Pertentangan Dua Datuk 3
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk Bagian 3
mereka. Terlebih lagi, Bayu menggunakan senjata mautnya yang sangat sukar
ditandingi. Bayu menghampiri Parita yang sudah menyelesaikan
semadinya untuk menghilangkan rasa mual dan sesak akibat bertaruhg dengan si
Iblis Hijau tadi. Parita agak terkejut juga melihat Empat Iblis dari Gunung Lor
sudah menggeletak tak bernyawa. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan akan meminta-penjelasan.
"Siapa mereka sebenamya, Parita?" Bayu mendahului bertanya.
"Mereka adalah wakil wakil Datuk Parapat," sahut Parita seraya merayapi empat
-orang tua yang sudah menggeletak jadi mayat.
"Hm..., pantas mereka hendak menangkap Lasmi,"
gumam Bayu. Parita kembali mengalihkan pandangannya pada
Pendekar Pulau Neraka. Lasmi memang sudah menceritakan kalau pernah ditolong
seorang pemuda berbaju kulit harimau ketika dikejar kejar empat orang.
-Saat itu Parita tidak menduga kalau empat orang itu adalah mereka mereka ini.
-Karena, Lasmi juga tidak begitu jelas mengatakan empat orang yang mengejar-nya.
"Kalau mereka wakil Datuk Parapat, berarti datuk itu tidak berada jauh dari
sini," duga Bayu setengah bergumam.
"Benar, Kakang. Tapi...," suara Parita terputus.
"Tapi apa, Parita?"
"Apa hubungan mereka dengan Partai Pasir Merah?"
Parita seperti bertanya sendiri.
"Apa pun hubungannya, kita harus secepatnya mendapatkan obat penawar Racun Ular
Merah darinya, Parita."
"Benar, Kakang. Ayo...! Jangan buang buang waktu!"
-Tapi belum juga mereka bergerak pergi, mendadak saja terdengar siulan nyaring
melengking tinggi. Parita dan Bayu saling berpandangan. Suara siulan itu
terdengar sangat jelas dan dekat sekali. Nadanya sangat tinggi dan menyakitkan
telinga. Bayu langsung merasakan adanya pengerahan tenaga dalam pada suara
siulan itu. Dan sebelum Parita diperingatkan, pemuda itu mendadak sudah menjerit
sambil menutup kedua telinganya.
"Gunakan hawa murni, Parita!" kata Bayu memberitahu.
"Akh...! Tidak bisa...!" jerit Parita.
"Hih!"
*** Cepat sekali Bayu memberi beberapa totokan di sekitar dada dan telinga Parita.
Seketika itu juga Parita jatuh lemas menggeletak di tanah. Dan Pendekar Pulau
Neraka itu sendiri segera duduk bersila, lalu merapatkan kedua tangannya di
depan dada. Sebentar ditariknya napas panjang. Langsung tangannya digerak-gerakkan sebentar, dan diletakkan di lutut.
Sebentar kemudian seluruh tubuh Bayu sudah bersimbah keringat, dan perlahan
mulai bergetar.
Sementara suara siulan itu semakin melengking tinggi.
Bayu terus bertahan, mencoba melawan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan
melalui siulan itu dengan pengerahan tenaga dalam juga. Sungguh dahsyat!
Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka sampai bergetar, pertanda seluruh kekuatan
tenaga dalamnya dikerah-kan hingga pada tahap yang paling tinggi.
Perlahan lahan Bayu mengangkat kedua tangannya, dan merentang lebar ke samping.
-Perlahan pula tangan itu bergerak turun naik seperti sayap seekor burung bangau.
Sukar dipercaya, pelan pelan namun pasti, Bayu terangkat naik masih dalam posisi
-duduk bersila.
Semakin lama semakin tinggi, dan tangannya terus merentang bergerak perlahan
turun naik. Setelah tubuhnya naik hingga mencapai dua tombak, tubuh Pendekar Pulau Neraka
berputar. Semula perlahan lahan, namun semakin lama semakin cepat Dan akhirnya
-yang terlihat hanya bayangan yang berputar cepat hingga menimbulkan suara angin
menggemuruh. Tiba tiba saja....
-"Yeaaah...!" Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika tubuhnya meluruk turun deras, dengan tangan menukik ke bawah. Maka
ledakan keras terdengar begitu kedua kepalan tangan Pendekar Pulau Neraka itu
menghantam tanah dengan keras. Seluruh permukaan tanah berguncang hebat bagai
terjadi gempa. Kembali Bayu melesat ke angkasa, lalu berputaran beberapa kali,
dan mendarat manis di tanah. Maka saat itu pula suara siulan berhenti.
Bayu menggeser kakinya menghampiri Parita. Dia sedikit membungkuk, dan
memberikan beberapa
totokan. Parita menggeliat, kemudian menggelinjang bangkit berdiri. Sebentar
dipandanginya Bayu, tapi langsung
beralih ketika seorang laki laki-tua mengenakan jubah hitam tiba tiba muncul. Seluruh rambut, kumis, dan jenggotnya
-sudah putih semua. Dia membawa sebatang tongkat hitam dengan ujung
berbentuk golok.
"Bayu, dia itu Datuk Parapat," Parita memberitahu.
"Hm...," Bayu hanya bergumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah pernah bertemu laki laki tua ini,
-meskipun hanya sekejap saja.
Itu terjadi ketika Bayu menyelamatkan Wijaya yang hampir lumat terbanting ke
tanah, dan langsung menyambar Lasmi untuk dibawa pergi. Bayu sendiri tidak tahu,
apakah orang tua ini sempat mengenali atau tidak. Yang jelas, Bayu sempat
mengenalinya sebelum melesat pergi menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Aku mengakui kehebatanmu, Anak Muda. Tapi itu belum berarti kau mampu
menandingiku," tegas laki-laki tua yang dikenali Parita bernama Datuk Parapat
itu. "Kau yang bernama Datuk Parapat?" tanya Bayu langsung.
"Tidak salah lagi, Anak Muda," sahut Datuk Parapat membenarkan.
"Ketahuilah, aku sengaja berada di sini untuk mencarimu," kata Bayu mantap.
"Aku tahu untuk apa kau mencariku, Anak Muda.
Sayang sekali Lasmi tidak bisa kuselamatkan," sergah Datuk Parapat kalem.
"Datuk Parapat! Tidak ada gunanya kau menyiksa Lasmi!" celetuk Parita lantang.
"Hm, siapa kau"!" dengus Datuk Parapat menatap Parita tajam.
"Aku Parita, murid Padepokan Bambu Kuning," sahut Parita.
"Bagus! Rupanya kau murid Datuk Maringgih.
Katakan pada gurumu agar janjinya segera ditepati.
Serahkan Lasmi padaku, jika tidak ingin melihat anak itu mati perlahan lahan!"
-ancam Datuk Parapat.
"Urusanmu dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau libatkan Lasmi?" kembali Parita
membuka suara. "Kau belum tahu apa apa, bocah. Dan sebaiknya tidak perlu ikut campur. Ini
-urusanku dengan gurumu!"
sentak Datuk Parapat mulai tidak senang.
"Masalah guruku, juga masalahku!"
"Hhh! Rupanya kau keras kepala juga, bocah!"
dengus Datuk Parapat.
"Datuk Parapat! Sebaiknya serahkan saja obat pemunah Racun Ular Merah," kata
Parita lagi. "Bicaramu semakin kurang ajar saja, bocah.
Kuperingatkan sekali lagi padamu! Jika kau tidak mau diam, terpaksa kubungkam
mulutmu!" ancam Datuk Parapat
"Tidak semudah itu, Orang Tua!" tantang Parita.
"Bocah gendeng. .! Hih!"
Tiba tiba saja Datuk Parapat menghentakkan tangan kirinya. Maka dari balik -lengan jubahnya melesat jarum kecil berwarna merah berjumlah lima buah, dan
langsung meluruk deras ke arah Parita. Dan pemuda murid Padepokan Bambu Kuning
itu langsung mengibaskan pedangnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Empat buah jarum merah berhasil dihalau, tapi sebuah jarum luput dari babatan
pedangnya. Dan Parita tak bisa lagi menghindar. Jarum itu menghunjam bahu kanan,
sehingga membuatnya terpekik kecil. Dan kini tirbuhnya terhuyung huyung ke
-belakang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergerak lagi.
Bayu tersentak kaget, dan segera bergerak menggeser ke depan.
"Dia hanya pingsan, Anak Muda," jelas Datuk Parapat.
Bayu yang sudah siap hendak menyerang, langsung mengurungkan niatnya. Ditatapnya
dalam dalam wajah tua di depannya. Kemudian berpaling memandang pada Parita yang
-tergeletak di tanah. Memang benar, dada murid Padepokan Bambu Kuning itu masih
bergerak, tanda masih hidup.
"Aku tahu, kau bukan dari Padepokan Bambu Kuning.
Kuharap kau tidak mencampuri urusan ini, Anak muda,"
tegas Datuk Parapat lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
*** 7 Bayu melirik Parita sebentar, yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Pada
bahu kanannya terlihat sebuah jarum merah menghunjam tidak seberapa dalam. Hanya
setitik darah yang merembes keluar. Pendekar Pulau Neraka
itu kembali menatap Datuk Parapat Pandangannya kemudian beredar ke arah mayat mayat yang bergelimpangan tak tentu -arah.
"Kau yang menghasut mereka menghancurkan Padepokan Bambu Kuning?" tanya Bayu,
agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha...! Tanpa dihasut pun mereka memang ingin menghancurkan Padepokan
Bambu Kuning!" sahut Datuk Parapat enteng.
"Tampaknya kau seperti orang bijaksana. Tapi kenapa kau lakukan perbuatan keji
itu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Anak Muda?" Datuk Parapat malah balik bertanya.
"Karena aku ada kepentingan dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning. Dan sebelum
kepentinganku terlaksana, tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu!" tegas
jawaban Bayu. "Anak Muda! Aku sering mendengar nama dan sepak terjangmu. Rasanya tidak ada
persoalan antara kau dengan Datuk Maringgih...," ujar Datuk Parapat setengah
bergumam. "Itu urusanku, Datuk Parapat!" dengus Bayu.
"Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, tapi kenapa kau mencampuri urusanku?" agak
gusar nada suara
Datuk Parapat "Aku bukan mencampuri urusanmu! Tapi aku tidak ingin ada orang lain yang
mengganggu Padepokan Bambu Kuning sebelum urusanku sendiri terlaksana!"
"Kau terlalu besar kepala, Pendekar Pulau Neraka,"
desis Datuk Parapat "Bukan hanya kau yang punya persoalan dengan Datuk
Maringgih. Hm.... Jika. kau ingin melenyapkan orang tua itu, kenapa kau tidak
bergabung saja denganku" Dan kenapa kau malah
memusuhi orang orang Partai Pasir Merah?"
-"Maaf, aku selalu bertindak sendiri. Aku tidak suka banyak orang," tolak Bayu
tegas. "Anak Muda, aku tidak tahu urusanmu dengan Datuk Maringgih. Dan aku tidak akan
mau tahu. Tapi tindakanmu membuatku merasa gerah. Tak ada seorang pun yang boleh
menghalangiku. Kau mengerti itu, Pendekar Pulau Neraka...?" mantap kata kata -Datuk Parapat.
"Tidak perlu penjelasan lagi, Datuk Parapat. Aku siap menghadapimu!" tegas
jawaban Bayu. "Bagus! Sebaiknya lata mulai sekarang."
"Boleh."
Mereka sama sama menggeser kakinya ke samping dengan arah berlawanan. Tak ada
-lagi yang membuka suara, dengan bibir terkatup rapat. Sinar mata bersorot tajam,
seakan akan -sedang mengukur tingkat kepandaian masing masing.
-Trak! Datuk Parapat menepak tongkat yang berujung golok besar di tangan kanan dengan
telapak tangan kiri.
Perlahan lahan diarahkan ujung tongkatnya kepada
-Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tangan
kiri sejajar dada, dan tangan kanan lurus ke depan dengan telapak terbuka dan
jari merapat. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil memperdengarkan teriakan keras, mereka berlompatan menerjang. Datuk
Parapat mengebutkan tongkat berujung golok dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Sementara Bayu meliukkan tubuhnya sambil mengirimkan
satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
Serangan pertama masing masing pihak tak ada yang mengenai sasaran. Kemudian
-mereka melakukan
serangan kedua, disusul serangan serangan selanjutnya.
-Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi. Masing-masing langsung mengerahkan
jurus jurus andalan dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit kelengahan saja, dapat
-berakibat fatal.
Jurus demi jurus cepat dilalui. Tak terasa mereka sudah menghabiskan lebih dari
dua puluh jurus. Tapi sampai saat ini belum ada tanda tanda pertarungan bakal -terhenti. Bahkan belum ada tanda tanda yang terdesak. Bukan hanya Bayu yang
-merasakan kali ini mendapatkan lawan tangguh, tapi juga Datuk Parapat punya
perasaan sama. Terlebih lagi dia tidak menduga kalau pemuda ini mampu
menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
"Berhenti...!" tiba tiba terdengar bentakan.
-Suara bentakan itu begitu keras, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Akibatnya,
mereka yang bertarung jadi terkejut. Mereka langsung berlompatan mundur, dan
hampir bersamaan pula menoleh ke arah datangnya suara bentakan keras menggelegar
tadi. Bukan main terkejutnya dua orang yang tadi bertarung itu saat melihat di
sekelilingnya sudah mengepung puluhan orang bersenjata terhunus.
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Karena, bentakan keras menggelegar tadi
ternyata datang dari seorang laki laki berusia sekitar enam puluh tahun.
-"Ki Rampoa...," desis Bayu.
"Hm...," sementara Datuk Parapat hanya menggumam saja.
Dua orang yang tadi bertarung sengit itu mengedarkan pandangannya berkeliling.
Entah, berapa jumlah orang di sekelilingnya. Yang jelas tempat ini sudah
terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dengan mudah. Mereka semua
menghunus senjata, dan tampaknya tinggal menunggu perintah saja.
*** "Kalian berdua seperti anak anak kecil saja. Untuk apa berselisih" Padahal
-kalian punya tujuan yang sama,"
tegas Ki Rampoa.
Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan, dan sama sama melangkah menghampiri
-Ki Rampoa. yang didampingi dua orang pengawalnya. Mereka berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Ketua Partai Pasir Merah
itu. "Kurasa di antara kita punya tujuan yang sama, meskipun urusannya berbeda," kata
Ki Rampoa lagi.
Ketua Partai Pasir Merah itu menatap dalam dalam Pendekar Pulau Neraka, yang
-pernah membuatnya malu di Padepokan Bambu Kuning.
"Meskipun kau pernah membuatku malu, tapi aku tidak akan memperpanjang urusan
lagi, Anak Muda,"
kata Ki Rampoa pada Bayu.
"Ki Rampoa, apa sebenarnya yang kau inginkan?"
tanya Datuk Parapat.
"Aku..." Ha ha ha...! Kau menghendaki kematian Datuk Maringgih. Dan aku
menginginkan anaknya jadi budakku. Tapi...," Ki Rampoa melirik pada Pendekar
Pulau Neraka. "Kau sendiri punya urusan dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau
membelanya?"
"Itu urusanku!" sahut Bayu ketus.
"Ya, kita memang punya urusan masing masing yang sama tujuannya. Hm..., kenapa -kita tidak bergabung"
Bukankah dengan bersatu kita lebih mudah mencapai tujuan?" usul Ki Rampoa lagi.
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu, bagaimana dengan urusan di antara kita sendiri?" dengus Datuk Parapat.
"Itu bisa diselesaikan nanti, Datuk Parapat," ujar Ki Rampoa. "Terutama antara
kau dan aku, Anak Muda.
Masih ada persoalan yang belum diselesaikan."
Bayu hanya menggumam kecil, lalu melirik Datuk Parapat. Kemudian ditatapnya Ki
Rampoa dalam dalam.
-Bayu yakin kalau Ketua Partai Pasir Merah ini belum mengetahui kepentingannya
pada Datuk Maringgih.
Sedangkan Bayu sendiri tidak tahu, ada urusan apa antara Datuk Parapat dengan
Datuk Maringgih.
Sedangkan antara Ki Rampoa dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning itu, Bayu memang
sudah mengetahui
-nya. "Maaf. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, Ki Rampoa," tegas Bayu.
"Aku juga tidak akan bergabung denganmu, begal!"
dengus Datuk Parapat.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak bahak.
-"Kalian lihat! Seluruh tempat ini sudah terkepung. Aku tidak akan mengatakan,
dan pasti kalian sudah bisa mengerti sendiri."
Kembali Bayu dan Datuk Parapat saling ber
-pandangan. Meskipun mereka tokoh tingkat tinggi rimba persilatan, tapi untuk
menghadapi pengeroyokan begini banyak, rasanya sukar juga. Dan kemungkinan untuk
tetap bisa hidup kecil sekali. Mereka mengaku kalah dalam hal gertakan, tapi
tidak akan menyerah begitu saja.
"Aku menantangmu bertarung, Ki Rampoa!" tegas Datuk Parapat.
"Aku yang menentukan di sini!" bentak Ki Rampoa.
"Hm..., kau takut rupanya," ejek Datuk Parapat.
"Phuih! Aku tidak akan terpancing, Datuk Parapat.
Dengar, hanya ada satu pilihan untukmu, dan juga kau!"
Ki Rampoa menunjuk Pendekar Pulau Neraka.
Memang sukar posisi yang dihadapi Datuk Parapat maupun Pendekar Pulau Neraka
saat ini. Mereka tidak punya pilihan lain, tapi tidak ingin mengikuti keinginan
Ketua Partai Pasir Merah ini. Sekali saja mengucapkan persetujuan, selamanya
nama mereka akan jatuh dalam kancah rimba persilatan. Dan itu sudah pasti yang
diinginkan Ki Rampoa. Mengeruk berbagai keuntungan dalam sekali jalan. Bayu
sendiri mengakui kecerdikan
laki laki itu.-Perlahan Bayu menggeser kakinya mendekati Datuk Parapat. Sementara Ki Rampoa
tersenyum senyum merasa kemenangan sudah berada di pihaknya. Dia tahu kalau
-Datuk Parapat dan Pendekar Pulau Neraka kebingungan menentukan pilihan, tapi
juga tidak ingin kecolongan lagi kali ini.
"Datuk! Bebaskan Parita, kita butuh tambahan tenaga," bisik Bayu pelan.
Datuk Parapat menatap Pendekar Pulau Neraka
dalam dalam. -"Aku tidak memaksa, itu terserahmu," kata Bayu lagi.
Laki laki tua berjubah hitam itu hanya berdiam diri saja. Diliriknya Parita yang
-masih tergolek tidak sadarkan diri. Kemudian ditatapnya Bayu, lalu diedarkan
pandangannya berkeliling. Tidak mudah bagi Datuk Parapat untuk menentukan
pilihan kali ini. Dia benar-benar menyadari kalau posisinya sulit sekali.
Setelah berpikir beberapa saat, Datuk Parapat melangkah mendekati Parita.
Dibungkukkan sedikit tubuhnya, dan dicabutnya jarum merah di bahu pemuda itu.
Kemudian diberikannya beberapa totokan di sekitar dada dan leher. Tak berapa
lama kemudian Parita mulai sadarkan diri. Pemuda itu langsung terlonjak bangkit,
lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Parita tampak kebingungan melihat
sekitarnya. Bayu tersenyum pada Datuk Parapat. Sedangkan orang tua berjubah hitam itu hanya
diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Kembali kakinya melangkah
menghampiri Bayu. Untuk beberapa saat tak ada yang membuka suara sedikit pun.
"He he he...," Ki Rampoa terkekeh kekeh. Sama sekali tidak dipedulikan adanya
-Parita. Ki Rampoa tidak memandang sebelah mata pun pada
murid Padepokan Bambu Kuning itu, karena telah tahu tingkat kemampuannya.
Seandainya mereka mencoba melawan pun, rasanya tidak terlalu sulit hanya dengan
penambahan satu orang yang sudah diketahui
kemampuannya. Saat itu Bayu berbisik dekat di telinga Parita. Dan murid
Padepokan Bambu Kuning itu mengangguk anggukkan kepalanya. Sebentar diliriknya -Datuk Parapat. Sedangkan laki laki tua berjubah hitam itu hanya melirik sedikit
-saja. "Siap...?" desis Bayu pada Datuk Parapat
"Ya. Bagaimana teman kecilmu itu?"
"Dia berani mengambil resiko."
"Bagus."
"Sekarang...!"
Tiba tiba saja Datuk Parapat cepat memutar tongkat yang berujung golok. Dan
-sebelum ada yang menyadari, laki laki tua itu melompat menerjang Ki Rampoa. Pada
-saat yang sama, Bayu sudah melesat menghajar orang-orang Partai Pasir Merah.
Demikian juga Parita yang langsung mencabut pedangnya.
"Setan! Seraaang...!" teriak Ki Rampoa seraya melompat menghindari terjangan
Datuk Parapat. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi.
Sebentar saja suasana yang semula sunyi, jadi berubah hiruk pikuk oleh jerit dan
-pekik serta teriakan teriakan pertarungan. Tampak tubuh tubuh mulai
- -bergelimpangan bersimbah darah.
Bayu mengamuk, namun tidak ingin jauh jauh dari
-Parita. Beberapa kali murid Padepokan Bambu Kuning itu dibantunya. Suatu
pertarungan yang sangat ganjil.
Tiga orang dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang yang terus merangsek semakin
rapat. "Parita, jangan jauh dari belakangku!" seru Bayu.
"Baik, Kakang!",sahut Parita.
Bayu terus mengamuk, melontarkan pukulan dan tendangan bertenaga dalam sangat
tinggi. Setiap pukulan atau tendangannya menimbulkan jeritan melengking
menyayat, disusul ambruknya tubuh dalam keadaan tak bemyawa lagi. Sedangkan
pedang Parita sudah tidak lagi terlihat warna aslinya, merah berlumuran darah.
Mereka terus bergerak, mencoba mengoyak kepungan yang rapat ini.
Bayu tak bisa lagi membagi perhatiannya kepada Datuk Parapat. Jarak mereka
semakin merenggang dan terus menjauh. Dalam keadaan seperti ini, memang sulit
untuk memperhatikan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja terasa sukar
sekali. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Senjata maut
andalannya itu digenggam, sehingga menjadi senjata yang sangat berbahaya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melontarkan Cakra Maut begitu ada
kesempatan. Seketika itu juga dia melompat ke depan begitu beberapa orang di
depannya bergelimpangan tersambar senjata cakra bersegi enam itu. Parita yang
mengetahui ini, tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat sambil
mengebutkan pedangnya.
"Yeaaah...!"
Bayu terus melontarkan Cakra Maut begitu
menangkap kembali. Beberapa kali hal itu dilakukan.
Dan setiap kali Cakra Maut lepas melesat ke depan, Pendekar Pulau Neraka itu
melompat menerjang.
Tindakan Pendekar Pulau Neraka ini semakin mem-perbesar peluang untuk keluar
dari kepungan ini. Dan Parita memanfaatkannya untuk tidak jauh jauh sambil -menghemat tenaga.
"Cepat Parita...! Yeaaah...!" seru Bayu keras.
"Yaaa...!"
Parita langsung melentingkan tubuhnya ke udara melewati beberapa kepala.
Pedangnya berkelebatan cepat membabat beberapa orang. Dan begitu sampai di luar
kepungan, pemuda itu langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Pada saat yang sama, Bayu melesat bagai kilat meninggalkan tempat itu
menuju arah yang sama dengan Parita.
"Keparat!" geram Ki Rampoa begitu mengetahui Bayu dan Parita berhasil melarikan
diri. "Kejar...! Jangan biarkan mereka hidup!"
Sebagian orang orang Partai Pasir Merah berlarian mengejar Pendekar Pulau Neraka
-dan Parita. Sementara sebagian lagi masih sibuk membendung amukan Datuk Parapat.
Laki laki tua itu tersenyum tipis begitu mengetahui Bayu dan Parita sudah
-berhasil kabur, sambil terus memperhebat serangan serangannya.
-Sementara itu Bayu dan Parita sudah jauh
meninggalkan tempat pertarungan tadi. Mereka berhenti sambil mengatur
pernapasan. Sayup sayup masih terdengar suara suara pertarungan di kejauhan.
- -"Mereka mengejar, Parita," kata Bayu bisa menangkap suara banyak orang berlari
ke arah ini. "Kita seberangi sungai di bawah sana, Kakang,"
Parita menunjuk sebuah sungai yang tidak begitu besar di bawah.
"Ayolah!"
Kembali kedua pemuda itu berlari cepat mem
-pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Bayu paling tidak suka begini,
tapi terpaksa harus dilakukan.
Rasanya memang tidak mungkin menghadapi begitu banyak orang yang rata rata
-berkemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka juga harus
menjaga keselamatan Parita. Sementara jauh di belakang mereka puluhan orang
berlarian sambil berteriak teriak mengejar.-***
Parita menjatuhkan diri di atas rerumputan, dan napasnya
tersengal. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sementara Bayu masih berdiri mengawasi
lereng bukit. Tak lagi terdengar, apalagi terlihat orang orang Partai Pasir
-Merah yang mengejar. Meskipun wajah Pendekar Pulau Neraka itu nampak memerah,
tapi alunan napasnya begitu teratur.
"Mereka tidak mengejar lagi, Kakang," kata Parita sambil membersihkan bercak
darah pada pedangnya dengan daun daun kering. Kemudian, pedang itu dimasukkan ke
-dalam sarungnya di pinggang.
"Kelihatannya tidak," sahut Bayu.
"Hhh! kita tidak bisa mendapatkan obat penawar racun buat Lasmi," keluh Parita.
Bayu berpaling memandang pemuda itu. Sedangkan yang dipandang hanya duduk saja
sambil memandang ke arah lain. Tarikan napasnya sudah mulai teratur, tidak
terengah lagi seperti tadi.
"Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Bayu.
"Kembali..."!" Parita menatap Bayu dalam dalam.
-Bayu menganggukkan kepalanya.
"Tapi, kita belum memperoleh obat penawar racun itu, Kakang."
"Sudah."
"Heh..."!" Parita terlonjak kaget
Pemuda itu langsung berdiri. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan tidak
mempercayai kalau Pendekar Pulau Neraka ini sudah memiliki obat penawar Racun
Ular Merah yang kini diidap Lasmi. Sementara Bayu sudah mengayunkan kakinya
berjalan. Parita bergegas memburu dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Kakang, bagaimana kau mendapatkan obat itu?"
tanya Parita ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Sedangkan Parita jadi penasaran sekali. Masih belum dipercayai kalau Bayu sudah
memperoleh obat itu. Dia tidak melihat Datuk Parapat memberikan sesuatu.
Bagaimana mungkin obat itu bisa dimilikinya..."
"Kakang, apakah Datuk Parapat memberikan obat itu?" tanya Parita mendesak.
"Tidak," sahut Bayu.
"Tidak..."! Lalu?" Parita jadi tidak mengerti.
"Aku mencurinya," sahut Bayu.
"Heh!" Bagaimana...?" suara Parita terputus.
"Memang tidak mudah, tapi aku berhasil mendapatkannya. Ah, sudahlah.... Yang
penting sekarang kita harus segera sampai di padepokan."
"Kapan kau mencurinya, Kakang?" tanya Parita masih ingin tahu.
"Waktu dia melompat menerjang Ki Rampoa, aku cepat menjambret kantung kulit di
pinggangnya. Ternyata kantung itu berisi beberapa pil berwarna merah. Aku yakin pil ini obat
penawar Racun Ular Merah," Bayu terpaksa menjelaskan karena Parita mendesak
terus. "Hebat..!" puji Parita tulus.
"Tapi aku tidak suka melakukannya. Perbuatan pengecut!" dengus Bayu.
"Kau ini aneh, Kakang. Bukankah maksud kita memang ingin mendapatkan obat itu.
Dengan cara apa pun harus kita peroleh. Dan sekarang sudah didapat, kenapa kau
bilang tidak suka melakukannya?" Parita jadi tidak mengerti dengan sikap Bayu.
"Hatiku yang tidak menyukai. Mencuri perbuatan licik dan pengecut."
"Tapi, kenapa Kakang melakukan juga?"
"Aku tidak tahu, tiba tiba saja tersirat di hati. Dan aku juga tidak tahu, -kenapa bisa melakukannya."
"Kakang menyesal?"
"Mungkin."
Parita dam tidak bertanya lagi. Benar benar sulit memahami sikap Pendekar Pulau
-Neraka ini. Sangat aneh memang, dan sulit untuk diterima akal. Tapi Parita tidak
ingin memikirkan lagi. Dia sudah senang karena berhasil mendapatkan obat penawar
Racun Ular Merah.
Dan itu berarti ada harapan bagi Lasmi untuk bisa kembali sembuh seperti semula.
Parita benar benar bisa mengharapkan Lasmi sembuh, karena ingin melihat wanita
-itu kembali cerah seperti dulu. Bersemangat dan tidak putus asa.
Sementara mereka semakin jauh berjalan. Melalui bukit ini, memang jauh
perjalanan yang ditempuh untuk mencapai Desa Kaung. Tapi hanya ini jalan satu-satunya, karena memang tidak mungkin kembali lagi melalui jalan semula.
*** Bayu duduk bersila di lantai beralaskan permadani tebal berbulu halus. Di
depannya duduk Datuk Maringgih. Sementara di sudut ruangan tampak Parita
memangku Wijaya sambil menunggu Lasmi yang masih belum juga sadarkan diri,
meskipun sudah diberi obat penawar Racun Ular Merah.
Bayu bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari kamar ini. Datuk Maringgih ikut
berdiri. Sejak tadi dia selalu bertanya tanya tentang sikap Bayu yang lebih
-banyak diam. Sedangkan dari Parita, dia tahu kalau Bayu mendapatkan obat penawar
racun itu dengan cara memanfaatkan kelengahan Datuk Parapat.
Bayu menghentikan langkahnya, ketika baru saja sampai di tengah taman yang
berhadapan tepat dengan kamar Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
membalikkan tubuh. Sementara Datuk Maringgih
menghampiri dan berdiri di depannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini,
Bayu. Terlebih lagi kau seorang pendekar. Mencuri memang bukan perbuatan baik. Tapi itu dilakukan demi
menyelamatkan nyawa seseorang," jelas Datuk Maringgih langsung pada pokok
persoalan. "Tidak seharusnya aku berbuat begitu, Datuk. Aku.
bisa menantangnya, bertarung secara jantan," kata Bayu menyesali perbuatannya.
"Masih ada kesempatan, Bayu."
"Apa maksudmu, Datuk?" Bayu tidak mengerti.
"Parita sudah bercerita banyak padaku. Dan aku yakin kalau Datuk Parapat tidak
mudah dikalahkan begitu saja, meskipun dikeroyok puluhan orang."
"Hm...."
"Bayu. Kau tentu ingin tahu, kenapa Datuk Parapat sampai melukai Lasmi dan terus
memburunya," kata Datuk Maringgih, terdengar pelan nada suaranya.
Bayu hanya diam saja. Memang ia ingin tahu, tapi tidak pernah ingin
menanyakannya. Pendekar Pulau Neraka menganggap hal itu mungkin persoalan
pribadi yang tidak perlu dicampuri.
"Sebenarnya Racun Ular Merah tidak mem-bahayakan jiwa seseorang. Racun itu bekerja lambat, tapi pasti akan mempengaruhi
daya ingat. Bahkan membuat orang yang terkena tidak bisa mengetahui lagi akan
dirinya sendiri, di samping juga akan melemahkan kekuatannya," jelas Datuk
Maringgih mulai mengurai-kan. "Itu sebabnya aku tidak terlalu khawatir setelah
mengetahui Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Karena aku tahu, setelah Lasmi lupa
dan seluruh daya kekuatannya musnah, dia akan menjadi manusia baru.
Di situ, daya kerja Racun Ular Merah menghilang. Dan
dengan demikian aku bisa membinanya kembali, meskipun harus dari awal lagi."
"Kenapa Datuk Parapat melakukan hal itu pada Lasmi?" tanya Bayu.
"Karena dia ingin memiliki Lasmi seutuhnya. Lasmi yang baru segala galanya,
-tanpa dipengaruhi ingatan masa lalu dan tidak mengenal dirinya sendiri lagi."
"Hm...."
"Bayu, sebenamya persoalan ini sangat pribadi sifatnya. Bahkan begitu
pribadinya, sampai sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, kecuali aku dan
-Datuk Parapat sendiri."
Sebentar Datuk Maringgih menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara Bayu hanya diam saja menunggu. Memang sudah sejak semula diduga
demikian, tapi dia tidak tahu permasalahan yang sebenarnya.
"Dulu ketika aku dan dia sama sama masih muda, kami dikenal sebagai Dua Datuk
-Sesat. Ilmu kepandaian yang kami miliki sukar ditandingi. Suatu saat, aku
bentrok dengan seorang gadis muda yang sangat cantik.
Meskipun dapat kukalahkan, tapi dia juga berhasil melukaiku. Yaaah..., mungkin
ini sudah menjadi takdir yang telah digariskan. Entah kenapa, aku menyukai gadis
itu. Aku menyatakan cinta, dan ternyata dia membalasnya walau dengan satu
syarat. Aku harus meninggalkan semua dunia hitamku. Syarat yang tidak terlalu
berat, dan aku menyanggupinya. Akhirnya kami hidup bersama. Tapi, kebahagiaan
yang kudapatkan ternyata membuat Datuk Parapat tidak senang. Dia terus
mendesakku agar Kembali ke dunia semula. Dan aku tetap bertahan untuk tidak
kembali ke dalam dunia
hitam yang sudah lama kutinggalkan. Terlebih lagi setelah Lasmi lahir, aku
benar benar tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia hitam."-"Terus?" Bayu jadi tertarik.
"Untuk menghindari rongrongan Datuk Parapat, aku memutuskan meninggalkan daerah
Selatan, dan akhrinya menetap di sini. Dulu daerah ini merupakan hutan belantara yang sangat
luas. Di sini, aku dan istri serta anakku memulai hidup baru. Tapi kebahagiaan
yang kureguk ternyata tidak lama. Suatu hari istriku kudapatkan tewas tertikam.
Dan aku tahu, siapa pelakunya. Datuk Parapat! Hal ini membuat kemarahan-ku tak
bisa dibendung lagi. Aku mencari Datuk Parapat dan mengajaknya bertarung."
"Kau bertarung?" tanya Bayu.
"Ya. Tapi di antara kami tidak ada yang bisa menang.
Akhirnya, setelah itu antara aku dan dia terus bertentangan. Datuk Parapat tidak
pernah jera, dan selalu mengambil kesempatan untuk meruntuhkanku Terlebih
setelah Padepokan Bambu Kuning kudirikan.
Semakin gencar dia hendak meruntuhkanku."
"Pertentangan yang berlarut larut," gumam Bayu.
-"Dua sahabat yang kini jadi musuh besar, Bayu."
Bayu mencoba tersenyum, membalas senyuman
Datuk Maringgih yang terasa getir dan amat dipaksakan.
Kini Bayu mengerti, kenapa Datuk Parapat begitu bernafsu untuk mendapatkan
Lasmi. Ternyata dia ingin memisahkan Lasmi dari ayahnya, kemudian menggunakannya
untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Datuk Parapat ingin melihat bekas
sahabatnya ini menderita sepanjang hidupnya. Pertentangan dua datuk yang
sangat pelik! "Lalu, bagaimana dengan Ki Rampoa?" tanya Bayu jadi teringat Ketua Partai Pasir
Merah. "Ah! Dia hanya orang gila, Bayu. Dia merasa sakit hati dan terancam karena
banyak muridku yang menentang segala tindakannya. Hatinya semakin sakit lagi
karena gagal menghancurkan dari dalam," sahut Datuk Maringgih.
"Maksud, Datuk?"
"Dia mencoba menyelundupkan anaknya ke sini. Aku juga tidak tahu kalau Sundrata
itu anaknya, dan menerimanya sebagai murid. Belakangan aku baru tahu, tapi
Sundrata sudah menjalin hubungan cinta dengan Lasmi. Aku sendiri sebenarnya
senang, karena ternyata Sundrata sangat jauh bertolak belakang dengan ayahnya.
Bahkan menentang segala macam perbuatan orang orang Partai Pasir Merah. Tapi -mengingat kalau dirinya anak seorang ketua begal, aku tidak bisa menyetujui
hubungannya dengan anakku. Tapi rupanya mereka mengambil jalan nekad, lari dari
sini dan mencoba hidup di luar. Yaaah..., selanjutnya kau tentu sudah bisa
mengetahui, Bayu."
Bayu hanya menganggukkan kepalanya. Memang
ada orang mengatakan, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya. Tapi ternyata
ada juga buah yang jatuh jauh, bahkan menghilang dari asalnya. Seperti buah
kelapa yang jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Buah itu akan tumbuh di
tempat yang jajuh dari induknya, dan terus menyebarkan generasi baru ke tempat
-tempat yang jauh.
Ternyata Sundrata ingin membuktikan kalau seorang
anak tidak selamanya mengikuti jejak orang tuanya.
Jalan hidup seorang memang tidak akan sama, meskipun berasal dari satu rahim
ibunya. Dan ini sudah dibuktikan Sundrata, anak seorang begal besar yang sangat
ditakuti. Hanya sayangnya, kesadaran yang dimiliki Datuk Maringgih datangnya terlambat.
Kini Sundrata sudah tidak ada lagi, walaupun sudah menurunkan buah keturunan
yang akan meneruskan cita citanya. Datuk Maringgih memang menyesali, tapi tidak
-menunjukkan penyesalannya. Kehidupan keras yang dilalui membuatnya begitu tegar
bagai batu karang yang tak pernah goyah meskipun setiap hari digempur gelombang.
*** 8 Pagi pagi sekali, seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning dikejutkan teriakan
-keras menggelegar yang menyuruh Bayu keluar. Saat itu Bayu dan Datuk Maringgih
tengah berbincang bincang di ruang semadi.
-Semalaman mereka tidak tidur, membicarakan tentang dunia persilatan yang semakin
tidak menentu. Teriakan keras itu tentu saja membuat mereka tersentak kaget.
Bergegas Bayu keluar dari bilik semadi, diikuti Datuk Maringgih. Mereka langsung
menuju bagian depan Padepokan Bambu Kuning ini. Tampak seorang laki laki tua
-berjubah hitam membawa sebatang tongkat
berujung golok besar berdiri angkuh di tengah tengah halaman depan, membelakangi
-sinar matahari yang saat itu baru saja menampakkan diri.
"Datuk Parapat, apa maksudmu datang ke sini?"
tanya Datuk Maringgih.
"Aku mencari bocah keparat itu!" bentak Datuk Parapat lantang sambil menunjuk
Bayu yang berdiri di samping Datuk Maringgih.
"Bayu..." Dia tamuku di sini," kata Datuk Maringgih mencoba tenang.
"Aku tidak peduli dia tamumu, Maringgih. Yang jelas, dia harus bertanggung jawab
karena telah mencuri kantung obatku!"
"Kalau itu persoalannya, aku yang seharusnya bertanggung jawab. Bayu melakukan
itu karena aku yang meminta untuk mengobati Lasmi dari Racun Ular
Merah yang kau sebar ke dalam tubuh Lasmi!" tegas kata kata Datuk Maringgih.-"Maringgih, aku tidak bicara padamu! Aku bicara pada bocah setan itu!" bentak
Datuk Parapat gusar.
"Bayu tamuku, dan wajib kulindungi. Semua yang dilakukannya menjadi tanggung
jawabku," tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Keparat! Ternyata kau sama keparatnya dengan bocah setan itu, Maringgih!"
"Hm.... Tidakkah kau bercermin pada dirimu sendiri, Parapat" Apakah kau
menganggap dirimu suci" Kita sudah sama sama tahu tentang diri masing masing.
- -Jadi, kuharap tidak perlu mengumpat dan berteriak-teriak begitu. Katakan saja
terus terang, apa maumu yang sebenamya?" bentak Datuk Maringgih lantang.
"Kau menantangku, Maringgih?"
"Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu" Aku selalu siap melayani
tantanganmu. Bukan aku yang menantang, tapi kau!"
"Bedebah! Bersiaplah, Maringgih!"
"Aku selalu menunggu."
Datuk Parapat menggerakkan tongkat berujung
golok besar. Diputar putarnya tongkat itu dengan cepat, lalu dihentakkan ke
-tanah. Dan sebelum laki laki tua itu menyerang, Bayu cepat melompat ke depan.
-Datuk Parapat menggeram, menyemburkan ludahnya dengan sengit.
"Aku yang akan menghadapimu, Datuk Parapat,"
kata Bayu tegas.
"Phuih! Kau memang harus mampus, bocah setan!"
dengus Datuk Parapat menggeram marah.
"Bayu, biar kutandingi sendiri," kata Datuk Maringgih.
"Tidak, Datuk. Dia datang mencariku, dan aku sendiri yang akan menghadapinya,"
tolak Bayu tegas.
"Bagus! Bersiaplah untuk mampus, bocah!" sambut Datuk Parapat dingin.
Setelah berkata demikian, Datuk Parapat berteriak nyaring, lalu cepat sekali
melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dikebutkan ujung tongkatnya yang
berbentuk golok beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang
mematikan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu bergerak manis, menghindari serangan
itu. Bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyat.
Mereka sudah pernah bentrok sekali, sehingga sudah mengetahui ketangguhan
masing masing. Dan ini membuat mereka langsung mengeluarkan jurus jurus andalan - -dahsyat dan sangat mematikan. Sementara itu Datuk Maringgih hanya bisa
menyaksikan, dan tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu.
Saat itu terlihat Parita berlari lari dari arah pintu gerbang yang tertutup
-rapat, langsung menghampiri Datuk Maringgih yang sedang asyik memperhatikan
jalannya pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Datuk Parapat
"Datuk...," terdengar suara Parita agak tersengal.
"Ada apa, Parita?" tanya Datuk Maringgih tanpa berpaling.
"Orang orang Partai Pasir Merah menuju ke sini."
-lapor Parita memberitahu.
Datuk Maringgih berpaling memandang muridnya
ini. "Di mana mereka?" tanya Datuk Maringgih.
"Belum sampai ke desa, Datuk," sahut Parita.
"Sambut mereka, dan usahakan jangan sampai masuk ke desa."
"Baik, Datuk."
Parita bergegas mengumpulkan murid Padepokan
Bambu Kuning, dan bergerak menuju ke luar desa untuk menyambut kedatangan orang
-orang Partai Pasir Merah. Sudah tentu mereka membawa senjata lengkap dan dalam
keadaan siap bertempur. Mereka tahu, kedatangan orang orang Partai Pasir Merah
-tidak bermaksud baik. Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dan
Datuk Parapat masih terus berlangsung. Dan saat itu pula perhatian Datuk
Maringgih sudah terpecah.
*** Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, dan masing masing sudah merasakan
-pukulan maupun
tendangan lawan. Namun belum ada yang bisa melukai.
Mereka masih sama sama tangguh, dan belum ada yang mau menyerah. Entah, sudah -berapa puluh jurus dikeluarkan dalam pertarungan ini.
"Hiyaaat..!"
Tiba tiba saja Bayu melesat ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada
-saat itu dilontarkan Cakra Maut yang sejak tadi belum dipergunakan.
Senjata bersegi enam itu melesat cepat bagaikan kilat. Saat itu juga dengan
kecepatan tinggi, Datuk
Parapat mengebutkan senjatanya, menyambut senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Trang! Dua senjata beradu keras, hingga menimbulkan percikan api yang menyebar ke
segala arah. Saat itu Bayu meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan
bertenaga dalam sangat tinggi dan sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hop!"
Datuk Parapat langsung memegang tongkatnya
dengan kedua tangan, lalu diangkat ke atas melindungi kepala. Pukulan Bayu tak
dapat ditarik lagi, langsung menghajar bagian tengah senjata tongkat berujung
golok besar itu.
"Yeaaah...!"
Trak! "Heh..."!" Datuk Parapat terperanjat Laki laki tua itu agak terhuyung ke
-belakang, sementara tongkatnya patah jadi dua bagian. Tapi yang dialami Bayu
juga sungguh mengejutkan. Pendekar Pulau Neraka itu kembali terpental ke atas.
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat terhuyung-huyung
di tanah. Tampak setetes darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Bedebah!" geram Datuk Parapat melihat senjata andalannya tidak bisa digunakan
lagi. Sambil mendengus marah, dilemparkan senjatanya ke arah Bayu. Lemparan yang
disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu membuat potongan senjata itu
meluncur deras melebihi anak panah lepas dari busur ke
arah Bayu. "Uts!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya, menghindari
lemparan potongan senjata itu. Dan begitu potongan senjata itu lewat, langsung
dikebutkan tangan kanannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wut! Datuk Parapat yang masih memegang potongan lain
dari senjatanya, langsung melemparkan ke arah senjata Cakra Maut itu. Benturan
keras terjadi di udara, dan potongan senjata itu hancur berkeping keping. Bayu -langsung menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut terus melesat ke arah Datuk
Parapat "Hup! Hiyaaa...!"
Datuk Parapat melentingkan tubuhnya, berputaran menghindari terjangan Cakra Maut
bersegi enam itu.
Pada waktu yang sama, Bayu melompat. Langsung dilontarkan dua pukulan bertenaga
dalam tinggi. Datuk Parapat tersentak kaget Dia begitu sibuk menghindari serangan Cakra Maut
yang bergerak cepat seperti memiliki mata, dan kini harus pula menghindari
serangan Pendekar Pulau Neraka. Hal ini membuatnya jadi kerepotan. Apalagi sudah
tidak memiliki senjata lagi. Hingga....
"Modar...!"
Bayu menghantamkan satu pukulan keras ke arah dada.
Des! "Aaakh...!" Datuk Parapat memekik keras.
Pukulan Bayu telak menghantam dada laki laki tua
-berjubah hitaam itu. Tak pelak lagi, pukulan yang mengandung tenaga dalam
sempurna itu membuat tubuh Datuk Parapat terlontar sejauh tiga batang tombak.
Dan sebelum tubuhnya mencapai tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya.
Maka Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu kembali melesat cepat bagaikan kilat
Cras! "Aaa...!" Datuk Parapat menjerit melengking tinggi.
Cakra Maut bersegi enam menancap tepat di
tenggorokan Datuk Parapat Tubuh tua berjubah hitam itu terbanting keras ke atas
tanah. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas sambil melompat ke
depan. Maka Cakra Maut melesat balik dan menempel di pergelangan tangan
kanannya, tepat saat tubuhnya mendarat di samping tubuh Datuk Parapat yang sudah
tidak bernyawa lagi. Darah langsung menggenang di sekitar leher yang menganga
lebar terkoyak oleh Cakra Maut
"Aku akui kau tangguh sekali," desah Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur, lalu berpaling begitu mendengar
suara langkah menghampiri. Datuk Maringgih setengah berlari menghampiri Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Bayu, orang orang Partai Pasir Merah ada di batas desa. Murid muridku mencoba
- -menghadang di sana,"
jelas Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan ke sana, Datuk," tegas Bayu.
"Jangan! Sebaiknya kau di sini saja. Biar aku yang akan ke sana," cegah Datuk
Maringgih. Bayu ingin membantah. Tapi sebelum membuka
mulutnya, Datuk Maringgih sudah berkata lagi.
"Kali ini benar benar urusan pribadiku, Bayu."-"Baiklah. Tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini, Datuk," Bayu mengalah, dan
memang tidak ingin berdebat.
"Ayolah, sebelum mereka memasuki desa."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas
melompat pergi Tapi belum juga mencapai pintu gerbang, terdengar suara panggilan
keras. Mereka menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Lasmi berlari cepat
menghampiri. "Aku ikut," ujar Lasmi setelah dekat
"Lasmi! Kau masih terluka," Datuk Maringgih ingin mencegah.
"Aku sudah sembuh, Ayah. Lihat, tadi aku bisa menggunakan ilmu lari cepat tanpa
ada gangguan apa pun," sergah Lasmi.
"Tapi, anakmu...?"
"Aku serahkan pada mbok pelayan."
Datuk Maringgih memandang Bayu, seakan akan
-minta pendapat. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu hanya mengangkat pundaknya saja.
Datuk Maringgih tidak bisa lagi mencegah. Maka tanpa banyak bicara lagi mereka
bertiga segera berlari cepat memper gunakan ilmu meringankan tubuh menuju batas
-desa. Dan selama menggunakan ilmu meringankan tubuh,
Datuk Maringgih selalu memperhatikan putrinya.
Tampak jelas kalau Lasmi tidak mengalami kesulitan.
Bahkan tampak gembira karena bisa pulih seperti sediakala. Datuk Maringgih
merasa yakin kalau Lasmi
benar benar sudah sembuh, dan pulih seperti semula.
-Sementara itu Bayu sudah jauh meninggalkan mereka.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka mfemang sudah
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencapai taraf kesempurnaan.
Sebenamya ilmu meringankan tubuh Datuk Maringgih juga sudah sempurna, tapi Lasmi
tidak mungkin ditinggalkan. Wanita itu memang mustahil kalau bisa mengimbangi
Pendekar Pulau Neraka maupun ayahnya.
Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh.
*** Kehadiran Pendekar Pulau Neraka yang disusul Datuk Maringgih dan Lasmi,
membangkitkan semangat murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang semula sudah
kewalahan membendung arus serangan yang dilancarkan orang orang Partai Pasir -Merah. Sebaliknya kedatangan mereka bertiga justru membuat orang-orang Partai
Pasir Merah jadi kalang kabut
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang langsung terjun ke dalam kpncah
pertempuran. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung korban yang
berjatuhan. Mata Bayu yang tajam bagai mata elang, langsung bisa melihat Datuk
Maringgih yang bertarung melawan Ki Rampoa.
"Untung kau cepat datang, Kakang," ujar Parita yang berhasil mendekati Bayu.
"Hm..., sebaiknya kau jaga Lasmi. Dia belum begitu pulih benar," ujar Bayu.
"Baik, Kakang."
Parita benar benar tidak membantah, dan segera
-bergerak cepat mendekati Lasmi yang mengamuk dengan pedang di tangan. Lasmi
tersenyum begitu melihat Parita. Dan mereka sama sama membabat orang orang
- -Partai Pasir Merah tanpa memberi ampun lagi. Keadaan yang tadinya dikuasai
Partai Pasir Merah, seketika berbalik. Kini murid murid Padepokan Bambu Kuning
-benar benar menguasai keadaan. Bahkan
-beberapa anggota Partai Pasir Merah mencoba#
melarikan diri.
Melihat keadaan ini, Bayu melesat keluar dari kancah pertarungan. Pendekar Pulau
Neraka berdiri tegak mengawasi pertarungan antara Datuk Maringgih
dengan Ki Rampoa. Tampak sekali kalau Datuk Maringgih selalu mendesak Ki Rampoa.
Jurus jurus yang dilancarkan orang tua itu membuat Ki Rampoa kelabakan setengah
-mati. Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Datuk Maringgih bersarang di
tubuh lawannya. Tapi, rupanya Ki Rampoa tidak mudah menyerah begitu saja. Dia
terus mengadakan per-lawanan, meskipun selalu terdesak dan sulit mengatasi
keadaannya sendiri.
Ki Rampoa tidak sempat lagi memperhatikan
keadaan anak buahnya yang kocar kacir tak beraturan lagi. Dia sendiri benar
- -benar dibuat kalang kabut oleh serangan serangan Datuk Maringgih. Sebenarnya Ki
-Rampoa menyadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya berada setingkat di
bawah Datuk Maringgih.
Tapi dia kali ini tidak bisa keluar dari kemelut ini.
Sementara itu sudah banyak anggota Partai Pasir Merah yang melarikan diri. Dan
sisanya yang masih bertahan tidak mampu lagi membendung amukan
murid murid Padepokan Bambu Kuning. Hingga akhirnya, tak ada lagi orang orang - -Partai Pasir Merah yang tersisa. Pertarungan pun berakhir dengan kemenangan
berada di pihak Padepokan Bambu Kuning. Namun di tempat lain, tampak Datuk
Maringgih masih berusaha menyudahi pertarungannya dengan Ki Rampoa.
"Aku akan membantu Ayah," kata Lasmi.
"Jangan!" cegah Bayu cepat
"Tapi...."
"Tinggal beberapa jurus lagi," potong Bayu.
Lasmi tidak bisa lagi membantah. Dan dugaan Bayu memang tepat. Dua jurus
kemudian, satu pukulan telak berhasil disarangkan Datuk Maringgih ke dada Ki
Rampoa. Dan sebelum tubuh Ki Rampoa terjungkal, satu tendangan keras menggeledek
bersarang di perutnya.
Ki Rampoa memekik melengking, dan terjungkal keras menghantam tanah. Beberapa
kali tubuhnya bergulingan, tapi masih mampu bangkit berdiri. Pada saat itu Datuk
Maringgih sudah melompat, dan kedua tangannya dikeprukkan ke kepala Ki Rampoa.
Prak! "Aaa...!" Ki Rampoa menjerit melengking tinggi.
Ketua Partai Pasir Merah itu terhuyung huyung sambil memegangi kepalanya yang
-pecan. Darah merembes keluar dari sela sela jari tangannya. Datuk Maringgih
-kembali menghentakkan tangannya, memberikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam
sempurna. "Yeaaah...!"
Des! Seketika tubuh Ki Rampoa menggeletar begitu
pukulan menggeledek bersarang di dadanya. Sebentar kemudian tubuhnya berputar
dan ambruk ke tanah tanpa ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Hanya
sebentar pula ketua begal itu mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Ki Rampoa tewas dengan dada amblas dan kepala pecah berlumuran darah.
"Ayah...!" seru Lasmi langsung berlari memburu.
Datuk Maringgin berbalik. Lasmi menghambur
memeluk ayahnya. Beberapa saat mereka berpelukan, kemudian saling melepaskan
diri. Mereka kini berjalan menghampiri Bayu dan Parita.
"Bayu, kudengar kau mencariku karena ada urusan denganku. Benar?" kata Datuk
Maringgih langsung.
"Tidak," sahut Bayu.
Bayu memang sudah memutuskan untuk melupakan
saja niat semula yang datang ke Desa Kaung ini untuk mencari Datuk Maringgih.
Maksudnya mencari orang tua itu karena Bayu menduga kalau Datuk Maringgih
terlibat dalam pembunuhan orang tuanya. Setelah melihat kehidupan Datuk
Maringgih, Bayu jadi tidak percaya kalau orang tua ini ikut terlibat.
Datuk Maringgih tersenyum. Dirangkulnya pundak pemuda berbaju kulit harimau itu,
lalu diajaknya berjalan. Sementara Parita menghampiri Lasmi.
Dipandanginya wajah cantik itu.
"Aku menagih jawabanmu, Lasmi," kata Parita.
"Sebaiknya kau utarakan saja pada Ayah," sahut Lasmi seraya tersenyum.
"Baiklah. Aku akan memintamu pada Guru setelah keadaan tenang kembali," janji
Parita mantap. Lasmi hanya tersenyum saja. Diayunkan kakinya, sementara Parita mengikuti di
samping wanita ini.
Dalam hati, Lasmi mengharapkan Parita benar benar bicara pada ayahnya. Dia ingin-ada laki laki yang berani dan bertanggung jawab untuk menggantikan Sundrata.
-Sementara di depan mereka, Datuk Maringgih berjalan berdampingan dengan Pendekar
Pulau Neraka. Entah apa yang dibicarakan, tapi tampaknya wajah Bayu cerah
sekali. "Aku tidak menduga, ternyata kau putra sahabatku, Pendekar Pulau Neraka," ujar
Datuk Maringgih.
"Ya. Hanya saja, sampai saat ini aku belum bisa menemukan ibu," desah Bayu agak
lirih. "Aku akan membantumu, Bayu. Aku juga yakin, ibumu masih hidup dan berada di
suatu tempat. "Terima kasih."
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (jandoy)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Patung Emas 19 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Munculnya Pendekar Bayangan 2
mereka. Terlebih lagi, Bayu menggunakan senjata mautnya yang sangat sukar
ditandingi. Bayu menghampiri Parita yang sudah menyelesaikan
semadinya untuk menghilangkan rasa mual dan sesak akibat bertaruhg dengan si
Iblis Hijau tadi. Parita agak terkejut juga melihat Empat Iblis dari Gunung Lor
sudah menggeletak tak bernyawa. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan akan meminta-penjelasan.
"Siapa mereka sebenamya, Parita?" Bayu mendahului bertanya.
"Mereka adalah wakil wakil Datuk Parapat," sahut Parita seraya merayapi empat
-orang tua yang sudah menggeletak jadi mayat.
"Hm..., pantas mereka hendak menangkap Lasmi,"
gumam Bayu. Parita kembali mengalihkan pandangannya pada
Pendekar Pulau Neraka. Lasmi memang sudah menceritakan kalau pernah ditolong
seorang pemuda berbaju kulit harimau ketika dikejar kejar empat orang.
-Saat itu Parita tidak menduga kalau empat orang itu adalah mereka mereka ini.
-Karena, Lasmi juga tidak begitu jelas mengatakan empat orang yang mengejar-nya.
"Kalau mereka wakil Datuk Parapat, berarti datuk itu tidak berada jauh dari
sini," duga Bayu setengah bergumam.
"Benar, Kakang. Tapi...," suara Parita terputus.
"Tapi apa, Parita?"
"Apa hubungan mereka dengan Partai Pasir Merah?"
Parita seperti bertanya sendiri.
"Apa pun hubungannya, kita harus secepatnya mendapatkan obat penawar Racun Ular
Merah darinya, Parita."
"Benar, Kakang. Ayo...! Jangan buang buang waktu!"
-Tapi belum juga mereka bergerak pergi, mendadak saja terdengar siulan nyaring
melengking tinggi. Parita dan Bayu saling berpandangan. Suara siulan itu
terdengar sangat jelas dan dekat sekali. Nadanya sangat tinggi dan menyakitkan
telinga. Bayu langsung merasakan adanya pengerahan tenaga dalam pada suara
siulan itu. Dan sebelum Parita diperingatkan, pemuda itu mendadak sudah menjerit
sambil menutup kedua telinganya.
"Gunakan hawa murni, Parita!" kata Bayu memberitahu.
"Akh...! Tidak bisa...!" jerit Parita.
"Hih!"
*** Cepat sekali Bayu memberi beberapa totokan di sekitar dada dan telinga Parita.
Seketika itu juga Parita jatuh lemas menggeletak di tanah. Dan Pendekar Pulau
Neraka itu sendiri segera duduk bersila, lalu merapatkan kedua tangannya di
depan dada. Sebentar ditariknya napas panjang. Langsung tangannya digerak-gerakkan sebentar, dan diletakkan di lutut.
Sebentar kemudian seluruh tubuh Bayu sudah bersimbah keringat, dan perlahan
mulai bergetar.
Sementara suara siulan itu semakin melengking tinggi.
Bayu terus bertahan, mencoba melawan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan
melalui siulan itu dengan pengerahan tenaga dalam juga. Sungguh dahsyat!
Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka sampai bergetar, pertanda seluruh kekuatan
tenaga dalamnya dikerah-kan hingga pada tahap yang paling tinggi.
Perlahan lahan Bayu mengangkat kedua tangannya, dan merentang lebar ke samping.
-Perlahan pula tangan itu bergerak turun naik seperti sayap seekor burung bangau.
Sukar dipercaya, pelan pelan namun pasti, Bayu terangkat naik masih dalam posisi
-duduk bersila.
Semakin lama semakin tinggi, dan tangannya terus merentang bergerak perlahan
turun naik. Setelah tubuhnya naik hingga mencapai dua tombak, tubuh Pendekar Pulau Neraka
berputar. Semula perlahan lahan, namun semakin lama semakin cepat Dan akhirnya
-yang terlihat hanya bayangan yang berputar cepat hingga menimbulkan suara angin
menggemuruh. Tiba tiba saja....
-"Yeaaah...!" Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika tubuhnya meluruk turun deras, dengan tangan menukik ke bawah. Maka
ledakan keras terdengar begitu kedua kepalan tangan Pendekar Pulau Neraka itu
menghantam tanah dengan keras. Seluruh permukaan tanah berguncang hebat bagai
terjadi gempa. Kembali Bayu melesat ke angkasa, lalu berputaran beberapa kali,
dan mendarat manis di tanah. Maka saat itu pula suara siulan berhenti.
Bayu menggeser kakinya menghampiri Parita. Dia sedikit membungkuk, dan
memberikan beberapa
totokan. Parita menggeliat, kemudian menggelinjang bangkit berdiri. Sebentar
dipandanginya Bayu, tapi langsung
beralih ketika seorang laki laki-tua mengenakan jubah hitam tiba tiba muncul. Seluruh rambut, kumis, dan jenggotnya
-sudah putih semua. Dia membawa sebatang tongkat hitam dengan ujung
berbentuk golok.
"Bayu, dia itu Datuk Parapat," Parita memberitahu.
"Hm...," Bayu hanya bergumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah pernah bertemu laki laki tua ini,
-meskipun hanya sekejap saja.
Itu terjadi ketika Bayu menyelamatkan Wijaya yang hampir lumat terbanting ke
tanah, dan langsung menyambar Lasmi untuk dibawa pergi. Bayu sendiri tidak tahu,
apakah orang tua ini sempat mengenali atau tidak. Yang jelas, Bayu sempat
mengenalinya sebelum melesat pergi menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Aku mengakui kehebatanmu, Anak Muda. Tapi itu belum berarti kau mampu
menandingiku," tegas laki-laki tua yang dikenali Parita bernama Datuk Parapat
itu. "Kau yang bernama Datuk Parapat?" tanya Bayu langsung.
"Tidak salah lagi, Anak Muda," sahut Datuk Parapat membenarkan.
"Ketahuilah, aku sengaja berada di sini untuk mencarimu," kata Bayu mantap.
"Aku tahu untuk apa kau mencariku, Anak Muda.
Sayang sekali Lasmi tidak bisa kuselamatkan," sergah Datuk Parapat kalem.
"Datuk Parapat! Tidak ada gunanya kau menyiksa Lasmi!" celetuk Parita lantang.
"Hm, siapa kau"!" dengus Datuk Parapat menatap Parita tajam.
"Aku Parita, murid Padepokan Bambu Kuning," sahut Parita.
"Bagus! Rupanya kau murid Datuk Maringgih.
Katakan pada gurumu agar janjinya segera ditepati.
Serahkan Lasmi padaku, jika tidak ingin melihat anak itu mati perlahan lahan!"
-ancam Datuk Parapat.
"Urusanmu dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau libatkan Lasmi?" kembali Parita
membuka suara. "Kau belum tahu apa apa, bocah. Dan sebaiknya tidak perlu ikut campur. Ini
-urusanku dengan gurumu!"
sentak Datuk Parapat mulai tidak senang.
"Masalah guruku, juga masalahku!"
"Hhh! Rupanya kau keras kepala juga, bocah!"
dengus Datuk Parapat.
"Datuk Parapat! Sebaiknya serahkan saja obat pemunah Racun Ular Merah," kata
Parita lagi. "Bicaramu semakin kurang ajar saja, bocah.
Kuperingatkan sekali lagi padamu! Jika kau tidak mau diam, terpaksa kubungkam
mulutmu!" ancam Datuk Parapat
"Tidak semudah itu, Orang Tua!" tantang Parita.
"Bocah gendeng. .! Hih!"
Tiba tiba saja Datuk Parapat menghentakkan tangan kirinya. Maka dari balik -lengan jubahnya melesat jarum kecil berwarna merah berjumlah lima buah, dan
langsung meluruk deras ke arah Parita. Dan pemuda murid Padepokan Bambu Kuning
itu langsung mengibaskan pedangnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Empat buah jarum merah berhasil dihalau, tapi sebuah jarum luput dari babatan
pedangnya. Dan Parita tak bisa lagi menghindar. Jarum itu menghunjam bahu kanan,
sehingga membuatnya terpekik kecil. Dan kini tirbuhnya terhuyung huyung ke
-belakang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergerak lagi.
Bayu tersentak kaget, dan segera bergerak menggeser ke depan.
"Dia hanya pingsan, Anak Muda," jelas Datuk Parapat.
Bayu yang sudah siap hendak menyerang, langsung mengurungkan niatnya. Ditatapnya
dalam dalam wajah tua di depannya. Kemudian berpaling memandang pada Parita yang
-tergeletak di tanah. Memang benar, dada murid Padepokan Bambu Kuning itu masih
bergerak, tanda masih hidup.
"Aku tahu, kau bukan dari Padepokan Bambu Kuning.
Kuharap kau tidak mencampuri urusan ini, Anak muda,"
tegas Datuk Parapat lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
*** 7 Bayu melirik Parita sebentar, yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Pada
bahu kanannya terlihat sebuah jarum merah menghunjam tidak seberapa dalam. Hanya
setitik darah yang merembes keluar. Pendekar Pulau Neraka
itu kembali menatap Datuk Parapat Pandangannya kemudian beredar ke arah mayat mayat yang bergelimpangan tak tentu -arah.
"Kau yang menghasut mereka menghancurkan Padepokan Bambu Kuning?" tanya Bayu,
agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha...! Tanpa dihasut pun mereka memang ingin menghancurkan Padepokan
Bambu Kuning!" sahut Datuk Parapat enteng.
"Tampaknya kau seperti orang bijaksana. Tapi kenapa kau lakukan perbuatan keji
itu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Anak Muda?" Datuk Parapat malah balik bertanya.
"Karena aku ada kepentingan dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning. Dan sebelum
kepentinganku terlaksana, tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu!" tegas
jawaban Bayu. "Anak Muda! Aku sering mendengar nama dan sepak terjangmu. Rasanya tidak ada
persoalan antara kau dengan Datuk Maringgih...," ujar Datuk Parapat setengah
bergumam. "Itu urusanku, Datuk Parapat!" dengus Bayu.
"Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, tapi kenapa kau mencampuri urusanku?" agak
gusar nada suara
Datuk Parapat "Aku bukan mencampuri urusanmu! Tapi aku tidak ingin ada orang lain yang
mengganggu Padepokan Bambu Kuning sebelum urusanku sendiri terlaksana!"
"Kau terlalu besar kepala, Pendekar Pulau Neraka,"
desis Datuk Parapat "Bukan hanya kau yang punya persoalan dengan Datuk
Maringgih. Hm.... Jika. kau ingin melenyapkan orang tua itu, kenapa kau tidak
bergabung saja denganku" Dan kenapa kau malah
memusuhi orang orang Partai Pasir Merah?"
-"Maaf, aku selalu bertindak sendiri. Aku tidak suka banyak orang," tolak Bayu
tegas. "Anak Muda, aku tidak tahu urusanmu dengan Datuk Maringgih. Dan aku tidak akan
mau tahu. Tapi tindakanmu membuatku merasa gerah. Tak ada seorang pun yang boleh
menghalangiku. Kau mengerti itu, Pendekar Pulau Neraka...?" mantap kata kata -Datuk Parapat.
"Tidak perlu penjelasan lagi, Datuk Parapat. Aku siap menghadapimu!" tegas
jawaban Bayu. "Bagus! Sebaiknya lata mulai sekarang."
"Boleh."
Mereka sama sama menggeser kakinya ke samping dengan arah berlawanan. Tak ada
-lagi yang membuka suara, dengan bibir terkatup rapat. Sinar mata bersorot tajam,
seakan akan -sedang mengukur tingkat kepandaian masing masing.
-Trak! Datuk Parapat menepak tongkat yang berujung golok besar di tangan kanan dengan
telapak tangan kiri.
Perlahan lahan diarahkan ujung tongkatnya kepada
-Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tangan
kiri sejajar dada, dan tangan kanan lurus ke depan dengan telapak terbuka dan
jari merapat. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil memperdengarkan teriakan keras, mereka berlompatan menerjang. Datuk
Parapat mengebutkan tongkat berujung golok dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Sementara Bayu meliukkan tubuhnya sambil mengirimkan
satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
Serangan pertama masing masing pihak tak ada yang mengenai sasaran. Kemudian
-mereka melakukan
serangan kedua, disusul serangan serangan selanjutnya.
-Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi. Masing-masing langsung mengerahkan
jurus jurus andalan dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit kelengahan saja, dapat
-berakibat fatal.
Jurus demi jurus cepat dilalui. Tak terasa mereka sudah menghabiskan lebih dari
dua puluh jurus. Tapi sampai saat ini belum ada tanda tanda pertarungan bakal -terhenti. Bahkan belum ada tanda tanda yang terdesak. Bukan hanya Bayu yang
-merasakan kali ini mendapatkan lawan tangguh, tapi juga Datuk Parapat punya
perasaan sama. Terlebih lagi dia tidak menduga kalau pemuda ini mampu
menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
"Berhenti...!" tiba tiba terdengar bentakan.
-Suara bentakan itu begitu keras, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Akibatnya,
mereka yang bertarung jadi terkejut. Mereka langsung berlompatan mundur, dan
hampir bersamaan pula menoleh ke arah datangnya suara bentakan keras menggelegar
tadi. Bukan main terkejutnya dua orang yang tadi bertarung itu saat melihat di
sekelilingnya sudah mengepung puluhan orang bersenjata terhunus.
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Karena, bentakan keras menggelegar tadi
ternyata datang dari seorang laki laki berusia sekitar enam puluh tahun.
-"Ki Rampoa...," desis Bayu.
"Hm...," sementara Datuk Parapat hanya menggumam saja.
Dua orang yang tadi bertarung sengit itu mengedarkan pandangannya berkeliling.
Entah, berapa jumlah orang di sekelilingnya. Yang jelas tempat ini sudah
terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dengan mudah. Mereka semua
menghunus senjata, dan tampaknya tinggal menunggu perintah saja.
*** "Kalian berdua seperti anak anak kecil saja. Untuk apa berselisih" Padahal
-kalian punya tujuan yang sama,"
tegas Ki Rampoa.
Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan, dan sama sama melangkah menghampiri
-Ki Rampoa. yang didampingi dua orang pengawalnya. Mereka berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Ketua Partai Pasir Merah
itu. "Kurasa di antara kita punya tujuan yang sama, meskipun urusannya berbeda," kata
Ki Rampoa lagi.
Ketua Partai Pasir Merah itu menatap dalam dalam Pendekar Pulau Neraka, yang
-pernah membuatnya malu di Padepokan Bambu Kuning.
"Meskipun kau pernah membuatku malu, tapi aku tidak akan memperpanjang urusan
lagi, Anak Muda,"
kata Ki Rampoa pada Bayu.
"Ki Rampoa, apa sebenarnya yang kau inginkan?"
tanya Datuk Parapat.
"Aku..." Ha ha ha...! Kau menghendaki kematian Datuk Maringgih. Dan aku
menginginkan anaknya jadi budakku. Tapi...," Ki Rampoa melirik pada Pendekar
Pulau Neraka. "Kau sendiri punya urusan dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau
membelanya?"
"Itu urusanku!" sahut Bayu ketus.
"Ya, kita memang punya urusan masing masing yang sama tujuannya. Hm..., kenapa -kita tidak bergabung"
Bukankah dengan bersatu kita lebih mudah mencapai tujuan?" usul Ki Rampoa lagi.
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu, bagaimana dengan urusan di antara kita sendiri?" dengus Datuk Parapat.
"Itu bisa diselesaikan nanti, Datuk Parapat," ujar Ki Rampoa. "Terutama antara
kau dan aku, Anak Muda.
Masih ada persoalan yang belum diselesaikan."
Bayu hanya menggumam kecil, lalu melirik Datuk Parapat. Kemudian ditatapnya Ki
Rampoa dalam dalam.
-Bayu yakin kalau Ketua Partai Pasir Merah ini belum mengetahui kepentingannya
pada Datuk Maringgih.
Sedangkan Bayu sendiri tidak tahu, ada urusan apa antara Datuk Parapat dengan
Datuk Maringgih.
Sedangkan antara Ki Rampoa dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning itu, Bayu memang
sudah mengetahui
-nya. "Maaf. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, Ki Rampoa," tegas Bayu.
"Aku juga tidak akan bergabung denganmu, begal!"
dengus Datuk Parapat.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak bahak.
-"Kalian lihat! Seluruh tempat ini sudah terkepung. Aku tidak akan mengatakan,
dan pasti kalian sudah bisa mengerti sendiri."
Kembali Bayu dan Datuk Parapat saling ber
-pandangan. Meskipun mereka tokoh tingkat tinggi rimba persilatan, tapi untuk
menghadapi pengeroyokan begini banyak, rasanya sukar juga. Dan kemungkinan untuk
tetap bisa hidup kecil sekali. Mereka mengaku kalah dalam hal gertakan, tapi
tidak akan menyerah begitu saja.
"Aku menantangmu bertarung, Ki Rampoa!" tegas Datuk Parapat.
"Aku yang menentukan di sini!" bentak Ki Rampoa.
"Hm..., kau takut rupanya," ejek Datuk Parapat.
"Phuih! Aku tidak akan terpancing, Datuk Parapat.
Dengar, hanya ada satu pilihan untukmu, dan juga kau!"
Ki Rampoa menunjuk Pendekar Pulau Neraka.
Memang sukar posisi yang dihadapi Datuk Parapat maupun Pendekar Pulau Neraka
saat ini. Mereka tidak punya pilihan lain, tapi tidak ingin mengikuti keinginan
Ketua Partai Pasir Merah ini. Sekali saja mengucapkan persetujuan, selamanya
nama mereka akan jatuh dalam kancah rimba persilatan. Dan itu sudah pasti yang
diinginkan Ki Rampoa. Mengeruk berbagai keuntungan dalam sekali jalan. Bayu
sendiri mengakui kecerdikan
laki laki itu.-Perlahan Bayu menggeser kakinya mendekati Datuk Parapat. Sementara Ki Rampoa
tersenyum senyum merasa kemenangan sudah berada di pihaknya. Dia tahu kalau
-Datuk Parapat dan Pendekar Pulau Neraka kebingungan menentukan pilihan, tapi
juga tidak ingin kecolongan lagi kali ini.
"Datuk! Bebaskan Parita, kita butuh tambahan tenaga," bisik Bayu pelan.
Datuk Parapat menatap Pendekar Pulau Neraka
dalam dalam. -"Aku tidak memaksa, itu terserahmu," kata Bayu lagi.
Laki laki tua berjubah hitam itu hanya berdiam diri saja. Diliriknya Parita yang
-masih tergolek tidak sadarkan diri. Kemudian ditatapnya Bayu, lalu diedarkan
pandangannya berkeliling. Tidak mudah bagi Datuk Parapat untuk menentukan
pilihan kali ini. Dia benar-benar menyadari kalau posisinya sulit sekali.
Setelah berpikir beberapa saat, Datuk Parapat melangkah mendekati Parita.
Dibungkukkan sedikit tubuhnya, dan dicabutnya jarum merah di bahu pemuda itu.
Kemudian diberikannya beberapa totokan di sekitar dada dan leher. Tak berapa
lama kemudian Parita mulai sadarkan diri. Pemuda itu langsung terlonjak bangkit,
lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Parita tampak kebingungan melihat
sekitarnya. Bayu tersenyum pada Datuk Parapat. Sedangkan orang tua berjubah hitam itu hanya
diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Kembali kakinya melangkah
menghampiri Bayu. Untuk beberapa saat tak ada yang membuka suara sedikit pun.
"He he he...," Ki Rampoa terkekeh kekeh. Sama sekali tidak dipedulikan adanya
-Parita. Ki Rampoa tidak memandang sebelah mata pun pada
murid Padepokan Bambu Kuning itu, karena telah tahu tingkat kemampuannya.
Seandainya mereka mencoba melawan pun, rasanya tidak terlalu sulit hanya dengan
penambahan satu orang yang sudah diketahui
kemampuannya. Saat itu Bayu berbisik dekat di telinga Parita. Dan murid
Padepokan Bambu Kuning itu mengangguk anggukkan kepalanya. Sebentar diliriknya -Datuk Parapat. Sedangkan laki laki tua berjubah hitam itu hanya melirik sedikit
-saja. "Siap...?" desis Bayu pada Datuk Parapat
"Ya. Bagaimana teman kecilmu itu?"
"Dia berani mengambil resiko."
"Bagus."
"Sekarang...!"
Tiba tiba saja Datuk Parapat cepat memutar tongkat yang berujung golok. Dan
-sebelum ada yang menyadari, laki laki tua itu melompat menerjang Ki Rampoa. Pada
-saat yang sama, Bayu sudah melesat menghajar orang-orang Partai Pasir Merah.
Demikian juga Parita yang langsung mencabut pedangnya.
"Setan! Seraaang...!" teriak Ki Rampoa seraya melompat menghindari terjangan
Datuk Parapat. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi.
Sebentar saja suasana yang semula sunyi, jadi berubah hiruk pikuk oleh jerit dan
-pekik serta teriakan teriakan pertarungan. Tampak tubuh tubuh mulai
- -bergelimpangan bersimbah darah.
Bayu mengamuk, namun tidak ingin jauh jauh dari
-Parita. Beberapa kali murid Padepokan Bambu Kuning itu dibantunya. Suatu
pertarungan yang sangat ganjil.
Tiga orang dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang yang terus merangsek semakin
rapat. "Parita, jangan jauh dari belakangku!" seru Bayu.
"Baik, Kakang!",sahut Parita.
Bayu terus mengamuk, melontarkan pukulan dan tendangan bertenaga dalam sangat
tinggi. Setiap pukulan atau tendangannya menimbulkan jeritan melengking
menyayat, disusul ambruknya tubuh dalam keadaan tak bemyawa lagi. Sedangkan
pedang Parita sudah tidak lagi terlihat warna aslinya, merah berlumuran darah.
Mereka terus bergerak, mencoba mengoyak kepungan yang rapat ini.
Bayu tak bisa lagi membagi perhatiannya kepada Datuk Parapat. Jarak mereka
semakin merenggang dan terus menjauh. Dalam keadaan seperti ini, memang sulit
untuk memperhatikan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja terasa sukar
sekali. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Senjata maut
andalannya itu digenggam, sehingga menjadi senjata yang sangat berbahaya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melontarkan Cakra Maut begitu ada
kesempatan. Seketika itu juga dia melompat ke depan begitu beberapa orang di
depannya bergelimpangan tersambar senjata cakra bersegi enam itu. Parita yang
mengetahui ini, tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat sambil
mengebutkan pedangnya.
"Yeaaah...!"
Bayu terus melontarkan Cakra Maut begitu
menangkap kembali. Beberapa kali hal itu dilakukan.
Dan setiap kali Cakra Maut lepas melesat ke depan, Pendekar Pulau Neraka itu
melompat menerjang.
Tindakan Pendekar Pulau Neraka ini semakin mem-perbesar peluang untuk keluar
dari kepungan ini. Dan Parita memanfaatkannya untuk tidak jauh jauh sambil -menghemat tenaga.
"Cepat Parita...! Yeaaah...!" seru Bayu keras.
"Yaaa...!"
Parita langsung melentingkan tubuhnya ke udara melewati beberapa kepala.
Pedangnya berkelebatan cepat membabat beberapa orang. Dan begitu sampai di luar
kepungan, pemuda itu langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Pada saat yang sama, Bayu melesat bagai kilat meninggalkan tempat itu
menuju arah yang sama dengan Parita.
"Keparat!" geram Ki Rampoa begitu mengetahui Bayu dan Parita berhasil melarikan
diri. "Kejar...! Jangan biarkan mereka hidup!"
Sebagian orang orang Partai Pasir Merah berlarian mengejar Pendekar Pulau Neraka
-dan Parita. Sementara sebagian lagi masih sibuk membendung amukan Datuk Parapat.
Laki laki tua itu tersenyum tipis begitu mengetahui Bayu dan Parita sudah
-berhasil kabur, sambil terus memperhebat serangan serangannya.
-Sementara itu Bayu dan Parita sudah jauh
meninggalkan tempat pertarungan tadi. Mereka berhenti sambil mengatur
pernapasan. Sayup sayup masih terdengar suara suara pertarungan di kejauhan.
- -"Mereka mengejar, Parita," kata Bayu bisa menangkap suara banyak orang berlari
ke arah ini. "Kita seberangi sungai di bawah sana, Kakang,"
Parita menunjuk sebuah sungai yang tidak begitu besar di bawah.
"Ayolah!"
Kembali kedua pemuda itu berlari cepat mem
-pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Bayu paling tidak suka begini,
tapi terpaksa harus dilakukan.
Rasanya memang tidak mungkin menghadapi begitu banyak orang yang rata rata
-berkemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka juga harus
menjaga keselamatan Parita. Sementara jauh di belakang mereka puluhan orang
berlarian sambil berteriak teriak mengejar.-***
Parita menjatuhkan diri di atas rerumputan, dan napasnya
tersengal. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sementara Bayu masih berdiri mengawasi
lereng bukit. Tak lagi terdengar, apalagi terlihat orang orang Partai Pasir
-Merah yang mengejar. Meskipun wajah Pendekar Pulau Neraka itu nampak memerah,
tapi alunan napasnya begitu teratur.
"Mereka tidak mengejar lagi, Kakang," kata Parita sambil membersihkan bercak
darah pada pedangnya dengan daun daun kering. Kemudian, pedang itu dimasukkan ke
-dalam sarungnya di pinggang.
"Kelihatannya tidak," sahut Bayu.
"Hhh! kita tidak bisa mendapatkan obat penawar racun buat Lasmi," keluh Parita.
Bayu berpaling memandang pemuda itu. Sedangkan yang dipandang hanya duduk saja
sambil memandang ke arah lain. Tarikan napasnya sudah mulai teratur, tidak
terengah lagi seperti tadi.
"Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Bayu.
"Kembali..."!" Parita menatap Bayu dalam dalam.
-Bayu menganggukkan kepalanya.
"Tapi, kita belum memperoleh obat penawar racun itu, Kakang."
"Sudah."
"Heh..."!" Parita terlonjak kaget
Pemuda itu langsung berdiri. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan tidak
mempercayai kalau Pendekar Pulau Neraka ini sudah memiliki obat penawar Racun
Ular Merah yang kini diidap Lasmi. Sementara Bayu sudah mengayunkan kakinya
berjalan. Parita bergegas memburu dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Kakang, bagaimana kau mendapatkan obat itu?"
tanya Parita ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Sedangkan Parita jadi penasaran sekali. Masih belum dipercayai kalau Bayu sudah
memperoleh obat itu. Dia tidak melihat Datuk Parapat memberikan sesuatu.
Bagaimana mungkin obat itu bisa dimilikinya..."
"Kakang, apakah Datuk Parapat memberikan obat itu?" tanya Parita mendesak.
"Tidak," sahut Bayu.
"Tidak..."! Lalu?" Parita jadi tidak mengerti.
"Aku mencurinya," sahut Bayu.
"Heh!" Bagaimana...?" suara Parita terputus.
"Memang tidak mudah, tapi aku berhasil mendapatkannya. Ah, sudahlah.... Yang
penting sekarang kita harus segera sampai di padepokan."
"Kapan kau mencurinya, Kakang?" tanya Parita masih ingin tahu.
"Waktu dia melompat menerjang Ki Rampoa, aku cepat menjambret kantung kulit di
pinggangnya. Ternyata kantung itu berisi beberapa pil berwarna merah. Aku yakin pil ini obat
penawar Racun Ular Merah," Bayu terpaksa menjelaskan karena Parita mendesak
terus. "Hebat..!" puji Parita tulus.
"Tapi aku tidak suka melakukannya. Perbuatan pengecut!" dengus Bayu.
"Kau ini aneh, Kakang. Bukankah maksud kita memang ingin mendapatkan obat itu.
Dengan cara apa pun harus kita peroleh. Dan sekarang sudah didapat, kenapa kau
bilang tidak suka melakukannya?" Parita jadi tidak mengerti dengan sikap Bayu.
"Hatiku yang tidak menyukai. Mencuri perbuatan licik dan pengecut."
"Tapi, kenapa Kakang melakukan juga?"
"Aku tidak tahu, tiba tiba saja tersirat di hati. Dan aku juga tidak tahu, -kenapa bisa melakukannya."
"Kakang menyesal?"
"Mungkin."
Parita dam tidak bertanya lagi. Benar benar sulit memahami sikap Pendekar Pulau
-Neraka ini. Sangat aneh memang, dan sulit untuk diterima akal. Tapi Parita tidak
ingin memikirkan lagi. Dia sudah senang karena berhasil mendapatkan obat penawar
Racun Ular Merah.
Dan itu berarti ada harapan bagi Lasmi untuk bisa kembali sembuh seperti semula.
Parita benar benar bisa mengharapkan Lasmi sembuh, karena ingin melihat wanita
-itu kembali cerah seperti dulu. Bersemangat dan tidak putus asa.
Sementara mereka semakin jauh berjalan. Melalui bukit ini, memang jauh
perjalanan yang ditempuh untuk mencapai Desa Kaung. Tapi hanya ini jalan satu-satunya, karena memang tidak mungkin kembali lagi melalui jalan semula.
*** Bayu duduk bersila di lantai beralaskan permadani tebal berbulu halus. Di
depannya duduk Datuk Maringgih. Sementara di sudut ruangan tampak Parita
memangku Wijaya sambil menunggu Lasmi yang masih belum juga sadarkan diri,
meskipun sudah diberi obat penawar Racun Ular Merah.
Bayu bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari kamar ini. Datuk Maringgih ikut
berdiri. Sejak tadi dia selalu bertanya tanya tentang sikap Bayu yang lebih
-banyak diam. Sedangkan dari Parita, dia tahu kalau Bayu mendapatkan obat penawar
racun itu dengan cara memanfaatkan kelengahan Datuk Parapat.
Bayu menghentikan langkahnya, ketika baru saja sampai di tengah taman yang
berhadapan tepat dengan kamar Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
membalikkan tubuh. Sementara Datuk Maringgih
menghampiri dan berdiri di depannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini,
Bayu. Terlebih lagi kau seorang pendekar. Mencuri memang bukan perbuatan baik. Tapi itu dilakukan demi
menyelamatkan nyawa seseorang," jelas Datuk Maringgih langsung pada pokok
persoalan. "Tidak seharusnya aku berbuat begitu, Datuk. Aku.
bisa menantangnya, bertarung secara jantan," kata Bayu menyesali perbuatannya.
"Masih ada kesempatan, Bayu."
"Apa maksudmu, Datuk?" Bayu tidak mengerti.
"Parita sudah bercerita banyak padaku. Dan aku yakin kalau Datuk Parapat tidak
mudah dikalahkan begitu saja, meskipun dikeroyok puluhan orang."
"Hm...."
"Bayu. Kau tentu ingin tahu, kenapa Datuk Parapat sampai melukai Lasmi dan terus
memburunya," kata Datuk Maringgih, terdengar pelan nada suaranya.
Bayu hanya diam saja. Memang ia ingin tahu, tapi tidak pernah ingin
menanyakannya. Pendekar Pulau Neraka menganggap hal itu mungkin persoalan
pribadi yang tidak perlu dicampuri.
"Sebenarnya Racun Ular Merah tidak mem-bahayakan jiwa seseorang. Racun itu bekerja lambat, tapi pasti akan mempengaruhi
daya ingat. Bahkan membuat orang yang terkena tidak bisa mengetahui lagi akan
dirinya sendiri, di samping juga akan melemahkan kekuatannya," jelas Datuk
Maringgih mulai mengurai-kan. "Itu sebabnya aku tidak terlalu khawatir setelah
mengetahui Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Karena aku tahu, setelah Lasmi lupa
dan seluruh daya kekuatannya musnah, dia akan menjadi manusia baru.
Di situ, daya kerja Racun Ular Merah menghilang. Dan
dengan demikian aku bisa membinanya kembali, meskipun harus dari awal lagi."
"Kenapa Datuk Parapat melakukan hal itu pada Lasmi?" tanya Bayu.
"Karena dia ingin memiliki Lasmi seutuhnya. Lasmi yang baru segala galanya,
-tanpa dipengaruhi ingatan masa lalu dan tidak mengenal dirinya sendiri lagi."
"Hm...."
"Bayu, sebenamya persoalan ini sangat pribadi sifatnya. Bahkan begitu
pribadinya, sampai sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, kecuali aku dan
-Datuk Parapat sendiri."
Sebentar Datuk Maringgih menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara Bayu hanya diam saja menunggu. Memang sudah sejak semula diduga
demikian, tapi dia tidak tahu permasalahan yang sebenarnya.
"Dulu ketika aku dan dia sama sama masih muda, kami dikenal sebagai Dua Datuk
-Sesat. Ilmu kepandaian yang kami miliki sukar ditandingi. Suatu saat, aku
bentrok dengan seorang gadis muda yang sangat cantik.
Meskipun dapat kukalahkan, tapi dia juga berhasil melukaiku. Yaaah..., mungkin
ini sudah menjadi takdir yang telah digariskan. Entah kenapa, aku menyukai gadis
itu. Aku menyatakan cinta, dan ternyata dia membalasnya walau dengan satu
syarat. Aku harus meninggalkan semua dunia hitamku. Syarat yang tidak terlalu
berat, dan aku menyanggupinya. Akhirnya kami hidup bersama. Tapi, kebahagiaan
yang kudapatkan ternyata membuat Datuk Parapat tidak senang. Dia terus
mendesakku agar Kembali ke dunia semula. Dan aku tetap bertahan untuk tidak
kembali ke dalam dunia
hitam yang sudah lama kutinggalkan. Terlebih lagi setelah Lasmi lahir, aku
benar benar tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia hitam."-"Terus?" Bayu jadi tertarik.
"Untuk menghindari rongrongan Datuk Parapat, aku memutuskan meninggalkan daerah
Selatan, dan akhrinya menetap di sini. Dulu daerah ini merupakan hutan belantara yang sangat
luas. Di sini, aku dan istri serta anakku memulai hidup baru. Tapi kebahagiaan
yang kureguk ternyata tidak lama. Suatu hari istriku kudapatkan tewas tertikam.
Dan aku tahu, siapa pelakunya. Datuk Parapat! Hal ini membuat kemarahan-ku tak
bisa dibendung lagi. Aku mencari Datuk Parapat dan mengajaknya bertarung."
"Kau bertarung?" tanya Bayu.
"Ya. Tapi di antara kami tidak ada yang bisa menang.
Akhirnya, setelah itu antara aku dan dia terus bertentangan. Datuk Parapat tidak
pernah jera, dan selalu mengambil kesempatan untuk meruntuhkanku Terlebih
setelah Padepokan Bambu Kuning kudirikan.
Semakin gencar dia hendak meruntuhkanku."
"Pertentangan yang berlarut larut," gumam Bayu.
-"Dua sahabat yang kini jadi musuh besar, Bayu."
Bayu mencoba tersenyum, membalas senyuman
Datuk Maringgih yang terasa getir dan amat dipaksakan.
Kini Bayu mengerti, kenapa Datuk Parapat begitu bernafsu untuk mendapatkan
Lasmi. Ternyata dia ingin memisahkan Lasmi dari ayahnya, kemudian menggunakannya
untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Datuk Parapat ingin melihat bekas
sahabatnya ini menderita sepanjang hidupnya. Pertentangan dua datuk yang
sangat pelik! "Lalu, bagaimana dengan Ki Rampoa?" tanya Bayu jadi teringat Ketua Partai Pasir
Merah. "Ah! Dia hanya orang gila, Bayu. Dia merasa sakit hati dan terancam karena
banyak muridku yang menentang segala tindakannya. Hatinya semakin sakit lagi
karena gagal menghancurkan dari dalam," sahut Datuk Maringgih.
"Maksud, Datuk?"
"Dia mencoba menyelundupkan anaknya ke sini. Aku juga tidak tahu kalau Sundrata
itu anaknya, dan menerimanya sebagai murid. Belakangan aku baru tahu, tapi
Sundrata sudah menjalin hubungan cinta dengan Lasmi. Aku sendiri sebenarnya
senang, karena ternyata Sundrata sangat jauh bertolak belakang dengan ayahnya.
Bahkan menentang segala macam perbuatan orang orang Partai Pasir Merah. Tapi -mengingat kalau dirinya anak seorang ketua begal, aku tidak bisa menyetujui
hubungannya dengan anakku. Tapi rupanya mereka mengambil jalan nekad, lari dari
sini dan mencoba hidup di luar. Yaaah..., selanjutnya kau tentu sudah bisa
mengetahui, Bayu."
Bayu hanya menganggukkan kepalanya. Memang
ada orang mengatakan, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya. Tapi ternyata
ada juga buah yang jatuh jauh, bahkan menghilang dari asalnya. Seperti buah
kelapa yang jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Buah itu akan tumbuh di
tempat yang jajuh dari induknya, dan terus menyebarkan generasi baru ke tempat
-tempat yang jauh.
Ternyata Sundrata ingin membuktikan kalau seorang
anak tidak selamanya mengikuti jejak orang tuanya.
Jalan hidup seorang memang tidak akan sama, meskipun berasal dari satu rahim
ibunya. Dan ini sudah dibuktikan Sundrata, anak seorang begal besar yang sangat
ditakuti. Hanya sayangnya, kesadaran yang dimiliki Datuk Maringgih datangnya terlambat.
Kini Sundrata sudah tidak ada lagi, walaupun sudah menurunkan buah keturunan
yang akan meneruskan cita citanya. Datuk Maringgih memang menyesali, tapi tidak
-menunjukkan penyesalannya. Kehidupan keras yang dilalui membuatnya begitu tegar
bagai batu karang yang tak pernah goyah meskipun setiap hari digempur gelombang.
*** 8 Pagi pagi sekali, seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning dikejutkan teriakan
-keras menggelegar yang menyuruh Bayu keluar. Saat itu Bayu dan Datuk Maringgih
tengah berbincang bincang di ruang semadi.
-Semalaman mereka tidak tidur, membicarakan tentang dunia persilatan yang semakin
tidak menentu. Teriakan keras itu tentu saja membuat mereka tersentak kaget.
Bergegas Bayu keluar dari bilik semadi, diikuti Datuk Maringgih. Mereka langsung
menuju bagian depan Padepokan Bambu Kuning ini. Tampak seorang laki laki tua
-berjubah hitam membawa sebatang tongkat
berujung golok besar berdiri angkuh di tengah tengah halaman depan, membelakangi
-sinar matahari yang saat itu baru saja menampakkan diri.
"Datuk Parapat, apa maksudmu datang ke sini?"
tanya Datuk Maringgih.
"Aku mencari bocah keparat itu!" bentak Datuk Parapat lantang sambil menunjuk
Bayu yang berdiri di samping Datuk Maringgih.
"Bayu..." Dia tamuku di sini," kata Datuk Maringgih mencoba tenang.
"Aku tidak peduli dia tamumu, Maringgih. Yang jelas, dia harus bertanggung jawab
karena telah mencuri kantung obatku!"
"Kalau itu persoalannya, aku yang seharusnya bertanggung jawab. Bayu melakukan
itu karena aku yang meminta untuk mengobati Lasmi dari Racun Ular
Merah yang kau sebar ke dalam tubuh Lasmi!" tegas kata kata Datuk Maringgih.-"Maringgih, aku tidak bicara padamu! Aku bicara pada bocah setan itu!" bentak
Datuk Parapat gusar.
"Bayu tamuku, dan wajib kulindungi. Semua yang dilakukannya menjadi tanggung
jawabku," tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Keparat! Ternyata kau sama keparatnya dengan bocah setan itu, Maringgih!"
"Hm.... Tidakkah kau bercermin pada dirimu sendiri, Parapat" Apakah kau
menganggap dirimu suci" Kita sudah sama sama tahu tentang diri masing masing.
- -Jadi, kuharap tidak perlu mengumpat dan berteriak-teriak begitu. Katakan saja
terus terang, apa maumu yang sebenamya?" bentak Datuk Maringgih lantang.
"Kau menantangku, Maringgih?"
"Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu" Aku selalu siap melayani
tantanganmu. Bukan aku yang menantang, tapi kau!"
"Bedebah! Bersiaplah, Maringgih!"
"Aku selalu menunggu."
Datuk Parapat menggerakkan tongkat berujung
golok besar. Diputar putarnya tongkat itu dengan cepat, lalu dihentakkan ke
-tanah. Dan sebelum laki laki tua itu menyerang, Bayu cepat melompat ke depan.
-Datuk Parapat menggeram, menyemburkan ludahnya dengan sengit.
"Aku yang akan menghadapimu, Datuk Parapat,"
kata Bayu tegas.
"Phuih! Kau memang harus mampus, bocah setan!"
dengus Datuk Parapat menggeram marah.
"Bayu, biar kutandingi sendiri," kata Datuk Maringgih.
"Tidak, Datuk. Dia datang mencariku, dan aku sendiri yang akan menghadapinya,"
tolak Bayu tegas.
"Bagus! Bersiaplah untuk mampus, bocah!" sambut Datuk Parapat dingin.
Setelah berkata demikian, Datuk Parapat berteriak nyaring, lalu cepat sekali
melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dikebutkan ujung tongkatnya yang
berbentuk golok beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang
mematikan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu bergerak manis, menghindari serangan
itu. Bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyat.
Mereka sudah pernah bentrok sekali, sehingga sudah mengetahui ketangguhan
masing masing. Dan ini membuat mereka langsung mengeluarkan jurus jurus andalan - -dahsyat dan sangat mematikan. Sementara itu Datuk Maringgih hanya bisa
menyaksikan, dan tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu.
Saat itu terlihat Parita berlari lari dari arah pintu gerbang yang tertutup
-rapat, langsung menghampiri Datuk Maringgih yang sedang asyik memperhatikan
jalannya pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Datuk Parapat
"Datuk...," terdengar suara Parita agak tersengal.
"Ada apa, Parita?" tanya Datuk Maringgih tanpa berpaling.
"Orang orang Partai Pasir Merah menuju ke sini."
-lapor Parita memberitahu.
Datuk Maringgih berpaling memandang muridnya
ini. "Di mana mereka?" tanya Datuk Maringgih.
"Belum sampai ke desa, Datuk," sahut Parita.
"Sambut mereka, dan usahakan jangan sampai masuk ke desa."
"Baik, Datuk."
Parita bergegas mengumpulkan murid Padepokan
Bambu Kuning, dan bergerak menuju ke luar desa untuk menyambut kedatangan orang
-orang Partai Pasir Merah. Sudah tentu mereka membawa senjata lengkap dan dalam
keadaan siap bertempur. Mereka tahu, kedatangan orang orang Partai Pasir Merah
-tidak bermaksud baik. Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dan
Datuk Parapat masih terus berlangsung. Dan saat itu pula perhatian Datuk
Maringgih sudah terpecah.
*** Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, dan masing masing sudah merasakan
-pukulan maupun
tendangan lawan. Namun belum ada yang bisa melukai.
Mereka masih sama sama tangguh, dan belum ada yang mau menyerah. Entah, sudah -berapa puluh jurus dikeluarkan dalam pertarungan ini.
"Hiyaaat..!"
Tiba tiba saja Bayu melesat ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada
-saat itu dilontarkan Cakra Maut yang sejak tadi belum dipergunakan.
Senjata bersegi enam itu melesat cepat bagaikan kilat. Saat itu juga dengan
kecepatan tinggi, Datuk
Parapat mengebutkan senjatanya, menyambut senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Trang! Dua senjata beradu keras, hingga menimbulkan percikan api yang menyebar ke
segala arah. Saat itu Bayu meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan
bertenaga dalam sangat tinggi dan sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hop!"
Datuk Parapat langsung memegang tongkatnya
dengan kedua tangan, lalu diangkat ke atas melindungi kepala. Pukulan Bayu tak
dapat ditarik lagi, langsung menghajar bagian tengah senjata tongkat berujung
golok besar itu.
"Yeaaah...!"
Trak! "Heh..."!" Datuk Parapat terperanjat Laki laki tua itu agak terhuyung ke
-belakang, sementara tongkatnya patah jadi dua bagian. Tapi yang dialami Bayu
juga sungguh mengejutkan. Pendekar Pulau Neraka itu kembali terpental ke atas.
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat terhuyung-huyung
di tanah. Tampak setetes darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Bedebah!" geram Datuk Parapat melihat senjata andalannya tidak bisa digunakan
lagi. Sambil mendengus marah, dilemparkan senjatanya ke arah Bayu. Lemparan yang
disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu membuat potongan senjata itu
meluncur deras melebihi anak panah lepas dari busur ke
arah Bayu. "Uts!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya, menghindari
lemparan potongan senjata itu. Dan begitu potongan senjata itu lewat, langsung
dikebutkan tangan kanannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wut! Datuk Parapat yang masih memegang potongan lain
dari senjatanya, langsung melemparkan ke arah senjata Cakra Maut itu. Benturan
keras terjadi di udara, dan potongan senjata itu hancur berkeping keping. Bayu -langsung menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut terus melesat ke arah Datuk
Parapat "Hup! Hiyaaa...!"
Datuk Parapat melentingkan tubuhnya, berputaran menghindari terjangan Cakra Maut
bersegi enam itu.
Pada waktu yang sama, Bayu melompat. Langsung dilontarkan dua pukulan bertenaga
dalam tinggi. Datuk Parapat tersentak kaget Dia begitu sibuk menghindari serangan Cakra Maut
yang bergerak cepat seperti memiliki mata, dan kini harus pula menghindari
serangan Pendekar Pulau Neraka. Hal ini membuatnya jadi kerepotan. Apalagi sudah
tidak memiliki senjata lagi. Hingga....
"Modar...!"
Bayu menghantamkan satu pukulan keras ke arah dada.
Des! "Aaakh...!" Datuk Parapat memekik keras.
Pukulan Bayu telak menghantam dada laki laki tua
-berjubah hitaam itu. Tak pelak lagi, pukulan yang mengandung tenaga dalam
sempurna itu membuat tubuh Datuk Parapat terlontar sejauh tiga batang tombak.
Dan sebelum tubuhnya mencapai tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya.
Maka Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu kembali melesat cepat bagaikan kilat
Cras! "Aaa...!" Datuk Parapat menjerit melengking tinggi.
Cakra Maut bersegi enam menancap tepat di
tenggorokan Datuk Parapat Tubuh tua berjubah hitam itu terbanting keras ke atas
tanah. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas sambil melompat ke
depan. Maka Cakra Maut melesat balik dan menempel di pergelangan tangan
kanannya, tepat saat tubuhnya mendarat di samping tubuh Datuk Parapat yang sudah
tidak bernyawa lagi. Darah langsung menggenang di sekitar leher yang menganga
lebar terkoyak oleh Cakra Maut
"Aku akui kau tangguh sekali," desah Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur, lalu berpaling begitu mendengar
suara langkah menghampiri. Datuk Maringgih setengah berlari menghampiri Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Bayu, orang orang Partai Pasir Merah ada di batas desa. Murid muridku mencoba
- -menghadang di sana,"
jelas Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan ke sana, Datuk," tegas Bayu.
"Jangan! Sebaiknya kau di sini saja. Biar aku yang akan ke sana," cegah Datuk
Maringgih. Bayu ingin membantah. Tapi sebelum membuka
mulutnya, Datuk Maringgih sudah berkata lagi.
"Kali ini benar benar urusan pribadiku, Bayu."-"Baiklah. Tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini, Datuk," Bayu mengalah, dan
memang tidak ingin berdebat.
"Ayolah, sebelum mereka memasuki desa."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas
melompat pergi Tapi belum juga mencapai pintu gerbang, terdengar suara panggilan
keras. Mereka menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Lasmi berlari cepat
menghampiri. "Aku ikut," ujar Lasmi setelah dekat
"Lasmi! Kau masih terluka," Datuk Maringgih ingin mencegah.
"Aku sudah sembuh, Ayah. Lihat, tadi aku bisa menggunakan ilmu lari cepat tanpa
ada gangguan apa pun," sergah Lasmi.
"Tapi, anakmu...?"
"Aku serahkan pada mbok pelayan."
Datuk Maringgih memandang Bayu, seakan akan
-minta pendapat. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu hanya mengangkat pundaknya saja.
Datuk Maringgih tidak bisa lagi mencegah. Maka tanpa banyak bicara lagi mereka
bertiga segera berlari cepat memper gunakan ilmu meringankan tubuh menuju batas
-desa. Dan selama menggunakan ilmu meringankan tubuh,
Datuk Maringgih selalu memperhatikan putrinya.
Tampak jelas kalau Lasmi tidak mengalami kesulitan.
Bahkan tampak gembira karena bisa pulih seperti sediakala. Datuk Maringgih
merasa yakin kalau Lasmi
benar benar sudah sembuh, dan pulih seperti semula.
-Sementara itu Bayu sudah jauh meninggalkan mereka.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka mfemang sudah
Pendekar Pulau Neraka 20 Pertentangan Dua Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencapai taraf kesempurnaan.
Sebenamya ilmu meringankan tubuh Datuk Maringgih juga sudah sempurna, tapi Lasmi
tidak mungkin ditinggalkan. Wanita itu memang mustahil kalau bisa mengimbangi
Pendekar Pulau Neraka maupun ayahnya.
Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh.
*** Kehadiran Pendekar Pulau Neraka yang disusul Datuk Maringgih dan Lasmi,
membangkitkan semangat murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang semula sudah
kewalahan membendung arus serangan yang dilancarkan orang orang Partai Pasir -Merah. Sebaliknya kedatangan mereka bertiga justru membuat orang-orang Partai
Pasir Merah jadi kalang kabut
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang langsung terjun ke dalam kpncah
pertempuran. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung korban yang
berjatuhan. Mata Bayu yang tajam bagai mata elang, langsung bisa melihat Datuk
Maringgih yang bertarung melawan Ki Rampoa.
"Untung kau cepat datang, Kakang," ujar Parita yang berhasil mendekati Bayu.
"Hm..., sebaiknya kau jaga Lasmi. Dia belum begitu pulih benar," ujar Bayu.
"Baik, Kakang."
Parita benar benar tidak membantah, dan segera
-bergerak cepat mendekati Lasmi yang mengamuk dengan pedang di tangan. Lasmi
tersenyum begitu melihat Parita. Dan mereka sama sama membabat orang orang
- -Partai Pasir Merah tanpa memberi ampun lagi. Keadaan yang tadinya dikuasai
Partai Pasir Merah, seketika berbalik. Kini murid murid Padepokan Bambu Kuning
-benar benar menguasai keadaan. Bahkan
-beberapa anggota Partai Pasir Merah mencoba#
melarikan diri.
Melihat keadaan ini, Bayu melesat keluar dari kancah pertarungan. Pendekar Pulau
Neraka berdiri tegak mengawasi pertarungan antara Datuk Maringgih
dengan Ki Rampoa. Tampak sekali kalau Datuk Maringgih selalu mendesak Ki Rampoa.
Jurus jurus yang dilancarkan orang tua itu membuat Ki Rampoa kelabakan setengah
-mati. Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Datuk Maringgih bersarang di
tubuh lawannya. Tapi, rupanya Ki Rampoa tidak mudah menyerah begitu saja. Dia
terus mengadakan per-lawanan, meskipun selalu terdesak dan sulit mengatasi
keadaannya sendiri.
Ki Rampoa tidak sempat lagi memperhatikan
keadaan anak buahnya yang kocar kacir tak beraturan lagi. Dia sendiri benar
- -benar dibuat kalang kabut oleh serangan serangan Datuk Maringgih. Sebenarnya Ki
-Rampoa menyadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya berada setingkat di
bawah Datuk Maringgih.
Tapi dia kali ini tidak bisa keluar dari kemelut ini.
Sementara itu sudah banyak anggota Partai Pasir Merah yang melarikan diri. Dan
sisanya yang masih bertahan tidak mampu lagi membendung amukan
murid murid Padepokan Bambu Kuning. Hingga akhirnya, tak ada lagi orang orang - -Partai Pasir Merah yang tersisa. Pertarungan pun berakhir dengan kemenangan
berada di pihak Padepokan Bambu Kuning. Namun di tempat lain, tampak Datuk
Maringgih masih berusaha menyudahi pertarungannya dengan Ki Rampoa.
"Aku akan membantu Ayah," kata Lasmi.
"Jangan!" cegah Bayu cepat
"Tapi...."
"Tinggal beberapa jurus lagi," potong Bayu.
Lasmi tidak bisa lagi membantah. Dan dugaan Bayu memang tepat. Dua jurus
kemudian, satu pukulan telak berhasil disarangkan Datuk Maringgih ke dada Ki
Rampoa. Dan sebelum tubuh Ki Rampoa terjungkal, satu tendangan keras menggeledek
bersarang di perutnya.
Ki Rampoa memekik melengking, dan terjungkal keras menghantam tanah. Beberapa
kali tubuhnya bergulingan, tapi masih mampu bangkit berdiri. Pada saat itu Datuk
Maringgih sudah melompat, dan kedua tangannya dikeprukkan ke kepala Ki Rampoa.
Prak! "Aaa...!" Ki Rampoa menjerit melengking tinggi.
Ketua Partai Pasir Merah itu terhuyung huyung sambil memegangi kepalanya yang
-pecan. Darah merembes keluar dari sela sela jari tangannya. Datuk Maringgih
-kembali menghentakkan tangannya, memberikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam
sempurna. "Yeaaah...!"
Des! Seketika tubuh Ki Rampoa menggeletar begitu
pukulan menggeledek bersarang di dadanya. Sebentar kemudian tubuhnya berputar
dan ambruk ke tanah tanpa ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Hanya
sebentar pula ketua begal itu mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Ki Rampoa tewas dengan dada amblas dan kepala pecah berlumuran darah.
"Ayah...!" seru Lasmi langsung berlari memburu.
Datuk Maringgin berbalik. Lasmi menghambur
memeluk ayahnya. Beberapa saat mereka berpelukan, kemudian saling melepaskan
diri. Mereka kini berjalan menghampiri Bayu dan Parita.
"Bayu, kudengar kau mencariku karena ada urusan denganku. Benar?" kata Datuk
Maringgih langsung.
"Tidak," sahut Bayu.
Bayu memang sudah memutuskan untuk melupakan
saja niat semula yang datang ke Desa Kaung ini untuk mencari Datuk Maringgih.
Maksudnya mencari orang tua itu karena Bayu menduga kalau Datuk Maringgih
terlibat dalam pembunuhan orang tuanya. Setelah melihat kehidupan Datuk
Maringgih, Bayu jadi tidak percaya kalau orang tua ini ikut terlibat.
Datuk Maringgih tersenyum. Dirangkulnya pundak pemuda berbaju kulit harimau itu,
lalu diajaknya berjalan. Sementara Parita menghampiri Lasmi.
Dipandanginya wajah cantik itu.
"Aku menagih jawabanmu, Lasmi," kata Parita.
"Sebaiknya kau utarakan saja pada Ayah," sahut Lasmi seraya tersenyum.
"Baiklah. Aku akan memintamu pada Guru setelah keadaan tenang kembali," janji
Parita mantap. Lasmi hanya tersenyum saja. Diayunkan kakinya, sementara Parita mengikuti di
samping wanita ini.
Dalam hati, Lasmi mengharapkan Parita benar benar bicara pada ayahnya. Dia ingin-ada laki laki yang berani dan bertanggung jawab untuk menggantikan Sundrata.
-Sementara di depan mereka, Datuk Maringgih berjalan berdampingan dengan Pendekar
Pulau Neraka. Entah apa yang dibicarakan, tapi tampaknya wajah Bayu cerah
sekali. "Aku tidak menduga, ternyata kau putra sahabatku, Pendekar Pulau Neraka," ujar
Datuk Maringgih.
"Ya. Hanya saja, sampai saat ini aku belum bisa menemukan ibu," desah Bayu agak
lirih. "Aku akan membantumu, Bayu. Aku juga yakin, ibumu masih hidup dan berada di
suatu tempat. "Terima kasih."
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (jandoy)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Patung Emas 19 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Munculnya Pendekar Bayangan 2