Pencarian

Keris Kala Muyeng 1

Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng Bagian 1


KERIS KALA MUYENG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Keris Kala Muyeng
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Bau tidak sedap menyeruak menusuk hidung, ditebarkan oleh hembusan angin dari
sebuah gubuk kecil di pinggiran Hutan Kalikis. Seorang laki-laki berusia
separuh baya tampak tengah berjalan mondar-mandir.
Dia kelihatan gelisah. Dan sebentar-sebentar, pandangannya tertuju ke pintu
gubuk kecil yang tertutup rapat. Beberapa kali tarikan nafasnya yang panjang dan
berat terdengar.
Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju dari
bahan sutra halus bercorak kembang-kembang itu
berhenti di depan pintu gubuk kecil ini. Dia kelihatan
ragu-ragu mengetuk pintu. Tapi, akhirnya diketuk juga
pintu yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu.
Tok, tok, tok...!
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Laki-laki
separuh baya itu semakin kelihatan gelisah, dan kembali mengetuk pintu beberapa
kali. Tetapi tak ada sahutan dari dalam gubuk ini. Dicobanya mengintip dari
celah kecil di atas pintu. Tapi tak ada sesuatu yang
dapat terlihat. Keadaan di dalam gubuk kecil itu demikian gelap, seakan-akan
saat ini sudah malam. Padahal, matahari di atas sana bersinar amat terik,
membuat keringat mengucur membasahi seluruh tubuh laki-laki
separuh baya itu.
"Nyai, sudah selesai belum...?" agak berbisik suaranya terdengar.
Masih tak ada sahutan dari dalam. Laki-laki separuh baya itu menunggu beberapa
saat, kemudian melangkah mundur dua tindak begitu terdengar suara
langkah kaki terseret dari dalam gubuk ini. Tak berapa
lama kemudian, pintu yang sudah lapuk itu terbuka
memperdengarkan suara berderit. Dari dalam, muncul
seorang perempuan tua mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam yang sudah
lusuh dan terdapat
beberapa tambalan.
Wanita itu menatap tajam laki-laki separuh baya di
depannya. Raut wajahnya mencerminkan ketidaksenangan. Bahkan rahangnya tampak
terkatup rapat.
Sedangkan laki-laki separuh baya itu tetap saja kelihatan gelisah. Dicobanya
untuk melihat ke dalam melalui
pundak wanita tua itu. Tapi tetap saja tidak bisa melihat sesuatu di dalam sana.
Keadaan di dalam gubuk
itu benar-benar gelap.
"Apa kau tidak bisa sabar sedikit, Waskita?" terdengar kering suara perempuan
tua itu. "Aku tidak bisa lama-lama di sini," sahut laki-laki
setengah baya yang dipanggil Waskita. "Berapa lama
lagi kau akan menyelesaikannya?"
"Berapa kali aku harus mengatakannya..." Kalau
sanggup menunggu, tunggu saja. Tapi kalau kau
menggangguku terus, sebaiknya pulang saja. Dan tidak perlu kau kembali lagi ke
sini!" terasa ketus nada
suara perempuan tua itu.
Waskita menelan ludahnya yang mendadak jadi terasa pahit. Dia hanya bisa
terdiam, dengan hati masih
tetap dihantui kegelisahan. Sedangkan perempuan tua
itu masuk kembali ke dalam gubuknya, dan pintu gubuk itu pun kembali tertutup
rapat. Tinggal Waskita
yang berada di luar bersama kegelisahannya yang semakin melanda.
"Huh! Kenapa begitu lama sekali" Apa dia ingin
mempermainkan aku...?" dengus Waskita bertanya pada diri sendiri.
Laki-laki setengah baya itu jadi tidak sabar. Kegelisahannya mendadak saja
menghilang. Tatapan ma-
tanya begitu tajam, tertuju langsung ke pintu gubuk
yang tertutup rapat. Perlahan-lahan kembali didekatinya gubuk itu.
"Aku tidak bisa menunggu terus!" lagi-lagi Waskita
mendengus. Laki-laki setengah baya itu sudah tidak peduli lagi
terhadap larangan perempuan tua tadi. Kembali digedornya pintu gubuk itu. Kali
ini begitu keras, sehingga
membuat daun pintu yang sudah lapuk itu bergetar.
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Dan kini wajah Waskita sudah memerah.
"Nyai! Jika tidak kau selesaikan sekarang juga, pintu ini ku dobrak!" ancam
Waskita lagi. Tetap tidak ada sahutan dari dalam gubuk itu. Maka Waskita jadi tidak sabar
lagi. Mulutnya mendesis.
Kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Kesabarannya
sudah sampai puncaknya. Maka tiba-tiba saja Waskita
melayangkan satu pukulan keras.
Brak! Daun pintu yang sudah lapuk itu seketika jebol berantakan. Waskita langsung
menerobos masuk ke dalam. Tapi hatinya jadi tercengang, karena tidak ada
seorang pun di dalam gubuk kecil yang reyot ini. Keadaannya cukup gelap. Tapi
dari pintu yang ambrol, cahaya matahari menerobos masuk, sehingga Waskita
dapat melihat sekeliling gubuk ini. Tak ada perabotan
satu pun juga. Gubuk ini memang dalam keadaan kosong.
"Setan...! Dia benar-benar ingin mempermainkan
aku!" dengus Waskita berang.
Hampir saja kemarahannya dilampiaskan, ketika
tiba-tiba saja berhembus angin kencang yang membuat laki-laki setengah baya itu
terpental ke luar gubuk ini! Cukup keras tubuhnya terhempas ke tanah,
dan bergulingan beberapa kali. Begitu bangkit berdiri,
dari dalam gubuk itu melesat bayangan hitam. Dan
tahu-tahu di depan Waskita sudah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam
yang sudah lusuh dan penuh tambalan.
Wajah perempuan tua itu memerah, dan sinar matanya tajam berkilat bagai bola
api. Ditatapnya Waskita tajam-tajam tanpa berkedip. Gerahamnya bergemeletuk,
menahan kemarahan yang tak terbendung lagi.
*** "Kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Waskita.
tanggunglah sendiri akibatnya...!" geram wanita tua
itu. "Kau hanya mempermainkan aku saja! Mana Keris
Kala Muyeng itu?" nada suara Waskita tidak kalah
dinginnya. "Belum selesai!" sahut wanita tua itu mendengus
kesal. "Aku tidak peduli! Cepat, berikan sekarang...!"
"Sudah kuduga sebelumnya. Kau akan membuat
masalah, Waskita. Sungguh menyesal aku menerima
pesananmu."
"Jangan banyak omong! Berikan keris itu padaku!
Atau terpaksa harus kugunakan kekerasan..."!" ancam
Waskita tidak main-main lagi.
Perempuan tua itu melompat mundur dua tindak
begitu mendengar ancaman Waskita yang tampaknya
tidak main-main lagi. Keningnya sampai berkerut, dan
tatapan matanya memancarkan ketidakpercayaan
dengan pendengarannya barusan. Sementara Waskita
sudah meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Perlahan
kakinya melangkah maju
sambil menghunus pedangnya ke depan.
"Jangan main-main dengan senjata, Waskita...,"
perempuan tua itu memperingatkan.
"Kau yang memaksaku berbuat begini. Mana keris
itu"!" bentak Waskita kasar.
"Keris itu belum selesai! Masih satu pekan lagi!"
jawab perempuan tua itu sengit.
"Selesai atau tidak, keris itu harus kubawa sekarang juga! Aku sudah cukup
bersabar, Nyai...!"
Waskita makin dekat saja dengan perempuan tua
itu. Ujung pedangnya tertuju lurus ke arah dada. Sedangkan perempuan tua itu
kelihatan khawatir terhadap ancaman Waskita yang tampaknya tidak mainmain.
Kakinya bergeser beberapa tindak ke kanan, tapi
Waskita tetap menujukan ujung pedangnya ke dada
perempuan tua itu.
"Ini peringatanku yang terakhir, Nyai. Berikan keris
itu, atau terpaksa pedang ini kugunakan untuk memaksamu!" lagi-lagi Waskita
mengancam. "Jangan lakukan itu, Waskita. Kau akan celaka
seumur hidup," perempuan tua itu mencoba menyadarkan.
"Setan! Aku tidak butuh nasihatmu! Berikan keris
itu, cepaaat..!" bentak Waskita semakin kalap.
'Tidak! Keris itu belum sempurna. Kau akan celaka
bila menggunakannya."
"Keparat..! Jangan salahkan bila pedang ini menembus jantungmu, Nyai...!"
Bet! Seketika itu juga Waskita mengebutkan pedangnya
ke arah dada perempuan tua itu. Tapi sedikit saja perempuan tua berbaju kumal
itu menarik tubuh ke belakang, maka ujung pedang Waskita hanya lewat di
depan dadanya. "Rupanya kau punya simpanan juga, Nyai Sureng.
Bagus! Tahan seranganku...! Hiyaaat..!"
Waskita tak dapat lagi mengendalikan diri. Bagaikan kilat, dia melompat
menerjang sambil mengebutkan pedang ke arah leher perempuan tua yang ternyata
bernama Nyai Sureng. Namun, Nyai Sureng masih dapat mengelakkan serangan laki-
laki separuh baya ini. Maka pertarungan pun tak mungkin dapat dihindari lagi. Waskita terus merangsek,
menggunakan jurus-jurus permainan pedang yang cepat dan berbahaya sekali.
Akibatnya, Nyai Sureng jadi kelabakan setengah mati untuk menghindarinya. Hingga
pertarungan baru berjalan lima jurus, satu pukulan yang dilepaskan Waskita
berhasil bersarang di dada perempuan
tua itu. Des! "Akh...!" Nyai Sureng terpekik agak tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Tangannya memegangi dada
yang mendadak saja jadi terasa sesak, akibat terhajar pukulan
mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Dan sebelum sempat mengatur pernafasannya yang
sesak, mendadak saja Waskita sudah membabatkan
pedang dengan kecepatan penuh.
"Yeaaah...!"
Wuk! Cras...! "Aaa...!" Nyai Sureng menjerit keras melengking
tinggi. Tebasan pedang Waskita tak dapat dihindarinya.
Dada perempuan tua itu langsung robek. Seketika darah menyembur deras sekali.
Kembali Nyai Sureng terhuyung-huyung ke belakang. Waskita yang sudah ma-
ta gelap, tak memberi kesempatan lagi. Cepat bagai kilat dia kembali melompat
sambil membabatkan pedangnya.
"Hiyaaat..!"
Bet! Cras! "Aaa...!"
Sebentar Nyai Sureng masih dapat berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah.
Darah menyembur
deras dari lehernya yang terbabat hamper buntung.
Tak berapa lama kemudian, perempuan tua itu sudah
diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas dengan dada dan
leher sobek terkena tebasan pedang Waskita.
"Kau terlalu meremehkan aku, Nyai. Terpaksa aku
harus melenyapkanmu," desis Waskita seraya menghampiri.
Laki-laki separuh baya itu menyarungkan pedangnya kembali di pinggang. Kemudian,
diperiksanya seluruh tubuh perempuan tua ini. Dan dari balik lipatan
baju, ditemukannya sebilah keris yang tersimpan di
dalam warangka yang terbuat dari kayu pangkal asam.
Dipandanginya keris itu lekat-lekat lalu perlahan dicabut.
"Heh...! Kenapa bentuknya begini..?"
Waskita jadi terkejut, karena keris itu memang belum jadi. Masih kelihatan
kasar, dan tidak sedap dipandang mata. Tapi keris itu memancarkan pamor
dahsyat dan luar biasa. Baru sebentar saja Waskita
memegang, sudah bisa merasakan adanya getarangetaran aneh yang merasuk ke dalam
tubuhnya. Getaran itu semakin lama semakin kuat, dan akhirnya
membuat Waskita terkejut. Buru-buru dimasukkannya
senjata itu ke dalam warangka.
"Gila...! Keris ini mengandung daya tarik yang begi-
tu kuat. Nafsu membunuhku begitu keras berkobar.
Aku jadi merasa haus. Tapi bukan haus biasa, melainkan haus darah. Hhh...!
Kuharap keris ini juga memberi kekuatan dahsyat padaku," Waskita bicara sendiri.
Sebentar laki-laki setengah baya itu masih memandangi keris di genggamannya,
kemudian menyelipkannya di balik sabuk di depan perut. Dan kini, ditatapnya
mayat Nyai Sureng. Lalu, kakinya terayun
melangkah meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya
begitu tegap, menghampiri seekor kuda yang tertambat
di bawah pohon kemuning.
"Hup! Hiya...!"
Begitu melompat naik ke punggung kudanya,
Waskita langsung menggebah kuda coklat berbelang
putih itu. Cepat sekali binatang itu berlari, sehingga
sebentar saja sudah jauh meninggalkan gubuk kecil di
pinggiran hutan ini. Meninggalkan sosok mayat perempuan tua yang tergeletak
dengan dada dan leher
menganga berlumuran darah.
*** Waktu terus bergulir, sejalan dengan perputaran
alam yang sesuai kodratnya. Siang pun berlalu, berganti senja. Seekor kuda putih
berjalan perlahan menuju gubuk kecil di pinggiran Hutan Kalikis. Di punggungnya
duduk seorang gadis berwajah cantik, bajunya berwarna biru muda dan cukup ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang ramping, padat berisi. Dua
buah gundukan menonjol indah di dadanya.
Gadis itu perlahan-lahan mengendalikan kudanya
sambil menikmati kesegaran udara senja. Pandangannya tertuju langsung ke arah
gubuk kecil yang letak-
nya cukup tersembunyi, di antara lebatnya pepohonan


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepian Hutan Kalikis ini. Mendadak saja keningnya
berkerut, saat pandangannya menangkap sosok tubuh
tergolek tidak jauh dari gubuk kecil itu.
"Nyai Sureng...," desis gadis itu.
Seketika kudanya digebah agar berlari kencang.
Kuda putih itu meringkik keras, lalu melesat cepat berlari bagaikan sebatang
anak panah terlepas dari busur. Sebentar saja binatang itu sudah dekat dengan
gubuk kecil yang tampak rapuh ini.
"Hooop...!"
Sambil menarik tali kekang kudanya, gadis cantik
berbaju biru muda itu melompat turun. Gerakannya
sungguh indah dan ringan. Dua kali dia melakukan
putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya, tepat di samping tubuh
wanita tua yang tergolek
tak bernyawa di depannya.
Bergegas gadis itu menubruk tubuh yang sudah
dingin tak bernyawa. Matanya yang bulat, berputaran
merayapi tubuh tua di dalam pangkuannya. Seakan,
dia tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Nyai...," panggil gadis itu pelan, agak berbisik suaranya.
Diguncang-guncangnya tubuh wanita tua itu, tapi
tetap saja tidak bergerak sedikit pun. Sesaat gadis itu
masih merayapi, seakan-akan ingin meyakinkan kalau
Nyai Sureng sudah tewas. Perlahan kemudian tubuh
wanita tua itu diangkat, dan dipondongnya, masuk ke
dalam gubuk. Di atas tanah yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh, tubuh
Nyai Sureng dibaringkan
dengan hati-hati sekali.
"Siapa yang melakukan ini padamu, Nyai" Bicaralah padaku...," tanya gadis cantik
itu dengan suara
perlahan dan hampir tidak terdengar.
Nyai Sureng tetap diam. Darah sudah berhenti
mengalir dari luka yang menganga di dada dan lehernya. Perlahan gadis cantik
berbaju biru itu melangkah
mundur. Matanya masih memandangi tubuh wanita
tua yang terbaring di atas sehelai tikar lusuh. Perlahan
kakinya terus melangkah mundur sampai keluar dari
gubuk kecil ini. Ketika sudah ada jarak sekitar dua batang tombak dari pondok,
langkahnya berhenti.
"Maafkan aku, Nyai. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. Aku hanya
melaksanakan pesanmu...,"
ucap gadis itu perlahan.
Sebentar dipandanginya gubuk kecil itu, lalu perlahan-lahan kakinya direntangkan
ke samping. Perlahan pula kedua tangannya diangkat sampai sejajar
pinggang. Lalu tangan itu terus naik hingga sejajar di
samping dada. Sebentar kemudian ditariknya napas
dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat Dan...
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali gadis itu menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari
terkembang. Secercah cahaya merah kekuning-kuningan, meluncur deras dari kedua
telapak tangan yang terbuka itu, langsung menghantam gubuk kecil di depannya.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar, bersama
hancurnya gubuk kecil itu. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa bersama
asap kemerahan dan
serpihan puing-puing gubuk itu. Api langsung berkobar, membakar gubuk yang
berisi mayat Nyai Sureng.
Gadis cantik berbaju biru itu segera duduk bersila
dengan kedua tangan diletakkan di atas lutut. Pandangannya tertuju lurus ke arah
gubuk kecil yang
hancur dan terbakar.
Suara bergemeretak dari kayu-kayu termakan api
terdengar mengusik gendang telinga. Asap kemerahan
terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Tibatiba saja terdengar ledakan
dahsyat, disusul memerciknya bunga api yang menyebar ke segala arah. Seketika
itu juga, api yang membakar gubuk itu padam.
Dan dari asap kemerahan yang mengepul tebal, terlihat bayang-bayang sosok tubuh
perempuan tua berjubah kumal penuh tambalan.
"Nyai...," desis gadis cantik berbaju biru itu.
Bayang-bayang Nyai Sureng di antara kepulan
asap kemerahan terlihat menyunggingkan senyum.
Sedangkan gadis berbaju biru muda yang masih duduk bersila sekitar dua batang
tombak dari reruntuhan gubuk itu hanya memandangi dengan mulut agak
terbuka. "Kaukah itu, Anggraini...?" terdengar pelan dan serak suara bayangan Nyai
Sureng. "Benar, Nyai. Aku Anggraini," sahut gadis itu.
"Kenapa baru datang sekarang?"
"Maaf, Nyai. Ada sedikit halangan tadi di jalan.
Nyai...." "Aku tahu, apa yang ingin kau ketahui, Anggraini,"
potong Nyai Sureng sebelum Anggraini meneruskan
ucapannya. Anggraini jadi terdiam, dan hanya memandang saja
bayangan wanita tua itu di dalam asap kemerahan
yang terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Sehari setelah kau pergi dari sini, aku kedatangan
seorang laki-laki separuh baya. Dia membawa sebuah
benda yang memiliki kekuatan dahsyat, dan minta
agar aku membuatkannya sebuah senjata dari benda
itu. Permintaan itu ku turuti dengan janji bayaran
yang sangat besar. Tapi aku jadi kewalahan. Ternyata
aku tidak mampu menguasai benda itu, meskipun su-
dah ke bentuk menjadi sebuah keris. Yang lebih parah
lagi, dia tidak sabar menunggu. Hingga...," Nyai Sureng
tidak meneruskan.
"Siapa orang itu, Nyai?" tanya Anggraini.
"Dia datang dari sebuah kadipaten di kaki Gunung
Patarukan. Namanya Waskita. Hanya itu yang ku tahu,
Anggraini," sahut Nyai Sureng.
"Waskita...," Anggraini mendesiskan nama yang
disebut Nyai Sureng.
"Anggraini! Hanya kau satu-satunya yang bisa ku
andalkan. Cari dia, dan ambil Keris Kala Muyeng dari
tangannya. Senjata itu sangat berbahaya jika digunakan ke jalan yang salah. Kau
harus bisa menyelamatkan keris itu, Anggraini," pesan Nyai Sureng meminta.
"Baik, Nyai. Akan kucari orang itu," tekad Anggraini.
"Aku tidak bisa terlalu lama. Anggraini. Waktuku
sudah habis...."
"Nyai...,"
Tapi Nyai Sureng sudah menghilang sebelum
Anggraini bisa mengucapkan sesuatu. Bersama menghilangnya bayangan Nyai Sureng,
asap kemerahan itu
pun lenyap dari pandangan. Kini hanya tinggal onggokan puing-puing gubuk kecil
yang sudah hancur tak
berbentuk lagi.
"Waskita... Akan kukejar kau, biar sampai ke
ujung dunia sekalipun," desis Anggraini seraya bangkit
berdiri. *** 2 Malam baru saja merayap turun menyelimuti permukaan bumi. Tugas sang mentari
yang sepanjang hari menyinari mayapada ini, telah digantikan sang dewi
malam, dengan sinarnya yang lembut keperakan. Di
antara siraman cahaya rembulan, tampak seorang laki-laki berusia setengah baya
tengah berjalan perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Sesekali kepalanya
ditengadahkan, menatap rembulan yang malam
ini bersinar penuh.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Laki-laki separuh baya
mengenakan baju indah
dari bahan sutra halus itu langsung menghentikan
ayunan kakinya. Pada saat itu, dari atas pohon di depannya berkelebat sebuah
bayangan hitam. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu di depan laki-laki separuh
baya yang ternyata Waskita, telah berdiri seseorang
bertopeng kayu berbentuk wajah kera.
Dari bentuk tubuh orang bertopeng itu, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah
perempuan. Bentuk
tubuhnya begitu ramping, dengan sebilah pedang panjang tergantung di pinggang.
Dia berdiri tegak sambil
berkacak pinggang, sekitar dua batang tombak di depan Waskita.
"Siapa kau"! Berani benar menghadang jalanku!"
bentak Waskita, tidak senang karena jalannya terhalang.
"Jangan banyak tanya! Serahkan Keris Kala
Muyeng padaku!" bentak orang bertopeng kera itu lantang.
"Heh..."!" Waskita jadi terkejut mendengar benta-
kan itu. "Jangan paksa aku menggunakan kekerasan,
Waskita. Serahkan keris itu!" ancam wanita bertopeng
kera itu lagi. "Hei" Dari mana kau tahu tentang Keris Kala
Muyeng?" tanya Waskita masih keheranan.
Baru siang tadi keris ini direbut dari tangan Nyai
Sureng. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri seorang wanita mengenakan topeng
berwajah kera akan
meminta keris itu. Waskita jadi keheranan setengah
mati. Sebab, Keris Kala Muyeng baru saja direbut dari
tangan pembuatnya. Dan setahunya, tidak ada seorang
pun yang mengetahui tentang senjata ini, kecuali beberapa orang. Dan itu tidak
termasuk orang di depannya.
"Sudah kubilang, jangan banyak tanya! Serahkan
keris itu, atau terpaksa kugunakan kekerasan!" bentak
wanita bertopeng kera itu lagi.
"Ambillah sendiri kalau mampu," dengus Waskita
jadi jengkel juga mendengar ancaman wanita bertopeng kera itu.
"Keras kepala...! Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, wanita bertopeng kera itu melompat
menerjang Waskita. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dilepaskan ke arah
dada laki-laki setengah
baya itu. Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh ke
kanan, Waskita bisa menghindarinya.
Cepat Waskita melompat ke belakang dua langkah,
lalu bergegas melepaskan pukulan balasan yang lurus
ke arah dada wanita bertopeng kera. Namun tanpa diduga sama sekali, wanita itu
tidak berusaha menghindar. Bahkan tangannya cepat diputar arahnya untuk
menyambut pukulan keras yang dilepaskan Waskita.
Plak! Tak pelak lagi, dua tangan beradu keras. Waskita
seketika tersentak. Karena begitu membentur tangan
wanita bertopeng kera itu, tangannya seperti tersengat
ribuan lebah berbisa. Maka cepat-cepat tangannya ditarik pulang. Sedangkan
wanita bertopeng kera itu, juga tersentak kaget. Bahkan sampai melompat ke
belakang dua langkah.
Wanita itu merasakan tulang pergelangan tangannya seperti retak, ketika beradu
dengan tangan Waskita tadi. Begitu kerasnya, karena masing-masing mengerahkan
tenaga dalam tinggi. Dan kelihatannya, tenaga dalam yang mereka miliki cukup
seimbang. Masingmasing langsung merasakan akibat benturan dua tenaga dalam tadi
yang tersalur ke tangan.
"Hep!"
Wanita bertopeng kera itu kembali menyiapkan serangan. Kedua tangannya bergerak-
gerak di depan dada. Lalu dengan cepat, dia kembali melompat menyerang laki-laki
setengah baya itu. Waskita juga cepat
bertindak. Tubuhnya langsung berlompatan menghindari serangan yang dilakukan
perempuan bertopeng
kera ini. Beberapa kali pukulan dilepaskan, tapi tak
satu pun yang berhasil bersarang di tubuh laki-laki setengah baya ini.
Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar saling sambut, memecah kesunyian
malam ini. Mereka
sama-sama melancarkan jurus-jurus dahsyat, dengan
pukulan-pukulan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tanpa terasa, mereka
sudah menghabiskan
sekitar lima jurus.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuhnya ke
atas, lalu cepat melakukan putaran dua kali. Kemudian tubuhnya menukik deras
sambil melepaskan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
ke arah kepala.
"Hait!"
Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat menarik kepala ke belakang, sambil
menggeser kakinya satu
langkah ke kiri. Serangan Waskita yang begitu cepat
memang dapat dihindarinya. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Waskita langsung melontarkan satu tendangan
keras menggeledek begitu kakinya menjejak tanah.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Waskita,
sehingga perempuan bertopeng kera itu tidak sempat
lagi menghindar. Akibatnya tendangan Waskita begitu
telak menghantam dada. Wanita bertopeng kera itu
langsung terpekik keras, dan terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak.
Dan sebelum wanita bertopeng kera itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
Waskita cepat sekali
melompat menerjang. Langsung dilepaskannya satu
pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Ufh...!"
Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat membanting
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Serangan Waskita kali ini
tidak mengenai sasaran, kecuali sebatang pohon saja. Pohon itu seketika tumbang
begitu terkena pukulan Waskita.
"Hup!"
Wanita bertopeng kera itu bergegas melompat
bangkit. Dipegangi dadanya yang masih terasa agak
sesak akibat terkena tendangan Waskita tadi. Kemudian kakinya dua langkah
ditarik ke belakang. Sementara Waskita sudah memutar tubuhnya berbalik. Sinar
mata laki-laki itu begitu tajam, merah membara bagai-
kan sepasang mata elang yang bernafsu melihat mangsa.
Sret! Wanita bertopeng kera itu mencabut pedangnya
yang tergantung di pinggang. Perlahan-lahan pedangnya digerakkan, hingga
melintang di depan dada. Melihat lawan sudah menghunus senjata, Waskita segera
meraba gagang pedangnya yang juga tergantung di
pinggang. Tapi di luar dugaan pedangnya tidak jadi ditarik ke luar. Bahkan kini
malah cepat menarik keris
yang terselip di depan perutnya.
Cring! "Hah..."!"
Perempuan bertopeng kera itu terkejut melihat keris yang memiliki pamor sangat
dahsyat ini. Begitu terkejutnya, sehingga sampai menarik kakinya ke belakang
beberapa tindak. Sedangkan Waskita sudah melintangkan kerisnya di depan dada.


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan keris itu diangkat hingga sampai di atas kepala. Lalu perlahan-
lahan pula diturunkan kembali. Tatapan matanya semakin tajam, tertuju lurus ke
wajah yang tertutup topeng kayu berbentuk wajah kera.
*** "Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Waskita melompat menerjang wanita bertopeng kera itu. Dengan
cepat pula kerisnya dikibaskan beberapa kali, sehingga membuat wanita bertopeng
kera itu kelabakan. Tubuhnya berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan
Waskita dengan kecepatan luar biasa. Beberapa kali
ujung keris yang masih setengah jadi itu hampir merobek kulit tubuh wanita
bertopeng kera itu, tapi masih
bisa dihindari meskipun terus terdesak.
"Mampus kau! Yeaaah...!" teriak Waskita keras
menggelegar. Saat itu juga, dengan kecepatan kilat Waskita menusukkan kerisnya ke arah dada
wanita bertopeng kera yang kelihatan sedikit terbuka. Serangan kali ini
benar-benar membuatnya jadi kelabakan setengah mati. Tak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghindar. Dan dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan,
mencoba menangkis keris yang meluncur deras mengancam dada.
Wuk! Trang! "Heh..."!"
Wanita bertopeng kera itu jadi terkejut setengah
mati. Pedangnya seketika terpenggal begitu membentur
Keris Kala Muyeng yang berada di tangan Waskita.
Maka cepat-cepat tubuhnya dilentingkan ke belakang,
langsung melakukan putaran sebanyak tiga kali. Namun baru saja kakinya menjejak
tanah, Waskita sudah
melepaskan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
"Heh"!"
Des! Wanita bertopeng kera itu tidak dapat lagi menghindar. Tendangan yang dilepaskan
Waskita, tepat menghantam dada. Akibatnya tubuhnya terpental cukup jauh, dan baru berhenti
setelah punggungnya
menghantam sebatang pohon. Wanita bertopeng kera
itu jatuh terkulai di tanah. Dicobanya untuk bangkit
berdiri, tapi langsung memuntahkan darah kental agak
kehitaman. "Aku harus meninggalkan pertarungan ini. Huh!
Bisa mati kalau diteruskan...!" dengus wanita berto-
peng kera itu dalam hati.
Tepat ketika Waskita sudah bersiap kembali hendak melancarkan serangan, wanita
bertopeng kera itu
sudah lebih cepat bangkit. Dan dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, dia
cepat melompat kabur.
"He...! Jangan lari kau!" bentak Waskita berang.
Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu mengejar,
wanita bertopeng kera itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Terlebih
lagi, saat ini malam sudah
cukup larut. Sehingga, hal itu membantunya untuk
cepat menghilang, sebelum Waskita sempat mengejarnya.
"Setan...!" geram Waskita kesal.
Waskita memasukkan kembali keris ke dalam warangkanya yang terselip di depan
perut. Matanya menatap tajam ke arah wanita bertopeng kera yang
menghilang tadi. Sebentar laki-laki setengah baya itu
masih berdiri tegak, lalu berbalik dan melangkah
menghampiri kudanya. Kemudian diambilnya tali kekang kudanya, lalu kakinya
terayun kembali. Tapi baru juga beberapa langkah, sudah berhenti lagi.
"Aneh.... Dia tahu tentang Keris Kala Muyeng Siapa
dia..." Hm, dari mana dia tahu tentang keris ini?"
Waskita jadi bertanya-tanya sendiri.
Sia-sia saja dia mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba timbul
di kepalanya. Wajah
yang tertutup topeng, memang sukar dikenali. Waskita
kembali mengarahkan pandangannya ke arah wanita
bertopeng kera itu tadi menghilang. Dia tahu kalau
arah itu akan terus masuk ke dalam hutan. Sedangkan dia sendiri, tadi tengah
menuju desa yang tidak
seberapa jauh lagi dari tempat ini.
Seluruh tubuhnya sudah teramat letih, setelah seharian terguncang-guncang di
atas punggung kuda.
Waskita kembali mengayunkan kakinya perlahanlahan. Namun, benaknya masih terus
diliputi berbagai
macam pertanyaan dan keheranan atas kemunculan
wanita bertopeng kera tadi.
"Paruta juga tahu tentang keris ini. Tapi, apa
mungkin..." Ah, tidak...! Tidak mungkin dia berani merebut keris ini dari
tanganku," Waskita jadi berbicara
sendiri. Dan kini laki-laki setengah baya itu jadi diliputi
kebingungan serta kebimbangan. Memang ada beberapa orang lain lagi yang tahu
tentang Keris Kala Muyeng
ini. Salah satunya adalah Paruta. Waskita memang
sudah menceritakan semua tentang keris ini padanya.
Tapi, semua yang terlintas di dalam benaknya cepat
dibantahnya. Dia tidak yakin kalau wanita bertopeng
kera tadi adalah Paruta.
"Jangan-jangan Paruta telah menceritakan tentang
keris ini pada orang lain..." Huh! Tapi kalau sampai
berani membocorkan rahasia ini dia akan kubunuh!"
Waskita bergegas naik ke punggung kudanya.
"Maaf, kau terpaksa tidak beristirahat malam ini.
Kita harus secepatnya berada di Kadipaten Patarukan,"
ujar Waskita pada kudanya.
Begitu tali kekang dihentakkan, kuda coklat itu
langsung berlari cepat menembus kegelapan malam.
Waskita terus cepat menggebah kudanya, tidak peduli
kalau saat ini sudah hampir tengah malam.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
*** Saat matahari berada di atas kepala, Waskita baru
sampai di perbatasan Kota Kadipaten Patarukan. Suasana yang ramai, membuatnya
untuk tidak cepat-cepat
memacu kudanya. Tak ada seorang pun yang memperhatikannya, meskipun di sepanjang
jalan yang dilalui, dipenuhi orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Keadaan Waskita memang cukup sukar dikenali
lagi, jika hanya dilihat sepintas saja. Pakaiannya kotor,
penuh debu yang melekat bercampur keringat. Dan
wajahnya pun seperti berkerak penuh debu. Perjalanannya memang sangat
melelahkan, setelah semalaman penuh memacu kudanya tanpa mengenal lelah.
Laki-laki setengah baya itu baru menghentikan laju
kudanya setelah sampai di depan sebuah rumah yang
cukup besar. Rumah itu memiliki gapura batu sebagai
pintu gerbang, dan dijaga dua orang bersenjata golok
terselip di pinggang.
Tanpa menghiraukan kedua penjaga yang bengong
memperhatikannya, Waskita kembali menggebah kudanya melewati pintu gapura itu.
Dan dia baru melompat turun setelah sampai di depan tangga masuk sebuah rumah
yang besar dan indah. Beberapa orang
yang berada di sekitar halaman dan beranda rumah
itu hanya memperhatikan saja dengan kening sedikit
berkerut. Sedangkan Waskita terus melangkah memasuki
rumah besar ini. Sampai di bagian dalam, ayunan kakinya tidak dihentikan. Dia
terus saja berjalan melewati ruangan tengah. Di sana, seperti telah menunggu
seorang laki-laki berusia sekitar delapan puluh tahun.
Laki-laki tua mengenakan baju warna putih dari bahan sutra halus itu bergegas
bangkit berdiri begitu melihat kedatangan Waskita.
"He..."! Kenapa baru sekarang kau datang"!" sentak laki-laki tua itu dengan mata
sedikit mendelik.
Waskita bergegas berlutut, seraya merapatkan ke-
dua telapak tangan di depan hidung. Kemudian dia
duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani
tebal berwarna merah menyala. Laki-laki tua berbaju
putih agak ketat dan masih kelihatan gagah itu menghampiri dengan langkah
ringan. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang tongkat yang tak beraturan bentuknya.
"Sejak pagi tadi aku menunggu. Ke mana saja kau,
sampai baru sekarang datang..."!" tanya laki-laki tua
itu masih dengan nada yang sama.
"Ampun, Gusti. Ada sedikit halangan di jalan,"
ucap Waskita dengan sikap penuh rasa hormat.
'Tapi, kau berhasil bukan...?" laki-laki tua itu seperti tidak peduli dengan
alasan yang dikemukakan
Waskita. Waskita hanya diam saja, tapi malah menundukkan kepalanya, menekuri lantai.
Sehingga membuat
laki-laki tua bertongkat tak beraturan itu jadi menatapnya tajam-tajam. Kening
yang sudah berkerut cukup banyak, semakin kelihatan jelas kerutannya. Sedangkan
Waskita masih tetap diam sambil menundukkan kepala.
"Katakan, Waskita. Kau berhasil apa tidak...?" desak laki-laki tua itu tidak
sabar. "Ampun, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi...,"
Waskita tidak meneruskan kalimatnya.
"Kau gagal.."!" sentak laki-laki tua itu semakin lebar mendelik.
Sebentar Waskita terdiam, kemudian kepalanya terangguk perlahan.
Trak! Laki-laki tua itu menghentakkan ujung tongkatnya,
menghantam lantai di ujung kakinya. Seketika wajah
yang masih kelihatan gagah, meskipun kumisnya su-
dah berwarna putih, jadi berubah merah padam. Persis
seperti sepotong besi yang terbakar di dalam tungku.
"Bodoh...! Baru mendapat tugas ringan begitu saja
tidak berhasil.'" dengus laki-laki tua itu.
"Hamba sudah berusaha, Gusti. Tapi dia tetap tidak menyerah. Bahkan berani
menentang. Hamba terpaksa melakukan kekerasan. Hamba sudah berusaha
untuk mendapatkannya, tapi...," kata-kata Waskita
kembali terputus.
"Kau benar-benar mengecewakan, Waskita. Baru
menghadapi perempuan tua saja sudah tidak becus!'!
laki-laki tua berjubah putih itu masih kelihatan kesal.
"Sebenarnya, hamba bisa memperolehnya, Gusti,"
kata Waskita lagi.
"Kenapa kau tidak memperolehnya sekarang...?"!
"Seseorang datang membantunya, Gusti. Ilmu olah
kanuragannya sangat tinggi. Hamba dibuat babak belur. Kalau saja tidak segera
lari, pasti hamba sudah
tewas di tangannya," lagi-lagi Waskita memberikan
alasan. "Siapa dia?" tanya laki-laki tua berbaju putih agak
ketat itu. 'Sukar dikenalinya, karena dia mengenakan topeng
berbentuk kera, Gusti."
Laki-laki tua berbaju putih itu memandangi Waskita dalam-dalam, seperti tidak
percaya dengan katakata yang didengarnya barusan. Sedangkan Waskita
sendiri hanya tertunduk saja, seakan-akan menyembunyikan raut wajahnya yang
sebentar memerah, dan
sebentar kemudian agak memucat. Untuk beberapa
saat tak ada yang bicara. Ruangan tengah cukup besar
dan indah ini jadi terasa begitu lengang, sehingga detak jantung terdengar cukup
jelas. "Kau tidak berdusta, Waskita?" nada suara laki-laki
tua itu terdengar menyelidik.
"Hamba mengatakan yang sebenarnya, Gusti Wanengpati," sahut Waskita seraya
memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"Hm...," laki-laki tua yang dipanggil Gusti Wanengpati itu hanya bergumam saja.
Kembali tidak terdengar suara sedikit pun. Perlahan Gusti Wanengpati memutar
tubuhnya, dan melangkah menghampiri kursi yang tadi didudukinya sebelum Waskita
muncul ke ruangan ini. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan
di kursi ukiran kayu jati. Sebuah kursi yang cukup besar, sehingga, seakan-akan
hendak menenggelamkan
tubuhnya yang agak kurus.
"Istirahatlah. Besok pagi, kita sama-sama pergi ke
sana," ujar laki-laki tua itu yang biasanya dipanggil
dengan sebutan Ki Wanengpati.
Di dalam lingkungan rumahnya yang besar ini, dia
selalu dipanggil Gusti Wanengpati. Karena, dia adalah
orang kedua di Kadipaten Patarukan. Kedudukannya
adalah sebagai penasihat pribadi Adipati Patarukan,
yang sekaligus juga sebagai tangan kanan serta kepala
pasukan keamanan di kadipaten ini. Namun, terkadang kekuasaannya melebihi
adipati sendiri. Sehingga,
dia memiliki satu pasukan sendiri yang tidak pernah
menggunakan seragam prajurit kadipaten. Meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi sangat handal dalam pertarungan. Dan
adipati sendiri sangat mengandalkan pasukan khusus Ki Wanengpati ini.
"Hamba mohon diri, Gusti," pamit Waskita seraya
bangkit berdiri setelah memberi sembah.
*** 3 Malam sudah menyelimuti permukaan bumi Kadipaten Patarukan. Segala kesibukan
sudah sirna. Kesunyian begitu terasa, membuat seluruh rakyat di kadipaten itu
semakin nyenyak dibuai mimpi. Tapi tidak
demikian halnya dengan Waskita. Laki-laki separuh
baya yang masih kelihatan gagah itu tampak gelisah di
ruangan tengah di dalam rumahnya yang cukup besar
ini. Entah sudah berapa kali dia bangkit berdiri, lalu
duduk kembali di kursi dekat jendela besar yang masih
terbuka lebar. Wajahnya bersimbah keringat, meskipun udara malam ini terasa
cukup dingin. Beberapa
kali pula dipandanginya keris yang berada di tangan
kanannya. Ketika baru saja duduk kembali di kursi
dekat jendela, mendadak saja....
Wusss! "Heh..."!"
Waskita tersentak, sampai-sampai terlompat berdiri begitu secercah cahaya kuning
keemasan tiba-tiba
melesat masuk dari jendela yang terbuka lebar. Cahaya itu langsung menghantam
pilar besar di tengahtengah ruangan ini. Waskita cepat melompat mendekati pilar
ketika melihat ada sebuah benda berwarna
kuning keemasan tertancap di sana.
Hati laki-laki separuh baya itu mendadak saja terkesiap begitu melihat benda
berwarna kuning keemasan berbentuk bintang yang bagian tengahnya berlubang
tertancap di pilar. Cepat dia melompat mendekati
jendela, lalu terus melesat keluar melewati jendela


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terbuka lebar itu. Gerakannya sungguh ringan
dan cepat sehingga sebentar saja sudah berada di luar.
"Hup!"
Hanya sekali lesatan ringan, Waskita melompat
naik ke atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, laki-laki separuh baya itu hinggap di atas atap.
Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tak ada
sesuatu yang dapat dicurigai. Bahkan tak ada seorang
pun yang dilihat, kecuali kegelapan malam yang berselimut kabut.
Dan begitu pandangannya diarahkan ke Timur, di
bawah sebatang pohon yang cukup besar tampak berdiri seseorang tengah
memperhatikannya. Tubuhnya
ramping, mengenakan baju hitam yang cukup ketat.
Tanpa berpikir dua kali, Waskita melompat cepat, lalu
meluruk deras ke arah orang yang berdiri di bawah
pohon itu. "Hap...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Sebentar saja Waskita sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depan orang
bertubuh ramping itu.
Laki-laki setengah baya itu tersenyum sinis melihat
orang bertopeng berbentuk kera.
"Rupanya kau masih juga menginginkan Keris Kala
Muyeng. Siapa kau sebenarnya?" terasa sinis nada suara Waskita.
"Aku orang yang berhak atas keris itu!" sahut
orang bertopeng kera itu dingin.
"Kau..." Ha ha ha...!" Waskita jadi tertawa terbahak-bahak.
Waskita merasa tergelitik mendengar kata-kata
orang bertopeng kera itu barusan. Hanya dia, Ki Wanengpati, Nyai Sureng, dan
anak gadisnya yang bernama Paruta yang tahu tentang benda keramat itu.
Namun Nyai Sureng telah membuat keris ampuh hing-
ga diberi nama Keris Kala Muyeng, telah tewas. Berarti
tinggal tiga orang yang mengetahuinya.
Dan sekarang, di depannya kini berdiri seorang
wanita bertopeng kera yang mengaku lebih berhak atas
keris itu daripada dirinya. Hal ini membuat Waskita
menjadi terasa tergelitik tenggorokannya, hingga tertawa terbahak-bahak. Bahkan
Ki Wanengpati yang menginginkan keris itu pun dapat dikelabuinya dengan
mudah. Dan sekarang keris itu menjadi miliknya. Maka tak seorang pun bisa
memiliki, kecuali bisa melangkahi mayatnya terlebih dahulu. Dan itu memang
sudah menjadi tekad Waskita setelah berhasil menguasai Keris Kala Muyeng dari
tangan pembuatnya.
"Maaf. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main
denganmu, Nisanak," kata Waskita dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu segera memutar tubuhnya hendak melangkah. Tapi
sebelum kakinya terayun, mendadak saja terasa seperti ada angin mendesir dari
arah belakang. Cepat
Waskita memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat
itu, secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat
bagaikan kilat melewati tepi bahunya.
"Hup...!"
Begitu cahaya kuning keemasan lewat, Waskita cepat melentingkan tubuhnya ke
depan. Tubuhnya langsung berbalik saat kakinya menjejak tanah. Ditatapnya
wanita bertopeng kera itu dengan sinar mata tajam.
"Aku tidak ingin bertindak keras padamu, Nisanak.
Sebaiknya cepat enyah dari hadapanku!" desis Waskita
menggeram dingin.
"Aku akan pergi setelah Keris Kala Muyeng kau serahkan padaku!" dengus wanita
bertopeng kera itu! tidak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar keras kepala, Nisanak. Ambillah
kalau kau mampu!" dengus Waskita jadi jengkel.
Setelah berkata demikian, Waskita menggeseri kakinya ke kanan beberapa langkah.
Sedangkan wanita
berbaju hitam dan bertopeng kera, sudah melangkah
maju beberapa tindak. Perlahan-lahan pedang yang
tergantung di pinggangnya dicabut. Kilatan cahaya
keemasan membersit begitu pedang berwarna kuning
keemasan itu keluar dari warangkanya.
'Tahan seranganku! Hiaaat..."
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita bertopeng kera itu tiba-tiba saja
melesat cepat menerjang
Waskita yang memang sejak tadi sudah siap menerima
serangan. Saat itu juga, Waskita menggeser kakinya
sedikit ke kiri. Tubuhnya langsung diliukkan, untuk
menghindari tebasan pedang keemasan yang begitu
cepat mengarah ke dadanya.
Bet! *** Waskita terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan
wanita bertopeng
kera. Pedang keemasan di tangannya, berkelebat cepat
mengurung seluruh ruang gerak laki-laki setengah
baya itu. Beberapa kali pedang wanita bertopeng kera
itu hampir merobek kulit tubuh Waskita. Tapi sampai
sejauh ini, laki-laki setengah baya itu masih dapat
mengatasi semua serangan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuh ke belakang dan melakukan putaran
beberapa kali, tepat
ketika pedang wanita bertopeng kera itu membabat ke
arah kakinya. Manis sekali laki-laki setengah baya itu
mendarat di tanah, lalu cepat mengeluarkan Keris Kala
Muyeng yang sejak tadi tersimpan di dalam warangkanya.
Begitu terhunus, dari mata Keris Kala Muyeng yang
berkeluk tujuh itu mengepulkan asap hitam memancarkan bau busuk. Bukan hanya
wanita bertopeng kera itu yang terkejut. Bahkan Waskita begitu kaget melihat
keris di tangannya mengeluarkan asap berbau
busuk, seperti bau mayat yang sudah berhari-hari tertimbun dalam tumpukan
dedaunan kering.
Tapi Waskita tidak bisa menyadari lagi, karena
pamor keris itu cepat menguasai seluruh jiwanya. Bagaikan seekor serigala lapar,
Waskita mendengus dan
menggeram. Kedua bola matanya memerah dan menyala-nyala bagaikan sepasang bola
api yang siap menghanguskan apa saja di dekatnya. Saat itu juga
Waskita merasakan kerongkongannya jadi kering. Rasa
kehausan yang amat sangat seketika menyerangnya.
Bukan haus biasa, tapi haus ingin minum darah!
"Darahmu pasti segar, Nisanak. Sudah lama aku
tidak lagi memuaskan dahaga dengan darah...," desis
Waskita. Nada suaranya kini terdengar lain.
Dan memang, suara itu lain sekali dengan suara
Waskita. Seperti ada sesuatu kekuatan lain yang menyusup ke dalam jiwanya. Pada
saat yang sama, wanita bertopeng kera itu melompat mundur sejauh beberapa
tindak. Dirasakannya ada kelainan pada diri
Waskita yang menghunus Keris Kala Muyeng.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Waskita tiba-tiba saja melompat
cepat menerjang lawan. Begitu cepatnya, membuat
wanita bertopeng kera itu jadi terkesiap. Tapi cepatcepat tubuhnya dibanting ke
tanah, lalu bergulingan
beberapa kali. Sehingga, serangan yang dilancarkan
Waskita hanya menyambar angin kosong saja.
"Ghrrr...!" Waskita menggeram dahsyat bagaikan
seekor binatang buas.
Tubuh laki-laki setengah baya itu cepat berbalik
memutar menatap tajam wanita bertopeng kera yang
kini sudah bangkit berdiri kembali. Waskita menghunus lurus kerisnya ke depan,
tertuju langsung ke dada
calon korbannya yang berada sekitar dua batang tombak di depannya. Perlahan-
lahan kakinya terayun melangkah ke depan.
"Celaka..., jiwanya sudah terpengaruh keris itu,"
desis wanita bertopeng kera. "Aku harus menghindarinya sebelum dia benar-benar
meminum darahku."
Setelah berpikir beberapa saat, wanita bertopeng
kera itu cepat melompat meninggalkan tempat ini. Melihat calon korbannya
berusaha kabur, Waskita jadi
meraung keras sambil mengacungkan Keris Kala
Muyeng ke atas kepala.
"Ghraaagkh...!"
Bagaikan kilat, Waskita melompat berusaha mengejar wanita bertopeng kera itu.
Dia terus berlari kencang bagaikan dikejar setan. Tapi wanita itu sudah tidak
terlihat lagi, lenyap seperti tertelan bumi.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Dan suasana di Kadipaten Patarukan, masih tetap terlihat sunyi. Di dalam
kesunyian ini Waskita menggerung-gerung seperti binatang buas kelaparan karena
calon korbannya berhasil melarikan diri. Mata Waskita
kian liar melirik ke kanan dan ke kiri. Keris Kala
Muyeng benar-benar telah mengendalikan jiwanya. Raganya seolah-olah haus,
menuntut ingin minum. Namun hanya darah yang mampu mengobati rasa hausnya. Hanya
darah! Lalu, tubuhnya melesat cepat
menghilang dalam gelapnya malam.
*** Pagi harinya, seluruh Kota Kadipaten Patarukan tiba-tiba saja gempar. Beberapa
prajurit yang kebetulan
lewat di depan rumah seorang pengurus kuda di kadipaten, mendapati keluarga
pengurus kuda itu sudah
tewas. Bahkan rumahnya hancur berantakan seperti
baru saja digempur habis-habisan. Ada empat mayat
laki-laki dan dua mayat perempuan, serta seorang
anak berusia sekitar lima tahun bergelimpangan di dalam dan halaman rumah itu.
Peristiwa pembantaian seperti ini belum pernah
terjadi di Kadipaten Patarukan. Tentu saja peristiwa
mengejutkan ini membuat Adipati Antapara sendiri
terpaksa turun untuk menyaksikan sendiri kematian
keluarga pengurus kuda di kadipatenannya. Yang
membuat adipati itu terkejut, semua korban yang tewas tidak lagi memiliki darah.
Bahkan tidak setetes
darah pun terlihat, meskipun semua yang tewas dalam
keadaan terkoyak cukup besar di leher.
Adipati Antapara yang masih berusia muda itu kelihatan gundah setelah
menyaksikan keadaan mayat
keluarga pengurus kuda kadipatenan. Sejak berangkat
dari kadipatenan hingga kembali lagi, dia selalu didampingi orang
kepercayaannya, Ki Wanengpati. Sementara itu, sepuluh orang-orang Ki Wanengpati
yang rata-rata berkemampuan cukup tinggi dalam ilmu olah
kanuragan tampak mengelilingi mereka berdua.
"Aku tidak tahu, apakah ini perbuatan manusia
atau iblis dari neraka...," keluh Adipati Antapara seraya menghempaskan tubuhnya
di kursi yang hampir
menenggelamkan tubuhnya yang kecil.
"Dari ciri-ciri para korban, hamba menduga kalau
itu perbuatan orang yang tengah menuntut ilmu hitam
Gusti Adipati," tebak Ki Wanengpati dengan sikap
hormat. "Aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi,
Paman." "Hamba mengerti, Gusti," sahut Ki Wanengpati.
Adipati Antapara kembali bangkit berdiri. Semua
orang yang duduk di lantai di depannya, segera memberi sembah dengan merapatkan
kedua tangan di depan hidung. Demikian pula Ki Wanengpati. Dia segera]
bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya, begitu
Adipati Antapara beranjak meninggalkan ruangan yang
berukuran sangat besar ini.
Setelah adipati berusia sekitar dua puluh lima tahun itu lenyap di balik pintu,
Ki Wanengpati bergegas
meninggalkan ruangan diikuti sepuluh orang pengawal
khususnya. "Kalian berlima, segera jemput Waskita. Katakan
aku memanggilnya ke rumah," perintah Ki Wanengpati
sambil menunjuk lima orang pengawalnya.
Kelima orang pengawal khususnya itu segera
membungkuk memberi hormat, lalu bergegas berjalan
cepat mendahului. Sedangkan Ki Wanengpati segera
naik ke kuda yang dipegangi seorang pengawalnya.
Dan lima orang pengawal khusus lainnya, bergegas
naik pula ke kuda masing-masing. Tak lama kemudian, mereka bergerak meninggalkan
kadipatenan yang
merupakan sebuah bangunan besar dan indah bagai
istana ini. *** "Duduklah, Waskita," perintah Ki Wanengpati begitu Waskita datang menghadap.
Setelah memberi sembah menghormat, Waskita
duduk di sebuah kursi, di seberang meja besar di ten-
gah-tengah ruangan yang cukup luas ini. Sedangkan
Ki Wanengpati duduk di seberangnya lagi. Tak ada
orang lain di ruangan ini, kecuali mereka berdua.
"Kau tahu, mengapa aku memanggilmu ke sini,
Waskita...?" agak dalam suara Ki Wanengpati.
"Tidak, Gusti," sahut Waskita, penuh rasa hormat.
"Seharusnya hari ini, kau dan aku pergi ke pondok
Nyai Sureng. Aku ingin tahu hal yang sebenarnya dari
ceritamu. Bukannya tidak percaya, tapi Keris Kala
Muyeng itu demikian penting bagiku. Bagi kelancaran
semua cita-cita besarku, dan cita-cita kau juga, Waskita. Tapi sesuatu telah
terjadi. Aku yakin, kau juga sudah mengetahuinya," kata Ki Wanengpati tanpa
mengalihkan pandangannya dari wajah Waskita yang duduk di depannya, dengan
sebuah meja besar menjadi
pembatas di antara mereka.
"Hamba sudah mengetahuinya, Gusti. Hamba juga
sudah melihatnya," sahut Waskita lagi.
"Sepuluh tahun aku berusaha mendapatkan benda
itu, Waskita. Dan setelah ku peroleh, kini hilang kembali. Aku tidak akan gundah
seperti ini kalau tidak terjadi peristiwa yang menggegerkan seluruh Kadipaten
Patarukan," tutur KI Wanengpati lagi.
Waskita hanya diam saja.
"Waskita! Kau sudah mengikutiku selama tiga puluh tahun lebih. Maka tentunya
sudah tahu watakwatak ku, bukan..." Aku hanya ingin kejujuranmu saja, Waskita.
Dimana Keris Kala Muyeng sekarang berada?"
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba tidak berhasil
memperolehnya dari tangan Nyai Sureng. Wanita itu
mempertahankan keris yang dikatakannya belum selesai. Keris itu pasti masih
berada di tangannya, Gusti,"
sahut Waskita seraya merapatkan kedua tangan di de-
pan hidung. "Kau tahu, Waskita. Keris itu bisa membawa mala
petaka jika pemegangnya tidak mampu mengalahkan


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan yang terkandung di dalamnya. Keris itu akan
menjadi sebuah senjata pusaka yang maha dahsyat.
Bahkan akan kuberi gelar, Pusaka Penyebar Maut
yang tak ada tandingannya di dunia ini. Tapi, keris itu
juga bisa membahayakan pemegangnya yang tak dapat
sempurna menguasainya. Kekuatan yang ada di dalam
keris itu dapat mempengaruhi jiwa pemegangnya, sehingga tidak dapat
mengendalikan diri lagi," Ki Wanengpati menjelaskan keburukan dari Keris Kala
Muyeng. Sedangkan Waskita hanya diam saja, dengan kepala tertunduk. Ki Wanengpati
bangkit berdiri, lalu berjalan memutari meja besar itu. Langkahnya baru berhenti
setelah berada sekitar lima depa lagi disamping
Waskita. "Hanya kau yang tahu tentang benda itu, Waskita.
Aku tidak ingin berselisih denganmu, dan aku juga tidak ingin kau menjadi
makhluk liar yang dapat membahayakan semua orang," kata Ki Wanengpati lagi.
'Tapi hamba tidak berdusta, Gusti. Hamba berani
bersumpah...," kata Waskita mencoba meyakinkan
orang tua ini. "Aku ingin mempercayaimu, Waskita," ujar Ki Wanengpati.
Waskita kembali terdiam.
"Siapkan kudamu. Kita berangkat sekarang ke
pondok Nyai Sureng," ujar Ki Wanengpati.
"Hamba, Gusti," sahut Waskita.
Bergegas Waskita bangkit berdiri, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu
setelah membungkuk memberi hormat. Sedangkan Ki Wanengpati masih
berdiri memandangi sampai laki-laki separuh baya itu
menghilang di balik pintu.
"Keris itu pasti sudah berada di tangan seseorang,
dan sudah mengambil korban. Hhh..., sukar bagiku
untuk bisa menghentikannya, kalau sudah begini.
Mudah-mudahan saja memang bukan Waskita yang
memegangnya," desah Ki Wanengpati perlahan.
Sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, laki-laki
tua itu melangkah meninggalkan ruangan ini. Dua
orang penjaga di depan pintu, membungkukkan badan
ketika Ki Wanengpati melewatinya. Dia terus melangkah menuju ke luar. Di sana,
Waskita sudah menunggu di atas punggung kudanya.
Matahari hampir tenggelam di balik bukit ketika Ki
Wanengpati dan Waskita tiba di tepi hutan. Kedua laki-laki itu memandangi
onggokan gubuk kecil yang
terbakar hangus. Mereka berlompatan turun dari
punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri reruntuhan gubuk kecil yang sudah
menjadi arang. "Siapa yang melakukan ini, Waskita...?" tanya Wanengpati seperti bertanya untuk
diri sendiri. Tentu saja Waskita tidak mungkin menjawab pertanyaan itu. Dia hanya diam saja,
seraya melangkah
semakin mendekati onggokan puing pondok Nyai Sureng yang sudah hangus terbakar.
Dia ingat waktu
meninggalkan pondok ini masih dalam keadaan utuh.
Dan mayat Nyai Sureng juga tergeletak di tempat kuda-kuda mereka sekarang
berpijak. Waskita menyibakkan sebuah balok yang sudah hangus menghitam,
dan sebagian sudah menjadi arang.
Tiba-tiba Waskita terkesiap, begitu melihat sebentuk tangan yang hitam menyembul
keluar dari tumpukan onggokan puing ini. Waskita langsung tahu, itu
pasti tangan Nyai Sureng. Tapi di mana tubuhnya..."
Melihat keadaan gubuk yang sudah hangus terbakar,
bisa diduga kalau Nyai Sureng pasti ikut terbakar bersama gubuknya. Hanya saja
yang menjadi pertanyaan
sekarang, siapa yang meletakkan tubuh perempuan
tua itu ke dalam gubuk, lalu membakarnya..."
"Dia sudah tewas," jelas Waskita perlahan, ketika
disadari Ki Wanengpati sudah berada di sampingnya.
"Ayo, kita kembali ke kadipaten," ajak Ki Wanengpati.
'Tidak mencari kerisnya dulu?"
"Untuk apa..." Keris itu pasti sudah jatuh ke tangan orang lain. Aku hanya bisa
berharap, mudahmudahan dia bisa mengendalikannya."
Waskita hanya diam saja, dan masih berdiri memandangi onggokan reruntuhan gubuk
di depannya. Sementara Ki Wanengpati sudah berlalu, dan telah
duduk di punggung kudanya. Entah, apa yang ada di
dalam benak Waskita. Laki-laki setengah baya itu baru
melangkah setelah Ki Wanengpati memanggilnya. Tak
berapa lama kemudian, dua ekor kuda bergerak meninggalkan tepi hutan itu.
"Siapa kira-kira yang melakukan itu, Waskita?"
tanya Ki Wanengpati setelah cukup jauh meninggalkan
tepian hutan itu, untuk kembali ke Kadipaten Patarukan.
"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Waskita perlahan.
"Seharusnya, aku memang mencari keris itu kalau
sudah jatuh ke tangan orang lain, rasanya sulit mendapatkannya kembali. Hhh...,"
nada suara Ki Wanengpati terdengar agak mendesah, seolah berbicara pada
diri sendiri. Sedangkan Waskita hanya diam saja, sambil mengendalikan kudanya agar tetap
berada di samping ku-
da laki-laki tua ini. Sukar diterka apa yang ada di dalam benaknya. Pandangannya
begitu kosong, lurus ke
depan. Seperti ada yang tengah mengganjal di hatinya
saat ini. "Kau tahu, Waskita. Peristiwa yang menimpa keluarga pengurus kuda itu membuatku
jadi berpikir"
ujar Ki Wanengpati lagi.
"Apakah ada sesuatu yang aneh, Gust?" tanya
Waskita. "Peristiwa aneh..,, Aku merasa kalau keris itu berada dekat denganku. Tapi...,"
Ki Wanengpati memutuskan kalimatnya.
"Apakah kematian mereka ada hubungannya dengan Keris Kala Muyeng, Gusti?" tanya
Waskita. "Belum bisa dipastikan. Tapi ciri-cirinya sangat
persis. Pemegang keris itu akan selalu mencari korban
dan meminum darahnya. Semua itu terjadi karena jiwa
si pemegang keris dipengaruhi kekuatan Keris Kala
Muyeng. Semakin banyak darah didapatkannya, maka
kekuatannya semakin bertambah besar. Hingga akhirnya, tak ada satu kekuatan pun
di dunia ini yang dapat menandinginya. Keris itu membutuhkan empat puluh darah
manusia dalam waktu cepat. Dan setelah
itu, setiap hari harus meminum darah orang. Paling tidak, satu orang dalam
sehari. Hhh... Dunia ini akan
hancur kalau tidak segera dihentikan, Waskita. Tapi
aku tidak tahu cara menghentikannya. Kecuali, harus
mendapatkannya kembali, lalu ku sempurnakan hingga tidak lagi liar dan merugikan
orang banyak," jelas Ki
Wanengpati panjang lebar. Ada sedikit keluhan pada
nada suaranya. Sedangkan Waskita tetap diam sambil mengendalikan kudanya agar tetap berada di
samping Ki Wanengpati. Mereka terus mengendalikan kuda perlahan-
lahan sambil membicarakan Keris Kala Muyeng. Dan
setiap kali Ki Wanengpati membeberkan rahasia keris
itu, Waskita selalu terdiam tercenung. Untung saja Ki
Wanengpati tidak memperhatikan sikapnya yang jadi
nampak gelisah. Dan memang, benda yang sedang dipercakapkan itu, sebenarnya ada
pada Waskita! *** 4 Waskita menghempaskan tubuhnya di kursi panjang dari bambu yang diserut halus,
dan diberi warna
kecoklatan. Nafasnya ditarik panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Perlahan-lahan tangannya
menarik sebilah keris yang sejak tadi tersembunyi di
balik lipatan baju. Sebilah keris yang belum sempurna
bentuknya, karena memang belum sempurna betul dibuatnya. Baru saja keris itu
hendak ditarik keluar dari
warangka, tiba-tiba seorang gadis cantik muncul.
Waskita cepat-cepat menyimpan kembali senjata itu ke
dalam lipatan bajunya.
"Kau sudah bangun sepagi ini, Paruta?" sapa
Waskita mendahului gadis cantik berbaju ketat berwarna merah muda yang sudah
berada dekat di depannya.
Gadis itu hanya melemparkan senyuman saja, kemudian duduk di samping laki-laki
separuh baya ini.
"Ayah tidak pulang semalam. Ke mana saja semalaman?" lembut sekali terdengar
nada suara gadis yang
dipanggil Paruta ini.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Gusti Wanengpati," sahut Waskita
memberi alasan.
"Urusan keris itu lagi...?"
Waskita merentangkan tangannya, dan merangkul
pundak putrinya yang kelihatan memberengut. Paruta
menjadi manja, langsung meletakkan kepalanya di bahu laki-laki setengah baya
ini. Gadis ini tahu kalau
ayahnya tengah menghadapi persoalan berat tentang
sebilah keris yang dinamakan Kala Muyeng. Sebuah
senjata pusaka yang sangat dahsyat. Meskipun baru
sekali Paruta melihat benda pusaka itu ketika sedang
dibuat Nyai Sureng, tapi sudah bisa merasakan kedahsyatan pamornya.
"Kudengar, keluarga pengurus kuda kadipaten tewas dibunuh kemarin malam. Benar
itu, Ayah...?" Paruta baru membuka suaranya lagi setelah cukup lama
terdiam di dalam rangkulan ayahnya.
Waskita tidak langsung menjawab. Dihembuskannya napas panjang, dan dilepaskannya
rangkulan pada anaknya. Perlahan dia bangkit berdiri dan berjalan beberapa langkah. Laki-laki
separuh baya itu berbalik,
lalu menyandarkan punggungnya di tiang penyangga
yang terbuat dari kayu berukir.
"Dari mana kau tahu hal itu, Paruta?" Waskita malah balik bertanya.
"Berita itu sudah tersebar luas. Kasihan.... Satu keluarga tewas semua," sahut
Paruta disusul desahan
panjang. "Ayah tidak mencari pembunuhnya?"
"Urusan itu sudah ditangani petugas keamanan
kadipaten. Aku tidak perlu turun tangan menanganinya," sahut Waskita.
Waskita memandangi putrinya yang kelihatan berbaju rapi, seperti hendak
melakukan perjalanan.
"Kau akan pergi, Paruta?" tanya Waskita membelokkan arah pembicaraan.
"Ke Hutan Bambu Kuning untuk sedikit mele-
maskan otot. Kudengar, di sana banyak hewan buruan
Aku ingin mencoba berburu di sana," sahut Paruta seraya bangkit berdiri.
"Dengan siapa kau berburu?" tanya Waskita.
"Ayah ini seperti tidak tahu saja...."
'Sebaiknya kau membawa pengawal, Paruta. Hutan
Bambu Kuning cukup jauh letaknya. Aku tidak ingin
terjadi sesuatu padamu," ujar Waskita bernada khawatir.
"Jangan khawatir. Aku bisa menjaga diri. Aku pergi
dulu, Ayah."
"Berapa hari kau di sana?" tanya Waskita.
"Mungkin tiga atau empat hari. Tergantung keadaan saja," sahut Paruta enteng.
Setelah menjawab pertanyaan ayahnya, gadis itu
bergegas melangkah pergi. Sedangkan Waskita hanya
memandangi saja kepergian anaknya. Memang, Paruta
sudah biasa berburu sendiri di hutan. Meskipun anak
tunggal, tapi Paruta tidak begitu manja. Dia seorang
gadis yang cukup tegar, dan memiliki kepandaian cukup tinggi. Sehingga, Waskita
tidak pernah mencemaskan setiap kali Paruta berpamitan hendak berburu, atau
bepergian ke tempat lain seorang diri.
Tapi kali ini ada sesuatu yang lain dirasakan.
Waskita kelihatan cemas atas kepergian anaknya kali
ini. Hatinya khawatir kalau-kalau Paruta bertemu wanita bertopeng kera yang
sudah dua kali ini bertarung
dengannya. Tapi, wanita bertopeng kera itu selalu saja
dapat melarikan diri, di saat-saat yang sudah gawat.
Waskita jelas-jelas tidak ingin anaknya mendapat celaka. Tapi, dia tidak mungkin
menyuruh orang-orangnya
menemani Paruta. Dia tahu betul watak anaknya yang
keras. Paruta memang paling tidak suka kalau kepergian-
nya ditemani. Apa lagi dibuntuti secara diam-diam.
Anggapannya, bila membawa pengawal hanya pantas
dilakukan gadis-gadis lemah yang tidak mengenal ilmu
olah kanuragan sedikit pun. Sedangkan dirinya cukup
handal dalam ilmu olah kanuragan. Untuk menghadapi berandal-berandal jalanan
saja, gadis itu masih
sanggup menanganinya. Menyadari kalau dirinya
punya kepandaian inilah, hingga membuatnya lebih
senang bepergian sendiri, tanpa seorang pun pengawal
menyertainya. *** Malam kembali jatuh menyelimuti seluruh daerah
Kadipaten Patarukan. Seperti malam-malam sebelumnya, suasana di kadipaten ini
begitu sunyi. Tak terlihat
seorang pun berada di luar rumah, kecuali para peronda yang kelihatan berada di
beberapa sudut kota.
Di saat hampir semua orang sedang terlelap dalam
buaian mimpi, terlihat sebuah bayangan berkelebat
cepat menyusup masuk ke dalam sebuah rumah dari
atas atap. Belum lama bayangan itu menghilang, tibatiba saja terdengar jeritan
panjang melengking tinggi,
sehingga membuat para peronda malam tersentak kaget Dua orang peronda yang
kebetulan lewat di depan
rumah itu, jadi terkejut.
Belum juga hilang keterkejutan mereka, mendadak
saja dari dalam rumah itu berkelebat sebuah bayangan
menjebol dinding rumah. Dua orang peronda itu terkesiap. Namun belum sempat
melakukan sesuatu, mendadak saja bayangan itu bergerak cepat. Dan...
Bet! Cras! "Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang terdengar saling susul. Kemudian, terlihat dua orang
peronda itu menggelepar di
tanah dengan darah bercucuran dari lehernya. Bayangan itu cepat menerkam salah
seorang peronda dan
menyembunyikan wajahnya di leher yang terkoyak berlumur darah. Peronda itu
menggelepar-gelepar sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Tak ada setetes darah pun yang melekat lagi. Sosok
tubuh hitam itu berpindah kepada peronda lainnya lagi yang sudah tergeletak tak
bernyawa. Tapi belum
sempat menghirup darah dari peronda malang itu, terlihat beberapa orang
berlarian sambil membawa obor
dan senjata terhunus.
"Ghrrr...!"
Sosok tubuh hitam itu menggeram. Matanya memerah menatap orang-orang yang
berlarian menuju ke


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arahnya. Sebentar ditatapnya darah yang keluar dari
leher peronda itu, kemudian melesat cepat bagaikan
kilat tanpa menghiraukan peronda yang sudah tewas
dengan leher terkoyak lebar.
Mereka yang berdatangan langsung terkesiap melihat dua orang peronda tergeletak
tak bernyawa lagi.
Lebih terkejut lagi, begitu mengetahui salah satu rumah jebol dindingnya. Dan
begitu diperiksa ke dalam,
didapati dua sosok mayat tergeletak dengan leher terkoyak. Tak setetes pun darah
terlihat, meskipun di bagian lehernya terkoyak seperti koyakan taring binatang
buas. Pada saat sudah banyak orang berkumpul, Ki Wanengpati baru datang menunggang
kuda diiringi sekitar sepuluh orang pengawal khususnya. Orang yang
berkerumun di sekitar rumah itu, bergegas menyingkir
memberi jalan. Ki Wanengpati melompat turun dari
punggung kuda dengan gerakan ringan sekali. Berge-
gas, diterobosnya kerumunan itu untuk masuk ke dalam rumah yang jebol
dindingnya, setelah melihat dua
peronda yang tewas secara mengerikan.
"Keparat...!" desis Ki Wanengpati menggeram, begitu mendapati di dalam rumah
sudah tergeletak dua
orang dengan leher terkoyak.
Semua orang yang ada di dalam rumah itu hanya
tertunduk saja, seakan-akan tidak sanggup membalas
tatapan mata Ki Wanengpati yang memerah bagaikan
sepasang bola api. Geraham laki-laki tua itu terus bergemeletuk menahan
kemarahan yang meluap. Peristiwa ini sudah dua kali terjadi. Dan semua korban
yang tewas dalam keadaan sama. Leher terkoyak tanpa darah sedikit pun terlihat di
sekitarnya. Kemarahan Ki Wanengpati timbul, karena tahu kalau semua korban ini akibat Keris
Kala Muyeng yang
sekarang tidak jelas pemiliknya. Tapi yang jelas, keris
itu sekarang berada di tangan seseorang di Kadipaten
Patarukan ini. Pada saat itu terdengar suara-suara ribut di luar. Ki Wanengpati
bergegas melangkah keluar
dari rumah ini.
Tampak dua orang laki-laki terhuyung-huyung berlumuran darah. Mereka adalah dua
orang dari pasukan khusus laki-laki tua itu. Begitu berada di depan Ki
Wanengpati, mereka langsung jatuh terguling, dengan
seluruh tubuh berlumur darah.
"Ada apa ini...?" tanya Ki Wanengpati terkejut.
"Gusti..., dia.... Dia ada di perbatasan Timur...," jelas salah seorang terbata-
bata. Tanpa menunggu kalimat orang itu selesai, Ki Wanengpati cepat melompat naik ke
punggung kuda. Sepuluh orang yang menyertainya, segera ikut berlompatan naik ke
kuda masing-masing. Mereka langsung
menggebah cepat kudanya menuju ke perbatasan ti-
mur. Sementara orang-orang yang berada di sekitar
rumah itu jadi sibuk.
Sementara Ki Wanengpati bersama sepuluh orang
pengawalnya, terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Jalan yang sepi,
membuat mereka bisa leluasa memacu cepat kudanya tanpa halangan sedikit
pun. Sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, mereka
sudah sampai di gerbang perbatasan kota sebelah Timur.
"Setan...!" geram Ki Wanengpati begitu sampai.
Di gerbang Timur ini ternyata didapati beberapa
tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Mereka semua adalah para prajurit yang
bertugas menjaga gerbang perbatasan sebelah Timur. Ki Wanengpati bergegas
melompat turun dari punggung kudanya. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah,
mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam. Orang tua berbaju putih
agak ketat itu cepat melompat mundur beberapa langkah. Tahu-tahu di depannya
sudah berdiri seseorang
bertubuh ramping. Wajahnya mengenakan topeng berbentuk wajah kera.
"Siapa kau..."!" bentak Ki Wanengpati.
Ki Wanengpati teringat cerita Waskita, orang kepercayaannya yang mengetahui
tentang Keris Kala
Muyeng. Dia pernah mengatakan, kalau ada seseorang
yang mengenakan topeng kera menolong Nyai Sureng
yang tidak bersedia menyerahkan senjata pusaka itu.
Dan sekarang di depannya telah berdiri seorang bertubuh ramping yang mengenakan
topeng kera untuk
menutupi wajah aslinya.
"Kau yang bernama Ki Wanengpati, penasihat Adipati Patarukan?" wanita bertopeng
kera itu malah balik
bertanya. "Benar! Dari mana kau tahu tentang diriku?"
"Kau orang pintar dan ternama di kadipaten ini Ki
Wanengpati. Tapi begitu mudah dibodohi bawahan mu
sendiri," terasa sinis nada suara orang bertopeng kera
itu. "Apa maksudmu berkata seperti itu, Nisanak?" desis Ki Wanengpati kurang senang.
"Kau menginginkan Keris Kala Muyeng. Padahal,
keris itu sudah ada di depan matamu. Tapi kau begitu
bodoh, sehingga matamu buta."
"Heh..."!"
Ki Wanengpati terkejut setengah mati mendengar
kata-kata wanita bertopeng kera itu. Benar-benar sulit
diduga kalau orang bertopeng kera yang berdiri di depannya ini mengetahui
tentang keris pusaka penyebar
maut yang kini membuat masalah besar bagi dirinya.
"Kau pasti menduga kalau aku yang memilikinya.
Tapi, sebenarnya orang kepercayaanmulah yang memegang keris itu," jelas wanita
bertopeng kera itu lagi.
Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali wanita bertopeng kera itu melesat
pergi. "Hei, tunggu...!" sentak Ki Wanengpati.
Tapi orang bertopeng kera itu sudah lebih dahulu
menghilang, sebelum Ki Wanengpati melompat mengejar. Laki-laki tua itu hanya
bisa bengong merayapi kegelapan yang semakin pekat. Saat itu juga pikirannya
tertuju pada Waskita. Kata-kata orang bertopeng itu
sudah jelas maknanya, dan tertuju pada Waskita. Memang tidak ada lagi orang yang
tahu tentang keris itu
selain Waskita dan dirinya sendiri. Atau, ada orang
lain lagi"
*** Ki Wanengpati menghempaskan tubuhnya di kursi
panjang yang berbantal empuk berisi kapuk randu.
Dia benar-benar tidak tahu, siapa wanita bertopeng
kera yang menemuinya tadi di perbatasan Timur. Tapi
kata-katanya terus terngiang, mengganggu telinganya.
Meskipun sebenarnya Ki Wanengpati sudah curiga kalau Waskita tidak berkata
jujur, tapi masih belum begitu percaya kalau Waskita mengkhianatinya.
Waskita sudah ikut bersamanya sejak masih berusia sepuluh tahun. Dan ilmu-ilmu
olah kanuragan yang dimilikinya semua berasal dari laki-laki tua ini.
Bagi Ki Wanengpati, Waskita bukan hanya sekadar
pengikut dan murid yang terdekat dan dapat dipercaya. Tapi juga anak angkat yang
paling disayangi. Rasanya, memang tidak mungkin kalau Waskita tega
mengkhianatinya hanya karena sebilah keris.
"Masuk...!" seru Ki Wanengpati ketika mendengar
ketukan halus di pintu.
Pintu yang terbuat dari kayu jati berukir itu terbuka perlahan. Seorang laki-
laki muda berusia sekitar
dua puluh tiga tahun, melangkah masuk. Tubuhnya
membungkuk memberi hormat dengan merapatkan
kedua tangan di depan hidung.
"Ada apa?" tanya Ki Wanengpati.
"Gusti Adipati datang hendak bertemu, Gusti Wanengpati," sahut pemuda itu
memberi tahu. Ki Wanengpati menggerinjang bangkit berdiri, lalu
bergegas melangkah ke luar. Pemuda itu cepat-cepat
membungkukkan tubuhnya memberi hormat begitu Ki
Wanengpati melewatinya. Dia juga bergegas mengikuti
keluar dan menutup pintu kembali. Sementara Ki Wanengpati terus melangkah cepat
menuju ruangan depan.
Sampai di sana, tampak seorang pemuda berpakaian indah dari bahan sutra halus
tengah duduk dengan anggunnya. Ki Wanengpati segera berlutut
memberi hormat seraya merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya sedikit, dan
meminta laki-laki tua ini
duduk di sampingnya. Setelah memberi hormat, Ki
Wanengpati kemudian duduk di kursi di samping pemuda berwajah tampan ini.
"Ada apakah gerangan Gusti Adipati berkunjung di
pagi buta begini!?" tanya Ki Wanengpati dengan sikap
penuh rasa hormat.
"Kudengar ada pembantaian lagi semalam," kata
Adipati Antapara yang masih berusia muda ini.
"Benar, Gusti," sahut Ki Wanengpati.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki Wanengpati?"
tanya Adipati Antapara meminta penjelasan.
Ki Wanengpati tidak langsung menjawab. Memang
terlalu sukar baginya menjawab pertanyaan itu. Karena, dia sendiri masih belum
yakin, apa sebenarnya
yang tengah terjadi di kadipaten ini. Meskipun, sudah
diduga kalau semua peristiwa berdarah ini berawal dari sebuah senjata pusaka.
Dan senjata itu bersumber
dari dirinya sendiri. Mungkin kalau saja benda yang
didapat dari sebuah gua di dalam hutan di Bukit Patarukan tidak diberikan pada
Nyai Sureng, bencana ini
tidak akan pernah terjadi.
"Aku tidak ingin kau menyembunyikan sesuatu
padaku, Ki Wanengpati," desak Adipati Antapara.
"Siapa sebenarnya yang memiliki Keris Kala
Muyeng itu?"
Bagai tersambar petir, Ki Wanengpati terperanjat
mendengar pertanyaan Adipati Antapara barusan.
Sungguh tidak disangka kalau adipati berusia muda
ini sudah tahu tentang Keris Kala Muyeng yang selama
ini menjadi rahasianya yang tertutup rapat. Keterkeju-
tannya ini membuat Ki Wanengpati jadi terdiam, tak
mampu berkata-kata lagi. Dan kepalanya hanya tertunduk, seakan-akan tidak
sanggup membalas tatapan
Adipati Antapara yang cukup tajam.
Cukup lama juga Ki Wanengpati terdiam dengan
kepala tertunduk menekuri lantai. Sedangkan Adipati
Antapara terus memperhatikannya tanpa berkedip.
Beberapa saat kemudian, perlahan laki-laki tua yang
memegang tongkat itu mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertumbuk pada
sorot mata Adipati Antapara yang terus menatap tanpa berkedip.
"Aku tahu maksudmu baik, Ki. Kau ingin memberikan keris itu padaku, sebagai
tanda bakti mu. Kau
ingin memberikannya, tepat di saat aku berusia dua
puluh lima tahun. Niatmu benar-benar kuhargai, Ki.
Karena sampai kini, aku memang tidak memiliki satu
pegangan pusaka apa pun juga. Tapi, alangkah baiknya jika hal itu kau bicarakan
dulu sebelumnya padaku. Paling tidak, aku bisa mempersiapkan diri terlebih
dahulu untuk menerima anugerah besar itu," tutur
Adipati Antapara.
"Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Bukannya hendak menyusahkan Gusti Adipati. Hamba
hanya bermaksud membuat suatu kejutan, yang tidak pernah
diduga," jelas Ki Wanengpati seraya memberikan sembah dengan merapatkan kedua
tangan di depan hidung.
"Kau memang sudah memberi ku kejutan besar
Ki," ucap Adipati Antapara, tetap lembut suaranya.
Ki Wanengpati kembali memberikan sembah.
"Ah, sudahlah.... Lupakan saja itu, Ki. Yang penting sekarang, bagaimana
menemukan orang yang memegang keris itu. Aku tidak ingin rakyat ku terusmenerus
jadi korban kebuasan Keris Kala Muyeng. Ka-
laupun mungkin, harus dihentikan secepatnya," tegas
Adipati Antapara.
Ki Wanengpati terdiam sesaat, kemudian menceritakan awal dari semua peristiwa
berdarah ini. Waktu
itu dia dan Waskita melakukan semadi di dalam sebuah gua, di dalam Hutan
Patarukan. Dalam semadinya itu, dipanjatkannya sebuah harapan pada Hyang
Widi agar dianugrahi sebuah benda yang dapat dipersembahkan pada junjungannya
yang akan memasuki
usia seperempat abad. Memang tidak mudah. Bertahun-tahun lamanya semadi
dilakukan setiap kali
muncul bulan purnama. Hingga akhirnya, sang Dewa
mengabulkan juga permohonan itu. Dewata memberikan sebongkah batu hitam yang
harus ditempa menjadi sebilah keris. Dan keris itu harus diberi nama Kala
Muyeng. Sebuah pusaka yang juga bergelar Pusaka
Penyebar Maut jika tidak mampu menguasainya dengan benar.
Hanya dia dan Waskita yang tahu, ditambah Paruta, anak gadis tunggalnya. Ki
Wanengpati memberi
benda itu pada Nyai Sureng yang dikenal sebagai pembuat benda-benda pusaka.
Entah kenapa, Nyai Sureng
ditemukan tewas. Dan bahkan keris pusaka itu lenyap.
Hanya itu yang diketahui Ki Wanengpati, hingga akhirnya terjadi peristiwa
berdarah ini. Peristiwa yang tidak pernah diinginkan sama sekali.
"Ampunkan hamba, Gusti. Kalau boleh hamba tahu, dari mana Gusti Adipati
mengetahui tentang keris
itu?" tanya Ki Wanengpati pada akhir ceritanya.
"Seseorang memberitahu ku," sahut Adipati Antapara.
"Seseorang..." Siapa dia, Gusti?" tanya Ki Wanengpati lagi.
"Sayang sekali, dia tidak menyebutkan namanya.
Dia hanya mengatakan, semua musibah berdarah
ini berpangkal dari sebilah keris. Dan jika ingin mengetahuinya lebih jelas
lagi, aku harus menanyakannya
padamu. Di samping itu pula, aku telah mendapat
wangsit dari Dewata agar dapat menguasai keris itu,"
jelas Adipati Antapara.
"Oh.... Adakah satu kesalahan yang kuperbuat sehingga terjadi malapetaka ini,
Gusti...?" desah Ki Wanengpati.
"Ya! Kau terlalu percaya pada Waskita," sahut Adipati Antapara tegas.
"Maksud, Gusti...?" Ki Wanengpati tidak mengerti.
"Adakalanya kita buta, dan terlalu percaya pada
seseorang yang sewaktu-waktu dapat mengkhianati
dan menikam dari belakang. Sebenarnya, aku sudah
tahu orang yang memiliki keris itu sekarang," jelas
Adipati Antapara lagi.
"Oh, benarkah...?" Ki Wanengpati terkejut setengah
mati. "Orang itu mengatakannya padaku. Tapi, aku belum mau mempercayainya dengan
penuh. Dan aku ingin mendengar cerita seluruhnya lebih jelas darimu.
Tapi setelah mendengar semua cerita yang sebenarnya,
aku begitu yakin kalau keris itu ada pada Waskita saat
ini."

Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gusti, apakah orang yang memberi tahu itu mengenakan topeng kera?" tanya Ki
Wanengpati lagi.
"Benar! Kau juga sudah bertemu dengannya?"
"Ya, sekali."
"Aku rasa tujuannya sama denganmu, Ki. Dan aku
yakin, maksudnya adalah baik. Hanya saja kepandaiannya tidak cukup untuk merebut
keris itu dari tangan Waskita. Dan aku sendiri tidak yakin dapat melakukannya, mengingat keris
itu bukan senjata semba-
rangan. Kekuatannya dapat menguasai jiwa pemegangnya dengan penuh, sehingga
sukar ditandingi."
"Apa yang harus kita lakukan, Gusti?"
"Aku kira, kita memerlukan seorang pendekar yang
memiliki kepandaian tinggi untuk menghadapi Waskita, Ki."
Si Rase Kumala 6 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Angrek Tengah Malam 3
^