Pencarian

Sang Penghancur 2

Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur Bagian 2


denganku...," kata lelaki tinggi tegap berpakaian kuning emas, dengan nada
sangat sombong. Sedangkan tiga orang yang mengiringinya
mengangguk, seperti membenarkan.
Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa
mengerutkan kening tak senang. Mereka menatap ta-
jam lelaki berpakaian kurung emas dan berwajah ga-
gah yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Bibirnya terlihat selalu
menyunggingkan senyum mengejek dan memandang rendah orang lain. Sepasang matanya
tampak menyorot tajam, menyiratkan kekuatan yang
sukar diukur. Meskipun demikian, Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa sama
sekali tidak gentar.
Sejenak kedua tokoh sakti itu saling bertukar pan-
dang, seolah ingin meminta pendapat
"Hm.... Siapakah kau, Kisanak" Menilik dari logat-
mu, jelas kau bukan orang wilayah Timur. Dari mana asalmu, dan apa tujuanmu
membuat keributan di
tempat ini...?" tegur Pendekar Naga Besi dengan suara tegas mengandung perbawa
kuat. Sepasang matanya
menyorot tajam menyiratkan kejengkelan hatinya.
"Hei, Pendekar Naga Besi! Bersikaplah sedikit sopan terhadap ketua kami!" dengus
lelaki tinggi kurus berusia setengah baya dengan lagak sombong. "Ketahuilah!
Ketua kami dijuluki sebagai Sang Penghancur. Mengenai asal kami, silakan terka
sendiri. Karena aku yakin kau pasti bisa mengenali logat bicara kami...."
Ucapan bernada sombong itu membuat beberapa
orang tokoh menjadi marah. Tanpa dapat dicegah Pendekar Naga Besi, dua orang
tokoh yang paling dekat langsung saja melompat sambil melontarkan pukulan
ke arah tubuh lelaki kurus itu.
Beeet! Beeet! Dua buah pukulan yang datangnya dari samping,
sama sekali tidak membuat lelaki setengah baya itu terkejut. Kaki kanannya
segera melangkah ke samping sambil memiringkan tubuh sedikit. Kemudian kaki
kanan itu kembali bergerak, melepaskan sebuah tendangan kilat mengejutkan!
Desss! Desss! Tanpa ampun lagi, tubuh kedua tokoh persilatan itu terjengkang. Maka keadaan pun
menjadi semakin kacau ketika dua tokoh itu ternyata langsung pingsan, hanya
dengan sekali gebrak! Padahal tingkat kepandaian mereka tidaklah terlalu rendah.
Tentu saja kejadian itu membuat yang lain bergerak mundur sambil
mencabut senjata masing-masing.
"Tahan...!" Pendekar Naga Besi langsung berteriak
mencegah. Tubuh Pendekar Naga Besi kemudian melayang tu-
run dari atas panggung, dan berdiri menghadapi rombongan kecil yang datang
langsung mengacau itu. Serentak para tokoh persilatan yang marah itu bergerak
mundur ke belakang Pendekar Naga Besi.
"Kisanak sekalian! Apa sebenarnya yang diinginkan
dari kami"! Bukankah di antara kita tidak ada perseli-sihan" Mengapa datang-
datang langsung membunuh
belasan orang kawan kami"! Apa sebenarnya maksud
kalian...?" tegur Pendekar Naga Besi.
Pendekar itu diam-diam telah mengerahkan tenaga
saktinya untuk melindungi tubuh kalau sewaktu-
waktu diserang secara mendadak.
"Hm.... Yang diinginkan ketua kami adalah jabatan
pimpinan di daerah Timur ini. Bahkan bukan hanya
daerah Timur saja, tapi seluruh negeri ini harus berada di bawah kepemimpinan
ketua kami. Kalau kalian
tidak senang, silakan berhadapan dengan ketua kami,"
sahut lelaki tinggi kurus berusia setengah baya itu kembali. Sepertinya, dia
memang bertindak sebagai ju-ru bicara dari lelaki tinggi tegap berpakaian kuning
emas itu. "Keparat! Rupanya kedatangan kalian memang sen-
gaja mencari keributan...!" bentak Pendekar Naga Besi yang memang tidak bisa
menahan kemarahannya lagi.
Langsung saja tubuhnya bergerak mundur, me-
nyiapkan serangan.
Sebelum Pendekar Naga Besi bergerak, tiba-tiba me-
layang dua sosok tubuh yang langsung mendarat di ki-ri dan kanannya. Mereka tak
lain adalah Telapak Tangan Dewa dan Cakar Macan Putih.
Pendekar Naga Besi mengisyaratkan kepada kedua
rekannya untuk mundur. Sepertinya, tanggung jawab-
nya hendak diperlihatkan di hadapan para tokoh persilatan yang telah
mengangkatnya sebagai pimpinan semua golongan putih di daerah Timur ini.
"Ketua tidak perlu turun tangan untuk menghadapi
pengacau-pengacau rendah ini. Sebaiknya Ketua me-
nyaksikan saja, bagaimana kami menghajar orang-
orang sombong itu...," bantah Pendekar Cakar Macan Putih, dengan nada hormat
Lelaki gemuk berpakaian serba putih itu sudah
menganggap Pendekar Naga Besi sebagai pemimpin
yang harus dihormati. Bahkan Pendekar Naga Besi sudah dipanggil dengan sebutan
ketua. "Benar apa yang dikatakan Cakar Macan Putih, Ke-
tua...," timpal Telapak Tangan Dewa.
Lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu pun me-
manggil Pendekar Naga Besi dengan sebutan ketua.
Sikapnya juga sudah seperti bawahan terhadap pimpinannya. Maka, Pendekar Naga
Besi terpaksa menga-
lah, lalu melangkah mundur. Dibiarkannya saja kedua orang rekannya untuk
membereskan pengacau-pengacau itu.
"Hm...."
Lelaki tegap yang tinggi tubuhnya hampir menyamai
kedua orang pengawalnya, melangkah maju dengan si-
kap angkuh. Kedua lengannya dikibaskan sebagai pertanda agar ketiga orang
pengikutnya menjauh. Sambil melangkah, jubah panjangnya yang berwarna kuning
keemasan dilepaskan begitu saja. Kemudian jubahnya disambut lelaki tinggi kurus
yang bertindak sebagai pelayannya.
"Hm.... Mengapa kau tidak maju sekalian, Pendekar
Naga Besi" Apakah kau takut dipermalukan di depan
pengikut-pengikut barumu?" ejek lelaki tinggi tegap
yang disebut sebagai Sang Penghancur itu. Nadanya
sangat menghina, sehingga wajah Pendekar Naga Besi menjadi merah karenanya.
"Hm.... Jangan mengumbar kesombongan, Sang
Penghancur. Kalau memang sanggup menghadapi ka-
mi berdua, bersiaplah. Jangan banyak bicara lagi...!"
geram Cakar Macan Putih yang sudah tidak sabar un-
tuk segera memberi pelajaran kepada lelaki tinggi tegap berpakaian kuning
keemasan itu. "Kalau begitu, mengapa kalian tidak segera ma-
ju...?" tantang Sang Penghancur seraya melipat kedua tangan dengan lagak jumawa.
Tentu saja sikap yang
nyata-nyata memandang rendah itu membuat Cakar
Macan Putih menjadi geram bukan main.
"Jaga seranganku...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Cakar Macan
Putih menyerang dengan pukulan lurus disertai pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya. Sepertinya, lawan ingin dirobohkannya dengan sekali pukul saja.
Bukkk! "Akh..."!"
Terjadilah hal yang membuat para tokoh persilatan, termasuk Pendekar Naga Besi
dan Telapak Tangan
Dewa, menjadi terkejut dengan wajah berubah. Puku-
lan yang telak menghantam dada Sang Penghancur
malah membuat Cakar Macan Putih berteriak kesaki-
tan. Bahkan lelaki bertubuh gemuk itu terjungkal deras ke belakang. Tangan
kanannya yang digunakan
untuk memukul tampak bengkak, berwarna kemera-
han seperti tersengat lidah api. Tentu saja kejadian itu menimbulkan kegemparan
di kalangan tokoh aliran
putih yang berkumpul di tempat ini.
"Ilmu iblis...!" desis Telapak Tangan Dewa yang tahu kekuatan pukulan rekannya.
Tanpa sadar, tokoh ber-
tubuh tinggi kurus itu bergerak mundur dengan wajah tegang.
Pendekar Naga Besi sendiri yang juga memiliki ilmu
'Baju Kulit Naga' merasa terkejut melihat akibat yang diderita rekannya.
Meskipun tubuhnya sendiri sanggup menahan pukulan Cakar Macan Putih, namun ti-
dak bisa membuat lengan yang memukul akan mem-
bengkak seperti itu. Kecuali, apabila tenaga lawan jauh di bawahnya. Apalagi
sampai membuat lengan lawan
sampai terbakar. Kecemasan pun membayang pada
wajah yang gagah dan keras itu. Tentu saja, hatinya merasa terkejut melihat
kesaktian tokoh muda yang
berjuluk Sang Penghancur itu.
"Hm.... Hanya itukah kesaktian orang-orang yang
ingin menjadi pimpinan kaum persilatan...?" ejek Sang Penghancur disertai senyum
sinis yang menyakitkan.
"Bangsat! Jangan sesumbar dulu, Sang Penghan-
cur! Kalau benar-benar memiliki kekebalan, tahanlah pedangku ini...!"
Tiba-tiba seorang lelaki brewok bertubuh kekar me-
lesat maju dengan tebasan pedangnya. Kepandaiannya pun tidak bisa dipandang
rendah. Ia adalah salah seorang calon pemimpin yang dikalahkan Telapak Tangan
Dewa pada babak kedua pertandingan perebutan pimpinan persilatan. Tidak heran
kalau sambaran pe-
dangnya sangat berbahaya.
Klang...! Lagi-lagi para tokoh persilatan golongan putih terbelalak takjub! Tebasan pedang
lelaki brewok yang sangat kuat itu ternyata sama sekali tidak dielakkan lawan.
Malah tubuh lelaki brewok itu sendirilah yang terjengkang ke belakang. Meskipun
langsung dapat bangkit, namun jelas sekali kalau ia menderita rasa sakit yang hebat pada tulang
lengannya. "Hm.... Sambutlah seranganku...!"
Pendekar Naga Besi yang sudah tidak bisa menahan
rasa marahnya, segera saja melesat maju. Langsung
dikirimkannya pukulan, yang menimbulkan deru an-
gin tajam. Bersamaan dengan itu, Telapak Tangan Dewa ikut
menyertai. Rupanya setelah melihat kehebatan tokoh berjuluk Sang Penghancur itu,
ia tidak ragu lagi mengeroyok.
"Hm.... Begitu baru benar...," gumam Sang Peng-
hancur sambil melebarkan senyum mengejek.
Kali ini Sang Penghancur menggeser langkahnya ke
samping, sehingga serangan kedua tokoh sakti itu
hanya mengenai angin kosong. Hal itu dilakukan bu-
kan karena takut, tapi karena ingin menunjukkan ke-hebatannya di depan tokoh-
tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan. Maka, mulai dibalasnya se-
rangan para pengeroyoknya.
"Hiahhh!"
Bettt! Bettt! Sang Penghancur melontarkan hantaman kedua te-
lapak tangan ke kiri dan kanan. Kemudian dilan-
jutkannya dengan tendangan kilat yang berputar keti-ka kedua lawannya
menghindari hantaman telapak
tangannya. Plak! Plak! "Uaaah..."!"
"Haiii..."!"
Baik Pendekar Naga Besi maupun Telapak Tangan
Dewa terlempar ke belakang, dan hampir terjatuh akibat menangkis tendangan
lawan. Bahkan Pendekar
Naga Besi merasa kaget, merasakan getaran pada lengannya yang digunakan untuk
menangkis tendangan
lawan tadi. "Gila...! Bagaimana mungkin ia bisa memiliki tenaga dalam sedemikian kuatnya"
Siapakah sebenarnya tokoh yang berjuluk Sang Penghancur itu...?" gumam
Pendekar Naga Besi.
Pendekar Naga Besi benar-benar merasa kaget ka-
rena kekebalannya dapat ditembus oleh tendangan lawan. Padahal, itu hanya
melalui tangkisan saja. Entah apa jadinya bila tendangan tokoh tinggi tegap yang
hampir menyamai tinggi tubuhnya itu sampai mengenai sasaran. Bergetar hati
lelaki tinggi besar itu mem-bayangkannya.
"Hm.... Apakah kalian sudah merasa takluk kepa-
daku...?" ejek Sang Penghancur sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Benar-benar sombong tokoh berpakaian kuning
emas itu. Aliran darah Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa menggelegak
naik ke kepala, hingga wajah mereka menjadi kemerahan.
"Bedebah sombong...!" umpat Telapak Tangan De-
wa. Segera Telapak Tangan Dewa menggeser langkah-
nya ke sebelah kiri. Sedangkan Pendekar Naga Besi
bergerak ke sebelah kanan. Tampak mereka hendak
menerjang lawan dari dua arah.
*** "Haaat..!"
Diiring pekik melengking tinggi, tubuh Pendekar
Naga Besi melayang menerjang lawan. Dari udara, sepasang cakarnya menyambar
susul-menyusul. Dari si-
ni bisa diketahui kalau jurus 'Dewa Naga Bercengkerama' tengah dikeluarkannya.
Dan ini adalah merupa-
kan ilmu pamungkasnya. Tentu saja kehebatan seran-
gannya tidak bisa dianggap ringan.
Demikian pula halnya Telapak Tangan Dewa. Tokoh
bertubuh tinggi kurus berwajah kepucatan itu sudah pula mengeluarkan ilmu
pamungkas dari jurus 'Telapak Dewa'nya.
Bettt! Bettt! Dada Telapak Tangan Dewa tampak remuk akibat
gedoran dahsyat Sang Penghancur.
Lain halnya dengan Pendekar Naga Besi. Tokoh
yang memiliki ilmu kekebalan tubuh tangguh itu tidak sampai tewas oleh pukulan
keras lawan. Meskipun begitu, bukan berarti tidak mengalami luka dalam. Dari
lelehan darah segar di sudut bibirnya, tampak Pendekar Naga Besi cukup menderita
akibat hantaman keras pada tubuhnya.
"Hm.... Kau benar-benar mengagumkan, Pendekar
Naga Besi. Rupanya pukulanku belum mampu mengu-
sir arwahmu ke akhirat sana. Orang-orang kuat seper-timulah yang kuharapkan
untuk menjadi pembantu-
ku...," puji Sang Penghancur dengan tarikan bibir
mengandung ejekan. Ucapan terakhirnya lebih meru-
pakan tawaran bagi Pendekar Naga Besi untuk berga-
bung. "Hm.... Jangan harap aku sudi bersekutu dengan
manusia laknat yang telah begitu kejam membunuh
kawan-kawanku. Lebih baik mati sebagai pendekar daripada harus ikut kepada
orang-orang pengecut berha-ti keji seperti kau dan kawan-kawanmu itu, Sang
Penghancur!" tolak Pendekar Naga Besi dengan be-
rangnya. Usai berkata demikian, Pendekar Naga Besi mema-
lingkan wajahnya ke belakang, ke arah pengikut-
pengikutnya. "Lebih baik kita semua mati sebagai pendekar-
pendekar yang selalu menjunjung tinggi kegagahan!


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayo, maju...!" perintah Pendekar Naga Besi.
Segera Pendekar Naga Besi mencabut sebilah golok
besar yang selama ini tergantung di punggungnya.
Kemudian tubuhnya langsung melesat menerjang Sang
Penghancur, dibantu beberapa orang tokoh yang ke-
pandaiannya tidak berselisih jauh.
"Heaaa...!"
Pendekar Naga Besi bersama pengikut-pengikutnya
segera menyerbu Sang Penghancur. Sedangkan tokoh
sakti bertubuh tegap dan berpakaian kuning keemasan itu hanya menggumam
perlahan. Kemudian kedua
tangannya dikembangkan dengan kedudukan kaki
menyilang. Sikapnya mirip seekor garuda yang tengah bermalasan. Namun, hembusan
angin yang ditimbul-kannya benar-benar hebat. Sehingga, membuat debu
dan dedaunan kering beterbangan bagai terlanda angin topan dahsyat
"Heaaat..!"
Dibarengi bentakan nyaring, Sang Penghancur
mengibaskan sepasang lengannya ke kiri dan kanan
seraya melesat menyambut datangnya para penge-
royok. Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan gerakan
tokoh muda bertubuh tinggi tegap itu. Begitu lincah tubuhnya berkelebat di
antara sambaran sinar pedang lawan. Sebentar saja, empat orang lawan telah
terpelanting tewas dengan kepala remuk. Tentu saja sepak terjang yang mengerikan
dari Sang Penghancur itu
membuat para pengeroyok menjadi gentar.
"Hm.... Mengapa harus mundur" Bukankah kalian
sendiri yang menginginkan kematian...?" ejek Sang
Penghancur ketika melihat pengeroyoknya tinggal
enam orang, termasuk Pendekar Naga Besi
Usai berkata demikian, sepasang tangan Sang
Penghancur dengan telapak terbuka langsung dido-
rongkan ke depan. Dan....
Whusss...! Blarrr...! "Aaa...!"
Terdengar ledakan mengguntur yang diselingi pekik
kematian melengking merobek angkasa. Empat orang
pengeroyok kontan terlempar ke kiri dan kanan den-
gan tubuh cerai-berai. Untunglah, Pendekar Naga Besi dan seorang lelaki brewok
berhasil melompat jauh,
menghindari ledakan akibat pukulan jarak jauh yang luar biasa itu.
"Ha ha ha...! Benar-benar menggelikan! Seorang
pemimpin persilatan dari banyak partai dan golongan yang semula membusungkan
dada, terpaksa harus lari terbirit-birit oleh pukulan jarak jauhku! Lucu..., lu-
cu...," ledek Sang Penghancur.
Mendengar ucapan bernada menghina itu, dada
Pendekar Naga Besi bagaikan hendak meledak.
"Hm.... Ilmu silatmu memang sangat dahsyat, Sang
Penghancur. Tapi perlu kau ketahui, perbuatanmu ha-ri ini akan mendatangkan
murka kaum golongan putih di seluruh pelosok negeri. Suatu saat kelak, kau pasti
akan lari ketakutan seperti seekor anjing yang dipukuli majikannya. Aku yakin,
pasti akan ada seseorang yang bisa membuatmu jungkir balik dan lari terbirit-
birit ketakutan...!"
Karena merah, Pendekar Naga Besi membalas hi-
naan lawannya dengan kata-kata yang tepat mengenai sasaran. Sehingga wajah Sang
Penghancur kontan berubah kuning keemasan seperti pakaian yang dikena-
kannya. Hal ini pertanda Sang Penghancur mulai di-
landa kemurkaan.
"Hm.... Hendak kulihat, siapa orang yang sanggup
mencegah Sang Penghancur...," desis tokoh sakti menyeramkan itu dengan gigi
bergemeretak penuh kege-
raman. Sepasang matanya yang tajam, melotot penuh
nafsu dendam. Pendekar Naga Besi dan seorang pengikutnya ber-
siap menghadapi gempuran dahsyat yang mungkin
akan mendatangkan kematian bagi mereka. Keduanya
bergerak ke kiri dan kanan, memecah perhatian lawan yang sangat sakti itu.
*** 6 "Bersiaplah melayat ke neraka...! Haaat..!"
Dibarengi pekik laksana ledakan petir di angkasa,
tokoh sakti berpakaian kuning emas itu melesat cepat bagai kilat mengincar
Pendekar Naga Besi. Rupanya, lelaki tinggi besar itu lebih dipilih untuk
dijadikan korban berikutnya.
Bettt..! "Haihhh...!"
Pendekar Naga Besi berseru nyaring sambil melesat
ke udara dan berjumpalitan. Dan begitu mendarat di tanah, tubuhnya langsung
berguling menjauh dari lawannya.
Sang Penghancur benar-benar telah menjadi kalap
ketika pukulan mautnya berhasil dihindari lawan. Ma-ka ketika lelaki brewok yang
ikut mengeroyoknya menerjang maju dengan kibasan pedang, tubuhnya lang-
sung melayang menyambut datangnya senjata lawan.
Untuk kesekian kalinya, Sang Penghancur kembali
membuat kejutan baru. Mata pedang yang meluncur
ke tubuhnya, langsung dipapak dengan cengkeraman
jemari tangannya!
Krappp! Pedang lelaki brewok itu berhasil ditangkap dan dipatahkan jari-jari tangan
sekeras baja itu. Belum juga lawan menyadari apa yang telah menimpa senjatanya,
tiba-tiba jari-jari mengerikan itu menerjang dan men-cengkeram leher.
"Aaa...!"
Lelaki brewok itu menjerit ngeri ketika tubuhnya telah terangkat naik ke udara.
Jeritannya lenyap seketika, begitu jari-jari tangan Sang Penghancur meremas
tenggorokannya dengan pengerahan tenaga saktinya.
"Sambut mayat kawanmu ini...!" bentak Sang Peng-
hancur sambil melemparkan tubuh korbannya ke arah
Pendekar Naga Besi.
Melihat hal ini, Pendekar Naga Besi semakin geram.
Lelaki tinggi besar itu cepat melompat ke samping
menghindari mayat kawannya. Kemudian pedangnya
siap diputar-putar begitu melihat lawan sudah akan menerjangnya.
Namun langkah kaki Sang Penghancur tertunda ke-
tika mendengar seruan-seruan kaget yang ternyata berasal dari para pengikutnya.
Cepat wajahnya menoleh ke arah ketiga pengikutnya yang tengah dikeroyok pu-luhan
tokoh persilatan. Kening lelaki tegap berpakaian kuning emas itu agak berkerut
ketika melihat dua
orang bertubuh tinggi besar yang merupakan penga-
walnya tengah terpental hingga beberapa tombak
jauhnya. Sedangkan lelaki tinggi kurus yang merupakan pelayannya, tengah berlari
ke arahnya dengan napas memburu dan wajah tegang.
"Pendekar Naga Putih...! Pemuda sakti itu menga-
muk menghajar Lagonta dan Latungga. Mereka..., terdesak...," lapor lelaki
setengah baya itu dengan suara terputus-putus.
Melihat raut wajahnya yang gelisah, jelas kalau lelaki tinggi kurus itu merasa
tegang atas kemunculan Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih..."! Bagaimana ia bisa sampai ke tempat ini" Bukankah
Latungga dan Lagonta telah kuperintahkan untuk memancingnya, menjauhi Desa
Mandala Sari" Kau pun bodoh sekali, Labinta..." Apa saja yang kau kerjakan
selama ini...?" Sang Penghancur tampak terkejut mendengar laporan orang berna-
ma Labinta itu.
Bentakan lelaki tinggi tegap yang berjuluk Sang
Penghancur itu terhenti saat Latungga dan Lagonta datang berlari-lari
menghampirinya. Wajah kedua orang bertubuh raksasa itu tampak agak pucat. Jelas,
mereka telah melarikan diri dari pertempuran untuk bergabung bersama
pimpinannya. "Ha ha ha...! Belum kering ludahku mengucapkan-
nya, ternyata apa yang kuharapkan telah menjadi kenyataan! Hei, Sang Penghancur!
Mengapa kelihatan
wajahmu pucat mendengar nama Pendekar Naga Pu-
tih" Ke mana perginya kesombongan dan kegarangan-
mu?" Pendekar Naga Besi yang melihat perubahan sikap
Sang Penghancur ketika mendengar munculnya Pen-
dekar Naga Putih, segera tertawa terbahak-bahak. Hatinya menjadi puas karena
bisa membalas semua
penghinaan dan sakit hatinya terhadap tokoh sakti itu.
"Hm.... Keparat! Kubunuh kau, Pecundang...!" ben-
tak Sang Penghancur.
Laki-laki berpakaian keemasan itu merasa geram
bukan main ketika melihat Pendekar Naga Besi mener-tawakan dirinya. Segera saja
tubuhnya melayang ke
arah lawan, siap mencabut nyawa Pendekar Naga Besi.
"Haiiit..!"
Namun sebelum serangannya sempat menyentuh
tubuh Pendekar Naga Besi, terdengar teriakan me-
lengking yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih keperakan yang
menebarkan hawa dingin menusuk tulang.
Plarrr...! Terdengarlah suara letupan kecil, diiringi kepulan asap tipis yang menandakan
adanya pertemuan dua
gelombang tenaga sakti berlainan sifat. Kedua sosok tubuh itu sama-sama
terdorong mundur dan berjumpalitan beberapa kali, sebelum menyentuh permukaan
tanah. "Hm.... Kini aku baru sadar akan kelakuan aneh
pengikutmu yang bernama Latungga dan Lagonta. Ru-
panya mereka sengaja membawaku pergi jauh dari De-
sa Mandala Sari, agar kau dan pengikut-pengikutmu
bisa berbuat sesuka hati menebarkan bencana.
Sayang, kedatanganku agak terlambat. Sehingga, sia-sat kalian bisa dianggap
berhasil...," desis pemuda tampan berjubah putih yang sekujur tubuhnya masih
terselimuti kabut putih keperakan.
Pemuda itu tak lain dari Pendekar Naga Putih, yang ketika memasuki Desa Mandala
Sari dapat dipancing
dua orang bertubuh raksasa bernama Latungga dan
Lagonta untuk menjauhi desa itu. Meskipun perte-
muan para tokoh persilatan berada cukup jauh di luar desa, tapi Panji telah
melihat rombongan tokoh persilatan yang melewati Desa Mandala Sari yang pergi ke
tempat pertemuan ini. Namun karena harus mencari
Latungga dan Lagonta yang dianggap masih bersem-
bunyi di dalam hutan, maka kedatangan pemuda itu
agak terlambat.
Padahal orang yang dikira masih bersembunyi di
dalam hutan telah pergi secara diam-diam keluar dari dalam hutan, saat malam
tiba. Itulah sebabnya, ketika keesokan paginya Panji dan Kenanga mencari, namun
tidak juga berhasil menemukan Latungga dan Lagonta.
Sementara itu, para tokoh persilatan yang semula
diamuk Lagonta, Latungga, dan Labinta telah berkumpul di belakang Pendekar Naga
Besi. Di antara mereka terlihat seorang dara jelita yang tidak lain dari
Kenanga. Rupanya, pasangan pendekar muda itulah yang telah menyelamatkan para
pengikut Pendekar Naga Besi.
Sang Penghancur yang merasakan betapa kuatnya
tenaga sakti pemuda berjubah putih itu menatap dengan mata redup. Meski
demikian, mulutnya tetap saja membentuk senyum mengejek yang memandang rendah
orang lain. Sesaat kemudian, mata yang semula
redup itu terbuka lebar dan melotot tajam. Rupanya Sang Penghancur seperti
hendak menilai kesaktian
pemuda di hadapannya yang nama besarnya telah di-
dengarnya. "Hm..., Pendekar Naga Putih. Sebenarnya aku tidak
ingin kau turut campur dalam masalah ini. Aku senga-ja memancingmu, menjauhi
tempat ini melalui dua
pembantuku. Hal itu kulakukan, karena aku merasa
kasihan padamu. Dalam usia yang masih muda, kau
terpaksa harus tewas di tanganku. Itulah sebabnya, mengapa aku belum ingin
bentrok denganmu," ujar
Sang Penghancur.
Secara tidak langsung, sebenarnya Sang Penghan-
cur ingin mengatakan kalau kepandaiannya masih
jauh di atas Pendekar Naga Putih. Tentu saja ucapan itu memancing kegeraman para
tokoh persilatan yang
mendengarnya. Sedang Panji sendiri hanya tersenyum saja.
"Tapi, dengan membuat kekacauan dan membunuh
orang-orang tak berdosa di tempat ini, kau sama saja telah membuat permusuhan
denganku, Kisanak. Dan
aku wajib menghentikannya. Kalau kau memang tidak
menghendaki pertarungan, sebaiknya menyerahlah
dengan baik-baik untuk diadili di hadapan tokoh-
tokoh persilatan yang ada di tempat ini," sahut Panji.
Sikapnya tetap tenang, meskipun disadari kalau la-
wannya memiliki kesaktian yang mengagumkan.
"Ha ha ha...! Kau kira aku begitu tolol untuk me-
nyerah tanpa bertarung lebih dulu" Jangan harap,
Pendekar Naga Putih. Aku pun sama sekali tidak gentar menghadapimu. Hanya saja,
aku merasa kau be-
lum saatnya mati di tanganku," sahut Sang Penghan-
cur bernada tantangan seraya memperdengarkan sua-
ra tawanya yang berkepanjangan.
"Lebih baik manusia kejam sepertinya harus segera
dilenyapkan, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, kelak akan mencelakai orang-orang
tak berdosa seperti yang baru saja dilakukannya...," bisik Pendekar Naga Besi
yang memang dendam terhadap tokoh berjuluk Sang
Penghancur itu. Sedangkan Panji menanggapinya den-
gan senyum tenang.
"Kalau kau tidak suka menyerah, aku terpaksa me-
nangkapmu dengan jalan kekerasan, Kisanak...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih segera melangkah maju empat
tindak. Sehingga, Sang Penghancur bergerak mundur
sambil mengibaskan kedua tangannya. Disuruhnya
para pengikutnya untuk menyingkir.
"Kalian pergilah. Aku akan menyusul...," biak Sang Penghancur tanpa menolehkan
kepalanya. Berbarengan dengan bergeraknya ketiga orang pen-
gikutnya meninggalkan tempat itu, Sang Penghancur
memasang kuda-kudanya. Rupanya dia siap bertarung
melawan Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir. Aku khawatir
pukulan-pukulan jarak jauh tokoh itu akan mengenai kalian...," Panji
mengingatkan yang lain agar menyingkir. Pendekar Naga Putih memang menduga kalau
orang yang kali ini dihadapinya tentu memiliki kesaktian yang tinggi. Buktinya,
dari beberapa mayat tokoh yang dikenalnya memiliki kepandaian tinggi, telah
bergele-takan. Bahkan ada beberapa di antaranya tewas den-
gan anggota tubuh cerai-berai.
Panji menduga, hal ini disebabkan pukulan maut
lelaki tinggi tegap berpakaian kuning emas itu. Maka tanpa banyak bicara lagi,
langkahnya segera digeser dengan kuda-kuda kokoh dan kuat.
*** "Sambut seranganku, Pendekar Naga Putih...!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Sang


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penghancur telah melesat cepat bagai kilat Langsung diterjangnya Pendekar Naga
Putih. Sepasang tangannya bergerak cepat menyambar-nyambar, disertai deru angin
mencicit hingga menyakitkan telinga.
Whusss...! Sebuah tamparan yang mendatangkan deru angin
kuat berhawa panas menyengat, meluncur mengarah
ke kepala Pendekar Naga Putih. Namun pemuda itu
pun dapat cepat bergerak mengelak, dan langsung melontarkan serangan balasan
yang tidak kalah dahsyatnya. Akibatnya terjadilah pertarungan seru dan men-
debarkan. Sadar akan kesaktian lawannya, Panji langsung
menggunakan ilmu 'Naga Sakti'nya untuk mengimban-
gi permainan lawan. Sepasang tangannya menyambar-
nyambar diiringi tiupan angin dingin yang menusuk
tulang. Bahkan sesekali kakinya melayang, melakukan tendangan kilat yang sama
sekali tidak terduga. Akibatnya, beberapa kali tendangan kilatnya nyaris
mengenai sasarannya. Untunglah gerakan Sang Penghan-
cur demikian gesit, sehingga selalu saja mampu mengelak.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keempat
puluh, Panji yang melihat pertahanan lawan terbuka langsung saja menyarangkan
telapak tangan ke dada
lawan. Meskipun kesempatan itu hanya sekejap saja, Panji cepat dapat
memanfaatkannya.
Desss...! "Hei..."!"
Hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih
memang telak mengenai dada lawan. Tapi bukan main
terkejutnya pemuda itu ketika merasakan adanya daya tolak yang membuat telapak
tangannya berbalik bagai menghantam segumpal karet kenyal. Maka, kesempatan baik
itu tidak disia-siakan oleh Sang Penghancur.
Langsung tinjunya dilontarkan ke tubuh lawan.
Bukkk! "Ugkhhh...!"
Tubuh Panji terjajar mundur akibat hantaman telak
mengandung tenaga dalam yang amat kuat. Untunglah
lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya sanggup meredam
kerasnya pukulan
lawan. Sehingga tubuhnya hanya terdorong ke bela-
kang, dengan sedikit rasa nyeri yang menggigit pada
bagian yang terkena pukulan.
Sebenarnya, Sang Penghancur juga cukup tertegun
ketika merasakan kepalannya seperti amblas ke dalam samudera es yang tidak
berdasar. Hal itu menyadar-kannya kalau lawan pun memiliki ilmu kekebalan tu-
buh yang sangat aneh. Bahkan belum pernah dite-
muinya selama ini. Tentu saja hal itu membuatnya
semakin berhati-hati dalam menghadapi pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih itu.
Kedua tokoh sakti itu kembali saling tatap dengan
sinar mata tajam. Setelah satu sama lain menyarangkan sebuah pukulan, kini baru
diyakini kalau tubuh lawan masing-masing kebal terhadap pukulan. Dan
kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Sang Peng-
hancur semakin berhati-hati untuk pertarungan selanjutnya.
"Heahhh...!"
Tiba-tiba Sang Penghancur membentak keras, lak-
sana ledakan guntur di siang bolong. Seiring dengan itu, sepasang tangannya
bergerak ke atas, kemudian berputar secara aneh dan tidak beraturan.
Sesaat kemudian, terlihatlah sebuah pemandangan
yang membuat takjub Panji maupun tokoh-tokoh per-
silatan yang menyaksikannya. Betapa tidak" Tubuh
Sang Penghancur tiba-tiba telah mengeluarkan sinar kuning keemasan yang
menyilaukan mata. Apalagi,
pakaian yang dikenakannya sangat menunjang sinar
yang keluar dari tubuhnya. Maka semakin kuatlah
daya pancar yang menyilaukan mata. Dan akibatnya,
Panji sulit sekali melihat wajah lawannya. Bahkan, tubuh lawan pun tampak
seperti bayangan mentari yang membuatnya tidak kuat memandang berlama-lama.
"Gila! Pantas pakaiannya terbuat dari benang emas!
Bahkan masih dilengkapi dengan benda-benda sebesar
lempengan uang di lingkar dadanya. Tentu hal itu untuk menambah kuatnya pancaran
keemasan yang me-
nyilaukan mata. Benar-benar seorang tokoh yang cer-dik dan berbahaya," desis
Panji seraya bergerak mundur dan memalingkan wajahnya dari pancaran sinar
kuning keemasan yang membuat matanya perih.
"Heaaat..!"
Sang Penghancur membentak nyaring, dan lang-
sung menerjang Panji. Ia memang sengaja mengenakan pakaian kuning emas dan
hiasan di lingkar dadanya
yang terbuat dari emas murni. Rupanya semua itu dapat membantunya, agar kekuatan
daya pancar kuning
keemasan yang muncul dari tubuhnya bisa mempen-
garuhi pandangan dan pikiran lawan. Seperti halnya yang saat ini dialami
Pendekar Naga Putih.
Panji kini terpaksa harus memejamkan matanya
untuk mengelakkan serangan lawan. Dia berloncatan
menghindari pukulan dan tamparan Sang Penghancur
yang bisa diketahui dari sambaran angin yang datang menuju tubuhnya. Untuk
beberapa jurus lamanya,
Pendekar Naga Putih hanya bisa mengelak tanpa
mampu melontarkan serangan balasan.
Duk! Duk...! Plak! Dua kali Panji berhasil memapak pukulan lawan.
Namun untuk yang ketiga kali ia tidak sempat lagi menangkis atau menghindar!
Meskipun demikian, tubuh-
nya masih sempat dimiringkan. Sehingga bukan kepa-
lanya yang terkena tamparan, tapi bahu kanan yang
telah terlindung tenaga sakti.
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung terjajar lim-
bung. Sadar kalau serangan lawan pasti masih terus berkelanjutan, Panji cepat
melambung ke udara dan
berjumpalitan beberapa kali menjauhi lawannya. Ke-
mudian tubuhnya baru meluncur turun dengan gera-
kan ringan. "Kakang..."!"
Kenanga yang sempat melihat tubuh kekasihnya
terkena tamparan lawan, segera berlari memburu. Namun Panji cepat mencegah, demi
keselamatan gadis itu sendiri.
"Kenanga, menyingkirlah...! Orang ini sangat berbahaya...!" ujar Panji
memperingatkan.
Akhirnya meski dengan hati berat, dara jelita itu
mau juga mengikuti perintah Panji. Kenanga melangkah mundur dengan wajah agak
pucat. Sebagai seo-
rang wanita, tentu saja tidak bisa menahan kekhawati-ran melihat nyawa
kekasihnya terancam. Saat ini dia benar-benar hanya memikirkan keselamatan
Panji. Meski ada terbersit kesadaran kalau kekasihnya dapat menjaga diri, namun tetap
saja dicekam kecemasan
dan kegelisahan.
Sang Penghancur kembali menerjang Panji dengan
serangan-serangan mautnya. Maka cepat Panji menge-
rahkan semangat dan seluruh kekuatan dahsyat 'Te-
naga Sakti Gerhana Bulan' yang telah dilatihnya hingga mencapai titik
kesempurnaan. Sesaat kemudian,
lapisan kabut yang menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih semakin melebar
disertai hembusan
hawa dingin. Sehingga, membuat udara di sekitar are-na pertarungan bagai tengah
dilanda badai salju.
"Heaaah...!"
Dibarengi bentakan nyaring yang merontokkan jan-
tung, tubuh Pendekar Naga Putih mengelak ke samp-
ing. Langsung cakar naganya diayunkan, disertai
hembusan angin dingin yang bisa membekukan urat-
urat di tubuh lawan. Untungnya, Sang Penghancur
memiliki tenaga sakti luar biasa. Sehingga dengan ha-
wa panas yang keluar dari tubuh, tokoh itu mampu
untuk bertahan dari hembusan hawa dingin yang me-
nebar dari tubuh Pendekar Naga Putih.
"Luar biasa...! Benar-benar sukar dipercaya kalau ada manusia yang memiliki
kesaktian yang demikian
langka! Sepertinya, selama hidupku tidak akan pernah menemukan pertarungan
seperti ini...!" gumam Pendekar Naga Besi, terbelalak takjub menyaksikan
pertarungan yang benar-benar mirip dongeng itu.
Pendekar bertubuh tinggi besar itu menggelengkan
kepala sambil tak henti-hentinya berdecak penuh kekaguman. Yang disaksikannya
saat itu bukan lagi dua sosok bayangan sedang bertarung, melainkan dua berkas
sinar emas dan putih keperakan. Kedua sinar itu terlihat saling libat dan saling
terjang disertai sambaran hawa panas dan dingin berganti-ganti. Kadang, tokoh
itu melihat sinar putih keperakan nampak terdesak oleh sinar kuning keemasan
yang memancar ga-
rang. Pemandangan seperti itu, tentu saja membuat
para tokoh persilatan menahan napas dengan wajah
tegang. Karena mereka tahu, Pendekar Naga Putih telah terdesak.
Di lain saat, terdengar helaan napas lega serta wajah penuh senyum ketika sinar
putih keperakan dapat mendesak sinar kuning emas yang terlihat terus bergerak
mundur. Hal itu menandakan, Pendekar Naga Pu-
tih tengah berada di atas angin dan berhasil mendesak lawan.
Blarrr...! Tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat laksana
gemuruh petir di siang bolong. Kemudian, disusul ber-pencarnya kedua gunduk
sinar yang semula saling libat. Bahkan, beberapa orang tokoh sampai jatuh ter-
duduk, akibat ledakan yang mengguncang dada. Leda-
kan mengguntur itu membuat lutut mereka gemetar,
hingga tidak mampu menahan tubuhnya. Dapat di-
bayangkan, betapa hebatnya benturan yang baru saja terjadi. Padahal, jarak
pertarungan dengan para tokoh persilatan terpisah sekitar empat tombak lebih.
"Haiiit..!"
Panji berseru nyaring sambil berputaran sebanyak
lima kali di udara. Hal itu dilakukan untuk menahan daya dorong yang amat kuat
akibat benturan dahsyat itu. Dan dengan indahnya, tubuh pemuda berjubah
putih itu dapat mendarat ringan di atas tanah.
Lain halnya yang dilakukan Sang Penghancur. Pada
saat tubuhnya terlontar deras ke belakang, ia langsung berputaran dan melarikan
diri meninggalkan arena
pertarungan. Tak seorang pun yang menyangka tokoh
itu bakal melarikan diri. Karena masih terkesima oleh benturan dahsyat itu. Kini
Sang Penghancur telah lenyap di saat orang-orang tersadar dari pengaruh ledakan
laksana gemuruh petir tadi.
Panji berkelebat mengejar. Tapi karena jaraknya telah terpisah cukup jauh,
akhirnya pemuda itu kembali dengan tangan hampa. Wajahnya pun tampak agak
menyesal. *** 7 Kenanga berlari menyongsong kekasihnya dengan
wajah agak cemas. Panji sendiri menyambut kedatan-
gan dara jelita itu dengan senyumnya. Paling tidak, agar hati dara jelita yang
tengah diliputi kecemasan itu menjadi lega.
"Kakang...!"
Kenanga langsung memeluk, yang disambut Panji
dengan tangan terbuka. Kemudian mereka melangkah
ke arah Pendekar Naga Besi dan para pengikutnya
yang rupanya tidak ingin mengganggu. Sehingga mere-ka hanya berdiri menanti,
agak jauh dari sepasang
pendekar muda itu.
"Maaf, Paman. Tokoh itu memang luar biasa. Hari
ini aku terpaksa gagal membekuknya. Tapi mudah-
mudahan, lain kali tidak akan terulang lagi. Harap Paman memaklumi kalau aku
tidak bisa membantu
untuk membereskan tempat ini. Aku dan kawanku ini
akan mengejar orang-orang telengas itu. Doakan kami, Paman...," ucap Panji.
Pendekar Naga Putih langsung meminta diri untuk
mengejar Sang Penghancur. Dia memang khawatir ka-
lau tokoh sesat itu akan mengulangi lagi kejahatannya di tempat lain.
"Kami mengerti, Pendekar Naga Putih. Biar bagai-
manapun juga, kami tetap mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu. Kalau tidak, mungkin saat ini
kami semua telah jadi bangkai akibat ulah tokoh yang mengaku berjuluk Sang
Penghancur itu," sahut Pendekar Naga Besi.
Diiringi pandangan mata penuh kagum dari para
tokoh persilatan, Panji dan Kenanga bergerak meninggalkan tempat itu. Setelah
bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap, barulah Pendekar Naga Besi dan para
pengikutnya membereskan tempat itu untuk
menguburkan kawan-kawannya yang tewas. Sedang-
kan yang terluka dipapah, meninggalkan tempat per-
temuan yang berubah menjadi arena pemakaman.
Alam pun kembali hening setelah para tokoh persilatan meninggalkan tempat itu.
*** Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkah agak
lambat, meninggalkan batas desa di belakangnya. Dari tempat mereka berjalan,
masih terlihat atap-atap rumah penduduk. Satu dua orang yang kebetulan berpa-
pasan dengan mereka, hanya bisa menatap iri. Karena baik yang pria maupun yang
wanita, sama-sama menimbulkan kekaguman bagi siapa saja yang melihat-
nya. "Kita harus segera menemukan tokoh-tokoh jahat
itu, Kakang. Kalau dibiarkan terlalu lama, bisa lebih banyak menimbulkan
korban," kata Kenanga.
Gadis itu melangkah tanpa melepaskan genggaman
jemari tangannya dari tangan Pendekar Naga Putih.
Dan dalam nada ucapannya, terkandung rasa penasa-
ran dan kegeraman yang dalam.
"Sabarlah, Kenanga. Bukankah saat ini pun kita
tengah berusaha menemukan jejak mereka. Tapi sela-
ma tiga hari ini, kita belum juga dapat menemukan
tanda-tanda tempat persembunyian mereka. Sedang-
kan yang kita temui hanyalah bekas-bekas kejahatan mereka saja. Contohnya yang
kita temukan kemarin.
Sebuah perguruan habis mereka musnahkan tanpa
rasa kemanusiaan sedikit pun. Sepertinya, tokoh itu ingin menghancurkan apa saja
yang ditemuinya sesuai julukannya. Sang Penghancur...," sahut Panji.
Memang Pendekar Naga Putih semakin bertambah
geram kepada tokoh yang berjuluk Sang Penghancur
itu. Beberapa kali, Panji menemukan bekas-bekas kejahatan tokoh sesat
berkepandaian tinggi itu.
Meskipun selama tiga hari itu mereka tidak mene-
mukan petunjuk sedikit pun, namun sama sekali tidak putus asa. Bahkan semangat
untuk dapat menemukan
tokoh sesat itu semakin menggebu-gebu. Hal itu tim-
bul, selain karena merasa ikut bertanggung jawab,
Panji dan Kenanga sadar kalau tokoh berjuluk Sang
Penghancur itu sukar sekali dilawan.


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangat jarang ada tokoh persilatan dari golongan
putih yang sanggup menandingi tokoh sesat itu. Bahkan kebanyakan dari para tokoh
tua, hanya memen-
tingkan untuk bertapa dan mengasingkan diri, tanpa sudi ikut campur dalam segala
urusan dunia ramai
yang dianggap hanya memusingkan kepala dan me-
nambah dosa saja. Dan, semua itu mereka timpakan
ke pundak tokoh-tokoh muda seperti Pendekar Naga
Putih. "Hm.... Apakah kita harus berpencar, Kakang...?"
usul Kenanga. Namun Panji menggeleng tidak menyetujui usul
yang menurutnya sangat berbahaya itu.
"Tidak mungkin, Kenanga. Selain kepandaian Sang
Penghancur masih belum bisa diukur, tiga orang pengikutnya pun bukan orang
lemah. Bahkan kalau dua
orang pengawal bertubuh raksasa itu maju secara bersama-sama, belum tentu kau
sanggup menandinginya.
Usulmu sangat berbahaya...," jelas Panji sejujurnya, tanpa bermaksud merendahkan
kepandaian kekasihnya.
"Hm.... Kalaupun mereka maju secara bersama-
sama, rasanya aku masih bisa mengalahkan mereka,
Kakang. Meskipun tidak mudah, tapi bisa mengguna-
kan ilmu 'Pedang Naga Sakti' yang pernah kau ajarkan kepadaku. Bahkan sekarang,
telah ku gabung dengan
jurus 'Bidadari Menabur Bunga' yang merupakan ju-
rus ilmu pedang andalanku," bantah dara jelita itu.
Panji mengangguk-angguk ketika mendengar penje-
lasan kekasihnya. Ia pun segera teringat kedua ilmu pedang tingkat tinggi yang
telah digabungkan Kenanga
dengan sedikit petunjuk darinya. Meskipun demikian, Panji tetap saja merasa
khawatir. "Hm.... Selama ini, kita selalu melakukan perjala-
nan melewati desa-desa dan hutan-hutan kecil. Se-
baiknya, mulai saat ini kita menjauhi desa dan harus mengambil jalan-jalan
tersembunyi Kita harus mendahului mereka. Bukankah selama ini kita hanya mene-
mukan bekas-bekas kejahatan mereka" Itu sama ar-
tinya jalan yang kita lewati, telah lebih dulu dilalui mereka. Ya, benar! Kita
harus mendahului dan mengha-
dang mereka di depan," ujar Panji, tiba-tiba mendapatkan pemikiran bagus untuk
menemukan Sang Penghancur dan kawan-kawannya.
"Tapi, bagaimana kita bisa tahu kalau mereka be-
lum lewat, Kakang?" tanya Kenanga.
"Hm.... Kalau kita terus melakukan perjalanan tan-
pa henti ke arah Barat, bukan mustahil akan bisa
mendahului mereka. Biasanya dalam melakukan keja-
hatan, mereka pasti akan menunda perjalanan. Nah!
Setelah yakin kalau mereka telah tertinggal, baru kita mengambil jalan membalik
ke desa. Dengan begitu,
kemungkinan besar kita bisa berpapasan dengan Sang Penghancur dan kawan-
kawannya," jelas Panji.
Penjelasan itu seketika membuat wajah Kenanga
berseri-seri. Memang besar sekali kemungkinannya
dapat berpapasan dengan tokoh-tokoh sesat itu, seperti yang dijelaskan
kekasihnya. "Kalau begitu, kita harus memulainya sekarang,
Kakang...," ujar dara jelita itu, penuh semangat. Sepasang mata bintangnya
tampak berbinar-binar. Tampak ia sangat mengharapkan untuk segera bertemu orang-
orang jahat itu.
"Ayolah...," ajak Panji.
Pendekar Naga Putih segera melesat mengerahkan
ilmu lari cepatnya. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga pun segera mengejar
kekasihnya. Mereka berbarengan meninggalkan tempat itu, melintasi tempat-tempat
sukar yang jarang dijamah manusia. Kebulatan tekad
untuk segera dapat membasmi Sang Penghancur,
membuat pasangan pendekar muda itu tidak pernah
merasa lelah. Mereka hanya beristirahat apabila perut benar-benar lapar. Dan
terpaksa menginap di dalam
hutan, apabila telah betul-betul sulit melawan rasa kantuk.
*** "Tolooong...! Lepaskan aku, Manusia Jahat..!"
Gadis manis berkulit kuning langsat dengan bentuk
tubuh mengundang hasrat itu meronta-ronta dalam
pondongan seorang lelaki tinggi besar. Pada bagian atas tubuh laki-laki itu
hanya mengenakan selempang kulit harimau. Dia terus saja melangkah sambil
tertawa-tawa. Di sebelah lelaki bertubuh raksasa itu, berjalan lelaki lain yang sama besarnya.
Hanya bedanya, wajahnya ditumbuhi brewok. Sehingga semakin menambah
keseraman wajahnya. Tubuhnya pun dihiasi otot me-
lingkar-lingkar bagaikan akar pohon. Dan dia juga
memondong seorang gadis yang hanya mengenakan
kain sebatas dada. Sementara gadis desa itu terus meronta-ronta, berusaha
melepaskan diri
"Ha ha ha...! Kau tidak membawa gadis cantik un-
tuk menemanimu malam nanti, Labinta...?" tanya lela-ki bertubuh raksasa yang
wajahnya ditumbuhi brewok.
Dia tak lain adalah Lagonta. Sedangkan dua orang
lainnya tentu saja Latungga, dan Labinta. Ketiganya adalah pembantu setia Sang
Penghancur, yang selama ini merajalela tanpa ada yang berani mencegah.
"Hm.... Manusia-manusia liar dari mana kalian, be-
rani mengganggu gadis-gadis desa kami..."!"
Teguran itu demikian tenang, namun mengandung
wibawa yang cukup kuat Sehingga membuat Lagonta,
Latungga, dan Labinta serentak mengangkat kepala.
"He he he...! Lebih baik kalian menyingkir saja, daripada mengantarkan nyawa
percuma...," sahut Labin-ta sambil tertawa-tawa, melihat delapan orang keamanan
desa tahu-tahu sudah menghadang jalan. Kemu-
dian Labinta melangkah maju.
"Berhenti! Lepaskan gadis-gadis itu, atau terpaksa kami menggunakan
kekerasan...!" bentak seorang lelaki gagah yang menjadi pimpinan tujuh orang
kawan- nya. Tapi, peringatan itu sama sekali tidak digubris Labinta. Lelaki tinggi kurus
berusia lima puluh tahun itu terus saja melangkah, tanpa mempedulikan ancaman
kedelapan lelaki berseragam hitam yang menghadang.
"Bangsat! Tangkap mereka...!"
Karena peringatannya tidak dipedulikan, lelaki ga-
gah itu memerintahkan tujuh orang kawannya. Se-
dang, ia sendiri sudah melangkah maju seraya mencabut senjatanya.
"Hm.... Tikus-tikus busuk banyak lagak...!" umpat
Labinta, sehingga membuat keamanan desa itu sema-
kin bertambah marah.
Sebentar saja, Labinta telah terkurung delapan
orang lelaki berseragam hitam. Maka tanpa dapat dicegah, pertempuran kecil pun
pecah. Dan tentu saja sebagai tokoh berkepandaian tinggi, dengan mudah La-
binta dapat menghindari setiap sambaran pedang yang mengancam tubuhnya. Sekali
tangannya bergerak, dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah. Tentu
saja hal itu membuat yang lain menjadi terkejut
"Keparat! Kau harus membayar mahal nyawa ka-
wan-kawan kami...!" bentak lelaki gagah itu murka, seraya melompat dengan
sabetan pedangnya.
Bettt..! Labinta hanya memiringkan tubuhnya sedikit, ke-
mudian tangannya langsung bergerak melipat lengan
yang memegang pedang itu.
Krekkk! "Aaa...!"
Lelaki gagah itu menjerit kesakitan ketika Labinta dengan mudah mematahkan
lengannya. Belum lagi kejadian yang berlangsung terlalu cepat itu disadari, ta-
hu-tahu saja jemari tangan Labinta meluncur ke tenggorokannya. Sekali tekan
saja, tewaslah lelaki gagah yang menjadi pimpinan keamanan desa itu.
"Keparat kau, Manusia Laknat...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan melengking, yang dis-
usul berkelebatannya sesosok bayangan hijau. Bahkan langsung menampar kepala
Labinta. Desss...! "Ughhh...!"
Meskipun Labinta telah memiringkan tubuhnya, tak
urung bahunya terkena tamparan sosok bayangan hi-
jau itu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus itu pun terhuyung ke belakang.
"Terimalah hukumanmu...!"
Kembali sosok bayangan hijau bertubuh ramping
itu melesat dengan serangan mautnya. Tapi, Labinta sudah dapat menguasai
keseimbangannya. Maka, segera dia melompat menghindar, kemudian membalas
dengan gerakan cepat dan kuat Sebentar saja, keduanya telah terlibat pertarungan
sengit Sedangkan lima orang keamanan desa yang masih tersisa segera bergerak
menjauh dan berdiri menonton.
Lagonta dan Latungga segera dapat mengenali, sia-
pa adanya sosok bayangan hijau itu. Mereka segera
menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah berubah te-
gang. Rupanya, ada sesuatu yang dikhawatirkan me-
reka. "Apa yang kalian cari, Raksasa-raksasa Tolol..."!"
Terdengar teguran bernada mengejek, yang mem-
buat Lagonta dan Latungga menoleh ke arah asal sua-ra. Dan keduanya kontan
terhenyak mundur, saat me-
lihat seorang pemuda berjubah putih tengah duduk
tenang di sebuah cabang pohon di tepi jalan. Karuan saja wajah mereka menjadi
berubah. Nyata sekali pancaran kegentaran pada wajah kedua orang bertubuh
raksasa itu. "Pendekar Naga Putih..."!" desis keduanya hampir
bersamaan. Bagai diberi aba-aba, langsung saja gadis yang be-
rada dalam pondongan masing-masing dilemparkan.
Karena saat itu, Panji telah melayang turun dari atas pohon.
Melihat kalau gadis desa itu dilemparkan begitu sa-ja ke tanah, cepat Pendekar
Naga Putih melesat dan menyambar. Sedangkan Lagonta dan Latungga hanya
berdiri bengong, menyaksikan perbuatan pemuda ber-
jubah putih itu. Setelah menyelamatkan kedua gadis itu dan menyuruhnya pergi,
Panji berbalik menatap
Lagonta dan Latungga berganti-ganti dengan sorot ma-ta tajam.
"Hm.... Bersiaplah menerima hukuman atas perbua-
tan kalian...!" desis Panji yang memang telah geram terhadap manusia-manusia
liar itu. Mendengar ucapan mengandung maut itu, Lagonta dan Latungga segera
mencabut golok besar di pinggang masing-masing.
Kemudian mereka menyilangkannya di depan dada,
siap menyambut serangan Pendekar Naga Putih.
*** 8 "Heaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, Lagonta dan La-
tungga segera melesat mengeroyok Pendekar Naga Pu-
tih. Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya serangan kedua orang bertubuh
raksasa itu. Sambaran senjata mereka menimbulkan suara mengaung tajam,
membuat orang jadi gemetar. Bahkan bisa kalah, sebelum bertanding melawan
mereka. Tapi tidak demikian halnya bagi Panji. Kalaupun
pada pertemuan pertama di Desa Mandala Sari Panji
sempat dibuat terkejut, itu karena bertarung tidak sungguh-sungguh. Pendekar
Naga Putih mengira mereka adalah orang baik-baik. Sekarang, setelah mengetahui
betapa jahatnya kedua orang bertubuh raksasa yang bersaudara itu, Panji pun
tidak sudi bertindak setengah-setengah lagi. Maka begitu bertarung, langsung
digunakannya ilmu 'Naga Sakti'nya.
Wreeeet! Wreeet!
Lagonta dan Latungga yang telah mengetahui kehe-
batan pemuda berjubah putih itu, segera saja melompat mundur menghindari
sambaran cakar naga lawan.
Apalagi, sambaran cakar itu masih diiringi serbuan hawa dingin yang membuat
tubuh menggigil. Maka,
semakin gentarlah hati Lagonta dan Latungga.
Panji benar-benar tidak sudi memberi hati kepada
kedua orang bertubuh raksasa yang liar itu. Dan begitu kedua orang lawannya
melompat mundur menghin-
dari serangan, pemuda itu sudah melepaskan tendan-
gan dan tamparan kilat. Akibatnya kedua orang bertubuh raksasa itu harus mati-
matian menyelamatkan di-ri dari ancaman serangan Pendekar Naga Putih yang jelas-
jelas ingin menghukum atas perbuatan mereka.
Sadar kalau menyerah pun tidak ada gunanya, La-
gonta dan Latungga sepakat untuk bertarung mati-
matian. Maka mereka mulai melontarkan serangan
dengan kelebatan golok besar yang mengerikan.
Bwettt! Bwettt!
Dua batang golok besar dan berat itu menyambar
cepat dari dua arah yang berlawanan. Namun, Panji
hanya merendahkan kuda-kudanya sambil mengi-
baskan kedua tangannya ke kiri dan kanan.
Plak! Plak! Lagonta dan Latungga berteriak kaget Tubuh mere-
ka kontan terpelanting dan hampir jatuh, kalau tidak segera menguasai diri.
Sementara Pendekar Naga Putih yang tidak sudi memberi kesempatan lagi, sudah
kembali menerjang dengan tendangan berputar.
Desss! "Hugkh...!"
Lagonta langsung memuntahkan darah segar dan
terpelanting keras ke tanah, hingga menimbulkan sua-ra berdebum. Sedangkan Panji
cepat mengirimkan
tamparan keras ke pelipis Latungga.
Plakkk! Latungga langsung menjerit ngeri. Tubuhnya yang
tinggi besar melintir bagaikan layangan putus. Setelah sempoyongan sesaat, dia
terbanting jatuh dan tewas dengan mata mendelik. Kepalanya retak akibat tamparan
keras yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. "Latungga...!" Lagonta menjerit keras memanggil
nama adiknya. Wajah lelaki bertubuh raksasa itu berubah berin-
gas, melihat tubuh adiknya telah tergeletak menjadi mayat. Bagaikan telah
menjadi gila, Lagonta menerkam Panji dengan cengkeraman tangannya yang besar
dan kuat Wuttt..! Pendekar Naga Putih cepat melompat menghindari
terkaman Lagonta. Dan dari atas, ujung kakinya cepat menotok tepat di tengah
kening lawannya.
Tukkk...! . "Aaargh...!"
Lagonta kontan meraung keras ketika tendangan
yang amat kuat itu telak menghantam keningnya.
Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa berwajah brewok itu terbanting ke tanah. Bagian
kening yang terkena toto-kan maut itu tampak berlubang. Otaknya pun berceceran


Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar. Setelah meregang sesaat, Lagonta tewas menyusul adiknya.
Setelah menyelesaikan lawannya, Panji menoleh ke
arah pertarungan Kenanga melawan Labinta. Dia ada-
lah lelaki tinggi kurus berusia setengah baya, yang pernah menipu Panji ketika
berada di Desa Mandala
Sari. Pemuda itu melangkah ke arah lima orang berseragam hitam yang merupakan
keamanan desa. Tam-
paknya, Panji tidak perlu mengkhawatirkan Kenanga
yang diyakini bisa mengatasi lawan.
"Kalian tolong urus mayat kedua raksasa ini. Aku
akan mencari majikan mereka...," ujar Panji kepada keamanan desa itu.
Dan keamanan desa itu hanya bisa mengangguk.
Sepertinya, mereka masih belum terbebas dari kete-
gangan melihat, pertarungan Pendekar Naga Putih melawan dua orang bertubuh
raksasa yang menyeramkan
itu. "Kenanga, tahan...!"
Panji yang sudah membalikkan tubuhnya, cepat
berseru mencegah ketika melihat Kenanga sudah ber-
hasil menundukkan lawannya, dan hendak membu-
nuh lelaki tinggi kurus itu. Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih
melesat ke arena pertempuran
yang telah selesai.
"Rasanya, aku ingin meremukkan batok kepala ma-
nusia keji ini, Kakang...," dengus gadis itu, tanpa melepaskan tatapan matanya
kepada Labinta yang sudah tidak berdaya.
"Kita masih memerlukannya untuk dapat menemu-
kan Sang Penghancur. Dialah biang keladi dari semua kejahatan yang dilakukan
mereka," jelas Panji. Dan Kenanga langsung menurut
"Nah, cepat katakan! Di mana ketuamu yang som-
bong itu bersembunyi...?" bentak Kenanga sambil
mengangkat tangannya, mengancam akan meremuk-
kan batok kepala lelaki setengah baya itu.
Labinta yang sadar kalau petualangannya sudah
berakhir, menjawab dengan suara pelan. Mirip sebuah bisikan. Sepertinya,
semangat lelaki itu lenyap setelah melihat Latungga dan Lagonta telah tewas di
tangan Pendekar Naga Putih.
"Sang Penghancur tengah bersemadi di dalam Hu-
tan Klaren yang terletak di sebelah Timur desa ini...,"
jawab Labinta lesu.
Namun setelah itu, Labinta mengangkat tangannya
yang langsung dihantamkan ke kepalanya.
Kragh! Panji dan Kenanga yang tengah melayangkan pan-
dangannya ke arah yang ditunjuk Labinta, menjadi
terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara keras. Mere-
ka kontan tertegun melihat Labinta roboh. Darah segar tampak menggenang di
sekitar kepalanya yang remuk
akibat pukulannya sendiri.
"Hm.... Dia telah mengambil jalannya sendiri. Se-
baiknya, kita segera menemui Sang Penghancur, agar masalah ini segera
tuntas...," ajak Panji.
Segera sepasang pendekar muda itu berkelebat me-
nuju Hutan Klaren, tempat Sang Penghancur berada.
Sebentar saja, tubuh mereka lenyap. Hanya bayangan samar di kejauhan saja yang
terlihat, untuk kemudian menghilang. Sementara, mayat Labinta pun diurus pa-ra
keamanan desa. *** Panji dan Kenanga berdiri tegak dalam jarak tiga
tombak dari sebuah gubuk sederhana, yang biasa di-
gunakan para pemburu sebagai tempat beristirahat Setelah berpesan agar Kenanga
menunggu di tempatnya, Panji melangkah mendekati pondok.
"Hei, Sang Penghancur! Keluarlah! Petualanganmu
sudah berakhir! Aku datang untuk menghentikan ke-
biadabanmu...!" teriak Panji, disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga,
suaranya bergema dan seperti datang dari setiap sudut Hutan Klaren.
Sang Penghancur yang tengah tenggelam dalam se-
madinya, tentu saja menjadi terkejut ketika mendengar teriakan bertenaga dalam
tinggi itu. Karena dugaannya yang datang hanya orang-orang yang sengaja berlagak
pahlawan untuk mengantarkan nyawa, Sang Penghancur pun melesat keluar dengan
wajah berang. Namun
setibanya di luar pondok, tokoh berpakaian kuning
emas itu pun terkejut. Ternyata sosok yang berdiri di depan pondok adalah
Pendekar Naga Putih!
"Kau..., Pendekar Naga Putih..."!" desis Sang Peng-
hancur. Wajah tokoh berpakaian kuning keemasan itu tam-
pak sedikit tegang. Sebentar kemudian, wajahnya berubah seperti biasanya, angkuh
dengan senyum men-
gejek. "Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini, Pen-
dekar Naga Putih...?" tanya Sang Penghancur dengan kening berkerut. Tentu ia
merasa heran melihat kedatangan Pendekar Naga Putih yang telah mengetahui
tempat bersemadinya.
"Hm.... tidak perlu heran, Sang Penghancur. Labin-
ta-lah yang memberitahukan kepadaku, sesaat sebe-
lum kepalanya sendiri diremukkan. Dan Latungga dan Lagonta telah pula pergi ke
alam baka. Sepertinya, mereka sudah bosan hidup di dunia ini...," sahut Panji,
sehingga membuat wajah Sang Penghancur seketika
berubah beringas.
"Keparat! Kau harus menebus ketiga pembantuku
dengan nyawamu, Pendekar Naga Putih. Bersiaplah
untuk mati!" geram Sang Penghancur.
Kemarahan tokoh sesat itu bangkit begitu menden-
gar kematian ketiga pembantunya yang setia.
"Hm.... Kaulah yang harus bertanggung jawab atas
kematian orang-orang tak berdosa yang telah kau bunuh, Sang Penghancur!
Kedatanganku menjadi wakil
mereka untuk mencabut nyawamu," sahut Panji tidak
kalah berangnya.
Pemuda itu menggeser langkahnya ke kanan, ketika
melihat Sang Penghancur telah mempersiapkan seran-
gannya. "Haaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Sang Penghancur lang-
sung melesat dengan serangan-serangan mautnya.
Cahaya emas menyilaukan mata sudah memancar dari
tubuhnya, disertai menebarnya hawa panas menyen-
gat. Semua itu sangat berpengaruh dan bisa menga-
caukan perhatian lawan. Tidak heran kalau musuh-
musuh yang kurang pengalaman bertempur dan tidak
memiliki tenaga dalam tinggi akan mudah dijatuhkan Sang Penghancur. Bahkan
Pendekar Naga Putih sendiri pun nyaris celaka di tangan tokoh sakti itu. Dan un-
tungnya, tubuh pemuda itu terlindung lapisan kabut bersinar putih keperakan,
sehingga tidak mudah dilukai.
Panji yang sadar akan kesaktian lawan dan penga-
ruh pancaran sinar emas yang mengganggu pandang
matanya, segera mengerahkan tenaga gabungan. Hawa
mukjizat 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi' membuat tubuhnya terselimut kabut putih bersinar
keperakan dan sinar kuning
keemasan yang berasal dari Pedang Naga Langit. Dengan menyatukan kedua tenaga
mukjizat itulah, Pendekar Naga Putih menghadapi gempuran Sang Penghan-
cur. Wueeet! Dengan menggeser langkah sambil memiringkan
tubuh, Pendekar Naga Putih mengelakkan hantaman
telapak tangan lawan yang menebarkan hawa panas
menyengat. Kemudian, dia balas menggempur dengan
sambaran cakar naganya. Akibatnya, Sang Penghancur menjadi kelabakan, karena
sergapan cakar naga lawannya mengandung hawa berlainan. Hal itu tentu sa-ja
membuatnya menjadi kewalahan. Cepat ia melompat mundur, menghindari sambaran
cakar naga lawannya,
seraya mengirimkan tendangan kilat tak terduga.
Plakkk! Panji yang ingin segera menyelesaikan pertarungan, mengangkat tangannya untuk
memapak tendangan
lawan. Akibatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu samasama terjajar ke belakang.
Melihat lawannya agak terhuyung, Panji kembali
melesat sambil mendorongkan sepasang telapak tan-
gannya yang mengandung dua unsur tenaga berlainan
sifat. Sang Penghancur yang merasa tidak mempunyai kesempatan mengelak, segera
menyambut dengan dorongan sepasang tangannya. Bahkan, juga mengerah-
kan seluruh kekuatan tenaga saktinya.
Blarrr! Benar-benar mengerikan benturan dua gelombang
tenaga raksasa itu. Akibatnya, tubuh Sang Penghancur terlempar deras ke
belakang, hingga menjebol dinding pondok yang terbuat dari kayu.
Pendekar Naga Putih sendiri terlempar ke belakang, seperti halnya Sang
Penghancur. Namun dengan kege-sitannya, daya luncur itu dapat dipatahkan dengan
berputaran di udara. Kemudian kedua kakinya menda-
rat ringan di atas rerumputan kering.
"Yaaah...!"
Seiring teriakan membahana, kayu pondok yang lu-
ruh itu beterbangan ke segala penjuru. Tak lama kemudian, sosok Sang Penghancur
muncul dengan sega-
la keangkerannya. Bahkan wajahnya telah berubah
kekuningan seperti disepuh emas. Tampak sekali ka-
lau hatinya benar-benar telah murka. Di sudut bibirnya tampak lelehan darah yang
menandakan kalau te-
lah menderita luka dalam yang cukup parah.
Seperti tidak merasakan luka dalamnya, lelaki ting-gi kokoh itu kembali
menerjang Pendekar Naga Putih.
Serangan itu segera disambut Pendekar Naga Putih
dengan sambaran cakar naganya yang berdecit-decit
merobek udara. Kini kedua tokoh sakti itu kembali saling gempur
dengan hebatnya.
Plak! Plak! Terdengar ledakan kecil dua kali berturut-turut ketika dua pasang lengan satu
sama lain bertemu.
Kemudian mereka kembali saling terjang bagaikan
banteng luka! Seratus jurus telah cepat terlewat. Dan sampai se-
jauh itu, belum kelihatan tanda-tanda pemenangnya.
Meskipun serangan Panji demikian gencar, tapi ke-
gesitan lawannya benar-benar mengagumkan. Apalagi, tubuh Sang Penghancur
terlindung pakaian berwarna
emas yang ternyata mampu meredam pukulan Pende-
kar Naga Putih. Maka tak heran kalau Pendekar Naga Putih menjadi cukup repot dan
harus mengerahkan
kemampuannya untuk menundukkan tokoh sakti itu.
Desss...! Pendekar Naga Putih langsung menyarangkan ten-
dangan, ketika melihat pertahanan lawan terbuka.
Tanpa ampun lagi, tubuh Sang Penghancur terjeng-
kang ke belakang hingga satu tombak lebih. Namun,
tokoh sakti itu kembali bangkit meski terlihat agak menyeringai menahan rasa
sesak. Kemudian Sang
Penghancur kembali membangun serangan yang masih
tetap ganas dan berbahaya.
"Yeaaat..!"
Panji yang merasa jengkel melihat kekuatan daya
tahan tubuh lawan, segera mengeluarkan 'Pekikan Na-ga Marah'. Dan akibatnya,
Sang Penghancur tersentak mundur seraya mengerahkan hawa sakti untuk melindungi
bagian dalam dadanya yang terguncang. Maka,
Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Cepat tubuhnya melesat, diikuti
dorongan sepasang telapak tangannya ke depan.
Whusss.... Blarrr! "Aaarghhh...!
Sang Penghancur berteriak membelah langit begitu
sepasang telapak tangan Panji telah menggedor da-
danya. Akibatnya, tubuh tokoh sakti itu terlempar deras hingga hampir tiga
tombak. Kemudian, tubuhnya
terbanting jatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
Panji segera melesat menghampiri lawannya yang
tengah berusaha bangkit, namun selalu terjatuh kembali. Tampak sekali Sang
Penghancur telah sekarat
akibat hantaman yang meremukkan dada bagian da-
lamnya. Bahkan tulang-tulang dadanya pun terlihat
melesak ke dalam. Jelas, tulang-tulang dada tokoh itu remuk akibat gempuran
telapak tangan Pendekar Naga Putih yang memang luar biasa.
"Bunuhlah aku, Pendekar Naga Putih...! Jangan
siksa aku seperti ini...," erang Sang Penghancur dengan mulut tak henti-hentinya
mengalirkan darah.
Melihat hal ini, Panji menjadi tak tega. Kemudian
tangannya segera digerakkan dengan telapak terbuka, Prakkk!
Kepala Sang Penghancur pun langsung pecah aki-
bat tamparan keras Pendekar Naga Putih yang men-
gandung kekuatan hebat Tamatlah riwayat Sang Peng-
hancur yang menggiriskan itu. Kemudian Panji men-
guburkan mayatnya di dekat pondok, dibantu Kenan-
ga. Angin senja bertiup lembut mempermainkan anak
rambut Kenanga yang berjalan meninggalkan Hutan
Klaren bersama kekasihnya. Gadis jelita itu melingkar-kan lengannya ke pinggang
Panji yang merangkul
pundaknya. Dedaunan pohon melambai, seperti men-
gucapkan selamat jalan kepada sepasang pendekar
muda yang telah menyelesaikan tugasnya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
1 *** *** 2 *** 3 *** *** *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** *** 8 *** SELESAI Kelana Buana 20 Bara Naga Karya Yin Yong Pemberontakan Ki Reksogeni 1
^