Pencarian

Bidadari Penyambar Nyawa 1

Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Bagian 1


BIDADARI PENYAMBAR NYAWA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Bidadari Penyambar Nyawa
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Rombongan prajurit Kadipaten Baluran yang
dipimpin Ki Aria Depa telah memasuki kawasan
Hutan Mlinping, ketika matahari mulai tergelincir
ke arah barat. Kalau perjalanan ini tak terganggu,
bisa jadi mereka akan tiba di kadipaten menjelang
tengah malam nanti. Itu pun kalau sang Adipati
Wiriaraja yang ikut dalam rombongan tidak
menghendaki istirahat.
Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun itu memberi isyarat pada semua anak
buahnya untuk waspada, ketika telah masuk ke
dalam hutan ini.
"Kenapa, Ki Aria?" tanya seorang pemuda yang
berada di samping kirinya.
Laki-laki bertubuh tegap yang dipanggil Ki Aria
itu melirik sebentar pada anak buah yang menegurnya.
"Kau tidak tahu, Brata Sena. Kawasan Hutan
Mlinping telah dikuasai kawasan perampok yang
menamakan dirinya Alap-alap Panah Beracun,"
jawab laki-laki setengah baya yang sebenarnya
bernama Ki Aria Depa.
"Hm, ya.... Aku pernah mendengar nama itu.
Kalau tak salah, mereka dipimpin Ki Tambak
Ireng yang anak buahnya bersenjatakan anak panah beracun," desah Brata Sena.
Ki Aria Depa mengangguk pelan.
"Brata Sena! Kau mundur ke barisan kiri. Dan
kau, Sendang Dulur! Jaga barisan kanan!"
"Baik, Ki...," sahut Brata Sena dan seorang kawannya di sebelah kanan Ki Aria
Depa, yang dipanggil Sendang Dulur. Keduanya segera memacu
kuda ke arah yang ditunjukkan pemimpin mereka.
Ki Aria Depa sendiri memutar kudanya dan
bergerak ke arah kereta yang membawa Adipati
Wiriaraja. Begitu dekat dengan kereta kuda, dia
bicara sebentar dengan kusir kereta yang dikawal
seseorang bersenjatakan panah. Baru setelah itu,
didekatinya dinding kereta.
"Ada apa, Ki?" tanya sang Adipati Wiriaraja, setelah membuka tirai jendela
keretanya. Sedikit
kepalanya melongok keluar.
"Maaf, Kanjeng Adipati. Kita telah memasuki
kawasan Hutan Mlinping. Hamba berharap, Kanjeng Adipati tidak lengah dan tetap
waspada jika kita mendapat serangan mendadak dari kawanan
perampok yang menguasai daerah ini," jelas Ki
Aria Depa. Adipati Wiriaraja mengangguk pelan.
"Sudah kau siagakan semua pasukan?" tanya,
adipati berusia tiga puluh lima tahun itu. Nada
suaranya terdengar was-was.
"Sudah, Kanjeng Adipati!" sahut Ki Aria Depa.
"Bagus. Laksanakan tugasmu dengan baik.
Dan, jangan khawatir. Aku akan tetap waspada."
"Terima kasih, Kanjeng Adipati...," sahut Ki
Aria Depa seraya memberi hormat. Lalu, pemimpin pasukan itu kembali ke tempat
semula. Ki Aria Depa kemudian memerintahkan pasukannya yang berjumlah sekitar dua puluh
orang untuk berjalan pelan dengan seluruh kewaspadaan ditingkatkan. Matanya yang
beredar ke sekeliling dipasang lebar-lebar dan pendengaran dipertajam.
Semua tahu kalau kawanan Alap-alap Panah
Beracun terkenal buas dan kejam. Bahkan tidak
pilih-pilih dalam merampok dan membunuh
mangsanya. Lebih dari itu, disadari pula kalau
anak buah Ki Tambak Ireng memiliki kepandaian
ilmu silat yang cukup hebat. Kalau saja ada yang
bisa membuat sedikit tenang adalah karena ada
Ki Aria Depa yang memang bukan orang sembarangan. Sebelum menjabat sebagai
Kepala Pasukan Kadipaten Baluran, dia adalah seorang pendekar tangguh yang
jarang ada tandingannya. Hal
itu tidak heran, karena dia merupakan murid
tunggal Nyi Sanggul Geni, tokoh wanita berkepandaian tinggi yang amat disegani
kalangan persilatan.
Sementara itu, tidak berapa lama mereka berjalan, mendadak telinga Ki Aria Depa
yang tajam mendengar suara mencurigakan. Langsung dia
memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk berhenti. Melihat itu,
Brata Sena dan Sendang Dulur dengan sigap menghampiri lalu
berhenti di samping Ki Aria Depa.
"Ada apa, Ki?" tanya Brata Sena, penasaran.
"Tidakkah kau mendengar suara itu?"
"Suara" Suara apa" Aku tidak mendengar sua-
ra yang mencurigakan?" sahut Brata Sena, semakin bingung.
Ki Aria Depa agaknya tidak mempedulikan keheranan anak buahnya. Lalu,
dipanggilnya lima
orang anak buahnya yang lain.
"Kalian berlima, ikut aku," ujar Ki Aria Depa.
Lalu matanya beralih pada Brata Sena dan Sendang Dulur. "Jaga pasukan sebaik-
baiknya dengan tetap meningkatkan kewaspadaan...!"
Kemudian, Ki Aria Depa memacu kencang kudanya ke depan, diikuti lima orang anak
buahnya. Sementara, Brata Sena masih terpaku di tempatnya dengan wajah bingung. Demikian
pula Sendang Dulur. Apa yang didengar Ki Aria Depa" Mereka sama sekali tidak
mendengar apa-apa, selain
desau angin dan suara cericit burung yang sesekali melintas terbang. Tapi
menyadari kalau Ki
Aria Depa memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya bisa memaklumi.
Kini tanpa mengurangi kewaspadaan, Brata
Sena dan Sendang Dulur memimpin pasukan dalam keadaan siaga penuh. Perlahan-
lahan mereka mendekati arah yang tadi dituju Ki Aria Depa beserta lima orang anak buahnya.
Keduanya juga mengerti, kenapa Ki Aria Depa tidak mengajak.
Sebab, laki-laki itu takut jika mereka bertiga pergi
lebih dahulu, maka pasukan yang lain akan mudah diserang oleh kawanan Alap-alap
Panah Beracun yang setiap saat bisa saja terjadi. Sedang
semua tahu kalau kekuatan pasukan itu justru
terletak di tangan mereka bertiga.
*** Ki Aria Depa terus menjalankan kudanya ke
arah jeritan halus tadi terdengar. Walaupun samar-samar sekali, namun jelas bisa
dibedakan kalau jeritan itu keluar dari seorang wanita yang
sedang dalam bahaya. Dan kecurigaannya pun
semakin besar, ketika teriakan ketakutan itu semakin jelas terdengar.
Dan ketika tiba di tempat sumber jeritan tadi,
Ki Aria Depa menggigil menahan marah dan langsung melompat turun dari kudanya.
Di depan matanya kini terlihat lima orang laki-laki berwajah seram tengah mengerubungi
seorang gadis belia, berusia tak kurang dari empat belas tahun.
Salah seorang tampak tengah menindihnya sambil tertawa lebar. Dua orang yang
lain tampak menontoni dengan wajah penuh nafsu. Sementara
dua orang lainnya tengah membetulkan celana
yang kedodoran disertai wajah puas, tanpa melihat kehadiran Ki Aria Depa.
Gadis belia itu tampak lelah tak berdaya menerima perlakuan kotor laki-laki yang
menggilirnya satu persatu. Namun terlihat kalau dia sama sekali tak rela, dengan berusaha
melepaskan diri
dari cengkeraman.
"Binatang-binatang laknat! Hentikan perbuatan
terkutuk kalian!" bentak Ki Aria Depa dengan suara menggeledek.
Bersamaan dengan itu pula tubuh Ki Aria Depa
melesat ringan disertai tendangan kaki kanan ke
arah tubuh laki-laki yang tengah menindih gadis
belia itu. Begitu cepat datangnya serangan. Sehingga sebelum ada yang
menyadari.... Desss! "Aaakh...!"
Laki-laki yang tengah dirasuki nafsu iblis itu
kontan memekik kesakitan, begitu tendangan Ki
Aria Depa mendarat telak di pinggang kanannya.
Tubuhnya seketika terjungkal sekitar lima langkah disertai darah kental yang
muncrat dari mulut. Tendangan Ki Aria Depa tadi memang berisi
tenaga dalam penuh. Dia memang menjadi tak
peduli, apakah lawan akan binasa atau tidak. Apa
pun akan dilakukannya dalam kemarahannya
melihat kelakuan orang-orang biadab. Dan apa
yang dilakukannya, sebatang pohon besar pun
pasti akan tumbang. Maka tak heran kalau lakilaki itu seketika tewas dengan
pinggang remuk.
"Keparat! Berani benar kau mencampuri urusan kami"! Huh! Rasakan pembalasan
kami!" sentak keempat laki-laki pemerkosa, masing-masing.
Sementara itu, kelima anak buah Ki Aria Depa
seketika tertegun. Namun, mereka cepat mencabut golok dan melompat melindungi Ki
Aria Depa. Sementara Ki Aria Depa sendiri tenang-tenang saja.
"Hm.... Pantas saja perbuatan kalian bejad!
Dan selamanya, Kawanan Alap-alap Panah Beracun selalu melakukan perbuatan
biadab!" dengus
laki-laki setengah baya itu dingin.
Ki Aria Depa segera bisa menduga kalau empat
pemerkosa yang tersisa adalah sebagian dari Ka-
wanan Alap-alap Panah Beracun. Itu bisa dilihat
dari senjata berupa busur baja dan kantong anak
panah yang tersandang di punggung masingmasing.
"Bagus! Ternyata kau telah mengenal kami. Kalau begitu, lekas pancung kepalamu
untuk menebus dosamu!" sentak salah seorang dari kawanan
itu yang berbaju merah menyala.
"Ha ha ha...! Kawanan anjing kurap seperti kalian memang selalu merasa tinggi
dan menganggap rendah orang lain...!" ejek Ki Aria Depa sambil
tertawa. "Kurang ajar! Kutu busuk kalian hendak berlagak di depan kami. Lebih baik mampus
saja!" dengus laki-laki berbaju merah itu.
Langsung dia bergerak ke arah Ki Aria Depa,
dengan ayunan busur yang digunakannya sebagai
senjata. Dan seketika itu pula ketiga kawannya
bergerak pula, menyerang anak buah Ki Aria Depa.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Ki Aria Depa tersenyum sambil melompat untuk menghindari sabetan busur laki-laki
berbaju merah. Dan ujung kaki kanannya cepat membalas dengan sambaran ke arah wajah.
Wut! Laki-laki berbaju merah itu melemparkan kepalanya ke belakang dengan wajah
kaget. Sungguh tak dikira kalau laki-laki setengah baya itu
mampu bergerak demikian cepat. Bukan hanya
itu. Angin sambaran tendangan Ki Aria Depa pun
masih terasa menekan wajahnya. Meski begitu
hatinya tak gentar. Malah, dia menyerang semakin ganas.
"Hiyaaat...!"
Dalam suatu kesempatan, laki-laki berbaju merah menyala itu menyambar anak
panahnya. Dan seketika tiga buah anak panah langsung dihujamkan ke arah Ki Aria Depa. Dengan
cepat, lakilaki setengah baya itu berjumpalitan untuk
menghindarinya.
Belum juga Ki Aria Depa mendarat di tanah
orang berbaju merah itu kembali menyerang. Kepalan tangan kanannya yang berisi
tenaga dalam kuat, menyambar lurus ke arah dada Ki Aria Depa. Maka begitu kakinya menyentuh
tanah, ditangkisnya serangan itu dengan kibasan tangan
kiri. Plak! "Ukh...!"
Orang berbaju merah itu merasa kesemutan
ketika tangannya beradu. Wajahnya menyeringai
menahan sakit. Namun kaki kirinya cepat berputar menyambar pinggang Ki Aria
Depa. Maka cepat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat ke
atas. Sring! Begitu berada di atas, Ki Aria Depa langsung
mencabut pedangnya. Seketika, disambarnya batok kepala orang berbaju merah itu.
Tentu saja hal ini membuat laki-laki itu kaget bukan main.
Buru-buru dia menjatuhkan diri. Namun ujung
kaki kanan Ki Aria Depa lebih cepat lagi menghantam tengkuknya.
Duk! "Aaakh...!"
Orang berbaju merah itu mengeluh kesakitan,
begitu tengkuknya terhajar kaki kanan Ki Aria
Depa. Tubuhnya terjajar ke depan dan nyaris tersungkur. Untungnya keseimbangan
tubuhnya cepat terkuasai.
Ki Aria Depa yang melihat keadaan lawannya
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ujung pedangnya langsung berkelebat ke arah
pinggang kiri orang berbaju merah itu.
Bresss! "Aaa...!"
Laki-laki itu kembali menjerit, begitu pedang Ki
Aria Depa menembus pinggangnya: Sepasang matanya melotot nyalang, dan dari


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutnya menetes darah segar. Ki Aria Depa mendengus kecil
seraya mencabut pedangnya yang terbenam hampir setengahnya. Tubuh orang itu
kemudian ambruk, dan tewas setelah menggelepar beberapa
saat "Huh! Mampuslah kau! Orang-orang sepertimu
memang patut menerimanya!" dengus Ki Aria Depa dingin.
Pada saat yang hampir bersamaan, kembali
terdengar dua jeritan anggota gerombolan Alapalap Panah Beracun. Ki Aria Depa
menoleh. Tampak dua orang tewas di tangan anak buahnya.
Sementara, dua orang lagi kabur melarikan diri.
"Biarkan mereka mengadu pada pimpinannya.
Kita telah siap menghadapi mereka!" cegah Ki Aria
Depa, ketika melihat anak buahnya akan mengejar.
"Tapi, Ki.... Perjalanan kita masih jauh. Bagaimana kalau mereka mengadu pada
yang lainnya, lalu menghadang perjalanan kita?" tanya salah
seorang anak buah Ki Aria Depa dengan wajah
kurang puas. Ki Aria Depa tak menjawab. Tapi dia mendekati
gadis belia yang tadi sempat menjadi korban nafsu iblis para pemerkosa. Salah
seorang anak buah laki-laki setengah baya itu memberikan baju
pada gadis itu untuk menutupi tubuhnya yang
tanpa sehelai pakaian pun. Wajah gadis itu tampak pucat dan bibirnya gemetar.
Tetesan air mata
telah mengering di bawah kelopak matanya yang
sembab. Namun meski keadaannya lusuh begitu,
jelas terlihat kalau gadis belia itu amat cantik.
Tubuhnya pun bagus. Tak heran bila para begundal tadi seperti kerasukan setan
saja melihatnya.
"Siapa namamu, Cah Ayu?" tanya Ki Aria Depa
seraya menundukkan tubuh dan tersenyum kecil.
*** Gadis itu surut ke belakang. Sepasang matanya memandang curiga ke arah Ki Aria
Depa. Sinar kebencian jelas terlihat dari raut wajahnya.
Sementara Ki Aria Depa bukannya tidak mengetahuinya. Dan bibirnya kembali
tersenyum seraya
mengulurkan tangan.
"Namaku Aria Depa, Panglima Kadipaten Baluran. Dan mereka adalah anak buahku.
Kami bukan orang jahat. Malah, sebaliknya kami akan
melindungimu dari perbuatan jahat orang-orang
yang telah berbuat tak senonoh padamu. Nah,
Cah Ayu. Ikutlah bersama kami...," bujuk Ki Aria
Depa. Gadis itu diam membisu, malah wajahnya dipalingkan seolah tak peduli dengan apa
yang dikatakan Ki Aria Depa. Laki-laki itu menghela napas pendek, tidak tahu
harus berbuat apa.
Pada dasarnya, Ki Aria Depa memang bukan
orang yang penuh kesabaran. Apalagi menghadapi hal seperti sekarang. Wajahnya
lalu ditengadahkan ke langit, kemudian berbalik, hendak
meninggalkan gadis itu. Sedangkan kelima anak
buahnya jadi serba salah. Mereka seperti tak percaya kalau Ki Aria Depa
bermaksud meninggalkan gadis belia di sini. Bagaimana kalau kawanan
begundal tadi datang kembali, dan mengulangi
perbuatan kotor mereka dengan cara lebih biadab
terhadap gadis belia itu"
"Apakah kalian punya cara untuk membujuknya, agar mau ikut dengan kita" Dan yang
lebih penting, apakah kalian, bisa meyakinkannya kalau kita bukan bermaksud jahat
padanya" Lihat
sinar matanya yang penuh kecurigaan dan seakan tak percaya pada setiap orang
lagi," gumam
Ki Aria Depa. Suaranya terdengar pelan namun
jelas penuh rasa iba pada nasib gadis belia itu.
"Paman Aria Depa, apakah yang sedang terjadi
di tempat ini?"
Ki Aria Depa tersentak kaget begitu tiba-tiba
mendengar sapaan halus dari belakang. Laki-laki
setengah baya itu kontan menoleh dan berbalik.
Kini di hadapannya telah berdiri Adipati Wiriaraja
pada jarak tujuh langkah. Kedua telapak kakinya
persis berpijak pada sebatang akar pohon yang
mencuat ke atas permukaan tanah. Yang amat
mengherankan, dari mana adipati ini tiba-tiba telah berada di depannya tanpa
diketahui"
"Maaf, Kanjeng Gusti Adipati. Hamba berusaha
menyelamatkan seorang gadis belia dari perbuatan busuk Kawanan Alap-alap Panah
Beracun. Namun, agaknya gadis itu tak percaya pada niat
baik kami. Hamba tak berhasil membujuknya...,"
jelas Ki Aria Depa singkat.
"Hm, begitukah" Baiklah. Mungkin aku bisa
membujuknya, Paman," desah adipati itu.
Adipati Wiriaraja lalu tersenyum seraya menghampiri gadis itu. Namun, gadis ini
sudah memandangnya dengan rasa curiga dan kebencian.
"Nisanak, tersenyumlah. Dan, hilangkan kebencian serta rasa curiga terhadap
kami. Sesungguhnya, kau diberi akal budi untuk membedakan
manusia yang hendak berbuat jahat padamu, dan
manusia yang hendak membantumu. Maka,
alangkah sia-sianya jika Nisanak menuruti hawa
nafsu untuk menyamakan semua manusia yang
ditemui. Aku Adipati Wiriaraja, ikutlah denganku..," kata Adipati Wiriaraja
seraya mengulurkan
tangan dan tersenyum pada gadis itu.
Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, namun samar-samar ada sebersit senyum
ketika gadis itu mengulurkan tangan menyambut uluran
tangan sang Adipati.
"Jangan takut, kami bermaksud baik padamu.
Siapa namamu...?" lanjut Adipati Wiriaraja tetap
tersenyum ramah.
Gadis belia itu terdiam. Sementara Adipati Wiriaraja tetap tersenyum. Dan pada
saat yang sama, rombongan yang dipimpin Brata Sena dan
Sendang Dulur tiba di tempat itu. Keduanya sedikit terkejut ketika melihat
Adipati Wiriaraja telah
berada di tempat ini lebih dulu bersama pasukannya. Tidak ada seorang pun yang
tahu, bagaimana caranya Adipati Wiriaraja bisa cepat berada di tempat ini.
"Mari, ikut denganku dengan kereta itu...!" ajak
Adipati Wiriaraja seraya menuntun gadis itu ke
dalam kereta. Gadis itu tampak menurut dan melangkah perlahan-lahan. Sebelum kakinya masuk ke
dalam kereta, dipandanginya mereka satu persatu seperti hendak meyakinkan dirinya
kalau orang-orang
itu tidak akan mencelakakan dirinya.
"Kita langsung berangkat, Kanjeng Gusti Adipati...?" tanya Ki Aria Depa.
"Ya. Kita berangkat sekarang...," balas Adipati
Wiriaraja setelah masuk ke dalam kereta bersama
gadis belia itu.
Ki Aria Depa segera memerintahkan pasukan-
nya untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa
mengurangi kewaspadaan terhadap kemungkinan
serangan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.
Hari telah menjelang sore ketika mereka keluar
dari Hutan Mlinping. Agaknya, Kawanan Alapalap Panah Beracun tidak mengadakan
pembalasan atas beberapa orang anggotanya yang tewas.
Atau mungkin juga, ada alasan lain yang membuat mereka tidak mencegat rombongan
itu. Semua anggota pasukan kadipaten kini bisa bernapas lega. Tidak lama lagi,
mereka akan tiba di desa terdekat. Sedangkan Adipati Wiriaraja memberi
isyarat pada Ki Aria Depa untuk beristirahat di
desa Loh Gawe. Namun baru saja melangkah beberapa saat,
mendadak terdengar irama suling yang mengalun
seperti mengelilingi tempat itu. Iramanya teratur
dan terdengar merdu. Mereka saling berpandangan, dan mencari-cari asal suara.
Namun tak seorang pun yang terlihat di tempat itu.
"Eyang Guru...," desis Ki Aria Depa.
"Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian ramairamai seperti ini" Dan apakah yang
kalian bawa untukku..."!"
Suara suling itu lenyap. Dan kini berganti suara tawa cekikikan halus yang
mengiringi berkelebatnya sesosok tubuh dengan ringan di hadapan
mereka dari depan.
Ternyata, dia adalah seorang perempuan tua
berambut panjang teriap dan telah memutih. Bajunya terlihat kebesaran berwarna
kelabu. Tan- gan kirinya menggenggam sebatang suling bambu. Wajahnya terlihat riang dengan
senyum selalu terkembang. Melihat kehadiran wanita itu, serta
merta Ki Aria Depa membungkukkan tubuh dan
memberi salam hormat. Tampaknya, Ki Aria Depa
mempunyai hubungan dekat dengan wanita itu.
"Eyang, terimalah salam hormat muridmu
ini...." "Hi hi hi...! Kuterima salam hormatmu, Anakku. Nah, apakah yang kau bawa untukku
ini?" tanya perempuan tua itu, yang rupanya guru dari
Ki Aria Depa. "Ampun, Eyang. Kami tidak membawa apa-apa
untukmu. Saat ini kami tengah menjalankan tugas mengawal junjungan kami, yaitu
Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja," jelas Ki Aria Depa.
"Apa" Brengsek! Susah payah aku mendidikmu, ternyata kau menjadi budak orang.
Apa aku pernah mengajarkanmu begitu, heh"! Justru kalau bisa, kau harus menjadi raja
yang dipuja banyak orang!" dengus perempuan tua itu geram.
"Tapi, Eyang...."
"Sudahlah. Sekarang juga, kau harus ikut denganku!" potong wanita tua itu
nyaring. Ki Aria Depa menjadi serba salah mendengar
perkataan wanita itu. Matanya melirik sekilas ke
arah kereta, kemudian kembali memandang gurunya dengan wajah bingung.
"Ayo, apa lagi yang ditunggu" Apa yang kau
pandang dari manusia itu, sehingga kau mau
mengabdi padanya?" hardik wanita tua itu den-
gan sepasang mata melotot. Dalam seketika, wajahnya yang tadi ramah dan penuh
tawa, berubah garang laksana seekor macan betina yang tengah
murka. Ki Aria Depa semakin merasa serba salah. Harga dirinya betul-betul jatuh
diperlakukan demikian oleh gurunya. Namun, dia tak mampu untuk
berbuat apa-apa. Dan lagi, apa yang diperintahkan gurunya rasanya tidak mungkin
bisa dikerjakan. Paling tidak, untuk saat ini. Sebab, tugasnya
untuk mengawal sang Adipati hingga sampai ke
tempat kediamannya belum selesai. Tapi kalau
perintah gurunya tidak dituruti, bisa jadi dia
akan marah besar. Dan bukan tidak mungkin
akan menghajarnya di depan anak buahnya. Dia
tahu betul watak gurunya.
Dalam keadaan demikian, Adipati Wiriaraja segera turun dari kereta kudanya.
Langsung dihampirinya wanita tua itu.
"Nyi Sanggul Geni, aku yang hina bernama Wiriaraja menghaturkan salam hormat
kepadamu...!" ucap adipati itu dengan suara rendah dan
halus. *** 2 Wanita tua yang dipanggil Nyi Sanggul Geni
berpaling, menatap sinis pada Adipati Wiriaraja.
Namun hatinya sedikit bergetar ketika sorot ma-
tanya beradu dengan laki-laki berusia sekitar tiga
puluh lima tahun berwajah bersih itu. Tidak pelak
lagi, Nyi Sanggul Geni bisa menduga bahwa adipati ini agaknya bukanlah orang
sembarangan. Dan orang seperti dirinya yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan,
tentu saja bisa
mudah menebak kalau tenaga batin sang Adipati
itu tentu telah demikian tinggi.
"Huh! Aku tidak bicara padamu! Untuk apa
menerima segala salam hormat darimu!" sahut
perempuan tua itu tetap mendengus sinis.
Mendengar sahutan itu Adipati Wiriaraja sama
sekali tak marah. Sebaliknya, malah tersenyum
kecil. "Seorang manusia terhormat hendaknya saling
bertegur sapa dan memberi hormat setiap kali
bertemu seseorang. Dan sudah sepatutnya orang
yang diberi salam hormat itu pun membalas salam yang sama. Kecuali, kalau
derajatnya bukanlah seorang manusia...," kata Adipati Wiriaraja,
kalem. "Kurang ajar! Kau anggap apa aku, heh"!" hardik Nyi Sanggul Geni merasa
tersinggung mendengar kata-kata adipati itu. Matanya mendelik
garang, seperti hendak menelan bulat-bulat lakilaki itu.
"Hm.... Kenapa Nyai marah" Apakah merasa
tersinggung mendengar kata-kataku?"
"Brengsek! Kau kira apa derajatmu berani berkata kurang ajar padaku"! Hei! Aku
heran, apa kehebatanmu sehingga muridku bersedia men-
gabdi kepada orang sepertimu"! Kalau hanya karung kosong yang tidak berguna, kau
akan mampus di tanganku!" geram Nyi Sanggul Geni seraya
melompat menyerang Adipati Wiriaraja.
"Eyang, jangan...!" cegah Ki Aria Depa berteriak
cemas, seraya melompat menghadang serangan
gurunya. Prajurit Kadipaten Baluran terkejut melihat
tindakan wanita tua itu. Namun, sesaat mereka
tak tahu harus berbuat apa. Jika bergerak menghadang, apa jadinya dengan Ki Aria
Depa" Karena, wanita tua itu adalah gurunya. Tapi jika didiamkan saja,
keselamatan sang Adipati tentu
akan terancam. Sementara itu tubuh Ki Aria Depa sendiri begitu terkejut, karena tiba-tiba saja
gurunya mengibaskan sebelah tangannya. Dari situ menderu
angin kencang yang menghantam dirinya. Ki Aria
Depa berusaha berjumpalitan beberapa kali, kemudian menjejakkan kakinya di
tanah, tidak jauh
dari tempat Adipati Wiriajara berada.
Nyai Sanggul Geni sedikit bersiap-siap akan
membuka jurus baru. Namun Ki Aria Depa sudah
melangkah mendekati, langsung menjura hormat.
"Eyang, aku mohon jangan diteruskan...," pinta


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki setengah baya itu.
"Minggir kau, Aria!" sentak Nyai Sanggul Geni
cepat. Namun, sikap Ki Aria Depa tidak berubah.
Bahkan tetap berdiam diri di hadapan wanita tua
itu. "Huh! Kalau begitu, kau patut mendapat hajaran!" dengus wanita tua itu geram
seraya mengayunkan telapak tangan kanan ke batok kepala
muridnya. Ki Aria Depa bukannya tidak tahu. Namun,
keadaannya memang sedang terjepit dan tidak
tahu harus berbuat apa untuk melerai tindakan
gurunya. Kalaupun harus mati di tangan gurunya, itu lebih baik daripada
bertindak tidak adil
dalam peristiwa ini.
Dan dalam hal ini, agaknya Nyai Sanggul Geni
betul-betul akan melakukan ancamannya. Wanita
tua yang wataknya sulit ditebak ini, seperti tidak
peduli apakah muridnya akan melawan atau tidak. Maka seketika telapak tangannya
diayunkan dengan deras. Namun sebelum menghantam batok kepala Ki Aria Depa, Adipati
Wiriaraja cepat
memapaki. Akibatnya, kedua telapak tangan mereka bertemu dan saling cengkeram.
"Nyi! Bukankah membunuh murid sendiri adalah tidak terpuji" Apalagi muridmu
bukanlah orang jahat Selama ini dia selalu membela orangorang tertindas. Bukankah itu
merupakan didikanmu" Dan hari ini, kau akan mengajarkan hal
yang buruk padanya. Atau mungkin, penilaianku
yang salah" Namun kumohon, sudilah kiranya
kau mengampuninya...."
"He he he...! Tidak heran bila muridku mengabdi padamu. Tapi aku ingin melihat,
pada siapa dia mengabdi. Kalau mengabdi pada orang tak
berguna, maka lebih baik tak usah hidup. Di tan-
ganmulah keputusan mati hidupnya," sahut Nyi
Sanggul Geni terkekeh kecil.
"Nyi! Aku hanya manusia biasa yang dipercaya
memimpin kawula. Mana mungkin bisa melebihi
kekuasaan Hyang Jagat Batara untuk menentukan hidup mati seseorang...," sahut
Adipati Wiriaraja tenang.
"Huh! Apa peduliku" Aku tidak bicara tentang
Hyang Jagat Batara, tapi tentang muridku yang
goblok dan kau yang kurang ajar!" dengus Nyi
Sanggul Geni. Sejak saling mengadu omong, mereka tidak
melepaskan cengkeraman tangan masing-masing.
Ki Aria Depa terkejut. Demikian juga Sendang
Dulur dan Brata Sena. Tadi mereka dibuat terkejut oleh kehadiran adipati yang
tiba-tiba. Dan kini, mereka melihat Adipati Wiriaraja malah berani
memapak serangan wanita tua itu yang jelas-jelas
memiliki kepandaian tinggi. Semua menyadari,
apa yang tengah berlangsung di depan mata. Jelas, itu adalah seperti adu
kekuatan tenaga dalam
dua tokoh tingkat tinggi. Terlihat asap mulai
mengepul tipis dari kedua belah tangan mereka
yang semakin lekat seperti bersatu. Wajah keduanya mulai berkeringat Dan yang
menjadi pertanyaan, dari mana Adipati Wiriaraja memiliki kepandaian hebat
sehingga mampu menandingi Nyi
Sanggul Geni yang amat kosen dalam dunia persilatan"
*** Sejak pertama kali mengabdi di kadipaten, tidak seorang pun yang tahu kalau
Adipati Wiriaraja memiliki ilmu kedigdayaan. Demikian pula Ki
Aria Depa. Laki-laki setengah baya itu hanya tertarik mendengar keluhuran budi
junjungannya terhadap rakyat, dan kebijaksanaannya. Tidak
segan-segan beliau turun sendiri ke desa-desa
untuk memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Bahkan ikut membantu
kawulanya yang sedang kesusahan. Dan pada dasarnya, Ki
Aria Depa memang memiliki jiwa suka menolong.
Maka dia merasa betah mengabdi pada sang Adipati yang memang memiliki sifat
lembut dan welas asih.
Tapi kini, apa yang terlihat sungguh menambah kekaguman dan rasa hormat terhadap
junjungannya. Adipati Wiriaraja mampu menandingi
kehebatan gurunya, yang selama ini amat disegani dan diperhitungkan dalam
kalangan persilatan.
"Nyi! Kurasa cukuplah dulu main-main kita
saat ini. Aku mengaku kalah padamu...," ujar
Adipati Wiriaraja, seraya melompat ke belakang
setelah mendorong perempuan tua itu.
Tubuh Nyi Sanggul Geni juga terjajar ke belakang dalam keadaan berpijak di
tanah. Sementara bibir adipati ini tersenyum kecil dan kembali
menjura hormat pada wanita tua itu.
"Nyi! Aku sama sekali tidak menganggap budak
terhadap muridmu. Sebaliknya, aku menganggapnya sebagai sahabat terdekatku.
Untuk itu, sudilah kau membiarkannya terus bekerja den-
ganku...," lanjut Adipati, ramah.
"Hi hi hi...! Sungguh patut kau bersahabat
dengannya, Aria. Nah! Kau kurestui. Orang ini
memang patut menjadi kawanmu. Baik-baiklah
dengannya," ujar Nyi Sanggul Geni.
Kemudian perempuan tua itu melangkah mendekati Adipati Wiriaraja. Matanya
melirik sekilas
ke dalam kereta, kemudian berpaling ke arah
Adipati Wiriaraja.
"Tahukah kau, apa yang kuinginkan darimu?"
lanjut wanita itu.
Adipati Wiriaraja tersenyum kecil.
"Kalau tidak salah menebak, kau tentu menginginkan gadis belia yang berada di
dalam keretaku itu, bukan?"
"He he he...! Ternyata kau juga cerdik dan cepat tanggap. Sejak tadi, aku memang
melihat pertarungan kalian dengan para cecunguk-cecunguk
itu. Kalau saja muridku tidak cepat menyelamatkan dirinya, tentu dia akan
semakin menderita di tangan mereka. Kasihan, bocah itu. Dia kini
sebatang kara. Aku ingin mengambilnya menjadi
muridku. Nah, berikanlah padaku!" ujar Nyi
Sanggul Geni. "Maafkan aku, Nyi. Aku tidak bisa memberikannya padamu...," sahut Adipati
Wiriaraja. Wajah Nyi Sanggul Geni yang mulai lunak,
kontan kembali garang mendengar jawaban adipati itu. Tangan kirinya yang masih
menggenggam suling langsung ditudingkan ke arah laki-laki itu.
"Bocah edan! Apa mesti kuhajar sampai mam-
pus, baru aku bisa mendapatkan gadis itu, heh"!
Atau, barangkali kau kepincut melihat kecantikannya, dan bermaksud mengambilnya
menjadi istrimu yang kesepuluh?" sentak Nyi Sanggul Geni disertai belalakan matanya.
Mendengar kata-kata pedas wanita tua itu,
Adipati Wiriaraja sama tidak sekali tak marah.
Dia malah tetap tenang sambil tersenyum.
"Nyi, apa yang kau katakan sama sekali tak beralasan. Aku memang telah beristri,
tapi cukup satu saja. Karena, aku merasa sudah bahagia.
Adapun keinginanku memungut gadis itu, tidak
lain ingin mengangkatnya sebagai anakku. Apalagi setelah sekian tahun berumah
tangga, kami belum juga dikaruniai anak...," jelas Adipati Wiriaraja.
"Huh! Aku tidak peduli segala alasanmu! Berikan bocah itu, atau aku mesti
menempurmu sampai mampus"!" gertak wanita tua itu.
Adipati Wiriaraja tersenyum pahit Meskipun
baru mengenal wanita tua itu, tapi sebenarnya
mengerti betul wataknya yang angin-anginan dan
mau menang sendiri. Namun dia sama sekali tidak ingin bentrok dengannya. Bukan
karena Nyi Sanggul adalah seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan yang amat disegani.
Tapi lebih dari
itu, dia adalah guru dari Ki Aria Depa, panglima
pasukan di kadipaten yang dipimpinnya.
"Eyang! Aku akan memenuhi segala keinginanmu, asal Eyang tidak mengganggu urusan
Kanjeng Gusti Adipati...," kata Ki Aria Depa me-
nengahi. "Diam kau, Aria! Tahu apa kau dengan segala
urusanku!" sentak Nyi Sanggul Geni marah.
"Tapi, Eyang. Bukankah hal itu perbuatan tidak benar?" bela laki-laki setengah
baya itu. "Hm.... Kau bicara tentang kebenaran" Baik!
Coba katakan padaku, apakah kewajiban seorang
murid"!" sentak Nyi Sanggul Geni cepat.
"Murid mengetahuinya, Eyang. Yaitu, berbakti...."
"Nah! Apakah aku tidak pantas meminta sesuatu yang menjadi hakku" Kaulah yang
menyelamatkan bocah itu, bukan dia!" tuding Nyi Sanggul
Geni, ke arah Adipati Wiriaraja.
"Benar, Eyang. Tapi dalam hal ini, aku tengah
menjalankan tugasku sebagai seorang Panglima
Kadipaten. Maka sudah sepatutnya aku bertanggung jawab pada Kanjeng Gusti
Adipati. Dengan
demikian, segala sesuatu yang kudapatkan akan
jadi wewenangnya, untuk memutuskan apa yang
menjadi hakku dan mana yang tidak...."
"Aaah! Bicara apa kau ini" Berbelit-belit dan tidak jelas. Sudah jelas kau yang
menyelamatkan gadis itu. Dan sekarang, aku minta gadis itu untuk kujadikan murid. Aku akan
memeliharanya dan akan kubina dengan baik. Apa itu kurang jelas di telingamu?" sentak
perempuan tua itu, tak
mau kalah. Ki Aria Depa hendak menyahut lagi, namun
buru-buru Adipati Wiriaraja mengangkat tangannya, sebagai isyarat agar panglima
itu tidak me- lanjutkan kata-katanya. Laki-laki itu tetap tersenyum meski dipaksakan ketika
melangkah mendekati wanita tua itu.
"Nyi.... Benarkah kau akan memeliharanya
dengan baik...?" tanya Adipati Wiriaraja.
"Phuih! Apa kau kira aku ini orang yang suka
mengingkari janji"!" dengus perempuan tua itu.
"Baiklah.... Aku percaya padamu. Tapi mengingat kalau gadis itu ingin kuangkat
sebagai anakku, tentu saja berat bagiku untuk melepaskannya. Tapi kupikir, demi
kebaikan kita bersama,
tidak ada salahnya kutitipkan padamu. Namun
ada syaratnya...."
"Brengsek! Apa syaratnya"!" bentak Nyi Sanggul Geni memaki kesal.
"Kalau kau hendak merawatnya, maka kuberi
waktu dalam tiga tahun. Dan setelah itu, kau harus mengembalikannya padaku.
Kalau dalam waktu tiga tahun tidak dikembalikan, maka aku
akan mencarimu ke mana pun kau bersembunyi
untuk menagih janji...!" papar adipati itu.
"Sial! Apa hakmu memintanya kembali" Bukankah dia belum menjadi putri angkatmu?"
"Sekarang saatnya aku akan menanyakan kesediaannya," sahut Adipati Wiriaraja.
Setelah berkata demikian, Adipati Wiriaraja
menyuruh gadis belia dalam kereta itu untuk segera keluar. Dengan didampingi
seorang prajurit
kadipaten, gadis itu keluar perlahan-lahan seraya
memandang ke arah dua orang yang tengah
memperebutkan dirinya.
"Anak manis.... Kau telah mendengar pembicaraan kami, bukan" Tidak ada niat
buruk di antara kami padamu, Nah! Aku ingin bertanya, siapakah namamu?" tanya
adipati itu. *** Gadis itu memandang ke arah Adipati Wiriaraja. Wajahnya yang semula curiga, kini
tampak sembab. Ada rona kesedihan yang terpancar dari
lubuk hatinya. Namun demikian, Adipati Wiriaraja seperti mampu merasakan getaran
hati gadis yang kini mempercayai dirinya itu. Bisa dimengerti, kesedihan apa yang
melandanya. "Hamba.... Hamba..., bernama Kunti, Kanjeng
Gusti," desah gadis bernama Kunti itu pelan dengan suara tersendat
"Nah, Kunti.... Maukah kau menjadi putri angkatku?" tanya adipati itu.
"Hamba.... Hamba senang sekali, Kanjeng Gusti. Tapi hamba..., hamba merasa tak
pantas...."
"Anakku.... Yang kuinginkan adalah jawabanmu. Iya atau tidak. Kebetulan aku dan
istriku tidak mempunyai anak. Dia tentu akan senang sekali melihat kehadiranmu.
Nah, jawablah. Maukah kau menjadi putriku?"
Kunti mengangguk pelan setelah memandang
wajah sang Adipati beberapa saat. Kemudian kepalanya kembali tertunduk.
"Nah, begitu lebih baik. Kini, kau resmi sudah
menjadi anakku, disaksikan mereka yang hadir di
tempat ini. Dan namamu kini kutambah menjadi
Kunti Kameshawara, putri Wiraraja yang menjadi
adipati Kadipaten Baluran.
"Ayahanda.... Terimalah sembah sujud Ananda.
Dan, terima kasih dari lubuk hatiku atas kemurahan hatimu...," ucap gadis itu
seraya bersujud
di kaki Adipati Wiriaraja.
"Bangunlah, Anakku. Kau tidak boleh bersikap
demikian...," ujar adipati, langsung mengangkat
kedua bahu putri angkatnya.
Kunti Kameshawara tetap menundukkan kepala seraya bangkit perlahan-lahan.
Sedangkan adipati itu tersenyum mengangkat dagu anak angkatnya.
"Anakku, kiranya kau telah mendengar pula
yang kami bicarakan tadi. Nyi Sanggul Geni juga
menginginkan kau untuk diangkat menjadi murid. Beliau juga mengasihimu. Dan hal
ini merupakan anugerah yang tiada ternilai. Maka, ikutlah
padanya. Dan, belajarlah dengan baik untuk
menjadi anak yang berguna kelak. Bila telah tiga
tahun, berangkatlah kau ke Kadipaten Baluran.
Aku dan ibumu akan bersuka cita menyambut
kepulanganmu...," wejang Adipati Wiriaraja.
"Ayahanda.... Berat rasanya hatiku berpisah
denganmu. Aku telah mempercayaimu sebagai
orang yang berbudi dan telah menyelamatkan jiwaku. Tentu saja aku tidak akan
melupakanmu. Dan untuk itu, segala titahmu akan kulaksanakan sebaik-baiknya...," sahut Kunti
Kameshawara, dengan bahasa dan tata krama tinggi.
Adipati Wiriaraja tersenyum bangga. Jelas dari
sikapnya gadis itu tentu berasal dari kalangan
terhormat. Dan keluguan dan kejujurannya, semakin menambah rasa percaya diri


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi sang Adipati. Apalagi Kunti Kameshawara sama sekali
tidak merasa canggung menganggap adipati sebagai ayahandanya sendiri.
"Nah, Nyi. Telah kau dengar sendiri. Kunti kini
telah menjadi putriku. Bawalah dia bersamamu.
Dan, bimbinglah sebagai muridmu. Aku percayakan keselamatannya padamu. Lalu
setelah tiga tahun kau menggemblengnya, biarlah dia menemuiku. Kami akan selalu rindu
padanya," lanjut
Adipati Wiriaraja.
"He he he...! Tentu saja, tentu saja...! Mari, Bocah. Ikutlah denganku!" ajak
Nyi Sanggul Geni seraya mengulurkan tangan pada Kunti Kameshawara.
Gadis itu menyambut uluran tangan wanita
tua yang segera mengajaknya untuk berlalu dari
tempat itu. Masih sempat matanya memandang
sekilas ke arah Adipati Wiriaraja. Kemudian sebentar saja Nyi Sanggul Geni telah
menggendong dan membawanya lenyap dengan hanya sekali
berkelebat. Sedangkan Adipati Wiriaraja tersenyum seraya menghela napas panjang.
"Kanjeng Gusti Adipati.... Maafkanlah atas segala tindakan guruku yang tidak
berkenan di hati...," ucap Ki Aria Depa seraya menjura hormat,
ketika gurunya telah lenyap dari pandangan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman
Aria...." "Kanjeng Gusti, tentunya merasa tersinggung
atas ulah guru hamba...."
Adipati Wiriaraja tersenyum kembali.
"Aku memang merasa keberatan. Tapi, aku tidak tersinggung dan kesal. Mungkin
telah digariskan kalau Kunti Kameshawara akan berjodoh
di tangan gurumu. Aku merelakannya, karena
aku yakin kelak dia akan kembali padaku...."
"Kenapa Kanjeng Gusti tidak berusaha mempertahankannya" Bukankah Kanjeng Gusti
mampu melakukannya?" tanya panglima itu bernada
memancing. "Kau ingin aku bentrok dengan gurumu sendiri?" tanya Adipati Wiriaraja tersenyum
kecil. Ki Aria Depa merasa lega mendengar jawaban
itu. "Eh! Tentu saja tidak, Kanjeng Gusti," sahut
laki-laki setengah baya itu.
"Nah! Menurutmu, apakah tindakanku tadi salah?"
"Hm.... Selama mengikuti Kanjeng Gusti, lebih
banyak keputusan bijaksana yang hamba lihat."
"Yang tadi mungkin tidak bijaksana. Namun,
mampu menyelesaikan masalah. Tidak menjadi
soal meski aku merasa sedikit dirugikan. Sebab,
paling tidak kita telah menghindari pertumpahan
darah. Dan itulah yang terbaik pada saat ini. Nah!
Sekarang, bisakah kita melanjutkan perjalanan
kembali?" "Tentu saja, Kanjeng Gusti!" sahut Ki Aria Depa
cepat. Setelah menjura hormat, laki-laki setengah
baya itu langsung melompat ke punggung kudanya. Langsung dia memberi perintah
pada anak buahnya untuk segera berangkat meninggalkan
tempat itu. Sedangkan Adipati Wiriaraja berjalan
menuju kereta kudanya.
"Kita langsung berangkat menuju kadipaten,
dan batalkan rencana beristirahat!" ujar adipati
itu, ketika telah memasuki kereta kuda.
"Siap, Kanjeng Gusti" sahut Ki Aria Depa yang
berkuda di samping kereta adipati itu.
Ki Aria Depa kontan berteriak nyaring. Maka
rombongan itu mulai bergerak diiringi derap langkah kaki kuda yang mulai kencang
melaju. *** 3 Lima tahun telah berlalu, sejak Adipati Wiriaraja menyerahkan Kunti Kameshawara
pada Nyi Sanggul Geni. Sementara di wilayah Kadipaten
Baluran belum ada yang berubah. Adipati Wiriaraja masih tetap dipercayakan
memimpin wilayah
itu, dengan kebijaksanaannya yang tetap tidak
berubah. Tidak heran bila rakyat menginginkannya untuk terus menjabat sebagai
adipati. Namun belakangan ini, Adipati Wiriaraja dibuat pusing oleh banyaknya mayat yang
sering ditemukan di wilayahnya. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia muda.
Tidak ada seo- rang pun yang tahu, siapa pelaku kejahatan itu.
Pancaran sinar matahari siang ini di Kadipaten
Baluran tidak terlalu terik. Lebih-lebih pepohonan
yang melindungi pejalan kaki membuat suasana
menjadi rindang dan teduh. Di bawah sebatang
pohon mangga seorang pemuda berwajah tampan
dan berambut panjang tampak sedang berkelakar
dengan seekor monyet kecil berbulu hitam. Pemuda tampan berbaju kulit harimau
itu tidak lain dari Bayu Hanggara atau yang dikenal sebagai
Pendekar Pulau Neraka. Sementara, monyet kecil
itu tentu saja Tiren.
"Kaaakh...!"
Tiren melompat ke atas pohon mangga dengan
gerakan lincah sekali. Dipetiknya serenceng
mangga yang ranum dan harum baunya. Lalu dilemparkannya sebuah demi sebuah ke
arah pemuda itu, seperti hendak bercanda.
Bayu yang memang tengah memperhatikan
tingkah laku binatang itu segera bergerak ke kiri
dan kanan sambil tersenyum. Tangannya dengan
sigap menangkap buah-buahan itu.
Tap! Tap! "Hei! Apakah kau hendak memberikan semua
mangga itu padaku"!"
"Nguk! Nguk...!"
Tiren mengangguk seraya menepuk-nepuk kedua tangannya. Tubuhnya lalu kembali
melesat ke cabang yang lebih tinggi. Lalu dipetiknya tiga
buah mangga yang berukuran agak besar.
"Dasar curang! Kau memberiku yang kecil-
kecil, sedangkan untukmu sendiri yang besar!"
umpat Bayu, seraya melempar sobatnya itu dengan biji mangga yang telah habis
digerogotinya. "Kaaakh! Kaaakh...!" Tiren tertawa mengejek.
Dengan sigap, monyet itu mengelak. Kemudian
dikupasnya mangga yang diperoleh. Lalu bijinya
yang dilemparkan ke arah Bayu.
"Sial! Hei"! Kau ingin berperang denganku?"
tantang Bayu, langsung melempar sebuah biji
mangga kembali ke arah monyet itu.
Namun dengan gerakan tidak kalah sigap Tiren
melompat ke cabang pohon. Dan ketika Bayu
kembali melemparnya, dia kembali melompat ke
cabang yang lebih tinggi. Mulutnya terus menyeringai lebar sambil berjingkrak-
jingkrak mengejek
Bayu. Bayu tersenyum kecil tidak mengacuhkannya.
Dan dia terus berjalan meninggalkan monyet itu.
"Kalau memang kau lebih suka tinggal di sini,
aku tidak akan menahanmu," kata Bayu tenang.
"Kaaakh...!"
Tiren berteriak nyaring. Wajahnya tampak kesal melihat sikap sahabatnya. Maka
buru-buru dia turun mencerecet tak karuan, seperti hendak melampiaskan kekesalan hatinya.
Namun tiba-tiba...
"Tolooong...!"
"Hei"!"
Bayu terkejut, langsung merayapi ke sekelilingnya, ketika mendengar jeritan
tertahan meminta tolong.
"Tiren! Cepat ikut aku!" teriak Bayu.
Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat ke
arah timur, setelah Tiren mendarat di pundaknya.
Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah berlari
cepat dengan membawa Tiren di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka laksana sapuan
angin kencang, ketika berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah
mencapai taraf sempurna.
Namun belum lama Bayu berlari, tiba-tiba...
Ser! Ser! "Uhhh...!"
Mendadak beberapa potong ranting sebesar telunjuk tangan melesat ke arah Bayu.
Seketika Pendekar Pulau Neraka melenting ke udara dan
berputaran beberapa kali. Namun baru saja mendarat di tanah, beberapa potong
ranting lagi menyambarnya. Kembali pemuda itu melesat ke
atas, kembali meliuk ringan ke bawah. Dan kakinya pun mendarat manis di tanah.
Masih sempat Bayu melihat sebuah bayangan yang melesat
kencang meninggalkannya. Pemuda itu menggeram dan langsung mengejar. Dan sebelum
Pendekar Pulau Neraka mampu menyusulnya, bayangan itu telah menghilang ditelan
lebatnya pepohonan. Bayu berusaha mencari-cari, namun tidak
juga menemukan jejaknya. Dengan kesal Pendekar Pulau Neraka kembali ke tempat
semula, tempat bayangan itu pertama terlihat.
"To..., tolooong...!"
Kembali terdengar suara minta pertolongan
bernada lemah. Dan sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah menemukan seorang
laki-laki tergolek di tanah dalam keadaan terluka parah.
Dihampirinya orang itu. Tampak tulang dadanya,
dan ususnya terburai seperti bekas disabet senjata tajam.
Laki-laki itu memandang Bayu dengan wajah
berkerut menahan rasa sakit yang hebat. Sebelah
tangannya berusaha menggapai, ketika Bayu berjongkok.
"Bidadari.... Penyambar.... Nyawa...."
Suara orang itu terdengar putus. Dan kepalanya langsung terkulai lesu, ketika
selesai mengucapkan kata-kata itu dengan pelan.
Sementara Bayu tampak bingung. Orang itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya,
ketika nyawanya sudah lepas dari raga. Jika dilihat sepintas, orang itu masih berusia
muda. Pedang pendek yang tergeletak dalam keadaan patah dua,
membuktikan kalau pemuda ini bukan orang
sembarangan. Dan bila melihat keadaannya yang
terluka parah, bahkan masih mampu bertahan
cukup lama, menguatkan dugaan kalau pemuda
ini memiliki kepandaian hebat. Siapa yang telah
membuatnya tak berdaya" Bidadari Penyambar
Nyawa" Bayu hanya tertegun sendiri. Julukan itu
baru didengarnya kali ini. Bayangan yang tadi
kukejarkah"
"Nguk! Nguk...!"
Tiren mencerecet pelan dengan wajah termangu melihat mayat itu. Sedangkan Bayu
segera berdiri seraya mengangkat tubuh Tiren ke pundaknya.
"Mari, Sobat. Kita tidak ada urusan dengan
mereka...," gumam Bayu, mengajak monyet kecil
itu berlalu. *** Seorang pemuda berpakaian ketat berwarna
putih memacu kencang kudanya. Wajahnya tampak tegang dan terburu-buru. Sesekali
kepalanya menoleh ke belakang, seperti hendak memastikan
kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya.
Wajahnya sedikit lega, karena di depannya terlihat sebuah desa. Dia menduga,
suasana ramai desa itu tentu jiwanya akan terselamatkan. Rasanya, tidak mungkin pemburunya mau
mengejar sampai ke sana. Namun....
"Hi hi hi...! Kau kira bisa lari dariku"!"
Tiba-tiba sebuah suara nyaring menggema
membuat pemuda itu menghentikan lari kudanya.
Tak lama kemudian melayang sesosok tubuh
ramping di hadapan pemuda berbaju putih itu.
Sementara kuda yang ditunggangi pemuda itu
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
"Sial!"
Pemuda itu merutuk kesal seraya melompat
dari punggung kudanya. Tangan kanannya cepat
menyambar dua buah kapak yang terselip di
pinggang, dan siap menghadapi segala kemungkinan.
"Hi hi hi...! Tidak ada jalan selamat, sebelum
kau menggorok lehermu sendiri!" ejek orang yang
baru tiba sambil bertolak pinggang.
"Phuih! Lehermulah yang akan kugorok!" dengus pemuda itu dengan suara sedikit
tinggi. Sosok bertubuh ramping itu mengenakan topeng kayu yang menutupi seluruh
wajahnya. Namun dari suara, bentuk tubuh, dan caranya berpakaian, jelas bisa
ditebak kalau dia adalah seorang wanita. Melihat kulit tangannya yang bersih
dan bentuk tubuhnya yang padat kencang, tentu
juga bisa diduga-duga kalau wanita itu berusia
muda. Di pinggangnya tampak terselip sebilah
pedang kecil dan sehelai selendang berwarna biru
muda. Melihat pemuda itu telah bersiap hendak menyerang dengan sepasang kapak
terhunus, wanita
bertopeng ini sedikit pun tidak menampakkan rasa takut Bahkan dari nada suaranya
terasa kalau pemuda itu diremehkan.
"Ayo! Kemarilah kau, Setya Nugraha! Agar lebih
cepat mampus!" tantang wanita itu.
"Keparat! Akan kubelah kepalamu! Yeaaa...!"
bentak pemuda yang dipanggil Setya Nugraha seraya melompat menyerang.
"Hi hi hi...! Kau kira dengan kepandaianmu,
mampu mengalahkanku" Nah, terimalah ajalmu!"
ejek wanita bertopeng itu.
Siuttt...! Begitu serangan kapak pemuda itu meluncur,
tubuh wanita bertopeng kayu ini segera bergerak
ke samping sambil menundukkan kepalanya.
Hanya beberapa rambut serangan itu lewat di


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping tubuhnya. Kemudian ringan sekali dia
melompat ke atas. Tangan kanannya cepat bergerak, mencabut pedang yang terselip
di pinggang. Sring! "Hih!"
Setya Nugraha terkesiap. Begitu cepat wanita
bertopeng itu mencabut pedangnya. Dan seketika
itu pula ujung pedang menyambar tenggorokannya. Cepat pemuda itu berusaha
menangkis dengan sebelah kapaknya.
Trak! Betapa terkejutnya Setya Nugraha, begitu menyadari kalau gagang, kapaknya putus
disambar senjata wanita itu. Bahkan ujung pedang wanita
bertopeng itu langsung meluncur deras mengancam leher. Namun gesit sekali pemuda
ini berusaha mengelak dengan melompat ke samping
agak miring. Dan belum lagi tubuhnya bisa ditegakkan, kemudian datang serangan.
Begitu cepatnya, sehingga sulit dihindari. Dan....
Brettt! "Aaakh...!"
Setya Nugraha kontan menjerit begitu dadanya
terkena tebasan pedang, sehingga membuat luka
yang cukup lebar. Darah kontan mengucur dari
dadanya. "Hiyaaa...!"
Dan belum juga Setya Nugraha menguasai
keadaan, wanita itu cepat bergerak melancarkan
serangan kembali. Namun dalam keadaan putus
asa dan jiwanya yang terjepit, kapaknya yang sa-
tu lagi segera dilemparkan tepat ketika wanita itu
melesat kencang ke arahnya.
"Uts!"
Namun dengan sedikit, memiringkan kepala
dan mengayunkan pedang, wanita bertopeng itu
berhasil menghindari sambaran kapak Setya Nugraha. Bahkan gagang kapak itu
sampai putus disambar pedangnya.
"Yeaaa...!"
Pedang wanita itu terus berkelebat-kelebat
mengancam Setya Nugraha yang bergulingan menyelamatkan diri. Namun ketika pemuda
itu berusaha melenting ke atas untuk menghindari sapuan tendangan, ujung pedang
wanita bertopeng
itu menyambar cepat ke arah perut. Sehingga...
Cras! "Aaargkh...!"
Setya Nugraha langsung memekik kesakitan,
begitu pedang wanita bertopeng itu menyambar
perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung
sambil memegang isi perutnya yang terburai keluar. Darah semakin banyak
membanjiri tubuhnya. Dan belum juga Setya Nugraha ambruk ke
tanah ujung kaki kanan wanita bertopeng itu cepat memberi hantaman ke muka.
"Digkh!"
"Aaa...!"
Pemuda itu terpental beberapa langkah disertai
jerit kematian. Dia langsung ambruk tak bangkit
kembali. Mati! "Huh! Manusia picisan seperti kau ingin berla-
gak di depanku!" dengus wanita bertopeng itu,
sambil memandang sinis ke arah mayat Setya
Nugraha. Sebentar kemudian, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu dengan
gerakan ringan.
Namun diam-diam, belum begitu jauh wanita
bertopeng itu pergi, tiba-tiba muncul dua orang
laki-laki keluar dari balik semak-semak. Mereka
saling berpandangan satu sama lain dengan wajah bingung.
"Gila! Wanita itu pasti yang berjuluk Bidadari
Penyambar Nyawa," desis salah seorang yang bertubuh agak kurus dan pendek.
"Mana mungkin Bidadari Penyambar Nyawa
harus bertopeng seperti mayat?" tanya yang mengenakan ikat kepala hitam.
"Alaaah! Tidak usah diributkan. Siapa lagi kalau bukan dia yang membuat resah
dengan tindakannya yang kejam belakangan ini" Lagi pula
melihat ciri-ciri yang pernah kudengar, tidak
mungkin disangkal lagi kalau wanita itulah yang
berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa! Biasanya,
dia membunuh setiap laki-laki yang ditemui. Masih untung kita bisa selamat Ayo,
jangan bengong saja. Kita harus memberitahukan kejadian ini pada orang-orang desa," ajak laki-
laki yang bertubuh kurus seraya berlari lebih dulu, kemudian diikuti kawannya.
*** Adipati Wiriaraja bersama Ki Aria Depa serta
Brata Sena dan Sendang Dulur tengah bercakapcakap di ruang pendopo utama. Mereka
juga ditemani oleh seorang gadis berparas cantik berusia
sekitar dua puluh tahun.
"Anakku.... Aku sungguh bangga mendengar
kemajuanmu yang demikian pesat, setelah kau
kembali dari Padepokan Karang Nunggal. Pesan
apakah yang dikirim Ki Wahyu Tenggara untukku?" tanya Adipati Wiriaraja, pada
gadis cantik di
hadapannya. "Ayahanda terlalu melebih-lebihkan. Ananda
masih merasa banyak kekurangan dan perlu belajar lagi. Kalau saja bukan karena
kebijaksanaan Ayahanda, tentu Ananda tidak seperti sekarang
ini. Adapun Eyang Wahyu Tenggara menyampaikan salam hormat kepada Ayahanda.
Beliau tidak sempat berkunjung ke sini...," sahut gadis cantik
itu yang tak lain Kunti Kameshawara, putri angkat Adipati Wiriaraja.
"Hhh.... Tidak bisa dibayangkan, bagaimana
hebatnya kepandaian Gusti Kunti Kameshawara
saat ini. Setelah berguru tiga tahun pada Nyi
Sanggul Geni, kini Gusti Kunti Kameshawara pun
telah selesai berguru di Padepokan Karang Nunggal. Siapa yang tidak mengenal Ki
Wahyu Tenggara, tokoh kosen yang amat disegani di kalangan
dunia persilatan," puji Brata Sena.
"Betul! Tadi hamba sempat bermain-main. Dan
hamba merasa, tidak mampu menghadapi kehebatan Gusti Kunti," sambung Sendang
Dulur. "Ah! Paman berdua terlalu melebih-lebihkan.
Kalau saja Paman tidak mengalah, mana mungkin aku mampu menjatuhkan Paman
berdua," sahut Kunti Kameshawara merendah.
"Hm.... Agaknya hal itu memang pujian yang
sesungguhnya. Sungguh beruntung nasibmu. Dalam usia yang masih muda, sungguh
sulit mencari lawan tanding bagimu. Barangkali, paman pun
mesti mengaku kalah kepadamu," sahut Ki Aria
Depa sambil tersenyum kecil.
"Paman! Kalau Ayahanda mempercayakan Paman sebagai panglima di kadipaten ini,
tentulah bukan pilihan mudah. Ayahanda terkenal bijaksana dan sudah pasti mengetahui
keadaan yang sesungguhnya. Lagi pula, Paman kini adalah kakak seperguruanku. Dan sebagai
kakak seperguruan, sudah jelas kemampuan Paman jauh berada di atasku," selak
Kunti Kameshawara.
"Ha ha ha...! Kau bisa saja, Kunti...!" Ki Aria
Depa terkekeh pelan.
"Dan rasanya wanita itu belum tentu mampu
mengalahkanmu," kata Sendang Dulur.
"Wanita mana yang kau maksudkan, Sendang
Dulur?" tanya Brata Sena.
"Siapa lagi kalau bukan Bidadari Penyambar
Nyawa." "Bidadari Penyambar Nyawa...?"
Adipati Wiriaraja tertegun pelan mendengar
nama itu disebutkan. Dia memandang agak lama
ke arah Ki Aria Depa.
"Apakah wanita itu belum juga tertangkap,
Aria...?" lanjut adipati itu.
"Ampun, Kanjeng Gusti. Sampai saat ini hamba telah berusaha sekuat kemampuan
untuk meringkusnya. Namun dia selalu berhasil meloloskan diri, saat berhadapan
dengan hamba. Dan
harus diakui, wanita itu memiliki kepandaian hebat. Hamba selalu gagal
mengejarnya. Tapi hamba berjanji, suatu saat nanti akan hamba tangkap
wanita itu," sahut Ki Aria Depa seraya menundukkan kepala.
"Paman Aria Depa! Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku pun tahu kerja kerasmu.
Dan kau termasuk orang yang tidak melalaikan tugas. Aku
juga memaklumi kemampuanmu yang mungkin
terbatas. Tidak usah berkecil hati. Namun yang
perlu dilakukan adalah mencari jalan, bagaimana
caranya meringkus wanita itu. Sebab kalau terus
dibiarkan, dia akan merajalela membuat kekacauan," ujar adipati itu.
"Hamba juga mohon ampun, atas musibah
yang menimpa Den Setya Nugraha dua hari lalu.
Hamba telah mengerahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mengejar wanita itu,
namun belum juga mendapat hasil," sambung Ki Aria Depa pelan.
Adipati Wiriaraja menarik napas panjang dan
terdiam beberapa saat.
"Keponakanku itu memang bengal. Malah kelakuannya sering menyimpang dari
kesopanan,"
gumam Adipati Wiriaraja pelan, seraya berpaling.
Adipati itu menoleh lagi pada Aria Depa.
"Benarkah wanita itu selalu mencari korban
para pemuda hidung belang dan pengganggu
penduduk lain?" tanya Adipati Wiriaraja.
"Memang benar, Kanjeng Gusti. Tapi hal itu tidak menutupi kemungkinan terhadap
pemuda serta orang-orang yang tak bersalah...."
"Hm.... Apa maksudnya berbuat demikian"
Apakah demikian bencinya wanita itu terhadap
kaum lelaki, sehingga berbuat kejam" Atau, apakah ada tujuan lain" Tapi yang
jelas, hal ini tidak
bisa dibiarkan begitu saja," kata Adipati Wiriaraja
geram. "Ayahanda! Izinkanlah ananda membantu tugas Paman Aria Depa untuk meringkus
wanita itu...," pinta Kunti Kemeshawara menawarkan diri.
Adipati Wiriaraja tersenyum. Namun belum lagi
memberikan sambutan, mendadak seorang prajurit kadipaten menghadap kepadanya.
"Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba membawa kabar buruk. Sekawanan perampok sedang
mengamuk di alun-alun...," lapor prajurit itu.
"Perampok" Siapa mereka?" sahut Adipati Wiriaraja, mengernyitkan alisnya.
"Agaknya mereka Kawanan Alap-alap Panah
Beracun." "Hm.... Alap-alap Panah Beracun" Apa maksud
mereka dengan segala ulahnya itu?" gumam Adipati Wiriaraja. "Paman Aria Depa!
Lekaslah ke sana. Dan, tangkap mereka!"
"Baik, Kanjeng Gusti Adipati!" seru Ki Aria Depa cepat, langsung mengajak kedua
anak buahnya. Setelah menjura hormat, bergegas mereka meninggalkan pendopo. Dan begitu sampai
di luar mereka melompat ke punggung kuda masingmasing, dengan diiringi prajurit
secukupnya. Sementara Kunti Kameshawara sendiri kemudian menyelinap ke kamarnya. Seperti
biasa, setiap ada kekacauan maka Adipati Wiriaraja belum
mempercayakan putri angkatnya untuk membantu tugas abdi setianya. Dan Kunti
Kameshawara agaknya memakluminya. Tapi tanpa sepengetahuan kedua orangtua angkatnya, gadis
itu menyelinap keluar lewat jendela kamarnya dan terus
kabur menuju alun-alun.
*** 4 Dengan dibantu lebih dari dua puluh orang
anak buahnya, seorang laki-laki berkulit hitam
dan berwajah lebar dipenuhi cambang bauk tampak tengah mengamuk sejadi-jadinya.
Beberapa penduduk yang berada di sekitarnya tewas seketika, menjadi sasaran kemarahannya.
Beberapa rumah tampak roboh dan sebagian lagi terbakar.
Sehingga, asap hitam mengepul ke udara.
"Ke mana semua laki-laki di Kadipaten Baluran
ini"! Ayo, hadapi aku! Akulah Tambak Ireng yang
akan menghancurkan seluruh kadipaten ini jika
pembunuh putraku tidak diserahkan padaku!" teriak laki-laki yang mengaku Ki
Tambak Ireng itu
geram dengan suara lantang.
Laki-laki bertubuh besar yang menyandang
busur di dada dan kantong anak panah di punggung itu mengamuk sejadi-jadinya.
Tangan kanannya menggenggam sebuah golok besar yang
sudah bersimbah darah penduduk kadipaten itu.
Beberapa pemuda yang mencoba menahan amukannya, dalam seketika tewas menjadi
korban. Karena memang, laki-laki seram itu adalah Pimpinan Kawanan Alap-alap Panah
Beracun. Tidak hanya itu. Kawanan Alap-alap Panah Beracun juga mengejar penduduk yang
berlarian menyelamatkan diri. Kawanan itu bermaksud meratakan semua bangunan dan
menghabisi penduduknya. Banyak anak-anak serta wanita lanjut
usia yang terbantai secara kejam. Sedangkan para wanita muda berparas cantik
diperkosa dengan
buas, sebagaimana kawanan serigala lapar. Siapa
saja yang mencoba menghalangi, akan menemui
ajal di tangan orang-orang itu.
"Tambak Ireng! Hentikan perbuatan biadabmu!"
Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Ki Tambak Ireng segera menghentikan tindakannya. Anak buahnya segera
diisyaratkan agar
berhenti menyerang. Kepalanya lalu berpaling ke
arah datangnya suara. Demikian juga anak
buahnya. Tampak para prajurit Kadipaten Baluran telah mengepung tempat itu
dengan senjata terhunus. Tiga orang penunggang kuda yang ber-
diri paling depan tampak mendekatinya pelan. Salah seorang yang bertindak
sebagai pemimpin
menudingnya dengan wajah garang.
"Kelakuanmu sungguh biadab, Keparat!" maki
laki-laki yang tak lain Ki Aria Depa.
"Hm.... Kaukah yang bernama Aria Depa" Tidak usah banyak bicara. Serahkan wanita
itu, dan kami akan pergi secepatnya dari sini!" bentak
Ki Tambak Ireng tak kalah garang.


Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar keparat busuk! Apa yang kau bicarakan"! Datang dengan tiba-tiba dan
mengamuk tanpa alasan. Selama ini kami memang membiarkan gerombolanmu, karena tidak
pernah membuat kekacauan di kadipaten ini. Tapi melihat
perbuatanmu sekarang, maka kau dan anak
buahmu dihukum gantung!" tegas Ki Aria Depa.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat bicaramu, Aria!
Tapi tahukah kau, sedang berhadapan dengan
siapa sekarang"! Apa dikira aku bisa digertak begitu rupa" Hei, Panglima Kemarin
Sore! Aku selamanya tak pernah takut mati! Putraku telah
terbunuh secara kejam oleh orang dari kadipaten
ini. Itulah sebabnya, kenapa aku ingin meratakan
kadipaten ini. Karena, pembunuh itu telah menyelinap ke dalam gedung kadipaten.
Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini selain kalian?" tuding Ki Tambak
Ireng. "Huh! Kau hanya mencari-cari alasan untuk
membenarkan perbuatan terkutukmu!" bantah Ki
Aria Depa. "Aku tak peduli bantahanmu! Yang penting, be-
rikan orang itu. Atau, seluruh isi kadipaten ini
kuratakan dengan tanah?" ancam Ki Tambak
Ireng. "Keparat! Kau boleh melangkahi mayatku dulu," desis Ki Aria Depa seraya melompat
dari kudanya. Dan sebentar saja, dia sudah menyerang
Ki Tambak Ireng.
Agaknya, serangan itu merupakan isyarat bagi
prajurit kadipaten untuk segera menyerang Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Maka
serentak anak buah Ki Aria Depa langsung menghunus
senjata dan menyerang.
Tapi anak buah Ki Tambak Ireng tampaknya
juga tak kalah sigap. Begitu melihat serangan datang, mereka langsung mencabut
busur yang tersandang. Maka langsung saja para prajurit kadipaten itu dihujani
desingan anak panah.
Crab! Wut! "Aaakh...!"
Jerit kesakitan dan teriakan membahana seketika terdengar. Beberapa orang
prajurit kadipaten
langsung ambruk diterjang panah-panah beracun
yang dilepas Kawanan Alap-alap Panah Beracun.
Tentu saja keadaan ini membuat Brata Sena dan
Sendang Dulur geram bukan main. Dua orang
terdekat Ki Aria Depa seketika melompat dan
langsung menyerang kawanan itu. Dalam sekali
gebrakan saja, tiga orang telah tewas di tangan
mereka. Namun sebelum mereka membuat korban lebih banyak, tiba-tiba melesat dua
sosok tu- buh yang langsung memapak serangan.
"Mereka bukan lawanmu. Akulah orangnya,"
desis laki-laki yang bertubuh besar dan berkumis
melintang. Dia langsung menangkis tombak baja
Brata Sena dengan busurnya yang tebal dan
runcing pada kedua ujungnya. Sementara yang
seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut, dengan tubuh bungkuk. Matanya
langsung menatap
tajam Sendang Dulur.
Brata Sena menggeram. Maka langsung diserangnya laki-laki berkumis melintang itu
dengan gencar disertai pengerahan segala kemampuannya. Namun kali ini lawan yang
dihadapi memang
tidak sembarangan. Laki-laki bertubuh besar itu
tangkas sekali melayani setiap seranganserangannya. Dari beberapa kali benturan
yang terjadi, Brata Sena merasakan kalau tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan kegesitan
orang itu amat mengagumkan. Belum lagi permainan senjata busurnya yang amat lihai dan
sulit diduga. Demikian juga Sendang Dulur. Hatinya geram
bukan karena belum juga mampu menghabisi lawannya yang bertubuh kecil dan
bungkuk itu. Bahkan orang tua bungkuk itu malah sering terkekeh-kekeh, setiap menghindari
serangannya. Senjata busurnya merupakan bayangan maut
yang setiap saat mampu membinasakan Sendang
Dulur. Dengan kekuatan yang dikerahkan, Kawanan
Alap-alap Panah Beracun itu betul-betul membuat semua prajurit kadipaten putus
asa. Panah- panah beracun yang dilepaskan, sering mengenai
sasaran. Belum lagi kepandaian ilmu silat setiap
anak buah Ki Tambak Ireng yang sangat mengagumkan. Sehingga, membuat para
prajurit Kadipaten Baluran sulit untuk bertahan lebih lama.
Maka tidak heran bila satu persatu mereka binasa di tangan kawanan itu.
*** Sementara itu, Ki Aria Depa sendiri agak kesulitan merobohkan pertahanan Ki
Tambak Ireng. Bersenjatakan busur yang terbuat dari baja putih
pilihan, Ki Tambak Ireng bukan saja mampu menahan serangan lawan, bahkan mampu
membalas dengan hebat. Kehebatannya ternyata bukan
omong kosong belaka, karena kali ini Ki Aria Depa
sendiri telah membuktikannya.
"Yeaaa...!"
Kini Ki Tambak Ireng tampak bergulung-gulung
indah dengan tangan bergerak cepat menyambar
anak panah. Kemudian belum lagi kedua kakinya
menjejak tanah dilepaskannya panah-panah beracun yang melesat deras ke arah Ki
Aria Depa. Bukan main terkejutnya Panglima Pasukan Kadipaten Baluran. Maka dengan sekuat
tenaga, dia mengelak seraya memutar pedang bagai kitiran.
Trang! Trang! Seluruh anak panah berhasil dipatahkan Ki
Aria Depa. Namun belum juga bersiap....
"Hiyaaat...!"
Agaknya serangan Ki Tambak Ireng tidak ber-
henti sampai di situ saja. Begitu kedua kakinya
menjejak tanah, tubuhnya kembali melesat menyerang panglima itu dengan sambaran
busurnya. Ki Aria Depa terkesiap. Buru-buru ditangkisnya serangan dengan senjatanya.
Trak! Sementara pada saat yang hampir bersamaan,
telapak tangan kiri Ki Tambak Ireng menghantam
ke arah dada. Cepat-cepat Ki Aria Depa meliukliuk menghindarinya. Namun pada
saat itulah salah satu ujung busur Ki Tambak Ireng yang runcing menyambar ke
arah tenggorokannya. Ki Aria
Depa memang masih sempat menundukkan kepala. Namun ketika Ki Tambak Ireng
memutar senjatanya dengan gerakan dari atas ke bawah....
Crasss! "Aaargkh...!"
Ki Aria Depa kontan mengeluh tertahan, ketika
kulit dadanya tersambar senjata Ki Tambak Ireng.
Luka yang dideritanya tidak begitu dalam, namun
terasa perih. Bahkan membuat pembuluh darahnya seperti terbakar.
"Celaka! Senjatanya mengandung racun ganas...," desis panglima itu tersentak
kaget. Ki Aria Depa segera menotok beberapa bagian
jalan darah di sekitar lukanya, untuk menghambat jalannya darah. Namun, justru
racun itu dirasakan berjalan cepat, menyatu dengan aliran darahnya.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut! Melihat keadaan panglima itu demikian, Ki
Tambak Ireng agaknya tidak mau memberi hati.
Terus diterjangnya Ki Aria Depa dengan seranganserangan maut yang mematikan. Mau
tak mau panglima itu berusaha bertahan mati-matian. Pedangnya diputar sedemikian rupa,
untuk menangkis kelebatan senjata pemimpin perampok
ini. "Hih...!"
Trang! "Ohhh...!"
Bukan main terkejutnya Ki Aria Depa ketika
senjata memapak serangan Ki Tambak Ireng.
Tangannya kontan terasa gemetar dan tenaganya
berkurang. Dan belum lagi menyadari apa yang
terjadi.... Trang! Tiba-tiba saja pedang di tangan Ki Aria Depa
terlepas dari genggaman, dihantam senjata Ki
Tambak Ireng. Belum habis rasa terkejutnya,
sambaran senjata Ki Tambak Ireng yang bertubitubi membuat Ki Aria Depa terpaksa
bergulingan di tanah. Keadaan Ki Aria Depa memang sangat memprihatinkan. Tubuhnya semakin lemah dan
gerakannya semakin pelan akibat racun yang bersarang di tubuhnya. Meski beberapa
bagian jalan darah telah ditotok, namun agaknya racun yang
berasal dari senjata Ki Tambak Ireng memang jenis racun hebat. Bahkan mampu
merambat ke se-
luruh bagian tubuhnya dengan cepat.
"Yeaaa...!"
"Oh..."!"
Ki Tambak Ireng kembali melancarkan serangan dahsyat.
Ujung senjatanya terus berkelebat, mengincar
wajah Ki Aria Depa. Namun panglima itu cepat
melemparkan tubuhnya ke belakang. Dan belum
juga Ki Aria Depa memantapkan kakinya di tanah, serangan Ki Tambak Ireng
selanjutnya meluncur datang. Rasanya sulit serangan ini dielakkan lagi Ki Aria
Depa. Begitu mendarat di tanah
tubuh Ki Aria Depa terasa kaku tidak dapat bergerak. Sedangkan ujung busur Ki
Aria Depa telah
menderu ke arah jantungnya. Untung saja pada
saat yang sangat gawat ini....
"Kisanak! Hentikan perbuatanmu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Namun,
agaknya Ki Tambak Ireng tidak mempedulikannya. Senjatanya tetap terus mengancam
keselamatan Ki Aria Depa. Sehingga....
Ziiing! Mendadak sekelebat cahaya putih keperakan
melesat, setelah bersamaan suara nyaring yang
mendesing ke arah Ki Tambak Ireng.
"Hei"!"
Tras! Pemimpin Kawanan Alap-alap Panah Beracun
itu terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika baru
menyadari kalau busurnya patah menjadi dua
bagian, akibat terpapak cahaya putih keperakan
tadi. Dan belum lagi, sempat mengetahui benda
yang bergerak bagai kilat tadi, sebuah bayangan
melesat cepat mengirim serangan ke arahnya.
Maka cepat-cepat tangan kirinya bergerak menangkis.
Plak! "Hih...!"
Ki Tambak kemudian cepat memutar tubuhnya. Lalu dengan geram dihantamnya
bayangan tadi lewat pengerahan tenaga dalam tinggi melalui
kepalan tangan kanannya.
Wer! Ternyata Ki Tambak Ireng hanya menghantam
tempat kosong, karena bayangan itu telah berkelit
cepat. Bahkan mendadak saja laki-laki itu merasakan sambaran deras menghantam ke
arah wajahnya. Ki Tambak Ireng terkejut bukan main.
Namun dia cepat melompat ke belakang seraya
mengibaskan tangan kanannya ke depan. Maka
seketika serangkum angin kencang menderu ke
arah bayangan itu. Namun dengan gerakan amat
gesit, bayangan itu telah menyelinap ke samping.
Bahkan tiba-tiba sudah bergerak ke arah pinggang kanan Ki Tambak Ireng.
"Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
Bukan main terkejutnya Ki Tambak Ireng. Cepat-cepat ditangkisnya serangan itu
dengan kibasan tangan kanan ke bawah. Plak!
Ki Tambak Ireng kontan merasakan pergelangan tangannya seperti menghantam benda
keras. Tubuhnya langsung bergetar hebat. Dan dia terus
melompat ke belakang, karena sapuan tendangan
bayangan itu telah meluncur kembali ke arahnya.
Namun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah,
kepalan tangan bayangan itu telah meluncur ke
perutnya. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Ki Tambak Ireng menjerit keras dengan tubuhnya terjajar beberapa langkah. Untung saja serangan bayangan itu berhenti. Dan
kini, Ki Tambak Ireng bisa melihat jelas, siapa penyerangnya
tadi. Matanya jadi menyipit. Sementara, pergelangan tangannya mengusap sudut
bibirnya yang meneteskan sedikit darah segar. Kini terlihat jelas
seorang pemuda tampan berwajah tampan, namun mencerminkan kekerasan hatinya.
Pemuda berambut panjang dan berpakaian dari kulit harimau itu berdiri tegak pada jarak
tujuh langkah di depannya. Tampak matanya memandang tajam
ke arah Ki Tambak Ireng.
"Bocah setan! Siapa kau, hingga beraniberaninya mencampuri urusanku!" dengus Ki
Tambak Ireng dengan amarah meluap.
*** "Orang-orang menyebutku, Bocah Setan..," sahut pemuda itu yang tak lain Bayu
Hanggara atau lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka.
"Kurang ajar! Kau kira bisa mempermainkan
aku, heh"!" sentak laki-laki berkulit hitam itu,
bertambah geram mendengar jawaban Bayu.
"Apa kau kira aku bermain-main" Apalagi melihat segala perbuatanmu yang biadab
terhadap penduduk tidak berdosa. Kau patut mampus, Setan Busuk!" dengus Bayu, sinis.
"Setan! Kaulah yang akan mampus!" sentak Ki
Tambak Ireng. Seketika laki-laki berkulit hitam itu menghentakkan tangannya ke depan. Dia
memang ingin

Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam Bayu dengan pukulan jarak jauh
yang berisi tenaga dalam kuat Maka seketika itu
pula serangkum angin kencang beserta asap hitam tipis menderu manghantam
Pendekar Pulau Neraka. Bayu mendengus sinis. Kemudian, telapak tangan kirinya disorongkan ke depan.
Mendadak dari telapak tangan kirinya melesat angin kencang
bertenaga kuat yang memapak serangan!
Werrr! Bletarrr!
Kedua pukulan satu sama lain beradu cepat di
tengah-tengah, sehingga membuat tempat di sekitarnya seperti dilanda angin topan
hebat. Bahkan beberapa orang yang dekat dengan pertarungan
terdengar menjerit kesakitan seraya memegangi
leher. Tubuh mereka berkelojotan, untuk kemudian ambruk dan menggelepar-gelepar
tak berdaya. Bayu begitu terkejut, menyadari kalau sebagian pukulan Ki Tambak Ireng yang
menyebar ke sekitar tempat ini, ternyata mengandung racun
hebat Sehingga mampu mencelakakan orang yang
menghirup udara di sekitarnya. Maka ketika Ki
Tambak Ireng kembali melompat menyerang,
Bayu tidak berusaha memapak, melainkan melompat ke atas menghindarinya. Tubuhnya
lantas bergulung-gulung di udara. Namun, akibatnya
hantaman Ki Tambak Ireng membuat sebuah rumah yang tadi di belakang Bayu, jadi
hancur berantakan.
Melihat serangannya gagal, bukan main geramnya laki-laki berkulit hitam itu.
Tubuhnya terus mengejar Pendekar Pulau Neraka dengan
mengumbar pukulan mautnya. Namun sejauh itu
Bayu mampu menghindar dengan gesit. Bahkan
dengan gerakan tidak terduga, tubuhnya berbalik.
Dan dia langsung bergerak cepat menghantam Ki
Tambak Ireng yang terkejut bukan main. Mau tak
mau, laki-laki berkulit hitam itu memapak pukulan Bayu.
Plak! Plak! Tubuh Ki Tambak Ireng bergetar keras begitu
kedua tangannya beradu. Meski demikian, tubuhnya masih mampu memapaki kepalan
tangan kiri Bayu yang berputar menghantam ke arah
leher. Sementara Bayu cepat bergerak ke samping
disertai hantaman tendangan untuk memancing.
Ki Tambak Ireng segera bergerak mengelak dengan liukkan tubuhnya. Pancingan Bayu
membawa hasil. Seketika tubuh Pendekar Pulau Neraka
melompat ke atas dengan ujung kaki kanan bergerak ke arah dada. Akibatnya....
Des! "Aaakh...!"
Ki Tambak Ireng kontan memekik kesakitan,
begitu dadanya terhantam telak tendangan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya
langsung terjungkal ke tanah beberapa langkah, disertai muntahan darah segar.
Dia berusaha bangkit, namun
saat itu juga berkelebat cahaya keperakan ke
arahnya bagai kilat Ki Tambak Ireng terkejut,
namun sudah tidak berdaya apa-apa lagi. Sehingga....
Zwing! Cras! "Hegkh...!"
Ki Tambak Ireng hanya mampu menjerit tertahan, begitu cahaya keperakan itu
menyambar leher dan nyaris membuat kepalanya putus. Tubuhnya, kembali ambruk ke tanah. Ki
Tambak Ireng menggelepar-gelepar meregang nyawa. Darah tampak terus mengucur dari
lehernya. Sebentar saja, tubuhnya telah diam tak berkutik lagi.
Sementara Pendekar Pulau Neraka segera mengibaskan tangan kanannya, dengan mata
tetap memperhatikan Ki Tambak Ireng. Tak lama, senjata Cakra Maut yang tadi
dilepaskannya, kembali
menempel erat di pergelangan tangan kanannya.
"Hei" Kau..., kaukah Pendekar Pulau Neraka
yang termashyur itu"!"
Ki Aria Depa terkesima begitu melihat Cakra
Maut menempel erat di pergelangan tangan Bayu.
Kini baru disadari, benda apa yang tadi melesat
cepat itu. Sebuah cakra bersegi enam berwarna
keperakan yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka.
Bahkan ketika Bayu sudah menghampirinya, Ki
Aria Depa masih terpaku tak percaya.
"Begitulah orang-orang menyebutku...," kata
Bayu pelan. Mendadak Pendekar Pulau Neraka cepat bergeser ke kiri seraya membungkuk. Dan
tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, menangkap sesuatu yang berdesing ke arahnya. Dan
tanpa berbalik, Bayu melemparkan beberapa buah anak
panah yang tadi sempat ditangkapnya ke arah sosok beberapa tubuh yang
membokongnya. Begitu
cepat lesatan anak panah yang dikembalikan
Bayu pada pemiliknya. Bahkan kecepatannya melebihi saat meluncur datang tadi.
Sehingga.... Ser! Ser! Crab! "Aaargkh...!"
Tiga orang anggota Kawanan Alap-alap Panah
Beracun yang marah bukan kepalang melihat
pemimpin mereka tewas, harus menemui ajalnya
ketika anak panah yang dilemparkan Bayu menghujam telak dada. Mereka langsung
ambruk di tanah termakan senjatanya sendiri.
Zwing! Cakra Maut di tangan Bayu kembali melesat,
ketika tiga orang lagi menyerangnya secara bersamaan. Mereka langsung melepaskan
panahpanah beracun, siap menghujam tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Namun....
Trak! Trak! Panah-panah beracun itu kontan berpatahan
terhantam Cakra Maut. Bahkan senjata dahsyat
itu terus mendesing ke arah para pembokong. Salah seorang tampak berusaha
menghindar, namun tak urung kulit dadanya tersambar juga.
Sementara kawanan yang berada di belakang tak
sempat mengelak, sehingga....
Brettt! "Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan, ketika Cakra
Maut merobek perutnya sehingga ususnya terburai keluar. Begitu mendapatkan
sasaran Cakra Maut kembali melesat pulang, ketika Bayu mengibaskan tangan kanannya.
"Setan! Akulah lawanmu, Keparat!" teriak seorang laki-laki bertubuh besar,
Harpa Iblis Jari Sakti 31 Candika Dewi Penyebar Maut X I I I Pendekar Kembar 13
^