Cinta Berlumur Darah 1
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah Bagian 1
CINTA BERLUMUR DARAH
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar Sampul : Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 004:
Cinta Berlumur Darah
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Hup! Yeaaa...!"
"Uts, ha...!"
"Cukup!"
Seorang laki-laki tua berjubah putih melompat ke tengah-tengah dua orang muda
yang saling berhadapan. Dua orang muda itu serentak mengambil sikap hormat
dengan telapak tangan merapat di depan dada, kemudian duduk bersila di atas
rerumputan. Sedangkan laki-laki tua itu tetap berdiri dengan kepala terangguk-
angguk. Bibirnya yang tipis hampir tertutup kumis putih itu terus menyunggingkan
senyum. "Hari ini kalian berlatih begitu luar biasa. Terutama kau, Intan. Jurus-jurusmu
maju begitu pesat. Semakin mantap dan sempurna," ujar laki-laki berjubah putih
itu bernada bangga.
"Terima kasih, semua ini berkat bimbingan Eyang,"
sahut gadis cantik yang memakai baju merah terang.
"Dan kau, Indranata! Kulihat pengerahan tenaga dalammu tidak penuh. Itu bisa
membahayakan dirimu sendiri seandainya bertarung dalam arti yang sesung-guhnya.
Ingat! Pengerahan tenaga dalam sangat penting dan harus tepat pada waktunya,"
jelas laki-laki berjubah putih itu seraya memandang pemuda berkulit sawo matang
yang duduk bersila di samping Intan Delima.
"Maaf, Eyang. Aku tidak sampai hati untuk melukai Intan," sahut pemuda yang
dipanggil Indranata.
"Itu bukan alasan yang tepat, Indranata. Rasa kasihan harus kau hilangkan. Dalam
dunia persilatan, hanya ada satu kalimat yang harus kau ingat.
Dibunuh, atau membunuh! Camkan itu, Indranata!"
"Baik, Eyang."
"Hm..." laki-laki tua berjubah putih itu mengalihkan pandangannya pada Intan
Delima, kemudian kembali memandang Indranata yang tengah menundukkan kepalanya.
Indranata mengangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung tertuju pada tatapan
mata Eyang Watuagung. Seperti mengerti arti tatapan itu, Indranata bangkit
berdiri, lalu menjura hormat.
"Pergilah istirahat, Indranata. Aku ada perlu dengan Intan sebentar. Ada yang
ingin kukatakan padanya," kata Eyang Watuagung pelan.
"Aku mohon diri, Eyang," ucap Indranata seraya menjura hormat.
"Hm," Eyang Watuagung hanya menggumam tidak jelas.
Indranata bergegas melangkah meninggalkan
halaman luas berumput di depan pondok yang berada di Puncak Gunung Rangkas.
Intan bangkit berdiri setelah Indranata lenyap di belakang pondok. Eyang
Watuagung membalikkan tubuhnya dan berjalan pelan menjauhi pondok kecil itu.
Intan Delima mengikuti dari belakang. Keningnya berkerut sedikit.
Hatinya bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan Eyang Watuagung padanya"
"Sudah berapa lama kau di sini?" tanya Eyang Watuagung setelah mereka berada di
bibir tebing sangat curam.
Dari sini, mereka bisa memandang ke bagian Selatan Gunung Rangkas. Tampak sebuah
perkampungan yang tidak begitu besar berdiri tidak jauh dari kaki gunung ini. Di
situ hanya ada beberapa rumah yang letaknya cukup berjauhan.
"Entahlah! Aku tidak pernah mengingatnya," sahut Intan setengah mendesah.
"Hm...," Eyang Watuagung kembali bergumam
tidak jelas. Intan Delima semakin bertanya-tanya di dalam hatinya, dan berusaha mencari
jawaban dari raut wajah laki-laki tua itu. Tapi jawaban yang diingin-kannya
sulit didapat, karena wajah Eyang Watuagung begitu datar dan sukar diterka.
Hanya tatapan matanya saja yang menyiratkan sesuatu, namun sangat sulit untuk
diartikan. "Apa yang ingin Eyang katakan?" tanya Intan Delima tidak sabaran.
"Hhh.... Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan mendiang ayahmu, yang juga murid
kesayanganku," kata Eyang
Watuagung setelah menarik napas panjang.
Intan Delima kembali diam membisu. Dia memang tidak pernah lupa akan kematian
ayahnya yang begitu tragis sebagai seorang laki-laki jantan dan ksatria.
Apalagi untuk bisa melupakan lawan ber-tarung ayahnya, yaitu seorang pemuda
tampan yang telah menorehkan tinta asmara di dasar hatinya yang paling dalam.
Tidak mungkin Intan melupakan begitu saja. Sampai saat ini pun dia jelas
terbayang, bahkan sampai kapan pun.
"Semula, kukira dia sudah mati di dasar jurang Tapi tidak kusangka, ternyata dia
masih hidup dan
mampu membunuh muridku," ujar Eyang Watuagung setengah bergumam.
"Eyang! Aku sudah berusaha untuk melupakannya...," kata Intan berdusta. Nada
suaranya agak bergetar saat mengatakan itu.
"Benar kau akan melupakannya, Intan?" tanya Eyang Watuagung penuh selidik.
Intan Delima tidak segera manjawab, tapi hanya menunduk saja karena tidak mampu
lagi membalas tatapan mata laki-laki tua berjubah putih di depannya.
Dalam hati, dikutuki dirinya sendiri yang berani men-dustai eyang gurunya ini.
?"Aku tidak percaya kau akan melupakan semua itu, Intan. Aku tahu perasaanmu.
Tapi aku tidak ingin menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Kau berhak
mencintainya meskipun orang yang kau cintai itu telah membunuh ayahmu sendiri.
Itu hakmu, Intan.
Tapi aku hanya ingin mengingatkan, bahwa orang yang kau cintai adalah seorang
pembunuh kejam!"
agak sedikit ditahan suara Eyang Watuagung.
"Eyang...," suara Intan tertahan di tenggorokan.
"Aku tak bermaksud mengajarkan atau mem-bakar dendam pada dirimu, Intan. Hanya
yang ingin kukatakan, bahwa semua yang telah terjadi hendaknya kau jadikan
pelajaran berharga bagi dirimu sendiri. Kau seorang wanita, dan harus lebih bisa
menjaga diri daripada laki-laki."
Intan hanya menundukkan kepalanya saja. Hatinya jadi tidak menentu, dan
kepalanya terasa pening.
Kata-kata Eyang Watuagung seolah-olah sengaja me-nyingkap tirai kenangannya pada
seorang pendekar gagah dan tampan, dengan tingkat kepandaian sangat tinggi.
Orang yang sangat dicintai, tapi yang
juga telah menghancurkan hati dan harapannya. Dia telah membunuh ayah
kandungnya. Haruskah mesti dicintai..."
*** Pembicaraan Eyang Watuagung dan Intan Delima
dilanjutkan terus sampai menjelang sore hari. Namun sampai sejauh ini Intan
belum dapat menangkap maksud pembicaraan Eyang Watuagung yang meng-ungkit
peristiwa di Kadipaten Jati Anom.
Intan Iebih banyak diam dan berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati.
Semakin diingatnya semua kejadian itu, semakin disadari kalau ternyata ada
kebencian di hatinya terhadap Pendekar Pulau Neraka. Tapi rasa benci itu segera
pupus begitu perasaan cinta dan kerinduan melanda hatinya.
Memang, Intan harus menghadapi dua pilihan yang sangat sulit.
"Selama kau berada di pondokku, latihanmu
begitu giat dan tekun. Kesungguhanmu dalam berlatih tidak pernah kujumpai
sebelum ini...," ujar Eyang Watuagung seraya mengayunkan langkahnya kembali
menuju ke pondok.
"Apakah aku salah, Eyang?" tanya Intan sambil mengikuti langkah laki-laki
berjubah putih itu.
"Tidak! Sama sekali tidak! Justru aku senang jika kau bersungguh-sungguh ingin
menyempurnakan jurus-jurusmu, bukan karena sebab-sebab lain yang tertanam di
dalam hatimu," jawab Eyang Watuagung, tapi masih sulit dimengerti.
"Aku tidak mengerti, Eyang."
"Memang sulit untuk dimengerti, karena
jawabannya ada pada dirimu sendiri. Sedangkan aku
tidak tahu, apa yang ada di dalam hatimu saat ini Hanya saja jika kau memiliki
suatu maksud...," Eyang Watuagung tidak melanjutkan.
"Eyang.... Apakah Eyang menyangka bahwa aku menyimpan dendam, begitu?" tebak
Intan Delima masih menduga-duga.
Eyang Watuagung tidak menjawab, tapi hanya tersenyum. Ayunan kakinya tidak
berhenti, meskipun pelahan-lahan sekali. Intan Delima semakin diliputi
ketidakmengertian akan sikap eyang gurunya ini.
"Terus terang, Eyang. Aku memang membencinya, tapi juga mencintainya. Aku ingin
punya kesempatan untuk bertarung secara jujur dengannya. Ini bukan dendam, juga
bukan pelampiasan kebencian atau perasaan cinta. Aku hanya ingin menunjukkan
kalau diriku bukan wanita lemah yang hanya bisa mengemis cinta dan perlindungan
laki-laki," tegas Intan.
"Kau berkata dari hatimu sendiri, Intan?" nada suara Eyang Watuagung seakan
tidak percaya. "Kalau Eyang tidak percaya, aku harus bicara apa lagi?" agak kesal juga Intan.
"Aku percaya padamu, Intan. Aku bangga jika kau punya pendirian seperti itu.
Pendirian yang keluar dari dalam hati, bukan hanya di mulut saja."
Intan kembali diam. Dia tahu kalau Eyang
Watuagung tidak percaya dengan pendiriannya. Tapi dia sendiri memang tidak yakin
dengan apa yang baru saja diucapkan. Yang jelas ketidakpercayaan gurunya bukan
merupakan hambatan bagi Intan. Masalahnya dia sendiri memang belum tahu arah dan
tujuannya saat ini.
*** Hampir seharian penuh Intan Delima duduk
merenung di atas batu di pinggir sungai. Sebagian kakinya terayun-ayun ke dalam
sungai, memper-mainkan riak air yang mengalir jernih dari sumbernya di puncak
gunung ini. Sejak matahari terbit tadi, sampai senja sekarang ini dia masih
duduk merenung di atas batu yang menjorok ke tepi sungai.
Pandangannya lurus menatap dasar sungai yang berbatu.
"Intan...!"
Intan menoleh saat mendengar namanya di-
panggil. Kembali dialihkan pandangannya ke dalam sung begitu dilihatnya
Indranata datang menghampiri.
Pemuda berwajah cukup tampan dengan kulit sawo matang terbakar matahari ini,
duduk di atas batu lain samping Intan Delima.
"Ada apa kau ke sini" Apakah kau membawa
amanat Eyang untukku?" tanya Intan memberondong.
"Tidak! Aku memang sengaja mencarimu," sahut Indranata tidak tersinggung dengan
nada ketus gadis itu.
"Apa perlunya kau mencariku?" "Ngobrol."
"Hhh...!" Intan mendesah panjang.
Jawaban yang diberikan Indranata begitu mudah dan terdengar hanya alasan yang
dibuat-buat saja.
Intan tahu betul itu. Apalagi sejak kedatangannya di Puncak Gunung Rangkas ini,
Indranata selalu mencari perhatian. Bahkan sikapnya sangat berlebihan. Hal-hal
kecil pun juga diperhatikan. Intan tahu, kalau Indranata jatuh cinta padanya.
Hanya saja pemuda itu tidak punya keberanian untuk mengucapkannya. Dan
Intan sendiri tidak pernah memberi peluang terhadap pemuda itu.
"Dari pagi tadi aku mencarimu, Intan. Kau tidak latihan hari ini. Eyang Guru
juga menanyakanmu. Aku tidak tahu kalau kau ada di sini," kata Indranata lagi.
"Katakan saja pada Eyang, bahwa aku ingin
istirahat dalam beberapa hari," masih ketus nada suara Intan.
"Ada apa dengan dirimu, Intan. Kau kelihatan tidak...."
"Sudahlah, Indranata. Ini bukan urusanmu.
Biarkan aku sendiri di sini. Saat ini aku butuh ketenangan. Aku tidak suka
berdebat denganmu.
Mengertilah sedikit, Indranata," kata Intan setengah memohon. Hilang
keketusannya. Indranata memandangi wajah gadis itu lekat-lekat.
Keningnya sedikit berkerut. Tidak pernah di-lihatnya Intan begitu murung, sampai
betah duduk sendirian satu hari penuh. Intan memang selalu ber-wajah murung,
sejak datang ke pondok di Puncak Gunung Rangkas ini. Tapi tidak separah ini!
Kedatangannya waktu itu pun dalam keadaan tubuh tidak begitu sehat. Satu pekan
penuh Eyang Watu-agung
merawatnya. Dan baru tiga purnama ini Intan mulai berlatih ilmu olah kanuragan
langsung di bawah bimbingan Eyang Watuagung.
"Kau masih di situ, Indranata?" nada suara Intan setengah mengusir.
"Intan! Kau boleh susah dengan dirimu sendiri.
Kau boleh punya persoalan apa saja. Aku tahu, kau membenci seseorang yang
mungkin telah melukai hatimu. Tapi jangan limpahkan kebencian itu kepada-
ku," ungkap Indranata mengeluarkan segala kekesalan yang selama ini ditahan.
Intan memang tidak pernah bersikap ramah
terhadap Indranata. Kata-katanya selalu bernada ketus. Bahkan mereka jarang
bicara kalau tidak sedang berlatih. Indranata sadar betul kalau Intan tidak
menyukainya, bahkan mungkin membencinya.
Tapi Indranata tidak ambil peduli. Malahan dia selalu bersikap manis, seolah-
olah tidak tahu. Bahkan segala keperluan gadis itu dipenuhi hanya untuk
mendapatkan sebuah senyuman.
Tapi Intan tidak pernah memberi senyuman manis yang tulus. Senyumannya selalu
dipaksakan dan pahit dirasakan. Terhadap sikap Intan yang demikian itu, bagi
Indranata mulanya memang menyebalkan. Tapi setelah tahu siapa Intan Delima
sebenarnya, sikapnya pun berubah. Dia tidak peduli lagi dengan sikap gadis itu
yang tidak bersahabat. Bahkan sulit untuk menolak timbulnya perasaan simpati
yang berkembang menjadi perasaan cinta, meskipun belum pernah diungkapkan secara
terus terang. "Kau seorang gadis cantik, anggun, dan suci di mataku, Intan. Seharusnya semua
itu tidak kau rusak dengan sikapmu yang kekanak-kanakan. Bagiku bukan persoalan
jika kau membenciku selamanya.
Tapi cobalah berpikir secara dewasa. Kau tidak hidup sendirian di sini. Tidak
mungkin kau dapat menyelesaikan segala persoalan seorang diri. Kau membutuhkan
seorang teman yang dapat diajak bertukar pikiran, yang bisa mengerti dirimu, dan
bisa me-numbuhkan kembali semangat dalam dirimu,"
ungkap Indranata lagi.
Intan masih diam membisu. Begitu pula dengan Indranata. Dirasakan semua yang
dikatakannya hanya terbawa angin saja. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala
menghadapi kekerasan hati gadis itu.
"Sudah selesai khotbahmu?" masih bernada sinis suara Intan.
"Edan! Hampir berbusa mulutku, masih kau
anggap angin lalu saja!" dengus Indranata kesal.
Indranata langsung bangkit berdiri dan me-langkah pergi. Tapi baru saja berjalan
beberapa langkah, dia kembali berhenti dan berbalik. Intan masih tetap duduk
memandang ke dalam sungai.
"Eyang berpesan agar kau menemuinya malam
nanti di bilik semadi!" kata Indranata lantang.
Sama sekali Intan tidak menyahut. Indranata kembali berbalik dan melangkah
pergi. Intan tetap duduk di atas batu di tepi sungai itu hingga matahari benar-
benar tenggelam di ufuk Barat. Dia baru beranjak meninggalkan tempat itu setelah
keadaan menjadi gelap. Wajahnya tetap murung, dan ayunan kakinya sedikit gontai.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
*** Agak ragu-ragu juga Intan membuka pintu bilik semadi. Sore tadi Indranata
mengatakan kalau dia dipanggil Eyang Watuagung di bilik semadi. Dan saat pulang
tadi, Eyang Watuagung juga mengatakan hal yang sama. Tidak biasanya Eyang
Watuagung me-manggilnya ke dalam bilik semadi.
Intan sempat terkejut begitu pintu bilik terbuka.
Tampak Indranata telah duduk bersila di depan Eyang Watuagung yang mengenakan
baju jubah putih dengan ikat kepala juga berwarna putih bersih. Intan
mengayunkan kakinya melangkah masuk, kemudian duduk di samping Indranata tanpa
sedikit pun menoleh pada pemuda itu.
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lama sekali kau baru datang, Intan," tegur Eyangl Watuagung.
"Maaf, Eyang. Aku...," Intan tidak melanjutkan!
kata-katanya, hanya ditundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Aku sengaja memanggil kalian ke bilik semadiku ini, karena ada sesuatu yang
hendak kukatakan pada kalian berdua," kata Eyang Watuagung langsung.
Intan dan Indranata hanya diam dengan kepala setengah tertunduk. Sementara Eyang
Watuagung merayapi wajah yang tertunduk itu dalam-dalam.
"Besok, pagi-pagi sekali aku akan pergi. Dan...."
"Eyang...!" Intan tersentak, langsung mengangkat kepalanya.
"Dengarkan dulu, Intan. Aku belum selesai bicara."
Intan Delima kembali terdiam.
"Kalian tidak perlu cemas. Aku pergi karena ada sesuatu yang harus kuselesaikan.
Keperluanku sangat penting dan mendesak sekali. Memang berat untuk meninggalkan
kalian yang belum menyelesaikan seluruh pelajaran. Tapi apa boleh buat, itu
harus kulakukan," kata Eyang Watuagung.
"Eyang, apa yang membuatmu harus pergi dengan tiba-tiba?" tanya Intan.
"Aku mendapat kabar bahwa adikku telah kembali.
Aku harus menemuinya." sahut Eyang Watuagung.
Intan Delima langsung terlonjak. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi telah lebih
dulu dicegah. Gadis itu hanya bisa diam dengan dada bergemuruh.
Dia tahu, Siapa orang yang dimaksud Eyang
Watuagung. Dan Intan juga sudah bisa menebak apa yang bakal terjadi. Hanya satu
yang dikhawatirkan Intan. Saat ini Eyang Watuagung masih menderita luka dalam
akibat pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka. Meskipun Eyang Watuagung
sudah berusaha menyembuhkannya, tapi Intan tahu kalau luka dalam itu belum
seluruhnya hilang. Bahkan mungkin tidak akan hilang sampai ajal merenggutnya.
Dan kini Eyang Watuagung akan menghadapi sesuatu yang sulit dibayangkan jadinya.
"Satu pesanku lagi untuk kalian berdua," lanjut Eyang Watuagung. "Seandainya aku
tidak kembali dalam waktu tiga purnama, kalian berdua tidak usah mencariku. Aku
lebih senang jika kalian menganggap-ku sudah mati."
"Eyang...!" kembali Intan tersentak.
Eyang Watuagung tersenyum lembut. Namun
senyumnya seperti sangat dipaksakan. Tangannya yang sejak tadi berada di atas
sebuah kotak kayu berukir berwarna hitam pekat, kini berusaha membuka tutupnya.
Dikeluarkannya dua buah pedang pendek berwarna hitam dengan gagang berbentuk
kepala naga dan sebuah kitab bersampul hitam pula.
"Pedang ini bernama Naga Hitam Kembar. Se-
dangkan kitab ini bernama Kitab Naga Kembar," kata Eyang Watuagung seraya
meletakkan benda-benda pusaka itu di atas tutup kotak kayu di depannya.
Intan menyipitkan kedua matanya memandandj benda-benda pusaka itu. Benda-benda
pusaka dan keramat itu memang tidak pernah dikeluarkan Eyang Watuagung sebelumnya. Bahkan
muridnya yang ter-dahulu saja, yaitu ayah Intan Delima, belum pernah melihat,
meskipun telah mendengarnya.
"Benda pusaka ini kuserahkan pada kalian berdua! Selama aku pergi, pelajari dan
kuasailah jurus-jurus 'Naga Kembar'. Sudah kalian pelajari dasar-dasarnya dan
kitab ini akan menjadi penuntun kalian selama mempelajari jurus-jurus 'Naga
Kembar'," kata Eyang Watuagung lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu menyerahkan sebuah pedang yang berada di
sebelah kanannya kepada Indranata. Dan sebuah pedang lagi diserahkan pada Intan
Delima. Sementara Kitab Naga Kembar diserahkan pada Indranata yang menerirna
dengan sikap penuh hormat.
"Jika kalian sudah menguasai jurus-jurus 'Naga Kembar', musnahkanlah kitab itu.
Dan jangan kalian lupa, pedang yang kalian miliki tidak dapat digunakan secara
terpisah. Jadi, selama masih memegang pedang itu, kalian harus selalu bersatu.
Mengapa demikian" Nanti akan kalian ketahui jika telah menguasai jurus-jurus
'Naga Kembar'," lanjut Eyang Watuagung.
Intan melirik pemuda di sampingnya. Pada saat yang sama, Indranata pun melirik
pada gadis itu.
Intan buru-buru membuang mukanya.
"Pergilah kalian beristirahat," kata Eyang Watuagung lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu memandang dua orang muda itu meninggalkan bilik
semadi ini. Sebentar dia masih duduk bersila di atas altar semadi yang terbuat dari batu
pipih berbentuk persegi.
Kemudian matanya mulai terpejam, sedangkan telapak tangannya menempel pada
lutut. Eyang Watuagung mulai bersemadi untuk mengembalikan kembali kondisi
tubuhnya. Sejak pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka, dia sering
bersemadi. "Ugh! Dada ini...!" keluhnya dalam hati.
*** 2 "Eyang...!"
Intan Delima membuka pintu bilik semadi. Sejenak dia tertegun mendapati altar
semadi telah kosong.
Tidak ada lagi Eyang Watuagung di dalam bilik.
Pelahan-lahan gadis itu melangkah masuk. Matanya beredar merayapi seluruh sudut
bilik yang berukuran tidak begitu luas ini.
Matahari belum lagi terbit, tapi Eyang Watuagung sudah pergi.
"Eyang...," lirih suara Intan.
Intan duduk di atas akar semadi. Diangkat
kepalanya ketika mendengar langkah kaki memasuki bilik. Tatapan matanya kosong
ke arah Indranata yang be diri di ambang pintu bilik. Pemuda itu juga memandang
lurus pada Intan dengan sinar mata kosong.
Sesaat mereka hanya saling pandang saja.
"Belum pernah Eyang pergi dengan meninggalkan banyak pesan," kata Intan lirih,
memecahkan kebisuan.
"Eyang pasti kembali dalam waktu tiga purnama, kata Indranata mencoba
membesarkan hati gadis itu.
"Hhh! Kau hanya menghibur saja, Indranata, Intan tersenyum sinis.
"Ya, kau memang perlu dihibur. Aku yakin kala hatimu yang kosong pasti
membutuhkan seseorang untuk menghibur dan mengisinya kembali," sahut Indranata
datar. Intan Delima bangkit berdiri, kemudian bergegas melangkah keluar dari bilik
semadi itu. Indranata menyusul dan menggamit pergelangan tangan gadis itu. Intan
berusaha menyentakkannya, tapi cekalan Indranata begitu kuat. Gadis itu berbalik
dan menatap tajam pada pemuda itu, maka Indranata pun
melepaskan cekalannya.
"Kau benar-benar kepala batu, Intan!" dengus Indranata gusar. "Apa kau lupa
dengan pesan-pesan Eyang Watuagung semalam" Kau boleh membenciku tanpa alasan,
tapi jangan abaikan amanat Eyang Watuagung!"
Intan diam membisu. Dalam hati diakui kalau kata-kata Indranata benar. Lagi pula
sungguh tak ber-alasan jika harus membenci pemuda itu. Indranata tidak pernah
berbuat salah sedikit pun terhadap dirinya. Bahkan belum pernah dia melukai
hatinya, apalagi menyakitinya. Mengapa harus membenci pemuda itu"
Kata-kata Indranata kemarin sore kembali
terngiang-ngiang di telinga gadis itu. Sangat jelas, dan tidak bisa dibantah
sedikit pun. Dia memang tidak punya alasan sama sekali. Tapi yang jelas, dia
membenci Indranata hanya karena meluapkan
kekesalan dan kekecewaan hati terhadap Bayu.
Sedangkan Indranata hanya jadi korban dari perasaan hatinya. Perasaan kekanak-
kanakannya. Intan mendesah pelan. Terseliplah rasa sesal dan malu pada pemuda itu. Memang
tidak seharusnya membenci Indranata yang telah begitu baik dan selalu
memperhatikannya.
"Aku sudah membacanya semalam. Sekarang,
giliranmu untuk membaca dan memahami isinya!"
kata Indranata seraya menyerahkan Kitab Naga Kembar.
Intan memandangi sesaat kitab berwarna hitam pekat itu, kemudian menerimanya
dengan tangan bergetar. Indranata langsung berbalik dan melangkah ke tengah-
tengah halaman depan pondok. Intan memandangi pemuda itu. Hatinya diliputi
berbagai macam perasaan yang tak terungkapkan.
"Kakang...," pelan dan agak bergetar suara Intan memanggil.
Indranata menghentikan langkahnya. Pelahan-lahan dia berbalik menghadap pada
gadis itu. Tampak bibir Intan Delima bergetar, seolah-olah ingin mengatakan
sesuatu, tapi tidak ada suara sedikit pun meluncur dari bibirnya yang bergetar.
"Ada apa?" tanya Indranata tanpa gairah.
"Maafkan aku," ucap Intan pelan. Begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar
suaranya. "Ah, sudahlah! Tidak ada yang perlu dimaafkan,"
kata Indranata.
"Katakanlah, Kakang. Maukah kau memaafkan
aku?" desak Intan.
"Kau sudah memanggilku Kakang. Dan itu sudah cukup menyenangkan hatiku, Intan,"
kata Indranata.
"Oh! Terima kasih, Kakang."
Indranata tersenyum. Intan melangkah meng-
hampiri dan mengajak pemuda itu duduk di tangga beranda pondok. Indranata tidak
menolak. Mereka kini duduk berdampingan tanpa ada kata-kata yang terucap untuk
beberapa saat lamanya. Pandangan mereka lurus ke depan.
"Kau membenciku, Kakang?" tanya Intan pelan.
"Tidak ada alasan untuk membencimu," jawab Indranata juga pelan.
"Aku selalu membencimu, tapi kau tidak pernah membenciku. Ah, kau baik
sekali...," suara Intan tengah mendesah.
Indranata memandang wajah gadis di sampingnya.
Sedangkan Intan tetap memandang lurus ke depan.
Sinar matanya begitu kosong, tidak bermakna sedikit pun.
"Intan! Mengapa kau membenciku selama ini?"
tanya Indranata ragu-ragu.
"Seperti yang pernah kau katakan sore kemarin.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku membencimu.
Yah..., mungkin kau benar, Kakang. Aku hanya me-lampiaskan perasaanku saja,"
sahut Intan. "Aku sebenarnya sedikit tahu tentang dirimu dari Eyang Guru Watuagung. Tapi aku
tidak tahu, persoalan yang kau hadapi hingga kau lampiaskan padaku," kata
Indranata mulai mengorek.
"Aku malu mengatakannya, Kakang," sahut Intan polos.
"Kenapa harus malu" Katakan saja, mungkin aku dapat membantu meringankan
bebanmu." Intan menarik napas panjang-panjang dan meng-hembuskannya kuat-kuat. Berat
rasanya untuk menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya. Tapi akhirnya
diceritakannya juga. Dan tentu saja dengan menutupi hubungan intimnya bersama
Pendekar Pulau Neraka. Dia memang lupa daratan, sehingga menyerahkan mahkota
satu-satunya yang paling berharga bagi dirinya! Sesuatu yang tidak mungkin di-
dapatkannya kembali!
*** Hari-hari kini dilalui dua anak manusia yang masih muda itu dengan berlatih
tekun mengikuti petunjuk yang tertulis dalam Kitab Naga Kembar. Saat-saat luang
dihabiskan untuk mengenal diri masing-masing.
Kini mereka mulai saling terbuka dalam beberapa hal.
Hanya saja masih ada sesuatu yang masih disem-bunyikan Intan Delima.
"Kakang, kau belum menceritakan awal per-
temuanmu dengan Eyang Watuagung," kata Intan di saat mereka tengah beristirahat
setelah berlatih keras.
"Oh, ya...?"
"Iya."
"Baiklah," desah Indranata.
Intan diam menunggu sabar.
"Aku bertemu Eyang Watuagung ketika berusia lima belas tahun. Waktu itu, keadaan
desaku tengah dilanda kekacauan. Seorang tokoh rimba persilatan datang lalu
membuat onar. Ilmunya sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat menandingi...,"
Indranata mulai bercerita tentang hidupnya.
"Lalu?" Intan mulai tidak sabaran.
"Tokoh digdaya itu sebenarnya hanya mencari kepala desa. Sedangkan kami semua
sangat mencintai kepala desa karena selalu membela kepentingan orang banyak.
Beliau selalu bertindak adil, tidak memandang golongan. Baik kaya atau pun
miskin, sama saja di matanya."
"Lalu?"
"Kami semua tak rela jika orang gila itu membunuh beliau. Tapi akhirnya,
kekhawatiran kami men-
jadi kenyataan. Malam itu terjadi kegemparan di rumah kepala desa. Benar saja.
Orang gila itu telah membunuh kepala desa, dan orang-orang yang mencoba
menghalanginya. Tidak sedikit pendekar yang tewas. Bahkan para penduduk pun
menjadi korban, termasuk ayahku," semakin pelan suara Indranata.
"Lalu, di mana kau bertemu dengan Eyang?" tanya Intan.
"Kematian Ayah membuatku kehilangan kendali.
Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu meninggal ketika aku masih berusia tiga
tahun. Kemudian kuputuskan untuk pergi mengembara. Tapi belum berapa jauh
meninggalkan tanah kelahiran, malapetaka kembali menimpa. Sekelompok orang telah
merampok semua harta yang kumiliki. Tidak berhenti sampai di situ, aku pun
dianiaya hingga hampir mati. Untungnya, Eyang Watuagung cepat datang menolong
dan membawaku ke sini. Sejak itulah aku tinggal di sini, menuntut ilmu dari
Eyang Watuagung."
"Malang sekali nasibmu, Kakang," ucap Intan lirih.
"Kemalangan bukan untuk disesali, Intan. Tapi untuk direnungi dan diambil
hikmahnya. Semua yang telah terjadi terhadap diriku merupakan suatu pelajaran
yang sangat berharga."
"Kau meniru kata-kata Eyang, Kakang."
"Semua yang dikatakan Eyang, tidak pernah
kulupakan. Kata-katanya merupakan api semangat yang selalu menyulut pelita
kehidupanku, Intan. Di sini kutemukan kembali arti kehidupan, semangat dan masa
depanku. Aku sangat berhutang budi pada Eyang Watuagung. Hutang yang tidak
mungkin dapat terbalaskan sepanjang sisa hidupku."
"Kau merasa berhutang budi pada Eyang
Watuagung, tapi kenapa kau tidak bersamanya pada saat Eyang menghadapi bahaya?"
"Eyang sudah mengatakan yang benar, Intan. Dan itu harus kupatuhi. Aku yakin
Eyang bisa meng-atasi persoalannya tanpa harus ada campur tangan-ku. Aku sangat
menghormatinya, dan tidak mungkin
melanggar perintahnya."
"Kau murid yang setia dan taat, Kakang. Tidak heran kalau Eyang begitu
menyayangimu. Bahkan aku sempat iri melihat kasih sayangnya padamu."
"Ah! Kau hanya membesarkan hatiku saja, Intan.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang.
Semua ilmu yang kau miliki tidak seluruhnya kumiliki juga."
"Intan, hal itu jangan kau jadikan rasa dengki! Aku yakin, Eyang Watuagung
mempunyai per-timbangan lain, mengapa beberapa ilmu tidak diturunkan kepadamu.
Dan juga harus kau ingat, beberapa ilmu yang kau miliki belum tentu dapat
kumiliki! Tapi hal itu tidak membuatku berkecil hati. Karena aku melihat
beberapa ilmu yang tidak kau kuasai, memiliki keistimewaan tersendiri. Begitu
pula sebaliknya. Bahkan bila digabungkan dengan kerja-sama yang baik, akan
menghasilkan ilmu yang dahsyat."
"He! Dari mana kau tahu?" Intan terkejut.
"Kau sudah baca semua yang tertuang di dalam Kitab Naga Kembar?" Indranata balik
bertanya. Intan tidak langsung menjawab. Memang kitab itu belum dibaca seluruhnya. Malahan
sebagian yang dibaca belum dapat dipahami betul. Terlalu sulit untuk mencernanya
seorang diri. "Kau melalaikan amanat Eyang Watuagung, Intan,"
nada suara Indranata seperti menyesalkan.
"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa terlalu cepat memahami. Terlalu sulit bagiku,"
Intan mengakui terus terang.
"Ah, sudahlah! Ayo kita berlatih lagi. Malam nanti aku akan membantumu memahami
isi Kitab Naga Kembar. Ingat, Intan. Waktu yang diberikan hanya tiga purnama.
Waktu yang tidak panjang."
Baru saja Intan akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Intan Delima.
* * * Sebatang anak panah tiba-tiba melesat cepat ke arah Indranata. Seketika itu juga
Intan menggenjot tubuhnya dan menangkap anak panah berwarna hijau itu. Tapi,
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum juga berhasil menjejak tanah, dua batang tombak melesat cepat bagai kilat
ke arah Intan. "Hiyaaa...!"
Indranata melompat cepat sambil menggerakkan kedua tangannya.
Trak! Trak! Tombak itu langsung patah kena sampokan keras bertenaga dalam. Indranata
menjejakkan kakinya tepat di samping Intan Delima. Tangannya merebut anak panah
di genggaman gadis itu. Wajah Indranata langsung memerah ketika melihat goresan
kilat pada batang panah hijau itu.
"Keparat...!" geram Indranata.
"Ada apa, Kakang?" tanya Intan.
"Hhh! Rupanya dia masih mencariku!" sahut
Indranata mendesis.
"Ha ha ha...!"
Intan dan Indranata agak terperanjat begitu mendengar suara tawa menggelegar
bagai hendak menghancurkan alam ini. Suara tawa itu demikian keras memekakkan
telinga. Intan dan Indranata segera mengerahkan hawa murni dan menutup
pendengarannya. Suara tawa itu jelas disalurkan dengan pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. Indranata menggerak-gerakkan kedua tangannya turun naik di depan dada dengan
cepat. Kedua kakinya dipentang lebar setengah tertekuk.
Kemudian, sambil berteriak keras, tangannya terangkat tinggi-tinggi di utas
kepala. "Hiyaaa...!"
Suara tawa itu langsung terhenti, bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat,
setelah tangan Indranata menghentak ke depan. Sebongkah batu besar di balik
pepohonan, hancur seketika terhantam pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup
tinggi. Dari bongkahan batu dan kepulan debu, nampak berkelebat satu bayangan
hijau. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, tahu-tahu sudah berdiri di
depan Indranata dan Intan Delima. Seluruh pakaiannya berwarna hijau. Di
pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Tapi anehnya tidak membawa busur!
Laki-laki aneh itu menatap tajam pada Indranata. Sedangkan Intan Delima
memperhatikan tanpa berkedip.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Intan tanpa menoleh
"Setan Panah Hijau...," sahut Indranata.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan berjuluk Setan Panah Hijau
sebenarnya adalah bekas penjahat yang telah merampok Indranata dulu. Suatu
saat, Indranata berhasil mempermalukannya di depan anak buahnya, setelah dia
cukup mendapat ilmu dari Eyang Watuagung. Oleh karena diliputi rasa dendam,
Setan Panah Hijau pun mencari Indranata sampai di maha pun.
"He he he.... Kau masih mengenaliku, Indranata?"
si Setan Panah Hijau terkekeh. Suaranya terdengar kering dan serak.
"Sampai kapan pun aku tidak lupa!" sahut
Indranata dingin.
"Bagus! Itu berarti kau sudah siap ke neraka!"
Setelah berkata demikian, Setan Panah Hijau langsung melompat menerjang. Dua
pukulan keras beruntun dilayangkan ke tubuh Indranata. Namun dengan manis,
pemuda itu mengelakkannya.
Sementara Intan Delima menyingkir beberapa tombak jauhnya.
"Bagus! Tidak sia-sia kau berguru, Bocah!" sindir Setan Panah Hijau. "Hup!
Hiyaaa...!"
"Hih!"
Indranata melompat mundur ketika Setan Panah, Hijau mencabut dua batang anak
panah, dan langsung dilontarkan ke arah pemuda itu. Indranata meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari terjangan dua anak panah yang berwarna hijau itu.
Melihat dua senjatanya luput dari sasaran, Setan Panah Hijau kembali melontarkan
panah-panahnya dengan cepat dan beruntun. Namun Indranata bukan-lah pemuda
kosong. Dengan manis dihindarinya serbuan anak panah hijau itu. Tentu saja hal
ini membuat Setan Panah Hijau jadi berang. Sampai panahnya habis, tidak satu pun
yang berhasil menemui sasaran.
"Awas kepala...!" teriak Indranata tiba-tiba.
Seketika itu juga Indranata melentingkan tubuhnya ke atas, dan meluruk cepat
menyambar kepala Setan Panah Hijau.
"Uts!"
Setan Panah Hijau merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali, kaki Indranata
menyepak keras punggungnya. Setan Panah Hijau mengumpat,
merasakan nyeri pada tulang punggungnya. Buru-buru dia berbalik. Tapi, tangan
Indranata lebih cepat lagi menggedor keras disertai pengerahan tenaga dalam
penuh ke arah dada.
"Akh...!" Setan Panah Hijau memekik keras.
Pada saat tubuh Setan Panah Hijau terjajar ke belakang, Indranata melompat cepat
sambil mencabut pedangnya.
Sret! "Hiyaaa...!"
"Aaa...!"
Pedang di tangan Indranata lantas saja menusuk dada Setan Panah Hijau hingga
hampir tembus ke punggungnya! Darah muncrat keluar dari dada yang menganga
tertembus pedang itu. Hanya sekali tendangan saja, tubuh si Setan Panah Hijau
menggelepar di tanah. Indranata pun segera menyarung-kan kembali pedangnya di
pinggang. Matanya tajam menatap Setan Panah Hijau yang menggelepar bersimbah
darah. Dan akhirnya, mati.
*** Waktu terus berjalan dengan pasti. Hari berganti hari, sejalan dengan peredaran
matahari. Dua anak manusia di Puncak Gunung Rangkas semakin terlihat
akrab. Ke mana-mana selalu berdua. Mereka sudah mengenal diri masing-masing,
meskipun masih disadari kalau tidak semuanya dapat diungkapkan secara langsung.
Jelas masih ada sesuatu yang harus dirahasiakan.
Namun masing-masing tidak ingin menuntut untuk harus terbuka dalam berbagai hal.
Mereka terus mendalami jurus-jurus 'Naga
Kembar'. Semakin dikuasai, mereka semakin yakin kalau, jurus-jurus simpanan
Eyang Watuagung memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih-lebih setelah
Pedang Naga Kembar digunakan. Hasilnya, jurus-jurus merekai semakin dahsyat.
Jadi, yang dikatakan Eyang Watuagung memang benar. Jurus-jurus yang mereka
pelajari selama ini adalah dasar dari jurus 'Naga Kembar. Dan mereka kini
semakin merasakan adanya suatu keterikatan yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Siang itu, udara di Puncak Gunung Rangkas panas luar biasa. Langit tampak
mendung tersaput awan hitam, tapi udaranya begitu menyengat. Intan keluar dari
dalam pondok, mencoba mencari angin. Rasanya seperti berada di dalam tungku saja
jika terus-menerus di dalam pondok. Langkah kakinya terayun menghampiri
Indranata yang tengah duduk bersandar di bawal sebuah pohon yang cukup besar dan
rindang. Pemuda itu begitu tekun membaca sebuah buku.
"Buku apa yang kau baca?" tanya Intan setelah dekat jaraknya dengan Indranata.
"Sastra. Mau baca?" Indranata mengangkat
kepalanya sedikit.
"Males, ah! Aku tidak suka baca sastra," sahut Intan seraya menempatkan dirinya
di depan pemuda itu,
"Sastra itu penting untuk pedoman hidup, Intan."
"Ah! Lagakmu seperti seorang pujangga saja,"
rungut Intan mencibir.
"Tapi aku tidak ingin jadi pujangga. Yang kuingin-kan hanyalah menjadi resi. Aku
ingin seperti Eyang Watuagung."
"Aneh...," gumam Intan pelan.
"Apanya yang aneh?"
"Keinginanmu itu."
Indranata hanya tersenyum saja. Memang bagi kebanyakan orang, keinginan menjadi
resi masih dianggap sesuatu yang aneh. Sedikit sekali orang yang berkeinginan
menjadi resi atau pertapa, yang selalu menyepi meninggalkan segala nafsu
duniawi. Lebih-lebih dalam usia muda seperti Indranata ini.
Kalaupun ada pemuda yang masuk ke kuil atau pertapaan, pada akhirnya bukan untuk
menjadi resi. Mereka hanya sekedar menuntut ilmu. Dan biasanya, mereka akan keluar begitu
selesai menamatkan pelajarannya.
Indranata dan Intan mengangkat kepala hampir berbarengan ketika muncul seseorang
menghampiri. Mereka lantas bangkit berdiri dan menunggu. Orang itu semakin dekat dan
membungkukkan badannya begitu sampai di depan dua orang muda itu. Intan
memandang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu. Tatapan matanya
sedikit tajam dan penuh selidik.
"Maaf. Apakah Eyang Watuagung ada?" tanya laki-laki tua itu penuh rasa hormat.
"Bapak siapa?" tanya Intan.
"Aku datang dari Desa Sirna Galih. Namaku Ki Adong," laki-laki tua itu
memperkenalkan diri.
"Apa keperluan Ki Adong mencari Eyang
Watuagung?" tanya Indranata.
"Kami memang sangat memerlukannya, Kisanak,"
jawab Ki Adong.
"Sayang sekali, Eyang Watuagung sedang pergi.
Kira-kira sudah tiga pekan ini," jelas Intan.
"Oh...," Ki Adong mengeluh lesu.
Intan memandangi wajah laki-laki tua itu. Wajah yang semula penuh harap, kini
berubah lesu tanpa semangat. Gadis itu menatap pada Indranata yang juga sedang
memandang ke arahnya. Sesaat mereka saling melempar pandang. Kemudian sama-sama
mengalihkan pandangan kembali ke arah laki-laki tua di depan mereka.
"Ada yang bisa kami bantu, Ki?" lembut suara Intan.
"Aku tidak tahu pasti, apakah kalian mampu. Kami semua mengharapkan kehadiran
Eyang Watuagung.
Tolong tunjukkan, di mana beliau berada?"
"Eyang Watuagung tidak mengatakan hendak pergi ke mana. Tapi kalau Ki Adong
percaya, kami bisa mewakilinya. Kami adalah murid Eyang Watuagung,"
kata Indranata tetap lembut dan ramah.
Ki Adong menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedangkan Intan dan Indranata kembali saling lempar pandangan. Sesaat tidak ada
yang bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Namun wajah laki-laki tua
yang berpakaian lusuh dan kotor berdebu itu semakin kelihatan lesu tanpa gairah.
"Sudah kuduga sejak semula. Seharusnya aku memang tidak perlu jauh-jauh datang
ke sini. Eyang Watuagung banyak yang membutuhkan, dan tidak mungkin beliau
berada di dua tempat dalam waktu yang singkat," kata Ki Adong pelan setengah
bergumam. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Boleh kami tahu, persoalan apa yang sedang Anda hadapi?" tanya Indranata tetap
ramah. "Hanya Eyang Watuagung yang bisa menyelesai-kannya. Maaf, sebaiknya aku segera
kembali sebelum keadaan semakin bertambah buruk," ujar Ki Adong segera berbalik.
"Tunggu...!" cegah Indranata.
Tapi Ki Adong terus saja melangkah. Indranata akan mengejar, namun Intan sudah
keburu mencekal tangannya. Laki-laki tua berusia cukup lanjut itu terus
melangkah lesu. Wajahnya tertunduk seperti kehilangan semangat.
"Kelihatannya ia benar-benar membutuhkan per-tolongan Eyang Watuagung," kata
Indranata. "Kelihatannya memang begitu," gumam Intan.
"Kau tahu, di mana letak Desa Sirna Galih?" tanya Indranata.
"Untuk apa?"
"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi di sana."
"Kalau iya, kau mau apa?"
"Ki Adong datang atas nama warga desa itu, dan tampaknya sangat mengharapkan
sekali kehadiran Eyang Watuagung. Rasanya tidak mungkin jika tidak terjadi apa-
apa." "Mengapa harus ikut campur" Dia sendiri tidak memandang sedikit pun pada kita.
Nada suaranya meremehkan sekali."
"Intan, jangan bersikap begitu. Aku tahu, dia tidak bermaksud meremehkan. Dia
hanya memerlukan Eyang Watuagung, lalu kecewa karena yang diharap-kan tidak ada.
Mungkin rasa kecewanya membuatnya jadi bersikap begitu."
Intan hanya mengangkat bahunya saja.
"Kau tahu letak Desa Sirna Galih?" tanya Indranata lagi.
"Tidak jauh dari Kadipaten Jati Anom. Desa itu memang masih termasuk wilayah
Kadipaten Jati Anom," sahut Intan acuh.
"Hanya satu hari perjalanan dengan kuda. Tidak terlalu jauh," gumam Indranata.
"Mau apa sih?"
"Aku akan ke sana! Mungkin ada yang dapat
kulakukan di sana."
"Edan! Kita belum sempurna menguasai ilmu 'Na-ga Kembar', bagaimana mungkin
dapat meninggalkan tempat ini, Kakang" Sedangkan Eyang berpesan agar jangan
pergi sebelum batas waktu tiga purnama.
Pokoknya, Eyang tidak mengijinkan kita pergi sebelum menguasai penuh jurus-jurus
'Naga Kembar', meskipun sampai tahunan!"
"Eyang Watuagung selalu meninggalkan ke-
pentingan pribadi jika ada orang yang datang meminta bantuannya. Aku yakin,
Eyang tidak akan marah,"' bantah Indranata.
"Terserah kaulah...," Intan menyerah.
Kata-kata Indranata memang benar. Intan pun menyerah tanpa mampu mendebat lagi.
Dia memang tidak pernah menang jika berdebat dengan Indranata.
Apalagi kalau berkaitan dengan ucapan, tingkah laku, serta kebiasaan-kebiasaan
Eyang Watuagung. Intan memang tidak begitu mengenal tentang diri Eyangnya itu
yang diketahuinya, dirinya adalah cucu Eyang Watuagung. Sebelumnya belum pernah
Intan tinggal begitu lama bersama Eyang Watuagung di tempat yang sepi dan
menyendiri. Sedangkan Indranata, entah sudah berapa tahun hidup bersama laki-
laki tua Itu. "Aku akan siapkan kuda. Hari ini juga kita berangkat," kata Indranata.
"Hey...!" Intan terkejut.
"Kenapa" Kau akan melarang lagi?"
"Ini sudah hampir sore. Kalau berangkat sekarang, bisa tengah malam baru tiba di
sana." "Baiklah. Besok pagi-pagi sekali kita harus berangkat," kali ini Indranata yang
mengalah, karena memang tidak tahu letak Desa Sirna Galih.
"Lalu, bagaimana dengan Kitab Naga Kembar?"
tanya Intan. "Simpan di tempat yang aman," sahut Indranata.
Lagi-lagi Intan hanya mengangkat bahunya saja.
*** 3 Kadipaten Jati Anom tampak sepi lengang. Kesunyian sangat terasa menyelimuti
sekitarnya. Tidak terdengar lagi canda dan tawa ceria anak-anak bermain. Tidak
juga terdengar gadis-gadis bersenda gurau di sungai.
Bahkan ladang-ladang tampak sepi tanpa seorang pun yang menggarap. Kadipaten
Jati Anom kini bagaikan sebuah kota mati tak berpenghuni.
Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki kuda dari arah Utara. Kemudian terlihat
debu mengepul ke udara. Suara kaki kuda dipacu semakin jelas terdengar mengusik
kesunyian ini. Dari kepulan debu yang menggumpal, muncul seekor kuda yang
berpacu cepat membawa seorang laki-laki tua berjubah putih.
Kuda hitam pekat itu terus berlari memasuki jalan utama kadipaten ini.
"Hiya! Yeaaah...!"
Dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang jalan utama Kadipaten Jati Anom
ini, bersembulan kepala-kepala manusia. Kuda yang berlari cepat bagai dikejar
setan itu sempat menimbulkan perhatian para penduduk. Laki-laki tua berjubah
putih yang tengah menunggang kuda itu menghentikan laju kudanya tepat di tengah-
tengah jalan yang langsung menuju ke istana kadipaten. Sepasang bola matanya
yang tajam mengamati keadaan sekitarnya.
"Hm...," gumamnya tidak jelas.
Dari salah satu rumah, muncul seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala
setengah botak.
Sebentar laki-laki gemuk itu merayapi penunggang
kuda Itu, lalu berlari menghampiri. Penunggang kuda itu melompat turun,
sedangkan laki-laki gemuk berkepala agak botak itu segera berlutut memeluk kaki
yang tertutup jubah putih longgar.
"Eyang...," laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu merintih lirih.
"Bangunlah."
Laki-laki gemuk itu bangkit berdiri. Dari tiap rumah sekitar jalan itu
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermunculan orang-orang, laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Bahkan anak-anak
pun ikut keluar dari dalam rumahnya masing-masing.
Mereka langsung merubungi laki-laki tua berjubah putih yang kini berdiri tak
jauh dari kuda hitam itu.
Laki-laki berjubah putih yang ternyata adalah Eyang Watuagung itu merayapi para
penduduk yang mendatanginya dengan wajah lesu tanpa gairah hidup. Mereka
merubung dengan kepala tertunduk.
Eyang Watuagung menarik napas panjang dan berat.
Perhatiannya tertuju pada laki-laki gemuk berkepala setengah botak di depannya.
Orang itu juga menundukkan kepalanya dengan tangan di depan.
"Waraketu! Bukankah seharusnya kau berada di Istana sampai pengganti Adipati
Rakondah datang?"
tanya Eyang Watuagung.
"Benar, Eyang. Seharusnya aku memang berada di istana kadipaten. Tapi...," laki-
laki gemuk yang dipanggil Waraketu itu menghentikan kata-katanya.
"Kenapa?"
"Perubahan besar terjadi setelah Eyang pergi dari kadipaten ini."
"Maksudmu?"
"Pendekar Pulau Neraka datang lagi bersama orang-orangnya. Mereka menguasai
istana dan membuat peraturan-peraturan yang sangat mem-beratkan. Bahkan yang berani
menentang langsung dihukum mati di tempat itu juga," jelas Waraketu.
"Benar, Eyang. Bahkan utusan kerajaan yang membawa pengganti adipati dibantai
habis," celetuk salah seorang yang berada di belakang Waraketu.
"Mereka sangat kejam, Eyang!" celetuk salah seorang lagi.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang Watuagung.
Laki-laki tua berjubah putih itu mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba terdengar
suara hiruk-pikuk. Para penduduk yang berkerumun, serentak berlarian sambil
berteriak ketakutan. Tampak beberapa tubuh berpentalan ke udara dengan darah
mengucur deras. Teriakan ketakutan ditingkahi jerit dan pekik kematian mewarnai
keadaan di Kadipaten Jati Anom ini. Eyang Watuagung segera melompat begitu
matanya melihat tiga orang bertampang kasar dan bengis mengamuk, memporak-
porandakan kerumunan penduduk.
Lesatan Eyang Watuagung begitu cepat, disertai kiriman sebuah tendangan keras
pada salah seorang yang tengah mengamuk itu. Orang itu langsung terpental, tidak
menduga akan ada serangan begitu cepat dan tiba-tiba. Dua orang lagi serentak
melesat mundur setelah melihat temannya tergeletak dengan kepala pecah. Bola
mata mereka bersinar merah menyala melihat seorang laki-laki tua berjubah putih
tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan sikap menantang. Sementara para penduduk
langsung menyingkir, masuk ke rumahnya masing-masing.
Mereka harus mengintip dari balik lubang pintu dan
jendela. Hanya beberapa saja yang masih berada di luar rumah, tapi tarjarak agak
jauh. Mereka adalah bekas para prajurit dan pembesar kadipaten.
"Setan! Berani kau membunuh teman kami, heh!"
geram salah seorang.
"Membunuh kalian bukan pekerjaan yang sulit,"
dingin suara Eyang Watuagung.
"Monyet! Kau harus bayar mahal nyawa temanku!"
"Seharusnya kalian yang membayar nyawa mereka yang tidak berdosa."
"Kurang ajar! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya ke kiri ketika salah seorang melompat
sambil mengayunkan goloknya. Tebasan golok itu hanya lewat di depan dadanya. Dan
pada saat itu, dengan kecepatan kilat, tangan kanan laki-laki berjubah putih itu
menyodok lambung lawannya.
"Hughk!" orang itu mengeluh pendek
Tubuhnya terbungkuk. Dan belum sempat berbuat banyak, satu pukulan keras
bertenaga dalam sangat tinggi menghajar mukanya. Raungan keras terdengar
bersamaan dengan terpentalnya tubuh orang itu ke belakang. Eyang Watuagung
membalikkan tubuhnya ketika seorang lawan lagi menyerang dari arah samping.
Goloknya menyodok ke arah dada.
Hanya sedikit Eyang Watuagung memiringkan
tubuhnya, maka golok lawan terkempit di ketiak Seketika itu pula tangan kirinya
mendarat telak di dada lawan. Orang itu terjungkal keras ke belakang.
Eyang Watuagung melemparkan golok lawannya disertai pengerahan tenaga dalam.
Golok itu meluncur deras lalu menancap di dada pemiliknya.
"Aaa...!"
Eyang Watuagung langsung melompat ketika salah seorang yang wajahnya telah
berlumuran darah mencoba bangkit. Kakinya segera menjejak dada orang itu seraya
tangannya merampas goloknya, dilemparkan begitu saja.
"Jawab pertanyaanku! Siapa yang menyuruhmu?"
dingin suara Eyang Watuagung bertanya.
Orang berwajah kasar dan berlumuran darah itu berusaha menggeliat, tapi kaki
Eyang Watuagung kian kuat menekan dadanya.
"Akh!"
"Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan
telapak tangan! Jawab pertanyaanku, keparat!"
bentak Eyang Watuagung.
Orang itu masih belum menjawab. Sementara
Waraketu dan beberapa orang lainnya sudah mulai bergerak mendekati. Mereka
memandang dengan penuh rasa kebencian yang amat sangat pada orang yang tidak
berdaya di bawah injakan kaki Eyang Watuagung. Paras wajahnya kelihatan pucat,
dan tubuhnya menggeletar menggigil. Bibirnya bergerak-gerak seolah-olah ingin
mengatakan sesuatu.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Eyang Wai
agung lagi. "Pen.... Pendekar Pu...."
"Jawab yang benar!" bentak Eyang Watuagu gusar.
"Aduh!"
"Kau akan semakin tersiksa kalau tidak mau mejawab!" ancam Eyang Watuagung.
"Pendekar Pulau Neraka, Tuan. Dia yang menyuruh kami menguasai kota ini," kata
orang itu bergetar suaranya.
"Kau jangan main-main, keparat!"
"Benar, Tuan. Aku tidak main-main."
"Hih!"
Eyang Watuagung menendang tubuh orang itu
hingga menggelinding ke kaki Waraketu. Saat itu juga, Waraketu mencabut goloknya
yang terselip di pinggang, dan mengibaskan dengan cepat ke tubuh orang itu.
"Aaa...!"
*** Eyang Watuagung duduk bersila di ruangan depan rumah Waraketu. Di depannya juga
bersila Waraketu dan beberapa orang bekas pembesar kadipaten.
Mereka membicarakan keadaan kadipaten yang kini dikuasai seseorang yang mengaku
Pendekar Pulau Neraka. Eyang Watuagung kelihatan masih belum percaya dengan
kabar yang diterimanya.
Dia memang tidak menyaksikan kematian kedua muridnya yang menjabat sebagai
adipati di Kadipaten Jati Anom ini dan menjadi panglima kerajaan. Tapi dari
kabar yang didengar, kedua muridnya itu tewas oleh Pendekar Pulau Neraka. Memang
sulit untuk mempercayai berita yang diterimanya itu. Dan dia sengaja datang ke
kadipaten ini untuk mengetahui secara jelas kebenaran berita itu.
Tapi yang didapati di kadipaten Jati Anom, sungguh mencengangkan sekali.
Sambutan yang diterima sangat luar biasa. Tiga orang yang tewas telah mengaku
suruhan Pendekar Pulau Neraka untuk
menguasai Kadipaten Jati Anom, lewat tindakan brutal dan kesadisan. Eyang
Watuagung begitu yakin kalau Pendekar Pulau Neraka telah tewas di dalam jurang
ketika bertarung dengannya. Sukar dipercaya
kalau pendekar itu ternyata masih hidup dan mampu membunuh dua orang muridnya.
"Pendekar Pulau Neraka memang masih hidup, Eyang. Aku melihat sendiri, bagaimana
dia bertarung dan membunuh Gusti Adipati dan Gusti Panglima di halaman depan
Istana Kadipaten," ungkap Waraketu memecah kebisuan yang terjadi.
''Lantas, yang sekarang menguasai istana
kadipaten itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Eyang Watuagung.
"Tidak tahu pasti, Eyang," sahut Waraketu.
"Hm...," Eyang Watuagung mengerutkan keningnya.
"Mereka memang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Pulau Neraka. Tapi sejak
peristiwa di Istana Kadipaten waktu itu, kami semua tidak pernah lagi melihat
Pendekar Pulau Neraka di sini," ujar salah seorang yang duduk di samping
Waraketu. "Sulit dipercaya...," gumam Eyang Watuagung.
Eyang Watuagung menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum datang ke kadipaten ini,
dia memang telah memeriksa jurang tempat jatuhnya Pendekar Pulau Neraka di sana.
Memang tidak terdapat satu mayat pun di dalam jurang itu. Dan sekarang Waraketu
bersumpah kalau telah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Pendekar Pulau
Neraka masih hidup dan telah membunuh kedua muridnya.
Kalau memang benar pendekar itu dapat selamat!
dari dalam jurang setelah terkena pukulan maut dan tendangan bertenaga dalam
tinggi, tentulah ilmunya sukar diukur tingkatannya. Apalagi dapat membunuh dua
orang muridnya dalam waktu yang tidak begitu lama setelah bertarung dengannya.
Padahal kalaupun
masih bisa selamat, tentu dia membutuhkan waktu paling tidak satu pekan untuk
memulihkan kekuatan kembali. Tapi hanya dalam waktu kurang satu hari, Pendekar
Pulau Neraka mampu memulihkan
kekuatan tubuhnya. Bahkan mampu menandingi dan mengalahkan dua orang yang
berilmu cukup tinggi.
Eyang Watuagung benar-benar tidak percaya
menerima kenyataan ini. Sejak menerima kabar berita itu, kepercayaannya mulai
hilang. Terlebih lagi setelah menyaksikan sendiri mayat kedua muridnya yang
tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu dia tidak tahu, apa yang harus
dilakukan. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Gunung Rangkas dan mendidik
Intan serta Indranata, sambil memulihkan kembali kekuatannya akibat pertarungan
dengan Pendekar Pulau Neraka. Dia ingin membuktikan sendiri kebenarannya sebelum
mengambil tindakan. Tapi semua yang diperolehnya mendekati kebenaran.
"Setahuku, Pendekar Pulau Neraka selalu bertindak sendiri. Dia tidak punya
pengikut seorang pun.
Bahkan teman dalam perjalanan saja tidak punya...,"
gumam Eyang Watuagung pelan. "Aneh...! Kenapa berita yang kuperoleh jadi
Mentari Senja 2 Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan Dewi Penyebar Maut 3
CINTA BERLUMUR DARAH
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar Sampul : Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 004:
Cinta Berlumur Darah
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Hup! Yeaaa...!"
"Uts, ha...!"
"Cukup!"
Seorang laki-laki tua berjubah putih melompat ke tengah-tengah dua orang muda
yang saling berhadapan. Dua orang muda itu serentak mengambil sikap hormat
dengan telapak tangan merapat di depan dada, kemudian duduk bersila di atas
rerumputan. Sedangkan laki-laki tua itu tetap berdiri dengan kepala terangguk-
angguk. Bibirnya yang tipis hampir tertutup kumis putih itu terus menyunggingkan
senyum. "Hari ini kalian berlatih begitu luar biasa. Terutama kau, Intan. Jurus-jurusmu
maju begitu pesat. Semakin mantap dan sempurna," ujar laki-laki berjubah putih
itu bernada bangga.
"Terima kasih, semua ini berkat bimbingan Eyang,"
sahut gadis cantik yang memakai baju merah terang.
"Dan kau, Indranata! Kulihat pengerahan tenaga dalammu tidak penuh. Itu bisa
membahayakan dirimu sendiri seandainya bertarung dalam arti yang sesung-guhnya.
Ingat! Pengerahan tenaga dalam sangat penting dan harus tepat pada waktunya,"
jelas laki-laki berjubah putih itu seraya memandang pemuda berkulit sawo matang
yang duduk bersila di samping Intan Delima.
"Maaf, Eyang. Aku tidak sampai hati untuk melukai Intan," sahut pemuda yang
dipanggil Indranata.
"Itu bukan alasan yang tepat, Indranata. Rasa kasihan harus kau hilangkan. Dalam
dunia persilatan, hanya ada satu kalimat yang harus kau ingat.
Dibunuh, atau membunuh! Camkan itu, Indranata!"
"Baik, Eyang."
"Hm..." laki-laki tua berjubah putih itu mengalihkan pandangannya pada Intan
Delima, kemudian kembali memandang Indranata yang tengah menundukkan kepalanya.
Indranata mengangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung tertuju pada tatapan
mata Eyang Watuagung. Seperti mengerti arti tatapan itu, Indranata bangkit
berdiri, lalu menjura hormat.
"Pergilah istirahat, Indranata. Aku ada perlu dengan Intan sebentar. Ada yang
ingin kukatakan padanya," kata Eyang Watuagung pelan.
"Aku mohon diri, Eyang," ucap Indranata seraya menjura hormat.
"Hm," Eyang Watuagung hanya menggumam tidak jelas.
Indranata bergegas melangkah meninggalkan
halaman luas berumput di depan pondok yang berada di Puncak Gunung Rangkas.
Intan bangkit berdiri setelah Indranata lenyap di belakang pondok. Eyang
Watuagung membalikkan tubuhnya dan berjalan pelan menjauhi pondok kecil itu.
Intan Delima mengikuti dari belakang. Keningnya berkerut sedikit.
Hatinya bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan Eyang Watuagung padanya"
"Sudah berapa lama kau di sini?" tanya Eyang Watuagung setelah mereka berada di
bibir tebing sangat curam.
Dari sini, mereka bisa memandang ke bagian Selatan Gunung Rangkas. Tampak sebuah
perkampungan yang tidak begitu besar berdiri tidak jauh dari kaki gunung ini. Di
situ hanya ada beberapa rumah yang letaknya cukup berjauhan.
"Entahlah! Aku tidak pernah mengingatnya," sahut Intan setengah mendesah.
"Hm...," Eyang Watuagung kembali bergumam
tidak jelas. Intan Delima semakin bertanya-tanya di dalam hatinya, dan berusaha mencari
jawaban dari raut wajah laki-laki tua itu. Tapi jawaban yang diingin-kannya
sulit didapat, karena wajah Eyang Watuagung begitu datar dan sukar diterka.
Hanya tatapan matanya saja yang menyiratkan sesuatu, namun sangat sulit untuk
diartikan. "Apa yang ingin Eyang katakan?" tanya Intan Delima tidak sabaran.
"Hhh.... Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan mendiang ayahmu, yang juga murid
kesayanganku," kata Eyang
Watuagung setelah menarik napas panjang.
Intan Delima kembali diam membisu. Dia memang tidak pernah lupa akan kematian
ayahnya yang begitu tragis sebagai seorang laki-laki jantan dan ksatria.
Apalagi untuk bisa melupakan lawan ber-tarung ayahnya, yaitu seorang pemuda
tampan yang telah menorehkan tinta asmara di dasar hatinya yang paling dalam.
Tidak mungkin Intan melupakan begitu saja. Sampai saat ini pun dia jelas
terbayang, bahkan sampai kapan pun.
"Semula, kukira dia sudah mati di dasar jurang Tapi tidak kusangka, ternyata dia
masih hidup dan
mampu membunuh muridku," ujar Eyang Watuagung setengah bergumam.
"Eyang! Aku sudah berusaha untuk melupakannya...," kata Intan berdusta. Nada
suaranya agak bergetar saat mengatakan itu.
"Benar kau akan melupakannya, Intan?" tanya Eyang Watuagung penuh selidik.
Intan Delima tidak segera manjawab, tapi hanya menunduk saja karena tidak mampu
lagi membalas tatapan mata laki-laki tua berjubah putih di depannya.
Dalam hati, dikutuki dirinya sendiri yang berani men-dustai eyang gurunya ini.
?"Aku tidak percaya kau akan melupakan semua itu, Intan. Aku tahu perasaanmu.
Tapi aku tidak ingin menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Kau berhak
mencintainya meskipun orang yang kau cintai itu telah membunuh ayahmu sendiri.
Itu hakmu, Intan.
Tapi aku hanya ingin mengingatkan, bahwa orang yang kau cintai adalah seorang
pembunuh kejam!"
agak sedikit ditahan suara Eyang Watuagung.
"Eyang...," suara Intan tertahan di tenggorokan.
"Aku tak bermaksud mengajarkan atau mem-bakar dendam pada dirimu, Intan. Hanya
yang ingin kukatakan, bahwa semua yang telah terjadi hendaknya kau jadikan
pelajaran berharga bagi dirimu sendiri. Kau seorang wanita, dan harus lebih bisa
menjaga diri daripada laki-laki."
Intan hanya menundukkan kepalanya saja. Hatinya jadi tidak menentu, dan
kepalanya terasa pening.
Kata-kata Eyang Watuagung seolah-olah sengaja me-nyingkap tirai kenangannya pada
seorang pendekar gagah dan tampan, dengan tingkat kepandaian sangat tinggi.
Orang yang sangat dicintai, tapi yang
juga telah menghancurkan hati dan harapannya. Dia telah membunuh ayah
kandungnya. Haruskah mesti dicintai..."
*** Pembicaraan Eyang Watuagung dan Intan Delima
dilanjutkan terus sampai menjelang sore hari. Namun sampai sejauh ini Intan
belum dapat menangkap maksud pembicaraan Eyang Watuagung yang meng-ungkit
peristiwa di Kadipaten Jati Anom.
Intan Iebih banyak diam dan berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati.
Semakin diingatnya semua kejadian itu, semakin disadari kalau ternyata ada
kebencian di hatinya terhadap Pendekar Pulau Neraka. Tapi rasa benci itu segera
pupus begitu perasaan cinta dan kerinduan melanda hatinya.
Memang, Intan harus menghadapi dua pilihan yang sangat sulit.
"Selama kau berada di pondokku, latihanmu
begitu giat dan tekun. Kesungguhanmu dalam berlatih tidak pernah kujumpai
sebelum ini...," ujar Eyang Watuagung seraya mengayunkan langkahnya kembali
menuju ke pondok.
"Apakah aku salah, Eyang?" tanya Intan sambil mengikuti langkah laki-laki
berjubah putih itu.
"Tidak! Sama sekali tidak! Justru aku senang jika kau bersungguh-sungguh ingin
menyempurnakan jurus-jurusmu, bukan karena sebab-sebab lain yang tertanam di
dalam hatimu," jawab Eyang Watuagung, tapi masih sulit dimengerti.
"Aku tidak mengerti, Eyang."
"Memang sulit untuk dimengerti, karena
jawabannya ada pada dirimu sendiri. Sedangkan aku
tidak tahu, apa yang ada di dalam hatimu saat ini Hanya saja jika kau memiliki
suatu maksud...," Eyang Watuagung tidak melanjutkan.
"Eyang.... Apakah Eyang menyangka bahwa aku menyimpan dendam, begitu?" tebak
Intan Delima masih menduga-duga.
Eyang Watuagung tidak menjawab, tapi hanya tersenyum. Ayunan kakinya tidak
berhenti, meskipun pelahan-lahan sekali. Intan Delima semakin diliputi
ketidakmengertian akan sikap eyang gurunya ini.
"Terus terang, Eyang. Aku memang membencinya, tapi juga mencintainya. Aku ingin
punya kesempatan untuk bertarung secara jujur dengannya. Ini bukan dendam, juga
bukan pelampiasan kebencian atau perasaan cinta. Aku hanya ingin menunjukkan
kalau diriku bukan wanita lemah yang hanya bisa mengemis cinta dan perlindungan
laki-laki," tegas Intan.
"Kau berkata dari hatimu sendiri, Intan?" nada suara Eyang Watuagung seakan
tidak percaya. "Kalau Eyang tidak percaya, aku harus bicara apa lagi?" agak kesal juga Intan.
"Aku percaya padamu, Intan. Aku bangga jika kau punya pendirian seperti itu.
Pendirian yang keluar dari dalam hati, bukan hanya di mulut saja."
Intan kembali diam. Dia tahu kalau Eyang
Watuagung tidak percaya dengan pendiriannya. Tapi dia sendiri memang tidak yakin
dengan apa yang baru saja diucapkan. Yang jelas ketidakpercayaan gurunya bukan
merupakan hambatan bagi Intan. Masalahnya dia sendiri memang belum tahu arah dan
tujuannya saat ini.
*** Hampir seharian penuh Intan Delima duduk
merenung di atas batu di pinggir sungai. Sebagian kakinya terayun-ayun ke dalam
sungai, memper-mainkan riak air yang mengalir jernih dari sumbernya di puncak
gunung ini. Sejak matahari terbit tadi, sampai senja sekarang ini dia masih
duduk merenung di atas batu yang menjorok ke tepi sungai.
Pandangannya lurus menatap dasar sungai yang berbatu.
"Intan...!"
Intan menoleh saat mendengar namanya di-
panggil. Kembali dialihkan pandangannya ke dalam sung begitu dilihatnya
Indranata datang menghampiri.
Pemuda berwajah cukup tampan dengan kulit sawo matang terbakar matahari ini,
duduk di atas batu lain samping Intan Delima.
"Ada apa kau ke sini" Apakah kau membawa
amanat Eyang untukku?" tanya Intan memberondong.
"Tidak! Aku memang sengaja mencarimu," sahut Indranata tidak tersinggung dengan
nada ketus gadis itu.
"Apa perlunya kau mencariku?" "Ngobrol."
"Hhh...!" Intan mendesah panjang.
Jawaban yang diberikan Indranata begitu mudah dan terdengar hanya alasan yang
dibuat-buat saja.
Intan tahu betul itu. Apalagi sejak kedatangannya di Puncak Gunung Rangkas ini,
Indranata selalu mencari perhatian. Bahkan sikapnya sangat berlebihan. Hal-hal
kecil pun juga diperhatikan. Intan tahu, kalau Indranata jatuh cinta padanya.
Hanya saja pemuda itu tidak punya keberanian untuk mengucapkannya. Dan
Intan sendiri tidak pernah memberi peluang terhadap pemuda itu.
"Dari pagi tadi aku mencarimu, Intan. Kau tidak latihan hari ini. Eyang Guru
juga menanyakanmu. Aku tidak tahu kalau kau ada di sini," kata Indranata lagi.
"Katakan saja pada Eyang, bahwa aku ingin
istirahat dalam beberapa hari," masih ketus nada suara Intan.
"Ada apa dengan dirimu, Intan. Kau kelihatan tidak...."
"Sudahlah, Indranata. Ini bukan urusanmu.
Biarkan aku sendiri di sini. Saat ini aku butuh ketenangan. Aku tidak suka
berdebat denganmu.
Mengertilah sedikit, Indranata," kata Intan setengah memohon. Hilang
keketusannya. Indranata memandangi wajah gadis itu lekat-lekat.
Keningnya sedikit berkerut. Tidak pernah di-lihatnya Intan begitu murung, sampai
betah duduk sendirian satu hari penuh. Intan memang selalu ber-wajah murung,
sejak datang ke pondok di Puncak Gunung Rangkas ini. Tapi tidak separah ini!
Kedatangannya waktu itu pun dalam keadaan tubuh tidak begitu sehat. Satu pekan
penuh Eyang Watu-agung
merawatnya. Dan baru tiga purnama ini Intan mulai berlatih ilmu olah kanuragan
langsung di bawah bimbingan Eyang Watuagung.
"Kau masih di situ, Indranata?" nada suara Intan setengah mengusir.
"Intan! Kau boleh susah dengan dirimu sendiri.
Kau boleh punya persoalan apa saja. Aku tahu, kau membenci seseorang yang
mungkin telah melukai hatimu. Tapi jangan limpahkan kebencian itu kepada-
ku," ungkap Indranata mengeluarkan segala kekesalan yang selama ini ditahan.
Intan memang tidak pernah bersikap ramah
terhadap Indranata. Kata-katanya selalu bernada ketus. Bahkan mereka jarang
bicara kalau tidak sedang berlatih. Indranata sadar betul kalau Intan tidak
menyukainya, bahkan mungkin membencinya.
Tapi Indranata tidak ambil peduli. Malahan dia selalu bersikap manis, seolah-
olah tidak tahu. Bahkan segala keperluan gadis itu dipenuhi hanya untuk
mendapatkan sebuah senyuman.
Tapi Intan tidak pernah memberi senyuman manis yang tulus. Senyumannya selalu
dipaksakan dan pahit dirasakan. Terhadap sikap Intan yang demikian itu, bagi
Indranata mulanya memang menyebalkan. Tapi setelah tahu siapa Intan Delima
sebenarnya, sikapnya pun berubah. Dia tidak peduli lagi dengan sikap gadis itu
yang tidak bersahabat. Bahkan sulit untuk menolak timbulnya perasaan simpati
yang berkembang menjadi perasaan cinta, meskipun belum pernah diungkapkan secara
terus terang. "Kau seorang gadis cantik, anggun, dan suci di mataku, Intan. Seharusnya semua
itu tidak kau rusak dengan sikapmu yang kekanak-kanakan. Bagiku bukan persoalan
jika kau membenciku selamanya.
Tapi cobalah berpikir secara dewasa. Kau tidak hidup sendirian di sini. Tidak
mungkin kau dapat menyelesaikan segala persoalan seorang diri. Kau membutuhkan
seorang teman yang dapat diajak bertukar pikiran, yang bisa mengerti dirimu, dan
bisa me-numbuhkan kembali semangat dalam dirimu,"
ungkap Indranata lagi.
Intan masih diam membisu. Begitu pula dengan Indranata. Dirasakan semua yang
dikatakannya hanya terbawa angin saja. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala
menghadapi kekerasan hati gadis itu.
"Sudah selesai khotbahmu?" masih bernada sinis suara Intan.
"Edan! Hampir berbusa mulutku, masih kau
anggap angin lalu saja!" dengus Indranata kesal.
Indranata langsung bangkit berdiri dan me-langkah pergi. Tapi baru saja berjalan
beberapa langkah, dia kembali berhenti dan berbalik. Intan masih tetap duduk
memandang ke dalam sungai.
"Eyang berpesan agar kau menemuinya malam
nanti di bilik semadi!" kata Indranata lantang.
Sama sekali Intan tidak menyahut. Indranata kembali berbalik dan melangkah
pergi. Intan tetap duduk di atas batu di tepi sungai itu hingga matahari benar-
benar tenggelam di ufuk Barat. Dia baru beranjak meninggalkan tempat itu setelah
keadaan menjadi gelap. Wajahnya tetap murung, dan ayunan kakinya sedikit gontai.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
*** Agak ragu-ragu juga Intan membuka pintu bilik semadi. Sore tadi Indranata
mengatakan kalau dia dipanggil Eyang Watuagung di bilik semadi. Dan saat pulang
tadi, Eyang Watuagung juga mengatakan hal yang sama. Tidak biasanya Eyang
Watuagung me-manggilnya ke dalam bilik semadi.
Intan sempat terkejut begitu pintu bilik terbuka.
Tampak Indranata telah duduk bersila di depan Eyang Watuagung yang mengenakan
baju jubah putih dengan ikat kepala juga berwarna putih bersih. Intan
mengayunkan kakinya melangkah masuk, kemudian duduk di samping Indranata tanpa
sedikit pun menoleh pada pemuda itu.
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lama sekali kau baru datang, Intan," tegur Eyangl Watuagung.
"Maaf, Eyang. Aku...," Intan tidak melanjutkan!
kata-katanya, hanya ditundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Aku sengaja memanggil kalian ke bilik semadiku ini, karena ada sesuatu yang
hendak kukatakan pada kalian berdua," kata Eyang Watuagung langsung.
Intan dan Indranata hanya diam dengan kepala setengah tertunduk. Sementara Eyang
Watuagung merayapi wajah yang tertunduk itu dalam-dalam.
"Besok, pagi-pagi sekali aku akan pergi. Dan...."
"Eyang...!" Intan tersentak, langsung mengangkat kepalanya.
"Dengarkan dulu, Intan. Aku belum selesai bicara."
Intan Delima kembali terdiam.
"Kalian tidak perlu cemas. Aku pergi karena ada sesuatu yang harus kuselesaikan.
Keperluanku sangat penting dan mendesak sekali. Memang berat untuk meninggalkan
kalian yang belum menyelesaikan seluruh pelajaran. Tapi apa boleh buat, itu
harus kulakukan," kata Eyang Watuagung.
"Eyang, apa yang membuatmu harus pergi dengan tiba-tiba?" tanya Intan.
"Aku mendapat kabar bahwa adikku telah kembali.
Aku harus menemuinya." sahut Eyang Watuagung.
Intan Delima langsung terlonjak. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi telah lebih
dulu dicegah. Gadis itu hanya bisa diam dengan dada bergemuruh.
Dia tahu, Siapa orang yang dimaksud Eyang
Watuagung. Dan Intan juga sudah bisa menebak apa yang bakal terjadi. Hanya satu
yang dikhawatirkan Intan. Saat ini Eyang Watuagung masih menderita luka dalam
akibat pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka. Meskipun Eyang Watuagung
sudah berusaha menyembuhkannya, tapi Intan tahu kalau luka dalam itu belum
seluruhnya hilang. Bahkan mungkin tidak akan hilang sampai ajal merenggutnya.
Dan kini Eyang Watuagung akan menghadapi sesuatu yang sulit dibayangkan jadinya.
"Satu pesanku lagi untuk kalian berdua," lanjut Eyang Watuagung. "Seandainya aku
tidak kembali dalam waktu tiga purnama, kalian berdua tidak usah mencariku. Aku
lebih senang jika kalian menganggap-ku sudah mati."
"Eyang...!" kembali Intan tersentak.
Eyang Watuagung tersenyum lembut. Namun
senyumnya seperti sangat dipaksakan. Tangannya yang sejak tadi berada di atas
sebuah kotak kayu berukir berwarna hitam pekat, kini berusaha membuka tutupnya.
Dikeluarkannya dua buah pedang pendek berwarna hitam dengan gagang berbentuk
kepala naga dan sebuah kitab bersampul hitam pula.
"Pedang ini bernama Naga Hitam Kembar. Se-
dangkan kitab ini bernama Kitab Naga Kembar," kata Eyang Watuagung seraya
meletakkan benda-benda pusaka itu di atas tutup kotak kayu di depannya.
Intan menyipitkan kedua matanya memandandj benda-benda pusaka itu. Benda-benda
pusaka dan keramat itu memang tidak pernah dikeluarkan Eyang Watuagung sebelumnya. Bahkan
muridnya yang ter-dahulu saja, yaitu ayah Intan Delima, belum pernah melihat,
meskipun telah mendengarnya.
"Benda pusaka ini kuserahkan pada kalian berdua! Selama aku pergi, pelajari dan
kuasailah jurus-jurus 'Naga Kembar'. Sudah kalian pelajari dasar-dasarnya dan
kitab ini akan menjadi penuntun kalian selama mempelajari jurus-jurus 'Naga
Kembar'," kata Eyang Watuagung lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu menyerahkan sebuah pedang yang berada di
sebelah kanannya kepada Indranata. Dan sebuah pedang lagi diserahkan pada Intan
Delima. Sementara Kitab Naga Kembar diserahkan pada Indranata yang menerirna
dengan sikap penuh hormat.
"Jika kalian sudah menguasai jurus-jurus 'Naga Kembar', musnahkanlah kitab itu.
Dan jangan kalian lupa, pedang yang kalian miliki tidak dapat digunakan secara
terpisah. Jadi, selama masih memegang pedang itu, kalian harus selalu bersatu.
Mengapa demikian" Nanti akan kalian ketahui jika telah menguasai jurus-jurus
'Naga Kembar'," lanjut Eyang Watuagung.
Intan melirik pemuda di sampingnya. Pada saat yang sama, Indranata pun melirik
pada gadis itu.
Intan buru-buru membuang mukanya.
"Pergilah kalian beristirahat," kata Eyang Watuagung lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu memandang dua orang muda itu meninggalkan bilik
semadi ini. Sebentar dia masih duduk bersila di atas altar semadi yang terbuat dari batu
pipih berbentuk persegi.
Kemudian matanya mulai terpejam, sedangkan telapak tangannya menempel pada
lutut. Eyang Watuagung mulai bersemadi untuk mengembalikan kembali kondisi
tubuhnya. Sejak pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka, dia sering
bersemadi. "Ugh! Dada ini...!" keluhnya dalam hati.
*** 2 "Eyang...!"
Intan Delima membuka pintu bilik semadi. Sejenak dia tertegun mendapati altar
semadi telah kosong.
Tidak ada lagi Eyang Watuagung di dalam bilik.
Pelahan-lahan gadis itu melangkah masuk. Matanya beredar merayapi seluruh sudut
bilik yang berukuran tidak begitu luas ini.
Matahari belum lagi terbit, tapi Eyang Watuagung sudah pergi.
"Eyang...," lirih suara Intan.
Intan duduk di atas akar semadi. Diangkat
kepalanya ketika mendengar langkah kaki memasuki bilik. Tatapan matanya kosong
ke arah Indranata yang be diri di ambang pintu bilik. Pemuda itu juga memandang
lurus pada Intan dengan sinar mata kosong.
Sesaat mereka hanya saling pandang saja.
"Belum pernah Eyang pergi dengan meninggalkan banyak pesan," kata Intan lirih,
memecahkan kebisuan.
"Eyang pasti kembali dalam waktu tiga purnama, kata Indranata mencoba
membesarkan hati gadis itu.
"Hhh! Kau hanya menghibur saja, Indranata, Intan tersenyum sinis.
"Ya, kau memang perlu dihibur. Aku yakin kala hatimu yang kosong pasti
membutuhkan seseorang untuk menghibur dan mengisinya kembali," sahut Indranata
datar. Intan Delima bangkit berdiri, kemudian bergegas melangkah keluar dari bilik
semadi itu. Indranata menyusul dan menggamit pergelangan tangan gadis itu. Intan
berusaha menyentakkannya, tapi cekalan Indranata begitu kuat. Gadis itu berbalik
dan menatap tajam pada pemuda itu, maka Indranata pun
melepaskan cekalannya.
"Kau benar-benar kepala batu, Intan!" dengus Indranata gusar. "Apa kau lupa
dengan pesan-pesan Eyang Watuagung semalam" Kau boleh membenciku tanpa alasan,
tapi jangan abaikan amanat Eyang Watuagung!"
Intan diam membisu. Dalam hati diakui kalau kata-kata Indranata benar. Lagi pula
sungguh tak ber-alasan jika harus membenci pemuda itu. Indranata tidak pernah
berbuat salah sedikit pun terhadap dirinya. Bahkan belum pernah dia melukai
hatinya, apalagi menyakitinya. Mengapa harus membenci pemuda itu"
Kata-kata Indranata kemarin sore kembali
terngiang-ngiang di telinga gadis itu. Sangat jelas, dan tidak bisa dibantah
sedikit pun. Dia memang tidak punya alasan sama sekali. Tapi yang jelas, dia
membenci Indranata hanya karena meluapkan
kekesalan dan kekecewaan hati terhadap Bayu.
Sedangkan Indranata hanya jadi korban dari perasaan hatinya. Perasaan kekanak-
kanakannya. Intan mendesah pelan. Terseliplah rasa sesal dan malu pada pemuda itu. Memang
tidak seharusnya membenci Indranata yang telah begitu baik dan selalu
memperhatikannya.
"Aku sudah membacanya semalam. Sekarang,
giliranmu untuk membaca dan memahami isinya!"
kata Indranata seraya menyerahkan Kitab Naga Kembar.
Intan memandangi sesaat kitab berwarna hitam pekat itu, kemudian menerimanya
dengan tangan bergetar. Indranata langsung berbalik dan melangkah ke tengah-
tengah halaman depan pondok. Intan memandangi pemuda itu. Hatinya diliputi
berbagai macam perasaan yang tak terungkapkan.
"Kakang...," pelan dan agak bergetar suara Intan memanggil.
Indranata menghentikan langkahnya. Pelahan-lahan dia berbalik menghadap pada
gadis itu. Tampak bibir Intan Delima bergetar, seolah-olah ingin mengatakan
sesuatu, tapi tidak ada suara sedikit pun meluncur dari bibirnya yang bergetar.
"Ada apa?" tanya Indranata tanpa gairah.
"Maafkan aku," ucap Intan pelan. Begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar
suaranya. "Ah, sudahlah! Tidak ada yang perlu dimaafkan,"
kata Indranata.
"Katakanlah, Kakang. Maukah kau memaafkan
aku?" desak Intan.
"Kau sudah memanggilku Kakang. Dan itu sudah cukup menyenangkan hatiku, Intan,"
kata Indranata.
"Oh! Terima kasih, Kakang."
Indranata tersenyum. Intan melangkah meng-
hampiri dan mengajak pemuda itu duduk di tangga beranda pondok. Indranata tidak
menolak. Mereka kini duduk berdampingan tanpa ada kata-kata yang terucap untuk
beberapa saat lamanya. Pandangan mereka lurus ke depan.
"Kau membenciku, Kakang?" tanya Intan pelan.
"Tidak ada alasan untuk membencimu," jawab Indranata juga pelan.
"Aku selalu membencimu, tapi kau tidak pernah membenciku. Ah, kau baik
sekali...," suara Intan tengah mendesah.
Indranata memandang wajah gadis di sampingnya.
Sedangkan Intan tetap memandang lurus ke depan.
Sinar matanya begitu kosong, tidak bermakna sedikit pun.
"Intan! Mengapa kau membenciku selama ini?"
tanya Indranata ragu-ragu.
"Seperti yang pernah kau katakan sore kemarin.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku membencimu.
Yah..., mungkin kau benar, Kakang. Aku hanya me-lampiaskan perasaanku saja,"
sahut Intan. "Aku sebenarnya sedikit tahu tentang dirimu dari Eyang Guru Watuagung. Tapi aku
tidak tahu, persoalan yang kau hadapi hingga kau lampiaskan padaku," kata
Indranata mulai mengorek.
"Aku malu mengatakannya, Kakang," sahut Intan polos.
"Kenapa harus malu" Katakan saja, mungkin aku dapat membantu meringankan
bebanmu." Intan menarik napas panjang-panjang dan meng-hembuskannya kuat-kuat. Berat
rasanya untuk menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya. Tapi akhirnya
diceritakannya juga. Dan tentu saja dengan menutupi hubungan intimnya bersama
Pendekar Pulau Neraka. Dia memang lupa daratan, sehingga menyerahkan mahkota
satu-satunya yang paling berharga bagi dirinya! Sesuatu yang tidak mungkin di-
dapatkannya kembali!
*** Hari-hari kini dilalui dua anak manusia yang masih muda itu dengan berlatih
tekun mengikuti petunjuk yang tertulis dalam Kitab Naga Kembar. Saat-saat luang
dihabiskan untuk mengenal diri masing-masing.
Kini mereka mulai saling terbuka dalam beberapa hal.
Hanya saja masih ada sesuatu yang masih disem-bunyikan Intan Delima.
"Kakang, kau belum menceritakan awal per-
temuanmu dengan Eyang Watuagung," kata Intan di saat mereka tengah beristirahat
setelah berlatih keras.
"Oh, ya...?"
"Iya."
"Baiklah," desah Indranata.
Intan diam menunggu sabar.
"Aku bertemu Eyang Watuagung ketika berusia lima belas tahun. Waktu itu, keadaan
desaku tengah dilanda kekacauan. Seorang tokoh rimba persilatan datang lalu
membuat onar. Ilmunya sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat menandingi...,"
Indranata mulai bercerita tentang hidupnya.
"Lalu?" Intan mulai tidak sabaran.
"Tokoh digdaya itu sebenarnya hanya mencari kepala desa. Sedangkan kami semua
sangat mencintai kepala desa karena selalu membela kepentingan orang banyak.
Beliau selalu bertindak adil, tidak memandang golongan. Baik kaya atau pun
miskin, sama saja di matanya."
"Lalu?"
"Kami semua tak rela jika orang gila itu membunuh beliau. Tapi akhirnya,
kekhawatiran kami men-
jadi kenyataan. Malam itu terjadi kegemparan di rumah kepala desa. Benar saja.
Orang gila itu telah membunuh kepala desa, dan orang-orang yang mencoba
menghalanginya. Tidak sedikit pendekar yang tewas. Bahkan para penduduk pun
menjadi korban, termasuk ayahku," semakin pelan suara Indranata.
"Lalu, di mana kau bertemu dengan Eyang?" tanya Intan.
"Kematian Ayah membuatku kehilangan kendali.
Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu meninggal ketika aku masih berusia tiga
tahun. Kemudian kuputuskan untuk pergi mengembara. Tapi belum berapa jauh
meninggalkan tanah kelahiran, malapetaka kembali menimpa. Sekelompok orang telah
merampok semua harta yang kumiliki. Tidak berhenti sampai di situ, aku pun
dianiaya hingga hampir mati. Untungnya, Eyang Watuagung cepat datang menolong
dan membawaku ke sini. Sejak itulah aku tinggal di sini, menuntut ilmu dari
Eyang Watuagung."
"Malang sekali nasibmu, Kakang," ucap Intan lirih.
"Kemalangan bukan untuk disesali, Intan. Tapi untuk direnungi dan diambil
hikmahnya. Semua yang telah terjadi terhadap diriku merupakan suatu pelajaran
yang sangat berharga."
"Kau meniru kata-kata Eyang, Kakang."
"Semua yang dikatakan Eyang, tidak pernah
kulupakan. Kata-katanya merupakan api semangat yang selalu menyulut pelita
kehidupanku, Intan. Di sini kutemukan kembali arti kehidupan, semangat dan masa
depanku. Aku sangat berhutang budi pada Eyang Watuagung. Hutang yang tidak
mungkin dapat terbalaskan sepanjang sisa hidupku."
"Kau merasa berhutang budi pada Eyang
Watuagung, tapi kenapa kau tidak bersamanya pada saat Eyang menghadapi bahaya?"
"Eyang sudah mengatakan yang benar, Intan. Dan itu harus kupatuhi. Aku yakin
Eyang bisa meng-atasi persoalannya tanpa harus ada campur tangan-ku. Aku sangat
menghormatinya, dan tidak mungkin
melanggar perintahnya."
"Kau murid yang setia dan taat, Kakang. Tidak heran kalau Eyang begitu
menyayangimu. Bahkan aku sempat iri melihat kasih sayangnya padamu."
"Ah! Kau hanya membesarkan hatiku saja, Intan.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang.
Semua ilmu yang kau miliki tidak seluruhnya kumiliki juga."
"Intan, hal itu jangan kau jadikan rasa dengki! Aku yakin, Eyang Watuagung
mempunyai per-timbangan lain, mengapa beberapa ilmu tidak diturunkan kepadamu.
Dan juga harus kau ingat, beberapa ilmu yang kau miliki belum tentu dapat
kumiliki! Tapi hal itu tidak membuatku berkecil hati. Karena aku melihat
beberapa ilmu yang tidak kau kuasai, memiliki keistimewaan tersendiri. Begitu
pula sebaliknya. Bahkan bila digabungkan dengan kerja-sama yang baik, akan
menghasilkan ilmu yang dahsyat."
"He! Dari mana kau tahu?" Intan terkejut.
"Kau sudah baca semua yang tertuang di dalam Kitab Naga Kembar?" Indranata balik
bertanya. Intan tidak langsung menjawab. Memang kitab itu belum dibaca seluruhnya. Malahan
sebagian yang dibaca belum dapat dipahami betul. Terlalu sulit untuk mencernanya
seorang diri. "Kau melalaikan amanat Eyang Watuagung, Intan,"
nada suara Indranata seperti menyesalkan.
"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa terlalu cepat memahami. Terlalu sulit bagiku,"
Intan mengakui terus terang.
"Ah, sudahlah! Ayo kita berlatih lagi. Malam nanti aku akan membantumu memahami
isi Kitab Naga Kembar. Ingat, Intan. Waktu yang diberikan hanya tiga purnama.
Waktu yang tidak panjang."
Baru saja Intan akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Intan Delima.
* * * Sebatang anak panah tiba-tiba melesat cepat ke arah Indranata. Seketika itu juga
Intan menggenjot tubuhnya dan menangkap anak panah berwarna hijau itu. Tapi,
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum juga berhasil menjejak tanah, dua batang tombak melesat cepat bagai kilat
ke arah Intan. "Hiyaaa...!"
Indranata melompat cepat sambil menggerakkan kedua tangannya.
Trak! Trak! Tombak itu langsung patah kena sampokan keras bertenaga dalam. Indranata
menjejakkan kakinya tepat di samping Intan Delima. Tangannya merebut anak panah
di genggaman gadis itu. Wajah Indranata langsung memerah ketika melihat goresan
kilat pada batang panah hijau itu.
"Keparat...!" geram Indranata.
"Ada apa, Kakang?" tanya Intan.
"Hhh! Rupanya dia masih mencariku!" sahut
Indranata mendesis.
"Ha ha ha...!"
Intan dan Indranata agak terperanjat begitu mendengar suara tawa menggelegar
bagai hendak menghancurkan alam ini. Suara tawa itu demikian keras memekakkan
telinga. Intan dan Indranata segera mengerahkan hawa murni dan menutup
pendengarannya. Suara tawa itu jelas disalurkan dengan pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. Indranata menggerak-gerakkan kedua tangannya turun naik di depan dada dengan
cepat. Kedua kakinya dipentang lebar setengah tertekuk.
Kemudian, sambil berteriak keras, tangannya terangkat tinggi-tinggi di utas
kepala. "Hiyaaa...!"
Suara tawa itu langsung terhenti, bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat,
setelah tangan Indranata menghentak ke depan. Sebongkah batu besar di balik
pepohonan, hancur seketika terhantam pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup
tinggi. Dari bongkahan batu dan kepulan debu, nampak berkelebat satu bayangan
hijau. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, tahu-tahu sudah berdiri di
depan Indranata dan Intan Delima. Seluruh pakaiannya berwarna hijau. Di
pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Tapi anehnya tidak membawa busur!
Laki-laki aneh itu menatap tajam pada Indranata. Sedangkan Intan Delima
memperhatikan tanpa berkedip.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Intan tanpa menoleh
"Setan Panah Hijau...," sahut Indranata.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan berjuluk Setan Panah Hijau
sebenarnya adalah bekas penjahat yang telah merampok Indranata dulu. Suatu
saat, Indranata berhasil mempermalukannya di depan anak buahnya, setelah dia
cukup mendapat ilmu dari Eyang Watuagung. Oleh karena diliputi rasa dendam,
Setan Panah Hijau pun mencari Indranata sampai di maha pun.
"He he he.... Kau masih mengenaliku, Indranata?"
si Setan Panah Hijau terkekeh. Suaranya terdengar kering dan serak.
"Sampai kapan pun aku tidak lupa!" sahut
Indranata dingin.
"Bagus! Itu berarti kau sudah siap ke neraka!"
Setelah berkata demikian, Setan Panah Hijau langsung melompat menerjang. Dua
pukulan keras beruntun dilayangkan ke tubuh Indranata. Namun dengan manis,
pemuda itu mengelakkannya.
Sementara Intan Delima menyingkir beberapa tombak jauhnya.
"Bagus! Tidak sia-sia kau berguru, Bocah!" sindir Setan Panah Hijau. "Hup!
Hiyaaa...!"
"Hih!"
Indranata melompat mundur ketika Setan Panah, Hijau mencabut dua batang anak
panah, dan langsung dilontarkan ke arah pemuda itu. Indranata meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari terjangan dua anak panah yang berwarna hijau itu.
Melihat dua senjatanya luput dari sasaran, Setan Panah Hijau kembali melontarkan
panah-panahnya dengan cepat dan beruntun. Namun Indranata bukan-lah pemuda
kosong. Dengan manis dihindarinya serbuan anak panah hijau itu. Tentu saja hal
ini membuat Setan Panah Hijau jadi berang. Sampai panahnya habis, tidak satu pun
yang berhasil menemui sasaran.
"Awas kepala...!" teriak Indranata tiba-tiba.
Seketika itu juga Indranata melentingkan tubuhnya ke atas, dan meluruk cepat
menyambar kepala Setan Panah Hijau.
"Uts!"
Setan Panah Hijau merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali, kaki Indranata
menyepak keras punggungnya. Setan Panah Hijau mengumpat,
merasakan nyeri pada tulang punggungnya. Buru-buru dia berbalik. Tapi, tangan
Indranata lebih cepat lagi menggedor keras disertai pengerahan tenaga dalam
penuh ke arah dada.
"Akh...!" Setan Panah Hijau memekik keras.
Pada saat tubuh Setan Panah Hijau terjajar ke belakang, Indranata melompat cepat
sambil mencabut pedangnya.
Sret! "Hiyaaa...!"
"Aaa...!"
Pedang di tangan Indranata lantas saja menusuk dada Setan Panah Hijau hingga
hampir tembus ke punggungnya! Darah muncrat keluar dari dada yang menganga
tertembus pedang itu. Hanya sekali tendangan saja, tubuh si Setan Panah Hijau
menggelepar di tanah. Indranata pun segera menyarung-kan kembali pedangnya di
pinggang. Matanya tajam menatap Setan Panah Hijau yang menggelepar bersimbah
darah. Dan akhirnya, mati.
*** Waktu terus berjalan dengan pasti. Hari berganti hari, sejalan dengan peredaran
matahari. Dua anak manusia di Puncak Gunung Rangkas semakin terlihat
akrab. Ke mana-mana selalu berdua. Mereka sudah mengenal diri masing-masing,
meskipun masih disadari kalau tidak semuanya dapat diungkapkan secara langsung.
Jelas masih ada sesuatu yang harus dirahasiakan.
Namun masing-masing tidak ingin menuntut untuk harus terbuka dalam berbagai hal.
Mereka terus mendalami jurus-jurus 'Naga
Kembar'. Semakin dikuasai, mereka semakin yakin kalau, jurus-jurus simpanan
Eyang Watuagung memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih-lebih setelah
Pedang Naga Kembar digunakan. Hasilnya, jurus-jurus merekai semakin dahsyat.
Jadi, yang dikatakan Eyang Watuagung memang benar. Jurus-jurus yang mereka
pelajari selama ini adalah dasar dari jurus 'Naga Kembar. Dan mereka kini
semakin merasakan adanya suatu keterikatan yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Siang itu, udara di Puncak Gunung Rangkas panas luar biasa. Langit tampak
mendung tersaput awan hitam, tapi udaranya begitu menyengat. Intan keluar dari
dalam pondok, mencoba mencari angin. Rasanya seperti berada di dalam tungku saja
jika terus-menerus di dalam pondok. Langkah kakinya terayun menghampiri
Indranata yang tengah duduk bersandar di bawal sebuah pohon yang cukup besar dan
rindang. Pemuda itu begitu tekun membaca sebuah buku.
"Buku apa yang kau baca?" tanya Intan setelah dekat jaraknya dengan Indranata.
"Sastra. Mau baca?" Indranata mengangkat
kepalanya sedikit.
"Males, ah! Aku tidak suka baca sastra," sahut Intan seraya menempatkan dirinya
di depan pemuda itu,
"Sastra itu penting untuk pedoman hidup, Intan."
"Ah! Lagakmu seperti seorang pujangga saja,"
rungut Intan mencibir.
"Tapi aku tidak ingin jadi pujangga. Yang kuingin-kan hanyalah menjadi resi. Aku
ingin seperti Eyang Watuagung."
"Aneh...," gumam Intan pelan.
"Apanya yang aneh?"
"Keinginanmu itu."
Indranata hanya tersenyum saja. Memang bagi kebanyakan orang, keinginan menjadi
resi masih dianggap sesuatu yang aneh. Sedikit sekali orang yang berkeinginan
menjadi resi atau pertapa, yang selalu menyepi meninggalkan segala nafsu
duniawi. Lebih-lebih dalam usia muda seperti Indranata ini.
Kalaupun ada pemuda yang masuk ke kuil atau pertapaan, pada akhirnya bukan untuk
menjadi resi. Mereka hanya sekedar menuntut ilmu. Dan biasanya, mereka akan keluar begitu
selesai menamatkan pelajarannya.
Indranata dan Intan mengangkat kepala hampir berbarengan ketika muncul seseorang
menghampiri. Mereka lantas bangkit berdiri dan menunggu. Orang itu semakin dekat dan
membungkukkan badannya begitu sampai di depan dua orang muda itu. Intan
memandang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu. Tatapan matanya
sedikit tajam dan penuh selidik.
"Maaf. Apakah Eyang Watuagung ada?" tanya laki-laki tua itu penuh rasa hormat.
"Bapak siapa?" tanya Intan.
"Aku datang dari Desa Sirna Galih. Namaku Ki Adong," laki-laki tua itu
memperkenalkan diri.
"Apa keperluan Ki Adong mencari Eyang
Watuagung?" tanya Indranata.
"Kami memang sangat memerlukannya, Kisanak,"
jawab Ki Adong.
"Sayang sekali, Eyang Watuagung sedang pergi.
Kira-kira sudah tiga pekan ini," jelas Intan.
"Oh...," Ki Adong mengeluh lesu.
Intan memandangi wajah laki-laki tua itu. Wajah yang semula penuh harap, kini
berubah lesu tanpa semangat. Gadis itu menatap pada Indranata yang juga sedang
memandang ke arahnya. Sesaat mereka saling melempar pandang. Kemudian sama-sama
mengalihkan pandangan kembali ke arah laki-laki tua di depan mereka.
"Ada yang bisa kami bantu, Ki?" lembut suara Intan.
"Aku tidak tahu pasti, apakah kalian mampu. Kami semua mengharapkan kehadiran
Eyang Watuagung.
Tolong tunjukkan, di mana beliau berada?"
"Eyang Watuagung tidak mengatakan hendak pergi ke mana. Tapi kalau Ki Adong
percaya, kami bisa mewakilinya. Kami adalah murid Eyang Watuagung,"
kata Indranata tetap lembut dan ramah.
Ki Adong menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedangkan Intan dan Indranata kembali saling lempar pandangan. Sesaat tidak ada
yang bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Namun wajah laki-laki tua
yang berpakaian lusuh dan kotor berdebu itu semakin kelihatan lesu tanpa gairah.
"Sudah kuduga sejak semula. Seharusnya aku memang tidak perlu jauh-jauh datang
ke sini. Eyang Watuagung banyak yang membutuhkan, dan tidak mungkin beliau
berada di dua tempat dalam waktu yang singkat," kata Ki Adong pelan setengah
bergumam. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Boleh kami tahu, persoalan apa yang sedang Anda hadapi?" tanya Indranata tetap
ramah. "Hanya Eyang Watuagung yang bisa menyelesai-kannya. Maaf, sebaiknya aku segera
kembali sebelum keadaan semakin bertambah buruk," ujar Ki Adong segera berbalik.
"Tunggu...!" cegah Indranata.
Tapi Ki Adong terus saja melangkah. Indranata akan mengejar, namun Intan sudah
keburu mencekal tangannya. Laki-laki tua berusia cukup lanjut itu terus
melangkah lesu. Wajahnya tertunduk seperti kehilangan semangat.
"Kelihatannya ia benar-benar membutuhkan per-tolongan Eyang Watuagung," kata
Indranata. "Kelihatannya memang begitu," gumam Intan.
"Kau tahu, di mana letak Desa Sirna Galih?" tanya Indranata.
"Untuk apa?"
"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi di sana."
"Kalau iya, kau mau apa?"
"Ki Adong datang atas nama warga desa itu, dan tampaknya sangat mengharapkan
sekali kehadiran Eyang Watuagung. Rasanya tidak mungkin jika tidak terjadi apa-
apa." "Mengapa harus ikut campur" Dia sendiri tidak memandang sedikit pun pada kita.
Nada suaranya meremehkan sekali."
"Intan, jangan bersikap begitu. Aku tahu, dia tidak bermaksud meremehkan. Dia
hanya memerlukan Eyang Watuagung, lalu kecewa karena yang diharap-kan tidak ada.
Mungkin rasa kecewanya membuatnya jadi bersikap begitu."
Intan hanya mengangkat bahunya saja.
"Kau tahu letak Desa Sirna Galih?" tanya Indranata lagi.
"Tidak jauh dari Kadipaten Jati Anom. Desa itu memang masih termasuk wilayah
Kadipaten Jati Anom," sahut Intan acuh.
"Hanya satu hari perjalanan dengan kuda. Tidak terlalu jauh," gumam Indranata.
"Mau apa sih?"
"Aku akan ke sana! Mungkin ada yang dapat
kulakukan di sana."
"Edan! Kita belum sempurna menguasai ilmu 'Na-ga Kembar', bagaimana mungkin
dapat meninggalkan tempat ini, Kakang" Sedangkan Eyang berpesan agar jangan
pergi sebelum batas waktu tiga purnama.
Pokoknya, Eyang tidak mengijinkan kita pergi sebelum menguasai penuh jurus-jurus
'Naga Kembar', meskipun sampai tahunan!"
"Eyang Watuagung selalu meninggalkan ke-
pentingan pribadi jika ada orang yang datang meminta bantuannya. Aku yakin,
Eyang tidak akan marah,"' bantah Indranata.
"Terserah kaulah...," Intan menyerah.
Kata-kata Indranata memang benar. Intan pun menyerah tanpa mampu mendebat lagi.
Dia memang tidak pernah menang jika berdebat dengan Indranata.
Apalagi kalau berkaitan dengan ucapan, tingkah laku, serta kebiasaan-kebiasaan
Eyang Watuagung. Intan memang tidak begitu mengenal tentang diri Eyangnya itu
yang diketahuinya, dirinya adalah cucu Eyang Watuagung. Sebelumnya belum pernah
Intan tinggal begitu lama bersama Eyang Watuagung di tempat yang sepi dan
menyendiri. Sedangkan Indranata, entah sudah berapa tahun hidup bersama laki-
laki tua Itu. "Aku akan siapkan kuda. Hari ini juga kita berangkat," kata Indranata.
"Hey...!" Intan terkejut.
"Kenapa" Kau akan melarang lagi?"
"Ini sudah hampir sore. Kalau berangkat sekarang, bisa tengah malam baru tiba di
sana." "Baiklah. Besok pagi-pagi sekali kita harus berangkat," kali ini Indranata yang
mengalah, karena memang tidak tahu letak Desa Sirna Galih.
"Lalu, bagaimana dengan Kitab Naga Kembar?"
tanya Intan. "Simpan di tempat yang aman," sahut Indranata.
Lagi-lagi Intan hanya mengangkat bahunya saja.
*** 3 Kadipaten Jati Anom tampak sepi lengang. Kesunyian sangat terasa menyelimuti
sekitarnya. Tidak terdengar lagi canda dan tawa ceria anak-anak bermain. Tidak
juga terdengar gadis-gadis bersenda gurau di sungai.
Bahkan ladang-ladang tampak sepi tanpa seorang pun yang menggarap. Kadipaten
Jati Anom kini bagaikan sebuah kota mati tak berpenghuni.
Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki kuda dari arah Utara. Kemudian terlihat
debu mengepul ke udara. Suara kaki kuda dipacu semakin jelas terdengar mengusik
kesunyian ini. Dari kepulan debu yang menggumpal, muncul seekor kuda yang
berpacu cepat membawa seorang laki-laki tua berjubah putih.
Kuda hitam pekat itu terus berlari memasuki jalan utama kadipaten ini.
"Hiya! Yeaaah...!"
Dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang jalan utama Kadipaten Jati Anom
ini, bersembulan kepala-kepala manusia. Kuda yang berlari cepat bagai dikejar
setan itu sempat menimbulkan perhatian para penduduk. Laki-laki tua berjubah
putih yang tengah menunggang kuda itu menghentikan laju kudanya tepat di tengah-
tengah jalan yang langsung menuju ke istana kadipaten. Sepasang bola matanya
yang tajam mengamati keadaan sekitarnya.
"Hm...," gumamnya tidak jelas.
Dari salah satu rumah, muncul seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala
setengah botak.
Sebentar laki-laki gemuk itu merayapi penunggang
kuda Itu, lalu berlari menghampiri. Penunggang kuda itu melompat turun,
sedangkan laki-laki gemuk berkepala agak botak itu segera berlutut memeluk kaki
yang tertutup jubah putih longgar.
"Eyang...," laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu merintih lirih.
"Bangunlah."
Laki-laki gemuk itu bangkit berdiri. Dari tiap rumah sekitar jalan itu
Pendekar Pulau Neraka 04 Cinta Berlumur Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermunculan orang-orang, laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Bahkan anak-anak
pun ikut keluar dari dalam rumahnya masing-masing.
Mereka langsung merubungi laki-laki tua berjubah putih yang kini berdiri tak
jauh dari kuda hitam itu.
Laki-laki berjubah putih yang ternyata adalah Eyang Watuagung itu merayapi para
penduduk yang mendatanginya dengan wajah lesu tanpa gairah hidup. Mereka
merubung dengan kepala tertunduk.
Eyang Watuagung menarik napas panjang dan berat.
Perhatiannya tertuju pada laki-laki gemuk berkepala setengah botak di depannya.
Orang itu juga menundukkan kepalanya dengan tangan di depan.
"Waraketu! Bukankah seharusnya kau berada di Istana sampai pengganti Adipati
Rakondah datang?"
tanya Eyang Watuagung.
"Benar, Eyang. Seharusnya aku memang berada di istana kadipaten. Tapi...," laki-
laki gemuk yang dipanggil Waraketu itu menghentikan kata-katanya.
"Kenapa?"
"Perubahan besar terjadi setelah Eyang pergi dari kadipaten ini."
"Maksudmu?"
"Pendekar Pulau Neraka datang lagi bersama orang-orangnya. Mereka menguasai
istana dan membuat peraturan-peraturan yang sangat mem-beratkan. Bahkan yang berani
menentang langsung dihukum mati di tempat itu juga," jelas Waraketu.
"Benar, Eyang. Bahkan utusan kerajaan yang membawa pengganti adipati dibantai
habis," celetuk salah seorang yang berada di belakang Waraketu.
"Mereka sangat kejam, Eyang!" celetuk salah seorang lagi.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang Watuagung.
Laki-laki tua berjubah putih itu mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba terdengar
suara hiruk-pikuk. Para penduduk yang berkerumun, serentak berlarian sambil
berteriak ketakutan. Tampak beberapa tubuh berpentalan ke udara dengan darah
mengucur deras. Teriakan ketakutan ditingkahi jerit dan pekik kematian mewarnai
keadaan di Kadipaten Jati Anom ini. Eyang Watuagung segera melompat begitu
matanya melihat tiga orang bertampang kasar dan bengis mengamuk, memporak-
porandakan kerumunan penduduk.
Lesatan Eyang Watuagung begitu cepat, disertai kiriman sebuah tendangan keras
pada salah seorang yang tengah mengamuk itu. Orang itu langsung terpental, tidak
menduga akan ada serangan begitu cepat dan tiba-tiba. Dua orang lagi serentak
melesat mundur setelah melihat temannya tergeletak dengan kepala pecah. Bola
mata mereka bersinar merah menyala melihat seorang laki-laki tua berjubah putih
tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan sikap menantang. Sementara para penduduk
langsung menyingkir, masuk ke rumahnya masing-masing.
Mereka harus mengintip dari balik lubang pintu dan
jendela. Hanya beberapa saja yang masih berada di luar rumah, tapi tarjarak agak
jauh. Mereka adalah bekas para prajurit dan pembesar kadipaten.
"Setan! Berani kau membunuh teman kami, heh!"
geram salah seorang.
"Membunuh kalian bukan pekerjaan yang sulit,"
dingin suara Eyang Watuagung.
"Monyet! Kau harus bayar mahal nyawa temanku!"
"Seharusnya kalian yang membayar nyawa mereka yang tidak berdosa."
"Kurang ajar! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya ke kiri ketika salah seorang melompat
sambil mengayunkan goloknya. Tebasan golok itu hanya lewat di depan dadanya. Dan
pada saat itu, dengan kecepatan kilat, tangan kanan laki-laki berjubah putih itu
menyodok lambung lawannya.
"Hughk!" orang itu mengeluh pendek
Tubuhnya terbungkuk. Dan belum sempat berbuat banyak, satu pukulan keras
bertenaga dalam sangat tinggi menghajar mukanya. Raungan keras terdengar
bersamaan dengan terpentalnya tubuh orang itu ke belakang. Eyang Watuagung
membalikkan tubuhnya ketika seorang lawan lagi menyerang dari arah samping.
Goloknya menyodok ke arah dada.
Hanya sedikit Eyang Watuagung memiringkan
tubuhnya, maka golok lawan terkempit di ketiak Seketika itu pula tangan kirinya
mendarat telak di dada lawan. Orang itu terjungkal keras ke belakang.
Eyang Watuagung melemparkan golok lawannya disertai pengerahan tenaga dalam.
Golok itu meluncur deras lalu menancap di dada pemiliknya.
"Aaa...!"
Eyang Watuagung langsung melompat ketika salah seorang yang wajahnya telah
berlumuran darah mencoba bangkit. Kakinya segera menjejak dada orang itu seraya
tangannya merampas goloknya, dilemparkan begitu saja.
"Jawab pertanyaanku! Siapa yang menyuruhmu?"
dingin suara Eyang Watuagung bertanya.
Orang berwajah kasar dan berlumuran darah itu berusaha menggeliat, tapi kaki
Eyang Watuagung kian kuat menekan dadanya.
"Akh!"
"Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan
telapak tangan! Jawab pertanyaanku, keparat!"
bentak Eyang Watuagung.
Orang itu masih belum menjawab. Sementara
Waraketu dan beberapa orang lainnya sudah mulai bergerak mendekati. Mereka
memandang dengan penuh rasa kebencian yang amat sangat pada orang yang tidak
berdaya di bawah injakan kaki Eyang Watuagung. Paras wajahnya kelihatan pucat,
dan tubuhnya menggeletar menggigil. Bibirnya bergerak-gerak seolah-olah ingin
mengatakan sesuatu.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Eyang Wai
agung lagi. "Pen.... Pendekar Pu...."
"Jawab yang benar!" bentak Eyang Watuagu gusar.
"Aduh!"
"Kau akan semakin tersiksa kalau tidak mau mejawab!" ancam Eyang Watuagung.
"Pendekar Pulau Neraka, Tuan. Dia yang menyuruh kami menguasai kota ini," kata
orang itu bergetar suaranya.
"Kau jangan main-main, keparat!"
"Benar, Tuan. Aku tidak main-main."
"Hih!"
Eyang Watuagung menendang tubuh orang itu
hingga menggelinding ke kaki Waraketu. Saat itu juga, Waraketu mencabut goloknya
yang terselip di pinggang, dan mengibaskan dengan cepat ke tubuh orang itu.
"Aaa...!"
*** Eyang Watuagung duduk bersila di ruangan depan rumah Waraketu. Di depannya juga
bersila Waraketu dan beberapa orang bekas pembesar kadipaten.
Mereka membicarakan keadaan kadipaten yang kini dikuasai seseorang yang mengaku
Pendekar Pulau Neraka. Eyang Watuagung kelihatan masih belum percaya dengan
kabar yang diterimanya.
Dia memang tidak menyaksikan kematian kedua muridnya yang menjabat sebagai
adipati di Kadipaten Jati Anom ini dan menjadi panglima kerajaan. Tapi dari
kabar yang didengar, kedua muridnya itu tewas oleh Pendekar Pulau Neraka. Memang
sulit untuk mempercayai berita yang diterimanya itu. Dan dia sengaja datang ke
kadipaten ini untuk mengetahui secara jelas kebenaran berita itu.
Tapi yang didapati di kadipaten Jati Anom, sungguh mencengangkan sekali.
Sambutan yang diterima sangat luar biasa. Tiga orang yang tewas telah mengaku
suruhan Pendekar Pulau Neraka untuk
menguasai Kadipaten Jati Anom, lewat tindakan brutal dan kesadisan. Eyang
Watuagung begitu yakin kalau Pendekar Pulau Neraka telah tewas di dalam jurang
ketika bertarung dengannya. Sukar dipercaya
kalau pendekar itu ternyata masih hidup dan mampu membunuh dua orang muridnya.
"Pendekar Pulau Neraka memang masih hidup, Eyang. Aku melihat sendiri, bagaimana
dia bertarung dan membunuh Gusti Adipati dan Gusti Panglima di halaman depan
Istana Kadipaten," ungkap Waraketu memecah kebisuan yang terjadi.
''Lantas, yang sekarang menguasai istana
kadipaten itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Eyang Watuagung.
"Tidak tahu pasti, Eyang," sahut Waraketu.
"Hm...," Eyang Watuagung mengerutkan keningnya.
"Mereka memang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Pulau Neraka. Tapi sejak
peristiwa di Istana Kadipaten waktu itu, kami semua tidak pernah lagi melihat
Pendekar Pulau Neraka di sini," ujar salah seorang yang duduk di samping
Waraketu. "Sulit dipercaya...," gumam Eyang Watuagung.
Eyang Watuagung menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum datang ke kadipaten ini,
dia memang telah memeriksa jurang tempat jatuhnya Pendekar Pulau Neraka di sana.
Memang tidak terdapat satu mayat pun di dalam jurang itu. Dan sekarang Waraketu
bersumpah kalau telah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Pendekar Pulau
Neraka masih hidup dan telah membunuh kedua muridnya.
Kalau memang benar pendekar itu dapat selamat!
dari dalam jurang setelah terkena pukulan maut dan tendangan bertenaga dalam
tinggi, tentulah ilmunya sukar diukur tingkatannya. Apalagi dapat membunuh dua
orang muridnya dalam waktu yang tidak begitu lama setelah bertarung dengannya.
Padahal kalaupun
masih bisa selamat, tentu dia membutuhkan waktu paling tidak satu pekan untuk
memulihkan kekuatan kembali. Tapi hanya dalam waktu kurang satu hari, Pendekar
Pulau Neraka mampu memulihkan
kekuatan tubuhnya. Bahkan mampu menandingi dan mengalahkan dua orang yang
berilmu cukup tinggi.
Eyang Watuagung benar-benar tidak percaya
menerima kenyataan ini. Sejak menerima kabar berita itu, kepercayaannya mulai
hilang. Terlebih lagi setelah menyaksikan sendiri mayat kedua muridnya yang
tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu dia tidak tahu, apa yang harus
dilakukan. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Gunung Rangkas dan mendidik
Intan serta Indranata, sambil memulihkan kembali kekuatannya akibat pertarungan
dengan Pendekar Pulau Neraka. Dia ingin membuktikan sendiri kebenarannya sebelum
mengambil tindakan. Tapi semua yang diperolehnya mendekati kebenaran.
"Setahuku, Pendekar Pulau Neraka selalu bertindak sendiri. Dia tidak punya
pengikut seorang pun.
Bahkan teman dalam perjalanan saja tidak punya...,"
gumam Eyang Watuagung pelan. "Aneh...! Kenapa berita yang kuperoleh jadi
Mentari Senja 2 Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan Dewi Penyebar Maut 3