Pencarian

Memburu Bah Jenar 1

Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Bagian 1


MEMBURU BAH JENAR
Oleh Sandro S. Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode: Memburu Bah Jenar
128 hal; 12 x 18 cm
1 Malam itu adalah malam Jumat Kliwon,
yang menuruti kepercayaan orang merupakan
malam di mana para roh merakhiyangan, serta
para dedemit bergentayangan.
Hujan turun dengan derasnya seperti me-
ratapi kepekaan dan kemisterian yang selalu me-
nyelubungi kehidupan manusia dalam segala
tingkah lakunya.
Lolongan anjing hutan, sepertinya sebuah
lolongan histeris dari seorang manusia yang pe-
nuh dengan perbuatan durhaka dan ingkar pada
Penciptanya. Dari sebuah rumah yang letaknya tak jauh
dengan hutan, terdengar isak tangis seorang wa-
nita. Bila kita melihatnya ke dalam, di sana kita akan menyaksikan seorang
wanita muda tengah
duduk dengan kedua tangan menutup muka. Ru-
panya wanita muda itu tengah menangis, entah
apa yang ditangisi nya.
"Gusti Allah. Kenapa diriku sejelek ini"
Hingga aku selalu disisihkan dalam pergaulan?"
Mana kala tangannya membuka dari muka,
tampaklah seraut muka yang hancur berantakan
bagai tak berbentuk lagi. Kedua pipinya tampak
membusuk, sementara hidungnya membesar se-
besar buah terung.
Saat wanita itu memandang wajahnya pada
cermin, seketika ia menjerit dan menghantam
cermin di hadapannya dengan batu hingga pecah
berantakan. "Tidak...! Tidak! Wajahku tidak seperti ini.
Hu, hu, hu...."
Wanita itu terus menangis, seakan lak rela
wajahnya yang dulu cantik berubah menjadi se-
raut wajah busuk dan bau. Jangankan pria-pria
ganteng, pria jelek pun tak akan mau mengam-
bilnya menjadi istri.
Setelah menangis sesenggukan untuk be-
berapa lama, wanita itupun tampak tercenung.
Angannya seketika kembali melayang pada masa
silam, mana kala wajahnya masih cantik jelita.
Dua tahun yang lalu wajahnya cantik jelita,
hingga banyak pria yang mengaguminya, berlom-
ba-lomba untuk mendapatkan dirinya. Namun se-
jauh itu tak pernah ada yang mampu memenuhi
syarat yang telah ia tentukan dalam hati.
Adapun syarat yang ia tentukan untuk
mendapatkan pasangan, tak lain seorang lelaki
yang tampan, kaya, dan mempunyai kedigdayaan
tinggi. Untuk memenuhi syarat tersebut, wanita
itu yang bernama Nyi Sarpa Rakinten membuat
suatu sayembara.
Berduyun-duyun sang juragan datang un-
tuk mengikuti sayembara tersebut, dengan hara-
pan dapat mempersunting Nyi Sarpa Rakinten
yang cantik jelita.
Maka saat itu juga diadakanlah pemilihan
calon yang cocok untuk menjadi pendamping Nyi
Sarpa Rakinten. Pertama dilakukan pemilihan
siapa-siapa yang paling ganteng dan kaya.
Setelah diseleksi dengan seksama oleh Nyi
Sarpa Rukinten sendiri, dipilihlah sepuluh orang
laki-laki yang paling kaya di antara dua puluh li-ma orang.
Syarat pertama telah selesai, dilanjutkan
dengan syarat kedua yaitu mencari siapa yang
paling tinggi ilmu kadigjayaannya.
Maka satu persatu dari kesepuluh orang
yang telah memenuhi syarat pertama diadu. Jika
telah ada yang menang dialah yang berhak men-
jadi pendampingnya.
Namun setelah hal itu berlanjut dan telah
ada seorang di antara kesepuluh juragan itu yang
menang, ternyata Nyi Sarpa Rakinten mengingka-
rinya. "Mengapa kau tak mau menerimaku yang
telah memenuhi segala syarat-syarat yang telah
kau ajukan?" tanya Gantra agak kecewa dan marah, merasa dirinya telah dikhianati
dan dibohon- gi oleh Nyi Sarpa Rakinten.
"Maafkan aku, Gantra. Sebenarnya aku te-
lah mempunyai calon suami."
"Nyi Sarpa Rakinten! Kalau memang itu
keputusanmu, jangan salahkan aku suatu saat
mukamu yang cantik jelita akan menjadi busuk!
Hingga tak ada seorangpun termasuk calon sua-
mimu yang sudi denganmu! Camkan itu!"
Habis berkata begitu, dengan penuh keke-
cewaan Gantra segera berlari meninggalkan Nyi
Sarpa Rakinten yang hanya terbelalak sesaat. La-
lu dengan meremehkan ucapan Gantra, Nyi Sarpa
Rakinten mencibirkan bibirnya.
"Hem... keki rupanya. Mana aku mau den-
gannya yang telah mempunyai anak isteri" Iste-
rinya saja enggak pernah diurusi, apalagi nanti
punya isteri dua?"
Habis berkata mengejek begitu. Nyi Sarpa
Rakinten segera mengegoskan tubuhnya kembali
masuk ke dalam rumahnya. Direbahkan tubuh-
nya di utas dipan
Rasa kecewa dan kesalnya pada Nyi Sarpa
Rukinten yang telah mentah-mentah menolaknya
menjadi suami, menjadikan Gantra tak dapat te-
nang. Ia belum puas bila belum mampu membuat
wajah Nyi Sarpa Rukinten hancur, hingga tak
seorang pemuda atau pria manapun yang mau
menjadi kekasihnya.
Dendam memang susah untuk dilupakan
begitu saja, karena dendam merupakan pengaruh
syetan yang menghendaki manusia lupa pada se-
samanya. Bila dendam telah melekat dalam hati,
maka manusia tak akan mengenal yang namanya
kasih sayang. Seperti halnya Gantra, yang malam itu tak
mampu memicingkan matanya barang sekejap-
pun. Ingatannya kembali pada ucapan Nyi Sarpa
Rukinten, "Mengurusi satu isteri saja kau tak be-cus, apalagi mengurusi dua
isteri" Lagi pula aku
telah memiliki calon suami yang saat ini tengah
berada di rantau."
"Sarpa Rukinten, brengsek! Kalau aku tak
mampu membuatmu di benci oleh semua orang,
jangan sebut aku Gantra lagi!" memaki Gantra sendirian. Isterinya yang saat itu
mendengar bertanya, terheran-heran.
"Kang, kau memaki-maki siapa?"
"Ah... tidak! Aku tidak apa-apa. Mungkin
aku tadi melamun dan teringat pada waktu aku
masih menjadi prajurit."
Mendengar ucapan suaminya, seketika
sang isteri tampak mengangguk-angguk mengerti
seraya mendesah. "Ooh...!" lalu segera mengegoskan tubuhnya kembali masuk ke
dalam ka- mar. Tak lama kemudian, terdengar dengkurnya
yang menggema membuat Gantra menggerutu
kesal. "Dasar jelek! Tidur saja mendengkur begitu rupa. Menyesal aku menuruti
kemauan bapak, kalau akhirnya aku mendapatkan isteri macam
begini. Hem, Nyi Sarpa Rukinten, dendamku pa-
damu tak akan hilang bila aku belum dapat
membuatmu menderita."
Malam itu juga Gantra bertekad untuk
mencari seorang dukun, yang bisa mengguna-
gunai Nyi Sarpa Rukinten. Namun bukan guna-
guna pelet tapi guna-guna agar muka Nyi Sarpa
Rukinten yang sombong dan angkuh itu menjadi
buruk. Hingga tak ada seorang pun yang nantinya
mau menjadi suami.
"Ke mana aku harus mendapatkan seorang
dukun?" bertanya Gantra pada diri sendiri. Kem-
bali ia tercenung bingung. Di mana dukun yang
mampu melakukan kehendaknya itu. Setelah se-
kian lama termenung, Gantra teringat pada seo-
rang temannya bernama Ki Panganoman yang
bertempat tinggal di kaki gunung Galunggung.
"Ah! Aku harap ia mampu melakukan itu,"
gumam hati Gantra. Kepalanya yang tak berat di-
angguk-anggukan seperti memahami sesuatu.
Dengan perlahan-lahan menuruni tangga
rumahnya, Gantra segera keluar untuk menuju
ke tempat Ki Panganoman. Malam itu pula, Gan-
tra pergi menuju ke Ki Panganoman.
Ketika matahari telah terbit redup di ufuk
Timur, Gantra telah sampai pada tujuan yaitu se-
buah gubug yang terletak di kaki bukit gunung
Galunggung. Dengan wajah berseri-seri, Gantra segera
mempercepat langkahnya. Rasa capai, kantuk tak
dihiraukannya. Bahkan mana kala telah tiba di
depan rumah Ki Panganoman, Gantra nampak
makin bersemangat
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" terdengar jawaban seseorang dari gubug, disusul dengan keluarnya
seorang lelaki yang usianya sebaya dengan Gantra. "Eh, kau, Gantra! Kapan
datang" Angin apa yang telah
membawamu ke mari?"
"Maaf, Kakang Panganoman! Aku tak per-
nah mengunjungimu setelah kita keluar dari ke-
prajuritan. Angin buruk yang telah mengingatkan
aku padamu."
Mengerut alis mata Ki Panganoman men-
dengar apa yang telah dikatakan oleh temannya
seraya bergumam "Angin buruk" Gerangan apa-
kah itu" Hingga kau mengatakan angin buruk,
Gantra?" Sesaat Gantra terdiam seperti malu untuk
menceritakan hal apa yang sebenarnya terjadi. Ki
Panganoman yang mendapatkan Gantra diam,
akhirnya bertanya kembali.
"Gantra, kalau kau tak mau mengutara-
kannya padaku. Untuk apa kau datang jauh-jauh
ke sini?" Didesak begitu rupa oleh Ki Panganoman,
Gantra pun akhirnya dengan malu-malu mengu-
tarakan juga. "Kakang Panganoman, sebenarnya hal ini masalah wanita."
"Masalah wanita" Istrimu...?" bertanya Ki Panganoman tak mengerti memandang
tajam pa-da Gantra, yang hanya mampu menundukan wa-
jah karena malu. Setelah mengatur napas, akhir-
nya Gantra dengan suara berat menceritakan
"Seminggu yang lalu aku mendengar se-
buah pengumuman yang disebar oleh seorang
wanita bernama Nyi Sarpa Rukinten."
"Tentang apa itu?"
"Nyi Sarpa Rukinten menyebar pengumu-
man berisikan sebuah sayembara. Barang siapa
yang kaya, tampan, dan memiliki ilmu silat tinggi akan berhak menjadi suaminya.
Akupun segera ikut ambil bagian dan melamar. Namun setelah
segala persyaratan aku penuhi, dia ternyata
hanya berdusta dan mempermainkan aku, bah-
kan mengejekku yang sangat menyakitkan."
Ki Panganoman terangguk-angguk kepa-
lanya mendengar cerita Gantra. Setelah Gantra
mengakhiri ceritanya, Ki Panganomanpun segera
kembali bertanya:
"Lalu maksudmu, bagaimana?"
"Kakang Panganoman, dendam dan keke-
cewaanku pada Nyi Sarpa Rakinten yang telah
mempermainkan aku ingin aku balas! Jangan ka-
rena wajahnya cantik, lalu semena-mena mem-
permainkan lelaki!"
"Maksudmu, Gantra?"
"Apakah kakang tak mengerti?" bertanya
Gantra seperti tak percaya, yang hanya dijawab
dengan gelengan kepala Ki Panganoman.
"Aku ingin membalas sakit hatiku pada
Sarpa Rukinten. Aku ingin agar wajahnya yang
cantik itu, kakang bikin buruk. Bukankah dengan
demikian ia tak akan sombong?"
Ki Panganoman menarik napas panjang-
panjang demi mendengar ucapan Gantra. Kembali
kepalanya digeleng-gelengkan, lalu ucapnya ke-
mudian: "Apakah kau siap menanggung resiko
nantinya, Gantra?"
Tercenung Gantra seketika itu. Sepertinya
ia tengah berpikir meresapi ucapan Ki Pangano-
man yang dirasa memang ada benarnya juga.
Namun karena dendam yang lebih menguasai ha-
tinya, Gantra akhirnya menjawab, membikin Ki
Panganoman mendesah berat
"Aku siap menanggung akibatnya nanti,


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakang. Asalkan dendamku padanya dapat terba-
laskan." "Aah...! Apakah kau telah berpikir masak-
masak, Gantra?"
"Sudah! Aku telah memikirkannya. Dan
aku telah siap menanggung akibatnya kelak."
Menggeleng lemah kepala Ki Panganoman
mendengar ucapan Gantra.
Muka Ki Panganoman seketika berubah re-
dup seakan menyesali tindakan Gantra yang ter-
lalu gegabah. Hingga membuat Gantra untuk ke-
dua kalinya berkata: "Kenapa, Kakang?"
"Apakah kau benar-benar, Gantra?"
"Ya!" menjawab Gantra seraya menganggu-
kan kepalanya, membuat Ki Panganoman kembali
geleng-geleng kepala sebelum kembali berkata:
"Kalau itu yang menjadi keputusanmu,
maka aku tak dapat lagi menolaknya. Namun per-
lu kau ingat! Bahwa segala resikonya nanti bera-
da di tanganmu, jangan kau bawa-bawa aku."
"Baik, Kakang. Aku telah siap." Terangguk-angguk kepala Ki Panganoman mendengar
uca- pan Gantra yang teguh.
"Pulanglah kau. Tunggulah akibatnya nanti
pada waktu kurang dari tujuh hari."
"Terimakasih, Kakang."
Setelah menyalami Ki Panganoman Gan-
trapun segera kembali pulang ke rumah untuk
menunggu hasilnya.
Ki Panganoman hanya mampu mengge-
lengkan kepalanya setelah kepergian Gantra, se-
belum ia kembali membalikkan tubuhnya masuk
ke dalam pondokannya yang kecil dan terpencil
jauh dari keramaian orang.
Dengan wajah berseri-seri, Gantra berjalan
pulang bagaikan tak merasakan lelah setelah se-
malam tak tidur dan tanpa istirahat. Di hatinya
hanya ada satu kala. Dendamku terlunasi sudah!
Waktu yang ditentukan oleh Ki Pangano-
man ternyata tak meleset. Terbukti kurang dari
tujuh hari tersebar kabar bahwa Nyi Sarpa Rukin-
ten sakit aneh. Sakit yang membuat wajahnya se-
ketika mengeluarkan benjolan-benjolan bernanah
dan bila digaruk seketika memecah menjadi ko-
reng. Bagaikan tak mengerti saja, Gantra segera
memacu kudanya menuju tempat Nyi Sarpa Ru-
kinten. Wajah Gantra tampak berseri-seri men-
gingat bakal apa yang akan dilihatnya. Ditam-
batkan tali kudanya pada sebatang pohon di ha-
laman rumah Nyi Sarpa Rukinten. Dan dengan
bergegas. Gantra segera menyeruak menyisihkan
orang-orang yang melihatnya untuk dapat masuk.
Terbelalak mata Gantra seketika itu, ma-
nakala melihat hasil yang telah diperolehnya. Wa-
laupun muka tampak meredup sedih, namun ha-
tinya seketika itu bersorak gembira. "Hem... rasa-kanlah akibat kesombonganmu!"
Nyi Sarpa Rukinten yang tengah menangis,
seketika memandang tajam pada Gantra dengan
sorot mata penuh kebencian. Dan dari mulutnya
terdengar suara membentak marah.
"Kau! Kaulah yang telah melakukan ini
semua! Kau bajingan! Kau bajingan...!"
Bersamaan dengan itu. Nyi Sarpa Rukinten
segera menyerang Gantra. Semua orang yang ada
di situ tercengang tanpa dapat mencegah.
Diserang dan dituduh begitu oleh Nyi Sar-
pa Rukinten, membuat Gantra tak dapat menge-
lakkannya. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya
seketika sempoyongan terhantam pukulan Nyi
Sarpa Rukinten. Meski tanpa bobot, namun begi-
tu keras karena tengah diselimuti kemarahan.
"Kau bukan lelaki! Kenapa aku tolak cin-
tamu kau membikin mukaku begini" Kenapa"!"
Demi mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukin-
ten yang disertai tangis, seketika semua yang ada di situ serentak mengeroyok
Gantra. Mau tak
mau Gantra pun harus berpikir dahulu sebelum
ia bertindak gegabah. Makakala ada kesempatan
lolos, Gantra pun dengan segera melentingkan
tubuhnya ke atas dan hinggap di punggung ku-
danya. Dengan segera dibukanya tali kuda yang
ditambat. Dan dengan tanpa menengok lagi, Gan-
tra segera menggebas kudanya yang seketika lari
kencang meninggalkan semua orang yang menge-
jarnya. Mereka yang mengejarnya pun akhirnya
tak dapat berbuat apa-apa, kecuali kembali pada
Nyai Sarpa Rukinten yang telah minggat entah ke
mana. 2 Nyi Sarpa Rukinten masih menangisi kea-
daan wajahnya yang sangat buruk. Hatinya pedih
hatinya dendam. Hatinya penuh kebencian pada
semua lelaki khususnya Gantra yang telah mem-
buat wajahnya rusak.
Tengah Nyi Sarpa Rukinten menangis me-
ratapi nasibnya yang buruk seburuk rupanya.
Terdengar suara seorang lelaki tua berkata mem-
beri petunjuk di mana ia harus mengobati mu-
kanya yang busuk itu.
"Nyi Sarpa Rukinten, kalau kau ingin wa-
jahmu kembali seperti sedia kala, datanglah pada
seorang dukun yang bertempat tinggal di kaki gu-
nung Sembung. Carilah olehmu sebuah goa. Di
situ kau akan menemukan orang yang aku mak-
sud. Mintalah pertolongan padanya dan janganlah
kau membantah apa yang dikatakannya. Nah, be-
rangkatlah sekarang juga!"
Terperanjat Nyi Sarpa Rukinten, demi
mendengar suara lelaki yang tanpa menunjukan
bentuk jasadnya. Dengan hati tak mengerti Nyi
Sarpa Rukinten memandang ke atas atap rumah-
nya. "Siapakah kau, Ki Sanak?"
"Jangan kau tanyakan siapa aku adanya.
Yang pasti aku ingin menolongmu dengan me-
nunjukkan tempat di mana kau dapat mengemba-
likan wajahmu," menjawab suara lelaki itu. Dis-
usul dengan suara hembusan angin bersama hi-
langnya suara orang itu.
"Apakah aku harus percaya?" bertanya hati Nyi Sarpa Rukinten. "Tapi akan aku
coba dulu. Mungkin orang itu memang benar-benar ingin
menolongku. Aku yakin kalau orang yang dimak-
sud mempunyai ilmu yang tinggi hingga aku nanti
akan mampu belajar ilmu padanya untuk menun-
tut balas pada Gantra jahanam itu. Hem. karena
dia, mukaku jadi begini rupa."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ma-
lam itu juga Nyi Sarpa Rukinten pergi menuju ke
tempat yang ditunjukkan oleh suara lelaki itu.
Dengan bekal semangat dan keinginan un-
tuk dapat memulihkan wajahnya seperti semula.
Nyi Sarpa Rukinten menerobos gelapnya malam.
Pikirannya melayang penuh rasa dendam pada
Gantra. Bagaikan kesetanan Nyi Sarpa Rukinten
memacu kudanya.
Bah Jenar yang tengah melihat baskom be-
risi air dengan bunga tujuh warna tampak terse-
nyum senang. Seorang wanita tengah memacu
kudanya menuju ke tempat di mana ia berada.
"Berhasil! Aku berhasil mempengaruhinya.
Istriku akan dapat hidup lagi walau dengan
menggunakan jasad gadis itu. Ha, ha, ha...!" bergelak tawa Bah Jenar, hingga
menggema di setiap
sudut gubugnya.
"Ayo! Teruskan langkahmu ke mari. Jan-
gan kau ragu, Nduk!" berkata Bah Jenar pada
gambar di permukaan air yang ada di baskom.
Tampak orang dalam air itu memandang ke arah-
nya sesaat seperti kebingungan.
"Ayo! Hela kudamu menuju ke Selatan.
Jangan kau bingung, Nduk."
Gadis dalam penglihatan Bah Jenar di air
baskom itu tampak memalingkan mukanya ke Se-
latan, dengan segera memacu kudanya menuju
tempat yang ditunjukan oleh Bah Jenar.
Terkekeh-kekeh Bah Jenar. Melihat gadis
itu telah menuju ke arah di mana ia tinggal Bah
Jenar dengan gembira segera menyambutnya di
ambang pintu. Tak lama kemudian tampak seorang gadis
dengan menunggang kuda menuju ke arahnya.
"Bagus, bagus! Tak sia-sia aku menunggu
sampai sepuluh tahun lamanya. Akhirnya aku
berhasil mendapatkan orang yang akan menjadi
tempat roh istriku. Semoga tak akan mengalami
kesulitan," berkata Bah Jenar pada diri sendiri.
Sementara itu orang penunggang kuda
yang tak lain dari Nyi Sarpa Rukinten makin de-
kat ke arahnya. Gadis itu memacu kudanya den-
gan cepat menaiki bukit di mana Bah Jenar saat
itu tengah berdiri memandang ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Nyi Sarpa Ru-
kinten. "Rampes...! Siapakah gerangan dirimu, Ki Sanak" Dan ada keperluan apakah
datang ke ma-ri?" bertanya Bah Jenar pura-pura tak mengerti.
"Mbah... menurut wangsit yang saya teri-
ma, saya akan dapat mengembalikan muka saya
secantik dulu lagi oleh pertolongan mbah."
Mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten,
seketika alis mata Bah Jenar mengerut sepertinya
terkejut. Lalu dengan pura-pura tak mengerti.
Bah Jenarpun bertanya:
"Apakah kau merasa yakin?"
"Saya yakin. Mbah. Sebab saya langsung
menerima wangsit itu."
Tertawa Bah Jenar mendengar ucapan Nyi
Sarpa Rukinten yang tampak terbengong-bengong
tak mengerti. "Kenapa, Mbah?"
Tidak apa-apa. Apakah kau telah memikir-
kannya masak-masak?"
"Tentang apa itu. Mbah?" tanya Nyi Sarpa Rukinten seraya mengerutkan keningnya
tak mengerti. "Apa yang kau terima dari wangsit itu?"
Terdiam Nyi Sarpa Rukinten memandang
ke wajah Bah Jenar yang masih tersenyum, se-
pertinya hendak menanyakan isi hati dan pan-
dangan mata Bah Jenar yang tajam menghujam.
"Saya menerima ucapan dari seseorang
yang menunjukkan di mana saya mesti datang
untuk menyembuhkan mukaku."
"Lalu apakah ada syaratnya?"
"Ada, Mbah."
"Apa syaratnya?"
Untuk kedua kalinya Nyi Sarpa Rukinten
terdiam sesaat memandang Bah Jenar, sebelum
akhirnya kembali berkata:
"Orang yang telah memberi wangsit padaku
mengatakan, bahwa aku harus menuruti apa kata
Mbah." "Bagus! Memang, untuk menyembuhkan mukamu itu, kau harus menurut segala
kata-kataku. Mari silahkan masuk! Kita ngobrol-
ngobrol dulu di dalam goa."
Terkejut Nyi Sarpa Rukinten mendengar
kata-kata Bah Jenar, hingga seketika itu terden-
gar desisnya kaget. "Goa! Mana goa, Mbah?"
Terkekeh-kekeh Bah Jenar mendengar per-
tanyaan Nyi Sarpa Rukinten yang sepertinya ke-
bingungan. Dengan segera Bah Jenar menerang-
kan: "Ini adalah goa, bukan gubug seperti kau lihat. Eh, siapakah namamu?"
"Nama saya, Sarpa Rukinten!"
"Ayo, masuk Sarpa Rukinten!" mengajak
Bah Jenar, yang segera diikuti oleh Nyi Sarpa Ru-
kinten. Nyi Sarpa Rukinten kini percaya bahwa itu adalah sebuah goa bukan gubug
yang diduganya.
Dalam goa itu terdapat seperangkat dapur dan
sebuah batu datar untuk tidur. Di samping batu
datar itu terlihat sebuah peti mati, hingga men-
gundang Nyi Sarpa Rukinten bertanya seketika:
"Peti mati siapa. Mbah?"
Seketika mata Bah Jenar terbelalak me-
mandang ke arahnya, seakan mengisyaratkan pa-
danya untuk tidak bertanya-tanya pada hal-hal
tersebut. Muka Bah Jenar yang tadinya banyak
senyum, kini nampak redup sedih. Hingga mem-
buat Nyi Sarpa Rukinten terbersit rasa takut. Dan dengan terbata-bata berkata
kembali: "Maafkan saya. Mbah. Sungguh saya tidak
sengaja kalau pertanyaan saya telah menyinggung
perasaan Mbah."
Menggeleng lemah kepala Bah Jenar. Se-
mentara matanya terus memandang tajam pada
Nyi Sarpa Rukinten yang hanya mampu menun-
duk tak berani untuk balik menatap.
Kebisuanpun menyelimuti kedua orang itu
untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya terdengar
suara Bah Jenar yang serak berkata: "Sudahlah...
jangan kau pikirkan hal itu. Yang penting, kau
harus menurut apa yang aku perintahkan pada-
mu nanti. Sekarang kita ngobrol dulu."
"Baik, Mbah. Aku akan selalu menuruti


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang kau ucapkan, asalkan mukaku akan
kembali seperti sedia kala. Apapun nantinya yang
akan ditugaskan mbah padaku, akan aku laksa-
nakan. Aku telah mampu membuat perhitungan
dengan orang yang telah membuat mukaku ru-
sak." Terkekeh kembali Bah Jenar mendengar
ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Dalam hati Bah Je-
narpun berkata senang. "Bagus, bagus! Memang hal itulah yang aku kehendaki. Bila
praktekku berhasil, maka aku akan dapat membalas den-
dam pada tokoh-tokoh persilatan yang telah
membuatku terasing di dunia ini."
Nyi Sarpa Rukinten hanya terdiam menun-
duk, tak dihiraukan tawa Bah Jenar yang seperti
tawa setan yang menggema di setiap ruangan goa
itu. "Sarpa Rukinten."
"Ya, Mbah?" menjawab Nyi Sarpa Rukinten seketika. Mukanya yang tadinya
tertunduk, kini
didongakkan memandang pada Bah Jenar yang
menandangnya tanpa berkedip.
"Kalau kau nanti aku sembuhkan. Apakah
kau mau membantuku?"
"Aku mau. Mbah!" menjawab Nyi Sarpa
Rukinten yang membuat Bah Jenar kembali ter-
tawa, sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
Sesaat setelah terdiam memandang Nyi Sarpa
Rukinten, Bah Jenar kembali bertanya:
"Bisakah kau menceritakan padaku, men-
gapa mukamu yang tadinya cantik berubah men-
jadi begitu?"
Nyi Sarpa Rukinten terdiam sesaat. Lalu
dengan terlebih dahulu menarik napas panjang
seperti menekan kekesalan di hatinya manakala
mengenang kejadian itu. Nyi Sarpa Rukinten me-
nerangkan. "Kejadian itu sekitar seminggu yang lalu,
manakala aku ingin mencoba mengetahui apakah
lelaki tertarik padaku" Dengan menyebar pengu-
muman yang berisikan sayembara. Banyak lelaki
yang datang untuk mengikuti sayembara itu, di
antaranya seorang juragan yang bernama Gantra.
Setelah semuanya menyetujui syarat-syarat yang
aku ajukan mereka pun bertanding untuk menja-
di yang paling sakti ilmunya. Akhirnya sayembara
itu dimenangkan oleh Gantra, seorang juragan
yang telah mempunyai isteri dan anak. Jelas hal
itu aku tolak"
Bah Jenar tampak mendengarkannya den-
gan sesekali mengangguk-anggukan kepala. Lalu
Bah Jenarpun bertanya setelah Nyi Sarpa Rukin-
ten mengakhiri ceritanya.
"Lalu Gantra kecewa?"
"Ya, Mbah."
Bah Jenar menarik napas panjang sesaat
sembari memandang pada wajah Nyi Sarpa Ru-
kinten. Tergetar hati Bah Jenar mana kala men-
dalamkan pandangannya. Di balik keburukan wa-
jah itu, tampak kecantikan yang dapat mengun-
dang rangsangan setiap lelaki. Begitu juga Bah
Jenar yang melihat dengan seksama.
Darah Bah Jenar menggelegar penuh rang-
sangan, manakala terus menajamkan tatapan
matanya ke wajah Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya
yang memang penuh iblis berkata. "Kalau dia sudah kembali seperti sedia kala,
maka aku harus mendapatkannya untuk menjadikan pengganti is-
teriku." Dengan ilmu peletnya yang disalurkan le-
wat sorotan mata. Bah Jenarpun berkata:
"Pandanglah mataku, Sarpa Rukinten!
Pandanglah...!"
Ucapan Bah Jenar menggaung di telinga
Nyi Sarpa Rukinten.
Mendesak otaknya untuk mau menuruti
ucapan itu. Hingga tanpa ragu-ragu, Nyi Sarpa
Rukinten pun segera menuruti ucapan itu. Di-
pandangnya sorot mata Bah Jenar yang penuh
daya magis dengan kedua matanya. Seketika di
hati Nyi Sarpa Rukinten tergetar sesuatu pera-
saan aneh. Napasnya saat itu juga memburu liar,
menjadikan dadanya terasa menyesak. Di hada-
pannya kini bukanlah Bah Jenar lagi, namun seo-
rang dewa gagah yang menjadi idamannya.
Dengan tanpa malu-malu lagi, Nyi Sarpa
Rukinten pun segera mendekat ke arah Bah Je-
nar yang tersenyum penuh kemenangan.
"Duduklah di atas batu datar itu! Bukalah
seluruh pakaian yang kau kenakan, lalu rebah-
kan tubuhmu!"
Dengan pikiran diliputi khayalan-khalayan.
Nyi Sarpa Rukinten pun segera membuka satu
persatu pakaiannya hingga tak tersisa sehelai be-
nangpun. Lalu dengan penuh senyum, Nyi Sarpa
Rukinten segera membaringkan tubuhnya terlen-
tang di atas sebuah batu datar yang telah ada.
Bah Jenar tersenyum puas, melangkahkan
kakinya perlahan menuju ke tempat di mana Nyi
Sarpa Rukinten terbaring.
Maka tak dapat dikata lagi. keduanyapun
seketika terlibat dalam dekapan setan yang telah
merasuk di jiwa mereka. Bagaikan seekor macan
yang kelaparan. Bah Jenar menggeluti tubuh Nyi
Sarpa Rukinten yang menjerit manakala kegadi-
sannya terenggut.
"Aah...!"
Bah Jenar tersenyum senang, sedang Nyi
Sarpa Rukinten kini hanya dapat merintih dan
merintih setelah membercikkan darah perawan-
nya. Bah Jenar tampak duduk bersila. Di hada-
pannya duduk pula Nyi Sarpa Rukinten. Kedua-
nya tampak terdiam sesaat, lalu terdengar Bah
Jenar berkata: "Nyi Sarpa Rukinten, untuk mengembalikan wajahmu seperti sedia
kala, kau perlu
melakukan mandi tujuh kali dengan tujuh macam
bunga. Setelah itu, kau harus meneteskan darah
ke atas peti mati itu."
"Untuk apa. Mbah?"
"Janganlah membantah. Nyi. Lakukanlah
apa yang aku katakan padamu bila kau ingin wa-
jahmu seperti sedia kala," berkata Bah Jenar.
Dengan tanpa berani menentang lagi, ak-
hirnya Nyi Sarpa Rukintenpun menurut. Malam
itu juga dengan ditemani Bah Jenar, Nyi Sarpa
Rukinten segera melaksanakan apa yang telah di-
perintahkan padanya.
Tujuh sumur yang ada di sekitar situ dida-
tanginya satu persatu. Setiap kali ia mandi di setiap sumur, saat itu juga
bunga-bunga ditabur-
kan oleh Bah Jenar ke atas rambutnya.
Satu sumur, dua, tiga, empat, tak terjadi
reaksi apa-apa. Namun ketika sumur yang kee-
nam, terdengar jeritan Nyi Sarpa Rukinten me-
nyayat. Tampak kulit di wajahnya yang busuk itu,
meleleh dan mengelupas. Berbareng dengan itu,
wajah Nyi Sarpa Rukinten pun kini berganti se-
perti semula. Dan ketika sumur yang ketujuh. Nyi
Sarpa Rukinten benar-benar seperti bidadari.
Hal itu menjadikan Bah Jenar membelia-
kan matanya takjub. Memandang tak berkedip
sepertinya tak percaya pada apa yang ada di ha-
dapannya. Hingga tanpa sadar. Bah Jenar memekik
memanggil sebuah nama. "Isteriku, Roro Asih.
Kaukah itu?"
"Benar, Kakang. Kenapa kau membangun-
kan tidurku?" berkata Nyi Sarpa Rukinten, namun suaranya lain sembari tersenyum
meman- dang pada Bah Jenar. "Kalau kau ingin penitisan ini berhasil dengan baik, maka
kau harus menyuruh gadis ini meneteskan darahnya pada peti mati
itu bersamaan dengan darahmu."
"Baiklah, isteriku. Aku akan melaksana-
kannya kembali apa yang telah kita rencanakan
dahulu. Ayo. kita ke dalam!" mengajak Bah Jenar seraya menggandeng tangan Nyi
Sarpa Rukinten.
Dengan didahului membakar dupa di de-
pan peti mati. Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten
segera duduk bersimpuh. Dari mulut kedua orang
itu terdengar ucapan mantra yang tak jelas.
Setelah selesai mengucap mantra, kedua-
nya segera bangkit dari duduk. Berbarengan ke-
duanya segera menusuk jari tengah tangannya
dengan sebuah duri. Seketika dari tusukan itu
keluar cairan merah menetes ke atas peti mati.
Asap hitam seketika mengepul bergulung-gulung
ke angkasa, manakala darah keduanya jatuh ke
permukaan peti mati itu. Asap itu perlahan-lahan
masuk ke dalam tubuh Nyi Sarpa Rukinten yang
menjerit-jerit bagaikan dibeset kulit tubuhnya.
"Aaahhh...!!!"
Dibanting-bantingkan tubuhnya ke tembok
goa, sepertinya tak tahan dengan sakit yang ten-
gah dideritanya. Lama hal itu dilakukan, hingga
akhirnya tubuh Nyi Sarpa Rukintenpun jatuh
pingsan. Dengan penuh perasaan. Bah Jenar segera
mengangkat tubuh Nyi Sarpa Rukinten ke atas
baru datar. Dibaringkannya tubuh Nyi Sarpa Ru-
kinten di atas batu datar itu. Lalu dengan penuh
nafsu Bah Jenar pun segera mendekap tubuh Nyi
Sarpa Rukinten yang tengah pingsan. Untuk ke-
dua kalinya. Roh Jenar dapat menyalurkan naf-
sunya tanpa ada perlawanan. Menjerit sadar Nyi
Sarpa Rukinten sesaat, kemudian tersenyum ma-
nakala memandang pada Bah Jenar. Sepertinya
puas menerima perlakuan itu.
Bersamaan dengan keduanya mencapai
kepuasan, meledaklah seketika peti mati di samp-
ing mereka. Bah Jenar tersentak hampir melom-
pat kalau saja Nyi Sarpa Rukinten yang kini di-
kuasai oleh roh isterinya tidak segera memeluk-
nya erat. "Jleger...! Duar...!" Lempengan-lempengan papan dari peti mati itu berhamburan,
bersamaan dengan melayangnya sesosok tubuh terbungkus
kain kafan putih.
Tubuh terbungkus kain kafan putih itu
melesat terbang ke luar goa, menjadikan longlon-
gan anjing hutan seketika menggema.
Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten terlelap
kecapaian dengan napas dan keringat mengalir
deras dari tubuh mereka.
Ke manakah larinya mayat dalam bungku-
san kain kafan itu" Yang tiba-tiba saja terbang
melesat meninggalkan goa yang menjadi tempat-
nya selama sepuluh tahun.
Longlongan anjing liar terus menggema,
bagaikan sebuah lolongan kengerian. Bersamaan
dengan itu di angkasa tampak seberkas warna
putih terbang berputar-putar sesaat di atas goa.
Lalu setelah merasa puas. Mayat itupun seketika
melesat dengan cepatnya.
3 Merinding seketika kuduk keempat petugas
ronda mendengar lolongan anjing hutan yang me-
nyayat. "Aauunggg...! Aaauuunggg!"
"Kang! Apakah kau tak mendengar suara
anjing melolong?" bertanya Oip pada ketiga teman rondanya yang seketika itu juga
menghentikan membanting gaplenya dan memandang pada Oip
seraya mendengarkan dengan seksama.
"Benar! Ini malam apa, Sa?" tanya Jumana pada Karsa yang seketika mengerutkan
keningnya, dan menjawab:
"Malam jum'at, Kang!"
"Malam jum'at!" memekik ketiga orang
lainnya berbarengan.
"Jum'at apa, Sa?" kembali Jumana ber-
tanya. "Jum'at Kliwon!"
Untuk kedua kalinya ketiga orang itu terbe-
lalak mendengar jawaban Karsa seraya kembali
memekik "Jum'at Kliwon?"
"Ah! Biasanya juga tak ada apa-apa, kok"
"Jangan begitu. Sa. Kau dengar suara lo-
longan anjing itu?" bertanya Oip, yang bulu ku-duknya telah meremang berdiri
karena takut. Sementara matanya seketika liar memandang ke
sana ke mari, sepertinya mencari-cari sesuatu.
"Ah! Sudahlah! Ayo kita teruskan main
gaplenya," mengajak Taras pada ketiga temannya.
Akhirnya dengan tanpa memperdulikan lagi atau
memang ingin menghibur diri dari rasa takut,
keempat orang itupun segera kembali main gaple.
Dari kejauhan tampak sebuah benda ber-
warna putih melayang-layang mendekat ke arah
mereka. Oip yang menghadap ke arah Timur dan
memang telah merasa takut, seketika matanya
terbelalak mana kala melihat benda itu.
Keringat dingin keluar deras dari tubuh


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oip kala benda putih itu makin lama makin dekat
ke tempat itu. "Kang, aku ingin buang air sebentar."
Oip segera bergegas pergi meninggalkan ke-
tiga temannya yang memandang kepergiannya
dengan mengerutkan mata.
Dengan terburu-buru larinya, Oip segera
meninggalkan ketiga temannya yang masih main.
Namun seketika langkahnya terhenti, manakala
di hadapannya tampak sebuah benda putih tegak
berdiri menghadangnya.
"Po... pocong!" memekik Oip seketika, lalu ambruk tak sadarkan diri lagi.
Sementara pocong
yang menghadangnya segera menghilang entah ke
mana meninggalkan Oip yang masih tergeletak
pingsan. * * * "Ke mana si Oip. Lama benar ia buang air-
nya?" berkata Jumana, sembari membanting
gaple. Ketika kepalanya mendongak ke muka.
Tampak olehnya sebuah pocong berputar-putar di
atas gardu, di mana dia tengah main gaple. Ma-
tanya seketika terbelalak memandang tak berke-
dip hingga mengundang tanya kedua temannya.
"Ada apa, Kang Jumana" Sepertinya kau
ketakutan?" tanya Darsa seraya memandang ke
arah yang tengah dipandang deh Jumana. Namun
tak dilihatnya apa-apa di situ, membuat Darsa
kembali memandang pada Jumana yang bering-
sut-ingsut hendak pergi.
"Heh... mau ke mana kau, Jumana?" ber-
tanya Taras. "Aku mules, nih. Aku ingin beol," Jumana
segera berlari pergi, mengundang gelak tawa Ta-
ras. Belum juga Jumana lari pergi, Darsa pun
dengan alasan mau beli lontong di Mpo Suri sege-
ra meninggalkan Taras yang masih tenang di gar-
du sendirian. "Heran! Kenapa mereka lama perginya.
Jangan-jangan mereka memang sengaja mening-
galkanku untuk ronda sendirian. Huh, dasar pe-
malas semua!"
"Siapa, Kang yang pemalas?" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya
membuat Taras terbelalak dan memalingkan muka ke bela-
kang. Tampak seorang wanita cantik tersenyum
padanya membuat hati Taras seketika deg deg
plas. Dengan tergagap Taras menjawabnya.
"Anu... teman-teman saya. Mereka katanya
sebentar hendak buang air. eh tahunya amblas"
"Jadi kakang kini sendirian?"
"Ya," menjawab Taras. Matanya meman-
dang tak berkedip. Sementara dalam hatinya ber-
kata: "Wah... denok bener, nih cewek. Untung ketiganya pergi, kalau tidak. Wah,
bisa-bisa berebutan. Dasar rejeki nomplok, dingin-dingin begini
ada cewek yang menyamperi."
Tengah Taras melamun, terdengar lagi sua-
ra gadis itu berkata padanya: "Boleh aku nemanin. Kang?"
Terbelalak mata Taras mendengar ucapan
gadis di sampingnya, yang telah menawarkan jasa
untuk menemaninya ronda. Maka dengan hati
berbunga-bunga, Taraspun dengan segera men-
jawab senang. "Wah...! Kalau memang neng mau nemani,
boleh. Bahkan aku sangat senang. Ayo masuk ke
gardu. Neng!"
Gadis itu dengan masih tersenyum segera
menurut masuk ke dalam gardu, menjadikan Ta-
ras makin deg deg plas. Apalagi kala melihat ke
bawah tubuh gadis itu. Di paha, pakaiannya ter-
sibak. Hingga tampaklah pahanya yang mulus,
membuat lidah Taras seketika melelet.
"Kok kakang memandangku begitu?" tanya
gadis itu manja, menjadikan Taras kembali terga-
gap. Namun dengan segera tangannya yang jahil
bereaksi ke mana-mana. Gadis itu bukannya ma-
rah diperlakukan begitu, bahkan sepertinya ia
membiarkan tangan Taras.
"Neng...! Siapa sih nama Neng" Geulis nian
neng ini. Apakah sudah punya pacar?"
Ditanya seperti itu oleh Taras, si gadis
tampak makin melebarkan senyumnya. Dengan
genit makin merapatkan tubuhnya menempel ke
tubuh Taras. Membuat Taras kelabakan panas
dingin. "Akang tidak takut sendirian?" tanya si gadis. "Kan ada neng?"
Semakin gadis itu melebarkan senyum,
makin membuat Taras gemas. Dengan segera, Ta-
ras yang sudah tak mampu membendung gejolak
nafsunya memeluk tubuh gadis di sampingnya
yang hanya terdiam.
Mata Taras yang terpejam tak mengetahui
siapa sebenarnya yang tengah didekapnya. Maka,
mana kala hidungnya mencium bau wangi bunga
kematian, Taras hanya berpikir. "Mungkin minyak wangi yang dipakai oleh si
gadis." "Kau memakai minyak wangi. Neng?"
"Aku tak pernah memakai minyak wangi,
Kang. Mungkin di sini ada setan?"
Tersentak Taras mendengar ucapan si ga-
dis hingga segera matanya terbuka. Dan betapa
terkejutnya Taras, kala mengetahuinya bahwa
yang dipeluknya adalah sebuah pocong.
"Po... pocong...!"
Taras yang tersentak dengan segera ber-
maksud melarikan diri, namun kakinya bagaikan
terpatri di situ. Hingga iapun tak mampu untuk
memindahkan langkahnya. Sementara di bela-
kang, pocong itu meloncat-loncat ke arahnya den-
gan disertai rintihan yang makin membuat Taras
ketakutan. Saking takutnya Taras saat itu, hingga ia-
pun akhirnya tergeletak pingsan. Dari kejauhan
terdengar suara orang-orang kampung berseru
dengan obor di tangan mereka. Suara-suara orang
kampung membuat pocong itu seperti terkesima.
Dan dengan segera terbang meninggalkan tubuh
Taras. "Itu...! Itu dia!"
Segera penduduk kampung berlari menco-
ba mengejarnya, namun pocong itu telah terbang
ke angkasa dan melesat pergi meninggalkan me-
reka menuju ke arah gunung Galunggung.
* * * Pagi harinya seluruh penduduk kampung
ramai membicarakannya. Komentar dari sana-sini
bergema, sepertinya tahu saja mereka itu.
"Wah, kalau begitu Taras pernah, dong pa-
caran sama hantu."
"Untung si Taras tidak sampai melakukan-
nya. Kalau sampai, wah dia akan terbawa oleh-
nya." "Mengapa sekarang ada hantu lagi" Padahal dulu kan tak ada?"
"Mungkin hantu itu hantu jejadian yang
dibuat oleh orang berilmu hitam untuk menda-
patkan kekayaan."
Di pasar, di sawah, di kebun, atau di mana
saja. Semua membicarakan perihal kejadian se-
malam yang telah dialami oleh keempat orang pe-
ronda. Sementara itu di kantor balai desa, pak
Lurah beserta sesepuh desa dan pamong-
pamongnya tengah membahas masalah hantu po-
cong tersebut. Di situ tampak Darsa, Oip, Jumana, dan
Taras yang menjadi saksi utamanya untuk dita-
nyai. "Jadi jelaslah. Bahwa desa kita ini telah di-jarah oleh seseorang yang
berilmu hitam untuk
menakut-nakuti kita, hingga kalau kita takut ma-
ka dengan mudah dia akan membuat keonaran
dan pencurian. Untuk itu, mulai sekarang petu-
gas ronda yang mulanya satu gardu empat orang
harus ditambah menjadi sepuluh orang. Bagai-
mana?" Pak Lurah berbicara penuh semangat,
menjadikan semua yang hadir terdiam tak ada
yang berkomentar.
Namun kebisuan rapat itu seketika terpe-
cah, mana kala tampak seorang tua menyapa me-
reka memberi salam: "Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab semuanya serem-
pak. Pak Lurah segera menghampiri.
Dengan terbatuk-batuk dahulu, lelaki tua
itu berkata: "Aku ingin menawarkan jasa pada kalian. Aku akan berusaha mengusir
pocong yang tengah mengganggu kampung ini."
Terbelalak mata semuanya yang hadir.
Seketika semua mata tertuju pada orang
tua itu yang tampaknya hanya tersenyum tenang.
Sebelum warganya berkata, pak Lurah pun segera
mendahului bertanya.
"Apakah bapak benar-benar ingin meno-
long kami?"
"Ya! Aku ingin menolong kalian dari teror
itu. Aku mampu untuk mengusir hantu pocong
itu, tapi dengan satu syarat."
"Syarat! Syarat apakah itu?" bertanya pak Lurah terperanjat, demi mendengar
ucapan orang itu. Seperti pak Lurah, seluruh orang hadir di situ pun terperanjat dengan mulut
mengumam. "Syarat...!" "Ya! Semuanya memang harus ada syaratnya." Pak Lurah
sesaat terdiam memandang pa-
da warganya yang turut terdiam tanpa reaksi. Se-
telah beberapa lama terdiam, pak Lurah akhirnya
berkata: "Baiklah! Sekarang katakan apa yang menjadi syaratnya."
Kembali dengan diawali batuk-batuk, lelaki
tua renta itu berkata: "Syarat itu tidak sulit. Kalian sediakan saja kembang
desa yang masih pe-
rawan. Taruhlah di sebelah Timur desa nanti ma-
lam!" "Apa....! Syarat gila! Jangan mengail di air yang keruh. Pak Tua! Kami
tengah memikirkan
bagaimana yang baik, eh malah pak tua meminta
syarat macam-macam" Pak Lurah tampak agak
sewot. Bagaikan tak bersalah apa-apa, lelaki tua
itu hanya tersenyum sepertinya sinis. Dan dengan
hendak pergi, lelaki tua itupun berkata: "Kalau memang tidak mau memenuhi
syarat, ya aku pun
tak memaksanya. Urusilah oleh olehmu sendiri."
"Tunggu, Pak Tua!"
"Ada apa lagi. Pak Lurah?" Walaupun agak mangkel juga kepala desa melihat
tingkah laku orang tua itu. Namun karena didorong oleh rasa
tanggung jawab sebagai ketua kampung, akhirnya
pak Lurah pun berkata dengan perasaan sabar.
"Pak tua. Apakah tak dapat syarat itu di-
ganti" Misalnya dengan uang atau perhiasan?"
"Tidak bisa. Pak Lurah. Kalau itu syarat-
nya, maka tak akan dapat diganti dengan yang
lainnya. Bila kau tak sanggup, aku pun dengan
menyesal tak dapat mengusir hantu pocong itu."
Bagai orang tenar saja yang suka sombong,
lelaki tua itu kembali hendak pergi, tetapi pak Lurah segera memanggilnya
kembali. "Pak tua,
tunggu!" Dengan senyum sinis, lelaki tua itu kemba-
li menghentikan langkah kakinya. Memandang
kembali ke arah pak Lurah sembari bertanya:
"Ada apa lagi" Apakah kau menyetujuinya?"
"Sebentar pak tua, aku dan wargaku ingin
berbicara denganmu. Sebab untuk memenuhi
syarat tersebut, kami harus mengadakan musya-
warah terlebih dahulu." Terkekeh pak tua mendengar ucapan pak Lurah.
"Baiklah, baiklah! Sekarang bermusyawa-
rahlah." Pak Lurah segera menemui kembali war-ga dan sesepuh desa yang saat itu
tengah ber- kumpul. Dengan segera, pak Lurahpun memim-
pin rapat untuk memutuskan bagaimana baiknya
dengan syarat yang diajukan oleh orang tua itu.
Akhirnya diputuskan untuk menyetujui sa-
ja syarat yang diminta oleh lelaki tua itu. Setelah menimbang dan memikirnya
secara untung ru-ginya. Terkekeh lelaki tua dan berkata sebelum
pergi. "Baiklah, kalau begitu. Nanti malam tepat jam dua belas, kalian harus
telah mempersiapkan
gadis itu dan meninggalkannya sendirian."
* * * Malam telah tiba dengan sejuta misteri.
Lambat laun gelap makin menyekat menyelimuti
muka bumi dengan segala kehidupan yang ada.
Ketika malam makin larut, tampak bebera-
pa orang berjalan menuju ke arah Timur desa.
Bersama mereka berjalan seorang gadis dengan
tangan diikat. Rombongan itu yang ternyata pak Lurah
beserta beberapa orang pamongnya terus melang-
kah menuju ke perbatasan kampung. Langkah-
langkah mereka seperti diseret, karena rasa takut yang telah menjarah hati
mereka. "Kau berani di sini sendirian, Sri?" bertanya pak Lurah dengan nada iba pada Sri
Ayulis- tio, anaknya yang bersedia untuk dijadikan tum-
bal. "Berani, Ayah. Relakanlah kepergian Sri, demi untuk ketentraman desa ini."
Makin trenyuh hati pak Lurah mendengar
jawaban anaknya yang paling ia sayangi. Mata
pak Lurah seketika meneteskan air mata lak kua-
sa untuk menahannya. Dengan seketika dipeluk-
nya tubuh Sri yang tampak tersenyum bagaikan


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ada rasa takut sedikitpun di hatinya.
"Tak usah ayah menangis. Kalau memang
Tuhan menghendaki umur Sri panjang, insya Al-
lah, Sri akan selamat. Sekarang pergilah ayah dan paman semua, biarkanlah Sri
sendirian menunggu kedatangan pak tua itu di sini."
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang lelaki
itupun segera pergi meninggalkan tubuh Si Ayu-
listio yang tampak tegar tanpa rasa takut setetes-
pun di darahnya.
Angin malam meniup begitu dinginnya,
menerpa tubuh Sri yang tampak menggigil kedin-
ginan. Matanya memandang tak berkedip ke mu-
ka, di mana terpampang gunung Galunggung
menjulang tinggi.
Ketika waktu telah begitu larut, sesosok
tubuh berkelebat dengan cepatnya menuju ke
arah itu. "Bagus, bagus! Ternyata mereka memang
orang-orang bodoh yang mau dibohongi!" bergumam lelaki itu dalam hati seraya
mendekat ke arah Sri Ayulistio.
"Siapa kau!" membentak Sri manakala me-
lihat lelaki itu mendekatinya. Lelaki itu tersenyum padanya.
"Akulah yang menyuruh pada pak Lurah
untuk mengorbankanmu sebagai tumbal. Apakah
kau telah siap?"
"Aku telah siap!" menjawab Sri Ayulistio mantap.
Lelaki itu tampak mengangguk-anggukan
kepala dan dengan seketika tangannya membeset
pakaian yang tengah dikenakan oleh Sri. Terbela-
lak mata Sri Ayulistio manakala lelaki itu dengan liar memeluk dan
menggelutinya. Sri Ayulistio yang sadar bahwa lelaki itu
bermaksud buruk, seketika meronta. Menendang
selangkangan lelaki itu, yang seketika memekik
kesakitan seraya memegangi miliknya.
Sri Ayulistio segera berusaha melepaskan
ikatan tali di tangannya. Lelaki itu telah dapat
menguasai diri dan kembali berusaha memeluk-
nya. Karena tangan terikat hingga Sri Ayupun tak
dapat mengelakannya. Tubuhnya seketika, dite-
lentangkan oleh lelaki itu, yang dengan buas
mencabik-cabik seluruh pakaiannya.
Tengah lelaki itu hendak melampiaskan
nafsu binatangnya, seketika terdengar suara tawa
yang mendirikan bulu kuduk. Berbarengan den-
gan itu, tubuh lelaki itu tiba-tiba terangkat ke
udara sembari meronta-ronta dicengkeram oleh
seorang wanita yang berpakaian serba putih.
Wanita berpakaian serba putih itu terus
membawa tubuh lelaki itu jauh dan jauh. Hingga
akhirnya tak tampak lagi oleh pandangan Ayulis-
tio, yang segera pergi meninggalkan tempat itu
untuk kembali ke kampungnya.
Diceritakannya pada ayah dan warga kam-
pungnya, bahwa sebenarnya pocong itu tidak
bermaksud jahat. Bahkan telah menolongnya dari
pemerkosaan lelaki yang mengaku dukun itu.
"Syukurlah, Anakkku. Rupanya Tuhan se-
lalu bersamamu," berkata pak Lurah dengan ter-haru mendapatkan anak gadisnya tak
jadi terke- na musibah. Maka sejak itu pula, tersebarlah berita
bahwa sebenarnya pocong itu tak jahat. Bahkan
pocong itu telah menolong anak Lurahnya dari
maksud jahat lelaki yang mengaku dukun.
4 Malam itu Gantra tampak gelisah dan
waswas hatinya. Telah beberapa kali ini mencoba
menenangkan pikirannya. Namun sejauh ia men-
coba, semakin hatinya tak tentram dan gelisah
saja. Isterinya yang melihat, seketika menge-
rutkan kening dan bertanya: "Ada apa, Kakang.
Sepertinya kau tengah gelisah?"
"Entahlah. Nyi. Sejak sore hari hatiku tak
tenang," menjawab Gantra. Isterinya bukan ikut prihatin malah langsung
menyemprot marah.
"Oh! Jadi hatimu tak tenang karena memi-
kirkan cewek lain!"
"Heh! Apa-apaan kau ini, Nyi. Bukannya
turut memikirkan bagaimana diri suaminya, eh
malah memarahi. Isteri macam apa kau, Nyi?"
"Enak saja mikirin kamu! Mikirin anak-
anakmu yang nakal-nakal saja aku pusing, apa-
lagi mesti mikirin dirimu yang play boy! Makanya
jadi lelaki jangan loncer!"
"Diam! Menyesal aku memperistrimu. Ka-
lau aku dulu tahu, kau ternyata tak lebihnya
hanya seorang perempuan jalang!"
Pertengkaranpun tak dapat dihindarkan di
antara kedua suami isteri itu. Sang suami yang
memang hatinya sedang tak tenang, memaki-
maki pada sang isteri. Sebaliknya sang isteri yang mengetahui suaminya
berengsek, tak mau kalah
menyemprotkan dengan kata-kata kasar dan jo-
rok. Tengah keduanya bertengkar, tiba-tiba ke-
duanya dikejutkan oleh salam yang diucapkan
oleh seorang wanita. Langsung saja, kedua suami
istri itu diam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab keduanya hampir
berbarengan seraya memandang pada seorang
wanita yang telah berdiri dengan bibir terurai senyum. "Apa benar ini rumah tuan
Gantra?" bertanya wanita muda, membuat rasa cemburu di
hati isteri Gantra yang seketika cemberut. Semen-
tara Gantra dengan segera menyambut wanita itu
dengan bibir terurai senyum pula.
"Siapakah nona ini?"
"Apakah tuan telah lupa pada saya" Baru
setengah tahun yang lalu tuan mengenal saya."
Seketika Gantra mengerutkan kening men-
dengar ucapan wanita muda di hadapannya. Ha-
tinya berpikir-pikir, menerka-nerka siapa sebe-
narnya wanita cantik itu karena memang Gantra
tengah memanas-manasi isterinya, sepontan saja
Gantra segera pura-pura mengenalnya.
"Oh, ya. Ada keperluan apakah hingga no-
na malam-malam berkunjung ke mari?"
Pertanyaan yang maksudnya hanya main-
main belaka itu seketika mendapat sambutan
yang tak terduga oleh Gantra. Wanita cantik itu
tersenyum seraya menjawab dengan nada manja.
Menjadikan Gantra seketika gemes dan geregetan
dibuatnya. "Tuan Gantra, rasanya tak enak kalau kita
ngobrol-ngobrol di sini. Aku khawatir isterimu
akan cemburu."
"Lalu di manakah menurut nona tempat
yang enak?" bertanya Gantra terkejut, mana kala mengetahui bahwa wanita itu
benar-benar ingin
mengajaknya berbincang-bincang.
Dengan didahului kedipan matanya, gadis
itu menunjuk ke arah di mana hutan terpampang
luas menghampar. Hingga makin membuat Gan-
tra melototkan matanya dengan hati gembira.
"He... percuma tak dapat menundukan wa-
nita, hingga sampai tergila-gila seperti gadis ini."
Hati Gantra yang tak mengetahui siapa adanya
gadis itu bergumam senang. Dan tanpa berpikir
lagi Gantra-pun segera menuruti langkah gadis
itu pergi menuju hutan Jati.
Kebahagiaan Gantra seketika lenyap, ma-
nakala gadis itu tiba-tiba tertawa bergelak-gelak setelah sampai di dalam hutan
jauh dari rumahnya. Mendengar suara tawa gadis itu, seketika
bulu kuduk Gantra meremang berdiri. Namun
demikian dicobanya untuk tenang.
"Gantra, lupakah kau padaku?"
"Siapa kau!" membentak Gantra di antara rasa takutnya.
"Gantra! Setengah tahun yang lalu kau te-
lah merusak wajahku. Sekarang katakan padaku,
siapa yang telah menolongmu untuk menenung-
ku" Ayo jawab, Gantra!"
Mata gadis itu liar, seperti hendak men-
cengkeram dan mencekik Gantra. Mulut gadis
cantik itu menyeringai, tampaklah gigi-giginya
yang runcing dan tajam. Tergagap Gantra berucap
menyebut nama gadis di hadapannya yang menu-
rut perkiraannya telah mati.
"Kau... kau Nyi Sarpa Rukinten?"
"Benar, Gantra. Aku Nyi Sarpa Rukinten
yang lelah kau buat mukaku menjadi buruk. Na-
mun ternyata aku tidak mati akibat tenungmu.
Dan oleh karena itu aku akan menuntut balas
atas tindakanmu. Katakan siapa yang telah kau
perintahkan untuk membuat mukaku rusak,
Gantra!" membentak Nyi Sarpa Rukinten.
Gantra tertawa bergelak-gelak setelah tahu
siapa adanya gadis di hadapannya. Lalu dengan
meremehkan. Gantrapun berkata:
"Nyi Sarpa Rukinten. Jangan harap kau
akan dapat membalas semuanya. Dan jangan ha-
rap kau akan mengetahui siapa yang telah aku
suruh merusak wajahmu. Kalau kau ingin mem-
balas dendam padaku, lakukanlah bila kau mam-
pu!" "Rupanya kau terlalu gegabah memandangku. Gantra. Jangan salahkan kalau
akhirnya aku akan membuatmu menderita seumur-umur.
Hat....!" Dengan didahului pekikan nyaring. Nyi
Sarpa Rukinten yang telah marah segera menye-
rang Gantra dengan cepatnya. Hingga membuat
Gantra terkesima seketika itu. Bagaimana mung-
kin, dalam setengah tahun Nyi Sarpa Rukinten te-
lah dapat menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi se-
perti yang tengah dipergunakan untuk menye-
rangnya" Demi melihat hal itu, secepatnya Gantra
segera berkelit mengegoskan tubuhnya menghin-
dari serangan itu. Dan dengan cepat Gantra balik
menyerang yang mau tidak mau harus dielakan
oleh Nyi Sarpa Rukinten.
Pertarunganpun kini berjalan dengan seru.
Dengan masing-masing berusaha menjatuhkan
musuhnya. Jurus-jurus keduanya di keluarkan
dengan cepat hingga sukar untuk dipandang oleh
mata biasa. Kini keduanya tak tampak lagi hanya
bayang-bayang pakaian yang digunakan saja yang
kelihatan. Walaupun Gantra telah menguras habis
ilmu-ilmu silatnya. Namun bagaikan menghadapi
seorang pesilat kelas wahid saja, Gantra dibuat
kalang kabut oleh serangan-serangan yang dilan-
carkan Nyi Sarpa Rukinten.
"Hem... Aku rasa ini tentu bukan Nyi Ru-
kinten yang sesungguhnya. Aku merasa ada ke-
lainan dalam setiap gerak-geriknya. Apakah ia te-
lah bersekutu dengan siluman" Baik, akan aku
coba dengan ilmu pada ilmu kedigdayaan. Semo-
ga aku dapat menundukannya," mengeluh Gantra seketika mana kala melihat musuhnya
tak merasa capai atau susut serangannya. Bahkan seketi-
ka Gantra dibuat terkejut, kala dengan tiba-tiba
tangan Nyi Sarpa Rukinten telah mencakar mu-
kanya hingga baru mengeluarkan darah.
"Iblis! Jangan kira aku akan membiarkan
kau seenaknya mempermainkan aku. Terimalah
ajian pelebur Gaib. Hiat...!" Dengan segera Gantra mengarahkan ajiannya.
Seketika itu, Nyi Sarpa
Rukinten memekik manakala ajian itu menghan-
tam tubuhnya. Tampaklah kini di hadapan Gantra bukan
Nyi Sarpa Rukinten, tapi seorang wanita yang tu-
buhnya telah menjadi tulang belulang. Gantra
menyipitkan matanya, seakan pernah mengetahui
siapa wanita di hadapannya.
"Hem...! Rupanya kau hidup lagi. Tentu
suamimu yang telah berbuat ulah ini. Jangan ha-
rap aku takut menghadapimu. Dewi Tengkorak
Hidup!" Dengan didahului dengusan panjang. Dewi
Tengkorak Hidup segera berkelebat menyerang
Gantra. Pekikannya seketika menyayat hati, se-
perti pekikan seorang yang histeris. Pekikan itu
sangat kuatnya karena mengandung tenaga da-
lam. Mau tak mau Gantra pun dengan segera
mengatur jalan pernapasannya, menutup pada
gendang telinganya yang terasa nyeri. Dengan se-
gera Gantra pun balas menyerang Dewi Tengko-
rak Hidup. Hutan yang tadinya sepi, malam itu seketi-
ka terpecahkan oleh suara hentakan dan pekikan
dua orang yang tengah terlibat pertarungan.
Segala macam ilmu kedigdayaan telah ter-
kuras oleh Gantra. Namun ternyata musuhnya
bukanlah tokoh silat yang dapat diremehkan.
Musuhnya yang kini dihadapi adalah tokoh persi-
latan kelas wahid yang pernah menjajahi dunia
persilatan beberapa tahun yang lalu. Hingga den-
gan seketika, terkuras habislah tenaga Gantra.
"Gantra! Hari ini juga aku akan mengambil
nyawamu."

Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dewi Muka Tengkorak Hidup! Kenapa ti-
ba-tiba kau hendak membunuhku" Apakah aku
pernah berbuat salah padamu?"
"Hi, hi.... hi...! Gantra, kenapa kau sepenakut itu" Aku dengar kau salah
seorang bekas pra-
jurit kerajaan Sangkur Aji yang terkenal gagah
berani. Mana buktinya, Gantra! Kalau aku hen-
dak membunuhmu, itu karena aku merasa ber-
hutang budi pada si pemilik tubuh ini yang telah
dengan ikhlas meminjamkannya padaku. Hi...
hi... hi...!"
Merinding bulu kuduk Gantra seketika. Ke-
ringat dingin pun mengalir dengan derasnya. Ha-
tinya seketika gundah dan bimbang untuk bertin-
dak. Menyerang dan melawan, akan sia-sia ka-
rena Dewi Tengkorak Hidup bukanlah tokoh sem-
barangan. Tapi bila tak melawan, berarti ia telah rela untuk diambil nyawanya.
Dan mati dengan
cara pengecut. "Tidak! Aku tak mau mengalah begitu saja!" berkata hati Gantra.
Dengan nekad Gantrapun segera berkelebat menyerang Dewi
Tengkorak hidup yang seketika mengelakan se-
rangannya. Dengan ajian Siliwangi Gantra seketika be-
rubah menjadi harimau yang dengan ganasnya
menyerang Dewi Tengkorak Hidup.
Seketika itu juga kekuatan dua siluman
pun bertarung. "Hiat...!"
"Auumm...!"
Keduanya segera melompat dan bertemu di
udara dengan mengadu dua kesaktian.
Gantra terlempar jauh ke belakang dengan
tubuh hangus dan nyawa melayang. Sementara
Dewi Tengkorak Hidup, terjajar lima tombak ke
belakang. Di wajah Dewi Tengkorak Hidup terber-
sit senyum sinis. Lalu dengan tanpa menghirau-
kan mayat Gantra, Dewi Tengkorak Hidup segera
berkelebat pergi meninggalkannya.
* * * Dari kejauhan Jaka melihat orang-orang
berkerumun mengundang perhatiannya untuk
segera mendekatinya. Dengan meminta jalan pada
orang-orang yang berkerumun Jaka akhirnya da-
pat melihat gerangan apa yang telah menjadi ton-
tonan orang-orang tersebut.
Sebuah mayat telah tergeletak dengan tu-
buh hangus, seperti habis terbakar. Jaka yang
melihatnya hanya mampu menggelengkan kepala
dan bergumam dalam hati.
"Sungguh perbuatan biadab."
Dengan hati-hati sekali, Jaka segera me-
meriksa tubuh orang yang telah mati tersebut.
Seketika Jaka tersentak mana kala mengenali je-
nis pukulan itu. Pukulan itu ternyata sebuah
ajian Kecubung Biru yang hanya dimiliki oleh seo-
rang tokoh sesat, yang hidup sekitar tiga puluh
tahun yang silam. "Kecubung Biru!"
Mendengar ucapan Jaka yang nadanya ka-
get seketika semua orang yang ada di situ me-
mandangnya. Namun Jaka dengan tanpa mem-
perdulikan pandangan orang-orang di situ segera
berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanan-
nya. "Hem... Apakah aku akan meneruskan perjalananku memenuhi panggilan Tengku
Loreng" Atau aku harus menangani masalah yang baru
saja terlihat" Aku mempunyai pirasat bahwa
orang yang membunuh lelaki itu adalah orang
yang menurut guru pernah bentrok dengan guru.
Kalau begitu ada orang yang memanfaatkannya
lagi," berkata Jaka dalam hati.
Dengan mempercepat langkah kakinya,
Jaka segera mencari sebuah kedai untuk mengisi
perut yang sedari tadi berkeroncong ria.
Tanpa mendapat kesulitan, Jaka segera
dapat menemukan sebuah kedai yang cukup be-
sar. Maka dengan segera Jaka pun masuk ke da-
lam kedai yang siang itu telah penuh oleh pen-
gunjung. Manakala Jaka tengah mencari-cari tempat
duduk, tiba-tiba telinganya mendengar orang ber-
cakap-cakap. "Mungkin kematian Ki Gantra ada hubungannya dengan mayat yang
menakut-nakuti kampung Cimone."
"Mungkin juga. Sebab semenjak adanya
pocong itu, banyak pula kematian dan bayi-bayi
yang hilang. Apakah mungkin ada seseorang yang
memanfaatkannya?"
Tertarik juga Jaka mendengar percakapan
kedua orang itu. Maka dengan terlebih dahulu
menjura hormat, Jaka meminta ijin untuk duduk
dengan mereka. "Maaf, Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku tu-
rut bercakap-cakap?"
Sesaat kedua lelaki itu terdiam meman-
dang pada Jaka yang masih tersenyum ramah.
Kedua orang itupun akhirnya mengangguk mem-
bolehkan. "Terimakasih. Oh, ya. Tadi aku mendengar
Ki Sanak bercakap-cakap masalah kematian seo-
rang juragan di hutan itu. Apakah Ki Sanak men-
genal juragan itu?" tanya Jaka, menjadikan kedua orang itu seketika memandang
Jaka dengan pandangan penuh selidik.
"Janganlah Ki Sanak berdua berlalu
mengkhawatirkan siapa adanya diriku ini, tak le-
bihnya seperti Ki Sanak berdua. Aku hanya ingin
mengetahui saja, siapa sebenarnya lelaki yang di-
temukan mati di dalam hutan sebelah barat sa-
na?" Walaupun Jaka telah memberitahukan
siapa sebenarnya dirinya, namun kedua lelaki itu
tampak tak segera mau percaya. Sepertinya ma-
sih ada rasa tak yakin, mana kala memandang
pakaian yang dikenakan oleh Jaka.
"Ki Sanak orang persilatan?" bertanya salah seorang dari keduanya, membuat Jaka
seketi- ka memandang pada pakaiannya. Mau tak mau,
Jaka akhirnya mengangguk.
"Memang benar aku orang persilatan. Tapi
percayalah bahwa aku bukanlah antek-antek si
pembunuh juragan itu "
Akhirnya kedua orang itu mempercayai
ucapan Jaka. Dan dengan tanpa sungkan-
sungkan segera menceritakan siapa sebenarnya
juragan yang mati itu serta sebab-sebab kema-
tiannya. "Begitulah. Mungkin karena dendam, hing-
ga gadis yang bernama Nyi Sarpa Rukinten akhir-
nya membunuh Ki Gantra yang telah membuat
wajahnya rusak."
"Lalu, dimanakah aku dapat menemui iste-
ri Gantra?" tanya Jaka setelah mengangguk-
anggukan kepala mengerti.
Kedua orang itu kembali saling pandang,
lalu salah seorang dari mereka yang Jaka tahu
bernama Baduduh kembali berkata:
"Pergilah ke arah Utara. Tak jauh dari situ
ada sebuah rumah yang cukup besar. Rumah su-
sun yang di bawahnya digunakan untuk kandang
ayam dan bebek, itulah rumah juragan Gantra.
Saat ini mungkin keadaan rumah itu tengah ra-
mai. Saudaranya yang bernama Ki Panganoman
akan datang juga. Sebenarnya keduanya bukan-
lah saudara. Namun karena keduanya bekas pra-
jurit-prajurit kerajaan Sangkur Aji hingga kedua-
nya pun mengikat tali persaudaraan. Mungkin
kau dapat mengetahuinya situ lebih jelas lagi dari Ki Panganoman sendiri."
"Baiklah! Aku ucapkan terimakasih pada
kalian yang telah mau menceritakannya padaku.
Nah, aku hendak permisi dulu untuk menuju ke
rumah Ki Gantra." hendak berkelebat pergi, manakala terdengar seorang berseru
memanggil na- manya. "Jaka, tunggu!"
Jaka yang hendak buru-buru dengan ter-
paksa menghentikan langkahnya dan berpaling ke
arah orang yang memanggil namanya. Terkejut
dan senang Jaka manakala melihat yang me-
manggil namanya.
"Hai. Kaukah Ki Barwi Setra?"
"Ya! Mau ke manakah kau, Jaka?" bertanya Ki Barwi.
Demi mendengar nama pemuda itu disebut
oleh kakek-kakek yang sudah terkenal di wilayah
kulon, seketika semua yang ada di kedai itu ter-
perangah dengan mata melotot.
Merekapun berbisik-bisik, bertanya-tanya
pada diri sendiri, "Inikah tokoh silat muda yang telah menggetarkan dunia
persilatan?"
Belum juga mereka dapat menjawab perta-
nyaan hati mereka, secepat kilat kedua orang
yang merupakan tokoh-tokoh persilatan itu telah
berkelebat pergi meninggalkan kedai. Hingga pen-
gunjung kedai pun hanya mampu terbengong-
bengong. 5 Di rumah Gantra tampak banyak orang
yang melayat. Di situ juga tampak saudara ang-
kat Gantra yang bernama Ki Panganoman tengah
memandangi mayat Gantra yang hangus.
Jaka dan Ki Barwi tampak berlari-lari me-
nuju ke tempat Gantra setelah keduanya bertemu
di kedai dan mendengar penjelasan dari dua
orang yang ada di kedai itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ki?"
tanya Jaka "Maksudmu?"
"Tentang kematian Ki Gantra. Apakah Ki
Barwi ada pikiran lain?"
"Tidak ada. Lebih baik nanti kita tanyakan
saja pada kakak angkatnya yang bernama Ki Pan-
ganoman," menjawab Ki Barwi setelah memahami maksud ucapan Jaka.
Lalu dengan segera keduanya pun berlari
kembali. Tak lama kemudian keduanya pun telah ti-
ba di tempat itu.
"Sampurasun...!" menyapa keduanya ham-
pir bersamaan yang seketika mendapat sahutan
dari Ki Panganoman, yang telah tahu lebih dahu-
lu kedatangan kedua tokoh itu.
"Rampes...! Adakah sesuatu hal yang pent-
ing hingga Ki Barwi berkunjung ke mari?"
"Sebenarnya bukan aku yang berkepentin-
gan. Tapi temanku ini yang ingin mengetahui ge-
rangan apa yang telah terjadi. Mungkin saja kau
dapat menceritakannya, Ki Panganoman?"
Seketika Ki Panganoman memandang pada
Jaka dan Jaka yang segera menjura hormat. Ki
Panganoman merasa rikuh dihormat begitu rupa.
Apalagi di hadapan Ki Barwi yang merupakan to-
koh persilatan di wilayah Kulon.
"Siapakah teman anda, Ki Barwi?" bertanya Ki Panganoman setelah sesaat memandang
pada Jaka yang tersenyum.
"Temanku ini bernama Jaka Ndableg atau
Pendekar Pedang Siluman."
"Apa"! Oh.... Sungguh aku ini telah buta
rupanya, hingga tak tahu siapa orang yang seha-
rusnya aku hormati. Maafkan aku. Tuan pende-
kar Jaka." Tersentak Ki Panganoman manakala
mengetahui siapa sebenarnya pemuda di samping
Ki Barwi, yang tak lain seorang pendekar yang te-
lah kondang namanya dengan julukan Pendekar
Pedang Siluman. Hal itu menjadikan Jaka rikuh.
"Ki Panganoman. Janganlah Ki Pangano-
man terlalu meninggikan keadaanku yang sebe-
narnya tak ada artinya. Sebab nama besar meru-
pakan milik orang-orang kerajaan belaka, bukan
milik orang semacamku. Ah, sudahlah. Aku da-
tang ke sini sebenarnya hanya kebetulan. Namun
mana kala aku melihat sesuatu kejanggalan pada
kematian Ki Gantra, seketika aku jadi tertarik untuk membuka tabir itu. Apakah
Ki Panganoman tidak melihat adanya sesuatu kelainan pada ke-
matian Ki Gantra?"
Seketika kedua orang tua itu terbelalak
manakala mendengar ucapan Jaka. Karena sak-
ing kagetnya sampai-sampai kedua orang tua itu
bergumam terperangah.
"Kelainan!"
"Kelainan apa maksudmu. Tuan pende-
kar?" menyambung Ki Panganoman bertanya.
"Cobalah Ki Barwi teliti kematian Ki Gantra
mengingatkanku pada seorang tokoh wanita yang
hidup sekitar tiga puluh tahun silam yang ber-
nama Dewi Tengkorak Hidup."
"Ah. Benar katamu, Jaka. Aku kini ingat
hal itu. Memang kematian Gantra sangat berala-
san ke situ. Tapi apakah mungkin orang yang te-
lah mati hidup kembali?" tanya Ki Barwi
"Itulah yang kini sedang aku pikirkan, Ki.
Aku mempunyai suatu kesimpulan, bahwa Dewi


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tengkorak Hidup telah diperalat kembali oleh su-
aminya yaitu Bah Jenar. Maka dari itulah, aku
datang ke mari untuk menanyakan pada Ki Pan-
ganoman." "Tentang apa. Tuan Pendekar?" bertanya Ki Panganoman.
"Apakah sebelumnya telah terjadi sesuatu
keributan antara Ki Gantra dengan orang lain?"
"Kalau yang ia ceritakan padaku sebenar-
nya memang ada. Begini ceritanya."
Lalu dengan tanpa menambah ataupun
mengurangi, Ki Panganoman pun segera menceri-
takan apa yang sebenarnya telah terjadi sebelum
kematian Ki Gantra. Sementara itu Jaka dan Ki
Barwi tampak dengan seksama mendengarkan.
"Hem.... Kalau begitu memang tepat du-
gaanku, bahwa Bah Jenar memang masih hidup.
Berusaha mengembangkan sayapnya lagi untuk
mengacau dunia persilatan. Baiklah, Ki Panga-
noman. Aku tak bisa berlama-lama di sini untuk
turut serta memberikan penghormatan terakhir
pada adik Ki Panganoman. Saat ini juga aku mo-
hon pamit."
Belum juga kedua orang tua itu sempat bi-
cara, seketika tubuh Jaka telah menghilang den-
gan cepatnya. Kedua orang tua itu hanya mampu
terbengong, seraya menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. "Sungguh bukan omong kosong. Ternyata memang ilmunya bukan isapan jempol
belaka. Pantas kalau dia sangat disegani oleh kawan
maupun lawan. Di samping ilmunya tinggi juga
baik budi dan tidak sombong." Ki Panganoman
terkagum-kagum seketika itu. Sementara Ki Bar-
wi yang memang telah mengetahui siapa sebenar-
nya Jaka tampak tersenyum-senyum.
Lalu dengan berbarengan keduanya segera
naik ke tangga menuju tempat di mana tubuh Ki
Gantra telah terbaring meninggal, untuk secepat-
nya disemayamkan.
* * * "Sungguh-sungguh suatu petaka, jika be-
nar-benar Dewi Tengkorak hidup. Hidup kembali.
Aku jadi tak mengerti, mengapa Dewi Tengkorak
yang bisa hidup lagi dengan tubuh seorang gadis
dan dengan darah bayi dapat hidup lagi" Apakah
Nyi Sarpa Rukinten yang dikatakan oleh Ki Pan-
ganoman memang telah mengiklaskan tubuhnya
untuk ditempati roh Dewi Tengkorak Hidup"
Mungkin juga," bergumam Jaka dalam hati sem-
bari berjalan menyusuri pematang sawah yang
tampak mengering akibat kemarau panjang.
Tengah ia menyusuri pematang sawah, ti-
ba-tiba telinganya mendengar sebuah jeritan seo-
rang wanita. Tanpa pikir panjang lagi, Jaka segera ber-
gegas lari menuju ke arah datangnya suara itu.
Ternyata suara jeritan seorang gadis yang tengah
tenggelam di sungai. Tanpa menunggu waktu lagi,
Jaka pun dengan segera terjun ke sungai dan be-
rusaha menolongnya.
Diangkatnya tubuh gadis itu ke darat, lalu
dengan segera direbahkannya di rerumputan.
Mungkin karena panik, hingga Jaka tak begitu
memperhatikan keadaan gadis itu. Baru setelah
gadis itu di darat, Jaka baru menyadari keadaan
gadis yang ditolongnya.
Gadis itu ternyata tak memakai sehelai be-
nangpun, hingga Jaka seketika tersentak mana-
kala melihat tubuh si gadis yang masih tergeletak seperti dalam pingsan. Mana
kala Jaka hendak
membalikan tubuhnya, seketika si gadis itu sege-
ra mengalungkan tangannya ke leher Jaka. Hing-
ga membuat seketika Jaka membelalakan ma-
tanya. "Heh! Jangan kau berbuat gila seperti ini.
Ketahuilah, bahwa aku tak senang bila kau ber-
buat begini rupa. Sekarang carilah bajumu dulu
baru nanti kita ngobrol," berkata Jaka sembari melepaskan pelukan si gadis yang
tampaknya me-rengut marah, namun hal itu tak dihiraukan oleh
Jaka yang segera meninggalkan tubuh si gadis.
Dengan sungkan-sungkan, gadis itupun
segera beranjak menuju ke sebuah batu di mana
pakaiannya tersimpan. Setelah memakai pakaian,
dengan segera gadis itu menemui Jaka yang telah
menunggunya di balik pohon.
"Kenapa kau sepertinya tak menghiraukan
aku. Tuan Pendekar" Apakah memang aku ku-
rang cantik?" bertanya gadis itu tanpa malu-malu sehingga Jaka membelalakkan
mata demi mendengar ucapannya.
"Bukan begitu. Nona. Aku tidak bermaksud
merendahkan kecantikanmu. Kau memang can-
tik, bahkan hampir seperti bidadari. Namun aku
tak menyukai tindakanmu yang terlalu agresip.
Apakah nona tak menyadari bahwa tindakan no-
na akan merugikan nona sendiri?"
Diberi tahu begitu rupa bukannya menja-
dikan gadis itu sadar, malah dengan gusar itu
berkata: "Ah... jangan sok suci! Aku tahu bahwa kau pun tak lebihnya dari laki-
laki lain. Pura-pura tak mau."
"Wow! Lancang benar ucapanmu! Kalau
memang kau menganggap aku begitu, baiklah...?"
Maka dengan tanpa menghiraukan gadis
itu lagi, Jaka segera berkelebat meninggalkannya.
Si gadis hanya terdiam tanpa dapat mencegah-
nya. Setelah kepergian Jaka, gadis itu segera
berkelebat pergi dengan cepatnya. Hingga dalam
sekejap mata saja, tubuhnya telah menghilang
dari pandangan.
Malam telah tiba seketika Jaka dengan se-
gera mencari tempat penginapan untuk beristira-
hat tidur. Namun ketika ia sadar bahwa ia harus
segera membekuk orang yang telah membuat
keonaran di desa itu, diurungkan niatnya untuk
memesan kamar. Hal itu membuat pemilik penginapan ter-
bengong-bengong melihat tingkah lakunya. Jaka
Ndableg segera pergi meninggalkan penginapan
itu menuju ke hutan di mana ditemukan mayat Ki
Gantra kemarin.
Dengan memilih pohon yang agak besar,
Jaka pun segera melompat ke atas. Dengan du-
duk bertengger Jaka mengawasi desa di sebelah
hutan. Manakala malam telah makin larut Jaka
tersentak dari duduknya. Dilihatnya sebuah
bayangan putih terbang dengan cepatnya dari gu-
nung Galunggung menuju ke arah desa.
"Hai! Benda itu seperti pocong. Hem, aku
rasa ini suatu kebetulan. Akan aku coba mengi-
kuti ke mana perginya. Siapa tahu aku dapat
membuka tabir dari kematian Ki Gantra, sekali-
gus aku ingin membuktikan bahwa yang membu-
nuh Ki Gantra adalah Dewi Tengkorak Hidup,"
berkata Jaka dalam hati.
Dengan segera Jaka berkelebat dari atas
pohon, berlari mengejar pocong itu dengan meng-
gunakan ajian Sapta Bayu.
Jarak antaranya dengan pocong yang dike-
jarnyapun tak begitu jauh.
Sengaja Jaka tidak menghadang pocong
itu. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang akan dila-
kukan pocong di desa itu.
"Sepertinya rumah Ki Gantra yang menjadi
tujuannya. Hem... Ke manapun larinya mainan
Bah Jenar ini, akan aku kejar walau ke ujung
duniapun. Hia...!" Dengan menambah larinya
Memang benar apa yang dikirakan Jaka.
Pocong itu memang datang ke rumah Ki Gantra
yang saat itu tengah ramai oleh orang kendurian.
Semua orang yang tengah kendurian tersentak
kaget, melihat pocong datang ke tempat itu.
"Po... pocong...!" berteriak seorang wanita yang pertama kali melihatnya,
mengundang perhatian yang lainnya. Seketika itu gegerlah orang-
orang di tempat itu.
Ki Panganoman yang masih berada di situ
dengan segera menghadang.
"Siapa, kau! Jangan membuat orang-orang
takut dengan tingkah lakumu. Aku tahu, kalau
kau sebenarnya bukan pocong benaran. Kau tak
lain dari bonekanya Bah Jenar."
Ki Panganoman segera mencabut keris
Berhulu Naga dari sarungnya.
Melihat Ki Panganoman telah mencabut ke-
risnya, si pocong bukannya takut. Bahkan den-
gan tawanya yang mendirikan bulu kuduk, po-
cong itu berputar-putar laksana gasing.
Ki Panganoman dengan segera menusuk-
kan keris pusaka Berhulu Naga ke tubuh pocong
itu. Seketika kain putih yang menutupi pocong
terkoyak, manakala ujung keris Berhulu Naga
menyentuhnya. Terbelalak orang yang berada dalam gulun-
gan kain kafan. Matanya melotot tak percaya pa-
da keris yang berada di tangan Ki Panganoman.
Dengan geram wanita cantik itu membentaknya.
"Ki Panganoman! Kaulah yang telah mem-
buat mukaku rusak dengan santetmu. Untuk itu-
lah, aku hendak menagih hutang yang telah kau
berikan setengah tahun yang lalu."
"Siapa, kau!"
Tertawa cekikikan gadis cantik di depan Ki
Panganoman, mendengar pertanyaan Ki Panga-
noman yang nadanya membentak. Lalu dengan
berkata memperkenalkan namanya, gadis itu se-
gera berkelebat menyerang Ki Panganoman.
"Akulah Nyi Sarpa Rukinten, yang telah
kau santet hingga mukaku rusak. Kini dengan
sembuhnya mukaku, aku akan menuntut balas
padamu. Bersiaplah! Hi hi hi...!"
"Tidak mungkin. Kau bukan Nyi Sarpa Ru-
kinten. Tapi kau adalah Dewi Tengkorak Hidup
yang telah dipengaruhi jiwa Nyi Sarpa Rukinten."
"Terserah apa yang kau katakan, Ki Panga-
noman! Yang penting bagiku kau harus lenyap
dari dunia ini menyusul adik angkatmu!"
Mendengar ucapan Dewi Tengkorak Hidup,
maka dengan tanpa sungkan-sungkan Ki Panga-
noman segera menggunakan keris Berhulu Naga
memapak serangan Nyi Sarpa Rukinten yang se-
benarnya Dewi Tengkorak Hidup.
Tanpa dapat dicegah, keduanya pun segera
terlibat perkelahian sengit. Sementara orang-
orang yang tengah kendurian, dengan segera ikut
serta membantu Ki Panganoman mengepung Nyi
Sarpa Rukinten.
Tubuh Nyi Sarpa Rukinten berputar cepat
seperti gasing membuat pengeroyoknya seketika
pusing. Setiap tendangan atau pukulannya, men-
gundang pekikan bagi yang terkena. Satu persatu
pihak pengeroyok jatuh terjejak atau terhantam
tangan kecil Nyi Sarpa Rukinten.
Membelalak mata Ki Panganoman seketika,
melihat orang-orang yang membantunya tak ada
seorangpun yang mampu menjamah atau me-
nyentuh kulit Nyi Sarpa Rukinten. Maka dengan
keris Berhulu Naga di tangannya, Ki Panganoman
pun menyerang Nyi Sarpa Rukinten.
Kini keduanya telah saling serang dan elak
tanpa diricuhi oleh orang-orang lain. Tampak je-
las, ilmu Ki Panganoman berada di bawah Nyi
Sarpa Rukinten. Hingga dengan beberapa jurus
saja, tampak Ki Panganoman terdesak dengan
hebatnya. Hal itu menjadikan terbelalak mata Ja-
ka yang tengah menontonnya dari balik daun po-
hon. Hingga dengan nada kuatir, Jaka pun meng-
gumam lirih. "Bahaya! Kalau aku tidak segera membantunya."
Namun manakala dia hendak melompat tu-
run. Tiba-tiba dari dalam rumah Ki Gantra, ber-
kelebat sesosok tubuh tua menerjang pada Nyi
Sarpa Rukinten yang segera mengelakannya,
memandang tajam pada lelaki tua itu. Lalu den-
gan mendengus. Nyi Sarpa Rukiten membentak.
"Hem... apa urusanmu, tua bangka! Apa-
kah kau juga ingin mati di tanganku!"
"Nyi Sarpa Rukinten palsu! Jangan kau ki-
ra mata tuaku telah rabun. Hingga tak dapat me-
lihat siapa adanya dirimu. Dewi Tengkorak Hidup!
Duniamu bukan di sini, tapi di neraka sana!" berkata lelaki tua yang telah
menolong Ki Pangano-
man yang ternyata Ki Barwi adanya.
Dikatakan begitu oleh Ki Barwi. menjadi-
kan Dewi Tengkorak makin melorotkan mata.
Dengan didahului bentakan. Dewi Tengkorak se-
gera menyerang Ki Barwi. "Rupanya kau telah bo-san hidup di dunia ini, Barwi!
Bersiaplah untuk
kukirim ke akherat!"
Kedua tokoh persilatan yang berlainan ali-
ran itu kini bertemu lagi, setelah hampir tiga puluh tahun salah seorang dari
ketiganya hilang.
Ketiga tokoh persilatan dari wilayah Barat mas-
ing-masing Ki Barwi, Bah Jenar, dan Dewi Teng-
korak Hidup. Bah Jenar dan Dewi Tengkorak, merupa-


Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan sepasang pendekar sesat. Sementara Ki Bar-
wi, merupakan musuh bebuyutan dari keduanya
sejak mereka masih muda.
Maka sudah dapat dipastikan, bahwa Ki
Barwi akan mampu mengimbangi serangan-
serangan Dewi Tengkorak yang berusaha untuk
segera menghentikan Ki Barwi. Namun demikian
jauhnya, Ki Barwi masih mampu menangkal se-
rangan-serangan Dewi Tengkorak Hidup yang
makin gencar menyerangnya.
"Hiaaaat! Mati kau, Barwi!"
Ki Barwi tersentak, manakala dari tangan
Dewi Tengkorak Hidup menyemprot selarik cairan
hitam yang berbau bangkai menuju ke arahnya.
Dengan setengah kaget, Ki Barwi berguling ke ta-
nah dan menghindarinya. Ki Barwi berhasil
menghindari serangan Racun Mayat yang dilon-
tarkan oleh Dewi Tengkorak Hidup. Namun sung-
guhpun demikian, dadanya terasa sesak manaka-
la mencium bau bangkai yang keluar dari cairan
itu. Jaka yang sedari tadi mengawasinya, terbe-
lalak matanya melihat tubuh orang-orang yang
terkena cairan racun itu. Tubuh mereka seketika
habis terkikis, hingga tinggal tulang belulang belaka. Dan dari membusuknya
daging mereka, ke-
luar jentik-jentik yang menggidikkan.
"Sungguh-sungguh menggidigkan! Kalau
bukan Ki Barwi, mungkin tubuhnya akan seperti
orang-orang itu," bergumam Jaka yang masih berusaha tenang tak segera membantu.
Ia tak mau kalau Ki Barwi akan merasa direndahkan. Maka
itulah Jaka memandang perlu untuk jadi penon-
ton. Namun begitu, hatinya tak tenang. "Bagaimana aku harus berbuat" Aku tak
enak kalau nanti Ki Barwi merasa terhina. Tapi kalau gela-
gatnya seperti ini, maka mau tak mau aku harus
menolongnya. Tapi apakah aku akan mampu me-
redam ilmu yang dimiliki oleh Dewi Tengkorak?"
bertanya-tanya hati Jaka ragu.
Sementara itu. Dewi Tengkorak lelah kem-
bali menyerang Ki Barwi dengan ajian Racun
Mayatnya membuat Ki Barwi jumpalitan kayak
monyet. "Duh! Kenapa iblis ini mampu memiliki
ajian seganas ini" Ah! Apakah aku mampu untuk
menghadapinya" Akan aku coba dengan ajian
Langsat Biru," membatin Ki Barwi.
Manakala Dewi Tengkorak Hidup kembali
menyerang Ki Barwi pun segera menyambut den-
gan ajian Langsat Birunya.
"Hissstttt!"
"Crooottttsss!"
Dua ajian yang berupa cairan itu, seketika
bertemu di tengah-tengah mereka. Tapi dengan
seketika Ki Barwi segera menarik ajiannya kem-
bali dengan muka memucat. Tubuhnya bergetar
hebat dengan mata melotot tak percaya. Tampak
tangannya seketika membusuk di telapaknya.
Seperti halnya Ki Barwi, Jaka pun terke-
siap melihat apa yang dialami oleh tokoh tua itu.
Maka, ketika Dewi Tengkorak hendak kembali
menyerang Ki Barwi dengan seketika Jaka berke-
lebat menghantamkan Pedang Silumannya me-
nangkis cairan racun itu.
"Hiaaattt!" "
Busssttt...!"
Cairan hitam legam bagaikan tear itu le-
nyap terhisap ke dalam Pedang Siluman menjadi-
kan Dewi Tengkorak membelalakan matanya ka-
get. Dan dari mulut Dewi Tengkorak membersit
suara kaget manakala melihat siapa adanya orang
yang berdiri di hadapannya. "Kau...!"
Tak hanya Dewi Tengkorak, Jaka pun juga
tersentak mundur mana kala mengetahui siapa
adanya gadis di hadapannya. Gadis itu telah di-
kenalnya ketika gadis itu hampir saja tenggelam
dalam sungai. "Hem... Rupanya kau gadis binal" Tak ku-
sangka kalau kau adalah penjelmaan Dewi Silu-
man Tengkorak Hidup. Pantas kalau kelakuanmu
sangat jalang," berkata Jaka mengejek, menjadikan Nyi Sarpa Rukinten marah.
Matanya yang sedari tadi redup, kini me-
merah marah penuh napsu membunuh. "Siapa
kau, Anak muda! Jangan kau mati tak bernama!"
Jaka tampak tenang dengan senyum men-
gembang di bibirnya, "Dewi Tengkorak Hidup, aku minta tinggalkan tubuh gadis
itu. Sungguh suatu
perbuatan biadab bila kau memanfaatkan tubuh
gadis yang tak berdosa itu."
"Tak berdosa. Hi hi hi! Anak muda, jangan-
lah kau berkata bagaikan seorang pendeta. Diri-
Memanah Burung Rajawali 37 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Kucing Suruhan 6
^