Pencarian

Skandal Hantu Putih 1

Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih Bagian 1


SKANDAL HANTU PUTIH
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
SATU TEBING karang itu cukup curam.
Di bawah tebing itu anak-cucu batu karang mencuat runcing, seakan pamer gigi
masing-masing. Belum lagi
ditambah debur ombak ganas yang
menghantam di kaki tebing cukup
membuat bulu kuduk meremang tak kenal lelah. Dapat dibayangkan seandainya
seseorang jatuh dari atas tebing, pasti raganya akan hancur tercabik-cabik anak-
cucu si karang kejam itu.
Selain raganya hancur tercabik,
nyawanya pun pergi tak mau balik.
Sebab itulah banyak orang yang malas terjun dari tebing karang yang dikenal
bernama: Tebing Selamat Tinggal.
Meskipun demikian, toh sore itu
ada saja orang yang berdiri di tepian tebing karang tersebut. Orang yang berdiri
di pinggiran tebing adalah seorang gadis berpakaian biru muda, lengkap dengan
jubah tipisnya yang berwarna kuning gading. Gadis itu berdiri di tepian tebing,
hanya satu langkah lagi ia menuju akhirat alias mati dicabik-cabik anak-cucu
karang runcing itu.
Sepasang mata anak muda berusia
sekitar dua puluh tahun memandangi tepian tebing itu dari pantai. Anak muda itu
mengenakan pakaian serba ungu
dengan bintik-bintik putih bening seperti tetesan embun menghiasai pakaiannya
itu. Bajunya nyaris tanpa lengan, sehingga tangannya tampak berotot kencang dan
kekar. Baju itu dikenakan dengan rapi, diikat dengan sabuk hitam. Baju itu tidak
dikancingkan rapat, sehingga dadanya yang bidang terlihat jelas. Di dada itu ada
tato gambar bunga mawar merah bertangkai biru tinta. Ia mengenakan celana ketat
dengan bintik-bintik embun sebagai penghiasnya. Tepian celana membentuk rumbai-
rumbai. Pemuda itu mempunyai wajah yang
tampan bercorak macho. Bukan tampannya lelaki homo, tapi tampan penuh
kejantanan. Hidungnya mancung, matanya sedikit biru, bulu matanya tergolong
lebat dan lentik untuk ukuran bulu mata cowok. Bibirnya tampak segar dan indah,
tanpa noda hitam
nikotin sedikit pun. Sebab itu cowok memang nggak pernah merokok. Wajahnya itu
mengingatkan kita pada wajah bintang film bule yang keren, yah...
setidaknya nilai ketampanannya itu sejajar dengan Christopher Reeve, yang jadi
Superman itu lho. Tapi kalau lagi ugal-ugalan modelnya kayak Mc Gyver.
Rambutnya panjang belakang, depannya cepak, potongan punk-rock. Pakai anting-
anting satu di kiri. Pakal gelang kulit berhias paku-paku metal.
Pokoknya keren deh.
Itulah ciri-ciri anak dewa
Batara Kama yang kawin dengan putri raja jin. Dia diberi nama oleh
bokapnya cukup sederhana: Pandu Puber.
Setelah menggulingkan jago samurai dari Tanah Sakura, ia berhak
menyandang gelar Pendekar Versi WBC, (Wajah Butuh Cinta). Gelar itulah kini
dikenal oleh para tokoh rimba
persilatan sebagai satu-satunya
pendekar muda berilmu tinggi yang juga penakluk wanita seangkuh apa pun.
Gelar itu tak lain adalah Pendekar Romantis.
Memang Pandu itu seorang pemuda
yang romantis. Kalau sudah pacaran nggak ingat sarapan. Kalau sudah mojok nggak
ingat jorok. Kalau merayu
wanita, wah... edan-edanan deh! Satu kalimat rayuan dilontarkan bisa bikin
gadis-gadis muter tujuh keliling, asal sebelumnya kepalanya digetok pakai kayu
tujuh kali. Sore itu sang anak dewa yang
jika naik ke kayangan berubah nama menjadi Dewa Indo itu, sepasang
matanya masih memperhatikan gadis yang berdiri di tepi tebing curam. Jaraknya
cukup jauh dari tempat nongkrongnya, tapi ketajaman matanya mampu melihat
sebentuk kecantikan yang lebih indah dari warna pelangi.
"Ngapain cewek itu dari tadi
berdiri di situ"! Apa nggak takut nyungsep masuk ke jurang karang" Bego!
Mendingan berdiri di depanku, nggak bahaya, nggak rugi, bisa untung lagi.
Uuh... dasar cewek nggak ngerti seni keindahan!" pikirnya dalam gerutu membatin.
Mula-mula sang Pendekar Romantis nggak mau ambil pusing soal cewek itu.
Matanya asyik menikmati gulungan ombak yang mirip gulungan kasur orang
mengungsi karena kebanjiran itu. Buih-buih ombak yang sampai ke pantai dekat
kakinya itu memercik, mirip busa sabun yang habis dipakai mandi seorang top
model. Pandu merasa senang memandangi keindahan alam seperti itu. Seekor ikan
teri melompat, seakan sedang menunjukkan kebolehannya yang tak kalah lincah
dengan lumba-lumba di Ancol. Pandu Puber hanya tertawa melihat ikan teri
melompat. "Kecil-kecil banyak lagak lu!"
ujarnya kepada sang ikan teri, tapi sang teri tidak tahu bahasa manusia, jadi
ucapan itu dicuekin saja sama sang teri.
Mata bening membiru itu
memandangi seekor keong berjalan lamban mendekati bebatuan. Seolah-olah sang
keong berkata, "Biar lambat asal selamat, oom!" Dan anak muda ganteng itu hanya
tersenyum saja.
Mendadak mata Pandu melayang
kembali ke arah gadis di tepi jurang karang. Kali ini kedua tangan sang gadis
ditutupkan ke wajah. Mulanya Pandu menyangka gadis itu takut
melihat kedalaman jurang.
"Makanya, sudah tahu penakut pake berdiri di pinggir jurang" Itu namanya gadis
bodoh! Tapi... Lho, kok badannya tampak terguncang terus-terusan"! Ooo... dia
lagi nangis" Ya, ampun..." Pasti dia sedang sedih.
Kenapa, ya" Kenapa kok menangis"
Apakah karena punya mata" Ah, aku punya mata kok nggak nangis" Hmm...
Tentunya gadis itu sedang dirundung duka yang... yang.... Wah, jangan-jangan dia
mau bunuh diri dengan terjun ke jurang" Gawat! Kalau gitu aku harus selamatkan
gadis itu deh! Kalau nggak mau diselamatkan, gue jorokin aja biar cepat rampung!"
Zlaaap...! Apa itu" Tetangga kita batuk"
Oh, bukan. Tadi adalah gerakan cepat dari si Pendekar Romantis. Ia
menggunakan jurus 'Angin Jantan' yang mampu membuatnya bergerak cepat
melebihi kecepatan cahaya. Makanya dalam waktu singkat cowok ganteng itu sudah
ada di belakang gadis yang sedang menangis.
"Kalau langsung kutegur pasti dia kaget. Kalau dia kaget, dia akan terlempar
jatuh ke jurang. Hmm...,
sebaiknya aku pura-pura batuk saja, biar dia nggak kaget," pikir Pandu.
Maka terdengarlah suara seperti dalam iklan Komix,
"Uhuk...! Uhuk...!"
Gadis itu menengok dengan
terperanjat. "Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk, uhuk, uhuuk... hoeek! Cuih!"
Pandu Puber terengah-engah.
Wajahnya jadi merah. Hatinya membatin gerutuan, "Setan! Maksudnya pura-pura
batuk kok malah jadi batuk beneran"
Ah, malu juga jadinya!"
Tangis gadis itu hilang. Tapi
suara parau gadis itu terdengar cukup jelas di telinga Pandu Puber.
"Kasihan, masih muda, tampan, eeh... punya penyakit bengek!"
Pendekar Romantis menelan suatu
rasa, yaitu rasa malu yang nyaris nggak ketulungan lagi. Baru sekarang ada gadis
menyangka dirinya punya penyakit bengek. Padahal aslinya sih nggak bengek.
Untungnya gadis itu punya paras cantik jelita, sehingga protes Pandu tak terlalu
keras. Ia paksakan diri untuk tersenyum, lalu melangkah tiga kali mendekati sang
gadis. Tiba-tiba sang gadis berseru,
"Berhenti! Jangan mendekat
lagi!" "Lho, kenapa?"
"Aku mau bunuh diri! Aku tak mau
kau pegangi saat aku mau melompat nanti!"
"Kau mau bunuh diri?" Pandu bernada tidak percaya. Sengaja ia bernada begitu,
supaya sang gadis mengurungkan niatnya karena tidak dipercaya.
"Ya, memang aku mau bunuh diri.
Kalau kau tidak percaya, lihat nih aku mau melompat ke jurang karang,
hiaaah...."
"Ee, eh... tunggu dulu!" Pandu mau mendekat dengan tangan terulur, tapi
gerakannya ragu-ragu dan sang gadispun tak jadi melompat.
"Apa maksudmu menahan
gerakanku"!" ketus sang gadis.
"Jangan bunuh diri, nanti kamu mati lho!"
"Memang aku kepingin mati!"
sahutnya makin ketus. "Lihatlah kalau nggak percaya, satu, dua, ti...."
"Eeeh... tunggu!" sergah Pandu Puber makin dekat tapi tak berani menyentuh gadis
itu. Kulit sang gadis begitu putih dan mulus berkesan
lembut, sehingga merasa sangat
disayangkan kalau harus disentuh secara kasar.
"Kalau boleh kutahu, apa
alasanmu kok mau bunuh diri?" tanya Pandu Puber dengan hati-hati, sebab kaki si
gadis sudah makin berada di tepian jurang. Geser sedikit lagi akan
jatuh ke jurang itu.
Gadis itu tundukkan kepala,
mulai tonjolkan kesedihannya. Pandu Puber perhatikan wajah dan sosok si gadis.
"Memang cantik dan menggiurkan sekali bodinya," pikir otak nakal sang Pendekar
Romantis. Dari ujung rambut sampai ujung
rambut lagi, mata Pandu menyusuri keadaan si gadis berjubah kuning gading itu.
Melihat ada pedang kecil di pinggang gadis itu, Pandu yakin gadis yang ada di
depannya bukan gadis desa biasa. Sedikitnya punya ilmu kanuragan. Walau hanya
sekadar untuk ciat sana ciat sini, tapi gadis itu punya mainan sendiri. Murid
siapa dia"
Tak tahu. Yang jelas dia juga bukan murid sembarang murid, karena ia mengenakan
kalung emas bermata hijau muda dari batuan jenis giok. Batuan hijau itu
berbentuk seekor ular naga sedang menari. Pasti murid-murid tertentu yang
memiliki batuan
bersimbol seperti itu. Mungkin saja itu adalah simbul perguruannya"
"Gila! Itu dada apa pabrik susu, kok gedenya membuat sesak napas orang yang
memandang?" pikir Pandu mengomentari keseksian si gadis
berambut sepunggung dengan disanggul bagian tengahnya.
"Katakanlah, apa kesulitanmu,
barangkali aku bisa membantumu, Nona Cantik," ujar Pandu Puber dengan suara
lembut dan tutur kata yang merdu merayu.
"Tidak. Kau tidak boleh tahu masalahku. Aku mau bunuh diri saja!"
"Ya, sudah! Aku mau pulang
saja." "Aku mau bunuh diri beneran nih!"
"Silakan! Aku mau pulang
beneran!" sambil Pandu berlagak mau mengeloyor pergi dengan cuek.
"Baiklah, akan kuceritakan
masalahku!" kata gadis itu setelah Pandu tampak melangkah lebih dari tiga
langkah. Pandu pun berhenti dan
berbalik mendekatinya lagi, namun jaraknya tetap dua langkah di depan sang
gadis. Mata sang gadis
memperhatikan Pandu terus, sisa air matanya buru-buru dilap dengan lengan
jubahnya. "Aku sedih. Karena itu aku mau bunuh diri. Aku tak bisa menghindari kesedihanku
ini," katanya dengan menunduk.
"Sedihnya itu kenapa" Jelaskan dong. Kalau cuma bilang: 'aku sedih', semua orang
tahu kalau kau sedih, sebab kau menangis. Tapi sedih karena apa, itu kan harus
dijelaskan, Nona!"
tutur Pandu bernada menyabarkan diri.
"Eh, namanya siapa sih?"
Setelah diam sesaat sang gadis
menjawab, "Namaku... namaku Rani Adinda. Aku putri kedua dari keluarga Sultan
Danuwija yang berkuasa di Kesultanan Sangir."
"Ooo... jadi kau anak Sultan?"
"Benar. Tapi aku termasuk putri mbalelo."
"Apa maksudnya 'puteri mbalelo'
itu?" "Kerabat kesultanan yang keluar dari peraturan kesultanan. Aku salah satu anak
yang tidak mau mengikuti aturan hidup di dalam keraton. Aku suka mengembara, dan
akhirnya berguru kepada seorang Resi yang bernama Resi Pancal Sukma, dari
Perguruan Naga Jilu."
"Naga Jilu berapa?"
"Gaji gue cekak!" jawab Rani Adinda dengan kesal hati.
"Maksudku, Naga Jilu itu kan ada tiga: di sebelah timur, barat, dan selatan.
Perguruan Naga Jilu barat adalah yang pertama, yang di timur itu yang kedua
sedangkan...."
"Dulu memang ada tiga, sekarang sudah menjadi satu, berpusat di
wilayah selatan," sahut Rani Adinda dengan serius.
"Baiklah. Terus, apa kasusmu sehingga kau mau bunuh diri?"
"Aku telah ditolak kembali ke keraton. Aku tidak diaku anak lagi
oleh ayahandaku. Aku dianggap bukan keluarga kesultanan."
Rani Adinda mulai menitikkan air mata lagi. Pandu Puber gemetar dan buru-buru
buang muka. Lututnya terasa lemas, tulang-tulangnya bagaikan lembek. Begitulah
jika ia melihat gadis menangis, selalu menjadi lemas dan matanya berkunang-
kunang mau pingsan. Makanya Pandu cepat-cepat buang muka sambil berkata,
"Hentikan tangismu! Hentikan!"
Pandu ingat ibunya. Setiap
melihat wanita menangis selalu ingat ibunya dan menjadi lemas sekali. Ia sangat
sayang kepada ibunya. Bagi Pandu, wanita itu ratu yang perlu diagungkan dan
ditayani. Karenanya, hati Pandu menjadi luluh dan nyaris hancur jika melihat
wanita menangis.
Kali ini ia berusaha bertahan agar tak sampai pingsan dengan cara keluarkan
suara bernada membentak. Otomatis sang gadis jadi kaget dan agak tersinggung.
"Kalau kau tak mau berhenti menangis aku akan pergi dari sini!"
Padahal hal itu tidak mungkin
bisa dilakukan jika Rani Adinda benar-benar menangis. Boro-boro pergi, bergerak
pun sulit. Ia akan jatuh pingsan, terkulai seperti sarung jatuh dari jemuran.
Tapi agaknya ancaman itu dianggap serius sekali oleh Rani Adinda, sehingga gadis
itu pun dengan susah payah menghentikan tangisnya, menarik napas beberapa kali dan
menjadi tenang kembali.
Setelah tak mendengar suara isak tangis, Pandu pun berkata lagi sambil mulai
berani memandangi gadis itu.
"Aku hanya memintamu
menceritakan masalahmu saja, tidak memintamu menangis! Aku paling benci melihat
wanita menangis! Paham"!"
"Baiklah, aku tak akan menangis lagi," kata Rani Adinda, seakan ingin menuruti
keinginan Pandu Puber.
Gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun itu berkata lagi,
"Aku akan kembali diterima
sebagai putri Sultan Danuwija, dan dianggap sebagai keluarga kesultanan lagi
apabila berhasil membunuh Hantu Putih."
Pendekar Romantis menggumam
heran nama itu, "Hantu Putih...?" Lalu batinnya berkata, "Baru sekarang aku
mendengar nama tokoh seperti itu.
Apakah benar-benar hantu atau hanya julukan saja?"


Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum hal itu ditanyakan, Rani Adinda berkata lebih dulu,
"Apakah kau tahu, siapa Hantu Putih itu?"
"Aku baru mau tanyakan padamu; apakah Hantu Putih itu benar-benar hantu atau
hanya nama julukan saja?"
"Entahlah. Aku tak jelas.
Ayahandaku hanya berkata begitu, lalu beliau tak mau bertemu denganku.
Bahkan aku tak diizinkan masuk ke dalam kesultanan."
"Mengapa tidak kamu tanyakan kepada gurumu?"
"Sudah. Tapi guruku tak tahu siapa orang yang menggunakan julukan Hantu Putih
itu. Menurut Guru, mungkin yang dimaksud Hantu Putih adalah benar-benar hantu
atau mayat yang terbungkus kain kafan dan berkeliaran di mana-mana. Tapi menurut
dugaanku yang belum tentu benar, Hantu Putih itu nama julukan seseorang."
"Dari mana kau bisa
menyimpulkannya begitu?"
"Kabarnya, ayahku sangat benci dengan Hantu Putih, sebab ibuku jatuh sakit
karena rindu ingin jumpa si Hantu Putih itu. Bahkan...," Rani Adinda diam
sebentar, seperti ada yang perlu dipertimbangkan. Setelah
beberapa saat ia melanjutkan ucapannya tadi,
"Menurut kabar yang kudengar dari mulut pelayan istana, ibuku terlibat
percintaan gelap dengan Hantu Putih dan sulit melupakan si Hantu Putih. Kabarnya
lagi, ibuku terkena Racun Raja Rindu yang entah bagaimana caranya bisa
disebarkan oleh si Hantu Putih itu. Racun Raja Rindu itulah yang membuat Ibu tak
mau menganggap Ayah sebagai suaminya lagi. Yang diingatnya cuma si Hantu Putih saja!
Bahkan Ibu bersumpah, jika belum bertemu dengan Hantu Putih tak mau makan
selamanya!"
"Malah irit," gumam Pandu dengan selorohnya. Sengaja ia berkelakar sederhana
supaya Rani Adinda tidak menangis lagi mengenang nasibnya.
Walau sang gadis tidak tertawa,
tapi Pandu yakin selorohnya Itu
mengurangi ketegangan batin si gadis
"Karena sudah cukup lama aku mencari Hantu Putih tapi tidak
berhasil, akhirnya aku patah semangat, putus asa. Daripada nggak bisa balik sama
keluarga, lebih baik aku ambil jalan pintas untuk mati bunuh diri saja!"
"Maksudmu, jika kau mati kau bisa bertemu Hantu Putih, gitu?"
Rani Adinda gelengkan kepala.
"Nggak gitu maksudnya. Aku tak tahan menjalani kepedihan hidup seperti ini.
Aku ingin bebas dari kesedihan, tapi tak ada yang mampu menghiburku, tak ada
yang mampu membantuku menemukan Hantu Putih. Karenanya, kematian adalah yang
terbaik bagiku untuk selesaikan masalahku ini!"
"Kau tak perlu bunuh diri. Untuk apa cepat-cepat mati sih" Toh semua masalah
bisa dicari jalan keluarnya.
Jalan keluar yang paling mudah adalah
lewat pintu, lewat jendela lebih sulit. Tapi semua itu toh namanya jalan
keluar?" Pendekar Romantis semakin dekati gadis berwajah imut-imut itu, kemudian menepuk-
nepuk punggung si gadis dengan lembut dan berkata penuh nada-nada minor.
"Sayangilah dirimu sendiri
sebelum orang lain sayang kepadamu.
Selamatkanlah dirimu sendiri sebelum orang lain menyelamatkan dirimu.
Cintailah dirimu sendiri sebelum orang lain boleh mencintaimu. Pakailah pedoman
hidup itu supaya hatimu tenang dan damai. Sejujurnya kukatakan
padamu, gadis secantik kau tak pantas mati muda. Seluruh pemuda sebayaku akan
menangis darah jika melihat gadis secantik kau mati bunuh diri."
"Benarkah begitu?"
"Ya, benar sekali, Adinda!"
jawab Pandu Puber mulai ngecap macam-macam. Lalu la berkata lagi,
"Jangan khawatir dengan hasib hidupmu. Aku akan membantumu!"
Gadis itu menatap Pandu dengan
mulut sedikit terperangah, menampakkan bentuk bibirnya yang seakan menantang
untuk dikecup sehari-semalam suntuk.
Hatinya membatin pula tentang Pandu Puber.
"Benarkah si ganteng ini mau menolongku" Benarkah dia mampu
menemukan Hantu Putih" Ah, kalau dia gagal aku tetap tak akan membencinya.
Bagiku, membenci pemuda setampan dia adalah perbuatan terkutuk yang tidak akan
diampuni oleh para dewa! Oh, hatiku kenapa bisa setenang ini. Baru mendengar
kesanggupannya saja,
ternyata hati sudah menjadi damai dan girang sekali. Padahal bisa saja dia
ngibul. Tapi, ah... dia tak punya tampang jadi tukang kibul kok.
Tampangnya adalah tampang pemuda romantis yang punya sifat jujur, setia dan
hangat dalam pelukan. Hmmm...!
Hatiku kok jadi seperti semutan sih"
Ah, bingung sendiri aku kalau begini jadinya. Mau ngapain, ya" Menangis"
Oh, jangan. Nanti dia membentakku lagi. Diam saja" Oh, jangan. Nanti dia anggap
aku nggak serius membutuhkan pertolongan dalam hal ini. Habis aku harus ngapain
sekarang ini, coba"!
Pikir dong, pikiiir...!"
Celoteh itu bagai ditujukan
untuk diri sendiri. Yang jelas Rani Adinda menjadi salting alias salah tingkah.
Untuk mengatakan sesuatu pun sulitnya bukan main. Akibatnya Pandu sendiri yang
memecah kebisuan di antara mereka berdua.
"Begini saja! Temukan aku dengan ayahandamu dan biarkan aku bicara dengan
beliau. Barangkali beliau bisa kasih ciri-ciri si Hantu Putih jika
bicaranya padaku. Jika padamu tak akan diberikan ciri-ciri itu karena pasti
beliau masih dongkol mengingat kau tumbuh sebagai gadis 'mbalelo' tadi."
"Ja... jadi aku harus membawamu ke kesultanan dan mempertemukan dirimu dengan
ayahku" Oh, nggak deh! Aku nggak mau ketemu beliau sebelum
membawa pulang kepala si Hantu Putih"
"Habis, gimana caranya bisa tahu siapa yang menjadi Hantu Putih dan yang menjadi
bahan buruan kita" Mau tak mau kita harus banyak bicara dan berembuk dengan
ayahmu!" DUA PERDEBATAN itu bikin Pendekar
Romantis kesal. Rani Adinda tetap ngotot nggak mau pulang menghadap Sultan
sebelum membunuh Hantu Putih.
Ia malah mengusulkan untuk mencari seorang ahli nujum untuk menanyakan soal
Hantu Putih. "Di mana ada ahli nujum?" gumam Pandu dengan hati menggerutu.
"Ya kita cari dulu, kita
tanyakan kepada orang di mana ada ahli nujum sakti di sini?"
"Cari..."! Uuh...! Mencari Hantu Putih saja belum bisa, masih harus mencari ahli
nujum. Tambah puyeng deh kepalaku kalau gini caranya"
"Kalau kau puyeng ya sudah, pulanglah saja ke kandangmu. Biarkan aku bunuh diri
saja di jurang ini!"
Rani Adinda bersungut-sungut. Pandu Puber memandang dengan hati terpaksa harus
bersabar. Ancaman seperti itu sebenarnya
yang membuat Pandu Puber tak bisa lakukan apa yang menjadi kehendaknya.
Secara jujur hatinya mengakui bahwa ia tak bisa melihat Rani Adinda mati bunuh
diri. Bisa-bisa Pandu akan merasa menyesal seumur hidup jika membiarkan Rani
Adinda mati bunuh diri sebelum disentuh bibirnya. Jadi dengan cara bagaimanapun
mau tak mau Pandu
harus bisa mencegah anak sultan itu tidak terburu-buru mati.
"Barangkali kalau dia sudah merasakan sebentuk kehangatan bibirku dia akan
enggan mati dengan cara apa pun" pikir Pandu.
Rani Adinda mengaku pernah
dengar nama seorang ahli nujum di kaki Gunung Malabar. Gadis itu mengajak Pandu
Puber pergi ke sana.
"Namanya: Syuka Nehi. Kabarnya dia tidak pernah pergi ke mana-mana dan selalu
tinggal di kaki Gunung Malabar. Jadi kalau kita kesana pasti akan ketemu dia."
"Dia ahli nujum apa pedagang martabak?"
"Pandu! Aku serius nih!" Rani Adinda merajuk jengkel.
Pandu Puber tertawa kecil.
"Gunung Malabar itu jauh, Sayang,"
ujarnya dengan lembut sambil merapikan rambut di punggung Rani Adinda.
"Gunung Malabar ada di Tanah Gangga, di India sana."
"Biarpun jauh akan kutempuh.
Yang panting aku bisa tahu siapa yang dimaksud dengan Hantu Putih itu dan di
mana letak persembunyiannya."
"Perjalanan ke Tanah Gangga sangat berbahaya. Banyak perampok yang akan
menghadang perjalanan kita."
"Aku tak takut. Asal bersamamu, aku tak takut!" ucap Rani Adinda
membuat hidung Pandu mengembang
bangga, seakan ia dijagokan oleh gadis secantik itu.
Ketika mereka berhadapan dalam
jarak kurang dari satu jangkauan, mata Rani Adinda memandangi Pandu dengan
sedikit sayu. Lalu terdengarlah gadis itu berucap penuh perasaan.
"Kalau kau bisa menolongku dalam masalah ini sampai tuntas, apa pun yang kau
inginkan dariku akan
kuberikan."
"Kau menjanjikan upah yang
istimewa, begitu?"
"Benar. Upah istimewa kusediakan untukmu. Begitu. Ganti!"
Pandu tertawa kecil. "Kok kayak roger-rogeran. Pakai ganti, segala!"
sambil tangannya mencubit pelan dagu si kulit lembut itu. Yang dicubit hanya
tersenyum. Senyum itu membuat hati Pandu bermekaran mirip kerupuk masuk ke
penggorengan. Sedangkan si gadis sendiri seakan minta dicubit lagi dengan cara
sedikit mengangkat dagunya dalam memandang. Pandu nekat mencubit lagi. Lalu si
gadis bilang, "Jika kau berhasil menolongku, kau boleh mencubit seluruh tubuhku dengan cara
apa pun!" Mantap! Ini sebuah tantangan
bagi Pendekar Romantis. Semangat yang timbul semakin membara. Keputusan pun
dibulatkan, ia harus mendampingi Rani
Adinda menuju ke Tanah Gangga untuk menemui seorang ahli nujum bernama Syuka
Nehi. Rintangan pertama datang ketika
mereka menuju ke perkampungan nelayan untuk menyewa perahu. Sebab tanpa perahu
mereka tak bisa sampai ke Tanah Gangga. Barangkali Pandu Puber bisa sampai ke
sana dengan menggunakan selembar papan atau daun pisang plus menggunakan ilmu
peringan tubuhnya.
Tapi gadis montok itu belum tentu bisa menumpang kendaraan aneh tersebut.
Untuk berdiri di atas daun pisang dan melaju di tengah samudera harus
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sedangkan Pandu sudah
menguasai hal itu sejak kecil. Bahkan ia pernah bermain selancar dengan selembar
daun pisang sewaktu berusia sekitar sepuluh tahun atau tujuh tahun, lupa! (Kalau
mau ingat, baca serial Pendekar Romantis dalam
kisahnya : "Hancurnya Samurai Cabul"
nggak rugi kok).
Soal perintang pertama tadi,
Pandu Puber merasa sudah memasuki awal tantangan dalam kasus Hantu Putih
tersebut. Awal tantangan itu ditandai dengan munculnya seorang pemuda tampan
berpakaian serba putih. Rambutnya ikal bergelombang, panjang sebatas
punggung. Ikat kepalanya warna putih pula. Senjatanya terompet kecil dari
logam anti karat warna putih
mengkilap. Pemuda itu berkumis tipis, berusia sekitar dua puluh dua tahun.
Badannya tegap, kekar, tampak berotot, sebab baju putihnya tanpa lengan.
Kemunculan pemuda berpakaian
putih itu membuat Pandu Puber menatap penuh curiga. Caranya muncul yang
menghadang langkah sudah menunjukkan niat tidak baik menurut Pandu. Tapi sang
Pendekar Romantis masih tenang-tenang saja. Ia membiarkan Rani Adinda maju satu
langkah dan bicara dengan pemuda tampan tersebut.
"Lagi-lagi kau, Sawung Seta!
Bosan aku melihat tampangmu!"
"Ke mana pun kau pergi aku akan tetap mencarimu, Adinda. Karena hatiku tak bisa
melupakanmu!" ujar pemuda yang bernama Sawung Seta.
"Aku muak padamu!" ketus Rani Adinda.
"Mungkin karena sudah ada pria yang lebih tampan dariku?"
Karena Sawung Seta melirik sinis kepada Pandu Puber, maka Pandu pun menyahut
dengan senyum sinis pula,
"Terima kasih atas pengakuanmu, Sobat!"
"Cuih...!" Sawung Seta meludah menandakan penghinaan yang amat dalam dari lubuk
hatinya. Tapi sang Pendekar Romantis hanya tertawa pelan dengan sikap lebih
merendahkan pemuda
berpakaian putih itu.
Rani Adinda berkata kepada
Sawung Seta, "Sudahlah, Sawung Seta...
pergilah bersama perempuan itu dan jangan temui aku lagi. Aku benar-benar sudah
muak melihat tampangmu! Kau sudah cukup menggoreskan luka di hatiku dengan
menjalin hubungan gelap dengan perempuan liar itu! Pergilah jauh-jauh dengan si
jalang itu, Sawung Seta!"
"Hubunganku tak sedalam
dugaanmu. Kau terlalu cemburu, Adinda.
Sekarang pun dia sudah kutinggalkan dan tak sudi untuk kudekati lagi. Aku lebih
baik kehilangan dia daripada kehilangan dirimu, Adindaku sayang!"
Pandu membatin, "Boleh juga rayuannya. Tapi aku yakin Adinda tak akan terbuai.
Rupanya pemuda ini bekas kekasih Adinda dan terlibat skandal dengan perempuan
lain, sehingga Adinda sakit hati, lalu tak mau menemuinya lagi. Hmmm... kalau
tak mau ya jangan dipaksa dong. Kalau dipaksa urusannya denganku deh! Kupelintir
batang lehermu jadi gangsing lu!"
Pada akhir bujukan Sawung Seta,
terdengar kalimat yang memanaskan hati Pandu Puber, walau Pandu bisa menahan
diri untuk tidak mudah terpancing oleh kata-kata itu. Sawung Seta berkata kepada
Rani Adinda dengan suara
seperti orang menggeram jengkel.
"Apakah kau ingin aku bertarung dengan jagoanmu itu" Mungkin kau ingin tahu
kehebatan ilmuku dalam mematahkan tulangnya"!"
Rani Adinda tersenyum sinis.
"Kalau kau ingin bertarung melawannya, kau harus bisa kalahkan aku dulu, Sawung
Seta!" Puser Pandu mangkak, merasa
dibela oleh gadis secantik Rani
Adinda. Ia hanya tersenyum-senyum saja sambil menggigit-gigit sebatang rumput
sejak tadi. "O, jadi kau rela berkorban demi pemuda culun itu"!"
"Jangan menghinanya, Sawung Seta!" hardik Rani Adinda. Ia tampak semakin galak.
Bahkan berkata dengan nada keras,
"Biar kau murid si Layang Petir, aku tidak akan mundur setapak pun kalau harus
bertarung melawanmu, Sawung Seta!"
Pandu Puber kaget, sebab ia
kenal betul dengan tokoh tua yang bernama Layang Petir. Pandu memanggil tokoh
tua itu dengan sebutan 'Pak Tua'.
Dan Pandu pun tahu seberapa
tinggi ilmu Layang Petir yang dulu bekas muridnya Iblis Banci itu. Kini Pandu
jadi gelisah dan terbayang wajah tua si Layang Petir yang pernah
membuatnya dikuasai hasrat bercumbu
gara-gara sinar putih dari mata Pak Tua tersebut, (Cumbuannya ada di serial
Pendekar Romantis dalam kisah :
"Patung Iblis Banci" - panas dingin lho kalau membacanya).
Lebih gawat lagi Rani Adinda
berkata sumbar, "Kalau perlu, gurumu suruh kemari dan berhadapan denganku!
Nih, murid Resi Pancal Sukma tak akan tumbang menghadapi Layang Petir dan
muridnya yang kayak ondel-ondel itu!"
Gemeretak gigi Sawung Seta
mendengar hinaan seperti itu. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat.
Matanya mulai mengecil pertanda
memendam murka. Ia bicara dengan suara menggeram,
"Bicaramu kelewat batas, Rani Adinda!"
"Blarin! Biar elu nggak mau lagi deketin gue!"


Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau bukan karena hati sedang jatuh cinta padamu, kuhancurkan
kepalamu pakai terompet saktiku ini, Adinda!"
Dengan tengil Rani Adinda
menyahut, "Hancurkan saja kalau bisa!"
"Tidak. Kalau kepalamu
kuhancurkan, bagaimana nanti jika aku ingin mengecup bibirmu?"
"Cari bibir kuda aja!" timpal Pandu tak tahan ingin mencandainya.
"Tutup mulutmu, Setan!" bentak Sawung Seta dengan mata membelalak
berang. Rupanya inilah saat yang ditunggu-tunggu Sawung Seta,
melampiaskan kemarahannya kepada Pandu daripada harus bertarung melawan gadis
yang sedang digandrunginya itu. Ia mendekati Pandu yang berdiri di bawah pohon
teduh, tapi Rani Adinda cepat-cepat bergerak dan menghadang langkah Sawung Seta
sebelum dekat dengan Pendekar Romantis. Sang pendekar hanya tenang-tenang saja,
menggigit-gigit rumput secara iseng.
Rani Adinda bertolak pinggang di depan Sawung Seta, "Kau mau apa, hah"!
Mau apa kau" Apa mau kau, hah"! Mau kau apa, hah"!"
Tengil amat gadis ini, pikir
Pandu dengan geli. Tapi ia membiarkan saja segala tingkah si cantik berdada
pabrik ini. Dalam hati Pandu hanya memuji keberanian Rani Adinda yang bila
dilawan Sawung Seta belum tentu bisa unggul. Sebab Pandu tahu
kesaktian Layang Petir, tentu saja Pandu bisa mengukur kehebatan ilmu muridnya
itu. "Aku ingin buktikan bahwa kau telah terpikat oleh pemuda bego, Adinda!
Minggirlah, biar kuhajar mulut lancangnya tadi!"
"Hajarlah aku dulu kalau kau ingin menghajarnya!" Rani Adinda maju mendesak,
Sawung Seta mundur berusaha menghindari pertarungan dengan gadis
yang sedang digandrunginya itu.
"Sawung Seta! Tinggalkan kami atau aku bertindak kasar lebih dulu padamu!" ancam
Rani Adinda benar-benar penuh keberanian. Entah berani beneran atau cuma action
saja di depan Pandu, tak jelas. Yang pasti, Sawung Seta menjadi makin dongkol,
napasnya mulai dihela dengan berat. Matanya pun menatap Rani Adinda dengan penuh
kemarahan. Akhirnya ia berkata dalam nada geram.
"Aku tak mau pergi jika tanpa dirimu, Adinda!"
"Kalau begitu aku harus
mengusirmu dengan caraku sendiri!
Hap!" Rani Adinda membuka jurus
pertama, badannya merendah dengan kaki kiri ditarik ke belakang, kedua
tangannya mengembang di depan dada dan di atas kepala. Matanya memandang tajam
pemuda itu. Kemudian gadis itu melompat
dengan suara serukan pertarungan.
"Heaaat...!"
Wuuut...! Badannya berputar secepat
baling-baling ketika dalam jarak satu jangkau dengan Sawung Seta. Sambil
memutarkan badan, kaki Rani Adinda membentang dalam sentakan kuat. Dua kakinya
itu bagai ingin menendang wajah Sawung Seta secara beruntun.
Tetapi tangan Sawung Seta tak kalah cepat dalam gerakannya.
Plak, plak, paaak...!
Tendangan itu ditangkisnya.
Bahkan betis Rani Adinda sempat
dihantam dengan telapak tangan.
Hantaman itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang lumayan dan membuat tubuh Rani
Adinda terpelanting hilang
keseimbangan. Bruuus...! Rani Adinda jatuh di pasir.
Posisi jatuhnya mirip seekor kucing ingin menerkam lawan.
"Boleh juga jurus Adindaku,"
pikir Pandu Puber masih gigit-gigit rumput dengan kalem.
Sawung Seta berkata, "Aku
terpaksa memberi pelajaran padamu supaya kau tidak meremehkan aku, Adinda!"
Wuuusss...! Sebuah pukulan jarak jauh tanpa
sinar dilepaskan oleh Sawung Seta.
Gelombang pukulan yang dapat
memecahkan balok kayu itu dihindari Rani Adinda dengan satu lompatan yang
menyerupai kucing betina sedang
mengamuk. Wuus...! Dalam lompatannya itu Rani Adinda seolah-olah terbang dan
meliuk-liuk ke kiri kanan membuat Sawung Seta sedikit bingung
menghadapinya. Tahu-tahu kaki Rani Adinda menyepak wajah pemuda Itu
dengan kelebatan cepat sekali.
Plaaak! Sawung Seta terlempar ke samping hampir jatuh. Wajahnya merah matang karena
sepakan kaki si gadis. Pukulan tenaga dalamnya tadi sama sekali tak mengenai
Rani Adinda namun hanya membuat pasir pantai menyembur ke atas dalam sekejap.
"Gila! Pasti itu jurus naga.
Cuma... naga apa namanya, entahlah.
Anggap saja itu tadi Jurus 'Naga Bangun Tidur' yang menjadi salah satu Jurua
andalan Rani Adinda," pikir Pendekar Romantis yang mirip penonton di arena
pertarungan. Sama sekali tak memberikan gerak atau bantuan apa pun kepada Rani
Adinda. Ia memang ingin melihat seperti apa kehebatan gadis itu melawan muridnya
Pak Tua; si Layang Petir. Makanya ia hanya senyum-senyum saja.
Sawung Seta tegak kembali.
Napasnya ditarik dalam-dalam pertanda sedang mengatasi rasa sakit dengan hawa
dingin yang disalurkan ke bagian pipi kanannya yang merah itu.
Sedangkan Rani Adinda melangkah dengan kaki merendah, badan membungkuk ke depan,
kedua tangannya menguncup, dan menyodok-nyodok ke kanan-kiri depan, lalu tiba-
tiba kakinya menyentak dan tubuhnya melompat ke depan, rendah dengan permukaan
tanah. Perut pemuda
berpakaian serba putih itu disodok dengan tangan yang menguncup.
Wuuut...! Tab! Hantaman tangan itu dihadang
oleh telapak tangan Sawung Seta yang cepat berlutut dengan satu kaki.
Telapak tangannya menghadang gerakan tangan tersebut. Namun tiba-tiba ia
terjengkang ke belakang dan berjungkir balik kelabakan.
"Setan!" geramnya dengan dongkol ketika ia membuka telapak tangan yang dipakai
menahan pukulan tadi ternyata menjadi hangus.
"Wah, berarti pukulan Adinda tadi punya kekuatan Inti api dong"
Hebat! Sepertinya jurus pukulan biasa saja, ternyata punya isi yang
membahayakan. Kalau kena dada atau perut bisa hangus bagian dalam dada tersebut
lho. Wow, jurus hebat apa lagi itu namanya" Bagaimana kalau kunamakan jurus
'Naga Cocol Sambal'"
Hi, hi, hi...!" Pandu Puber tertawa sendiri menanggapi komentar batinnya.
Sawung Seta cepat melompat dari
posisi berlutut satu kaki. Dan ketika ia melompat, jari-jari kakinya
keluarkan sepuluh sinar biru kecil yang menyergap tubuh Rani Adinda.
Sraaaab...! Kesepuluh larik sinar biru itu segera dilawan oleh Rani Adinda
dengan kesepuluh larik sinar merah yang keluar dart jari-jari tangannya.
Sraaab...! Dan terjadilah dentuman menggelegar akibat benturan sinar-sinar
tersebut. Blegaaarrrr...!
Tanah di sekitar mereka
terguncang hebat. Air laut membumbung tinggi dalam gulungan ombak besar.
Sementara itu tubuh Rani Adinda
sendiri terlempar sejauh lima langkah dan terpuruk di sana. Tubuh Sawung Seta
juga terpental dan membentur gugusan karang di depan tepian pantai berair asin.
Buuhg...! Tubuh itu jatuh terkulai setelah menggeliat kesakitan dengan wajah
menyeringai. Pandu Puber pun ikut jatuh
terpelanting akibat ledakan tadi.
Hampir saja ia kejatuhan pohon kelapa yang tumbang akibat getaran kuat daya
ledak tersebut. Untung ia cepat-cepat bangkit dan menghindar ketika
dilihatnya batang pohon kelapa itu mendekati wajahnya dari atas bagaikan tubuh
perawan tanpa busana.
Bruuuusssskkkk...!
"Gila! Kalau aku nggak cepat-cepat pergi bisa gepeng wajahku
dihantam pohon kelapa sebesar itu!
Uuh...! Jurus apaan yang mereka
gunakan tadi" Yang jelas jurus sinar biru dari jari-jari kaki Sawung Seta tadi
pasti jurusnya Layang Petir, yang kalau melayang bisa keluarkan petir dari
bagian tubuhnya mana saja!" pikir
Pandu Puber sambil geleng-geleng kepala membayangkan hampir mati
ditiban batang pohon kelapa yang penuh dengan buah kelapa hijaunya itu.
Rani Adinda tampak terbatuk-
batuk sebentar, lalu keluarkan darah dari mulutnya. Wajahnya pucat dan matanya
mulai sayu dalam memandangi musuhnya. Itu tandanya Rani Adinda terluka bagian
dalam tubuhnya akibat daya sentak ledakan kedua jurus tadi.
Sedangkan Sawung Seta tidak tampak pucat, hanya sedikit berat dalam menarik
napasnya. Tapi ia sudah
berdiri lagi sementara Rani Adinda masih berlutut di tanah. Hal itu membuat
Pandu Puber menjadi cemas.
Baru saja Pandu mau bergerak
menolong Rani Adinda, tiba-tiba Sawung Seta berkelebat dalam satu lompatan
bersalto tiga kali dan begitu berdiri dengan dua kaki merendah, ia
melepaskan sinar kuning dari ujung jari telunjuknya.
Claaap...! Dees...!
Sinar itu tepat kenai tubuh Rani Adinda. Persis di bawah pundak kanan.
"Celaka...!" Pandu Puber tersentak kaget melihat Rani Adinda terpental dan jatuh
terkapar tanpa daya lagi.
Wuuus...! Pandu Puber berkelebat ingin
menyambar Rani Adinda. Tapi sinar
kuning tadi melesat kembali dari jari telunjuk Sawung Seta dan menghantam
punggung Pandu Puber.
Claaap...! Dees...!
"Uuhg...!" Pandu Puber tersentak melengkung ke depan, lalu jatuh
terpuruk bagaikan kehilangan tenaga dalam sekejap.
"Berani menyentuhnya kuhancurkan tubuhmu dengan terompetku ini!" ancam Sawung
Seta yang berdiri dalam jarak tujuh langkah sambil memegangi
terompetnya yang siap ditiup sewaktu-waktu.
Pendekar Romantis tarik napas
dengan berat sekali. Bagian dalam tubuhnya terasa panas. Makin lama makin
memeras keringat. Ia masih mencoba untuk berdiri menghadapi Sawung Seta. Giginya
menggeletuk, urat-urat lengannya mengencang. Dan tiba-tiba kedua tangannya
mengembangkan jari, sehingga jari-jari itu menjadi lurus, keras dan merapat.
Dengan telapak tangan tengkurap, kedua tangan itu menyodok ke depan dengan
cepat. Wut, wut, wut, wut...!
Kekuatan tenaga dalamnya
terlepas dari ujung kedua tangan yang menyodok ke depan secara beruntun.
Jurus 'Salam Sayang' menghantam tubuh Sawung Seta walau dicoba dengan
menahannya. Tapi kekuatan jurus 'Salam
Sayang' adalah kekuatan gelombang tenaga yang sulit ditahan, sehingga tubuh
Sawung Seta terjungkal ke
belakang dan terbanting-banting.
Pandu Puber tak memberi
kesempatan Sawung Seta untuk bangkit kembali. Ia segera melompat untuk
melepaskan pukulan sinar putih
peraknya itu. Tetapi ketika melayang ke udara, tiba-tiba seberkas sinar hijau
menghantamnya dari samping dan tepat kenai lambungnya.
Deees...! "Auuhg...!" Pandu mengerang, jatuh seketika dengan urat-urat
mengejang. Ia berusaha untuk bangkit, namun hanya bisa sampai duduk saja.
Napasnya seakan sulit ditarik atau dihembuskan. Jantungnya bagaikan berhenti
dalam beberapa detik. Tapi pandangan matanya masih sempat melihat sesosok
bayangan berkelebat menuju ke arah pertengahan jarak antara Pandu dan Sawung
Seta. Bayangan itu kini menjadi jelas. Ternyata seorang
perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, mungkin lebih dua tahun tiga bulan.
Perempuan berwajah oval itu mempunyai hidung mancung dan mata membelalak jalang.
Senyumnya berkesan nakal. Pandu dipandanginya beberapa saat. Lalu terdengar
suara si perempuan berkulit putih mulus dan berambut putih perak berkata kepada
Pandu Puber, "Jangan coba-coba menyakiti pangeranku itu kalau kau tak ingin mati diserang
belatung dari jurus mautku tadi!"
"Sssi... siapa kau"!" suara Pandu lemah sekali. Ia merasakan bagian dalam
tubuhnya ada yang
bergerak-gerak mengerumun, tepatnya di bagian yang terkena sinar kuning tadi.
Mulai terbayang adanya sekumpulan belatung yang menggerogoti bagian dalam
tubuhnya. Pandu menjadi cemas dan tak hiraukan lagi perempuan
berjubah ungu dengan pakaian pijung dari sutera warna merah muda.
"Hei, ternyata kau lebih oke dari si Sawung Seta itu, ya?" ujar perempuan
berambut perak itu. Pandu Puber benar-benar tidak
menghiraukannya. Ia sibuk menyalurkan hawa murninya untuk menahan agar belatung
yang dirasakan telah mulai berkembang biak di lambungnya itu menjadi punah oleh
hawa murninya. Ia sedikit memejamkan mata. Napas dan uratnya dikuatkan dalam
erangan mendesah dari mulut.
Pada saat itu, mata Pandu sempat melihat Sawung Seta berkelebat
menyambar tubuh Rani Adinda.
Wuuuussss...! Lalu pemuda berpakaian putih itu lari sambil memanggul gadis itu.
"Sawuuung...!" teriak perempuan berambut perak.
Pandu Puber kerahkan tenaganya
dan bangkit untuk mengejar. Tapi pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa sinar
terlepas dari telapak tangan perempuan itu.
Wuuut...! Ouuuhg Tepat kenai punggung Pandu
Puber. Sang pendekar pun jatuh
tersungkur dengan lebih parah lagi. Ia mengerang dalam suara tertahan. Samar-
samar didengarnya suara perempuan itu berkata sambil mendekatinya,
"Biarkan Sawung pergi dengan urusannya sendiri! Aku akan mendapat ganti yang
lebih oke darinya! Maukah kau kutolong dari lukamu yang akan menghadirkan ribuan
belatung?"
TIGA PONDOK di dalam hutan, mirip
villa tempat peristirahatan. Pondok itu berlantai dua, terbuat dari kayu jati.
Kokoh sekali. Pondok itu
berhalaman luas, dipagar dengan kayu-kayu dolken setinggi perut orang dewasa. Di
halaman yang mengelilingi pondok itu terdapat pohon cemara tertanam rapi. Di
luar pagar adalah tanaman hutan liar yang campur aduk, bukan dari satu jenis
tanaman. Jalanan setapak terdapat di
depan pondok itu, dinaungi pepohonan bambu hitam. Pondok itu bersuasana tenang,
teduh, nyaman, dan entah kenapa bisa timbulkan hawa betah bagi tamu yang
singgah. Disela ketenangan itu, terdengar bunyi gemuruh air terjun. Berarti
pondok itu tak jauh dari sumber air terjun, yang tentu saja mempunyai sungai
yang mengalir entah ke mana. Selain gemuruh air terjun
samar-samar juga terdengar
kicau burung di awal pagi dan di awal petang. Suara macan tak ada. Atau binatang
buas lainnya tak kentara berseliweran di sana. Mungkin tempat itu sudah
dipasangi ranjau anti
binatang buas, walau pemiliknya
sendiri termasuk perempuan buas.
Pemiliknya adalah si rambut putih perak dengan wajah cantik yang matang,
bukan kekanak-kanakan.
Si rambut putih perak berjubah


Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ungu panjang tanpa lengan dengan pakaian dalam pinjung merah jambu dan celana
longgar tipis transparan itu, mengaku bernama Janda Keramat. Tentu saja bukan
nama asli. Di mana letak kekeramatan si janda itu, Pandu Puber belum
mengetahuinya. Tetapi ia tahu bahwa dirinya dibawa ke pondok itu untuk diobati
oleh sang Janda Keramat.
Ada untungnya Pandu dibawa ke
pondok itu. Karena ramuan yang
diminumkan oleh Janda Keramat membuat badan Pandu Puber menjadi segar
kembali. Rasa sakit, hawa panas di dalam tubuh, lenyap setelah meminum ramuan
obat pemberian si Janda Keramat itu. Sebelum tengah malam, Pandu Puber sudah
bisa berdiri tegak. Maksudnya, kedua kakinya yang berdiri tegak, memandang ke
arah luar melalui serambi lantai atas. Yang dipandang hanyalah cahaya rembulan
yang muncul separo bagian. Barangkali malam itu rembulan memang sedang pelit,
sehingga hanya muncul separo bagian.
Lantai dua adalah ruangan tempat untuk tidur atau bersemadi. Barang-barang yang
ada di situ hanya sebuah meja dan tempat tidur tanpa kaki.
Kasur digelar di lantai papan jati beralaskan tikar pandan yang masih utuh. Bau
wangi cendana menyebar di
ruangan itu karena di sudut ruangan ada altar tempat pemujaan, lengkap dengan
tempat pembakaran ratus atau pedupaan. Bau cendana itu memancing suasana
romantis yang magis.
Ruangan lantai dua itu diterangi oleh pelita blencong yang biasa untuk
pergelaran wayang kulit. Lampu minyak itu menggantung di tengah ruangan, seolah-
olah lampu kristal buatan luar negeri. Sementara di bagian altar juga ada lampu
minyak yang khusus menerangi suasana sekitar altar pemujaan.
Ruang lantai bawah adalah ruang
untuk dapur, makan, menerima tamu, dan sebagainya. Bersifat umum, sedangkan yang
di atas bersifat pribadi. Meja rendah di lantai atas saat itu
digunakan untuk meletakkan dua cangkir keramik dan satu poci keramik pula.
"Jangan berdiri di situ terus, minumlah teh penyebar badan ini!
Tubuhmu akan lebih kuat dan segar dengan meminum teh buatanku, Pandu!"
kata si Janda Keramat sambil mengawali menuang teh ke dalam dua cangkir keramik
tersebut. Saat itu Pandu sedang berpikir
tentang Rani Adinda. Hatinya
berkecamuk sendiri dengan lamunan menyusuri petang.
"Gadis itu digondol ke mana kira-kira, ya" Ah, kasihan betul dia.
Masalah yang satu belum selesai masih
harus menghadapi masalah lainnya lagi.
Memang si Sawung Seta itu maling!" ia agak menggeram jengkel membayangkan Sawung
Seta. "Tapi agaknya Sawung Seta punya hubungan dekat dengan Janda Keramat ini. Mungkin
perempuan berbibir
menantang inilah yang dimaksud Rani Adinda sebagai perempuan jalang" Hati gadis
itu cemburu pada perempuan ini.
Hmmm...! Wajar kalau cemburu, sebab Janda Keramat agaknya pandai memikat hati
lawan jenisnya. Sawung Seta pasti sempat terbuai oleh rayuan si Janda Keramat
itu. Wajar kalau Sawung Seta terbuai, karena Janda Keramat punya kecantikan dan
keelokan tubuh yang menjanjikan surga bagi kaum lelaki.
Tapi kepadaku, hmmm...! Nggak bisa deh. Nggak mungkin Janda Keramat mampu
memikatku seperti ia memikat Sawung Seta. Eh, ngomong-ngomong... apakah Rani
Adinda dulunya pernah jatuh cinta kepada Sawung Seta" Apakah mereka dulu pacaran
dan akhirnya pisah karena faktor cemburu?"
"Pandu...," sapa si Janda Keramat sambil mendekat. Ia sudah mengenal nama Pandu
Puber karena sebelum diobati mereka sudah saling kenal. Jadi, jangan heran kalau
mereka saling sebut nama. Jangan protes juga kalau Pandu Puber tidak mau
melarikan diri dari pondok itu, karena Janda
Keramat tadi menjanjikan akan membantu kesulitan Pandu dalam berbagai hal asal
Pandu mau menurut untuk tidak mendendam dan bermusuhan dengannya.
Pandu punya rencana mau bicara tentang Hantu Putih yang dicari-cari Rani Adinda
itu. Tak heran jika sikap Pandu Puber terhadap Janda Keramat menjadi baik, seakan
mereka sudah lama bersahabat, sebab Janda Keramat tadi sudah meminta maaf kepada
Pandu atas tindakannya yang melukai Pandu. Karenanya sebagai tanda penyesalan
dan permintaan maafnya, Janda Keramat berusaha
sembuhkan Pandu dari luka dalamnya.
Kalau tidak segera disembuhkan, maka tubuh Pandu akan digerogoti belatung dari
dalam. Sebab sinar hijau yang dilepaskan Janda Keramat saat di pantai itu jurus
'Rendang Belatung', yaitu sebuah kekuatan tenaga dalam yang bisa mempercepat
pembusukan dan menghadirkan bibit belatung di
dalamnya. "Pandu, mari kita minum teh dan mulai bicara serius. Jangan melamun terus di
sini. Udara malam tak baik untuk kesehatanmu, Sayang. Nanti kau masuk angin, aku
susah ngerokinnya, sebab nggak ada uang logam."
"Dikerokin pakai kapak juga boleh," kata Pandu Puber melontarkan canda sebagai
sikap pengakraban
dirinya. Janda Keramat tertawa kecil sambil membawa Pandu masuk,
meninggalkan balkon lantai atas itu.
Sang pemuda tampan menurut karena merasa perlu bicara serius dengan si Janda
Keramat. Mereka duduk bersila menghadap
meja. Mulanya Pandu mau ambil posisi duduk berhadapan. Tapi menurutnya, tak
enak, karena terhalang meja. Walau ia bisa beradu muka terus, tapi jika
terhalang meja kurang asyik. Jadi ia memilih duduk bersebelahan dengan si Janda
Keramat yang berpakaian tipis dan tampak membayang 'perabot'nya itu.
"Mari minum untuk kesehatanmu!"
kata Janda Keramat sambil mengangkat cangkir keramik. Pandu pun mengangkat
cangkir itu dan kedua cangkir diadu pelan. Trik...! Maka keduanya segera
menghirup teh hangat yang dibuat dari rumput laut dan tanaman lainnya.
"Segar sekali teh ini. Rupanya kau pandai menghidangkan minuman dan makanan yang
lezat-lezat, ya?"
"Aku dulu bekas anak pemilik kedai," kata Janda Keramat. "Kemudian aku berguru
kepada seorang tabib ahli ramuan obat-obatan. Maksudku hanya berguru ilmu
silatnya saja, eh... tak tahunya aku dapat pelajaran kesehatan juga. Mau tak mau
aku juga ahli ramuan obat-obatan, walaupun tak selihai guruku."
"Siapa nama gurumu?"
"Tabib Teh Kolak."
Seketika itu juga Pandu tertegun dalam keheranan yang amat dalam.
Pikirannya segera melayang di masa kanak-kanaknya. Dulu ia pernah
menghadap Adipati Sihombreng untuk membebaskan Mirah Duri yang ditawan oleh sang
Adipati. Waktu itu istri Adipati sedang sakit. Pandu kecil datang dengan mengaku
mendapat amanat dari seorang tabib untuk sampaikan obat buat Istri Adipati.
Pandu mengaku nama tabib itu adalah Tabib Teh Kolak.
Padahal nama itu hanya nama karangan saja, tidak benar-benar ada. Namun sekarang
nama tersebut ternyata memang ada. Tabib Teh Kolak yang menjadi nama bohong-
bohongan Pandu semasa kecil itu, ternyata gurunya si Janda
Keramat. Aneh sekali!
"Padahal waktu itu aku hanya asal sebut saja, kok ya ternyata ada yang punya
nama seperti itu?"
pikirnya. "Sedangkan daun yang kuberikan kepada Adipati itu hanya daun
sembarangan, entah daun apa waktu itu yang kuambil, tapi... tapi aneh sekali.
Nyatanya istri Adipati itu kudengar benar-benar sembuh. Kok bisa gitu, ya?"
gumam hati Pandu sambil membayangkan masa kecilnya yang
bandelnya melebihi anak setan itu, (Kebandelan itu bisa ditemukan dalam
serial Pendekar Romantis dalam kisah :
"Hancurnya Samurai Cabul' - nggak cabul beneran kok).
"Kenapa termenung?" Janda Keramat bertanya agak curiga.
"Tidak apa-apa. Hmmm... aku cuma ingin tahu, apakah gurumu itu sekarang masih
hidup?" "Sudah mati!" jawabnya tegas.
"Sayang sekali."
"Sayang sekali, memang. Tapi dia sudah turunkan semua ilmunya padaku, sehingga
usianya yang sebenarnya sudah mencapai cukup banyak ini menjadi tetap muda dan
cantik berkat ramuan pengawet kecantikan darinya. Dan semangatku masih seperti
perawan baru dijamah. Pokoknya, panas deh! Hi, hi, hi, hi...."
Tawa si Janda Keramat sambil
menggelendotkan badan ke dada Pandu dan hai itu sama saja menyundut api di
tengah ladang bensin. Pandu Puber buru-buru menegakkan tubuh sang janda.
Pandu segera alihkan perhatian
pada rambut putih peraknya sang Janda Keramat, "Dan rambutmu menjadi putih perak
begitu apakah juga pengaruh ramuan awet mudamu?"
"Ini salah minum obat!" jawab sang janda sambil tertawa lagi.
"Banyak beberapa ramuan yang salah minum, membuatku punya beberapa
keanehan. Salah satunya adalah
keanehan gairah cintaku yang tak pernah kunjung reda walau setiap hari
kudapatkan puncak kebahagiaannya. Aku adalah wanita padang pasir, yang selalu
merasa kering dan butuh air.
Tanpa air kemesraan, tubuhku jadi lemas dan bisa-bisa jadi linglung.
Karenanya aku selalu merawat badanku, kecantikanku, biar tiap lelaki yang
kupilih mau kuajak berlayar ke lautan cinta."
Pandu gelisah. "Gawat, dia mulai bicara ke arah sana. Pasti akan menjebakku dalam pelukan
cinta. Oh, jangan sampai deh!
Aku harus bisa menghindar dan
bertahan. Dia tak bakalan bisa
melumpuhkan pertahananku. Sebaiknya aku tenang saja, seakan tidak
menanggapi kata-katanya itu," pikir Pandu Puber
Teh sedap diminum kembali oleh
Pandu Puber, pada saat itu ia
mendengar Janda Keramat menyambung kata-katanya yang tadi.
"Kesaktianku terletak pada
kemesraan yang kudapatkan dari siapa saja. Bagiku setiap orang dapat
membangkitkan gairah kesaktian. Tapi aku masih sering pilih-pilih orang, supaya
nggak kena penyakit. Salah satu ilmuku adalah bisa mengetahui
seseorang itu punya penyakit atau tidak. Itupun gara-gara aku salah
minum obat jadi peka terhadap getaran penyakit pada diri seseorang."
Pandu hanya diam saja, dan
sengaja tidak mengomentari kata-kata tersebut supaya tidak terpancing ke
dalamnya. Ia meneguk teh kembali.
Janda Keramat juga meneguk teh lagi, tapi segera berkata mendahului niat Pandu
yang ingin tanyakan tentang Hantu Putih itu.
"Sampai sekarang aku sendiri masih bingung bagaimana cara
menghilangkan 'kehausanku' terhadap kemesraan itu. Sangat berbahaya jika aku
terdampar di suatu pulau kosong tanpa satu orang pun. Oh, bisa-bisa aku mati
lemas tanpa kemesraan."
"Kenapa nggak kawin saja?"
"Bersuami maksudmu" Hm...!"
Janda Keramat mencibir. "Dulu aku pernah bersuami sampai empat kali, tapi semua
suami hanya bikin pusing saja, akhirnya mereka selalu mati di tanganku."
"Kok bisa begitu" Wah, kaco juga lu kalau gitu, ya?"
"Itulah sebabnya aku memilih menjadi janda saja. Rahimku kering gara-gara salah
minum obat juga, akibatnya aku tidak bisa punya anak.
Itu menguntungkan bagiku sebab dengan begitu aku tidak kerepotan mencari sumber
kekuatanku pada ujung
kemesraan."
"Apa maksudnya mengadukan keluh-kesah dan rahasia pribadinya padaku?"
pikir Pandu Puber. "Pasti dia punya tendensi kuat sehingga berani beberkan
rahasia pribadinya. Tapi, biarlah. Aku ingin tahu sampai di mana kekuatannya
menggodaku. Pasti dia akan jengkel sendiri karena gairahnya yang tak tersambut
olehku. Tapi... tapi...."
Pandu Puber mulai merasa heran
pada dirinya sendiri. Ia menyimpan keheranan itu sementara si Janda Keramat
berkata lagi padanya,
"Sekarang aku sering merindukan seorang suami yang sesuai dengan idamanku. Kalau
aku ingat suami, aku jadi terbakar lagi. Dan kalau sudah terbakar, dadaku terasa
kencang sekali. Kalau tak percaya...," tangan Pandu diraih dan ditempelkan pada bagian
atas tubuhnya. Secara otomatis tangan Pandu bergerak sendiri
membuktikan ucapan tadi.
"Benar kan?" ujar Janda Keramat sambil menyeringai. Gemuruh di dalam dada Pandu
bertambah keras.
"Celaka! Kenapa aku jadi
begini?" pikirnya heran. "Kenapa tiba-tiba semangatku jadi meluap sebelum
tanganku dituntunnya" Dan kalau sudah begini, ya ampuuun... tentu saja aku sulit
menghindar. Wah, brengsek juga perempuan ini. Aku... aku... ah, biarin aja deh."
Cup, cup, cup, cup, wuuuus...!
Jurus kucing mandikan anak
dipergunakan Pandu Puber. Tentu saja sang janda kegirangan. Polahnya
seperti orang berada di atas kapal yang diombang-ambingkan ombak.
Suaranya seperti motor di arena
sirkuit. Apa yang diinginkan Janda Keramat bisa ditandingi Pandu Puber, sampai-
sampai perempuan itu akhirnya menyerah kalah dan mengaku! Keunggulan Pendekar
Romantis yang memang luar biasa romantisnya. Kesaktian cintanya dilepas tanpa
tanggung-tanggung.
Dan sang janda pun melawan
dengan tanpa segan-segan lagi.
"Hiaaat...!"
Plak, plak, cruuup...!
"Aaahg...!"
"Heaaat...! Huuh!"
Wees...! Plak, bruuuss...!
Blaaarrr...! "Aaaaa...!" meledaklah benturan dua jurus cinta yang beradu itu. Janda Keramat
memekik keras merobek malam.
Pandu Puber pun kerahkan tenaganya untuk bertahan menghadapi kekuatan sang janda
yang seolah-olah ingin menjebol rambut kepalanya.
Kejap berikutnya, malam menjadi
lengang. Suara teriakan mereka hilang.
Yang ada hanya hembusan napas-napas sisa pertarungan sengit yang
menghadirkan sejuta keindahan.
Keringat mengucur dan membasahi tubuh mereka. Keringat itulah tanda bahwa
pertarungan mereka tidak sekadar main-main atau uji coba. Mereka sama kuat,
walaupun Janda Keramat merasa kalah di tangan Pandu Puber. Ia terpaksa
mengakui keunggulan sang Pendekar Romantis. Namun kekalahannya itu justru
membuat sang janda enggan lepaskan diri dari Pandu.
"Aku harus bersamamu selamanya."
"Apa..."!" Pandu Puber kaget.
"Aku harus bersamamu ke mana pun kau pergi."
"Tak ada alasan untuk itu!"
"Ada!"
"Apa alasannya?"
"Karena kau yang terunggul dari yang paling hebat!"
"Ah, lupakan soal itu tadi!"
"Nggak bisa! Ini benar-benar istimewa dan aku harus mendapatkannya!
Harus!" "Apa akibatnya kalau aku
menolak?" "Kita tarung sampai mati!"
"Gila!" Pandu terbengong melompong!
EMPAT SETELAH esok paginya, Pandu
Puber baru sadar bahwa gairahnya yang menjadi menggebu-gebu itu bukan saja
lantaran godaan nakal Janda Keramat saja, melainkan juga karena minuman teh
tersebut mempunyai ramuan
pembangkit gairah lelaki.
"Pantas pagi-pagi pun aku
bersemangat sekali, rupanya teh itu punya ramuan khusus. Gila juga tuh cewek!
Emang antep sih!" gumam Pandu Puber ketika menyempatkan mandi di sungai pagi
hari.

Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janda Keramat sendiri merasa
heran, mengapa ia mempunyai hasrat yang besarnya dua kali lipat dari besar
hasrat semestinya. Perempuan itu tidak menyadari kalau dirinya telah terkena
'Racun Pemikat Surga' yang dimiliki Pandu Puber dalam darah kejantanannya.
Pengaruh 'Racun Pemikat Surga' bisa membuat perempuan tergila-gila cumbuan anak
muda itu. Dan racun tersebut
hanya ada dalam darah
kejantanan anak blaster dewa dengan keturunan jin. Kebetulan Pandu Puber itulah
anak blaster yang dimaksud.
Racun tersebut akan membuat
Janda Keramat mudah tergugah hasratnya jika melihat sosok Pandu, bahkan hanya
dengan membayangkan saja hasrat itu dapat berkobar seperti hutan yang
terbakar. Racun itu membuat Janda Keramat akan 'gila kencan' dan tak mau
melayani lelaki lain. Hanya Pandu saja yang ada dalam khayal asmaranya. Jika tak
terlayani, maka ia akan sakit, kurus, TBC, dan akhirnya wassalam alias mati. Hal
ini pernah dialami oleh Ratu Geladak Hitam; Dardanila, (Coba baca serial
Pendekar Romantis dalam episode : "Pedang Siluman" -
gawat juga lho).
Ya, memang gawat. Rasa kagum
terhadap kehebatan cinta Pandu, rasa puas menerima kebahagiaan dari Pandu,
membuat perempuan berambut putih perak menyediakan diri untuk ikut ke Tanah
Gangga menemui si ahli nujum; Syuka Nehi.
"Perjalanan ke sana cukup
berbahaya. Kau perlu seorang
pendamping sepertiku, Pandu. Kalau kau berangkat ke sana sendirian, kau akan
mati nganggur di perjalanan. Nanti yang mengurus uang sumbanganmu siapa kalau
sampai mati di perjalanan?"
katanya berdalih, padahal maksudnya supaya bisa berdekatan terus dengan Pandu
Puber. "Tidak. Aku ingin berangkat sendiri. Aku hanya mau ditemani oleh Rani Adinda,
karena memang dialah yang berkepentingan dengan Hantu Putih itu."
"Lupakanlah tentang Rani Adinda,
dia sudah bahagia bersama Sawung Setan" bujuk Janda Keramat dengan mata sayu
nakal. "Jika aku harus melupakan dia, berarti aku juga harus melupakan Hantu Putih
dong?". "Itu lebih baik"
"Tidak bisa. Aku tidak bisa melupakan dia.."
"Kenapa" Apakah kau sangat
mencintainya?"
"Kalau aku mencintainya kau mau apa?"
"Akan kubunuh Rani Adinda!"
"Ah, lu saraf beneran nih
kayaknya!" gerutu Pandu Puber dengan mulai hati-hati mengutarakan isi hatinya.
Agaknya Janda Keramat sangat pencemburu dan kalau sudah cemburu nggak tanggung-
tanggung. "Saranku, lupakan Rani Adinda dan lupakan soal Hantu Putih!
Sebaiknya kau tak perlu pergi ke Tanah Gangga."
"Permintaanmu belum bisa
melunturkan niatku menyingkap tabir misteri Hantu Putih. Aku dalam
pertimbangan yang belum pasti!"
"Demi kehangatan kita berdua, sekali lagi kumohon, jangan pergi!"
Tapi dasar pendekar bandel,
nggak bisa dilarang ini-itu, dimohon jangan pergi, eeeh... malah minggat.
Jurus penyirep yang membuat seseorang
bisa tertidur digunakan oleh Pandu.
Caranya dengan melakukan cumbuan, kekuatan hawa kantuk dihadirkan oleh Pandu.
Akhirnya ketika Janda Keramat terkulai lemas dan tertidur dalam keadaan habis
menikmati sebentuk kebahagiaan yang kesekian kalinya, Pandu Puber cepat-cepat
tinggalkan pondok tersebut.
"Nurutin dia bisa copot
dengkulku!" pikirnya sambil melesat cepat menggunakan jurus 'Angin
Jantan'nya. Tentu saja ketika Janda Keramat bangun di sore hari, ia merasa
kehilangan dan menjadi kelabakan.
Wajah cantiknya berubah menjadi
berang. "Sampai di mana pun akan kukejar dia! Kukejar teruuus... tapi jangan diapa-
apakan, ah. Kasihan. Kalau sampai dia celaka, aku sendiri yang repot. Nggak
punya maskot kehidupan!"
ujarnya dalam hati sambil berkelebat mencari kepergian Pandu Puber.
Janda Keramat dapat
memperkirakan arah kepergian Pandu.
Pasti menuju ke pantai. Ia bermaksud mengejar Pandu sebelum pendekar super power
itu melanjutkan perjalanan menyeberangi lautan menuju Tanah Gangga. Janda
Keramat bertekad menahan kepergian Pandu. Tapi usaha itu
ternyata tidak mudah.
Seseorang menghadang langkah
Janda Keramat ketika hampir mencapai sebuah pantai. Orang tersebut adalah Nyai
Perawan Busik. Tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, berkulit busik, agak
bungkuk, berjubah abu-abu dengan tongkat hitamnya di tangan kanan. Tokoh ini
pernah hadir dalam perebutan Patung Iblis Banci.
"Perawan Busik, apa maksudmu menghadang langkahku, hah"!" hardik Janda Keramat
dengan bertolak pinggang menandakan keberanian yang tak punya gentar sedikit
pun. "Masih ingat denganku,
Hapsari"!" tegur Nyai Perawan Busik dengan menyebutkan nama asli Janda Keramat.
"Rasa-rasanya sangat sulit
melupakan seseorang yang sempat
kuhancurkan daya pengawet ayunya, Perawan Busik! Apakah kau ingin
kuhancurkan seluruh ragamu sekalian"!"
Nyai Perawan Busik sunggingkan
senyum sangat tipis dan sinis. Matanya tak berkedip, lurus ke arah wajah cantik
Janda Keramat yang membuat hatinya iri.
Empat tahun yang lalu, ia pernah bertarung melawan si Janda Keramat.
Pertarungan itu membuat aji 'Manter Ayu'nya sirna dan ia menjadi sosok tua renta
begitu. Sakit hati si Nyai Perawan Busik masih membekas. Diam-diam Nyai Perawan
Busik perdalam sebuah ilmu pemunah kecantikan. Jika ia sudah berani berhadapan kembali dengan
si Janda Keramat, berarti dia sudah siap bermodal jurus pemunah kecantikan.
Janda Keramat tidak
berpikir sampai di situ, ia hanya menyangka maksud penghadangan Nyai Perawan
Busik semata-mata hanya ingin balas dendam atas kekalahannya tempo hari.
"Hapsari, sudah tiba saatnya bagimu untuk menikmati kepahitan hidup sepertiku.
Bersiaplah menebus dosamu empat tahun yang lalu, Janda Keramat!"
"Apa maumu akan kulayani,
Perawan Busik!"
"Terimalah jurus 'Debu Neraka'ku ini! Hiiih...!"
Wuuut...! Tangan kiri Nyai Perawan Busik
menyentak ke depan. Dari telapak tangan tersebut menyembur debu putih menyerupai
tepung. Wuuss...! Janda Keramat tetap berdiri
tegak ditempatnya. Tapi kedua
tangannya bergerak menyilang di dada, hentakannya menimbulkan angin kencang yang
membuat debu-debu itu beterbangan ke mana-mana. Wuuurs! Debu itu adalah racun
yang mematikan. Terbukti tanaman yang terkena debu itu langsung menjadi kering
dan tanah di sekitarnya menjadi hitam bagai habis terbakar.
Janda Keramat hanya tertawa
melihat raut wajah Nyai Perawan Busik tampak kecewa, menggeram jengkel dengan
mata kian buas.
"Hi, hi, hi, hi...! Sudah tua kok masih mainan tepung. Pantas
tubuhmu busikan! Apa tak ada mainan lainnya?" sindir Janda Keramat.
"Jangan girang dulu, Janda
Binal! Boleh saja kau bisa hindari jurus 'Debu Neraka', tapi belum tentu kau
bisa hindari jurus 'Tumbak Merah'
ini! Hiaaah...!"
Nyai Perawan Busik sentakkan
tongkatnya ke depan dengan kaki kanan ditarik ke belakang. Tongkat itu bagai
disodokkan ke depan, kepala tongkatnya menghadap ke depan. Suuut...! Lalu dari
kepala tongkat keluar sinar merah panjang membentuk tombak berujung runcing.
Claaap...! "Heaaah....'" Janda Keramat sentakkan kedua tangannya ke depan dada, seperti
mendorong batu dengan satu gerakan tersendat. Maka dari kedua tapak tangan itu
keluar gulungan sinar hijau sebesar buah kelapa.
Gulungan sinar hijau itu melesat ke depan, dan dihantam oleh Sinar merah
berbentuk tumbak.
Jraaass...! Blegaaarr...! Ledakan itu timbulkan warna
sinar merah kebiruan yang memecah ke berbagai penjuru. Hentakan sinar merah
kebiruan mengenai tubuh Janda Keramat.
Tak ayal lagi tubuh itu pun terpental terbang sejauh delapan langkah ke
belakang. Wuuuus...! Bruukk...! "Kucing garing!" umpatnya dengan wajah menyeringai menahan sakit.
Seluruh kulit terasa panas, warna putih kulitnya pun berubah menjadi merah memar
dari kepala sampai kaki.
"Boleh juga ilmunya kali ini!"
pikir Janda Keramat sambil berusaha bangkit berdiri. "Kusangka nggak begitu
kuat, ternyata dua kali dari kekuatan takaranku. Monyet ngidam!
Kubalas dia dengan memecahkan
kepalanya dari sini!"
Sementara itu, Nyai Perawan
Busik membatin, "Edan! Dia tidak apa-apa" Mestinya dia hancur menjadi serpihan
kecil jika terkena biasan sinar merahku ini! Terkena biasannya saja bisa pecah,
apalagi terkena langsung sinar tombak merah tadi.
Pasti akan lenyap. Tapi, nyatanya dia masih bisa bangkit walau aku tahu sekujur
tubuhnya menjadi terpanggang api yang amat panas. Hmm...! Kuat juga dia menahan
kesaktianku! Berarti aku harus cepat-cepat pergunakan jurus
'Racun Biru Setan', sebelum ia
membalasku dengan jurus andalannya!"
Jlaab...! Tongkat ditancapkan ke tanah.
Tongkat bisa berdiri sendiri. Tentu saja, sebab ujung bawah tongkat masuk ke
tanah sampai setengah jengkal dalamnya. Dan Nyai Perawan Busik segera sentakkan
kakinya menjejak tanah, Dus... wuuut...! Ia melesat naik, kemudian hinggap di
ujung tongkatnya dengan satu kaki. Teb...!
Kaki yang satunya lagi ditempelkan ujungnya ke atas telapak kaki yang menapak di
tongkat. Badannya sedikit lebih membungkuk lagi. Kedua tangannya merentang ke
samping, lurus, bagai orang mau main akrobat. Matanya
memandang lurus pada lawan.
"Heaaat...!"
Teriakan itu datang dari mulut
Janda Keramat. Ia melepaskan pukulan bersinar merah bergelombang dari
pergelangan tangannya. Sinar merah
bergelombang segera dilawan dengan kilatan cahaya biru yang keluar dari
pertengahan dahi Nyai Perawan Busik.
Claap! Wuuusst...!
Sinar yang keluar dari
pertengahan kedua alis, tepat di atas batang hidung itu, ternyata berbentuk
seperti senjata bumerang yang melesat menerabas sinar merahnya Janda
Keramat. Duaaar...! Terjadi ledakan cukup keras yang memudarkan sinar merah itu. Tapi sinar biru
yang mirip senjata bumerang masih utuh dan tetap melesat ke arah Janda Keramat.
Wuuut...! Zrrrab...! "Aahg...!"
Janda Keramat memekik dan
tersentak mundur sampai membentur sebatang pohon karena dadanya terkena sinar
biru mirip bumerang itu. Matanya terpejam kuat-kuat, tubuhnya langsung terkulai,
jatuh berlutut di bawah pohon tersebut.
Pada mulanya Janda Keramat
merasakan berada di dalam kegelapan yang sulit ditembus dengan pandangan mata.
Beberapa kejap berikutnya, pandangan matanya menjadi terang kembali. Tetapi ia
sangat terkejut melihat keadaan dirinya telah berubah.
"Hahhh..."!"
Kulit tangannya berkeriput dan
berwarna coklat kusam. Tubuhnya yang sekal montok itu menjadi kempes, sepertinya
tanpa daging lagi. Ketika ia meraba wajahnya, ternyata wajahnya menjadi keriput
dan pipinya kempot.
Bibirnya pun terasa berkerut-kerut, pandangan matanya sedikit buram.
"Celaka! Aku telah menjadi tua seperti wujud asliku"!" pikirnya dengan tegang.
Lebih tegang lagi
ketika dirasakan tulang kakinya tak sekokoh saat berdiri tadi. Dadanya yang
sekal mengempes seperti balon berisi air yang kena jarum. Sama sekali tak ada
daya tarik pada diri Janda Keramat.
Nyai Perawan Busik lompat
bersalto ke belakang, turun dari atas tongkat. Beet...! Tongkatnya dicabut
kembali. Ia terkekeh-kekeh memandangi perubahan pada diri lawannya.
"Heh, heh, heh, hen...! Sekarang kau menjadi seperti aku, Hapsari! Kau bukan
lagi perempuan yang menggiurkan, melainkan perempuan tua, kempot, peot, dan
keropos!" "Jahanam kau, Giyanti!
Heeeaaah...!" Janda Keramat yang berubah wujud setua Nyai Perawan Busik mencoba
berteriak, ternyata suaranya tak selantang tadi. Gerakannya tak selincah semula.
Pukulannya cukup lamban ketika menyentakkan kedua tangan ke depan. Sinar merah
yang keluar dari telapak tangan itu juga terasa lamban. Sinar itu dapat
dihindari oleh Nyai Perawan Busik dengan satu lompatan ke samping sambil
terkekeh-kekeh.
Duaaar...! Pohon jati menjadi sasaran sinar merah itu. Pohon tersebut retak, sedangkan Nyai
Perawan Busik segera larikan diri.
"Nikmati dulu hidup dalam
ketuaan, Hapsari! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk tentukan siapa yang
harus mati lebih dulu!"
"Jangan lari kau, Keparaaatt..!"
Janda Keramat ingin mengejar lawannya.
Tapi apa daya, perubahan dari muda menjadi setua itu menjadikan otot-ototnya
mengalami shock. Tak bisa bekerja dengan cepat seperti biasanya.
Maka, Hapsari pun akhirnya hanya bisa terpuruk di bawah pohon dan menitikkan air
matanya. Ia tampak sebagai seorang nenek tanpa tongkat yang sedang
dirundung kesedihan amat dalam.
"Hancur! Hancur sudah hidupku kalau begin!! Kekuatanku sebentar lagi akan sirna.
Daya tarikku lenyap karena si keparat itu. Padahal gairahku masih ada. Ooh...
Pandu, di manakah kau"
Tidakkah kau kasihan padaku yang menjadi begini?" pikiran itu tembus ke hati
menjadi ratapan batin sang janda yang mungkin sudah tidak sekeramat tadi siang.
"Dalam dukaku ini, yang
terbayang hanyalah dirimu, Pandu! Di manakah kau" Tolonglah aku, Pandu.
Oooh... gairahku, mengapa semakin menggebu-gebu jika membayangkan pemuda itu.
Sedangkan keadaanku sudah menjadi setua ini, sekeropos ini, apakah Pandu masih
mau melayaniku sehangat kemarin malam" Oh, mati aku! Mati beneran
kalau begini caranya! Aku harus


Pendekar Romantis 05 Skandal Hantu Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari Pandu. Harus memaksanya.
Badanku harus segar kembali, karenanya harus segera mendapatkan harapan
batiniahku ini! Panduuu...!"
Ratapan rintih itu dibawanya
melangkah perlahan-lahan. Sebatang kayu kering dipungutnya, dipakai sebagai
tongkat, lalu langkahnya dilanjutkan kembali sambil merintih dalam hati,
"Panduuu... di mana kau" Jangan pergi dariku, Pandu...!"
Jangankan Pandu Puber, pria
rakus lain pun belum tentu mau
melayani asmara sang nenek keriput itu. Sosok tanpa daya tarik sedikit pun telah
membuat Janda Keramat nyaris putus asa. Ia ingin mati bunuh diri, tapi hati
kecilnya menolak.
"Jangan sekarang! Nanti saja kalau sudah bertemu Pandu dan
mendengar keputusan darinya. Kalau memang ia tak mau lagi menerimaku, silakan
bunuh diri deh! Habis nggak ada yang diharapkan lagi?"
Kalau saja Pandu Puber tidak
mengalami hambatan, ia sudah mencapai desa nelayan dan menyewa perahu untuk
menyeberang ke Tanah Gangga.
Sayangnya, Pandu Puber sendiri
mengalami hambatan dengan munculnya seorang gadis berambut lurus sepundak dan
mempunyai poni rapi di dahinya.
Gadis Cantik itu menghadang dengan pakaian baju merah terang dari bahan kain
satin yang mengkilap. Usia gadis itu sekitar dua puluh tiga tahun. Ia pernah
berhadapan dengan Pandu Puber dan dibuat kabur oleh Dardanila, si Ratu Geladak
Hitam. Gadis itu tak lain adalah Awan Sari, murid Hantu Congkak, (Kalau mau
lihat munculnya gadis itu, silakan baca serial Pendekar Romantis dalam kisah :
"Patung Iblis Banci").
Gadis inilah yang pernah lumpuhkan Pandu melalui 'Racun Kembang Kubur'
yang keluar dari ujung pedang
tembaganya. Dulu, Awan Sari ditugaskan oleh
gurunya, Hantu Congkak, untuk membalas kekalahan Hantu Congkak ketika melawan
Pandu Puber semasa Pandu berusia remaja, (Yang ini ada dalam serial Pendekar
Romantis episode: "Hancurnya Samurai Cabul" seru juga
pertarungannya). Tapi sekarang Hantu Congkak sudah mati. Mati di tangan
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 7 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 4
^