Pencarian

Sang Penghancur 1

Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur Bagian 1


SANG PENGHANCUR Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode Sang Penghancur
128 hal; 12 x 18 cm
1 Matahari sudah semakin naik, saat dua sosok tu-
buh melangkah menyusuri jalanan lebar. Di kiri dan kanan jalan, terbentang
persawahan luas, dengan pa-di-padi yang telah mulai menguning. Tampaknya se-
bentar lagi para petani akan segera menikmati panen.
Sesekali mereka melayangkan pandangan sambil terus melangkah perlahan. Sapaan
ramah para penduduk
yang kebetulan berpapasan, disambut ramah disertai senyum manis menghias wajah.
"Hm.... Penduduk Desa Mandala Sari ini ramah-
ramah sekali, Kakang. Aku merasa senang sekali...,"
kata sosok ramping yang terbungkus pakaian berwar-
na hijau, perlahan.
Melihat dari penampilannya, jelas dia adalah seo-
rang wanita. Suaranya terdengar bening dan enak terdengar telinga. Apalagi, juga
dibarengi untaian senyum manis. Sehingga wajah yang memang sangat cantik
itu, tampak semakin mempesona.
Sosok satu lagi yang tidak kalah menariknya dari
dara jelita itu tampak mengangguk seraya tersenyum.
Tubuhnya sedang, namun padat berisi. Bahkan seperti menyimpan suatu kekuatan
hebat. Wajahnya bersih
dan tampan. Bagian kepalanya diikat oleh kain ber-
warna putih. Demikian pula pakaian dan jubah yang
dikenakannya yang juga berwarna putih. Bagi kaum
rimba persilatan, sepasang anak muda itu memang
sudah sangat dikenal. Mereka tidak lain dari Kenanga dan Pendekar Naga Putih.
Sedangkan gadis yang bernama Kenanga sendiri pernah menggetarkan dunia
persilatan dengan julukannya yang terkenal, Bidadari Iblis.
Kini kedua pendekar muda itu tengah memasuki
Desa Mandala Sari. Desa kecil yang penduduknya ke-
banyakan adalah petani itu, tentu saja tidak mengenalinya. Sehingga mereka
merasa bebas bergerak.
"Hei! Mau lari ke mana kau, Keparat...!"
Panji dan Kenanga yang hendak membelokkan
langkahnya menuju sebuah kedai seketika merandek.
Mereka melihat seorang lelaki tinggi besar melebihi ukuran manusia biasa, tampak
melesat keluar dari
kedai. Di belakang orang itu, tampak pula seorang lelaki yang tidak kalah
menyeramkan. Dia muncul dari ambang pintu kedai. Setelah menoleh ke kanan kiri,
ia lalu mengejar lelaki tinggi besar tadi.
Kening sepasang pendekar muda itu berkerut he-
ran. Mereka tidak bisa memutuskan untuk bertindak, karena belum mengetahui
persoalannya. Baik Panji
maupun Kenanga hanya bertukar pandangan sambil
mengangkat bahu.
Baru saja keduanya hendak melangkah masuk ke
dalam kedai, muncul seorang lelaki tinggi kurus. Laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun itu langsung menghadang jalan Panji dan Kenanga.
"Tuan muda, tolong pisahkan mereka...! Jangan
sampai mereka saling bunuh sesama saudara sendiri.
Kasihan, Tuan Muda. Mereka bukanlah orang jahat..."
pinta lelaki tinggi kurus itu sambil menjatuhkan tubuhnya di depan kaki Panji.
Suaranya terdengar terputus-putus dan napasnya memburu.
Pendekar Naga Putih cepat menangkap bahu lelaki
itu, dan mengangkatnya. Ia memang tidak suka meli-
hat sikap yang dianggapnya berlebihan.
"Mengapa kau tidak meminta tolong kepada orang-
orang di dalam kedai itu, Paman" Mengapa harus ke-
padaku?" tanya Panji, merasa agak curiga pada lelaki
tua itu. "Ah! Jangan salah sangka, Tuan Muda. Aku sudah
meminta tolong kepada mereka, tapi tak seorang pun yang berani melakukannya. Dan
begitu melihat Tuan
Muda, aku yakin kalau Tuan Muda bersedia memisah-
kan mereka. Cepatlah, Tuan Muda. Aku khawatir ka-
lau mereka sudah berkelahi satu sama lain...," jelas lelaki itu.
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Kalau tadi
agak curiga, itu karena Panji memang selalu berhati-hati dalam bertindak.
Setelah mendengar penjelasan lelaki setengah baya itu, Kenanga langsung
diajaknya mengejar kedua lelaki bertubuh tinggi besar tadi.
"Hah..."!" lelaki setengah baya itu terbelalak bagaikan melihat hantu di siang
bolong. Baru saja selesai bicara, tiba-tiba tubuh Panji lenyap dari pandangan. Itulah
yang menyebabkan laki-
laki setengah baya itu terbelalak. Bahkan tubuhnya menggigil.
"Mereka pasti bukan manusia...," desis laki-laki itu dengan suara gemetar.
Ucapan itu jelas menandakan kalau ia sama sekali
tidak mengerti ilmu silat. Sehingga, bayangan Panji dan Kenanga yang tidak
tertangkap mata tuanya, dianggap pandai menghilang seperti hantu.
Panji dan Kenanga sama sekali tidak peduli dengan
penilaian orang tua itu. Mereka terus melesat menggunakan ilmu lari cepat.
Bahkan penduduk yang kebetulan ada di jalan-jalan, hanya merasakan adanya
sambaran angin keras, saat kedua pendekar muda itu melewati mereka.
"Hihhh.... Mungkinkah yang lewat barusan se-
tan...?" gumam seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. Saat Panji dan
Kenanga lewat, ia berdiri
agak di tengah jalan sambil memberi makan kudanya.
"Ke mana mereka pergi, Kakang...?" tanya Kenanga,
seraya mengerahkan kepandaiannya mengimbangi lari
Pendekar Naga Putih.
Dan tentu saja Panji tidak ingin kekasihnya kehabisan napas. Maka ilmu larinya
tidak dikerahkan seluruhnya, agar Kenanga lebih mudah menjajari langkahnya.
"Hm.... Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, kulihat mereka saling berkejaran
melewati batas desa ini...," sahut Panji, sambil tetap berlari dan mengedarkan
pandangan ke kiri dan kanan.
Hebatnya, meskipun sambil berlari cepat, pemuda
itu dapat melihat jelas keadaan sekitarnya. Tentu saja hal itu tidak terlalu
aneh bagi yang telah tahu kehebatan tenaga sakti yang dimiliki pemuda itu.
"Itu mereka, Kakang...!" seru Kenanga, seraya me-
nunjuk ke arah kanan Panji.
Pendekar Naga Putih mengangguk, meskipun sebe-
narnya telah tahu lebih dulu. Namun, Kenanga tidak melihat anggukan Panji. Gadis
itu hanya melihat kekasihnya berbelok menuju arah yang ditunjukannya.
"Hm.... Tampaknya mereka telah bertarung sengit.
Aneh! Apa yang menyebkan sesama saudara itu sam-
pai hendak saling bunuh...?" gumam Panji, setelah
memperlambat larinya.
Tidak lama kemudian, sepasang pendekar muda itu
pun tiba di dekat kedua lelaki bertubuh raksasa yang sedang bertarung mati-
matian. "Tahan...!"
Begitu mendekat, Panji langsung melesat sambil
berseru nyaring. Tubuhnya tiga kali berjumpalitan di udara, sebelum meluncur
turun dengan kedua tangan
terkembang. Plak! Plak! "Uhhh..."!"
Terdengar benturan nyaring saat sepasang telapak
tangan Panji memapak kepalan kedua orang itu. Aki-
batnya, tubuh pemuda tampan berjubah putih itu
kembali melenting ke udara. Sedangkan kedua lelaki tinggi besar itu terjajar
beberapa langkah yang disertai seruan kaget.
Kedua lelaki tinggi besar yang otot-ototnya melingkar bagaikan akar pohon itu
menggeram marah. Kedu-
anya menatap sosok pemuda berjubah putih yang su-
dah meluncur turun itu dengan sinar mata berapi. Jelas, mereka tidak senang
melihat campur tangan pe-
muda itu. "Hmm.... Siapa kau, Anak Muda"! Apa kau sudah
bosan hidup berani mencampuri urusan kami...?" ge-
ram salah seorang dari kedua lelaki itu.
Ia mengenakan selempang kulit harimau, seperti
yang biasa dikenakan seorang pemburu. Sepasang
tangannya tampak mengepal kuat, hingga memper-
dengarkan bunyi berkerotokan.
Ketika beralih kepada Kenanga, tampak laki-laki
tinggi besar yang wajahnya bercambang bauk itu mencoba tersenyum. Sayang, senyum
yang mungkin me-
rupakan senyum termanis yang pernah dimilikinya,
tak ubahnya sebuah seringai harimau lapar. Tentu sa-ja bukan wajahnya tambah
menarik, tapi malah sema-
kin mengerikan.
"Aneh. Tenaga mereka bukan hanya tenaga kasar
saja. Sepertinya kedua orang ini bukan tokoh sembarangan. Entah siapa sebenarnya
mereka...?" bisik Panji ketika Kenanga datang mendekati. Sedangkan sepasang
matanya tetap tidak lepas dari wajah kedua orang bertubuh raksasa di depannya.
"Latungga! Persoalan kita belum selesai. Ayo cari
tempat lain untuk menyelesaikannya...!" kata lelaki bertubuh raksasa kepada
laki-laki yang juga bertubuh tinggi besar dengan suara berat
Orang yang bernama Latungga itu wajahnya hanya
terhias cambang. Sedangkan laki-laki yang satu lagi wajahnya dipenuhi brewok,
sehingga tampak lebih
menyeramkan ketimbang Latungga.
"Hm.... Siapa yang takut kepadamu, Lagonta! Baik,
mari kita cari tempat lain...," sahut laki-laki berselempang kulit harimau yang
bernama Latungga. Dia juga menggeram marah mendengar tantangan itu. Kemudian
tubuhnya segera melesat cepat, mengikuti langkah lawannya yang bernama Lagonta.
"Tunggu...!"
Kedua lelaki bertubuh raksasa yang bernama La-
tungga dan Lagonta itu sama-sama menahan langkah.
Mereka berbalik menatap ke arah pemuda berjubah
putih yang tengah menghampiri. Kembali mereka
menggeram jengkel, menatap sosok Pendekar Naga Pu-
tih. Rasanya tubuh pemuda itu akan ditelan bulat-
bulat, lewat tatapan mata.
*** "Maaf. Terpaksa urusan kalian kucampuri. Hal ini
karena permintaan seorang lelaki tinggi kurus di kedai tempat kalian makan tadi.
Menurutnya, kalian adalah..."
Panji tidak sempat lagi melanjutkan ucapan, begitu Latungga dan Lagonta telah
menerkam dari kiri dan
kanan. Anehnya, gerakan mereka ternyata cukup cepat Sehingga, Panji jadi kagum
dibuatnya. Wuuut! Wuuut! "Hait..!"
Pendekar Naga Putih melenting ke udara, dan kem-
bali meluncur turun satu tombak dari kedua lawannya yang hanya menangkap angin
kosong. Kegagalan itu membuat Latungga dan Lagonta se-
makin murka. Mereka kembali menggeram, dan siap
menerjang Panji.
"Nah! Kalau menghadapi aku, kalian bisa bersatu
bahu-membahu, mengapa harus bertempur hanya un-
tuk saling mencelakai diri sendiri" Apa sebenarnya yang diperebutkan...?" tanya
Panji tetap berusaha menenangkan dan mendamaikan kedua lelaki bertubuh
raksasa, yang menurut keterangan lelaki tinggi kurus di kedai tadi adalah
saudara sekandung.
"Tidak perlu banyak mulut! Kau telah berani men-
campuri urusan kami! Untuk itu, terimalah ganjarannya...!" geram Latungga.
Kali ini, laki-laki berselempang kulit harimau itu siap menerjang menggunakan
jurus-jurus dahsyat
"Heaaa...!"
Dibarengi bentakan parau, Latungga mengirimkan
pukulan lurus ke depan. Meskipun kelihatan agak ka-ku, namun kecepatannya sempat
membuat kening Panji berkerut penuh keheranan.
"Hm...," Panji yang menjadi penasaran, hanya ber-
gumam tak jelas.
Pemuda itu sama sekali tidak terlihat mengelak.
Malah ada kesan kalau sengaja ingin mengukur keku-
atan pukulan Latungga. Dan begitu pukulan lurus lawan datang, lengannya
dikibaskan. Dukkk! "Hei..."!"
Panji berseru kaget ketika membentur lengan lawan
yang besar dan berbulu itu. Ternyata lengan lawan
sangat keras sekali, bagaikan sebatang besi! Maka,
Pendekar Naga Putih terpaksa menggeser mundur
langkahnya. Jelas sudah, Latungga atau mungkin juga Lagonta, bukan hanya dua
laki-laki bertubuh raksasa yang bertenaga kasar. Tapi mereka memiliki kekuatan
tenaga dalam yang tidak bisa dipandang remeh.
Tentu saja hal itu cukup mengejutkan Panji. Me-
mang sulit diduga, siapa sebenarnya kedua orang lihai itu. "Mengapa, Kakang...?"
Kenanga yang terkejut ketika mendengar seruan
Panji, cepat menghampiri. Tampak Kenanga merasa
khawatir terhadap keselamatan kekasihnya.
Meskipun disadari kalau kesaktian Panji sangat su-
kar dicari tandingannya, namun ia tetap mengkhawa-
tirkannya. "Tidak apa-apa, Kenanga. Aku tadi hanya mencoba,
sampai di mana kekuatan tenaga mereka. Tapi, hasilnya benar-benar mengejutkan.
Rasanya, kekuatan
yang mereka miliki tidak kalah dengan kekuatan tena-ga saktimu," jelas Panji.
"Apakah kau tidak keliru, Kakang...?" Kenanga yang terkejut dan setengah tak
percaya, menatap Panji dengan mulut ternganga.
Memang sulit bagi Kenanga untuk percaya kalau
kedua orang bertubuh raksasa yang nampak kasar itu memiliki kekuatan tenaga
dalam yang sebanding dengan kekuatannya. Dan keterangan Panji belum bisa di-
terimanya. Bukannya tidak percaya, tapi ia menjadi penasaran. Bahkan ingin
mencobanya sendiri.
"Kenanga, jangan ceroboh...!" Panji mencoba men-
cegah niat kekasihnya yang merasa penasaran. Cepat pergelangan tangan gadis
jelita itu dicekalnya.
"Jangan khawatir, Kakang. Aku hanya ingin menco-
banya...," bantah Kenanga sambil tersenyum dan sinar


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata menuntut agar diperbolehkan mencoba tenaga
kedua orang itu.
"Hati-hatilah...," pesan Panji. Pendekar Naga Putih terpaksa mengalah ketika
sepasang mata bening itu
menatapnya. Pendekar Naga Putih pun melepaskan cekalannya
dan melangkah mundur beberapa tindak. Dan pemuda
itu siap menolong apabila kekasihnya terancam.
"Hm.... Majulah kalian, manusia tidak tahu diun-
tung!" ejek Kenanga. Dan gadis itu sudah mengerah-
kan tenaga dalamnya, hingga menyebar ke kedua len-
gannya. "Hmm...!"
Latungga yang tadi tampak tertarik dengan dara je-
lita itu, menjadi jengkel. Rupanya, ia tidak bisa menerima ucapan yang
mengandung makian bagi dirinya.
Maka sambil memperdengarkan suara menggeram,
mulai dilancarkannya sebuah serangan dahsyat
"Hm...," Kenanga hanya bergumam melihat datang-
nya serangan lawan.
Dengan gerakan lincah, kedua kaki gadis itu me-
langkah ke kiri dan kanan, menghindari datangnya
pukulan yang menimbulkan angin menderu-deru. Na-
mun ketika gerakan lawan semakin bertambah cepat,
tangan kanannya cepat diangkat, memapak sebuah te-
basan yang mengancam perutnya.
Plakkk! Terdengar benturan keras seperti ledakan kecil yang membuat udara di sekitarnya
bergetar. Sedangkan tubuh keduanya tampak tersurut mundur sejauh enam
langkah. Apa yang diperkirakan Pendekar Naga Putih memang tidak meleset Tenaga
Latungga ternyata seimbang dengan tenaga kekasihnya.
Setelah merasakan sendiri, barulah Kenanga per-
caya bahwa tenaga kedua raksasa itu jelas sangat
kuat. Bahkan sampai bisa menyamai tenaganya.
"Bagaimana" Apakah kau sudah percaya...?" bisik
Panji yang tiba-tiba sudah berada di samping Kenanga.
Dara jelita itu tersenyum pahit Meskipun begitu,
daya tariknya tetap tak sirna. Masih cantik dan ayu.
"Aku yakin mereka bukan berasal dari Desa Manda-
la Sari. Meskipun aku tidak bisa menduga, tapi jelas mereka adalah pendatang di
desa itu, seperti halnya kita," ujar Kenanga.
Gadis itu tidak yakin kalau Latungga dan Lagonta
adalah penduduk asli Desa Mandala Sari. Selain logat bicara yang kaku dan kasar,
raut wajah mereka juga sangat jauh berbeda dibanding penduduk asli desa itu.
"Itu sudah jelas, Kenanga. Kalau tidak salah, mere-ka lebih mirip penduduk asli
wilayah Utara. Daerah yang gersang dan keras itu rasanya lebih tepat bagi
mereka. Selain itu, nama mereka juga sangat asing ba-gi telinga kita. Tapi,
mengapa lelaki tinggi kurus itu ta-hu kalau mereka saudara kandung?" desah Panji
men- gerutkan keningnya. Ia langsung teringat lelaki setengah baya yang meminta
pertolongannya agar memi-
sahkan Latungga dan Lagonta.
"Mungkin saja orang tua itu hanya menduga-duga
saja, Kakang. Sebab, selain wajah mereka hampir serupa, tubuh mereka pun tidak
berbeda. Jadi, tidak terlalu sulit mengetahui kalau mereka itu saudara kandung,"
timpal Kenanga.
Gadis itu segera melepaskan pandangan ke arah La-
tungga dan Lagonta yang tengah melangkah dan siap
melanjutkan perkelahian. Bahkan kali ini bergerak ke kiri dan kanan, seperti
hendak menangkap Panji dan Kenanga.
"Sabar dulu, Kisanak. Kalau boleh tahu, siapakah
kalian ini sebenarnya" Dan, apa yang membuat kalian berkelahi?" tanya Pendekar
Naga Putih, mencoba mengetahui tentang dua lelaki bertubuh raksasa itu.
Tapi, Latungga dan Lagonta sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan Panji. Mereka terus berge-
rak dan siap menerjang.
"Yeaaah...!"
Latungga berteriak parau membuka serangannya.
Sepasang tangannya yang besar dan berbulu lebat itu bergerak susul-menyusul,
disertai deru angin berkesiutan. Sasaran serangannya adalah Kenanga.
"Hait..!"
Kenanga tidak sedikit pun gentar, meski telah men-
getahui kekuatan lawan tidak kalah dengan kekuatannya sendiri. Disertai teriakan
melengking, tubuh dara jelita itu bergerak menyambut serangan lawan. Sebentar
saja, keduanya telah terlibat perkelahian seru.
"Hmrrr...!"
Lagonta menggeram bagaikan macan lapar. Lelaki
bertubuh raksasa dengan wajah ditumbuhi brewok le-
bat itu sama sekali tidak mau peduli. Apalagi mendengar pertanyaan Panji.
Padahal Pendekar Naga Putih
masih penasaran ingin mengetahui, apa yang menye-
babkan Latungga dan Lagonta berkelahi mati-matian.
Tapi karena pertanyaannya tak terjawab, akhirnya
Panji melayani serangan Lagonta.
Wuuut..! Kepalan sebesar buah kelapa itu meluncur deras ke
arah Panji. Sedangkan Panji yang merasa penasaran
dan ingin memberikan pelajaran agar mata Lagonta
terbuka, segera mengangkat tangannya yang sudah
terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Dan....
Desss...! "Aaakh..."!"
Lagonta memekik kesakitan. Tubuhnya seketika itu
juga terpelanting ke tanah. Dan kenyataan itu mem-
buat Lagonta terbelalak tak percaya apa yang diala-minya tadi. Ia kembali
menggeram untuk mengusir
hawa dingin yang meresap melalui pergelangan tan-
gannya. "Hmrrr...! Kulumat hancur tubuhmu...!" geram La-
gonta. Kelihatan kalau laki-laki brewok itu semakin murka akibat tangkisan Panji yang
terasa menyesakkan dadanya. Tapi rasa sesak itu hanya sekejap, untuk kemudian
lenyap tanpa bekas. Sehingga Lagonta belum
percaya kalau pemuda bertubuh sedang itu memiliki
kekuatan sampai demikian hebatnya. Ia menghibur di-ri dengan menganggap kalau
hal itu terjadi akibat ke-cerobohannya.
Maka, kali ini Lagonta kelihatan agak hati-hati dalam membuka serangan. Jurus-
jurus pilihannya pun
mulai dipersiapkan untuk menggempur Pendekar Naga
Putih. *** 2 "Haaat..!"
Lagonta kembali membuka serangan. Kali ini gera-
kannya jauh lebih cepat dan lebih kuat dari sebelumnya. Sehingga, hati Panji
semakin penasaran dibuatnya.
Dan Pendekar Naga Putih pun mulai menunjukkan
kebolehannya. Tubuhnya yang telah terselimut lapisan kabut bersinar putih
keperakan, bergerak cepat laksana sambaran kilat di angkasa.
"Hiaaah...!"
Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samp-
ing, menghindari sebuah tendangan yang mengincar
lambung. Kemudian tangan kanannya bergerak cepat
melakukan tebasan miring, mengancam pelipis lawan.
Gerakan itu ternyata hanya tipuan saja. Begitu Lagonta mencoba mengelak, tiba-
tiba telapak tangan kirinya menghajar dada lawan.
Desss...! "Akh...!"
Lagonta kontan memekik kesakitan. Tubuh lelaki
bertubuh raksasa itu terhuyung limbung hingga satu setengah tombak. Melihat
tetesan darah di sudut bibir Lagonta, jelas kalau hantaman telapak tangan Panji
telah mengguncangkan isi dadanya.
"Brrrh...!"
Lelaki tinggi besar dan berwajah brewok itu menggigil kedinginan. Cepat kedua
tangannya disilangkan di depan dada. Kemudian, dia membentak seraya mengibaskan
kedua lengannya ke kiri dan kanan untuk
mengusir pengaruh hawa dingin yang merasuki tulang sumsumnya. Untung, Pendekar
Naga Putih tidak berniat membunuh lawannya. Padahal kalau mau, ra-
sanya tidak terlalu sulit. Terbukti dalam dua puluh jurus saja, pukulannya telah
berhasil bersarang di tubuh lawan.
Lagonta yang menyadari kalau lawannya benar-
benar memiliki kepandaian tinggi, terlihat mulai gentar. Sekilas matanya melirik
ke arah pertarungan di sebelahnya. Kembali hatinya merasa terkejut melihat
Latungga terdesak oleh sinar pedang gadis jelita yang menjadi lawannya.
"Hm...," gumam Panji perlahan ketika melihat Ke-
nanga telah menggunakan Pedang Sinar Rembulan.
Pendekar Naga Putih tahu, mengapa kekasihnya
menggunakan pedang. Memang, tubuh kedua orang
bertubuh raksasa itu memiliki kekebalan terhadap pukulan. Kalau tadi lawannya
bisa dibuat kesakitan, itu karena tenaga saktinya memang jauh lebih tinggi.
Lain halnya Kenanga yang memiliki kekuatan seim-
bang dibanding lawannya. Tentu gadis jelita itu telah mengetahui kekebalan tubuh
Latungga. Terbukti, senjatanya telah digunakan untuk menggempur lelaki itu.
Brettt! "Akh..."!"
Tiba-tiba Latungga menjerit kesakitan. Tubuhnya
kontan terjajar limbung. Darah segar tampak memba-
sahi bagian iganya. Jelas, Latungga telah termakan ta-jamnya senjata lawan.
Lagonta mendekati saudaranya. Mereka tampak sal-
ing bertukar pandang sejenak, lalu menganggukkan
kepala. Meski hanya melalui pertukaran pandangan
saja, keduanya tampak seperti telah bersepakat
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba saja Latungga dan Lagonta memekik sam-
bil meluncur bersama-sama ke arah Panji. Terdengar deru angin berkesiutan
mengiringi datangnya serangan kedua manusia tangguh itu.
Bwettt! Panji menarik mundur tubuhnya saat cengkeraman
Latungga datang menyambar lambung kiri. Dan sebe-
lum sempat melontarkan serangan balasan, pukulan
Lagonta datang mengancam dada. Cepat tubuhnya di-
putar setengah lingkaran. Lalu kaki kanannya lang-
sung bergerak menyambar kepala Lagonta dengan ke-
cepatan kilat Zebbb! Melihat tendangan kilat yang mengancam kepala,
Lagonta memutar tubuhnya menggunakan tenaga
pinggang. Begitu tendangan lawan luput, kembali di-lontarkannya serangan balasan
yang menimbulkan de-
singan angin. Demikian pula Latungga. Laki-laki tinggi besar dengan selempang kulit harimau
itu ikut menerjang lewat cengkeraman-cengkeraman mautnya yang sanggup
meremas hancur sebuah batu sebesar kepala kerbau.
Sebentar saja, ketiga tokoh sakti itu terlibat perkelahian yang lebih seru dan
mendebarkan daripada pertarungan pertama tadi.
Kenanga nampak siap bergerak membantu, ketika
kedua raksasa itu mengeroyok kekasihnya. Tapi, niat itu diurungkan begitu
melihat Panji sama sekali tidak mampu didesak kedua lawannya. Ia hanya berdiri
menonton perkelahian seru itu. Sepertinya, hatinya merasa yakin kalau kekasihnya
akan bisa menundukkan
lawan-lawannya.
Perkiraan Kenanga memang tidak meleset Meskipun
Lagonta dan Latungga mati-matian menggempur Pen-
dekar Naga Putih, tapi tetap saja tidak mampu mendesaknya. Bahkan lama-kelamaan
mereka sendiri yang
mulai terjebak oleh gelombang hawa dingin yang me-
mancar dari pukulan maupun tubuh pemuda itu.
"Bangsat..!" Lagonta memaki gusar ketika merasa-
kan gerakannya mulai terhambat dan kaku. Akibatnya perhatiannya jadi terganggu.
Serangannya pun terlihat kacau, tidak lagi beraturan.
Ternyata bukan hanya Lagonta saja yang mengala-
mi hal menjengkelkan. Latungga pun merasakan hal
yang sama. Sambaran gelombang hawa dingin yang
menusuk tulang, membuat gempurannya mulai men-
gendur. Akibatnya, kedua manusia bertubuh raksasa
itu mulai terdesak oleh serangan lawan. Kenyataan itu
membuat mereka semakin penasaran.
"Hait..!"
Panji yang memang hendak melihat kekuatan tubuh
lawan dalam menghadapi pengaruh hawa dingin 'Te-
naga Sakti Gerhana Bulan'nya, mulai melancarkan serangan gencar. Pemuda itu
berniat menawan kedua
lawannya hidup-hidup.
Itu sebabnya, Panji semenjak tadi hanya sesekali
membalas serangan lawan. Ketika pertempuran men-
ginjak jurus keempat puluh, ilmu silat lawan belum juga dikenalinya. Sehingga
pemuda sakti itu pun mulai melakukan tekanan-tekanan berat
Lagonta dan Latungga kelabakan setengah mati ke-
tika Pendekar Naga Putih mulai melancarkan seran-
gan-serangan maut. Mereka sekarang hanya bisa ber-
gerak mundur, tanpa mampu melakukan serangan ba-
lasan. Kenyataan itu membuat mereka semakin sadar
akan kesaktian lawan.
Bukkk! "Hukhhh...!"
Tubuh Latungga terpental satu tombak lebih begitu
tiba-tiba sebuah pukulan mendarat telak di dadanya.
Darah segar tampak menyembur membasahi tubuh-
nya. Kendati demikian, ia masih berusaha bangkit dan mencoba mengusir hawa
dingin yang meresap ke dalam tubuh.
Desss! "Aaa...!"
Hantaman telapak tangan kiri Panji yang mengan-
dung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' kembali mendarat di dada kanan Lagonta. Tanpa
ampun lagi, tubuh laki-laki brewok itu terbanting keras sejauh hampir dua tombak
dari tempat semula.
"Ukhhh..."
Lagonta kontan terbatuk mengeluarkan darah segar
dari mulut. Untuk beberapa saat, dia hanya bisa ter-duduk sambil mendekap dada
kanannya yang terasa
sesak. Kemudian, tubuhnya baru bergerak bangkit
perlahan-lahan, setelah sesaknya agak berkurang.
Latungga segera melangkah mendekati saudaranya.
Mereka kini berdiri tegak menatap Panji yang juga balas menatap. Kedua lelaki
tinggi besar itu bergerak mundur ketika melihat pemuda berjubah putih itu
melangkah mendekat
"Hm.... Bagaimana" Apakah kalian masih ingin me-
lanjutkan perkelahian tanpa sebab ini?" tantang Panji.
Pendekar Naga Putih segera menghentikan langkah
ketika melihat lawan bergerak mundur. Jelas sekali kalau Latungga dan Lagonta


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah jera terhadap Pendekar Naga Putih.
Tapi mendadak, Lagonta dan Latungga melempar-
kan sebuah benda bulat ke arah Panji dan Kenanga
berdiri. Darrr...! Panji yang menyadari benda itu adalah sejenis sen-
jata peledak tersentak kaget Ia segera melontarkan tubuhnya sambil menarik
lengan kekasihnya untuk me-
lompat jauh ke belakang. Sehingga, asap tebal yang disertai gumpalan tanah itu
tidak sampai mengotori tubuh mereka.
Sejurus setelah ledakan terjadi, Panji dan Kenanga bergerak menyebar ke kiri dan
kanan. Mereka kemudian melesat ke tempat yang tidak tertutup gumpalan asap,
untuk menangkap kedua manusia bertubuh raksasa itu.
"Hm.... Sudah kuduga mereka akan melarikan diri
dengan cara licik...," gumam Panji ketika tidak menemukan Latungga dan Lagonta
di tempat semula.
"Itu mereka, Kakang...!" seru Kenanga tiba-tiba,
sambil menudingkan telunjuknya ke arah hutan.
Tanpa membuang waktu lagi, Panji yang sempat
melihat bayangan kedua lawannya, langsung bergerak mengejar.
Bagaikan bayangan hantu yang tengah bercanda,
kedua sosok pendekar muda itu bergerak cepat menu-
ju hutan. Sebentar saja, mereka telah tiba di tempat Kenanga pertama kali
melihat bayangan Latungga dan Lagonta. Tapi begitu tiba, bayangan kedua orang
bertubuh raksasa itu kembali lenyap bagai ditelan bumi.
"Itu...!"
Tiba-tiba Panji yang tengah mencari-cari, melihat
dua sosok bayangan bergerak sekitar enam tombak da-ri tempatnya berdiri. Cepat
dikejarnya bayangan itu dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya.
"Kurang ajar...!" maki Kenanga penuh kegeraman.
Meskipun mereka telah berlari cukup jauh, ternyata bayangan Lagonta dan Latungga
tidak juga ditemukan.
Sehingga, dara jelita itu menjadi jengkel dibuatnya.
"Hm.... Kita jelajahi seluruh pelosok hutan ini. Aku yakin, mereka pasti belum
jauh...," usul Panji yang disambut anggukan kepala oleh Kenanga.
Kemudian mereka memulai pencarian. Tapi meski-
pun setiap pelosok hutan itu telah dijelajahi, sosok Lagonta dan Latungga tetap
tidak berhasil ditemukan.
Mereka terpaksa menginap di dalam hutan lebat itu, karena hari sudah menjelang
malam, saat pencarian
dihentikan. "Hm.... Benar-benar aneh. Entah apa sebenarnya
maksud mereka" Mengapa mereka begitu cepat meng-
hilang" Padahal menurut perhitunganku, mereka akan dapat kita ringkus. Aneh...?"
gumam Panji sambil me-rebahkan tubuhnya di atas rerumputan tebal dengan
kepala beralaskan buntalan pakaiannya.
Kenanga hanya menghela napas berat Jelas hatinya
sama penasarannya dengan Panji.
"Sebaiknya, besok kita cari mereka lagi, Kakang.
Siapa tahu masih bersembunyi di tempat yang tidak
diketahui di dalam hutan ini," usul Kenanga, sebelum memejamkan matanya.
Panji hanya bergumam pelan menjawab usul keka-
sihnya. Kemudian, matanya segera dipejamkan rapat-
rapat. Malam baru saja berganti pagi, saat serombongan
orang bergerak memasuki Desa Mandala Sari. Melihat langkah serta pakaiannya,
jelas kalau rombongan itu terdiri dari orang-orang persilatan yang tergabung
dalam sebuah partai. Semua itu mudah diterka, karena mereka rata-rata mengenakan
warna pakaian serupa.
Bahkan pada bagian kiri dada terlihat sebuah lambang kepala harimau yang disulam
oleh benang putih. Siapa lagi rombongan itu kalau bukan dari Perguruan Macan
Putih yang sudah terkenal.
Para penduduk Desa Mandala Sari yang menyaksi-
kan, jadi memandang heran. Apalagi, rombongan itu
terus saja bergerak tanpa ada tanda-tanda hendak
singgah. Tentu saja semua itu semakin menimbulkan
tanda tanya besar dalam benak mereka. Walaupun be-
gitu, tak seorang pun yang berani bertanya. Semua
pertanyaan itu dipendam dalam hati.
Tidak lama setelah rombongan itu lenyap dari pan-
dangan, datang rombongan lain yang jumlahnya lebih sedikit. Dan melihat pakaian
yang berbeda-beda, dapat diduga kalau mereka bukanlah orang partai tertentu.
Dari langkah yang ringan, bisa diketahui kalau mereka adalah kaum rimba
persilatan. Tapi kelihatan sekali bahwa mereka itu datang dan berkelompok dengan
sa- tu tujuan. Para penduduk yang sejak tadi sudah masuk ke
rumah, kembali bermunculan. Rasa heran kembali
menyelimuti hati mereka. Semua itu terpancar jelas dari pandangan maupun wajah
mereka. "Aneh. Mengapa hari ini banyak sekali orang gagah
melalui desa kita" Hendak ke mana tujuan mereka sebenarnya...?"
Terdengar bisikan perlahan yang membicarakan
rombongan-rombongan kaum persilatan itu. Tapi
orang yang diajak bicara hanya menggelengkan kepala dengan wajah bodoh. Sebab ia
sendiri pun tidak tahu, ke mana tujuan rombongan orang-orang gagah itu.
"Tanyakan sendiri kalau memang ingin tahu...," sa-
lah seorang penduduk yang berwajah kehitaman, langsung nyeletuk.
Rupanya ia sempat mendengar bisik-bisik kawan-
nya. Tapi orang yang bertanya tadi hanya mengangkat bahu tanda menyerah.
Sebentar saja, mereka kembali terdiam tanpa kata.
Penduduk Desa Mandala Sari semakin merasa pe-
nasaran ketika masih banyak lagi rombongan orang
rimba persilatan yang melalui desa mereka. Rasa penasaran membuat beberapa orang
pemuda mengikuti
rombongan terakhir, secara diam-diam. Bahkan ikut
dan membaurkan diri dalam rombongan itu.
Jauh di luar Desa Mandala Sari, para tokoh persilatan telah berkumpul memadati
sebuah lapangan rum-
put luas. Di tengah lapangan telah berdiri sebuah
panggung yang cukup luas. Dan menurut kabar, pang-
gung itu akan digunakan untuk berlaga.
"Sahabat-sahabat sekalian...!"
Seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun yang tampil ke atas
panggung, membuka sua-
ranya yang lantang. Sebentar saja, suasana yang semula bagaikan pasar ayam, jadi
senyap. Kini semua mata tertuju ke atas panggung.
"Seperti yang telah disepakati para tokoh persilatan di daerah Timur ini, kita
berkumpul dengan satu tujuan mulia. Yaitu, mencari pemimpin kaum persilatan
golongan putih. Semua itu untuk menyatukan semua
tokoh atau partai yang ada di wilayah Timur ini. Untuk itu, para tokoh yang
telah mengajukan diri menjadi pimpinan telah berkumpul dan siap mengadu
kesaktian di atas panggung terbuka ini," lelaki berusia setengah baya itu
menghentikan kata-katanya.
Saat itu, orang-orang yang berada di bawah pang-
gung bersorak riuh-rendah. Baru setelah laki-laki itu mengangkat kedua tangannya
dan meminta perhatian,
suasana jadi hening kembali.
"Saudara-saudara sekalian...," lanjut lelaki setengah baya itu, setelah terdiam
beberapa saat "Sampai saat ini, telah tercatat enam calon yang telah
mendaftarkan diri untuk memperebutkan jabatan itu. Mereka ini
akan dipertemukan, setelah ditentukan melalui un-
dian. Kemudian, ketiga orang pemenang pada babak
pertama, kembali akan diundi untuk menentukan sia-
pa-siapa yang akan bertarung. Karena pada babak kedua nanti akan terjadi tiga
orang pemenang, maka sudah tentu , akan ada seorang peserta yang beruntung tidak
menjalani pertarungan pada babak kedua. Ia
akan bertarung pada babak ketiga, melawan pemenang babak kedua. Demikianlah
ketentuan pertandingan
ini, yang telah disetujui peserta-peserta yang bersang-kutan."
Usai mengumumkan peraturan pertandingan, lelaki
gagah itu pun melangkah turun dari atas panggung.
Sebentar kemudian, suasana pun hening seketika.
Rupa-rupanya, para penonton yang berada di bawah
panggung merasa sedikit tegang menantikan muncul-
nya dua orang peserta di babak pertama itu.
"Hait...!"
Tiba-tiba para penonton dikejutkan satu bentakan
halus yang disusul melesatnya sesosok bayangan me-
rah ke atas panggung. Sebelum mendaratkan kedua
kakinya di lantai panggung, bayangan itu berputar lebih dulu sebanyak empat kali
di udara. Gerakannya
demikian indah dan mengagumkan, sehingga para pe-
nonton langsung menyambutnya dengan tempik sorak
gegap-gempita. Lelaki gagah berpakaian serba merah yang berusia
sekitar lima puluh tahun itu tersenyum lebar. Tubuhnya membungkuk ke empat
penjuru sambil mengang-
gukkan kepalanya. Kemudian, kakinya melangkah ke
sudut kanan panggung, menanti calon lawannya.
Rupanya sosok bayangan merah itu tidak perlu me-
nunggu terlalu lama. Dari barisan penonton di sebelah kanan panggung, terdengar
tempik sorak riuh-rendah, mengiringi langkah seorang lelaki gemuk terbungkus
pakaian serba putih. Dia terus melangkah ke arah
panggung tanpa terburu-buru.
"Hidup Cakar Macan Putih...!" Tiba-tiba terdengar
teriakan seorang penonton dari tempat lelaki gemuk itu muncul yang mengelu-
elukan jagoannya. Kemudian, teriakan tadi disambut teriakan kawan-
kawannya. Sehingga suasana jadi semakin ribut
Lelaki gagah berjuluk Cakar Macan Putih itu berge-
rak melesat ke atas panggung. Gerakannya terlihat
mantap dan ringan, pertanda ilmu meringankan tu-
buhnya tidak rendah. Meskipun gerakannya terlihat
sederhana, namun saat tubuhnya meluncur turun ke
lantai panggung, kembali terdengar tepuk tangan yang
gegap-gempita. Kebisingan baru reda saat lelaki gagah itu mengangkat kedua
tangannya ke atas.
Sebelum berhadapan dengan lawannya, lelaki ber-
pakaian serba putih itu memutar tubuhnya ke empat
penjuru sambil membungkukkan tubuh. Kemudian,
tubuhnya berbalik memandang ke arah lelaki setengah baya berpakaian serba merah
yang menanti sejak tadi di sudut kanan panggung. Mereka berdiri berhadapan, siap
bertarung. *** 3 "Cakar Macan Putih, silakan...," ujar lelaki setengah baya berpakaian serba
merah sembari tersenyum lebar.
Ketika berdiri berhadapan, perbedaan warna pa-
kaian mereka tampak menyolok sekali. Sehingga sua-
sana di atas panggung terlihat semarak, membuat tepuk tangan orang-orang di
bawah panggung semakin
keras menyambut kedua tokoh yang telah terkenal itu.
"Harap kau sudi memberi pelajaran kepadaku, Pen-
dekar Tapak Bara...," sahut Cakar Macan Putih.
Cakar Macan Putih menarik kaki kanannya ke
samping, kemudian meliukkan tubuhnya dengan
menggunakan tenaga pinggang. Gerakannya persis se-
perti harimau yang menggeliat bermalas-malasan. Sepasang tangannya yang telah
membentuk cakar hari-
mau, bergerak ke depan hingga menimbulkan samba-
ran angin keras.
"Hm.... Jangan terlalu merendah, Adi. Jurus 'Cakar Macan'mu telah dikenal tokoh-
tokoh daerah Timur ini.
Harap jangan terlalu sungkan...," timpal lelaki yang
berjuluk Pendekar Tapak Bara kembali tersenyum le-
bar. Lawan Pendekar Tapak Bara memang lebih muda
sekitar lima tahun dibanding dirinya. Sehingga diberi-kannya kesempatan kepada
Cakar Macan Putih untuk
memulai serangan.
"Bersiaplah, Pendekar Tapak Bara...! Haaat..!" seru Cakar Macan Putih, nyaring
seraya memulai serangan.
Kedua kaki Cakar Macan Putih yang kokoh itu me-
lakukan langkah-langkah panjang dan kadang bersi-
langan. Sepasang cakarnya berputaran, menyambar-
nyambar disertai hembusan angin keras. Jelas, lelaki berpakaian serba putih itu
langsung menggunakan il-mu andalannya untuk menundukkan lawan.
Pendekar Tapak Bara bergumam perlahan. Tubuh-
nya segera bergerak ke samping, saat sambaran cakar lawan datang bertubi-tubi.
Kemudian, tubuhnya langsung berputar mengirimkan sebuah tendangan kilat
yang menderu mengancam batang leher lawan.
Plak! Masing-masing terjajar mundur sejauh empat lang-
kah. Dalam pertemuan tenaga yang pertama, tampak
tenaga dalam mereka seimbang. Pertarungan pun
kembali berlanjut lebih seru.
Cakar Macan Putih dengan gerakan laksana seekor
harimau jantan, terus mendesak lawan dengan samba-
ran-sambaran cakarnya yang sanggup meremas han-
cur sebuah batu besar. Sepasang cakarnya bergerak
silih berganti, disertai lengkingan yang merobek udara.
Melihat betapa gencarnya serangan yang dilakukan, jelas kalau Cakar Macan Putih
ingin segera menyelesaikan pertarungan babak pertama itu.
Sama halnya seperti Cakar Macan Putih, Pendekar
Tapak Bara terkenal karena ilmu tangan kosongnya.
Tentu saja pertempuran dua tokoh persilatan yang
sama-sama mengandalkan ilmu tangan kosong itu
sangat seru. Pendekar Tapak Bara sendiri terlihat agak berhati-
hati dalam menghadapi lawan. Dia tampak lebih ba-
nyak menghindar ketimbang melakukan serangan ba-
lasan. Sepertinya, ingin dilihatnya, sampai di mana kekuatan lawan yang gencar
mendesaknya itu. Meskipun demikian, sepasang mata lelaki tua itu menyorot tajam,
mencari peluang untuk dapat melontarkan pukulan secara tepat
"Hiaaah...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kedua puluh,
tiba-tiba Pendekar Tapak Bara membentak nyaring
hingga mengejutkan lawannya. Berbarengan dengan
itu, telapak tangan kanannya bergerak cepat menuju dada lawan yang terbuka.
Sementara pada saat itu,
Cakar Macan Putih melakukan serangan dengan ke-
dua tangan ke arah kepala lawan.
Desss...! Tanpa ampun lagi, pukulan telapak tangan Pende-
kar Tapak Bara telak menghajar dada kiri lawannya.
Namun dengan gerakan kokoh, Cakar Macan Putih
menghentakkan kaki kanannya ke lantai panggung
untuk menahan daya dorong yang ditimbulkan han-
taman telapak tangan lawan. Tampak wajah lelaki gemuk itu agak menyeringai
sambil mengusap-usap da-


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danya yang terasa agak panas, hingga membuat ke-
rongkongannya seperti kering.
"Hmhhh...."
Cakar Macan Putih menggeram keras, menggetar-
kan lantai panggung. Kemudian, disertai sebuah lengkingan panjang laksana raung
harimau luka, lawannya kembali diterjang.
Tapi kali ini Pendekar Tapak Bara mulai memperli-
hatkan kehebatan ilmu 'Tapak Bara'nya yang terkenal.
Asap tipis tampak mengepul ketika telapak tangannya digosok-gosokkan, hingga
sebentar kemudian berubah menjadi merah seperti bara api.
Jelaslah sekarang, mengapa lelaki setengah baya itu sampai mendapat julukan
Pendekar Tapak Bara. Ru-pa-rupanya, semua itu karena ilmu tangan kosong
yang dimilikinya.
"Heaaat..!"
Sepasang telapak tangan lelaki berpakaian merah
itu menyambar-nyambar diiringi hawa panas, yang
membuat tubuh lawan menjadi bersimbah peluh sete-
lah bertarung selama lima belas jurus lebih. Bahkan wajah Cakar Macan Putih
terlihat agak kemerahan,
seperti terbakar hawa panas yang menebar lewat sambaran telapak tangan lawan.
Tentu saja hawa panas
itu membuat gerakannya menjadi kacau tak beratu-
ran, dan perhatiannya tidak bisa lagi terpusatkan.
Itulah salah satu keistimewaan ilmu 'Tapak Bara'
yang dimiliki lawan. Akibatnya, setelah bertarung
kembali selama sepuluh jurus lebih, Cakar Macan Putih tidak sempat lagi
mengelakkan sebuah tamparan
pada bahu kanannya.
Desss...! "Aaakh...!"
Cakar Macan Putih memekik kesakitan. Tubuhnya
terpelanting dan jatuh ke bawah panggung. Pada ba-
gian bahu yang terkena tamparan tangan lawannya
tampak terbakar, hingga kulitnya melepuh kehitaman.
Bahkan pada sudut bibirnya terlihat ada aliran darah segar. Jelas, tamparan tadi
membuat Cakar Macan Putih mengalami luka dalam.
Jatuhnya tubuh Cakar Macan Putih ke bawah
panggung, disambut tempik sorak yang berkepanjan-
gan. Hal itu berarti kemenangan buat Pendekar Tapak Bara. Lelaki setengah baya
itu kembali memperli-hatkan senyum lebarnya, kemudian melangkah turun
menghampiri Cakar Macan Putih yang telah dipapah
kawan-kawannya.
"Terimalah obat ini, Adi. Kalau tidak, luka pukulan itu akan membusuk dalam
beberapa hari. Maafkan ke-teledoranku...," ucap Pendekar Tapak Bara sambil me-
nyodorkan obat bubuk.
Cakar Macan Putih langsung menerimanya tanpa
ragu-ragu lagi. Sepertinya, lelaki gemuk itu pun telah mengetahui akan akibat
pukulan telapak tangan lawannya.
"Terima kasih, Kakang. Apa yang kau lakukan tadi
memang sudah lumrah dalam pertandingan. Aku pun
sama sekali tidak sakit hati," sahut Cakar Macan Putih sambil tersenyum lebar.
Pendekar Tapak Bara kemudian pamit untuk kembali ke tempat duduknya.
*** Sosok Pendekar Tapak Bara dan Cakar Macan Putih
tidak lagi jadi perhatian. Sebab, saat itu di atas panggung telah berdiri
berhadapan dua peserta lainnya.
Kedua lelaki gagah itu pun saling menunjukkan kebolehan untuk mencari
kemenangan. Pertarungan yang tidak kalah serunya dengan per-
tarungan pertama membuat para penonton sama seka-
li tidak bersuara. Semua mata tertuju ke arah panggung, tanpa berkedip sedikit
pun. Memang dua orang yang tengah berlaga itu, jauh lebih ganas daripada
Pendekar Tapak Bara atau Cakar Macan Putih. Sehingga para penonton pun menjadi
tegang menyaksi-
kannya. "Haaat...!"
Lelaki tinggi besar itu membentak keras, disertai
uluran tangan yang membentuk cakar naga. Untung
lawannya yang bertubuh tinggi sedang itu cukup gesit.
Ia bisa mengelakkan cengkeraman pada kedua ba-
hunya itu dengan menarik tubuhnya ke belakang.
Bahkan, masih sempat pula melepaskan sebuah ten-
dangan yang mengancam perut lawannya.
Desss...! "Akh...!?"
Aneh! Tubuh lelaki tinggi besar itu tak bergeming
dari tempatnya. Malah sebaliknya, lelaki tinggi sedang itulah yang memekik
kesakitan. Ia merasakan ujung
sepatunya seperti bertemu dengan benda kenyal yang membuat tenaga tendangannya
berbalik. Tentu saja
kenyataan itu membuatnya agak terkejut.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi besar itu tertawa bergelak. Kemudian, dilayangkannya sebuah
tendangan ke arah lawan yang saat itu masih belum hilang keheranan dan kepenasa-
rannya. Bukkk! Telapak kaki yang besar dan berat itu telak meng-
hajar dada kanan lawannya. Akibatnya, tubuh tinggi sedang itu terpental ke bawah
panggung, dan jatuh
berdebuk keras. Darah segar menyembur ketika ia terbatuk. Jelas tendangan keras
itu telah mengguncangkan bagian dalam dadanya.
"Hidup Pendekar Naga Besi...!"
Terdengar pekik para pendukung lelaki tinggi besar yang berjuluk Pendekar Naga
Besi itu. Kemudian, lelaki tinggi besar yang nampak kokoh bagai batu karang itu,
melangkah turun dari atas panggung, setelah
memberi hormat keempat penjuru.
Pendekar Tapak Bara mengerutkan keningnya da-
lam-dalam. Tampak kalau ia memperhitungkan keha-
diran Pendekar Naga Besi, yang memiliki kekebalan
tubuh mengagumkan hatinya itu. Pendekar Tapak Ba-
ra kembali menatap ke arah panggung.
Saat itu dua peserta terakhir sudah saling terjang dengan hebatnya.
*** "Hm...."
Pendekar Tapak Bara bergumam perlahan ketika
melihat jalan pertarungan yang kurang menarik. Lelaki setengah baya itu melihat
kalau pertandingan yang
tengah berlangsung di atas panggung itu berat sebelah. Sehingga, ia menilai
bahwa pertarungan itu tidak akan berlangsung lama.
Penilaian Pendekar Tapak Bara tidak meleset jauh.
Seorang lelaki tinggi kurus yang bertarung dengan lelaki gemuk berwajah brewok,
tampak sudah semakin
mendekati kemenangan.
Hanya orang-orang yang memiliki tingkat rendah
sajalah yang belum mengerti, kenapa lelaki gemuk itu dapat didesak habis-habisan
oleh seorang lelaki tinggi kurus berwajah pucat seperti orang penyakitan.
Orang-orang yang tidak begitu tinggi ilmu silatnya, terutama tenaga dalamnya,
memang sulit untuk melakukan penilaian. Meskipun bentuk lahiriahnya tampak jauh
berbeda, tapi lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu adalah seorang ahli ilmu
tenaga dalam. Pukulan dan tendangannya selalu disertai desingan angin tajam.
Sehingga lelaki gemuk berwajah brewok yang biasanya kebal terhadap pukulan itu,
terpaksa dibuat jatuh-bangun oleh lawannya.
Desss...! Untuk kesekian kalinya sebuah kepalan lelaki tinggi kurus itu mendarat telak di
perut lawan. Akibatnya lelaki berwajah brewok itu terhuyung limbung. Belum
lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya, sebuah ten-
dangan keras membuat tubuhnya terjengkang disertai cairan darah yang menyembur
dari mulutnya. Meskipun tendangan dan pukulan lawan telah
mendatangkan luka yang cukup parah, namun lelaki
berwajah brewok itu masih berusaha untuk berdiri tegak. Tapi sebelum kedua
kakinya sempat membentuk
kuda-kuda, serangan lawan kembali meluncur men-
gancam tubuhnya.
"Hait..!"
Desss...! Kali ini lelaki berwajah brewok itu tidak mungkin
dapat bangkit lagi. Hantaman telapak tangan lawan
yang mengandung kekuatan hebat itu, langsung mem-
buat tubuhnya melambung dan jatuh ke bawah pang-
gung. "Hidup Telapak Tangan Dewa...!"
Seketika, belasan orang penonton pendukung lelaki
tinggi kurus berwajah pucat itu langsung mengelu-
elukan jagoannya.
Lelaki yang dijuluki Telapak Tangan Dewa itu ke-
mudian beranjak turun dari atas panggung, setelah
menghormat keempat penjuru. Ia tidak merasa cemas
akan nasib lawannya, karena pukulan yang dilaku-
kannya tidak mengakibatkan kematian. Itu sebabnya, ia sama sekali tidak peduli
ketika melihat tubuh lelaki brewok yang ternyata hanya pingsan itu, telah
digotong oleh kawan-kawannya.
Suasana pun kembali riuh seperti dalam pasar.
Masing-masing penonton saling membicarakan perta-
rungan-pertarungan selanjutnya, yang menurut mere-
ka jelas akan lebih seru dan mendebarkan. Suara-
suara seperti dengung lebah marah itu baru berhenti saat seorang lelaki gagah
telah berdiri di atas panggung.
"Sahabat-sahabat sekalian, harap tenang...!"
Lelaki gagah itu mengerahkan tenaga melalui sua-
ranya. Sebentar saja, perhatian para penonton pun
kembali beralih ke atas panggung.
"Kita semua tahu, dalam babak pertama tadi, Pen-
dekar Tapak Bara, Pendekar Naga Besi, dan Telapak Tangan Dewa adalah pemenang-
pemenangnya. Seba-gaimana telah disebutkan tadi, dalam babak kedua ini yang akan
tampil adalah Pendekar Tapak Bara melawan Pendekar Naga Besi. Sedangkan Telapak
Tangan Dewa mendapatkan keberuntungan tidak turun dalam
pertarungan babak kedua ini. Ia baru akan bertarung pada babak ketiga nanti
melawan pemenang babak
kedua," jelas lelaki gagah itu lagi. Usai menyampaikan peraturan pertandingan,
ia pun melangkah turun diiringi tepuk tangan yang riuh.
Suasana bising kembali sunyi saat kedua tokoh
yang akan bertarung telah saling berhadapan. Para
penonton semakin bertambah tegang, ketika Pendekar Tapak Bara dan Pendekar Naga
Besi sudah mulai bergerak saling mendekati.
"Sambutlah seranganku, Naga Besi...!" Pendekar
Tapak Bara berseru memperingatkan lawannya seraya
bergerak maju dengan gerakan cepat. Sepasang tan-
gannya berputaran menimbulkan deruan angin keras.
Bettt..! Pendekar Naga Besi menggeser langkah ke samping
menghindari tusukan jari-jari tangan lawan yang menimbulkan suara desingan tajam
itu. Kemudian lang-
sung memutar tubuh setengah lingkaran, sambil mele-
paskan tendangan yang mengancam pelipis lawannya.
Plak! Tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama terjajar
mundur tiga langkah. Pendekar Tapak Bara yang men-
gangkat tangan kanannya memapaki tendangan lawan,
agak terkejut ketika merasakan lengannya tergetar
akibat benturan yang cukup keras itu. Tapi tokoh berpakaian merah darah itu
tidak sempat lagi berpikir lebih jauh. Sebab, saat itu Pendekar Naga Besi telah
melesat maju dengan serangan-serangan gencarnya.
"Hait..!"
Pendekar Tapak Bara langsung memutar kedua
tangannya sambil menggeser langkah ke kiri dan ka-
nan. Sepasang telapak tangannya bergerak menyam-
bar-nyambar, menimbulkan sambaran angin yang
menderu-deru. Keduanya kembali saling terjang den-
gan mengandalkan jurus-jurus pilihan. Sehingga pertarungan semakin bertambah
seru dan menegangkan.
Lawan Pendekar Tapak Bara kali ini, tidaklah dapat disamakan dengan lawan
sebelumnya. Pendekar Naga
Besi yang dihadapinya benar-benar tangguh dan sukar ditundukkan. Kenyataan itu
membuat Pendekar Tapak
Bara harus bekerja keras untuk mengimbangi lawan-
nya. "Hiaaah...!"
Pendekar Naga Besi membentak nyaring sambil
mengangkat tangannya memapak sebuah hantaman
telapak tangan lawan yang mengancam pelipis kirinya.
Plak! "Uhhh..."!"
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar suara
nyaring saat kedua lengan yang berisi kekuatan hebat itu berbenturan. Tapi kali
ini Pendekar Tapak Bara harus menerima kenyataan pahit. Pertemuan tenaga itu
membuatnya hampir terpelanting jatuh. Sedangkan
lawannya hanya terjajar mundur sejauh lima langkah.
Jelas sudah kalau tenaga sakti Pendekar Naga Besi
lebih baik setingkat dari lawannya. Tentu saja kenyataan itu membuat Pendekar
Tapak Bara semakin pe-
nasaran. Ia mencoba menghibur diri dengan alasan
bahwa kedudukannya saat itu memang tidak me-
mungkinkan. Maka serangan-serangannya pun sema-
kin dipergencar.
Lelaki tinggi besar yang dikenal sebagai Pendekar
Naga Besi itu memang tangguh sekali. Meskipun dalam hal kecepatan, masih kalah
dengaan lawannya, namun dapat ditutupinya dengan kekebalan tubuhnya yang
memang sangat hebat itu. Sehingga Pendekar Tapak
Bara agak kewalahan menghadapinya.
Bukkk! Ketika pertarungan menginjak pada jurus keempat
puluh, sebuah hantaman telapak tangan Pendekar Ta-
pak Bara, sempat singgah di dada kiri lawannya. Akibatnya, tubuh lelaki tinggi
besar itu terjajar mundur sejauh delapan langkah. Tentu saja hal ini membuat
lawannya penasaran.
"Gila! Bagaimana mungkin ia bisa memiliki ilmu ke-
kebalan tubuh sehebat itu..." Padahal biasanya tak seorang pun yang sanggup
menahan pukulan ilmu
'Tapak Bara'ku...," desis Pendekar Tapak Bara dengan mata membelalak setelah
hantaman telapak tangannya ternyata seperti tidak dirasakan oleh lawannya.
"He he he...! Pukulanmu memang hebat sekali, Pen-
dekar Tapak Bara. Tapi sayang, hawa panas tenagamu belum sanggup menembus
kekebalan kulit tubuhku...," ujar Pendekar Naga Besi.
Lelaki tinggi besar itu memang memiliki sejenis ilmu kebal yang dinamakan 'Baju
Kulit Naga'. Ilmu yang
termasuk langka itu telah dilatih dan diyakininya dengan sempurna. Sehingga
tokoh bertubuh tinggi besar itu sukar dilukai. Jangankan pukulan tangan kosong,
senjata tajam pun belum tentu sanggup menembus


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekebalan ilmu 'Baju Kulit Naga'nya.
"Hm.... Jangan sombong dulu, Pendekar Naga Besi.
Kalau kau bisa melemparku ke bawah panggung, ba-
rulah kau boleh sesumbar," sambut Pendekar Tapak Bara sedikit jengkel mendengar
ucapan lawannya.
"Yaiiit..!"
Dengan sebuah bentakan keras, Pendekar Tapak
Bara menyilangkan sepasang lengannya di atas kepala.
Terdengar suara napasnya yang mirip dengusan ker-
bau liar. Beberapa saat kemudian, sepasang lengan tokoh sakti itu telah berubah
merah, hingga ke siku.
Tampak Pendekar Tapak Bara telah mengerahkan se-
luruh kekuatan ilmu andalannya untuk bisa menem-
bus kekebalan tubuh lawan.
"Hm...," Pendekar Naga Besi bergumam perlahan
menyaksikan perbuatan lawannya.
Tokoh tinggi besar itu bergerak menggeser langkah-
nya ke kanan, sambil memutar sepasang lengannya
yang menimbulkan deru angin tajam. Keduanya saling berdiri berhadapan, siap
untuk saling terjang kembali.
*** 4 "Haaat..!"
Pendekar Tapak Bara kembali bergerak maju diser-
tai sambaran sepasang tangannya yang menimbulkan
angin berdesingan. Bahkan setiap kali telapak tangan-
nya menyambar, selalu didahului hawa panas me-
nyengat. Tentu saja serangan-serangan maut itu membuat para penonton semakin
bertambah tegang me-
nyaksikannya. Namun, dengan penuh ketenangan dan rasa per-
caya diri yang tinggi, Pendekar Naga Besi bergerak mengimbangi permainan
lawannya. Kakinya yang panjang dan kokoh, bergerak melakukan geseran-geseran
yang menimbulkan suara berdecitan. Sepertinya tokoh tinggi besar itu memang
sengaja menggesekkan telapak kakinya ke lantai panggung, guna membuyarkan
pemusatan pikiran lawan. Sesekali ia melepaskan
cengkeraman dan tendangan, membalas serangan la-
wannya. Pertarungan terlihat masih berimbang. Keduanya
berusaha keras untuk saling menjatuhkan lawannya.
Pertarungan kedua tokoh sakti itu semakin cepat berjalan. Jurus-jurus andalan
telah digunakan untuk
memperoleh kemenangan.
Sayangnya, sampai saat ini tak satu orang pun yang bisa menebak siapa yang akan
menjadi pemenang. Sebab kedua tokoh itu memang sama-sama gesit dan
tangguh. Sehingga sangat sulit untuk menentukan
siapa yang akan menjadi pemenang pada pertarungan
babak kedua itu.
"Hmh...!"
Pendekar Naga Besi rupanya agak jengkel juga me-
lihat kekuatan lawannya. Ketika memasuki jurus yang keenam puluh tujuh, lelaki
tinggi kekar itu melompat ke belakang. Kemudian melipat sepasang tangannya
yang saling membelit. Tubuhnya meliuk-liuk ke kiri dan kanan dengan posisi
lengan yang masih berbeli-tan.
"Hm.... Sambutlah jurus 'Dewa Naga Bercengkera-
ma', Pendekar Tapak Bara...!" desis Pendekar Naga Be-si yang kembali menggeser
langkahnya dengan suara
berdecitan akibat bergesekan dengan lantai panggung.
Sepasang tangannya terkadang mengembang ke kiri
dan kanan, menyambar-nyambar menimbulkan deru
angin tajam. Whuuut..! Pendekar Tapak Bara terkejut bukan main ketika
merasa terkepung dari dua arah ia pun semakin me-
nyadari kehebatan serangan lawannya. Apalagi sepa-
sang tangan lawannya bergerak bagaikan seekor ular hidup yang bekerjasama untuk
mencelakakannya. Lelaki gagah itu cepat memutar sepasang tangannya dan balas
menyerang dengan sambaran-sambaran jurus
'Tapak Bara'nya.
Whusss...! Sambaran cakar yang dilontarkan Pendekar Naga
Besi mengenai tempat kosong, karena lawannya lebih dahulu bergerak ke samping
sambil mengirimkan hantaman telapak tangannya. Luncuran telapak tangan itu
diiringi serbuan hawa panas menyengat
Plakkk! "Akh..."!"
Para penonton memekik kaget ketika Pendekar Naga
Besi mengangkat tangan kanannya memapaki hanta-
man telapak tangan yang memerah seperti bara api itu.
Para penonton kembali menarik napas dengan wa-
jah agak lega ketika melihat tubuh kedua tokoh itu hanya terhuyung beberapa
langkah ke belakang.
Pendekar Tapak Bara benar-benar penasaran bukan
main ketika melihat lawannya sama sekali tidak cidera.
Bahkan lengan kanannya terasa ngilu akibat perte-
muan tenaga yang amat kuat itu. Jelas, tenaga dalam lawan masih berada di
atasnya. "Heaaah...!"
Pendekar Naga Besi yang hanya terjajar empat
langkah, kembali membentak keras. Cakar tangan ka-
nannya bergerak menyambar dengan kecepatan men-
gejutkan. Tentu saja serangan kilat itu membuat Pendekar Tapak Bara yang masih
terhuyung mundur men-
jadi sangat terkejut. Akibatnya....
Desss! "Aaakh..."!"
Lelaki gagah berpakaian serba merah itu memekik
kesakitan saat jari-jari tangan lawan yang keras, merobek dada kirinya. Tanpa
ampun lagi, tubuh Pendekar Tapak Bara terlempar deras disertai semburan darah
segar dari mulutnya. Kemudian, tubuh lelaki gagah itu terbanting jatuh ke bawah
panggung! Para pendukung Pendekar Tapak Bara segera berge-
rak memburu. Mereka sangat terkejut melihat kulit
dan daging bagian dada jagoan mereka, terobek dalam bagaikan terkena cakar
seekor beruang besar. Darah segar tampak meleleh membasahi pakaiannya.
Tanpa banyak cakap lagi, mereka langsung menggo-
tong tubuh pendekar yang separuh pingsan itu dan
bergerak meninggalkan arena. Sepertinya mereka kehi-langan hasrat untuk
mengetahui siapa yang bakal
menjadi pemenang dalam babak ketiga nanti.
Pendekar Naga Besi berdiri gagah di atas panggung.
Ia hanya tersenyum tipis melihat rombongan Pergu-
ruan Tapak Maut bergerak meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan berpakaian serba merah itu lenyap, Pendekar Naga Besi
melangkah ke sudut panggung untuk menanti lawan berikutnya.
Tidak lama kemudian, seorang lelaki tinggi kurus
bergerak naik ke atas panggung. Dengan gerakan in-
dah, tubuh lelaki itu bergerak berputar beberapa kali
sebelum kedua kakinya menyentuh lantai panggung.
Dia adalah Telapak Tangan Dewa yang menjadi lawan
terakhir bagi Pendekar Naga Besi.
"Kepandaianmu benar-benar hebat, Pendekar Naga
Besi. Terutama sekali ilmu 'Baju Kulit Naga' yang telah kau yakini secara
sempurna itu. Kuharap kau tidak
memberikan pelajaran terlalu keras kepadaku...," puji Telapak Tangan Dewa, tanpa
bermaksud mengejek
ataupun merendahkan.
Memang, apa yang dikatakan Telapak Tangan Dewa
merupakan suatu bukti yang telah disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Usai
berkata demikian, lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu melangkah ke samping
beberapa langkah, dengan sorot mata tajam.
"Jangan terlalu merendah, Telapak Tangan Dewa,"
timpal Pendekar Naga Besi. "Ilmu 'Telapak Tangan De-wa'mu telah lama kudengar.
Mudah-mudahan kulit
tubuhku bisa menahan kerasnya pukulan mautmu
yang terkenal itu. Marilah kita mulai...!"
Tepuk tangan penonton menyambut kedua tokoh
sakti yang telah berhadapan dalam jarak satu tombak itu. Ketegangan para
penonton kian memuncak, karena pada pertarungan babak ketiga inilah yang paling
menentukan. Siapa yang menjadi pemenangnya, dialah yang terpilih menjadi
pimpinan tokoh persilatan golongan putih di wilayah Timur.
Suasana pun mereda saat kedua tokoh itu sudah
bergerak mempersiapkan serangannya masing-masing.
*** "Haaat..!"
Pendekar Naga Besi yang sangat bernafsu untuk
memperoleh kemenangan, segera saja melesat ke de-
pan. Tokoh tinggi besar itu rupanya tidak sabar meli-
hat lawannya yang hanya berputar-putar tanpa terlihat tanda-tanda akan
menyerang. Sehingga ia pun segera memulainya.
Pertarungan pun kembali berlangsung. Bahkan kali
ini lebih seru dan menegangkan daripada pertandingan sebelumnya. Keduanya
terlihat mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk keluar sebagai pemenang. Wa-
jar saja, sebab pertarungan terakhir ini merupakan babak penentuan yang sangat
menegangkan. Baik bagi mereka yang tengah bertarung, ataupun para penonton yang
semakin terkesima melihat penampilan kedua tokoh sakti itu.
Sekali ini, Pendekar Naga Besi benar-benar menge-
rahkan seluruh kemampuannya. Meskipun begitu, to-
koh bertubuh tinggi besar yang nampak kokoh itu, jelas masih kalah setingkat
dalam hal kecepatan dengan lawannya. Terlihat beberapa pukulan lawan mengenai
bagian tubuhnya. Untunglah lelaki tinggi besar itu memiliki ilmu kebal yang
tangguh. Kalau tidak, pasti Pendekar Naga Besi telah tergeletak di lantai
panggung. "Yeaaat...!"
Untuk kesekian kalinya, Telapak Tangan Dewa
kembali melontarkan telapak tangan ke tubuh lawan.
Kali ini ia mengerahkan tenaga yang langsung dipu-
satkan sepenuhnya pada telapak tangan kanan.
Desss! "Higggh...!"
Hebat sekali hantaman telapak tangan lelaki tinggi kurus bermuka pucat itu.
Pendekar Naga Besi yang biasanya kokoh itu, sampai terlempar sejauh satu tombak.
Namun, tepuk tangan kembali menggema saat tu-
buh lelaki tinggi besar itu berputar sebanyak tiga kali
di udara, dan mendaratkan kedua kakinya di bibir
panggung. Terlihat tokoh itu mengangkat kedua tan-
gannya ke atas disertai hembusan napas berat yang bersambungan.
"Gila...! Telapak Tangan Dewa benar-benar hebat
sekali. Hampir saja kekebalan tubuhku dapat ditem-
bus oleh pukulannya...!" desis Pendekar Naga Besi, setelah berhasil
menghilangkan sedikit rasa sesak di dalam dadanya. Terlihat wajah gagah dan
seram itu sedikit pucat. Pukulan lawannya kali ini benar-benar hebat dan hampir
tidak bisa ditahan dengan ilmu 'Baju Kulit Naga'nya.
"Heaaat..!"
Pendekar Naga Besi tidak sempat berpikir panjang
lagi. Saat itu lawan telah kembali menyusun serangan-serangan mautnya. Sehingga,
ia kembali harus berhadapan dan mengerahkan kemampuannya untuk me-
lindungi diri dari gempuran lawan.
Pertarungan berlanjut lagi. Pendekar Naga Besi kali ini terlihat bergerak
lamban. Namun, setiap Hentakan pukulannya selalu diiringi hembusan angin
menderu. Tampak lelaki tinggi besar itu hendak menggunakan
kekuatannya menghadapi gempuran lawan yang se-
makin bertambah cepat itu.
Ketika pertarungan telah menginjak pada jurus
yang keseratus lima, Telapak Tangan Dewa kembali
memanfaatkan pertahanan lawan yang terbuka. Ia
langsung melontarkan hantaman telapak tangannya
sekuat tenaga. Tapi Pendekar Naga Besi rupanya memang sengaja
memancing pukulan lawan untuk masuk. Terbukti to-
koh tinggi besar itu langsung memapaki pukulan la-
wan pada saat yang sama.
Bukkk! Desss! Beberapa penonton sampai tersentak kaget melihat
kejadian yang mengejutkan itu. Dalam waktu yang
bersamaan, kedua tokoh sakti itu saling menyarang-
kan pukulannya ke tubuh lawan.
"Uhhh...!"
Tubuh Telapak Tangan Dewa terlempar deras ke be-
lakang. Hantaman kepalan lawan pada dada kirinya,
membuat tokoh sakti itu mengalami luka dalam yang
parah. Hal itu terlihat dari tetesan darah segar yang tak henti mengalir dari
sudut bibirnya. Lelaki tinggi kurus itu langsung duduk bersila guna menenangkan
guncangan dalam dadanya akibat pukulan keras la-
wan. Sedangkan Pendekar Naga Besi yang mengandalkan
ilmu 'Baju Kulit Naga'nya, hanya terdorong sejauh satu tombak. Pukulan lawan
yang menghantam dada kiri
atasnya, tidaklah separah pukulan keras yang pertama kali dirasakannya. Bahkan
tokoh tinggi besar itu sudah dapat mengatasi sedikit rasa nyeri pada bagian yang
terpukul telapak tangan lawan. Jelaslah sudah kalau Pendekar Naga Besi keluar
sebagai pemenang
dalam memperebutkan pimpinan golongan putih di wi-
layah Timur itu.
Sesaat kemudian, seorang lelaki gagah yang bertu-
gas sebagai penilai, bergerak naik ke atas panggung.
Sedangkan Pendekar Naga Besi melangkah dan berdiri di samping kanan lelaki gagah
itu. "Saudara-saudara sekalian. Dengan keluarnya Pen-
dekar Naga Besi sebagai pemenang, maka sudah tentu beliaulah yang akan memimpin
seluruh partai persilatan golongan putih di daerah Timur ini. Sedangkan, Telapak
Tangan Dewa terpilih sebagai wakilnya. Untuk itu, marilah kita sambut pemimpin-
pemimpin besar ki-
ta yang akan melindungi seluruh partai dan golongan putih di daerah Timur ini,"
ujar lelaki gagah itu seraya bertepuk tangan. Dan ajakannya itu disambut
teriakan-teriakan ribut para tokoh persilatan dan penonton yang menyaksikan
pertandingan jujur ini.
"Hidup Pendekar Naga Besi...!"
"Hidup pemimpin besar kita...!"
Teriakan-teriakan yang riuh itu membuat Pendekar
Naga Besi membungkukkan tubuhnya sambil terse-
nyum lebar. Kemudian tokoh itu mengangkat lengan
Telapak Tangan Dewa yang sudah berdiri di sebelah-
nya. Tanpa ada yang menyadari, tidak jauh dari arena
pertandingan tampak sosok tubuh tengah berdiri
memperhatikan. Lalu....


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba suara teriakan-teriakan dan tepuk tangan semua orang yang riuh rendah
itu tertekan oleh gema tawa yang bagaikan datang mengelilingi tempat itu.
Suara tawa yang mengandung kekuatan maha dah-
syat itu membuat belasan orang tokoh berkepandaian lumayan kontan bergulingan
sambil menutup lubang
telinga. Bahkan beberapa orang yang memiliki tenaga dalam rendah, langsung
tergeletak tewas dengan lelehan darah dari lubang hidung, mulut, dan kedua
telinga. Tentu saja suasana gembira itu berubah menjadi lengking kematian yang
susul-menyusul.
Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa yang
berada di atas panggung juga menjadi terkejut bukan kepalang. Suara tawa yang
bergema panjang di setiap penjuru itu membuat mereka memejamkan mata.
Langsung mereka mengerahkan tenaga sakti untuk
melawan pengaruh suara yang luar biasa itu. Tubuh
kedua tokoh sakti itu sampai bergetar, dengan butir-
butir keringat membasahi wajah dan tubuh.
"Heaaa...!"
Bagaikan telah sepakat, tiba-tiba Pendekar Naga
Besi dan Telapak Tangan Dewa mengeluarkan pekik
melengking untuk melawan pengaruh tawa mengeri-
kan yang menyerang.
Hembusan angin bertiup keras diiringi derak pepo-
honan kontan tercipta akibat pengaruh dua lengkingan yang saling tindih-
menindih. Tentu saja yang paling tersiksa adalah mereka yang memiliki tenaga
dalam rendah. Pengaruh dua suara yang saling tindih-
menindih itu, membuat belasan tokoh persilatan berkepandaian rendah terjatuh
dengan isi dada pecah.
Tidak lama kemudian, tawa yang menggetarkan se-
kitar daerah itu pun lenyap seketika. Maka Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan
Dewa ikut menghentikan lengkingan panjangnya. Keduanya tampak menga-
tur napas yang memburu, karena harus mengerahkan
tenaga sepenuhnya untuk melawan pengaruh tawa
yang benar-benar dahsyat tadi.
"Hai, Manusia Pengecut! Siapakah kau" Kalau me-
mang ingin mengacau di tempat ini, tunjukkan rupa-
mu! Kalau tidak, kembalilah pulang ke pangkuan ibu-mu! Kami tidak punya banyak
waktu untuk mengurusi
manusia pengecut yang beraninya hanya bersem-
bunyi!" Pendekar Naga Besi yang merasa bertanggung ja-
wab atas kematian kawan-kawannya segera saja mem-
buka suara, menantang si empunya suara yang belum
menampakkan batang hidungnya.
Pendekar Naga Besi dan para tokoh lain yang masih
selamat, tidak perlu menunggu lama. Buktinya dari
sebelah kanan panggung dalam jarak lima tombak le-
bih, tampak empat lelaki yang rata-rata bertubuh ting-
gi tengah melangkah menghampiri. Seorang yang pal-
ing depan tampak mengenakan pakaian dari benang
emas murni. Sehingga tubuhnya tampak berkilauan
saat tertimpa sinar matahari. Sehingga membuat orang sukar mengenali wajah orang
itu. Di sebelah kiri sosok berpakaian emas itu berjalan seorang lelaki tua bertubuh
tinggi kurus. Sedangkan di belakang mereka terlihat dua lelaki bertubuh raksasa
mengiringi. Sementara para tokoh golongan putih terus menanti
kedatangan empat orang aneh itu dengan hati tegang.
*** 5 "Hm.... Pertandingan ini tidak sah sebelum aku
menguji pemenangnya. Untuk itu, dua orang peme-
nang yang ingin menjabat sebagai ketua dan wakilnya, harus berhadapan
Panji Sakti 8 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Tamu Dari Gurun Pasir 5
^