Pencarian

Selendang Mayat 2

Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Bagian 2


"Maaf, Kiai. Saya tidak berani membenarkan
ucapan Kiai. Sebab, menurut saya, justru orang-orang sakti macam Kiai ini sedang
dibutuhkan oleh rakyat
yang tertindas, Kiai. Tentang Guru dan Kiai Ekacakra, sebenarnya mereka pun
tidak tega melihat orang-orang sesat menyebarkan penderitaan dari desa ke desa.
Kiai boleh bertanya kepada Arum, siapa yang menolong
kami berdua sewaktu Empu Wadas Gempal mencam-
puri urusan kami berdua dengan Hantu Lereng Lawu,
kalau bukan Kiai Wasi Ekacakra!"
' Betul, Guru. Kami yang muda ini masih tetap
membutuhkan dukungan dari sesepuh macam Guru.
Malahan Pendekar Perisai Naga jauh-jauh datang dari Padepokan Jurang Jero kemari
karena ingin belajar
ilmu silat lagi dari Guru," kata Sekar Arum menimpali.
"Ha ha ha, kojur, kojur! Susah memang bicara '
dengan anak muda macam kalian ini," Ki Sempani
menggeleng-gelengkan kepala. Lengan bajunya yang
komprang bergoyang goyang.
"Apa yang dikatakan Arum memang benar, Kiai.
Saya datang kemari memang dengan niat berguru ke
pada Kiai. Tetapi, tentu saja jika Kiai tidak merasa hi-na menerima saya sebagai
murid," kata Joko Sungsang menegaskan.
"Anakmas, tentu saja aku akan besar kepala
punya murid macam Anakmas. Tetapi, apa lagi yang
bisa aku ajarkan" Semua yang aku punyai pasti sudah dipunyai oleh Kakang Wiku
Jaladri, dan sudah diajar-
kan kepada Anakmas Joko Sungsang...."
"Guru, " tukas Sekar Arum. ' Kalau memang
benar ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan' merupakan
jurus andalan Padepokan Karang Bolong, berarti Joko Sungsang tidak mungkin
mendapatkan ilmu itu dari
gurunya!" "Ho ho ho, itu hanyalah jurus mainan anak ke-
cil, Anakmas," sahut Ki Sempani.
''Kalau begitu, aku ini hanya bayi kemarin
sore!" sergah Sekar Arum sambil memberengut.
"Lha, kenapa begitu?" Mata Ki Sempani yang
sipit itu melebar.
"Guru bilang bahwa ilmu 'Pukulan Ombak Laut
Selatan' hanyalah mainan anak-anak kecil. Tetapi
sampai sekarang aku tidak...."
"Ha ha ha!" Tawa Ki Sempani memenggal uca-
pan muridnya. ''Bukan itu maksudku, Arum. Aku ka-
takan ilmu itu hanyalah mainan anak-anak kecil, ka-
rena aku sedang berbicara dengan Pendekar Perisai
Naga. Kalau aku bicara dengan musuhku, tentu akan
kukatakan bahwa ilmu itu paling jempolan di muka
bumi ini! Mengerti?"
Sekar Arum tetap memberengut. Joko Sung-
sang merasa tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya
menatap guru dan murid itu bergantian.
' Lagi pula, dengan tombak pendekmu itu kau
sebenarnya mempunyai senjata andalan yang tak ku-
rang ampuhnya jika dibandingkan dengan ilmu 'Puku-
lan Ombak Laut Selatan', Arum. Bukan begitu, Anak-
mas Joko Sungsang?"
' Tepat sekali, Kiai!" Joko Sungsang manggut-
manggut. ' Saya sudah melihat sendiri bagaimana
Arum memainkan tombak pendeknya, Kiai. Saya me-
rasa pasti, andai saja jurus-jurus tombak pendek itu
diperdalam, akan sulit dicarikan tandingannya, Kiai."
' Apakah berarti Guru tidak mengizinkan aku
mencoba mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Sela-
tan' lagi?"
"Cah Denok, kapan saja kau mau mempelaja-
rinya, aku selalu mengizinkan. Tetapi, kali ini kau harus berjanji, tidak akan
meninggalkan Padepokan Ka-
rang Bolong lagi sebelum kau berhasil dalam latihan-mu Bagaimana?"
"Aku berjanji!" Sekar Arum menyahut tegas.
*** 4 Akan tetapi, Sekar Arum ternyata mengingkari
janjinya. Ia diam-diam pergi meninggalkan padepokan setelah untuk kedua kalinya
gagal dalam latihannya.
Gadis keras kepala dan keras hati ini merasa malu dan minder melihat
keberhasilan Joko Sungsang mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.
Oleh sebab itulah Joko Sungsang ditugaskan
oleh Ki Sempani untuk mencari gadis itu dan membu-
juknya agar mau kembali ke Padepokan Karang Bo-
long. Dan, sebelum menemukan adik seperguruannya
ini, Joko Sungsang lebih dulu menemukan orang-
orang upahan yang menggali kubur ayahnya. Maka tak
bisa dihindari lagi pertarungan hidup dan mati melawan Ki Demang Kerpa di
halaman kademangan itu.
Sementara Joko Sungsang melacak jejak Sekar
Arum dari desa ke desa, dunia persilatan sedang di-
landa pergolakan. Tokoh-tokoh dari golongan hitam
bermunculan dan berebut untuk bisa menduduki desa
desa tertentu yang mereka pandang makmur. Di samp-
ing itu, mereka juga berlomba untuk bisa menda-
patkan julukan sebagai tokoh dunia persilatan yang
paling disegani. Maka tak jarang terjadi pertarungan hidup dan mati antar sesama
tokoh sesat. Seperti yang terjadi di Desa Gedong Alit malam
itu. Dua orang tokoh dari golongan hitam bertarung
untuk bisa saling menaklukkan satu sama lain. Mere-
ka berdua tak lain adalah Empu Wadas Gempal mela-
wan Cekel Janaloka.
Sewaktu Joko Sungsang tiba di tempat itu, ia
melihat Empu Wadas Gempal sudah berhasil mende-
sak lawannya. Jari-jari mautnya bahkan sudah berha-
sil melukai pundak Cekel Janaloka.
"Tak perlu aku membunuhmu, besok pagi juga
kau bakal sekarat, Janaloka!" seru Empu Wadas Gem-
par sambil berkelit menghindari ruyung hitam yang
mematuk kepalanya.
' Jangan banyak bacot, demit hutan! Selama
kau tidak lari, kaulah yang akan lebih dulu modar!"
sahut Cekel Janaloka sebelum mengubah arah senja-
tanya. Kini ruyung hitam yang ujungnya dihiasi baja mirip mata kail itu
mengancam perut Empu Wadas
Gempal. "Ho ho! Kau pikir aku ini mujair di kali?" Empu
Wadas Gempal menangkis senjata lawan dengan tan-
gan kanannya yang seolah telah berubah menjadi besi.
Sudah barang pasti ia menangkis tepat pada sambun-
gan yang menghubungkan ruyung hitam itu dengan
mata kail sebesar sabit itu.
"Desss! Krakkk!"
Akibatnya sungguh di luar dugaan mereka yang
menyaksikan pertarungan itu. Joko Sungsang sendiri
heran melihat ruyung hitam itu patah berbenturan
dengan sisi telapak tangan orang sakti dari Hutan Ketapang itu.
Merasa senjata andalannya kutung, Cekel Ja-
naloka mundur beberapa langkah. Selain ia merasa
kehilangan senjata, ia juga merasakan nyeri di pundak kirinya semakin menjadi-
jadi. Kini bahkan terasa panas bak tersengat bara. Inilah akibat cakaran jari-
jari Empu Wadas Gempal yang dilumuri racun laba-laba
hitam dari Hutan Ketapang.
"He he he, Janaloka! Menyerahlah agar aku bi-
sa mengampunimu dan memberimu obat penangkal
racun laba-laba hitamku!"
"Singgg!"
Cekel Janaloka menyambitkan sisa ruyung hi-
tam yang masih dipegangnya. Penggalan ruyung itu
berputar dan mengarah ke leher Empu Wadas Gempal.
Namun, seketika itu juga tubuh orang sesat dari Hutan Ketapang itu berputar
searah putaran ruyung.
' Jurus 'Bidadari Mengurai Benang Kusut'!" bi-
sik hati Joko Sungsang. Serta-merta ia ingat Hantu Lereng Lawu yang menggunakan
jurus ini untuk me-
nangkal lilitan Perisai Naga. Lima tahun yang lalu, selama Hantu Lereng Lawu
berputar mirip gasing maka
selama itu pula Perisai Naga tak akan berhasil membe-litnya. Untuk itu Joko
Sungsang lantas menggunakan
jurus 'Mematuk Elang Dalam Mega' untuk menghenti-
kan putaran tubuh murid Empu Wadas Gempal itu.
Ruyung hitam itu berputar-putar dan berbenturan
dengan tubuh Empu Wadas Gempal yang juga berpu-
tar. Namun, tak diduga-duga oleh siapa pun jika
ruyung itu akan mental dan melabrak leher tuannya
sendiri. Cekel Janaloka berjumpalitan ke belakang
menghindari serangan balik senjatanya. Sayang, ia ti-
dak bersiap-siap bahwa Empu Wadas Gempal akan
memburunya dengan tendangan kakinya.
"Augh!" Cekel Janaloka bergulingan di tanah
dengan bahu kanan patah.
"Kau tinggal bisa menggunakan kedua kakimu,
Janaloka!" ujar Empu Wadas Gempal sambil mengu-
sap kumisnya yang basah oleh keringat.
Tertatih-tatih Cekel Janaloka bangkit dengan
kedua bahu tak bertenaga lagi. Meski demikian, tetap saja tokoh hitam dari
Gunung Sumbing ini berusaha
menyerang lawan. Kaki kanannya ditarik jauh-jauh ke belakang, telapak tangan
kiri menyerong ke kiri, dan tiba-tiba tubuhnya melenting mengirimkan tendangan
beruntun. ' Ciaaat!" Desss!"
Tubuh Cekel Janaloka terbanting ke tanah
dengan mulut memuntahkan darah segar. Kali ini Em-
pu Wadas Gempal membenturkan siku tangan kanan-
nya ke tulang kering lawan. Dan, sebelum lawan turun dari udara, secepat kilat
sisi telapak tangannya menimpa punggung lawan.
' Karena kau tetap tidak mau menyerah, aku
harus menyatukan tubuhmu dengan debu, Janaloka!"
Berkata begini, Empu Wadas Gempal siap merobek-
robek tubuh lawannya dengan kuku-kuku jari tangan-
nya. Tetapi, sebelum kelima jari maut itu tertanam di tubuh Cekel Janaloka,
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dari balik semak-semak dan langsung mela-
brak lengan kanan Empu Wadas Gempal.
' Haiyaaa!" Empu Wadas Gempal mengegoskan
tubuhnya hingga tumit kaki yang mengarah ke len-
gannya lewat begitu saja. Berdesing di atas telinganya.
"Arum!" teriak Joko Sungsang tertahan. Lalu,
secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke arah tubuh gadis itu. Cambuk itu
melilit pinggang Sekar Arum,
dan dengan sekali sentak tubuh gadis itu tertarik ke balik semak-semak tempat
Joko Sungsang bersembunyi. 'Kenapa...?"
Joko Sungsang tidak menjawab, la menarik
lengan gadis itu dan dibawanya tubuh gadis itu me-
lenting ke kerimbunan dahan jati. Dari dahan ke da-
han Joko Sungsang terus melarikan Sekar Arum men-
jauhi tempat pertarungan itu.
"Dia bukan lawanmu, Arum, " kata Joko Sung-
sang setelah yakin Empu Wadas Gempal tak mungkin
menemukan mereka.
' Tetapi, dia iblis kejam! Aku tidak tega melihat-
nya...!" "Aku pun demikian, Arum, " tukas Joko Sungsang. 'Tapi, kau mungkin
tidak tahu siapa lawan
Empu Wadas Gempal itu."
' Cekel Janaloka, bukan?"
' Betul. Maksudku, Cekel Janaloka pun sebe-
narnya manusia kejam. Apa salahnya jika ia mendapat balasan atas kekejaman yang
pernah dibuatnya."
' Maksudmu, dia juga tega membunuh lawan
yang sudah tidak berdaya?"
' Membunuh dan menghancurkan tubuhnya
dengan cabikan besi di ujung ruyung hitamnya!"
' Hiiih!" Gadis itu mengedikkan bahunya.
"Nah, sekarang ceritakan kenapa kau bisa be-
rada di tempat itu, Arum?" kata Joko Sungsang setelah mereka kembali
menginjakkan kaki di tanah.
"Lho, seharusnya aku yang bertanya, kenapa
kau juga ada di tempat Itu" Kalau aku, memang sudah
tiga malam aku menginap di Desa Gedong Alit"
''Tiga malam" Ada apa rupanya sampai kau ke-
rasan tinggal di desa itu selama tiga malam?" Joko
Sungsang memperlambat langkah kakinya.
' Jawab dulu pertanyaanku!" Sekar Arum bersi-
keras. 'Kebetulan saja aku lewat di desa itu. Dan, rupanya firasatku benar bahwa
orang yang aku cari se-
lama ini ada di desa itu!"
' Siapa?" Sekar Arum berpura-pura.
' Bidadari Karang Bolong!"
Sekar Arum mencubit pinggang anak muda itu.
Tak dihindari cubitan itu sebab Joko Sungsang me-
mang ingin sekali menikmati cubitan gadis yang dicintainya ini. Sudah puluhan
hari ia tidak bercanda dengan gadis pautan hatinya itu. Tepatnya, sejak gadis
itu meninggalkan Padepokan Karang Bolong karena gagal
mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.
Joko Sungsang memaklumi jika Sekar Arum ti-
dak tahan bermalam-malam harus bergulat dengan
ombak Laut Selatan. Kalau saja ia tidak pernah digembleng di dasar jurang yang
udaranya menggigit-gigit tulang, sudah pasti ia pun akan gagal seperti halnya
gadis itu. Maka Joko Sungsang bersyukur telah dipaksa oleh Wiku Jaladri hidup di
dasar jurang di Gunung Lawu itu. Ia bukan saja terlatih dengan udara dingin,
melainkan juga darahnya menjadi panas sebab setiap
hari ia makan daging ular sanca. Bahkan tak jarang ia harus makan daging biawak.
Suhu darahnya yang lain
dengan suhu darah Sekar Arum inilah yang membuat-
nya tahan bermalam-malam bergelut dengan ombak.
Sebaliknya, Sekar Arum yang tubuhnya cepat
menggigil, dengan mudah terpelanting dihantam om-
bak. Kendatipun ia berhasil bangkit lagi, tetapi ombak
akan terus membuatnya terhempas ke pasir pantai.
Padahal, ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan' harus didasari oleh kekuatan kuda-
kuda dalam menahan
hempasan ombak. Tanpa kuda-kuda yang benar, mus-
tahil tenaga inti jasmani akan bisa dilontarkan. Lonta-ran tenaga inti jasmani
inilah yang nantinya akan me-rontokkan apa saja yang tersembunyi di dalam


Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anggota tubuh manusia, tanpa harus melukai bagian luar anggota tubuh itu
sendiri. "Kau pasti disuruh Guru untuk mengajakku
pulang ke padepokan lagi," kata Sekar Arum mem-
buyarkan lamunan Joko Sungsang.
"Syukurlah jika kau sudah berpikir begitu."
'Tetapi, aku tidak akan sudi dipermalukan un-
tuk yang kedua kalinya, Pendekar Perisai Naga!" Tiba-tiba nada bicara gadis itu
meninggi. Malahan Joko
Sungsang melihat sorot mata gadis itu menjadi agak
liar. ' Arum, siapa yang sebenarnya kau anggap
membuatmu malu?" tanya Joko Sungsang hati-hati.
' Siapa lagi kalau bukan ombak keparat itu!"
"Dan, kau malu kepada siapa?"
"Aku murid tunggal di padepokan itu sebelum
kau datang! Akulah yang semestinya mewarisi ilmu
'Pukulan Ombak Laut Selatan'! Tetapi, nyatanya justru kau yang lebih dulu
mewarisinya!"
' Arum, aku sama sekali tidak merasa menjadi
ahli waris ilmu Padepokan Karang Bolong. Sungguh,
Arum. Aku belajar di sana juga atas izinmu. Dan, sebenarnya aku ke sana hanyalah
semata-mata karena
ingin menyampaikan kabar baik guruku kepada guru-
mu. Kalau memang sekarang kau malu terhadapku,
biarlah aku berjanji tak akan menggunakan aji pa-
mungkas dari Padepokan Karang Bolong itu. Biarlah
aku cukup mengandalkan jurus-jurus Perisai Naga
ku." 'Bukan itu yang kumaksudkan! Aku senang
kau bisa merangkap dua ilmu dari dua perguruan se-
kaligus! Aku bangga jika kau menjadi pendekar yang
tidak terkalahkan di kolong langit ini! Aku... ah!" Gadis itu mendekap mukanya
dengan kain parang rusak
yang membalut pinggulnya.
Joko Sungsang semakin kebingungan mengha-
dapi ulah gadis itu. Seumur hidupnya, belum pernah
ia melihat dan mengetahui bagaimana cara menghen-
tikan tangis seorang gadis. Terlebih gadis yang diam-diam dicintainya.
"Aku tidak akan kembali ke Karang Bolong, "
kata Sekar Arum di sela isak tangisnya. "Aku hanya
akan mempermalukan Guru di depan musuh-
musuhnya. Mereka mengira aku telah mewarisi ilmu
'Pukulan Ombak Laut Selatan'. Tetapi, nyatanya aku
tidak pernah berhasil!"
"Arum, dengarlah penjelasan dariku. Beri aku
waktu untuk menjelaskan kenapa oleh Ki Sempani kau
dipersenjatai tombak pendek itu. Kau mau menden-
garkannya?"
Sekar Arum menyusut air matanya. Kini pan-
dang matanya tak lagi galak dan liar. Mata itu sedikit sembab, tetapi tidak
mengurangi daya tarik wajah gadis itu. 'Tombak pendek yang sekarang terselip di
pinggangmu itu, sebenarnya bukan sembarang tom-
bak, Arum. Tombak itu tidak terbuat dari sembarang
besi atau baja seperti umumnya tombak. Tombak itu
terbuat dari tanah liat dari liang kubur seorang pendekar yang dibentuk menjadi
tombak bermata dua, lalu
dibakar di kawah gunung. Setelah itu, barulah diren-
dam pasir pantai selama puluhan tahun. Nah, cobalah kau teliti sekali lagi
tombak pendekmu. Kau timang-timang, benarkah berat tombak itu cocok dengan ba-
han bakunya. Maksudku, jika tombak itu terbuat dari baja atau besi, belum tentu
tangan semungil tanganmu akan mampu memainkan dengan lincah dan gesit."
Sekar Arum melolos tombak pendeknya dari
balik kain parang rusak di pinggangnya la mengamati dua mata tombak pendek itu.
Ada cahaya kebiru-biruan yang diseling warna merah bata. Maka ia ingat warna
batu bata yang terlampau lama terbakar, yang
disebut bata leleh.
' Tapi, kenapa Guru mewariskannya kepada-
ku?" tanya gadis itu setelah mempercayai berita yang dituturkan Joko Sungsang.
' Hanya murid kesayangannya yang akan mene-
rima tombak pendek itu, Arum."
' Tapi, kenapa asal-usul tombak ini tidak per-
nah diceritakan kepadaku oleh Guru sendiri?"
' Karena Ki Sempani takut kau menuduh cerita
itu hanya untuk menghiburmu."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Arum, sebenarnya sejak semula Ki Sempani ti-
dak yakin bahwa kau bakal bisa mewarisi ilmu 'Puku-
lan Ombak Laut Selatan'. Sebagai gantinya, Ki Sempa-ni menciptakan jurus-jurus
tombak pendek khusus
untukmu. Itulah kenapa Ki Sempani sendiri tidak pernah dikenal sebagai Pendekar
Bertombak Pendek di
rimba persilatan. Sebab, sebelum kau menjadi murid-
nya, Ki Sempani sama sekali tidak mengenal jurus jurus tombak pendek. Sampai-
sampai kalangan persila-
tan menjulukinya sebagai pendekar bertangan kosong
yang sulit dicari tandingannya. Dan, kau tahu kenapa Ki Sempani tidak pernah mau
menggunakan senjata
dalam bertarung?"
Gadis itu menggeleng pelahan. Lehernya yang
jenjang semakin memikat mata Joko Sungsang.
Goyangan leher kuning langsat itu benar-benar mem-
buat darah anak muda itu tersirap. Ingin rasanya anak muda itu mencium leher
yang mulus itu.
' Pantang bagi Ki Sempani melihat darah lawan,
Arum. " Mata gadis itu membulat. Bulu matanya yang
lebat bergerak-gerak seperti daun songgo langit.
"Dari mana kau tahu kalau Guru takut melihat
darah?" 'Dari guruku tentu saja. Mereka berdua teman sejati sejak mereka masih
kanak-kanak. Sudah pasti
mereka mengenal lebih dalam satu sama lain."
' Tentu ada sesuatu yang membuat Guru takut
melihat darah."
' Darah membuat Ki Sempani ingat pada den-
damnya yang tak kesampaian."
' Dendam tak kesampaian?"
"Ya. Ki Sempani mengurung diri di Padepokan
Karang Bolong karena ingin membalaskan kematian
kedua orang tuanya. Tetapi, sewaktu ia merasa mam-
pu menandingi musuh bebuyutannya itu, orang yang
dicarinya itu telah bunuh diri dengan pedang merobek-robek dada. Orang itu mati
dengan sekujur tubuh di-
lumuri darah! *** 'Bedebah! Ular busuk! Kau tambahi dosamu
sendiri dengan mencuri mangsaku! Aku ratakan wa-
jahmu jika kutemukan kau, gembala sapi!" rungut
Empu Wadas Gempal begitu menyadari bahwa lawan
barunya ditolong deh Joko Sungsang alias Pendekar
Perisai Naga. Hutan jati itu dikitarinya, diselusupinya, tetapi
tak diketemukannya gadis belia dan anak muda yang
telah membunuh murid kesayangannya itu. Kemara-
han Empu Wadas Gempal semakin menjadi-jadi. Maka
dengan jari-jari tangannya dirobohkannya beberapa
pohon jati yang dianggapnya telah menyembunyikan
buruannya. "Guru dan murid sama saja! Sama-sama pen-
gecutnya! Ayo, lawan Empu Wadas Gempal jika kau
memang pantas bergelar Pendekar Perisai Naga! Atau, kau lebih seriang aku sebut
Pendekar Perisai Kerbau"
Sapi" Kuda" Kambing" Bebek" Ayo, keluar! Ledakkan
cambukmu di kepalaku!" Suara Penguasa Hutan Keta-
pang itu bergema. Hewan-hewan yang hidup di hutan
jati itu berlarian.
Lalu sepi. Hanya terdengar kesiur angin ber-
campur dengan suara daun-daun jati bergesekan.
Daun-daun yang kering melahirkan suara yang me-
nyakitkan gen-dang telinga.
' Kucincang dan ku gantung lehermu dengan
cambuk kambing mu sendiri, dan kusuruh telan bola
berduri yang menghiasi ujung cambuk mu!" Masih ju-
ga Empu Wadas Gempal bersumpah-serapah ketika
melangkah meninggalkan pinggiran hutan jati yang
membatasi Desa Gedong Alit dengan Desa Gedong
Tengen itu. Tiba-tiba mendung menutup cahaya bulan.
Empu Wadas Gempal menadahkan telapak tangannya.
Beberapa titik air hujan membasahi telapak tangan
itu. ' Hujan pertama" Hujan pertama, aku ada janji.
Tapi, dengan siapa" Di mana" Janji apa?" Orang sesat
dari Hutan Ketapang itu menepuk-nepuk jidatnya.
Namun begitu, apa yang berusaha diingatnya tak per-
nah muncul di batok kepalanya.
Syukurlah gerimis segera berhenti. Angin ken-
cang membuyarkan mendung hitam yang memayungi
hutan jati itu. Empu Wadas Gempal tertawa tergelak-
gelak. Justru sewaktu gerimis berhenti, ia ingat janjinya dengan Ki Danyang
Bagaspati. ' Tetapi, aku belum berhasil mencincang si
Gembala Kambing itu, Bagaspati," ujarnya dalam hati.
Kemudian ia membayangkan adegan pertarungannya
nanti dengan Ki Danyang Bagaspati. Bagaimanapun
juga ia merasa was-was menghadapi orang tua berilmu demit itu. Banyak senjata di
muka bumi ini, tetapi
orang aneh dari Gunung Merapi itu justru memakai
kain kafan sebagai senjata andalan. Meskipun hanya
kain kafan, kain lusuh yang tentunya sudah tak ulet lagi, jika sudah dipilin dan
dialiri tenaga dalam maka akan menjadi ancaman bagi benda apa saja yang dis-
entuhnya. Belum lagi jika kain kafan itu berpasangan
dengan senjata rahasia kerikil kepundan yang setiap butirnya mampu menembus
kulit dan meracuni darah
dalam tubuh. Sebutir saja kerikil beracun itu merobek kulit maka tubuh akan
kejang dan mata terbeliak mirip orang ayan.
"Biarlah aku mati di tangan demit itu asalkan
aku lebih dulu bisa membunuh Pendekar Perisai Na-
ga," keluh Empu Wadas Gempal setelah menaksir-
naksir tingkatan ilmu Ki Danyang Bagaspati.
*** 5 Tewasnya Cekel Janaloka membuat murid
tunggalnya gusar bukan kepalang. Ia seorang gadis
yang berusia kurang dari dua puluh tahun. Namun
demikian, tingkatan ilmu silatnya hampir bisa disejajarkan dengan ilmu silat
yang dimiliki gurunya. Kalau bisa dianggap sebagai satu kelebihan jika
dibandingkan dengan Cekel Janaloka, gadis ini memiliki senjata andalan berupa
toya, terbuat dari kayu dewondaru.
Toya ini berwarna merah-kecoklat coklatan dan tak
akan mungkin terlukai oleh segala jenis senjata tajam.
Serat-serat kayu dewondaru memungkinkan toya itu
tidak mudah terpatahkan. Selama senjata andalan
Perguruan Gunung Sumbing ini berada di tangan Ce-
kel Janaloka, belum sekali pun terlukai oleh senjata lawan, apalagi terpatahkan.
Oleh sebab itulah, tanpa senjata andalannya ini, Cekel Janaloka tak mampu
bertahan melawan Empu Wadas Gempal. Kalau saja
orang sakti dari Gunung Sumbing ini belum mewa-
riskan toya dewondarunya kepada murid tunggalnya,
bukan tidak mungkin telapak tangan Empu Wadas
Gempal yang hancur dalam pertarungan di Desa Ge-
dong Alit malam itu.
Endang Cantikawerdi, gadis murid Cekel Jana-
loka itu, langsung berniat mencari Empu Wadas Gem-
pal di Hutan Ketapang. Dari keterangan yang dida-
patkannya, ia tidak ragu lagi bahwa Empu Wadas
Gempallah yang harus menebus kematian Cekel Jana-
loka. Dalam perjalanan menuju Hutan Ketapang in-
ilah Endang Cantikawerdi terpaksa harus berurusan
dengan Sekar Arum. Meski merasa harus secepatnya
tiba di Hutan Ketapang, melihat kegaduhan di hala-
man kedai minum itu, ia menyempatkan diri untuk
melihat-lihat. Meluap kemarahan Endang Cantikawerdi begi-
tu melihat seorang gadis merobohkan tiga orang lelaki yang diketahuinya sebagai
penduduk Kaki Gunung
Sumbing. Maka gadis murid Cekel Janaloka ini lang-
sung memutar toyanya dan menyongsong serangan
tombak pendek yang sejengkal lagi merobek dada seo-
rang lelaki yang masih mampu bertahan.
"Trang! Trang! Trang!"
Tombak pendek bermata dua itu bertemu den-
gan toya dewondaru milik Endang Cantikawerdi. Aki-
batnya kedua gadis itu sama-sama berjumpalitan ke
belakang untuk kemudian memasang kuda-kuda.
' Gadis liar yang tak tahu adat! Katakan nama-
mu sebelum toyaku ini menggebuk pantatmu dan
mengempiskan dadamu!" hardik Endang Cantikawerdi
dengan pandang mata mirip pandang mata harimau
lapar. 'Perempuan jalang bermulut kotor! Siapa pun namaku, aku tak ada urusan
denganmu! Dan, jangan
berkhayal tongkat penggebuk anjingmu itu bisa me-
nyentuh kulitku!" Sekar Arum tak kalah gertak.
'Kuntilanak busuk!" bentak Endang Cantika-
werdi, yang langsung menerjang dengan sodokan
toyanya ke arah ulu hati Sekar Arum
Secepat Itu pula Sekar Arum melompat ke
samping, dan segera mengeluarkan senjata andalan-
nya yang berbentuk tombak pendek mata dua!
Menyadari bahwa lawan langsung melancarkan
serangan yang mematikan, Sekar Arum melompat ke
samping dan mengirimkan serangan balasan. Namun,
gadis liar yang tidak dikenalnya ini ternyata sudah siap menerima serangan
balasan. Dengan sigap ia menarik
toyanya dan membenturkannya pada mata tombak
yang mengancam pelipisnya. Tangkisan yang disertai
aliran tenaga dalam yang sempurna ini membuat Se-
kar Arum mengaduh mundur beberapa langkah. Kini
ia benar-benar meyakini bahwa lawannya memang
menghendaki kematiannya, Maka secepatnya ia men-
galirkan tenaga murni untuk mengusir rasa nyeri di


Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahu kanannya. ' Hi hi hik! Rupanya besar mulutmu tak sesuai
dengan besar tenagamu, sundel bolong!" ejek Endang
Cantikawerdi yang merasa di atas angin.
Joko Sungsang yang menyaksikan pertarungan
itu dari dalam kedai menyesali sikap Sekar Arum yang mudah meremehkan lawan.
Seharusnya, gadis itu tak
cukup hanya mengandalkan kecepatan dalam menye-
rang tetapi juga harus menyertai serangan itu dengan tenaga dalam. Rupanya ia
lupa bahwa yang dihadapi
nya bukan lagi lelaki-lelaki hidung belang yang hanya mengandalkan otot itu.
Setelah rasa nyeri di bahu kanannya teratasi
Sekar Arum kembali menerjang dengan tombak pen-
deknya. Dua mata tombaknya susul-menyusul men-
gancam pinggang lawan. Serangan itu memang ditung-
gu oleh Endang Cantikawerdi. Itulah kenapa ia tadi
membuka pinggangnya agar lawan mengiranya lena. Ia
ingin mengadu lagi toya dewondaru-nya dengan tom-
bak pendek milik lawan.
"Trang! Trang!"
Kedua mata tombak pendek itu bertemu lagi
dengan kedua ujung toya berwarna merah kecoklat-
coklatan itu. Namun, kali ini tubuh kedua gadis itu sama-sama terpental ke
belakang dan bergulingan di
tanah. Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat dua
senjata bertemu.
' Cukup!" Dalam sekejap mata, Joko Sungsang
tiba-tiba saja telah berdiri di antara kedua gadis itu.
Mata Endang Cantikawerdi terbelalak meman-
dangi anak muda yang berpakaian serba putih dan di
pinggangnya terlilit Perisai Naga. Kendatipun gadis ini belum lama terjun di
dunia persilatan, setidaknya ia pernah mendengar cerita dari gurunya perihal
Pendekar Perisai Naga ini.
Endang Cantikawerdi melenting bangkit, ke-
mudian menyilangkan toyanya di depan dada. Matanya
meneliti sosok anak muda yang berdiri menghadapnya.
Ia berani memastikan anak muda ini kawan baik gadis bertombak pendek itu!
"Aku sudah mendengar nama besarmu, Pende-
kar Perisai Naga! Tetapi, kalaupun kau hendak meng-
gantikan gadismu itu menghadapiku, jangan kau pikir aku takut!" ujar gadis itu
seraya memutar toya dewondarunya.
''Jangan buruk sangka. Aku terpaksa menghen-
tikan perkelahian ini sebab aku tidak melihat alasan kalian berdua mesti
berkelahi hidup dan mati. Aku lebih dulu berada di tempat ini sebelum...."
' Bagaimana mungkin kau yang bergelar Pende-
kar Perisai Naga membiarkan gadis liar itu membunuh penduduk desa yang tidak
bersalah" Atau, memang
kau senang melihat kekejaman terjadi di depan mata-
mu?" tukas Endang Cantikawerdi.
"Bagaimana mungkin kau menyimpulkan bah-
wa para lelaki hidung belang itu tidak bersalah?" balik Joko Sungsang.
' Sudahlah, Joko! Biarkan dia memuaskan ke-
hendaknya! Dia pikir aku gentar menghadapinya!" sela
Sekar Arum. ' Tidak, Arum. Kita tidak punya perselisihan
dengannya. "
' Siapa bilang" Ayo, keroyoklah aku kalau me-
mang kalian takut menghadapiku satu lawan satu!"
sahut Endang Cantikawerdi.
"Aku tahu kau seorang pendekar budiman. Kau
ingin melindungi penduduk desa yang tertindas. Teta-pi, apakah tidak lebih baik
kau tanyakan dulu kenapa mereka sampai terlibat perkelahian dengan gadis ini?"
kata Joko Sungsang menunjuk Sekar Arum yang ber-
diri di sampingnya.
Endang Cantikawerdi bimbang sejenak. Bagai-
manapun juga ia tidak ingin gegabah menanam per-
musuhan dengan Pendekar Perisai Naga yang kesohor
ini. Lagi pula, ia masih punya urusan dengan Empu
Wadas Gempal. Seharusnyalah ia menanamkan per-
saudaraan terhadap anak muda murid Wiku Jaladri
ini. "Hei, kemari kau!" Endang Cantikawerdi menu-
dingkan tongkatnya ke arah lelaki yang berdiri di antara mayat teman-temannya.
Lelaki itu takut-takut mendekati gadis murid
Cekel Janaloka itu.
"Apa yang telah kalian perbuat sehingga kalian
berurusan dengan gadis ini?" tanya Endang Cantika-
werdi sambil menaruh toyanya di pundak lelaki itu.
' Kami... kami... hanya bergurau menggo-
danya...."
' Bohong!" tukas Sekar Arum cepat.
'Tangan kotor tikus-tikus itu hampir saja me-
nodai bajuku!"
' Kembali kau ke desamu, bawa serta mayat te-
man-temanmu itu sebelum kuhancurkan batok kepa-
lamu dengan toyaku ini!" Endang Cantikawerdi mendo-
rong dada lelaki itu dengan toyanya. Tubuh lelaki itu terhuyung dan kemudian
jatuh terduduk di tanah.
"Nah, kiranya di antara kita memang tidak ada
yang harus diperselisihkan," kata Joko Sungsang. ' Kalau begitu, izinkan kami
meninggalkan desa ini. Tetapi, alangkah bangga hati kami jika kami tahu dengan
siapa kami berhadapan sekarang ini."
Sekar Arum memberengut. la jengkel melihat
Joko Sungsang begitu merendahkan diri di depan ga-
dis binal ini. Kenapa mesti ingin tahu nama perem-
puan jalang bermulut kotor ini"
"Aku memang bukan pendekar terkenal seper-
timu. Tetapi, nama Perguruan Gunung Sumbing sudah
cukup dikenal di rimba persilatan. Maaf, aku masih
punya urusan!" Endang Cantikawerdi melompat pergi,
meninggalkan halaman kedai minum itu.
*** Joko Sungsang kebingungan menentukan
langkah. Semula ia ingin mengajak Sekar Arum mem-
buntuti gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing itu. Akan tetapi, di luar
dugaannya, Sekar Arum sendiri menghilang ke arah yang berlawanan dengan arah
kepergian gadis murid Cekel Janaloka itu. Sungguh,
anak muda itu tidak mengira bahwa Sekar Arum akan
tersinggung dan lari meninggalkannya.
Sudah barang pasti Sekar Arum tersinggung
melihat perlakuan Joko Sungsang terhadap gadis liar itu. Meski ia merasa belum
tentu bisa mengalahkan
gadis bertoya itu, setidaknya ia merasa belum berhasil membalas rasa nyeri di
bahu kanannya. Padahal hampir-hampir Sekar Arum tadi mengeluarkan aji pa-
mungkas nya ketika tiba-tiba Joko Sungsang datang
melerai perkelahian kedua gadis itu. Dengan jurus
'Memancing Mangsa Keluar Sarang', Sekar Arum me-
rasa pasti bisa merobohkan gadis binal dari Perguruan Gunung Sumbing itu. la
tidak yakin gadis binal itu il-mu silatnya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat
Kebo Dungkul. Kalau nyatanya Kebo Dungkul tewas oleh aji pamungkasnya, kenapa
gadis binal ini tidak"
Lebih dari itu, Sekar Arum merasa dibanding-
bandingkan dengan gadis bertoya itu. Karena gadis itu cantik maka Joko Sungsang
memaafkan perbuatannya
dan membiarkan gadis itu pergi" Karena gadis itu ber-tubuh molek maka Joko
Sungsang lantas merendah-
kan diri dan berusaha tahu nama gadis itu" Atau
mungkin Joko Sungsang menganggap gadis itu ilmu
silatnya hebat.
Sekar Arum terus berlari. Ia mengerahkan ilmu
meringankan tubuh sekuatnya. Maka yang tampak
hanyalah bayangan putih berkelebat. Dan, Sekar Arum baru mengurangi kecepatan
larinya setelah yakin Joko Sungsang tidak mengejarnya.
' Atau, jangan-jangan ia mengejar perempuan
jalang itu!" kata Sekar Arum terkesiap. Kemudian ia menghentikan langkahnya,
menajamkan pendenga-rannya, sambil dalam hati berharap mudah-mudahan
Joko Sungsang mengejarnya.
Namun, harga diri gadis itu berkata lain. Untuk
apa ia harus menunggu orang yang belum tentu men-
cintainya" Apalagi orang itu sekarang sedang menaruh perhatian kepada gadis
lain! "Ya, pasti ia mengejar perempuan jalang itu!"
kata hati Sekar Arum sambil kembali melangkah. Ia
yang beberapa waktu yang lalu sudah memutuskan
untuk kembali ke Padepokan Karang Bolong, kini
mengubah keputusan itu. Ia harus pergi jauh agar tidak terbujuk lagi oleh kata-
kata manis Joko Sungsang!
Sekar Arum mengayun langkahnya sambil me-
naksir-naksir bagaimana kiranya perasaan Joko Sung-
sang terhadapnya. Dia memang penuh perhatian ter-
hadapku. Tetapi, pada saat-saat tertentu, Joko Sungsang seperti tak ambil
peduli. Seperti ketika sikapnya di kedai sewaktu para lelaki mata keranjang itu
meng-godaku, pikir gadis itu.
Kendatipun Sekar Arum yakin bisa mengatasi
lelaki-lelaki kasar itu, setidaknya ia berharap Joko Sungsang merasa cemburu dan
lantas melabrak mereka. Namun, toh yang terjadi justru sebaliknya. Joko Sungsang
malahan menahan-nahan tawanya ketika
dua dari empat orang lelaki kasar itu mulai mencolek-colek lengan baju Sekar
Arum. Bahkan sewaktu Sekar
Arum bereaksi, dan empat orang lelaki kasar itu mengurungnya, tetap saja Joko
Sungsang tidak beranjak
dari duduknya. ' Itukah yang namanya cinta" Itukah bukti cin-
ta lelaki terhadap wanita yang dicintainya?" kata hati Sekar Arum lagi. Lalu
gadis itu menyesal kenapa tadi ia membiarkan saja perempuan jalang dari
Perguruan Gunung Sumbing itu berlalu. Seharusnya ia tak perlu mempedulikan ucapan-ucapan
Joko Sungsang. Seharusnya ia memburu perempuan jalang itu dan menga-
jaknya bertarung hingga salah satu dari mereka mati.
Lebih baik mati daripada hidup hanya untuk diband-
ing-bandingkan dengan gadis lain!
Tidak mustahil jika Sekar Arum cemburu meli-
hat Endang Cantikawerdi. Gadis muda belia dari Per-
guruan Gunung Sumbing ini memang tak kalah cantik
jika dibandingkan dengan gadis murid Ki Sempani itu.
Dengan pakaian yang serba jingga, Endang Cantika-
werdi nampak begitu cantik dan menggemaskan. Bi-
birnya yang tipis sungguh selaras dengan matanya
yang sedikit sipit. Apalagi jika dipadukan dengan hi-dungnya yang runcing dan
sedikit mendongak. Kulit-
nya kuning langsat, kontras dengan warna rambutnya
yang hitam legam. Pinggulnya yang menggemaskan
terbungkus kain lereng berwarna merah bata. Nampak
sekali kalau saja gadis itu tidak membawa-bawa toya dewondarunya, tak akan
mereka yang melihat me-nyangka bahwa gadis itu murid orang sesat macam
Cekel Janaloka. Sungguh amat disesalkan jika gadis
semolek itu ternyata seorang pembunuh kejam berali-
ran sesat!. Tak ada yang tahu kenapa Endang Cantikawer-
di terseret ke lingkungan orang-orang sesat kecuali Cekel Janaloka sendiri.
Bahkan kedua orang tuanya
pun tidak tahu bahwa ilmu silat gadis itu beraliran hitam. Mereka hanya tahu
bahwa anak mereka berada di
bawah asuhan orang sakti dari Perguruan Gunung
Sumbing. Lima tahun yang lalu, sewaktu Endang Canti-
kawerdi berusia empat belas tahun, seorang kepala
rampok hampir saja menodai gadis itu di depan mata
kedua orang tuanya yang terikat tak berdaya. Ketika kepala rampok itu sudah
berhasil merobek baju bagian dada pakaian gadis itu, muncullah Cekel Janaloka
menyelamatkannya. Dengan sekali ayun, tongkat de-
wondaru di tangan Cekel Janaloka membuat pelipis
kepala rampok itu pecah. Dan, dalam beberapa jurus
kemudian sembilan anak buahnya menyusul roboh.
Orang tua Endang Cantikawerdi yang tidak
mengenal dunia persilatan itu sama sekali tidak bisa membedakan mana pendekar
yang beraliran sesat dan
mana pendekar yang beraliran lurus. Itulah kenapa
mereka tanpa sungkan-sungkan lagi menyerahkan
anak gadisnya kepada Cekel Janaloka untuk dijadikan murid. "Ha ha ha, kebetulan
sekali! Kedatanganku ke desa ini memang terdorong oleh mimpiku semalam!
Kalian tahu aku bermimpi apa?" kata Cekel Janaloka
kegirangan. Kedua orang tua Endang Cantikawerdi mengge-
leng bersamaan.
"Aku bermimpi melihat mutiara yang belum di-
asah tersembunyi di rumah ini! Nah, nyatanya anak
gadis kalian yang sesungguhnya berbakat menjadi
pendekar, tetapi sama sekali tak melawan menghadapi kambing-kambing bandot itu!"
' Jadi, Kiai tidak keberatan jika kami menye-
rahkan anak gadis kami untuk Kiai gembleng di Perguruan...?"
' Perguruan Gunung Sumbing!" timpal Cekel
Janaloka meneruskan ucapan ayah Endang Cantika-
werdi yang terputus oleh ketidaktahuannya. 'Ya, ya!
Sudah lama sekali aku mencari-cari anak gadis yang
sekiranya cocok menjadi murid tunggalku. Tetapi ru-
panya anak gadis kalianlah yang berjodoh mewarisi il-mu silatku. Ha ha ha!"
' Terima kasih. Kiai. Selain Kiai telah menyela-
matkan harta dan nyawa kami sekeluarga, Kiai juga
mengabulkan permintaan kami. Kami berdua memang
orang-orang bodoh yang tidak menyadari betapa keja-
hatan semakin merajalela di muka bumi ini. Kami hi-
dup hanya untuk memburu harta, tanpa tahu bagai-
mana cara melindunginya, Kiai," ratap ayah Endang
Cantikawerdi sambil bersujud di depan kaki Cekel Janaloka.
*** 6 Sebelum Endang Cantikawerdi menyebutkan
nama perguruannya, sebenarnya Joko Sungsang su-
dah bisa menebak murid siapakah gadis yang bersen-
jatakan toya itu. Jurus-jurus silat yang digunakan gadis itu sewaktu melawan
Sekar Arum tak beda dengan
jurus-jurus yang diterapkan Cekel Janaloka dalam
pertarungannya melawan Empu Wadas Gempal di De-
sa Gedong Alit. Oleh sebab itulah, Joko Sungsang
sempat mencemaskan pertahanan Sekar Arum sewak-
tu melawan gadis yang berpakaian serba jingga itu. Kalau saja murid Cekel
Janaloka itu tidak memberikan
kesempatan kepada Sekar Arum untuk mengalirkan
tenaga mumi ke pundaknya yang terasa nyeri, bukan


Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mungkin Sekar Arum akan tewas seketika itu ju-ga.
Joko Sungsang tak habis pikir, kenapa gadis
molek itu bisa mewarisi ilmu sesat. Mana mungkin ia tidak tahu bahwa Cekel
Janaloka adalah tokoh aliran sesat! Atau mungkin, gadis itu memang benar-benar
tidak tahu" Atau, gadis itu menaruh dendam terhadap salah seorang pendekar
golongan lurus" Atau, adakah kemungkinan gadis itu dipaksa oleh Cekel Janaloka
agar mewarisi ilmu sesatnya.
Untuk menemukan jawaban yang tepat, tidak
boleh tidak Joko Sungsang harus berusaha kenal lebih dekat dengan gadis itu.
Tetapi, bagaimana dengan
pengawasannya terhadap Sekar Arum" Bukankah ia
sudah berjanji di depan Ki Sempani untuk membawa
Sekar Arum kembali ke Padepokan Karang Bolong".
Joko Sungsang untuk sejenak dilanda keragu-
raguan. Tak mungkin ia bisa menguntit kepergian ga-
dis murid Cekel Janaloka itu tanpa mengabaikan pen-
gawasannya terhadap Sekar Arum. Sebaliknya, tak
mungkin ia bisa mengawasi Sekar Arum tanpa melu-
pakan gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing
itu. Akan tetapi, setelah menghubung-hubungkan
kemunculan gadis itu dengan kematian Cekel Janaloka di Desa Gedong Alit, tahulah
Joko Sungsang langkah
mana yang harus ditempuhnya lebih dulu. Pengeja-
rannya terhadap Sekar Arum masih mungkin ditun-
danya. Sebaliknya, ia tidak mungkin membiarkan ga-
dis murid Cekel Janaloka itu memasuki Hutan Keta-
pang dan berhadapan dengan Empu Wadas Gempal.
Tak ada tujuan lain gadis itu kecuali Hutan Ketapang!.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sulit di-
carikan tandingannya, Joko Sungsang dengan cepat
berhasil menyusul langkah Endang Cantikawerdi. Se-
belum gadis itu memasuki kawasan Hutan Ketapang,
Joko Sungsang telah menangkap bayangan Jingga
yang berkelebat di sela-sela pepohonan.
Sampai kemudian jarak mereka tinggal bebera-
pa tombak, Joko Sungsang belum menemukan cara
mencegah gadis itu menemui Empu Wadas Gempal.
Bersyukurlah Pendekar Perisai Naga ini begitu ingat cerita penyamaran Wiku
Jaladri sewaktu menyelamatkan Sekar Arum dari ancaman Kebo Dungkul lima
tahun yang lalu. Maka buru-buru ia menanggalkan ba-
ju putihnya, ikat kepala dari kulit ular yang menjadi ciri khasnya, dan yang
terpenting menyembunyikan
Perisai Naga dari penglihatan gadis itu.
Baju putih itu kini membalut separuh wajah-
nya, rambutnya yang biasa terikat di atas kepala kini tergerai melewati pundak,
dan Perisai Naga yang semula melilit pinggangnya berpindah melilit paha kanan
dalam lindungan celana pangsi komprang. Adapun ikat kepala yang biasanya
melingkar di atas alis mata itu kini mengikat paha kirinya, tersembunyi di balik
celana pangsi putih itu.
Endang Cantikawerdi menimang-nimang
toyanya sambil mengamati lelaki aneh yang mengha-
dang langkahnya.
' Kalaupun kau menutup seluruh mukamu, aku
akan tetap melabrakmu, gembel busuk!" ujar gadis itu yang menganggap lelaki di
hadapannya itu mencoba
menakut-nakutinya.
"He he he, jangan lantaran kau cantik dan pa-
kaianmu indah maka kau menganggapku gembel!"
Ujar Joko Sungsang sengaja meniru suara kebanyakan
tokoh dari golongan hitam.
' Kalau kau ingin kuanggap sebagai orang wa-
ras, bukalah tutup mukamu! Tetapi, kalau kau me-
mang malu karena bibirmu sumbing, aku maafkan
tingkahmu yang memuakkan itu!" Endang Cantika-
werdi tersenyum sinis.
"Ha ha ha, ho ho ho, hm! Apa urusanmu bila
aku tutup sekujur badanku atau aku buka semua pa-
kaianku" Ah, rupanya di Gunung Sumbing tidak ada
orang aneh sepertiku...."
' Tutup mulutmu, jahanam!" sergah gadis itu
sembari menyabetkan toyanya ke arah mulut Joko
Sungsang. ' Sejak tadi aku sudah menutup mulutku, ma-
can betina!" sahut Joko Sungsang sambil menarik ke-
palanya ke belakang. Hampir saja tutup mukanya ter-
sambar toya merah-kecoklat-coklatan itu. Bahkan an-
gin yang terbawa gerakan toya itu cukup kuat untuk
menerbangkan penutup muka itu kalau saja Joko
Sungsang tidak kuat menalikannya ke belakang telin-
ga. ' Badut keparat! Bosan hidup!" Semakin ganas
serangan Endang Cantikawerdi. Kini toya dewonda-
runya menyambar leher, dada, dan kaki lawan secara
beruntun. Karena merasa tidak mungkin lagi merunduk,
melompat ke samping kiri atau kanan, Joko Sungsang
mengenjot tanah dan tubuhnya berjumpalitan di uda-
ra. Dan, sewaktu kakinya hampir mendarat lagi di tanah, gadis itu menyambutnya
dengan sodokan toya ke
arah lutut. "Desss!"
Terpaksa Joko Sungsang mengadu tumit ka-
kinya dengan toya peninggalan Cekel Janaloka itu.
Tentu saja ia lebih dulu mengisi tumitnya dengan tenaga dalam yang didasari ilmu
'Pukulan Ombak Laut
Selatan', Sengaja ia menggunakan ilmu silat dari Padepokan Karang Bolong agar
penyamarannya tidak ter-
cium oleh gadis murid Perguruan Gunung Sumbing
ini. Cepat-cepat Endang Cantikawerdi menarik
tongkatnya yang sempat tergencet tumit Joko Sung-
sang. Dan, kalau saja ia tidak mengerahkan tenaga dalamnya, ia pastikan toya itu
terlepas dari genggaman tangannya. Mulailah gadis itu menyadari bahwa lawannya
kali ini bukan lelaki sembarangan yang hanya mengandalkan keberanian.
"Luar biasa jurus seranganmu, Cah Denok! An-
dai saja gurumu masih bisa menyaksikan, dia akan
bangga. Sayang, dia buru-buru pulang ke asalnya!"
ujar Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi kaget bukan kepalang.
Siapa sebenarnya lelaki bertopeng ini" Kenapa ia tahu Perguruan Gunung Sumbing
baru saja kehilangan Ce-
kel Janaloka" Dan, ada hubungan apa lelaki bertopeng ini dengan Empu Wadas
Gempal" ' Kisanak, sebenarnya apa maksudmu mengha-
lang-halangi perjalananku" Bukankah di antara kita
tidak pernah ada urusan?" Endang Cantikawerdi me-
nahan-nahan kemarahannya. Bagaimanapun juga la-
wannya kali ini tidak mungkin dihadapinya dengan
membabibuta. "Siapa bilang kita tidak ada urusan?" balik Jo-
ko Sungsang. "Selama kau melintasi daerah ini, berarti kau harus berurusan
denganku! Akulah penguasa
pinggiran Hutan Ketapang ini, mawar gunung!"
"Manusia licik!" sergah Endang sigap. "Buka
kedokmu kalau memang kau ingin bertarung secara
jantan! Tidak sudi aku membunuh manusia yang tidak
aku ketahui asal-usulnya, dan apa urusannya!"
"Ho ho, jadi kau tetap yakin bisa menjatuhkan-
ku?" ejek Joko Sungsang. "Nah, kalau kau bisa me-
nyentuh kulitku dengan toyamu itu aku berjanji akan membuka tutup wajahku!
Bagaimana?"
' Bersiaplah, manusia pongah! Bukan saja ku-
litmu yang akan tersentuh toyaku, melainkan juga jan-tungmu!" Endang
Cantikawerdi benar-benar telah ke-
hilangan kesabarannya. Kali ini ia menyerang dengan jurus 'Toya Sakti Pengusir
Malaikat'. Gerakan toya itu begitu aneh sehingga Joko Sungsang kerepotan menebak
ke arah mana serangan tawan kali ini. Untuk itu, terpaksa ia melenting ke udara
dan menyambar ranting pohon untuk menjaga kulitnya dari sentuhan toya maut itu.
"Trak! Trak! Krak!"
Ranting sebesar gagang Perisai Naga itu patah
menjadi dua begitu berbenturan dengan toya merah-
kecoklat-coklatan itu. Hal ini memang sudah ada da-
lam perhitungan Joko Sungsang. Apalah artinya seba-
tang ranting jika diadu dengan toya yang terbuat dari kayu dewondaru!
Melihat lawan berjumpalitan ke belakang, En-
dang Cantikawerdi semakin bersemangat untuk me-
nyerang. Maka semakin garang ia menyerang dengan
jurus andalannya. Betapapun lawan begitu lincah
menghindar, ia merasa pasti bisa menyentuhkan
toyanya ke kulit tawan. Jika tawan terpaksa menang-
kis serangannya, ini berarti tawan terpaksa menyentuh toya! Namun, semuanya
sudah ada dalam muslihat
Joko Sungsang. Ia sengaja menghindar terus agar ga-
dis itu terus pula memburunya. Maka tanpa disadari
oleh gadis itu, Hutan Ketapang akan semakin jauh di-tinggalkannya. Apalagi
Sesekali Joko Sungsang berlari kencang dengan lagak ketakutan.
Hanya saja, rencana Joko Sungsang ternyata
berjalan tidak semulus yang diharapkan. Justru se-
waktu Hutan Ketapang sudah jauh ketinggalan di be-
lakang mereka, tiba-tiba muncul Empu Wadas Gempal
membuyarkan rencana Joko Sungsang.
"Ho ho ho! Rupanya ada belalang sedang dike-
jar-kejar burung merak! Tetapi, sayangnya si Merak
terlalu bodoh!" Suara Empu Wadas Gempal membuat
Endang Cantikawerdi menghentikan putaran toyanya.
Lalu, begitu mengenali siapa yang bertengger di
atas dahan, gadis itu langsung bersumpah serapah,
''Gembel busuk! Kebetulan jika kau ada di sini, orang hutan! Turunlah biar ku
pecah batok kepalamu!"
"He he he! Kenapa kau tidak minta tolong aku
saja untuk menangkap belalang itu, Cah Ayu" Apa kau kira dengan marah-marah
begitu...?"
"Tutup mulutmu, Empu Wadas Gempal!" tukas
Endang Cantikawerdi. Bersamaan dengan itu, ia me-
nyabetkan toyanya ke tanah, dan melayanglah batu hitam sebesar kepalan tangan ke
arah dahi Empu Wadas
Gempal. ' Heiiit!"
" Plak!"
Dengan mengandalkan tenaga angin yang ke-
luar dari telapak tangannya, Empu Wadas Gempal
berhasil menjinakkan luncuran batu itu. Kini batu hitam itu berada dalam
genggamannya. Semakin marah Endang Cantikawerdi melihat
kelihaian orang tua dari Hutan Ketapang itu. Kini toya di tangannya berkelebat
dan robohlah pohon yang menyangga tubuh Empu Wadas Gempal.
"He he he, kukira burung merak, tidak tahunya
ular beludak!" ujar Empu Wadas Gempal sembari me-
layang turun mendahului gerak pohon tumbang. Sam-
bil melayang turun inilah Penguasa Hutan Ketapang
itu mengirimkan angin dari kedua telapak tangannya
ke arah betina liar yang tidak dikenalnya itu.
Cepat-cepat Endang Cantikawerdi memutar
toyanya untuk melindungi tubuhnya dari serangan la-
wan. Namun begitu, tetap saja tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang hingga beberapa tombak.
"Ular betina tidak tahu tatakrama! Sebenarnya
ada urusan apa kau tiba-tiba berbelok menyerangku"
Bukankah kau harus menangkap belalang tanpa baju
itu?" Empu Wadas Gempal menuding ke arah Joko
Sungsang. Tetapi, ketika matanya memandang ke arah
tudingan jari tangannya, anak muda itu sudah tidak berada di tempatnya.
' Urusanku dengannya hanyalah urusan kecil,
Wadas Gempal! Tetapi, urusanku denganmu adalah
urusan hidup dan mati!"
"Apa" Ha ha ha Apa kupingku yang tua ini ti-
dak salah dengar?"
' Lebarkan lubang telingamu kalau memang
kau ingin tahu siapa aku, dan kenapa aku menan-
tangmu, kakek pikun!"
"Ha ha ha! Kau tentu bidadari kahyangan yang
ingin membagikan kebahagiaan kepadaku! Bukan be-
gitu?" Empu Wadas Gempal merapikan jubah merah-
nya seakan sedang berhadapan dengan wanita yang
dihormatinya. ' Kalau kau rasa neraka itu membahagiakanmu,
bacotmu memang tidak salah, kakek gembel!"
"Wah, rupanya ada juga bidadari yang mulut-
nya kotor! He he he! Tapi, tak apalah! Kepingin juga rasanya menikmati cubitan
gadis cantik macam kau!
He he he!"
"Rasakan toya dewondaruku, iblis hutan!" sa-
hut Endang Cantikawerdi seraya menerjang perut la-
wan dengan sodokan-sodokan toyanya.
"Hei, ada hubungan apa kau dengan Cekel Ja-
naloka, Cah Ayu?" Empu Wadas Gempal sama sekali
tak menggeser kuda-kudanya. Ia hanya merendahkan
tubuhnya sambil mendorongkan kedua telapak tan-
gannya ke depan Meski demikian, angin yang keluar
dari telapak tangan itu mampu membuat ujung toya
dewondaru melenceng ke samping kirinya hingga dua
jengkal. Endang Cantikawerdi menarik kembali toyanya, menaruh kedua telapak
tangannya pada satu ujung
toya, dan menggunakan ujung yang lain untuk menje-
jak tanah. Kalau saja Empu Wadas Gempal belum per-
nah berhadapan dengan Cekel Janaloka, tentu ia tidak akan mengira bahwa gadis
itu akan mengirimkan tendangan ke arah mukanya.
"Plak! Plak!"
Tubuh Endang Cantikawerdi bergulingan di ta-
nah. Sungguh, ia tidak mengira bahwa serangan kilat kedua tumitnya akan terbaca
oleh orang sakti dari Hutan Ketapang itu. Dengan sigapnya Empu Wadas Gem-
pal menepiskan kedua betis gadis itu setelah menarik kepalanya sejengkal ke arah
kanan. Beruntung gadis
itu sebab Empu Wadas Gempal belum menggunakan
jurus jari-jari mautnya yang mengandung racun.
"Tahu aku sekarang, kenapa kau bernafsu se-
kali membunuhku, Cah Denok! Rupanya kau ingin
membalaskan kematian gurumu, ya?" ujar Empu Wa-
das Gempal.

Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Endang Cantikawerdi merasakan kedua betis-
nya sedikit nyeri. Namun, dengan cepat ia berhasil
mengalirkan tenaga mumi untuk mengatasi rasa nyeri
itu. Kemudian, tanpa mempedulikan ucapan-ucapan
lawannya, kembali ia menerjangkan kedua ujung
toyanya susul-menyusul. Inilah jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat' yang
beberapa saat yang lalu mere-
potkan pertahanan Joko Sungsang. Kombinasi antara
sodokan dan pukulan toya ini tak lagi diremehkan oleh Empu Wadas Gempal. Tak
mungkin lagi baginya untuk
menangkis serangan lawan dengan kedua telapak tan-
gannya. Maka Penguasa Hutan Ketapang ini melompat
ke belakang dua tombak, dan kemudian menyongsong
serangan lawan dengan putaran tubuhnya. Angin yang
ditimbulkan oleh putaran tubuh ini menyebabkan
ujung toya gadis itu seakan memukul roda karet yang tengah berputar kencang.
"Trak! Trak! Trak!"
Endang Cantikawerdi menghentikan serangan-
nya, dan tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk
menghindari putaran tubuh Empu Wadas Gempal
yang mendesaknya. Ia memang pernah mendengar ce-
rita tentang jurus 'Bidadari Mengurai Benang Kusut'
ini, tetapi ia tidak mengira bahwa jurus pertahanan ini sekaligus bisa dijadikan
jurus untuk menyerang.
"Nah, sudah berapa jurus aku membiarkanmu
menyerangku terus-menerus, Cah Ayu" Sekarang, ba-
gaimana kalau aku dapat giliran menyerangmu?" ujar
Empu Wadas Gempal setelah menghentikan putaran
tubuhnya. ' Sejak tadi aku sudah bersiap menerima seran-
ganmu, kakek pikun!" sahut Endang Cantikawerdi te-
tap garang. Betapapun ia mengakui bahwa lawannya
kali ini ternyata bukan tandingannya, tetap saja ia pantang mengaku kalah.
Bagaimana mungkin ia bisa
memenangkan pertarungan ini jika nyatanya lawan tak mempan diterjang dengan
jurus 'Toya Sakti Pengusir
Malaikat' yang diandalkannya"
' Bersiaplah menyusul gurumu ke neraka, kuc-
ing betina!" ujar Empu Wadas Gempal seraya mengembangkan kesepuluh jari
tangannya. Dalam sekejap
jari-jari tangan Penguasa Hutan Ketapang ini berubah warna. Inilah pertanda
racun laba-laba hitam Hutan Ketapang telah mengaliri kesepuluh jari tangan itu.
Endang Cantikawerdi memegang toyanya erat-
erat. Selintasan ia memang pernah mendengar cerita
bahwa gurunya mati bermula karena cakaran jari-jari maut ini. Malahan ruyung
hitam dari Gunung Sumbing pun patah berbenturan dengan jari-jari beracun
ini! Namun begitu, gadis dari Perguruan Gunung
Sumbing ini merasa pasti bahwa toya dewondarunya
masih mampu menahan keganasan cakar Iblis Hutan
Ketapang ini. Ketika serangan Empu Wadas Gempal bertubi-
tubi mengurungnya, tak ada jalan lain bagi Endang
Cantikawerdi kecuali menghadang jari-jari lawan dengan kedua ujung toyanya. Maka
sembari bersalto, ia
memagari tubuhnya dengan putaran toyanya.
"Trak! Trak! Trak!"
Kedua ujung toya dewondaru susul-menyusul
membentur jari-jari maut Empu Wadas Gempal. Na-
mun, orang sesat dari Hutan Ketapang ini seolah tak merasakan benturan toya pada
kesepuluh jari tangannya. Ia malahan semakin mendesak maju, memburu
lawan yang masih berjumpalitan di udara. Hampir saja Empu Wadas Gempal berhasil
menanamkan jari-jari
mautnya ke paha gadis itu ketika tiba-tiba dari tangan gadis itu menyembur Pasir
Beracun Gunung Sumbing.
Inilah pertahanan terakhir yang dimiliki Endang Cantikawerdi!
' Hiyaaat!" seru Empu Wadas Gempal sembari
mengebutkan jubah merahnya untuk menangkis sem-
buran senjata rahasia lawan.
Tubuh Endang Cantikawerdi kembali mendarat
di tanah. Kalaupun pasir beracun itu akhirnya gugur ke tanah, setidaknya ia
memiliki kesempatan untuk
mendaratkan kaki dan memasang kuda-kuda kembali.
"Nah, apa lagi yang bisa kau pamerkan, pera-
wan gunung?" ejek Empu Wadas Gempal sambil men-
gibas-ngibaskan jubah. Beberapa butir pasir sempat
menempel di jubah merah itu.
"Kau memang bukan tandinganku, Wadas
Gempal! Tetapi, jangan harap aku menyerah begitu sa-ja! Selama toya ini berada
di tanganku, jangan berangan-angan kau bisa menyentuh kulitku!"
"Ha ha ha! Kalau begitu, akan ku paksa kau
menyerahkan tongkat pengemismu itu! Nah, pegang
erat-erat tongkatmu kalau tidak ingin cepat-cepat kehi-
langan senjata andalanmu, Cah Denok!" Empu Wadas
Gempal secepat kilat memutar tubuhnya dan mener-
jang toya yang menyilang di depan dada gadis itu.
"Brettt! Dukkk!"
Tubuh Endang Cantikawerdi terpelanting ke
samping dan toya dewondaru-nya telah berpindah ke
tangan lawan. Sengaja Empu Wadas Gempal menotok
jalan darah di pundak gadis itu agar dengan mudah ia bisa menguasai toya yang
diincarnya. Endang Cantikawerdi ingin bangkit, tetapi ia
merasakan sekujur badannya kejang. Barulah ia me-
nyadari bahwa kedua tangannya tak lagi bisa digerakkan. Sementara itu, kedua
pergelangan kakinya tertekan kedua ujung toya, dan telapak kaki Empu Wadas
Gempal bertengger di tengah-tengah toya yang menyi-
lang itu. ' Kalau kugenjot sedikit saja kaki kananku, pa-
tahlah kedua kakimu yang menggairahkan ini, gadis
bengal!" hardik Empu Wadas Gempal.
"Tua bangka keparat! Lakukanlah kalau me-
mang kau mampu melakukannya!" tantang Endang
Cantikawerdi. Meski ia sudah putus asa, tetap saja ia mencoba mengalirkan tenaga
dalamnya ke pergelangan
kakinya yang terancam patah.
"Ha ha ha! Untuk apa aku menyakiti gadis can-
tik macam kau" Tidakkah lebih baik aku nikmati ke-
cantikan dan keindahan tubuhmu?" kata Empu Wadas
Gempal seraya mengirimkan dua totokan lagi untuk
melumpuhkan kaki gadis itu
"Iblis cabul mata bakul! Terkutuklah kau jika
kau berani melakukan niat busukmu!" Sengaja En-
dang Cantikawerdi melontarkan sumpah serapan agar
orang tua mata keranjang itu marah dan membunuh-
nya. "Ho ho ho, apa perlu mulutmu yang menggai-
rahkan itu aku bungkam agar aku tenang menikmati
keindahan tubuhmu, Cah Denok?"
' Nama besarmu tak sesuai dengan moralmu
yang bejat, Wadas Gempal1"
"Sesukamulah kau memaki makiku, sebelum
kubuat mulutmu senasib dengan tangan dan kakimu!
Tapi, sayangnya aku tidak banyak waktu untuk me-
manjakanmu! Nah, ingin kulihat apa yang bisa kau lakukan jika kulucuti pakaianmu
yang indah ini!" Kedua tangan Empu Wadas Gempal terjulur ke arah kain Se-reng
yang membelit pinggang gadis itu Lalu dengan sekali sentak terlepaslah lilitan
kain lereng itu Maka ma-ta Empu Wadas Gempal membelalak memandangi pe-
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 19
^