Pencarian

Tiga Iblis Gunung Tandur 3

Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur Bagian 3


keparat itu masih hidup kau mirip sapi ompong!" Sambung Kenanga ketus.
Merah seluruh wajah Jagal mendengar sindiran itu, namun ia tidak bisa mengelak
dari kata-kata yang tepat mengenai sasarannya itu. Untuk beberapa saat lamanya,
orang sok jago yang bernama Jagal itu tidak berkutik.
"Nah! Mana lagakmu, heh!" Ejek Kenanga lagi ketika mielihat Jagal seperti
kehabissan kata-kata.
"Nini Kenanga! Hebat sekali ucapanmu. Aku jadi ingin tahu, apakah ilmu silatmu
sehebat lidahmu?" Tanya Jagal gemetar bemada tantangan. Dia marah sekali
dihinakan oleh gadis itu didepan umum.
"Hei! Apa kau pikir, aku takut?" Balas Kenanga tak kalah garangnya. Tanpa banyak
bicara lagi, gadis jelita itu segera
melesat ke atas panggung. Kenanga berdiri di hadapan Jagal sejauh dua tombak
Senyumnya terlihat mengejek.
"Ayo! Tunjukkan kehebatanmu, jagoan kampung!" Ejek Kenanga pedas.
Mendengar julukan itu, Jagal marah bukan main. Se-mentara orang-orang yang
menonton tertawa geli men-dengar julukan yang diberikan Kenanga. Wajah Jagal
yang hitam, menjadi semakin gelap.
"HaH-hatilah, Nini! Jangan sampai mulutmu yang indah itu kusobek!" Ancam Jagal
dengan suara gemetar.
"Majulah! Jangan hanya pentang bacor!"
"Bangsat! Kubunuh kau!!" Teriak Jagal.
Tubuhnya segera melesat menerjang Kenanga yang masih berdiri bertolak pinggang.
Kerika kepalan Jagal hampir menyentuh tubuhnya, Kenanga segera menggeser kaki
kanannya ke belakang Kemudian, tangan kirinya mengirim serangan ke dada lawan.
Ini adalah salah satu ilmu yang telah disempurna-kan oleh Panji.
Melihat serangan balasan dari gadis itu, Jagal tidak menjadi bingung. Segera
dielakkannya pukulan itu seraya membalas dengan tidak tanggung-tanggung lagi.
Terjadi-lah pertarungan yang cukup seru dan menarik.
Jagal yang sudah marah itu, menyerang dengan puku-lan-pukulan yang berbahaya.
Dia seolah-olah ingin men-jatuhkan lawannya dengan sekali pukul saja. Tangannya
yang kasar dan terlihat kuat itu, berkeiebatan cepat.
Sampai sepuluh jurus terlewat, serangan-serangan Jagal belum juga mengenai
sasaran. Gerakan-gerakan Kenanga yang
lincah itu, benar-benar telah membuat Jagal penasaran. Maka Jagal pun semakin
memperhebat serangan-serangannya.
Pada jurus ke dua belas, pukulan Jagal meluncur ke arah lambung Kenanga. Gadis
jelita itu, segera memiring-kan tubuhnya ke kanan dibarengi gebrakan tangan
kanannya ke perut lawan.
Desss! Tubuh Jagal terdorong mundur sejauh empat langkah.
Namun, tubuh orang itu ternyata kuat sekali! Pukulan itu tidak menimbulkan luka
yang berarti. Sedangkan Kena-nga malah sebaliknya. Lengannya terasa nyeri dan
linu, ketika membentur tubuh jagoan pasar itu. Diam-diam ga-dis itu sedikit ciut
hatinya, melihat kekuatan lawan yang sama sekali di luar dugaannya.
Sementara itu, Jagal sudah membangun serangan kembali.
Kali ini dia bersikap lebih hati-hati! Serangan-serangannya tidak seganas semula
namun penuh per-hitungan. Justru serangan yang seperti Inilah yang lebih
berbahaya, dan sulit dltembus pertahanannya.
Sebentar saja, Kenanga sudah mulai terdesak dan hanya dapat bermain mundur.
Berkali-kali serangan Jagal hampir menghantam tubuhnya. Untunglah berkat
kegesitannya, ia masih dapat lolos dari pukulan-pukulan lawan. Tapi, biar
bagaimanapun pertahanannya pasti bobol juga.
Ki Umbaran begitu cemas melihat putrinya hampir tidak berdaya membalas serangan
Jagal. Orang tua gagah itu meremas-remas kedua tangannya dengan perasaan
gelisah. Keadaan Kenanga memang benar-benar mulai gawat. Pada saat itu, dua buah pukulan
Jagal meluncur ke arahnya!
Kenanga berusaha sebisanya menghindari serangan itu, namun terlambat karena
ketika dia berusaha mem-buang tubuhnya ke kanan, pukulan Jagal telah lebih dulu
menghantam perutnya.
Plak! Desss! Tubuh gadis jelita itu terjengkang ke belakang. Namun, sebelum tubuh Kenanga
jatuh ke bawah panggung, tiba-tiba sesosok bayangan putih melayang, menyambar
tubuh gadis itu.
Tubuh ramping itu pun tidak sampai terbanting ke tanah yang keras.
Bayangan putih yang ternyata adalah Panji, segera menurunkan tubuh Kenanga di
atas lantai panggung. Pada saat yang bersamaan, Jagal sudah pula menerjang
Panji. Kedua tangan Jagal meluncur cepat ke arah tengkuk dan dahi pendekar itu.
Sebuah serangan yang curang dengan cara membokong.
Panji sama sekali tidak menoleh ke arah serangan Jagal. la sibuk menotok
beberapa bagian tubuh Kenanga agar tidak menderita luka dalam. Kerika serangan
yang berbahaya itu hampir menyentuh tubuhnya, Panji hanya mengebutkan lengan
kanannya secara sembarangan untuk memapak kedua serangan Jagal. Kelihatannya
per-lahan saja.
Plakkk! Akibatnya hebat sekali! Tubuh Jagal terlempar balik Tubuhnya melayang, dan
terdengar suara benda berat ja-tuh ke bumi. Tubuh jagoan yang bernama Jagal itu
jatuh ke bawah panggung dalam keadaan pingsan. Sementara dari sela-sela
bibirnya, mengalir darah segar.
Para penduduk desa yang melihat kejadian itu, hanya dapat berdiri bengong. Baru
setelah tubuh Jagal tergele-tak di tanah,
mereka berlari mengerubungi tubuh jagoan kampung itu.
Sementara Ki Umbaran pun tersentak kaget Sampai terbangkit dari kursinya. la
yang sudah dapat mengukur kepandaian Panji, tidak menyangka kalau pemuda itu
sedemikian hebatnya. Jagal yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, hanya dengan
sekali kebutan tangannya sudah tergeletak pingsan!
"Luar biasa! Tak kusangka kepandaian pemuda itu demikian hebatnya! Ah! Rasa-
rasanya pemuda itu pasti akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun, yang ganas dan
memiliki kepandaian seperti iblis itu," gumam Ki Umbaran penuh harap.
Di tempat lain, sepasang mata penuh iri itu pun tidak kalah terkejutnya.
Wajahnya mendadak pucat bagai tak teraliri darah.
"Gila! Apakah anak muda itu mempunyai kepandaian seperti malaikat?" Desah orang
itu dengan hati gelisah.
Sementara itu Kenanga si Bidadari Jelita sudah mulai sadar dari pingsannya.
Gadis jelita itu mengehih sejenak. Kemudian dikerjap-kerjapkan matanya dan
memperhati-kan keadaan di sekelilingnya.
"Oh..., Kakang Panji," ujar Kenanga ketika melihat pe-muda itu duduk di
dekatnya. "Apa yang terjadi, Kakang?" Tanyanya kemudian.
"Kau tadi terjatuh terkena pukulan lawanmu, lalu pingsan!"
Jawab Panji sambil memandang mata yang ber-sinar bagai bantang kejora itu. Ah,
sungguh indah sekali mata itu, bisik hatinya mengagumi indahnya mata Kenanga.
"Lalu..., ke manakah perginya manusia keparat itu?" Tanya Kenanga. Gadis itu
lalu bangkit berdiri, dan men-cari-cari orang yang dimaksud sambil mengedarkan
pan-dangannya. Kenanga lalu melangkah menghampiri kerumunan orang desa, yang berada agak jauh
di depannya. Ketika ia sampai di
situ, orang-orang desa segera menyingkir agar putri kepala desanya dapat melihat
jelas. Kenanga men-jadi terkejut sekali, kerika melihat tubuh jagoan kampung itu
tergeletak pingsan.
Darah masih mengalir dari sela-sela bibirnya.
"Dia kenapa, Kakang?" Tanya Kenanga kepada Panji, yang sudah berdiri di
sebelahnya. "Ah! Dia hanya terjatuh ketika aku menangkis puku-lannya,"
jawab Panji menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.
Kenanga yang sudah tahu akan silat Panji, tidak ber-tanya lebih jauh. "Oh..,
hanya terjatuh!" Ujarnya meng-goda.
Panji hanya tersenyum mendengar sindiran Kenanga.
Melihat keadaan sudah aman, Ki Umbaran segera me-lesat ke atas panggung.
"Saudara-saudara sekalian! Pesta sudah berakhir. Dan saya persilakan untuk
kembali ke rumah masing-masing!" kata Ki Umbaran. Suaranya berat dan berwibawa.
Tidak berapa lama kemudian, orang-orang desa itu pun segera bergegas
meninggalkan arena keramaian. Hanya beberapa orang saja yang masih tinggal,
untuk membereskan tempat pesta itu.
Baru beberapa tombak para penduduk meninggalkan halaman balai desa, tiba-tiba
terdengar suara tawa yang menggelegar dan bergema di empat penjuru. Suara tawa
itu demikian keras dan menyeramkan, disalurkan dengan tenaga dalam yang cukup
tinggi. "Ha ha ha...!" Suara tawa itu terus berkumandang bagaikan tiada habis-habisnya.
Seolah-olah bukan suara tawa manusia saja!
Para penduduk berlarian cerai-berai sambil mendekap kedua telinganya, tanpa
mempedulikan arah lagi. Bahkan banyak di antara mereka yang jatuh terguling-
guling me-nahan sakit.
Sementara dari mulut dan hidung mengalir darah segar! Dalam sekejap saja,
gemparlah suasana di halaman balai desa itu.
Ki Umbaran sendiri, sudah duduk bersila menghimpun hawa murninya untuk melawan
pengaruh tawa yang dah-syat dan menyakitkan itu. Untuk beberapa saat lamanya ia
masih dapat bertahan dari pengaruh suara tawa itu. Namun tidak lama kemudian
tubuhnya mulai bergetar, karena suara tawa itu mulai mendesak hawa murninya.
Tenaga dalam dari tawa itu begitu kuatnya.
Untunglah saat kejadian itu, Kenanga berada di sam-ping Panji. Pemuda itu segera
menempelkan telapak ta-ngannya ke punggung gadis itu, sehingga Kenanga tidak
lagi terpengaruh oleh suara tawa yang dahsyat itu. Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Panji. Segera ia mengerahkan tenaganya. Tidak lama kemudian,
terdengar suara lengkingan halus yang kian meninggi sehingga menindih gema suara
tawa yang menyakitkan itu.
Tiba-tiba, suara tawa itu pun lenyap terhimpit oleh suara lengkingan halus yang
keluar dari mulut Panji. Dan untuk beberapa saat lamanya, suasana di sekitar
tempat itu menjadi hening. Panji yang telah menghentikan lengki-ngannya, segera
mengedarkan pandangannya ke atas pohon besar yang berada di sekitarnya.
"Hm.... Hanya seorang pengecut sajalah yang tidak berani menyerang secara terus
terang!" Teriak Panji keras disertai pengerahan tenaga dalamnya. Belum lagi gema
suara pemuda itu hilang, mendadak telinganya yang terlatih menangkap desiran
angin halus yang menuju ke arahnya.
Serrr! Serrr! Panji segera menduga, bahwa desiran angin yang halus itu berasal dari senjata-
senjata rahasia. Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik menghadap ke arah
serangan itu berasal. Dan, dugaan pemuda itu ternyata tidak meleset! Dalam
keremangan sinar obor, terlihat tujuh buah sinar meluncur ke arah tujuh jalan
darah kematian di tubuh-nya. Kecepatannya sukar diikuti mata biasa.
Dari cara penyerang gelap itu memperdengarkan tawa maupun melepaskan senjata
rahasianya, Panji sudah dapat menilai bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian
yang tinggi. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin main-main lagi. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan"
langsung dikeluar-kannya. Pelahan namun pasti sekujur tubuh Panji diseli-muti
cahaya putih keperakan. Dan seiring dengan mun-culnya sinar putih keperakan itu,
hawa dingin pun per-lahan menyebar di sekitar Panji. Kian lama kian dingin
menggigilkan! Cepat bagai kilat, pemuda itu segera mengibaskan lengan kirinya. Maka
terdengarlah suara bergemuruh yang dahsyat disertai hembusan angin dingin yang
hebat mengiringi kibasan tangannya. Akibatnya, senjata-senjata rahasia itu
berguguran di tengah jalan. Tidak sampai di situ saja! Panji yang sudah tidak
ingin bertindak kepalang tanggung, segera mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh
ketika senjata-senjata rahasia itu kembali menye-rangnya.
Wusss! Angin yang amat dingin berhembus keras memapak serbuan senjata-senjata rahasia
yang mengarah ke tubuhnya.
Seluruh senjata rahasia itu langsung runtuh ke tanah, disertai suara berderak
keras yang ditimbulkan oleh se-buah
pohon besar di sebelah kiri panggung. Pohon besar itu kontan tumbang diterjang
angin pukulan dari Panji.
Berbarengan dengan tumbangnya pohon itu, sesosok bayangan hitam melayang turun
dan mendarat dua tom-bak dari Panji berdiri. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh
bagaikan batu karang. Wajahnya tertutup brewok yang tak terurus.
Jubah hitamnya berwarna abu-abu yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman
benang emas ber-bentuk seekor laba-laba.
Ki Umbaran yang sudah bangkit dari duduknya, me-natap orang yang baru datang
itu, dengan wajah pucat bagai mayat.
Tidak disangkanya kalau iblis itu akan da-tang demikian cepatnya. Buru-buru ia
melangkah meng-hampiri Panji yang masih berdiri mengamati manusia di hadapannya
itu. "Dia... dia... Laba-Laba Beracun! Hati-hati, Panji! Kepandaian iblis itu hebat
sekali!" Bisik Ki Umbaran dengan hati gentar.
"Heh, Anak Muda! Engkaukah yang mempunyai julu-kan Pendekar Naga Putih?" Tanya
orang berjubah abu-abu, yang berjuluk Laba-Laba Beracun itu. "Dan yang telah
membunuh kedua orang muridku?" Sambungnya dengan suara dingin.
Memang, Laba-Laba Beracun telah mendapat penga-duan dari para pengikut Sepasang
Harimau Terbang yang dilepaskan Panji waktu itu. Mereka menceritakan dua orang
pemimpinnya telah tewas di tangan seorang pen-dekar yang memiliki gerakan bagai
seekor naga dan me-ngeluarkan sinar yang berwarna putih keperakan dari tubuhnya.
Pendekar Naga Putih, demikian kata mereka. Oleh karena itulah, mengapa si Laba-
Laba Beracun pun menyebut Panji sebagai Pendekar Naga Putih.
"Hai, orang tua! Aku tidak tahu, siapa yang kau mak-sud!
Dan siapa pula yang telah membunuh kedua murid-mu itu?"
Ujar Panji balik bertanya. Memang pemuda itu tidak tahu, siapa
yang memiliki julukan Pendekar Naga Putih. Diakah" Dan dia pun ingin memastikan,
apakah yang dimaksud dengan kedua orang muridnya adalah Sepasang Harimau
Terbang. Meskipun telah diberitahu Ki Umbaran, namun ia ingin mendengarnya
langsung dari mulut orang yang bersangkutan.
"Hm.... Ternyata kau adalah seorang pengecut, Pendekar Naga Putih! Tidak mau
mengakui perbuatanmu yang telah membunuh Sepasang Harimau Terbang itu! Hutang
nyawa harus dibayar nyawa! Tapi kalau kau mau minta ampun padaku, dan bersujud
di kakiku, mungkin aku akan memperrimbangkan, apakah aku harus meng-ampunimu
atau tidak!" Ujar Laba-Laba Beracun dengan nada yang amat menghina.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan haus akan kesaktian, Laba-
Laba Beracun penasaran se-kali ketika mendapat laporan dari para pengikut murid-
nya. la yang sudah lama malang-melintang dalam dunia persilatan, tentu saja
paham betul dengan ilmu-ilmu tinggi dari berbagai aliran. Tapi ketika mendapat
laporan dari pengikut muridnya yang selamat, ternyata ia sama sekali tidak dapat
menduga, ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda itu untuk membunuh muridnya.
Kecuali dugaan kasar bahwa pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu
menggunakan jurus naga!
Paras Panji berubah merah ketika mendengar kata-kata
'pengecut' yang dilontarkan orang itu. Ia mungkin tidak akan mempedulikan orang
itu, apabila kata 'penge-cut' tidak didengarnya. Memang, Panji paling pantang
disebut pengecut!
Amarah pemuda itu pun segera bang-kit.
"Hm, orang tua! Memang benar! Akulah yang mem-bunuh Sepasang Harimau Terbang
Aku, Pendekar Naga Putih!" Dalam kemarahannya Panji mengiyakan julukan yang baru
pertama kali didengarnya.
"Huh! Tidak penting, apakah engkau berjuluk Pende-kar Naga Putih, Naga Belang,
Naga Buduk pun. Aku tidak peduli!
Yang jelas, engkau harus membayar nyawa dua orang muridku dengan nyawamu dan
nyawa seluruh penduduk Desa Tambak!
Setelah itu barulah kuanggap lunas!" Tegas Laba-Laba Beracun geram.
Setelah berkata demikian, tubuh Laba-Laba Beracun segera melesat ke arah Panji
disertai serangan yang dah-syat! Jari-jari tangannya yang berbentuk taring laba-
Jaba itu, meluncur ke arah ubun-ubun dan ulu hati Panji. Ke-lebatannya
menimbulkan angin yang bersiutan. Sebuah serangan yang berbahaya!
Panji segera menggeser tubuhnya ke kiri, sambil menggerakkan tangannya menangkis
serangan lawan. Sengaja dikerahkan sebagian dari tenaganya untuk mengukur ke-
kuatan lawannya.
Dukkk! Keduanya terdorong mundur. Kuda-kuda Panji tergem-pur, dan tubuhnya terdorong
sejauh tiga langkah. Se-dangkan Laba-Laba Beracun terjajar sejauh lima langkah
ke belakang. Dari sini saja sudah bisa diketahui, bahwa tenaga dalam Laba-Laba
Beracun masih di bawah Panji. Padahal, ia baru mengerahkan tiga perempat bagian
dari tenaganya.
Bukan main terkejutnya Laba-Laba Beracun. Tangki-san pemuda itu bukan saja
membuatnya terjajar, dan dadanya tergetar. Tapi juga telah membuat sekujur tu-


Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buhnya diselusupi hawa dingin yang membekukan darah! Buru-buru dikerahkan
tenaganya untuk mengusir sera-ngan hawa dingin yang menggigilkan itu. Bukan
main! Baru kali inilah ditemui lawan yang berat, padahal usia lawannya masih
sangat muda. Benar-benar sulit untuk dimengerti.
"Huh! Pantas saja sudah berani berlagak! Rupanya kau memiliki kepandaian yang
lumayan! Sekarang cobalah kau sambut ini! Hiaaat...!" Tubuh Laba-Laba Beracun
kembali melayang ke arah Panji. Kali ini serangannya ter-lihat lebih ganas dan
cepat! Kedua tangannya menyerang berganti-ganti, dan menyambar-nyambar ganas.
Panji yang sudah menduga kalau lawannya memiliki kepandaian yang tinggi, tidak
ingin tubuhnya menjadi sasaran pukulan lawan. Tubuh pemuda itu segera berke-
lebatan di antara sambaran tangan lawannya. Tidak sam-pai di situ saja!
Pemuda itu pun mulai melancarkan serangan-serangan balasan yang tidak kalah
ganasnya. Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit! Tubuh Laba-Laba Beracun
maupun Panji sudah tidak terlihat lagi.
Keduanya bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanyalah dua bayangan
hitam dan putih yang saling terjang dengan hebatnya.
Pertempuran kedua orang sakti itu, demikian seru dan mencekam. Ki Umbaran
memperhatikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Bagaimana tidak"
Se-bab, nasib seluruh warga desanya berada di tangan Panji. Maka kalau pemuda
itu tewas di tangan Laba-Laba Be-racun, berarti kehancuran bagi Desa Tambak!
Lain yang dipikirkan Ki Umbaran, lain pula yang dipi-kirkan gadis jelita yang
berdiri di sampingnya. Kenanga memandang ke arah pertempuran dengan hati yang
tidak karuan. Apabila melihat bayangan hitam itu dapat men-desak bayangan putih,
maka ia meremas-remas tangan-nya disertai perasaan gelisah.
Dan kalau bayangan hitam terdesak, wajahnya kembali tenang.
Tapi, biar bagaima-napun pertarungan itu telah membuat hatinya kacau.
Sementara pertarungan sudah memasuki jurus yang keempat puluh. Dan secara
pelahan-lahan, bayangan putih sudah mulai mendesak bayangan hitam. Panji terus
melancarkan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya sehingga memaksa lawannya
untuk mundur. Sedangkan Laba-Laba Beracun, mulai merasakan teka-nan-tekanan berat dari
lawannya. Apalagi setelah Panji mengeluarkan ilmu 'Naga Sakti'-nya di jurus ke
empat puluh satu. Laba-Laba Beracun segera terdesak Ruang geraknya semakin
sempit, sehingga hanya dapat bertahan tanpa mampu membalas. Rupanya kali ini ia
harus me-lihat kenyataan pahit!
Terpaksa dikuras seluruh kemam-puannya untuk menandingi seorang pemuda yang
pantas jadi cucunya!
Pada jurus yang ke empat puluh dua, Panji menyerang dengan jurus 'Raja Naga
Membuka Jalan'. Kedua tangan-nya yang membentuk cakar naga itu, meluncur deras
ke arah perut dan tenggorokan Laba-Laba Beracun. Serang-kum angin yang dingin
berhembus keras mengiringi sera-ngannya.
Melihat serangan yang berbahaya itu, Laba-Laba Be-racun berusaha menghindar.
Dengan jurus 'Laba-Laba Melepas Jaring', laki-laki tua itu berputar setengah
ling-karan. Dengan posisi kuda-kuda yang rendah, dihentak-kan kedua tangannya ke
arah kedua tangan lawan dengan jari-jari terbuka.
Namun, rupanya serangan Panji hanyalah serangan tipuan saja! Karena, secara
tiba-tiba pemuda itu menarik pulang kedua serangannya. Entah dengan cara bagai-
mana, tahu-tahu saja kaki kiri pemuda itu sudah melun-cur ke arah sambungan
lutut lawan. Bukan cuma itu saja! Sapuan kaki itu pun, langsung disusul oleh
doro-ngan kedua tangannya. Hebat sekali serangan mendadak itu.
Desss! Bukkk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Laba-Laba Beracun melambung ke udara disertai
jeritan menyayat. Kedua serangan pemuda itu telak mengenai sasarannya. Tubuh
Laba-Laba Beracun terbanting ke tanah dengan keras. Sementara darah segar
berhamburan dari muhitnya, di-sertai suara gemeletuk gigi karena hawa dingin
yang hebat. Panji segera menghampiri tubuh lawannya yang se-dang sekarat itu. Sejenak Panji
termenung, ketika melihat tubuh lawannya itu berkelojotan meregang nyawa. Tidak
lama kemudian, tubuh Laba-Laba Beracun itu pun diam untuk selama-lamanya. Tokoh
sakti yang sesat itu tewas dalam keadaan yang menyedihkan!
Ki Umbaran yang ikut menyaksikan saat-saat terakhir iblis itu, menarik napas
lega. Hilang sudah rasa khawatir dalam dirinya. Dengan tewasnya Laba-Laba
Beracun, ber-arti Desa Tambak terbebas dari kehancuran.
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Panji! Kau telah membebaskan Desa
Tambak dari kehancuran! Entah dengan cara bagaimana kami dapat membalas-nya?"
Ujar Ki Umbaran sambil menjabat erat tangan Panji.
Kemudian secara berturut-turut warga desa yang masih berada di tempat itu, ikut
pula menyalami Panji. Demikian pula dengan sepasang mata yang semula me-
mancarkan sinar iri.
Sepasang mata yang berasal dari se-raut wajah yang cukup tampan berusia sekitar
tiga puluh tahun. la pun ikut pula menyalami pemuda yang telah menewaskan Laba-
Laba Beracun itu. Sepasang mata itu telah berubah dengan tatapan penuh rasa
kagum dan hormat Telah disadari kekeliruannya.
Demikianlah, mulai malam ini nama Pendekar Naga Putih mulai dibicarakan orang di
pasar-pasar dan di ke-dai-kedai
minuman, nama Pendekar Naga Putih menjadi pokok pembicaraan yang hangat.
Pelahan-lahan berita itu meluas hingga ke desa-desa sekitarnya.
Setelah beberapa hari tinggal di Desa Tambak, Panji berniat untuk melanjutkan
perjalanannya. Ki Umbaran berusaha untuk menahan pemuda itu beberapa hari lagi
karena sudah terlanjur menyukai pemuda sederhana itu. Terpaksa akhirnya Panji
membuat janji untuk mengun-jungi Desa Tambak setelah urusannya selesai.
Biar bagaimanapun, perpisahan adalah sesuatu yang sangat berat. Meskipun setiap
orang tidak menyukainya, namun perpisahan selalu menjadi bagian dalam kehidu-pan
setiap manusia.
Hari masih pagi. Matahari hanya mengintip malu di ufuk Timur. Embun pun bak
mutiara berceceran di de-daunan.
Sementara itu, Panji tengah berjaian menuju perbatasan Desa Tambak. Ia merasa
heran sekali, ketika tidak menjumpai Kenanga di antara orang yang melepas-nya
kepergiannya. "Ke mana perginya bidadari jelita itu" Apakah aku mempunyai kesalahan
terhadapnya" Ataukah... aaah!
Sudahlah! Mengapa aku harus memikirkan yang bukan-bukan, sedangkan urusanku
sendiri masih banyak!" Kata batin Panji.
Dan tanpa sadar ia menepak kepalanya keras-keras.
"Huh! Manusia tak tahu malu! Apa yang kupikirkan?" Gumam pemuda itu sambil
meringis menahan sakit aki-bat tepakannya yang terlalu keras.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan, tersenyum-senyum melihat
tingkah laku pemuda itu yang terasa aneh. Mirip orang gila.
Panji jadi malu hati, ketika menyadari kesalahannya. Tapi tak urung dia pun
menjadi tersenyum sendiri me-nyadari kelakuannya yang aneh itu. Dan ketika lihat
pemuda itu tersenyum-senyum sendirian, maka makin yakinlah orang-orang itu bahwa
pemuda tampan itu benar-benar tidak waras!
Dan akibatnya mereka pun ber-jalan menjauhi Panji.
"Sialan! Mungkin aku dikira orang sinting barangkali!" Gerutu Panji sambil
bergegas mempercepat langkahnya.
Belum jauh melewati perbatasan, Panji mendengar suara mencurigakan di kerimbunan
semak yang terdapat di tepi jalan itu. Pemuda itu pun segera menghentikan
langkahnya seraya berpaling ke arah datangnya suara yang mencurigakan itu.
Alangkah terkejutnya Panji ketika melihat seraut wajah yang cantik, berdiri
menatapnya dengan mata basah.
"Kenanga...?" Tegur Panji dengan suara bergetar. Bagaimana hati pemuda itu tidak
terkejut" Sepanjang jalan hanya wajah dara jelita itulah yang selalu mengganggu
pikirannya. Dan secara tiba-tiba saja, wajah itu sudah berdiri di hadapannya. Sungguh sulit
untuk dipercaya!
"Kakang Panji...!" Kata gadis itu. Suaranya serak, seperti tercekat di
tenggorokan. Entah siapa yang lebih dahulu, yang jelas kedua orang itu telah melangkah saling
mendekat dan saling berpe-gang tangan. Tubuh keduanya bergetar. Aliran darah me-
reka seperti berbalik. Untuk beberapa saat lamanya, ke-duanya tidak mampu untuk
berkata-kata. Hanya kedua pasang mata mereka yang saling bercerita mewakili
pera-saan masing-masing.
Panji yang lebih dahulu dapat menguasai perasaannya, segera membawa bidadari
jelita itu ke sebuah tempat yang banyak terdapat batu besar, dan mengajaknya
duduk di salah satu batu besar.
"Kenanga, maafkan aku! Aku tidak sempat berpamitan kepadamu, karena tidak
melihatmu sejak kemarin ma-lam.
Apakah aku punya salah?" Ujar Panji ketika kedua insan itu telah duduk di
bebatuan. "Maafkan aku, Kakang! Aku tidak ingin orang lain mengetahui, kalau aku tidak
sanggup melepaskan kepergi-anmu, Kakang!" Ungkap Kenanga. Suaranya masih tetap
merdu. Sementara, beberapa butir air telah menetes dari kedua matanya.
Panji segera mengulurkan kedua tangannya untuk menghapus air mata di pipi dara
jelita itu. Untuk beberapa saat, jari-jari pemuda itu gemetar ketika menyentuh
kulit yang halus bagai sutera itu.
Kenanga segera menangkap tangan Panji, yang masih slbuk menghapus sisa-sisa air
mata di pipinya itu, Seke-tika dilekatkannya lebih erat di pipinya, olah-olah
tidak ingin untuk melepaskannya kembali. Sejenak kedua mata yang indah itu
terpejam, sehingga nampaklah sebaris bulu mata yang lentik dan mempesona.
Dada Panji berdegup keras, ketika daya tarik mata itu menguasai dirinya. Cepat-
cepat ditundukkan wajahnya untuk melawan rangsangan itu.
"Kakang, begitu pentingkah kepergianmu?" Desah Ke-nanga lembut. Sementara kedua
matanya masih juga ter-pejam.
Seolah-olah bidadari jelita itu tengah mengigau.
"Kenanga, sebenarnya berat sekali langkahku untuk meninggalkan desa ini, tapi
masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."
"Jadi, bukan karena aku?" Potong Kenanga dengan wajah cemberut.
"Ah! Tentu saja karenamu, Kenanga! Mengapa engkau harus bertanya lagi?" Jawab
Panji tersenyum menggoda.
"Lalu, urusan apakah yang demikian pentingnya itu, Kakang?" Tanya Kenanga lagi.
"Hm, Kenanga. Maukah kau disebut sebagai anak yang tidak berbakti?" Panji balik
bertanya. "Tentu saja tidak, Kakang!" Jawab gadis itu tegas. Kenanga yang tengah merasa
bahagia itu, memandang wajah lelaki yang dipujanya dengan mata yang berbinar-
binar. Panji yang melihat mata gadis idamannya bersinar ba-gai bintang Timur itu hampir
tak sanggup untuk meman-dangnya.
"Matamu indah sekali, Kenanga," ujar Panji penuh perasaan.
Sejenak pemuda itu terbawa lamunannya, baru ia tersadar, ketika Kenanga tertawa
geli melihat pemuda idamannya terbengong-bengong.
"Hei! Kakang Panji. Pertanyaanku belum kau jawab, Kakang!" Seru Kenanga lagi.
"Oh! Pertanyaan yang mana?" Jawabnya bingung. Setelah terdiam beberapa saat
lamanya, barulah ia dapat mengingatnya.
Panji pun lalu menceritakan tujuan perjalanannya itu.
Setelah mendengar keterangan dari Panji, gadis jelita itu termenung sejenak.
Wajahnya terlihat murung, karena pasti akan berpisah dalam waktu yang tidak
dapat di-pastikan.
Matanya kosong memandang jauh ke depan.
Panji menjadi iba melihat wajah jelita itu menjadi mu-rung.
Namun kepergiannya kali ini, betul-betul tidak dapat ditundanya. Wajah kedua
orang tuanya selalu ter-bayang.
Seolah-olah memintanya untuk segera membalas kematian mereka.
"Kakang, apakah setelah urusanmu selesai, kau akan segera mengunjungiku?" Tanya
Kenanga tiba-tiba. Se-dangkan matanya tetap memandang lurus ke depan.
"Tentu, Kenanga! Begitu urusanku selesai, maka aku akan segera mengunjungimu.
Aku berjanji, Kenanga," ucap Panji bersunguh-sungguh.
"Sungguh, Kakang?" Tanya Kenanga minta kepastian sambil menoleh dengan mata
bersinar. Panji memandang wajah Kenanga seraya mengangguk dengan bibir tersenyum. Kemudian
diraihnya kedua tangan gadis itu, lalu dikecupnya jemarinya penuh pera-saan.
"Aku berjanji, Kenanga!" Ucap Panji lembut.
"Baiklah, Kakang! Aku akan selalu menantimu!" Ujar Kenanga. Wajahnya kembali
berseri. Kedua insan itu pun bangkit dari duduknya. Sebelum berpisah, Panji mengecup
lembut dahi Kenanga. Segera dilangkahkan kakinya meninggalkan Kenanga yang masih
berdiri memandangnya. Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah Kenanga
beranjak meninggalkan tempat itu.
Sementara tak terasa sang mentari semakin meninggi.
Sepertinya si raja siang itu tersenyum ketika menyaksi-kan perpisahan sepasang
kekasih yang dimabuk cinta.
*** 8 Hari masih sangat pagi, ketika serombongan orang berkuda meiintasi daerah
perbukitan yang terdiri dari batu cadas.
Kepulan debu membumbung tinggi diterjang derap kaki kuda yang bergemuruh.
Rombongan berkuda itu kurang lebih berjumlah empat puluhan orang.
Wajah mereka terlihat gagah dan tenang. Tatapannya yang tajam bagaikan mata
seekor burung elang. Di bahu dan punggung mereka, tampak tersembul gagang-gagang
senjata. Suatu tanda bahwa rombongan itu terdiri dari orang yang pandai ilmu olah
kanuragan. Paling-depan, terlihat dua orang yang merupakan pimpinan rombongan itu. Yang
pertama, berusia sekitar limapuluh tahun lebih. Wajahnya cukup tampan, bersih,
dan berwibawa. Sebaris kumis yang lebat dan berwarna agak keputihan menghias
atas bibirnya. Sementara di punggungnya, nampak sepasang pedang Pada gagangnya
dihiasi batu-batu merah delima, membuat pedang itu semakin indah dipandang mata.
Sedangkan orang kedua sukar ditaksir usianya, karena mengenakan sebuah topeng
hitam. Di punggungnya tergantung sebuah tombak yang berujung golok besar tanpa
gagang. Dia terkenal dengan julukan Pendekar To-peng Hitam. Memang, rombongan
itu terdiri dari pen-dekar persilatan dari berbagai aliran. Mereka sengaja ber-
kumpul untuk menggempur Tiga Iblis Gunung Tandur, karena kejahatannya yang telah
melampaui batas. Ketiga Iblis Gunung Tandur itu telah membumi hanguskan beberapa
padepokan terkenal yang tidak bersedia tunduk di bawah kekuasaan mereka.
Perbuatan ketiga iblis itu telah mendatangkan kemur-kaan di hati para pendekar
persilatan. Mereka lalu berga-bung di bawah pimpinan dua orang pendekar yang
ber-juluk Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam. Setelah mendapatkan
kata sepakat, rombongan pendekar itu pun segera bergerak menuju Gunung Tan-dur
yang menjadi sarang ketiga manusia iblis itu.
Setelah kurang lebih setengah harian melakukan per-jalanan, maka rombongan itu
tiba di bawah kaki Gunung Tandur. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka se-
gera beristirahat sambil rnengamati keadaan di sekitar tempat itu.
Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam segera berembuk untuk mengatur
siasat dalam mengada-kan penyerbuan. Lalu dua pendekar sakti itu, segera me-
ngumpulkan pendekar lainnya untuk diminta pendapat.
Setelah mendapat kata sepakat, para pendekar itu pun segera dipecah menjadi tiga
bagian. Rombongan pertama yang dipimpin Pendekar Pedang Langit, bergerak dari
arah Timur. Rombongan kedua yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, bergerak dari arah Barat.
Sedangkan rom-bongan ketiga yang dipimpin tiga pendekar lainnya, ber-gerak dari
Utara. Tidak lama kemudian, ketiga kelompok itu pun segera bergerak dari tiga jurusan.
Kelompok yang dipimpin Pen-dekar Pedang Langit berjumlah sekitar sebelas orang.
Mereka segera mendaki gunung itu. Disusul kemudian kelompok kedua dan ketiga
secara berurutan.
Kini, kelompok pertama telah tiba di atas Puncak Gunung Tandur. Kesebelas orang
pendekar itu bergegas menghampiri sebuah bangunan mewah yang terdapat di tengah-
tengah puncak gunung. Sekejap saja mereka telah berada didepan pintu gerbang
yang tebal dan kuat.
Pendekar Pedang Langit segera memerintahkan bebe-rapa orang pendekar untuuk
mendobrak pintu gerbang. Dengan menggunakan sebuah batang pohon kayu yang cukup
besar, enam orang dari mereka segera mengerah-kan tenaga sekuat-kuatnya.
"Hiaaat...!"
Brakkk...! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu pilihan itu lang-sung pecah, menimbulkan
suara hiruk-pikuk. Maka begitu pintu itu pecah, para pendekar itu serentak
berlon-catan masuk sambil menghunus senjata masing-rnasing. Namun betapa
herannya mereka, ketika melihat keadaan di dalamnya ternyata sunyi sekali!


Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akibatnya kesebelas orang pendekar itu menjadi tegang!
Para pendekar itu langsung menyebar dan mendekati bangunan mewah itu melalui
semak-semak yang banyak terdapat di sekitar tempat itu. Keadaan yang mencuriga-
kan itu, membuat para pendekar menjadi tegang. Apalagi mereka tidak mengetahui
secara pasti di mana musuh berada, sebaliknya, justru keadaan merekalah yang su-
dah diketahui musuh!
*** "Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa mengge-legar dan bergema ke
sekeliling mereka. Sepertinya suara itu datang dari segala penjuru. Hanya saja,
tidak seorang pun yang menampakkan dirinya, sehingga membuat hati para pendekar
itu bertambah tegang.
"Berkumpul semua!" Teriak Pendekar Pedang Langit Sebab kalau tidak demikian,
mereka dapat terbantai satu persatu.
Memang hal seperti itulah yang ingin dicegah pendekar itu.
Belum lagi suara Pendekar Pedang Langit hilang, tiba-tiba berkelebatan enam
sosok tubuh yang segera mengu-rung mereka. Dan tanpa banyak bertanya lagi,
keenam orang pengepung itu pun langsung menyerang hebat ke arah para pendekar
itu. Namun, tokoh-tokoh rimba persilatan itu pun bukan-lah tokoh kosong. Mereka pun
segera menyambut lawan-lawannya lewat serangan yang tidak kalah ganasnya.
Sebentar saja, kedua kelompok itu sudah terlihat dalam pertempuran yang sengit.
Melihat kesepuluh kawannya dapat menghadapi gem-puran musuh-musuhnya, Pendekar
Pedang Langit mele-sat meninggalkan arena pertempuran itu. Dia berniat mencari
sasaran utama, yakni Tiga Iblis Gunung Tandur.
Sementara itu kelompok yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, sudah terlibat pula
dalam sebuah pertaru-ngan yang tidak kalah seru. Kelompok Pendekar Topeng Hitam
yang terdiri dari dua belas orang tokoh persilatan itu, bertempur melawan pihak
musuh yang berjumlah de-lapan orang. Meskipun jumlah musuh lebih sedikit, tapi
ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Maka pertem-puran pun berjalan
seimbang. Pendekar Topeng Hitam segera meninggalkan kedua belas orang kawannya,
untuk mencari musuh utamanya yang sama dengan Pendekar Pedang Langit.
Sedangkan kelompok yang bergerak dari Utara, sama sekali tidak menemui hambatan.
Mereka yang terdiri dari dua puluh satu orang itu, terus bergerak menuju ke
belakang bangunan mewah itu. Ketika kelompok itu tiba di belakang bangunan
besar itu, terdengarlah suara per-tempuran dari halaman samping.
Kelompok itu pun bergegas menghampiri sumber suara pertempuran itu. Dan alangkah
terkejutnya hati para pendekar itu ketika melihat Pendekar Pedang Langit dan
Pendekar Topeng Hitam tengah bertempur melawan se-orang musuh yang menggunakan
pisau terbang. Semen-tara dua orang berwajah bengis, hanya berdiri menonton
seperti tak peduli.
Tanpa diperintah lagi, kelompok pendekar itu segera menyerbu ke arah dua orang
yang sedang berdiri mengamati pertandingan. Dua orang itu taklain adalah Lodra
dan Badra, dua dari Tiga Iblis Gunung Tandur.
Lodra, yang merupakan orang pertama Tiga Iblis Gu-nung Tandur itu menyambut
serangan itu Sepasang ta-ngannya yang kokoh menyambar nyambar ganas. Kepan-daian
ketiga iblis itu tidaklah sama dengan waktu sepu-luh tahun yang lalu. Dalam
kurun waktu selama itu ke-pandaian mereka telah maju dengan pesat. Maka dapat
dibayangkan, betapa hebatnya serangan yang dilancarkan Lodra.
Lain Lodra, lain pula dengan Badra Orang kedua yang berjuluk Iblis Cambuk Api
itu, menggerakkan cambuknya yang meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Bahkan
kadang-kadang diseling ledakan yang memercikkan bunga-bunga api ke tubuh lawan.
Dalam waktu singkat, para tokoh persilatan yang mengeroyok Iblis Cambuk Api itu
pun menjadi kewalahan.
Pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng
Hitam melawan Iblis Golok Terbang atau Sudra, berjalan tampak seru dan seimbang.
Sepasang pedang Pendekar Pedang Langit berkelebat cepat mengarah ke titik-titik
kelemahan di tubuh lawan. Suara sambaran pedang yang mendesing dahsyat,
menandakan betapa kuatnya tenaga yang digunakan pendekar itu.
Sedangkan Pendekar Topeng Hitam sudah pula menggunakan senjata andalannya yaitu
sebatang tombak ber-golok.
Serangannya yang menimbulkan suara bergemu-ruh dan berdesing mengincar tubuh
lawan. Dapat diba-yangkan, betapa hebatnya serangan kedua pendekar sakti itu.
Namun yang sekarang dihadapi bukanlah tokoh sem-barangan! Iblis Golok Terbang
adalah orang ketiga dari Tiga Iblis Gunung Tandur Kepandaiannya tidak dapat
disamakan dengan penjahat-penjahat lainnya. Benar-benar sukar dicari
tandingannya! Dan pada masa seka-rang ini kepandaian Tiga Iblis Gunung Tandur
berada di urutan atas di antara penjahat lainnya. Dalam mengha-dapi serangan
kedua orang pendekar itu, Sudra menggu-nakan sepasang golok terbangnya. Tubuhnya
yang tinggi kurus itu menyelinap lincah di antara sambaran senjata lawan. Bahkan
kadang-kadang diselingi serangan golok terbangnya secara mendadak. Tentu saja
hal ini membuat kedua orang pendekar sakti itu harus lebih hati-hati menghadapi
kelicikan iblis itu.
Tanpa terasa, pertarungan sudah berlangsung empat puluh jurus. Iblis Golok
Terbang semakin memperhebat serangannya.
Sepasang golok terbang di tangannya, mela-kukan serangan gencar yang sambung-
menyambung ba-gaikan ombak di lautan. Suaranya yang mendengung tajam itu
bagaikan suara ribuan ekor lebah marah, se-hingga mengganggu konsentrasi lawan.
Pendekar Pedang Langit berusaha membendung sera-ngan Iblis Golok Terbang, dengan
memutar sepasang pe-dangnya membentuk sebuah benteng yang kokoh. Untuk beberapa
waktu lamanya, ia dapat bertahan dari gempu-ran-gempuran dahsyat itu.
Pendekar Topeng Hitam pun melakukan hal yang serupa.
Melihat serangan lawan yang seperti air bah itu, Pendekar
Topeng Hitam segera memutar senjatanya di depan dada, membentuk segulung sinar
hitam untuk me-lindungi diri.
Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Golok Terbang memang sedikit terhambat.
Namun, Iblis Golok Terbang rupanya tidak kehilangan akal.
Melihat keadaan itu, Sudra hanya tersenyum sinis. Entah dengan cara bagaimana,
tahu-tahu di tangannya telah tergenggam empat buah golok terbangnya. Dengan
sebuah teriakan mengguntur, Sudra cepat melepas golok terbangnya ke dua arah.
Keempat buah golok terbang itu, membelah udara dengan kecepatan luar biasa!
Betapa terkejutnya dua pendekar sakti itu mendengar desingan tajam yang menuju
ke arah mereka. Cepat-cepat diperhebat pertahanan senjata mereka, dengan menge-
rahkan tenaga dalam sepenuhnya.
Trang! Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara keras benturan senjata sebanyak empat kali. Untuk sejenak,
putaran senjata kedua orang pendekar itu pun terhenti.
Dan kesempatan yang hanya sekejap itu rupanya telah dtperhitungkan Iblis Golok
Terbang! Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh iblis itu melesat ke arah dua
orang pendekar sakti itu. Sepasang kakinya melakukan tendangan kilat ke arah
dada lawannya. Desss! Desss! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua pendekar itu terpental keras, dan jatuh
sekitar tiga tombak jauhnya dari tempat semula. Keduanya terbatuk-batuk, lalu
me-muntahkan darah segar. Dada mereka serasa remuk dan sesak akibat
tendangan yang dilakukan Iblis Golok Ter-bang itu. Kedua pendekar itu kini hanya
terduduk lemas.
Sudra yang melihat serangannya berhasil baik, cepat mempersiapkan serangan
berikut untuk menghabisi la-wan-lawannya. Dengan jurus 'Membentur Seribu
Gunung', tubuh Iblis Golok Terbang itu meluncur deras ke arah dua pendekar itu.
Terdengar suara bergemuruh bagai angin topan yang mengiringi serangan Sudra.
Pendekar Pedang Langit maupun Pendekar Topeng Hitam, hanya dapat memejamkan
matanya dengan hati pasrah.
Mereka mengakui kehebatan serangan dahsyat dari lawannya itu. Kini, mereka hanya
bisa pasrah me-nanti maut yang akan datang menjemput.
Blarrr! "Akh...!"
Tubuh Sudra terhempas bagai sehelai daun kering dan jatuh ke tanah sehingga
menimbulkan suara bergedebuk. Sudra mendekap dadanya yang serasa pecah akibat
ben-turan yang dahsyat itu. Sekujur tubuh terserang hawa dingin yang hebat.
"Huakkk...!" Segumpal darah yang agak mengental meluncur dari mulutnya. Iblis
Golok Terbang menyadari kalau dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah!
Sementara di tengah arena telah berdiri seorang pe-muda berjubah putih yang
membelakangi Pendekar Pe-dang Langit dan Pendekar Topeng Hitam. Raut wajahnya
tampan dengan potongan tubuh sedang. Sepis kabut yang bersinar putih keperakan,
tampak menyelimuti dirinya.
"Pendekar Naga Putih...!" Teriak Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng
Hitam berbarengan. Dalam suara mereka terkandung rasa gembira yang amat sangat.
Memang, kedua pendekar itu merasa heran ketika pukulan Iblis Golok Terbang tidak
kunjung datang Saat mendengar suara benturan keras, kedua pendekar itu segera
membuka matanya. Dan tampaklah tubuh Iblis Golok Terbang terpental dahsyat.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini telah berdiri sesosok tubuh pemuda
berjubah putih yang seluruh tubuhnya diselimuti kabut yang bersinar putih
keperakan. Melihat ciri-ciri itu, kedua pendekar sakti itu segera teringat akan selentingan
kabar tentang seorang pendekar yang belum lama ini telah mengguncang dunia
persilatan dengan menghancurkan gerombolan perampok di bawah pimpinan Sepasang
Harimau Terbang, bekaligus membu-nuh Sepasang Harimau Terbang. Akan tetapi yang
lebih membuat nama Pendekar Naga Putih mencuat adalah setelah ia menewaskan
Laba-Iaba Beracun! Guru dari Sepasang Harimau Terbang yang memiliki kepandaian
yang tinggi. Dan salah satu dari ciri-ciri pendekar itu adalah selapis kabut
yang bersinar putih keperakan. Makanya kedua orang pendekar itu tanpa ragu-ragu
lagi menyebut julukan itu.
Pemuda yang memang adalah Panji itu, segera berbalik menghadap ke arah kedua
orang pendekar yang berada di belakangnya. Setelah membungkuk memberi hormat, ia
pun segera menghampiri.
"Hm, kelihatannya Paman berdua mengalami luka da-lam!
Bolehkah saya melihatnya?" Ujar Panji setelah mem-perhatikan sejenak.
Setelah mendapat persetujuan, pemuda itu lalu meno-tok di beberapa bagian tubuh
mereka secara bergantian Beberapa saat kemudian, pemuda itu pun segera bangkit
berdiri. "Saya rasa Paman berdua harus segera memulihkan tenaga untuk mengusir sisa-sisa
pengaruh dari pukulan lawan," ujar Panji lagi.
Sementara itu, ketika mendengar suara jeritan adiknya tadi, Lodra dan Badra
serentak melesat meninggalkan lawan-lawannya. Dapat dibayangkan, betapa
terkejutnya dua iblis itu ketika mendapatkan Sudra tengah tergeletak dengan
napas satu-satu. Cepat Lodra menotok di bebe-rapa bagian tertentu di tubuh
adiknya. Setelah yakin kalau keadaan adiknya sudah tidak berbahaya lagi, Iblis
Tangan Maut segera berpaling ke arah Panji yang telah berdiri dan juga tengah
menatapnya. Untuk beberapa saat, dua pasang mata yang sama tajamnya itu saling berpandangan
dan menilai kepandaian lawan.
"Siapa kau, Anak Muda"! Apakah kau sudah bosan hidup sehingga ikut campur urusan
kami, heh"!" Bentak Iblis Tangan Maut Suaranya menggelegar.
"Hm.... Aku Panji, yang ingin mencabut nyawamu!" Sahut Panji sambil tersenyum
sinis mengejek. Sepasang matanya memancarkan hawa maut! Sungguh pun se-nyum
menghias bibirnya.
"Huh! Bocah sombong! Rupanya kau memang sudah bosan hidup. Bersiaplah!" Bentak
Iblis Tangan Maut gu-sar.
"Eiiit tunggu dulu!" Seru Panji masih dengan senyum di bibirnya.
"Hm! Ada apa" Kau takut" Kalau begitu, menyingkir-lah!"
Dengus Lodra kesal.
"Huh! Siapa takut kepadamu, iblis peot! Aku hanya ingin bertanya sedikit," tegas
Panji. "Huh! Apa yang ingin kau tanyakan"!" Tanya Lodra tak sabar.
"Aku hanya ingin bertanya, apakah peti mati untukmu sudah tersedia?" Ejek Panji
dingin. Tentu saja ejekan itu disambut oleh tawa para tokoh persilatan yang
merasa geli mendengar pertanyaan yang aneh itu.
Dapat dibayangkan, betapa murkanya Iblis Tangan Maut Wajahnya merah menahan
amarah yang meledak-ledak.
Tulang-tulang lengannya bergemeletak karena di-aliri kekuatan yang dahsyat.
"Bocah setan, mampuslah!" Teriak Lodra dibarengi le-satan tubuhnya yang meluncur
deras ke arah Panji. Tiu-pan angin dahsyat mendahului serangan Iblis Tangan
Maut, sehingga menimbulkan suara keras bergemuruh.
Panji segera menggeser tubuhnya, untuk menghindari serangan lawan. Dengan cepat
langsung dibalasnya sera-ngan itu dengan sebuah serbuan yang tidak kalah dah-
syatnya. Sebentar kemudian, keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang sangat
menegangkan. Debu dan pasir beterbangan akibat terkena pukulan-pukulan yang
tidak mengenai sasaran. Batu-batu yang tersepak kaki kedua orang yang sedang
mengadu nyawa Itu, beter-bangan ke sekeliling arena pertempuran.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu, se-gera berlarian ke tempat yang
terlindung. Memang batu-batu kerikil yang beterbangan itu terasa menyakitkan
apabila mengenai tubuh mereka. Dalam sekejap saja se-kitar arena pertempuran
menjadi porak-poranda bagaikan habis diobrak-abrik ribuan gajah.
Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam yang juga ikut menghindar,
berdecak kagum menyaksi-kan kepandaian dua orang yang sedang bertempur itu.
Selama hidup mereka, baru kali inilah menyaksikan se-buah
pertarungan yang demikian dahsyat dan mengeri-kan. Di hati mereka terbesit
perasaan minder melihat kepandaian dua orang sakti itu. Mereka belum apa-apa
dibanding keduanya.
"Luar biasa! Hebat sekali kepandaian pemuda itu! Pantas saja kalau tokoh sesat
seperti Laba-Laba Bera-cun, bisa sampai tewas di tangannya! Hm! Pendekar Naga
Putih.... Sungguh sebuah julukan yang tepat. Entah, mu-rid siapakah anak muda
itu...," gumam Pendekar Pedang Langit pelan.
"Ya! Rasanya kepandaian kita tidak ada apa-apanya, Kakang!" Jawab Pendekar
Topeng Hitam sambil menghela napas berat.
Sementara, pertarungan semakin bertambah seru saja.
Lodra yang menggunakan jurus 'Sepasang Tangan Penga-cau Lautan', benar-benar
terlihat mengerikan! Sepasang tangannya yang kokoh, menyambar-nyambar sehingga
menimbulkan putaran angin dingin yang menerbangkan apa saja di dekatnya.
Pohon-pohon yang terlanggar puku-lan Lodra, langsung tumbang menimbulkan suara
yang ribut. Memang tidak berlebihan apabila ia dijuluki Iblis Tangan Maut.
Sedangkan Panji, tidak kalah hebatnya! Dengan ilmu "Naga Sakti', pemuda itu
bagaikan seekor naga yang sedang murka.
Gerakan-gerakannya yang kokoh kuat Itu, benar-benar sulit dicari kelemahannya.
Tubuhnya diseli-muti kabut bersinar putih keperakan sehingga pemuda itu bagaikan
seekor naga putih yang sedang bermain-main di angkasa. Pantaslah kalau orang
menjulukinya Pendekar Naga Putih!
Pada jurus yang keenam puluh tiga, tampak Panji mulai mendesak Lodra dengan
serangan susul-menyusul. Iblis Tangan Maut benar-benar tidak diberi kesempatan
sekali pun untuk membalasnya. Orang pertama dari Tiga Iblis Gunung Tandur itu
mulai kelabakan menghadapi tekanan lawannya
yang masih muda itu. Dapat dipasti-kan, tidak lama lagi iblis itu tentu akan
rubuh di tangan Panji.
Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dua bayangan meluncur memasuki kancah
pertempuran, dan langsung melancarkan serangan ke arah Panji. Ledakan-ledakan
suara cambuk terdengar memekakkan telinga. Rupanya Iblis Cambuk Api dan Iblis
Golok Terbang, yang sudah agak pulih dari lukanya ikut maju mengeroyok pemuda
itu. Pertempuran pun semakin sengit dan menegangkan. Panji yang dikeroyok Tiga Iblis
Gunung Tandur, tampak mulai terdesak. Pemuda itu kini tidak lagi mampu mem-balas
serangan tiga orang lawannya. la mulai merasakan tekanan berat dari lawan-
lawannya. Memasuki jurus yang kesembilan puluh, posisi pemuda itu benar-benar dalam
keadaan gawat. Cambuk api di tangan Badra meledak-ledak ke arah ubun-ubunnya.
Sedangkan sepasang golok terbang di tangan Sudra, me-luncur cepat bagai kilat ke
arah lambung dan tenggoro-kannya. Sementara Lodra pun sudah pula mendorongkan
telapak tangannya ke arah punggung Panji, dari bela-kang. Keadaan Panji, benar-
benar bagai telur di ujung tanduk!
Para pendekar yang menyaksikan jalannya pertempu-ran, sama-sama menahan napas
dengan wajah tegang. Sudah bisa dibayangkan kalau pemuda ini akan tewas di
tangan Tiga Iblis Gunung Tandur. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tahu-tahu
di tangan Panji telah tergeng-gam sebatang pedang bersinar berwarna putih
keperakan. Dengan gerakan yang tak tampak oleh mata biasa, Panji segera
mengibaskan pedangnya membabat cambuk milik Badra dan kedua tangan Sudra yang
menggenggam golok terbang. Dan dengan menekuk kedua kakinya, dilontar-kan
pukulan tangan kiri untuk menyambut serangan Lodra.
Crasss! Crasss!
"Aaakh...!" '
Brettt..!

Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blarrr...! Tubuh Iblis Golok Terbang terhuyung-huyung sejauh dua tombak disertai jeritan
panjang. Kedua tangannya putus sebatas pergelangan, dan langsung menyemburkan
darah segar yang tak henti-hentinya. Sedangkan tubuh Iblis Cambuk Api terdorong
sejauh sepuluh langkah. Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir cairan merah.
Semen-tara cambuk di tangannya terbabat putus hingga jadi dua bagian.
Tubuh Panji sendiri jatuh berguling-guling akibat ber-benturan dengan sepasang
tangan Lodra yang mengan-dung tenaga dalam dahsyat itu.
"Huakkk...!"
Segumpal darah segar menyembur dari mulut Panji.
Sedangkan sinar putih keperakan yang selalu menyeli-muti tubuhnya mendadak
lenyap. Ini pertanda aliran tenaga dalamnya mengalami hambatan. Dengan sigap,
Panji segera mengatur pernapasannya untuk melancar-kan kembali aliran tenaga
dalamnya yang terhambat.
Di Iain pihak, keadaan Iblis Tangan Maut tidaklah lebih baik.
Tubuhnya terlempar keras lalu terbanting ke tanah yang menimbulkan suara
berdebum. Lodra mende-kap dadanya yang berguncang akibat tangkisan Panji yang
mengandung "Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu. Tubuh Iblis Tangan Maut terbungkuk-
bungkuk. Dan ketika ia terbatuk, langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Untuk beberapa saat lamanya pertempuran pun terhenti.
Panji maupun Iblis Tangan Maut, sama-sama terdiam untuk memulihkan tenaga
masing-masing. "Hiaaat..!"
Tiba-tiba Iblis Cambuk Api berteriak nyaring. Tubuhnya yang tinggi besar
meluncur deras ke arah Panji. Dengan menggunakan sebatang golok besar, dia siap
merejam tubuh pemuda itu. Suara senjatanya berdesing tajam mengarah ke leher
Panji. Panji yang sudah mulai pulih tenaganya, segera me-mutar kepalanya dan langsung
membabatkan pedangnya ke tubuh lawan.
Pertarungan pun kembali berlangsung hebat. Pedang di tangan Panji membentuk
gulungan sinar putih kepera-kan, bagaikan seekor naga yang sedang bermain di
ang-kasa. Dalam beberapa jurus saja, Iblis Cambuk Api mulai terdesak hebat.
Dia hanya mampu bermain mundur.
Pada saat yang gawat itu, Iblis Tangan Maut juga segera melesat membantu
adiknya, yang berada dalam posisi berbahaya. Iblis Tangan Maut sudah pula menca-
but sepasang trisulanya, dan langsung menerjang dengan serangan-serangan yang
cepat dan ganas.
Setelah Iblis Tangan Maut ikut membantunya, barulah Iblis Cambuk Api dapat
menarik napas lega. Sebab sera-ngan-serangan Panji yang ditujukan ke arahnya
mulai berkurang.
Panji memang harus juga membagi perhatian-nya terhadap Iblis Tangan Maut.
Dua puluh jurus pun terlewat sudah. Panji tampak mulai meningkatkan serangannya.
Pedangnya yang bersi-nar putih keperakan, bergulung-gulung menekan senjata
lawannya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api
mulai dapat didesak oleh pemuda itu. Darah-darah di dalam tubuh serasa mem-beku.
Mereka bagaikan terkurung dalam sebuah lingka-ran salju saja. Segera dikerahkan
seluruh tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang mempengaruhi gera-kan-gerakan
mereka. "Gila! Bocah ini benar-benar memiliki ilmu iblis!" Umpat Iblis Tangan Maut
sambil melompat menghindari sabetan pedang lawan.
Semakin lama ruang gerak kedua iblis itu semakin me-nyempit. Serangan-serangan
yang dilancarkan Iblis Ta-ngan Maut maupun Iblis Cambuk Api, selalu kandas bagai
membentur sebuah dinding salju yang kokoh.
Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertandingan itu dari kejauhan, tersentak
kaget. Ternyata mereka pun tidak terlepas dari pengaruh hawa dingin yang
memenuhi sekitar situ. Cepat-cepat tokoh-tokoh persilatan itu mengerahkan hawa
murni untuk melindungi tubuh dari pengaruh hawa dingin yang luar biasa itu.
Saat itu, pertarungan sudah menginjak pada jurus yang ketiga puluh lima. Tiba-
tiba kedua Iblis Gunung Tandur itu berteriak nyaring, dan langsung menerjang
secara berbarengan. Senjata mereka berkelebat mengarah ke bagian-bagian yang
berbahaya di tubuh Panji.
Jurus 'Tangan Maut', milik Iblis Tangan Maut kini dimainkan dengan menggunakan
senjata trisula. Senjata itu berkelebatan mengancam Panji sambil mengeluarkan
suara berdesingan bagai suara ribuan ekor lebah yang sedang marah. Sementara
Iblis Cambuk Api yang kini menggunakan golok, juga masih cukup dahsyat sera-
ngannya, sungguhpun kini tidak menggunakan senjata andalannya.
Melihat kedua serangan yang dahsyat itu, Panji segera memutar pedangnya,
disertai kekuatan penuh tenaga dalamnya. Mendadak cahaya yang semula menyelimuti
pedangnya, berpijar ke segala penjuru bagaikan ada pesta kembang api.
Kedua manusia iblis itu, tersentak mundur. Dan untuk beberapa saat lamanya
pandangan mereka terhalang oleh pancaran sinar itu. Akibatnya mereka pun sulit
untuk menentukan di mana posisi lawan.
Sebelum kedua manusia iblis itu sempat berpikir banyak, Panji segera melesat
menerjangnya. Karuan saja Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api tersentak kaget
dan menjadi kalang kabut. Dengan secara serabutan, mereka menggerakkan
senjatanya ke segala arah.
Tranggg! Tringgg!
Brettt! "Akh...!"
"Akh...!"
Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api, berhasil menangkis beberapa serangan
yang dilakukan Namun tak luput sebuah bacokan pemuda itu dapat melukai ping-gang
Iblis Cambuk Api.
Cairan merah pun merembes keluar, dan membasahi pakaiannya.
Sedangkan Iblis Tangan Maut terhuyung-huyung sam-bil memegangi lengannya yang
terbabat putus sebatas siku.
Cepat-cepat Iblis Tangan Maut menotok di beberapa tempat untuk menghentikan
darah yang terus mengalir.
Wajah kedua iblis itu berubah pucat Kini mata mereka baru terbuka dan mengakui
kepandaian pemuda yang menjadi
lawannya ini. Bahkan kini rasa takut pun mulai menjalari perasaan mereka.
Panji kembali menerjang kedua iblis yang sudah ter-luka itu.
Segulung sinar putih keperakan, segera mengu-rung kedua orang lawannya. Iblis
Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api berusaha mati-matian menghindari serangan yang
dilancarkan Panji. Namun ke mana saja mereka menghindar, sinar putih keperakan
Itu tetap mengurung mereka.
Bukan main terkejutnya hati dua manusia iblis itu. Keringat dingin mulai
mengalir membasahi tubuh. Merasa tidak mungkin mendapat ampunan dari lawannya,
Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api pun nekad menerjang ke arah Panji.
Senjata di tangan Iblis Tangan Maut berkelebatan cepat dan sukar diikuti mata
biasa. Suaranya mengaung membelah udara.
Tiba-tiba senjata itu meluncur deras ke arah lambung Panji.
Dan pada saat yang bersamaan, Iblis Cambuk Api pun telah pula membabatkan golok
besarnya ke pinggang lawan.
Melihat kedua serangan yang luar biasa itu datang, Panji segera memutar
pedangnya dari luar ke dalam. Ini dilakukan untuk mematahkan serangan kedua
iblis itu. Trang! Trang! Terdengar dua kali benturan keras di udara, yang menimbulkan percikan bunga api.
Memang, betapa kuatnya tenaga benturan tadi.
Dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh Panji me-lambung ke depan sambil
mengayunkan pedangnya. Suara gemuruh disertai hawa dingin yang hebat, mengi-
ringi ayunan pedangnya.
Brettt! Brettt!
"Akh...!"
Terdengar suara raungan dahsyat yang mendirikan bulu roma, ketika pedang Panji
membabat kedua leher manusia iblis.
Tubuh Iblis Tangan Maut dan Iblis Cam-buk Api terjungkal ke belakang. Darah
mengucur deras dari luka di leher mereka.
Sebentar mereka berkelojotan, lalu tewas dengan leher hampir putus!
Melihat kedua musuhnya telah tewas, Panji menja-tuhkan lututnya ke atas tanah.
la merasa lelah sekali, karena telah bertarung hampir dua ratus jurus untuk
menghadapi musuh-musuhnya. Tiba-tiba Panji tersentak ketika mendengar desiran
angin yang bersiulan. Cepat bagai kilat ditolehkan kepalanya ke arah sumber
suara itu. Panji segera memutar kepalanya ketika sebuah tenda-ngan yang dahsyat meluncur ke
arah kepalanya. Rupanya tendangan itu berasal dari Iblis Golok Terbang yang
telah dibuntungi lengannya oleh pemuda itu. Dengan tenda-ngan kilat, Iblis Golok
Terbang menyerang Panji secara bertubi-tubi.
Panji segera berkelit menghindari tendangan geledek itu.
Segera dicarinya kelemahan dari serangan lawannya. Hingga pada jurus yang
kelima, Panji memiringkan tubuhnya sehingga tendangan dari Iblis Golok Terbang
hanya lewat di sebelah kirinya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera melepaskan pukulan ke arah lutut
Iblis Golok Terbang, ke-mudian dlsusul dengan sebuah tendangan yang meluncur ke
dada. Krakkk! Desss! "Akh...!"
Sudra meraung keras! Pukulan Panji telah mematah-kan lutut kanannya. Sedangkan
tendangan pemuda itu, telak sekali menghajar dadanya hingga melesak ke dalam.
Setelah berkelojotan sejenak, Iblis Golok Terbang lang-sung tewas dengan dada
hancur. Panji berdiri limbung, karena rasa lelah yang amat sangat Satu persatu pemuda
itu memandangi wajah musuh-musuhnya yang telah menjadi mayat.
Tibat-tiba, dari arah Timur dan Barat tampak para pendekar berlarian mendatangi
bekas arena pertempu-ran. Rupanya para pendekar sudah pula menyelesaikan
pertarungan melawan anak buah Tiga Iblis Gunung Tan-dur. Betapa tercengangnya
para pendekar yang baru datang itu, ketika melihat Tiga Iblis Gunung Tandur
telah menggeletak tanpa nyawa.
Selagi para pendekar itu sibuk satu sama lainnya, Panji cepat melesat
meninggalkan tempat itu. Gerakan-nya yang disertai ilmu meringankan tubuh, tidak
diketa-hui para tokoh persilatan yang tengah sibuk itu. Ilmu me-ringankan
tubuhnya, memang sudah hampir pada taraf kesempurnaan.
"Eh! Kemana perginya Pendekar Naga Putih tadi?" Ta-nya Pendekar Pedang Langit
ketika tidak melihat Panji di tempatnya.
"Pendekar yang mana?" Tanya para tokoh persilatan tak mengerti.
"Pendekar Naga Putih," tegas Pendekar Topeng Hitam.
"Dialah yang telah membunuh Tiga Iblis Gunung Tandur itu!"
Sambungnya. "Pendekar Naga Putih...!" Seru para tokoh persilatan terkejut.
"Jadi, dia juga berada di sini tadi?" Tanya yang lainnya.
"Benar! Dan kini, pendekar itu telah pergi entah ke mana!"
Desah Pendekar Pedang Langit pelahan.
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Sinar yang garang memancar ke seluruh
permukaan bumi dan terasa menyengat kulit. Hembusan angin yang sepoi-sepoi,
bagaikan elusan tangan bidadari yang terasa sejuk dan melenakan. Nun di bawah
kaki Gunung Tandur, tampak seorang pemuda berjubah putih melangkah mengikuti
ayunan kakinya, tanpa tahu arah mana yang akan dituju. Dia adalah Panji yang
mendapat Julukan Pendekar Naga Putih.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : A-kriee/Adnan Sutekad
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Kuda Binal Kasmaran 1 Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja 5
^