Pencarian

Jago Dari Seberang 2

Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Bagian 2


orang-orang yang berada di sekitarnya. Juga para prajurit yang mulai berjaga-
jaga. Laki-laki setengah baya itu mengegoskan kepalanya sedikit. Dan prajurit-
prajurit itu segera memerintahkan para pekerja untuk menyingkir.
Tidak lama, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda mendekati Puncak Bukit Batu.
Raden Bantar Gading menoleh. Patih Luminta juga mengarahkan pandangannya ke
lereng bukit. Tampak serombongan prajurit berkuda mengawal Prabu Abiyasa.
Delapan orang jago bayaran dari tanah seberang juga ikut bersama rombongan itu.
Prabu Abiyasa mengangkat tangannya ke atas. Para prajurit pengawal dan delapan
orang jago dari seberang menghentikan lari kudanya. Prabu Abiyasa segera
melompat dari punggung kuda hitam itu. Dua orang jago bayaran mengikutinya.
Mereka berdiri di samping kanan dan kiri Prabu Abiyasa.
"Bantar Gading! Apa yang kau lakukan di sini, heh?"
bentak Prabu Abiyasa.
Prabu Abiyasa merayapi beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa lagi. Bahkan
tiga orang prajurit tengah mengerang dengan tubuh bersimbah darah. Tatapan
matanya tajam menusuk ke bola mata Raden Bantar
Gading. Dia melangkah mendekat, tapi Raden Bantar Gading mengarahkan ujung
pedangnya pada Raja Abiyasa itu. "Jangan mendekat! Kau bukan ayahku!" bentak
Raden Bantar Gading.
"Patih...!" Prabu Abiyasa membentak keras, tanpa
menghiraukan ucapan Raden Bantar Gading.
"Hamba, Gusti Prabu..." Patih Luminta mendekat seraya membungkukkan badannya.
"Apa yang kau lakukan terhadap anakku?" tanya Prabu Abiyasa berang.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak melakukan apa-apa.
Hamba juga tidak tahu, mengapa Raden Bantar Gading mengamuk dan membantai para
pekerja," sahut Patih Luminta bergetar suaranya.
Prabu Abiyasa mengalihkan pandangannya ke arah
Raden Bantar Gading. Sedangkan pemuda itu hanya
membalas dengan tatapan dingin, penuh rasa kebencian.
Agak bergetar juga hati Prabu Abiyasa melihat tatapan itu.
"Ijinkan hamba untuk meredakan amarahnya, Gusti
Prabu." Kata Patih Luminta.
Prabu Abiyasa tidak menjawab. Dia berbalik, lalu melompat ke punggung kudanya.
Sebentar dia menatap Patih Luminta, kemudian beralih pada Raden Bantar Gading.
"Kalian berdua jaga di sini!" perintah Prabu Abiyasa menunjuk dua orang jago
dari seberang. Tatapannya kembali mengarahkan pada Patih Luminta.
"Bawa dia ke istana. Aku tidak perduli dengan caramu!"
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Luminta.
Prabu Abiyasa memutar kudanya, lalu menggebahnya meninggalkan Bukit Batu. Patih
Luminta berbalik
memandang Raden Bantar Gading. Pemuda itu masih
menghunus pedangnya di depan dada. Tatapan matanya tetap tajam menusuk.
Sementara dua jago dari sebrang melangkah mendekati Patih Luminta.
"Sarungkan kembali peedangmu, Raden. Hamba
bersedia mendengar semua keluhan Raden," bujuk Patih Luminta lagi.
Trek! Raden Bantar Gading menyarungkan pedangnya. Raut wajahnya masih merah meyimpan
amarah. Dia berbalik dan melangkah tanpa bicara sedikitpun. Patih Luminta
bergegas mengikuti dari belakang. Sempat diperintahkan pada para prajurit untuk
kembali menyuruh orang-orang bekerja.
"Raden...!" panggil Patih Luminta terus melangkah cepat membuntuti.
Raden Bantar Gading tidak menyahut. Dia terus saja melangkah menghampiri
kudanya, kemudian melompat naik ke atasnya. Seklai gebah saja, kuda putih itu
berlari cepat membelah angin. Patih Luminta langsung melompat ke punggung
kudanya, dan menggebah mengikuti Raden Bantar Gading. Sementara para pekerja
kembali bekerja memecah batu. Para prajurit juga kembali mengawasi.
Beberapa orang mengurus mayat yang bergelimpangan terkena amukan Raden Bantar
Gading. Tidak ada
seorangpun yang menyadari kalau semua kejadian di situ disaksikan beberapa
pasang mata dari tempat yang cukup tersembunyi.
*** 4 Empat orang yang mengintai dari tempat cukup
tersembunyi itu adalah Ki Maruta, Mayang, dan dua orang pemuda yang menyandang
pedang di pinggangnya. Mereka mendengar semua pembicaraan dan mengetahui
kejadian yang berlangsung di Bukit Batu. Ki Marutamemandang Mayang yang sejak
tadi tidak berkata sedikitpun.
"Bagaimana kau bisa mempengaruhi Raden Bantar
Gading, Mayang?" tanya Ki Maruta.
Mayang menarik nafas panjang, dan hanya menoleh
pada laki-laki tua di sampingnya. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Mayang bangkit
dan melangkah pergi. Ki Marutaberpesan pada dua pemuda tadi agat tetap
mengawasi Bukit Batu. Bergegas diikutinya wanita cantik berbaju merah itu.
Mayang menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon cemara yang cukup besar. Ki
Maruta berdiri di depannya.
Matanya merayapi wajah wanita yang berniat bergabung bersamanya.
"Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,"
kata Ki Maruta.
"Tidak apa," sahut Mayang mendesah.
"Seharusnya aku memang tidak berkata begitu,"
Mayang melemparkan senyumnya.
"Tidak kusangka kalau Raden Bantar Gading ter-
pengaruh oleh kata-kataku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa melakukannya.
Hhh...!" Mayang menarik nafas
panjang. Dia teringat saat-saat manis bersama Raden Bantar Gading.
Masa-masa yang tidak pernah terlupakan. Saat itu hatinya selalu berperang antara
cinta dan tugas yang diberikan seorang laki-laki misterius yang selalu
dipanggil-nya Eyang. Sampai saat ini pun dia tidak tahu maksud laki-laki
berjubah hitam itu. Dia mencintai Raden Bantar Gading, tapi perintah laki-laki
berjubah hitam itu selalu terngiang di telinganya.
Sejak kecil dia dijejali dengan cerita tentang keluarga Ratu Kunti Boga. Dan
laki-laki berjubah hitam itu selalu mengatakan kalau dirinya adalah puteri Ratu
Kunti Boga. Ayahnya terbunuh. Bahkan banyak saudaranya ikut
terbunuh atau ditawan di dalam kamar tahanan bawah tanah. Semua itu dilakukan
Prabu Abiyasa. Yang paling meyedihkan, kakak laki-lakinya tewas di tangan Raden
Bantar Gading di dalam penjara. Semua cerita itu diperoleh Mayang dari laki-laki
misterius berjubah hitam. Mayang memang sempat terpengaruh, lalu membenci Raden
Bantar Gading. Tapi semuanya jadi pupus ketika seorang pendekar muda datang
membeberkan apa adanya.
Tentang laki-laki misterius berjubah hitam yang sebenarnya, sampai saat ini
Mayang masih belum mengerti. Untuk apa Panglima Nampi menyamar sebagai seorang
misterius" Mengapa dia mengajarkan ilmu olah kanuragan dan menjejalinya dengan
cerita-cerita yang membuatnya seperti orang lain, bukan dirinya sendiri"
"Mayang..."
"Oh!" Mayang tersentak dari lamunannya.
"Kau melamun?" tegur Ki Maruta.
"Oh....ehm...." Mayang jadi tergagap.
"Aku berterima kasih karena kau telah berhasil
memecah-belah keluarga Prabu Abiyasa. Siapapun adanya kau, aku berterima kasih
sekali. Keadaan ini bisa melemahkan pertahanan mereka. Sekarang, tugasku
adalah menghasut para prajurit yang masih setia kepada Gusti Ratu Kunti Boga
atau para pembesar yang kini masih berada di lingkungan istana," ujar Ki Maruta.
Mayang hanya diam saja. Dia tidak tahu, apakah saat ini harus gembira, atau
harus sedih melihat Raden Bantar Gading terguncang jiwanya. Padahal semua yang
dikatakannya hanya rekaan saja. Tidak ada kebenarannya sama sekali. Tapi dia
sendiri tidak tahu, kejadiannya yang sesungguhnya, sehingga Raden Bantar Gading
bisa demikian murkanya. Bahkan tidak mau mengakui ayahnya lagi!
"Tidak lama lagi, tahta Prabu Abiyasa akan runtuh.
Dengan demikian kau bisa mengetahui dirimu yang
sebenarnya setelah kami dapat menyelamatkan Gusti Ratu Kunti Boga dan Panglima
Nampi," jelas Ki Maruta lagi.
"Terima kasih, Ki," hanya itu yang bisa diucapkan Mayang.
Saat ini dia tidak lagi peduli tentang dirinya yang sebenarnya. Putri Ratu Kunti
Boga atau bukan, masa bodoh! Yang jelas, tekadnya adalah meninggalkan Gantar
Angin setelah semua kemelut ini berakhir. Dia ingin menjadi dirinya sendiri.
Tidak akan terpengaruh pada omongan orang lain lagi.
"Ayo, kita kembali ke Hutan Danaraja. Tidak mungkin kita membebaskan rakyat yang
dipaksa bekerja di sana sekarang ini. Kita cari kesempatan lain lagi," kata Ki
Maruta. Mayang hanya mengangguk saja, kemudian kakinya
terayun meninggalkan tempat itu. Ki Maruta bergegas kembali menemui dua orang
pemuda yang bertugas mengamati keadaan di sekitar Bukit Batu. Dia ingin mengajak
dua orang pemuda itu untuk kembali ke Hutan Danaraja, tempat mereka berkumpul
menyusun kekuatan untuk
menggulingkan tahta Prabu Abiyasa.
Saat itu, matahari sudah condong ke barat. Dan rakyat yang bekerja paksa memecah
batu di Bukit Batu mulai ber-benah diri untuk kembali ke barak. Sementara
sebagian prajurit juga sudah kembali ke tenda masing-masing. Tak terlihat wajah
ceria di antara sekian banyak orang itu.
Bahkan para prajurit pun tidak menampakkan wajah yang menyenangkan. Mungkin
mereka jenuh, karena seharian hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di atas
bukit yang gersang dan panas ini.
*** Susah payah Patih Luminta membujuk, dan pada akhir-nya Raden Bantar Gading
bersedira kembali ke istana. Tapi Raden Bantar Gading tetap tidak ingin bertemu
ayahnya, meskpun ibunya sendiri ikut membujuk. Masih terngiang kata-kata Mayang
padanya. Semula hal itu hanya dianggap sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi
setelah melihat dengan mata kepala sendiri, hatinya kontan berontak.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Raden. Aku terpaksa melakukan karena Prabu
Abiyasa mengancam. Dia tidak mengijinkan hubungan kita kalau aku tidak bersedia
melayaninya," cerita Mayang waktu itu.
"Tidak mungkin, Mayang. Aku tahu betul, tidak mungkin Ayahanda akan melakukan
seperti yang kau ceritakan.
Selirnya banyak dan cantik-cantik." Bantah Raden Bantar Gading.
"Itu hakmu untuk tidak percaya, Raden. Tapi aku paham benar dengan watak ayahmu.
Bahkan aku tahu siapa kau sebenarnya. Kau bukan putra Prabu Abiyasa! Putra yang
sebenarnya adalah Raden Sangga Alam. Kau hanya anak angkat, Raden."
"Hhh! Hebat sekali olok-olokmu, Mayang."
"Kau boleh percaya atau tidak. Terserah. Kalau bukan ayahmu sendiri yang cerita
padaku, mana aku percaya"
Katanya kau bukan anaknya, oleh sebab itu aku tidak pantas untukmu! Kau bukan
pewaris tahta Kerajaan Gantar Angin."
"Ah, sudahlah, Mayang. Tidak lama lagi kau akan
meduduki tahta, dan kau akan menjadi permaisuriku.
Sudahlah! Hentikan olok-olokmu," Raden Bantar Gading tidak percaya.
"Kalau ternyata benar...?"
Raden Bantar Gading hanya tertawa saja. Hal itu hanya dianggap sebuah lelucon
yang tidk lucu. Tapi kini kata-kata itu kembali terngiang. Padahal dia telah
melupakannya. Raden Bantar Gading menutup muka dengan kedua
tangannya. "Mayang...." Rintihnya lirih. "Maafkan aku, Mayang. Aku terlalu kasar dan terlalu
menganggapmu rendah. Kau benar, Mayang. Aku, Ayahku, lebih kotor dari padamu.
Oh...." Rintih Raden Bantar Gading.
Raden Bantar Gading menengadahkan kepalanya.
Tampak kedua matanya berkaca-kaca. Disesali segala tindak-tanduknya terhadap
wanita yang selama ini telah mengisi hidupnya. Wanita yang selalu memperhatikan
dengan curahan kasih dan cinta yang murni. Raden Bantar Gading mengutuki dirinya
sendiri. Penyesalan memang datangnya selalu belakangan.
Selama ini Raden Bantar Gading selalu menganggap dirinya mulia dan paling tinggi
derajatnya, sehingga bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Setiap kata yang
terucap merupakan perintah yang harus ditaati. Segala keinginannya harus
dituruti. Siapa saja yang berani mem-bangkang, pedangnya selalu bicara. Tidak
terhitung lagi, berapa nyawa melayang di tangannya. Berapa gadis yang menjadi
korban nafsunya. Tapi dari sekian banyak wanita yang pernah dekat dengannya,
hanya Mayang yang menjadi perhatiannya. Dan Raden Bantar Gading pun menaruh
simpati pada wanita itu. Hanya karena keangkuhannya sehingga dia tidak mengakui
secara jujur. "O, Tuhan.....ampunlah segala dosaku," kembali Raden Bantar Gading mengaluh lirih.
Raden Bantar Gading menoleh ketika telinganya mendengar langkah kaki menghampiri. Kembali dipalingkan mukanya begitu melihat Raden Sangga Alam menghampiri.
Sebentar ditarik napas panjang dan dalam. Dengan punggung tangan, dihapus air
bening yang mengalir dari sudut matanya. Tak terasa dia telah menangis menyesali
segala perbuatannya.
"Boleh aku bicara padamu, Kakang?" lembut suara
Raden Sangga Alam.
Raden Bantar Gading tidak menjawab dan hanya
menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Jarang sekali mereka
berdua saling bicara. Raden Bantar Gading tidak berpaling sedikitpun. Hatinya
merasa malu berhadapan dengan pemuda yang selalu disisihkan dan direndahkannya
selama ini. "Sudah tiga hari ini Kakang tidak mau keluar. Bahkan tidak bersedia bertemu
dengan seorangpun. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Kakang?" tanya Raden
Sangga Alam tetap lembut suaranya.
"Pergilah...." Desah Raden Bantar Gading.
"Kakang juga tidak bersedia bicara denganku?"
Lagi-lagi Raden Bantar Gading menarik napas panjang.
"Aku datang bukan untuk membujukmu, Kakang. Sama sekali tidak ada niatan di
hatiku. Rasanya sudah lama kita tidak saling bicara. Bagaimanapun juga, kita
bersaudara satu Ayah. Saat ini kau sedang mengalami kesusahan, aku juga turut
merasakan kesusahanmu, Kakang," tetap lembut suara Raden Sangga Alam.
"Ah..." desah Raden Bantar Gading.
Kata-kata adik tirinya membuatnya semakin terenyuh.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Raden Bantar Gading bangkit berdiri dan melangkah
meninggalkan taman itu. Raden Sangga Alam hanya dapat memandang kosong. Hatinya
penuh berbagai macam perasaan yang sulit diungkapkan.
*** Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Raden Bantar Gading telah memacu
kudanya keluar dari Istana Gantar Angin. Keputusannya mantap untuk meninggalkan
segala yang dimiliki dan dinikmati. Tekadnya bulat. Dia harus menemukan kembali
wanita yang selama ini telah mengisi hari-harinya. Wanita yang begitu
memperhatikannya.
"Raden....tunggu!"
Raden Bantar Gading terkejut ketika mendengar suara panggilan dari belakang.
Padahal dia baru saja melewati pintu gerbang istana.
Terpaksa dihentikannya laju kudanya, dan menoleh.
Tempak Patih Luminta memacu cepat kudanya.
"Raden.... Raden akan ke mana?" tanya Patih Luminta.
"Pergi," sahut Raden Bantar Gading singkat. Kembali dipacu kudanya dengan cepat.
Patih Luminta mengikuti memacu kudanya di samping pemuda itu. Sebentar dia
menoleh ke belakang. Tampak dua perajurit yang berdiri di samping pintu gerbang
tengah memandanginya. Sementara Raden Bantar Gading terus memacu kudanya dengan
kecepatan sedang tanpa
menoleh sedikitpun.
"Ke mana tujuan Raden?" tanya Patih Luminta.
"Ke mana saja aku suka," dingin jawaban Raden Bantar Gading. "Kenapa kau
mengikutiku?"
"Hamba akan menyertai perjalanan Raden," sahut Patih Luminta."Kembali saja ke
istana, Paman. Tidak ada gunanya kau mengikutiku."
"Ke mana pun Raden pergi, hamba tetap akan
mengikuti. Hamba tidak peduli seandainya Gusti Prabu murka. Hamba siap menyabung
nyawa demi Raden," tegas kata-kata Patih Luminta.
Raden Bantar Gading menghentikan laju kudanya.
Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata laki-laki setengah baya
itu. "Sebaiknya Paman kembali saja. Prabu Abiyasa tidak akan tinggal diam. Aku tidak
ingin Paman berkorban untukku," kata Raden Bantar Gading pelan. Hatinya terharu


Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kesetiaan patih ini.
"Hamba tidak peduli, meskipun Gusti Prabu mengerahkan jago-jago dari tanah
seberang. Hamba tetap akan setia pada Raden," tegas jawaban Patih Luminta.
"Selama ini banyak orang yang mengepalkan tangan di belakangku. Sukar rasanya
menerima kesetiaanmu,
Paman. Aku bukan orang yang pantas diberi kemuliaan setinggi itu," lirih suara
Raden Bantar Gading.
"Raden terlalu berperasangka terhadap orang lain.
Masih banyak orang yang setia dan menyukai Raden.
Hanya mereka yang tidak tahu saja yang membenci
Raden." Kata-kata Patih Luminta bernada menghibur.
Raden Bantar Gading hanya tersenyum saja, dan
kembali melajukan kudanya. Patih Luminta juga mengikuti dan mensejajarkan
langkah kudanya di samping Raden Bantar Gading. Sementara matahari mulai
mengintip dari balik Bukit Cemara. Cahayanya yang merah jingga begitu lembut
menyapa datangnya fajar. Burung-burung telah sejak tadi meninggalkan sarangnya.
Raden Bantar Gading terus menjalankan kudanya tanpa arah tujuan pasti. Diikuti
ke mana langkah kaki kuda menapak. Sementara jalan yang dilalui mulai menyempit.
Rumah-rumah mulai jarang terlihat. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pohon dan
lebatnya semak belukar.
"Raden, bukankah ini Hutan Danaraja...?" pelan suara Patih Luminta.
Raden Bantar Gading kembali menghentikan kudanya.
Baru disadarinya kalau sudah mencapai Hutan Danaraja, tempat bersarang pada
pemberontak. Belum sempat
menyadari lebih lanjut, mendadak sebuah anak panah melesat cepat bagai kilat ke
arah Raden Bantar Gading.
"Raden, awas....!" Seru Patih Luminta.
"Hup, hiyaaa...!"
Raden Bantar Gading melentingdari punggung kuda
putihnya. Anak panah itu terus melesat lewat di bawah kakinya. Dan begitu
kakinya menjejakkan ke tanah, sebatang tombak panjang menyambutnya. Raden Bantar
Gading menarik tubuhnya ke samping. Dengan tangkas sekali tangannya menyambut
tongkat itu. Tap! Tombak sepanjang dua kali tinggi manusia dewasa itu berhasil ditangkap dengan
manis. Raden Bantar Gading memutar tombak itu dan melemparkannya ke arah
datangnya tombak. Lemparan dengan pengerahan tenaga dalam mengakibatkan tombak
meluncur deras.
Srak! "Aaa...!"
Terdengar satu jeritan melengking menyayat. Sesosok tubuh tersungkur keluar dari
semak belukar. Tubuhnya ter-hunjam tombak yang hampir mengenai Raden Bantar
Gading. Tidak berapa lama, dari balik gerumbul semak dan pepohonan bermunculan
orang-orang bersenjata tombak, golok dan pedang. Daun-daun pepohonan tersibak,
dan di atas dahan pohon sudah siap beberapa orang dan anak panah terpasang di
busur. Raden Bantar Gading dan Patih Luminta baru menyadari kalau mereka sudah
terkepung. Rasanya tidak mudah untuk dapat keluar dari kepungan yang amat rapat
ini. Raden Bantar Gading memandang berkeliling. Tidak kurang dari lima puluh orang
mengepung dengan senjata terhunus. Itu pun masih ditambah dua puluh lima orang
yang telah siap dengan panah di tangan.
"Tidak ada jalan lain untuk lolos, Raden." Desah Patih Luminta berbisik. Dia
sudah berada di samping Raden Bantar Gading.
Belum sempat Raden Bantar Gading menjawab, dari
arah depan muncul lima orang laki-laki dan seorang wanita berbaju merah muda.
Raden Bantar Gading terbeliak melihat wanita cantik baju merah mdua itu.
*** "Mayang...." Desis Raden Bantar Gading.
"Kau sudah terkepung, Raden. Sekali bergerak,
nyawamu bisa melayang!" terdengar suara dingin dan datar.
Raden Bantar Gading memandang laki-laki tua yang berbicara tadi. Dia ingat
betul, siapa laki-laki tua itu. dia adalah seorang pekerja yang hampir mati di
tangannya, kalau saja Raden Sangga Alam tidak menolong. Siapa lagi kalau bukan
Ki Maruta. "Masih ingat dalam ingatanku semua yang kau lakukan terhadap diriku dan seluruh
keluargaku," kata Ki Maruta, agak bergetar suaranya.
"Masih ingat denganku, Raden?" seorang laki-laki yang tangannya buntung ikut
bicara. Raden Bantar Gading mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang tangannya
buntung sampai ke bahu. Usianya hampir sebaya dengannya. Dia ingat, laki-laki
itu bernama Jalak Sewu. Tangannya buntung karena terbabat
pedangnya, ketika Jalak Sewu menolak untuk bekerja di Bukit Batu. Jalak Sewu
sebenarnya putra seorang
pembesar istana yang setia kepada Ratu Kunti Boga.
Seluruh keluarganya habis terbantai. Hanya dia yang masih selamat.
Raden Bantar Gading juga kenal dengan tiga orang lainnya. Mereka dalah bekas
panglima setia Ratu Kunti Boga. Dan Ki Maruta sendiri sebenarnya adalah bekas
penasehat pribadi Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri saat Prabu Abiyasa
menyerbu dan menggulingkan tahta Kerajaan Gantar Angin.
Pandangan mata Raden Bantar Gading beralih pada
satu-satunya wanita yang berdiri di antara lima orang laki-laki pemimpin
pemberontak itu. Wanita yang amat
dikenalnya, sekaligus mengisi hari-harinya selama ini.
Wanita yang selalu dirindukan dalam beberapa hari belakangan ini. Mayang
membalas tatapan mata pemuda itu dengan berbagai perasaan bergejolak di hatinya.
"Aku tahu, kalian benci dan dendam padaku. Kalian selalu menginginkan
kematianku. Nah! kesempatan sudah ada, ayo! Bunuh aku!" lantang suara Raden
Bantar Gading. Semua orang yang ada di situ terperanjat ketika Raden Bantar Gading meloloskan
pedang dan melemparkannya ke depan. Juga, melepaskan baju luarnya dan dicampak-
kan begitu saja. Tampak pada pinggangnya berbaris pisau kecil dan sebuah kantung
dari perunggu. Semua senjata yang melekat di tubuh Raden Bantar Gading
dilepaskannya sendiri.
"Raden....!" Patih Luminta terkejut melihat Raden Bantar Gading tampak pasrah.
"Paman! Kembalilah ke istana dan katakan pada Prabu Abiyasa agar menyerahkan
tahta pada Ratu Kunti Boga,"
ujar Raden Bantar Gading.
"Raden..." suara Patih Luminta tercekat di tenggorokan.
"Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, Paman. Mungkin dengan cara ini sebagian
dosaku bisa tertebus," kata Raden Bantar Gading.
"Kau akan mati dicincang mereka, Raden."
Raden Bantar Gading tersenyum dan mendorong tubuh Patih Luminta ke samping.
Dengan langkah tegap, dia berjalan ke depan. Raden Bantar Gading berdiri tegak
dengan dada telanjang. Kedua tangannya merentang ke samping. Sikapnya begitu
pasrah. "Tunggu...!" sentak Mayang ketika Ki Maruta memberi aba-aba pada pasukan panah.
Mayang langsung melompat ke depan, dan berdiri tegak di depan Raden Bantar
Gading. Ki Maruta menghentakkan tangannya, maka pasukan panah mengurungkan
niatnya untuk membidik. Mayang menghampiri pemuda tampan yang sudah pasrah
menjemput maut itu.
"Raden, mengapa ini kau lakukan?" tanya Mayang.
Suaranya bergetar agak tertahan.
"Minggirlah, Mayang. Mereka menginginkan nyawaku.
Kau pun juga ingin melihat kematianku, bukan" Minggirlah, tidak ada gunanya kau
menyelamatkan diriku," kata Raden Bantar Gading tegas.
"Tidak! Ku tidak boleh mati!" sentak Mayang histeris.
"Mayang...!" seru Ki Maruta.
Mayang membalikkan tubuhnya.
"Jika kalian ingin membunuhnya, bunuh aku sekalian!"
lantang suara Mayang.
"Kau gila, Mayang!" desis Ki Maruta.
"Sudah kukatakan pada kalian, Raden Bantar Gading tidak jahat! Semua yang
dilakukannya hanya karena tekanan dari Prabu Abiyasa!" kata Mayang lantang.
"Omong kosong! Kau jangan coba-coba membelanya,
Mayang! Minggirlah!" desis Ki Maruta.
"Mereka benar, Mayang. Pergilah! Tidak ada gunanya kau melindungiku," pinta
Raden Bantar Gading pelan.
"Tidak! Kau tidak boleh mati! Katakan pada mereka kalau kau melakukan semua itu
karena terpaksa! Kau takut kehilangan tahta. Katakan pada mereka, Raden.
Katakan...!" seru Mayang keras.
"Tidak ada gunanya lagi, Mayang. Semuanya sudah
berakhir."
"Raden....kau...." Mayang menatap wajah ebg lekat-
lekat. Belum penah Mayang melihat Raden Bantar Gading
seperti ini. Pasrah dan lemah tanpa daya. Seolah-olah dia tidak lagi melihat
sosok Raden Bantar Gading yang keras, garang, tegas dan tidak mengenal rasa
takut. Sosok yang tidak penah menyerah dengan segala yang terjadi. Tapi
sekarang..... rasanya Mayang tidak melihat Raden Bantar Gading seperti yang penah
dikenal, dicintai dan dirindukan-nya, meskipun ada sedikit kebencian di dalam
hatinya. Saat itu Ki Maruta sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dan dua puluh lima
orang yang berada di atas pohon, segera siap dengan anak panah terbidik ke arah
Raden Bantar Gading. Mereka tinggal menunggu perintah.
Sementara Patih Luminta tidak bisa berbuat banyak.
Matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun juga bergetar, seolah-olah ingin mengatakan
sesuatu. *** 5 "Raden...." Suara Mayang tersedak.
"Mundurlah, Mayang. Jangan menangis! Aku mencintai-mu," ucap Raden Bantar Gading
lembut. Jalak Sewu menghampiri Mayang dan mencekal tangannya. Dibawanya Mayang menjauh
dari tempat itu. Mayang ingin memberontak, tapi tak kuasa melakukannya. Matanya
mulai menitikkan air bening. Sedangkan Raden Bantar Gading hanya tersenyum
tenang memandang wanita yang dicintainya itu.
"Tidak..." desis Mayang lirih.
Ki Maruta menghentakkan tangannya ke bawah. Pada saat itu pula dua puluh lima
orang langsung melepaskan anak panahnya, dan meluncur keras ke arah tubuh Raden
Bantar Gading yang sudah pasrah menerima hukuman itu.
Raden Bantar Gading memejamkan matanya rapat-
rapat. Tepat pada saat ujung-ujung anak panah hampir menyentuh tubuhnya, sebuah
bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh Raden Bantar Gading. Dua puluh lima
anak panah menghujam tanah tempat Raden Bantar
Gading berdiri.
"Pendekar Pulau Neraka...!" semua orang yang berada di Hutan Danaraja itu
terkejut. Raden Bantar Gading membuka matanya. Dipandangi-
nya pemuda tampan berbaju kulit harimau di sampingnya.
Dia seperti tidak percaya kalau dirinya masih hidup.
Sementara pemuda tampan berbaju kulit harimau berdiri tegak, dan melangkah tegak
ke depan. Matanya tajam merayapi sektiarnya. Dua puluh lima orang di atas pohon
sudah kembali menyiapkan panah.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau yang memang
adalah Bayu Hanggara itu menatap tajam pada Ki Maruta.
Laki-laki tua itu sedikit bergidik menerima sorot mata tajam Pendekar Pulau
Neraka. "Aku melihat semua yang terjadi, dan aku mendengar semua percakapan kalian.
Sungguh sangat disayangkan niat yang suci ternyata ternoda oleh perasaan sakit
hati dan dendam," dingin dan lugas kata-kata Bayu.
"Kisanak! Kau sudah mengatakan tidak akan ikut
campur. Sekarang mengapa kau mencampuri urusan
kami?" lantang suara Ki Maruta.
"Aku memang tidak akan mencampuri urusan kalian di Gantar Angin ini. Tapi aku
tidak bisa diam melihat kekejaman di depan mataku," sahut Bayu tegas.
"Bukan kami yang kejam, tapi dia!" serobot Jalak Sewu geram. "Kau lihat tanganku
buntung akibat perbuatannya!"
"Sudah sepantasnya dia mati, Kisanak! Dia bukan lagi manusia, tapi binatang!
Iblis...!" sambung Ki Maruta.
"Kau terlalu berlebihan, Ki Maruta. Raden Bantar Gading masih punya perasaan.
Dia berbuat kejam bukan karena dorongan hati atau kemauannya sendiri. Apa kalian
semua tidak memperhatikan kata-kata Mayang" Apa kalian semua tidak bisa
membedakan antara perbuatan kejam yang dilandasi kemauan hati dengan paksaan?"
kata Bayu lantang.
"Kisanak! Meskipun aku bukan orang rimba persilatan, tapi aku sering mendengar
sepak terjangmu. Kau bicara seolah-olah sebagai dewa keadilan yang bijaksana.
Apa kau tidak merasa tindakanmu melebihi manusia iblis?"
kata Ki Maruta dingin.
Merah padam wajah Bayu mendengar kata-kata yang
dingin dan menyakitkan hati itu. Tapi dia berusaha untuk tidak cepat terpancing
amarahnya. Kalau saja yang berkata tadi musuhnya, mungkin sudah sejak tadi
dipecahkan kepalanya.
"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Ki Maruta," Bayu menggeram menahan amarah.
"Lebih menyakitkan lagi jika kau tidak segera menyingkir dari sini!" ancam Ki
Maruta. "Aku memang kejam, Ki Maruta. Tapi aku masih punya hati dan perasaan. Tidak buta
seperti kau!"
"Setan! Berani kau menghina Penasehat Pribadi Gusti Ratu Kunti Boga!" geram Ki
Maruta. "Kau bukan lagi Penasehat Ratu, tapi orang sakit yang haus kekuasaan!" sinis
kata-kata Bayu.
"Beludak! Monyet buntung...! Kubunuh kau, keparat!" Ki Maruta tidak bisa lagi
menahan marah. "Serang dia!"
Dua puluh lima anak panah langsung muntah dengan cepat. Bayu Hanggara mendorong
tubuh Raden Bantar Gading, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.
Cakra Maut berwarna keperakan meluncur dan berputar cepat menghancurkan anak-
anak panah itu. Lesatan senjata aneh itu demikian cepat, sehingga dalam waktu
sekejap dua puluh lima batang anak panah rontok sebelum mencapai sasaran. Bayu
melipat tangannya di depan dada begitu senjatanya menempel di pergelangan
tangan. "Mayang, bawa Raden Bantar Gading pergi dari sini,"
kata Bayu tegas.
"Kakang..." suara Mayang tercekat.
"Aku akan menyusul. Cepat!"
Mayang memunguti senjata dan baju Raden Bantar
Gading yang berserakan di tanah. Kemudian dia menggamit tangan Raden Bantar
Gading. Patih Luminta segera menyiapkan kuda dan membawanya pada Raden Bantar
Gading. "Serang! Jangan biarkan keparat itu lolos!" seru Ki Maruta lantang.
Raden Bantar Gading yang sudah berada di atas
punggung kudanya, lengsung menarik tangan Mayang.
Begitu Mayang telah berada di punggung kuda bersama Raden Bantar Gading, dengan
cepat kuda putih itu melesat pergi. Patih Luminta masih belum menggebah kuda
meskipun sudah duduk di atas punggung kudanya.
Lima puluh orang dengan senjata bermacam-macam,
berlompatan mengejar Raden Bantar Gading. Sedangkan pasukan panah menghujaninya
dengan anak panah. Bayu langsung melenting merontokkan semua anak panah itu.
sementara sekitar delapan orang sudah menyerang Patih Luminta.
Pendekar Pulau Neraka berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Akibatnya
tubuh-tubuh itupun melayang dan jatuh ke bawah. Mereka yang berada di atas pohon
menjadi sasaran pertama Pendekar Pulau Neraka.
Setelah tidak ada lagi orang di atas, pemuda berbaju kulit harimau itu cepat
meluruk ke tanah ke arah Patih Luminta yang kini tengah sibuk melayani delapan
orang pengeroyoknya.
"Cepat pergi!" seru Bayu keras seraya menghantamkan pukulannya ke salah seorang
yang hampir membabat leher Patih Luminta.
"Hiya...! Hiya...!"
Patih Luminta menggebah kudanya dengan cepat. Kuda berwarna coklat tua belang
putih itu langsung melesat cepat. Tapi salah seorang sempat melemparkan tombak.


Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak pelak lagi, tombak itu menembus punggung Patih Luminta.
"Aaa...!" Patih Luminta menjerit kesakitan.
Hampir saja tubuhnya ambruk ke tanah kalau saja Bayu tidak cepat melompat dan
menyambarnya. Pendekar Pulau Neraka itu langsung duduk di atas punggung kuda,
dan menggebahnya dengan cepat.
Kuda itu terus berlari cepat. Para pemberontak yang dipimpin Ki Maruta berusaha
mengejar sambil melemparkan tombak dan menghujani anak panah. Tapi kuda
tunggangan Patih Luminta berlari bagaikan lesatan kilat.
Semua senjata yang dilemparkan tidak mencapai
sasaran. Ki Maruta memaki-maki dan mengumpat geram.
Kesempatan emas untuk membunuh Raden Bantar Gading menjadi kacau dengan
munculnya Pendekar Pulau Neraka.
Tidak mudah mendapat kesempatan seperti itu sekali lagi.
Bayu Hanggara menghentikan lari kuda setelah yakin betul tidak ada lagi yang
mengejarnya. Bergegas dia melompat turun sambil memondong tubuh Patih Luminta.
Tombak yang menancap di punggung laki-laki setengah baya itu masih menembus
dadanya. Wajah Patih Luminta sudah pucat pasi, dan napasnya tersendat-sendat.
"Kisanak. Tindakan ini sangat membahayakan dirimu,"
kata Patih Luminta tersendat.
"Tenanglah, jangan banyak bicara. Aku akan mencabut tombak ini," kata Bayu
seraya membaringkan tubuh Patih Luminta.
"Percuma Kisanak. Tidak ada gunanya.... Ugh, ugh!"
Patih Luminta mulai terbatuk, dan wajahnya semakin pucat pasi.
Bayu membaringkan miring laki-laki setengah baya itu.
Melihat tombak yang tembus dari punggung ke dada, memang tidak ada harapan lagi
bagi Patih Luminta untuk bertahan lama. Sudah pasti tombak telah menyayat
jantungnya. Bayu diam tidak bertindak apa-apa. Kalau dicabutnya tombak itu,
pasti akan mempercepat kematian Patih Luminta.
"Dengar, Kisanak. Ada sesuatu yang hendak ku
sampaikan padamu," kata Patih Luminta sambil meringis menahan sakit di dada dan
punggungnya. "Katakanlah," sahut Bayu.
"Semua yang terjadi di Gantar Angin ini hanya kepalsuan belaka. Semua orang
hanya berpura-pura. Mereka lupa akan diri masing-masing. Mereka telah menjadi
orang lain...." Sambung Patih Luminta.
Bayu mengerutkan keningnya. Agak terkejut juga mendengar kata-kata Patih
Luminta. "Kau tidak akan bisa mencari kebenaran di sini. Tidak ada kebenaran dan keadilan
di sini. Semuanya palsu dan hanya kepura-puraan yang kau dapatkan," sambung
Patih Luminta. "Aku tidak mengerti maksudmu, Paman?"
"Aku tahu, sebenarnya kau tengah berusaha menge-
tahui siapa Mayang sesungguhnya. Kau telah dapatkan orang yang tepat untuk
memperoleh keterangan tengang Mayang. Hanya saja orang itu tidak berkata jujur
padamu. Bahkan berusaha memperalatmu untuk maksud dan
tujuan pribadinya."
Bayu terdiam menunggu.
"Mayang sebenarnya bukan putri Gusti Ratu Kunti Boga.
Dia anak tunggal Ki Maruta...." Lanjut Patih Luminta.
"Benarkah itu, Paman?" Bayu hampir tidak percaya mendengarnya.
"Aku berkata yang sebenarnya, Anak Muda."
"Lalu, bagaimana sampai bisa terjadi demikian?"
"Ketika Prabu Abiyasa memberontak dan mengg-
ulingkan tahta Gusti Ratu Kunti Boga, banyak pembesar dan panglima yang ikut
memberontak. Gusti Ratu Kunti Boga berhasil ditawan. Sedangkan suaminya tewas di
tiang gantungan. Di samping itu putri satu-satunya yang masih berusia tujuh
tahun, lenyap entah ke mana. Hanya satu yang selamat. Dia seorang putra yang
baru berusia tiga bulan...."
"Teruskan," desak Bayu.
"Prabu Abiyasa sama sekali tidak mempunyai seorang putra. Waktu itu aku dan dia
mengikat janji. Jika Kerajaan Gantar Angin berhasil direbut, maka anak tunggalku
kelak harus menduduki tahta putra mahkota. Prabu Abiyasa setuju. Oleh sebab
itulah dia mengangkat anakku menjadi anaknya. Dan aku sendiri diangkat menjadi
patih." "Siapa nama anakmu?"
"Bantar Gading."
"Ohhh..."
Patih Luminta terbatuk tiga kali. Keadaannya semakin lemah. Darah terus mengucur
deras tak terbentung. Tapi dia masih berusaha bertahan. Dengan suara lemah dan
tersendat, kembali diteruskan ceritanya.
"Ahli waris Kerajaan Gantar Angin yang syah, sebenarnya Raden Sangga Alam.
Dialah putra Gusti Ratu Kunti Boga yang saat itu baru berusia sekitar tiga
bulan. Gusti Permaisuri Pramita Wardani menghendaki anak itu, dan Prabu Abiyasa
tidak keberatan. Itu pun setelah aku menyetujuinya, mengingat Raden Sangga Alam
tidak tahu menahu tentang semua yang terjadi...." Kembali Patih Luminta terbatuk.
"Apakah Ratu Kunti Boga masih hidup?" tanya Bayu.
"Tidak! Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu di dalam kamar tahanan bawah
tanah." "Lalu, Panglima Nampi?"
"Tidak seorangpun dibiarkan hidup jika dianggap
pengkhianat dan bermaksud memberontak. mungkin
Panglima Nampi sudah dihukum mati malam itu juga saat dipergoki berada di rumah
Ki Maruta, yang sudah lama dicurigai sebagai pemimpin pemberontak."
"Apakah Ki Maruta tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah tiada?" tanya Bayu lagi.
"Sebenarnya dia tahu."
"Aneh.... Kenapa dia masih menganggap Ratu Kunti
Boga masih hidup. Lagi pula, untuk apa dia tidak mengakui Mayang anaknya?" tanya
Bayu. "Dengar, Bayu. Semua itu hanya siasat saja. Ki Maruta menginginkan anaknya
menguasai Gantar Angin. Dan dia memperalat.....Akh...!"
"Paman.....! Paman.....!"
Bayu terduduk lemas. Patih Luminta telah menghembuskan napasnya yang terakhir
sebelum sempat menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sebagian tabir yang
melingkupi Kerajaan Gantar Angin mulai terungkap. Tapi benak Bayu masih juga
diliputi berbagai macam pertanyaan. Dia tidak mengerti akan sikap kebanyakan
orang yang selalu berpura-pura. Bahkan tidak mau tahu satu dengan yang lainnya.
Bahkan cenderung saling menutupi.
Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar suara dari arah belakang. Tampak
Raden Bantar Gading dan Mayang melangkah menghampiri. Mereka berjalan pelan
seperti tak ada gairah hidup sama sekali. Pandangan Raden Bantar Gading nanar ke
arah mayat Patih Luminta.
"Ayah..."
*** Raden Bantar Gading berdiri tegak memendangi
gundukan tanah yang masih baru. Di sampingnya, berdiri Mayang. Sedangkan Bayu
memperhatikan dari jarak yang tidak begitu jauh di bawah pohon. Raden Bantar
Gading mengangkat kepalanya, lalu berbalik. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau
Neraka, lalu kakinya terayun menghampiri.
Mayang mengikuti di sampingnya. Wajah mereka tampak tersaput awan hitam.
"Telah kudengar semua pembicaraanmu dengan Ayah,"
ujar Raden Bantar Gading pelan.
"Dari mana kau dengar semua pembicaraanku?"
"Aku memang menunggumu di sini. Tadinya aku akan menemuimu langsung, tapi Mayang
mencegah," sahut Raden Bantar Gading.
"Aku menyesal tidak bisa melindunginya," desah Bayu.
"Kau sudah berbuat banyak, Kakang," sergah Mayang.
Bayu tersenyum tipis.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau selama ini hanya dijadikan boneka mainan,"
pelan suara Raden Bantar Gading.
"Sudahlah! Yang penting, sekarang kalian sudah tahu diri masing-masing," kata
Bayu bijaksana.
"Kisanak..."
"Panggil saja aku Bayu," potong Bayu.
"Terima kasih."
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Bayu.
"Entahlah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku...." Suara Raden
Bantar Gading terputus.
"Kau ingin membalas kematian ayahmu?" tanya Bayu.
Raden Bantar Gading tidak menjawab, tapi hanya
menoleh memandang Mayang.
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya
dendam bukan satu-satunya penyelesaian yang baik," ujar Raden Bantar Gading
pelan. Bayu tersenyum mendengar penuturan itu. namun hatinya tersentuh juga. Dendam
memang bukan satu-satunya penyelesaian yang baik. Bahkan selama ini, dia sendiri
masih menyimpan dendam. Masih mencari orang-orang yang telah menghancurkan
padepokan ayahnya, membunuh ayahnya berikut murid-muridnya. Hingga sekarang dia
tidak tahu, apakah ibunya masih hidup atau sudah mati.
"Apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Bayu.
"Memulai hidup baru, dan pergi sejauh-jauhnya
meninggalkan Gantar Angin," jawab Raden Bantar Gading mantap.
"Ya. Aku juga akan melupakan semua yang terjadi di sini," sambung Mayang.
"Kalian akan hidup berdua?"
Raden Bantar Gading dan Mayang saling berpandangan, kemudian sama-sama
mengangguk sambil senyum tersipu.
Bayu menarik napas panjang. Dia tidak tahu, bagaimana perasaannya sekarang.
Memang diakui, ada sedikit rasa sesal di hatinya. Masalahnya, dia mulai tertarik
terhadap Mayang dan sekarang wanita itu ingin hidup bersama Raden Bantar Gading.
Bayu hanya bisa mendesah, dan menarik napas panjang kembali. Dia tidak bisa
berkata apa-apa lagi.
Bayu berbalik dan melangkah pergi. Raden Bantar
Gading ingin mencegah kepergian Pendekar Pulau Neraka itu, tapi Mayang telah
lebih dulu menutup bibir pemuda itu dengan jari tangannya. Raden Bantar Gading
mengecup bibir Mayang lembu. Kemudian mereka berpelukan rapat dan mesra. Bayu
sempat menoleh, dan hanya tersenyum tanpa berhenti melangkah.
"Hup!" hanya satu kali lesatan saja, Bayu sudah lenyap dari tempat itu.
Saat itu Raden Bantar Gading juga sudah mengajak Mayang meninggalkan tempat ini.
Meninggalkan semua yang telah terjadi di Gantar Angin. Mereka melangkah sambil
bergandengan tangan. Langkah yang pasti dan mantap untuk memulai hidup baru.
Hidup sebagai pasangan yang saling mencintai. Tentu saja dengan menyiramu bunga cinta di hati
mereka masing-masing.
Namun baru saja mereka melangkah beberapa depa,
mendadak sabatang anak panah melesat cepat dari arah depan. Tepat ketika anak
panah berwarna kuning gading itu hampir menyentuh dada Mayang, tangan Raden
Bantar Gading menarik tangan Mayang ke belakang. Wanita itu menggeser kakinya
berlindung di belakang punggung pemuda itu.
"Hati-hati, Mayang. Aku yakin, tempat ini sudah
dikepung para prajurit Gantar Angin," kata Raden Bantar Gading setengah
berbisik. Raden Bantar Gading mengenali anak panah di tangannya. Anak panah berwarna
kuning gading dengan lambang kerajaan pada tangkainya. Pemuda itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Kepalanya dimiringkan sedikit ke kanan. Tidak ada
seorangpun terlihat di sekitar tempat ini. Bahkan tidak ada suara yang
mencurigakan terdengar di telinganya. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan
yang terdengar.
Pandangan Raden Bantar Gading tertuju pada sebuah pohon yang sangat besar.
Tampak seorang laki-laki berusia sektiar lima puluh tahun berdiri pada salah
satu cabang yang cukup besar. Laki-laki itu mengenakan baju hijau ketat dengan
pinggang dipenuhi pisau kecil yang berjajar rapi. Raden Bantar Gading kenal
betul dengan laki-laki ber-tampang angker itu. dia adalah salah seorang Panglima
Gantar Angin. "Paman Panglima Jambak! Apa yang kau lakukan di
sini?" tanya Raden Bantar Gading.
"Hamba ditugaskan Gusti Prabu untuk membawa Raden kembali ke istana," jawab
Panglima Jambak tegas. Tangannya menjentik ke depan dada.
Raden Bantar Gading terkejut. Tiba-tiba saja, hampir lima puluh orang prajurit
dan sepuluh punggawa, bermunculan dari balik bukit dengan menunggang kuda. Di
tangan mereka masing-masing terdapat busur yang siap dilesatkan. Bahkan empat
orang jago bayaran dari tanah seberang ada di antara mereka. Raden Bantar Gading
langsung menyadari kalau situasi seperti ini bukan sikap bersahabat dan
penghormatan lagi. Prabu Abiyasa sudah menganggapnya sebagai orang yang
berbahaya dan harus dilenyapkan seperti para pengkhianat dan pembangkang
lainnya. "Katakan pada Ayahanda Prabu, aku akan menikah dan pergi dari Gantar Angin!"
lantang kata-kata Raden Bantar Gading. "Dan kau tidak perlu bersusah-payah
membuang-buang nyawa prajurit untuk memaksaku!"
Panglima Jambak meluruk dari atas dahan pohon.
Manis sekali kakinya mendarat di depan Raden Bantar Gading. Jarak antara mereka
hanya sekitar satu batang tombak saja. Raden Bantar Gading sudah bersiaga penuh.
Dia tahu kalau pisau yang berjajar di pinggang panglima itu sangat berbahaya.
Panglima Jambak sangat ahli meng-gunakannya.
"Raden, siapa wanita itu?" tanya Panglima Jambak.
"Dia Mayang, calon istriku!" sahut Raden Bantar Gading mantap.
"Raden, Gusti Prabu tidak akan melarang Raden
memiliki calon istri. Gusti Prabu hanya menghendaki Raden kembali ke istana. Hal
itu bisa dibicarakan nanti, Raden,"
bujuk Panglima Jambak.
"Apa kata-kataku kurang jelas, Paman" Berapa kali aku harus mengatakan" Aku
tidak akan pernah kembali lagi ke istana!"
"Maaf, Raden. Gusti Prabu memerintahkan padaku
untuk membawamu dengan cara apapun."
"Kau yang memulainya, bukan?" sinis nada suara Raden Bantar Gading.
"Maaf, Raden. Salah seorang prajuritku tidak bisa menahan diri. Seharusnya hal
itu tidak perlu terjadi, juga tidak akan terulang jika Raden bersedia kembali ke
istana," kata Panglima Jambak.
"Sekali aku katakan tidak, tetap tidak selamanya! Jelas, Paman Panglima"!" tegas
jawaban Raden Bantar Gading.
Panglima Jambak menarik napas panjang dan berat, lalu melangkah mundur tiga
tindak. "Sebenarnya aku enggan menerima tugas ini, Raden.
Tapi semua ini harus kulakukan. Jika aku tidak bisa membujukmu, maka mereka yang
akan memaksamu, Raden,"
pelan kata-kata Panglima Jambak.
Raden Bantar Gading memandang empat orang jago
bayaran dari tanah seberang. Empat orang itu bergerak maju mendekat. Raden
Bantar Gading menyadari, dirinya tidak mungkin dapat menandingi mereka. Satu
orangpun rasanya sulit. Apalagi kalau empat orang maju sekaligus..."
Pandangannya kembali tertuju pada Panglima Jambak.
"Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu," kata Panglima Jambak pelan.
"Majulah, tangkap aku!" sahut Raden Bantar Gading mantap.
"Raden, sebaiknya...."
"Jangan coba-coba membujukku, Paman!" potong
Raden Bantar Gading cepat. "Aku tahu, apa yang Ayahanda Prabu titahkan pada
kalian. Ayo lakukan! Dan jangan berharap aku akan menyerah begitu saja!"
Panglima Jambak kembali melangkah mundur. Empat
orang jago dari tanah seberangpun langsung melompat sambil berteriak keras.
Raden Bantar Gading menggeser kakinya ke samping. Sambil menorong tubuh Mayang
agar menjauh, dicabut pedangnya.
Sret! *** 6 Raden Bantar Gading mengebutkan pedangnya ke depan ketika salah seroang jago
seberang itu menusukkan senjatanya ke arah dada. Raden Bantar Gading terkejut,
karena tangannya langsung bergetar hebat ketika pedangnya berbenturan dengan
senjata lawannya. Belum lagi sempat menarik pulang pedangnya, sebuah tendangan
keras dari samping menghantam pergelangan tangan kanannya.
"Akh!" Raden Bantar Gading memekik tertahan. Pedangnya mencelat lepas dari
pegangan.

Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang...!" seru Mayang terkejut.
Raden Bantar Gading menoleh ke arah wanita itu.
Akibatnya dia jadi lengah. Kelengahan ini sangat fatal bagi dirinya. Satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga luar biasa menghantam dadanya. Raden
Bantar Gading kembali memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang.
Dari mulutnya mengucur darah kental. Punggungnya menghantam sebuah pohon hingga
tumbang. Raden Bantar Gading segera bangkit berdiri. Digeleng-gelengkan kepalanya sebentar,
lalu digerak-gerakkan tangannya. Dia mencoba mengusir rasa sesak yang melanda
dadanya. Pukulan bertenaga dalam itu hampir membuat tulang-tulang dadanya hancur.
Raden Bantar Gading merasa sesak bernapas. Dia
meringis menahan nyeri pada dadanya. Dia tahu kalau salah satu tulang dadanya
patah kena pukulan keras bertenaga dalam tadi. Dengan mata merah membara, Raden
Bantar Gading mencopot baju luarnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Raden Bantar Gading
mengibaskan kedua tangannya dari arah perut ke depan.
Jarum-jarum beracun pun beterbangan bagai hujan ke arah empat orang jago dari
tanah seberang itu. Mereka berlompatan sambil memutar senjata masing-masing,
menghalau jarum-jarum beracun yang meluncur deras.
Jarum-jarum beracun itu berpentalan ke segala arah.
Tidak dinyana sama sekali, jarum-jarum berwarna hitam pekat itu menghantam para
prajurit yang berada di sekitar pertarungan. Mereka yang cepat menghindar dan
bersembunyi di balik pohon, masih bisa selamat. Tapi terlambat, lengsung ambruk
dengan tubuh membiru. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Raden Bantar
Gading tersentak kaget. Langsung dihentikan serangan jarum-jarum beracunnya.
Tidak kurang dari sepuluh orang prajurit tewas akibat kebodohannya.
"Setan! Kau harus bertanggung jawab atas kematian mereka, Paman Panglima!"
bentak Raden Bantar Gading marah.
Panglima Jambak tersentak kaget. Dia juga tidak
menyangka kalau sepuluh orang prajuritnya terkapar terkena jarum-jarum beracun
nyasar. Raden Bantar Gading tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia cepat
melompat sambil melontarkan beberapa pisau yang melilit di pinggangnya.
Pisau-pisau itu menghujani empat orang jago dari seberang. Dan pada saat mereka
sibuk menghalau
serangan pisau itu, Raden Bantar Gading melepaskan beberapa pukulan ke arah
Panglima Jambak. Pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu
menimbulkan desiran angin yang sangat kuat dan berhawa panas.
"Hup! Hiyaaa...!"
Panglima Jambak bergegas melompat ke samping
menghindari serangan Raden Bantar Gading. Disadari kalau putra mahkota itu
mengeluarkan 'Pukulan
Gelombang Maut'. Satu jurus yang sangat dahsyat. Angin pukulannya saja mampu
menghancurkan sebuah pohon beringin besar. Beberapa batang pohon, kontan hancur
terkena sambaran pukulan dahsyat itu.
Raden Bantar Gading benar-benar mengamuk, menhajar siapa saja yang berani
mendekat. Panglima Jambak berteriak keras agar para prajuritnya tidak ikut
menyerang, sambil sibuk menghindari setiap serangan yang dilancar-kan Raden
Bantar Gading. Saat itu empat orang jago dari seberang mengalihkan perhatiannya kepada Mayang.
Mereka segera melompat mengurung wanita itu. Tentu saja, hal ini membuat Raden
Bantar Gading kian berang. Dia hendak membantu Mayang yang kerepotan menghadapi
empat lawannya itu. tapi Panglima Jambak tidak memberi kesempatan kepadanya
untuk mendekati Mayang.
"Akh!" tiba-tiba Mayang memekik tertahan.
Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kiri menekap bahu kanannya. Darah
merembes keluar dari sela-sela jarinya. Rupanya salah seorang jago itu berhasil
melukai bahu kanan Mayang. Dan sebelum wanita itu sempat berbuat banyak, satu
tendangan keras mendarat di punggungnya. Kembali Mayang memekik, dan tubuhnya
terjungkal ke tanah.
"Haaat...!"
Salah seorang jago dari seberang mengayunkan senjatanya ke arah tubuh Mayang
yang tak berdaya di tanah.
Hanya sedikit saja Mayang mampu bergerak, tapi senjata orang itu telah membedah
perutnya. "Aaa...!" Mayang menjerit melengking.
"Mayang...!" seru Raden Bantar Gading terperanjat.
Baru saja Raden Bantar Gading melompat hendak memburu Mayang, satu tendangan
keras Panglima Jambak membuatnya terjajar mencium tanah. Belum lagi Raden Bantar
Gading mampu berdiri tegak, satu pukulan keras telah mendarat di dadanya. Tak
sampai di situ, karena lawan telah mengirimkan pukulan dua kali ke punggung.
Raden Bantar Gading ambruk ke tanah dengan mulut mengucurkan darah segar.
Panglima Jambak langsung menubruk tubuh Raden
Bantar Gading, dan mengikatnya dengan tambang yang dilemparkan salah seroang
prajurit. Raden Bantar Gading tidak bisa berkutik lagi. Tangan dan tubuhnya
terikat tambang yang cukup besar dan kuat. Dia dipaksa berdiri.
Dua orang prajurit mengangkat tubuh pemuda itu dan menghempaskannya di punggung
kuda. "Mayang...!" teriak Raden Bantar Gading mencoba
meronta. Tambang yang mengikat tubuhnya demikian kuat. Sia-sia saja Raden Bantar Gading
meronta. Sementara
Panglima Jambak, para prajurit, serta empat orang jago dari seberang, sudah
berada di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, mereka
segera menggebah kuda meninggalkan tempat itu. Sementara Mayang tetap tergeletak
pingsan. Dada dan perutnya terus mengucurkan darah.
*** "Ohhh..." suara rintihan lirih terdengar. "Jangan bergerak dulu! Lukamu belum
pulih benar."
"Oh...! Kakang Bayu..."
"Ya. Aku Bayu, Mayang."
Mayang kembali memejamkan matanya seraya merintih lirih. Pemuda tampan berbaju
kulit harimau duduk bersila di sampingnya. Tumpukan rumput kering dan dedaunan
membuat tubuh Mayang terasa hangat. Sementara cahaya api kecil di dekatnya
membuat tempat yang menyerupai lorong goa ini jadi semakin hangat. Perlahan-
lahan Mayang membuka kelopak matanya.
"Di mana aku?" tanya Mayang.
"Kau lupa tempat ini, Mayang?" Bayu balik bertanya dengan lembut.
Mayang tersenyum tipis. Tentu saja dia tidak lupa karena beberapa hari pernah
tinggal di sini bersama seorang gadis yang dibawa Bayu dari Gantar Angin. Tempat
yang ditinggali sebelum bergabung dengan para pemberontak.
"Kakang, bagaimana kau bisa membawaku ke sini?"
tanya Mayang lagi.
"Aku tidak jadi pergi karena kulihat Ki Maruta bersama orang-orangnya tengah
bergerak menuju Gantar Angin.
Semula aku ingin memberitahu hal ini pada Raden Bantar Gading. Tapi terlambat!
Aku hanya menemukan dirimu tergeletak di antara beberapa mayat prajurit Gantar
Angin. Semula kuduga kau sudah tewas. Ternyata setelah ku amati, kau masih bernapas.
Tidak ada pikiran lain terlintas di kepalaku, selain membawamu ke sini," Bayu
menceritakan kejadiannya.
"Oh... mereka menangkap Kakang Bantar Gading," lirih suara Mayang.
"Siapa mereka?"
"Panglima Jambak dan para pengikutnya. Mereka
dibantu empat orang asing dan berpakaian aneh. Empat orang itulah yang
melukaiku, Kakang," sahut Mayang.
Bayu menarik napas panjang.
"Kakang! Mereka tidak mengijinkan kami meninggalkan Gantar Angin. Bahkan Prabu
Abiyasa menganggap Kakang Bantar Gading pengkhianat. Aku tidak tahu, bagaimana
nasib Kakang Bantar Gading. Prabu Abiyasa sangat kejam, Kakang." Pelan suara
Mayang. Bayu Hanggara menoleh ketika mendengar suara
langkah kaki memasuki goa ini. Ternyata gadis berusia sekitar lima belas tahun
muncul mendekati. Gadis itu melemparkan senyum kepada Mayang. Mayang pun mem-
balasnya dengan senyuman tipis.
"Aku memintanya kemari untuk merawatmu, Mayang,"
kata Bayu pandangan Mayang terarah padanya.
"Ya! Aku juga terkejut mendengar kau terluka, Kak Mayang," sambung gadis itu.
"Ki Maruta pasti mencarimu," kata Mayang pelan.
"Tidak ada siapa-siapa lagi di Hutan Danaraja. Mereka semua sudah gila, tidak
mempedulikan kamu wanita lagi.
Mereka meninggalkannya begitu saja di dalam hutan.
Mereka sudah gila kekuasaan" tegas gadis itu mantap.
Mayang kembali terdiam. Dipandanginya wajah Bayu yang diam membisu.
"Aku tahu semuanya! Aku pernah mendengar diam-diam pembicaraan mereka," sambung
gadis itu lagi.
"O...!" Pendekar Pulau Neraka terkejut.
"Ki Maruta adalah penasehat pribadi Gusti Ratu Kunti Boga. Dia sebenarnya adik
Prabu Abiyasa. Hm.... Maksudku adik tirinya. Dia sangat berambisi merebut tahta
Gantar Angin dan mengangkat dirinya menjadi raja. Mereka semua tahu kalau Ratu
Kunti Boga sudah lama meninggal. Dan memang itu yang mereka tunggu," sambung
gadis itu menceritakan.
"Hhh...! Tidak kusangka persoalannya bagitu pelik jadinya. Aku benar-benar muak
menghadapi orang yang haus kekuasaan!" desah Bayu setengah bergumam.
"Sebenarnya yang berhak atas Kerajaan Gantar Angin adalah Raden Sangga Alam,
karena dialah anak kandung Ratu Kunti Boga. Tapi dia tidak tahu karena...."
"Ya, kami tahu itu," selak Bayu cepat.
"Kalian sudah tahu?"
Bayu dan Mayang mengangguk.
"Lantas, kenapa diam saja" Kenapa tidak dicegah"
Padahal mereka memperebutkan tahta yang bukan haknya!"
"Itu bukan urusanku. Aku...."
"Kau seorang pendekar! Kau pasti bisa mencegah per-tumpahan darah!" potong gadis
itu. "Untuk apa" Persoalan yang kuhadapi saja masih
banyak." "Kakang..." Mayang menengahi.
"Baiklah..." desah Bayu. "Apa yang harus kulakukan?"
"Selamatkan Raden Sangga Alam! Mereka bisa saja me-nempuh jalan damai dan
membagi daerah kekuasaan
masing-masing. Kerajaan Gantar Angin tidak mustahil akan runtuh kalau hal itu
terjadi. Lebih parah lagi kalau sampai masing-masing ingin berkuasa. Mereka
adalah orang-orang kejam dan selalu mementingkan diri sendiri. Rakyat akan
selalu sengsara bila salah satu dari mereka menjadi raja.
Hanya Raden Sangga Alam yang berhak menduduki tahta!"
ujar gadis itu mantap.
Bayu menatap gads itu dengan sinar mata penuh tanda tanya. Ketika ditemukannya
di rumah penginapan, gadis itu hendak membunuhnya. Bahkan mengaku sebagai putri
pemilik penginapan yang tewas terbunuh Raden Bantar Gading. Dan ketika pertama
dibawa ke tempat ini, terlihat masih lugu.
Tapi sekarang, kata-katanya begitu tegas dan teratur rapi. Kata-kata itu
meluncur begitu saja, dan bernada penuh wibawa. Rasanya sulit dipercaya bila
seorang gadis berusia lima belas tahun mampu begitu lancar bertutur kata.
Apalagi hanya seorang gadis pemilik rumah
penginapan dan kedai. Gadis itu memang bertubuh kecil wajahnya pun masih
terlihat kekanak-kanakan. Tapi dari kata-katanya..... Bayu jadi menaruh curiga,
siapa gadis ini sebenarnya" Benarkah dia hanya putri seorang pemilik kedan dan
Mengganasnya Siluman Gila Guling 1 Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal Memanah Burung Rajawali 35
^