Penguasa Bukit Karang Bolong 2
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Bagian 2
bersamaan dengan makin mendekatnya kuda yang ditumpangi Rengka-
na ke hutan bakau.
"Hem, apa yang menjadikan hatiku was-
was. Aku harus berhati-hati, sebab tidak mung-
kin kalau keadaan tenang hatiku harus berdebar
seperti ini." Rengkana makin memperlambatkan kudanya melangkah. Dipasangkan
pendengaran-nya dengan tajam, sehingga suara gemeresek se-
dikit pun akan jelas ia dengar.
Pertama kaki kudanya memasuki hutan
bakau, tak ada apa-apa. Makin ke dalam, lalu te-
rus melangkah ke dalam. Ketika kuda yang di-
tumpangi Rengkana sampai di tengah-tengah hu-
tan bakau, tiba-tiba sebuah tombak hampir saja
menyate tubuhnya bila Rengkana tidak segera
lompat. Tapi tak urung tombaknyalah yang mele-
sat menghantam kudanya. Sesaat kuda itu me-
ringkik, lalu akhirnya menggeletak mati.
Mata Rengkana melotot, marah dan takut
beraduk menjadi satu. Dengan agak takut Reng-
kana segera bangkit, lalu dengan penuh kemara-
han ia membentak: "Siapa adanya engkau, ke-
luarlah!" "Kau manusia iblis! Kau harus mati di tan-
ganku!" Rengkana tersentak kaget demi mendengar
balasan bentakan suara seseorang yang telah
menuduhnya. Dia berusaha mencari orang yang
memiliki suara tersebut, namun sepertinya suara
itu tiada yang memiliki. Orang yang berkata tak
dilihat oleh Rengkana, menjadikan Rengkana se-
ketika bergidig bulu kuduknya. Tengah Rengka-
na, bingung tak tahu siapa yang telah berkata-
kata, kembali terdengar suara bentakan.
"Kau manusia iblis! Kau telah dengan licik
membunuh pamanku! Kau pura-pura ingin ber-
guru pada paman, lalu setelah kau curi Kitab Se-
rat Kumajang kau bunuh paman! Dasar manusia
berhati iblis!"
"Siapa kau! Kalau kau manusia, aku minta
keluar dan tunjukkan batang hidungnya agar
dengan mudah aku congkel matamu!" bentak
Rengkana sewot. Dihunusnya keris pusaka, lalu
diacungkan ke arah suara itu. Namun belum juga
ia tahu siapa adanya suara tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
dan...! "Ini aku...!"
Bersamaan dengan munculnya bayangan
tersebut, tiba-tiba Renggana mengerang memapa-
ki orang tersebut. Namun gerakan orang tersebut
ternyata lebih cepat dari apa yang ia duga hingga tak ayal hantaman tangan
berisi yang dilancarkan oleh orang itu telak menghantam muka Rengkana. "Bug,
bug, bug!"
Tiga kali suara hantaman itu terdengar,
dan tiga kali Rengkana harus mengerang kesaki-
tan. Tubuh Rengkana berguling-guling, menahan
sakit yang teramat sangat mendera di wajahnya.
Tulang pipinya terasa remuk, terkena tendangan
yang keras. Rengkana terus meraung-raung kesa-
kitan, sementara orang yang menyerangnya yang
ternyata seorang pemuda berdiri tegak dengan
senyum mengawasi tubuh Rengkana.
"Itulah balasanmu, seorang yang tidak
memiliki rasa terima kasih! Kau telah ditolong
oleh paman, namun balasanmu sungguh menye-
dihkan bahkan membuat paman akan mengu-
tukmu!" "Siapa kau, Anak muda?" terdengar suara seseorang lain menanyakan pada pemuda
yang berdiri memandangi tubuh Rengkana. Pemuda itu
segera palingkan muka, memandang pada suara
yang bertanya. Senyumnya masih mengembang,
dan lebih tepat dikatakan sinis. Pemuda itu berjalan santai meninggalkan tubuh
Rengkana yang masih mengerang dan menghampiri ketiga orang
yang berdiri mengawasinya.
"Namaku Tegalaras. Kalian dengar! Nah,
karena aku tak ada urusan dengan kalian, maka
kalian tak usah banyak kata! Sekarang ganti aku
yang bertanya, siapa adanya kalian semua?"
"Kami dijuluki dengan sebutan Serangkai
Hantu Dari Kelangitan," menjawab Hantu Kelangitan Kumis Putih, menjadikan pemuda
yang berdi- ri di hadapannya seketika bergelak tawa.
"Apa yang engkau tertawakan, Tegalaras!
Aku kira tak ada yang lucu dengan ucapanku!"
Pemuda itu masih gelak tawa. Lalu tanpa
hiraukan mereka seketika kembali berkelebat
pergi menjadikan mereka Hantu Dari Kelangitan
terbingung-bingung dengan tingkah Tegalaras.
"Anak muda sinting. Kasihan, masih muda
harus gila!" gumam Hantu Kumis Hitam. Namun tiba-tiba kembali terdengar bentakan
si pemuda, menjadikan Serangkai Hantu Kelangitan tersen-
tak kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu men-
dengar suara gumaman Hantu Kumis Hitam" Pa-
dahal jarak mereka sudah begitu jauh, hampir
ada seribu tombak. Tapi pemuda itu dapat men-
dengarnya, bahkan membentaknya pun dari jarak
jauh. Sungguh bukan pemuda sembarangan.
"Apa kalian bilang!"
"Heh, dia mendengar gumamanku," Hantu
Kumis Hitam mendesah kaget, lalu dengan suara
rendah berkata meminta maaf. "Maafkan kami bi-la kami telah berkata salah."
"Beruntung aku tengah tak ada waktu
mengurusi kalian! Kalau saja aku sempat, maka
kepala-kepala kalianlah yang akan aku puntungi!"
Bergidig juga ketiga Serangkai Hantu Ke-
langitan mendengar ancaman Tegalaras. Mereka
tahu bahwa Tegalaras bukanlah orang sembaran-
gan, terbukti suara gumaman mereka pun sempat
didengarnya. Sungguh seorang pemuda berilmu
tinggi, sayang keadaannya sungguh mempriha-
tinkan. Setelah melihat Tegalaras menghilang, segera ketiga Hantu Kelangitan
hampiri tubuh prang yang tergeletak. Mata mereka seketika me-
lotot, manakala mengetahui siapa adanya orang
tersebut. Orang tersebut tak lain Rengkana, te-
man mereka sekaligus juragan yang selalu mem-
bayar mereka mahal untuk segala kepentingan-
nya. "Rengkana! Hai, mengapa ia...?" tanya Hantu Kumis Hitam seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Rupanya pemuda itu yang menyerangnya. Sungguh hebat serangan itu sehingga
Rengkana yang terkenal dengan pendekar Balang Nipa, mampu
dirobohkannya dalam segebrakan saja. Untung
pemuda itu tidak kelepasan tangan."
Kedua saudaranya hanya diam, mengang-
kat tubuh Rengkana dan segera membawanya ke
tempat di mana mereka jadikan kediaman. Wajah
Rengkana memar, hancur tulang-tulang pipinya.
Dari hidung Rengkana meleleh darah, juga dari
mulutnya. Mungkin Rengkana mengalami keru-
sakan pada wajahnya.
Direbahkan tubuh Rengkana di atas se-
buah dipan yang sudah bulukan dan reot. Den-
gan cepat ketiganya berusaha mencari serta me-
racik obat-obatan yang sekiranya berguna bagi
Rengkana. Namun muka Rengkana harus begitu,
rusak untuk selama-lamanya. Tulang pipinya ke-
luar, membentuk gambaran wajah yang menye-
ramkan. Hidungnya hancur, hingga menjadikan
koreng dan akhirnya memecah. Hidung itu be-
long, persis hidung tengkorak!
"Apakah kita tak dapat mengembalikan wa-
jahnya, Kakang?"
"Lucu! Mana mungkin kita dapat?" jawab Hantu Kumis Hitam
"Sungguh kasihan keadaannya," gumam
Hantu Kumis Putih.
"Mungkin harus begini akibatnya."
Ketiga Serangkai Hantu Dari Kelangitan
hanya terpaku, menatap wajah Rengkana yang
burak rantak. Mereka trenyuh melihatnya. Mere-
ka juga bertanya-tanya, ilmu apa yang digunakan
oleh Tegalaras hingga mampu membuat wajah
Rengkana berantakan"
* * * Rengkana terbaring pingsan selama tiga
hari, ditunggui oleh Ketiga Hantu Kelangitan. Ketika hari telah kembali beranjak
pagi Rengkana nampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Ma-
tanya memandang sekeliling, dilihatnya ketiga
Hantu Kelangitan berada di sisinya.
"Di mana aku?" tanyanya dengan suara lemah. "Kau berada di pondok kami," jawab
Hantu Kumis Putih. "Beristirahatlah dulu, agar kau jangan lemah hingga tenagamu
pulih kembali."
"Siapakah yang telah menyerangku?"
"Dia adalah anak muda, bernama Tegala-
ras." "Tegalaras..."!" Nampak di wajah Rengkana ada rasa kekagetan demi
mendengar siapa adanya
penyerangnya. "Bukankah Tegalaras telah ma-
ti...?" "Belum, Rengkana. Dia belum mati, bahkan ilmunya kini tinggi sekali,"
jawab Hantu Kumis Hitam. "Aku yang bergumam lirih saja mam-pu ia dengar dari
jarak yang sangat jauh."
"Ah, dia bukan Tegalaras. Tegalaras telah
jatuh kulemparkan ke bawah jurang."
Membeliak mata ketiga Hantu Kelangitan
demi mendengar jawaban Rengkana yang mence-
ritakan adanya keberadaan Tegalaras. Mereka se-
ketika bergumam, kaget bercampur rasa tak per-
caya. "Apa mungkin ia hantunya"!"
"Mungkin," jawab Rengkana lemah.
"Tapi Rengkana?" Hantu Kumis Putih me-
mutus. "Kalau ia hantu, mana mungkin ia membiarkan kau hidup-hidup. Sepertinya
ia tak begitu menaruh dendam padamu."
"Mungkin juga," gumam Rengkana. Sesaat Rengkana hela napasnya, tiba-tiba ia
merasakan laju napasnya terasa aneh. Napasnya kini besar,
tidak seperti sebelumnya. Dalam kekagetannya
itu Rengkana seketika memekik bertanya. "Kenapa aku?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit tak ada yang
dapat menjawab. Ketiganya hanya diam, tak men-
gerti harus berkata bagaimana. Hal itu menjadi-
kan Rengkana kembali bertanya seraya bangkit
dari tidurnya. "Kenapa dengan aku"! Kenapa"! Kenapa
kalian hanya diam saja?"
Diguncang-guncangkan tubuh ketiga Han-
tu Dari Kelangit satu persatu. Namun ketiganya
hanya diam, bahkan roman muka mereka seperti
sedih. Hal itu menjadikan Rengkana ingin tahu,
maka dirabanya muka dengan tangannya. Seketi-
ka Rengkana memekik, memekik karena harus
menerima keadaan yang sangat menyedihkan.
Hidungnya telah growong bagaikan hidung orang
mati. Juga pipinya, pipinya menonjol keluar
membentuk sebuah gunung yang mengalingi wa-
jahnya. Rengkana seketika menangis, merasakan
betapa perih dan sakitnya hal yang ia alami. Kini wajahnya mirip hantu, hantu
yang menyeramkan.
Tanpa hiraukan ketiga Hantu Kelangit, Rengkana
segera berkelebat pergi untuk mencari air. Dan
manakala ia memandang pada permukaan air,
kembali Rengkana menjerit.
"Tidak...! Mukaku tidak seburuk ini, hu,
hu, hu...!"
"Sudahlah, Rengkana. Memang itu yang
harus kau terima. Akibat pukulan Tegalaras mu-
kamu kini harus begitu," Hantu Kumis Putih
mencoba menghibur.
"Tidak! Aku tak ingin mukaku begini!" Sebenarnya ketiga Hantu Kelangitan hendak
tertawa mendengar ucapan Rengkana yang lucu. Betapa
tidak. Mana mungkin muka yang sudah rusak di-
betulkan kembali" Apakah harus dipermak" Na-
mun untuk tertawa, mereka sungguh tidak tega.
Mereka tahu bagaimana menderitanya diri Reng-
kana. Kalau mereka yang mengalami, sungguh
mereka pun akan mengalami guncangan jiwa se-
perti Rengkana. Beruntung Tegalaras tak menu-
runkan tangan jahat pada mereka. Kala menu-
runkan tangannya, sungguh petaka bagi mereka
yang akan mengalami hal serupa dengan apa
yang dialami Rengkana.
"Sudahlah, Rengkana. Tak perlu kau sesali
apa yang telah terjadi. Sekarang katakan apa
maksudmu menemui kami, semoga kami dapat
membantumu."
Rengkana yang menangis segera terdiam.
Ia kini teringat pada tujuannya semula, meminta
tolong pada ketiga Hantu Dari Kelangit untuk me-
lakukan apa yang telah ia kerjakan.
Dengan masih terisak oleh tangis, Rengka-
na akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya
yang menjadi tujuannya datang. Wajah ketiga
Hantu dari Kelangitan seketika terbelalak merah, tak menyangka kalau dirinya
akan diberi tugas
yang membikin degup jantung mereka berdetak.
Tanpa pikir panjang lagi ketiga Hantu Dari Kelangit segera menyanggupinya.
* * *
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti hari biasanya, pagi itu pun Nin-
grum pergi ke sendang untuk mandi. Dengan ber-
jalan sendiri Ningrum terus melangkah menuju
sendang di mana biasanya teman-temannya telah
menunggu dirinya. Namun pagi itu sendang nam-
pak sepi, tak ada seorang pun yang datang untuk
mandi. Tapi Ningrum tak mau perduli, dilangkah-
kannya kaki menuju ke sendang.
"Ke mana teman-temanku?" tanya Ningrum dalam hati. Namun ia terus melangkahkan
kakinya, tak perduli dengan keadaan sendang yang
sunyi senyap. Tengah ia melangkah kakinya, tiba-tiba da-
ri balik sendang bermunculan tiga orang lelaki
menghampiri. Wajah lelaki itu cengengesan, se-
perti melihat makanan empuk. Lelaki itu melang-
kah terus menghampiri Ningrum yang terpaku di-
am. "Siapakah Ki Sanak sekalian?" tanya Ningrum dengan suara tenang, sepertinya
tak ada ra- sa takut yang menyelinap dalam hatinya. Semen-
tara ketiga lelaki itu terus menghampiri dengan
senyum mengembang tanpa ucapan yang keluar
dari mulut mereka. Hal itu menjadikan Ningrum
seketika bersiap-siap. Ia sadar bahwa lelaki-lelaki tersebut pastilah akan
bermaksud yang tidak
baik. "Rupanya kau seperti ayahmu, Nona?" salah seorang dari ketiganya yang
berkumis putih bertanya. "Kau memang pantas untuk berbuat
begitu pada orang lain, tapi pada kami Serangkai Hantu Dari Kelangit tak akan
mampu." "Oh, jadi kalian Hantu Kelangitan. Mau apa
kalian menghadang langkahku?"
"Hua, ha, ha...! Kau begitu garangnya. Hem
baik! Kami menghadangmu karena kami ingin
mencicipi kehangatan tubuhmu."
Betapa gusar dan marahnya Ningrum demi
mendengar ucapan yang kurang ajar. Maka den-
gan bengisnya Ningrum pun membentak: "Bajingan! Jangan kira kalian akan mampu
melakukan segala tingkah kalian terhadapku!"
"Hem, begitu?" Hantu Kumis Hitam sung-
gingkan senyum. "Apakah kau minta bukti, No-na?" "Bangsat rendah! Pergi kalian!"
"Kami tak akan pergi sebelum dapat mera-
sakan itu mu. He, he, he!"
"Kurang ajar! Hiat....!"
Tanpa membuang waktu, Ningrum yang
sudah jengkel segera berkelebat menyerang keti-
ganya. Namun mereka yang diserang malah gan-
da tertawa, bahkan tangan mereka di samping
menangkis sekali-kali mencolek nakal barang mi-
lik Ningrum yang rawan. Tak ayal lagi Ningrum
seketika mencak-mencak. Tangan mereka me-
mang kurang ajar, asal colek saja, menjadikan
dua buah gunung milik Ningrum meregang bang-
kit bagaikan gunung hendak meletus.
Gerakan-gerakan tangan mereka meremas
buah dada Ningrum sungguh mampu membuat
Ningrum kalang kabut tak dapat menyadarkan di-
ri. Entah apa yang ada di tangan ketiganya, yang jelas Ningrum merasakan
getaran-getaran aneh di
hatinya manakala tangan mereka menjamah dan
mencolek buah dadanya. Dan manakala tangan
mereka kembali mencolek Ningrum hanya mampu
mendesah panjang.
"Ooooh..."
"Bagaimana, Nona" Enak bukan?"
Suara Hantu tak berkumis tak didengar-
nya, kini Ningrum telah terbawa oleh perasaan
dan khayalan yang indah setiap kali tangan me-
reka mencolek buah dadanya. Akhirnya Ningrum
pun terkulai lemas, tak mampu pertahankan di-
rinya yang sudah terserang panas dingin akibat
colak-colek tak bertanggung jawab dari ketiga
Hantu Kelangit. Tubuh Ningrum akhirnya terku-
lai, jatuh dengan segenap nafsu yang menggebu-
gebu di hatinya.
Tak dapat lagi Ningrum ingatkan dirinya,
yang ada dalam benaknya hanya kepuasan untuk
memenuhi segala dahaga yang kini melanda di-
rinya. Dan manakala satu persatu dari ketiga
Hantu Kelangit mengkoyak-koyak kehormatan-
nya, Ningrum hanya sekali menjerit yang akhir-
nya mengeluh panjang pingsan.
* * * Ningrum tersadar dari pingsannya, lalu se-
ketika itu ia menjerit manakala mendapatkan
keadaan dirinya. Pakaiannya mosak masik tak
karuan, berhamburan ke sana ke mari.
Menyadari keadaan dirinya, dan manakala
melihat percikan darah dari miliknya seketika
Ningrum menjerit, lalu berlari entah ke mana se-
telah kembali mengenakan pakaiannya. Hatinya
hancur berantakan, seperti puing-puing kehorma-
tannya yang terkoyak-koyak
"Setan! Mereka harus menerima hukuman-
ku! Hu, hu, hu....!"
Ningrum terus berlari dan menangis, mera-
tapi segala apa yang telah terjadi pada dirinya.
Karena hatinya gundah, Ningrum tak hiraukan ke
mana ia melangkah. Ia begitu malu pada dirinya
sendiri. Ia juga dendam pada orang-orang yang telah membuat dirinya harus
menanggung beban
mental. Namun untuk melakukan balas dendam,
sungguh ia tak akan mampu. Dan bagaimana
nanti kalau ayah serta ibunya mendengar, atau
mengetahui keadaan dirinya" Niscaya kedua
orang tuanyalah yang akan mendapat malu.
Pikiran Ningrum kini putek, tak tahu harus
bagaimana. Bayangan yang ada dalam hatinya
hanya satu, lebih baik mati daripada harus me-
nanggung malu dan aib. Maka manakala dilihat-
nya jurang menganga, tanpa pikir panjang lagi
Ningrum segera lemparkan tubuhnya ke bawah.
Namun segala Kodrat bukan berada di tangan
manusia, tapi Tuhanlah yang berwenang. Dikare-
nakan Tuhan belum menghendaki Ningrum mati,
tiba-tiba sesosok bayangan tua berkelebat me-
nangkap tubuh Ningrum yang melayang dan
membawanya entah ke mana. Begitulah keadaan
Ningrum, yang kini menjadi seorang pendekar
wanita, yang mengaku-aku sebagai Penguasa Bu-
kit Karang Bolong.
6 Pertarungan Ningrum melawan ketiga
orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya
terus berlanjut. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang sudah tahu siapa adanya
Ningrum, kini tak dapat
meremehkannya. Ningrum sekarang bukanlah
Ningrum yang tiga tahun lalu mereka perdayai
dan mereka buat pemuas nafsu, tapi Ningrum se-
karang adalah Ningrum yang memiliki ilmu tinggi
juga dititisi oleh Nyi Lanjut Ayu atau Penguasa
Bukit Karang Bolong.
"Karena kalian telah tahu siapa adanya di-
riku, maka kalian harus mati secepatnya. Hiat...!"
Ningrum kini makin tampak garang, menyerang
dengan serangan-serangan yang sukar untuk di-
ikuti oleh mata ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Awas pukulan maut!" Hantu Kelangit Kumis Putih berseru memperingati pada kedua
adiknya manakala sebuah hantaman menyerang
ke arah mereka. Secepat kilat kedua adiknya ber-
kelebat, lemparkan tubuh mereka menghindari
serangan. "Bangsat! Kalian rupanya ingin main-main,
hiat...!" Ningrum nampak sewot merasa serangannya luput. Kembali ia menyerang,
kali ini se- rangannya begitu cepat. Dan untuk kedua kalinya
ketiga Hantu Dari Kelangit lemparkan tubuh me-
reka menghindar. Mereka tak mampu untuk
membalik menyerang, hanya dapat mengelak itu
pun beruntung. Sebab serangan yang dilancarkan
Ningrum bukanlah serangan kelas kecoa yang
mudah dipapaki atau dihindarkan. Kalau mereka
salah menghindar, tak ayal tubuh mereka akan
remuk saling bentur.
"Kenapa kau begitu bernafsu hendak
membunuh kami yang telah memberikan kepua-
san padamu?" Hantu Kumis Hitam mencoba
mengalihkan amarah Ningrum dengan berusaha
mengingatkan Ningrum pada kejadian tiga tahun
lalu. Namun ternyata Ningrum bahkan makin
menggeretak penuh amarah.
"Bangsat! Kalian tak akan hidup lebih lama
lagi. Terimalah ini. Racun Kelabang Ungu, hiat...!"
Tersentak kaget ketiganya demi mendengar
seruan Ningrum menyebutkan nama ajian yang
sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Namun untuk berpikir lebih jauh mereka
tak memiliki waktu, sebab ajian tersebut telah
melaju dengan cepatnya mengancam jiwa mereka.
Serta merta ketiganya melompat menghindar,
namun tak urung salah seorang dari ketiganya
yang bernama Hantu Kumis Hitam terhantam
pukulan tersebut. Tanpa ampun lagi, sesaat tu-
buh Hantu Kumis Hitam menggelepar-gelepar
dengan tubuh biru dan akhirnya diam mati. Dari
tubuhnya seketika keluar nanah biru, yang diser-
tai oleh tumbuhnya jelentik-jelentik yang merayap ke luar dari tubuh Hantu Kumis
Hitam. Sungguh sangat menjijikkan. Jelentik-jelentik itu begitu ganas, menggigiti daging Hantu
Kumis Hitam sampai akhirnya membusuk berantakan.
"Iblis laknat! Kau telah membunuh sauda-
raku, maka kau pun harus mati di tangan kami!"
menggeretak penuh kemarahan Hantu Tak ber-
kumis. Tanpa pikir panjang Hantu Tak berkumis
segera nekad menyerang Ningrum. Diserang begi-
tu rupa menjadikan Ningrum tergelak lawa. Maka
dengan kembali hantamkan ajian Racun Kelabang
Ungu, Ningrum papaki serangan Hantu Tak ber-
kumis. Tak ayal lagi...!
"Hiaat...! Terimalah kematianmu!"
"Crooot....!"
"Aaaaahh...!"
Sebuah cairan ungu menyerang tubuh
Hantu Tanpa Kumis. Seketika tubuh Hantu Tan-
pa Kumis menggelepar-gelepar, seperti apa yang
dialami oleh kakak seperguruannya. Dan seperti
Hantu Kumis Hitam, Hantu Tak Berkumis pun
akhirnya mati dengan keadaan serupa. Melihat
hal itu serta merta Hantu Kumis Putih lari, tinggalkan Ningrum yang masih
bergelak tawa. Tapi
baru saja ia beranjak, sebuah cairan ungu telah
lebih dahulu hentikan langkahnya.
"Aaaaahhh...!"
Sesaat Hantu Kumis Putih menjerit, lalu
akhirnya seperti keadaan adik-adik seperguruan-
nya ia pun menjadi busuk dengan jentik-jentik
keluar dari tubuhnya. Tak berapa lama kemudian
tubuhnya hancur dengan daging kerompong ha-
bis termakan jentik-jentik tersebut.
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasan dariku
bagi orang-orang mata keranjang! Kini aku belum
puas, bila aku belum dapat menjadikan diriku
sebagai Ratu dunia persilatan. Akan aku bikin
dunia ini sebagai ajang cita-citaku. Kakang Datuk Raja Karang, cita-citamu untuk
menguasai dunia
persilatan akan segera terlaksana. Kini aku den-
gan menyatu pada tubuh gadis ini akan mampu
membuat dunia ini takluk padaku."
Tengah Ningrum tertawa bergelak-gelak, ti-
ba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba telah berdiri di hadapannya.
Lelaki tersebut sungguh aneh keadaannya. Walau ia masih muda,
namun rambutnya telah ubanan. Dialah Setan
Berambut putih!
"Siapa kau!" bentak lelaki muda berpa-
kaian serba merah dan rambut yang sudah putih
seluruhnya padahal masih muda pada Ningrum
yang segera hentikan tawanya dan menatap pada
orang yang bertanya.
"Siapa pula kau adanya, orang aneh?" balik bertanya Ningrum, demi melihat pemuda
di hadapannya yang berkeadaan fisik aneh. "Kau masih muda, namun rambutmu sudah
memutih semua." "Ditanya malah balik bertanya," rengut Setan Rambut Putih
kerutkan kening. "Aku yang je-
lek ini bernama Setan Rambut Putih."
"Hi, hi, hi...! Kau mengakui sendiri bahwa
kau jelek. Namaku Dewi Lanjut Ayu atau Pengua-
sa Bukit Karang Bolong."
Mengerutkan kening Setan Rambut Putih
demi mendengar orang di hadapannya menye-
butkan dirinya. Hati Setan Rambut Putih tak per-
caya. Bagaimana mungkin Dewi Lanjut Ayu yang
dikabarkan telah mati kini muncul kembali di
dunia persilatan" Rasanya tak masuk di akal.
Dan menurut apa yang ia dengar, Dewi Lanjut
Ayu memang ayu, tapi tidak seperti gadis di ha-
dapannya. Gadis di hadapannya mempunyai se-
buah ciri, yaitu di janggutnya tumbuh tahi lalat yang makin menambah
kecantikannya. "Aku tak percaya kalau kau Dewi Lanjut
Ayu. Kalau kau benar Dewi Lanjut Ayu, mana
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin engkau membunuh orang-orang yang
masih segolongan dengan dirimu?"
"Yang engkau maksud Tiga Hantu Dari Ke-
langit?" balik bertanya Ningrum, yang diangguki oleh Setan Rambut Putih. Ningrum
seketika cekikikkan. "Memang ia adalah segolongan dengan suamiku, tapi mereka
memang harus dibunuh!"
"Mengapa kau membunuh mereka?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Karena mereka adalah musuh-musuhku,"
jawab Setan Berambut Putih penuh selidik.
"Hi, hi, hi... kau marah kalau musuhmu
aku bunuh?"
"Bukan begitu. Mereka telah membuat aku
harus mengalami keadaan begini. Rambutku
memutih, itu karena ulah mereka. Maka itu aku
sebenarnya ingin membalas pada ketiganya, tapi
ternyata kau telah mendahuluiku," Setan Rambut Putih menceritakan apa yang
menjadi sebab dirinya harus berurusan dengan Serangkai Hantu
Dari Kelangitan. Sementara Ningrum hanya ter-
senyum-senyum saja mendengar, dengan sekali-
kali cekikikkan bagai melihat kelucuan.
"Setan Rambut Putih, maukah engkau ber-
gabung denganku?"
"Bergabung denganmu" Untuk apa?" Setan Rambut Putih bertanya, nadanya tak yakin
bila Ningrum memiliki ilmu yang cukup diandalkan.
Memang Ningrum mampu mengalahkan
Serangkai Hantu Dari Kelangit, tapi belum tentu Ningrum akan mampu menghadapi
dirinya, begitulah apa yang tersirat di hati Setan Rambut Pu-
tih. "Kalau kau memang berilmu tinggi, aku ba-ru mau bergabung denganmu."
"Hem, rupanya kau belum yakin! Percuma
aku dijuluki Penguasa Bukit Karang Bolong bila
tak memiliki ilmu yang dapat diandalkan! Kau
mau mencobanya...?"
"Tentu! Aku tak mau kalau sekutuku
hanya orang yang berilmu picisan macam ilmu
kecoak!" Setan Rambut Putih senyumkan bibir, sepertinya di balik senyum itu
tergambar kesom-bongan. Ya, ia merasa bahwa ilmunya saat ini be-
lum ada yang menandingi. Setan Rambut Putih
belum tahu bahwa sebenarnya saat itu ada seo-
rang pendekar seusianya yang ilmunya jauh lebih
tinggi satu atau dua tingkat dibandingkan dengan yang ia miliki Pendekar muda
tersebut tak lain
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Seorang pendekar yang namanya akhir-akhir
ini menjadi bahan pembicaraan para pendekar di
tanah Jawa sebelah Barat.
"Berapa jurus yang engkau mau, Setan
Ubanan?" "Sepuluh jurus! Kalau dalam sepuluh jurus
kau tak mampu menjatuhkan diriku, maka aku
tak akan mau menjadi sekutumu," jawab Setan Rambut Putih dengan sombongnya. Ia
merasa bahwa Ningrum tak akan mampu menghadapi-
nya, apalagi dalam waktu sepuluh jurus. Setan
Rambut Putih tidak ingat bahwa di atas segalanya masih ada yang lebih berkuasa
yaitu nasib yang
telah ditentukan oleh Yang Maha Wenang. Ia juga
tak tahu kalau dengan penyatuan Ningrum den-
gan Dewi Lanjut Ayu akan menghasilkan sebuah
kekuatan yang dahsyat.
"Tak terlalu lama itu, Setan Ubanan?"
Terbelalak mata Setan Rambut Putih demi
mendengar pertanyaan Ningrum yang dirasa
sombong. Seketika hatinya membatin, "Sombong!
Ia mengira aku seperti tiga orang yang telah menjadi bangkai itu. Hem, akan aku
coba jajaki il-
munya." "Baik, dalam lima jurus!"
"Hi, hi, hi.....! Bagus! Kau sudah siap, Setan Ubanan?"
"Pertanyaan itu seharusnya aku yang ber-
tanya. Tapi tak apalah. Siapapun yang bertanya
tak menjadi soal, yang jelas mari kita buktikan
siapa yang kuat. Bila ternyata dalam lima jurus.
aku kalah, maka aku akan menjadi sekutumu.
Tapi bila kau yang kalah, maka kau harus mau
menjadi istriku."
"Hi, hi, hi...!" Ningrum cekikikan. "Sama sa-ja! Menang ataupun kalah, kita akan
menjadi sa- tu juga. Aku pun mencintaimu."
Senyum Setan Rambut Putih seketika
mengembang demi mendengar penuturan Nin-
grum. Hatinya berbunga-bunga, berdetak ken-
cang laksana didera oleh letupan-letupan kecil
yang mengajak matanya untuk melekatkan pan-
dangannya ke wajah Ningrum. Sama halnya den-
gan, Setan Rambut Putih. Ningrum pun yang
mengetahui bahwa hatinya juga telah terkait oleh si Setan memanahkan matanya
memandang tanpa kedip ke arah Setan Rambut Putih.
"Hai, apakah kita akan seterusnya saling
pandang?" tiba-tiba Setan Rambut Putih ber-
tanya, menjadikan Ningrum tersipu-sipu. "Ayolah.
Walaupun kita sehati, namun perjanjian kita ha-
rus kita laksanakan."
"Hi, hi, hi...! Baiklah! Memang hal itu sangat perlu bagi kita untuk menentukan
kebera- daan ilmu kita, mari kita main-main!"
Kedua muda mudi yang sudah terpaut ha-
tinya lewat pandangan mata itu pun akhirnya
berkelebat saling serang. Mereka tak ingin men-
dapatkan kekasihnya berilmu di bawahnya, den-
gan kata lain mereka ingin menunjukkan kebera-
daan mereka di dunia persilatan. Walau mereka
mengatakannya hanya main-main, namun jurus-
jurus yang mereka keluarkan sungguh jurus-
jurus benar-benar. Apalagi mereka kini nampak
mengeluarkan jurus-jurus simpanan mereka. Tu-
buh mereka seketika raib bersamaan dengan ge-
rakan mereka yang begitu cepat.
"Awas, Setan Rambut Putih! Terimalah se-
rangan!" pekik Ningrum berusaha memperin-
gatkan kepada orang yang telah mampu menggu-
rat hatinya. "Kau pun hati-hatilah, Dewi!"
Keduanya seketika melayang bagaikan ter-
bang, dan...! "Sett... Duar...!"
Dua tangan yang menyalurkan tenaga da-
lam bertemu, mengadu kekuatan yang dimili-
kinya. Ledakan dahsyat seketika menggema, lalu
diikuti oleh melayangnya dua tubuh tertolak ke
belakang. Tapi bagaikan enteng saja tubuh mere-
ka kembali tegak berdiri. Keduanya saling lem-
parkan senyum dan kemudian gelak tawa pun
mendera dari mulut keduanya. "Kau hebat, Dewi!"
"Kau juga, Setan Ubanan!" Keduanya saling sanjung tentang ilmu yang mereka
miliki, lalu dengan penuh kemesraan keduanya saling meme-
luk. Keduanya kemudian berjalan bareng, ting-
galkan tempat itu entah ke mana.
7 Dengan menyatunya Setan Berambut Putih
dengan Ningrum yang telah dititisi Dewi Lanjut
Ayu, maka makin kokohlah keadaan Bukit Ka-
rang Bolong! Bukit angker tersebut makin ber-
tambah angker saja untuk dijejakan kaki manu-
sia. Banyak korban berjatuhan, mereka pada
umumnya adalah orang-orang yang hendak mela-
kukan pencarian sebuah kitab dan senjata yang
sempat menggegerkan dunia persilatan setengah
abad yang lalu. Kitab dan senjata pedang tersebut adalah kitab Pedang Pencabut
Nyawa dan Pedang
Mata Malaikat. Kebesaran nama Dewi Lanjut Ayu dan Se-
tan Berambut Putih seketika membumbung tinggi
bagi para tokoh golongan sesat. Sepak terjang mereka sungguh membuat para tokoh
golongan se- sat merasa lapang dada karena merasa ada yang
memihak. Namun sebaliknya dengan para tokoh
golongan lurus dan rakyat, mereka seketika ba-
gaikan dicekam oleh bayang-bayang maut yang
setiap saat siap mencekik mereka.
Sepak terjang kedua muda mudi yang me-
namakan dirinya Sejoli Raja dan Ratu Penguasa
Bukit Karang Bolong, tak luput dari pendengaran
Pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Jaka merasa prihatin den-
gan keadaan dunia persilatan di wilayah Timur
yang sudah menghadapi ambang kehancuran ba-
gi para pendekar aliran lurus, sebab nampaknya
dengan munculnya dua muda mudi yang telah
mengikat diri menjadi satu.
"Sungguh tak dapat dibiarkan hal ini berla-
rut-larut," Jaka menggumam sendiri sambil berjalan menyusuri jalanan setapak di
kaki gunung Kencana. "Kalau tidak dihentikan, wah apa yang akan terjadi di dunia persilatan
khususnya di wilayah Wetan."
Jaka terus melangkahkan kakinya, dengan
sekali-kali bersiul untuk menghibur diri. Manaka-la dia tengah berjalan dengan
santai, tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki kuda
yang berjumlah banyak. Sesaat Jaka kerutkan
kening, lalu dengan sekali lebat ia pun menghi-
lang di balik semak-semak.
"Tampaknya ada beberapa orang penung-
gang kuda menuju ke arah sini," gumam Jaka
yang telah bersembunyi di balik rerumputan yang
tinggi. Matanya mengintip dari balik cela-cela
rumput, memandang tak berkedip ke arah da-
tangnya suara tersebut. Tiba-tiba Jaka seketika
dikagetkan oleh desisan dan koakan suara ular
dan burung yang tengah bertarung di dekatnya.
"Setan! Mana bisa aku tenang bila harus menghadapi kalian yang ribut!" gerutu
Jaka sewot pada kedua binatang yang tengah bertarung itu.
Tapi binatang-binatang tersebut mana mau
tahu kemarahan Jaka yang merasa terusik sem-
bunyi. Keduanya terus bertarung, makin lama
makin seru, menjadikan Jaka akhirnya tertarik
juga. Maka tanpa hiraukan lagi pada derap kaki
kuda yang makin seru kedengarannya Jaka asyik
menonton pertarungan dua hewan tersebut. Bu-
rung Elang itu sesaat menukik, lalu menyambar
dan mematuk kepala ular Sanca. Ular Sanca itu
pun tak mau mengalah begitu saja ia egoskan ke-
palanya menghindar lalu lemparkan ekor meng-
hantam ke arah burung Elang. Melihat hal itu Ja-
ka seketika bergumam sendiri, dan bagaikan
orang gila mengikuti gerakan-gerakan yang diper-
lihatkan oleh dua hewan yang tengah bertarung.
"Hebat! Ayo Elang, serang lagi!" serunya bagaikan anak kecil mendapatkan
permainan. "Hei Sanca, kenapa kau tidak membalas!"
Bila burung Elang itu mengepakkan
sayapnya, segera Jaka pun membuka tangannya
meniru. Lalu setelah burung Elang itu menukik
dan menggerakkan kakinya seperti hendak men-
cakar Jaka pun segera mengangkat kakinya se-
buah dan ditendangkan kakinya. Sungguh dah-
syat hasil yang diperoleh, ternyata tendangan kakinya jauh melebihi apa yang
dibayangkan. Ketika kaki kanan Jaka menirukan gerakan kaki burung
Elang, terdengar ledakan dahsyat manakala angin
tendangan kakinya menghantam pepohonan. Tak
ayal lagi, pohon yang terkena ambruk dengan ba-
tang berantakan. Jaka segera melompat manaka-
la pohon tersebut tumbang hendak menjatuhi di-
rinya. "Pohon sialan! Hampir saja menjatuhi aku!"
Jaka segera melompat maju lagi melihat perkela-
hian dua binatang yang nampaknya acuh pada
kedatangannya. Kini Sanca itu yang menyerang,
dan Jaka pun kini mengikuti gerakan-gerakan
ular Sanca dalam menghindar dan menyerang.
"Oh, hebat! Ayo kawan, serang si Elang!"
sambil berteriak-teriak Jaka terus mengikuti ge-
rakan-gerakan sang Ular. Tangannya membentuk
kepala, mulutnya mendesis bersamaan dengan
gerakan tangannya mematuk-matuk. "Oh, inikah gerakan Sanca Mematuk Elang. Dan
tadi adalah jurus Elang menyambar Sanca. Hem, sungguh ju-
rus-jurus dahsyat!" gumam Jaka lirih.
Kembali Jaka mengulang dan mengulang
apa yang telah ia lihat dan pelajari dari kedua
hewan tersebut. Makin lama gerakan-gerakan Ja-
ka makin kencang, sehingga sukar untuk diikuti
oleh mata. Jaka tak mengetahui bahwa gerakan-
gerakannya yang meniru gerakan kedua binatang
tersebut kini dalam pengawasan sepuluh pasang
mata yang bertengger di atas kuda mereka mas-
ing-masing. Jaka tersentak kaget manakala ter-
dengar seruan seseorang dari kesepuluh orang di
atas kuda. "Ki Sanak! Tengah apakah engkau di situ?"
Jaka segera hentikan gerakannya, lalu diputar
tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara
tersebut. Dilihatnya wajah kesepuluh orang ben-
gis, sepertinya mereka bukan orang baik-baik.
Jaka yang tingkahnya dilihat oleh mereka seketi-
ka garuk-garuk kepala, yang merupakan ciri
khasnya bila merasa malu. Melihat Jaka masih
cengar cengir tak menjawab, kembali orang yang
berada di depan di antara kesepuluh orang terse-
but berkata.
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Sanak, apakah engkau tuli?"
"Aku tuli...?" Jaka mengulang bertanya.
"Ah, aku rasa aku tak tuli. Mungkin kalianlah yang congean!"
"Bangsat! Ditanya baik-baik malah menja-
wab yang bukan-bukan! Dasar anak muda edan!"
"Apa..." Kalian edan!?" seru Jaka konyol.
"Pantas! Pantas kalau wajah-wajah kalian kaya orang edan, eh tak tahunya memang
edan bene-ran!" "Kunyuk! Ke sini kau, Anak Edan!"
Tanpa banyak pikir lagi Jaka segera me-
lompati semak-semak dan berdiri menghampiri
mereka. Mereka seketika tersentak, manakala se-
cara cepat Jaka melompat dan tahu-tahu telah
berdiri tak jauh dan mereka, padahal jarak yang
tadi ditempuh oleh Jaka cukup jauh ada kira-kira dua puluh tombak.
Jaka cengengesan bagaikan orang tolol, la-
lu dengan masih senyum-senyum Jaka pun ber-
kata: "Kau bilang aku edan! Wah, kau salah besar! Aku tidak edan, cuma Ndableg.
Ha, ha, ha....!" Tawa Jaka seketika melengking, menjadikan kesepuluh orang penunggang
kuda itu ter- sentak. Kuda-kuda mereka seketika meringkik ke-
takutan bagaikan mendengar suara setan. Kuda-
kuda itu akhirnya serabutan lari, meninggalkan
tuannya yang jatuh terjengkang dengan pantat te-
rasa sakit membentur tanah.
Kembali Jaka gandakan tawa melihat ke-
sepuluh orang itu meringis menahan sakit yang
mendera pantatnya akibat jatuh dari kuda-kuda
yang mereka tunggangi, yang entah ke mana la-
rinya karena ketakutan mendengar suara tawa
Jaka. "Diam! Tidak lucu!" bentak seorang dari mereka yang tadi telah menanya
Jaka. Dengan agak pura-pura merengut Jaka pun menurut di-
am. "Kenapa kalian marah-marah" Apakah aku berdosa bila tertawa" Bukankah
tertawa itu bebas?" tanya Jaka konyol. "Kalau kalian melarang aku tertawa,
pantas kalian nampak tua."
Betapa gusarnya kesepuluh orang tersebut
demi mendengar celotehan Jaka yang bagaikan
orang tolol. Mata mereka melotot marah, gigi-gigi mereka saling beradu
menggeretuk menahan ke-kesalan.
"Anak edan! Siapa kau sebenarnya" Jan-
gan kau mati tak bernama akibat ulahmu berani
menghina anak buah Penguasa Bukit Karang Bo-
long!" Mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong disebut-sebut, Jaka seketika
gandakan tawa bukannya takut seperti orang-orang lainnya.
Hal itu menjadikan kesepuluh orang anggota Pen-
guasa Bukit Karang Bolong terbelalak kaget se-
raya kerutkan kening heran.
"Pantas, pantas! Ternyata wajah-wajah ka-
lian semuanya persis dengan monyet! Ternyata
kalian anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong!
Apa kabar dengan pimpinan kalian?" ucapan Ja-ka sepertinya mengandung
persahabatan, menja-
dikan kesepuluh anggota Penguasa Bukit Karang
Bolong makin tidak mengerti. Kesepuluh orang
tersebut menatap lekat-lekat pada Jaka dengan
segala tanda tanya di hati mereka seraya bangkit berdiri. "Nadamu sungguh
bersahabat. Siapakah engkau adanya?" tanya ketua rombongan itu kini dengan suara
melembut "Aku.." Aku sahabat pimpinan kalian!
Sampaikan salamku untuk kedua pimpinan ka-
lian bila kalian kelak bertemu. Katakan pada ke-
duanya bahwa aku Si Penjelajah Jagad mengu-
capkan selamat dan menyampaikan salam. Kata-
kan pula, bahwa mereka diharap sabar menung-
gu kedatanganku," Jaka berkata berbohong, namun kesepuluh orang anak buah
Penguasa Bukit Karang Bolong seperti percaya saja. "Nah, sekarang juga kalian minggat dari sini
dan kembali temui kedua pimpinan kalian!"
"Tidak bisa begitu, Ki Sanak. Kami saat ini tengah mengemban tugas dari pimpinan
kami." "Tugas..." Tugas apa?" tanya Jaka ingin ta-hu. Sesaat kesepuluh orang tersebut
saling pan- dang, sepertinya mereka hendak mencari kesepa-
katan bagaimana sebaiknya. Setelah kesepuluh-
orang tersebut berbuat begitu, salah seorang yang orang-orang tadi juga berkata:
"Kami diutus untuk mencari orang yang bernama Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Tersentak Jaka demi mendengar namanya
disebut-sebut. Namun segera ia berusaha me-
nyembunyikan kekagetannya, lalu dengan pura-
pura tak tahu siapa adanya dirinya Jaka pun
kembali bertanya pada mereka: "Ada keperluan apa kalian mencari Pendekar yang
sudah kesohor itu" Bukankah kalian akan mengalami kebina-
saan apabila menghadapi pendekar yang suka
usilan dan ingin menegakkan kebenaran serta
keadilan di dunia ini?"
"Kami diutus untuk menyampaikan surat
undangan," jawab orang tadi. "Apakah Ki Sanak tahu di mana pendekar tersebut
berada?" Jaka kembali terdiam mikir, "Bagaimana
akalku. Hem, bagaimana kalau aku minta saja
surat tersebut dan pura-pura hendak menyam-
paikannya pada orang yang mereka maksud" Be-
runtung mereka tidak mengenali siapa adanya di-
riku." "Baiklah, Ki Sanak. Aku akan membantu kalian untuk menyampaikan surat
tersebut pada Pendekar Pedang siluman Darah. Nah, serahkan-
lah surat itu padaku dan segeralah kembali ke
Bukit Karang Bolong. Jangan lupa, sampaikan sa-
lam dariku, Si Penjelajah Jagad."
Mendengar ucapan Jaka, nampak kera-
guan menyelimuti wajah kesepuluh orang anak
buah Penguasa Bukit Karang Bolong yang kemba-
li menatap lekat-lekat ke wajah Jaka. Mata mere-
ka yang garang, sepertinya ingin mengorek siapa
sebenarnya orang yang mengaku Si Penjelajah
Jagad. Seorang pendekar aneh, walau pun masih
muda tapi berilmu tinggi dengan segala tingkah
polahnya yang bagaikan orang tolol. Mereka me-
mang tidak mengerti siapa adanya orang yang
tengah berdiri di hadapannya, orang yang sebe-
narnya tengah mereka cari,
"Bagaimana" Apakah kalian masih kurang
percaya?" tanya Jaka manakala melihat kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit
Karang Bo- long masih diam memikir. "Kalau kalian tak percaya, ya sudah. Aku tak memaksa,
dan silahkan kalian cari sendiri adanya pendekar muda terse-
but. Jangankan kalian dapat memberikan surat
tersebut, untuk hidup pun kalian tak mampu
apabila pendekar tersebut telah mengetahui siapa adanya kalian. Tapi jika aku...
pasti pendekar tersebut tak akan berani. Ha, ha, ha...! Kalian tahu sendiri
kehebatan suara tawaku bukan" Inilah
suara tawa Iblis Marakayangan pesta!"
Mendengar keterangan Jaka yang ngibul,
mereka seketika agak takut juga. Kalau memang
benar pendekar muda tersebut berbuat demikian,
sungguh mereka tak akan ada artinya. Rasa takut
akan apa yang dikatakan Jaka, menjadikan kese-
puluh orang tersebut akhirnya mau menyerahkan
surat tersebut.
"Baiklah, baiklah! Aku pun merasakan de-
mikian. Kabarnya memang pendekar muda itu
tak kenal kompromi dengan orang-orang aliran
sesat. Kami jadi ngeri sendiri. Untuk itu, kami
dengan amat sangat agar Ki Sanak Penjelajah Ja-
gat sudi menyampaikan surat ini pada Jaka
Ndableg." Disodorkan surat yang ditulis di atas kain pada Jaka yang menerimanya
dengan senyum-senyum "Kena juga mereka aku akali. Hem, dengan begini aku tak
akan mudah dikenali oleh
orang-orang yang memang mencari-cari diriku.
Dasar orang-orang songong, mereka tak mengena-
li siapa adanya diriku. He, he, he...!" gumam hati Jaka penuh ketenangan, sebab
merasa dirinya belum dikenali oleh orang-orang persilatan wi-
layah Wetan. "Kami minta tolong pada Ki Sanak," kembali pimpinan kesepuluh orang utusan
Penguasa Bukit Karang Bolong berkata, yang hanya diang-
guki oleh Jaka. Setelah kesemuanya menjura, se-
gera kesepuluh orang tersebut berkelebat me-
ninggalkan Jaka yang hanya tersenyum-senyum
sembari geleng-gelengkan kepala seraya tak henti-hentinya bergumam: "Hem, dasar
orang-orang bodoh. Mana mau sih orang belum kenal diperin-
tah" Oh, coba aku lihat apa isi surat yang untuk-ku." Perlahan-lahan Jaka
membuka gulungan
kain yang diserahkan orang-orang Bukit Karang
Bolong padanya, lalu dengan perlahan pula diba-
canya isi surat tersebut.
"Hem, mereka mengira aku tak tahu siapa-
siapa adanya mereka sehingga mereka hendak,
mengelabui diriku. Tapi apa sih maunya" Ah, bi-
arlah aku turuti saja apa kemauan mereka men-
gundang para tokoh persilatan serta menawarkan
padaku sebagai sahabat. Huh, enak, saja menga-
jak aku sebagai sahabat.... Sahabat memang un-
tuk dicari, tapi bila keadaan mereka begitu...
sungguh bukan bersahabat lagi."
Jaka seketika kembali tercenung, memikir-
kan jalan apa yang harus ia tempuh untuk me-
nyelesaikan keberadaan mereka sebagai Raja dan
Ratu. "Aku harus bertindak! Kalau tidak, maka kehancuran akan dialami oleh para
pendekar!"
Setelah berkata begitu dan membuang gu-
lungan kain yang sudah dibacanya, segera Jaka
pun berkelebat pergi tinggalkan tempat tersebut
lari menuju arah yang tadi ditempuh oleh orang-
orang Karang Bolong.
8 "Kakang Rakini, apakah engkau tak dapat
mengajar muridmu untuk mengerti bahwa yang ia
bunuh adalah murid-muridku?" Darga Buana
nampak sedikit marah. Betapapun ia telah tertan-
tang oleh Penguasa Bukit Karang Bolong yang ti-
dak lain murid kakak seperguruannya, yang telah
berani membunuh ketiga muridnya. Namun Ne-
nek Ratu Kelabang tak mau mengalah begitu saja,
demi dirinya dijadikan beban kesalahan juga mu-
ridnya Ningrum. Ia tahu mengapa Ningrum men-
dendam pada murid kemenakannya, tak lain ka-
rena ketiga murid kemenakannya telah berbuat
yang membuat muridnya menderita lahir dan ba-
tin, terkoyak-koyak keperawanannya yang direng-
gut oleh ketiga murid kemenakannya.
"Kau tak berhak salahkan muridku! Murid-
muridmulah yang salah dalam hal ini, Darga!"
rungut si nenek membela muridnya.
"Kesalahan apa yang telah murid-muridku
lakukan?" "Huh, makanya jangan asal tuduh saja.
Murid-muridmu telah membuat muridku mende-
rita lahir dan batin. Murid-muridmu telah mem-
perkosa muridku!"
"Dusta!" sentak Darga tak mau percaya. Si nenek cibirkan bibirnya yang telah
keriput, mengejek adik seperguruannya yang masih keras ke-
pala. "Kapan aku berdusta, Darga"!"
"Tak mungkin murid-muridku melakukan
hal itu!" Darga masih saja tak mau percaya, membuat si Nenek Kelabang
sunggingkan se-nyumnya yang telah layu oleh usia
"Di depanmu mungkin mereka alim, tapi di
luaran... siapa yang tahu kelakuan mereka" Apa-
kah kau selalu mengawasi mereka, Darga?" tanya si nenek yang kemudian dijawab
olehnya sendiri.
"Kau tidak tahu perbuatan murid-muridmu di luaran bukan" Kalau saja Pramana
mendengar ten- tang perbuatan murid-muridmu, sudah pasti kau
akan terkena hukuman darinya. Jangan-jangan
Pedang Sukma Layung akan membelah tubuhmu
jadi dua. Beruntung muridku tidak menceritakan
aib yang ia alami pada ayahnya."
"Aku tak takut pada Pramana!"
"Hem, kau terlalu sombong! Kau tidak me-
mikir siapa adanya Pramana. Mungkin dengan
Pramana kau tak takut, tapi tidakkah engkau
dengar seorang tokoh persilatan pembela kebena-
ran yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-
rah"! Kalau pendekar tersebut mencium siapa
adanya dirimu, niscaya engkau pun tak akan lu-
put darinya."
Nenek Ratu Kelabang terus berusaha me-
nyadarkan adik seperguruannya agar mau men-
gerti, tapi rupanya angkara murka telah melalap
hati Darga hingga Darga pun tak hiraukan segala
ucapan kakak gurunya.
"Kakang Rakini, mulai sekarang kita bu-
kanlah saudara lagi, tapi kita adalah musuh. Ka-
rena kita musuh, maka aku akan menuntut balas
kematian murid-muridku padamu!"
"Padaku...?" Nenek Ratu Kelabang mengulang tanya sepertinya tak percaya pada apa
yang didengarnya. "Kenapa mesti padaku" Apakah aku yang telah membunuh murid-
muridmu?" "Memang bukan engkau, tapi muridmu."
"Kalau memang bukan aku, mengapa eng-
kau limpahkan padaku" Kalau kau berani dan
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan seorang pengecut, hadapilah muridku di
Karang Bolong sana. Bukankah sebentar lagi kau
akan ke Karang Bolong?"
Mendengar ucapan Ratu Kelabang, maka
mendenguslah Darga marah. Ia memang masih
berpikir akan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh
Penguasa Bukit Karang Bolong, apalagi kini Nin-
grum bukan seorang, tapi berpasangan dengan
Setan Berambut Putih. Menghadapi Ningrum saja
ia belum tentu menang, apalagi harus menghada-
pi Setan Berambut Putih segala. Maka sebagai pe-
lampiasan ketidaktenangan hatinya, Darga cu-
rahkan kemarahannya pada Ratu Kelabang yang
dituduhnya tak bisa menjadi guru yang baik.
"Tapi engkaukan gurunya, bukan?"
"Memang aku gurunya," jawab Nenek Ratu Kelabang tenang. "Kalau aku gurunya, kau
akan mencurahkan segalanya padaku, begitu?"
"Ya!"
"Picik! Kau telah picik, Darga!"
"Terserah apa katamu!" rentak Darga marah. "Baik! Kalau itu yang engkau mau, apa
yang hendak engkau lakukan padaku, Darga!"
Sesaat Darga memandang lekat ke arah
kakak seperguruannya yang masih nampak te-
nang. Hatinya gundah, tak percaya akan apa yang
dihadapi. Ia tahu siapa adanya Nyi Rakini atau
Ratu Kelabang, murid yang paling dimanja oleh
guru mereka dan mendapat seluruh ilmu yang
dimiliki gurunya. Dari dulu memang Darga selalu
membuat gara-gara, namun Rakini berusaha
mengalah karena ia merasa lebih tua. Tapi kini
mungkin tak akan dapat dicegah bahwa perang
saudara seperguruan akan benar-benar terjadi.
Darga mendengus keras, matanya tajam meng-
hunjam bagaikan sebilah pedang yang hendak
menusuk hati Rakini dan mencabut nyawanya.
"Maaf, aku terlebih dahulu meminta maaf
padamu, Kakang."
"Tak usah, Darga. Nah, lakukan apa yang
menjadi kehendakmu!"
Setelah terlebih dahulu menjura hormat,
Darga segera berkelebat menyerang Nenek Ratu
Kelabang. Darga berbuat begitu karena Nenek Ra-
tu Kelabang adalah kakak seperguruannya yang
masih harus ia hormati. Pekikkannya begitu
membahana, hampir menyerupai lengkingan yang
menyayat. Melihat Darga telah berkelebat menye-
rang, segera Nenek Ratu Kelabang pun tak tinggal diam, ia pun segera berkelebat
memapakinya. Dua saudara seperguruan itu akhirnya bertempur
hanya demi membela murid-muridnya. Namun
meski begitu, nampak Nenek Ratu Kelabang tidak
bertarung sungguh-sungguh menghadapi Darga.
Si Nenek rupanya masih mempunyai rasa kasih
pada adik seperguruannya hingga ia tak tega un-
tuk menurunkan tangan jahatnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya,
sepertinya kedua saudara seperguruan yang telah
tua renta itu tak ada yang mau mengalah dan
mengakui kesalahannya. Keduanya terus men-
gumbar jurus-jurus yang hampir sama, sebab ke-
duanya merupakan satu guru, sehingga ilmu
yang mereka miliki berasal dari satu sumber.
Tengah mereka bertarung, tiba-tiba terdengar su-
ara membentak bersamaan dengan berkelebatnya
sesosok tubuh ramping.
"Hentikan!"
"Siapa kau!?" balas Darga membentak.
Tubuh ramping yang rupanya milik seo-
rang wanita tidak segera menjawab pertanyaan
Darga, tapi malah dengan tenangnya menghampi-
ri Nenek Ratu Kelabang sembari sujud.
"Guru, siapa adanya dia?" tanya gadis bercadar hitam tersebut pada Nenek Ratu
Kelabang setelah menyembah. "Mengapa guru harus bertarung dengannya?"
"Dia adik seperguruanku, Ningrum," jawab
Nenek Ratu Kelabang tenang. Suaranya datar,
dingin bagaikan tak mempunyai gairah. "Dia hendak membalas dendam atas kematian
murid- muridnya yang telah engkau bunuh."
Mendengar uraian gurunya, seketika Nin-
grum palingkan wajah memandang pada Darga
yang kini tampak berdiri mematung di tempatnya
dengan muka menunduk. Darga telah tahu siapa
adanya Penguasa Bukit Karang Bolong. Berbeda
dengan gurunya, Penguasa Bukit Karang Bolong
entah dari mana tahu-tahu telah memiliki ilmu
yang sangat tinggi.
"Paman Darga, terimalah salam hormatku,"
Ningrum menjura hormat, menjadikan Darga ter-
bengong-bengong tak mengerti. Ia yang menyang-
ka kalau Ningrum akan balas menyerang ternyata
dugaannya meleset. Darga tidak mengerti apa
yang dilakukan oleh murid kemenakannya mana-
kala ia berbuat begitu. Tiba-tiba...!
Darga tersentak dari ketidakmengertian-
nya, manakala selarik sinar ungu membersit dari
tangan Ningrum. Maka keluarlah caci maki dari
mulut Darga yang sudah jengkel dan marah pada
Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Anak sundel! Memang sifatmu sudah tak
dapat dimaafkan. Aku Darga akan membunuh-
mu!" rungut Darga marah. "Lebih baik aku mati daripada harus mengakui kekalahan
padamu, Anak terkutuk!"
Darga yang telah benar-benar marah sege-
ra berkelebat menyerang Ningrum dan gurunya.
Namun serangan Darga sepertinya tiada arti bagi
Ningrum yang telah bersekutu dengan Dewi Lan-
jut Ayu, Penguasa Bukit Karang Bolong. Seran-
gan-serangan Darga hanya mengenai tempat ko-
song belaka, bahkan tubuh Dargalah yang men-
jadi bulan-bulanan permainan Ningrum. Manaka-
la kaki Ningrum menendang, maka memekiklah
Darga dengan tulang iga patah. Dan manakala
tangan Ningrum menghantam, tak ayal lagi muka
Darga seketika menjadi bubur buruk. Darah ke-
luar dari hidung, telinga, mulut dan mata, menjadikan Darga tak mampu lagi untuk
bangkit. Dar- ga hanya dapat mengerang serta menyumpah se-
rapah segala apa yang telah dilakukan Ningrum.
"Sumpah serapahmu tiada arti, Darga!"
gertak Ningrum sengit.
"Bangsat rendah! Bunuhlah aku, bunuh!"
"Memang aku hendak membunuhmu, tapi
aku ingin melihat dulu sampai di mana ketaba-
hanmu menghadapi maut dengan siksaan seperti
itu," Ningrum sekarang bukanlah Ningrum didikan Pramana ayahnya, tapi Ningrum
didikan dan pengaruh Iblis hingga ia tak mengenal adanya ra-
sa kasihan pada orang yang dianggapnya musuh
walau ia tahu bahwa Darga adalah paman gu-
runya. "Orang-orang sadis! Ternyata para wanita sekarang sudah berubah menjadi
para jagal yang
sadis!" membersit sebuah suara, manakala Ningrum yang tengah menyiksa Darga
hendak men- gakhiri kehidupan Darga. Bersamaan dengan ha-
bisnya suara itu, sesosok tubuh padat berisi berkelebat dan meraup tubuh Darga
yang terkulai. Sesaat pemuda itu sunggingkan senyum pada
Ningrum, lalu dengan suara membersit pemuda
itu kembali berkata: "Apakah kalian tak pernah mengenai belas kasihan pada orang
yang telah sudah tak berdaya" Walaupun orang ini adalah
musuh kalian, tak pantas kalian menyiksanya be-
gini rupa!"
"Anak muda, siapa kau adanya" Mengapa
kau ikut campur dalam urusanku?" Ningrum bertanya seraya masih sunggingkan
senyum yang di-
arahkan pada pemuda tersebut. "Kau tampan,
maka aku tak menyakitimu. Nah, siapa adanya
dirimu, Anak muda?"
Jaka Ndableg garukkan tangan kiri ke ke-
pala, sunggingkan senyum aneh dan kemudian ia
pun berkata setelah memandang orang dalam bo-
pongannya. "Aku..." Aku siapa?"
Hampir saja Ningrum dan gurunya menge-
keh tertawa melihat kelucuan Jaka, namun hal
itu tak dilakukannya karena mereka masih meli-
hat gelagat yang tidak enak pada diri Jaka. Wa-
laupun Jaka seperti orang tolol, namun gerak-
geriknya seperti orang yang berilmu tinggi.
"Ya, engkau?" Ningrum meyakinkannya.
"Aku... ya akulah."
"Lucu tingkahmu, Anak tampan. Masakan
kau tak mengetahui siapa adanya dirimu?" kembali Ningrum berkata, kali ini
matanya mengedip
genit pada Jaka. Dan Jaka yang dasarnya ndableg
tak mau begitu saja menyia-nyiakan kedipan ma-
ta Ningrum, dia pun balas kedipkan mata. Tingga-
lah Nenek Ratu Kelabang bingung melihat murid-
nya dan pemuda bertampang tolol tersebut saling
main mata. "Kau tampan, Anak muda?"
"Ah, sungguhkah?" Jaka merajuk pura-
pura. "Ya, aku jadi suka padamu," Ucapan polos itu mungkin bagi pemuda lain akan
menjadikan debaran-debaran aneh, tapi bagi Jaka yang tak
hiraukan semuanya hanya permainan belaka
yang akan ia buang manakala telah berlalu. "Siapa sih namamu?"
"Namaku... apa perlu?"
"Jelas perlu, Anak muda."
"Ningrum, percuma kau tanyai pemuda to-
lol macam dia," Si nenek yang sudah jemu dengan tingkah laku Jaka berusaha
mengalihkan perha-tian muridnya. Namun Ningrum yang telah terpa-
na oleh ketampanan Jaka bagaikan tak menden-
garnya. Dia masih terus menatap Jaka dengan
pandangan penuh arti, menjadikan Jaka salah
tingkah. "Ah, sudahlah. Bukankah nenekmu sudah
menyuruh kau berlalu?"
"Tapi aku ingin mengenalmu, Anak tam-
pan. Aku mencintaimu."
Jaka menarik napas panjang mendengar
ucapan Ningrum, tapi sebaliknya Nenek Ratu Ke-
labang nampak terbelalak kaget. Hatinya tak se-
tuju bila muridnya harus menjadi kekasih pemu-
da tolol itu. Maka dengan suara tak suka si nenek kembali berkata: "Ah, apakah
kau sudah gila akibat ketularan pemuda itu, Ningrum?"
"Aku belum gila, Nek. Aku cuma ndableg.
Eh, ya namaku Jaka Ndableg. Begitulah orang
menyebutku."
Terbelalak mata kedua guru dan murid se-
telah mengetahui siapa adanya pemuda bertam-
pang konyol tersebut. Sesaat si nenek sikutkan
tangan ke tubuh muridnya, dan dengan segera
keduanya tanpa disadari oleh Jaka berkelebat
tinggalkan Jaka sendirian yang terbengong-
bengong sesaat kemudian berseru.
"Hoi...! Katanya kau cinta padaku, menga-
pa kau lari!"
"Jangan hiraukan dia, Ningrum!" Si nenek memperingatkan muridnya agar terus saja
lari. "Dia akan menyusahkan dirimu kalau tahu siapa adanya dirimu."
"Tapi aku mencintainya, Guru," bantah Ni-hil rum hendak merandek, yang segera
diseret oleh Nenek Kelabang.
"Anak bodoh! Apakah kau hendak mati?"
Ningrum kini menurut, setelah berpikir
akan kebenaran ucapan gurunya. Memang benar,
bila ia akhirnya diketahui oleh Jaka siapa adanya dirinya niscaya Jaka akan
membuat repot. Bukannya ia takut menghadapi Jaka, namun hal itu
belum waktunya. Tapi hati Ningrum tak dapat di-
bohongi, hati kecil mengatakan bahwa ia benar-;
benar mencintai Jaka. Dengan terus berlari ken-
cang Ningrum menggumam dalam hati, gumaman
sebagai seorang yang tengah dilanda gelora cinta.
Ningrum lupa bahwa dirinya telah mempunyai
suami si Setan Rambut Putih.
9 "Anak muda, mengapa kau biarkan kedua-
nya meninggalkanmu?"
"Hai, kau telah sadar. Siapakah engkau
adanya, Ki Sanak?" tanya Jaka mendengar orang dalam bopongannya telah sadar dari
pingsannya. "Dan siapa yang kau maksudkan dengan kedua-
nya" Apakah kedua wanita genit dan liar yang te-
lah menyiksamu sampai engkau berantakan mu-
kanya?" Lelaki itu terdiam sesaat, meraba mukanya
yang terasa nyeri. Darah kering membasahi hi-
dung, mulut, telinga dan matanya. Seketika ia
memekik, "Tidak! Aku tak mau buta!"
Iba juga Jaka mendengar dan melihatnya,
maka dengan suara haru Jaka pun berkata men-
coba menghibur: "Ki Sanak, mungkin sudah kodrat bagimu begitu, terimalah apa
yang telah di- berikan oleh Yang Maha Kuasa. Aku rasa, semua
ini ada hikmahnya"
Tercengang Darga mendengar kata-kata
Jaka. Ia tak menyangka kalau seorang pendekar
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang namanya kondang mempunyai watak yang
terpuji, sabar dan penuh rasa kasih beda dengan
apa yang didengung-dengungkan oleh rekan-
rekannya sealiran yang mengatakan bahwa Pen-
dekar Pedang Siluman Darah berwatak ganas bila
menghadapi tokoh aliran sesat macam dirinya.
Melihat kenyataan tersebut, tanpa sadar Darga
mendesah. "Oh, tak aku sangka."
"Apa yang engkau maksud, Ki Sanak?" Ja-ka menanya ingin mengerti apa yang
dimaksud oleh Darga. Karena menyangka Darga meratapi
segala apa yang diterimanya, segera Jaka kembali berkata: "Janganlah Ki Sanak
meratapi segalanya yang telah terjadi, sebab hal itu akan menjadikan beban
pikiran Ki Sanak sendiri."
"Bukan itu yang aku maksud, Tuan Pende-
kar. Aku merasa telah salah sangka padamu. Ta-
dinya aku hanya mendengar dari sahabat-
sahabatku yang mengatakan bahwa engkau ber-
tingkah telengas, tak mengenai kata ampun bagi
golongan sepertiku."
Jaka tersenyum gelengkan kepala menden-
gar penuturan Darga.
"Tapi kenyataannya sekarang, sungguh
membuat hatiku merasa berdosa. Kau telah
mampu menyadarkan siapa adanya aku sebenar-
nya, yang selama ini telah menyimpang dari sega-
la ketentuan alam dengan kata lain telah sesat.
Oh, sungguh kau telah menjadikan aku sadar.
Kalau boleh aku tahu, masihkah aku diampuni
segala dosa-dosaku?" Darga berkata dengan segenap perasaannya, sehingga tanpa
sadar air ma- tanya meleleh deras membasahi kedua pipinya.
"Dapatkah aku menerima pintu tobat?"
Jaka terdiam hanyut oleh rasa iba yang di-
alunkan lewat kata-kata Darga yang begitu tulus.
Tak disadari air matanya pun turut meleleh. Ya,
Jaka menangis. Dia menangis bahagia, karena
ternyata dirinya telah mampu membuat orang
yang selama hidupnya sesat menjadi sadar. Den-
gan suara tersengal oleh lelehan air mata Jaka
pun menjawab: "Kapan saja engkau mau, Tuhan masih terus membukakan pintu tobat
bagi umat-Nya." "Oh, betapa agungnya hati Tuhan, Tuan Pendekar?"
"Ya. Memang itulah Tuhan. Ia Maha Agung,
Maha Pengasih serta Penyayang. Dibanding den-
gan Tuhan, aku belumlah ada artinya sama seka-
li," Jaka mencoba menghibur Darga. Lamat-lamat dari bibir Darga mengurai senyum,
dan lamat-lamat pula terdengar desah Darga.
"Oh, Tuhanku, sungguh aku selama ini te-
lah menyimpang dari jalan yang Engkau gariskan.
Semoga Engkau berkenan mengampuni diriku.
Tuan Pendekar, mengapa engkau tak segera
menghentikan sepak terjang mereka?"
"Siapa yang engkau maksudkan, Ki Sa-
nak?" tanya Jaka belum mengerti apa yang dimaksud oleh Darga.
"Mereka berdua yang telah menyiksaku.
Mereka salah satunya adanya Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong."
Terbelalak Jaka mendengar keterangan
yang dilontarkan oleh Darga, yang menyebutkan
bahwa salah seorang dari dua orang wanita terse-
but adalah orang yang ia cari. Tapi yang mana..."
"Ki Sanak, yang manakah yang menyebut
dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong?"
"Dia yang muda."
"Yang cantik itu?" tanya Jaka mencoba
meyakinkan. "Kau jangan terpengaruh oleh kecantikan-
nya, Tuan Pendekar. Dia memang cantik, tapi di
balik kecantikannya tersembunyi Iblis. Ketahui-
lah olehmu bahwa gadis yang bernama Ningrum
itu, kini dalam kuasa Iblis Dewi Lanjut Ayu si
Penguasa Bukit Karang Bolong," Darga bercerita panjang lebar, menjadikan Jaka
mengerti siapa sebenarnya Penguasa Bukit Karang Bolong yang
tindakannya sungguh sangat telengas dan tak
kenal kompromi itu. "Dia sebenarnya anak seorang Pendekar sakti beraliran lurus
yang na- manya mungkin sudah Tuan Pendekar dengar.
Pendekar tersebut bernama Pramanayuda..."
"Pramanayuda...!" Hei, bukankah dia pemi-
lik Pedang Sukma Layung yang sudah kesohor
dengan keampuhannya?" Jaka bergumam seper-
tinya gumamannya tersebut ditujukan pada diri
sendiri. "Ya, ya aku mendengar kebesaran namanya. Hem, ternyata di balik semua
bencana yang menimpa wilayah ini adalah seorang Iblis
yang ingin melampiaskan keangkaramurkaan..
Baiklah, Ki Sanak. Kini aku telah mengetahui be-
nar apa yang terjadi dan siapa yang menjadi to-
kohnya. Nah, ke mana aku harus membawa tu-
buhmu untuk sekedar istirahat memulihkan ke-
lemahan tubuhmu?"
"Bawalah aku ke Bukit Kemasan, di sana
adalah tempat temanku tinggal. Dia juga seorang
tabib dari India."
"Baiklah aku akan membawamu ke tempat
tersebut."
Dengan segera Jaka berkelebat sambil
membopong tubuh Darga pergi meninggalkan alas
yang kembali sunyi. Lari Jaka begitu cepat karena dilandasi dengan ilmu lari
Angin Puyuh. Jaka
berbuat begitu karena ia ingin memburu waktu
untuk selekasnya menuju ke Bukit Karang Bo-
long. Merasakan dirinya dibawa bagaikan terbang
saja Darga yang telah buta seketika tersentak dan makin yakin bahwa Pendekar
muda ini memang
bukan pendekar sembarangan. Tiupan angin yang
keluar dari tubuh Jaka, bagaikan prahara topan
yang mampu merobohkan pohon-pohon di sekitar
yang dilaluinya. Tak luput binatang-binatang hu-
tan, berserabutan seperti takut mendengarnya.
* * * Kita tinggalkan Jaka yang membawa tubuh
Darga Buana yang luka-luka menuju ke tempat
Tabib sahabatnya. Marilah kita tengok di tempat
Bukit Karang Bolong di mana Ningrum dan Setan
Rambut Putih mengangkat dirinya menjadi ketu-
anya dengan menyebut diri mereka Penguasa Bu-
kit Karang Bolong.
Bukit Karang Bolong nampak sepi, seper-
tinya mengandung keangkeran yang begitu da-
lam. Muka dua orang penjaga pintu masuk nam-
pak tak berekspresi, dingin dan kaku. Mereka
memang sudah dilatih dengan keadaan demikian,
harus memiliki keberanian dan keangkeran. Me-
reka juga dilatih untuk tidak mengenal belas ka-
sihan atau kompromi dengan orang-orang yang
mereka anggap musuh.
Tengah penjaga pintu masuk tenang dalam
tugasnya, seorang pemuda berkelebat mengham-
piri mereka. Pemuda itu serta merta menerobos
hendak masuk ke dalam wilayah Bukit Karang
Bolong, menjadikan kedua penjaga tersebut sege-
ra menghalanginya dengan silangkan tombak,
dan membentak. "Pemuda tolol, siapa kau!" Dan apa keper-
luanmu datang ke mari" Apakah kau tak tahu di
mana kau kini berada"!"
Pemuda itu hanya tersenyum, lalu dengan
sekali hentak dua tombak di tangan kedua penja-
ga yang menghalanginya patah berantakan. Hal
itu menjadikan kedua penjaga pintu masuk terbe-
lalak matanya kaget. Keduanya tak percaya kalau
pemuda semuda itu mampu memiliki tenaga yang
besar, sehingga dengan mudah tombak yang ter-
buat dari kayu alami yang kuat dan kokoh hanya
sekali gebrak patah berantakan.
"Katakan pada pimpinan kalian, aku Tega-
laras datang! Cepat!"
Kedua orang penjaga itu tersentak membe-
lalakan mata kaget demi mendengar bentakan Te-
galaras yang bagaikan suara petir menggelegar.
Namun belum juga kedua penjaga tersebut
berkata, tiba-tiba terdengar seruan dari dalam:
"Biarkan dia masuk, Penjaga!"
Tanpa hiraukan kedua penjaga yang dalam
keadaan bengong yang disebabkan oleh bentakan
Tegalaras, Tegalaras segera berkelebat langkahi
dua orang tersebut masuk ke dalam. Langkahnya
begitu ringan, boleh dikata terbang. Tahu-tahu
tubuhnya telah melesat, dan berhenti manakala
dilihatnya dua orang muda telah menunggunya.
"Selamat datang Tegalaras," sapa keduanya serempak
Tegalaras tak hiraukan sambutan mereka.
Bibirnya terurai senyum sinis, lalu dengan suara enteng Tegalaras berkata: "Aku
minta kalian tinggalkan tubuh adikku."
Mendengar ucapan Tegalaras, seketika ke-
dua muda mudi yang salah satunya adalah adik-
nya sendiri tertawa bergelak-gelak. Hal ini menjadikan Tegalaras melototkan mata
marah dan jengkel pada yang ia ketahui adalah iblis-iblis
pengganggu adiknya.
"Dewi Lanjut Ayu, tak pantas kau men-
gangkangi tubuh adikku. Segeralah minggat dari
tubuh adikku, atau aku dengan terpaksa mengu-
sirmu!" "Hi, hi, hi...! Tegalaras, lakukan bila kau mampu!"
"Iblis! Jangan kira aku tak mampu, Dewi
iblis. Nah, bersiaplah, hiat...!" Tegalaras segera berkelebat, menyerang dengan
cepat dan disertai
dengan serangan-serangan kilat yang hanya da-
pat dilakukan oleh para Siluman belaka. Namun
Dewi Lanjut Ayu bukanlah tokoh sembarangan.
Sebagai istri dari Datuk Raja Karang ia telah benar-benar digembleng segala ilmu
kanuragan baik oleh gurunya, ayahnya maupun suaminya. Gera-
kan sang Dewi Ayu Lanjut pun tak kalah cepat
dibanding Tegalaras.
Namun rupanya Tegalaras yang memang
telah dididik oleh Bangsa Siluman bukanlah mu-
suh yang enteng bagi Dewi Ayu Lanjut, sehingga
dalam sebentar saja Dewi Ayu lanjut pun dapat
dengan segera didesaknya. Dan manakala ada ke-
sempatan, segera Tegalaras hantamkan ajian Pe-
nyekap Iblis ke tubuh Ningrum yang tengah diku-
asai oleh Dewi Ayu Laras. "Ajian Pelebur Iblis, hiat...!"
"Wuuuut... duar!"
"Aaaaah...!" Tubuh Ningrum gontai, akhirnya ambruk pingsan. Dari tubuhnya keluar
asap mengepul, bergulung-gulung keluar dan memben-
tuk tubuh Dewi Ayu Laras. Melihat hal itu, serta merta Setan Rambut Putih tak
tinggal diam, segera ia menyerang dengan cepat pada Tegalaras
yang dianggapnya telah membuat kerusuhan pa-
da Bukit Karang Bolong wilayah kekuasaannya.
Serangan Setan Rambut Putih ternyata
sangat dahsyat, jauh melebihi ilmu yang dimiliki oleh Ningrum yang bersekutu
dengan Dewi Ayu
Lanjut. Setan Berambut Putih ternyata lebih ting-gi dua atau tiga tingkat
dibandingkan ilmu yang
dimiliki oleh kekasihnya Ningrum atau Dewi Ayu
Lanjut. Nampaklah kini keberadaan Tegalaras,
bahwa ilmunya tak ada guna sama sekali untuk
menghadapi Setan Berambut Putih. Ternyata Se-
tan Berambut Putih bukanlah nama kosong me-
lompong belaka. Terbukti kini dalam beberapa
gebrakan saja Tegalaras yang sudah digembleng
oleh bangsa Siluman mampu didesaknya.
"Bangsat! Aku akan mengadu nyawa den-
ganmu, Iblis Laknat! Kau harus minggat dari du-
nia ini!" bentak Tegalaras yang telah tahu siapa sebenarnya Setan Berambut
Putih. Nah, untuk
mengetahui siapa adanya Setan Berambut Putih,
silahkan anda baca kisah Titisan Penghuni Bukit
Gempol...! "Kau tak akan mampu, Tegalaras! Menye-
rahlah dan ikutlah dengan kami!"
"Jangan hiraukan omongannya, Saudara!"
tiba-tiba sebuah suara yang dilontarkan dari ja-
rak yang agak jauh menggema, menjadikan Setan
Rambut Putih tersentak. Belum juga Setan Ram-
but Putih hilang kagetnya sesosok tubuh berkele-
bat dan tiba-tiba telah berdiri menjejeri Tegalaras.
Pemuda itu tersenyum, lalu dengan menjura
hormat pada Tegalaras pemuda yang tak lain
Pendekar kita Jaka Ndableg berkata: "Saudara Pendekar, mungkin iblis ini bukan
tandingan saudara sendirian. Mari kita hadapi bersama!"
"Siapakah engkau adanya, Ki sanak?"
tanya Tegalaras ingin kenal adanya pemuda di
sampingnya. "Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka den-
gan tenang, sementara matanya memandang ta-
jam ke arah Setan Rambut Putih. Mendengar sia-
pa adanya pemuda di sampingnya, dengan suara
kaget Tegalaras berseru:
"Kaukah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah"!" "Ya... begitulah! Awas! Dia menyerang...!"
Tersentak Jaka dan Tegalaras yang segera
buang tubuh masing-masing ke samping meng-
hindari serangan yang dilancarkan oleh Setan
Rambut Putih.
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian harus mati, sebab kalianlah yang
bakal merintangi niatku untuk menguasai jagad
raya ini!" bentak Setan Rambut Putih sambil terus gencarkan serangan dengan
pukulan-pukulan jarak jauhnya yang sungguh dahsyat, menjadikan
kedua pendekar itu harus menguras tenaga un-
tuk menghindarinya. Kalau saja mereka terlambat
mengelak, maka tak ayal lagi tubuh mereka akan
hancur berantakan seperti tembok-tembok yang
terhantam. Merasa serangannya luput, Setan Rambut
Putih makin menggeram marah. Kembali ia me-
lancarkan ajiannya yang sungguh dahsyat, ajian
yang hanya dimiliki oleh siluman dan iblis.
Jaka dan Tegalaras tersentak kaget, karena
belum pernah melihat ajian tersebut. Ya, walau-
pun mereka murid-murid bangsa Siluman, na-
mun ajian-ajian yang keluar dari tangan Setan
Rambut Putih sungguh belum mereka kenal.
"Gusti Allah, ajian apakah itu"!" gumam Jaka. "Ilmu iblis!" mengumpat Tegalaras.
"Awas! Dia hantamkan ajiannya ke mari!"
Jaka memekik memperingatkan pada Tegalaras,
namun Tegalaras yang tengah kaget begitu lam-
ban menghindar, sehingga pundaknya seketika
terhantam ajian tersebut. Dan....! Mata Jaka se-
ketika melotot kaget, tak percaya pada apa yang
dilihatnya. Binatang-binatang sebesar tikus tanah tiba-tiba muncul menggeruguti
pundak Tegalaras
yang meraung-raung kesakitan.
"Demi Allah, ilmu iblis macam apa ini.
Hem, aku harus menggunakan Pedang Siluman
Darah untuk membasmi binatang-binatang nera-
ka terkutuk itu! Dening Ratu Siluman Darah Da-
tanglah!" Pedang Siluman Darah seketika telah be-
rada di tangan Jaka yang dengan cepat tebaskan
pada pundak Tegalaras. Seketika binatang-
binatang menjijikkan tersebut lenyap tanpa bekas dan luka di pundak Tegalaras
pun bagaikan tak
pernah ada. "Terima kasih, Jaka."
"Sudahlah, kita kini tengah menghadapi
maut yang siap mengancam diri kita. Menyingkir-
lah, biar aku hadapi dengan Pedang Siluman Da-
rah." Tegalaras menurut, melompat menepi sepuluh tombak dari tempat mereka
bertarung. Kini
ia jadi penonton, menyaksikan Jaka dan Setan
Rambut Putih tengah berhadap-hadapan siap un-
tuk saling serang.
"Iblis Bukit Gempol, minggatlah dari sini!"
bentak Jaka yang telah diberi tahu oleh Ratunya
yang berada di pedang tentang siapa adanya Se-
tan Rambut Putih.
"Hoar...! Jangan mimpi, Pendekar! Walau
namamu telah mengangkangi langit, tapi aku tak
akan mau mengalah, terimalah ini. Hiat....!"
Setan Rambut Putih kembali hantamkan
ajian iblisnya. Selarik sinar merah, biru, hitam bercampur jadi satu menerpa ke
arah Jaka. Sege-
ra Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, dan si-
nar itu pun seketika lenyap tanpa bekas.
Melihat serangannya dengan mudah dapat
dihilangkan oleh Jaka makin marahlah Setan
Rambut Putih. Dengan didahului menggerang ia
berkelebat melompat menyerang. Hal itu tidak
disia-siakan oleh Jaka yang sudah siap dengan
pedangnya. Maka manakala Setan Rambut Putih
melayangkan tubuhnya, segera Jaka pun mema-
pakinya dengan menebaskan Pedang Siluman Da-
rah, dan...! "Croooos...!"
"Aaaaah....!" terdengar pekikan, bersamaan dengan suara babatan Pedang Siluman
Darah. Tak lama kemudian, terdengar suara ambruknya
tubuh Setan Rambut Putih. Maka dengan kema-
tian tersebut, Bukit Karang Bolong pun kembali
sepi. Tegalaras segera hampiri Jaka, namun ba-
gaikan sebuah bayangan saja Jaka telah raib. Be-
gitu juga halnya dengan Ningrum, ia telah raib
dari situ entah ke mana. Tinggallah Tegalaras
sendiri, melangkah diiringi bekas-bekas anggota
Bukit Karang Bolong. Ke manakah Ningrum" Un-
tuk mengetahuinya silahkan anda ikuti kisah be-
rikutnya dalam serial Jaka Ndableg Pendekar Pe-
dang Siluman Darah di episode Ratu Maksiat Te-
laga Warna. TAMAT Scan/e-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pendekar Patung Emas 9 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam Bende Mataram 11
bersamaan dengan makin mendekatnya kuda yang ditumpangi Rengka-
na ke hutan bakau.
"Hem, apa yang menjadikan hatiku was-
was. Aku harus berhati-hati, sebab tidak mung-
kin kalau keadaan tenang hatiku harus berdebar
seperti ini." Rengkana makin memperlambatkan kudanya melangkah. Dipasangkan
pendengaran-nya dengan tajam, sehingga suara gemeresek se-
dikit pun akan jelas ia dengar.
Pertama kaki kudanya memasuki hutan
bakau, tak ada apa-apa. Makin ke dalam, lalu te-
rus melangkah ke dalam. Ketika kuda yang di-
tumpangi Rengkana sampai di tengah-tengah hu-
tan bakau, tiba-tiba sebuah tombak hampir saja
menyate tubuhnya bila Rengkana tidak segera
lompat. Tapi tak urung tombaknyalah yang mele-
sat menghantam kudanya. Sesaat kuda itu me-
ringkik, lalu akhirnya menggeletak mati.
Mata Rengkana melotot, marah dan takut
beraduk menjadi satu. Dengan agak takut Reng-
kana segera bangkit, lalu dengan penuh kemara-
han ia membentak: "Siapa adanya engkau, ke-
luarlah!" "Kau manusia iblis! Kau harus mati di tan-
ganku!" Rengkana tersentak kaget demi mendengar
balasan bentakan suara seseorang yang telah
menuduhnya. Dia berusaha mencari orang yang
memiliki suara tersebut, namun sepertinya suara
itu tiada yang memiliki. Orang yang berkata tak
dilihat oleh Rengkana, menjadikan Rengkana se-
ketika bergidig bulu kuduknya. Tengah Rengka-
na, bingung tak tahu siapa yang telah berkata-
kata, kembali terdengar suara bentakan.
"Kau manusia iblis! Kau telah dengan licik
membunuh pamanku! Kau pura-pura ingin ber-
guru pada paman, lalu setelah kau curi Kitab Se-
rat Kumajang kau bunuh paman! Dasar manusia
berhati iblis!"
"Siapa kau! Kalau kau manusia, aku minta
keluar dan tunjukkan batang hidungnya agar
dengan mudah aku congkel matamu!" bentak
Rengkana sewot. Dihunusnya keris pusaka, lalu
diacungkan ke arah suara itu. Namun belum juga
ia tahu siapa adanya suara tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
dan...! "Ini aku...!"
Bersamaan dengan munculnya bayangan
tersebut, tiba-tiba Renggana mengerang memapa-
ki orang tersebut. Namun gerakan orang tersebut
ternyata lebih cepat dari apa yang ia duga hingga tak ayal hantaman tangan
berisi yang dilancarkan oleh orang itu telak menghantam muka Rengkana. "Bug,
bug, bug!"
Tiga kali suara hantaman itu terdengar,
dan tiga kali Rengkana harus mengerang kesaki-
tan. Tubuh Rengkana berguling-guling, menahan
sakit yang teramat sangat mendera di wajahnya.
Tulang pipinya terasa remuk, terkena tendangan
yang keras. Rengkana terus meraung-raung kesa-
kitan, sementara orang yang menyerangnya yang
ternyata seorang pemuda berdiri tegak dengan
senyum mengawasi tubuh Rengkana.
"Itulah balasanmu, seorang yang tidak
memiliki rasa terima kasih! Kau telah ditolong
oleh paman, namun balasanmu sungguh menye-
dihkan bahkan membuat paman akan mengu-
tukmu!" "Siapa kau, Anak muda?" terdengar suara seseorang lain menanyakan pada pemuda
yang berdiri memandangi tubuh Rengkana. Pemuda itu
segera palingkan muka, memandang pada suara
yang bertanya. Senyumnya masih mengembang,
dan lebih tepat dikatakan sinis. Pemuda itu berjalan santai meninggalkan tubuh
Rengkana yang masih mengerang dan menghampiri ketiga orang
yang berdiri mengawasinya.
"Namaku Tegalaras. Kalian dengar! Nah,
karena aku tak ada urusan dengan kalian, maka
kalian tak usah banyak kata! Sekarang ganti aku
yang bertanya, siapa adanya kalian semua?"
"Kami dijuluki dengan sebutan Serangkai
Hantu Dari Kelangitan," menjawab Hantu Kelangitan Kumis Putih, menjadikan pemuda
yang berdi- ri di hadapannya seketika bergelak tawa.
"Apa yang engkau tertawakan, Tegalaras!
Aku kira tak ada yang lucu dengan ucapanku!"
Pemuda itu masih gelak tawa. Lalu tanpa
hiraukan mereka seketika kembali berkelebat
pergi menjadikan mereka Hantu Dari Kelangitan
terbingung-bingung dengan tingkah Tegalaras.
"Anak muda sinting. Kasihan, masih muda
harus gila!" gumam Hantu Kumis Hitam. Namun tiba-tiba kembali terdengar bentakan
si pemuda, menjadikan Serangkai Hantu Kelangitan tersen-
tak kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu men-
dengar suara gumaman Hantu Kumis Hitam" Pa-
dahal jarak mereka sudah begitu jauh, hampir
ada seribu tombak. Tapi pemuda itu dapat men-
dengarnya, bahkan membentaknya pun dari jarak
jauh. Sungguh bukan pemuda sembarangan.
"Apa kalian bilang!"
"Heh, dia mendengar gumamanku," Hantu
Kumis Hitam mendesah kaget, lalu dengan suara
rendah berkata meminta maaf. "Maafkan kami bi-la kami telah berkata salah."
"Beruntung aku tengah tak ada waktu
mengurusi kalian! Kalau saja aku sempat, maka
kepala-kepala kalianlah yang akan aku puntungi!"
Bergidig juga ketiga Serangkai Hantu Ke-
langitan mendengar ancaman Tegalaras. Mereka
tahu bahwa Tegalaras bukanlah orang sembaran-
gan, terbukti suara gumaman mereka pun sempat
didengarnya. Sungguh seorang pemuda berilmu
tinggi, sayang keadaannya sungguh mempriha-
tinkan. Setelah melihat Tegalaras menghilang, segera ketiga Hantu Kelangitan
hampiri tubuh prang yang tergeletak. Mata mereka seketika me-
lotot, manakala mengetahui siapa adanya orang
tersebut. Orang tersebut tak lain Rengkana, te-
man mereka sekaligus juragan yang selalu mem-
bayar mereka mahal untuk segala kepentingan-
nya. "Rengkana! Hai, mengapa ia...?" tanya Hantu Kumis Hitam seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Rupanya pemuda itu yang menyerangnya. Sungguh hebat serangan itu sehingga
Rengkana yang terkenal dengan pendekar Balang Nipa, mampu
dirobohkannya dalam segebrakan saja. Untung
pemuda itu tidak kelepasan tangan."
Kedua saudaranya hanya diam, mengang-
kat tubuh Rengkana dan segera membawanya ke
tempat di mana mereka jadikan kediaman. Wajah
Rengkana memar, hancur tulang-tulang pipinya.
Dari hidung Rengkana meleleh darah, juga dari
mulutnya. Mungkin Rengkana mengalami keru-
sakan pada wajahnya.
Direbahkan tubuh Rengkana di atas se-
buah dipan yang sudah bulukan dan reot. Den-
gan cepat ketiganya berusaha mencari serta me-
racik obat-obatan yang sekiranya berguna bagi
Rengkana. Namun muka Rengkana harus begitu,
rusak untuk selama-lamanya. Tulang pipinya ke-
luar, membentuk gambaran wajah yang menye-
ramkan. Hidungnya hancur, hingga menjadikan
koreng dan akhirnya memecah. Hidung itu be-
long, persis hidung tengkorak!
"Apakah kita tak dapat mengembalikan wa-
jahnya, Kakang?"
"Lucu! Mana mungkin kita dapat?" jawab Hantu Kumis Hitam
"Sungguh kasihan keadaannya," gumam
Hantu Kumis Putih.
"Mungkin harus begini akibatnya."
Ketiga Serangkai Hantu Dari Kelangitan
hanya terpaku, menatap wajah Rengkana yang
burak rantak. Mereka trenyuh melihatnya. Mere-
ka juga bertanya-tanya, ilmu apa yang digunakan
oleh Tegalaras hingga mampu membuat wajah
Rengkana berantakan"
* * * Rengkana terbaring pingsan selama tiga
hari, ditunggui oleh Ketiga Hantu Kelangitan. Ketika hari telah kembali beranjak
pagi Rengkana nampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Ma-
tanya memandang sekeliling, dilihatnya ketiga
Hantu Kelangitan berada di sisinya.
"Di mana aku?" tanyanya dengan suara lemah. "Kau berada di pondok kami," jawab
Hantu Kumis Putih. "Beristirahatlah dulu, agar kau jangan lemah hingga tenagamu
pulih kembali."
"Siapakah yang telah menyerangku?"
"Dia adalah anak muda, bernama Tegala-
ras." "Tegalaras..."!" Nampak di wajah Rengkana ada rasa kekagetan demi
mendengar siapa adanya
penyerangnya. "Bukankah Tegalaras telah ma-
ti...?" "Belum, Rengkana. Dia belum mati, bahkan ilmunya kini tinggi sekali,"
jawab Hantu Kumis Hitam. "Aku yang bergumam lirih saja mam-pu ia dengar dari
jarak yang sangat jauh."
"Ah, dia bukan Tegalaras. Tegalaras telah
jatuh kulemparkan ke bawah jurang."
Membeliak mata ketiga Hantu Kelangitan
demi mendengar jawaban Rengkana yang mence-
ritakan adanya keberadaan Tegalaras. Mereka se-
ketika bergumam, kaget bercampur rasa tak per-
caya. "Apa mungkin ia hantunya"!"
"Mungkin," jawab Rengkana lemah.
"Tapi Rengkana?" Hantu Kumis Putih me-
mutus. "Kalau ia hantu, mana mungkin ia membiarkan kau hidup-hidup. Sepertinya
ia tak begitu menaruh dendam padamu."
"Mungkin juga," gumam Rengkana. Sesaat Rengkana hela napasnya, tiba-tiba ia
merasakan laju napasnya terasa aneh. Napasnya kini besar,
tidak seperti sebelumnya. Dalam kekagetannya
itu Rengkana seketika memekik bertanya. "Kenapa aku?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit tak ada yang
dapat menjawab. Ketiganya hanya diam, tak men-
gerti harus berkata bagaimana. Hal itu menjadi-
kan Rengkana kembali bertanya seraya bangkit
dari tidurnya. "Kenapa dengan aku"! Kenapa"! Kenapa
kalian hanya diam saja?"
Diguncang-guncangkan tubuh ketiga Han-
tu Dari Kelangit satu persatu. Namun ketiganya
hanya diam, bahkan roman muka mereka seperti
sedih. Hal itu menjadikan Rengkana ingin tahu,
maka dirabanya muka dengan tangannya. Seketi-
ka Rengkana memekik, memekik karena harus
menerima keadaan yang sangat menyedihkan.
Hidungnya telah growong bagaikan hidung orang
mati. Juga pipinya, pipinya menonjol keluar
membentuk sebuah gunung yang mengalingi wa-
jahnya. Rengkana seketika menangis, merasakan
betapa perih dan sakitnya hal yang ia alami. Kini wajahnya mirip hantu, hantu
yang menyeramkan.
Tanpa hiraukan ketiga Hantu Kelangit, Rengkana
segera berkelebat pergi untuk mencari air. Dan
manakala ia memandang pada permukaan air,
kembali Rengkana menjerit.
"Tidak...! Mukaku tidak seburuk ini, hu,
hu, hu...!"
"Sudahlah, Rengkana. Memang itu yang
harus kau terima. Akibat pukulan Tegalaras mu-
kamu kini harus begitu," Hantu Kumis Putih
mencoba menghibur.
"Tidak! Aku tak ingin mukaku begini!" Sebenarnya ketiga Hantu Kelangitan hendak
tertawa mendengar ucapan Rengkana yang lucu. Betapa
tidak. Mana mungkin muka yang sudah rusak di-
betulkan kembali" Apakah harus dipermak" Na-
mun untuk tertawa, mereka sungguh tidak tega.
Mereka tahu bagaimana menderitanya diri Reng-
kana. Kalau mereka yang mengalami, sungguh
mereka pun akan mengalami guncangan jiwa se-
perti Rengkana. Beruntung Tegalaras tak menu-
runkan tangan jahat pada mereka. Kala menu-
runkan tangannya, sungguh petaka bagi mereka
yang akan mengalami hal serupa dengan apa
yang dialami Rengkana.
"Sudahlah, Rengkana. Tak perlu kau sesali
apa yang telah terjadi. Sekarang katakan apa
maksudmu menemui kami, semoga kami dapat
membantumu."
Rengkana yang menangis segera terdiam.
Ia kini teringat pada tujuannya semula, meminta
tolong pada ketiga Hantu Dari Kelangit untuk me-
lakukan apa yang telah ia kerjakan.
Dengan masih terisak oleh tangis, Rengka-
na akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya
yang menjadi tujuannya datang. Wajah ketiga
Hantu dari Kelangitan seketika terbelalak merah, tak menyangka kalau dirinya
akan diberi tugas
yang membikin degup jantung mereka berdetak.
Tanpa pikir panjang lagi ketiga Hantu Dari Kelangit segera menyanggupinya.
* * *
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti hari biasanya, pagi itu pun Nin-
grum pergi ke sendang untuk mandi. Dengan ber-
jalan sendiri Ningrum terus melangkah menuju
sendang di mana biasanya teman-temannya telah
menunggu dirinya. Namun pagi itu sendang nam-
pak sepi, tak ada seorang pun yang datang untuk
mandi. Tapi Ningrum tak mau perduli, dilangkah-
kannya kaki menuju ke sendang.
"Ke mana teman-temanku?" tanya Ningrum dalam hati. Namun ia terus melangkahkan
kakinya, tak perduli dengan keadaan sendang yang
sunyi senyap. Tengah ia melangkah kakinya, tiba-tiba da-
ri balik sendang bermunculan tiga orang lelaki
menghampiri. Wajah lelaki itu cengengesan, se-
perti melihat makanan empuk. Lelaki itu melang-
kah terus menghampiri Ningrum yang terpaku di-
am. "Siapakah Ki Sanak sekalian?" tanya Ningrum dengan suara tenang, sepertinya
tak ada ra- sa takut yang menyelinap dalam hatinya. Semen-
tara ketiga lelaki itu terus menghampiri dengan
senyum mengembang tanpa ucapan yang keluar
dari mulut mereka. Hal itu menjadikan Ningrum
seketika bersiap-siap. Ia sadar bahwa lelaki-lelaki tersebut pastilah akan
bermaksud yang tidak
baik. "Rupanya kau seperti ayahmu, Nona?" salah seorang dari ketiganya yang
berkumis putih bertanya. "Kau memang pantas untuk berbuat
begitu pada orang lain, tapi pada kami Serangkai Hantu Dari Kelangit tak akan
mampu." "Oh, jadi kalian Hantu Kelangitan. Mau apa
kalian menghadang langkahku?"
"Hua, ha, ha...! Kau begitu garangnya. Hem
baik! Kami menghadangmu karena kami ingin
mencicipi kehangatan tubuhmu."
Betapa gusar dan marahnya Ningrum demi
mendengar ucapan yang kurang ajar. Maka den-
gan bengisnya Ningrum pun membentak: "Bajingan! Jangan kira kalian akan mampu
melakukan segala tingkah kalian terhadapku!"
"Hem, begitu?" Hantu Kumis Hitam sung-
gingkan senyum. "Apakah kau minta bukti, No-na?" "Bangsat rendah! Pergi kalian!"
"Kami tak akan pergi sebelum dapat mera-
sakan itu mu. He, he, he!"
"Kurang ajar! Hiat....!"
Tanpa membuang waktu, Ningrum yang
sudah jengkel segera berkelebat menyerang keti-
ganya. Namun mereka yang diserang malah gan-
da tertawa, bahkan tangan mereka di samping
menangkis sekali-kali mencolek nakal barang mi-
lik Ningrum yang rawan. Tak ayal lagi Ningrum
seketika mencak-mencak. Tangan mereka me-
mang kurang ajar, asal colek saja, menjadikan
dua buah gunung milik Ningrum meregang bang-
kit bagaikan gunung hendak meletus.
Gerakan-gerakan tangan mereka meremas
buah dada Ningrum sungguh mampu membuat
Ningrum kalang kabut tak dapat menyadarkan di-
ri. Entah apa yang ada di tangan ketiganya, yang jelas Ningrum merasakan
getaran-getaran aneh di
hatinya manakala tangan mereka menjamah dan
mencolek buah dadanya. Dan manakala tangan
mereka kembali mencolek Ningrum hanya mampu
mendesah panjang.
"Ooooh..."
"Bagaimana, Nona" Enak bukan?"
Suara Hantu tak berkumis tak didengar-
nya, kini Ningrum telah terbawa oleh perasaan
dan khayalan yang indah setiap kali tangan me-
reka mencolek buah dadanya. Akhirnya Ningrum
pun terkulai lemas, tak mampu pertahankan di-
rinya yang sudah terserang panas dingin akibat
colak-colek tak bertanggung jawab dari ketiga
Hantu Kelangit. Tubuh Ningrum akhirnya terku-
lai, jatuh dengan segenap nafsu yang menggebu-
gebu di hatinya.
Tak dapat lagi Ningrum ingatkan dirinya,
yang ada dalam benaknya hanya kepuasan untuk
memenuhi segala dahaga yang kini melanda di-
rinya. Dan manakala satu persatu dari ketiga
Hantu Kelangit mengkoyak-koyak kehormatan-
nya, Ningrum hanya sekali menjerit yang akhir-
nya mengeluh panjang pingsan.
* * * Ningrum tersadar dari pingsannya, lalu se-
ketika itu ia menjerit manakala mendapatkan
keadaan dirinya. Pakaiannya mosak masik tak
karuan, berhamburan ke sana ke mari.
Menyadari keadaan dirinya, dan manakala
melihat percikan darah dari miliknya seketika
Ningrum menjerit, lalu berlari entah ke mana se-
telah kembali mengenakan pakaiannya. Hatinya
hancur berantakan, seperti puing-puing kehorma-
tannya yang terkoyak-koyak
"Setan! Mereka harus menerima hukuman-
ku! Hu, hu, hu....!"
Ningrum terus berlari dan menangis, mera-
tapi segala apa yang telah terjadi pada dirinya.
Karena hatinya gundah, Ningrum tak hiraukan ke
mana ia melangkah. Ia begitu malu pada dirinya
sendiri. Ia juga dendam pada orang-orang yang telah membuat dirinya harus
menanggung beban
mental. Namun untuk melakukan balas dendam,
sungguh ia tak akan mampu. Dan bagaimana
nanti kalau ayah serta ibunya mendengar, atau
mengetahui keadaan dirinya" Niscaya kedua
orang tuanyalah yang akan mendapat malu.
Pikiran Ningrum kini putek, tak tahu harus
bagaimana. Bayangan yang ada dalam hatinya
hanya satu, lebih baik mati daripada harus me-
nanggung malu dan aib. Maka manakala dilihat-
nya jurang menganga, tanpa pikir panjang lagi
Ningrum segera lemparkan tubuhnya ke bawah.
Namun segala Kodrat bukan berada di tangan
manusia, tapi Tuhanlah yang berwenang. Dikare-
nakan Tuhan belum menghendaki Ningrum mati,
tiba-tiba sesosok bayangan tua berkelebat me-
nangkap tubuh Ningrum yang melayang dan
membawanya entah ke mana. Begitulah keadaan
Ningrum, yang kini menjadi seorang pendekar
wanita, yang mengaku-aku sebagai Penguasa Bu-
kit Karang Bolong.
6 Pertarungan Ningrum melawan ketiga
orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya
terus berlanjut. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang sudah tahu siapa adanya
Ningrum, kini tak dapat
meremehkannya. Ningrum sekarang bukanlah
Ningrum yang tiga tahun lalu mereka perdayai
dan mereka buat pemuas nafsu, tapi Ningrum se-
karang adalah Ningrum yang memiliki ilmu tinggi
juga dititisi oleh Nyi Lanjut Ayu atau Penguasa
Bukit Karang Bolong.
"Karena kalian telah tahu siapa adanya di-
riku, maka kalian harus mati secepatnya. Hiat...!"
Ningrum kini makin tampak garang, menyerang
dengan serangan-serangan yang sukar untuk di-
ikuti oleh mata ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Awas pukulan maut!" Hantu Kelangit Kumis Putih berseru memperingati pada kedua
adiknya manakala sebuah hantaman menyerang
ke arah mereka. Secepat kilat kedua adiknya ber-
kelebat, lemparkan tubuh mereka menghindari
serangan. "Bangsat! Kalian rupanya ingin main-main,
hiat...!" Ningrum nampak sewot merasa serangannya luput. Kembali ia menyerang,
kali ini se- rangannya begitu cepat. Dan untuk kedua kalinya
ketiga Hantu Dari Kelangit lemparkan tubuh me-
reka menghindar. Mereka tak mampu untuk
membalik menyerang, hanya dapat mengelak itu
pun beruntung. Sebab serangan yang dilancarkan
Ningrum bukanlah serangan kelas kecoa yang
mudah dipapaki atau dihindarkan. Kalau mereka
salah menghindar, tak ayal tubuh mereka akan
remuk saling bentur.
"Kenapa kau begitu bernafsu hendak
membunuh kami yang telah memberikan kepua-
san padamu?" Hantu Kumis Hitam mencoba
mengalihkan amarah Ningrum dengan berusaha
mengingatkan Ningrum pada kejadian tiga tahun
lalu. Namun ternyata Ningrum bahkan makin
menggeretak penuh amarah.
"Bangsat! Kalian tak akan hidup lebih lama
lagi. Terimalah ini. Racun Kelabang Ungu, hiat...!"
Tersentak kaget ketiganya demi mendengar
seruan Ningrum menyebutkan nama ajian yang
sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Namun untuk berpikir lebih jauh mereka
tak memiliki waktu, sebab ajian tersebut telah
melaju dengan cepatnya mengancam jiwa mereka.
Serta merta ketiganya melompat menghindar,
namun tak urung salah seorang dari ketiganya
yang bernama Hantu Kumis Hitam terhantam
pukulan tersebut. Tanpa ampun lagi, sesaat tu-
buh Hantu Kumis Hitam menggelepar-gelepar
dengan tubuh biru dan akhirnya diam mati. Dari
tubuhnya seketika keluar nanah biru, yang diser-
tai oleh tumbuhnya jelentik-jelentik yang merayap ke luar dari tubuh Hantu Kumis
Hitam. Sungguh sangat menjijikkan. Jelentik-jelentik itu begitu ganas, menggigiti daging Hantu
Kumis Hitam sampai akhirnya membusuk berantakan.
"Iblis laknat! Kau telah membunuh sauda-
raku, maka kau pun harus mati di tangan kami!"
menggeretak penuh kemarahan Hantu Tak ber-
kumis. Tanpa pikir panjang Hantu Tak berkumis
segera nekad menyerang Ningrum. Diserang begi-
tu rupa menjadikan Ningrum tergelak lawa. Maka
dengan kembali hantamkan ajian Racun Kelabang
Ungu, Ningrum papaki serangan Hantu Tak ber-
kumis. Tak ayal lagi...!
"Hiaat...! Terimalah kematianmu!"
"Crooot....!"
"Aaaaahh...!"
Sebuah cairan ungu menyerang tubuh
Hantu Tanpa Kumis. Seketika tubuh Hantu Tan-
pa Kumis menggelepar-gelepar, seperti apa yang
dialami oleh kakak seperguruannya. Dan seperti
Hantu Kumis Hitam, Hantu Tak Berkumis pun
akhirnya mati dengan keadaan serupa. Melihat
hal itu serta merta Hantu Kumis Putih lari, tinggalkan Ningrum yang masih
bergelak tawa. Tapi
baru saja ia beranjak, sebuah cairan ungu telah
lebih dahulu hentikan langkahnya.
"Aaaaahhh...!"
Sesaat Hantu Kumis Putih menjerit, lalu
akhirnya seperti keadaan adik-adik seperguruan-
nya ia pun menjadi busuk dengan jentik-jentik
keluar dari tubuhnya. Tak berapa lama kemudian
tubuhnya hancur dengan daging kerompong ha-
bis termakan jentik-jentik tersebut.
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasan dariku
bagi orang-orang mata keranjang! Kini aku belum
puas, bila aku belum dapat menjadikan diriku
sebagai Ratu dunia persilatan. Akan aku bikin
dunia ini sebagai ajang cita-citaku. Kakang Datuk Raja Karang, cita-citamu untuk
menguasai dunia
persilatan akan segera terlaksana. Kini aku den-
gan menyatu pada tubuh gadis ini akan mampu
membuat dunia ini takluk padaku."
Tengah Ningrum tertawa bergelak-gelak, ti-
ba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba telah berdiri di hadapannya.
Lelaki tersebut sungguh aneh keadaannya. Walau ia masih muda,
namun rambutnya telah ubanan. Dialah Setan
Berambut putih!
"Siapa kau!" bentak lelaki muda berpa-
kaian serba merah dan rambut yang sudah putih
seluruhnya padahal masih muda pada Ningrum
yang segera hentikan tawanya dan menatap pada
orang yang bertanya.
"Siapa pula kau adanya, orang aneh?" balik bertanya Ningrum, demi melihat pemuda
di hadapannya yang berkeadaan fisik aneh. "Kau masih muda, namun rambutmu sudah
memutih semua." "Ditanya malah balik bertanya," rengut Setan Rambut Putih
kerutkan kening. "Aku yang je-
lek ini bernama Setan Rambut Putih."
"Hi, hi, hi...! Kau mengakui sendiri bahwa
kau jelek. Namaku Dewi Lanjut Ayu atau Pengua-
sa Bukit Karang Bolong."
Mengerutkan kening Setan Rambut Putih
demi mendengar orang di hadapannya menye-
butkan dirinya. Hati Setan Rambut Putih tak per-
caya. Bagaimana mungkin Dewi Lanjut Ayu yang
dikabarkan telah mati kini muncul kembali di
dunia persilatan" Rasanya tak masuk di akal.
Dan menurut apa yang ia dengar, Dewi Lanjut
Ayu memang ayu, tapi tidak seperti gadis di ha-
dapannya. Gadis di hadapannya mempunyai se-
buah ciri, yaitu di janggutnya tumbuh tahi lalat yang makin menambah
kecantikannya. "Aku tak percaya kalau kau Dewi Lanjut
Ayu. Kalau kau benar Dewi Lanjut Ayu, mana
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin engkau membunuh orang-orang yang
masih segolongan dengan dirimu?"
"Yang engkau maksud Tiga Hantu Dari Ke-
langit?" balik bertanya Ningrum, yang diangguki oleh Setan Rambut Putih. Ningrum
seketika cekikikkan. "Memang ia adalah segolongan dengan suamiku, tapi mereka
memang harus dibunuh!"
"Mengapa kau membunuh mereka?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Karena mereka adalah musuh-musuhku,"
jawab Setan Berambut Putih penuh selidik.
"Hi, hi, hi... kau marah kalau musuhmu
aku bunuh?"
"Bukan begitu. Mereka telah membuat aku
harus mengalami keadaan begini. Rambutku
memutih, itu karena ulah mereka. Maka itu aku
sebenarnya ingin membalas pada ketiganya, tapi
ternyata kau telah mendahuluiku," Setan Rambut Putih menceritakan apa yang
menjadi sebab dirinya harus berurusan dengan Serangkai Hantu
Dari Kelangitan. Sementara Ningrum hanya ter-
senyum-senyum saja mendengar, dengan sekali-
kali cekikikkan bagai melihat kelucuan.
"Setan Rambut Putih, maukah engkau ber-
gabung denganku?"
"Bergabung denganmu" Untuk apa?" Setan Rambut Putih bertanya, nadanya tak yakin
bila Ningrum memiliki ilmu yang cukup diandalkan.
Memang Ningrum mampu mengalahkan
Serangkai Hantu Dari Kelangit, tapi belum tentu Ningrum akan mampu menghadapi
dirinya, begitulah apa yang tersirat di hati Setan Rambut Pu-
tih. "Kalau kau memang berilmu tinggi, aku ba-ru mau bergabung denganmu."
"Hem, rupanya kau belum yakin! Percuma
aku dijuluki Penguasa Bukit Karang Bolong bila
tak memiliki ilmu yang dapat diandalkan! Kau
mau mencobanya...?"
"Tentu! Aku tak mau kalau sekutuku
hanya orang yang berilmu picisan macam ilmu
kecoak!" Setan Rambut Putih senyumkan bibir, sepertinya di balik senyum itu
tergambar kesom-bongan. Ya, ia merasa bahwa ilmunya saat ini be-
lum ada yang menandingi. Setan Rambut Putih
belum tahu bahwa sebenarnya saat itu ada seo-
rang pendekar seusianya yang ilmunya jauh lebih
tinggi satu atau dua tingkat dibandingkan dengan yang ia miliki Pendekar muda
tersebut tak lain
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Seorang pendekar yang namanya akhir-akhir
ini menjadi bahan pembicaraan para pendekar di
tanah Jawa sebelah Barat.
"Berapa jurus yang engkau mau, Setan
Ubanan?" "Sepuluh jurus! Kalau dalam sepuluh jurus
kau tak mampu menjatuhkan diriku, maka aku
tak akan mau menjadi sekutumu," jawab Setan Rambut Putih dengan sombongnya. Ia
merasa bahwa Ningrum tak akan mampu menghadapi-
nya, apalagi dalam waktu sepuluh jurus. Setan
Rambut Putih tidak ingat bahwa di atas segalanya masih ada yang lebih berkuasa
yaitu nasib yang
telah ditentukan oleh Yang Maha Wenang. Ia juga
tak tahu kalau dengan penyatuan Ningrum den-
gan Dewi Lanjut Ayu akan menghasilkan sebuah
kekuatan yang dahsyat.
"Tak terlalu lama itu, Setan Ubanan?"
Terbelalak mata Setan Rambut Putih demi
mendengar pertanyaan Ningrum yang dirasa
sombong. Seketika hatinya membatin, "Sombong!
Ia mengira aku seperti tiga orang yang telah menjadi bangkai itu. Hem, akan aku
coba jajaki il-
munya." "Baik, dalam lima jurus!"
"Hi, hi, hi.....! Bagus! Kau sudah siap, Setan Ubanan?"
"Pertanyaan itu seharusnya aku yang ber-
tanya. Tapi tak apalah. Siapapun yang bertanya
tak menjadi soal, yang jelas mari kita buktikan
siapa yang kuat. Bila ternyata dalam lima jurus.
aku kalah, maka aku akan menjadi sekutumu.
Tapi bila kau yang kalah, maka kau harus mau
menjadi istriku."
"Hi, hi, hi...!" Ningrum cekikikan. "Sama sa-ja! Menang ataupun kalah, kita akan
menjadi sa- tu juga. Aku pun mencintaimu."
Senyum Setan Rambut Putih seketika
mengembang demi mendengar penuturan Nin-
grum. Hatinya berbunga-bunga, berdetak ken-
cang laksana didera oleh letupan-letupan kecil
yang mengajak matanya untuk melekatkan pan-
dangannya ke wajah Ningrum. Sama halnya den-
gan, Setan Rambut Putih. Ningrum pun yang
mengetahui bahwa hatinya juga telah terkait oleh si Setan memanahkan matanya
memandang tanpa kedip ke arah Setan Rambut Putih.
"Hai, apakah kita akan seterusnya saling
pandang?" tiba-tiba Setan Rambut Putih ber-
tanya, menjadikan Ningrum tersipu-sipu. "Ayolah.
Walaupun kita sehati, namun perjanjian kita ha-
rus kita laksanakan."
"Hi, hi, hi...! Baiklah! Memang hal itu sangat perlu bagi kita untuk menentukan
kebera- daan ilmu kita, mari kita main-main!"
Kedua muda mudi yang sudah terpaut ha-
tinya lewat pandangan mata itu pun akhirnya
berkelebat saling serang. Mereka tak ingin men-
dapatkan kekasihnya berilmu di bawahnya, den-
gan kata lain mereka ingin menunjukkan kebera-
daan mereka di dunia persilatan. Walau mereka
mengatakannya hanya main-main, namun jurus-
jurus yang mereka keluarkan sungguh jurus-
jurus benar-benar. Apalagi mereka kini nampak
mengeluarkan jurus-jurus simpanan mereka. Tu-
buh mereka seketika raib bersamaan dengan ge-
rakan mereka yang begitu cepat.
"Awas, Setan Rambut Putih! Terimalah se-
rangan!" pekik Ningrum berusaha memperin-
gatkan kepada orang yang telah mampu menggu-
rat hatinya. "Kau pun hati-hatilah, Dewi!"
Keduanya seketika melayang bagaikan ter-
bang, dan...! "Sett... Duar...!"
Dua tangan yang menyalurkan tenaga da-
lam bertemu, mengadu kekuatan yang dimili-
kinya. Ledakan dahsyat seketika menggema, lalu
diikuti oleh melayangnya dua tubuh tertolak ke
belakang. Tapi bagaikan enteng saja tubuh mere-
ka kembali tegak berdiri. Keduanya saling lem-
parkan senyum dan kemudian gelak tawa pun
mendera dari mulut keduanya. "Kau hebat, Dewi!"
"Kau juga, Setan Ubanan!" Keduanya saling sanjung tentang ilmu yang mereka
miliki, lalu dengan penuh kemesraan keduanya saling meme-
luk. Keduanya kemudian berjalan bareng, ting-
galkan tempat itu entah ke mana.
7 Dengan menyatunya Setan Berambut Putih
dengan Ningrum yang telah dititisi Dewi Lanjut
Ayu, maka makin kokohlah keadaan Bukit Ka-
rang Bolong! Bukit angker tersebut makin ber-
tambah angker saja untuk dijejakan kaki manu-
sia. Banyak korban berjatuhan, mereka pada
umumnya adalah orang-orang yang hendak mela-
kukan pencarian sebuah kitab dan senjata yang
sempat menggegerkan dunia persilatan setengah
abad yang lalu. Kitab dan senjata pedang tersebut adalah kitab Pedang Pencabut
Nyawa dan Pedang
Mata Malaikat. Kebesaran nama Dewi Lanjut Ayu dan Se-
tan Berambut Putih seketika membumbung tinggi
bagi para tokoh golongan sesat. Sepak terjang mereka sungguh membuat para tokoh
golongan se- sat merasa lapang dada karena merasa ada yang
memihak. Namun sebaliknya dengan para tokoh
golongan lurus dan rakyat, mereka seketika ba-
gaikan dicekam oleh bayang-bayang maut yang
setiap saat siap mencekik mereka.
Sepak terjang kedua muda mudi yang me-
namakan dirinya Sejoli Raja dan Ratu Penguasa
Bukit Karang Bolong, tak luput dari pendengaran
Pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Jaka merasa prihatin den-
gan keadaan dunia persilatan di wilayah Timur
yang sudah menghadapi ambang kehancuran ba-
gi para pendekar aliran lurus, sebab nampaknya
dengan munculnya dua muda mudi yang telah
mengikat diri menjadi satu.
"Sungguh tak dapat dibiarkan hal ini berla-
rut-larut," Jaka menggumam sendiri sambil berjalan menyusuri jalanan setapak di
kaki gunung Kencana. "Kalau tidak dihentikan, wah apa yang akan terjadi di dunia persilatan
khususnya di wilayah Wetan."
Jaka terus melangkahkan kakinya, dengan
sekali-kali bersiul untuk menghibur diri. Manaka-la dia tengah berjalan dengan
santai, tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki kuda
yang berjumlah banyak. Sesaat Jaka kerutkan
kening, lalu dengan sekali lebat ia pun menghi-
lang di balik semak-semak.
"Tampaknya ada beberapa orang penung-
gang kuda menuju ke arah sini," gumam Jaka
yang telah bersembunyi di balik rerumputan yang
tinggi. Matanya mengintip dari balik cela-cela
rumput, memandang tak berkedip ke arah da-
tangnya suara tersebut. Tiba-tiba Jaka seketika
dikagetkan oleh desisan dan koakan suara ular
dan burung yang tengah bertarung di dekatnya.
"Setan! Mana bisa aku tenang bila harus menghadapi kalian yang ribut!" gerutu
Jaka sewot pada kedua binatang yang tengah bertarung itu.
Tapi binatang-binatang tersebut mana mau
tahu kemarahan Jaka yang merasa terusik sem-
bunyi. Keduanya terus bertarung, makin lama
makin seru, menjadikan Jaka akhirnya tertarik
juga. Maka tanpa hiraukan lagi pada derap kaki
kuda yang makin seru kedengarannya Jaka asyik
menonton pertarungan dua hewan tersebut. Bu-
rung Elang itu sesaat menukik, lalu menyambar
dan mematuk kepala ular Sanca. Ular Sanca itu
pun tak mau mengalah begitu saja ia egoskan ke-
palanya menghindar lalu lemparkan ekor meng-
hantam ke arah burung Elang. Melihat hal itu Ja-
ka seketika bergumam sendiri, dan bagaikan
orang gila mengikuti gerakan-gerakan yang diper-
lihatkan oleh dua hewan yang tengah bertarung.
"Hebat! Ayo Elang, serang lagi!" serunya bagaikan anak kecil mendapatkan
permainan. "Hei Sanca, kenapa kau tidak membalas!"
Bila burung Elang itu mengepakkan
sayapnya, segera Jaka pun membuka tangannya
meniru. Lalu setelah burung Elang itu menukik
dan menggerakkan kakinya seperti hendak men-
cakar Jaka pun segera mengangkat kakinya se-
buah dan ditendangkan kakinya. Sungguh dah-
syat hasil yang diperoleh, ternyata tendangan kakinya jauh melebihi apa yang
dibayangkan. Ketika kaki kanan Jaka menirukan gerakan kaki burung
Elang, terdengar ledakan dahsyat manakala angin
tendangan kakinya menghantam pepohonan. Tak
ayal lagi, pohon yang terkena ambruk dengan ba-
tang berantakan. Jaka segera melompat manaka-
la pohon tersebut tumbang hendak menjatuhi di-
rinya. "Pohon sialan! Hampir saja menjatuhi aku!"
Jaka segera melompat maju lagi melihat perkela-
hian dua binatang yang nampaknya acuh pada
kedatangannya. Kini Sanca itu yang menyerang,
dan Jaka pun kini mengikuti gerakan-gerakan
ular Sanca dalam menghindar dan menyerang.
"Oh, hebat! Ayo kawan, serang si Elang!"
sambil berteriak-teriak Jaka terus mengikuti ge-
rakan-gerakan sang Ular. Tangannya membentuk
kepala, mulutnya mendesis bersamaan dengan
gerakan tangannya mematuk-matuk. "Oh, inikah gerakan Sanca Mematuk Elang. Dan
tadi adalah jurus Elang menyambar Sanca. Hem, sungguh ju-
rus-jurus dahsyat!" gumam Jaka lirih.
Kembali Jaka mengulang dan mengulang
apa yang telah ia lihat dan pelajari dari kedua
hewan tersebut. Makin lama gerakan-gerakan Ja-
ka makin kencang, sehingga sukar untuk diikuti
oleh mata. Jaka tak mengetahui bahwa gerakan-
gerakannya yang meniru gerakan kedua binatang
tersebut kini dalam pengawasan sepuluh pasang
mata yang bertengger di atas kuda mereka mas-
ing-masing. Jaka tersentak kaget manakala ter-
dengar seruan seseorang dari kesepuluh orang di
atas kuda. "Ki Sanak! Tengah apakah engkau di situ?"
Jaka segera hentikan gerakannya, lalu diputar
tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara
tersebut. Dilihatnya wajah kesepuluh orang ben-
gis, sepertinya mereka bukan orang baik-baik.
Jaka yang tingkahnya dilihat oleh mereka seketi-
ka garuk-garuk kepala, yang merupakan ciri
khasnya bila merasa malu. Melihat Jaka masih
cengar cengir tak menjawab, kembali orang yang
berada di depan di antara kesepuluh orang terse-
but berkata.
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Sanak, apakah engkau tuli?"
"Aku tuli...?" Jaka mengulang bertanya.
"Ah, aku rasa aku tak tuli. Mungkin kalianlah yang congean!"
"Bangsat! Ditanya baik-baik malah menja-
wab yang bukan-bukan! Dasar anak muda edan!"
"Apa..." Kalian edan!?" seru Jaka konyol.
"Pantas! Pantas kalau wajah-wajah kalian kaya orang edan, eh tak tahunya memang
edan bene-ran!" "Kunyuk! Ke sini kau, Anak Edan!"
Tanpa banyak pikir lagi Jaka segera me-
lompati semak-semak dan berdiri menghampiri
mereka. Mereka seketika tersentak, manakala se-
cara cepat Jaka melompat dan tahu-tahu telah
berdiri tak jauh dan mereka, padahal jarak yang
tadi ditempuh oleh Jaka cukup jauh ada kira-kira dua puluh tombak.
Jaka cengengesan bagaikan orang tolol, la-
lu dengan masih senyum-senyum Jaka pun ber-
kata: "Kau bilang aku edan! Wah, kau salah besar! Aku tidak edan, cuma Ndableg.
Ha, ha, ha....!" Tawa Jaka seketika melengking, menjadikan kesepuluh orang penunggang
kuda itu ter- sentak. Kuda-kuda mereka seketika meringkik ke-
takutan bagaikan mendengar suara setan. Kuda-
kuda itu akhirnya serabutan lari, meninggalkan
tuannya yang jatuh terjengkang dengan pantat te-
rasa sakit membentur tanah.
Kembali Jaka gandakan tawa melihat ke-
sepuluh orang itu meringis menahan sakit yang
mendera pantatnya akibat jatuh dari kuda-kuda
yang mereka tunggangi, yang entah ke mana la-
rinya karena ketakutan mendengar suara tawa
Jaka. "Diam! Tidak lucu!" bentak seorang dari mereka yang tadi telah menanya
Jaka. Dengan agak pura-pura merengut Jaka pun menurut di-
am. "Kenapa kalian marah-marah" Apakah aku berdosa bila tertawa" Bukankah
tertawa itu bebas?" tanya Jaka konyol. "Kalau kalian melarang aku tertawa,
pantas kalian nampak tua."
Betapa gusarnya kesepuluh orang tersebut
demi mendengar celotehan Jaka yang bagaikan
orang tolol. Mata mereka melotot marah, gigi-gigi mereka saling beradu
menggeretuk menahan ke-kesalan.
"Anak edan! Siapa kau sebenarnya" Jan-
gan kau mati tak bernama akibat ulahmu berani
menghina anak buah Penguasa Bukit Karang Bo-
long!" Mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong disebut-sebut, Jaka seketika
gandakan tawa bukannya takut seperti orang-orang lainnya.
Hal itu menjadikan kesepuluh orang anggota Pen-
guasa Bukit Karang Bolong terbelalak kaget se-
raya kerutkan kening heran.
"Pantas, pantas! Ternyata wajah-wajah ka-
lian semuanya persis dengan monyet! Ternyata
kalian anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong!
Apa kabar dengan pimpinan kalian?" ucapan Ja-ka sepertinya mengandung
persahabatan, menja-
dikan kesepuluh anggota Penguasa Bukit Karang
Bolong makin tidak mengerti. Kesepuluh orang
tersebut menatap lekat-lekat pada Jaka dengan
segala tanda tanya di hati mereka seraya bangkit berdiri. "Nadamu sungguh
bersahabat. Siapakah engkau adanya?" tanya ketua rombongan itu kini dengan suara
melembut "Aku.." Aku sahabat pimpinan kalian!
Sampaikan salamku untuk kedua pimpinan ka-
lian bila kalian kelak bertemu. Katakan pada ke-
duanya bahwa aku Si Penjelajah Jagad mengu-
capkan selamat dan menyampaikan salam. Kata-
kan pula, bahwa mereka diharap sabar menung-
gu kedatanganku," Jaka berkata berbohong, namun kesepuluh orang anak buah
Penguasa Bukit Karang Bolong seperti percaya saja. "Nah, sekarang juga kalian minggat dari sini
dan kembali temui kedua pimpinan kalian!"
"Tidak bisa begitu, Ki Sanak. Kami saat ini tengah mengemban tugas dari pimpinan
kami." "Tugas..." Tugas apa?" tanya Jaka ingin ta-hu. Sesaat kesepuluh orang tersebut
saling pan- dang, sepertinya mereka hendak mencari kesepa-
katan bagaimana sebaiknya. Setelah kesepuluh-
orang tersebut berbuat begitu, salah seorang yang orang-orang tadi juga berkata:
"Kami diutus untuk mencari orang yang bernama Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Tersentak Jaka demi mendengar namanya
disebut-sebut. Namun segera ia berusaha me-
nyembunyikan kekagetannya, lalu dengan pura-
pura tak tahu siapa adanya dirinya Jaka pun
kembali bertanya pada mereka: "Ada keperluan apa kalian mencari Pendekar yang
sudah kesohor itu" Bukankah kalian akan mengalami kebina-
saan apabila menghadapi pendekar yang suka
usilan dan ingin menegakkan kebenaran serta
keadilan di dunia ini?"
"Kami diutus untuk menyampaikan surat
undangan," jawab orang tadi. "Apakah Ki Sanak tahu di mana pendekar tersebut
berada?" Jaka kembali terdiam mikir, "Bagaimana
akalku. Hem, bagaimana kalau aku minta saja
surat tersebut dan pura-pura hendak menyam-
paikannya pada orang yang mereka maksud" Be-
runtung mereka tidak mengenali siapa adanya di-
riku." "Baiklah, Ki Sanak. Aku akan membantu kalian untuk menyampaikan surat
tersebut pada Pendekar Pedang siluman Darah. Nah, serahkan-
lah surat itu padaku dan segeralah kembali ke
Bukit Karang Bolong. Jangan lupa, sampaikan sa-
lam dariku, Si Penjelajah Jagad."
Mendengar ucapan Jaka, nampak kera-
guan menyelimuti wajah kesepuluh orang anak
buah Penguasa Bukit Karang Bolong yang kemba-
li menatap lekat-lekat ke wajah Jaka. Mata mere-
ka yang garang, sepertinya ingin mengorek siapa
sebenarnya orang yang mengaku Si Penjelajah
Jagad. Seorang pendekar aneh, walau pun masih
muda tapi berilmu tinggi dengan segala tingkah
polahnya yang bagaikan orang tolol. Mereka me-
mang tidak mengerti siapa adanya orang yang
tengah berdiri di hadapannya, orang yang sebe-
narnya tengah mereka cari,
"Bagaimana" Apakah kalian masih kurang
percaya?" tanya Jaka manakala melihat kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit
Karang Bo- long masih diam memikir. "Kalau kalian tak percaya, ya sudah. Aku tak memaksa,
dan silahkan kalian cari sendiri adanya pendekar muda terse-
but. Jangankan kalian dapat memberikan surat
tersebut, untuk hidup pun kalian tak mampu
apabila pendekar tersebut telah mengetahui siapa adanya kalian. Tapi jika aku...
pasti pendekar tersebut tak akan berani. Ha, ha, ha...! Kalian tahu sendiri
kehebatan suara tawaku bukan" Inilah
suara tawa Iblis Marakayangan pesta!"
Mendengar keterangan Jaka yang ngibul,
mereka seketika agak takut juga. Kalau memang
benar pendekar muda tersebut berbuat demikian,
sungguh mereka tak akan ada artinya. Rasa takut
akan apa yang dikatakan Jaka, menjadikan kese-
puluh orang tersebut akhirnya mau menyerahkan
surat tersebut.
"Baiklah, baiklah! Aku pun merasakan de-
mikian. Kabarnya memang pendekar muda itu
tak kenal kompromi dengan orang-orang aliran
sesat. Kami jadi ngeri sendiri. Untuk itu, kami
dengan amat sangat agar Ki Sanak Penjelajah Ja-
gat sudi menyampaikan surat ini pada Jaka
Ndableg." Disodorkan surat yang ditulis di atas kain pada Jaka yang menerimanya
dengan senyum-senyum "Kena juga mereka aku akali. Hem, dengan begini aku tak
akan mudah dikenali oleh
orang-orang yang memang mencari-cari diriku.
Dasar orang-orang songong, mereka tak mengena-
li siapa adanya diriku. He, he, he...!" gumam hati Jaka penuh ketenangan, sebab
merasa dirinya belum dikenali oleh orang-orang persilatan wi-
layah Wetan. "Kami minta tolong pada Ki Sanak," kembali pimpinan kesepuluh orang utusan
Penguasa Bukit Karang Bolong berkata, yang hanya diang-
guki oleh Jaka. Setelah kesemuanya menjura, se-
gera kesepuluh orang tersebut berkelebat me-
ninggalkan Jaka yang hanya tersenyum-senyum
sembari geleng-gelengkan kepala seraya tak henti-hentinya bergumam: "Hem, dasar
orang-orang bodoh. Mana mau sih orang belum kenal diperin-
tah" Oh, coba aku lihat apa isi surat yang untuk-ku." Perlahan-lahan Jaka
membuka gulungan
kain yang diserahkan orang-orang Bukit Karang
Bolong padanya, lalu dengan perlahan pula diba-
canya isi surat tersebut.
"Hem, mereka mengira aku tak tahu siapa-
siapa adanya mereka sehingga mereka hendak,
mengelabui diriku. Tapi apa sih maunya" Ah, bi-
arlah aku turuti saja apa kemauan mereka men-
gundang para tokoh persilatan serta menawarkan
padaku sebagai sahabat. Huh, enak, saja menga-
jak aku sebagai sahabat.... Sahabat memang un-
tuk dicari, tapi bila keadaan mereka begitu...
sungguh bukan bersahabat lagi."
Jaka seketika kembali tercenung, memikir-
kan jalan apa yang harus ia tempuh untuk me-
nyelesaikan keberadaan mereka sebagai Raja dan
Ratu. "Aku harus bertindak! Kalau tidak, maka kehancuran akan dialami oleh para
pendekar!"
Setelah berkata begitu dan membuang gu-
lungan kain yang sudah dibacanya, segera Jaka
pun berkelebat pergi tinggalkan tempat tersebut
lari menuju arah yang tadi ditempuh oleh orang-
orang Karang Bolong.
8 "Kakang Rakini, apakah engkau tak dapat
mengajar muridmu untuk mengerti bahwa yang ia
bunuh adalah murid-muridku?" Darga Buana
nampak sedikit marah. Betapapun ia telah tertan-
tang oleh Penguasa Bukit Karang Bolong yang ti-
dak lain murid kakak seperguruannya, yang telah
berani membunuh ketiga muridnya. Namun Ne-
nek Ratu Kelabang tak mau mengalah begitu saja,
demi dirinya dijadikan beban kesalahan juga mu-
ridnya Ningrum. Ia tahu mengapa Ningrum men-
dendam pada murid kemenakannya, tak lain ka-
rena ketiga murid kemenakannya telah berbuat
yang membuat muridnya menderita lahir dan ba-
tin, terkoyak-koyak keperawanannya yang direng-
gut oleh ketiga murid kemenakannya.
"Kau tak berhak salahkan muridku! Murid-
muridmulah yang salah dalam hal ini, Darga!"
rungut si nenek membela muridnya.
"Kesalahan apa yang telah murid-muridku
lakukan?" "Huh, makanya jangan asal tuduh saja.
Murid-muridmu telah membuat muridku mende-
rita lahir dan batin. Murid-muridmu telah mem-
perkosa muridku!"
"Dusta!" sentak Darga tak mau percaya. Si nenek cibirkan bibirnya yang telah
keriput, mengejek adik seperguruannya yang masih keras ke-
pala. "Kapan aku berdusta, Darga"!"
"Tak mungkin murid-muridku melakukan
hal itu!" Darga masih saja tak mau percaya, membuat si Nenek Kelabang
sunggingkan se-nyumnya yang telah layu oleh usia
"Di depanmu mungkin mereka alim, tapi di
luaran... siapa yang tahu kelakuan mereka" Apa-
kah kau selalu mengawasi mereka, Darga?" tanya si nenek yang kemudian dijawab
olehnya sendiri.
"Kau tidak tahu perbuatan murid-muridmu di luaran bukan" Kalau saja Pramana
mendengar ten- tang perbuatan murid-muridmu, sudah pasti kau
akan terkena hukuman darinya. Jangan-jangan
Pedang Sukma Layung akan membelah tubuhmu
jadi dua. Beruntung muridku tidak menceritakan
aib yang ia alami pada ayahnya."
"Aku tak takut pada Pramana!"
"Hem, kau terlalu sombong! Kau tidak me-
mikir siapa adanya Pramana. Mungkin dengan
Pramana kau tak takut, tapi tidakkah engkau
dengar seorang tokoh persilatan pembela kebena-
ran yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-
rah"! Kalau pendekar tersebut mencium siapa
adanya dirimu, niscaya engkau pun tak akan lu-
put darinya."
Nenek Ratu Kelabang terus berusaha me-
nyadarkan adik seperguruannya agar mau men-
gerti, tapi rupanya angkara murka telah melalap
hati Darga hingga Darga pun tak hiraukan segala
ucapan kakak gurunya.
"Kakang Rakini, mulai sekarang kita bu-
kanlah saudara lagi, tapi kita adalah musuh. Ka-
rena kita musuh, maka aku akan menuntut balas
kematian murid-muridku padamu!"
"Padaku...?" Nenek Ratu Kelabang mengulang tanya sepertinya tak percaya pada apa
yang didengarnya. "Kenapa mesti padaku" Apakah aku yang telah membunuh murid-
muridmu?" "Memang bukan engkau, tapi muridmu."
"Kalau memang bukan aku, mengapa eng-
kau limpahkan padaku" Kalau kau berani dan
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan seorang pengecut, hadapilah muridku di
Karang Bolong sana. Bukankah sebentar lagi kau
akan ke Karang Bolong?"
Mendengar ucapan Ratu Kelabang, maka
mendenguslah Darga marah. Ia memang masih
berpikir akan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh
Penguasa Bukit Karang Bolong, apalagi kini Nin-
grum bukan seorang, tapi berpasangan dengan
Setan Berambut Putih. Menghadapi Ningrum saja
ia belum tentu menang, apalagi harus menghada-
pi Setan Berambut Putih segala. Maka sebagai pe-
lampiasan ketidaktenangan hatinya, Darga cu-
rahkan kemarahannya pada Ratu Kelabang yang
dituduhnya tak bisa menjadi guru yang baik.
"Tapi engkaukan gurunya, bukan?"
"Memang aku gurunya," jawab Nenek Ratu Kelabang tenang. "Kalau aku gurunya, kau
akan mencurahkan segalanya padaku, begitu?"
"Ya!"
"Picik! Kau telah picik, Darga!"
"Terserah apa katamu!" rentak Darga marah. "Baik! Kalau itu yang engkau mau, apa
yang hendak engkau lakukan padaku, Darga!"
Sesaat Darga memandang lekat ke arah
kakak seperguruannya yang masih nampak te-
nang. Hatinya gundah, tak percaya akan apa yang
dihadapi. Ia tahu siapa adanya Nyi Rakini atau
Ratu Kelabang, murid yang paling dimanja oleh
guru mereka dan mendapat seluruh ilmu yang
dimiliki gurunya. Dari dulu memang Darga selalu
membuat gara-gara, namun Rakini berusaha
mengalah karena ia merasa lebih tua. Tapi kini
mungkin tak akan dapat dicegah bahwa perang
saudara seperguruan akan benar-benar terjadi.
Darga mendengus keras, matanya tajam meng-
hunjam bagaikan sebilah pedang yang hendak
menusuk hati Rakini dan mencabut nyawanya.
"Maaf, aku terlebih dahulu meminta maaf
padamu, Kakang."
"Tak usah, Darga. Nah, lakukan apa yang
menjadi kehendakmu!"
Setelah terlebih dahulu menjura hormat,
Darga segera berkelebat menyerang Nenek Ratu
Kelabang. Darga berbuat begitu karena Nenek Ra-
tu Kelabang adalah kakak seperguruannya yang
masih harus ia hormati. Pekikkannya begitu
membahana, hampir menyerupai lengkingan yang
menyayat. Melihat Darga telah berkelebat menye-
rang, segera Nenek Ratu Kelabang pun tak tinggal diam, ia pun segera berkelebat
memapakinya. Dua saudara seperguruan itu akhirnya bertempur
hanya demi membela murid-muridnya. Namun
meski begitu, nampak Nenek Ratu Kelabang tidak
bertarung sungguh-sungguh menghadapi Darga.
Si Nenek rupanya masih mempunyai rasa kasih
pada adik seperguruannya hingga ia tak tega un-
tuk menurunkan tangan jahatnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya,
sepertinya kedua saudara seperguruan yang telah
tua renta itu tak ada yang mau mengalah dan
mengakui kesalahannya. Keduanya terus men-
gumbar jurus-jurus yang hampir sama, sebab ke-
duanya merupakan satu guru, sehingga ilmu
yang mereka miliki berasal dari satu sumber.
Tengah mereka bertarung, tiba-tiba terdengar su-
ara membentak bersamaan dengan berkelebatnya
sesosok tubuh ramping.
"Hentikan!"
"Siapa kau!?" balas Darga membentak.
Tubuh ramping yang rupanya milik seo-
rang wanita tidak segera menjawab pertanyaan
Darga, tapi malah dengan tenangnya menghampi-
ri Nenek Ratu Kelabang sembari sujud.
"Guru, siapa adanya dia?" tanya gadis bercadar hitam tersebut pada Nenek Ratu
Kelabang setelah menyembah. "Mengapa guru harus bertarung dengannya?"
"Dia adik seperguruanku, Ningrum," jawab
Nenek Ratu Kelabang tenang. Suaranya datar,
dingin bagaikan tak mempunyai gairah. "Dia hendak membalas dendam atas kematian
murid- muridnya yang telah engkau bunuh."
Mendengar uraian gurunya, seketika Nin-
grum palingkan wajah memandang pada Darga
yang kini tampak berdiri mematung di tempatnya
dengan muka menunduk. Darga telah tahu siapa
adanya Penguasa Bukit Karang Bolong. Berbeda
dengan gurunya, Penguasa Bukit Karang Bolong
entah dari mana tahu-tahu telah memiliki ilmu
yang sangat tinggi.
"Paman Darga, terimalah salam hormatku,"
Ningrum menjura hormat, menjadikan Darga ter-
bengong-bengong tak mengerti. Ia yang menyang-
ka kalau Ningrum akan balas menyerang ternyata
dugaannya meleset. Darga tidak mengerti apa
yang dilakukan oleh murid kemenakannya mana-
kala ia berbuat begitu. Tiba-tiba...!
Darga tersentak dari ketidakmengertian-
nya, manakala selarik sinar ungu membersit dari
tangan Ningrum. Maka keluarlah caci maki dari
mulut Darga yang sudah jengkel dan marah pada
Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Anak sundel! Memang sifatmu sudah tak
dapat dimaafkan. Aku Darga akan membunuh-
mu!" rungut Darga marah. "Lebih baik aku mati daripada harus mengakui kekalahan
padamu, Anak terkutuk!"
Darga yang telah benar-benar marah sege-
ra berkelebat menyerang Ningrum dan gurunya.
Namun serangan Darga sepertinya tiada arti bagi
Ningrum yang telah bersekutu dengan Dewi Lan-
jut Ayu, Penguasa Bukit Karang Bolong. Seran-
gan-serangan Darga hanya mengenai tempat ko-
song belaka, bahkan tubuh Dargalah yang men-
jadi bulan-bulanan permainan Ningrum. Manaka-
la kaki Ningrum menendang, maka memekiklah
Darga dengan tulang iga patah. Dan manakala
tangan Ningrum menghantam, tak ayal lagi muka
Darga seketika menjadi bubur buruk. Darah ke-
luar dari hidung, telinga, mulut dan mata, menjadikan Darga tak mampu lagi untuk
bangkit. Dar- ga hanya dapat mengerang serta menyumpah se-
rapah segala apa yang telah dilakukan Ningrum.
"Sumpah serapahmu tiada arti, Darga!"
gertak Ningrum sengit.
"Bangsat rendah! Bunuhlah aku, bunuh!"
"Memang aku hendak membunuhmu, tapi
aku ingin melihat dulu sampai di mana ketaba-
hanmu menghadapi maut dengan siksaan seperti
itu," Ningrum sekarang bukanlah Ningrum didikan Pramana ayahnya, tapi Ningrum
didikan dan pengaruh Iblis hingga ia tak mengenal adanya ra-
sa kasihan pada orang yang dianggapnya musuh
walau ia tahu bahwa Darga adalah paman gu-
runya. "Orang-orang sadis! Ternyata para wanita sekarang sudah berubah menjadi
para jagal yang
sadis!" membersit sebuah suara, manakala Ningrum yang tengah menyiksa Darga
hendak men- gakhiri kehidupan Darga. Bersamaan dengan ha-
bisnya suara itu, sesosok tubuh padat berisi berkelebat dan meraup tubuh Darga
yang terkulai. Sesaat pemuda itu sunggingkan senyum pada
Ningrum, lalu dengan suara membersit pemuda
itu kembali berkata: "Apakah kalian tak pernah mengenai belas kasihan pada orang
yang telah sudah tak berdaya" Walaupun orang ini adalah
musuh kalian, tak pantas kalian menyiksanya be-
gini rupa!"
"Anak muda, siapa kau adanya" Mengapa
kau ikut campur dalam urusanku?" Ningrum bertanya seraya masih sunggingkan
senyum yang di-
arahkan pada pemuda tersebut. "Kau tampan,
maka aku tak menyakitimu. Nah, siapa adanya
dirimu, Anak muda?"
Jaka Ndableg garukkan tangan kiri ke ke-
pala, sunggingkan senyum aneh dan kemudian ia
pun berkata setelah memandang orang dalam bo-
pongannya. "Aku..." Aku siapa?"
Hampir saja Ningrum dan gurunya menge-
keh tertawa melihat kelucuan Jaka, namun hal
itu tak dilakukannya karena mereka masih meli-
hat gelagat yang tidak enak pada diri Jaka. Wa-
laupun Jaka seperti orang tolol, namun gerak-
geriknya seperti orang yang berilmu tinggi.
"Ya, engkau?" Ningrum meyakinkannya.
"Aku... ya akulah."
"Lucu tingkahmu, Anak tampan. Masakan
kau tak mengetahui siapa adanya dirimu?" kembali Ningrum berkata, kali ini
matanya mengedip
genit pada Jaka. Dan Jaka yang dasarnya ndableg
tak mau begitu saja menyia-nyiakan kedipan ma-
ta Ningrum, dia pun balas kedipkan mata. Tingga-
lah Nenek Ratu Kelabang bingung melihat murid-
nya dan pemuda bertampang tolol tersebut saling
main mata. "Kau tampan, Anak muda?"
"Ah, sungguhkah?" Jaka merajuk pura-
pura. "Ya, aku jadi suka padamu," Ucapan polos itu mungkin bagi pemuda lain akan
menjadikan debaran-debaran aneh, tapi bagi Jaka yang tak
hiraukan semuanya hanya permainan belaka
yang akan ia buang manakala telah berlalu. "Siapa sih namamu?"
"Namaku... apa perlu?"
"Jelas perlu, Anak muda."
"Ningrum, percuma kau tanyai pemuda to-
lol macam dia," Si nenek yang sudah jemu dengan tingkah laku Jaka berusaha
mengalihkan perha-tian muridnya. Namun Ningrum yang telah terpa-
na oleh ketampanan Jaka bagaikan tak menden-
garnya. Dia masih terus menatap Jaka dengan
pandangan penuh arti, menjadikan Jaka salah
tingkah. "Ah, sudahlah. Bukankah nenekmu sudah
menyuruh kau berlalu?"
"Tapi aku ingin mengenalmu, Anak tam-
pan. Aku mencintaimu."
Jaka menarik napas panjang mendengar
ucapan Ningrum, tapi sebaliknya Nenek Ratu Ke-
labang nampak terbelalak kaget. Hatinya tak se-
tuju bila muridnya harus menjadi kekasih pemu-
da tolol itu. Maka dengan suara tak suka si nenek kembali berkata: "Ah, apakah
kau sudah gila akibat ketularan pemuda itu, Ningrum?"
"Aku belum gila, Nek. Aku cuma ndableg.
Eh, ya namaku Jaka Ndableg. Begitulah orang
menyebutku."
Terbelalak mata kedua guru dan murid se-
telah mengetahui siapa adanya pemuda bertam-
pang konyol tersebut. Sesaat si nenek sikutkan
tangan ke tubuh muridnya, dan dengan segera
keduanya tanpa disadari oleh Jaka berkelebat
tinggalkan Jaka sendirian yang terbengong-
bengong sesaat kemudian berseru.
"Hoi...! Katanya kau cinta padaku, menga-
pa kau lari!"
"Jangan hiraukan dia, Ningrum!" Si nenek memperingatkan muridnya agar terus saja
lari. "Dia akan menyusahkan dirimu kalau tahu siapa adanya dirimu."
"Tapi aku mencintainya, Guru," bantah Ni-hil rum hendak merandek, yang segera
diseret oleh Nenek Kelabang.
"Anak bodoh! Apakah kau hendak mati?"
Ningrum kini menurut, setelah berpikir
akan kebenaran ucapan gurunya. Memang benar,
bila ia akhirnya diketahui oleh Jaka siapa adanya dirinya niscaya Jaka akan
membuat repot. Bukannya ia takut menghadapi Jaka, namun hal itu
belum waktunya. Tapi hati Ningrum tak dapat di-
bohongi, hati kecil mengatakan bahwa ia benar-;
benar mencintai Jaka. Dengan terus berlari ken-
cang Ningrum menggumam dalam hati, gumaman
sebagai seorang yang tengah dilanda gelora cinta.
Ningrum lupa bahwa dirinya telah mempunyai
suami si Setan Rambut Putih.
9 "Anak muda, mengapa kau biarkan kedua-
nya meninggalkanmu?"
"Hai, kau telah sadar. Siapakah engkau
adanya, Ki Sanak?" tanya Jaka mendengar orang dalam bopongannya telah sadar dari
pingsannya. "Dan siapa yang kau maksudkan dengan kedua-
nya" Apakah kedua wanita genit dan liar yang te-
lah menyiksamu sampai engkau berantakan mu-
kanya?" Lelaki itu terdiam sesaat, meraba mukanya
yang terasa nyeri. Darah kering membasahi hi-
dung, mulut, telinga dan matanya. Seketika ia
memekik, "Tidak! Aku tak mau buta!"
Iba juga Jaka mendengar dan melihatnya,
maka dengan suara haru Jaka pun berkata men-
coba menghibur: "Ki Sanak, mungkin sudah kodrat bagimu begitu, terimalah apa
yang telah di- berikan oleh Yang Maha Kuasa. Aku rasa, semua
ini ada hikmahnya"
Tercengang Darga mendengar kata-kata
Jaka. Ia tak menyangka kalau seorang pendekar
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang namanya kondang mempunyai watak yang
terpuji, sabar dan penuh rasa kasih beda dengan
apa yang didengung-dengungkan oleh rekan-
rekannya sealiran yang mengatakan bahwa Pen-
dekar Pedang Siluman Darah berwatak ganas bila
menghadapi tokoh aliran sesat macam dirinya.
Melihat kenyataan tersebut, tanpa sadar Darga
mendesah. "Oh, tak aku sangka."
"Apa yang engkau maksud, Ki Sanak?" Ja-ka menanya ingin mengerti apa yang
dimaksud oleh Darga. Karena menyangka Darga meratapi
segala apa yang diterimanya, segera Jaka kembali berkata: "Janganlah Ki Sanak
meratapi segalanya yang telah terjadi, sebab hal itu akan menjadikan beban
pikiran Ki Sanak sendiri."
"Bukan itu yang aku maksud, Tuan Pende-
kar. Aku merasa telah salah sangka padamu. Ta-
dinya aku hanya mendengar dari sahabat-
sahabatku yang mengatakan bahwa engkau ber-
tingkah telengas, tak mengenai kata ampun bagi
golongan sepertiku."
Jaka tersenyum gelengkan kepala menden-
gar penuturan Darga.
"Tapi kenyataannya sekarang, sungguh
membuat hatiku merasa berdosa. Kau telah
mampu menyadarkan siapa adanya aku sebenar-
nya, yang selama ini telah menyimpang dari sega-
la ketentuan alam dengan kata lain telah sesat.
Oh, sungguh kau telah menjadikan aku sadar.
Kalau boleh aku tahu, masihkah aku diampuni
segala dosa-dosaku?" Darga berkata dengan segenap perasaannya, sehingga tanpa
sadar air ma- tanya meleleh deras membasahi kedua pipinya.
"Dapatkah aku menerima pintu tobat?"
Jaka terdiam hanyut oleh rasa iba yang di-
alunkan lewat kata-kata Darga yang begitu tulus.
Tak disadari air matanya pun turut meleleh. Ya,
Jaka menangis. Dia menangis bahagia, karena
ternyata dirinya telah mampu membuat orang
yang selama hidupnya sesat menjadi sadar. Den-
gan suara tersengal oleh lelehan air mata Jaka
pun menjawab: "Kapan saja engkau mau, Tuhan masih terus membukakan pintu tobat
bagi umat-Nya." "Oh, betapa agungnya hati Tuhan, Tuan Pendekar?"
"Ya. Memang itulah Tuhan. Ia Maha Agung,
Maha Pengasih serta Penyayang. Dibanding den-
gan Tuhan, aku belumlah ada artinya sama seka-
li," Jaka mencoba menghibur Darga. Lamat-lamat dari bibir Darga mengurai senyum,
dan lamat-lamat pula terdengar desah Darga.
"Oh, Tuhanku, sungguh aku selama ini te-
lah menyimpang dari jalan yang Engkau gariskan.
Semoga Engkau berkenan mengampuni diriku.
Tuan Pendekar, mengapa engkau tak segera
menghentikan sepak terjang mereka?"
"Siapa yang engkau maksudkan, Ki Sa-
nak?" tanya Jaka belum mengerti apa yang dimaksud oleh Darga.
"Mereka berdua yang telah menyiksaku.
Mereka salah satunya adanya Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong."
Terbelalak Jaka mendengar keterangan
yang dilontarkan oleh Darga, yang menyebutkan
bahwa salah seorang dari dua orang wanita terse-
but adalah orang yang ia cari. Tapi yang mana..."
"Ki Sanak, yang manakah yang menyebut
dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong?"
"Dia yang muda."
"Yang cantik itu?" tanya Jaka mencoba
meyakinkan. "Kau jangan terpengaruh oleh kecantikan-
nya, Tuan Pendekar. Dia memang cantik, tapi di
balik kecantikannya tersembunyi Iblis. Ketahui-
lah olehmu bahwa gadis yang bernama Ningrum
itu, kini dalam kuasa Iblis Dewi Lanjut Ayu si
Penguasa Bukit Karang Bolong," Darga bercerita panjang lebar, menjadikan Jaka
mengerti siapa sebenarnya Penguasa Bukit Karang Bolong yang
tindakannya sungguh sangat telengas dan tak
kenal kompromi itu. "Dia sebenarnya anak seorang Pendekar sakti beraliran lurus
yang na- manya mungkin sudah Tuan Pendekar dengar.
Pendekar tersebut bernama Pramanayuda..."
"Pramanayuda...!" Hei, bukankah dia pemi-
lik Pedang Sukma Layung yang sudah kesohor
dengan keampuhannya?" Jaka bergumam seper-
tinya gumamannya tersebut ditujukan pada diri
sendiri. "Ya, ya aku mendengar kebesaran namanya. Hem, ternyata di balik semua
bencana yang menimpa wilayah ini adalah seorang Iblis
yang ingin melampiaskan keangkaramurkaan..
Baiklah, Ki Sanak. Kini aku telah mengetahui be-
nar apa yang terjadi dan siapa yang menjadi to-
kohnya. Nah, ke mana aku harus membawa tu-
buhmu untuk sekedar istirahat memulihkan ke-
lemahan tubuhmu?"
"Bawalah aku ke Bukit Kemasan, di sana
adalah tempat temanku tinggal. Dia juga seorang
tabib dari India."
"Baiklah aku akan membawamu ke tempat
tersebut."
Dengan segera Jaka berkelebat sambil
membopong tubuh Darga pergi meninggalkan alas
yang kembali sunyi. Lari Jaka begitu cepat karena dilandasi dengan ilmu lari
Angin Puyuh. Jaka
berbuat begitu karena ia ingin memburu waktu
untuk selekasnya menuju ke Bukit Karang Bo-
long. Merasakan dirinya dibawa bagaikan terbang
saja Darga yang telah buta seketika tersentak dan makin yakin bahwa Pendekar
muda ini memang
bukan pendekar sembarangan. Tiupan angin yang
keluar dari tubuh Jaka, bagaikan prahara topan
yang mampu merobohkan pohon-pohon di sekitar
yang dilaluinya. Tak luput binatang-binatang hu-
tan, berserabutan seperti takut mendengarnya.
* * * Kita tinggalkan Jaka yang membawa tubuh
Darga Buana yang luka-luka menuju ke tempat
Tabib sahabatnya. Marilah kita tengok di tempat
Bukit Karang Bolong di mana Ningrum dan Setan
Rambut Putih mengangkat dirinya menjadi ketu-
anya dengan menyebut diri mereka Penguasa Bu-
kit Karang Bolong.
Bukit Karang Bolong nampak sepi, seper-
tinya mengandung keangkeran yang begitu da-
lam. Muka dua orang penjaga pintu masuk nam-
pak tak berekspresi, dingin dan kaku. Mereka
memang sudah dilatih dengan keadaan demikian,
harus memiliki keberanian dan keangkeran. Me-
reka juga dilatih untuk tidak mengenal belas ka-
sihan atau kompromi dengan orang-orang yang
mereka anggap musuh.
Tengah penjaga pintu masuk tenang dalam
tugasnya, seorang pemuda berkelebat mengham-
piri mereka. Pemuda itu serta merta menerobos
hendak masuk ke dalam wilayah Bukit Karang
Bolong, menjadikan kedua penjaga tersebut sege-
ra menghalanginya dengan silangkan tombak,
dan membentak. "Pemuda tolol, siapa kau!" Dan apa keper-
luanmu datang ke mari" Apakah kau tak tahu di
mana kau kini berada"!"
Pemuda itu hanya tersenyum, lalu dengan
sekali hentak dua tombak di tangan kedua penja-
ga yang menghalanginya patah berantakan. Hal
itu menjadikan kedua penjaga pintu masuk terbe-
lalak matanya kaget. Keduanya tak percaya kalau
pemuda semuda itu mampu memiliki tenaga yang
besar, sehingga dengan mudah tombak yang ter-
buat dari kayu alami yang kuat dan kokoh hanya
sekali gebrak patah berantakan.
"Katakan pada pimpinan kalian, aku Tega-
laras datang! Cepat!"
Kedua orang penjaga itu tersentak membe-
lalakan mata kaget demi mendengar bentakan Te-
galaras yang bagaikan suara petir menggelegar.
Namun belum juga kedua penjaga tersebut
berkata, tiba-tiba terdengar seruan dari dalam:
"Biarkan dia masuk, Penjaga!"
Tanpa hiraukan kedua penjaga yang dalam
keadaan bengong yang disebabkan oleh bentakan
Tegalaras, Tegalaras segera berkelebat langkahi
dua orang tersebut masuk ke dalam. Langkahnya
begitu ringan, boleh dikata terbang. Tahu-tahu
tubuhnya telah melesat, dan berhenti manakala
dilihatnya dua orang muda telah menunggunya.
"Selamat datang Tegalaras," sapa keduanya serempak
Tegalaras tak hiraukan sambutan mereka.
Bibirnya terurai senyum sinis, lalu dengan suara enteng Tegalaras berkata: "Aku
minta kalian tinggalkan tubuh adikku."
Mendengar ucapan Tegalaras, seketika ke-
dua muda mudi yang salah satunya adalah adik-
nya sendiri tertawa bergelak-gelak. Hal ini menjadikan Tegalaras melototkan mata
marah dan jengkel pada yang ia ketahui adalah iblis-iblis
pengganggu adiknya.
"Dewi Lanjut Ayu, tak pantas kau men-
gangkangi tubuh adikku. Segeralah minggat dari
tubuh adikku, atau aku dengan terpaksa mengu-
sirmu!" "Hi, hi, hi...! Tegalaras, lakukan bila kau mampu!"
"Iblis! Jangan kira aku tak mampu, Dewi
iblis. Nah, bersiaplah, hiat...!" Tegalaras segera berkelebat, menyerang dengan
cepat dan disertai
dengan serangan-serangan kilat yang hanya da-
pat dilakukan oleh para Siluman belaka. Namun
Dewi Lanjut Ayu bukanlah tokoh sembarangan.
Sebagai istri dari Datuk Raja Karang ia telah benar-benar digembleng segala ilmu
kanuragan baik oleh gurunya, ayahnya maupun suaminya. Gera-
kan sang Dewi Ayu Lanjut pun tak kalah cepat
dibanding Tegalaras.
Namun rupanya Tegalaras yang memang
telah dididik oleh Bangsa Siluman bukanlah mu-
suh yang enteng bagi Dewi Ayu Lanjut, sehingga
dalam sebentar saja Dewi Ayu lanjut pun dapat
dengan segera didesaknya. Dan manakala ada ke-
sempatan, segera Tegalaras hantamkan ajian Pe-
nyekap Iblis ke tubuh Ningrum yang tengah diku-
asai oleh Dewi Ayu Laras. "Ajian Pelebur Iblis, hiat...!"
"Wuuuut... duar!"
"Aaaaah...!" Tubuh Ningrum gontai, akhirnya ambruk pingsan. Dari tubuhnya keluar
asap mengepul, bergulung-gulung keluar dan memben-
tuk tubuh Dewi Ayu Laras. Melihat hal itu, serta merta Setan Rambut Putih tak
tinggal diam, segera ia menyerang dengan cepat pada Tegalaras
yang dianggapnya telah membuat kerusuhan pa-
da Bukit Karang Bolong wilayah kekuasaannya.
Serangan Setan Rambut Putih ternyata
sangat dahsyat, jauh melebihi ilmu yang dimiliki oleh Ningrum yang bersekutu
dengan Dewi Ayu
Lanjut. Setan Berambut Putih ternyata lebih ting-gi dua atau tiga tingkat
dibandingkan ilmu yang
dimiliki oleh kekasihnya Ningrum atau Dewi Ayu
Lanjut. Nampaklah kini keberadaan Tegalaras,
bahwa ilmunya tak ada guna sama sekali untuk
menghadapi Setan Berambut Putih. Ternyata Se-
tan Berambut Putih bukanlah nama kosong me-
lompong belaka. Terbukti kini dalam beberapa
gebrakan saja Tegalaras yang sudah digembleng
oleh bangsa Siluman mampu didesaknya.
"Bangsat! Aku akan mengadu nyawa den-
ganmu, Iblis Laknat! Kau harus minggat dari du-
nia ini!" bentak Tegalaras yang telah tahu siapa sebenarnya Setan Berambut
Putih. Nah, untuk
mengetahui siapa adanya Setan Berambut Putih,
silahkan anda baca kisah Titisan Penghuni Bukit
Gempol...! "Kau tak akan mampu, Tegalaras! Menye-
rahlah dan ikutlah dengan kami!"
"Jangan hiraukan omongannya, Saudara!"
tiba-tiba sebuah suara yang dilontarkan dari ja-
rak yang agak jauh menggema, menjadikan Setan
Rambut Putih tersentak. Belum juga Setan Ram-
but Putih hilang kagetnya sesosok tubuh berkele-
bat dan tiba-tiba telah berdiri menjejeri Tegalaras.
Pemuda itu tersenyum, lalu dengan menjura
hormat pada Tegalaras pemuda yang tak lain
Pendekar kita Jaka Ndableg berkata: "Saudara Pendekar, mungkin iblis ini bukan
tandingan saudara sendirian. Mari kita hadapi bersama!"
"Siapakah engkau adanya, Ki sanak?"
tanya Tegalaras ingin kenal adanya pemuda di
sampingnya. "Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka den-
gan tenang, sementara matanya memandang ta-
jam ke arah Setan Rambut Putih. Mendengar sia-
pa adanya pemuda di sampingnya, dengan suara
kaget Tegalaras berseru:
"Kaukah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah"!" "Ya... begitulah! Awas! Dia menyerang...!"
Tersentak Jaka dan Tegalaras yang segera
buang tubuh masing-masing ke samping meng-
hindari serangan yang dilancarkan oleh Setan
Rambut Putih.
Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian harus mati, sebab kalianlah yang
bakal merintangi niatku untuk menguasai jagad
raya ini!" bentak Setan Rambut Putih sambil terus gencarkan serangan dengan
pukulan-pukulan jarak jauhnya yang sungguh dahsyat, menjadikan
kedua pendekar itu harus menguras tenaga un-
tuk menghindarinya. Kalau saja mereka terlambat
mengelak, maka tak ayal lagi tubuh mereka akan
hancur berantakan seperti tembok-tembok yang
terhantam. Merasa serangannya luput, Setan Rambut
Putih makin menggeram marah. Kembali ia me-
lancarkan ajiannya yang sungguh dahsyat, ajian
yang hanya dimiliki oleh siluman dan iblis.
Jaka dan Tegalaras tersentak kaget, karena
belum pernah melihat ajian tersebut. Ya, walau-
pun mereka murid-murid bangsa Siluman, na-
mun ajian-ajian yang keluar dari tangan Setan
Rambut Putih sungguh belum mereka kenal.
"Gusti Allah, ajian apakah itu"!" gumam Jaka. "Ilmu iblis!" mengumpat Tegalaras.
"Awas! Dia hantamkan ajiannya ke mari!"
Jaka memekik memperingatkan pada Tegalaras,
namun Tegalaras yang tengah kaget begitu lam-
ban menghindar, sehingga pundaknya seketika
terhantam ajian tersebut. Dan....! Mata Jaka se-
ketika melotot kaget, tak percaya pada apa yang
dilihatnya. Binatang-binatang sebesar tikus tanah tiba-tiba muncul menggeruguti
pundak Tegalaras
yang meraung-raung kesakitan.
"Demi Allah, ilmu iblis macam apa ini.
Hem, aku harus menggunakan Pedang Siluman
Darah untuk membasmi binatang-binatang nera-
ka terkutuk itu! Dening Ratu Siluman Darah Da-
tanglah!" Pedang Siluman Darah seketika telah be-
rada di tangan Jaka yang dengan cepat tebaskan
pada pundak Tegalaras. Seketika binatang-
binatang menjijikkan tersebut lenyap tanpa bekas dan luka di pundak Tegalaras
pun bagaikan tak
pernah ada. "Terima kasih, Jaka."
"Sudahlah, kita kini tengah menghadapi
maut yang siap mengancam diri kita. Menyingkir-
lah, biar aku hadapi dengan Pedang Siluman Da-
rah." Tegalaras menurut, melompat menepi sepuluh tombak dari tempat mereka
bertarung. Kini
ia jadi penonton, menyaksikan Jaka dan Setan
Rambut Putih tengah berhadap-hadapan siap un-
tuk saling serang.
"Iblis Bukit Gempol, minggatlah dari sini!"
bentak Jaka yang telah diberi tahu oleh Ratunya
yang berada di pedang tentang siapa adanya Se-
tan Rambut Putih.
"Hoar...! Jangan mimpi, Pendekar! Walau
namamu telah mengangkangi langit, tapi aku tak
akan mau mengalah, terimalah ini. Hiat....!"
Setan Rambut Putih kembali hantamkan
ajian iblisnya. Selarik sinar merah, biru, hitam bercampur jadi satu menerpa ke
arah Jaka. Sege-
ra Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, dan si-
nar itu pun seketika lenyap tanpa bekas.
Melihat serangannya dengan mudah dapat
dihilangkan oleh Jaka makin marahlah Setan
Rambut Putih. Dengan didahului menggerang ia
berkelebat melompat menyerang. Hal itu tidak
disia-siakan oleh Jaka yang sudah siap dengan
pedangnya. Maka manakala Setan Rambut Putih
melayangkan tubuhnya, segera Jaka pun mema-
pakinya dengan menebaskan Pedang Siluman Da-
rah, dan...! "Croooos...!"
"Aaaaah....!" terdengar pekikan, bersamaan dengan suara babatan Pedang Siluman
Darah. Tak lama kemudian, terdengar suara ambruknya
tubuh Setan Rambut Putih. Maka dengan kema-
tian tersebut, Bukit Karang Bolong pun kembali
sepi. Tegalaras segera hampiri Jaka, namun ba-
gaikan sebuah bayangan saja Jaka telah raib. Be-
gitu juga halnya dengan Ningrum, ia telah raib
dari situ entah ke mana. Tinggallah Tegalaras
sendiri, melangkah diiringi bekas-bekas anggota
Bukit Karang Bolong. Ke manakah Ningrum" Un-
tuk mengetahuinya silahkan anda ikuti kisah be-
rikutnya dalam serial Jaka Ndableg Pendekar Pe-
dang Siluman Darah di episode Ratu Maksiat Te-
laga Warna. TAMAT Scan/e-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pendekar Patung Emas 9 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam Bende Mataram 11