Pencarian

Keris Kala Muyeng 2

Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng Bagian 2


"Siapa pendekar yang mampu menandingi Keris
Kala Muyeng" Keris itu sudah berlumur darah. Dan
semakin banyak darah yang didapatkan, semakin kuat
saja pengaruhnya. Hamba rasa, tidak ada seorang
pendekar pun yang sanggup menandinginya, Gusti,"
ada sedikit keluhan pada nada suara Ki Wanengpati.
"Hanya satu, Ki."
"Siapa...?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Pendekar Pulau Neraka..."!"
*** 5 Sepeninggal Adipati Antapara, Ki Wanengpati bergegas ke rumah Waskita. Tapi,
laki-laki tua itu tidak
mendapati anak angkat yang juga murid dan orang
kepercayaannya di situ. Para pekerja di sana hanya
mengatakan kalau junjungannya pergi sejak kemarin,
dan belum kembali sampai hari ini. Dan rupanya kepergian Waskita sudah
mempertebal keyakinan Ki Wanengpati kalau keris itu memang berada di tangan
muridnya, yang sekaligus juga anak angkatnya.
"Pendekar Pulau Neraka.... Hhh! Ke mana harus
kucari pendekar kelana itu...?" desah Ki Wanengpati
dalam hati, saat dalam perjalanan setelah keluar dari
rumah Waskita. Laki-laki tua itu mengendalikan kudanya agar berjalan perlahan-lahan. Otaknya
terus bekerja keras, untuk mencari upaya mengatasi persoalan yang semakin
rumit ini. Sudah dapat dipastikan kalau Keris Kala
Muyeng sekarang berada di tangan Waskita. Dan korban-korban yang jatuh sudah
dapat pula dipastikan
akibat perbuatan Waskita yang seluruh jiwa raganya
sudah dikuasai kekuatan senjata pusaka itu. Sebuah
senjata yang kini sudah benar-benar menjadi sebuah
pusaka penyebar maut. Dan Ki Wanengpati tahu,
Waskita tidak dapat mengendalikannya sehingga menjadi liar.
Slap! "Heh..."!"
Ki Wanengpati terkejut ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan hitam di
depannya. Cepat tali kekang
kudanya ditarik hingga berhenti melangkah. Tahutahu di depannya kini sudah
berdiri seorang wanita
bertubuh ramping, dengan wajah ditutupi topeng berbentuk wajah kera.
"Hup!"
Ki Wanengpati cepat melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu
ringan. Dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat
sekitar enam langkah lagi di depan wanita bertopeng
kera itu. Ki Wanengpati menjura memberi salam penghormatan, sebagaimana layaknya
orang rimba persilatan. Dan wanita bertopeng kera itu juga membalas
dengan menjura.
"Nisanak. Apa tidak sebaiknya kau membuka topengmu, sebelum kita berbicara,"
ujar Ki Wanengpati
dengan sikap hormat.
"Apakah itu perlu, Ki Wanengpati?" tanya wanita
bertopeng kera.
"Tentu, jika kau bermaksud baik," sahut Ki Wanengpati. "Aku yakin, niat dan
tujuanmu sama denganku. Kau pasti tidak ingin melihat kehancuran kadipaten ini
oleh orang tak bertanggung jawab."
Wanita bertopeng kera itu terdiam. Perlahan tangan kanannya diangkat. Lalu,
dilepaskannya topeng
kera yang selama ini selalu menutupi wajahnya. Ternyata, di balik topeng buruk
itu tersembunyi seraut
wajah cantik, dengan kulit wajah putih halus.
"Jika aku tidak salah, kaukah Anggraini..?" agak
ragu-ragu nada suara Ki Wanengpati.
"Benar. Aku Anggraini, murid tunggal Nyai Sureng," wanita itu memperkenalkan
diri. Gadis cantik itu memang Anggraini, murid tunggal
Nyai Sureng. Seorang wanita tua pembuat senjata pusaka. Dan sebelum menjadi
murid Nyai Sureng,
Anggraini pernah tinggal di sebuah padepokan milik
adik sepupu perempuan tua itu. Sehingga tidak heran
kalau tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada
Nyai Sureng sendiri. Memang, sebenarnya Nyai Sureng
tidak pandai dalam ilmu olah kanuragan, tapi hanya
ahli dalam pembuatan senjata saja. Anggraini sebenarnya hanya ingin memperdalam
pengetahuan di bidang senjata pusaka, sebelum terjun ke dalami rimba
persilatan yang terkenal ganas dan penuh tipu daya.
"Kenapa kau muncul secara sembunyi-sembunyi
begitu" Kau bisa datang padaku, dan bisa membicarakan persoalannya secara terus
terang. Sehingga, kita
bisa mengambil jalan keluar yang terbaik," kata Ki
Wanengpati agak menyesalkan tindakan Anggraini
yang main sembunyi-sembunyi.
"Maaf. Hal ini terpaksa kulakukan sebelum yakin
benar, siapa kawan dan lawan yang sesungguhnya,"
ucap Anggraini beralasan.
"Aku mengerti, Anggraini. Dan sekarang, apa tanggapanmu mengenai diriku?"
"Semula, aku mengira kau sama dengan Paman
Waskita. Tapi ternyata dugaanku keliru. Maafkan aku,
Ki." "Sudahlah..., tidak perlu dipersoalkan lagi. Yang
penting sekarang, persoalan ini harus ditangani sebelum meluas. Gusti Adipati
sendiri tidak menginginkan
adanya jatuh korban lebih banyak lagi. Aku sudah ditugaskan untuk menyelesaikan
semuanya dengan caraku sendiri."
"Persoalannya tidak semudah itu, Ki," sanggah
Anggraini. "Aku tahu, kita berdua memang tidak akan mampu
menghadapi Waskita yang memegang Keris Kala
Muyeng. Tapi, kita masih punya harapan jika bisa
mengundang Pendekar Pulau Neraka ke sini."
"Dia sudah ada di sini, Ki."
"Sudah ada..."!"
*** Belum lagi hilang rasa terkejut Ki Wanengpati, tibatiba saja dari atas sebatang
pohon yang cukup tinggi,
melesat sebuah bayangan kuning, tepat ketika
Anggraini menjentikkan ujung jarinya di samping telinga. Dan tahu-tahu di
samping gadis itu sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau.
Pemuda itu membungkukkan tubuhnya sedikit, yang
langsung dibalas Ki Wanengpati.
"Kau pasti mengenalinya, Ki. Inilah Pendekar Pulau
Neraka. Dan biasanya, dipanggil Bayu," jelas Anggraini
memperkenalkan pemuda di samping kanannya.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu hanya
tersenyum saja. Dia memang Bayu yang di kalangan
rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Ki Wanengpati seperti belum percaya kalau yang berdiri di
depannya ini adalah Pendekar Pulau Neraka. Diperhatikannya pemuda itu dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengundangnya
demikian cepat, Anggraini?" tanya Ki Wanengpati masih merayapi pemuda berbaju
kulit harimau di depannya.
"Kebetulan Kakang Bayu sedang berkunjung ke
Padepokan Eyang Badranaya. Jadi, tidak terlalu sukar
bagiku untuk memintanya datang ke sini. Dan tentunya, aku juga meminta izin dulu
pada Gusti Adipati,"
jawab Anggraini kalem.
Ki Wanengpati terdiam, sambil tetap memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau
yang berdiri di
samping Anggraini. Dia tahu kalau Eyang Badranaya
yang disebutkan tadi adalah adik sepupu Nyai Sureng,
tempat Anggraini pernah mempelajari ilmu olah kanuragan. Dan padepokan Eyang
Badranaya memang sudah terkenal di seluruh wilayah Kadipaten Patarukan,
karena letaknya memang tidak seberapa jauh dari ibukota kadipaten.
"Semuanya sudah kuceritakan pada Kakang Bayu,
Ki. Tapi mungkin masih ada yang ingin kau katakan,
biar segalanya lebih jelas," kata Anggraini lagi. "Bukan
begitu, Kakang?"
'Memang sebaiknya, aku tahu dari sumbernya,"
sahut Bayu kalem.
"Sumber malapetaka ini memang aku. Tapi, itu tidak akan terjadi jika Waskita
tidak mengkhianatiku,"
jelas Ki Wanengpati.
'Tapi itu bukan semata-mata kesalahanmu, Ki,"
ujar Anggraini bernada menghibur.
"Bagaimanapun juga, aku yang harus bertanggungjawab. Tapi aku tidak tahu, apa
yang harus kulakukan
sekarang. Sekarang pun aku tidak tahu, di mana
Waskita berada," ada nada keluhan dalam suara Ki
Wanengpati. "Apa tidak ada di rumahnya, Ki?" selak Bayu.
"Aku tadi baru dari sana. Dia tidak pulang sejak
kemarin," sahut Ki Wanengpati.
"Sepertinya, persoalan ini semakin bertambah sulit
saja, Kakang," kata Anggraini perlahan.
Bayu belum menjawab, ketika tiba-tiba terdengar
suara mencerecet dari atas pohon. Ki Wanengpati dan
Anggraini mendongak ke atas. Pada saat itu, seekor
monyet kecil berbulu hitam melompat turun dari atas
pohon, dan langsung hinggap di bahu Pendekar Pulau
Neraka. Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil berjingkrakan di bahu pemuda
berbaju kulit harimau ini.
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu.
"Nguk! Nguk! Argkh...!"
"Tiren ingin menunjukkan sesuatu," jelas Bayu seperti mengerti saja tingkah dan
cerecet monyet kecil
ini. Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka
langsung melesat pergi. Anggraini juga bergegas mengikuti. Sedangkan Eyang
Wanengpati yang kembali
terkesiap, jadi terbengong beberapa saat. Kemudian
laki-laki itu cepat melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Tidak
dipedulikan lagi kudanya
yang ditinggalkan begitu saja.
Sementara Bayu terus berlari cepat mengikuti petunjuk monyet kecil yang duduk di
pundaknya. Tidak
jauh di belakang, tampak Anggraini berlari cepat
mempergunakan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, untuk mengimbangi
kecepatan lari pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Ki Wanengpati sudah
bisa mensejajarkan larinya di samping
Anggraini. Setelah cukup jauh berlari, akhirnya mereka sampai di tepi sebuah jurang yang
tidak seberapa besar
dan tidak seberapa dalam. Sedangkan pada dasarnya
terlihat air mengalir deras sekali diantara bebatuan.
Monyet kecil yang ada di pundak Bayu, tidak lagi mencerecet ribut. Sedangkan
Bayu mengarahkan pandangan ke seberang jurang. Saat itu, Anggraini dan Ki
Wanengpati sudah sampai. Mereka kini berdiri mengapit Pendekar Pulau Neraka.
"Ada apa di seberang jurang sana, Kakang?" Tanya
Anggraini seraya mengarahkan pandangan ke seberang
jurang di depannya.
"Aku akan memeriksanya ke sana," sahut Bayu.
"Kau akan melompatinya?" tanya Anggraini lagi.
Bayu hanya tersenyum saja. Sebentar perhatiannya dipusatkan, lalu melesat cepat
melompati jurang
itu. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan
putaran manis, hingga akhirnya berhasil mendarat di
seberang sana. Sesampainya di seberang, Bayu menatap Anggraini dan Ki Wanengpati
yang masih berdiri
saja di tempatnya. Mereka seakan ragu-ragu hendak
melompati jurang ini.
"Ayo, cepat..!" teriak Bayu dari seberang.
"Kau saja, Kakang. Biar kami menunggu di sini!"
sahut Anggraini.
"Baiklah, sebentar aku kembali!"
Bagaikan kilat Bayu melesat cepat dan menghilang
ditelan lebarnya pepohonan di seberang jurang sana.
Sementara Anggraini dan Ki Wanengpati menunggu di
seberang lainnya.
*** Sementara itu Bayu semakin jauh masuk ke dalam
hutan menjauhi jurang yang membelah Bukit Patarukan ini menjadi dua bagian.
Monyet kecil berbulu hitam yang terus berada di pundaknya, selalu menunjukkan
arah yang harus ditempuh Pendekar Pulau Neraka.
Pemuda berbaju kulit harimau itu baru berhenti
setelah tiba di depan sebuah pondok kecil yang cukup
tersembunyi, dalam lebatnya hutan di Bukit Patarukan
ini. Perlahan kakinya melangkah mendekati. Tak terdengar suara sedikit pun,
kecuali bunyi bergemerisik
dedaunan kering tersepak kakinya saat melangkah
perlahan mendekati pondok di depannya.
Wusss! "Uts!"
Tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat
cepat dari dalam pondok kecil itu, tepat ketika tinggal
enam langkah lagi Bayu mencapai pintunya. Pendekar
Pulau Neraka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan,
maka tombak itu hanya lewat sedikit saja di samping
tubuhnya. Begitu kerasnya tombak itu meluncur, sehingga sampai terbenam dalam
begitu menancap di
batang pohon. "Mau apa kau ke sini...?" tiba-tiba saja terdengar
suara keras menggelegar dari dalam pondok kecil itu.
"Aku pengembara yang ingin berteduh. Apakah tidak boleh beristirahat di sini
barang sejenak?" Bayu
menyambuti dengan suara lantang juga.
"Ini bukan tempat persinggahan. Sebaiknya cepat
pergi sebelum terjadi sesuatu pada dirimu!"
"Aku tidak akan mengganggu. Hanya istirahat sebentar."
"Bocah setan...! Pergi cepat! Jangan sampai kesabaranku habis...!"
Bayu tertegun sejenak mendengar kata-kata yang
begitu kasar, dan tak ada sedikit pun nada persahabatan. Meskipun kehadirannya
tidak disukai, tapi Pendekar Pulau Neraka tetap berdiri tegak di depan pintu
pondok ini. Sementara, monyet kecil yang tadi berada
di pundak Bayu kini sudah berada di atas atap pondok
itu. Monyet kecil yang bernama Tiren itu berjingkrakan
sambil mencerecet di atas atap. Kedua tangannya


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencabik-cabik atap yang terbuat dari alang-alang
kering. Bayu sendiri tidak mengerti maksud tingkah
monyet kecil itu. Seakan-akan, Tiren sengaja membuat
keributan dan merusak pondok kecil ini
"Setan alas! Siapa yang merusak atap pondok
itu.."!" bentak suara itu terdengar menggeram.
Tapi Tiren tidak mempedulikan dengan bentakan
tadi. Binatang itu terus mencerecet ribut sambil memporak-porandakan atap
pondok. Namun mendadak saja atap pondok itu jebol, tepat ketika Tiren melompat
cepat dan kembali hinggap di pundak Bayu. Monyet
kecil itu kembali melompat, dan hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi. Dia
terus mencerecet ribut
sambil berjingkrakan.
Slap...! Tiba-tiba saja dari dalam pondok melesat sebuah
bayangan hitam, langsung meluruk deras ke arah monyet kecil yang mencerecet
berjingkrakan di atas dahan pohon. Melihat jiwa monyet kecil itu terancam,
Bayu tidak tinggal diam begitu saja. Cepat tubuhnya
melenting, memapak arus bayangan hitam itu. Secepat
kilat pula, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu
pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh.
"Yeaaah...!"
"Ufh! Yeaaah...!"
Bayangan hitam itu berputar ke belakang, sehingga
membuat pukulan Bayu hanya menyambar angin kosong saja. Secara bersamaan mereka
menjejakkan kaki
di tanah. Kini, sekitar satu batang tombak di depan
Bayu telah berdiri seseorang mengenakan baju ketat
warna hitam pekat. Wajahnya sukar dikenali karena
hampir tertutup rambut yang teriap panjang tak teratur.
Bayu melangkah mundur beberapa tindak tanpa
berkedip memperhatikan sosok tubuh berbaju hitam,
cukup ketat di depannya. Seluruh kulit tangan, dada
dan wajahnya penuh benjolan seperti bisul berwarna
kemerahan. Tatapan matanya begitu tajam, memerah
bagaikan sepasang bola api. Pendekar Pulau Neraka
terkesiap saat melihat sabuk yang melilit pinggang
orang berbaju hitam itu. Sabuk itu terbuat dari seratserat emas, yang kepalanya
bergambar lambang Kadipaten Patarukan. Pada sabuk itu tergantung sebilah
pedang yang cukup panjang. Juga, terselip sebilah keris yang hanya tampak
tangkainya saja.
"Paman. Apakah kau Paman Waskita...?" tanya
Bayu terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Siapa kau, Anak Muda"! Kenapa berada di sini"!"
laki-laki berwajah buruk penuh benjolan itu malah balik bertanya.
"Namaku Bayu. Aku ke sini sedang mencari seseorang yang bernama Paman Waskita,"
sahut Bayu menjelaskan maksud sebenarnya.
'Tidak ada nama Waskita di sini. Yang ada hanya
Serigala Penghisap Darah!" sahut laki-laki bermuka
buruk itu. "Akulah Serigala Penghisap Darah. Bukan
Waskita...!"
Bayu kembali memperhatikan lebih teliti laki-laki
berwajah buruk penuh benjolan itu lebih dalam lagi.
Pendekar Pulau Neraka menaksir kalau usia orang itu
paling tinggi sekitar lima puluh tahun. Diingatingatnya ciri-ciri tentang
Waskita yang sedang dicarinya. Ingatnya langsung tertuju pada sabuk yang
dikenakan laki-laki separuh baya ini. Anggraini pernah
mengatakan kalau Waskita tidak pernah melepaskan
sabuknya, yang merupakan hadiah khusus dari Adipati Antapara.
"Mungkinkah ini Paman Waskita" Tapi...," Bayu tidak melanjutkan jalan pikirannya
yang tiba-tiba terbetik satu pertanyaan yang membingungkan dirinya.
*** Pikiran Bayu disibuki oleh dugaan tentang siapa
laki-laki berwajah buruk penuh benjolan yang tadi
mengaku berjuluk Serigala Penghisap Darah di depannya ini. Namun tiba-tiba saja,
orang bermuka buruk
itu melompat menerjang dengan kecepatan bagaikan
kilat. Begitu cepatnya, sehingga Bayu tidak lagi memiliki kesempatan menghindar
lagi. "Hap...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka membanting
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali.
Dan bergegas dia kembali melompat bangkit berdiri.
Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, si Serigala
Penghisap Darah sudah kembali meluruk deras menyerangnya. Kali ini Bayu menunggu
sampai orang bermuka buruk penuh benjolan itu dekat. Dan....
"Hiyaaa...!"
Begitu berada di dalam jangkauannya, cepat sekali
Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Langsung dilontarkannya satu pukulan ke
bawah yang keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Begh! "Argkh...!"
Serigala Penghisap Darah meraung keras begitu
punggungnya terkena pukulan telak Bayu. Begitu kerasnya pukulan tadi, sehingga
orang bermuka buruk
itu sampai tersungkur mencium tanah. Tapi dia cepat
bangkit berdiri. Sebentar Serigala Penghisap Darah
menggerung marah sambil menyeka darah yang keluar
dari bibirnya. Sambil menggerung keras, orang bermuka buruk
penuh benjolan itu melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka kembali.
Namun, kali ini Bayu benar-benar sudah siap menghadapinya. Cepat-cepat tubuhnya
melenting ke atas, sehingga dua pukulan beruntun yang mengarah ke tubuhnya hanya
lewat saja. Dan yang lebih mengejutkan lagi, gerakannya tak bersuara sedikit pun.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi.
Bayu sendiri awalnya agak kelabakan juga menghadapi serangan-serangan yang
begitu cepat dan beruntun.
Namun semua itu cepat bisa diatasinya. Bahkan terus
mengimbangi hingga pertarungan kembali berjalan
sengit. Meskipun Pendekar Pulau Neraka jarang menyerang dan hanya lebih banyak
bertahan, tapi si Serigala Penghisap Darah terlalu sukar mendesaknya.
Apalagi sampai menjatuhkannya.
Serangan-serangan yang dilancarkannya memang
membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi tak satu pun
pukulan maupun tendangan yang bisa mengenai tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dan
setelah pertarungan
melewati lima jurus, laki-laki setengah baya berwajah
buruk penuh benjolan itu langsung meningkatkan serangannya. Bahkan kini sudah
mencabut pedangnya
yang sejak tadi tergantung saja di pinggang.
Sret! "Hiyaaa...!"
Bet! "Uts!"
Hampir saja tebasan pedang itu mengenai leher
Bayu. Untung saja Pendekar Pulau Neraka segera menarik kepalanya ke belakang.
Tapi pada saat yang
hampir sama, satu tendangan dilepaskan si Serigala
Penghisap Darah dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya Bayu tak ada kesempatan
lagi menghindarinya.
"Yeaaah...!"
Begh! "Ugkh...!" Bayu mengeluh tertahan.
Pendekar Pulau Neraka terbungkuk saat perutnya
terpaksa menerima tendangan yang cepat dan keras
menggeledek itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi
perutnya. Rasa mual mendadak saja menyerang perutnya, seakan-akan seluruh
isi perutnya hendak keluar. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa menguasai
diri, laki-laki separuh baya
berwajah buruk penuh benjolan itu sudah melancarkan satu serangan lagi dengan
kecepatan luar biasa.
"Hiyaaat..!"
"Hait!"
Bruk! Bayu cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah,
dan terus bergulingan menghindari hunjamanhunjaman pedang si Serigala Penghisap
Darah yang makin gencar mencecarnya. Beberapa kali Bayu terpaksa bergulir, dan baru bisa
melompat bangkit berdiri
begitu memiliki kesempatan yang sedikit sekali. Beberapa kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu manis
sekali kakinya kembali menjejak tanah sekitar dua batang tombak di depan
Serigala Penghisap Darah.
"Gila! Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak beraturan sama sekali...!" dengus
Bayu dalam hati.
*** 6 "Jangan harap bisa lari dariku, Bocah!" desis Serigala Penghisap Darah, dingin
dan datar nada suaranya.
Bagaikan kilat, laki-laki separuh baya berwajah
buruk penuh benjolan itu melompat cepat sambil menjulurkan pedangnya lurus ke
arah dada Pendekar Pulau Neraka. Pada saat itu, Bayu cepat memiringkan
tubuhnya ke kiri agak membungkuk. Kakinya dipentang lebar, dan lututnya tertekuk
hampir menyentuh
tanah. Dan begitu manusia buruk itu sudah dekat,
mendadak saja Bayu mengibaskan tangan kanannya,
ke depan. "Yeaaah...!"
Wusss! Seketika itu juga, melesat secercah sinar keperakan yang keluar dari sebuah
benda bulat pipih bersegi
enam dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Begitu cepatnya melesat, sehingga si Serigala Penghi-
sap Darah tidak sempat lagi menghindari.
Crab! Senjata ampuh bernama Cakra Maut itu langsung
menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Tapi
satu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja, Cakra Maut terpental balik begitu
menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Sedangkan manusia bertubuh penuh
benjolan seperti bisul itu hanya terpental sedikit ke
atas. Keseimbangan tubuhnya cepat terkuasai dengan
melakukan putaran beberapa kali di udara. Dan kini
manis sekali kedua kakinya yang kokoh mendarat di
tanah. "Hap!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan. Pemuda
berbaju kulit harimau
itu jadi tercenung, melihat lawan tidak terluka sedikit
pun. Padahal tadi jelas sekali kalau Cakra Maut menghantam dadanya. Namun laki-
laki separuh baya berwajah penuh benjolan itu malah masih tetap berdiri
tegak. Tak ada sedikit pun luka di dadanya.
"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah jadi tertawa terbahak-bahak.
"Gila...!" desis Bayu hampir tidak percaya. Bayu
kembali memiringkan tubuhnya ke kiri, sedikit agak
membungkuk. Lalu kaki kanannya ditarik sehingga
merentang cukup lebar. Lututnya ditekuk sampai
hampir menyentuh tanah. Tatapan matanya begitu tajam, sambil memusatkan pikiran
pada kekuatan Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan kanannya.
Perlahan-lahan tangan kanannya ditarik ke depan dada. Lalu....
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Bayu menghentakkan tangan ka-
nannya ke depan sambil menarik tubuhnya agar berdiri tegak. Seketika itu juga
Cakra Maut yang menempel
di pergelangan tangan kanan berkelebat cepat, langsung menghantam telak dada si
Serigala Penghisap
Darah. Bres! Cakra Maut langsung menembus dada manusia
bertubuh penuh benjolan itu. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dikerahkan
Pendekar Pulau Neraka,
sehingga membuat Cakra Maut sampai tembus ke
punggung. Lalu, senjata itu melesat balik kepada pemiliknya. Cepat-cepat Bayu
mengangkat tangan kanan ke
atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah masih tetap tertawa-tawa.
"Gila...!" desis Bayu setengah tidak percaya.
Jelas, tadi Cakra Maut telah menghunjam dada si
Serigala Penghisap Darah, hingga menembus punggung. Tapi, tak ada luka sedikit
pun di dadanya. Dan
ini membuat Bayu semakin tidak mengerti. Baru kali
ini Pendekar Pulau Neraka menghadapi lawan yang
kebal terhadap senjata maut andalannya. Perlahanlahan pemuda berbaju kulit
harimau itu melangkah
mundur beberapa tindak.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu. Anak Muda. Aku
tahu, kedatanganmu atas perintah Gusti Wanengpati.
Kau menginginkan ini, bukan...?"
"Keris Kala Muyeng..." desis Bayu terperanjat.
Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang beberapa langkah, begitu si
Serigala Penghisap
Darah mengeluarkan sebilah keris yang masih setengah jadi. Bentuk keris itu
tidak beraturan, dan ber-
warna hitam legam. Asap kehitaman bercampur merah
tampak keluar dari ujung keris itu, dan langsung menyebarkan bau busuk tidak
sedap. Seakan-akan di sekeliling tempat ini dipenuhi mayat yang sudah membusuk.
Bayu merasakan perutnya jadi mual hendak muntah. Kembali kakinya bergeser ke
belakang beberapa
langkah, ketika si Serigala Penghisap Darah itu melangkah perlahan mendekati.
Melihat keris yang sudah
terhunus itu, Bayu semakin yakin kalau orang yang
dihadapinya ini adalah Waskita. Meskipun, sosok tubuh dan wajahnya sudah
berubah, bagaikan sosok
mayat hidup yang mengerikan sekali.
"Keris itu bukan hanya mempengaruhi jiwanya, tapi sudah merubah seluruh jiwa dan
raganya. Hhh...!
Apa yang harus kulakukan sekarang..." Tidak mudah
menundukkannya dalam keadaan sudah begini," keluh
Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari jalan keluar untuk dapat
menundukkan Waskita yang
kini benar-benar sudah berubah. Dan itu sudah pasti
akibat pengaruh Keris Kala Muyeng, yang kini benarbenar menjadi senjata pusaka


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyebar maut. Sementara itu, Waskita yang menjuluki dirinya Serigala
Penghisap Darah terus melangkah maju semakin mendekati Pendekar Pulau Neraka.
'Terpaksa, aku harus menghindar dulu kali ini,"
ujar Bayu memutuskan di dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka memanggil Tiren yang masih berada di atas dahan. Setelah
monyet kecil itu
hinggap di bahunya, cepat sekali Bayu berbalik, dan
berlari cepat meninggalkan tempat ini.
"Ha ha ha...!" Waskita yang kini menjuluki dirinya
sebagai Serigala Penghisap Darah, tertawa terbahak-
bahak melihat lawannya kabur.
Sama sekali dia tidak mengejar. Bahkan cepat melesat masuk kembali ke dalam
pondok kecilnya. Suasana di tengah hutan yang lebat itu kembali sunyi tanpa
terdengar suara sedikit pun. Sedangkan Bayu sudah begitu jauh meninggalkan
tempat itu. Dia kembali
ke seberang jurang, tempat Ki Wanengpati dan
Anggraini menunggu.
*** Ki Wanengpati termenung diam. Pandangannya kosong tertuju lurus ke depan,
setelah Bayu menceritakan pengalamannya di dalam hutan seberang jurang.
Sedangkan Anggraini juga hanya bisa diam memandangi Pendekar Pulau Neraka yang
mengelus-elus kepala monyet kecil dalam pangkuannya. Mereka masih
berada di dekat bibir jurang yang tidak seberapa lebar
itu. "Dia benar-benar akan berubah menjadi makhluk
liar yang sukar ditaklukkan lagi. Tak ada satu senjata
satu pun di dunia ini yang sanggup membunuhnya,
keluh Ki Wanengpati perlahan, seakan-akan berbicara
pada dirinya sendiri.
"Bagaimanapun juga, kita harus menghentikannya,
Ki. Sebelum bencana yang lebih besar lagi terjadi akibat kebrutalannya," selak
Anggraini tegas.
"Benar! Kita memang harus menghentikannya. Tapi
sulit jika sudah mulai berubah begitu. Pengaruh Keris
Kala Muyeng memang cepat. Terlebih lagi, jiwa Waskita
memang tidak terkendali dan sudah dikuasai nafsu
keserakahan. Hal ini akan mempercepat pengalihan
raganya, dari manusia menjadi iblis penghisap darah
seluruhnya," jelas Ki Wanengpati. "Dan kalau Keris Ka-
la Muyeng telah benar-benar sempurna menguasai seluruh jiwa dan raganya, dunia
ini pasti akan menjadi
neraka. Tak ada seorang pun yang dapat menghentikannya lagi."
"Mungkin kita bisa menghadapinya bersama-sama,
Ki." selak Bayu mengemukakan pendapat.
'Percuma. Seribu pendekar berkepandaian tinggi
sekalipun, tak akan sanggup menghadapinya," sergah
Ki Wanengpati. Bayu dan Anggraini hanya bisa saling pandang.
Mereka sungguh tidak menyangka kalau akan seperti
ini akhirnya. Terlebih lagi Bayu. Semula dugaannya
akan mudah merebut keris itu dari tangan Waskita.
Dan kalau bisa, sekalian menyadarkan atas kekeliruannya ini. Mengingat,
kepandaian yang dimiliki
Waskita sebenarnya tidaklah seberapa tinggi. Tapi,
ternyata Keris Kala Muyeng telah merubahnya menjadi
seorang manusia digdaya tanpa tanding yang berhati
iblis dan haus darah manusia.
"Apa tidak ada cara untuk keluar dari persoalan
ini, Ki?" tanya Anggraini.
"Satu-satunya cara hanyalah memisahkan keris itu
dari Waskita. Dan itu pun akan berakibat parah bagi
Waskita sendiri. Sifatnya akan semakin liar, dan tidak
mempedulikan keselamatan dirinya lagi," Ki Wanengpati tertunduk lesu.
Bayu dan Anggraini bisa merasakan kepedihan hati
laki-laki tua ini. Bagaimanapun juga, Waskita adalah
anak angkat sekaligus murid kesayangannya. Memang
tidak mudah menghadapi kenyataan pahit ini. Mereka
semua menyadari kalau akibat yang akan diterima
Waskita hanyalah kematian. Dan memang itu jalan satu-satunya untuk menghentikan
pengaruh jahat dari
Keris Kala Muyeng yang kini telah hampir sempurna
menguasainya. "Ah, Maaf. Tidak seharusnya sikapku seperti ini,"
ucap Ki Wanengpati cepat-cepat menyadari sikapnya
yang tidak pantas sebagai seorang ksatria.
"Tidak mengapa, Ki. Kami mengerti...," sahut Bayu
bisa merasakan perasaan laki-laki tua ini.
"Ki! Apa tidak sebaiknya hal ini kita beritahukan
pada Gusti Adipati...?" saran Anggraini.
"Aku rasa tidak perlu. Nini Anggraini. Aku khawatir, Gusti Adipati akan
mengerahkan para prajurit kadipaten. Jika itu terjadi, sama saja tindakan bunuh
diri. Dan itu berarti juga akan menghancurkan seluruh
Kadipaten Patarukan. Bahkan bukannya tidak mungkin akan menyebar ke kadipaten-
kadipaten lain," sahut Ki Wanengpati menyanggah saran Anggraini.
"Ki! Boleh ku tahu, di mana kau mendapatkan
benda untuk membuat keris itu?" tanya Bayu tiba-tiba.
"Untuk apa kau ketahui, Pendekar Pulau Neraka?"
Ki Wanengpati malah balik bertanya.
"Mungkin di sana bisa kudapatkan satu penyelesaian yang terbaik," jawab Bayu.
"Apa yang akan kau lakukan di sana?" tanya Ki
Wanengpati tidak mengerti.
"Sama seperti yang kau lakukan ketika mendapatkan bahan pembuat keris itu,"
sahut Bayu mantap.
"Dan selama kau melakukannya, dunia sudah
hancur. Aku melakukannya lebih dari sepuluh tahun.
Bersemadi selama satu hari penuh, setiap purnama.
Dan yang terakhir, aku bersemadi. Mati Geni selama
tujuh hari tujuh malam. Jadi sia-sia saja jika kau melakukan itu, Pendekar Pulau
Neraka," jelas Ki Wanengpati singkat.
"Mungkin aku bisa mempersingkat, Ki."
"Selama itu, korban sudah semakin banyak berja-
tuhan. Dan Waskita juga semakin sempurna saja dipengaruhi kekuatan jahat Keris
Kala Muyeng."
"Kita harus mencoba segala cara, meskipun berat
akibatnya, Ki," Bayu tetap bertekad.
Ki Wanengpati terdiam. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka dan Anggraini
bergantian. Tatapan
mata Bayu mencerminkan kesungguhan dan kemauan
yang bulat. Ki Wanengpati menghembuskan napas
panjang, kemudian bangkit berdiri diikuti Bayu dan
Anggraini. "Baiklah, kalau itu maumu. Tapi, aku tidak yakin
akan berhasil," ujar Ki Wanengpati akhirnya menyerah
juga. "Akan kuhadapi segala akibatnya, Ki" tegas Bayu
mantap. "Ikutlah aku."
*** Kini Bayu, Ki Wanengpati, dan Anggraini menuju
ke gua, tempat Ki Wanengpati mendapatkan benda
pembuat Keris Kala Muyeng. Saat itu, malam sudah jatuh menyelimuti seluruh
permukaan bumi Kadipaten
Patarukan. Di istana kadipaten, Adipati Antapara tampak gelisah sambil berjalan
mondar-mandir di ruangan
tengah yang luas dan cukup megah ini. Duduk di sebuah kursi tak jauh dari
jendela yang terbuka lebar,
tampak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih
panjang, di tangan kanannya tergenggam sebatang
tongkat berwarna putih.
Laki-laki tua itulah yang dikenal sebagai ketua sebuah padepokan yang letaknya
tidak jauh dari Kota
Kadipaten Patarukan ini. Namanya Eyang Badranaya,
guru Anggraini yang sekaligus juga ayah angkat gadis
itu. Baru sore tadi Eyang Badranaya berada di istana
kadipaten ini. Kedatangannya ke kadipaten ini pun setelah Anggraini meninggalkan
padepokan bersama
Pendekar Pulau Neraka. Dan sebenarnya, Adipati Antapara sendiri adalah murid
Eyang Badranaya juga,
sebelum menjabat sebagai adipati menggantikan ayahnya yang telah mangkat.
"Kenapa lama sekali, Eyang" Ke mana sebenarnya
mereka...?" tanya Adipati Antapara seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Katanya mereka hendak langsung ke sini, Nanda
Adipati," sahut Eyang Badranaya.
"Seharusnya mereka sudah sampai terlebih dahulu, Eyang. Tapi sampai malam
begini, kenapa belum
juga sampai..?" lagi-lagi Adipati Antapara yang masih
berusia muda itu bertanya.
"Mungkin mereka menemui halangan di jalan.
Tunggu saja sebentar lagi," hibur Eyang Badranaya,
mencoba menenangkan keresahan hati adipati muda
itu. Pada saat itu seorang anak muda berpakaian seragam prajurit kadipaten datang
memasuki ruangan tengah ini. Dia langsung berlutut di depan Adipati Antapara
sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, prajurit?" tanya Adipati Antapara.
"Gusti Wanengpati hendak menghadap, Gusti Adipati," sahut prajurit muda itu
penuh rasa hormat.
"Suruh masuk segera," perintah Adipati Antapara.
"Hamba, Gusti Adipati."
Prajurit muda itu memberi sembah, lalu bergegas
meninggalkan ruangan itu. Tak lama prajurit muda itu
pergi, muncul Ki Wanengpati bersama Anggraini. Mereka segera berlutut di depan
Adipati Antapara, sambil
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Adipati Antapara yang masih berusia muda itu
mengangkat tangan kanannya sedikit. Kemudian dipersilakannya Ki Wanengpati dan
Anggraini untuk
mengambil tempat di kursi yang telah disediakan.
Anggraini mengambil tempat di samping kanan
Eyang Badranaya. Sedangkan Ki Wanengpati mengambil tempat di samping kirinya.
Sementara Adipati Antapara duduk di seberang meja di depan mereka. Beberapa saat
tak ada yang membuka suara. Adipati Antapara merayapi wajah-wajah di depannya
secara bergantian. Pandangannya kini tertumbuk agak lama ketika menatap wajah
Anggraini yang cantik, dengan
bentuk bibir mungil dan selalu merah merekah.
"Dari mana saja kau, Anggraini" Kenapa baru datang sekarang?" Eyang Badranaya
membuka suara lebih dahulu.
Anggraini tidak langsung menjawab. Ditatapnya Ki
Wanengpati. Laki-laki tua yang usianya kira-kira sebaya dengan Eyang Badranaya
itu hanya menganggukkan kepala sedikit saja. Maka Anggraini langsung
menceritakan perjalanannya bersama Pendekar Pulau
Neraka, sampai bertemu Ki Wanengpati. Kemudian,
mereka ke hutan di Bukit Patarukan. Di sana Pendekar Pulau Neraka bertemu
Waskita yang sudah cukup
banyak berubah. Sampai-sampai, pendekar digdaya itu
tidak mampu menandinginya. Anggraini menceritakan
sampai mengantarkan Bayu ke dalam gua, tempat Ki
Wanengpati mendapatkan benda pembuat Keris Kala
Muyeng itu. Anggraini menceritakan singkat, namun sangat jelas dan mudah dimengerti. Tak ada
seorang pun yang
berbicara sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
Bahkan sampai selesai pun, tak ada yang membuka
suara. Cerita gadis itu membuat Eyang Badranaya dan
Adipati Antapara jadi terdiam, dengan kening berkerut
cukup dalam. Jelas mereka tengah disibuki oleh pikiran masing-masing.
"Eyang! Sudah separah itukah Waskita, sehingga
Pendekar Pulau Neraka harus melakukan semadi?"
tanya Adipati Antapara setelah cukup lama tak ada
yang membuka suara.
"Aku kenal Pendekar Pulau Neraka. Kalau sudah
sampai melakukan semadi itu, pasti terlalu sulit baginya menghadapi Waskita,"
sahut Eyang Badranaya.
"Berapa lama dia akan bersemadi?" tanya Adipati
Antapara lagi. "Sukar dikatakan, Ananda Adipati. Masalahnya tidak semudah yang kita bayangkan.
Terlebih lagi, sekarang ini jiwa dan raga Waskita benar-benar telah dikuasai
kekuatan jahat Keris Kala Muyeng. Sudah pasti,
yang ada di dalam diri Waskita bukanlah jiwanya sendiri. Dan apa yang
dilakukannya, tidak pernah disadari
karena seluruh jiwa dan perasaannya sudah tertutup
pengaruh jahat Keris Kala Muyeng...," nada suara
Eyang Badranaya terdengar terputus.
"Gusti Adipati, izinkan hamba menghadapinya.
Hambalah yang seharusnya bertanggung jawab dalam
persoalan ini, karena semua sumbernya dari hamba
sendiri," selak Ki Wanengpati.
"Itu namanya tindakan bunuh diri, Adi Wanengpati," ujar Eyang Badranaya cepat,
sebelum Adipati Antapara menjawab permintaan laki-laki tua penasihatnya ini.
"Benar, Ki Wanengpati. Sebaiknya, untuk sementara waktu semuanya diserahkan saja
pada Pendekar Pulau Neraka. Kalau ternyata dia gagal, baru kita hadapi Waskita bersama-sama,"
ujar Adipati Antapara.
'Tapi, Gusti...."
"Sudahlah, Adi Wanengpati. Kau sudah cukup berusaha keras. Kau pasti lelah,
sebaiknya beristirahatlah dulu," potong Eyang Badranaya cepat.
Ki Wanengpati menatap Eyang Badranaya sebentar, kemudian beralih pada Adipati
Antapara yang menganggukkan kepalanya sedikit. Setelah memberi
sembah penghormatan, Ki Wanengpati beranjak bangkit dari duduknya. Kemudian,
kakinya melangkah perlahan hendak meninggalkan ruangan ini.
"Sebaiknya kau tidur di sini saja, Ki," ujar Adipati
Antapara. 'Terima kasih, Gusti. Biarkan hamba pulang saja
malam ini," tolak Ki Wanengpati halus.
Adipati Antapara tidak dapat mencegah lagi. Sementara Ki Wanengpati sudah
menghilang, tertelan
pintu yang tertutup kembali begitu dilewatinya. Sementara di ruangan ini tinggal
Adipati Antapara, Eyang
Badranaya, dan Anggraini. Mereka terdiam untuk beberapa saat, dengan pikiran
masing-masing terus berkecamuk.
"Aku tinggal dulu, Eyang. Penat rasanya tubuhku,"
ujar Adipati Antapara berpamitan.
"Silakan, Ananda Adipati," sahut Eyang Badranaya.
Adipati muda itu menjura memberi hormat yang
dibalas Eyang Badranaya juga dengan penghormatan
yang sama. Adipati Antapara menganggukkan kepala
sedikit pada Anggraini. Sementara gadis itu hanya
memberi senyum tipis. Kemudian, pemuda itu melangkah meninggalkan ruangan ini


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anggraini..," panggil Eyang Badranaya setelah
Adipati Antapara tidak terlihat lagi di dalam ruangan
yang cukup besar ini.
"Ya, Eyang," sahut Anggraini.
"Bisa kau antarkan aku ke tempat Waskita besok
pagi?" pinta Eyang Badranaya.
"Mau apa Eyang ke sana?" Anggraini terkejut mendengar permintaan itu.
"Aku ingin menjajal tingkatan pengaruh keris itu
padanya. Mungkin dengan cara seperti itu, aku bisa
menjajaki kemungkinan untuk mencari kelemahannya," sahut Eyang Badranaya
beralasan. "Apa itu perlu, Eyang?" tanya Anggraini.
"Segala kemungkinan perlu dicoba terlebih dahulu,
sebelum mengambil keputusan, Anggraini"
Anggraini terdiam. Kata-kata yang sama barusan
juga pernah didengar dari mulut Pendekar Pulau Neraka. Apakah orang-orang bijak
di dalam rimba persilatan memang selalu mempunyai pandangan hidup
sama..." Anggraini tidak sempat menjabarkan pemikirannya yang tiba-tiba muncul
itu. Karena, Eyang Badranaya sudah bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan
ruangan ini. Anggraini bergegas pula meninggalkan ruangan tengah yang sangat
besar dan indah
ini. Sudah berapa kali gadis itu menginap di istana kadipaten ini. Sehingga, dia
tidak lagi merasa canggung.
Bahkan sebagian prajurit penjaga di lingkungan istana
ini sudah mengenalnya dengan baik. Yang lebih menyenangkan, gadis itu
diperlakukan sama dengan putri
kaum bangsawan lainnya. Anggraini juga sudah tahu,
kamar mana yang akan ditempati untuk istirahat tanpa harus diberitahukan lagi.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Dan suasana di lingkungan istana kadipaten ini terasa
lain dari biasanya. Adipati Antapara memang sudah
memerintahkan agar melipatgandakan penjagaan di
sekeliling istana. Sehingga, dimana-mana selalu terli-
hat para prajurit menjaga keamanan istana ini.
*** 7 Pagi-pagi sekali di saat matahari belum lagi menampakkan dirinya, Eyang
Badranaya dan Anggraini
sudah memacu cepat kudanya. Keluar dari benteng Istana Kadipaten Patarukan. Tapi
belum juga begitu
jauh mereka pergi, dari arah belakang terlihat seekor
kuda tengah berpacu cepat. Di punggungnya, tampak
seorang pemuda mengenakan baju putih ketat dengan
sebilah pedang tergantung di pinggang.
Eyang Badranaya menoleh ke belakang begitu merasakan ada yang membuntuti.
Keningnya jadi berkerut begitu mengetahui siapa yang membuntutinya.
Anggraini juga berpaling ke belakang. Dan kini mereka
jadi menghentikan lari kudanya hampir bersamaan.
"Nanda Adipati.... Mau apa dia mengikuti...?" desis
Eyang Badranaya perlahan.
Penunggang kuda itu memang Adipati Antapara.
Hanya pakaiannya saja yang berubah, tidak seperti biasanya jika berada dalam
istana kadipaten. Dengan
pakaian biasa seperti ini, tak akan ada seorang pun
yang bisa mengenali, kecuali orang-orang yang dekat
dengannya. Adipati Antapara tersenyum begitu dekat
dengan Eyang Badranaya dan Anggraini.
"Kenapa bengong...?" tegur Adipati Antapara.
"Ananda Adipati, hendak ke mana dengan pakaian
seperti ini?" tanya Eyang Badranaya.
"Ikut kalian...," sahut Adipati Antapara kalem.
"Ayo...?"
Eyang Badranaya dan Anggraini jadi saling melemparkan pandang, melihat Adipati
Antapara sudah menggebah kudanya perlahan-lahan melewati mereka.
Guru dan murid itu pun segera melajukan kudanya,
dan mensejajarkan di samping adipati muda ini. Tidak
mungkin mereka mencegah adipati itu untuk ikut ke
tempat persembunyian Waskita.
Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan menuju
ke Bukit Patarukan yang merupakan hutan lebat, dan
jarang dimasuki manusia. Biasanya mereka yang tinggal di Kadipaten Patarukan ini
hanya mengambil kayu
dari pinggiran hutan saja. Tak seorang pun yang berani lebih masuk lagi ke
dalam, kecuali yang memang
pekerjaannya berburu.
"Gusti..."
"Eh! Jangan panggil gusti! Panggil saja Kakang
Antapara," potong Adipati Antapara, cepat memutuskan ucapan Anggraini.
'Tapi..," Anggraini ingin membantah.
"Kau boleh memanggilku dengan sebutan itu kalau
di kadipaten. Tapi di sini, aku tidak suka mendengar
sebutan itu," lagi-lagi Adipati Antapara memotong cepat.
Anggraini jadi terdiam. Ditatapnya Eyang Badranaya. Sedangkan laki-laki tua
berjubah putih itu
hanya menganggukkan kepala saja. Dia memang sudah tahu kalau Adipati Antapara
tidak suka jika dipanggil gusti, bila sedang berada di luar kadipaten. Hal
itu sudah diketahuinya, sejak pemuda ini masih menuntut ilmu di padepokannya,
dan belum menjabat
sebagai adipati.
"Apa yang akan kau katakan, Anggraini?" ujar Adipati Antapara melihat Anggraini
jadi terdiam saja.
'Tidak jadi," sahut Anggraini jadi sungkan.
"Kenapa..." Bukankah tadi kau ingin mengatakan
sesuatu?" 'Tapi... Ah, tidak. Hamba...."
"Aku tahu. Kau pasti ingin menanyakan, kenapa
aku berpakaian seperti ini, dan meninggalkan kadipaten. Begitu, bukan...?" tebak
Adipati Antapara langsung.
Anggraini hanya diam saja. Dalam hatinya, memang diakui kalau ingin bertanya
seperti itu tadi. Tapi,
dia takut adipati muda ini tersinggung.
"Asal kau tahu saja, Anggraini. Sebenarnya aku lebih senang bepergian seperti
ini. Melakukan perjalanan dan berpetualang mencari pengalaman, daripada
harus duduk-duduk di kadipaten. Eyang Badranaya
pasti sudah lebih tahu. Bukan begitu, Eyang?" Adipati
Antapara menatap laki-laki tua di sampingnya.
Eyang Badranaya hanya menganggukkan kepala
saja sambil menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya yang hampir tertutup kumis
putih. Sedangkan
Anggraini hanya terdiam saja. Sesekali matanya mencuri pandang pada wajah tampan
di sampingnya ini.
Entah kenapa, gadis ini jadi membandingkan antara
Adipati Antapara dengan Bayu si Pendekar Pulau Neraka. Anggraini jadi memaki
diri sendiri dalam hati.
Dibuangnya jauh-jauh pikiran yang membandingbandingkan antara pemuda ini dengan
Pendekar Pulau Neraka. Suatu pikiran yang dianggapnya konyol, yang
timbul dari kepala seorang gadis seperti dirinya.
"Berapa lama lagi sampai ke sana?" tanya Adipati
Antapara saat mereka telah memasuki hutan di Bukit
Patarukan. "Mungkin tengah hari nanti, kalau tidak ada halangan," sahut Anggraini.
"Sebaiknya kau berjalan di depan, Anggraini," ujar
Eyang Badranaya.
"Baik, Eyang," sahut Anggraini.
Gadis itu memacu kudanya lebih cepat, mendahului yang lain. Kini Anggraini
berada paling depan, menjadi penunjuk jalan ke tempat persembunyian Waskita.
Mereka terus memacu kudanya dengan kecepatan
yang semakin diperlambat. Karena semakin jauh masuk ke dalam hutan ini, semakin
lebat pepohonan
yang menghadang. Dan tentu saja hal itu membuat
kuda-kuda yang mereka tunggangi kurang lancar jalannya. Belum lagi harus
menerobos semak, dan
menghalau akar-akar pohon yang bergelantungan
menghalangi perjalanan ini. Tapi mereka terus maju,
meskipun semakin tersendat saja.
*** Tepat seperti yang dikatakan Anggraini, mereka tiba di tepi jurang di saat
matahari berada di atas kepala. Mereka berlompatan turun dari kuda masingmasing.
Adipati Antapara melangkah sampai berada di
bibir jurang yang tidak terlalu besar ini. Sedangkan
Anggraini dan Eyang Badranaya berdiri sekitar tiga
langkah di belakang adipati muda itu. Perlahan Adipati
Antapara memalingkan kepala ke belakang. Eyang Badranaya menghampiri dan berdiri
di sampingnya. Anggraini juga mengikuti berdiri di samping lain pemuda itu.
"Tak ada seorang pun yang berani menyeberangi
jurang ini. Daerah itu dinamakan Lereng Kematian,
karena tak seorang pun yang pernah kembali setelah
menginjakkan kakinya di sana. Terlalu banyak binatang buas dan berbisa," kata
Adipati Antapara, setengah bergumam nada suaranya.
"Kalau Bayu bisa kembali dengan selamat, pasti cerita itu hanya isapan jempol
belaka," tanggap Eyang
Badranaya. "Memang hanya kepercayaan yang salah dan tidak
berdasar. Aku sendiri pernah menjelajah selama tiga
hari di sana. Malah tak ada seekor binatang pun yang
kujumpai," sambung Adipati Antapara.
"Lantas, bagaimana?" tanya Eyang Badranaya.
"Mudah-mudahan saja Waskita masih ada di sana.
Aku ingin sekali melihat bagaimana ujudnya sekarang
ini," kata Adipati Antapara.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Adipati Antapara melesat cepat dengan
ringan sekali. Beberapa
kali tubuhnya melakukan putaran di udara dengan
manis, lalu berhasil mendarat di tepi seberang jurang
ini. Pemuda itu berbalik dan menatap Eyang Badranaya dan Anggraini yang juga
sudah berlompatan menyeberangi jurang yang tidak seberapa lebar ini. Mereka juga
berhasil mendarat manis sekali.
"Ayo...," ajak Adipati Antapara.
Ketiga orang itu terus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Keadaan
hutan di Lereng Kematian
ini cukup lebat juga, sehingga mereka tidak dapat bergerak lebih cepat lagi.
Namun mereka bergerak cepat
dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah
nampak sebuah pondok kecil yang letaknya cukup tersembunyi di antara pepohonan
yang cukup rapat.
Ketiga orang itu memperlambat ayunan kakinya,
mendekati pondok kecil di depan sana. Dan mereka
baru berhenti melangkah setelah tinggal sekitar tiga
batang tombak lagi dari pondok kecil yang cukup tersembunyi letaknya. Sejenak
mereka saling melemparkan pandang, seakan-akan sama-sama memberi pe-
ringatan untuk berhati-hati. Dan baru saja mereka
hendak melangkahkan kaki kembali, tiba-tiba saja terdengar bentakan keras
menggelegar dari dalam pondok.
"Berhenti...!"
Bentakan itu bukan main kerasnya, sehingga
membuat Adipati Antapara, Eyang Badranaya, dan
muridnya terkejut setengah mati. Mereka jadi mengurungkan niatnya untuk
melangkah mendekati pondok
kecil yang cukup tersembunyi itu. Kembali mereka saling melemparkan pandangan,
kemudian sama-sama
menatap ke arah pondok kecil yang tak seberapa jauh
lagi di depan Adipati Antapara melangkah beberapa
tindak ke depan. Matanya tidak berkedip menatap lurus ke arah pintu pondok yang
tertutup rapat.
"Sebaiknya kalian kembali saja, daripada membuang nyawa sia-sia di sini...!"
kembali terdengar suara keras menggelegar dari dalam pondok.
"Waskita...! Aku Adipati Antapara, ingin bicara
denganmu!" bujuk Adipati Antapara dengan suara
yang juga keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Aku tidak peduli siapa kau! Pergi cepat sebelum
kesabaranku habis!" sahut suara dari dalam pondok
itu lagi. "Keluarlah, Waskita. Kita bisa bicarakan ini secara
baik-baik," bujuk Adipati Antapara.
"Jangan paksa aku bertindak! Pergi kalian semua!
Cepaaat..!"
Begitu kerasnya suara dari dalam pondok itu,
membuat Adipati Antapara jadi terlompat ke belakang
beberapa tindak. Sedangkan Eyang Badranaya dan
Anggraini bergegas menghampiri adipati muda itu.
"Kuberi kesempatan sekali lagi, sebelum kubunuh
kalian semua!" kembali terdengar suara keras menggelegar dari dalam pondok.
"Sebaiknya kita menyingkir dulu, Anakku," ujar
Eyang Badranaya setengah berbisik. 'Tampaknya
Waskita telah benar-benar dikuasai Keris Kala
Muyeng." "Aku akan memaksa dia keluar, Eyang," tegas Adipati Antapara.
Tidak ada lagi kesempatan bagi Eyang Badranaya
untuk membujuk Adipati Antapara agar menyingkir
dulu dari tempat ini. Karena mendadak saja pintu
pondok kecil itu terbuka, dan melesat sebuah bayangan hitam dari dalamnya. Cepat
sekali bayangan hitam
itu berkelebat tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri suatu sosok makhluk
berwajah penuh benjolan. Sehingga raut wajahnya begitu mengerikan untuk
dipandang. Rambutnya yang teriap tak beraturan, hampir menutupi raut wajahnya yang penuh
benjolan itu. Sebilah
pedang panjang tampak tergantung di pinggangnya.
Dan di balik sabuk yang melilit pinggangnya, terselip
sebilah keris yang kelihatannya baru setengah jadi. Dia
berdiri tegak bertolak pinggang. Sepasang bola matanya memerah, menatap tajam
Adipati Antapara.
"Kalian benar-benar ingin mampus...!" desis orang
berwajah buruk itu dingin menggetarkan.
"Waskita! Kau sadar, siapa yang berdiri di depanmu?" tegur Eyang Badranaya.
"Aku tidak peduli, siapa dia!" dengus laki-laki separuh baya yang berwajah penuh
benjolan itu. "Siapa
pun yang mencoba mengganggu ketenteraman ku, harus mati di sini!"
"Waskita...."
"Aku bukan Waskita! Aku Serigala Penghisap Da-
rah...!" bentak laki-laki separuh baya itu memutuskan
ucapan Eyang Badranaya.
"Aku tidak peduli siapa namamu sekarang. Tapi
aku tetap mengenalimu, Waskita," desak Eyang Badranaya.


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...!" Waskita yang sudah dikuasai kekuatan Keris Kala Muyeng, jadi
tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata Eyang Badranaya barusan.
Mendadak saja, Waskita mengebutkan tangan kanannya ke arah Eyang Badranaya.
Seketika itu juga,
secercah sinar merah melesat cepat bagaikan kilat ke
arah laki-laki tua berjubah putih itu.
"Awas, Eyang...!" teriak Anggraini memperingatkan.
"Uts!"
Hampir saja sinar merah itu menghantam tubuh
Eyang Badranaya, kalau tubuhnya tidak segera ditarik
ke kanan. Sinar merah itu melesat cepat di samping
kiri tubuhnya, dan langsung menghantam pohon yang
berada di belakang laki-laki tua ini. Seketika pohon itu
hancur berkeping-keping, terkena sambaran sinar merah tadi.
"Bagus" Ternyata kau mampu juga menghindari
seranganku, Orang Tua," desis Waskita dingin.
Eyang Badranaya yang menyadari kalau Waskita
tak mungkin lagi bisa disadarkan, segera bersiap menerima serangan kembali.
Sedangkan Waskita sudah
menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Tatapan
matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua itu. Seakan-
akan dia sedang mengukur
tingkat kepandaian yang dimiliki Eyang Badranaya.
Sementara itu Anggraini dan Adipati Antapara sudah menyingkir menjauhi tempat
ini. Mereka sekarang
berada di tempat yang cukup jauh dan jangkauan pertempuran, yang tidak mungkin
dielakkan lagi.
'Tahan seranganku, Orang Tua! Hiyaaa...!" seru
Waskita keras menggelegar.
Cepat sekali, si Serigala Penghisap Darah melompat menyerang Eyang Badranaya.
Secepat itu pula, pedangnya dicabut, dan langsung dikibaskan ke arah
leher laki-laki tua berjubah putih ini.
"Hait!"
Eyang Badranaya tidak berusaha menghindari serangan itu. Bahkan tongkatnya malah
dikebutkan, untuk menyampok tebasan pedang Waskita. Laki-laki tua
ini mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, yang langsung disalurkan ke
tongkat. Trak! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Eyang Badranaya, karena
tongkatnya terpenggal jadi dua bagian begitu berbenturan dengan pedang Waskita.
Cepat-cepat dia melompat mundur sejauh satu batang tombak. Tapi baru saja
kakinya menjejak tanah, Waskita sudah kembali
melancarkan serangannya cepat luar biasa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pedang di tangan Waskita berkelebat cepat mengurung seluruh tubuh Eyang
Badranaya. Akibatnya lakilaki tua berjubah putih itu terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan-serangan gencar.
Beberapa kali pedang di tangan Waskita hampir
merobek kulit tubuhnya. Tapi sampai sejauh ini,
Eyang Badranaya masih mampu menghindari. Bahkan
beberapa kali pula mampu melancarkan serangan balasan.
"Modar...!" teriak Eyang Badranaya tiba-tiba.
Cepat sekali laki-laki tua itu melancarkan satu pukulan keras menggeledek,
disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Begitu cepatnya pukulan itu, sehingga
Waskita tidak sempat lagi menghindar. Pukulan itu tepat menghantam dada yang
bergerenjul penuh benjolan.
Diegkh! "lkh...!" Eyang Badranaya terpekik kecil agak tertahan.
Cepat-cepat laki-laki tua itu menarik pulang tangannya, dan melompat sejauh
setengah tombak. Eyang
Badranaya merasakan seperti menghantam sebongkah
batu cadas yang begitu keras tadi. Tulang-tulang jari
tangannya seperti remuk, dan terasa nyeri sekali. Sedangkan Waskita sama sekali
tidak terpengaruh oleh
pukulan keras yang dilancarkan laki-laki tua ini.
Bahkan Waskita melangkah maju sambil mengebutkan pedangnya di depan dada.
Sedangkan Eyang
Badranaya terus bergerak mundur sambil mencari celah untuk melancarkan serangan.
Namun seranganserangan yang dilancarkan Waskita, membuat Eyang
Badranaya tak mampu lagi memberi serangan balasan.
Dan satu dua pukulan keras terpaksa diterimanya, sehingga membuat laki-laki tua
itu bergelimpangan di
tanah. Dalam beberapa jurus saja, Waskita sudah benarbenar menguasai pertarungan ini.
Dan Eyang Badranaya semakin terdesak saja, seakan-akan tak mampu
lagi memberi perlawanan berarti. Dan memang Waskita tidak memberi kesempatan
pada laki-laki tua itu
untuk melancarkan serangan balasan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Mendadak saja, Waskita mengubah pola serangannya. Tubuhnya berputar cepat,
sementara tangan kanannya yang memegang pedang merentang lurus,
mengarah ke dada Eyang Badranaya. Gerakan yang
begitu cepat membuat laki-laki tua itu jadi kelabakan
menghindarinya. Dia berlompatan, dan berjumpalitan
menghindari setiap tebasan pedang yang disertai gerakan tubuh berputaran cepat.
Selagi Eyang Badranaya sibuk menghindari tebasan pedang yang bergerak cepat
bagai memiliki mata,
mendadak saja Waskita cepat merubah jurus tangannya tanpa diduga sama sekali.
Laki-laki separuh baya
yang bentuk tubuh dan wajahnya sudah berubah penuh benjolan itu tiba-tiba saja
melentingkan tubuh ke
udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras, sambil mengibaskan pedangnya cepat
mengincar kepala.
Yeaaah...!"
"Heh..."!"
*** 8 "Yeaaa...!"
Eyang Badranaya benar-benar tak mampu lagi
menghindari serangan yang begitu cepat. Laki-laki tua
itu hanya bisa membeliakkan mata. Namun begitu
ujung pedang Waskita hampir saja membelah kepalanya, mendadak saja sebuah
bayangan kuning berkelebat cepat menghantam tubuh laki-laki separuh baya
yang wajahnya bergerenjul penuh benjolan itu.
Des! "Aaakh...!" Waskita terpekik keras.
Seketika itu juga tubuhnya terpental balik, dan
berputaran beberapa kali. Bayangan kuning itu kembali berkelebat cepat, lalu
terdengar suara dua buah
logam yang beradu keras. Terlihat bunga api memercik, disusul terpentalnya
pedang Waskita ke angkasa.
Bayangan kuning itu melesat ke udara, mengejar pedang itu. Sedangkan Waskita
masih berjumpalitan di
udara. Dan begitu kaki Waskita mendarat manis di tanah, bayangan kuning itu juga
meluruk turun. "Bayu...," desis Eyang Badranaya begitu melihat di
depannya sudah berdiri seorang pemuda mengenakan
baju kulit harimau.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuang pedang yang berhasil
dirampasnya dari tangan
Waskita. Sedangkan Waskita sendiri hanya mendengus
dan menggeram marah. Matanya tampak memerah
menatap liar Pendekar Pulau Neraka. Sedikit Bayu melirik Eyang Badranaya,
kemudian menatap Adipati Antapara dan Anggraini yang berada cukup jauh pada
tempat yang cukup aman. Kembali ditatapnya Waskita
yang menjuluki dirinya sebagai Serigala Penghisap Darah. Saat itu Eyang
Badranaya sudah berdiri di samping Bayu, diikuti Anggraini dan Adipati Antapara.
"Menyingkirlah. Biar aku yang menghadapinya,"
ujar Bayu perlahan tanpa mengalihkan pandangannya
dari si Serigala Penghisap Darah.
"Kau sudah mendapatkan kelemahannya, Bayu?"
tanya Eyang Badranaya.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum tipis
saja, hampir tidak terlihat. Kemudian kakinya bergerak
terayun dua langkah ke depan. Tatapan matanya tetap
tajam, tertuju lurus ke bola mata si Serigala Penghisap
Darah. Saat itu, Eyang Badranaya memberi isyarat pada Anggraini dan Adipati
Antapara untuk menyingkir.
Tanpa membantah sedikit pun, mereka bergerak menjauh. Eyang Badranaya sendiri
melangkah mundur
perlahan-lahan, dan baru berhenti setelah jaraknya
cukup jauh dari si Serigala Penghisap Darah dan Pendekar Pulau Neraka yang
berdiri saling menatap tajam.
"Keluarkan keris Kala Muyeng mu, Serigala Penghisap Darah!" desis Bayu, dingin
dan datar nada suaranya.
"Phuih! Kau datang hanya mengantarkan nyawa
saja, Bocah!" dengus Waskita tidak kalah dinginnya.
"Kita lihat saja. Siapa yang lebih dulu terbang ke
neraka," kali ini suara Bayu terdengar kalem.
"Setan alas...! Tahan seranganku. Hiyaaat..!"
Waskita jadi geram mendengar tantangan Pendekar
Pulau Neraka barusan. Bagaikan kilat, tubuhnya cepat
melompat menerjang sambil mencabut kerisnya yang
terselip di pinggang. Keris itu langsung dikibaskan ke
arah dada Pendekar Pulau Neraka.
Bet! "Hait..!"
Bayu hanya menarik tubuhnya sedikit ke belakang,
membuat keris yang baru setengah jadi itu hanya lewat sedikit saja di depan
dada. Pada saat itu, cepat dilepaskannya satu tendangan keras, sambil
memiringkan tubuh ke kiri.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Waskita melompat ke belakang setengah berputaran, menghindari tendangan keras
Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali
Bayu melompat. Langsung dilepaskannya satu pukulan lurus ke arah dada. Tak ada
lagi kesempatan bagi
Waskita untuk menghindar. Maka cepat-cepat kerisnya
dikebutkan ke depan dada.
"Hait!"
Namun yang terjadi mengejutkan sekali. Dengan
gerakan manis sekali, Bayu merundukkan tubuhnya
sedikit. Namun tangannya langsung bergerak cepat ke
arah perut. Dan sambil bergerak cepat Pendekar Pulau
Neraka menyambar sarung Keris Kala Muyeng yang
berada di balik ikat pinggang si Serigala Penghisap Darah.
Bet! "Hey..."!"
Waskita tersentak kaget. Cepat-cepat diburunya
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah cepat melesat ke belakang dan melakukan
putaran beberapa kali.
Lalu, manis sekali kakinya menjejak di sebatang dahan
yang tidak begitu tinggi. Tangan kanannya kini telah
menggenggam warangka keris yang terbuat dari kayu
hitam. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum
sambil memegangi warangka Keris Kala Muyeng di depan dada. Sedangkan Waskita
hanya berdiri saja dengan geraham bergemeletuk menahan geram.
*** "Bocah setan...! Turun kau...!" bentak Waskita geram.
"Kenapa tidak kau saja yang naik ke sini...?" tantang Bayu memanasi.
"Keparat..!"
Waskita benar-benar geram setengah mati, tapi
tampaknya ragu-ragu menuruti tantangan Pendekar
Pulau Neraka. Dia hanya berdiri tegak dengan sinar
mata tajam memerah dan berapi-api menatap Bayu
yang berdiri di atas dahan cukup tinggi. Bahkan Pendekar Pulau Neraka memain-
mainkan sarung keris
yang berhasil dirampasnya dari balik sabuk si Serigala
Penghisap Darah.
"Ayo, ke sini.... Kita bertarung di atas pohon," tantang Bayu terus memanasi.
"Ghrrr...!" Waskita jadi menggerung geram bagai-
kan binatang buas yang liar.
Sepasang bola matanya semakin memerah berapiapi. Benjolan-benjolan di seluruh
wajah dan tubuhnya,
terus bertumbuhan semakin banyak. Sehingga, hampir
menutupi bentuk wajahnya. Sehingga wajahnya tidak
sedap dipandang. Bau busuk semakin menyebar menyengat hidung, keluar dari Keris
Kala Muyeng yang
tergenggam di tangan si Serigala Penghisap Darah.
Asap hitam pun terus mengepul keluar dari ujung keris yang terhunus telanjang.
Dan itulah yang membuat
benjolan-benjolan pada tubuhnya makin bertambah.
Pada saat itu, tiba-tiba saja dari pohon yang lain
meluruk turun satu makhluk kecil dan hitam ke arah
si Serigala Penghisap Darah. Makhluk kecil hitam dengan suara kecil mencerecet
ribut itu, tahu-tahu hinggap di atas kepala Waskita. Akibatnya si Serigala
Penghisap Darah itu terkejut, dan langsung mengibaskan kepala ke atas. Tapi
makhluk kecil hitam yang
ternyata seekor monyet itu cepat melompat turun, dan
berlarian berputaran mengelilingi si Serigala Penghisap
Darah sambil mencerecet ribut.
'Terus, Tiren! Bagus...! Buat dia pusing tujuh keliling!" seru Bayu senang
melihat monyet kecil itu mengganggu perhatian si Serigala Penghisap Darah.
"Monyet jelek! Pergi kau...!" bentak Waskita geram.
Tapi monyet kecil yang bernama Tiren itu terus
bergerak memutari Waskita sambil mencerecet ribut.
Dan tiba-tiba saja, binatang itu melompat dari arah belakang, dan langsung
hinggap di tengkuk si Serigala
Penghisap Darah. Waskita jadi jengkel, sehingga menepuk tengkuknya. Tapi, Tiren
sudah lebih cepat lagi
melompat, sehingga tepukan Waskita hanya mengenai
tengkuknya sendiri. Tiren terus berlompatan cepat,
dan kembali melompat dari belakang. Kali ini hinggap
di kepala Waskita sebentar, dan kembali melompat cepat begitu tangan Waskita
melayang hendak menamparnya.
Kelakuan Tiren yang seperti sengaja menimbulkan
kemarahan itu memang membuat Waskita semakin
jengkel. Dia menggerung-gerung geram, dengan bola
mata semakin memerah berapi-api karena monyet kecil berbulu hitam itu terus
menggodanya. "Monyet setan! Hiyaaa...!"
Sambil berseru nyaring, Waskita mengibaskan keris ke arah monyet kecil yang berjingkrakan di depannya. Asap hitam yang
mengepul dari ujung keris itu tiba-tiba saja meluruk deras ke arah Tiren. Tapi
monyet kecil berbulu hitam itu cepat melompat menghindar
sambil mencerecet ribut. Satu ledakan keras menggelegar terdengar ketika ujung
asap hitam itu menghantam tanah. Begitu kerasnya, sehingga membuat tanah


Pendekar Pulau Neraka 27 Keris Kala Muyeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbongkar menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Bayu sendiri yang berada di atas pohon jadi terkejut setengah mati melihat
tindakan Waskita barusan.
Sedangkan Tiren jadi tampak ketakutan hingga cepatcepat melompat dan hinggap di
pundak Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil itu menyembunyikan wajahnya di
belakang kepala Bayu.
"Kemarikan monyet itu, Setan...!" geram Waskita
berang. "Bagus, Tiren. Kau sudah membangkitkan semangatnya. Sekarang tinggal kau alihkan
perhatiannya padamu. Aku akan berusaha merebut kerisnya," ujar
Bayu, berbisik sambil menepuk-nepuk tubuh monyet
kecil yang masih menyembunyikan mukanya.
Tiren hanya mengkirik kecil. Rupanya binatang itu
masih ketakutan atas tindakan Waskita tadi, yang
membuatnya terkejut. Bayu bisa mengerti kalau monyet kecil ini ketakutan.
"Jangan takut, Tiren. Aku pasti melindungimu," hibur Bayu menenangkannya. "Ayo,
alihkan perhatiannya lagi."
Tiren masih tetap menyembunyikan mukanya di
belakang Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, Tiren. Ini kesempatan baik untuk mengalihkan perhatiannya. Hanya kau satu-
satunya yang bisa
melakukannya," bujuk Bayu.
Perlahan Tiren mengeluarkan kepala dari belakang
kepala Bayu. Ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, kemudian beralih pada Waskita
yang mendengus dan
menggeram dengan berang.
"Ayo...."
"Nguk!"
Tiren kembali melompat turun. Tapi begitu kakinya
menjejak tanah, Waskita sudah langsung meluruk
sambil menghunus keris. Begitu cepat gerakannya,
membuat monyet kecil itu jadi mencerecet ketakutan.
Dia cepat melompat, sehingga hunjaman Keris Kala
Muyeng hanya mengenai tanah kosong. Hal ini membuat Waskita benar-benar geram.
"Setaannnnn...! Kubunuh kau, Monyet Jelek!"
"Nguk!"
*** Sambil meraung keras, Waskita mengangkat kerisnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
Pada saat itu Bayu
melesat cepat sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya lesatan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga
Waskita tidak sempat lagi memperhatikan. Terlebih,
saat itu perhatiannya memang sedang terpusat pada
monyet kecil yang telah membuatnya jengkel.
Tap! "Heh..."!"
Si Serigala Penghisap Darah terkejut setengah mati, ketika tangannya tersentak.
Dan lebih terkejut Lagi,
begitu menyadari kerisnya sudah berpindah tangan.
Begitu disadari apa yang telah terjadi, Bayu sudah
berdiri di samping Tiren. Dan monyet kecil itu cepat
melompat naik ke pundak Bayu dengan gerakan lincah. Sementara Eyang Badranaya,
Adipati Antapara,
dan Anggraini yang menyaksikan semua itu jadi menarik napas lega melihat Bayu
telah menguasai Keris Kala Muyeng.
Trek! Bayu memasukkan keris itu ke dalam warangkanya. Lalu, diberikannya keris itu
pada Tiren yang
langsung menerimanya. Sementara Waskita menggerung-gerung marah melihat
senjatanya sudah tidak
berada lagi di tangannya. Hatinya begitu marah, karena merasa tertipu mentah-
mentah tanpa mampu menyadari siasat Pendekar Pulau Neraka sebelumnya.
"Berikan keris itu pada Eyang Badranaya, Tiren.
Lewat pepohonan saja," ujar Bayu.
"Nguk!"
Tiren segera melompat ke atas pohon yang dekat,
lalu terus berlompatan dari pohon yang satu ke pohon
lainnya. Melihat monyet kecil itu berlompatan di atas
pohon sambil membawa Keris Kala Muyeng, Waskita
tidak ingin melepaskan begitu saja. Maka cepat-cepat
dia melompat mengejar. Tapi pada saat itu, Bayu yang
memang sudah menyadari tindakan yang akan dilakukan Waskita, cepat melompat
menerjang si Serigala
Penghisap Darah.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Bayu melepaskan satu pukulan
keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bayu, sehingga Waskita tidak sempat lagi
menghindari. Buk! "Aaakh...!" Waskita menjerit keras.
Laki-laki separuh baya itu terpental balik, dan jatuh bergulingan beberapa kali.
Dua batang pohon yang
terlanda tubuhnya langsung roboh membuat tanah di
sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Sementara Bayu manis sekali sudah
mendarat kembali di
tanah. Tanpa Keris Kala Muyeng berada di tangan, Waskita memang tidak memiliki daya
Lagi. Maka kekebalan
tubuhnya pun juga sirna, meskipun pengaruh jahat
dari keris itu masih menguasainya. Dan kesempatan
ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau Neraka. Dengan
cepat Bayu memiringkan tubuh ke kiri agak terbungkuk. Kemudian kaki kanannya
ditarik merentang, dengan lutut tertekuk hampir menyentuh tanah. Tepat ketika
Waskita melompat bangkit berdiri, Bayu cepat
mengibaskan tangan kanannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Bagaikan kilat, Cakra Maut yang selalu menempel
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
melesat cepat ke arah dada si Serigala Penghisap Darah. Begitu cepatnya senjata
berbentuk bintang segi
enam itu melesat, sehingga Waskita tidak punya kesempatan menghindar lagi.
Crab! "Aaakh...!" Waskita menjerit keras melengking tinggi.
Cakra Maut tepat menghantam dada si Serigala
Penghisap Darah. Begitu kerasnya Cakra Maut itu terlontar, sehingga sampai
menembus punggung. Senjata
maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik
pada pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya. Dan begitu Cakra Maut
kembali menempel di
pergelangan tangan kanannya, kembali dilontarkan
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Crab! "Aaa...!"
Lagi-lagi Waskita menjerit keras melengking tinggi.
Kali ini Cakra Maut merobek tenggorokannya, hingga
darah kembali menyembur keluar deras sekali. Senjata
berwarna keperakan bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan
pemiliknya. Sementara
Waskita masih tetap berdiri, meskipun tubuhnya limbung. Darah terus mengucur
keluar dari dada, punggung, dan lehernya yang bolong akibat tertembus Cakra
Maut. Dengan langkah gontai, Waskita menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Bola matanya
masih memerah menyala-nyala. Sedangkan Bayu menggeser kakinya ke
kanan beberapa langkah. Meskipun darah semakin
banyak bercucuran keluar, tampaknya Waskita masih
sanggup bertahan. Namun demikian, ayunan langkahnya sudah begitu gontai.
"Pergi kau, Iblis! Hiyaaa...!"
Sambil berseru nyaring, Bayu melompat cepat bagaikan kilat. Satu tendangan keras
menggeledek cepat
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tendangan itu diarahkan langsung ke kepala. Begitu cepatnya
serangan itu, mem-
buat si Serigala Penghisap Darah tak mampu lagi
menghindarinya.
Prak! "Aaa...!"
Waskita berputaran beberapa kali ketika tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau
Neraka menghantam keras kepalanya. Seketika Serigala Penghisap Darah jatuh
bergulingan di tanah. Kepalanya retak, sehingga darah merembes keluar semakin
deras. Tubuhnya menggelepar, dan suaranya menggerung-gerung
seperti binatang terluka terkena panah pemburu. Sementara Bayu yang
memperhatikan saja dengan sikap
agak tegang. Cukup lama juga Waskita meregang, menggerung,
dan menggelepar menyongsong maut. Hingga akhirnya, dia mengejang kaku dan diam
tak bergerak-gerak
lagi. Bayu baru bisa menarik napas lega setelah melihat lawannya sudah tak
bergerak lagi. Pada saat itu,
Eyang Badranaya, Adipati Antapara, dan Anggraini
bergegas menghampiri. Di pundak Eyang Badranaya
duduk monyet kecil berbulu hitam yang langsung berpindah ke pundak Bayu begitu
dekat "Semuanya sudah berakhir sekarang," desah Bayu
hampir tak terdengar suaranya.
"Kukira kau memiliki sesuatu yang dapat mengalahkan Keris Kala Muyeng, Bayu,"
tebak Eyang Badranaya.
"Tidak ada satu senjata pun di dunia ini yang dapat mengalahkannya, Eyang. Hanya
ini...," jelas Bayu
sambil menunjuk keningnya.
Eyang Badranaya tersenyum. Dia mengerti, kalau
Bayu mengalahkan Waskita yang sudah dikuasai kekuatan jahat Keris Kala Muyeng
hanya dengan kecerdikan dan siasat jitu. Memang tak ada satu pun benda
sakti di dunia ini yang dapat mengalahkan otak manusia yang memang diciptakan
lebih sempurna, daripada
apa pun yang ada di dunia ini.
Dan itu semua, sebenarnya tidak luput dari jasa
Tiren, monyet kecil yang cerdik milik Pendekar Pulau
Neraka. Monyet kecil itu berani mempertaruhkan jiwanya sendiri untuk mengalihkan
perhatian Waskita.
Sehingga, Bayu dapat merebut Keris Kala Muyeng dari
tangan si Serigala Penghisap Darah. Tanpa keris itu,
kekuatan Waskita tidak ada artinya lagi. Meskipun,
bentuk tubuhnya tetap bergerenjul penuh benjolan seperti bisul.
"Bagaimana dengan keris ini, Bayu?" tanya Eyang
Badranaya yang memegang Keris Kala Muyeng.
"Sebaiknya simpan saja di tempat yang aman. Berbahaya sekali jika
menggunakannya, tanpa dapat
menguasai kekuatan yang ada padanya," sahut Bayu.
Eyang Badranaya menatap Adipati Antapara, dan
menyodorkan keris itu.
"Tidak. Sebaiknya kau saja yang menyimpannya,
Eyang," Adipati Antapara menolak keris itu.
"Benar! Di tangan Eyang, keris itu lebih aman,"
sambung Bayu. "Baiklah...," desah Eyang Badranaya tidak bisa
menolak lagi. Laki-laki tua berjubah putih itu menyelipkan Keris
Kala Muyeng ke dalam balik lipatan jubahnya. Jika berada dalam warangka, keris
itu tidak memiliki daya
kekuatan sama sekali. Tapi jika sudah keluar dari warangkanya, maka akan dapat
cepat menguasai jiwa
pemegangnya. "Mari kita pulang," ajak Adipati Antapara.
"Sebaiknya, aku kembali meneruskan perjalanan
saja. Kita berpisah di sini," pamit Bayu.
'Tidak! Kau menjadi tamuku di istana," sentak Adipati Antapara tegas.
"Terima kasih, perjalananku masih...."
"Aku mengundangmu. Dan jika kau menolak, aku
tidak akan mengizinkan kau masuk ke kadipaten ku
selamanya," potong Adipati Antapara cepat.
"Ayolah, Bayu. Satu dua hari, tidak akan mengganggu perjalananmu," bujuk Eyang
Badranaya. Bayu hanya mengangkat bahunya saja, dan tidak
bisa lagi menolak undangan adipati muda yang mengundangnya secara setengah
memaksa ini. Tapi, Bayu
bisa memaklumi. Adipati Antapara pasti akan menjamu untuk mengucapkan terima
kasih. Dan sebenarnya, hal seperti ini tidak diinginkannya. Tapi, dia tidak
bisa menolak setelah Eyang Badranaya juga memintanya.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat
itu. Tinggallah mayat Waskita yang telah membuat beberapa korban di Kadipaten
Patarukan terbujur kaku
bersama perbuatannya, ini semua akibat seluruh jiwanya dikuasai kekuatan jahat
dari Keris Kala
Muyeng. Adipati Antapara sendiri akan mengirimkan
para prajurit untuk mengurus mayat Waskita, sesampainya nanti di istana
kadipatenan. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Raja Iblis Tanpa Tanding 2 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Prahara Pulau Mayat 2
^