Pencarian

Titisan Dewi Iblis 3

Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis Bagian 3


penjahat yang harus diawasi. Baik.... Jika Ayah sudah tidak mempercayaiku lagi, aku akan
pergi dan tidak akan kembali ke istana ini lagi!"
Setelah berkata demikian, Raden Antawirya
segera berbalik dan cepat meninggalkan
ruangan itu. "Antawirya...!" sentak Prabu Truna Dilaga.
Tapi Raden Antawirya sudah keburu lenyap di balik pintu, tanpa mempedulikan
panggilan ayahnya. Prabu Truna Dilaga terhenyak disertai hembusan napas panjang di samping
permaisurinya. Matanya memandangi dua
benda di atas meja.
"Siapa saja bisa mengambilnya, Kanda.
Panah itu tersedia banyak di gudang senjata,"
kilah Rara Kuminten.
"Dinda, siapa yang menggunakan panah
milikku ini?" tanya Prabu Truna Dilaga.
'Tamtama Tipang," sahut Rara Kuminten.
"Jika kau yang memberi panah itu, kau harus menghukumnya, Dinda!" tegas Prabu
Truna Dilaga. "Untuk apa" Tugasnya dijalankan dengan baik. Lagi pula hanya panahmu yang
bermutu baik. Bidikannya tidak pernah meleset. Ingat, Kanda. Kita harus menjaga rahasia
ini." 'Tapi, kenapa harus menggunakan panahku"
Apa tidak ada panah lain" Panah untuk berburu biasa kan banyak!"
"Aku sudah katakan, Kanda. Tidak ada yang sebaik panah milik Kanda Prabu. Jika
bidikan meleset, akan memperburuk keadaan."
Prabu Truna Dilaga mengeluh panjang.
Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini.
Dia tadi tahu kalau Raden Antawirya begitu
marah. Suatu perbuatan bodoh jika memata-
matai putra mahkota itu. Lebih bodoh lagi,
panah yang digunakan untuk membunuh
pengintai itu miliknya sendiri.
Prabu Truna Dilaga memandangi
permaisurinya dalam-dalam. Semua ini memang rencana Permaisuri Rara Kuminten.
Bahkan dia tidak tahu kalau wanita ini menggunakan panah miliknya untuk
melenyapkan pengintai itu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rara Kuminten?" tanya Prabu Truna Dilaga.
Pandangan matanya tajam menusuk langsung
ke bola mata wanita itu.
"Aku..." Kenapa kau menatapku begitu,
Kanda?" "Jawab saja pertanyaanku, Rara Kuminten!"
desis Prabu Truna Dilaga seraya bangkit berdiri.
"Heh..."!" Permaisuri Rara Kuminten seperti kebingungan.
"Peran apa yang sedang kau mainkan" Siapa kau sebenarnya Rara Kuminten?" jelas
sekali kalau nada suara Prabu Truna Dilaga mencurigai permaisurinya ini.
"Kanda..., ada apa ini" Mengapa kau berkata demikian...?" Rara Kuminten tampak
kebingungan. "Kau yang mengatur semua ini, sehingga keluargaku pecah berantakan. Kenapa kau
lakukan semua ini, Rara Kuminten" Kenapa..."!"
agak tinggi nada suara Prabu Truna Dilaga.
"Kanda, mengapa kau marah padaku" Aku
hanya melakukan yang terbaik untukmu. Untuk kita semua, Kanda. Oh...," Rara
Kuminten mendekap wajahnya.
Terdengar suara isak tertahan. Terlihat bahu wanita itu terguncang. Prabu Truna
Dilaga memandangi. Seketika keraguan tersirat di
dalam sinar matanya. Pelahan dihampiri dan
dipeluknya wanita itu. Luruh seketika hatinya mendengar suara isak tangis
permaisurinya ini.
"Dinda, aku hanya ingin meminta
penjelasanmu. Kenapa kau lakukan semua
ini...?" pelan suara Prabu Truna Dilaga.
"Kau.... Kau menuduhku, Kanda. Kau
kejam...!" jerit Rara Kuminten.
Wanita itu mendorong tubuh Prabu Truna
Dilaga, kemudian berlari kencang sambil terisak.
Prabu Truna Dilaga bergegas bangkit dan berlari mengejar.
"Dinda...! Dindaaa...!"
Tapi Rara Kuminten terus berlari tergesa-
gesa, dan langsung membuka pintu sebuah
kamar. Cepat-cepat dimasukinya kamar itu, lalu dikuncinya dari dalam. Prabu
Truna Dilaga langsung menggedor pintu kamar itu begitu
sampai "Dinda...! Buka pintu, Dinda! Buka pintu...!"
teriak Prabu Truna Dilaga sambil menggedor
keras pintu kamar itu.
"Tidak! Kau sudah tidak percaya padaku lagi!"
terdengar suara dari dalam kamar.
"Buka pintunya dulu, Dinda. Kita bisa bicara baik-baik. Maafkan aku, Dinda...,"
bujuk Prabu Truna Dilaga-Tapi pintu kamar itu tetap saja terkunci dari dalam.
Prabu Truna Dilaga terus berusaha
membujuk. Namun tetap saja tidak mendapat
tanggapan. Pintu tetap terkunci, bahkan kini tak ada sahutan dari dalam kamar.
Prabu Truna Dilaga menyandarkan punggungnya dengan
lesu. Desahan panjang terdengar begitu berat.
"Oh, Dewata Yang Agung... Dosa apa yang telah kuperbuat" Kenapa kau berikan
cobaan begini berat...?" keluh Prabu Truna Dilaga.
Dengan langkah lesu, laki-laki tua itu
meninggalkan pintu kamar yang tertutup. Dia menyesal telah begitu gegabah
mencurigai dan melukai hati permaisurinya. Prabu Truna Dilaga sungguh menyesali
sikapnya yang terlalu
terbawa amarah.
"Oh, kenapa jadi begini" Mengapa saat-saat yang seharusnya bahagia jadi hancur
begini..."
Tak pernah aku berharap masa tuaku
terbelenggu seperti ini. Oh, Dewata Yang
Agung...," keluh Prabu Truna Dilaga dalam hati.
--oo0dw0oo-- Sudah hampir tiga hari Permaisuri Rara
Kuminten tidak mau keluar dari kamar
pribadinya. Dan selama itu Prabu Truna Dilaga terus membujuknya agar ke luar,
tapi tak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Pintu kamar itu terus terkunci
rapat. Bahkan Prabu Truna Dilaga tidak melihat seorang pelayan pun masuk ke
dalam kamar ini. Laki-laki tua itu jadi
mencemaskan keadaan istrinya.
Sementara itu, prajurit yang diperintah
mencari Raden Antawirya hanya membawa
kabar yang semakin membuat hati Raja
Kerajaan Kali Jirak itu semakin hancur. Meskpun Raden Antawirya bukan anak
kandung, tapi sangat dicintainya seperti anak kandung sendui.
Sejak masih bayi, pemuda itu sudah diangkat sebagai anaknya, sebelum putri
kandungnya lahir dari permaisuri yang sah. Kini semuanya tak ada lagi di sisinya. Bahkan
permaisuri keduanya juga tidak mau menemuinya
sekarang, dan hanya mengurung diri' selama
tiga hari. Sejak pagi tadi, Prabu Truna Dilaga duduk
merenung di dalam taman belakang istana.
Sama sekali keindahan taman dan segarnya
udara yang membawa harum aroma bunga-
bunga bermekaran tidak ternikmati. Tak ada
seorang pengawai pun di sekitar taman ini.
Prabu Truna Dilaga ingin menyendiri, merenungi semua yang tengah terjadi pada
keluarganya. "Gusti Prabu...."
Prabu Truna Dilaga tersentak ketika
mendengar suara, dan langsung mengangkat
kepalanya. Entah kapan, tahu-tahu di depannya sudah duduk bersimpuh Punggawa
Dipa Praga. Punggawa itu memberi sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Truna Dilaga lesu
"Hamba ingin memberi laporan, Gusti Prabu,"
sahut Punggawa Dipa Praga.
"Katakan."
"Hamba menemukan kuda milik Raden
Antawirya, Gusti Prabu."
"Heh...!" Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.
Laki-laki tua itu sampai terlonjak bangkit dari duduknya. Dipandanginya Punggawa
Dipa Praga dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya
dengan pendengarannya barusan.
"Ulangi lagi, Punggawa!" pinta Prabu Truna Dilaga.
"Hamba menemukan kuda milik Raden
Antawirya, Gusti Prabu," Punggawa Dipa Praga mengulangi laporannya.
"Di mana?"
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan Kamiaka."
"Di mana..."!" untuk kesekian kalinya Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan Kamiaka, Gusti Prabu," sahut Punggawa
Dipa Praga mengulangi.
"Oh...! Apa maksudnya dia ke sana...?" desah Prabu Truna Dilaga seperti bertanya
untuk dirinya sendiri.
Tentu saja Punggawa Dipa Praga tidak bisa
menjawab. Dia hanya diam saja sambil
menundukkan kepaja, tetap duduk bersimpuh di rerumputan.
"Punggawa, siapkan kuda dan prajurit pilihan serta beberapa panglima. Aku akan
melihat sendiri ke sana," perintah Prabu Truna Dilaga.
'Tapi, Gusti...."
"Lakukan perintahku!" bentak Prabu Truna Dilaga keras.
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."
Bergegas Punggawa Dipa Praga memberi
sembah, lalu bangkit berdiri. Dengan ayunan kaki lebar-lebar, punggawa itu
meninggalkan taman belakang istana ini. Prabu Truna Dilaga sendiri bergegas
meninggalkan taman. Ada
sedikit cercah harapan mendengar laporan
punggawanya tadi. Paling tidak, bisa diketahui, di mana kini Raden Antawirya
berada. Baru saja Prabu Truna Dilaga meninggalkan
taman, langkahnya terhenti. Tampak Permaisuri Rara Kuminten keluar dari dalam
kamarnya. Wanita itu memandangi laki-laki tua di depannya yang juga tengah menatap ke
arahnya. Pelahan Prabu Truna Dilaga menghampiri, dan berhenti sekitar dua
langkah lagi di depan permaisurinya itu.
"Dinda, ada berita gembira untuk kita," ujar Prabu Truna Dilaga.
"Berita apa?" tanya Permaisuri Rara Kuminten.
"Punggawa menemukan kuda Antawirya. Aku sendiri yang akan membawa pulang anak
nakal itu," kata Prabu Truna Dilaga.
"Oh...," hanya itu yang bisa diucapkan Permaisuri Rara Kuminten.
"Aku pergi dulu, Dinda. Baik-baiklah di sini."
Sebelum Permaisuri Rara Kuminten
membuka suara, Prabu Truna Dilaga sudah
cepat meninggalkannya. Permaisuri Rara
Kuminten hanya memandangi saja kepergian
laki-laki tua itu. Setelah punggung Prabu Truna Dilaga tidak terlihat, wanita
itu kembali masuk ke kamarnya. "
--oo0dw0oo - 7 Prabu Truna Dilaga memacu cepat kudanya
didampingi lima orang panglima dan Punggawa Dipa Praga serta tiga punggawa lagi.
Di belakang mereka tampak sekitar seratus prajurit pilihan dan bersenjata
lengkap, ikut mengiringi dengan kuda. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Prabu
Truna Dilaga masih terlihat trampil
mengendalikan kuda. Derap langkah kaki kuda seakan-akan hendak mengguncangkan
bumi. Debu membumbung tinggi mengepul di udara.
Mereka baru saja melewati sungai kecil dan terus bergerak menerobos lebatnya
hutan. Namun semakin jauh, semakin jarang
pepohonan yang terlihat. Dan kemudian mereka sampai di tepi sebuah padang rumput
yang sangat luas. Prabu Truna Dilaga menghentikan laju kudanya. Salah seorang
panglima memberi aba-aba pada para prajurit agar berhenti.
Mereka semua memandangi padang rumput
yang luas iak bertepi. Tampak di kejauhan sana, terlihat sebuah hutan yang
selama ini sangat ditakuti. Hutan Kamiaka!
Tapi bukan itu yang menjadi perhatian
mereka, terutama Prabu Truna Dilaga. Seekor kuda putih yang tengah merumput
tenang itulah yang justru menarik perhatian mereka. Semua tahu kalau kuda itu
milik Raden Antawirya..
"Di mana Raden Antawirya....?" tanya Prabu Truna Dilaga.
Tentu saja tak ada yang bisa menjawab,
karena mereka semua memang tak ada yang
tahu. Prabu Truna Dilaga memerintahkan untuk mengambil kuda itu. Seketika dua
orang prajurit memacu kudanya ke tengah padang untuk
melaksanakan perintah junjungannya. Tapi
belum juga berkuda jauh, mendadak saja kuda kedua prajurit itu meringkik keras,
dan melemparkan penunggangnya.
Kedua prajurit itu terpental jauh ke tanah
berumput. Mereka segera bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak,
riba-riba dua buah benda keperakan meluruk deras dan langsung
menghantam tubuh kedua prajurit itu.
"Akli!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi terdengar
mengiringi ambruknya kedua prajurit itu. Prabu Truna Dilaga ter-, sentak kaget.
Para panglima segera memerintahkan untuk membuat
pertahanan melindungi raja mereka. Sedangkan Punggawa Dipa Praga bergegas
membantu laki-laki tua itu turun dari kuda, lalu membawanya menyingkir ke dekat
batu. Belum juga hilang kepanikan para prajurit itu, tiba-tiba saja dari arah hutan di
belakang mereka bertebaran benda-benda kecil bulat
berwarna keperakan. Dan sekejap saja
terdengar jeritan-jeritan melengking tinggi disusul berjatuhannya para prajurit
itu. Semua prajurit jadi kelabakan karena tidak
tahu, mana lawan yang harus diserang.
Meskipun hanya sekali, tapi tebaran benda-


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda bulat kecil keperakan itu cukup membuat gentar juga. Betapa tidak! Dalam
sekejap saja, hampir separuh jumlah mereka sudah
bergelimpangan tak bernyawa lagi. Benda-benda bulat keperakan itu melubangi
tubuh para prajurit. Pada saat prajurit-prajurit itu diliputi berbagai macam perasaan tak menentu,
tiba-tiba saja dari arah hutan yang tadi dilalui, terdengar suara-suara gaduh bagai teriakan-
teriakan peperangan. Tapi tak ada seorang pun terlihat di dalam hutan itu. Hanya suara-
suara saja yang terdengar. Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak itu jadi pucat.
"Awas...!" tiba-tiba salah seorang panglima berteriak kencang.
Pada saat itu, dari dalam hutan bermunculan manusia berbaju merah mengenakan
topeng tengkorak perak. Mereka langsung menyerbu
sambil memperdengarkan suara-suara riuh
menggetarkan hati. Seketika itu juga di tepian padang rumput yang berbatasan
dengan tepi hutan, terjadi pertempuran.
Teriakan-teriakan pertempuran dan jerit pekik melengking terdengar berbaur
menjadi satu, ditingkahi denting senjata beradu. Prajurit-prajurit yang sudah kacau, semakin
bertambah kacau lagi. Mereka bertempur tanpa mengikuti petunjuk lagi. Musuh
seakan-akan ada di mana-mana.
Sebentar saja, lebih dari separuh prajurit
sudah bergelimpangan tak bernyawa.
Sementara di tempat yang cukup terlindung,
Prabu Truna Dilaga dan
Punggawa Dipa Praga tampak cemas
menyaksikan para prajuritnya tak mampu
membendung serangan manusia-manusia
bertopeng tengkorak itu. Jumlah penyerang
memang jauh lebih kecil, tapi mereka mengawali serangan ini dengan terlebih
dahulu menjatuhkan mental para prajurit. Terlebih lagi, gerakan-gerakan mereka dalam
bertempur demikian cepat Apalagi kemampuan mereka
jauh lebih tinggi bila dibanding para Prajurit Kerajaan Kali Jirak.
"Gusti, sebaiknya kita segera menyingkir dari sini," usul Punggawa Dipa Praga.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Prabu Truna Dilaga mencemaskan para prajuritnya
yang semakin kewalahan saja.
"Tidak ada harapan, Gusti. Sebaiknya Gusti Prabu cepat menyingkir dari sini,"
desah Punggawa Dipa Praga.
Prabu Truna Dilaga memang tidak punya
pilihan lain lagi. Laki-laki tua itu cepat melompat naik ke punggung kudanya,
dan menggebah kuat-kuat. Punggawa Dipa Praga bergegas
mengikuti Tapi rupanya beberapa orang berbaju merah bertopeng tengkorak itu
melihat kepergian Prabu Truna Dilaga dan Punggawa
Dipa Praga. Tampak enam orang manusia
bertopeng tengkorak itu berlompatan mengejar. Prabu Truna Dilaga dan Punggawa Dipa Praga terus memacu kudanya menerobos kelebatan hutan
dengan kecepatan
tinggi. Tapi tiba-tiba saja sebuah benda bulat kecil berwarna keperakan melesat
bagai kilat dan langsung tepat menghantam punggung
Punggawa Dipa Praga.
"Aaa...!"
"Punggawa...!" jerit Prabu Truna Dilaga.
--oo0dw0oo-- Prabu Truna Dilaga menarik tali kekang
kudanya. Dan seketika itu juga kuda yang
ditungganginya berhenti Cepat-cepat dia
melompat turun, dan menghampiri Punggawa
Dipa Praga yang tergeletak tak bernyawa lagi.
Dari punggung hingga dadanya berlubang
sebesar jari. "Biadab...!" geram Prabu Truna Dilaga mendesis. Sret!
Prabu Truna Dilaga langsung menarik ke luar pedangnya. Pada saat itu enam orang
berbaju merah dan bertopeng tengkorak perak sudah
riba. Mereka langsung mengepung laki-laki tua itu. .
"Maju kalian semua,, keparat...!" bentak Prabu Truna Dilaga menggeram marah.
Wuk! Wuk...! Prabu Truna Dilaga mengebut-ngebutkan
pedangnya di depan dada. Angin kebutannya
begitu keras, sehingga menimbulkan suara
menderu bagai topan. Enam orang bertopeng
tengkorak itu bergerak mengelilinginya. Salah seorang menganggukkan kepalanya,
dan.... "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seorang yang berada di depan langsung
melompat menerjang sambil mengibaskan
pedang ke arah leher Prabu Truna Dilaga.
Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Prabu Truna Dilaga tidak bisa dianggap
semba-rangan. Dengan cepat sekali dikibaskan pedangnya
menang . kis Trang! Dua pedang beradu keras. Dan sebelum
orang bertopeng tengkorak itu bisa menarik
pulang kembali pedangnya, Prabu Truna Dilaga sudah melepaskan satu tendangan
keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Yeaaah...!"
Des! Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu
tak dapat dihindari lagi. Orang bertopeng
tengkorak perak itu mengeluh pendek, dan
tubuhnya terbungkuk sedikit sambil terhuyung ke belakang. Tapi rupanya Prabu
Truna Dilaga tidak membiarkan begitu saja. Sambil berteriak keras, laki-laki tua
itu melompat sambil
mengecutkan pedangnya ke arah leher.
Namun belum juga pedang Prabu Truna
Dilaga membabat leher orang itu, seorang
lainnya lebih cepat lagi melesat seraya
membab t pedang laki-laki tua itu.
a Trang! Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.
Persendian tangannya sampai nyeri, dan seluruh tangan kanannya bergetar hebat
ketika pedangnya beradu dengan sebuah pedang lain.
Buru-buru ditarik pulang pedangnya, lalu
melompat mundur. Namun belum juga laki-laki tua itu siap, satu serangan dari
tusukan pedang mengarah ke lambung kiri.
Wuk! "Uts...!"
Cepat-cepat Prabu Truna Dilaga menarik
tubuhnya ke belakang, maka tusukan pedang itu lewat di depan perutnya. Pada saat
yang bersamaan, datang lagi tebasan pedang dari
arah kanan. Prabu Truna Dilaga tak mungkin
berkelit lagi. Dengan cepat dikibaskan
pedangnya menyampok pedang yang mengarah
ke leher. Tring! Hampir saja pedang di dalam genggaman
tangan Prabu Truna Dilaga terlepas, kalau saja tidak segera dipindahkannya ke
tangan kiri. Dan secepat itu pula dikibaskan ke arah samping.
Tepat ketika sebuah kaki melayang mengarah
ke . kepala Cras! "Aaa...!" orang itu menjerit keras.
Tebasan pedang Prabu Truna Dilaga
membabat kaki orang itu hingga buntung. Dan sebelum orang itu jatuh ke tanah,
Prabu Truna Dilaga sudah melayangkan satu tendangan
keras bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu tepat menghantam kepalanya.
Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Orang
bertopeng tengkorak perak itu menggelepar di tanah. Seketika darah mengalir
deras dari kaki yang buntung dan kepala pecah.
Melihat satu temannya tewas, lima orang
lainnya langsung menyerang dari lima jurusan secara bersamaan. Prabu Truna
Dilaga cepat memutar tubuhnya sambil mengibaskan pedang
dengan cepat ke segala arah. Beberapa kali
pedang laki-laki tua itu berbenturan. Dan setiap kali membentur pedang lawan,
terasa persendian tangannya nyeri.
Rupanya kelima orang itu tidak lagi
menganggap remeh Prabu Truna Dilaga.
Meskipun sudah lanjut usia, tapi gerakan-
gerakannya masih begitu gesit Bahkan
kecepatannya sungguh luar biasa, walaupun
tenaga dalamnya mengalami kemunduran. Ini
terbukti, setiap kali terjadi benturan adu tenaga dalam, Prabu Truna Dilaga
merasakan nyeri
pada tulangnya.
Jurus demi jurus berlalu. Dan ketika lewat dua puluh jurus, sudah terlihat kalau
Prabu Truna Dilaga mulai kewalahan menghadapi lima orang pengeroyoknya. Beberapa
kali tubuhnya harus menerima tendangan serta pukulan lawan-lawannya. Tapi laki-
laki tua itu masih cukup tangguh, dan masih bisa memberi perlawanan, walaupun
sudah tidak berarti banyak lagi.
"Yeaaah..,!"
Tiba-tiba satu tendangan keras mendarat di
dada Prabu Truna Dilaga, sehingga membuatnya terjungkal deras ke belakang.
Bersamaan dengan itu, sebilah pedang membabat
pergelangan tangannya. Tapi Prabu Truna Dilaga masih bisa menangkis dengan
pedangnya sendiri. Trang! "Akh...!" Prabu Truna Dilaga memekik tertahan.
Dia tak dapat lagi menguasai pedangnya,
sehingga terpental ke angkasa. Prabu Truna
Dilaga mencoba mengejar pedangnya, namun
sebuah tendangan menghentikan usahanya.
Kembali tubuhnya terjajar menerima tendangan keras pada dadanya.
"Yeaaah...!"
Selagi Prabu Truna Dilaga terhuyung-huyung
ke belakang, salah seorang melompat cepat
sambil berteriak nyaring. Pedangnya terangkat ke atas kepala, lalu bagaikan
kilat diayunkan hendak menebas kepala laki4aki tua itu.
Tepat pada saat mata pedang itu hampir
membelah kepala Prabu Truna Dilaga,
mendadak saja sebuah bayangan berkelebat
cepat, langsung menerjang manusia bertopeng tengkorak perak itu. Terjangan
bayangan itu demikian cepat dan keras sekali, sehingga tak bisa terelakkan lagi
"Akh...!" orang itu menjerit keras. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang.
"Bayu...," desis Prabu Truna Dilaga begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri
seorang pemuda berbaju kulit harimau.
"Ayah...!"
Prabu Truna Dilaga berpaling begitu
mendengar seseorang memanggilnya. Tampak
Raden Antawirya berlari-lari menghampirinya.
Tapi yang membuat laki-laki tua itu lebih
terpaku, adalah dua orang yang tengah berlari-lari kecil di belakang Raden
Antawirya. Sementara Bayu berdiri tegak memandangi
empat orang manusia bertopeng tengkorak yang tampak seperti enggan bertemu
dengannya. --oo0dw0oo-- Rupanya terjangan Pendekar Pulau Neraka
itu demikian keras, sehingga orang yang
tertenang tadi langsung tewas seketika.
Sedangkan empat orang sisanya kini hanya
saling berpandangan sejenak Tiba-tiba secara bersamaan mereka berlompatan
menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeah...!"
Bayu langsung memiringkan tubuhnya ke kiri
dan secepat itu pula dihentakkan tangan
kanannya ke depan. Seketika Cakra Maut
melesat bagaikan kilat menyambar salah
seorang. Jeritan melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya satu orang
bertopeng tengkorak Bayu berteriak keras, lalu tubuhnya melesat bagai kilat menerjang tiga orang
lainnya. Dua kali dikirimkan pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Satu orang
berhasil menghindari, tapi satu orang lagi menjerit keras. Dadanya
terhantam pukulan yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap! Yeaaah...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya seraya
menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut
yang baru saja akan menempel kembali di
pergebngan tangan Pendekar Pulau Neraka itu, kembali melesat dan menyambar leher
salah seorang. Kembali terdengar jerit melengking tinggi. Satu orang kembali roboh,
karena lehernya terbabat hampir buntung.
Dengan ujung kakinya, Bayu menjentik
sebilah pedang yang tergolek di dekat kakinya.
Pedang itu melayang di udara, dan dengan
tangkas sekali Bayu menangkapnya. Langsung


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dikibaskannya pedang itu ke pedang lawan yang tinggal satu. Trang!
"Akh...!" orang itu terpekik, dan pedangnya terpental lepas dari genggaman.
Sebelum lawan sampat menyadari apa yang
baru terjadi, Bayu sudah melompat Langsung
saja dikirimkan satu tendangan ke arah dada.
Tak dapat dikatakan lagi, orang bertopeng
tengkorak itu terjungkal ke belakang. Bayu
langsung memburu. Ditempelkannya ujung
pedang ke leher orang itu.
"Hih!"
Dengan ujung jari kaki, Pendekar Pulau
Neraka itu melepaskan topeng tengkorak perak Tapi mendadak Bayu terbeliak kaget
Ternyata orang itu telah menggigit lidahnya sendiri hingga buntung. Dan sebelum
Bayu sempat menyadari, mendadak orang berbaju merah itu mengangkat tubuhnya,
sehingga pedang yang menempel di
leher itu langsung menembus.
Crab! "Heh...!" Bayu tersentak kaget.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa lagi
mencegah. Dilepaskan genggamannya pada
tangkai pedang sehingga tubuh orang berbaju merah itu jatuh ke tanah dengan
leher terpanggang sebilah pedang.
"Edan...!" dengus Bayu tidak percaya.
Bayu memutar tubuhnya ketika sebuah
tangan menepuk pundaknya. Tampak seorang
laki-laki hampir setengah baya sudah berada di dekatnya, diikuti tiga orang yang
telah berdiri di depannya. Dua orang mengapit seorang laki-laki tua.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu, Anak Muda," ujar Prabu Truna
Dilaga. "Ayah harus percaya kalau Bayu benar-benar akan membantu kita," selak Raden
Antawirya. "Dan yang terpenting lagi, Kakang Bayu-lah yang menyelamatkan aku dan Paman
Patih," sambung gadis cantik yang ternyata adalah
Intan Wandira, adik Raden Antawirya.
Sepasang bola mata Prabu Truna Dilaga
berkaca-kaca. Dihampirinya Pendekar Pulau
Neraka, dan langsung disodorkan tangannya.
Bayu pun menyambutnya hangat. Laki-laki tua itu malah menarik dan memeluknya
erat sekali. "Maafkan atas kebodohanku," ucap Prabu Truna Dilaga setelah melepaskan
pelukannya. "Lupakan saja," hanya itu yang bisa diucapkan Bayu.
Prabu Truna Dilaga menepuk-nepuk pundak
Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian berpaling pada Raden Antawirya dan Intan
Wandira. Tangannya merentang dan merengkuh kedua
anaknya ini. Prabu Truna Dilaga semakin trenyuh hatinya kala mengingat antara
Raden Antawirya dan Intan Wandira sebenarnya bukan saudara
kandung, tapi pengorbanan yang dilakukan
Raden Antawirya sungguh besar.
--oo0dw0oo- 8 Waktu terus berjalan. Siang pun berganti
malam. Di depan api unggun, mereka duduk
melingkar sambil bercerita bertukar pengalaman masing-masing. Prabu Truna Dilaga
duduk didampingi kedua putranya. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka dan Patih Natabrata
duduk di depannya.
"Hm..., jadi selama ini sebenarnya kalian tidak di Hutan Kamiaka?" tanya Prabu
Truna Dilaga setelah Intan Wandira mengakhiri
pengalamannya. "Benar, Ayah. Mereka mengurungku di dalam sebuah lembah yang ada di bukit itu,"
sahut Intan Wandira menunjuk sebuah bukit yang
tampak menghitam.
"Dan yang terpenting lagi, Ayah. Mereka dipimpin oleh seseorang yang selama ini
kita kenal baik. Bahkan sangat kita cintai," sambung Raden Antawirya.
"Yaaah.... Sudah bisa kuduga, siapa yang kalian maksud. Selama ini aku seperti
buta, begitu terpengaruh padanya. Sungguh tidak
kusangka kalau dia biang keladinya," keluh Prabu Truna Dilaga lirih.
Sesaat mereka semua terdiam.
"Hanya yang tidak habis kumengerti, kenapa dia menggunakan nama Dewi Iblis...?"
sambung Prabu Truna Dilaga pelan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Dia murid Dewi Iblis, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata yang sejak tadi diam
saja. "Oh...!" Prabu Truna Dilaga tampak terkejut
"Kalau begitu dia adalah Titisan Dewi Iblis yang lama.... Lalu bagaimana kau
bisa tahu, Patih?"
"Dia sendiri yang mengatakannya pada
hamba, Gusti Prabu. Dia mengharapkan agar
hamba bergabung dan mempengaruhi para
prajurit Tapi hamba sekali-kali tidak akan
berkhianat Gusti."
'Terima kasih...," ucap Prabu Truna Dilaga terharu.
"Mereka harus dihancurkan, Ayah. Sebelum mereka menghancurkan kita," tegas Intan
Wandira. Prabu Truna Dilaga hanya terdiam membisu.
Benar-benar tidak disangka kalau permaisuri yang selama bertahun-tahun
mendampingi dan
sanggat dicintainya, sesungguhnya menyimpan dendam di balik hatinya. Dendam
seorang murid karena gurunya tewas. Suatu cara kerja yang sangat rapi dan
terencana baik. Bahkan juga telah menghimpun kekuatan di tempat yang
jarang diinjak manusia.
Rupanya Rara Kuminten sengaja ingin
membuat Prabu Truna Dilaga menderita secara pelahan-lahan. Dia ingin
menghancurkan dan
menceraiberaikan keluarga istana. Lalu
menggerogoti dari dalam, melumpuhkan
kekuatan yang akhirnya akan mudah
menghancurkannya. Siapa pun pasti akan
memuji rencananya itu. Tapi walaupun demikian Rara Kuminten sudah bisa
berbangga, karena
sebagian rencananya sudah berjalan baik.
"Besok kita kembali ke istana," kata Prabu Truna Dilaga. 'Y ku akan menangkap
sendiri si pengkhianat itu, kemudian menghancurkan
gerombolannya."
--oo0dw0oo-- Kembalinya seluruh keluarga istana kerajaan disambut gembira seluruh kerabat
penghuni istana. Tapi di balik kegembiraan itu, tersimpan satu kehampaan. Ternyata Prabu
Truna Dilaga tidak menemukan lagi permaisurinya di dalam istana. Menurut pelayan
pribadinya, Permaisuri Rara Kuminten meninggalkan istana sebelum
Prabu Truna Dilaga dan kedua putranya masuk
"Rupanya dia sudah mengetahui
kegagalannya," desah Prabu Truna Dilaga.
"Gusti Prabu, hamba akan menyiapkan
seluruh prajurit," ujar Patih Natabrata.
Prabu Truna Dilaga tidak bisa mengatakan
apa-apa lagi, dan hanya menganggukkan
kepalanya saja. Patih Natabrata bergegas
meninggalkannya untuk menghimpun kekuatan.
Sementara di ruangan itu tinggal Bayu, Raden Antawirya, dan Intan Wandira.
"Ayahanda Prabu, ijinkan nanda ikut
berperang," tegas Raden Antawirya memohon.
"Kau tetap di sini, Antawirya. Kau harus menjaga adikmu," Prabu Truna Dilaga
menolak. 'Tapi..." "Dengar, Antawirya," potong Prabu Truna Dilaga cepat "Dalam keadaan seperti ini,
istana tidak boleh kosong. Selama aku pergi, seluruh tampuk kekuasaan berada di
tanganmu. Tidak
mungkin kekuasaan kuserahkan pada adikmu."
Raden Antawirya terdiam tidak bisa
membantah. Memang diakui, dia tidak akan
mungkin ikut menggempur anak buah si Dewi
Iblis. Walaupun kecewa, tapi Raden Antawirya tidak bisa mendesak lagi. Dia tahu
kalau memiliki tugas yang tidak kalah beratnya di sini.
"Lalu, bagaimana dengan Bayu" Apakah akan ikut juga?" tanya Raden Antawirya
seraya melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Kalau memang benar Rara Kuminten itu
murid si Dewi Iblis, rasanya seribu prajurit pun tidak akan sanggup
menandinginya. Kau tahu
sendiri, hanya dengan pengikut-pengikutnya
saja, seratus prajurit pilihan hancur tak bersisa.
Jadi aku membutuhkan bantuannya, Antawirya,"
sahut Prabu Truna Dilaga.
"Ah, sayang sekali Aku tidak bisa
menyaksikan pertarungan tingkat tinggi," desah Raden Antawirya agak mengeluh.
"Ini bukan tontonan, Antawirya. Ingat' Kau bukan anak kecil lagi. Kau calon
raja!" "Maaf, Ayahanda Prabu," ucap Raden Antawirya buru-buru.
"Ah, sudahlah. Kelak kau akan bisa
mengalami sendiri."
Pada saat itu Patih Natabrata kembali muncul diiringi dua orang panglima yang
sudah siap berangkat berperang. Pakaian yang dikenakan kedua panglima itu
sungguh menakjubkan,
sampai-sampai Bayu kagum dibuatnya. Belum
pernah Bayu melihat pakaian perang begitu
gemerlap. "Seluruh pasukan terpilih sudah siap, Gusti Prabu," lapor Patih Natabrata.
"Hm.... Patih, aku sendiri yang akan
memimpin," tegas Prabu Truna Dilaga.
"Gusti...!" Patih Natabrata terperanjat kaget.
Semula dikira kalau Prabu Truna Dilaga akan memberi restu saja, dan menunjuknya
untuk memimpin menumpas gerombolan yang hendak
menghancurkan kerajaan ini. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali kalau Prabu
Truna Dilaga sendiri yang akan memimpin.
"Siapkan kuda dan perlengkapan perangku, Patih," perintah Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, kalau boleh hamba...."
"Laksanakan saja perintahku, Patih!" potong Prabu Truna Dilaga cepat.
"Hamba, Gusti."
Buru-buru Patih Natabrata memberi sembah,
lalu bergegas meninggalkan ruangan ini.
Sedangkan dua orang panglima tetap tinggal.
Merekalah yang akan mengawal Prabu Truna
Dilaga nanti. Sementara laki-laki tua itu bangkit berdiri, lalu menepuk pundak
kedua anaknya. Dengan langkah yang tegap dan penuh
kepastian, Prabu Truna Dilaga berjalan ke luar diiringi dua orang panglima yang
sudah siap dengan pakaian perang yang berwarna perak.
Suara bergemerincing terdengar begitu kedua panglima itu berjalan.
"Bayu, kuharap kau bisa kembali lagi ke sini nanti," ujar Raden Antawirya
berharap. "Kau tidak akan mengecewakan harapan
kami bukan, Kakang?" bujuk Intan Wandira yang berjalan di sebelah kiri Bayu.
"Aku tidak bisa berjanji," kata Bayu setengah mendesah.
"Usahakan, Kakang. Hanya satu atau dua hari saja," desak Intan Wandira merajuk.
"Aku mengharapkan sekali, Bayu. Aku yakin, Ayahanda Prabu akan kecewa jika kau
langsung pergi," sambung Raden Antawirya.
"Baiklah, akan kuusahakan. Tapi aku tidak bisa lama," Bayu akhirnya menyerah
juga. 'Terima kasih, Kakang," ucap Intan Wandira senang.
Mereka mengantarkan sampai di tangga
depan istana. Sekitar seribu prajurit sudah siap dengan senjata lengkap dan
pakaian perang.
Sebuah kereta perang juga sudah siap. Patih Natabrata membantu Prabu Truna
Dilaga menaiki kereta perangnya. Seekor kuda yang
gagah, tinggi dan tegap sudah disiapkan untuk Pendekar Pulau Neraka.
Prabu Truna Dilaga memberi aba-aba, maka
rombongan besar itu pun berangkat. Derap
langkah kaki kuda dan pasukan jalan kaki
seakan-akan hendak meruntuhkan bangunan
istana ini. Prajurit-prajurit itu bersorak, meneriakkan pekik-pekik peperangan
pembangkit semangat
Sementara Raden Antarwirya dan Intan
Wandira memandangi sampai barisan terakhir
meninggalkan pintu gerbang istana. Hanya
sekitar dua ratus prajurit saja yang masih tetap tinggal di istana ini.
"Ayo, Intan," Raden Antawirya mencolek lengan gadis itu.
"Oh...!" Intan Wandira tersentak.
"Kau melamun...?"
'Tidak," sahut Intan Wandira.
"Aku tahu, kau pasti tertarik pada Bayu, bukan?" goda Raden Antawirya.
"Ah, Kakang...."
Wajah Intan Wandira mendadak saja
bersemu merah dadu. Raden Antawirya tertawa terbahak-bahak sambil terus berian
masuk ke dalam, menghindari cubitan gadis itu. Untuk pertama katinya, istana ini
kembali dihiasi gelak tawa. Intan Wandira berlari mengejar sambil memberengut,
karena kakaknya terus mengolok-olok. Wajah gadis itu semakin bertambah merah
saja. Tapi olok-olok Raden Antawirya tidak
berhenti, meskipun Intan Wandira sudah
menjerit-jerit meminta berhenti. Istana Kali Jirak kembali semarak, dan terasa
hidup setelah beberapa lamanya terselimut kabut tebal
kehampaan --oo0dw0oo-- Kedatangan para prajurit Kerajaan Kati Jirak rupanya sudah ditunggu. Belum juga
mereka mencapai bukit, orang-orang berbaju merah
bertopeng tengkorak sudah menyongsongnya.
Maka pertempuran di kaki bukit itu tak dapat dihindari lagi.
Prabu Truna Dilaga tidak menyangka kalau
pengikut Dewi Iblis begitu banyak, hampir
menyamai jumlah prajurit yang dibawanya. Tapi, kali ini mereka adalah para
prajurit terpilih yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.
Mereka rata-rata memang berasal dari padepokan yang tersebar di seluruh wilayah
Kerajaan Kali Jirak.
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka
berusaha membuka jalan menuju ke bukit.
Pukulan-pukulan yang dilontarkan sungguh
dahsyat Kedua tangannya bagai palu godam
dahsyat. Setiap kali pemuda berbaju kulit
harimau itu melontarkan pukulan, selalu
terdengar jeritan melengking disusul robohnya satu atau dua orang lawan.
Sedangkan Prabu
Truna Dilaga juga sungguh gagah. Dengan


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang di tangan kanan dan tali kendali kereta di tangan kiri, diterobosnya
orang-orang bertopeng tengkorak.
Cara bertempur yang diperlihatkan Prabu
Truna Dilaga, membangkitkan semangat para
prajuritnya. Dan mereka terus merangsek lawan, tak peduli dengan korban yang
terus berjatuhan.
Rumput yang semula berwarna hijau, kini
berubah merah bergelimang darah. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah
saling tumpang tindih, dan tubuh-tubuh masih terus berjatuhan.
"Majuuu...!"
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras memberi petunjuk
terus terdengar mengalahkan jerit dan pekik serta teriakan pertempuran.
Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak terus merangsek semakin mendesak lawan,
dan sedikit demi sedikit mulai mendekati bukit Pada saat itu Prabu Truna
Dilaga melihat seorang wanita mengenakan
topeng tengkorak berdiri di atas sebongkah batu besar mengawasi jalannya
pertarungan. Di
depannya masih terlihat barisan orang berbaju merah yang semuanya mengenakan
topeng tengkorak. Jumlah mereka masih cukup banyak, dan tampaknya sudah tidak sabar
menunggu perintah. "Seraaang...!"
Tiba-tiba wanita bertopeng tengkorak perak
itu berteriak keras sambil mengangkat
tangannya yang menggenggam tongkat tinggi-
tinggi ke atas kepala. Ujung tongkat yang
berbentuk bintang, tampak berki-latan tertimpa cahaya matahari. Bukit bagaikan
hendak runtuh, bergetar ketika orang-orang berbaju merah
berlarian membantu teman-temannya yang
semakin terdesak. *
"Pasukan cadangan! Majuuu...!" tiba-tiba terdengar teriakan perintah dari arah
belakang. Kembali bumi bergetar. Barisan cadangan
yang dipersiapkan mambantu penyerangan,
bergerak cepat berhamburan memasuki kancah
pertempuran "Pasukan panah! Siaaap...!"
Kembali terdengar teriakan memerintah. Saat itu Bayu melihat pasukan panah
Kerajaan Kali Jirak sudah siap dengan busur terbentang.
Pendekar Pulau Neraka itu melompat
menghampiri Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, hentikan gerakan pasukan panah. Kita semua bisa hancur terpanggang,"
ujar Bayu begitu dekat dengan Prabu Truna Dilaga.
Prabu Truna Dilaga berpaling, dan menjadi
terkejut melihat pasukan panah sudah siap
melepaskan senjatanya. Bergegas diputar kereta perangnya, lalu dige-bah kudanya
ke garis belakang dengan kencang.
'Tunggu...!" seru Prabu Truna Dilaga lantang.
Seorang panglima yang bertugas memimpin
pasukan panah mengurungkan aba-abanya
untuk melepaskan anak panah. Bergegas
dihampainya Prabu Truna Dilaga, dan langsung memberi hormat
'Tunggu tanda dariku. Jangan menggempur
mereka dengan panah!" dengus Prabu Truna Dilaga.
"Gusti Prabu, hamba mempersiapkan regu panah sayap kiri. Hamba mencoba membuka
jalan ke bukit melalui sayap kiri," jelas panglima itu.
Prabu Truna Dilaga memandang ke bagian
sayap kiri. Tampak barisan orang berpakaian merah begitu tangguh.
"Beri tanda pada panglima sayap kiri agar menarik pasukannya mundur, kemudian
cepat hujani mereka dengan panah!" perintah Prabu Truna Dilaga melihat kebenaran
panglimanya. "Hamba, Gusti Prabu."
Panglima itu segera memberi tanda pada
panglima di sayap kiri untuk menarik mundur pasukannya. Dan begitu pasukan di
sayap kiri bergerak mundur, langsung panglima itu
memerintahkan pasukan panahnya.
"Seraaang...!"
Seketika ratusan anak panah bertebaran
memayungi udara. Dan sesaat kemudian
terdengar jerit pekik melengking, disusul
ambruknya tubuh-tubuh bertopeng tengkorak
perak yang berada di bagian kiri. Serangan
panah itu membuat mereka jadi kalang kabut, dan berusaha mundur.
"Berhenti...!" seru panglima pasukan panah.
"Seraaang...!" panglima pasukan sayap kiri langsung memberi perintah.
Kini keadaan langsung terbalik. Orang-orang bertopeng yang semula menguasai
bagian sayap kiri, jadi berantakan. Prabu Truna Dilaga
tersenyum. Dalam hati, dia memuji kejelian
pandangan panglimanya dalam menyusun pola
penyerangan. Kini semua bagian benar-benar
dikuasai. Dan pola bertempur orang-orang
bertopeng tengkorak perak itu semakin tidak terarah. Mereka masing-masing
berusaha menyelamatkan diri.
Keadaan seperti ini tentu menguntungkan
sekali bagi pasukan Kerajaan Kali Jirak. Prabu Truna Dilaga memberi isyarat pada
masing-masing pasukan cadangan di setiap bagian
untuk bergerak menggempur. Maka seketika
para panglima masing-masing pasukan segera
memberi perintah untuk menggempur lawan
yang memang sudah tidak bisa terkendali lagi Penambahan kekuatan pasukan membuat
lawan semakin terdesak hebat Sementara itu
Dewi Iblis tak memiliki lagi pasukan cadangan.
Mereka benar-benar kalah dalam taktik
pertempuran. Dan akibatnya memang
merugikan diri sendiri, meskipun kemampuan
tata pertempuran mungkin lebih tinggi
Melihat tak ada lagi harapan untuk bisa
memenangkan pertempuran, perempuan
bertopeng tengkorak di atas batu bukit itu
mencoba melarikan diri meninggalkan anak
buahnya yang masih bertahan. Tapi pada saat itu Bayu bisa melihat, dan langsung
melentingkan tubuhnya melewati beberapa
kepala. "Hiyaaa...!"
Apa yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka
mendapat perhatian dari Prabu Truna Dilaga.
Laki-laki itu kini tak lagi ikut bertempur, karena merasa sudah yakin bisa
memenangkan pertempuran ini. Justru perhatiannya dipusatkan pada Pendekar Pulau Neraka yang
sedang berusaha mengejar wanita bertopeng tengkorak perak yang mencoba melarikan diri
melalui bukit Bayu terus berusaha mengejar. Sementara
beberapa orang yang mencoba menghadang,
langsung menggelepar meregang nyawa.
Pendekar Pulau Neraka itu rupanya tidak
tanggung-tanggung lagi dalam melontarkan
pukulan. Kekuatannya dikerahkan penuh,
sehingga sekali hantam saja, lawannya langsung menggelepar tewas menyemburkan
darah dari mulutnya. --oo0dw0oo-- "Yeaaah...!"
Sambil berteriak kencang, Bayu melentingkan tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di depan
perempuan bertopeng tengkorak perak itu. Bayu berdiri tegak sambil melipat
tangan di depan dada. Sedangkan wanita berjubah merah
dengan wajah tertutup topeng tengkorak itu
kelihatan terkejut
"Hm.... Percuma kau mengenakan topeng, Rara Kuminten," dengus Bayu dingin.
"Kau memang manusia sialan, Bayu! Mampus kau! Hiyaaat'"
Perempuan bertopeng tengkorak yang
ternyata memang Rara Kuminten itu langsung
saja menyerang Pendekar Pulau Neraka setelah melepaskan topeng yang menutupi
wajahnya. Memang tidak ada gunanya lagi menutupi
wajahnya di depan Pendekar Pulau Neraka ini.
Serangan-serangan yang dilancarkan Rara
Kuminten memang sungguh dahsyat luar biasa.
Beberapa kali pukulannya hampir mendarat di tubuh Pendekar Pulau Neraka, tapi
selalu dapat dihindari. Bahkan Bayu memberi serangan
balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Sementara pertarungan di kaki bukit masih
berlangsung, maka di lereng bukit ini juga terjadi pertarungan dahsyat antara
Pendekar Pulau Neraka melawan Rara Kuminten atau si Dewi
Iblis. Hanya dua orang yang bertarung, tapi seperti seratus prajurit yang
bertarung. Sebentar saja sekitar pertarungan sudah porak poranda.
Batu-batu berhamburan, pepohonan
bertumbangan terkena pukulan yang tidak
mengenai sasaran.
Sementara itu diam-diam Prabu Truna Dilaga
meninggalkan kereta perangnya yang berada di garis belakang. Laki-laki tua itu
ingin juga menyaksikan pertarungan di lereng bukit. Tanpa diketahui, Patih
Natabrata juga mengikuti.
Rupanya dia juga tertarik menyaksikan
pertarungan tingkat tinggi itu. Hatinya tidak merasa khawatir, karena prajurit-
prajurit Kerajaan Kali Jirak semakin menguasai lawan-lawannya.
Sementara pertarungan antara Pendekar
Pulau Neraka dengan Dewi Iblis terus
berlangsung semakin sengit. Sebentar saja
sudah puluhan jurus berlalu. Tapi tampaknya pertarungan masih akan terus
berjalan lama. Sekitar daerah pertarungan sudah tidak berbentuk lagi. Bukit ini bagai terkikis
dua tangan raksasa.
Bayu menggunakan senjata Cakra Maut yang
tergenggam di tangan kanan untuk meredam
serangan tongkat bintang Dewi Iblis. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu
melontarkan senjatanya, tapi Rara Kuminten selalu berhasil menghindar. Dan setiap kali dua
senjata itu beradu, seketika terdengar ledakan dahsyat
menggelegar disertai percikan bunga api serta kepulan asap tebal.
"Modar...!" tiba-tiba Rara Kuminten berteriak ke-ras.
Dan seketika itu juga tongkatnya mengibas ke kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Iblis
menghentakkan kakinya menendang ke arah
perut. Kali ini Bayu tak bisa menghindar lagi, sehingga tendangan kaki wanita
berjubah merah itu tepat bersarang di perutnya.
"Heghk..!" Bayu mengeluh pendek Pendekar Pulau Neraka terhuyung ke belakang dan
tubuhnya agak terbungkuk Dan sebelum
pemuda berbaju kulit harimau itu bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, secepat
kilat Rara Kuminten melayangkan satu pukulan keras tangan kiri. Pukulan itu
tepat mendarat di wajah Baya Des!
"Akh...!" Bayu terpekik keras.
Pendekar Pulau Neraka itu terpental, dan
jatuh ke tanah dengan kerasnya. Pada saat itu Rara Kuminten sudah melompat.
Diangkat tongkatnya tinggi-tinggi ke atas kepala, siap dihunjamkan ke dada Pendekar Pulau
Neraka yang saat itu dalam keadaan terlentang di
tanah. "Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Hih!"
Cepat-cepat Bayu menggulirkan tubuhnya ke
samping, dan secepat itu pula dikibaskan
tangan kanannya. Cakra Maut melesat cepat
bagai kilat Kilatan cahaya senjata cakra bersegi enam itu membuat Rara Kuminten
terbeliak Tapi dalam keadaan tubuh di udara begitu, sukar
untuk berkelit lagi. Apalagi dalam keadaan posisi menyerang.
"Yeaaah...!"
Cepat Rara Kuminten mengibaskan
tongkatnya hendak menyampok senjata Cakra
Maut itu. Tapi sungguh di luar dugaan, Bayu cepat menggerakkan tangan kanannya.
Maka Cakra Maut meliuk menghindari tebasan tongkat si Dewi Iblis. Dan seketika itu
juga Bayu menghentakkan tangan kanannya dengan jari-
jari terbuka lebar. Crab!
"Aaa...!" Rara Kuminten menjerit melengking.
Cakra Maut langsung menembus dalam di
dadanya. Dewi Iblis itu terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Pada saat itu Bayu melompat bangkit berdiri. Dihentakkan
tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat
balik, dan langsung menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Rara Kuminten berusaha bangkit
berdiri, meskipun dadanya berlubang
mengucurkan darah. Tapi wanita itu tidak bisa berdiri tegak. Tubuhnya limbung,
dan darah terus mengucur dari dadanya yang berlubang
akibat tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat kau, Bayu...!" geram Rara Kuminten.
"Hm...!" Bayu hanya menggumam saja.
Rara Kuminten melangkah tertatih
menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil
merentangkan ujung tongkatnya ke depan.
Sambil mengerahkan sisa seluruh
kekuatannya, perempuan berjubah merah itu
melompat dengan ujung tongkat terhunus ke
depan. Sementara Bayu masih berdiri tegak
menanti. "Yeaaah...!"
"Hap!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke
samping. Dan begitu ujung tongkat berada di samping tubuhnya, Pendekar Pulau
Neraka cepat-cepat melayangkan satu tendangan ke
arah perut seraya menghentakkan tangannya
menjepit tongkat itu di ketiak.
Tubuh perempuan berjubah merah itu
terhuyung ke belakang, dan tongkatnya terlepas dari genggaman. Cepat Bayu
memutar tongkat


Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya, lalu melemparkan disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi
Sing...! Crab! "Aaa...!" terdengar jeritan melengking tinggi, mengiringi kematian si Dewi
Iblis, Bayu menarik napas panjang memandangi mayat Rara
Kuminten yang dadanya terpanggang tongkatnya sendiri. Perempuan berjubah merah
itu tewas seketika sebelum tubuhnya mencapai bumi.
Bayu menoleh ketika Prabu Truna Dilaga dan
Patih Natabrata menghampiri. Tampak bola
mata Prabu Truna Dilaga berkaca-kaca.
Bagaimanapun juga, wanita itu telah
mendampingi hidupnya selama bertahun-tahun.
Hanya saja tanpa disadari selama ini jalan
pikirannya selalu dipengaruhi wanita itu.
Saat itu rupanya pertarungan di kaki bukit
sudah selesai Sisa-sisa pengikut si Dewi Iblis langsung meletakkan senjata,
menyerah. Mereka memang merasa tidak akan mungkin
bisa melanjutkan pertarungan. Apalagi tanpa pemimpin.
Tanpa berbicara apa pun, ketiga orang di
lereng bukit berjalan menuruni lereng. Bayu sempat melihat ada setitik air
bening menggulir di pipi laki-laki tua ini. Tapi cepat Prabu Truna Dilaga
menghapus dengan punggung tangannya, mencoba tabah menghadapi kenyataan pahit
ini. "Patih Natabrata! Sebaiknya kau cepat
mempersiapkan pelantikan putra mahkota
untuk mengganti-kanku," pinta Prabu Truna Dilaga.
"Gusti, apakah Raden Antawirya akan
tetap...," Patih Natabrata tidak melanjutkan ucapannya.
"Mereka tidak boleh tahu, Patih. Ini rahasia antara aku dengan orang-orang tua.
Tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya. Biarkan mereka hidup berbahagia. Aku tidak
ingin mengusik kebahagiaan putra-putraku," jelas Prabu Truna Dilaga.
"Hamba mengerti, Gusti."
"Bayu, aku mohon kau menjadi saksi
pengangkatan putra mahkota menjadi Raja
Kerajaan Kafi Jirak," pinta Prabu Truna Dilaga lagi.
Bayu tidak bisa menolak lagi, dan hanya
menganggukkan kepala saja. Pendekar Pulau
Neraka itu bisa merasakan kebahagiaan yang
menyelimuti hati Prabu Truna Dilaga, tapi juga terselimut duka dalam menghadapi
kenyataan pahit ini. Hidup.... Tak ada yang bisa
meramalkan.... SELESAI Pembuat Ebook :
Scan djvu oleh : Abu Keisel
Convert & Edit oleh : Dewi KZ
Pdf Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau
http://dewikz.byethost22.com/
Serial Pendekar Pulau Neraka yang telah
terbit: I. GEGER RIMBA PERSILATAN
2. PEMBALASAN RATU SIHIR
3. LAMBANG KEMATIAN
4. CINTA BERLUMUR DARAH
5. PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
6. JAGO DARI SEBERANG
7. PENDEKAR KEMBAR
8. PENGANTIN DEWA RIMBA
9. MENEMBUS LORONG MAUT
10. MUSTIKA DEWI PELANGI
II. BUNGA DALAM LUMPUR
12. GADIS BURONAN
13. ISTANA IBLIS
14. LINGKARAN RANTAI SETAN
15. DI BALIK CAPING BAMBU
16. RAHASIA BUNGA CUBUNG BIRU
17. RAHASIA DARA AYU
18. TITISAN DEWI IBLIS
Serial Pendekar Perisai Naga yang telah
terbit: 1. HANTU LERENG LAWU
2. SELENDANG MAYAT
3. PENGUASA GOA BARONG
4. PUSAKA BUKIT CANGAK
Kuda Putih 1 Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Pendekar Bayangan Setan 11
^