Tiga Iblis Gunung Tandur 2
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur Bagian 2
inilah, yang dicarinya selama ini untuk diwariskan ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Anak seperti inilah yang akan mengangkat namanya pada masa-masa mendatang.
"Cucuku! Ilmu silat tidak ada bedanya dengan ber-dirinya sebuah gunung ataupun
sebatang pohon. Semua-nya harus memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Sekarang
perhatikanlah pohon besar itu! Betapapun besar dan kuatnya pohon itu, namun
apabila tidak mempunyai akar yang kokoh dan kuat bukan tidak mungkin akan mudah
untuk ditumbangkan angin."
Orang tua itu menarik napas sejenak, sambil menatap Panji yang masih mem-
perhatikan pohon besar itu.
Kemudian, Eyang Tirta Yasa mengajak Panji ke bibir bukit, lalu menunjuk ke
sebuah bukit lain yang tidak jauh dari Bukit Goa Harimau.
"Nah! Sekarang lihatlah bukit yang berada didepan itu!"
ujarnya pelan. "Coba kau terangkan, hubungan antara bukit itu dengan ilmu yang
telah kau serap tadi," lanjut orang tua itu, sambil menoleh kepada Panji.
Anak itu berdiri tegak sambil memandang ke bukit yang dimaksud Eyang Tirta Yasa.
Kedua alisnya bertaut, pertanda la tengah berpikir keras.
"Eyang, menurut pengamatan saya yang bodoh ini, bagian bawah dari bukit itu
terlihat lebih besar daripada bagian atasnya. Sedangkan ilmu olah kanuragan
harus memiliki dasar yang lebih besar pula. Jadi, menurut hemat saya, pada
bagian bawah itulah yang berhubungan dengan dasar ilmu silat!"
Jawabnya tanpa ragu-ragu lagi.
"Bagus, Cucuku! Sudah kuduga bahwa engkau adalah anak yang cerdas!" Ujar kakek
itu, dengan wajah berseri-seri. "Jadi, untuk menguasai ilmu silat kita harus
mem-punyai dasar yang kuat seperti pohon dan gunung tadi. Apakah engkau sudah
paham, Cucuku?" Tanya orang tua itu lebih lanjut.
"Ya, Eyang! Saya paham," jawab Panji.
Panji memang seorang anak yang keras hati dan tekun dalam mempelajari segala
sesuatu. Selain itu, ia pun seorang anak yang rajin dan cerdas. Maka tidaklah
aneh apabila latihan-latihan dasar yang diberikan gurunya itu dapat dikuasainya
dalam waktu yang singkat.
Pelajaran-pelajaran dasar tersebut selalu diterapkan dalam setiap kesempatan,
Dalam beberapa bulan saja, gerakan-gerakannya sudah terlihat mantap dan berte-
naga. Demikian juga dengan posisi kuda-kudanya yang nampak kokoh dan indah.
*** Sang waktu terus bergulir cepat. Tanpa terasa, lima tahun sudah Panji tinggal
bersama orang tua sakti di Puncak Bukit Goa Harimau.
Hari belum lagi menjelang sore, ketika sesosok tubuh yang bertelanjang dada,
tengah bergerak dengan lincah-nya.
Kadang-kadang sosok tubuh itu melenting ke udara sambil melepaskan tendangan
berantai. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya! Kemudian dengan manis sekali
kakinya menjejak tanah.
Tiba-tiba, Ia berteriak keras, sambil kedua kakinya membentuk kuda-kuda dengan
posisi menunggang kuda.
Kedua kakinya bergeser ke kiri dan ke kanan, sementara kedua telapak tangannya
terkepal di kedua sisi pinggang. Dari sela-sela bibirnya terdengar desisan
halus. Rupanya dia tengah berlatih dalam menghimpun tenaga dalam.
Hari sudah menjelang sore. Di ufuk Barat, sinar keme-rah-merahan menyemburat merah. Suatu pertanda sang surya akan kembali ke peraduannya. Sementara sosok tu-
buh itu pun nampaknya sudah pula mengakhiri latihan-nya. Dadanya yang tidak
berbaju itu, telah basah oleh peluh. Wajahnya yang tampan tampak berwarna keme-
rahan hingga makin meriambah ketampanannya. Sosok tubuh itu ternyata seorang
anak remaja! Walau usianya sekitar tiga belas tahun, namun kepandaiannya sudah
demikian hebat.
Baru saja anak itu hendak melangkah meninggalkan tempat latihannya, tiba-tiba
terdengar teguran dari arah belakangnya.
"Cucuku, temuilah Eyang di ruang seperti biasa, se-sudah engkau membersihkan
tubuhmu lebih dahulu!"
Anak yang ternyata adalah Panji itu terkejut bukan main karena kedatangan orang
tua itu, sama sekali tidak diketahuinya.
"Luar biasa sekali kepandaian Eyang Tirta Yasa! Sam-pai-sampai kedatangannya pun
tidak terdengar sama sekali!
Sungguh luar biasa!" Gumam Panji dalam hati.
Panji memiliki sifat serba ingin tahu. Maka, ia berniat menanyakan langsung
kepada gurunya itu. Namun ketika la menoleh ternyata orang tua itu sudah tidak
ada di situ lagi.
Semakin terkejutlah anak itu. Dia benar-benar mengagumi kesaktian gurunya itu.
*** Malam sudah mulai turun. Kegelapan pun pelahan-lahan mulai menyelimuti bumi.
Nyanyian binatang malam mulai terdengar bersahutan, seolah-olah mengucapkan
selamat datang kepada sang malam. Pada saat itu Panji tengah duduk berhadapan
dengan gurunya, Eyang Tirta Yasa alias si Malaikat Petir di sebuah ruangan yang
cukup besar tapi hanya diterangi lampu minyak yang bergoyang-goyang tertiup
angin malam. "Cucuku," ucap Eyang Tirta Yasa, memecah keheni-ngan malam. "Eyang rasa, sudah
saatnya kau kuwarisi ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi. Karena Eyang lihat, kau
sudah cukup mampu untuk menerimanya. Namun, Eyang tidak akan
menurunkan ilmu 'Telapak Tangan Petir. Ilmu yang akan Eyang turunkan nanti
adalah ilmu ciptaan Eyang Selama tiga puluh tahun belakangan ini," ujarnya
lembut. "Eyang, bagi saya hal itu bukanlah persoalan. Sebab saya percaya bahwa semua
yang Eyang turunkan adalah yang terbaik buat saya!" sahut Panji penuh hormat.
"Benar, Cucuku! Ilmu 'Naga Sakti', yang belakangan ini Eyang ciptakan rasanya
lebih cocok untukmu!"
"Terima kasih, Eyang! Sungguh besar sekali budi Eyang kepada saya. Entah dengan
cara apa, saya bisa membalasnya!"
Ucap Panji dengan kepala tertunduk. Dadanya terasa sesak, karena menahan rasa
haru yang dalam.
"Berjanjilah untuk berlatih sungguh-sungguh, Cucuku!
Dengan begitu berarti engkau sudah membalasnya!" Jawab si Malaikat Petir
bijaksana. Wajahnya kelihatan bersungguh-sungguh.
"Saya berjanji! Dan saya akan selalu mengingat segala nasihat Eyang!" jawab
Panji mantap. Dari matanya ter-pancar semangat yang membaja.
Dan pada keesokan harinya, Eyang Tirta Yasa pun telah mulai menurunkan ilmu-ilmu
ringkat tinggi kepada Panji.
Dengan penuh kesabaran orang tua sakti itu mem-berikan petunjuk-petunjuk tentang
ilmu 'Naga Sakti', yang merupakan ilmu terdahsyat yang telah diciptakan selama
dalam pengasingannya. Selain ilmu itu, juga ada beberapa ilmu lainnya. Seperti
ilmu 'Tenaga Sakti Ger-hana Bulan'. Ilmu yang disebutkan terakhir inilah yang
berguna untuk menunjang penggunaan ilmu 'Naga Sakti'.
Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesungguhan, Panji melatih ilmu-ilmu itu
tanpa mengenal lelah. Tidak peduli
pagi, siang ataupun malam. Setiap kesempatan yang sedikit saja selalu
dipergunakannya untuk bertatih.
**** Waktu berlalu demikian cepat. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan
bulan pun berganti tahun. Tahun ini, genap sudah tahun kelima, semenjak Eyang
Tirta Yasa menurunkan ilmu-ilmu ciptaannya kepada Panji. Itu berarti usia Panji
kini kira-kira delapan belas tahun.
Sementara, pagi ini, suasana di sekitar Bukit Goa Hari-mau yang dingin mendadak
menjadi gelap. Sinar mata-hari terhalang oleh awan hitam. Nampaknya, tidak akan
lama lagi hujan akan segera turun! Angin dingin bertiup keras. Pohon-pohon besar
bergoyang-goyang dengan kuatnya, bahkan sampai menimbulkan suara berderak.
Pelahan-lahan, titik air mulai nampak sering jatuh ke bumi. Sesekali terseling
gelegar halilintar yang bersahut-sahutan memekakkan telinga. Hujan pun turun
dengan derasnya.
Di tengah-tengah derasnya air hujan, nampak seben-tuk sinar berwarna putih
keperakan bergulung-gulung bagaikan seekor naga tengah bermain-main di angkasa.
Gulungan sinar itu bergerak secara bergelombang turun naik dengan cepatnya,
sehingga menimbulkan angin yang menderu-deru.
Sinar itu ternyata berasal dari sebilah pedang yang dikelebatkan oleh seorang
pemuda remaja, yang berusia delapan belas tahun. Desiran angin pedang itu
mengaung dahsyat di antara kilatan petir yang menggelegar di ang-kasa.
Sungguh sebuah ilmu pedang sangat dahsyat!
Pemuda tampan yang rambutnya telah mencapai bahu itu, jelas adalah Panji!
Gerakan-gerakan pedangnya hebat bukan main! Benar-benar mirip dengan gerakan
seekor naga! Kecepatannya laksana kilat yang menyambar-nyambar di angkasa raya. Dan yang
lebih hebat lagi, tak ada setetes air hujan pun yang membasahi tubuhnya!
Tidak salah lagi, ilmu pedang yang sedang dimainkan Panji adalah 'Ilmu Pedang
Naga Sakti'. Sebuah ilmu pe-dang yang diambil dari ilmu tangan kosong 'Naga
Sakti'. Dan inilah salah satu keistimewaan ilmu 'Naga Sakti' yang diwariskan si
Malaikat Petir. Ilmu itu dapat dimain-kan dengan tangan kosong maupun dengan
pedang! Kini, Panji telah menutup latihan iimu silat pedangnya.
Dililitkan pedangnya di pinggang. Ternyata pedang itu sangat tipis dan lemas,
sehingga dapat dijadikan ikat pinggang!
Sebuah pedang pusaka yang hebat. Dan jarang dimiliki oleh tokoh-tokoh dunia
persilatan. Baru saja Panji menyimpan pedangnya, ia pun segera menggeser kakinya, membentuk
kuda-kuda dalam posisi menunggang kuda. Sementara kedua tangannya saling
bersilang didepan dada, dengan jari-jari tangan memben-tuk cakar naga. Tangan
kanan terjulur ke samping kiri depan, sedangkan tangan kiri terjulur ke samping
kanan depan. Dengan satu teriakan nyaring, pemuda itu meng-geser kaki kanannya ke samping,
dibarengi dengan gera-kan tubuhnya yang meliuk-liuk mirip seekor naga. Inilah
awal dari jurus 'Naga Sakti'.
Disertai pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-lan', Panji segera memainkan
ilmu 'Naga Sakti'. Perlahan namun pasti di sekujur tubuhnya diselimuti sinar
putih keperakan. Dan
hawa yang dingin mulai menyebar di sekitar Panji. Kemudian Panji mulai bergerak
Akibatnya, sungguh luar biasa! Setiap gerakan tangan dan kakinya menimbulkan
satu gelombang tenaga yang dahsyat! Po-hon-pohon di sekitarnya bergetaran kuat
sehingga daun-daunnya berguguran jatuh ke bumi.
Padahal pohon-pohon itu terpisah kurang lebih tiga tombak dari tubuh Panji.
Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga sakti pemuda tampan yang memiliki
mata tajam itu.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu melenting ke udara dibarengi teriakan yang
mengguntur. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, lalu mendarat dengan manis
di depan sebatang pohon yang berukuran dua pelukan orang dewasa.
Jarak antara tubuh pemuda itu dengan pohon, sekitar tiga batang tombak. Dengan
posisi kuda-kuda silang, tangan kanannya memukul ke depan. Sementara telapak
tangan kirinya yang terbuka, berada di bawah tangan kanan. Rentetan angin tajam
menderu ke arah pohon besar itu.
Wusss! Brakkk...! Terdengar suara berderak keras ketika pohon besar itu terangkat berikut akar-
akarnya dan patah menjadi tiga bagian!
Bukan main hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh pukutan itu.
Panji masih berdiri termangu, kerika melihat kedah-syatan hasil pukulannya itu.
Napasnya agak sedikit ter-engah-engah karena tenaganya dikerahkan hampir selu-
ruhnya. "Bagus..., bagus, Cucuku! Tenaga dalammu, sudah cu-kup sempurna!" Tiba-tiba saja
di tempat itu telah berdiri seorang kakek tua yang tidak lain adalah Eyang Tirta
Yasa. Kakek sakti itu gembira sekali karena usahanya dalam mendidik Panji selama
sepuluh tahun ini tidak sia-sia.
"Oh! Eyang!" Seru Panji terkejut. "Sungguh saya tidak mendengar langkah kaki
Eyang," ujarnya heran.
"Ha ha ha....Tentu saja engkau tidak mendengarnya, Cucuku! Karena Eyang sudah
berada di sini semenjak engkau memainkan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' tadi!" Jawab
Eyang Tirta Yasa tenang.
"Oh...!" Panji menjadi sedikit terhibur mendengar jawa-ban yang diberikan oleh
gurunya itu. Sementara, hujan sudah mulai reda. Dan matahari pun mulai memancarkan sinarnya
ke seluruh Puncak Bukit Goa Harimau.
Kabut sudah mulai lenyap, tersaput oleh kehangatan sinar matahari. Tidak lama
kemudian, Panji dan Eyang Tirta Yasa melangkah meninggalkan tem-pat itu. Mereka
terus melangkah, menuju pondok yang terletak di tengah puncak Bukit Goa Harimau.
Akhir-akhir ini, Panji merasa heran melihat sikap gurunya yang tampak lain dari
biasanya. Dia merasa kakek itu, seperti menyimpan sesuatu. Panji terus mengi-
kuti langkah kaki gurunya hingga ke dalam pondok.
Eyang Tirta Yasa meneruskan langkahnya ke ruang tengah, yang biasa digunakan
untuk pertemuan mereka. Panji segera mengambil tempat duduk di hadapan guru-nya.
Setelah terdiam sejenak, Eyang Tirta Yasa mulai membuka percakapan.
"Cucuku...," suara Eyang Tirta Yasa terdengar bergetar.
Seolah merasa berat dengan apa yang diutarakannya itu. "Hari ini, genap sudah
sepuluh tahun kau tinggal bersama Eyang.
Dan semua kepandaian Eyang telah diturunkan kepadamu, hingga tidak ada lagi yang
dapat Eyang turunkan padamu!
Rasanya sudah waktunya eng-kau turun ke dunia ramai untuk membasmi kejahatan
yang akhir-akhir ini merajalela!"
'Tapi, Eyang.... Ini..., ini," Panji tak mampu menerus-kan ucapannya. la terharu
sekali dengan kebaikan dan kasih sayang yang dilimpahkan gurunya selama ini.
"Sudahlah, Cucuku! Esok sebelum matahari terbit, kau sudah harus berangkat!"
Ujar Eyang Tirta Yasa tegas.
Panji membisu Rasanya memang berat untuk mening-galkan orang tua itu sendirian
di sini. Tapi mengingat bahwa kejahatan telah merajalela, maka pemuda itu harus
melaksanakan tugas yang diberlkan gurunya itu.
"Nah! Sekarang, Eyang akan bersemadi dan tidak ingin diganggu lagi!" Ujar Eyang
Tirta Yasa sambil melangkah meninggalkan Panji yang duduk Jermangu itu.
Beberapa saat kemudian, Panji tersadar dan segera berlari.
Dikejar gurunya itu, dan langsung bersimpuh di hadapan orang tua sakti itu.
"Eyang...," ucapnya serak, sambil memeluk kedua kaki Eyang Tirta Yasa.
Setelah mengusap kepala Panji, Eyang Tirta Yasa ber-gegas meninggalkan tempat
mondoknya. la tidak ingin menunjukkan kesedihannya yang malah akan memberat-kan
langkah muridnya nanti.
*** 52 "Tolooong...! Lepaskan aku, bangsat! Manusia iblis!" Teriak tiga orang wanita,
di dalam sebuah hutan lebat.
Keadaan mereka sudah tidak karuan. Pakaian yang dikenakan pun sudah robek di
sana-sini. Sehingga menampakkan kulit tubuh mereka yang putih dan mulus.
Ketiga orang wanita itu berteriak-teriak, diselingi isak tangis yang memelas.
Sementara kedua tangan mereka sibuk menutupi bagian-bagian tubuh mereka yang
ter-buka. "Kasihani kami, Tuan.... Jangan sakiti kami!" Ratap salah seorang wanita dengan
air mata yang mengalir membasahi pipi.
Di sekeliling ketiga orang wanita itu, nampak wajah-wajah bengis berdiri
berjajar sambil menatap liar penuh nafsu! Tubuh-tubuh putih mulus itu dijilati
oleh panca-ran mata liar. Apalagi, keadaan ketiga orang wanita itu sudah
setengah telanjang.
Seringai mereka makin bertam-bah lebar.
Sementara, dua orang lelaki kasar dan berwajah seram terus saja mempermainkan
ketiga orang wanita malang itu. Sambil tertawa terbahak-bahak mereka mengejar-
ngejar tiga wanita itu. Rasanya seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan
seekor tikus sebelum disantap habis.
Semakin lama keadaan wanita-wanita itu semakin tidak karuan. Setiap kali tubuh
mereka tertangkap, lang-sung dilepaskan kembali, setelah pakaian mereka dirobek
terlebih dahulu.
"Ha ha ha.... Ayo, Manis! Larilah! Ayo! Ha ha ha...!" Ujar salah seorang dari
dua laki-laki kasar itu sambil tertawa penuh kebuasan.
Setelah dilempar kesana kemari, tubuh ketiga orang wanita itu benar-benar polos,
tanpa benang sehelai pun! Maka, sibuklah ketiga wanita malang itu menutupi
bagian-bagian terlarang dari tubuh mereka.
"Ha ha ha.... Lihatlah, anak-anak! Tiga ekor kelinci ini ternyata memiliki
bentuk tubuh yang indah! Ha ha ha...!" Ujar seorang lagi sambil menoleh ke arah
kawan-kawan-nya.
Orang-orang yang berdiri berjajar membentuk lingka-ran itu makin memperkecil
lingkarannya. Karena mereka pun ingin melihat lebih jelas lagi ketiga orang
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita yang telah benar-benar polos!
Ketiga orang wanita malang itu hanya mampu berte-riak-teriak sambil menangis.
Mereka sudah hampir mati ketakutan.
Wajah-wajah di sekitarnya menjilat tubuh mereka dengan liar.
Mereka merasa ngeri, membayang-kan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dua orang laki-laki kasar yang tadi mempermainkan ketiga wanita itu,
melangkahkan kakinya mendekati tu-buh-tubuh polos itu. Lalu dengan penuh nafsu,
keduanya segera menerkam dua di antara tiga wanita itu. Kedua orang wanita itu
meronta-ronta dan menjerit-jerit ketaku-tan. Namun mereka tak berdaya menghadapi
kebuasan laki-laki kasar yang telah dipengaruhi hawa nafsu itu. Sementara, yang
seorang lagi menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi.
Belum lagi kedua orang laki-laki kasar itu melaksana-kan niatnya, tiba-tiba
terdengar suara tawa menggelegar memenuhi seluruh penjuru hutan! Suara tawa itu
berge-ma bagaikan suara jin penunggu hutan, yang tidak ingin melihat tempat itu
dikotori manusia-manusia biadab.
Belasan orang laki-laki yang masih berjajar dalam ben-tuk lingkaian itu
tersentak dengan wajah pucat. Tubuh mereka pun menggigil kedinginan. Ternyata
suara tawa itu diiringi dengan hembusan angin yang sangat dingin. Demikian pula
halnya dengan kedua orang lelaki kasar tadi. Mereka menghentikan perbuatannya
sejenak. Namun di wajah mereka, sama sekali
tidak terlihat rasa takut. Bahkan sebaliknya malah marah karena merasa terganggu
oleh suara tawa itu.
Belum lagi mereka dapat menguasai hati yang tergun-cang karena kaget, suara tawa
itu kembali terdengar.
"Ha ha ha.... Manusia-manusia bejat! Cepaaat tinggal-kan tempat ini sebelum
kemurkaanku datang! Cepaaat! Ha ha ha...!" Suara tawa itu kembali bergema di
dalam rimba yang gelap ini. Angin dingin pun berhembus sema-kin keras, sehingga
pakaian mereka berkibar. Baru, dua laki-laki kasar itu mulai agak ciut hatinya.
Dengan wajah agak pucat, kedua orang laki-laki kasar yang rupanya bertindak
selaku pimpinan, melangkah maju beberapa tindak. Seolah-olah ingin mencari
sumber suara tadi.
"Hei! Siapa kau"! Tunjukkan dirimu! Jangan coba-coba menakut-nakuti Sepasang
Harimau Terbang! Heh!" Teriak salah seorang dari laki-laki kasar itu. Sengaja
dikerahkan tenaga dalam untuk menutupi rasa gentar dalam hatinya.
"Kakang Lujita, apakah dia bukan hantu?" Bisik lelaki yang satunya lagi dengan
hati-hati. "Huh! Tidak mungkin! Dia pasti manusia biasa yang mencoba menakut-nakuti kita!"
Jawab orang yang di-panggil Lujita keras.
Sengaja tidak ingin ditunjukkan rasa takutnya di hadapan para pengikutnya itu.
Padahal, ia sendiri pun merasa ragu akan perkataannya itu.
Setelah beberapa saat kemudian, keadaan menjadi hening sejenak. Masing-masing
menunggu dengan hati berdebar-debar. Belum lagi mereka berpikir lebih jauh,
kembali angin dingin bertiup keras. Seiring dengan hem-busan angin dingin itu,
suara tawa itu kembali berku-mandang.
"Ha ha ha.... Rupanya kalian ingin membangkang, hah!
Baiklah! Kalau itu yang kalian inginkan!!! Ha ha ha...!" Gertak suara berat dan
serak itu. Tiba-tiba dari sebuah pohon yang besar sesosok baya-ngan putih melayang turun
dengan pelahan sekali! Kedua tangannya terlipat di dada. Sedangkan kedua kakinya
dalam posisi bersila.
Rambutnya yang putih keperakan itu berkibar tertiup angin.
Sementara, seluruh wajahnya penuh dengan bulu-bulu lebat dan tak terurus! Yang
membuat hati bergetar adalah, sinar putih keperakan yang menyelimuti seluruh
tubuhnya! Sosok tubuh itu, benar-benar seperti iblis!
Dan yang lebih mengejutkan lagi, bayangan putih itu seperti mengambang di udara!
Sungguh suatu peman-dangan yang mustahil! Jarak antara sosok bayangan putih
dengan pemukaan tanah, sekitar tiga tombak Sedangkan dahan yang berada di
atasnya, kurang lebih dua tombak jauhnya. Dan anehnya, posisi bayangan tersebut
masih dalam keadaan bersila, dengan kedua tangan terlipat di dada! Sosoknya
memang laksana hantu penghuni hutan ini!
Walaupun dua orang lelaki kasar yang berjuluk Sepa-sang Harimau Terbang itu
banyak ditakuti orang, namun pemandangan yang ada didepan mereka sekarang ini
benar-benar telah membuat hati mereka bergetar.
"Aaah! Set... setaaan!" teriak para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang
langsung berlarian meninggalkan tempat itu, tanpa mempedulikan panggilan
pemimpin mereka.
"Iblisss...! Mustahil...!" Lujita, orang tertua dari Sepa-sang Harimau Terbang
mencoba membantah penglihatan-nya.
Dipejamkan kedua matanya dan dibukanya kembali. Namun, apa yang dilihatnya itu
benar-benar suatu yang mustahil dapat dilakukan oleh seorang manusia! Betapa-pun
tingginya kepandaian seseorang, sangatlah tidak mungkin bila dapat bergantung di udara
sampai sedemi-kian lamanya!
Maka tanpa dapat dicegah lagi, Sepasang Harimau Ter-bang itu pun langsung
melesat meninggalkan tempat itu! Demikian pula halnya dengan kegiga orang gadis
itu. Mereka memandang bayangan putih tersebut dengan tubuh gemetar hebat! Seumur
hidup, baru kali inilah mereka melihat apa yang disebut hantu!
Setelah Sepasang Harimau Terbang dan para pengikut-nya sudah tidak terlihat
lagi, bayangan putih itu mela-yang turun.
Jarak antara dirinya dengan tiga wanita itu terpisah sekitar lima tombak.
Pelahan-lahan, sinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya menipis, untuk
kemudian lenyap sama sekali.
Dengan langkah pelahan, bayangan putih itu meng-hampiri ketiga orang wanita
malang yang masih belum dapat menggerakkan tubuhnya. Wajah mereka pucat. Ke-
ringat dingin mengalir membasahi tubuh mereka. Ketiga orang wanita itu benar-
benar merasakan takut yang hebat!
Sementara si Bayangan Putih yang telah berjalan bebe-rapa tindak segera
menghentikan langkahnya. Dibuka-nya buntalan yang tergantung di bahunya.
"Di dalam buntalan ini ada tiga stel pakaian yang mungkin agak kebesaran
sedikit! Pakailah!" Seru baya-ngan putih itu, sambil melemparkan buntalan itu.
Setelah itu, dibalikkan tubuhnya membelakangi ketiga orang wanita itu.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga wanita itu tidak dapat berkata-kata. Setelah
memperhatikan orang yang berjubah putih tersebut, salah seorang dari mereka mem-
beranikan diri untuk membuka suara.
"Jadi..., Tuan bukan... hantu...?" Tanyanya takut-takut.
"Apakah wajahku demikian menakutkan?" Bayangan putih itu balik bertanya tanpa
membalikkan tubuhnya.
Mendengar pertanyaan itu, ketiga orang wanita tadi menundukkan mukanya karena
tersipu malu. "Aaah! Bukan begitu, Tuan! Tapi, tadi tubuh Tuan tergantung di udara. Mana
mungkin seorang manusia dapat berbuat seperti itu?" Tanya yang satunya lagi.
Gadis tersebut berwajah manis sekali, dengan kedua lesung pipit di pipinya.
Sementara itu ketiga wanita itu telah selesai mengenakan pakaian yang diberikan
bayangan putih.
"Kami sudah selesai, Tuan!" Ujar yang seorang lagi.
Sosok bayangan putih itu, segera membalikkan tubuh-nya menghadap ke arah ketiga
orang wanita yang kini telah berpakaian. Begitu wajah bayangan putih itu
terlihat jelas, ketiga orang wanita itu tertegun bercampur heran. Ternyata
bayangan putih tadi telah berganti men-jadi seorang pemuda tampan dan tegap.
Rambutnya yang putih keperakan, terurai sampai ke bahu. Matanya yang tajam,
memancarkan ketegaran dalam menantang hidup.
"Ini..., tadi.. Tttuan... oooh...!" Seru mereka tergagap.
"Oh, maaf! Aku tadi menggunakan ini!" Jawab pemuda itu, ketika menyadari
kebingungan tiga wanita itu. Segera ditunjukkannya rambut, cambang, serta
jenggot yang di-kenakannya tadi. Rupanya semua itu palsu belaka.
"Oh!" Seru mereka serempak. "Lalu, mengapa tubuh Tuan bisa ngambang di udara
tadi..?" Lanjut yang seorang.
"Hm, dengan tali ini!" Jawab pemuda itu sambil memperlihatkan seutas tali hitam
yang terbuat dari kulit bina-tang.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perto-longan Tuan! Entah apa jadinya
dengan diri kami, apabila tidak ada Tuan!" Ujar wanita yang berwajah paling
cantik dengan wajah bulat telur, dan berambut paling panjang sampai ke pinggang.
"Hm! Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong!" Ujar pemuda itu.
"Hm, bolehkah kami tahu nama Tuan?" Tanya yang seorang lagi. Wanita yang
berambut sebahu.
"Namaku Panji," Jawab pemuda itu singkat. "Di mana-kah kalian tinggal" Mari
kuantarkan pulang!"
Ketiga dara itu memandangi wajah tampan di hada-pannya itu. Wajah seorang yang
menjadi penolong me-reka. Pemuda itu memang sopan. Jadi ketiga wanita itu tidak
takut-takut lagi.
Panji yang dipandangi seperti itu menjadi kikuk. Untuk menyembunyikan
kegugupannya itu, ia pun melangkah-kan kakinya. Ketiga orang gadis itu pun
segera mengikuti langkah kaki Panji yang menuju pinggiran hutan. Mereka berjalan
tanpa berkata sepatah pun.
Setelah menerobos semak dan perdu, mereka pun tiba di pinggiran hutan. Namun
baru beberapa langkah keluar dari pinggiran hutan, terdengar sebuah bentakan
nyaring. Tidak lama kemudian berloncatan beberapa sosok tubuh yang langsung
menghadang perjalanan mereka.
"Berhenti...!"
"Ha ha ha.... Lihatlah, Adi Lukita! Bukankah firasatku benar"
Kita telah dikibuli mentah-mentah oleh bocah setan ini!" Seru orang yang tidak
lain adalah Lujita, sekaligus orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang. Dia
rupanya masih penasaran.
"Hei, Bocah! Sungguh besar nyalimu mempermainkan Sepasang Harimau Terbang!
Apakah kau sudah bosan hi-dup"
Hah!!" Bentak Lukita dengan tidak kalah bengisnya.
Panji terkejut juga melihat kemunculan mereka yang tidak disangka-sangka itu.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya hanya terpaku di tempatnya. Sementara
ketiga orang wanita itu sudah saling berangkulan dengan wajah pucat!
"Anak-anak! Serbuuu...!" Lujita berteriak garang.
Pemuda berjubah putih itu, tersentak kaget. Segera diperintahkan agar ketiga
gadis itu menepi. Dengan gera-kan yang indah, pemuda yang bemama Panji itu
menge-goskan tubuhnya menghindari sabetan pedang yang me-ngarah ke lehernya.
Tidak sampai di situ saja, ternyata senjata-senjata lainnya juga ingin merencah
tubuh Panji. Namun pemuda itu dengan lincah berkelit kesana kemari menghindari
serangan yang serentak itu.
Tapi sayang, yang dihadapi kali ini adalah pemuda yang menjadi murid kesayangan
si Malaikat Petir. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat melukainya!
Serangan-serangan anak buah Sepasang Harimau Terbang yang berjumlah kurang lebih
lima belas orang itu, dapat dihadapi Panji dengan mudah. Sampai sejauh ini,
pemuda itu sama sekali belum balas menyerang. Dia masih saja mengelak kesana dan
kemari untuk menghin-dari ancamam ujung senjata-senjata lawannya. Tentu saja hal
ini membuat para pengeroyoknya menjadi sema-kin marah, bahkan makin memperhebat
serangan-sera-ngannya.
Melihat kelincahan pemuda berjubah putih itu, Sepa-sang Harimau Terbang yang
berdiri di luar arena menjadi geram sekali. Dengan satu teriakan nyaring, tubuh
ke-duanya segera melayang ke arah Panji.
Pemuda itu segera memalingkan wajahnya ketika mendengar desiran angin tajam yang
mengarah kepadanya. Sambil merundukkan tubuhnya, kedua tangan Panji ber-balik
memapak serangan yang berbahaya itu.
Plak! Plak! Terdengar suara nyaring ketika kedua pasang lengan Sepasang Harimau Terbang
bertemu telapak tangan Panji.
Tubuh Lujita dan Lukita terdorong mundur sejauh lima langkah.
Kedua tangan mereka terasa linu, ketika ber-temu dengan telapak tangan pemuda
berjubah putih itu. Padahal Panji hanya mempergunakan separuh dari tena-ganya.
"Gila! Tenaga dalam pemuda ini ternyata sangat hebat!"
dengus Lukita, orang termuda dari Sepasang Harimau Terbang.
"Ah! Tentu saja! Posisinya lebih menguntungkan, Adi Lukita!"
Bantah Lujita gusar.
Kali ini Sepasang Harimau Terbang tidak ingin main-main lagi. Segera dikeluarkan
ilmu andalan yang telah membuat nama mereka terkenal, yaitu ilmu 'Cakar
Harimau'. Kedua pasang telapak tangan mereka memben-tuk cakar yang kekar dan
kaku. Mereka kini mengurung tubuh Panji dengan serangan-serangan yang mematikan.
Akan tetapi yang mereka serang kali ini adalah Panji! Murid kesayangan Eyang
Tirta Yasa, si Malaikat Petir yang memiliki kesaktian tidak terukur, sehingga
betapa-pun Sepasang Harimau Terbang itu mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya dan menyerang pemuda berbaju putih itu kalang kabut, Panji dengan
tenangnya dapat mengelakkan semua serangan mereka.
Betapa berangnya hati Sepasang Harimau Terbang itu!
Sebab telah hampir dua puluh jurus mereka melancarkan
serangan, tapi tak ada satu pukulan pun yang menyentuh tubuh pemuda itu.
Padahal, mereka masih dibantu oleh lima belas orang pengikut mereka.
"Hm.... Rupanya kalian tidak bisa dikasih hati! Kalau kalian ingin cepat-cepat
mati, baiklah!" Dengus Panji yang akhirnya mulai jengkel. Melihat sikap lawan
yang terus mendesaknya tanpa mempedulikan sikapnya yang telah banyak mengalah.
"Bocah sombong! Tutup mulutmu! Ayo, kita buktikan, siapa yang lebih cepat masuk
ke lubang kubur!" Bentak Lujita dengan wajah merah padam.
"Baiklah, lihat serangan!" Seru Panji.
Sehabis berkata demikian, Panji pun mengeluarkan ilmu
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sebuah ilmu yang tidak ada keduanya di dunia
persilatan. Pelahan-lahan di sekujur tubuh Panji mulai diseiimuti oleh sinar
putih keperakan. Berbareng dengan itu, udara di sekitar tempat itu pun mulai
terasa dingin. Semakin lama semakin dingin. Sehingga beberapa pengikut Sepasang Harimau Terbang
menjadi menggigil kedinginan.
Itulah salah satu keistimewaan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkan
Panji. Diiringi dengan pekik keras mirip suara seekor naga yang sedang murka, tubuh
Panji melesat. Pemuda ini mulai balas menyerang. Kali ini Panji tidak ragu-ragu
lagi. Dikeluarkannya ilmu 'Naga Sakti'. Angin yang berhembus membawa hawa dingin
menggigilkan menyertai setiap serangan itu.
Akibatnya hebat sekali! Belum juga serangan Panji aba, satu persatu tubuh para
pengikut Sepasang Harimau Ter-bang itu terlempar keluar arena. Tubuh mereka
bergu-lingan di tanah sambil memeluk erat-erat tubuhnya yang menggigil. Gigi-
gigi mereka bergemeletuk menahan sera-ngan hawa dingin yang amat dahsyat!
Hanya Lukita dan Lujita yang tidak begitu terpenga-ruh.
Sungguhpun demikian, mereka pun tidak luput dari serangan hawa dingin yang
menyebar keluar dari tubuh dan setiap serangan Panji. Sepasang Harimau Terbang
ini diam-diam terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawan yang masih
muda ini mempunyai kepandaian begitu hebat!
Diam-diam Panji terkejut juga melihat akibat dari ilmu
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkannya. Untunglah tadi, ia hanya
mengerahkan separuh dari tenaganya. Tidak dapat ia membayangkan kalau ia tadi
mengerahkan seluruh tenaganya.
"Bocah setan! Ayo lawan aku!" Lukita berteriak-teriak memaki lawannya.
"Ha ha ha.... Jangan berteriak-teriak, harimau om-pong!
Bukankah kau yang memintanya?" Seru Panji sam-bil tertawa mengejek.
Dengan hati terbakar, Lujita melancarkan serangan secara beruntun. Kedua
tangannya yang berbentuk cakar itu, meluncur deras ke arah pusar dan mata Panji.
Sementara dari arah belakang, kedua cakar Lukita mencengkeram ke arah lambung
pemuda itu. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya. Jangankan tubuh manusia,
bahkan batu karang pun pasti hancur terkena cengkeraman Sepasang Harimau Terbang
itu. Pada saat kedua serangan itu hampir mencengkeram tubuhnya, Panji menggeser kaki
kanannya membentuk setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak secara
berlawanan, guna mematahkan serangan Lujita. Dengan cara demikian, ia pun juga
telah berhasil menghindari serangan ke arah lambungnya yang dilancarkan Lukita.
Tidak hanya sampai
di situ saja! Sepasang tangan pemuda itu langsung meluncur ke arah dada dan
perut Lujita! Namun, Lujita bukanlah tokoh sembarangan. Dia ada-lah perampok ulung yang sudah
delapan tahun malang melintang dalam dunia persilatan. Makanya, dalam kea-daan
yang berbahaya itu pun segera dimiringkan tubuh-nya. Hasilnya, serangan Panji
lewat hanya beberapa senti di depan dadanya.
Tapi orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu salah duga apabila sudah
merasa terbebas dari serangan lawannya.
Karena berbarengan dengan gerakannya itu, Panji telah melepaskan tendangan kilat
ke arah pelipis Lujita! Lujita tercekat meiihat serangan yang tidak terduga itu,
Dengan cepat segera dimiringkan tubuhnya ke kanan!
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desss! Tubuh Lujita melintir bagaikan sebuah gasing ketika tendangan Panji yang berisi
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu menghantam bahu kirinya. Untunglah Panji hanya
mengerahkan sepertiga dari tenaga dalamnya itu. Kalau tidak, tentu tubuh Lujita
sudah remuk dibuatnya.
Panji berniat mengirimkan kembali tendangannya. Tapi niatnya segera diurungkan
karena telinganya menangkap desiran angin tajam di belakangnya. Ternyata Lukita
ingin mengambil kesempatan selagi Panji mendesak Lujita dengan serangan
beruntun. Serangan Lukita yang menimbulkan desir angin tajam itu, untuk beberapa saat
dapat menyelamatkan jiwa saudaranya dari kematian.
Tapi, Panji yang memang sudah merasa muak dengan kelakuan mereka tidak mau
tanggung-tanggung lagi Segera dibalasnya serangan Lukita dengan serangan-
serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Tentu saja Lukita menjadi kalang kabut menerima serangan
balasan dari pemuda itu. Laki-laki saudara Lujita itu menghindari serangan-
serangan yang dahsyat dan berbahaya.
Sementara itu, Lujita yang masih terkapar akibat tendangan Panji tadi, berusaha
untuk bangkit berdiri. Dicobanya mengusir hawa dingin yang mengeram dalam
tubuhnya, dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Bebe-rapa saat kemudian, Lujita
sudah mampu tegak berdiri. Di tangan kanannya tergenggam sebatang golok besar.
"Aaakh...!" Terdengar sebuah jeritan yang panjang dari tengah arena pertempuran.
Rupanya, Lukita yang sudah terdesak oleh Panji itu, tak dapat mempertahankan
dirinya lagi. Sebuah serangan yang dilakukan oleh pemuda itu dalam rangkaian
ilmu 'Naga Sakti'
itu, bersarang dengan telak dada Lukita! Tubuh Lukita terhempas bagai sebra daun
kering yang tertiup angin. Dari mulutnya mengalir darah kental. Orang termuda
Sepasang Harimau Terbang itu, tewas seketika dengan dada terobek lebar!
Bukan main marahnya Lujita melihat kematian adiknya itu.
Maka tubuhnya pun melesat diiringi teriakan yang mengguntur.
Golok besarnya berkelebat ganas. Dicecarnya Panji dengan sabetan-sabetan golok
besar yang berkelebatan cepat. Suara golok mengaung dahsyat, menandakan kalau
golok besar itu digerakkan oleh tenaga yang kuat.
Panji sudah tidak ingin memperpanjang waktunya. Maka, ketika Lujita membabatkan
golok besarnya ke arah pinggangnya, pemuda itu menggeliat dengan kuda-kuda
rendah, sambil melepaskan pukulan jarak jauh dengan jari-jari terbuka membentuk
cakar naga. Serangkum angin yang amat
dingin bertiup keras mengiringi pukulan itu. Inilah jurus
'Pukulan Naga Sakti'.
Desss! Pukulan jarak jauh Panji bersarang telak di tubuh lawannya itu. Lujita menjerit
kesakitan Tubuhnya ter-pental sejauh tujuh tombak dari tempatnya sendiri. Kontan
orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu tewas dengan tubuh membiru!
Para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih selamat, segera menjatuhkan
diri bersimpuh hadapan Panji.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami... Kami ber-janji...
Tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi. Ja-ngan bunuh kami, Tuan Pendekar!"
Ratap mereka, sambil membentur-benturkan kepalanya ke tanah.
"Hm! Manusia-manusia macam kalian, mestinya tidak bisa diberi hati! Sekarang
kalian meratap-ratap meminta ampun, tapi besok kalian akan mengulangi perbuatan
jahat lagi!"
Dengus Panji sengit.
Tubuh orang-orang itu menjadi gemetar. Wajah-wajah mereka pucat seperti kertas
mendengar kata-kata Panji itu.
"Ampun, Tuan Pendekar! Kami tobat...! Sungguh, Tuan Pendekar...! Kami
berjanji...!" Ujar mereka lagi, dengan suara terputus-putus.
"Baiklah! Untuk kali ini, kuampuni! Tapi ingat! Apabila kudapati kalian berbuat
jahat lagi, maka akan kubunuh!
Mengerti"!" Ancam Panji.
"Kami mengerti, Tuan Pendekar! Dan kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi!"
Jawab mereka sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Sekarang minggatlah dari hadapanku!" Bentak pemuda itu.
Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang, mereka segera berlari
meninggaikan tempat itu.
Panji lalu melangkah, mendekati ketiga orang wanita yang masih berangkulan.
Wajah mereka nampak pucat.
"Mereka sudah pergi semua," Ujar Panji sambil terse-nyum.
Ketiga orang wanita itu mencoba untuk tersenyum sambil memandang kagum kepada
Panji. "Ah! Ternyata Tuan adalah seorang pendekar yang sangat sakti!" Kata gadis yang
berambut sebahu.
"Benar. Sepak terjang Tuan tadi mirip seekor naga yang sedang mengamuk," sambung
gadis yang berwajah bulat telur dan berambut panjang sampai ke pinggang. Gadis
yang paling cantik.
"Benar, Tuan. Tepatnya seperti seekor naga putih!" Ucap yang satunya lagi.
Panji berdebar dadanya, ketika melihat sinar keme-sraan dari pandangan ketiga
orang wanita itu.
"Ayolah kita berangkat! Hari akan gelap!" Ajak Panji, untuk menyembunyikan
kegugupannya. Mereka lalu meneruskan perjalanan menuju desa tem-pat tinggal ketiga orang gadis
itu. Panji berjalan agak jauh di belakang mereka karena merasa kikuk melihat
tatapan penuh pesona kepadanya.
Di ufuk Barat, mulai terlihat sinar kemerahan. Pertan-da sang matahari sudah
menyelesaikan tugasnya untuk hari ini.
Sementara kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Sang dewi malam pun bersiap-siap
memancarkan keindahan sinarnya.
*** 6 Alam telah diselimuti kegelapan, ketika empat sosok tubuh memasuki perbatasan
Desa Tambak. Mereka terdiri dari tiga orang wanita dan seorang pemuda tampan
berjubah putih.
Ketiga orang wanita itu rata-rata berwajah cantik. Terlebih lagi, wanita yang
berambut paling panjang. Wajahnya yang bulat telur itu, nampak sedap dipandang
mata. Bibirnya yang merah dan berbentuk bagus, nampak selalu dihiasi senyum
menggoda. Tubuhnya yang tinggi semampai, semakin menambah daya tariknya.
"Ehm, inikah desa tempat tinggal kalian?" Tanya si Pemuda Tampan, yang ternyata
adalah Panji. "Benar, Tuan Pendekar! Inilah desa kelahiran kami!" Jawab dua orang dari ketiga
wanita itu. Sedangkan si gadis yang berwajah bulat telur, hanya menoleh sekilas
disertai dengan senyumnya yang menawan.
"Ah! Janganlah memanggilku dengan sebutan seperti Itu!
Kalian hanya membuatku serba salah saja," ujar Panji kikuk.
"Hm, bagaimana kalau kalian panggil aku Panji saja."
"Baiklah, hm... Kakang Panji," jawab keduanya meng-goda.
Belum jauh mereka memasuki Desa Tambak, tampak di sebelah depan serombongan
orang berkuda bergerak menuju perbatasan. Rombongan itu terdiri dari dua pu-luh
orang laki- laki, dengan senjata di pinggang. Keliha-tannya mereka bersiap-siap untuk
menghadapi sebuah pertarungan.
Rombongan berkuda itu, dipimpin seorang laki-laki yang berusia sekitar enam
puluh tahun. Wajahnya yang gagah dan bersih itu, ditumbuhi bulu-bulu halus di
seki-tar pipi dan dagunya, sehingga semakin terlihat berwi-bawa.
Lelaki gagah itu, diapit dua orang yang merupakan pembantu-pembantu utamanya.
Yang di sebelah kanan mengenakan baju serba biru dengan ikat kepala dari kain
yang sama. Dilihat dari wajahnya yang cukup tampan itu, paling tidak dia berusia
sekitar tiga puluh tahun. Sinar matanya yang tajam, menandakan bahwa ia bukan
orang yang lemah.
Sedangkan yang di sebelah kiri, mempunyai wajah agak kasar. Sebaris kumis lebat
melintang di antara hidung dan bibimya, sehingga terlihat galak dan angker. la
berusia sekitar tiga puluh lima tahun Di punggungnya tampak tergantung sebilah
pedang. Sepertinya si Kumis Lebat ini tidak asing dengan ilmu olah kanuragan.
Rombongan jtu terus melarikan kudanya keluar perba-tasan Desa Tambak. Wajah-
wajah mereka terlihat tegang, sehingga tidak lagi memperhatikan keadaan
sekelilingnya. "Ayah...!" Teriak si gadis berambut panjang, yang ber-jalan didepan Panji.
Gadis berambut panjang itu segera berlari menyong-song rombongan berkuda.
Direntangkan tangannya di tengah jalan, yang akan dilewati rombongan itu
"Ayah...!" Teriaknya lagi dengan suara yang lebih nyaring.
Lelaki gagah yang memimpin rombongan berkuda segera mengangkat sebelah tangannya
ke atas. Serentak, orang-orang
yang berada di belakang orang tua gagah Itu menghentikan kuda-kudanya.
"Eh! Bukankah itu Adik Kenanga?" Tanya si Kumis Lebat, dengan wajah keheranan.
"Kau... kau...," ujar orang tua itu gugup. Dikucek-kucek kedua matanya, seolah-
olah tak percaya dengan yang dilihatnya. Matanya melotot bagaikan melihat hantu
di siang bolong. Dengan wajah bingung, orang tua itu melorot turun dari atas
punggung kudanya.
"Benar, Tuan! Dia adalah Den Ayu Kenanga...!" Tegas kedua orang wanita yang
sudah pula berdiri di samping gadis yang benama Kenanga itu. Sementara Panji
hanya membisu di belakangnya.
"Anakku...," ujar orang tua gagah itu bergetar. Dia segera melangkah mendekati
gadis itu. Kedua tangannya dikembangkan.
"Ayah...!" Gadis yang bernama Kenanga itu segera menghambur ke dalam pelukan
ayahnya. Tangisnya pun meledak, ketika tangan orang tua gagah itu memeluknya
penuh kasih sayang.
"Anakku... anakku...," desah orang tua itu penuh rasa haru.
Para anggota rombongan yang menyaksikan pertemuan ayah dan anak itu menjadi
terharu. Sebentar kemudian wajah mereka berubah cerah, karena berarti tidak
perlu lagi bersusah-payah mencari Kenanga.
Sementara, Panji memalingkan wajahnya ke tempat lain Rasanya tak sanggup
menyaksikan keharuan itu. la jadi teringat dengan kedua orang tuanya yang telah
tiada. Samar-samar terbayang wajah ketiga orang pembunuh ayah ibunya. Panji
cepat-cepat mengusir bayangan itu, karena suasananya jelas tidak memungkinkan.
Sementara, suasana haru antara ayah dan anak itu sudah mereda, dan telah
berganti dengan suasana gembira.
"Anakku, bagaimana caranya kau dapat terbebas dari tangan Sepasang Harimau
Terbang yang terkenal ganas itu?" Tanya orang tua yang masih belum memperhatikan
orang-orang di sekelilingnya itu.
"Oh!" Sentak gadis itu terkejut. "Aku sampai lupa! Ayah, mari kuperkenalkan
dengan Kakang Panji!" Ajak Kenanga sambil menggandeng tangan ayahnya dengan
wajah berseri-seri.
Kedua orang ayah beranak itu, segera melangkah mendekati Panji. Sedangkan pemuda
itu hanya tersenyum sambil memberi hormat kepada orang tua yang tengah digandeng
Kenanga. "Ayah! Inilah Kakang Panji yang telah menyelamatkan kami bertiga. Entah apa yang
akan terjadi terhadap kami, apabila tidak ada Kakang Panji!" Ujar gadis itu
memper-kenalkan pemuda itu kepada ayahnya.
Orang tua gagah itu, memperhatikan Panji sejenak. Seraut wajah yang tampan
dengan jubah putih dari kain sederhana itu masih tertunduk malu. Rasanya dia
enggan untuk menyombongkan diri.
"Orang muda! Aku Ki Umbaran, mengucapkan banyak terima kasih atas
pertolonganmu!" Ucap orang tua itu sambil mengulurkan tangannya kepada Panji.
"Ah! Hanya kebetulan saja, Paman! Lagi pula, bukan-kah memang sudah menjadi
kewajiban kita untuk saling tolong-menolong!" Sambut Panji merendah.
Orang tua gagah yang ternyata bernama Ki Umbaran, menjadi kagum akan perkataan
yang tulus dari Panji itu.
Seorang pemuda yang berjiwa bersih dan menolong tanpa pamrih.
Panji lalu diperkenalkan kepada Kenanga dan juga kedua orang wanita yang
ditolongnya itu. Sebab, selama dalam perjalanan Panji sama sekali tidak pernah
tahu nama mereka!
Masalahnya, ketiga gadis itu pun Juga tak mau menyebutkan namanya. Mungkin malu.
"Hm.... Begini, Paman! Berhubung persoalan ini sudah selesai, maka saya mohon
diri untuk meneruskan perja-lanan saya," ujar Panji lagi.
"Eh, mengapa begitu, Panji" Mengapa tidak singgah dulu di rumah kami" Lagi pula,
hari sudah larut malam. Bukankah tidak enak melakukan perjalanan di malam hari?"
Mohon Ki Umbaran sungguh-sungguh.
"Eh..., saya..., saya masih banyak urusan yang harus diselesaikan!" Ujar Panji
Heran! Mengapa aku menjadi demikian gugup" Pikir pemuda itu tak mengerti.
Mungkin kegugupannya karena tatapan Kenanga yang begitu mem-pesona.
Karena asyiknya melamun, Panji tidak mendengar uca-pan Kenanga yang ditujukan
kepadanya. Sehingga, gadis itu harus mengulangi lagi perkataannya sambil menyen-
tuh lengan Panji.
"Eh! Oh..., apa...?" Ucapnya dengan wajah ketololan-nya.
Kenanga tersenyum geli melihat pemuda itu terkejut, dan menatapnya dengan
bingung. "Kakang sih, terlalu asyik melamun! Sampai-sampai pertanyaanku tidak terdengar!"
Kata gadis itu. Suaranya begitu merdu terdengar.
"Oh..., maaf! Aku tadi sedang berpikir tentang perjala-nanku!" Panji berbohong.
Kenanga yang tidak ingin menggoda Panji, segera mengulangi pertanyaannya.
"Aku tadi bertanya, ke mana Kakang akan pergi pada malam selarut ini" Apakah
tidak lebih baik Kakang me-nginap di desa kami" Ayah tentu akan menyediakan
tempatnya! Bukankah begitu. Ayah?" Ujar Kenanga sam-bil menoleh kepada Ki
Umbaran. Ki Umbaran menganggukkan kepalanya, lalu melang-kah mendekati Panji. Dan
dipegangnya kedua pundak pendekar itu.
"Benar, Panji! Menginaplah di sini untuk barang sema-laman.
Dan esok pagi, kau bisa melanjutkan perjalanan-mu dengan tubuh yang lebih
segar," tegas Ki Umbaran.
"Ayolah, Kakang!" Pinta kedua orang wanita yang telah ditolongnya itu.
"Baiklah, Paman! Maaf kalau aku telah mengganggu," jawab Panji tak kuasa untuk
menolak terus-menerus.
"Ah! Tidak apa-apa, Panji! Malah sebaliknya, kamilah yang telah mengganggu
perjalananmu!" Jawab Ki Umba-ran.
Maka, rombongan itu pun segera kembali ke desa. Sementara, seraut wajah dengan
senyum sinis selalu memperhatikan Panji. Matanya memancarkan sinar keben-cian.
Rombongan itu kemudian berhenti didepan sebuah rumah yang cukup besar, dan
berhalaman luas. Ki Um-baran berpaling menghadap ke arah rombongannya.
"Saudara-saudara sekalian! Sekarang kalian boleh pulang ke rumah masing-masing.
Dan aku mengucapkan terima kasih
atas bantuan saudara-saudara," ucap Ki Umbaran. Suaranya terdengar berat dan
berwibawa. Selesai Ki Umbaran berkata demikian, warga desa itu pun bergegas meninggalkan
tempat itu dengan perasaan lega.
Tinggallah di situ, Ki Umbaran, Kenanga, Panji dan dua orang pembantu utama
kepala desa itu.
"Jadi, Paman adalah kepala desa ini?" Tanya Panji pelahan.
"Begitulah yang mereka percayakan kepadaku, Panji!" Jawab Ki Umbaran merendah.
"Mari, kita bicara di dalam saja."
Kelima orang itu pun segera melangkah memasuki ruangan depan rumah besar itu.
Sedangkan kedua orang pembantu utama Ki Umbaran, tetap berjaga-jaga di luar
gedung. Sepasang mata penuh rasa iri kembali mengikuti langkah kaki Panji.
"Silakan, Panji!" Ujar Ki Umbaran setelah mereka ber-ada di sebuah ruangan yang
cukup luas. Sepertinya, ruangan itu dikhususkan untuk pertemuan jika ada tamu
agung. "Terima kasih, Paman!"
Ki Umbaran lalu meminta agar Panji bercerita tentang kejadian di hutan itu,
hingga ia dapat membebaskan Kenanga dan dua orang pembantunya.
Dengan sederhana dan singkat, Panji pun segera menceritakan pengalamannya. Dia
sama sekali tak menying-gung tentang kepandaian, apalagi pamrihnya.
"Eh! Jadi, Sepasang Harimau Terbang itu sudah ter-bunuh olehmu?" Tanya Ki
Umbaran. Wajahnya meman-carkan ketidakpercayaan.
"Ah, sebenarnya itu hanya karena mereka lengah saja, Paman!" Ujar Panji
merendah. "Ah! Padahal kepandaian Sepasang Harimau Terbang hebat sekali! Bagaimana caranya
pemuda ini dapat mem-bunuh mereka?" Tanya Ki Umbaran dalam hati. Tentu saja,
pertanyaan Ki Umbaran ini tidak diungkapkannya kepada Panji.
Dugaannya, pemuda itu pasti tidak akan mengatakannya.
Hanya saja dia menduga-duga, sampai di mana kepandaian yang dimiliki pemuda di
hadapannya ini.
"Apakah kau juga telah melepaskan para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih hidup?" Tanya Ki Umbaran lagi.
Wajahnya agak gelisah.
"Betul, Paman! Karena mereka telah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,"
jawab Panji. "Eh! Ada apakah, Paman?" Tanyanya ketika melihat wajah Ki Um-baran
gelisah. "Ah! Sungguh berbahaya sekali...!" Desah orang tua itu sambil menghela napas
berat. "Kenapa, Paman...?" Tanya Panji. Dia masih belum mengerti hal apa yang membuat
Ki Umbaran resah.
Ki Umbaran terdiam sejenak, seperti sedang memikir-kan sesuatu. Dahinya berkerut
seperti tengah memba-yangkan sesuatu. Dengan sebuah helaan napas berat bagai
ingin melepaskan beban di dadanya, Ki Umbaran membuka suaranya.
"Panji, sebenarnya Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai seorang guru yang
sangat kejam dan memiliki kepandaian yang tinggi."
"Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai guru?"
Tanya Panji heran Setelah berpikir sejenak, barulah dapat ditangkapnya arah
pembicaraan Ki Umbaran itu. "Jadi, maksud Paman, orang-orang yang saya bebaskan
akan mengadu kepada guru mereka?" lanjutnya.
"Bisa jadi begitu!" Jawab Ki Umbaran.
"Lalu, Guru Sepasang Harimau Terbang akan datang ke desa ini?" Tanya Panji lagi.
"Itulah yang kukhawatirkan, Panji."
"Siapa nama guru Sepasang Harimau Terbang itu, Paman?"
"Julukannya Laba-Laba Beracun. Tak seorang pun yang mengetahui nama aslinya.
Kepandaiannya sangat tinggi, dan jarang ada tokoh persilatan yang dapat me-
nandingi kesaktiannya! Dan, kalau iblis itu datang ke desa ini, sudah dapat
dipastikan bahwa desa ini akan musnah!" Tegas Ki Umbaran, penuh duka.
"Ah! Sungguh berbahaya sekali!" Desah Panji. Jelas dia ikut khawatir karena
secara tidak langsung dialah yang telah menjadi sebabnya. "Paman! Kalau benar
iblis itu akan menyerang desa ini, biarlah saya yang akan meng-hadapinya!"
Lanjut Panji, tanpa bermaksud ingin menonjolkan kepandaiannya sedikit pun.
"Ah! Terima kasih, Panji! Tentu saja bantuanmu sangat berarti bagi kami!" Ujar
Ki Umbaran. Wajahnya kembali berseri.
Meskipun belum menyaksikannya sendiri, namun ia merasa yakin bahwa kepandaian
pemuda di hadapan-nya tentu sangat tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat
mengalahkan Sepasang Harimau Terbang yang hebat itu" Walaupun tentu saja ia
tidak yakin kalau pe-muda ini akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun!
"Hhh! Hari sudah semakin jauh malam, Panji! Kau ten-tu sudah lelah, dan ingin
beristirahat, bukan" Ah! Dasar aku tuan rumah tidak tahu adat! Masa tidak tahu
tamu-nya sudah merasa lelah!" Kata kepada desa itu sambil tertawa.
"Ah! Tidak mengapa, Paman! Aku pun belum mengan-tuk!"
Jawab Panji tersenyum.
"Ah, sudahlah," ucap Ki Umbaran, kemudian segera memanggil salah seorang
pelayannya. Dengan segera, seo-rang pelayan terbungkuk-bungkuk datang
menghampiri. Pelayan itu diperintahkan untuk mengantarkan Panji ke kamar yang
telah dipersiapkan.
Sebentar Panji memandang Ki Umbaran lalu segera mengikuti pelayan itu. KI
Umbaran menganggukkan kepalanya yang penuh dengan bayangan kejadian yang akan
menimpa desanya.
Sementara, Panji sudah merebahkan tubuhnya di pembaringan. Sejenak pikirannya
melayang pada kejadian sore tadi yang dialaminya. Dan sekilas muncul bayangan
seraut wajah berbentuk bulat telur. Rambutnya yang panjang dan hitam.
Wajah Kenanga! Cepat-cepat dihapus-nya bayangan indah yang melintas di alam
pikirannya itu. Sebentar kemudian, terdengar suara dengkurnya yang halus.
*** Hari masih gelap. Fajar pun belum lagi terbit. Suara jengkerik pun masih
terdengar bersahut-sahutan. Namun, di pagi yang segar itu Panji telah terbangun
dari tidurnya. Tubuhnya terasa segar sekali. Dibukanya jen-dela, agar udara sejuk dapat masuk
memenuhi ruangan kamarnya. .
Panji melangkah keluar dari kamarnya karena ingin menikmati udara di pagi yang
sejuk dan menyegarkan. Pemuda itu terus melangkah pelahan sambil bibirnya ter-
senyum- senyum sendiri. Sesekali pemuda itu menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil
mengangkat kedua tangannya.
Tanpa disadari, Panji telah memasuki taman yang berada di belakang rumah kepala
desa itu. Hatinya yang diliputi kegembiraan itu, semakin bertambah gembira ke-
tika melihat di sekitarnya banyak bunga yang bermekaran beraneka ragam.
Tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap suara desiran-desiran angin. Suaranya
jelas berbeda, dan lebih tajam dari sekedar tiupan angin. Tidak lama kemudian,
terdengar bentakan-bentakan merdu dan bertenaga, yang membuat hati Panji semakin
penasaran. "Hm.... Siapakah yang sedang berlatih silat di pagi buta begini?" Gumamnya tak
jelas. Rasa ingin tahu yang me-nguasai perasaan membuat Panji lupa bahwa dirinya
ada-lah seorang tamu yang tentu saja tidak boleh keluar masuk seenaknya.
Pemuda itu terus melangkah pelahan, menuju bela-kang taman. Gerakan-gerakan yang
cukup mantap diser-tai bentakan-bentakan halus bersuara merdu itu, ter-nyata
datangnya dari seorang gadis. Begitu indah sekali, bagaikan sebuah tarian saja
layaknya. Kakinya yang ram-ping bergerak gesit, mengikuti gerakan tangan mungil
berkulit halus.
Panji menyaksikan semua itu, dengan mata tidak ber-kedip.
Seolah-olah ia takut kalau gadis itu menghentikan gerakannya.
Ia sengaja bersembunyi di balik rerimbunan tanaman bunga.
Tiba-tiba, gadis itu melompat ke belakang, lalu seorang gadis lain memberikan
sebilah pedang yang besi gagang indah kepadanya. Gagang pedang itu dihiasi
rangkaian bunga berwama biru, sehingga nampak semakin menarik. Apalagi yang
memegang adalah seorang gadis cantik bagai bidadari, maka semakin sedap lah
dipandang mata.
"Haiiit..!"
Gadis itu berteriak lembut disertai ayunan pedangnya. Dan mulailah dia memainkan
jurus-jurus pedang yang indah dan menawan. Suara ayunan pedangnya berdesing
membelah udara pagi yang bening.
Meskipun jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya mempunyai banyak kelemahan di
sana-sini, namun Panji harus mengakui kalau permainannya benar-benar indah
dipandang mata. Panji bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang memainkan
tarian pedang. Tidak lama kemudian, gadis jelita itu pun menyudahi permainan pedangnya.
Wajahnya kemerahan, karena aliran darahnya semakin lancar. Sehingga semakin me-
nambah kecantikannya. Gadis itu segera menyeka peluh di sekitar leher dan
dahinya. Karena terlalu terpesonanya dengan permainan pedang gadis itu, tanpa sadar Panji
keluar dari tempat persembunyiannya sambil bertepuk tangan.
"Ah, hebat sekali, Adik Kenanga! Hebat sekali!" Puji pe-muda itu sambil bertepuk
tangan. Senyumnya mengem-bang di bibir.
Si Gadis Jelita yang ternyata adalah Kenanga, menjadi terkejut sekali ketika
Panji muncul. Wajah gadis itu men-jadi semakin merah karena rasa jengah dan
malu. "Ah! Kakang Panji! Membuat aku malu saja! Mana bisa kepandaianku yang jelek
disejajarkan dengan kepandaian Kakang?" Kilah gadis itu sambil tersipu malu.
"Eh! Bagai-mana Kakang bisa berada di sini?" Tanya gadis itu.
Panji baru menyadari kesalahannya. Pemuda itu men-jadi kikuk, sehingga untuk
beberapa saat lamanya ia hanya berdiri bengong.
"Eh! Aku... aku... itu...!" Jawab Panji gugup. Dia jadi serba salah dan malu
akibat kecerobohannya itu. Diam-diam pemuda itu mengutuk dirinya, yang telah
berbuat tolol itu.
"Ah, sudahlah, Kakang! Kau tidak berbuat salah!" Kata gadis itu sambil
tersenyum, yang membuat dada Panji terguncang.
"Lagi pula, aku hanya terkejut karena kau sudah bangun sepagi ini," Lanjut
Kenanga lagi. Panji, yang sudah dapat menguasai perasaannya itu hanya dapat tersenyum masam.
"Maafkan aku, Adik Kenanga! Sungguh tidak ku-sengaja untuk melangkah ke sini!
Suasana pagi yang begitu segar tanpa terasa telah membawa langkahku ke taman!"
ucap Panji, dengan perasaan bersalah.
"Benar, Tuan Pendekar... eh! Kakang Panji! Kami ha-nya terkejut!" Jawab gadis
berambut sebahu, yang sudah pula datang mendekat.
Sementara itu, Kenanga mempunyai pikiran untuk menggunakan kesempatan ini. Dia
sudah menyaksikan kepandaian pemuda di hadapannya itu, mengapa tidak meminta
petunjuk kepadanya.
"Kakang Panji! Menurutmu, bagaimanakah permai-nanku tadi?" Tanya Kenanga
memancing "Bagus! Dan indah sekali!" Jawab Panji, tanpa menyembunyikan kekagumannya Panji
memang berkata yang sebenarnya.
"Eh! Maksudku bukan begitu, Kakang!" Bantah Kena-nga, meskipun ia merasa bangga
juga dipuji pemuda se-perti Panji.
Siapa yang akan tidak merasa bangga, apabila orang yang diimpikannya memuji-muji
dirinya" "Lalu, maksudmu?" Tanya Panji tak mengerti.
"Ah! Kakang Panji ini, mengapa harus berpura-pura?" Sergah gadis yang lainnya
lagi. "Bukankah apa yang dimaksudkan Den Ayu Kenanga sudah jelas?" Sambung-nya
lagi. "Eh! Aku.. Aku sungguh belum mengerti?" Jawabnya bingung. Sebab pemuda itu
memang benar-benar belum mengerti maksud perkataan Kenanga.
"Hm.... Begini, Kakang!" Ujar Kenanga. "Aku... eh! Bo-lehkah aku meminta
petunjukmu tentang ilmu olah ka-nuragan?"
Pintanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
"Ah! Aku... aku tidak bisa apa-apa...," tolak Panji halus.
"Aaah! Sudah kuduga kalau Kakang akan menolak-nya,"
jawab gadis itu. Wajahnya penuh sinar kekecewaan. Hati Kenanga menjadi kecewa
ketika mendengar penola-kan pemuda pujaannya itu.
"Eh... oh! Bukan... bukan begitu maksudku, Adik Ke-nanga!
Aku... aku... aaah...!" Panji tak sanggup menerus-kan kata-katanya.
"Ah! Sudahlah, Kakang! Aku memang tak patut men-dapat petunjuk darimu!" Tegas
Kenanga sambil memba-likkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Keli-
hatannya dia kecewa sekali.
"Adik Kenanga! Tunggu!" kata Panji serak. Dan pemuda itu pun segera melesat
mengejar Kenanga yang dirundung kekecewaan. Dengan sekali lompatan saja, tubuh
Panji telah berdiri menghadang di depan Kenanga. Karena ter-bawa perasaan yang
tak menentu, Panji mengulurkan kedua tangannya dan memegang bahu gadis itu.
Keduanya berdiri bingung. Tubuh sepasang muda-mudi itu bergetar. Aliran darah
mereka seolah-olah ter-balik. Begitu sadar, Panji menarik kedua tangannya dan
wajahnya langsung berubah kemerahan.
Demikian pula halnya dengan Kenanga. Untuk bebe-rapa saat tadi, ia seperti
terlena oleh sentuhan tangan Panji.
Bidadari jelita itu pun tertunduk malu. Pipinya me-merah saga.
"Eh.... Adik Kenanga, aku..., aku minta maaf! Sebenamya bukan maksudku untuk
menolak, tapi aku...," Panji bagaikan kehabisan kata-kata, sehingga tidak tahu
hams mengucapkan apa.
"Ah! Sudahlah, Kakang! Lupakan saja permintaanku tadi!"
Jawab Kenanga bersungguh-sungguh.
"Adik Kenanga, sebenarnya aku suka sekali untuk memberikan petunjuk kepadamu.
Tapi, bagaimana dengan ayahmu?"
"Aku tidak keberatan, Panji!" Jawab sebuah suara. Dan tiba-tiba saja sesosok
tubuh gagah, melangkah keluar dari batik semak-semak dan langsung menghampiri
mereka. "Ayah...!" Seru gadis jelita itu sambil tersipu malu.
"Ah! Paman..!" Ujar Panji kaget.
Sosok tubuh gagah itu ternyata adalah Ki Umbaran. Dia tersenyum sambil menepuk-
nepuk punggung Panji. Memang Ki Umbaran merasa maklum akan alasan pemuda itu.
"Nah! Apa lagi yang kalian tunggu" Bukankah aku telah menyetujuinya?" Kata Ki
Umbaran, mempertegas keragu-raguan Panji.
Selama ini, memang Ki Umbaran lah yang mendidik ilmu olah kanuragan kepada
Kenanga. Sebenarnya dia ingin menitipkan
anaknya kepada padepokan yang ba-nyak terdapat di daerah Selatan. Namun, karena
Kenanga anak satu-satunya, maka Ki Umbaran tidak sampai hati melepaskannya. Dan
kini, ada seorang pemuda yang menurut anaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka
apa salahnya jika hanya untuk menyetujuinya. Lagi pula pemuda itu sangat sopan!
Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkannya.
Akhirnya, Panji pun setuju akan permintaan Kenanga itu.
Pada pagi hari itu juga, Panji mulai memberi petunjuk tentang kelemahan ilmu
olah kanuragan pada gadis itu.
Sementara Ki Umbaran yang tidak ingin mengganggu ketekunan Panji, sudah
meninggalkan taman itu. Kepala Desa Tambak itu, merencanakan akan membuat sebuah
pesta untuk menyambut kedatangan anaknya kembali. Dan tanpa sepengetahuan
Kenanga, diam-diam orang tua gagah itu segera mempersiapkan segala sesuatu yang
akan diperlukan dalam pesta nanti.
*** 7 Malam itu bulan bersinar terang. Bintang-bintang yang bertaburan, bagaikan
pelita penghias malam. Langit yang bening saat ini membuat suasana malam itu
semakin meriah.
Demikian pula keadaan Desa Tambak. Obor-obor yang berjejer sepanjang jalan,
membuat desa itu menjadi terang benderang.
Para penduduk berduyun-duyun men-datangi balai desa,
tempat diadakannya pesta atas kem-balinya putri sang kepala desa dengan selamat.
Ki Umbaran sengaja mengadakan pesta di halaman balai desa, agar seluruh penduduk
desanya dapat menik-mati pesta itu. Hiasan-biasan pun telah dipasang di seki-tar
balai desa. Panggung juga telah berdiri di tengah hala-man yang luas itu.
Ketika seluruh penduduk Desa Tambak telah meme-nuhi halaman balai desa,
nampaknya pesta pun segera pula dimulai.
Berbagai hiburan ditampilkan. Mulai dari tari tarian sampai sandiwara rakyat
Tampak Ki Umbaran duduk di sebuah kursi paling depan, menghadap ke panggung Di
sebelah kirinya, duduk si Jelita Kenanga dengan anggunnya. Bibirnya yang merah
merekah, tak henti-hentinya menebarkan senyuman manis. Hatinya bukan main
gembiranya menyaksikan hiburan di pang-gung. Terlebih lagi melihat sambutan
penduduk Desa Tambak yang begitu hangat atas keselamatan dan ke-pulangan
dirinya. Sementara di sebelah kanan Ki Umbaran, Panji pun ikut pula merasakan kegembiraan
yang belum pernah di-temui sebelumnya. Pesta itu benar-benar meriah! Meski-pun
seluruh pertunjukan berasal dari rakyat, namun benar-benar menarik dan
mempesona. Seluruh rakyat Desa Tambak kelihatannya betul-betul bahagia pada
malam itu. Tapi, rupanya tidak semua orang yang menghadiri pesta itu merasa bahagia.
Seperti hatnya sosok tubuh yang berdiri tidak jauh dari panggung. Orang itu
tampak-nya tidak peduli dengan keramaian itu. Wajahnya yang cukup tampan hanya
tersenyum sinis. Tatapan matanya yang penuh rasa iri menusuk ke arah Panji tanpa
ber-paling sedikit pun.
Sedangkan orang yang diperhatikan oleh mata se-merah bara itu, tampak duduk
dengan tenang tanpa memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Panji sama-sekali tidak merasa terganggu oleh pandangan
menusuk itu. Sementara itu di atas panggung beberapa pertunjukan sudah berakhir. Suara
tepukan bergemuruh membahana bagai hendak merubuhkan panggung. Malam sudah
semakin larut, kerika semua acara segera usai. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam
melayang naik ke atas pang-gung. Dengan dua kali bersalto di udara, didaratkan
kaki-nya di atas panggung. Sorak-sorai menyambut kehebatan orang berbaju hitam
itu. "Saudara-saudara sekalian! Rasanya kurang lengkap apabila pesta ini tidak
ditutup dengan pertunjukan ilmu olah kanuragan!" Orang berbaju hitam berhenti
sejenak untuk mengetahui sambutan para penonton yang meng-hadiri tempat itu.
Ketika mendengar teriakan-teriakan ribut yang menyatakan setuju, orang berbaju
hitam itu tersenyum. Segera diangkatnya kedua tangannya ke atas, untuk mengatasi
kebisingan itu.
Beberapa saat kemu-dian, suara bising itu lenyap.
"Jagal! Apa maksudmu"!" Teriak Ki Umbaran yang sudah bangkit dari kursinya
dengan kedua tangan ter-kepal menahan geram. Wajah kepala desa itu tampak
memerah. Orang yang dipanggil Jagal itu segera berpaling kepada kepala desanya. Tubuhnya
dibungkukkan sebagai tanda hormat.
"Maaf, Ki! Saya hanya ingin menambah semarak sua-sana pesta saja!" Sahut orang
yang dipanggil Jagal, dengan suara nyaring.
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jagal adalah seorang jagoan yang cukup terkenal di Desa Tambak. Meskipun
sikapnya agak sedikit urakan, namun belum pernah melakukan kesalahan besar. Pa-
ling-paling hanya minta sedikit uang jago dari para peda-gang di pasar. Dan
antara Jagal dengan Ki Umbaran memang ada semacam 'perang dingin'.
"Lalu, apa maumu?" Tanya sang kepala desa lagi.
Sebenarnya Ki Umbaran sudah dapat menduga apa maunya laki-laki bertampang seram
itu. Tapi, ia ingin memastikannya lewat jawaban dari mulut orang yang bernama
Jagal itu. "Begini, Ki! Saya mendengar di desa kita telah keda-tangan seorang pendekar muda
yang hebat, sehingga dapat membunuh Sepasang Harimau Terbang!' Tapi saya tidak
percaya! Saya tahu pasti kehebatan ilmu kepala rampok itu.
Jadi, saya ingin bukti sampai di mana kehe-batan pendekar muda itu?" Jagal
berkata seolah-olah ke-pada Umbaran, namun matanya tak lepas-lepas meman-dang
Panji. "Huh! Manusia tak tahu diri!" Bentak Kenanga yang sudah bangkit dari tempat
duduknya. "Mengapa baru se-karang kau jual lagak" Dulu semasa setan-setan
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 6 Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Anak Pendekar 17
inilah, yang dicarinya selama ini untuk diwariskan ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Anak seperti inilah yang akan mengangkat namanya pada masa-masa mendatang.
"Cucuku! Ilmu silat tidak ada bedanya dengan ber-dirinya sebuah gunung ataupun
sebatang pohon. Semua-nya harus memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Sekarang
perhatikanlah pohon besar itu! Betapapun besar dan kuatnya pohon itu, namun
apabila tidak mempunyai akar yang kokoh dan kuat bukan tidak mungkin akan mudah
untuk ditumbangkan angin."
Orang tua itu menarik napas sejenak, sambil menatap Panji yang masih mem-
perhatikan pohon besar itu.
Kemudian, Eyang Tirta Yasa mengajak Panji ke bibir bukit, lalu menunjuk ke
sebuah bukit lain yang tidak jauh dari Bukit Goa Harimau.
"Nah! Sekarang lihatlah bukit yang berada didepan itu!"
ujarnya pelan. "Coba kau terangkan, hubungan antara bukit itu dengan ilmu yang
telah kau serap tadi," lanjut orang tua itu, sambil menoleh kepada Panji.
Anak itu berdiri tegak sambil memandang ke bukit yang dimaksud Eyang Tirta Yasa.
Kedua alisnya bertaut, pertanda la tengah berpikir keras.
"Eyang, menurut pengamatan saya yang bodoh ini, bagian bawah dari bukit itu
terlihat lebih besar daripada bagian atasnya. Sedangkan ilmu olah kanuragan
harus memiliki dasar yang lebih besar pula. Jadi, menurut hemat saya, pada
bagian bawah itulah yang berhubungan dengan dasar ilmu silat!"
Jawabnya tanpa ragu-ragu lagi.
"Bagus, Cucuku! Sudah kuduga bahwa engkau adalah anak yang cerdas!" Ujar kakek
itu, dengan wajah berseri-seri. "Jadi, untuk menguasai ilmu silat kita harus
mem-punyai dasar yang kuat seperti pohon dan gunung tadi. Apakah engkau sudah
paham, Cucuku?" Tanya orang tua itu lebih lanjut.
"Ya, Eyang! Saya paham," jawab Panji.
Panji memang seorang anak yang keras hati dan tekun dalam mempelajari segala
sesuatu. Selain itu, ia pun seorang anak yang rajin dan cerdas. Maka tidaklah
aneh apabila latihan-latihan dasar yang diberikan gurunya itu dapat dikuasainya
dalam waktu yang singkat.
Pelajaran-pelajaran dasar tersebut selalu diterapkan dalam setiap kesempatan,
Dalam beberapa bulan saja, gerakan-gerakannya sudah terlihat mantap dan berte-
naga. Demikian juga dengan posisi kuda-kudanya yang nampak kokoh dan indah.
*** Sang waktu terus bergulir cepat. Tanpa terasa, lima tahun sudah Panji tinggal
bersama orang tua sakti di Puncak Bukit Goa Harimau.
Hari belum lagi menjelang sore, ketika sesosok tubuh yang bertelanjang dada,
tengah bergerak dengan lincah-nya.
Kadang-kadang sosok tubuh itu melenting ke udara sambil melepaskan tendangan
berantai. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya! Kemudian dengan manis sekali
kakinya menjejak tanah.
Tiba-tiba, Ia berteriak keras, sambil kedua kakinya membentuk kuda-kuda dengan
posisi menunggang kuda.
Kedua kakinya bergeser ke kiri dan ke kanan, sementara kedua telapak tangannya
terkepal di kedua sisi pinggang. Dari sela-sela bibirnya terdengar desisan
halus. Rupanya dia tengah berlatih dalam menghimpun tenaga dalam.
Hari sudah menjelang sore. Di ufuk Barat, sinar keme-rah-merahan menyemburat merah. Suatu pertanda sang surya akan kembali ke peraduannya. Sementara sosok tu-
buh itu pun nampaknya sudah pula mengakhiri latihan-nya. Dadanya yang tidak
berbaju itu, telah basah oleh peluh. Wajahnya yang tampan tampak berwarna keme-
rahan hingga makin meriambah ketampanannya. Sosok tubuh itu ternyata seorang
anak remaja! Walau usianya sekitar tiga belas tahun, namun kepandaiannya sudah
demikian hebat.
Baru saja anak itu hendak melangkah meninggalkan tempat latihannya, tiba-tiba
terdengar teguran dari arah belakangnya.
"Cucuku, temuilah Eyang di ruang seperti biasa, se-sudah engkau membersihkan
tubuhmu lebih dahulu!"
Anak yang ternyata adalah Panji itu terkejut bukan main karena kedatangan orang
tua itu, sama sekali tidak diketahuinya.
"Luar biasa sekali kepandaian Eyang Tirta Yasa! Sam-pai-sampai kedatangannya pun
tidak terdengar sama sekali!
Sungguh luar biasa!" Gumam Panji dalam hati.
Panji memiliki sifat serba ingin tahu. Maka, ia berniat menanyakan langsung
kepada gurunya itu. Namun ketika la menoleh ternyata orang tua itu sudah tidak
ada di situ lagi.
Semakin terkejutlah anak itu. Dia benar-benar mengagumi kesaktian gurunya itu.
*** Malam sudah mulai turun. Kegelapan pun pelahan-lahan mulai menyelimuti bumi.
Nyanyian binatang malam mulai terdengar bersahutan, seolah-olah mengucapkan
selamat datang kepada sang malam. Pada saat itu Panji tengah duduk berhadapan
dengan gurunya, Eyang Tirta Yasa alias si Malaikat Petir di sebuah ruangan yang
cukup besar tapi hanya diterangi lampu minyak yang bergoyang-goyang tertiup
angin malam. "Cucuku," ucap Eyang Tirta Yasa, memecah keheni-ngan malam. "Eyang rasa, sudah
saatnya kau kuwarisi ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi. Karena Eyang lihat, kau
sudah cukup mampu untuk menerimanya. Namun, Eyang tidak akan
menurunkan ilmu 'Telapak Tangan Petir. Ilmu yang akan Eyang turunkan nanti
adalah ilmu ciptaan Eyang Selama tiga puluh tahun belakangan ini," ujarnya
lembut. "Eyang, bagi saya hal itu bukanlah persoalan. Sebab saya percaya bahwa semua
yang Eyang turunkan adalah yang terbaik buat saya!" sahut Panji penuh hormat.
"Benar, Cucuku! Ilmu 'Naga Sakti', yang belakangan ini Eyang ciptakan rasanya
lebih cocok untukmu!"
"Terima kasih, Eyang! Sungguh besar sekali budi Eyang kepada saya. Entah dengan
cara apa, saya bisa membalasnya!"
Ucap Panji dengan kepala tertunduk. Dadanya terasa sesak, karena menahan rasa
haru yang dalam.
"Berjanjilah untuk berlatih sungguh-sungguh, Cucuku!
Dengan begitu berarti engkau sudah membalasnya!" Jawab si Malaikat Petir
bijaksana. Wajahnya kelihatan bersungguh-sungguh.
"Saya berjanji! Dan saya akan selalu mengingat segala nasihat Eyang!" jawab
Panji mantap. Dari matanya ter-pancar semangat yang membaja.
Dan pada keesokan harinya, Eyang Tirta Yasa pun telah mulai menurunkan ilmu-ilmu
ringkat tinggi kepada Panji.
Dengan penuh kesabaran orang tua sakti itu mem-berikan petunjuk-petunjuk tentang
ilmu 'Naga Sakti', yang merupakan ilmu terdahsyat yang telah diciptakan selama
dalam pengasingannya. Selain ilmu itu, juga ada beberapa ilmu lainnya. Seperti
ilmu 'Tenaga Sakti Ger-hana Bulan'. Ilmu yang disebutkan terakhir inilah yang
berguna untuk menunjang penggunaan ilmu 'Naga Sakti'.
Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesungguhan, Panji melatih ilmu-ilmu itu
tanpa mengenal lelah. Tidak peduli
pagi, siang ataupun malam. Setiap kesempatan yang sedikit saja selalu
dipergunakannya untuk bertatih.
**** Waktu berlalu demikian cepat. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan
bulan pun berganti tahun. Tahun ini, genap sudah tahun kelima, semenjak Eyang
Tirta Yasa menurunkan ilmu-ilmu ciptaannya kepada Panji. Itu berarti usia Panji
kini kira-kira delapan belas tahun.
Sementara, pagi ini, suasana di sekitar Bukit Goa Hari-mau yang dingin mendadak
menjadi gelap. Sinar mata-hari terhalang oleh awan hitam. Nampaknya, tidak akan
lama lagi hujan akan segera turun! Angin dingin bertiup keras. Pohon-pohon besar
bergoyang-goyang dengan kuatnya, bahkan sampai menimbulkan suara berderak.
Pelahan-lahan, titik air mulai nampak sering jatuh ke bumi. Sesekali terseling
gelegar halilintar yang bersahut-sahutan memekakkan telinga. Hujan pun turun
dengan derasnya.
Di tengah-tengah derasnya air hujan, nampak seben-tuk sinar berwarna putih
keperakan bergulung-gulung bagaikan seekor naga tengah bermain-main di angkasa.
Gulungan sinar itu bergerak secara bergelombang turun naik dengan cepatnya,
sehingga menimbulkan angin yang menderu-deru.
Sinar itu ternyata berasal dari sebilah pedang yang dikelebatkan oleh seorang
pemuda remaja, yang berusia delapan belas tahun. Desiran angin pedang itu
mengaung dahsyat di antara kilatan petir yang menggelegar di ang-kasa.
Sungguh sebuah ilmu pedang sangat dahsyat!
Pemuda tampan yang rambutnya telah mencapai bahu itu, jelas adalah Panji!
Gerakan-gerakan pedangnya hebat bukan main! Benar-benar mirip dengan gerakan
seekor naga! Kecepatannya laksana kilat yang menyambar-nyambar di angkasa raya. Dan yang
lebih hebat lagi, tak ada setetes air hujan pun yang membasahi tubuhnya!
Tidak salah lagi, ilmu pedang yang sedang dimainkan Panji adalah 'Ilmu Pedang
Naga Sakti'. Sebuah ilmu pe-dang yang diambil dari ilmu tangan kosong 'Naga
Sakti'. Dan inilah salah satu keistimewaan ilmu 'Naga Sakti' yang diwariskan si
Malaikat Petir. Ilmu itu dapat dimain-kan dengan tangan kosong maupun dengan
pedang! Kini, Panji telah menutup latihan iimu silat pedangnya.
Dililitkan pedangnya di pinggang. Ternyata pedang itu sangat tipis dan lemas,
sehingga dapat dijadikan ikat pinggang!
Sebuah pedang pusaka yang hebat. Dan jarang dimiliki oleh tokoh-tokoh dunia
persilatan. Baru saja Panji menyimpan pedangnya, ia pun segera menggeser kakinya, membentuk
kuda-kuda dalam posisi menunggang kuda. Sementara kedua tangannya saling
bersilang didepan dada, dengan jari-jari tangan memben-tuk cakar naga. Tangan
kanan terjulur ke samping kiri depan, sedangkan tangan kiri terjulur ke samping
kanan depan. Dengan satu teriakan nyaring, pemuda itu meng-geser kaki kanannya ke samping,
dibarengi dengan gera-kan tubuhnya yang meliuk-liuk mirip seekor naga. Inilah
awal dari jurus 'Naga Sakti'.
Disertai pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-lan', Panji segera memainkan
ilmu 'Naga Sakti'. Perlahan namun pasti di sekujur tubuhnya diselimuti sinar
putih keperakan. Dan
hawa yang dingin mulai menyebar di sekitar Panji. Kemudian Panji mulai bergerak
Akibatnya, sungguh luar biasa! Setiap gerakan tangan dan kakinya menimbulkan
satu gelombang tenaga yang dahsyat! Po-hon-pohon di sekitarnya bergetaran kuat
sehingga daun-daunnya berguguran jatuh ke bumi.
Padahal pohon-pohon itu terpisah kurang lebih tiga tombak dari tubuh Panji.
Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga sakti pemuda tampan yang memiliki
mata tajam itu.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu melenting ke udara dibarengi teriakan yang
mengguntur. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, lalu mendarat dengan manis
di depan sebatang pohon yang berukuran dua pelukan orang dewasa.
Jarak antara tubuh pemuda itu dengan pohon, sekitar tiga batang tombak. Dengan
posisi kuda-kuda silang, tangan kanannya memukul ke depan. Sementara telapak
tangan kirinya yang terbuka, berada di bawah tangan kanan. Rentetan angin tajam
menderu ke arah pohon besar itu.
Wusss! Brakkk...! Terdengar suara berderak keras ketika pohon besar itu terangkat berikut akar-
akarnya dan patah menjadi tiga bagian!
Bukan main hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh pukutan itu.
Panji masih berdiri termangu, kerika melihat kedah-syatan hasil pukulannya itu.
Napasnya agak sedikit ter-engah-engah karena tenaganya dikerahkan hampir selu-
ruhnya. "Bagus..., bagus, Cucuku! Tenaga dalammu, sudah cu-kup sempurna!" Tiba-tiba saja
di tempat itu telah berdiri seorang kakek tua yang tidak lain adalah Eyang Tirta
Yasa. Kakek sakti itu gembira sekali karena usahanya dalam mendidik Panji selama
sepuluh tahun ini tidak sia-sia.
"Oh! Eyang!" Seru Panji terkejut. "Sungguh saya tidak mendengar langkah kaki
Eyang," ujarnya heran.
"Ha ha ha....Tentu saja engkau tidak mendengarnya, Cucuku! Karena Eyang sudah
berada di sini semenjak engkau memainkan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' tadi!" Jawab
Eyang Tirta Yasa tenang.
"Oh...!" Panji menjadi sedikit terhibur mendengar jawa-ban yang diberikan oleh
gurunya itu. Sementara, hujan sudah mulai reda. Dan matahari pun mulai memancarkan sinarnya
ke seluruh Puncak Bukit Goa Harimau.
Kabut sudah mulai lenyap, tersaput oleh kehangatan sinar matahari. Tidak lama
kemudian, Panji dan Eyang Tirta Yasa melangkah meninggalkan tem-pat itu. Mereka
terus melangkah, menuju pondok yang terletak di tengah puncak Bukit Goa Harimau.
Akhir-akhir ini, Panji merasa heran melihat sikap gurunya yang tampak lain dari
biasanya. Dia merasa kakek itu, seperti menyimpan sesuatu. Panji terus mengi-
kuti langkah kaki gurunya hingga ke dalam pondok.
Eyang Tirta Yasa meneruskan langkahnya ke ruang tengah, yang biasa digunakan
untuk pertemuan mereka. Panji segera mengambil tempat duduk di hadapan guru-nya.
Setelah terdiam sejenak, Eyang Tirta Yasa mulai membuka percakapan.
"Cucuku...," suara Eyang Tirta Yasa terdengar bergetar.
Seolah merasa berat dengan apa yang diutarakannya itu. "Hari ini, genap sudah
sepuluh tahun kau tinggal bersama Eyang.
Dan semua kepandaian Eyang telah diturunkan kepadamu, hingga tidak ada lagi yang
dapat Eyang turunkan padamu!
Rasanya sudah waktunya eng-kau turun ke dunia ramai untuk membasmi kejahatan
yang akhir-akhir ini merajalela!"
'Tapi, Eyang.... Ini..., ini," Panji tak mampu menerus-kan ucapannya. la terharu
sekali dengan kebaikan dan kasih sayang yang dilimpahkan gurunya selama ini.
"Sudahlah, Cucuku! Esok sebelum matahari terbit, kau sudah harus berangkat!"
Ujar Eyang Tirta Yasa tegas.
Panji membisu Rasanya memang berat untuk mening-galkan orang tua itu sendirian
di sini. Tapi mengingat bahwa kejahatan telah merajalela, maka pemuda itu harus
melaksanakan tugas yang diberlkan gurunya itu.
"Nah! Sekarang, Eyang akan bersemadi dan tidak ingin diganggu lagi!" Ujar Eyang
Tirta Yasa sambil melangkah meninggalkan Panji yang duduk Jermangu itu.
Beberapa saat kemudian, Panji tersadar dan segera berlari.
Dikejar gurunya itu, dan langsung bersimpuh di hadapan orang tua sakti itu.
"Eyang...," ucapnya serak, sambil memeluk kedua kaki Eyang Tirta Yasa.
Setelah mengusap kepala Panji, Eyang Tirta Yasa ber-gegas meninggalkan tempat
mondoknya. la tidak ingin menunjukkan kesedihannya yang malah akan memberat-kan
langkah muridnya nanti.
*** 52 "Tolooong...! Lepaskan aku, bangsat! Manusia iblis!" Teriak tiga orang wanita,
di dalam sebuah hutan lebat.
Keadaan mereka sudah tidak karuan. Pakaian yang dikenakan pun sudah robek di
sana-sini. Sehingga menampakkan kulit tubuh mereka yang putih dan mulus.
Ketiga orang wanita itu berteriak-teriak, diselingi isak tangis yang memelas.
Sementara kedua tangan mereka sibuk menutupi bagian-bagian tubuh mereka yang
ter-buka. "Kasihani kami, Tuan.... Jangan sakiti kami!" Ratap salah seorang wanita dengan
air mata yang mengalir membasahi pipi.
Di sekeliling ketiga orang wanita itu, nampak wajah-wajah bengis berdiri
berjajar sambil menatap liar penuh nafsu! Tubuh-tubuh putih mulus itu dijilati
oleh panca-ran mata liar. Apalagi, keadaan ketiga orang wanita itu sudah
setengah telanjang.
Seringai mereka makin bertam-bah lebar.
Sementara, dua orang lelaki kasar dan berwajah seram terus saja mempermainkan
ketiga orang wanita malang itu. Sambil tertawa terbahak-bahak mereka mengejar-
ngejar tiga wanita itu. Rasanya seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan
seekor tikus sebelum disantap habis.
Semakin lama keadaan wanita-wanita itu semakin tidak karuan. Setiap kali tubuh
mereka tertangkap, lang-sung dilepaskan kembali, setelah pakaian mereka dirobek
terlebih dahulu.
"Ha ha ha.... Ayo, Manis! Larilah! Ayo! Ha ha ha...!" Ujar salah seorang dari
dua laki-laki kasar itu sambil tertawa penuh kebuasan.
Setelah dilempar kesana kemari, tubuh ketiga orang wanita itu benar-benar polos,
tanpa benang sehelai pun! Maka, sibuklah ketiga wanita malang itu menutupi
bagian-bagian terlarang dari tubuh mereka.
"Ha ha ha.... Lihatlah, anak-anak! Tiga ekor kelinci ini ternyata memiliki
bentuk tubuh yang indah! Ha ha ha...!" Ujar seorang lagi sambil menoleh ke arah
kawan-kawan-nya.
Orang-orang yang berdiri berjajar membentuk lingka-ran itu makin memperkecil
lingkarannya. Karena mereka pun ingin melihat lebih jelas lagi ketiga orang
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita yang telah benar-benar polos!
Ketiga orang wanita malang itu hanya mampu berte-riak-teriak sambil menangis.
Mereka sudah hampir mati ketakutan.
Wajah-wajah di sekitarnya menjilat tubuh mereka dengan liar.
Mereka merasa ngeri, membayang-kan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dua orang laki-laki kasar yang tadi mempermainkan ketiga wanita itu,
melangkahkan kakinya mendekati tu-buh-tubuh polos itu. Lalu dengan penuh nafsu,
keduanya segera menerkam dua di antara tiga wanita itu. Kedua orang wanita itu
meronta-ronta dan menjerit-jerit ketaku-tan. Namun mereka tak berdaya menghadapi
kebuasan laki-laki kasar yang telah dipengaruhi hawa nafsu itu. Sementara, yang
seorang lagi menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi.
Belum lagi kedua orang laki-laki kasar itu melaksana-kan niatnya, tiba-tiba
terdengar suara tawa menggelegar memenuhi seluruh penjuru hutan! Suara tawa itu
berge-ma bagaikan suara jin penunggu hutan, yang tidak ingin melihat tempat itu
dikotori manusia-manusia biadab.
Belasan orang laki-laki yang masih berjajar dalam ben-tuk lingkaian itu
tersentak dengan wajah pucat. Tubuh mereka pun menggigil kedinginan. Ternyata
suara tawa itu diiringi dengan hembusan angin yang sangat dingin. Demikian pula
halnya dengan kedua orang lelaki kasar tadi. Mereka menghentikan perbuatannya
sejenak. Namun di wajah mereka, sama sekali
tidak terlihat rasa takut. Bahkan sebaliknya malah marah karena merasa terganggu
oleh suara tawa itu.
Belum lagi mereka dapat menguasai hati yang tergun-cang karena kaget, suara tawa
itu kembali terdengar.
"Ha ha ha.... Manusia-manusia bejat! Cepaaat tinggal-kan tempat ini sebelum
kemurkaanku datang! Cepaaat! Ha ha ha...!" Suara tawa itu kembali bergema di
dalam rimba yang gelap ini. Angin dingin pun berhembus sema-kin keras, sehingga
pakaian mereka berkibar. Baru, dua laki-laki kasar itu mulai agak ciut hatinya.
Dengan wajah agak pucat, kedua orang laki-laki kasar yang rupanya bertindak
selaku pimpinan, melangkah maju beberapa tindak. Seolah-olah ingin mencari
sumber suara tadi.
"Hei! Siapa kau"! Tunjukkan dirimu! Jangan coba-coba menakut-nakuti Sepasang
Harimau Terbang! Heh!" Teriak salah seorang dari laki-laki kasar itu. Sengaja
dikerahkan tenaga dalam untuk menutupi rasa gentar dalam hatinya.
"Kakang Lujita, apakah dia bukan hantu?" Bisik lelaki yang satunya lagi dengan
hati-hati. "Huh! Tidak mungkin! Dia pasti manusia biasa yang mencoba menakut-nakuti kita!"
Jawab orang yang di-panggil Lujita keras.
Sengaja tidak ingin ditunjukkan rasa takutnya di hadapan para pengikutnya itu.
Padahal, ia sendiri pun merasa ragu akan perkataannya itu.
Setelah beberapa saat kemudian, keadaan menjadi hening sejenak. Masing-masing
menunggu dengan hati berdebar-debar. Belum lagi mereka berpikir lebih jauh,
kembali angin dingin bertiup keras. Seiring dengan hem-busan angin dingin itu,
suara tawa itu kembali berku-mandang.
"Ha ha ha.... Rupanya kalian ingin membangkang, hah!
Baiklah! Kalau itu yang kalian inginkan!!! Ha ha ha...!" Gertak suara berat dan
serak itu. Tiba-tiba dari sebuah pohon yang besar sesosok baya-ngan putih melayang turun
dengan pelahan sekali! Kedua tangannya terlipat di dada. Sedangkan kedua kakinya
dalam posisi bersila.
Rambutnya yang putih keperakan itu berkibar tertiup angin.
Sementara, seluruh wajahnya penuh dengan bulu-bulu lebat dan tak terurus! Yang
membuat hati bergetar adalah, sinar putih keperakan yang menyelimuti seluruh
tubuhnya! Sosok tubuh itu, benar-benar seperti iblis!
Dan yang lebih mengejutkan lagi, bayangan putih itu seperti mengambang di udara!
Sungguh suatu peman-dangan yang mustahil! Jarak antara sosok bayangan putih
dengan pemukaan tanah, sekitar tiga tombak Sedangkan dahan yang berada di
atasnya, kurang lebih dua tombak jauhnya. Dan anehnya, posisi bayangan tersebut
masih dalam keadaan bersila, dengan kedua tangan terlipat di dada! Sosoknya
memang laksana hantu penghuni hutan ini!
Walaupun dua orang lelaki kasar yang berjuluk Sepa-sang Harimau Terbang itu
banyak ditakuti orang, namun pemandangan yang ada didepan mereka sekarang ini
benar-benar telah membuat hati mereka bergetar.
"Aaah! Set... setaaan!" teriak para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang
langsung berlarian meninggalkan tempat itu, tanpa mempedulikan panggilan
pemimpin mereka.
"Iblisss...! Mustahil...!" Lujita, orang tertua dari Sepa-sang Harimau Terbang
mencoba membantah penglihatan-nya.
Dipejamkan kedua matanya dan dibukanya kembali. Namun, apa yang dilihatnya itu
benar-benar suatu yang mustahil dapat dilakukan oleh seorang manusia! Betapa-pun
tingginya kepandaian seseorang, sangatlah tidak mungkin bila dapat bergantung di udara
sampai sedemi-kian lamanya!
Maka tanpa dapat dicegah lagi, Sepasang Harimau Ter-bang itu pun langsung
melesat meninggalkan tempat itu! Demikian pula halnya dengan kegiga orang gadis
itu. Mereka memandang bayangan putih tersebut dengan tubuh gemetar hebat! Seumur
hidup, baru kali inilah mereka melihat apa yang disebut hantu!
Setelah Sepasang Harimau Terbang dan para pengikut-nya sudah tidak terlihat
lagi, bayangan putih itu mela-yang turun.
Jarak antara dirinya dengan tiga wanita itu terpisah sekitar lima tombak.
Pelahan-lahan, sinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya menipis, untuk
kemudian lenyap sama sekali.
Dengan langkah pelahan, bayangan putih itu meng-hampiri ketiga orang wanita
malang yang masih belum dapat menggerakkan tubuhnya. Wajah mereka pucat. Ke-
ringat dingin mengalir membasahi tubuh mereka. Ketiga orang wanita itu benar-
benar merasakan takut yang hebat!
Sementara si Bayangan Putih yang telah berjalan bebe-rapa tindak segera
menghentikan langkahnya. Dibuka-nya buntalan yang tergantung di bahunya.
"Di dalam buntalan ini ada tiga stel pakaian yang mungkin agak kebesaran
sedikit! Pakailah!" Seru baya-ngan putih itu, sambil melemparkan buntalan itu.
Setelah itu, dibalikkan tubuhnya membelakangi ketiga orang wanita itu.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga wanita itu tidak dapat berkata-kata. Setelah
memperhatikan orang yang berjubah putih tersebut, salah seorang dari mereka mem-
beranikan diri untuk membuka suara.
"Jadi..., Tuan bukan... hantu...?" Tanyanya takut-takut.
"Apakah wajahku demikian menakutkan?" Bayangan putih itu balik bertanya tanpa
membalikkan tubuhnya.
Mendengar pertanyaan itu, ketiga orang wanita tadi menundukkan mukanya karena
tersipu malu. "Aaah! Bukan begitu, Tuan! Tapi, tadi tubuh Tuan tergantung di udara. Mana
mungkin seorang manusia dapat berbuat seperti itu?" Tanya yang satunya lagi.
Gadis tersebut berwajah manis sekali, dengan kedua lesung pipit di pipinya.
Sementara itu ketiga wanita itu telah selesai mengenakan pakaian yang diberikan
bayangan putih.
"Kami sudah selesai, Tuan!" Ujar yang seorang lagi.
Sosok bayangan putih itu, segera membalikkan tubuh-nya menghadap ke arah ketiga
orang wanita yang kini telah berpakaian. Begitu wajah bayangan putih itu
terlihat jelas, ketiga orang wanita itu tertegun bercampur heran. Ternyata
bayangan putih tadi telah berganti men-jadi seorang pemuda tampan dan tegap.
Rambutnya yang putih keperakan, terurai sampai ke bahu. Matanya yang tajam,
memancarkan ketegaran dalam menantang hidup.
"Ini..., tadi.. Tttuan... oooh...!" Seru mereka tergagap.
"Oh, maaf! Aku tadi menggunakan ini!" Jawab pemuda itu, ketika menyadari
kebingungan tiga wanita itu. Segera ditunjukkannya rambut, cambang, serta
jenggot yang di-kenakannya tadi. Rupanya semua itu palsu belaka.
"Oh!" Seru mereka serempak. "Lalu, mengapa tubuh Tuan bisa ngambang di udara
tadi..?" Lanjut yang seorang.
"Hm, dengan tali ini!" Jawab pemuda itu sambil memperlihatkan seutas tali hitam
yang terbuat dari kulit bina-tang.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perto-longan Tuan! Entah apa jadinya
dengan diri kami, apabila tidak ada Tuan!" Ujar wanita yang berwajah paling
cantik dengan wajah bulat telur, dan berambut paling panjang sampai ke pinggang.
"Hm! Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong!" Ujar pemuda itu.
"Hm, bolehkah kami tahu nama Tuan?" Tanya yang seorang lagi. Wanita yang
berambut sebahu.
"Namaku Panji," Jawab pemuda itu singkat. "Di mana-kah kalian tinggal" Mari
kuantarkan pulang!"
Ketiga dara itu memandangi wajah tampan di hada-pannya itu. Wajah seorang yang
menjadi penolong me-reka. Pemuda itu memang sopan. Jadi ketiga wanita itu tidak
takut-takut lagi.
Panji yang dipandangi seperti itu menjadi kikuk. Untuk menyembunyikan
kegugupannya itu, ia pun melangkah-kan kakinya. Ketiga orang gadis itu pun
segera mengikuti langkah kaki Panji yang menuju pinggiran hutan. Mereka berjalan
tanpa berkata sepatah pun.
Setelah menerobos semak dan perdu, mereka pun tiba di pinggiran hutan. Namun
baru beberapa langkah keluar dari pinggiran hutan, terdengar sebuah bentakan
nyaring. Tidak lama kemudian berloncatan beberapa sosok tubuh yang langsung
menghadang perjalanan mereka.
"Berhenti...!"
"Ha ha ha.... Lihatlah, Adi Lukita! Bukankah firasatku benar"
Kita telah dikibuli mentah-mentah oleh bocah setan ini!" Seru orang yang tidak
lain adalah Lujita, sekaligus orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang. Dia
rupanya masih penasaran.
"Hei, Bocah! Sungguh besar nyalimu mempermainkan Sepasang Harimau Terbang!
Apakah kau sudah bosan hi-dup"
Hah!!" Bentak Lukita dengan tidak kalah bengisnya.
Panji terkejut juga melihat kemunculan mereka yang tidak disangka-sangka itu.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya hanya terpaku di tempatnya. Sementara
ketiga orang wanita itu sudah saling berangkulan dengan wajah pucat!
"Anak-anak! Serbuuu...!" Lujita berteriak garang.
Pemuda berjubah putih itu, tersentak kaget. Segera diperintahkan agar ketiga
gadis itu menepi. Dengan gera-kan yang indah, pemuda yang bemama Panji itu
menge-goskan tubuhnya menghindari sabetan pedang yang me-ngarah ke lehernya.
Tidak sampai di situ saja, ternyata senjata-senjata lainnya juga ingin merencah
tubuh Panji. Namun pemuda itu dengan lincah berkelit kesana kemari menghindari
serangan yang serentak itu.
Tapi sayang, yang dihadapi kali ini adalah pemuda yang menjadi murid kesayangan
si Malaikat Petir. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat melukainya!
Serangan-serangan anak buah Sepasang Harimau Terbang yang berjumlah kurang lebih
lima belas orang itu, dapat dihadapi Panji dengan mudah. Sampai sejauh ini,
pemuda itu sama sekali belum balas menyerang. Dia masih saja mengelak kesana dan
kemari untuk menghin-dari ancamam ujung senjata-senjata lawannya. Tentu saja hal
ini membuat para pengeroyoknya menjadi sema-kin marah, bahkan makin memperhebat
serangan-sera-ngannya.
Melihat kelincahan pemuda berjubah putih itu, Sepa-sang Harimau Terbang yang
berdiri di luar arena menjadi geram sekali. Dengan satu teriakan nyaring, tubuh
ke-duanya segera melayang ke arah Panji.
Pemuda itu segera memalingkan wajahnya ketika mendengar desiran angin tajam yang
mengarah kepadanya. Sambil merundukkan tubuhnya, kedua tangan Panji ber-balik
memapak serangan yang berbahaya itu.
Plak! Plak! Terdengar suara nyaring ketika kedua pasang lengan Sepasang Harimau Terbang
bertemu telapak tangan Panji.
Tubuh Lujita dan Lukita terdorong mundur sejauh lima langkah.
Kedua tangan mereka terasa linu, ketika ber-temu dengan telapak tangan pemuda
berjubah putih itu. Padahal Panji hanya mempergunakan separuh dari tena-ganya.
"Gila! Tenaga dalam pemuda ini ternyata sangat hebat!"
dengus Lukita, orang termuda dari Sepasang Harimau Terbang.
"Ah! Tentu saja! Posisinya lebih menguntungkan, Adi Lukita!"
Bantah Lujita gusar.
Kali ini Sepasang Harimau Terbang tidak ingin main-main lagi. Segera dikeluarkan
ilmu andalan yang telah membuat nama mereka terkenal, yaitu ilmu 'Cakar
Harimau'. Kedua pasang telapak tangan mereka memben-tuk cakar yang kekar dan
kaku. Mereka kini mengurung tubuh Panji dengan serangan-serangan yang mematikan.
Akan tetapi yang mereka serang kali ini adalah Panji! Murid kesayangan Eyang
Tirta Yasa, si Malaikat Petir yang memiliki kesaktian tidak terukur, sehingga
betapa-pun Sepasang Harimau Terbang itu mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya dan menyerang pemuda berbaju putih itu kalang kabut, Panji dengan
tenangnya dapat mengelakkan semua serangan mereka.
Betapa berangnya hati Sepasang Harimau Terbang itu!
Sebab telah hampir dua puluh jurus mereka melancarkan
serangan, tapi tak ada satu pukulan pun yang menyentuh tubuh pemuda itu.
Padahal, mereka masih dibantu oleh lima belas orang pengikut mereka.
"Hm.... Rupanya kalian tidak bisa dikasih hati! Kalau kalian ingin cepat-cepat
mati, baiklah!" Dengus Panji yang akhirnya mulai jengkel. Melihat sikap lawan
yang terus mendesaknya tanpa mempedulikan sikapnya yang telah banyak mengalah.
"Bocah sombong! Tutup mulutmu! Ayo, kita buktikan, siapa yang lebih cepat masuk
ke lubang kubur!" Bentak Lujita dengan wajah merah padam.
"Baiklah, lihat serangan!" Seru Panji.
Sehabis berkata demikian, Panji pun mengeluarkan ilmu
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sebuah ilmu yang tidak ada keduanya di dunia
persilatan. Pelahan-lahan di sekujur tubuh Panji mulai diseiimuti oleh sinar
putih keperakan. Berbareng dengan itu, udara di sekitar tempat itu pun mulai
terasa dingin. Semakin lama semakin dingin. Sehingga beberapa pengikut Sepasang Harimau Terbang
menjadi menggigil kedinginan.
Itulah salah satu keistimewaan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkan
Panji. Diiringi dengan pekik keras mirip suara seekor naga yang sedang murka, tubuh
Panji melesat. Pemuda ini mulai balas menyerang. Kali ini Panji tidak ragu-ragu
lagi. Dikeluarkannya ilmu 'Naga Sakti'. Angin yang berhembus membawa hawa dingin
menggigilkan menyertai setiap serangan itu.
Akibatnya hebat sekali! Belum juga serangan Panji aba, satu persatu tubuh para
pengikut Sepasang Harimau Ter-bang itu terlempar keluar arena. Tubuh mereka
bergu-lingan di tanah sambil memeluk erat-erat tubuhnya yang menggigil. Gigi-
gigi mereka bergemeletuk menahan sera-ngan hawa dingin yang amat dahsyat!
Hanya Lukita dan Lujita yang tidak begitu terpenga-ruh.
Sungguhpun demikian, mereka pun tidak luput dari serangan hawa dingin yang
menyebar keluar dari tubuh dan setiap serangan Panji. Sepasang Harimau Terbang
ini diam-diam terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawan yang masih
muda ini mempunyai kepandaian begitu hebat!
Diam-diam Panji terkejut juga melihat akibat dari ilmu
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkannya. Untunglah tadi, ia hanya
mengerahkan separuh dari tenaganya. Tidak dapat ia membayangkan kalau ia tadi
mengerahkan seluruh tenaganya.
"Bocah setan! Ayo lawan aku!" Lukita berteriak-teriak memaki lawannya.
"Ha ha ha.... Jangan berteriak-teriak, harimau om-pong!
Bukankah kau yang memintanya?" Seru Panji sam-bil tertawa mengejek.
Dengan hati terbakar, Lujita melancarkan serangan secara beruntun. Kedua
tangannya yang berbentuk cakar itu, meluncur deras ke arah pusar dan mata Panji.
Sementara dari arah belakang, kedua cakar Lukita mencengkeram ke arah lambung
pemuda itu. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya. Jangankan tubuh manusia,
bahkan batu karang pun pasti hancur terkena cengkeraman Sepasang Harimau Terbang
itu. Pada saat kedua serangan itu hampir mencengkeram tubuhnya, Panji menggeser kaki
kanannya membentuk setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak secara
berlawanan, guna mematahkan serangan Lujita. Dengan cara demikian, ia pun juga
telah berhasil menghindari serangan ke arah lambungnya yang dilancarkan Lukita.
Tidak hanya sampai
di situ saja! Sepasang tangan pemuda itu langsung meluncur ke arah dada dan
perut Lujita! Namun, Lujita bukanlah tokoh sembarangan. Dia ada-lah perampok ulung yang sudah
delapan tahun malang melintang dalam dunia persilatan. Makanya, dalam kea-daan
yang berbahaya itu pun segera dimiringkan tubuh-nya. Hasilnya, serangan Panji
lewat hanya beberapa senti di depan dadanya.
Tapi orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu salah duga apabila sudah
merasa terbebas dari serangan lawannya.
Karena berbarengan dengan gerakannya itu, Panji telah melepaskan tendangan kilat
ke arah pelipis Lujita! Lujita tercekat meiihat serangan yang tidak terduga itu,
Dengan cepat segera dimiringkan tubuhnya ke kanan!
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desss! Tubuh Lujita melintir bagaikan sebuah gasing ketika tendangan Panji yang berisi
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu menghantam bahu kirinya. Untunglah Panji hanya
mengerahkan sepertiga dari tenaga dalamnya itu. Kalau tidak, tentu tubuh Lujita
sudah remuk dibuatnya.
Panji berniat mengirimkan kembali tendangannya. Tapi niatnya segera diurungkan
karena telinganya menangkap desiran angin tajam di belakangnya. Ternyata Lukita
ingin mengambil kesempatan selagi Panji mendesak Lujita dengan serangan
beruntun. Serangan Lukita yang menimbulkan desir angin tajam itu, untuk beberapa saat
dapat menyelamatkan jiwa saudaranya dari kematian.
Tapi, Panji yang memang sudah merasa muak dengan kelakuan mereka tidak mau
tanggung-tanggung lagi Segera dibalasnya serangan Lukita dengan serangan-
serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Tentu saja Lukita menjadi kalang kabut menerima serangan
balasan dari pemuda itu. Laki-laki saudara Lujita itu menghindari serangan-
serangan yang dahsyat dan berbahaya.
Sementara itu, Lujita yang masih terkapar akibat tendangan Panji tadi, berusaha
untuk bangkit berdiri. Dicobanya mengusir hawa dingin yang mengeram dalam
tubuhnya, dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Bebe-rapa saat kemudian, Lujita
sudah mampu tegak berdiri. Di tangan kanannya tergenggam sebatang golok besar.
"Aaakh...!" Terdengar sebuah jeritan yang panjang dari tengah arena pertempuran.
Rupanya, Lukita yang sudah terdesak oleh Panji itu, tak dapat mempertahankan
dirinya lagi. Sebuah serangan yang dilakukan oleh pemuda itu dalam rangkaian
ilmu 'Naga Sakti'
itu, bersarang dengan telak dada Lukita! Tubuh Lukita terhempas bagai sebra daun
kering yang tertiup angin. Dari mulutnya mengalir darah kental. Orang termuda
Sepasang Harimau Terbang itu, tewas seketika dengan dada terobek lebar!
Bukan main marahnya Lujita melihat kematian adiknya itu.
Maka tubuhnya pun melesat diiringi teriakan yang mengguntur.
Golok besarnya berkelebat ganas. Dicecarnya Panji dengan sabetan-sabetan golok
besar yang berkelebatan cepat. Suara golok mengaung dahsyat, menandakan kalau
golok besar itu digerakkan oleh tenaga yang kuat.
Panji sudah tidak ingin memperpanjang waktunya. Maka, ketika Lujita membabatkan
golok besarnya ke arah pinggangnya, pemuda itu menggeliat dengan kuda-kuda
rendah, sambil melepaskan pukulan jarak jauh dengan jari-jari terbuka membentuk
cakar naga. Serangkum angin yang amat
dingin bertiup keras mengiringi pukulan itu. Inilah jurus
'Pukulan Naga Sakti'.
Desss! Pukulan jarak jauh Panji bersarang telak di tubuh lawannya itu. Lujita menjerit
kesakitan Tubuhnya ter-pental sejauh tujuh tombak dari tempatnya sendiri. Kontan
orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu tewas dengan tubuh membiru!
Para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih selamat, segera menjatuhkan
diri bersimpuh hadapan Panji.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami... Kami ber-janji...
Tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi. Ja-ngan bunuh kami, Tuan Pendekar!"
Ratap mereka, sambil membentur-benturkan kepalanya ke tanah.
"Hm! Manusia-manusia macam kalian, mestinya tidak bisa diberi hati! Sekarang
kalian meratap-ratap meminta ampun, tapi besok kalian akan mengulangi perbuatan
jahat lagi!"
Dengus Panji sengit.
Tubuh orang-orang itu menjadi gemetar. Wajah-wajah mereka pucat seperti kertas
mendengar kata-kata Panji itu.
"Ampun, Tuan Pendekar! Kami tobat...! Sungguh, Tuan Pendekar...! Kami
berjanji...!" Ujar mereka lagi, dengan suara terputus-putus.
"Baiklah! Untuk kali ini, kuampuni! Tapi ingat! Apabila kudapati kalian berbuat
jahat lagi, maka akan kubunuh!
Mengerti"!" Ancam Panji.
"Kami mengerti, Tuan Pendekar! Dan kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi!"
Jawab mereka sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Sekarang minggatlah dari hadapanku!" Bentak pemuda itu.
Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang, mereka segera berlari
meninggaikan tempat itu.
Panji lalu melangkah, mendekati ketiga orang wanita yang masih berangkulan.
Wajah mereka nampak pucat.
"Mereka sudah pergi semua," Ujar Panji sambil terse-nyum.
Ketiga orang wanita itu mencoba untuk tersenyum sambil memandang kagum kepada
Panji. "Ah! Ternyata Tuan adalah seorang pendekar yang sangat sakti!" Kata gadis yang
berambut sebahu.
"Benar. Sepak terjang Tuan tadi mirip seekor naga yang sedang mengamuk," sambung
gadis yang berwajah bulat telur dan berambut panjang sampai ke pinggang. Gadis
yang paling cantik.
"Benar, Tuan. Tepatnya seperti seekor naga putih!" Ucap yang satunya lagi.
Panji berdebar dadanya, ketika melihat sinar keme-sraan dari pandangan ketiga
orang wanita itu.
"Ayolah kita berangkat! Hari akan gelap!" Ajak Panji, untuk menyembunyikan
kegugupannya. Mereka lalu meneruskan perjalanan menuju desa tem-pat tinggal ketiga orang gadis
itu. Panji berjalan agak jauh di belakang mereka karena merasa kikuk melihat
tatapan penuh pesona kepadanya.
Di ufuk Barat, mulai terlihat sinar kemerahan. Pertan-da sang matahari sudah
menyelesaikan tugasnya untuk hari ini.
Sementara kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Sang dewi malam pun bersiap-siap
memancarkan keindahan sinarnya.
*** 6 Alam telah diselimuti kegelapan, ketika empat sosok tubuh memasuki perbatasan
Desa Tambak. Mereka terdiri dari tiga orang wanita dan seorang pemuda tampan
berjubah putih.
Ketiga orang wanita itu rata-rata berwajah cantik. Terlebih lagi, wanita yang
berambut paling panjang. Wajahnya yang bulat telur itu, nampak sedap dipandang
mata. Bibirnya yang merah dan berbentuk bagus, nampak selalu dihiasi senyum
menggoda. Tubuhnya yang tinggi semampai, semakin menambah daya tariknya.
"Ehm, inikah desa tempat tinggal kalian?" Tanya si Pemuda Tampan, yang ternyata
adalah Panji. "Benar, Tuan Pendekar! Inilah desa kelahiran kami!" Jawab dua orang dari ketiga
wanita itu. Sedangkan si gadis yang berwajah bulat telur, hanya menoleh sekilas
disertai dengan senyumnya yang menawan.
"Ah! Janganlah memanggilku dengan sebutan seperti Itu!
Kalian hanya membuatku serba salah saja," ujar Panji kikuk.
"Hm, bagaimana kalau kalian panggil aku Panji saja."
"Baiklah, hm... Kakang Panji," jawab keduanya meng-goda.
Belum jauh mereka memasuki Desa Tambak, tampak di sebelah depan serombongan
orang berkuda bergerak menuju perbatasan. Rombongan itu terdiri dari dua pu-luh
orang laki- laki, dengan senjata di pinggang. Keliha-tannya mereka bersiap-siap untuk
menghadapi sebuah pertarungan.
Rombongan berkuda itu, dipimpin seorang laki-laki yang berusia sekitar enam
puluh tahun. Wajahnya yang gagah dan bersih itu, ditumbuhi bulu-bulu halus di
seki-tar pipi dan dagunya, sehingga semakin terlihat berwi-bawa.
Lelaki gagah itu, diapit dua orang yang merupakan pembantu-pembantu utamanya.
Yang di sebelah kanan mengenakan baju serba biru dengan ikat kepala dari kain
yang sama. Dilihat dari wajahnya yang cukup tampan itu, paling tidak dia berusia
sekitar tiga puluh tahun. Sinar matanya yang tajam, menandakan bahwa ia bukan
orang yang lemah.
Sedangkan yang di sebelah kiri, mempunyai wajah agak kasar. Sebaris kumis lebat
melintang di antara hidung dan bibimya, sehingga terlihat galak dan angker. la
berusia sekitar tiga puluh lima tahun Di punggungnya tampak tergantung sebilah
pedang. Sepertinya si Kumis Lebat ini tidak asing dengan ilmu olah kanuragan.
Rombongan jtu terus melarikan kudanya keluar perba-tasan Desa Tambak. Wajah-
wajah mereka terlihat tegang, sehingga tidak lagi memperhatikan keadaan
sekelilingnya. "Ayah...!" Teriak si gadis berambut panjang, yang ber-jalan didepan Panji.
Gadis berambut panjang itu segera berlari menyong-song rombongan berkuda.
Direntangkan tangannya di tengah jalan, yang akan dilewati rombongan itu
"Ayah...!" Teriaknya lagi dengan suara yang lebih nyaring.
Lelaki gagah yang memimpin rombongan berkuda segera mengangkat sebelah tangannya
ke atas. Serentak, orang-orang
yang berada di belakang orang tua gagah Itu menghentikan kuda-kudanya.
"Eh! Bukankah itu Adik Kenanga?" Tanya si Kumis Lebat, dengan wajah keheranan.
"Kau... kau...," ujar orang tua itu gugup. Dikucek-kucek kedua matanya, seolah-
olah tak percaya dengan yang dilihatnya. Matanya melotot bagaikan melihat hantu
di siang bolong. Dengan wajah bingung, orang tua itu melorot turun dari atas
punggung kudanya.
"Benar, Tuan! Dia adalah Den Ayu Kenanga...!" Tegas kedua orang wanita yang
sudah pula berdiri di samping gadis yang benama Kenanga itu. Sementara Panji
hanya membisu di belakangnya.
"Anakku...," ujar orang tua gagah itu bergetar. Dia segera melangkah mendekati
gadis itu. Kedua tangannya dikembangkan.
"Ayah...!" Gadis yang bernama Kenanga itu segera menghambur ke dalam pelukan
ayahnya. Tangisnya pun meledak, ketika tangan orang tua gagah itu memeluknya
penuh kasih sayang.
"Anakku... anakku...," desah orang tua itu penuh rasa haru.
Para anggota rombongan yang menyaksikan pertemuan ayah dan anak itu menjadi
terharu. Sebentar kemudian wajah mereka berubah cerah, karena berarti tidak
perlu lagi bersusah-payah mencari Kenanga.
Sementara, Panji memalingkan wajahnya ke tempat lain Rasanya tak sanggup
menyaksikan keharuan itu. la jadi teringat dengan kedua orang tuanya yang telah
tiada. Samar-samar terbayang wajah ketiga orang pembunuh ayah ibunya. Panji
cepat-cepat mengusir bayangan itu, karena suasananya jelas tidak memungkinkan.
Sementara, suasana haru antara ayah dan anak itu sudah mereda, dan telah
berganti dengan suasana gembira.
"Anakku, bagaimana caranya kau dapat terbebas dari tangan Sepasang Harimau
Terbang yang terkenal ganas itu?" Tanya orang tua yang masih belum memperhatikan
orang-orang di sekelilingnya itu.
"Oh!" Sentak gadis itu terkejut. "Aku sampai lupa! Ayah, mari kuperkenalkan
dengan Kakang Panji!" Ajak Kenanga sambil menggandeng tangan ayahnya dengan
wajah berseri-seri.
Kedua orang ayah beranak itu, segera melangkah mendekati Panji. Sedangkan pemuda
itu hanya tersenyum sambil memberi hormat kepada orang tua yang tengah digandeng
Kenanga. "Ayah! Inilah Kakang Panji yang telah menyelamatkan kami bertiga. Entah apa yang
akan terjadi terhadap kami, apabila tidak ada Kakang Panji!" Ujar gadis itu
memper-kenalkan pemuda itu kepada ayahnya.
Orang tua gagah itu, memperhatikan Panji sejenak. Seraut wajah yang tampan
dengan jubah putih dari kain sederhana itu masih tertunduk malu. Rasanya dia
enggan untuk menyombongkan diri.
"Orang muda! Aku Ki Umbaran, mengucapkan banyak terima kasih atas
pertolonganmu!" Ucap orang tua itu sambil mengulurkan tangannya kepada Panji.
"Ah! Hanya kebetulan saja, Paman! Lagi pula, bukan-kah memang sudah menjadi
kewajiban kita untuk saling tolong-menolong!" Sambut Panji merendah.
Orang tua gagah yang ternyata bernama Ki Umbaran, menjadi kagum akan perkataan
yang tulus dari Panji itu.
Seorang pemuda yang berjiwa bersih dan menolong tanpa pamrih.
Panji lalu diperkenalkan kepada Kenanga dan juga kedua orang wanita yang
ditolongnya itu. Sebab, selama dalam perjalanan Panji sama sekali tidak pernah
tahu nama mereka!
Masalahnya, ketiga gadis itu pun Juga tak mau menyebutkan namanya. Mungkin malu.
"Hm.... Begini, Paman! Berhubung persoalan ini sudah selesai, maka saya mohon
diri untuk meneruskan perja-lanan saya," ujar Panji lagi.
"Eh, mengapa begitu, Panji" Mengapa tidak singgah dulu di rumah kami" Lagi pula,
hari sudah larut malam. Bukankah tidak enak melakukan perjalanan di malam hari?"
Mohon Ki Umbaran sungguh-sungguh.
"Eh..., saya..., saya masih banyak urusan yang harus diselesaikan!" Ujar Panji
Heran! Mengapa aku menjadi demikian gugup" Pikir pemuda itu tak mengerti.
Mungkin kegugupannya karena tatapan Kenanga yang begitu mem-pesona.
Karena asyiknya melamun, Panji tidak mendengar uca-pan Kenanga yang ditujukan
kepadanya. Sehingga, gadis itu harus mengulangi lagi perkataannya sambil menyen-
tuh lengan Panji.
"Eh! Oh..., apa...?" Ucapnya dengan wajah ketololan-nya.
Kenanga tersenyum geli melihat pemuda itu terkejut, dan menatapnya dengan
bingung. "Kakang sih, terlalu asyik melamun! Sampai-sampai pertanyaanku tidak terdengar!"
Kata gadis itu. Suaranya begitu merdu terdengar.
"Oh..., maaf! Aku tadi sedang berpikir tentang perjala-nanku!" Panji berbohong.
Kenanga yang tidak ingin menggoda Panji, segera mengulangi pertanyaannya.
"Aku tadi bertanya, ke mana Kakang akan pergi pada malam selarut ini" Apakah
tidak lebih baik Kakang me-nginap di desa kami" Ayah tentu akan menyediakan
tempatnya! Bukankah begitu. Ayah?" Ujar Kenanga sam-bil menoleh kepada Ki
Umbaran. Ki Umbaran menganggukkan kepalanya, lalu melang-kah mendekati Panji. Dan
dipegangnya kedua pundak pendekar itu.
"Benar, Panji! Menginaplah di sini untuk barang sema-laman.
Dan esok pagi, kau bisa melanjutkan perjalanan-mu dengan tubuh yang lebih
segar," tegas Ki Umbaran.
"Ayolah, Kakang!" Pinta kedua orang wanita yang telah ditolongnya itu.
"Baiklah, Paman! Maaf kalau aku telah mengganggu," jawab Panji tak kuasa untuk
menolak terus-menerus.
"Ah! Tidak apa-apa, Panji! Malah sebaliknya, kamilah yang telah mengganggu
perjalananmu!" Jawab Ki Umba-ran.
Maka, rombongan itu pun segera kembali ke desa. Sementara, seraut wajah dengan
senyum sinis selalu memperhatikan Panji. Matanya memancarkan sinar keben-cian.
Rombongan itu kemudian berhenti didepan sebuah rumah yang cukup besar, dan
berhalaman luas. Ki Um-baran berpaling menghadap ke arah rombongannya.
"Saudara-saudara sekalian! Sekarang kalian boleh pulang ke rumah masing-masing.
Dan aku mengucapkan terima kasih
atas bantuan saudara-saudara," ucap Ki Umbaran. Suaranya terdengar berat dan
berwibawa. Selesai Ki Umbaran berkata demikian, warga desa itu pun bergegas meninggalkan
tempat itu dengan perasaan lega.
Tinggallah di situ, Ki Umbaran, Kenanga, Panji dan dua orang pembantu utama
kepala desa itu.
"Jadi, Paman adalah kepala desa ini?" Tanya Panji pelahan.
"Begitulah yang mereka percayakan kepadaku, Panji!" Jawab Ki Umbaran merendah.
"Mari, kita bicara di dalam saja."
Kelima orang itu pun segera melangkah memasuki ruangan depan rumah besar itu.
Sedangkan kedua orang pembantu utama Ki Umbaran, tetap berjaga-jaga di luar
gedung. Sepasang mata penuh rasa iri kembali mengikuti langkah kaki Panji.
"Silakan, Panji!" Ujar Ki Umbaran setelah mereka ber-ada di sebuah ruangan yang
cukup luas. Sepertinya, ruangan itu dikhususkan untuk pertemuan jika ada tamu
agung. "Terima kasih, Paman!"
Ki Umbaran lalu meminta agar Panji bercerita tentang kejadian di hutan itu,
hingga ia dapat membebaskan Kenanga dan dua orang pembantunya.
Dengan sederhana dan singkat, Panji pun segera menceritakan pengalamannya. Dia
sama sekali tak menying-gung tentang kepandaian, apalagi pamrihnya.
"Eh! Jadi, Sepasang Harimau Terbang itu sudah ter-bunuh olehmu?" Tanya Ki
Umbaran. Wajahnya meman-carkan ketidakpercayaan.
"Ah, sebenarnya itu hanya karena mereka lengah saja, Paman!" Ujar Panji
merendah. "Ah! Padahal kepandaian Sepasang Harimau Terbang hebat sekali! Bagaimana caranya
pemuda ini dapat mem-bunuh mereka?" Tanya Ki Umbaran dalam hati. Tentu saja,
pertanyaan Ki Umbaran ini tidak diungkapkannya kepada Panji.
Dugaannya, pemuda itu pasti tidak akan mengatakannya.
Hanya saja dia menduga-duga, sampai di mana kepandaian yang dimiliki pemuda di
hadapannya ini.
"Apakah kau juga telah melepaskan para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih hidup?" Tanya Ki Umbaran lagi.
Wajahnya agak gelisah.
"Betul, Paman! Karena mereka telah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,"
jawab Panji. "Eh! Ada apakah, Paman?" Tanyanya ketika melihat wajah Ki Um-baran
gelisah. "Ah! Sungguh berbahaya sekali...!" Desah orang tua itu sambil menghela napas
berat. "Kenapa, Paman...?" Tanya Panji. Dia masih belum mengerti hal apa yang membuat
Ki Umbaran resah.
Ki Umbaran terdiam sejenak, seperti sedang memikir-kan sesuatu. Dahinya berkerut
seperti tengah memba-yangkan sesuatu. Dengan sebuah helaan napas berat bagai
ingin melepaskan beban di dadanya, Ki Umbaran membuka suaranya.
"Panji, sebenarnya Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai seorang guru yang
sangat kejam dan memiliki kepandaian yang tinggi."
"Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai guru?"
Tanya Panji heran Setelah berpikir sejenak, barulah dapat ditangkapnya arah
pembicaraan Ki Umbaran itu. "Jadi, maksud Paman, orang-orang yang saya bebaskan
akan mengadu kepada guru mereka?" lanjutnya.
"Bisa jadi begitu!" Jawab Ki Umbaran.
"Lalu, Guru Sepasang Harimau Terbang akan datang ke desa ini?" Tanya Panji lagi.
"Itulah yang kukhawatirkan, Panji."
"Siapa nama guru Sepasang Harimau Terbang itu, Paman?"
"Julukannya Laba-Laba Beracun. Tak seorang pun yang mengetahui nama aslinya.
Kepandaiannya sangat tinggi, dan jarang ada tokoh persilatan yang dapat me-
nandingi kesaktiannya! Dan, kalau iblis itu datang ke desa ini, sudah dapat
dipastikan bahwa desa ini akan musnah!" Tegas Ki Umbaran, penuh duka.
"Ah! Sungguh berbahaya sekali!" Desah Panji. Jelas dia ikut khawatir karena
secara tidak langsung dialah yang telah menjadi sebabnya. "Paman! Kalau benar
iblis itu akan menyerang desa ini, biarlah saya yang akan meng-hadapinya!"
Lanjut Panji, tanpa bermaksud ingin menonjolkan kepandaiannya sedikit pun.
"Ah! Terima kasih, Panji! Tentu saja bantuanmu sangat berarti bagi kami!" Ujar
Ki Umbaran. Wajahnya kembali berseri.
Meskipun belum menyaksikannya sendiri, namun ia merasa yakin bahwa kepandaian
pemuda di hadapan-nya tentu sangat tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat
mengalahkan Sepasang Harimau Terbang yang hebat itu" Walaupun tentu saja ia
tidak yakin kalau pe-muda ini akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun!
"Hhh! Hari sudah semakin jauh malam, Panji! Kau ten-tu sudah lelah, dan ingin
beristirahat, bukan" Ah! Dasar aku tuan rumah tidak tahu adat! Masa tidak tahu
tamu-nya sudah merasa lelah!" Kata kepada desa itu sambil tertawa.
"Ah! Tidak mengapa, Paman! Aku pun belum mengan-tuk!"
Jawab Panji tersenyum.
"Ah, sudahlah," ucap Ki Umbaran, kemudian segera memanggil salah seorang
pelayannya. Dengan segera, seo-rang pelayan terbungkuk-bungkuk datang
menghampiri. Pelayan itu diperintahkan untuk mengantarkan Panji ke kamar yang
telah dipersiapkan.
Sebentar Panji memandang Ki Umbaran lalu segera mengikuti pelayan itu. KI
Umbaran menganggukkan kepalanya yang penuh dengan bayangan kejadian yang akan
menimpa desanya.
Sementara, Panji sudah merebahkan tubuhnya di pembaringan. Sejenak pikirannya
melayang pada kejadian sore tadi yang dialaminya. Dan sekilas muncul bayangan
seraut wajah berbentuk bulat telur. Rambutnya yang panjang dan hitam.
Wajah Kenanga! Cepat-cepat dihapus-nya bayangan indah yang melintas di alam
pikirannya itu. Sebentar kemudian, terdengar suara dengkurnya yang halus.
*** Hari masih gelap. Fajar pun belum lagi terbit. Suara jengkerik pun masih
terdengar bersahut-sahutan. Namun, di pagi yang segar itu Panji telah terbangun
dari tidurnya. Tubuhnya terasa segar sekali. Dibukanya jen-dela, agar udara sejuk dapat masuk
memenuhi ruangan kamarnya. .
Panji melangkah keluar dari kamarnya karena ingin menikmati udara di pagi yang
sejuk dan menyegarkan. Pemuda itu terus melangkah pelahan sambil bibirnya ter-
senyum- senyum sendiri. Sesekali pemuda itu menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil
mengangkat kedua tangannya.
Tanpa disadari, Panji telah memasuki taman yang berada di belakang rumah kepala
desa itu. Hatinya yang diliputi kegembiraan itu, semakin bertambah gembira ke-
tika melihat di sekitarnya banyak bunga yang bermekaran beraneka ragam.
Tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap suara desiran-desiran angin. Suaranya
jelas berbeda, dan lebih tajam dari sekedar tiupan angin. Tidak lama kemudian,
terdengar bentakan-bentakan merdu dan bertenaga, yang membuat hati Panji semakin
penasaran. "Hm.... Siapakah yang sedang berlatih silat di pagi buta begini?" Gumamnya tak
jelas. Rasa ingin tahu yang me-nguasai perasaan membuat Panji lupa bahwa dirinya
ada-lah seorang tamu yang tentu saja tidak boleh keluar masuk seenaknya.
Pemuda itu terus melangkah pelahan, menuju bela-kang taman. Gerakan-gerakan yang
cukup mantap diser-tai bentakan-bentakan halus bersuara merdu itu, ter-nyata
datangnya dari seorang gadis. Begitu indah sekali, bagaikan sebuah tarian saja
layaknya. Kakinya yang ram-ping bergerak gesit, mengikuti gerakan tangan mungil
berkulit halus.
Panji menyaksikan semua itu, dengan mata tidak ber-kedip.
Seolah-olah ia takut kalau gadis itu menghentikan gerakannya.
Ia sengaja bersembunyi di balik rerimbunan tanaman bunga.
Tiba-tiba, gadis itu melompat ke belakang, lalu seorang gadis lain memberikan
sebilah pedang yang besi gagang indah kepadanya. Gagang pedang itu dihiasi
rangkaian bunga berwama biru, sehingga nampak semakin menarik. Apalagi yang
memegang adalah seorang gadis cantik bagai bidadari, maka semakin sedap lah
dipandang mata.
"Haiiit..!"
Gadis itu berteriak lembut disertai ayunan pedangnya. Dan mulailah dia memainkan
jurus-jurus pedang yang indah dan menawan. Suara ayunan pedangnya berdesing
membelah udara pagi yang bening.
Meskipun jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya mempunyai banyak kelemahan di
sana-sini, namun Panji harus mengakui kalau permainannya benar-benar indah
dipandang mata. Panji bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang memainkan
tarian pedang. Tidak lama kemudian, gadis jelita itu pun menyudahi permainan pedangnya.
Wajahnya kemerahan, karena aliran darahnya semakin lancar. Sehingga semakin me-
nambah kecantikannya. Gadis itu segera menyeka peluh di sekitar leher dan
dahinya. Karena terlalu terpesonanya dengan permainan pedang gadis itu, tanpa sadar Panji
keluar dari tempat persembunyiannya sambil bertepuk tangan.
"Ah, hebat sekali, Adik Kenanga! Hebat sekali!" Puji pe-muda itu sambil bertepuk
tangan. Senyumnya mengem-bang di bibir.
Si Gadis Jelita yang ternyata adalah Kenanga, menjadi terkejut sekali ketika
Panji muncul. Wajah gadis itu men-jadi semakin merah karena rasa jengah dan
malu. "Ah! Kakang Panji! Membuat aku malu saja! Mana bisa kepandaianku yang jelek
disejajarkan dengan kepandaian Kakang?" Kilah gadis itu sambil tersipu malu.
"Eh! Bagai-mana Kakang bisa berada di sini?" Tanya gadis itu.
Panji baru menyadari kesalahannya. Pemuda itu men-jadi kikuk, sehingga untuk
beberapa saat lamanya ia hanya berdiri bengong.
"Eh! Aku... aku... itu...!" Jawab Panji gugup. Dia jadi serba salah dan malu
akibat kecerobohannya itu. Diam-diam pemuda itu mengutuk dirinya, yang telah
berbuat tolol itu.
"Ah, sudahlah, Kakang! Kau tidak berbuat salah!" Kata gadis itu sambil
tersenyum, yang membuat dada Panji terguncang.
"Lagi pula, aku hanya terkejut karena kau sudah bangun sepagi ini," Lanjut
Kenanga lagi. Panji, yang sudah dapat menguasai perasaannya itu hanya dapat tersenyum masam.
"Maafkan aku, Adik Kenanga! Sungguh tidak ku-sengaja untuk melangkah ke sini!
Suasana pagi yang begitu segar tanpa terasa telah membawa langkahku ke taman!"
ucap Panji, dengan perasaan bersalah.
"Benar, Tuan Pendekar... eh! Kakang Panji! Kami ha-nya terkejut!" Jawab gadis
berambut sebahu, yang sudah pula datang mendekat.
Sementara itu, Kenanga mempunyai pikiran untuk menggunakan kesempatan ini. Dia
sudah menyaksikan kepandaian pemuda di hadapannya itu, mengapa tidak meminta
petunjuk kepadanya.
"Kakang Panji! Menurutmu, bagaimanakah permai-nanku tadi?" Tanya Kenanga
memancing "Bagus! Dan indah sekali!" Jawab Panji, tanpa menyembunyikan kekagumannya Panji
memang berkata yang sebenarnya.
"Eh! Maksudku bukan begitu, Kakang!" Bantah Kena-nga, meskipun ia merasa bangga
juga dipuji pemuda se-perti Panji.
Siapa yang akan tidak merasa bangga, apabila orang yang diimpikannya memuji-muji
dirinya" "Lalu, maksudmu?" Tanya Panji tak mengerti.
"Ah! Kakang Panji ini, mengapa harus berpura-pura?" Sergah gadis yang lainnya
lagi. "Bukankah apa yang dimaksudkan Den Ayu Kenanga sudah jelas?" Sambung-nya
lagi. "Eh! Aku.. Aku sungguh belum mengerti?" Jawabnya bingung. Sebab pemuda itu
memang benar-benar belum mengerti maksud perkataan Kenanga.
"Hm.... Begini, Kakang!" Ujar Kenanga. "Aku... eh! Bo-lehkah aku meminta
petunjukmu tentang ilmu olah ka-nuragan?"
Pintanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
"Ah! Aku... aku tidak bisa apa-apa...," tolak Panji halus.
"Aaah! Sudah kuduga kalau Kakang akan menolak-nya,"
jawab gadis itu. Wajahnya penuh sinar kekecewaan. Hati Kenanga menjadi kecewa
ketika mendengar penola-kan pemuda pujaannya itu.
"Eh... oh! Bukan... bukan begitu maksudku, Adik Ke-nanga!
Aku... aku... aaah...!" Panji tak sanggup menerus-kan kata-katanya.
"Ah! Sudahlah, Kakang! Aku memang tak patut men-dapat petunjuk darimu!" Tegas
Kenanga sambil memba-likkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Keli-
hatannya dia kecewa sekali.
"Adik Kenanga! Tunggu!" kata Panji serak. Dan pemuda itu pun segera melesat
mengejar Kenanga yang dirundung kekecewaan. Dengan sekali lompatan saja, tubuh
Panji telah berdiri menghadang di depan Kenanga. Karena ter-bawa perasaan yang
tak menentu, Panji mengulurkan kedua tangannya dan memegang bahu gadis itu.
Keduanya berdiri bingung. Tubuh sepasang muda-mudi itu bergetar. Aliran darah
mereka seolah-olah ter-balik. Begitu sadar, Panji menarik kedua tangannya dan
wajahnya langsung berubah kemerahan.
Demikian pula halnya dengan Kenanga. Untuk bebe-rapa saat tadi, ia seperti
terlena oleh sentuhan tangan Panji.
Bidadari jelita itu pun tertunduk malu. Pipinya me-merah saga.
"Eh.... Adik Kenanga, aku..., aku minta maaf! Sebenamya bukan maksudku untuk
menolak, tapi aku...," Panji bagaikan kehabisan kata-kata, sehingga tidak tahu
hams mengucapkan apa.
"Ah! Sudahlah, Kakang! Lupakan saja permintaanku tadi!"
Jawab Kenanga bersungguh-sungguh.
"Adik Kenanga, sebenarnya aku suka sekali untuk memberikan petunjuk kepadamu.
Tapi, bagaimana dengan ayahmu?"
"Aku tidak keberatan, Panji!" Jawab sebuah suara. Dan tiba-tiba saja sesosok
tubuh gagah, melangkah keluar dari batik semak-semak dan langsung menghampiri
mereka. "Ayah...!" Seru gadis jelita itu sambil tersipu malu.
"Ah! Paman..!" Ujar Panji kaget.
Sosok tubuh gagah itu ternyata adalah Ki Umbaran. Dia tersenyum sambil menepuk-
nepuk punggung Panji. Memang Ki Umbaran merasa maklum akan alasan pemuda itu.
"Nah! Apa lagi yang kalian tunggu" Bukankah aku telah menyetujuinya?" Kata Ki
Umbaran, mempertegas keragu-raguan Panji.
Selama ini, memang Ki Umbaran lah yang mendidik ilmu olah kanuragan kepada
Kenanga. Sebenarnya dia ingin menitipkan
anaknya kepada padepokan yang ba-nyak terdapat di daerah Selatan. Namun, karena
Kenanga anak satu-satunya, maka Ki Umbaran tidak sampai hati melepaskannya. Dan
kini, ada seorang pemuda yang menurut anaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka
apa salahnya jika hanya untuk menyetujuinya. Lagi pula pemuda itu sangat sopan!
Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkannya.
Akhirnya, Panji pun setuju akan permintaan Kenanga itu.
Pada pagi hari itu juga, Panji mulai memberi petunjuk tentang kelemahan ilmu
olah kanuragan pada gadis itu.
Sementara Ki Umbaran yang tidak ingin mengganggu ketekunan Panji, sudah
meninggalkan taman itu. Kepala Desa Tambak itu, merencanakan akan membuat sebuah
pesta untuk menyambut kedatangan anaknya kembali. Dan tanpa sepengetahuan
Kenanga, diam-diam orang tua gagah itu segera mempersiapkan segala sesuatu yang
akan diperlukan dalam pesta nanti.
*** 7 Malam itu bulan bersinar terang. Bintang-bintang yang bertaburan, bagaikan
pelita penghias malam. Langit yang bening saat ini membuat suasana malam itu
semakin meriah.
Demikian pula keadaan Desa Tambak. Obor-obor yang berjejer sepanjang jalan,
membuat desa itu menjadi terang benderang.
Para penduduk berduyun-duyun men-datangi balai desa,
tempat diadakannya pesta atas kem-balinya putri sang kepala desa dengan selamat.
Ki Umbaran sengaja mengadakan pesta di halaman balai desa, agar seluruh penduduk
desanya dapat menik-mati pesta itu. Hiasan-biasan pun telah dipasang di seki-tar
balai desa. Panggung juga telah berdiri di tengah hala-man yang luas itu.
Ketika seluruh penduduk Desa Tambak telah meme-nuhi halaman balai desa,
nampaknya pesta pun segera pula dimulai.
Berbagai hiburan ditampilkan. Mulai dari tari tarian sampai sandiwara rakyat
Tampak Ki Umbaran duduk di sebuah kursi paling depan, menghadap ke panggung Di
sebelah kirinya, duduk si Jelita Kenanga dengan anggunnya. Bibirnya yang merah
merekah, tak henti-hentinya menebarkan senyuman manis. Hatinya bukan main
gembiranya menyaksikan hiburan di pang-gung. Terlebih lagi melihat sambutan
penduduk Desa Tambak yang begitu hangat atas keselamatan dan ke-pulangan
dirinya. Sementara di sebelah kanan Ki Umbaran, Panji pun ikut pula merasakan kegembiraan
yang belum pernah di-temui sebelumnya. Pesta itu benar-benar meriah! Meski-pun
seluruh pertunjukan berasal dari rakyat, namun benar-benar menarik dan
mempesona. Seluruh rakyat Desa Tambak kelihatannya betul-betul bahagia pada
malam itu. Tapi, rupanya tidak semua orang yang menghadiri pesta itu merasa bahagia.
Seperti hatnya sosok tubuh yang berdiri tidak jauh dari panggung. Orang itu
tampak-nya tidak peduli dengan keramaian itu. Wajahnya yang cukup tampan hanya
tersenyum sinis. Tatapan matanya yang penuh rasa iri menusuk ke arah Panji tanpa
ber-paling sedikit pun.
Sedangkan orang yang diperhatikan oleh mata se-merah bara itu, tampak duduk
dengan tenang tanpa memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Panji sama-sekali tidak merasa terganggu oleh pandangan
menusuk itu. Sementara itu di atas panggung beberapa pertunjukan sudah berakhir. Suara
tepukan bergemuruh membahana bagai hendak merubuhkan panggung. Malam sudah
semakin larut, kerika semua acara segera usai. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam
melayang naik ke atas pang-gung. Dengan dua kali bersalto di udara, didaratkan
kaki-nya di atas panggung. Sorak-sorai menyambut kehebatan orang berbaju hitam
itu. "Saudara-saudara sekalian! Rasanya kurang lengkap apabila pesta ini tidak
ditutup dengan pertunjukan ilmu olah kanuragan!" Orang berbaju hitam berhenti
sejenak untuk mengetahui sambutan para penonton yang meng-hadiri tempat itu.
Ketika mendengar teriakan-teriakan ribut yang menyatakan setuju, orang berbaju
hitam itu tersenyum. Segera diangkatnya kedua tangannya ke atas, untuk mengatasi
kebisingan itu.
Beberapa saat kemu-dian, suara bising itu lenyap.
"Jagal! Apa maksudmu"!" Teriak Ki Umbaran yang sudah bangkit dari kursinya
dengan kedua tangan ter-kepal menahan geram. Wajah kepala desa itu tampak
memerah. Orang yang dipanggil Jagal itu segera berpaling kepada kepala desanya. Tubuhnya
dibungkukkan sebagai tanda hormat.
"Maaf, Ki! Saya hanya ingin menambah semarak sua-sana pesta saja!" Sahut orang
yang dipanggil Jagal, dengan suara nyaring.
Pendekar Naga Putih 01 Tiga Iblis Gunung Tandur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jagal adalah seorang jagoan yang cukup terkenal di Desa Tambak. Meskipun
sikapnya agak sedikit urakan, namun belum pernah melakukan kesalahan besar. Pa-
ling-paling hanya minta sedikit uang jago dari para peda-gang di pasar. Dan
antara Jagal dengan Ki Umbaran memang ada semacam 'perang dingin'.
"Lalu, apa maumu?" Tanya sang kepala desa lagi.
Sebenarnya Ki Umbaran sudah dapat menduga apa maunya laki-laki bertampang seram
itu. Tapi, ia ingin memastikannya lewat jawaban dari mulut orang yang bernama
Jagal itu. "Begini, Ki! Saya mendengar di desa kita telah keda-tangan seorang pendekar muda
yang hebat, sehingga dapat membunuh Sepasang Harimau Terbang!' Tapi saya tidak
percaya! Saya tahu pasti kehebatan ilmu kepala rampok itu.
Jadi, saya ingin bukti sampai di mana kehe-batan pendekar muda itu?" Jagal
berkata seolah-olah ke-pada Umbaran, namun matanya tak lepas-lepas meman-dang
Panji. "Huh! Manusia tak tahu diri!" Bentak Kenanga yang sudah bangkit dari tempat
duduknya. "Mengapa baru se-karang kau jual lagak" Dulu semasa setan-setan
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 6 Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Anak Pendekar 17