil yang ter-gilas kakinya. Wajah pemuda tampan itu
terlihat murung. Rupanya ada persoalan yang mengganggu pikirannya.
"Hhh...," terdengar helaan napas berat mewakili perasaan pemuda itu.
Sebuah kerikil ditendangnya secara iseng.
Batu, kecil itu melambung jauh diikuti tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan. Para tokoh persilatan yang tak berdosa itu tewas hanya karena mereka
tidak dapat memberitahu di mana adanya aku. Iblis itu benar-benar biadab sekali!
Mengapa ia tidak mencariku saja" Mengapa ia harus menanyakannya kepada orang-
orang yang memang betul-betul tidak mengeta-huinya?" bermacam-macam perasaan
terus berkecamuk dalam benaknya. Panji benar-benar tidak mengerti, apa
sebenarnya yang diinginkan orang yang berjuluk Raja Iblis dari Utara itu. Dan
mengapa pada saat ia muncul malah sebaliknya iblis itu tak pernah muncul" Baru
kali inilah Panji merasa pikirannya benar-benar buntu!
Tiba-tiba Panji menghentikan
langkahnya ketika pendengarannya yang tajam mendengar tangisan dan jerit orang
minta tolong. Cepat pemuda itu mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber
suara. "Hm..., kalau mendengar dari suara gaungnya, pastilah teriakan itu berada dekat
sebuah tebing. Kalau begitu,
pastilah suara itu berasal dari sebuah lembah atau dari balik bukit." Berpikir
demikian, tubuh pemuda itu segera melesat mencari tempat yang dimaksud.
Pendekar Naga Putih itu berkelebat
cepat mengitari daerah sekitarnya. Namun hingga lelah mencari, ternyata apa yang
diduganya tidak dijumpainya. Pemuda itu terpaksa menghentikan pencariannya.
"Ah, mungkin itu hanya suara angin saja. Atau aku yang salah dengar?" gumam
Panji sambil mengerutkan
kening. "Angin..." Ya, suara teriakan itu pasti terbawa angin!"
Secepat kilat, Panji
segera melesat mendaki sebuah anak bukit yang berada tidak jauh di depannya. Tak
lama kemudian, tubuh pemuda itu sudah membungkuk di antara rimbunan semak-semak.
Apa yang dilihatnya benar-benar
membuat kening pemuda itu berkerut. Di atas puncak anak bukit itu ternyata
terdapat sebuah perkampungan kecil.
Beberapa buah rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia tampak
menghias puncak anak bukit itu.
"Hm.... Perkampungan apa ini"
Benarkah apa yang kudengar tadi berasal dari sini?" hari Panji mulai ragu-ragu.
Tapi sebelum pemuda itu berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara
pertempuran yang diselingi suara bentakan dan jerit kematian.
"Hup!"
Tanpa berpikir dua kali, Panji
menggenjot tubuhnya hingga melambung ke sebuah pohon besar yang berdaun lebat.
Merasa aman dan agak tersembunyi dari pandangan orang-orang di bawahnya, ia pun
bergegas duduk di atas sebuah cabang pohon yang dirasa cukup kuat menahan bobot
tubuhnya. "Keempat orang gagah itu pastilah tidak akan sanggup menahan gempuran puluhan
orang kasar yang mengeroyoknya.
Heran, mengapa mereka begitu berani mati, memasuki tempat ini tanpa
perhitungan?"
gumam Panji tak habis pikir. Merasa bahwa keempat orang itu akan tewas apabila
tidak cepat ditolong, Panji berniat melompat untuk menolong mereka.
"Jangan takut, Kawan-kawan! Kami datang membantu!"
Panji menahan gerakannya ketika
mendengar suara itu. Delapan orang yang baru datang itu bergerak cepat memasuki
kancah pertempuran. Dalam beberapa gebrak saja, keadaan telah berubah! Keempat
orang gagah itu kini dapat menarik napas lega. Apalagi ketika mendapat kenyataan
bahwa kepandaian delapan orang itu
ternyata rata-rata cukup tinggi.
"Terima kasih atas bantuan kalian,
Sahabat!" teriak laki-laki setengah baya sambil mengayunkan
pedangnya membacok
seorang lawan yang seketika itu juga roboh mandi darah! Ternyata orang itu
adalah Ki Karmapala. Orang-orang yang membantunya itu adalah orang-orang yang
mengikutinya semenjak dari kedai.
"Ah! Tidak perlu sungkan-sungkan, Pendekar Pedang Sakti. Bukankah hal ini memang
sudah menjadi kewajiban kita?"
sahut salah seorang dari delapan laki-laki gagah itu cepat.
Bret! Crak! "Aaakh...!"
Dua orang laki-laki kasar terjungkal mandi darah akibat sambaran pedang orang
yang berbicara kepada Ki Karmapala itu.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi orang itu kembali menggempur lawan-lawannya
yang mulai berkurang banyak itu.
Panji yang duduk di atas dahan, diam-diam merasa kagum akan sepak tenang kedua
belas laki-laki gagah itu. Sambaran pedang mereka mantap dan terlatih baik.
Beberapa waktu kemudian, para pengeroyok itu pun melarikan diri karena tak
sanggup menahan amukan kedua belas orang itu.
Tiba-tiba sepasang mata Panji yang
tajam menangkap sesosok bayangan yang melesat menuruni anak bukit. Sesosok
tubuh ramping tampak meronta-ronta dalam pondongannya. Rupanya salah seorang
dari gerombolan itu berusaha menyelamatkan diri sambil membawa lari seorang
gadis. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Panji segera melayang turun mengejar orang itu. Bagaikan seekor burung camar
yang bermain-main di antara deburan ombak, tubuh pemuda itu meliuk dan
berputar beberapa kali di udara.
Tappp! Pendekar Naga Putih mendaratkan
kakinya ke tanah berbatu menghadang lari orang itu. Sepasang matanya mencorong
tajam menerbangkan semangat orang itu.
"Sssi... siapa kau...?" tanya laki-laki berwajah kusam itu agak bergetar.
Rupanya ia begitu terkejut melihat
kehadiran Panji yang tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku bukanlah hal yang penting. Lepaskan gadis itu! Dan kau boleh
pergi!" sahut Panji penuh ancaman.
"Anak Muda! Wanita ini adalah
istriku. Apakah kau ingin mencampuri urusan rumah tangga ku?" laki-laki berwajah
kusam itu rupanya sudah
mendapatkan ketenangannya kembali. Kata-kata yang dilontarkannya sempat membuat
Panji kaget. "Eh..."!" untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri termangu. Ia
benar-benar tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Sesaat kemudian,
kepala pemuda itu kembali terangkat.
Rupanya ia tidak ingin dibohongi mentah-mentah. "Kalau memang benar begitu,
turunkan perempuan itu. Biar kutanyakan sendiri kepadanya."
"Bangsat! Rupanya kau memang peng-ganggu rumah tangga orang! Nah, terimalah ini!
Hih...!" setelah melontarkan makian yang membuat wajah pemuda itu memerah, laki-
laki itu bergerak cepat menusukkan pedangnya ke perut Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam tak jelas. Pada saat serangan itu tiba, tubuh
pemuda itu melenting sambil mengulur kedua tangannya merebut wanita dari
pondongan laki-laki berwajah kusam itu.
Tubuh Panji terus melayang hingga
beberapa tombak jauhnya. Kakinya menjejak tanah secara indah. Tangannya lalu
bergerak membebaskan totokan pada
perempuan itu. "Terima kasih, Kisanak. Aku bukanlah istri laki-laki biadab itu. Aku adalah
salah seorang dari sekian banyak gadis desa yang diculiknya. Bunuh saja laki-
laki jahanam itu, Kisanak. Dia... dia jahat dan kejam!" begitu terbebas dari
totokan, wanita itu cepat menerangkan.
Tadi dia hanya dapat mendengar tanpa mampu berbicara karena laki-laki berwajah
kusam itu telah menotok urat dagunya.
"Hm..., masih mau mengatakan
perempuan ini sebagai istrimu?" tanya Panji tersenyum mengejek. Hati pemuda itu
lega begitu mendengar keterangan yang diberikan perempuan itu. Meskipun ia sudah
menduganya sejak semula, namun sebelum mendapat kepastian tetap saja ia masih
meragukannya. "Keparat busuk! Kucincang tubuh-mu...!" laki-laki berwajah kusam itu kembali
melompat sambil menyabetkan senjatanya ke leher pemuda itu.
Panji hanya menggeser kaki kanannya ke belakang yang disertai kelitan
tubuhnya, dan pedang itu pun mengenai tempat kosong. Lawannya bergerak sigap
menarik kembali senjatanya sambil melepaskan dua buah tendangan susul menyusul.
Tendangan pertama dielakkan secara
mudah. Dan ketika tendangan kedua tiba, Panji menggerakkan tangannya mengangkat
kaki lawan. Sehingga....
Buk! "Uhhh...!"
Laki-laki itu terbanting keras di
tanah yang dipenuhi batu-batu yang
bertonjolan. Wajahnya meringis menahan sakit akibat membentur batu-batu yang
bertonjolan itu. Sesaat kemudian, tubuhnya melenting berdiri dan langsung
menyabetkan kembali senjatanya.
Kali ini tangan Panji bergerak cepat.
Bagaikan seekor ular hidup, tangan pemuda itu meliuk dan menangkap pergelangan tangan lawan. Laki-laki itu
menjerit kesakitan ketika Panji mengerahkan tenaganya meremas pergelangan orang
itu. Begitu pedangnya terlepas, tangan Panji langsung bergerak menusuk lambung
menggunakan jari-jari terbuka.
"Hughk...!"
Orang itu mengeluh tertahan. Kedua
kakinya sampai terlompat ketika tusukan jari-jari tangan Panji menghunjam
lambungnya. Darah segar meleleh dari sela-sela bibirnya. Untunglah Panji tidak
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya sehingga orang itu tidak sampai tewas.
Tubuh orang itu hanya menggelepar-gelepar menahan sakit yang tak terkira pada
lambungnya. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!" ancam Panji sambil menendang tubuh
orang itu hingga terguling-guling.
Sambil menahan rasa sakit, orang itu berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat
itu. Belum lagi laki-laki berwajah kusam itu berlari jauh, tiba-tiba sesosok
bayangan melesat dari sebelah kirinya.
Sosok tadi langsung mengayunkan goloknya membabat leher laki-laki berwajah kusam
tadi. Crak! Darah memancur dari luka di lehernya.
Sedangkan kepala orang itu telah


Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelinding entah ke mana. Laki-laki berwajah kusam itu tewas tanpa sempat
berteriak lagi.
"Orang seperti dia tidak patut mendapat ampunan, Kisanak! Kematian adalah
Balasan yang paling setimpal untuknya," ujar sosok bertubuh sedang sambil
melangkah menghampiri Panji yang hanya berdiri terpaku.
Kemunculan laki-laki setengah baya
bertubuh sedang itu disusul beberapa orang laki-laki gagah. Dua belas orang
laki-laki gagah itu meneliti Panji dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya.
Sesaat kemudian, dua belas orang laki-laki gagah itu berseru tertahan.
"Anak Muda. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?" tanya laki-laki
setengah baya yang ternyata adalah Ki Karmapala. Serentak kaki orang tua itu
melangkah mundur. Sedang pedang di
tangannya yang masih berlumuran darah itu tampak bergetar.
Gerakan mundur yang dilakukan Ki
Karmapala diikuti oleh sebelas kawannya.
Jari-jari tangan mereka meraba gagang senjata masing-masing. Jelas sekali kalau
mereka telah bersiap-siap menghadapi
sebuah pertarungan.
"Benar, Paman. Orang rimba persilatan
menjuluki aku Pendekar Naga Putih," jawab Panji yang mulai meraba sikap yang
diperlihatkan kedua belas orang laki-laki gagah yang dikaguminya itu.
Ki Karmapala kembali meneliti mulai dari ikat kepala, pakaian dan juga pedang
yang melilit pinggang pemuda itu.
"Hm..., tidak salah lagi! Pemuda inilah yang kita cari-cari!" ujar Ki Karmapala
sambil menolehkan kepalanya ke arah kawan kawannya.
"Ada apakah sebenarnya, Paman?" Panji yang sudah melihat gelagat tidak baik yang
diperlihatkan laki-laki gagah itu, bersiap meninggalkan tempat itu. Pengala-
mannya pada beberapa hari yang lalu telah membuatnya curiga. Memang, beberapa
hari yang lalu dirinya
pernah dikeroyok
belasan orang tokoh persilatan golongan putih yang hendak menyerahkan dirinya
kepada Raja Iblis dari Utara. Pemuda ini heran sekali mengapa para tokoh rimba
persilatan golongan putih kini malah berbalik memusuhinya.
"Hm..., Pendekar Naga Putih. Karena ulahmu dunia persilatan menjadi kacau.
Lebih baik sekarang kau menyerah secara baik-baik! Kau akan kami serahkan kepada
Raja Iblis dari Utara. Ingat! Bila kau menolak, kami tidak segan-segan bertindak
keras padamu!" ancam Ki Karmapala mengingatkan.
"Baik! Aku menyerah. Tapi aku tidak ingin diperlakukan seperti seorang
tawanan. Bagaimana?" sahut Panji yang tidak ingin bentrok dengan dua belas orang
laki-laki gagah itu.
"Tidak bisa! Kami harus menotok dan mengikat seluruh tubuhmu. Barulah kami dapat
membawamu," Ki Karmapala tidak menyetujui usul yang diajukan Panji.
"Ki, bukankah pendekar muda itu sudah mengalah. Sudahlah, kita bawa saja dia
sekarang ke tempat iblis itu," tiba-tiba Ranjalu berbisik di telinga laki-laki
setengah baya itu. Rupanya Ranjalu tidak menyukai cara yang ditempuh Ki
Karmapala. Oleh karena itu dia berusaha agar Ki Karmapala menerima usul Panji.
"Tidak, Adi Ranjalu. Kalau kita tidak melumpuhkannya terlebih dahulu, bagaimana
kita dapat menjamin kalau dia tidak akan melarikan diri?" jawab Ki Karmapala tak
mau kalah. Ranjalu tidak menjawab. Ia tidak dapat menyangkal ucapan itu.
"Aku bukan seorang pengecut, Paman.
Aku berjanji tidak akan melarikan diri seperti yang Paman kira," tersinggung
juga hari pemuda itu melihat sikap yang ditunjukkan Ki Karmapala.
"Tidak! Kami tetap akan membawamu
dalam keadaan terikat dan tertotok
lumpuh! Kalau tidak, lebih baik kami membawa mayatmu saja untuk kami serahkan
kepada Raja Iblis dari Utara!" Ki Karmapala tetap kukuh pada pendiriannya.
5 Sesabar-sabarnya hati orang, pastilah ada batasnya. Sikap yang ditunjukkan Ki
Karmapala benar-benar membangkitkan amarah Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya
berkilat-kilat mencerminkan perasaan hatinya yang mulai dilanda
kemarahan. "Kau terlalu mendesakku, Orang Tua!"
Panji tidak lagi menggunakan istilah paman kepada Ki Karmapala. Meskipun
kesadaran masih menguasai pikirannya, namun sikap hormatnya kepada orang tua itu
sudah hilang. "Nah, kalian lihatlah! Betapa
sombongnya pendekar muda ini. Ayo, kita tangkap dia! Lihat serangan...!" sambil
berkata demikian, Ki Karmapala yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti menerjang ke
arah Panji. Angin pedangnya berdesing tajam menandakan kalau orang tua itu tidak
main-main dalam serangannya.
Sebelas orang lainnya
segera mengurung Panji. Sesaat kemudian di tangan mereka telah tergenggam senjata
masing-masing. Panji melompat ke kiri menghindari
serangan maut yang dilancarkan Ki
Karmapala. Baru saja kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba suara mengaung tajam
telah mengancam tubuhnya. Cepat-cepat
Panji meliukkan tubuhnya menggunakan kuda-kuda serendah mungkin. Pada saat
pedang di tangan lawan lewat di atas kepalanya, tubuh Panji bersalto ke
belakang sejauh tiga tombak. Rupanya pemuda itu masih sungkan untuk membalas
serangan-serangan lawannya.
"Rupanya kau memang lebih suka kekerasan, pendekar sombong!" seru Pendekar
Pedang Sakti mengejek. Sepertinya laki-laki setengah baya itu merasa benci
sekali kepada Pendekar Naga Putih.
Tak mengherankan jika serangan-serangannya pun demikian ganas dan mematikan.
Kali ini pedangnya diputar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan-gulungan
sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Pendekar Naga Putih masih terus
mengelak tanpa berusaha untuk membalas.
Wajar saja kalau dalam beberapa jurus pemuda itu sudah terdesak hebat! Dua belas
orang pendekar itu rupanya memang benar-benar menginginkan kematiannya.
Mereka tidak tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan.
Dua puluh jurus sudah Panji berusaha mati-matian menghindari serangan dua belas
mata pedang itu. Namun sampai
sejauh itu belum satu pun pedang lawan yang berhasil menyentuh kulitnya. Gerakan
Panji yang meliuk-liuk bagaikan seekor naga sakti yang tengah bermain di
angkasa, membuat lawan-lawannya semakin penasaran!
"Hiaaat...!"
Ki Karmapala yang sudah dipengaruhi rasa penasaran dan kemarahan, semakin
memperhebat serangannya. Pedangnya
berkelebat bagaikan sambaran-sambaran kilat di angkasa. Bahkan beberapa kali
mata pedangnya hampir menyentuh tubuh Pendekar Naga Putin. Hal itu membuat orang
Peristiwa Burung Kenari 3 Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya Tong Hong Giok Pendekar Riang 4
^