Pencarian

Sepasang Mambang Lembah Maut 2

Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut Bagian 2


Kemudian, dia terus bergerak ke belakang tanpa mempedulikan tatapan heran yang
lainnya. Longgawa yang kini benar-benar merasa yakin
kalau Ki Pangrawit jelas bersalah, segera saja bergerak mengejar. Sepertinya,
lelaki bertubuh raksasa itu hendak mencegah Ki Pangrawit melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau, Ki Pangrawit..?" seru Longgawa sambil melesat
mengejarnya. Ki Janiga dan tokoh lainnya tentu saja heran
terhadap tingkah laku Ki Pangrawit Bergegas para to-
koh itu bergerak mengejar ke arah taman belakang
Perguruan Gelang Terbang.
Longgawa merasa geram terhadap Ki Pangrawit,
segera mengerahkan ilmu lari cepatnya. Setelah ber-
jumpalitan beberapa kali, lelaki itu mendarat empuk satu tombak di depan Ki
Pangrawit. Hal itu terjadi bukan karena ilmu lari Longgawa lebih hebat, tapi
karena Ki Pangrawit memang tidak bermaksud melarikan diri.
Itu sebabnya, Longgawa dapat menyusul orang tua itu.
"Hm... Hendak lari ke mana kau, Ki Pangrawit"
Lebih baik menyerah, sebelum tokoh-tokoh persilatan menghancurkan perguruan
ini!" ancam Longgawa.
Ki Pangrawit tertegun sejenak ketika menden-
gar ancaman itu. Sepertinya, orang tua sakti itu baru sadar kalau sikapnya telah
menimbulkan dugaan
bahwa ia hendak melarikan diri. Tampak Ki Pangrawit menahan langkahnya, lalu
menarik napas panjang.
"Longgawa! Kalau aku memang bersalah, tidak
nanti aku mengambil tindakan pengecut melarikan di-
ri. Maaf kalau sikapku telah menimbulkan dugaan je-
lek 'Terus terang aku bukan hendak melarikan diri seperti yang kau duga. Tapi,
aku ingin mencari murid-
muridku yang bertugas menyiapkan hidangan untuk
para tamu Kau lihat sendiri, di ruang tadi tidak nampak satu pun dari mereka,"
jelas Ki Pangrawit bernada tetap tenang. Karena, ia sama sekali tidak merasa
berbuat salah. "Lalu, mengapa kau pergi dengan sikap mencu-
rigakan" Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan?"
tanya Longgawa tetap waspada. Rupanya, laki-laki bertubuh raksasa itu siap untuk
menghadapi kalau-kalau orang tua itu menyerang selagi berbicara. Jelas,
kepercayaan Longgawa terhadap Pendekar Gelang Terbang
telah pudar. "Aku jelas mencurigai keadaan ini. Sebab aku
yakin, perbuatan ini pasti dilakukan orang-orang licik yang hendak mengadu domba
kita. Untuk itu, bantu-lah aku menemukan murid-muridku yang bertugas di
dapur. Carilah di sekitar taman ini. Kalau tidak, biarlah aku rela menebus
kesalahan yang tidak pernah kulakukan itu," ujar Ki Pangrawit setengah meminta.
Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut, dan para to-
koh lainnya yang baru tiba di tempat itu segera saja menyebar begitu mendengar
ucapan Ki Pangrawit Jelas, mereka masih menaruh sedikit kepercayaan kepa-
da orang tua itu.
Longgawa sendiri segera beranjak meninggal-
kan Ki Pangrawit, setelah melihat tokoh-tokoh lain telah memenuhi keinginan
orang tua itu. Meski dengan
separuh hati, lelaki bertubuh raksasa itu ikut juga mencari murid-murid yang
dimaksudkan Ki Pangrawit.
Beberapa saat setelah para tokoh itu berpencar,
terdengar siulan nyaring yang panjang. Sebentar saja, para tokoh persilatan itu
telah berlarian mendatangi asal siulan.
"Ada apa. Rajawali Merah...?" Ki Pangrawit dan Longgawa bertanya bersamaan.
Mereka menatap Rajawali Merah, seperti meminta penjelasan arti siulan itu.
"Lihatlah sendiri di semak-semak itu...," sahut Rajawali Merah sambil menuding
semak-semak yang
berada satu tombak di sebelah kanannya.
Tanpa diperintah dua kali, Ki Pangrawit dan
Longgawa seperti berlomba menyibakkan semak pepo-
honan itu. Dan apa yang ada dibalik semak-semak itu, membuat mata mereka
terbelalak! "Biadab...!" desis Ki Pangrawit ketika melihat tidak kurang dari sepuluh mayat
muridnya yang ditu-
gaskan di bagian dapur. Tentu saja kenyataan itu
membuat Ki Pangrawit geram.
Longgawa sendiri terdiam tanpa mampu berka-
ta-kata. Sebab dengan bukti mayat-mayat petugas da-
pur itu, tentu saja membuatnya terpaksa harus minta maaf, dan menarik tuduhannya
terhadap Ketua Perguruan Gelang Terbang.
"Dugaanku ternyata keliru, Ki Pangrawit. Harap kau sudi memaafkan kesalahanku,"
desah Longgawa, penuh penyesalan.
"Tidak perlu meminta maaf padaku, Longgawa.
Tindakanmu tidak seluruhnya salah. Hanya sa-
ja, lain kali kita harus lebih berhati-hati dalam menghadapi suatu masalah,"
sahut Ki Pangrawit, sehingga membuat Longgawa tersenyum pahit
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang"
Sedangkan kematian murid-murid Ki Pangrawit dan
tokoh-tokoh persilatan lain masih belum jelas." Rajawali Merah yang merasa
penasaran atas kejadian itu
mengutarakan rasa penasarannya.
"Hm.... Karena masalah ini jelas merupakan
masalah perguruanku, biarlah aku yang akan menye-
lidikinya. Longgawa, jelaskanlah masalah ini kepada yang lain. Dan, bawa mereka
kembali ketempatnya
masing-masing," ujar Ki Pangrawit kepada para tokoh persilatan yang berkumpul di
tempat itu. Terutama sekali, kepada Longgawa. Karena lelaki raksasa itu memang
merupakan wakil dari tokoh-tokoh persilatan
yang diundangnya.
"Kami akan menetap di tempatmu untuk se-
mentara. Tentu saja, kalau kau tidak keberatan." Ki Janiga bersama Pendekar
Cakar Maut dan Rajawali
Merah rupanya bersepakat membantu Ki Pangrawit
untuk menyingkap teka-teki ini.
Longgawa dan delapan orang tokoh persilatan
lain segera berpamitan kepada keempat orang tokoh
itu. Kemudian, mereka berlalu untuk memenuhi per-
mintaan Ki Pangrawit.
*** Seorang pemuda tampan berjubah putih tam-
pak tengah melangkah ringan menyibak rerumputan
hijau. Rambutnya yang terurai dengan ikat kepala putih, tampak melambai tertiup
angin yang sesekali ber-hembus keras. Bibirnya selalu membentuk senyum
ramah, membuat orang merasa suka. Meskipun, baru
sekali bertemu dengannya. Dia memang pemuda yang
gagah dan menarik.
Di sebelah kiri pemuda tampan itu, seorang ga-
dis berpakaian serba hijau melangkah mengiringinya.
Wajahnya tampak demikian jelita, dan penuh daya pi-
kat Menatap wajah gadis itu, mengingatkan orang
akan dongeng kecantikan bidadari.
Sebatang pedang yang tergantung di pinggang
kirinya, menandakan kalau gadis itu adalah tokoh
rimba persilatan. Tentu saja dugaan itu tidak salah, karena sepasang anak muda
itu tak lain Pendekar Na-ga Putih dan Kenanga yang selalu bertualang untuk
menumpas keangkaramurkaan.
Panji dan Kenanga yang melangkah dengan ta-
tapan lurus ke depan, sama-sama seperti menyipitkan mata ketika melihat kepulan
debu tebal di depannya.
"Lebih baik kita menepi, Kenanga. Sepertinya di depan sana ada serombongan orang
berkuda yang akan melintasi jalan ini," ujar Panji yang segera menggenggam tangan dara jelita
itu. Kemudian Kenanga dibawanya ke tepi.
Kenanga sama sekali tidak membantah. Dara
jelita itu menurut saja ketika Panji membawanya ke
tepi. Tidak berapa lama kemudian, dari jarak sekitar sepuluh tombak tampak
serombongan orang berkuda
tengah menuju ke arah mereka. Mereka segera me-
nundukkan kepala, untuk menghindari debu yang bisa
mengotori wajah mereka.
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang di-
iringi suara gemuruh kaki kuda. Sebentar kemudian,
rombongan itu pun telah melewati sepasang pendekar
ini. Tapi sebelum debu-debu yang mengepul itu le-
nyap tersaput angin, tiba-tiba rombongan penunggang kuda yang berada di belakang
segera menghentikan la-ri kudanya Tentu saja hal itu membuat Panji dan ke-
kasihnya menoleh, hendak mengetahui apa yang
membuat rombongan itu berhenti.
Kenanga mengerutkan keningnya ketika meli-
hat rombongan itu berbalik kembali ke arah mereka.
Karena sempat melirik wajah-wajah mereka ketika me-
lintas di sampingnya, kecurigaan dara jelita itu pun timbul. Apalagi wajah-wajah
kasar yang sempat dili-hatnya meski sekilas itu menunjukkan kalau mereka
bukan orang baik-baik.
"Mereka kembali, Kakang...," kata Kenanga, seolah-olah hendak meminta pendapat
kekasihnya. "Mmm.... Mungkin mereka hendak menanyakan
sesuatu kepada kita," sahut Panji yang tetap bersikap tenang, meski tahu akan
perasaan hati kekasihnya
"Menurutku, bukan itu yang mereka kehendaki.
Menilik dari wajahnya, jelas mereka bukan orang baik-baik. Mungkin sebangsa
perampok yang tengah men-
cari mangsa," bantah Kenanga, mengungkapkan du-gaannya.
"Kalaupun begitu, apa yang dapat mereka ram-
pas dari kita" Rasanya, salah alamat kalau kita hendak dirampok," sahut Panji
sambil tersenyum.
Terus-terang ada keharuan yang sempat me-
nyelinap di relung hati Pendekar Naga Putih. Jelas, ucapannya itu
mengingatkannya kalau Kenanga sama
sekali tidak memakai perhiasan, sebagaimana wanita-
wanita umumnya.
Kenanga yang sempat menangkap semua itu
dari tatap mata kekasihnya, segera saja tersenyum.
Kemudian, jemarinya menggenggam hangat jemari pe-
muda itu. "Kau tidak perlu memikirkan hal seperti itu.
Kakang. Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan
keadaan ini. Selain itu, aku pun tidak pernah menuntut yang bukan-bukan darimu.
Jadi hal itu jangan
sampai mengganggu pikiranmu," hibur Kenanga sambil meremas jemari pemuda itu
sebagai ungkapan rasa bahagianya.
Panji tidak sempat lagi menimpali ucapan ke-
kasihnya. Karena, saat itu rombongan penunggang
kuda telah berada satu tombak di hadapan mereka.
Tiga orang dari penunggang kuda itu terlihat
melompat turun dari atas punggung kuda. Sikap me-
reka tampak angkuh dengan wajah dibuat sebengis
mungkin. Jelas, rombongan penunggang kuda itu se-
perti sengaja mencari gara-gara.
"Adakah yang bisa kami bantu, Kisa-
nak...?"tanya Panji, seraya menganggukkan kepalanya.
Sedangkan Kenanga sudah menundukkan ke-
pala dalam-dalam. Memang ia tidak ingin kilatan matanya yang memancarkan
kemarahan sampai terlihat
oleh rombongan itu. Karena akan menimbulkan keri-
butan di antara mereka.
"Hm....."
Ketiga orang lelaki kasar yang sepertinya pim-
pinan rombongan itu hanya bergumam, tanpa mempe-
dulikan pertanyaan Panji. Mereka kemudian mengitari pasangan pendekar itu dengan
mata tak lepas dari sosok berpakaian hijau itu.
"Hm.... Kau benar-benar bersedia membantu
kami, Kisanak...?"
Tiba-tiba salah satu dari ketiga orang itu meng-
hampiri Panji. Sepertinya, ada maksud tersembunyi
dalam ucapannya.
Panji tersenyum menatap wajah penuh cam-
bang bauk itu. "Kalau aku bisa, aku ikhlas membantu kalian.
Katakanlah. Mudah-mudahan saja aku dapat mem-
bantu:..," jawab Panji, tenang. Sebuah jawaban yang cerdik, dan sukar dicari
kelemahannya. Lelaki bercambang bauk dengan sepasang mata
agak redup itu terdiam beberapa saat Setelah beberapa kali melirik ke arah
Kenanga, ia kembali melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, tolong bantu kami. Tinggalkan-
lah gadis ini. Untuk itu, aku akan sangat berterima kasih sekali."
"Aaah... Kalau itu, tentu saja aku tidak dapat membantu. Mintalah yang lain.
Maka, aku berjanji
akan membantu, itu pun kalau bisa...," sahut Panji tanpa rasa terkejut sedikit
pun. memang, sejak semula pemuda itu telah menduganya.
"Hm.... Ternyata kau pendusta, Anak Muda!
Tadi kau katakan akan menolong kami. Tapi nya-
tanya...!" hardik lelaki bermata sayu itu sambil menud-
ing wajah Pendekar Naga Putih. Terlihat ancaman
maut membayang di wajahnya.
"Hm.... kau salah, Kisanak. Tadi sudah kukata-
kan, kalau aku bisa. Tapi yang ini..., tentu saja tidak bisa. Jadi maaf kalau
aku telah mengecewakan kalian...," sahut Panji tanpa mempedulikan kemarahan
lelaki brewok itu.
"Aaah! Mengapa mesti bertele-tele. Hajar saja, habis perkara!" bentak yang lain
tak sabar. Begitu ucapannya selesai, orang berhidung be-
sar itu langsung mencabut sebuah golok panjangnya.
Kemudian, diayunkannya golok itu ke leher Panji!
Whuuut! Ayunan golok panjang itu meluncur deras di-
iringi suara mengaung tajam! Tapi kecepatan dan kekuatan serangan itu sama
sekali tidak membuat Panji gugup. Bahkan gerakan orang itu terlihat masih
terlalu lambat bagi Pendekar Naga Putih. Maka tanpa kesulitan sedikit pun,
pemuda itu sudah menggeser tubuh-
nya, sehingga luput dari incaran mata golok lawan!
"Setaan..!"
Lelaki berhidung besar itu tentu saja semakin
bertambah penasaran. Golok di tangannya berputar
cepat, kemudian dia kembali meluruk tajam mengan-
cam pemuda berjubah putih itu.
Untuk kali ini, Panji tidak berusaha mengelak
Sudah dapat diukurnya kekuatan tenaga lawan, mela-
lui sambaran pertama tadi. Maka pada serangan kali
ini, Panji hanya berdiri tegak menanti datangnya mata golok yang hendak
memenggal lehernya!
Beuuut! Trakkk!


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh..."!"
Lelaki berhidung besar itu memekik kesakitan!
Pedang di tangannya terpental dalam keadaan patah!
Sedang ia sendiri terlempar hingga satu setengah tombak jauhnya! Bahkan tangan
kanannya yang meng-
genggam golok, terlihat bengkak dan berwarna hijau
kebiruan. "Iblisss...!"
Dua orang pimpinan rombongan orang berkuda
itu mendesis dengan wajah pucat! Mereka sempat me-
nyaksikan begitu mata golok menghantam leher, terlihat adanya lapisan kabut
bersinar putih keperakan
yang muncul tiba-tiba di seluruh tubuh pemuda Itu.
kemudian kabut itu lenyap kembali setelah lawannya
terpental! Itulah yang membuat mereka gentar!
"Hm...."
Panji yang sepertinya Ingin membuat kapok pa-
ra penunggang kuda itu, kembali mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Kemudian bertiuplah
angin dingin yang menusuk tulang.
"Brrr...."
Dua orang kepala rombongan yang tengah me-
narik bangkit kawannya, kontan menggigil kedinginan dengan gigi bergemelutuk.
Jelas mereka yang bertiga berada paling depan tentu saja terpengaruh hawa dingin
yang diciptakan Pendekar Naga Putih.
"Mari kita pergi...," ajak lelaki brewok bermata sayu dengan suara gemetar
karena kedinginan.
Sedangkan para anggota lainnya yang masih
berada di atas kuda telah lebih dulu dilarikan kuda-kuda mereka, pada saat hawa
dingin itu muncul.
Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian
rombongan itu dengan tarikan napas lega.
"Hm.... Untunglah mereka dapat kuusir hanya
dengan gertakan saja. Padahal, kalau sampai terjadi pertarungan belum tentu aku
dapat menundukkan
mereka dalam waktu singkat..," desah Panji.
Kenanga hanya menghela napas panjang men-
dengar ucapan Panji. Gadis itu bukan tidak tahu, apa yang dilakukan kekasihnya.
Memang, Pendekar Naga
Putih mengusir rombongan penunggang kuda itu den-
gan mempergunakan kesaktiannya tanpa harus ber-
tempur lama. Masalahnya kalau sampai pertempuran
terjadi, bukan tidak mungkin akan banyak jatuh kor-
ban dari rombongan yang berjumlah 10 orang itu, termakan pedangnya. Kenanga
jelas mengerti maksud
pemuda itu. Panji yang melihat dara jelita itu tercenung, se-
gera saja mengulurkan tangannya. Langsung direng-
kuhnya bahu Kenanga. Kemudian, mereka melangkah
tanpa melanjutkan perjalanan.
"Apakah perjalanan menuju Perguruan Gelang
Terbang jadi dilanjutkan?" tanya Panji.
"Kurasa, kalau tidak datang rasanya tidak
enak, Kakang," sahut Kenanga.
"Tapi kita sudah terlambat, Kenanga." "Lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali. Aku yakin, Ki Pangrawit mau memaklumi kita. Jelaskan saja per-soalannya,
kenapa kita terlambat," tegas Kenanga.
Kemudian sepasang pendekar itu melangkah
tenang menuju Perguruan Gelang Terbang
*** 6 Cahaya merah jelaga yang menghias langit se-
belah Barat, tampak telah mulai pudar. Sebentar ke-
mudian, senja pun menunjukkan kekuasaan. Kegela-
pan tenis merambat, menyelimuti permukaan bumi.
Dan kini, malam pun mulai datang.
Malam itu, di dalam ruang pertemuan Pergu-
ruan Gelang Terbang, tampak Ki Pangrawit mengum-
pulkan ketiga orang murid utamanya. Demikian pula
ketiga tokoh persilatan yang merupakan sahabat dan
juga tamunya. Tokoh-tokoh itu berkumpul untuk
membahas kejadian yang telah menimpa Perguruan
Gelang Terbang baru-baru ini.
"Apakah kau sudah mempunyai dugaan, Ki..?"
tanya Rajawali Merah. Dia memang menyumbangkan
tenaga dan pikirannya untuk membantu Perguruan
Gelang Terbang yang tengah dilanda musibah.
"Hhh.... Sayang sekali, aku belum bisa mene-
mukan tokoh yang telah sekeji itu. Dari sekian banyak tokoh sesat yang menjadi
musuhku, tak seorang pun
yang menggunakan racun dalam setiap kejahatannya.
Jadi, bisa dikatakan kalau aku telah gagal menemu-
kan si pembuat onar itu...," ujar Ki Pangrawit dengan wajah kecewa.
Sepasang mata Ketua Perguruan Gelang Ter-
bang tampak menatap ketiga orang sahabatnya penuh
harap. Jelas, Ki Pangrawit mengharapkan agar ketiga orang sahabatnya membantu
untuk menemukan si
pembuat onar. "Bagaimana denganmu, Ki Janiga" Apakah pe-
nyelidikan mu membawa hasil..?"
Pendekar Cakar Maut menoleh ke arah Tinju
Pemecah Badai yang tampak terangguk-angguk den-
gan kening berkerut Sepertinya, ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya.
"Hhh...."
Ki Janiga menghela napas sebelum menjawab
pertanyaan Pendekar Cakar Maut.
"Ada suatu yang aneh kutemukan dalam penye-
lidikanku beberapa hari ini," lanjut Ki Janiga.
Semenjak hari kejadian, Ki Janiga telah me-
ninggalkan Perguruan Gelang Terbang untuk melaku-
kan penyelidikan. Dan baru siang tadi kembali. Se-
dangkan Pendekar Cakar Maut dan Rajawali Merah,
baru kembali sore tadi Itulah sebabnya, mengapa me-
reka baru berkumpul malam ini.
"Keanehan seperti apa yang kau maksudkan, Ki
Janiga" Tolong kau jelaskan secara rinci, agar kami tidak bertanya-tanya," desak
Ki Pangrawit, tak sabar.
"Benar, Ki. Atau kau memang sengaja hendak
membuat teka-teki agar kami menduga-duga?" timpal Rajawali Merah yang sama tidak
sabarnya dengan Ki
Pangrawit. Sedangkan Pendekar Cakar Maut dan tiga
murid utama Ki Pangrawit terdiam menunggu jawaban
Ki Janiga. "Pertama-tama, aku mendatangi perkumpulan
pengawal barang yang mengantarkan bingkisan tiga
kepala murid Ki Pangrawit Terus terang, aku merasa
aneh dengan keterangan tentang ciri-ciri pelanggan
yang menyuruh mereka mengantarkan peti itu. Maka,
aku harus berkeliling untuk mencari orang yang mirip dengan yang digambarkan
pengawal barang itu.
Sayang, aku gagal menemukannya. Anehnya, aku ti-
dak bisa percaya kalau orang itu yang telah mengecoh kita. Rasanya tidak
mungkin! Kalian tahu, siapa orang yang dimaksudkan kelompok pengawal barang
itu...?" tanya Ki Janiga mengakhiri ceritanya.
Tentu saja, yang lain langsung menggelengkan
kepala. Mungkin enggan untuk berpikir, atau memang
benar-benar tidak tahu, yang jelas, jawaban itu membuat Ki Janiga tersenyum, dan
siap melanjutkan ceritanya. 'Tunggu dulu...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Cakar Maut mengang-
kat tangannya. Serentak semua yang berada di ruan-
gan itu menoleh ke arah lelaki gemuk itu, termasuk
juga Ki Janiga.
"Kau bisa menduganya, Cakar Maut..?" desak Ki Janiga meminta ketegasan tokoh
itu. Pendekar Cakar Maut mengangguk pasti.
"Kalau begitu, mengapa tidak segera kau se-
butkan?" desak Ki Pangrawit.
Ki Pangrawit menjadi semakin tak sabar ketika
melihat Pendekar Cakar maut seperti sengaja mem-
buat penasaran. Bagaikan tidak merasa bersalah, lela-ki gemuk itu mengusap-usap
kening seolah tengah
berpikir keras.
"Hm...! Kalau tidak salah, ciri-ciri yang kau se-butkan tadi mirip pimpinan
gerombolan perampok. Se-
benarnya, mereka bertiga. Dan mereka dijuluki sebagai Tiga Brewok Hutan Larang.
Apakah dugaanku salah,
Ki Janiga...?" tebak Pendekar Cakar Maut sambil men-gembangkan senyum.
"Dugaanmu tepat. Cakar Maut. Lalu, dapatkah
kau lihat keanehannya, apabila dihubungkan dengan
peristiwa yang menimpa Perguruan Gelang Terbang?"
Ki Janiga melontarkan pertanyaan itu. Seolah-olah dia mengetahui sampai di mana
kecerdikan Pendekar Cakar Maut.
'Tentu saja aku tahu, Ki Janiga. Gerombolan
perampok itu tidak seberapa kuat. Bahkan kepandaian tiga orang pemimpinnya masih
belum mampu untuk
melawanku. Jadi tidak mungkin rasanya kalau gerom-
bolan perampok itu berani berbuat macam-macam
terhadap Perguruan Gelang Terbang. Jadi, ini pasti ada orang di belakang layar
yang sengaja menggunakan
mereka untuk membingungkan kita," jelas Pendekar
Cakar Maut. Kening pendekar bertubuh gemuk itu menjadi
berkerut ketika teringat akan tokoh tersembunyi yang sengaja hendak mengadu
domba tokoh-tokoh golongan
putih. "Tepat! Ternyata kau masih dapat berpikir jer-nih. Cakar Maut Itulah yang
tengah ku pikirkan Tokoh tersembunyi, yang sengaja menggunakan Tiga Brewok
Hutan Larang untuk mengecoh kita. Sayang, aku be-
lum bisa menduga siapa adanya tokoh licik itu...," desah Ki Janiga menggelengkan
kepala. "Mengapa tidak kita cari saja gerombolan pe-
rampok itu" Dari mereka, kita bisa minta keterangan.
Bukankah hal itu tidak terlalu sulit?" usul Rajawali Merah yang semenjak tadi
hanya mendengarkan saja.
"Ah! Kau ini bagaimana, Rajawali Merah. Seper-
tinya yang kukatakan tadi, perampok-perampok itu telah kabur entah ke mana.
Mungkin setelah persoalan
ini selesai, mereka baru kembali. Tapi kita tidak boleh menyerah, dan harus
mampu membongkar teka-teki
manusia licik itu" tegas Ki Janiga seraya mengepalkan tinjunya erat-erat.
Sehingga, yang lainnya ikut terpengaruh oleh ketinggian semangat Ki Janiga.
"Hua ha ha...!"
Baru saja ucapan Ki Janiga selesai, tiba-tiba
terdengar gaung suara yang mengandung kekuatan
hebat, dan mendirikan bulu roma. Karuan saja ketu-
juh orang tokoh itu serentak bangkit, dan berlari keluar ruangan.
*** Ki Pangrawit yang tiba di luar lebih dahulu,
memandang berkeliling. Lelaki berusia enam puluh ta-
hun namun masih tampak gagah itu terkejut melihat
obor-obor di kedua sudut bangunan perguruan tam-
pak padam. Tidak terlihatnya penjaga penjaga di atas pintu gerbang, membuat Ki
Pangrawit segera menyadari kalau murid-muridnya mungkin telah tewas!
Ki Janiga dan yang lain berdiri berjajar di depan
pintu ruang pertemuan. Para tokoh itu sama-sama
terkejut saat melihat obor yang menerangi gerbang depan telah padam seluruhnya.
"Hm.... Ada musuh yang telah menyusup ke da-
lam bangunan ini," bisik Ki Janiga di dekat telinga Ki Pangrawit Orang tua itu
hanya mengangguk
sambil tetap mengedarkan pandangan ke kegelapan
malam. Panawangan yang sempat mendengar bisikan
Ki Janiga, tentu saja menjadi khawatir terhadap nasib saudara-saudaranya yang
tengah berjaga di pos pintu gerbang. Rasa kekhawatiran itu membuatnya segera
melesat menuju gerbang.
Melihat perbuatan muridnya, tentu saja Ki Pan-
grawit menjadi terkejut bukan main! Cepat tubuhnya
ikut melesat sambil berseru mencegah!
"Panawangan, tahan...!"
Kekhawatiran Ki Pangrawit rupanya bukan
hanya dugaan kosong. Terbukti pada saat tubuh Pa-
nawangan melesat ke gerbang depan yang berjarak ki-
ra-kira sepuluh tombak dari mereka, terlihat dua sosok bayangan putih melayang
bagaikan seekor elang
hendak menyambar anak ayam!
"Awaaas...!"
Ki Janiga dan para tokoh lain yang melihat dua
kilatan mirip cahaya putih itu segera saja berseru
memperingatkan! Mereka juga tidak tinggal diam.
Sambil berseru, tubuh para tokoh itu segera melesat
disertai pengerahan seluruh ilmu lari cepat.
Ki Pangrawit yang merasakan adanya bahaya
mengancam muridnya, segera saja mendorong tubuh
Panawangan hingga tersungkur mencium tanah! Se-
dangkan la sendiri segera menjatuhkan dirinya, sambil melepaskan tendangan ke
arah salah satu dari kedua
sosok bayangan putih yang mengancamnya!
Namun, sosok bayangan putih yang tengah
mengulurkan cengkeramannya itu sama sekali tidak
menarik pulang serangannya. Dengan gerakan cepat
dan sukar ditangkap mata, sosok bayangan putih itu
memutar pergelangan lengannya, dan langsung me-
nangkis tendangan Ki Pangrawit!
Plakkk! "Aaakh...!"
Terdengar jerit tertahan yang dibarengi ledakan
bagai sambaran petir! Sosok bayangan putih itu me-
lenting kembali ke udara, karena pada saat itu juga Ki Janiga dan yang lain
telah datang menyelamatkan Ki
Pangrawit Kalau tidak, pastilah Ketua Perguruan Ge-
lang Terbang yang terdorong dalam keadaan rebah ter-lentang itu, tidak akan
terlepas dari susulan cengkeraman maut sosok bayangan putih tadi.
"Uhhh.... Gila! Apa sebenarnya yang telah me-
nyerangku itu" Tenaga dan kecepatannya benar-benar
mengiriskan. Rasanya, aku belum pernah menyaksi-
kannya! Untunglah kalian cepat tiba." desah Ki Pangrawit Ketua Perguruan Gelang
Terbang itu kemudian bergerak bangkit dengan agak terpincang. Jelas, tangkisan
telapak tangan sosok bayangan putih tadi telah membuatnya menderita. Pergelangan
kaki kanannya terasa nyeri dan agak membengkak.


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan meremehkan kepandaian sendiri, Ki.
Meskipun aku menduga begitu, tapi kau tidak dalam
keadaan siap. Lain halnya dengan sosok bayangan itu, yang memang telah
menyiapkan serangan sebelumnya.
Jadi, wajar saja kalau kau menderita kerugian kare-
nanya," hibur Ki Janiga sambil menepuk bahu sahabatnya perlahan.
Panawangan sendiri sudah bergerak bangkit,
dan segera meminta maaf atas kecerobohannya. Kini,
ketujuh tokoh itu berkumpul di halaman depan ban-
gunan utama, menanti kedua sosok bayangan putih
yang lenyap entah ke mana.
"Hua ha ha.... Dengarlah, hai tokoh-tokoh pen-
dekar berhati sombong! Mulai hari ini, kalian akan ku bantai satu persatu.
Seperti halnya, ketiga orang murid Perguruan Gelang Terbang, dan juga para tokoh
yang tewas keracunan. Hanya saja, kalian kuberi kesempa-
tan untuk membela diri. Nah, bersiaplah. Akan segera ku mulai...."
Suara tanpa wujud itu terdengar jelas, bagai
muncul dari segala sudut bangunan Perguruan Gelang
Terbang Tentu saja hal itu membuat Ki Pangrawit dan yang lain menjadi terkejut
setengah mati. "Keparat..! Pengecut itu sengaja menggunakan
'Ilmu Memecah Suara'. Dengan begitu, kita tidak akan dapat menduga di mana
iblis-iblis itu bersembunyi.
Benar-benar licik..!" desis Ki Pangrawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu menjadi
terkejut ketika mengenali ilmu yang dipergunakan sosok bayangan putih yang entah
berada di mana. Diam-
diam, timbul kekhawatiran dalam hatinya, karena dari ilmu itu bisa ditebak kalau
lawan memiliki kepandaian sangat tinggi. Semua itu terbukti dengan 'Ilmu Pemecah
Suara' yang setahunya merupakan ilmu langka
dan sulit dipelajari.
"Gila...! Siapa sebenarnya orang gila itu" Lalu apa pula alasannya sehingga kita
dimusuhi...?" Ki Janiga yang juga mengetahui tentang 'Ilmu Pemecah Su-
ara', tentu saja tidak kalah terkejutnya dengan Ki Pangrawit. "Hai, Manusia-
manusia Pengecut! Mengapa kalian tidak berani menampakkan diri"! Kalau memang
hendak bertarung, keluarlah! Kami tidak sudi berha-
dapan dengan manusia pengecut'" Pendekar Cakar Maut yang merasa marah, segera
saja berteriak me-nantang.
Lelaki gemuk itu menatap berkeliling sambil
bertolak pinggang. Dengan tatapan matanya yang ta-
jam, dicobanya mencari tempat musuh-musuhnya ber-
sembunyi. "Heee...!"
"Aia...!"
Mendadak, baru saja ucapan Pendekar Cakar
Maut selesai, terdengar pekikan-pekikan parau uang
saling susul. Karena pekikan-pekikan nyaring itu juga menggunakan 'Ilmu Pemecah
Suara', tentu saja ketujuh orang tokoh ini menjadi kebingungan. Mereka ti-
dak bisa menduga secara pasti, di mana lawan memu-
lai serangan. Ki Pangrawit yang tidak bergerak dari tempat-
nya, menatap tajam menggunakan tenaga batinnya.
Dengan begitu, meski tidak terlalu jelas, arah serangan lawan dapat
dirasakannya. "Awaaas...!"
Ki Pangrawit cepat berseru mengingatkan, keti-
ka menangkap dua buah sinar putih melesat ke arah
mereka dari sebelah kanan! Serentak para tokoh persilatan itu berpencaran ke
segala arah! Namun, kesaktian dua sosok bayangan putih
itu benar-benar mengerikan! Bagaikan dua ekor bu-
rung besar tubuh keduanya berputar tanpa menginjak
tanah, kemudian terus melesat berbarengan ke arah
Panawangan! Panawangan sadar kalau dirinya jadi sasaran
pertama dua sosok bayangan putih itu. Maka, segera
saja gelang peraknya yang dua pasang, segera dilo-
loskan dan langsung dilontarkan sekuat tenaga begitu kedua sosok itu datang
mendekat! Ziiing! Ziiing!
Dua pasang gelang perak itu langsung melun-
cur diiringi suara mengaung tajam!
"Bagus...," terdengar pujian keluar dari salah satu bayangan putih itu.
Sayangnya pujian itu bukan berarti mereka ti-
dak sanggup mematahkan serangan gelang perak Pa-
nawangan. Memang, dengan ilmu meringankan tubuh
yang telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit bagi sosok bayangan putih
itu untuk menghindar dari gelang perak Panawangan.
Apa yang dilakukan sepasang bayangan putih
itu benar-benar membuat Panawangan dan yang lain
ternganga! Betapa tidak" Untuk kesekian kalinya, kedua sosok tubuh itu kembali
melenting tanpa menyen-
tuh tanah lagi. Benar-benar sebuah ilmu meringankan tubuh yang sangat langka,
dan jarang ada duanya di
dunia. Meskipun serangan gelang peraknya dapat di-
hindari lawan dengan cara melenting ke atas, namun
Panawangan tidak putus asa. Gelang perak yang kini
tinggal sepasang di tangannya, kembali dilontarkan sesaat, setelah serangan
pertamanya gagal!
"Hiaaah...!"
Kali ini sepasang gelang perak Panawangan
hanya mengancam salah satu dari kedua sosok bayan-
gan putih itu. Sedang dua pasang gelang yang pertama dilepaskannya, telah
berputar balik kembali kepada
tuannya. Sayang, serangan yang kedua itu pun terpaksa
harus gagal! Ternyata, sosok bayangan putih yang te-rancam sepasang gelang perak
Panawangan cepat
mengulurkan tangan, tanpa khawatir jari-jarinya terpapas! Lagi-lagi, Panawangan
harus menerima kenya-
taan pahit! Begitu telapak tangan sosok bayangan putih itu terulur, sepasang
gelang terbang Panawangan berhenti dan melayang di udara. Seolah-olah kedua
gelang perak itu seperti kupu-kupu yang jinak Tentu saja kenyataan itu cukup
mengejutkan! Dan dalam sekejap
mata, sosok bayangan putih melontar balik gelang terbang Panawangan dengan
kecepatan berlipat ganda!
Wuuung! Wuuung!
Diiringi sebuah gaung tajam, dua buah gelang
terbang itu meluncur tanpa terlihat jelas bentuknya.
Yang terlihat hanyalah dua sinar perak yang bergerak bagai kilat, mengancam
leher dan dada Panawangan!
Hebatnya, sepasang gelang terbang itu tiba lebih dulu daripada dua pasang gelang
terbang yang tengah meluncur balik ke arah tuanya. Dan...
"Arrrgh...!"
Panawangan memekik begitu sepasang gelang
perak miliknya amblas hingga hampir tak terlihat! Kedua gelang terbang itu
melesat ke dalam leher dan da-da majikannya! Benar-benar sebuah kematian yang
menyedihkan! "Panawangan..."!"
Ki Pangrawit berseru parau. Kejadian yang san-
gat singkat itu tidak sempat dicegahnya. Dan hal ini
merupakan sebuah pukulan berat bagi batin Ki Pan-
grawit. Murid utamanya terpaksa tewas di depan ma-
tanya, tanpa mampu untuk diselamatkannya! Benar-
benar sebuah peristiwa yang amat menyakitkan!
Tubuh Panawangan ambruk ke tanah disertai
lelehan darah dari mulut, dada, dan lehernya. Napas lelaki gagah itu putus
seketika! Ki Janiga dan yang lain segera saja melesat
menerjang dua sosok tubuh yang masih juga melayang
di udara, setelah tadi terlihat menginjak tanah, selesai menewaskan Panawangan.
Para tokoh itu pun tidak
sempat menyelamatkan murid utama Ki Pangrawit, ka-
rena kejadiannya memang terlalu singkat Sehingga,
mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Ki Janiga, Pendekar Cakar Maut bahkan Raja-
wali Merah yang terkenal gesit hanya mampu terbela-
lak takjub ketika menyaksikan perbuatan kedua sosok bayangan putih itu, yang
dalam waktu sangat singkat telah melesat ke arah pintu gerbang yang terletak
kurang lebih sekitar lima tombak dari mereka.
"Berhenti, Pengecut..!"
Bentakan Pendekar Cakar Maut yang merasa
penasaran bukan main, keluar disertai pengerahan tenaga dalam Kemudian kekuatan
ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan untuk melakukan pengejaran!
Tapi usaha lelaki gemuk itu sia-sia belaka, karena kedua sosok bayangan putih
itu telah melewati pintu
gerbang, untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan.
*** 7 Keesokan paginya, Perguruan Gelang Terbang
kembali dilanda kegemparan! Enam orang murid yang
bertugas menjaga pintu gerbang kedapatan tewas di
pos jaga. Lalu enam orang peronda malam juga dite-
mukan tewas dengan kepala pecah! Tentu saja musi-
bah itu membuat Ki Pangrawit sangat terpukul Apala-
gi, semua itu masih ditambah kematian Panawangan
yang tewas secara menyedihkan. Semua kejadian itu, membuat Ki Pangrawit tidak
mau diganggu. Ketua Perguruan Gelang Terbang terpekur di dalam kamarnya
dengan wajah berduka.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki" Guru sendi-
ri telah mengurung diri tanpa mau diganggu. Padahal, kita masih belum terlepas
dari ancaman sepasang iblis yang hanya berupa bayangan putih itu. Hhh..., aku
benar-benar tidak habis pikir...," ungkap Subadra kepada Ki Janiga, setelah
selesai menguburkan mayat
saudara-saudaranya, termasuk Panawangan.
Sedangkan Kandira hanya termenung dengan
pandangan menerawang Sepertinya, lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu pun
tengah bingung memikirkan
cara untuk menghadapi maut uang mengancam peng-
huni Perguruan Gelang Terbang.
"Hm.... Kau bersabarlah, Subadra. Bisa ku
maklumi apa yang saat ini tengah dirasakan gurumu.
Beliau benar-benar sangat terpukul atas kematian Panawangan. Kalau saja Ki
Pangrawit tidak menyaksi-
kannya sendiri, mungkin tidak akan terpukul sedemi-
kian parahnya. Tapi, semua itu terjadi di depan ma-
tanya, tanpa mampu dicegahnya. Kenyataan itulah
yang membuatnya merasa berdosa. Karena sebagai
guru, ternyata ia tidak bisa melindungi nyawa muridnya. Kau paham apa yang
kumaksudkan, Subadra...?"
tanya Ki Janiga setelah menjelaskan secara panjang
lebar. "Yaaah.... Tapi, mengapa guru harus mengurung diri" Tidakkah beliau sadar
kalau malam nanti, sepasang iblis itu akan datang kembali untuk mengambil nyawa
salah seorang di antara kita!" Subadra yang meskipun telah cukup mengerti apa
yang dimaksudkan Ki Janiga, tetap saja tidak bisa menerima tindakan gurunya
dalam hal itu "Hm.... Memang licik sekali sepasang iblis itu.
Mereka sengaja tidak membunuh kita sekaligus. Den-
gan ancaman-ancaman seperti itu, mereka bisa mem-
buat kita tidak tenang. Dan mungkin juga, kita telah pasrah sebelum mereka
datang. Mereka menakut-nakuti kita sehingga bisa mengganggu pikiran. Benar-benar
keji sekali sepasang iblis itu...," geram Rajawali Merah. Semenjak kejadian
semalam, wajah Rajawali
Merah nampak selalu tegang. Jelas, ia pun telah terpengaruh ancaman pembunuh
keji itu. Sebenarnya, bukan hanya Rajawali Merah yang
merasa tegang dan cemas. Bahkan Ki Janiga dan Pen-
dekar Cakar Maut sendiri mengalami hal yang sama.
Selain belum dapat diterka siapa sebenarnya musuh
yang harus dihadapi, juga musuh itu pun memiliki kesaktian yang mengiriskan!
Hingga dapat dipastikan kalau untuk selamat dari incaran maut, sulit sekali.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut mencoba
untuk tetap tenang. Semua itu dimaksudkan agar mu-
rid-murid Perguruan Gelang Terbang tidak dilanda resah. Meskipun usaha itu tidak
seluruhnya berhasil,
tapi sedikitnya telah melenyapkan sebagian rasa takut
yang dialami hampir seluruh murid perguruan itu.
Ketika hari telah menjelang sore, dan saat Ki
Janiga mengatur siasat untuk menjebak musuh, Ki
Pangrawit muncul dengan wajah agak pucat. Meski
demikian, kehadirannya telah membangkitkan seman-
gat baru bagi murid-muridnya.
"Maaf, kalau aku telah menyusahkan kalian...,"
ucap Ki Pangrawit kepada Ki Janiga, Pendekar Cakar
Maut, dan Rajawali Merah.
Betapa terharunya Ketua Perguruan Gelang
Terbang itu karena ketiga orang sahabatnya masih tetap bersedia membantu, meski
untuk itu nyawa taru-
hannya. Pengorbanan tanpa pamrih dari tokoh-tokoh itulah yang membuat Ki
Pangrawit keluar dari dalam
kamarnya. Karena, tidak mungkin tanggung jawabnya
dilepaskan begitu saja kepada orang lain. Meskipun, orang itu merupakan sahabat
baiknya. Keempat orang tokoh itu pun, kembali berkum-
pul dengan ditemani Subadra dan Kandira. Mereka
menyusun rencana untuk menghadapi musuh yang
belum diketahui, siapa sebenarnya.
*** Saat kegelapan mulai menyelimuti alam, sua-
sana Perguruan Gelang Terbang tampak gelap dan
sunyi. Di dekat gerbang atau di sudut-sudut bangu-
nan, tidak lagi terlihat cahaya obor. Malam itu Perguruan Gelang Terbang terasa
mati, bagaikan bangunan
tua yang dihuni hantu!
Suara binatang malam terus bersahutan me-
nyemarakkan sang malam. Tiupan angin terasa sejuk,
membuat tubuh terasa letih dan mudah terlena Un-
tungnya, malam itu sang Dewi Malam demikian berani
memancarkan cahayanya Sehingga, kegelapan yang
demikian pekat mulai memudar.
Mendadak saja, jantung Ki Pangrawit yang ber-
sembunyi bersama ketiga orang sahabatnya berdebar,
saat menatap pintu gerbang depan. Di kiri kanan gerbang, tampak dua sosok
bayangan putih bertengger di atas kayu-kayu bulat. Pakaiannya yang lebar
berkiba-ran tertiup angin. Pemandangan itu benar-benar men-
debarkan, dan sanggup membuat seorang yang pena-
kut pingsan seketika!
"Hm... Iblis itu sudah muncul... Tampaknya


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sengaja menunjukkan kedatangannya kali ini
Sayang, jaraknya masih terlalu jauh. Sulit untuk men-genalinya," desah Ki
Pangrawit sambil menajamkan pandangan matanya agar bisa mengenali sepasang sosok
bayangan putih itu.
"Mudah-mudahan Subadra dan Kandira dapat
menahan diri sesuai rencana kita,..," bisik Ki Janiga, lirih. Lelaki bertubuh
tinggi kurus itu pun tengah mengawasi dua sosok bayangan putih yang tegak di
atas gerbang. "Nampaknya, Iblis-iblis itu lebih berhati-hati.
Lihat saja. Mereka masih tetap tegak tanpa berani melewati gerbang. Jelas,
Mereka telah menaruh curiga dengan suasana sunyi dan tanpa penerangan ini,"
gumam Pendekar Cakar Maut Rupanya, Pendekar Cakar
Maut yang memiliki watak berangasan, tidak sabar
melihat kedua sosok bayangan putih itu masih tetap
tegak bagai patung.
"Biarlah. Kita lihat saja, apakah mereka berani masuk atau tidak," timpal
Rajawali Merah yang juga ikut mengawasi dua sosok berpakaian putih itu.
Wajah tokoh muda itu terlihat agak tegang dan
sedikit pucat Meski demikian, ia tetap berusaha tenang dan terus menatap kedua
sosok putih di atas gerbang.
"Hua ha ha...! Bagus, Ki Pangrawit! Rencana
yang kau susun memang tidak jelek! Sayangnya, ti-
puan-tipuanmu sama sekali tidak berarti bagiku...!"
Selagi puluhan pasang mata yang tersembunyi
di tempat gelap sambil sama-sama mengawasi sosok di atas gerbang, tiba-tiba
terdengar gema tawa berkepan-jangan yang membuat jantung para murid Gelang Ter-
bang hampir copot dibuatnya.
"Gila! Iblis itu benar-benar licik! Apa yang kita bicarakan bisa didengar
mereka, sehingga membuat
rencana kita gagal, Ki Janiga. Aku khawatir, Subadra dan Kandira tidak bisa
menenangkan murid-muridku...," desis Ki Pangrawit yang menjadi cemas bukan main
atas kejadian itu.
Apa yang dikhawatirkan Ki Pangrawit ternyata
tidak meleset! Baru saja ucapannya selesai, terdengar teriakan-teriakan ribut
yang disusul berloncatannya murid-murid Gelang Terbang dari tempat persembu-
nyian. Jelas, suara tanpa wujud itu telah mempenga-
ruhi mereka. "Hei, kembali...!" cegah Subadra yang bertugas mengepalai dua puluh lima orang
murid. Sayang semuanya sudah terlambat Apalagi dari
tempat lain pun murid-murid yang dipimpin Kandira
juga telah berlompatan keluar.
Karuan saja Ki Pangrawit, Ki Janiga, Pendekar
Cakar Maut dan Rajawali Merah menjadi terkejut Me-
reka yang bersembunyi di dua tempat itu ikut berte-
riak mencegah. Bahkan ikut melompat keluar dari persembunyian karena
mengkhawatirkan keselamatan
murid-murid Ki Pangrawit.
Tepat pada saat yang bersamaan, dua sosok
bayangan putih melesat bagaikan dua ekor burung
malam mencari mangsa. Dengan sepasang tangan
membentuk cakar, kedua sosok bayangan putih itu
langsung menyambar murid-murid Perguruan Gelang
Terbang yang tengah ketakutan.
Tapi, keempat orang tokoh itu pun tidak tinggal
diam. Sebelum korban berjatuhan, serentak mereka
bergerak menyambut dua sosok bayangan putih itu.
"Merunduuuk...!"
Sambil berteriak memerintahkan murid-
muridnya merunduk, Ki Pangrawit bersama Rajawali
Merah bergerak memapak cengkeraman bayangan pu-
tih yang berada di sebelah kanan. Sadar kalau kedua sosok bayangan putih itu
bukan tokoh sembarangan,
maka seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki dikerahkan. Dan....
Plakkk! Plakkk!
"Ughhh...!"
"Aaaah... !"
Terdengarlah benturan keras yang diiringi ke-
luhan tertahan dari mulut Ki Pangrawit dan Rajawali Merah. Tubuh mereka sama-
sama terpental ke belakang! Bedanya, Ki Pangrawit dapat mematahkan daya
luncur tubuhnya dengan berjumpalitan beberapa kali
di udara. Sedangkan Rajawali Merah terpaksa harus
rela tubuhnya terbanting di tanah!
Sedangkan sosok bayangan putih itu sendiri
melenting kembali ke udara. Kemudian kedua kakinya
mendarat di tanah, setelah berjumpalitan sebanyak ti-ga kali di udara. Jelas,
sosok itu pun merasakan akibat dari benturan dua orang tokoh yang memang ber-
kepandaian tinggi itu.
"Sepasang Mambang Lembah Maut.."!" Ki Pangrawit dan Rajawali Merah sama-sama
berseru dengan wajah berubah hebat! Mereka terkejut bukan main me-
lihat wajah sosok bayangan putih itu yang terlindung di balik topeng tengkorak.
Jelas sudah, siapa sebenarnya yang telah melakukan serangkaian tindak kekera-
san terhadap Perguruan Gelang Terbang.
Bukan Hanya Ki Pangrawit dan Rajawali Merah
saja yang merasa terkejut. Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut juga sama-sama
terkejutnya melihat kedua
orang sahabatnya. Mereka yang juga berhasil menye-
lamatkan nyawa murid-murid Gelang Terbang dengan
memapak serangan sosok bayangan putih lainnya, me-
rasakan akibat yang sama. Dan keduanya pun tersen-
tak pucat begitu mengenali sosok yang tangan maut-
nya tengah merajalela.
Belum lagi lenyap rasa keterkejutan keempat
orang tokoh sakti itu, tiba-tiba terdengar jerit kematian susul menyusul! Untuk
kedua kalinya, keempat orang
tokoh itu kembali dikejutkan adanya dua sosok bayangan putih lain yang mengamuk
membantai murid-
murid Perguruan Gelang Terbang. Untunglah, Subadra
dan Kandira cepat bertindak menghadapi kedua sosok
bayangan putih yang melayang turun dari atas pintu
gerbang itu Sehingga, korban di pihak mereka tidak
bertambah banyak.
"Gila! Entah siapa lagi kedua sosok bayangan
putih itu" Untunglah kepandaiannya tidak begitu ting-gi, sehingga Subadra dan
Kandira dapat menghada-
pinya...," desis Ki Pangrawit yang bertambah heran melihat adanya dua sosok
bayangan putih bin.
"Hm.... Menurutku, mereka pasti dua di antara
Tiga Brewok Hutan Larang. Sepertinya, mereka kemba-
li dipergunakan Sepasang Mambang Lembah Maut un-
tuk mengecoh kita tadi...," duga Ki Janiga.
Rupanya, si Tinju Pemecah Badai itu langsung
saja bisa menebak tepat, siapa adanya kedua sosok
bayangan putih itu. Tapi, pembicaraan mereka tidak
dapat berlanjut lagi, karena saat itu sepasang Mambang Lembah Maut tengah
melangkah menghampiri.
Serentak keempat orang pendekar itu saling berpencar, dan siap melakukan
pertarungan mati-matian!
"Sepasang Mambang Lembah Maut, apa kesa-
lahan kami sehingga kalian sampai tega berbuat kekejian ini" Sedangkan di antara
kita belum pernah ada urusan," tegur Ki Pangrawit
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu ingin
mendapat penjelasan atas segala tindakan tokoh sesat yang telah lama
mengasingkan diri itu.
"Hm.... Di antara kita memang tidak ada per-
musuhan, Pendekar Gelang Terbang. Tapi di antara golongan kita, memang tidak
pernah sependapat. Aku
sengaja muncul untuk membasmi manusia-manusia
sombong yang menganggap sebagai seorang pendekar
berbudi. Entah sudah berapa banyak korban dari go-
longanku yang tewas, karena kalian ingin dianggap sebagai pembela kebenaran.
Untuk alasan itulah, aku
akan menghancur-leburkan semua manusia sombong
yang selalu mengganggu golonganku. Dengan begitu,
barulah orang-orang golongan hitam dapat bergerak leluasa di dalam rimba
persilatan ini," jelas salah seorang dari pasangan Mambang Lembah Maut yang ber-
tubuh lebih tinggi dan berbadan tegap. Dia adalah
orang yang bernama Jonggala.
"Kau salah, Sepasang Mambang. Semua itu
kami lakukan sama sekali bukan karena ingin dipuji
atau dianggap sebagai pahlawan. Tapi, semua itu me-
mang sudah kewajiban untuk memberantas segala
bentuk kejahatan yang ada di bumi ini. Dan, kami tidak perlu pendapatmu. Jangan
dikira kami takut
menghadapi kalian berdua, meskipun dengan taruhan
nyawa. Bagi kami, lebih baik mati dalam membela ke-
benaran dan keadilan ketimbang berpangku tangan
menyaksikan kekejaman yang dilakukan orang-orang
golonganmu," timpal Ki Janiga.
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah melayat ke ak-herat!" timpal Jonggali, orang
termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut
Setelah berkata demikian, kedua tokoh yang
mengiriskan itu segera melangkah menghampiri keem-
pat orang tokoh yang sudah merenggang dan siap
menghadapi pertarungan mati-matian.
"Yeaaa...!"
Dibarengi pekikan menggetarkan jantung, Se-
pasang Mambang Lembah Maut bergerak secara ber-
samaan. Tubuh mereka bagaikan terbang dan saling
bersilangan sehingga membingungkan Ki Pang-rawit
dan kawan-kawan.
Whuuut! Whuuut!
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut segera saja
melompat ke kanan menghindari cengkeraman jari-jari sekeras baja lawan. Dari
sambaran angin yang mencicit tajam, sadarlah kedua orang tokoh itu kalau
kekuatan tenaga sakti lawan benar-benar telah mencapai ti-tik kesempurnaan.
Untuk itu, mereka harus menge-
rahkan seluruh kemampuan agar tidak sampai celaka
di tangan Sepasang Mambang Lembah Maut. Demikian
pula halnya Ki Pangrawit dan Rajawali Merah. Mereka yang bertarung menghadapi
orang tertua dari sepasang mambang itu benar-benar harus bekerja keras
menyelamatkan selembar nyawa. Memang serangan-
serangan tokoh sesat itu benar-benar sangat cepat dan menimbulkan sambaran angin
tajam. Jangankan terkena cakaran mautnya. Bahkan sambaran anginnya
saja rasanya sanggup menewaskan seorang tokoh yang
memiliki kepandaian tanggung. Dapat dibayangkan,
betapa berbahayanya serangan-serangan cakar maut
itu. Ki Pangrawit yang dalam dunia persilatan diju-
luki Pendekar Gelang Terbang mempergunakan gelang-
gelang emasnya untuk membendung gempuran lawan.
Meskipun beberapa kali senjatanya dapat dipukul balik Jonggala, namun orang tua
itu tetap gigih melakukan perlawanan! Sehingga, pertarungan antara ketiga orang
tokoh itu benar-benar sangat seru dan mene-gangkan!
Tapi ketika pertarungan menginjak jurus yang
kelima puluh, baik Ki Pangrawit maupun Rajawali Me-
rah terpaksa harus mengakui kehebatan ilmu lawan-
nya. Memang, pada jurus-jurus itu mereka mulai me-
rasakan tekanan berat lawannya! Bahkan Rajawali Me-
rah yang biasanya sangat gesit dan tidak pernah keha-bisan tenaga, kali ini
sudah benar-benar kepayahan.
Selain kepandaiannya yang memang berada di bawah
Ki Pangrawit, kepandaian lawannya pun telah mem-
buatnya tak berdaya.
"Haiiit...!"
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang
Lembah Maut rupanya memiliki mata yang sangat jeli.
Buktinya, dia lebih banyak mencecar Rajawali Merah
ketimbang Ki Pangrawit Sehingga pada jurus yang ke-
lima puluh lima. Rajawali Merah terpaksa harus men-
gakui keunggulan lawan. Sebuah lontaran telapak tangan yang mengancam dadanya,
tidak mampu lagi di-
hindari! Maka....
Whuuut... Buggg...!
"Huaaakh...!"
Hebat bukan main akibat hantaman telapak
tangan Jonggala. Bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin, tubuh
Rajawali Merah terlempar hingga tiga tombak lebih. Darah segar kontan
berhamburan membasahi tanah!
Brakkk! Dinding bangunan utama Perguruan Gelang
Terbang langsung jebol ketika terlanda keras tubuh
Rajawali Merah, diiringi suara berderak ribut! Tubuh Rajawali Merah terbanting
jatuh di antara reruntuhan dinding bangunan itu.
"Huaaakh...!"
Untuk yang kedua kalinya. Rajawali Merah
memuntahkan darah segar. Setelah meregang seben-
tar, tubuhnya pun tergolek lemah. Tewas!
"Biadab keji...!" maki Ki Pangrawit.
Ketua Perguruan Gelang Terbang itu merasa
marah bukan kepalang menyaksikan kematian orang
yang membela perguruannya tanpa pamrih. Kenyataan
itu membuat Ki Pangrawit mengamuk tanpa mempe-
dulikan keselamatan dirinya lagi.
"Heaaat..!"
Ki Pangrawit yang berjuluk Pendekar Gelang
Terbang berteriak mengguntur sambil melepaskan sen-
jata andalannya disertai pengerahan seluruh sisa-sisa tenaganya. Pada saat yang
sama, tubuhnya bergerak
meluncur dengan serangan sepasang tangan yang
menggunakan jurus-jurus tangan kosong!
Sayang, meski serangan yang dilancarkan Ki
Pangrawit begitu hebat, namun lawan memang terlalu
kuat baginya. Dalam lima jurus saja, orang tua itu
kembali terdesak hebat. Sehingga, ia tidak mampu lagi melontarkan serangan. Ki
Pangrawit hanya bisa mengelak sambil sesekali menangkis. Meskipun demikian
itu masih membuatnya jatuh bangun. Karena, tenaga
dalam Jonggala masih jauh di atasnya.
"Haiiih...!"
Ki Pangrawit yang benar-benar sudah tidak
mempunyai daya untuk membalas serangan lawan, ja-
di tertegun dengan tubuh gemetar ketika Jonggala
mengeluarkan pekikan nyaring disertai pengerahan tenaga dalam. Dan saat itu
pula, cengkeraman lawannya datang mengancam leher orang tua itu!
"Haiiit..!"
Pada saat yang sangat menentukan bagi mati
hidupnya Ketua Perguruan Gelang Terbang, tiba-tiba
terdengar pekikan lain yang tidak kalah dahsyatnya!


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbarengan dengan itu, sesosok tubuh yang bersinar putih keperakan disertai
hawa dingin menusuk tulang, melesat memapak serangan Jonggala! Akibatnya...!
Brrresh....' "Aaah..."!"
"Haiiit.."!"
Seiring suara dentuman akibat pertemuan dua
gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat, terdengar seruan-seruan terkejut dari
mulut kedua sosok bayangan yang tadi saling berbenturan! Bahkan tubuh satu sama
lain terdorong deras ke belakang.
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang
Lembah Maut cepat menguasai daya luncur tubuhnya
dengan melakukan salto beberapa kali di udara. Ke-
mudian, kakinya mendarat ke tanah meski dengan
kuda-kuda agak goyah! Tentu saja kenyataan itu san-
gat mengejutkan baginya!
Demikian pula halnya sosok tubuh yang terse-
limuti kabut putih keperakan itu. Sosok yang telah
menyelamatkan Ki Pangrawit itu juga dapat mengatasi daya dorong akibat benturan
dahsyat tadi. Dengan melakukan tiga kali putaran menakjubkan, sosok tubuh
itu dapat mendarat indah dengan kuda-kuda kokoh
dan tidak tergoyahkan. Dari sini saja dapat dinilai, kalau sosok bersinar putih
keperakan itu masih lebih
kuat dibanding Jonggala.
Ki Pangrawit yang tidak menyangka kalau di-
rinya masih dapat selamat, menatap sosok yang terselimut lapisan kabut putih
keperakan itu dengan sepasang mata terbelelak. Tapi sebentar kemudian, wajah
orang tua itu telah langsung berseri gembira ke arah penolongnya.
*** 8 Sementara itu di arena pertarungan, Ki Janiga
dan Pendekar Cakar Maut melawan Jonggali yang me-
rupakan orang termuda dari Sepasang Mambang Lem-
bah Maut, juga terjadi perubahan hebat.
Jonggali yang sudah berada di atas angin dan
siap menghabisi nyawa lawan-lawannya, tiba-tiba terkejut ketika pukulan mautnya
terpapak oleh sesosok
bayangan hijau. Benturan keras pun tak terhindarkan lagi! Tapi dalam benturan
dua gelombang tenaga dalam yang amat kuat itu, Jonggali terlihat masih unggul.
Orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut
itu hanya terjajar mundur beberapa langkah, sedang-
kan sosok berpakaian hijau itu terpental dengan de-
rasnya. Untungnya, sosok bayangan hijau itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi. Sehingga, kedua kakinya dapat mendarat dengan selamat.
Ki Janiga dan Pendekar Cakar Maut sama-sama
terkejut sekaligus juga kagum terhadap penolongnya
yang ternyata seorang gadis muda berparas jelita. Kalau saja mereka tidak
membuktikan sendiri, rasanya
belum tentu percaya kalau gadis muda jelita itu mam-pu menahan gempuran dahsyat
Jonggali. Sedangkan sosok berpakaian hijau itu tampak
mengatur pernapasannya. Dari wajahnya yang nampak
agak pucat itu, nampaknya ia cukup menderita akibat benturan tenaga dalam yang
hebat tadi. Bahkan dari sudut bibir indah itu, nampak cairan merah mengalir
turun. Hadirnya dua penolong yang menyelamatkan
tokoh-tokoh persilatan itu dari kematian, membuat
Jonggala dan Jonggali bersatu kembali. Sepertinya,
mereka merasa kalau kehadiran kedua sosok bayan-
gan putih dan hijau itu patut diperhitungkan.
Demikian pula halnya sosok bayangan putih
dan hijau. Mereka pun bersatu dan berkumpul dengan
sisa dari tokoh persilatan itu. Sebab, Rajawali Merah telah lebih dulu tewas di
tangan Jonggala.
"Pendekar Naga Putih! Akhirnya kau datang ju-
ga memenuhi undanganku," kata Ki Pangrawit
"Benar, Ki. Maaf atas keterlambatanku," sahut pemuda tampan berjubah putih yang
ternyata Pendekar Naga Putih.
"Bagus!"
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat
para pendekar itu menolehkan wajah.
"Kehadiranmu memang sangat tepat sekali,
Pendekar Naga Putih. Dengan demikian, berarti aku tidak perlu bersusah payah
lagi mencarimu...," lanjut Jonggala.
Rupanya dia masih juga menampakkan kesom-
bongannya. Padahal, sebenarnya hari kedua tokoh se-
sat itu agak bergetar atas kemunculan Pendekar Naga
Putih yang tidak disangka-sangka. Tapi, Sepasang
Mambang Lembah Maut tidak mau menunjukkan rasa
terkejutnya di hadapan lawan-lawannya.
"Hm..., Sepasang Mambang Lembah Maut..,"
sebut Panji yang segera mengenali sepasang tokoh sesat itu dari topeng tengkorak
yang dikenakan, "Rupanya, kaulah yang menjadi biang keladi dari semua
kejahatan-kejahatan yang kudengar baru-baru ini. Apa sebenarnya yang kau
inginkan, hingga begitu tega melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Bahkan meng-
ganggu acara Ki Pangrawit"!"
"Hua ha ha....!"
Tawa Sepasang Mambang Lembah Maut ter-
dengar berderai panjang. Jelas, mereka merasa kalau ucapan Pendekar Naga Putih
merupakan sesuatu yang
lucu. Sehingga, Ki Pangrawit dan kawan-kawannya
mengerutkan kening tak senang.
"Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau bersiap-
lah melihat alam akhirat'" bentak Jonggala.
Dengan penuh keyakinan kalau mampu mena-
matkan petualangan Pendekar Naga Putih, Jonggala
berkacak pinggang. Meskipun tahu pihak lawan lebih
banyak, tapi Jonggala mengerti orang-orang golongan putih tidak akan melakukan
pengeroyokan, kalau tidak terpaksa. Itulah sebabnya, mengapa Sepasang
Mambang Lembah Maut tidak merasa gentar.
"Hm.... Harap kalian semua menyingkir. Menu-
rut penilaianku, kedua orang tokoh sesat ini sangat berbahaya. Bahkan mungkin
mereka belum mengeluarkan semua kesaktian pada pertempuran tadi," ujar Panji
dengan suara tetap tenang, tanpa kesan sombong. "Tapi, Kakang Tidakkah terlalu
berbahaya bila kau menghadapi mereka seorang diri...?" bisik Kenan-
ga agak khawatir.
Memang gadis itu tadi sudah merasakan betapa
kepandaian yang dimilikinya masih beberapa tingkat di bawah salah seorang tokoh
sesat itu. Tentu saja pengalaman itu membuatnya merasa khawatir akan kese-
lamatan kekasihnya.
"Berdoalah. Mudah-mudahan, aku bisa menga-
tasi mereka...," sahut Panji, tidak ingin takabur.
"Baiklah, Kakang. Hati-hatilah...," bisik Kenanga, dan segera menepi berkumpul
bersama Ki Pangra-
wit dan kedua orang pendekar lainnya.
"Hua ha ha.... Pendekar Naga Putih. Ingatlah!
Kami selalu tampil berpasangan. Rasanya, tidak adil kalau kau maju seorang diri
untuk menghadapi kami
berdua. Sebaiknya, ajaklah salah seorang kawanmu
agar pertandingan terlihat lebih adil...," pancing Jonggali, orang termuda dari
Sepasang Mambang Lembah
Maut. "Hm.... Tidak perlu kau mengutarakan apa yang sebenarnya tidak kau
inginkan, Kisanak. Sebaiknya,
kalian bersiaplah. Dan jangan terlalu mengumbar
omong kosong...," tukas Pendekar Naga Putih, memukul balik ucapan lawannya.
Sehingga, tokoh itu terlihat agak kaget mendengar jawaban yang seperti mene-
lanjangi mereka.
"Hm...." Jonggali, orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah Maut menggeram
gusar. Rupanya ia
merasa marah mendengar ucapan balik pemuda itu.
Panji bergegas menggeser langkahnya ke kiri
ketika melihat kedua orang lawannya mulai bergerak
maju. Meskipun Sepasang Mambang Lembah Maut
bergerak maju dengan siasat licik dan berganti-ganti, tapi Pendekar Naga Putih
tetap tenang Ditatapnya gerak-gerik lawannya dengan sinar mata mencorong ta-
jam. Pendekar Naga Putih siap menanti lawan membu-
ka serangan terlebih dulu.
*** "Yeaaat..!"
Salah satu dari Sepasang Mambang yang bera-
da paling depan, berseru nyaring disertai luncuran tubuhnya yang bergulingan
bagaikan seekor trenggiling.
Seiring dengan itu, Jonggali yang berada di belakang melenting ke udara, tanpa
mengeluarkan teriakan sedikit pun. Jelas, siasat itu digunakan untuk memecah
perhatian lawan.
Meskipun begitu, Pendekar Naga Putih tetap
tenang dan menanti datangnya serangan lawan. Pe-
muda itu sama sekali tidak terpengaruh gerakan Jonggala yang bergulingan di
tanah dalam serangan pem-
bukaan itu. "Yiaaah...!"
Jonggali yang melancarkan serangan dari atas,
terlihat mulai mengulurkan cengkeraman-cengkeram-
an mautnya diiringi suara mencicit tajam! Jelas tokoh sesat itu telah
mengerahkan tenaga dalamnya yang
tinggi dalam serangan pertamanya.
Tapi sebelum serangan Jonggali tiba, mendadak
saja Jonggala yang semula tengah bergulingan mende-
kat melenting ke udara. Langsung dilontarkan cengkeramannya ke arah leher dan
dada Pendekar Naga Pu-
tih. Sedangkan Jonggali telah meluncur turun sambil melontarkan tendangan-
tendangan maut susul menyusul! Panji yang telah mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' dan 'Jurus Naga Sakti' nya, bergerak menghindar sambil
melontarkan serangan balasan
yang tidak kalah berbahaya. Tubuh pemuda tampan
berjubah putih itu berkelebat bagaikan seekor naga
sakti yang tengah meliuk-liuk indahnya. Sesekali,
sambaran cakar naganya mencicit mengancam tubuh
kedua orang lawannya. Jelas, seluruh kekuatan tenaga saktinya telah dikerahkan
untuk menghadapi gempuran Sepasang Mambang Lembah Maut'
"Hyaaat..!"
Bettt! Bettt! Jonggala yang menjadi sasaran cengkeraman
cakar naga lawan, bergerak ke kiri. Langsung dilontar-kannya sebuah tendangan
kilat yang mengejutkan.
Sepertinya, dalam soal kecepatan dan ilmu meringankan tubuh, kedua tokoh sesat
itu memang tidak bera-
da di bawah lawannya. Hal itu pun dapat dirasakan
Pendekar Naga Putih. Sehingga, pemuda tampan itu
sempat terkagum-kagum di buatnya!
Plakkk! "Uuuh...!"
Jonggala, orang tertua dari Sepasang Mambang
Mengeluh perlahan ketika tendangannya dapat ditepis telapak tangan Pendekar Naga
Putih. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu tergetar mundur, hampir sejauh
satu tombak. Itu menandakan kalau dalam hal tenaga
sakti, Jonggala masih kalah.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak
tergoyah dalam menangkis tendangan lawannya. Bah-
kan pemuda itu kini terlihat bergerak mendesak Jonggali. Karuan saja tokoh sesat
itu kelabakan mengha-
dapi gempuran Pendekar Naga Putih yang datang ba-
gaikan gelombang badai salju itu.
Untungnya dalam keadaan terdesak, Jonggala
telah masuk kembali dalam arena pertarungan Se-
hingga, Jonggali dapat menarik napas lega, karena terbebas tekanan lawan.
Kenyataan itu membuat Jonggali
sadar kalau kesaktiannya ternyata masih di bawah
Pendekar Naga Putih.
"Kreeegh...!"
Pada saat pertarungan menginjak jurus kesera-
tus dua puluh, tiba-tiba saja Panji melenting ke udara disertai pekikan 'Naga
Marah'nya. Hembusan angin
dingin bertiup semakin kuat, mengiringi putaran sepasang tangan Pendekar Naga
Putih yang disertai pendaran cahaya putih keperakan. Karuan saja jurus pa-
mungkas pendekar muda itu mengejutkan kedua
orang lawannya!
Whuuut... Desss....'
"Aaakh..."!"
Jonggali memekik kesakitan ketika sebuah
hantaman telapak tangan yang berkecepatan tinggi,
tahu-tahu saja telah menggedor dada kirinya! Darah
segar langsung menyembur diiringi terlemparnya tu-
buh orang termuda dari Sepasang Mambang Lembah
Maut itu. Demikian pula halnya Jonggala. Orang tertua
dari Sepasang Mambang itu pun mendapat bagian
yang sama. Sebuah sambaran cakar Pendekar Naga
Putih, membuat tubuh tokoh sesat itu melintir bagaikan kitiran! Darah segar
segera saja membasahi pa-
kaiannya yang putih. Karena, luka cakaran Panji cu-
kup dalam pada bagian bahunya.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan itu
selekas mungkin, segera saja memburu lawan-
lawannya dengan cengkeraman-cengkeraman maut!
Namun dengan sisa-sisa tenaganya, kedua orang tokoh sesat itu dapat
menyelamatkan dirinya dengan lompatan jauh ke belakang.
Begitu terbebas dari kejaran serangan maut la-
wan. Sepasang Mambang Lembah Maut langsung men-
jatuhkan tubuh di atas tanah secara bersamaan. Ke-
duanya duduk bersila sebelah menyebelah, dengan sa-
lah satu telapak tangan bersatu. Hal itu dilakukan setelah meletakkan senjatanya
yang berbentuk clurit di depan mereka.
Panji tersentak mundur ketika merasakan
adanya gelombang tenaga aneh yang menolak tubuh-
nya ke belakang. Keterkejutannya semakin menjadi
tatkala melihat sepasang senjata berbentuk clurit itu bergerak naik seperti
bernyawa. Sadarlah Panji kalau dua lawan telah menggunakan ilmu yang menggunakan
tenaga batin. "Ilmu 'Golok Terbang Perenggut Sukma'..."!" desis Pendekar Naga Putih ketika
dapat mengenali ilmu yang kini digunakan Sepasang Mambang Lembah
Maut untuk menghadapinya.
Ternyata, bukan hanya Pendekar Naga Putih
saja yang merasa terkejut dengan ilmu lawannya. Bahkan Kenanga, Ki Pangrawit, Ki
Janiga dan Pendekar
Cakar Maut sampai terbelalak kagum menyaksikan il-
mu yang tengah dipergunakan Sepasang Mambang
Lembah Maut. Diam-diam, para tokoh persilatan itu merasa
bersyukur kalau di pihak mereka ada Pendekar Naga
Putih. Kalau tidak, sulit dibayangkan, bagaimana caranya menghadapi ilmu aneh
itu. Kini, mereka hanya


Pendekar Naga Putih 40 Sepasang Mambang Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal menunggu, bagaimana Pendekar Naga Putih
menghadapi ilmu Sepasang Mambang Lembah Maut.
Di antara keempat orang itu, hanya Kenanga
saja yang tidak merasa tegang. Memang, gadis jelita itu tahu kalau kekasihnya
juga memiliki sebuah ilmu yang menggunakan tenaga batin. Bahkan Kenanga percaya
kalau ilmu kekasihnya masih jauh lebih hebat ketim-
bang ilmu Sepasang Mambang Lembah Maut
Dugaan Kenanga ternyata tidak meleset Jauh.
Panji yang melihat sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu mulai meluncur ke
arah dirinya, segera saja memusatkan pikirannya. Sebentar kemudian, tercipta-lah
sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning
keemasan. Itulah Pedang Naga Langit yang selama ini tersimpan di dalam tubuh
pemuda itu, dan berubah
menjadi suatu kekuatan yang dahsyat.
Panji membuka kedua matanya setelah mera-
sakan adanya sebatang pedang dalam genggaman.
Langsung saja Pedang Naga Langit itu dilemparkan ke udara. Pedang Pusaka Naga
Langit mengapung sejenak
sebelum berputar, dan meluncur memapak datangnya
sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu, yang tengah mengancam Pendekar Naga
Putih. Terjadilah sua-
tu peristiwa aneh yang sulit ditangkap akal sehat.
Tampak, ketiga batang senjata itu saling berusaha menekan, dalam usaha membantu
majikan masing-
masing. Sepasang senjata berbentuk bulan sabit itu berusaha mengapit pedang
Pendekar Naga Putih dari lari kanan Terdengar suara mengaung tajam ketika
senjata-senjata itu bergerak dengan kecepatan tinggi untuk meruntuhkan pedang
Pendekar Naga Putih. Sayangnya, pedang milik Panji lebih hidup daripada senjata
lawan-lawannya. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang senjata
berbentuk bulan sabit itu dapat didesak Pendekar Naga Putih. Kemudian, senjata-
senjata itu terpental kembali ke arah majikan masing-masing!
Sepasang Mambang Lembah Maut yang meme-
jamkan mata tampak telah dibanjiri peluh. Pada tubuh mereka Bahkan pada saat
sepasang senjata mereka
dipukul balik oleh pedang lawan, terlihat tubuh Sepasang Mambang Lembah Lembah
Maut terjungkal ke
belakang. Dan sebelum keduanya sempat menyadari
hal yang dianggap mustahil itu, sepasang senjata bulan sabit mereka telah
meluncur deras. Bahkan lang-
sung menembus jantung kedua tokoh sesat itu!
"Ughhh...!"
Terdengar jerit kematian yang susul-menyusul
dari mulut kedua tokoh sesat mengiriskan itu. Darah segar kontan mengucur keluar
dari luka akibat senjata makan tuan. Sebentar kemudian, putuslah nyawa Sepasang
Lembah Maut karena termakan senjatanya
sendiri. Pendekar Naga Putih kembali memerintahkan
pedangnya melalui tenaga batin agar segera kembali.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja Pedang Na-
ga Langit telah kembali ke dalam genggaman Panji kemudian lenyap tanpa bekas.
Memang, Panji telah me-
nyatukan pedang itu kembali ke dalam tubuhnya.
Sementara itu, pertarungan lain pun telah pula
usai. Dua dari Tiga Brewok Hutan Larang telah berhasil dilenyapkan Subadra dan
Kandira Sehingga, selu-
ruh murid termasuk Ketua Perguruan Gelang terbang
merasa lega. Mereka bersorak menyambut kemenan-
gan Pendekar Naga Putih yang kembali mengukir na-
manya di dalam hati tokoh-tokoh persilatan.
"Pendekar Naga Putih! Aku benar-benar merasa
berhutang kepadamu. Entah, bagaimana aku harus
membalas hutang budi ini..." ucap Ki Pangrawit yang langsung memeluk tubuh
pendekar muda itu sebagai
tanda terima kasihnya.
'Tidak perlu dibesar-besarkan, Ki Kita semua
sama-sama mengetahui kalau apa yang kulakukan
hanyalah suatu kewajiban belaka. Jadi, janganlah Ki
Pangrawit merasa berhutang budi," sergah Panji disertai senyum di wajah
tampannya. "Hm.... Sebagai tanda syukur dan terima kasih
pada tamu kita Pendekar Naga Putih, marilah kita
mengadakan pesta," ujar Ki Pangrawit di hadapan sahabat dan murid-muridnya.
Panji dan Kenanga hanya bisa tersenyum sam-
bil menggeleng-gelengkan kepala. Karena bila menolak, mereka takut menyinggung
perasaan Ki Pangrawit dan
yang lain. Pendekar Naga Putih dan Kenanga hanya bisa
pasrah ketika mereka digiring memasuki bangunan
utama Perguruan Gelang Terbang, diiringi sorak-sorai murid-murid Ki Pangrawit.
SELESAI Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Culan Ode
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Batu Lahat Bakutuk 1 Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Pendekar Panji Sakti 20
^