Pencarian

Penguasa Gua Barong 1

Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong Bagian 1


PENGUASA GUA BARONG Oleh Werda Kosasih
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga
dalam episode: Penguasa Gua Barong 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Desa Karangreja selalu ramai suasananya baik
Siang maupun malam. Maklumlah di desa ini tinggal
beberapa orang dermawan yang senang menyajikan
hiburan bagi penduduk desa. Artinya, para dermawan
inilah yang dengan suka rela membayar rombongan
penghibur yang didatangkan dari desa-desa lain. Dan, hiburan yang paling
digemari penduduk desa itu adalah tayub. Para lelaki tentu saja gembira karena
mere-ka bisa menari-nari bersama tledek. Adapun para pe-
rempuan merasa bangga jika suami mereka bisa me-
nari dan berpasangan dengan tledek yang menjadi
primadona pertunjukan tayub itu. Tak ada rasa cem-
buru sekelumit pun meracuni hati mereka. Para pe-
rempuan desa yang lugu ini justru berharap agar anak yang sedang mereka kandung,
atau yang bakal mereka
kandung nantinya, lahir dengan paras secantik prima-
dona tayub itu.
Sewaktu Endang Cantikawerdi tiba di desa ke-
lahirannya ini, di halaman salah seorang dermawan
desa itu pun sedang berlangsung acara tayuban. Gadis ini sebenarnya sama sekali
tidak tertarik untuk me-nonton, ia tahu, di tengah-tengah berlangsungnya aca-ra
tayub ini biasanya terjadi adegan-adegan yang me-
muakkan. Para lelaki yang meminum tuak sebelum
menari, biasanya akan berbuat tak senonoh terhadap
para tledek yang menjadi pasangan tayub mereka. Me-
reka tak akan malu-malu lagi memeluk dan mencium
para tledek itu. Bagi gadis perawan seusia Endang
Cantikawerdi, adegan ini jelas memuakkan.
Akan tetapi, gadis itu terpaksa menghentikan
langkahnya diantara kerumunan para penggemar
tayub itu sebab ia mendengar nama ayahnya disebut-
sebut sebagai calon peserta tayub, la kaget sebab baru kali ini ayahnya tergiur
oleh hiburan yang memuakkan itu.
Dalam acara tayub memang hanya para lelaki
yang berkantong tebal yang diperbolehkan menari ber-
pasangan dengan primadona tayub. Dan, ayah Endang
Cantikawerdi memang termasuk salah satu orang ter-
kaya di Desa Karangreja. Malahan terbilang paling
kaya di antara mereka yang tercatat sebagai orang
kaya. Siapa yang tidak kenal dengan Ki Punjul Weda di desa itu" Karena
kekayaannya yang mencolok ini pula-lah maka ia pernah dirampok dan hampir saja
jiwanya melayang jika tidak ditolong Cekel Janaloka beberapa tahun yang lalu.
Hanya saja, semenjak dunia persilatan digem-
parkan lagi oleh munculnya tokoh-tokoh sesat, terpak-salah Ki Punjul Weda
menyisihkan sebagian ke-
kayaannya untuk upeti. Memang lebih baik menyedia-
kan upeti setiap bulannya daripada melihat harta ke-
kayaannya dijarah habis oleh orang orang sesat itu.
Malahan ia rela menyerahkan anak gadisnya kepada
Cekel Janaloka demi keselamatan harta kekayaannya
pula, la berharap, sepulang Endang Cantikawerdi dari Perguruan Gunung Sumbing
nanti, tak akan ada lagi
orang jahat yang berani mengganggu harta kekayaan-
nya itu. Selama anak gadisnya tinggal di Perguruan
Gunung Sumbing, selama itu pula Ki Punjul Weda
membayar seseorang yang memiliki ilmu silat cukup
tinggi untuk menjaga rumahnya siang dan malam.
Tentu saja ia tak menginginkan adanya gangguan pe-
rampok lagi dalam rumahnya yang mewah dan me-
nyembunyikan benda-benda berharga pula. Namun
begitu, Ki Punjul Weda lupa bahwa suatu ketika pagar bisa makan tanaman.
Setidaknya, pertumbuhan tanaman itu sangatlah tergantung kepada kekokohan
pagar. Bajra Luwuk, orang yang dipercaya menga-
mankan harta kekayaan Ki Punjul Weda, lambat-laun
tergiur untuk memiliki harta kekayaan yang menjadi
tanggung jawabnya itu. Terlebih karena ia mendapat
pengaruh dari Kerta Tungkel alias Klabang Seketi, gurunya. Klabang Seketi
sesungguhnya bukan orang ba-
ru dalam dunia persilatan. Sepuluh tahun yang lalu ia pernah menguasai desa-desa
di Kaki Gunung Sumbing. la terpaksa meninggalkan Kaki Gunung Sumbing
sebab kalah dalam pertarungannya melawan Cekel Ja-
naloka. Toya dewondaru milik Cekel Janaloka berhasil meremukkan lengan kirinya.
Meski telah kehilangan
lengan kirinya, Kerta Tungkel alias Klabang Seketi bukanlah lawan yang mudah
dilumpuhkan. Itulah kena-
pa akhirnya Klabang Seketi berhasil melarikan diri dari arena pertarungan. Sudah
barang pasti ia bermaksud
memperdalam ilmu silatnya, dan kelak kemudian hari
berniat menebus kekalahannya.
Sepuluh tahun Klabang Seketi bersembunyi di
Gua Barong. Di dalam gua inilah ia memperdalam ilmu
silatnya dengan tekun. Lengan kirinya yang hancur
terpaksa ia potong sebab daging di sekujur lengan itu membusuk. Kesadaran bahwa
ia hanya berlengan sebelah inilah yang membuatnya tekun memperdalam
ilmu silat. Dengan sepasang lengan saja ia kalah
menghadapi Cekel Janaloka, apalagi hanya dengan sa-
tu lengan. Maka tanpa didukung oleh ilmu silat yang
mumpuni, akan percumalah ia menantang kembali
musuh bebuyutannya itu.
Kepada orang sesat berlengan satu inilah Bajra
Luwuk berguru. Ilmu kekebalan yang dipelajarinya su-
dah cukup sempurna. Kalau hanya senjata tajam milik
penduduk desa, tak akan mempan menggores kulit-
nya. Meski ilmu silatnya belum sempurna, dengan ke-
kebalan kulit di tubuhnya, Bajra Luwuk berkali-kali
berhasil merobohkan lawan-lawannya.
' Kekebalan kulitmu harus kau utamakan, Lu-
wuk. Dengan begitu, kau tak akan takut mendesak
maupun menangkis senjata lawan. Untuk apa susah-
susah menghindari serangan jika senjata itu tak mem-
pan mengenai kulit kita"'' kata Klabang Seketi yang selalu diingat oleh Bajra
Luwuk. Sewaktu Endang Cantikawerdi meninggalkan
Desa Karangreja, nama Bajra Luwuk memang sudah
cukup disegani oleh penduduk desa. Bukan saja kare-
na ia bertubuh mirip badak, melainkan juga karena ia tak kenal takut. Baginya,
mati bukanlah perkara yang harus ditakuti. Seolah-olah ia merasa percuma hidup
di dunia ini dengan hanya ditemani oleh kesengsaraan.
Sejak kecil ia telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Tak ada lagi sanak-
famili yang bisa menolong
menghidupinya. Untuk makan sehari-hari pun ia ha-
rus berburu babi hutan. Pekerjaan berburu babi hutan inilah yang kemudian
mempertemukan Bajra Luwuk
dengan Klabang Seketi. Tanpa diduga-duga bahwa Gua
yang sering dipakai untuk tempat persembunyian babi
hutan itu dihuni deh orang sakti yang bernama Kla-
bang Seketi. Kini nama Bajra Luwuk sangatlah ditakuti oleh
penduduk Desa Karangreja maupun desa-desa terde-
kat. Sampai-sampai penduduk desa itu menjuluki nya
'Ki Lurah'. Maka alis Endang Cantikawerdi naik turun begitu mendengar sebutan
bagi Bajra Luwuk ini. Tak
disangkanya bahwa orang yang dulu hampir mati ter-
seruduk babi hutan itu kini menjadi orang yang paling ditakuti di Desa
Karangreja. ' Sebelum Ki Punjul dan Ki Lurah joget, tak
akan ada yang berani memasuki kalangan," kata seo-
rang lelaki kepada teman yang berdiri di sampingnya.
''Kalau sudah bosan hidup, silakan saja joget!"
sahut temannya sembari menahan tawa.
Endang Cantikawerdi melangkah mundur, la
mencari tempat yang agak gelap agar wajahnya tidak
dikenali penduduk desa. Bukan berarti ia takut dike-
nali sebagai anak gadis Ki Punjul Weda, melainkan ia menyadari bahwa para lelaki
di desa itu rata-rata mata keranjang. Setelah yakin kegelapan malam mengabur-kan
pandangan para lelaki di dekatnya, Endang Canti-
kawerdi bertanya kepada salah seorang pemuda desa
itu, ' Kisanak, siapa orang yang dipanggil sebagai Ki Lurah di desa ini?"
Pemuda desa itu kaget mendengar suara merdu
seorang perempuan. ia merasa pasti bahwa pemilik
suara itu tentulah bukan penduduk Desa Karangreja.
Pemuda desa itu mencoba mengamat-amati wajah En-
dang Cantikawerdi, tetapi tempat itu terlalu gelap untuk mengenali wajah
seseorang. Dan, yang membuat
pemuda desa itu semakin penasaran, sebab orang as-
ing ini menanyakan nama asli Ki Lurah.
' Kisanak dengar tidak saya bertanya?" kata
Endang Cantikawerdi lagi, agak kesal.
' Untuk apa Kisanak tanya-tanya soal Ki Lu-
rah?" jawab pemuda desa itu dengan nada menyepele-
kan. 'Karena saya harus membunuh orang itu!" sa-
hut Endang Cantikawerdi semakin kesal. Siapa tahu
dengan berkata keras begini ia akan mendapatkan ja-
waban yang diharapkannya.
"Apa" Ha-ha-ha! Jaga mulutmu kalau bicara,
Kisanak!" ujar pemuda itu. ''Bukankah Kisanak ini
seorang perempuan" Atau, lelaki bersuara perem-
puan?" "Ada apa ini?" Seseorang mendekati pemuda itu.
"Ada pendekar kesasar yang mau membunuh
Ki Lurah!"
' Mana" Mana orangnya?" Lelaki tinggi besar itu
langsung mencengkeram pundak lelaki yang tadi ber-
diri di samping Endang Cantikawerdi.
' Bukan aku, Kang! Orangnya sudah pergi...."
Lelaki itu menggigil ketakutan.
Endang Cantikawerdi memang sudah beringsut
pergi. Tentu saja mereka tidak mengira gadis itu akan menghilang begitu saja
dari hadapan mereka.
' Kita harus segera lapor pada Ki Lurah!" kata
lelaki tinggi besar itu.
' Buat apa" Cecurut yang mencarinya hanyalah
seorang perempuan. Mungkin bekas istrinya...."
''Tutup mulutmu, Boleng!" sergah lelaki tinggi
besar itu. *** Agar tidak membuat gaduh suasana, Endang
Cantikawerdi terpaksa menotok jalan darah seorang lelaki yang menjadi sasaran
pertanyaan berikutnya. Ke-
mudian gadis itu membimbing lelaki itu ke tempat
yang sepi. la sengaja hanya menotok jalan darah pada kedua bahu lelaki itu agar
kedua tangan kokoh itu tidak memberontak.
Merasa bahwa yang dihadapinya bukan semba-
rang perempuan, lelaki itu menurut saja sewaktu En-
dang Cantikawerdi menariknya ke tempat sepi. Apalagi perempuan yang menariknya
ini sudah mengancam,
' Jangan teriak kalau kau memang belum bosan hi-
dup!" Tiba di tempat yang sepi, di halaman sebuah
rumah kosong, Endang Cantikawerdi menaruh toya
dewondarunya di pundak lelaki itu. Kemudian ia sekali lagi mengancam,
''Ceritakan sejujur-jujurnya apa saja yang kau ketahui tentang Ki Lurah! Sepatah
kata saja kau mencoba bohong, tongkat ini akan menghancur
kan kepalamu! Mengerti?"
"Ya, ya, mengerti," jawab lelaki itu tergagap.
' Siapa orang yang disebut-sebut sebagai Ki Lu-
rah di desa ini?"
"Ki Bajra Luwuk, Den Rara...."
' Bajra Luwuk yang dulu suka cari babi hutan?"
Tukas Endang Cantikawerdi.
"Iya, Den Rara. Tapi, sekarang dia tidak lagi
berburu babi hutan. Dia sekarang sudah punya peker-
jaan, Den Rara."
' Bekerja" Di mana?"
"Dia jadi pengawal Ki Punjul, Den Rara." En-
dang Cantikawerdi menahan-nahan kekagetannya.
Sama sekali tak disangkanya bahwa Bajra Luwuk se-
karang menjadi pengawal ayahnya. Tetapi, gadis itu
segera memaklumi sebab memang hanya Bajra Luwuk
seorang yang bisa diandalkan di desa itu.
"Maaf, aku terpaksa berbuat seperti ini karena
aku tidak ingin penduduk desa ini mengetahui siapa
aku," kata Endang Cantikawerdi setelah mengetahui
bahwa lelaki yang ditanyainya ini sopan dan jujur.
' Tetapi, kenapa tangan saya.'..?"
"Ya. Nanti aku pulihkan tangan... nama Paman
siapa?" tukas Endang Cantikawerdi cepat.
' Saya... Kempul, Den Rara."
' Paman Kempul?" Agak kaget Endang Cantika-
werdi mendengar nama yang disebutkan lelaki itu. Se-
sungguhnyalah Kempul bukan orang asing lagi bagi Ki
Punjul Weda beserta anak-istrinya. Kalau saja tadi Endang Cantikawerdi membawa
lelaki itu ke tempat yang
terang, sudah pasti ia akan mengenali siapa lelaki yang ditawannya ini.
"Dan, Den Rara ini sebenarnya siapa?" tanya
Kempul hati-hati, la takut jika gadis ini marah men-
dengar pertanyaan darinya.
Untuk sejenak Endang Cantikawerdi dilanda
keragu-raguan. Namun, mengingat kehidupan lelaki
itu sehari-hari, rasanya tidak perlu lagi ia menyembunyikan diri, menahan-nahan
keterusterangannya.
"Aku Endang Cantikawerdi, Paman," jawab En
dang Cantikawerdi pada akhirnya.
' Gusti Allah! Kenapa tadi tidak berterus terang


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja kepada saya" Saya toh tidak mungkin.. "
' Paman," tukas Endang Cantikawerdi, "aku tadi
juga tidak mengenali Paman Kempul. Kita ketemu di
tempat gelap, dan sekarang pun masih di tempat yang
gelap. Tetapi, aku tidak bermaksud buruk, Paman.
Aku hanya tidak ingin orang-orang tahu kedatanganku
di desa ini."
' Kenapa" Mereka pasti senang. Mereka sudah
lama menunggu-nunggu kapan Den Rara Cantika pu-
lang dari Perguruan Gunung Sumbing. Sungguh!"
' Paman, aku belum selesai bertanya. Ceritakan
dari awal bagaimana ayahku bisa mempekerjakan Ba-
jra Luwuk sebagai pengawalnya."
"Apa tidak sebaiknya kita cari tempat yang te-
rang" Saya ingin sekali melihat wajah Den Rara. Su-
dah berapa tahun ya, kita tidak bertemu" Wah, untung waktu itu datang guru Den
Rara menolong Ki Punjul.
Kalau tidak, tentu sekarang kita tidak bisa bertemu la-gi. Eh, kapan tangan saya
ini bisa saya gerakkan, Den Rara?" Endang Cantikawerdi cepat cepat membebaskan
totokan pada kedua bahu lelaki itu
"Wah, pasti ilmu silat Den Rara ini tinggi sekali!
Hanya dengan sentuhan jari telunjuk saja Den Rara
bisa bikin tangan saya lumpuh."
' Paman, kita harus segera kembali ke tempat
tayuban. Aku ingin melihat bagaimana ayahku berjoget dengan tledek!" geram
Endang Cantikawerdi.
' Sudah banyak perubahan di desa ini, Den Ra-
ra." Tiba tiba suara Kempul berubah sendu.
' Itulah kenapa aku minta Paman bercerita se-
karang juga," sahut Endang Cantikawerdi.
''Singkat cerita, Ki Punjul berubah karena pen-
garuh dari Bajra Luwuk, Den Rara."
"Aku sudah menyangka. Lalu, bagaimana den-
gan ibuku, Paman?"
' Nyai Punjul sudah diceraikan."
"Apa?" Bibir Endang Cantikawerdi bergetar Te-
lapak tangannya menggenggam toya kuat kuat.
"Ki Punjul yang sekarang bukan Ki Punjul yang
pernah Den Rara kenal beberapa tahun yang lalu," lanjut Kempul. ''Tetapi, semua
itu terjadi karena adanya Bajra Luwuk di rumah itu. Ki Punjul tidak akan berani
membantah apa saja yang dikatakan Bajra Luwuk.
Dan, orang-orang di desa ini pun tidak berani berbuat apa-apa, Den Rara."
' Kita ke sana sekarang, Paman! Tapi, Paman
jangan sampai bilang siapa pun tentang aku!" Selesai berkata begitu, Endang
Cantikawerdi melesat dan hilang dari pandang mata Kempul.
''Mudah-mudahan Den Rara bisa mengusir Ba-
jra Luwuk dari desa ini," ujar lelaki itu sambil beranjak pergi.
*** 2 Delapan buah obor menerangi arena tayub itu.
Suara gamelan yang ditingkahi suara gendang mulai
menggema. Nyi Tomblok, primadona tayub, turun ke
halaman diiringi tepuk sorak penonton. Para lelaki seolah berlomba menelan ludah
begitu melihat dandanan
Nyi Tomblok. Perempuan berusia tiga puluh tahun ini
mengenakan kain lereng yang dipadu dengan angkin
jumputan merah tua. Selendang tipis berwarna merah
jambu tersampir di pundaknya. Separuh bukit da-
danya nampak menggelembung sebab separuhnya lagi
terlilit angkin dengan ketatnya. Kulitnya yang kuning langsat sungguh kontras
berpadu dengan angkin merah tua yang melilit pinggulnya. Dahi perempuan itu
agak panjul, tetapi serasi dengan bentuk hidungnya
yang runcing dan agak mendongak. Bibir tipis perem-
puan itu dipulas dengan pemerah bibir yang berwarna
merah darah. Matanya yang bulat tak bosan bosannya
melirik ke kanan-kiri, menyebabkan para lelaki yang
menatapnya semakin sering menelan ludah.
Empat sloki tuak telah melewati tenggorokan Ki
Punjul Weda. Darah di sekujur tubuhnya seolah naik
ke kepala. Wajah lelaki setengah tua itu merah bak ke-piting bakar. Di sebelah
lelaki kaya ini, duduk Bajra Luwuk sambil memangku salah seorang tledek. Dua
orang lelaki dengan golok telanjang di tangan berdiri di
samping Bajra Luwuk. Mereka berdua inilah yang dis-
ebut-sebut sebagai Sepasang Elang dari Utara. Keke-
jaman mereka melebihi kekejaman Bajra Luwuk meski
ilmu silat mereka masih di bawah ilmu silat murid
Klabang Seketi itu.
Nyi Tomblok bergoyang pinggul mendekati Ki
Punjul Weda. Selendang merah jambu yang tadi ter-
sampir di pundaknya kini siap dikalungkan ke leher Ki Punjul Weda. Tepuk sorak
penonton kembali meledak.
Kemudian, seperti sapi yang dituntun ke pejagalan, Ki Punjul Weda mengekor
langkah Nyi Tomblok turun ke
arena tayub. Lelaki setengah tua itu mulai meleng-
gang-lenggok dengan pandang mata tertancap pada
bukit dada Nyi Tomblok.
Endang Cantikawerdi menatap ayahnya dengan
pandangan mata nanar. Tak tahan lagi ia melihat ulah ayahnya yang menjijikkan
itu. la ingin membunuh perempuan binal yang melenggak-lenggok di depan
ayahnya itu. Tentulah karena perempuan itu maka
ayahnya tega menceraikan ibunya. Tetapi, bukankah
Bajra Luwuk yang mengenalkan perempuan binal itu
kepada ayahnya" Kalau begitu, Bajra Luwuk lah yang
harus bertanggung jawab!
Dengan sekali lompat, tubuh Endang Cantika-
werdi melayang dan kemudian berdiri persis di depan
Bajra Luwuk sambil menimang-nimang toya dewonda-
runya. "Hei, apa yang kau lakukan di situ?" bentak Bajra Luwuk sambil menaruh
gelas tuak di telapak tan-
gan tledek yang dipangkunya.
"Aku mencari manusia laknat yang bernama
Bajra Luwuk!' jawab Endang Cantikawerdi berlagak be-
lum tahu yang mana lelaki yang dicarinya.
Tanpa menunggu perintah, dua orang lelaki
yang mengapit Bajra Luwuk itu melompat ke samping
kiri-kanan Endang Cantikawerdi. Lalu, golok telanjang di tangan mereka siap
menempel di leher gadis itu.
Akan tetapi, secepat kilat Endang Cantikawerdi me-
runduk dan langsung menyapu kaki kedua lelaki itu
dengan toyanya.
' Desss! Bukkkk!"
Tubuh kedua lelaki itu terbanting ke tanah. Pe-
rempuan-perempuan yang mengitari arena tayub itu
menjerit bersamaan. Nyi Tomblok dan Ki Punjul mun-
dur setapak demi setapak. Mereka takut jika gadis itu memutar toyanya lagi dan
pecahlah kepala mereka.
Kedua lelaki pengawal Bajra Luwuk Itu bangkit,
dan sekali lagi golok di tangan mereka terayun. Dua bilah golok mengancam
pinggang gadis Itu. Namun, me-
reka berdua memang bukan tandingan murid Cekel
Janaloka ini. Begitu mudah Endang Cantikawerdi
menghindari ancaman golok-golok itu. Tubuh gadis itu melenting ke udara sambil
mengirimkan tendangan ke
pelipis kedua penyerangnya.
' Aughhh!"
Kedua lelaki itu mengerang dan kemudian ter-
jerembab ke tanah. Mereka mencoba bangkit lagi, teta-pi malahan tersungkur dan
memuntahkan darah se-
gar. Jerit ngeri dari perempuan perempuan desa itu
kembali merobek malam.
' Perempuan biadab!" ujar Bajra Luwuk seraya
melompat dari tempat duduknya. Tledek yang tadi di-
pangkunya terpelanting dan bergulingan di lantai pen-dopo. "Kau tak mengenaliku
lagi, Bajra Luwuk?"
tanya Endang Cantikawerdi.
"Aku tak pernah kenal dengan kuntilanak bu-
suk macam kau! Katakan apa keperluanmu mencariku
sebelum kupecahkan batok kepalamu, perempuan ja-
hanam!" Bajra Luwuk melangkah maju tanpa merasa
takut tersambar toya di tangan gadis itu. Dan, ia memang selalu mengandalkan
kekebalan tubuhnya setiap
menghadapi lawan. Apalagi lawannya hanya seorang
perempuan! ' Berhenti atau kupatahkan kakimu, Bajra Lu-
wuk!" seru Endang Cantikawerdi seraya menyilangkan
toyanya di depan dada
"Ha-ha-ha! Kau belum kenal Bajra Luwuk, te-
tapi kau berani gegabah di depanku, he" Ayo, pukul-
kan tongkat pengemismu itu ke tubuhku, pilih bagian
mana yang sekiranya mematikan!"
Tak heran jika Bajra Luwuk berlaku sembrono
di depan gadis yang tak dikenalnya ini. Ia memang belum berpengalaman di dunia
persilatan. Selama hi-
dupnya, ia hanya berpengalaman memilih babi hutan
yang mana yang gemuk dan mudah ditangkap. Padah-
al, seharusnya ia cepat-cepat mawas diri menghadapi
murid Cekel Janaloka ini. Tidakkah ia melihat bagai-
mana gadis itu dengan mudah merobohkan dua orang
pengawalnya tadi"
Terpaksa Endang Cantikawerdi mundur bebe-
rapa langkah. la tak ingin melihat lelaki itu roboh dalam satu gebrakan. Meski
ia tahu kulit lelaki itu seteb-al kulit badak, ia tak yakin toya dewondarunya
tak mempan di tubuh lelaki itu. Jangan dikata hanya tu-
buh Bajra Luwuk, sedangkan batu cadas pun bisa jadi
tepung tertimpa toya dewondaru!
"Aku tak ingin kau patah kaki sebelum aku me-
lihat kehebatan ilmu silatmu, Bajra Luwuk!" kata En-
dang Cantikawerdi sambil melangkah mengitari.
' Menghadapi perempuan ingusan macam kau,
tak perlu aku mengeluarkan ilmu silatku! Tetapi, jika
kau mampu membuatku mundur selangkah saja, aku
akan turuti permintaanmu!" Bajra Luwuk memasang
kuda-kuda. Namun begitu, kedua tangannya tetap saja
tak mendukung kuda-kuda kakinya. Tak ada usaha
untuk melindungi dari serangan yang bakal datang.
' Manusia tolol macam kau yang biasanya cepat
besar kepala, Bajra Luwuk!" Berkata begini, Endang
Cantikawerdi menggempur kuda-kuda lawannya den-
gan sisi telapak kaki kanannya.
' Desss!" Terbelalak mata gadis itu sebab ia merasa me-
nendang batang pohon yang tak mungkin tergoyahkan
oleh badai sebesar apa pun. Bahkan ia merasakan te-
lapak kakinya sedikit nyeri.
"Ha-ha-ha! Kakimu tak lebih kuat dari kaki be-
lalang, perempuan binal!" ujar Bajra Luwuk untuk
menutupi rasa kagetnya. Sungguh, ia tidak menyangka
tendangan kaki gadis itu mampu menembus kekebalan
kulit yang membungkus tulang keringnya. Dan, diam-
diam la bersyukur gadis itu tidak menggunakan senja-
tanya untuk menggempur kuda-kudanya. Lalu ia pun
ingat pesan gurunya, ''Hati-hatilah menghadapi lawan yang telah memiliki tenaga
dalam, sekalipun ia hanya seorang perempuan, Luwuk."
''Kuda-kudamu memang kokoh, Bajra Luwuk!
Tetapi, kekokohan kuda-kuda tidak menjamin kesela-
matanmu! Kau hanyalah ibarat pohon besar yang tak
akan mampu menghindari sambaran petir sengaja En-
dang Cantikawerdi menyulut kemarahan lelaki itu agar mau menyerangnya.
' Betina keparat!" sergah Bajra l.uwuk sambil
mengayunkan tangannya ke pelipis lawan.
Begitu deras pukulan itu dirasakan oleh En-
dang Cantikawerdi. Angin yang ditimbulkannya mem-
buat rambut gadis itu berkibar Kendatipun pukulan
Itu tidak dilambari tenaga dalam, cukuplah untuk
menghancur-kan tulang pipinya, jika tidak dihindari.
' Wuttt! Plakkk!"
Bajra Luwuk menghentikan serangannya. Se-
rangan balasan gadis Itu terasa panas menyengat kulit lengannya. Untuk kedua
kalinya ia merasa kaget memikirkan gadis yang nampak lemah gemulai ini. Kepa-
lan tangannya ternyata lebih ganas dibandingkan den-
gan serudukan babi hutan. Tentu saja serudukan babi
hutan yang dirasakannya setelah ia mempelajari ilmu
kekebalan tubuh. Waktu itu ia memang pernah men-
guji kekebalan tubuhnya lewat serudukan babi hutan.
Akibatnya, babi hutan itu mengalami patah leher se-
mentara Bajra Luwuk tak merasakan sakit sedikit pun.
Ketajaman cula babi hutan itu tak berarti bagi kulit telapak tangannya.
Menaksir-naksir tingkatan Ilmu lawan memang
belum pernah dilakukan oleh Bajra Luwuk. Selama ini
ia selalu menemukan lawan yang hanya mengandalkan
kekuatan fisik dan sedikit kelincahan menghindar. Itulah kenapa ia begitu
meremehkan Endang Cantika-
werdi yang dilihatnya sebagai gadis cantik bertubuh
mungil dan ringkih. Tak pernah terpikirkan olehnya
bahwa dalam tubuh gadis itu tersimpan tenaga dalam
yang mumpuni. Bajra Luwuk mulai mawas diri. Tak berani lagi
ia mencoba membiarkan tangan dan kaki lawan me-
nyentuh kulitnya. Terlebih ketika lawan mulai meng-
gunakan toya merah kecoklat-coklatan itu. Bajra Lu-
wuk mengenali dari kayu pohon apa toya itu terbuat.
Ia bisa mengukur keuletan dan kekerasan kayu de-
wondaru. Dalam pada itu, Endang Cantikawerdi memang
ingin secepatnya menyudahi perkelahian, la tak mau
membiarkan ayahnya menghilang dari halaman rumah
itu. Ia ingin tahu ke mana lelaki itu pulang. Kalau benar ia telah menceraikan
istrinya, tentunya ia tidak mungkin pulang ke rumah. Atau mungkin istrinya
yang diusir pergi dari rumah"
' Wesss!" Lagi-lagi kepalan tangan Bajra Luwuk berdesing
di samping telinga gadis itu. Namun, kali ini gadis itu berhasil menyabetkan
toyanya ke lengan Bajra Luwuk.
' Krakkk!"
Bajra Luwuk melompat mundur sambil meme-
gangi lengan kanannya. Lengan itu patah oleh terjan-
gan toya di tangan Endang Cantikawerdi. Kekebalan
kulit lengan itu tak mampu menahan tenaga dalam
yang tersalurkan lewat toya dewondaru.


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Keparat! Rasakan pembalasanku, perempuan
liar!" Bajra Luwuk menyumpah-nyumpah sembari me-
raih golok yang tadi ditaruh di tempat duduknya.
"Aku memang ingin melihat permainan golok
pemotong babi hutan itu, Bajra Luwuk!' ejek Endang
Cantikawerdi. Hanya dengan tangan kirinya Bajra Luwuk
memainkan jurus-jurus golok yang dipelajarinya dari
Klabang Seketi. Tetapi, Endang Cantikawerdi tak bera-ni meremehkan kehebatan
jurus-jurus itu. Agaknya
Bajra Luwuk memang sudah terlatih menggunakan
sepasang golok. Hampir tak ada bedanya permainan
golok dengan tangan kiri maupun dengan tangan ka-
nan. Gerakan patah-patah yang terkendali itu mem-
buktikan bahwa tangan kiri lelaki itu sudah terlatih memainkan golok.
Sementara Endang Cantikawerdi sibuk meng-
hadapi serangan golok Bajra Luwuk, di luar halaman
rumah itu pun Ki Punjul Weda sibuk menghadapi per-
tanyaan bertubi-tubi dari orang-orang di kanan-
kirinya. Entah sudah berapa kali ia menerima perta-
nyaan yang sama. Penduduk desa itu ternyata ada
yang bermata jeli. Mereka yang bermata jeli inilah yang menyibukkan Ki Punjul
Weda. "Ya, aku yakin gadis itu putri Juragan!" kata
seseorang. "Den Rara Cantika" Rasanya kau benar!" Ujar
lelaki yang berdiri di belakangnya.
"Aku tak bisa lupa wajahnya sekalipun tak me-
lihatnya seratus tahun!" kata yang lainnya lagi.
' Kenapa juragan tidak mencoba menghentikan
perkelahian itu?" Lelaki yang berdiri paling dekat dengan Ki Punjul Weda
menggamit pundak lelaki terkaya
di Desa Karangreja itu.
"Aku... aku... aku harus segera pergi...." Berka-
ta Ki Punjul Weda dengan paras muka ketakutan.
' Jangan pergi, Juragan! Juragan tak perlu
khawatir. Pasti Den Rara Cantika yang akan meme-
nangkan perkelahian itu. Nah, lihat saja lengan Ki Lurah Bajra sudah patah.
Sebentar lagi kakinya mungkin juga patah." Kempul mencekal erat lengan Ki Punjul
Weda, la ikut-ikutan membuka mulut sebab ia merasa
percuma merahasiakan kedatangan Endang Cantika-
werdi. 'Benar kata Kang Kempul, Juragan," sokong
seseorang yang sedikit mengetahui ilmu silat. ''Dilihat dari gerakannya
menghindari, jelas Den Hara menang
beberapa tingkat di atas Ki Lurah Bajra..'
' Lihat, Juragan!" seru Kempul sembari menun-
juk-nunjuk ke arena perkelahian.
Maka mereka bersamaan mengangakan mulut
begitu melihat Endang Cantikawerdi berjumpalitan di
udara sambil memutar toyanya. Seumur hidup mereka
baru kali ini mereka melihat seorang gadis muda belia memiliki ilmu silat yang
demikian tingginya Mereka
memang pernah mendengar cerita tentang Cekel Jana-
loka yang dalam beberapa gebrakan mampu menja-
tuhkan beberapa orang perampok di rumah Ki Punjul
Weda. Namun, itu semua hanya cerita. Sekarang, me-
reka menyaksikan sendiri bagaimana murid Cekel Ja-
naloka terbang dan menukik seperti burung srikatan.
Gerakan toya itu hampir tak bisa diikuti mata. Mereka hanya melihat gulungan
sinar merah kecoklat-coklatan mengurung tubuh Bajra Luwuk. Kemudian gulungan
sinar merah kecoklat coklatan itu menukik dan mema-
tuk kepala Bajra Luwuk.
' Wuttt! Wuttt! Crottt!"
Bajra Luwuk terhuyung-huyung sambil meme-
gangi kepalanya. Darah mengalir dari sela sela kesepuluh jari tangannya. Dan,
sewaktu tumit Endang Canti-
kawerdi menghunjam tengkuk lelaki itu, selesailah pertarungan hidup dan mati di
halaman rumah itu. Tu-
buh Bajra Luwuk terbanting ke tanah. Matanya terbe-
liak dan dari hidung, kuping, serta mulutnya mengeluarkan darah segar. Darah itu
berkilat-kilat tertimpa cahaya obor yang menerangi halaman rumah itu.
"Itulah imbalan atas jerih payahmu mengajari
ayahku berbuat maksiat, Ki Lurah!" ujar Endang Can-
tikawerdi. "Jadi, kau... kau... Cantikawer...?" sahut Bajra
Luwuk sebelum berkelojotan dan terkulai lemah.
Perempuan-perempuan desa yang masih berta-
han menyaksikan perkelahian itu serentak menjerit
sambil menekap muka. Mimpi pun mereka tak pernah
bahwa mereka akan menyaksikan pemandangan yang
mengerikan itu. Lagi pula, sejak berangkat dari rumah
sore tadi, mereka telanjur membayangkan adegan joget para peserta tayub. Syukur-
syukur mereka bisa melihat suami mereka berjoget dengan Nyi Tomblok. Sama
sekali mereka tak menyangka bahwa Endang Cantika-
werdi bakal muncul dan membunuh Ki Lurah Bajra.
Endang Cantikawerdi menyusut keringat yang
membasahi dahinya, la merasakan tenaganya terkuras
oleh Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat yang baru sa-ja mengusir nyawa Bajra
Luwuk dari raganya. Karena
gadis itu ingin secepatnya menyudahi pertarungan
maka jurus pamungkas itu terpaksa dikeluarkannya.
Padahal, tanpa Jurus pamungkas itu pun ia merasa
pasti bisa merobohkan lawannya. Akan tetapi, daya
tahan Bajra Luwuk memang melebihi daya tahan babi
hutan yang tengah terluka.
Suasana halaman itu menjadi riuh. Hampir
semua orang mengemukakan pendapatnya tentang il-
mu silat Endang Cantikawerdi. Sewaktu Endang Can-
tikawerdi mengangkat toyanya di atas kepala, barulah celotehan mereka terhenti.
"Harap semuanya tenang! Jangan bubar dulu
sebelum aku membubarkan pertemuan ini! Jangan ta-
kut! Aku bukan perempuan jahat seperti kaki Ki Lurah ini!" teriak Endang
Cantikawerdi sambil mengitarkan
pandang matanya.
"Ya, ya, ya! Kalian tahu tidak gadis Itu den Rara
Cantika?" teriak Kempul sambil memanjat pundak salah seorang penduduk desa itu.
"Den Rara Cantika?" Seperti dikomando, mere-
ka berucap seraya menatap lekat lekat wajah gadis
muda belia yang berdiri gagah di halaman rumah itu.
' Bukankah Den Rara Cantika berada di Gu-
nung Sumbing?" celetuk seseorang.
' Goblok! Justru karena pernah di Padepokan
Gunung Sumbing itu maka ia bisa mengalahkan Bajra
Luwuk" sahut yang lainnya.
''Sekali lagi, aku minta kalian semua tenang!
Dan, aku minta Ki Punjul Weda kembali ke halaman
sini!" seru Endang Cantikawerdi lagi.
Semua mulut bungkam. Semua pasang mata
berusaha mencari-cari di mana kiranya Ki Punjul We-
da berada. Kecuali sepasang mata milik Kempul.
"Ayo, Juragan. Maju saja! Mungkin Den Rara
sudah kangen ingin bertemu dengan Juragan," kata
Kempul sembari mendorong dorong punggung ayah
Endang Cantikawerdi itu.
Karena yang mendorong-dorong punggungnya
semakin bertambah banyak, tak bisa lagi Ki Punjul
Weda memberontak. Akhirnya lelaki setengah tua itu
terdorong hingga berhadapan dengan anak gadisnya.
' Maafkan aku, Ayah. Kedatanganku ternyata
membuat Ayah ketakutan. Tetapi, ini semua harus aku
lakukan agar aku bisa bertemu muka dengan Ayah
dan Ibu, " kata Endang Cantikawerdi seraya memeluk
ayah-nya. "Ki Punjul, Den Rara, apakah tidak sebaiknya
masuk saja ke dalam?" kata pemilik rumah itu. ''Biarlah kami mengurus penguburan
jenazah-jenazah ini.
Ayo, kita urusi ketiga mayat ini!"
' Terima kasih, Paman. Tetapi, sebaliknya kami
langsung pulang saja. Aku yakin, Ibu sudah menden-
gar berita tentang kedatanganku," kata gadis itu cepat.
' Tetapi...?" Lelaki pemilik rumah itu tak mene-
ruskan ucapannya. Hampir saja ia mengatakan bahwa
Nyai Punjul Weda telah diusir pergi dari rumah itu.
' Kenapa, Paman?" tanya Endang Cantikawerdi
curiga. 'Cantika anakku, aku memang bukan lagi
ayahmu yang dulu. Kini aku hanyalah orang kotor
yang tak pantas mempunyai anak sepertimu," kata Ki
Punjul Weda dengan pandang mata menghunjam ke
tanah. 'Kenapa Ayah berkata seperti itu" Apa karena
Ayah sekarang suka minum tuak dan joget seperti ta-
di?" "Ayo, bubar semua! Tidak ada lagi tayub-
tayuban! Bubar!" seru Kempul membubarkan orang-
orang yang mengerumuni ayah dan anak ini.
"Den Rara Cantika belum membolehkan kita
pulang!" protes seseorang.
' Sekarang semuanya boleh pulang," sahut En-
dang Cantikawerdi. Lalu katanya kepada Ki Punjul
Weda, ' Kita bicara di rumah saja, Ayah."
*** 3 Dasar jurang Itu tak akan pernah nampak oleh
mata. Kabut begitu tebal menyelimuti permukaan ju-
rang. Terlebih jika musim penghujan tiba. Maka tak
mengherankan jika tidak seorang pun berani mende-
kati tubir jurang itu. Tak terkecuali mereka yang memiliki ilmu silat tinggi.
Meski mereka bisa menggunakan ilmu meringankan tubuh, mereka tetap perlu tahu
tempat mana yang harus mereka pijak untuk batu lon-
catan. Mereka tidak mungkin menaksir-naksir berapa
puluh tombakkah kedalaman jurang itu. Dan, benda
apakah yang sekiranya bakal terpijak nanti. Bagaima-
na jika mereka nekad melayang turun dan jatuh di sa-
rang binatang berbisa" Dan, masih banyak lagi anca-
man bagi mereka yang mencoba-coba mendekati tubir
Jurang Jero. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa da-
sar jurang itu tak pernah terinjak oleh manusia. Malahan pernah dihuni oleh dua
orang manusia. Mereka
adalah guru dan murid yang oleh kalangan persilatan
dijuluki Pendekar Perisai Naga. Wiku Jaladri, sang
guru, bahkan puluhan tahun hidup di dasar jurang
Itu. Bukan berarti ia sengaja mengasingkan diri hidup di dasar jurang maut ini.
la terpaksa harus tinggal selama tiga puluh tahun di dasar jurang ini sebab ia
harus lebih dulu memperdalam ilmu meringankan tubuh
agar biasa mendaki tebing jurang yang terjal itu. Tanpa dibekali ilmu
meringankan tubuh yang sempurna,
mustahil ia bisa selamat hingga mencapai bibir Ju-
rang. Di balik kemalangan kadang manusia Justru
menemukan keberuntungan. Seperti yang dialami oleh
Wiku Jaladri ini. la merasa malang sebab terjerumus
ke Jurang Jero. Sebaliknya, la merasa beruntung se-
bab justru di dasar jurang inilah ia berhasil memperdalam ilmu silatnya. Tanpa
kemalangan, belum tentu
ia mau memaksakan diri untuk memperdalam ilmu si-
latnya. Tiga puluh tahun hidup di dasar Jurang Jero, berteman binatang berbisa,
berselimutkan udara yang
menggigit tulang, tak mengenal sinar matahari, dan
bersantapkan daging ular maupun biawak, tak mem-
buat Wiku Jaladri Jera. la malahan menganggap dasar
jurang itulah tempat hidupnya. Dan, kemudian ia me-
namakan tempat itu sebagai Padepokan Jurang Jero.
Suatu malam, sewaktu ia menengok kehidupan
dunia luar, la melihat kesewenang-wenangan melanda
Desa Sanareja. Malahan demang di desa itu telah di-
bunuh deh orang sesat yang menamakan dirinya Kebo
Dungkul. Melihat suaminya mati dengan pelipis terbe-
lah, Nyai Demang seketika tak sadarkan diri. Sementa-ra itu, anak tunggal mereka
berada dalam gendongan
kaki tangan Kebo Dungkul. Bocah berusia sepuluh ta-
hun itu meronta-ronta dan memukul-mukul wajah le-
laki yang menggendongnya. Tersirap darah Wiku Jala-
dri menyaksikan adegan yang menyedihkan ini. Maka,
sewaktu lelaki itu hendak membanting tubuh bocah
malang itu ke tanah, secepat kilat Wiku Jaladri melecutkan cambuk kulit ularnya
ke arah lelaki itu. Tubuh lelaki itu terbanting ke tanah, dan bocah yatim itu
pun berpindah ke dalam gendongan penolongnya.
Bocah laki-laki anak Demang Sanareja inilah
yang kemudian dikenal sebagai murid tunggal Wiku
Jaladri, dan berhak mewarisi julukan Pendekar Perisai Naga. Namun begitu,
semenjak ia menguasai ilmu silat yang diturunkan Wiku Jaladri, ia menyadari
bahwa julukan Pendekar Perisai Naga merupakan beban berat
baginya. Karena itulah ia lebih senang dipanggil dengan nama pemberian kedua
orang tuanya: Joko Sung-
sang! Tujuh tahun Joko Sungsang hidup di dasar ju-
rang bersama Wiku Jaladri, gurunya. Tujuh tahun ia
mendapat gemblengan jasmani maupun rohani dari
orang sakti yang bersenjatakan cambuk kulit ular san-ca itu. Tujuh tahun ia
menyimpan dendam atas orang
sesat yang bernama Kebo Dungkul. Itulah kenapa ia
bergegas mencari musuh besarnya begitu Wiku Jaladri
mengizinkannya meninggalkan Jurang Jero.
Kini Joko Sungsang bukanlah anak kecil yang
hanya bisa meronta-ronta dalam gendongan seorang
penjahat. Ia adalah seorang anak muda yang perkasa,
berpakaian serba putih, menyandang cambuk di ping-
gangnya. Cambuk yang melilit di pinggang anak muda itu
terbuat dari kulit ular sanca. Ujung cambuk itu dihiasi dengan bola berduri
sebesar buah kecubung dan berwarna hijau-kebiru-biruan.
Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga
adalah nama yang disegani sekaligus dibenci di kalangan rimba persilatan akhir-
akhir ini. Tentu saja disegani oleh mereka yang bernaung di bawah panji-panji
golongan lurus, dan dibenci oleh mereka yang menaruh dendam dan sakit hati.
Sekarang, dalam sungkupan kabut yang tebal,
Joko Sungsang berdiri di bibir Jurang Jero. Lima ta-
hun sudah ia tak mendatangi tempat ini. Setelah ber-
hasil menewaskan Ki Danyang Bagaspati, anak bekas
demang Desa Sanareja ini memutuskan untuk pergi
menengok Padepokan Jurang Jero. Betapapun ia telah
dipesan oleh Wiku Jaladri agar tidak kembali lagi ke tempat ini, rasa bakti


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid terhadap guru memaksanya nekad mendatangi jurang maut yang pernah
menghidupinya serta menggemblengnya ini.
Lagi pula, Ki Sempani tidak melarang sewaktu
Joko Sungsang mengatakan niatnya menengok bekas
padepokannya itu. Malahan Ki Sempani mengatakan,
"Aku memang bersahabat dengan gurumu sejak kecil.
Tetapi, terus terang aku tidak memahaminya luar-
dalam. Bahkan sampai sekarang pun aku tidak men-
gerti kenapa Kakang Wiku melarangmu menengoknya.
Apa mungkin ini suatu pertanda bahwa Gusti Allah te-
lah menghendakinya kembali ke sisi-Nya" Kalau me-
mang benar, kau harus secepatnya menengok gurumu.
Siapa lagi yang wajib merawat jenazahnya secara baik-baik kalau bukan kau,
Anakmas." "Benar, Kiai Saya memang harus secepatnya
menengok Guru. Mudah-mudahan saja Guru masih
sehat tak kurang suatu apa. Kalau memang Guru su-
dah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, sayalah yang wa-
jib menguburkan jenazahnya secara layak," kata Joko
Sungsang sebelum kemudian meninggalkan Padepo-
kan Karang Bolong.
Joko Sungsang memejamkan mata, mengatur
pernapasan, mempertemukan kedua telapak tangan-
nya di depan dada, dan kemudian mendorongkan ke-
dua telapak tangan itu ke depan. Maka kabut tebal
yang menyungkup permukaan Jurang itu tersibak oleh
hembusan angin yang keluar dari kedua belah telapak
tangan Pendekar Perisai Naga Ini. Lalu, samar-samar
nampaklah dasar Jurang yang hendak ditujunya.
Dengan cambuk siap di tangan, Joko Sungsang
melompat turun Cambuk di tangannya siap melilit da-
han-dahan pohon dan kemudian tubuh Joko Sung-
sang bergelayutan untuk mencari pijakan. Setelah me-
nemukan sesuatu yang bisa dijadikan pijakan, la kem-
bali melayang turun. Begitulah seterusnya yang la lakukan sehingga akhirnya la
bisa mencapai dasar ju-
rang. Dan, begitu pula yang pernah dilakukan Wiku
Jaladri sewaktu la terjerumus ke dasar jurang itu untuk menghindari serangan
Empu Wadas Gempal dan
Hantu Lereng Lawu secara bersamaan. Guru dan mu-
rid dari golongan hitam ini memang merencanakan
menggiring Wiku Jaladri masuk ke dalam jurang maut
itu. Tak sulit bagi Joko Sungsang untuk menemu-
kan mulut gua tempat tinggal Wiku Jaladri. Akan teta-pi, untuk sejenak anak muda
Ini terpana menatap mu-
lut gua yang menganga di hadapannya, la masih ingat, lima tahun yang lalu ia
menutup mulut gua itu dengan
bongkahan-bongkahan cadas. Itulah yang dilakukan-
nya sesuai dengan pesan gurunya. Akan tetapi, kenapa bongkahan-bongkahan cadas.
Itulah yang dilakukan-tepung" Adakah seseorang yang sengaja menghancur-
kannya" Atau mungkin Guru sendiri yang menghan-
curkan tutup gua itu"
' Tidak mungkin!" bantah Joko Sungsang dalam
hati. ''Guru tidak akan menyuruhku menutup mulut
gua ini kalau toh akhirnya ia akan menghancurkan-
nya!" Maka dengan sekali lompat, Joko Sungsang te-
lah berdiri di ambang mulut gua itu. Ia yakin, seseorang telah mendatangi tempat
ini. Dan, siapa tahu
orang itu memang datang untuk mencari Wiku Jaladri.
"Guru...!" seru Joko Sungsang sambil berlari
memasuki gua. Akan tetapi, ia tidak menjumpai orang
yang dicarinya. Malahan la menjumpai seekor ular
sanca bergelung di batu hitam tempat Wiku Jaladri biasa semedi beberapa tahun
yang lalu. Joko Sungsang termangu-mangu di dekat ular
sanca yang sedang tidur Itu. la berani memastikan
bahwa tempat ini sudah lama tidak dihuni oleh gu-
runya. Tak akan mungkin ular itu dibiarkan masuk
gua jika Wiku Jaladri masih menempati tempat ini.
' Tetapi, ke mana perginya Kiai?" tanya Joko
Sungsang kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di dalam
gua itu. Joko Sungsang melecutkan cambuknya begitu
ada gerakan yang mengarah ke tubuhnya. Bola berduri
di ujung cambuk itu meraung dan melabrak kepala
ular yang hendak mematuk betis anak muda itu. Ular
itu menggeliat dan kemudian diam. Rupanya tak cuma
seekor ular yang menghuni gua itu.
Joko Sungsang mempertajam pendengarannya.
Tempat itu memang gelap, tetapi dengan pendengaran
yang terlatih maka ia bisa mengetahui kehadiran binatang-binatang melata di
dalam gua itu. Akhirnya Joko Sungsang bisa menentukan jumlah ular yang mendia-mi
gua itu. Maka ia semakin yakin bahwa sudah lama
sekali gua itu tidak dihuni oleh gurunya.
Agar tidak bertambah jumlah ular yang terpak-
sa harus dibunuhnya, Joko Sungsang memutuskan
untuk secepatnya meninggalkan gua bekas padepo-
kannya itu. Setiba kembali di luar gua, ia baru ingat kubangan yang dulu
dipakainya untuk berlatih meringankan tubuh. Ia berharap, di sanalah gurunya
bera- da. Namun, kembali ia dilecut kekecewaan sebab di
tempat ini pun tak dijumpainya Wiku Jaladri. Tempat
itu bahkan tak lagi seperti dulu. Kubangan berlumpur itu kini sudah berubah
menjadi empang. Agaknya air
hujan berkumpul menjadi satu di tempat ini.
Merasa tak mungkin lagi menemukan gurunya
di dasar jurang itu, Joko Sungsang pun memutuskan
untuk meninggalkan tempat itu. Namun, ia berjanji
dalam hati akan mengunjungi bekas pedepokannya itu
lagi setelah nanti bertemu dengan Wiku Jaladri, entah di mana.
*** Keluar dari Jurang Jero, Joko Sungsang tak bi-
sa memastikan langkah ke mana ia harus mencari gu-
runya. Mencari Wiku Jaladri yang suka melanglang
desa ibarat mencari sebatang jarum di tumpukan je-
rami. Lain daripada itu, Wiku Jaladri terkenal enggan menampakkan diri di depan
umum. Orang tua itu sadar bahwa ujudnya menakutkan bagi orang-orang
yang melihatnya. Wajahnya yang cekung dihiasi kumis
dan jenggot yang dibiarkan terjurai-jurai. Masih di-
tambah lagi dengan rambutnya yang memutih dan
gondrong, yang juga dibiarkan berkibar kibar ditiup
angin Tubuh-nya yang kurus kering terbalut jubah
dan celana pangsi berwarna putih pula. Maka tak he-
ran jika orang orang yang pernah melihatnya lantas
menjulukinya sebagai mayat hidup bergentayangan.
Namun, Joko Sungsang masih punya sedikit
harapan. Ya, siapa tahu Wiku Jaladri ikut bertani di Desa dadapsari bersama Wasi
Ekacakra. Sebab, hanya
Wasi Ekacakra satu-satunya sahabat yang sering di-
kunjunginya. Karena itu pula kenapa Wiku Jaladri
menitipkan Nyai Demang Sanareja di rumah Wasi Eka-
cakra. Perjalanan menuju Desa Dadapsari ternyata tidak selancar yang dibayangkan
Joko Sungsang. Di De-
sa Karang Lo, desa ketiga yang dilewatinya, Joko
Sungsang terpaksa berhenti sebab ia melihat kejanggalan-kejanggalan terjadi di
desa itu. Meski desa ini ber-penduduk padat, tak sebuah kedai minum pun nam-
pak. Selain itu, tak sebuah lampu teplok pun mene-
rangi halaman rumah-rumah penduduk. Maka Joko
Sungsang termangu-mangu berdiri di mulut desa itu.
la bingung harus bertanya kepada siapa. Tak seorang
pun nampak melintas di depan matanya. Padahal ia
juga butuh seteguk air untuk membasahi tenggoro-
kannya yang kering.
Hanya berbekal niat baik, ia memberanikan diri
mengetuk pintu rumah salah seorang penduduk desa.
la merasa pasti bahwa desa itu sedang terancam ma-
rabahaya. Entah marabahaya dalam ujud apa!
' Siapa?" tanya seorang lelaki dari dalam ru-
mah. 'Saya...."
' Saya siapa"!" bentak lelaki di dalam rumah
itu. ' Saya dari Desa Sanareja. Kalau boleh, saya
mau minta seteguk air," jawab Joko Sungsang dengan
suara yang dibuat memelas.
Lelaki pemilik rumah itu meraih golok sebelum
melangkah menuju pintu rumahnya. Mendengar suara
yang memelas itu, ia merasa agak lega. Kalau memang
yang datang orang jahat, pasti tidak akan bersuara lemah seperti itu.
' Maafkan saya, terpaksa saya mengganggu se-
bab saya tidak melihat adanya kedai minum di desa
ini," kata Joko Sungsang setelah pemilik rumah mem-
bukakan pintu. Lelaki pemilik rumah itu tak segera menyahut.
Ia mengamati anak muda yang berdiri di depannya itu
dari ujung rambut hingga telapak kaki Dan, la sema-
kin merasa lega sebab anak muda itu tidak menyan-
dang golok di pinggangnya.
' Silakan masuk," kata lelaki itu mesti tetap ti-
dak ramah. 'Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf "
' Kisanak ini mau ke mana?" sahut lelaki itu tak
acuh. 'Saya dalam perjalanan menuju Desa Dadapsa-
ri. Tetapi, saya merasa heran melihat desa ini gelap sekali dan hampir semua
rumah pintunya tertutup. Pa-
dahal matahari belum lama tenggelam....'
"Ya," tukas lelaki itu. Lalu, sambil menaruh
kendi di meja, ia meneruskan, ' Sebaiknya Kisanak secepatnya meninggalkan desa
ini. Jangan sampai Kisa-
nak tidak bisa meneruskan perjalanan sebab harus be-
rurusan dengan anak buah Lembu Pracona."
''Siapa Lembu Pracona itu, Paman?"
' Minumlah dulu. Setelah itu, secepatnya tinggal
kan desa ini. Kalau memang masih ada jalan lain, lebih baik jangan melintasi
desa ini" ' Terima kasih," ucap Joko Sungsang seraya
meneguk air dalam kendi itu.
Sementara itu, lelaki pemilik rumah itu terus
menatap wajah anak muda yang berdiri di depannya.
Wajah yang tampan, seperti wajah anak-anak orang
kaya. Tetapi, anak orang kaya mana yang sudi mem-
bawa-bawa cambuk"
Dahi lelaki itu berkerut kerut ketika matanya
meneliti cambuk yang melilit pinggang anak muda di
hadapannya itu. Cambuk itu bukannya terbuat dari
bambu maupun serat pohon melinjo. Cambuk itu ter-
buat dari kulit ular!
Maka diam-diam lelaki itu meraba hulu golok-
nya yang tadi diselipkan di pinggangnya. Kini disadarinya, siapa anak muda yang
sedang dihadapinya.
Jangan-jangan anak buah Lembu Pracona yang me-
nyamar sebagai pengembara. Yang jelas, anak muda
ini bukan penggembala sapi atau kerbau. Tak ada
penggembala yang berpakaian serba putih dan memili-
ki cambuk kulit ular!
' Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih,
Paman. Dan, seperti anjuran Paman tadi, sebaiknya
saya memang secepatnya meninggalkan desa ini," kata
Joko Sungsang setelah menaruh kendi di atas meja.
' Tunggu!" Lelaki itu tiba-tiba bersikap garang.
''Kisanak tadi mengaku dari Desa Sanareja?"
' Betul, Paman. Apa Paman pernah ke desa
saya?" "Aku tahu persis Desa Sanareja. Aku malahan
kenal dengan beberapa penduduk desa itu...."
' Kalau begitu, mungkin Paman kenal dengan Ki
Linggar almarhum?" tukas Joko Sungsang. Ia berha-
rap, dengan menyebutkan nama ayahnya maka lelaki
itu bisa bersikap lunak dan bersahabat.
"Ki Linggar" Ki Linggar yang pernah jadi de-
mang?" "Ya. Agaknya Paman kenal. Saya anak Ki Ling-
gar." 'Duduklah, Kisanak. Nama Kisanak?"
"Joko, Paman...."
"Joko Sungsang?" Mata lelaki itu melebar. Mu-
lutnya pun melongo.
"Begitulah nama yang diberikan oleh orang tua
saya." Joko Sungsang merasa sedikit lega melihat
reaksi lelaki Itu.
Sebelum meneruskan pertanyaannya, lelaki itu
bergegas menutup pintu rumahnya. Lalu, ia mengajak
Joko Sungsang ke ruangan bagian belakang rumah
itu. "Di sini kita lebih bebas bicara."
' Sebenarnya, apa yang telah terjadi di desa ini,
Paman?" tanya Joko Sungsang tak sabar.
"Orang sesat dari Pesisir Utara itu telah men-
guasai desa ini...."
' Orang sesat dari Pesisir Utara" Siapa?" tukas
Joko Sungsang. ' Penduduk desa ini akan bersyukur sekali jika
Lembu Pracona alias Singa Laut Utara itu menemui
ajalnya. Betapa banyak perempuan desa ini yang men-
jadi korban nafsu binatangnya!" kata lelaki itu geram.
"Di mana saya bisa menemuinya. Paman?"
Mata lelaki itu terbelalak. Seolah ia tak mem-
percayai pendengarannya sendiri. Maka katanya ke-
mudian, ''Anakmas mau menemui Singa Laut Utara"
Jangan! Betapapun Anakmas pernah belajar ilmu silat,
jangan coba-coba cari perkara dengannya. Terhadap
lelaki, dia begitu kejam. Ah, sebaiknya lupakan saja cerita tadi."
' Saya hanya ingin tahu di mana saya bisa me-
nemuinya," sahut Joko Sungsang. Ia memang pernah
mendengar kehebatan ilmu silat orang sesat dari Pesisir Utara itu. Namun, ia
yakin bahwa ilmu tertinggi
hanya dimiliki oleh Sang Pencipta. Tak ada ilmu silat yang tak tertandingi di
bumi ini. ' Malam ini Anakmas bisa menemuinya di Desa
Karangreja. Kabarnya, dua orang muridnya baru saja
terbunuh di desa itu. Sudah pasti ia harus menemu-
kan pembunuh kedua orang muridnya itu."
' Desa Karangreja?" Tiba-tiba Joko Sungsang


Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingat Endang Cantikawerdi. Ya, ke desa itulah gadis
dari Perguruan Gunung Sumbing itu menengok kedua
orang tuanya. "Ya, Desa Karangreja...."
' Saya harus segera ke sana, Paman!" tukas Jo-
ko Sungsang seraya melompat lewat pintu belakang
dan hilang ditelan kegelapan malam.
*** 4 Endang Cantikawerdi hampir saja meninggal-
kan Desa Karangreja ketika dilihatnya lidah api menju-lang ke udara. Orang-orang
desa berlarian sambil berteriak-teriak,
' Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!" Mereka
ada yang membawa ember, golok, bahkan batang pi-
sang. Maka tanpa mempedulikan lagi kesedihan hati
nya, Endang Cantikawerdi berlari menyusul langkah-
langkah yang berpacu di jalan yang membelah desa
itu. Seperti terbang gadis itu mendahului para pemuda desa yang berlomba ingin
lebih dulu tiba di tempat kebakaran itu.
' Rumah Ki Punjul!" teriak salah seorang lelaki
dengan napas memburu.
Endang Cantikawerdi menghentikan langkah-
nya. Ia menyambar lengan lelaki itu dan membentak-
nya, ''Siapa yang membakar?"
"Anu... anu... orang dari Pesisir Utara...!" jawab
lelaki Itu ketakutan.
' Siapa itu orang dari Pesisir Utara?"
' Siapa lagi kalau bukan Singa Laut Utara...!"
' Bedebah keparat!" Endang Cantikawerdi mele-
paskan cengkeraman di lengan lelaki itu, dan kembali tubuhnya melesat ke arah
rumahnya. Kemarin ia memang sudah diperingatkan oleh ayahnya bahwa suatu
ketika pasti guru Bajra Luwuk akan membuat perhi-
tungan. Tetapi, guru Bajra Luwuk bukanlah manusia
keparat yang bernama Singa Laut Utara itu.
' Belum lagi kalau guru dan dua orang pengaw-
al. Bajra Luwuk itu mendengar kabar tentang terbu-
nuhnya murid-muridnya," kata Ki Punjul Weda me-
nambahkan. Rupanya guru Sepasang Elang dari Utara itulah
manusia yang bernama Singa Laut Utara ini, pikir En-
dang Cantikawerdi sambil menjejakkan kedua kakinya
ke tanah, dan melayanglah tubuh gadis itu ke udara.
Setelah sekali bersalto di udara, tubuh gadis itu hing-gap di sebuah dahan pohon
nangka yang berdiri kokoh
tak jauh dari api yang berkobar.
Dan, sebelum gadis Itu mengedarkan pandang
matanya, telinganya menangkap suara tawa menggema
dari balik kobaran api. Lalu kata lelaki yang baru saja mengumbar tawa itu,
' Menyerahlah tikus kecil, sebelum desa ini ha-
bis dilalap api!"
Endang Cantikawerdi selekasnya tanggap, sia-
pa yang dimaksud tikus kecil oleh suara itu. Oleh sebab itu, anak gadis Ki
Punjul Weda itu bergegas me-
layang turun dari dahan tempatnya berpijak, la berlari mengitari api. Dan,
barulah kemudian ia mengetahui
apa yang telah terjadi di tempat ini.
' Jahanam! Bosan hidup! seru gadis itu seraya
memutar toya dewondarunya. Lelaki berewok yang
menamakan dirinya Singa Laut Utara itu terkejut me-
nerima serangan yang tak diduga-duganya. Secepatnya
ia berjumpalitan ke belakang Untuk menghindari toya
yang mengancam pinggang dan lututnya.
"Ha-ha-ha! Rupanya kau yang bernama Endang
Cantikawerdi! Mudah-mudahan benar kabar yang aku
dengar! Benarkah kau yang telah membunuh sepasang
Elang dari Utara, Cah Ayu?"
Endang Cantikawerdi tak segera menyahut. Ia
mengitarkan pandang matanya. Nampak olehnya bebe-
rapa orang penduduk desa itu tewas. Merekalah yang
tadi berusaha memadamkan api. Tentunya mereka ti-
dak mengira bahwa maut telah menunggu di balik ko-
baran api Itu. "Kau memang pantas bergelar Singa Laut!
Ujudmu memang manusia, tetapi kelakuanmu tak be-
da dengan kelakuan binatang buas!" kata Endang Can-
tikawerdi. "Ha-ha-ha! Itulah hadiah bagi mereka yang
mencoba menghalangi pekerjaanku! Dan, kau tahu
apa yang akan kau terima setelah kau membunuh ke-
dua muridku Itu?"
' Toyaku ini yang akan meremukkan kepalamu
sebelum kau melanjutkan angan-anganmu, binatang
keparat!" sergah Endang Cantikawerdi sebelum melan-
carkan serangan-serangan dengan toya dewondarunya.
Kaget juga Singa Laut Utara menerima seran-
gan-serangan yang mematikan itu. Tak disangkanya ia
bakal berhadapan dengan gadis cantik tetapi sungguh
ganas. Maka ia pun sadar bahwa lawan yang tengah
dihadapinya bukanlah lawan yang bisa diremehkan.
Tiga serangan beruntun itu hampir saja menghancur-
kan betisnya jika la tidak sigap melenting dan berjumpalitan ke belakang.
"Wajar jika kedua muridku yang tolol itu mati
di ujung toyamu, gadis liar!" ujar Singa Laut Utara seraya melolos pedang
bergerigi dari sarungnya. "Nah,
mari kita adu toyamu Itu dengan paruh ikan cucutku
ini!" 'Trak! Trak! Trak!"
Dua senjata itu beradu. Endang Cantikawerdi
surut beberapa langkah. Telapak tangannya bergetar
dan terasa panas. Pedang lawan yang terbuat dari pa-
ruh ikan cucut itu seolah mampu mematahkan toya
dewondaru. Dan, dari tenaga dalam yang teralirkan lewat senjata aneh itu, Endang
Cantikawerdi menyadari
kehebatan ilmu lawan.
Dalam pada itu, Singa Laut Utara pun merasa-
kan telapak tangannya sedikit nyeri. Kini ia tahu betapa keras toya yang hanya
terbuat dari kayu itu. Kendatipun ia tahu toya itu terbuat dari kayu dewondaru,
semula ia tetap yakin bahwa pedang paruh cucutnya
akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, nyatanya
toya itu lebih keras dari akar bahar. Terlebih lagi toya itu dialiri tenaga
dalam yang cukup sempurna.
"Ki Punjul telah tewas!" Tiba-tiba telinga En-
dang Cantikawerdi menangkap teriakan salah seorang
penduduk desa yang mencoba memadamkan api. la
mencoba melirik arah datangnya suara itu. Namun, ia
hanya bisa melihat segerombol penduduk desa yang
melemparkan benda-benda basah ke kobaran api.
' Jahanam keparat! Kau telah membunuh
ayahku?" Mata gadis itu menyala. Kemudian ia mema-
sang sikap pembuka Jurus Toya Sakti Pengusir Malai-
kat, la memang tak mau lagi melancarkan serangan-
serangan yang tak berarti bagi Singa Laut Utara. Ia harus segera menyudahi
pertarungan itu. Ia harus sece-
patnya tahu bagaimana keadaan ayahnya.
Toya di tangan gadis itu tiba-tiba bergerak ce-
pat mengurung tubuh Singa Laut Utara. Sabetan-
sabetan menyilang yang dikombinasi dengan tusukan-
tusukan itu membuat Singa Laut Utara berkali kali
melompat surut ke belakang. Tak mungkin lagi ba-
ginya untuk menangkis serangan kombinasi ini. la te-
lah mencoba menjemput sabetan yang mengarah ke
lehernya, tetapi tiba-tiba gerakan toya itu berubah menusuk dada. Bersyukur ia
masih mampu membuang
tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh.
Melihat lawan terus-menerus menghindar
mundur, Endang Cantikawerdi semakin bersemangat
untuk mendesak. Semakin ganas toya dewondarunya
membabat dan mematuk. Ia merasa pasti pada akhir-
nya lawan akan mati langkah dan terpaksa menghin-
dar masuk. Saat itulah ia akan menemukan kesempa-
tan untuk menghunjamkan ujung toyanya ke pinggang
lawan. Namun, di luar dugaan Endang Cantikawerdi
jika tiba-tiba Singa Laut Utara memutar senjatanya,
dan dari putaran itu keluar hawa dingin. Sewaktu ha-
wa dingin itu melabrak tubuhnya, tiba-tiba Endang
Cantikawerdi merasakan sendi tulang-tulangnya ngilu.
Terlebih sendi-sendi pada pergelangan tangan dan si-
ku-nya. Akibatnya, gerakan toya di tangannya semakin mengendur.
"Ha-ha ha! Nah, cobalah lawan Jurus Inti Badai
ku, Cah Denok!" kata Singa Laut Utara setelah mera-
sakan serangan lawan mulai mengendur. Dan ia pun
semakin kuat memutar pedang paruh cucutnya. Kini
putaran itu tidak lagi membentuk payung, melainkan
membentuk kerucut. Sudut putaran senjata aneh itu
kian lama kian mengecil dan akhirnya berbentuk mirip cahaya meteor.
Kini Endang Cantikawerdi bukan saja merasa-
kan sendi tulang-tulang di tubuhnya ngilu, melainkan juga hawa dingin itu mulai
mempengaruhi pandang
matanya. Hawa dingin yang menguningnya semakin
lama berubah menjadi kabut dan membaurkan pan-
dang matanya. Dan, sewaktu ia berjumpalitan ke bela-
kang, baru disadarinya bahwa udara dingin itu sam-
pai-sampai berhasil memadamkan kobaran api.
"Ha-ha-ha! Menyerahlah dan buang senjatamu
sebelum aku terpaksa membekukan sekujur tubuhmu,
Gadis Manis!" ujar Singa Laut Utara merasa di atas
angin. Endang Cantikawerdi mencoba memutar
toyanya untuk menangkis serangan hawa dingin itu,
tetapi pergelangan tangannya benar-benar sudah
membeku. Ia tinggal bisa menusuk-nusukkan toya di
tangannya, tak lebih.
"Ayo, bebaskan dirimu dari Jurus Inti Badaiku
kalau nyata-nyata kau pendekar berilmu setan, Cah
Ayu!" ejek Singa Laut Utara.
Kembali Endang Cantikawerdi harus berjumpa-
litan ke belakang untuk menjauhi ujung pedang paruh
cucut yang mengarah ke dadanya. Namun, dalam se-
kejap senjata lawan telah berada kembali sejengkal di depan dadanya. Tak ada
jalan lain kecuali ia harus
menghindar masuk dan sekaligus menyerang lawan.
Maka gadis itu merunduk seraya memutar kaki ka-
nannya untuk menyerimpung kuda-kuda lawan.
' Heiiit!" teriak Singa Laut Utara sambil menje-
jak tanah. Sambil melenting inilah orang sesat dari Pesisir Utara ini
menyabetkan pedang paruh cucutnya ke leher lawan. Gerakan ini begitu cepat dan
tanpa diduga-duga oleh Endang Cantikawerdi. Tak ada lagi ba-
ginya kesempatan untuk menghindari serangan yang
mematikan ini. Untuk menangkis pun tak tersisa lagi
tenaga di pergelangan tangannya. Maka satu satunya
jalan, gadis itu hanya bisa menjatuhkan diri ke tanah.
Namun, pedang paruh cucut itu tetap memburunya.
Endang Cantikawerdi mencoba berguling ke kanan, te-
tapi udara dingin yang mengurungnya telah membe-
kukan seluruh urat di tubuhnya.
Endang Cantikawerdi hanya mampu memejam-
kan matanya sambil menunggu datangnya maut. Ia
membayangkan bagaimana lehernya nanti tergorok
oleh senjata bergerigi itu. Namun, pedang paruh cucut itu tak kunjung menyentuh
kulit lehernya. Malahan ia mendengar ledakan cambuk memekakkan telinganya.
Kemudian menyusul terdengar kata kata kotor berlon-
catan dari mulut Singa Laut Utara,
' Bedebah! Keparat! Bangsat!"
Endang Cantikawerdi membuka matanya. Be-
tapa kaget ketika dilihatnya seorang laki-laki muda
berpakaian serba putih telah berdiri sejengkal dari tubuhnya yang terbaring
beku. Melihat senjata yang berjuntai di telapak tangan lelaki itu, tahulah
Endang Cantikawerdi siapa yang telah menolongnya.
' Pendekar Perisai Naga...?" Mulut gadis itu ber-
desis tanpa bisa ditahannya.
' Panggil aku Joko Sungsang," sahut Joko
Sungsang tanpa mengalihkan pandang matanya.
' Terima kasih, Joko...."
' Kerahkan tenaga murnimu agar kau bisa ban-
gun, Cantika," tukas Joko Sungsang sebelum mele-
cutkan cambuk Perisai Naganya, untuk menjemput se-
rangan lawan yang mengarah ke dadanya.
Singa laut Utara menarik kembali pedang pa-
ruh cucutnya sebab bola berduri yang memancarkan
sinar hijau-kebiru-biruan itu mengancam lututnya.
"Anak setan!" bentaknya setelah menarik kaki
kanannya ke belakang. "Apa urusanmu mencampuri
perkara ini, he!"
"Aku hanya tidak Ingin melihat kau membunuh
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 23 Tokoh Besar Karya Khu Lung Pengelana Rimba Persilatan 6
^