Pencarian

Penunggang Kuda Bertopeng 1

Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng Bagian 1


MISTERI PENUNGGANG
KUDA BERTOPENG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 029 :
Misteri Penunggang Kuda Bertopeng 128 Hal ; 12 x 28 cm
1 Sebuah kereta kuda bergerak
perlahan, melintasi tanah berbatu di Lereng Bukit Rantak. Kereta indah yang
tampak megah itu ditarik delapan ekor kuda putih yang gagah. Di kiri kanan
kereta terlihat empat penunggang kuda, berpakaian sangat indah. Di bagian
belakang dan depan, berbaris para penunggang kuda lainnya. Mereka
mengenakan pakaian seragam prajurit Sebuah kepala seorang laki-laki
berusia setengah baya menyembut keluar dari balik jendela kereta kuda yang
tertutup tirai kain berwama kuning keemasan. Dipanggilnya salah seorang
penunggang kuda yang berada di sisi kereta ini. Penunggang kuda itu
mendekat, dan membungkukkan tubuhnya mendekati kepala yang menyembul di jendela
kereta kuda itu.
"Sudah hampir senja, kenapa tidak berhenti dan mencari tempat bermalam, Panglima
Gajah Pati?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Sebentar lagi, Kanjeng
Tumenggung. Setetah melewati sungai di depan sana, kita baru
bisa beristirahat. Tempatnya tenang dan indah," sahut penunggang kuda yang dipanggil
Panglima Gajah Pari.
Panglima Gajah Pati memang
seorang pemuda tampan. Dan kalau
dilihat dari usianya, sepertinya belum pantas menduduki jabatan seorang
panglima. Tapi kepandaian yang
dimiliki sudah mencapai tingkat
tinggi. Sehingga,
rasanya memang pantas untuk diangkat menjadi panglima sebuah kerajaan besar yang bernama
Kerajaan Godaka. Letaknya di wilayah kulon ini. Sedangkan letak pusat
pemerintahannya tidak seberapa jauh lagi dari Bukit Rantak, tapi masih
memerlukan waktu sedikitnya satu
setengah hari lagi untuk bisa sampai ke kota kerajaan itu.
"Panglima! Kau tahu, kenapa aku dipanggil Gusti Prabu Bojananta dengan
pengawalan seperti
ini?" tanya
Tumenggung Pratala ingin tahu.
"Aku hanya menjalankan perintah, Kanjeng Tumenggung. Aku sendiri tidak tahu,
kenapa diminta menjemput Kanjeng Tumenggung dengan membawa sepasukan prajurit.
Hanya itu perintah yang kudapat dari Gusti Prabu Bojananta
sendiri," jelas Panglima Gajah Pati tentang tugasnya.
"Aneh.... Tidak biasanya Gusti Prabu memanggilku begitu mendadak, dan dengan
pengawalan begin! ketat," gumam Tumenggung Pratala, seperti
bicara pada diri sendiri.
Sebentar pandangannya beredar ke
sekitarnya, kemudian kepalanya ditarik ke dalam. Sementara, Panglima Gajah Pati
kembali ke tempat semula, berkuda di samping kanan kereta kuda ini
Sedangkan di dalam kereta, Tumenggung Pratala masih terdiam dengan kening agak
berkerut. Seorang gadis cantik yang
duduk di sebelahnya,
memperhatikan wajah laki-laki separuh baya yang tampak begitu murung.
"Ada yang dipikirkan, Ayah...?"
tegur gadis itu. Suaranya terdengar begitu lembut
"Yaaah...," sahut Tumenggung Pratala mendesah panjang.
"Ayah masih memikirkan panggilan Gusti Prabu yang mendadak ini?" tebak gadis itu
langsung. Tumenggung Pratala tidak
menjawab. Ditatapnya gadis cantik yang mengenakan baju warna merah muda di
sampingnya ini. Perlahan tangan gadis
itu diambil dan digenggamnya kuat-kuat. Gadis itu hanya membiarkan
tangannya digenggam. Terasa sekali kalau tangan ayahnya begitu dingin dan
berkeringat. "Entah kenapa, sejak menerima panggilan yang mendadak ini ada
perasaan aneh menyelinap di hatiku, Kara Gawing. Aku merasakan, seolah-olah akan
terjadi sesuatu
pada diriku," jelas Tumenggung Pratala, begitu perlahan suaranya.
"Bukankah sudah seringkali Gusti Prabu memanggil secara mendadak,
Ayah...?" "Memang benar, Rara Gawing. Tapi panggilan ini terasa begitu aneh.
Lihatlah sendiri, tidak biasanya
Panglima Gajah Pati yang menyampaikan surat panggilan. Bahkan sambil membawa
sepasukan prajurit bcrsenjata lengkap.
Seperti akan ke medan perang saja. Ini yang membuatku terus berpikir, Rara
Gawing. Kurasakan ada sesuatu dari panggilan mendadak ini," ujar Tumenggung
Pratala lagi. Sementara Rara Gawing jadi
terdiam. Sudah seringkali dia
mendampingi ayahnya dalam segala
urusan kerajaan. Dan memang baru kali
ini Prabu Bojananta memanggil ayahnya begitu mendadak. Bahkan juga
mendatangkan seorang panglima ternama, disertai sepasukan prajurit bersenjata
lengkap. Dan ini memang tidak seperti biasanya. Tidak heran jika Tumenggung
Pratala lantas mempunyai perasaan seperti itu.
Sementara kereta kuda yang
membawa tumenggung dan putrinya terus bergerak perlahan-lahan, menyusuri jalan
tanah berbatu. Sehingga, kereta itu berguncang-guncang agak keras. Dan rombongan
yang berjumlah cukup besar itu sudah mulai melintasi sungai yang cukup lebar,
namun sangat dangkal airnya. Begitu dangkalnya, sehingga mudah dilalui kereta
kuda. Hingga akhirnya, rombongan itu
tiba di sebuah tempat yang cukup
lapang setelah melewati sungai besar dan dangkal tadi Panglima Gajah Pati
memerintahkan para prajuritnya untuk berhenti, lalu mendlrikan beberapa tenda.
Saat ini, senja memang sudah cukup jauh turun. Dan tak berapa lama lagi,
kegelapan malam pasti akan
menyelimuti seluruh permukaan belahan bumi ini.
*** Malam begitu hening. Tumenggung
Pratala tampak keluar dari dalam
tendanya. Dua orang prajurit yang menjaga di depan pintu tenda itu
segera membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat. Tumenggung Pratala terus
saja melangkah mendekati api unggun yang menyala cukup besar di antara tenda-
tenda yang berdiri
mengelilinginya. Panglima Gajah Pati segera beranjak bangkit dari duduknya, dan
membungkuk memberi hormat pada laki-laki separuh baya ini.
Kemudian, mereka duduk lagi
menghadapi api unggun. Seorang gadis pelayan datang menghampiri, sambil membawa
baki berisi dua guci arak dan dua buah gelas perak. Gadis pelayan itu menuangkan
arak dari dalam guci ke dalam gelas-gelas perak itu.
"Silakan, Panglima," ujar Tumenggung Pratala.
"Terima kasih," ucap Panglima Gajah Pari seraya mengambil satu gelas perak itu.
Tumenggung Pratala juga mengambil gelas perak satunya. Kemudian, mereka mulai
menenggak arak di dalam gelas
itu hingga habis tak tersisa. Gadis pelayan berwajah cukup cantik itu hendak
menambahkan arak lagi ke dalam gelas, tapi Tumenggung Pratala menolak dengan
menggerakkan tangan sedikit.
"Kau tidur saja," ujar Tumenggung Pratala.
"Hamba, Kanjeng Tumenggung,"
sahut gadis pelayan itu seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung.
Tumenggung Pratala baru
menuangkan arak ke dalam gelasnya yang sudah kosong, setelah gadis itu masuk ke
dalam tenda yang diperuntukkan bagi pelayan-pelayan wanita yang menyertai
rombongan ini. Setelah menghabiskan tiga gelas arak, Tumenggung Pratala baru
mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Keningnya agak berkerut juga melihat penjagaan di sekitar perkemahan
ini yang begitu ketat
Bahkan separuh dari jumlah prajurit yang ada ditugaskan untuk berjaga malam. Dan
senjata yang disandang begitu lengkap, seakan-akan mereka takut ada musuh yang
menyerang tempat ini. Pemandangan yang seharusnya
disaksikan jika terjadi perang. Tapi, ini bukan sedang perang. Bahkan
Kerajaan Godaka, menurutnya
sangat damai dan tenteram.
"Aku merasa kau terlalu
berlebihan dalam menempatkan para prajurit, Panglima Gajah Pati. Apa memang
periu mereka berjaga dengan jumlah sebanyak ini...?" tanya Tumenggung Pratala.
"Aku harus menjaga keselamatan Kanjeng Tumenggung sampai ke istana.
Maafkan jika tindakanku dianggap
berlebihan. Tapi, hanya ini yang bisa kulakukan untuk menjalankan perintah Gusti
Prabu Bojananta," sahut Panglima Gajah Pari, bersikap begitu hormat
"Dengan cara begini, bukan
ketenteraman yang kuterima, Panglima Gajah Pati. Tapi aku merasa seperH
tawananmu saja," dengus Tumenggung Pratala.
"Maafkan, Kanjeng Tumenggung.
Jika Kanjeng bisa bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu, aku akan
mengurangi penjagaan malam ini," ucap Panglima Gajah Pati.
"Tidak perlu."
"Tapi Kanjeng Tumenggung tidak
menyukai hal seperti ini."
"Aku memang tidak suka, tapi tidak akan sekali-kali
merebut tugasmu, Panglima. Kau hanya menjalankan tugas dari Gusti Prabu. Dan aku harus
menerima, meskipun tidak suka dengan cara seperti ini."
"Aku bisa mengerti, Kanjeng
Tumenggung."
Tumenggung Pratala bangkit
berdiri setelah meneguk habis araknya.
Panglima Gajah Pati bergegas berdiri, tapi mendadak saja....
Wusss! "Kanjeng, awas...!"
Cepat sekali Panglima Gajah Pati
melompat menubruk Tumenggung Pratala, begitu tiba-tiba saja sebuah benda seperti
anak panah meluncur cepat bagaikan kilat ke arah tumenggung setengah baya itu.
Mereka jatuh bergulingan di tanah. Panglima Gajah Pati cepat melompat bangkit, dan
langsung menghampiri sebatang anak panah yang menancap di pohon.
"Siaga semua...!" seru Panglima Gajah Pati dengan suara keras
menggelegar. Tapi belum juga teriakan Panglima Gajah Pati hilang dari pendengaran, tiba-tiba
saja terdengar teriakan-teriakan yang kemudian disusul
bermunculannya orang-orang berbaju
serba hitam, bersenjatakan golok
terhunus. Orang-orang berbaju serba hitam itu langsung menyerang para prajurit
yang kontan sangat terkejut Sebentar saja, jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terdengar saling sambut dari para prajurit yang
lengah, dan tidak cepat menyadari keadaan. Lalu, pertempuran pun cepat
berlangsung begitu sengit. Teriakan-teriakan pertarungan, jerit, serta pekikan
melengking tinggi seketika terdengar memecah keheningan malam ini. Maka tubuh-
tubuh bersimbah darah pun mulai teriihat bergelimpangan. Dua tenda yang berdiri
sudah terbakar, membuat malam yang pekat ini jadi terang benderang. Api memang
cepat sekali merambat besar, membakar tenda-tenda yang berdiri mengelilingi api
unggun. Malam yang semula begitu hening,
benar-benar pecah oleh hiruk pikuk pertarungan yang tiba-tiba saja
terjadi. Korban terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Panglima Gajah Pati dan
tiga orang wakilnya, bertarung seperti banteng kedaton untuk
menghalau orang-orang berbaju serba hitam yang cepat menyerang dan
mendadak sekali. Bahkan Tumenggung Pratala pun tidak tinggal diam begitu saja.
Dengan pedang pendek yang sudah terkenal keampuhannya, dia berlompatan sambil
membabatkan pedangnya ke arah orang-orang berbaju serba hitam ini.
Jerit dan pekikan melengking
tinggi terus terdengar menyayat Pada saat kekacauan sedang berlangsung, tiba-
tiba saja dari kelebatan
pepohonan muncul seseorang berjubah hitam. Dia menunggang kuda yang juga hitam
pekat berkilat. Wajahnya, sukar dikenali karena tertutup sebuah topeng kayu
berwarna hitam juga.
"Mundur...!" tiba-tiba saja penunggang kuda bertopeng hitam itu berteriak
lantang menggelegar.
Seketika itu juga
orang-orang berbaju hitam yang seluruhnya
menggunakan senjata golok berlompatan mundur, menghentikan penyerangannya.
Dan para prajurit yang masih selamat pun, segera berlompatan mundur ke belakang
Tumenggung Pratala dan Panglima Gajah Pari. Kini, dua kelompok yang sama-sama
udah berkurang jumlahnya saling berdiri berhadapan, dmgan api unggun sebagai pembatas.
*** "Tidak ada gunanya melindunginya, Gajah Pati. Serahkan pengkhianat itu padaku
untuk diadili...!" Terasa begitu dingin nada suara orang
bertopeng hitam ini.
"Siapa kau..."!" tanya Panglima Gajah Pati lantang.
"Aku Penunggang Kuda Bertopeng.
Kedatanganku ke sini untuk mengadili pengkhianat yang ada di sampingmu itu!"
sahut penunggang kuda bertopeng hitam itu tidak kalah lantangnya.
"Jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Apa buktimu menuduhku
pengkhianat...?" keras sekali suara Tumenggung Pratala.
"Tidak periu banyak bicara,
Pengkhianat. Sudah terlalu banyak bukti kebusukan hatimu, Pratala! Dan kau tidak
bisa beriindung dari siapa pun. Juga pada junjunganmu Prabu
Bojananta!"
"Edan...!" dengus Tumenggung Pratala mendesis.
Pada saat itu, Rara Gawing keluar dari dalam tendanya. Langsung ayahnya
dihampiri, dan berdiri di sampingnya.
Gadis itu menatap tajam penunggang
kuda bertopeng hitam, yang di
belakangnya berbaris orang-orang
berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus di tangan kanan.
"Siapa mereka, Ayah?" tanya Rara Gawing.
"Orang gila yang ingin mencari urusan denganku," sahut Tumenggung Pratala.
Sementara itu, si Penunggang Kuda Bertopeng menatap Rara Gawing dengan sinar
mata yang begitu sukar
diartikan. Kedua bola matanya memang hampir tersembunyi di balik topeng
hitamnya, sehingga sukar dilihat. Dan dia hanya diam saja menatap gadis cantik
yang berdiri di samping


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung Pratala.
"Kau memang licik, Pratala. Rara Gawing kau manfaatkan untuk
melindungimu. Tapi ini hanya se-
mentara, Pratala. Aku akan kembali lagi untuk mengambil dan mengadilimu!"
ancam Penunggang Kuda Bertopeng itu dingin.
Setelah berkata demikian, orang
bertopeng itu menghentakkan tali
kekang, sehingga kuda hitam pekat yang tinggi dan
gagah meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Lalu kuda itu cepat sekali melesat berlari masuk ke dalam
lebatnya pepohonan. Pada saat itu juga, semua orang berbaju hitam
berlompatan cepat mengikuti.
Gerakan mereka memang cepat
sekali, sehingga tebentar saja sudah lenyap tak teriihat bayangannya.
Sementara Tumenggung Pratala dan
Panglima Gajah Pati masih berdiri tegak memandang ke arah hutan, empat orang
aneh yang mengenalkan diri
berjuluk Penunggang Kuda Bertopeng itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Sedangkan tiga orang wakil Panglima Gajah Pati sudah memimpin para
prajurit membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Dari mayat-mayat itu, kebanyakan
adalah para prajurit Dan setelah
dikumpulkan, korban memang lebih
banyak jatuh dari pihak prajurit.
Bahkan jumlahnya dua kali lipat dari orang-orang berbaju serba hitam. Hal itu
sudah menandakan kalau mereka lebih tangguh daripada para prajurit Kerajaan
Godaka yang saat ini tengah bertugas mengawal Tumenggung Pratala.
"Inikah maksud Gusti Prabu
Bojananta mengirim sepasukan prajurit
untuk mengawalku, Panglima Gajah
Pati..?" agak bergumam nada suara Tumenggung Pratala.
"Aku tidak tahu pasti, Kanjeng Tumenggung. Tapi mungkin juga memang demikian,"
sahut Panglima Gajah Pati.
"Hm.... Siapa Penunggang Kuda Bertopeng itu" Dan kenapa menuduhku
pengkhianat..., Panglima Gajah Pati?"
Tumenggung Pratala seperti bertanya pada diri sendiri.
Sedangkan Panglima Gajah Pati
hanya diam saja, tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Pandangannya beredar
berkeliling. Keadaan tempat ini begitu berantakan. Dan para prajurit sudah sibuk
membenahi. Bahkan mayat-mayat sudah dijajarkan rapi, tidak jauh dari anak sungai
kecil yang mengalir tidak jauh dari perkemahan ini.
"Rara Gawing, kembalilah ke
tendamu. Malam masih terlalu panjang,"
ujar Tumenggung Pratala.
"Ayah tidak apa-apa?" tanya Rara Gawing ber-nada cemas.
"Tidak..., aku tidak apa-apa,"
sahut Tumenggung Pratala seraya
tersenyum. Rara Gawing memandangi wajah
ayahnya beberapa saat, kemudian
melangkah kembali masuk ke dalam
tendanya. Sedangkan Tumenggung Pratala menghempaskan diri, duduk di dekat api
unggun. Seorang gadis pelayan datang menghampiri sambil membawa sebuah guci
arak. Tumenggung
Pratala langsung
merebut guci itu, lalu meneguk isinya dari mulut guci arak yang cukup besar.
Kemudian, diserahkannya kembali guci itu pada gadis pelayan tadi.
"Pergilah...," ujar Tumenggung Pratala.
Setelah memberi hormat, gadis
pelayan itu bergegas pergi. Sedangkan Panglima Gajah Pati masih tetap
berdiri, tidak jauh dari laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah itu.
Meskipun tubuhnya sudah mulai mengembang tambun, tapi masih sangat tangkas dalam
pertarungan tadi.
Bahkan tidak sedikit lawan yang
berhasil dibinasakannya.
"Maaf, Kanjeng. Apakah Kanjeng Tumenggung bisa mengenali suara
Penunggang Kuda Bertopeng itu?" tanya Panglima Gajah Pati seraya menempatkan
diri duduk di samping kanan Tumenggung Pratala.
"Sukar.... Sepertinya dia
menggunakan suara perut untuk menutupi
suara aslinya," sahut Tumenggung Pratala.
"Apa kau tidak bisa membedakan suara asli dan suara perut...?"
"Aku memang sudah menduga,
Kanjeng. Tapi, ladi belum yakin kalau dia menggunakan suara perut," lelas
Panglima Gajah Pati.
"Siapa pun dia orangnya, yang jelas ingin merusak namaku. Hhh....
Apa maksudnya menuduhku peng-
khianat...?" agak mengeluh suara Tumenggung Pratala.
"Mungkin Gusti Prabu Bojananta mengetahuinya, Kanjeng Tumenggung,"
duga Panglima Gajah Pati.
"Hm...," Tumenggung Pratala hanya menggumam perlahan saja.
"Sebaiknya, Kanjeng Tumenggung beristirahat saja. Biar kami yang menjaga
keamanan di slni malam Ini,"
kata Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya apa yang
dikatakannya tadi, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala.
"Entahlah, Kanjeng. Di istana nanti semuanya akan jelas. Aku sendiri sebenarnya
tidak tahu apa-apa, dan hanya menjalankan perintah saja,"
sahut Panglima Gajah Pati.
Tumenggung Pratala tersenyum,
lalu bangkit berdiri sambil menepuk pundak panglima muda itu. Kemudian kakinya
melangkah menuju tendanya tanpa berkata-kata lagi. Dan malam pun terus merayap
semain larut. Udara di sekitar Lereng Gunung Rantak itu
terasa begitu dingin. Beberapa
prajurit tampak tengah menggali lubang yang cukup besar untuk menguburkan mayat-
mayat yang sudah berjajar di tepi sungai Sementara, Panglima Gajah Pati
memanggil ketiga orang wakilnya.
Mereka kemudian sudah terlibat dalam pembicaraan yang begitu penting di dekat
api unggun. * * * 2 Prabu Bojananta sendiri yang
menyambut kedatangan Tumenggung
Pratala di depan tangga istana.
Tumenggung bersama putrinya segera membungkukkan tubuh dengan telapak tangan
merapat di depan hidung, begitu keluar dari dalam kereta kuda yang
rnembawanya ke Istana Godaka ini.
Sementara, Panglima Gajah Pati terus mendampingi tumenggung ini sampai berada di
depan Prabu Bojananta.
"Mari, silakan ke dalam," ajak Prabu Bojananta ramah.
"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Tumenggung Pratala seraya memberi hormat.
Mereka kemudian masuk ke dalam
Balai Sema Agung. Di dalam ruangan yang berukuran sangat besar dan indah, sudah
menunggu para patih, panglima, adipati, tumenggung dan para pembesar lain
kerajaan ini. Mereka segera
memberi hormat begitu Prabu Bojananta masuk bersama Tumenggung Pratala dan
putrinya. Sementara Panglima Gajah Pati segera mengambil tempat di antara para
panglima lainnya. Demikian pula tumenggung Pratala, mengambil tempat di antara
para tumenggung kerajaan ini. Sedangkan Rara Gawing, langsung dibawa masuk ke
dalam ruangan lain oleh dua orang dayang istana. Dan Prabu Bojananta duduk di
singgasana yang megah, dikawal dua orang punggawa serta didampingi sepuluh orang
pengawal khusus.
"Ini untuk pertama kali aku
mengumpulkan Paman semua di Balai Sema Agung. Dan tentunya kalian bertanya-
tanya, untuk apa kalian kuminta datang ke sini. Bahkan sampai mengirim para
panglima dan prajurit pilihan untuk mengawal. Terutama, untuk para adipati dan
tumenggung...," jelas Prabu Bojananta memulai membuka suara.
Tak ada seorang pun yang membuka
suara. Sehingga suasana di Balai Sema Agung itu jadi terasa begitu sunyi, di
saat Prabu Bojananta tidak berbicara lagi Untuk beberapa saat, suasana tetap
seperti itu. Tidak terdengar suara sedikit pun
"Beberapa hari yang lalu,
sepulang dari berburu, aku dicegat seseorang yang tidak dikenal. Dia mengatakan,
ada di antara para adipati dan tumenggung yang sedang
merencanakan pemberontakan.
Tidak banyak yang dikatakannya, karena
kemunculannya begitu tiba-tiba, dan menghilang pun dengan tiba-tiba pula.
Makanya, aku merasa perlu mengumpulkan kalian semua untuk membahas kemunculan
orang berselimut misteri itu. Dan ini kurasakan amat penting, karena aku percaya
kalau kalian semua tidak punya
maksud buruk padaku. Terutama untuk membuat kekacauan di kerajaan ini,"
jelas Prabu Bojananta lagi.
Semua orang yang ada di Balai
Sema Agung itu jadi terkejut, terutama yang merasa menjadi adipati Ataupun
tumenggung. Saat itu juga, Tumenggung Pratala mengangkat kepalanya, langsung
diberikannya sembah pada Prabu
Bojananta, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Paman Tumenggung
Pratala?" tanya Prabu Bojananta.
Saat itu, semua orang menatap
Tumenggung Pratala. Juga, Prabu
Bojananta. Raja yang masih berusia muda itu memandang penuh arti pada laki-laki
separuh haya yang masih kelihatan gagah ini.
"Maaf, Gusti Prabu. iznkan hamba bicara," pinta tumenggung Pratala.
"Silakan, Paman."
"Dalam perjalanan ke istana ini, rombongan hamba diserang orang-orang berbaju
serba hitam yang dipimpin seorang penunggang kuda bertopeng hitam. Hamba tidak
tahu, apa maksudnya, Gusti. Apa mungkin
Penunggang Kuda Bertopeng itu yang menemui Gusti Prabu...?" kata
Tumenggung Pratala, sikapnya begitu hormat pada junjungannya.
"Tepat Memang orang itu yang
menemuiku," Agak keras suara Prabu Bojananta.
Seketika itu juga, ruangan Balai
Sema Agung yang luas ini seakan-akan hendak runtuh oleh suara menggumam dari
semua orang yang memenuhinya.
Mereka semua benar-benar terkejut atas kata-kata pengakuan dari Tumenggung
Pratala barusan. Dan suara mendengung bagai ribuan lebah itu seketika
menghilang saat Prabu Bojananta
mengangkat tangan kanannya. Kembali pandangan mereka tertuju pada
Tumenggung Pratala.
"Panglima Gajah Pati...," panggil Prabu Bojananta sambil menatap
Panglima Gajah Pati yang duduk di antara deretan para panglima.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Pati seraya memberi sembah.
"Benar apa yang dikatakan Paman Tumenggung Pratala?" tanya Prabu Bojananta ingin
kepastian. "Benar, Gusti Prabu. Mereka
datang begitu tiba-tiba dan langsung menyerang. Tiga puluh prajurit tewas.
Tapi, hamba tidak tahu maksud
penyerangan itu, Gusti Prabu,"
Panglima Gajah Pati mencoba
menjelaskan. Prabu Bojananta terdiam dengan
kepala terangguk beberapa kali.
Kemudian pandangannya beredar,
merayapi semua orang yang ada di
ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada seorang pun yang membuka suara.
Ruangan itu kembali hening, seperti di kuburan saja.
*** Cukup lama juga kesunyian
menyelimuti Balai Sema Agung. Begitu sunyinya, sehingga detak jantung
begitu keras terdengar di telinga masing-masing. Prabu Bojananta bangkit berdiri
dari kursi singgasananya, lalu melangkah perlahan-lahan ke tengah-tengah
ruangan. Semua mata memandang raja muda berusia sekitar dua puluh lima tahun
itu. Meskipun masih berusia cukup
muda, tapi Prabu Bojananta sudah
terkenal kebijaksanaannya dalam
memutuskan sesuatu. Bahkan segala tindakan dan pikirannya selalu
mementingkan kesejahteraan rakyat Kerajaan Godaka ini. Hal itu membuat seluruh
rakyat begitu mencintainya.
Bahkan semua pembesar yang rata-rata sudah
berusia lanjut begitu
menghormatinya, sebagaimana
menghormati raja yang terdahulu, ayah Prabu Bojananta.
"Dalam keadaan seperti ini, aku ingin meminta kejujuran kalian. Aku rasa
persoalan ini bukan hanya untuk adipati dan tumenggung, tapi juga menyangkut
semuanya," kata Prabu Bojananta memecah kesunyian yang
terjadi cukup lama.
Tak ada seorang pun yang membuka
suara. Prabu Bojananta kembali
melangkah mendekati singgasananya, kemudian duduk lagi di kursi yang indah itu.
Puluhan pasang mata
memandanginya, seakan-akan tengah menunggu suatu keputusan penting.
"Aku ingin tahu, apakah ada di antara kalian yang juga ditemui selain Paman
Tumenggung Pratala...?" agak lantang suara Prabu Bojananta.
Tak ada seorang pun yang langsung menjawab. Mereka semua saling
berpandangan, terutama yang duduk di barisan para tumenggung dan adipati.
Tapi ink berapa lama kemudian, seorang adipati yang sudah berusia lanjut
mengakui telah ditemui orang yang juga mengaku Penunggang Kuda Bertopeng dengan
kata-kata sama.
Kemudian disusul oleh seorang
adipati, lalu dua orang tumenggung dan tiga orang adipati lagi. Hingga
akhimya, semua adipati dan tumenggung yang ada di ruangan itu mengaku telah
ditemui orang yang sama dalam beberapa hari ini. Hal itu membuat keadaan di
Balai Sema Agung itu kembali riuh.
Mereka semua benar-benar tidak
menyangka, kalau sepuluh tumenggung dan lima belas adipati Kerajaan Godaka
ditemui orang yang sama, dan dengan kata-kata yang sama dalam beberapa hari ini.
Dan terakhir, Penunggang Kuda Bertopeng itu menemui Tumenggung Pratala.
Sedangkan Prabu Bojananta jadi
terduduk lemas. Sungguh tidak disangka kalau semua adipati dan tumenggungnya
ditemui orang yang sama, dan dengan kata-kata yang sama pula. Benar-benar sulit
dimengerti maksud Penunggang Kuda Bertopeng itu sebenarnya. Menemui dan
mengancam semua adipati dan Tumenggung Kerajaan Godaka ini.
"Aku percaya pada kalian, semua adipati dan tumenggung. Aku tidak yakin, kalau
yang dikatakan Penunggang Kuda Bertopeng itu benar. Tapi
peringatannya juga tidak bisa
kuabaikan begitu saja. Secara terbuka, aku akan mengadakan penyelidikan. Dan
kuharap tidak ada seorang pun dari kalian yang merasa tersinggung atau sakit
hati. Karena, apa yang akan kulakukan ini demi kelangsungan hidup dari Kerajaan
Godaka," tegas Prabu Bojananta, setelah cukup lama berdlam diri.


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan semua orang yang ada di
ruangan Balai Sema Agung ini terdiam membisu. Terutama, mereka yang
menjabat sebagai adipati dan
tumenggung. Mereka semua terdiam
dengan kepala tertunduk dalam. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
"Apa yang akan kulakukan, bukan semata-mata untuk para adipati dan tumenggung.
Tapi juga untuk semuanya, tanpa terkecuali," sambung Prabu Bojananta tetap
tegas. Masih belum ada yang membuka
suara. "Aku rasa, pertemuan siang ini sudah cukup. Jika ada yang ingin
segera kembali ke kadipaten atau ke tumenggungan, aku tidak melarang. Tapi
penyelidikan letap berlaku pada semua pembesar di seluruh kerajaan ini."
Setelah berkata demikian, Prabu
Bojananta bangkit berdiri. Maka semua yang ada di Balai Sema Agung segera
memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung
Kemudian raja berusia muda itu
melangkah meninggalkan Balai Sema
Agung diiringi pengawal pribadinya, serta para dayang cantik yang semuanya masih
berusia muda. Setelah Prabu Bojananta tidak
teriihat lagi, mereka semua kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan yang
berukuran sangat luas ini. Tak ada seorang pun yang berbicara. Tapi, pandangan
mata mereka mengandung kecurigaan satu sama lain. Terutama, yang menjabat sebagai adipati atau
tumenggung. Mereka tahu, kalau Prabu Bojananta sudah berkata ingin
menyelidiki sendiri, itu berarti
sekarang ini tidak seorang pun dari mereka semua yang bisa dipercaya lagi.
Itu akan terus dilakukannya sampai diketahui siapa di antara mereka semua
yang punya rencana untuk memberontak, menggulingkan takhta Kerajaan Godaka.
"Panglima Gajah Pati...."
Panglima Gajah Pari menghentikan
ayunan kakinya begitu mendengar
namanya ada yang memanggil. Begitu tubuhnya diputar berbalik, tampak Tumenggung
Pratala melangkah agak cepat menghampiri. Sementara Balai Sema Agung ini sudah
kosong. Mereka kemudian melangkah bersisian, keluar dari ruangan yang sangat
luas dan indah ini.
"Mukaku benar-benar merasa
tertampar, Panglima," kata Tumenggung Pratala bemada mengeluh.
"Bukan hanya Kanjeng Tumenggung, tapi aku juga merasa begitu. Sungguh tidak
kukira bakal seperti
ini jadinya," sahut Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya, aku seperti yang dituduhkan Penunggang Kuda Bertopeng itu,
Panglima?" tanya Tumenggung Pratala, seperti ingin mengetahui isi hati panglima
berusia muda ini.
Panglima Gajah Pari tidak
langsung menjawab.
"Seharusnya,
aku memang tidak
perlu bertanya seperti itu padamu, Panglima. Maaf... meskipun jauh lebih
muda dariku, kau adalah seorang
panglima. Dan ientu saja kau memiliki tugas tersendiri," kata Tumenggung Pratala
lagi. "Tidak ada tugas khusus untukku,
Kanjeng Tumenggung. Dalam hal ini, Gusti Prabu tampaknya tidak akan
mempercayai seorang pun. Dan
kedudukanku saat ini tidak jauh
berbeda denganmu, Kanjeng Tumenggung.
Aku juga termasuk salah seorang yang dicurigai," jelas Panglima Gajah Pati bisa
merasakan isi hati Tumenggung Pratala saat ini.
Sementara mereka sudah berada di
luar ruangan Balai Sema Agung, dan terus melangkah menuju bagian samping
bangunan istana yang besar dan megah ini. Beberapa prajurit yang berpapasan
segera membungkuk memberi hormat
"Kenapa kau beranggapan seperti itu, Panglima?" tanya Tumenggung Pratala jadi
ingin tahu. "Merencanakan suatu pemberontakan itu tidak mudah, Kanjeng Tumenggung.
Mereka membutuhkan banyak orang. Bukan hanya para tumenggung ataupun adipati,
tapi juga memerlukan para prajurit dan panglima, serta patih yang terlatih dan
berkepandaian tinggi. Dan hal itu
sudah bisa kurasakan dari kata-kata Prabu Bojananta. Itu berarti, bukan hanya
para tumenggung dan adipati saja yang harus dicurigai. Tapi juga semua patih,
panglima, dan seluruh pembesar kerajaan ini."
"Hm. Ya..., ya...," Tumenggung Pratala mengangguk-anggukkan kepala.
"Pandanganmu luas sekali, Panglima."
"Itu hanya dugaanku saja,
Kanjeng. Dan aku belum tahu
kebenarannya. Masih terlalu dini untuk mengambil suatu keputusan," sahut
Panglima Gajah Pati
"Tapi bagaimanapun juga, aku
tidak akan tinggal diam, Panglima."
"Maksud, Kanjeng...?"
"Aku juga akan mencari, siapa biang keladinya. Dan semua itu bisa terungkap
kalau aku bisa bertemu
Penunggang Kuda Bertopeng itu lagi."
"Kalau Penunggang Kuda Bertopeng itu tidak muncul lagi?"
"Itu berarti hanya ingin
mengacaukan suasana saja, Panglima.
Ada kemungkinan juga itu hanya
siasatnya saja, untuk mengacaukan istana, dan memecah belah di antara para
pembesar kerajaan."
"Hm...," Panglima Gajah Pati hanya menggumam perlahan saja, dengan kepala
terangguk beberapa kali.
Mereka terus berjalan tanpa
berkata-kata lagi, dan baru berhenti setelah sampai di depan sebuah pintu
samping bangunan Istana Godaka yang besar dan megah ini. Dan mereka
berpisah, karena Panglima Gajah Pati masih ada tugas yang harus
diselesaikan. *** Kegelisahan begitu terasa di hati semua orang yang ada di Istana Godaka ini.
Teriebih lagi, kegelisahan itu sangat dirasakan para adipati dan tumenggung yang
masih berada di
istana. Memang tidak mungkin mereka langsung kembali ke kadipatenan atau
ketumenggungan. Paling tidak,
sedikitnya harus tinggal dua hari di Istana Godaka. Karena saat itu senja memang
sudah cukup jauh merayap turun.
Dan tidak seperti hari-hari
biasanya, di dalam lingkungan benteng istana itu teriihat para prajurit
bersenjata berjaga-jaga. Seakan-akan, istana ini hendak diserang musuh dari
luar. Senjata dari berbagai bentuk, teriihat tersandang pada setiap
prajurit Bahkan sepasukan prajurit berkuda, tampak siap tempur. Keadaan seperti
ini tentu saja membuat tanda tanya bagi mereka yang tidak tahu persoalannya.
Seperti halnya Rara Gawing, anak gadis Tumenggung Pratala yang ikut bersama
ayahnya ke Istana Godaka ini. Dia jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati,
setelah melihat keadaan istana yang seperti hendak berperang saja.
"Kita akan berperang melawan siapa, Ayah?" lanya Rara Gawing begitu melihat
ayahnya, Tumenggung Pratala memasuki kamarnya.
"Tidak dengan siapa-siapa," sahut Tumenggung Pratala seraya
menghempaskan tubuhnya di kursi, dekat jendela kamar ini. Kamar yang
disediakan untuk beristirahat Rara Gawing.
Tumenggung Pratala memandang
keluar melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak di luar sana beberapa prajurit
bersenjata lengkap tengah berjaga jaga. Bahkan teriihat pula sekitar dua puluh
prajurit berkuda, meronda mengelilingi bangunan istana
yang besar dan megah ini. Tumenggung Pratala menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat Sementara Rara Gawing terus memperhatikan dengan
kening agak berkerut. Tidak mudah baginya untuk menebak pikiran yang mengganggu
benak ayahnya saat ini.
"Ayah.... Boleh aku tahu...,"
terdengar ragu-ragu nada suara Rara Gawing.
Bahkan gadis itu tidak meneruskan ucapannya. Tumenggung Pratala
berpaling, menatap anak gadis-nya.
Teriihat jelas raut wajah Tumenggung Pratala begitu gelisah. Bahkan seperti ada
beban yang begitu berat tersandang di dalam benaknya. Rara Gawing
beranjak bangkit dari pembaringan.
Kakinya melangkah perlahan mendekati laki-laki separuh baya itu, kemudian duduk
di kursi satunya yang hanya dibatasi sebuah meja kecil yang berada tepat di
bawah jendela kamar ini.
"Apakah keadaan ini ada
hubungannya dengan Penunggang Kuda Bertopeng yang menyerang kita semalam.
Yah...?" tanya Rara Gawing, langsung menebak.
"Hhh..!" Tumenggung Pratala tidak langsung menjawab. Dihembuskannya
napas panjang yang terasa begitu
berat. Rara Gawing terus memandangi
ayahnya. Dia lahu, ada sesuatu yang menjadi beban pikiran laki-laki
separuh baya ini, sehingga terasa begitu gelisah. Terlebih, Tumenggung Pratala
seperti berat untuk
mengatakannya. Dan ini tidak seperti biasanya. Laki laki separuh baya itu
biasanya selalu mengatakan tetiap persoalan yang sedang dihadapi pada anak
gadisnya. Tapi sekarang
Tumenggung Pratala seakan-akan begitu berat mengatakannya.
Dan Rara Gawing sudah bisa
menebak persoalan yang kini sedang dihadapi ayahnya, pasti memang berat.
Sehingga, sulit bagi orang tua itu untuk menceritakannya.
Sementara itu senja semakin jauh
merayap turun menyelimuti mayapada.
Rona merah jingga begitu nyata
terlihat membias di ufuk Barat. Dan keremangan pun mulai merata,
menyelimuti seluruh bumi Kerajaan Godaka yang sedang terselimut suatu persoalan
berat atas munculnya
seseorang yang mengaku berjuluk
Penunggang Kuda Bertopeng. Suatu
kemunculan yang membawa satu persoalan berat. Bukan hanya bagi para adipati dan
tumenggung, tapi juga bagi seluruh kerajaan ini.
"Ayah...."
Belum lagi Rara Gawing bisa
meneruskan kata-katanya, tiba-tiba saja melesat sebatang anak panah yang
langsung menerobos masuk melalui
jendela kamar ini. Tumenggung Pratala langsung melompat bangkit dari kursi yang
diduduki. Begitu pula Rara Gawing yang duduk di seberangnya. Dan anak panah yang
berwarna hitam itu menancap tepat di dinding, dekat sebuah lemari besar berukir
di samping pembaringan.
Tumenggung Pratala cepat melompat mendekati anak panah itu, dan
mencabutnya dengan hanya sekali tarik saja.
"Ada suratnya, Ayah...," kata Rara Gawing seraya menghampiri
ayahnya. Tumenggung Pratala
merrrperhatikan anak panah berwarna hitam itu sesaat, kemudian memandang ke luar
jendela. Tak teriihat seorang pun di sana, kecuali para prajurit yang tetap
menjaga di sekitar istana ini. Kemudian dibukanya ikatan
selembar daun lontar yang mengikat bagian tengah batang anak panah ini.
"Apa isinya, Ayah...?" tanya Rara Gawing ingin tahu.
"Kau baca saja sendiri," sahut Tumenggung Pratala seraya menyerahkan surat dari
lembaran daun lontar itu.
Rara Gawing mengambilnya, dan
membaca sebaris kalimat yang tertera di lembaran surat daun lontar itu.
Suaranya perlahan, setengah menggumam.
Sementara, Tumenggung Pratala sudah kembali berdiri di depan jendela, memandang
keluar dengan bibir masih terkatup rapat
"Temui aku di perbatasan Utara,
malam ini!"
Rara Gawing langsung
menatap laki-laki separuh baya yang kini
membelakanginya setelah menggu-mamkan sebaris kalimat yang tertera pada lembaran
surat daun lontar. Tidak ada apa-apa lagi selain sebaris kalimat yang bernada
aneh itu. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri ayahnya, kemudian berdiri
di sampingnya. "Siapa pengirim surat ini, Ayah?"
tanya Rara Gawing.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Tumenggung Pratala dengan nada suara
mendesah perlahan.
"Ayah ingin menuruti
permintaannya?" tanya Rara Gawing lagi.
"Hhh...!" Tumenggung Pratala hanya menarik napas panjang saja.
Terasa begitu berat tarikan
napasnya. Sedangkan Kara Gawing
kembali terdiam tidak bertanya-tanya lagi. Dia tahu, laki-laki separuh baya ini
tengah mempertimbangkan permintaan pengirim surat ini. Dan permintaan ini tentu
bukan hal yang bisa dianggap main-main, meskipun tidak ada nada ancaman sama
sekali. Dan kalimat di dalam surat itu hanya bernada
permintaan saja.
"Rara Gawing.... Kau bersedia menuruti permintaanku kali ini...?"
tanya Tumenggung
Pratala. Begitu
perlahan suaranya, sambil berpaling menatap anak gadisnya.
"Tentu saja, Ayah," sahut Rara Gawing jadi heran.
"Besok pagi-pagi sekali, kau kembali ke ketumenggungan. Kau tidak perlu bicara
lagi denganku, atau dengan siapa saja. Kalau ada yang
bertanya, bilang saja ingin segera pulang. Kau bersedia bukan...."
Rara Gawing hanya menganggukkan
kepala saja mendengar permintaan yang bernada aneh dari ayahnya ini Tapi, gadis
itu tidak mau lagi bertanya. Dia tahu, sekarang ini ada satu persoalan yang
sedang dihadapi ayahnya.
Persoalan yang begitu berat, sehingga tidak memberitahukan padanya seperti
biasa. Maka Rara Gawing tidak bisa lagi menolak permintaan ayahnya kali ini.
Tumenggung Pratala melangkah
keluar dari kamar ini tanpa berbicara lagi. Sedangkan Rara Gawing hanya
memandangi saja dengan kening sedikit berkerut. Sebenarnya, dia ingin lebih
banyak lagi bertanya. Tapi melihat sikap ayahnya yang seperti tidak ingin
membicarakan lagi, terpaksa semua pertanyaan harus disimpan di dalam kepala.
* * * 3 Tumenggung Pratala memacu cepat
kudanya menuju arah Utara. Tak ada seorang pun bersamanya. Dia terus memacu
kudanya, membelah kegelapan malam yang begitu pekat. Langit malam ini tampak
begitu kelam. Sedikit pun tak teriihat cahaya bintang maupun bulan. Tapi, itu
tidak menghalangi laki-laki separuh baya yang kali ini mengenakan baju warna
pubh agak ketat, untuk memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Tumenggung Pratala menghentikan
laju kudanya Betelah sampai di
perbatasan Utara Kerajaan Godaka.


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebentar laki-laki setengah baya itu mengedarkan pandangannya ke
sekelilihg. Namun tak ada seorang pun teriihat Hanya kegelapan, dan
pepohonan yang menghitam pekat di sekitarnya. Periahan-lahan kudanya digebah
melewati perbatasan sebelah Utara ini, yang
ditandai sebuah
bangunan dari batu berbentuk candi kecil.
"Kau datang sendiri, Tumenggung Pratala...?"
Tumenggung Pratala langsung
menghentikan langkah kaki kudanya, begitu tiba-tiba terdengar suara
bernada sangat berat Sama sekali
hatinya tidak terkejut karena memang sudah menduga akan ditemui seseorang yang
pasti akan merahasiakan dirinya.
Dan memang, pemilik suara itu belum juga menampakkan diri. Sukar bagi Tumenggung
Pratala untuk bisa
mengetahui, dari mana sumber suara itu. Karena suara menggema yang
didengarnya tadi, seperti datang dari segala arah.
"Siapa kau"! Tampakkan
dirimu...!" bentak Tumenggung Pratala.
Laki-laki setengah baya itu
mengedarkan pandangannya berkeliling, namun tak ada sahutan sama. sekali.
Tapi, mendadak saja keningnya jadi berkerut begitu mendengar derap
langkah kaki kuda dari arah depan. Tak berapa lama kemudian, teriihat
seseorang berbaju hitam pekat berada di atas punggung seekor kuda hitam yang
tinggi dan gagah. Wajahnya sukar dikenali karena tertutup sebuah topeng yang
berwarna hitam. Terlebih lagi, saat ini malam memang begitu gelap.
Sedikitpun tak ada cahaya bulan maupun bin-tang yang menyinari.
"Penunggang Kuda Bertopeng...,"
desis Tumenggung Pratala perlahan, langsung mengenali penunggang kuda yang sudah
berada sekitar satu batang tombak lagr jaraknya di depan.
"Aku kagum padamu sehingga berani datang seorang diri, Tumenggung
Pratala," kata Penunggang Kuda Bertopeng. Suaranya dingin tanpa nada sedikit
pun. Tumenggung Pratala tahu, orang
yang bersembunyi di balik topeng hitam itu menggunakan suara perut.
Dan tentu, dimaksudkan untuk
menyembunyikan suaranya agar tidak dikenali. Tumenggung Pratala melompat turun
dari punggung kuda. Gerakannya indah dan manis sekali. Sedikit pun tak ada suara
yang ditim bulkan saat kakinya
mendarat manis di tanah.
Sementara kudanya dibiarkan berlalu menjauh darinya. Sedangkan Penunggang Kuda
Bertopeng masih tetap duduk di punggung kudanya. Untuk beberapa saat, mereka
terdiam tanpa berbicara sedikit pun. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan
tengah mengukur tingkat
kepandaian yang dimiliki masing-
masing. "Untuk apa kau memintaku datang ke sini, Kisanak?"" tanya Tumenggung Pratala,
membuka suara terlebih
dahulu. "Kau tentu sudah tahu, apa yang ingin kuketahui darimu, Tumenggung Pratala. Aku
tahu, Prabu Bojananta sudah memberitahumu. Bahkan semua adipati dan tumenggung
serta seluruh pembesar dan panglima," sahut Penunggang Kuda Bertopeng, masih
dengan suara yang sama.
"Hm.... Aku tidak mengerti
maksudmu yang sebenarnya, Kisanak.
Kenapa kau bermain-main dan
mengacaukan suasana...?" agak menggumam nada suara Tumenggung
Pratala. "Aku tidak membuat kacau suasana.
Tapi, kau sendirilah yang seharusnya berpikir. Apa kekurangan yang kau dapatkan
dari kerajaan ini" Kedudukan Hnggi, harta berlimpah, dan kekuasaan yang tidak
bisa didapatkan orang lain.
Tapi, kenapa kau ingin memberontak..."
Apa yang kau inginkan dari
pemberontakan itu, Pratala?" agak
tinggi nada suara Penunggang Kuda Bertopeng kali ini.
"Kau sudah menuduhku yang tidak-tidak tanpa bukti, Kisanak," desis Tumenggung
Pratala agak tersinggung.
"Sudah kuduga, kau pasti akan membantah, Pratala. Tapi jangan harap bisa mungkir
lagi di depanku. Aku tahu, apa yang kau lakukan selama ini di ketumenggungan!"
"Edan...! Apa sebenarnya yang kau inginkan, Kisanak" Kenapa menuduhku ingin
memberontak pada Gusti Prabu Bojananta" Apa kau tidak berpikir, aku ini sudah
mengabdi sejak raja yang terdahulu! Tidak ada di dalam
pikiranku untuk berbuat sesuatu yang merugikan. Kau benar-benar gila,
menuduhku sembarangan begitu...!"
dengus Tumenggung Pratala menggeram berang.
"Seribu kali kau mengatakan
kesetiaan, tidak akan membuat
keyakinanku luntur, Pratala. Ingat-ingatlah. Kau tidak punya kesempatan sedikit
pun untuk menggulingkan takhta Kerajaan Godaka!"
"Edan...!"
"Kesempatan itu memang tidak akan pernah kau dapatkan, Pratala. Karena,
malam ini aku akan mengadilimu. Sudah kupikirkan, kau memang tidak pantas lagi
menduduki jabatan tumenggung.
Bahkan tidak pantas lagi hidup di dunia ini, Pratala. Bersiaplah
menerima pengadilan ini."
Setelah berkata demikian,
penunggang kuda yang mengenakan topeng dan berbaju serba hitam itu langsung saja
melompat turun dari punggung kudanya. Dan begitu kakinya menjejak tanah,
seketika itu juga dilepaskannya satu pukulan yang begitu cepat dan menggeledek.
Akibatnya, Tumenggung Pratala jadi terperangah sesaat
"Uts...!"
Tapi dengan satu gerakan manis
sekali, Tumenggung Pratala berhasil menghindari pukulan itu. Tubuhnya
dimiringkan sedikit ke kanan, maka pukulan yang dilepaskan Penunggang Kuda
Bertopeng hanya lewat sedikit saja di sampingnya.
Tapi belum juga
Tumenggung Pratala bisa menegakkan tubuhnya
kembali, Penunggang Kuda Bertopeng sudah memberi satu tendangan berputar.
Begitu repat serangan susulannya, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi
Tumenggung Pratala untuk menghindar.
Sehingga.... Desss! "Akh...!" Tumenggung Pratala terpekik keras agak tertahan.
Seketika itu juga Tumenggung
Pratala terpental ke samping, dan jatuh bergulingan beberapa kali,
begitu tendangan
Penunggang Kuda
Bertopeng menghantam tubuhnya. Tapi cepat sekali dia melompat bangkit berdiri,
walaupun agak terhuyung
sedikit. Segera dilakukannya beberapa
gerakan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya.
Sementara Penungggang Kuda
Bertopeng sudah bersiap hendak
melakukan serangan kembali. Memang sungguh dahsyat serangan-serangan yang
dilakukannya. Dan setiap kali
menyerang, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkannya. Dan ini membuat
Tumenggung Pratala cepat berwaspada.
Dia tahu, kalau lawan yang dihadapinya ini memiliki kepandaian begitu tinggi Hal
itu bisa dirasakan ketika saat tendangan tadi bersarang di tubuhnya.
Untung saja tendangan itu tidak
mengandung pengerahan tenaga dalam,
sehingga tidak menimbulkan luka dalam sedikit pun. Namun demikian, tendangan
tadi sangat keras sekali dan hampir membuat tulang iganya patah.
"Bersiaplah, Tumenggung
Pratala...!"
"Hm.... Ups!"
*** Dua orang itu sudah bersiap
saling berhadapan untuk bertarung kembali. Tumenggung Pratala menggeser kakinya
periahan ke kanan, ketika si Penunggang
Kuda Bertopeng bergerak menggeser kakinya perlahan-lahan. Tak ada yang dibicarakan. Dan masing-masing
menatap tajam, seperti tengah mengukur dan memperkirakan setiap serangan yang
bakal dilakukan.
"Hep! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Penunggang Kuda
Bertopeng berteriak lantang
menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat cepat sambil melepaskan
beberapa pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tumenggung Pratala cepat
bertindak. Dia berlompatan dan meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap
serangan yang datang dengan cepat itu.
Pertarungan memang tidak dapat
dicegah lagi. Dan sebentar saja,
mereka sudah saling sambar dengan serangan-serangan berkekuatan tenaga dalam
tinggi. Entah sudah berapa kali satu sama lain saling melepaskan
pukulan dahsyat. Tapi, pertarungan itu tampaknya masih akan terus berjalan.
Dan dalam waktu yang sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan sudah porak-
poranda terlanda pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak menemui
sasaran. Jurus demi jurus beriaiu cepat
Dan pertarungan pun terus berjalan semakin dahsyat saja. Bahkan kali Ini pukulan
yang dilepaskan bukan hanya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi juga
mengandung aji kesaktian. Sehingga, malam yang pekat ini dihiasi kilatan-kilatan cahaya dari
ajian yang dikeluarkan.
"Tahan! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda Bertopeng melentingkan tubuhnya ke udara.
Kecepatannya begitu cepat luar biasa, tepat di saat Tumenggung
Pratala melepaskan satu pukulan jarak jauh berkekuatan tenaga dalam tinggi yang
dibarengi pengerahan aji
kesaktian. Dan sebelum Tumenggung Pratala bisa menarik kembali
serangannya, tahu-tahu si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melepaskan satu
pukulan bertenaga dalam tinggi sekali, disertai pengerahan aji kesaktian dalam
pukulannya. "Hiyaaa...!"
Slap! Secercah sinar berwarna merah
kekuningan, seketika itu juga meluncur deras ke arah Tumenggung Pratala yang
belum sempat berbuat sesuatu lagi.
Sementara serangan yang dilancarkan lawan begitu cepat, dan tidak mungkin lagi
bisa dihindari. Teriebih, pada saat itu Tumenggung Pratala belum sempat menarik
serangannya yang gagal.
Sehingga.... Glarrr...! "Akh... Laki-laki separuh baya itu
terpental jauh ke belakang, begitu sinar
merah kekuningan menghantam
dadanya. Tapi belum juga tubuh
Tumenggung Pratala menghantam tanah, tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning
kehitaman berkelebat begitu cepat
menyambarnya. Langsung tubuh
Tumenggung Pratala dibawa menjauh dari si Penunggang Kuda Bertopeng.
Seorang pemuda tampan berbaju
kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri tegak memondong tubuh Tumenggung
Pratala. Dengan hati-hati sekali, diletakkannya tubuh laki-laki separuh baya itu
di tanah. Tumenggung Pratala kelihatan tak bergerak, kecuali pada dadanya saja
yang bergerak lemah.
Glarrr...! "Akh..!" teriak Tumenggung Pratala keras.
Tapi belum juga tubuh lelaki
setengah baya itu menghantam tanah, tiba-tiba saja sekelebat bayangan kuning
kehitaman cepat menyambarnya.
Langsung tubuh Tumenggung Pratala dibawa ke tempat yang aman.
Ini menandakan kalau dia masih
hidup. Pemuda tampan berbalut kulit harimau itu kemudian berdiri tegak, menatap
tajam si Penunggang Kuda
Bertopeng. "Jangan mencampuri urusanku ini, Anak Muda Menyingkirlah...!" bentak Penunggang
Kuda Bertopeng itu dingin.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menggumam perlahan saja.
Tangannya menepuk-nepuk monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di pundaknya.
Sementara itu, Tumenggung Pratala sudah menggeliat sambil merintih
lirih. Bibirnya meringis menahan sakh dan rasa sesak di bagian dadanya yang
terkena pukulan si Penunggang Kuda Bertopeng tadi.
"Apa yang kau rasakan, Paman?"
tanya pemuda tampan berbaju kulit harimau itu sambil berjongkok, tanpa
menghiraukan si Penunggang Kuda
Bertopeng. "Dadaku..., terasa sesak sekali,"
sahut Tumenggung Pratala lirih.
"Hm...," kembali pemuda itu menggumam setelah meraba dada
Tumenggung Pratala.
Dia kembali bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri si Penunggang Kuda
Bertopeng. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah
lagi. Tatapan mata pemuda itu begitu tajam, seolah-olah tidak
menyukai tindakan orang bertopeng hitam itu terhadap laki-laki separuh baya yang
kini tergolek tak berdaya.
"Aku sudah mendengar percakapanmu dengan Paman Tumenggung itu, Kisanak.
Kenapa kau menuduhnya tanpa bukti"
Pengkhianatannya
belum bisa kau buktikan. Jadi tidak seharusnya
menjatuhkan tangan padanya, Kisanak,"
tegas pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Nada suaranya terdengar begitu
dalam. "Itu bukan urusanmu!" bentak si Penunggang Kuda Bertopeng, tidak
menyukai urusannya dicampuri iwmuda di depannya.
"Tidak akan menjadi urusanku,
jika kau bertindak lebih bijaksana lagi, Kisanak," tenang sekali suara pemuda
itu. "Edan...! Siapa kau, Anak
Muda..."!" geram Penunggang Kuda Bertopeng itu jadi berang atas sikap pemuda
tampan berbaju kulit harimau ini.
"Maaf. Aku tidak suka
memperkenalkan diri pada orang gegabah sepertimu," sahut pemuda itu, masih tetap
tenang nada suaranya.
"Phuah...! Sombong benar kau ini."
"Lebih sombong lagi dirimu,
Kisanak." Si Penunggang Kuda Bertopeng itu menggeram berang. Hatinya benar-benar geram
melihat tingkah pemuda berbaju kulit harimau yang telah mencampuri urusannya
dengan Tumenggung Pratala.
Beberapa saat dia terdiam, menatap tajam dari balik topeng hitam yang menutupi


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh wajahnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
membalas tidak kalah tajam.
Perlahan laki-laki berbaju serba
hitam yang wajahnya tertutup topeng berwarna hitam itu melangkah ke
belakang mendekati kudanya. Kemudian, diambilnya tali kekang kuda hitam yang
tinggi dan tegap itu. Sebentar matanya masih menatap pemuda berbaju kulit
harimau. Kemudian dengan satu gerakan manis sekali, dia melompat naik ke atas
punggung kuda hitamnya.
"Dengar, Anak Muda.... Aku tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan jika kau
berani mencampuri urusanku lagi. Untuk kali ini, kelancanganmu kumaafkan. Tapi
lain kali, kau akan menyesal. Camkan itu, Anak Muda...!"
Setelah berkata demikian, si
Penunggang Kuda Bertopeng langsung cepat menggebah kudanya. Kuda hitam itu
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
Lalu bagaikan sebatang anak panah yang melesat dari busurnya, kuda hitam
bertubuh tinggi tegap itu
langsung berlari cepat bagai kilat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam
sekejap saja sudah menghilang ditelan kegelapan malam yang begitu pekat.
Sebentar pemuda berbaju kulit
harimau itu masih berdiri tegak
memandang ke arah si Penunggang Kuda Bertopeng tadi menghilang di dalam
kegelapan malam. Kemudian, tubuhnya berbalik menghampiri Tumenggung
Pratala yang sudah bisa duduk bersila, meskipun
napasnya masih agak
tersengal. Pemuda berbaju kulit
harimau itu kemudian duduk bersila di depannya. Dipindahkannya monyet kecil
berbulu hitam yang ada di pundak ke pahanya.
"Bagaimana keadaanmu, Paman?"
tanya pemuda itu setelah Tumenggung Pratala membuka kelopak matanya.
"Agak membaik," sahut Tumenggung Pratala masih agak tersengal.
"Terima kasih atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawaku, dan berhasil
mengusir orang gila itu."
"Aku tidak mengusimya, Paman. Dia sendiri yang pergi," jelas pemuda itu.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Tumenggung Pratala.
"Bayu Hanggara. Tapi, panggil saja aku Bayu," sahut pemuda itu memperkenalkan
diri. "Dan ini sahabatku. Namanya Tiren."
Pemuda yang memang bernama Bayu
dan dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu menepuk-nepuk kepala monyet
kecil berbulu hitam yang duduk tenang di pangkuannya. Seperti mengerti kalau
dirinya diperkenalkan, monyet kecil yang selalu dipanggil Tiren itu
menganggukkan kepala. Tentu saja hal itu membuat Tumenggung Pratala
tersenyum. Tapi, mulutnya langsung meringis, menahan nyeri pada rongga dadanya.
"Masih sakit...?" tanya Baya
"Sedikit Pukulannya dahsyat
sekali. Mungkin kalau tidak sedang mengerahkan tenaga dalam, sudah hancur dadaku
ini," sahut Tumenggung Pratala.
"Sebaiknya Paman bersemadi dulu,
untuk menghilangkan rasa nyeri di dada...," ujar Bayu menyarankan.
"Tidak periu lagi, Anak Muda. Aku yakin, dengan sedikit ramuan saja, rasa sakit
di dadaku akan segera
hilang." Bayu hanya mengangkat bahunya
saja. Memang, keadaan laki-laki
separuh baya ini sudah diperiksanya.
Dan rasanya tidak perlu dikhawatirkan.
Luka dalam yang dideritanya juga tidak seberapa parah. Hanya dengan melakukan
sedikit semadi dan meminum ramuan obat, pasti akan sembuh. Memang Bayu tadi
masih sempat merasakan adanya
aliran tenaga dalam di dada Tumenggung Pratala. Tapi hatinya tidak yakin kalau
tenaga dalam itu yang
menyelamatkannya. Pendekar Pulau
Neraka malah lebih yakin lagi kalau orang berbaju serba hitam itu tidak dengan
kekuatan penuh melancarkan pukulannya. Sehingga lawannya ini tidak cidera. Dan
hal itu yang membuat Bayu tiba-tiba saja jadi bertanya sendiri dalam hati.
Kenapa orang berbaju hitam dan
bertopeng itu tidak menciderai Apalagi membunuhnya..." Padahal dari apa yang
dilakukannya, tidak terialu sulit menewaskan tumenggung
ini. Tapi pukulan yang seharusnya bisa
mematikan, malah ditahan kekuatannya.
Sehingga, tidak mengakibatkan luka yang berarti, apalagi sampai
menewaskan. Namun pertanyaan itu hanya tersimpan saja dalam benak Pendekar Pulau
Neraka. *** Saat matahari muncul di ufuk
Timur, Bayu dan Tumenggung Pratala baru beranjak meninggalkan perbatasan Utara
Kerajaan Godaka. Mereka
melangkah Hdak tergesa-gesa memasuki wilayah kerajaan yang cukup besar ini.
Tumenggung Pratala hanya menuntun kudanya. Rasanya memang tidak mungkin menung-
yang kuda ini, sementara pemuda yang telah me-nyelamatkan nyawanya berjalan kaki
bersama seekor monyet kecil yang selalu nangkring di pundak sebelah kanan.
"Kau berasal dari mana, Bayu?"
tanya Tumenggung Pratala.
"Sebuah pulau kecil, tidak jauh dari Pesisir Pantai Utara," sahut Bayu.
"Sebuah perjalanan yang jauh,"
gumam Tumenggung Pratala perlahan.
"Lalu, ke mana tujuanmu?"
"Ke mana saja kaki ini melangkah, Paman," sahut Kayu.
"Kau tentu seorang pendekar, Bayu. Memang banyak pendekar muda yang mencari
pengalaman hidup dengan cara mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain
tanpa tujuan pasti. Hm..., kau tentu mempunyai julukan. Kalau boleh kutahu, apa
julukanmu, Bayu...?"
"Orang-orang memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Aku sendiri tidak tahu.
Mungkin karena aku berasal dari sana,
sehingga julukan itu diberikan
padaku," sahut Bayu lagi.
"Pulau Neraka. Hm.... Pulau itu pernah kudengar, dan memang tidak jauh dari
Pesisir Pantai Utara. Sebuah pulau mati yang tidak berpenghuni.
Dan, tak ada seorang pun yang sudi singgah di sana...," Tumenggung Pratala
menatap Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau
pemuda tampan yang berjalan di sampingnya benar-benar berasal dari pulau yang
sangat ditakuti para
nelayan di Pesisir Pantai Utara.
Sedangkan Bayu tetap saja
mengayunkan kakinya, seperti tidak peduli dengan pandangan laki-laki separuh
baya ini. Dan untuk beberapa saat mereka terdiam, tak ada yang bicara lagi.
Mereka terus melangkah menuju ke Kotaraja Kerajaan Godaka.
Beberapa orang sudah teriihat melintas di jalan tanah yang cukup lebar dan
berdebu, baik yang menunggangj kuda, membawa kereta, maupun yang hanya berjalan
kaki saja. Kehidupan memang sudah mewamai pagi ini. Dan mereka semua sudah mulai
sibuk dengan segala pekerjaan sehari-hari.
"Semalam kau mengatakan kalau mendengar semua percakapanku dengan si Penunggang
Kuda Bertopeng itu.
Seberapa banyak yang kau ketahui
Bayu...?" Tumenggung Pratala kembali membuka suara, setelah cukup lama berdiam
diri saja. "Tidak banyak," sahut Bayu singkat
"Lalu, kenapa menolongku?" tanya Tumenggung Pratala ingin tahu alasan Pendekar
Pulau Neraka menolongnya.
"Entahlah.... Mungkin aku percaya kalau Paman bukan seorang pengkhianat yang
sedang merencanakan
pemberontakan," sahut Bayu dengan suara perlahan agak mendesah.
"Seandainya aku benar-benar
pengkhianat seperti yang dituduhkan si Penunggang Kuda Bertopeng itu, apa kau
juga akan tetap menolongku?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Aku menolong Paman karena tidak
menyukai tindakan semena-mena.
Terlebih lagi, menjatuhkan tuduhan tanpa bukti yang cukup jelas."
"Aku kagum pada tindakanmu, Bayu.
Kau bertindak berdasarkan kenyataan yang teriihat."
"Tapi aku bisa cepat berbalik
bila kenyataan berbicara lain, Paman."
"Aku bisa mengerti."
Kembali mereka terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Sementara
mereka terus melangkah perlahan-lahan, jalan yang dilalui kini semakin banyak
dipenuhi orang yang sudah keluar dari rumah masing-masing. Dan memang,
gerbang perbatasan kota sudah teriihat Maka sebentar lagi, mereka
memasuki Kotaraja Godaka. Sebuah kota yang cukup besar dan padat
penduduknya. Suasananya selalu ramai, sejak matahari terbit sampai malam.
Kota itu baru bisa tidur setelah lewat tengah malam.
"Bayu, kau sudah membantuku. Dan tanpa disadari, kau sudah masuk ke dalam
persoalanku yang juga persoalan kerajaan. Jika tidak berkeberatan, aku ingin kau
membantu menyelesaikan
persoalan ini. Rasanya, sulit bagiku dan yang lain untuk memecahkan
persoalan ini dengan cepat. Meskipun, Gusti Prabu Bojananta sendiri sudah
melakukan penyelidikan dengan caranya sendiri," Tumenggung Pratala meminta
langsung kesediaan Pendekar Pulau Neraka tanpa basa-basi lagi.
"Apakah itu tidak berlebihan, Paman" Aku tidak tahu persoalannya.
Dan Paman sendiri belum mengenalku seluruhnya. Malah, baru semalam saja kita
bertemu," kata Bayu, agak terkejut juga mendengar permintaan Tumenggung Pratala
yang begitu langsung, tanpa basa-basi lagi.
"Aku baru ingat setelah kau
menyebutkan julukanmu, Bayu. Memang aku pernah mendengar julukan Pendekar Pulau
Neraka, dan segala sepak
terjangnya. Tapi tidak kusangka kalau Pendekar Pulau Neraka masih begini muda,
gagah, dan tampan. Aku yakin, kau pasti bersedia membantuku untuk menegakkan
keadilan di negeri ini, Bayu. Itu pun jika kau bersedia
membantuku," desak Tumenggung Pratala.
"Mungkin bisa kupertimbangkan, jika Paman bersedia menceritakan
keadaan yang sebenamya. Karena kulihat tidak ada tanda-tanda bakal terjadi
pemberontakan di sini," sahut Bayu tidak ingin mengecewakan harapan laki-laki
separuh baya ini.
"Terima kasih, Bayu. Pasti
seluruhnya akan kuceritakan," sambut Tumenggung Pratala gembira, meskipun
Bayu belum menyatakan kesediaannya secara langsung.
Bayu hanya tersenyum saja.
Sedangkan Tumenggung Pratala sudah langsung menceritakan semua perlstiwa yang
dialaminya. Sejak dijemput dari ketumenggunggan oleh Panglima Gajah Pati ke
Istana Godaka, sampai diserang orang-orang tak dikenal yang dipimpin seorang
misterius berjuluk si
Penunggang Kuda Bertopeng.
Bayu hanya diam saja
mendengarkan. Pendekar Pulau Neraka tidak berbicara sedikit pun, sehingga
Tumenggung Pratala bisa lancar
menceritakan semua kejadian di Balai Sema Agung Istana Godaka. Tak ada sedikit
pun yang dilewatkan. Semua jelas diceritakan. Sehingga, Bayu bisa benar-benar
mengerti keadaan yang sedang terjadi di lingkungan Istana Kerajaan Godaka.
Terutama, keadaan yang kini dialami para adipati dan tumenggung kerajaan ini.
* * * 4 Dengan halus sekali, Bayu menolak tawaran Tumenggung Pratala untuk
singgah di istana. Maka mereka
terpaksa berpisah di depan bangunan istana yang megah, dikelilingi tembok
benteng yang tinggi, tebal, dan sangat kokoh. Sementara Pendekar Pulau Neraka
terus melanjutkan langkahnya,
Tumenggung Pratala masuk ke dalam benteng yang mengelilingi bangunan istana ini.
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang, membungkuk memberi hormat saat
Tumenggung Pratala
melewatinya. "Kanjeng Tumenggung...!"
Tumenggung Pratala berhenti saat
kakinya hendak melangkah menaiki anak tangga istana. Kepalanya berpaling, dan
tubuhnya berputar begitu melihat Panglima Gajah Pati berlari-lari kecil
menghampiri. "Ada apa, Panglima Gajah Pati?"
tanya Tumenggung Pratala begitu
Panglima Gajah Pati yang masih berusia muda itu dekat di depannya.
"Putrimu.... Rara Gawing sudah pergi pagi-pagi sekali, tadi...,"
sahut Panglima Gajah Pari memberi tahu, dengan napas agak tersendat Tumenggung
Pratala hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, mendengar laporan panglima berusia muda ini.
"Tapi, Kanjeng...."
"Ada apa lagi, Panglima?"
"Rara Gawing tidak mau diantar.
Bahkan pergi seorang diri dengan
pakaian biasa," jelas Panglima Gajah Pari lagi.
"Katanya, Kanjeng Tumenggung sendiri yang menyuruhnya begitu. Benar,
Kanjeng...?"
"Ya, memang benar. Aku memang menyuruhnya menyamar agar tidak ada yang
mengenalinya. Aku rasa, hal itu lebih aman daripada dikawal prajurit,"
sahut Tumenggung Pratala seraya
tersenyum. Tumenggung itu senang, karena
anak gadisnya lemyata mengikuti semua kata-katanya. Bahkan Panglima Gajah Pati
sendiri sampai keheranan. Memang panglima muda itu tidak terbiasa
terhadap cara berpikir Tumenggung Pratala, yang tentu saja pengalamannya jauh
lebih banyak. Bagaimanapun juga, Panglima Gajah Pati masih terlalu
muda. Dia masih perlu menimba
pengalaman dari yang tua-tua seperti Tumenggung Pratala ini.
"Sepi sekali di sini. Apakah semua adipati dan tumenggung sudah kembali pulang,
Panglima?" tanya Tumenggung Pratala membelokkan arah pembicaraan.
"Sudah, Kanjeng. Kebanyakan
mereka berangkat sebelum matahari terbit. Tapi masih ada juga yang belum kembali
kekadipatenan atau
ketumenggungan," sahut Panglima Gajah Pati.
Tumenggung Pratala mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Maaf, Kanjeng. Pagi-pagj begini Kanjeng Tumenggung baru kembali dari luar
istana. Kemana saja sepagi ini, Kanjeng?" tanya Panglima Gajah Pati.
"Aku tidak bisa tidur semalaman.
Jadi, aku jalan-jalan saja sambil mengamati keadaan," sahut Tumenggung Pratala.
Tentu saja hal yang sebenamya
tidak dikatakan, pada panglima muda ini. Dan Tumenggung Pratala juga tidak akan
mengatakannya sampai orang yang dicurigai benar-benar ketahuan. Atau paling
tidak, mengetahui tanda-tanda
siapa di antara para adipati dan
tumenggung yang dikabarkan sedang merencanakan pemberontakan.
"Terlalu berbahaya berjalan
seorang diri dalam keadaan seperti ini, Kanjeng Tumenggung. Kenapa tidak meminta
beberapa pengawalan prajurit"
Aku pun bersedia mengawal jika Kanjeng Tumenggung meminta," kata Panglima Gajah
Pati. "Terima kasih, Panglima," ucap Tumenggung Pratala seraya tersenyum.
Sudah bisa diduga kalau kata-kata Panglima Gaja Pati yang barusan
didengarnya, menyiratkan rasa percaya panglima muda ini. Bahkan kata-katanya tak
mengandung kekhawatiran. Tapi bagaimanapun juga Tumenggung Pratala belum mau


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan hal yang
sebenamya. Hatinya sudah bertekad, harus mencari biang keladi dari semua
kekacauan ini. Terlebih lagi, harus bisa diketahui, siapa Penunggang Kuda
Bertopeng yang penuh misteri itu. Dan, apa tujuannya membuat keresahan di istana
ini, dengan mengatakan kalau ada di antara adipati dan tumenggung merencanakan
pemberontakan. Laki-laki separuh baya itu mulai
mengayunkan kakinya, meniti undakan
baru depan istana yang megah ini.
Panglima Gajah Pati mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kaki di
sampingnya. Mereka terus melangkah tanpa berbicara lagi. Hingga sampai di depan
pintu istana, empat orang
prajurit yang menjaga pintu segera membungkuk memberi hormat Mereka terus saja
melangkah, dan langsung masuk ke dalam ruangan berukuran besar yang disebut
ruangan Balai Sema Agung.
Ruangan itu memang tempat pertemuan antara Prabu Bojananta dan para
pembesar Kerajaan Godaka ini. Tak ada seorang pun teriihat di dalam ruangan yang
sangat besar ukurannya ini.
Bahkan seorang prajurit pun tidak teriihat.
"Seharusnya pagi ini ada
pertemuan. Kenapa tak seorang pun teriihat di sini, Panglima?" tanya Tumenggung
Pratala seraya merayapi
sekitarnya yang sunyi senyap, bagai berada di tengah-tengah kuburan.
"Tidak akan ada pertemuan lagi di sini, Kanjeng Tumenggung," sahut Panglima
Gajah Pati. "Tidak ada pertemuan lagi..." Apa maksudnya, Panglima?" Tumenggung Pratala
benar-benar tidak mengerti
atas jawaban Panglima Gajah Pati
barusan. "Karena pemberontaknya sudah ketahuan."
"Siapa?"
"Kau!"
"Apa..."!"
Kedua bola mata Tumenggung
Pratala kontan terbeliak lebar
mendengar kata-kata yang diucapkan Panglima Gajah Pati barusan. Dan
sebelum keterkejutannya hilang, tiba-tiba saja dari balik semua pintu yang ada
di setiap sisi ruangan berukuran besar ini bermunculan para prajurit berseragam.
Dengan senjata begitu lengkap, mereka langsung bergerak membuat kepungan.
"Apa-apaan ini, Panglima...?"
tanya Tumenggung Pratala meminta
penjelasan. "Maaf, Kanjeng Tumenggung. Aku terpaksa menangkapmu," sahut Panglima Gajah Pati.
"Panglima.... Jelaskan padaku,
kenapa aku dituduh sebagai
pemberontak?" Tumenggung Pratala meminta penjelasan
"Tindakan Kanjeng yang keluar sendiri malam malam, dan menyuruh Rara
Gawing meninggalkan istana secara diam-diam, sudah membuat suatu
kecurigaan. Dan dengan berat hati, terpaksa aku harus menangkapmu,
Kanjeng Tumenggung," jelas Panglima Gajah Pati.
"Ohhh...,"
Tumenggung Pratala
mendesah panjang.
Sungguh tidak disangka! Temyata
apa yang dilakukannya, bisa diketahui begitu cepat Bahkan panglima muda ini yang
mencurigainya. Dia benar-benar tidak tahu kalau semua ini sudah
diatur. Bakan tidak disangka kalau panglima yang masih berusia muda ini memiliki
pandangan yang begitu jauh.
Bahkan bisa bersikap wajar, hingga membawanya ke Balai Sema Agung ini
"Maaf, Kanjeng Tumenggung.
Sebaiknya Kanjeng tidak memberikan perlawanan yang bisa membuat kesulitan bagi
diri Kanjeng Tumenggung sendiri,"
kata Panglima Gajah Pati seraya
membungkuk memberi hormat
"Baiklah.... Tangkap aku,
Panglima. Kalau itu memang
bisa membuat suasana ini jadi berakhir,"
kata Tumenggung Pratala pasrah.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung."
"Tidak mengapa, Panglima. Kau hanya menjalankan tugas yang memang sudah
seharusnya kau lakukan."
Panglima Gajah Pati memerintahkan dua orang prajurit untuk meringkus tumenggung
separuh baya ini. Tanpa ada perlawanan sedikit pun, dua orang prajurit itu
meringkus Tumenggung Pratala setelah memberi hormat
Kemudian, mereka menggiringnya keluar dari Balai Sema Agung ini. Panglima Gajah
Pati memandangi sambil
menghembuskan napas panjang yang
terasa begitu berat.
Inilah kenyataan yang paling
sulit dihadapi. Bagaimana tidak..."
Dia harus mengamankan orang-orang yang telah dikenalnya dengan baik selama ini,
hanya karena tingkah sosok orang penuh misteri yang menjuluki dirinya Penunggang
Kuda Bertopeng. Sedangkan sampai saat ini, belum ada tanda-tanda akan terjadi
pemberontakan, seperti yang dikatakan si Penunggang Kuda Bertopeng itu. Panglima
Gajah Pati baru meninggalkan Balai Sema Agung ini setelah tidak ada lagi
prajurit di ruangan ini.
*** Sementara itu, tidak jauh dari
gerbang perbatasan Kotaraja Godaka, tampak seorang gadis mengendarai kuda
perlahan-lahan. Gadis cantik berbaju merah muda itu adalah Rara Gawing, putri
Tumenggung Pratala. Gadis ini memang sengaja mengenakan pakaian dari kalangan
biasa, agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya.
Dan sejak meninggalkan istana
pagi-pagi tadi, Rara Gawing memang tidak begitu terburu-buru. Kudanya
dikendalikan dengan langkah perlahan-lahan, sambil menikmati keindahan Kotaraja
Godaka. Dia memang tidak terlalu sering datang ke sini Dan kalaupun datang,
tidak banyak kesempatan untuk menikmati kota yang begitu indah dan semarak ini. Dan
sekaranglah kesempatan itu datang.
Rara Gawing tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Tidak heran bila sudah tengah hari ini, dia baru sampai di
perbatasan kota.
Tapi baru saja Rara Gawing
melewati gerbang perbatasan kota
sebelah Selatan, tiba-tiba saja....
"Heh...?"
Rara Gawing begitu terperanjat,
begitu tiba-tiba di sekitarnya
berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba hitam yang langsung mengepung rapat
sekali. Gadis Itu langsung mengenali, kalau orang-orang inilah yang telah
menyerang rombongannya ketika hendak ke Kotaraja Godaka. Dan jumlah mereka
memang begitu banyak, bersenjatakan senjata golok terhunus di depan dada.
Di antara orang-orang berbaju
serba hitam itu, tampak seorang
penunggang kuda yang juga mengenakan baju serba hitam. Namun, wajahnya tertutup
topeng kayu berwarna hitam pula, sehingga sangat sukar
mengenalinya. Rara Gawing langsung bisa merasakan kalau keadaannya
sekarang ini benar-benar tidak
menguntungkan. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling, merayapi orang-orang
berbaju serba hitam yang telah mengepung begitu ketat. Sehingga, tak ada celah
sedikit pun untuk bisa
keluar dari kepungan ini. Tapi, Rara Gawing tidak mau menyerah begitu saja.
Perlahan-lahan pedangnya yang
tergantung di pinggang diloloskan.
Sret! Gadis itu melintangkan pedangnya
sambil menatap tajam si Penunggang Kuda Bertopeng yang duduk tenang di
atas punggung kudanya yang berwarna hitam pekat berkiiat. Kuda hitam itu
bergerak melangkah mendekati Rara Gawing yang juga masih berada di atas punggung
kudanya, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar
setengah batang tom-bak lagi
"Kuharap, kau tidak membuat
kesulitan bagi dirimu sendiri, Rara Gawing," kata Penunggang Kuda Bertopeng itu.
Suaranya terdengar berat dan bernada aneh.
"Hm.... Apa maumu, Kisanak?"
tanya Rara Gawing dengan suara yang agak bergetar.
"Aku ingin kau ikut
denganku tanpa banyak tanya, dan tanpa membuat kesulitan yang bisa merugikan dirimu
sendiri," sahut Penunggang Kuda Bertopeng, masih dengan suara yang sama.
"Untuk apa aku ikut denganmu" Kau sudah membuat kesulitan bagi kami semua"
Bahkan telah keji menuduh
ayahku tanpa bukti Manusia kotor
sepertimu, tidak patut diikuti!" agak kasar nada suara Rara Gawing.
"Seharusnya, kau bisa menelaah keadaan yang sedang terjadi, Rara Gawing.
Mestinya kau bisa berpikir
jernih, dan bukan berteriak-teriak begitu. Apa yang kulakukan ini, demi keutuhan
Kerajaan Godaka yang sama sama kita cintai, Rara Gawing."
"Tapi semua yang kau lakukan,
justru membuat keresahan. Kau terlalu membabi buta, dan tidak memikirkan
akibatnya!" sentak Rara Gawing masih berang.
"Maaf. Aku terpaksa melakukannya.
Dan hanya itu jalan satu-satunya untuk menghambat gerakan mereka. Dengan keadaan
seperti ini, tentu mereka menyangka kalau gerakannya sudah
diketahui. Dan mereka pasti menahan gerakannya, sampai keadaan menjadi reda.
Nah! Di saat itulah bisa
kutemukan, siapa manusia-manusia
berotak kotor itu. Manusia yang tidak pemah puas dengan apa yang telah
dicapainya."
"Jangan bersilat lidah di
depanku, Kisanak!"
"Aku tidak bersilat lidah. Jika kau ingin tahu yang sebenamya,
sebaiknya ikut denganku. Akan
kutunjukkan kalau perbuatanku ini semata-mata demi kejayaan Kerajaan Godaka."
"Kenapa tidak di sini saja...?"
tantang Rara Gawing.
"Tidak. Ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang sangat suci
dan mulia."
"Hm...," Rara Gawing mengerutkan keningnya dengan bibir menggumam
perlahan. Beberapa saat Rara Gawing terdiam dengan kening sedikit berkerut
Sebentar kemudian, bibimya yang tipis dan selalu memerah itu menyunggingkan
senyuman tipis.
"Baik, aku akan mengikutimu. Tapi dengan satu syarat," tegas Rara Gawing.
"Syarat apa yang kau ajukan, Rara Gawing?"
"Kau harus dapat mengalahkanku dulu, tanpa bantuan orang-orangmu,"
kata Rara Gawing sambil tersenyum.
"Kau terlalu mengada-ada, Rara Gawing. Aku tidak ingin melukaimu."
"Terserah...! Jika kau tolak tawaranku, jangan harap bisa membawaku begitu saja.
Dan aku tidak menjamin keselamatan orang-orangmu!" ketus sekali nada suara Rara
Gawing. "Baiklah, jika itu keinginanmu, Rara Gawing. Tapi jangan menyesal jika kau
sampai terluka."
"Hup!"
Rara Gawing tidak banyak bicara
lagi, langsung saja melompat turun dari punggung kudanya. Manis sekali
gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu mendarat ringan
di tanah yang berumput cukup tebal. Sementara si Penunggang Kuda Bertopeng masih
tetap duduk di atas punggung kudanya. Dipandanginya gadis itu beberapat saat.
Kemudian dengan satu gerakan ringan, manusia berbaju serba hitam dan bertopeng
itu melompat turun dari punggung kudanya. Begitu manis sekali gerakannya,
pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
"Silakan. Kau boleh mulai lebih dulu, Rara Gawing," tantang si Penunggang Kuda
Bertopeng, meminta Rara Gawing menyerang lebih dulu.
"Hm.... Kau terlalu menganggap enteng diriku, Kisanak," dengus Rara Gawing agak
menggumam. Gadis itu segera membuat beberapa gerakan manis, dengan kebutan
pedangnya. Sementara si Penunggang
Kuda Bertopeng hanya memperhatikan saja. Bola matanya tampak tidak
berkedip, tersembunyi di balik topeng kayu hitamnya.
"Tahan seranganku, Kisanak!
Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Rara Gawing melompat cepat bagai kilat menyerang laki-laki berbaju
serba hitam yang menutupi wajahnya dengan topeng kayu itu. Cepat sekali
serangannya, sehingga kelebatan pedangnya sampai sulit diikuti
pandangan mata biasa.
"Uts! Hap...!"
Tapi si Penunggang Kuda Bertopeng itu bisa menghindari serangan-serangan Rara
Gawing yang begitu cepat dan dahsyat Gerakan-gerakannya begitu cepat dan lincah.
Liukan tubuhnya pun manis sekali. Sehingga, beberapa
tebasan pedang Rara Gawing tidak
sampai menyentuh tubuhnya.
Namun Rara Gawing tidak mau
menyerah begitu saja. Gadis itu terus melancarkan serangan gencar. Beberapa
jurus sudah cepat dikeluarkan secara ber-ganri-gantL Tapi sampai sudah habis
lima jurus, belum juga dapat mendesak orang penuh misteri yang ber-
juluk si Penunggang Kuda Bertopeng ini.
"Sudah lima jurus, Rara Gawing,"
desis si Penunggang Kuda Bertopeng mengingatkan.
"Jangan mengejekku! Hiyaaat..!"
Rara Gawing jadi tidak bisa lagi
mengendalikan diri, dan malah
menyerang semakin hebat saja. Dan ini sangat dirasakan si Penunggang Kuda
Bertopeng, sehingga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
"Edan...! Pertarungan ini
dianggapnya sungguh-sungguh. Hhh! Aku harus segera menghentikannya sebelum
telanjur," dengus Penunggang Kuda Bertopeng dalam hati.
Sedangkan Rara Gawing terus saja
melancarkan serangan menggunakan
jurus-jurus dahsyat dan cepat luar biasa. Sama sekali tidak disadari kalau apa
yang dilakukannya ini justru membuat si Penunggang Kuda Bertopeng semakin banyak
menarik keluar jurus-jurus-nya. Dan ini memang disengaja.
Si Penunggang Kuda Bertopeng itu ingin mengetahui, sampai di mana tingkat
kepandaian putri Tumenggung Pratala ini. Tapi hatinya juga jadi khawatir, karena
tampaknya Rara Gawing sudah
tidak bisa lagi mengendalikan diri.
Bahkan serangan-serangan gadis itu semakin dahsyat saja dan sangat
membahayakan. Bukan saja bagi lawan, tapi juga bagi dirinya sendiri.
"Cukup, Rara Gawing! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda Bertopeng melentingkan tubuhnya ke udara cepat
bagai kilat. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu meluruk ke belakang
Rara Gawing, sebelum gadis itu menyadari. Si
Penunggang Kuda Bertopeng sudah


Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan satu pukulan lunak ke
punggung gadis itu.
Desss! "Akh...!" Rara Gawing terpekik agak tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang, begitu punggungnya terkena pukulan lunak dari si Penunggang Kuda
Bertopeng. Dan begitu tubuhnya
berputar berbalik, si Penunggang Kuda Bertopeng sudah melompat cepat sambil
melepaskan satu totokan yang ringan ke bagian bahu kiri gadis ini. Begitu cepat
se rangannya sehingga Rara
Gawing tidak sempat lagi berkelit Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya memang
belum begitu sempurna. Dan....
Jleb! "Akh...!" lagi-lagi Rara Gawing terpekik tertahan.
Hanya sebentar saja Rara Gawing
masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya ambruk menggelimpang di tanah tidak
bergerak-berak lagi. Hanya kepalanya saja yang masih bisa digerakkan.
Sepasang Pedang Iblis 14 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pedang Awan Merah 2
^