Pencarian

Lambang Kematian 3

Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Bagian 3


Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat pergi, dan langsung lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan di Lereng Gunung Panjaran ini. Memang benar, tidak lama
kemudian Intan Delima sudah bisa bangun lagi. Namun dia masih terduduk lemas,
dan menangis tersedu sedu.-Hancur sudah seluruh hatinya. Laki laki yang sangat dicintainya telah pergi
-meninggalkannya dengan luka yang tergores di hati.
"Aku mencintaimu, Kakang Bayu.... Ketahuilah, Kakang. Aku tidak ingin kau tewas
di tangan Ayah, aku juga tidak ingin Ayah tewas di tanganmu. Oh, Tuhan...,
kenapa Kau pertemukan kami dalam keadaan seperti ini?" Intan Delima merintih
lirih. Air matanya semakin banyak berlinang.
Seluruh Lereng Gunung Panjaran seperti mendengar
rintihan gadis itu. Angin serasa berhenti berhembus, dan matahari pun meredupkan
cahayanya. Rintihan Intan Delima begitu menyayat, terucap dari lubuk hatinya
yang paling dalam. Lama Intan Delima duduk bersimpuh dan merintih lirih.
Kemudian pelahan lahan dia bangkit berdiri. Kemudian dipungutnya pedang yang
-tertancap di pohon cemara, lalu dimasukkan ke dalam sarungnya kembali di
pinggang. Sebentar dia menarik napas panjang dan dalam. Dan dengan punggung tangannya, dia
menyusut air matanya. Kemudian pelahan lahan kakinya terayun kembali menuruni
-Lereng Gunung Panjaran yang sepi itu. Lesu dan gontai langkahnya terayun.
Sesekali masih terdengar isaknya yang lirih. Sementara anginpun kembali
berhembus, dan matahari kembali menyorotkan sinar-nya dengan terik. Intan Delima
telah melangkah gontai dengan membawa berbagai macam perasaan yang berkecamuk di
dalam hatinya. *** Hari terus berganti seiring dengan bergulirnya sang waktu. Matahari pun terus
berputar sejalan dengan peredarannya. Siang berganti senja, dan senja pun
kemudian lenyap digantikan malam. Tugas matahari sepanjang siang telah berganti
dengan sang dewi malam dengan cahayanya yang lembut menyirami
bumi. Kabut tipis sudah sejak tadi menyelimuti seluruh kawasan Kadipaten Jati
Anom, yang berada Kaki Lereng Gunung Panjaran.
Kesunyian yang tengah menyelimuti seluruh pelosok Lereng Gunung Panjaran dan
Kadipaten Jati Anom, tidak menghalangi sebuah bayangan putih yang berkelebatan
cepat menyelinap dari rumah rumah penduduk.
-Bayangan putih itu jelas bergerak menuju Istana Kadipaten Jati Anom yang kini
hanya dijaga oleh tidak lebih dari dua puluh orang prajurit.
Dari gerakannya, yang ringan saat melompati
tembok benteng istana itu, jelaslah kalau orang itu memiliki tingkat kepandaian
yang sangat tinggi. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok bayangan
putih itu segera hinggap di atas genting bangunan megah itu.
Hanya sekejap dia berada di atas atap, lalu dengan ringan tubuhnya kembali
meluruk ke bawah, dan langsung mendarat di beranda depan. Lima orang prajurit
yang tengah menjaga tempat itu, terkejut dan langsung mengepung dengan senjata
terhunus. "Tahan!" terdengar suara bentakan keras dari arah dalam.
Tidak lama kemudian, keluarlah Adipati Rakondah yang diikuti oleh Panglima
Bantaraji. Mereka langsung berlutut di depan orang berjubah putih dengan rambut
dan janggut juga putih semua. Bibirnya hampir tertutup oleh kumis panjang yang
menyatu dengan janggutnya.
Sementara lima orang prajurit yang sudah mengepung, langsung menyimpan kembali
senjatanya, dan segera berlutut mengikuti junjungan mereka.
"Bangunlah, anak anakku," lembut dan berwibawa suara laki laki berjubah putih - -yang usianya hampir mencapai seratus tahun itu
Kemudian Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji bangkit pelahan. Panglima
Bantaraji memberi isyarat kepada lima orang prajurit agar segera pergi. Setelah
memberi hormat, kelima prajurit itu pun segera meninggalkan beranda.
"Ah, kedatangan Eyang Guru benar benar mengejutkan," kata Adipati Rakondah
-seraya mempersilakan laki-laki tua yang dipanggil Eyang Guru itu masuk.
Laki laki tua itu pun segera melangkah ringan memasuki bagian dalam istana itu.
-Mereka bertiga kemudian duduk di kursi berukir yang terbuat dari kayu jati, dan
mengelilingi sebuah meja bundar yang juga berukir dengan batu puatern putih di
atasnya. "Maaf, Eyang. Ada maksud apakah sehingga Eyang Guru Watuagung datang secara
tiba tiba" tanya Adipati Rakondah hormat.
-Laki laki tua berusia hampir seratus tahun itu tidak segera menjawab. Matanya
-yang bening dan tajam memandangi sekitamya, kemudian satu persatu dipandanginya
Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji secara bergantian.
"Ketahuilah, anak anakku Aku datang karena mendengar bahwa kalian tengah
-mendapat musibah yang cukup serius. Aku memang sudah mendengar banyak, meskipun
tempat tinggalku jauh dari sini. Tapi aku ingin mendengar langsung dari kalian
berdua," tetap lembut dan berwibawa nada suara Eyang Watuagung.
Sejenak Adipati Rakondah memandang Panglima
Bantaraji, lalu dia menceritakan keadaan sebenarnya dengan singkat namun jelas.
Sedangkan laki laki tua berjubah putih itu mengangguk anggukkan kepalanya
- -beberapa kali. Sementara jari jari tangannya yang kecil dan berkeriput terus
-mengelus elus janggutnya.
- "Maafkan kami, Eyang. Bukannya kami tidak mau memberitahukan perihal ini padamu.
Kami merasa, bahwa hal ini adalah tanggung jawab kami berdua, terutama aku,
Eyang," kata Adipati Rakondah setelah selesai bercerita.
"Hm..., jadi benar anakmu telah diculik oleh seorang pemuda yang mengaku bernama
Pendeka Pulau Neraka
itu?" Eyang Watuagung seperti ingin kejelasan.
"Benar, Eyang," sahut Adipati Rakondah.
"Maaf Eyang," Panglima Bantaraji menyelak. "Dari mana Eyang tahu semua tentang
keadaan di ini?"
"Beberapa prajuritmu yang meninggalkan kadipaten ini telah datang ke tempatku.
Bahkan para pelayan dan abdi abdimu juga datang. Mereka semua menceritakan -perihal keadaan di sini. Kemudian aku memutuskan untuk mengetahui kebenarannya
secara langsung."
"Tapi, Eyang..."
"Kau tidak usah cemas Rakondah. Kalian adalah anak anakku, murid murid utamaku
- -yang sudah berhasil. Aku merasa bangga pada kalian berdua. Tapi aku juga
menyesalkan setiap langkah dan tindakanmu, Rakondah. Sejak kecil watakmu memang
sudah begitu, dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Sebagai orang tua yang mengasuh
dan mendidikmu, aku juga merasa ber
-tanggung jawab atas segala akibat perbuatanmu, Rakondah."
"Maafkan aku, Eyang," pelan suara Adipati Rakondah.
"Sudahlah, semuanya telah terjadi. Aku datang justru untuk meluruskan jalan.
Mudah mudahan pertumpahan darah tidak sampai terjadi. Tapi...," kata kata Eyang
- -Watuagung tertunda.
"Ada apa, Eyang...?"
Belum lagi pertanyaan Panglima Bantaraji terjawab, mendadak Eyang Watuagung
melesat bagai kilat men-jebol atap. Dan pada saat yang sama sebuah bayangan
berkelebat cepat melenting dari atas atap. Begitu cepatnya bayangan itu
berkelebat, tahu tahu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Kini Eyang Watuagung
-hanya bisa berdiri tegak di atas atap sambil memandang ke arah Lereng Gunung
Panjaran. Jubahnya yang putih dan longgar berkibar kibar dipermainkan angin.
-*** "Ada apa, Eyang?" tanya Panglima Bantaraji setelah Eyang Watuagung tidak segera
menjawab. Dia kembali duduk di kursinya dengan pandangan mata lurus ke luar
jendela. Keningnya yang memang sudah banyak
kerutannya, tampak semakin dalam berkerut. Sementara Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji hanya bisa saling berpandangan
tidak mengerti.
Saat itu, tiba tiba secercah sinar berwarna keperakan meluncur deras ke arah -mereka. Seketika Eyang Watuagung mengegoskan kepalanya sedikit, dan segera
mengebutkan tangan kanannya. Sinar keperakan itu langsung lenyap di dalam
genggaman tangannya. Dan begitu tangan itu terbuka, tampaklah sebuah logam yang
berbentuk bintang dan berwarna keperakan bersegi enam. Ada secarik kain merah
yang tergulung di tengah tengah benda itu. Eyang Watuagung segera mencopot kain
-itu dan membuka lipatannya.
Tampak beberapa baris tulisan yang tertera dengan tinta emas. Hanya ada satu
kalimat, tapi mampu untuk membuat mata laki laki yang berusia hampir seratus
-tahun itu membeliak lebar. Kemudian Panglima Bantaraji segera merebut kain itu
dari tangan Eyang Watuagung.
" Jangan campuri urusanku jika kau tidak ingin mati!"
desis Panglima Bantaraji membaca sebaris kalimat di kain merah itu.
"Gila!" geram Adipati Rakondah.
"Ini benar benar, sudah keterlaluan! Berani-beraninya dia menghina Eyang Guru'"
-desis Panglima Bantaraji menahan geram.
Sedangkan Eyang Watuagung hanya berdiam diri dengan pandangan mata yang tetap
lurus ke depan, menembus kepekatan malam melalui jendela yang terbuka lebar.
Tampak Gunung Panjaran berdiri megah melatarbelakangi Kadipaten Jati Anom ini.
Sebuah gunung yang selalu berselimut kabut pada puncaknya.
"Eyang, penghinaan ini harus dibalas!" kata Adipati Rakondah geram. Hatinya
benar benar tak rela, karena laki laki tua yang menjadi gurunya dan mendidiknya
- -sejak kecil mendapat penghinaan seperti itu.
Memang hanya sebuah kalimat yang tertulis pada
sehelai kain merah, tapi kalimat itu benar benar menyakitkan. Tidak memandang
-sebelah mata pun pada seorang yang paling dihormati dan diseganinya.
Baginya, perbuatan Pendekar Pulau Neraka benar benar sudah melampaui batas.
-Selama ini dia masih bisa menahan diri karena memang merasa bersalah. Tapi kalau
sampai penghinaan pada guru dan orang tua angkatnya itu.... Rasanya tidak ada
seorang pun di dunia ini yang bisa tinggal diam memperoleh perlakuan seperti
itu. "Benar, Eyang. Aku rela mati demi membalas penghinaan ini!" sambung Panglima
Bantaraji. "Tenangkan diri kalian!" sentak Eyang Watuagung.
"Dia benar, aku memang tidak boleh mencampuri urusan ini."
"Tapi, Eyang," Adipati Rakondah ingin membantah.
"Aku tahu, kalian memang tidak rela dengan penghinaan pada diriku. Tapi dia
tidak juga salah kalau memintaku untuk tidak ikut campur dalam urusan ini.
Meskipun aku tidak menyukai caranya, tapi aku bisa memaklumi," Eyang Watuagung
langsung memutus ucapan Adipati Rakondah.
Suasana jadi hening sesaat.
"Dan kau, Bantaraji. Tidak sepatutnya kau mengorbankan orang orang yang tidak -bersalah dan tida tahu menahu mengenai masalah ini. Terus terang, aku tidak
-setuju dengan caramu," tajam tatapan mata Eyang Watuagung kepada Panglima
Rakondah. "Eyang, aku hanya...."
"Aku tahu, Bantaraji. Kau memang seorang kakak yang baik. Meskipun kau tahu
kalau adikmu berada di
pihak yang salah, kau tetap rela berkorban untuk membela. Tapi seharusnya kau
tidak perlu membawa-bawa orang lain. Besok, aku tidak mau lagi melihat prajurit
-prajurit itu masih ada di sini. Kau mengerti, Bantaraji?" tegas kata kata Eyang
-Watuagung. "Ya, Eyang," tidak ada pilihan lagi buat Panglima Bantaraji. Meskipun berat, dia
harus mematuhi kata-kata gurunya yang juga ayah angkatnya ini.
"Kapan Pendekar Pulau Neraka itu akan datang menantangmu?" tanya Eyang Watuagung
beralih menatap pada Adipati Rakondah.
"Besok, tengah malam," sahut Adipati Rakondah.
"Kau harus menghadapinya secara ksatria, Rakondah.
Aku akan tersenyum melihat kau mati dengan cara seorang pendekar sejati "
Adipati Rakondah hanya diam menunduk. "Dan kau, Bantaraji. Aku tidak mau lagi
melihatmu berlaku bodoh!
Kau paham, Bantaraji?" "Paham, Eyang."
"Mulai besok, pagi pagi sekali, seluruh prajuritmu harus sudah meninggalkan
-Kadipaten Jadi Anom. Aku tidak mau lagi melihat darah sia sia mengalir di bumi
-Jati Anom ini," sambung Kyang Watuagung lagi.
"Aku mengerti, Eyang," sahut Panglima Bantaraji.
Tak lama kemudian Eyang Watuagung bangkit dari duduknya, dan melangkah ke luar.
Sedangkan Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji masih tetap duduk di kursinya.
Di satu sisi mereka memang senang dengan kedatangan gurunya, tapi di sisi lain
membuat gelisah dengan keputusan keputusannya yang benar benar di luar dugaan
- -itu. Dari dulu mereka memang telah dididik untuk menjadi seorang pendekar
tangguh yang membela kebenaran dan keadilan, tapi jalan hidup manusia memang tidak bisa
diduga sebelumnya.
*** 7 Hari masih pagi sekali. Matahari pun belum menampakkan diri. Sementara kabut
yang masih menyelimuti sekitar Lereng Gunung Panjaran, menyebarkan hawa dingin
serasa menusuk kulit. Namun keadaan yang demikian itu tidak menghalangi sesosok
bayangan putih mendaki lereng gunung itu. Langkahnya ringan dan cepat, bagaikan
berjalan di atas angin.
Kemudian ia berhenti di sebuah sungai kecil dengan airnya yang mengalir jernih.
Sejenak laki laki tua berjubah putih yang tidak lain adalah Eyang Watuagung itu -mengedarkan pandangannya berkeliling. Daun telinganya bergerak gerak pertanda
-bahwa dia tengah mendengarkan suara suara yang ada di sekitar tempat itu. Dan
-pada saat pandangannya mengarah ke sebelah kiri, tampaklah seorang pemuda tampan
dan gagah sudah berdiri membelakangi sebongkah batu besar.
"Aku tahu kalau kau ada di sekitar sini, Anak Muda,"
kata Eyang Watuagung. Suaranya terdengar tenang, namun berwibawa.
Pemuda gagah yang berbaju dari kulit harimau itu kemudian melangkah mendekat.
Dia berhenti setelah jaraknya dengan laki laki tua berusia hampir seratus tahun
-itu tinggal dua batang tombak lagi. Tangannya tetap melipat di depan dada,
memperlihatkan sebentuk logam pipih yang bergerigi enam buah di pergelangan
tangannya. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Pulau
Neraka. "Hebat! Kau bisa mengetahui tempatku, Orang Tua,"
kata Bayu memuji.
"Aku sudah tahu sejak kau muncul di istana kadipaten. "
"Dan aku juga sudah tahu kedatanganmu," balas Bayu.
"Kau salah kalau menyangka aku akan membela muridku, Anak Muda. Aku justru
datang untuk menyadarkannya, dan mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara
kalian," masih tenang kata-kata Eyang Watuagung.
"Terlambat...!" kata Bayu tegas.
"Tidak ada kata terlambat kalau kau mau memikirkan kembali. Aku tahu semua
persoalan yang kau bawa, dan aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Tapi
menurutku, dendam bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Apalagi harus diakhiri
dengan mengadu jiwa!"
"Aku kagum padamu, Orang Tua. Ternyata kau adalah seorang yang bijaksana. Tapi
sebagai seorang pendekar ksatria, aku pantang menarik kembali kata-kataku yang
sudah terucap. Saat pertarungan sudah ditentukan, dan aku tidak mungkin lagi
menarik keputusanku. Kau pasti bisa lebih paham dari aku, yang masih belum
berpengalaman dalam mengarungi rimba persilatan."
Eyang Watuagung mengangguk anggukkan kepala- -nya. Dalam hati dia memuji dan mengagumi sikap ksatria yang dimiliki oleh anak
muda ini. Tapi sebagai seorang guru dan orang tua angkat Adipati Rakondah, Eyang
Watuagung rasanya tidak akan bisa membiarkan
muridnya tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun dia merasa senang melihat muridnya itu bisa bersikap ksatria, namun
dalam hati kecilnya tidak rela jika muridnya harus kalah di depan matanya.
Lebih-lebih oleh seorang pemuda yang baru saja terjun dalam kancah rimba
persilatan. Nama besarnya sebagai tokoh tua yang banyak melahirkan pendekar
tangguh bisa tercemar.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan Rakondah. Tapi
aku minta agar kau kembalikan cucuku, Intan Delima. Jangan kau peralat dia jadi
sanderamu hanya untuk melemahkan jiwa lawan," kata Eyang Watuagung memohon.
"Aku tidak pernah menculik dan menyandera Intan Delima. Aku tidak tahu di mana
kini dia berada. Dia pergi karena malu mempunyai orang tua yang berhati busuk
dan kerdil!"
"Kata katamu benar benar menyakitkan, Anak Muda!" desis Eyang Watuagung merasa
- -tersinggung muridnya dikatakan berhati busuk. Kalau muridnya berhati busuk,
tentu gurunya lebih busuk lagi Eyang Watuagung bisa menangkap arti dari kata
-kata itu. "Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu. Tapi semua yang
kukatakan itu adalah kenyataan. Aku tidak keberatan jika kau membelanya, tapi
kau harus berhadapan denganku!" kata Bayu tegas.
"Hm..., kau menantangku, Pendekar Pulau Neraka?"


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terserah apa tanggapanmu. Yang jelas, tujuanku hanya satu. Dan aku tidak peduli
siapa saja yang ada di belakangnya. Bagiku, penghalang tetap penghalang, dan
harus aku hadapi!" tegas kata kata Bayu.
-Eyang Watuagung berdecak. Rasa kagumnya
semakin bertambah, namun dia juga tidak menyukai sifat yang congkak, angkuh dan
menganggap dirinya lebih dari orang lain. Di matanya, Pendekar Pulau Neraka
adalah seorang pendekar angkuh yang tidak pernah memandang sebelah mata pun pada
siapa saja. Kata katanya selalu tegas, dan meluncur deras bagai tak pernah dipikirkan -sebelumnya.
Eyang Watuagung yang sudah kenyang makan asam
garamnya dunia persilatan, tidak terkejut lagi menghadapi orang seperti Bayu
Hanggara ini. Sehingga dia tetap bisa bersikap tenang.
"Maaf, aku tidak punya banyak waktu lagi," kata Bayu.
"Tunggu!" buru buru Eyang Watuagung mencegah.
"Ada apa lagi?" Bayu mengurungkan niatnya.
"Kau belum menjawab satu pertanyaanku, Anak Muda."
"Pertanyaan yang mana?"
"Di mana kau sembunyikan Intan Delima?"
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu! Dia pergi sendiri karena malu dengan kelakuan
ayahnya. Apa itu tidak cukup jelas?" agak kasar kata kata Bayu.
"Nada suaramu menyembunyikan sesuatu, Anak Muda...," gumam Eyang Watuagung tidak
percaya. "Terserah!" sahut Bayu agak terkejut juga. Sebelum dia lebih jauh didesak,
dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu melesat meninggalkan orang tua itu.
Sedangkan Eyang Watuagung tidak mau mengejar lagi.
Dia hanya berdiri memandang ke arah kepergian Bayu.
Sebentar dia mendesah pendek, kemudian berbalik dan
melangkah menuruni lereng kembali. Namun baru beberapa langkah dia berjalan,
mendadak tubuhnya berbalik dengan cepat. Dan tangan kanannya berkelebat
bersamaan dengan berbaliknya tubuhnya.
"Jangan...!"
"Heh...!"
*** Eyang Watuagung buru buru merentangkan tangannya ke samping, dan dari balik
-lengan jubahnya yang longgar, meluncurlah tiga buah benda kecil bagai jarum.
Benda yang berwarna kuning keemasan itu, meluncur bagai kilat dan menghantam
pohon tua yang tidak jauh di samping kanannya. Dan tiga buah benda kecil itu
langsung menembus pohon itu. Aneh! Pohon itu, langsung kering dan tumbang bagai
terhempas satu kekuatan yang amat dahsyat.
"Intan...!" seru Eyang Watuagung tersentak kaget.
"Eyang...!"
Intan Delima yang muncul dari gerumbul semak, langsung berlari dan memeluk kaki
laki laki tua itu.-Sedangkan Eyang Watuagung segera memegang bahu gadis itu dan membawanya berdiri.
Sejenak dia memandangi wajah cucunya yang tampak murung itu.
Tampak setitik air bening menggulir di pipinya yang halus kemerahan.
"Apa yang telah terjadi padamu, Cucuku?" tanya Eyang Watuagung sambil menuntun
Intan Delima dan membawanya duduk pada sebatang pohon yang telah tumbang.
Intan Delima tidak langsung menjawab. Dia malah menangis di pangkuan laki laki
-tua itu. Sulit baginya untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia sangat mencintai
pemuda itu, tapi sekaligus juga membencinya, karena laki laki yang dicintainya
-itu ternyata hanya menginginkan tubuhnya saja.
Untuk beberapa saat lamanya, Eyang Watuagung membiarkan saja gadis itu
menumpahkan tangisnya. Dia hanya membelai belai rambut yang hitam pekat dengan
lembut. Agak lama juga Intan Delima menumpahkan perasaan dalam tangisnya. Kini
setelah isaknya agak reda, dia kembali mengangkat kepalanya. Sisa sisa air
-matanya segera dihapusnya dengan ujung baju. Sejenak gadis itu mencoba
menenangkan diri.
"Apa yang telah terjadi padamu, Intan?" tanya Eyang Watuagung lagi. ,
"Eyang..., dia..., dia telah...," Intan Delima serasa tidak sanggup lagi
meneruskan. Tiba tiba saja perasaan malu menghinggapi dirinya.
-Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia memang telah menyerahkan
tubuhnya tanpa paksaan.
Dia merelakan semuanya dengan rasa cinta, karena menganggap Bayu Hanggara juga
mencintainya dan mau melupakan semua dendamnya. Tapi semua itu ternyata malah
terbalik, dan membuatnya kecewa serta sakit hati. Kini kekecewaan yang dalam di
hatinya tak mungkin bisa dihapuskan begitu saja. Luka di hatinya sudah begitu
parah, tidak mungkin lagi bisa terobati.
Namun Intan juga tidak bisa membohongi dirinya.
Bagaimanapun juga dia masih mencintai dan meng-harapkan Bayu Hanggara.
"Apa yang telah dia lakukan padamu?" agak dikit ditekan suara Eyang Watuagung.
"Eyang... Aku..., aku malu. Aku tidak kuasa untuk menolaknya, Eyang Aku
malu...," kembali Intan Delima menangis.
Kembali Eyang Watuagung menarik napas panjang dan dalam. Meskipun Intan Delima
belum mengatakan-nya dengan terus terang, namun dia sudah bisa menangkap
maksudnya. Entah apa yang ada dalam hatinya saat ini, dan jelas wajahnya jadi
memerah, dam gerahamnya bergemeletuk hebat.
"Tolong aku, Eyang...," rintih Intan Delima setelah reda tangisnya.
"Katakan, apa yang bisa aku lakukan?"
"Jangan katakan hal ini pada Ayah. Tolong Eyang.
Aku..., aku tidak sanggup lagi bertemu dengan Ayah.
Aku malu...."
"Kenapa kau harus malu" Itu semua bukan karena salahmu. Kau hanya jadi korban
dari kebiadaban manusia yang berhati iblis!" agak menggeram suara yang
Watuagung. "Tapi...," Intan Delima menggigit bibirnya. Hampir aja dia keterlepasan bicara.
Hatinya tetap tidak rela kalau Bayu dikatakan demikian.
"Aku mengerti perasaanmu. Intan. Sekarang pulang-lah, dan tenangkan dirimu Aku
akan mencari setan keparat itu. Dia harus bertanggung jawab dengan
perbuatannya," kata Eyang Watuagung.
"Aku tidak mau pulang, Eyang," tolak Intan Delima.
"Lalu, kau mau ke mana?"
Intan Delima tidak segera menjawab. Dia sendiri juga
bingung mau pergi ke mana lagi. Untuk kembali kepada ayahnya, rasanya tidak
mungkin. Hatinya sudah telanjur kecewa dengan kelakuan ayahnya, dan dia juga
malu untuk bertemu lagi, mengingat dirinya kini sudah bukan seorang gadis suci
lagi. "Baiklah, sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Rangkas. Katakan pada pamanmu di
sana, bahwa aku akan segera datang menjemputmu. Kau akan menjadi murid
terakhirku," kata Eyang Watuagung.
"Oh, Eyang...," Intan Delima tidak bisa lagi mengucapkan sesuatu.
Sudah lama dia ingin memperoleh ilmu ilmu yang dimiliki kakeknya ini. Kini Intan-Delima berlutut dan memeluk kaki laki laki tua itu. Kemudian pelahan lahan dia
- -bangkit dan menjura hormat. Sedangkan Eyang Watuagung hanya tersenyum, namun
senyumnya itu terasa getir.
"Eyang, apakah Eyang akan membunuh Pendekar Pulau Neraka?" tanya Intan Delima
ragu ragu. -"Kalau dia mau berjanji dan bertanggung jawab atas perbuatannya, mungkin tidak.
Tergantung nanti saja, Intan," sahut Eyang Watuagung berusaha bersikap
bijaksana. "Terima kasih, Eyang."
"Kenapa kau tanyakan itu, Intan?" tanya Eyang Watuagung dengan tatapan curiga.
"Ah, tidak..., tidak Aku hanya ingin dia mati di tanganku," sahut Intan Delima
tergagap. "Hhh..., dendam. Rupanya bumi belum berhenti ter-siram oleh darah," desah Eyang
Watuagung berat.
Beberapa saat kemudian, Eyang Watuagung
meminta agar Intan Delima segera meninggalkan Kadipaten Jati Anom. Dia tidak
lagi mendesak agar gadis itu mau menemui ayahnya dulu. Sedangkan Intan Delima
sendiri sebenarnya rindu, tapi kerinduannya dia tekan dalam dalam. Gadis itu -terus melangkah menuruni Lereng Gunung Panjaran dengan hati
membawa cinta, dendam, benci dan rasa kecewa yang bertumpuk menjadi satu.
Sementara Eyang Watuagung masih saja berdiri sambil memandangi kepergian Intan
Delima. Dan setelah bayangan gadis itu tidak teriihat lagi, barulah laki laki
-tua berjubah putih itu mengayunkan kakinya.
Arahnya menuju tempat di mana Pendekar Pulau Neraka tadi pergi. Jelas kalau dia
bermaksud mencari pendekar muda itu.
*** Bayu Hanggara tampak berdiri tegak sambil
memandang ke arah Kadipaten Jati Anom yang tampak sepi. Dari tempat ketinggian
seperti itu, dia bisa memandang luas ke arah kadipaten itu. Tampak pintu gerbang
bentengnya tertutup mpat tanpa satu orang pun prajurit yang menjaganya. Sejenak
Bayu tersenyum melihat keadaan Kadipaten Jati Anom yang sudah terpengaruhi oleh
kedatangannya. "Tidak lama lagi, Rakondah. Bersiap siaplah menjemput ajalmu," desah Bayu.
-"Kau juga harus bersiap siap, Pendekar Pulau Neraka!"
Bayu langsung tersentak kaget begitu mendengar
suara dari arah belakangnya. Buru buru dia membalikkan tubuhnya, dan tampaklah
-di depannya, seorang laki laki tua mengenakan jubah putih yang longgar.
-"Kau lagi, Orang Tua. Mau apa kau mengikutiku?"
nada suara Bayu terdengar ketus.
"Kali ini aku datang untuk meminta tanggung jawab-mu, Anak Muda!" tegas kata
-kata yang terucap dari bibir Eyang Watuagung.
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Apa yang telah kau lakukan pada cucuku Intan Delima?" agak bergetar suara Eyang
Watuagung. "O..., rupanya kau telah bertemu dengan gadis itu?"
Bayu langsung menebak.
"Semula aku bisa memahamimu, Anak Muda. Tapi perbuatanmu pada Intan Delima...,
rasanya aku tidak bisa lagi memaafkanmu, kecuali kau mau tanggung jawab!" dingin
suara Eyang Watuagung.
"Pasti dia mengadu yang bukan bukan," desis Bayu.-"Asal kau tahu saja, Orang Tua. Intan Delima datang sendiri padaku dengan
sukarela. Aku tidak memaksa-nya, dia sendiri yang menginginkannya."
"Biadab! Pandai sekali kau memutarbalikkan lidah!"
geram Eyang Watuagung membentak. "Seharusnya aku memang tahu, bahwa kau tidak
mungkin mau bertanggung jawab. Kau memang laki laki iblis. Tidak ada gunanya aku
-bersilat lidah padamu!"
"Ah..., tidak kusangka. Ternyata aku juga harus berhadapan dengan manusia
-manusia yang culas licik,"
kata kata Bayu masih terdengar tenang.
-"Kurang ajar! Kelakuanmu sudah kelewat batas.
Anak Muda! Aku tidak pernah marah seperti ini, tapi kau telah memaksaku untuk
menurunkan tangan,"
Eyang Watuagung benar benar tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
-"Sudah kuduga, kau pasti akan mencari cari alasan untuk menjadi penghalangku,"
-kata Bayu kalem.
"Bersiaplah, Anak Muda! Intan Delima akan senang melihat kepalamu tanpa leher!"
ancam Eyang Watuagung.
"Sadis...!"
Eyang Watuagung menggeram hebat, lalu dengan cepat dia mengebutkan tangan
kanannya ke depan.
Seketika itu juga tampaklah tiga buah benda kecil bagai jarum yang berwarna
keperakan, meluncur deras ke luar dari lengan bajunya yang longgar.
"Hup!"
Bayu segera memutar tangan kanannya ke depan, lan menyambut senjata senjata
-kecil itu tanpa menggeser kakinya sedikit pun.
Tring! Tiga buah jarum keemasan itu rontok begitu mem-bentur pergelangan tangan kanan
Bayu yang menempel sebuah cakra bersegi enam berwarna keperakan.
Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
Bibirnya menyunggingkan senyum bagai mengejek.
"Jangan besar kepala dulu, Anak Muda! Tahan seranganku!" bentak Eyang Watuagung.
Laki laki tua berjubah putih itu langsung melompat, dan memberikan beberapa
-pukulan bertenaga dalam tinggi. Belum juga pukulannya sampai, namun anginnya
sudah terasa menyengat. Bayu bergegas menggeser kakinya ke samping, dan
memiringkan tubuhnya sedikit sambil mengibaskan tangannya dan nemapak serangan
itu. "Ikh!"
Eyang Watuagung tersentak kaget. Buru buru dia menarik kembali tangannya yang -mendadak jadi kesemutan begitu beradu dengan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Bersamaan dengan itu Bayu juga melompat mundur dua tindak. Dia juga merasakan
tangannya seperti remuk begitu berbenturan dengan tangan laki laki tua itu.
-"Huh! Tenaga dalamnya benar benar luar biasa!"
-dengus Eyang Watuagung mengeluh.
Kini Eyang Watuagung tidak mau lagi gegabah. Dia kembali menyerang dengan penuh
perhitungan dan hati hati. Sedangkan Bayu sendiri segera melayaninya dengan
-sikap waspada. Dia sudah merasakan kalau tenaga dalam lawannya kali ini sangat
dahsyat. Dan sebentar saja pertempuran di Kaki Lereng Gunung Panjaran itu sudah
berlangsung dengan sengit. Masing-masing mengeluarkan jurus jurus andalannya!
-*** 8 Pertarungan antara Bayu Hanggara dengan Eyang Watuagung terus berlangsung dengan
sengit. Bagi Bayu, pertarungan dengan jarak dekat seperti ini, tidak
memungkinkan untuk melontarkan senjata andalan nya, yaitu cakra bersegi enam dan
berwarna keperakan.
Sedangkan Eyang Watuagung sudah mengeluarkan
senjatanya yang berupa pedang pendek bercabang tiga.
Menghadapi senjata genggam itu, Bayu terpaksa memegang Cakra Maut nya di tangan
kanan. Sudah berpuluh puluh jurus yang telah mereka keluarkan namun belum ada
-tanda tanda mana yang bakal terdesak. Sedangkan tempat di sekitar pertarungan
-sudah porak poranda. Bahkan meluas sampai ke daerah yang berjurang serta
-berbatu batu cadas yang besar dan tajam.
-Tring! Mendadak satu benturan senjata keras terjadi udara.
Tampak percikan bunga api memijar. Dua orang yang tengah bertarung itu saling
terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Namun dengan cepat mereka
segera bangkit, dan kembali berlompatan saling menyerang.
"Hup! Hiaaa...!"
Tiba tiba dengan satu teriakan nyaring melengking, Bayu melontarkan senjata -Cakra Maut nya sambil melompat dan mengirimkan dua buah pukulan dahsyat yang
-bertenaga dalam sangat tinggi.
"Ikh!"
Buru buru Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya
-menghindari serangan yang bertubi tubi itu. Dan dia berhasil mengelakkan senjata
-yang meluncur deras bagai memiliki mata itu. Namun satu gebrakan dari pukulan
yang bertenaga dalam, tidak bisa dihindarkan.
Seketika Eyang Watuagung terlontar sejauh tiga batang tombak. Namun dia masih
sempat mengibaskan
pedangnya yang bercabang tiga.
"Hugh!"
"Akh...!"
Bayu Hanggara terhuyung tiga langkah ke belakang.
Darah mengucur deras dari bahu kirinya yang sobek tersambar ujung pedang Eyang
Watuagung. Namun dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya, dan menangkap
senjata Cakra Maut nya yang kembali berbalik-"Hiya...!"
Dan bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan kembali senjata
mautnya di saat tubuh Eyang Watuagung sedang limbung. Tak pelak lagi, lontaran
yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, tidak dapat dihindarkan
lagi. Perut orang tua itu sobek tergores ujung cakra yang melayang bagaikan
kilat itu. "Akh...!" Eyang Watuagung menjerit keras.
Tubuh tua itu terhuyung huyung beberapa langkah ke belakang. Untunglah dengan
-cepat dia mampu menguasai tubuhnya kembali. Dan tanpa mempedulikan darah yang
mengucur dari perutnya, Eyang Watuagung segera menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Seketika itu juga satu desiran angin yang amat
dahsyat meluncur bagai topan, dan menghajar tubuh Pendekar Pulau Neraka yang
baru saja menangkap senjatanya kembali
"Hiya...! Hiyaaa!"
Buru buru Bayu Hanggara melentingkan tubuhnya sambil membalas dengan dua kali
-pukulan jarak jauh bertenaga dahsyat. Namun deburan angin topan yang menggemuruh
dahsyat sudah keburu menghantam
tubuhnya. Kini tubuh Pendekar Pulau Neraka ter-pelanting deras ke udara, lalu
dengan cepat meluruk ke bawah dan langsung masuk ke dalam jurang yang menganga
lebar.

Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh...!"
Jeritan melengking terdengar menyayat bersamaan dengan meluncumya tubuh Bayu ke
dalam jurang yang besar dan dalam itu. Eyang Watuagung bergegas memburu, dan
berdiri di tepi jurang. Tangan kirinya terus menekap perutnya yang sobek dan
mengucurkan darah segar.
"Hhh...! Luar biasa anak itu. Entah apa yang akan terjadi pada dunia persilatan
kalau dia masih hidup,"
Eyang Watuagung mengeluh dalam hari.
Sejenak laki laki berjubah putih itu menjulurkan kepalanya ke dalam jurang. Tak
-tampak apa pun di dalam sana. Seluruh permukaan jurang itu tertutup kabut tebal
yarig menghalangi pandangan mata.
"Ugh! Hoaaak...!"
Eyang Watuagung memuntahkan darah kental
kehitaman. Buru buru dia merobek baju bagian dalamnya. Mendadak kedua matanya -membeliak lebar begitu melihat gambar tapak tangan hitam tertera di
dadanya. '"Pukulan Racun Hitam... !" desisnya terkejut.
"Ugh! Ada hubungan apa dia dengan Gardika. .?"
Eyang Watuagung buru buru duduk bersila. Sebentar kemudian matanya terpejam.
-Tampak keringat sebesar-besar butiran jagung menitik di keningnya. Lalu dia
membuka matanya kembali. Lagi lagi dia memuntahkan darah kental kehitaman.
-"Aku harus segera kembali ke Pesanggrahan. Racun hitam ini bisa membunuhku
secara pelahan lahan. Gila!
-Kenapa aku tidak menyadari kalau jurus jurusnya sama dengan Gardika si Cakra
-Maut! Dan lagi..., senjata itu....
Huh! Untung saja aku berhasil membunuhnya, kalau dia sampai masih hidup beberapa
tahun lagi..., aku tidak tahu lagi, bagaimana keadaan dunia persilatan. Sulit
mencari tandingan jurus jurus si Cakra Maut. Ugh ...
-Ugh!" Eyang Watuagung segera bangkit dari duduknya, kemudian melangkah cepat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Beberapa kali dia masih menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya. Namun
semua itu tidak dihiraukan lagi. Hanya satu yang kini ada dalam pikirannya, dia
harus segera sampai ke pesanggrahan-nya, dan mengurangi pengaruh racun hitam.
Paling tidak, hidupnya bisa diperpanjang lagi sampai dia bisa mewariskan seluruh
ilmunya pada Intan Delima.
*** Tapi, benarkah Bayu Hanggara atau Pendekar Pulau Neraka tewas di dasar jurang
yang dalam itu"
Yang Kuasa rupanya belum menginginkan Pendekar Pulau Neraka meninggalkan dunia.
Tubuhnya tidak langsung jatuh ke dasar jurang. Sebatang akar pohon besar yang
menyembul dari dalam tanah di bibir jurang, menyanggah tubuhnya. Beberapa saat
lamanya Bayu tidak sadarkan diri. Dan begitu dia siuman, seluruh tubuhnya terasa
nyeri dan tulang tulangnya seperti mau rontok semua.
-Bayu tampak terkejut begitu menyadari tubuhnya tersangkut pada sebatang akar
yang cukup besar dan kuat. Dan sambil menahan nyeri pada seluruh tubuhnya, dia
kemudian merayap dan berusaha mencapai tepi tebing jurang ini. Sejenak kepalanya
menengadah ke atas. Tak terlihat apa pun, hanya kabut tebal yan menghalangi
pandangan matanya.
"Huh...!" Bayu mendengus sambil menghembuskan napasnya.
Lalu dia duduk pada pangkal pohon yang berongga besar. Kembali matanya memandang
berkeliling. Sepanjang matanya memandang, yang tampak hanya kabut dengan bayang bayang pohon
menyemaki tebing jurang. Pemuda itu kemudian mengatur duduknya untuk bersemadi
menyalurkan hawa murni ke seluruh aliran darahnya. Dia berusaha membuka jalan
darahnya agar sempurna. Kini rasa hangat mulai menjalari tubuhnya, dan rasa
nyeri serta pegal pegal berangsur hilang. Namun bibirnya menyeringai dan -mendesis.
Bayu segera menyobek kain merah yang membelit pinggangnya. Dan dengan kain itu
dia kemudian membalut luka di bahunya. Jari jari tangannya bergerak lincah di sekitar luka,
-menghentikan aliran darahnya.
Sejenak dia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya lagi dengan kuat.
"Hhh! Orang tua itu benar benar hebat. Apakah muridnya juga setangguh dia?" Bayu
-bergumam sendiri.
"Aku harus segera ke luar dari jurang ini. Tengah malam nanti adalah saatnya
pertarungan. Uh! Luka ini...!"
Pelahan lahan Bayu ke luar dari rongga pohon itu.
-Kemudian mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Pendekar Pulau Neraka itu mulai merayap mendaki tebing jurang. Kabut tebal masih
menghalangi pandangannya, ditambah dengan hembusan angin
kencang yang membuat usahanya itu agak terhambat.
Sedikit demi sedikit dia mulai merayap mendaki, hingga akhirnya sampailah dia di
bibir jurang. Saat itu hari sudah menjelang senja. Di ufuk Barat matahari
hampir tenggelam, berganti dengan kegelapan. Sementara udara di sekitar Lereng Gunung Panjaran itu juga sudah
terasa dingin. Bayu meng-gelimpangkan tubuhnya ke atas rerumputan yang sudah
basah oleh embun. Penat dan letih melanda tubuhnya.
Sejenak dia memejamkan matanya sebelum bangkit berdiri.
"Seandainya aku harus bentrok lagi dengan orang tua itu, aku pasti akan bisa
mengalahkannya. Racun hitam yang kulepaskan sudah pasti merasuk ke dalam
darahnya. Hhh..., 'Pukulan Angin Badai'nya benar benar luar biasa," lagi lagi
- Bayu bergumam sendiri.
Perlahan lahan-Pendekar
Pulau Neraka itu melangkah menuruni Lereng Gunung Panjaran.
"Masih ada sedikit waktu, aku harus bersemadi dulu untuk memulihkan kekuatan,"
gumam Bayu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu memilih
tempat di antara dua buah batu besar yang agak tersembunyi. Kemudian dia duduk
bersila dengan sikap bersemadi. Kakinya terlipat dengan kedua telapak tangan
menempel pada lutut. Pelahan lahan napasnya mulai diatur bersamaan dengan
-menutupnya kedua kedua kelopak matanya. Bagi dunia kependekaran, cara memulihkan
kondisi tubuh dengan bersemadi bukanlah hal yang aneh lagi. Dan inilah yang
tengah dilakukan oleh Bayu Hanggara.
*** Malam terus merayap semakin larut. Suasana di Istana Kadipaten Jati Anom tampak
sunyi senyap. Hanya ada dua orang yang teriihat duduk di bagian depan bangunan
istana itu. Mereka adalah Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji Sejak matahari
tenggelam tadi mereka sudah berada di sana.
Sejak tadi mereka hanya diam. Masing masing sibuk dengan pikirannya. Semakin
-larut malam, kesunyian semakin terasa mencekam. Detak jantung mereka semakin
jelas terdengar berdegup kencang.
"Apa kau tidak salah lihat siang tadi, Kakang?" tanya Adipati Rakondah memecah
kesunyian "Maksudmu?" Panglima Bantaraji balik bertanya.
"Yang kau lihat di Lereng Gunung Panjaran."
"Tidak! Jelas sekali aku lihat Pendekar Pulau Neraka jatuh ke dalam jurang
setelah kena 'Pukulan Angin
Badai' Eyang Guru," kata Panglima Bantaraji yakin.
"Hm..., malam sudah larut. Kalau dia tidak datang, berarti tamat sudah
riwayatnya," gumam Adipati Rakondah.
"Ya, mudah mudahan dia tewas di dasar jurang,"-sambut Panglima Bantaraji.
"Sebenarnya aku tidak tega melepas Eyang Guru pulang sendirian, Kakang. Beliau
dalam keadaan terluka cukup parah. Aku benar benar menyesali semua ini,"
-nada suara Adipati Rakondah seolah mengeluh.
"Sudahlah, Adik Rakondah. Saat ini kita hanya bisa berharap, semoga ..."
Kata kata Panglima Bantaraji terputus. Saat itu terdengar suara siulan nyaring
-melengking menyakitkan telinga. Siulan itu menggema seolah olah datang dari
-segala peniuru mata angin. Jelas kalau suara itu dikeluarkan dengan disertai
penyaluran tenaga dalam yang sangat sempurna.
Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji langsung melompat ke luar. Dan hanya
dengan sekali lentingan tubuh saja, mereka sudah berada di tengah tengah halaman
-depan yang luas dan sunyi. Sementara suara siulan itu semakin jelas dan
menyakitkan telinga. Kedua laki laki bersaudara itu segera mengerahkan hawa
-murni, dan menyalurkannya ke seluruh aliran jalan darah. Terutama menutup
gendang telinga mereka.
"Dia datang...," desis Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah menatap kakaknya dengan tajam.
Dan belum lagi mereka sempat melakukan sesuatu, tiba tiba sebuah bayangan
-berkelebat cepat bagai kilat melewati tembok benteng Istana Kadipaten Jati Anom.
"Pendekar Pulau Neraka...!" sentak kedua laki laki itu hampir berbarengan.
-Kini di depan mereka telah berdiri seorang laki laki muda, gagah dan tampan.
-Laki laki yang ternyata adalah Bayu itu berdiri tegak dengan tangan melipat di
-depan dada. Tatapan matanya tajam, langsung menusuk ke bola mata Adipati
Rakondah. Sekejap saja ketegangan menyelimuti mereka semua.
"Engkau pasti sudah memahami tanda dariku, Adipati Rakondah. Tanda itu boleh kau
anggap sebagai lambang kematian bagimu. Kini saatnya sudah tiba, bersiaplah
menuju ke neraka!" dingin dan datar suara Bayu Hanggara.
"Kakang, menyingkirlah," kata Adipati Rakondah tanpa menoleh sedikit pun.
"Hati hati, Adik Rakondah," kata Panglima Bantaraji seraya melangkah mundur
-beberapa tindak.
"Pendekar Pulau Neraka! Mari kita mulai. Hait...!"
"Hup!"
*** Sret! Adipati Rakondah mencabut pedangnya seraya
melompat menerjang. Gerakannya sangat cepat dan ringan, sedangkan kibasan
pedangnya menimbulkan suara angin yang amat dahsyat. Sejenak Bayu menunggu, lalu
dengan cepat dia menghentakkan tangannya ke depan. Seketika secercah cahaya
keperakan melesat dari pergelangan tangan kanannya.
Begitu cepatnya, sehingga Adipati Rakondah tidak
sempat lagi untuk menarik pedangnya. Dan....
Tring! "Ah!" Adipati Rakondah terkejut bukan main.
Satu benturan keras langsung terjadi antara dua logam, sampai menimbulkan
percikan api. Tampak pedang di tangan Adipati Rakondah bergetar hebat.
Untung dia cepat cepat menekan ujung pedangnya ke tanah, sehinga pegangannya -tidak terlepas.
Kini Bayu kembali melompat sambil menjulurkan tangan kanannya ke atas. Dan benda
pipih bergerigi enam yang berwarna keperakan itu menempel kembali di pergelangan
tangan kanannya. Dengan manis sekali kakinya kembali menjejak tanah. Tapi tiba
-tiba dia mengebutkan tangannya lagi ke depan.
"Awas...!" Panglima Bantaraji berteriak nyaring.
Dan secepat kilat dia merogoh ke balik bajunya, dan melontarkan sebilah pisau
kecil ke arah cakra itu.
Sedangkan Adipati Rakondah yang belum hilang rasa terkejutnya, jadi terperangah!
Satu jengkal lagi cakra itu pasti menembus dadanya. Namun beruntung pisau yang
dilemparkan oleh Panglima Bantaraji mematahkan serangan Pendekar Pulau Neraka
itu. Dan cakra keperakan bergerigi enam itu kembali berputar balik pada
pemiliknya. "Huh!" dengus Bayu kesal.
Panglima Bantaraji melompat ke samping adiknya.
Tampak di tangan kirinya sudah tergenggam seutas rantai baja hitam dengan
ujungnya terpaut lima buah pisau kecil. Dia juga sudah melepaskan baju luarnya.
Tampak di seputar pinggang dan dadanya dipenuhi oleh pisau pisau kecil yang
-menempel pada kulit binatang.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Adik Rakondah. Senjatanya sangat
berbahaya," kata Panglima Bantaraji berbisik.
"Bagus! Aku bisa mengirim kalian ke neraka sekaligus!" dengus Bayu.
Adipati Rakondah melemparkan pedangnya. Kemudian dia membuka baju luarnya. Bayu agak terkejut juga melihat kedua
lawannya memiliki senjata yang sama persis. Tubuh mereka penuh tertempel pisau-pisau kecil. Dan di tangan mereka juga tergenggam senjata rantai baja dengan
lima pisau di ujungnya. Sebuah rantai hitam yang panjangnya hanya satu hasta.
"'Seribu Pisau Terbang'...!" seru Panglima Bantaraji.
Secepat dia berteriak, secepat itu pula tubuhnya melenting ke udara, dan tahu
-tahu sudah berada di belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi Bayu sempat
menyadari, kedua laki laki itu sudah mengibaskan tangannya dengan cepat. Tampak
-puluhan pisau-pisau kecil bertebaran mengarah ke tubuhnya.
"Hup! Hiyaaa...!" teriak Bayu nyaring.
Seketika Pendekar Pulau Neraka itu memutar
tubuhnya dengan cepat. Dan senjata Cakra Maut andalannya yang sudah tergenggam
di tangan kanan, dia lepaskan untuk menghalau pisau pisau yang meluncur deras ke
-arah tubuhnya. Tampak kedua kakinya juga bergerak lincah, berlompatan, dan
tubuhnya meliuk liuk bagai belut menghindari hujan pisau dari dua jurusan itu.
-Bayu sempat menggeram begitu melihat lawannya bergerak memutari tubuhnya. Dan
anehnya lagi, mereka bisa saling bertukar senjata yang terlontar hanya dengan menjentikkan
ujung jarinya saja. Pisau-pisau itu benar benar bagaikan berjumlah ribuan,
-bertebaran di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh! Serangan mereka hanya satu arah. Aku harus bisa membuatnya pincang,"
dengus Bayu dalam hati.
Matanya yang tajam dan sudah terlatih, langsung dapat melihat kelemahan
lawannya. Dan tanpa membuang buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke
-udara. Lalu dengan cepat tangan kanannya mengibas ke arah Adipati Rakondah.
Seketika itu juga senjata cakra bergerigi enam meluruk deras. Adipati Rakondah
terkesiap sesaat, dan serangannya jadi tidak beraturan.
Bayu tidak menyia nyiakan kesempatan itu, dengan cepat dia meluruk turun ke arah
-Panglima Bantaraji.
Kedua tangannya bergerak cepat dan melontarkan
'Pukulan Rancun Hitam'. Tentu saja hal itu membuat Panglima Bantaraji jadi
terkejut setengah mati. Buru-buru dia menjatuhkan dirinya dan bergulingan di
tanah. Sementara itu Adipati Rakondah tengah sibuk
menghalau Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka yang bergerak sendiri seperti
memiliki mata. Dan Bayu kini terus mencecar Panglima Bantaraji dengan serangan-
serangan mautnya. Mendadak tangan kanannya
terangkat ke atas, menerima senjatanya yang berbalik, kembali, lalu dengan cepat
dia segera menghentak-kannya ke arah Adipati Rakondah.
"Awas kepala!" tiba tiba Bayu berteriak nyaring.-"Uts!"
Buru buru -Panglima Bantaraji merundukkan kepalanya sedikit begitu melihat tangan kanan Bayu
meluruk ke arah kepalanya. Namun tanpa diduga sama sekali, kaki kiri Pendekar
Pulau Neraka sudah terangkat naik, dan dengan kecepatan penuh menghentak ke arah
perut. "Hugh!"
Panglima Bantaraji mengeluh pendek. Tubuhnya
membungkuk menahan mual pada perutnya. Dan pada
saat itu senjata cakra yang menyerang Adipati Rakondah segera berbalik dan
berputar pada pemiliknya. Dengan cepat Bayu menangkap senjata itu, dan secepat itu pula dia
melontarkannya kembali ke arah Panglima Bantaraji.
"Aaakh...!" Panglima Bantaraji menjerit melengking.
Ujung ujung Cakra Maut itu langsung menggorok lehernya hingga hampir buntung.
-Dan hanya dengan satu kali tendangan keras, tubuh Panglima Bantaraji terjungkal
dengan leher berlumuran darah seperti ayam yang disembelih!
"Kakang...!" pekik Adipati Rakondah terkesiap.
"Sekarang giliranmu, Adipati Rakondah!" dengus Bayu.
"Setan! Kau harus bayar mahal nyawa Kakang Bantaraji!" geram Adipati Rakondah.
"Hiyaaa...!"


Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"'Pukulan Racun Hitam'! Hup, yeaaah...!"
*** "Akh!"
Adipati Rakondah memekik tertahan, tubuhnya
limbung dengan tangan menekan dada. Sementara itu Bayu juga langsung melompat
mundur dua tindak ke
belakang. Tangan kirinya menekan lambung. Dan darah mengucur deras dari
lambungnya. Ternyata ujung senjata Adipati Rakondah berhasil merobek lambung
Pendekar Pulau Neraka itu, tapi 'Pukulan Racun Hitam'
juga bersarang di dada Adipati Rakondah.
"Hugh. Hoaaak...!" Adipati Rakondah memuntahkan darah kental kehitaman.
"Ah...!" Bayu mengeluh sedikit.
Mendadak Pendekar Pulau Neraka itu merasakan tubuhnya jadi panas bagai
terpanggang. Sedangkan matanya agak menyipit begitu melihat darah yang mengucur
dari lambungnya berwarna kehitaman. Dia sadar kalau senjata Adipati Rakondah
mengandung racun yang sangat berbahaya. Sejenak dia memandang lawannya yang
sedang berusaha menguasai diri dari pengaruh 'Pukulan Racun Hitam'.
"Mampus kau, Adipati Rakondah!" bentak Bayu lantang.
Dan bagaikan seekor singa yang terluka, secepat kilat Bayu berlari sambil
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya pada telapak tangan. Sesaat Adipati Rakondah
terkesiap namun dengan cepat dia
melentingkan tubuhnya ke atas. Tapi sungguh di luar dugaan, tubuh Bayu juga
langsung melenting. Dan secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan.
Secercah cahaya keperakan meluncar deras ke arah tubuh Adipati Rakondah.
Tring! Adipati Rakondah berhasil menghalau senjata cakra itu, namun dia tidak sempat
berkelit dari pukulan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Dan sambil meraung
keras, tubuh adipati itu meluruk jatuh ke tanah. Tepat pada saat itu Bayu
menangkap senjatanya yang balik lagi, dan dengan cepat dia melontarkannya
kembali ke arah lawan.
"Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
Kembali jeritan melengking tinggi terdengar
menyayat. Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka itu tertanam dalam di dada Adipati
Rakondah. Dan bersamaan dengan mendaratnya Bayu di tanah, tubuh Adipati Rakondah
tampak mengejang kaku tanpa nyawa lagi.
"Ayah, Ibu..., satu lagi musuhmu telah terbalaskan,"
desah Bayu seraya mencabut senjatanya dari dada Adipati Rakondah.
Kemudian Bayu memasang kembali senjatanya di pergelangan tangan kanan, setelah
membersihkannya, dari noda noda darah. Untuk beberapa saat, pemuda itu masih -berdiri sambil memandangi Adipati Rakondah yang terbujur kaku tanpa nyawa lagi.
Bayu tidak menyadari kalau ada sepasang mata bening memperhatikannya sejak tadi.
Pendekar Pulau Neraka itu terus berjalan pelan pelan menuju ke arah Timur.-"Eyang Watuagung harus tahu...," terdengar gumaman pelan setelah bayangan tubuh
Bayu lenyap dari pandangan.
Nah, bagaimana sikap Eyang Watuagung setelah mengetahui muridnya tewas"
Percayakah dia kalau Pendekar Pulau Neraka masih hidup" Lalu bagaimana pula
sikap Intan Delima pada pemuda yang telah
membunuh orang tuanya dan sekaligus telah
merenggut kegadisannya" Untuk lebih jelas, ikutilah kisah Pendekar Pulau Neraka
dalam episode CINTA BERLUMUR DARAH.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (jandoy
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Jala Pedang Jaring Sutra 3 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Si Racun Dari Barat 1
^