Pencarian

Penghuni Rimba Gerantang 3

Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang Bagian 3


berarti telah mendapat
bantuan yang dapat diandalkan untuk menumpas
Penghuni Rimba Gerantang.
"Ah! M aafkan aku, Eyang Resi. Untunglah kita tidak saling menjatuhkan," Panji
menabah panggilannya sesuai dengan pakaian yang dikenakan Resi Bagawa. Pemuda
itu membungkuk hormat kepada orang tua itu.
"Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu,
Pendekar Naga Putih. Untunglah aku segera dapat
mengenalimu berkat ciri-cirimu yang jarang dimiliki
kaum persilatan itu,'" Resi Bagawa tertawa senang
"Namaku Resi Bagawa dan itu muridku Namanya Ragas.
Boleh kutahu namamu, Pendekar Naga Putih" Apakah
engkau mempunyai tujuan datang ke daerah ini?"
"Namaku Panji, Eyang Resa. Sedang kedatanganku
kemari hanya kebetulan lewat saja," sahut Panji mencoba menyembunyikan
maksudnya. "Hm.... Jadi, tidak ada maksud lain...?" Resi Bagawa menggantungkan ucapannya.
"Tidakkah kau mendengar tentang sesuatu selama perjalananmu ke sini?"
"M aksud Eyang Resi...?" Tanya Panji ingin mengetahui sampai seberapa jauh yang
diketahui Resi Bagawa tentang Penghuni Rimba Gerantang yang penuh misteri
itu. Sedangkan, apa yang telah didengarnya dari Ki
Dewana maupun Laksa, hanya sebagian kecil saja. Dan
belum terlalu jelas.
Akhirnya, Resi Bagawa menceritakan tentang apa
yang diketahuinya. Sesekali Ragas ikut menimpali,
memberikan keterangan kepada Panji. Namun, segala apa yang diceritakan Ragas
maupun gurunya ternyata tidak beda jauh dengan apa yang diceritakan Ki Dewana
dan Laksa. Sehingga, sampai cerita kedua orang itu selesai, misteri Penghuni Rimba
Gerantang masih belum
terungkapkan. "Kita tidak boleh membiarkan kejadian ini berlarut-larut, Panji. M ereka harus
ditumpas!" Tegas Resi Bagawa menutup ceritanya.
"Benar! Kita harus mencobanya, Eyang Resi!"
"Lalu, bagaimana dengan tugasmu, Ragas?" Tanya Panji. M emang, Ragas telah
menceritakan maksud
perjalanannya. "Rasanya sudah tidak perlu lagi. Aku yakin dengan adanya Eyang dan Pendekar Naga
Putih, manusia-manusia iblis itu akan dapat ditumpas!" Tegas Ragas, yakin.
"Kalau begitu, marilah kita membuat rencana untuk menjebak mereka!" Usul Resi
Bagawa. Panji dan Ragas mengangguk menyetujui usul orang tua itu. Dua orang
pemuda itu tersenyum melihat semangat Resi Bagawa
yang begitu menggebu-gebu.
"Sudah terlalu lama aku menyembunyikan diri. Dan mulai hari ini, aku akan
mempunyai pengalaman yang
akan membuatku menjadi lebih berarti," ucap Cambuk Hujan dan Badai penuh
kegembiraan. Angin sore bertiup pelahan menyejukkan. Tiga orang
pendekar siap mengungkap misteri si Penghuni Rimba
Gerantang! * * * Ragas melangkah gontai memasuki Desa M uara
Bening Wajahnya terlihat agak pucat. Bahkan pakaian
yang dikenakannya robek di beberapa bagian. Tampak-
nya dia tengah menderita luka.
"Kakang Ragas...! Apa... apa yang terjadi?" Salah seorang penjaga gardu yang ada
di mulut dcsa berteriak kaget, la kontan berlari menyambut Ragas. Beberapa
orang lainnya ikut pula menyongsong kedatangannya,
lalu memapah tubuhnya.
"Bawa aku menghadap Ki Jatar...!" Pinta Ragas kepada para penjaga itu.
"Baik, Kakang!" Jawab orang yang pertama kali menyongsongnya tadi. Dan dengan
dibantu seorang
kawannya, mereka bergegas memapah Ragas ke tem?pat
kediaman kepala desa.
Sepanjang perjalanan, para penduduk yang berpapa-
san dijalan menatap Ragas cemas. M ereka takut kalau-kalau salah seorang pemuda
yang diandalkan itu akan
meninggalkan mereka. Rupanya Ragas adalah salah
seorang pimpinan yang disukai oleh penduduk desa itu.
Beberapa waktu kemudian, ketiga orang itu pun tiba
didepan sebuah rumah besar. M ereka bergegas memasuki halaman rumah besar itu.
"Cepat laporkan kepada Ki Jatar!" Teriak salah seorang yang membawa Ragas begitu
melihat seorang
penjaga yang baru keluar dari dalam rumah itu.
Tanpa banyak tanya lagi orang itu cepat bergegas
masuk. Tidak berapa lama kemudian, Ki Jatar pun
muncul Kepala Desa M uara Bening itu terpaku sejenak melihat kedatangan Ragas
dalam keadaan terluka.
"Ayo, bawa dia masuk ke dalam!" Perintah Ki Jatar.
Setelah berkata demikian, orang tua itu segera masuk kembali Wajahnya terlihat
agak pucat, karena keadaan Ragas itu.
Begitu memasuki rumah, dibaringkan tubuh Ragas di
atas balai bambu yang terletak di ruang tengah. Dua
orang yang tadi mengantarnya bergegas pamit me-
ninggalkan rumah besar itu. Kini yang tinggal di dalam ruangan tengah itu hanya
Ragas, ditemani Ki Rambing
dan Ki Jatar. "Hm.... Untung hanya luka-luka ringan saja," ujar Ki Jatar menarik napas lega.
Namun di wajahnya terbayang kecemasan yang berusaha disembunyikan.
Selesai memeriksa keadaan pembantunya, Ki Jatar
bergerak bangkit. Dia melangkah ke tepi jendela yang terbuka lebar itu. Sejenak
dirayapinya pelataran samping dengan wajah murung. Berkali-kali ditariknya napas
untuk menenangkan hatinya yang terguncang.
"Apa lagi yang harus kita lakukan sekarang, Ki"
Entah apa maksudnya iblis-iblis itu membebaskan Ragas.
Tidak mungkin kalau mereka begitu berbaik hati
melepaskannya?" Tanya Ki Rambing sambil melangkah mendekati Ki Jatar yang masih
terpaku di tepi jendela.
"Hhh...," Ki Jatar hanya mendesah lirih. Rupanya ia tidak mempunyai minat
sedikit pun menimpali perkataan pembantunya itu. Pelahan-lahan dibalikkan
tubuhnya, menghadap Ki Rambing. Ditatapinya wajah pembantunya
itu lekat-lekat, seperti ingin membaca apa yang tengah dipikirkan Ki Rambing
itu. "Kau jagalah dia. Tubuhku lelah sekali dan jangan ganggu aku dulu. Aku ingin
beristirahat," pinta Ki Jatar kemudian laki-laki tua itu melangkah ke dalam
ruangan yang lain tempatnya menyepi dan bersemadi untuk
menenangkan pikiran.
Ki Rambing tidak sempat berkata sepatah pun kecuali
hanya mengangguk bingung melihat tingkah kepala
desanya yang terlihat aneh itu. Kata-kata yang tiba-tiba saja menjadi kaku dan
tidak ramah itu, menimbulkan
berbagai pertanyaan di hati Ki Rambing. Namun hal itu berusaha dimakluminya
karena keadaan desa memang
tengah ditimpa musibah.
"Ohhh...," Ragas yang jatuh tertidur setelah diobati, tiba-tiba mengeluh
pelahan. Pemuda itu menggeliat
sejenak sebelum membuka kedua matanya.
"Ah! Syukurlah kau sudah bangun, Ragas. Bagaimana rasanya keadaanmu sekarang?"
Tanya Ki Rambing
sambil melangkah menghampiri pembaringan.
"Hm.... Rasanya memang sudah enakan, Ki," jawab Ragas sambil menggerak-gerakkan
tangannya. Bergegas
pemuda itu bangkit dari dipan bambu, karena merasa
bahwa kesehatannya telah membaik. "Aku ingin berjalan-jalan sebentar, Ki. Untuk
mencari udara segar," jelas Ragas lagi. Setelah berkata demikian, kakinya segera
melangkah kelur.
"Biar kutemani," sahut Ki Rambing yang segera melangkah mengikuti Ragas.
Tangan kanan kepala desa ini sebenarnya merasa
curiga melihat kepulangan Ragas yang hanya menderita luka-luka ringan saja. M
enurutnya, itu merupakah hal yang mustahil. Sebab ia kenal betul, siapa itu para
begundal Penghuni Rimba Gerantang yang kejam dan tak kenal ampun.
Ragas sebenarnya sudah dapat menduga akan
kecurigaan Ki Rambing maupun Ki Jatar. Kedua orang
itu rasanya terlalu cerdik untuk percaya begitu saja terhadap keberhasilan
dirinya dalam meloloskan diri dari kekejaman para pengikut iblis itu. M emang,
hal ini sebenarnya sengaja tidak diceritakan, sesuai yang
direncanakan gurunya dan Pendekar Naga Putih. M aka
sampai saat itu rencananya masih berjalan mulus.
Ki Rambing terus mengikuti langkah kaki Ragas yang
menuju kebun yang terletak di belakang rumah itu. Dahi Ki Rambing berkerut
melihat Ragas yang berjalan seperti benar-benar
tengah menikmati udara sore yang menyegarkan itu. Tentu saja hatinya merasa heran, karena Ragas tidak menunjukkan
tanda-tanda habis dicengkeram ketakutan ataupun kecemasan. Padahal, dia baru
saja terlepas dari iblis-iblis begundal Penghuni Rimba
Gerantang! "M mm... Ragas!" Panggil Ki Rambing ragu-ragu.
"Ya, Ki. Ada apa?" Tanya Ragas tanpa menolehkan kepala.
"Benarkah orang-orang Penghuni Rimba Gerantang
itu tidak mengejarmu" Rasanya, tidak mungkin kalau
mereka membebaskanmu begitu saja?" Akhirnya Ki
Rambing tidak sanggup juga menyembunyikan rasa
penasaran dalam hari.
M endengar pertanyaan itu, Ragas membalikkan
tubuhnya. Ditatapnya wajah Ki Rambing penuh selidik.
Sepertinya, Ragas ingin mengetahui apa maksud laki-laki itu sebenarnya.
"Apakah Ki Rambing tidak gembira melihat aku
pulang dengan selamat" Apakah aku harus pulang dalam keadaan sudah menjadi
mayat" Begitukah yang Ki
Rambing inginkan?" Tanya Ragas dingin, tapi matanya terus menatap wajah laki-
laki yang berusia lima puluh tahun itu.
"Hhh.... kau menyakiti hatiku, Ragas. Tidak cukupkah waktu lima tahun untuk
saling mengenal" Kita telah
sama-sama mengabdi di desa ini sejak lama. Tapi,
rupanya kau masih belum mengenalku secara baik,"
sergah Ki Rambing sambil melangkah kakinya menyusuri tanah berumput. Wajahnya
tampak muram, dan dari nada suaranya tersirat kepedihan.
"M aafkan aku, Ki. Tidak seharusnya aku berkata demikian. Tapi, keadaanlah yang
membuatku harus
berhati-hati."
"Kau menyembunyikan sesuatu padaku, Ragas" Dan
kau... kau tidak percaya lagi padaku?" Tanya Ki Rambing tidak dapat
menyembunyikan perasaannya.
Ragas menatap Ki Rambing lekat-lekat. Tampak sinar
kesungguhan di mata dan wajah kawannya itu. Sedikit
pun tidak tampak kalau orang itu tengah bersandiwara.
Akhirnya, Ragas memutuskan untuk menceritakan
kejadian yang sebenarnya kepada Ki Rambing.
"Baiklah, Ki. Satu pesanku, jangan beritahukan apa yang akan kuceritakan ini
kepada siapa pun! Berjanjilah, Ki!" Pinta Ragas setelah memastikan kalau hanya
berdua di tempat itu.
"Baik, aku berjanji!" Tegas Ki Rambing sungguh-sungguh.
Dengan suara direndahkan, Ragas pun mulai men-
ceritakan kejadian yang dialami pagi tadi. Ki Rambing mendengarkan cerita Ragas
penuh kesungguhan. Sesekali napasnya tertahan, dan di lain saat terkejut,
seolah-olah yang diceritakan kawannya itu benar-benar sebuah
peristiwa yang menegangkan.
"Begitu, Ki. Hingga akhirnya aku, Guru, dan
Pendekar Naga Putih sepakat untuk membuat rencana
seperti yang tengah kujalani ini," tutur Ragas mengakhiri ceritanya. Sedang Ki
Rambing masih saja termangu-mangu seperti tak percaya.
"Hm... mudah-mudahan rencana itu berjalan lancar,"
desah Ki Rambing penuh harap. "Sudahlah, mari kita kembali. Lihatlah hari sudah
mulai gelap," ajak laki-laki itu sambil melangkah meninggalkan kebun itu diikuti
Ragas. * * * 7 M alam mulai beranjak turun. Kegelapan pelahan
menyelimuti permukaan bumi. Angin dingin bersilir
lembut menyejukkan. Samar-samar tampak sang rem-
bulan muncul utuh.
Dalam siraman cahaya bulan purnama, tampak dua
sosok bayangan putih berkelebatan di antara pepohonan.
Gerakan mereka itu demikian cepat dan ringan, seolah-olah seperti iblis-iblis
yang bergentayangan mencari mangsa.
Dua sosok bayangan putih itu terus berlarian di atas rumah-rumah penduduk Desa M
uara Bening. Sepertinya, tujuan mereka adalah balai desa yang letaknya di
tengah-tengah desa itu.
Begitu tiba di halaman belakang balai desa, dua sosok bayangan putih itu
bergegas menyelinap masuk ke
dalamnya. Kesibukan yang ada di halaman depan balai
desa itu sama sekali tidak dihiraukan.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya tiba di
sebuah ruangan yang agak luas. Di situ terdapat tiga buah tandu yang dijaga enam
orang berseragam hitam. Dua
sosok bayangan putih itu tampak saling pandang sejenak, kemudian mengangguk
berberengan. Tiba-tiba tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua bayangan putih itu bergerak
bagai kilat. Dalam sekejap saja, enam orang berseragam hitam itu telah berdiri
kaku bagaikan patung. Rupanya keenam orang itu telah
terjorok. Sementara itu di luar bangunan, tampak Ki Jatar
melangkah memasuki halaman balai desa. Di sebelah
kanannya, berjalan Ki Rambing. Wajahnya terlihat agak tegang dan gelisah.
Sepertinya, ada sesuatu yang
dikhawatirkan. Ragas berlari menyambut kedatangan Ki Jatar yang
juga tengah melangkah ke arahnya. Wajah anak muda
pembantu utama kepala desa itu tampak agak gelisah.
"Apakah segalanya telah kau persiapkan, Ragas?"
Tanya Ki Jatar kepada pembantunya itu.
"Sudah, Ki. Kami hanya tinggal menunggu perintah Ki Jatar. Kapan kami akan
berangkat, Ki?" Sahut Ragas tegang.
"Hm.... Kau tampaknya agak gelisah, Ragas" Apakah ada sesuatu yang mengganggu
pikiranmu?" Tanya Ki Jatar yang menjadi heran melihat sikap pembantunya itu.
'Tidak, Ki. Aku hanya takut kalau kejadian yang
pernah menimpa Kakang Dumpa akan terulang lagi,"
jawab Ragas cepat.
"Hm.... Jika kita tidak membuat kesalahan, tidak mungkin mereka akan menurunkan
tangan kejam. Sudahlah! Kejadian itu tidak usah diingat lagi. Nah!
Sekarang,

Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkatlah sebelum malam semakin melarut," ucap Ki Jatar ringan, sepera sama sekali tidak mempedulikan nasib para
gadis desa yang dijadikan
persembahan itu.
Ragas mengangguk lemah, kemudian bergegas
meninggalkan Ki Jatar. Ki Rambing pun ikut pula
meninggalkan kepala desa itu, lalu melangkah mengikuti Ragas yang berjalan
menuju ke dalam balai desa. Dia
terus memasuki ruangan, tempat ketiga buah tandu
diletakkan. Ragas yang melihat kalau keenam orang
penjaga itu bagai patung, segera menangkap penyebab-
nya. Dengan cepat, pemuda itu memberi totokan untuk
membebaskan mereka.
"Uhhh...," seru enam orang itu hampir berbarengan.
"Apakah semua telah siap?" Tanya Ragas kepada salah satu dari mereka, setelah
bebas dari totokan.
"Beres, Kakang!" Jawab orang itu tegas. Seperti dikomando, mereka menyembunyikan
kejadian yang dialami tadi. M ungkin saja takut dituduh lalai.
"Hm.... Kalau begitu, panggil yang lain untuk
mengangkat tandu-tandu itu!" Perintah Ragas lagi. Orang itu mengangguk cepat dan
langsung keluar untuk mencari kawan-kawannya yang lain.
Tidak berapa lama kemudian, orang itu sudah
kembali membawa dua belas orang yang juga berseragam hitam. M ereka adalah
orang-orang yang mendapat tugas membawa tandu. Setelah membungkuk hormat, kedua
belas orang itu bergegas mengangkat tandu-tandu, dan bergegas menuju keluar
bangunan itu. Ki Jatar yang tengah menanti di halaman balai desa,
membalas anggukkan Ragas, Ki Rambing, dan yang
lainnya ketika iring-iringan itu melewati di depannya.
Orang tua itu terus menatap kepergian iring-iringan itu hingga lenyap ditelan
kegelapan bayang-bayangan
pepohonan. Begitu rombongan itu lenyap, Ki Jatar
bergegas meninggalkan balai desa untuk kembali ke
rumahnya, ditemani dua orang berseragam hitam. Dua
orang itu memang bertugas menjaga rumahnya.
Rombongan yang membawa persembahan untuk
Penghuni Rimba Gerantang pada setiap malam bulan
purnama itu terus berjalan menerobos kegelapan malam.
Dari kejauhan, terdengar lolongan anjing hutan yang
bersahut-sahutan. Sementara angin malam yang dingin
bertiup kencang membuat suasana malam semakin
menyeramkan. Setelah kurang lebih seperempat malam mereka
berjalan, rombongan itu tibalah di tepi Rimba Gerantang.
Tanpa banyak bicara lagi, tandu-tandu itu segera
diletakkan di bawah sebatang pohon besar, dekat mulut hutan.
"Penghuni Rimba Gerantang! Kami datang membawa
persembahan untukmu. Sekarang, ijinkanlah kami
kembali!" seru Ki Rambing sambil mengerahkan tenaga dalam sehingga terdengar
bagaikan bergema. Setelah
berkata demikian, Ki Rambing bergegas meninggalkan
tempat itu. Ki Rambing dan Ragas berjalan lambat di belakang
rombongan itu. Wajah dua orang itu tampak berpeluh,
dan masih terlihat tegang. Keduanya menunduk dalam-
dalam, sepertinya tak berminat untuk berbicara satu sama lain.
"Kalian kembalilah lebih dulu. Aku dan Ragas masih mempunyai sedikit urusan.
Kalau Ki Jatar menanyakan, katakan saja kami akan segera kembali!" Pesan Ki
Rambing kepada rombongannya setelah mereka agak
jauh meninggalkan tepi hutan. Orang-orang itu hanya
mengangguk keheranan mendengar ucapan itu, tapi tak
seorang pun yang berani bertanya lebih jauh.
Ki Rambing dan Ragas menatap kepergian orang-
orang itu hingga mereka lenyap di balik rimbunan pohon pada sebuah jalan
berkelok. Setelah beberapa saat
menunggu, keduanya segera berbalik kembali menuju
Rimba Gerantang.
Kedua orang pembantu utama Kepala Desa M uara
Bening mengintai dari balik semak-semak. M ereka
memperhatikan tiga buah tandu yang nampaknya belum
diambil para begundal Penghuni Rimba Gerantang itu.
Saat-saat, berlalu penuh ketegangan. Setelah cukup lama menanti, tampak belasan
sosok tubuh berlompatan dari dalam hutan dan langsung melangkah mendekati tiga
buah tandu itu.
Ki Rambing menempelkan telunjuk di bibirnya ketika
melihat Ragas hendak mengeluarkan suara. Pemuda itu
langsung terdiam menyadari kebodohannya itu.
Sementara itu dua belas orang berseragam putih mulai mengangkat tiga buah tandu,
lalu dibawa masuk ke dalam hutan. Sesaat kemudian, kedua belas orang itu pun
lenyap ditelan kegelapan hutan. Suara lolongan anjing hutan kembali terdengar
seolah-olah mengiringi langkah kaki mereka memasuki hutan.
Ragas dan Ki Rambing bergegas mengikuti dua belas
orang berseragam putih itu. M ereka mengendap-endap
dan menyelinap di antara rimbunan semak yang banyak
terdapat di tempat itu. Urat-urat di seluruh tubuh mereka menegang, siap
menghadapi segala kemungkinan yang
bakal terjadi. Kedua belas orang berseragam putih itu terus
melangkah memasuki hutan melalui jalan sukar. Namun, mereka sama sekali tidak
mengalami hambatan karena
sudah terbiasa melewati jalan itu. Lain halnya dengan Ragas dan Ki Rambing yang
harus berhati-hati dan
menajamkan penglihatannya agar tidak sampai diketahui orang-orang itu.
Tidak berapa lama kemudian, dua belas orang
berseragam putih itu memasuki sebuah tempat yang
dipenuhi sinar obor yang ditancapkan pada batang-batang pohon. Kabut yang agak
pekat menyambut kedatangan
dua belas orang yang membawa tandu itu.
M ereka terus memasuki sebuah bangunan tua yang
agak besar, dan dikelilingi kabut. Dua orang yang juga berseragam putih bergegas
menyambut kedatangan tiga
buah tandu itu, lalu terus masuk ke dalam bangunan tua yang terlihat menyeramkan
itu. Hawa dingin semakin
keras berhembus hingga terasa menembus tulang.
Setelah meletakkan tiga buah tandu di dalam sebuah
kamar yang cukup tuas dan menebarkan hawa dingin, dua belas orang berseragam
putih itu bergegas keluar.
Di dalam kamar itu terdapat sebuah pembaringan
yang menebarkan keharuman yang menusuk hidung.
Beberapa langkah dari pembaringan itu, terdapat sebuah batu pipih. Di atasnya,
duduk seorang berambut putih semua. Kalau dilihat dari warna rambutnya, paling
tidak dia berusia sekitar tujuh puluh tahun. Namun meski
usianya sudah tua, wajah kakek itu nampak segar
kemerahan. Bahkan tubuhnya masih nampak tegap dan
gagah. Dialah Eyang Luwak Ambat yang disebut-sebut
sebagai Penghuni Rimba Gerantang. Dan kemudaan
wajah serta tubuh yang dimilikinya itu berkat sari pati kehidupan yang diambil
dari para perawan suci melalui persetubuhan. Itulah sebabnya, mengapa pada
setiap bulan purnama Ki Jatar mempersembahkan tiga orang
perawan desa yang masih suci dan berwajah cantik.
Kini, kakek itu pelahan-lahan turun dari atas batu
pipih itu, lalu melangkah ke arah sebuah tandu terdekat Ketika hampir mendekati
tandu yang dituju, Eyang
Luwak Ambat merandek menahan langkahnya. Nalurinya
yang tajam mengisyaratkan kalau ada sesuatu yang tidak beres pada tandu itu.
"Hm...," gumam kakek itu pelahan.
Eyang Luwak Ambat melangkah mundur mendekati
tepi pembaringan. Belum lagi sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba tandu yang tengah
ditatapnya itu jebol bagian atasnya. Tampak sesosok bayangan putih melesat
keluar bersama kepingan kayu yang berhamburan.
Bayangan putih yang ternyata adalah seorang pemuda
tampan itu mendarat beberapa tombak di hadapan Eyang Luwak Ambat. Pemuda yang
tak lain adalah Panji atau
Pendekar Naga Putih, menatap tajam wajah orang tua di hadapannya. Tapi sebelum
pemuda itu mengeluarkan
kata-kata. Tiba-tiba....
Brakkk! Tandu yang kedua kembali jebol pada bagian atasnya
sehingga menimbulkan suara keras. Berbarengan dengan ambrolnya atas tandu itu,
muncul sesosok bayangan putih lainnya yang melenting ke atas dan mendaratkan
kedua kakinya di sebelah Panji. Orang itu tak lain dari Resi Bagawa atau Cambuk
Hujan dan Badai.
Kedua orang pendekar itu memang sengaja hendak
bertemu langsung orang yang disebut sebagai Penghuni Rimba Gerantang. Ternyata
inilah siasat mereka untuk dapat berhadapan langsung dengan Penghuni Rimba
Gerantang itu. Sedangkan pada tandu lainnya diisi
bongkahan batu yang seberat tubuh manusia dewasa.
Sebenarnya Eyang Luwak Ambat sangat terkejut
melihat kehadiran kedua orang itu. Tapi sebagai orang berpengalaman, ia dapat
menguasai perasaannya.
"Hm.... Rupanya kalian sengaja mengantarkan nyawa ke tempat ini. Sungguh besar
sekali nyali kalian." Tegas kakek itu dingin. Dalam nada suaranya jelas tersirat
napsu membunuh. Pelahan tubuhnya bangkit dari tepi
pembaringan, lalu melangkah mendekati Panji dan Resi Begawa.
"Orang Tua! Kaukah yang disebut sebagai Penghuni Rimba Gerantang"!" Tanya Panji
tenang. Pemuda itu memang sama sekali tidak gentar
walaupun tahu dirinya di dalam sarang macan.
Sebenarnya Pendekar Naga Putih cukup terkejut melihat seorang kakek yang
memiliki bentuk tubuh dan wajah
yang tidak sewajarnya itu. Dan belum lagi keterke-
jutannya terjawab, Resi Bagawa sudah mendekati sambil berbisik dengan suara
rendah. "Jangan heran, Panji. Orang itu tengah mempelajari suatu ilmu sesat yang dapat
menambah tenaga saktinya.
Bahkan juga dapat membuat dirinya awet muda. Itulah
sebabnya, mengapa penduduk desa selalu mempersem-
bahkan tiga perawan cantik yang menjadi syarat ilmu
itu," bisik Resi Bagawa yang membuat Panji terkejut.
"Bagaimana caranya, Eyang Resi?" Tanya pemuda itu heran. M emang, Pendekar Naga
Putih baru mendengar
ilmu sesat itu. Tapi keheranan pemuda itu seketika sirna ketika teringat
pengalaman dalam menumpas Dedemit
Bukit Iblis. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: 'Dedemit Bukit Iblis').
Iblis itu dalam melatih ilmunya harus menghisap
darah bayi sampai ilmunya menjadi sempurna. Tapi
untuk yang satu ini, Panji memang belum mengetahui
cara itu dalam menyempurnakan ilmu Penghuni Rimba
Gerantang. "Dengan cara menghisap sari kehidupan perawan,
melalui persetubuhan!" Jawab Resi Bagawa pelan.
"Gila!" Teriak Panji sambil memalingkan wajahnya yang memerah karena jengah.
"Benar-benar iblis biadab!
Kalau begitu ia harus cepat-cepat dilenyapkan, Eyang Resi."
Setelah ucapannya selesai, tubuh Panji segera
meluruk ke arah Penghuni Rimba Gerantang yang hanya
menatap penuh kesombongan.
Ketika serangan Panji tiba, Eyang Luwak Ambat
hanya menggerakkan tangan secara sembarang. Kelihatan gerakan tangan itu tidak
ada isinya. Tapi, dari gerakan yang terlihat pelan itu, ternyata menimbulkan
desir angin tajam dan kuat.
Dukkk! "Ahkkk...!"
Panji menjerit tertahan ketika lengannya bertemu
lengan kakek itu. Tubuh pemuda itu terpental balik.
Untunglah Panji bertindak cepat, dengan memutar
tubuhnya di udara hingga dapat menjejakkan kakinya di atas tanah tanpa mengalami
luka. Hanya tangan kanannya saja yang terasa nyeri dan linu.
"Gila! Tenaga kakek tua itu hebat sekali!" Gumam pemuda itu kagum.
"Hati-hatilah, Panji. Orang ini tidak bisa dipandang enteng! Kalau tidak bisa
bersikap tenang, kau akan celaka di tangannya," Resi Bagawa mengingatkan. M
emang Pendekar Naga Putih tadi terbawa esosi setelah
mendengar kebiadaban kakek tua itu.
M endengar kata-kata Resi Bagawa. Panji menjadi
sadar akan kecerobohannya tadi. Untunglah ia tidak
sampai celaka. "He he he.... Kau boleh juga, Anak M uda. Kalau orang lain yang menerima kebutan
tanganku itu, paling tidak tulang tangannya akan patah. Hmm... Pantas saja
berani berlagak, rupanya kau memiliki bekal cukup.
M arilah kita main-main sebentar, Anak M uda. Rasanya sudah lama sekali aku
tidak pernah bertarung. Dan hari ini aku akan mencoba tenaga hasil latihanku
selama ini,"
tantang kakek itu sambil tersenyum mengejek.
"Hm.... Berhati-hatilah kau, Orang Tua. Kali ini aku tidak akan main-main lagi!"
Tegas Panji geram.
Setelah berkata demikian, pemuda itu menarik napas
dalam-dalam. Sekejap kemudian, terdengar suara berkerotokan yang menandakan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' mulai mengalir dikedua lengannya. Selapis kabut bersinar putih keperakan
tampak mengelilingi tubuhnya, sehingga keadaan pemuda itu benar-benar
mengejutkan hati lawannya. 'Pendekar Naga Putih...! He he he.... Tidak kusangka hari ini aku kedatangan
seorang pendekar muda yang
sangat tersohor itu. Kebetulan sekali, Pendekar Naga Putih! He he he.... Hari
ini aku akan mencoba ilmu
baruku padamu," kata Eyang Luwak Ambat seraya
menatap tajam Pendekar Naga Putih. Dan untuk beberapa saat lamanya, dia seperti
lupa kalau hari ini harus
mendapat seorang perawan untuk menyempurnakan
ilmunya itu. Begitu mengenali siapa pemuda itu sebenarnya, kakek
tua itu tidak lagi memandang remeh. Segera digerakkan tangannya secara
bersilangan. Seketika serangkum angin tajam berhembus menandai kalau serangannya
kali ini tidak bisa dianggap main-main. Hawa dingin berhembus kuat dari sekitar tubuh
kakek itu. Ketika sepasang tangan dari masing-masing lawan
menghentak, maka tampak dua kekuatan yang sama-sama
berinnkan hawa dingin saling dorong. Akibatnya dalam ruangan itu bagaikan sebuah


Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gua salju saja. Resi Bagawa bergegas keluar dari ruangan itu kalau tidak ingin
jadi patung salju akibat hawa dingin yang menjadi berlipat-lipat itu.
"Hiahhh...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh Panji melunak
ke arah kakek itu. Kedua tangannya terkembang dalam
jurus 'Naga Sakti M asuk ke Bumi'. Sebuah jurus yang mengandalkan kecepatan
gerak tangan yang ditunjang
tenaga dalam tinggi.
Wusss! Wusss! "Hm...," Eyang Luwak Ambat hanya bergumam
melihat serangan Panji.
Hawa dingin yang ditebarkan pemuda itu memang
tidak mempengaruhi tubuhnya. Karena, tenaga dalam
kakek itu juga bersumber dari hawa dingin. Segera Eyang Luwak Ambat menggeser
tubuhnya sehingga serangan
pemuda itu lewat dan mengenai tempat kosong.
Kemudian dengan kecepatan yang sukar diikuti mata,
kakek itu membalas serangan Panji dengan tiga buah
pukulan berturut-turut. Panji cepat dapat menghindar tanpa mengalami kesulitan,
sehingga serangan lawan
hanya mengenai tempat kosong.
Pertarungan terus berlanjut sengit. Dua gulung sinar putih keperakan saling
libat dan saling menindih. Dua gelombang tenaga yang sama-sama menebarkan hawa
dingin, benar-benar sangat menggiriskan. Seluruh isi kamar itu beterbangan
terkena sambaran angin pukulan sangat dahsyat. Sehingga, keadaan di dalam
ruangan itu tak ubahnya bagai dilanda angin topan.
Sementara itu Resi Bagawa yang baru saja keluar dari dalam ruangan berpapasan
dengan Tongkat M aut
Delapan Bayangan. Tangan kanan Penghuni Rimba
Gerantang itu memang bermaksud menuju ke ruang
majikannya ketika mendengar suara ribut-ribut. Dan
ketika bertemu, dua tokoh sakti dari golongan yang
berlainan itu sama-sama menghentikan langkahnya.
"Hm.... Resi Bagawa! Rupanya kau yang berani mati mengacau tempat ini!" Geram
Tongkat M aut sambil melintangkan tongkatnya di depan dada. M emang
disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukan tokoh sembarangan.
"Tongkat M aut Delapan Bayangan! Hari ini aku si
Cambuk Hujan dan Badai akan mengakhiri kebiadab-
anmu! Bersiaplah!"
Begitu ucapannya selesai Resi Bagawa langsung
mencabut senjatanya yang segera meledak-ledak meme-
kakkan telinga lawannya.
Ctarrr! Cterrr!
Sadar kalau lawan adalah tokoh sesat yang ternama,
Resi Bagawa langsung mengeluarkan ilmu andalan, jurus
'Cambuk Hujan dan Badai M enyapu Bumi'. Sebuah jurus pilihan dari ilmu
cambuknya. Tanpa dapat dicegah lagi, keduanya segera terlibat
pertarungan sengit. Cambuk di tangan Resi Bagawa
meledak dan meliuk-liuk mengancam tubuh lawan. Ujung cambuk itu selalu saja
bergerak, sehingga sulit diduga ke mana arah sasarannya.
Tongkat M aut Delapan Bayangan tidak tinggal diam,
dan segera memutar tongkatnya sedemikian rupa hingga seolah-olah berubah menjadi
delapan buah banyaknya.
Pertempuran berjalan sengit dan mendebarkan!
* * * 8 Ternyata, pertempuran tidak hanya terjadi di da?lam
bangunan tua itu saja. Di luar pun, terlihat Ragas dan Ki Rambing sudah pula
terlibat pertempuran yang tidak
seimbang. Kedatangan kedua orang itu telah diketahui pengikut
Penghuni Rimba Gerantang. M aka, mereka kini terpaksa melakukan perlawanan. Ki
Rambing dan Ragas berusaha
mati-matian untuk mempertahankan nyawa. Namun,
kepandaian orang-orang berseragam putih itu ternyata tidak bisa dipandang
ringan. Dalam beberapa jurus saja, keduanya telah terdesak hebat oleh empat
orang lawan. Belum lagi belasan kawanan orang berseragam putih itu yang tengah menonton di
tepi arena. Tampaknya dua
orang pembantu Kepala Desa M uara Bening itu tidak
akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Desss! "Oughhh...!" Ragas melenguh kesakitan.
Tubuh pemuda itu terjungkal akibat tendangan lawan
yang telak menghantam dadanya. Namun semangat
pemuda itu memang patut dipuji. M eskipun dalam
keadaan terjepit seperti itu, Ragas masih juga berusaha melakukan perlawanan.
Sehingga, hal itu semakin
membuat lawan-lawannya penasaran.
Bukkk! Brettt! "Aaahhhkkk...!"
Ki Rambing terpekik kesakitan ketika sebuah pukulan
dan bacokan dua orang lawan menyambar tubuhnya.
Darah mulai mengucur membasahi bumi. Namun
demikian, ia tetap berusaha mengadakan perlawanan
semampunya. Tepat saat kedua orang pembantu Kepala Desa M uara
Bening itu tengah jatuh bangun dihajar pengeroyoknya, tiba-tiba berkelebat
sesosok tubuh ramping yang
mengenakan pakaian serba hijau. Pedang bersinar hitam yang berada di tangan
kanannya langsung berdesing,
menyambar leher dua orang berpakaian putih yang tengah mengeroyok Ragas dan Ki
Rambing. M ereka kontan
terjungkal mandi darah, dan tewas seketika.
Dan kini, seorang gadis cantik tahu-tahu telah berdiri di tengah arena
pertempuran. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang pedang hitam yang telah bernoda
darah. Gadis berpakaian serba hijau itu tak ubahnya
malaikat maut yang siap menebarkan hawa kematian.
"Hm... Inikah gerombolan Penghuni Rimba Geran-
tang yang telah membuat kekacauan di Desa M uara
Bening" M ana pemimpin kalian"! Suruh dia keluar untuk kupenggal batang
lehernya!" Seru gadis itu yang ternyata adalah Kenanga. Suaranya terdengar
nyaring dan bergema menyusup ke dalam bangunan tua itu karena
didorong tenaga dalam tinggi.
"Ohhh.... Terima kasih atas pertolonganmu, Nini. Eh!
Bagaimana Nini mengetahui tempat ini?" Tanya Ki Rambing sambil melangkah
mendekati Kenanga.
"Beberapa saat yang lalu aku bertemu serombongan orang yang berlarian menuju
Desa M uara Bening. Dari merekalah aku mengetahui kalau di desa itu terjadi
musibah yang didalangi Penghuni Rimba Gerantang.
M aka aku langsung menuju kemari. Untunglah keda-
tanganku tepat pada saatnya. Nah, sekarang marilah kita basmi iblis-iblis biadab
ini," jelas Kenanga yang segera menggerakkan pedang hitamnya, menerjang orang-
orang berseragam putih yang sudah mengurungnya.
Para Pengikut Eyang Luwak Ambat itu kontan buyar
ketika Kenanga memutar pedangnya yang mengancam
bagian-bagian yang mematikan. Kembali terdengar
teriakan-teriakan ngeri. Seketika, dua orang pengeroyok itu terjungkal
bermandikan darah! Hebat sekali, memang, sepak terjang murid Raja Pedang Pemutus
Urat itu. Setiap sambaran pedangnya berarti kematian bagi para pengeroyoknya.
Sementara itu Ki Rambing dan Ragas kembali
bertempur saling bahu-membahu. Semangat mereka
bangkit karena kedatangan Kenanga yang berkepandaian tinggi itu. Dan kini,
keduanya dapat bertempur lebih tenang dan lebih berhati-hati.
Di tempat lain, Resi Bagawa tengah bertempur mati-
matian menghadapi Tongkat M aut Delapan Bayangan.
Dua tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan seluruh
kepandaian untuk menjatuhkan satu sama lain. Jurus-
jurus andalan telah dikeluarkan dengan tenaga dalam
tinggi, tapi sampai sejauh itu keduanya masih terlihat berimbang.
"Heaaattt..!" Resi Bagawa berteriak nyaring sambil mengelebatkan cambuknya yang
menyambar-nyambar
bagai seekor ular itu. Hembusan angin keras bagaikan badai menyertai
serangannya. Tidak itu saja. Titik-titik air ikut pula meramaikan serangan
cambuknya. Benarbenar sebuah serangan berbahaya.
Tongkat M aut Delapan Bayangan pun tidak tinggal
diam. Diputarnya tongkat maut yang menjadi andalan
hingga menimbulkan sebuah benteng yang tak tampak.
Akibatnya, lecutan-lecutan ujung cambuk Resi Bagawa
terpental balik. Dan pada saat ujung cambuk lawan
berbalik, segera dibarenginya dengan sambaran tongkatnya.
Bet! Bet! Bet! "Aiiihhh...!" Resi Bagawa memekik tertahan.
Ia sangat terkejut melihat serangan lawan yang sama
sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat diputar tubuhnya membentuk setengah
lingkaran. M aka, dua serangan berhasil dielakkannya. Sedangkan serangan yang
satunya lagi segera ditepis menggunakan tangan kiri.
Plakkk! Keduanya terjajar mundur ke belakang beberapa
tindak Namun Resi Bagawa bertindak cepat Pada saat
lawan belum sempat
mempersiapkan diri segera
digerakkan cambuknya melakukan dua serangan seka-
ligus. Seketika suara ledakan cambuk itu menggelegar bagaikan halilintar.
Tongkat M aut Delapan Bayangan sangat terkejut
melihat serangan yang cepat dan ganas itu. Karena kalau menghindarkan diri tidak
mungkin, M aka Tongkat M aut Delapan Bayangan nekad mengadu nyawa dengan
lawannya. Setelah mengambil keputusan demikian,
segera digerakkan tongkat berkepala tengkoraknya
menusuk dada lawannya itu.
Ctarrr! Duggg! "Aaahhhkkk...!"
"Uuuhhhkkk...!
Kedua tokoh sakti itu terpental ke belakang akibat
terkena pukulan senjata satu sama lain Tongkat M aut Delapan Bayangan
berkelojotan. Tongkat tengkorak
kepalanya retak akibat hantaman cambuk Resi Bagawa
yang menggunakan tenaga dalam tinggi. Darah mengalir deras dari luka-luka di
pelipisnya itu. Beberapa saat kemudian, rubuh Tongkat M aut Delapan Bayangan pun
diam tak bergerak M ati.
Keadaan Resi Bagawa juga tidak berbeda jauh.
Hantaman tongkat kepala tengkorak lawannya itu telah menghantam keras dadanya.
Resi Bagawa terbatuk-batuk hebat yang diiringi darah kental berwarna kehitaman.
"Celaka! Tongkat iblis itu beracun...!" Keluh Resi Bagawa ketika mendapati warna
biru kehitaman pada
dada yang terpukul tongkat lawannya tadi. Belum lagi sempat berpikir lebih jauh,
Resi Bagawa langsung
mengerang menahan rasa sakit yang hebat pada dadanya.
Tampak wajah orang tua itu mulai membiru.
"Huakkk...!" Setelah memuntahkan segumpal darah kehitaman yang berbau busuk,
Resi Bagawa langsung
ambruk. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian mati.
Wajahnya berubah menghitam dan kedua matanya mem-
belalak keluar akibat racun ganas pada kepala tengkorak di tongkat lawannya.
Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara
Pendekar Naga Putih melawan Eyang Luwak Ambat atau
berjuluk Penghuni Rimba Gerantang telah berpindah ke ruang lain. Tembok ruangan
tempat mereka pertama kali bertempur telah jebol akibat pukulan-pukulan yang
tidak mengenai sasaran.
Eyang Luwak Ambat yang semula menganggap
remeh lawannya itu menjadi terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda tampan yang ber-
juluk Pendekar Naga Putih itu benar-benar berkepandaian sangat tinggi. Pantas
saja julukannya begitu meng-gemparkan dunia peralatan!
Apa yang dirasakan lawan, ternyata juga dirasakan
oleh Panji. Selama terjun dalam dunia persilatan baru kali inilah ditemui lawan
yang benarbenar tangguh dan
menguras tenaganya. Sehingga, Panji benar-benar harus mengerahkan seluruh
kepandaian untuk segera menjatuhkan lawan.
Pada suatu kesempatan Eyang Luwak Ambat me-
lompat mundur ke belakang. Secepat kakinya menjejak
bumi, secepat itu pula tubuhnya kembali meluruk sambil mendorongkan sepasang
tangannya ke dada Panji. Angin dingin berkesiutan menyertai serangan itu.
M elihat serangan dahsyat itu, bergegas Panji
mengempos semangatnya. Terdengar suara bergemelutuk
dari seluruh tubuh pemuda itu ketika 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' mengaliri kedua tangannya. Kabut
bersinar putih keperakan yang selalu menyelimuti
tubuhnya terlihat semakin membesar. Serangkum angin
dingin yang menusuk tulang berhembus keras, karena
Panji telah memusatkan seluruh tenaga saktinya untuk menghadapi gempuran lawan.
"Heaaattt..!" Dibarengi teriakan mengguntur bagaikan hendak membelah langit,
tubuh Panji meluncur bagai
seekor naga memapak serangan lawan.
Blarrr! "Aaakh...!"
Seketika terdengar ledakan dahsyat hingga meng-
getarkan seluruh tembok-tembok bangunan tua itu ketika dua gelombang tenaga
sakti saling berbenturan di udara.
Disertai pekik kesakitan, tubuh kedua orang ber-
kepandaian tinggi itu terpental balik. Demikian kerasnya tenaga lontaran itu,
sehingga tembok yang tertahan tubuh mereka ambruk dengan menimbulkan suara
gemuruh. Tubuh mereka sama-sama jatuh terbanting di lantai,
disertai muntahan darah segar. Panji yang merasakan
tubuhnya telah terluka dalam, segera bertindak cepat menelan sebuah pil berwarna
putih. Obat luka dalam Itu memang sengaja diberikan gurunya sebagai bekal pada
saat Pendekar Naga Putih hendak meninggalkan Bukit
Gua Harimau. Sementara Eyang Luwak Ambat berusaha bangkit
meski kedua kakinya masih gemetar.
Rupanya tubuh kakek itu tidak luput dari luka dalam
akibat benturan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Darah segar masih saja mengalir
dari sela-sela bibirnya.
"Guru...!" Seru seorang laki-laki setengah baya berlari mendatangi Eyang Luwak
Ambat. Cepat laki-laki itu
memapah tubuh kakek tua yang dipanggil guru itu.
"Hm.... Cepat ambilkan tongkat kepala ularku!"
perintah kakek itu tanpa mempedulikan kekhawatiran
muridnya. "Tapi, Guru...," orang itu mencoba membantah.
"Cepat! Ambil kataku...!" bentak kakek itu gemetar.
Wajahnya terlihat gusar mendengar bantahan muridnya
itu.

Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

M eskipun ragu-ragu orang itu menuruti juga perintah gurunya. Dia memasuki
gedung tua yang sebagian telah hancur itu. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu
sudah kembali sambil membawa sebatang tongkat hitam
berkepala ular. Langsung tongkat itu diserahkan kepada gurunya.
Tanpa banyak cakap lagi, Eyang Luwak Ambat
langsung menyambar tongkat itu dari tangan muridnya, kemudian bergegas bangkit
sambil memutar-mutar
tongkatnya. Dihisapnya dalam-dalam uap putih kebiruan yang
keluar dari mulut kepala ular yang telah kering itu. Sesaat kemudian, tubuh
orang tua itu bergetar seolah mendapat tambahan tenaga baru. Itulah salah satu
keistimewaan ilmu yang tengah dilatihnya. Ia dapat menyimpan tenaga pada tongkat
itu dan mengambilnya kembali apabila
diperlukan. "Hiaaah...! M ampuslah kau sekarang, Pendekar Naga Putih!" Teriak kakek itu
sambil menyabetkan tongkat kepala ularnya ke arah Panji yang masih memejamkan
matanya untuk memulihkan tenaga.
Pada saat tongkat kepala ular itu hampir mencapai
sasaran, tahu-tahu saja tangan pemuda itu bergerak cepat.
Seketika seberkas sinar putih keperakan berpendar-
pendar di tangan kanannya. Dengan pengerahan tenaga
dalam sepenuhnya, pemuda itu menyabetkan sinar
keperakan yang ternyata adalah sebatang pedang.
M emang sudah lama pedang itu hanya melingkar di
pinggangnya. Senjata itu baru digunakan, jika lawan
benar-benar berilmu tinggi.
Tranggg! "Aaahhh...!"
Eyang Luwak Ambat berteriak kaget Tidak di?sangka
sama sekali kalau gerakan lawannya itu begitu cepat. Dan tanpa dapat dicegah
lagi, tongkat kepala ularnya terpapas buntung oleh pedang pusaka sinar bulan
yang dahsyat itu.
Tubuh kakek itu terpental dan berputar bagai gangsing.
Panji tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik
itu. Saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan dan
berputar bagaikan baling-baling. Sementara itu tangan kanan yang memegang pedang
ditujukan ke depan
sehingga kelebatan sinar pedang membentuk lingkaran.
Sinarnya berltilatan menyilaukan mata.
Crasss! Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Eyang Luwak Ambat menjerit menyayat ketika ujung
pedang Panji merobek-robek tubuhnya. Darah segar
langsung menyembur deras dari luka-luka akibat tusukan pedang Pendekar Naga
Putih yang menggunakan jurus
'Naga Sakti M enyelam ke Dasar Laut'.
"Guru...!" laki-laki setengah baya sejak tadi mengkhawatirkan keselamatan
gurunya, berlari menubruk
tubuh Eyang Luwak Ambat yang telah basah oleh darah.
Darah segar keluar disertai suara seperti mengorok
ketika kakek itu memaksakan berbicara. Akhirnya tanpa mengucapkan separah kata
pun, Eyang Luwak Ambat
yang dijuluki Penghuni Rimba Gerantang itu tewas di
pangkuan muridnya.
"Guna...!" Laki-laki itu berteriak memanggil-manggil sambil menggoncang-
goncangkan tubuh gurunya yang
telah menjadi mayat itu. Sesaat kemudian ditolehkan
kepalanya ke arah Panji. Sepasang matanya menatap
tajam penuh api dendam, penuh napsu membunuh.
Pelahan-lahan Ki Jatar bangkit berdiri. Sebatang golok panjang yang tergenggam
erat di tangan, siap dikelebat-kan.
"Pendekar Naga Putih! Bersiaplah mampus demi
ketenangan arwah guruku! Hiaaattt..!"
Ki Jatar melompat sambil membabatkan goloknya ke
arah Panji. Angin tajam terkesiutan, pertanda kalau golok itu digerakkan oleh
tenaga dalam tinggi.
M elihat serangan berbahaya itu, Panji segera meng-
gerakkan pedangnya yang masih belum disimpan itu.
Seberkas sinar putih keperakan berkilau menyilaukan
mata. Tranggg! "Aaahhhkkk..!"
Ki Jatar berteriak kaget ketika goloknya tertangkis
pedang Panji hingga terpental jauh. Sedangkan tubuh
laki-laki setengah baya itu jatuh bergulingan karena lawan mengerahkan hampir
seluruh tenaga dalamnya itu.
Ki Jatar berusaha bangkit sambil memegangi tangan
kanan yang terasa bagai patah itu. Belum lagi sempat berdiri
tegak, Panji langsung berkelebat
seraya menyabetkan senjatanya ke tubuh kepala desa itu.
Crakkk! Crasss! "Aaa...!"
Ki Jatar meraung setinggi langit ketika pedang
Pendekar Naga Putih telah menebas lehernya. Darah
segar berhamburan membasahi bumi. Tubuh Ki Jatar
berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tak bergerak Kepala Desa M uara Bening
itu tewas dengan leher
hampir putus. Hening sejenak setelah kematian Ki Jatar. Ki Ram-
bing dan Ragas yang telah tiba di tempat itu berdiri terpaku memandangi mayat Ki
Jatar. "Panji...!" Hei.." Bukankah itu Ki Jatar" Apa-apa yang terjadi dengannya?" Ki
Rambing dan Ragas
menghampiri Pendekar Naga Putih. Pakaian yang mereka kenakan sudah tidak keruan
bentuknya karena telah robek di sana-sini akibat senjata tajam.
"Kau kenal laki-laki itu, Ragas?" Tanya Panji tanpa mengalihkan tatapannya dari
wajah laki-laki yang
ternyata Ki Jatar itu.
'Tentu saja aku kenal, Panji. Dia adalah kepala desa kami. Ki Rambing, lihatlah!
Apakah kau ingat wajah
kakek itu?" Tanya Ragas tiba-tiba sambil menunjuk mayat Eyang Luwak Ambat.
"Hei"! Bukankah kakek itu pernah datang ke desa pada setengah tahun yang lalu?"
Tanya Ki Rambing kaget.
"Hm.... Dialah yang disebut sebagai Penghuni Rimba Gerantang yang selama ini
meresahkan penduduk Desa
M uara Bening," sahut Panji tiba-tiba.
"Aaahhh...!" Ragas dan Ki Rambing berteriak kaget dan hampir tak percaya akan
pendengarannya.
"Hm.... Ternyata dugaanku tidak meleset terlalu jauh.
Semula kuduga Ki Jatar yang menjadi biang keladi semua peristiwa di Desa M uara
Bening. Tapi, ternyata ia hanya diperalat gurunya yang berhati bejad itu," ujar
Ragas pelan. "M enurut cerita yang kudengar dari Ki Dewana, Ki Jatar belum terlalu lama
menjabat Kepala Desa Muara
Bening. Tolong ceritakan hal ini padaku." Pinta Panji penasaran, seraya menatap
Ki Rambing dan Ragas.
"M emang benar apa yang dikatakan Ki Dewana itu.
Pada tiga tahun yang lalu, Ki Jatar datang ke Desa M uara Bening dengan segala
kemewahannya. Kemudian, ia
meminta ijin untuk menetap di desa kami. Karena
sikapnya yang ramah dan sangat dermawan, maka kepala desa mengangkat menjadi
wakilnya. Setelah diangkat
menjadi wakil kepala desa, ternyata sikapnya menjadi semakin baik. Banyak petani
miskin yang dibantu
sehingga Ki Jatar semakin disukai dan dihormati
penduduk desa," Ragas berhenti sejenak seolah ingin mengumpulkan ingatannya.
"Biarlah aku yang teruskan ceritamu, Ragas," pinta Ki Rambing yang dijawab Ragas
dengan anggukan kepala.
Ki Rambing menarik napas
dalam-dalam untuk mengingat peristiwa yang telah lalu itu.
"Pada enam bulan yang lalu, datang seorang kakek yang kemudian diperkenalkan
sebagai guru Ki Jatar.
Setelah sepekan menginap di rumah Ki Jatar, kakek itu pergi entah ke mana. M
enurut keterangan Ki Jatar
gurunya itu telah kembali ke pertapaan. Beberapa hari setelah kepergian kakek
itu, kepala desa kami tewas tanpa sebab yang jelas. Dan sebagai penggantinya,
diangkatlah Ki Jatar sebagai kepala Desa M uara Bening yang baru.
Beberapa bulan kemudian, muncullah beberapa peristiwa pembunuhan di desa kami.
Sampai akhirnya Ki Jatar
memutuskan untuk memberi persembahan pada setiap
bulan purnama, karena kami sudah tidak mampu
mengatasi pembunuhan-pembunuhan itu," Ki Rambing mengakhiri cerita dengan helaan
napas berat. "Hm.... Jadi Ki Jatar dan gurunya yang merencanakan semua ini. M ungkin Ki Jatar
berusaha membantu gurunya yang sedang mendalami sebuah ilmu," gumam Panji pelan.
"Oh, ya. Ke mana Resi Bagawa...?" Tanya Panji ketika tidak melihat orang tua itu
semenjak tadi. "Ia telah tewas bersama Tongkat M aut Delapan
Bayangan yang menjadi lawannya," sahut Ragas. Ada nada kesedihan dalam suaranya.
"Ohhh...! Lalu, bagaimana kalian dapat masuk dengan selamat ke tempat ini?"
Tanya Pendekar Naga Putih heran, karena ia tahu kalau tempat itu dijaga murid-
murid Penghuni Rimba Gerantang yang rata-rata memiliki
kepandaian cukup tinggi.
"Sebenarnya kami pun sudah tewas kalau saja tidak ditolong seorang pendekar
wanita yang cantik bagai
bidadari," sahut Ragas memuji.
Jantung di dada Panji berdebar ketika Ragas
menyebut gadis itu secantik bidadari. Selintas terbayang wajah kekasihnya yang
tengah dicarinya itu. M ungkinkah gadis itu Kenanga!
"Apakah gadis itu mengenakan pakaian serba hijau?"
Tanya Panji suaranya terdengar tegang.
"Benar!" Sahut Ragas heran karena Panji dapat tepat menebak.
"Apakah... apakah bersenjatakan sebatang pedang hitam?" Suara pemuda itu semakin
bergetar dan menegang karena ia sudah mulai dapat menduga kalau gadis itu
pastilah kekasihnya.
"Eh! Bagaimana kau dapat tepat menerkanya, Panji?"
Ki Rambing semakin heran melihat ketegangan dan
kegelisahan pemuda itu.
"Katakan, di mana ia sekarang?"
"Ia... ia telah pergi ketika kami mengatakan akan menemui Pendekar Naga Putih
yang berada di dalam
bangunan ini," jawab Ragas gugup melihat sinar mata pemuda itu yang mencorong
tajam dan menakutkan.
"Aaahhh... Adik Kenanga...," desah Panji berduka.
Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu bergegas mening-
galkan tempat itu untuk mencari kekasihnya.
Namun sampai pagi menjelang, Panji belum juga
dapat menemukan gadis itu. Padahal seluruh pelosok
Rimba Gerantang sudah ditelusurinya.
"Hhh.... Rupanya rasa cemburu di harinya ketika melihat sikap mesra Trijati
kepadaku belum hilang,"
desah Panji resah. (Baca serial Pendekar Naga Putih
dalam Episode: 'Jari M aut Pencabut Nyawa').
Dengan langkah lambat, Pendekar Naga Putih
meninggalkan daerah Rimbang Gerantang.
Angin pagi yang bersilir lembut, ternyata belum
mampu mengusir rasa rindu di hatinya yang belum
bertemu dengan kekasihnya.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Adnan S
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Misteri Bayangan Setan 10 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Naga Mas 3
^