Pencarian

Selendang Mayat 1

Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Bagian 1


SELENDANG MAYAT Oleh Werda Kosasih
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Werda Kosasih
Serial Pendekar Perisai Naga
dalam episode: Selendang Mayat 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Tiga kuntum bunga kamboja putih rontok keti-
ka sebuah sekop membentur pohon kamboja yang me-
naungi kubur Ki Linggar. Salah seorang dari tiga lelaki yang tengah menggali
kubur Ki Linggar ini menarik
napas dalam-dalam. Rasa lega menyejukkan rongga
dadanya sewaktu dilihatnya peti jenazah dalam keremangan sinar bulan itu. Ini
berarti pekerjaan menggali liang lahat telah selesai. Tak diperlukannya lagi
sekop atau linggis. Untuk membuka tutup peti jenazah itu, cukuplah dengan satu
pukulan tangan. Meski peti jenazah itu terbuat dari kayu jati pilihan, lelaki
itu merasa pasti tenaga dalam yang dialirkan ke telapak tangannya bisa membuat
peti jenazah itu hancur berkep-
ing-keping. ' Cukup! Biar kubuka di sini saja!" kata lelaki
itu kepada kedua temannya. Akan tetapi, sewaktu ia
mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil mengatur
pernapasan, salah seorang temannya mencengkeram
pergelangan tangan yang siap dihempaskan itu.
"Kita angkat dulu ke atas!" kata temannya yang mencekal pergelangan tangannya.
' Untuk apa" Buang-buang waktu! Toh sama
saja pecah di sini dan di atas" sahut lelaki itu seraya mengibaskan tangan
temannya. "Aku khawatir, gundukan tanah itu rontok dan
mengotori kain kafan yang kita perlukan. Pesan Ki
Demang Kerpa, kain kafan itu harus bersih sewaktu
kita serahkan. Jangan sampai pekerjaan kita sia-sia sebab jangan-jangan Ki
Demang tidak mau membayar
upah kita!"
' Betul kau!" sokong teman yang satunya lagi.
"Aku juga ingat pesan wanti-wanti Ki Demang Kerpa.
Katanya, jika kain itu terkena tanah kubur sedikit sa-ja, tidak akan berguna
lagi!" ' Sebenarnya untuk apa Ki Demang Kerpa me-
nyuruh kita mengambil kain kafan Ki Linggar ini?"
tanya lelaki yang tadi hampir memukulkan tangannya
ke tutup peti Jenazah.
' Mana aku tahu" Mungkin ada hubungannya
dengan pangkat demang yang dulu pernah disandang
Ki Linggar."
"Apa hubungannya kain kafan itu dengan
pangkat demang?" bantah teman yang satunya lagi
sambil menahan tawa.
''Bukan begitu maksudku. Ini hanya perkiraan
saja, kok. Mungkin, untuk bisa menjadi demang di De-sa Sanareja dalam waktu yang
lama, Ki Kerpa harus
bisa memiliki kain kafan bekas demang di desa itu."
' Siapa yang mengharuskan begitu?" sahut lela-
ki yang tadi membantah.
' Kudengar Ki Demang Kerpa sedang berguru
ilmu setan...."
' Alaaah, itu hanya perkiraanmu saja! Ayo, ce-
pat kita naikkan ke atas. Badanku terasa gatal-gatal.
Aku kepingin cepat-cepat mandi!" Lelaki yang bertindak sebagai pimpinan
penggalian menukas, la tak sa-
bar mendengar cerita temannya yang belum pasti be-
nar itu. la tahu Ki Demang Kerpa memang sedang ber-
guru ke Gunung Merapi. Tetapi, apa hubungannya
kain kafan dengan ilmu silat" Lalu, kenapa harus kain kafan yang membungkus
tulang-tulang Ki Linggar"
Akhirnya peti jenazah Ki Linggar mereka kelua-
rkan dari liang lahat. Mereka bertiga bergegas mem-
bersihkan sisa-sisa tanah merah yang menempel pada
tutup peti jenazah itu. Betapapun mereka ingin sece-
patnya membuka peti jenazah itu, mereka tetap ingat keinginan Ki Demang Kerpa.
Kalau sampai Ki Demang
Kerpa tidak mau membayar upah yang dijanjikannya,
mereka pun harus berpikir dua tiga kali untuk me-
maksa demang baru Desa Sanareja itu.
' Congkel saja dengan linggis," usul salah seo-
rang dari mereka.
"Tak perlu! Untuk apa kita belajar ilmu silat ka-
lau membuka peti saja pakai linggis" Ini bukan peti besi, tolol!" sergah lelaki
yang paling penasaran untuk segera membuka peti jenazah itu.
"Ya, tapi bersihkan dulu tanganmu."
Lelaki yang memimpin penggalian bergegas
membersihkan telapak tangannya dengan ujung kaki
celana pangsinya. Setelah yakin tangan itu tidak lagi dilumuri tanah merah, ia
mengangkat telapak tangan
itu tinggi tinggi, mengatur pernapasan, dan dengan sekuat tenaga ia
menghantamkan sisi telapak tangannya ke tutup peti jenazah.
Brettt! Wusss! Blukkk!
Setengah jengkal sebelum sisi telapak tangan
itu menyentuh tutup peti jenazah, tiba-tiba ada sesuatu yang melilit pergelangan
tangan kanan lelaki itu. Se-jurus kemudian tubuh lelaki itu terpelanting ke
belakang dan jatuh menimpa sebuah nisan. Seketika itu
juga lelaki itu tewas dengan perut tertembus nisan
runcing yang terbuat dari kayu nangka.
Dua orang temannya terbelalak memandangi
sosok bayangan putih yang kini berdiri tegap di hadapan mereka. Sejenak saja
mereka diguncang rasa ka-
get. Selebihnya, mereka berdua secepat kilat menghunus golok yang terselip di
pinggang masing-masing seraya memasang kuda-kuda.
' Iblis laknat! Bosan hidup!" seru salah seorang
dari mereka sambil membabatkan goloknya ke leher
sosok serba putih yang berdiri di depan mereka.
Akan tetapi, dengan mudahnya sabetan golok
itu dihindari oleh bayangan serba putih itu. Hanya
dengan sedikit membungkukkan badan maka golok itu
lewat di atas kepala dan hanya mengenai angin malam.
Namun, orang kedua segera memburu dengan
bacokan ke arah kepala yang menjulur ke depan itu.
Kali ini, bayangan serba putih itu membentur golok
lawan dengan gagang cambuknya.
Tring! Golok di tangan lelaki itu patah menjadi dua,
dan lelaki itu membuang goloknya yang kutung sebab
jari-jari tangannya dirasakannya kejang dan nyeri.
Melihat temannya meringis sambil memegangi
pergelangan tangan kanannya, lelaki yang tadi lebih dulu menyerang kini lebih
waspada menghadapi lawan
yang ternyata berilmu tinggi itu. Kalaupun tadi ia gegabah menyerang, hanya
karena ia melihat lawan yang dihadapinya bukanlah salah seorang dari orang-orang
sakti yang sudah dikenalnya. Lagi pula, dari terangnya sinar bulan purnama,
akhirnya bisa dikenali juga wajah anak muda yang usianya tak lebih dari dua
puluh tiga tahun.
' Kisanak, sebelum hilang kesabaranku, kupe-
ringatkan kau bahwa di antara kita tidak pernah ada urusan!" kata lelaki itu
untuk menutupi rasa takutnya.
"Di antara kita memang tidak ada urusan. Te-
tapi, aku punya urusan untuk memelihara kubur yang
kalian bongkar itu," jawab anak muda itu sambil melilitkan kembali cambuknya ke
pinggang. "Tak ada yang berhak mengawasi kuburan ini
kecuali juru kunci di sini, Kisanak! Dan, akulah juru kunci di kuburan ini!"
"Oh, jadi begitukah tugas juru kunci" Mem-
bongkar kuburan itukah tugas juru kunci desa ini"
Aneh! Lalu, siapa yang mengangkatmu sebagai juru
kunci di sini?"
' Peduli apa kau dengan urusanku?"
' Sudah kukatakan, aku memang tidak pernah
peduli dengan urusanmu. Tetapi, aku peduli dengan
kuburan yang baru saja kalian bongkar itu. Dan, sebelum kalian bertiga ku
masukkan ke liang lahat itu bersama peti jenazah ini, harap kalian kubur kembali
peti jenazah ini dan mintalah maaf kepada arwah jenazah
yang ada dalam peti itu!"
' Lancang benar mulutmu!" sergah lelaki itu.
' Walaupun kau memiliki ilmu demit mana pun,
jangan kau kira aku takut menghadapimu!"
' Kalau memang tidak takut, kenapa tak kau te-
ruskan serangan golokmu?"
Werrr! Tiba-tiba lelaki yang tadi terdiam dan meringis-
ringis kesakitan, dengan tangan kirinya menyabetkan linggis ke pelipis anak muda
berpakaian serba putih itu. Namun, untuk kesekian kalinya serangan itu hanyalah
membentur angin. Bahkan untuk yang kedua
kalinya lelaki itu meringis kesakitan sebab tangan
anak muda itu menampar pelipisnya.
''Kalau masih juga menyerangku, pelipis mu
akan kubuat bolong dan otakmu akan berhamburan,
Pak Tua!" bentak anak muda itu memperingatkan.
Sewaktu ia menampar tadi, ia memang tidak
mengerahkan tenaga sepenuhnya sehingga tamparan
itu hanya membuat pelipis lelaki itu memerah dan pedih. Kalau saja anak muda itu
mengerahkan seluruh
tenaganya, sudah pasti pelipis lelaki itu pecah dan nyawa lelaki itu melayang.
' Mereka berdua memang bukan tandingan mu,
Anak Muda. Sekarang, bersiaplah menghadapi seran-
ganku!" 'Tunggu!" sahut anak muda berpakaian serba
putih itu. ''Sekarang kita adakan perjanjian sebelum kita teruskan perkelahian
kita! Bagaimana?".
' Katakanlah, dan kau sendiri yang akan mene-
bus perjanjian yang kau buat itu!"
' Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau akan
mengatakan siapa yang menyuruh kalian menggali
kuburan ini. Sebaliknya, jika aku kalah, sebelum kau bunuh aku, aku sanggup
merapikan kembali kuburan
ini setelah kalian dapatkan apa yang kalian inginkan.
Setuju?" "Kau tidak akan pernah mendengar jawabanku,
Anak Muda! Karena kaulah yang harus menepati janji
yang kau buat sendiri!"
"Baik! Kita lihat saja nanti. Nah, aku sudah
bersiap!" Anak muda itu menarik kaki kirinya ke belakang dan menyilangkan tangan
kirinya di depan dada
serta melipat tangan kanannya hingga kepalan tangan kanan itu berada persis di
bawah ketiaknya.
' Jangan terlalu pongah, Anak Muda! Apa kau
pikir aku tak layak berhadapan dengan cambuk di
tanganmu?"
Lelaki bodoh, pikir anak muda itu. Lalu, untuk
melegakan lawannya, ia terpaksa mengurai cambuk
yang melilit di pinggangnya. Namun anak muda itu
hanya menggunakan gagang cambuknya untuk me-
nangkis serangan golok lawan. Bunga api berpijaran
ketika gagang cambuk yang terbuat dari batu hitam itu membentur mata golok
lawan. Lelaki itu diam-diam bersyukur tadi telah men-
gerahkan tenaga dalamnya sebelum menyerang lawan.
Kalau tidak, sudah pasti tenaga dalam yang dialirkan ke gagang cambuk itu akan
membuat tubuhnya terpental dan tangan kanannya terkilir. Lebih dari itu, lelaki
itu juga semakin mawas diri. Ia tahu, anak muda itu sengaja hanya menggunakan
gagang cambuknya
sebab belum merasa perlu menggunakan ujung cam-
buknya yang sejak tadi digenggamnya. Entahlah apa
yang terkait di ujung cambuk itu. Hanya saja, selintasan tadi lelaki itu melihat
sinar-sinar hijau kebiru-biruan berpendar-pendar dari sela jari-jari tangan yang
menggenggam ujung cambuk itu.
Lelaki itu, juga dua orang temannya, tentu saja
tidak mengenal siapa sesungguhnya anak muda yang
mereka hadapi ini. Mereka bertiga adalah pendatang
baru di Desa Sanareja. Mereka adalah orang-orang serakah yang memburu upah. Di
desa asalnya, di Kaki
Gunung Merapi, mereka bertiga dikenal sebagai jago-
jago bayaran. Mereka bersedia membunuh siapa saja
asalkan dijanjikan upah yang memadai.
Tiga hari yang lalu, mereka mendengar kabar
bahwa Kerpa, demang yang menggantikan kedudukan
Ki Demang Sanareja alias Ki Linggar, menginginkan
kain kafan Ki Linggar dengan imbalan bayaran yang
memuaskan. Untuk apa kain kafan itu nantinya, me-
reka bertiga tidak ambil peduli. Bagi mereka, secepat-nyalah mereka bertiga bisa
membawa kain kafan itu
kepada Demang Desa Sanareja yang baru itu dan
mengambil upah mereka.
Akan tetapi, mereka bertiga tidak pernah me-
nyangka bakal berhadapan dengan Joko Sungsang
alias Pendekar Perisai Naga yang selalu mereka ingat nama besarnya.
Rasa penasaran yang menggeluti dada Joko
Sungsang membuatnya ingin secepatnya menghenti-
kan perkelahian, ia ingin segera tahu siapa yang menginginkan dibongkarnya kubur
ayahnya itu. Ketika ta-di ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang lelaki
tengah mengangkat telapak tangannya untuk memecahkan
peti jenazah itu. Maka tak ada jalan pintas untuk mencegah tangan itu kecuali
dengan melilitkan Perisai Na-ga ke tangan lelaki itu.
Tiga kali serangan golok lawan berhasil dite-
piskannya. Dan, Joko Sungsang semakin bisa mengu-
kur kekuatan lawannya. Kalau saja lelaki setengah
umur itu tidak berilmu cukup tinggi, sudah barang
tentu benturan-benturan gagang Perisai Naga akan
membuatnya terpental dan tak bangun lagi. Bahkan lelaki itu masih bisa
meloloskan diri dari serangan balasan yang dilancarkan Joko Sungsang dengan
kecepa- tan sulit diikuti mata. Namun begitu, Joko Sungsang tetap harus bisa mengekang
diri agar tidak melancarkan jurus-jurus yang mematikan. Toh ia menginginkan
pengakuan dari mulut lelaki itu.


Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh sebab itu, untuk tidak mencelakakan la-
wan, Joko Sungsang terpaksa menggunakan lilitan Pe-
risai Naga nya. Sewaktu lawan untuk yang kesekian
kalinya membabatkan golok ke arah lehernya, Joko
Sungsang merunduk seraya melilitkan Perisai Naga ke pinggang lawan. Lalu dengan
sekuat tenaga tubuh itu diputar sehingga lelaki itu kehilangan keseimbangan dan
terhuyung jatuh seraya muntah-muntah.
Sebelum laki-laki itu bangkit, gagang Perisai
Naga telah menempel di bagian belakang kepalanya.
' Sedikit saja kau bergerak, kepalamu akan ber-
derak dan pecah, Pak Tua," ancam Joko Sungsang.
"Aku mengaku kalah, Anak Muda. Tentu saja
aku akan menepati perjanjian yang sudah kita sepaka-ti tadi," kata lelaki
setengah umur itu tanpa berani
bergerak sedikit pun.
Joko Sungsang menyimpan kembali Perisai Na-
ga di pinggangnya.
' Sebelum kau jelaskan siapa yang menyuruh
kalian bertiga menggali kuburan ini, lebih dulu kalian kembalikan peti jenazah
itu ke tempatnya dan rapikan kembali gundukan tanahnya seperti sediakala,"
perintah Joko Sungsang.
*** Joko Sungsang diam-diam menyesali tindakan-
nya lima tahun yang lalu, membiarkan Kerpa tetap hidup. Dari penjelasan kedua
orang upahan ini, jelas baginya bahwa Kerpa sekarang sedang berusaha mem-
perdalam ilmu silatnya. Usaha memperdalam ilmu silat ini sudah barang pasti
untuk berjaga-jaga diri. Sebagai demang, agaknya ia tak ingin kehilangan
kenikmatan sehari-hari hanya karena dikalahkan oleh seseorang.
Dan, se-seorang yang dianggapnya musuh bebuyutan
tak lain adalah Joko Sungsang. Toh sudah bukan ra-
hasia lagi bahwa kematian Ki Linggar disebabkan oleh fitnah yang ditebarkan
Kerpa. ' Tetapi, kalau boleh, kami ingin tahu siapa se-
sungguhnya Kisanak ini," kata lelaki yang baru saja menghentikan ceritanya.
' Saya" Saya anak bekas demang desa ini," ja-
wab Joko Sungsang tanpa mengalihkan pandang ma-
tanya. Mata anak muda itu menatap bulan purnama
yang berada di atas ubun-ubun mereka bertiga.
' Jadi, benar kuburan yang baru saja kami gali
tadi kubur ayahmu, Kisanak?" lelaki itu bertanya dengan paras muka memucat.
Takut jika anak muda itu
marah dan membunuh mereka bertiga.
' Kalian berdua tetap menginginkan upah dari
demang itu?" tanya Joko Sungsang di luar dugaan me-
reka berdua. ' Bagaimana mungkin kami mengharapkan
upah dari Ki Demang kalau nyatanya pekerjaan kami
gagal?" 'Kalian tetap akan mendapatkan upah da-
rinya!" sahut Joko Sungsang.
Dua orang lelaki setengah umur itu melebarkan
mata. 'Kalian ikut aku ke kademangan. Nanti aku
yang akan memintakan upah untuk kalian," kata Joko
Sung sang seraya melangkah meninggalkan kuburan
itu. Dua orang lelaki upahan itu saling memandang
sebelum mereka mengangguk berbarengan dan men-
guntit langkah anak muda itu
Setiba mereka di depan regol kademangan, Jo-
ko Sungsang memberikan isyarat agar kedua lelaki
upah an itu mendahului masuk regol. Setelah kedua-
nya masuk halaman kademangan, Joko Sungsang me-
nyelinap ke samping kademangan melompati tembok
samping Seperti yang pernah dilakukannya sewaktu
menculik Trinil, Joko Sungsang bertengger di genting, persis dl atas pendopo
kademangan. Dari tempat ini ia bisa menguping pembicaraan antara Kerpa dengan
dua lelaki upahan itu.
' Kalau memang kalian tidak berhasil menda-
patkan kain kafan Ki Linggar, kenapa kalian masih berani menghadapku?" kata Ki
Demang Kerpa. ' Sebenarnya kami tidak akan menuntut upah
kami. Tetapi, ada seseorang yang menyuruh kami tetap harus menuntut upah....'
"Apa?" Mata Ki Demang Kerpa terbeliak dan
memerah. ' Jadi, kalian mau merampokku" Kalian su-
dah punya nyawa rangkap?"
' Sudah kubilang, ada seseorang yang menyu-
ruh kami berdua agar tetap menuntut upah dari Ki
Demang," kata lelaki yang lebih tua sambil menoleh ke belakang. Tetapi, kenapa
anak muda itu tidak menyusul mereka berdua"
' Walaupun kalian disuruh oleh sundel bolong,
demit, setan, banaspati, apa kalian pikir aku lantas memberikan uangku kepada
kalian" Sebaiknya, kalian
pergi saja sebelum kesabaranku hilang!" Ki Demang
Kerpa meraba hulu pedangnya sambil menyibakkan
kumis yang berjuntai menutupi bibirnya.
Tanpa menimbulkan suara, Joko Sungsang
membuka dua buah genting. Kemudian ia mengurai
Perisai Naga dari pinggangnya. Maka sewaktu Ki De-
mang Kerpa menyabetkan pedangnya ke leher lelaki
upahan itu, secepat kilat Perisai Naga melilit pedang Itu dan menariknya ke atas
genting. Ki Demang Kerpa, dua orang upahan itu, dan
dua orang pengawal Ki Demang Kerpa secara serentak
memandang ke atas. Tetapi, mereka hanya melihat dua buah genting yang terbuka.
Dan, sinar bulan purnama menerobos masuk lewat lubang genteng itu.
' Bedebah keparat! Bosan hidup!" Berkata begi-
ni Ki Demang Kerpa langsung melenting ke atas dan
menerobos lubang genting itu. Dua orang pengawalnya berlarian ke halaman,
bersiap-siap memberikan bantuan. "Anak muda itu benar-benar memiliki ilmu se-
tan," kata salah seorang lelaki upahan itu sambil melangkah keluar.
Dari halaman pendopo kademangan, mereka
menyaksikan perkelahian seru antara Ki Demang Ker-
pa dengan Joko Sungsang. Mereka berdua berkelahi
dengan tangan kosong sebab mereka melihat pedang
milik Ki Demang Kerpa terselip di pinggang anak muda yang berpakaian serba putih
itu. Sewaktu Joko Sungsang mengarahkan seran-
gannya ke kaki, Ki Demang Kerpa terpaksa berjumpalitan ke belakang dan akhirnya
mendarat di halaman
kademangan. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja
Joko Sungsang telah berdiri di belakangnya seraya
menyapa, "Aku di sini, Ki Demang."
'Tangkap anak muda ini," perintah Ki Demang
Kerpa kepada dua orang pengawalnya..
Dua ujung tombak bersamaan meluncur ke
arah dada Joko Sungsang. Namun, Joko Sungsang se-
perti menghilang dari pandang mata mereka. Sewaktu
anak muda itu menampakkan diri lagi, dua orang pen-
gawal Ki Demang Kerpa itu sudah tersungkur di tanah sambil merintih-rintih.
Kedua sisi telapak tangan Joko Sungsang baru saja menggedor punggung mereka
berdua. 'Jahanam keparat!" maki Ki Demang Kerpa, te-
tapi tak kunjung menyerang lawan yang sudah me-
nunggunya. ' Rupanya pedang ini jadi barang andalanmu, Ki
Demang?" kata Joko Sungsang sembari melemparkan
pedang milik Ki Demang Kerpa.
Terhuyung dua langkah ke belakang Ki Demang
Kerpa ketika menangkap pedangnya. Ada tenaga yang
mendorongnya ketika pedang itu jatuh di telapak tangannya. Sewaktu ia berhasil
menguasai tubuhnya, tiba tiba anak muda yang berpakaian serba putih itu telah
menimang-nimang cambuk yang ujungnya terkait bola
berduri. ''Perisai Naga..?" Ki Demang Kerpa mendesis.
Tanpa disadarinya, kakinya bergerak mundur bebera-
pa langkah. la mengutuki ketololannya sendiri. Ya, kenapa tidak sejak tadi ia
mengenali anak muda itu sebagai Pendekar Perisai Naga"
' Sekarang kau tahu siapa aku, Ki Demang?"
kata Joko Sungsang setelah melilitkan Perisai Naga
kembali di pinggangnya.
"Den... Den...?"
"Tak usahlah memanggilku 'Den', Ki Demang.
Aku bukan lagi anak demang yang terpaksa harus kau
hormati. Dan, tentunya kau sekarang ini menghendaki kematianku, bukan?" tukas
Joko Sungsang. Ki Demang Kerpa menoleh ke kanan dan ke ki-
ri. Dua orang pengawalnya masih tergeletak di tanah.
Tak ada lagi orang yang diharapkan membantunya. Ti-
dak boleh tidak ia harus menghadapi musuh besarnya
ini seorang diri.
"Aku sudah siap jika kau memang menghenda-
ki nyawaku, Ki Demang," kata Joko Sungsang seraya
memasang kuda-kuda. Kaki kiri anak muda itu terte-
kuk hingga tumitnya menyentuh pantat, sedangkan
kaki kanan tegak lurus menyanggah badan. Lalu tan-
gan kiri anak muda itu menyilang di depan dada se-
mentara siku tangan kanan ditarik ke belakang hingga kepalan telapak tangan
berada di ketiak. Inilah jurus pembuka ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'!
"Nama besarmu memang sudah aku dengar,
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, betapa tinggi hatimu ji-ka nyatanya kau hanya
dengan tangan kosong menco-
ba menghadapi ilmu pedangku?" kata Ki Demang Ker-
pa. "Ha ha ha! Dasar mabuk pangkat kau, Ki De-
mang! Pikiranmu tak lagi bersih sebab dikotori oleh keserakahan mu, rasa iri mu,
dan rasa jahil mu! Baik-
lah, Ki Demang yang terhormat. Kalau kau memang
yakin ilmu pedangmu bisa mengalahkan silat tangan
kosong ku, aku turuti kemauanmu. Tetapi sebenarnya
aku juga menyangsikan silat tangan kosong mu. Jan-
gan-jangan kau menantangku adu senjata karena kau
sebenarnya tidak becus menggunakan tangan kosong
mu, Ki Demang!"
' Jahanam keparat bosan hidup!" seru Ki De-
mang Kerpa sebelum menyarungkan pedangnya. Lalu,
secepat kilat tubuhnya melayang ke atas kepala Joko Sungsang sambil mengirimkan
tendangan ke arah leher.
Namun, sebelum sisi telapak kaki itu menyen-
tuh kulit lehernya, Joko Sungsang meraih pergelangan kaki lawan dan dengan
sekuat tenaga menghentakkan
kaki itu ke tanah.
"Desss!"
Kedua tumit Ki Demang Kerpa menghunjam
tanah. Tetapi, secepat kilat Ki Demang Kerpa melenting lagi dan mengirimkan
kedua tumitnya ke dada Joko
Sungsang. "Desss! Desss! Blukkk!"
Kali ini tubuh Ki Demang Kerpa jatuh telak.
Untuk sejenak ia bergulingan di tanah. Dan, ketika ia mencoba bangkit dan
menapakkan tumit itu ke tanah,
ia merasakan kedua tulang tumitnya pecah. Seolah ba-ru saja ia jatuh dari tebing
dan kedua tumitnya menghunjam karang. Maka kembali Ki Demang roboh dan
bergulingan di tanah.
Itulah akibat dari benturan ilmu 'Pukulan Om-
bak Laut Selatan' yang tersalur pada punggung tangan Joko Sungsang. Sewaktu Ki
Demang menghunjamkan
kedua tumitnya ke dadanya, Joko Sungsang tidak
menghindar, tetapi melindungi dadanya dengan kedua
punggung tangannya. Kalau saja punggung kedua tan-
gan itu tidak dilambari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', bisa dipastikan
tulang-tulang kedua tangan itulah yang patah.
"Kau lihat sendiri aku tetap bertangan kosong,
Ki Demang?" ejek Joko Sungsang sambil merentang-
kan kedua tangannya. Memang terasa sedikit ngilu kedua punggung tangannya,
tetapi cepat-cepat ia mengalirkan hawa murni untuk mengatasi rasa ngilu itu.
Ki Demang Kerpa menggigit bibirnya kuat-kuat.
Kemudian ia bangkit dengan bersitelekan pada pe-
dangnya. Hati-hati ia menapakkan kakinya agar tumit malang itu tidak menyentuh
kerikil yang berserakan di halaman kademangan itu.
' Bagaimana, Ki Demang" Masih pilih mencoba
silat tangan kosongku?" kata Joko Sungsang sembari
menyesali kebodohan lawannya. Betapapun sudah be-
lasan tahun malang-melintang di rimba persilatan,
nyatanya Ki Demang Kerpa belum mengenal ilmu silat
tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong yang
tersohor itu. Matanya masih tertutup!
*** 2 Menghadapi Pendekar Perisai Naga, Ki Demang
Kerpa merasa menemukan lawan yang bukan tandin-
gannya. Selama lima tahun ia berguru kepada Ki Da-
nyang Bagaspati, ia telah mewarisi ilmu silat yang cukup tinggi. Sayang ia belum
berhasil menguasai jurus pamungkas yang disebut jurus 'Selendang Mayat Penyapu
Awan'. Akan tetapi, untuk menghadapi anak
muda seusia Pendekar Perisai Naga ini seharusnyalah ia tak memerlukan jurus
pamungkas itu. Maka diam-diam Ki Demang Kerpa mengutuki
dirinya sendiri. Ya, kenapa tugas menggali kubur Ki Linggar itu tidak
dijalaninya sendiri" Kenapa ia takut melakukannya" Kenapa ia menyuruh orang-
orang upahan yang akhirnya justru mendatangkan kesuli-
tan" Padahal, kalau saja ia telah mendapatkan kain kafan Ki Linggar, ia hanya
membutuhkan waktu tak
lebih dari sebulan untuk mempelajari jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan'!
Dengan kedua tumit terangkat, Ki Demang Ker-
pa harus tetap mati-matian melawan Joko Sungsang.
Kini terpaksa ia meloloskan pedangnya sebab serangan lawan makin lama semakin
membahayakan. Tak
mungkin baginya terus-menerus berkelit menghindari
serangan lawan. Dengan pedangnya, ia akan menang-
kis serangan lawan tanpa harus berloncatan ke sana-
sini. Kalaupun Joko Sungsang tetap bertahan pada
jurus-jurus tangan kosongnya, tidak berarti ia menye-pelekan jurus-jurus pedang
lawan. la memang sengaja mempraktekkan ilmu silat tangan kosong yang dipela-
jarinya dari Ki Sempani baru baru ini. Seperti yang pernah diceritakan Wiku
Jaladri kepadanya, ia mengakui bahwa ilmu silat tangan kosong dari Padepokan
Karang Bolong memang boleh diandaikan. Belum lagi
jurus pamungkasnya yang disebut ilmu 'Pukulan Om-
bak Laut Selatan'. Pukulan yang tanpa meninggalkan
bekas, tetapi membuat seisi dada lawan rontok. Kalaupun mengenai anggota tubuh


Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain, maka tulang
yang ada di dalamnyalah yang pasti luluh lantak. Seperti yang baru saja diderita
tumit Ki Demang Kerpa.
Tulang pada kedua tumit itu hancur akibat berbentu-
ran dengan punggung lengan Pendekar Perisai Naga
yang telah dialiri ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.
Lalu, sewaktu Ki Demang Kerpa membabatkan
pedangnya ke kaki Joko Sungsang, kembali Demang
Desa Sanareja ini mengaduh sebab tulang lengannya
senasib dengan tulang pada kedua tumitnya. Tidak di-duganya bahwa anak muda itu
akan menghindar ma-
suk dan menabrak lengannya dengan sisi telapak kaki kanannya.
Ki Demang Kerpa meloncat mundur sambil
memegangi lengannya yang tak berdaya lagi. Ia benar benar tidak tahu, ilmu apa
yang dipakai anak Ki Linggar itu. Selama belasan tahun malang melintang di
dunia persilatan, baru kali ini ia merasa kewalahan menghadapi lawan yang hanya
bertangan kosong.
' Bagaimana, Ki Demang" Masih ingin dite-
ruskan" Atau mungkin kau menghendaki aku me-
mainkan cambuk ku?" ejek Joko Sungsang.
Menghadapi Perisai Naga" Baru juga mengha-
dapi ilmu silat tangan kosong, ia sudah selayaknya
mengaku kalah. Bagaimana mungkin ia mengadu ju-
rus-jurus pedangnya dengan Perisai Naga!
' Bedebah! Jangan cepat tinggi hati, Anak Mu-
da! Silat tangan kosong mu memang hebat. Tetapi be-
lum tentu permainan cambuk mu sehebat permainan
tangan kosong mu!" kata Ki Demang Kerpa untuk me-
nutupi rasa takutnya,
' Baiklah! Karena aku sudah kenal baik den-
ganmu sebelum kau mencuri kedudukan demang di
desa ini, aku turuti kemauanmu. Nah, bersiaplah!" Jo-ko Sungsang mengurai
Perisai Naga nya dan memutar
cambuk itu di atas kepalanya. Bola berduri di ujung cambuk itu meraung-raung.
Warnanya menyilaukan
mata. Melihat warna hijau kebiru-biruan yang kini
berwujud lingkaran itu, serta merta Ki Demang Kerpa ingat warna benda langit
yang sering melintas-lintas pada malam hari.
Ki Demang Kerpa memindahkan pedangnya ke
tangan kiri. Tangan kanannya ternyata betul-betul tak berdaya lagi mengangkat
pedang itu. Bahkan untuk dilipat pun tak bisa. Bagaimana bisa jika tulang yang
menyangga tangan itu hancur!
Lecutan Perisai Naga membuat Ki Demang Ker-
pa mengurungkan niatnya menyerang. Ia harus bergu-
lingan di tanah sebab ujung cambuk itu hampir saja
melibas pinggangnya. Namun, justru dalam keadaan
seperti inilah Ki Demang Kerpa merasa menemukan
kesempatan untuk menyerang. Maka cepat ia mengi-
baskan gagang pedangnya, dan meluncurlah beberapa
butir kerikil beracun dari gagang pedang itu. Inilah kerikil beracun yang
diambil dari Kepundan Gunung Me-
rapi! "Sring! Sring! Sring!"
Tiga butir kerikil terbentur bola berduri di
ujung cambuk, sedangkan sisanya menyambar angin.
Sambil memutar Perisai Naga, Joko Sungsang berjum-
palitan ke udara.
Dua orang upahan yang sejak tadi mengikuti
jalannya pertarungan di halaman kademangan itu
kembali berdecak-decak kagum.
''Benar-benar ilmu setan!" bisik yang lebih tua
kepada temannya.
' Untung kita tadi tidak nekad melawannya,
ya?" 'Seharusnya Ki Demang Kerpa sudah menye-
rah sejak tadi. Tetapi, ia memang keras kepala! Ba-
ginya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai! Bukan
main!" ' Tetapi, untuk apa mati-matian melawan kalau
akhirnya juga kalah?"
' Semestinya Ki Demang Kerpa berpikiran seper-
ti kau. Lihat saja tangan kanan dan kedua tumitnya!"
" Desss! Blukkk!"
Tubuh Ki Demang Kerpa terhuyung-huyung
mundur. Pedangnya tergeletak di tanah, dan tangan
kirinya memegangi dada. Maka yang terjadi kemudian
membuat kedua penonton itu melongo. Betapa tidak!
Seperti kain basah, tubuh Ki Demang Kerpa pelan-
pelan terjatuh duduk dan akhirnya ngelimpruk tak
berdaya. ''Gara-gara aku mendengarkan ocehanmu, ja-
dinya...!"
"Kau sendiri kenapa mendengarkannya pakai
mata, bukan pakai kuping, jangkrik!" sergah temannya kesal. 'Kalian geledah
sakunya. Pasti ada uang di sa-na!" perintah Joko Sungsang mengejutkan kedua
orang upahan itu.
' Terima kasih, Kisanak," ucap mereka berdua
bersamaan. Kemudian mereka berebut langkah meng-
hampiri mayat Ki Demang Kerpa.
*** Untuk sejenak Joko Sungsang termenung me-
mandangi lawannya yang terbaring di tanah dengan
mulut bersimbah darah. Begitu mengerikan ilmu 'Pu-
kulan Ombak Laut Selatan'. Meski Perisai Naga dalam genggamannya, Joko Sungsang
tetap ingin menjatuhkan lawannya dengan jurus pamungkas dari Padepo-
kan Karang Bolong itu. Itulah kenapa Ki Demang Ker-
pa tewas meski tanpa tersentuh Perisai Naga sedikit
pun. Joko Sungsang mengelus punggung jari-jari
tangannya. Terasa sedikit nyeri. Sesungguhnyalah Ki Demang Kerpa memiliki
punggung yang kuat. Kalau
saja kepalan tangan Joko Sungsang tidak dilambari
ajian ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', belum tentu pukulan itu dirasakan oleh
punggung Ki Demang Kerpa. Punggung itu hampir sekeras cadas gunung. Se-
waktu Joko Sungsang masih kanak-kanak, sering ia
melihat Kerpa memamerkan kekuatan punggungnya.
Pintu rumah yang terpalang bisa didobrak dengan ke-
kuatan punggung itu. Lebih-lebih setelah Kerpa belajar ilmu silat, semakin
berlipat ganda kekuatan punggungnya.
' Boleh kami menggeledah isi rumah, Kisanak?"
tanya salah seorang lelaki upahan itu setelah tak menemukan sepeser pun uang di
kantong Ki Demang
Kerpa. 'Boleh. Tetapi, jangan ganggu seisi rumah ini setelah kau dapatkan upah
yang kau cari!" jawab Jo-ko.
' Kami berjanji, Kisanak!" Berkata begini kedu-
anya langsung berebut lebih dulu menggapai pintu
rumah. Mereka mendobrak lemari pakaian, dan me-
mang di situlah Ki Demang Kerpa menyimpan ua-
ngnya. Mereka tertawa-tawa sambil menciumi uang di
telapak tangan.
' Sayang, kita hanya boleh mengambil ua-
ngnya," kata lelaki yang lebih muda.
"Itu pun sudah merupakan karunia! Kalau bu-
kan anak muda itu mana mungkin kita dibiarkan hi-
dup" Ha ha ha, betul-betul pendekar sejati! Beruntung kita bisa bertemu dengan
Pendekar Perisai Naga yang
kesohor itu, ya?"
Mereka kembali berada di pelataran kademan-
gan. Mereka ingin sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada anak muda berhati
emas itu. Akan tetapi, mereka tidak lagi melihat anak muda yang berpakaian serba
putih itu. Sebaliknya, mereka malahan melihat lelaki tua yang berpakaian serba
merah. ' Empu Wadas Gempal...!"
"Ya, aku, cacing belang! Ha ha ha, ho ho ho, he
he he!" Empu Wadas Gempal berkacak pinggang sem-
bari tertawa terpingkal pingkal. Dia adalah gurunya Hantu Lereng Lawu. Muridnya
itu tewas di tangan Jo-ko Sungsang karena itu dia sangat dendam pada Joko
Sungsang (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Perisai Naga dalam episode
"Hantu Lereng Lawu").
Kedua lelaki setengah umur yang baru saja ter-
tawa riang sebab mendapatkan uang yang tidak sedikit jumlahnya itu kini berdiri
dengan kaki menggigil. Mereka secepatnya menyadari bahwa sebentar lagi nyawa
mereka pasti melayang.
' Cacing tanah!" bentak Empu Wadas Gempal
dengan mata melotot. ' Katakan, siapa yang membu-
nuh Kerpa, demang goblok itu" Sebab aku yakin kalian berdua tidak akan bisa
membunuhnya!"
' Kami... kami... kami tidak tahu...."
' Goblok! Dungu! Otak kerbau! Kalian tak perlu
tahu namanya! Sebutkan saja ciri-ciri orangnya, cacing dungu!" 'Orangnya... eh,
anak muda itu... anu... anu masih muda...."
"Ha ha ha! Dasar pikiranmu masih bercampur
tanah! Dasar mata duitan! Bicara asal buka bacot!
Mana ada anak muda yang sudah tua, cacing kudi-
san!" ' Maksud kami, anak muda itu... pakai baju pu-
tih-putih, dan senjatanya...."
' Cambuk kambing?" tukas Empu Wadas Gem-
pal menebak. "Betul, betul Ki Lurah. Ki Demang bilang, dia...
Pendekat Perisai...."
' Perisai kambing!" sahut Empu Wadas Gempal.
''Sekarang, di mana penggembala kambing itu, he"!"
' Kami... kami juga... juga sedang mencari dia,
Ki Lurah. Kami kira tadi dia... dia masih di sini...."
"Mata kalian lantas buta kalau sudah melihat
uang!" Empu Wadas Gempal meloncat maju dan tiba-
tiba telah mencengkeram leher kedua lelaki upahan
itu. ' Ampuni kami, Ki Lurah...."
"Tak ada ampun buat perampok macam kalian!
Mengerti"! Kalian cuma pantas dihabisi, bukan diam-
puni!" Tangan kedua laki-laki upahan itu berusaha
meraih gagang golok yang mencuat dari balik baju mereka. Akan tetapi, sebelum
jari-jari tangan itu menyentuh tanduk kerbau itu, tubuh mereka terangkat tiga
jengkal dari tanah.
''Jangan coba-coba kau gunakan akalmu untuk
melawanku, cacing kremi!" bentak Empu Wadas Gem-
pal sambil menurunkan kembali tubuh kedua lelaki itu ke tanah.
"Ha ha ha! Rupanya ada juga rajawali yang
doyan cacing tanah!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar
regol. kademangan.
Empu Wadas Gempal membuang tubuh kedua
lelaki itu seraya menoleh ke arah datangnya suara.
Meski pemilik suara itu berada di keremangan malam,
orang sesat dari Hutan Ketapang ini tetap saja bisa mengenalinya.
' Dari suaramu yang mirip burung gagak, aku
tahu kau Danyang Gunung Merapi!" kata Empu Wadas
Gempal. ' Tetapi, apa urusanmu datang kemari men-
campuri urusanku, Bagaspati?"
Ki Danyang Bagaspati menampakkan dirinya di
samping obor yang menempel di tiang regol. Kini nampak jelas perwujudan lelaki
tua itu. Rambutnya yang putih terbalut ikat kepala berwarna putih kusam. Di
tubuhnya yang kurus itu menyilang kain putih yang
juga berwarna kusam. Dan, dari pinggang hingga lutut dibalut kain batik kawung.
' Tentu saja aku jauh-jauh datang kemari kare-
na ada urusan, Wadas Gempal! Tetapi, sayang orang
yang punya urusan denganku sudah kau bunuh. Ka-
lau begitu, dengan kaulah aku harus berhadapan se-
karang!" ' Jangan lancang bicara, Bagaspati! Buat apa
aku membunuh cacing macam Kerpa" Kalau tidak
percaya, tanyailah cacing-cacing ini!" Empu Wadas
Gempal menuding kedua lelaki yang telentang di tanah tanpa berani bergerak itu.
' Untuk apa aku harus mempedulikan jawa-
banmu, Wadas Gempal" Kau atau bukan yang mem-
bunuh Kerpa, tetap saja kau harus berurusan dengan-
ku. Kecuali jika kau berbaik hati meninggalkan tempat ini...." "Ho ho ho!" Tawa
Empu Wadas Gempal menyahut. ''Kita memang sama-sama punya urusan, Bagas-
pati! Kau datang ke sini karena Kerpa pernah berguru kepadamu, bukan" Dan, aku
datang ke sini karena
akulah yang menjadikannya demang di desa ini. Teta-
pi, kalau saja waktu itu aku mau menjadikannya mu-
rid, tak mungkin kau berada di tempat ini sekarang."
"Jadi, kenapa tidak segera kau tinggalkan tem-
pat ini?" ' Begini saja! Ini semua hanyalah urusan kecil.
Tetapi, kalau aku begitu saja pergi dari sini, kau pasti mengira aku takut
dengan kain bungkus mayatmu itu.
Nah, sekarang kita uji saja siapa yang paling pantas tinggal di sini lebih lama.
Setuju?" "Ha ha ha, hmm! Usulan yang menarik! Maumu
apa, orang hutan?"
' Kebutkan kain kafan mu, dan aku dorong
dengan angin puyuhku. Nah, siapa yang terdorong
mundur, itulah yang harus minggat lebih dulu dari
tempat ini!"
' Bersiaplah, Wadas Gempal!" sahut Ki Danyang
Bagaspati, dan secepat kilat ia menyabetkan kain kafan yang semula mengikat
rambut di kepalanya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, Empu Wa-
das Gempal pun telah mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan dada. Inilah jurus 'Angin Puyuh
Melabrak Gunung'!
Wusss! Wusss! Desss!
Dua kekuatan angin bertabrakan. Kedua orang
sakti itu terpental mundur beberapa langkah. Dua
orang lelaki yang tadi telentang di tanah bergulingan terbawa angin dan tubuh
mereka membentur tiang
pendopo. Seketika itu juga mereka tewas dengan
punggung patah terganjal tiang pendopo.
"Apa perlu kita mengadu kekuatan kita yang
lain, Wadas Gempal?" Ki Danyang Bagaspati mendahu-
lui bertanya. Suasana di pelataran kademangan itu kini re-
mang-remang. Dua buah obor yang menempel di tiang
regol seketika tadi mati terhembus angin yang mendo-
rong tubuh Ki Danyang Bagaspati. Namun begitu, ma-
ta kedua orang sakti itu terlalu tajam untuk menem-
bus kegelapan malam. Apalagi masih ada bantuan si-
nar bulan purnama yang berada di balik mendung.
"Ada baiknya orang tua bangka macam kita se-


Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali berlatih silat berdua, Bagaspati," jawab Empu Wadas Gempal.
' Majulah. Dan, aku berjanji akan meninggalkan
tempat ini lebih dulu jika kau menyentuh kain ka-
wungku, Wadas Gempal!"
' Bukan orang Hutan Ketapang kalau tidak bisa
menjambret kain lusuhmu itu, Wong Gunung!" sahut
Empu Wadas Gempal sebelum menerkam ke depan
dengan jari-jari tangan terkembang. Jari-jari yang semula berwarna kecoklatan
Itu kini berubah menjadi
hitam kebiru-biruan.
Menyadari betapa berbahayanya jari-jari tangan
orang tua dari Hutan Ketapang ini, Ki Danyang Bagaspati secepatnya merentangkan
kain kafannya untuk
menyambut serangan lawan.
' Hiyaaa!" Empu Wadas Gempal menarik kem-
bali kedua tangannya. Sebagai gantinya, ia mengirimkan tendangan ke arah lutut
lawan. "Bagus juga jurus tipuanmu, Wadas Gempal!"
seru Ki Danyang Bagaspati setelah berhasil mencegah tendangan lawan dengan kain
kafannya. Hampir saja
kain kafan itu membalut kaki Empu Wadas Gempal
kalau saja ia tidak sigap membelokkan tendangan ka-
kinya. Ki Danyang Bagaspati memilin kain kafannya, kemudian melecutkannya ke
arah kaki Empu Wadas
Gempal. Dan, ketika orang sesat dari Hutan Ketapang itu melenting ke udara maka
kain kafan terpilin itu pun sudah siap memburu ke udara. Empu Wadas
Gempal menyadari bahwa lawannya tak lagi sekedar
main-main. Kalau ia masih meladeninya dengan sikap
bersahabat, sama halnya menyerahkan nyawa dengan
cuma-cuma. Mengingat itu semua, Empu Wadas Gem-
pal menukik sambil mendorong lawan dengan jurus
'Angin Puyuh Melabrak Gunung'.
Sambaran angin yang begitu kuat membuat
kuda-kuda Ki Danyang Bagaspati goyah. Ia terhuyung
sehingga arah senjatanya melenceng. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Empu Wadas Gempal untuk menje-
jakkan kaki di tanah.
' Menurutku, cukuplah latihan kita kali ini, Ba-
gaspati! Lain kali bolehlah kita teruskan!" kata Empu Wadas Gempal.
' Apakah tidak lebih enak didengar jika kau ka-
takan bahwa kau takut menghadapiku?" ejek Ki Da-
nyang Bagaspati.
"Katakan saja kapan kau siap bertarung sam-
pai mati, aku akan selalu melayanimu, kodok gunung!"
"Aku akan melabrakmu di Hutan Ketapang jika
hujan pertama turun nanti, babi hutan! Tetapi, sebelum kau minggat dan sini,
katakan siapa pembunuh
Demang Kerpa tolol ini agar aku tidak dendam pada-
mu, demit hutan'
"Ha ha ha! Kalaupun aku tahu, tidak akan ku-
katakan kepadamu, kodok gunung! Cecurut yang
membunuh murid mu itu harus mati di tanganku se-
bab ia pun pernah membunuh murid kesayanganku!"
sahut Empu Wadas Gempa!.
"Pendekar Perisai Naga?" bisik hati Ki Danyang Bagaspati ia pernah mendengar
cerita tentang tewasnya Hantu Lereng Lawu oleh lecutan Perisai Naga.
"Nah, aku tunggu kau di Hutan Ketapang jika
hujan pertama nanti turun, penggali kubur. Tetapi jika
kau ingkar janjimu, aku akan tatakan Gunung Merapi
biar kau mampus tertimbun di sana!" ujar Empu Wa-
das Gempal sebelum menghilang di keremangan ma-
lam. Setelah mendapat keterangan tentang siapa
pembunuh Ki Demang Kerpa orang sesat dari Hutan
Ketapang ini berjanji dalam hati untuk secepatnya menemukan Pendekar Perisai
Naga. Lima tahun sudah ia mencari pembunuh mu-
rid kesayangannya itu, tetapi rupanya baru sekarang nama Pendekar Perisai Naga
muncul lagi di dunia persilatan. Tuntutan balas dendam atas kematian Hantu
Lereng Lawu ini menyebabkan Empu Wadas Gempal
tidak ingin meneruskan pertarungannya dengan Ki
Danyang Bagaspati. Dalam beberapa jurus tadi, ia sudah bisa mengukur tingkatan
ilmu orang sakti dari
Gunung Merapi itu. Dengan senjata Selendang Mayat-
nya, Ki Danyang Bagaspati bukan lagi tawan yang bisa diremehkan. Empu Wadas
Gempal merasa tidak yakin
bisa mengalahkan lawan tangguh sesama golongan ini.
Bahkan bukan tidak mungkin ia sendiri yang tewas ji-ka pertarungan tadi
diteruskan. Dan, ini tidak dikehendakinya. Ia tidak ingin mati sia-sia sebelum
berhasil membalaskan kematian murid kesayangannya.
Sambil berloncatan meninggalkan Desa Sanare-
ja, Empu Wadas Gempal terus menaksir naksir, di
mana kiranya ia bisa menemukan Pendekar Perisai
Naga. Kemudian, ia mengutuk kemunculan Wasi Eka-
cakra di mulut Desa Cemara Pitu lima tahun yang lalu.
Kalau saja petani dari Desa Dadapsari itu tidak muncul malam itu, sudah pasti
Pendekar Perisai Naga mati di tangannya. Tidak akan Pendekar Perisai Naga mampu
menghadapi guru dan murid dari Hutan Ketapang.
Toh menghadapi keroyokan Hantu Lereng Lawu dan
Kebo Dungkul saja Joko Sungsang sudah kerepotan.
Andaikata saja tidak muncul gadis bertombak pendek
itu, belum tentu Pendekar Perisai Naga mampu mero-
bohkan Hantu Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Perisai Naga dalam episode '
Hantu Lereng Lawu").
' Terkutuk pulalah kau, gadis binal!" dengus
Empu Wadas Gempal sembari mempercepat langkah-
nya. *** 3 Sepeninggal Empu Wadas Gempal, bergegas Ki
Danyang Bagaspati meneliti sosok tubuh yang berge-
limpangan di pelataran kademangan itu. Ia harus tahu siapa pembunuh Ki Demang
Kerpa. Ia berharap salah
seorang dari mereka bisa memberikan keterangan yang diperlukannya.
Sewaktu ia membalikkan tubuh salah seorang
pengawal Ki Demang Kerpa, saat itulah terdengar
erangan kesakitan.
"Ha, masih hidup rupanya kau!" seru Ki Da-
nyang Bagaspati kegirangan. "Nah, katakan cecurut
mana yang telah membunuh Demang Kerpa, he?"
Orang itu menggerakkan bibirnya. Suaranya
terdengar bisik-bisik. Ki Danyang Bagaspati mende-
katkan telinganya ke mulut lelaki malang itu.
"Siapa?" tanyanya sambil menggoyang-goyang
paha lelaki yang tengah sekarat itu.
' Pendekar... Perisai... Na... Na...." Dan, kepala
pengawal Ki Demang Kerpa itu terkulai.
' Pendekar Perisai Naga?" ujar Ki Danyang Ba-
gaspati sambil memicingkan mata. Lalu buru-buru ia
meneliti kembali mayat Ki Demang Kerpa. la sangsi sebab pada mayat itu tidak
terdapat jejak Perisai Naga seperti yang pernah didengarnya dari mulut ke mulut.
Tak ada sayatan-sayatan dengan garis-garis biru di
kanan kiri luka. Mayat itu bahkan utuh. Hanya ada
darah , yang sudah mengering di bibir dan dagu. Itu pun darah muntahan.
Setaraf dengan tingkatan ilmu silat yang dimili-
kinya, Ki Danyang Bagaspati berani menyimpulkan
bahwa Ki Demang Kerpa mati akibat terkena pukulan
yang hanya menimbulkan luka dalam. Dan pukulan
itu begitu sempurna sehingga tidak meninggalkan be-
kas apa pun di kulit korban.
' 'Pukulan Ombak Laut Selatan'!" dengus Ki Da-
nyang Bagaspati. Kemudian ia ingat akan Ki Sempani, satu-satunya tokoh dalam
dunia persilatan yang berhasil mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.
Dan, ia pun ingat masih punya urusan dengan
orang sakti dari Padepokan Karang Bolong itu. Untuk bisa mengalahkan Ki Sempani
inilah ia harus mencuri kain kafan di kuburan sebagai sarana mempelajari jurus
'Selendang Mayat Penyapu Awan'. Enam tahun ia
berdiam di Kaki Gunung Merapi demi memperdalam
ilmu ini. Enam tahun yang lalu, Ki Danyang Bagaspati
terlibat pertempuran hidup dan mati dengan Ki Sem-
pani di Pesisir Laut Selatan. Ia yang datang ke tempat itu untuk mengajarkan
ilmu sesat kepada penduduk
desa di pinggiran laut itu, tidak boleh tidak harus berurusan dengan Ki Sempani.
Sebagai pendekar yang
mengabdi pada kepentingan rakyat banyak, Ki Sempa-
ni terpaksa turun tangan mencegah kejahatan yang
meracuni Pesisir Laut Selatan dan sekitarnya. Maka
pertarungan hidup dan mati dengan Ki Danyang Ba-
gaspati tak bisa dielakkannya lagi. Da-lam pertarungan inilah Ki Danyang
Bagaspati terdesak dan tergiring ke dalam pelukan ombak laut Selatan yang ganas
itu. Akan tetapi, nasib baik masih mengekornya Seseorang yang mengaku sebagai kaki
tangan penguasa Laut Selatan menyelamatkannya Malahan kemudian menu-
runkan ilmu silat yang disertai 'aji pamungkas berna-ma jurus 'Selendang Mayat
Penyapu Awan' kepadanya.
' Untuk bisa menguasai jurus ini, kau harus bi-
sa mendapatkan kain kafan yang membungkus mayat
orang yang paling kau benci, Bagaspati,' kata sang guru 'Kain kafan?" Bulu kuduk
Ki Danyang Bagaspati berdiri. Sungguh, tak pernah bisa membayangkan
bakal mendapat perintah membongkar kuburan dan
mengambil kain kafan yang membungkus mayat peng-
huni kuburan itu.
"Kau takut" Hi hi hik! Kalau untuk membong-
kar kuburan seseorang saja kau takut. bagaimana
mungkin kau bisa mengalahkan musuh besarmu"
' Tidak, tidak Guru Saya hanya kaget menden-
gar persyaratan yang sangat aneh ini" sahut Ki Danyang Bagaspati untuk menutupi
rasa malunya. Bagus Kalau begitu, malam Jum'at Kliwon nan-
ti kau harus sudah menyerahkan kain kafan yang
membungkus mayat orang yang paling kau benci Dan
kain kafan itu harus sudah terkubur lebih dari tiga tahun. Paham?"
"Paham, paham, Guru " Ki Danyang Bagaspati
mengangguk berulang-ulang.
"Jangan sampai lupa pesan-pesanku tadi. Sa-
lah ambil, tidak akan berfaedah kain kafan itu!"
' Saya mengerti, Guru. Saya harus menda-
patkan kain kafan orang yang paling saya benci, dan kain kafan itu harus sudah
terkubur di liang lahat selama lebih dari tiga tahun. Benar begitu, Guru?"
Begitulah kenapa akhirnya orang sesat dari Ka-
ki Gunung Merapi ini berhasil menguasai jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan' Dan
hampir saja jurus
maut itu diturunkan kepada Ki Demang Kerpa.
Ki Danyang Ragaspati menyeringai. Lalu ia ter-
tawa terbahak-bahak sambil melompat pergi mening-
galkan halaman kademangan. Bayangan Ki Sempani
memajang di pelupuk matanya Hatinya girang sebab ia melihat jejak-jejak
munculnya murid Ki Sempani.
"Dari muridnya inilah aku bisa memaksa kepit-
ing pantai itu untuk menongolkan dirinya!" kata hati Ki Danyang Ragaspati.
*** Bulan tak lagi tampak penuh. Purnama sudah
berlalu beberapa hari yang lalu. Peristiwa di Kademangan Desa Sanareja itu sudah
dilupakan oleh Joko
Sungsang. Kalaupun Ki Demang Kerpa terbunuh da-
lam pertarungan di halaman kademangan itu, ini se-
mua di luar rencana anak bekas demang Desa Sanare-
ja ini. Di luar dugaannya jika malam itu dia akan berurusan dengan Ki Demang
Kerpa, bahkan sampai mem-
bunuhnya. Lima tahun yang lalu Joko Sungsang telah
memaafkan Kerpa. Meski ia tahu bahwa tewasnya Ki
Linggar karena fitnah yang ditebarkan Kerpa, tetap sa-ja ia menganggap bahwa
Hantu Lereng Lawu dan anak
buahnyalah yang harus menebus kematian Ki Linggar.
Itulah kenapa Joko Sungsang membiarkan Kerpa tetap
hidup setelah ia berhasil membunuh Hantu Lereng
Lawu. Malam itu, setelah berhasil membunuh Hantu
Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Perisai Naga dalam episode ''Hantu Lereng
Lawu") di mulut Desa Cemara
Pitu, Joko Sungsang mengantarkan Sekar Arum kem-
bali ke Padepokan Karang Bolong. Ia terpaksa me-
nangguhkan rasa rindunya bertemu dengan ibunya
sebab ia merasa harus lebih mengutamakan kepentin-
gan orang lain. Ia harus secepatnya menggiring Sekar Arum kembali ke Karang
Bolong demi keselamatan gadis itu. Tanpa ilmu silat yang tinggi, belum
selayaknya-lah Sekar Arum malang-melintang di dunia persilatan.
Dan, gadis itu pun mengaku bahwa hampir saja ia ce-
laka di tangan Kebo Dungkul jika tidak muncul Wiku
Jaladri menolongnya.
"Aku yakin, jika kau sudah menguasai seluruh
ilmu yang diajarkan Ki Sempani, jangan lagi seorang Kebo Dungkul, sedangkan
Hantu Lereng Lawu pun
akan roboh berhadapan denganmu, Arum," kata Joko
Sungsang. ' Mungkin," kata gadis itu sambil mengerling.
' Bukan mungkin lagi Pasti!" sahut Joko Sung-
sang. ''Siapa orangnya yang tak kenal ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'" Guruku
sendiri mengakui bahwa ilmu pukulan tangan kosong itu tidak ada duanya
di dunia persilatan."
' Tetapi, tidak gampang mempelajari ilmu puku-
lan yang satu itu."
' Karena tidak gampang dipelajari itulah maka
tidak gampang juga dicarikan tandingannya, Arum."
"Ya. Tetapi, sudah berkali-kali aku gagal me-
nempuh." ' Cobalah sekali lagi. Siapa tahu sekaranglah
saatnya kau berhasil menguasai ilmu pukulan maut
itu. Dan, kalau memang Ki Sempani mengizinkan aku
bersedia belajar denganmu."
Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia mena-
tap tidak percaya wajah anak muda yang berada di
sampingnya itu.
"Kau sudah bergelar Pendekar Perisai Naga.
Kau sudah menguras semua ilmu yang dimiliki Kiai
Wiku Jaladri. Bahkan kau dengan mudah bisa mem-
bunuh Hantu Lereng Lawu dan Mahesa Lawung den-
gan jurus 'Perisai Naga' mu. Kenapa kau masih ingin mempelajari ilmu 'Pukulan
Ombak Laut Selatan'?" kata gadis itu seolah tidak percaya mendengarkan pengakuan
Joko Sungsang.

Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak ada sesuatu pun yang paling hebat di mu-
ka bumi ini, Arum Begitu pula tak ada ilmu silat yang paling hebat di muka bumi
ini. Memang benar aku telah mewarisi seluruh ilmu silat yang dimiliki Kiai Wiku
Jaladri. Tetapi, pantaskah aku merasa menjadi orang yang paling sakti di muka
bumi ini" Tidak, Arum.
Bahkan aku merasa tidak mungkin mampu mengha-
dapi Empu Wadas Gempal jika tidak datang Kiai Wasi
Ekacakra menolongku," jawab Joko Sungsang tulus.
Diam-diam Sekar Arum mengagumi kerenda-
han hati anak muda ini. Meski anak muda ini sudah
bergelar Pendekar Perisai Naga, tetap saja ia merasa tidak akan bisa mengalahkan
Empu Wadas Gempal,
guru Hantu Lereng Lawu. Padahal gadis itu melihat
sendiri bagaimana anak muda itu memainkan Perisai
Naga di tangannya. Karena itu pula ia menganggap
bahwa anak muda ini memang pantas bergelar sebagai
Pendekar Perisai Naga.
Lalu gadis itu menengok dirinya sendiri. Lalu ia
merasa kecil sekali berada di samping Pendekar Perisai
Naga, la yang hanya memiliki ilmu silat sekuku hitam sudah berani kiprah di
dunia persilatan, la bahkan sudah berani meninggalkan Padepokan Karang Bolong
sebab merasa sudah memiliki ilmu silat yang hebat.
Tetapi, nyatanya hampir saja ia celaka dan diperkosa oleh Kebo Dungkul.
"Aku merasa malu sekali bertemu denganmu,
Joko," ucap gadis itu seraya menundukkan kepala.
"Malu?" Joko Sungsang mengangkat kedua
alisnya. "Ya. Aku terlalu pongah dengan ilmu silatku yang...."
' Arum," tukas Joko Sungsang. ''Menurutku, il-
mu silatmu sangatlah tangguh. Permainan tombak
pendek-mu mengagumkan. Buktinya Kebo Dungkul
akhirnya tewas tertikam tombak pendekmu. Kalaupun
beberapa waktu yang lalu guruku terpaksa menolong-
mu, itu karena dia melihat kecurangan dalam perta-
rungan di depan kedai itu. Aku yakin, tanpa bantuan Hantu Lereng Lawu, tak
mungkin Kebo Dungkul lolos
dari aji pamungkas tombak pendekmu."
Sekar Arum membenarkan ucapan anak muda
itu. Ya, kalau saja tidak datang Hantu Lereng Lawu membantu, tentulah Kebo
Dungkul sudah tewas di depan kedai itu. Tewas oleh jurus 'Memancing Mangsa
Keluar Sarang'!
' Maksudku, aku malu kenapa aku tidak berpi-
kiran sepertimu. Kau yang sudah menguasai seluruh
ilmu Padepokan Jurang Jero saja masih ingin belajar dari padepokan lain.
Tapi, .kenapa aku yang belum
berhasil menguasai seluruh ilmu yang diajarkan Ki
Sempani...?"
' Penyesalan tidak ada gunanya, Arum." Kemba-
li Joko Sungsang memotong keluhan gadis itu. ''Yang
penting sekarang kau berniat kembali ke Karang Bo-
long, dan berjanji akan lebih tekun lagi belajar. Bukan begitu?"
' Dengan bantuanmu, semoga kali ini aku tidak
patah semangat!" ujar gadis itu sambil mempercepat
langkah. Menjelang pagi hari, mereka tiba di Padepokan
Karang Bodong. Ki Sempani terkejut melihat kedatan-
gan Sekar Arum disertai seorang anak muda yang ber-
senjatakan Perisai Naga. Tak disangka-sangka ia bakal melihat lagi kemunculan
Pendekar Perisai Naga dimu-ka bumi ini.
' Kisanak, kalau mata tuaku ini tidak salah li-
hat, cambuk yang melilit di pinggang Kisanak itu tidak lain dari Perisai Naga,"
kata Ki Sempani sebelum Sekar Arum sempat memperkenalkan Joko Sungsang kepada
gurunya. ' Kalaupun pandang mata Kiai terpengaruh oleh
bertambahnya usia Kiai, tetapi saya percaya mata hati Kiai tidak akan salah
melihat," jawab Joko Sungsang seraya mengangguk hormat.
' Jadi, benar aku sedang berhadapan dengan
Pendekar Perisai Naga?"
''Begitulah kalau memang Kiai mengizinkan
saya mewarisi gelar dari Kiai Wiku Jaladri. "
' Gusti Allah Maha agung!" desis orang tua itu.
' Sejak dulu aku tidak percaya Kakang Wiku Jaladri
tewas di dasar jurang itu. Suatu ketika pasti dia muncul lagi untuk membangun
bumi yang bobrok ini."
' Sewaktu saya meninggalkan Padepokan Ju-
rang Jero, keadaan Guru sehat walafiat, Kiai. Malahan Guru mengirimkan salam
teruntuk Kiai di Padepokan
Karang Bolong sini."
"Ha ha ha, rasanya umurku bertambah panjang
mendengar kabar baik tentang Kakang Wiku Jaladri!
Apalagi kabar baik itu disampaikan oleh muridnya
yang bergelar Pendekar Perisai Naga! Oh, siapa nama Kisanak... eh, Anakmas ini?"
' Joko Sungsang, Kiai."
' Joko Sungsang" Wah, wah, pasti Anakmas ini
ketika lahir dalam keadaan sungsang. Artinya, Anak mas lahir dengan kaki
mendahului kepala. Betul begitu?" 'Menurut pengakuan ayah saya, memang begi-
tulah alasannya kenapa saya diberi nama Joko Sung-
sang, Kiai."
'Tetapi, saya lebih suka memanggilnya Pende-
kar Perisai Naga, Guru," sela Sekar Arum sambil meli-rik Joko Sungsang.
"Ya, ya, ya. Kalau aku tadi menanyakan nama
lahir, tidak berarti aku menganggap Anakmas Joko
Sungsang ini tidak pantas bergelar Pendekar Perisai Naga, Arum. Hanya saja, aku
percaya Anakmas Joko
Sungsang akan merasa risih jika aku memanggilnya
dengan Anakmas Pendekar Perisai Naga! Bukan begitu, Anakmas?"
"Betul sekali, Kiai. Apalah artinya gelar saya ji-
ka saya sedang berhadapan dengan pertapa sakti ma-
cam Kiai?" sahut Joko Sungsang merasa tidak enak
hati. Tentu saja ia merasa kecil sekali berhadapan
dengan Ki Sempani. Dan, selama ini toh musuh-
musuhnya yang menggelarinya Pendekar Perisai Naga.
Sesungguhnya, ia sendiri merasa belum pantas me-
nyandang gelar warisan dari gurunya itu.
"Ho ho ho, tidak juga begitu, Anakmas. Kalau
memang Anakmas Joko Sungsang benar-benar telah
mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki Kakang Wiku Ja-
ladri, tidak perlu Anakmas merasa kecil hati berhada-
pan denganku. Aku ini hanyalah orang tua yang tidak tahu diri. Sudah seharusnya
aku ini hidup menyepi,
jauh dari kekotoran dunia. Tetapi, aku masih saja ingin campur tangan. Tidak
seperti Kakang Wiku Jaladri maupun Dimas Wasi Ekacakra. Bukan begitu, Anakmas?"
Pendekar Riang 13 Wanita Iblis Karya S D Liong Pendekar Patung Emas 20
^