Pencarian

Istana Iblis 1

Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis Bagian 1


ISTANA IBLIS Oleh Teguh Suprianto
Cetakanpertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambarsampul oleh Soeryadi
Hak ciptapada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izintertulis daripenerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Istana Iblis 128 hal. ; 12 x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 "Aaa. .!"
Suatu jeritan panjang melengking tinggi, memecah
kesunyian malam yang mencekam. Jeritan itu
membangunkan seorang laki-laki tua yang tengah
tertidur melingkar di bawah pohon. Tubuh tua
berkeriput itu bergegas bangun. Kepalanya dimiringkan
ke kanan dan ke kiri, seolah-olah mencari arah sumber
suara tadi. Sesaat kemudian tatapan matanya terpaku
pada sebuah bangunan hitamdi atas sebuah bukit batu.
Laki-laki tua berbaju compang-camping penuh
tambalan itu bangkit berdiri. Namun belum juga bisa
berdiri sempurna, mendadak saja berkelebat sebuah
bayangan hitam tidak jauh di depannya. Laki-laki tua itu tersentak kaget Secepat
kilat dia melesat mengejar
bayangan hitam yang berkelebat tadi.
"Berhenti. .!"serunya keras.
Seketika sosok tubuh hitam itu berhenti berlari. Laki-
laki tua berpakaian penuh tambalan itu juga berhenti
mengejar. Jarak mereka tinggal sekitar empat batang
tombak lagi. Sosok tubuh hitam itu membelakangi,
seakan-akan menyembunyikan wajahnya.
"Siapa kau"!" tanya orang tua itu sedikit dibuat galak.
"Hi hi hi. .!"
Tiba-tiba saja sosok tubuh hitam agak bungkuk itu
tertawa terkikik. Dan belum lagi suara tawanya hilang, dengan cepat dibalikkan
tubuhnya. Seketika laki-laki tua itu terperanjat kaget. Kedua matanya membeliak
lebar, dan mulutnya terbuka menganga. Tak ada kata-kata
terucapkan keluar dari mulutnya.
Sebelum laki-laki tua berpakaian pengemis itu bisa
menyadari apa yang dilihatnya itu, mendadak saja sosok tubuh hitam bungkuk itu
berkelebat cepat menyambar.
Dan. . "Aaa. .!" Laki-laki tua itu menjerit melengking tinggi.
"Hi hi hi. .!"
Kembali jeritan melengking terdengar disertai tawa
mengikik, membelah udara malam yang dingin ini. Dan
sebelum suara itu lenyap dari pendengaran, sosok tubuh hitamitu sudah berbalik
cepat, lalu melesat pergi menuju lereng bukit batu. Sedangkan laki-laki tua
berpakaian pengemis itu masih berdiri tegak dengan mata terbuka
dan mulut menganga lebar.
Sebentar kemudian, tubuh tua itu ambruk ke tanah.
Bersamaan dengan itu darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal. Kepala
orang tua itu menggelinding
terpisah dari lehernya. Tak ada lagi suara yang terdengar.
Tak ada lagi gerakan dari tubuh pengemis tua itu. Laki-laki tua itu seketika
tewas tanpa dapat melakukan
gerakan apa pun juga. Sementara malam terus merayap
semakin larut Udara pun semakin terasa menggigit
tulang. Tak ada yang menyaksikan kejadian mengerikan
itu. Sangat cepat, sukar disadarisepenuhnya.
*** Suasana pagi masih agak gelap. Matahari belum lagi
menampakkan diri dengan penuh. Hanya cahaya merah
jingga menyemburat di ufuk Timur. Kokok ayam jantan
mengalun bersahutan membangunkan seluruh makhluk
di mayapada ini. Dalam keremangan pagi buta ini,
terlihat seorang laki-laki muda tengah mengayunkan
kakinya pelahan-lahan menyibak kabut.
Rambutnya yang panjang tergerai sebatas bahu,
melambai-lambai mengikuti irama langkah kakinya.
Sesekali dihembuskan napas panjang, berusaha mengusir
hawa dingin menggigilkan tubuh. Mendadak langkah
kakinya terhenti, dan tatapan matanya terpaku pada
sosok tubuh tergeletak tanpa kepala. Darah yang keluar dari lehernya sudah
membeku. Pelahan-lahan pemuda
itu menghampiri, dan berlutut di samping tubuh tanpa
kepala itu. Matanya menatap kepala tua yang teronggok
tidak berapa jauh. Sebentar diperiksanya bagian leher
yang buntung itu, kemudian terdengar tarikan napasnya
yang panjang. Pemuda itu kembali bangkit berdiri.
"Aneh. . Begitu banyak orang mati di sini. Semuanya dengan leher buntung.
Hmmm. . Apa yang terjadi di
sini. .?" pemuda itu bergumam pelan, bicara pada dirinya sendiri.
Sebentar matanya merayap ke sekeliling, kemudian
kakinya kembali terayun melangkah pelahan. Pemuda
itu mulai memasuki sebuah jalan tanah berbatu yang
cukup besar. Jalan ini cukup untuk dilalui sebuah pedati pengangkut barang. Agak
tertegun juga dia melihat jalan ini telah ditumbuhi rerumputan. Meskipun belum
begitu banyak, namun sudah menandakan kalau jalan ini sudah
lama tidak digunakan lagi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah
menyusuri jalan, menuju arah yang berlawanan dengan
matahari terbit. Langkah kakinya kembali terhenti ketika memasuki sebuah
perkampungan yang nampak sepi
bagai tak berpenghuni. Kembali ditemukan sesosok
mayat tanpa kepala. Sosok mayat perempuan yang
hanya terbungkusselembar kain lusuh.
Pemuda itu menyingkirkan tubuh tanpa kepala itu ke
tepi, dan menyatukan dengan kepalanya yang terpisah.
Kemudian kembali langkahnya terayun. Pandangannya
tidak berkedip merayapi ruman-rumah yang berjajar di
sepanjang jalan ini. Begitu sepi, tak terdengar adanya napas kehidupan di
perkampungan ini. Tak terlihat
adanya cahaya pelita. Semua pintu dan jendela tertutup rapat. Sementara cahaya
matahari semakin membias
terang. "Hmmm. .," pemuda berbaju dari kulit harimau itu menggumampelan.
Ayunan langkahnya semakin pelahan. Matanya
menatap sebuah rumah kecil yang kelihatannya ringkih.
Dindingnya banyak yang berlubang. Tampak seorang
laki-laki setengah baya duduk memeluk lutut di atas balai bambu yang beralaskan
anyaman tikar pandan lusuh.
Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya pelahan-lahan.
Sementara pemuda itu berhenti tidak jauh di depannya.
Tampak wajah laki-laki setengah baya itu demikian
murung, dan sinar matanya redup tanpa sedikit pun
memancarkan gairah kehidupan.
Pemuda itu menyapa lembut dan sopan, namun laki-
laki tua itu hanya menyambut dengan senyuman tipis.
Hampir tidak terlihat gerak bibirnya.
"Boleh numpang beristirahat sebentar di sini,
Kisanak?" pinta pemuda itu sopan.
Laki-laki setengah baya itu tidak menyahut tapi
digeser juga duduknya sedikit Pemuda itu menganggukkan kepalanya, dan tersenyum, kemudian
melangkah mendekati. Dia duduk di samping laki-laki
setengah baya itu. Suasana kaku sangat terasa, dan tidak menyenangkan
samasekali. "Apa nama desa ini, Pak?" tanya pemuda itu mengisi kebisuan.
"Walang," sahut laki-laki setengah baya itu singkat Begitu datar nada suaranya.
"Hmmm. .," pemuda berbaju dari kulit harimau itu hanya bergumamsaja.
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang bicara
lagi. Semua bisu, tapi hati berbicara sendiri-sendiri.
Sementara pemuda itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Hari semakin terang, dan matahari mulai
tinggi. Tapi suasana desa ini masih juga sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat
keluar dari rumahnya. Pemuda itu menatap laki-laki setengah baya yang duduk
memeluk lutut di sampingnya.
Tiba-tiba saja terdengar suara rintihan lirih dari dalam pondok ini. Laki-laki
setengah baya itu bergegas bangkit dan melangkah masuk ke dalam. Sepertinya
tidak mau peduli lagi dengan pemuda yang jadi bengong tidak
mengerti. Pemuda
berbaju kulit harimau itu memandangi sampai laki-laki setengah baya itu masuk
ke dalam pondok ini. Pintunya tidak ditutup, sehingga
bagian dalampondok dapat terlihat jelas.
Tampak di atas sebuah dipan bambu yang hanya
beralaskan tikar lusuh, tergolek seorang wanita yang
hanya mengenakan pakaian lusuh dengan beberapa
bagian sobek. Rambutnya yang panjang tergerai lepas,
dan wajahnya pucat. Laki-laki setengah baya itu duduk
di tepi dipan. Diambilnya waskom tanah liat dan
dicelupkan selembar kain ke dalam air dalam waskom
itu untuk membasuh wajah wanita yang terbaring lemah
itu. Wajahnya pucat. Sinar matanya redup tanpa cahaya
kehidupan. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bangkit
berdiri, lalu melangkah masuk pelahan-lahan. Dipandangi wajah wanita yang kelihatan masih berusia
muda, namun begitu pucat. Gerak napasnya sangat
pelan, hampir tidak terlihat.
"Sakit, Kisanak?" pelansuara pemuda itu.
"Ya," laki-laki setengah baya itu menjawab lirih.
"Boleh aku lihat?"
Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab, tapi
hanya menoleh menatap pemuda berbaju dari kulit
harimau yang sudah berada dekat di belakangnya.
Kemudian dia berdiri dan menggeser memberi tempat
Pemuda itu melangkah maju, lalu duduk di tepi
pembaringan. Tangannya ditempelkan ke bagian leher
dekat rahang gadis itu.
"Sudah berapa lama sakitnya, Ki?" tanya pemuda itu tanpa menoleh. Jari-jari
tangannya bergerak lembut
memberikan beberapa pijatan di beberapa bagian tubuh
gadis itu. "Hampir satu purnama," sahut laki-laki setengah baya itu. "Ah..," wanita itu
merintih lirih ketika jari tangan pemuda berbaju kulit harimau menekan dadanya.
"Hm. .,"
pemuda itu bergumam, kemudian membalikkan tubuh wanita itu.
Tampak pada punggung yang terbuka lebar, terlihat
noda merah kehitaman. Tidak begitu besar dan bulat
seperti kuku ibu jari. Pemuda itu langsung menekan
noda itu dengan telapak tangan kanannya.
"Akh. .!" wanita itu memekik tertahan.
"He. .!" laki-laki setengah baya itu terkejut, dan menyentakkan pundak pemuda
itu. 'Tidak apa-apa, Ki. Akan kukeluarkan racun di dalam
tubuhnya," kata pemuda itu tidak bergeming sedikit pun.
'Tapi. . "
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja.
Wajahnya nampak menegang dan memerah bagai
kepiting rebus. Dan tangan kanan yang menempel pada
punggung berkulit putih halus itu agak bergetar.
Sedangkan laki-laki setengah baya itu hanya memperhatikan saja. Raut wajahnya begitu tegang, dan
sinar matanya memancarkan kecemasan yang amat
sangat "Akh! Hoek. .!"
Wanita itu memuntahkan darah kental agak
kekuningan. Dua kali muntah, kemudian terkulai lemas.
Napasnya memburu bagai baru saja berlari jauh. Pemuda
berbaju kulit harimau itu membalikkan tubuh gadis itu, kemudian menghentakkan
tangannya, tepat di dada
wanita itu. "Ugh! Hoeeek. !"
"Hhh. .!" Pemuda itu menghembuskan napas
panjang. Pelahan pemuda itu bangkit berdiri, dan melangkah
mundur. Dipandanginya wajah wanita muda yang
tampak diam dengan mata agak terpejam. Pelahan
namun pasti, wajahnya mulai memerah. Napasnya juga
mulai teratur kembali. Pemuda berbaju dari kulit


Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harimau itu membalikkan tubuhnya, dan mengajak laki-
laki setengah baya itu keluar. Saat itu wanita yang
tergolek di atas dipan bambu sudah terlihat tertidur
tenang. Tarikan napasnya lembut dan teratur. Wajahnya
tidak lagi memucat seperti tadi.
*** Siang ini terasa begitu lambat berlalu. Pemuda
berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu tengah duduk di sebuah kursi
reyot yang hampir tidak kuat
menahan beban tubuhnya. Matanya kelihatan setengah
terpejam. Sedang tidak jauh di sampingnya berdiri laki-laki tua yang menamakan
dirinya Ki Sampang.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tidak lepas
ke arah sosok tubuh seorang gadis yang masih tergolek di atas dipan. Ki Sampang
mengatakan kalau gadis itu
bernama Wurani.
"Dia sudah sadar. Den Bayu," ujar Ki Sampang.
Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri dari
duduknya. Dilangkahkan kakinya mendekati dipan itu,
lalu duduk di tepinya. Sedangkan Ki Sampang masih
tetap berdiri dekat pintu. Gadis yang bernama Wurani
mulai menggeliat, dan matanya mengerjap terbuka. Dia
bergelinjang akan bangkit, tapi Bayu Hanggara lebih
cepat mencegah.
"Jangan bangun dulu."
"Oh! Siapa kau?" tanya Wurani masih lirihsuaranya.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka itu memperkenalkan diri.
Wurani memalingkan mukanya, menatap pada Ki
Sampang yang masih tetap berdiri dekat pintu pondok
kecil yang reyot ini.
"Kau kutemukan tergeletak di jalan, lalu kubawa ke sini," kata Ki Sampang,
seolah-olah bisa mengerti pandangan gadis itu.
'Terima kasih," ucap Wurani pelan.
"Kau mengigau dan menyebut namamu Wurani.
Benar?" sambung Ki Sampang lagi seraya melangkah
menghampiri. Laki-laki setengah baya itu berdiri saja di belakang Pendekar Pulau
Neraka. "Benar. Aku memang bernama Wurani," pelan,
hampir tidak terdengarsuara gadis itu.
"Pemuda ini yang menyembuhkanmu," sambung Ki Sampang lagi
"Terima kasih," ucap Wurani seraya berusaha
tersenyum. Sesaat lamanya mereka terdiam membisu. Entah apa
yang ada dalam benak masing-masing. Sementara Bayu
kembali memeriksa kondisi gadis itu, kemudian
tersenyumlega. "Bagaimana kau bisa terluka seperti itu, Nisanak?"
tanya Bayu. "Jangan panggil aku Nisanak, Panggil saja Wurani,"
pinta gadis itu.
Bayu kembali tersenyum, dan dibalas oleh Wurani
dengan manis. Sementara itu Ki Sampang menyingkir
dan duduk di kursi, tempat Pendekar Pulau Neraka
duduk tadi. "Lukamu bukan luka biasa. Aku tahu, kau juga
memiliki daya tahan yang luar biasa. .," kata Bayu lagi, terdengar mengambang
nadasuaranya. "Dan aku yakin, kau juga bukan orang sembarangan, Kisa. . "
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu cepat
"Hm. ., kau dapat menyembuhkan lukaku. Sebenarnya aku sendiri sudah pasrah. Terima kasih,"
Wurani kembali tersenyum. Begitu manis senyum gadis
itu. 'Terlalu banyak kau mengucapkan terima kasih. Tapi
belum juga kau ceritakan tentang lukamu itu, Wurani,"
Bayu mengingatkan pertanyaannya yang belum
terjawab. "Maaf,apakah itu penting untukmu?" tanya Wurani.
"Mungkin. ., tidak," Bayu memang tidak punya kepentingan terhadap luka yang
diderita gadis itu.
Keberadaannya di sini hanya kebetulan saja, lalu
menolong dan menyembuhkan luka wanita itu.
"Sebaiknya kau memang tidak perlu tahu," ujar Wurani.
"Aku tidak memaksa,"
desah Bayu seraya mengangkat bahunya. "Tapi, asal kau tahu saja. Racun di dalam tubuhmu belum
semuanya punah. Dan paling
tidak kau harus bersemadi satu hari penuh."
"Terima kasih," ucap Wurani lagi seraya tersenyum.
Bayu menepuk punggung tangan gadis itu,
kemudian bangkit berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu
melangkah mendekati Ki Sampang, lalu memberi isyarat
dengan matanya. Dan Ki Sampang bisa mengerti,
kemudian bergegas bangkit dan melangkah mengikuti
pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Mereka keluar
dari pondok itu dan sama-sama duduk di dipan bambu
yang sudah reyot, hampir rubuh. Sebentar Bayu menarik
napas, dan memandang berkeliling. Suasana di desa ini
masih tetap sunyi. Hampir setengah harian Pendekar
Pulau Neraka itu berada di Desa Walang ini, tapi tidak melihat orang lain lagi,
selain Ki Sampang dan Wurani.
"Ada yang ingin kau katakan, Den Bayu?" tanya Ki Sampang.
"Aku merasa ada kelainan di sini, Ki," desah Bayu pelahan.
"Kesunyian ini. .?" tebak Ki Sampang langsung. "Satu diantaranya."
"Sudah beberapa bulan ini Desa Walang mati. Tidak ada lagi orang yang suka
tinggal di sini. Bahkan untuk melintasinya saja enggan," pelan kata-kata Ki
Sampang. "Ada tanda-tanda kemakmuran di sini. Aku tidak
mengerti, mengapa semua penduduk meninggalkannya,
Ki?" tanya Bayu lagi, makin ingin tahu saja.
"Bukan pada tempatnya kalau kau bertanya seperti
itu padaku, Den. Aku sendiri hanya pendatang di sini.
Aku datang, desa ini sudah seperti ini. Tidak ada lagi penduduknya."
"Oh. ."!" Bayu terkejut tidak menduga.
"Aku rasa Wurani lebih tahu. Ketika aku datang ke sini dia sudah tergeletak di
tepi jalan, dan kubawa ke pondok ini," sambung Ki Sampang.
Bayu tidak bertanya lagi. Namun tatapan matanya
begitu dalam menusuk langsung ke bola mata laki-laki
setengah baya di sampingnya. Seolah-olah Pendekar
Pulau Neraka itu tidak percaya terhadap keterangan
yang diberikan Ki Sampang barusan.
"Aku siapkan makan siang dulu," ujar Ki Sampang seraya bangkit berdiri.
Dan sebelum Bayu bisa mengucapkan sesuatu, laki-
laki setengah baya yang mengenakan baju garis-garis dan memakai ikat kepala dari
kain coklat itu sudah
melangkah masuk kembali ke dalam pondok. Sebentar
Bayu memandangi, sampai Ki Sampang lenyap dari
depan matanya. Pendekar Pulau Neraka itu menarik
napaspanjang, dan menghembuskannya kuat-kuat
"Aneh. ."!" desah Bayu seraya bangkit berdiri. Hanya itu yang bisa diucapkannya.
Sungguh tidak jelas, apa
yangsedang terjadi di Desa Walang ini.
Semua yang dilihat dan dirasakan memang terasa
aneh. Sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa
mempercayai. Sepanjang jalan yang dilalui menuju ke
desa ini, tidak sedikit ditemukan mayat tergeletak dengan kepala buntung. Dari
bekas penggalannya, tidak
ditemukan adanya bekas senjata tajam. Leher dari mayat-mayat yang ditemukannya,
seperti tercabut begitu saja.
Dari pengalamannya dalam berkecimpung di rimba
persilatan, Pendekar Pulau Neraka itu bisa mengenali
setiap luka. Paling tidak bisa menentukan senjata atau pukulan yang digunakan.
Tapi kali ini sungguh lain.
Juga luka di punggung Wurani. Meskipun Bayu bisa
memastikan adanya aliran racun yang lambat dan dapat
mematikan, tapi sukar untuk menentukan jenisnya. Sulit untuk bisa diduga apakah
itu akibat dari pukulan atau
akibat senjata. Noda hitam di punggung gadis itu ada
sedikit lubang seperti bekas tusukan jarum. Namun lebih besar lagi. Dan tusukan
itu bergerigi, sehingga mengoyak sedikit kulit punggungnya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya
pelahan-lahan. Langkahnya terhenti setelah sampai di
tengah-tengah jalan di depan pondok kecil itu. Kembali matanya memandang
berkeliling. Tampak beberapa ekor
anjing liar tengah berpesta mengoyak sosok mayat yang
nampaknya sudah membusuk. Udara di sekitar Desa
Walang ini juga terasa lain. Sedikit bau. Mungkin saja akibat dari banyaknya
mayat yang berceceran dengan
kepala terpisah tanpa sempat dikuburkan lagi.
"Hhh. .!" Bayu menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melangkah,
mendekati satu sosok mayat yang sebagian tubuhnya
tenggelam dalam parit. Dia berhenti dekat mayat itu.
Agak menggiris juga hatinya ketika melihat mayat itu,
yang ternyata seorang gadis kecil. Mungkin usianya baru sekitar sepuluh tahun.
Tak ada kepala lagi di lehernya.
Bau busuk sudah terasa menyengat hidung. Namun
Pendekar Pulau Neraka itu memeriksa sekitar leher yang buntung tanpa kepala.
"Hm. ., seperti bekas tarikan yang kuat. Tidak ada tanda-tanda bekas
tersayatsenjata tajam," gumamBayu.
"Den Bayu. .!" terdengar panggilan Bayu menoleh.
Tampak Ki Sampang sudah berdiri di depan pintu
pondok kecil itu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu
kembali mengayunkan kakinya menghampiri pondok.
Benaknya masih sibuk memikirkan mayat-mayat yang
tergeletak tanpa kepala lagi. Juga sikap Ki Sampang dan Wurani yang dirasakannya
sangat aneh. Bayu tidak akan
menduga-duga dulu, meskipun hatinya diliputi rasa
penasaran yang sangat kuat
*** 2 Bayu terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara
jeritan melengking yang sangat menyayat. Pendekar
Pulau Neraka itu menggelinjang bangkit dari dipan yang ditidurinya. Sebentar
ditatapnya Wurani dan Ki
Sampang yang juga tidur di dipan itu. Mereka juga
terjaga, dan langsung duduk. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka itusudah melangkah menghampiri jendela.
"Bayu. .," terdengar suara Wurani ketika Bayu akan membuka jendela itu.
Bayu mengurungkan niatnya, lalu berbalik memandang Wurani dan Ki Sampang secara bergantian.
Jeritan melengking tadi tidak lagi terdengar. Dan suasana malam ini kembali
sunyi lengang. Hanya desiran angin
dingin saja yang masih terdengar mengusik gendang
telinga. Angin malam yang menyebarkan bau tidak
sedap. "Kalian dengar suara jeritan tadi?" tanya Bayu ingin mengetahuisikap kedua orang
itu. "Ya," sahut Ki Sampang pelan tanpa tekanan sama sekali padanada suaranya.
"Hm. . Sepertinya kalian sudah biasa mendengarnya," gumam Bayu mulai dihinggapi rasa
curiga. Ki Sampang dan Wurani hanya diam saja. "Aku akan melihat keluar," kata
Bayu seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah mendekati pintu.
"Apa yang akan kau lakukan di luar?" tanya Ki Sampang.
"Barangkali aku masih bisa menemukan seorang
manusia," sahut Bayu seraya membuka pintu pondok itu.
"Bayu, jangan. .!" sentak Ki Sampang seraya
melompat turun dari dipan.
Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah melangkah
keluar. Ki Sampang mengejar, namun laki-laki setengah
baya itu hanya sampai di depan pintu saja. Sebentar
dipandangi Bayu yang melangkah tegap menjauhi
pondok ini, kemudian menatap Wurani. Laki-laki
setengah baya itu menutup pintu pondok kembali.
Ditariknya napas panjang dan berat. Sedangkan Wurani
hanya diamsaja memandangi laki-laki setengah baya itu.
Sementara di luar, Pendekar Pulau Neraka terus
melangkah pelahan-Iahan menyusuri jalan tanah
berdebu. Udara malam yang berhembus agak kencang,
semakin tidak sedap tercium hidung. Mayat busuk
begitu banyak tergeletak di sepanjang pinggir jalan ini.
Bahkan tidak sedikit yang sudah koyak disantap
binatang liar. Bayu berhenti melangkah di depan sebuah rumah yang cukup besar
yang berdinding sebagian dari
batu, dan sebagian lagi dari belahan papan. Rumah itu
nampak sepi lengang, namun terlihat ada sedikit cahaya menyemburat dari dalam.
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat begitu
melihat adanya satu bayangan berkelebat keluar dari atap rumah itu. Ringan
sekali gerakan pemuda berbaju dari
kulit harimau itu. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah
mendarat di atas atap rumah itu. Dan pada saat yang
sama, bayangan hitam yang dilihatnya sudah berlari
cepat ke bagian belakang rumah.
"Hup!"
Bayu segera melompat disertai pengerahan ilmu
meringankan tubuh. Lesatannya begitu cepat bagai kilat Begitu sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang
dimiliki, sehingga Pendekar Pulau Neraka itu bisa
menyusul dalam waktu singkat Bahkan langsung
berbalik menghadang.


Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berhenti. .!" bentak Bayu keras.
Sosok tubuh hitamitu langsung berhenti dari larinya.
"Siapa kau?" tanya Bayu.
Keadaan malam yang begitu gelap, sukar bagi Bayu
untuk mengenali wajah sosok tubuh itu yang hampir
sebagian wajahnya tertutup rambut panjang tergerai
tidak teratur. Tubuhnya kurus dan agak bungkuk. Baju
yang dikenakannya berwarna hitam pekat dan longgar.
Bayu mencoba untuk melihat wajah orang itu. Tapi
karena orang itu selalu menunduk, sukar untuk dilihat
jelas.Danbelumlagi Bayusempatuntukbertanya,tiba-tiba
saja orang aneh itu bergerak cepat bagaikan kilat
menerjangnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga
membuat Pendekar Pulau Neraka itu tidak sempat
menyadari lagi. Tahu-tahu pemuda berbaju kulit
harimau itu sudah terpental deras ke belakang. Sebatang pohon beringin sangat
besar, langsung hancur seketika
terlanda tubuhnya.
"Sial. .!" rutuk Bayusambil melompat bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka itu mengatur napasnya yang
mendadak saja terasa sesak. Dadanya seperti remuk,
terasa nyeri sekali. Namun belum juga hilang nyeri di
dadanya, kembali orang aneh itu menerjang dengan
kecepatan yang luar biasa. Sesaat Bayu terperangah,
namun cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah, lalu
bergulingan menjauh. Cepat pula tubuhnya melompat
bangkit berdiri.
Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu
mampu berpijak kokoh, orang aneh berjubah hitam itu
kembali melompat menerjang bagai kilat. Pendekar
Pulau Neraka tidak punya kesempatan untuk berkelit
lagi. Dengan cepat dihentakkan kedua tangannya ke
depan. Maka satu benturan keras tidak dapat
terhindarkan lagi.
"Akh. .!" Bayu terpekik keras agak tertahan.
Pendekar Pulau Neraka itu terpental sejauh dua
batang tombak. Sedangkan orang aneh berjubah hitam
itu hanya terdorong sekitar dua langkah saja. Sebentar dia berdiri tegak,
kemudian melesat demikian cepat,
sehingga tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata. Bayu berusaha mengejar, namun
dadanya terasa begitu sesak Napasnya pun jadi tersengal.
Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu duduk bersila
dan mengambil sikap bersemadi. Cukup lama Bayu
bersemadi menyalurkan hawa mumi ke seluruh tubuh
untuk mengatur jalan napasnya. Pendekar Pulau Neraka
itu kembali bangkit berdiri setelah kondisi tubuhnya
kembali seperti semula. Ditekannya dada sebelah kiri.
Masih terasa nyeri, namun tidak lagi sakitseperti tadi.
"Hm, siapa dia" Apa yang dilakukannya di rumah
itu?" Bayu bertanya-tanya dalamhati.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melangkah
menuju ke rumah yang tidak seberapa jauh dari tempat
ini. Nyala pelita masih terlihat redup, dari bagian dalam rumah itu. Sebentar
Pendekar Pulau Neraka itu
mengamati sekitarnya, lalu melesat ke udara, dan
hinggap di atas atap. Tubuh pemuda berbaju kulit
harimau itu langsung saja meluruk masuk ke dalam
melalui atap yang jebol.
"Ah. .!" Seketika mata Bayu membelalak lebar begitu kakinya mendarat di lantai
rumah. *** Sukar untuk dipercaya akan apa yang disaksikan
Pendekar Pulau Neraka di dalam rumah ini. Seorang
anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun, tengah
menangis memeluk mayat seorang wanita tanpa kepala
lagi. Tidak jauh di sampingnya tergeletak mayat seorang laki-laki yang juga
buntung kepalanya.
Mungkin merasakan adanya orang lain, gadis kecil
itu menoleh. Hampir saja Bayu memekik melihat wajah
gadis kecil itu hampir tidak terlihat karena tertutup
darah. Entah darah siapa, karena kedua tangannya juga
penuh darah. Bayu buru-buru menghampiri dan
menggendong gadis kecil itu.
"Mari adik kecil, kita keluar dari sini," ucap Bayu lembut.
"Ibuuu. .," rintih gadis kecil itu lirih.
"Aku akan mengurusmu nanti," kata Bayu berjanji.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak membuang-buang
waktu lagi. Langsung tubuhnya melesat menembus atap
rumah yang memangsudah jebol berantakan.
Gadis kecil yang berada dalam gendongannya, masih
menangis memanggil-manggil ibunya. Bayu terus
melenting begitu berada diatas atap.
Ringan sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka itu.
Lentingannya bagai seekor burung, dari atas atap
langsung meluruk ke tanah. Dia berlari cepat menuju
pondok kecil, tempat Ki Sampang dan Wurani berada.
Dalam waktu tidak berapa lama, Bayu sudah berada di
depan pintu. Diketuknya pintu itu beberapa kali.
"Siapa. .?" terdengarsuara dari dalam.
"Aku. Bayu. . Cepat buka pintunya!"sahut Bayu.
Pintu pondok itu terbuka. Muncul Ki Sampang. Laki-
laki setengah baya itu hampir memekik melihat seorang
gadis kecil berlumuran darah berada dalam gendongan
Bayu. Ki Sampang bergegas mengambil gadis itu, dan
membawanya ke dipan. Sementara Bayu melangkah
masuk, lalu menutup pintu pondok itu. Wurani jadi
sibuk membersihkan darah yang melumuri wajah,
tangan dan tubuh gadis itu, sambil mencoba membujuk
agar anak itu tidak menangis lagi.
Agak lama juga gadis kecil itu baru dapat berhenti
menangis. Sesekali masih juga terisak lirih. Sementara Bayu sudah menghenyakkan
tubuhnya di kursi. Ki
Sampang menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu.
Sedangkan Wurani mencoba menenangkan gadis kecil
itu agar tidur. Bayu hanya memperhatikan saja, tapi
benaknya masih terus dipenuhi berbagai macampikiran.
Masih belum bisa dipahami semua yang terjadi di desa
ini, juga pada malam ini. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan cepat,sukar
untuk bisa dimengerti.
"Di mana kau temukan gadis itu, Bayu?" tanya Ki Sampang yang sudah menghilangkan
panggilan Raden
pada Pendekar Pulau Neraka itu. Dan memang pemuda
itu sendiri yang memintanya.
"Di sebuah rumah yang di depannya ada pohon
kamboja," sahut Bayu seraya melirik ke arah dipan.
Nampak gadis kecil itu sudah tidur, sedangkan Wurani
duduk saja di sampingnya.
'Tidak kuduga masih ada yang hidup di sini. .,"
gumam Ki Sampang setengah mendesah.
"Ayah dan ibunya baru saja tewas," ujar Bayu seperti untuk dirinya sendiri.
"Oh. .!" Ki Sampang tampak terkejut.
"Barangkali masih ada orang lain lagi yang masih
hidup. Aku memang tidak yakin kalau semua orang di
sini telah tewas," kata Bayu lagi dengan nada bergumam.
Ki Sampang menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dibalikkan tubuhnya,
lalu dihampiri dipan, dan duduk di sisinya. Sedangkan
Wurani hanya tertunduk saja memandangi wajah gadis
kecil yang telah lelap walau hanya beralaskan tikar
pandan lusuh. Wajah dan tubuhnya sudah bersih. Tidak
ada lagi darah yang melekat, karena memang tidak ada
satu luka pun. Darah itu pasti darah ibunya yang tewas malamini.
"Kau seperti menyembunyikan sesuatu, Ki," tebak Bayusambil menatap tajamlaki-
laki tua itu. Ki Sampang kembali menghembuskan napas
panjang, seakan hendak melegakan rongga dadanya.
Hembusan napasnya begitu terasa berat.
"Apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini?" tanya Bayu mendesak.
"Sungguh aku tidak tahu. Aku juga sama sepertimu.
Hanya pendatang," sahut Ki Sampang sambil
mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau
Neraka. "Kau juga begitu, Wurani?" Bayu mengalihkan
pandangannya pada Wurani.
Wurani tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk
dalam. Sementara malam merambat semakin larut. Dan
Bayu semakin yakin kalau tidak Ki Sampang, pasti
Wurani yang mengetahui peristiwa yang tengah
melanda Desa Walang ini. Hanya mereka berdua saja
yang dijumpai di desa mati ini. Desa yang dipenuhi
mayat bergelimpangan tanpa kepala.
Bayu menghembuskan napas panjang dan terasa
berat. Memang sukar mendesak orang yang lebih suka
diam menutup mulut. Pendekar Pulau Neraka itu
bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Dibukanya
pintu pondok itu, lalu kakinya terus melangkah keluar.
Ki Sampang bergegas menyusul, dan langsung
menutup pintu begitu berada di luar. Sementara Bayu
hanya berdiri saja merayapi kesunyian dan kegelapan
malam ini. Ki Sampang menghampiri dan berdiri di
samping pemuda berbaju dari kulitharimau itu.
"Jangan paksa aku atau Wurani untuk mengatakan
apa-apa, Bayu. Sungguh kami tidak tahu apa-apa.
Terlebih lagi aku yang hanya pendatang di sini, sama
sepertimu," tegas Ki Sampang mencoba meyakinkan
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kau cukup lama berada di sini, Ki. Tentunya bisa mengetahuisedikit keadaan di
desa ini," kata Bayu pelan.
'Tidak! Aku tidak tahu apa-apa. Ketika aku datang,
desa ini memang sudah seperti ini. Tidak ada yang
kutemui selain Wurani. Dan gadis itu sendiri dalam
keadaan terluka," sergah Ki Sampang.
"Dan kau menungguinya?" agak sinis nada suara Bayu. Sama sekali tidak
dipercayainya keterangan laki-laki setengah baya itu.
"Aku berkata sejujurnya, Bayu. Aku tidak bisa
meninggalkannya sendirian begitu saja. Sudah kucoba
untuk menyembuhkannya, tapi aku tidak mampu.
Untungnya kau cepat datang dan berhasil menyembuhkan lukanya," Ki Sampang tetap berusaha
meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh. .!" Bayu menghembuskan napas panjang-
panjang. Ki Sampang terdiam membisu, lalu berbalik dan
duduk di balai bambu yang sudah reyot. Sementara
Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak
memandang lurus ke depan. Cukup lama juga mereka
membisu dengan pikiran masing-masing yang sukar
untuk diterka. "Bayu, mengapa kau begitu tertarik dengan keadaan di sini?" tanya Ki Sampang
memecah kebisuan yang
terjadi cukup lama.
"Hanya naluri," sahut Bayu pelan.
"Kauseorang pendekar?" tanya Ki Sampang lagi.
"Hanya pengelana."
"Kita akan menyelidiki keadaan di sini bersama-
sama, Bayu," kata Ki Sampang lagi.
"Hmmm. .," Bayu hanya menggumam saja, seperti tidak mendengar kata-kata laki-
laki tua itu. *** Siang ini udara terasa begitu panas menyengat
Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak menghanguskan semua yang ada di atas permukaan
bumi ini. Di bawah sengatan teriknya sinar matahari,
Bayu berjalan menyusuri jalan berdebu. Setiap rumah
yang dilalui, tidak pernah terlewatkan untuk diperiksa.
Dan semua rumah yang dimasuki, dalam keadaan
kosong tanpa penghuni. Padahal hampir semua rumah
di Desa Walang ini telah diperiksa. Tapi tak satu pun
manusia dijumpai. Bahkan binatangsaja tidak dilihatnya.
Pendekar Pulau Neraka itu tiba di sebuah bangunan
batu bertumpuk sebagai tanda batas Desa Walang.
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu berhenti
melangkah. Pandangan matanya langsung tertuju ke
puncak bukit di depannya. Sebuah bangunan batu
berdiri menantang langit di puncak bukit itu. Bayu tahu kalau bukit itu disebut
Bukit Walang Jati dari gadis kecil yang ditemukan di dalam rumah saat menangisi
mayat ibunya. "Bayu. .!" tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah belakang.
Bayu hanya menolehkan kepala saja. Tampak Wurani
berjalan cepat menghampirinya.
Bayu kembali memalingkan wajah setelah Wurani berada di
sampingnya. Gadis itu kelihatan segar dan cantik siang ini. Baju biru yang
dikenakannya sangat kontras dengan kulitnya yang putih halus. Bajunya ketat,
sehingga memetakan lekuk tubuhnya yang ramping.
"Apa yang kau kerjakan di sini, Bayu?" tanya Wurani ingin tahu.
"Tidak tahu," sahut Bayu singkat dan datar.
"Ki Sampang sudah siap, tinggal menunggumu saja,"
kata Wurani lagi.
"Jadi dia meninggalkan desa ini?" tanya Bayu.
"Benar. Gadis kecil itu juga ikut"
"Kausendiri?"


Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tergantung dirimu, Bayu. Kalau kau juga pergi,
maka aku ikut pergi. Tapi kalau kau tetap akan
menyelidiki keadaan di sini, maka aku akan ikut juga
bersamamu," tegas jawaban Wurani.
"Kau perlu menentukan sikap, Wurani."
"Hanya itu sikapku, Bayu. Kau telah menyelamatkan nyawaku. Maka tidak akan
kubiarkan kau sendirian
berada di sini. Mungkin aku akan menyulitkan, tapi
paling tidak kau masih punya teman untuk diajak
bicara," tetap tegas nada suara Wurani.
"Sebaiknya kau pergi, Wurani. Aku merasa tempat ini dipenuhihawa iblis dan
kematian."
"Dan kau. ., akan tetap di sini?"
"Tidak. Aku akan meneruskan pengembaraanku.
Ada hal penting yang harus kukejar secepatnya. Bagiku
tidak ada gunanya lagi lama-lama disini"
"Kalau begitu, sebaiknya kita bersama-sama. Saat
waktunya berpisah, aku tidak akan menghalangimu,"
ujar Wurani. Bayu tersenyum, kemudian membalikkan tubuhnya
dan berjalan kembali ke Desa Walang. Sedangkan
Wurani mengikutinya, mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Pulau Neraka itu. Mereka berjalan
tanpa berkata-kata lagi.
Dari kejauhan, tampak Ki Sampang dan seorang
gadis kecil sudah menunggu. Laki-laki setengah baya itu memegangi tali kekang
kuda coklat yang diduduki
seorang gadis kecil di punggungnya. Mereka menunggu
dengan sabar sampai Bayu dan Wurani mendekat.
"Ayo kita berangkat" ujar Bayu setelah berada di depan Ki Sampang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera berjalan
meninggalkan Desa Walang itu menuju ke arah Barat.
Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka
berjalan terus tanpa menoleh atau memandang
sekelilingnya, kecuali Pendekar Pulau Neraka. Pemuda
berbaju kulit harimau itu tidak pernah berhenti
memandang berkeliling. Dan setiap kali melihat
seonggok mayat tanpa kepala, hatinya selalu tergiris.
Mereka terus berjalan sampai melewati perbatasan
desa sebelah Barat. Masih tetap belum ada yang
membuka suara sedikit pun. Sementara matahari sudah
begitu tinggi, tegak lurus di atas kepala. Perjalanan
mereka baru berhenti setelah tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair
jernih. Mereka membersihkan diri dari debu yang melekat. Tempat ini begitu
tenang. Udaranya
pun sangat segar, meskipun matahari bersinar sangat
terik. "Agaknya kita harus berpisah di sini," kata Bayu setelah mereka cukup
beristirahat. Tak ada yang bicara. Bayu bisa mengerti arti pan-
dangan mata mereka yang menginginkannya terus ikut
pergi. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah mantap,
harus berpisah di tempat ini. Dia kenal daerah ini. Setelah menyeberangi sungai,
dan melintasi padang rumput,
maka akan ditemukan sebuah perkampungan yang tidak
begitu besar. Mungkin di sana akan didapat tempat yang layak
"Kalian terus saja berjalan menyeberangi sungai ini, lalu
melintasi padang rumput Ada sebuah perkampungan tidak jauh dari padang rumput itu," jelas Bayu.
"Bayu, kenapa kau tidak ikut saja sekalian bersama kami?" tanya Ki Sampang.
"Sebenarnya aku ingin bersama kalian, tapi ada hal lebih penting yang harus
kukerjakan," sahut Bayu
beralasan. "Aku tidak bisa mendesakmu, Bayu. Mudah-
mudahan kita bisa bertemu lagi," ujar Ki Sampang
menyerah. Bayuhanya tersenyumsaja.
"Selamat tinggal, Bayu. Aku senang bisa bertemu
denganmu," ucap Ki Sampang seraya menepuk pundak
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Semoga kalian selamat" balas Bayu.
Ki Sampang menuntun kuda coklat yang membawa
gadis kecil di punggungnya. Laki-laki setengah baya itu melangkah menyeberangi
sungai. Sementara Wurani
masih tetap berdiri di depan Pendekar Pulau Neraka itu.
Pandangan gadis itu tidak berkedip ke arah wajah
tampan di depannya.
"Pergilah," ujar Bayu lembut.
"Aku berhutang padamu. .
Hm, boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Dengan senang hati."
"Terima kasih."
Bayu menepuk lembut bahu gadis itu.
"Mudah-mudahan kita bertemu lagi. Aku ingin
membalas kebaikanmu, Kakang," ucap Wurani
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Wurani membalikkan tubuhnya, lalu menyeberangi
sungai, menyusul Ki Sampang yang sudah tiba di tepi.
Sementara Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri
memandang kepergian mereka dari seberang sungai. Ki
Sampang dan Wurani terus berjalan semakin jauh.
Beberapa kali gadis itu menoleh, dan pada tolehan ke
sekian kalinya Pendekar Pulau Neraka sudah tidak ada
lagi di tempatnya.
*** 3 Malam sudah demikian larut. Lolongan anjing saling
bersahutan, terbawa hembusan angin dingin membekukan tulang. Malam yang begitu hening,
mendadak pecah oleh suara hiruk pikuk dan denting
senjata beradu. Tampak di Kaki Bukit Walang Jati sebelah Selatan, beberapa orang
tengah bertarung mengeroyok
seseorang berjubah hitampanjang.
Di sekitar pertarungan itu sudah tidak terhitung lagi
tubuh yang bergelimpangan. Yang membuat hati tergiris
melihatnya, tubuh-tubuh
berlumuran darah itu semuanya berkepala buntung. Sedangkan sekitar
sepuluh orang bersenjata golok dan pedang masih
bertarung sengit mengeroyok seorang berjubah hitam
dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian
wajahnya. "Aaa. .!"satu jeritan melengking terdengar menyayat Tepat saat ada seorang yang
ambruk dengan kepala
buntung, mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat
cepat menghantam orang berjubah hitam agak bungkuk
itu. Orang itu mengerang lirih. Tubuhnya bergulingan
beberapa kali di tanah. Namun dia cepat bangkit berdiri.
Sekitar sembilan orang hanya terlongong begitu
melihat seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau
menerjang orang berjubah hitamitu. Mereka jadi terpaku, karena pertarungan itu
langsung pecah tanpa ada yang
bisa mencegah lagi.
"Hiyaaa. .!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Seketika tubuh hitam itu melesat cepat
ke udara, dan dalam sekejap saja lenyap dari pandangan mata. Pemuda berbaju
kulit harimau itu tidak bisa lagi mengejar. Sembilan orang
yang memegang senjata terhunus, bergegas menghampiri. Salah seorang yang mengenakan baju
ketat putih dan memegang pedang, membungkukkan
badan memberi hormat di depan pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Terima kasih. Kisanak datang tepat pada waktunya,"
ucap laki-laki setengah baya berbaju putih itu seraya
menyarungkan pedangnya di pinggang.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi
sembilan(orang yang berada di depannya. Mereka semua
memakai baju putih ketat berikat kepala juga putih.
Melihat sulaman bergambar burung gagak di dada kiri,
pemuda itu menduga kalau mereka tentu berasal dari
sebuah padepokan. Pemuda itu memandang mayat-
mayat yang bergelimpangan. Semuanya mengenakan
baju putih bersulamkan gambar burung gagak berwarna
hitampada bagian dadasebelah kiri.
"Oh, ya. Siapakah Kisanak ini" Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebaikan
hati Kisanak menolong kami!"
kata laki-lakisetengah baya itu dengannada suarasopan.
"Namaku Bayu, aku kebetulan saja lewat di sini,"
pemuda itu menyahut memperkenalkan namanya.
"Aku Tepasena. Ah, Kisanak telah berjasa pada kami.
Jika tidak berkeberatan, aku atas nama Eyang Resi
Jayaraga mengundang Kisanak ke Padepokan Gagak
Hitam," ujar laki-laki setengah baya itu memperkenalkan dirinya.
"Rasanya sukar bagiku menolak undangan ramah
ini,"sahut Bayu.
"Ah, terima kasih. Mari, Kisanak."
Bayu mengayunkan langkahnya di samping
Tepasena. Sedangkan delapan orang berseragam putih
ketat mengikuti dari belakang. Mereka masih terlihat
muda-muda, dan mungkin usianya sebaya Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Ki Tepasena, boleh bertanya sesuatu?" pinta Bayu.
"Silakan, Kisanak,"sahut Tepasena ramah.
"Ah, sebaiknya panggil saja aku Bayu. Hmmm. .,
siapa sebenarnya orang yang bertarung denganmu tadi
itu?" tanya Bayu setelah meminta agar Tepasena
memanggil namanya saja.
"Sukar untuk dikatakan, Ki. ., oh, Bayu. Kami waktu itu sedang dalam perjalanan
kembali ke padepokan.
Tiba-tiba saja orang itu datang mencegat dan langsung
menyerang tanpa berkata apa-apa lagi," jelas Tepasena singkat.
"Hm. ., jadi kau tidak tahu siapa dia?" tanya Bayu agak kecewa. Padahal
harapannya tadi, laki-laki setengah baya ini mengetahui tentang orang aneh yang
juga pernah bertemu sekali dengannya di Desa Walang.
"Tampaknya kau pernah berhadapan dengannya,
Bayu. Paling tidak, sekali," tebak Tepasena langsung.
Bayu hanya tersenyum saja. Tebakan lelaki setengah
baya itu tepat, tidak meleset sedikit pun. Pendekar Pulau Neraka itu sempat
mengagumi di dalam hati terhadap
pandangan tajamTepasena.
"Aku memang sedang memburunya, Ki Tepasena.
Tapi tidak tahu siapa diasebenarnya," kata Bayu.
"Oh! Kenapa?" Tepasena tampak terkejut.
"Sukar untuk dijelaskan."
"Tidak mengapa, Bayu."
Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka mengagumi sikap
lelaki setengah baya itu. Sangat arif. Setiap kata yang diucapkan begitu sopan,
berwibawa, dan terdengar
agung. Dalam hati, Bayu menduga kalau Tepasena pasti
seorang yang memiliki ilmu tinggi. Paling tidak seorang guru pengajar pada
Padepokan Gagak Hitam.
Mereka terus berjalan menembus kegelapan malam
tanpa bicara lagi. Sebenarnya Bayu ingin menceritakan
kejadian di Desa Walang. Tapi rasanya belum ada alasan kuat. Lagi pula
dugaannya, orang-orang dari Padepokan
Gagak Hitam ini tidak tahu menahu sama sekali. Tapi
sedikit ada harapan di hati Pendekar Pulau Neraka saat Tepasena mengatakan
Padepokan Gagak Hitam tidak
jauh dari Bukit Walang Jati sebelah Selatan ini. Hanya dibatasi hutan kecil dan
aliran sungai yang tidak begitu besar. Bayu berharap, mungkin di dalam padepokan
itu bisa didapat banyak keterangan. Dia tahu kalau sebuah
padepokan, tentu tidak jauh dari sebuah perkampungan.
Kalau pun menyendiri, itu paling tidak di sebuah
lembah, puncak gunung, atau sebuah bukit Tapi tetap
juga tidak jauh dari perkampungan.
*** Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau Eyang
Jayaraga tidak seperti yang dibayangkannya semula.
Biasanya, sebuah padepokan selalu dipimpin oleh orang
tua berjubah panjang dan berjanggut memutih. Nada
suaranya lembut penuh kewibawaan. Tapi yang
sekarang berada di depan Pendekar Pulau Neraka kali
ini. .,sungguh tidak mudah dipercaya.
Bayu sendiri sampai terpana tidak percaya ketika
Tepasena memperkenalkannya pada Ketua Padepokan
Gagak Hitam. Seorang pemuda cukup tampan yang
usianya mungkin baru dua puluh delapan tahun, atau
mungkin tiga puluhan. Kulitnya kuning langsat dan sinar matanya tajam menusuk.
Pakaiannya sangat sederhana,
terbuat dari kulit binatang Sengaja dibuat tanpa lengan, dihiasi tali-tali dari
urat binatang menyilang pada bagian dadanya. Sebilah pedang yang gagangnya
berbentuk kepala burung gagak bertengger di punggungnya.
"Senang sekali bisa bertemu denganmu, Pendekar
Pulau Neraka," ucap laki-laki muda yang ternyata
bernama Eyang Jayaraga itu menyambut kedatangan
Bayu Hanggara. 'Terima kasih. .," ucap Bayu, agak kaku juga.
Betapa tidak" Bayu merasa tidak pantas memanggil
laki-laki yang usianya sangat jauh jika dipanggil Eyang.
Paling tidak dia memanggilnya Kakang.
"Silakan duduk," ujar Eyang Jayaraga.


Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayu duduk di kursi menghadap meja bundar kecil.
Sedangkan Eyang Jayaraga kembali duduk di kursinya,
tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada lagi
orang lain di ruangan yang cukup besar ini. Tepasena
yang mengantarkan tadi, sudah sejak tadi keluar dari
ruangan ini. Sebentar Bayu merayapi keadaan ruangan
yang cukup besar dan indah ini.
"Sukar rasanya bagiku untuk memanggilmu. .," Bayu tak jadi meneruskan ucapannya.
"Ha ha ha. .!" Eyang Jayaraga hanya tertawa saja.
Bayu terdiam membisu.
"Panggil saja aku Jayaraga. Tidak perlu kau panggil aku Eyang," kata Eyang
Jayaraga polos disertai
senyuman di bibir.
"Sulit. Meskipun kau masih kelihatan muda, tapi
sudah memimpin padepokan. Sebutan Eyang sudah
melekat di depan namamu," ujar Bayu.
"Kalau begitu, terserah kau sajalah."
Kembali Bayu terdiam.
'Terus terang, aku begitu gembira menerima
kunjunganmu, Pendekar Pulau Neraka. Sudah lama aku
ingin dapat bertemu denganmu. Dan sekarang sepertinya
aku mendapat kehormatan atas kunjunganmu ke sini,"
ucap Eyang Jayaraga pelan dan cukup lembut
"Hm. ., kau tahu nama julukanku," gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka selalu memotong akhir
ucapannya. Sepertinya berusaha untuk menghindar
menyebut nama laki-laki muda pemimpin Padepokan
Gagak Hitamini. Terasa risih bagi lidahnya.
"Hanya ada satu Pendekar Pulau Neraka di dunia ini.
Dan aku tahu siapa dirimu, meskipun belum kau
sebutkan julukanmu," kata Eyang Jayaraga kalem.
"Bagaimana kau bisa tahu" Sedangkan baru kali ini kita bertemu," selidik Bayu
ingin tahu. "Pakaianmu, dan senjata anehmu itu."
Bayu tersenyum seraya mengangkat bahunya sedikit
Pakaian yang dikenakannya memang terlalu menyolok,
tapi dia sangat menyukainya. Terlebih senjata Cakra
Maut yang setiap saat menempel di pergelangan tangan
kanannya. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak
ada yang bicara. Dalam hati, Bayu mengagumi juga
kejelian penglihatan laki-laki muda yang sudah dipanggil eyang itu. Pemimpin
besar Padepokan Gagak Hitam ini
memang masih menjadi beban pertanyaan di benak
Pendekar Pulau Neraka. Sama sekali tidak diketahuinya
tentang padepokan ini. Meskipun semua penghuninya
ramah, tapi Bayu tetap ingin tahu banyak mengenai
Padepokan Gagak Hitam yang berada di sebelah Selatan
Bukit Walang Jati.
*** Dua hari Bayu berada di lingkungan Padepokan
Gagak Hitam. Dan selama itu pula dia belum
memperoleh apa-apa tentang manusia aneh dan
misterius yang membantai penduduk Desa Walang
secara kejam. Eyang Jayaraga sendiri tidak tahu tentang kekejaman itu. Bahkan
sepertinya tidak tahu kalau ada
sebuah desa di balik Bukit Walang Jati. Bahkan semua
orang yang ada di padepokan ini, tidak ada yang bisa
memberi jawaban memuaskan.
Sukar untuk dipercayai. Letak Padepokan Gagak
Hitam dengan Desa Walang, tidak seberapa jauh.
Mustahil kalau mereka tidak tahu menahu terhadap
semua yang terjadi di desa itu. Beberapa kali Bayu
menanyakan tentang hal ini pada Eyang Jayaraga, tapi
laki-laki muda pemimpin padepokan itu seperti sengaja
menghindar. "Kau akan pergi juga, Bayu?" tanya Tepasena siang itu ketika melihat Pendekar
Pulau Neraka sudah bersiap-siapakan meninggalkan Padepokan Gagak Hitamini.
"Ya,"sahut Bayusingkat.
"Eyang Jayaraga sangat senang atas kehadiranmu di sini. Bahkan dia menginginkan
agar kau tetap tinggal
untuk beberapa hari lagi," kata Tepasena.
"Aku juga senang berada di sini. Tapi masih ada yang harus kukerjakan di luar
sana,"sahut Bayu.
"Hm. . Kau tetap akan menyelidiki orang misterius itu, Bayu?"
"Ya. Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan mataku," tegas
jawaban Pendekar Pulau
Neraka. "Bukankah semua tindakanmu juga dikatakan kejam,
Bayu." Bayu Hanggara seketika tertegun. Pandangannya
tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah baya itu. Sungguh tidak
disangka kalau Tepasena bisa
bicara seperti itu. Kata-kata yang meluncur lancar bagai tidak pernah
terpikirkansebelumnya.
"Maaf, kalau ucapanku membuatmu tersinggung,"
ucap Tepasena buru-buru menyadari kata-katanya.
"Seberapa jauh kau mendengar tentang diriku,
Paman?" tanya Bayu datar.
'Tidak banyak. Hanya mendengar saja dari cerita
orang-orang," sahut Tepasena.
"Orang-orang. " Tidak kulihat adanya desa di sekitar sini. Hanya padepokan ini
saja yang ada. Siapa yang
dimaksud orang-orang itu, Paman?" nada suara Bayu terdengarseperti mencurigai
dan penuh selidik
Tepasena terdiam, tidak bisa segera menjawab. Raut
wajahnya berubah seketika. Sepertinya baru saja
kepergok mencuri. Sikap laki-laki setengah baya itu
membuat Pendekar Pulau Neraka semakin curiga, dan
ingin tahu lebih banyak lagi. Tapi waktu yang
dimilikinya saat ini begitu sedikit. Dia sudah berpamitan pada Eyang Jayaraga,
dan harus segera pergi dari
Padepokan Gagak Hitamini.
"Aku pergi dulu, Paman. Mudah-mudahan bisa
bertemu lagi dalamsuasana masih penuh persahabatan,"
ucap Bayu seraya menjura memberi hormat.
Tepasena hanya diam seraya menganggukkan
kepalanya sedikit membalas penghormatan Pendekar
Pulau Neraka itu. Tanpa bicara apa-apa lagi, Bayu
membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Pen-dekar
Pulau Neraka lewat di depan bangunan utama
Padepokan Gagak Hitam ini. Langkahnya terhenti saat
melihat Eyang Jayaraga berdiri di ambang pintu
bangunan utama padepokan itu.
Bayu membungkukkan tubuhnya untuk memberi
hormat, kemudian terus saja berjalan cepat keluar dari Padepokan Gagak Hitam.
Dua orang penjaga pintu
gerbang bergegas membuka pintu yang terbuat dari kayu
tebal dan cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka terus saja berjalan. Sementara
Eyang Jayaraga memandangi sampai
pintu gerbang kembali tertutup. Digerakkan tangannya
untuk memanggil Tepasena.
Bergegas laki-laki setengah baya itu menghampiri,
lalu menjura memberi hormat dengan membungkukkan
tubuhnya dalam-dalam. Eyang Jayaraga yang masih
muda dan berwajah cukup tampan itu melangkah
beberapa tindak menuruni anak-anak tangga beranda
depan bangunan besar Padepokan Gagak Hitam itu.
Langkahnya berhenti setelah dekat di depan laki-laki
setengah baya itu.
"Apa saja yang ditanyakan padamu, Paman?" tanya Jayaraga datar nada suaranya.
"Seperti yang kemarin, Nanda Jayaraga. Selalu ingin tahu," sahut Tepasena.
"Hmmm. .," Jayaraga menggumam dengan kepala
terangguk-angguk.
Pemuda yang selalu dipanggil eyang itu membalik-
kan tubuhnya, kemudian melangkah masuk ke dalam
bangunan besar itu. Tepasena masih tetap berdiri dan
tubuhnya agak membungkuk. Dia baru menegakkan
tubuhnya setelah Jayaraga hilang di dalam bangunan
utama padepokan itu.
*** Sementara itu, Bayu sudah cukup jauh berjalan
meninggalkan Padepokan Gagak Hitam. Arahnya sudah
jelas, kembali ke Desa Walang yang berada di balik bukit sebelah Timur. Ayunan
kaki Pendekar Pulau Neraka itu
tidak tergesa-gesa, namun terasa ringan seperti tidak
menapak tanah. "Heh. .!" tiba-tiba Bayu berseru terkejut.
Mendadak saja beberapa orang berpakaian serba
hitam muncul dari balik semak dan meluncur turun dari
atas pohon. Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya.
Di sekelilingnya kini sudah mengepung tidak kurang
dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan
kepala terselubung kain hitam pula. Hanya bagian
matanyasaja masih terlihat
"Siapa kalian"! Kenapa mencegat jalanku"!" bentak Bayu keras.
"Jangan banyak omong! Bunuh. .!" terdengar
bentakan dari arah belakang.
Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
memutar tubuhnya, mendadak dua puluh orang berbaju
serba hitam itu berlompatan sambil mencabut
pedangnya masing-masing. Bayu tidak punya pilihan
lain lagi. Seketika itu juga tubuhnya berputar, dan berkelit menghindari
beberapa tebasan pedang yang datang
beruntun. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi.
Beberapa kali Bayu mencoba bertanya, tapi tak ada yang menyahuti setiap
pertanyaannya. Serangan dua puluh orang berbaju serba hitam itu
sangat luar biasa dahsyatnya. Beberapa kali Bayu harus membanting tubuhnya, atau
berputaran di udara
menghindari setiap serangan. Sebentar-sebentar
mulutnya mendesis menahan geram menghadapi
pedang-pedang yang bisa merobek tubuhnya, atau
mungkin juga bisa memenggal kepalanya. Orang-orang
berbaju hitam itu bertarung tanpa banyak mengeluarkan
suara. Namun setiap serangannya sungguh dahsyat, dan
mengandung tenaga dalamcukup tinggi.
'Tahan.! Kenapa kalian menyerangku"! Siapa
kalian"!" keras suara Baya
Tapi orang-orang berbaju hitam itu tidak ada yang
menjawab, bahkan semakin memperhebat serangan-
serangannya. Beberapa kali Bayu bertanya, tapi tak ada yang menjawab. Tentu saja
hal ini membuat Pendekar
Pulau Neraka itu kian berang. Terlebih lagi ketika sebuah pedang hampir saja
membabat buntung lehernya.
Untung pemuda berbaju kulit harimau itu cepat-cepat
berkelit menghindarinya.
"Setan! Kalian yang memaksa. .! Jangan menyesal,
keparat!" geram Bayu memuncak amarahnya.
Seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berteriak
keras menggelegar. Kedua tangannya segera mengembang ke samping, lalu bergerak cepat di kuti
gerakan kakinya yang lincah. Saat itu juga dua orang
berpakaian hitam terjungkal terhantam tangan yang
bergerak bagai kilat dan mengandung pengerahan
tenaga dalamcukup sempurna.
"Hiya! Hiyaaa. .!"
Jeritan melengking terdengar saling sambut, disusul
berpelantingannya orang-orang berbaju serba hitam itu.
Bayu sengaja memilih bagian tubuh yang tidak
mematikan, meskipun pukulannya mengandung tenaga
dalam sangat tinggi. Tapi begitu mereka menggeletak di tanah, langsung
menghunjamkan pedangnya ke
tubuhnya sendiri.
"Keparat. !" geram Bayu tersentak kaget.
Sebentar saja, tinggal dua orang yang masih hidup.
Namun tanpa diduga sama sekali, mereka menusukkan
pedangnya sendiri, tepat di dada. Bukan main
terkejutnya Pendekar Pulau Neraka menyaksikan lawan-
lawannya bunuh diri dalam keadaan kalah. Bayu
memandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan terpanggang pedang masing-masing. Tak ada lagi yang
hidup, semuanya tewas seketika.
Bayu menghampiri salah sebuah mayat yang tidak
berapa jauh darinya, lalu membuka kain yang
menyelubungi kepala orang itu. Pendekar Pulau Neraka
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dibukanya
satu persatu kain-kain hitam yang menyelubungi
mereka. Bayu berdiri setelah membuka selubung kepala
mayat yang terakhir. Mereka semua masih muda, dan
mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun.
Hebatnya, tingkat kepandaian mereka sudah cukup
tinggi. Hanya yang tidak bisa dimengerti, mereka bunuh dirisendiri setelah
menyadari kekalahannya.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Kenapa menyerang
dan membunuh diri sendiri. .?" desah Bayu sambil
menggelengkan kepala beberapa kali.
Tak ada tanda-tanda yang dapat dikenali. Dan
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa mengenali wajah-
wajah mereka yang begitu asing. Pelahan-lahan Bayu
melangkah mundur, kemudian berbalik dan kembali
berjalan cepat menuju Desa Walang. Saat itu hari sudah mulai senja. Dan Bayu
tidak sampai kemalaman tiba di
Desa Walang, karena berjalan cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
*** 4 Malam belum begitu larut Namun suasana di Desa
Walang begitu senyap. Tak ada satu suara pun terdengar, kecuali desir angin saja
mengusik gendang telinga. Begitu sunyi, seakan-akan binatang malam pun enggan
memperdengarkan suaranya.
Seorang pemuda berbaju kulit harimau yang tengah


Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk memeluk lutut di beranda sebuah rumah kecil
yang reyot mendadak mengangkat kepalanya ketika
mendengar lolongan anjingan hutan. Lolongan itu begitu panjang dan menyayat
hati. Pemuda itu menggelinjang
bangkit saat matanya menangkap bayangan berkelebat
cepat dari satu atap rumah ke atap lainnya.
"Hup. .!"
Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya,
langsung hinggap di atas atap. Ringan sekali gerakannya, sehingga tidak
terdengar suara sedikit pun. Tatapan
matanya begitu tajam, mengamari bayangan yang
berkelebat cepat di atas atap rumah penduduk. Dan
begitu bayangan itu meluruk turun ke jalan, pemuda
berbaju dari kulit harimau itu langsung melesat
menghadangnya. "Tunggu. .!" sentak pemuda itu keras. Tampak
seorang berjubah hitam yang rambutnya meriap panjang
dan tidak teratur, sangat terkejut melihat kemunculan
seorang pemuda berbaju kulit harimau yang begitu tiba-
tiba. Sesaat mereka hanya saling pandang dalam jarak
sekitar tiga batang tombak. Orang berjubah hitam dan
bertubuh agak bungkuk itu menggumam kecil. Hampir
tidak terdengarsuara gumamannya itu.
"Hik hik hik. .!" tiba-tiba saja orang itu tertawa mengikik. Suaranya terdengar
kecil dan serak.
"Hm. ., siapa kau?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu dingin.
"Hik. .! Anak muda, kau bukan penduduk sini. Aku
tidak ingin berurusan denganmu. Pergilah, sebelum
nasibmu sama dengan yang lain!" serak suara orang berjubah hitamitu.
"Pasti kau yang membantai semua penduduk di sini!"
tetap dingin nada suara pemuda berbaju harimau itu.
"Apa pedulimu, bocah?" bentak orang berjubah hitam itu kasar.
"Aku selalu peduli pada setiap kekejaman yang
terjadi di depan mataku!"
"Phuih! Kau cari penyakit, Anak Muda! Berani
berurusan dengan penghuni Istana Iblis!"
"Sekalipun
dari neraka, aku tidak peduli! Perbuatanmu sudah melampaui batas!"
"Hik hik hik. .! Kau pikir dirimu sendiri bersih, bocah"! Sepak terjangmu tidak
jauh berbeda dengan
manusia iblis! Seharusnya kau bergabung denganku
untuk menumpas manusia-manusia dungu tidak
berguna. Menjadikan kerajaan iblis yang terbesar dan
tidak tertandingi! Hik hikhik. .!"
"Impianmu akan pupus, iblis busuk!" geramBayu.
"Tidak seorang pun bisa menentangku, bocah!"
"Aku yang akan menghentikan!"
"Ha ha ha. .!" orang berjubah hitam itu tertawa tergelak-gelak.
Seketika orang berjubah hitam itu menepuk
tangannya tiga kali. Tiba-tiba saja dari balik rumah,
pohon, dan atap, bermunculan orang-orang berbaju
hitam terselubung kain hitam pada kepalanya. Bayu
tersentak kaget. Tidak diduga sama sekali kalau di
tempat ini begitu banyak orang berpakaian hitam. Sama
sekali tidak diketahui. Bahkan telinganya juga tidak
mendengar keberadaan mereka.
Bayu menyadari kalau orang-orang itu memiliki
kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Terbukti
kehadirannya tidak diketahui sama sekali. Pendekar
Pulau Neraka itu menatap tajam orang berjubah hitam
dan agak bungkuk di depannya. Orang itu terkikik serak sehingga bahunya sedikit
terguncang. "Aku percaya akan kemampuanmu, Anak Muda.
Dua puluh orang anak buahku dengan mudah dapat
kaukalahkan. Dan aku yakin, kau juga tidak mengalami
kesulitan menandingi mereka sekaligus. Tapi kau pasti
akan berpikir dua kali, Pendekar Pulau Neraka. .," kata orang berjubah hitamyang
wajahnya sukar untuk dilihat, karena tertutup rambut panjang yang tidak teratur
itu. "Heh! Kau tahu namaku. ."!" sentak Bayu agak terkejut juga dia.
"Nama aslimu pun aku tahu. Semua sepak terjangmu
selalu kuikuti. Itu sebabnya kau masih kuberi
kesempatan hidup. Aku ingin kau ikut memperkuat
pasukanku. Pasukan Istana Iblis,ha ha ha. .!"
Bayu menggeram pelan. Disadari kalau semua sepak
terjang serta dirinya sudah diketahui. Tapi dia tidak tahu, siapa orang berjubah
hitam dan mereka yang
mengepung tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu
merasakan dirinya seperti tengah diadili saat ini.
Memang diakui kalau selama ini tindakannya selalu
tegas dan tanpa kompromi. Sehingga tidak heran kalau
tokoh-tokoh rimba persilatan sukar untuk memasukkannya ke dalamgolongan hitamatau putih.
Padahal jelas, kalau selama ini Bayu selalu menolong
yang lemah. Memang tidak bisa dipungkiri kalau
Pendekar Pulau Neraka itu kerap juga bentrok dengan
tokoh beraliran putih. Dan yang lebih menyolok lagi,
Bayu tidak pernah memberi kesempatan pada setiap
lawannya untuk menghirup udara kembali. Bayu
memang berada di antara dua kutub yang begitu kuat
menariknya. Darahnya adalah darah seorang pendekar,
tapi semua kepandaiannya berasal dari seorang tokoh
hitam beraliran sesat. Tidak heran kalau dalam diri
Pendekar Pulau Neraka terdapat dua jiwa yang saling
bertentangan. Dan ini belum bisa dikendalikan. Bayu
masih menuruti apa kata hatinya. Jika dianggap harus
bertindak, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.
"Bagaimana, Bayu" Sudah ada pilihan?" tegur orang berjubah hitam itu
membangunkan lamunan Pendekar
Pulau Neraka. "Aku kira, kau terlalu banyak berharap untuk bisa merangkulku, manusia iblis!"
sahut Bayu dingin dan tegas nada suaranya.
"Ha ha ha. .!" orang berjubah hitam itu tertawa terbahak-bahak.
Bayu jadi tidak mengerti ketika melihat orang
berjubah hitam itu memberi isyarat agar anak buahnya
yang mengepung tempat ini pergi. Dan tanpa diminta
dua kali, mereka segera berlompatan menghilang. Begitu cepat gerakannya,
sehingga sebentar saja sudah tidak ada lagi yang mengepung tempat ini. Tinggal
Bayu dan orang berjubah hitamitusaja yang ada.
"Biasanya aku tidak pernah memberi kesempatan
dua kali. Tapi untukmu, kuberi waktu untuk berpikir.
Waktumu hanya dua hari, Pendekar Pulau Neraka! Ha
haha. .!" "Hey. .!"
Bayu ingin mencegah, tapi orang berjubah hitam itu
sudah lebih cepat melesat. Sekejap saja bayangan
tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Pendekar Pulau
Neraka berdiri memandangi arah kepergian manusia
misterius itu. Terlalu banyak yang ada dalam benak
Bayu. Dan ini membuat kepala Pendekar Pulau Neraka
itu jadi pening. Masih belum bisa dipahami semua
peristiwa yang terjadi ini.
*** Semalaman penuh Pendekar Pulau Neraka berdiri di
tengah-tengah jalan berdebu. Sampai matahari muncul,
Pendekar Pulau Neraka belum juga bergeming dari
tempatnya. Pandangan matanya lurus menatap ke arah
Puncak Bukit Walang Jati. Di situ terlihat sebuah
bangunan batu bagai istana kuno yang sudah tidak
terpakai lagi. Ke arah sanalah orang aneh misterius itu pergi Tepatnya kearah
Bukit Walang Jati.
Bayu mengalihkan perhatiannya pada segumpal
debu yang membumbung tinggi di angkasa. Semakin
lama debu itu semakin terlihat jelas dan dekat. Dari balik gumpalan debu itu
terlihat seekor kuda yang dipacu
cepat bagai dikejar setan. Di punggung kuda itu duduk
seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju putih
ketat. Semakin dekat semakin jelas terlihat.
"Paman Tepasena. .,"
desis Bayu mengenali penunggang kuda itu.
Kuda warna coklat yang kedua kaki depannya putih
itu berhenti tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Dan penunggang kuda itu
bergegas melompat turun, lalu
menghampiri pemuda berbaju dari kulit harimau. Laki-
laki setengah baya itu membungkukkan tubuhnya
memberi hormat.
"Hm. . Ada apa, Paman?" tanya Bayu ingin tahu.
"Bayu, aku mohon maafkanlah aku. .," ucap Tepasena dengan tubuh masih agak
membungkuk. "He. .! Apa aku tidak salah dengar?" sentak Bayu terkejut tidak mengerti.
"Aku mohon, Bayu. Maafkanlah aku. .," pinta
Tepasena berharap. Begitu seriusnada suaranya.
Bayu jadi berkernyit juga keningnya. Dipandanginya
dalam-dalam wajah laki-laki setengah baya itu, mencoba mencari sesuatu di
matanya. Dan Bayu jadi keheranan,
karena sikap Tepasena begitu bersungguh-sungguh.
"Ada apa" Kenapa meminta maaf padaku?" tanya Bayu.
"Aku. . Aku telah mendustaimu, Bayu. Aku mohon
maaf. Aku terpaksa berbuat itu karena. . Akh!"
"Paman. .!" Bayu tersentak kaget.
Tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat cepat dan
menancap tepat di punggung laki-laki setengah baya itu.
Pada saat itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Dan Bayu tidak
membuang-buang waktu lagi.
Segera dilentingkan tubuhnya mengejar bayangan hitam
itu. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar
Pulau Neraka itu sudah mencapai taraf kesempurnaan
Gerakannya demikian cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya
berkelebat dari atap-atap rumah
penduduk Desa Walang ini. Tatapan matanya tidak
berkedip mengamati sosok tubuh hitam yang
berkelebatan di depannya. Jarak mereka semakin dekat
saja. Dan begitu Bayu melompat tiba-tiba. .
"Hey. .!" Pendekar Pulau Neraka kembali tersentak kaget.
Tiba-tiba saja sebuah bayangan memotong, dan
langsung menghajar sosok tubuh yang tengah dikejar
Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian cepat gerakan
orang berbaju biru muda itu, sehingga sukar untuk
di kuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sosok tubuh
hitam itu sudah menggelepar di tanah dengan dada
sobek mengucurkan darah segar.
"Tunggu. .!" seru Bayu ketika orang berbaju biru
muda yang membelakanginya hendak pergi.
Orang berbaju biru muda itu membalikkan
tubuhnya, setelah sosok tubuh berbaju hitam di
depannya sudah tidak bergerak lagi. Dan seketika itu
juga Bayu jadi membeliak dan mulutnya terbuka lebar.
Hampir tidak dipercayaapa yang dilihatnyasaat itu.
"Wurani. .," desis Bayu
tidak percaya akan
penglihatannya.
"Apa kabar, Kakang?" orang berbaju biru muda itu ternyata memang Wurani. Gadis
yang telah diselamatkan
Bayu dari kematian akibat terkena sesuatu yang
mengandung racun.
"Bagaimana kau bisa berada di sini?" dengus Bayu sambil melirik tubuh yang sudah
tidak bernyawa lagi di belakang Wurani.
Wurani tidak menjawab, tapi malah berpaling
menatap tubuh tak bernyawa di belakangnya. Perlahan
digeser kakinya mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Maaf, aku mendahuluimu," ucap Wurani perlahan.
Namun tidakada nada penyesalan di dalamsuaranya.
Bayu tidak menanggapi. Ditariknya napas panjang,
kemudian berbalik Pendekar Pulau Neraka langsung saja
melangkah cepat kembali ke Desa Walang. Dia teringat
Tepasena yang entah bagaimana nasibnya sekarang.
Panah yang menancap di punggungnya begitu dalam.
Kalau sampai menembus jantung, jelas tidak ada harapan hidup lagi. Padahal Bayu
sudah merasa kalau laki-laki
setengah baya itu akan mengatakansesuatu yang penting
"Kakang. .!" panggil Wurani seraya berlari mengejar.
Bayu terus saja berjalan cepat tidak mempedulikan
Wurani yang sudah berjalan cepat pula di sampingnya.
"Kau marah padaku, Kakang?" tegur Wurani melihat Bayu diamsaja tanpa menoleh
sedikit pun padanya.
'Tidak!"sahut Bayusingkat.
'Tapi, sikapmu. . "
"Lupakan saja."
Mereka terus berjalan cepat memasuki Desa Walang.
Bayu langsung menghampiri sosok tubuh berbaju putih
yang tengkurap di tanah. Sebatang anak panah masih
terbenam di punggungnya. Darah merembes keluar
mengotori baju putih itu. Bergegas Bayu membalikkan
laki-laki setengah baya itu, lalu memeriksa detak
jantungnya. "Hhh. .," Bayu menarik napas panjang, dan kembali berdiri.
Ujung panah itu tembus ke dada. Tepasena sudah
tidak bisa tertolong lagi. Dia
tewas sebelum mengucapkan sesuatu yang penting. Padahal itu sangat
diharapkan Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa dia?" tanya Wurani yang berdiri di samping Bayu.
"Tepasena," sahut Bayu.
*** Hari itu Bayu menguburkan mayat-mayat yang
bergelimpangan di Desa Walang. Udara di sekitar desa
itu jadi

Pendekar Pulau Neraka 13 Istana Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sedap oleh banyaknya mayat bergelimpangan membusuk tanpa kepala. Bayu tidak
mungkin bisa menguburkan satu persatu. Sungguh sulit
untuk menentukan, mana kepala yang cocok dengan
tubuhnya. Dia menggali lubang besar dan mengubur
mereka jadi satu. Tapi lubang yang dibuatnya tidak
cukup, sehingga terpaksa harus menggali lagi.
Sudah tiga lubang yang dibuat dan telah terisi penuh
oleh mayat. Namun belum juga cukup. Masih banyak
mayat yang belum terkuburkan. Sementara senja sudah
mulai turun. Suasana mulai meremang. Bayu menyeka
keringat setelah selesai menggali lubang yang keempat.
Sebuah lubang yang cukup besar, dan mampu untuk
mengubur tiga bangkai gajah.
"Kau tidak mungkin mengubur mereka semua,
Kakang," kata Wurani.
Bayu menoleh, menatap gadis itu. Sejak membuat
lubang pertama, Wurani hanya diam saja memperhatikan. Tidak sedikit pun gadis itu membantu.
Dan Bayu memang tidak meminta bantuannya. Memang
hatinya masih kesal terhadap kecerobohan Wurani yang
telah membunuh orang yang telah menewaskan
Tepasena secara licik.
"Kau hanya membuang-buang tenaga saja, Kakang,"
kata Wurani lagi.
"Apa maksudmu, Wurani?" tanya Bayu bernada
menyelidik. Entah kenapa, selama ini Pendekar Pulau Neraka jadi
mudah menaruh curiga. Mungkin karena orang-orang
yang dijumpainya selalu bertingkah aneh dan misterius.
Termasuk juga Wurani. Bayu belum tahu jelas tentang
gadis itu. Juga bagaimana sampai bisa terluka parah,
bahkan mungkin bisa menghilangkan nyawanya.
Sedangkan sikap Wurani sendiri, seperti menyembunyikan sesuatu.
Wurani tidak menjawab, tapi malah mengangkat
bahunya dan berbalik. Gadis itu melangkah mendekati
sebuah rumah yang terlihat lebih baik dari yang lainnya.
Sedangkan Bayu menguburkan mayat yang sudah
dikumpulkannya di dekat lubang. Diuruknya lubang itu
setelah mayat yang dikumpulkan masuk ke dalam
lubang. Memang masih banyak yang belum dikuburkan,
dan masih berserakan di mana-mana. Pendekar Pulau
Neraka menghampiri Wurani yang sudah duduk
mencangkung di beranda rumah itu, setelah ia selesai
dengan tugasnya menguruk lubang kuburan.
"Mau minum?" Wurani menawarkan begitu Bayu
menghenyakkan tubuhnya di sampingnya.
Bayu mengambil kendi yang disodorkan gadis itu,
dan meneguk isinya. Diletakkan kendi itu di meja
berdebu. Wurani membersihkan tikar pandan dan
menggelarnya di dipan bambu yang didudukinya.
Sedangkan Bayu pindah duduknya ke kursi dekat dipan.
"Lumayan, buat tidur malamini," kata Wurani.
Sepertinya sudah dilupakan semua yang terjadi, dan
membuat Pendekar Pulau Neraka itu gusar.
"Hm. .," Bayu hanya menggumamsaja. Hanya sedikit melirik, kemudian perhatiannya
dialihkan ke arah jalan.
"Kau masih marah padaku, Kakang" Maaf ya. ., aku
memang ceroboh," ucap Wurani seraya mendekati dan duduk di depan pemuda berbaju
kulit harimau itu. Tidak dipedulikan kalau kursi yang didudukinya penuh debu.
"Hhh. .," Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kakang, kau tidak menanyakan kenapa aku kembali
lagi ke sini. Atau menanyakan bagaimana keadaan Ki
Sampang dan gadis kecil itu," kata Wurani mencoba membuka mulut Pendekar Pulau
Nerakaagar bicara.
"Untuk apa" Dengan caramu menyerang dan
membunuh orang itu saja sudah bisa kutebak," sahut Bayu datar. Sedikit pun tidak
berpaling. Pandangannya
lurus menatap jalan yang lengang.
Wurani langsung terdiam membisu. Kata-kata Bayu
terasa sinis di telinganya. Tapi gadis itu malah tersenyum, mencoba untuk tidak
tersinggung. Disadari kalau
tindakannya tadi salah, padahal sudah terlihat kalau
Bayu sedang mengejar orang itu. Tapi Wurani masih
belum bersedia mengatakan alasannya kenapa langsung
membunuh orang berbaju hitamitu.
"Sejak pertama aku sudah tidak percaya kalau kau
tidak tahu menahu tentang keadaan di sini. Dan
tindakanmu tadi, semakin menebalkan ketidakpercayaanku," kata Bayu setelah bergumam,
seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Kenapa bicara begitu, Kakang?"
"Kenapa. ." Seharusnya bisa kau jawab sendiri,
Wurani. Kau terluka cukup parah di tengah-tengah
lingkungan yang sangat mengenaskan. Ditunggui
seorang laki-laki setengah baya, dan kalian berpura-pura tidak saling mengenal.
Aku tahu itu, Wurani. Semula aku tidak ingin tahu. Tapi belakangan ini aku
merasa dilibatkan, dan kau masih juga menutupi. Untuk apa. ."!"
agak kesal nada suara Bayu terhadap sikap Wurani.
"Kau tidak mengerti, Kakang," pelan suara Wurani.
"Justru aku mengerti dan jadi peduli akan keadaan di sini!" dengus Bayu. Wurani
terdiam. "Aku bisa saja menutup telinga dan membutakan
mata untuk tidak mau tahu terhadap semua ini, Wurani
Tapi hati kecilku tidak bisa begitu saja menyaksikan
semua kekejaman di sini. Terlebih lagi setelah kujumpai orang-orang aneh yang
bersikap penuh kepalsuan.
Mereka semua tahu, tapi pura-pura tidak tahu! Sama
seperti halnya kau, Ki Sampang, dan mereka. .!"
Wurani tetap diammembisu.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini,
Wurani?" tanya Bayu seraya menatap dalam-dalam pada gadis itu.
"Aku tidak tahu," sahut Wurani.
"He. .! Kau masih juga pura-pura tidak tahu"
Kenapa"! Untuk apa kau biarkan semua kepalsuan
menyelimuti dirimu" Kenapa, Wurani"! Takut. " Apa
yang ditakutkan?" Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis itu.
"Sudah, Kakang. Jangan mendesakku terus. Aku
tidak tahu!"agak kerassuara Wurani.
"Lalu, kenapa kau bunuh orang itu" Padahal kau tahu kalau aku sedang
mengejarnya, bukan?" tebak Bayu
mendesak. "Aku. ., aku. .," Wurani jadi tergagap.
"Kau membunuhnya karena sebenarnya kau tahu
semua apa yang sedang terjadi di sini, bukan?" desak Bayu memotong cepat.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Wurani bangkit, lalu
melangkah ke dipan bambu. Dihenyakkan tubuhnya di
Pendekar Latah 15 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16
^