Pencarian

Pertentangan Dua Datuk 2

Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk Bagian 2


titik penyelesaian yang
tak akan pernah berakhir sepanjang masa."
"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau mereka sengaja memburumu, tentu
tidak akan kubiarkan begitu saja."
"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.
"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka mempunyai kepandaian yang
tinggi," kata Parita lagi agak menggumam.
Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah perlahan. Kembali dia teringat
pertarungan Sundrata melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama sekali.
Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang membuat Lasmi sukar untuk
melupakan adalah
kemunculan seorang laki laki tua yang tentu sudah sangat dikenalnya.
-Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda berilmu tinggi yang menolongnya
pada saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada dirinya sekarang. Yang
pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi jadi teringat pemuda
penolongnya. Seorang pemuda tampan, gagah, dan berkemampuan tinggi sekali.
"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.
"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika buyar.
Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundaknya. Dan bocah itu langsung
berlari lari mendahului.-Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan seperti ingin selamanya
menjadi seorang anak kecil yang tidak pernah memikirkan apa apa selain
-kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua yang pernah terjadi pada
dirinya. Sesuatu yang hampir
merenggut nyawanya.
"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Lasmi.
"Katakan saja," sahut Parita.
"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai Kakang Sundrata?" tanya Lasmi
seperti untuk dirinya sendiri
"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"
"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka menjelaskan. Paling paling yang
-dikatakan hanya karena Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal. Dan Ayah
merasa tertipu karena menerimanya menjadi murid di sini. Aku yakin, hanya itu.
Tidak lebih...!"
"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa merasakan kekhawatiran ayahmu," tegas
Parita bernada lembut.
"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat sifat ayahnya. Bahkan justru memusuhi
-anak buah ayahnya.
Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak sedikit Kakang Sundrata bertemu anak
buah Ki Rampoa.
Bahkan yang tidak ditewaskan, disadarkannya kembali ke jalan yang benar."
Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali Lasmi memuji Sundrata, ada
kepedihan di hatinya. Dan sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita tidak
pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan wanita ini.
"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu dikeroyok, kenapa kau tidak
membantu?" tanya Parita
mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus memuji-muji mendiang suaminya.
"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi lirih.
"Kenapa?"
"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian kekuatanku."
Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam dalam.-"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan beracun seorang laki laki tua yang
-sangat tinggi ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap kali
menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku berkurang. Dan sekarang aku tidak
tahu lagi, apakah masih mampu atau tidak sama sekali."
"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada ayahmu?"
Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
Tidak mungkin hal ini diutarakan pada ayahnya. Karena Datuk Maringgih pasti tahu
dengan siapa Lasmi bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup parah. Bahkan
bisa membunuhnya secara perlahan-lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar
bagi Lasmi untuk membayangkannya.
*** 4 Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila di depannya dalam dalam.
-Sungguh hatinya terkejut begitu mendengar putrinya mengidap racun dalam tubuhnya
yang akan mengurangi kekuatan setiap kali menggunakan ilmu tenaga dalam. Dan
laki laki itu tahu, siapa yang memiliki jenis racun seperti itu. Hanya saja yang
-sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi bisa bentrok hingga menderita
keracunan begitu parah"
"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita.
Permintaan yang sudah beberapa kali diucapkan.
"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi jadi tidak mungkin membocorkan
rahasiaku sendiri, Parita," tegas Datuk Maringgih.
"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.
"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya Datuk. Maringgih.
"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas dari maut karena ditolong
seseorang, Datuk," sahut Parita.
"Siapa?"
"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi hanya mengatakan kalau orang itu
masih muda dan berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari kulit
harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."
"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk Maringgih.
"Datuk mengenalnya?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar
Pendekar Pulau Neraka sering kudengar."
"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.
"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi, banyak kalangan rimba
persilatan mengakuinya kalau dia beraliran putih. Meskipun tindakannya terkadang
masih menggemaskan."
"Maksud, Datuk?"
"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak pernah memberi ampun lawan-lawannya. Ilmunya
memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya. Hm...," Datuk
Maringgih menundukkan kepala.
"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.
"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar Pulau Neraka?" Datuk Maringgih
malah balik bertanya.
"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.
"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu, dan sampaikan undanganku
padanya," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk mengundangnya...?"
"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang yang bernama Pendekar Pulau
Neraka itu. Mudah-mudahan aku bisa bertukar pengalaman dengannya."
"Baik, Datuk."
"CepatJah, jangan sampai keduluan yang lain.
Terutama...." terdengar ketukan di pintu. Laki laki tua itu menatap pintu,
-demikian pula Parita.
"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.
Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang masih berusia belasan tahun. Dia
menjura memberi hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.
"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.
"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut muridnya.
"Siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya.
Katanya ingin bertemu langsung dengan Datuk."
"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.
Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak melangkah ke luar, tapi Datuk
Maringgih cepat mencegah. Laki laki tua itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan-keluar dengan langkah tenang. Murid Padepokan Bambu Kuning menyingkir memberi
jalan. Parita mengikuti dari belakang.
*** Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat seorang laki laki berusia
-sekitar enam puluh tahun lebih, menunggunya di depan bangunan utama
Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan pakaian dari bulu
binatang. Wajahnya terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua orang
yang tidak kalah kasamya mendampingi di samping kiri dan kanan.
"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?"
tanya Datuk Maringgih.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk Maringgih!" sahut Ki Rampoa lantang.
"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerutkan alisnya.
"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak
Ki Rampoa lantang.
"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu," sentak Datuk Maringgih
terkejut. "Kau jangan berpura pura, tua bangka! Aku tahu kalau Lasmi kembali lagi ke sini
-setelah meracuni anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh!
Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu agar membangkang pada
ayahnya. Sebelum kau beri dia ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh
menentangku. Benar benar licik!"
-"Jaga kata katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk Maringgih gusar.
-"Seharusnya kau jaga anakmu!"
"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.
"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain main denganmu. Serahkan Lasmi, atau
-kau memilih kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi pilihan bemada ancaman.
"Tidak dua duanya!" tegas Datuk Maringgih.-"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan pilihan. Dan aku memilih keduanya,"
kata Ki Rampoa.
"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak bahak.
-Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi masih berusaha diredam
kemarahannya. Sikap dan kata kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga
-disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah sedang
diadu domba. Datuk Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang menginginkan
kehancuran Partai Pasir Merah itu.
Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang
-nya, hanya saja namanya belum diketahui. Yang pasti adalah, empat orang yang
mengeroyok Sundrata hingga tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa
dengan memanfaatkan hubungan antara putra Ki Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya,
mereka pasti tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir
Merah terjadi perang dingin yang sudah berlarut larut, meskipun putra putri
- -pemimpin masing-masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak juga bisa
membuat kedua kelompok itu menyatu.
Bahkan kini malah semakin genting.
"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh Padepokanmu sudah terkepung, dan
bendera perang tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali suara Ki
Rampoa. Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.
"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu jawabanmu besok pagi. Ingat!
Serahkan Lasmi padaku, atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan tentunya
Lasmi akan berada di tanganku. Ha ha ha...!"
Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi.
Suara tawanya terus bergerai lepas menggelegar. Mata Datuk Maringgih tajam
memandangi dengan wajah memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi kembali.
Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah ketika Lasmi tahu tahu sudah
-berdiri di ambang pintu.
Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya,
kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam.
Sedikit pun wanita itu tidak ditolehnya. Lasmi bergegas menyusul dan
mensejajarkan langkahnya di samping
laki laki tua itu.
- "Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.
Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh sedikit dan
memandang wanita di depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan mata itu.
Satu hal yang baru pertama kali ini dilakukannya. Selama ini pandangan mata
ayahnya tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa harus dilakukan.
Memang dia telah mendengar semua yang dikatakan Ki Rampoa, ayah dari suaminya.
"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung jawabku...," kata Lasmi mencoba
bicara meskipun tahu ayahnya sedang diliputi kemarahan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk Maringgih.
"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar Lasmi menemui Ki Rampoa," tegas
Lasmi. "Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi, heh"!" rungut Datuk
Maringgih seraya menghempaskan tubuh di kursi.
"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa Lasmi tidak ingin terjadi
pertumpahan darah di sini.
Lasmi rela meskipun mati."
"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat, menjadi tanggung jawabku!" tegas
kata kata Datuk Maringgih.-"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk Maringgih tegas.
"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang"
Ayah ingin melihat padepokan yang kita cintai ini
hancur" Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan menyesal jika hal itu sampai
terjadi. Semua orang akan mencibir. Bahkan mengatakan kalau putri seorang Guru
Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya hanya berlindung di ketiak ayahnya. Apa
kata sahabat sahabat Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah mengorbankan banyak
-nyawa hanya karena hendak melindungi anaknya yang telah lari bersama laki Jaki
-putra musuh-nya" Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak keras nada suara Lasmi.
Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu.
Sungguh tidak diduga kalau Lasmi akan berkata begitu.
Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya. Tapi juga tidak bisa dibiarkan
begitu saja jika Ki Rampoa membawa Lasmi seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan
kalau hal itu sampai terjadi, cibiran akan datang lebih menyakitkan lagi. Datuk
Maringgih, seorang guru besar padepokan ternama tidak berkutik di tangan seorang
pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan menyakitkan..." Bukan hanya
cibiran, tapi juga tidak akan lagi ada yang memandang Padepokan Bambu Kuning.
Sebuah padepokan yang sudah terkena!
menelorkan pendekar pendekar berkepandaian tinggi dan tangguh.
-"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.
"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."
"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu," potong Datuk Maringgih
cepat. "Baik, Ayah."
Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara Datuk Maringgih masih terduduk di kursi
dengan wajah kusut. Memang sukar mengambil
keputusan dalam saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi bersikap demikian karena
merasa dirinya tidak akan mampu mempertahankan kejayaan dan martabat
ayahnya. Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk Maringgih dapat merasakan
adanya keputusasaan. Dan ini belum pernah dialami Lasmi. Keputusasaan itu datang
karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
*** Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan Bambu Kuning sungguh lain dari
biasanya. Ketegangan menyelimuti seluruh wajah wajah penghuninya. Malam begitu -senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu Kuning, tapi juga menyelimuti
seluruh Desa Kaung.
Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu sudah diketahui seluruh penduduk desa.
Terlebih lagi, mereka ini mengepung Padepokan Bambu Kuning.
Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia tampak tenang, bahkan menikmati
udara malam di depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan taman samping
bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Sama sekali kejadian siang tadi tidak
dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya sejak petang tadi tidak
dipedulikan. "Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu, Lasmi?" desah Parita terasa berat.
"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.


Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad.
Aku tahu kau putus asa, karena...."
"Tidak," potong Lasmi cepat.
"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu, tentu bisa pulih seperti
semula," nada suara Parita terdengar membujuk.
"Untuk apa" Sudah lama aku menyimpan racun ini di tubuhku. Lagi pula Ki Rampoa
hanya menginginkan aku, dan mereka akan pergi dari sini."
"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun kau menyerahkan diri. Dia
pasti akan tetap menggempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari kalau
semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada orang ketiga yang memanfaatkannya.
Dan kau tahu, siapa siapa saja orangnya," kata Parita lagi.
-Lasmi terdiam.
"Aku benar benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi.
-Aku tidak lagi melihat Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi yang tegar, berani, dan
tidak mengenal putus asa,"
keluh Parita pelan.
"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk besok," kata Lasmi
seraya bangkit berdiri.
Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah melangkah masuk. Tapi belum juga
pintu kamarnya ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa mencegah
lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangannya kuat kuat.-"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padamu. Mungkin aku memang
sudah gila, atau mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat tingginya
gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak ingin membohongi dan memendamnya
terus menerus,"
jelas Parita sungguh sungguh.
-Lasmi hanya diam saja.
"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk mendampingimu" Apakah terlalu
hina di matamu?"
sambung Parita lagi.
Lasmi masih tetap diam.
"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal-usulku. Kalau bukan ayahmu yang
membawaku ke sini, merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku sudah jadi
gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu.
Dan itu tidak akan bisa kubalas sampai mati. Yaaah....
Aku memang tidak sepadan denganmu. Maafkan aku, Lasmi. Tidak seharusnya aku
berkata begini pada saat seperti ini," keluh Parita.
Lasmi memandang pemuda itu dalam dalam.
-Sementara Parita melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu.
Beberapa saat lamanya, mereka hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi menggeser
kakinya, dan duduk di kursi rotan panjang. Parita menghampiri dan ikut duduk di
samping wanita itu. Tapi mereka masih juga berdiam diri membisu.
"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita seraya memandang bocah kecil
yang melingkar di pembaringan.
"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.
"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata.
Lagi pula bukan kebencian, tapi..., cemburu," terdengar pelan nada suara Parita
yang terakhir. Lasmi menatap pemuda itu dalam dalam.
-"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja muak padaku, tapi tidak akan
melunturkan cintaku padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani meng
-ungkapkan perasaan hatinya.
"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.
"Aku tidak peduli."
"Aku bekas istri orang yang...."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam macam alasan lagi darimu, Lasmi. Bagiku -kata penolakan lebih sempurna daripada seribu macam alasan."
"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena kasihan. Aku
tidak ingin dikasihani. Lagi pula, kau tahu kalau racun yang bersarang di
tubuhku sewaktu waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak ingin hal ini menjadi
-beban bagimu. Pikirkan semua ini sekali lagi, Parita."
"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan, Lasmi. Dan itu semakin
mempertebal rasa cintaku padamu."
"Parita..."
"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi"
desak Parita. "Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru beberapa hari Kakang Sundrata
meninggal. Lagi pula, kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku janji,
Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih diberi umur panjang, aku akan
memberi jawaban yang kau minta."
"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan serahkan dirimu pada Ki
Rampoa," sahut Parita.
Lasmi hanya tersenyum saja.
"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.
"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti,"
sahut Lasmi. "Kau jangan macam macam, Lasmi."
-"Tidak! Kau lihat saja nanti."
"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu sendiri."
Lagi lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit berdiri dan melangkah menuju
-ke pembaringannya.
Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita masih duduk di kursi
memandangi. "Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.
Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi yang terbaring menelentang.
Parita menghampiri dan berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka
matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di dekatnya.
"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.
Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita itu bisa berpikir lebih jauh,
tiba tiba saja Parita membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di bibir
-yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak.
Tubuhnya mengejang seketika. Dan begitu tersadar, Parita sudah tidak ada lagi di
kamar ini. Pintu sudah tertutup rapat.
"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.
Inilah ciuman pertama dari seorang laki laki yang bukan suaminya. Sungguh tidak -diduga kalau Parita akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti, kenapa
tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang cepat, tapi begitu lembut dan....
Ah..., Lasmi jadi tersenyum sendiri. Dulu dia pernah merasakan hal serupa dengan
yang sekarang. Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia
tidak bisa tidur ketika pertama kali Sundrata mencium bibirnya. Dan selama tiga
hari masih terasa terus.
Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini perasaan itu datang lagi. Apakah
malam ini dia tidak bisa tidur juga" Tidak...! Ini bukan ciuman pertama, tapi
yang pertama dari laki laki lain.
-"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?"
desah Lasmi lirih.
Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak akan ada masalah. Sampai
-sampai malam ini semua orang diliputi ketegangan yang amat sangat. Tapi Lasmi
memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki-laki yang berani
mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis. Bahkan bisa dikatakan laki
-laki pendiam dan tertutup pada gadis gadis. Padahal dia cukup tampan dan gagah,
-serta berkepandaian tinggi.
Lasmi benar benar tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Ciuman Parita benar
- -benar membuatnya jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari pembaringan, dan
melangkah menghampiri pintu. Sedikit dibukanya pintu dan mengintip keluar.
"Heh..."!" Lasmi terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya Parita masih ada, tengah duduk
memandangi kamarnya di bawah pohon. Buru buru Lasmi menutup pintu dan
-membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun pintu kamar ini.
"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi bertanya pada dirinya sendiri.
Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan
dirinya dan dicobanya untuk melupakan pemuda itu.
Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus dalam hati.
"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta!
Edan...! Kenapa jadi begini...?" Lasmi memaki maki dirinya sendiri.
-Sementara malam terus beranjak semakin larut.
Beberapa kali mulutnya mengumpat, mencoba melupakan bayang bayang wajah Parita. -Bahkan meng-gantinya dengan bayangan wajah suaminya. Tapi semakin keras
berusaha, bayangan wajah suaminya semakin mengabur. Dan malah wajah Parita
semakin jelas mengganggu pelupuk matanya.
"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki dirinya.
*** 5 Pagi pagi sekali seluruh murid Padepokan Bambu Kuning sudah berkumpul di halaman
-depan bangunan utama. Dan pagi ini, Lasmi sudah mengambil keputusan yang membuat
ayahnya jadi tertegun tidak mengerti bercampur khawatir. Tapi laki laki tua itu
-tidak bisa berbuat lain lagi, dan hanya bisa menyetujui disertai sedikit nasihat
Tapi lain lagi yang dirasakan Parita.
Keputusan Lasmi dirasakan terlalu bodoh dan hanya akan membunuh diri saja. Tidak
mungkin Lasmi bisa menandingi Ki Rampoa.
"Dia datang, Ayah," kata Lasmi tak berkedip memandang ke pintu gerbang.
"Masih ada kesempatan untuk merubah pikiranmu, Lasmi," tegas Datuk Maringgih.
"Apa pun yang terjadi, aku harus menghadapinya, Ayah. Keputusanku sudah bulat,"
sahut Lasmi. Wanita cantik yang kini mengenakan baju putih ketat itu melangkah tenang
menuruni undakan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Ki Rampoa sudah
berdiri tegak di tengah tengah halaman didampingi dua orang laki laki bertubuh
- -tinggi tegap dan wajah kasar mencerminkan kebengisan.
"He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan menyerah, Lasmi," ujar Ki Rampoa
diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki Rampoa!"
ujar Lasmi lantang.
"Heh..."!" Ki Rampoa agak terperanjat
"Aku akan menantangmu bertarung dengan satu syarat!" sambung Lasmi lagi.
"Phuih! Sejak kapan kau jadi besar kepala, heh"!"
bentak Ki Rampoa.
"Dengar, Ki Rampoa. Meskipun kau ayah mertuaku, tapi kedatanganmu ke sini bukan
sebagai mertuaku. Kau menantang dan mengancam, maka akan kulayani
tantanganmu! Kita bertarung. Siapa yang menang, boleh menguasai yang kalah!
Bagaimana...?".
"Bocah setan!"'geram Ki Rampoa merasa terhina.
Kalau saja yang mengajukan penawaran tantangan itu Datuk Maringgih sendiri,
tentu tidak akan terhina seperti ini. Tapi yang memberikan penawaran justru
seorang wanita muda yang sudah tentu kemampuannya jauh di bawahnya. Merah padam
wajah Ki Rampoa. Dia menggeram mencoba menahan marah.
Ki Rampoa mengegoskan kepalanya sedikit, maka laki laki yang berada di samping -kirinya terkekeh sambil melangkah maju beberapa tjndak.
"Beri dia pelajaran biar terbuka matanya, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampos gusar.
"He he he.... Terlalu cantik untuk disakiti, Ki," kata laki laki yang dipanggil
-Kebo Ireng seraya mengerling pada Lasmi.
"Aku berikan dia padamu, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampoa.
"Ha ha ha...!" Kebo Ireng tertawa terbahak bahak.
-Dan sebelum hilang suara tawanya yang me
-mekakkan itu, mendadak saja laki laki bertubuh tinggi besar berbaju kulit
-binatang itu melompat bagaikan kilat hendak menerkam Lasmi. Cepat sekali
terkaman -nya, dan kedua tangannya terkembang lebar.
"Hai..!"
Sebelum ujung jari tangan Kebo Ireng berhasil menyentuh tubuh wanita itu,
secepat kilat Lasmi mencabut pedangnya. Dan sambil melompat ke
samping, dikebutkan pedangnya kuat kuat.
-Wut! "Uts...!"
Kebo Ireng terkesiap sesaat, tapi cepat sekali meliukkan tubuhnya. Maka, ujung
pedang Lasmi hanya membabat sedikit di depan perutnya yang buncit. Bumi terasa
bergetar begitu kedua kaki Kebo Ireng menjejak tanah. Lasmi mencoba ke samping
beberapa tindak, lalu menyilangkan pedangnya di depan dada.
"Bagus! Aku suka perempuan galak! He he he...!"
Kebo Ireng terkekeh.
"Phuih!" Lasmi menyemburkan ludahnya.
Kebo Ireng menggeser kakinya ke samping. Kedua matanya memerah menatap tajam,
mengamati setiap gerak yang dilakukan wanita itu. Dan sambil berteriak keras,
laki laki buncit itu melompat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga dalam
-dilontarkannya.
"Yeaaah...!"
Lasmi yang menyadari dirinya dalam keadaan terluka karena keracunan, tidak mau
mengambil resiko terlalu parah. Cepat cepat tubuhnya berkelit melompat ke -samping sambil membabatkan pedang ke arah
pinggang. Saat itu Kebo Ireng tidak menyadari. Namun sebelum ujung pedang Lasmi
berhasil merobek
pinggangnya, laki laki tinggi besar itu lebih cepat berkelit. Dan secepat itu
-pula dihentakkan kakinya ke
samping. Des! "Akh...!" Lasmi memekik keras.
Tendangan menyamping Kebo Ireng memang tidak bisa diduga, dan Lasmi tak mampu
menghindar. Iganya telak terkena tendangan bertenaga dalam cukup tinggi itu.
Lasmi terpental ke samping, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali.
Belum juga Lasmi sempat bangkit berdiri, Kebo Ireng sudah mengayunkan satu
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Kaki laki laki buncit itu tepat
-menghantam dada tanpa dapat dihindarkan lagi. Untuk kedua kalinya Lasmi memekik
keras, dan tubuh ramping itu terpental jauh membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat dan langsung menyambar tubuh
Lasmi yang melayang deras di angkasa. Semua yang menyaksikan, jadi terpana.
Karena tahu tahu di atas atap sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan
-memakai baju dari kulit harimau, memondong tubuh Lasmi yang terkulai.
Dari sudut bibir wanita itu mengalir darah.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Datuk Maringgih langsung mengenali pemuda itu.
Sungguh ringan bagaikan kapas tertiup angin, pemuda berbaju kulit harimau yang
dikenali Datuk Maringgih sebagai Pendekar Pulau Neraka itu meluruk turun.
Kakinya tepat mendarat di depan laki laki tua Guru Besar Padepokan Bambu Kuning.
-Saat itu Parita bergegas menghampiri. Pemuda berbaju kulit harimau itu
menyerahkan Lasmi pada Parita yang langsung menerima, dan membawanya masuk ke
dalam. *** "Anak Muda, siapa kau"!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Perlukah kujawab pertanyaannya, Datuk?" pemuda berbaju kulit harimau itu malah
bertanya pada Datuk Maringgih seraya berpaling pada laki laki tua itu.
-"Aku tahu siapa dirimu, Pendekar Pulau Neraka.
Maaf, bukannya tidak senang dengan kehadiranmu, tapi rasanya ini bukan waktu
yang tepat," ujar Datuk Maringgih sopan.
"Baiklah, tapi boleh aku menemui Lasmi?"
"Silakan."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian
memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam bangunan utama
Padepokan Bambu Kuning. Pendekar Pulau Neraka melihat Lasmi terbaring di kursi
panjang ditemani Parita. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menghampiri,
dan Parita hanya memandangi saja.
"Hm..., lukanya semakin parah," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu setelah
memeriksa keadaan Lasmi.
"Maaf, apakah kau yang bernama Bayu?" tanya Parita ragu ragu.-Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh dan mengangguk membenarkan. Dia memang
Bayu, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka dalam rimba
persilatan. "Lasmi sudah bercerita banyak tentang dirimu," kata Parita lagi.
Bayu belum juga sempat membuka mulut, ketika terdengar keributan dari luar.
Kedua pemuda itu sama-sama berpaling menatap ke luar melalui pintu yang terbuka
lebar. Tampak di halaman depan terjadi pertarungan. Suara suara teriakan
-pertarungan disertai jeritan melengking dan denting senjata berbaur menjadi
satu. "Rupanya mereka benar benar hendak menghancurkan padepokan ini," gumam Parita.
-"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Partai Pasir Merah," sahut Parita.
Saat itu Datuk Maringgih masuk, dan langkahnya begitu cepat langsung
dihampirinya Lasmi yang masih belum sadarkan diri terbaring di kursi panjang.
Sebentar ditatapnya wanita itu, kemudian berpaling pada Parita dan Pendekar


Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulau Neraka. "Parita, bawa Lasmi pergi. Selamatkan dia dan anaknya dari sini. Aku
mempercayakannya padamu,"
perintah Datuk Maringgih.
"Datuk...."
"Jangan membantah. Keadaan semakin gawat, Mereka terlalu tangguh untuk dilawan,"
potong Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan membantu mengusir mereka, Datuk," kata Bayu.
"Heh..."!"
Belum juga Datuk Maringgih mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah
melesat ke luar. Begitu sempurna ilmu yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau
itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Datuk Maringgih
dan Parita bergegas
berlari ke luar.
Tampak Bayu sudah mengamuk menghajar orang-orang dari gerombolan begal yang bernama Partai Pasir Merah. Amukan Pendekar
Pulau Neraka itu sungguh dahsyat bukan main. Dalam waktu sebentar saja sudah
tidak terhitung, berapa jumlah anggota Partai Pasir Merah yang terjungkal tewas.
Melihat pemuda berbaju kulit harimau memporakporandakan barisan Partai Pasir
Merah, murid murid Padepokan Bambu Kuning jadi bangkit semangatnya.
-Tapi tidak demikian halnya Ki Rampoa. Dia begitu gusar karena orang orangnya
-semakin berkurang, tak ada yang sanggup membendung amukan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat..!"
Ki Rampoa melompat bagaikan kilat, dan mendarat tepat di depan Bayu yang baru
saja menjungkalkan tiga orang anggota Partai Pasir Merah dalam satu gebrakan
saja. "Cukup, Anak Muda!" bentak Ki Rampoa.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Siapa kau"! Kenapa mencampuri urusanku"!"
sentak Ki Rampoa.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Orang Tua!" dingin sekali nada suara
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Setan! Kalau begitu mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Ki Rampoa yang memang sudah meluap kemarahan
-nya, semakin tidak bisa membendung lagi. Tubuhnya langsung melesat menerjang
Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu hanya berkelit menghindari terjangan laki laki tua itu.
-Sementara di sekitar situ, pertarungan masih terus berlangsung. Tampak Ki Rampoa
menggempur Pendekar Pulau Neraka dengan jurus jurus dahsyat dan berbahaya. Pertarungan
-kedua tokoh rimba persilatan itu membuat mereka yang bertarung di dekatnya tak
bisa menghindar dari terjangan yang tak menemui sasaran. Dan mereka yang masih
bisa menghindar, langsung menjauhkan diri.
Seperti ada yang memberi komando saja, mereka yang bertarung, seketika
menghentikan pertarungannya. Dua kelompok kini terlihat menyingkir dari arena
pertarungan. Sementara itu Bayu dan Ki Rampoa terus bertarung sengit Entah sudah
berapa jurus yang dikeluarkan, namun tampaknya pertarungan masih terus berjalan.
Belum ada tanda tanda akan berakhir.
-Semakin lama pertarungan semakin meningkat.
Debu mengepul di sekitar pertarungan, membuat kedua tokoh rimba persilatan itu
semakin sulit terlihat. Apalagi gerakan gerakan mereka dilakukan demikian cepat,
- sukar diikuti pandangan mata biasa. Tapi tidak demikian halnya dengan Datuk
Maringgih. Laki laki tua itu nampak begitu seksama memperhatikan jalannya-pertarungan. Dia memang ingin mengenal Pendekar Pulau Neraka, tapi kini tanpa
diduga sama sekali dapat menyaksikan pertarungan pendekar muda digdaya itu.
Sekejap pun perhatiannya tidak dialihkan.
Suatu saat, tiba tiba saja Ki Rampoa dan Bayu saling berlompatan ke belakang.
-Dan kini mereka berdiri tegak saling berpandangan tajam. Semua yang menyaksikan
menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tampak Ki Rampoa
melebarkan kakinya ke
samping, kemudian tangannya lurus merentang ke depan. Perlahan kedua tangannya
bergerak bagai melambai.
"Celaka...! Dia menggunakan jurus 'Ular Langit'!"
desis Datuk Maringgih mengenali jurus yang akan digunakan Ki Rampoa.
Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tahu betul, betapa dahsyatnya jurus 'Ular
Langit' yang dimiliki Ki Rampoa. Tampak kecemasan meliputi raut wajahnya,
terlebih lagi saat melihat Bayu bersikap tenang dan berdiri tegak dengan kedua
tangan terlipat ke depan.
Tapi mendadak saja kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu menghentak ke depan,
tepat ketika tangan Ki Rampoa juga menegang kaku dengan jari jari tangan
-meregang terbuka. Dan saat itu Ki Rampoa merapatkan kakinya. Tiba tiba dia
-bergerak cepat menyusur tanah tanpa ada gerakan sedikit pun pada kedua kakinya.
Sementara Bayu menunggu sambil merapatkan kedua kakinya juga. Cepat sekali
tangan kanannya menghentak ke atas. Kemudian begitu tangan kanan turun ke bawah,
tangan kirinya cepat bergerak ke atas. Dan ketika kedua telapak tangan Ki Rampoa
dekat di depannya, secepat kilat Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Plak! "Yeaaah...!" Tiba tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat ke atas,
-dengan kedua tangan tetap menempel pada lawannya.
"Hefs...!" Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya tekanan
ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga lutut!
Dua pasang telapak tangan beradu dan saling
menempel rapat. Tampak kedua tubuh mereka
bergetar. Masing masing mengerahkan kekuatan
-tenaga dalam yang disalurkan melalui jurus jurus andalan.
-"Yeaaah...!"
Tiba tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat dari tanah, tapi kedua
-telapak tangannya tetap, menempel pada telapak tangan Ki Rampoa.
Dengan posisi tubuh tegak lurus, Pendekar Pulau Neraka itu terus melayang naik
perlahan lahan hingga sejajar seperti tiduran di atas permukaan tanah.-Gerakan tubuh Pendekar Pulau Neraka tidak
berhenti. Tubuhnya terus naik hingga posisi kepala berada di bawah, dan kaki
yang merapat tegak lurus berada di atas. Sedangkan telapak tangan dan kepa lanya
menempel pada tubuh Ki Rampoa.
"Hefs...!"
Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika
merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah
hingga ke lutut. Tampak raut wajah Ki Rampoa memerah, dan keringat sebesar-besar
butiran jagung menitik keluar di seluruh wajah, leher, dan tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Tiba tiba saja Bayu memutar tubuhnya, lalu
-melenting berbalik ke belakang Ki Rampoa. Begitu tangannya terlepas, seketika
itu juga kakinya menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurna an.
Buk! "Akh...!"
Tendangan Bayu tepat menghantam punggung Ki
Rampoa, membuat Ketua Partai Pasir Merah itu terjungkal ke depan. Tapi kedua
kaki yang terpendam ke tanah membuat tubuhnya tertahan. Dan sebelum sempat
disadari apa yang terjadi, Bayu sudah mengirimkan satu pukulan keras sambil
melentingkan tubuhnya melewati kepala Ki Rampoa.
Des! "Aaakh...!" untuk kedua kalinya Ki Rampoa memekik melengking.
Seketika itu juga laki laki tua itu terpental ke belakang setelah dadanya
-terhantam satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Manis sekali Bayu
menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu Ki Rampoa bergulingan beberapa kali,
dan berhenti setelah menabrak pohon hingga hancur berkeping keping.
-"Ughk...!" Ki Rampoa mengeluh pendek.
Dia berusaha bangkit berdiri. Meskipun masih sanggup berdiri, tapi tubuhnya
limbung sambil tangannya menekap dada. Tampak dari mulut dan hidungnya
mengeluarkan darah kental berwarna
kehitaman. Pandangannya nanar berkunang kunang.
-Kakinya melangkah tertatih menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak
dengan tangan terlipat di depan dada.
"Aku belum kalah, bocah! Tunggu pembalasanku...!"
dengus Ki Rampoa tersendat.
Ketua Partai Pasir Merah itu menggerakkan tangannya, maka dua orang pembantu
utamanya bergegas menghampiri. Mereka memapah laki laki tua itu, lalu membawanya-pergi dari Padepokan Bambu Kuning.
Kemenangan Bayu langsung disambut sorak sorai yang gegap gempita oleh seluruh
-murid Padepokan Bambu Kuning.
*** Bayu memandangi Lasmi yang masih berbaring tak sadarkan diri. Agak lama juga
Pendekar Pulau Neraka itu berdiri memandangi di samping dipan kayu di kamar
wanita itu. Dia mendesah panjang dan menoleh memandang Parita yang duduk di
kursi memangku Wijaya. Di sampingnya, duduk Datuk Maringgih. Bayu melangkah
menghampiri dan duduk di depannya.
"Luka yang diderita semakin bertambah parah," ujar Bayu perlahan setengah
mendesah. Datuk Maringgih hanya diam saja dengan wajar murung. Sementara Parita memandangi
wajah cantilk yang terpejam bagai tertidur nyenyak. Dalam hati sangat disesali
tindakan Lasmi yang nekad menantang Ki Rampoa. Padahal tubuhnya dalam keadaan
terluka cukup parah. Parita tahu kalau tadi Lasmi mengerahkan kekuatan tenaga
dalam, dan tidak mempedulikanj luka yang dideritanya.
"Sebenamya dia sudah terluka cukup parah. Itulah sebabnya aku menyusul dan
mencarinya sampai ke sini," jelas Bayu lagi.
Datuk Maringgih memandang Pendekar Pulau
Neraka itu dalam dalam. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau Lasmi memang pernah
-bertemu pemuda yang sudah kondang namanya ini, dan selalu meng-gemparkan dunia
persilatan dalam setiap ke
-munculannya. Dia memang sudah mendengar kalau Lasmi bertemu Bayu, tapi belum
yakin benar. Dan sekarang Bayu sendiri yang mengatakannya.
"Aku tahu, Parita yang mengatakannya padaku. Tapi aku kurang jelas, luka apa
yang diderita Lasmi," kata Datuk Maringgih pelan.
"Keracunan yang dapat menguras tenaga dan kekuatannya. Bahkan bisa membunuhnya
jika me-maksakan menggunakan tenaga dalam," sahut Bayu.
"Datuk... Bukankah Datuk sudah mengetahui?"
celetuk Parita yang sejak tadi diam saja.
"Aku masih ragu, Parita," sahut Datuk Maringgih.
Tapi, setelah mendengar penuturanmu dan Pendekar Pulau Neraka, rasanya aku yakin
kalau Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Hm..., rasanya sukar dipercaya kalau
Lasmi bisa bentrok dengan Datuk Parapat...," nada suara Datuk Maringgih seperti
bergumam. "Datuk Parapat. ."!" Parita terlongong.
"Kau masih ingat peristiwa di Hutan Panjang, Parita?" tanya Datuk Maringgih
seraya menatap Parita.
"Masih, Datuk," sahut Parita.
"Kalau memang benar Lasmi bentrok dengannya, dan terkena Racun Ular Merah,
rasanya sukar untuk bisa tertolong lagi. Tak ada yang bisa menyembuhkan
kecuali...," ucapan Datuk Maringgih terputus.
"Kecuali apa, Datuk?" tanya Bayu.
"Hanya dia yang punya obat pemunahnya," sahut Datuk Maringgih lesu.
"Aku akan berusaha mendapatkannya, Datuk," tegas Bayu.
"Kau tidak mengenalnya, Pendekar Pulau Neraka."
"Tapi aku tahu, Datuk," celetuk Parita.
"Jangan! Dia bukan lawanmu."
"Lasmi harus diselamatkan, Datuk. Lagi pula bukan aku sendiri yang akan pergi,
tapi bersama Pendekar Pulau Neraka," sambung Parita mantap.
"Benar, Datuk. Kalau perlu dengan paksaan aku meminta obat pemunah darinya,"
sambung Bayu seraya melirik Parita.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan untuk berterima kasih padamu, Pendekar Pulau
Neraka," desah Datuk Maringgih.
"Tidak perlu, Datuk. Aku tahu Padepokan Bambu Kuning sangat dibutuhkan. Dan
Datuk sangat berjasa melahirkan pendekar pendekar perkasa untuk me-numpas -keangkaramurkaan. Aku merasa mendapat
kehormatan bila bisa sedikit menyumbangkan tenaga untukmu," ungkap Bayu bemada
merendah. "Ternyata apa yang kudengar tentang dirimu selama ini sungguh jauh dari
kenyataan," gumam Datuk Maringgih.
"Aku juga bukan manusia suci, Datuk."
"Tidak ada manusia suci di dunia ini. Semua manusia pasti pernah berbuat
kesalahan, asal kita menyadari kesalahan itu dan suka memperbaikinya."
"Benar, Datuk. Tapi sukar untuk memperbaiki kesalahan. Terlebih lagi
membersihkan nama yang sudah rusak, meskipun kita tidak pernah melakukannya."
Datuk Maringgih tersenyum seraya mengangguk
-anggukkan kepalanya. Dalam percakapan yang sebentar ini, sudah bisa diselami
jiwa Pendekar Pulau Neraka,
meski belum seluruhnya. Tapi hatinya sudah bisa mengatakan kalau Pendekar Pulau
Neraka tidak seperti apa yang pernah didengarnya selama ini.
Setiap kata yang diucapkannya mengandung arti yang dalam serta kerendahan hati,
sebagaimana layaknya seorang pendekar sejati. Namun sukar untuk mengukur, sampai
di mana tingkat kepandaiannya.
Datuk Maringgih ingin punya kesempatan lebih banyak lagi dengan pemuda berbaju
kulit harimau ini membagi pengalaman dan bertukar pikiran. Tapi sayang, Pendekar
Pulau Neraka harus pergi. Dan kepergiannya ini untuk kesembuhan Lasmi serta
keutuhan Padepokan Bambu Kuning.
*** 6 Pagi pagi sekali Bayu dan Parita sudah keluar meninggalkan Padepokan Bambu -Kuning. Mereka
sengaja berjalan kaki, karena memang Pendekar Pulau Neraka tidak biasa
menunggang kuda. Padahal dia sudah disediakan seekor kuda yang tegap dan bagus
untuknya. Terpaksa Parita mengikuti berjalan kaki, karena tidak mungkin
menunggang kuda sendirian, sementara Bayu hanya berjalan saja.
Belum lagi matahari naik tinggi, mereka sudah berada di luar batas wilayah Desa
Kaung. Di situ, di tengah tengah desa itu berdiri Padepokan Bambu Kuning. Mereka
-terus berjalan menuju hutan tempat pertama kali Bayu bertemu Lasmi. Mereka
hendak memulainya dari sana sebelum ke tempat tempat lainnya.
-"Kakang, boleh bertanya sesuatu padamu?" Parita membuka suara karena sejak tadi
mereka hanya diam saja. Dan Parita memang sudah membiasakan diri memanggil Bayu
dengan sebutan kakang.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kau ingin membantu Lasmi?" tanya Parita.
Meskipun agak tertekan, tapi masih terasa ada nada kecemburuan pada suaranya.
"Bukan Lasmi, tapi Padepokan Bambu Kuning," sahut Bayu.
"Bukan Lasmi...?" ada kelegaan di dada Parita.
"Benar. Dan memang sebenarnya aku hendak ke
Padepokan Bambu Kuning, tapi kebetulan saja bertemu Lasmi di tengah jalan. Aku
sendiri tidak tahu kalau Lasmi berada di sana, dan ternyata juga putri Datuk
Maringgih. Aku baru tahu setelah kejadian kemarin,"
jelas Bayu. "Boleh aku tahu tujuanmu ke Padepokan Bambu Kuning?" pinta Parita.
Bayu tidak langsung menjawab, dan hanya tersenyum saja. Dia melihat Parita,
usianya pasti lebih muda darinya. Dan Pendekar Pulau Neraka menganggap Parita
tidak akan bisa diharapkan. Tujuannya, ke Padepokan Bambu Kuning hanya untuk
bertemu Datuk Maringgih. Dan tidak mungkin diutarakan maksud sebenamya kepada
pemuda ini. "Aku tidak akan memaksa jika kau tidak suka mengatakannya, Kakang," kata Parita
bisa mengerti keberatan Bayu.
"Terima kasih," ucap Bayu.
Kembali mereka terdiam, dan terus melangkah
semakin masuk ke dalam hutan. Tidak begitu lebat hutan ini, karena sering
dijarah penduduk Desa Kaung, baik untuk mencari kayu bakar ataupun berburu. Jadi
mereka bisa leluasa berjalan, tanpa harus menyibakkan semak. Banyak jalan
setapak yang bercabang dan berliku yang bisa dilalui.
Belum jauh mereka memasuki hutan, mendadak saja
Bayu menghentikan langkahnya. Dan belum juga mulutnya sempat dibuka, mendadak
sebatang anak panah melesat ke arahnya. Bahkan disusul puluhan anak panah yang
bertebaran bagai hujan.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan sambil menggerak gerakkan -tangan kanannya menghalau anak panah yang bertebaran. Sedangkan Parita langsung
mencabut pedangnya yang berwarna kuning keemasan, dan langsung diputar putar
-cepat bagai baling baling.
-Begitu banyak anak panah yang rontok terbabat, tapi banyak juga yang melesat
lewat. Namun tak ada satu pun yang mengenai sasaran. Meskipun anak panah itu


Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang bagaikan hujan, tapi kedua orang itu bukanlah tokoh sembarangan. Lagi
pula Parita sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, sehingga pemuda
itu tidak mengalami kesulitan menghalau anak panah yang menyerbu ke arahnya.
"Cepat ke belakangku, Parita!" seru Bayu.
"Hup...!"
Sambil mengebutkan pedangnya, Parita melompat ke belakang Pendekar Pulau Neraka.
Dan seketika itu juga, Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Maka tiba tiba bertiup angin kencang bagai badai yang sangat dahsyat Suara angin
-mengguruh menghalau anak anak panah itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar
-jeritan jeritan melengking saling sahut.
-Terlihat tubuh tubuh yang tersembunyi di balik semak dan pepohonan berpentalan
-di udara, bersamaan beterbangannya pohon pohon yang tercabut dan bebatuan.
-Sementara Parita yang berada di belakang Bayu jadi terpana. Sungguh baru kali
ini matanya melihat ada orang bisa menciptakan badai begitu dahsyat, hingga
memporakporandakan isi hutan inj.
"Hap! Bayu menarik tangannya hingga sejajar pinggang.
Dan seketika itu juga badai berhenti. Pandangannya tajam beredar berkeliling,
merayapi sekitarnya yang hancur berantakan akibat diterjang badai buatannya. Di
antara pepohonan yang bertumbangan saling tumpang tindih,
terlihat tubuh tubuh-berlumuran
darah bergelimpangan. Bahkan ada beberapa yang tertimpa pohon, atau terhimpit batu.
"Partai Pasir Merah...," desis Parita mengenali pakaian yang dikenakan orang
-orang itu. "Hm.... Waspadalah," gumam Bayu memperingatkan.
Belum juga kering peringatan Pendekar Pulau Neraka itu, tiba tiba berlompatan
-empat sosok tubuh. Dan tahu tahu di depan mereka sudah berdiri empat orang laki
- -laki tua yang rata rata usianya sekitar tujuh puluh tahun. Bayu menggumam tidak
-jelas. Pendekar Pulau Neraka memang pernah bertemu mereka, ketika
mengelabui untuk melindungi Lasmi dari kejarannya.
"Di dunia ini memang sukar menaruh kepercayaan pada seseorang," gumam orang tua
berbaju wama merah yang menyandang sebuah gada besar berduri.
Bayu tahu kalau kata kata itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia hanya diam saja,
-dan matanya sedikit tajam memandangi empat orang tua di depannya ini.
"Sudah, Kakang. Jangan banyak omong. Penggal saja batang lehernya!" sungut orang
yang berbaju biru
"He he he..., itu masalah mudah. Kita harus tahu, apa maksudnya melindungi
Lasmi," sahut yang berbaju merah.
"Sudah pasti dia orang dari Padepokan Bambu
Kuning," celetuk yang memakai baju hitam.
"Benar! Yang satu itu sudah jelas dari sana, murid si tua bangka Datuk
Maringgih! Ha ha ha...!" sambung yang berbaju hijau.
"Keparat! Kalian hina guruku...!" geram Parita, merah wajahnya mendengar gurunya
dihina. "Wuih! Dia bisa galak juga rupanya," ejek orang tua berbaju biru.
"Aku tahu siapa kalian! Empat Iblis dari Gunung Lor.
Sudah lama aku ingin memenggal kepala kalian!"
dengus Parita. Empat orang tua itu tertawa terbahak bahak. Sedikit pun tidak memandang sebelah -mata pada murid Padepokan Bambu Kuning itu. Sementara Bayu hanya diam saja, dan
sedikit melirik pada Parita. Agak kaget juga hatinya, karena Parita mengenal
keempat orang tua itu. Padahal, sebelumnya Parita mengatakan tidak mengetahui,
siapa keempat orang yang membunuh suami Lasmi.
Tapi Bayu tidak sempat lagi bertanya, karena mendadak saja orang tua yang
berbaju hijau sudah melompat menerjang Parita. Tongkatnya berkelebat cepat
menimbulkan suara mendesing. Parita langsung mengebutkan pedangnya menyampok
tongkat yang mengarah ke kepalanya itu.
Wuk! Trang! "Ih...!"
Orang tua berbaju hijau yang dikenal berjuluk Iblis Hijau itu terpekik kaget.
Sungguh tidak dikira kalau Parita memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi juga.
Tadi dia begitu meremehkan, sehingga tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Hampir saja tongkatnya terlepas kalau tidak cepat cepat diputar ke
-atas. Dan Iblis Hijau kemudian melompat mundur dua tindak. Sementara Parita
sudah bersiap menerima serangan kembali. Disilangkan pedangnya di dada.
"Bagus! Rupanya kau punya isi juga, bocah!" dengus Iblis Hijau.
"Dan kau sebentar lagi mampus di ujung pedangku!"
balas Parita dingin. .
"Bocah setan! Hiyaaat..!"
Iblis Hijau memuncak amarahnya, dan langsung melompat menyerang Parita. Dua kali
dikebutkan tongkatnya, dan kali ini tidak lagi memandang enteng pemuda itu.
Namun manis sekali Parita berhasil mengelakkan serangan orang tua berbaju hijau
itu. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, murid Padepokan Bambu Kuning itu mengibaskan
pedangnya ke arah dada dan perut
*** Dua tebasan Parita mudah dapat dielakkan Iblis Hijau. Dan sebelum pemuda itu
menarik pulang pedangnya, Iblis Hijau sudah menghentakkan tongkatnya ke arah
dada. Pada saat itu posisi Parita memang terbuka sekali, dan tidak mungkin lagi
berkelit menghindar. Dengan cepat Parita mengibaskan
pedangnya membabat tongkat yang hampir menusuk dadanya.
Trang! "Akh...!" Parita memekik tertahan.
Seluruh jari jari tangannya mendadak terasa kaku, dan pedangnya tidak bisa lagi -ditahan sehingga terpental lepas dari genggaman tangannya. Pada saat itu Iblis
Hijau sudah mengirimkan satu tendangan keras ke arah perut
Qughk! "Heghk...!" Parita mengeluh pendek.
Pemuda itu terbungkuk dan terhuyung huyung ke belakang. Tendangan Iblis Hijau
-begitu keras, mengandung tenaga dalam yang cukup tinggi. Parita merasakan
seluruh isi perutnya terkoyak, dan terasa mual, seakan akan ingin muntah. Pada
-saat itu, Iblis Biru melompat cepat sambil mengayunkan cambuknya ke arah leher
Parita. Ctar! Belum lagi ujung cambuk berduri itu berhasil menyentuh kulit leher Parita, Bayu
sudah lebih dahulu menghentakkan tangannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagaikan kilat,
langsung menyambar cambuk hitam berduri.
Tas! "Heh...!" Iblis Biru terperanjat.
Belum lagi lenyap keterkejutan Iblis Biru karena cambuk mautnya terpotong, Bayu
sudah melompat Langsung dikirimkan dua pukulan keras bertenaga sempurna
dibarengi satu tendangan menggeledek.
Iblis Biru terperangah. Buru buru dilentingkan tubuhnya ke belakang. Dia memang
-berhasil menghindari dua pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tapi satu tendangan
Jemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa dihindari lagi, tepat mendarat di
dada. Des! "Aaakh...!" Iblis Biru memekik melengking.
-Orang tua berbaju biru itu terjungkal deras ke belakang. Bumi serasa bergetar
begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Tampak dadanya melesak ke dalam,
dan dari mulutnya memuntahkan darah kental.
Sebentar Iblis Biru menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Tendangan Bayu yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna itu sungguh luar biasa akibat-nya.
Iblis Biru langsung tewas seketika.
Ketiga orang tua lainnya jadi terperanjat melihat Iblis Biru tewas hanya dalam
satu gebrakan saja. Mereka segera berlompatan mengurung Pendekar Pulau
Neraka, dan jadi melupakan Parita yang sedang berusaha menghilangkan rasa mual
di perutnya. Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Cakra Maut sudah kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya. Tiga laki laki tua bergerak memutari -tubuhnya, sambil memain mainkan senjatanya masing masing. Sedikit pun Bayu tidak
- -berkedip memperhatikan setiap gerakan ketiga orang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketiga orang tua yang berjuluk Empat Iblis dari Gunung Lor itu beriompatan
secara bersamaan. Senjata mereka terayun keras mengarah ke tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Saat itu pula Bayu melompat ke atas, seraya memutar tubuhnya sambil
melontarkan beberapa pukulan. Gerakan Bayu yang demikian aneh dan
cepat luar biasa itu sungguh mengejutkan ketiga laki-laki tua itu. Mereka
bergegas menarik pulang serangannya. Tapi tindakan itu justru membuat Bayu
senang. Dan seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berputaran di udara, lalu tangan
kanannya mengibas ke arah orang berbaju hijau. Secercah cahaya berkelebat cepat
bagai kilat dari Cakra Maut yang melesat lepas dari pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka. Swing! "Aaa...!" Iblis Hijau menjerit melengking tinggi.
Tak dapat dihindari lagi, Cakra Maut merobek leher laki laki tua berbaju hijau
-itu hingga hampir buntung.
Tubuhnya ambruk dan menggelepar di tanah. Darah langsung mengucur deras dari
leher yang terpotong.
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanannya.
Sementara dua orang lagi semakin terpana tidak percaya. Dan sebelum mereka bisa
berbuat sesuatu, Bayu sudah kembali bergerak cepat. Empat pukulan langsung
dilontarkan ke arah dua orang tua itu.
Pukulan pukulan itu begitu cepat, dan tidak bisa dihindari lagi.
-Dua jeritan melengking terdengar saling susul, kemudian dua tubuh tua terjungkal
keras ke atas tanah.
Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Bayu berdiri tegak
memandangi empat laki laki tua yang kini sudah jadi mayat. Memang ternyata
-mereka bukanlah lawan yang berat bagi Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, tapi masih jauh berada
di bawah Pendekar Pulau
Neraka. Sehingga, dengan mudah pemuda berbaju kulit harimau itu merobohkan
Imbauan Pendekar 10 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Naga Kemala Putih 5
^