Pencarian

Perawan Pembawa Maut 1

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut Bagian 1


PERAWAN PEMBAWA MAUT
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar Sampul : Alex
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Teguh Suprianto
Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 025 :
Perawan Pembawa Maut
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Prak! Sebuah guci keramik hancur
berkeping-keping dihantam kepalan tangan berukuran cukup besar yang dilingkari
gelang akar hitam pada pergelangannya. Meja tempat guci itu pun bergetar hebat,
lalu retak tepat di tengah-tengahnya. Empat orang yang berada di depan meja itu
seketika tersentak sampai terlompat mundur sekitar tiga langkah. Kepala mereka
tertunduk dalam, tak sanggup memandang laki-laki separuh baya
yang wajahnya memerah, dan gerahamnya bergemeletuk bagai tulang-tulang berpatahan.
"Goblok! Kerja begitu saja tidak becus...!" keras dan besar sekali suara laki-laki separuh baya ini.
Empat anak muda itu hanya
diam saja sambil tetap menundukkan kepala
menekuri lantai di bawah kakinya. Tak ada seorang pun yang berani memamerkan wajah. Apalagi
mengucapkan kata-kata. Mulut mereka bagai terkunci, tak mampu
lagi bersuara. Sedangkan laki-laki separuh baya bertubuh tinggi kekar dan berotot itu merayapi empat anak muda di
depannya, dengan mata
memerah bagai biji saga.
"Apa saja yang bisa kalian
kerjakan, heh..."! Baru begitu saja sudah tidak becus!" dengusnya lagi dengan
suara berat menggeram,
"Maaf, Ki...," ucap salah seorang anak muda memberanikan
diri. "Maaf..., maaf.... Hih!"
Plak! "Aduh...!"
anak muda itu mengeluh kesakitan.
Plpinya terasa panas bagai
terbakar terkena tamparan tangan
yang berukuran besar dan berbulu.
Bahkan tubuhnya sampai melintir dua kali.
Sedangkan tiga anak muda lainnya, semakin dalam tertunduk dengan tubuh gemetar hebat.
"Seharusnya, kalian mati saja daripada kembali lagi ke sini!" dengus laki-laki
separuh baya itu lagi.
"Ki..."!"
Empat orang anak muda yang
masih berusia sekitar dua puluh tahun
itu terkejut bukan main. Mereka langsung menjatuhkan diri berlutut, sehingga
keningnya menyentuh lantai. Tubuh mereka semakin gemetar hebat. Keringat pun semakin deras mengucur
membasahi sekujur tubuh.
Bahkan salah seorang mengeluarkan air pesing dari balik celananya. Bau tidak
sedap pun seketika menyengat
"Setaan..!"
geram laki-laki separuh baya itu.
Sambil bersungut-sungut, laki-
laki kekar itu berbalik dan melangkah.
Dengan ayunan kaki lebar-lebar, ditinggalkannya
ruangan ini. Sementara empat
anak muda itu masih tetap bersujud dengan kening menyentuh
lantai. Kepala mereka baru terangkat, setelah laki-laki separuh baya tadi sudah tidak ada
lagi di dalam ruangan ini. Sebentar mereka
saling berpandangan, lalu seperti anjing yang digebah, bergegas meninggalkan ruangan ini.
Mereka langsung menggeletak
begitu berada di luar. Saat itu, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun datang menghampiri.
Dia tertawa terkekeh melihat empat anak muda itu seperti tikus habis tercebur
ke dalam selokan. Sedangkan keempat anak muda itu
hanya diam saja, sambil duduk di
pinggiran papan beranda rumah berukuran cukup besar ini.
"Baru segitu saja sudah terkencing-kencing...,"
ejek laki-laki yang baru datang itu. Gagang goloknya yang berwarna kuning gading, tampak menyembul di pinggang. Empat anak muda itu hanya
diam saja. "Sebenarnya,
apa yang ditugaskan Ki Mangir...?" tanya laki-laki itu sambil duduk di dekat anak-anak
muda ini. "Melamar anak orang!" sahut salah
seorang anak muda itu, bersungut-sungut.
"Ha ha ha...!" laki-laki bergolok di pinggang itu tertawa terbahak-bahak.
"Kau bisa saja tertawa! Tapi kalau tahu anak gadis siapa yang
akan dilamar, baru tahu rasa! Huh!"
rungut anak muda itu lagi.
"Kalau perkara melamar anak
gadis..., nih! Serahkan padaku. Kabat
tidak pernah gagal memikat gadis-
gadis," orang itu menyombongkan diri dengan menepuk dadanya sendiri.
Empat anak muda itu hanya
mencibir saja. Memang diakui, laki-laki yang bernama Kabat ini berwajah cukup
tampan. Malah juga dikenal
sebagai jagoan dalam masalah perempuan. Tapi, tidak sedikit juga masalah
yang dihadapinya hanya gara-gara perempuan. Baru-baru ini saja Kabat hampir babak belur, gara-gara
mengganggu istri orang. Kalau saja Ki Mangir tidak segera turun tangan,
barangkali dia sudah mati dikeroyok orang sekampung. Untung saja penduduk Desa
Jati Laksa masih memandang segan pada Ki Mangir.
"Anak gadis siapa yang akan
dilamar Ki Mangir?" tanya Kabat lagi.
"Tanyakan saja sendiri," sahut salah seorang anak muda itu agak
mendengus. "He he he...," Kabat terkekeh meremehkan.
Dia bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam. Sedangkan empat anak muda itu
hanya memperhatikan dengan bibir
mencibir. Sementara
Kabat sudah lenyap di dalam rumah berukuran
cukup besar ini. Agak lama juga
Kabat berada di dalam. Dan begitu keluar, raut wajahnya sudah berubah.
"Bagaimana...?" tanya
salah seorang anak muda itu.
"Jangan tanya!" dengus Kabat terus berlalu. Keempat anak muda itu jadi tertawa
terpingkal-pingkal melihat tampang Kabat mendadak jadi kusut.
Sedangkan Kabat hanya mendengus
bersungut-sungut,
sambil terus melangkah pergi.
*** Kabat tersentak kaget begitu
tiba-tiba ada tangan menepuk

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pundaknya dari belakang. Laki-laki bergolok di pinggang itu mendengus berat
begitu melihat seorang laki-laki seusia dengannya tahu-tahu sudah di
belakangnya. Dibiarkannya saja laki-laki berbaju warna merah menyala itu duduk
di seberang mejanya. Bahkan dia masih diam meskipun araknya
ditenggak habis oleh laki-laki yang baru datang itu.
"Kulihat dari tadi, kau melamun terus. Ada apa?"
"Orang tua itu benar-benar sudah sinting!" dengus Kabat.
"Heh..."! Ada apa...?"
"Bayangkan saja!
Masa dia ingin melamar Minarti," suara Kabat masih terdengar mendengus seperti kesal.
"Minarti yang mana...?" tanya laki-laki yang sebenarnya bernama Gandik itu.
"Minarti mana lagi..." Hanya satu Minarti di desa ini."
"Maksudmu...,
Minarti putri Eyang Palagan...?"
nada suara Gandik seperti tidak percaya. ?
"Memangnya
ada berapa orang yang bernama Minarti di desa ini..." Mana lagi kalau bukan putrinya
Eyang Palagan..." Makanya kubilang Ki Mangir sudah Edan!"
"Kau sungguh-sungguh,
Kabat...?"
Gandik masih tidak percaya. "Kalau tidak percaya, tanya
saja pada anak-anak itu'" dengus Kabat seraya menunjuk empat anak
muda yang duduk di sudut kedai ini.
"Merekalah yang disuruh melamar Minarti. Huh! Bisa-bisa desa ini jadi lautan
api...!" "Masa sih, Ki Mangir begitu..."
Apa dia tidak...."
"Aku sendiri tidak habis mengerti, Gandik. Bisa-bisanya dia berpikir
seperti itu. Padahal istri mudanya saja, belum genap tiga bulan dinikahi. Eee..., sekarang sudah ingin melamar anak gadis orang"!
Bahkan anaknya Eyang Palagan lagi...," potong Kabat menggerutu.
"Kenapa dia punya pikiran gila begitu, ya...?" Gandik seperti bertanya pada diri
sendiri. "Aku sendiri tidak mengerti,"
sahut Kabat juga bingung.
Mereka jadi terdiam membisu.
Semua orang di Desa Jati Laksa ini tahu, siapa Eyang Palagan itu. Dia adalah
seorang pertapa tua yang
amat disegani, dan pernah menjadi kepala desa di sini. Bukan hanya itu saja.
Ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang dimilikinya pun tidak ada
tandingannya di seluruh desa ini.
Bahkan di seluruh desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Banjaran. Dia juga
begitu disegani oleh ketua-ketua padepokan
di sekitar Gunung Banjaran ini Tak ada seorang pun
yang mau coba-coba cari perkara
terhadap Eyang Palagan.
Maka memang sukar dipercaya kalau Ki Mangir akan cari perkara
dengan Eyang Palagan. Terlebih lagi sampai berani ingin melamar anak gadisnya. Padahal, istri Ki Mangir sudah enam orang. Dan
yang termuda saja, belum genap tiga bulan dinikahinya. Kalau anak gadis orang
lain, mungkin tidak akan jadi masalah. Tapi yang ingin dilamar Ki Mangir justru
anak gadis orang paling terpandang
dan disegani! Bukan hanya di Desa Jati Laksa ini, tapi juga seluruh desa yang tersebar di sekitar
kaki Gunung Banjaran.
"Kau juga mendapat tugas melamar Minarti?" tanya Gandik setelah cukup lama berdiam diri.
"Aku lebih baik pergi dari desa ini, daripada cari penyakit!" sahut Kabat agak
mendengus. "Dalam soal
begini, kurasa hanya kau yang dapat diandalkan Ki Mangir,"
Gandik mencoba mengangkat perasaan Kabat.
"Aku lebih memilih mati, daripada cari penyakit pada Eyang Palagan," sahut Kabat.
"Kalau Ki Mangir menyuruhmu, apa bisa kau tolak...?"
"Inilah yang membuatku pusing, Gandik," kali ini nada suara Kabat terdengar seperti mengeluh.
"Kenapa...?" .tanya Gandik.
"Ki Mangir malah menyuruhku
menculiknya,"
pelan sekali suara Kabat, dan hampir tidak terdengar.
"Apa..."!"
Gandik terlonjak kaget setengah mati.
Gandik memandangi Kabat, seperti tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sedangkan Kabat hanya diam saja
seraya menuang kembali arak dari
dalam guci ke dalam gelas bambu.
Lalu, arak itu diteguknya hingga tak bersisa lagi. Tanpa berkata apa-apa lagi,
Kabat beranjak pergi meninggalkan kedai minum ini.
"Mau ke mana kau...?" tanya Gandik, agak keras suaranya.
"Cari angin!" sahut Kabat seenaknya, dan terus saja berialu.
Sedangkan Gandik jadi bengong sendiri. Matanya kemudian melirik empat orang anak muda yang masih duduk
melingkari meja di dekat jendela. Gandik bangkit berdiri ingin menghampiri,
tapi keempat anak muda itu sudah lebih dulu beranjak pergi.
"Hhh...! Kalau benar Ki Mangir punya pikiran seperti itu, benar-benar sudah
gila!" keluh Gandik.
Baru saja Gandik hendak melangkah pergi, pemilik kedai yang sudah berusia lanjut mencegahnya.
Gandik terpaksa mengurungkan niatnya. Sementara laki-laki tua pemilik kedai ini segera membungkukkan tubuhnya, sambil cengar-cengir. "Ada apa"!"
tanya Gandik, agak membentak suaranya.
"Maaf, Den. Mereka semua
tadi belum membayar," jelas pemilik kedai ini, bernada menagih.
"Jadi...?"
"Ya.... Jadi, Aden yang membayar semuanya."
"Setan!" dengus Gandik.
"Aden kan, temannya. Jadi,
Aden harus membayar semua minuman mereka," ujar pemilik kedai itu.
Sambil bersungut-sungut,
Gandik terpaksa membayar semua
minuman. Kemudian dia cepat berlalu meninggalkan kedai ini. Sedangkan laki-laki
tua pemilik kedai itu hanya tersenyum-senyum
sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Memang anak buah Ki Mangir sudah
dikenal satu persatu di seluruh Desa Jati Laksa ini. Dan mereka memang tidak
ada yang pernah membuat keonaran, kecuali Kabat yang sering mengganggu perempuan-perempuan
di desa ini. Tidak peduli apakah itu istri orang atau bukan.
*** Siang ini udara di sekitar Desa
Jati Laksa terasa panas sekali. Matahari bersinar terik, bagai hendak membakar
semua yang ada di permukaan bumi ini. Langit begitu cerah,
tanpa awan sedikit pun menggantung. Dalam suasana begitu panas, memang nyaman bila berada
di sungai. Seperti siang ini. Hampir


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua penduduk Desa Jati Laksa
memadati sepanjang alur sungai yang menjadi pembatas antara desa ini
dengan Desa Rawa Kuning.
Di antara orang yang memadati sungai itu, terlihat pula Kabat bersama empat orang anak
muda. Mereka berdiri di bawah pohon untuk melindungi diri dari sengatan matahari
yang begitu terik membakar kulit Pandangan mereka tidak lepas ke arah seorang
gadis yang agak
menyendiri. Gadis berwajah cantik dan berkulit kuning langsat itu sama sekali
tidak merasa kalau tengah
diperhatikan. Dia terus sibuk mencuci pakaian di atas batu yang pipih.
"Sayang sekali kalau gadis secantik itu harus jadi istri Ki Mangir,"
desah Kabat agak menggumam.
''Tapi bagaimanapun juga, tugas ini harus dilaksanakan, Kang,"
tegas salah seorang anak muda yang berdiri di samping Kabat.
"Huh!"
Kabat hanya mendengus saja.
Sebenamya, Kabat enggan mendapat tugas seperti itu dari Ki Mangir. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Apalagi menolak. Bisa runyam urusannya kalau perintah orang yang paling berkuasa di Desa Jati
Laksa ini sampai tidak dilaksanakannya. Semua orang tahu, kekuasaan Ki Mangir melebihi dari kekuasaan
kepala desa. Tak ada
seorang pun yang berani menentang kehendaknya. Selain mereka, masih ada
tukang-tukang pukulnya yang memiliki kepandaian tinggi. Tiga orang di antaranya malah tidak pernah memandang sebelah mata jika sudah mendapat perintah.
"Dia sudah selesai, Kang," lapor pemuda yang mengenakan baju warna biru muda.
"Kalian pergi saja dulu. Ingat...!
Jangan sampai ada yang tahu," tegas Kabat, agak berbisik suaranya.
"Baik, Kang."
Keempat anak muda itu bergegas pergi dengan langkah lebar.
Sementara Kabat masih tetap berdiri di bawah pohon itu. Matanya terus
memperhatikan gadis bertubuh sintal yang hanya dililit kain sebatas dada.
Cantik sekali gadis itu, sehingga membuat jantung Kabat berdetak lebih cepat dari biasanya. Beberapa kali
ludahnya ditelan, untuk membasahi tenggorokan yang mendadak saja jadi terasa kering.
Sementara gadis itu terus berjalan sambil mengepit rinjing bambu di pinggangnya. Kabat mulai melangkah
perlahan-lahan begitu gadis yang diperhatikannya sudah
cukup jauh meninggalkan sungai. Tak ada
seorang pun yang memperhatikan, meskipun di sekitar sungai itu banyak orang.
Kabat mempercepat langkahnya begitu melihat gadis cantik itu berbelok ke kanan. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri,
lalu ke belakang. Merasa tidak ada seorang pun yang teriihat, Kabat cepat
melesat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sebentar saja dia sudah sampai di tikungan jalan, lalu
cepat berbelok ke kanan. Ayunan
kakinya begitu cepat dan ringan, karena mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah lumayan tingkatannya. Sekilas ma-
tanya masih sempat melihat kalau
gadis itu berbelok memasuki jalan setapak yang jarang dilalui orang.
"Hup!"
Kabat cepat melompat. Dua
kali tubuhnya berputaran di udara.
Dan begitu kakinya menjejak tanah di tikungan
jalan kecil, kembali dia berlari. Tapi, mendadak saja larinya dihentikan. Seketika kedua matanya jadi
terbeliak melihat empat anak muda yang tadi bersamanya di tepi sungai,
tengah bergelimpangan di tanah sambil merintih dan mengerang kesakitan.
"Heh..."!
Kenapa kalian..."!"
tanya Kabat terkejut setengah marl.
Keempat anak muda itu bergerak bangkit berdiri sambil meringis seperti menahan sakit di sekujur tubuh. Kabat jadi celingukan tidak
mengerti. Keempat anak muda itu tertatih-tatih menghampiri Kabat.
Mereka masih meringis memegangi
pinggangnya. Pakaian mereka pun
kotor berdebu, dengan wajah biru
lebam seperti baru saja dipukuli.
"Mana gadis itu..?" tanya Kabat. "Kita pulang saja, Kang," ajak salah seorang anak muda itu sambil meringis.
Kabat mendelik. Tapi sebelum
membuka mulutnya lagi, keempat anak muda itu sudah bergegas me-
langkah meninggalkan jalan setapak yang sepi ini. Kabat jadi kebingungan
sendiri. Bergegas disusulnya keempat anak muda yang sudah berbelok itu.
Kabat mendahului mereka, dan berhenti menghadang di de-pan.
"Ada apa dengan kalian" Apa
yang terjadi...?" tanya Kabat meminta penjelasan.
"Gapar...,
Sito..., apa yang terjadi pada kalian...?"
"Kita pulang saja, Kang," ajak salah seorang pemuda yang bernama Gapar.
"Tunggu dulu...'!"
sentak Kabat. "Jelaskan! Kenapa kalian jadi babak tfelur begini" Di mana gadis itu?"
Kabat terus mendesak meminta penjelasan. Dia benar-benar tidak
mengerti atas kejadian ini. Terlebih lagi, melihat empat anak muda ini yang menjadi babak belur.
Padahal, belum lama mereka pergi
dari tepi sungai tadi. Waktu yang begitu cepat, tapi sudah babak belur seperti
diamuk banteng.
"Gadis itu yang membuat kalian seperti ini?" tanya Kabat lagi melihat empat anak muda itu hanya diam
saja. Tapi mereka tetap saja diam,
tidak menjawab. Dan ini membuat
Kabat jadi bingung. Hatinya makin penasaran,
karena tidak ada penjelasan yang diberikan. Kabat merayapi wajah-wajah yang biru lebam dengan pakaian kotor penuh
debu. "Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kang. Aku takut dia muncul
lagi...," kata Gapar dengan suara pelan dan agak bergetar.
"Siapa yang kau maksud, Gapar...?"
tanya Kabat masih meminta penjelasan.
"Perempuan setan itu," sahut Gapar lagi.
"Heh..."!
Perempuan setan siapa...?"
Kabat terlonjak

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut tidak mengerti.
"Minarti," sahut Gapar pelan, hampir tidak terdengar suaranya. Dia seperti takut
menyebutkan nama itu.
"Siapa..."!
*** 2 Kejadian yang dialami Gapar
dan ketiga temannya siang tadi, membuat Ki Mangir gelisah sendiri.
Teriebih lagi Kabat yang diberi tugas menculik Minarti, putri pertapa Eyang
Palagan. Apa yang dialami Gapar dan ketiga
temannya, memang sukar dipercaya. Mana mungkin gadis cantik yang kelihatan lemah lembut, bisa membuat
empat orang babak belur
dalam waktu begitu singkat.
"Kau tidak berdusta, Gapar...?"
tegas Ki Mangir seperti ingin meyakinkan dirinya.
"Aku tidak berdusta, Ki. Minartilah yang membuat kami babak
belur begini," sahut Gapar, meyakinkan.
"Gerakannya begitu cepat, Ki.
Seperti setan," sambung Sito.
"Benar, Ki. Bahkan kami tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas
menyerang," sambung Kalil lagi.
"Dia benar-benar perempuan
setan, Ki," sambut Gapar lagi.
Sedangkan Ki Mangir hanya
diam saja sambil mendengar celotehan anak-anak muda ini. Sementara Kabat sejak tadi tetap
tutup mulut, dengan kening berkerut cukup dalam. Dia sendiri sebenarnya masih
belum bisa percaya kalau Minarti yang kelihatannya lemah, sanggup membuat Gapar, Sito, Kalil, dan Majan jadi babak belur begini.
Padahal kepandaian yang dimiliki mereka tidak bisa dipandang rendah.
Terlebih permainan kerja sama pedang yang terkenal sangat ampuh.
Kabat sendiri mengakui belum tentu mampu
menandingi jurus-jurus pedang mereka, bila bertarung melawan sekaligus.
"Sebaiknya,
urungkan saja keinginan itu, Ki," usul Kabat.
"Setan! Kau tahu apa, heh..."!"
bentak Ki Mangir.
Kabat langsung terdiam membisu. Kepalanya cepat ditundukkan menekuri lantai. Ki Mangir bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri jendela yang berukuran cukup
besar. Kemudian dia berdiri di situ
sambil bertopang pada kayu jendela yang terbuka lebar itu. Cukup lama
juga dia berdiri mematung sambil memandangi bulan yang bersinar penuh malam ini. Perlahan tubuhnya diputar, memandangi Kabat dan empat
anak muda yang duduk
bersimpuh di lantai.
"Aku tidak mau tahu. Pokoknya, Minarti harus berada di sini! Apa pun cara kalian, aku tidak peduli!"
tegas Ki Mangir.
"Ki..."!"
Kabat dan keempat anak muda itu seketika terlongong mendengar perintah yang begitu tegas. Mereka memandang laki-laki separuh
baya itu beberapa saat, kemudian saling melempar pandang.
Benar-benar sulit dimengerti keinginan Ki Mangir kali ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki
Mangir melangkah meninggalkan ruangan ini. Kini tinggal Kabat, Gapar, dan tiga pemuda lain yang hanya bisa
melompong seperti kerbau kehabisan rumput. Beberapa kali mereka saling melempar
pandangan, dan tetap duduk bersila di tengah ruangan yang cukup besar ini. Padahal, Ki Mangir sudah
tidak terlihat lagi.
"Sudah miring barangkali otaknya...!" dengus Gapar kesal.
"Hus! Jangan bicara sembarangan. Kalau dia dengar, bisa mampus kau!" sentak Kabat.
Gapar bangkit berdiri, diikuti
yang tainnya. Kabat pun demikian.
Tapi, mereka masih belum beranjak meninggalkan ruangan ini. Perintah Ki Mangir
benar-benar membuat mereka dongkol setengah mati. Teriebih lagi, empat anak muda
ini. Siang tadi,
mereka telah babak belur tanpa punya kesempatan sedikit pun untuk memberi perlawanan.
"Bagaimana, Kang...?" tanya Gapar menyerah.
"Habis, mau bagaimana lagi...?" desah Kabat seraya mengangkat bahunya.
Mereka kemudian melangkah
meninggalkan ruangan berukuran cukup besar ini dengan ayunan kaki lesu.
Tapi tidak demikian halnya dengan Kabat. Meskipun juga tidak suka terhadap perintah itu, tapi di dalam
hati kecilnya terselip rasa penasaran. Rasa penasarannya timbul atas kejadian siang tadi, yang dialami Gapar dan ketiga temannya ini.
Sementara itu, mereka sudah
sampai di luar rumah berukuran besar ini.
Mereka terus berjalan menyeberangi halaman depan yang
cukup luas. Beberapa orang bersenjata golok terfihat hilir mudik di sekitar rumah Ki Mangir yang cukup
besar ini. "Kalian mau ikut aku...?" tiba-tiba Kabat menawarkan.
"Ke mana?" tanya Gapar tidak bersemangat.
"Ke rumah Eyang Palagan,"
sahut Kabat. "Edan...! Mau apa ke sana?"
dengus Gapar seraya menghentikan
ayunan kakinya.
Kabat tidak menjawab, dan
malah terus saja mengayunkan kakinya keluar dari halaman rumah Ki
Mangir. Sementara Gapar dan yang
lainnya hanya saling pandang saja.
Entah kenapa, mereka tertarik untuk ikut. Mereka berlima terus berjalan
menyusuri jalan tanah berdebu yang sunyi.
Sementara malam terus merayap beranjak semakin larut. Di kejauhan terdengar lolongan anjing hutan
yang bisa membuat orang bergidik mendengamya. Tapi, kelima orang
itu terus saja melangkah semakin jauh meninggalkan rumah Ki Mangir.
*** Sementara itu, di salah satu
kamar di dalam rumah yang berukuran besar dan megah, tampak Ki Mangir tengah berdiri mematung di


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan jendela yang terbuka lebar.
Matanya tidak berkedip memandangi bulan yang bersinar penuh, tanpa
dihalangi awan sedikit pun. Langit malam ini kelihatan begitu cerah, gemerlap
oleh bintang bertaburan, sehingga
menambah indahnya suasana malam ini. Tapi tidak demikian halnya hati Ki Mangir yang kelihatan begitu gelisah dan tidak tenang.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan terasa
begitu berat. Perlahan tubuhnya diputar membelakangi jendela. Tapi belum juga kakinya
bergerak terayun, tiba-tiba saja terasa ada suatu desiran halus dari arah
belakang. Cepat-cepat tubuhnya dimiringkan ke kanan.
Wus! Pada saat itu terlihat secercah
cahaya keperakan berkelebat cepat di samping
tubuhnya. Cahaya kepe- rakan itu seketika menghantam tiang penyangga yang berdiri di tengah-tengah
ruangan ini. Ki Mangir jadi terbeliak begitu melihat sebuah benda berbentuk
bunga berwama keperakan menancap di tiang berukuran cukup besar itu.
"Hup...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Ki
Mangir langsung melesat keluar melompat jendela. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu saja dia sudah berada di luar dari kamar itu.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, laki-laki setengah baya itu menjejakkan kakinya di tanah berumput yang dibasahi embun. Cahaya keperakan sinar rembulan
langsung menyelimuti dirinya, sehingga membuat sinar matanya yang setajam mata elang dapat melihat sekelebatan sebuah bayangan di atas atap rumahnya.
"Hap...!"
Ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Ki Mangir memang sudah
mencapai tingkat tinggi. Sehingga, dalam sekali lompatan saja, dia sudah berada
di atas atap. Begitu ujung jari kakinya
menjejak atap, kembali tubuhnya melesat cepat dan ringan tanpa
menimbulkan suara sedikit juga. Sekelebat masih sampat terlihat sebuah
bayangan hitam bergerak cepat melompati tembok pagar bagian belakang.
"Hup...!"
Ki Mangir langsung mengempos ilmu meringankan tubuhnya hingga tingkat yang terakhir.
Tubuhnya langsung berputaran beberapa kali di udara sebelum ujung jari kakinya menyentuh ujung pagar tembok
bagian belakang. Kembali dia melenting mengejar bayangan hitam yang baru saja
mendarat di tanah. Ki Mangir
melewati atas kepala bayangan hitam itu, lalu manis sekali mendarat menghadang.
"Siapa kau..."!"
bentak Ki Mangir. Suaranya dingin dan dalam.
Sinar matanya yang tajam langsung menyorot sosok tubuh hitam yang
tampak terkejut melihat kemunculannya. Sosok tubuh itu langsung berhenti, lalu melompat ke
belakang beberapa tindak Seluruh tubuhnya ramping, dan terbungkus baju hitam
ketat. Bahkan seluruh kepalanya hingga wajah juga tertutup kain hitam. Hanya dua bulatan kecil pada
matanya yang terlihat Mata Ki Mangir
agak menyipit, mencoba mengenali sosok tubuh hitam di depannya. Tapi dalam keadaan malam seperti ini, memang sukar
mengenali wajah yang tertutup kain hitam itu.
Namun dari bentuk tubuhnya
yang ramping, sudah dapat dipastikan kalau orang ini pasti wanita. Ki Mangir
melirik sedikit pinggang sosok tubuh ramping. Di situ tampak tergantung sebilah
pedang panjang bergagang
hitam. Pada bagian ujung gagang
tampak sebuah batu wama merah.
Dicobanya untuk mengingat pedang
itu, tapi sukar untuk bisa mengenalinya. Ki Mangir merasa baru kali ini melihat pedang seperti itu.
"Kuperingatkan
padamu, Buaya Tua! Jangan coba-coba ganggu Minarti!" terdengar dingin sekali nada suara wanita berbaju
serba hitam itu.
"Heh..."!
Siapa kau sebenarnya..."!" Ki Mangir terlonjak kaget setengah mati.
"Aku si Perawan Pembawa
Maut! Kalau berani mengganggu Minarti sekali lagi, maka kau harus berhadapan
dengan maut!" sahut wanita berselubung hitam itu, lebih dingin dan datar suaranya.
"Hm...,"
Ki Mangir menggumam perlahan, tidak jelas.
Kembali ditelitinya wanita yang
mengaku berjuluk si Perawan Pembawa Maut. Meskipun berhasil
mengejar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tapi Ki Mangir yakin kalau wanita itu memiliki kepandaian
tinggi. Maka perlahan kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah. Tangan kanannya meraba
pinggang. Seketika, laki-laki separuh baya
itu terkejut. Ternyata baru disadari kalau dia tidak membawa
sepotong senjata pun.
"Kau ingin bermain-main, Ki
Mangir..." Baik. Aku memang ingin membuatmu berpikir dua kali untuk mendekati
Minarti," desis si Perawan Pembawa Maut.
"Phuih! Apa hubunganmu dengan Minarti, heh?" dengus Ki Mangir.
"Kau tidak perlu tahu, Buaya Tua!"
sambung perempuan berselubung hitam tidak kalah dingin.
Si Perawan Pembawa Maut
melangkah ke depan beberapa tindak. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangka yang tergantung di
pinggang. Sekilas, sinar keperakan berkelebat
menyilaukan begitu pedang itu keluar dari warangkanya.
Ki Mangir sedikit terkesiap melihat pamor pedang yang begitu dahsyat.


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun kelihatannya biasa saja, namun
ada kekuatan terselubung yang langsung dirasakan begitu pedang itu berada di luar warangka.
"Tahan seranganku, Buaya Tua! Hiyaaat...!"
Cepat sekali wanita berselubung hitam itu melompat menyerang. Pedangnya seketika berkelebat cepat membabat langsung ke arah leher laki-laki setengah baya itu.
"Uts!"
Ki Mangir cepat-cepat menarik
kepala ke belakang, sehingga ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan
tenggorokannya. Tapi harinya sempat terkejut, karena merasakan adanya
hawa dingin yang amat sangat begitu ujung pedang lewat di depan tenggorokannya. Cepat-cepat tubuhnya
melenting ke belakang, melakukan putaran dua kali.
Namun begitu kakinya menjejak tanah, si Perawan Pembawa Maut
sudah kembali menusukkan pedangnya ke arah dada dengan
kecepatan luar biasa sekali. Ki Mangir cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri,
sehingga tusukan pedang itu hanya lewat di samping tubuhnya. Laki-taki setengah
baya itu mengambil kesempatan sempit ini untuk membalas serangan.
"Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalam, Ki Mangir
mengibaskan tangan kirinya untuk
menyodok perut si Perawan Pembawa Maut. Tapi tanpa diduga
sama sekali, wanita itu tidak berkelit, dia malah seperti menerima sodokan
itu dengan mengibaskan tangan kirinya. Plak! "Heh..."!"
Ki Mangir tersentak kaget bukan kepalang begitu tangannya membentur tangan wanita ini. Maka dia cepat melompat mundur beberapa tindak.
Dari adu tangan itu sudah bisa dirasakan
kalau tenaga dalam si Perawan Pembawa Maut setingkat
dengannya. Dan wanita itu juga rupanya terkejut sehingga sampai melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh lima langkah.
Mereka kembali berdiri berhadapan, berjarak sekitar sepuluh langkah. Mereka sama-sama terkejut, dan
tidak menyangka akan kepandaian masing-masing yang tampaknya berimbang. Perlahan kaki mereka
bergerak berputar ke samping, seperti hendak menjajaki kekuatan masing-masing.
*** Keributan yang terjadi di belakang rumah Ki Mangir, rupanya terdengar para penjaga rumah itu.
Maka seketika mereka berdatangan
ke tempat itu. Dan ini membuat si Perawan Pembawa Maut mendengus
kesal. Sebentar ditatapnya tajam- tajam laki-laki separuh baya di depannya. Kemudian, cepat pedangnya dimasukkan kembali ke
dalam warangka di pinggang.
"Aku tidak suka mengotori tangan dengan darah anjing- anjingmu, Buaya Tua. Lain kali, aku akan datang menantangmu!" desis si Perawan
Pembawa Maut Setelah berkata demikian, cepat wanita itu melesat pergi. Ki Mangir tidak sempat lagi mencegah, karena
orang-orangnya sudah berdatangan ke tempat ini. Hanya
dipandanginya saja kepergian wanita berbaju serba hitam yang seluruh
kepalanya terselubung kain hitam pula. Di dalam hati, dia sempat mengagumi kepandaian orang aneh
yang tidak dikenalnya itu. Tapi kehadiran orang itu juga jadi menghasilkan segudang pertanyaan
yang menggayuti hatinya.
"Hm.... Siapa dia" Kepandaiannya tidak bisa dipandang
sebelah mata," gumam Ki Mangir periahan.
Sementara itu sekitar sepuluh
orang yang menyandang senjata golok sudah berada di dekatnya. Salah seorang dari mereka adalah
Gandik. Bergegas dihampirinya laki-laki setengah baya ini, dan berdiri di
samping kanannya. Tiga orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang
mengenakan pakaian aneh, dan menyandang senjata berbentuk aneh pula, berdiri di
belakang Ki Mangir.
Mereka itu adalah tukang pukul kebanggaan Ki Mangir.
"Apa yang terjadi di sini, Ki?"
tanya Gandik , "Hanya tikus betina
yang mencoba mengusikku," sahut Ki Mangir seraya mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat itu.
Gandik jadi melongo mendengar jawaban laki-laki separuh baya itu. Sebentar dipandanginya Ki Mangir
yang terus saja berjalan pergi.
Kemudian, diperintahkannya
para penjaga rumah laki-laki separuh baya itu untuk kembali ke tempat masing-masing.
Lalu, dihampirinya tiga orang bertampang aneh yang masih tetap
berdiri. Seorang yang menyandang golok besar bertangkai panjang, dan mengenakan
baju berwarna putih dikenal sebagai si Golok Setan. Satu orang lagi yang bersenjata sebuah pecut
buntut kuda, dan memakai baju berwarna hitam dikenal sebagai si Cambuk Api.
Sementara seorang lagi bertubuh kurus kerempeng dan tinggi.
Bajunya dari baban yang kasar dan
longgar. Julukannya, Jerangkong Hidup. Tak ada satu senjata pun
tersandang di tubuhnya.
"Seharusnya kalian menjaga
Ki Mangir," ujar Gandik seperti menyesali kejadian yang dialami Ki Mangir malam ini.
"Maaf. Kami tidak tahu kalau ada peristiwa malam ini," sahut si Golok
Setan. Suaranya terdengar besar dan berat sekali.
"Ada kejadian atau tidak, seharusnya kalian selalu berada di dekat Ki Mangir," selak Gandik.
Ketiga orang itu hanya diam
saja. Mereka tidak berani menjawab, karena Gandik orang kepercayaan Ki Mangir.
Bahkan kekuasaannya bisa


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disejajarkan dengan laki-laki separuh baya
itu. Dialah yang mengatur segalanya di rumah besar ini, dan hanya Ki Mangir saja yang bisa
menyuruhnya. "Mulai sekarang, kalian tidak boleh jauh dari Ki Mangir. Paham..."!"
tegas Gandik lagi.
"Kami mengerti," sahut ketiga orang itu berbarengan.
Gandik bergegas meninggalkan ketiga orang itu. Jalannya cukup cepat, dan ayunan
kakinya lebar. Sebentar ketiga orang bertampang aneh itu diam berdiri, kemudian
cepat-cepat kembali ke rumah besar itu. Mereka melewati
pagar tembok belakang, dengan lompatan ringan sekali. Sebentar saja mereka
sudah tidak terlihat lagi, tertelan di balik tembok yang cukup tinggj dan tebal bagai benteng. Dan
malam pun semakin beranjak larut
menyelimuti alam ini.
*** Peristiwa yang dialami Ki Mangir malam itu, cepat sekali tersebar. Bahkan sampai ke luar tembok rumahnya. Hampir semua penduduk Desa Jati Laksa ini sudah mendengar kejadian yang menimpa
laki-laki separuh baya itu. Tentu saja hal ini menjadi suatu pembicaraan hangat
semua orang. Yang pasti,
mereka tidak tahu ujung pangkal persoalannya, dan hanya bisa menebak-nebak saja.
"Aku yakin, kejadian semalam ada hubungannya dengan keinginan
gila Ki Mangir," jelas Gapar saat berada di kedai.
"Jangan keras-keras. Banyak
orang di sini...," bisik Kabat memperingatkan.
"Biar mereka semua tahu!" dengus Gapar yang memang sudah
kesal. "Kau cari penyakit saja, Par,"
rungut Sito. "Aku sependapat dengan Gapar," selak Kalil.
"Sependapat
bagaimana...?"
potong Kabat. "Peristiwa malam itu, pasti ada hubungannya dengan keinginan gila Ki Mangir,"
sahut Kalil. "Jangan-jangan,
orang yang membuat kita babak belur yang mendatangi Ki Mangir," tebak Majan yang sejak tadi diam saja.
"Jangan ngomong sembarangan," dengus Kabat.
"Aku bicara yang sebenarnya, Kang. Sebenamya, kami waktu itu
tidak tahu, siapa orang yang menyerang," jelas Majan lagi.
"Heh..."!"
Kabat jadi terperanjat mendengamya.
"Kalian bilang, yang menyerang adalah Minarti. Kenapa
sekarang lain lagi...?"
"Waktu itu, sebenarnya aku
tidak tahu apakah itu Minarti atau bukan. Kami memang melihat Minarti berbelok
masuk ke jalan kecil. Tapi begitu akan dihampiri, gadis itu tiba-tiba
menghilang. Sebentar kemudian muncul seseorang mengenakan baju
serba hitam, dan langsung cepat
menyerang,"
Majan menceritakan yang sebenarnya.
"Jadi, yang membuat kalian
jadi babak belur begitu bukan Minarti...?" tanya Kabat seperti ingin meyakinkan.
"Tidak tahu, Kang," sahut Majan lagi. "Aneh.... Aku membuntutinya
sejak dari sungai. Dia memang berbelok masuk ke jalan kecil itu.
Rasanya, mustahil kalau bisa berganti rupa
begitu cepat," suara Kabat terdengar menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
Mereka jadi terdiam. Begitu
menariknya, sehingga tak ada seorang pun yang menyadari kalau
pembicaraan itu didengar seorang
pemuda berwajah tampan yang duduk tidak jauh dari tentpat mereka duduk.
Seorang pemuda yang mengenakan baju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil nangkring di pundak kanannya. Tampaknya, pemuda itu tidak mempedulikan pembicaraan lima orang ini. Tapi sesekali matanya melirik juga dengan kening berkerut
"Kang, apa sebaiknya semua
ini kita ceritakan saja pada Ki Mangir,"
usul Majan. "Jangan...!"
sentak Gapar cepat Semua memandang Gapar.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh dari semua peristiwa ini,"
duga Gapar pelan.
"Maksudmu,
Par...?" tanya Kabat "Dari keinginan gila Ki Mangir saja,
sudah bisa kurasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ditambah lagi, munculnya orang aneh yang
mengaku berjuluk si Perawan Pembawa Maut. Aku yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Ki Mangir. Dan keinginan gilanya itu hanya
kedok belaka," Gapar memaparkan pikirannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Par...?" lagi-lagi Kabat meminta penjelasan.
"Semalam, kita semua kan ke
rumah Eyang Palagan. Dan hanya
Minarti saja yang menemui. Dia tidak mengatakan
apa-apa tentang ayahnya. Lalu, apa kalian melihat
Eyang Palagan dalam satu bulan
ini...?" agak berbisik suara Gapar.
Kabat dan yang lain hanya
menggelengkan kepala saja. Mereka memang tidak pernah lagi melihat


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Palagan dalam sebulan belakangan ini. Bahkan mendengar
kabamya saja tidak lagi. Tapi, itu memang sudah tidak aneh. Eyang
Palagan sering menghilang berhari-hari lamanya. Bahkan bisa satu, atau dua bulan
tidak kelihatan, maupun terdengar kabar beritanya.
"Biasanya kalau Eyang Palagan tidak ada, Minarti selalu bercerita kalau ditanya. Tapi semalam, dia malah tidak mengatakan apa-apa. Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi. Dan tentu saja Ki
Mangir mengetahuinya.
Makanya, dia ingin melamar
Minarti menjadi istrinya. Dan lamarannya pasti mengandung sesuatu yang sulit diketahui," lanjut Gapar.
"Ah! Kau terialu jauh berpikir, Gapar," selak Sito.
"Aku baru menduga. Tapi, siapa tahu bisa jadi kenyataan," kata Gapar
mempertahankan pendapatnya. "Ah, sudahlah.... Jangan berpikir yang jauh-jauh dulu. Sebaiknya kita lihat saja perkembangannya,"
Kabat menengahi. Mereka kemudian diam, tak
ada yang bicara lagi. Setelah menghabiskan semua minumannya,
mereka semua beranjak pergi meninggalkan kedai ini. Laki-laki tua pemilik
kedai terbungkuk-bungkuk
menerima ba-yaran dari Kabat, lalu mengantarkan
tamunya sampai di depan pintu. Sementara pemuda berbaju kulit ha-rimau yang sejak tadi diam-diam
mendengar semua pembicaraan itu, juga beranjak bangkit berdiri, setelah Kabat dan keempat anak muda itu meninggalkan kedai ini.
*** 3 Senja baru saja merayap turun
menyelimuti bumi. Sinar matahari kemerahan yang menyemburat lembut, hampir tenggelam di belahan bumi
bagian Barat Burung-burung pun mulai beterbangan kembali ke
sarangnya, setelah seharian penuh berkelana mencari penghidupan di
alam bebas bagai tak bertepi. Kicauan burung-burung menjadikan
senja yang temaram ini tampak begitu semarak, sehingga membuat suasana ceria
bagi seorang gadis cantik yang duduk menyendiri di beranda depan rumahnya.
Bibirnya bergerak tersenyum-senyum
sendiri menyaksikan burung-burung kecil begitu riang berlompatan ke sana
kemari dari dahan yang satu ke
dahan lain. Tapi mendadak senyumnya menghilang, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Pemuda berbaju kulit harimau itu
muncul dari balik sebatang pohon
yang cukup besar. Di pundak kanannya duduk mencangkung seekor monyet kecil berbulu hitam.
Gadis itu bangkit berdiri, seraya menutupi bagian dadanya yang tadi agak terbuka.
"Apakah aku mengejutkanmu,
Nisanak..?" sapa pemuda itu ramah, dengan senyum tersungging dibibir.
"Tidak," sahut gadis itu. "Ada yang bisa kubantu?"
"Sahabatku
ini kehausan. Boleh minta minum sedikit..?"
"Silakan. Itu di tempayan."
Pemuda berbaju kulit harimau ini
melangkah mendekati sebuah tempayan dari tanah liat di sudut beranda rumah kecil ini. Dibukanya tutup
tempayan itu, dan disendoknya air yang ada di dalamnya dengan
gayung dari tempurung kelapa. Air dingin yang segar itu diminumkan
pada monyet kecil di pundaknya. Kemudian
mukanya sendiri dibasuh dengan sisa air itu. Dan tempayan sudah ditutupnya kembali.
"Terima kasih," ucap pemuda itu, tetap lembut dan sopan suaranya.
Gadis itu hanya tersenyum saja. "Indah sekali senja ini. Boleh beristirahat barang sejenak di sini...?"
pinta pemuda itu lagi.
"Silakan," lagi-lagi gadis itu mempersilahkan dengan ramah.
Sambil menghembuskan napas panjang, pemuda berbaju kulit harimau ini duduk di pinggir beranda yang
terbuat dari belahan papan diserut halus. Tangannya mengambil monyet
kecil di pundaknya, lalu ditaruh di pangkuannya. Gadis itu kembali duduk agak jauh dari pemuda itu.
Beberapa saat mereka jadi terdiam. ''Tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah kau seorang pengembara?" tanya gadis itu menebak.
"Benar," sahut
pemuda itu. "Sudah cukup jauh perjalanan yang kutempuh. Entah berapa jauh lagi aku harus
berjalan mengelilingi rimba luas ini."
"Banyak pengembara yang singgah di sini. Dan biasanya, mereka bermalam di Desa Jati Laksa," jelas gadis
itu. "Desa yang indah, dan penduduknya pun ramah." "Kau sudah ke sana?"
"Singgah sebentar."
"Sayang sekali. Seharusnya kau bermalam di sana. Biasanya
kalau malam hari, Desa Jati Laksa selalu
ramai. Banyak yang bisa disaksikan di sana."
"Keindahan
biasanya menyembunyikan sesuatu yang sulit
diduga," kata pemuda itu agak bergumam suaranya, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Memang. Termasuk juga keramahan yang bisa menyimpan

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seribu maksud tertentu,"
sambut gadis itu diiringi senyuman.
Pemuda itu juga tersenyum.
Entah apa maksud senyuman mereka
ini. Dan pembicaraan yang tadi berlangsung juga seperti menyimpan suatu arti yang sukar diterka. Pemuda itu
menepuk-nepuk kepala monyet
kecil di pangkuannya.
"Aku Bayu," pemuda itu memperkenalkan diri tanpa diminta.
"Dan kau pasti Minarti," lanjutnya menebak
Gadis itu hanya tersenyum saja. Sedikit pun tidak terlihat adanya
keterkejutan di wajahnya setelah mendengar tebakan pemuda ini yang tidak meleset sama sekali. Dia seperti sudah
terbiasa menghadapi para pendatang yang sudah mengetahui
namanya, sebelum dia sendiri memperkenalkan diri.
Gadis yang memang bernama
Minarti ini menggeser duduknya lebih mendekat. Tangannya terulur, lalu mengelus-
elus monyet kecil di pangkuan pemuda berbaju kulit harimau ini Monyet kecil berbulu hitam itu jadi manja. Binatang itu berpindah ke pangkuan gadis ini, dan
menyembunyikan wajahnya di dada
yang membusung indah. Senyum di
bibir Minarti semakin lebar mengembang. "Siapa namanya?" tanya Minarti. 'Tiren," sahut Bayu.
"Lucu sekali. Sudah lama kau memilikinya?"
"Cukup lama juga."
Kembali mereka terdiam membisu. Tidak ada lagi kekakuan di antara mereka, seakan-akan sudah
lama saling mengenal. Padahal, baru beberapa saat saja mereka bertemu dan
berbicara. ''Tadinya aku ragu padamu.
Tapi setelah melihat pergelangan tangan kananmu, aku yakin kalau kau orang yang kutunggu," kata Minarti lagi.
Senyuman masih terkembang di bibirnya yang merah.
"Apakah kedatanganku teriambat?"
''Tidak. Malah lebih cepat satu
hari daripada yang dijanjikan."
Kembali mereka terdiam. Sementara matahari semakin jauh
tenggelam di sebelah Barat Suasana pun
semakin meremang. Minarti bangkit berdiri, membiarkan Tiren menggelantung memeluk pinggangnya. Dinyalakannya pelita yang tergantung di tengah-tengah atap beranda ini. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam, untuk
menyalakan pelita. Tak lama kemudian dia keluar lagi, lalu duduk di samping
pemuda berbaju kulit harimau ini. "Bagaimana keadaan ayah?"
tanya Minarti sambil mempermainkan bulu-bulu di atas kepala Tiren.
"Semakin membaik," sahut Bayu. "Banyak kejadian yang membuatku sulit tidur beberapa hari ini. Aku sendiri tidak tahu, apakah mampu
bertahan jika kau tidak segera datang,
Pendekar Pulau Neraka," kata Minarti lagi.
"Panggil saja aku Bayu," pinta Baya
"Bagaimana
kalau aku panggil... Kakang...?"
"Boleh juga," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Kau pasti lebih tua dariku."
"Mungkin."
Lagi-lagi mereka terdiam, seperti sedang mencari kata-kata yang bisa dibicarakan.
"Ada pesan dari ayah untukku, Kakang...?"
lagi-lagi Minarti yang membuka percakapan lebih dahulu.
"Hanya satu," sahut Bayu.
"Apa?"
"Kau dilarang
menggunakan Sangkal Ireng kalau tidak pertu. Hanya itu saja pesannya."
Minarti hanya tersenyum saja
mendengar pesan yang disampaikan
Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu
kemudian beranjak bangkit berdiri, kemudian
melangkah masuk ke dalam rumah ini. Bayu juga ikut
berdiri, tapi tidak masuk mengikutinya.
Minarti kembali muncul di pintu.
"Kau tidak ingin masuk, Kakang...?"
lembut sekali suara Minarti. "Sebentar," jawab Bayu tanpa berpaling.
"Sebentar lagi gelap. Aku siapkan dulu kamar untukmu," kata Minarti lagi.
Tidak periu repot, Minarti. Aku
bisa tidur di mana saja."
Tapi Minarti sudah tenggelam
di dalam rumah kecil ini, bersama Tiren yang masih menggelantung di pinggangnya.
Sedangkan Bayu masih berdiri
saja di depan beranda. Pandangannya beredar ke sekeliling.
Mendadak saja keningnya jadi berkerut, dan matanya agak menyipit Sekilas terdengar sesuatu yang ganjil, di
antara hembusan angin dan gemerisik dedaunan. Dan begitu wajahnya berpaling ke kanan, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan
berkelebat cepat di antara pepohonan. "Hup!"
Bagaikan Kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat mengejar bayangan yang dilihatnya sekilas tadi.
Begitu sempumanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan
tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah hilang dari pandangan mata.
*** "Hei! Berhenti...!" seru Bayu lantang.
"Hup! Yeaaah...!"
Indah sekali gerakan Pendekar
Pulau Neraka saat melenting di udara.
Begitu cepatnya, sehingga dapat melewati bagian atas seseorang yang dikejarnya. Lalu, kakinya mendarat manis
sekali di depan orang itu. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya
menjejak tanah yang hampir tertutup dedaunan kering. Tapi belum juga Bayu sempat
membuka mulut,

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba saja orang itu sudah mencabut goloknya. Tubuhnya lang-
sung melesat menerjang Pendekar
Pulau Neraka. "Hiyaaat...!"
"Heh..."! Hup!"
Bayu terkejut, dan cepat-cepat
memiringkan tubuhnya ke kiri untuk menghindari tebasan golok orang ini.
Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke belakang,
begitu golok berkilat keperakan itu lewat di samping tubuhnya. Tapi sebelum Pendekar
Pulau Neraka bisa melakukan sesuatu, kembali datang serangan
cepat dari orang bersenjata golok ini.
Bet! "Uts!"
Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya ke belakang, begitu golok berkilat keperakan berkelebat cepat di depan dadanya.
Dan sebelum golok menjauh, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kirinya.
Langsung dihantamnya pergelangan tangan orang yang memegang golok itu.
Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga tidak sempat lagi disadari lawan. Dan orang itu tidak punya
kesempatan menarik tangannya untuk menghindari
tebasan tangan kiri pemuda berbaju kulit harimau ini.
Tak! "Akh...!" orang itu
memekik keras. Seketika goloknya terlepas dari genggaman tangannya. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu sudah memberi satu
sodokan cepat dengan tangan kanan.
Untuk kedua kalinya, orang itu terpekik. Sodokan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tepat sekali menghantam bagian bawah lehernya.
Tak ampun lagi, orang itu langsung lemas.
Tubuhnya kontan melorot turun dan menggeletak tak berdaya lagi di tanah yang penuh daun kering ini.
Rupanya sodokan tangan kanan Bayu tadi merupakan suatu
totokan yang tepat mengenai pusat jalan
darah. Akibatnya, orang itu lemas seketika tanpa berdaya lagi.
Seluruh tubuhnya jadi lumpuh, tak dapat digerakkan lagi. Hanya bagian leher ke
atas saja yang masih mampu digerakkan. Bayu melangkah menghampiri, dan berdiri
tegak di samping tubuh yang tergeletak tak berdaya ini.
"Siapa kau"! Untuk apa kau
mengintaiku..."!" tanya Bayu dengan suara dingin menggetarkan.
Laki-laki bertubuh kurus kecil
dan berkulit agak hitam ini hanya diam
saja. Matanya berputaran merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka yang berada di atasnya. Tubuhnya dicoba digerakkan, tapi totokan yang diberikan Bayu begitu kuat. Maka, dia harus pasrah dalam ketidak
berdayaannya. "Aku bisa membunuhmu, semudah membalikkan telapak tangan," desis Bayu mengancam.
Mendapat ancaman demikian,
wajah laki-laki kurus kecil ini seketika pucat pasti. Bibirnya bergerak-gerak
menggeletar, tapi sedikit pun tak ada suara yang keluar. Bayu jadi tersentak
kaget. Baru disadari, kalau totokannya tadi juga membungkam pita suara
laki-laki ini. Cepat Bayu membungkuk, dan memindahkan totokannya. Laki-laki itu
mengeluh panjang. Suaranya kembali
terdengar setelah Bayu memindahkan totokannya.
"Jawab pertanyaanku! Untuk
apa kau mengintaiku...?"
Bayu mengulang pertanyaannya.
"Aku..., aku hanya disuruh,"
sahut laki-laki Itu tergagap.
"Disuruh siapa?" kejar Bayu.
Belum juga orang itu menjawab pertanyaan Bayu, tiba-riba saja
berkelebat secercah sinar keperakan yang langsung menghantam tubuhnya.
"Aaakh...!" laki-laki
bertubuh kurus kecil ini menjerit keras. Sebentar tubuhnya menggeletar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
Bayu terionjak kaget setengah mati.
Pandangannya cepat diarahkan ke
arah datangnya sinar keperakan tadi.
Tapi tak ada sesuatu pun yang dapat dilihatnya, selain pepohonan yang
mulai menghitam karena kurang mendapat sinar matahari.
Pendekar Pulau Neraka cepat
memeriksa tubuh laki-laki kurus kecil itu. Keningnya jadi berkerut melihat di
dada orang ini tertancap sebuah benda berbentuk bunga berwarna perak. Di sekitar dada yang tertancap bunga perak itu terlihat warna biru yang
semakin melebar. Bayu tahu,
benda ini mengandung racun yang
bekerja cepat dan sangat mematikan.
"Hm...,"
Bayu menggumam perlahan. Kembali pandangannya beredar ke sekitamya. Tapi tetap saja tidak terlihat ada orang lain. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya, sambil memasang tajam-tajam telinganya. Tak ada yang bisa didengar, kecuali desir angin yang berhembus agak
kencang sore ini.
Masih sulit bagi Bayu untuk
bisa menduga, mengapa dan siapa
orang melempar senjata rahasia itu.
Dan dia memang tidak ingin menduga duga dulu sebelum mengetahui lebih banyak
lagi. Pendekar Pulau Neraka kembali menuju ke rumah Minarti,
setelah yakin tidak mungkin bisa menemukan orang yang melemparkan bunga perak itu.
*** Bayu baru saja menginjakkan
kakinya di lantai papan beranda depan rumah Minarti, ketika tiba-tiba terdengar
jeritan dari dalam. Bergegas Pendekar Pulau Neraka
melompat masuk menerobos pintu.
Seketika matanya terbeliak, melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
tengah berusaha meringkus Minarti.
"Hey..."!" bentak Bayu keras menggelegar.
Laki-laki bertubuh tinggi besar


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hu terkejut mendengar bentakan Pendekar Pulau Neraka. Wajahnya
berpaling dan langsung melompat menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Satu pukulan keras dilancarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Tubuh Bayu cepat miring ke
kanan, menghindari pukulan laki-laki bertubuh tinggi besar ini. Kemudian
tubuhnya segera melenting ke belakang, melakukan putaran dua kali. Dan sebelum kakinya menjejak tanah,
Pendekar Pulau Neraka memberi satu tendangan keras dengan kedua kakinya. Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan Bayu, sehingga laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak dapat lagi menghindar.
Des! "Akh...!" dia memekik keras.
Tubuh yang besar bagai raksasa itu terpental jauh ke belakang, langsung menghantam dinding papan hingga jebol berantakan. Pendekar Pulau Neraka segera melesat mengejar sampai ke luar.
Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi
besar dan berwajah kasar penuh brewok itu sudah berdiri tegak di bagian samping rumah kecil ini.
"Kakang, awas...!" seru Minarti yang
tiba-tiba saja muncul dari dinding yang jebol berantakan.
Wusss! "Uts!"
Bayu cepat merundukkan kepala ketika tiba-tiba saja dari arah samping
kanan berhembus angin keras yang datang dari sebuah cambuk berbentuk buntut kuda. Senjata itu lewat sedikit di atas kepalanya. Pendekar Pulau Neraka
cepat menarik kakinya tiga langkah ke belakang. Pada saat itu, di depannya
beriompatan tiga sosok tubuh berperawakan aneh.
Yang seorang memegang golok besar bertangkai panjang. Dialah yang tadi hendak meringkus Minarti dengan paksa. Seorang lagi adalah yang
baru saja mengebutkan cambuknya yang berbentuk buntut
kuda. Sementara seorang lagi tidak kelihatan membawa senjata apa pun juga.
Tubuhnya kurus tinggi seperti tengkorak
terbalut kulit. Bayu memperhatikan ketiga orang ini satu persatu.
"Hm.... Siapa mereka...?"
gumam Bayu perlahan, bertanya pada diri sendiri.
Memang, baru kali inilah Bayu
melihat mereka. Dan tentu saja tidak mengenalnya.
Sementara ketiga orang berperawakan aneh itu sudah melangkah, menyebar ke tiga arah
untuk mengepung Pendekar Pulau
Neraka. Namun Bayu sudah siap
menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Pendekar Pulau Neraka terus
memperhatikan setiap gerak ketiga orang yang sebenarnya adalah tukang
pukul andalan Ki Mangir. Mereka memang ditugaskan untuk
menculik Minarti. Hanya saja, Bayu memang
tidak tahu maksud kedatangan ketiga orang itu.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja orang yang menggenggam golok besar bertangkai panjang melompat cepat sambil
mengebutkan senjatanya dengan kekuatan penuh ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Angin kebutan golok itu demikian dahsyat, menderu
kencang bagai angin badai.
"Uts!"
Bayu cepat merundukkan kepala sedikit, sehingga tebasan golok besar itu hanya lewat saja di atas
kepalanya. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa menarik kepalanya agar tegak kembali, satu serangan
kembali datang dari orang bertubuh
tinggi kurus seperti tengkorak hidup. Kedua tangannya
bergerak cepat menyambar beberapa bagian tubuh Bayu yang mematikan.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan-serangan itu.
Tubuhnya meliuk-liuk, dan beberapa kali
harus berlompatan menerima serangan-serangan
cepat dan bergantian dari ketiga orang ini. Beberapa kali pula Pendekar Pulau Neraka
terpaksa membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan menghindari serangan yang datang
bagaikan hujan.
Sementara Minarti yang menyaksikan pertarungan itu kelihatan cemas. Tapi dia tidak bisa berbuat
banyak untuk membantu, selain hanya bisa melihat dan berharap dalam hati agar Pendekar Pulau Neraka bisa mengatasi lawan-lawannya
yang tampaknya memiliki
kepandaian tinggi. Dan pertarungan itu pun terus berjalan semakin sengit.
Beberapa kali Bayu bisa memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya, dan setiap kali itu pula
ketiga orang pengeroyok jadi berjumpalitan kelabakan menghindari.
Meskipun dikeroyok tiga orang, tampaknya Pendekar Pulau Neraka
tidak mudah dilumpuhkan.


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya tinggj-tinggi ke udara. Setelah melakukan beberapa kali putaran, cepat dia meluruk turun dengan deras sambil cepat
mengebutkan tangan kanannya. "Hiyaaa...!"
Bet! Wuk! Seketika itu juga Cakra Maut
yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka melesat
cepat ke arah orang yang menyandang senjata golok besar bertangkai panjang. Kilatan cahaya keperakan dari Cakra Maut membuat
orang yang jadi sasarannya terkejut setengah mati.
"Yeaaah...!"
Bet! Wut! Beberapa kali orang itu mengebutkan goloknya, mencoba menghalau senjata maut Pendekar
Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga
sama sekali, Cakra Maut temyata
mampu bergerak, menghindari tebasan golok besar bertangkai panjang itu. Bahkan kini sudah cepat meluruk deras ke arah dada orang
bertubuh tinggi besar yang mengenakan baju kulit binatang ini.
"Heh..."! Ufs!"
Cepat-cepat orang itu membanting tubuhnya ke tanah, tapi tetap
saja ujung Cakra Maut membabat bahu kanannya. Akibatnya
orang bertubuh tinggi besar itu memekik agak tertahan. Seketika darah mengucur deras dari bahu
kanannya yang sobek tersambar senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka sudah menyerang seorang lagi yang memegang senjata cambuk buntut kuda. Beberapa kali
diberikannya pukulan beruntun yang keras dan mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, dengan tubuh tetap melayang di udara. Serangan Pendekar
Pulau Neraka dari arah atas ini,
rupanya membuat orang bersenjata cambuk buntut kuda itu jadi kelabakan. Setengah mati dia berusaha
menghindar dengan meliuk-
liukkan tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali.
Tapi ketika Bayu melentingkan
tubuhnya melewati kepala, orang itu jadi
gugup. Dan sebelum bisa menyadari apa yang akan dilakukan Pendekar Pulau Neraka, mendadak
saja.... "Yeaaah...!" Des!
Serangan Pendekar Pulau Neraka yang bertubi-tubi, membuat orang bersenjata
cambuk buntut kuda itu kelabakan. Setengah mati dia
berusaha menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali! "Akh...!"
Laki-laki bersenjata cambuk buntut kuda itu terpekik keras, dan terjungkal
mencium tanah begitu punggungnya terkena tendangan keras menggeledek dari Pendekar
Pulau Neraka. Dan sebelum bisa
menggelimpang, Bayu sudah mendarat di tanah. Pendekar Pulau Neraka langsung mengangkat tangan kanannya ke
atas kepala. Maka Cakra Maut
kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
"Lari...!" teriak orang bertubuh tinggi kurus tiba-tiba.
Tanpa banyak suara lagi, ketiga orang itu langsung berlari serabutan. Pendekar Pulau Neraka
hanya memandangi saja tanpa ada
maksud mengejar. Melihat ketiga orang itu berlari lintang-pukang,
Minarti bergegas keluar menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Rasanya
ingin Minarti memeluk, tapi keinginannya ditahan dan hanya berdiri saja memandangi pemuda tampan berbaju kulit harimau ini.
*** 4 "GoWok...!" Brak!
Meja dari kayu jati tebal seketika hancur berkeping-keping
terkena pukulan Ki Mangir yang marah setengah mati atas kegagalan ketiga
tukang pukulnya menculik Minarti. Wajahnya memerah, dan bola matanya
berkilatan menyimpan amarah yang meluap bagai bendungan yang hampir jebol kelebihan air. Bukan hanya ketiga tukang
pukul berperawakan aneh itu yang
ada di ruangan ini. Kabat, Gandik, dan empat anak muda pengikutnya
juga ada di sana. Mereka semua
terdiam membisu, tanpa ada yang
berani mengeluarkan suara. Bahkan memandang wajah Ki Mangir saja
tidak berani. Sementara Ki Mangir merayapi
kepala-kepala yang tertunduk di depannya.
Sudah segala cara dilakukannya untuk mendapatkan Minarti, tapi sampai saat ini belum juga
menampakkan hasil. Bahkan sampai menggunakan cara kasar pun, tidak juga berhasil. Dan ini membuat laki-
laki setengah baya itu semakin berang saja. Teriebih lagi tadi setelah mendengar
laporan kalau Minarti sekarang punya pelindung seorang
anak muda berkepandaian tinggi. Dan itu
berarti ada dua orang yang melindungi Minarti. Hanya saja, yang
seorang lagi

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dikenali siapa orangnya. "Aku tidak mau tahu cara kalian. Yang jelas, besok Minarti sudah ada di sini!" tegas Ki Mangir.
"Ki..."!"
Gandik hendak membantah. Tapi Ki Mangir sudah melangkah meninggalkan ruangan ini.
Semua orang yang ada di dalam
ruangan berukuran cukup besar itu jadi teriongong saling berpandangan.
Mereka tidak mengerti terhadap sikap Ki Mangir yang begitu aneh. Tidak biasanya
laki-laki setengah baya itu demikian gigih menginginkan seorang gadis.
Apalagi, gadis yang diinginkannya bukan gadis sembarangan. Putri seorang pertapa yang amat disegani di Desa Jati
Laksa! Bahkan juga disegani desa-
desa lain yang berdekatan dengan
desa ini. ''Terpaksa, kita harus melakukan perintahnya,"
desah Gandik "Menculik Minarti...?"
Kabat tebengong seperti kerbau kehabisan rumput
"Pekerjaan bunuh diri!" dengus Gapar.
*** Sementara malam masih terus
merayap menyelimuti bumi. Angin semakin keras berhembus, menyebarkan udara dingin menusuk
sampai ke tulang. Agak jauh dari
rumah penduduk Desa Jati Laksa,
Bayu masih terlihat duduk di beranda depan, ditemani Minarti. Gadis itu juga
duduk beralaskan tikar, tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
Mereka sama-sama tidak bisa tidur, setelah peristiwa usaha penculikan yang
menimpa Minarti.
Mereka memandang lurus ke
arah puncak Gunung Banjaran yang
tampak angkuh, menjulang tinggi terselimut kabut tebal. Angin dingin yang bertiup kencang, memaksa Bayu harus
melindungi dirinya di tiang beranda rumah ini. Matanya menatap Minarti yang masih saja memandang ke
arah puncak gunung yang menghitam pekat berselimut kabut.
"Apa yang dilakukan ayah malam-malam begini di puncak gunung itu, ya...?" desah
Minarti perlahan, hampir tidak terdengar suaranya. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kau rindu ayahmu, Minarti?"
tanya Bayu. "Kakang! Kenapa ayah melarangku pergi ke sana?" Minarti malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Tapi yang
pasti, ayahmu punya maksud tertentu," sahut Bayu.
"Kalau aku ada di sana, tidak mungkin si tua bangka Ki Mangir
menggangguku,"
desah Minarti seperti mengeluh.
Bayu menggeser duduknya lebih mendekat pada gadis ini. Diambilnya tangan Minarti dan digenggamnya hangat-hangat. Minarti membiarkan saja jari-jari tangannya
digenggam Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa saat mereka saling berpandangan, namun perlahan Minarti mengalihkannya ke arah lain.
Entah kenapa, dadanya jadi berdebar kencang mendapatkan
sorot mata pemuda tampan ini. Dengan halus,
tangannya dilepaskan dari genggaman pemuda berbaju kulit harimau itu. "Minarti, boleh aku tahu. Mengapa Ki Mangir begitu menginginkanmu?"
tanya Bayu dengan suara lembut.
Minarti hanya diam saja, tidak
menjawab pertanyaan itu. Gadis itu hanya menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat.
Dengan ekor mata, diliriknya Tiren yang melingkar di sudut beranda ini.
Monyet kecil itu sudah tertidur lelap sejak tadi. Cukup lama juga Minarti
terdiam, dan kini perlahan kepalanya bergerak
Kembali ditatapnya Pendekar Pulau Neraka yang duduk
dekat di depannya. Maka, kembali
mereka saling berpandangan. Bayu
masih menunggu jawaban gadis cantik yang masih berusia sekitar sembilan belas tahun ini.
"Kau memang cantik, Minarti.
Tapi aku yakin, bukan karena kecantikanmu yang membuat Ki Mangir begitu gigih menginginkanmu,"
duga Bayu lagi.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang Sejak kecelakaan yang menimpa ayah, Ki Mangir jadi sering datang ke sini. Tadinya aku tidak
berprasangka apa-apa. Tapi begitu
keinginannya diutarakan, aku langsung menolak Dia langsung marah, lalu...," Minarti tidak melanjutkan kata-katanya.
"Dia sudah main kasar, Minarti.
Apa memang sikapnya begitu jika
menginginkan sesuatu?" tanya Bayu lagi.
"Istri Ki Mangir memang banyak, dan tersebar di mana-mana.
Malah belum ada tiga bulan habis
menikahi gadis desa sebelah. Biasanya, dia tidak melakukan kekerasan apa pun. Dan kalau lamarannya ditolak, juga tidak marah dan
memaksa. Apalagi sampai bermain kasar seperti ini."
Bayu mengerutkan keningnya.
Sebelum sampai di rumah gadis ini, Pendekar Pulau Neraka sudah dua
hari di Desa Jati Laksa. Dan sudah sering mendengar tentang Ki Mangir.
Laki-laki separuh baya, dan orang terkaya di Desa Jati Laksa. Bahkan
kekuasaannya melebihi kepala desa itu sendiri. Tak ada seorang pun yang berani
mengusiknya. Ditambah lagi, Ki Mangir punya banyak tukang pukul yang
berkepandaian cukup tinggi. Jadi, sedikitnya Bayu sudah tahu


Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang Ki Mangir selama dua hari berada di Desa Jati Laksa.
"Minarti. Seberapa jauhkah hubungan antara ayahmu dengan Ki
Mangir?" tanya Bayu lagi.
"Biasa saja. Tidak ada yang
istimewa," sahut Minarti. "Tapi...."
''Tapi kenapa, Minarti?" desak Bayu cepat
"Sebelum terjadi musibah itu, beberapa kali ayah dan Ki Mangir
pergi bersama. Aku tidak tahu, ke mana
mereka pergi. Bahkan terkadang sampai tiga hari baru pulang. Dan kalau mereka sedang
berbicara, ayah selalu melarangku mendengarkannya," jelas Minarti lagi.
"Mereka pergi hanya berdua
saja?" tanya Bayu lagi.
"Benar!"
Bayu terdiam. Dia jadi teringat
peristiwa kecelakaan yang menimpa Eyang Palagan. Waktu itu, kebetulan Bayu
sedang berjalan di tepi jurang di lereng Gunung Banjaran. Tiba-tiba terdengar
jeritan panjang melengking tinggi dari arah seberang jurang yang tidak begitu
besar. Pendekar Pulau Neraka segera melompati jurang, dan mendapat seorang laki-laki tua berjubah putih terhimpit sebongkah batu besar. Seluruh tubuhnya hampir
tenggelam, dan hanya kepala serta satu
kakinya saja yang terlihat. Untungnya laki-laki tua itu bisa hidup, meskipun
hampir seluruh tulang tubuhnya remuk Bayu membawanya ke puncak
Gunung Banjaran, karena laki-laki tua berjubah putih yang ternyata Eyang Palagan
memintanya untuk dibawa ke sana. Hampir seluruh tulang tubuhnya remuk akibat
terhimpit batu. Sehingga Eyang
Palagan tidak mampu menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
Bayu merawatnya sampai lebih satu purnama. Kemudian Eyang Palagan
kembali bisa berjalan, meskipun harus dibantu tongkat.
Laki-laki tua itu pulang sebentar ke rumahnya, dan kembali lagi ke puncak Gunung Banjaran.
Sebelum ke gunung itu, dia sempat berpesan
sedikit pada Pendekar Pulau Neraka untuk menemui putrinya yang masih tinggal di pinggiran Desa Jari
Laksa. Bayu sendiri tidak mengerti, tapi hanya menuruti saja setelah Eyang Palagan mengatakan
kalau putrinya sedang dalam bahaya.
Dan Bayu sendiri pun tidak mengira kalau
Minarti sudah mengetahui tentang dirinya, meskipun mereka belum pernah berjumpa. Tapi sudah bisa diduga kalau Eyang Palagan
sudah menceritakan tentang dirinya pada gadis ini. Dan ternyata, Minarti
memang dalam bahaya seperti yang
dikatakan ayahnya pada Pendekar
Pulau Neraka. Hanya saja, memang
belum diketahui bahaya apa yang
sesungguhnya sedang menyelimuti diri gadis ini.
"Minarti! Apakah ayahmu meninggalkan sesuatu...?"
tanya Bayu, setelah cukup lama mereka
berdiam diri. "Hanya Sangkal Ireng," sahut Minarti.
"Apa itu?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang belum tahu, apa yang dimaksudkan dengan Sangkal Ireng, meskipun
sudah pernah mendengarnya dari Eyang Palagan.
"Hanya sebatang pedang," sahut Minarti lagi.
"Pedang ayahmu?" tanya Bayu lagi
"Mungkin," jawab Minarti ragu-ragu. "Pedang itu tidak ada yang tahu, kecuali
ayah dan aku sendiri. Pedang itu selalu tersimpan dan tidak pernah digunakan, kecuali jika aku sedang berlatih
jurus-jurus permainan pedang" "Kau juga bisa ilmu olah kanuragan...?" Bayu
terkejut tidak menyangka. "Sedikit," jawab Minarti.
'Tapi kenapa tidak melawan
sewaktu akan diculik?"
Minarti tidak menjawab, dan
hanya tersenyum saja seperti menyembunyikan sesuatu.
"Aku tidak ingin ada orang lain tahu kalau aku belajar ilmu olah
kanuragan. Ilmu-ilmu yang kupelajari juga peninggalan mendiang ibuku.
Sama sekali ayah tidak mengajarkan ilmu olah kanuragan padaku. Ayah
hanya memperbaiki saja kekurangannya," jelas Minarti.
"Dalam keadaan seperti ini,
kau tidak periu lagi main sembunyi, Minarti. Terlalu berbahaya bagi dirimu
sendiri," Bayu menasihati.
Lagi-lagi Minarti hanya tersenyum saja.
"Hm...,"
tiba-tiba Bayu menggumam perlahan.
"'Ada apa, Kakang?" tanya
Minarti dengan suara agak berbisik
"Aku mendengar sesuatu yang
mencurigakan," bisik Bayu.
"Pasti mereka datang lagi,"
desis Minarti. "Sebaiknya kau masuk saja,
Minarti. Biar mereka kuhadapi," ujar Bayu.
Minarti beranjak bangkit berdiri
dan melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Bayu hanya memutar tubuhnya menghadap ke
depan. Pendekar Pulau Neraka tetap duduk bersila di tengah-tengah ruangan
beranda depan rumah ini. Telinga dan matanya ditajamkan, mengamati setiap
gerakan dan suara sekecil apa pun yang bisa didengamya.
"Sembilan orang...,"
desis Bayu, agak menggumam suaranya.
Wusss! "Hup! Yeaaah...!"
*** Bagaikan kilat, Bayu cepat melesat keluar dari beranda itu begitu sebuah
benda berwarna hitam meluncur deras ke arahnya. Benda itu seketika menghantam lantai beranda dari
papan yang tadi diduduki Pendekar Pulau Neraka, hingga hancur berkeping-keping
memperdengarkan ledakan dahsyat
meng-gelegar. Akibatnya, Tiren yang sedang
tidur melingkar di sudut beranda langsung terbangun kaget.
Monyet kecil itu mencerecet
ribut, langsung ber-lari-lari ke sebatang pohon rindang yang tidak jauh di samping rumah kecil ini.
"Keluar kalian...!" teriak Bayu lantang.
Belum lagi hiking suara Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari
balik pepohonan bermunculan empat orang
anak muda yang mungkin sebaya dengan Bayu sendiri. Mereka langsung
mengepung dari empat jurusan sambil menghunus pedang
tipis yang panjang di tangan. Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan yang
bersinar penuh. Bayu memperhatikan empat orang anak
muda itu

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu persatu. Mereka memang pernah dilihatnya di kedai, dan dikenal sebagai anak buah Ki
Mangir. Mereka memang Gapar, Sito, Kalil, dan Majan. Gumam Bayu sambil tersenyum
sinis. Sementara keempat pemuda
bersenjata pedang terhunus itu sudah bergerak
perlahan memutari Pen- dekar Pulau Neraka yang berdiri di tengah-tengah.
Pedang mereka berkelebatan di depan dada, memantulkan cahaya keperakan dari sinar bulan yang tak tertutup awan sedikit pun
juga. "Untuk apa kalian datang ke
sini?" tanya Bayu, dingin.
"Menjemput
Minarti," sahut Gapar tidak kalah dingin.
"Kalian tidak setuju dengan
rencana majikan kalian sendiri. Kenapa masih juga mau melaksanakan perintahnya...?"
pancing Bayu. "Kau tidak periu banyak tanya, Kisanak!" bentak Kalil.
"O.... Jadi, kalian ingin menyingkirkan aku dulu, baru membawa Minarti...,"
nada suara Bayu semakin terdengar sinis.
"Banyak mulut! Hiyaaat...!"
Kalil langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Pedangnya berkelebat cepat mengarah ke dada. Tapi hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit, Bayu bisa mengelakkan ujung pedang
itu dengan manis sekali. Bahkan tanpa diduga sama sekali,
tangan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat menyodok ke arah
perut. Bet! "Uts!"
Tapi sebelum sampai ke perut,
Bayu cepat menarik tangannya kembali begitu sebuah pedang lain cepat membabat ke arah tangannya.
Pendekar Pulau Neraka cepat melompat mundur beberapa langkah.
Pada saat itu, dari arah lain datang lagi serangan yang cepat. Terpaksa
tubuhnya melenting ke udara dan
berputaran beberapa kali sebelum
kembali menjejak tanah.
Keempat anak muda itu teriongong melihat Bayu sudah berada di luar kepungan. Mereka
cepat berbalik dan berlompatan mengepung kembali. Bahkan lang-
sung memberi serangan-serangan
cepat dari empat arah secara bergantian. Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari sabetan dan tusukan pedang yang berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya. Beberapa kali Bayu melesat ke
udara, dan keluar dari kepungan mereka. Tapi dengan cepat keempat anak muda itu kembali melakukan
serangan-serangan
dahsyat dan berbahaya. Dalam beberapa jurus
saja, Bayu sudah dapat menilai kalau jurus-jurus
permainan pedang keempat lawannya cukup baik dan
rapi. Kalau bukan Pendekar Pulau
Neraka, sudah pasti akan dibuat bungkam dengan cepat. Tapi kali ini, mereka menghadapi tokoh pendekar
digdaya yang berkepandaian tinggi dan
sukar dicari tandingannya. Sehingga, keempat orang itu harus mengerahkan
seluruh kemampuannya dalam permainan pedang yang cepat, saling susul, rapi, serta beraturan.
Sebentar saja keempat anak
muda itu sudah mengeluarkan sepuluh jurus, tapi belum juga bisa mendesak Pendekar Pulau Neraka.
Bahkan serangan-serangan
yang dilancarkan dapat dipatahkan Bayu dengan mudah. Tak satu pun yang
mengenai sasaran. Dan justru setiap kali
Bayu melakukan serangan balasan, mereka jadi kelabakan menghindari. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau
Neraka cepat memutar tubuhnya sambil berteriak keras menggelegar.
Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya bergerak menyambar ke
arah empat orang pemuda yang mengeroyoknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga keempat anak muda ini jadi sukar untuk melihat ke mana
arahnya. Dan tiba-tiba saja....
Des! Begkh! Dua orang anak muda itu tiba-
tiba terpekik, dan tubuhnya terpental ke
belakang. Sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, kembali terdengar dua pekikan menyusul. Seketika langsung terlihat dua orang lagi terjungkal mencium tanah.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Bayu sudah berdiri tegak dengan kedua tangan menggenggam
empat batang pedang.
Gapar, Sito, Kalil, dan Majan
jadi terbeliak melihat pedang mereka sudah
berpindah tangan. Mereka sama-sama memegangi dada dan
perut yang terasa nyeri terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat dan tak dapat dihindari lagi.
Trek! "Hah...!?"
Empat anak muda itu teriongong melihat pedang mereka
dengan mudah dipatahkan begitu saja. Bayu melempar empat batang
pedang yang sudah berpatahan itu ke depan
para pemiliknya.

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan senyuman tipis yang hampir
tidak terlihat. Sedangkan Gapar dan ketiga temannya masih
terbengong dengan mulut terbuka lebar. Baru kali ini mereka mendapatkan lawan begitu tangguh, bisa
merampas pedang tanpa diketahui sama sekali gerakannya.
Dan sekarang, pedang-pedang itu
sudah berpatahan, tergeletak di depan kaki masing-masing.
"Jika kalian masih ingin melihat matahari esok pagi, cepatiah pergi dari sini!" dengus Bayu dingin.
Tapi keempat anak muda itu
bukannya pergi, bahkan malah berlompatan mengepung Pendekar Pulau Neraka lagi. Tidak dipedulikan lagi kalau tadi mereka sudah dapat
dijatuhkan dengan mudah. Mereka
mengeluarkan sepasang pisau yang
diambil dari balik lipatan baju masing-masing. Kini di tangan mereka sudah
tergenggam masing-masing sepasang pisau tipis sepanjang jengkal.
"Nekat..!" dengus Bayu, kesal.
*** 5 Bayu benar-benar geram melihat kebandelan empat anak muda yang
kembali berlompatan menyerangnya. Bahkan kali ini serangan-serangan
yang dilakukan lebih dahsyat dari yang pertama.
Pisau-pisau mereka berkelebat cepat di
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sedikit pun tidak juga bisa menyentuh ujung rambut Bayu.
Jurus-jurus berlalu cepat, membuat pertarungan
berlangsung dahsyat. Sedikit kelengahan saja, bisa berakibat maut.
"Kalian sudah membuatku marah!" geram Bayu sengit.
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu juga
tubuhnya bergerak cepat menyambar salah seorang dari anak muda itu. Dan rupanya yang jadi
sasaran adalah Majan. Satu pukulan keras dilepaskan. Begitu cepatnya serangan
yang dilakukan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga Majan tidak sempat menghindar lagi.
Des! "Akh...!" Majan memekik keras tertahan.
Tubuh pemuda itu terpental
deras ke belakang, sampai menghantam sebatang pohon yang
berada di belakangnya. Belum lagi jeritannya hilang dari pendengaran, Bayu sudah
cepat berbalik. Pendekar
Pulau Neraka cepat melompat. Dan
kali ini sasarannya adalah Kalil. Begitu cepat gerakannya, membuat
Kalil hanya dapat terpana tanpa bisa melakukan
sesuatu untuk menyelamatkan diri. Seketika satu tendangan keras menggeledek yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
tepat menghantam dadanya.
"Aaakh...!" Kalil menjerit keras sekali.
Dia terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan darah langsung mengucur dari
mulutnya. Saat itu Bayu sudah memutar tubuhnya lagi. Kali ini calon korbannya
adalah Sito. Mata Pendekar Pulau Neraka menatap tajam pemuda itu. Maka Sito bergegas melangkah mundur dengan
wajah seketika memucat.
"Mundur kaliaan..!"
Tiba-tiba saja terdengar suara
keras menggelegar, disusul munculnya seorang laki-laki separuh baya bertubuh tegap yang masih
tampak jelas kegagahannya. Tak lama kemudian, kembali muncul seorang laki-laki setengah baya lainnya. Kedua orang itu langsung mendarat sekitar sepuluh langkah di depan
Pendekar Pulau Neraka. Mereka adalah Kabat dan Gandik,
dua orang yang menjadi kepercayaan Ki Mangir.
Gapar dan Sito menarik napas
lega atas kemunculan dua orang itu.
Sejak tadi, mereka sebenarnya sudah gentar menghadapi Pendekar Pulau
Neraka. Bahkan sudah
menyadari sejak tadi kalau tidak bakal unggul melawan
pemuda berbaju kulit harimau ini. Sementara Bayu jadi tersenyum sinis melihat kemunculan dua orang laki-laki setengah baya ini.
"Hhh...!"
*** "Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Kabat dengan suara tegas.
"Namaku Bayu. Dan kalian pasti kaki tangannya Ki Mangir," sahut Bayu memperkenalkan diri, langsung
menebak dua orang laki-laki setengah baya di depannya.
Kabat dan Gandik saling berpandangan. Sementara Gapar dan Sito
membantu kedua temannya berdiri. Keadaan mereka tampak parah, karena mengalami luka dalam akibat hajaran Bayu yang cukup keras tadi.
Padahal tidak disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tapi hajaran itu cukup membuat kedua pemuda anak buah
Ki Mangir harus beristirahat sedikitnya tiga
hari, untuk memulihkan kesehatan tubuhnya. Mereka tertatih-tatih menjauhi tempat itu, dan berhenti
setelah berada di tempat yang cukup aman. Bayu sempat melirik ke arah empat
pemuda itu. "Anak muda! Boleh kutahu, ada hubungan apa antara kau dengan Minarti?" tanya Gandik
"Minarti tunanganku! Dan kalian tidak berhak mengganggunya.
Jelas..."!" sahut Bayu, tegas.
Jawaban tegas Pendekar Pulau Neraka itu tentu saja membuat Kabat
dan Gandik jadi melongo terkejut. Sungguh tidak disangka kalau
anak muda yang mengenakan baju
kulit harimau ini tunangan Minarti.
"Kau jangan mendustai kami,
Anak Muda," sentak Gandik tidak percaya.
"Dia tidak dusta...!" tiba-tiba saja
terdengar suara keras yang

Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantang. Bukan hanya Gandik dan Kabat yang terkejut, tapi Bayu juga tersentak
kaget mendengar suara yang begitu keras dan lantang dari
arah rumah kecil di pinggiran Desa Jati
Laksa ini Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan rumah kecil
itu sudah berdiri seseorang bertubuh ramping mengenakan baju
serba hitam. Seluruh kepalanya pun terselubung kain hitam pula. Hanya dua
lubang kecil saja di bagian matanya, sehingga membuat sepasang bola mata bening bercahaya terlihat dari balik selubung kain hitamnya.
"Perawan Pembawa Maut...,"
desis Gandik langsung mengenali.
Gandik teringat peristiwa yang
menimpa Ki Mangir malam itu. Meskipun hanya melihat sekilas ketika wanita
itu menyatroni rumah Ki Mangir, tapi dia cepat bisa mengenali.
Dan Ki Mangir sendiri pernah menga-
takan kalau orang yang dihadapi menyebutkan julukannya sebagai Perawan Pembawa Maut
"Katakan pada majikanmu. Hentikan nafsu gilanya. Dan jangan coba-coba lagi mengganggu Minarti.
Gadis itu sudah punya tunangan yang akan melindunginya!" tegas wanita berbaju
serba hitam itu lagi, dengan suara lantang.
"Bagaimana...?" tanya Kabat berbisik dekat di telinga Gandik.
"Sebaiknya
kita pergi saja dulu," sahut Gandik.
"Yah Keadaan memang tidak
menguntungkan,"
Kabat langsung menyetujui. "Hubungi yang lain. Kita kumpul di tepi sungai," ujar Gandik lagi.
Setelah berkata demikian, Gandik cepat berbalik dan melesat pergi. Kabat pun bergegas mengikuti jejak
temannya. Demikian pula keempat anak muda yang sudah
babak belur. Mereka tentu saja tidak bisa
bergerak cepat, tapi tetap berusaha meninggalkan tempat ini
dengan sisa-sisa kekuatan yang ada.
Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya dan melangkah mendekati
wanita berbaju serba hitam yang masih tetap berdiri di depan rumah Minarti.
"Terima kasih, kau membantuku mengusir mereka," ucap Bayu
seraya menjura membungkukkan tubuhnya.
"Jangan berterima kasih kepadaku. Dan itu memang sudah
tugasku untuk melindungi Minarti. Seperti juga kau," sergah
wanita Pendekar Super Sakti 11 Rahasia Benteng Kuno Thian Ge Tjiat Kiam Karya Chin Yung Pertarungan Dikota Chang An 2
^