Serigala Siluman 2
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman Bagian 2
justru para pengeroyoknya yang kalang-kabut dan mulai dijalari perasaan gentar.
"Heaaat..!"
Pada jurus yang kelima belas, si brewok berseru nyaring.
Tubuhnya kemudian melompat disertai sambaran pedang yang langsung mengancam
empat jalan darah kematian di tubuh Panji. Lima orang pengikutnya juga
membarenginya dengan tusukan pedang yang mengarah ke beberapa bagian tubuh
pemuda berjubah putih itu.
Crakkk! Crakkk...!
"Hahhh...!"
Keenam orang penyerang itu menjadi terkejut ketika tidak mendapati lawan yang
tiba-tiba lenyap begitu saja. Akibatnya, senjata-senjata mereka hanya mengenai
batu dan tanah berumput.
"Aku di sini, Sahabat-sahabat!" seru Panji.
Ternyata Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak sejauh tiga tombak di belakang
para pengeroyoknya. Tentu saja hal itu menjadikan para pengeroyoknya terkejut
setengah mati. Apalagi setelah mendengar suara pemuda itu, yang datang dari arah belakang
mereka. "Gila! Jangan-jangan pemuda berjubah putih itu bukan manusia! Mana mungkin
manusia dapat menghilang seperti setan?" gumam salah seorang pengeroyok yang
semakin gentar dan ngeri melihat kesaktian pemuda berjubah putih itu.
"Setan! Mengapa kau bisanya hanya mengelak saja"! Kalau kau memang memiliki
kepandaian, hayo! Seranglah kami!
Tunjukkan kehebatanmu, Jahanam!" maki lelaki berwajah brewok dengan penuh
kebencian. Hatinya benar-benar penasaran, karena setelah melancarkan serangan
selama dua puluh jurus, tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan membuatnya benar-
benar lelah. "Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud bertarung dengan kalian.
Sebab, di antara kita tidak terdapat permusuhan. Tapi kalau kalian memang
menginginkannya, bersiaplah! Sambutlah seranganku!" sahut Panji tenang.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat
lenyap, hingga yang tampak hanyalah bayangan putih yang berkelebat cepat
bagaikan hantu.
Plak! Plak! Plak...!
"Aaakh...!"
Setelah Panji melancarkan serangan kurang lebih sebanyak tiga jurus, enam orang
di antara pengeroyoknya sudah ber-tumbangan saling tumpang tindih. Mereka semua
rebah pingsan akibat tamparan yang dilancarkan pendekar muda itu, yang dialiri
tenaga dalam lumayan.
Si brewok semakin murka hatinya melihat akibat serangan yang dilancarkan pemuda
tampan itu. Disertai pekik kemarahan, diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan
jurus-jurus andalan yang sangat jarang digunakan.
Wuuut! Wuuut! Pedang di tangan si brewok berkelebat hingga bentuknya lenyap, sehingga
menyerupai sebentuk sinar yang bergulung-gulung. Sinar pedang itu bergerak turun
naik bagai gelombang ombak yang menyerbu pantai. Kalau saja bukan Pendekar Naga
Putih, pasti akan tewas dan tidak mampu menghindari jurus maut yang mematikan
itu. Menghadapi serangan laki-laki brewok yang memang memiliki kepandaian paling
tinggi di antara lainnya, Panji bersikap lebih hati-hati. Kedua kakinya
melangkah mundur menghindari sambaran lawan. Sesekali sepasang tangannya
bergerak bergantian, menangkis pukulan tangan kiri dan tendangan. Dan setiap
kali tangannya bergerak menangkis, tendangan dan pukulan lawan terpental balik.
Bahkan tubuhnya juga terjajar mundur ke belakang. Untunglah Panji sampai saat
itu masih belum menggunakan seluruh tenaganya.
Pada jurus yang ketiga puluh dua, Panji menggeser kakinya ke kanan disertai
egosan tubuhnya. Begitu sambaran pedang si brewok lewat, tangan kirinya bergerak
cepat menangkap
pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Seketika pemuda membarenginya
dengan hantaman sikut kanan ke iga lawan. Gerakan yang cepat dan tidak terduga
itu membuat lawan tidak mampu lagi menghindar. Dan....
Tappp! Desss! "Aaakh...!"
Tubuh laki-laki brewok itu terpental ke belakang akibat hantaman sikut yang
cukup keras itu. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terbanting di atas tanah
berumput dan berbatu. Laki-laki itu berusaha bangkit sambil menekap iganya yang
terasa remuk. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan merah.
Wajah-nya yang agak pucat itu menyeringai menahan sakit.
Sedangkan sepasang matanya berputar mencari senjatanya yang terlepas dari
genggaman. Panji yang saat itu sudah mendapat gempuran dari pengeroyok lain, segera
menyelinap di antara empat batang senjata yang mengancam tubuhnya. Tangan dan
kakinya bergerak melakukan tamparan dan tendangan ke arah empat penyerang.
Terdengar teriakan-teriakan ngeri, yang disusul terpentalnya tubuh para
pengeroyok. Keempat orang itu merintih dan mengaduh menahan rasa sakit akibat pukulan dan
tendangan Panji yang cukup keras tadi.
Mereka tidak mampu lagi bergerak, apalagi bangkit berdiri.
Para pengeroyok lainnya yang tinggal tujuh orang langsung bergerak mundur dengan
hati gentar. Tak seorang pun dari mereka yang terlihat hendak menyerang kembali.
Sepertinya, mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kawan-kawannya yang lain.
Kini mereka hanya berdiri sambil menatap pemuda berjubah putih dalam jarak empat
tombak. Pendekar Naga Putih yang melihat lawannya tidak bergerak menyerang, hanya
tersenyum tenang. Sepasang matanya yang tajam menyapu wajah ketujuh orang yang
kembali bergerak mundur dengan hati diliputi ketegangan.
Laki-laki brewok yang menjadi pimpinan dari orang-orang berseragam hitam itu
melangkah terbungkuk-bungkuk sambil sesekali menyeringai menahan sakit. Ia
melewati pengikutnya yang hanya dapat memandang khawatir.
"Hm.... Kali ini kami mengaku kalah kepadamu, Kisanak.
Sebutkan namamu agar kelak kami dapat melunasi hutang ini,"
kata lelaki brewok itu sambil melemparkan pandangan tajam.
"Maaf, Kisanak. Bukan maksudku untuk membuat permusuhan dengan kalian. Tapi
tentu saja aku tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Namaku Panji, seorang
pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Orang-orang rimba
persilatan memberi julukan padaku sebagai Pendekar Naga Putih," sahut Panji
dengan suara tenang dan mantap.
Sama sekali tidak terdengar nada kesombongan ataupun kebanggaan pada saat Panji
menyebutkan julukannya yang terkenal itu. Julukannya disebutkan agar apabila
orang-orang itu hendak mencarinya akan menjadi lebih mudah. Sebagai seorang
pendekar yang berjiwa bersih, maka Pendekar Naga Putih siap menerima akibat
perbuatannya itu.
"Kau... Pendekar Naga Putih...!" teriak lelaki brewok itu dengan wajah berubah
pucat. Tanpa sadar kedua kakinya melangkah mundur, menjauhi pemuda berjubah
putih yang hanya dalam beberapa jurus saja telah dapat membuatnya takluk.
"Pendekar Naga Putih...!"
Beberapa orang pengikut si brewok yang pernah mendengar julukan itu langsung
kaget. Rasa gentar hati mereka semakin bertambah, setelah mendengar julukan
pemuda berjubah putih yang sangat lihai itu.
"Benar, Kisanak. Akulah Pendekar Naga Putih," tegas Panji yang menarik napas
lega ketika melihat orang-orang berseragam hitam itu memandangnya dengan hati
gentar. Diam-diam pemuda itu mencatat dalam hati kalau nama
besar kadang-kadang dapat menyelesaikan persoalan tanpa harus menggunakan
kekerasan. Hal itu dapat dirasakannya dari pandangan orang-orang yang terlihat
segan dan menaruh rasa hormat setelah julukannya diperkenalkan.
Si brewok yang semula belum dapat menerima kekalahannya itu, mengangguk-angguk
puas. Sepertinya kekecewaan akibat kekalahan itu dapat terobati begitu
mengetahui siapa sebenarnya anak muda yang telah mampu mengalahkannya.
Terbersit rasa kebanggaan di hatinya setelah mengetahui kalau pemuda yang telah
mengalahkannya, ternyata seorang pendekar muda yang telah tersohor
kedigdayaannya. Namun demikian, dalam hati kecilnya tetap tersimpan rasa dendam,
karena pendekar muda itu telah mencampuri dan menggagalkan urusannya.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Kau boleh membawa kedua orang pemuda itu karena
kami telah kalah. Tapi, ingat suatu hari nanti, kami akan datang untuk membalas
perbuatan usilmu ini," ancam laki-laki brewok itu lirih, namun mengandung dendam
yang dalam. Setelah berkata demikian, si brewok meninggalkan tempat itu sambil memerintahkan
para pengikutnya untuk membawa teman-teman mereka yang terluka akibat
pertarungan tadi.
Panji berdiri tegak memandangi kepergian belasan orang laki-laki berseragam
hitam itu. Pemuda tampan itu menghembuskan napasnya kuat-kuat seolah merasa
kecewa dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
"Hm.... Sulit sekali untuk menghindari permusuhan meskipun aku telah berusaha
mengalah dan tidak membuat mereka luka berat," desah Pendekar Naga Putih penuh
sesal. Tiba-tiba saja pemuda itu tersentak dari lamunan, karena telah lupa menanyakan
perihal orang itu. Terutama, siapa dan dari mana mereka. Cepat-cepat Panji
melompat ke atas sebongkah baru yang agak tinggi. Namun belasan orang itu
tidak dapat ditemukan. Pada kenyataannya, orang-orang itu memang memasuki hutan
lebat yang tidak jauh di depannya.
Panji membatalkan niatnya untuk mengejar karena sama sekali belum mengetahui
keadaan hutan di depannya itu. Dan hal itu sangat berbahaya, sebab mungkin saja
di sana banyak terdapat jebakan yang dipasang mereka. Dan bukan tidak mungkin
kalau sarang mereka juga di dalam hutan lebat itu.
*** 4 Balira membuka mata ketika tenaganya terasa sudah hampir pulih. Luka bacokan di
paha dan bahu kanannya sudah terbalut rapi. Hanya beberapa luka memar yang masih
tergambar di wajahnya. Pemuda gagah itu bangkit berdiri, lalu memandang
berkeliling. Kemudian, dihampirinya gadis jelita yang saat itu tengah menunggui
Lunjita. "Nisanak, namaku Balira. Aku mengucapkan ribuan terima kasih atas pertolonganmu
dan kawanmu itu. Entah, bagaimana kami bisa membalas kebaikan kalian berdua,"
ucap Balira sambil memperkenalkan diri. Tubuhnya juga membungkuk hormat ke arah
Kenanga yang tersenyum manis.
"Namaku, Kenanga. Oh, ya. Kau tidak perlu sungkan-sungkan, Ki... eh! Balira.
Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong selama hal
itu masih berada dalam jalan yang lurus" Siapa tahu aku dan Kakang Panji akan
membutuhkan pertolongan kalian kelak?" sahut Kenanga juga memperkenalkan diri.
Gadis itu juga bangkit dan membalas penghormatan Balira, selayaknya orang
persilatan. Keduanya menoleh kepada Panji yang saat itu tengah melangkah
mendekati mereka.
"Betul apa yang diucapkan Kenanga, Balira. Dan janganlah merasa berhutang budi.
Kami tidak mengharapkan balas budi dari pertolongan kami ini, karena hal itu
akan mendatangkan beban bagi hati kalian," timpal Panji dengan wajah terhias
senyum cerah. Pemuda berjubah putih itu cepat membungkuk, ketika Balira memberi
penghormatan padanya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kisanak. Bolehkah aku mengetahui nama besarmu?"
tanya Balira. Rupanya pemuda gagah itu belum mengetahui siapa adanya
pemuda tampan yang telah menolongnya. Karena pada saat pertempuran berlangsung,
ia tengah tenggelam dalam semadi sehingga tidak mendengar pembicaraan Panji
dengan orang-orang berseragam hitam yang mengeroyok dan menyiksanya tadi.
"Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberi julukan Pendekar Naga Putih
kepadaku," sahut Panji seraya tersenyum.
"Aaahhh...! Maafkan sikapku yang kurang hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih.
Sudah lama aku mengagumi namamu. Siapa sangka kalau hari ini dapat berjumpa
langsung dengan orangnya. Rasanya aku patut mengucapkan terima kasih kepada
orang-orang berseragam hitam yang telah menyiksaku,"
ucap Balira gembira.
Pemuda gagah itu, kembali membungkuk hormat kepada Panji. Wajahnya seketika
berubah cerah, seolah-olah benar-benar telah melupakan rasa sakit akibat
penyiksaan belasan orang yang telah mengeroyoknya.
"Hei" Mengapa harus berterima kasih kepada mereka, Balira" Apakah kau merasa
senang dengan penyiksaan yang dilakukan orang-orang itu?"
Kenanga tak dapat lagi menahan keheranan hatinya, mendengar ucapan pemuda itu.
Gadis jelita itu menatap wajah Balira lekat-lekat. Kenanga menduga, jangan-
jangan pemuda ini menjadi gila karena luka-lukanya. Tapi, tidak mungkin! Sebab
gadis itu melihat wajah Balira nampak sehat dan tidak menunjukkan kelainan apa-
apa. Tapi mengapa berkata demikian"
"Ha ha ha...! Tentu saja aku harus mengucapkan terima kasih kepada mereka,
Kenanga. Bukankah karena perbuatan mereka aku dapat berjumpa dan bicara langsung
dengan Pendekar Naga Putih" Aku benar-benar merasa gembira sekali!"
sahut Balira. Pemuda itu tertawa hingga tubuhnya yang tegap berguncang-guncang. Sepertinya ia
benar-benar merasa gembira dapat berjumpa pendekar muda yang sudah lama
dikaguminya. "Ooo...," hanya itu yang keluar dari mulut Kenanga.
Gadis itu juga menutupi mulutnya dengan telapak tangan setelah mendengar jawaban Balira.
Tawanya terdengar terkikik karena tidak tahan mendengarnya. Benar-benar
menggelikan. "Ah! Kau membuatku malu saja, Balira. Sudahlah.
Hentikanlah pujianmu itu. Aku takut kalau-kalau kepalaku akan semakin besar saja
karena pujianmu," desah Panji tersipu mendengar jawaban jujur dari Balira. "Oh,
ya. Bagaimana keadaan pemuda yang satunya lagi itu, Kenanga?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih sengaja mengalihkan perhatian, dan ternyata pancingannya
berhasil baik. Mendengar pertanyaan itu, secara serempak Kenanga dan Balira
menoleh ke arah sosok tubuh yang tengah tergolek pulas itu.
"Oh, ya. Bagaimana keadaan Adi Lunjita, Kenanga?" Balira juga bergegas mengikuti
Kenanga yang sudah melangkah mendekati tubuh Lunjita yang terlihat masih agak
pucat itu. Mendengar pertanyaan Balira, Kenanga langsung berhenti.
Ditolehkan kepalanya dengan kening berkerut. Dipandanginya wajah pemuda gagah
itu tajam-tajam, seolah-olah belum mendengar jelas ucapan pemuda itu.
"Adi Lunjita...?" gumam Kenanga, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Nampaknya, dia merasa heran mendengar sebutan itu.
"Ya. Namanya Lunjita. Dan karena usianya masih lebih muda dariku, maka aku
memanggilnya Adi Lunjita," sahut Balira yang merasa heran melihat sikap Kenanga.
Gadis itu seperti merasa bingung mendengar pertanyaan dan sebutan terhadap
pemuda tampan yang bernama Lunjita.
"Oh," Kenanga menganggukkan kepalanya, lalu memaksa untuk tersenyum. "Aku sudah
mengeluarkan semua racun yang
mengendap dalam tubuhnya. Ia hanya memerlukan sedikit pengobatan lagi untuk
memulihkan tenaganya."
"Kakang, apakah kau masih menyimpan obat untuk memulihkan tenaga?" tanya Kenanga
mengalihkan perhatian kepada Panji yang saat itu juga tengah melangkah di
belakangnya. Sepertinya gadis jelita itu hendak mengobati Lunjita sendiri.
Meskipun telah mendapatkan pelajaran ilmu pengobatan dari Panji selama
pengembaraan mereka, namun tidak biasanya gadis itu berbuat demikian. Biasanya
ia selalu meminta Panji untuk mengobati siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
Dan biasanya pula Kenanga hanya menonton, bagaimana cara-nya Pendekar Naga Putih
melakukan pengobatan.
Panji pun sempat tertegun mendengar permintaan gadis jelita itu. Ditatapnya
wajah kekasihnya tajam-tajam. Seolah-olah ingin memastikan isi hati gadis itu.
"Mengapa kau menatapku seperti itu, Kakang" Tidak boleh-kah aku mencoba
menerapkan ilmu pengobatan yang kau ajari selama pengembaraan kita?" desak
Kenanga. Gadis itu sama sekali tidak tersinggung melihat cara Panji saat menatapnya.
Malah gadis itu tersenyum melihat ada sinar kecemburuan dalam tatapan mata
kekasihnya. Hal itu wajar saja, karena orang yang akan diobati Kenanga itu
adalah seorang pemuda. Apalagi dia sangat tampan, dan berkulit halus, meskipun
usianya paling jauh baru sekitar delapan belas tahun.
Namun tetap saja hati Panji merasa tidak enak.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa heran melihat kau sudah bisa menyembuhkan
orang yang terluka karena racun,"
sahut Panji, menyembunyikan perasaan hatinya yang sesungguhnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Naga Putih bergegas mengambil sebutir obat
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulung berwama putih seperti salju.
Persis seperti yang tadi diberikan kapada Balira.
"Terima kasih, Kakang. Kalian ngobrol-ngobrol saja dulu, dan tidak perlu
mengikuti aku. Bisa-bisa aku jadi gugup dan salah mengobati orang jika
ditemani," kilah gadis jelita itu, sehingga membuat Panji dan Balira menahan
langkahnya. Panji dan Balira memutar langkahnya menjauhi Kenanga.
Mereka kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun lebat, sehingga tubuh
teriindung dari sengatan sinar matahari yang memancar terik.
"Nah, Balira. Sekarang ceritakanlah, apa yang menyebabkan kalian berdua sampai
bentrok dengan orang-orang itu?" tanya Panji mencoba mengusir pikiran-pikiran
buruk yang meng-ganggunya.
Pemuda itu berusaha menekan cemburunya. Karena biar bagaimanapun, Pendekar Naga
Putih adalah manusia biasa yang juga bisa dihinggapi rasa cemburu. Dan rasa
cemburu itu adalah wajar, selama tidak berlebihan dan tidak buta.
Balira yang memang sudah berniat untuk menceritakan persoalannya, menarik napas
panjang sejenak. Lalu mulai diceritakannya sebab-sebab orang-orang berseragam
hitam itu mengeroyoknya. Pemuda gagah yang berwatak jujur itu menceritakan apa
adanya, tanpa mengurangi atau menambah-kan ceritanya.
"Sejak semula aku memang sudah merasa ragu kalau kalian yang melakukan perbuatan
yang dituduhkan orang-orang itu.
Dan aku pun dapat memaklumi, mengapa kau sampai meninggalkan penginapan itu
secara diam-diam. Sebab apabila kalian berdua tetap kembali ke penginapan itu,
bukan tidak mungkin akan semakin nyatalah tuduhan itu. Karena hanya kau dan
sahabatmu itulah yang meninggalkan penginapan. Apalagi kalian berdua membawa-
bawa senjata, dan keadaan Lunjita tengah mengalami luka parah," kata Panji
setelah mendengar cerita Balira secara keseluruhan.
Dan Pendekar Naga Putih berjanji untuk menyelidiki
kejadian itu. Paling tidak agar kedua pemuda itu dapat tenang dan tidak menjadi
buronan pemerintah kerajaan.
Balira berkali-kali mengucapkan terima kasih mendengar kesediaan Pendekar Naga
Putih membantu penyelidikan.
Mereka kemudian kembali terlibat pembicaraan lain tentang belasan orang itu.
Juga, tentang keadaan dunia persilatan yang mungkin akan menjadi gempar oleh
peristiwa pembunuhan delapan orang tokoh persilatan yang masih merupakan rahasia
yang belum terungkap.
Matahari sudah semakin naik tinggi. Balira dan Panji sama-sama termenung dan
merayapi daerah sekitarnya dengan pandangan kosong. Sepertinya kedua orang itu
tengah terbawa arus pikiran masing-masing.
Pendekar Naga Putih dan Balira sama-sama menolehkan kepala ketika mendengar
langkah kaki yang mendatangi tempat mereka.
"Bagaimana keadaan sahabatku, Kenanga?" tanya Balira yang segera bangkit dan
menyambut kedatangan gadis jelita itu.
Melihat dari wajah dan sikapnya, jelas sekali kalau dia sangat mengkhawatirkan
keadaan sahabatnya. Dan hal itu kembali membuat kening Kenanga jadi berkerut.
Karena sebagai seorang gadis, ia pun dapat merasakan apa yang saat itu tengah
dirasakan Balira. Kenanga kembali keheranan melihat sikap dan suara Balira yang
terdengar agak bergetar.
"Hm.... Rupanya kau sangat memperhatikan sekali keadaan sahabatmu itu, Balira"
Apakah kalian sudah lama menjadi sahabat?" tanya Kenanga seperti memancing
tanggapan pemuda gagah itu.
Mendengar pertanyaan gadis itu, selebar wajah Balira berubah kemerahan. Segera
ditatapnya wajah Kenanga lekat-lekat, seolah-olah ingin mengetahui maksud gadis
itu yang berkata demikian. Balira semakin salah tingkah ketika melihat sinar
mata penolongnya yang mengandung godaan.
"Apa..., apa maksudmu bertanya demikian, Kenanga?" tanya Balira gugup. Pemuda
gagah itu berusaha menekan gejolak dalam dadanya agar tidak menimbulkan
kecurigaan. "Hei" Kau kenapa, Balira" Apakah pertanyaanku ada yang salah?" Kenanga malah
balik bertanya sambil melemparkan senyum. Sementara Panji hanya berdiri bingung
melihat sikap kedua orang itu yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
Balira menyadari kesalahannya ketika mendengar pertanyaan gadis jelita itu.
"Betapa bodohnya aku! Mengapa harus gugup hanya karena pertanyaan yang
sebenarnya wajar itu?" umpat Balira dalam hati.
Berpikir demikian, Balira tersenyum dan berusaha bersikap wajar seperti biasa.
Sebab pemuda itu tidak ingin kalau sampai rahasianya terbongkar oleh gadis
jelita yang sepertinya sangat cerdik itu.
"Ah! Sama sekali tidak, Kenanga. Pertanyaanmu tidak ada yang salah. Aku memang
belum terlalu lama mengenalnya.
Tapi kami berdua sudah seperti saudara saja layaknya," jawab Balira setelah
dapat menenangkan perasaannya dan kembali bersikap wajar seperti biasa.
"O, begitu?" kata Kenanga sambil tersenyum menggoda.
Sepertinya gadis jelita itu memang sengaja hendak menggoda Balira. Dan memang
Balira jelas terlihat salah tingkah dengan perkataannya itu.
"Ya.... Kira-kira begitulah," desah Balira.
Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan ke tempat sahabatnya yang terlihat
tengah melakukan semadi. Balira yang tidak mau rahasia hatinya diketahui orang
lain, bergegas menghindari Kenanga yang nyata-nyata sengaja menggoda dan me-
mancingnya. "Kau hendak ke mana, Balira?" tanya Panji yang melihat pemuda gagah itu tengah
melangkah turun ke sungai yang
memang berada tepat di bawah mereka.
"Aku..., aku hendak mencuci muka supaya segar," jawab Balira yang terus
melangkah tanpa mem-pedulikan kedua orang penolongnya.
Kenanga hanya tersenyum melihat sikap Balira yang salah tingkah itu. Lalu
pandangannya dialihkan kepada Panji yang saat itu tengah memandangnya.
Panji mengalihkan pandangannya kepada Balira. Ia tidak ingin melihat Kenanga
mengetahui perasaan yang terpancar di matanya. Rupanya bagaimanapun kuatnya
batin pendekar muda itu, tapi tetap saja tidak mampu menahan rasa cemburu di
hatinya. Meskipun hal itu berusaha ditekan dengan membayangkan hal-hal lain,
namun hati kecilnya tetap saja belum dapat menerima perbuatan Kenanga yang
jelas-jelas sangat memperhatikan Lunjita, si pemuda berwajah halus dan tampan
itu. "Kau kenapa, Kakang?" tanya gadis jelita itu seraya memegang lembut lengan
Panji. Wajah gadis itu nampak terhias senyum meski sikap Panji yang dirasakan agak lain
dari biasanya. Namun, sebagai orang yang paling dekat dengan pemuda itu, Kenanga
sudah dapat menduga perasaan kekasihnya saat itu.
"Aku tidak apa-apa," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera menolehkan kepalanya dan menentang pandangan mata
kekasihnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih lahir dan batin pemuda itu
dapat menekan rasa cemburunya meskipun dengan sekuat tenaga.
"Hm... Kau membohongi dirimu sendiri, Kakang. Meskipun kau tidak mengatakannya,
namun aku tahu apa yang kau rasakan saat ini," desah gadis jelita itu lembut
sambil memegang kedua tangan Panji. Sepasang matanya laksana bintang timur itu,
menatap penuh kasih.
"Sungguh! Aku tidak apa-apa, Kenanga," tegas Panji masih
berusaha untuk mengelak. Pemuda itu mencoba tersenyum, namun sayang terlihat
agak getir. "Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. Buanglah rasa-cemburu di hatimu.
Percayalah! Hanya kau laki-laki yang kucintai di dunia ini. Lagi pula, yang kau
cemburui itu adalah seorang wanita yang saat ini tengah menyamar sebagai pria,"
bisik gadis jelita itu dengan suara lirih.
"Maksudmu pemuda yang bernama Lunjita itu...."
"Ya. Dia Seorang wanita. Aku mengetahuinya pada saat tengah melakukan pengobatan
pertama tadi. Itulah sebabnya, mengapa aku tidak memperbolehkan kau untuk
mengobatinya. Sebab apabila kau yang mengobatinya, sudah pasti akan lama sembuhnya," potong
Kenanga, cepat "Hei" Mengapa bisa begitu?" tanya Panji dengan wajah bingung.
"Ya! Sebab sudah pasti Kakang akan berlama-lama mengobatinya. Selain gadis itu
cantik, kulitnya pun halus. Nah!
Lelaki mana yang tidak suka berlama-lama memandangi kulit tubuh yang halus?"
jelas Kenanga seraya tertawa terkikik.
Mendengar ucapan kekasihnya, Panji sama sekali tidak marah. Sebaliknya, dia
malah tertawa terbahak-bahak. Sehingga mau tak mau Kenanga menjadi heran
dibuatnya. "Ah! Mudah-mudahan saja lain kali dia terluka kembali, dan berjumpa lagi
denganku. Dengan begitu, bukankah aku mempunyai kesempatan untuk mengobatinya"
Wah! Sudah pasti akan menyenangkan sekali!" ledek Panji sambil tertawa terbahak-
bahak. "Aaa...," Kenanga merengek manja sambil memukuli dada bidang Pendekar Naga
Putih. Sebentar kemudian mereka tertawa gembira.
Balira yang masih berada di sungai mengerutkan keningnya ketika mendengar tawa
kedua orang penolongnya itu. Hatinya menduga-duga, mungkin saja Kenanga sudah
mengetahui rahasia sahabatnya dan mengatakan kepada Panji. Dan kini mereka berdua
menertawakan dirinya. Seketika seluruh wajah Balira berubah merah saat
memikirkan hal itu. Dan ia menjadi bertambah malu ketika teringat, bagaimana dia
sangat mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya di depan Kenanga tadi.
Bahkan gadis jelita itu sempat pula menggodanya meski tidak terlalu kentara.
Pemuda tegap berwajah gagah itu semakin kikuk ketika melihat Panji, Kenanga, dan
Lunjita tengah melangkah meng-hampirinya. Untuk menenangkan hatinya, maka Balira
berpura-pura sibuk menggosok-gosokkan wajah dengan air sungai yang disendok
menggunakan kedua tangannya.
"Cepatlah, Balira. Bukankah kita hendak menyelidiki pembunuhan itu?" tegur Panji
mengingatkan akan rencana mereka.
"Ya, tunggulah sebentar!" sahut Balira tanpa berani menolehkan wajahnya. "Ah,
kau sudah sembuh, Adi Lunjita"
Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku sudah merasa khawatir sekali melihat
keadaanmu yang kian memburuk itu. Untunglah, kedua orang penolong kita yang
berkepandaian tinggi ini juga memiliki ilmu pengobatan, sehingga nyawamu masih
bisa diselamatkan. Berterima kasihlah kepada mereka, Adi Lunjita,"
kata Balira yang merasa girang karena dapat bersikap wajar dan bebas seperti
biasa. Pemuda gagah itu tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah Kenanga. Gadis
itu tampak agak bingung melihat sikap pemuda itu yang wajar dan tidak dibuat-
buat "Tentu saja aku sudah berterima kasih kepada mereka, Kakang. Lebih-lebih
terhadap Nini Kenanga yang telah rela bersusah-payah menyelamatkan diriku,"
sahut Lunjita seraya tersenyum manis.
Sikapnya tampak wajar, karena memang belum mengetahui kalau rahasia
penyamarannya telah diketahui Balira dan Kenanga. Kalau saja ia mengetahuinya,
tentu tidak akan
bersikap sewajar itu. Bahkan mungkin akan pergi meninggalkan sahabatnya.
Kenanga yang semula menduga kalau Balira sudah mengetahui rahasia itu, juga
meragukan dugaannya. Ia hanya berdiri menatap wajah kedua orang sahabat itu
dengan pandangan penuh selidik. Gadis itu baru tersadar dari lamunannya ketika
mendengar ajakan Panji.
"Ayolah kita ke kotaraja," ajak Panji kepada ketiga orang itu.
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya mendahului
mereka. Tanpa berkata sepatah pun, ketiga orang itu bergegas melangkah mengikuti Panji
yang tengah menyeberangi sungai.
Saat itu hari sudah menjelang sore.
*** 5 Malam telah menampakkan kekuasaannya di permukaan bumi.
Bulan sepotong yang menggantung menghiasi sang malam, sinarnya tak kuasa
menerobos kepekatan. Angin berhembus kencang, menebarkan hawa aneh. Sehingga
suasana malam terasa semakin mencekam.
"Auuungngng...!"
Lolongan serigala yang disertai hembusan angin dingin, semakin menimbulkan
keseraman. Apalagi, saat itu suasana Kotaraja Batu Jajar tengah dicekam oleh
pembunuhan yang belum terungkapkan. Maka, semakin lengkaplah suasana yang
mencekam itu. Karena, ternyata korbannya juga meluas ke beberapa penduduk.
Semenjak berita pembunuhan tersebar, para penduduk di kota itu sudah menutup
pintu rapat-rapat begitu kegelapan mulai menyelimuti bumi. Para suami menyuruh
anak istrinya untuk segera tidur, sementara dirinya sendiri berjaga-jaga dengan
senjata terhunus. Peristiwa berdarah itu membuat penduduk kotaraja dicekam
ketakutan hebat. Dan sedikit ketukan pintu di rumah mereka saja, telah sanggup
untuk membuat kalang-kabut. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya ketakutan yang
melanda hati mereka.
Lain halnya dengan para prajurit kerajaan. Semenjak peristiwa itu, mereka
semakin giat berjaga-jaga. Bahkan para prajurit yang meronda pun semakin
diperbanyak. Tentu saja hal itu dimaksudkan untuk menenangkan hati penduduk yang
tengah dicekam ketakutan. Dan dengan banyaknya peronda yang berkeliaran,
diharapkan para penduduk menjadi sedikit tenang.
"Hei" Kalian dengar lolongan serigala itu?" tanya salah
seorang prajurit peronda kepada kawannya.
"Ya! Aku pun mendengarnya. Sepertinya, peristiwa itu akan terulang kembali.
Bukankah menurut keterangan salah seorang yang melihat, lolongan itu juga
terdengar sebelum terjadinya pembunuhan?" timpal kawannya. Suaranya terdengar
kering, karena hatinya mulai dilanda ketegangan.
"Jangan ribut! Yang penting saat ini, kita harus lebih meningkatkan
kewaspadaan!" bentak seorang perwira yang mengepalai para prajurit. Suaranya
ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras. Lalu, anak buahnya yang
berjumlah tujuh orang itu diajak untuk mencari sumber lolongan serigala tadi.
Tujuh orang prajurit itu bergegas mengikuti pemimpinnya tanpa banyak bicara
lagi. Mereka terus berputar menuju perbatasan sebelah Barat yang memang agak
sepi. Dari situ mereka terus ke gardu penjagaan.
Ketika mereka hampir mencapai pintu gerbang sebelah Barat, sang Pemimpin
mengisyaratkan untuk berhenti dengan menggerakkan tangan kirinya. Wajahnya
berubah tegang ketika lapat-lapat tercium bau anyir darah yang dibawa angin.
Dengan gerakan perlahan, segera pedang yang tergantung di pinggang dicabutnya.
Lalu, kakinya melangkah hati-hati menuju gardu jaga yang hanya tinggal sepuluh
tombak di depannya.
Keningnya seketika berkerut ketika tidak melihat adanya obor di tempat itu.
"Aneh" Mengapa mereka tidak menggunakan obor?" gumam sang Pemimpin semakin
bertambah curiga.
Pemimpin itu menoleh ke belakang, lalu meminta sebuah obor yang dipegang salah
seorang anak buahnya dengan menggunakan isyarat. Kemudian langkahnya diteruskan
dengan lambat-lambat, mendekati gardu jaga.
"Ah...!"
Sambil berseru tertahan, perwira itu melompat mundur
sejauh setengah tombak lebih. Sepasang matanya membelalak lebar memandang
sesosok tubuh yang tergeletak di depannya.
Hampir saja kakinya menginjak mayat tanpa kepala, karena perhatiannya tertuju ke
gardu jaga. Tujuh orang prajurit yang mengiringi di belakang, tentu saja juga jadi terkejut
melihat pemimpin mereka melompat ke belakang. Tanpa diperintah lagi, mereka
segera menyebar sambil menodongkan ujung tombak dan siap menghadapi kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Gila!" maki perwira itu dengan wajah agak pucat Hati perwira itu kini bertambah
geram ketika menemukan lima mayat lain yang juga tanpa kepala.
Keenam mayat itu ditemukannya di sepanjang jalan menuju gerbang sebelah Barat.
Hati laki-laki gemuk berusia sekitar empat puluh lima tahun itu semakin
bertambah cemas akan nasib para penjaga perbatasan.
Setelah memberi isyarat kepada anak buahnya untuk maju, laki-laki bertubuh gemuk
itu melangkahkan kakinya. Sikapnya tampak semakin hati-hati. Dan apa yartg
dikhawatirkan ternyata beralasan. Sebab di dekat gardu penjagaan itu, terlihat
belasan sosok tubuh berseragam prajurit tengah bergeletakan tumpang tindih.
Namun hatinya menjadi lega, karena ternyata belasan prajurit itu hanya pingsan.
"Bawa mereka masuk!" perintah perwira itu. Sementara ia sendiri segera
mengangkat tubuh kepala jaga yang juga tergeletak pingsan. Kemudian segera
disadarkannya mereka satu-persatu.
"Kakang Dirjalaga...!" seru si kepala jaga begitu tersadar dari pingsannya.
Cepat-cepat kepala jaga itu memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak di
depan hidung kepada perwira yang ternyata bernama Dirjalaga.
"Hm.... Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di tempat ini,
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adi?" tanya Dirjalaga. Suaranya terdengar beat karena masih merasa geram dengan
adanya kejadian itu.
Kepala jaga itu menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan dirinya.
Seolah-olah, apa yang akan disampaikan itu adalah cerita yang sangat
menyeramkan. Sehingga, mau tak mau Dirjalaga menjadi tegang juga.
Dengan penuh perhatian, Dirjalaga mendengarkan penuturan kepala jaga itu.
Sedikit pun, ia tidak memotong cerita orang itu. Tentu saja agar didapat
keterangan lengkap dan terperinci.
"Menurut dugaanku, mereka yang terbunuh pasti tokoh persilatan. Mereka berniat
menyelidiki tentang pembunuhan delapan tokoh persilatan lain yang terjadi
kemarin malam," jelas si kepala jaga menutup ceritanya.
"Apakah kau tidak mendengar ribut-ribut sebelum keenam orang itu terbunuh?"
tanya Dirjalaga seraya, mengerutkan keningnya.
"Sama sekali tidak, Kakang. Semua itu terjadi demikian cepat. Baru saja kami
hendak keluar untuk melihatnya, tahu-tahu saja telah berdiri sesosok tubuh
tinggi besar bersama seekor serigala besar bermata merah menakutkan. Dan setelah
itu kami tidak ingat apa-apa lagi, sampai tahu-tahu Kakang telah berada di
sini," lanjut kepala jaga itu sungguh-sungguh.
"Jadi, kau tidak tahu apa yang telah membuat kau dan anak buahmu pingsan?" desak
Dirjalaga dengan wajah membayangkan keheranan besar.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku hanya melihat sosok tinggi besar itu melompat ke
arahku dengan kecepatan luar biasa.
Itulah yang kuingat," jawab orang itu sambil menghela napas berat. Sepertinya ia
masih merasa ngeri dengan kejadian yang dialaminya.
"Hm.... Aneh! Mengapa orang itu tidak membunuh kalian?"
gumam Dirjalaga yang kemudian beranjak bangkit dan berjalan
ke arah pintu. Laki-laki gemuk berkumis lebat itu memutar otaknya berusaha
mencari jawaban.
"Mungkin ia tidak ingin berurusan dengan tentara kerajaan, sehingga tidak
membunuh kami semua. Sepertinya ia hanya membunuhi semua tokoh persilatan yang
datang ke kotaraja ini, Kakang. Hanya saja, untuk apa mereka membunuh, kami
belum tahu," sahut kepala jaga itu mengemukakan pendapat-nya.
"Hm.... Dugaanmu itu cukup beralasan, Adi. Tapi, dengan melakukan pembunuhan di
wilayah kotaraja, bukankah itu sama artinya menantang pihak pemerintah?" kata
Dirjalaga, meminta pendapat
"Sepertinya ia tidak berpikir sejauh itu, Kakang," kata kepala jaga sambil
mengangguk-angguk membenarkan ucapan Dirjalaga.
"Sudahlah. Apa pun maksud pembunuh itu, ia tetap harus berhadapan dengan kita!
Aku harus segera kembali. Uruslah mayat-mayat itu baik-baik. Kasihan sekali
tokoh-tokoh persilatan itu. Jauh-jauh mereka datang, ternyata hanya untuk
menjadi korban pembunuh biadab itu."
Setelah berkata demikian, Dirjalaga segera mengajak anak buahnya untuk
meninggalkan tempat itu.
*** Dirjalaga dan pasukan kecilnya bergegas kembali ke pusat kota. Mereka menduga,
si pembunuh itu pasti telah berada di dalam kotaraja. Maka mereka harus bergegas
untuk mencegah perbuatan orang biadab itu yang mungkin akan melakukan pem-
bunuhan lagi! Belum lagi Dirjalaga dan pasukannya sempat memasuki pusat kota, tiba-tiba saja
sepasang matanya menangkap kelebatan beberapa sosok bayangan di depannya. Cepat-
cepat ia melompat menghadang.
"Hei, berhenti...!" bentak Dirjalaga.
Sambil melompat menghadang, Dirjalaga mencabut keluar senjatahya. Dan perwira
itu begitu terkejut melihat sosok tubuh tinggi besar bersama seekor serigala
besar yang nampak sangat buas. Di belakangnya, terlihat empat sosok tubuh
berseragam hitam yang mengenakan penutup kepala.
"Grrhhh...!"
Serigala bermata merah saga itu menggereng, sambil menatap Dirjalaga. Binatang
buas yang siap menerkam itu melangkah mundur sambil menggereng lirih ketika
mendengar siulan majikannya. Meskipun begitu, sepasang matanya yang memancarkan
kekuatan gaib itu tetap menatap ke arah Dirjalaga.
"Binatang iblis...!" desis Dirjalaga.
Tubuh perwira itu bergetar, bahkan terasa lemah ketika sempat beradu pandang
dengan sepasang mata liar yang merah dan menakutkan itu. Segera dapat diduga
kalau binatang buas itu pasti bukan binatang sembarangan dan tidak dapat disama-
kan dengan serigala-serigala hutan lainnya. Hal itu terlihat jelas dari perbawa
yang terpancar dari penampilannya. Bahkan suara gerengannya pun terasa
mengandung kekuatan aneh.
Sosok tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikan Dirjalaga. Tangannya
digerakkan, agar empat orang berseragam hitam yang berada di belakangnya
mengatasi Dirjalaga. Sedangkan ia dan serigala bermata merah itu siap
meninggalkan tempat.
"Tunggu...!" teriak Dirjalaga yang segera melompat menghadang sosok tubuh tinggi
besar itu. "Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa seizinku, Kisanak!
Siapakah kalian" Dan apa maksud kalian berkeliaran pada tengah malam seperti
ini?" Dirjalaga berusaha menekan rasa gentar di hatinya. Meski-
pun tahu kalau wajahnya saat itu sangatlah tegang, namun Dirjalaga berusaha
menunjukkan tanggung jawabnya terhadap tugas.
"Hei, Prajurit! Lebih baik jangan mencampuri urusan kami!
Dan biarkanlah ketua kami pergi!" bentak salah seorang berseragam hitam yang
bertubuh tinggi kurus. Suaranya terdengar melengking bagai suara wanita.
Dirjalaga menjadi marah melihat empat orang yang telah berdiri menghadang dengan
senjata terhunus. Sedangkan orang tinggi besar yang disebut sebagai ketua itu
berdiri tegak di belakang empat orang anak buahnya. Tatapan matanya tajam ke
arah Dirjalaga yang seketika itu juga jadi gemetar tubuhnya.
Sehingga tanpa sadar, kakinya bergerak mundur dengan wajah pucat. Hebat sekali
perbawa yang keluar dari sepasang mata tersembunyi di balik kerudung yang
menutupi kepala itu.
Tujuh orang anak buah Dirjalaga yang semula menodongkan tombak, jatuh terduduk
dengan kaki terasa bagai lumpuh.
Tubuh mereka bahkan menggigil hebat bagaikan orang terserang demam. Tentu saja
hal itu membuat sang Pemimpin semakin terkejut.
"Pergilah kalian, Prajurit-Prajurit Bodoh! Tinggalkan tempat ini sebelum
pikiranku berubah!" ancam sosok tubuh tinggi besar itu dengan suara serak dan
berat. Nadanya pun terdengar dingin dan kaku sehingga sanggup membuat seorang
penakut menjadi pingsan seketika itu juga.
"Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup menjadi seorang pengecut yang hanya
jadi bahan tertawaan orang lain!" teriak Dirjalaga mengeraskan hatinya.
Sebagai seorang prajurit yang telah terlatih baik, tentu saja ia tidak takut
mengorbankan nyawa demi kepentingan negara-nya.
Mendengar bantahan Dirjalaga, orang tinggi besar itu terdengar menggeram gusar.
Lalu keempat anak buahnya di-
perintahkan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kemudian, pandangannya kembali
dialihkan kepada Dirjalaga yang telah melintangkan pedang di depan dada.
"Bagus...! Hatimu ternyata cukup berani. Hati orang-orang sepertimulah yang
sangat dibutuhkan sahabatku ini untuk menambah kekuatan," kata orang tinggi
besar itu, yang kemudian disambut gerengan serigala yang berada di samping-nya.
"Apa..., apa maksudmu...?" tanya Dirjalaga dengan wajah semakin pucat. Hatinya
bergidik ngeri karena sudah dapat menduga maksud ucapan orang itu.
"Auuungngng...!"
Serigala itu tiba-tiba melolong panjang, seperti sudah mengerti ucapan
majikannya. "Nah, dengarlah. Sahabatku ini sudah tidak sabar untuk segera mengunyah hatimu."
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu pun bersuit perlahan.
"Ahhh...!"
Dirjalaga melangkah mundur ketika melihat serigala itu sudah melangkah perlahan
mendekatinya. Sedangkan orang tinggi besar itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Hiaaa...!"
Untuk menguatkan hatinya, Dirjalaga berteriak sekuat-kuatnya. Kemudian
senjatanya digerakkan untuk melindungi tubuh.
"Grrhhh...!"
Serigala buas itu menggereng lirih sambil memperlihatkan taringnya yang runcing
bagaikan ujung-ujung pedang yang siap merobek tubuh. Sepasang matanya yang merah
itu menatap calon korbannya lekat-lekat Sesaat kemudian, tubuh binatang itu
melompat menerkam.
"Yeaaah...!"
Melihat serigala itu sudah mulai menerjang, Dirjalaga mengayunkan senjata untuk
menebas putus tubuh binatang itu.
Namun laki-laki gemuk itu menjadi terkejut bukan main ketika serigala itu
ternyata mampu mengelakkan sambaran senjatanya.
Bahkan kecepatannya benar-benar di luar dugaan. Sehingga Dirjalaga terpaksa
harus melompat mundur untuk menghindari terkaman binatang itu.
"Binatang keparat, mampuslah!" bentak Dirjalaga kembali mengayunkan senjata
ketika serigala itu mengejarnya. "
Bagaikan orang kemasukan setan, pedangnya diayunkan berkali-kali dengan membabi
buta. Namun setiap kali senjatanya menyambar, selalu saja dapat dihindari
binatang itu. Dan setelah melakukan serangan selama sepuluh jurus tanpa hasil, akhirnya laki-
laki gemuk itu tidak mampu lagi untuk menghindari taring, serigala yang
menghunjam urat lehernya.
"Aaargh...!"
Dirjalaga meraung panjang ketika binatang itu merajam tubuh dan mengambil
hatinya. Darah seketika menyembur dari perutnya yang koyak. Lalu, serigala itu
melahapnya dengan rakus di depan tujuh orang prajurit yang hanya dapat memandang
terbelalak penuh kengerian.
"Auuungngng...!"
Serigala siluman itu melolong panjang setelah menelan habis hati Dirjalaga yang
tewas dalam keadaan menyedihkan.
Tubuh ketujuh orang anak buah Dirjalaga menggigil hebat.
Tiga orang di antaranya langsung menggeletak pingsan karena tidak sanggup
menahan rasa takut yang hebat. Bahkan ada yang sampai terkencing-kencing.
"Hm.... Tikus-tikus tidak berguna! Sebaiknya kalian pun kukirim ke akhirat untuk
menemani pemimpinmu itu!" ancam laki-laki tinggi besar sambil melangkah maju
mendekati ketujuh orang prajurit itu.
Tanpa mempedulikan rasa takut mereka, tangan orang itu
bergerak cepat. Terdengar suara keras yang disertai percikan darah segar,
bercampur warna putih kental.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kelima orang prajurit yang masih sadar,
langsung tewas dengan kepala pecah.
Demikian pula kedua orang lainnya yang semula masih tergeletak pingsan. Mereka
juga mengalami nasib yang serupa dengan kelima orang kawannya.
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya, sosok tubuh tinggi besar itu berkelebat
lenyap bersama anak buah dan binatang peliharaannya yang mengerikan.
Malam pun kembali hening. Hanya suara binatang-binatang malam saja yang masih
setia menemani kepekatan. Bau anyir darah mulai menyebar ke sekitarnya.
*** 6 Keesokan harinya suasana kotaraja kembali terjadi kegemparan.
Kejadian kali ini bahkan lebih berat dari sebelumnya. Masalahnya, bukan saja
mayat dua puluh orang tokoh persilatan saja yang tewas dengan kepala terpisah.
Bahkan kini terdapat tujuh mayat prajurit dan seorang perwira. Keadaan di tempat
kejadian memang telah dikerumuni orang. Sebagian, malah ada yang muntah-muntah.
Di antara kerumunan itu tampak seorang pemuda berjubah putih dan seorang gadis
berpakaian serba hijau. Di samping itu, ada pula dua orang pemuda. Seorang
bertubuh gagah. Dan seorang lagi berwajah tampan.
"Gila! Ini sudah keterlaluan!" teriak seorang lelaki gagah yang mengenakan
pakaian perwira. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya. Makanya,
dia langsung mendatangi tempat itu. Dan kini hatinya benar-benar marah setelah
menyaksikan kekejaman itu.
"Kita harus segera mengambil tindakan. Kalau tidak, maka iblis itu akan semakin
mengganas!" tegas laki-laki lain yang berpakaian perwira juga. Laki-laki
bertubuh kekar berusia lima puluh tahun lebih itu mengepalkan tinjunya dengan
wajah terbakar.
"Ya! Kita harus mengadakan pembersihan! Mulai hari ini, tidak ada seorang pun
yang boleh membawa-bawa senjata. Bagi mereka yang akan mengikuti ujian, akan
kita kembalikan senjatanya di waktu ujian nanti. Sekarang juga kita harus
menyita setiap senjata yang dibawa tokoh-tokoh persilatan."
Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk segera menguburkan mayat-mayat,
kedua orang perwira itu bergegas meninggalkan tempat. Mereka juga segera
menyiapkan pasukan untuk mengadakan pembersihan besar-besaran.
"Celaka! Kita harus segera meninggalkan kotaraja sekarang juga, Kakang!" bisik
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau kepada seorang pemuda tampan
berjubah putih.
Kemudian keduanya bergegas menyeruak di antara kerumunan orang yang tengah
menyaksikan puluhan sosok mayat yang mengerikan itu. Dua orang pemuda lainnya
bergegas mengikuti kedua orang itu.
"Hhh..., keadaan sudah semakin gawat! Dengan adanya peraturan yang baru
dikeluarkan itu, kita tidak bisa bergerak leluasa untuk melakukan penyelidikan.
Entah apa yang harus diperbuat sekarang?" desah pemuda tegap berwajah gagah,
dengan suara rendah.
"Tenanglah, Balira. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari kotaraja
secepatnya. Setelah itu, baru dipikirkan langkah apa yang akan kita ambil,"
sahut pemuda berjubah putih yang tak lain adalah Panji.
"Kakang Panji benar, Kakang Balira," timpal pemuda tampan berwajah halus yang
tak lain Lunjita. "Ayolah kita bergegas sebelum perintah itu menyebar luas.
Masalahnya kalau sudah demikian, kita pasti akan kesulitan keluar dari wilayah
kotaraja ini."
Keempat orang sahabat itu segera mengerahkan ilmu lari cepatnya begitu tiba di
tempat yang agak sepi. Setidaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Panji, Kenanga, Balira dan Lunjita rnenjadi terkejut ketika tahu kalau yang akan
meninggalkan kotaraja ternyata bukan hanya mereka berempat. Tapi banyak juga
tokoh persilatan lainnya yang sudah bergerak meninggalkan kota itu. Mereka rata-
rata bergerak menuju pintu gerbang sebelah Barat, karena hanya di situlah tempat
yang sepi dan jarang dilewati orang.
Para tokoh persilatan yang hendak meninggalkan kotaraja semakin mempercepat
larinya ketika mendengar suara derap kaki kuda di belakang mereka.
"Saudara-saudara harap berhenti sebentar...!"
Terdengar sebuah seruan yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Sehingga
sebelum si empunya suara muncul, suaranya sudah terdengar jauh ke depan.
Namun tokoh-tokoh persilatan itu sama sekali tidak mem-pedulikannya. Bahkan
mereka semakin mempercepat larinya menuju pintu gerbang yang hanya tinggal
beberapa belas tombak lagi itu. Mereka sebenarnya bukan karena takut menghadapi,
tapi hanya sekadar menghindar. Ini dilakukan agar senjata mereka tidak dirampas
prajurit. Dan kalau mereka melawan, akan dituduh memberontak.
Bagi Panji dan Kenanga, sebenarnya mudah saja untuk segera melewati pintu
gerbang itu. Dan memang, dengan kepandaian yang dimiliki, mereka dapat bergerak
jauh lebih cepat daripada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Ini karena ilmu
meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf kesempurna-an. Namun karena merasa
tidak tega terhadap kedua orang sahabatnya, maka mereka tidak melakukan hal itu.
Keduanya tetap berlari di samping Balira dan Lunjita.
"Sahabat-sahabat, sekali lagi kami peringatkan! Berhenti atau kalian semua akan
ditangkap dan dituduh sebagai pemberontak!"
Teriakan itu kembali terdengar. Bahkan kali ini disertai sebuah ancaman yang mau
tak mau membuat para tokoh persilatan itu agak memperlambat larinya. Beberapa
orang di antaranya menoleh ke belakang, untuk melihat rombongan berkuda yang
tengah mengejar.
"Persetan dengan ancaman itu! Kalau senjata-senjata kita disita, lalu bagaimana
harus melindungi diri dari ancaman pembunuh biadab itu?" rungut salah seorang
tokoh. Dia rupanya tidak bersedia mengikuti perintah itu, dan malah semakin mempercepat
larinya. Apa lagi pintu gerbang sudah tinggal sekitar sepuluh tombak. Tentu saja
ucapan orang itu membuat yang lain kembali mempercepat larinya. Lagi pula, bagi seorang tokoh
persilatan, senjata merupakan nyawa kedua. Dan ingatan itu membuat para tokoh
persilatan kembali mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mencapai pintu gerbang.
Lelaki gagah berpakaian perwira yang memimpin dua puluh lebih prajurit, menjadi
geram ketika melihat para tokoh persilatan tetap membandel. Maka kejengkelannya
pun semakin menjadi-jadi.
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan seorang pun dari mereka yang melewati
pintu gerbang!" teriak perwira itu disertai pengerahan tenaga dalamnya.
Akibatnya, suaranya dapat terdengar jelas oleh para prajurit yang menjaga
gerbang sebelah Barat itu.
Para prajurit pintu gerbang yang semula tidak mengerti mengapa orang-orang itu
berlari menuju pintu gerbang, tersentak kaget setelah mendengar perintah itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, beberapa orang dari penjaga itu bergegas
menutup pintu gerbang. Sedangkan kepala jaga pintu gerbang dan prajurit lainnya
berdiri menghadang jalan dengan senjata terhunus. Meskipun mereka sama sekali
belum mengetahui penyebab para tokoh persilatan itu berlarian, namun gerakan
mereka begitu sigap, menuruti perintah atasannya.
Serentak para tokoh persilatan itu menghentikan larinya ketika melihat pintu
gerbang telah bergerak menutup.
Beberapa orang tokoh persilatan menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah
rombongan berkuda yang mengeluarkan perintah itu.
"Tenang, Saudara-Saudara! Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Tapi kalau
boleh bertanya, apakah yang menyebabkan kalian hendak meninggalkan kotaraja ini"
Apakah kalian tidak berniat untuk mengikuti ujian yang akan dibuka Gusti Prabu"
Bukankah itu yang menjadi tujuan utama kalian
untuk datang ke kotaraja ini?" tanya perwira bertubuh tegap dan gagah itu sambil
melompat turun dari atas punggung kuda.
Salah seorang tokoh persilatan bergegas maju dan menghadapi perwira gagah itu.
"Tuan Perwira. Memang betul, beberapa orang di antara kami mempunyai tujuan
seperti yang Tuan katakan itu. Tapi yang membuat kami hendak meninggalkan
kotaraja dan membatalkan niat itu, adalah rasa keberatan untuk menyerahkan
senjata yang kami miliki. Dan menurut hamba, semua tokoh yang sekarang ada di
sini sudah pasti merasa keberatan dengan keputusan yang diambil itu," jelas
tokoh persilatan itu.
Dia berwajah tampan dan masih termasuk muda. Usianya paling banyak baru sekitar
tiga puluh tahun. Kata-katanya dikeluarkan dengan suara lantang, meskipun tetap
penuh rasa hormat. Karena yang dihadapinya itu adalah seorang pembesar kerajaan
yang memang harus dihormati.
"Maaf, Kisanak. Keputusan yang kuambil itu tentu saja bukan karena mencurigai
kalian semua. Tapi semua ini dilakukan demi kebaikan semua tokoh persilatan yang
saat ini berada di dalam kotaraja. Hal itu kuambil agar tidak terjadi perpecahan
dan saling curiga di antara kalian. Sedangkan senjata kalian akan kami
kembalikan pada saat ujian dilangsungkan.
Sedangkan bagi para tokoh yang datang hanya untuk menyaksikan, maka senjatanya
akan dikembalikan setelah ujian selesai. Nah, apakah keputusan yang kuambil itu
salah?" jelas si perwira itu.
Dia sama sekali tidak marah mendengar bantahan tokoh muda itu. Karena semua yang
dikatakannya memang sebuah kebenaran.
"Maaf, Tuan Perwira, bukan hamba bermaksud membantah ataupun menentang keputusan
yang telah diambil itu. Tapi perlu diketahui, pedang atau senjata lainnya bagi
seorang tokoh persilatan merupakan nyawa kedua. Dan lagi, kalau tanpa
senjata di tangan, lalu bagaimana kami harus menghadapi si pembunuh apabila
datang kepada kami" Sedangkan dengan menggunakan senjata saja kami masih ragu
untuk dapat mempertahankan nyawa. Lalu, bagaimana kalau kami tidak bersenjata?"
kilah tokoh muda berwajah gagah itu. Dan memang, secara tidak langsung para
tokoh lainnya seperti telah menunjuk pemuda itu sebagai wakil mereka. Sehingga,
mereka hanya ikut mendengar perdebatan yang berlangsung cukup seru itu.
"Tapi maaf, Kisanak. Sayangnya keputusan itu bukan hanya datang dari seorang
saja. Ketentuan itu sudah menjadi keputusan rapat beberapa orang perwira yang
bertugas menjaga keamanan penduduk maupun orang-orang yang berada dalam
lingkungan kotaraja. Namun demikian, kami juga berjanji akan menjaga keselamatan
semua tokoh persilatan yang datang ke kotaraja dengan taruhan nyawa. Jadi,
diharap sudilah saudara-saudara menolong kami untuk menyingkap tabir pembunuh
yang selama ini masih belum berhasil ditemukan," sanggah perwira itu dengan
suara tenang dan lembut
Sikap perwira itu, sama sekali tidak menunjukkan kesombongan. Padahal kalau mau,
ia dapat saja memaksa dengan menggunakan kekerasan.
Mendengar ucapan perwira dan janji yang diberikan perwira gagah berusia setengah
baya itu, beberapa orang tokoh persilatan segera melangkah maju ke arah
rombongan prajurit berkuda itu.
"Baiklah. Kami bersedia kembali dan menyerahkan senjata untuk dititipkan kepada
Tuan," kata salah seorang tokoh persilatan mewakili kawan-kawannya, sambil
membungkuk hormat kepada si perwira.
"Terima kasih atas kebijaksanaan saudara-saudara sekalian.
Bagaimana dengan yang lainnya?" kata perwira itu sambil tersenyum. Matanya
memandang penuh permohonan ke arah
delapan orang tokoh persilatan yang masih belum bersedia menyerahkan senjatanya.
Termasuk Panji, Kenanga, Balira, dan Lunjita.
Empat orang tokoh itu saling bertukar pandang, seolah-olah meminta pendapat.
Sedangkan Panji, Kenanga, dan dua orang sahabatnya menjadi gelisah. Dan memang,
niat mereka memasuki kotaraja adalah untuk menyelidiki tentang pembunuhan.
Apalagi pedang yang berada pada punggung Pendekar Naga Putih bukanlah senjata
sembarangan. Dan bukan tidak mungkin apabila pedang pusakanya diserahkan, para
perwira kerajaan akan tertarik dan menahan pedangnya.
Memikirkan kemungkinan itu, tentu saja Panji menjadi cemas.
Mestikah menyerahkan diri" Atau terpaksa melarikan diri dan dianggap sebagai
pemberontak" Pemuda berjubah putih itu berpikir keras mencari penyelesaian dalam
menghadapi keadaan yang sangat sulit ini.
Dada Panji berdebar ketika melihat keempat orang tokoh persilatan yang semula
bertahan bersamanya, mulai melangkah mendekati pasukan yang dipimpin perwira
gagah itu. Sepertinya keempat orang tokoh itu sudah mengambil keputusan yang
menurut mereka jalan satu-satunya yang paling baik.
"Aku tidak mungkin menyerahkan senjataku ini, Kenanga.
Aku takut mereka akan berpikiran lain begitu melihat pedang pusaka ini," bisik
Panji kepada kekasihnya.
Mendengar bisikan itu, Kenanga baru sadar kalau pedang yang dimiliki kekasihnya
bukan pedang sembarangan. Dan mungkin tidak ada duanya dalam dunia persilatan.
Sadar kalau pemuda itu menyerahkan keputusan di tangannya, Kenanga terpaksa
mengambil keputusan. Padahal, dia semula telah memutuskan untuk menyerahkan
Tanah Kutukan 1 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Hamukti Palapa 8
justru para pengeroyoknya yang kalang-kabut dan mulai dijalari perasaan gentar.
"Heaaat..!"
Pada jurus yang kelima belas, si brewok berseru nyaring.
Tubuhnya kemudian melompat disertai sambaran pedang yang langsung mengancam
empat jalan darah kematian di tubuh Panji. Lima orang pengikutnya juga
membarenginya dengan tusukan pedang yang mengarah ke beberapa bagian tubuh
pemuda berjubah putih itu.
Crakkk! Crakkk...!
"Hahhh...!"
Keenam orang penyerang itu menjadi terkejut ketika tidak mendapati lawan yang
tiba-tiba lenyap begitu saja. Akibatnya, senjata-senjata mereka hanya mengenai
batu dan tanah berumput.
"Aku di sini, Sahabat-sahabat!" seru Panji.
Ternyata Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak sejauh tiga tombak di belakang
para pengeroyoknya. Tentu saja hal itu menjadikan para pengeroyoknya terkejut
setengah mati. Apalagi setelah mendengar suara pemuda itu, yang datang dari arah belakang
mereka. "Gila! Jangan-jangan pemuda berjubah putih itu bukan manusia! Mana mungkin
manusia dapat menghilang seperti setan?" gumam salah seorang pengeroyok yang
semakin gentar dan ngeri melihat kesaktian pemuda berjubah putih itu.
"Setan! Mengapa kau bisanya hanya mengelak saja"! Kalau kau memang memiliki
kepandaian, hayo! Seranglah kami!
Tunjukkan kehebatanmu, Jahanam!" maki lelaki berwajah brewok dengan penuh
kebencian. Hatinya benar-benar penasaran, karena setelah melancarkan serangan
selama dua puluh jurus, tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan membuatnya benar-
benar lelah. "Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud bertarung dengan kalian.
Sebab, di antara kita tidak terdapat permusuhan. Tapi kalau kalian memang
menginginkannya, bersiaplah! Sambutlah seranganku!" sahut Panji tenang.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat
lenyap, hingga yang tampak hanyalah bayangan putih yang berkelebat cepat
bagaikan hantu.
Plak! Plak! Plak...!
"Aaakh...!"
Setelah Panji melancarkan serangan kurang lebih sebanyak tiga jurus, enam orang
di antara pengeroyoknya sudah ber-tumbangan saling tumpang tindih. Mereka semua
rebah pingsan akibat tamparan yang dilancarkan pendekar muda itu, yang dialiri
tenaga dalam lumayan.
Si brewok semakin murka hatinya melihat akibat serangan yang dilancarkan pemuda
tampan itu. Disertai pekik kemarahan, diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan
jurus-jurus andalan yang sangat jarang digunakan.
Wuuut! Wuuut! Pedang di tangan si brewok berkelebat hingga bentuknya lenyap, sehingga
menyerupai sebentuk sinar yang bergulung-gulung. Sinar pedang itu bergerak turun
naik bagai gelombang ombak yang menyerbu pantai. Kalau saja bukan Pendekar Naga
Putih, pasti akan tewas dan tidak mampu menghindari jurus maut yang mematikan
itu. Menghadapi serangan laki-laki brewok yang memang memiliki kepandaian paling
tinggi di antara lainnya, Panji bersikap lebih hati-hati. Kedua kakinya
melangkah mundur menghindari sambaran lawan. Sesekali sepasang tangannya
bergerak bergantian, menangkis pukulan tangan kiri dan tendangan. Dan setiap
kali tangannya bergerak menangkis, tendangan dan pukulan lawan terpental balik.
Bahkan tubuhnya juga terjajar mundur ke belakang. Untunglah Panji sampai saat
itu masih belum menggunakan seluruh tenaganya.
Pada jurus yang ketiga puluh dua, Panji menggeser kakinya ke kanan disertai
egosan tubuhnya. Begitu sambaran pedang si brewok lewat, tangan kirinya bergerak
cepat menangkap
pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Seketika pemuda membarenginya
dengan hantaman sikut kanan ke iga lawan. Gerakan yang cepat dan tidak terduga
itu membuat lawan tidak mampu lagi menghindar. Dan....
Tappp! Desss! "Aaakh...!"
Tubuh laki-laki brewok itu terpental ke belakang akibat hantaman sikut yang
cukup keras itu. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terbanting di atas tanah
berumput dan berbatu. Laki-laki itu berusaha bangkit sambil menekap iganya yang
terasa remuk. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan merah.
Wajah-nya yang agak pucat itu menyeringai menahan sakit.
Sedangkan sepasang matanya berputar mencari senjatanya yang terlepas dari
genggaman. Panji yang saat itu sudah mendapat gempuran dari pengeroyok lain, segera
menyelinap di antara empat batang senjata yang mengancam tubuhnya. Tangan dan
kakinya bergerak melakukan tamparan dan tendangan ke arah empat penyerang.
Terdengar teriakan-teriakan ngeri, yang disusul terpentalnya tubuh para
pengeroyok. Keempat orang itu merintih dan mengaduh menahan rasa sakit akibat pukulan dan
tendangan Panji yang cukup keras tadi.
Mereka tidak mampu lagi bergerak, apalagi bangkit berdiri.
Para pengeroyok lainnya yang tinggal tujuh orang langsung bergerak mundur dengan
hati gentar. Tak seorang pun dari mereka yang terlihat hendak menyerang kembali.
Sepertinya, mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kawan-kawannya yang lain.
Kini mereka hanya berdiri sambil menatap pemuda berjubah putih dalam jarak empat
tombak. Pendekar Naga Putih yang melihat lawannya tidak bergerak menyerang, hanya
tersenyum tenang. Sepasang matanya yang tajam menyapu wajah ketujuh orang yang
kembali bergerak mundur dengan hati diliputi ketegangan.
Laki-laki brewok yang menjadi pimpinan dari orang-orang berseragam hitam itu
melangkah terbungkuk-bungkuk sambil sesekali menyeringai menahan sakit. Ia
melewati pengikutnya yang hanya dapat memandang khawatir.
"Hm.... Kali ini kami mengaku kalah kepadamu, Kisanak.
Sebutkan namamu agar kelak kami dapat melunasi hutang ini,"
kata lelaki brewok itu sambil melemparkan pandangan tajam.
"Maaf, Kisanak. Bukan maksudku untuk membuat permusuhan dengan kalian. Tapi
tentu saja aku tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Namaku Panji, seorang
pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Orang-orang rimba
persilatan memberi julukan padaku sebagai Pendekar Naga Putih," sahut Panji
dengan suara tenang dan mantap.
Sama sekali tidak terdengar nada kesombongan ataupun kebanggaan pada saat Panji
menyebutkan julukannya yang terkenal itu. Julukannya disebutkan agar apabila
orang-orang itu hendak mencarinya akan menjadi lebih mudah. Sebagai seorang
pendekar yang berjiwa bersih, maka Pendekar Naga Putih siap menerima akibat
perbuatannya itu.
"Kau... Pendekar Naga Putih...!" teriak lelaki brewok itu dengan wajah berubah
pucat. Tanpa sadar kedua kakinya melangkah mundur, menjauhi pemuda berjubah
putih yang hanya dalam beberapa jurus saja telah dapat membuatnya takluk.
"Pendekar Naga Putih...!"
Beberapa orang pengikut si brewok yang pernah mendengar julukan itu langsung
kaget. Rasa gentar hati mereka semakin bertambah, setelah mendengar julukan
pemuda berjubah putih yang sangat lihai itu.
"Benar, Kisanak. Akulah Pendekar Naga Putih," tegas Panji yang menarik napas
lega ketika melihat orang-orang berseragam hitam itu memandangnya dengan hati
gentar. Diam-diam pemuda itu mencatat dalam hati kalau nama
besar kadang-kadang dapat menyelesaikan persoalan tanpa harus menggunakan
kekerasan. Hal itu dapat dirasakannya dari pandangan orang-orang yang terlihat
segan dan menaruh rasa hormat setelah julukannya diperkenalkan.
Si brewok yang semula belum dapat menerima kekalahannya itu, mengangguk-angguk
puas. Sepertinya kekecewaan akibat kekalahan itu dapat terobati begitu
mengetahui siapa sebenarnya anak muda yang telah mampu mengalahkannya.
Terbersit rasa kebanggaan di hatinya setelah mengetahui kalau pemuda yang telah
mengalahkannya, ternyata seorang pendekar muda yang telah tersohor
kedigdayaannya. Namun demikian, dalam hati kecilnya tetap tersimpan rasa dendam,
karena pendekar muda itu telah mencampuri dan menggagalkan urusannya.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Kau boleh membawa kedua orang pemuda itu karena
kami telah kalah. Tapi, ingat suatu hari nanti, kami akan datang untuk membalas
perbuatan usilmu ini," ancam laki-laki brewok itu lirih, namun mengandung dendam
yang dalam. Setelah berkata demikian, si brewok meninggalkan tempat itu sambil memerintahkan
para pengikutnya untuk membawa teman-teman mereka yang terluka akibat
pertarungan tadi.
Panji berdiri tegak memandangi kepergian belasan orang laki-laki berseragam
hitam itu. Pemuda tampan itu menghembuskan napasnya kuat-kuat seolah merasa
kecewa dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
"Hm.... Sulit sekali untuk menghindari permusuhan meskipun aku telah berusaha
mengalah dan tidak membuat mereka luka berat," desah Pendekar Naga Putih penuh
sesal. Tiba-tiba saja pemuda itu tersentak dari lamunan, karena telah lupa menanyakan
perihal orang itu. Terutama, siapa dan dari mana mereka. Cepat-cepat Panji
melompat ke atas sebongkah baru yang agak tinggi. Namun belasan orang itu
tidak dapat ditemukan. Pada kenyataannya, orang-orang itu memang memasuki hutan
lebat yang tidak jauh di depannya.
Panji membatalkan niatnya untuk mengejar karena sama sekali belum mengetahui
keadaan hutan di depannya itu. Dan hal itu sangat berbahaya, sebab mungkin saja
di sana banyak terdapat jebakan yang dipasang mereka. Dan bukan tidak mungkin
kalau sarang mereka juga di dalam hutan lebat itu.
*** 4 Balira membuka mata ketika tenaganya terasa sudah hampir pulih. Luka bacokan di
paha dan bahu kanannya sudah terbalut rapi. Hanya beberapa luka memar yang masih
tergambar di wajahnya. Pemuda gagah itu bangkit berdiri, lalu memandang
berkeliling. Kemudian, dihampirinya gadis jelita yang saat itu tengah menunggui
Lunjita. "Nisanak, namaku Balira. Aku mengucapkan ribuan terima kasih atas pertolonganmu
dan kawanmu itu. Entah, bagaimana kami bisa membalas kebaikan kalian berdua,"
ucap Balira sambil memperkenalkan diri. Tubuhnya juga membungkuk hormat ke arah
Kenanga yang tersenyum manis.
"Namaku, Kenanga. Oh, ya. Kau tidak perlu sungkan-sungkan, Ki... eh! Balira.
Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong selama hal
itu masih berada dalam jalan yang lurus" Siapa tahu aku dan Kakang Panji akan
membutuhkan pertolongan kalian kelak?" sahut Kenanga juga memperkenalkan diri.
Gadis itu juga bangkit dan membalas penghormatan Balira, selayaknya orang
persilatan. Keduanya menoleh kepada Panji yang saat itu tengah melangkah
mendekati mereka.
"Betul apa yang diucapkan Kenanga, Balira. Dan janganlah merasa berhutang budi.
Kami tidak mengharapkan balas budi dari pertolongan kami ini, karena hal itu
akan mendatangkan beban bagi hati kalian," timpal Panji dengan wajah terhias
senyum cerah. Pemuda berjubah putih itu cepat membungkuk, ketika Balira memberi
penghormatan padanya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kisanak. Bolehkah aku mengetahui nama besarmu?"
tanya Balira. Rupanya pemuda gagah itu belum mengetahui siapa adanya
pemuda tampan yang telah menolongnya. Karena pada saat pertempuran berlangsung,
ia tengah tenggelam dalam semadi sehingga tidak mendengar pembicaraan Panji
dengan orang-orang berseragam hitam yang mengeroyok dan menyiksanya tadi.
"Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberi julukan Pendekar Naga Putih
kepadaku," sahut Panji seraya tersenyum.
"Aaahhh...! Maafkan sikapku yang kurang hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih.
Sudah lama aku mengagumi namamu. Siapa sangka kalau hari ini dapat berjumpa
langsung dengan orangnya. Rasanya aku patut mengucapkan terima kasih kepada
orang-orang berseragam hitam yang telah menyiksaku,"
ucap Balira gembira.
Pemuda gagah itu, kembali membungkuk hormat kepada Panji. Wajahnya seketika
berubah cerah, seolah-olah benar-benar telah melupakan rasa sakit akibat
penyiksaan belasan orang yang telah mengeroyoknya.
"Hei" Mengapa harus berterima kasih kepada mereka, Balira" Apakah kau merasa
senang dengan penyiksaan yang dilakukan orang-orang itu?"
Kenanga tak dapat lagi menahan keheranan hatinya, mendengar ucapan pemuda itu.
Gadis jelita itu menatap wajah Balira lekat-lekat. Kenanga menduga, jangan-
jangan pemuda ini menjadi gila karena luka-lukanya. Tapi, tidak mungkin! Sebab
gadis itu melihat wajah Balira nampak sehat dan tidak menunjukkan kelainan apa-
apa. Tapi mengapa berkata demikian"
"Ha ha ha...! Tentu saja aku harus mengucapkan terima kasih kepada mereka,
Kenanga. Bukankah karena perbuatan mereka aku dapat berjumpa dan bicara langsung
dengan Pendekar Naga Putih" Aku benar-benar merasa gembira sekali!"
sahut Balira. Pemuda itu tertawa hingga tubuhnya yang tegap berguncang-guncang. Sepertinya ia
benar-benar merasa gembira dapat berjumpa pendekar muda yang sudah lama
dikaguminya. "Ooo...," hanya itu yang keluar dari mulut Kenanga.
Gadis itu juga menutupi mulutnya dengan telapak tangan setelah mendengar jawaban Balira.
Tawanya terdengar terkikik karena tidak tahan mendengarnya. Benar-benar
menggelikan. "Ah! Kau membuatku malu saja, Balira. Sudahlah.
Hentikanlah pujianmu itu. Aku takut kalau-kalau kepalaku akan semakin besar saja
karena pujianmu," desah Panji tersipu mendengar jawaban jujur dari Balira. "Oh,
ya. Bagaimana keadaan pemuda yang satunya lagi itu, Kenanga?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih sengaja mengalihkan perhatian, dan ternyata pancingannya
berhasil baik. Mendengar pertanyaan itu, secara serempak Kenanga dan Balira
menoleh ke arah sosok tubuh yang tengah tergolek pulas itu.
"Oh, ya. Bagaimana keadaan Adi Lunjita, Kenanga?" Balira juga bergegas mengikuti
Kenanga yang sudah melangkah mendekati tubuh Lunjita yang terlihat masih agak
pucat itu. Mendengar pertanyaan Balira, Kenanga langsung berhenti.
Ditolehkan kepalanya dengan kening berkerut. Dipandanginya wajah pemuda gagah
itu tajam-tajam, seolah-olah belum mendengar jelas ucapan pemuda itu.
"Adi Lunjita...?" gumam Kenanga, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Nampaknya, dia merasa heran mendengar sebutan itu.
"Ya. Namanya Lunjita. Dan karena usianya masih lebih muda dariku, maka aku
memanggilnya Adi Lunjita," sahut Balira yang merasa heran melihat sikap Kenanga.
Gadis itu seperti merasa bingung mendengar pertanyaan dan sebutan terhadap
pemuda tampan yang bernama Lunjita.
"Oh," Kenanga menganggukkan kepalanya, lalu memaksa untuk tersenyum. "Aku sudah
mengeluarkan semua racun yang
mengendap dalam tubuhnya. Ia hanya memerlukan sedikit pengobatan lagi untuk
memulihkan tenaganya."
"Kakang, apakah kau masih menyimpan obat untuk memulihkan tenaga?" tanya Kenanga
mengalihkan perhatian kepada Panji yang saat itu juga tengah melangkah di
belakangnya. Sepertinya gadis jelita itu hendak mengobati Lunjita sendiri.
Meskipun telah mendapatkan pelajaran ilmu pengobatan dari Panji selama
pengembaraan mereka, namun tidak biasanya gadis itu berbuat demikian. Biasanya
ia selalu meminta Panji untuk mengobati siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
Dan biasanya pula Kenanga hanya menonton, bagaimana cara-nya Pendekar Naga Putih
melakukan pengobatan.
Panji pun sempat tertegun mendengar permintaan gadis jelita itu. Ditatapnya
wajah kekasihnya tajam-tajam. Seolah-olah ingin memastikan isi hati gadis itu.
"Mengapa kau menatapku seperti itu, Kakang" Tidak boleh-kah aku mencoba
menerapkan ilmu pengobatan yang kau ajari selama pengembaraan kita?" desak
Kenanga. Gadis itu sama sekali tidak tersinggung melihat cara Panji saat menatapnya.
Malah gadis itu tersenyum melihat ada sinar kecemburuan dalam tatapan mata
kekasihnya. Hal itu wajar saja, karena orang yang akan diobati Kenanga itu
adalah seorang pemuda. Apalagi dia sangat tampan, dan berkulit halus, meskipun
usianya paling jauh baru sekitar delapan belas tahun.
Namun tetap saja hati Panji merasa tidak enak.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa heran melihat kau sudah bisa menyembuhkan
orang yang terluka karena racun,"
sahut Panji, menyembunyikan perasaan hatinya yang sesungguhnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Naga Putih bergegas mengambil sebutir obat
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulung berwama putih seperti salju.
Persis seperti yang tadi diberikan kapada Balira.
"Terima kasih, Kakang. Kalian ngobrol-ngobrol saja dulu, dan tidak perlu
mengikuti aku. Bisa-bisa aku jadi gugup dan salah mengobati orang jika
ditemani," kilah gadis jelita itu, sehingga membuat Panji dan Balira menahan
langkahnya. Panji dan Balira memutar langkahnya menjauhi Kenanga.
Mereka kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun lebat, sehingga tubuh
teriindung dari sengatan sinar matahari yang memancar terik.
"Nah, Balira. Sekarang ceritakanlah, apa yang menyebabkan kalian berdua sampai
bentrok dengan orang-orang itu?" tanya Panji mencoba mengusir pikiran-pikiran
buruk yang meng-ganggunya.
Pemuda itu berusaha menekan cemburunya. Karena biar bagaimanapun, Pendekar Naga
Putih adalah manusia biasa yang juga bisa dihinggapi rasa cemburu. Dan rasa
cemburu itu adalah wajar, selama tidak berlebihan dan tidak buta.
Balira yang memang sudah berniat untuk menceritakan persoalannya, menarik napas
panjang sejenak. Lalu mulai diceritakannya sebab-sebab orang-orang berseragam
hitam itu mengeroyoknya. Pemuda gagah yang berwatak jujur itu menceritakan apa
adanya, tanpa mengurangi atau menambah-kan ceritanya.
"Sejak semula aku memang sudah merasa ragu kalau kalian yang melakukan perbuatan
yang dituduhkan orang-orang itu.
Dan aku pun dapat memaklumi, mengapa kau sampai meninggalkan penginapan itu
secara diam-diam. Sebab apabila kalian berdua tetap kembali ke penginapan itu,
bukan tidak mungkin akan semakin nyatalah tuduhan itu. Karena hanya kau dan
sahabatmu itulah yang meninggalkan penginapan. Apalagi kalian berdua membawa-
bawa senjata, dan keadaan Lunjita tengah mengalami luka parah," kata Panji
setelah mendengar cerita Balira secara keseluruhan.
Dan Pendekar Naga Putih berjanji untuk menyelidiki
kejadian itu. Paling tidak agar kedua pemuda itu dapat tenang dan tidak menjadi
buronan pemerintah kerajaan.
Balira berkali-kali mengucapkan terima kasih mendengar kesediaan Pendekar Naga
Putih membantu penyelidikan.
Mereka kemudian kembali terlibat pembicaraan lain tentang belasan orang itu.
Juga, tentang keadaan dunia persilatan yang mungkin akan menjadi gempar oleh
peristiwa pembunuhan delapan orang tokoh persilatan yang masih merupakan rahasia
yang belum terungkap.
Matahari sudah semakin naik tinggi. Balira dan Panji sama-sama termenung dan
merayapi daerah sekitarnya dengan pandangan kosong. Sepertinya kedua orang itu
tengah terbawa arus pikiran masing-masing.
Pendekar Naga Putih dan Balira sama-sama menolehkan kepala ketika mendengar
langkah kaki yang mendatangi tempat mereka.
"Bagaimana keadaan sahabatku, Kenanga?" tanya Balira yang segera bangkit dan
menyambut kedatangan gadis jelita itu.
Melihat dari wajah dan sikapnya, jelas sekali kalau dia sangat mengkhawatirkan
keadaan sahabatnya. Dan hal itu kembali membuat kening Kenanga jadi berkerut.
Karena sebagai seorang gadis, ia pun dapat merasakan apa yang saat itu tengah
dirasakan Balira. Kenanga kembali keheranan melihat sikap dan suara Balira yang
terdengar agak bergetar.
"Hm.... Rupanya kau sangat memperhatikan sekali keadaan sahabatmu itu, Balira"
Apakah kalian sudah lama menjadi sahabat?" tanya Kenanga seperti memancing
tanggapan pemuda gagah itu.
Mendengar pertanyaan gadis itu, selebar wajah Balira berubah kemerahan. Segera
ditatapnya wajah Kenanga lekat-lekat, seolah-olah ingin mengetahui maksud gadis
itu yang berkata demikian. Balira semakin salah tingkah ketika melihat sinar
mata penolongnya yang mengandung godaan.
"Apa..., apa maksudmu bertanya demikian, Kenanga?" tanya Balira gugup. Pemuda
gagah itu berusaha menekan gejolak dalam dadanya agar tidak menimbulkan
kecurigaan. "Hei" Kau kenapa, Balira" Apakah pertanyaanku ada yang salah?" Kenanga malah
balik bertanya sambil melemparkan senyum. Sementara Panji hanya berdiri bingung
melihat sikap kedua orang itu yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
Balira menyadari kesalahannya ketika mendengar pertanyaan gadis jelita itu.
"Betapa bodohnya aku! Mengapa harus gugup hanya karena pertanyaan yang
sebenarnya wajar itu?" umpat Balira dalam hati.
Berpikir demikian, Balira tersenyum dan berusaha bersikap wajar seperti biasa.
Sebab pemuda itu tidak ingin kalau sampai rahasianya terbongkar oleh gadis
jelita yang sepertinya sangat cerdik itu.
"Ah! Sama sekali tidak, Kenanga. Pertanyaanmu tidak ada yang salah. Aku memang
belum terlalu lama mengenalnya.
Tapi kami berdua sudah seperti saudara saja layaknya," jawab Balira setelah
dapat menenangkan perasaannya dan kembali bersikap wajar seperti biasa.
"O, begitu?" kata Kenanga sambil tersenyum menggoda.
Sepertinya gadis jelita itu memang sengaja hendak menggoda Balira. Dan memang
Balira jelas terlihat salah tingkah dengan perkataannya itu.
"Ya.... Kira-kira begitulah," desah Balira.
Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan ke tempat sahabatnya yang terlihat
tengah melakukan semadi. Balira yang tidak mau rahasia hatinya diketahui orang
lain, bergegas menghindari Kenanga yang nyata-nyata sengaja menggoda dan me-
mancingnya. "Kau hendak ke mana, Balira?" tanya Panji yang melihat pemuda gagah itu tengah
melangkah turun ke sungai yang
memang berada tepat di bawah mereka.
"Aku..., aku hendak mencuci muka supaya segar," jawab Balira yang terus
melangkah tanpa mem-pedulikan kedua orang penolongnya.
Kenanga hanya tersenyum melihat sikap Balira yang salah tingkah itu. Lalu
pandangannya dialihkan kepada Panji yang saat itu tengah memandangnya.
Panji mengalihkan pandangannya kepada Balira. Ia tidak ingin melihat Kenanga
mengetahui perasaan yang terpancar di matanya. Rupanya bagaimanapun kuatnya
batin pendekar muda itu, tapi tetap saja tidak mampu menahan rasa cemburu di
hatinya. Meskipun hal itu berusaha ditekan dengan membayangkan hal-hal lain,
namun hati kecilnya tetap saja belum dapat menerima perbuatan Kenanga yang
jelas-jelas sangat memperhatikan Lunjita, si pemuda berwajah halus dan tampan
itu. "Kau kenapa, Kakang?" tanya gadis jelita itu seraya memegang lembut lengan
Panji. Wajah gadis itu nampak terhias senyum meski sikap Panji yang dirasakan agak lain
dari biasanya. Namun, sebagai orang yang paling dekat dengan pemuda itu, Kenanga
sudah dapat menduga perasaan kekasihnya saat itu.
"Aku tidak apa-apa," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera menolehkan kepalanya dan menentang pandangan mata
kekasihnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih lahir dan batin pemuda itu
dapat menekan rasa cemburunya meskipun dengan sekuat tenaga.
"Hm... Kau membohongi dirimu sendiri, Kakang. Meskipun kau tidak mengatakannya,
namun aku tahu apa yang kau rasakan saat ini," desah gadis jelita itu lembut
sambil memegang kedua tangan Panji. Sepasang matanya laksana bintang timur itu,
menatap penuh kasih.
"Sungguh! Aku tidak apa-apa, Kenanga," tegas Panji masih
berusaha untuk mengelak. Pemuda itu mencoba tersenyum, namun sayang terlihat
agak getir. "Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. Buanglah rasa-cemburu di hatimu.
Percayalah! Hanya kau laki-laki yang kucintai di dunia ini. Lagi pula, yang kau
cemburui itu adalah seorang wanita yang saat ini tengah menyamar sebagai pria,"
bisik gadis jelita itu dengan suara lirih.
"Maksudmu pemuda yang bernama Lunjita itu...."
"Ya. Dia Seorang wanita. Aku mengetahuinya pada saat tengah melakukan pengobatan
pertama tadi. Itulah sebabnya, mengapa aku tidak memperbolehkan kau untuk
mengobatinya. Sebab apabila kau yang mengobatinya, sudah pasti akan lama sembuhnya," potong
Kenanga, cepat "Hei" Mengapa bisa begitu?" tanya Panji dengan wajah bingung.
"Ya! Sebab sudah pasti Kakang akan berlama-lama mengobatinya. Selain gadis itu
cantik, kulitnya pun halus. Nah!
Lelaki mana yang tidak suka berlama-lama memandangi kulit tubuh yang halus?"
jelas Kenanga seraya tertawa terkikik.
Mendengar ucapan kekasihnya, Panji sama sekali tidak marah. Sebaliknya, dia
malah tertawa terbahak-bahak. Sehingga mau tak mau Kenanga menjadi heran
dibuatnya. "Ah! Mudah-mudahan saja lain kali dia terluka kembali, dan berjumpa lagi
denganku. Dengan begitu, bukankah aku mempunyai kesempatan untuk mengobatinya"
Wah! Sudah pasti akan menyenangkan sekali!" ledek Panji sambil tertawa terbahak-
bahak. "Aaa...," Kenanga merengek manja sambil memukuli dada bidang Pendekar Naga
Putih. Sebentar kemudian mereka tertawa gembira.
Balira yang masih berada di sungai mengerutkan keningnya ketika mendengar tawa
kedua orang penolongnya itu. Hatinya menduga-duga, mungkin saja Kenanga sudah
mengetahui rahasia sahabatnya dan mengatakan kepada Panji. Dan kini mereka berdua
menertawakan dirinya. Seketika seluruh wajah Balira berubah merah saat
memikirkan hal itu. Dan ia menjadi bertambah malu ketika teringat, bagaimana dia
sangat mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya di depan Kenanga tadi.
Bahkan gadis jelita itu sempat pula menggodanya meski tidak terlalu kentara.
Pemuda tegap berwajah gagah itu semakin kikuk ketika melihat Panji, Kenanga, dan
Lunjita tengah melangkah meng-hampirinya. Untuk menenangkan hatinya, maka Balira
berpura-pura sibuk menggosok-gosokkan wajah dengan air sungai yang disendok
menggunakan kedua tangannya.
"Cepatlah, Balira. Bukankah kita hendak menyelidiki pembunuhan itu?" tegur Panji
mengingatkan akan rencana mereka.
"Ya, tunggulah sebentar!" sahut Balira tanpa berani menolehkan wajahnya. "Ah,
kau sudah sembuh, Adi Lunjita"
Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku sudah merasa khawatir sekali melihat
keadaanmu yang kian memburuk itu. Untunglah, kedua orang penolong kita yang
berkepandaian tinggi ini juga memiliki ilmu pengobatan, sehingga nyawamu masih
bisa diselamatkan. Berterima kasihlah kepada mereka, Adi Lunjita,"
kata Balira yang merasa girang karena dapat bersikap wajar dan bebas seperti
biasa. Pemuda gagah itu tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah Kenanga. Gadis
itu tampak agak bingung melihat sikap pemuda itu yang wajar dan tidak dibuat-
buat "Tentu saja aku sudah berterima kasih kepada mereka, Kakang. Lebih-lebih
terhadap Nini Kenanga yang telah rela bersusah-payah menyelamatkan diriku,"
sahut Lunjita seraya tersenyum manis.
Sikapnya tampak wajar, karena memang belum mengetahui kalau rahasia
penyamarannya telah diketahui Balira dan Kenanga. Kalau saja ia mengetahuinya,
tentu tidak akan
bersikap sewajar itu. Bahkan mungkin akan pergi meninggalkan sahabatnya.
Kenanga yang semula menduga kalau Balira sudah mengetahui rahasia itu, juga
meragukan dugaannya. Ia hanya berdiri menatap wajah kedua orang sahabat itu
dengan pandangan penuh selidik. Gadis itu baru tersadar dari lamunannya ketika
mendengar ajakan Panji.
"Ayolah kita ke kotaraja," ajak Panji kepada ketiga orang itu.
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya mendahului
mereka. Tanpa berkata sepatah pun, ketiga orang itu bergegas melangkah mengikuti Panji
yang tengah menyeberangi sungai.
Saat itu hari sudah menjelang sore.
*** 5 Malam telah menampakkan kekuasaannya di permukaan bumi.
Bulan sepotong yang menggantung menghiasi sang malam, sinarnya tak kuasa
menerobos kepekatan. Angin berhembus kencang, menebarkan hawa aneh. Sehingga
suasana malam terasa semakin mencekam.
"Auuungngng...!"
Lolongan serigala yang disertai hembusan angin dingin, semakin menimbulkan
keseraman. Apalagi, saat itu suasana Kotaraja Batu Jajar tengah dicekam oleh
pembunuhan yang belum terungkapkan. Maka, semakin lengkaplah suasana yang
mencekam itu. Karena, ternyata korbannya juga meluas ke beberapa penduduk.
Semenjak berita pembunuhan tersebar, para penduduk di kota itu sudah menutup
pintu rapat-rapat begitu kegelapan mulai menyelimuti bumi. Para suami menyuruh
anak istrinya untuk segera tidur, sementara dirinya sendiri berjaga-jaga dengan
senjata terhunus. Peristiwa berdarah itu membuat penduduk kotaraja dicekam
ketakutan hebat. Dan sedikit ketukan pintu di rumah mereka saja, telah sanggup
untuk membuat kalang-kabut. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya ketakutan yang
melanda hati mereka.
Lain halnya dengan para prajurit kerajaan. Semenjak peristiwa itu, mereka
semakin giat berjaga-jaga. Bahkan para prajurit yang meronda pun semakin
diperbanyak. Tentu saja hal itu dimaksudkan untuk menenangkan hati penduduk yang
tengah dicekam ketakutan. Dan dengan banyaknya peronda yang berkeliaran,
diharapkan para penduduk menjadi sedikit tenang.
"Hei" Kalian dengar lolongan serigala itu?" tanya salah
seorang prajurit peronda kepada kawannya.
"Ya! Aku pun mendengarnya. Sepertinya, peristiwa itu akan terulang kembali.
Bukankah menurut keterangan salah seorang yang melihat, lolongan itu juga
terdengar sebelum terjadinya pembunuhan?" timpal kawannya. Suaranya terdengar
kering, karena hatinya mulai dilanda ketegangan.
"Jangan ribut! Yang penting saat ini, kita harus lebih meningkatkan
kewaspadaan!" bentak seorang perwira yang mengepalai para prajurit. Suaranya
ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras. Lalu, anak buahnya yang
berjumlah tujuh orang itu diajak untuk mencari sumber lolongan serigala tadi.
Tujuh orang prajurit itu bergegas mengikuti pemimpinnya tanpa banyak bicara
lagi. Mereka terus berputar menuju perbatasan sebelah Barat yang memang agak
sepi. Dari situ mereka terus ke gardu penjagaan.
Ketika mereka hampir mencapai pintu gerbang sebelah Barat, sang Pemimpin
mengisyaratkan untuk berhenti dengan menggerakkan tangan kirinya. Wajahnya
berubah tegang ketika lapat-lapat tercium bau anyir darah yang dibawa angin.
Dengan gerakan perlahan, segera pedang yang tergantung di pinggang dicabutnya.
Lalu, kakinya melangkah hati-hati menuju gardu jaga yang hanya tinggal sepuluh
tombak di depannya.
Keningnya seketika berkerut ketika tidak melihat adanya obor di tempat itu.
"Aneh" Mengapa mereka tidak menggunakan obor?" gumam sang Pemimpin semakin
bertambah curiga.
Pemimpin itu menoleh ke belakang, lalu meminta sebuah obor yang dipegang salah
seorang anak buahnya dengan menggunakan isyarat. Kemudian langkahnya diteruskan
dengan lambat-lambat, mendekati gardu jaga.
"Ah...!"
Sambil berseru tertahan, perwira itu melompat mundur
sejauh setengah tombak lebih. Sepasang matanya membelalak lebar memandang
sesosok tubuh yang tergeletak di depannya.
Hampir saja kakinya menginjak mayat tanpa kepala, karena perhatiannya tertuju ke
gardu jaga. Tujuh orang prajurit yang mengiringi di belakang, tentu saja juga jadi terkejut
melihat pemimpin mereka melompat ke belakang. Tanpa diperintah lagi, mereka
segera menyebar sambil menodongkan ujung tombak dan siap menghadapi kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Gila!" maki perwira itu dengan wajah agak pucat Hati perwira itu kini bertambah
geram ketika menemukan lima mayat lain yang juga tanpa kepala.
Keenam mayat itu ditemukannya di sepanjang jalan menuju gerbang sebelah Barat.
Hati laki-laki gemuk berusia sekitar empat puluh lima tahun itu semakin
bertambah cemas akan nasib para penjaga perbatasan.
Setelah memberi isyarat kepada anak buahnya untuk maju, laki-laki bertubuh gemuk
itu melangkahkan kakinya. Sikapnya tampak semakin hati-hati. Dan apa yartg
dikhawatirkan ternyata beralasan. Sebab di dekat gardu penjagaan itu, terlihat
belasan sosok tubuh berseragam prajurit tengah bergeletakan tumpang tindih.
Namun hatinya menjadi lega, karena ternyata belasan prajurit itu hanya pingsan.
"Bawa mereka masuk!" perintah perwira itu. Sementara ia sendiri segera
mengangkat tubuh kepala jaga yang juga tergeletak pingsan. Kemudian segera
disadarkannya mereka satu-persatu.
"Kakang Dirjalaga...!" seru si kepala jaga begitu tersadar dari pingsannya.
Cepat-cepat kepala jaga itu memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak di
depan hidung kepada perwira yang ternyata bernama Dirjalaga.
"Hm.... Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di tempat ini,
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adi?" tanya Dirjalaga. Suaranya terdengar beat karena masih merasa geram dengan
adanya kejadian itu.
Kepala jaga itu menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan dirinya.
Seolah-olah, apa yang akan disampaikan itu adalah cerita yang sangat
menyeramkan. Sehingga, mau tak mau Dirjalaga menjadi tegang juga.
Dengan penuh perhatian, Dirjalaga mendengarkan penuturan kepala jaga itu.
Sedikit pun, ia tidak memotong cerita orang itu. Tentu saja agar didapat
keterangan lengkap dan terperinci.
"Menurut dugaanku, mereka yang terbunuh pasti tokoh persilatan. Mereka berniat
menyelidiki tentang pembunuhan delapan tokoh persilatan lain yang terjadi
kemarin malam," jelas si kepala jaga menutup ceritanya.
"Apakah kau tidak mendengar ribut-ribut sebelum keenam orang itu terbunuh?"
tanya Dirjalaga seraya, mengerutkan keningnya.
"Sama sekali tidak, Kakang. Semua itu terjadi demikian cepat. Baru saja kami
hendak keluar untuk melihatnya, tahu-tahu saja telah berdiri sesosok tubuh
tinggi besar bersama seekor serigala besar bermata merah menakutkan. Dan setelah
itu kami tidak ingat apa-apa lagi, sampai tahu-tahu Kakang telah berada di
sini," lanjut kepala jaga itu sungguh-sungguh.
"Jadi, kau tidak tahu apa yang telah membuat kau dan anak buahmu pingsan?" desak
Dirjalaga dengan wajah membayangkan keheranan besar.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku hanya melihat sosok tinggi besar itu melompat ke
arahku dengan kecepatan luar biasa.
Itulah yang kuingat," jawab orang itu sambil menghela napas berat. Sepertinya ia
masih merasa ngeri dengan kejadian yang dialaminya.
"Hm.... Aneh! Mengapa orang itu tidak membunuh kalian?"
gumam Dirjalaga yang kemudian beranjak bangkit dan berjalan
ke arah pintu. Laki-laki gemuk berkumis lebat itu memutar otaknya berusaha
mencari jawaban.
"Mungkin ia tidak ingin berurusan dengan tentara kerajaan, sehingga tidak
membunuh kami semua. Sepertinya ia hanya membunuhi semua tokoh persilatan yang
datang ke kotaraja ini, Kakang. Hanya saja, untuk apa mereka membunuh, kami
belum tahu," sahut kepala jaga itu mengemukakan pendapat-nya.
"Hm.... Dugaanmu itu cukup beralasan, Adi. Tapi, dengan melakukan pembunuhan di
wilayah kotaraja, bukankah itu sama artinya menantang pihak pemerintah?" kata
Dirjalaga, meminta pendapat
"Sepertinya ia tidak berpikir sejauh itu, Kakang," kata kepala jaga sambil
mengangguk-angguk membenarkan ucapan Dirjalaga.
"Sudahlah. Apa pun maksud pembunuh itu, ia tetap harus berhadapan dengan kita!
Aku harus segera kembali. Uruslah mayat-mayat itu baik-baik. Kasihan sekali
tokoh-tokoh persilatan itu. Jauh-jauh mereka datang, ternyata hanya untuk
menjadi korban pembunuh biadab itu."
Setelah berkata demikian, Dirjalaga segera mengajak anak buahnya untuk
meninggalkan tempat itu.
*** Dirjalaga dan pasukan kecilnya bergegas kembali ke pusat kota. Mereka menduga,
si pembunuh itu pasti telah berada di dalam kotaraja. Maka mereka harus bergegas
untuk mencegah perbuatan orang biadab itu yang mungkin akan melakukan pem-
bunuhan lagi! Belum lagi Dirjalaga dan pasukannya sempat memasuki pusat kota, tiba-tiba saja
sepasang matanya menangkap kelebatan beberapa sosok bayangan di depannya. Cepat-
cepat ia melompat menghadang.
"Hei, berhenti...!" bentak Dirjalaga.
Sambil melompat menghadang, Dirjalaga mencabut keluar senjatahya. Dan perwira
itu begitu terkejut melihat sosok tubuh tinggi besar bersama seekor serigala
besar yang nampak sangat buas. Di belakangnya, terlihat empat sosok tubuh
berseragam hitam yang mengenakan penutup kepala.
"Grrhhh...!"
Serigala bermata merah saga itu menggereng, sambil menatap Dirjalaga. Binatang
buas yang siap menerkam itu melangkah mundur sambil menggereng lirih ketika
mendengar siulan majikannya. Meskipun begitu, sepasang matanya yang memancarkan
kekuatan gaib itu tetap menatap ke arah Dirjalaga.
"Binatang iblis...!" desis Dirjalaga.
Tubuh perwira itu bergetar, bahkan terasa lemah ketika sempat beradu pandang
dengan sepasang mata liar yang merah dan menakutkan itu. Segera dapat diduga
kalau binatang buas itu pasti bukan binatang sembarangan dan tidak dapat disama-
kan dengan serigala-serigala hutan lainnya. Hal itu terlihat jelas dari perbawa
yang terpancar dari penampilannya. Bahkan suara gerengannya pun terasa
mengandung kekuatan aneh.
Sosok tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikan Dirjalaga. Tangannya
digerakkan, agar empat orang berseragam hitam yang berada di belakangnya
mengatasi Dirjalaga. Sedangkan ia dan serigala bermata merah itu siap
meninggalkan tempat.
"Tunggu...!" teriak Dirjalaga yang segera melompat menghadang sosok tubuh tinggi
besar itu. "Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa seizinku, Kisanak!
Siapakah kalian" Dan apa maksud kalian berkeliaran pada tengah malam seperti
ini?" Dirjalaga berusaha menekan rasa gentar di hatinya. Meski-
pun tahu kalau wajahnya saat itu sangatlah tegang, namun Dirjalaga berusaha
menunjukkan tanggung jawabnya terhadap tugas.
"Hei, Prajurit! Lebih baik jangan mencampuri urusan kami!
Dan biarkanlah ketua kami pergi!" bentak salah seorang berseragam hitam yang
bertubuh tinggi kurus. Suaranya terdengar melengking bagai suara wanita.
Dirjalaga menjadi marah melihat empat orang yang telah berdiri menghadang dengan
senjata terhunus. Sedangkan orang tinggi besar yang disebut sebagai ketua itu
berdiri tegak di belakang empat orang anak buahnya. Tatapan matanya tajam ke
arah Dirjalaga yang seketika itu juga jadi gemetar tubuhnya.
Sehingga tanpa sadar, kakinya bergerak mundur dengan wajah pucat. Hebat sekali
perbawa yang keluar dari sepasang mata tersembunyi di balik kerudung yang
menutupi kepala itu.
Tujuh orang anak buah Dirjalaga yang semula menodongkan tombak, jatuh terduduk
dengan kaki terasa bagai lumpuh.
Tubuh mereka bahkan menggigil hebat bagaikan orang terserang demam. Tentu saja
hal itu membuat sang Pemimpin semakin terkejut.
"Pergilah kalian, Prajurit-Prajurit Bodoh! Tinggalkan tempat ini sebelum
pikiranku berubah!" ancam sosok tubuh tinggi besar itu dengan suara serak dan
berat. Nadanya pun terdengar dingin dan kaku sehingga sanggup membuat seorang
penakut menjadi pingsan seketika itu juga.
"Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup menjadi seorang pengecut yang hanya
jadi bahan tertawaan orang lain!" teriak Dirjalaga mengeraskan hatinya.
Sebagai seorang prajurit yang telah terlatih baik, tentu saja ia tidak takut
mengorbankan nyawa demi kepentingan negara-nya.
Mendengar bantahan Dirjalaga, orang tinggi besar itu terdengar menggeram gusar.
Lalu keempat anak buahnya di-
perintahkan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kemudian, pandangannya kembali
dialihkan kepada Dirjalaga yang telah melintangkan pedang di depan dada.
"Bagus...! Hatimu ternyata cukup berani. Hati orang-orang sepertimulah yang
sangat dibutuhkan sahabatku ini untuk menambah kekuatan," kata orang tinggi
besar itu, yang kemudian disambut gerengan serigala yang berada di samping-nya.
"Apa..., apa maksudmu...?" tanya Dirjalaga dengan wajah semakin pucat. Hatinya
bergidik ngeri karena sudah dapat menduga maksud ucapan orang itu.
"Auuungngng...!"
Serigala itu tiba-tiba melolong panjang, seperti sudah mengerti ucapan
majikannya. "Nah, dengarlah. Sahabatku ini sudah tidak sabar untuk segera mengunyah hatimu."
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu pun bersuit perlahan.
"Ahhh...!"
Dirjalaga melangkah mundur ketika melihat serigala itu sudah melangkah perlahan
mendekatinya. Sedangkan orang tinggi besar itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Hiaaa...!"
Untuk menguatkan hatinya, Dirjalaga berteriak sekuat-kuatnya. Kemudian
senjatanya digerakkan untuk melindungi tubuh.
"Grrhhh...!"
Serigala buas itu menggereng lirih sambil memperlihatkan taringnya yang runcing
bagaikan ujung-ujung pedang yang siap merobek tubuh. Sepasang matanya yang merah
itu menatap calon korbannya lekat-lekat Sesaat kemudian, tubuh binatang itu
melompat menerkam.
"Yeaaah...!"
Melihat serigala itu sudah mulai menerjang, Dirjalaga mengayunkan senjata untuk
menebas putus tubuh binatang itu.
Namun laki-laki gemuk itu menjadi terkejut bukan main ketika serigala itu
ternyata mampu mengelakkan sambaran senjatanya.
Bahkan kecepatannya benar-benar di luar dugaan. Sehingga Dirjalaga terpaksa
harus melompat mundur untuk menghindari terkaman binatang itu.
"Binatang keparat, mampuslah!" bentak Dirjalaga kembali mengayunkan senjata
ketika serigala itu mengejarnya. "
Bagaikan orang kemasukan setan, pedangnya diayunkan berkali-kali dengan membabi
buta. Namun setiap kali senjatanya menyambar, selalu saja dapat dihindari
binatang itu. Dan setelah melakukan serangan selama sepuluh jurus tanpa hasil, akhirnya laki-
laki gemuk itu tidak mampu lagi untuk menghindari taring, serigala yang
menghunjam urat lehernya.
"Aaargh...!"
Dirjalaga meraung panjang ketika binatang itu merajam tubuh dan mengambil
hatinya. Darah seketika menyembur dari perutnya yang koyak. Lalu, serigala itu
melahapnya dengan rakus di depan tujuh orang prajurit yang hanya dapat memandang
terbelalak penuh kengerian.
"Auuungngng...!"
Serigala siluman itu melolong panjang setelah menelan habis hati Dirjalaga yang
tewas dalam keadaan menyedihkan.
Tubuh ketujuh orang anak buah Dirjalaga menggigil hebat.
Tiga orang di antaranya langsung menggeletak pingsan karena tidak sanggup
menahan rasa takut yang hebat. Bahkan ada yang sampai terkencing-kencing.
"Hm.... Tikus-tikus tidak berguna! Sebaiknya kalian pun kukirim ke akhirat untuk
menemani pemimpinmu itu!" ancam laki-laki tinggi besar sambil melangkah maju
mendekati ketujuh orang prajurit itu.
Tanpa mempedulikan rasa takut mereka, tangan orang itu
bergerak cepat. Terdengar suara keras yang disertai percikan darah segar,
bercampur warna putih kental.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kelima orang prajurit yang masih sadar,
langsung tewas dengan kepala pecah.
Demikian pula kedua orang lainnya yang semula masih tergeletak pingsan. Mereka
juga mengalami nasib yang serupa dengan kelima orang kawannya.
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya, sosok tubuh tinggi besar itu berkelebat
lenyap bersama anak buah dan binatang peliharaannya yang mengerikan.
Malam pun kembali hening. Hanya suara binatang-binatang malam saja yang masih
setia menemani kepekatan. Bau anyir darah mulai menyebar ke sekitarnya.
*** 6 Keesokan harinya suasana kotaraja kembali terjadi kegemparan.
Kejadian kali ini bahkan lebih berat dari sebelumnya. Masalahnya, bukan saja
mayat dua puluh orang tokoh persilatan saja yang tewas dengan kepala terpisah.
Bahkan kini terdapat tujuh mayat prajurit dan seorang perwira. Keadaan di tempat
kejadian memang telah dikerumuni orang. Sebagian, malah ada yang muntah-muntah.
Di antara kerumunan itu tampak seorang pemuda berjubah putih dan seorang gadis
berpakaian serba hijau. Di samping itu, ada pula dua orang pemuda. Seorang
bertubuh gagah. Dan seorang lagi berwajah tampan.
"Gila! Ini sudah keterlaluan!" teriak seorang lelaki gagah yang mengenakan
pakaian perwira. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya. Makanya,
dia langsung mendatangi tempat itu. Dan kini hatinya benar-benar marah setelah
menyaksikan kekejaman itu.
"Kita harus segera mengambil tindakan. Kalau tidak, maka iblis itu akan semakin
mengganas!" tegas laki-laki lain yang berpakaian perwira juga. Laki-laki
bertubuh kekar berusia lima puluh tahun lebih itu mengepalkan tinjunya dengan
wajah terbakar.
"Ya! Kita harus mengadakan pembersihan! Mulai hari ini, tidak ada seorang pun
yang boleh membawa-bawa senjata. Bagi mereka yang akan mengikuti ujian, akan
kita kembalikan senjatanya di waktu ujian nanti. Sekarang juga kita harus
menyita setiap senjata yang dibawa tokoh-tokoh persilatan."
Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk segera menguburkan mayat-mayat,
kedua orang perwira itu bergegas meninggalkan tempat. Mereka juga segera
menyiapkan pasukan untuk mengadakan pembersihan besar-besaran.
"Celaka! Kita harus segera meninggalkan kotaraja sekarang juga, Kakang!" bisik
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau kepada seorang pemuda tampan
berjubah putih.
Kemudian keduanya bergegas menyeruak di antara kerumunan orang yang tengah
menyaksikan puluhan sosok mayat yang mengerikan itu. Dua orang pemuda lainnya
bergegas mengikuti kedua orang itu.
"Hhh..., keadaan sudah semakin gawat! Dengan adanya peraturan yang baru
dikeluarkan itu, kita tidak bisa bergerak leluasa untuk melakukan penyelidikan.
Entah apa yang harus diperbuat sekarang?" desah pemuda tegap berwajah gagah,
dengan suara rendah.
"Tenanglah, Balira. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari kotaraja
secepatnya. Setelah itu, baru dipikirkan langkah apa yang akan kita ambil,"
sahut pemuda berjubah putih yang tak lain adalah Panji.
"Kakang Panji benar, Kakang Balira," timpal pemuda tampan berwajah halus yang
tak lain Lunjita. "Ayolah kita bergegas sebelum perintah itu menyebar luas.
Masalahnya kalau sudah demikian, kita pasti akan kesulitan keluar dari wilayah
kotaraja ini."
Keempat orang sahabat itu segera mengerahkan ilmu lari cepatnya begitu tiba di
tempat yang agak sepi. Setidaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Panji, Kenanga, Balira dan Lunjita rnenjadi terkejut ketika tahu kalau yang akan
meninggalkan kotaraja ternyata bukan hanya mereka berempat. Tapi banyak juga
tokoh persilatan lainnya yang sudah bergerak meninggalkan kota itu. Mereka rata-
rata bergerak menuju pintu gerbang sebelah Barat, karena hanya di situlah tempat
yang sepi dan jarang dilewati orang.
Para tokoh persilatan yang hendak meninggalkan kotaraja semakin mempercepat
larinya ketika mendengar suara derap kaki kuda di belakang mereka.
"Saudara-saudara harap berhenti sebentar...!"
Terdengar sebuah seruan yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Sehingga
sebelum si empunya suara muncul, suaranya sudah terdengar jauh ke depan.
Namun tokoh-tokoh persilatan itu sama sekali tidak mem-pedulikannya. Bahkan
mereka semakin mempercepat larinya menuju pintu gerbang yang hanya tinggal
beberapa belas tombak lagi itu. Mereka sebenarnya bukan karena takut menghadapi,
tapi hanya sekadar menghindar. Ini dilakukan agar senjata mereka tidak dirampas
prajurit. Dan kalau mereka melawan, akan dituduh memberontak.
Bagi Panji dan Kenanga, sebenarnya mudah saja untuk segera melewati pintu
gerbang itu. Dan memang, dengan kepandaian yang dimiliki, mereka dapat bergerak
jauh lebih cepat daripada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Ini karena ilmu
meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf kesempurna-an. Namun karena merasa
tidak tega terhadap kedua orang sahabatnya, maka mereka tidak melakukan hal itu.
Keduanya tetap berlari di samping Balira dan Lunjita.
"Sahabat-sahabat, sekali lagi kami peringatkan! Berhenti atau kalian semua akan
ditangkap dan dituduh sebagai pemberontak!"
Teriakan itu kembali terdengar. Bahkan kali ini disertai sebuah ancaman yang mau
tak mau membuat para tokoh persilatan itu agak memperlambat larinya. Beberapa
orang di antaranya menoleh ke belakang, untuk melihat rombongan berkuda yang
tengah mengejar.
"Persetan dengan ancaman itu! Kalau senjata-senjata kita disita, lalu bagaimana
harus melindungi diri dari ancaman pembunuh biadab itu?" rungut salah seorang
tokoh. Dia rupanya tidak bersedia mengikuti perintah itu, dan malah semakin mempercepat
larinya. Apa lagi pintu gerbang sudah tinggal sekitar sepuluh tombak. Tentu saja
ucapan orang itu membuat yang lain kembali mempercepat larinya. Lagi pula, bagi seorang tokoh
persilatan, senjata merupakan nyawa kedua. Dan ingatan itu membuat para tokoh
persilatan kembali mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mencapai pintu gerbang.
Lelaki gagah berpakaian perwira yang memimpin dua puluh lebih prajurit, menjadi
geram ketika melihat para tokoh persilatan tetap membandel. Maka kejengkelannya
pun semakin menjadi-jadi.
Pendekar Naga Putih 17 Serigala Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan seorang pun dari mereka yang melewati
pintu gerbang!" teriak perwira itu disertai pengerahan tenaga dalamnya.
Akibatnya, suaranya dapat terdengar jelas oleh para prajurit yang menjaga
gerbang sebelah Barat itu.
Para prajurit pintu gerbang yang semula tidak mengerti mengapa orang-orang itu
berlari menuju pintu gerbang, tersentak kaget setelah mendengar perintah itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, beberapa orang dari penjaga itu bergegas
menutup pintu gerbang. Sedangkan kepala jaga pintu gerbang dan prajurit lainnya
berdiri menghadang jalan dengan senjata terhunus. Meskipun mereka sama sekali
belum mengetahui penyebab para tokoh persilatan itu berlarian, namun gerakan
mereka begitu sigap, menuruti perintah atasannya.
Serentak para tokoh persilatan itu menghentikan larinya ketika melihat pintu
gerbang telah bergerak menutup.
Beberapa orang tokoh persilatan menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah
rombongan berkuda yang mengeluarkan perintah itu.
"Tenang, Saudara-Saudara! Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Tapi kalau
boleh bertanya, apakah yang menyebabkan kalian hendak meninggalkan kotaraja ini"
Apakah kalian tidak berniat untuk mengikuti ujian yang akan dibuka Gusti Prabu"
Bukankah itu yang menjadi tujuan utama kalian
untuk datang ke kotaraja ini?" tanya perwira bertubuh tegap dan gagah itu sambil
melompat turun dari atas punggung kuda.
Salah seorang tokoh persilatan bergegas maju dan menghadapi perwira gagah itu.
"Tuan Perwira. Memang betul, beberapa orang di antara kami mempunyai tujuan
seperti yang Tuan katakan itu. Tapi yang membuat kami hendak meninggalkan
kotaraja dan membatalkan niat itu, adalah rasa keberatan untuk menyerahkan
senjata yang kami miliki. Dan menurut hamba, semua tokoh yang sekarang ada di
sini sudah pasti merasa keberatan dengan keputusan yang diambil itu," jelas
tokoh persilatan itu.
Dia berwajah tampan dan masih termasuk muda. Usianya paling banyak baru sekitar
tiga puluh tahun. Kata-katanya dikeluarkan dengan suara lantang, meskipun tetap
penuh rasa hormat. Karena yang dihadapinya itu adalah seorang pembesar kerajaan
yang memang harus dihormati.
"Maaf, Kisanak. Keputusan yang kuambil itu tentu saja bukan karena mencurigai
kalian semua. Tapi semua ini dilakukan demi kebaikan semua tokoh persilatan yang
saat ini berada di dalam kotaraja. Hal itu kuambil agar tidak terjadi perpecahan
dan saling curiga di antara kalian. Sedangkan senjata kalian akan kami
kembalikan pada saat ujian dilangsungkan.
Sedangkan bagi para tokoh yang datang hanya untuk menyaksikan, maka senjatanya
akan dikembalikan setelah ujian selesai. Nah, apakah keputusan yang kuambil itu
salah?" jelas si perwira itu.
Dia sama sekali tidak marah mendengar bantahan tokoh muda itu. Karena semua yang
dikatakannya memang sebuah kebenaran.
"Maaf, Tuan Perwira, bukan hamba bermaksud membantah ataupun menentang keputusan
yang telah diambil itu. Tapi perlu diketahui, pedang atau senjata lainnya bagi
seorang tokoh persilatan merupakan nyawa kedua. Dan lagi, kalau tanpa
senjata di tangan, lalu bagaimana kami harus menghadapi si pembunuh apabila
datang kepada kami" Sedangkan dengan menggunakan senjata saja kami masih ragu
untuk dapat mempertahankan nyawa. Lalu, bagaimana kalau kami tidak bersenjata?"
kilah tokoh muda berwajah gagah itu. Dan memang, secara tidak langsung para
tokoh lainnya seperti telah menunjuk pemuda itu sebagai wakil mereka. Sehingga,
mereka hanya ikut mendengar perdebatan yang berlangsung cukup seru itu.
"Tapi maaf, Kisanak. Sayangnya keputusan itu bukan hanya datang dari seorang
saja. Ketentuan itu sudah menjadi keputusan rapat beberapa orang perwira yang
bertugas menjaga keamanan penduduk maupun orang-orang yang berada dalam
lingkungan kotaraja. Namun demikian, kami juga berjanji akan menjaga keselamatan
semua tokoh persilatan yang datang ke kotaraja dengan taruhan nyawa. Jadi,
diharap sudilah saudara-saudara menolong kami untuk menyingkap tabir pembunuh
yang selama ini masih belum berhasil ditemukan," sanggah perwira itu dengan
suara tenang dan lembut
Sikap perwira itu, sama sekali tidak menunjukkan kesombongan. Padahal kalau mau,
ia dapat saja memaksa dengan menggunakan kekerasan.
Mendengar ucapan perwira dan janji yang diberikan perwira gagah berusia setengah
baya itu, beberapa orang tokoh persilatan segera melangkah maju ke arah
rombongan prajurit berkuda itu.
"Baiklah. Kami bersedia kembali dan menyerahkan senjata untuk dititipkan kepada
Tuan," kata salah seorang tokoh persilatan mewakili kawan-kawannya, sambil
membungkuk hormat kepada si perwira.
"Terima kasih atas kebijaksanaan saudara-saudara sekalian.
Bagaimana dengan yang lainnya?" kata perwira itu sambil tersenyum. Matanya
memandang penuh permohonan ke arah
delapan orang tokoh persilatan yang masih belum bersedia menyerahkan senjatanya.
Termasuk Panji, Kenanga, Balira, dan Lunjita.
Empat orang tokoh itu saling bertukar pandang, seolah-olah meminta pendapat.
Sedangkan Panji, Kenanga, dan dua orang sahabatnya menjadi gelisah. Dan memang,
niat mereka memasuki kotaraja adalah untuk menyelidiki tentang pembunuhan.
Apalagi pedang yang berada pada punggung Pendekar Naga Putih bukanlah senjata
sembarangan. Dan bukan tidak mungkin apabila pedang pusakanya diserahkan, para
perwira kerajaan akan tertarik dan menahan pedangnya.
Memikirkan kemungkinan itu, tentu saja Panji menjadi cemas.
Mestikah menyerahkan diri" Atau terpaksa melarikan diri dan dianggap sebagai
pemberontak" Pemuda berjubah putih itu berpikir keras mencari penyelesaian dalam
menghadapi keadaan yang sangat sulit ini.
Dada Panji berdebar ketika melihat keempat orang tokoh persilatan yang semula
bertahan bersamanya, mulai melangkah mendekati pasukan yang dipimpin perwira
gagah itu. Sepertinya keempat orang tokoh itu sudah mengambil keputusan yang
menurut mereka jalan satu-satunya yang paling baik.
"Aku tidak mungkin menyerahkan senjataku ini, Kenanga.
Aku takut mereka akan berpikiran lain begitu melihat pedang pusaka ini," bisik
Panji kepada kekasihnya.
Mendengar bisikan itu, Kenanga baru sadar kalau pedang yang dimiliki kekasihnya
bukan pedang sembarangan. Dan mungkin tidak ada duanya dalam dunia persilatan.
Sadar kalau pemuda itu menyerahkan keputusan di tangannya, Kenanga terpaksa
mengambil keputusan. Padahal, dia semula telah memutuskan untuk menyerahkan
Tanah Kutukan 1 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Hamukti Palapa 8