Pencarian

Iblis Cebol 2

Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol Bagian 2


segera...," ujar orang tua itu lembut.
Andini mendongakkan kepala dan memandang
orang tua itu dengan seksama. Kemudian kedua
tangannya dirangkapkan memberi hormat.
"Kanjeng Resi yang mulia. Aku tidak akan
kembali ke tempatku sebelum Pedang Ular Mas
dipinjamkan padaku. Aku akan tetap berada di
tempat ini, sampai kau bersedia meminjamkan-
nya," tegas gadis itu mantap.
"Anakku. Pedang ini tidak akan berarti apa-apa
jika pemakainya tidak berkepandaian amat tinggi untuk menghadapi Iblis Cebol.
Kau hanya akan menemukan kebinasaan saja," tolak orang tua
itu, halus. "Kalau demikian, tunjukkan pada kami, ba-
gaimana caranya agar pedang itu bisa kau pin-
jamkan," pinta Andini mendesak.
"Kau harus memiliki kepandaian hebat," sahut
Resi Wangsa Purbaya mantap.
"Itu memerlukan waktu lama, kecuali jika Kan-
jeng Resi sudi mengangkatku menjadi murid."
Resi Wangsa Purbaya terlihat tersenyum men-
dengar kata-kata Andini.
"Kenapa Kanjeng Resi tersenyum?" tanya Andi-
ni, heran. "Anakku.... Aku mengerti, apa yang berkeca-
muk dalam hatimu. Dan bisa kurasakan, jalan
pikiranmu. Maaf aku telah bersumpah untuk ti-
dak kembali terjun dalam dunia persilatan. Ter-
masuk juga mengangkat seorang murid. Dan seo-
rang resi sudah sepatutnya menepati janji yang
telah diucapkan. Meski hatiku menangis menden-
gar perbuatan keji Iblis Cebol, tapi aku terikat sumpah. Dan itu tidak bisa
kuabaikan begitu sa-ja," jelas Resi Wangsa Purbaya halus. .
Andini terdiam beberapa saat. Demikian juga
Paman Sudira. "Kanjeng Resi, pasti ada jalan lain untuk men-
galahkan Iblis Cebol. Mohon petunjukmu...," lanjut gadis itu, memecahkan
kebisuan. Resi Wangsa Purbaya berpikir beberapa saat.
Kemudian dihelanya napas panjang seraya meng-
geleng lemah. "Aku tahu betul, Iblis Cebol adalah murid seo-
rang tokoh sesat yang bernama Ki Suparji Kun-
ing. Beberapa puluh tahun lalu, guru Iblis Cebol tewas di tangan guruku yang
bernama Ki Senoaji
Purangga dengan menggunakan Pedang Ular Mas.
Selain pedang itu, tidak ada satu senjata pun di muka bumi ini yang mampu
melumpuhkan ilmu
kebal mereka. Dan rupanya Iblis Cebol mengeta-
hui hal itu. Dan dia juga tahu tentang sumpahku.
Maka sengaja dia membuat keonaran untuk me-
mancing kemarahanku. Dan bila meladeninya,
berarti aku melanggar sumpahku. Dengan demi-
kian, aku akan mudah sekali dipermainkannya.
Keadaanku menjadi serba salah. Sebab, aku be-
rada di dua sisi yang bertolakan. Di satu sisi aku tidak bisa diam melihat
perbuatannya, namun di
sisi lain aku tidak mampu berbuat apa-apa. Dan
aku juga tahu kalau Iblis Cebol memiliki kepan-
daian hebat, sehingga tak ada seorang pun yang
bisa mengalahkannya. Karena selama gunanya
hidup pun juga tak ada seorang tokoh yang ber-
hasil mengalahkannya, selain guruku," jelas Resi Wangsa Purbaya panjang lebar.
Andini termanggu. Sementara Paman Sudira
mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana, Kanjeng Resi..." Apakah Iblis
Cebol akan dibiarkan saja berbuat sesuka ha-
tinya?" tanya Andini lagi.
"Tentu saja tidak. Aku tengah memikirkan satu
cara." "Cara bagaimana, Kanjeng Resi?" tanya Andini
bersemangat "Kudengar, ada seorang tokoh muda yang bela-
kangan ini menggemparkan dunia persilatan. Ka-
lau tidak salah, julukannya adalah Pendekar Pu-
lau Neraka. Kurasa, dia mampu mengalahkan Ib-
lis Cebol bila menggunakan Pedang Ular Mas. Ca-
rilah pemuda itu, dan bawalah ke sini."
Andini memandang Paman Sudira dengan wa-
jah heran. Selama ini, dia jarang sekali turun ke dunia ramai. Sehingga, julukan
itu agak asing di
telinganya. "Ya! aku memang pernah mendengarnya. Dia
memang seorang tokoh yang hebat," sahut Paman
Sudira menganggukkan kepala. Agaknya, laki-laki bongkok itu pernah mendengar
kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka.
"Tapi di mana kita harus mencarinya, Paman?"
tanya Andini bingung.
"Entahlah...."
Resi Wangsa Purbaya tersenyum kecil.
"Kalian pergilah ke arah timur. Firasatku men-
gatakan, pemuda itu berada di daerah sana. Setelah bertemu, katakan kalau aku
memohon perto- longannya untuk sesuatu yang penting."
"Baiklah, Kanjeng Resi. Kalau demikian, kami
mohon pamit dulu. Mohon doa restu dari Kanjeng
Resi," sahut Paman Sudira menjura hormat.
"Pergilah. Aku akan selalu mendoakan kalian."
Setelah menjura hormat, kedua orang itu sege-
ra berbalik dan berlalu dari tempat itu, diikuti pandangan mata Resi Wangsa
Purbaya. Sampai
keduanya jauh dari sudut pandangannya, baru
orangtua itu berlalu dari tempat ini dengan langkah perlahan. Seketika serangkum
angin kencang menerpa dan menggulung-gulung tubuhnya. De-
bu mengepul ke udara, menghalangi pemandan-
gan. Daun-daun kering yang berada di tempat itu beterbangan, seperti dilanda
angin topan. Beberapa saat kemudian, angin kencang itu berhenti.
Dan suasana kembali seperti semula. Sunyi dan
lengang. Sedang Resi Wangsa Purbaya sudah le-
nyap entah ke mana.
*** Bayu melangkah perlahan ketika merasa kalau
jaraknya dengan perempuan yang selalu mengun-
titnya sudah jauh. Beberapa kali kepalanya
menggeleng kesal sambil menghela napas berat.
"Huh! Hanya menyusahkan saja...," gerutu
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Tiren menyeringai lebar. Monyet ke-
cil itu menepuk-nepuk kedua tangannya di atas
kepala, seperti hendak mengejek Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Bayu hanya bisa mendelikkan
matanya saja. Monyet kecil berbulu hitam itu
mengkeret seraya menundukkan kepalanya.
"Nguuuk...!"
"Kau kira aku suka terhadap perempuan seper-
ti itu, heh..."!" rutuk Bayu, tak senang.
Tiren mencerecet pelan, dan tetap menunduk-
kan kepalanya di pundak Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu baru saja menghela napas panjang, ti-
ba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar
suara yang mencurigakan. Cepat tubuhnya me-
lompat ke salah satu cabang pohon. Dan Tiren
pun mengikuti di belakangnya. Kemudian berge-
lantungan dari satu cabang ke cabang pohon
lainnya, mendatangi sumber suara. Bayu membe-
ri isyarat pada monyet kecil itu untuk tidak membuat ribut.
"Nguk!"
Tiren mengangguk mengerti isyarat Bayu. Dan
pada salah satu cabang pohon yang agak tinggi,
pemuda berbaju kulit harimau itu berhenti, dan
memandang dengan seksama ke bawah. Tiren
menemani di sebelahnya.
Tampak di bawah sana terlihat dua orang ten-
gah bertarung hebat. Salah seorang bertubuh ce-
bol dengan kepala botak dan besar. Biji matanya seperti hendak keluar dari
kelopaknya. Kedua
tangannya bersisik seperti kulit ular sampai sebatas siku dengan kuku-kuku
begitu panjang. Tan-
gan kanannya menggenggam sebatang kayu be-
rukuran cukup panjang. Sementara, lawannya
seorang laki-laki tua bertubuh besar terbungkus baju hitam. Wajahnya penuh
brewok. Dan dia
memegang senjata pedang yang melengkung ta-
jam berkilat. "Iblis Cebol keparat! Hari ini adalah kematian-
mu. Kau tidak akan bisa lolos dari tanganku!" geram lelaki yang berbaju hitam
itu geram. "He he he...! Wedus Keling! Kau hanya ber-
mimpi bisa mengalahkan aku. Sebaliknya, kaulah
yang akan menemui ajal. Tidak ada seorang pun
yang mampu mengalahkan Iblis Cebol. Mereka
yang berhadapan denganku pasti mampus. Iblis
Cebol akan menguasai rimba persilatan!" sahut
orang bertubuh kerdil yang tak lain Iblis Cebol dengan nada sombong.
"Setan! Ingin kulihat kesombonganmu!
Yeaaah...!"
Lelaki bertubuh gemuk dan besar yang dipang-
gil Wedus Keling itu menggeram. Dan dia lang-
sung mengamuk hebat menyerang lawannya. De-
bu-debu di sekitar tempat pertarungan sudah
mengepul ke udara. Demikian juga daun-daun
kering di sekelilingnya, akibat tersambar angin pukulan nyasar. Malah, cabang-
cabang pohon bergoyang diterpa angin serangan Wedus Keling
yang dahsyat luar biasa.
Namun, Iblis Cebol masih tetap terkekeh seper-
ti tidak merasa kewalahan sedikit pun. Padahal
Wedus Keling telah mengerahkan segenap ke-
mampuannya. Sesekali Iblis Cebol menangkis
senjata Wedus Keling dengan menggunakan sen-
jata toya di tangannya:
Trangngng! "Ukh...!"
Wedus Keling mengeluh kesakitan begitu senja-
tanya beradu. Bahkan pedang di tangannya nya-
ris terlepas dari genggaman karena telapak tan-
gannya terasa perih akibat kalah tenaga dalam.
Dia menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa
nyeri. Lalu, kembali diserangnya Iblis Cebol. Pedangnya berkelebatan meliuk-
liuk, menyambar
seluruh tubuh lawannya. Bahkan tiba-tiba saja
telapak tangan kirinya menghantam ke muka.
Maka dari telapak tangannya melesat cahaya me-
rah muda yang samar-samar.
"Hiiih...!"
"He he he...! Kau kira pukulan busukmu itu bi-
sa melukainya" Phuih! Kau hanya bermimpi...!"
ejek Iblis Cebol.
Iblis Cebol cepat-cepat mengayunkan toyanya
yang berada di tangan kanan, ketika diayunkan
pedang Wedus Keling menyambar deras. Sedang-
kan telapak tangan kirinya disorongkan ke muka, menghasilkan satu lesatan cahaya
berwarna kekuningan yang berbau busuk memapaki pukulan
Wedus Keling. Trang! Jder! "Aaakh...!"
Setelah didahului benturan senjata, terdengar
ledakan agak keras ketika pukulan jarak jauh
mereka beradu. Angin kencang langsung bersiur
dengan asap hitam membumbung tipis ke angka-
sa. Wedus Keling menjerit keras. Tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang sambil memuntah-
kan darah kental kehitaman. Pedang di tangan-
nya sudah terlepas entah ke mana ketika tadi
mengadu senjata. Napasnya tersengal ketika be-
rusaha bangkit Terlihat wajahnya berubah keku-
ningan bercampur hitam. Demikian juga tubuh di
bagian dadanya.
Tapi dalam keadaan payah begitu, Wedus Kel-
ing sedikit pun tak diberi kesempatan oleh Iblis Cebol yang tetap segar akibat
benturan itu. Tubuh laki-laki cebol itu melesat cepat, begitu kedua kakinya
menjejak tanah. Sementara, toya di tangannya menghantam ke batok kepala.
"Hiyaaa!"
"Uts...!"
Wedus Keling tergagap. Cepat-cepat dia menja-
tuhkan diri sambil bergulingan untuk menghin-
dari serangan laki-laki cebol itu.
Tanah yang dihantam ujung toya Iblis Cebol
kontan berlubang dalam, menimbulkan suara
menggelegar keras. Dan bumi di sekitar tempat
ini jadi berguncang bagai dilanda gempa.
"Hih...!"
Tubuh Iblis Cebol berbalik cepat, begitu me-
nyadari serangannya luput dari sasaran. Ujung
kakinya, langsung menghantam perut Wedus Kel-
ing. Laki-laki itu berusaha sekuat tenaga meng-
hindari dengan berlompatan ke belakang. Namun
saat itu juga, Iblis Cebol mengayunkan toyanya.
Langsung dihantamnya batok kepala Wedus Kel-
ing tanpa bisa dihindari.
Prakkk! "Aaakh...!"
Wedus Keling kontan menjerit tertahan begitu
batok kepalanya pecah dihantam senjata Iblis Cebol. Tubuhnya kontan ambruk
dengan darah mengucur deras membasahi tanah.


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mampus...!" dengus Iblis Cebol menggeram,
seraya meludahi tubuh yang sudah tidak berkutik itu.
Dipandanginya sesaat tubuh Wedus Keling
yang sudah berubah menjadi mayat sambil terse-
nyum mengejek. "Huh! Kau hanya mencari mati saja, dengan
menantang Iblis Cebol! Tidak ada seorang pun
yang bisa mengalahkan aku di jagad raya ini. Aku akan menguasai dunia
persilatan. Dan, orang-orang harus tunduk padaku!"
Baru saja Iblis Cebol selesai berkata begitu, ketika melayang sesosok bayangan
kuning kecokla-
tan dari salah satu cabang pohon di dekatnya.
Dan sosok itu persis jatuh ringan di depannya.
"Hmmm.... Jadi kaukah yang berjuluk Iblis Ce-
bol itu...?"
"Siapa kau"!"
*** Iblis Cebol membentak garang ketika melihat
seorang pemuda berwajah tampan dan berambut
panjang. Bajunya terbuat dari kulit harimau. Sementara, seekor monyet kecil
berbulu hitam tam-
pak turun dari pundaknya. Pemuda yang tidak
lain dari Pendekar Pulau Neraka ini tersenyum
sinis. "Iblis Cebol! Namamu belakangan ini amat san-
ter kudengar. Dan selalu ulahmu membuatku
muak. Dan aku tidak bisa berdiam diri saja melihat ulahmu," kata Bayu dingin.
"Hm.... Kalau tak salah, kau yang berjuluk
Pendekar Pulau Neraka..., bukan" Sungguh kebe-
tulan kau berkeliaran dan bertemu denganku.
Sehingga, aku tak susah payah mencarimu untuk
kujadikan budakku!" sahut Iblis Cebol. Tampak-
nya, dua sudah mengenal ciri-ciri pendekar yang selama ini menjadi buah bibir
tokoh persilatan.
"Hm.... Sungguh gegabah bicaramu. Justru
aku ke sini untuk meminta kepalamu!" dengus
Bayu geram. "Anak ingusan! Bicaramu sungguh sombong!
Kau belum kenal Iblis Cebol, heh"! Cabutlah senjata Cakra Maut-mu yang amat
menghebohkan itu. Ingin kulihat, sampai di mana ketajamannya
bila menyentuh kulitku!"
"Baik.... Tahan serangan...!" bentak Pendekar
Pulau Neraka, nyaring.
Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat
menyerang dengan melepaskan tendangan keras
yang cepat bukan main.
"Hih...!"
"Uts...!"
Iblis Cebol cepat menggerakkan toya di tan-
gannya, memapak tendangan itu dengan sabetan
ke arah tulang kering. Bayu cepat menarik pulang kakinya dan menekuknya
sedemikian rupa. Kemudian tubuhnya berbalik cepat, seraya mele-
paskan sambaran kaki dengan berputar ke leher
Iblis Cebol. Laki-laki kerdil itu menundukkan kepalanya, menghindari tendangan
dahsyat berte- naga dalam tinggi. Kemudian ujung toyanya lang-
sung disodokkan ke arah dada Pendekar Pulau
Neraka. "Yeaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat meliuk dengan
gerakan indah, menghindari sodokan senjata Iblis Cebol. Namun toya laki-laki
kerdil itu ternyata terus mengejarnya, membabat pinggang. Terpaksa
Bayu segera melompat ke samping.
Begitu terbebas, kepalan tangan Pendekar Pu-
lau Neraka cepat berbalik menghantam batok ke-
pala laki-laki kerdil itu. Namun sigap sekali Iblis Cebol mengayunkan ujung
toyanya, menyambar
tubuh Pendekar Pulau Neraka yang tengah men-
gapung di udara. Pendekar Pulau Neraka terke-
siap melihat kecepatan bergerak lawannya. Tidak ada lagi kesempatan untuk
mengelak. Dengan geram, ditangkisnya serangan itu dengan Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan ka-
nan. Trakkk! "Hiiih...!"
Bukan main terkejutnya laki-laki cebol itu ke-
tika tangannya terasa kesemutan. Bahkan jan-
tungnya jadi berdetak lebih kencang, ketika senjatanya beradu dengan Cakra Maut
Dalam kea- daan demikian, Iblis Cebol masih sempat melaku-
kan sodokan lewat kepalan tangan kiri yang berisi tenaga dalam kuat. Dan Bayu
cepat berkelit gesit, sehingga kepalan bertenaga dahsyat itu lewat sedikit di
pinggangnya. Pertarungan dua tokoh persilatan tingkat tinggi berlangsung cepat dan seru.
Pendekar Pulau Neraka menyadari kalau lawannya bukanlah tokoh
sembarangan. Demikian halnya Iblis Cebol. Nama
Pendekar Pulau Neraka memang telah sering di-
dengarnya. Dan ini membuatnya tidak bisa bersi-
kap ayal-ayalan. Tidak heran kalau mereka bertarung langsung mengerahkan segenap
kemam- puan yang dimiliki dan berusaha menjatuhkan
lawan secepatnya.
"Yeaaa...!"
Iblis Cebol menyabetkan senjata toyanya ber-
tubi-tubi, sehingga menimbulkan angin kencang
yang bersiur menyambar tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Bayu sedikit mengeluh mendapat desakan
dahsyat ini. Sama sekali Iblis Cebol tidak membe-rinya kesempatan untuk balas
menyerang. Senja-
ta laki-laki kerdil itu benar-benar mengurungnya dengan ketat. Dan baru saja
Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang dengan gerakan salto
yang indah, ujung toya Iblis Cebol telah meluncur deras membabat pinggangnya.
Tidak ada kesempatan lagi bagi Bayu untuk mengelak. Dan satu-
satunya jalan hanyalah melepaskan senjata
mautnya. "Hiyaaat...!"
Singngng! Seketika Cakra Maut mendesing kencang, begi-
tu Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangan-
nya. Senjata berbentuk segi enam itu terus me-
nyambar ke arah senjata Iblis Cebol. Dan laki-laki kerdil agaknya yakin betul
kalau senjatanya
mampu menangkis Cakra Maut. Maka dengan ge-
ram toyanya dikibaskan ke arah senjata Pendekar Pulau Neraka.
Trakkk! "Hei"!"
Iblis Cebol tersentak kaget, begitu toyanya pa-
tah terkulai seperti ranting kayu yang tertekuk, akibat beradu dengan Cakra
Maut. Namun, ternyata Bayu pun ikut terkejut. Senjata Cakra Maut
selama ini tidak pernah kalah melawan senjata
mana pun. Tapi nyatanya, toya Iblis Cebol hanya patah terkulai saja. Ini
membuktikan kalau toya itu tidak bisa dianggap sembarangan.
"Yeaaa...!"
Cakra Maut kembali mendesing pulang setelah
Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan ka-
nannya ke atas. Namun begitu Pendekar Pulau
Neraka mengebutkannya, kembali Cakra Maut
meluruk deras ke arah Iblis Cebol yang baru saja menyerangnya dengan ganas.
Cepat-cepat Iblis
Cebol melenting, menghindari sambaran Cakra
Maut. Bahkan ketika berada di udara, tangan ki-
rinya langsung dihentakkan. Maka dari telapak
tangannya yang terbuka melesat cahaya kekunin-
gan yang diikuti serangkum angin kencang men-
gancam Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar Pulau Neraka terkesiap, namun ce-
pat-cepat melompat ke samping menghindari ter-
jangan cahaya kekuningan. Dan baru saja Pende-
kar Pulau Neraka memperbaiki kuda-kudanya
hendak melepaskan Cakra Maut yang telah kem-
bali di tangan kanannya, kembali datang cahaya
kekuningan dari tangan Iblis Cebol. Tak ada wak-tu lagi bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk menge-
lak. Seketika tangan kirinya dihentakkan. Maka, dari telapak tangannya yang
terbuka, melesat cahaya putih memapak cahaya kekuningan. Dan....
Jderrr! *** 6 Terdengar benturan keras menggelegar ketika
pukulan jarak jauh satu sama lain beradu pada
satu titik. Tubuh keduanya sama-sama terjungkal ke belakang. Bayu masih sempat
bergulingan. Dan begitu bangkit berdiri, Pendekar Pulau Nera-ka hanya mendengus pelan. Tampak
Iblis Cebol yang juga telah bangkit, menatap tajam ke arah
Pendekar Pulau Neraka.
"Huh...! Ternyata apa yang digembar-
gemborkan orang mengenai kehebatanmu bukan
omong kosong!" dengus Iblis Cebol seraya menye-
ka darah yang menetes di sudut bibirnya akibat
benturan tenaga dalam dengan Pendekar Pulau
Neraka. Iblis Cebol agaknya terluka dalam, sehingga
harus mengakui kalau Pendekar Pulau Neraka
bukanlah lawan sembarangan. Namun demikian,
bukan berarti Pendekar Pulau Neraka tidak men-
galami luka dalam. Dari sudut bibirnya pun me-
netes darah segar. Pemuda itu mengerutkan da-
hinya, menahan rasa nyeri di dada. Pukulan Iblis Cebol yang tadi dipapaknya
sungguh luar biasa
kuatnya. Diam-diam pemuda itu harus mengakui kalau
Iblis Cebol ternyata tidak bisa dianggap enteng.
Tapi Bayu agaknya masih penasaran. Maka keti-
ka Iblis Cebol kembali menyerangnya, dia menco-
ba untuk menjajal Cakra Mautnya. Seketika,
Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangan ka-
nannya. Maka seketika Cakra Maut melesat,
mencoba menahan serangan Iblis Cebol.
Singngng! Iblis Cebol cepat menarik pulang serangannya.
Lalu seketika lengan kirinya dikibaskan untuk
menangkis. Trakkk! Senjata Cakra Maut kontan terpental ke samp-
ing. Maka dengan cepat Pendekar Pulau Neraka
melompat untuk menangkapnya. Namun, agak-
nya Iblis Cebol tidak membiarkannya begitu saja.
Dengan gerakan mengagumkan, tangan kanannya
kembali menghantam Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar Pulau Neraka bukannya tidak me-
nyadari keadaannya yang terjepit Tapi sebagai
seorang yang telah kenyang makan asam garam
rimba persilatan, tentu saja dia tidak akan ber-tindak lengah. Secara diam-diam
telapak tangan kirinya dikembangkan. Dan begitu tubuhnya be-
rada pada keadaan yang memungkinkan, dia ce-
pat berbalik. Seketika tangannya yang terkem-
bang dihentakkan, melepaskan pukulan jarak
jauh bertenaga kuat.
"Yeaaah...!"
Cakra Maut melekat kembali di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka, angin serangan
Iblis Cebol langsung terpupus oleh pukulan jarak jauh milik Pendekar Pulau
Neraka. Jderrr! "Aaakh...!"
Terdengar benturan keras ketika kedua puku-
lan mereka beradu. Bumi seperti tergoncang dan
pepohonan di sekitar tempat itu bergoyang seperti hendak roboh. Debu, daun-daun,
dan ranting-ranting beterbangan ke udara. Sedangkan tanah
di sekitar tempat pertarungan gompal, dan ter-
pental ke segala arah.
Seperti tadi, kedua tokoh tingkat tinggi itu
kembali terpental sambil mengeluh kesakitan.
Pendekar Pulau Neraka sempat bergulingan bebe-
rapa kali, sebelum kemudian duduk bersila di tanah. Dari mulutnya mengalir darah
kental kehi- taman. Napasnya turun naik tidak beraturan.
Dan mukanya pucat dengan peluh bercucuran
bercampur debu.
Sementara, keadaan Iblis Cebol pun tidak lebih
baik. Manusia kerdil itu terengah-engah, namun
masih mampu bangkit walau dengan langkah
limbung. Beberapa kali dia memuntahkan darah
kental kehitaman. Dengan merangkapkan tangan
kanan ke dada, perhatiannya berusaha dipu-
satkan untuk mengatur jalan napasnya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam se-
hingga suasana terasa sepi. Kelopak mata, mas-
ing-masing yang tadi terkatup kini terbuka perlahan-lahan. Iblis Cebol memandang
Pendekar Pu- lau Neraka dengan sorot mata tajam. Demikian
pula Pendekar Pulau Neraka.
"Hm.... Kau sungguh hebat, Bocah. Ilmu silat
dan tenaga dalammu telah mencapai tingkat
sempurna. Dan biadab kali ini kau kulepaskan.
Tapi lain kali, akan kita teruskan permainan ini.
Kau memang patut menjadi lawanku. Sebab, se-
lama ini tidak ada seorang pun yang mampu me-
nahan pukulanku. Nah..., selamat tinggal," kata Iblis Cebol.
Setelah berkata demikian, Iblis Cebol segera
meninggalkan tempat itu dengan berlari kecil.
Bayu diam saja memandanginya sampai orang itu
menghilang dari pandangannya. Kemudian, dia
menghela napas lega.
"Nguk...!"


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiren segera melompat ke pangkuan Pendekar
Pulau Neraka dan memandangnya dengan wajah
iba. Monyet kecil itu seperti bisa merasakan, apa yang dirasakan Bayu saat ini.
Bayu tersenyum kecil seraya mengusap-usap
sahabatnya. Disadarinya akibat dari pertarungan tadi, telah menciptakan luka
dalam yang tidak bi-sa dibilang enteng. Dadanya terasa nyeri. Kedua kakinya
serta tangannya terasa gemetar ketika
berusaha bangkit. Pemuda itu menarik napas
panjang, kemudian menghelanya perlahan-lahan.
Namun baru saja berjalan tiga langkah, tiba-tiba melesat sesosok tubuh kurus di
depannya. "Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka! Hari ini
adalah saat kematianmu yang kutunggu-tunggu!"
"Heh..."!"
*** Bayu terkejut ketika melihat seorang laki-laki
bertubuh kurus dan berwajah dingin di depan-
nya. Tampangnya sebenarnya biasa saja. Namun
guratan dan sinar matanya menandakan kalau
dia seorang yang kejam dan licik. Kedua tangan-
nya bersedakap di dada. Dan pada tangan ka-
nannya tergenggam sebatang pedang. Rambutnya
yang panjang digelung ke belakang. Pendekar Pu-
lau Neraka sama sekali belum pernah melihat
orang ini sebelumnya.
"Kisanak! Siapa kau" Dan, apa maksud perka-
taanmu tadi?" tanya Bayu datar.
"Namaku Sanjung Tulang. Dan maksud kata-
kataku sudah jelas. Dalam keadaan terluka begi-
ni, akan mudah bagiku untuk membunuhmu.
Dan orang-orang pun akan tahu kalau Pendekar
Pulau Neraka tewas di tangan Ki Sanjung Tulang.
Ha ha ha...!" sahut laki-laki kurus itu sambil tertawa tergelak.
"Ki Sanjung Tulang! Di antara kita sama sekali
tidak pernah saling bermusuhan. Mengapa kau
hendak membunuhku?"
"Tidak perlu ada saling permusuhan kalau
hendak membunuhmu, Pendekar Pulau Neraka!
Sebab, tidak sedikit dari kawan-kawanku yang telah kau bunuh. Itu saja sudah
cukup menjadi alasan bagiku. Lebih dari itu, membunuhmu me-
rupakan kesempatan yang telah lama kutunggu-
tunggu. Kenapa..." Kau takut" Apa sekarang kau
telah menjadi seorang pengecut" Kalau begitu,
kau boleh mencium kakiku dan bersujud memo-
hon ampun," ejek Ki Sanjung Tulang.
Bukan main geramnya Bayu mendengar kata-
kata Ki Sanjung Tulang. Bias kekejian tampak
tergurat di wajahnya.
"Keparat licik! Ternyata kau tidak hanya berani menungguku dalam keadaan terluka
saja. Tapi jangan dikira aku takut cecurut sepertimu. Majulah. Dan, cabut pedangmu...!"
sahut Bayu, keras.
"Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka! Ajalmu
sebentar lagi tiba. Kau tahu" Sejak tadi aku menyaksikan pertarunganmu dengan si
Iblis Cebol. Sehingga, aku tahu keadaanmu yang terluka pa-
rah. Dan dalam beberapa gebrakan saja, kau
akan kubinasakan. Ha ha ha...! Keadaanmu kini
tak ubahnya harimau kehilangan cakar dan ta-
ringnya. Nah, bersiaplah...!"
Sringngng! "Yeaaah...!"
Begitu pedangnya tercabut dengan cepat Ki
Sanjung Tulang melompat menyerang Pendekar
Pulau Neraka. Bayu mundur dua langkah, kemu-
dian menundukkan kepala. Lalu tubuhnya bergu-
lingan untuk menghindari tebasan pedang Ki
Sanjung Tulang yang menyambar-nyambar selu-
ruh tubuhnya. "Hihhh!"
Kaki kiri Pendekar Pulau Neraka masih sempat
melepaskan tendangan ke perut laki-laki kurus
itu. Namun tubuh Ki Sanjung Tulang sudah ber-
kelit sambil berputar dengan kaki kanan terangkat. Dan bersamaan dengan itu
pedangnya me- nyapu dada Pendekar Pulau Neraka. Maka pemu-
da berbaju kulit harimau itu melompat ke bela-
kang menghindarinya.
"Hup!"
"Mampus...!"
Dengan geram Ki Sanjung Tulang mengejar
sambil menyabetkan pedangnya. Terpaksa Pende-
kar Pulau Neraka kembali bergulingan menghin-
dari sambaran pedang itu. Disadari betul kalau
keadaannya sangat tidak menguntungkan. Ka-
laupun mampu menggunakan Cakra Maut untuk
membalas serangan, rasanya tidak akan berguna
banyak. Sebab, menggunakan senjata itu memer-
lukan pengerahan tenaga dalam kuat Sedangkan
dalam keadaan terluka seperti ini, tenaga dalamnya telah terkuras habis.
Akibatnya Cakra Maut
akan mudah ditepis, dan bahkan akan semakin
mempersulit keadaannya.
"Hei, Pendekar Pulau Neraka! Mana keheba-
tanmu yang selama ini dihebohkan orang" Ayo,
lawan aku! Balas seranganku! Apa kau ingin mati penasaran di tanganku...?"
"Keparat licik! Tidak perlu banyak bicara! Kau
kira aku tidak mampu menghadapimu" Phuih!
Seribu orang sepertimu, aku tidak akan lari!" sahut Pendekar Pulau Neraka
sengit. "He he he.... Nyawa sudah diujung tanduk, kau
masih bisa berkoar juga," ejek Ki Sanjung Tulang seraya menggempur lawan kembali
dengan sambaran pedangnya yang cepat luar biasa.
Bayu mengeluh dalam hati. Dia tidak tahu,
sampai kapan mampu bertahan dari serangan la-
wannya. Keadaannya saat ini betul-betul genting.
Jangankan untuk membalas menyerang, untuk
mempertahankan diri saja sudah tidak yakin
mampu bertahan lama.
"Yeaaah...!"
Ki Sanjung Tulang berteriak gemas. Tangan
kanannya yang menggenggam pedang, menyam-
bar tubuh Pendekar Pulau Neraka di bagian dada
dan pinggang. Sementara telapak kirinya meng-
hantam pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat.
Bayu terkesiap dan bergulingan cepat menghin-
dari diri. "Hih!"
Jderrr! Sebongkah tanah mencuat ke atas berpecahan,
meninggalkan lubang yang cukup dalam ketika
pukulan laki-laki bertubuh kurus itu luput dari sasaran.
"Kurang ajar! Sekarang kau tidak akan luput,
Keparat!" desis Ki Sanjung Tulang semakin ge-
ram. Laki-laki kurus itu merangkapkan kedua tan-
gannya. Wajahnya berkerut dan sinar matanya
liar menatap Bayu seperti hendak menelannya.
Pendekar Pulau Neraka tercekat, dan tidak terasa mengeluh dalam hati. Hanya ada
satu cara untuk
menjaga agar tidak mati konyol, yakni dengan
memapak pukulan itu. Tapi hal ini akan sangat
membahayakan. Bahkan tidak menutup kemung-
kinan akan celaka dan terluka semakin parah.
Dalam keadaan demikian, mendadak melesat
cepat sesosok tubuh ramping yang langsung me-
mapak pukulan Ki Sanjung Tulang.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Jderrr! *** Ki Sanjung Tulang terhuyung-huyung ketika
kedua pukulan tadi terpapak, hingga menimbul-
kan suara menggeledek. Belum lagi sempat mem-
perbaiki kedudukannya, mendadak sesosok tu-
buh yang tadi memapaki pukulannya melesat
menyerang cepat dan ganas.
Sringngng! "Yeaaah...!"
"Uhhh...!"
Ki Sanjung Tulang terkesiap. Gerakan sosok
ramping itu hebat sekali. Kedua senjata pedang
yang dipergunakannya, tampak bergulung-gulung
bagai ombak samudera yang ketat mengurung-
nya. Beberapa kali dicobanya menangkis. Namun,
telapak tangannya terasa perih dan jantungnya
berdetak lebih kencang.
"Keparat! Siapa kau..."!" bentak Ki Sanjung Tu-
lang garang seraya menangkis pedang lawannya.
Trangngng! "Huh...! Banyak omong! Apa kau kira punya
derajat untuk mengalahkan Pendekar Pulau Ne-
raka" Hadapi aku lebih dulu. Dan kalau kau
mampu mengalahkanku, kau boleh menepuk da-
da!" terdengar sahutan nyaring yang tidak kalah sengitnya.
"Uts!"
Ki Sanjung Tulang terkejut bukan main. Baru
saja menangkis, namun pedang sosok ramping
yang sebuah lagi melesat cepat menyambar leher-
nya. Untung saja dia buru-buru melompat ke be-
lakang menghindari. Namun dalam keadaan begi-
tu, telapak kirinya masih sempat disorongkan ke arah sosok ramping yang
sepertinya seorang wanita.
"Hup!"
Tubuh ramping itu meliuk cepat menghindari
sambaran pukulan jarak jauh yang bertenaga da-
lam kuat. Lalu dia kembali membalas serangan Ki Sanjung Tulang dengan pukulan
jarak jauh yang
tidak kalah kuatnya. Laki-laki kurus itu tersentak kaget. Cepat-cepat dia
bergulingan menghindari, seraya mengibaskan pedang untuk menangkis
senjata yang langsung terarah padanya.
Trang! Sebuah senjata sosok ramping itu berhasil di-
tangkis Ki Sanjung Tulang. Namun pedang yang
sebuah lagi, cepat menyambar ke arah paha ki-
rinya. Brettt! "Akh...!"
Dengan terpincang-pincang, tubuhnya melent-
ing ke belakang untuk menghindari serangan se-
lanjutnya. Namun, sosok ramping itu agaknya ti-
dak membiarkan lawannya menjauh begitu saja.
Dan dia sudah langsung mengejarnya sambil me-
nyerang ganas. Kecepatan bergeraknya sungguh
mengagumkan, bagai seekor walet melesat cepat
bagai kilat. Sehingga, membuat laki-laki kurus itu tergagap beberapa kali
menahan kejutan yang
menyentaknya. Bahkan dia tidak mempunyai ke-
sempatan serta ruang gerak yang bebas.
"Hiyaaa...!"
Pedang wanita ramping itu kembali meliuk-liuk
menyambar. Dan dengan gerakan cepat Ki San-
jung Tulang menangkis.
Trang! Dan ketika salah satu ujung pedang wanita itu
menyambar pinggang, laki-laki itu berputar
menghindari. Namun ternyata ujung kaki wanita
itu cepat sekali terjulur ke arah dadanya.
Bukkk! Untuk yang kedua kali Ki Sanjung Tulang me-
mekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. "Hiyaaa...!"
Ujung pedang wanita itu kembali melesat me-
nyerang Ki Sanjung Tulang. Dan laki-laki kurus
itu tergagap, lalu bergulingan sebisanya untuk
menghindari diri seraya mengayunkan pedangnya
untuk menangkis.
Trangngng! Dua benturan senjata kembali beradu. Namun
rupanya pedang Ki Sanjung Tulang langsung ter-
lepas dari genggaman. Serangan ini memang ber-
hasil dihindarinya. Namun senjata yang satu lagi milik wanita itu telah kembali
berkelebat ke arah perutnya.
Brettt! "Aaakh...!"
Tanpa bisa dihindari lagi, laki-laki kurus itu
memekik kesakitan seraya mendekap perutnya
dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat berke-
ringat menatap ke arah lawannya yang tegak ber-
diri di dekatnya. Kini barulah bisa dilihat jelas, siapa orang itu sebenarnya.
"Kau...! Kau...!" tunjuk Ki Sanjung Tulang, tergagap.
"Ya, aku. Kenapa rupanya...?"
"Dasar perempuan rendah...! Terkutuklah
kau...!" maki Ki Sanjung Tulang, geram.
Perempuan yang disebutnya itu terkekeh pelan
seraya bertolak pinggang. Ki Sanjung Tulang tahu betul, siapa wanita itu. Dia
tak lain orang yang pernah dijumpainya di kedai tadi dan telah membuat keonaran.
"Huh! Laki-laki busuk pengecut! Kau manusia
hina yang tidak punya rasa malu. Kau hanya be-
rani pada orang yang tengah terluka. Sekarang,
terimalah kematianmu," desis wanita yang me-
mang Diah Kemuning itu dingin.
Ki Sanjung Tulang terkejut setengah mati keti-
ka wanita itu telah melompat menyerangnya
kembali dengan sepasang pedang terhunus.
"Hiyaaat...!"
"Uts...!"
Dengan bergulingan, Ki Sanjung Tulang beru-


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saha menghindari sambaran kedua pedang Diah
Kemuning. Sementara, wanita itu menggeram, ke-
tika kedua ujung pedangnya menyambar tanah
hingga rompal. Ujung kaki kanannya cepat me-
nyambar dada Ki Sanjung Tulang. Maka cepat-
cepat laki-laki kurus itu berjingkat dan melompat ke belakang. Tapi, ujung
pedang Diah Kemuning
terus mencecar lehernya. Untung saja Ki Sanjung Tulang masih sempat menunduk.
Namun, wanita itu cepat sekali berbalik, bahkan pedangnya yang sebuah lagi langsung menyambar
ke arah dada Ki
Sanjung Tulang yang memang sulit mengelak.
Akibatnya.... Trasss! Bret! "Aaa...!"
Ki Sanjung Tulang kontan memekik setinggi
langit. Kedua tangannya yang mendekap perutnya
langsung putus tertebas pedang wanita itu. Bah-
kan senjata itu terus menerobos merobek da-
danya. Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu
tersungkur ke tanah bersimbah darah.
"Mampus!" dengus Diah Kemuning seraya me-
ludah ke tubuh tidak berdaya di depannya.
Setelah menyeka pedangnya yang bersimbah
darah, wanita itu menghampiri Pendekar Pulau
Neraka yang tengah duduk bersila di bawah se-
buah pohon. Bayu memang tengah bersemadi,
mengatur pernapasan dan jalan darahnya yang
tidak beraturan. Mukanya pucat Lalu perlahan-
lahan kelopak matanya terbuka, ketika gadis itu tersenyum seraya duduk di
sebelahnya. "Hm.... Ternyata Pendekar Pulau Neraka bisa
juga tidak berdaya," gumam Diah Kemuning.
Bayu tersenyum kecil.
"Ternyata wanita secantik kau, bisa juga ber-
tindak kejam."
"Tapi tidak sekejam dirimu."
Bayu diam saja tidak menjawab.
"Kalau saja kau memiliki Pedang Ular Mas, ten-
tu si keparat itu mudah dikalahkan," kata Diah
Kemuning lagi, seperti menggumam.
Kali ini Bayu menoleh ke arahnya, dengan wa-
jah heran. "Pedang Ular Mas...?"
*** 7 Diah Kemuning memandang Pendekar Pulau
Neraka dengan senyum cerah.
"Pedang itu adalah senjata keramat. Dan,
hanya dengan senjata itulah Iblis Cebol mampu
dilawan. Kau telah membuktikannya sendiri, bu-
kan" Senjata Cakra Mautmu yang hebat sama se-
kali tidak mempan di tubuhnya. Iblis Cebol bu-
kanlah manusia sembarangan. Konon, katanya
dia masih keturunan manusia ular yang amat
sakti...," jelas Diah Kemuning.
Bayu tersenyum mendengar penjelasan gadis
itu. "Manusia ular yang sakti" Hm.... Bualanmu
boleh juga...."
"He! Aku tidak bermaksud membual. Tapi, be-
gitulah yang pernah kudengar," sanggah Diah
Kemuning agak kesal.
"Sudahlah...," cegah Bayu lebih lanjut.
"Aku senang kau mau bertarung melawan Iblis
Cebol...," kata gadis itu cerah.
"Aku melakukannya bukan karenamu. Tapi
demi orang banyak yang sering menjadi korban-
nya," sahut Bayu cepat.
"Hm.... Siapa yang peduli niatmu" Aku cukup
merasa senang kalau kau menempumya. Itu sa-
ja!" tutur gadis itu.
"Aku heran. Kepandaian ilmu silat yang kau
miliki sudah demikian hebat Lantas, kenapa kau
malah memintaku untuk menghabisinya?"
Diah Kemuning mendesah pelan.
"Kepandaianku tidak hebat. Dan kau sendiri
bisa melihatnya. Kalau sekadar menghadapi kero-
co-keroco seperti tadi, mungkin bisa diandalkan, tapi Iblis Cebol bukanlah orang
sembarangan...."
Bayu kembali tersenyum.
"Tapi kau lihat sendiri, kepandaianku ternyata
tidak ada apa-apanya bila untuk melawan Iblis
Cebol...," desah Pendekar Pulau Neraka lemah.
"Kau tidak perlu berkecil hati. Aku telah meli-
hat segalanya. Dan kau ternyata bukanlah orang
sembarangan. Meskipun kau terluka waktu
menghadapinya, tapi dia pun terluka pula oleh-
mu. Kalau saja kau memiliki Pedang Ular Mas,
maka dia akan lebih mudah dikalahkan."
"Kau sering menyebut-nyebut Pedang Ular
Mas. Dari mana kau mengetahui kalau ilmu kebal
Iblis Cebol mempan oleh senjata itu" Lalu, di ma-na pedang tersebut bisa
didapatkan"
"Hm.... Agaknya kau ketinggalan berita. Ba-
nyak orang tahu kalau ilmu kebal Iblis Cebol tidak berarti bila berhadapan
dengan Pedang Ular
Mas. Aku mengetahuinya dari guruku yang tewas
di tangannya. Dan apa yang kuketahui dari guru-
ku, pedang itu kini berada di tangan Resi Wangsa Purbaya. Kalau kau mau, aku
bisa mengantar-kanmu ke tempat beliau...," sahut Diah Kemuning girang.
Bayu terdiam beberapa saat.
"Bagaimana?" desak Diah Kemuning.
Bayu memandang sekilas gadis itu, kemudian
tersenyum kecil.
"Apa kau kira resi itu bersedia memberikannya
begitu saja padaku?" tanya Pendekar Pulau Nera-
ka. "Kita akan mencobanya," desah Diah Kemun-
ing. "Seorang resi, adalah orang yang memiliki ke-
pandaian hebat dan menjunjung tinggi kebena-
ran. Dia tentu tidak suka melihat sepak terjang Iblis Cebol. Dan dia sudah pasti
tahu tentang ke-lemahan ilmu kebal Iblis Cebol, yang akan takluk bila Pedang
Ular Mas digunakan. Yang membuatku heran, kenapa Resi Wangsa Purbaya tidak
mau turun tangan" Dan seandainya turun tan-
gan, bagaimana mungkin sudi memberikan pe-
dang itu padaku...," sahut Bayu masgul.
Diah Kemuning tersenyum memandang pemu-
da itu. "Kudengar, namamu Bayu. Boleh aku me-
manggilmu begitu?"
"Kau boleh memanggilku apa saja...."
"Baiklah, Bayu. Soal tadi aku pernah menden-
gar sedikit dari guruku. Kata beliau guru Iblis Cebol tewas di tangan Resi
Wangsa Purbaya oleh
Pedang Ular Mas. Setelah gurunya tiada, pedang
itu diberikan pada sang Resi. Tapi saat itu, Resi Wangsa Purbaya telah menjadi
seorang pemuka agama, dan menjauhkan diri dari urusan dunia
persilatan. Dia pun telah bersumpah untuk tidak terlibat lagi dalam urusan
keduniaan. Dan rasanya, semua tokoh tahu hal itu. Jadi apabila dia menempur
Iblis Cebol, maka jelas akan melanggar sumpahnya. Kalau itu dilakukannya, tentu
saja akan menjadi bahan tertawaan semua orang. Jadi
dugaanku, beliau tidak akan menempur Iblis Ce-
bol. Dan dengan demikian, tentu akan bersedia
meminjamkan pedangnya. Apabila kalau tahu,
siapa yang meminjam. Dan, untuk apa pedang itu
digunakan...," sahut Diah Kemuning mengemu-
kakan alasannya.
Bayu memandang gadis itu seksama, kemu-
dian kembali tersenyum.
"Hm.... Tidak kusangka, selain kepandaianmu
hebat, kau pun memiliki otak cerdik. Sungguh
suatu perpaduan sempurna dengan wajahmu
yang cantik...."
Diah Kemuning tersenyum lebar.
"Jadi kau bersedia kutemani pergi ke tempat
resi itu?" tanya gadis itu dengan sorot mata berbinar.
"Dalam keadaanku seperti sekarang, rasanya
agak berat Aku harus menyembuhkan luka da-
lamku lebih dulu...."
"Hm.... Aku akan suka sekali merawatmu ka-
lau kau suka, Bayu...?"
"Terima kasih...," ucap Bayu disertai senyum
manis. "Aku tahu suatu tempat untuk merawat luka-
luka dalammu. Setelah kau merasa agak baik, ki-
ta bisa melanjutkan perjalanan," usul Diah Ke-
muning. "Boleh saja. Tapi, aku tidak suka melihat dan-
danan mu seperti ini bila berjalan denganku," tegas Bayu.
"Yah.... Kau tidak suka melihat dandananku
begini" Baiklah. Dengan senang hati, aku akan
menukarnya."
"Kalau kau berpakaian lebih sopan dan tidak
selalu bersikap genit, kau akan menjadi gadis
yang lebih cantik...," sanjung Bayu.
"Terima kasih. Nah, kita berangkat sekarang?"
Bayu bangkit perlahan, seraya menangkap Ti-
ren yang melompat ke pangkuannya.
"Baiklah...," desah Bayu pelan.
Tanpa malu-malu lagi Diah Kemuning meng-
gandeng pemuda itu. Lalu diajaknya Pendekar
Pulau Neraka berlalu dari tempat itu. Wajahnya
tampak cerah, dan senyumnya terus mengem-
bang. *** Pendekar Pulau Neraka sedikit tertegun. Diah
Kemuning ternyata membawanya ke sebuah ru-
mah kosong yang telah lama tidak dihuni. Dengan langkah ragu, Bayu masuk ke
dalam. Di situ, terdapat sebuah kamar yang di dalamnya ada se-
buah tempat tidur rapi, meskipun berkesan se-
derhana. Dari perabotan yang terdapat di situ, bi-sa diduga bahwa tempat itu
agaknya dihuni se-
seorang. Sebab, tak ada sebutir debu pun yang
melekat. "Rumah siapa ini?"
"Rumahku!" sahut Diah Kemuning singkat.
Bayu memandang tidak percaya.
"Kau tidak yakin" Tapi, aku sering berada di
sini...," sahut gadis itu seenaknya.
"Ya, terserahmu saja...."
"Nah! Kau tunggu di sini dulu. Aku akan mem-
buat ramuan untuk menyembuhkan luka dalam-
mu. Kau tahu, guruku sangat ahli dalam pengo-
batan," ujar gadis itu seraya berlalu dari ruangan ini. Bayu hanya tersenyum
tipis. Dibiarkannya gadis itu berlalu, kemudian duduk bersila memu-
satkan pikirannya. Lalu dikerahkannya hawa
murni untuk mengatur jalan darah sambil men-
gatur pernapasannya. Kelopak matanya terpejam,
ketika terasa hawa panas di bawah perutnya per-
lahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya.
"Hoeeekh...!"
Dari mulut Pendekar Pulau Neraka seketika
menyembur darah kental berwarna kehitaman
beberapa kali. Dada pemuda itu terasa nyeri, dan wajahnya terlihat semakin pucat
Setelah beberapa kali memuntahkan darah kental, denyut na-
dinya terasa melemah. Namun jalan darahnya
sudah terasa lancar, meski tubuhnya lemah se-
perti tidak bertulang.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat Diah
Kemuning muncul membawakan dua buah
mangkuk dari tempurung kelapa dan sebuah
bambu kecil yang biasa digunakan untuk minum.
"Minumlah obat ini. Kau banyak mengeluarkan
darah," ujar gadis itu seraya mengangsurkan se-
buah mangkuk tempurung kelapa.
Bayu mencium bau yang menyengat, ketika
mangkuk itu diterimanya. Kemudian, dipandang-
nya gadis itu dengan wajah curiga.
"Kau takut ramuan itu berisi racun" Percaya-
lah. Mana mungkin aku mau melakukan itu pa-
damu. Kau lebih cerdik dariku. Tentu, kau bisa
membedakannya. Minumlah. Dan, kau akan me-
rasakan khasiatnya...," sahut gadis itu seperti mengerti apa yang dipikirkan
Bayu. Dengan ragu-ragu, Bayu menenggak ramuan
itu. Maka seketika terasa ada hawa panas dari
perutnya yang menyegarkan sekujur tubuh. Pe-
muda itu menunggu hasilnya beberapa saat ke-
mudian. Dan seperti apa yang dikatakan gadis
itu, ramuan yang diberikannya benar-benar mu-
jarab. Tubuhnya semakin terasa segar saja. Dan
aliran darahnya pun berjalan lancar dan tubuh-
nya mulai berkeringat.
"Bagaimana...?" tanya Diah Kemuning.
"Hm.... Kau betul-betul hebat. Ramuanmu san-
gat mujarab!" puji Bayu. Gadis itu tersenyum,
kemudian menyodorkan mangkuk yang kedua.
"Sup ini baru saja kupanaskan. Sisa semalam.
Mungkin tidak enak bagimu. Tapi, percayalah.
Aku membuatnya dengan sepenuh hati. Kau bo-
leh mencobanya untuk mengisi perut...."
Bayu memandang gadis itu dan tersenyum
manis setelah menerima mangkuk itu. Lalu, tan-
pa ragu-ragu lagi dilahapnya sup itu hingga tuntas.
"Enaaak...!" puji Bayu.
"Terima kasih."


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diah Kemuning tersenyum seraya membe-
reskan kedua mangkuk yang telah kosong. Lalu
diserahkannya bumbung bambu yang terakhir.
"Ramuan ini untuk mengembalikan tenagamu
yang telah banyak terkuras...."
"Kau baik sekali, Diah...."
Diah Kemuning memandang ke arah Bayu se-
saat, kemudian berpaling jengah. Lalu kembali
dipandangnya pemuda yang tengah mengha-
biskan isi ramuan di dalam bumbung bambu itu.
"Bagaimana" Enak, bukan?" tanya gadis itu
minta pendapat.
"Harum. Dan, baunya seperti arak yang
enak...." Diah Kemuning tersenyum, kemudian merapi-
kan mangkuk-mangkuk itu. Lalu dia beranjak da-
ri kamar. "Mau ke mana?" tanya Bayu.
"Ke belakang sekalian menutup pintu dan jen-
dela. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun
lebat Coba lihat! Gerumbul awan menghitam di
langit sana," ujar gadis itu seraya terus berlalu.
Bayu diam saja sambil merasakan keanehan
yang mulai menjalari tubuhnya. Pemuda itu tiba-
tiba tercekat dan berusaha melawan sekuat tena-
ga. Namun, perasaan aneh itu semakin kuat men-
jalar di sekujur tubuhnya. Dia tiba-tiba merasakan ada hawa panas yang membuat
kejantanan- nya berkobar-kobar dibakar hawa nafsu. Kepa-
lanya seperti diganduli benda yang beratnya bu-
kan main. Bayu mencoba bangkit, namun tubuh-
nya seperti melayang-layang di udara. Kembali
tubuhnya dihenyakkan di pembaringan kamar
itu. "Apa ini...?" desis Bayu pelan.
Diah Kemuning telah muncul di ambang pintu
sambil tersenyum lebar. Sedang Bayu mengga-
painya lemah. "Diah...."
Gadis itu mendekat, lalu duduk di dekat Bayu.
Dan seketika Bayu cepat merangkul dan mere-
bahkannya ke tempat tidur. Gadis itu sama sekali tak menolak. Bahkan ketika
dengan gemas Bayu
melumat bibirnya, dia hanya pasrah saja tanpa
berusaha menghindar.
"Sabar, Kakang...," bisik gadis itu pelan. Dia
tertawa kecil, ketika Bayu hendak melucuti pa-
kaiannya. "Diah, aku... aku...."
Suara Bayu seperti tercekat di tenggorokan.
Dadanya sudah berdegup keras seperti meronta-
ronta. "Iya.... Aku mengerti apa yang kau inginkan...,"
sahut gadis itu, seraya menekap bibir Bayu den-
gan telunjuknya.
Kemudian dengan perlahan-lahan Diah Ke-
muning membuka pakaiannya sendiri.
Bayu agaknya merasa tidak sabar, ketika meli-
hat keadaan tubuh Diah Kemuning yang polos
tanpa sehelai benang pun. Langsung dirangkul-
nya gadis itu sambil menggeram buas laksana
seekor hewan yang kelaparan. Diah Kemuning
hanya terkikik kecil, dan membiarkan saja kelakuan pemuda itu.
Di luar rintik hujan mulai turun bersama ge-
lapnya malam. Perlahan-lahan rintik hujan sema-
kin lebat dan lidah petir sesekali menyambar
angkasa. Dingin mulai merayap di seluruh pelataran. Namun dalam kamar di rumah
itu terasa hangat, diiringi derit tempat tidur yang mengiringi pergulatan kedua anak
manusia yang berbeda je-nis. Sesekali terdengar suara pemuda mengge-
ram. Sementara gadis itu mendesah halus dengan
napas terengah-engah. Keduanya berkeringat,
dan hela napas mereka seperti berlomba bagai
dua ekor kuda yang saling berpacu.
"Uhhh...!"
Keduanya melenguh panjang, kemudian ter-
dengar lengang. Lalu, yang terdengar hanya curahan air hujan yang jatuh menimpa
bumi mem- buat genangan. *** "Brengsek!"
Bayu memaki geram ketika melihat Diah Ke-
muning tengah membereskan pakaiannya yang
tidak karuan seraya membuka jendela.
Hujan telah lama reda. Dan di kejauhan ter-
dengar suara ayam berkokok saling bersahutan.
Agaknya sebentar lagi pagi akan tiba. Dan Bayu
baru menyadari kalau telah terlelap semalam di
kamar ini dengan tubuh letih.
"Kenapa" Kau marah padaku, Kakang Bayu...?"
tanya gadis itu lembut seraya duduk di dekat pemuda itu.
Bayu memperhatikan sesaat wajah gadis itu
yang berbinar gembira. Rambutnya masih terlihat basah, dan tubuhnya harum
dililit sehelai kain
sebatas dada. Sehingga payudaranya yang mem-
busung indah masih terbayang.
Pendekar Pulau Neraka mengalihkan pandan-
gan ketika jari-jari lentik gadis itu menyapu wajahnya.
"Kakang.... Aku telah lama mencintaimu. Bah-
kan sebelum kita berkenalan. Aku sering mengi-
kuti perjalananmu dan sering berangan-angan,
kalau suatu saat kau menjadi kekasihku...," sa-
hut Diah Kemuning sendu.
"Kenapa kau menaruh ramuan perangsang da-
lam bumbung itu?" tanya Bayu.
"Entahlah.... Aku tidak tahu. Tapi saat itu,
yang terlintas adalah impian bagaimana aku bisa tidur denganmu," tegas Diah
Kemuning seperti tidak merasa bersalah.
"Diah.... Tahukah kau, sikapmu itu sangat bu-
ruk" Kau mungkin sering melakukannya pada le-
laki lain!" sergah Bayu tajam dengan nada menu-
suk. "Kakang! Kenapa kau menuduhku begitu?" sa-
hut Diah Kemuning dengan wajah terpana.
Bayu terdiam seraya bangkit dan cepat mema-
kai bajunya. Kemudian dipandangnya gadis itu
dengan kesal. "Kenapa kau malah balik bertanya" Bukankah
kau bisa menjawabnya sendiri! Kau adalah pe-
rempuan rendah dan pelacur hina!" desis Bayu
kesal. "Kakang, kau... kau...!"
Gadis itu terpana sungguh tidak disangka ka-
lau pemuda itu bisa berkata demikian. Dia betul-betul terhenyak dan tidak tahu
harus berbuat apa. Kepalanya langsung tertunduk. Tidak terasa, air matanya menitik dari
kelopak matanya. Lalu, perlahan-lahan dipandanginya Bayu dengan tajam.
"Kakang Bayu! Kau boleh berkata apa saja ten-
tangku. Tapi ketahuilah, tuduhanmu itu sama
sekali tidak beralasan. Kau menilai penampilan
saja. Namun, sesungguhnya apa yang kau duga
berlawanan sekali dengan apa yang kualami dan
kulakukan selama ini. Aku tidak pernah tidur
dengan lelaki mana pun, selama ini, kecuali, satu hal. Dan kejadian itu sudah
lama sekali, ketika aku masih tinggal di perguruan. Waktu itu usiaku baru
menginjak lima belas tahun, dan sama sekali tidak tahu kelicikan seseorang.
Suatu saat, salah satu kakak seperguruanku memperkosaku.
Dia mengancam akan membunuhku, kalau berani
memberitahukan hal itu pada guru. Aku takut
sekali. Bahkan tidak mampu berbuat apa-apa, ke-
tika dia berbuat seenaknya untuk beberapa kali.
Dan ketika suatu hari guru mengetahui perbua-
tannya, dia dihukum berat..," Diah Kemuning
menghentikan ceritanya dan memandang sendu
pada Bayu. Bayu terdiam dan berpikir untuk meyakinkan
hatinya, apakah harus percaya atau tidak pada
cerita gadis itu.
"Kakak seperguruanku lalu dikebiri oleh guru.
Dan setelah mencabut semua ilmu yang dimili-
kinya, dia pun diusir dari perguruan. Guruku
amat baik dan selalu berusaha mengembalikan
kepercayaan diriku yang jatuh akibat peristiwa itu. Dialah pengganti orangtua ku
yang telah tiada. Dan ketika Iblis Cebol membunuhnya, aku
amat mendendam. Tapi kusadari kalau aku tidak
akan mampu melawan manusia keparat itu. Maka
untuk itulah aku mendapatkan akal, dengan
memperdaya laki-laki yang kunilai memiliki ke-
mampuan hebat. Dan dengan penampilan itulah
aku menggunakannya untuk memikat mereka.
Tapi ternyata cara itu pun menemukan jalan bun-
tu. Sebab, tidak ada seorang pun yang mampu
mengalahkan Iblis Cebol. Bahkan beberapa orang
tewas di tanganku ketika mereka mencoba mem-
perkosaku. Dan kemudian, sampai akhirnya aku
bertemu denganmu. Tapi, Kakang Bayu. Kau bo-
leh percaya dan boleh tidak dengan ceritaku. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak
memperalat- mu. Karena, aku tahu. Kau berbeda dengan mere-
ka. Selain kemampuanmu yang hebat, kau pun
cukup cerdik. Dan lebih dari itu, telah lama aku mendambakanmu. Aku betul-betul
mencintaimu, Kakang...," gadis itu mengakhiri kisahnya dengan air mata berlinang.
Bayu terdiam dan duduk termangu di tepi
tempat tidur. Diah Kemuning lalu bangkit dan
duduk di sebelah pemuda itu, seraya meremas
tangannya perlahan. Bayu diam saja. Kemudian
dipandangnya gadis itu dengan wajah bersalah
penuh penyesalan.
"Maafkan kata-kataku tadi, Diah...," ucap pe-
muda itu lirih.
"Tidak apa-apa, Kakang. Aku bisa memaha-
minya, kalau kau menuduhku begitu...," desah
Diah Kemuning. "Aku telah salah mendugamu...."
"Kakang Bayu..., eh...! Bolehkah aku menye-
butkmu begitu?"
Bayu mengangguk pelan.
"Terima kasih, Kakang. Tapi, apakah kau men-
cintaiku pula...?" tanya Diah Kemuning.
Bayu tersenyum mendengar pertanyaan dari
gadis itu. "Cinta itu datangnya bukan tiba-tiba. Namun,
perlahan lewat perkenalan dengan berusaha men-
getahui isi hati masing-masing. Sedang aku baru mengenalmu. Dan rasanya, kurang
wajar jika aku mengatakan cinta begitu saja sekadar untuk me-
nyenangkan hatimu. Kau mengerti bukan?" jawab
Bayu, bijaksana.
"Aku mengerti, Kakang. Berdekatan denganmu
pun, sudah membuatku senang. Aku akan men-
coba menunggu jawabanmu...."
Bayu kembali terdiam, kemudian beranjak ke-
luar. "Aku mandi dulu, dan setelah itu kita berang-
kat menemui resi yang kau katakan semalam...,"
ujar Bayu. Diah Kemuning mengangguk pelan, sambil
menatap pemuda itu hingga menghilang di balik
pintu. Lalu tubuhnya direbahkan di ranjang den-
gan senyum cerah.
*** 8 Sepasang anak muda berjalan perlahan. Sese-
kali yang seorang melirik ke sebelahnya. Sedang-
kan pemuda itu pura-pura tidak peduli, bahkan
ketika gadis itu menggandeng tangannya, dia be-
rusaha menolak dengan halus.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Kakang
Bayu?" tanya gadis itu lembut.
Memang, mereka adalah Pendekar Pulau Nera-
ka dan Diah Kemuning yang tengah berjalan me-
nuju kediaman Resi Wangsa Purbaya.
"Hebat! Ramuan yang kamu berikan ternyata
sangat ampuh," sahut Bayu
"Syukur.... Seandainya saja kita bertemu den-
gan iblis keparat itu, kau tidak perlu berkecil hati lagi!"
Bayu diam saja tidak menjawab.
"Kakang...."
"Hm."
"Kau tahu, apa yang kurasakan saat ini" Aku
senang sekali berjalan denganmu," Diah Kemun-
ing bertanya, namun langsung dijawabnya sendi-
ri. Bayu menoleh sekilas, kemudian tersenyum
kecil. Tiren yang nangkring di pundaknya menye-
ringai sambil mencerecet ribut dengan kedua tangan bertepuk-tepuk.
"Huh! Diam...!" sentak Bayu.
Monyet kecil itu merengut seraya menunduk-
kan kepala. Bayu tersenyum dan mengelus-elus
kepalanya. Tiren, langsung menyeringai lebar dan wajahnya kembali cerah. Diah
Kemuning tersenyum melihat ulah monyet kecil itu. Namun men-
dadak keduanya terpaku, ketika mendengar sua-
ra-suara senjata saling beradu.
"Hm.... Suara pertarungan yang tidak jauh dari
sini. Diah! Coba kita lihat, siapa yang bertarung,"
kata Bayu seraya menggenjot tubuhnya.
Diah Kemuning mengikuti dari belakang. Den-
gan pengerahan ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi sebentar saja mereka sampai di sebuah


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembah yang tidak berapa jauh dari tempat itu.
Dari tempat yang agak tinggi, mereka bisa melihat seorang laki-laki tua bertubuh
bungkuk dan seorang gadis belia berwajah cantik bersenjatakan
keris, tengah dikeroyok lebih dari tujuh orang la-ki-laki berwajah kasar.
"Hm.... Kawanan rampok Gagak Ireng," desis
Diah Kemuning bernada geram.
"Kau kenal?"
Diah Kemuning mengangguk.
Gadis itu sudah akan melompat turun untuk
melabraknya, namun Bayu cepat mencegah.
"Kenapa, Kakang" Coba lihat... Kedua orang itu
terdesak. Kita harus membantunya," tanya Diah
Kemuning, heran.
"Kita belum tahu, apa urusan mereka," jelas
Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa yang tidak kenal kawanan rampok Ga-
gak Ireng" Mereka adalah kumpulan manusia ke-
parat yang kerjanya merampok, membunuh, serta
memperkosa wanita-wanita yang tidak berdaya.
Saat inilah yang tepat untuk memberi pelajaran
pada mereka. Ayo, Kakang! Tunggu apa lagi?" ka-
ta Diah Kemuning seraya melompat turun.
Mau tidak mau, Bayu terpaksa mengikuti gadis
itu. Sementara, dua orang yang meskipun men-
gadakan perlawanan sengit, namun tetap saja
terdesak. Lawan mereka memang terlampau ba-
nyak dan memiliki kemampuan cukup hebat Se-
hingga, lambat laun mereka terlihat makin terdesak hebat Saat itu Diah Kemuning
langsung ter- jun ke dalam pertarungan.
"Manusia-manusia keparat! Mampuslah kalian!
Hiyaaat...!"
Sring! Trang! Trang! Kedua pedang gadis itu berkelebat cepat, me-
nyambar golok-golok para perampok. Bahkan
membuat mereka berpentalan. Demikian juga
dengan apa yang dilakukan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tubuhnya berkelebat cepat, menghajar la-
wan-lawannya yang memang berkemampuan ren-
dah. Kawanan rampok Gagak Ireng tersentak kaget,
melihat kemunculan dua orang itu. Dalam waktu
singkat saja, mereka yang berkemampuan rendah
terdesak hebat Kini mereka sadar kalau kedua
orang yang baru muncul itu bukanlah tokoh
sembarangan. Ujung pedang Diah Kemuning menyambar da-
da seorang perampok. Orang itu menangkis den-
gan senjata golok, namun pedang gadis itu yang
satu lagi bergerak cepat memapas lehernya.
Crasss! Brettt!
"Aaa...!"
Terdengar pekikan kesakitan, ketika orang itu
ambruk ke tanah. Beberapa saat kemudian dia
tewas dengan leher nyaris putus. Dan pada saat
yang bersamaan, seorang lagi binasa di ujung keris gadis berpakaian serba putih
yang ditolong ini.
"Aaa...!"
Laki-laki bongkok bersenjata tongkat itu seper-
ti mendapat semangat baru, melihat kemunculan
dua orang penolong. Tongkatnya kembali berkele-
bat cepat, menyambar dua orang terdekat Salah
seorang menangkis dengan sengit.
Trakkk! Sementara seorang perampok melompat mun-
dur. Namun ujung tongkat laki-laki bongkok itu
terus mengejar cepat, dan cepat menghantam te-
lak dadanya. Bukkk! "Aaa...!"
Orang itu memekik kesakitan ketika tulang da-
danya berderak patah.
Pada saat yang hampir bersamaan, ujung kaki
Pendekar Pulau Neraka berhasil menghantam da-
gu salah seorang perampok. Orang itu memekik
kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal ke bela-
kang sambil memuntahkan darah segar. Tiga
buah giginya seketika tanggal.
Empat orang yang tersisa, terpaku dan ragu-
ragu untuk melanjutkan serangannya. Namun,
Diah Kemuning yang berangasan agaknya tidak
sudi membiarkan mereka begitu saja. Langsung
saja dia melompat menyerang mereka.
"Yeaaah...!"
Trangngng! Keempat orang itu terpaksa melawan dengan
semangat yang mulai mengendor. Kelebatan pe-
dang gadis itu dipapak. Namun dalam waktu
singkat saja, mereka harus mengakui kalau kece-
patan gerak gadis itu luar biasa dan sulit diimbangi. Sehingga, tidak heran
kalau sebentar saja dua orang kembali terjungkal tewas disertai jerit kesakitan
ketika perutnya robek dibabat kedua
pedang gadis ini. Kembali dua orang lainnya tersentak kaget Mereka berusaha
melarikan diri, tapi dengan geram Diah Kemuning melemparkan kedua pedangnya.
Crab! Bresss! "Akh!"
"Aaa...!"
Kedua orang itu seketika menjerit melengking
tinggi ketika punggungnya tertancap pedang Diah Kemuning. Mereka ambruk ke tanah
dengan nyawa melayang dari badannya. Diah Kemuning
mendengus pelan, lalu melangkah mendekati. Di-
cabutnya kedua pedang yang tertancap di pung-
gung dua orang itu. Setelah membersihkan darah
yang melekat, pedangnya disarungkan kembali.
Kemudian kakinya melangkah mendekati Bayu
dengan wajah tenang seperti tidak ada kejadian
apa pun juga. *** "Kisanak berdua, aku Paman Sudira. Dan ini
keponakanku, Andini. Kami mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan ka-
lian berdua. Kalau boleh tahu, siapakah kalian
berdua ini..?" ujar laki-laki tua bertubuh bongkok yang memang Paman Sudira
bersama Andiri.
"Namaku Diah Kemuning. Dan temanku ini
Bayu. Tapi, mungkin kalian pernah mendengar
julukan Pendekar Pulau Neraka. Nah, dialah
orangnya," sahut Diah Kemuning dengan nada
bangga bisa memperkenalkan Pendekar Pulau Ne-
raka. "Pendekar Pulau Neraka..." Oh! Sungguh kebe-
tulan sekali kami bisa bertemu denganmu, Kisa-
nak. Sebab, selama ini kami memang sedang
mencarimu untuk satu urusan yang sangat pent-
ing," kata Paman Sudira dengan wajah gembira.
"Hm.... Urusan apa itu, Ki?" tanya Bayu heran.
Laki-laki bungkuk itu agak ragu seraya me-
mandang kepada Diah Kemuning. Melihat cara
memandang Paman Sudira, gadis itu merasa di-
curigai. Kini wajahnya mulai menunjukkan rasa
tidak senang. "Kisanak! Apakah aku tidak boleh mendengar
pembicaraan ini?" tanya Diah Kemuning agak ke-
tus, mengungkapkan rasa ketidaksenangannya.
"Oh, bukan begitu. Tapi ini hanya untuk berja-
ga-jaga saja. Harap Nini Diah Kemuning tidak salah tanggap. Urusan ini harus
hati-hati sekali,"
sahut Paman Sudira.
"Ki Sudira, aku bertanggung jawab penuh pada
Diah Kemuning. Nah! Ceritakanlah, apa yang in-
gin kau katakan padaku," selak Bayu cepat me-
nengahi. "Baiklah... ini menyangkut Iblis Cebol," ujar
Paman Sudira agak terputus suaranya.
"Iblis Cebol..." Hm.... Mau apa lagi manusia
keparat itu?" sentak Diah Kemuning geram.
"Sabar, Diah. Biarkan Paman Sudira menyele-
saikan dulu," selak Bayu menenangkan.
Gadis itu kembali terdiam. Bayu kemudian
memandang Paman Sudira.
"Nah Ki Sudira. Silakan lanjutkan...."
Paman Sudira mulai menceritakan pertemuan-
nya dengan Resi Wangsa Purbaya dan pesan yang
harus disampaikannya pada Pendekar Pulau Ne-
raka. "Hm.... Sungguh kebetulan, Kakang. Bukankah
dugaanku benar?" selak Diah Kemuning cerah.
Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit.
Sementara Paman Sudira hanya berpandangan
sejenak saja dengan Andini. Kemudian dipan-
dangnya Pendekar Pulau Neraka dengan wajah
penuh harap. "Bagaimana Kisanak?"
"Ki Sudira, sebenarnya tujuan kita sama. Kami
berdua pun tengah menuju tempat kediaman Resi
Wangsa Purbaya untuk meminjam pedang itu gu-
na menghancurkan Iblis Cebol," jelas Bayu.
"Ah! Sungguh kebetulan," sahut Paman Sudira
dengan wajah semakin cerah.
"Kalau begitu, buat apa lagi berlama-lama di
sini" Lebih baik, kita cepat ke sana," lanjut Diah
Kemuning tidak sabar.
"Baiklah," sahut Paman Sudira.
Mereka segera meninggalkan tempat itu tanpa
banyak bicara lagi. Dan sejak awal perjalanan,
Diah Kemuning tampak begitu manja pada Pen-
dekar Pulau Neraka. Sepertinya dia ingin menun-
jukkan pada kedua orang itu kalau Bayu adalah
kekasihnya. Dan hal itu membuat Bayu jadi jen-
gah sendiri. Apa lagi ketika Paman Sudira dan
Andini sesekali melirik. Beberapa kali Bayu memberi isyarat pada Diah Kemuning.
Tapi, gadis itu seperti pura-pura tidak tahu. Bayu akhirnya
hanya bisa menarik napas panjang saja, mengha-
dapi sikap manja gadis itu.
Tidak berapa lama keempat orang itu menem-
puh perjalanan, sampailah mereka di tempat tu-
juan. Mereka menunggu beberapa saat. Dan keti-
ka Resi Wangsa Purbaya muncul, mereka lang-
sung menjura memberi hormat.
"Selamat datang ke tempatku, Anak-anak mu-
da...," sapa Resi Wangsa Purbaya ramah.
"Senang sekali bertemu denganmu, Kanjeng
Resi," ucap Bayu membalas keramahan ini.
"Tentunya mereka telah memberitahu padamu
tentang niatku," ujar Resi Wangsa Purbaya lang-
sung. Bayu mengangguk mantap.
"Aku merasa mendapat kehormatan atas ke-
percayaan yang kau berikan ini, Kanjeng Resi."
"Pedang Ular Mas ini akan kupercayakan pa-
damu. Dan kau harus mengembalikannya, sete-
lah semuanya selesai," kata Resi Wangsa Pur-
baya. "Aku berjanji akan mengembalikannya, Kan-
jeng Resi," sahut Bayu mantap.
"Syukurlah. Tapi sebelumnya seperti yang lain,
aku ingin menguji kemampuanmu dulu. Jangan
berkecil hati, karena ini demi keselamatan dirimu sendiri. Bila pedang ini tidak
berhasil dicabut dari warangkanya. Itu berarti kau tidak akan berhasil
mengalahkan Iblis Cebol. Kau mengerti maksud-ku, Anak Muda...?" jelas Resi
Wangsa Purbaya.
"Aku mengerti Kanjeng Resi,"
"Nah! Mulailah cabut pedang ini," lanjut Resi
Wangsa Purbaya seraya mengulurkan gagang Pe-
dang Ular Mas ke depan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu memusatkan perhatiannya barang seje-
nak. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam,
tanpa berkedip memandangi gagang pedang di
depannya. Tapi baru saja hendak menarik pedang
itu.... "Ha ha ha...! Agaknya semua sudah berkumpul
di tempat buruk ini. Dan resi peot pengecut se-
makin ciut nyalinya, sehingga perlu meminta bantuan orang lain."
Mendadak terdengar suara keras yang memba-
hana di seputar tempat itu.
"Itu Iblis Cebol...," desis Resi Wangsa Purbaya.
Beberapa saat kemudian, melesat turun seso-
sok tubuh cebol dengan kepala botak berukuran
besar. Sepasang matanya melotot lebar. Kedua
tangannya bersisik hitam kebiruan seperti kulit
ular sampai sebatas siku. Sebuah toya tergeng-
gam di tangan kanannya.
"Hm.... Pendekar Pulau Neraka. Akhirnya kita
bertemu lagi di sini. Hari ini, aku tidak akan
mengampunimu lagi!" hardik Iblis Cebol garang.
"Iblis Cebol! Aku tidak pernah merasa kau am-
puni. Kapan pun kau ingin menantangku, aku
siap menghadapimu!" bentak Pendekar Pulau Ne-
raka geram. "Huh! Kau boleh menunggu sampai aku meng-
hajar tua bangka keparat itu!" tuding Iblis Cebol pada Resi Wangsa Purbaya.
"Iblis Cebol! Kau tidak perlu repot-repot meng-
hadapi Resi Wangsa Purbaya. Aku akan mewaki-
linya untuk menghadapimu," sahut Pendekar Pu-
lau Neraka lantang.
"Pendekar Pulau Neraka! Apa kau tidak bisa
bersabar menungguku untuk menyelesaikan tua


Pendekar Pulau Neraka 49 Iblis Cebol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangka busuk ini lebih dulu" Aku ingin melihat
kepengecutannya. Setelah sekian lama aku me-
nunggu, ternyata dia sama sekali tidak mau men-
coba menghentikan segala perbuatanku! Sehing-
ga, kuduga dia pasti ketakutan melihat kehadi-
ranku ini. Dan ternyata memang demikian, bu-
kan..." Ha ha ha...!" ejek Iblis Cebol.
"Iblis Cebol! Kau boleh berkata apa saja untuk
membangkitkan amarahku. Tapi jangan harap
aku harus melanggar sumpahku. Dan Pedang
Ular Mas diciptakan yang khusus untuk mele-
nyapkan orang-orang sepertimu, akan kupinjam-
kan pada orang yang tepat untuk mewakiliku,"
kata Resi Wangsa Purbaya kalem.
Setelah itu Resi Wangsa Purbaya menjulurkan
Pedang Ular Mas pada Pendekar Pulau Neraka.
"Anak Muda, lupakanlah ujian tadi. Aku sudah
yakin kau mampu mencabutnya, tanpa perlu diuji
lagi. Kupinjamkan pedang ini padamu, dengan
keyakinanku kau pasti mampu menggunakannya.
Nah! Wakililah aku serta orang-orang yang telah teraniaya akibat ulahnya.
Hancurkan keangka-ramurkaannya dengan pedang ini," ujar Resi
Wangsa Purbaya, yakin.
"Kanjeng Resi! Terima kasih atas kepercayaan
yang kau berikan padaku. Aku akan mengguna-
kan sebaik-baiknya," sahut Pendekar Pulau Nera-
ka mantap, seraya menerima pedang itu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka membalik-
kan tubuhnya dan melangkah mendekati Iblis
Cebol dengan sorot mata tajam.
"Iblis Cebol! Bersiaplah! Kita akan melanjutkan pertarungan yang tertunda,"
tantang Bayu langsung.
Iblis Cebol tampak ragu-ragu melihat pemuda
itu menggenggam Pedang Ular Mas. Tapi, mana
mau keterkejutan hatinya ditunjukkan di depan
lawannya ini. Dengan mendengus dingin, dia
mencoba untuk membesarkan hati.
"Huh! Senjata bulukan hendak kau pamerkan
padaku! Kau tahan seranganku ini! Hiyaaa...!"
Sambil membentak keras, Iblis Cebol melompat
menyerang ganas Pendekar Pulau Neraka. Dis-
adari kalau Pendekar Pulau Neraka bukanlah la-
wan yang ringan. Karena, mereka pernah bertemu
dan bentrok hingga masing-masing menderita lu-
ka yang parah. Apalagi sekarang ini Pendekar Pulau Neraka memegang Pedang Ular
Mas yang me- nurut gurunya merupakan pemunah ilmu kebal
miliknya yang selama ini amat dibanggakan.
Tidak heran kalau debu serta batu-batu sebe-
sar kepalan tangan kini beterbangan ke udara,
akibat pertarungan antara kedua tokoh persilatan tingkat tinggi itu. Sementara
yang lainnya segera menyingkir, menyaksikan dari jarak yang cukup
jauh dan aman. Tampak pertarungan terus berja-
lan semakin sengit dan dahsyat. Masing-masing
sudah langsung mengeluarkan jurus-jurus ting-
kat tinggi yang begitu diandalkan.
"Hiyaaat!"
"Shyaat!"
Tubuh Iblis Cebol tiba-tiba saja bergerak ke
samping menghindari serangan Bayu sambil
mengayunkan toyanya. Sementara, Bayu kembali
mengapung di udara menghindari sambaran sen-
jata lawannya. "Iblis Cebol! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!"
bentak Bayu lantang menggelegar.
Srangngng! "Heh...!"
Iblis Cebol jadi tersentak kaget. Terdengar sua-ra gemerincing nyaring yang
memekakkan telinga, ketika Pedang Ular Mas dicabut Pendekar Pulau
Neraka dari warangkanya tanpa menemui kesuli-
tan. Dan memang tidak perlu diragukan lagi ke-
mampuan Pendekar Pulau Neraka dalam menca-
but pedang itu. Kini, cahaya kuning keemasan
langsung memantul dari batang pedang, sehingga
bisa menyilaukan mata siapa saja yang meman-
dangnya. Selagi Iblis Cebol terperanjat kaget menyaksi-
kan kehebatan pedang itu, Bayu menggunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya. Tubuhnya lang-
sung melesat cepat bagai kilat dengan sambaran
pedangnya. Namun manusia bertubuh cebol itu
masih sempat mengebutkan toyanya.
Trakkk! Iblis Cebol terkesiap ketika senjatanya patah
menjadi dua bagian ketika terhantam pedang di
tangan Bayu. Bahkan pedang itu terus meluncur,
mengincar ubun-ubunnya. Begitu cepat serangan
Pendekar Pulau Neraka, sehingga Iblis Cebol
hanya mampu mendelik saja. Lalu....
Blesss! "Aaa...!"
Iblis Cebol memekik setinggi langit begitu Pe-
dang Ular Mas melesak ke dalam tubuhnya, lewat
ubun-ubun. Bahkan pedang itu hanya terlihat
gagangnya saja. Iblis Cebol terhuyung-huyung.
Beberapa saat kemudian dia ambruk ke tanah
dengan nyawa melayang seketika. Tampak darah
sudah membasahi tubuh kerdil itu.
Bayu melangkah mendekati dan mencabut pe-
dang itu dari kepala lawannya. Lalu dia melihat keanehan lain. Cahaya keemasan
itu masih ter-pancar, meski tidak sekuat saat dicabut dari wa-
rangkanya tadi. Tidak ada setetes darah pun yang menempel di batang pedang ini.
Padahal, tubuh Iblis Cebol dipenuhi darah. Kemudian, dimasuk-
kannya pedang itu kembali dalam warangkanya.
Pendekar Pulau Neraka lalu melangkah mendeka-
ti Resi Wangsa Purbaya. Diangsurkannya pedang
dahsyat itu pada pemiliknya lagi.
"Kanjeng Resi, aku telah menunaikan kewaji-
banku. Terima kasih atas bantuanmu," ucap Pen-
dekar Pulau Neraka.
"Kau tidak perlu berterima kasih padaku, Anak
Muda. Sesungguhnya, kami yang patut mengu-
capkan itu padamu," sahut Resi Wangsa Purbaya
seraya menerima pedangnya kembali.
"Kakang Bayu, kau hebat sekali...," sambut Di-
ah Kemuning dengan wajah haru dan ceria.
Tanpa menghiraukan ada orang lain di sekitar-
nya, gadis itu langsung saja memeluk hangat
Pendekar Pulau Neraka ini. Tidak ada perasaan
malu sedikit pun pada wajah gadis itu. Dan pelukannya baru dilepas setelah Bayu
menolakkan tubuhnya dengan halus.
"Pendekar Pulau Neraka.... Kami sangat berte-
rima kasih atas segala bantuan yang kau berikan.
Budimu tentu saja tidak akan pernah kami lupa-
kan," ujar Paman Sudira menyelak cepat
"Ki Sudira, kita sama-sama merasa punya ke-
wajiban untuk melenyapkan Iblis Cebol. Jadi, tidak perlu berterima kasih
padaku," sambut Bayu
tidak ingin disanjung.
"Hatimu sungguh mulia, Kisanak. Nah! Karena
urusan telah selesai, kami mohon diri dulu," lanjut Paman Sudira.
"Aku juga hendak melanjutkan perjalananku,"
sambung Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat
Resi Wangsa Purbaya tidak dapat mencegah.
Hanya kepalanya saja yang mengangguk sedikit.
Sementara, mereka sudah melangkah meninggal-
kannya dengan arah tujuan sendiri-sendiri.
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** SELESAI Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 21 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Pendekar Pedang Kail Emas 1
^