Penguasa Gua Barong 2
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong Bagian 2
lawan yang sudah tidak berdaya. Itulah urusanku!"
jawab Joko Sungsang.
"Bedebah! Kau pikir kau akan mampu mence-
gah niatku membunuh gadis itu" Jangan takabur! Te-
tapi, sebelum kau bernasib sama dengan gadis malang
itu, katakan siapa namamu dan ada hubungan apa
dengan gadis anak ki Punjul itu!" ujar Singa Laut Uta-ra kendatipun dalam hati
mengagumi ilmu cambuk
lawan barunya ini. Tidak akan lecutan cambuk itu bisa melindungi leher gadis itu
dari tebasan pedang paruh cucutnya jika tidak karena tangan seorang berilmu
tinggi yang melecutkannya. Dan, benarkah anak muda
?ni yang bergelar Pendekar Perisai Naga"
' Bukalah matamu lebar-lebar, Singa Laut. Tak
ada cambuk yang terbuat dari kulit ular kecuali cam-
buk dari Padepokan Jurang Jero!" jawab Joko Sung-
sang seraya menyimpan cambuk Perisai Naga di ping-
gangnya. ' Bocah sombong! Bosan hidup! Kau pikir kau
tak memerlukan cambukmu itu untuk menghadapi se-
rangan-seranganku?" Tersinggung Singa Laut Utara
melihat lawannya menghadapinya hanya dengan tan-
gan kosong. "Orang tolol!" desis Endang Cantikawerdi yang
sudah berhasil membebaskan diri dari serangan hawa
dingin yang membekukan tubuhnya.
"Nah, gadis itu pun menganggapmu tolol, bocah
sombong!" sahut Singa Laut Utara seraya tertawa ter-
bahak-bahak. "Kau yang tolol, singa buta!" sergah Endang
Cantikawerdi. ' Sudahlah. Biarkan dia menganggap remeh
tangan kosong ku," kata Joko Sungsang menengahi.
' Sebaiknya kau bantu penduduk desa mengurus kor-
ban-korban kebakaran itu, Cantikawerdi."
Seperti dibangunkan dari mimpi buruk, gadis
itu serta-merta ingat ayahnya. Maka ia segera berlari mendatangi kerumunan
penduduk desa di seberang jalan.
' Ayah Den Rara sudah meninggal," sambut
Kempul dengan wajah tertunduk.
Endang Cantikawerdi membalik langkah. la
urungkan niatnya menengok keadaan ayahnya. Kema-
rahannya kembali membeludak di dadanya. Sekalipun
ia membenci lelaki yang bernama Ki Punjul Weda itu,
tetap saja ia merasa harus membalaskan kematian
ayahnya ini. la tahu, karena ulah ayahnya maka ibu
yang melahirkannya kini hidup sengsara. Akan tetapi, tidak akan ia membiarkan
orang yang telah mengaki-batkan kematian ayahnya pergi begitu saja.
Maka gadis itu kembali memutar toya dewonda-
runya dan langsung melambarinya dengan Jurus Toya
Sakti Pengusir Malaikat. Serangan-serangan toya ber-
warna merah-kecoklat-coklatan itu kembali mengu-
rung Singa Laut Utara. Endang Cantikawerdi tak pedu-
li lagi terhadap Jurus Inti Badai yang tadi hampir saja mencelakakannya la
bahkan memberikan isyarat kepada Joko Sungsang agar menghentikan serangannya.
"Ha-ha-ha! Rupanya kalian tetap saja mere-
mehkan ku! Keroyoklah aku! Kenapa harus bergan-
tian?" ejek Singa Laut Utara begitu melihat Joko Sungsang melompat mundur dan
kemudian menjadi penon-
ton. ' Belum pantas buat binatang macam kau ber-
hadapan dengan Pendekar Perisai Naga, singa pongah!"
sergah Endang Cantikawerdi
Singa Laut Utara tak sempat lagi membuka mu-
lut sebab serangan-serangan lawan membuatnya ke-
sripuhan. Hampir saja ujung toya dewondaru itu me-
lubangi dahinya jika saja ia tidak secepatnya memben-turkan pedang paruh
cucutnya pada ujung toya itu.
Begitu merasakan benturan di ujung toyanya,
Endang Cantikawerdi secepat kilat menarik toyanya
dan melentingkan tubuhnya ke udara. Sambil turun,
ia menghunjamkan toya dewondaru ke tengkuk la-
wan. 'Hiyaaa!" seru Singa Laut Utara sembari me-
mayungi tengkuknya dengan pedang paruh cucutnya.
'Trak! Irak! Trak!"
Kali ini benturan kedua senjata itu begitu
kuatnya. Tak pelak lagi Jika tubuh Singa Laut Utara
terdorong mundur beberapa langkah. Namun, orang
sesat dari Pesisir Utara ini segera bisa mengatasi rasa nyeri yang menyerang
telapak tangan kanannya, la
memang sudah siap menerima benturan tenaga dalam
lewat senjata mereka berdua.
Sebaliknya, Endang Cantikawerdi sama sekali
tak menduga jika lawannya masih sempat menangkis
hunjaman toya dewondarunya yang disertai Jurus
Toya Sakti Pengusir Malaikat itu. Oleh karenanya, ia begitu kaget Dan, kekagetan
ini membuatnya lupa untuk segera mempersiapkan diri. Tubuh gadis itu ter-
pental beberapa tombak. Ketika tubuh itu hampir ter-
banting di tanah, Joko Sungsang dengan sigap melom-
pat dan menerima tubuh gadis itu.
"Dia memang bukan tandingan mu, " kata Joko
Sungsang sambil menurunkan Endang Cantikawerdi
dari gendongannya.
"Ya. Dia mampu menangkal jurus andalan
toyaku!" kata Endang Cantikawerdi seraya meraba ba-
hu kanannya. Rasanya bahu itu seperti lepas dari tu-
buhnya. ' Biar aku yang menghadapinya," kata Joko
Sungsang sambil mengurai cambuk kulit ular yang
melilit di pinggangnya.
' Sudah kukatakan, sebaiknya kalian maju ber-
samaan!" ' Tutup mulutmu, singa jahanam! Kita lihat saja
bisakah pedang paruh cucut mu menaklukkan cam-
buk Perisai Nagaku!" Joko Sungsang langsung me-
mainkan Jurus Naga Melilit Gunung. Cambuk yang
terbuat dari kulit ular sanca itu meliuk-liuk bagaikan ular yang sedang berenang
menempuh arus. Akan tetapi, lambat-laun gerakan liukan cambuk itu tak terlihat
lagi. Yang nampak hanyalah gulungan sinar ber-
warna hijau-kebiru-biruan.
Beberapa kali Singa Laut Utara memang bisa
menghindari lilitan cambuk itu. Namun, sewaktu Joko
Sungsang menggenjot tanah dan tubuhnya melayang
ke udara, orang sesat dari Pesisir Utara itu terpaksa
harus menggunakan pedang paruh cucutnya untuk
memagari tubuhnya. Pada saat itulah cambuk Perisai
Naga berhasil melilit senjata lawan.
Namun begitu, Singa Laut Utara ternyata bu-
kan lawan yang bisa diremehkan. Dengan tenaga da-
lam yang dimilikinya, guru Sepasang Elang dari Utara ini berhasil menahan
hentakan cambuk yang melilit
senjatanya. Sebaliknya, ia Justru berhasil menghen-
takkan tubuh Joko Sungsang meluncur ke tanah.
' Wuuut! Desss!"
Joko Sungsang seketika mengerahkan Ilmu Pu-
kulan Ombak Laut Selatan untuk menabrak tubuh la-
wan. Perkiraan Joko Sungsang memang tidak meleset.
Ketika tubuhnya meluncur deras akibat hentakan sen-
jata lawan yang terlilit cambuk, dengan sigap Singa
Laut Utara menyongsong tubuh itu dengan tendangan.
Benturan antara tumit Joko Sungsang dan betis Singa
Laut Utara tak terelakkan lagi. Akibatnya sudah bisa dibayangkan oleh Endang
Cantikawerdi yang menyaksikan pertarungan itu dari jarak lima tombak.
'Tamatlah riwayatmu, binatang jalang!" desis
gadis itu refleks.
Tubuh Singa Laut Utara bergulingan di tanah.
Dan, sewaktu ia nekad bangun, barulah disadarinya
bahwa betis kanannya telah hancur. Kembali tubuh
orang sesat dari Pesisir Utara itu bergulingan di tanah.
"Jahanam terkutuk!" sungut Singa Laut Utara
sembari bangkit dengan bersitelekan pada pedang pa-
ruh cucutnya. ' Rasakan Jurus Inti Badaiku, keparat!"
Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga bu-
kanlah Endang Cantikawerdi yang mudah terpengaruh
oleh hawa dingin yang keluar dari putaran senjata Sin-ga Laut Utara. Ia pernah
hidup selama tujuh tahun di dasar Jurang Jero yang berhawa teramat dingin. Ia
ju- ga pernah bergulat dengan Ombak Laut Selatan sela-
ma berbulan-bulan ketika menempuh dasar-dasar Il-
mu Pukulan Ombak Laut Selatan. Dan lagi, ia berda-
rah panas sebab ia sudah terbiasa makan binatang
melata. Oleh sebab itulah, dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, Joko Sungsang memperkuat ketahanan
tubuhnya terhadap serangan hawa dingin yang mener-
panya. Terbelalak mata Singa Laut Utara melihat anak muda itu tak beranjak dari
tempatnya berdiri. Jangan lagi jatuh, sedangkan bergeser sedikit pun tidak.
Padahal anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga
itu tak berusaha memagari tubuhnya dengan cambuk
yang terkenal bisa menjadi perisai itu. Ia pernah mendengar kabar bahwa cambuk
yang terbuat dari kulit
ular itu betul-betul merupakan perisai bagi tuannya.
Akan tetapi, kali ini anak muda itu hanya merentang-
kan cambuknya di depan dada. Padahal Singa Laut
Utara sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya sehingga putaran pedang paruh cucut itu
membentuk gulungan berwarna putih. Lebih dahsyat
dari putaran yang dipergunakan untuk menyerang
Endang Cantikawerdi.
' Anak setan!" desis Singa Laut Utara sambil
mengubah arah putaran senjatanya. Kini senjata yang
terbuat dari paruh ikan cucut Itu berputar di tangan kirinya sementara tangan
kanannya didorong kuat
kuat ke depan. Inilah Jurus Inti Badai dalam tingkat akhir. Dan, kalau saja
bukan pendekar hebat seperti
Pendekar Perisai Naga yang menandingi serangan ju-
rus ini, sudah barang tentu tubuhnya akan membeku
mirip patung es.
Joko Sungsang mengubah kuda-kudanya. An-
gin yang keluar dari telapak tangan lawan berhasil
mendorongkan tubuhnya Hawa dingin memang tidak
mempengaruhi kuda-kuda kakinya. Tetapi, dorongan
angin yang tak diduga-duga datangnya itu memerlu-
kan perlawanan tersendiri. Untuk itulah ia merasa per-lu mengeluarkan Jurus
Membendung Badai Menjala
Ikan. Singa Laut Utara merasa percuma mengelua-
rkan jurus andalannya. Maka ia memutuskan untuk
menggempur pertahanan lawan dengan jurus lain. Itu-
lah kenapa tiba-tiba ia mengubah putaran pedang pa-
ruh cucutnya dan membabatkannya ke kaki lawan.
Begitu cepat dan begitu tiba-tiba sabetan senjata itu mengarah ke kaki Joko
Sungsang. ' Modarlah kau, bocah sombong!" seru Singa
Laut Utara merasa pasti serangannya kali ini berhasil merobohkan lawan.
'Trangngng!"
Senjata Singa Laut Utara terpental. Dengan ge-
rakan yang tidak bisa diikuti mata, Joko Sungsang melecutkan cambuk sambil
berjumpalitan ke udara. Dan,
sebelum lawan menguasai keadaan, Joko Sungsang
menerapkan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Maka
bola berduri yang mirip buah kecubung itu tanpa am-
pun lagi menyambar pelipis kanan Singa Laut Utara.
"Tasss"
"Aughhh...!"
Tubuh Singa Laut Utara terhuyung-huyung.
Dan, karena tubuh itu hanya disangga oleh satu kaki, dengan mudah Joko Sungsang
merobohkannya. Satu
lecutan susulan membelit kaki yang menyangga tubuh
lawan dan dihentakkannya kuat-kuat.
"Bresss!"
Tubuh Singa Laut Utara alias Lembu Pracona
terbanting ke tanah. Melihat orang sakti dari Pesisir
Utara ini belum juga tewas, Endang Cantikawerdi me-
lompat dan menghantamkan toya dewondarunya ke
leher pembunuh Ki Punjul Weda ini.
' Cukup, Cantikawerdi! Dia sudah tak bernya-
wa!" tegur Joko Sungsang mencegah kekejian yang me-
racuni hati gadis itu. Inilah sisa-sisa warisan dari Cekel Janaloka. Belum puas
jika melihat tubuh lawan
yang roboh tetap utuh.
' Arwahmu akan terbang ke neraka bersama
burung gagak, singa jahanam!" kutuk Endang Canti-
kawerdi sebelum menendang tubuh tak bernyawa itu.
*** 5 'Sudah kau urus Jenazah ayahmu, Cantika-
werdi?" tegur Joko Sungsang mengusik Endang Canti-
kawerdi yang masih terpaku memandangi mayat Singa
Laut Utara. "Oh..., maaf!" Gadis itu menoleh dan tersenyum
tipis. 'Terima kasih kau telah membantuku memba-
laskan dendamku, Pendekar Perisai Naga...."
' Panggil aku Joko Sungsang!" tukas Joko
Sungsang cepat.
'Ya, ya, terima kasih, Joko. Tak tahu apa yang
bakal menimpaku jika kau tidak segera datang. "
'Tuhan telah menyelamatkanmu lewat tangan-
ku, Cantikawerdi," sahut Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi menunduk menghindari
tatap mata anak muda yang dikaguminya itu. Diam-
diam dia memuji kerendahhatian anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga itu. Meski la berilmu ting-
gi, tetap saja ia mengatasnamakan Tuhan pada setiap
kemenangannya menghadapi musuh.
Atau memang begitukah sikap semua pendekar
yang beraliran lurus" Gadis itu menanyai dirinya sendiri. Serta-merta ia ingat
ilmu macam apa yang telah dipelajari selama ini. Lalu, ia pun mengutuk dirinya
sendiri sebab tak pernah menyadari bahwa selama ber-tahun-tahun ia telah
terjerumus ke dalam lingkungan
orang-orang sesat.
' Bagaimana dengan bahu kananmu, Cantika-
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
werdi?" Lagi-lagi suara Joko Sungsang memenggal la-
munan gadis itu.
"Oh, tak apa-apa Aku sudah bisa mengatasi ra-
sa nyeri itu. Syukurlah kau memberiku kesempatan
untuk mengatasinya, Joko."
' Sebaiknya segera kita urus jenazah ayahmu. "
Joko Sungsang mendahului langkah mendatangi ke-
rumunan penduduk desa di seberang jalan.
"Atas nama penduduk desa ini, saya mengu-
capkan terima kasih kepada Anakmas Pendekar ..."
"Pendekar Perisai Naga!" sahut Endang Canti-
kawerdi meneruskan
' Panggil saya Joko Sungsang, Paman," kata Jo-
ko Sungsang merasa risih mendengar sebutan Itu.
Endang Cantikawerdi meneteskan air mata be-
gitu melihat tubuh ayahnya yang menghitam persis
arang itu. Kembali batinnya mengutuk Singa Laut Uta-
ra yang telah menyebabkan tewasnya Ki Punjul Weda.
Namun, gadis itu juga menyesal sebab semuanya itu
terjadi oleh karena kesembronoan dirinya. Kalau saja ia tidak meninggalkan rumah
itu, tak akan Singa Laut Utara sempat membakar rumah dan seisinya itu.
Seharusnyalah ia menahan kebencian yang meracuni ha-
tinya. Kebencian yang tiba-tiba saja muncul sebab ia
tahu ayahnya telah mengusir ibu yang melahirkannya.
Seharusnyalah ia menyadari bahwa ayahnya tidak
akan berbuat sekeji itu jika tidak tertekan oleh ancaman Bajra Luwuk.
Seharusnyalah ia menimpakan ke-
salahan itu kepada Bajra Luwuk seorang.
' Kita harus tetap mawas diri, Cantikawerdi.
Ancaman balas dendam bukan hanya dari Singa Laut
Utara," kata Joko Sungsang setelah mereka selesai
mengurus jenazah para korban itu.
"Ya. Masih ada lagi yang harus aku hadapi,"
sahut Endang Cantikawerdi. Serta-merta muncul
bayangan Klabang Seketi dalam benaknya. Guru Bajra
Luwuk itu tentu saja tidak akan tinggal diam setelah mendengar murid
kesayangannya tewas.
' Klabang Seketi bukan saja menaruh dendam
atas kematian Bajra Luwuk. Lebih dari itu, ia juga menyimpan dendam atas
kekalahannya menghadapi gu-
rumu beberapa tahun yang lalu." Kembali Joko Sung-
sang mengingatkan gadis Itu.
"Aku sudah mendengar dari cerita Ayah."
"Kau belum menunjukkan kepadaku yang ma-
na ibumu." Tiba-tiba Joko Sungsang mencium suatu
kejanggalan. Sejak penduduk desa itu meributkan ke-
matian Ki Punjul Weda, tak dilihatnya seseorang yang seharusnya paling menyesali
kematian ayah Endang
Cantikawerdi itu. Tak dilihatnya perempuan yang se-
harusnya menangis meraung-raung sebab telah diting-
gal pergi suami untuk selamanya.
''Ibuku pergi dari desa Ini. Entah ke mana," jawab Endang Cantikawerdi dengan
suara parau. Rasa
sedih dan menyesal kembali menyesaki rongga dada
gadis itu. ia tak tahu ke mana harus mencari ibunya, la tak menyangka bahwa
ayahnya akan tega membiarkan perempuan itu pergi.
' Maksudmu, ibumu meninggalkan ayahmu?"
tanya Joko Sungsang hati-hati agar tidak menambah
kesedihan di hati gadis itu.
' Entahlah kenapa ini bisa terjadi. Ayah mence-
raikan Ibu hanya karena ancaman Bajra Luwuk."
' Kenapa harus pergi dari desa ini?"
' Ibu tidak akan tahan melihat kelakuan Ayah
akhir-akhir ini. Selain setiap hari mabuk mabukan,
ayah juga tergila-gila kepada tledek anggota rombon-
gan tayub yang sering didatangkan ke desa Ini. Karena tak tahan melihat kelakuan
Ayah pula maka aku kehilangan kesabaranku. Aku bunuh Bajra Luwuk di tem-
pat tanggapan tayub. "
Joko Sungsang menghirup napas panjang
Membicarakan perihal ibu Endang Cantikawerdi, la in-
gat ibunya. Ibunya pun kini menjanda. Hanya saja,
menjanda bukan karena diceraikan suami. Tetapi, apa
bedanya" Sekarang pun ibu Endang Cantikawerdi di-
tinggal mati suaminya. Sama-sama mati terbunuh oleh
orang sesat. "Aku harus menemukan ibuku," kata Endang
Cantikawerdi memecah kebisuan sesaat.
"Aku akan bantu kau menemukan ibumu," sa-
hut Joko Sungsang.
Ada secuil kebahagiaan menyejuki rongga dada
gadis itu. Tak pernah dibayangkannya bahwa ia akan
pergi berdua dengan Pendekar Perisai Naga yang dika-
guminya itu. Pergi berdua menjelajah desa-desa.
"Tetapi, sebaiknya kau istirahat dulu barang
semalam. Pagi-pagi besok kita bisa berangkat. Dan,
siapa tahu dalam semalam ini kita mendapatkan berita di mana ibumu berada," usul
Joko Sungsang. Endang Cantikawerdi mengangguk setuju.
"Aku akan berjaga jaga barangkali masih ada
orang yang datang hendak menuntut balas," lanjut Jo-
ko Sungsang. ' Klabang Seketi?" tanya Endang Cantikawerdi
kurang paham. ' Bukan tidak mungkin ia datang malam ini ju-
ga. Tidurlah, tak usah kau pikirkan kemungkinan
munculnya Klabang Seketi malam ini. Mungkin aku
masih bisa menghadapinya seorang diri."
' Tetapi, kau pun perlu istirahat, Joko."
Joko Sungsang menggeleng sambil tertawa.
"Aku sudah terbiasa tidur sambil berjalan," ka-
ta nya. Tentu saja ia hanya bergurau untuk memanc-
ing senyum gadis itu.
Endang Cantikawerdi memang tersenyum
meski tipis dan kaku.
' Tiba-tiba aku berpikiran lain," ujar gadis itu
kemudian. ' Membatalkan rencana kita mencari ibumu?"
tebak Joko Sungsang.
"Aku mengkhawatirkan nasib orang-orang di
desa Ini. Rasanya aku tidak akan tega membiarkan
mereka menerima balas dendam dari Klabang Seketi.
Ya, pastilah guru Bajra Luwuk itu akan murka jika tidak menemukan pembunuh
muridnya di desa ini.
Dan, kau tentu tahu akibatnya ..."
' Lalu?" pintas Joko Sungsang
"Aku akan tinggal beberapa hari di desa ini. Ka-
lau memang Klabang Seketi berniat balas dendam, ten-
tu dia akan muncul dalam beberapa hari ini."
' Mungkin aku bisa menolongmu mencari kabar
di mana ibumu berada?"
"Aku kira itu bisa kita lakukan nanti. Maksud-
ku, aku ingin lebih dulu ..." Gadis itu tidak mene-
ruskan Ucapannya.
' Ingin lebih dulu...?" pancing Joko Sungsang.
' Kalau kau tidak keberatan, aku ingin... ingin
belajar ilmu silat darimu. Setidaknya, mungkin
kau bisa memberi ku beberapa petunjuk tata gerak
untuk memperdalam ilmu toyaku. "
Joko Sungsang tertawa.
' Apakah aku tidak pantas menjadi muridmu?"
tanya Endang Cantikawerdi merasa tidak enak hati.
' Bukan. Bukan begitu maksudku. Tentu saja
aku akan merasa senang jika aku bisa membantumu
memperdalam ilmu toyamu. Bahkan aku merasa
bangga jika ilmu silatku kau anggap lebih baik daripa-da ilmu silat Perguruan
Gunung Sumbing."
' Jadi, kenapa kau tertawa?"
' Karena aku merasakan bahwa kau mulai me-
ragukan kehebatan ilmu silat warisan gurumu Karena
orang-orang menganggap ilmu yang kau warisi itu ilmu sesat" Bukankah sudah aku
katakan bahwa sesat
atau lurus itu tergantung manusianya" Meskipun kau
murid orang sesat macam Cekel Janaloka, tidak berarti kau harus menjadi orang
sesat pula. Memang ada ilmu
yang benar-benar dinamakan ilmu sesat Ilmu yang di-
miliki Ki Danyang Bagaspati, misalnya."
"Apa bedanya Ki Danyang Bagaspati dengan
guruku?" ' Jelas berbeda. Gurumu memang orang sesat,
tetapi ilmu silat yang dimilikinya tidak bisa dipastikan sebagai ilmu sesat atau
ilmu hitam. Sebaliknya, ilmu yang dipelajari Ki Danyang Bagaspati jelas-jelas
ilmu hitam. Kau tahu senjata apa yang dipergunakan Ki
Danyang Bagaspati" Kau tahu juga manusia macam
mana yang mewariskan ilmu silat kepada tokoh hitam
dari Gunung Merapi itu?"
Endang Cantikawerdi menggeleng lamban.
'Tidak lama setelah kau pergi dari pinggiran kali
itu, datang Bagaspati menghadangku. Aku segera
mengenalinya sebab aku melihat senjata yang dipa-
kainya untuk menyerangku. Senjata itu berupa kain,
tetapi bukan sembarang kain. Itulah kain kafan yang
didapatkannya dari membongkar kubur orang yang di-
bencinya. Dan, kain kafan yang sama hampir saja di-
dapat kan oleh Ki Demang Kerpa dari kubur ayahku.
Syukurlah aku berhasil mencegahnya."
"Dan, kain kafan itu yang melahirkan Jurus Se-
lendang Mayat Penyapu Awan?"
'Tepat sekali!" sahut Joko Sungsang.
"Lalu, kenapa kau menyebutnya sebagai ilmu
hitam yang asli?"
"Ilmu hitam atau ilmu sesat, biasanya didasari
oleh persyaratan yang merugikan pihak lain. Atau, bisa juga persyaratan yang ada
hubungannya dengan setan. Nah, apakah kau merasa bahwa ilmu silat yang
kau pelajari dari Perguruan Gunung Sumbing itu ada
hubungannya dengan setan" Atau, paling tidak dengan
persyaratan yang merugikan pihak lain?"
Gadis itu menggeleng.
'Tetapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu silat
dari Padepokan Jurang Jero," katanya bersikeras. ' Kalau mungkin, aku pun ingin
mempelajari ilmu silat
tangan kosongmu yang luar biasa itu. "
' Untuk ilmu silat Padepokan Jurang Jero,
mungkin aku tidak merasa bersalah jika mengajar-
kannya kepadamu. Tetapi, untuk ilmu silat Padepokan
Karang Bolong, sebaiknya aku pertemukan kau den-
gan Ki Sempani langsung."
' Maksudmu, gurumu yang pernah memakai ge-
lar Pendekar Perisai Naga itu sudah meninggal?"
"Aku tidak tahu persis. "
' Bagaimana mungkin?"
Maka Joko Sungsang pun menceritakan penga-
lamannya mengunjungi Jurang Jero beberapa hari
yang lalu. Dan, karena terlalu banyak hal hal yang di-pertanyakan Endang
Cantikawerdi, tanpa terasa mere-
ka berdua telah melewati malam.
' Kita beristirahat sebentar. Setelah Itu, kita cari tempat yang cocok untuk
berlatih," kata Joko Sungsang setelah mendengar kentongan yang dibunyikan
pen-duduk desa dari gardu peronda.
Langit di ufuk Timur telah berwarna semburat
jingga. Sebentar lagi matahari akan mengintip di ca-
krawala. Angin pagi yang dingin membuat Endang
Cantikawerdi terlena dalam tidurnya.
*** Otak dan hati Klabang Seketi seolah terbakar
bara arang tempurung kelapa. Kabar tentang tewasnya
Bajra Luwuk itu begitu mengagetkannya. Sungguh, tak
disangkanya Bajra Luwuk akan tewas dalam pertarun-
gan hidup dan mati melawan seorang gadis muda be-
lia. Seorang gadis muda belia berhasil merobohkan Bajra Luwuk yang memiliki ilmu
kekebalan tubuh" Ten-
tulah gadis itu berilmu tinggi. Boleh jadi berilmu setan, dedemit, tetekan,
gendruwo, dan sejenisnya Maka kemarahan Klabang Seketi pun mencapai puncaknya
be- gitu didengarnya bahwa gadis yang bernama Endang
Cantikawerdi itu murid Cekel Janaloka. Dendam yang
telah sekian tahun teronggok dalam lekuk hatinya
membeludak. Dicekiknya leher laki-laki yang melapor
itu. ' Kenapa tidak kau kabari aku selagi gadis setan
itu berkelahi melawan Bajra Luwuk?" kata Klabang
Seketi sambil mengguncang guncang leher lelaki ma-
lang itu. ' Saya... saya...." Lelaki itu tidak mampu menge-
luarkan suara sebab cekikan di lehernya semakin
mengencang. Napasnya tinggal satu-dua melewati lu-
bang hidungnya.
Klabang Seketi mendorong tubuh anak buah
Bajra Luwuk itu ke sudut ruangan Tubuh kekar itu
terjerembab. Mati.
"Heii Jangan mampus dulu sebelum kau cerita-
kan semuanya, monyet!" bentak Klabang Seketi.
Akan tetapi, tak ada jawaban dari lelaki itu. Ba-
rulah Klabang Seketi menyadari bahwa lelaki malang
itu telah mati. Dari warna lehernya yang membiru, tahulah Klabang Seketi bahwa
lelaki itu mati karena cekikan telapak tangannya yang dialiri ajian Lintah
Sayuta. Dua orang kaki-tangan Klabang Seketi tak be-
rani mengangkat muka. Mereka hanya berdiri kaku
sambil menghunjamkan pandang matanya ke lantai.
Mereka menyadari bahwa kemarahan orang sakti dari
Gua Barong itu berarti maut bagi siapa saja yang be-
rada di depannya. Lelaki malang anak buah Bajra Lu-
wuk itu contohnya. Ia yang menyampaikan kabar ten-
tang kematian Bajra Luwuk bukannya mendapatkan
ucapan terima kasih, melainkan malah dibunuh.
' Kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan?"
tanya Klabang Seketi memecah keheningan sesaat.
"Ya, Ki Lurah," jawab dua lelaki itu bersamaan.
' Pergi ke Desa Karangreja. Cari anak gadis Ki
Punjul Weda. Bawa kemari hidup-hidup. Ingat, jika kalian tidak berhasil membawa
gadis liar itu, kalianlah yang harus menebus kematian Bajra Luwuk!"
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Ki Lurah. Kalau kami boleh tahu, siapa
nama gadis anak Ki Punjul Weda itu, Ki Lurah?" kata
lelaki yang berikat kepala merah darah
"Kau Sudah tuli" Ke mana kupingmu sewaktu
tikus jelek itu menyebut-nyebut nama gadis liar itu"
Kau juga tuli?" Klabang Seketi menuding lelaki yang
berikat kepala abu-abu.
' Setahu saya, anak gadis Ki Punjul Weda hanya
satu, Ki Lurah. Tentu saja. .."
"Bagus! Sekarang juga kalian berangkat. Kalau
memang gadis liar itu tidak ada, bunuh semua pendu-
duk Desa Karangreja. Mengerti?"
' Mengerti, Ki Lurah." Mereka berdua mengang-
guk bersamaan. Lalu, dengan langkah bergegas mere-
ka meninggalkan Gua Barong. Sepanjang jalan menuju
Desa Karangreja, mereka tak henti-hentinya mensyu-
kuri nasib baik yang mereka terima.
' Beruntung Ki Lurah tidak membunuh kita,"
kata lelaki yang berikat kepala merah.
' Beruntung aku tadi masih bisa menjawab per-
tanyaan Ki Lurah. Coba kalau aku tidak tahu Ki Pun-
jul Weda cuma punya anak satu," sahut temannya.
"Aku tahu bahwa anak gadis Ki Punjul Weda
hanya satu. Aku cuma tidak tahu siapa nama gadis
itu. " 'Kabarnya ilmu silat gadis itu lumayan juga.
Kalau tidak, mana bisa ia membunuh Ki Bajra Lu-
wuk?" ' Kalau Ki Bajra Luwuk saja kalah, mana mung-
kin kita menangkap gadis itu hidup-hidup?"
"Aku juga berpikir begitu. Tetapi, daripada mati
dicekik Ki Lurah, lebih baik kita mati dalam pertarungan melawan gadis itu.
Bukan begitu?"
"Kau tahu anakku masih kecil-kecil?" kata lela-
ki yang berikat kepala merah.
"Ya. Tetapi, selama Ini kita hidup dari belas ka-
sihan Ki Lurah. Masih untung kita diberi kesempatan
untuk mengabdi kepadanya. Kalau saja waktu itu kita
dibunuhnya, mana sempat kau kawin dan punya
anak?" Lelaki yang berikat kepala merah darah mang-
gut-manggut. Terbayang kembali peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu.
Waktu itu, seperti biasanya, mereka menebang kayu di hutan untuk kemudian
dijual. Akan tetapi, nasib malang mengekor langkah mereka
ke hutan. Tiba-tiba saja seseorang menghadang lang-
kah mereka. Mereka kaget sebab baru kali ini mereka
bertemu seorang kakek-kakek di tengah hutan. Apa-
kah mungkin kakek bertangan satu ini makhluk halus
yang menguasai hutan itu"
"Mulai hari ini, aku melarang kalian memasuki
hutan ini. Aku tidak ingin hutan ini menjadi gundul
karena ulah kalian. Mengerti?" kata kakek-kakek ber-
lengan satu itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Kau dengar apa yang dikatakannya?" Lelaki
yang lebih dulu menghunus golok bertanya kepada
teman seperjalanannya.
"Kek, kami tidak tahu siapa Kakek. Dan, untuk
apa Kakek berada di hutan ini" Di sini banyak bina-
tang buas...."
"Tutup mulutmu! Berani kau membantahku"
Minggatlah sebelum aku terpaksa memenggal kepala
kalian!" tukas Klabang Seketi, kakek-kakek itu.
"Apa" Ha-ha-ha! Jangan bermimpi, Kek. Berdiri
saja kau hampir jatuh, tetapi kau berani mengancam
kami?" sergah lelaki yang telah menimang-nimang go-
loknya. "Ha-ha-ha! Tikus busuk berani melawan hari-
mau! Apa yang bisa kalian perbuat dengan golok butut kalian itu?"
"Kek, kuperingatkan sekali lagi, harap Kakek
minggir dan pergi dari hutan ini. Kalau tidak juga
minggir, terpaksa kami tega terhadapmu," kata lelaki yang satunya lagi. Berkata
begini, ia pun menghunus
goloknya dan mengusap usap mata golok yang berki-
lat-kilat itu. ' Sudah kubilang, kalian ini hanya tikus busuk.
Dan, kalian sedang berhadapan dengan harimau la-
par.. 'Bedebah! Kukirim nyawamu ke neraka!" ben-
tak lelaki yang sejak tadi sudah kehilangan kesaba-
rannya. Lalu, golok di tangan lelaki itu berkelebat ke arah Klabang Seketi.
' Desss!" Mata lelaki itu terbelalak. Leher kakek itu tidak
tergores sedikit pun. Leher itu lebih keras dari kayu meranti. Bahkan
goloknyalah yang terluka. Golok yang terbuat dari per delman itu, yang bisa
merobohkan pohon sebesar badan lelaki dewasa, yang tak pernah lupa diasah, kini
golok itu tak ada artinya sama sekali bagi kulit orang tua berlengan satu ini.
"He-he-he, ho ho ho, masih lebih sakit digigit
semut. Masih ingin mencoba membacokku lagi?" ejek
Klabang Seketi.
Lelaki bergolok itu menggeleng sambil melang-
kah mundur. Ia merasa pasti sedang berhadapan den-
gan siluman. Kalau memang yang dihadapinya manu-
sia, sudah barang tentu lehernya yang keriput itu akan tertebas golok.
"Kau!" Klabang Seketi menuding lelaki yang sa-
tu nya lagi. ''Majulah, aku ingin merasakan bacokan
golokmu!" Lelaki itu masih terpaku dengan mulut men-
ganga. Keheranannya belum habis juga Ketika Klabang
Seketi kembali menudingnya, barulah ia sadar bahwa
orang tua berlengan satu itu memanggilnya.
"Kau mau mencoba membacokku seperti te-
manmu ini?"
' Tidak... tidak, Kek!"
' Sekali lagi kau memanggilku 'Kakek', kurobek
mulutmu yang lancang itu!" hardik Klabang Sketi. "Kalian harus tahu bahwa hutan
ini sudah menjadi milik-
ku. Akulah yang berkuasa di hutan ini. Karena itu,
aku tidak mau lagi melihat pencuri-pencuri kayu ma-
can kalian. Mengerti?"
' Mengerti, Ki...?"
''Panggil aku 'Ki Lurah'!"
"Ya, ya, Ki Lurah." Kedua lelaki itu mengangguk
dalam-dalam. "Dosa kalian aku maafkan Tetapi, kalian harus
menjadi jongosku. Kalian berdua harus tinggal bersa-
maku di Gua Barong. "
"Gua Barong?" Kedua lelaki itu berseru dalam
hati. Mereka sudah sering mendengar cerita tentang
Gua Barong. Gua itu dinamakan Gua Barong sebab di
situlah tempat bersembunyinya macan. Dan, sekarang
mereka diharuskan tinggal di gua itu" Sungguh men-
gerikan! 'Tapi, kami berdua harus mencarikan makan
buat anak-anak kami, Ki Lurah," kata lelaki yang tadi membacok orang tua itu.
' Mencari makan dengan mencuri kayu di hu-
tan" Ha-ha-ha, sungguh memalukan! Tidak! Mulai se-
karang kalian tak perlu lagi menjadi pencuri kayu Kalian ikut aku, dan kalian
akan aku beri upah."
Orang tua buntung ini bisa memberikan upah"
Kedua lelaki itu tidak begitu saja percaya. Dari mana orang tua itu mendapatkan
uang! Apa dia bisa menyu-
lap daun menjadi uang"
' Kalian tidak percaya bahwa aku bisa memberi
kalian upah" Dasar otak udang! Karena aku sudah
peyot dan tanganku hanya satu maka kailan mere-
mehkan ku" Berapa batang pohon yang kalian da-
patkan dalam sehari" Aku bisa merobohkan semua
pohon yang ada di hutan ini dalam sehari. Tidak per-
caya" Lihat!" Klabang Seketi mendorongkan telapak
tangannya yang tinggal sebelah itu ke depan, dan ro-
bohlah sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa.
Kedua lelaki itu semakin kagum dibuatnya. Ba-
gaimana jika pukulan jarak jauh itu mengenai mak-
hluk hidup" Pohon sebesar itu saja roboh dengan se-
kali dorong! "Kami tidak ragu lagi, Ki Lurah," kata lelaki
yang tadi membacok Klabang Seketi, sekaligus mewa-
kili temannya. Setelah beberapa hari tinggal di Gua Barong
bersama Klabang Seketi, tahulah kedua lelaki itu, dari mana Klabang Seketi
mendapatkan segala yang diin-ginkannya. Hampir tujuh hari sekali orang suruhan
Bajra Luwuk mengirimkan bahan makanan dan ba-
rang-barang yang dibutuhkan Klabang Seketi. Dan,
kemudian kedua lelaki itu pun tahu dari siapa Bajra
Luwuk mendapatkan semuanya itu.
Kini Bajra Luwuk tewas. Sudah barang pasti
penguasa Gua Barong Itu berang. Selain Bajra Luwuk
murid terkasihnya, Juga menjadi sumber kehidupan
baginya. Dan, sewaktu kedua orang suruhan Klabang
Seketi itu memasuki mulut Desa Karangreja, mereka
pun tahu bahwa Ki Punjul Weda telah tewas pula. Se-
makin bersemangat mereka mencari ahli waris orang
terkaya di Desa Karangreja itu.
"Jika kita bisa menangkap gadis itu, berarti pu-la kita bisa menguasai harta
warisan Ki Punjul Weda,"
kata lelaki yang berikat kepala merah.
"Kau yakin bisa mengalahkan gadis itu" Selin-
tasan aku pernah mendengar kabar bahwa gadis itu
pernah berguru ke Gunung Sumbing. "
"Ke mana pun ia pernah berguru, aku tidak pe-
duli. Yang harus kita pedulikan, gadis itu berhasil
membunuh Ki Bajra Luwuk."
'Ya. Tetapi, siapa tahu Ki Bajra Luwuk terkena
tipu muslihat"
"Tipu muslihat?"
' Mungkin saja gadis Itu pandai merayu sehing-
ga Ki Bajra Luwuk lengah karena mabuk kepayang."
' Mungkin. Sayang, orang yang membawa ka-
bar tentang tewasnya Ki Bajra Luwuk tidak diberi ke-
sempatan untuk bercerita panjang lebar."
Mereka berdua memasuki kedai minum. Orang-
orang yang semula berbincang-bincang di kedai itu seketika bubar. Mereka tahu
siapa kedua lelaki yang ba-ru saja memasuki kedai itu.
' Sebaiknya kita lapor pada Den Rara Cantika,"
bisik seorang lelaki kepada teman yang duduk di de-
katnya. ''Belum tentu mereka ini mau cari perkara. Kita lihat saja dulu apa yang
akan mereka lakukan di kedai ini," jawab temannya.
"Apa yang kalian bicarakan" Belum tahu siapa
aku ya?" bentak lelaki berikat kepala abu abu begitu melihat dua orang penduduk
desa itu saling berbisik.
' Kita pergi saja," bisik lelaki yang tadi mengu-
sulkan agar melaporkan kedatangan dua orang anak
buah Klabang Sekati itu kepada Endang Cantikawerdi.
' Masih juga bisik-bisik" Hei, ke sini kau!" Lela-
ki yang berikat kepala merah meraba gagang goloknya.
Gemetaran tubuh kedua orang penduduk desa
itu. Lalu, kata salah seorang dari mereka,
' Kami sudah sejak sore tadi di kedai ini. Kami
mau pulang, Juragan. "
"Apa" Kau bilang aku juragan?"
"Sebelum temanku ini memenggal leher kalian,
sebaiknya kalian segera pergi. Katakan kepada anak
gadis Ki Punjul Weda bahwa kami mencarinya. Awas
kalau kalian coba coba menipuku. Mengerti?" kata le-
laki yang berikat kepala abu-abu menengahi.
Kedua orang penduduk desa itu hanya men-
gangguk dan kemudian bersijingkat meninggalkan ke-
dai itu. Mereka langsung menuju rumah Ki Punjul We-
da. Mereka ingin secepatnya melihat kedua orang anak buah Klabang Seketi itu
tewas di tangan Endang Cantikawerdi.
*** 6 Sudah tiga malam berturut-turut Endang Can-
tikawerdi berlatih silat di bawah pengawasan Joko
Sungsang. Sewaktu Cekel Janaloka tewas, Endang
Cantikawerdi memang belum mewarisi seluruh ilmu si-
lat yang dimiliki tokoh hitam dari Gunung Sumbing
itu. Itulah kenapa Joko Sungsang masih menemukan
kelemahan-kelemahan jurus jurus yang pernah dipe-
ragakan gadis murid Cekel Janaloka itu. Kelemahan-
kelemahan Inilah yang berusaha disempurnakan oleh
Joko Sungsang. Selain itu, Endang Cantikawerdi juga
memulai berlatih jurus-jurus Perisai Naga dari Pade-
pokan Jurang Jero.
Pada malam keempat Endang Cantikawerdi
menjalani latihan, tiba-tiba muncul salah seorang penduduk desa yang mengabarkan
bahwa dua orang anak
buah Klabang Seketi menunggu gadis itu di sebuah
kedai minum. Mendidih darah gadis itu mendengar la-
poran yang mengandung tantangan Itu Maka tanpa
meminta saran dari Joko Sungsang, gadis itu melesat
meninggalkan tempat latihan. Tak ada lagi tujuan lain kecuali melabrak dua orang
anak buah Klabang Seketi
yang menunggunya di kedai minum.
Namun, belum lagi sepuluh tombak gadis itu
berlari, Joko Sungsang telah mendahuluinya dan
menghadang langkah gadis itu.
"Kau meragukan aku bisa mengalahkan cecu-
rut-cecurut itu?" tanya Endang Cantikawerdi.
"Sama sekali tidak. Aku hanya ingin mengin-
gatkan agar kau bisa menghilangkan kebiasaan bu-
rukmu." ' Kebiasaan buruk?"
"Ya. Betapapun kemarahan kita memuncak, ki-
ta harus tetap berkepala dingin. Hati boleh panas, tetapi otak tetap harus
dingin. Tanpa otak yang dingin, tak akan kita bisa berpikir sewajarnya."
' Mereka hanya orang suruhan Klabang Seketi!"
''Itulah satu bukti bahwa kau tidak bisa berke-
pala dingin. Meremehkan lawan sama halnya dengan
menghilangkan usaha untuk mawas diri. Mengerti
maksudku?"
Gadis Itu mengangguk.
' Lalu, tidak seharusnya aku mendatangi mere-
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka" Bagaimana jika mereka menganggapku takut, dan
kemudian mereka berbuat sekehendak hati di desa
ini?" kata Endang Cantikawerdi kemudian.
' Bukan itu maksudku. Kau tetap harus meme-
nuhi tantangan mereka. Tetapi, jangan sampai kau da-
tang dengan kemarahan yang meluap-luap. Kemara-
han akan membuat pikiran kita buntu, membuat pera-
saan welas-asih kita hilang. Padahal kita tahu dua
orang yang menunggumu itu hanyalah orang-orang
suruhan. Mereka tidak layak menerima luapan kema-
rahanmu terhadap Klabang Seketi, guru Bajra Luwuk
itu. " "Aku mengerti. Tetapi, aku tetap harus secepatnya sampai di kedai itu
agar pemilik kedai itu merasa aman!"
"Aku ada usul. Tentu saja Jika kau setuju, ",
sahut Joko Sungsang.
''Maksudmu?"
' Teruslah kau berlatih. Aku yang akan menda-
tangi orang-orang dari Gua Barong Itu. Akan aku ta-
nyakan apa maksud kedatangan mereka di desa Ini,
dan untuk apa dia mencarimu. Tidak lama. Aku akan
cepat kembali ke tempat latihan."
"Aku sekaligus ingin membuktikan keampuhan
jurus-jurus yang baru saja aku latih."
"Artinya, kau meragukan kehebatan jurus-
jurus dari Padepokan Jurang Jero" Kenapa tidak kau
suruh aku membuktikan keampuhan jurus-jurus itu?"
"Maaf, bukan maksudku begitu." Gadis itu me-
nunduk malu. ' Baiklah, aku akan kembali berlatih.
Tetapi, rasanya aku lebih puas berlatih dengan lawan sungguhan. "
"Percayalah, mereka ini bukan tandinganmu,"
sahut Joko Sungsang sebelum meninggalkan gadis itu.
Seakan terbang, Joko Sungsang mendatangi kedai mi-
num yang ditujunya.
Ketika Joko Sungsang tiba di halaman kedai
itu, dua orang anak buah Klabang Seketi sedang me-
mamerkan kekebalan tubuh mereka. Satu cerek air
mendidih mereka pakai untuk mencuci tangan. Mata
pemilik kedai itu seolah hampir meloncat keluar dari pelupuknya. Dua orang kebal
dari Gua Barong itu tertawa puas begitu melihat pemilik kedai itu terheran-
heran. "Nah, apa kau pernah lihat anak gadis Ki Pun-
jul Weda itu mencuci tangan dengan air mendidih?"
tanya lelaki yang berikat kepala abu-abu.
Pemilik kedai itu menggeleng. Tetapi, dalam ha-
ti ia berkata, "Tapi, gadis itu bisa membunuh Bajra
Luwuk yang katanya juga kebal!"
"Kau tahu kenapa Bajra Luwuk mampus di
tangan gadis itu?"
Pemilik kedai itu terkejut. Dia pikir, lelaki beri-
kat kepala abu-abu itu bisa membaca pikirannya.
' Hei. kau budeg ya?" bentak lelaki berikat kepa-
la merah. "Ya, ya...." Pemilik kedai itu menjawab dengan
suara gagap. Kembali dua orang anak buah Klabang Seketi
itu tertawa. Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti begitu mereka melihat seorang
anak muda memasuki
kedai dan kemudian duduk seenaknya. Maka mereka
berdua bersamaan menggebrak meja.
"Hei, monyet jelek!" bentak lelaki yang berikat
kepala merah. ' Siapa suruh kau duduk di situ?"
Anak muda berpakaian petani Itu berpura pura
tidak mendengar teguran lelaki Itu. Ia malahan me-
nyambar pisang dan mengupasnya.
' Dasar monyet budeg!" bentak lelaki berikat
kepala abu abu. Lalu, la melompat dan berdiri di meja, persis di depan hidung
anak muda berpakaian petani
Itu. Anak muda itu, yang tak lain adalah Joko
Sungsang, menengadahkan muka, memandangi wajah
lelaki yang kakinya terpacak di depan hidungnya.
' Berani kau melihat mukaku" Ini, lihat baik-
baik sebelum kau kukirim ke neraka!" Lelaki itu me-
nyorongkan wajahnya ke depan mata Joko Sungsang.
Sambil tertawa, Joko Sungsang menendang ka-
ki meja. Seketika itu juga kaki meja patah dan meja itu melesak ke lantai.
Dengan sigap lelaki itu bersalto ke belakang. Akan tetapi, ketika kaki lelaki
itu menyentuh lantai, tubuhnya seperti terayun dan kemudian terjerembab. Tentu
saja lelaki itu tidak mengira bahwa
anak muda berpakaian petani itu mampu dengan tepat
melemparkan kulit pisang ke tempat kakinya bakal
mendarat. "Bedebah! Bosan hidup!" Lelaki berikat kepala
merah langsung mengayunkan kepalan tangannya ke
muka Joko Sungsang.
' Wuuut! Crottt!"
Pisang yang telah terkupas itu menambal ke-
dua mata lelaki berikat kepala merah itu. Dan, sewak-tu pisang itu dikibaskannya
dari matanya, ia tidak lagi melihat anak muda berpakaian petani yang telah
menghinanya itu.
' Bangsat! Jangan lari!" Berteriak begini, lelaki
berikat kepala merah itu melompat keluar dan mem-
buru bayangan anak muda berpakaian petani Itu. Se-
langkah di belakangnya, lelaki berikat kepala abu-abu pun berlarian sambil
menyumpah nyumpah,
' Bangsat, keparat, tikus busuk! Kucincang
kau!" Langkah mereka berdua terhenti. Mereka tidak
lagi melihat bayangan anak muda berpakaian petani
itu. Kemarahan mereka semakin membeludak. Segala
macam makian kotor berloncatan dari mulut mereka.
Akan tetapi, anak muda yang mereka cari tidak juga
menampakkan batang hidungnya.
' Baiklah!" kata lelaki yang berikat kepala abu-
abu. ''Kalau memang kau tidak mau keluar dari per-
sembunyianmu, aku bakar desa ini! Dan, kau akan di-
kutuk seluruh penduduk desa ini, monyet busuk!"
Joko Sungsang melayang turun dari dahan su-
kun yang didudukinya. Dua orang anak buah Klabang
Seketi itu berlompatan mundur. Namun, dengan se-
rentak mereka menyerang bayangan hitam yang baru
saja menjejakkan kaki di tanah itu.
' Singngng! Singngng!"
Dua bilah golok berdesing di atas kepala Joko
Sungsang. Sambil merunduk, Joko sungsang memutar
kaki kanannya. Akan tetapi, kedua orang lawannya
dengan lincahnya berhasil menghindari tendangan bal-
ing-balingnya. Bahkan secara bersamaan mereka me-
nusukkan golok ke dada Joko Sungsang
"Wuttt! Bresss!"
Tubuh keduanya terpelanting ke belakang.
Tanpa mereka duga bahwa anak muda berpakaian pe-
tani itu dengan gerak yang tak bisa diikuti mata me-
lenting ke udara dan dengan derasnya menghunjam-
kan kedua tumitnya ke punggung mereka berdua. Kini
mereka menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi
bukan sembarang lawan. Mereka mulai mencurigai
bahwa pakaian petani yang dikenakan anak muda itu
hanyalah pakaian untuk penyamaran.
Sambil memperbaiki kuda-kuda, lelaki yang be-
rikat kepala abu-abu berkata, ' Kami berdua datang ke desa ini bukan untuk
berurusan denganmu, Anak Mu-da! Bahkan kami juga tidak mengenal siapa kau! Kare-
nanya, sebelum kami kehilangan kesabaran, lebih baik kau tinggalkan desa ini!"
' Kenapa kau tiba-tiba jadi sopan, Pak Tua" Aku
juga tidak mengenalmu Tetapi, aku mengenal baik
penduduk desa ini Aku wajib menjaga desa ini dari
gangguan orang-orang macam kalian," sahut Joko
Sungsang. 'Temanku sudah memperingatkanmu, Anak
Muda! Sekali lagi kau berani buka mulut, jangan harap kami memaafkanmu!" Kini
lelaki yang berikat kepala
merah yang angkat bicara.
' Tuhan memberiku mulut, tetapi tak pernah la
melarangku membuka mulut. Kenapa kau yang ber-
mulut kotor justru berani melarangku" Lakukanlah
kalau memang kalian hendak menghukumku!"
"Kau memang pantas dicincang, tikus busuk!"
seru lelaki yang berikat kepala merah sambil mener-
jang dengan goloknya.
' Desss!" Sisi telapak tangan kanan Joko Sungsang
menggempur lengan lelaki itu setelah ia berkelit ke
samping. Akan tetapi, kali ini lelaki itu malahan tertawa. Joko Sungsang tahu
bahwa lelaki itu mulai mene-
rapkan ilmu kekebalan tubuhnya. Dan, ia memang
merasakan telapak tangannya seolah menghantam ba-
tu. "Kau akan menyesal jika tidak secepatnya
minggat dari hadapanku, monyet!" bentak lelaki itu setelah puas tertawa.
"Aku pasti minggat dari desa ini asalkan kau
berani menyongsong seranganku dengan dadamu!" ka-
ta Joko Sungsang memancing kepongahan lelaki itu.
"Ha-ha-ha! Dasar monyet dungu! Jangan lagi
serangan tangan kosongmu! Ayo, keluarkan senjata
andalanmu, dan aku tetap akan menahannya dengan
dadaku, kunyuk!" Lelaki itu berkacak pinggang, mem-
biarkan dadanya terbuka untuk menerima serangan.
Joko Sungsang tertawa dalam hati. Begitu to-
lolnya lelaki dari Gua Barong ini, pikirnya. Betapapun tubuhnya kebal senjata
tajam, seharusnya ia mawas
diri terhadap lawan yang belum dikenalnya. Tidakkah
ia pernah mendengar perihal ilmu Pukulan Ombak
Laut Selatan"
Meski lawan telah menyediakan diri untuk ma-
ti, tetap saja Joko Sungsang tidak ingin melihat la-
wannya roboh dengan isi dada rontok. Oleh sebab itu, ia hanya mengalirkan ilmu
Pukulan Ombak Laut Selatan pada ujung jari telunjuknya. Lalu katanya sambil
melangkah maju,
"Kau sudah siap, Pak Tua?"
"Panggil aku Bajang Ijo, kunyuk!" sergah lelaki itu.
"Oh, maaf Sudah siap kau, Bajang Ijo Kunyuk?"
"Bangsat! Keluarkan senjatamu sebelum kupa-
tah-kan lehermu!"
"Aku tidak punya senjata. Senjataku hanya
cangkul yang tentunya tidak akan mempan mengenai
kulitmu. Inilah senjata bawaan dari gua garba ibuku!"
kata Joko Sungsang seraya menyodokkan Jari telun-
juknya ke dada Bajang Ijo.
"Crottt!"
Bajang Ijo membeliakkan matanya sambil me-
ringis. Jari telunjuk itu ternyata masuk ke sela-sela iganya. Dan, sebelum ia
tahu harus berbuat apa, satu tendangan Joko Sungsang membuat tubuhnya oleng
dan kemudian bergulingan di tanah.
Lelaki yang berikat kepala abu-abu, yang sejak
tadi sudah menyadari kehebatan ilmu silat anak muda
berpakaian petani itu, secepat kilat melompat ke sisi tubuh temannya yang
berkelojotan di tanah
"Kau terluka?" tanyanya sembari berusaha
membuka telapak tangan Bajang Ijo yang menekap da-
da. Dan, ketika telapak tangan itu berhasil disingkirkan dari dada, nampak
olehnya darah segar mengucur
dari lubang di sela-sela tulang iga Bajang Ijo. Tersirap darah lelaki berikat
kepala abu-abu itu.
"Kau juga ingin memamerkan kekebalan dada-
mu, Bajang Abu-Abu?" kata Joko Sungsang meman-
dang lelaki berikat kepala abu-abu itu.
' Jangan cepat besar kepala, Anak Muda! Kau
bisa melukainya karena la memang bersedia kau lu-
kai!" sergah lelaki itu.
' Bukankah kalian orang-orang Gua Barong
yang terkenal kebal?"
"Anak Muda, mengakulah siapa namamu sebe-
lum aku mewakili temanku Ini mencincang tubuhmu!"
"Aku tidak ingin namaku kau kenal. Aku bah-
kan tidak ingin meneruskan pertikaian kita. Aku tahu, kalian berdua sesungguhnya
tidak punya kepentingan
dengan anak gadis Ki Punjul Weda. Kalian hanya dipe-
ralat oleh Klabang Seketi, bukan" Nah, bawalah te-
manmu pulang ke Gua Barong, sekaligus katakan ke-
pada Klabang Seketi bahwa aku menunggunya di Le-
reng Gunung Sumbing purnama nanti" Joko Sungsang
tak membelikan kesempatan kepada lawannya untuk
membantah. Ia langsung melesat pergi dari halaman
kedai itu, dan kembali ke tempat Endang Cantikawerdi berlatih silat.
Begitu anak muda berpakaian petani itu hilang
dari pandang matanya, diam-diam lelaki berikat kepala abu-abu itu bersyukur
telah terhindar dari maut Betapapun kegusaran hampir memecahkan batok kepa-
lanya, la tetap sadar bahwa yang baru saja dihada-
pinya bukanlah lawan tandingnya. Andai pun Klabang
Seketi sendiri yang menghadapi anak muda berpa-
kaian petani itu, ia tetap tidak yakin orang sakti dari Gua Barong itu bisa
mengalahkannya.
Lalu, ia berani memastikan bahwa anak muda
berpakaian petani itu tentulah kakak seperguruan ga-
dis yang menewaskan Bajra Luwuk itu. Gadis itu ma-
sih menggunakan senjata sewaktu membunuh Bajra
Luwuk. Tetapi, anak muda itu hanya menggunakan ja-
ri telunjuknya untuk melubangi dada Bajang Ijo yang
kebal. Benar-benar ilmu setan!
*** Kaget bukan kepalang Klabang Seketi menden-
gar cerita tentang anak muda berpakaian petani di kedai minum itu. Selama ia
malang-melintang di rimba
persilatan, belum pernah ia menjumpai bahkan men-
dengar kabar perihal anak muda berpakaian petani ini.
Memang ada pendekar dari golongan lurus yang selalu
mengenakan pakaian petani, tetapi ia bukan anak mu-
da lagi, la bahkan sudah dikenal sebagai Orang Tua
Sakti dari Desa Dadapsari.
Atau mungkin Wasi Ekacakra mempunyai mu-
rid" Tetapi, untuk apa ia mengangkat seseorang men-
jadi muridnya jika nyatanya ia sendiri hidup menjadi petani di Desa Dadapsari"
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mungkinkah di Desa Dadapsari telah berdiri padepokan yang menggembleng
anak-anak muda menjadi pendekar" Atau, barangkali
anak muda itu hanya menyamar sebagai petani" Lalu,
siapakah anak muda itu sesungguhnya"
Terpaku di tempat duduk dengan pertanyaan-
pertanyaan melintas di benaknya, orang sesat dari Gua
Barong ini. Semakin ia berusaha mencari jawabannya,
semakin ia gusar. Siapa pun anak muda itu, ia harus
mengenyahkannya dari muka bumi ini.
' Tikus tolol!" Tiba-tiba Klabang Seketi ingat se-
suatu yang harus ditanyakan kepada Bajang Kerek,
'Tidakkah kau melihat senjata anak muda keparat itu"
Atau memang matamu sudah picak?"
"Ki Lurah, sudah saya bilang berkali kali bahwa
anak muda itu tidak bersenjata. Kalau saja anak muda itu bersenjata, mungkin
kami berdua tak sempat pergi dari desa itu," jawab Bajang Kerek.
' Tidakkah kau lihat ada cambuk melilit di ping-
gangnya?" "Sama sekali tidak, Ki Lurah. Maksud Ki Lurah,
barangkali anak muda itu Pendekar Perisai Naga?"
Klabang Seketi tidak menjawab. Agak lega ia
mendengar jawaban anak buahnya ini. Betapapun ia
merasa kebal, ia tetap harus waspada menghadapi
Pendekar Perisai Naga. Ia tahu, beberapa orang pendekar dari golongan hitam
tewas di ujung cambuk anak
muda dari Padepokan Jurang Jero itu. Malahan baru-
baru ini ia mendengar kabar bahwa anak muda itu
berguru pula ke Padepokan Karang Bolong. Betapa
dahsyat jika Jurus Perisai Naga digabungkan dengan
Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan!
"Ki Lurah, bagaimana dengan luka Bajang Ijo?"
kata Bajang Kerek membuyarkan lamunan Klabang
Seketi. 'Biar saja dia modar! Kalau kau memang setia kepada temanmu itu, kenapa
kau tidak bela pati" Kenapa kau tidak modar sekalian?" sergah Klabang Seke-
ti. ' Kalau saja kami tidak harus menyampaikan
pesan buai Ki Lurah, mungkin anak muda itu tidak
akan membiarkan kami tetap hidup, Ki Lurah."
' Pesan" Pesan apa?"
'Anak muda itu menantang Ki Lurah besok
purnama di Lereng Gunung Sumbing ..."
"Di mana" Lereng Gunung Sumbing" Kalau be-
gitu, matamu yang buta! Tentu anak muda itulah gadis yang seharusnya kau bawa
kemari hidup hidup! Untuk
apa ia menantangku bertarung di Lereng Gunung
Sumbing kalau bukan karena dia dari Perguruan Gu-
nung Sumbing" Dasar tikus tolol!" Klabang Seketi me-
nukas dengan geram.
"Ki Lurah, kami memang menghendaki gadis
itu yang muncul. Tetapi, entah kenapa anak muda
berpakaian petani Itu yang muncul. Dia laki laki, Ki Lurah. Ki Lurah bisa
menanyakan kepada pemilik kedai minum itu.
Benar juga, pikir Klabang Seketi. Kalau me-
mang gadis itu menyamar sebagai pemuda, ia tetap ti-
dak akan bisa menyembunyikan toya andalannya. Ia
bisa membunuh Bajra Luwuk karena ia bersenjatakan
toya dewondaru itu Kalaupun ia sengaja menyembu-
nyikan senjata andalan Perguruan Gunung Sumbing
itu, tak akan mampu ia merobohkan Bajang Ijo hanya
dengan jari telunjuknya. Jangan lagi gadis itu, sedangkan Cekel Janaloka pun
belum tentu bisa menembus
kekebalan kulit Bajang Ijo.
"Apa sebaiknya saya menyelidiki lagi ke Desa
Karangreja untuk mengetahui siapa sesungguhnya
anak muda berpakaian petani itu, Ki Lurah?" tanya
Bajang Kerek. ''Kau kira ilmu silatmu lebih tinggi daripada il-
mu bocah lancang itu" Sebelum kau menemukannya,
kau yang akan lebih dulu dilihatnya. Biar aku sendiri yang mencari tahu siapa
dia!" Setelah berkata begini,
Klabang Seketi melesat pergi meninggalkan Gua Ba-
rong. Malam telah larut. Bulan setengah bulat men-
gintip di sela-sela ranting pepohonan. Babi hutan mulai berbaris pulang ke
tempat persembunyiannya. Akan tetapi, di rumahnya, Endang Cantikawerdi masih
tekun bersamadi. Sudah beberapa malam ini, sepulang
dari berlatih silat di pinggiran desa, ia selalu melanjutkan latihan pernapasan
di kamar tidurnya. Ia me-
mang sudah bertekad untuk secepatnya bisa mengua-
sai ilmu silat Padepokan Jurang Jero yang diajarkan
Joko Sungsang. Dan, tekad itu semakin membara sete-
lah tadi ia mendengar cerita tentang bagaimana Joko
Sungsang memberikan pelajaran kepada orang-orang
suruhan Klabang Seketi.
Benar-benar ilmu tenaga dalam yang mumpuni,
pikir gadis itu sebelum memulai latihan pernapasan-
nya. Bayangkan! Hanya dengan jari telunjuk Pendekar
Perisai Naga mampu merobohkan orang Gua Barong
yang terkenal kebal itu. Bagaimana kalau sampai anak muda itu mengurai cambuk
Perisai Naganya itu"
Begitu tekunnya berlatih sehingga Endang Can-
tikawerdi tak mendengar langkah-langkah kaki yang
mendekati jendela kamarnya. Sekalipun langkah-
langkah kaki itu begitu ringan, tetap saja telinga gadis itu akan mampu
menangkap suara telapak kaki itu ji-ka saja ia tidak sedang tekun berlatih
pernapasan. Bayangan yang sedang melangkah mendekati
jendela kamar itu memang bukan sembarang orang.
Dialah orang sakti dari Gua Barong yang bernama Kla-
bang Seketi. Dalam perjalanannya menuju Desa Ka-
rangreja, tiba-tiba saja pikirannya berubah, la tak lagi bernafsu untuk
mengetahui siapa anak muda berpakaian petani itu. Anak muda berilmu setan itu
toh akan diketahuinya juga besok malam purnama. Bah-
kan sebelum malam purnama tiba, anak muda itu
akan muncul ke Gua Barong jika tahu anak gadis Ki
Punjul Weda lenyap dari Desa Karangreja.
Pemikiran itulah yang menyebabkan Klabang
Seketi mengubah tujuannya ke Desa Karangreja Ia ha-
rus menculik anak gadis Ki Punjul Weda, la bisa mem-
pergunakan gadis Itu sebagai tameng dalam mengha-
dapi anak muda berilmu setan itu. Bukan tidak mung-
kin anak muda Itu menyerah sebelum bertarung sebab
memikirkan keselamatan gadis yang barangkali dicin-
tainya Itu. Klabang Seketi tertawa dalam hati sambil me-
nempelkan telinganya ke daun jendela. la merasa pasti bisa menculik Endang
Cantikawerdi dan membawanya
ke Gua Barong. Dengan menahan gadis itu, ia merasa
pasti tetap bisa menyelamatkan diri seandainya ilmu
silat anak muda berpakaian petani itu ternyata lebih tinggi. Setidaknya, ia bisa
membunuh gadis itu terlebih dahulu sebelum ia sendiri terbunuh!
Dengan mudah Klabang Seketi membuka daun
jendela yang terpalang dari dalam itu. Sengaja ia men-jebol daun jendela itu
agar gadis yang tidur di dalam kamar itu terbangun dan mengejarnya. Dan, apa
yang diharapkan Klabang Seketi memang menjadi kenya-
taan. Begitu mendengar palang jendela jatuh, dan me-
lihat daun jendela terbuka, Endang Cantikawerdi me-
lesat keluar dari kamarnya dan mengejar bayangan
yang berlari pontang-panting.
Semula gadis itu mengira bakal dengan mudah
menangkap bayangan yang dikejarnya. Akan tetapi,
ternyata semakin lama semakin cepat bayangan itu
' Dasar otak kotor! Jangan berharap kau bisa
menyentuh kulitku, Klabang Seketi!" hardik Endang
Cantikawerdi sambil bersiap menyerang lawannya!
'Tingkahmu tak lebih dari seorang pengecut yang be-
raninya hanya dengan seorang gadis!" berlari. Maka ia pun menyadari bahwa yang
sedang dikejarnya bukanlah maling atau orang jahat yang hanya menginginkan
harta. Tentulah bayangan itu orang yang memiliki ilmu berlari cepat. Namun
begitu, Endang Cantikawerdi tidak lantas membiarkan orang yang dikejarnya pergi
begitu saja. ''Kau pikir aku tidak bisa menyamai ilmu berla-
ri mu, keparat?" kata hati Endang Cantikawerdi seraya menggenjotkan kakinya ke
tanah, dan tubuh gadis itu
pun seolah terbang.
Setelah berada di luar desa, Klabang Seketi
mengurangi kecepatan larinya. Ini disengaja agar gadis yang mengejarnya
menyangka ia kalah dalam adu kecepatan berlari. Selain itu, ia memang bertujuan
me- mancing gadis itu keluar dari Desa Karangreja.
' Klabang Seketi?" kata Endang Cantikawerdi
setelah melihat orang yang dikejarnya ternyata berlengan satu.
"Ya, akulah Klabang Seketi!" kata Klabang Se-
keti seraya menghentikan langkahnya dan membalik
badan. "Tak kusangka jika tingkahmu tak lebih dari
seorang maling kelaparan, Klabang Seketi!" hardik Endang Cantikawerdi
"Ha-ha ha! aku memang kelaparan! Tetapi, ke-
laparan bukan karena kurang makan! Kelaparan kare-
na sudah lama tidak mendapatkan gadis secantik kau,
Cah Ayu!" ' Dasar otak kotor! Jangan berharap kau bisa
menyentuh kulitku sebelum nyawaku hilang dari raga-
ku, Klabang Seketi!"
"Hmmm, kesombonganmu setingkat dengan ke-
sombongan gurumu! Mungkin karena gurumu pernah
mendongeng bahwa ia bisa mengalahkan aku" Ho ho,
itu dulu! Sekarang, kalau saja gurumu masih hidup,
kau keroyok aku berdua dengan gurumu pun aku ti-
dak akan mundur!"
' Mulut besar! Tak perlu kau menyebut-nyebut
nama orang yang sudah mati! Kecuali jika kau me-
mang merasa ajalmu sudah tiba, Klabang Jahanam!"
sergah Endang Cantikawerdi seraya menerjang dada
lawan dengan tendangan kaki kanannya.
' Haittt!"
Dengan mudah Klabang Seketi mengurungkan
tendangan gadis itu. Sambil berkelit ke samping, telapak tangan kirinya siap
mencengkeram betis mungil
yang menjulur di depan dadanya. Akan tetapi, secepat kilat Endang Cantikawerdi
menarik kembali kaki kanannya. Sebagai gantinya, ia menyapu kaki lawannya
dengan toya dewondarunya.
' Desss!" Di luar dugaan gadis itu bahwa Klabang Seketi
membiarkan kakinya tersambar toya dewondaru. Ke-
kebalan tubuh orang tua itu ternyata memang jauh di
atas kekebalan tubuh Bajra Luwuk. Sekalipun toya itu belum dialiri tenaga dalam,
seharusnya Klabang Seketi tetap akan meringis kesakitan. Akan tetapi, yang
terjadi justru sebaliknya. Orang sesat dari Gua Barong itu tertawa terbahak-
bahak sementara Endang Cantikawerdi merasakan telapak tangannya panas. Sabetan
toya itu seolah membentur tiang baja. Maka getaran
toya pun meremas telapak tangan gadis itu sendiri.
"Ha-ha-ha! Pantas jika Bajra Luwuk dungu itu
mati di tangan mu, gadis liar! Pukulan toya mu me-
mang lumayan! Tetapi, tidak untuk kakiku!" ujar Kla-
bang Seketi setelah puas tertawa.
Merah padam muka Endang Cantikawerdi. Ia
menyesal kenapa tidak sejak tadi mengerahkan tenaga
dalamnya.. Kalau saja toya itu sejak tadi telah dialiri tenaga dalam, bukan
tidak mungkin kaki lawan akan
patah. "Aku akui tubuhmu memang kebal, Klabang
Seketi! Tetapi, cobalah untuk mengadu kekuatan seka-
li lagi dengan toyaku! Kalau memang kakimu tidak be-
ranjak dari tempat, biarlah aku mengaku kalah!" kata Endang Cantikawerdi
memancing kepongahan lawan.
Namun, Klabang Seketi adalah tokoh hitam
yang sudah kenyang makan asam-garamnya dunia
persilatan. Ia tahu bahwa lawannya telah mengerah-
kan tenaga dalam dan menyalurkannya ke senjatanya.
Betapapun tubuhnya kebal, tetap saja tenaga dalam
yang sempurna akan berhasil menembusnya Yang pas-
ti, ia tidak mau menjadi korban keganasan toya de-
wondaru itu untuk yang kedua kalinya.
Maka Klabang Seketi tak mau meladeni tantan-
gan gadis itu. Ia menjejakkan kakinya ke tanah, ber-
jumpalitan di udara dan turun sambil mengirimkan to-
tokan jalan darah di punggung lawan. Ia memang ingin menangkap gadis itu hidup-
hidup untuk kemudian di-bawa pulang ke Gua Barong.
Melihat lawan melenting ke udara, secepatnya
Endang Cantikawerdi memutar toyanya di atas kepala.
Itulah kenapa Klabang Seketi terpaksa mengurungkan
niatnya menotok jalan darah di punggung gadis itu.
Sebagai gantinya, ia mengibaskan lengan kiri bajunya untuk melilit senjata gadis
itu. "Srettt!"
Toya dewondaru berhasil terlilit lengan baju
Klabang Seketi. Hampir saja senjata gadis itu pindah
ke tangan Klabang Seketi jika tidak diingatnya salah satu Jurus Perisai Naga
yang baru saja dipelajarinya dari Pendekar Perisai Naga. Oleh sebab itulah,
Endang Cantikawerdi mengendorkan tenaganya, mengikuti tarikan lawan, dan
kemudian sekuat tenaga ia menggen-
jot tubuhnya ke udara.
' Desss!" Kedua tumit Endang Cantikawerdi menghun-
jam ke punggung Klabang Seketi. Serangan yang begi-
tu tiba-tiba ini sama sekali tak terduga oleh Klabang Seketi. Tubuh orang sesat
dari Gua Barong itu terdorong maju beberapa langkah. Namun, kekebalan tubuh
Klabang Seketi jauh lebih sempurna dibandingkan
dengan kekebalan tubuh anak buahnya. Tak menghe-
rankan jika ia hanya terdorong beberapa langkah tan-
pa harus menderita cedera punggung.
Kaget bukan kepalang Endang Cantikawerdi
melihat lawan tetap berdiri di atas kuda-kudanya.
Hunjaman kedua tumit itu seolah tak dirasakannya
sama sekali. Namun, kemudian ia cepat menyadari
bahwa sejak tadi ia memang memusatkan tenaga da-
lamnya di ujung toya dewondarunya.
"Ha-ha-ha! Tendangan yang luar biasa! Kalau
saja bukan aku yang menerima sepasang tumitmu,
tentu sudah sekarat, Cah Ayu!" kata Klabang Seketi.
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Tak usah banyak mulut, Klabang Seketi! Teri-
malah Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat!" sahut En-
Senopati Pamungkas I 13 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Misteri Elang Hitam 2
lawan yang sudah tidak berdaya. Itulah urusanku!"
jawab Joko Sungsang.
"Bedebah! Kau pikir kau akan mampu mence-
gah niatku membunuh gadis itu" Jangan takabur! Te-
tapi, sebelum kau bernasib sama dengan gadis malang
itu, katakan siapa namamu dan ada hubungan apa
dengan gadis anak ki Punjul itu!" ujar Singa Laut Uta-ra kendatipun dalam hati
mengagumi ilmu cambuk
lawan barunya ini. Tidak akan lecutan cambuk itu bisa melindungi leher gadis itu
dari tebasan pedang paruh cucutnya jika tidak karena tangan seorang berilmu
tinggi yang melecutkannya. Dan, benarkah anak muda
?ni yang bergelar Pendekar Perisai Naga"
' Bukalah matamu lebar-lebar, Singa Laut. Tak
ada cambuk yang terbuat dari kulit ular kecuali cam-
buk dari Padepokan Jurang Jero!" jawab Joko Sung-
sang seraya menyimpan cambuk Perisai Naga di ping-
gangnya. ' Bocah sombong! Bosan hidup! Kau pikir kau
tak memerlukan cambukmu itu untuk menghadapi se-
rangan-seranganku?" Tersinggung Singa Laut Utara
melihat lawannya menghadapinya hanya dengan tan-
gan kosong. "Orang tolol!" desis Endang Cantikawerdi yang
sudah berhasil membebaskan diri dari serangan hawa
dingin yang membekukan tubuhnya.
"Nah, gadis itu pun menganggapmu tolol, bocah
sombong!" sahut Singa Laut Utara seraya tertawa ter-
bahak-bahak. "Kau yang tolol, singa buta!" sergah Endang
Cantikawerdi. ' Sudahlah. Biarkan dia menganggap remeh
tangan kosong ku," kata Joko Sungsang menengahi.
' Sebaiknya kau bantu penduduk desa mengurus kor-
ban-korban kebakaran itu, Cantikawerdi."
Seperti dibangunkan dari mimpi buruk, gadis
itu serta-merta ingat ayahnya. Maka ia segera berlari mendatangi kerumunan
penduduk desa di seberang jalan.
' Ayah Den Rara sudah meninggal," sambut
Kempul dengan wajah tertunduk.
Endang Cantikawerdi membalik langkah. la
urungkan niatnya menengok keadaan ayahnya. Kema-
rahannya kembali membeludak di dadanya. Sekalipun
ia membenci lelaki yang bernama Ki Punjul Weda itu,
tetap saja ia merasa harus membalaskan kematian
ayahnya ini. la tahu, karena ulah ayahnya maka ibu
yang melahirkannya kini hidup sengsara. Akan tetapi, tidak akan ia membiarkan
orang yang telah mengaki-batkan kematian ayahnya pergi begitu saja.
Maka gadis itu kembali memutar toya dewonda-
runya dan langsung melambarinya dengan Jurus Toya
Sakti Pengusir Malaikat. Serangan-serangan toya ber-
warna merah-kecoklat-coklatan itu kembali mengu-
rung Singa Laut Utara. Endang Cantikawerdi tak pedu-
li lagi terhadap Jurus Inti Badai yang tadi hampir saja mencelakakannya la
bahkan memberikan isyarat kepada Joko Sungsang agar menghentikan serangannya.
"Ha-ha-ha! Rupanya kalian tetap saja mere-
mehkan ku! Keroyoklah aku! Kenapa harus bergan-
tian?" ejek Singa Laut Utara begitu melihat Joko Sungsang melompat mundur dan
kemudian menjadi penon-
ton. ' Belum pantas buat binatang macam kau ber-
hadapan dengan Pendekar Perisai Naga, singa pongah!"
sergah Endang Cantikawerdi
Singa Laut Utara tak sempat lagi membuka mu-
lut sebab serangan-serangan lawan membuatnya ke-
sripuhan. Hampir saja ujung toya dewondaru itu me-
lubangi dahinya jika saja ia tidak secepatnya memben-turkan pedang paruh
cucutnya pada ujung toya itu.
Begitu merasakan benturan di ujung toyanya,
Endang Cantikawerdi secepat kilat menarik toyanya
dan melentingkan tubuhnya ke udara. Sambil turun,
ia menghunjamkan toya dewondaru ke tengkuk la-
wan. 'Hiyaaa!" seru Singa Laut Utara sembari me-
mayungi tengkuknya dengan pedang paruh cucutnya.
'Trak! Irak! Trak!"
Kali ini benturan kedua senjata itu begitu
kuatnya. Tak pelak lagi Jika tubuh Singa Laut Utara
terdorong mundur beberapa langkah. Namun, orang
sesat dari Pesisir Utara ini segera bisa mengatasi rasa nyeri yang menyerang
telapak tangan kanannya, la
memang sudah siap menerima benturan tenaga dalam
lewat senjata mereka berdua.
Sebaliknya, Endang Cantikawerdi sama sekali
tak menduga jika lawannya masih sempat menangkis
hunjaman toya dewondarunya yang disertai Jurus
Toya Sakti Pengusir Malaikat itu. Oleh karenanya, ia begitu kaget Dan, kekagetan
ini membuatnya lupa untuk segera mempersiapkan diri. Tubuh gadis itu ter-
pental beberapa tombak. Ketika tubuh itu hampir ter-
banting di tanah, Joko Sungsang dengan sigap melom-
pat dan menerima tubuh gadis itu.
"Dia memang bukan tandingan mu, " kata Joko
Sungsang sambil menurunkan Endang Cantikawerdi
dari gendongannya.
"Ya. Dia mampu menangkal jurus andalan
toyaku!" kata Endang Cantikawerdi seraya meraba ba-
hu kanannya. Rasanya bahu itu seperti lepas dari tu-
buhnya. ' Biar aku yang menghadapinya," kata Joko
Sungsang sambil mengurai cambuk kulit ular yang
melilit di pinggangnya.
' Sudah kukatakan, sebaiknya kalian maju ber-
samaan!" ' Tutup mulutmu, singa jahanam! Kita lihat saja
bisakah pedang paruh cucut mu menaklukkan cam-
buk Perisai Nagaku!" Joko Sungsang langsung me-
mainkan Jurus Naga Melilit Gunung. Cambuk yang
terbuat dari kulit ular sanca itu meliuk-liuk bagaikan ular yang sedang berenang
menempuh arus. Akan tetapi, lambat-laun gerakan liukan cambuk itu tak terlihat
lagi. Yang nampak hanyalah gulungan sinar ber-
warna hijau-kebiru-biruan.
Beberapa kali Singa Laut Utara memang bisa
menghindari lilitan cambuk itu. Namun, sewaktu Joko
Sungsang menggenjot tanah dan tubuhnya melayang
ke udara, orang sesat dari Pesisir Utara itu terpaksa
harus menggunakan pedang paruh cucutnya untuk
memagari tubuhnya. Pada saat itulah cambuk Perisai
Naga berhasil melilit senjata lawan.
Namun begitu, Singa Laut Utara ternyata bu-
kan lawan yang bisa diremehkan. Dengan tenaga da-
lam yang dimilikinya, guru Sepasang Elang dari Utara ini berhasil menahan
hentakan cambuk yang melilit
senjatanya. Sebaliknya, ia Justru berhasil menghen-
takkan tubuh Joko Sungsang meluncur ke tanah.
' Wuuut! Desss!"
Joko Sungsang seketika mengerahkan Ilmu Pu-
kulan Ombak Laut Selatan untuk menabrak tubuh la-
wan. Perkiraan Joko Sungsang memang tidak meleset.
Ketika tubuhnya meluncur deras akibat hentakan sen-
jata lawan yang terlilit cambuk, dengan sigap Singa
Laut Utara menyongsong tubuh itu dengan tendangan.
Benturan antara tumit Joko Sungsang dan betis Singa
Laut Utara tak terelakkan lagi. Akibatnya sudah bisa dibayangkan oleh Endang
Cantikawerdi yang menyaksikan pertarungan itu dari jarak lima tombak.
'Tamatlah riwayatmu, binatang jalang!" desis
gadis itu refleks.
Tubuh Singa Laut Utara bergulingan di tanah.
Dan, sewaktu ia nekad bangun, barulah disadarinya
bahwa betis kanannya telah hancur. Kembali tubuh
orang sesat dari Pesisir Utara itu bergulingan di tanah.
"Jahanam terkutuk!" sungut Singa Laut Utara
sembari bangkit dengan bersitelekan pada pedang pa-
ruh cucutnya. ' Rasakan Jurus Inti Badaiku, keparat!"
Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga bu-
kanlah Endang Cantikawerdi yang mudah terpengaruh
oleh hawa dingin yang keluar dari putaran senjata Sin-ga Laut Utara. Ia pernah
hidup selama tujuh tahun di dasar Jurang Jero yang berhawa teramat dingin. Ia
ju- ga pernah bergulat dengan Ombak Laut Selatan sela-
ma berbulan-bulan ketika menempuh dasar-dasar Il-
mu Pukulan Ombak Laut Selatan. Dan lagi, ia berda-
rah panas sebab ia sudah terbiasa makan binatang
melata. Oleh sebab itulah, dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, Joko Sungsang memperkuat ketahanan
tubuhnya terhadap serangan hawa dingin yang mener-
panya. Terbelalak mata Singa Laut Utara melihat anak muda itu tak beranjak dari
tempatnya berdiri. Jangan lagi jatuh, sedangkan bergeser sedikit pun tidak.
Padahal anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga
itu tak berusaha memagari tubuhnya dengan cambuk
yang terkenal bisa menjadi perisai itu. Ia pernah mendengar kabar bahwa cambuk
yang terbuat dari kulit
ular itu betul-betul merupakan perisai bagi tuannya.
Akan tetapi, kali ini anak muda itu hanya merentang-
kan cambuknya di depan dada. Padahal Singa Laut
Utara sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya sehingga putaran pedang paruh cucut itu
membentuk gulungan berwarna putih. Lebih dahsyat
dari putaran yang dipergunakan untuk menyerang
Endang Cantikawerdi.
' Anak setan!" desis Singa Laut Utara sambil
mengubah arah putaran senjatanya. Kini senjata yang
terbuat dari paruh ikan cucut Itu berputar di tangan kirinya sementara tangan
kanannya didorong kuat
kuat ke depan. Inilah Jurus Inti Badai dalam tingkat akhir. Dan, kalau saja
bukan pendekar hebat seperti
Pendekar Perisai Naga yang menandingi serangan ju-
rus ini, sudah barang tentu tubuhnya akan membeku
mirip patung es.
Joko Sungsang mengubah kuda-kudanya. An-
gin yang keluar dari telapak tangan lawan berhasil
mendorongkan tubuhnya Hawa dingin memang tidak
mempengaruhi kuda-kuda kakinya. Tetapi, dorongan
angin yang tak diduga-duga datangnya itu memerlu-
kan perlawanan tersendiri. Untuk itulah ia merasa per-lu mengeluarkan Jurus
Membendung Badai Menjala
Ikan. Singa Laut Utara merasa percuma mengelua-
rkan jurus andalannya. Maka ia memutuskan untuk
menggempur pertahanan lawan dengan jurus lain. Itu-
lah kenapa tiba-tiba ia mengubah putaran pedang pa-
ruh cucutnya dan membabatkannya ke kaki lawan.
Begitu cepat dan begitu tiba-tiba sabetan senjata itu mengarah ke kaki Joko
Sungsang. ' Modarlah kau, bocah sombong!" seru Singa
Laut Utara merasa pasti serangannya kali ini berhasil merobohkan lawan.
'Trangngng!"
Senjata Singa Laut Utara terpental. Dengan ge-
rakan yang tidak bisa diikuti mata, Joko Sungsang melecutkan cambuk sambil
berjumpalitan ke udara. Dan,
sebelum lawan menguasai keadaan, Joko Sungsang
menerapkan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Maka
bola berduri yang mirip buah kecubung itu tanpa am-
pun lagi menyambar pelipis kanan Singa Laut Utara.
"Tasss"
"Aughhh...!"
Tubuh Singa Laut Utara terhuyung-huyung.
Dan, karena tubuh itu hanya disangga oleh satu kaki, dengan mudah Joko Sungsang
merobohkannya. Satu
lecutan susulan membelit kaki yang menyangga tubuh
lawan dan dihentakkannya kuat-kuat.
"Bresss!"
Tubuh Singa Laut Utara alias Lembu Pracona
terbanting ke tanah. Melihat orang sakti dari Pesisir
Utara ini belum juga tewas, Endang Cantikawerdi me-
lompat dan menghantamkan toya dewondarunya ke
leher pembunuh Ki Punjul Weda ini.
' Cukup, Cantikawerdi! Dia sudah tak bernya-
wa!" tegur Joko Sungsang mencegah kekejian yang me-
racuni hati gadis itu. Inilah sisa-sisa warisan dari Cekel Janaloka. Belum puas
jika melihat tubuh lawan
yang roboh tetap utuh.
' Arwahmu akan terbang ke neraka bersama
burung gagak, singa jahanam!" kutuk Endang Canti-
kawerdi sebelum menendang tubuh tak bernyawa itu.
*** 5 'Sudah kau urus Jenazah ayahmu, Cantika-
werdi?" tegur Joko Sungsang mengusik Endang Canti-
kawerdi yang masih terpaku memandangi mayat Singa
Laut Utara. "Oh..., maaf!" Gadis itu menoleh dan tersenyum
tipis. 'Terima kasih kau telah membantuku memba-
laskan dendamku, Pendekar Perisai Naga...."
' Panggil aku Joko Sungsang!" tukas Joko
Sungsang cepat.
'Ya, ya, terima kasih, Joko. Tak tahu apa yang
bakal menimpaku jika kau tidak segera datang. "
'Tuhan telah menyelamatkanmu lewat tangan-
ku, Cantikawerdi," sahut Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi menunduk menghindari
tatap mata anak muda yang dikaguminya itu. Diam-
diam dia memuji kerendahhatian anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga itu. Meski la berilmu ting-
gi, tetap saja ia mengatasnamakan Tuhan pada setiap
kemenangannya menghadapi musuh.
Atau memang begitukah sikap semua pendekar
yang beraliran lurus" Gadis itu menanyai dirinya sendiri. Serta-merta ia ingat
ilmu macam apa yang telah dipelajari selama ini. Lalu, ia pun mengutuk dirinya
sendiri sebab tak pernah menyadari bahwa selama ber-tahun-tahun ia telah
terjerumus ke dalam lingkungan
orang-orang sesat.
' Bagaimana dengan bahu kananmu, Cantika-
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
werdi?" Lagi-lagi suara Joko Sungsang memenggal la-
munan gadis itu.
"Oh, tak apa-apa Aku sudah bisa mengatasi ra-
sa nyeri itu. Syukurlah kau memberiku kesempatan
untuk mengatasinya, Joko."
' Sebaiknya segera kita urus jenazah ayahmu. "
Joko Sungsang mendahului langkah mendatangi ke-
rumunan penduduk desa di seberang jalan.
"Atas nama penduduk desa ini, saya mengu-
capkan terima kasih kepada Anakmas Pendekar ..."
"Pendekar Perisai Naga!" sahut Endang Canti-
kawerdi meneruskan
' Panggil saya Joko Sungsang, Paman," kata Jo-
ko Sungsang merasa risih mendengar sebutan Itu.
Endang Cantikawerdi meneteskan air mata be-
gitu melihat tubuh ayahnya yang menghitam persis
arang itu. Kembali batinnya mengutuk Singa Laut Uta-
ra yang telah menyebabkan tewasnya Ki Punjul Weda.
Namun, gadis itu juga menyesal sebab semuanya itu
terjadi oleh karena kesembronoan dirinya. Kalau saja ia tidak meninggalkan rumah
itu, tak akan Singa Laut Utara sempat membakar rumah dan seisinya itu.
Seharusnyalah ia menahan kebencian yang meracuni ha-
tinya. Kebencian yang tiba-tiba saja muncul sebab ia
tahu ayahnya telah mengusir ibu yang melahirkannya.
Seharusnyalah ia menyadari bahwa ayahnya tidak
akan berbuat sekeji itu jika tidak tertekan oleh ancaman Bajra Luwuk.
Seharusnyalah ia menimpakan ke-
salahan itu kepada Bajra Luwuk seorang.
' Kita harus tetap mawas diri, Cantikawerdi.
Ancaman balas dendam bukan hanya dari Singa Laut
Utara," kata Joko Sungsang setelah mereka selesai
mengurus jenazah para korban itu.
"Ya. Masih ada lagi yang harus aku hadapi,"
sahut Endang Cantikawerdi. Serta-merta muncul
bayangan Klabang Seketi dalam benaknya. Guru Bajra
Luwuk itu tentu saja tidak akan tinggal diam setelah mendengar murid
kesayangannya tewas.
' Klabang Seketi bukan saja menaruh dendam
atas kematian Bajra Luwuk. Lebih dari itu, ia juga menyimpan dendam atas
kekalahannya menghadapi gu-
rumu beberapa tahun yang lalu." Kembali Joko Sung-
sang mengingatkan gadis Itu.
"Aku sudah mendengar dari cerita Ayah."
"Kau belum menunjukkan kepadaku yang ma-
na ibumu." Tiba-tiba Joko Sungsang mencium suatu
kejanggalan. Sejak penduduk desa itu meributkan ke-
matian Ki Punjul Weda, tak dilihatnya seseorang yang seharusnya paling menyesali
kematian ayah Endang
Cantikawerdi itu. Tak dilihatnya perempuan yang se-
harusnya menangis meraung-raung sebab telah diting-
gal pergi suami untuk selamanya.
''Ibuku pergi dari desa Ini. Entah ke mana," jawab Endang Cantikawerdi dengan
suara parau. Rasa
sedih dan menyesal kembali menyesaki rongga dada
gadis itu. ia tak tahu ke mana harus mencari ibunya, la tak menyangka bahwa
ayahnya akan tega membiarkan perempuan itu pergi.
' Maksudmu, ibumu meninggalkan ayahmu?"
tanya Joko Sungsang hati-hati agar tidak menambah
kesedihan di hati gadis itu.
' Entahlah kenapa ini bisa terjadi. Ayah mence-
raikan Ibu hanya karena ancaman Bajra Luwuk."
' Kenapa harus pergi dari desa ini?"
' Ibu tidak akan tahan melihat kelakuan Ayah
akhir-akhir ini. Selain setiap hari mabuk mabukan,
ayah juga tergila-gila kepada tledek anggota rombon-
gan tayub yang sering didatangkan ke desa Ini. Karena tak tahan melihat kelakuan
Ayah pula maka aku kehilangan kesabaranku. Aku bunuh Bajra Luwuk di tem-
pat tanggapan tayub. "
Joko Sungsang menghirup napas panjang
Membicarakan perihal ibu Endang Cantikawerdi, la in-
gat ibunya. Ibunya pun kini menjanda. Hanya saja,
menjanda bukan karena diceraikan suami. Tetapi, apa
bedanya" Sekarang pun ibu Endang Cantikawerdi di-
tinggal mati suaminya. Sama-sama mati terbunuh oleh
orang sesat. "Aku harus menemukan ibuku," kata Endang
Cantikawerdi memecah kebisuan sesaat.
"Aku akan bantu kau menemukan ibumu," sa-
hut Joko Sungsang.
Ada secuil kebahagiaan menyejuki rongga dada
gadis itu. Tak pernah dibayangkannya bahwa ia akan
pergi berdua dengan Pendekar Perisai Naga yang dika-
guminya itu. Pergi berdua menjelajah desa-desa.
"Tetapi, sebaiknya kau istirahat dulu barang
semalam. Pagi-pagi besok kita bisa berangkat. Dan,
siapa tahu dalam semalam ini kita mendapatkan berita di mana ibumu berada," usul
Joko Sungsang. Endang Cantikawerdi mengangguk setuju.
"Aku akan berjaga jaga barangkali masih ada
orang yang datang hendak menuntut balas," lanjut Jo-
ko Sungsang. ' Klabang Seketi?" tanya Endang Cantikawerdi
kurang paham. ' Bukan tidak mungkin ia datang malam ini ju-
ga. Tidurlah, tak usah kau pikirkan kemungkinan
munculnya Klabang Seketi malam ini. Mungkin aku
masih bisa menghadapinya seorang diri."
' Tetapi, kau pun perlu istirahat, Joko."
Joko Sungsang menggeleng sambil tertawa.
"Aku sudah terbiasa tidur sambil berjalan," ka-
ta nya. Tentu saja ia hanya bergurau untuk memanc-
ing senyum gadis itu.
Endang Cantikawerdi memang tersenyum
meski tipis dan kaku.
' Tiba-tiba aku berpikiran lain," ujar gadis itu
kemudian. ' Membatalkan rencana kita mencari ibumu?"
tebak Joko Sungsang.
"Aku mengkhawatirkan nasib orang-orang di
desa Ini. Rasanya aku tidak akan tega membiarkan
mereka menerima balas dendam dari Klabang Seketi.
Ya, pastilah guru Bajra Luwuk itu akan murka jika tidak menemukan pembunuh
muridnya di desa ini.
Dan, kau tentu tahu akibatnya ..."
' Lalu?" pintas Joko Sungsang
"Aku akan tinggal beberapa hari di desa ini. Ka-
lau memang Klabang Seketi berniat balas dendam, ten-
tu dia akan muncul dalam beberapa hari ini."
' Mungkin aku bisa menolongmu mencari kabar
di mana ibumu berada?"
"Aku kira itu bisa kita lakukan nanti. Maksud-
ku, aku ingin lebih dulu ..." Gadis itu tidak mene-
ruskan Ucapannya.
' Ingin lebih dulu...?" pancing Joko Sungsang.
' Kalau kau tidak keberatan, aku ingin... ingin
belajar ilmu silat darimu. Setidaknya, mungkin
kau bisa memberi ku beberapa petunjuk tata gerak
untuk memperdalam ilmu toyaku. "
Joko Sungsang tertawa.
' Apakah aku tidak pantas menjadi muridmu?"
tanya Endang Cantikawerdi merasa tidak enak hati.
' Bukan. Bukan begitu maksudku. Tentu saja
aku akan merasa senang jika aku bisa membantumu
memperdalam ilmu toyamu. Bahkan aku merasa
bangga jika ilmu silatku kau anggap lebih baik daripa-da ilmu silat Perguruan
Gunung Sumbing."
' Jadi, kenapa kau tertawa?"
' Karena aku merasakan bahwa kau mulai me-
ragukan kehebatan ilmu silat warisan gurumu Karena
orang-orang menganggap ilmu yang kau warisi itu ilmu sesat" Bukankah sudah aku
katakan bahwa sesat
atau lurus itu tergantung manusianya" Meskipun kau
murid orang sesat macam Cekel Janaloka, tidak berarti kau harus menjadi orang
sesat pula. Memang ada ilmu
yang benar-benar dinamakan ilmu sesat Ilmu yang di-
miliki Ki Danyang Bagaspati, misalnya."
"Apa bedanya Ki Danyang Bagaspati dengan
guruku?" ' Jelas berbeda. Gurumu memang orang sesat,
tetapi ilmu silat yang dimilikinya tidak bisa dipastikan sebagai ilmu sesat atau
ilmu hitam. Sebaliknya, ilmu yang dipelajari Ki Danyang Bagaspati jelas-jelas
ilmu hitam. Kau tahu senjata apa yang dipergunakan Ki
Danyang Bagaspati" Kau tahu juga manusia macam
mana yang mewariskan ilmu silat kepada tokoh hitam
dari Gunung Merapi itu?"
Endang Cantikawerdi menggeleng lamban.
'Tidak lama setelah kau pergi dari pinggiran kali
itu, datang Bagaspati menghadangku. Aku segera
mengenalinya sebab aku melihat senjata yang dipa-
kainya untuk menyerangku. Senjata itu berupa kain,
tetapi bukan sembarang kain. Itulah kain kafan yang
didapatkannya dari membongkar kubur orang yang di-
bencinya. Dan, kain kafan yang sama hampir saja di-
dapat kan oleh Ki Demang Kerpa dari kubur ayahku.
Syukurlah aku berhasil mencegahnya."
"Dan, kain kafan itu yang melahirkan Jurus Se-
lendang Mayat Penyapu Awan?"
'Tepat sekali!" sahut Joko Sungsang.
"Lalu, kenapa kau menyebutnya sebagai ilmu
hitam yang asli?"
"Ilmu hitam atau ilmu sesat, biasanya didasari
oleh persyaratan yang merugikan pihak lain. Atau, bisa juga persyaratan yang ada
hubungannya dengan setan. Nah, apakah kau merasa bahwa ilmu silat yang
kau pelajari dari Perguruan Gunung Sumbing itu ada
hubungannya dengan setan" Atau, paling tidak dengan
persyaratan yang merugikan pihak lain?"
Gadis itu menggeleng.
'Tetapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu silat
dari Padepokan Jurang Jero," katanya bersikeras. ' Kalau mungkin, aku pun ingin
mempelajari ilmu silat
tangan kosongmu yang luar biasa itu. "
' Untuk ilmu silat Padepokan Jurang Jero,
mungkin aku tidak merasa bersalah jika mengajar-
kannya kepadamu. Tetapi, untuk ilmu silat Padepokan
Karang Bolong, sebaiknya aku pertemukan kau den-
gan Ki Sempani langsung."
' Maksudmu, gurumu yang pernah memakai ge-
lar Pendekar Perisai Naga itu sudah meninggal?"
"Aku tidak tahu persis. "
' Bagaimana mungkin?"
Maka Joko Sungsang pun menceritakan penga-
lamannya mengunjungi Jurang Jero beberapa hari
yang lalu. Dan, karena terlalu banyak hal hal yang di-pertanyakan Endang
Cantikawerdi, tanpa terasa mere-
ka berdua telah melewati malam.
' Kita beristirahat sebentar. Setelah Itu, kita cari tempat yang cocok untuk
berlatih," kata Joko Sungsang setelah mendengar kentongan yang dibunyikan
pen-duduk desa dari gardu peronda.
Langit di ufuk Timur telah berwarna semburat
jingga. Sebentar lagi matahari akan mengintip di ca-
krawala. Angin pagi yang dingin membuat Endang
Cantikawerdi terlena dalam tidurnya.
*** Otak dan hati Klabang Seketi seolah terbakar
bara arang tempurung kelapa. Kabar tentang tewasnya
Bajra Luwuk itu begitu mengagetkannya. Sungguh, tak
disangkanya Bajra Luwuk akan tewas dalam pertarun-
gan hidup dan mati melawan seorang gadis muda be-
lia. Seorang gadis muda belia berhasil merobohkan Bajra Luwuk yang memiliki ilmu
kekebalan tubuh" Ten-
tulah gadis itu berilmu tinggi. Boleh jadi berilmu setan, dedemit, tetekan,
gendruwo, dan sejenisnya Maka kemarahan Klabang Seketi pun mencapai puncaknya
be- gitu didengarnya bahwa gadis yang bernama Endang
Cantikawerdi itu murid Cekel Janaloka. Dendam yang
telah sekian tahun teronggok dalam lekuk hatinya
membeludak. Dicekiknya leher laki-laki yang melapor
itu. ' Kenapa tidak kau kabari aku selagi gadis setan
itu berkelahi melawan Bajra Luwuk?" kata Klabang
Seketi sambil mengguncang guncang leher lelaki ma-
lang itu. ' Saya... saya...." Lelaki itu tidak mampu menge-
luarkan suara sebab cekikan di lehernya semakin
mengencang. Napasnya tinggal satu-dua melewati lu-
bang hidungnya.
Klabang Seketi mendorong tubuh anak buah
Bajra Luwuk itu ke sudut ruangan Tubuh kekar itu
terjerembab. Mati.
"Heii Jangan mampus dulu sebelum kau cerita-
kan semuanya, monyet!" bentak Klabang Seketi.
Akan tetapi, tak ada jawaban dari lelaki itu. Ba-
rulah Klabang Seketi menyadari bahwa lelaki malang
itu telah mati. Dari warna lehernya yang membiru, tahulah Klabang Seketi bahwa
lelaki itu mati karena cekikan telapak tangannya yang dialiri ajian Lintah
Sayuta. Dua orang kaki-tangan Klabang Seketi tak be-
rani mengangkat muka. Mereka hanya berdiri kaku
sambil menghunjamkan pandang matanya ke lantai.
Mereka menyadari bahwa kemarahan orang sakti dari
Gua Barong itu berarti maut bagi siapa saja yang be-
rada di depannya. Lelaki malang anak buah Bajra Lu-
wuk itu contohnya. Ia yang menyampaikan kabar ten-
tang kematian Bajra Luwuk bukannya mendapatkan
ucapan terima kasih, melainkan malah dibunuh.
' Kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan?"
tanya Klabang Seketi memecah keheningan sesaat.
"Ya, Ki Lurah," jawab dua lelaki itu bersamaan.
' Pergi ke Desa Karangreja. Cari anak gadis Ki
Punjul Weda. Bawa kemari hidup-hidup. Ingat, jika kalian tidak berhasil membawa
gadis liar itu, kalianlah yang harus menebus kematian Bajra Luwuk!"
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Ki Lurah. Kalau kami boleh tahu, siapa
nama gadis anak Ki Punjul Weda itu, Ki Lurah?" kata
lelaki yang berikat kepala merah darah
"Kau Sudah tuli" Ke mana kupingmu sewaktu
tikus jelek itu menyebut-nyebut nama gadis liar itu"
Kau juga tuli?" Klabang Seketi menuding lelaki yang
berikat kepala abu-abu.
' Setahu saya, anak gadis Ki Punjul Weda hanya
satu, Ki Lurah. Tentu saja. .."
"Bagus! Sekarang juga kalian berangkat. Kalau
memang gadis liar itu tidak ada, bunuh semua pendu-
duk Desa Karangreja. Mengerti?"
' Mengerti, Ki Lurah." Mereka berdua mengang-
guk bersamaan. Lalu, dengan langkah bergegas mere-
ka meninggalkan Gua Barong. Sepanjang jalan menuju
Desa Karangreja, mereka tak henti-hentinya mensyu-
kuri nasib baik yang mereka terima.
' Beruntung Ki Lurah tidak membunuh kita,"
kata lelaki yang berikat kepala merah.
' Beruntung aku tadi masih bisa menjawab per-
tanyaan Ki Lurah. Coba kalau aku tidak tahu Ki Pun-
jul Weda cuma punya anak satu," sahut temannya.
"Aku tahu bahwa anak gadis Ki Punjul Weda
hanya satu. Aku cuma tidak tahu siapa nama gadis
itu. " 'Kabarnya ilmu silat gadis itu lumayan juga.
Kalau tidak, mana bisa ia membunuh Ki Bajra Lu-
wuk?" ' Kalau Ki Bajra Luwuk saja kalah, mana mung-
kin kita menangkap gadis itu hidup-hidup?"
"Aku juga berpikir begitu. Tetapi, daripada mati
dicekik Ki Lurah, lebih baik kita mati dalam pertarungan melawan gadis itu.
Bukan begitu?"
"Kau tahu anakku masih kecil-kecil?" kata lela-
ki yang berikat kepala merah.
"Ya. Tetapi, selama Ini kita hidup dari belas ka-
sihan Ki Lurah. Masih untung kita diberi kesempatan
untuk mengabdi kepadanya. Kalau saja waktu itu kita
dibunuhnya, mana sempat kau kawin dan punya
anak?" Lelaki yang berikat kepala merah darah mang-
gut-manggut. Terbayang kembali peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu.
Waktu itu, seperti biasanya, mereka menebang kayu di hutan untuk kemudian
dijual. Akan tetapi, nasib malang mengekor langkah mereka
ke hutan. Tiba-tiba saja seseorang menghadang lang-
kah mereka. Mereka kaget sebab baru kali ini mereka
bertemu seorang kakek-kakek di tengah hutan. Apa-
kah mungkin kakek bertangan satu ini makhluk halus
yang menguasai hutan itu"
"Mulai hari ini, aku melarang kalian memasuki
hutan ini. Aku tidak ingin hutan ini menjadi gundul
karena ulah kalian. Mengerti?" kata kakek-kakek ber-
lengan satu itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Kau dengar apa yang dikatakannya?" Lelaki
yang lebih dulu menghunus golok bertanya kepada
teman seperjalanannya.
"Kek, kami tidak tahu siapa Kakek. Dan, untuk
apa Kakek berada di hutan ini" Di sini banyak bina-
tang buas...."
"Tutup mulutmu! Berani kau membantahku"
Minggatlah sebelum aku terpaksa memenggal kepala
kalian!" tukas Klabang Seketi, kakek-kakek itu.
"Apa" Ha-ha-ha! Jangan bermimpi, Kek. Berdiri
saja kau hampir jatuh, tetapi kau berani mengancam
kami?" sergah lelaki yang telah menimang-nimang go-
loknya. "Ha-ha-ha! Tikus busuk berani melawan hari-
mau! Apa yang bisa kalian perbuat dengan golok butut kalian itu?"
"Kek, kuperingatkan sekali lagi, harap Kakek
minggir dan pergi dari hutan ini. Kalau tidak juga
minggir, terpaksa kami tega terhadapmu," kata lelaki yang satunya lagi. Berkata
begini, ia pun menghunus
goloknya dan mengusap usap mata golok yang berki-
lat-kilat itu. ' Sudah kubilang, kalian ini hanya tikus busuk.
Dan, kalian sedang berhadapan dengan harimau la-
par.. 'Bedebah! Kukirim nyawamu ke neraka!" ben-
tak lelaki yang sejak tadi sudah kehilangan kesaba-
rannya. Lalu, golok di tangan lelaki itu berkelebat ke arah Klabang Seketi.
' Desss!" Mata lelaki itu terbelalak. Leher kakek itu tidak
tergores sedikit pun. Leher itu lebih keras dari kayu meranti. Bahkan
goloknyalah yang terluka. Golok yang terbuat dari per delman itu, yang bisa
merobohkan pohon sebesar badan lelaki dewasa, yang tak pernah lupa diasah, kini
golok itu tak ada artinya sama sekali bagi kulit orang tua berlengan satu ini.
"He-he-he, ho ho ho, masih lebih sakit digigit
semut. Masih ingin mencoba membacokku lagi?" ejek
Klabang Seketi.
Lelaki bergolok itu menggeleng sambil melang-
kah mundur. Ia merasa pasti sedang berhadapan den-
gan siluman. Kalau memang yang dihadapinya manu-
sia, sudah barang tentu lehernya yang keriput itu akan tertebas golok.
"Kau!" Klabang Seketi menuding lelaki yang sa-
tu nya lagi. ''Majulah, aku ingin merasakan bacokan
golokmu!" Lelaki itu masih terpaku dengan mulut men-
ganga. Keheranannya belum habis juga Ketika Klabang
Seketi kembali menudingnya, barulah ia sadar bahwa
orang tua berlengan satu itu memanggilnya.
"Kau mau mencoba membacokku seperti te-
manmu ini?"
' Tidak... tidak, Kek!"
' Sekali lagi kau memanggilku 'Kakek', kurobek
mulutmu yang lancang itu!" hardik Klabang Sketi. "Kalian harus tahu bahwa hutan
ini sudah menjadi milik-
ku. Akulah yang berkuasa di hutan ini. Karena itu,
aku tidak mau lagi melihat pencuri-pencuri kayu ma-
can kalian. Mengerti?"
' Mengerti, Ki...?"
''Panggil aku 'Ki Lurah'!"
"Ya, ya, Ki Lurah." Kedua lelaki itu mengangguk
dalam-dalam. "Dosa kalian aku maafkan Tetapi, kalian harus
menjadi jongosku. Kalian berdua harus tinggal bersa-
maku di Gua Barong. "
"Gua Barong?" Kedua lelaki itu berseru dalam
hati. Mereka sudah sering mendengar cerita tentang
Gua Barong. Gua itu dinamakan Gua Barong sebab di
situlah tempat bersembunyinya macan. Dan, sekarang
mereka diharuskan tinggal di gua itu" Sungguh men-
gerikan! 'Tapi, kami berdua harus mencarikan makan
buat anak-anak kami, Ki Lurah," kata lelaki yang tadi membacok orang tua itu.
' Mencari makan dengan mencuri kayu di hu-
tan" Ha-ha-ha, sungguh memalukan! Tidak! Mulai se-
karang kalian tak perlu lagi menjadi pencuri kayu Kalian ikut aku, dan kalian
akan aku beri upah."
Orang tua buntung ini bisa memberikan upah"
Kedua lelaki itu tidak begitu saja percaya. Dari mana orang tua itu mendapatkan
uang! Apa dia bisa menyu-
lap daun menjadi uang"
' Kalian tidak percaya bahwa aku bisa memberi
kalian upah" Dasar otak udang! Karena aku sudah
peyot dan tanganku hanya satu maka kailan mere-
mehkan ku" Berapa batang pohon yang kalian da-
patkan dalam sehari" Aku bisa merobohkan semua
pohon yang ada di hutan ini dalam sehari. Tidak per-
caya" Lihat!" Klabang Seketi mendorongkan telapak
tangannya yang tinggal sebelah itu ke depan, dan ro-
bohlah sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa.
Kedua lelaki itu semakin kagum dibuatnya. Ba-
gaimana jika pukulan jarak jauh itu mengenai mak-
hluk hidup" Pohon sebesar itu saja roboh dengan se-
kali dorong! "Kami tidak ragu lagi, Ki Lurah," kata lelaki
yang tadi membacok Klabang Seketi, sekaligus mewa-
kili temannya. Setelah beberapa hari tinggal di Gua Barong
bersama Klabang Seketi, tahulah kedua lelaki itu, dari mana Klabang Seketi
mendapatkan segala yang diin-ginkannya. Hampir tujuh hari sekali orang suruhan
Bajra Luwuk mengirimkan bahan makanan dan ba-
rang-barang yang dibutuhkan Klabang Seketi. Dan,
kemudian kedua lelaki itu pun tahu dari siapa Bajra
Luwuk mendapatkan semuanya itu.
Kini Bajra Luwuk tewas. Sudah barang pasti
penguasa Gua Barong Itu berang. Selain Bajra Luwuk
murid terkasihnya, Juga menjadi sumber kehidupan
baginya. Dan, sewaktu kedua orang suruhan Klabang
Seketi itu memasuki mulut Desa Karangreja, mereka
pun tahu bahwa Ki Punjul Weda telah tewas pula. Se-
makin bersemangat mereka mencari ahli waris orang
terkaya di Desa Karangreja itu.
"Jika kita bisa menangkap gadis itu, berarti pu-la kita bisa menguasai harta
warisan Ki Punjul Weda,"
kata lelaki yang berikat kepala merah.
"Kau yakin bisa mengalahkan gadis itu" Selin-
tasan aku pernah mendengar kabar bahwa gadis itu
pernah berguru ke Gunung Sumbing. "
"Ke mana pun ia pernah berguru, aku tidak pe-
duli. Yang harus kita pedulikan, gadis itu berhasil
membunuh Ki Bajra Luwuk."
'Ya. Tetapi, siapa tahu Ki Bajra Luwuk terkena
tipu muslihat"
"Tipu muslihat?"
' Mungkin saja gadis Itu pandai merayu sehing-
ga Ki Bajra Luwuk lengah karena mabuk kepayang."
' Mungkin. Sayang, orang yang membawa ka-
bar tentang tewasnya Ki Bajra Luwuk tidak diberi ke-
sempatan untuk bercerita panjang lebar."
Mereka berdua memasuki kedai minum. Orang-
orang yang semula berbincang-bincang di kedai itu seketika bubar. Mereka tahu
siapa kedua lelaki yang ba-ru saja memasuki kedai itu.
' Sebaiknya kita lapor pada Den Rara Cantika,"
bisik seorang lelaki kepada teman yang duduk di de-
katnya. ''Belum tentu mereka ini mau cari perkara. Kita lihat saja dulu apa yang
akan mereka lakukan di kedai ini," jawab temannya.
"Apa yang kalian bicarakan" Belum tahu siapa
aku ya?" bentak lelaki berikat kepala abu abu begitu melihat dua orang penduduk
desa itu saling berbisik.
' Kita pergi saja," bisik lelaki yang tadi mengu-
sulkan agar melaporkan kedatangan dua orang anak
buah Klabang Sekati itu kepada Endang Cantikawerdi.
' Masih juga bisik-bisik" Hei, ke sini kau!" Lela-
ki yang berikat kepala merah meraba gagang goloknya.
Gemetaran tubuh kedua orang penduduk desa
itu. Lalu, kata salah seorang dari mereka,
' Kami sudah sejak sore tadi di kedai ini. Kami
mau pulang, Juragan. "
"Apa" Kau bilang aku juragan?"
"Sebelum temanku ini memenggal leher kalian,
sebaiknya kalian segera pergi. Katakan kepada anak
gadis Ki Punjul Weda bahwa kami mencarinya. Awas
kalau kalian coba coba menipuku. Mengerti?" kata le-
laki yang berikat kepala abu-abu menengahi.
Kedua orang penduduk desa itu hanya men-
gangguk dan kemudian bersijingkat meninggalkan ke-
dai itu. Mereka langsung menuju rumah Ki Punjul We-
da. Mereka ingin secepatnya melihat kedua orang anak buah Klabang Seketi itu
tewas di tangan Endang Cantikawerdi.
*** 6 Sudah tiga malam berturut-turut Endang Can-
tikawerdi berlatih silat di bawah pengawasan Joko
Sungsang. Sewaktu Cekel Janaloka tewas, Endang
Cantikawerdi memang belum mewarisi seluruh ilmu si-
lat yang dimiliki tokoh hitam dari Gunung Sumbing
itu. Itulah kenapa Joko Sungsang masih menemukan
kelemahan-kelemahan jurus jurus yang pernah dipe-
ragakan gadis murid Cekel Janaloka itu. Kelemahan-
kelemahan Inilah yang berusaha disempurnakan oleh
Joko Sungsang. Selain itu, Endang Cantikawerdi juga
memulai berlatih jurus-jurus Perisai Naga dari Pade-
pokan Jurang Jero.
Pada malam keempat Endang Cantikawerdi
menjalani latihan, tiba-tiba muncul salah seorang penduduk desa yang mengabarkan
bahwa dua orang anak
buah Klabang Seketi menunggu gadis itu di sebuah
kedai minum. Mendidih darah gadis itu mendengar la-
poran yang mengandung tantangan Itu Maka tanpa
meminta saran dari Joko Sungsang, gadis itu melesat
meninggalkan tempat latihan. Tak ada lagi tujuan lain kecuali melabrak dua orang
anak buah Klabang Seketi
yang menunggunya di kedai minum.
Namun, belum lagi sepuluh tombak gadis itu
berlari, Joko Sungsang telah mendahuluinya dan
menghadang langkah gadis itu.
"Kau meragukan aku bisa mengalahkan cecu-
rut-cecurut itu?" tanya Endang Cantikawerdi.
"Sama sekali tidak. Aku hanya ingin mengin-
gatkan agar kau bisa menghilangkan kebiasaan bu-
rukmu." ' Kebiasaan buruk?"
"Ya. Betapapun kemarahan kita memuncak, ki-
ta harus tetap berkepala dingin. Hati boleh panas, tetapi otak tetap harus
dingin. Tanpa otak yang dingin, tak akan kita bisa berpikir sewajarnya."
' Mereka hanya orang suruhan Klabang Seketi!"
''Itulah satu bukti bahwa kau tidak bisa berke-
pala dingin. Meremehkan lawan sama halnya dengan
menghilangkan usaha untuk mawas diri. Mengerti
maksudku?"
Gadis Itu mengangguk.
' Lalu, tidak seharusnya aku mendatangi mere-
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka" Bagaimana jika mereka menganggapku takut, dan
kemudian mereka berbuat sekehendak hati di desa
ini?" kata Endang Cantikawerdi kemudian.
' Bukan itu maksudku. Kau tetap harus meme-
nuhi tantangan mereka. Tetapi, jangan sampai kau da-
tang dengan kemarahan yang meluap-luap. Kemara-
han akan membuat pikiran kita buntu, membuat pera-
saan welas-asih kita hilang. Padahal kita tahu dua
orang yang menunggumu itu hanyalah orang-orang
suruhan. Mereka tidak layak menerima luapan kema-
rahanmu terhadap Klabang Seketi, guru Bajra Luwuk
itu. " "Aku mengerti. Tetapi, aku tetap harus secepatnya sampai di kedai itu
agar pemilik kedai itu merasa aman!"
"Aku ada usul. Tentu saja Jika kau setuju, ",
sahut Joko Sungsang.
''Maksudmu?"
' Teruslah kau berlatih. Aku yang akan menda-
tangi orang-orang dari Gua Barong Itu. Akan aku ta-
nyakan apa maksud kedatangan mereka di desa Ini,
dan untuk apa dia mencarimu. Tidak lama. Aku akan
cepat kembali ke tempat latihan."
"Aku sekaligus ingin membuktikan keampuhan
jurus-jurus yang baru saja aku latih."
"Artinya, kau meragukan kehebatan jurus-
jurus dari Padepokan Jurang Jero" Kenapa tidak kau
suruh aku membuktikan keampuhan jurus-jurus itu?"
"Maaf, bukan maksudku begitu." Gadis itu me-
nunduk malu. ' Baiklah, aku akan kembali berlatih.
Tetapi, rasanya aku lebih puas berlatih dengan lawan sungguhan. "
"Percayalah, mereka ini bukan tandinganmu,"
sahut Joko Sungsang sebelum meninggalkan gadis itu.
Seakan terbang, Joko Sungsang mendatangi kedai mi-
num yang ditujunya.
Ketika Joko Sungsang tiba di halaman kedai
itu, dua orang anak buah Klabang Seketi sedang me-
mamerkan kekebalan tubuh mereka. Satu cerek air
mendidih mereka pakai untuk mencuci tangan. Mata
pemilik kedai itu seolah hampir meloncat keluar dari pelupuknya. Dua orang kebal
dari Gua Barong itu tertawa puas begitu melihat pemilik kedai itu terheran-
heran. "Nah, apa kau pernah lihat anak gadis Ki Pun-
jul Weda itu mencuci tangan dengan air mendidih?"
tanya lelaki yang berikat kepala abu-abu.
Pemilik kedai itu menggeleng. Tetapi, dalam ha-
ti ia berkata, "Tapi, gadis itu bisa membunuh Bajra
Luwuk yang katanya juga kebal!"
"Kau tahu kenapa Bajra Luwuk mampus di
tangan gadis itu?"
Pemilik kedai itu terkejut. Dia pikir, lelaki beri-
kat kepala abu-abu itu bisa membaca pikirannya.
' Hei. kau budeg ya?" bentak lelaki berikat kepa-
la merah. "Ya, ya...." Pemilik kedai itu menjawab dengan
suara gagap. Kembali dua orang anak buah Klabang Seketi
itu tertawa. Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti begitu mereka melihat seorang
anak muda memasuki
kedai dan kemudian duduk seenaknya. Maka mereka
berdua bersamaan menggebrak meja.
"Hei, monyet jelek!" bentak lelaki yang berikat
kepala merah. ' Siapa suruh kau duduk di situ?"
Anak muda berpakaian petani Itu berpura pura
tidak mendengar teguran lelaki Itu. Ia malahan me-
nyambar pisang dan mengupasnya.
' Dasar monyet budeg!" bentak lelaki berikat
kepala abu abu. Lalu, la melompat dan berdiri di meja, persis di depan hidung
anak muda berpakaian petani
Itu. Anak muda itu, yang tak lain adalah Joko
Sungsang, menengadahkan muka, memandangi wajah
lelaki yang kakinya terpacak di depan hidungnya.
' Berani kau melihat mukaku" Ini, lihat baik-
baik sebelum kau kukirim ke neraka!" Lelaki itu me-
nyorongkan wajahnya ke depan mata Joko Sungsang.
Sambil tertawa, Joko Sungsang menendang ka-
ki meja. Seketika itu juga kaki meja patah dan meja itu melesak ke lantai.
Dengan sigap lelaki itu bersalto ke belakang. Akan tetapi, ketika kaki lelaki
itu menyentuh lantai, tubuhnya seperti terayun dan kemudian terjerembab. Tentu
saja lelaki itu tidak mengira bahwa
anak muda berpakaian petani itu mampu dengan tepat
melemparkan kulit pisang ke tempat kakinya bakal
mendarat. "Bedebah! Bosan hidup!" Lelaki berikat kepala
merah langsung mengayunkan kepalan tangannya ke
muka Joko Sungsang.
' Wuuut! Crottt!"
Pisang yang telah terkupas itu menambal ke-
dua mata lelaki berikat kepala merah itu. Dan, sewak-tu pisang itu dikibaskannya
dari matanya, ia tidak lagi melihat anak muda berpakaian petani yang telah
menghinanya itu.
' Bangsat! Jangan lari!" Berteriak begini, lelaki
berikat kepala merah itu melompat keluar dan mem-
buru bayangan anak muda berpakaian petani Itu. Se-
langkah di belakangnya, lelaki berikat kepala abu-abu pun berlarian sambil
menyumpah nyumpah,
' Bangsat, keparat, tikus busuk! Kucincang
kau!" Langkah mereka berdua terhenti. Mereka tidak
lagi melihat bayangan anak muda berpakaian petani
itu. Kemarahan mereka semakin membeludak. Segala
macam makian kotor berloncatan dari mulut mereka.
Akan tetapi, anak muda yang mereka cari tidak juga
menampakkan batang hidungnya.
' Baiklah!" kata lelaki yang berikat kepala abu-
abu. ''Kalau memang kau tidak mau keluar dari per-
sembunyianmu, aku bakar desa ini! Dan, kau akan di-
kutuk seluruh penduduk desa ini, monyet busuk!"
Joko Sungsang melayang turun dari dahan su-
kun yang didudukinya. Dua orang anak buah Klabang
Seketi itu berlompatan mundur. Namun, dengan se-
rentak mereka menyerang bayangan hitam yang baru
saja menjejakkan kaki di tanah itu.
' Singngng! Singngng!"
Dua bilah golok berdesing di atas kepala Joko
Sungsang. Sambil merunduk, Joko sungsang memutar
kaki kanannya. Akan tetapi, kedua orang lawannya
dengan lincahnya berhasil menghindari tendangan bal-
ing-balingnya. Bahkan secara bersamaan mereka me-
nusukkan golok ke dada Joko Sungsang
"Wuttt! Bresss!"
Tubuh keduanya terpelanting ke belakang.
Tanpa mereka duga bahwa anak muda berpakaian pe-
tani itu dengan gerak yang tak bisa diikuti mata me-
lenting ke udara dan dengan derasnya menghunjam-
kan kedua tumitnya ke punggung mereka berdua. Kini
mereka menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi
bukan sembarang lawan. Mereka mulai mencurigai
bahwa pakaian petani yang dikenakan anak muda itu
hanyalah pakaian untuk penyamaran.
Sambil memperbaiki kuda-kuda, lelaki yang be-
rikat kepala abu-abu berkata, ' Kami berdua datang ke desa ini bukan untuk
berurusan denganmu, Anak Mu-da! Bahkan kami juga tidak mengenal siapa kau! Kare-
nanya, sebelum kami kehilangan kesabaran, lebih baik kau tinggalkan desa ini!"
' Kenapa kau tiba-tiba jadi sopan, Pak Tua" Aku
juga tidak mengenalmu Tetapi, aku mengenal baik
penduduk desa ini Aku wajib menjaga desa ini dari
gangguan orang-orang macam kalian," sahut Joko
Sungsang. 'Temanku sudah memperingatkanmu, Anak
Muda! Sekali lagi kau berani buka mulut, jangan harap kami memaafkanmu!" Kini
lelaki yang berikat kepala
merah yang angkat bicara.
' Tuhan memberiku mulut, tetapi tak pernah la
melarangku membuka mulut. Kenapa kau yang ber-
mulut kotor justru berani melarangku" Lakukanlah
kalau memang kalian hendak menghukumku!"
"Kau memang pantas dicincang, tikus busuk!"
seru lelaki yang berikat kepala merah sambil mener-
jang dengan goloknya.
' Desss!" Sisi telapak tangan kanan Joko Sungsang
menggempur lengan lelaki itu setelah ia berkelit ke
samping. Akan tetapi, kali ini lelaki itu malahan tertawa. Joko Sungsang tahu
bahwa lelaki itu mulai mene-
rapkan ilmu kekebalan tubuhnya. Dan, ia memang
merasakan telapak tangannya seolah menghantam ba-
tu. "Kau akan menyesal jika tidak secepatnya
minggat dari hadapanku, monyet!" bentak lelaki itu setelah puas tertawa.
"Aku pasti minggat dari desa ini asalkan kau
berani menyongsong seranganku dengan dadamu!" ka-
ta Joko Sungsang memancing kepongahan lelaki itu.
"Ha-ha-ha! Dasar monyet dungu! Jangan lagi
serangan tangan kosongmu! Ayo, keluarkan senjata
andalanmu, dan aku tetap akan menahannya dengan
dadaku, kunyuk!" Lelaki itu berkacak pinggang, mem-
biarkan dadanya terbuka untuk menerima serangan.
Joko Sungsang tertawa dalam hati. Begitu to-
lolnya lelaki dari Gua Barong ini, pikirnya. Betapapun tubuhnya kebal senjata
tajam, seharusnya ia mawas
diri terhadap lawan yang belum dikenalnya. Tidakkah
ia pernah mendengar perihal ilmu Pukulan Ombak
Laut Selatan"
Meski lawan telah menyediakan diri untuk ma-
ti, tetap saja Joko Sungsang tidak ingin melihat la-
wannya roboh dengan isi dada rontok. Oleh sebab itu, ia hanya mengalirkan ilmu
Pukulan Ombak Laut Selatan pada ujung jari telunjuknya. Lalu katanya sambil
melangkah maju,
"Kau sudah siap, Pak Tua?"
"Panggil aku Bajang Ijo, kunyuk!" sergah lelaki itu.
"Oh, maaf Sudah siap kau, Bajang Ijo Kunyuk?"
"Bangsat! Keluarkan senjatamu sebelum kupa-
tah-kan lehermu!"
"Aku tidak punya senjata. Senjataku hanya
cangkul yang tentunya tidak akan mempan mengenai
kulitmu. Inilah senjata bawaan dari gua garba ibuku!"
kata Joko Sungsang seraya menyodokkan Jari telun-
juknya ke dada Bajang Ijo.
"Crottt!"
Bajang Ijo membeliakkan matanya sambil me-
ringis. Jari telunjuk itu ternyata masuk ke sela-sela iganya. Dan, sebelum ia
tahu harus berbuat apa, satu tendangan Joko Sungsang membuat tubuhnya oleng
dan kemudian bergulingan di tanah.
Lelaki yang berikat kepala abu-abu, yang sejak
tadi sudah menyadari kehebatan ilmu silat anak muda
berpakaian petani itu, secepat kilat melompat ke sisi tubuh temannya yang
berkelojotan di tanah
"Kau terluka?" tanyanya sembari berusaha
membuka telapak tangan Bajang Ijo yang menekap da-
da. Dan, ketika telapak tangan itu berhasil disingkirkan dari dada, nampak
olehnya darah segar mengucur
dari lubang di sela-sela tulang iga Bajang Ijo. Tersirap darah lelaki berikat
kepala abu-abu itu.
"Kau juga ingin memamerkan kekebalan dada-
mu, Bajang Abu-Abu?" kata Joko Sungsang meman-
dang lelaki berikat kepala abu-abu itu.
' Jangan cepat besar kepala, Anak Muda! Kau
bisa melukainya karena la memang bersedia kau lu-
kai!" sergah lelaki itu.
' Bukankah kalian orang-orang Gua Barong
yang terkenal kebal?"
"Anak Muda, mengakulah siapa namamu sebe-
lum aku mewakili temanku Ini mencincang tubuhmu!"
"Aku tidak ingin namaku kau kenal. Aku bah-
kan tidak ingin meneruskan pertikaian kita. Aku tahu, kalian berdua sesungguhnya
tidak punya kepentingan
dengan anak gadis Ki Punjul Weda. Kalian hanya dipe-
ralat oleh Klabang Seketi, bukan" Nah, bawalah te-
manmu pulang ke Gua Barong, sekaligus katakan ke-
pada Klabang Seketi bahwa aku menunggunya di Le-
reng Gunung Sumbing purnama nanti" Joko Sungsang
tak membelikan kesempatan kepada lawannya untuk
membantah. Ia langsung melesat pergi dari halaman
kedai itu, dan kembali ke tempat Endang Cantikawerdi berlatih silat.
Begitu anak muda berpakaian petani itu hilang
dari pandang matanya, diam-diam lelaki berikat kepala abu-abu itu bersyukur
telah terhindar dari maut Betapapun kegusaran hampir memecahkan batok kepa-
lanya, la tetap sadar bahwa yang baru saja dihada-
pinya bukanlah lawan tandingnya. Andai pun Klabang
Seketi sendiri yang menghadapi anak muda berpa-
kaian petani itu, ia tetap tidak yakin orang sakti dari Gua Barong itu bisa
mengalahkannya.
Lalu, ia berani memastikan bahwa anak muda
berpakaian petani itu tentulah kakak seperguruan ga-
dis yang menewaskan Bajra Luwuk itu. Gadis itu ma-
sih menggunakan senjata sewaktu membunuh Bajra
Luwuk. Tetapi, anak muda itu hanya menggunakan ja-
ri telunjuknya untuk melubangi dada Bajang Ijo yang
kebal. Benar-benar ilmu setan!
*** Kaget bukan kepalang Klabang Seketi menden-
gar cerita tentang anak muda berpakaian petani di kedai minum itu. Selama ia
malang-melintang di rimba
persilatan, belum pernah ia menjumpai bahkan men-
dengar kabar perihal anak muda berpakaian petani ini.
Memang ada pendekar dari golongan lurus yang selalu
mengenakan pakaian petani, tetapi ia bukan anak mu-
da lagi, la bahkan sudah dikenal sebagai Orang Tua
Sakti dari Desa Dadapsari.
Atau mungkin Wasi Ekacakra mempunyai mu-
rid" Tetapi, untuk apa ia mengangkat seseorang men-
jadi muridnya jika nyatanya ia sendiri hidup menjadi petani di Desa Dadapsari"
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mungkinkah di Desa Dadapsari telah berdiri padepokan yang menggembleng
anak-anak muda menjadi pendekar" Atau, barangkali
anak muda itu hanya menyamar sebagai petani" Lalu,
siapakah anak muda itu sesungguhnya"
Terpaku di tempat duduk dengan pertanyaan-
pertanyaan melintas di benaknya, orang sesat dari Gua
Barong ini. Semakin ia berusaha mencari jawabannya,
semakin ia gusar. Siapa pun anak muda itu, ia harus
mengenyahkannya dari muka bumi ini.
' Tikus tolol!" Tiba-tiba Klabang Seketi ingat se-
suatu yang harus ditanyakan kepada Bajang Kerek,
'Tidakkah kau melihat senjata anak muda keparat itu"
Atau memang matamu sudah picak?"
"Ki Lurah, sudah saya bilang berkali kali bahwa
anak muda itu tidak bersenjata. Kalau saja anak muda itu bersenjata, mungkin
kami berdua tak sempat pergi dari desa itu," jawab Bajang Kerek.
' Tidakkah kau lihat ada cambuk melilit di ping-
gangnya?" "Sama sekali tidak, Ki Lurah. Maksud Ki Lurah,
barangkali anak muda itu Pendekar Perisai Naga?"
Klabang Seketi tidak menjawab. Agak lega ia
mendengar jawaban anak buahnya ini. Betapapun ia
merasa kebal, ia tetap harus waspada menghadapi
Pendekar Perisai Naga. Ia tahu, beberapa orang pendekar dari golongan hitam
tewas di ujung cambuk anak
muda dari Padepokan Jurang Jero itu. Malahan baru-
baru ini ia mendengar kabar bahwa anak muda itu
berguru pula ke Padepokan Karang Bolong. Betapa
dahsyat jika Jurus Perisai Naga digabungkan dengan
Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan!
"Ki Lurah, bagaimana dengan luka Bajang Ijo?"
kata Bajang Kerek membuyarkan lamunan Klabang
Seketi. 'Biar saja dia modar! Kalau kau memang setia kepada temanmu itu, kenapa
kau tidak bela pati" Kenapa kau tidak modar sekalian?" sergah Klabang Seke-
ti. ' Kalau saja kami tidak harus menyampaikan
pesan buai Ki Lurah, mungkin anak muda itu tidak
akan membiarkan kami tetap hidup, Ki Lurah."
' Pesan" Pesan apa?"
'Anak muda itu menantang Ki Lurah besok
purnama di Lereng Gunung Sumbing ..."
"Di mana" Lereng Gunung Sumbing" Kalau be-
gitu, matamu yang buta! Tentu anak muda itulah gadis yang seharusnya kau bawa
kemari hidup hidup! Untuk
apa ia menantangku bertarung di Lereng Gunung
Sumbing kalau bukan karena dia dari Perguruan Gu-
nung Sumbing" Dasar tikus tolol!" Klabang Seketi me-
nukas dengan geram.
"Ki Lurah, kami memang menghendaki gadis
itu yang muncul. Tetapi, entah kenapa anak muda
berpakaian petani Itu yang muncul. Dia laki laki, Ki Lurah. Ki Lurah bisa
menanyakan kepada pemilik kedai minum itu.
Benar juga, pikir Klabang Seketi. Kalau me-
mang gadis itu menyamar sebagai pemuda, ia tetap ti-
dak akan bisa menyembunyikan toya andalannya. Ia
bisa membunuh Bajra Luwuk karena ia bersenjatakan
toya dewondaru itu Kalaupun ia sengaja menyembu-
nyikan senjata andalan Perguruan Gunung Sumbing
itu, tak akan mampu ia merobohkan Bajang Ijo hanya
dengan jari telunjuknya. Jangan lagi gadis itu, sedangkan Cekel Janaloka pun
belum tentu bisa menembus
kekebalan kulit Bajang Ijo.
"Apa sebaiknya saya menyelidiki lagi ke Desa
Karangreja untuk mengetahui siapa sesungguhnya
anak muda berpakaian petani itu, Ki Lurah?" tanya
Bajang Kerek. ''Kau kira ilmu silatmu lebih tinggi daripada il-
mu bocah lancang itu" Sebelum kau menemukannya,
kau yang akan lebih dulu dilihatnya. Biar aku sendiri yang mencari tahu siapa
dia!" Setelah berkata begini,
Klabang Seketi melesat pergi meninggalkan Gua Ba-
rong. Malam telah larut. Bulan setengah bulat men-
gintip di sela-sela ranting pepohonan. Babi hutan mulai berbaris pulang ke
tempat persembunyiannya. Akan tetapi, di rumahnya, Endang Cantikawerdi masih
tekun bersamadi. Sudah beberapa malam ini, sepulang
dari berlatih silat di pinggiran desa, ia selalu melanjutkan latihan pernapasan
di kamar tidurnya. Ia me-
mang sudah bertekad untuk secepatnya bisa mengua-
sai ilmu silat Padepokan Jurang Jero yang diajarkan
Joko Sungsang. Dan, tekad itu semakin membara sete-
lah tadi ia mendengar cerita tentang bagaimana Joko
Sungsang memberikan pelajaran kepada orang-orang
suruhan Klabang Seketi.
Benar-benar ilmu tenaga dalam yang mumpuni,
pikir gadis itu sebelum memulai latihan pernapasan-
nya. Bayangkan! Hanya dengan jari telunjuk Pendekar
Perisai Naga mampu merobohkan orang Gua Barong
yang terkenal kebal itu. Bagaimana kalau sampai anak muda itu mengurai cambuk
Perisai Naganya itu"
Begitu tekunnya berlatih sehingga Endang Can-
tikawerdi tak mendengar langkah-langkah kaki yang
mendekati jendela kamarnya. Sekalipun langkah-
langkah kaki itu begitu ringan, tetap saja telinga gadis itu akan mampu
menangkap suara telapak kaki itu ji-ka saja ia tidak sedang tekun berlatih
pernapasan. Bayangan yang sedang melangkah mendekati
jendela kamar itu memang bukan sembarang orang.
Dialah orang sakti dari Gua Barong yang bernama Kla-
bang Seketi. Dalam perjalanannya menuju Desa Ka-
rangreja, tiba-tiba saja pikirannya berubah, la tak lagi bernafsu untuk
mengetahui siapa anak muda berpakaian petani itu. Anak muda berilmu setan itu
toh akan diketahuinya juga besok malam purnama. Bah-
kan sebelum malam purnama tiba, anak muda itu
akan muncul ke Gua Barong jika tahu anak gadis Ki
Punjul Weda lenyap dari Desa Karangreja.
Pemikiran itulah yang menyebabkan Klabang
Seketi mengubah tujuannya ke Desa Karangreja Ia ha-
rus menculik anak gadis Ki Punjul Weda, la bisa mem-
pergunakan gadis Itu sebagai tameng dalam mengha-
dapi anak muda berilmu setan itu. Bukan tidak mung-
kin anak muda Itu menyerah sebelum bertarung sebab
memikirkan keselamatan gadis yang barangkali dicin-
tainya Itu. Klabang Seketi tertawa dalam hati sambil me-
nempelkan telinganya ke daun jendela. la merasa pasti bisa menculik Endang
Cantikawerdi dan membawanya
ke Gua Barong. Dengan menahan gadis itu, ia merasa
pasti tetap bisa menyelamatkan diri seandainya ilmu
silat anak muda berpakaian petani itu ternyata lebih tinggi. Setidaknya, ia bisa
membunuh gadis itu terlebih dahulu sebelum ia sendiri terbunuh!
Dengan mudah Klabang Seketi membuka daun
jendela yang terpalang dari dalam itu. Sengaja ia men-jebol daun jendela itu
agar gadis yang tidur di dalam kamar itu terbangun dan mengejarnya. Dan, apa
yang diharapkan Klabang Seketi memang menjadi kenya-
taan. Begitu mendengar palang jendela jatuh, dan me-
lihat daun jendela terbuka, Endang Cantikawerdi me-
lesat keluar dari kamarnya dan mengejar bayangan
yang berlari pontang-panting.
Semula gadis itu mengira bakal dengan mudah
menangkap bayangan yang dikejarnya. Akan tetapi,
ternyata semakin lama semakin cepat bayangan itu
' Dasar otak kotor! Jangan berharap kau bisa
menyentuh kulitku, Klabang Seketi!" hardik Endang
Cantikawerdi sambil bersiap menyerang lawannya!
'Tingkahmu tak lebih dari seorang pengecut yang be-
raninya hanya dengan seorang gadis!" berlari. Maka ia pun menyadari bahwa yang
sedang dikejarnya bukanlah maling atau orang jahat yang hanya menginginkan
harta. Tentulah bayangan itu orang yang memiliki ilmu berlari cepat. Namun
begitu, Endang Cantikawerdi tidak lantas membiarkan orang yang dikejarnya pergi
begitu saja. ''Kau pikir aku tidak bisa menyamai ilmu berla-
ri mu, keparat?" kata hati Endang Cantikawerdi seraya menggenjotkan kakinya ke
tanah, dan tubuh gadis itu
pun seolah terbang.
Setelah berada di luar desa, Klabang Seketi
mengurangi kecepatan larinya. Ini disengaja agar gadis yang mengejarnya
menyangka ia kalah dalam adu kecepatan berlari. Selain itu, ia memang bertujuan
me- mancing gadis itu keluar dari Desa Karangreja.
' Klabang Seketi?" kata Endang Cantikawerdi
setelah melihat orang yang dikejarnya ternyata berlengan satu.
"Ya, akulah Klabang Seketi!" kata Klabang Se-
keti seraya menghentikan langkahnya dan membalik
badan. "Tak kusangka jika tingkahmu tak lebih dari
seorang maling kelaparan, Klabang Seketi!" hardik Endang Cantikawerdi
"Ha-ha ha! aku memang kelaparan! Tetapi, ke-
laparan bukan karena kurang makan! Kelaparan kare-
na sudah lama tidak mendapatkan gadis secantik kau,
Cah Ayu!" ' Dasar otak kotor! Jangan berharap kau bisa
menyentuh kulitku sebelum nyawaku hilang dari raga-
ku, Klabang Seketi!"
"Hmmm, kesombonganmu setingkat dengan ke-
sombongan gurumu! Mungkin karena gurumu pernah
mendongeng bahwa ia bisa mengalahkan aku" Ho ho,
itu dulu! Sekarang, kalau saja gurumu masih hidup,
kau keroyok aku berdua dengan gurumu pun aku ti-
dak akan mundur!"
' Mulut besar! Tak perlu kau menyebut-nyebut
nama orang yang sudah mati! Kecuali jika kau me-
mang merasa ajalmu sudah tiba, Klabang Jahanam!"
sergah Endang Cantikawerdi seraya menerjang dada
lawan dengan tendangan kaki kanannya.
' Haittt!"
Dengan mudah Klabang Seketi mengurungkan
tendangan gadis itu. Sambil berkelit ke samping, telapak tangan kirinya siap
mencengkeram betis mungil
yang menjulur di depan dadanya. Akan tetapi, secepat kilat Endang Cantikawerdi
menarik kembali kaki kanannya. Sebagai gantinya, ia menyapu kaki lawannya
dengan toya dewondarunya.
' Desss!" Di luar dugaan gadis itu bahwa Klabang Seketi
membiarkan kakinya tersambar toya dewondaru. Ke-
kebalan tubuh orang tua itu ternyata memang jauh di
atas kekebalan tubuh Bajra Luwuk. Sekalipun toya itu belum dialiri tenaga dalam,
seharusnya Klabang Seketi tetap akan meringis kesakitan. Akan tetapi, yang
terjadi justru sebaliknya. Orang sesat dari Gua Barong itu tertawa terbahak-
bahak sementara Endang Cantikawerdi merasakan telapak tangannya panas. Sabetan
toya itu seolah membentur tiang baja. Maka getaran
toya pun meremas telapak tangan gadis itu sendiri.
"Ha-ha-ha! Pantas jika Bajra Luwuk dungu itu
mati di tangan mu, gadis liar! Pukulan toya mu me-
mang lumayan! Tetapi, tidak untuk kakiku!" ujar Kla-
bang Seketi setelah puas tertawa.
Merah padam muka Endang Cantikawerdi. Ia
menyesal kenapa tidak sejak tadi mengerahkan tenaga
dalamnya.. Kalau saja toya itu sejak tadi telah dialiri tenaga dalam, bukan
tidak mungkin kaki lawan akan
patah. "Aku akui tubuhmu memang kebal, Klabang
Seketi! Tetapi, cobalah untuk mengadu kekuatan seka-
li lagi dengan toyaku! Kalau memang kakimu tidak be-
ranjak dari tempat, biarlah aku mengaku kalah!" kata Endang Cantikawerdi
memancing kepongahan lawan.
Namun, Klabang Seketi adalah tokoh hitam
yang sudah kenyang makan asam-garamnya dunia
persilatan. Ia tahu bahwa lawannya telah mengerah-
kan tenaga dalam dan menyalurkannya ke senjatanya.
Betapapun tubuhnya kebal, tetap saja tenaga dalam
yang sempurna akan berhasil menembusnya Yang pas-
ti, ia tidak mau menjadi korban keganasan toya de-
wondaru itu untuk yang kedua kalinya.
Maka Klabang Seketi tak mau meladeni tantan-
gan gadis itu. Ia menjejakkan kakinya ke tanah, ber-
jumpalitan di udara dan turun sambil mengirimkan to-
tokan jalan darah di punggung lawan. Ia memang ingin menangkap gadis itu hidup-
hidup untuk kemudian di-bawa pulang ke Gua Barong.
Melihat lawan melenting ke udara, secepatnya
Endang Cantikawerdi memutar toyanya di atas kepala.
Itulah kenapa Klabang Seketi terpaksa mengurungkan
niatnya menotok jalan darah di punggung gadis itu.
Sebagai gantinya, ia mengibaskan lengan kiri bajunya untuk melilit senjata gadis
itu. "Srettt!"
Toya dewondaru berhasil terlilit lengan baju
Klabang Seketi. Hampir saja senjata gadis itu pindah
ke tangan Klabang Seketi jika tidak diingatnya salah satu Jurus Perisai Naga
yang baru saja dipelajarinya dari Pendekar Perisai Naga. Oleh sebab itulah,
Endang Cantikawerdi mengendorkan tenaganya, mengikuti tarikan lawan, dan
kemudian sekuat tenaga ia menggen-
jot tubuhnya ke udara.
' Desss!" Kedua tumit Endang Cantikawerdi menghun-
jam ke punggung Klabang Seketi. Serangan yang begi-
tu tiba-tiba ini sama sekali tak terduga oleh Klabang Seketi. Tubuh orang sesat
dari Gua Barong itu terdorong maju beberapa langkah. Namun, kekebalan tubuh
Klabang Seketi jauh lebih sempurna dibandingkan
dengan kekebalan tubuh anak buahnya. Tak menghe-
rankan jika ia hanya terdorong beberapa langkah tan-
pa harus menderita cedera punggung.
Kaget bukan kepalang Endang Cantikawerdi
melihat lawan tetap berdiri di atas kuda-kudanya.
Hunjaman kedua tumit itu seolah tak dirasakannya
sama sekali. Namun, kemudian ia cepat menyadari
bahwa sejak tadi ia memang memusatkan tenaga da-
lamnya di ujung toya dewondarunya.
"Ha-ha-ha! Tendangan yang luar biasa! Kalau
saja bukan aku yang menerima sepasang tumitmu,
tentu sudah sekarat, Cah Ayu!" kata Klabang Seketi.
Pendekar Perisai Naga 3 Penguasa Gua Barong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Tak usah banyak mulut, Klabang Seketi! Teri-
malah Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat!" sahut En-
Senopati Pamungkas I 13 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Misteri Elang Hitam 2