Pencarian

Prahara Di Pantai Selatan 2

Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan Bagian 2


ini dia berada di Pantai Selatan. Waktu itu dia sama sekali tidak sempat
memperhatikan sekelilingnya.
Saat itu dia hanya punya satu tujuan, membalas kematian
ayahnya. Dan setelah semuanya terlaksana, dia langsung
pergi mengembara.
Yang pasti, saat itu Juragan Basra memang sudah
berkuasa di daerah ini.
"Belum lama ini ada yang mencoba menghentikan
perbuatan Juragan Basra. Tapi.. ," Nyai Sinah tidak meneruskan.
Bayu memandang janda cantik itu dalam-dalam,
Meskipun tidak diucapkan, dari sinar matanya dapat
diketahui kalau Pendekar Pulau Neraka ingin meminta Nyai Sinah meneruskan
ucapannya. Dan rupanya Nyai Sinah bisa
mengerti arti pandangan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Dia seorang pemuda, mungkin sebaya denganmu,
Bayu.. ." Nyai Sinah memang sudah diperkenalkan pada Bayu
oleh Paman Jangir kerika mereka mengunjungi kedai wanita ini. Dan kunjungan
Pendekar Pulau Neraka yang pertama
mendapat suasana yang tidak me-ngenakkan dari Juragan
Basra. "Sebaiknya kita bicara di rumah saja, Nyai," ajak Bayu merasa tidak enak berdua
dengan seorang wanita di tempat sepi seperti ini.
"Terialu banyak kesulitan kalau di rumah, Bayu," Nyai Sinah menolak.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Kemudian mengajak wanita ini ke tempat yang lebih nyaman.
Hutan ini memang tidak begitu lebat, karena penduduk di
sekitar Pesisir Pantai Selatan memperoleh kayu bakar dari sini. Dan memang
beberapa kali terlihat orang mencari kayu bakar, atau keluar sehabis berburu.
Mereka kemudian berjalan bersisian. Sambil berjalan,
Nyai Sinah menceritakan tentang pemuda yang tadi
dikatakan pernah mencoba menentang kelaliman Juragan
Basra. Dan Bayu sendiri jadi tertarik, setelah teringat dengan cungkup makam
yang berada di tengah-tengah hutan tepi
pantai ini. Bisa jadi pemuda yang dikatakan Nyai Sinah itu adalah Hanggara.
*** "Siapa nama pemuda itu, Nyai?" tanya Bayu.
"Hanggara," sahut Nyai Sinah.
"Hanggara. ."!"
Sebenarnya Bayu memang sudah menduga. Tapi toh
akhirnya dia terkejut juga saat Nyai Sinah menyebut nama pemuda yang tewas di
tangan anak buah Juragan Basra,
akibat hendak menghentikan aksi juragan kaya itu. Namun
Bayu cepat menyembunyikan rasa terkejutnya, sebelum Nyai Sinah bisa mengetahui.
"Sebenarnya Kakang Hanggara tidak kalah. Tapi
Juragan Basra berlaku curang," lanjut Nyai Sinah.
"Curang" Curang bagaimana, Nyai?" Bayu minta
penjelasan lagi.
"Dia menyanderaku, dan mengancam akan membunuhku kalau Kakang Hanggara tidak mau menyerah.
Sebenarnya aku sudah meminta Kakang Hanggara jangan
menghiraukan aku, tapi dia menyerah juga. Juragan Basra
memenggal kepalanya hingga.. ,"
Nyai Sinah tidak melanjutkan kata-katanya.
Janda cantik ini mendongakkan kepalanya, karena
tidak sanggup membayangkan peristiwa mengerikan yang
terjadi di depan matanya. Tanpa disadari, setetes air bening bergulir di
pipinya, Namun dia cepat menyadari, dan
memalingkan muka sambil menghapus air matanya.
Meskipun begitu, Bayu sempat melihat setitik air bening yang bergulir di pipi
halus itu. "Kau menangis, Nyai. ?" lembut suara Bayu.
"Tidak. .," sahut Nyai Sinah tetap membelakangi
Pendekar Pulau Neraka.
Namun suaranya jelas terdengar tersendat Dengan
lembut sekali, Bayu membalikkan tubuh wanita itu. Dan Nyai Sinah tidak dapat
membendung air matanya lagi. Dia jatuh terduduk, sambil menangis sesenggukan.
Satu kelemahan yang dimiliki Bayu. Dia paling
kebingungan kalau menghadapi wanita yang sedang
menangis. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Pendekar Pulau Neraka hanya bisa menunggu sampai tangis
Nyai Sinah reda.
Agak lama juga Bayu terdiam menunggu tangis Nyai
Sinah reda. Dan selama menunggu, dia hanya diam saja.
Karena memang tidak mampu melakukan apa-apa untuk
menghibur. Apalagi menghentikan tangis. Memang, selama
tinggal di Pulau Neraka bersama Eyang Gardika, dia tidak pernah melihat air mata
menitik. Apalagi mendengar suara tangis. Yang ada hanya kekerasan alam. Dan
lagi, Eyang Gardika tidak pernah mengatakan kalau makhluk yang
bernama wanita itu mudah sekali menangis. Sehingga tidak mengherankan
kalau Bayu tidak mengetahui cara menghentikan tangis seorang wanita.
"Maafkan aku, Bayu. Aku. .," suara Nyai Sinah
terputus-putus.
"Sudahlah.. ," hanya itu yang bisa diucapkan Bayu.
"Aku sudah mencoba untuk melupakan, dan
berusaha tabah. Tapi sulit.. sulit sekali melupakan Kakang Hanggara. Dia satu-
satunya laki-laki yang memperhatikanku, dan rela berkorban demi keselamatanku,"
lanjut Nyai Sinah masih dengan suara tersendat
Bayu hanya bisa diam mendengarkan. Dugaannya
kalau di antara Nyai Sinah dan Hanggara terjadi suatu
hubungan istimewa mulai terlihat jelas. Rasanya tidak
mungkin kalau Juragan Basra memanfaatkan wanita ini
untuk menghentikan perlawanan Hanggara tanpa alasan
kuat "Aku dan Kakang Hanggara sudah merencanakan
untuk berumah tangga. Tapi Kakang Hanggara tidak bisa
melihat perlakuan Juragan Basra dan tukang-tukang
pukulnya yang selalu memerasku. Makan seenaknya di
kedaiku, dan mengambil apa saja tanpa membayar. Bahkan
uang daganganku juga mereka rampas. Dua orang tukang
pukul Juragan Basra tewas oleh Kakang Hanggara. Dan
inilah yang membuat Juragan Basra marah. Tidak sedikit
tukang pukulnya tewas, setiap kali mencoba menangkap
Kakang Hanggara. Hingga akhimya aku diculik. Kakang
Hanggara terpaksa menyerah demi keselamatanku,"
sambung Nyai Sinah panjang-lebar.
"Lalu, suamimu yang dulu?" tanya Bayu.
"Juga tewas oleh Juragan Basra. Suamiku tidak ingin menjual perahunya. Waktu
suamiku ke laut perahunya ada
yang bakar. Suamiku tewas bersama tiga orang temannya di dalam perahu."
Bayu kembali terdiam. Sudah cukup berat penderitaan yang dialami Nyai Sinah. Dan pasti penderitaan serupa juga dialami
sekian banyak penduduk Pesisir Pantai Selatan ini. Nyai Sinah sendiri tidak
tahu, kenapa Juragan Basra selalu saja mencari perkara setiap ada laki-laki yang
mencoba mendekatinya. Hingga akhirnya baru tadi malam
dia tahu kalau Juragan Basra sebenarnya ingin mempersunting dirinya.
Sudah barang tentu, Nyai Sinah menolak lamaran
laki-laki gemuk yang sudah tidak terhitung lagi istrinya.
Tersebar hampir di seluruh pelosok Pesisir Pantai Selatan ini.
Bahkan sampai ke desa-desa Iain. Tapi tak satu pun dari
istri-istrinya yang diperhatikan. Kehidupan mereka sama
sengsaranya dengan yang lain. Dan tidak ada seorang laki-laki yang berani
mendekati, karena sekali mencoba, pasti tewas di tangan tukang-tukang pukulnya
yang kejam. "Bayu.. ," pelan sekali suara Nyai Sinah.
Bayu hanya menggumam saja.
"Aku datang menemuimu, sebenarnya bukan untuk
mengatakan semua ini, tapi.. ."
'Tapi apa, Nyai?"
"Aku disuruh merayumu, lalu meracunimu," sahut Nyai Sinah pelan. Begitu pelannya
suara wanita itu, sehingga hampir tidak terdengar.
Mendengar pengakuan Nyai Sinah, Bayu sempat
terionjak karena terkejut Dipandanginya wajah yang
tertunduk lesu itu dalam-dalam. Seakan-akan mencari
kejujuran dari kata-kata yang baru saja didengamya.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Bayu.
"Juragan Basra."
"Keparat. !" desis Bayu menggeram.
Wajah Pendekar Pulau Neraka langsung memerah
menahan kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak di
dalam dada. Belum pernah dia menghadapi manusia Hcik
dan pengecut seperti Juragan Basra. Memanfaatkan orang
Iain untuk melaksanakan maksud busuknya.
"Maafkan aku, Bayu. Seharusnya aku tidak perlu
mengatakannya padamu," ucap Nyai Sinah, tetap pelan suaranya.
"Kau tidak salah, Nyai. Tidak perlu meminta maaf,"
kata Bayu. Nyai Sinah tetap saja tertunduk. Dengan tangan
gemetar, dikeluarkannya sebuah bungkusan kain hitam dari batik lipatan kainnya.
Bayu menerima bungkusan kain hitam itu. Kemudian membukanya. Wajah Pendekar
Pulau Neraka semakin memerah. Mulutnya men-desis geram begitu
melihat bubuk putih kekuningan di dalam bungkusan kain.
Lalu Bayu melipat kain hitam itu, dan membuangnya ke laut Sesaat kemudian
bungkusan kain hitam tadi langsung
digulung ombak, dan lenyap ditelan ombak yang menggunung. "Sudah sore. Sebaiknya kau pulang saja, Nyai," kata Bayu.
Sebentar Nyai Sinah menatap pemuda berbaju kulit
harimau itu, kemudian bangkit berdiri. Bayu bergegas
membantunya berdiri. Nyai Sinah masih memandangi wajah
Bayu lekat-lekat seakan-akan masih ada lagi yang hendak
disampaikan. Semula wanita cantik ini ingin sekali mengatakan
perbuatan Juragan Basra padanya semalam. Tapi hati
kecilnya tidak mengiankan untuk mengatakan pada pemuda
berbaju kulit harimau ini.
"Bayu. .," agak ragu-ragu suara Nyai Sinah.
"Ada apa lagi?" tanya Bayu, lembut
"Juragan Basra mengira kau adalah saudara Kakang
Hanggara yang ingin menuntut balas," Nyai Sinah memberi tahu.
"Hm.. , dari mana dia bisa menduga begitu?" tanya Bayu seperti untuk dirinya
sendiri. "Monyet itu," sahut Nyai Sinah.
Bayu menatap Tiren yang duduk tenang di
pundaknya. Kemudian pandangannya kembali dialihkan
kepada wanita di depannya.
"Apakah kau memang saudaranya, Bayu?" tanya Nyai Sinah ingin tahu.
"Benar, aku adalah kakaknya," sahut Bayu.
"Oh, benarkah. .?"
Bayu mengangguk.
"Kalau begitu, kau datang untuk membalas kematian
Kakang Hanggara?"
Lagi-lagi Bayu mengangguk. Memang tidak ada lag!
yang dapat dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Dia memang
sengaja mengaku saudara Hanggara. Dan ini dimaksudkan
untuk memancing perhatian Juragan Basra terpusat
padanya. Dia yakin, kalau Juragan Basra akhimya akan
menanyai wanita ini. Dan itulah yang diharapkannya.
"Nyai, kalau Juragan Basra bertanya padamu tentang
diriku, katakan saja begitu," pinta Bayu.
"Tapi. ., itu sangat berbahaya. Kau bisa dibunuhnya,
Bayu," ada kecemasan di dalam suara Nyai Sinah.
"Jangan cemas. Tidak mudah mereka membunuhku
begitu saja. Percayalah, aku pasti bisa menghentikan juragan keparat itu untuk
selama-lamanya."
Nyai Sinah tersenyum. Saat itu juga wajahnya kembali
cerah. Ada terbersit satu harapan pada sinar matanya. Satu harapan yang pasti
juga diharapkan oleh seluruh penduduk Pesisir Pantai Selatan.
Bayu mengantar Nyai Sinah sampai ke rumahnya
yang juga merangkap sebagai kedai. Hari ini kedai Nyai Sinah memang tidak buka.
Dan keadaannya juga masih serba
berantakan. Pintu depan, meja dan beberapa perabotan
hancur berantakan, berserakan di lantai tanah. Mereka
kemudian kembali terlibat dalam suatu percakapan panjang.
Dan kali ini Bayu lebih sering bertanya. Terutama perihal Hanggara.
Pendekar Pulau Neraka ingin tahu lebih banyak
perihal anak muda sebayanya yang bernama Hanggara. Tapi
ada satu yang sangat disayangkaa Nyai Sinah tidak


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui asal-usul Hanggara. Nyai Sinah sendiri pernah menanyakan, tapi hanya
dijawab dari tempat yang jauh.
Hanya itu saja jawaban Hanggara setiap kali Nyai Sinah
menanyakan asalnya. Juga tujuannya ke Pesisir Pantai
Selatan ini tidak diketahui oleh siapa pun.
Hampir larut malam, Bayu baru keluar dari rumah
janda pemilik kedai itu. Semula Bayu ingin kembali ke rumah Paman Jangir, tapi
segera membatalkannya. Rupanya dia
tidak ingin kembali teringat dengan laki-laki tua itu. Akan menambah kepedihan
di harinya saja, bila teringat peristiwa kemarin malam. Pendekar Pulau Neraka
terus berjalan, ke
mana saja kakinya melangkah.
"Ha ha ha. .!"
"Heh. ."!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja mendengar tawa keras
menggelegar di belakangnya.
Pendekar Pulau Neraka segera memutar tubuhnya.
Sungguh dia tidak tahu kalau kini di depannya sudah berdiri orang-orang
bertampang beringas dengan golok terhunus di tangan. Mereka berjumlah delapan
orang Dan seorang di
antara mereka sudah dikenal Bayu. Laki-laki berbaju hitam yang dikenalkan Paman
Jangir sebagai Calong
"Hm.. , mana tiga orang lainnya. .?" gumam Bayu bertanya-tanya di dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan
berkeliling. Dia kembali bergumam, berbicara di dalam hati sendiri. Begitu ke
luar dari rumah Nyai Sinah tadi, Bayu memang terus melamun, memikirkan semua
peristiwa yang terjadi di daerah Pantai Selatan ini. Sehingga tidak sempat memperhatikan
sekelilingnya. Dan tahu-tahu di sekitarnya sudah mengepung puluhan orang yang
tadi bersembunyi dari balik rerimbunan semak-semak.
"Tampaknya
keadaanku tidak menguntungkan,"
kembali Bayu bergumam dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka memang sudah diperingatkan Nyai Sinah kalau orang-orang Juragan Basra tidak terhitung
jumlahnya. Dan mereka semua adalah orang-orang kasar haus darah. Tapi Bayu tidak
menjadi gentar. Dari pengalamannya, dia tahu kalau orang-orang semacam ini
hanya rampangnya saja yang seram. Padahal kemampuannya kosong. Mereka hanya bisa main gertak
pada orang-orang lemah. Sebenarnya nyalinya kecil.
"Kami tahu, siapa sebenarnya kau, Bayu. Sebaiknya
cepatlah pergi dan dan jangan kembali lag ke sini. Kalau tidak, nasibmu sama
seperti adikmu," kata Calong, lantang suaranya.
"Hm.. ," Bayu hanya bergumam perlahan.
Sungguh Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka
kalau mereka akan tahu secepat ini. Apakah pertemuannya
dengan Nyai Sinah memang sudah dikuntit" Dan mereka
langsung menanyai wanita itu setelah kepergiannya. Hal itu memang bisa saja
terjadi. Dan mereka punya cukup waktu
untuk menanyai Nyai Sinah. Apalagi kemunculan Calong dan anak buahnya dari arah
belakang. "Hanya ada satu pilihan bagimu, Bayu. Tinggalkan
tempat ini, atau kau mati di sini," kata Calong lagi, masih dengan suara yang
lantang. "Aku akan pergi setelah membunuh kalian semua.
Terutama Juragan Basra!" sahut Bayu, tegas dan lantang juga.
"Phuih! Kau akan menyesal, Bayu. .!" dengus Calong seraya menyemburkan ludah.
Saat itu juga, Calong menghentakkan tangannya. Dan
seketika tujuh orang di belakangnya langsung berlompatan menyerang Pendekar
Pulau Neraka sambil berteriak-teriak
dan mengacung-acungkan golok di atas kepala. Bayu
tersenyum melihat cara mereka menyerang yang seperti
gerombolan begal saja. Sesungguhnya mereka memang
begal, pemeras rakyat.
"Hiyaaa. .!"
Cepat bagai kilat, Bayu melenting ke udara begitu
tujuh orang pengeroyok itu mendekat. Lalu dengan
kecepatan tJnggi dan sukar di kuti mata biasa, Pendekar
Pulau Neraka meluruk deras. Kedua tangannya bergerak
cepat menyambar tujuh orang yang tengah kebingungan,
karena tiba-tiba Bayu menyerang mereka dari atas.
Plak! Plak.. ! Gerakan Bayu memang cepat luar biasa, sehingga
tujuh orang yang hanya bermodal tampang seram itu tidak
sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu mereka merasakan
kepalanya bagai dihantam sebuah palu baja yang besar.
Jeritan-jeritan melengking terdengar saling sambut disusul dengan
bergelimpangannya tujuh orang itu. Mereka
mengerang, dan merintih sambil memegangi kepala masing-
masing. Bahkan tiga orang di antaranya langsung tidak
berkutik lagi. Bayu langsung mendarat sekitar lima langkah lagi di
depan Calong. Tentu saja Calong terperanjat setengah mati.
Dia sampai melompat mundur sejauh tiga tindak. Kedua
matanya terbelalak, seperti melihat hantu.
"Sebenarnya aku malas berurusan dengan cacing-
cacing macam kalian," kata Bayu, dingin mengg-tarkan.
"Huh! Kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-
hidup, Bayu!" dengus Calong berusaha menghilangkan rasa gentamya.
Pada saat itu, dari balik semak dan pepohonan,
bermunculan orang-orang bersenjata golok. Jumlah mereka
sekitar tiga puluh orang Rata-rata tampangnya mirip para begal jalanan. Bayu
hanya tersenyum tipis begitu menyadari dirinya sudah terkepung. Tiga orang
mendekati Calong.
Mereka sudah dikenal Bayu kerika tempo hari memaksa
Paman Jangir menjual ikannya dengan harga sangat rendah
sekali. "Sudah kukatakan, kau akan menyesal, Bayu," kata Calong sinis.
Saat itu, tujuh orang yang tadi menyerang Bayu sudah
bisa bangkit berdiri. Tapi, Bayu memang hanya ingin
memberi mereka sedikit pelajaran. Sama sekali dia tidak
berniat membunuh mereka.
"Seraaang. .!" teriak Calong memberi perintah.
"Hiyaaa. .!"
"Yeaaah.. !"
Mereka yang sudah mengepung, seketika itu juga
menyerang Bayu. Sebentar pemuda berbaju kulit harimau itu mendengus, kemudian
melentingkan tubuh ke udara. Lalu
meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan cepat
Pendekar Pulau Neraka memang sengaja tidak mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalam. Meskipun begitu, tidak
sedikit yang terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka,
langsung menggeletak pingsan.
Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling susul. Bayu
berkelebat cepat menyambar siapa saja yang berada dalam
jangkauan pukulannya. Dan memang dugaan Pendekar
Pulau Neraka tidak meleset sama sekali. Mereka hanya
orang-orang yang mengandalkan tampang seram, tapi tidak
punya kemampuan apa apa. Sehingga Bayu tidak mengalami
kesulitan melumpuhkan mereka.
Dalam waktu sebentar saja, sudah lebih dari separuh
pengeroyok bergelimpangan tak sadarkan diri. Bayu memang sengaja membuat
pengeroyoknya tak berdaya saja. Karena
mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hanya
menjalankan perintah majikannya.
"Yeaaah.. !"
Des! "Akh. .!"
Terdengar jeritan terakhir yang cukup panjang. Bayu
berdiri tegak memandangi tiga puluh enam tukang pukul
Juragan Basra yang bergelimpangan di sekitamya. Memang
tidak semuanya pingsan. Ada beberapa di antaranya masih
bisa bergerak, merintih lirih menahan sakit Tapi tidak
mampu lagi bangkit Pendekar Pulau Neraka menatap tajam
Calong dan ketiga temannya. Mereka tampak pucat melihat
tiga puluh enam orang-orangnya dapat dilumpuhkan dalam
waktu singkat "Kali ini aku beri kesempatan kalian untuk hidup, dan jangan coba-coba lai
mencari perkara," ancam Bayu, dingin menggetarkan.
"Ampun, Den.. . Jangan bunuh kami.. ," rintih Calong seraya beriutut
"Hm.. . Aku akan memaafkan jika kalian berjanji
untuk meninggalkan semua ini," ujar Bayu.
"Kami janji,
Den," ucap keempat
orang itu berbarengan. "Nah! Pergilah sekarang!"
"Terima kasih, Den."
"Ingat! Sekali lagi kulihat kalian memeras rakyat, aku tidak segan-segan
memenggal kepala kalian. Mengerti.. "!"
ancam Bayu tegas.
Calong dan ketiga temannya saling berpandangan.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung
melesat pergi. Bayu tersenyum dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kemudian terus melanjutkan langkahnya, tidak
peduli pada tiga puluh enam pengeroyok yang masih
bergelimpangan.
"Tiren.. , di mana kau?" Bayu teringat dengan sahabat kecilnya.
"Nguk, nguk. .!"
Bayu tersenyum melihat monyet kecil itu bergantungan di pohon. Monyet kecil berbulu coklat yang
bernama Tiren itu melompat, dan langsung hinggap di
pundak Pendekar Pulau Neraka. Dia mencericit ribut sambil berjingkrakan
dan bertepuk tangan. Seakan ingin menyatakan kegembiraan atas kemenangan Pendekar Pulau
Neraka. "Jangan gembira dulu, Tiren. Biangnya belum kita
dapatkan," kata Bayu.
"Nguk! Kraaakh.. ! Nguk!"
"Ha ha ha.. !" Bayu tertawa terbahak-bahak melihat tingkah monyet kecil yang
tahu-tahu melompat dari
pundaknya dan berjumpalitan di tanah berpasir halus.
*** 6 "Goblok.. !" Brak!
Juragan Basra marah bukan main mendengar laporan
Calong yang gagal mengusir Bayu. Bahkan sempat
melumpuhkan tiga puluh enam orang-orang suruhannya
meskipun tidak ada yang tewas. Wajah Juragan Basra merah padam, bagai kepiting
rebus. Kedua bola matanya
membelalak lebar, seakan-akan hendak melompat keluar.
Sedangkan di depannya duduk bersimpuh empat tukang
pukulnya dengan kepala tertunduk.
"Kalian benar-benar goblok! Mengurus satu orang
saja tidak becus.. !" geram Juragan Basra.
"Ilmunya sangat tinggi, Juragan," Calong mencoba membela diri.
"Lalu, kalau ilmunya tinggi, kenapa. .?"
Calong tidak bisa menjawab. Di dalam harinya,
sebenarnya dia sudah tidak berani lagi berhadapan dengan Bayu. Dan dia pun sadar
kalau selama ini telah membantu
pihak yang salah. Juragan Basra tidak patut dibantu. Apalagi Calong pun merasa
tidak mungkin bisa mengalahkan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Orang yang bisa
melumpuhkan tiga puluh enam orang dalam waktu sebentar
saja, tentu memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi dan sukar diukur.
"Calong, tadi kau kuperintahkan mengamati Nyai
Sinah. Nah, apa yang kau dapat dari perempuan itu, hah.. "!"
tanya Juragan Basra.
"Kata Nyai Sinah, Bayu adalah kakaknya Hanggara,
Juragan. Dia memang datang untuk membalas kematian
Hanggara," sahut Calong jujur.
"Aku menemui Nyai Sinah begitu dia pergi."
"Sudah kuduga.. . Dia pasti punya hubungan dengan
Hanggara," gumam Juragan Basra.
"Phuih. .!"
Calong hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Lalu, apa Nyai Sinah sudah meracuninya?" tanya Juragan Basra lagi.
"Belum," sahut Calong.
"Belum. .?" Juragan Basra mendelik.
"Kata Nyai Sinah, dia keburu ketahuan."
"Mustahil. . Ini tidak mungkin. .!" bentak Juragan Basra. "Pasti Nyai Sinah
tidak mau meracuni si keparat itu.
Huh. .! Perempuan itu memang tidak bisa dipercaya!"
"Apa tindakan kita selanjutnya, Juragan?" tanya Calong memberanikan diri
mengangkat kepala.
"Seharusnya kau sudah bisa menjawab, Calong!"
sahut Juragan Basra membentak.
Kembali Calong terdiam. Kalau saja diperintahkan
menghadap Bayu lag, pasti dia akan berpikir seribu kali. Dia benar-benar sudah
tidak mempunyai nyali lagi untuk
bertemu muka dengan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Firasatnya mengatakan kalau dia akan babak belur lagi,
seperti ketika Hanggara mengamuk sewaktu dia menculik
Nyai Sinah untuk memancing pemuda itu menyerah.
Menghadapi Hanggara saja dia tidak mampu, apa-lagi
sekarang kakaknya.. " Begitu yang ada dalam pUtiran
Calong. Dia sudah beberapa kali melihat dan merasakan
kedigdayaan Bayu. Dan itu membuat nyalinya semakin kecil saja. Calong teringat
kata-kata Bayu yang terakhir. Dia sudah memastikan, sekali lag berhadapan, pasti
Bayu tidak akan memberi ampun lagi.
"Pangkeng, Bancak.. ," panggl Juragan Basra seraya
memandang dua orang yang duduk di dekat jendela.
Pangkeng dan Bancak segera bangkit. Mereka


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampiri laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala agak
botak itu. Sikap mereka terlihat angkuh, karena tingkat
kepandaiannya memang lebih tingg dari yang lain. Dan tidak memandang sebelah
mata pun kepada keempat orang yang
duduk bersimpuh di lantai.
"Apa pun caranya, kalian harus bisa mengusir si
keparat itu. Kalau perlu, penggal kepalanya," perintah Juragan Basra.
"Akan kubawa kepalanya ke sini, Juragan," sahut Bancak.
"Bagus," Juragan Basra tersenyum senang
"Kapan kami berangkat?" tanya Pangkeng
"Lebih cepat, lebih baik," sahut Juragan Basra.
"Kalau begitu, kami berangkat sekarang, Juragan,"
pamit Bancak. "Pergilah, dan bawa kepala si keparat itu padaku."
Tanpa melirik sedikit pun pada Calong dan ketiga
temannya, mereka langsung melangkah keluar dari ruangan
depan yang cukup luas ini.
"Kalian boleh pergi, dan perketat penjagaan," kata Juragan Basra memberi
perintah. Empat orang itu mengangguk. Lalu bangkit dan
meninggalkan ruangan depan. Kini tinggaflah Juragan Basra yang masih berada di
ruangan yang cukup besar dan indah
ini. Rumahnya memang besar, dan mewah seperti istana.
"Nyai Sinah. . Kau akan menyesal telah mengkhianatiku, Perempuan Laknat! Huh. .!" dengus Juragan Basra geram.
*** Juragan Basra memandang pedang yang tergantung
di dinding kamamya. Pedang bergagang gading berbentuk
kepala naga, dengan warangka berwama keemasan. Juragan
Basra menjulurkan tangannya, mengambil pedang itu.
Diamatinya sesaat, lalu ditem-pelkannya gagang pedang itu di kening.
"Kali ini aku harus menggunakanmu," ujar Juragan Basra pelan.
Laki-laki bertubuh gemuk ini segera menyelipkan
pedangnya di pinggang. Baru juga selesai dia menyelipkan pedang, mendadak saja
secercah cahaya keperakan
menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar.
"Heh. .! Uts!"
Juragan Basra tersentak kaget Cepat kepalanya
diegoskan sedikit ke kanan. Sehingga cahaya keperakan tadi lewat di samping
kepalanya. Dan menancap di dinding.
Juragan Basra cepat melompat ke jendela. Tapi yang dilihat hanyalah kegelapan
malam saja. Sebentar pandangannya
diedarkan ke luar, menembus kegelapan malam. Namun
sama sekali tidak melihat adanya sesuatu yang mencurigakan. Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu
berpaling Keningnya seketika berkerut melihat sebuah
benda berbentuk bintang bersegi enam keperakan me-
nancap di dinding. Bergegas dia menghampiri, kemudian
mencabut benda itu.
"Pendekar Pulau Neraka.. ," desis Juragan Basra.
Saat itu juga dia teringat peristiwa yang menimbulkan
beberapa korban. Suatu peristiwa yang membuat gempar
seluruh Pesisir Pantai Selatan ini. Peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu,
dan sampai sekarang masih lekat
dalam ingatan seluruh penduduk di sekitar tempat itu.
Dunia persilatan sempat geger dengan kemunculan
seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Pulau
Neraka yang datang dari sebuah pulau tak berpenghuni dan sangat ditakuti oleh
seluruh nelayan di Pesisir Pantai
Selatan. Siapa saja yang berani masuk ke pulau itu, tidak ada yang pernah
kembali lagi. Kalaupun kembali, sudah
hanyut terbawa ombak dalam keadaan mati.
"Jagat Dewa Batara.. , apakah Bayu adalah Pendekar
Pulau Neraka. .?"
desah Juragan Basra seraya mendongakkan kepalanya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu bergegas menutup
jendela rapat-rapat. Kemudian menghempaskan tubuh di
kursi. Keringat sebesar biji-biji jagung, seketika membasahi keningnya. Masih
teringat jelas di kepalanya, saat Pendekar Pulau Neraka membantai kelompok
Rengganis dengan
tangan dingin. Dan dia tahu, apa sebabnya pendekar muda
itu membunuhi semua orang-orangnya Rengganis, bahkan
wanita itu sendiri tewas dengan mengerikan (Untuk lebih
jelasnya, sila-kan baca serial perdana Pendekar Pulau
Neraka dalam episode, "Geger Rimba Persilatan").
"Bodoh.. ! Kenapa aku tidak mengenalinya sejak
semula.. ?" umpat Juragan Basra pada dirinya sendiri.
Bintang perak segi enam merupakan lambang maut
Pendekar Pulau Neraka. Dan itu merupakan suatu
peringatan yang tidak bisa dianggap remeh. Hal seperti ini pernah terjadi
beberapa waktu yang lalu di Pesisir Pantai Selatan ini. Saat itu juga, terbetik
penyesalan di hati Juragan Basra.
Laki-laki tua ini menyesal karena tidak bisa
mengenali dari semula, kalau pemuda berbaju kulit harimau itu adalah Pendekar
Pulau Neraka. Kini penyesalan sudah
tiada guna lag. Bintang perak segi enam sudah memberi
pertanda maut padanya. Tidak ada seorang pun bisa lolos
dari tangan Pendekar Pulau Neraka kalau sudah menerima
bintang perak segi enam ini.
"Apa yang harus kulakukan sekarang.. ?" desah
Juragan Basra bertanya pada dirinya sendiri.
Kali ini otaknya benar-benar buntu. Dipandanginya
bintang perak segi enam di telapak tangan kanannya. Entah untuk yang ke berapa
kali, dia menghembuskan napas
panjang dan terasa berat
"Kalau saja aku tahu.. ."
"Terlambat, Juragan Basra. .!"
"Heh. ."!"
Juragan Basra terlonjak kaget Bahkan sampai
melompat dari tempat duduknya. Suara itu terdengar jelas sekali, seakan-akan
berada dekat telinganya. Laki-laki
bertubuh gemuk itu terbeliak begitu memandang ke arah
pintu. Di sana tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda
berbaju kulit harimau. Entah dari mana masuknya, dan
kapan, tahu-tahu di kamar ini sudah ada Pendekar Pulau
Neraka. "Pendekar Pulau Neraka.. ," desis Juragan Basra, agak bergetar suaranya.
"Kau terkejut Juragan Basra.. ?" tanya Bayu sinis.
Juragan Basra semakin kelabakan. Keringat dingin
semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. Perlahan dia
melangkah mundur sampai punggungnya menyeh-tuh
dinding. Saat itu juga tenggorokannya terasa begitu kering dan menyakitkan
sekali. Kemunculan Pendekar Pulau
Neraka yang tiba-tiba dan ditandai dengan bintang perak
segi enam, membuat laki-laki gemuk ini seperti kelinci
kepergok serigala lapar.
"Kau kelihatan pucat sekali, Juragan Basra," terasa sinis suara Bayu.
"Apa yang kau inginkan dariku" Aku tidak pernah
berurusan denganmu," jelas sekali kalau suara Juragan Basra bergetar.
"Kau kenali sahabatku ini, Juragan Basra?" Bayu menunjuk seekor monyet kecil
berbulu coklat yang nangkring di atas palang kayu yang melintang di atas kamar.
Juragan Basra terkesiap melihat Tiren. Tentu saja dia
mengenai binatang kecil berbulu coklat itu. Sedangkan Tiren duduk tenang dengan
mata bulat merah yang menyorot
tajam pada Juragan Basra. Sorot matanya memancarkan
dendam yang amat sangat.
"Jika kau mengenai sahabat kecilku itu, maka kau
pasti ingat pada pemiliknya," kata Bayu kalem, namun terasa menusuk telinga
Juragan Basra. "Ada hubungan apa kau dengan Hanggara?" tanya
Juragan Basra. Tentu saja laki-laki gemuk ini tahu kalau pemilik
monyet kecil itu adalah Hanggara. Pemuda yang berani
menentangnya, dan tewas di tangannya sendiri. Hanya
karena dia tidak senang melihat ada laki-laki mendekati
wanita yang di nginkannya. Juragan Basra memang tidak
segan-segan membunuh siapa saja yang dianggap sebagai
penghalang. Dengan cara apa pun, dia akan menyingkirkan
untuk selama-lamanya.
"Dia adikku," sahut Bayu dingin. "Dan dia tewas di tanganmu. Tidak perlu
kujelaskan lagi, untuk apa sekarang aku ada di sini, Juragan Basra. Bukan hanya
itu saja, kau juga telah membunuh pamanku, dengan perantaraan anak
buahmu. .! Dan kau juga yang membakar pusara Hanggara,
meskipun bukan oleh tanganmu sendiri."
Juragan Basra menelan ludahnya untuk membasahi
tenggorokannya yang kering. Memang tidak dapat dipungkiri, semua yang dituduhkan
Bayu padanya memang benar.
Juragan Basra tidak dapat membantah lagi Kini laki-laki
gemuk itu segera menggeser kakinya ke kanan. Dan meraba
gagang pedang yang menggantung di pinggang.
Tok, tok, tok.. !
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk dari luar.
"Juragan.. ! Juragan.. !"
"Kau beruntung malam ini, Juragan Basra. Rupanya
Dewata belum menginginkan aku mencabut nyawamu," desis Bayu merasa terganggu.
Selesai berkata begitu, Bayu langsung melenting ke
atas. Kemudian menyambar monyet kecil yang nangkring
pada palang kayu. Juragan Basra mendongak, ternyata atap kamar sudah berlubang.
Dan sudah pasti kalau Pendekar
Pulau Neraka tadi masuk dari atap.
Kembali terdengar suara ketukan pintu, disusul
panggilan keras. Juragan Basra menarik. napas lega.
Bergegas dihampirinya pintu dan cepat membukanya.
"Ada apa, Calong.. ?"
"Nyai Sinah, Juragan.. ."
"Nyai Sinah.. " Ada apa dengan dia?" tanya
Juragan Basra lagi.
"Nyai Sinah bunuh diri," sahut Calong.
"Apa. ."!"
Juragan Basra terbeliak kaget mendengar laporan
Calong. Untuk beberapa saat dia terpaku tidak percaya. Dan setelah
berhasil menguasai perasaannya, kemudian bergegas keluar kamarnya. Tapi baru beberapa langkah, laki-laki gemuk itu
berhenti. Sedangkan Calong masih tetap
berdiri di ambang pintu yang kini sudah tertutup kembali.
"Bagaimana mungkin dia bisa bunuh diri?" tanya Juragan Basra.
"Maaf, Juragan. Aku datang terlambat Begitu aku
datang, dia menikam dadanya sendiri dengan pisau," sahut Calong.
"Huh! Kau benar-benar goblok, Calong! Kenapa tidak
kau cegah, heh. ."!" bentak Juragan Basra.
Calong hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Mana yang lain?"
"Di depan, Juragan," sahut Calong.
"Aku kan sudah bilang, cepat ke sana. Dan bawa
perempuan itu ke sini.... Huh! Dasar bakul nasi! Kerjamu tidak ada yang
becus...!" gerutu Juragan Basra.
Calong tetap diam saja membisu. Bukan sekali ini dia
mendapat dampratan Juragan Basra, tapi sudah seringkali.
Tapi Calong memang tidak bisa berbuat apa-apa setiap kali kena marah. Tidak
mungkin dia berani menentang
majikannya, sekalipun harinya dongkol setengah mati.
"Sudah, sana pergi! Goblok.. !" bentak Juragan Basra.
Calong bergegas pergi sebelum kena damprat lagi.
Sedangkan Juragan Basra kembali masuk ke dalam kamar.
Sementara Calong terus berjalan cepat keluar dari rumah
megah yang bagaikan sebuah istana kecil di tengah-tengah perkampungan. Dan
sesampainya di luar, dia langsung
disambut ketiga temannya. Mereka langsung mengerubungi,
seperti lebah mendapatkan sari bunga.
"Bagaimana. .?" tanya Landar.
"Seperti biasa," sahut Calong.
"Kau cari penyakit saja, Calong," celetuk Winaya.
"Bukan penyakit tapi keluar dari kesulitan," bantah Calong.
"Tapi, bagaimana kalau Juragan Basra sampai tahu?"
tanya Cagak. "Dia tidak akan tahu."
"Semua yang terjadi di Pesisir Pantai Selatan ini bisa diketahuinya dengan cepat
Calong," kata Winaya lagi, bernada memperingatkan.
"Kalau kalian tutup mulut, dia tidak akan tahu," sahut Calong.
Ketiga temannya hanya saling pandang.
"Ke mana kau akan membawa pergi Nyai Sinah,
Calong?" tanya Cagak.
"Ke mana saja, yang penting jauh dari sini," sahut Calong.
"Aku heran, kenapa dia mau menurutimu, Calong?"
tanya Landar ingin tahu.
"Dasar bodoh. .! Nyai Sinah itu kan adiknya Calong,"
selak Winaya. "Hah. .?" Landar terkejut.
"Hanya adik sepupu," Calong menjelaskan.
"Pantas tidak sama. Kau jelek, dan Nyai Sinah
cantik," gurau Landar.
"Setan. .!" sergah Calong.
"Sudah sana. Nanti keburu ketahuan," Cagak
memperingatkan agar Calong cepat pergi sebelum Juragan
Basra mengetahui rencana mereka.
"Kalian benar-benar tidak mau ikut?" tanya Calong.
"Jangan pikirkan kami, Calong. Saat ayam berkokok
nanti, kami sudah tidak ada di sini lag," sahut Cagak.
"Kalian akan pergi ke mana?" tanya Calong
"Ke mana saja," sahut Winaya.


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, aku berharap kita bisa bertemu lagi" ujar Calong.
"Sudah pergi sana, cepat..," Winaya mendorong
punggung Calong.
Sebentar Calong memandang ketiga temannya.
Mereka memang sudah lama bersahabat, jadi perpisahan ini memang terasa berat Dan
itu harus mereka lakukan untuk
keselamatan mereka sendiri. Calong melompat naik
kepunggung kuda. Kemudian menggebah kudanya dengan
cepat. Sementara ketiga temannya hanya memandang
kepergannya sampai lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hhh.. , kalau saja Pendekar Pulau Neraka tidak
menyuruh kita pergi, pasti kita semua sudah jadi mayat"
desah Winaya. "Jangan menyesal, Winaya," celetuk Cagak
"Aku tidak menyesal, malah berterima kasih pada
Pendekar Pulau Neraka, karena masih memberi kesempatan
pada kita untuk bertobat" kata Winaya.
"Sebaiknya aku perg sekarang saja."
"He.. ! Tidak mau melihat kematian Juragan Basra
dulu?" Cagak ingn mencegah.
"Tidak, aku tidak mau mati lebih dahulu."
Winaya cepat melompat ke punggung kudanya. Dan
langsung menggebah cepat. Tinggal ah kini Cagak dan
Landar. Mereka saling berpandangan. Semua orang di rumah ini
sudah pergi, begitu Pendekar Pulau Neraka memperingatkan mereka. Dan memberi kesempatan untuk
tetap hidup. Tapi jika mereka membandel, pemuda berbaju
kulit harimau itu tidak segan-segan lagi menjatuhkan tangan maut.
"Bagaimana?" tanya Landar.
"Bagaimana lagi.. " Ayo, kita perg sekarang," sahut Cagak mengajak.
Landar kelihatan ragu-ragu.
"Semua orang sudah pergi, Landar."
"Dan kalian juga akan segera pergi, Pengecut.. !"
"Heh. ."!"
*** 7 Cagak dan Landar terkejut bukan main ketika tiba-
tiba saja terdengar suara dari arah belakang. Seketika wajah mereka pucat begitu
melihat Pangkeng dan Bancak tahu-tahu sudah berada di belakang. Bergegas mereka
berbalik dan melangkah mundur beberapa tindak.
Ctar! Bancak melecut cambuknya ke atas. Mendengar
suara cambuk, Cagak dan Landar tersentak kaget Wajah
mereka semakin pucat pasi, dan seluruh tubuhnya gemetar.
Mereka langsung menyadari kalau kedua orang kepercayaan
Juragan Basra itu sudah mengetahui rencana ini. Dan
keduanya pasti sudah tahu kalau semua orang sudah pergi.
Tinggal mereka saja yang ada selain Juragan Basra sendiri
"Apa yang kalian rencanakan, heh" Mau kabur?"
suara Bancak terdengar sinis.
Cagak dan Landar tidak menjawab. Sejenak mereka
saling berpandangan. Mereka tahu kalau dua orang
kepercayaan Juragan Basra ini memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi. Di dalam hati, keduanya sangat menyesal mengapa tidak segera
pergi sejak tadi.
"Kalau kalian mau pergi silakan," kata Bancaklagi.
"Tapi kalian akan menghuni lubang terakhir,"
sambung Pangkeng.
Kembali Cagak dan Landar saling berpandangan.
Kemudian mereka berbalik dan berlari cepat selagi masih
ada kesempatan. Sedangkan Pangkeng dan Bancak tertawa
terbahak-bahak melihat dua orang itu berlari kencang seperti dikejar setan.
"Hup!" "Yeaaah.. !"
Mendadak Pangkeng dan Bancak melesat cepat
bagaikan kilat mengejar dua orang yang berlari sekencang-kencangnya itu. Ringan
sekali lompatan mereka. Tapi tiba-tiba saja mereka lenyap di balik sebatang
pohon yang sangat besar dan tinggi. Sementara Cagak dan Landar terus berlari
kencang, tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Cagak, berhenti. .!" sentak Landar tiba-tiba.
Cagak menghentikan larinya. Sedangkan Landar
sudah sejak tadi berhenti. Laki-laki berbaju biru itu
menghampiri Cagak.
"Lihat. !" Landar menunjuk ke depan.
"Heh. ."!"
Bukan main terkejutnya Cagak begitu memandang
kearah yang ditunjuk Landar. Tampak di kiri kanan
sepanjang jalan setapak ini, terdapat lubang-lubang yang berjajar. Sebentar
mereka saling berpandangan. Kemudian
melangkah perlahan mendekati lubang pada baris pertama.
Mereka terkesiap begitu melihat di dalam lubang
terbaring mayat seseorang.
"Cagak... sini!" seru Landar tiba-tiba.
Cagak bergegas menghampiri.
"Winaya.:.," desis Cagak terperanjat begitu melihat ke dalam lubang yang
ditunjuk Landar. Di dalam lubang itu memang terbujur kaku tubuh Winaya. Dari
dada dan lehernya masih mengucur darah segar!
Mereka kemudian meneliti lubang-lubang lain. Kedua
mata mereka semakin terbelalak lebar, karena semua
lubang yang berjajar di kiri kanan jalan, berisi mayat-mayat yang mereka kenal.
"Cagak. ., sini!" seru Landar tiba-tiba.
Cagak bergegas menghampiri.
"Winaya.. ," desis Cagak terperanjat begitu melihat ke dalam lubang yang
ditunjuk Landar.
Di dalam lubang itu memang terbujur tubuh Winaya.
Dari dada dan lehernya masih mengucur darah segar. Kedua laki-laki itu bergegas
melihat ke lubang di sebelahnya.
Kembali mereka terperanjat begitu melihat di dalam lubang berisi mayat Calong.
Darah segar juga masih mengucur
keluar dari dada dan leher yang terbelah lebar.
"Ha ha ha. .!"
Kedua orang itu terperanjat
begitu tiba-tiba mendengar tawa keras menggelegar. Begitu terperanjatnya, sehingga mereka sampai
terlompat ke belakang sejauh tiga langkah.
Dan belum lagi rasa terkejut Cagak dan Landar
hilang, tiba-tiba berkelebat dua buah bayangan. Dan tahu-tahu di depan mereka
sudah berdiri dua orang laki-laki
berwajah bengis. Mereka adalah Pangkeng dan Bancak.
Ctar! Bancak mengebutkan cambuknya. Lecutan cambuk
yang menggelegar membuat Cagak dan Landar terlonjak
kaget Bahkan sampai melompat dua langkah ke belakang.
Wajah keduanya yang sudah memucat, menjadi semakin
terlihat pucat bagai tak dialiri darah. Mereka sama-sama melirik dua buah lubang
yang berada tidak jauh di samping kanan.
Mereka sama-sama menelan ludah, untuk membasahi tenggorakan yang tiba-tiba saja terasa kering.
"Kalian boleh pilih, masuk ke lubang itu, atau kembali pada Juragan Basra?"
Bancak memberikan pilihan.
Landar dan Cagak kembali saling melemparkan
pandangan. "Bagaimana, Cagak?" tanya Landar.
"Apa pun yang terjadi, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Aku tidak mau lagi
hidup dibenci orang," sahut Cagak tegas.
"Tapi mereka akan membunuh kita, Cagak."
"Sekarang atau nanti, pasti kita akan mati."
Landar menggeser kakinya sedikit ke samping,
menjauhi Cagak. Ditatapnya Bancak dan Pangkeng yang
tersenyum-senyum menyeringai. Sedangkan Cagak nampak
sudah tidak peduli, seandainya harus mati menyusul yang
lain di tempat ini. Kata-kata Pendekar Pulau Neraka kembali terngiang. Dan dia
sudah merenungkannya dalam-dalam.
Selama ini Cagak memang hidup dalam ketidak-
pastian. Hidup yang tidak nyaman, meskipun ditakuti semua orang. Tapi memang
benar apa yang dikatakan Pendekar
Pulau Neraka. Lebih baik dihormati daripada ditakuti. Cagak sudah menyadari
kalau selama ini dia telah salah jalan, dan tidak ingin mengulanginya lagi.
"Kalau kau ingin kembali, menyingkirlah," kata Cagak tegas pada Landar.
"Kau akan mati, Cagak," kata Landar mencoba
membujuk. Cagak malah tersenyum sinis. Sejak semula, Landar
memang ragu-ragu mengambil keputusan. Hal ini bisa
dimaklumi, karena selama hidupnya, Landar selalu tergantung pada orang lain. Dia tidak bisa hidup sendiri di alam bebas. Apalagi
mengembara dengan bekal kepandaian
yang tanggung. Landar tidak berani mengambil risiko. Dan lebih senang ikut orang
lain yang lebih kuat sebagai tempat bergantung.
"Sebaiknya kau kembali saja, Cagak. Kau tidak perlu takut pada Pendekar Pulau
Neraka. Kau berlindung saja di balik ketiak Juragan Basra. Ha ha ha. .!"
"Aku bukan pengecut!" geram Cagak seraya menatap Bancak tajam-tajam.
Kata-kata Bancak tadi memang sangat menyinggung
dan menyakitkan. Darah Cagak seketika mendidih karena
merasa terhina dengan kata-kata Bancak tadi.
"Kau pikir aku takut padamu, heh. ."!" dengus Cagak.
"Ha ha ha. .!" Bancak semakin keras tawanya.
"Hiyaaat..!"
Sret! Cagak sudah tidak peduli lag. Meskipun sadar kalau
dirinya tidak bakal menang menghadapi Bancak, namun
hatinya benar-benar sudah tersinggung. Dia langsung
mencabut goloknya, dan menyerang Bancak yang bersenjata
cambuk dan pedang.
*** "Uts!"
Cepat Bancak memiringkan tubuh ke kanan,
sehingga tebasan golok Cagak hanya lewat sediktt saja di samping tubuhnya. Dia
langsung menarik kakinya dua tindak ke belakang, begitu lolos dan serangan Cagak
Dan dengan cepat sekali, tangan kirinya dihentakkan ke depan,
menyodok ke arah perut
Bet! Tapi Cagak sudah lebih cepat lagi mengibaskan
goloknya ke depan perut. Bancak agak terkejut juga. Buru-buru dia menarik pulang
tangannya, sehingga selamat dari tebasan golok yang berkilat mengerikan.
Cagak terus menyerang dengan goloknya yang
berkelebatan cepat bagaikan kilat, mengurung bagian-bagian tubuh Bancak yang
mematikan. Namun dengan manis dan
indah sekali, Bancak masih mampu menghindari setiap
serangan yang dilancarkan Cagak. Bahkan beberapa kali dia sempat memberikan
serangan balasan. Walaupun selalu
dapat dipatahkan Cagak dengan cepat. Hal ini tentu saja
membuat Bancak agak terperanjat juga. Sungguh tidak
disangka kalau Cagak memiliki kepandaian yang lumayan.
Padahal sebenamya Cagak melakukan itu karena
didorong kenekatan dan rasa marah akibat hatinya
tersinggung tadi. Dia sudah tidak peduli lagi meskipun harus mati malam ini.
Tapi paling tidak, dia masih mampu memberi perlawanan, daripada mati sia-sia
tanpa perlawanan sama
sekali. "Hiyaaa. .!"
Tiba-tiba saja Bancak melenting ke atas, begitu golok
Cagak membabat ke arah kakinya. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah kepala
Cagak Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bancak,
sehingga Cagak jadi kelabakan.
"Uts. .!"
Bergegas Cagak membanting tubuhnya dan bergulingan beberapa kali di tanah. Dan bersamaan dengan mendaratnya Bancak, dia
pun cepat melompat bangkit. Dan
sebelum Cagak bisa melakukan sesuatu, Bancak sudah
melecutkan cambuknya, disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.
Ctar! Ujung cambuk hitam berduri halus menggeletar
dahsyat, menimbulkan percikan bunga api yang membelah
udara. Cagak tersentak kaget. Dia mencoba menghindar
dengan melompat ke belakang, tapi. .
Ctar! Ctar! "Akh. .!"
Gerakan Cagak memang terlambat. Ujung cambuk
hitam berduri halus berhasil menyayat kulit dadanya. Cagak jatuh bergulingan di
tanah. Dia tidak menyadari kalau dirinya semakin mendekati salah satu lubang
yang belum terisi. Dan begitu dia mencoba bangkit berdiri, mendadak saja.. .
"Hiyaaa. .!"
Begkh! "Aaakh. .!"
Tanpa dapat dihindari lagi, satu tendangan yang
dilepaskan Bancak mendarat telak di dada Cagak. Tubuh
laki-laki bertubuh tegap itu langsung terpental ke belakang, menuju salah satu
lubang yang belum terisi. Dan selagi
tubuh Cagak berada di udara, Bancak sudah kembali
melompat sambil mencabut pedang, setelah memindahkan
cambuknya ke tangan kiri terlebih dahulu.
"Hiyaaa. .!"
Bet' Bet! Crab! Cras. .! "Aaa. .!"
Dua kali Bancak menyabetkan pedangnya. Cagak tak


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu lag menghindari tebasan yang begitu cepat. Dia
hanya bisa menjerit kemudian jatuh ke dalam lubang yang
sudah tersedia di pinggir jalan. Rupanya tebasan pedang
Bancak tepat merobek dada dan leher. Hanya sebentar saja Cagak mampu menggeliat.
Kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Ha ha ha.. !" Bancak tertawa terbahak-bahak sambil menyarungkan pedangnya
kembali di pinggang.
Sementara itu, Landar yang melihat kematian Cagak
yang begitu tragis, semakin gemetar seluruh tubuhnya. Kini semua teman-temannya
sudah tewas, dan berada di dalam
lubang kubur masing-masing di tepi kiri dan kanan jalan.
Tinggal dia saja sendiri yang masih hidup. Sementara itu Bancak dan Pangkeng
sudah menghampiri. Landar semakin
gemetar saja. Dia benar-benar tidak sanggup lagi menentang tatapan mata mereka
yang bengis. "Kita apakan kunyuk jelek ini, Pangkeng?" tanya Bancak bemada sinis.
"Rasanya dia sama sekali tidak berguna," sahut Pangkeng malas.
"Lalu.. ?" tanya Bancak lagi.
"Masih tersisa satu lubang lagi"
"Eh, apa.. "!" Landar terkejut setengah mati.
"Ha ha ha. .! Rupanya kunyuk satu ini takut mati juga, Pangkeng. Aku serahkan
dia padamu."
"Eh, ja.. ."
"Yeaaah.. !"
"Akh. .!"
Mendadak Pangkeng menghentakkan tangannya ke
dada Landar. Dan laki-laki berbaju biru itu tidak dapat lag menghindar. Dia
hanya bisa menjerit keras, sementara
tubuhnya terlempar jauh ke belakang.
Selagi tubuh Landar melayang di udara, Pangkeng
sudah melompat cepat mengejar. Dan secepat itu pula
senjatanya yang berupa sepasang trisula keemasan dicabut Cepat sekali senjatanya
digerakkan ke tubuh Landar.
Bet' Bet' "Aaa. .! Satu lengkingan panjang mengiringi kematian Landar.
Tubuhnya langsung masuk ke dalam lubang yang memang
masih tersisa satu lagi. Begitu tubuhnya menyentuh tanah, langsung tidak
bergerak lagi. Dari dada dan lehernya
mengucur darah segar.
"Ha ha ha. .!"
Bancak tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Pangkeng membersihkan darah yang melekat pada ujung
senjatanya. Kemudian menyelipkan kembali di badik sabuk
pinggangnya. Perlahan tubuhnya diputar, menghadap ke
arah Bancak yang masih tertawa terbahak-bahak.
"Aku merasa ada yang kurang, Bancak," kata
Pangkeng. "Apa lagi?" tanya Bancak langsung berhenti tawanya.
"Lubang."
"Maksudmu?"
"Lubangnya kurang satu."
"Untuk siapa lagi?"
"Pendekar Pulau Neraka,"
"Ha ha ha. .!" Bancak kembali tertawa terbahak-bahak.
"Aku tidak akan membuatkan lubang untuknya. Dia
lebih pantas dibuang ke laut. Biar ikan-ikan berpesta pora menikmati tubuhnya."
"Ah, sebaiknya kau buat saja satu lubang lagi,
Bancak." "Baiklah. Akan kubuatkan satu lubang lag."
"Bukan satu, tapi dua.. !"
"Eh!"
"Hei.. "!"
Pangkeng dan Bancak terkejut setengah mati, begitu
tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema. Sejenak
mereka saling pandang, lalu cepat mengedarkan pandangan
berkeliling. Tapi tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Sedangkan
tadi, suara itu demikian terdengar jelas, seakan-akan begtu dekat di tebnga.
"Siapa kau.. ?" bentak Pangkeng keras menggelegar.
"Aku. .!" terdengar jawaban dari belakang kedua orang itu.
Cepat mereka memutar tubuhnya berbalik. Dan
terkejut setengah mati begtu tahu-tahu sudah berdiri
seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di depan mereka. Betapa tidak
terkejut.." Pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak ketahuan datangnya. Dan tahu-tahu saja sudah ada di tempat
ini. "Pendekar Pulau Neraka.. ," desis Bancak.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang Bayu. Atau
lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum kedua orang itu hi ang
rasa terkejutnya, mendadak saja
Pendekar Pulau Neraka melesat cepat Begtu cepatnya,
sehingga dalam sekejap sudah lenyap dari pandangan.
"Heh. .!" Di mana dia.. ?" sentak Bancak.
"Di sini," terdengar sahutan dari belakang. Tentu saja mereka benar-benar
terkejut, karena tahu-tahu Pendekar
Pulau Neraka sudah berada di belakang. Dan begitu mereka berbalik, pemuda
berbaju kulit harimau itu kembali melesat cepat. Bayu seakan-akan sedang
memamerkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tahap
kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka yang terus berpindah-pindah tempat dengan cepat, tentu saja membuat Bancak dan Pangkeng
kebingungan. Mereka terpaksa berputar berbalik setiap kali
mendengar suara Bayu yang selalu berpindah-pindah tempat dengan cepat. Hal ini
tentu saja membuat kepala mereka
pening, karena harus selalu berputar mengikuti setiap
perpindahan yang dilakukan Bayu. Seakan-akan Pendekar
Pulau Neraka ada di mana-mana.
"Keparat. !"
geram Bancak yang merasa dipermainkan. "Yeaaah.. !"
Ctar! Bancak langsung melecutkan cambuk dengan cepat
begitu Bayu berada di depannya. Namun sebelum ujung
cambuk sampai, Bayu sudah kembali melesat. Dan tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka
sudah berada di belakang mereka
kembali. Hal ini tentu saja semakin membuat Bancak dan
Pangkeng geram setengah mati.
"Kau ke kanan, Bancak," kata Pangkeng berbisik.
"Baik," sahut Bancak.
"Hiyaaa. .!" "Yeaaah. .!"
Kedua orang kepercayaan Juragan Basra itu ber-
lompatan menyebar. Bancak ke kanan, sedangkan Pangkeng
melompat ke kiri. Sementara Bayu berada di tengah-tengah mereka. Sehingga
Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin lagi berpindah-pindah tempat
"Sekarang kau tidak bisa lagi mempermainkan kami,
Keparat!" dengus Bancak menggeram sengit.
"Hm.. ," Bayu hanya tersenyum tipis.
Pendekar Pulau Neraka mengakui kecerdikan
Pangkeng yang mengambil posisi menyebar seperti ini. Bayu menepuk-nepuk kaki
monyet kecil yang dengan setia
nangkring di pundaknya. Monyet kecil berbulu coklat yang bernama Tiren itu
mencericit ribut sambil berjingkrakan.
"Menyingkir dulu, Tiren," kata bayu.
Sambil mencericit ribut, Tiren melompat ke pohon
terdekat yang berada di sebelah kanan Bayu. Monyet kecil berbulu coklat itu
langsung hinggap di sebatang dahan yang cukup kuat, dan duduk diam
rnemperhatikan. Tidak lagi
mencericit ribut seperti tadi. Sementara Bayu mengayunkan kakinya ke depan
beberapa langkah, menjauhi pohon tempat Tiren nangkring.
"Mengapa kalian membantai mereka yang memilih
jalan benar?" tanya Bayu dengan suara dingin.
"Itu bukan urusanmu, Bayu!" jawab Bancak sinis.
"Sekarang jadi urusanku, karena mereka menyadari
kesalahannya atas saranku!" sentak Bayu keras.
Dari sinar matanya yang tajam dan memerah, sudah
dapat dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka begitu
marah. Bayu sudah memberikan kesempatan pada orang-
orang yang kini terbaring tak bernyawa di dalam lubang
untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi maksud baiknya kini pupus, karena ulah
dua orang ini. Dan itu sudah pasti
membuatnya marah bukan kepalang. Namun tampaknya
Bayu masih mencoba meredam kemarahan. Dia hams
bersikap tenang, agar tidak terjerat oleh nafsu amarahnya sendiri.
"Hiya! Yeaaah.. !"
Tiba-tiba Bayu menghentakkan kedua tangannya dua
kali ke depan. Seketika dari telapak tangannya yang terbuka lebar, berhembus
angin kuat bagaikan badai topan.
Hembusan angin itu menghantam tanah, hingga menimbulkan ledakan yang menggelegar. Seketika debu
mengepul tinggi ke angkasa. Dan begitu mulai sirna, tampak dua buah lubang
menganga lebar dan cukup dalam, sekitar
satu tombak di depan Pendekar Pulau Neraka.
Baik Pangkeng maupun Bancak, terkejut setengah
mati melihat Bayu membuat lubang hanya dengan
mengerahkan ilmu pukulan jarak jauh. Dari situ saja, sudah dapat dipastikan
kalau tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka jauh lebih tinggi dari kedua
orang ini. "Itu untuk kalian," kata Bayu dingin.
"Phuih! Yeaaah. .!"
Ctar! Glarrrr Bancak melecutkan cambuknya dengan keras
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam. Ujung cambuk itu menghantam tanah di
depannya. Dan seketika itu juga
terdengar ledakan dahsyat. Kembali debu berkepul tinggi ke angkasa. Kerika debu
mulai menipis, terlihat sebuah lubang yang cukup besar menganga di depan Bancak.
"Itu untukmu, Pendekar Pulau Neraka," sambut
Bancak tidak kalah dingin.
Bayu tersenyum tipis melihat Bancak juga melakukan
hal yang sama dengannya. Hanya saja Bancak mempergunakan cambuk untuk membuat lubang. Hal ini
tentu saja memberi isyarat pada Bayu, kalau tingkat
kepandaian yang dimiliki Bancak tidak bisa dipandang
enteng. "Kau serang kepalanya, Bancak. .! Hiyaaa.. !" seru Pangkeng tiba-tiba dan keras
sekali. Sambil berteriak, Pangkeng langsung melompat cepat
sambil mencabut senjatanya. Dan secepat itu pula
senjatanya dikibaskan ke arah perut Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat yang sama, Bancak juga melompat seraya
melecutkan cambuknya ke arah kepala Pendekar Pulau
Neraka. Serangan mereka begitu cepat luar biasa. Namun
Bayu yang sudah siap sejak tadi, bertindak cepat dengan
melompat mundur sambil memutar tubuh dan berjumpalitan
beberapa kali di udara.
Namun Bancak dan Pangkeng terus mencecar
Pendekar Pulau Neraka. Secara bergantian, mereka
menyerang dari atas dan bawah, membuat Bayu harus
berlompatan, dan berjumpalitan menghindar. Tak sedikit pun mereka memberi
kesempatan Pendekar Pulau Neraka untuk
memberikan serangan balasan. Bahkan untuk menarik
napas, hampir-hampir sama sekali tidak ada kesempatan.
*** 8 Meskipun menghadapi dua orang yang berkepandaian cukup tinggi, namun Bayu masih mampu
melayaninya. Serangan-serangan yang dilakukan Bancak dan Pangkeng, tidak satu
pun yang mengenai sasaran. Bayu
selalu dapat mematahkan serangan mereka dengan manis
sekali. Bahkan beberapa kali Pendekar Pulau Neraka
memberikan serangan yang membuat mereka jadi kelabakan. Sudah beberapa kali pula Pangkeng dan Bancak
terkena pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan
Bayu. Tapi mereka masih tetap bertahan dan terus
menyerang. Darah sudah merembes ke luar dari sudut bibir mereka.
Sementara pertarungan mereka sudah menghabiskan puluhan jurus. Dan sampai sejauh itu belum
satu pun serangan yang dapat disarangkan ke tubuh Bayu.
"Lepas. .! Yeaaah.. !" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras.
Dan bagaikan kilat,
Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan tangan kirinya, menyambar pergelangan
tangan kanan Pangkeng. Begitu cepat hentakan tangan itu, sehingga Pangkeng tidak
sempat menghindar lagi.


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Plak! "Akh. .!" Pangkeng memekik tertahan.
Trisula keemasan yang tergenggam di tangan
kanannya terpental jauh ke angkasa. Dan sebelum Pangkeng sempat menyadari apa
yang tetjadi, tahu-tahu Bayu sudah
menghentakkan tangan kanan, sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke samping.
Bet! Sing.. ! Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah Pangkeng. Begitu
cepatnya Cakra Maut melesat, sehingga
Pangkeng tidak mampu menghindar lagi.
Crab! "Aaa. .!" kembali Pangkeng menjerit keras.
Cakra Maut menghunjam dalam di leher Pangkeng
yang memegang satu trisula di tangan kiri. Bayu cepat
melompat ke atas sambil menghentakkan tangan kanannya
ke atas kepala. Cakra Maut kembali melesat keluar dari
leher Pangkeng. Seketika itu juga darah menyembur deras.
Hanya sebentar, Pangkeng masih mampu berdiri.
Saat berikutnya, dia sudah menggelepar-gelepar di tanah. Itu pun hanya sebentar
saja. Sesaat kemudian, Pangkeng
mengejang kaku. Tak bergerak-gerak lagi untuk selamanya.
"Keparat kau.. !" geram Bancak melihat temannya tewas, dengan leher hampir
putus. Saat itu Bayu sudah kembali berdiri tegak. Dan Cakra
Maut juga sudah menempel kembali di pergelangan tangan
kanannya. Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum tipis.
Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola
mata Bancak "Giliranmu segera menyusul, Bancak," terasa dingin menggetarkan suara Bayu.
"Setaaaan..! Hiyaaat. !"
Bancak yang sebenamya sudah gentar, menjadi
merah mukanya mendengar ancaman Bayu. Dia tidak peduli
lagi, meskipun sadar kalau dirinya tidak bakal menang
menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Kirn dia kembali
menerjang sambil melecutkan cambuk ke arah dada pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Namun Bayu tidak bergeming sedikit pun. Tampaknya
memang sengaja menunggu ujung cambuk yang meluruk
deras ke arah dadanya. Dan begitu dekat, cepat tangan
kirinya digerakkan, menangkap ujung cambuk
Rrrt. !" "Hih. .!"
Bancak berusaha menarik cambuknya. Namun
cambuk hitamnya sama sekali tidak bergerak. Meskipun
sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya,
namun tetap saja cambuk itu tidak bergerak
"Eh. .!"
Bughk. .! Setelah sekian lama terjadi tarik-menarik, tahu-tahu
Bayu melepas genggamannya pada cambuk Bancak. Karuan
saja tubuh Bancak terlempar kc belakang. Daya luncur
tubuhnya baru terhenti setelah menabrak sebatang pohon
sepuluh tombak di belakangnya.
"Setan. .! Hih!"
Sret! Bancak bergegas bangkit dan langsung mencabut
pedangnya. Secepat pedangnya dicabut secepat itu pula
ditebaskan ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Namun
pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menarik kepalanya ke belakang. Sehingga
ujung pedang Bancak hanya lewat
sedikit di depan wajah Pendekar Pulau Neraka.
Dan sebelum Bancak sempat menarik pedangnya
kembali, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya
kedepan. Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan
kanannya, seketika melesat cepat. Mata Bancak terbelalak lebar, tapi tidak ada
kesempatan lagi untuk menghindar,
karena jarak mereka terlalu dekat.
Crab! "Aaa. .!" Bancak menjerit nyaring begitu Cakra Maut menghunjam dalam di dadanya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Bayu melepaskan
satu tendangan menggeledek ke arah kepala. Tendangan
Pendekar Pulau Neraka yang demikian keras, membuat
tubuh Bancak melintir, dan ambruk ke tanah. Sebentar
tubuhnya menggeliat sambil meng-erang. Kemudian diam
tak berkurik lagi.
"Hhh."!" Bayu menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka membalikkan mayat Bancak,
dan mencabut Cakra Maut yang tertanam dalam di dada.
Lalu memasang senjata andalannya itu ke pergelangan
tangan kanan. "Kaaakh. .!"
"Kemari, Tiren," kata Bayu seraya menoleh pada monyet kecil yang berjingkrakan
di atas dahan. Monyet kecil berbulu coklat itu meluncur turua
Kemudian beriarian menghampiri Bayu. Dan langsung
melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Bayu
menepuk-nepuk kepala binatang itu dengan penuh kasih
sayang. "Tinggal satu lag, Tiren. Setelah itu terserah kau, mau
ikut aku terus, atau kembali ke alam bebas," kata Bayu.
"Nguk. .!"
"Ayo, kita pergi."
*** Sementara itu, di rumah Juragan Basra, laki-laki
bertubuh gemuk itu tampak kebingungan. Karena tidak
melihat seorang pun anak buahnya di rumah yang besar ini.
Berkali-kali dia sudah mengelilingi rumah, dan memeriksa setiap kamar, tapi
tidak ada seorang pun anak buahnya yang ditemui. Laki-laki gemuk berkepala
setengah botak itu berdiri bertolak pinggang di depan beranda.
"Setan! Ke mana mereka. .?" umpat Juragan Basra gusar bercampur heran.
Pandangannya diedarkan berkeliling. Tapi, hanya
kegelapan yang didapatkan. Kesunyian begitu mence-kam.
Tak terdengar suara apa pun, selain desir angn yang
mengusik geridang telinga. Begitu sunyinya, sehingga suara binatang malam pun
tak terdengar. Juragan Basra mulai gelisah. Disadari kalau dirinya
sudah ditinggalkan oleh orang-orangnya. Dan dia juga sudah bisa menebak, siapa
yang membuat orang-orangnya
meninggalkan dirinya.
"Pendekar Pulau Neraka. .," desis Juragan Basra menggeram.
Laki-laki gemuk itu tidak pernah membayangkan
akan berurusan dengan seorang pendekar digdaya yang
sudah menggemparkan dunia persilatan. Seorang pendekar
muda yang selalu bertindak tegas pada lawan-lawannya.
Pendekar yang sangat disegani, baik oleh kawan maupun
lawan. Juragan Basra jadi teringat dengan peristiwa
beberapa waktu yang lalu, ketika Pendekar Pulau Neraka
membalas kematian ayahnya pada Rengganis dan komplotannya. Dia jadi bergdik ngeri membayangkan peristiwa itu.
Satu peristiwa menggemparkan, dimana Pendekar Pulau
Neraka baru saja menginjakkan kakinya di dunia luar. Dan segala tindakannya
masih belum terkendali. Dia membantai habis orang-orang yang tersangkut dalam
pembunuhan orang tuanya. Tidak peduli apakah mereka hanya orang
surahan yang tidak tahu permasalahannya. Dan tentu saja
Juragan Basra tidak tahu, kalau selama dalam pengembaraannya, Bayu mendapat banyak pengalaman
yang sedikit banyak telah merubah wataknya yang ganas dan tidak mengenal ampun.
Slap.. ! "Heh.?"!"
Juragan Basra tersentak kaget ketika tiba-tiba saja
sebuah benda berwama keperakan berkelebat cepat ke
arahnya. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke kanan, sehingga benda berwama keperakan
itu lewat sedikit di samping
tubuhnya, dan langsung menancap pada tiang beranda
rumah. Sebuah benda berbentuk bintang segi enam
berwama keperakan.
"Pendekar Pulau Neraka. .," desis Juragan Basra begtu mengenali benda berbentuk
bintang perak segi enam
yang tertancap di tiang beranda.
"Kau sudah siap, Juragan Basra.. ?"
"Heh. ."!"
Lag-lag Juragan Basra terkejut begtu mendengar
suara yang begtu dalam dan menggema. Seakan-akan suara
itu datang dari segala penjuru. Begtu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang
dua langkah. Dan belum lagi rasa
terkejutnya lenyap, mendadak saja berkelebat sebuah
bayangan kuning kehHaman dari atas atap. Bayangan itu
melewati kepala Juragan Basra, dan tahu-tahu di depan laki-laki gemuk berke-pala
setengah botak itu telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju kulit
harimau. "Pendekar Pulau Neraka.. ," desis Juragan Basra, agak bergetar suaranya.
Memang sudah sejak tadi Juragan Basra merasa
gelisah ketika mendapatkan bintang keperakan segi enam di dalam kamamya. Dan
kegelisahannya semakin bertambah
tatkala teringat sepak terjang pemuda berbaju kulit harimau itu sewaktu membalas
kematian ayahnya pada komplotan
Rengganis. "Pangkeng.. !
Bancak. .!" teriak
Juragan Basra memanggil tukang pukulnya.
"Mereka sudah tidak ada lagi, Juragan Basra."
"Heh. ."! Apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya Juragan Basra tersentak kaget
"Mereka memilih jalannya sendiri," sahut Bayu kalem.
"Kau. ., kau. .," suara Juragan Basra terputus.
Wajahnya yang bulat, semakin kelihatan pucat.
Sret! Juragan Basra mencabut pedangnya. Tapi dia
memegang pedangnya dengan tangan gemetar. Sementara
Bayu hanya tersenyum saja. Pemuda ini tahu kalau laki-laki gemuk ini hanya
memiliki sedikit kepandaian ilmu olah
kanuragan. Hanya karena kekayaan dan kekuasannya saja,
maka dia mampu membayar jago-jago berkemampuan cukup
tinggi, yang membuat dirinya jadi orang kuat di Pesisir Pantai Selatan ini.
Hanya itu yang diketahui Bayu dari Paman Jangir sebelum tewas.
"Hiyaaat.. !"
Juragan Basra langsung berlari cepat sambil
membabatkan pedang ke arah leher Bayu. Namun pemuda
berbaju kulit harimau itu kelihatan tenang. Dan dengan bibir mengulas senyuman,
dia menunggu dengan tenang tanpa
bergeming sedikit pun.
"Hap!"
Begitu ujung pedang berada di dekat leher, dengan
cepat sekali Bayu menggerakkan tangan kanannya.
Tap! Hanya dengan dua jari tangan, Pendekar Pulau
Neraka menjepit ujung pedang Juragan Basra. Kelihaian
Bayu ini tentu saja membuat laki-laki gemuk itu terbelalak Dia mencoba menarik
pedangnya kembali. Namun pedang
itu seperti terjepit oleh jepitan baja. Sedikit pun tidak bergerak, meskipun
sudah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Hih!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya.
Trak! "Heh. ."!"
Juragan Basra terkejut bukan main begitu melihat
pedangnya patah hanya dengan sekali hentakan tangan saja.
Tubuhnya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat
pedangnya buntung setengah, tentu saja laki-laki bertubuh gemuk itu semaki ciut
nyalinya. "Kaaakh. .!"
Tiba-tiba saja monyet kecil di pundak Bayu menerjang
Juragan Basra sambil memekik keras. Mata Juragan Basra
membelalak lebar, tidak dapat lagi melakukan apa-apa. Bayu sendiri juga
tersentak kaget, melihat binatang kecil berbulu coklat itu menerjang Juragan
Basra. "Tiren, jangan. .!" seru Bayu.
Tapi Tiren sudah lebih dahulu menerjang Juragan
Basra. "Aaakh. .!" Juragan Basra menjerit, meraung keras begitu Tiren mencakar
wajahnya. Laki-laki bertubuh gemuk itu jatuh berdebum di tanah
berpasir putih. Sedangkan Tiren mencericit ribut sambil
mencakar seluruh wajah Juragan Basra. Gigi-nya yang
bertaring tajam, mengoyak leher dan dada laki-laki gemuk itu. Sebentar saja,
seluruh wajah, leher, dan dada Juragan Basra sudah berlumuran darah. Sementara
Bayu tidak dapat berbuat apa-apa.
Juragan Basra meraung-raung, menggeliat ke sana
kemari mencoba melepaskan diri dari serangan Tiren. Tapi monyet kecil berbulu
coklat itu malah semakin ganas saja.
Suaranya bukan lagi mencericit ribut, tapi menggerung bagai gorila buas.
"Tiren, kemari. .!" benta Bayu keras.
Tiren menghentikan aksinya. Lalu melompat cepat,
dan hinggap di atas rumah Juragan Basra. Sedangkan laki-
laki gemuk itu menggerung-gerung dan bergulingan di tanah sambil menutupi
wajahnya yang berlumuran darah.
Bayu hanya bisa memandangi saja. Hatinya benar-
benar terkejut dengan perbuatan Tiren. Sungguh tidak
diduga kalau Tiren akan berbuat seperti ini. Melampiaskan dendam, karena


Pendekar Pulau Neraka 24 Prahara Di Pantai Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

majikannya tewas oleh Juragan Basra.
"Ampun. ., jangan bunuh aku. Tolong, jangan bunuh
aku. Apa saja yang kau inginkan, akan kuturuti, Bayu," rintih Juragan Basra
seraya beriutut di depan kaki Pendekar Pulau Neraka.
"Sebenarnya aku benci melihat tingkahmu selama ini, Juragan Basra," ujar Bayu
agak dingin. Tapi akhirnya dia merasa iba juga melihat laki-laki gemuk ini
beriutut dan merintih memohon belas kasihan.
"Aku tidak akan melakukan lag. Aku janji. .," ujar Juragan Basra.
"Aku tidak yakin janjimu bisa dipegang."
"Aku bersumpah, Bayu Asal kau biarkan aku tetap
hidup," rengek Juragan Basra tetap beriutut
"Hm, bagaimana kalau kau ingkar?"
"Kau boleh memenggal leherku, Bayu."
"Jangan percaya omongannya, Kakang.. !"
Bayu perpaling ketika terdengar suara dari arah
kanan. Tampak Nyai Sinah sudah berada tidak jauh darinya.
Tangan kiri wanita itu menggenggam sebilah pedang. Bayu
agak terkejut juga melihat wanita yang tampak lemah itu
memegang pedang.
Nyai Sinah menghampiri Juragan Basra yang masih
tetap beriutut di depan Bayu. Ditatapnya tajam-tajam laki-laki bertubuh gemuk
dan berkepala setengah botak yang kini
berlumuran darah itu. Kemudian mencabut pedang yang
tergenggam di tangan kiri.
"Orang semacam dia harus mampus," desis Nyai
Sinah dingin "Hiyaaat..!"
"Nyai, tunggu.. !" sentak Bayu terkejut Tapi terlambat Nyai Sinah sudah keburu
mengayunkan pedangnya, dan. .
Cras! "Aaa. .l" Juragan Basra menjerit menyayat hati begitu mata pedang Nyai Sinah
menebas lehernya.
Meskipun pedang itu berkilat tajam, tapi karena
digunakan oleh tenaga wanita yang tidak terlatih, maka tidak sampai memenggal
putus leher Juragan Basra. Namun hal
ini sudah cukup membuat laki-laki gemuk itu menggelepar.
Nyai Sinah melepaskan pedang yang masih tertanam
di leher Juragan Basra dengan tangan gemetar. Kemudian
melangkah mundur dengan wajah berubah pucat Sepertinya
dia tidak percaya kalau sudah memenggal leher orang.
Sementara itu, Juragan Basra sudah tidak bergerak-
gerak lagi. Sudah terlalu banyak darah yang keluar dari
lehernya. Bayu cepat mencabut pedang yang tertanam di
leher laki-laki gemuk itu. Perlahan dlambilnya sarung pedang yang masih
tergenggam di tangan Nyai Sinah, dan
memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya. Sedangkan
Nyai Sinah hanya berdiri terpaku saja.
"Oh, apa yang telah aku lakukan. .?" agak bergetar suara Nyai Sinah.
"Dendammu sudah terbalas, Nyai," sahut Bayu
lembut "Aku. ., aku telah membunuhnya. .?" Nyai Sinah seperti tidak percaya kalau dia
mampu melenyapkan nyawa
seseorang. Janda cantik itu memandangi Bayu dan mayat
Juragan Basra bergantian. Pancaran matanya masih belum
percaya kalau laki-laki gemuk itu tewas di tangannya.
"Aku telah membunuhnya.. . Aku jadi pembunuh. .
Oh, tidak.. ," Nyai Sinah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pada saat itu, dari rumah-rumah di sekitar kediaman
Juragan Basra, bermunculan orang-orang. Mereka memang
sejak tadi sudah mendengar dan melihat keributan yang
terjadi, tapi tidak berani keluar dari dalam rumah. Dan
sekarang mereka baru berani keluar setelah Juragan Basra tewas di tangan Nyai
Sinah. "Bukan kau yang membunuhnya, Nyai," kata Bayu, pelan dan lembut sekali suaranya.
"Benarkah. .?" Nyai Sinah masih tidak percaya.
"Kau hanya perantara dari keridakpuasan Hanggara.
Bicaralah di depan pusaranya. Aku yakin, Hanggara pasti
akan tenang di alam sana," kata Bayu lagi.
Sebentar Nyai Sinah memandang pemuda berbaju
kulit harimau itu Kemudian berbalik dan melangkah
perlahan. Sedangkan Bayu memperhatikan saja. Dia bisa
memaklumi kalau wanita itu seperti orang linglung setelah menghunjamkan pedang
ke leher Juragan Basra. Nyai Sinah
bukanlah pendekar wanita. Dia hanya wanita biasa yang baru kali ini memegang
pedang. Bayu memandangi pedang di tangannya. Pada
gagang pedang itu terukir sebuah nama.
"Hanggara:.. Apakah tadi arwah Hanggara menyusup
ke dalam tubuh Nyai Sinah.. ?" gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka kembali memandangi Nyai
Sinah yang sudah jauh berjalan. Sementara di sekitar tempat ini sudah semakin
banyak berkumpul orang-orang yang ingin menyaksikan kematian Juragan Basra. Dari
raut wajah dan sinar mata mereka, terpancar rasa senang melihat laki-laki gemuk itu terkapar
mandi darah. "Aku harus mengembalikan pedang ini pada
pemiliknya," kata Bayu bicara sendiri. "Ayo Tiren. .!"
"Nguk. .!"
Tiren langsung meluncur turun dan hinggap di
pundak Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Bayu memandangi
orang-orang yang berkerumun semakin dekat Mereka semua
seakan-akan ingin mengucapkan terima kasih, tapi tidak ada yang mengucapkannya.
Karena bag} mereka, Bayu sangat
asing dan tidak dikenal di daerah Pesisir Pantai Selatan ini.
Bayu bergegas mengayunkan kakinya meninggalkan
halaman depan rumah Juragan Basra. Kakinya melangkah
cepat, menyusul Nyai Sinah yang sudah jauh. Dan begitu
keluar dari kerumunan orang banyak, segera dikerahkan
ilmu meringankan tubuhnya. Begitu cepat dan sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau
Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah tidak terlihat bayangan tubuhnya lagi.
Sementara itu di ufuk Timur, menyemburat cahaya
merah jingga. Sebentar lagi matahari akan menampakkan
diri. Sinar matahari yang akan membawa lembaran
kehidupan baru bagi seluruh penduduk di Pesisir Pantai
Selatan ini. Seluruh wajah mereka begitu cerah, secerah
cahaya matahari yang semakin menampakkan diri.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pendekar Riang 4 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Panji Sakti 8
^