Pencarian

Azab Dan Sengsara 3

Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar Bagian 3


kesenangan itu tiada diperoleh di atas dunia ini, tentu kita makin cinta
kepada kesenangan, yang diterima umat Allah yang percaya kepadaNya pada hari yang kemudian. Sebab memikirkan itulah si ibu
bertambah-tambah asyiknya berbuat ibadat, dan ke dalam hati anaknya
ia selalu menanam biji pengajaran agama, karena ia tahu, agama itulah
yang menjadi tembok batu tempat kita berdiri di waktu banjir dan air
pasang. Agama itulah yang memberi tenaga bagi kita akan memikul
beban kehidupan kita. Agama itulah yang menghiburkan hati kita yang
gundah gulana sebab keazaban dunia, karena firman Tuhan kita
ketahui, hidup di dunia yang sengsara itu akan bertukar dengan
kesenangan yang kekal di akhirat. Harapan akan kesenangan di akhirat,
tempat bersukacita itulah menjadikan kita terhibur, meskipun air mata
kita di bawah langit ini acap kali tercucur.
Memang berat tanggungan ibu yang saleh itu. Sebenarnyalah itu,
waktu suaminya hidup dan sepe.ninggal dia. Bukankah banyak yang
dideritanya karena suaminya" Akan tetapi meskipun demikian lebih
suka jugalah ia, kalau mimpinya itu tiada kejadian. Benarlah sekarang
apa yang dimimpikannya itu: "Gempa amat kuat, tanah menelan
suaminya, kekayaan habis semua, hanya ia bertiga dengan anaknyalah
yang tinggal". Akan tetapi tak guna duduk bercintakan itu, karena
takdir Allah atas hambanya tak dapat ditolak.
Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal,
terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah, sesuap pagi
dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. Tiadalah malu ia mencari
upahan, pada waktu mengerjakan sawah, misalnya menyiangi,
mengirik padi dan lain-lainnya, karena tahulah ia, pekerjaan yang halal
itu tiada menghinakan orang. Dua tahun sudah mereka itu bersakitsakit, sekalipun belum pernah mereka kekurangan makan, karena usaha
si ibu itu dan berkat Tuhan yang memelihara makhluknya. Pakaian
anaknya pun adalah dengan secukupnya juga, tiadalah nampak di mata
orang, bahwa mereka itu orang melarat. Mariamin anak gadis yang
muda remaja itu pun tiadalah malu, sebagai kebiasaan anak gadis di
Sipirok, bekerja mencari upahan. Ibunya acap kali berkata, "Riam,
tinggallah anakku di rumah, ibu masih hidup, cukuplah ibu sendiri
mencari makan kita."
Apakah jawab si anak itu"
"Barangkali ibuku malu, atau takut dikata-kata orang, sebab
anaknda mencari upahan" Benarlah seperti kata ibu itu, ibu sendiri pun
padalah bekerja untuk kita. Tetapi selagi anaknda bersama-sama
dengan ibu, apalah salahnya, anaknda menolong ibu, supaya ibu dapat
berhenti sehari dua hari."
Mendengar perkataan anaknya itu, si ibu termenung, karena dipikirnya, sebenarnyalah perkataan anaknya itu. Katanya, "Meskipun
bagaimana juga, lambat-laun kami akan bercerai juga, karena
sepanjang adat haruslah ia dipersuamikan. Wah, sungguh amat susah
benar bercerai dengan anakku ini, karena dialah yang menjadi
penghibur hatiku, tetapi pada suatu masa harus juga ia meninggalkan
aku. Ah, kebiasaan yang diaturkan Tuhan tak boleh diubah. Hanya
itulah harapanku kepada Allah, moga-moga ia beroleh suami yang baik,
janganlah sebagai kurasai ini. Kalau anak beruntung, tentu orang tua
bersukacita." Demikianlah kenang-kenangan si ibu itu.
Pada dugaannya pun tiadalah Mariamin akan lama lagi di tangannya, sebab badannya telah besar, umur pun sudah sampai. Akan tetapi
sekalian orang yang datang meminta dia, ditolak oleh Mariamin. Tak
adalah orang muda yang disukainya untuk jadi suaminya. Karena itu
bertanyalah ibunya, "Riam, ibu bukan bosan melihat kau. Anakku tahu
betapa kasih sayang ibu kepadamu berdua bersaudara. Tapi apakah
sebabnya engkau menolak permintaan sekalian orang itu, bukankah
sudah layaknya anakku bersuami?"
"Sebenarnyalah perkataan ibu itu," sahut Mariamin, "akan tetapi
bagaimanakah anaknda menerima permintaan orang itu, karena telah
ada yang lebih dahulu tempat anaknda berjanji. Sebagaimana ibu tahu,
adalah anaknda ini berutang budi kepada dia. Waktu ia hendak
berangkat, kami berteguh-teguhan janji pula; adalah kami seolah-olah
bersumpah; masing-masing wajib menepati janji, walau bagaimana
sekalipun, lamun bersetuju dalam pikiran orang tua. Pergaulan anaknda
sejak kecil dengan Aminu'ddin tentu ibu sudah tahu; kelakuannya pun
tak perlu lagi anaknda katakan."
"Bagaimanakah anakku memikirkan yang demikian" Benar
Aminu'ddin masih dekat lagi, akan tetapi adakah mungkin dia berkehendak kepada anakku" Pertama mereka itu orang berada dan kita
orang miskin. Kedua Aminu'ddin tak ada di sini, ia sekarang di
perantauan. Dan lagi kalau ada pikiran Aminu'ddin serupa itu, tentu ia
datang barang sekali melawan ibu bermupakat, sebelum ia hendak
berangkat." "Anaknda pun sudah mengatakan itu kepada Aminu'ddin, dan ia
pun amatlah menyukai; dan jawabnya, "Riam, janganlah engkau berkata yang demikian, kekayaan, kemiskinan tak kuindahkan, karena
kaulah yang kuharapkan. Sebabnya pun ia pergi ke Deli, karena ia akan
dikawinkan orang tuanya. Itu jugalah sebabnya tiada disuruhnya orang
tuanya datang kepada ibu, akan memperkatakan itu. Ia sendiri akan
berunding dengan ibu, sudah tentu kuranglah beratnya perkataanperkataan itu. Kalau ia sudah beroleh pekerjaan di Medan dan jodohnya
itu telah dikawinkan orang tuanya dengan orang lain, di situlah ia
hendak mupakat dengan orang tuanya tentang maksud kami itu. Kalau
ia dapat permisi, ia sendirilah datang menjemput anaknda akan
dibawanya ke Deli. Demikianlah katanya kepada anaknda. Sekarang
bagaimanakah pikiran ibu" Haraplah anaknda supaya ibu bersetuju
akan keinginan anaknda itu, karena Aminu'ddin sajalah yang anaknda
cintakan akan menjadi menantu ibu."
Mariamin menundukkan kepalanya, dan pada mukanya terbayanglah awan bimbang gundah, gulana.
Sudah tentu percakapan itu menerbitkan rindu dendamnya kepada
sahabat karibnya itu. Sekalian perkataan Aminu'ddin waktu mereka itu
bercerai, seolah-olah terdengar juga olehnya. Apalagi ketika akan
bercerai, mereka itu berjabat tangan dengan air mata yang bercucuran
dan berjanji tiada akan melupakan seorang akan seorang.
Ibunya duduk termenung memikirkan perkataan anaknya itu. Ia pun
amat ingin, supaya kehendak Aminu'ddin dan anaknya itu lekas
sampai. Akan tetapi bila dikenangnya akan segala hal mereka itu kedua
belah pihak, kuranglah harapannya, karena adalah cita-cita anaknya itu
sebagai pungguk bercintakan bulan di langit.
Ia pun memandang Mariamin, seraya berkata, "Semuanya hal ini
kita serahkan kepada Tuhan, sebab Dia-lah yang tahu mana yang baik
akan hambanya." "Sekalian angan-angan kita itu benarlah takkan diperoleh, kalau
Allah tiada mengizinkan, tapi ingin jugalah anaknda akan mengetahui,
adakah ibuku mengizinkan anaknda akan jadi istri Aminu'ddin?" tanya
Mariamin. "Mengapakah ibu tiada mengizinkannya, asal diperkenankan oleh
orang tuanya. Kalau tiada demikian, tentulah Riam menjadi pokok
percederaan antara anak dan orang tua," sahut ibunya.
"Ya, janji kami pun begitu juga, Mak. Itulah sebabnya anaknda
bertanya tadi, kalau-kalau bunda tak bersetuju. Aminu'ddin pun hendak
mupakat juga dengan orang tuanya. Sudah tentu ayah bundanya
berkenan akan permintaannya itu, karena Aminu'ddin sudah besar, jadi
tak maulah mereka itu memaksa dia."
"Itu jangan anaknda tentukan, karena Riam masih anak-anak, ibulah
yang lebih tahu akan hal itu. Dalam perkawinan, perkataan orang tualah
yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja. Demikianlah yang biasa
kejadian di antara bangsa kita. Misalnya banyak, umpamanya ibu
sendiri. Tiadalah ibu ditanya nenekmu dahulu akan kesukaanku, tatkala
ibu hendak dipersuamikan. Tentang perkawinan kami dengan
mendiang ayahmu amatlah menyedihkan hati. Sekali-kali janganlah
bersua yang demikian pada anakku. Itulah sebabnya ibu tiada mau
memaksa engkau. Cuma ibu memberi timbangan; lain fasal kalau anak
belum cukup umur. Percayalah anakku, ibu takkan mau mengerasi kau,
seperti perbuatan kebanyakan orang tua, karena tahulah ibu, bahwa
yang kawin itu si anak, bukan orang tuanya. Siapakah di belakang hari
yang menanggung dan siapa yang menyesal, kalau jodoh si anak itu
tiada bersesuaian pikiran dan tabiat dengan suaminya" Sudah tentu
mereka takkan berkasih-kasihan lagi, akhirnya bercerai. Siapakah yang
menanggungkan, tentu si anak itu juga. Seumur hidupnya menyesallah
ia kepada orang tuanya, yang memaksa dia itu. Bukankah sudah nyata,
bahwa perkawinan anak itu dengan paksa tiada baik" Kewajiban orang
tua hanyalah memberi timbangan, dan itulah sekarang yang ibu
ingatkan. Kalau Riam yakin benar-benar, Amuni'ddin kasih akan
anaknda, amatlah senang hati ibu; dari kecil pun telah ibu mengetahui
perangai Aminu'ddin. Adalah ia masuk golongan anak yang baik-baik;
tetapi sebagai kataku tadi, haruslah kita menyerahkan hal ini kepada
Tuhan Yang Mahamulia, karena Dia-lah yang mengatur sekalian nasib
hamba-Nya." "Kalau demikian, baiklah anaknda berkirim surat kepada Aminu'ddin akan membalas suratnya yang baru kuterima itu. Lagi pula
supaya anaknda menceritakan sekalian perkataan bunda itu," kata
Mariamin. Mariamin pun mengambil surat itu dari kamarnya, lalu dibacalah di
hadapan ibunya, yang kira-kira begini bunyinya :
Adinda yang kucintai! Tiga bulan sudah lamanya saya meninggalkan negeri tumpah
darah kita, meninggalkan kampung halaman tempat kita bermainmain, meninggalkan kekasihku, Mariamin. A duh, bukan
buatanlah sedihnya perceraian itu, barulah sekarang kurasa.
Akan tetapi itu tak mengapa, harapanku akan pertemuan kita
nanti di belakang hari, itulah yang menghiburkan hati, ya, Riam"
Dengan girang hatiku, kakanda memaklumkan kepada adinda,
bahwa kakanda telah beroleh pekerjaan, yakni dengan
pertolongan kaum kita, tempat kakanda sekarang menumpang.
Riam, itu semua rahmat Tuhan kepada kita. Lihatlah, cita-cita kita
makin dekat, mogamoga Allah mengabulkannya.
Hal perjalananku dan keramaiannya kota Medan, tiada
kuceritakan sekali ini, karena kakanda menunggu surat balasan
daripada adinda. Kabar yang lain ada baik.
Bagaimanakah hal adinda dan ibu kita sekararrg" Haraplah
kakanda adinda bercerita panjang; maklumlah Riam akan
keinginanku menerima surat dari negeriku, lebih-lebih daripada
orang yang menjadi anganangan dan impianku. Ah, tak dapatlah
kakanda menggambarkan perasaanku dalam surat ini!
Sampai di sinilah dahulu, pekerjaanku amat banyak,
maklumlah, segala pekerjaan itu harus kupelajari.
Terimalah salam daripada kekasihmu, AMINU'DDIN Alamat: AMINU'DDIN kerani onderneming HALVETIA
MEDAN Setelah surat itu habis dibacanya, ia pun masuklah ke bilik tempat
tidurnya, lalu ia menulis sepucuk surat akan pembalas surat Aminu'ddin
itu. Dua tiga kali terpaksa ia berhenti daripada me nulis itu, sebab
dadanya sakit karena ia duduk membungkuk itu. Meja dan kursi sudah
tentu tak ada dalam pondok kecil itu. Sebuah peti kayu tempat
menyimpan pakaiannya, itulah ganti meja jati tatkala mereka hidup
dalam kekayaan. Kursi atau bangku tak usah dikata lagi. Anak gadis
yang miskin itu duduk bersila di atas lantai, dan peti itu di hadapannya,
di atas itulah ia menulis. Tangkai pena yang ditangannya pun tiadalah
sebagai yang biasa dipakai orang, hanyalah sepotong pimping. Penanya
dicocokkan saja pada pangkal pimping itu, sebagaimana kita
memasukkan pena ke gagang pena. Demikianlah sakitnya kemiskinan
itu, yang dahulunya biasa dalam kesenangan. Akan tetapi semuanya itu
tiada menyusahkan hati Mariamin. Bukankah cita-cita dan kenangkenangan mereka itu sudah dekat" Kalau ia nanti bersama-sama dengan
Aminu'ddin, tentu datanglah pertukaran dalam kehidupannya. Ia
menurutkan suaminya makan gaji, meninggalkan Sipirok, tempat orang
yang memandang mereka itu hina. Ia akan pergi ke Deli, tanah emas,
yaitu ke tempat pencarian yang amat murah.
Semua kenang-kenangan yang serupa itulah yang mengurangkan
kesakitan hidup anak gadis itu. Tetapi sungguhpun demikian adalah
juga yang menyedihkan hatinya, tatkala ia menulis surat itu, sehingga
ia terpaksa berhenti beberapa kali. Kadang-kadang tangannya gemetar
dan kaku, kadang-kadang ia diam serta memandang ke muka. Sebabnya
itu, ialah karena terkenang akan pergaulannya dengan Aminu'ddin;
persahabatan yang karib, budi yang baik, cakap yang lemah-lembut,
segala hal mereka itu yang dulu-dulu terkenang dalam hatinya.
"Sekarang ia sudah jauh, Aminu'ddin kekasihku itu," kata anak dara itu,
seraya ia mengeluh. Kemudian ia membulatkan pikirannya seraya
meneruskan suratnya itu. Dalam hatinya ia berkata, "Haruslah saya
menceritakan sekalian perasaanku kepadanya. Benar perempuan itu
harus pandai menyembunyikan rahasianya, akan tetapi kepada
Aminu'ddin tak usahlah saya menaruh rahasia, karena ia itu adalah
sebagai saudaraku sejati. Saya ini harus menyerahkan diri kepadanya,
dialah yang kuasa atas diri saya, karena kasihnya, budinya dan
pertolongannya. Bukankah saya sudah lama berkubur dalam air, jika
sekiranya tiada dengan pertolongannya?"
Tiada berapa lamanya surat itu pun sudahlah. Setelah dibacanya
sekali akan memeriksa susun kalimatnya, lalu dimasukkannya ke dalam
sampulnya. Alamatnya itu ditulisnya lambat-lambat dengan huruf yang
besar. Di sudut sebelah kanan atas sampul itu dibubuhnya perangko,
yang dibelinya dengan uang upah menjahit sarung. Setelah selesai surat
itu, dimasukkannya ke pos. Berapa lama ia menunggu kedatangan
balasannya, tiadalah diketahui lagi. Hanyalah siang dan malam
Mariamin tiada melupakan kekasihnya itu dan harapan akan
kenikmatan persahabatan adalah dari sehari ke sehari makin besar
dalam kalbu anak dara yang menanggung rindu itu.
Setelah surat Mariamin itu diterima oleh Aminu'ddin, amatlah
girang hatinya. Baru dilihatnya alamatnya, ia pun mengenal tulisan
kekasihnya itu. Di pinggir surat itu tertulis pula nama si pengirim. Surat
itu diciumnya, lalu dibukanya dengan tergopoh-gopoh. Jarinya
gemetar, karena sukacita. Surat itu dibacanya berulang-ulang; bunyinya
adalah kira-kira begini: Kakanda Aminu'ddin! Rindu dan gundah gulana silih berganti dalam hati adinda
selama kakanda meninggalkan Sipirok yang indah itu. Rindu
karena suara kakanda tak kudengar, muka kakanda tak kulihat
lagi. Bimbang dan gulana hati adinda, karena sudah sekian
lama adinda tiada menerima kabar daripada kakanda. Aduh
Kakanda, tiadalah dapat adinda menceritakan dalam waktu
yang tiga bulan ini; kadang-kadang adinda bertanya dalam hati
adinda sendiri, "Bagaimanakah hal Dangkang*) Aminu'ddin
dalam perjalanan?" Bagaimana lamanya yang tiga bulan itu tak
tahu lagi adinda, karena pada perasaan adinda seolah-olah
lebih dari setahun. Sekarang, setelah adinda menerima surat kakanda itu, bukan
buatanlah sukacita adinda. Syukur alhamdulillah! Kakanda pun
telah beroleh pekerjaan dan bertemu pula dengan keluarga yang
menaruh kasihan akan kakanda. Mudah-mudahan Allah yang
rahmatlah menyampaikan segala maksud kita.
Akan adinda, tak usahlah kubukakan di sini isi dadaku.
Meskipun bagaimana jauhnya kakanda, tiadalah berkurang
kasihku; gunung yang tinggi kudaki, lurah yang dalam kuturuni,
sungai yang lebar kuseberangi, supaya bertemu dengan
kakanda, lamun waktunya sudah datang. Aminu'ddinlah jiwaku,
kakandalah yang kuharapkan. Bukankah adinda dipaksa hatiku
menyerahkan diri kepada angkang, karena nyawaku pun sudah
angkang lepaskan dari bahaya maut.
Tentang pikiran adinda, ibu kita adalah bersetuju dengan
permintaan adinda. Dengan hati yang ikhlas ia telah memberi
izin. Itulah supaya kakanda maklum.
Kabar yang lain adalah baik. Adinda dan bunda serta
dengan adik dalam sehat, kakanda Aminu'ddin pun adinda
haraplah bersenang hati mendapat surat yang secarik ini.


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga inilah dahulu ceritaku. Benar banyak lagi yang
akan adinda katakan, tetapi biarlah dahulu kita sabar; kelak di
belakang hari akan adinda ceritakan semuanya.
Tuhanlah yang mengasihi hambanya!
Salam takzim dari adinda,
MARIAMIN *) dangkang = angkang, kakak.
Sekali lagi Aminu'ddin mengulangi membaca surat kekasihnya itu.
Kemudian ia termenung sejurus lamanya, lalu dengan perlahan-lahan ia
mengangkat tangan kirinya ke mulutnya, dan mencium cincin suasa,
yang ada pada jari manisnya itu. Cincin itu pemberian Mariamin.
"Aduh Riam, adinda ingin sekali, tetapi lebih keraslah hasrat
kakanda ini," kata Aminu'ddin, sambil ia berdiri mendapatkan meja
tulisnya. Maka ia pun menulis surat kepada ayahnya, kepala kampung dusun
A. Dalam surat itu ia meminta dengan keras, supaya orang tuanya
mencarikannya perempuan akan jadi istrinya. Adapun perempuan itu
ialah Mariamin, karena itu sajalah yang disetujuinya. Hal ini harus
lekas diurus, karena amatlah susahnya bagi dia menumpang di rumah
orang; lagi pula banyaklah bencananya bagi dia bekerja di kebun,
tempat perkumpulan laki-laki perempuan yang menjadi pekerja di sana.
Siapa yang telah menjejak Pesisir Timur, tentu telah maklumlah makna
perkataan Aminu'ddin itu.
Kepada Mariamin ia menulis pula sepucuk surat akan menyuruh dia
berkemas. "Waktu pertemuan kedua kalinya sudah dekat. Betapakah
senangnya!" katanya di ujung suratnya itu.
Ya, selambat-lambatnya dua bulan lagi mereka itu akan bersamasama sebagai pada waktu dahulu. Lebih lagi, karena sekarang tiada
persahabatan saja lagi yang ada di antara mereka itu, tetapi mereka itu
hidup menjadi bersatu, berkasih-kasihan, tiada kelak akan bercerai,
karena cinta mengebat mereka itu telah bertahun-tahun berurat berakar
dalam kalbu mereka. Lepas dua bulan lagi akan bertukarlah perasaan hidupnya. Bukankah ia merasa bosan di tanah asing, bercampur gaul dengan orang yang
tiada dikenal, dengan orang lain, sedang orang penghibur hatinya jauh
di balik Bukit Barisan"
Lepas dua bulan lagi akan diperolehnya angan-angan dan citacitanya, sejak akil balig. Di situlah kelak ia merasa dirinya beruntung,
karena tangkai kalbunya telah di sisinya, yakni Mariamin buah hatinya
itu. Ya, waktu yang dinanti-nanti Aminu'ddin itu tiada jauh lagi.
Mariamin kelak akan membawa ke hadapannya. Yang perlu hanya ia
harus menunggu dengan sabar apa yang akan datang, itulah yang
menentukannya. Surat yang dua pucuk itu sampai kepada alamatnya. Mariamin
menerima dengan girang. Sekejap itu dibacanya di hadapan ibunya.
Tiadalah dapat dikira-kira lagi betapa sukacitanya, dan pada malamnya
itu pun ia memimpikan untung bahagia yang akan datang itu.
Orang tua Aminu'ddin pun berbesar hati pula mendengar kabar yang
baik itu. Pekerjaan anak sudah ada, gaji pun adalah sederhana, apakah
lagi yang ditunggu-tunggu" Dahulu ia tak mau kawin, sekarang ia
sendirilah yang memintanya; wah, betapakah baiknya itu" Ibu
Aminu'ddin pun amatlah riangnya mendengar bunyi surat yang dibaca
suaminya itu. "Kita berdua sudah tua, dan amatlah ingin hatiku hendak
mendukung cucuku," katanya kepada suaminya.
Kedua laki-istri itu mupakat akan mencarikan jodoh anak mereka
itu. Apakah yang kurang lagi bagi mereka itu akan memperoleh anak
dara yang patut-patut" Ayah Aminu'ddin seorang kepala kampung yang
dimalui di luhak Sipirok. Uang banyak, sawah lebar, kerbau dan lembu
pun cukup, sedang anaknya orang makan gaji, di Deli pula. Sekali ini
haruslah mereka itu mengambil anak bangsawan sekurang-kurangnya
yang sama dengan mereka itu, yang di bawah pantang. Demikianlah
pikiran orang tua itu. Oleh sebab itu tiadalah ingin mereka itu lagi akan
datang ke rumah istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara
kesukaan Aminu'ddin itu; sungguhpun pertalian mereka itu masih
dekat. Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu"
Tentu tak mungkin, karena tak patut! Bukankah orang itu telah hina di
mata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskinmiskinnya di daerah Sipirok" Orang yang begitukah yang akan jadi
tunangan Aminu'ddin" O, sekali-kali tidak boleh; Aminu'ddin seorang
anak muda, belum tahu ia membedakan bangsa, haruskah didengar
permintaannya itu" Betul anak gadis itu bagus rupanya, lagi masuk
kaum mereka juga, akan tetapi kaum tinggal kaum, perempuan yang
elok dapat dicari. Begitulah sebabnya ayah Aminu'ddin tak jadi pergi ke rumah ibu
Mariamin. Istrinya mencoba membujuk-bujuk suaminya akan menurut
permintaan anaknya itu, karena meskipun bagaimana melaratnya seisi
rumah Sutan Baringin karena perbuatannya, adalah ia merasa kasihan
juga dalam hatinya kepada ibu dan anak yang dua orang itu. Benar
Sutan Baringin salah, ia tiada mendengar nasihat mereka itu, tetapi
apakah salahnya anak yang dua orang itu" Oleh sebab itu ia pun
mempertahankan kesukaan Aminu'ddin itu. Kalau Mariamin telah
menjadi menantunya, tentu adalah perubahan kemelaratan orang itu,
pikir ibu Aminu'ddin. Akan tetapi suaminya tiada bersetuju dengan maksud istrinya itu;
untuk menolaknya dia tidak dapat, karena ibu dan anak bersama-sama
melawan dia. Setelah seminggu lamanya, pada suatu malam berkata ia
kepada istrinya, "Kalau engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi
baiklah kita berhati-hati, karena mengambil jodoh anak itu tiada boleh
dipermudah-mudahkan. Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik
menantu kita; kalau demikian baiklah kita pergi mendapatkan Datu*)
Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki Aminu'ddin, bila ia
beristrikan Mariamin. Datu itulah yang masyhur sekarang fasal hal
faal**). Pekerjaan ini janganlah dilengahkan lagi. Kalau pertemuan
mereka itu tiada baik menurut faal, baiklah kita carikan yang lain."
Pada keesokan harinya pergilah kedua laki-istri itu membawa nasi
bungkus ke rumah Datu itu. Setelah habis makan, mereka itu pun
menceritakan maksud kedatangan mereka. Datu itu pun bertanya nama
yang laki-laki dan orang tuanya, nama anak gadis itu serta orang tuanya
pula. Kemenyan pun dibakarlah, sehingga rumah itu penuh dengan asap
dan bau kemenyan. Beberapa lamanya dukun itu menganggukanggukkan kepalanya perlahan-lahan serta berbisik-bisik membaca doa
dan mentera. Kemudian ia membuka buku yang terletak di bawah
pedupaan itu, lalu dibacanya ayat yang tertulis dalamnya.
"Maksud itu kurang baik. Awalnya laki-istri selamat dan beruntung.
Lepas dua tahun, lahir seorang anak laki-laki, tetapi baru ia berusia
tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia," kata Datu itu lambat-lambat
tetapi terang dan nyata suaranya.
Kedua laki-istri bermohon diri, lalu pulang ke rumah; istrinya
dengan hati kesal, karena yang diinginkannya tak jadi; suaminya
dengan girang hati, karena kehendaknyalah yang mesti diturut. Akan
tetapi sepanjang jalan tiadalah ia memperlihatkan sukacitanya itu, takut
kalau-kalau istrinya itu sakit hati.
Dalam rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu duduklah
Mariamin menanti-nanti kedatangan ayahnya (bapak Aminu'ddin).
Sejak ia menerima surat Aminu'ddin itu, amat banyaklah pekerjaannya.
Menyediakan pakaiannya, karena kakaknya berkata demikian. Betul
tiada banyak, tetapi semua dikerjakannya sendiri. Kalau dia orang
berada, tukang jahitlah yang menjahit pakaiannya itu. Membuat seperai
akan dibawa ke Deli; menganyam tikar untuk tempat duduk ayahnya
(bapak Aminu'ddin), kalau ia datang ke rumah hendak bermupakat
dengan ibunya. Tikar itu tentu ganti permadani, supaya kemiskinan
mereka itu jangan mengurangkan adat di rumah mereka. Kalau jamu
datang, malulah ia kalau ia duduk di atas lantai saja.
Serbuk kopi telah sedia tersimpan disalaian, supaya ada minuman
kepala kampung itu, bila ia datang. Juadah pun telah sedia dalam
tempatnya akan kawan air kahwa itu. Semua sudah sedia akan menanti
ayah Aminu'ddin, yang akan menjadi bapaknya pula.
Sekalian telah teratur untuk perjalanan mendapatkan kakandanya
*) Datu = Dukun **) Faal = tenung itu. Semua sedia dan teratur, tetapi yang ditunggu-tunggu tak juga
datang. Ya, dia hanya menunggu, dan menunggu, tetapi yang ditunggu tidak
akan datang. Yang akan sampai ke telinganya hanya kabar yang tiada
disangka-sangka. Kabar yang akan menghamburkan air mata, meremukredamkan hati sebagai kaca terempas ke batu.
Ketika matahari hampir terbenam, duduklah ayah Aminu'ddin di
beranda rumahnya dengan istrinya. Istrinya pun bertanya, "Siapakah
yang jadi kita ambil akan menantu kita" Jangan diperlambat-lambatkan
lagi." "Bimbang hatiku, karena pada waktu itu adalah kurang yang akan
dipilih. Itulah sekarang yang kupikir-pikir," sahut Baginda Diatas;
begitulah disebut orang gelar kepala kampung itu.
"Kurang yang akan dipilih?" tanya istrinya. "Negeri Sipirok sebesar
ini, berapa ratus anak gadis di luhak ini, sedang yang akan dicari hanya
seorang juga." "Aku pun tahu juga. Akan tetapi yang akan diambil bukanlah orang
sembarangan." Sejurus kedua laki-istri itu berdiam, kemudian Baginda Diatas
berkata, "Cuma seorang sajalah yang kusetujui; rupanya pantas,
bangsanya cukup, akan tetapi kelakuannya belum kuketahui:"
"Apakah marganya"*) Siapa orang tuanya?" tanya istrinya.
"Marganya Siregar, dan bapaknya kepala kampung. Kupikir baik
akan jadi menantu kita. Baiklah aku pergi ke sana. Sepanjang dugaanku
anak itu mungkin kita peroleh; tentang "boli" kita takkan mundur,"**)
jawab suaminya. Untuk menjelaskan adat-istiadat orang Batak, lebih-lebih adat
perkawinannya, baiklah diterangkan sekadar aturan-aturan yang harus
diturut orang dalam perkawinan itu.
Adapun masing-masing orang Batak mempunyai suku (marga).
Seorang anak yang baru lahir beroleh marga bapaknya. Marga itu ada
bermacam-macam, misalnya di luhak Sipirok, Siregar dan Harahaplah
yang terbanyak; marga lain ada pula umpama: Pane, Pohan, Sibuan dan
lain-lain. Bagaimana timbulnya marga yang banyak itu, tiadalah
hendak diceritakan di sini. Orang yang sebanyak itu dua tiga sajalah
neneknya, yaitu yang empunya keturunan, sedang marga sekarang
banyak ragamnya. Jadi sudah tentu marga Siregar bersaudara juga
dahulunya dengan marga Harahap, Pohan atau yang lain-lain. Di mana
perceraianya itu, wallahualam; karena hal itu adalah bersambung
dengan ceritacerita tambo. Seorang berkata begini, yang lain berkata
begitu, sehingga tiada tahu mana yang benarnya lagi. Lagi pula cerita
*) marga = suku **) boli atau sere = mas kawin
itu sudah sebagai dongeng di telinga.
Maka barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil
orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga Siregar
tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu
sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang mereka itu,
yang hidup beratus tahun dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada
boleh ambil-mengambil dalam perkawinan, karena dilarang keras oleh
adat. Akan tetapi anak muda marga Siregar boleh mengambil seorang
perempuan marga Harahap, meskipun perkaumannya dengan anak
gadis itu masih dekat, umpama senenek dengan dia. Artinya, nenek si
laki dari pihak ibu, nenek si perempuan dari pihak bapak.
Hanya margalah yang berlainan, sebenarnya mereka itu masih
sedarah; akan tetapi sebab pengaruh adat itu, perkawinan yang kedua
ini dilazimkan dan perkawinan yang pertama dilarang keras.
Larangan itu mengherankan hati. Apakah salahnya si Anu kawin
dengan si Itu, kalau pertalian (perkauman) mereka itu sudah jauh, ya,
kadang-kadang tak ada lagi, karena masingmasing tak tahu lagi, di
waktu mana nenek moyang mereka itu bersaudara atau sedarah.
Haruskah perkawinan mereka itu dicegah, oleh sebab mereka itu samasama Harahap, Pane dan lainlain" Padahal mereka itu telah berkasihkasihan, seorang ingin kepada yang seorang. Sebab yang tersebut
tiadalah patut menjadi larangan; betul mereka itu semarga, tetapi sudah
jauh dan tiada, sedarah lagi.
Di negeri lain misalnya Deli, Palembang, Jawa, tiada ditemui aturan
yang serupa itu, hanya di Tapanuli.
Ya, kata pepatah: Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain
belalangnya. Itu benar. Masing-masing daerah mempunyai adat yang berlainan
daripada daerah yang lain. Maka seharusnyalah penduduk daerah itu
setia kepada adatnya yang telah diaturkan nenek moyangnya.
Akan tetapi mengingat peredaran masa ini, tiadalah dapat dipertahankan semua peraturan-peraturan itu, sudah seharusnyalah
mengubah apa yang kurang baik, dan menghapuskan yang tiada patut.
Salah satu di antaranya ialah, tentang larangan kawin sesuku itu. Ini
tidak dipertahankan lagi. Sebab itu seorang hendaklah dibebaskan
kawin dengan orang lain, meskipun mereka itu sesuku, artinya tali
persaudaraan mereka masih rapat lagi menurut adat.
Tentang emas kawin di tanah Batak adalah suatu adat yang
memberatkan. Emas kawin itu biasa disebut orang sere atau boli.
Adapun sere itu dibayar si laki-laki kepada orang tua anak gadis,
banyaknya dari 200 sampai 400 rupiah. Ini diambil jumlah per-
tengahan, karena ada juga yang kurang, umpamanya 120 rupiah, ada
pula yang lebih sampai 600 rupiah. Sere itu boleh dibayar semua
dengan uang semata, atau separuh dengan kerbau atau lembu.
Aturan itu pun sangat memberatkan, sudah seharusnya dihapuskan,
kalau susah, dientengkan. Banyaklah terjadi yang sedih-sedih disebabkan boli itu. Umpamanya, seorang anak muda yang tiada berada,
haruskah ia tinggal bujang selama hidupnya, karena ia tiada mempunyai uang 200 rupiah di kantungnya"
Orang yang serupa itu tiada sedikit. Betul uang boli itu tidak akan
masuk kantung orang tua si perempuan semuanya. Separuhnya dipakainya juga akan pembeli emas, perhiasan anaknya dan pembayar ongkos
perjamuan, umpamanya kenduri, pesta dan sebagainya, ketika anaknya
dikawinkan. Akan tetapi apakah salahnya dihilangkan pesta itu, apakah
faedahnya mengarak anak dara dan pengantin sekeliling kota, karena
uang pembeli kerbau yang disembelih itu terbuang saja"
Kasarlah didengar telinga, bila orang berkata, "Di tengahtengah
Pulau Sumatera yang besar itu masih ada orang menjual anaknya yang
perempuan." Ya, memang ada yang serupa itu. Kalau akan mengawinkan
anaknya yang perempuan, maka lebih dahulu membicarakan boli. Betul
boli itu berguna juga diterima untuk pembeli yang berguna bagi
anaknya, tetapi bicara itu terbaliklah rasanya. Seharusnya janji kawin
lebih dahulu dipadu, sedang boli perkara kedua. Itulah yang bernama
emas kawin, emas (uang) ongkos-ongkos perkawinan. Halal dan bersih
uang yang serupa itu di tangan! Akan tetapi sere (boli) yang diterima
harga anak itu, tiadalah patut lagi.
Itulah aturan-aturan adat yang berlaku di sana, yang masih dipegang
teguh. Sekarang marilah diceritakan seorang anak gadis dari sebuah
kampung yang tiada berapa jauh dari Sipirok, karena itulah yang
disetujui Baginda Diatas. Gadis itu anak kepala kampung. "Bangsa"
lebih dari "kepandaian" bagi dia. Kedatangan Baginda Diatas diterima
baik oleh orang tua gadis itu. Melihat keelokan jodoh anaknya itu, terus
mengiakan permintaan Baginda Diatas. Apalagi yang diinginkannya,
berapa pun besarnya boli yang dimintanya akan diperkenankan juga
oleh orang tua bakal menantunya itu. Setelah sampai pada masanya *),
anak gadis itu pun dijemput dan dibawa ke rumah ayah Aminu'ddin,
supaya esok atau lusa berangkat ke Deli.
Adapun sekalian hal ini dilakukan dengan rahasia, supaya jangan
ketahuan oleh Mariamin dengan ibunya.
* Di sana orang masih percaya akan masa (waktu). Kalau
hendak menjemput anak dara, lebih dahulu diperiksa hari
dan jamnya yang baik. Dentikian juga kalau hendak membuat perjalanan, mendirikan rumah dan lain-lain. Daladn
hal ini Datulah yang menentukan.
Setelah lengkaplah sekalian, Baginda Diatas pun berangkatlah ke
Deli mengantarkan menantunya itu. Sebab dia sendiri pergi, supaya


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat ia menceritakan kepada anaknya, apa sebabnya maka yang lain
yang diambil mereka itu. Ya, siapakah orang yang mau mengambil
orang celaka" Bukankah sudah dikatakan Datu, bahwa Mariamin itu
anak yang membawa celaka" Kalau Aminu'ddin mendengar keadaan
itu, tentu ia akan menurut kehendak. orang tuanya.
Supaya Aminu'ddin lebih dahulu mengetahui akan kedatangan
mereka itu, ayahnya pun mengetok kawat. Karena banyaklah nanti
yang disediakannya akan menerima istrinya itu. Apakah salahnya, ia
lebih dahulu bersukacita oleh karena kedatangan kekasihnya itu.
Setelah Aminu'ddin menerima surat kawat ayahnya, yang bunyinya
demikian, "Aminu'ddin, bapak membawa menantu songsong ke
stasiun," ia pun meminta permisi kepada sepnya, meskipun lima hari
lagi ayahnya akan tiba. Dengan hati yang girang, pergilah ia kepada
kaumnya, yang mencarikan ia pekerjaan itu, dan diceritakannya kabar
itu, karena dia inilah nanti yang akan menolong dia. Betul ia beroleh
rumah dari perkebunan tempat ia makan gaji, tetapi kuranglah baiknya,
jika ia membawa Mariamin terus ke rumahnya, karena seorang perempuan pun tak
ada yang mengawani dia. Pada waktu itu Aminu'ddin menyangka juga akan kedatangan
Mariamin. Waktu yang lima hari itu terlalu amat lama pada perasaan Aminu'ddin, lebih lama daripada waktu yang bertahun-tahun yang telah
dirasainya itu. Sementara itu ia pun menyuruh membersihkan rumahnya, membeli apa-apa yang peirlu, supaya mereka itu lebih lekas
tinggal di rumah sendiri. Terlampau lama di rumah orang, tentu mendatangkan susah pula bagi orang tempat menumpang. Demikianlah
pikiran Aminu'ddin. Empat hari sudah lewat. Besoknya pukul sepuluh pagi tentu
bersualah ia dengan kekasihnya itu, yang sekarang akan jadi istrinya,
karena itulah waktunya kereta api pertama tiba di stasiun Medan. Wah,
betapakah senangnya perasaan Aminu'ddin.
Hari yang penghabisan itu amatlah lamanya, tiada berkeputusan
pada perasaannya; matahari itu pun seolah-olah tiada jemu memanasi
bumi yang bercintakan malam. Tetapi meskipun ia lambat-lambat turun
ke sebelah barat, sebagai raja berjalan lakunya, hari yang membosankan hati Aminu'ddin itu hampirlah bertukar dengan malam. Kuli-kuli
yang beratus-ratus yang bekerja di kebun tembakau yang lebar itu pun,
telah berhenti, masingmasing pulang ke pondoknya, sehingga kebun
yang luas itu sebagai bertabur dengan kepala manusia, karena pohon
tembakau pada waktu itu telah tinggi, sehingga badan mereka itu
kelindungan, hanya kepala sajalah yang terulur ke atas, sebagai
terapung di atas laut rupanya.
Hari pun malamlah; kebun yang luas itu sudah mulai sunyi. Bunyi
gamelan yang dipalu pekerja-pekerja dari Jawa itu pun telah diam,
karena mereka harus pergi tidur, akan mengumpulkan kekuatan untuk
pekerjaan esok harinya yang amat berat itu. Seorang pun tak ada yang
jaga lagi, selain daripada bulan tujuh hari yang memenuhi dataran yang
luas itu dengan sinarnya yang cantik. Bintang-bintang di langit pun
amatlah banyaknya, berjuta-juta sebagai pasir di laut. Adalah dia itu
turut juga membantu raja malam itu menghiasi alam yang lebar ini,
dengan cahayanya yang seperti perak itu.
Sayang, seorang pun tiada yang menyenangkan dirinya dengan cara
melihat kebagusan malam yang indah itu, karena semuanya gedung
tuan-tuan kebun dan pondok teratak pekerja telah gelap, tiada kelihatan
lagi cahaya pelitanya. Tetapi dalam rumah kerani, yang di sisi gedung
tuan besar kebun itu, masih nampak cahaya api, meskipun sudah lepas
pukul sepuluh malam. Yang masih jaga itu, tak lain ialah Aminu'ddin
yang sedang mengenang-ngenangkan kedatangan buah hatinya. la tiada
tidur bukan disebabkan pekerjaannya banyak, hanya matanya tak
mengantuk karena dimabuk kegirangan hatinya. Esok sorenya di situlah
waktunya ia akan melihat adindanya itu. Pedih dan sedih perceraian
yang dahulu itu, akan berobat dengan kegirangan hati nanti melihat
muka Mariamin yang bersih dan sabar itu.
Kenang-kenangan yang serupa itulah yang memenuhi kalbunya,
sehingga ia gelisah. Ia pun meninggalkan kamarnya yang panas itu, lalu pergi duduk ke
atas bangku yang di hadapan rumahnya, di bawah sebatang pokok nyiur
yang rimbun daunnya. Angan-angannya makin panjang, karena merasai
sedapnya hawa malam itu. Angin gunung pun berembuslah sepoi-sepoi
basa dan kebun tembakau itu berombak-ombak rupanya ditiup oleh
angin itu dan berwarna ilam-ilam, karena cahaya raja malam antara
terang dan gelap. Aminu'ddin duduk bersandar pada bangku, seraya menghadap ke
sebelah barat ke Bukit Barisan yang membujur Pulau Sumatera. Dari
sanalah akan datang yang dinanti-nantinya itu; dengan teropong wasiat,
memandanglah ia ke bukit yang bertalitali itu akan melihat dan
mengira-ngira, di manakah adihdanya itu tidur pada malam itu. Adakah
juga ia gelisah, karena sukacitanya akan bertemu dengan kakandanya"
Tetapi suatu pun tak ada yang nampak oleh Aminu'ddin, lain
daripada bukit yang berbaris-baris itu. Di ruangan kalbunya terbayangbayang wajah Mariamin yang cantik itu: Mukanya bundar sebagai
bulan empat belas ... rambutnya hitam serta berkilat-kilat ... sanggulnya
besar dan bulat, tergantung di atas tengkuk yang putih bersih itu ... di
atas leher yang jenjang itu kelihatanlah pipi yang halus yang
memberahikan hati, lebih-lebih kalau senyum yang bersimpul di sudut
mulut anak dara itu keluar, sehingga pipi yang manis itu berliang di
kanan dan di kiri .... Dilihatnya pula bentuk bahu adindanya yang halus
itu ... dada yang penuh itu, ditutupi oleh baju kebaya ... pinggang yang
ramping ... paha yang tambun serta dengan lunaknya, keduanya dipalut
sarung batikar Lasam ... dilihatnya pula betis yang bulat serta dengan
halusnya itu, berjejak di atas tumit yang seperti telur burung ....
Ya, semua bagian-bagian itu tergambar dalam hati Aminu'ddin,
mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki.
Karena nyatanya ia melihat gambar adindanya itu, ia pun mendekap
udara yang di hadapannya, pada sangkanya tubuh adindanyalah yang
dipeluknya itu, akan tetapi suatu pun tiada. "O, aku bermimpi," pikir
Aminu'ddin; belum sekarang, besoklah baru aku melihat muka
Mariamin, di situlah aku mendengar suaranya yang merdu itu. "Ah,
sungguh amat lama malam ini, seolah-olah tak berkesudahan rasanya."
Sementara itu bulan dan bintang-bintang telah melewati baris yang
membentang di langit, dari utara sampai ke selatan, yakni yang menjadi
watas timur dan barat. Malam pun telah jauh, suatu pun tak ada yang
kedengaran, hanya suara jengkerik dan makhlul yang"kecil-kecil di
tengah padang yang luas itu. Angin yang lemahlembut itu pun telah
berhenti, sehingga daun tembakau yang leba, itu tiada bergerak lagi.
Aminu'ddin tinggal juga di luar, tiadalah ia dapat tidur. Perjalanan
bintang yang lambat-lambat itu ditentangnya dan kalau ada sebuah
bintang yang lenyap ke batik Gunung Sibualbuali, ia pun menyangkakan, makin dekatlah kedatangan matahari itu ... makin dekatlah
waktunya ia melihat adindanya. "Kalau ia sakit dan kalau ia ... tentu
adindaku terlambat datang, " pikir Aminu'ddin.
Hati Aminu'ddin gundah gulana dan darah di dadanya berdebardebar, karena perasaan hatinya yang demikian itu membuat jantungnya
lebih kencang bergerak dan darahnya mengalir dengan cepat dalam
seluruh urat-urat badannya.
Dalam hal yang demikian itu merasalah Aminu'ddin dirinya amat
letih, sedang keringatnya pun mengalir di punggungnya. la pun
tertidurlah dengan amat nyenyaknya. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi
melihat Mariamin hanyut di sungai, yakni sungai yang dahulu itu juga
tempat ia dapat kecelakaan. Akan tetapi terjadinya itu waktu siang hari
dan air pun tiada berapa derasnya. Mariamin meraung dan berteriak
meminta pertolongan.kepada Aminu'ddin, akan tetapi ia diam saja.
Anak gadis itu hanyut serantau, dua rantau ... suaranya pun makin
sayup-sayup ... yang akhirnya lenyap dari mata Aminu'ddin. Dan ... ia
pun melompatlah hendak mengejar adiknya itu.
Aminu'ddin terperanjat daripada tidurnya dengan heran, karena
setelah ia bangun, tahulah ia bahwa ia telah berdiri di atas tanah. la
menggosok-gosok matanya dan mengingat apa yang kejadian atas
dirinya. Tiada berapa lama, ia pun sadarlah akan dirinya dan barulah ia
tahu, penglihatannya itu tiada benar, hanya mimpi jua adanya.
"Apatah gerangan maknanya mimpiku yang ajaib ini" Adakah patut
di akal, aku membiarkan Mariamin dihanyutkan air" Mustahil! Tak
mungkin! Ialah yang lebih berharga bagiku di atas bumi ini. Tetapi
sungguh ajaib mimpiku ini." Demikianlah Aminu'ddin berpikir-pikir
sambil ia duduk di atas bangku yang di muka tempat tidurnya.
Bintang Timur yang menandakan hari akan siang telah ke luar dari
sisi sebelah timur. Awan di langit pun mulailah merah kekuningan
rupanya, makin lama makin nyata dan jernih, langit pun sebagai
disepuh dengan mas juita rupanya dan fajar pun telah menyingsinglah.
Meskipun si penerangi alam ini belum ke luar daripada peraduannya, akan tetapi cahayanya yang elok itu telah kelihatan. Ke sana-sini
pada segenap lingkungan alam terpancarlah sinarnya yang amat permai
itu, ke luar daripada suatu benda yang bundar, sebagai anak panah yang
melayang daripada busurnya.
Semuanya itu dipandang Aminu'ddin dengan kegirangan hatinya,
karena saat kedatangan matahari itu tiada ternilai harganya pada
Aminu'ddin, sebab bukan sajalah ia membawa panas dan sinar ke bumi
ini, tetapi sekali ini adalah ia seakan-akan membaw.a benda yang lebih
mahal daripada intan dan zamrud, yaitu Mariamin jiwa utamanya itu.
Sebentar lagi ... dilihatnyalah muka adindanya itu, muka yang
sebenarnya, bukan bayangan saja lagi ... ya, sekejap mata lagi ....
Akan tetapi suara Mariamin yang berteriak-teriak dengan sayupsayup meminta tolong itu masih kedengaran olehnya, tiada berkeputusan. Semuanya itu tak lain dari angan-angan Aminu'ddin saja.
Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminu'ddin ke stasiun
Pulau Berayan, karena itulah perhentian kereta api yang lebih dekat
pada perkebunan tempat ia bekerja. Sesampai ia di Medan, ia pun
menyewa sado akan pergi ke rumah kaumnya memberitahukan,
kedatangan ayahnya itu. Segala orang yang melihat Aminu'ddin, tiadalah dipedulikannya. Kuda Batak yang me-' narik sado itu pun berlarilah
dengan kencangnya dan tangkas, sehingga rupanya sebagai burung
terbang. Roda sado itu pun seperti kebiasaan sado di kota Medan,
berlingkar karet, sehingga suaranya tiada kedengaran waktu berputar di
atas jalan-jalan kota yang permai itu, hanyalah suara kuku kuda yang
berlari-lari itu saja yang kedengaran, seolah-olah suara balam yang
mengepakngepakkan sayapnya. Sais yang berpakaian putih itu pun
sudah tentu menambahi eloknya sado itu di mata, membunyikan
cambuknya yang berbunga, apabila sampai di jalan yang ramai suara
lonceng pun kedengaranlah, kalau mereka itu melalui jalan yang berbelok.
"Berhenti, Bang," ujar Aminu'ddin, setelah mereka itu sampai di
Sungai Rengas. Sais itu menarik tali les dan sekejap itu pun kuda Batak
yang mengerti itu menahan kekuatan menarik kereta itu ...; dua tiga
langkah ... ia pun berdirilah di tepi jalan.
"Tunggu, Bang," kata Aminu'ddin, seraya ia turun. Tiada berapa
lama, datanglah ia kembali dengan kaumnya itu, kedua laki-istri.
Mereka itu hendak turut juga mengelu-elukan kedatangan Baginda
Diatas. Dengan memakai dua sado, berkeretalah mereka itu ke stasiun.
Di tengah jalan, orang lalu memperhatikan orang muda itu. "Siapakah
gerangan anak muda itu?" Tanya masing-masing yang bersua dengan
mereka. Pertanyaan itu dapat diketahui Aminu'ddin pada air muka
orang itu. Ya, benar ia seperti orang baru, tetapi bukan disebabkan
pakaiannya lebih buruk daripada yang biasa, tetapi sekali ini lebih
bagus. Sebagai dimaklumi orang di Medan amat berahi akan potongan
pakaian yang bagus, lebih-lebih di antara laki-lakinya, sedang pada
perempuannya kurang. Di negeri lain perempuanlah yang berkeinginan
benar akan pakaian yang indah-indah, sedang lakilakinya kurang.
Aminu'ddin memakai-makai lebih daripada sehari-hari itu bukanlah
karena hendak melagak; ia memakai baju dan celana sutera Cina ...
kopiah beledu sutera yang lembayung ... sepatu yang berkilat-kilat ...
hanya dengan maksud, supaya ia lebih pantas di mata adindanya itu.
Barangkali pakaiannya yang elok itu dapat menghilangkan mukanya
yang dimakan panas dan angin itu, karena ia bekerja selalu kena panas
dan angin. Akan tetapi Aminu'ddin menyesal juga, sebab pikirnya, "Pakaianku
bagus dan Mariamin tentu tidak, karena ia baru datang dari perjalanan
yang sejauh itu. Tentu kuranglah baiknya perbuatanku ini. la tiada pula
mempunyai kebaya sutera atau sarung Yogya, sebab ibu kami miskin.
Akan tetapi tak mengapa; pakaian apakah nanti yang tiada akan dapat
kubeli untuk dia, kalau nyawa masih di kandung badan?"
Sedang berpikir-pikir demikian, maka sampailah mereka ke stasiun.
Aminu'ddin membayar sewa sado itu, dan kedua laki istri pun pergilah
duduk ke kamar tempat menunggu kereta api, karena ada setengah jam
lagi baru kereta api dari Tebingtinggi datang.
Setengah jam lagi ... datanglah ia, tapi apakah yang tertulis di papan
yang tergantung dekat jendela tempat membeli karcis itu"
"Kereta api dari Tebingtinggi terlambat dua puluh menit," demikianlah bunyi tulisan itu dibaca.
Aminu'ddin dengan bersungut-sungut, sebab jam sepuluh itu, yaitu
saat yang nikmat yang akan diterima Aminu'ddin.
"Sabar! Tak mengapa itu, sekian lama sudah dinanti dengan tenang,
apalagi waktu yang dua puluh menit. Waktu yang bertahun-tahun
sekejap mata saja, karena jiwaku telah kembali ke tubuhku," kata
Aminu'ddin dalam hatinya.
Dalam kamar dan ruang stasiun itu telah penuh orang, ada yang
hendak pergi ke perjalanan, ada pula yang menunggu kedatangan kaum
kerabatnya. Di sana-sini pekerja-pekerja dan pegawai kereta api sibuk
dan ramai menjalankan kewajibannya.
Kereta seretan hilir-mudik mengantarkan barang-barang yang
hendak dimuat, amat ribut suaranya, sedang orang yang banyak itu pun
berkumpul di ruang stasiun, akan menantikan kereta yang datang itu;
sebentar-sebentar mereka itu meninjau ke barat, melihat kalau-kalau
asap kereta itu telah nampak.
Bunyi kereta api itu pun kedengaranlah, makin dekat makin kerat.
Asap yang berkepul-kepul beterbanganlah ke kanan dan ke kiri ... dan
kesudahannya kereta itu pun memasuki stasiun itu dengan suara yang
menderu-deru, sehingga tanah itu gemetar karena hebatnya.
"Allah," mengucap Aminu'ddin, "datanglah Mariamin?"
Sabarlah ... hanya sekejap lagi.
Hati Aminu'ddin berdebar-debar, dadanya gemuruh ... tiada berapa
lama antaranya kelihatan bapaknya sudah turun dari kereta, tetapi
Mariamin belum; tentu sebentar lagi ....
Sebagai kijang yang luka kena tembak, Aminu'ddin pun berlarilah
mendapatkan ayahnya itu. Akan tetapi saat yang nikmat itu bergantilah
dengan ketika yang belum pernah dirasa anak muda itu.
Ayahnya itu membawa anak gadis yang bagus, akan tetapi bukanlah
Mariamin yang diharap-harapnya itu ....
Bagaimana pertemuan anak muda itu tak dilukiskan di sini.
Tiadalah dapat menuliskan sedih dan pilu, kesal dan kecewa yang
diderita hati anak muda remaja itu. Sungguh terlampau berat akan
melukiskan hal itu. Dengan lekas-lekas mereka itu, yang datang dan yang menanti,
berkereta ke rumah famili Aminu'ddin. Semua hal itu sebagai mimpi
bagi dia, tiadalah ia sadar benar akan dirinya.
Lepas makan tengah hari, Baganda Diatas pun bercakaplah
menceritakan kedatangannya dan hal ihwal yang menyedihkan hati
Aminu'ddin itu. Kesudahannya ia berkata, "Benar perbuatan kami ini
tiada sebagai permintaan anaknda, tetapi janganlah anakku lupakan,
keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami
orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang
tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan bapak, dan
ibumu serta sekalian kaumkaum kita anakku akan menurut permintaan
kami itu, yakni anaknda terimalah menantu ayahanda yang kubawa
ini!" Meskipun Aminu'ddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi
pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang itu
semua. Bukanlah disebabkan ia tiada setia kepada Mariamin, akan
tetapi apakah dayanya melawan orang yang sebanyak itu" Lagi pula hal
itu sudah terlanjur sekali, tak dapat diundurkan lagi. Apatah kata
bapaknya nanti, bila anak gadis yang dijemput ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya" Itu belum pernah kejadian dan bukan adat!
Malu orang tuanya, malu Aminu'ddin juga, sedang menurut kitab


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak itu tiada boleh durhaka kepada orang tuanya.
Sebenar-benarnya Aminu'ddin setia juga kepada adindanya itu, akan
tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya. Amatlah berat
lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu.
Pendek kisah, Mariamin yang malang itu hanyut juga, makin lama
makin jauh, sehingga lenyap dari mata, sedang suaranya minta tolong
itu sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk.
Demikianlah kejadian cinta Mariamin yang malang itu.
Siapa yang salah" Dalam hal ini nyatalah adat dan kepercayaan
kepada takhyul itu yang mengurbankan cinta kedua makhluk Allah itu.
Dunia ini tempat panas dan hujan, duka dan suka berganti ganti di
atasnya. Kesudahannya cinta yang malang itu ada jugalah ekornya.
Sedang Aminu'ddin duduk dalam kamarnya, sebenarnya dalam
kamar kaumnya, tempat ia menumpang sementara itu yaitu sesudah
nikah dilakukan, ia pun berpikir dalam hatinya, "Pada waktu inilah
harus aku berkirim surat kepada Mariamin, memberitahukan hal ini dan
minta ampun kepadanya. Haramlah bagiku akan mengaku orang lain
istriku, sebelum perkataan meminta maaf ke luar dari mulutku; akan
jawabnya tak mungkin dapat ditunggu. Bila aku menulis surat kepada
Mariamin, sudahlah cukup sebagai meminta ampun. Surat yang akan
dibaca Mariamin itu, itulah ganti mukaku berhadapan dengan anak dara
itu." Maka ia pun mengambil sehelai kertas, lalu menulis surat.
"Anggiku Mariamin yang amat kucinta !
Sebelum kakanda menceritakan sebabnya kakanda berkirim
surat ini, lebih dahulu kakanda meminta doa kepada Allah,
supaya la memberi adinda kekuatan akan menahan kabar yang
akan kuberitakan ini kepada adinda.
Riam, berat yang kupikul, ngeri perasaanku sampai pada
waktu menulis surat ini. ... Hatiku remuk-redam.
Engkau pun tentu demikian. Sebab itu kumpulkanlah
tenagamu, pikullah bebanmu dengan hati yang sabar sebagai aku.
Anggi Riam, kasihku tiada berkurang akan dikau. Percayalah,
engkau tak kulupakan dari dahulu sampai sekarang, ya, sehingga
matiku. A ku pun percaya, adinda kasih juga akan diri kakanda,
sebab itu lebih dahulu aku minta ampun, dan keampunan itu
harap aku peroleh, sebab Riam kasih kepada kakanda anak yang
terbuang-buang di rantau ini.
Sekarang sampailah tulisanku ini kepada kabar yang
meremukkan hatimu. Ayah kita sudah datang ke Medan membawa
anak yang lain, dan kawan sehidupku.
Riam tahu benar, bukanlah dia yang kuminta, tetapi adindalah.
Akan tetapi sudah jauh terlanjur, sehingga tak dapat diulangi lagi.
Dengan nama Allah kakanda bersumpah, bahwa kakanda tak
bersalah, adinda pun tidak. Ya, hanya ini sajalah yang kakanda
katakan: Sekaliannya itu terjadi dengan takdir Allah Yang
Mahakuasa. Oleh sebab itu kepada Dia-lah kita serahkan
penanggungan kita yang sedih ini. Allah yang kasih akan
hambanya, Dialah yang dapat membuat hal ini berkesudahan
yang baik, baik kepada kakanda, baik kepada adinda.
Dan sekarang kita lupakanlah sekalian angan-angan dan janji
kita yang dahulu itu. Ya, apa boleh buat, sekaliannya telah hanyut
ke taut kedukaan. Kalau adinda ada semupakat, inilah kita janjikan, yakni kasih
dan cinta yang bertahun-tahun itu kita biarkan hidup dalam kalbu
kita berdua. Anggi Riam, buah hatiku, percayalah bahwa kakanda takkan
melupakan adinda, selama ada hayat di kandung badan, Orang
lain, istriku yang sekarang pun, tiadalah dapat kukasihi dengan
sepenuh-penuh hatiku, karena ruangan kalbuku telah penuh
olehmu. Akan penutup suratku ini, kakanda memberi pengakuan kepada
adinda, yakni pengakuan yang ke luar dari fuad zakiyat, bahwa
surat ini kusurat dengan perkataan yang terbit dari piala
keikhlasan hatiku. Dan sebagai permintaan yang penghabisan,
tetapi ini tak kuharapkan, kakanda ingin sekali menerima surat
balasan daripada adinda, yakni surat keampunan, supaya ombak
waswas yang berpalu-paluan di atas karang wasangka hati
kakanda itu, agak teduh sedikit rasanya.
Selamat ..., selamatlah engkau Riam. Tuhan memberkati
jiwamu ! Salam takzim daripada kakanda yang gundah gulana,
AMINU'DDIN Sambil ia menghapus air matanya yang jatuh menitik ke atas surat
itu, ia memasukkan surat itu ke dalam sampulnya, lalu dibawanya
malam itu juga ke kotak pos. Istrinya yang baru itu heran melihat
perbuatan suaminya itu, lebih-lebih melihatnya yang balut itu, ajaib
benar kepada dia, sebagai teka-teki yang tak dapat diterka.
Sebulan lamanya Baginda Diatas di Deli mengunjungi kaumkaumnya. Maka ia pun kembalilah dengan membawa pesanan yang
wajib dilakukan. Karena kalau tiada demikian, tak suka Aminu'ddin
menurut perkataan itu. Lagi pula menurut adat, seharusnyalah ia
berbuat demikian. Apakah pesan yang dibawa bapaknya itu"
Yaitu setelah sampai di Sipirok, ia dan istrinya harus membawa nasi
bungkus ke rumah ibu Mariamin*) meminta maaf, sebab Aminu'ddin
telah berjanji dengan Mariamin akan kawin. Akan penutup perbuatan
yang salah itu, haruslah mereka itu memberikan seekor lembu dan
kerbau kepada ibu Mariamin.
Hal itu diminta keras oleh Aminu'ddin kepada ayahnya, bukan
supaya menurut adat saja, tetapi maksud menolong adindanya yang
miskin itu, lebih berat padanya daripada adat.
Suatu tanda, bahwa Aminu'ddin bertabiat yang mulia terhadap
kepada sahabatnya yang malang itu.
Jadi nyatalah, bahwa ia tiada dusta, waktu menulis, "Saya mengaku,
takkan berkurang kasihku akan dikau, Riam."
*) Menurut adat orang Batak, orang yang meminta ampun
akan kesalahannya, harus membawa nasi ke rumah
orang tempat ia meminta ampun itu, supaya langkahnya
berat. Nasi itu biasa dibungkusdengan daun pisang;
sebab itu nasi itu bernama nasi bungkus.
Ya, benar; akan tetapi acap kali kejadian di dunia ini bahwa huruf
yang terukir di hati manusia itu amat mudah lenyap, apabila tukang
ukir yang lain datang. 7. DALAM'RUMAH BAMBU MARIAMIN
"Kak Riam! Ini surat, yang diberikan seorang tukang pos," kata seorang
budak, yang berlari-lari dari halaman rumah mereka itu masuk ke
dalam. Mariamin menerima surat itu dengan gemetar tangannya, karena
tulisan surat itu dikenalnya. "Surat ini dari Medan, dari Aminu'ddin,
Mak!" katanya, sambil membuka surat itu.
$elum habis Mariamin membaca surat itu, maka pucatlah mukanya,
peluhnya mengalir pada seluruh badannya. Pemandangannya pun sudah
salah, suatu pun tak ada yang terang dilihatnya, semua berpusingpusing di matanya. Kalau si ibu tiada menangkap dia, sudah tentu ia
jatuh terbalik karena ... ia sudah pingsan.
"Astagfirullah!" mengucap mak Mariamin, sambil meletakkan anaknya itu ke atas tikar yang terkembang. Yang pingsan itu terletak tiada
bergerak, dan surat yang menghancurkan jiwanya itu dipegangnya
kuat-kuat dengan tangan kirinya. Pipi, bibir serta kelopak mata yang
halus itu amat pucat, tiada ubahnya dengan mayat, hanya dada yang
turun naik sekali-kali itulah yang membe:i tanda, bahwa ia masih bernyawa.
"Bukankah bunda sudah berkata, kita orang yang hina" Anakku
bercintakan orang yang kaya juga. Beginilah kesudahannya," kata
ibunya sambil menangis, dan air matanya bercucuran ke atas pipi
anaknya yang malang itu. Beberapa lamanya barulah Mariamin sadar akan dirinya, karena ibu
yang sudah bingung itu tiada berbuat suatu apa akan menyadarkan
anaknya, umpama menyapukan air dingin ke muka si sakit. Bagaimanakah ia mengingat itu, karena ia pun sudah kehilangan akal pula.
Anak gadis itu membuka kelopak matanya yang pucat itu. Ia melihat ibunya menangis, dan surat di tangan kirinya. Sekarang tahulah ia
apa yang terjadi di atas dirinya. Maka bertangis-tangisanlah keduanya.
Bukankah hati manusia yang acap kali mendapat azab pada kehidupan ini, amat halus perasaannya" Jikalau ia luka, maka luka yang
sudah bertahun-tahun itu pun, menambahi sakit dan pedihnya luka yang
baru itu. "Janganlah anakku membaca surat itu juga, karena hati anakku
masih dalam masygul!" ujar ibunya, sambil surat itu dihelakannya
perlahan-lahan dari tangan Mariamin.
"Ya, Mak, simpanlah dahulu surat itu," sahut Mariamin dengan
keluh yang panjang. Entah berapa hari, entah berapa Jumat, entah berapa bulan anak
gadis itu tiada lagi meninggalkan tempat tidurnya. Tetapi lama, lebih
lama daripada dugaan orang, karena suatu pun tak ada obat yang
menyembuhkan penanggungannya itu. Benarlah seperti bunyi peribahasa ini: "Luka di tangan dapat ditahan, luka hati apa obatnya?"
Akan tetapi sungguhpun demikian, penanggungannya itu adalah makin
berkurang, sehingga setelah beberapa lamanya, dapat ia serta bekerja
menolong ibunya. Mukanya yang penuh dahulunya, sekarang sudah kurus dan pucat
dan mata yang hitam jernih itu sudah kurang cahayanya, amat
kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu
jangan dahulu dibawanya kerja; tetapi apa boleh buat, orang yang
miskin itu harus minum keringatnya dan makan dagingnya.
Tepat pada hari yang pertama, setelah Mariamin sembuh, maka
datanglah Baginda Diatas dengan istrinya membawa nasi bungkus ke
rumah ibu Mariamin. Waktu itu si ibu tak ada di rumah, hanya
Mariamin sajalah yang tinggal di rumah. Setelah dilihatnya orang tua
Aminu'ddin datang itu maka ia pun berlari ke luar mengajak mereka
masuk. Dengan muka yang ramah ia mempersilakan jamu itu duduk di
atas ... tikar, yaitu tikar yang dianyamnya sendiri itu, untuk tempat
duduk ayah Aminu'ddin dua laki-istri.
Serbuk kopi, juadah yang tersimpan itu pun dikeluarkannyalah, lalu
diletakkannya ke hadapan tamu yang berdua itu. Dengan hormatnya ia
berkata, "Ayah dan Bunda, minumlah air panas yang dengan tiada
sepertinya ini! Hamba hendak pergi sebentar memberitahukan mak
akan kedatangan ayah dan bunda; dia sekarang ada menjemur padi."
"Pergilah Anakku!" sahut Baginda Diatas.
Ia menyesal akan perbuatannya yang sudah-sudah itu, karena terkena hatinya oleh budi bahasa anak gadis miskin itu; sikap dan tertibnya pun adalah menarik hatinya. Muka yang pucat itu pun menerbitkan
belas kasihan dalam hatinya. Bukan belas dan kasihan saja, tetapi
dengan sesalnya. Sekarang ia amatlah menyesal sebab melalui
keinginan anak muda yang berdua itu.
"Siapa tahu, karena perbuatanku itu aku memusnahkan untung dan
mujur Aminu'ddin dan Riam?" pikirnya dalam hatinya. Pikir istrinya,
"Sebenarnyalah pendapatku itu yang lebih baik, tetapi apa boleh buat,
perkataan datulah yang lebih berat di hatimu."
Setelah itu Mariamin pun datanglah dengan ibunya. Orang itu pun
makanlah bersama-sama. Sesudah makan dan minum, Baginda Diatas
pun membuka tutur, yakni mengatakan maksud kedatangan mereka itu.
Semua pesan Aminu'ddin itu disampaikannya. Sesudah mereka itu meminta maaf atas kesalahannya itu, Baginda Diatas pun berjanji, bahwa
sejak daripada itu mereka itu akan mengubah kelakuan yang selama ini,
yakni tali perkauman itu takkan putus, melainkan bertambah kukuh
dalam hati mereka itu. Jamu itu pun pergilah; ibu Mariamin bersenang hati, bukan karena
pembawaan kerbau dan lembu itu, akan tetapi disebabkan janji yang
mulia itu. Mariamin, meskipun ia beroleh emas dan perak atau apa pun yang
lain, akan tetapi barang yang amat diinginnya itu tetap juga hilang,
hilang selama hidupnya. Tetapi sungguhpun demikian ia memuji budi Aminu'ddin yang baik
itu. Sementara itu ia mengambil surat Aminu'ddin dari bawah bantalnya, lalu dibacanya perlahan-lahan. Air mukanya tak berubah lagi,
tinggal tenang saja. Kemudian ia pun mencabik kertas kitab tulisnya
yang sudah lama, lalu ia menulis surat akan memenuhi permintaan
Aminu'ddin itu dengan seikhlas-ikhlas hatinya.
Yang terhormat Kakanda Aminu'ddin!
Surat kakanda itu sudah adinda terima. Ya, apa boleh buat,
sudahlah demikian takdir Tuhan berlaku atas hambanya.
Semuanya itu takkan kusesalkan kepada kakanda.
Ya, apa disesal kepada puan, puan suasa tempaan Bantan.
Apa disesal kepada tuan, nasibku itu pendapatan badan.
Dan tentang angan-angan dan cita-cita kita yang dahulu itu,
sebenarnyalah perkataan kakanda itu, lebih eloklah kita
melupakan dia daripada hati kita. Oleh sebab itu baiklah kita
buat sementara jangan berkirim-kiriman surat, agar supaya luka
hati kita jangan terantuk-antuk. Maklumlah kakanda Aminu'ddin,
bagaimana penderitaan adinda ini. Ya, perempuan itu mempunyai perasaan yang lebih halus, dan luka hatinya itu tiada
mudah sembuh, sebagai laki-laki. Oleh sebab itu baiklah kita
membiarkan, yang sudah tinggal sudah, janganlah kita
mengulang-ulangi dia. Permintaanmu itu, Aminu'ddin, kukabulkan dengan segala
suci hati. Lagi pula seharusnyalah kita bermaaf-maafan. Tetapi
sungguhpun perhubungan kita sudah putus, adinda ini harap
juga, supaya kita sebagai orang yang bersaudara.
Ya ... lebih dari itu tak mungkin lagi. Sehingga ini dahulu
suratku ini, surat yang terbit daripada hati yang putih.
Salam waltakrim daripada adikmu,
MARIAMIN Habis siang berganti malam, habis minggu berganti bulan, demikianlah adanya sehingga setahun, akan tetapi suatu pun tak ada
perubahan dalam rumah bambu tempat ibu dan anak yang miskin itu ....
Memang suatu pun tak ada perubahan selama tahun yang pertama,
akan tetapi pada tahun yang kedua telah ada lainnya. Lebih-lebih pada
waktu yang kemudian ini. Mariamin, anak gadis yang ... di dalam duka nestapa itu, sekarang
lebih sibuk bekerja daripada yang biasa, seolah-olah melakukan persediaan untuk perjalanan, serupa tahun yang dahulu. Tetapi sekali ini ia
bekerja itu tiada dengan girang hati, tangannya yang bekerja itu
bergerak dengan tak tetap dan muka yang halus itu kurang cahayanya,
karena dimuramkan hati yang bimbang itu.
Hari waktu berangkat tak lama lagi, hanya menunggu seorang muda
yang datang dari Padangsidempuan.
Dengan orang itulah ia akan kawin. Maksud orang itu yakni hendak
beroleh untung, karena sebagai kepercayaannya, perkawinan itu membawa untung kepada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi bagi anak
gadis itu, tiadalah perkawinan itu membawa untung dan mujur bagi dia,
ia perempuan, yang telah kenyang oleh kesedihan, meskipun umurnya
belum seberapa. Perkawinan itu tiada akan memutuskan azab dan sengsara yang bertali-tali itu, tetapi akan menambah kemelaratan lagi bagi dia, anak gadis
yang malang itu. Semuanya itu dilihatnya, dirasanya, bukan dengan urat sarafnya,
tetapi hatinya mengatakan padanya.
Akan tetapi apa boleh buat, tiadalah dapat ia menolak beban yang
akan dipikulnya itu. la telah mengerti, bahwa hidupnya di dunia ini
tiada lain daripada menanggung dan menderita bermacam-macam
sengsara. Bagaimanakah dapat ia menolak perkawinan itu, karena ibunya berkehendak demikian. Menerangkan keberatannya serta perasaan
kemauannya, tetapi membantah perkataan ibunya tak sampai hatinya;
karena belum pernah diperbuatnya.
Betul ibunya tak memaksa dia, hanya sekadar menyuruh dia.
Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan malu, apabila
anaknya itu tiada dipersuamikan. Orang yang tinggal gadis itu menjadi
gamit-gamitan dan kata-kataan orang. Itulah yang ditakutkan ibunya.
Itulah yang menyebabkan si ibu menyuruh anaknya menerima
pinangan orang itu. "Bukan mudah menjadi perempuan," kata ibunya, "laki-laki itu lain.
Meskipun ia melambat-lambatkan perkawinan, tak seberapa menyusah-
kan dia. Bila hatinya nanti tergerak hendak beristri, dapatlah ia dengan
segera mencari perempuan. Akan tetapi perempuan itu, kalau ia hendak


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersuami, bolehkah ia nanti masuk ke luar negeri orang akan mencari
jodohnya" Oleh sebab itu baiklah anakku jangan melalui permintaan
bunda ini; lagi pula manusia itu harus jua diperjodohkan, jadi tiadalah
faedahnya kita, segan-seganan karenanya."
Kebenaran dan pertimbangan yang dituturkan ibunya itu, benar pula
dalam pikiran Mariamin. Tetapi terasa dalam hatinya bahwa perkawinan itu, yang akan dilakukannya akan membawa dia ke jalan
kemelaratan. Akan tetapi ia merasa demikian dalam hatinya, jadi tiadalah dapat diberinya keterangan. Itulah sebabnya ia terpaksa juga akhirakhirnya menurut kesukaan ibunya itu.
Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padangsidempuan,
orang muda yang tiada dikenalnya, orang muda yang tiada dicintainya,
jodoh yang tak disukainya.
Orang muda" Sebenarnya tiada demikian, hanya katanya ia orang
muda. Di Medan, tempat ia makan gaji, ada lagi bininya. Ia pulang ke
Tapanuli hanya mengunjungi negerinya saja. Dalam pada waktu itu
dilihatnya ada seorang gadis anak orang miskin. "Itu tentu dapat diperoleh, karena aku kaya, makan gaji, kerani di Medan, sedang anak itu
orang kebanyakan," begitulah pikir orang itu. Istrinya yang di Medan
itu tiada susah menguruskannya, jatuhkan saja talak tiga, habis perkara;
gantinya telah ada, lebih muda lagi. Kelakuan yang serupa itu sudah
banyak sekali dilakukan orang muda itu.
Ya, kalau dikatakan laki-laki itu buas dan ganas tabiatnya, kasar
didengar telinga, tetapi tiada salahnya lagi. Bukankah banyak
perempuan yang melarat karena perbuatan laki-laki yang semacam itu"
Sungguh amat keji perbuatan itu.
Orang yang jadi suami Mariamin itu pekerjaannya kerani. Tentang
bentuk dan rupanya begini: dia tak dapat dikatakan muda lagi; raut
mukanya panjang, kurus sedikit, hidungnya pendek dan bibirnya tebal.
Cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan
cerdik, tetapi pintar dalam tipu daya.
Begitulah rupa si Kasibun, yaitu nama orang itu, yang akan jadi
suami anak gadis yang molek itu. Sekalipun rupanya tak dapat dikatakan elok, akan tetapi karena pandainya memakai dan memelihara
dirinya, kelihatanlah badannya yang agak tua itu lebih muda dipandang
daripada yang sebenarnya.
Kasibun pun datanglah ke rumah orang tua Mariamin.
Mariamin telah sedia akan meninggalkan Sipirok, menuju ke Medan
tempat yang ramai itu. Waktunya berangkat pun sudah dekat, yakni
besok hari Jumat, karena kawan di jalan telah dapat. Malam itu yakni
malam Jumat, pergilah si ibu dengan Mariamin memliawa cambung
yang berisi air dengan limau purut serta bunga-bungaan, pergi
mengunjungi kuburan mendiang Sutan Baringin. Setelah mereka itu
sampai, maka Mariamin pun menyiramkan air yang dicambung itu ke
atas kuburan bapaknya, dan ibunya berdiri memandang ke tanah, suatu
pun tak ada ia berkatakata, karena terkenang olehnya kejadian yang
sudah-sudah, tatkala Sutan Baringin masih hidup.
Mariamin meletakkan cambung itu, lalu mereka itu duduk bersamasama di sisi kubur itu.
Sunyi serta lengang rupanya tanah ,oekuburan itu, karena seorang
manusia yang lain tak ada di situ; matahari pun telah terbenam, hanyalah cahaya senja saja yang kelihatan di langit. Burung-burung pun telah
bersembunyi dalam sarangnya, juga udara yang memenuhi muka bumi
ini diam, seolah-olah orang musafir yang telah payah rupanya. Tempat
pekuburan yang sunyi itu menambah kesedihan hati si ibu; karena
waktu kegirangan yang sudah-sudah tergambar dalam hatinya, dan
gambar itu amat menyedihkan hatinya, karena sekaliannya itu telah
hilang terkubur, sebagai suami yang terkubur di tempat itu. Kini
tinggallah ia anak-beranak dalam kemiskinan, apalagi sekarang anak
yang sulung hendak bercerai pula dengan dia. Tetapi apa hendak dikata, sudahlah demikian janjinya. Lagi pula perceraian dengan anaknya
itu barangkali adalah akan membawa perubahan bagi mereka itu.
Banyaklah yang diharapkannya, karena itu ia berkata kepada anaknya,
"Mariamin, sekaranglah kuluaskan cita-cita yang terkandung dalam
dada bunda ini. Anakku telah maklum akan kemiskinan kita sejak dari
matinya ayahmu. Bukanlah bunda yang salah, dialah yang menyebabkan kita demikian. Tapi itu tiada boleh kita sesalkan kepadanya,
karena bukan dengan sengajanya, lagi pula ia telah meninggal. Karena
itu haruslah kita melupakan yang sudah-sudah itu. Tetapi sebagai
keinginan ibu, ibu berusaha akan memperbaiki keadaan kita, tapi
sampai kini suatu pun tak ada yang kuperoleh. Itulah sebabnya, maka
ibu ingin mempersuamikan anakku, karena si Kasibun itu tiada
berorang tua lagi, hanyalah saudaranya yang ada. Jika anakku pandai
mengambil hatinya, sampai ia sayang akan anakku, tentu ia memandang bunda sebagai ibunya sendiri, dan adikmu itu pun diperbuatnya sebagai saudara kandungnya pula. Kalau demikian dapatlah
kita kelak diam bersama-sama, karena gajinya pun besar, kata orang.
Bukankah lebih bnik kita meninggalkan luhak Sipirok ini, sawah
setelempap atau lembu sebulu kepunyaan kita tak ada di sini. Itulah
harapan bunda. Dengan sepandai-pandaimulah membawakan dirimu
kepada si Kasibun. Dan anakku ingatlah perkawinan ini sajalah yang
dapat menyudahkan sengsara kita yang bertimbun-timbun ini."
"Sedapat-dapatnya anakanda akan menurut perkataan bunda itu,"
sahut Mariamin, akan tetapi dalam hatinya ia merasa bala yang akan
menimpa dirinya. 8. DI TANAH ASING Bukit-bukit yang berbaris-baris di Pulau Samosir itu sebagai tertutup
dengan beledu nampaknya dari jauh; langit yang tak berawan itu adalah
seperti payung ubur-ubur, yang diperbuat daripada sutera hijau,
masing-masing melihat bayang-bayangnya ke muka air Danau Toba
yang jernih itu, seolah-olah dua orang bidadari yang berdiri di muka
kaca besar, akan mempersaksikan parasnya yang elok. Bunga-bunga
yang berkembangan di pantai Laut Tawar*), serta cahaya embun yang
berhamburan pada daun rumput-rumput, adalah pada mata kita sebagai
halaman yang permai, penuh dengan intan permata. Pemandangan yang
permai itu ditambahi suara alam yang merdu, sehingga telinga kita pun
merasai kenikmatan dunia ini.
Pada segenap padang rumput yang terletak di lereng-lereng bukitbukit berkeliling danau itu, kelihatan hewan beratus-ratus banyaknya.
Padang- itu ingar oleh suara kerbau yang menguak, lembu yang
mengeluh, dan kuda Batak yang termasyhur itu pun tiada kurang
bilangannya, karena di sinilah tempatnya, dan dari negeri itulah orang
menjual binatang-binatang itu pada segala penjuru Tapanuli, seperti ke
Medan, pun juga sampai ke Jawa. Siapakah yang tak suka melihat
jalannya kuda Batak yang kencang itu, siapakah yang tak ingin
menungganginya, karena meskipun ia berpacu atau mendua, pandailah
ia menjaga, supaya tuannya yang mendudukinya itu diam dan tiada
terlonjak-lonjak. Tengoklah perahu yang di atas muka air itu! Haluannya terhadap ke
utara, dan ia baru meninggalkan Balige, ibu negeri daerah Toba. Angin
sedang berembus dari belakang, sehingga perahu itu berlayar dengan
lajunya; layar pun terkembang semua, sebagai sayap burung yang
sedang melayang di udara. Kalau dihampiri perahu itu tentu
kedengaranlah suara orang menumpang yang bercakap-cakap dengan
riangnya; ada yang tertawa gelakgelak, ada yang bernyanyi, ada pula
yang bersiul. Siapakah yang tiada bergirang hati melihat pemandangan
yang seindah itu" Tetapi di antara orang banyak itu ada juga seorang perempuan yang
duduk bermuram durja. Meskipun ia mencoba-coba menghilangkan
dukacitanya, tak juga dapat olehnya. Kadang-kadang ia memaksa
dirinya akan tertawa menyertai orang yang terbahakbahak sekelilingnya
itu, akan tetapi ia tertawa itu sekedar akan menyama-nyamai orang itu
saja. *) Danau Toba dinamai orang juga Laut Tawar,
artinya laut yang airnya tawar.
Siapakah perempuan muda itu" Tak lain ialah Mariamin, dan perahu
itulah yang membawa mereka dengan kawannya seperjalanan ke TigaRas. Dari situ berjalan darat ke Pematangsiantar, dan kemudian terus ke
Medan. Pada waktu itu adalah susah berlayar dari Balige ke Tiga-Ras,
karena kapal api kecil belum ada.
Sudah tiga hari lamanya Mariamin bersama-sama dengan suaminya,
tetapi sampai waktu itu belum dapat olehnya hati suaminya itu, sedang
tabiatnya pun belum diketahuinya. Akan mengambil hati orang,
haruslah lebih dahulu kita kenal adat dan tabiatnya. Makin lama mereka
itu bersama-sama, sebenarnya, makin dekat mereka itu ke Medan,
tujuan perjalanan mereka itu,, makin besar waswas yang timbul dalam
hatinya. Oleh sebab itu' sudah tentu ia tiada beriang hati, setelah
mereka itu sampai di Medan.
"Mustahil aku selamat di tangannya. Inilah rupanya sebabnya aku
selama ini berhati syak melihat dia. Tetapi tak mengerti aku, ya, tak
kusangka-sangka, ia ada dalam hal yang demikian itu," kata Mariamin
dalam hatinya. Waktu itu suaminya pun sudah pergi kerja; ia sendirilah
yang tinggal di rumah. Semua pekerjaannya telah habis: makanan
tengah hari telah sedia, rumah dan pekarangan pun telah bersih
disapunya. la duduk sekarang menantikan suaminya pulang dari kerja.
Pada ketika itu ia mengenangngenangkan perjalanan kehidupannya
sejak dari kecil, sebagaimana kebiasaan perempuan yang baru kawin.
Apabila ia memikirkan kan hal suaminya itu, berdebarlah hatinya sebab
ketakutan. "Patutlah ia pucat dan kurus," kata Mariamin pula dalam hatinya.
"Seharusnyalah saya menjaga diriku supaya jangan menjangkit
penyakitnya itu kepadaku. Kalau aku beroleh dia, sudah tentu badanku
binasa." Ia gemetar, karena takutnya memikirkan penyakit yang serupa
itu. "Akan tetapi kalau ia memaksaku, apakah jawabku" Karena
kewajibanlah bagi perempuan menyerahkan dirinya, bila suaminya
meminta yang demikian. Itu tak boleh ditolak, karena atas itu ada hak
suami kepada perempuan. Kalau aku tak memenuhi hasratnya, tentu
aku dimarahinya, lamakelamaan dibencinya. Kesudahannya percederaanlah yang timbul antara kami. Apakah jadinya pengakuanku,
tatkala aku dengan ibuku bersama-sama di kuburan ayahku itu"
Kalau diturut keinginan suamiku itu, tentu binasalah badanku.
Sebab itu baiklah aku menjaga diriku, itulah yang terutama aku
lakukan. Mula-mula aku akan berlaku halus kepadanya, kubujuk dan
kusuruhkan dia rajin berobat. Kalau dia sudah sembuh, barulah ia
menguasai tubuhku. Sebelum itu belum boleh." Demikianlah keputusan
pikiran Mariamin perempuan yang berhati keras itu.
Pada malam itu datanglah apa yang disangka-sangka perempuan itu.
Akan tetapi ia menjawab dengan muka yang jernih serta suara yang
lemah-lembut, "Sabarlah Kakanda, apakah gunanya berdua sama-sama
susah di belakang hari. Kalau kakanda sudah baik masakan itu tak
kuturut. Oleh sebab itu haruslah dahulu kakanda kuat-kuat berobat."
Si laki meminta berulang-ulang, dengan bujuk, dengan perkataan
keras, tetapi perempuan itu menyahut, bahwa tak mungkin ia dapat
memenuhi kehendak itu. Meskipun bahasanya lemah-lembut, akan
tetapi Kasibun merasa juga bahwa istrinya itu tak dapat dibujuk atau
dipaksa. Oleh sebab itu diamlah ia. Oleh karena perantaraan mereka
berlaki-istri sudah kurang baik, karena si laki itu pun kecil hatinya dan
malu akan dirinya sendiri.
Dari kejadian itu dapat dimaklumi, apa sebab Mariamin menolak
kehendak suaminya. Memang Kasibun mengandung penyakit yang berbahaya, yang mudah menular kepada istrinya. Maklumlah kehidupan
orang di negeri yang besar-besar itu. Kuranglah orang mengindahkan
hukum syarak dan larangan kitab. Godaan pun amat banyaknya. Karena
itu banyaklah orang yang kurang hati-hati akan memeliharakan dirinya,
lebih-lebih orang-orang muda. Mereka itu terlampau asyik akan
permainan dunia, amat suka menyenang-nyenangkan diri, melakukan
kepelesiran, ... akan tetapi tiadalah dipikirkannya terlebih dahulu, mana
yang salah, mana yang dilarang kitab. Sekaliannya itu tak diindahkannya, asal hati dan nafsunya puas, ia sudah mengerjakannya, sehingga
lama-kelamaan ia menjadi budak nafsunya, bukanlah ia lagi yang memerintahkan dirinya. Orang yang serupa itu tentu akan binasa di
belakang hari. Kasibun, suami Mariamin yang suci itu, masuk golongan
orang yang serupa itu. Akan tetapi apa boleh buat; siapakah orang mengetahui dia itu"
Sipirok bukan kota besar, di Sipirok tak adalah orang yang berkeliaran
pada waktu malam hari. Kesudahannya Mariamin anak yang bersih itu menjadi kurbannya,
karena ia tiada sempat, sebenarnya tak mendapat paksa akan
memeriksa itu. Mereka itu pun kawin dengan tiada kenalmengenal.
Pada waktu itu amatlah ramai kota Medan, lebih daripada yang
biasa. Jalan-jalan besar penuh dengan kereta yang hilir mudik, sehingga
amatlah susahnya bagi orang yang berjalan kaki melalui jalan itu, debu
pun bangkit ke udara, karena air yang disiramkan itu kering dengan
sebentar itu juga. Keramaian yang serupa itu terjadi dua kali sebulan,
yaitu tanggal satu dan tanggal enam belas hari bulan. Di situlah
waktunya orang-orang bekerja di kebun datang ke Medan, beribu-ribu
banyaknya, Belanda, Cina dan Bumiputra.
"Siapakah orang muda yang datang itu" Jalannya dan lenggangnya
masih kuingat-ingat," tanya Mariamin dalam hatinya. Ia amat heran,
karena tiadalah biasa ia dikunjungi jamu, lebih-lebih laki-laki, karena
seorang pun tak ada kenalannya dalam kota Medan yang besar itu.
Orang itu makin dekat, dan nyatalah pada Mariamin, dia itu datang
menuju rumahnya. Akan tetapi rupa muka orang itu belum terang
dilihatnya; jalannya sudah dikenalnya benar-benar. Berulang-ulang ia
bertanya kepada dirinya, siapa gerangan orang itu. Dia itu mesti
dikenalnya, akan tetapi pada waktu itu belum terang dalam hatinya.
"Astaga!" mengucap Mariamin dengan muka pucat. "Aminu'ddinlah
rupanya orang itu," katanya terburu-buru, serta dadanya berdebardebar.
Sebelum orang itu melihat dia, ia pun berlarilah masuk ke dalam. Ia
duduk di atas sebuah kursi di kamar muka, akan menahan hatinya yang
berdebar-debar itu. Tiada berapa lama ia pun berpikir, "Boleh jadi
orang itu orang lain, manusia banyak yang serupa dari jauh. Aku bodoh
sekali, tiada kuperiksa benar-benar."
Adapun orang itu tiadalah lain memang Aminu'ddin. Waktu itu
tanggal enam belas yakni waktu istirahat bagi orang kebun. Ia sudah
mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang
ke Medan, dengan maksud hendak bersua dengan Mariamin, sahabatnya yang tak dilupakannya itu.
Sedang Mariamin berpikir-pikir demikian, maka ia pun berdirilah
hendak melihat dari pintu itu ke luar. Inginlah ia hendak mengetahui
yang sebenarnya. Lagi pula ia berlari ke dalam- itu bukan disebabkan
jaiznya, hanya hendak meneduhkan ombak gelora yang hebat dalam
dadanya jua. Akan tetapi baru ia hampir ke pintu, maka kedengaranlah olehnya
suara orang itu bertanya, "Inikah rumah kerani Kasibun, adakah ia di
rumah?" "Ya, itulah dia. Orangnya tentu ada di dalam, karena pintunya
terbuka," jawab seorang anak yang ditanyai Aminu'ddin.
Mariamin makin pucat, karena suara orang itu telah dikenalnya,
sehingga tak tahulah ia apa yang akan diperbuatnya.
Sementara itu masuklah Aminu'ddin ke dalam dengan langkah
perlahan-lahan. Baru ia naik dan berdiri di pintu, mukanya pun pucat
menentang Mariamin. Persuaan itu amat menyedihkan hati.
"Mariamin," kata Aminu'ddin, bibirnya gemetar, dan suaranya
putus-putus, seraya memberikan tangannya.
Mariamin menerima tangan Aminu'ddin. Ia berdiri itu termangumangu. Amatlah belas dan sedih perasaan hatinya, sehingga ia tak
dapat mengeluarkan sepatah kata jua pun akan mengajak Aminu'ddin
duduk. Kakinya gemetar, peluhnya mengalir pada muka yang makin
pucat itu, sehingga pipi yang halus itu putih sebagai kapas. Maka
lemahlah segala tulang anggotanya dan pikirannya seakan-akan hilang.
"Aminu'ddin!" katanya sambil ia jatuh terbalik. Suaranya hampir
tiada kedengaran. "Mengapakah Mariamin ...?" kata Aminu'ddin, seraya menangkap
tubuh perempuan itu. Akan tetapi yang ditanya itu tak mendengar dan
melihat suatu apalagi, karena ia telah pingsan.
Hati siapakah yang takkan remuk redam, siapakah yang dapat
menahan persuaan yang sesedih itu" Mungkin ada yang kuat imannya,
tetapi Mariamin tidak. Bagi dia yang melarat itu, sedikit saja duri yang
menyentuh hatinya adalah sebagai membelah dadanya, apalagi
kedatangan Aminu'ddin yang tak disangkasangkanya itu.
Aminu'ddin menyandarkan Mariamin ke atas kursi yang panjang,
dan anak itu disuruhnya mengambil air dingin ke dapur.
Perlahan-lahan ia membasahi muka yang pucat itu. Sapu tangannya
yang dibasahinya diletakkannya pada ubun-ubun yang pingsan itu.
Sedang ia memandang air muka yang pucat itu, teringatlah ia kepada
cita-citanya yang sudah-sudah. Mimpinya itu pun diingatnya dan suara
Mariamin yang hanyut itu didengarnya. "Aminu'ddin! Sampai hatilah
kamu membiarkan aku dihanyutkan banjir keazaban!" bunyi suara yang


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didengarnya berulangulang dalam telinganya. la pun tiadalah dapat
menahani air matanya, lalu ia menangis dengan tiada bersuara.
Mariamin pun sadarlah akan dirinya. Matanya itrr dibukanya perlahanlahan. Maka sesudah ia melihat air mata Arninu'ddin yang bercucuran
itu, ia pun menangislah tersedu-sedu.
"Diamlah Riam, janganlah menangis lagi, sudahlah untung kita
demikian," kata Aminu'ddin seraya mengeringkan air matanya.
"Ya, apa boleh buat," sahut Mariamin, "tetapi kedatanganmu itulah,
Aminu'ddin, yang menyentuh luka hatiku yang dalam itu. Bagi
angkang tiada seberapa, tetapi bagi saya tak dapatlah diduga dalamnya
luka yang kutanggungkan ini."
Sejurus lamanya kedua mereka itu duduk berhadap-hadapan dan
seorang pun tak ada yang berkata, masing-masing termenung, karena
terkenang akan pergaulan mereka yang sudah bertahun-tahun dahulu.
Maka amatlah sunyinya dalam rumah itu, suatu pun tak ada yang
kedengaran, hanya suara kereta dan kaki kuda, yang lalu-lalang di jalan
besar kota Medan yang indah itu.
Kemudian Mariamin berkata, "Aminu'ddin, tentangan yang sudahsudah, biarlah tinggal begitu, jangan kita pikir-pikirkan lagi."
"Maafkanlah kesalahanku itu," kata Aminu'ddin.
"Semuanya itu sudah lama kulupakan," sahut Mariamin.
"Ya, kesalahanku ini, karena saya datang seolah-olah menyakitkan
hatimu pula." "O, itu tak mengapa, karena saya tahu yang engkau datang mengunjungiku, sebab ramahmu dan tali perkauman kita. Seharusnyalah
saya mengucap terima kasih akan kebaikan budimu itu. Maaf
Aminu'ddin, saya hendak pergi sebentar ke dapur hendak mengambil
air panas. Dan saya harap Aminu'ddin sudi makan tengah hari di sini."
"Terima kasih, Riam, sebab dengan kereta pukul 12 saya mesti
balik." "Kalau demikian air panas sajalah!"
"Baik," kata Aminu'ddin.
Mariamin pun pergilah ke dapur. Maka ia pun membawa kopi tiga
cangkir serta kue-kue sedikit, lalu diletakkannya ke hadapan
Aminu'ddin. Dengan muka yang ramah ia pun mengajak minum
bersama-sama. Sedang minum, Aminu'ddin berkata, "Di manakah tuan
kerani?" "Belum pulang dari kantornya," sahut Mariamin. "Sudah berapa
lama Mariamin di sini?" "Belum genap sebulan."
"Tentu Mariamin ada bersenang hati di tangannya, bukan?"
Mariamin mengeluh, seraya menjawab, "Apakah gunanya Aminu'ddin
bertanyakan hal itu?"
"Saya ingin akan mengetahuinya. Bukankah orang yang bersahabat
itu harus mengetahui halnya masing-masing" Kalau engkau senang
tentu saya pun bersukacita."
"Hidupku takkan lepas dari sengsara," kata Mariamin. "Mengapa
engkau berkata demikian" Tiadakah sayang kerani itu akan dikau?"
tanya Aminu'ddin. "Wallahu alam."
"Jangan demikian, Riam. Haruslah kita pandai mengambil hati
orang dan memasukkan diri kita."
"Ah, lebih dari itu kuperbuat," sahut Mariamin dengan suara yang
sedih. Air matanya jatuh, waktu ia mengeluarkan perkataan itu.
Aminu'ddin melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan
percakapan lagi, takutlah ia kalau hati Mariamin bertambah-tambah
sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamin amat
sengsara dan suaminya itu kurang mengasihi dia.
Itu benar. Kasih tak ada dalam hatinya, sebaliknya kebencian yang
tumbuh, karena Mariamin tak suka menurut kehendaknya, meskipun ia
yang salah. Pukul setengah dua belas pulanglah Aminu'ddin meninggalkan
rumah itu, meninggalkan Mariamin. Matanya basah oleh air mata,
sebab sedihnya mengenangkan perceraian mereka itu, perceraian yang
akhir sekali di atas bumi ini, karena sejak itu tak pernah lagi mereka itu
bertentangan muka. Kita kembali kepada hidup kedua laki-istri, Kasibun dan Mariamin,
sebagai yang sudah dikatakan, kuranglah baiknya percampuran kedua
orang itu. Yang laki selalu menaruh cemburu dalam hatinya, dan
kadang-kadang ia berpikir, "Barangkali disebabkan ia bagus dan muda,
aku lebih tua dan buruk, itulah sebabnya ia tak tertarik hatinya
kepadaku, dan selalu menolak kehendakku." Maka timbullah dalam
hatinya rupa-rupa pikiran yang busuk-busuk tentang Mariamin; ya,
pikiran yang tak patut-patut. Maklumlah, siapa yang jahat itu tentu
memikirkan orang lain jahat pula sebagai dia. Perkataan dan
kelakuannya pun sudah jauh berkurang kepada Mariamin, lebih-lebih
setelah ia mendengar, bahwa Aminu'ddin datang ke rumahnya, tatkala
ia ada di kantor. Sejak itu amatlah ia membenci Mariamin.
"Perempuan yang tak boleh dipercayai," katanya kepada Mariamin
kalau hatinya panas. "Apakah sebabnya saya menerima perkataan yang serupa itu?"
sahut Mariamin. Tiadalah dapat ditahaninya, kalau orang menaruh syak
akan dia. "Orang lain kauterima. Suamimu tak kauindahkan," kata suaminya
itu. "Tiadalah pernah langkahku salah. Dia itu kaum dan senegeri
dengan saya; salahkah, kalau ia mengunjungi saya" Tuan tak kuindahkan, pabilakah itu?" jawab Mariamin.
"Selamanya tiadakah engkau tahu, bahwa aku lakimu" Engkau
kubeli*), karena itu harus menurut kehendakku!"
"Sebenarnyalah yang demikian itu. Saya menolak kehendak tuan,
bukan dengan maksud yang salah, hanya menghindarkan celaka."
Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara mereka
itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu tak segan
menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang
dipukulnya, disiksanya ....
Penanggungan Mariamin itu tiadalah ditambah-tambahi. Bahkan
ada yang lebih dari itu, banyak lagi yang keji dan ngeri, yang tak patut
diceritakan. Meskipun begitu baik juga diceritakan kebengisan yang dilakukan
Kasibun itu pada suatu malam atas diri Mariamin yang malang itu,
*) Engkau kubeli. Perkataan itu menghinakan
perempuan. Si laki yang membayar boli,
merasa dirinya berkuasa mengatakan, "Engkau
kubeli!" bila ia marah kepada bininya.
supaya dapat digambarkan siksaan yang ditanggung seorang
perempuan daripada suaminya.
Semalam-malaman itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, ke luar
dari kamar tiada boleh, pintu sudah dikuncinya. Di atas lantai batu
kamar itu tak ada tikar, sepotong pun tiada. Hendak tidur di atasnya, itu
pun tak mungkin, karena lantai itu dirusnya dengan air. Kalau ia
menangis sehingga suaranya kedengaran, Kasibun pun menyepak atau
menempelengnya serta dengan perkataan, "Tutup mulutmu, saya mau
tidur!" Kalau matanya berat dan ia malas bangkit dari tempat tidur,
tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apanya yang kena
tak dipedulikannya. Paginya itu ia pergi bekerja, sesen pun tak ditinggalkannya uang
kepada Mariamin. Meskipun api tak menyala di dapur tiada peduli ia,
untuk makannya takkan kurang, rumah makan banyak di Medan.
Kesudahannya Mariaminlah yang kelaparan. la sudah berapa kali diusir
oleh suaminya, akan tetapi ke manakah ia akan pergi" Seorang tak ada
kaumnya yang dikenalnya di Medan. Kepada ibunya di Sipirok telah
dua kali ia mengirim surat, akan tetapi siapakah orang yang akan
datang mengambil dia" Sebaliknya ia menyusahkan hati ibunya lagi.
Bagaimanakah perasaan ibu itu, bila ia menerima kabar kesengsaraan
anaknya" Kalau Mariamin perempuan yang dilahirkan di kota besar, atau
yang biasa diam di negeri yang ramai ... barangkali ia sudah nekat*).
Karena bagi dia, seorang perempuan yang muda dan cantik lagi
bersih, Mariamin memang cantik, bersih ... ya, sampai waktu itu
dirinya masih suci, tiadalah susah mencari kehidupan dalam kota yang
ramai sebagai Medan, asal ia jangan memandang kehormatannya.
Bukankah beratus, ya beribu-ribu perempuan yang berkeliaran pada
waktu malam" Kebanyakan itu disebabkan nekatnya, hatinya panas, ia
putus asa, karena perbuatan suaminya.
Kesudahannya mereka itu tak mau lagi kawin, mereka itu telah
menerima kesengsaraan yang cukup daripada laki-laki. Dan akan
pengisi perut, ia menjual kehormatannya.
Mariamin mengetahui itu sekalian, akan tetapi tak sampai hatinya
melakukan yang demikian, meskipun godaan yang terlalu itu selalu
dirasanya, dan sangat melarat.
Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai,
keluarlah Mariamin dari rumahnya. Ia berlari ke jalan besar, lalu naik
kereta yang ada di situ. "Ke kantor polisi, Bang," katanya. Sais itu pun membunyikan
cambuknya dan kereta yang bagus itu pun berlarilah dengan ken-
*) Lari cangnya. Mariamin menutup mukanya yang bengkak-bengkak. Dengan
sapu tangannya ia mengeringkan darah yang mengalir dari luka yang
pada keningnya. Amat sakit yang ditahannya, tetapi sedikit pun tak
mau dia mengerang, air matanya pun tak ke luar.
Di hadapan kantor polisi itu berhenti kereta itu. Mariamin turun lalu
berjalan ke dalam, sedikit pun tak segan atau takut perempuan yang
muda itu. Polisi yang berdiri di pintu itu terkejut melihat orang itu,
akan tetapi hatinya belas melihat mukanya yang teraniaya itu. Dari
pakaian Mariamin tahulah dia bahwa Mariamin orang Batak*), seorang
bangsanya. Polisi itu membawanya ke hadapan mentri polisi. Mariamin
pun menceritakan sekalian perbuatan suaminya itu. Perkara diperiksa,
si laki yang ganas itu dipanggil. Selama perkara belum putus, Mariamin
pun disuruh tinggal di rumah penghulu, karena seorang pun tak ada
kenalannya. Akan tetapi apakah hukuman yang diterima laki-laki yang bengis
itu" Tiada lain daripada ia didenda dua puluh lima rupiah, dan
perkawinan mereka itu diputuskan. Kesudahannya Mariamin terpaksa
pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik, membawa
malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil
yang di pinggir Sungai Sipirok itu.
Demikian perempuan yang malang itu menjadi kurban adat yang
sudah kuno itu. Kalau sekiranya persahabatan kedua anak muda itu,
persahabatan dari waktu anak-anak sehingga besar, bertambah rapat
kalau sekiranya jiwa manusia yang kedua itu dipadu menjadi satu,
sudah tentu bertambah dua orang manusia'di atas bumi ini yang hidup
beruntung serta bersenang hati.
*) Orang "Batak", penduduk Tapanuli, dikatakan
orang di Deli orang "Mandailing" akan
membedakan daripada orang "Batak Karo".
9. PENUTUP KALAM Bagaimanakah hal Mariamin sesudah itu dan seterusnya"
Marilah kita masuki lagi rumah kecil yang di pinggir sungai itu.
Hanya sekali ini saja lagi hendak dilukiskan apa yang kejadian di
rurnah yang malang itu. Inilah yang penghabisan. Oleh sebab itu
marilah kita ke sana. Itulah dia, di pinggir sungai! 0, bukan: itu pondok
yang lain, ke hilir lagi.
Itulah dia tempat perumahan itu !
Pondok teratak yang tua itu sudah rebah, atap lalang itu pun hampir
menjadi tanah, hanya tiang-tiang bambu itulah yang tinggal berserakserak di atas bumi. Tempat kesengsaraan itu sudah lenyap dari
pemandangan mata, karena halaman dan belakang sudah ditutup oleh
rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan yang menjalar. Perumahan yang
sunyi itu sudahlah dilupakan oleh penduduk Sipirok, tetapi tempat itu
takkan lenyap dari muka bumi ini, karena dia itu sudah terlukis dalam
buku ini, terlukis dengan huruf, supaya dibaca oleh semua yang mempunyainya.
Rumah itu sudah rebah, tempat itu sudah lengang, ke manakah yang
mendiaminya" Tempat anak gadis itu ada diketahui. Tetapi ke mana perginya si ibu
dan anaknya yang seorang lagi itu" Itu hanya Allah yang mengetahuinya.
Sekarang kita tinggalkan perumahan yang sial, sarang kemalangan
itu. Kita ambillah jalan besar yang menuju ke kampung A, kampung
Baginda Diatas, ayah Aminu'ddin itu.
Di situkah tinggalnya Mariamin sekarang" Tetapi janganlah dahulu
kita terus ke kampung itu. Nah, ini satu simpang: sekarang kita harus
menyimpang membelakang ke jalan besar.
Berhentilah, kita sudah tiba.
Sawah yang arnat luas itu berganti kulit, sebagai dialas dengan bidai
yang luas, karena waktunya mengerjakan sawah.
Langit yang terbentang di was kepala itu amat bersih, tiada berawan. Warna langit yang hijau itu bertambah hcning dan jernih, karena
matahari itu baru lenyap dari puncak Gunung Sibualbuali yang permai
itu. Angin yang lemah-lembut berembuslah akan menyegarkan dada
orang tani yang sudah payah itu dan sekarang sedang di tengah jalan
pulang sawah ke rumah mereka.
Makin lama makin sunyi di luar kota, karena masing-masing telah
meninggalkan pekerjaannya. Yang lebih lengang sekali, yaitu tempat
kita berdiri ini. Seram bulu roma rasanya melihat ke kanan dan ke kiri,
lebiti-lebih bila dipikirkan, bahwa tempat itu kuburan, tempat
perhentian manusia yang telah meninggalkan pekerjaannya di dunia ini.
Orang tani bekerja, pulang ke rumah akan berhenti, dan besoknya
bekerja kembali. Mereka itu laki-laki perempuan, berhenti di kuburan
itu, bukan berhenti akan mengumpulkan kekuatan untuk pekerjaan
esoknya, melainkan ... mereka itu berhenti, sambil menunggu akan
kedatangan hari yang akhir.
Hidup Mariarnin, pokok cerita ini, telah habis, dan kesengsaraannya
di dunia ini telah berkesudahan!
Lihatlah kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah ... itulah
tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selamalamanya.
Nyawanya sudah bercerai dengan badan, daging dan tulangtulang
itu busuk menjadi tanah, akan tetapi arwah yang suci itu rlaik ke tempat
yang mahamulia, yang disediakan Tuhan seru sekalian alam untuk
umatnya yang percaya kepada-Nya. Maka di sanalah air mata itu kering
karena suatu pun tak ada lagi yang menyusahkan hati. Azab dan
sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad
badan yang kasar itu. SELESAI Maryamah Karpov 4 Balada Si Roy 07 Telegram Karya Gola Gong Kisah Tiga Kerajaan 5
^