Pencarian

Penguasa Bukit Karang Bolong 1

Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Bagian 1


PENGUASA BUKIT KARANG BOLONG Oleh Sandro S. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S. Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode: Penguasa Bukit Karang Bolong
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Tiga lelaki berpakaian kelabu yang bergelar
Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit nampak ber-
kelebat dengan cepat, mengurung seorang wanita
berpakaian hijau pupus yang mukanya tertutup
benang kain transparan hitam.
Entah apa sebabnya mereka bentrok, yang
pasti tiba-tiba saja ketiga lelaki yang lebih terkenal dengan sebutan Tiga
Serangkai Hantu dari Ke-
langit itu diserang oleh orang bercadar hitam. Jelas hal itu tidak menjadikan
ketiganya mau begitu saja mengakui keunggulan orang tersebut. Mereka juga merasa
tidak salah dan tidak ada sangkut paut apa-apa dengan orang bercadar hitam
tersebut. "Kenapa engkau tak ada angin tak ada hu-jan tiba-tiba menyerang
kami!?" bentak Hantu Kelangit kumis putih. Wajahnya beringas, sepertinya merasa
kesal pada orang yang menyerang mereka.
"Hi, hi, hi...!" orang itu cekikikan. Suaranya jelas suara wanita. Hal itu
menjadikan ketiga
Hantu Kelangit kerutkan kening. Mata ketiganya
memandang tajam, sepertinya ingin menembus
cadar hitam tersebut tembus ke wajah wanita
yang menyerang mereka. "Hi, hi, hi....! Bukankah kalian musuh-musuh Setan
Berambut Putih?"
tanyanya seperti ingin membuat Ketiga Hantu Da-
ri Kelangit tersebut harus bertanya-tanya.
"Hai! Apa hubunganmu dengan Setan Be-
rambut Putih?" tanya mereka hampir bareng,
yang dijawab dengan cekikikan wanita bercadar
tersebut. "Apakah mungkin kau kekasihnya?"
"Cuih! Lelaki macam dia mudah aku da-
patkan. Mungkin kalau aku mau, aku dapat
membawakannya untuk kalian segudang."
"Sombong," Hantu Kumis Hitam menggere-
tak mendengar ucapan wanita itu. "Kau terlalu sombong. Apakah wajahmu cakep?"
"Kalau cakep kalian mau apa?"
"Mau menidurimu," jawab Hantu berkumis hitam kalem.
Melotot wanita bercadar hitam itu, yang je-
las nampak dari urat-uratnya yang menegang.
Tangannya mengepal, sepertinya ada sesuatu
yang membuat dia berbuat begitu. Napasnya
mengencang, hampir menyerupai dengusan. Ya,
wanita itu mendengus, merasa ketiga Hantu dari
Kelangit menyepelekan dirinya. Maka dengan
menggeretak penuh marah, wanita itu memben-
tak. "Pantas! Kalian memang manusia-manusia yang aku cari. Hem, tak aku sangka
kalau akhirnya aku menemukan kalian semua. Sudah tiga
tahun lamanya aku mencari kalian untuk sebuah
keperluan, ternyata kalian aku jumpai di sini!"
Tersentak ketiganya kaget, demi menden-
gar ucapan yang nadanya mengancam mereka.
Ketiga Hantu dari Kelangit terlolong bengong, tak mengerti maksud ucapan wanita
bercadar hitam.
Namun belum juga ketiganya dapat menguasai di-
ri, tiba-tiba wanita tersebut telah berkelebat kem-
bali menyerang mereka. Mereka yang kaget segera
lompat mundur, lalu dengan segera balik menye-
rang. "Siapa kau adanya, wanita?" tanya Hantu tak berkumis, yang merupakan Hantu
paling bon-tot di antara ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Siapa adanya aku, tak penting bagi kalian
yang berjiwa binatang. Yang utama, kalian harus
mati di tanganku untuk menebus dosa-dosa yang
pernah kalian lakukan pada muridku!" wanita bercadar itu nampak sunggingkan
senyum yang tertutup oleh kain hitam. Ucapannya begitu men-
gandung ancaman, menjadikan Ketiga Hantu dari
Kelangit kembali membeliakkan matanya.
"Kalian sudah siap untuk aku kirim ke ak-
herat sebagai penebus dosa-dosa kalian?"
"Omonganmu enak benar, wanita?" renguk Hantu berkumis putih jengkel. Ia merasa
sudah keterlaluan omongan wanita di hadapannya ter-
sebut. Hantu berkumis putih, menyangka kalau-
lah wanita itu hanya ingin mencari gara-gara saja tak lebih dari itu.
"Hi, hi, hi...! Kalianlah yang ingin enaknya sendiri. Kalian telah memperkosa
seorang gadis, lalu dengan seenaknya tinggalkan gadis itu yang
meratapi kemalangan nasibnya. Hampir saja ga-
dis itu bunuh diri, kalau saja tidak segera aku tolong. Kini aku ingin menolong
sekaligus menun-
taskan hutang piutang di antara gadis tersebut yang kini aku angkat menjadi
murid dengan diri
kalian dan juga laki-laki hidung belang lainnya,"
wanita itu masih cekikikkan, tertawa bagaikan
melihat kelucuan pada wajah Ketiga hantu Dari
Kelangit yang mukanya seketika itu merah pa-
dam. Mereka memang merasa bahwa merekalah
yang telah memperkosa gadis Ningrum anak Pra-
manayuda. Namun yang tidak enak bagi mereka,
adalah wanita yang kini mengaku-aku sebagai
guru si gadis. Bukankah di dunia persilatan tak
ada istilah guru harus ikut campur dengan sang
murid" Begitulah dugaan Ketiga Hantu Dari Ke-
langit. "Kenapa kau tidak bunuh sekalian gadis itu. Bukankah kita sealiran?"
Hantu kumis hitam mencoba merayu. Ia bermaksud agar wanita yang
mengaku-aku guru Ningrum mau melemah ha-
tinya. Sebab mereka telah tahu sendiri betapa il-mu yang dimiliki oleh wanita
bercadar hitam ter-
sebut sungguh tinggi. Manakala pertama kali me-
reka diserang, mereka merasakan betapa ilmu se-
rangannya sungguh dahsyat. Hampir saja ketiga
hantu tersebut dibuat kalang kabut, kalau saja si wanita tak segera hentikan
serangan. "Ya. Kenapa kau tidak bunuh saja sekalian
gadis tak tahu diuntung itu," tambah Hantu tak berkumis menimpali kakak
seperguruannya. "Kalau kau langsung membunuhnya, niscaya kami
akan memberikan hadiah padamu."
"Bedebah! Kalian kira semudah itu mem-
bunuh anak manusia, heh?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit ganda tawa de-
mi mendengar pertanyaan dari wanita tersebut,
menjadikan wanita bercadar itu menggeretak ke-
rakan rahangnya. Tangannya makin mengepal ke-
ras, seakan ingin menghancurkan sesuatu yang
ada dalam kepalannya. Mata yang tertutup oleh
kain cadar hitam, memandang penuh kebencian
yang dalam pada ketiganya yang masih tertawa
bergelak-gelak.
"Dasar kalian buaya. Mengapa kalian mau
begitu saja diutus oleh Rengkana" Kenapa" Apa
kalian dibayar untuk itu?" suara wanita itu begitu dalam, sedalam dendamnya pada
orang yang kini
berada di hadapannya. Ya, orang-orang yang telah memperkosa dirinya. Siapakah
sebenarnya wanita
dalam cadar hitam tersebut" Wanita itu tidak lain Ningrum adanya. "Kalian harus
mati untuk segala perbuatan yang telah kalian lakukan. Setelah kalian, maka
Rengkana akan menyusul kalian ke
alam akherat sana. Bersiaplah!"
Wanita bercadar hitam itu tak hiraukan la-
gi ucapan ketiganya, serta merta ia berkelebat
dan tiba-tiba telah menyerang Serangkai Hantu
Dari Kelangit yang terus berusaha mengerti apa
tujuan sebenarnya wanita itu. Maka dengan ber-
kelit mengelakkan serangan wanita tersebut, Han-
tu Kumis Hitam berkata: "Wanita, mengapa tiba-tiba kau menyerangku"!"
"Kau yang melakukan terlebih dahulu, ma-
ka sepantasnyalah kalau kau yang terdahulu aku
serang," jawab Ningrum sengit. Tangannya yang halus dan kecil itu bergerak cepat
bagaikan seekor ular hidup, mematuk ke sana ke mari tiada
henti, menjadikan Hantu Kumis Hitam keteter di-
buatnya. Melihat hal tersebut, secepat kilat kedua Hantu lainnya segera berusaha
membantu. Na- mun sungguh tak disangka-sangka oleh kedua-
nya, Ningrum serentak berbalik tinggalkan Hantu
Kumis Hitam dan langsung mencerca keduanya
dengan jurus-jurus yang mematikan.
Kedua orang dari Hantu Dari Kelangit ter-
sentak kaget melihat serangan Ningrum yang be-
gitu ganas dan cepat. Keduanya untuk menghin-
dar harus berjumpalitan ke sana ke mari. Kini gi-liran Hantu Kumis Hitam yang
melihat kedua saudaranya diserang membantu, dan berusaha
mendahului menyerang Ningrum. Tapi sungguh
Ningrum sekarang berbeda dengan Ningrum keti-
ka dengan gampangnya mereka memperkosa.
Ningrum sekarang adalah Ningrum yang telah di-
didik oleh seorang tokoh sakti dari Gunung Mu-
ria, yang bernama Nenek Sakti Ratu Kelabang.
Seorang tokoh sakti beraliran sesat yang sangat
bengis dan kejam. Ia tak pernah mau tahu kawan
atau lawan. Bila di hatinya ada sedikit ganjelan, baik itu dilakukan oleh kawan
atau pun lawan,
maka kematianlah yang akan mereka alami. Ilmu
Kelabang Racun Hitam sungguh belum ada tan-
dingannya. Ilmu itu begitu sadis, dan ganas. Tak mungkin orang yang terkena
dapat bertahan se-hari, bila si Nenek tak segera memberikan obat
pemunahnya. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang belum ta-
hu siapa adanya orang yang menyerang nampak
masih berusaha menghindar dengan sekali-kali
berusaha menyerang. Sungguh pun demikian, ke-
tiganya nampak belum dapat menerka siapa
adanya wanita yang menyerangnya tersebut.
Pertarungan tiga orang Hantu dengan seo-
rang wanita itu masih terus berlanjut. Ketiganya seakan tak mau ada yang kalah
maupun yang menang. Tapi bila dilihat dengan seksama, jelas
nampak ilmu ketiga Hantu Dari Kelangit berada
di bawah setingkat ilmunya dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki oleh si penyerang. Namun begi-tu, karena dikeroyok tiga
menjadikan si penye-
rang agak susah juga mengakhiri pertarungan.
"Hem, kalau saja guru berpesan aku boleh
menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam untuk
menghukum mereka, sudah pasti mereka akan
dengan mudah aku jatuhkan," dengus Ningrum
dalam hati. Ia masih ingat akan petuah gurunya,
agar jangan sekali-kali menggunakan ajian Racun
Kelabang Hitam pada Tiga Serangkai Hantu Dari
Kelangit. Ucapan sang guru masih mengiang di
telinganya, manakala Ningrum hendak melaku-
kan balas dendam pada orang-orang yang telah
memperkosanya. Orang-orang yang telah meng-
koyak-koyak kehidupannya, mengkoyak-koyak
segala kebahagiaannya.
"Ingat, Ningrum. Kau tidak boleh menggu-
nakan ajian tersebut untuk menghukum mereka,
sebab mereka merupakan satu ikatan saudara
dengan diriku. Guru mereka, tak lain adalah adik seperguruanku. Bukannya aku
takut menghadapi
guru mereka, namun apalah nantinya aku dike-
cam?" suara dengungan ucapan gurunya meng-
gema di sela-sela relung-relung sanubarinya. Na-
mun suara lainpun tiba-tiba ikut muncul dan
memberikan dorongan padanya.
"Ningrum, suamimu dibunuh oleh mereka,
juga kehormatanmu di renggut dengan paksa oleh
mereka. Apakah kau akan tinggal diam dan me-
nuruti kata-kata gurumu" Biarkanlah gurumu
dengan mereka masih ada ikatan saudara, namun
kau" Kau tak punya ikatan saudara dengan me-
reka, melainkan ikatan hutang piutang dendam...
dendam, Ningrum. Dendam yang bisa atau tak bi-
sa harus kau lunasi. Apakah batinmu tak tersiksa bila melihat mereka masih
keliyaran hidup?"
Manakala Ningrum terdiam, berpikir mana
yang harus ia kerjakan, ketiga Hantu Dari Kelan-
git pun nampak terdiam sembari memandang ke
arahnya. Mata ketiganya nampak mengerut, tak
mengerti apa sebenarnya yang kini berkecamuk di
pikiran Ningrum. Namun demikian, mereka terus
siap siaga, takut-takut kalau Ningrum kembali
menyerang. Ningrum yang saat itu hatinya tengah ber-
kecamuk perang, saling dorong mendorong antara
perasaan yang satu dengan yang lainnya nampak
menggigit bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa gu-
runya Nenek Sakti Ratu Kelabang harus meno-
long dirinya kalau dirinya tak boleh membalas segala dendam kesumat yang tumbuh"
Betapapun, Ningrum merasa tuntutan jiwanya menghendaki
ketiga Hantu Kelangit tersebut harus mati di tangannya. Namun gurunya
menghendaki lain. Gu-
runya menghendaki agar dirinya tak sampai me-
nurunkan tangan jahatnya. Dalam kebimbangan


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu Ningrum mengerang, menggeretak penuh
emosi. Dan akhir dari kontra batin tersebut Nin-
grum akhirnya tertawa bagaikan orang gila, men-
jadikan ketiga Hantu Kelangit makin dalamkan
kerutan keningnya.
"Hua, ha, ha...! Aku!... aku Penguasa Bukit Karang Bolong, mengapa harus menurut
pada ucapan orang lain" Aku akan mampu menguasai
seluruh dunia persilatan. Aku tak perduli dengan ucapan nenek peot itu. Aku
harus dapat membunuh ketiga orang yang sekarang berada di hada-
panku. Hiat...!"
Tersentak ketiga Hantu Dari Kelangit, ma-
nakala dengan tiba-tiba Ningrum menghantam-
kan pukulan jarak jauhnya. Beruntung ketiganya
waspada dari semula, kalau tidak. Niscaya tubuh
mereka akan serupa dengan keadaan gunung ke-
cil yang terletak tak jauh dari mereka. Gunung
kecil itu mengepulkan asap, hancur berguguran
menjadi batu-batu kecil, beterbangan laksana he-
laian daun terhempas angin topan. Mata ketiga
Hantu Dari Kelangit membeliak, serta merta keti-
ganya kembali berteriak kaget melihat ilmu apa
yang telah dilakukan oleh Ningrum.
"Demi Iblis! Mengapa kau mampu menggu-
nakan Ajian Bagar Gede" Dari mana kau men-
curi ajian tersebut, wanita?" tanya Hantu Kumis Putih kaget. Ia tak percaya pada
apa yang dilihatnya. Hatinya seketika teringat pada seorang yang memiliki ilmu
serupa dengan gurunya, Darga Buana. "Hem, apakah wanita ini benar-benar bibi
guru?" batinnya tak percaya. "Kalau memang bibi guru, mengapa suaranya dan
gerakannya lemah
gemulai laksana gadis" Hem, tadi ia menyebut di-
rinya Penguasa Bukit Karang Bolong. Siapakah
dia" Aku baru kali ini mendengar nama Penguasa
Bukit Karang Bolong. Bukankah Penguasa Bukit
Karang Bolong adalah Dewi Lanjut Ayu, seorang
Dewi dari aliran sepertiku yang hidup sekitar lima puluh tahun yang silam" Hem,
apa mungkin gadis ini telah dititisi olehnya" Sungguh bahaya dunia persilatan
bila Dewi Lanjut Ayu muncul kem-
bali. Khususnya para lelaki. Hem...."
"Kenapa kalian kaget. Kalian tahu ilmu
yang aku gunakan, mengapa kalian tidak segera
bersujud dan menyembah padaku. Apakah kalian
benar-benar ingin mendapatkan azab, manusia-
manusia dungu seperti binatang!?" Ningrum
kembali membentak. Suaranya kini lain, bukan
suara yang pertama kali keluar dari mulut Nin-
grum. Suara itu begitu parau, menyerupai suara
seorang nenek-nenek yang telah benar-benar lan-
jut usia. "Siapa kau sebenarnya, wanita?" Hantu
Kumis Putih kembali menanya. "Kenapa kau
memperoleh ajian yang dimiliki oleh bibi guru
kami?" "Hua, ha, ha...! Kalian bodoh! Jelas aku memiliki ilmu tersebut. Sebelum
bibi gurumu dan
gurumu memiliki ajian Bagar Gege, aku telah
menguasainya. Aku Dewi Lanjut Ayu Penguasa
Bukit Karang Bolong. Akulah yang akan mengua-
sai dunia persilatan. Kalian harus mengikuti apa yang aku katakan bila kalian
ingin hidup. Tapi bi-la tidak. Maka kalian akan aku kirim ke akherat.
Hua, ha, ha...!"
"Sombong! Aku tak percaya kalau kau me-
mang Dewi Lanjut Ayu. Dewi Lanjut Ayu telah
tiada, mana mungkin hidup kembali," Hantu Kumis Hitam turut menyangkal,
menjadikan Dewi
Lanjut Ayu bergelak tawa makin melebar.
"Kalau kalian tak percaya, lihatlah!" Habis berucap demikian, Dewi Lanjut Ayu
segera kepal-kan tangannya ke angkasa. Tiba-tiba petir mem-
bahana bersahut-sahutan, padahal hari itu san-
gat cerah. Ketiga Hantu Dari Kelangit makin ter-
sentak. Mereka tahu jenis ilmu apa yang tengah
dilakukan oleh Dewi Lanjut Ayu, yang oleh guru
mereka disebut ajian Penarik Dewa Petir. Jadi dalam keadaan apapun, bila ajian
tersebut dilaku-
kan maka Dewa Petir akan menyahuti. Belum ju-
ga ketiganya hilang dari rasa kejutnya, tiba-tiba Dewi Lanjut Ayu berseru. "Dewa
Petir, tunjukkan kehebatanmu!"
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Tiga kali berturut-turut petir membahana,
dan tiga kali itu pula tanah di hadapan tiga Hantu Dari Kelangit menganga lebar,
cukup untuk men-gubur tubuh mereka. Mata ketiga Hantu Dari Ke-
langit terbeliak kaget, melompat mundur dengan
mata memandang pada Dewi Lanjut Ayu.
"Mau pamer ilmu rupanya kau, orang som-
bong!" Hantu tak berkumis membentak marah,
merasa diremehkan begitu rupa oleh gadis yang
mengaku-aku sebagai Dewi Lanjut Ayu. Namun
sang Dewi sepertinya tak perduli, malah kini ia
nampak tersenyum di balik cadarnya.
"Terserah apa yang kalian katakan. Yang
jelas Dewa Petir menghendaki nyawa kalian."
"Huh, jangan kira kau mudah melakukan-
nya!" geretak marah Hantu berkumis Putih.
"Oh... begitu" Baik, akan aku buktikan
bahwa aku tak susah untuk melakukannya. Iba-
rat aku hanya membalikkan telapak tanganku,
maka dengan mudah nyawamu dan nyawa dua
saudaramu itu akan aku ambil. Bersiaplah,
hiat...!" Kembali Ningrum berkelebat menyerang, kali ini sepertinya tak mau
lama-lama lagi, terbukti serangannya begitu ganas dan cepat. Tak
henti-hentinya ia menggeretak, lalu menjerit ba-
gaikan orang histeris. Tangannya yang lentik, me-liuk-liuk bagaikan ular yang
hidup, menjadikan
ketiga orang musuhnya harus hati-hati mengha-
dapinya. Ketiga Hantu Dari Kelangit berusaha men-
gimbangi, namun bagaimanapun juga gerakan
mereka tak ada artinya untuk mengimbangi se-
rangan Ningrum yang bagaikan kesetanan. Maka
dalam waktu yang relatif singkat, Ningrum yang
sudah kerasukan Dewi Lanjut Ayu makin menang
angin saja. Dengan jurus-jurus anehnya Ningrum
terus mendesak ketiga musuh-musuhnya, yang
makin terdesak saja tanpa dapat membalas sekali
pun. Namun ketiga Hantu Dari Kelangit bukanlah
orang-orang sembarangan yang hanya begitu saja
sudah kalah. Mereka adalah didikan datuk silat
yang sudah malang melintang di dunia persilatan, sehingga ilmu yang mereka
miliki pun bukanlah
ilmu kelas kroco. Ditambah lagi dengan kebera-
nian mereka, jelas tampak bahwa mereka benar-
benar sudah menuruni segala apa yang telah
guru mereka ajari.
Meski dalam keadaan terdesak bagaimana
pun, ketiga Hantu Dari Kelangit tak mau putus
asa. Dan manakala ada kesempatan, tiba-tiba
Hantu Kumis Putih berkelebat sembari keluarkan
pekikkan menyayat yang mampu memecahkan
konsentrasi Ningrum. Belum juga Ningrum dapat
kuasai diri, tiba-tiba sebuah tangan yang berge-
rak cepat berkelebat menyabet cadar yang dike-
nakannya. Tersentak Ningrum seketika, namun
lebih kaget lagi ketiga musuhnya. Mata mereka
melotot, manakala tahu siapa yang tengah diha-
dapi. "Ningrum! Kau...!" Ketiganya serentak berseru menyebut orang yang kini
tersenyum sinis
pada mereka, yang ternyata Ningrum adanya.
"Ya, aku. Akulah Ningrum yang dulu kalian
perkosa atas suruhan Rengkana. Kalian harus
mati, harus!"
Melihat siapa adanya gadis tersebut, seren-
tak ketiga Hantu Dari Kelangit tertawa bergelak-
gelak mendengar omongan Ningrum. Dan dengan
angkuhnya ketiga Hantu Kelangit tersebut berka-
ta mengejek: "Hua, ha, ha...! Rupanya kau ingin mengulangi apa yang pernah kau
rasakan dari kami, manis?"
"Cuh! Memang aku ingin merasakan mem-
bunuh diri kalian satu persatu dengan cara yang
patut untuk orang-orang macam kalian yang tak
lebihnya buaya-buaya busuk!"
Tak banyak kata lagi, segera Ningrum yang
kini benar-benar dalam kuasaan Dewi Lanjut Ayu
atau Penguasa Karang Bolong segera kembali bu-
ka serangan. Kali ini dia tidak mau kecolongan
untuk yang kedua kalinya. Serangannya kini begi-
tu cepat, cepat laksana gerakan siluman belaka.
Tangannya, kini mencerca pada titik-titik kema-
tian lawan. Siapakah Ningrum yang mengaku-aku
Penguasa Bukit Karang Bolong" Lalu siapakah
sebenarnya Ketiga Hantu Dari Kelangit" Untuk
mengetahuinya, marilah kita tinjau kembali keja-
diannya pada bab selanjutnya.
2 Lima belas tahun yang lalu di desa Ketang-
gungan... Desa Ketanggungan waktu itu nampak be-
gitu tentram dan damai. Penduduknya ramah ta-
mah, suka gotong royong, saling tolong menolong.
Di desa Ketanggungan itulah Ningrum dilahirkan,
dibesarkan oleh seorang tokoh masyarakat yang
sudah terkenal yaitu Pramanayuda. Pramanayuda
merupakan seorang tokoh persilatan dari aliran
lurus dengan perguruannya bernama Perguruan
Manik Astajingga. Di bawah pimpinan Prama-
nayuda, perguruan Manik Astajingga sangat pesat
perkembangannya. Kemajuan Perguruan Manik
Astajingga rupanya mengundang pro dan kontra.
Kaum persilatan aliran lurus khususnya bersa-
habat. Sebaliknya dari kaum persilatan aliran se-
sat, membenci dan berusaha untuk menjatuhkan
Pramanayuda. Pramanayuda mempunyai dua
orang putra. Yang pertama bernama Tegalaras,
seorang laki-laki. Sementara yang kedua bernama
Ningrum Biyanti, adalah seorang wanita. Tegala-
ras sejak kecil diambil oleh adiknya yang bergelar Panggawa Iblis. Sebenarnya
Pramanayuda kurang
begitu sreg hatinya bila sang anak dididik oleh adik seperguruannya yang ugal-
ugalan. Namun dikarenakan rasa persaudaraan yang telah dibi-
nanya sejak mereka masih satu perguruan, den-
gan berat hati akhirnya Pramanayuda pun mem-
berikan anaknya yang lelaki tersebut. Sementara
anak putrinya, dididik oleh Pramanayuda sendiri.
Sejak saat itu Pramanayuda dan keluar-
ganya tak lagi mengetahui di mana anaknya Tega-
laras berada. Hubungan sebagai anak dan bapak
pun terputus. Selang tak begitu lama kemudian, Prama-
nayuda mendengar bahwa adik seperguruannya
dibunuh oleh seorang tokoh sesat yang merupa-
kan musuh bebuyutan adik seperguruannya.
Pramanayuda berusaha mencari keberadaan
anaknya, namun ia tak menemukan jejak secuil
pun untuk dapat menemukan sang anak.
"Bagaimana kakang, apakah kakang dapat
sebuah petunjuk di mana adanya anak kita?"
tanya istrinya Arum Daru, manakala kedua suami
istri tersebut tengah berbincang-bincang setelah perjalanan Pramanayuda mencari
anaknya. Pramanayuda sejenak tarik napas, me-
mandang wajah istrinya yang nampak lusuh oleh
duka akibat dipisahkan dengan sang anak. Sete-
lah lama berbuat begitu Pramanayuda seketika
tundukkan wajah, lalu dengan berat berkata
menceritakan hal sebenarnya yang ia alami.
"Aku gagal, Dinda"
"Gagal...?"
"Ya... aku tak menemukan jejaknya," jawab Pramanayuda lemah, sepertinya tak
bersemangat barang setitik pun. "Entah siapa musuh adikku, dan yang mana" Sebab adikku
banyak sekali musuhnya."
Sang istri seketika keraskan isak tangis-
nya, sedih bila harus berpisah untuk selama-
lamanya dengan sang anak. Melihat hal tersebut,
hati Pramanayuda seperti diiris-iris, pedih sekali.
Bagaimana pun, memang ia juga merasakan be-
tapa sedihnya bila harus berpisah dengan sang
anak yang kelak akan menggantikannya. Namun
untuk menghibur hatinya, Pramanayuda segera
berkata. "Dinda, tak usahlah dinda terus-menerus
bersedih hati. Bukankah kita masih diberi seo-
rang anak?"
"Tapi Ningrum wanita, Kanda?".
"Apa bedanya" Wanita ataupun pria sama
saja, asalkan kita mampu mendidiknya, kelak
pun ia akan mampu membalas jasa pada orang
tuanya." Untuk sementara waktu istrinya dapat ter-
hibur oleh kata-katanya. Meski hati mereka ma-
sih tak tenang dengan segala hasil yang mereka
capai, namun setidak-tidaknya masih ada tersisa
harapan bahwa keturunan mereka tetap ada.
Namun begitu Pramanayuda tidak hanya menga-
lah pada nasib, ia terus berusaha untuk dapat
menemukan siapa adanya orang yang telah mem-
bunuh adik seperguruannya sekaligus membawa
anaknya. Seperti esok harinya kemudian, Prama-
nayuda kembali dengan menunggang kudanya


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memacu menyusuri bukit dan menuruni lembah
dalam usahanya mencari jejak sang anak dan
musuh adik seperguruannya.
Pagi masih begitu dingin, alam pun masih
terselubung oleh kabut tebal yang menyelimuti
wilayah yang dilintasi Pramana. Dengan mata se-
kali-kali memandang ke sekelilingnya Prama-
nayuda terus memacu kudanya. Tak hiraukan
dingin menggigit tulang sumsum, tak hiraukan
ilalang menyeret bulu-bulu kakinya hingga terasa gatal. Tujuannya hanya satu,
mencari dan menemukan sang anak untuk dibawa pulang ke ru-
mah. Tengah Pramanayuda memacu kudanya,
tiba-tiba berkelebat puluhan anak panah menye-
rangnya dari arah samping dan belakang. Serta
merta Pramanayuda lemparkan tubuh, mencelat
ke angkasa sembari babatkan pedangnya me-
nangkis serta memutuskan anak-anak panah
yang jumlahnya puluhan itu.
"Bangsat-bangsat rendah, keluar kalian!
Jangan kalian hanya beraninya sembunyi-
sembunyi. Kalau kalian memang jantan, hadapi-
lah aku Pramanayuda!" teriaknya lantang, yang
menggema manakala menerpa bebatuan gunung.
"Keluar kalian! Tunjukkan padaku hidung kalian!"
"Kami di sini, Pramana!" terdengar suara jawaban yang disertai dengan kelebatan
anak panah-anak panah yang jumlahnya melebihi semu-
la, mengarah ke arah Pramanayuda. Segera Pra-
manayuda kembali berkelit, ditangkapnya anak
panah-anak panah yang mengarah telak ke arah-
nya, lalu dengan tenaga penuh dilemparkan anak
panah tersebut ke arah datangnya. Terdengar de-
singan anak panah yang dilemparkan Prama-
nayuda diikuti oleh pekikkan tiga orang dari balik semak-semak rimbun.
"Kalian keluarlah, jangan seperti tikus ta-
nah!" bentak Pramanayuda, dengan berdiri lompat dari kudanya. Tampak dari balik
semak- semak bermunculan wajah-wajah beringas, berja-
lan menuju ke arahnya. Mata mereka memandang
tajam ke arah Pramana, sepertinya ingin menom-
bak mata Pramanayuda. "Hem, rupanya orang-
orang macam kalian. Mana ketua kalian, begal-
begal kere?"
"Sombong kau. Pramana!" geretak Wedal, seorang pimpinan gerombolan Walang Kerek
setelah ketuanya Beruk Kula-Kula.
"Aku tidak sombong! Aku hanya ingin
mengetahui di mana ketua kalian berada, juga
mengapa kalian tiba-tiba menyerangku?" Prama-na berusaha sabar menghadapi orang-
orang se- macam itu. Ia tahu, bahwa orang-orang semcam
Gerombolan Walang Kerek sangat banyak bergu-
na bagi pencarian anaknya. "Apakah kalian se-
muanya diperintahkan oleh ketua kalian untuk
menghadangku?"
"Ya! Memang ketua kami menyuruh begi-
tu!" "Hem, apa maksudnya?" tanya Pramana seraya kerutkan kening.
"Itu urusan ketua. Yang jelas ketua meng-
hendaki kau harus lenyap dari muka bumi ini?"
"Oh... begitu" Mengapa tidak ketua kalian
saja yang melakukannya" Mengapa ketua kalian
malah bersembunyi" Kalau memang ia bermak-
sud untuk melenyapkan diriku, aku minta ketua
kalian sajalah yang menemui diriku. Percuma ka-
lau hanya kalian saja," Pramanayuda berkata dengan tenang, sepertinya
menghiraukan kata-kata pimpinan Gerombolan Walang Kerek.
Mendengar ucapan Pramana, seketika
pimpinan gerombolan Walang Kerek melototkan
mata. Ia merasa ucapan Pramanayuda adalah
ejekan yang sangat keterlaluan. Betapapun, me-
reka tak ingin diremehkan oleh orang lain, sebab mereka merasa adalah sebuah
gerombolan yang
sudah kondang namanya di dunia persilatan. Ka-
lau orang lain yang berkata begitu, niscaya sudah menjadi apa orang yang
berkata. Tapi kini yang
berkata adalah Pramanayuda, seorang pendekar
yang sudah memiliki segala pengalaman segu-
dang di dunia persilatan. Orang yang sangat dis-
egani dan ditakuti, apalagi bila harus bersatu
dengan dua orang saudara seperguruannya, jelas
ketiganya sukar untuk ditaklukkan. Namun kini
salah seorang dari ketiganya telah tiada, mati di-
bunuh oleh seorang tokoh silat lainnya yang telah mendendam dengannya. Tapi
untuk menghadapi
seorang dari Tiga Pendekar Kumala, jelas harus
memerlukan kehebatan ilmu yang paling tidak
sebanding. Kalau tidak, maka sia-sialah segala
apa yang akan mereka lakukan. Jangankan un-
tuk mengalahkannya, untuk menghindari kema-
tian saja susah.
"Pramana, janganlah kau sombong. Tak
perlu ketua kami yang maju menghadapi dirimu,
tapi kami pun akan mampu untuk menyingkirkan
dirimu dari muka bumi ini!" geretak pimpinan gerombolan Walang Kerek.
"Hem, apakah kalian sudah pasti?" Prama-na berkata tenang.
"Akan kami buktikan, Pramana!"
"Oh, sungguh kalian memang pemberani.
Baiklah, aku layani apa yang menjadi tuntutan
kalian. Nah, lakukan oleh kalian bila mampu un-
tuk menyingkirkan diriku," sorot mata Pramana kini seperti liar, bahkan sorot
mata itu seperti sorot mata penuh misteri. Terkadang redup, lalu
menyala berapi-api. Nampaknya pendekar aneh
itu sudah begitu marahnya, hingga ia begitu
memperlihatkan keadaan dirinya yang sebenar-
nya. Bagaimana tidak marah" Ia tengah mencari
putranya sekaligus musuh adiknya, kini harus
berurusan dengan orang-orang yang dirasa telah
menghadang dirinya. Pramanayuda mendesis, ba-
gaikan ular sanca yang ingin melalap seekor ka-
tak. Melihat keadaan Pramana, seketika kese-
mua orang yang berada di situ menarik napas be-
rat, sepertinya mereka merasa ada sorot aneh ke-
luar dari mata Pramana. Mereka segera bersiap
cabut golok yang sedari tadi menggelantung di
pinggang, siap untuk menyerang Pramana.
Pramana nampak tersenyum sinis, lalu
dengan suara lantang setengah marah berkata;
"Kenapa kalian terdiam, lakukanlah apa yang menjadi tugas kalian!"
"Sombong! Jangan menyesal, Pramana!"
"Selama hidupku, aku tak pernah menyes-
al!" "Hem, begitu" Baik, bersiaplah, Pramana!"
geretak pimpinan gerombolan marah. Sebenarnya
dalam hati Wedal terbersit rasa takut juga meng-
hadapi Pramana. Namun bila ia harus mengalah,
sungguh petaka bagi dirinya. Ketua mereka yang
bergelar Datuk Si Raja Karang bukanlah orang
yang memiliki welas asih. Maka bila mereka gagal, mereka yang akan menjadi
korban keganasan
sang Datuk. Beruk Kula-Kula atau Datuk Raja
Karang, merupakan tokoh sesat yang memang
menaruh permusuhan dengan Tiga Pendekar Gu-
nung Langsat yang terdiri dari Pramana, Lugana,
dan adik seperguruannya yang kini telah mati di-
bunuh entah oleh siapa. Mereka pernah menja-
tuhkan Datuk Kula-Kula atau Raja Karang, ma-
nakala mereka diperintah oleh guru mereka. Hal
itu rupanya menjadi dendam yang berkepanjan-
gan bagi sang Datuk Kula-Kula, sehingga ia sem-
pat menyumpah serapah pada ketiganya bahwa
nanti dirinya akan membuat perhitungan dengan
ketiga saudara seperguruan. Datuk Raja Karang
juga sempat mengancam, bahwa dia akan me-
numpas keluarga ketiganya dengan keturunan
mereka sendiri. Apakah tidak mungkin yang
membunuh dan menculik adik serta anaknya tak
lain si Datuk"
Bila ingat akan semuanya, seketika Pra-
mana merasakan pasti bahwa sang Datuklah
yang lelah melakukan semuanya. Maka kemara-
hannya makin meledak-ledak laksana larva gu-
nung Agung. Tanpa banyak kata lagi, segera Pra-
mana memekik menyerang kedua puluh orang
anak buah Datuk Raja Karang.
"Kalian harus mati! Kalian harus menebus
kejahatan ketua kalian!" pekik Pramana penuh amarah. Bagaikan banteng kelaton
Pramana terus mencerca dengan Pedang Sukma Layungnya. Ha-
wa pedang yang seperti mengandung racun, seke-
tika menyebar ke segenap penjuru. Tanpa ampun
lagi, mereka yang masih berilmu rendah langsung
jatuh terkulai lemah pingsan. Sebaliknya yang berilmu tinggi, nampaknya harus
berusaha sekuat
tenaga menolak hawa pedang tersebut.
"Ilmu Iblis!" memekik Wedal kaget. Ia segera, lemparkan tubuh ke belakang,
diikuti oleh anak buahnya yang masih sadar dan kuat me-
nangkis hawa aneh tersebut. Muka mereka melo-
tot tak percaya, memandang tajam pada pedang
yang tergenggam di tangan Pramanayuda.
"Kenapa kalian pucat seperti seekor babi
yang hendak digorok! Mana keberanian kalian se-
bagai Gerombolan Walang Kerek!?" desis Pramana
dengan senyum sinis melekat di bibirnya. "Sudah aku katakan, bahwa kalian tak
akan mampu menghadapi diriku. Sekarang kalian minggatlah
dan beritahukan pada ketua kalian si Datuk Raja
Karang bahwa aku ingin menemuinya! Lakukan-
lah segera, atau dengan terpaksa aku akan me-
nyate tubuh-tubuh kalian!"
"Sombong kau, Pramana! Jangan harap
aku akan mengakui kehebatanmu! Mari kita lan-
jutkan!" Wedal membentak marah. Ia kini harus benar-benar nekad. Mati sudah
pasti harus dihadapi, walau ia harus berusaha menghindari ke-
matian itu. Namun bila ia mengalah pada Prama-
na, jelas kematian didapat olehnya dari tangan
ketuanya si Datuk Raja Karang. Kematian sema-
cam itu sungguh tidak terhormat, lebih baik mati di tangan musuh yang sudah
kondang namanya.
Maka dengan perhitungan demikian, Wedal den-
gan nekad segera menyerang Pramana, dibantu
oleh sisa-sisa anak buahnya.
Diserang begitu rupa tidak menjadikan
Pramana gugup, malah dengan mulut menyerin-
gai seperti hendak menunjukkan kekuatan Pra-
mana berkelebat mengelakkan serangan-serangan
musuhnya. Pedang pusaka di tangannya bergerak
cepat, sepertinya mempunyai mata sendiri. Hawa
pedang yang mampu membuat orang pingsan te-
rus mengalir, menyelimuti lingkungan pertarun-
gan tersebut. "Kalian tak akan mampu bertahan lebih
dari sepuluh jurus!"
"Hem, kau masih sombong, Pramana!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak percaya. Baiklah,
aku akan membuktikan pada kalian bahwa hawa
pedang ini mampu membuat kalian sesak napas-
nya, yang akhirnya kalian akan pingsan!"
Setelah berkata begitu Pramana makin
mempercepat kelebatan pedangnya. Asap bergu-
lung-gulung, menyelimuti daerah itu makin lama
makin tebal menghitam pekat. Semua penyerang-
nya seketika tersentak, melototkan matanya. Da-
da mereka seperti sesak, terbatuk-batuk oleh ter-paan asap tersebut. Namun
mereka sepertinya
yang tak mau mengalah, mereka terus berusaha
bertahan dan semampu mereka membuang hawa
asap tersebut. Namun rupanya mereka harus
mengakui bahwa hawa yang keluar dari pedang
lebih kuat daripada ilmu yang mereka keluarkan.
Satu persatu, akhirnya mereka berjatuhan ping-
san. Tinggallah kini Wedal yang masih mampu
bertahan, namun begitu Wedal nampak pucat pa-
si. Ia sadar bahwa dirinya tak mampu lagi untuk
menghadapi serangan Pramana. Namun Wedal
masih berusaha tersenyum, senyum puas karena
akan mati di tangan seorang pendekar. Jurus-
jurus Pramana makin keras, akhirnya yang tam-
pak hanya gulungan asap tebal.
"Hiaat... Bersiaplah, Wedal!"
"Aku sudah siap, Pramana!" balas Wedal tak mau kalah.
Kedua orang itu seketika mencelat, terbang
berbarengan di udara. Namun nampaknya Pra-
mana tak menginginkan kematian untuk Wedal.
Maka dengan secara cepat pedang pusaka Sukma
Layung disarungkan ke tempatnya, sementara
tangannya yang telah diisi dengan tenaga dalam
bergerak lurus memapaki serangan golok Wedal.
"Hiaaaat...!"
"Hiat...!"
West...! Angin tebasan golok Wedal berdesah, me-
nyerang dengan ganas. Namun Pramana seper-
tinya tahu kelebatan golok tersebut, dan dengan
segera elakkan tubuh disusul oleh hantaman tan-
gannya ke iga sebelah kiri lawan.
"Bug... bug... bug...!"
"Kretak!"
Terdengar suara tulang iga patah, diikuti
oleh jeritan yang melolong dari mulut Wedal me-
nyayat: "Aaaah...!"
Wedal terkulai jatuh di atas tanah, dengan


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iga yang remuk menjadikan dirinya menyeringai
menahan sakit. Matanya tajam memandang pada
Pramana yang tersenyum, berdiri menghadapinya
dengan pedang Sukma Layung yang sudah berada
di sarungnya. Mata Wedal membeliak, seakan tak
yakin bahwa suara retakan tulangnya bukan ka-
rena tebasan pedang pusaka tersebut.
"Kau....!"
"Kenapa, Wedal?" tanya Pramana tenang.
"Aku sengaja tak menggunakan pedangku agar
kau dapat hidup lebih lama. Sekarang katakan
pada ketuamu, aku Pramana ingin bertemu. Aku
tunggu ketuamu di lereng Gunung Kencana!"
"Tunggu! Jangan kau pergi dulu!" Pramana yang hendak berkelebat pergi segera
hentikan langkah, lalu ditengoknya kembali Wedal yang
memanggilnya. "Ada apa, Wedal?"
"Pramana, lebih baik kau bunuh saja diri-
ku. Aku meminta tolong padamu, bunuh saja
aku!" "Itu tak mungkin aku lakukan!"
"Kau tega melihat aku dibunuh oleh ketua-
ku?" Pramana tersenyum, sepertinya ucapan
Wedal bagaikan anak kecil saja. Mana mungkin ia
harus mau mengurusi orang lain" Mau dibunuh
oleh gurunya, kek. Yang pasti, guru Wedal yang
juga ketuanya harus menemuinya di lereng Gu-
nung Kencana. Setelah tersenyum begitu, segera
Pramana kembali tinggalkan Wedal yang hanya
mampu terlolong bengong.
Hati Wedal begitu marah, kecewa dan den-
dam pada Pramana yang tidak mau melakukan
apa yang ia inginkan. Bagaimana pun ia sangat
mengharapkan Pramana yang membunuh, bukan
gurunya. Tapi rupanya nasib harus berbuat begi-
tu. Selang beberapa lama setelah Pramana
berlalu, sebuah bayangan berkelebat menuju ke
arah Wedal tergeletak. Wedal yang mengetahui
siapa adanya yang datang seketika membelalak-
kan mata kaget, dan dari mulutnya keluar desi-
san kaget mengucap nama orang tersebut.
"Guru...!"
"Kau telah gagal, Wedal!" suara gurunya nampak penuh kebencian. Ya itulah sifat
Datuk Raja Karang. Sifat yang angkuh dan tidak men-
genal siapa kawan ataupun lawan. Bila memang
seorang yang menjadi kawannya tak berguna lagi,
maka seharusnya orang tersebut disingkirkan da-
ri muka bumi. Wedal hanya terpaku diam, tak dapat mu-
lutnya untuk mengutarakan apa yang harus dika-
takan. "Kau gagal. Wedal!" kini suara gurunya makin keras, merasa ucapannya tak
digubris oleh Wedal. "Jawab, Wedal!"
"Ampun, ketua. Memang aku... aku gagal.
Tapi...." "Tak apa tapi-tapian, Wedal! Kau ingat apa
yang telah aku katakan padamu" Barang siapa
yang tidak ada guna lagi bagi diriku, maka aku
akan menyingkirkannya."
Menggigil tubuh Wedal seketika mendengar
ucapan gurunya yang dirasakan sebuah keputu-
san akhir. Ya, keputusan yang tidak dapat diban-
tah oleh siapa pun juga. Namun Wedal tak ingat,
bahwa di atas sana masih ada yang lebih kuasa
dibandingkan dengan gurunya yaitu Allah S.W.T.
yang telah menciptakannya.
"Sekarang katakanlah, di mana Pramana
menunggu diriku"!"
"Ampun guru, Pramana menunggu keda-
tangan guru di lereng Gunung Kencana," jawab Wedal dengan masih diselimuti rasa
takut yang teramat sangat.
Sang guru angguk-anggukkan kepalanya,
lalu tiba-tiba dengan suara menyeramkan sang
guru berkelebat dengan golok di tangannya siap
tebaskan ke leher Wedal. Hampir saja golok tersebut membabat putus leher Wedal,
manakala tiba- tiba sebuah bayangan berkelebat menyela-
matkannya. "Bedebah! Siapa yang telah lancang di ha-
dapanku!" maki Datuk Raja Karang marah. Sege-ra ia kejar orang yang membopong
tubuh murid- nya, namun usahanya sia-sia karena orang terse-
but jauh tinggi ilmunya hingga dengan cepat
orang tersebut lenyap dari pandangannya.
"Monyet busuk! Siapa gerangan orang itu?"
Datuk Raja Karang memaki-maki sendiri,
lalu setelah puas menyumpah serapahi orang itu
segera ia pun berkelebat pergi untuk menemui
Pramana yang telah menantinya di lereng Gunung
Kencana. Angin gunung bertiup sunyi, menerpa lem-
but daun-daun kering yang beterbangan dan
hinggap pada tempat-tempat yang telah di atur
oleh Yang Maha Kuasa. Lembah itu kembali sepi,
tiada suara ataupun jeritan manusia. Namun tak
lama kemudian, serombongan burung-burung
pemakan bangkai beterbangan, berputar-putar di
situ dan kemudian menukik. Rupanya rombongan
burung Nazar tersebut menemukan makanan
yang sungguh menyenangkan.
3 Angin sore telah mengalunkan hawa yang
aneh, yaitu hawa sebuah penentuan. Di lereng
Gunung Kencana, nampak dua sosok tubuh sal-
ing berhadapan dengan hening seperti menjajagi
apa yang ada di hati mereka masing-masing. Ma-
tahari telah menggelincir, empat puluh derajat ke arah Barat. Sinarnya kini tak
segarang manakala
siang, namun redup. Bayang-bayang kedua orang
tersebut panjang, melebihi keadaan sebenarnya.
Mata mereka saling pandang, layaknya dua mata
burung elang yang tajam saling menghujam. Na-
pas mereka mendesah berat, seirama dengan deru
angin yang menggayut berat.
"Kau menungguku, Pramana?" tanya Da-
tuk Raja Karang.
"Ya, aku memang mencarimu," jawab Pramana tenang.
"Apakah kau ingin mengulang seperti lima
tahun yang lalu?"
"Bukan! Bukan itu yang aku inginkan, te-
tapi lebih dari itu semua. Kini aku tak perduli lagi dengan segala tindakanmu,
asal kau jangan
mengganggu sanak kadangku."
Mata Datuk Raja Karang seketika menyipit,
sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya
tujuan Pramana. Setahunya ia tak pernah mem-
buat kerusuhan lagi pada keluarga Pramana,
ataupun sanak kadangnya. Kini Pramana mencari
dirinya untuk mencari gara-gara. Sebenarnya
memang hal itu yang dicari, sebab ia pun ingin
sekali-kali kembali menjajagi ilmu yang dimiliki Pramana setelah lima tahun
berlalu. Tapi untuk
menyatakan terus terang, sungguh ia belum be-
rani. Sebab di samping akan diketahui oleh kha-
layak persilatan yang sudah tentu akan mencer-
canya, juga saudara seperguruan Pramana lain-
nya akan berusaha membantu. Bukankah hal itu
masih menyangkut masalah perguruan" Maka
demi mendengar pertanyaan Pramana, timbullah
hatinya untuk mengakui segala tindakan orang
lain. Dimaksudkan agar supaya Pramanayuda
mampu marah. "Apa yang sebenarnya engkau mau, Pra-
mana?" "Aku ingin kau kembalikan anakku yang
kau culik dari adik seperguruanku."
"Huah, itu tidak mungkin, sebab anakmu
sudah aku korbankan untuk para Roh-roh pen-
guasa Bukit Setan! Kalau kau tak mau, maka kau
akan menghadapi aku!"
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala
seperti dulu, Datuk!"
"He,, he, he...! Aku memang seperti dulu,
seperti ketika kalian kalahkan. Karena kekalahan itulah hingga aku sampai kini
menaruh dendam.
Dendam untuk mampu membalas segalanya pa-
damu dan pada adik seperguruanmu lainnya."
Kalau saja Pramana mau meneliti dari
omongannya, jelas bahwa Datuk Raja Karang bu-
kanlah orangnya yang telah menculik dan mem-
bunuh anak dan adik seperguruannya. Tapi Pra-
mana yang sudah dilanda oleh kobaran amarah
tak menganalisa dan memperdulikannya. Tudu-
hannya pada Datuk Raja Karang begitu yakin, se-
pertinya Datuk Raja Karanglah yang benar-benar
telah membunuh adik seperguruannya sekaligus
menculik anaknya Tegalaras.
"Sudah aku duga, bahwa kaulah biangnya!
Maka itu, kini aku tidak akan segan-segan lagi
menurunkan tangan jahatku padamu, Datuk!
Bersiaplah!"
Melihat kemarahan Pramanayuda. Datuk
Raja Karang masih berusaha tenang. Ia tahu sia-
pa adanya Pramanayuda, seorang tokoh persila-
tan berilmu tinggi yang disegani oleh musuh-
musuhnya. Di samping itu ia harus memikirkan
Pedang Sukma Layung yang berada di tangan
Pramana. Pedang tersebut bukanlah pedang sem-
barangan, namun sebuah pedang yang mampu
merontokkan sendi-sendi tubuh sekaligus mampu
membunuh orang tanpa mengalami kematian lu-
ka-luka. Sebab dengan asapnya saja, orang akan
dibuat pingsan dan akhirnya mati.
"Sudah siapkah kau, Datuk?" kembali
Pramana bertanya.
"Aku memang sudah siap, Pramana. Tapi
perlu kau ingat" Bahwa aku siap menghadapi di-
rimu bukan karena aku telah melakukan segala
yang engkau lontarkan. Aku menghadapimu ka-
rena aku merasa ingin mengulang kejadian lima
tahun silam. Lima tahun silam kau dan kedua
adik seperguruanmu telah menjatuhkan aku di
hadapan orang banyak. Kini akulah yang akan
menjatuhkan nama besarmu, walau aku menja-
tuhkanmu bukan di kalayak ramai tapi bagiku
sudah cukup puas!"
"Jadi kau masih mungkir"!"
"Aku tidak mungkir. Aku memang tak
mengetahui siapa adanya anakmu, juga siapa
yang menculiknya," jawab Datuk Raja Karang, menjadikan Pramana tersentak kaget.
Pikiran Pramana seketika melayang, tak mengerti apa se-
benarnya yang terjadi.
"Kalau memang Datuk Raja Karang bukan
orangnya, lalu siapa lagi yang telah berbuat begi-tu?" keluh hati Pramana
bimbang. "Apakah masih ada orang lain yang menaruh dendam padaku"
Atau barangkali musuh adikku yang memang ug-
al-ugalan?"
"Kenapa terdiam, Pramana?"
Pertanyaan Datuk Raja Karang begitu
menghentakkan Pramana yang tengah tercenung.
Matanya seketika membelalak, memandang lekat
ke arah Datuk Raja Karang yang masih terse-
nyum. "Jadi kau bukan penculiknya?" tanya Pramana kemudian setelah tersadar dari
lamunan- nya. "Kalau begitu aku rasa aku tak ada gunanya menemui dirimu!"
"Ada, Pramana!" Datuk Raja Karang men-
cerca, mengingatkan kembali pada Pramana.
"Bukankah kita memang ada kepentingan sendi-ri" Kepentingan yang berhubungan
dengan apa yang pernah kita lakukan, di mana kau dan sau-
dara-saudara seperguruanmu menjatuhkan aku."
"Kau rupanya tak jemu-jemu, Datuk!"
"Memang aku tak pernah jemu bila belum
mengalahkan kalian!"
"Sekarang apa yang kau mau?" tanya Pramana kembali sewot.
"Bertarung untuk menentukan siapa yang
paling sakti di antara kita!" Datuk Raja Karang sunggingkan senyum sinis,
mengarah pada Pramana yang masih menghela napas berusaha sa-
bar. Pramana tahu siapa sebenarnya Datuk Raja
Karang, seorang tokoh sesat yang tak bisa diajak kompromi. Selalu ingin menang,
ingin diaku oleh
kalayak bahwa dirinyalah yang paling berkuasa.
"Bertarung...?" ulang Pramana, sepertinya ingin meyakinkan pada diri sendiri
kebenaran ucapan sang Datuk.
"Ya, bertarung! Kau takut, Pramana?" ejek sang Datuk.
"Tak akan pernah ada rasa takut untuk-
ku." "Bagus! Itu yang aku harapkan! Aku minta kau mau sejenak melupakan masalah
anakmu, atau mungkin kau akan tenang tanpa berpikir ka-
lut memikirkan anakmu karena kau akan aku ki-
rim ke alam sana! He, he, he...!"
"Sombong! Kau manusia sombong!"
"Apa pun yang kau katakan, bagiku tak
menjadi masalah! Yang penting, aku mampu
mengirim nyawamu ke akherat, hiaaat....!"


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Pra-
mana, Datuk Raja Karang berkelebat menyerang.
Hal itu menjadikan Pramana tersentak kaget dan
dengan segera berkelebat miringkan tubuh men-
gelak. Namun karena didera hati yang tak tenang
menjadikan Pramana lamban dalam mengelak,
akibatnya...! "Bug...!"
Sebuah hantaman telak mendarat di bahu
kirinya, menjadikan Pramana seketika terhuyung
ke belakang dengan mulut menyeringai menahan
sakit. Kini ia sadar, bahwa ucapan sang Datuk
bukanlah main-main. Segera Pramana tarik na-
pasnya panjang, lalu mendesis kencang laksana
seekor ular sanca marah. Habis berbuat begitu,
serta merta Pramana melompat dan menyerang
sang Datuk yang masih senyum-senyum penuh
kemenangan. Sang Datuk melompat mundur, kaget me-
lihat gerakan Pramana yang begitu cepat dan ga-
nas. Ia tidak mengira kalau Pramana pun telah
meningkatkan ilmu silatnya. Terbukti sang Datuk
tak mampu lagi menghindar dari sergapan Pra-
mana, dan....! "Hiat....!"
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali berturut-turut, tendangan kaki
dan pukulan tangan Pramana telah mendarat di
wajah sang Datuk yang seketika itu melayang ba-
gaikan terbang terdorong oleh hantaman tersebut.
Mata sang Datuk membeliak tak percaya, me-
nyaksikan kemajuan Pramana yang begitu pesat.
Betapa mungkin, dalam lima tahun Pramana
yang dulu ilmunya berada setingkat dengannya
kini melebihi ilmunya. Namun sebagai orang yang
berwatak keras. Sang Datuk tak mau begitu saja
mau menyadari. "Hebat! Kau ternyata lebih hebat, Pramana.
Tapi aku tak mau begitu kalah olehmu. Aku ingin
kau lebih banyak memberikan pelajaran padaku,"
sambung sang Datuk dengan sinis.
Pramana berusaha tenang, meski ucapan
sang Datuk dirasakannya sangat menyinggung
perasaan. Mata Pramana yang tajam, tak henti-
hentinya menantang pandangan tatapan mata
sang Datuk. Napasnya sangat tenang, berbeda
dengan napas Datuk Raja Karang yang menden-
gus penuh kemarahan.
"Aku rasa, aku tak lebih darimu, Datuk.
Maka itu aku minta tak usahlah kita teruskan se-
galanya. Kita bukan anak-anak lagi, Datuk."
"Tidak bisa!"
Tercengang Pramana mendengar ucapan
Datuk Raja Karang, walau Pramana sudah men-
duga sebelumnya. Ia tahu bahwa sang Datuk pas-
ti tak akan mau mengalah begitu saja, apalagi
padanya yang telah pernah menjatuhkan. Kini ha-
ti Pramana dihadapkan pada dua pilihan, mengi-
kuti apa yang dimaui si Datuk atau mencari
anaknya. "Bagaimana, apakah kau mau menyerah-
kan nyawamu untukku?"
Ejekan Datuk Raja Karang sudah keterla-
luan, sudah menjurus pada hal merendahkan
martabat Pramana sebagai seorang pendekar.
Pramana seketika mendengus marah, sepertinya
jiwa seorang pendekarnya kembali menggen-
tak-gentak hatinya untuk mau menerima tantan-
gan sang Datuk.
"Baik, aku layani apa maumu!"
Habis berkata begitu, Pramana seketika
kembali berkelebat. Kali ini bukan tangan kosong,
tapi pedang pusaka Sukma Layung ikut menen-
tukan. Terkesima Datuk Raja Karang melihat pe-
dang tersebut, sehingga matanya yang sudah tua
memandang membeliak.
"Pedang Sukma Layung!" pekiknya terta-
han. Kini hanya ada dua keputusan, mati dite-
bas pedang Sukma Layung atau mati oleh asap
pedang. Menilai begitu, Datuk Raja Karang bagai-
kan orang kesurupan. Ia nekad memapaki seran-
gan yang dilancarkan Pramana dengan pe-
dangnya. Pertarungan dua musuh bebuyutan itu
kembali berjalan, seperti hendak mengenangkan
kembali mereka pada kejadian lima tahun silam.
Bedanya kalau lima tahun yang silam Pramana
bersama saudara-saudara seperguruannya, tapi
kini Pramana menghadapi sendiri. Namun sung-
guh berbeda Pramana sekarang dengan yang du-
lu. Pramana sekarang sungguh tinggi ilmunya,
apalagi dengan pedang Sukma Layung di tangan-
nya yang begitu dahsyat. Orang menghadapi
Pramana harus berpikir seribu kali, kecuali orang nekad seperti Datuk Raja
Karang. Karena hatinya didera rasa was-was pada
pedang Sukma Layung, menjadikan gerakan Da-
tuk Karang begitu lamban. Ya, hatinya tak te-
nang, penuh rasa takut kalau-kalau jalan napas-
nya tak tahan menghadapi asap tebal yang bergu-
lung-gulung keluar dari pedang tersebut. Asap itu memang makin lama makin tebal,
menyelimuti keadaan mereka seketika hilang. Bau asap terse-
but mampu menyumbat pernapasan, menjadikan
sang Datuk harus mampu menahan napasnya.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya
sang Datuk lebih banyak terdesak daripada men-
desaknya. Pedang Sukma Layung terus mencerca
mencari titik mati bagi lawannya. Sebenarnya
Pramana mudah untuk mengakhiri pertarungan
tersebut, namun ia sengaja mengulur serangan.
Kalau saja pedang tersebut digerakkan makin ce-
pat, niscaya dalam sekejap saja sang Datuk su-
dah tak akan mampu lagi menahan napas. Tapi
Pramana yang tak ingin membunuh berusaha
menjatuhkan lawannya dengan tanpa korban.
"Menyerahlah, Datuk!"
"Tidak! Aku belum kalah olehmu! Aku akan
mengadu jiwa dengan dirimu, Pramana!"
Pramana hanya mampu menghela napas
panjang, terasa berat dirasakannya. Ia sebenar-
nya tak ingin pedangnya terlumur darah, tapi
keadaan menghendaki lain. Kalau ia harus men-
galah pada Datuk Raja Karang apalah nantinya
yang akan terjadi pada keluarganya dan dunia
persilatan. Dengan mendengus sewot Pramana
kembali membentak:
"Datuk tak tahu diri! Kalau memang itu
yang engkau mau, baiklah! Jangan salahkan aku
mengasah pedang pusaka ini pada darahmu!"
"He, he, he.-.! Ucapanmu sombong, Prama-
na!" "Dasar manusia tak mau diuntung! Apakah kau kira aku tak mampu
melakukannya!"
"Lakukanlah, Pramana! Lakukan kalau
engkau mampu!" ejek sang Datuk dengan gelak tawa terkekeh, menjadikan Pramana
yang tadinya masih memendam rasa kasihan kini berubah
menjadi rasa benci. Pedang Sukma Layung di
tangannya tiba-tiba mengeluarkan sinar merah,
seakan sinar itu hendak menghancurkan serta
meremukkan apa saja. Pantulannya begitu menyi-
laukan, menjadikan mata sang Datuk seketika
menyipit. Pandangan sang Datuk terganggu, tak
mampu untuk melihat jelas apa yang ada di ha-
dapannya. Namun, Pramana rupanya masih
menghendaki penyelesaian secara damai, sehing-
ga dengan nada melemah ia kembali berkata:
"Masihkah kau berkeras hati, Datuk?"
"Sudah aku katakan, aku tak akan menye-
rah dan tak akan membiarkan kau hidup!" gerutu sang Datuk marah. Hatinya panas,
sepanas dendamnya yang membara. "Kalau kau tak membu-
nuhku, maka akulah yang akan membunuhmu,
Pramana!" Pramana masih terdiam, memandang pada
sang Datuk yang nampak menutup kedua ma-
tanya dengan tangan. Hatinya seketika menggele-
gar marah, kesal, dan segala macam perasaan tak
enak berkecamuk menjadi satu. Napasnya yang
tadinya tenang, berganti dengan napas liar mem-
buru. Tangannya bergetar hebat, hawa pedang
Sukma Layung menyebabkan dirinya bagaikan
diguncang. Pedang itu rupanya meminta darah,
entah darah siapa. Apakah darah sang Datuk,
atau mungkin darahnya sendiri bila ia tak mam-
pu memberikannya.
"Hiat...!" tiba-tiba Pramana memekik, tebaskan pedangnya ke tubuh sang Datuk.
Sang Datuk yang tersentak berusaha menghindar, na-
mun gerakan pedang Sukma Layung ternyata le-
bih cepat dari dugaannya. Tak ayal lagi...!
"Aaah...!"
Muncrat seketika darah Datuk Raja ka-
rang, kepalanya terbelah jadi dua. Memang apa
yang dikatakan Pramana benar, bahwa pedang
pusakanya akan diasah oleh darah. Terbukti su-
dah! Tubuh sang Datuk terlantah, menyosot ke
tanah tanpa nyawa.
Dua mata dari balik semak menyaksikan
hal itu, yang tanpa diketahui oleh Pramana. Pra-
mana yang telah melihat musuhnya mati, dengan
segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh mati
tersebut. Bersamaan dengan hilangnya tubuh
Pramana, pemilik mata itu seketika berkelebat
menghampiri. Sesaat dipandangnya tubuh sang
Datuk, hatinya menggumam. "Pramana! Tunggu-
lah pembalasanku, pembalasan kami!" Lalu tubuh pemuda itu berkelebat, menghilang
tinggal- kan mayat, Datuk Raja Karang yang masih terge-
letak menjadi dua.
4 Sejak kematian Datuk Raja Karang, maka
Bukit Karang Bolong makin sepi bagaikan tak
bertuan. Keangkeran Bukit Karang Bolong di-
kaitkan dengan berita-berita adanya hantu yang
menghuni Bukit tersebut. Mungkinkah hantu itu
roh Datuk Raja Karang" Entahlah! Yang pasti di
Bukit Karang Bolong ada seorang wanita muda
dan cantik yang muncul tiba-tiba. Sebenarnya
wanita muda dan cantik itu adalah istri Datuk
Raja Karang. Dibanding dengan usianya, jauh sekali
keadaan wajah serta fisik wanita tersebut. Wa-
jahnya masih cantik jelita, juga fisiknya masih
begitu kuat, tak ada kulit keriput atau guratan-
guratan usia di mukanya. Dia bernama Nyi Mas
Ayu Salidri, anak seorang pembesar istana yang
dipersunting oleh sang Datuk. Sebenarnya dulu
penyuntingan Nyi Mas Ayu Salidri tidak direstui
oleh ayahandanya, mengingat Datuk Raja Karang
bukanlah orang-orang lingkungan istana dan ha-
nyalah tokoh persilatan. Namun karena keduanya
sudah saling menyinta, maka dengan penuh ke-
beranian keduanya melarikan diri dari lingkungan istana dan menetap di Bukit
Karang. Disebabkan
penghuninya yaitu Nyi Mas Ayu Salidri telah tidak perawan, maka Bukit Karang itu
dikenal dengan nama Bukit Karang Bolong.
Karena rasa cintanya yang begitu dalam
terhadap Datuk Raja Karang, menjadikan Nyi Mas
Ayu Salidri mendendam pada Pramana dan ke-
luarganya. Namun untuk menghadapi sendiri, je-
las ia tak mempunyai keberanian. Sebab di samp-
ing Pramana orang sakti mandraguna, juga memi-
liki pedang Pusaka Sukma Layung.
"Bagaimana aku harus menghadapi Pra-
mana" Dia begitu sakti, ditambah dengan Pedang
Sukma Layungnya yang sangat berbahaya. Ja-
rang sekali orang mampu menghadapi pedang
tersebut. Suamiku juga tak mampu, apalagi den-
gan diriku," renung Nyi Mas Ayu Salidri sendiri.
Tengah ia merenung, mencari bagaimana
jalan untuk dapat membalas dendam, tiba-tiba te-
linganya mendengar suara suaminya yang sudah
tiada seperti berkata: "Nyi Mas, kalau kau ingin membalas dendam padanya aku
rasa itu tak perlu. Ambilah nanti anak darinya yang gadis. Meni-
tislah kau padanya, niscaya kau akan menda-
patkan ketenangan diri. Berbuatlah sesuka hati-
mu, sebab dengan penitisanmu dengannya akan
menjadikan sebuah kekuatan yang Maha Dah-
syat! Kesaktianmu dan kesaktiannya akan berga-
bung menjadi satu. Gantikan kedudukanku seba-
gai seorang penguasa Bukit Karang Bolong. Ingat
Nyi, kau harus mampu menunjukkan pada dunia
bahwa Penguasa Bukit Karang Bolong masih ada
dan masih harus diperhitungkan."
"Kenapa aku tidak boleh mendendam pada
keluarga Pramana, Kakang?"
"Nyi Mas, aku sekarang dalam ketenangan.
Bila kau mendendam, maka berarti kau tidak
sayang padaku. Sudahlah, kau turuti saja apa


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjadi saranku. Kacaukan dunia persila-
tan. Bukankah dengan kau menitis di tubuh anak
gadis Pramana secara tak langsung kau sudah
membalas dendam?" tanya suara Datuk Raja Karang, yang diangguki oleh sang istri.
"Dengan anaknya berbuat sadis, maka Pramana akan
mencoba menghentikannya. Bukankah dengan
begitu kau mampu menghadapi Pramana?"
"Benar juga ucapanmu, Kakang." jawab Nyi Mas Ayu Salidri.
"Nah, kau lakukan segalanya nanti apabila
telah terjadi sebuah petaka bagi anak gadis Pra-
mana itu."
"Petaka apa yang datang menimpanya, Ka-
kang?" tanya Nyi Mas Ayu ingin tahu.
Maka dengan suara berat Datuk Raja Ka-
rang pun menceritakan apa yang bakal terjadi di
dunia persilatan, sampai-sampai mengenai akan
datangnya seorang pendekar yang nantinya akan
membantu istrinya menyusul ke alamnya sana.
Sementara Datuk Raja Karang bercerita, Nyi Mas
Ayu Salidri mendengarkannya dengan seksama
tanpa berkeinginan menanya atau memutus ceri-
ta tersebut. "Kalau begitu percuma usaha kita, Ka-
kang?" "Tidak, Nyi Mas. Memang untuk kita kembali bersatu harus menjalani hal-
hal yang pernah aku lakukan."
Tercenung diam Nyi Mas Ayu Salidri men-
dengar jawaban suaminya. Hatinya seketika gun-
dah, sebab ia tidak ingin mati terlebih dahulu sebelum dirinya mampu menguasai
jagad. Kalau harus menuruti segala nasib, percuma ia harus
menitis pada anak gadis Pramana.
"Tidak! Aku tidak ingin mati lebih dini! Aku harus mampu menjadikan diriku
seorang Ratu yang disegani. Hi, hi, hi...! Maafkan aku, Kakang.
Aku terpaksa menyeleweng dari apa yang kau
rencanakan, karena aku ingin menjadi seorang
Ratu. Ya, Ratu...." membatin Nyi Mas Ayu Salidri.
Suasana kembali hening, sunyi senyap ba-
gaikan di pekuburan. Bukit Karang Bolong nam-
pak diselimuti dengan misteri. Bukit itu seakan
tegak, menantang kehidupan manusia untuk
mengadakan sebuah bencana yang harus ditang-
gulangi. Apakah yang bakal terjadi di Bukit Ka-
rang Bolong nantinya"
* * * Pramanayuda yang sudah hampir putus
asa mencari keberadaan anaknya nampak terce-
nung dalam duduknya. Ia masih memikirkan ke-
matian Datuk Raja Karang. Sebenarnya hal itu ti-
dak ia inginkan, namun sungguh di luar dugaan.
"Mengapa hal itu terjadi" Mengapa aku ha-
rus membunuh?" keluh Pramanayuda, seakan
menyesali apa yang telah ia perbuat dengan sega-
la tindakannya. "Sebenarnya aku tak ingin membunuh, tapi rupanya sang Datuk
memaksa-ku. Oh, aku telah berdosa. Tanganku kini telah ter-
lumur oleh darah."
Melihat suaminya tercenung, sang istri
yang baru saja keluar dari dapur dengan memba-
wa secangkir kopi dan singkong rebus sepiring
terhenyak. Dia berdiri mematung, memandang
pada suaminya yang seperti orang tak punya gai-
rah. Perlahan ia menghampiri, dan sampai ia me-
naruh piring pun sang suami masih tampak tak
acuh adanya. "Kakang, kenapa dengan dirimu?"
Pramanayuda tersentak seketika demi
mendengar pertanyaan istrinya. Ia mencoba ter-
senyum, walau senyum itu dipaksakan agar gun-
dah gulana dalam hatinya tidak diketahui oleh
sang istri. "Apakah kakang memikirkan sesuatu?"
kembali istrinya bertanya.
"Ah, ti-tidak," jawab Pramana terbata.
"Mengapa Kakang melamun bengong?"
Pramana terdiam tanpa dapat menjawab
pertanyaan sang istrinya. Matanya memandang
lekat-lekat pada wajah istrinya, yang tersenyum
sembari ulurkan tangan menggapai tangan sua-
minya. Terbayang semua kenangan lama, di mana
kenangan indah bergayut saat-saat keduanya
masih remaja. Walau keduanya anak orang-orang
tak berada, namun karena rasa cinta yang tulus
menjadikan keduanya hidup rukun dan tentram.
Mereka bina satu keluarga bahagia, senang lahir
maupun batin. Tapi kebahagiaan mereka yang
sudah berjalan hampir dua puluh tahun, kini te-
renggut dengan hilangnya putra pertamanya yang
bernama Tegalaras. Bocah tanggung itu kini raib
bagaikan ditelan bumi, tak tentu di mana rim-
banya. "Aku telah melumuri tanganku dengan darah. Ya, aku telah membunuh
sesebrang musuh-
ku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan mem-
bunuh lagi apabila aku telah mempunyai seorang
anak wanita. Oh, petaka apa yang akan kita ala-
mi, Dinda?"
"Ah, mengapa kakang terlalu hanyut dalam
kecemasan?" istrinya mencoba menghibur. "Tak perlulah kakang memikirkan hal itu.
Kalau pun akan datang petaka bagi kita, maka sepantasnya-
lah kita serahkan semuanya pada yang Kuasa.
Bukankah begitu, Kakang?"
"Ya, memang seharusnya begitu. Tapi aku
sangat mengkhawatirkan akibatnya pada putri ki-
ta, Ningrum."
Terhenyak dalam diam istri Pramana men-
dengar ucapan sang suami. Sepertinya ucapan
sang suami sebuah desau ketakutan yang tera-
mat sangat. Namun untuk menghiburnya sung-
guh sukar, karena sepertinya sang suami me-
mendam sebuah rahasia yang menyangkut kea-
daan dirinya dan keluarga khususnya anak ga-
disnya Ningrum. Memang sepengetahuan istri
Pramana, sejak Pramana mempunyai anak wanita
ia tidak lagi mengadakan pertarungan seperti
layaknya kala ia masih muda atau manakala
memiliki anak Tegalaras. Sejak lahirnya Ningrum
kegiatan Pramana untuk berkelana pun terkunci,
dan ia lebih banyak mengurung diri di dalam ru-
mah atau memomong anak-anaknya. Bahkan tu-
gasnya sebagai seorang pimpinan di perguruan ia
limpahkan pada murid utamanya Kala Jangka.
Hanya akhir-akhir ini saja, yang menjadikan
Pramana sibuk, yaitu mencari keberadaan anak-
nya Tegalaras. "Kakang, sepertinya kakang memendam
sebuah rahasia?" tanya istrinya kembali, setelah terhanyut dalam pikirannya
manakala mendengar
penuturan sang suami.
"Ah, aku rasa aku tidak memendam apa-
apa, Dinda."
"Ya, sudahlah. Kalau memang kakang tidak
memiliki sebuah rahasia, aku minta kakang tak
perlu mencemaskan segalanya. Serahkanlah apa
yang bakal terjadi pada Yang Kuasa, sebab hanya
Dialah yang tahu rahasia alam ini. Kalau ia me-
mang menghendaki demikian, aku rasa ada mak-
na tersendiri."
Ucapan istrinya begitu dingin, menyirami
hati Pramana yang saat itu tengah dalam keadaan
gersang dan panas. Gersang oleh ketakutan yang
bakal menimpa keluarganya, juga panas oleh api
kemarahan pada diri sendiri yang tak mampu
mencari jejak keberadaan anaknya, padahal ia te-
lah terkenal sebagai seorang pendekar yang
mumpuni. "Ah! Tak ada artinya gelar pendekar, kalau
aku tak mampu menemukan anakku," sering ka-
ta-kata itu melintas dalam benak Pramana, na-
mun kadang juga ia sadar. Sehebat-hebatnya
manusia, ia akan mengalah pada nasibnya. Nasib
yang telah digariskan oleh Yang Wenang. Maka
bila ia sadar, ia akan menggumam kembali.
"Mungkin semua kehendak Yang Mencipta
alam. Aku hanyalah sebagai manusia yang mam-
pu merencanakan tapi tak mampu menentukan-
nya." Hari telah makin larut, meninggalkan bekas-bekas waktu yang sedikit demi
sedikit akan segera berubah. Begitu halnya dengan manusia,
ia yang biasanya terjaga harus mengalah pada
waktu. Kantuk pun datang, menghanyutkan sega-
la pikiran dan halusinasi serta angan-angan.
* * * Waktu terus berputar bagaikan baling-
baling kehidupan yang cepat. Lima tahun sudah
masa kebimbangan terlewati oleh Pramana dari
keluarganya. Ningrum kini telah menginjak dewa-
sa, menjadi seorang gadis cantik. Kecantikannya
tiada tara, menjadikan banyak sekali pemuda
yang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa
yang ada pada diri Ningrum
Pada suatu hari, datanglah serombongan
lelaki dan wanita yang ingin melamar Ningrum.
Orang-orang tersebut, sepertinya dari kalangan
orang berada. Ditilik dari pakaian yang mereka
kenakan, jelas tergambai kemewahan dan kebesa-
ran sebagaimana layaknya orang-orang yang me-
miliki banyak harta.
Rombongan itu memang dari kalangan
orang berada, tepatnya dari seorang tuan tanah
kaya! Di wajah-wajah orang tersebut, sepertinya
membersit rasa ketidakpuasan. Wajah mereka ke-
lam tenggelam oleh bayang-bayang sebuah kehi-
dupan. Mungkin mereka menerima tugas untuk
meminang Ningrum anak seorang pendekar yang
mumpuni dengan secara paksa, atau mungkin
mereka tidak menyukai juragannya melamar Nin-
grum" Entahlah. Yang pasti, mereka melangkah
dengan langkah berat, berwajah gelap penuh rasa
tak percaya diri. Rombongan itu terus melangkah
dengan bisu, tiada kata atau canda ria yang
menggaung di hati mereka. Apalagi manakala me-
reka makin dekat ke rumah Pramana, sepertinya
ketakutan dan rasa tak percaya diri makin meng-
gayuti berat. "Apakah kita akan membawa hasil?" seo-
rang lelaki tua yang berjalan paling muka berna-
ma Ki Rawe-rawe bertanya pada semuanya yang
tak seorang pun mampu menjawabnya. "Bagai-
mana kalau pinangan kita ditolak?"
"Entahlah, Ki. Kalau memang ditolak, su-
dah sepantasnya, bukan?"
"Yang engkau maksudkan, Gakel?" Ki
Rawe-rawe kerutkan kening demi mendengar
ucapan temannya yang bernama Gakel, seorang
lelaki tua sebayanya yang memiliki badan pendek
"Kita semestinya malu pada Tuan Prama-
na. Bagaimana pun, juragan kita sudah begitu
lanjut, tak sepantasnya harus menyanding putri
Ningrum. Ah, memang juragan kita keterlaluan."
"Huss... kau jangan ngomong begitu."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Apa kau tidak tahu kalau di sini banyak
penjilat?" Ki Rawe-rawe memperingatkan pada temannya. Namun dia sendiri tidak
menyadari kalau ucapannya juga mengandung bahaya bila di-
dengar oleh orang-orang yang dikatakannya penji-
lat. Kedua orang tua itu kembali diam, me-
langkah dengan ketidakyakinan di hati mereka.
Mata mereka redup, sepertinya memiliki sakwa
sangka yang tak enak. Dan manakala jarak mere-
ka telah hampir dekat dengan rumah Pramana,
langkah mereka merandek bagaikan tiada tenaga
lagi untuk meneruskan.
"Siapa yang akan mendahului?" tanya Ki Rawe-rawe pada semuanya yang seketika
saling pandang. Dari sorot mereka jelas sudah tampak
bahwa mereka sangat jeri pada Pramana, seorang
yang disegani oleh kawan maupun lawan. Seo-
rang pendekar yang tidak sombong.
Melihat semuanya saling terdiam saling
pandang, Ki Rawe-rawe kerutkan kening kembali
seraya bertanya: "Heh, mengapa kalian terdiam"
Apakah kalian telah lupa pada apa yang kalian
katakan pada Juragan kalian?"
"Kami tak berani, Ki?"
"Ah, kalian ternyata orang-orang yang di
depan dan di belakang lain. Di hadapan juragan,
kalian mengatakan ya. Tapi di belakangnya, ter-
nyata kalian tak lebih seekor tikus!" Ki Rawe-rawe begitu sewot. Memang
sebenarnya ia sendiri enggan untuk melakukan pinangan tersebut. Ia me-
mikir apa mungkin seorang gadis cantik dan mu-
da harus bersanding dengan seorang tua. Tak
masuk di akal ulah juragannya, sungguh tidak
masuk di akal! Melihat kemarahan Ki Rawe-rawe, seketika
semuanya tak ada yang berani membuka mulut.
Mereka menyadari bahwa diri mereka memang
kurang berani untuk melakukan semua perintah
juragannya yang sangat keterlaluan.


Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana, apakah tak ada seorang pun
yang berani?" Ki Rawe-rawe kembali berseru.
"Ayo, mengapa kalian pada diam kayak cacing-cacing kepanasan?"
"Ki, apa tidak sebaiknya kita pulang lagi?"
seseorang mengusulkan. "Kita bilang saja bahwa usaha kita gagal karena pihak si
gadis menolak."
"Sontoloyo! Kau tak lebihnya seorang ban-
ci! Minggat dari sini!" bentak Ki Rawe-rawe penuh amarah. Bagaimana mungkin ia
akan menuruti kemauan orang tersebut, yang dirasakannya
sungguh suatu tindakan kafir yang hendak men-
gadu domba. Orang tersebut seketika diam, tak
berani mengulang kata lagi.
"Kalau kalian tidak berani, mengapa kalian
harus mengatakannya, ya, ya, ya...! Dasar manu-
sia-manusia tak tahu diri!"
Mereka terus terdiam tak hiraukan caci
maki Ki Rawe-rawe. Mereka memang menyadari,
bahwa merekalah yang serba salah. Di hadapan
juragannya, mereka mengatakan ya berani untuk
meminang. Tetapi kini, tak tahunya mereka me-
lempem. Keributan tersebut rupanya didengar oleh
Pramana yang segera datang menghampiri. Wajah
Pramana mengerut, melihat serombongan orang
dengan membawa lengkap apa yang dibutuhkan
dalam tunangan mandek pada berdiri di halaman
rumahnya. "Ki Sanak sekalian, ada gerangan apa
hingga ki sanak ribut-ribut?" tanya Pramana setelah mengetahui hal yang pasti.
"Kalaulah Ki sanak sekalian ingin bertandang ke gubugku, men-
gapa Ki sanak tak langsung saja?"
Semuanya seketika menundukkan wajah,
seakan tak berani untuk menentang pandang
dengan seorang yang mereka kenal sebagai pen-
dekar yang disegani. Melihat hal tersebut Prama-
na sunggingkan senyum, lalu dengan suara ra-
mah kembali berkata: "Kenapa" Apakah kalian merasa takut padaku" Ah, sungguh aku
tak mengerti kalau kalian memang takut padaku. Keta-
huilah oleh kalian, aku tak akan pernah menyaki-
ti seorang ataupun seekor pun binatang bila tidak mendahului. Begitu juga halnya
dengan kalian, aku tak akan mengusik kalian bila kalian tidak
terlebih dahulu mengusik diriku dan keluargaku."
Ucapan Pramana bagaikan sebuah air se-
juk yang menyirami kerongkongan mereka saat
dahaga. Mata mereka yang redup, seketika kem-
bali bersinar. Ada setitik api menyinari hati mereka, menjadikan mereka makin
tahu siapa adanya
Pramana. Lama kelamaan, rasa tahu itu menjadi-
kan rasa hormat dan segan di hati mereka.
"Maafkan segala kelakuan kami, Tuan
Pramana," menjura hormat Ki Rawe-rawe mewaki-li segenap rekan-rekannya. "Kami
diutus oleh juragan kami untuk..."
Belum juga Ki Rawe-rawe habis katanya,
Pramana telah mendahului berkata: "Ah, apakah pantas kita bicara di pekarangan?"
Ki Rawe-rawe tersentak kaget, tak me-
nyangka kalau ia akan mendapatkan sindiran
yang halus. Maka dengan suara tergagap karena
merasa tersindir, Ki Rawe-rawe kembali berujar:
"Ah, maafkan atas kebodohan ku."
"Tidak apa-apa, Ki. Mari silakan masuk ke
rumahku. Rumahku terbuka lebar untuk siapa
saja yang memang bermaksud baik. Tapi bila
mempunyai tujuan buruk, maka Aki dapat meli-
hat sendiri di sana." Dengan berkata Pramana tunjukkan jari telunjuknya ke
tempat sebuah halaman di mana terdapat ratusan muridnya tengah
berlatih ilmu silat. Seketika orang-orang yang melihatnya terbelalak, ada rasa
ngeri dan takut melihat hal tersebut.
Memang, mereka yang akan berbuat jahat
niscaya harus berhadapan dengan murid-murid
Pramana yang banyak. Mereka mungkin telah di-
latih segala kemampuan berkelahi dan ilmu-ilmu
oleh Pramana selaku guru dan sekaligus pimpi-
nannya di Perguruan Manik Astajingga.
Melihat tamu-tamunya merandek, Pramana
kembali ulaskan senyum dan berkata: "Tak perlulah kalian takut, sebab aku yakin
kalian bermak- sud baik-baik. Bukan begitu, Ki?"
"E... be-benar," jawab Ki Rawe-rawe gagap, ia terkejut oleh pertanyaan Pramana
yang datangnya secara tiba-tiba. "Memang kami bermaksud baik-baik."
Para tetamu itu kembali melangkah, me-
masuki halaman rumah Pramana dan terus ke
balai-balai. Mereka disambut oleh istri Pramana
serta anaknya Ningrum yang ramah tersenyum
menyambut kedatangan mereka.
Setelah duduk-duduk dalam ramah tamah
sesaat, maka dengan terlebih dahulu mengulum
ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
kering Ki Rawe-rawe berkata menerangkan mak-
sud kedatangannya dengan para temannya. Mu-
lanya Pramana dan keluarganya hanya menden-
gar, namun setelah mengetahui siapa adanya
orang yang menyuruh mereka maka dengan halus
Pramana berkata: "Maaf, Ki. Bukannya kami ke-beratan. Tapi, segala keputusan
yang paling ber-
hak adalah anak kami Ningrum."
"Hamba mengerti, Tuan," jawab Ki Rawe
pasrah. "Nah, bagaimana, Ningrum" Apakah kau
menerimanya?"
"Ampun, Ayahanda, Ningrum sangat me-
nyesal tak dapat menerima pinangan Ki Rengka-
na. Ningrum telah memiliki calon, Ayahanda."
"Nah Ki, itulah keputusan anakku," Pramana kembali berkata, yang segera
diangguki oleh Ki Rawe-rawe dan segenap para kadangnya.
"Kalau begitu kami mohon pamit undur."
"Ah, mengapa mesti bergegas, Ki" Sabarlah
dulu, bukankah kami belum mengobati kedatan-
gan kalian?" Pramana mencoba mencegah, na-
mun Ki Rawe dengan halus menolaknya. Maka
akhirnya dengan pasrah Pramana dan keluar-
ganya pun mengijinkan mereka kembali.
Dengan diiringi tatapan mata keluarga
Pramana, mereka melangkah dengan berat me-
ninggalkan rumah Pramana. Kini mereka dalam
bimbang, ragu untuk kembali pulang. Betapa
mungkin mereka akan menghadapi kemarahan
tuannya. Senja telah datang, menepiskan siang yang
telah menjalani masa tugasnya. Mereka terus me-
langkah menuju ke tempat asal, di mana mereka
tadi datang. Sang mentari seperti tak memperdu-
likan mereka, lenyap di balik bumi sebelah Barat.
5 Kegagalan para suruhannya untuk memi-
nang Ningrum memang sudah ada dalam piki-
rannya. Sebenarnya bukan itu maksud Rengkana
sebenarnya. Maksud yang sebenarnya adalah
mencari jalan untuk membalas kematian kakak-
nya si Datuk Raja Karang. Namun untuk terus te-
rang melakukan balasan ia tak berani karena ke-
beradaannya sebagai adik Datuk Raja Karang
akan jelas kentara dan diketahui oleh kalayak
ramai Dengan kegagalan para utusannya untuk
meminang Ningrum, maka jalan untuk mengada-
kan pembalasan terbuka sudah. Kini tinggal men-
cari siapa-siapa orangnya yang mampu melaku-
kan segala apa yang telah direncanakan. Bagi
Rengkana, tak berani pada ayah si gadis tak men-
jadi soal, yang penting ia akan membuat petaka
bagi keluarga Pramana.
"Aku akan membuat Pramana malu!" den-
gusnya berapi Hari itu juga, dicarinya kenalannya yang
dianggap mampu melakukan segala apa yang te-
lah terencana. Rengkana dengan menunggang
kuda bergegas menuju ke arah Wetan, di mana
para sahabatnya yang bergelar Tiga Serangkai
Hantu berada. Tempat yang dituju oleh Renggana
tak lain desa Kelangitan di mana Tiga Serangkai Hantu tersebut berada.
Desa Kelangitan letaknya tak begitu jauh
dari keberadaannya sekarang. Bila ditempuh den-
gan menunggang kuda, maka akan memerlukan
waktu tiga jam. Sedang bila ditempuh dengan ja-
lan kaki, memerlukan waktu setengah hari perja-
lanan. Kuda yang ditunggangi Rengkana terus
melaju, menaiki gunung dan kadang harus me-
nyeberangi sungai. Menerobos hutan serta se-
mak-semak, lalu menjarah persawahan yang ma-
sih kering kerontang akibat kemarau yang pan-
jang. Digebasnya kuda tersebut dengan kencang,
sepertinya Rengkana tak sabar untuk menemui
ketiga teman-temannya.
Ketika ia hampir mendekati tempat di ma-
na Tiga Serangkai Hantu berada, segera Rengka-
na lambatkan lari kudanya. Matanya memandang
lurus-lurus, sepertinya ia ingin menyaksikan apa yang berada di hadapannya. Di
depannya kini terhampar hutan bakau, yang sarat dan sempit
karena saking penuhnya. Perlahan kuda tung-
gangannya melangkah, ada perasaan aneh yang
seketika bergayut di hatinya. Perasaan aneh itu, makin lama makin besar
Lencana Pembunuh Naga 13 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Pedang Langit Dan Golok Naga 14
^