Pencarian

Sepasang Mambang Lembah Maut 1

Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut Bagian 1


SEPASANG MAMBANG LEMBAH MAUT T. Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Sepasang Mambang Lembah Maut
128 hal:12 x l8 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Pagi mulai datang mengusir kegelapan. Semilir
angin lembut mengusap pucuk-pucuk dedaunan, dan
menghempaskan butir-butir embun yang melekat di
atasnya. Kicau burung-burung terdengar ramai me-
nyemarakkan suasana pagi yang indah ini.
Sayang, suasana pagi di Gunung Larang mulai
terganggu teriakan-teriakan nyaring yang berganti-
ganti. Demikian hebatnya teriakan yang susul-
menyusul itu, hingga beberapa ekor burung yang kebe-tulan tidak jauh dari sumber
suara, langsung jatuh.
Bahkan langsung tewas seketika! Dari kejadian itu saja sudah dapat diukur,
betapa mengerikannya tenaga
sakti yang tersalur melalui teriakan-teriakan keras itu.
Suara teriakan-teriakan dan bentakan yang
terkadang nyaring melengking tinggi itu, sesekali berubah parau bagaikan raungan
binatang buas yang ten-
gah murka. Jangankan manusia. Rasanya binatang
buas sekalipun pasti akan terbirit-birit apabila mendengar teriakan parau yang
terasa hendak mencopot
jantung itu! Ternyata, bukan hanya bentakan-bentakan itu
saja yang mengerikan. Bahkan tempat asal teriakan-
teriakan itupun merupakan sebuah tempat yang di-
anggap keramat. Bahkan sangat ditakuti, baik oleh
penduduk desa sekitar, maupun kaum rimba persila-
tan! Lembah Maut! Itulah nama tempat suara-suara
teriakan dan bentakan dahsyat tadi berasal. Lembah
itu terletak di sebelah Utara Gunung Larang. Selain agak tersembunyi dan
menjorok ke dalam, lembah itu
pun tidak pernah lepas dari lapisan kabut. Tidak pedu-
li siang panas terik, kabut tebal selalu saja melapi-sinya. Nama Lembah Maut
bukan sekadar julukan be-
laka. Nama itu diberikan karena selain tempatnya sangat tersembunyi dan selalu
dilapisi kabut tebal, juga terdapat jurang-jurang yang menganga lebar, dan
perangkap-perangkap alam yang bisa mendatangkan
kematian Tidak sedikit korban yang tertelan jurang-
jurang yang disamarkan oleh lapisan kabut. Sehingga, orang menamakan tempat Itu
sebagai Lembah Maut!
Lembah yang terletak di lereng sebelah Utara
Gunung Larang itu ternyata tidak ditakuti semua
orang. Para penduduk desa sekitar kaki gunung itu
tahu kalau Lembah Maut juga dihuni dua orang aneh
berwajah mengerikan! Meski jarang menampakkan di-
ri, namun penduduk desa sekitar tahu kalau kedua
orang aneh itulah yang menjadi Penguasa Lembah
Maut! Bagi tokoh-tokoh persilatan sendiri, kedua
penghuni lembah itu telah sangat dikenal. Mereka
memberi sebuah julukan yang tidak kalah mengerikan
dengan lembah itu sendiri. Kesaktian yang mengi-
riskan, dan wajah yang membuat orang terbirit-birit ketakutan, membuat kaum
persilatan memberikan julukan Sepasang Mambang kepada kedua orang tokoh
itu. Kemudian julukan itu dikaitkan dengan nama
tempat yang dihuninya. Sehingga dalam dunia persilatan, bergaunglah sebuah
julukan yang menggetarkan!
Sepasang Mambang Lembah Maut!
Dari kedua orang tokoh itulah bentakan dan te-
riakan dahsyat berasal. Tokoh mengiriskan yang tidak diketahui asal-usulnya itu,
seperti biasa selalu melatih ilmu-ilmu setiap hari. Itulah sebabnya, mengapa
sepa-gi itu di Lembah Maut sudah bergaung teriakan dan
bentakan menggelegar!
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar te-
riakan nyaring menggetarkan jantung! Sesosok tubuh
ramping tampak berkelebatan cepat, bagaikan tidak
menyentuh permukaan tanah! Kemudian dengan in-
dahnya, sosok tubuh itu mulai memainkan jurus-jurus maut! Sambaran tangan dan
kakinya selalu dibarengi
deru angin mencicil dalam setiap lontaran. Hal itu menandakan kalau sosok
ramping itu jelas memiliki ke-
kuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, dan jarang
tandingannya "Yiaaah...!"
Sosok tubuh yang wajahnya tersembunyi di ba-
lik topeng tengkorak itu menutup gerakannya dengan
sebuah pekikan halus, namun menyakitkan telinga.
Saat itu juga, tubuhnya melenting ke udara. Kemu-
dian, kakinya mendarat manis di atas rentangan tali setelah berputaran beberapa
kali. Gerakan yang demikian ringan dan indah itu jelas menandakan kalau sosok
ramping itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa!
Apabila orang menyaksikan apa yang dilakukan
sosok tubuh itu, tentu akan terbeliak dengan wajah
pucat! Sebab, sosok itu enak saja memainkan jurus-
jurus silatnya di atas rentangan tali yang di bawahnya menganga jurang tak
berdasar. Bukan main! Jelas sekali bahwa tokoh penghuni Lembah Maut itu tengah
melatih ilmu meringankan tubuhnya di atas rentangan tali sebesar ibu jari itu
"Bagus... bagus..."
Terdengar seruan memuji yang diiringi tepuk
tangan Seseorang tengah berdiri sambil menatap ke
arah sosok ramping yang bagaikan tengah menari-nari
di atas rentangan tali-tali itu. Raut wajahnya juga terlindung sebuah topeng
tengkorak yang mengerikan.
Jelas, mereka itulah yang dijuluki sebagai Sepasang Mambang Lembah Maut.
Setelah cukup lama berada di atas rentangan
tali, sosok raping itu pun kembali berseru menutup permainannya. Tubuhnya
melenting, dan berputar beberapa kali. Kemudian, dia mendarat di samping sosok
yang bertubuh agak gemuk. Kilatan cahaya sepasang
mata orang yang bertubuh gemuk, jelas menggambar-
kan kepuasan hati.
"Hm.... Kini kita hanya tinggal menyempurna-
kan satu ilmu lagi. Setelah itu, dunia persilatan akan gempar! Mereka yang
mengaku sebagai pendekar, harus tahu siapa sebenarnya Mambang Lembah Maut!"
kata sosok bertubuh gemuk dan jangkung, berkata
sambil mengepalkan tinjunya Hingga, terdengarlah suara tulang-tulang yang
berkerotokan. "Benar. Tapi karena musuh kita yang lain telah tewas, maka hanya satu yang kini
harus dilenyapkan.
Apalagi, orang itu merupakan penghalang besar bagi
kita...," sosok yang bertubuh lebih kecil menyahuti, dengan nada geram.
Tampaknya, Sepasang Mambang Lembah Maut
menyimpan dendam yang dalam. Semua itu terbukti
dari ucapan-ucapan mereka!
"Hm...,"gumam sosok yang bertubuh lebih tegap, sambil menengadahkan wajah
menatap langit ce-
rah. Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu tampak menerawang ke masa
lalunya. Sesekali, terdengar helaan napasnya yang berat dan panjang.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Kakang Jongga-
la?" tanya sosok yang lebih ramping, menatap orang yang dipanggil Jonggala.
"Sayang, Resi Begawa yang berjuluk si Cambuk
Hujan dan Badai telah tewas, Jonggala. Jadi, kekalahan kita pada beberapa tahun
lewat, tidak bisa terbalas. Kalau saja masih hidup, mungkin ia orang perta-ma
bagi percobaan kita...," desah Jonggala sesaat kemudian, wajahnya berpaling
kepada kembarannya
yang ternyata bernama Jonggali
"Yahhh..., hanya orang tua itulah yang dulu
pernah merasakan 'Ilmu Golok Terbang Perenggut
Sukma'. Dan, dia pulalah yang bisa menilai kemajuan ilmu itu. Sayang, keinginan
kita tidak bisa terlaksa-na...," sesal Jonggali, orang kedua dari Sepasang
Mambang Lembah Maut Memang musuh mereka yang
bernama Resi Begawa telah tewas. Sehingga, mereka
benar-benar menyesalinya. Sebab, tokoh itulah yang
menjadi musuh bebuyutan mereka (Untuk lebih jelas-
nya, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Penghuni Rimba Gerantang").
"Sudahlah! Lupakan tentang tua bangka itu,
Jonggali. Sebaiknya kita segera menyempurnakan ilmu
"Golok Terbang Perenggut Sukma' yang hanya tinggal menyempurnakannya saja.
Setelah itu, baru kita ting-galkan Lembah Maut untuk memberi pelajaran kepada
orang-orang yang menamakan dirinya pendekar persi-
latan...," ujar Jonggala yang segera beranjak meninggalkan bibir jurang.
Sehingga, Jonggali pun mau tidak mau harus mengikutinya.
Tidak berapa lama kemudian, kembali terden-
gar bentakan-bentakan keras yang diselingi deru napas bagai kuda pacu. Jelas,
Sepasang Mambang Lem-
bah Maut tengah melatih ilmu-ilmu tingkat tingginya.
*** Desiran angin bertiup silir-silir lembut mengi-
ringi langkah kaki tiga orang laki-laki tegap. Suara gemerincing terdengar
mengiringi ayunan langkah mere-
ka, yang berasal dari gelang-gelang baja putih di kedua tangan mereka. Menilik
dari beratnya gelang-gelang
baja putih di tangan ketiga orang lelaki itu, jelas kalau mereka adalah tokoh-
tokoh persilatan.
Dugaan itu memang beralasan. Ketiga orang le-
laki gagah itu adalah murid-murid Perguruan Gelang
Terbang yang sudah cukup terkenal di kalangan rimba persilatan. Bahkan mereka
juga merupakan tokoh-tokoh yang cukup penting dalam perguruan. Semua
itu dapat diketahui dari adanya gelang-gelang baja putih di tangan mereka. Makin
sedikit jumlah gelang baja di tangan murid-murid Perguruan Gelang Terbang,
makin tinggilah kepandaian yang dimiliki. Hanya saja meskipun jumlah gelang itu
lebih sedikit, tapi beban-nya jauh lebih berat. Itulah ciri-ciri yang telah
tersebar di kalangan persilatan.
"Hanya tinggal sebuah undangan lagi yang ter-
sisa, Karpala, Ratmala. Setelah itu, kita harus segera kembali sebagaimana pesan
guru...," kata salah seorang dari ketiga lelaki itu.
Melihat dari jumlah gelang baja yang sembilan
di tangannya, jelas kalau lelaki gagah berkumis tipis itu merupakan tokoh
tingkat tiga. Demikian pula kedua kawannya yang dipanggil Karpala dan Ratmala.
Masing-masing dari mereka mengenakan sembilan ge-
lang baja pada kedua lengannya.
"Benar. Kalau tidak salah, hanya tinggal Pendekar Cakar Maut sajalah yang
tersisa. Setelah itu, maka selesailah tugas kita...," timpal orang yang terlihat
paling muda, yang bernama Karpala. Pada sepasang ma-
tanya tampak tersirat kelegaan, karena tugas yang di-
bebankan kepada mereka dapat dilaksanakan dengan
baik. "Ssst...!"
Tiba-tiba saja lelaki berkumis tipis yang
usianya jauh lebih tua ketimbang dua temannya,
memberi isyarat sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Keningnya berkerut
seolah-olah hendak mempertajam pendengarannya.
"Ada apa, Kakang Sentana...?" tanya Ratmala, lelaki gemuk yang tulang pipinya
menonjol. Dia berbisik lirih di telinga kawannya, sehingga suaranya hampir tak
terdengar. Meski demikian, wajah Ratmala tampak tenang.
Memang, la sama sekali tidak mengetahui apa maksud
tingkah laku aneh saudara seperguruannya yang ber-
nama Sentana. Jelas, hal itu membuatnya penasaran!
"Hati-hatilah...! Entah mengapa, dadaku tiba-
tiba berdebar tanpa sebab. Dan..., sepertinya aku
mendengar langkah kaki berat. Tapi..., sekarang le-
nyap begitu saja...," lelaki berkumis tipis yang bernama Sentana itu menjawab,
juga dengan nada berbisik. Napasnya terdengar agak memburu, karena hatinya me-
mang tengah dilanda ketegangan.
"Kakang, lihat...'"
Belum lagi Sentana dan Ratmala sempat bertu-
kar pendapat, tiba-tiba terdengar teriakan Karpala.
Cepat mereka menoleh ke arah yang ditunjuk lelaki
kurus bermuka hitam itu.
"Hm.... Siapa mereka..." Apa maksudnya meng-
hadang di tengah jalan" Hati-hatilah. Mungkin mereka memang sengaja hendak
membegal kita...," desis Sentana, mengingatkan kedua orang saudara sepergu-
ruannya agar berhati-hati. Dia sendiri sudah meraba gagang pedangnya, sambil
melangkah maju Semula, baik Sentana maupun Karpala dan
Ratmala, sama sekali tidak merasa gentar dengan ke-
dua orang penghadang itu Namun keberanian dan se-
mangat mereka langsung terbang seketika, saat men-
genali kedua orang berpakaian putih itu. Setelah jarak di antara mereka semakin
dekat, nyatalah kalau kedua penghadang itu mengenakan topeng tengkorak!
"Sepasang Mambang Lembah Maut.."!"
Sentana dan dua orang saudara seperguruan-
nya langsung melompat mundur dengan wajah pias!
Hampir mereka tidak percaya dengan apa yang dilihat mereka. Masalahnya, selain
kedua orang tokoh sesat
itu tidak pernah terdengar lagi dalam kancah rimba
persilatan, tempat mereka dihadang sekarang pun cu-
kup jauh terpisah dari Gunung Larang. Jadi, wajar sa-ja kalau Sentana, Karpala
Dan Ratmala terkejut setengah mati.
"Mau apa kalian..."! Mengapa menghadang per-
jalanan kami?" sentak Santana coba memberanikan di-ri
Wajah laki-laki berkumis tipis itu tampak de-
mikian tegang! Bahkan sepasang tangannya tampak
telah dialiri tenaga dalam, dan siap melepaskan ge-
lang-gelang bajanya. Wajar saja, karena untuk meng-
hadapi lawan-lawan berat, senjata andalannyalah yang harus dipergunakan.
"Hm.... Kudengar Perguruan Gelang Terbang
hendak merayakan hari ulang tahunnya. Lalu, menga-
pa kami berdua tidak diundang?" kata sosok yang lebih tegap Suaranya berat dan
dalam, tanpa mempedu-
likan pertanyaan Sentana.
Jelas Sepasang Mambang Lembah Maut me-


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mang tidak memandang sebelah mata pun kepada mu-
rid-murid tingkat tiga Perguruan Gelang Terbang Tentu
saja hal itu tidak aneh. Selain merupakan tokoh puncak golongan sesat. Sepasang
Mambang Lembah Maut
memang memiliki watak yang angkuh, dan tidak per-
nah sudi menghormati orang lain.
"Jangan tanya kepada kami. Aku dan dua orang
saudaraku ini hanya melaksanakan tugas beliau. Soal diundang atau tidaknya
kalian, aku sama sekali tidak tahu menahu. Maka, harap menyingkirlah. Beri kami
jalan...." Sentana mencoba membela diri dan sebisa mungkin menghindari bentrokan
dengan sepasang tokoh maut itu.
"Hm..., kalian hendak pergi ke manakah...?"
kali ini sosok yang lebih langsing dan bernama Jonggali yang bertanya.
Suara Jonggali terdengar lebih lunak dan nyar-
ing, dan lebih tepat dimiliki seorang perempuan.
Sayangnya dalam soal kekejaman, Jonggali sama seka-
li tidak kalah oleh kembarannya. Bahkan terkadang
tindakan dan tingkahnya jauh lebih kejam dan beringas daripada Jonggala.
"Kami hendak mengantarkan undangan kepada
Pendekar Cakar Maut. Maka, harap kalian memberi ja-
lan. Undangan ini penting sekali. Dan kalau Pendekar Cakar Maut sampai mendengar
adanya orang yang
menghalangi perjalanan kami, tentu dia tidak akan
tinggal diam. Dengan demikian, berarti kesulitan akan menimpa kalian...,"
Sentana mencoba menggunakan nama tokoh yang tercantum dalam surat undangannya.
Tentu saja, lelaki berkumis tipis itu hanya sekadar menggertak agar tidak sampai
diganggu oleh kedua tokoh dari Lembah Maut itu.
Sayang, ucapan Sentana sama sekali tidak di-
gubris Jonggala dan Jonggali. Kedua tokoh sesat itu bahkan tertawa bergelak
gelak mendengar ancaman
Sentana. "Hua ha ha....'"
Jonggala sampai memegangi perutnya yang te-
rasa sakit mendengar ancaman itu. Jelas, gertakan
Sentana lebih merupakan sesuatu yang lucu, ketim-
bang sebuah ancaman. Memang begitulah anggapan
bagi Sepasang Mambang Lembah Maut.
"Mana surat undangan itu! Berikan padaku...,"
Sesaat setelah gema tawa mereka lenyap, Jonggala
mengulurkan tangannya merenggut tubuh Sentana.
Tapi, lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu tentu tidak tinggal
diam. Cepat Sentana melompat panjang ke belakang, sehingga cengkeraman Jonggala
luput! Tapi, apa yang kemudian terjadi benar-benar membuat Sentana pucat!
Ternyata cengkeraman orang
tertua dari Sepasang Mambang Lembah Maut itu ma-
sih terus mengejarnya! Tentu saja kenyataan itu membuat Sentana kelabakan!
"Gila..."!" umpat Sentana melihat lengan lawan terus memanjang mengincar
tubuhnya. Seolah-olah
lengan Jonggala bertambah panjang beberapa jengkal!
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi gugup!
Untunglah pada saat yang gawat bagi kesela-
matan Sentana, Karpala dan Ratmala bertindak cepat
Terdengar suara gemerincing saat keduanya melolos
gelang-gelang baja dari tangan masing-masing. Lalu, mereka melepaskannya dengan
pengerahan tenaga dalam yang mereka miliki!
Ziiing! Ziiing!
Empat buah gelang baja berbentuk pipih mele-
sat diiringi suara berdesing tajam! Senjata-senjata berbentuk gelang itu memang
tidak bisa dipandang re-
meh! Karena selain dapat merenggut nyawa lawan dari
jarak jauh, gelang itu pun dapat berputar kembali ke arah tuannya. Itulah
keistimewaan 'Ilmu Gelang Terbang" yang sudah terkenal di kalangan rimba
persilatan. Jonggala mendengus kasar dengan nada mere-
mehkan. Empat buah gelang baja yang mengincar tu-
buh dan sikunya, memang berhasil menyelamatkan
nyawa Sentana. Tapi untuk itu, kedua adik sepergu-
ruan Sentana harus membayar dengan mahal! Buk-
tinya, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata,
Jonggala memutar lengannya. Langsung dikibasnya
keempat senjata itu sehingga berbalik arah.
"Hiaaah...!"
Hebat sekali akibat kibasan lengan yang terlihat
sembarangan itu! Setelah mengapung bagai ditahan
tangan-tangan yang tak tampak, gelang-gelang baja itu berbalik melesat dengan
kecepatan dan kekuatan berlipat ganda!
Crabbb! Crabbb!
"Arghhh...!"
"Akhhh...!"
Dalam waktu yang tidak lebih dari sekejap ma-
ta, gelang-gelang baja itu telah menembus leher Ratmala dan Karpala. Mereka
ambruk ke tanah. Setelah
meregang nyawa sesaat, mereka langsung tewas. Me-
mang, gelang-gelang baja itu telah menembus leher
mereka lebih dari separuhnya!
"Bangsat keji...!" maki Sentana kalap.
Tampak kedua orang saudara seperguruannya
telah roboh mandi darah! Dengan kemarahan yang me-
luap-luap, empat buah gelang bajanya diloloskan dari tangannya dan langsung
dilepaskan disertai bentakan keras! Lagi-lagi Jonggala hanya mendengus kasar!
Ce- pat bagai kilat, tangannya berkelebat Maka tahu-tahu saja, empat buah gelang
baja itu telah dapat ditang-kapnya! Karuan saja tindakan lawan yang boleh dibi-
lang mustahil itu membuat Sentana terpaku dengan
mata terbelalak lebar! Kalau saja tidak melihat dengan mata kepala sendiri,
Sentana tidak mungkin mempercayainya.
"Hmhhh...!"
Sayang, Sentana tidak dapat berpikir lebih jauh
lagi. Sebab disertai sebuah dengusan kasar, Jonggala telah mengirimkan kembali
senjata itu kepada tuannya! Dan....
Ziiing! Ziiing!
"Aaa...!"
Sentana meraung begitu gelang baja miliknya
menembus tubuh dan lehernya! Tanpa ampun lagi, tu-
buh lelaki gagah itu pun terjungkal. Dia kelojotan sesaat, lalu diam tak
bergerak lagi. "Hm..., akan kubuat gempar Perguruan Gelang
Terbang pada hari perayaan nanti...," desis Jonggala yang kemudian tertawa
berkakakan, diikuti Jonggali.
*** 2 Hari ini di setiap sudut bangunan Perguruan
Gelang Terbang tampak telah terjadi kesibukan. Segala hiasan indah berwarna
cerah tampak menghiasi bagian dalam bangunan. Bahkan bendera-bendera yang
bertuliskan Perguruan Gelang Terbang, tampak ter-
pancang menyemaraki di pelataran bangunan pergu-
ruan itu. Tampaknya Perguruan Gelang Terbang hen-
dak merayakan hari jadinya yang kelima.
Di tengah kesibukan murid-murid Perguruan
Gelang Terbang yang tengah bekerja, terlihat seorang lelaki gagah bertubuh kekar
sedang berdiri mengamati.
Sepasang matanya yang tajam dengan brewok meng-
hias wajahnya, membuat penampilan lelaki itu sema-
kin bertambah angker. Melihat tiga buah gelang perak yang menghias sepasang
tangannya, dapat ditebak kalau lelaki itu adalah murid utama Perguruan Gelang
Terbang. "Kakang...," sapa seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Dia
menyapa lelaki gagah itu dengan napas agak memburu, seperti begitu
tergesa-gesa. "Ada apa...?" tanya lelaki gagah berwajah brewok itu dengan suara berat.
"Guru menyuruhku untuk memanggil Kakang
Panawangan, agar menghadap sekarang juga...," sahut lelaki muda itu sambil
mengangguk hormat.
"Hm..., baiklah...."
Meski agak heran, lelaki gagah bernama Pana-
wangan itu beranjak juga untuk menghadap guru be-
sarnya. Namun sambil melangkah lebar-lebar, batin-
nya bertanya-tanya. Maka begitu tiba di dalam bangunan utama, ia langsung masuk
ke dalam ruang perte-
muan. Didapatinya dua orang murid tingkat satu dan
empat murid tingkat dua tengah berkumpul di dalam
ruangan. "Guru...." Panawangan membungkuk memberi
hormat, kemudian duduk di hadapan gurunya.
"Panawangan! Tadi aku bertanya kepada Suba-
dra dan Kandira. Kata mereka, Sentana, Ratmaja, dan Karpala belum terlihat
kembali. Apa itu betul?" tanya seorang lelaki berkumis lebat, berusia sekitar
enam puluh tahun. Laki-laki itu adalah Ki Pangrawit. Atau, lebih
dikenal sebagai Pendekar Gelang Maut. Pada kedua
lengannya masing-masing terlihat sepasang gelang
yang terbuat dari emas.
"Betul, Guru. Aku pun merasa heran atas keter-
lambatan mereka. Padahal, semestinya kemarin sudah
harus tiba di perguruan. Aku khawatir ada sesuatu
yang telah menimpa mereka," Panawangan membenarkan keterangan Subadra dan
Kandira. "Hm.... Rasanya, tidak mungkin mereka sengaja
melakukannya. Tapi kalau memang ada sesuatu yang
terjadi terhadap mereka, mengapa kita tidak mendapat kabar! Apa sebenarnya yang
membuat mereka belum
juga kembali...?" gumam Ki Pangrawit pelan sambil mengelus jenggotnya yang
panjang dan lebat.
Sepasang mata tua Ki Pangrawit tampak me-
nyipit, seolah-olah hendak mencari dugaan atas keterlambatan ketiga orang
muridnya yang belum juga
kembali dari tugas yang diberikan.
"Apa mungkin mereka mengalami kesulitan di
jalan...," gumam Subadra, seorang lelaki berwajah kurus yang juga murid utama Ki
Pangrawit bergumam li-
rih. Meski demikian, ucapannya terdengar jelas oleh orang-orang di ruangan itu.
"Kesulitan di jalan...?" gumam Ki Pangrawit dengan kening berkerut "Rasanya,
kemungkinan itu kecil sekali, Subadra. Sebelum berangkat, mereka telah ku pesan
tegas-tegas, agar menghindari setiap perkara yang bisa membawa keributan. Dan
aku percaya kalau mereka pasti akan mentaatinya."
"Aku rasa, kemungkinan seperti itu bisa saja
terjadi, Guru. Kalau ada orang yang mencari keributan dan terlalu menghina,
mungkin saja Sentana dan te-
man-temannya terpaksa menghadapi," timpal Panawangan, yang memiliki dugaan sama
dengan Subadra.
"Hm...," Ki Pangrawit hanya menggumam tak jelas menanggapi pendapat murid-
muridnya. Suasana menjadi hening sejenak, ketika orang
tua gagah itu termenung memikirkan kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi terhadap Sentana dan dua
orang murid lainnya.
Panawangan dan murid-murid lainnya terme-
nung, seperti tengah ikut memikirkan Sentana dan
kawan-kawannya yang belum kembali Bahkan bebera-
pa orang di antaranya terlihat mengerutkan kening,
seperti tengah berpikir keras untuk mencari jawaban atas persoalan itu.
"Hhh...."
Terdengar helaan napas berat Ki Pangrawit se-
telah kesunyian mengungkungi ruangan itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita bersiap-siap me-
nyambut ramu. Untuk sementara, lupakan saja masa-
lah Sentana. Dan, ingat. Persoalan ini jangan diceritakan kepada murid-murid
yang lain. Aku tidak ingin perayaan ini terganggu," ujar Ki Pangrawit yang
segera membubarkan murid-murid lainnya.
"Baik, Guru...."
Secara serempak, ketujuh orang tokoh Pergu-
ruan Gelang Terbang berpamitan meninggalkan ruang
itu. Kini, tinggallah Ki Pangrawit termenung seorang diri memikirkan persoalan
itu. *** Ketika matahari mulai naik tinggi, satu-persatu
para undangan mulai berdatangan. Suasana di dalam
bangunan Perguruan Gelang Terbang pun semakin
bertambah ramai. Hal itu memang tidak terlalu aneh, sebab nama Pendekar Gelang
Maut telah dikenal oleh
hampir seluruh tokoh persilatan. Tidak heran kalau
perayaan itu juga dihadiri pejabat-pejabat pemerintah setempat.
Ki Pangrawit yang duduk di bangku kehorma-
tan bersama tokoh-tokoh seangkatan yang diundang-
nya, tersenyum penuh kepuasan. Memang, hampir
semua yang diundangnya datang menghadiri perayaan
itu. Tentu saja hal ini menimbulkan kebanggaan ter-
sendiri di hatinya. Sebab, hal ini berarti namanya masih cukup disegani dan
dihormati orang.
Panawangan yang bersama Subadra dan Kandi-
ra duduk di belakang gunanya, sejenak mengawasi
tempat para undangan yang telah penuh. Berbagai ha-
diah yang dibawa para undangan telah bertumpuk-
tumpuk tiga meja penuh, membuat para murid pergu-
ruan itu sempat kewalahan menanganinya. Ki Pangra-
wit memang menyebar undangan tidak kurang dari ti-
ga ratus, sehingga perayaan itu terlihat sangat meriah.
"Hm.... Rupanya, semakin tua usia perguruan
ini semakin terkenal Selamat kuucapkan untukmu,
Pendekar Gelang Maut Semoga di tahun-tahun menda-
tang perguruan ini semakin bertambah maju, dan bisa menghasilkan murid-murid
pandai berhari luhur,"
ucap seorang lelaki tinggi kurus mengenakan pakaian sederhana.
Dia tampak memberi hormat kepada Ki Pan-
grawit Sementara, Ki Pangrawit langsung bangkit me-
nyambut tamunya.
"Terima kasih..., terima kasih. Ah..., kau semakin bertambah gagah saja Ki
Janiga. Lima tahun tidak berjumpa, ternyata kau semakin bertambah gemuk.
Ha ha ha.... Silakan..., silakan...," sambut Ki Pangrawit
tertawa gembira menerima kedatangan lelaki jangkung itu.
"Kau bisa saja, Ki Pangrawit. Apa untuk pujian itu aku harus memberi hadiah yang
lebih besar kepadamu?" lelaki jangkung bernama Ki Janiga itu pun tertawa
gembira. Sepertinya, pertemuan itu benar-benar membuat mereka gembira.
"Tidak juga, Sahabatku. Yang jelas, aku sangat gembira atas kehadiranmu kali ini
Tidak seperti tahun-tahun lalu, saat kau selalu sibuk dan sulit ditemui,"
sanggah Ki Pangrawit seraya mempersilakan Ki Janiga untuk memilih tempat duduk.
Ki Janiga menyalami tokoh-tokoh lainnya sebe-
lum menghempaskan pantatnya di atas kursi.
Tapi suasana gembira itu tiba-tiba berubah te-


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gang, begitu dari pintu gerbang tempat penerimaan pa-ra tamu, terdengar jeritan-
jeritan kesakitan. Beberapa orang murid yang ditugaskan menyambut para undangan,
tampak terpental ke dalam bangunan perguruan.
Jelas, ada kejadian yang tak dinginkan di depan pintu gerbang itu.
"Coba kau lihat, Panawangan. Ada apa di depan
sana" Hati-hati, jangan memperpanjang urusan," perintah Ki Pangrawit, sambil tak
lupa berpesan. Tanpa diperintah dua kali, Panawangan segera
saja bergerak bangkit dan berlari menuju pintu ger-
bang utama. Sedang Subadra dan Kandira tetap di
tempat, karena tidak berani bertindak tanpa diperintah Ki Pangrawit.
Panawangan yang tiba di depan pintu gerbang,
tentu saja menjadi terkejut. Cepat kemarahannya yang sudah naik ke kepalanya
ditekan, begitu melihat enam orang yang ditugaskan menyambut kedatangan para
tamu telah bergeletakan pingsan. Kalau saja Panawan-
gan tidak teringat pesan gurunya, rasanya batok kepa-la pengacau Itu ingin
dihancurkannya. "Ada apa ini...?"
tegur Panawangan, kaku. Memang, biar bagaimanapun
kemarahan yang ditekannya itu tidak hilang seluruh-
nya. Sehingga meski diusahakan untuk tenang, tetap
saja tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
Lelaki gagah berwajah brewok itu menatap ta-
jam ke arah seorang lelaki gemuk berwajah bulat yang tengah dikepung murid-murid
tingkat dua dan tiga.
Panawangan heran melihat kilatan kemarahan di mata
lelaki gemuk itu. Kemudian, kakinya melangkah lebar menghampiri orang-orang yang
telah siap bertarung.
"Kami tidak mengenal lelaki gemuk itu, Kakang.
Begitu datang, dia langsung marah-marah. Selain itu, dia juga tidak membawa
undangan. Dan ketika kawan-kawan yang bertugas menanyakan secara baik-baik,
tapi ia malah menghajarnya. Bahkan sambil memaki
Guru Besar kita!" lapor seorang murid tingkat tiga kepada Panawangan. Sehingga,
lelaki gagah itu semakin dalam mengerutkan keningnya.
"Orang tua! Siapakah kau! Dan mengapa mem-
buat keributan di tempat ini"!" tegur Panawangan. Sikapnya tetap kaku, meski
telah dicoba untuk ramah.
"Hm.... Kau pasti murid Tua Bangka Sombong
Pangrawit itu, bukan" Katakan pada Gurumu! Aku, si
Cakar Maut datang berkunjung, namun kawan-
kawanmu menahanku, dengan alasan kalau aku tidak
mempunyai undangan. Padahal, kedatanganku bukan
karena tertarik menghadiri perayaan gombal ini! Tapi, kesombongan gurumulah yang
membawa langkahku
datang ke sini!" sahut lelaki gemuk yang mengaku berjuluk Cakar Maut. Tentu saja
pengakuan itu membuat
Panawangan terkejut.
"Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Cakar
Maut?" desis Panawangan, tak yakin. Di telitinya sosok tubuh lelaki gemuk
berusia lima puluh tahun itu.
"Maaf, mungkin guruku lupa karena banyaknya sahabat beliau. Tapi, tidak
seharusnya kau berbuat sedemikian kasar terhadap murid-murid kami yang tidak
berdosa." Panawangan sepertinya belum percaya sepe-
nuhnya kepada lelaki gemuk itu. Memang, ia tahu be-
tul kalau tokoh berjuluk Pendekar Cakar Maut telah
terdaftar namanya dalam undangan. Dan karena tidak
pernah berjumpa sebelumnya, maka Panawangan pun
masih belum mempercayainya. Maka, rasa tidak se-
nangnya belum juga lenyap.
"Hm.... Masih untung mereka tidak kubikin
mampus! Kau tahu! Dengan mengadakan perayaan ini
tanpa mengundangku, itu sama artinya Ki Pangrawit
tidak memandang mukaku! Dan itu sama saja sebuah
penghinaan!" bentak Pendekar Cakar Maut.
Rupanya, laki-laki gemuk itu tidak menerima
undangan dari Ki Pangrawit Maka tentu saja tokoh itu marah, karena sama artinya
dianggap remeh oleh Pendekar Gelang Maut. Baginya itu merupakan penghi-
naan! Mendengar dirinya dibentak-bentak, kontan
kemarahan yang semula ditahan-tahan Panawangan,
serentak naik ke kepalanya. Karuan saja, wajahnya gelap seketika. Bahkan sorot
matanya pun memancar-
kan kilatan kemarahan.
"Hm.... Ucapanmu terlalu sombong, Orang Tua!
Apa kau kira begitu mudah membuktikan ucapan itu"
Hmh! Dengan ucapanmu itu, sama saja sebuah peng-
hinaan bagi perguruan kami! Dan aku tidak bisa teri-ma!" desis Panawangan,
sambil menggertakkan giginya hingga menimbulkan suara bergemelutuk yang cukup
jelas. "Hm.... Sudah kuduga. Perguruan Gelang Terbang telah menjadi besar kepala
seiring kemajuannya.
Benar-benar mengagumkan. Kalau begitu, mengapa
kau tidak segera turun tangan memberi pelajaran ke-
padaku" Ingin kulihat, apakah kepandaianmu sebesar
mulutmu?" ejek Pendekar Cakar Maut yang semakin tersinggung atas sikap
Panawangan, yang dianggap tidak sopan terhadap tokoh yang tingkatannya sejajar
gurunya. "Keparat! Siapa takut kepadamu!" bentak Panawangan.
Laki-laki berwajah brewok jadi lepas kendali
karena merasa diremehkan. Begitu ucapannya selesai, langsung diterjangnya lelaki
gemuk yang mengaku sebagai Pendekar Cakar Maut itu.
"Hiaaat...!"
Dengan mengandalkan jurus-jurus tangan ko-
songnya Panawangan merangsek maju. Terdengar an-
gin berkesiutan saat pukulan dan tendangan lelaki
brewok itu meluncur membelah udara!
Whuuut! Whuuut!
"Hm.... Tidak jelek..," desis lelaki gemuk itu sambil menggeser langkahnya
menghindari serangan
Panawangan. Sampai lima jurus lamanya, serangan murid
utama Ki Pangrawit sama sekali tidak mengenai sasa-
ran, luput tanpa hasil! Memang gerakan lelaki gemuk itu masih jauh lebih cepat
ketimbang Panawangan Dan semua itu semakin menambah kemarahan di hati murid
utama Ki Pangrawit!
"Yeaaah...!"
Rasa kemarahan dan penasaran membuat Pa-
nawangan terhina. Sehingga, serangan-serangan se-
makin di perhebat Bahkan terlihat sudah mulai meng-
gunakan gelang peraknya sebagai senjata.
"Awasss...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang ke-
dua puluh, Cakar Maut mengejutkan lawannya dengan
sebuah seruan tiba-tiba. Pada saat yang sama tubuh-
nya melompat tinggi, dan langsung melepaskan se-
buah tendangan ke dada lawannya.
Karuan saja Panawangan menjadi gugup di-
buatnya. Padahal, ia tengah menahan debaran akibat
seruan mendadak lawannya. Tapi, pada saat itu pula, Pendekar Cakar Maut tiba-
tiba melepaskan tendangan
kilatnya. Akibatnya....
Bukkk! "Hukhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Panawangan
langsung terjajar hingga sejauh satu tombak. Merasa kalau lawan sengaja
mengurangi tenaganya pada saat
menendangnya, membuat Panawangan merasa terhi-
na! Maka kemarahannya pun kian berlipat. Dia merasa kalau lawan terlalu
menganggap remeh dirinya.
"Hm.... Hadapilah senjataku. Keparat Som-
bong...!" geram Panawangan sambil meloloskan gelang perak di lengannya. Sekejap
saja, di tangan Panawangan telah tergenggam dua pasang gelang perak.
"Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana ilmu
yang telah diturunkan orang tua sombong itu kepada-
mu, Orang Gagah...," ejek Cakar Maut. Wajahnya tampak mengulas senyum, sehingga
menyakitkan hati Pa-
nawangan. Ucapan Cakar Maut rupanya bukan hanya se-
kadar omong kosong: Buktinya, meskipun Panawan-
gan telah menggunakan senjata andalannya, tetap saja tidak bisa mendesak lawan.
Memang nyata sekali ka-
lau kepandaian lelaki gemuk itu masih berada di atasnya. "Hiaaah...!" "
Dalam kepenasarannya, Panawangan mulai
menggunakan gelang peraknya sungguh-sungguh. Di-
iringi sebuah bentakan nyaring, lelaki gagah itu mendadak melompat mundur jauh
kebelakang Sambil me-
lompat, tangannya mengibaskan melepaskan sepasang
gelang terbang di tangan kanannya!
Ziiing! Ziiing!
Dua buah gelang perak itu langsung mengaung
tajam merobek udara siang! Dan senjata itu terus me-laju pesat, mengancam
Pendekar Cakar Maut!
"Haiiit...!"
Panawangan tidak berhenti sampai di situ saja.
Begitu sepasang senjatanya terlontar, lelaki gagah itu ikut melesat sambil
kembali melontarkan sepasang gelang peraknya yang di tangan kiri! Sebuah
serangan hebat, dan Jelas menggambarkan kecerdikan otaknya!
"Bagus...," puji Pendekar Cakar Maut, tulus.
Pujiannya kali ini bukan merupakan ejekan.
Memang, apa yang dilakukan lelaki gagah itu benar-
benar patut dipuji.'
"Hiaaah..!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh lelaki
gemuk itu berputar bagaikan kitiran. Sepasang gelang terbang pertama luput, dan
kembali berputar ke arah tuannya. Sedangkan sambaran sepasang gelang perak
kedua, dihindari Pendekar Cakar Maut melambung ke
atas, dan berputar melewati gelang-gelang lawannya!
Panawangan rupanya tidak sekadar mengan-
dalkan senjata-senjatanya saja. Lelaki gagah itu bahkan menyertainya dengan
serangkaian serangan kilat
untuk menyusuli senjatanya, sehingga semakin mem-
buat kagum lawannya!
Whuuut! Whuuut!
"Haiiit...!"
Pendekar Cakar Maut membentak keras dalam
menyambut pukulan Panawangan. Tubuh gemuk itu
bergerak miring ke kiri, meskipun kedua kakinya baru saja menyentuh tanah. Namun
serangan Panawangan
dapat dihindarinya! Bahkan sebuah cengkeraman
mautnya nyaris merobek tenggorokan lawan!
**Gila.-.!" desis Panawangan.
Untungnya laki-laki brewok itu telan lebih dulu
melompat mundur ke belakang. Sehingga, cengkera-
man jari-jari sekeras besi itu tidak sampai mencelakai dirinya! "Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang
membuat kedua orang itu menghentikan gerakannya.
Berbarengan suara bentakan itu, berkelebat sesosok
tubuh yang langsung menjejakkan kakinya di tengah
arena pertarungan!
*** 3 "Guru...!"
"Ki Pangrawit..!"
Baik Panawangan mau pun Pendekar Cakar
Maut sama-sama berseru ketika mengenali sosok tegap yang melerai pertarungan
mereka. Panawangan sendiri sudah langsung membungkuk hormat kepada gurunya.
Sedangkan Pendekar Cakar Maut tetap berdiri
tegak dengan tatapan tajam.
Ki Pangrawit menatap Panawangan lekat-lekat
Dari kilatan matanya, jelas sekali kalau orang tua itu tidak suka atas kelakuan
murid utamanya.
"Kau lupa pesanku tadi, Panawangan...?" tegur Ki Pangrawit penuh kekecewaan.
"Ampun, Guru. Aku tidak mungkin berani me-
langgar pesan itu kalau saja dia tidak memaksa dan
menghina Guru di depanku...," dengan wajah tertun-duk, Panawangan mencoba
membela diri Jelas, ia ti-
dak mau disalahkan dalam persoalan ini.
"Hm.... Biar bagaimanapun, kau tetap salah,
Panawangan. Bukankah kau bisa melaporkannya pa-
daku" Lalu, mengapa tidak kau lakukan" Apakah kau
sudah merasa hebat, hingga ingin menyelesaikan ma-
salah ini seorang diri dengan mengandalkan kepan-
daianmu?" kata Ki Pangrawit, kembali memojokkan Panawangan.
Memang bagaimanapun, lelaki gagah itu telah
bersalah karena telah mendahului gurunya. Itu yang
tidak bisa diterima Ki Pangrawit
"Ampun, Guru. Aku mengaku salah ..." Akhirnya Panawangan tidak bisa membantah
lagi. Apa yang dikatakan gurunya sangat jelas dan terang. Dan dis-
adari kebenaran ucapan gurunya itu.
"Hhh..., sudahlah. Lain kali, pikirkanlah dulu sebelum mengambil tindakan," ujar
Ki Pangrawit di dahului desahan napas panjang. Kemudian, Ketua
Perguruan Gelang Terbang itu berpaling kepada Pen-
dekar Cakar Maut. Tubuhnya segera dibungkukkan,
memberi hormat dengan sapaan ramah serta permo-
honan maaf atas kelancangan muridnya.
"Hmh...!" dengus Pendekar Cakar Maut, kasar.
Sikapnya jelas-jelas menyiratkan kesombongan ha-
tinya. Tentu saja Ki Pangrawit agak heran melihatnya.
Setahunya, sahabatnya yang berjuluk Cakar Maut ini
sama sekali tidak memiliki perangai sombong.
"Maaf, atas semua kejadian yang tidak menye-
nangkan hatimu. Sahabat Cakar Maut. Kuharap, kau
berkenan melupakannya. Sekarang, marilah kita ke
dalam. Cukup banyak sahabat kita yang telah ber-
kumpul dan ingin segera berjumpa denganmu," ucap Ki Pangrawit tetap bersabar.
Dengan wajah penuh senyum, orang tua itu
mempersilakan Pendekar Cakar Maut untuk segera
bergabung dengan tamu-tamu lainnya.
"Hmhhh...! Jangan berpura-pura manis, Pan-
grawit! Katakanlah sejujurnya. Apa maksudmu tidak
mengirim undangan kepadaku" Apakah aku sudah se-
demikian rendah hingga tidak pantas menghadiri
ulang tahun perguruanmu?" dengus Pendekar Cakar Maut. Pendekar Cakar Maut
sepertinya tidak tergerak oleh sikap manis sahabatnya. Lelaki bertubuh gemuk
itu seperti menuntut jawaban dari Ki Pangrawit
"Tidak mengundangmu..." Mana mungkin. Sa-
habat Aku belum gila untuk memutuskan persahaba-
tan di antara kita. Undangan untukmu tentu saja telah kukirimkan. Apakah kau
benar-benar tidak meneri-manya...." Ki Pangrawit malah bertanya dengan kening
berkerut dalam. Jelas sekali kalau orang tua itu merasa terkejut mendengar
pertanyaan sahabatnya.


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Jadi, kau telah mengirimkan undangan
kepadaku, begitu?" tukas Pendekar Cakar Maut bernada sangat tidak enak didengar.
"Tentu saja...," sahut Ki Pangrawit cepat.
Orang tua itu tetap bersabar meski ucapan
Pendekar Cakar Maut seperti sengaja memancing ke-
marahannya. "Hm... kalau begitu, coba panggil orang yang
mengirimkan undangan untukku. Aku ingin melihat,
seperti apa orangnya...," kembali Pendekar Cakar Maut mendesak dengan wajah
tidak sedap dipandang.
"Itulah yang masih menjadi pikiranku, Cakar
Maut. Sebab, sampai hari ini ketiga orang muridku
yang bertugas mengantarkan undangan kepadamu be-
lum juga kembali. Apakah kau tidak menerima undan-
gan itu...?" tanya Ki Pangrawit, agak heran.
"Menurutmu sendiri, bagaimana?" sahut Pendekar Cakar Maut cepat. Sikapnya tetap
belum beru- bah. "Maaf kalau aku terpaksa mencampuri urusan ini...." Tiba-tiba terdengar
sebuah suara menimpali.
Dari dalam bangunan, melangkah seorang lelaki tinggi kurus yang mengenakan
pakaian sederhana.
"Tinju Pemecah Badai...! Rupanya kau sudah
datang ke tempat ini. Apakah kau hendak membela Ki
Pangrawit..?" seru Pendekar Cakar Maut Wajahnya terlihat agak berseri begitu
mengenali orang yang datang.
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Tinju Peme-
cah Badai itu tak lain dari Ki Janiga. Langkahnya lebar-lebar menghampiri
sahabat-sahabatnya yang ten-
gah bersitegang itu. Dia kemudian memberi hormat
kepada Pendekar Cakar Maut, dan berdiri di samping
Ki Pangrawit. "Sahabat, Cakar Maut. Apa yang dikatakan Ki
Pangrawit sama sekali tidak bohong. Memang, pada
saat aku menerima undangan yang disampaikan mela-
lui tiga orang muridnya, sempat kulihat undangan te-rakhir yang menurut mereka
akan disampaikan kepa-
damu. Nah, apakah kau pun akan menuduhku sebagai
pembohong?" kata Ki Janiga, sambil menatap tajam
wajah Pendekar Cakar Maut. Kemudian, kepalanya te-
rangguk memohon pengertian sahabatnya.
Pendekar Cakar Maut termenung ketika men-
dengar penjelasan Ki Janiga. Sebenarnya, ia pun bu-
kan tidak mempercayai keterangan Ki Pangrawit Tapi
karena merasa terhina dan tidak sudi dianggap remeh, maka la masih bersikap
keras kepala. Maka, ikut cam-purnya Ki Janiga tentu saja membuat Pendekar Cakar
Maut tidak enak hati. Sebagaimana Ki Pangrawit, Ki
Janiga pun merupakan sahabat baiknya. Dan kini, le-
laki gemuk itu terlihat mengangguk-anggukkan kepa-
lanya tanda mencoba mengerti.
"Baiklah. Tapi, mengapa ketiga orang murid
yang kau tugaskan itu tidak sampai ke tempatku"
Dan...,benarkan mereka belum kembali?" tanya Pendekar Cakar Maut, meminta
penjelasan Ki Pangrawit.
"Aku pun tidak tahu, Cakar Maut. Tapi sebaik-
nya, kita lupakan saja masalah itu, agar tidak mengganggu jalannya perayaan ini.
Mudah-mudahan saja
mereka hanya terlambat, dan bukan mengalami musi-
bah...," sahut Ki Pangrawit berharap.
"Ya.... Kalau begitu, maafkanlah tindakanku
yang mungkin telah mengganggu jalannya acaramu...,"
ucap Pendekar Cakar Maut, yang akhirnya bersedia
mengerti keterangan Ki Pangrawit.
"Ayolah...," ajak Ki Pangrawit mempersilakan kedua orang sahabatnya ke tempat
yang telah disediakan. Panawangan pun segera beranjak meninggal-
kan gerbang depan, setelah berpesan kepada para mu-
ridnya yang ditugaskan di tempat itu.
*** "Para sahabat sekalian. Aku sebagai tuan ru-
mah, mengucapkan banyak terima kasih atas kedatan-
gan kalian. Hari ini, adalah hari jadinya Perguruan Gelang Terbang yang kelima.
Seperti biasanya, kami akan memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang telah dipe-
roleh murid-murid Perguruan Gelang Terbang. Dan
apabila ada sesuatu yang kurang dalam penyambutan
maupun pelayanan, harap mohon dimaafkan," Panawangan yang bertugas mewakili Ki
Pangrawit untuk
membuka perayaan itu, menghentikan ucapannya se-
jenak. Karena saat itu, terdengar tepuk tangan para tamu menyambut ucapannya.
Bahkan sekelompok
undangan di sebelah kanan, berteriak-teriak ramai.
"Hidup Perguruan Gelang Terbang...!"
Teriakan-teriakan itu terus bergemuruh bagai
hendak meruntuhkan bangunan gedung. Panawangan
tersenyum-senyum sambil membungkukkan tubuhnya
ke segala arah. Lelaki gagah itu baru melanjutkan
ucapannya setelah suara teriakan itu lenyap.
"Seperti biasanya, dalam acara ini kami mem-
buka kesempatan kepada para undangan sekalian un-
tuk mengisi acara bebas ini. Untuk itu, yang berminat silakan naik ke atas
panggung...."
Baru saja ucapan Panawangan selesai, terlihat
sesosok tubuh bergerak melenting ke udara. Kemu-
dian, kakinya menjejak di atas panggung setelah berputaran di udara. Langsung
saja para undangan ber-
tepuk tangan riuh menyambut pertunjukan ilmu me-
ringankan tubuh yang hebat itu.
"Sahabat! Aku, Rajawali Merah hendak ikut me-
ramaikan pesta ini...."
Sambil berkata demikian, lelaki berusia kira-
kira tiga puluh tahun berpakaian serba merah itu membungkukkan tubuhnya kepada
Panawangan. Ke-
mudian, dia berputar memberi hormat kepada para
undangan di tiga penjuru.
"Terima kasih atas kesediaan sahabat...," ucap Panawangan.
Laki-laki brewok itu segera saja beranjak turun
untuk memberi keleluasaan kepada lelaki muda bertu-
buh sedang yang terlihat gesit. Dari caranya melompat ke atas panggung, memang
pantas sekali dia memakai
julukan 'Rajawali'. Sebab, gerakannya sangat gesit, tak ubahnya seekor burung
rajawali yang bermain-main di angkasa.
Namun sayang. Baru saja lelaki berjuluk Raja-
wali Merah itu bergerak mempertontonkan kebolehan-
nya, tiba-tiba terdengar kegaduhan yang berasal dari gerbang depan. Serentak
para tamu menoleh ke arah
pintu gerbang. Itu berarti pertunjukan Rajawali Merah sama sekali tidak mendapat
perhatian untuk beberapa saat lamanya.
Subadra dan Kandira yang bertugas menga-
mankan suasana, segera saja bergegas menuju ger-
bang. Beberapa saat kemudian, salah satu di anta-
ranya telah kembali bersama seorang lelaki gagah. Dilihat dari pakaiannya, dapat
ditebak kalau lelaki itu merupakan anggota pengawal barang. Kini, orang itu
menghadap Ki Pangrawit dengan diantar Kandira.
"Kami ditugaskan dua orang yang tidak dikenal
untuk menyampaikan hadiah ini kepada Ketua Pergu-
ruan Gelang Terbang. Mereka mohon maaf, karena ti-
dak bisa hadir meramaikan pesta yang diadakan Per-
guruan Gelang Terbang...."
Sambil berkata demikian, lelaki gagah berusia
sekitar empat puluh tahun itu menyerahkan sebuah
peri berukir kepada Ki Pangrawit. Sementara, Ketua
Perguruan Gelang Terbang itu segera menyambutnya
"Apakah Kisanak tidak mengenal kedua orang
itu?" tanya Ki Pangrawit, dengan sikap wajar. Memang pada peti yang cukup besar
itu tidak tertera nama
pengirimnya. "Maaf. Kami sama sekali tidak mengenal kedua
orang itu. Tapi menurut mereka, Ki Pangrawit akan segera tahu setelah membuka
peti itu. Mungkin di da-
lamnya terdapat keterangan, siapa pengirim hadiah
Itu...," jelas lelaki pengawal barang itu menerangkan.
"Hm...," Ki Pangrawit hanya bergumam dengan kening berkerut
Karena merasa penasaran. Lelaki tua itu segera
saja membukanya di depan beberapa murid dan saha-
batnya. Dan....
"Aaah. ..!?"
"Keji...!"
Berbagai seruan terdengar saling bersahutan,
saat peti itu di buka Ki Pangrawit. Wajah lelaki tua itu seketika menjadi gelap.
Sepasang tangannya mengepal memperdengarkan suara berkerotokan buku-buku
jarinya. "Biadab...!" desis Ki Pangrawit, gemetar.
Orang tua yang biasanya sabar dan bijaksana
itu, ternyata tidak sanggup menahan kemarahannya.
Memang, dia telah menyaksikan bentuk hadiah yang
dikirimkannya melalui perkumpulan pengawal barang
itu. Pendekar Cakar Maut dan Tinju Pemecah Badai
menjadi penasaran. Keduanya segera melangkah meli-
hat wajah Ki Pangrawit yang nampak dijalari kemara-
han besar itu. "Aaah..."!" seru Pendekar Cakar Maut, kaget ketika melihat isi peti.
Demikian pula halnya Ki Janiga. Pendekar ber-
tubuh tinggi kurus itu mendesis geram begitu melihat bentuk hadiah yang diterima
sahabatnya. "Ya..., Sentana, Karpala dan Ratmana inilah
yang kutugaskan mengirimkan undangan kepada sa-
habat-sahabatku. Termasuk, kau dan Cakar Maut.
Rupanya, inilah yang membuat undangan itu tidak
sampai ke tanganmu, Cakar Maut...," sahut Ki Pangrawit seraya menundukkan
wajahnya. Kemudian se-
gera ditutupnya kembali peti berukir indah itu.
Pendekar Cakar maut yang merasa bersalah da-
lam hal ini segera saja menyambar leher baju lelaki gagah yang mengantarkan
hadiah itu. Gerakannya demi-
kian cepat, sehingga tidak sempat lagi dihindari. Sehingga, tahu-tahu tubuh
lelaki gagah itu telah terangkat ke udara dalam cengkeraman Pendekar Cakar
Maut! "Katakan, siapa yang menyuruhmu mengirimkan hadiah terkutuk itu! Jawab!
Kalau tidak, kepala-mu terpaksa kuhancurkan sekarang juga!" bentak Pendekar
Cakar Maut dengan wajah merah padam.
Kepalan tangan kanannya terlihat telah siap mereng-
gut nyawa orang itu.
Tentu saja perbuatan yang tak disangka-sangka
ini membuat lelaki gagah itu pucat. Sadar, kalau ia tidak mungkin selamat dari
ancaman maut itu. Sehing-
ga, keringat dingin pun mulai merembes membasahi
pakaiannya. "Aku..., aku sungguh-sungguh tidak tahu, Ki.
Mereka sama sekali tidak mengatakannya...," kata lelaki gagah itu. Dia semakin
bertambah ciut nyalinya setelah mengenali orang yang mengancam dirinya.
"Bohong! Sekali lagi, kuberi kesempatan! Jawab sejujurnya, atau kau tunggu
mereka di akhirat!" ancam Pendekar Cakar Maut lagi, tak percaya terhadap
keterangan orang itu.
Ki Pangrawit yang melihat kejadian itu segera
saja bertindak mencegah.
"Sabarlah, sahabat. Orang ini memang tidak
bersalah. Sebagai pengawal barang, tentu saja ia tidak perlu bertanya panjang
lebar mengenai diri pelanggan-nya. Aku yakin, ia berkata benar," bujuk Ki
Pangrawit sambil menepuk bahu Pendekar Cakar Maut.
Maka, lelaki gemuk itu mengendorkan cekalan-
nya, dan melepaskannya begitu saja. Karuan saja lela-ki gagah anggota pengawal
barang itu terbanting jatuh di tanah, karena pendekar Cakar Maut melepaskannya
secara mendadak.
"Aku merasa malu sekali kepadamu, Pangrawit
Maaf kalau aku tidak bisa menahan diri setelah tahu kalau tiga buah kepala itu
adalah murid-muridmu
yang bertugas mengantarkan undangan untukku Bu-
kankah secara tidak langsung aku ikut terlibat di dalamnya?" bantah Pendekar
Cakar Maut yang kemarahannya masih juga belum lenyap.
"Kau tidak perlu merasa bersalah dalam hal ini.
Menurutku, orang yang melakukan perbuatan biadab
ini memang sengaja. Mengenai siapa mereka, aku be-
lum jelas," ujar Ki Pangrawit dengan wajah berduka.
Jelas sekali kalau ia cukup terpukul atas keja-
dian yang menimpa ketiga orang itu Bahkan wajahnya
yang semula cerah, tampak mendung kelabu. Namun,
dia masih bisa menahan kesabarannya.
"Yang jelas, dia pasti seorang tokoh sesat berhati keji. Mustahil seorang tokoh
golongan putih sampai tega melakukan kebiadaban seperti ini...," timpal Ki
Janiga. Sepertinya, Tinju Pemecah Badai pun tergerak jiwa kependekarannya
menyaksikan kejadian yang
menimpa perguruan sahabatnya.
"Hhh.... Sudah bertahun-tahun aku tidak me-
ninggalkan perguruan. Kalau pun ada tokoh-tokoh se-
sat yang mendendam kepadaku, mungkin aku sudah
tidak ingat lagi," desah Ki Pangrawit yang tidak bisa mengambil kesimpulan
mengenai si pembunuh keji
itu. Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut sama-sama
termenung, mendengar jawaban Ki Pangrawit. Me-
mang, seperti halnya orang tua itu, mereka pun jarang meninggalkan tempat
kediamannya untuk bertualang.
Sehingga untuk menduga siapa yang masih menyim-
pan dendam terhadap" Pendekar Gelang Terbang, tentu saja sangat sulit.
Sementara itu, perayaan ulang tahun Pergu-
ruan Gelang Terbang masih berlangsung semarak. Ki Pangrawit yang tidak ingin
acaranya terganggu, meminta kepada yang lain untuk tidak menceritakan ma-
salah yang baru saja terjadi Mereka pun kembali ke tempat semula, setelah
anggota pengawal barang itu
memohon pamit Ki Pangrawit yang berusaha untuk
menahan, terpaksa, melepaskan kepergian lelaki pen-
gawal barang itu. Karena, Ketua Perguruan Gelang
Terbang maklum akan kesibukan sebagai pengawal
barang "Selamat jalan, Kisanak. Kuharap, kau bersedia memberitahukan apabila si
pengirim hadiah itu datang menemuimu kembali," ucap Ki Pangrawit berbasa-basi.
Memang la sendiri yakin kalau pengirim tiga
kepala muridnya itu tidak mungkin akan menemui
pengawal barang itu lagi
*** 4 Semenjak melihat kiriman tiga kepala murid-
nya, Ki Pangrawit tidak lagi banyak bicara. Orang tua itu lebih banyak
termenung, ketimbang menyaksikan


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertunjukan-pertunjukan di atas panggung.
Semua sikap Pendekar Gelang Terbang tidak
lepas dari pengamatan dua orang sahabatnya. Ki Jani-ga dan Pendekar Cakar Maut
hanya bisa menghela na-
pas melihat kemurungan sahabatnya. Namun mereka
tidak banyak bicara. Seperti halnya Ki Pangrawit, kedua tokoh itu juga tidak
memperhatikan pertunjukan
di atas panggung. Padahal, saat itu para undangan
berteriak-teriak memberi semangat kepada jago mas-
ing-masing. Memang di atas panggung tengah terjadi
pertarungan persahabatan yang sangat seru. Perta-
rungan itu hanya untuk meramaikan perayaan berdi-
rinya Perguruan Gelang Terbang yang kelima.
Sedangkan Panawangan yang bertindak sebagai
pembawa acara, memperhatikan pertunjukan di atas
panggung dengan wajah berseri. Lelaki gagah murid
utama Ki Pangrawit itu sama sekali tidak sempat
memperhatikan sikap gurunya yang duduk di sebelah-
nya. Semua perhatiannya tercurah pada pertarungan
seru di atas panggung. Bahkan dia juga tidak tahu kalau adik seperguruannya
tertimpa musibah yang sem-
pat membuat gurunya resah.
Sesekali terlihat Panawangan mengangguk-
angguk kagum terhadap sosok berpakaian merah yang
terlihat mulai mendesak lawannya. Lelaki gagah ber-
cambang bauk itu benar-benar terpesona oleh penam-
pilan tokoh yang berjuluk Rajawali Merah itu. Meskipun sudah mengalahkan lima
orang lawan sebelum-
nya, namun kegesitan serta tenaga Rajawali Merah
sama sekali tidak kelihatan berkurang. Terbukti pada pertarungan keenam,
Rajawali Merah masih mampu
mendesak lawannya. Dari kenyataan itu saja, sudah
menandakan kelihaian Rajawali Merah.
"Hebat sekali tokoh yang berjuluk Rajawali Me-
rah itu. Guru. Rasanya kali ini pun, ia pasti akan me-menangkan pertarungan
kembali," bisik Panawangan, di sebelah kiri Ki Pangrawit.
Ketika tidak mendengar tanggapan gurunya,
Panawangan mengangkat wajahnya. Langsung dita-
tapnya Ki Pangrawit Memang, ketika berbisik tadi, matanya tak lepas dari
pertarungan sengit di atas panggung, tanpa memandang wajah gurunya.
Ki Pangrawit yang tengah termenung dengan
pikiran tak menentu, sama sekali tidak sadar kalau kening Panawangan berkerut
menyaksikan wajah mu-rungnya. Kini Panawangan sadar kalau semenjak tadi
gurunya sama sekali tidak memperhatikan pertarun-
gan di atas panggung. Tentu saja sikap Ki Pangrawit menimbulkan tanda tanya
besar di hati murid utamanya. "Guru...," panggil Panawangan hati-hati dengan
sedikit tekanan untuk mengembalikan kesadaran
orang tua itu. Karena Ki Pangrawit tetap tidak berpaling, ak-
hirnya Panawangan menyentuh lengan gurunya perla-
han. Tak lama kemudian....
"Ehhh"!"
Sentuhan Panawangan yang hanya perlahan itu
ternyata mengakibatkan Ki Pangrawit tersentak kaget Bahkan langsung melompat
bangkit dari kursinya. Karuan saja Panawangan ikut-ikutan tegang!
Sadar akan sikapnya yang tidak wajar, Ki Pan-
grawit kembali menghempaskan pantatnya di atas
kursi. Terdengar helaan napasnya yang berat dan panjang. Sehingga membuat
kerutan di kening Panawan-
gan semakin dalam.
"Kau mengejutkanku, Panawangan..."
Terdengar desisan tak senang keluar dari orang
tua itu. Dari tatapan tajam yang menyorot wajah murid utamanya, jelas kalau Ki
Pangrawit berusaha menelan kejengkelannya.
"Maaf, Guru. Aku sama sekali tidak bermaksud
demikian. Tapi, mengapa Guru kupanggil berkali-kali tidak juga mendengar" Apakah
ada sesuatu yang dipi-kirkan?" tanya Panawangan.
"Betulkah...?" tanya Ki Pangrawit, tak yakin akan keterangan muridnya.
Panawangan hanya mengangguk untuk memas-
tikan keterangannya. Kemudian, lelaki gagah itu me-
natap gurunya, untuk minta penjelasan atas sikap
aneh orang tua itu.
"Hhh... Mungkin aku hanya sedikit lelah, Pa-
nawangan. Tapi, kau tidak perlu cemas. Setelah pe-
rayaan ini selesai, tentu aku bisa banyak beristirahat,"
desah Ketua Perguruan Gelang Terbang itu.
Ki Pangrawit terpaksa berbohong, karena tidak
ingin Panawangan ikut memikirkan apa yang telah
menimpa tiga orang muridnya.
Apa lagi, hai Itu bisa-bisa mengganggu kelanca-
ran acara yang menjadi tugas Panawangan. itu sebab-
nya, Ki Pangrawit terpaksa berbohong.
Kembali Panawangan hanya menganggukkan
kepalanya, kemudian kembali berpaling ke atas pang-
gung. Saat itu, pertarungan sudah semakin memuncak
dan bertambah seru
*** "Saudara-saudara sekalian...."
Baru saja Panawangan hendak melanjutkan
acara yang bagi para tamu sangat menarik, tiba-tiba terdengar jerit kematian
susul-menyusul. Cepat-cepat lelaki gagah itu menoleh ke arah deretan tamu di
sebelah kanan panggung. Kening Panawangan tampak ber-
kerut ketika melihat para undangan yang berada di
tempat itu berlarian meninggalkan tempatnya masing-
masing. Subadra dan Kandira yang sudah tiba di tempat itu menjadi pucat selebar
wajahnya. Betapa tidak, sebab delapan orang undangan terlihat menggelepar di
atas tanah mirip seperti ayam disembelih dengan mu-
lut berbusa. "Apa yang terjadi terhadap mereka...?" tanya Subadra, sambil menangkap lengan
seorang undangan
untuk dimintai keterangannya.
Dalam ketegangannya, Subadra sampai tidak
menyadari ada tenaga dalamnya yang tersalur melalui jari-jari tangannya. Lelaki
itu baru tersadar setelah melihat wajah orang yang dicekalnya meringis
kesakitan. "Maaf..., maaf...," ucap Subadra sambil melepaskan cekalan tangannya.
'Tolong jelaskan, apa yang telah terjadi terhadap mereka?"
Seorang tamu bertubuh raksasa menghampiri
Subadra. Dari sorot matanya yang tajam, Subadra ta-
hu kalau orang itu tengah menahan kemarahan.
"Kalian orang-orang Gelang Terbang sengaja
berpura-pura tidak tahu! Mereka tewas setelah minum air yang dihidangkan murid-
murid Perguruan Gelang
Terbang! Jelas, kalian sengaja hendak membunuh to-
koh-tokoh persilatan untuk menguasai rimba persila-
tan! Jangan kira aku tidak tahu akal busuk ini!" bentak lelaki bertubuh raksasa
itu dengan wajah merah
padam. Tentu saja tuduhan itu membuat amarah Sub-
adra bangkit seketika.
"Jaga mulutmu, Kisanak! Ucapanmu itu bisa
membuat keruh suasana! Sebaiknya, teliti dulu sebe-
lum melemparkan tuduhan kotor itu kepada kami! Bi-
sa saja kau yang justru melakukannya dengan men-
gambinghitamkan Perguruan Gelang Terbang!"
Dengan wajah yang juga merah padam, Suba-
dra melempar balik tuduhan yang dilontarkan oleh lelaki bertubuh raksasa itu.
Sehingga, lelaki bertubuh raksasa itu tidak dapat lagi menahan kemarahannya!
"Keparat kau, Manusia Licik! Kau harus bayar
mahal tuduhan itu! Sambut pukulanku...!" sentak lelaki bertubuh raksasa itu
kemudian dia melompat disertai luncuran kepalanya yang sebesar kepala bayi!
Whuuut! Subadra pun tidak sudi jadi sasaran empuk be-
gitu saja! Pukulan yang mengancam dadanya segera
dielakkan dengan menarik mundur tubuhnya ke bela-
kang! Kemudian dengan kecepatan berbahaya, murid
utama Ki Pangrawit itu langsung melepaskan sebuah
tendangan kilat ke tubuh lawan!
Plakkk! "Uhhh..."!"
Bukan main terkejutnya Subadra ketika tu-
buhnya terdorong akibat tangkisan lengan kekar ber-
bulu lebat itu. Baru disadari kalau lelaki bertubuh raksasa Itu memiliki tenaga
luar yang sangat besar.
Maka, ia segera melompat mundur dan mengatur se-
rangannya kembali.
"Kupecahkan batok kepalamu. Manusia Li-
cik...!" Lelaki bertubuh raksasa itu kembali melesat dengan pukulannya yang
susul-menyusul Sambaran
angin menderu-deru menyertai lontaran kepalan yang
besar dan mengerikan.
Sebagai murid utama Ki Pangrawit, tentu saja
Subadra telah memiliki bekal yang cukup. Pertarungan pun kembali berlanjut, dan
bertambah seru! Mereka
saling terjang bagaikan dua orang musuh bebuyutan
yang ingin membunuh lawan satu sama lain. Tentu sa-
ja keadaan tempat itu menjadi kacau!
Pertarungan yang terjadi antara Subadra dan
lelaki bertubuh raksasa itu terus menjalar ke tamu-
tamu lainnya. Ucapan lelaki bertubuh raksasa itu telah mempengaruhi tamu-tamu
yang lain. Sehingga, semakin kewalahanlah para murid Perguruan Gelang Ter-
bang menahan gelombang serangan para undangan
yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh persilatan.
Suasana yang semula semarak oleh tepuk so-
rak dan keakraban, kini berubah menjadi medan per-
tempuran yang kacau dan tidak beraturan. Bahkan,
beberapa orang murid Perguruan Gelang Terbang mu-
lai jatuh mandi darah! Hal Itu wajar saja, karena yang harus dihadapi adalah
tokoh-tokoh persilatan yang telah malang melintang dan banyak pengalaman. Se-
hingga, pihak Perguruan Gelang Terbang nampak ter-
desak hebat! Sedangkan di atas panggung, Panawangan
hanya memandang bingung. Sungguh tidak pernah di-
bayangkan kalau suasana yang semula meriah, akan
menjadi medan pertarungan yang membawa maut. Ke-
nyataan yang tiba-tiba membuatnya terkesima untuk
beberapa saat lamanya.
Rajawali Merah yang saat itu masih berada di
atas panggung, berpaling ke arah lelaki gagah itu dengan pandangan curiga. Tentu
saja tatapan penuh curi-ga itu membuat Panawangan naik pitam. Namun den-
gan cepat ia berusaha menekan rasa jengkel, dan mencoba memberi pengertian
kepada Rajawali Merah yang
nampaknya sudah terpancing dengan kata-kata Long-
gawa. "Tidak perlu bersandiwara lagi, Panawangan.
Semua yang terjadi di sebelah kanan panggung telah
kudengar. Huh! Sungguh tidak kusangka kalau Pergu-
ruan Gelang Terbang ternyata berhati busuk!" bentak Rajawali Merah sambil
menudingkan jari telunjuknya
ke wajah Panawangan.
Jelas, tokoh yang tidak terikat perguruan ma-
napun itu, telah terpengaruh ucapan lelaki bertubuh raksasa tadi. Makanya, dia
langsung naik pitam, dan Panawanganlah sasarannya.
"Jangan bodoh, Kisanak. Lebih baik kita berbi-
cara baik-baik. Aku yakin, pasti ada orang yang menjadi dalangnya, dan sengaja
mengadu domba kita se-
mua. Harap kau sudi membantu kami untuk menjer-
nihkan masalah ini. Percayalah kami tidak sebusuk
persangkaanmu," bantah Panawangan.
Laki-laki brewok itu masih memberikan penger-
tian kepada tokoh muda yang berjuluk Rajawali Merah.
Tapi tentu saja semua itu bukan karena Panawangan
merasa gentar terhadapnya, la hanya tidak ingin suasana menjadi semakin keruh
apabila mereka ikut ber-
tarung. Sementara itu, Ki Pangrawit, Ki Janiga, dan Pendekar Cakar Maut berusaha
menarik mundur murid-murid Perguruan Gelang Terbang. Ketiga orang tokoh
berkepandaian tinggi itu berusaha menyelamatkan anggota Gelang Terbang, dengan
memukul mundur to-
koh-tokoh persilatan yang tengah dilanda kemarahan.
Ki Pangrawit sendiri merasa berterima kasih
terhadap kedua orang sahabatnya yang tidak terpanc-
ing. Ngeri juga orang tua itu membayangkan nasib
perguruannya, apabila Ki Janiga dan Pendekar Cakar
Maut sampai ikut memusuhi Perguruan Gelang Ter-
bang. Untunglah, kekhawatirannya tidak sampai men-
jadi kenyataan. Sehingga, Ki Pangrawit bisa menarik napas lega
Dengan kepandaiannya yang tinggi, ketiga to-
koh sakti itu berhasil menggiring murid Ki Pangrawit hingga dapat bersatu.
Dengan adanya ketiga tokoh
sakti dibarisan depan, semua tokoh persilatan yang
menggempur murid-murid Perguruan Gelang Terbang
dapat dipukul mundur.
Panawangan yang merasa bersyukur karena te-
lah dapat membujuk Rajawali Merah, segera mengga-
bungkan diri dengan pihak murid-murid Gelang Ter-
bang. Ki Pangrawit mengucap syukur melihat tokoh
muda berjuluk Rajawali Merah tidak ikut terpengaruh.
Memang, biarpun kepandaian tokoh muda itu masih
berada di bawah kepandaiannya, tapi bisa mendatang-
kan kesulitan juga apabila ikut-ikutan dengan tokoh persilatan lainnya!
Dengan dibantu tiga murid utama dan Rajawali
Merah, ketiga tokoh sakti itu mulai dapat memecah
kekuatan lawan. Sehingga, kedua belah pihak kini saling berhadapan dalam jarak
satu tombak. "Sahabat sekalian, harap hentikan pertumpa-
han darah yang tiada guna ini...!"
Dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, Ki Pangrawit berseru untuk menghentikan
pertarungan berdarah ini. Orang tua itu berdiri gagah ditemani Ki Janiga,
Pendekar Cakar Maut, Rajawali
Merah, dan murid-murid utamanya. Mereka berdiri
berjajar melindungi murid-murid Gelang Terbang, dan para undangan yang sama
sekali tidak mengerti ilmu silat Seorang lelaki bertubuh raksasa menyibak keru-
munan tokoh-tokoh persilatan, dan melangkah maju
ke depan. Di lari-kanannya ikut menyertai delapan
orang tokoh persilatan. Seolah-olah kedelapan tokoh persilatan itu hendak
melindungi lelaki bertubuh raksasa yang bertindak sebagai wakil mereka.
"Ki Pangrawit..!" geram lelaki bertubuh raksasa itu dengan wajah gelap, "Kau
tidak perlu mungkir lagi!
Telah ku saksikan sendiri kematian tokoh persilatan yang meminum air suguhan
murid-muridmu! Kalau
kau memang ingin menguasai dunia persilatan, jangan begitu caranya. Kau bisa
mengundang para tokoh untuk memperebutkan jago nomor satu di negeri ini me-


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalui sebuah pertandingan jujur. Dan bukan kelicikan seperti yang kau lakukan
ini! Tak kusangka, ternyata Pendekar Gelang Terbang memiliki hati kejam dan
licik!" "Dengar, Longgawa. Selama mengenalku, per-nahkah kau menemukan sifat
jahat dan licik padaku"
Pernahkah kau mendengar bahwa aku berniat menjadi
jago nomor satu" Telitilah baik-baik. Aku khawatir, semua ini adalah perbuatan
orang-orang golongan hitam yang hendak memecah belah kita. Sadarilah keke-
liruan ini sebelum terlambat," sahut Ki Pangrawit memberi keterangan panjang
lebar kepada orang yang
bernama Longgawa itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Longgawa dan
para tokoh lainnya saling bertukar pandang. Jelas,
ucapan Ki Pangrawit cukup mengena di hati Longgawa
dan para tokoh persilatan lainnya. Memang, selama
mereka mengenal Ki Pangrawit dalam rimba persilatan
sebagai orang yang belum pernah berbuat kesalahan.
Sehingga, Longgawa dan para tokoh lainnya menjadi
ragu. "Longgawa! Kau pun cukup mengenalku, bukan?" Ki Janiga yang dalam kalangan
persilatan berjuluk Tinju Pemecah Badai, juga ikut angkat bicara untuk melerai
perselisihan di antara kedua tokoh itu.
"Aku cukup mengenalmu, Ki...," jawab Longgawa tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan
beberapa orang tokoh persilatan ikut menganggukkan kepalanya tanda mengenal tokoh yang
berjuluk Pendekar Pemecah Badai itu.
"Nah! Katakanlah dengan jujur, bagaimana tin-
dakanku dalam menangani kejahatan yang baru kau
dengar selama ini" Apakah aku akan membela orang
yang salah walaupun ia sahabat baik, atau keluarga-
ku?" tanya Ki Janiga lagi, tenang.
"Tapi..., aku melihat sendiri apa yang menimpa delapan orang tokoh persilatan
itu. Mereka tewas setelah meneguk minuman yang disuguhkan, murid-murid
Ki Pangrawit," bantah Longgawa. Tokoh bertubuh raksasa itu memang tidak jauh
dari korban-korban kera-
cunan yang tewas seketika itu juga.
"Hm.... Kau belum menjawab pertanyaanku,
Longgawa. Masalah lain bisa diselesaikan setelahnya,"
tukas Ki Janiga, terhadap ucapan Longgawa yang se-
perti hendak membela diri.
"Baiklah. Aku memang tidak mungkin meragu-
kan jiwa pendekar mu, Ki Janiga. Dan aku pun per-
caya kalau kau akan menindak tegas setiap kejahatan meski keluargamu sendiri
yang harus ditindak. Tapi..."
"Cukup!" potong Ki Janiga tegas. "Nah! kalau sekarang aku membela Ki Pangrawit,
apakah bukan berarti aku telah melakukan tindakan yang benar" La-
lu, apa pendapatmu tentang tindakanku ini" Apakah
aku telah membela orang yang salah?"
Ki Janiga terus memojokkan Longgawa dengan
mengandalkan jawaban lelaki bertubuh raksasa itu.
Sehingga, Longgawa tidak mampu menjawab untuk
beberapa saat lamanya.
"Aku harus mendengar sendiri penjelasan Ki
Pangrawit mengenai kematian para tokoh persilatan
yang keracunan itu Sesudah itu, mungkin aku bisa
mempertimbangkannya."
Akhirnya, hanya ucapan itulah yang keluar dari
mulut Longgawa. Jelas, lelaki bertubuh raksasa itu telah menyerah.
"Bagus. Kalau begitu, mari kita bicarakan baik-baik," ajak Ki Janiga.
Kini Ki Janiga merasa lega karena pertumpahan
darah itu tidak berkelanjutan dan memakan korban
terlalu banyak. Kemudian, dibawanya Longgawa dan
delapan tokoh persilatan itu ke dalam ruang perte-
muan Perguruan Gelang Terbang.
Ki Pangrawit, Pendekar Cakar Maut, dan Raja-
wali Merah ikut menyertainya. Sedangkan Panawan-
gan, Subadra, Kandira dan murid-murid Perguruan
Gelang Terbang di tempat, menanti keputusan perun-
dingan itu. *** 5 Tidak berapa lama kemudian, Ki Pangrawit dan
para tokoh lainnya keluar dari dalam ruang perte-
muan. Wajah-wajah mereka tampak tidak setegang
semula. Sehingga, baik pihak murid-murid Perguruan
Gelang Terbang maupun tokoh persilatan sama-sama
menarik napas lega.
Ki Pangrawit melangkah menghampiri ketiga
orang murid utamanya. Jelas, Panawangan dan dua
orang lainnya sudah tidak sabar lagi ingin mendengar penyelesaian dari kejadian
itu. "Kalian tetaplah berjaga-jaga di sini, bersama murid yang lain. Ingat, jangan
buat kesulitan baru,"
pesan Ki Pangrawit Kemudian, dia berbalik meninggalkan Panawangan, Subadra,
Kandira yang hanya men-
gangguk bingung.
Longgawa juga berbuat hal yang serupa. Tokoh
bertubuh raksasa itu berpesan kepada yang lain agar tidak bertindak sendiri-
sendiri. Setelah itu, dia beranjak mengikuti langkah Ki Pangrawit bersama para
to- koh lain. Ki Pangrawit terus membawa Longgawa dan pa-
ra tokoh persilatan menuju bagian dapur.
"Nah! Kalau air yang kami suguhkan memang
benar dibubuhi racun, pastilah semua air yang dis-
ediakan di sini juga mengandung racun. Untuk itu, biarlah ku percayakan kepada
Ki Janiga," kata Ki Pangrawit, setelah tiba di bagian belakang bangunan uta-ma
perguruan. 'Terima kasih atas kepercayaan yang kau beri-
kan kepadaku, Ki Pangrawit," ucap Ki Janiga.
Si Tinju Pemecah Badai itu memang tahu ba-
nyak tentang masalah racun. Maka segera saja dipe-
riksanya tempat-tempat air teh yang telah disediakan untuk keperluan pesta
perayaan. Dengan wajah agak tegang, Ki Pangrawit dan
yang lain menanti hasil pemeriksaan Ki Janiga. Bah-
kan Longgawa merasa agak gelisah.
"Bagaimana, Ki...?"
Longgawa langsung bergerak maju ketika Ki
Janiga membalikkan tubuhnya, setelah selesai meme-
riksa. Wajah tokoh itu tampak agak gelap. Sehingga, Ki Pangrawit menjadi
berdebar karenanya.
"Kau menemukan di dalam minuman-minuman
itu, Ki Janiga?" tanya Ki Pangrawit yang mendadak hatinya berdebar melihat wajah
murung sahabatnya.
"Hhh.. " Ki Janiga menghela napas berat dan menggeleng-gelengkan kepala dengan
wajah kecewa. "Aneh! Semua minuman di sini ternyata men-
gandung racun jahat yang mematikan...."
Longgawa menghela napas lega mendengar ja-
waban Ki Janiga. Maka segera saja lelaki bertubuh
raksasa itu berpaling menatap Ki Pangrawit Senyum
kemenangan tampak menghias wajahnya.
"Nah, sekarang apa jawabanmu setelah men-
dengar hasil pemeriksaan Ki Janiga" Apakah kau ingin mungkir lagi?" terdengar
ucapan bernada sinis dari mulut Longgawa.
Ki Pangrawit sama sekali tidak menimpali uca-
pan Longgawa. Orang tua yang tubuhnya masih nam-
pak gagah itu menoleh ke kiri dan kanan, seperti tengah mencari sesuatu.
Rahasia Istana Terlarang 13 Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng Pedang Golok Yang Menggetarkan 16
^