Pencarian

Buronan Darah Dewa 1

Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa Bagian 1


BURONAN DARAH DEWA Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU PARA pengunjung kedai ramai mem-
bicarakan tentang selebaran. Pemuda tampan bertato bunga mawar di dadanya ada di
situ, ia ikut dengerin omongan orang-orang di kanan kirinya. Pemuda yang pakai
anting-anting satu dan berambut punk-rock itu tak lain adalah Pandu Puber si
Pendekar Romantis, tapi para pengunjung kedai nggak ada yang tahu kalau pemuda
berpakaian ungu itu adalah Pandu Puber.
Pandu diam saja, tidak kasih ko-
mentar apa-apa kepada siapa pun. Dia tetap menikmati sarapan paginya yang
sederhana; nasi pecel tanpa lele. Tapi kupingnya nyadap ke mana-mana. Orang-
orang kedai nggak ada yang tahu kalau percakapan mereka disadap oleh pemuda
beranting-anting sebelah kiri.
Pokok pembicaraan mereka berki-
sar tentang isi selebaran yang tersebar di mana-mana itu. Selebaran tersebut
ditulis di atas kertas karton tebal lalu ditempelkan di pohon-pohon, batu-batu,
dinding-dinding rumah pen-duduk, bahkan ada yang ditempelkan di pintu-pintu gua.
Ada juga yang ditempelkan di layar sebuah perahu. Yang dibagi-bagikan kepada
sekelompok ma-syarakat pun ada juga.
Pandu Puber sendiri sebelum ma-
suk ke kedai sempat membaca selebaran yang ditemukan di jalanan tergeletak
begitu saja. Pasti kertas selebaran itu disebarkan lewat udara, mungkin dengan
cara menunggang seekor burung atau si petugas penyebar kertas itu terbang ke
sana-sini mirip tupai. Dan isi selebaran itu tadi sempat bikin Pandu kaget. Cuma
kaget sebentar sih, nggak sampai bikin jantungnya berhenti berdetak. Soalnya isi
selebaran itu menyangkut nama Pandu Puber. Bunyi selebaran itu begini:
Sayembara Kepada khalayak ramai maupun
khalayak sepi, terutama bagi mereka yang tidak buta huruf dan bisa membaca
tulisan ini tanpa salah, diberitahukan bahwa Penguasa Bukit Gulana yang bernama
Ratu Cadar Jenazah adalah perempuan cantik yang serba sexy dan moy.
Terima kasih. Lalu dibawahnya ada tambahan la-
gi yang bunyinya begini:
NB: Barang siapa bisa menangkap dan menyerahkan Pendekar Romantis yang bergelar
Pandu Puber, atau Pandu Puber yang bergelar Pendekar Romantis, jika yang
menangkap itu wanita akan diangkat sebagai saudara kandung Ratu, jika yang
menangkap seorang lelaki, ganteng
ataupun jelek, maka dia akan diberi kesempatan untuk menjadi suami Ratu tanpa
mas kawin apa-apa.
Barang siapa berminat menjadi
suami Ratu Cadar Jenazah dipersilakan menangkap dan menyerahkan Pendekar
Romantis hidup-hidup. Sayembara ini tertutup bagi staf istana Bukit Gulana.
Sekian dan terima kasih.
Tertanda: Panitia penangkap Pan-du Puber,
Ratu Cadar Jenazah sendiri.
Cherio. Beberapa orang ada yang berpen-
dapat, "Ini pengumuman sayembara apa daftar riwayat hidup sih" Kok bertele-tele
begini?" Seseorang lantas nyeletuk, "Maklum, namanya aja ratunya jenazah, mana bisa
menyusun pengumuman dengan benar."
Yang lain menimpali, "Mungkin
semasa sekolahnya dulu dia sering
'cabut' alias bolos pada saat pelajaran Ilmu Pengumuman, sehingga ia nggak tahu
metode dasar penyusunan pengumuman."
Memang aneh. Pada umumnya mereka
tidak langsung bicarakan tentang Pandu Puber, tapi soal susunan pengumuman itu
dulu. Lama-lama mereka baru bicarakan tentang Pandu Puber.
Tadi waktu Pandu membaca seleba-
ran itu sambil jalan, dia juga
mengkritik susunan bahasanya dulu, setelah itu baru ingat karena sadar bahwa
dirinya kini menjadi seorang buronan bagi Ratu Cadar Jenazah. Setelah kaget,
baru bertanya dalam hati,
"Mengapa aku dianggap buronan
oleh Ratu Cadar Jenazah" Apa yang ia kehendaki dari diriku"
Apakah ada hubungannya dengan
kasus kematian si Dalang Setan itu"
Memang kata orang-orang sih Dalang Setan punya hobi melamar sang Ratu, tapi toh
selalu ditolaknya. Berarti sang Ratu nggak suka sama Dalang Setan. Ta-pi kenapa
setelah Dalang Setan kukalahkan, kok sang Ratu menyebar sayembara kayak begitu"
Apa dia ingin mene-bus kematian Dalang Setan sebab dia secara diam-diam naksir
Dalang Setan"
Wah, perempuan ini kayaknya memang ca-ri penyakit aja! Apakah aku harus
ngumpet" Ah, cuek ajalah! Ngapain pake ngumpet segala. Pendekar kok ngumpet,
nggak seru dong!" (Eh, kalau mau tahu Dalang Setan, baca aja serial Pendekar
Romantis episode: "Dendam Dalang Setan" nggak usah malu-malu deh), Karena sudah
diputuskan untuk
cuek terhadap sayembara itu, maka Pandu Puber nggak sungkan-sungkan makan di
kedai tanpa ngumpet di kolong meja.
Memang ia cari tempat buat mojok, tapi bukan berarti takut kelihatan mereka,
melainkan biar dapat memandang lebih leluasa lagi siapa-siapa yang punya rencana
mau tangkap dirinya.
Salah seorang yang tergabung da-
lam tiga lelaki kurus di meja kiri
berkata, "Pendekar Romantis itu kayak apa sih" Kalau aku tahu orangnya sih, bisa
kutangkap dalam waktu yang se-singkat-singkatnya!"
"Sok lu!" ujar temannya yang kurus juga. "Pendekar Romantis itu berilmu tinggi.
Dicucup ubun-ubunmu in-feksi parah lu!"
Yang kurus berkumis bilang juga,
"Gue sih nggak mau ikut-ikutan tangkap Pandu Puber. Masalahnya ilmu gue ce-kak.
Baru dibentak sudah merangkak.
Kan 'mokal' juga, ya nggak Kak?"
Yang sok jago tadi ngomong,
"Percuma jadi preman dong kalau sama Pandu Puber aja takut"!"
"Yaah... elu Jang! Elu jangan
sok jago gitu. Tahu nggak, Dalang Setan aja mati di tangannya, apalagi
elu, yang cuma dalang pencurian. Bisa mati di ujung jempol kakinya, Jang!"
"Aaah... gue nggak takut! Gue
kan punya jurus baru."
"Jurus apaan?"
"Langkah Seribu Setan."
"Wih, angker juga nama jurusnya.
Itu jurus untuk apaan, Jang?"
"Untuk melarikan diri. Sebelum kita adu muka dengan musuh, kita harus
melarikan diri lebih dulu, cari selamat!"
"Kapan tarungnya"!" ujar si kurus berkumis sambil bersungut-sungut.
Pandu Puber mendengar obrolan
itu. Ia hanya senyum-senyum saja sambil sesekali melirik kelompok tiga
orang kurus itu. Lalu, matanya melirik di meja lain. Di sana ada dua orang
berbadan gemuk. Keduanya berkumis lebat, wajahnya menyeramkan. Yang satu
berambut pendek, botak tengahnya, yang satu berambut panjang agak berombak.
"Aku pernah mengidam-idamkan ingin jadi kekasih Ratu Cadar Jenazah, tapi aku
tahu ilmu perempuan itu tinggi. Jadi aku nggak berani melamar dia.
Nah, dengan adanya sayembara ini sama saja kesempatan baik untuk menjadi kekasih
sang Ratu terbuka lebar di depan mataku. Akan kutangkap orang yang bernama Pandu
Puber itu, akan kuserahkan kepada sang Ratu dan hadiahnya akan kuambil saat itu
juga di depan tawa-nanku. Paling tidak, yaah... ciuman di pipi aja boleh dong,
ya nggak, ya nggak" He, he, he...!" sambil alis le-batnya tersendat-sendat naik.
Yang berambut pendek ikut terke-
keh dan berkata, "Aku pernah bayangkan, kalau seandainya aku jadi sua-
minya si ratu cantik dan montok itu, wah... mungkin aku nggak bisa membeda-kan
mana celanaku dan mana selimutku.
Pasti enjoy terus, he, he, he...!"
"Kamu juga mau tangkap buronan itu?"
"Iya dong! Dengan ilmu 'Sendok Sakti' akan kulumpuhkan pendekar itu!"
"Wah, nggak bisa! Pendekar Ro-
mantis itu jatahku. Aku yang harus
tangkap dia! Kalau kamu serobot buronan itu, aku bisa tega sama kamu!"
"Lho, siapa saja kan boleh tangkap dia" Emangnya cuma kamu aja yang boleh
tangkap buronan itu?" orang itu agak melotot. Temannya juga melotot.
"Iya. Emang cuma aku yang boleh tangkap dia, sebab cuma aku yang boleh jadi
suami Ratu Cadar Jenazah! Mau apa lu"!"
"Eh, kamu jangan ngotot gitu di depanku, Min"! Bisa kena tampar mukamu yang
kayak codot itu!"
"Coba! Coba kalau kamu memang
berani tampar aku" Nih...!" orang itu sodorkan wajahnya. Tentu saja wajah ekstra
begitu sangat enak buat ditampar. Maka temannya pun segera menampar dengan
keras. Plookk...! "Aduh...!" orang yang ditampar kaget dan usap-usap pipinya. "Kok benaran sih"!"
"Biar kamu tahu kalau aku pun
mampu tangkap pendekar celeng itu!"
bentaknya yang membuat semua orang memandang kepada kedua orang tersebut.
"Jadi kamu benar-benar nantang aku nih"! Boleh! Kita tarung di luar, kita
tentukan siapa yang berhak tangkap Pendekar Romantis!"
"Oke...! Ayo, keluar!"
Kedua orang berkumis itu sama-
sama pergi cari tempat lega buat tarung. Pandu Puber dan beberapa orang hanya
senyum-senyum sambil geleng-gelengkan kepala. Ada seorang lelaki yang baru
datang dan sedang bingung cari tempat duduk. Orang itu sempat mendengar cekcok
kedua orang berkumis tadi. Ia juga geleng-geleng kepala, lalu segera
memperhatikan tempat kosong di depan Pandu. Orang itu pun segera duduk di depan
Pandu Puber, lalu memesan makanan kepada pemilik kedai.
Sambil tersenyum-senyum lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun itu berkata, tujuannya kepada Pandu tapi
pandangannya ke arah pintu kedai yang dipakai keluar dua orang tadi.
"Manusia bodoh! Belum apa-apa kok sudah mau tarung sendiri. Padahal yang
mestinya dilawan kan si Pendekar Romantis itu. Bukan temannya sendiri.
Ya, nggak?" sambil berpaling memandang Pandu, maka Pandu pun memberi jawaban
cukup dengan menganggukkan kepala dalam senyuman nya.
Orang yang baru datang itu agak
pendek. Badannya nggak begitu gemuk, juga nggak kurus. Pakaiannya abu-abu.
Pakai ikat kepala merah, rambut pendek, kumis tipis. Ia membawa bungkusan kain
yang tadi dipikul pakai bambu kecil seperti tongkat pramuka, tapi
ujungnya lancip. Kulitnya hitam, me-nandakan ia sering menjemur diri di bawah
terik sinar matahari.
"Orang mau tangkap buronan kok banyak omong. Bisa-bisa dibacok sama si buronan
sendiri, ya nggak?"
"Iya," jawab Pandu seperti malas-malasan.
"Kamu juga berminat ikuti sayembara itu, Dik?"
"Nggak, Pak," jawab Pandu berna-da sopan karena menghormati orang yang lebih tua
darinya itu. "Kenapa nggak mau ikut sayemba-ra" Siapa tahu kamu bisa tangkap orang yang
bernama Pandu Puber itu. Kamu bi-sa jadi Suami Ratu Cadar Jenazah lho.
Jadi suami seorang ratu kan enak, apalagi ratu itu seksi dan cantik. Kamu
kayaknya pantas deh jadi suami Ratu Cadar Jenazah."
"Ah, Paman bisa aja," Pendekar Romantis tersipu dipaksakan.
"Benar kok. Kamu pantas jadi suami ratu, soalnya kamu ganteng. Maaf, ini
pengakuan jujur lho. Biasanya pemuda ganteng kayak kamu itu disukai para ratu."
"Ah, kata siapa?"
"Lho, soalnya dulu aku pernah
punya sahabat yang jadi juru taman di sebuah negeri. Negeri itu dipimpin
oleh seorang ratu, jadi aku tahu pria yang membuat seorang ratu berselera.
Yah, model-modelnya kayak situlah!"
Senyum sekilas mengesankan kera-
mahan Pandu, walau dalam hati sebenarnya Pandu tertawa mendengar ucapan
orang berkumis tipis itu. Pandu berlagak cuek kembali dengan sayembara-
sayembara itu. Malah ia bertanya tentang diri orang tersebut.
"Paman dari mana?"
"O, aku..." Aku dari tempat
jauh. Jauh sekali deh pokoknya. Dan aku punya nama; Duda Dadu. Pasti baru
sekarang kau dengar nama Duda Dadu.
iya, kan?"
"Betul, Paman. Nama itu agak
aneh buat telingaku. Mengapa namanya Duda Dadu?"
"Itu cuma julukan saja," ujarnya sambil menerima pesanan dari si pemilik kedai.
"Nama asliku sih bukan Duda Dadu. Tapi karena dulunya aku sejak remaja sampai
setua ini gemar main da-du koprok, bahkan jabatanku terakhir adalah bandar dadu,
sedangkan statusku adalah seorang duda, maka teman-teman banyak yang panggil aku
Duda Dadu."
Sambil menuang ten dari poci ke
cangkir, Duda Dadu tertawa sendiri seperti orang menggumam. "Aku menjadi duda
gara-gara dadu juga. Istriku
nggak suka aku jadi bandar dadu, akhirnya kuceraikan. Waktu itu aku berpikir,
lebih baik jadi duda daripada jadi suami tanpa dadu."
"Rupanya Paman suka dengan judi, ya?"
"Ya. Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah tobat kok. Nggak mau berjudi la-gi.
Benar. Berani taruhan berapa deh, aku nggak bakalan tertarik sama judi lagi."
Sambil tertawa Pandu berkata,
"Kata-kata Paman saja masih mengandung judi. Buktinya Paman bilang 'berani
taruhan', itukan judi juga, Paman.
Nggak baik tuh."
"Eh, iya, ya..." He, he, he...."
Duda Dadu tertawa sendiri. "Tapi itu hanya spontanitas saja. Maklum, lagak-lagu
masa laluku belum hilang secara tuntas. Jadi ngomongnya masih nggak jauh dari
taruhan." Duda Dadu meneguk teh hangatnya.
Sepotong pisang rebus bertabur kelapa parutan dicaploknya. Kaki kanannya
naik ke bangku dan tampaknya cuek-cuek aja dengan sikap noraknya itu. Pandu
Puber hanya memperhatikan dengan tenang, sambil sesekali mendengarkan
percakapan orang-orang kedai.
"Menurutku, sebaiknya kau ikut sayembara itu saja, Dik."
"Nggak berani, Paman," jawab Pandu melemah.
"Kok nggak berani" Tinggal cari yang namanya Pandu Puber atau Pendekar Romantis,
lalu tangkap dia dan bawa ke Ratu, jadilah kau suami Ratu. Mudah kan?"
Pendekar Romantis hanya nyengir.
"Menangkap Pandu Puber itu sama saja menangkap seribu petir."
"Kok gitu?"
"Dia bukan orang sembarangan.
Ilmunya tinggi. Dia kan anak dewa, Paman!"
"Ya memang sih, kemarin kudengar percakapan orang-orang pantai juga sebut-sebut
'anak dewa', tapi itu kan cuma isu. Jangan percaya dengan isu.
Nggak ada dewa beranak di bumi. Berte-lurnya aja di kayangan, masa' beranak-nya
di bumi?" Duda Dadu tertawa. "Lagi pula, dia belum tentu berilmu tinggi benaran,
Dik. Itu pun menurutku juga cuma isu."
"Apakah Paman belum pernah dengar cerita kehebatan Pandu Puber?"
"Pernah sih, tapi yaah... kua-
nggap itu sekadar dongeng di dunia
persilatan saja. Sebab kalau memang dia sakti, tentunya Ratu Cadar Jenazah sudah
dilabraknya karena nyebarin
sayembara kayak gitu. Sebagai seorang pendekar mestinya dia tersinggung
dong. Ya, nggak" Masa' dia diam saja"


Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masa' nggak ada kabar kalau Pendekar Romantis melabrak sang Ratu" Aaah...
sudahlah, jangan takut. Ikut sayembara saja sana. Aku kasih spirit deh buat
kamu. Tapi kalau kamu berhasil jadi suaminya Ratu, jangan lupa komisi untukku,
Dik. Syukur kamu bisa usulkan supaya aku kerja di istana."
Geli sekali hati Pandu menden-
garnya. Orang itu bicara seenak bo-
dongnya saja. Dia nggak tahu kalau
yang diajak bicara adalah si buronan sendiri.
Malahan dia berkata lagi, "Kalau memang dia berilmu tinggi, kamu nggak usah
khawatir. Aku punya banyak ilmu."
"Begitukah?" Pandu berlagak tertarik.
"Sebelum aku jadi bandar dadu
dan suka judi, dulunya aku pernah ber-guru dan pernah bikin perguruan sendiri.
Tapi murid-muridku habis karena kubuat taruhan dengan perguruan lain."
Pendekar Romantis tertawa pen-
dek, masih berpenampilan tenang, kalem, dan senyumnya selalu memancarkan
keramahan. Enak dipandang mata. Nggak seperti senyumnya Duda Dadu yang enak
ditendang kuda.
"Justru sekarang ini aku bertobat," kata Duda Dadu lagi, "... aku berhenti
berjudi, dalam rangka ingin menurunkan ilmuku kepada salah seorang yang mau jadi
muridku." "O, jadi Paman Duda Dadu cari
murid?" "Iya! Dan menurut teropong inde-ra keenamku, kau adalah seorang pemuda yang
pantas menjadi muridku dan akan kuat menerima warisan ilmu-ilmuku. Ja-di kalau
kau mau, akan kuajarkan ilmuku padamu dalam waktu singkat. Nggak susah-susah
kok. Sehari saja kau bisa dapat serap ilmuku sekitar tiga atau empat jurus. Dan
ilmuku itu ampuh-ampuh. Kalau cuma buat kalahkan Pendekar Romantis sih,
keciiil...!" Duda Dadu menjentik pakai kelingkingnya.
Senyum Pandu masih mewakili hati
yang ingin tertawa geli. Tapi sikapnya seolah-olah sangat antusias dengan ka-ta-
kata Duda Dadu. Walaupun dalam hati Pandu mengecam orangtua itu terlalu sombong,
tapi ia tidak menampakkan sikap mengecamnya itu. Akibatnya Duda Dadu makin
bersemangat dalam mempromo-sikan ilmunya.
"O, ya... namamu siapa, Dik?"
"Hmmm... namaku sederhana, Pa-
man..." "Jadi begini, Sederhana. Ka-
lau...." "Maksudku, sederhana itu kata
sifat, bukan sebuah nama, Paman. Namaku sangat sederhana."
"Ooo... gitu. Kukira namamu si Sederhana."
Pandu redakan tawa dalam gumam
sebentar, lalu berkata, "Namaku... Pe-ro, Paman."
"Pero..." Wah, itu nama yang hadir dalam wangsitku," kata Duda Dadu.
"Waktu aku tidur di hutan, aku mimpi ditemui kakek tua berjenggot panjang sampai
ke tanah. Kata kakek itu, aku hanya boleh turunkan ilmuku kepada pemuda yang
bernama Pero. Tapi aku nggak mau peduli dengan wangsit itu. Ternyata benar juga,
bahwa akhir dari perja-lananku ini aku bertemu dengan pemuda bernama Pero.
Berarti kau cocok menerima ilmuku."
Duda Dadu sangat bersemangat,
sedangkan Pandu hanya manggut-manggut saja, itu pun dilakukan sesekali sambil
menahan tawa di hati. Duda Dadu makin dekatkan wajah agar bicaranya tak didengar
orang lain. "Gini aja, Pero.... Kuajarkan
jurus-jurus mautku kepadamu dalam tem-po singkat. Lalu, cari orang yang bernama
Pandu Puber dan lawan dia. Kalahkan dia dengan jurus maut dariku itu.
Lumpuhkan dia, lalu bawa dia ke ista-nanya Ratu Cadar Jenazah. Tapi jangan
lupa... komisi untukku harus kau bicarakan pula kepada sang Ratu. Bilang saja,
aku adalah gurumu, dan gurumu butuh biaya untuk bikin padepokan, gi-tu! Setuju
nggak"!"
"Boleh juga," jawab Pandu yang jadi penasaran dan ingin tahu seberapa tinggi
ilmunya Duda Dadu itu.
DUA SAYEMBARA itu ternyata menyebar
sampai ke seberang tanah Jawa. Bagi tokoh silat yang cukup kawakan maupun yang
setengah kawakan saling tertarik untuk membicarakannya. Bagi tokoh lelaki yang
masih doyan cinta, tertarik pula untuk mengikuti sayembara tersebut. Sebab
mereka tahu, seperti apa kecantikan dan keseksian Ratu Cadar Jenazah itu.
Menurut orang yang pernah meli-
hat, perempuan berjuluk Ratu Cadar Jenazah itu mempunyai wajah yang memancarkan
gelombang cinta begitu besar.
Lelaki mana pun yang memandang bibirnya akan dibakar oleh hasrat untuk
mencumbunya. Pria yang menatap matanya tergugah gairahnya dan sulit dipadam-kan
sebelum mendapat 'mangsanya'. Pokoknya, wajah dan potongan tubuh Ratu Cadar
Jenazah mempunyai kekuatan gaib berupa getaran gelombang yang dapat mempengaruhi
otak dan saraf lelaki da-ri yang punya niat membunuhnya menjadi berniat
mencumbunya. Karena itu sang Ratu mengenakan cadar kain tipis warna hitam
transparan untuk menutupi wajahnya. Cadar itu untuk mengurangi getaran gaib yang
keluar dari wajahnya.
Sekalipun sudah diberi cadar, eh...
masih saja punya pancaran gaib seperti itu walaupun bertaraf kecil-kecilan.
Habis cadarnya dari kain tipis transparan sih. Coba kalau dari kain terpal,
pasti getaran gaibnya terbendung total.
Setiap lelaki yang sudah bertemu
muka dengan Ratu Cadar Jenazah, pasti punya hasrat ingin menjadi suaminya.
Nggak tua, nggak muda, kalau sudah
pernah beradu muka dengan sang Ratu, khayalannya tak jauh dari ranjang dan
kemesraan. Kecuali bagi yang berilmu tinggi, ia dapat menahan getaran gelombang
asmara itu dengan kekuatan tenaga dalamnya. Kekuatan getaran gelombang asmara
itu begitu besarnya, sehingga tak heran Dalang Setan mati-
matian ingin menjadi suami sang Ratu walau akhirnya memang mati benaran.
Kabarnya sih yang jadi korban
kayak Dalang Setan itu cukup banyak.
Pria yang mati gara-gara jatuh cinta pada sang Ratu lebih dari seratus,
terhitung dari tiga dasawarsa belakangan ini. Ada yang matinya bunuh diri dengan
mengantongi selembar surat cinta untuk sang Ratu. Ada yang matinya karena duel
untuk mendapatkan sang Ra-tu. Ada pula yang matinya di tangan sang Ratu sendiri
karena ngotot ingin diterima lamarannya.
"Perempuan itu bukan saja penyebar asmara, namun juga penyebar maut bagi kaum
pria," ujar salah seorang tokoh tua yang cukup beken juga di ka-
langan para tokoh rimba persilatan.
Katanya lagi, "Jangan coba-coba ingin menemui perempuan itu, dan jangan coba-coba ingin
membuka cadarnya untuk melihat kecantikannya. Sebab kecantikannya
adalah liang kubur bagi setiap lelaki.
Pada tubuhnya terdapat liang surga
yang menyemburkan api neraka bagi pria mana saja."
"Tapi saya berminat mengikuti
sayembara itu, Guru. Saya akan mencari Pendekar Romantis dan menangkapnya."
"Muridku, menangkap Pendekar Romantis sendiri sudah merupakan bencana alam bagi
sejarah hidupmu. Apakah kau lupa bahwa Pendekar Romantis itu adalah anak dewa
yang mendapatkan ilmu titisan dari ayahnya, yaitu Batara Ka-ma" Dia adalah cucu
raja Jin yang bernama Kala Bopak."
"Ya, ya, saya tahu soal kakeknya itu, Guru. Saya pernah dengar Guru ceritakan
hal itu. Tapi apakah Guru anggap saya nggak bisa menandingi kesak-tiannya dengan
pergunakan jurus-jurus maut yang Guru ajarkan itu" Lagi pula, bukankah Guru
punya pusaka yang bernama 'Cangkul Bedah Guntur', dan ten-
tunya Guru akan izinkan saya meminjam cangkul itu, bukan?"
"Muridku, 'Cangkul Bedah Guntur'
memang pusaka yang dahsyat. Tapi jika kau berhadapan dengan Pendekar Roman-
tis, walau kau bersenjatakan pusaka
'Cangkul Bedah Guntur', kau tetap akan kalah. Sebab Pendekar Romantis mempunyai
pusaka maha dahsyat yang bernama
'Pedang Siluman', yaitu pedang ungu jelmaan kakeknya; si raja Jin itu.
Bayangkan saja, tempat penyimpanan pedang itu saja sudah termasuk hebat, yaitu
disimpan di dalam kulit kakinya.
Kelihatannya Pendekar Romantis tak
pernah membawa senjata, tapi sebenarnya dari dalam kulit kaki kanannya bi-sa
keluar pedang sakti yang bernama
'Pedang Siluman', dan pedang itu mampu menghancurkan pusaka apa pun, termasuk
pusaka 'Cangkul Bedah Guntur'."
"Ah, itu tergantung kecepatan
kita menggunakan senjata saja, Guru.
Kalau dia lengah dan saya lebih cepat, maka dia pun akan mati di ujung
'Cangkul Bedah Guntur'."
"Kalau dia sudah mati apakah berarti kau bisa kawin dengan Ratu Cadar Jenazah"
Bukankah sang Ratu kehendaki Pendekar Romantis ditangkap dan diserahkan padanya
dalam keadaan hidup-hidup?"
"O, iya, ya...?" sang murid tundukkan pandangan matanya merenungi
perhitungannya yang nyaris salah total itu.
"Sudahlah, lupakan saja sayemba-ra itu, Muridku. Nanti kau mati di
tangan Pendekar Romantis. Kalau kau
ingin kawin dan sudah tak dapat ditahan lagi, cari gadis lain aja yang
nggak mengandung risiko, syukur yang nggak mengandung lemak babi," kata sang
Guru. "Pilihlah gadis yang mana saja asal bukan Ratu Cadar Jenazah, maka aku
akan melamarkannya untukmu.
Kecuali kalau memang gadis itu nggak mau dilamar olehmu, maka aku akan me-
lamarnya sendiri."
"Ah, Guru ini tua-tua kok masih berminat juga melamar wanita?" ujar sang murid
sambil bersungut-sungut
sambil menahan geli.
Tokoh tua berjenggot sepanjang
dada warna putih itu dikenal dengan nama Ki Parma Tumpeng. Kepalanya berbentuk
kerucut seperti nasi tumpeng, jadi ia dijuluki Ki Parma Tumpeng. Aslinya sih
bernama Ki Parma Pratikta.
Orangnya tinggi, badannya kurus, gemar memakai pakaian jubah kuning, rambut-nya
tipis yang tumbuh di bagian tepi kepala saja, bagian tengah kepala botak.
Wajahnya kalem-kalem konyol. Artinya, kelihatannya kalem tapi sering berbuat
konyol. Misalnya, kalau ada perempuan yang tampaknya sekal, mulus, dan
menggiurkan, suka melirik dan ber-suit menggoda. Lalu mengajaknya tersenyum.
Biar usianya sudah mencapai delapan puluh tahun, tapi ia masih kelihatan segar
dan gagah. Jiwa mudanya masih suka muncul terutama jika ada
cewek di sekitarnya.
Muridnya bernama Balak Lima. Pe-
muda berusia dua puluh empat tahun itu adalah anak kelima dari keluarga Wira
Balak, mantan saudagar kaya yang ke-luarganya mati dibantai oleh kawanan
perampok, dan hanya Balak Lima yang selamat dari pembantaian tersebut.
Waktu anak kelima itu masih berusia delapan tahun. Ia ditemukan Ki Parma Tumpeng
di reruntuhan rumahnya yang dibakar habis oleh kawanan perampok tersebut.
Balak Lima tergolong murid yang
bandel dan malas. Karena itu ilmunya Ki Parma Tumpeng nggak bisa dikuasai
semuanya oleh Balak Lima. Hanya beberapa saja yang berhasil dikuasai Balak Lima,
padahal usianya sudah cukup banyak untuk ukuran seorang pemuda. Maklum, pemuda
yang gemar memakai pakaian serba merah itu lebih suka menangkap ikan di laut
ketimbang menekuni pelajaran silat yang diturunkan oleh gurunya. Mungkin memang
cita-citanya ingin jadi nelayan, sehingga sang Guru pun mau tak mau harus
memaklumi kelam-banan sang murid dalam menerima ajarannya.
"Tamatkan dulu pelajaranmu, baru pergilah berkelana!" kata sang Guru.
Tapi Balak Lima sudah telanjur
tergoda oleh sayembara itu. Maka secara diam-diam, Balak Lima pergi dari
Pantai Buaya Dampar, tempat kediaman gurunya itu. Ia sengaja nggak mau pa-mit
dan mohon doa restu dari gurunya, sebab dia nggak mau dicegah oleh sang Guru.
Selain membawa golok di pinggang, ia juga membawa cangkul andalan yang akan
digunakan melawan Pandu Puber nanti.
Pantai Buaya Dampar mempunyai
perbukitan bercadas. Cadas itu bercampur unsur karang sehingga keras. Di salah
satu perbukitan yang sepi, tampak seorang lelaki berambut abu-abu sedang memberi
pelajaran jurus-jurus maut kepada seorang anak muda. Anak muda itu memperhatikan
dengan tenang, berdiri di bawah pohon teduh. Ia mengenakan gelang kulit hitam
berpaku metal. Tato bunga mawarnya kelihatan jelas karena baju ungunya selalu tidak
dikancingkan, walau sebagian bawahnya diikat rapi dengan sabuk hitam. Pemuda
itulah yang dicari Balak Lima.
Pandu Puber sengaja dibawa oleh
Duda Dadu ke tempat itu, sebab tempat itu sepi, cocok untuk belajar ilmu ka-
nuragan. Duda Dadu tampak bersemangat memberikan pelajaran ilmunya kepada Pandu.
"Ini namanya jurus 'Paruh Ban-
gau'," kata Duda Dadu sambil mengem-bangkan kedua tangan dengan ujung tangan
saling menguncup seperti paruh
siap mematuk. Kakinya diangkat satu,
seperti anjing mau pipis. Badannya sedikit dimiringkan.
"Gerakan kedua tanganmu nanti
harus cepat dan punya arah tertentu; ke kiri dua kali, ke kanan dua kali,
membuka dua kali, ke bawah dua kali, ke depan dua kali, lalu kedua tangan
menyodok dari bawah ke depan secara bersamaan. Nah, pada saat menyodok ke depan,
sentakkan napasmu dalam keadaan tertahan di perut. Maka tenaga dalam dahsyat
akan keluar dari ujung-ujung tanganmu yang menguncup begini!"
"Contohnya bagaimana?"
"Nih, lihat...! Hiaaat, hiiiat, heeaah...!"
Wut, wut, wut, wuutt... bruutt!
"EH, kok yang keluar bagian belakang, ya?" sambil Duda Dadu menangkap pantatnya
sendiri dengan senyum malu karena buang gas dengan suara keras. Pandu Puber
tertawa geli hingga badannya terguncang-guncang.
"Tenaga dalamnya kok keluar dari belakang, Paman" Katanya dari ujung tangan?"
Duda Dadu menjawabnya dengan
berlagak dongkol, "Itu bukan tenaga dalam. Itu tadi bagian dalamnya tenaga."
Pandu buru-buru hentikan ta-
wanya. Duda Dadu berkata lagi, "Lihat, kekuatan tenaga dalam yang terpusat di
ujung jari-jari yang menguncup ini da-
pat untuk menjebolkan benda keras. Misalnya batang pohon di sebelahmu itu.
Nih, perhatikan...! Hiaaatt...!"
Wuuttt... duug, duug, duug,
duug, duug! Pohon dihantam dengan kedua tan-
gan yang menguncup berkali-kali. Dengan cepat Duda Dadu menarik diri, juga
menarik tangannya di kebelakangkan, berdirinya tegak, senyumnya mengembang.
"Nah, lihat... pohon itu hampir jebol, kan?"
Pandu memeriksa pohon itu lalu
berkata, "Mananya yang jebol, Paman?"
"Ya bagian yang kupukul tadi.
Tapi jebolnya nggak sekarang. Pohon itu menerima luka dalam, dua-tiga hari lagi
akan mati kekeringan! Percaya
deh!" "Ooo...," Pandu Puber berlagak percaya dengan manggut-manggut. "Terus, tangan
yang buat memukul pohon itu apa nggak sakit, Paman?"
"O, nggak dong! Aku sudah terlatih untuk menghantam benda sekeras ba-ja
sekalipun. Nantinya kau juga nggak akan rasakan sakit walau memukul pohon
seratus kali."
Tangan yang di belakangkan itu
mengembang pelan dan bergerak-gerak.
Duda Dadu membatin, "Sialan! Jari ten-gahku kayaknya patah nih" Uh, sakitnya
bukan main."
"Coba Paman pukul lagi pohon ini biar langsung jebol."
"O, nggak bisa! Jurus itu tadi harus dilakukan dengan sabar. Penggu-naannya
cukup satu kali dalam sehari."
Lalu, batinnya melanjutkan sendiri.
"Kalau lebih dari satu kali bisa remuk jarimu, Nak! Jariku aja sekarang
kayaknya remuk tiga nih"!"
Duda Dadu berkata sambil mendon-


Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gak ke atas, "Lihat, sudah ada dua daun yang langsung kering dan yang sebelah
sana itu langsung membusuk, kan"
Nah, itu akibat tenaga dalam yang keluar dari tanganku saat memukul pohon ini
tadi!" "Wah, hebat juga, ya?" gumam Pandu sambil manggut-manggut, lalu
membatin, "Padahal sebelumnya aku memang sudah lihat ada dua daun mengering di
sana dan yang di sana berwarna coklat busuk. Ah, orang tua ini banyak ngibulnya.
Tapi menarik juga untuk di-permainkan, bisa buat hiburan diriku agar tak
memikirkan sayembara itu."
"Pero," panggil Duda Dadu dengan suara dipertegas biar kelihatan wibawa.
"Sekarang coba tirukan gerakan jurus yang kuajarkan tadi!"
"Pakai mukul pohon segala, Pa-
man?" "Iya dong! Biar tanganmu terlatih memukul benda keras!"
Pendekar Romantis segera tirukan
gerakan jurus tadi. Hanya sekali lihat saja ia sudah bisa menirukan karena
gerakan jurus tadi sangat mudah. Lalu dengan langkah kaki selalu merendah, Pandu
Puber dekati pohon yang lebih besar dari yang dipukul Duda Dadu ta-di. Dengan
kedua tangan menguncup, pohon itu dihantamnya dua kali.
Duub, duub...! Duurr...! Pohon itu guncang,
bergetar dari akar sampai puncaknya.
Daun pohon berhamburan bagaikan hujan serentak. Tubuh mereka ditaburi daun
kecil-kecil itu. Kejap berikutnya,
ternyata pohon itu sudah tidak berdaun sedikit pun. Tak ada selembar daun
yang tersisa di tangkainya. Pohon itu menjadi gundul, plontos! Bahkan ranting-
ranting kecilnya pun ikut rontok berhamburan. Tanah jadi kotor penuh daun dan
ranting kecil. Duda Dadu diam terbengong melom-
pong nyaris tak bisa bicara melihat pukulan Pandu mengakibatkan pohon menjadi
polos, bagai ditelanjangi secepat itu. Dalam hati Duda Dadu membatin,
"Edan! Kok jadi sehebat ini, ya"
Padahal aku sendiri nggak mampu lakukan begini" Bikin kulit pohon lecet aja
belum mampu, tapi si Pero kok udah mampu bikin pohon ini gundul seketika"
Padahal hanya dua pukulan saja lho"
Kalau begitu, jurus ciptaanku tadi
ternyata punya kekuatan sehebat ini,
ya" Wah, kayaknya aku memang pantas jadi guru silat nih!"
Sementara itu Pandu sendiri mem-
batin, jurus apa yang kugunakan tadi"
Yang jelas kekuatan tenaga dalam yang keluar dari gerakan tadi bukan lanta-ran
keluar dari jurus ajaran Paman Du-da Dadu. Pasti ini jurusnya Ayah nih!
Ayah nggak bilang kalau aku punya jurus titisan kayak gini. Hmm... sebaiknya
jurus ini kuberi nama jurus 'Duda Gundul' aja deh. Habis munculnya saat aku
bertemu Paman Duda Dadu dan kekuatannya bisa bikin pohon jadi gundul begitu sih.
Tapi, kalau kenai tubuh orang jadi apa, ya" Masa' bisa bikin orang gundul juga"
Ah, kapan-kapan ku-coba pada lawan yang bandel...."
Melihat mantan bandar dadu itu
terbengong mirip sapi ompong lihat po-cong, Pandu Puber segera menyapa dengan
mendekatinya lebih dulu. "Paman...! Paman Duda Dadu!"
"Oh, eh, emm... iya, kenapa?"
Duda Dadu menggeragap.
"Jurusmu hebat sekali, Paman.
Pohon itu bisa gundul seketika. Kalau boleh kuusulkan, jurus itu akan kuberi
nama jurus 'Duda Gundul' saja, Paman."
"Nggak boleh! Nama jurus yang
kusebutkan tadi mengandung mantera
gaib, jadi nggak boleh diganti. Na-
manya tetap jurus 'Paruh Bangau'!"
"Baik, Paman," jawab Pandu walau
dalam hatinya ia tetap ingin namakan jurus itu 'Duda Gundul'.
Duda Dadu bersuara bisik sambil
pandangi pohon itu, "Ngomong-ngomong kamu apakan sih pohon itu tadi, kok jadi
gundul begitu?"
"Cuma menyentakkan napas yang
tertahan di perut, Paman."
"Masa'..." Kok bisa gitu ya?"
Keheranan Duda Dadu tiba-tiba
buyar dengan munculnya sesosok tubuh dari balik semak ilalang di belakang
mereka. Gusraak...! Jlug...! Dan kedua orang itu berbalik ke belakang. Duda Dadu
sempat terlonjak kaget karena ke-munculan orang tersebut yang secara tiba-tiba.
Lompatan kaki yang mendarat di tanah menimbulkan suara pelan tapi mengejutkan
hati yang sedang terheran-heran itu.
Seorang pemuda berpakaian merah
memanggul cangkul di pundaknya. Dia adalah Balak Lima yang secara kebetulan tadi
lewat di dekat tempat situ, lalu mendengar suara getaran pohon
yang dihantam Pandu tadi. Rasa ingin tahu Balak Lima membawanya muncul di situ
dan membuat Pandu Puber berkerut dahi, tapi kerutan dahinya lebih tajam milik
Duda Dadu yang benar-benar merasa asing dengan wajah dan sosok Balak Lima.
Sekalipun Pandu Puber sendiri belum kenal dan baru jumpa Balak Lima kali itu,
tapi keheranannya tidak ter-
lalu menonjol. Bahkan ia segera bersikap tenang dengan menghilangkan kerutan
dahi dan membiaskan seulas senyum tipis. Sangat tipis sekali. Hampir
nggak kelihatan kalau lagi tersenyum.
Yang tampak cuma wajah ramahnya saja.
Tetapi Duda Dadu bersikap ang-
ker. Angker yang dipaksakan sih. Ia ingin tampakkan wibawanya di depan
Pandu dalam menghadapi orang tak dikenal. Ia maju tiga langkah dari depan Pandu,
lalu bertolak pinggang dan menyapa Balak Lima dengan sok galak.
"Siapa kau" Nak" Mau apa kemari"
Kesasar apa sengaja mau temui kami"
Atau... jangan-jangan kau tak tahu jalan menuju ke sawah, sehingga kau ne-kad
mau bikin sawah di sini?"
"Siapa kau, Pak Tua?"
"Lho, kok malah ganti nanya?"
sambil Duda Dadu memandang Pandu Puber. Lalu segera memandang Balak Lima dan
bicara lebih ketus lagi,
"Eh, yang kutanyakan tadi adalah siapa namamu" Kenapa kau malah ganti bertanya?"
Ia menoleh Pandu, "Wah, ini anak kayaknya nggak ngerti tata bahasa, Pero!"
"Sebaiknya kita perkenalkan diri lebih dulu, Paman. Mungkin memang be-gitulah
kemauannya."
"Nggak bisa! Kita sudah sejak
tadi di sini kok, kenapa mesti kita yang perkenalkan diri" Mestinya dia
dong, sebab dia kan kaum pendatang"!"
"Kaum pendatang, Dengkulmu som-plak!" bentak Balak Lima dengan som-bongnya.
"Justru kalianlah yang jadi kaum pendatang. Kalian memasuki wilayah kekuasaan
kami tanpa izin! Masih untung kutanyakan namamu dulu, Pak
Tua, daripada tahu-tahu ku cangkul lehermu dengan cangkul pusaka ini!"
"Eh, kamu bicara sama orangtua yang sopan, ya?" hardik Duda Dadu.
"Biar jelek-jelek gini, aku ini gurunya muridku! Jangan bicara begitu di depan
muridku ini! Bisa ditabok satu kali, celeng tujuh kali kau!"
"Kau..." Kau gurunya dia"
Hmm...!" Balak Lima mencibir. "Nggak mungkin! Nggak mungkin deh, Cing!"
"Lho, nggak mungkin gimana" Mau bukti" Mau bukti, hah"!" bentak Duda Dadu sambil
dekati Balak Lima dengan nada tersinggung. "Nih, kalau kau mau bukti, huup...!"
Duda Dadu menghantamkan tangan
kanannya ke wajah Balak Lima, lurus ke depan. Tapi tangan kiri Balak Lima segera
menangkis, badannya memutar dan kakinya menendang ke belakang.
Wuuut...! Duug...!
"Uhg...!" Duda Dadu terpental karena jejakan kaki itu tepat mengenai dadanya.
Tubuh yang terpental itu sampai di tangan Pandu dan segera ditopang dari
belakang, sehingga Duda Dadu
tak jadi rubuh. Tapi napasnya sesak dan tersendat-sendat.
"Sialan. Anak itu kurang ajar
sekali sama orang tua! Dadaku sakit sekali, Pero. Coba periksa, apakah bolong
sampai belakang atau... ouh...!
Gila! Buat bernapas terasa panas lho!"
"Paman nyodok duluan sih, jadi akibatnya ya kena sodok sendiri."
"Lawan, Pero! Lawan dia! Kau
adalah muridku, masa' kau diam saja lihat gurumu dibuat bengek mendadak kayak
gini! Lawan dia pakai jurus yang tadi, Pero!"
"Hei, Pak Tua... apakah kau tak salah panggil?" kata Balak Lima. "Mengapa kau
panggil dia dengan nama Pero"
Bukankah nama aslinya adalah Pandu Puber, dan bergelar Pendekar Romantis"!"
"Apa..."!" Duda Dadu kaget, melotot dan menganga mulutnya.
"Hei, Bung... kau yang bernama Pandu Puber, kan"! Ngaku aja! Iya,
kan"!" bentak Balak Lima.
"Apakah kau yakin aku Pandu Puber?"
"Yakin sekali. Sebab aku tahu
ciri-cirimu, pakaian ungu, ada tato bunga mawar di dada, pakai anting sebelah
kiri, dan ciri-cirimu itu sudah menyebar di mana-mana! Kau pasti Pandu Puber.
Ngaku aja sebelum ku cangkul kepalamu!"
Pandu tersenyum tenang. Mencabut
sehelai rambut dan digigit-gigitnya.
Setelah memandang lawannya sesaat,
Pandu Puber berkata,
"Ya, memang aku Pandu Puber! Mau apa kau"!"
"Edaaan...!" sentak Duda Dadu dengan mendelik super melotot. "Jadi kamu yang
namanya Pandu Puber"! Kok ngakunya bernama Pero?"
"Pero singkatan dari kata Pendekar Romantis, Paman!"
"Sapi lu!" sentak Duda Dadu lagi merasa dongkol dikelabuhi begitu.
"Pandu Puber, jujur saja kukatakan padamu, aku akan mengikuti sayem-baranya Ratu
Cadar Jenazah!" seru Balak Lima. "Untuk itu, demi keselamatan jiwa dan ragamu,
kuharap kau menurut padaku, kutangkap dan kuserahkan kepada Ratu Cadar Jenazah!
Jangan melawan-ku supaya nyawamu agak awet sedikit, Pandu!"
"Aku nggak akan melawanmu, tapi aku ingin tahu seberapa tingginya il-mumu hingga
berani berkoar seenak bo-dongmu di depanku."
Tiba-tiba kaki si tampan Pandu
menghentak ke tanah satu kali.
Jluug...! Tubuh Balak Lima tiba-tiba terpental ke atas dan menerabas dahan-dahan
pohon. Guzraak...! Kraak...!
Bluukk...! Tubuh itu jatuh terbanting tanpa keseimbangan badan.
Jurus 'Sentak Bumi' telah mem-
buat Balak Lima bagaikan dilemparkan ke atas tanpa bisa kuasai diri. Kepalanya
menjadi sakit karena dahan pohon yang bersilang-silang itu diterabasnya hingga
ada yang patah, lalu tubuh itu pun jatuh ke tanah bagaikan dibanting oleh tangan
raksasa. Untung saja mata cangkul yang dibawanya tak sampai lukai punggung.
Namun keadaan itu cukup membuat
Balak Lima menyeringai kesakitan dan Duda Dadu membelalakkan mata dengan
terheran-heran.
"Gila! Dengan sekali menghentak ke tanah saja sudah bisa bikin lawannya
terpental sekuat itu, apalagi kalau sentakan kakinya kayak orang baris di
tempat, mungkin lawannya akan me-luncur cepat menembus matahari di langit!"
pikir Duda Dadu dengan mulut me-lompong mirip lubang tikus.
Balak Lima tersengat api amarah.
Ia segera bangkit dan menahan rasa sakitnya. Cangkul segera digenggam kuat,
terangkat ke atas dengan satu tangan, sementara tangan yang satunya siap-siap
membantu memegangi gagang cangkul juga.
"Bangsat kau Pandu! Belum tahu siapa si Balak Lima ini, hah"! Rasakan cangkul
pusaka guruku yang bernama
'Cangkul Bedah Guntur' ini, hah"! Ber-siaplah hancur di ujung cangkul ini!"
Pandu Puber diam tak bergerak.
TIGA BARU saja Balak Lima ingin me-
lompat menghantamkan cangkulnya ke
pundak Pandu Puber, tiba-tiba seberkas sinar merah mirip meteor siang hari,
melesat dari arah timur dan menghantam rusuk kanan Balak Lima yang mengangkat
tangan memegangi cangkul. Clapp...!
Dess...! "Aaahg...!" pekik Balak Lima dengan mata mendelik. Ada asap putih mengepul dari
rusuk kanannya. Pakaian merahnya terbakar hangus tapi tak ketahuan nyala apinya.
Yang jelas, Balak Lima jatuh berlutut dengan tubuh gemetar dan wajah berkeringat
seperti menahan mules.
Duda Dadu terkejut, demikian pu-
la Pendekar Romantis. Mata mereka sa-ma-sama memandang ke arah munculnya sinar
merah tadi. Ternyata sinar Itu dilepaskan dari tangan berjari lentik milik
seorang gadis berusia muda, sekitar dua puluh dua tahun, sama dengan usia Pandu
Puber. Tapi Pandu masih asing dengan wajah cantik berhidung ban-gir dengan kulit
kuning mulus itu.
"Sudah kuduga sejak kau meron-
tokkan dedaunan, kau pasti yang bernama Pandu Puber itu. Kukenali tato dan
anting-antingmu, dan kutahan rasa ge-liku untuk menertawakan kebodohan si
orang tua itu. Tapi aku terpaksa muncul dari persembunyian karena kau bermaksud
diam saja menerima serangan
orang konyol itu!"
Suara gadis berpakaian biru muda
itu enak sekali. Empuk dan bening.
Pandu Puber terkesima sesaat memandangi kecantikan si gadis. Apalagi gadis itu
mengenakan pakaian aneh; kain tipis mirip selendang menyilang di dada, menutupi
dua gugusan tabu yang tampak montok dan kencang itu. Sisa bagian dadanya
terbuka, hingga tampak kulit punggungnya dan perutnya yang kuning mulus berkesan
halus lembut itu. Tak ada tahi lalat satu pun di sana, padahal Pandu sudah
memandanginya dengan teliti. Walaupun gadis itu mengenakan kain rangkapan
berbentuk jubah warna biru tua yang tak dikancingkan dan
panjangnya sebatas lutut, tapi kemulu-san kulit tubuhnya masih kelihatan.
Celana biru tuanya yang tipis transparan itu pun menampakkan kain penutup lain
yang hanya secuil itu demi menyelamatkan 'mahkota'-nya dari pandangan lelaki
nakal. Gadis itu berambut panjang, tapi
disanggul sebagian, sehingga sisanya seperti ekor kuda yang berjuntai ke
belakang sampai tengkuk. Lehernya tampak jenjang, diberi kalung emas sederhana
dengan hiasan liontin batu merah segar. Matanya bundar, indah, dan ben-
ing, bulu matanya lentik dan lebat.
Bibirnya bagus sekali. Tidak berkesan jalang, namun menantang untuk digigit
pelan-pelan. Bentuk wajahnya yang semi oval membuat kecantikannya tampak ma-tang
dan penuh daya pesona. Ia menyandang pedang di punggung dengan gagang pedang
berukir dari gading. Keren deh pokoknya. Nggak norak.
"Sebentar lagi darahmu akan pecah menyembur keluar karena mendidih, Balak Lima!"
kata si gadis tanpa senyum sedikit pun, tapi lagaknya tetap tenang, kalem,
seakan penuh wibawa.
"Kau ikut campur... ikut campur urusanku, Bunga Taring Liar!" kata Balak Lima
dengan tersendat dan berat.
Ia masih gemetar dan keringatnya makin membanjir di sekujur tubuh.
"Terpaksa kulakukan daripada kau akan mati bunuh diri, Balak Lima!"
"Aku mau tangkap Pendekar Romantis itu! Buk... bukan... bukan mau bunuh diri,
Setan!" "Buat dirimu yang punya ilmu
pas-pasan, melawan Pandu Puber sama saja bunuh diri! Kau pikir dia anak kemarin
sore yang bisa kau cangkul kepalanya dengan mudah"!"
"Uuhg...! Aku... aku tidak kuat, Bunga!" Balak Lima merintih.
"Tentu saja, sebab jurus 'Duta Brama'-ku membuat darahmu mendidih dan makin lama
makin panas."
"Tolonglah aku...," ucapnya dengan suara berat dan gemetar.
"Mudah saja menolongmu. Tapi kau harus berjanji tak akan coba-coba menangkap
Pandu Puber lagi. Kalau kau nggak mau janji, aku nggak mau tolong kamu, Balak
Lima!" "Bbba... baik! Baik aku janji
nggak akan ganggu dia lagi!"
"Clapp...! Tiba-tiba Pandu Puber lebih dulu sentakkan tangannya ke depan. Jari
tangan itu mengejang keras, dan dari ujung jari itu melesat sinar putih bening.


Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah jurus 'Hawa Bening' yang hanya dimiliki oleh manusia berdarah campuran
dewa dengan jin.
Hanya Pandu yang memiliki jurus 'Hawa Bening'. Jurus itu dapat untuk sembuhkan
luka dalam waktu singkat.
Buktinya setelah sinar putih
bening seperti kaca itu melesat dan menghantam dada Balak Lima, maka pemuda
berpakaian merah itu mulai dapat bernapas lancar. Wajahnya yang pucat berangsur-
angsur normal kembali. Bunga Taring Liar sedikit terkejut melihat sinar bening
itu dapat membuat Balak Lima tampak mulai segar.
"Sinar penyembuh yang luar biasa ampuhnya," gumam Bunga Taring Liar dalam hati.
"Balak Lima cepat menjadi segar, padahal jika aku yang menangga-ninya
membutuhkan waktu agak lama untuk menjadi segar kembali. Benar-benar
si tampan itu punya ilmu tinggi yang jarang dimiliki manusia!"
Balak Lima terengah-engah, lalu
engahan napasnya mereda setelah beberapa saat. Ia bangkit berdiri dengan
hempasan napas panjang. Badannya tidak lesu lagi, keringatnya berhenti, warna
hangus di bagian rusuk kanannya le-nyap. Tak ada asap lagi di bagian rusuk
kanannya itu. Kain yang berwarna hangus menjadi noda hitam dengan keadaan
bolong, tapi kulit tubuhnya tampak normal kembali. Hal inilah yang mengagumkan
Bunga Taring dan Duda Da-du. Bahkan mantan bandar dadu itu berbisik kepada
Pandu, "Kamu apakan anak itu kok jadi segar kembali?"
"Dia kukutuk jadi orang sehat!"
jawab Pandu sekenanya, karena ia kebu-ru ingin bicara dengan Bunga Taring Liar.
Namun sebelum Pandu Puber bica-
ra, tiba-tiba dari arah samping kanannya muncul sesosok tubuh tua berjenggot
panjang. Ki Parma Tumpeng melompat dari balik semak-semak dan dengan gerakan
cepatnya tahu-tahu sudah berada di samping Balak Lima.
"Guru..., saya tadi di...."
Plokk...! Balak Lima ditabok gu-
runya. Melintir separo lingkaran sambil menyeringai sakit. Rupanya Ki Parma
Tumpeng kesal sama muridnya, se-
hingga ia terpaksa bertindak sedikit kasar.
"Bocah otak lele!" geramnya kepada Balak Lima. "Ngapain kamu bawa-bawa cangkul
itu" Itu bukan cangkul pusaka! Itu cangkul biasa, tahu"! Yang pusaka sudah
kusimpan di tempat ter-sendiri, biar kalau ada maling salah ambil! Eh, malah
muridku sendiri yang salah ambil!"
Plakk...! Kepala Balak Lima di-
tampar lagi, "Pulang sana! Jangan sok jago kamu, ya" Mau coba-coba melawan Pandu
Puber sama saja coba-coba makan ikan hiu hidup-hidup, ngerti"!"
"Maaf, Guru!"
"Pulang, dan bawa kembali cangkul itu. Kalau aku mati nanti kamu mau gali liang
kubur pakai apa" Pakai gi-gimu"!"
Pandu Puber dan Duda Dadu hanya
cengar-cengir dengan saling lirik. Balak Lima segera pulang karena takut kena
tampar gurunya lagi. Dua kali
tamparan sang Guru sudah cukup bikin kepala Balak Lima seperti mau pecah mirip
telur menetas. "Kau yang bernama Pandu Puber, si Pendekar Romantis itu, bukan?" sapa Ki Parma
Tumpeng, dan Pandu Puber
hanya anggukkan kepala dengan sopan penuh senyum menawan. Senyumnya itu sejak
tadi dipandangi oleh Bunga Taring Liar secara diam-diam. Lalu, Ki
Parma Tumpeng berkata lagi,
"Maafkan kelancangan muridku ta-di. Dia memang murid songong! Resek banget tuh
anak, kayak gurunya aja!"
"Lho, gurunya kan situ?" celetuk Duda dadu.
"O, iya. Maksudku, reseknya mirip guru tetangganya!"
Pandu Puber tersenyum tipis,
berwibawa dan menampakkan kerennya, soalnya sejak tadi mata bundar bening itu
memandanginya terus dengan maksud amat pribadi. Bahkan gadis bermata
bundar bening itu tak terasa kalau dia sudah didekati Ki Parma Tumpeng dan
dipandanginya dari samping. Ketika ia mendengar Ki Parma Tumpeng menyapanya, ia
baru terkejut dan sadar bahwa matanya tadi tak selayaknya menatap se-demikian
nanapnya. Malu juga sih, tapi dia berlagak cuek.
"Bunga Taring Liar, apakah kau juga punya maksud seperti Balak Lima, yaitu
menangkap Pandu Puber ini"!"
"Paman Guru, sebenarnya saya ingin datang ke pondok Paman Guru, tapi saya
tertarik dengan suara-suara dari sini, lalu saya sempatkan datang kemari.
Ternyata di sini ada Pendekar Romantis, dan...."
Duda Dadu menyambar, "Dan dia
tadi pukul muridmu. Eh, berasap lho...
kayak singkong bakar. Tapi muridku ini mengobatinya dengan jurus ampuhnya.
Situ nggak tahu sih. Terlambat datang.
Kalau muridku ini terlambat mengobati muridmu, maka kau akan kehilangan murid
bodohmu itu!"
"Kau keroco dari mana sih kok
ngomongnya nyerocos aja?" tanya Ki Parma Tumpeng menunjukkan sikap tak sukanya
dengan kata-kata Duda Dadu.
"Apa benar Pendekar Romantis ini muridmu?"
"Iya. Benar kok! Tanya aja sendiri padanya. Tadi habis kuajari jurus
'Paruh Bebek' dan...."
"'Paruh Bebek' apa 'Paruh Ban-
gau'"!" sahut Bunga Taring Liar.
"O, iya... 'Paruh Bangau' yang benar!" ujar Duda Dadu sambil nyengir karena malu
salah sebutkan jurus bua-tannya sendiri. Rupanya gadis cantik itu lebih ingat
dengan nama jurus itu walau hasil dari mencuri percakapan Pandu dengan Duda
Dadu. "Pendekar Romantis, benarkah dia gurumu?"
Pandu hanya tersenyum. "Aku tak pernah punya guru!"
"Lho, perjanjiannya tadi dari
kedai kau kubawa kemari kan untuk kuajarkan jurus-jurusku. Kok sekarang
nggak mau ngakuin kalau aku gurumu?"
protes Duda Dadu dengan bersungut-
sungut cemberut.
"Kalau Paman Duda Dadu bisa kalahkan ilmuku, Paman baru bisa jadi
guruku!" kata Pandu.
"Ya sulit dong! Ah, nggak masuk akal omonganmu itu!" Duda Dadu makin bersungut-
sungut. "Mau jadi gurunya kok suruh ngalahkan ilmunya, sedangkan Ilmunya sendiri
ampuhnya kayak gitu, mana bisa!" mulutnya maju dua meter.
"Bunga," sapa Ki Parma Tumpeng setelah tersenyum menertawakan kebodohan Duda
Dadu, "Apakah niatmu datang ke pondokku diutus oleh gurumu atau inisiatifmu
sendiri?" "Saya diutus Nyai Guru Payung
Cendana untuk menemui Paman Guru Parma Tumpeng, guna membicarakan persoalan
munculnya sayembara dari Ratu Cadar Jenazah itu. Pada mulanya saya disuruh untuk
menanyakan pada Paman Guru mengenai perkiraan di mana tempat tinggal Pandu
Puber, tapi...."
"Lha, ini malah sudah ketemu
sendiri kok!"
"Benar, Paman. Karena itu kayaknya saya nggak perlu menanyakan kepada Paman
Guru. Saya akan bicara sendiri kepada yang bersangkutan, Paman."
"Ya, sudah. Mau bicara di pon-
dokku atau di sini saja?"
Bunga Taring Liar pandangi Pandu
sebentar. Ia berharap timbul reaksi dari Pandu dan usul mengenai tempat, tapi
agaknya Pandu sengaja berlagak tidak tahu-menahu masalah itu, ia pu-ra-pura
bicara dengan Duda Dadu dalam
suara pelan. Maka si gadis pun lan-
jutkan kata dengan pelan juga,
"Rasa-rasanya cukup di sini sa-ja, Paman Guru."
"Baiklah. Kalau begitu kuting-
galkan kalian di sini. Aku harus segera ke pondok. Balak Lima pasti sewot karena
habis kumarahi. Gigi palsuku bisa dibuang ke laut kalau dia sedang sewot
begitu!" Kemudian tokoh tua yang beralis
putih itu berkata kepada Pandu, "Perkenalkan, aku Ki Parma Tumpeng, dan ini
murid dari adikku si Payung Cendana. Gadis ini namanya Bunga Taring
Liar." "Aku sudah dengar namanya, Ki
Parma Tumpeng. Malahan sudah kucatat dalam hatiku."
"Namaku juga dicatat nggak?"
tanya Ki Parma Tumpeng.
"Ya, sudah kucatat tapi bukan di hati, melainkan di tepi paru-paruku."
Ki Parma Tumpeng terkekeh tipis,
Bunga Taring Liar buang muka karena tersenyum. Lalu Ki Parma Tumpeng berkata,
"Pantas kalau pemuda setampan
kamu mencatat nama gadis secantik Bunga Taring Liar. Kurasa dia juga mencatat
nama Pandu Puber. Tapi perlu kau ketahui, biar namanya Bunga Taring
Liar, namun ia bukan gadis bertaring seperti iblis. Cuma kalau sudah marah,
memang bisa keluar taring di giginya dan...."
"Paman Guru," sahut Bunga Taring Liar sengaja memutus kata-kata kakak dari
gurunya itu. "Sebaiknya Paman segera atasi Balak Lima supaya nggak me-rusak
pondok karena kesewotannya. Biarkan kami bicara di sini, Paman."
"Iya, iya...! Aku tahu kok. Memangnya aku nggak pernah muda?" ujar Ki Parma
Tumpeng, lalu ia mohon diri dengan baik-baik kepada Pandu Puber, setelah itu
melesat pergi meninggalkan tempat itu.
"Paman Duda Dadu," kata Pandu Puber, "Maukah Paman menolongku?"
"Boleh aja! Demi menjadi pengikut pendekar sakti, aku bersedia disuruh apa
saja." "Paman, tolong belikan aku ketan bakar di kedai tempat kita bertemu
itu. Mau kan?"
"Hmmm... eeh... ya mau saja. Ta-pi... tapi kedai tadi kan jauh dari tempat ini,
Pandu!" "Paman mau nggak?"
"Iya deh!" Duda Dadu akhirnya pergi dengan suara gerutu yang lirih,
"Bilang aja aku diusir, takut meng-ganggu kemesraanmu, gitu! Pakai disuruh ke
kedai alasan beli ketan bakar segala. Huuh...! mentang-mentang anak muda kalau
lagi dapat 'gondolan' main singkirkan orang tua aja!"
Sekalipun mendengar gerutuan
itu, Pandu Puber berlagak tuli. Yang penting Duda Dadu cepat pergi dari
tempat itu, sehingga ia bisa ngomong bebas sama si cantik berbibir mirip kuncup
mawar itu. Apalagi si cantik sudah sejak tadi memandanginya penuh makna, Pandu
Puber tak sabar untuk lebih mengakrabkan diri lagi.
"Kudengar kau tadi diutus oleh gurumu untuk membicarakan diriku dengan Ki Parma
Tumpeng, apa benar?"
"Memang benar!" jawab Bunga Taring Liar berkesan tegas.
"Tapi kupikir karena sudah kete-mu kau sendiri di sini, lebih baik aku bicara
langsung saja padamu."
"Sampaikan pesan gurumu itu, walau sebenarnya aku belum mengenal kalian."
"Guruku salah satu tokoh tua
yang mengagumi kependekaranmu. Banyak cerita yang telah didengarnya dari se-sama
tokoh tua seangkatan, termasuk Ki Parma Tumpeng sendiri." Bunga Taring Liar
melangkah dekati tanaman rendah yang berbunga ungu seperti terompet.
Bunga kecil itu dipetik sambil melanjutkan kata-katanya.
"Sayembara yang dikeluarkan Ratu Cadar Jenazah membuat kami menjadi cemas. Sebab
kami tahu siapa Ratu Cadar Jenazah itu; tokoh sesat yang cantik jelita namun
kejam dan berdarah din-
gin. Agaknya kau punya masalah dengan Ratu Cadar Jenazah. Dia pasti ingin bunuh
kamu. Karena itu dibuka sayembara dengan hadiah menjadi suaminya bagi laki-laki
yang berhasil membawamu hidup-hidup. Pasti perkara yang kalian hadapi cukup
penting bagi sang Ratu."
Gadis itu sempatkan diri menatap
Pandu sambil pegangi bunga ungu yang dipetik bersama tangkainya. Pandu Puber
memandang dengan wajah memancarkan pesona yang menggetarkan hati si gadis. Tapi
si gadis berlagak cuek dan tetap bicara pokok persoalan yang sebenarnya.
"Mengingat sayembara itu merang-sang minat cukup banyak, Nyai Guru yakin kau
dalam pengejaran orang-orang yang bernafsu ingin menjadi suami si cantik keji
itu. Karenanya, Nyai Guru tugaskan aku untuk mencarimu dan membawamu bersembunyi
di tempat kami."
"Di mana?" tanya Pandu setelah biarkan Bunga Taring Liar diam sesaat.
"Kami tinggal di Tebing Galah."
Pandu kerutkan dahi karena mera-
sa belum pernah mendengar nama itu dan belum pernah tahu tempat tersebut.
Sambil merenungkan tempat itu, Pandu Puber juga pertimbangkan keputusan hatinya.
Sebab tawaran Bunga Taring Liar punya unsur lain yang membuat hati
Pandu Puber tertarik. Unsur lain itu kini dikecamukkan dalam batin Pandu,
"Gadis ini kecantikannya sangat menarik hati. Ah, bibirnya itu benar-benar
menggoda. Kalau saja aku mau menuruti tawarannya, pasti aku akan lebih akrab dan
lebih dekat lagi dengannya. Tapi haruskah aku bersembunyi
hanya karena takut dikejar-kejar orang banyak" Haruskah aku bersembunyi hanya
karena takut menghadapi ulah si Ratu Cadar Jenazah itu" Tapi... tapi gadis ini
agaknya sangat berharap sekali agar aku mau ikut dengannya. Hmm...
bagaimana kalau kuturuti keinginannya untuk kali ini saja" Maksudku, biarlah aku
ikut dengannya ke Tebing Galah, kalau sudah bisa mengecup bibirnya, baru
kutinggal pergi menyelesaikan
urusanku dengan Ratu Cadar Jenazah.
Tapi... kalau kutinggal pergi nanti dia nangis. Jangan, ah. Kasihan kalau dia
nangis. Cantik-cantik kok nangis"
Nanti malah tulang-tulangku rapuh semua jika lihat ia menangis. Lalu, bagaimana
dong" Ikut dia atau menolak, atau bagaimana" Ah, kok jadi bingung sendiri sih
aku ini" Kayak orang pikun aja"!"
Lamunan batin terhenti setelah
suara empuk yang enak didengar itu
kembali berucap kata, "Guru menawarkan tempat berlindung, sekaligus ada yang
ingin dibicarakan tentang Ratu Cadar Jenazah itu. Kalau kau bersedia, sekarang
juga kita berangkat ke Tebing Ga-
lah." Mata si gadis memandang penuh
kesabaran. Ia sangat berharap mendengar jawaban Pandu. Tapi yang ditunggu-tunggu
hanya cengar-cengir salah ting-kah dan menggumam.
"Bagaimana, ya?" sambil garuk-garuk kepala yang berambut panjang di belakang
itu. "Kalau kau nggak bersedia, kami nggak memaksa kok. Cuma perlu kau ketahui, di
Tebing Galah aku tinggal
hanya berdua dengan guruku. Guruku
sendiri lebih sering lakukan semadi ketimbang ngobrol bersamaku. Kadang aku
merasa kesepian, bingung mencari teman bicara"
"Kesepian" Oh, kasihan sekali
dia?" pikir Pandu. "Tapi... tapi kalau sudah kesepian apa berarti ada kesempatan
buat menciumnya" Aih, gila! Aku cuma ingin menciumnya saja kok, masa'
harus ragu-ragu sih" Lagi pula; gu-
runya dia kan mau bicara soal Si Ratu keji itu, ada untungnya juga lho kalau aku
mau diajak ke Tebing Galah. Lalu, bagaimana dengan Paman Duda Dadu" Perlu
ditunggu atau ditinggalkan
saja?" "Selagi sore belum berubah pe-
tang, masih cukup sinar untuk berjalan menuju ke Tebing Gairah. Tentukan pi-
lihanmu, Pandu. Kalau kau bertele-tele kuputuskan kau menolak dan aku akan
pulang." "Apa kau senang tinggal dalam
kesepian?"
"Memang tidak, tapi...."
"Kau pernah punya kekasih?"
"Belum, tapi berharap untuk
punya." "Apakah... apakah kau suka dite-mani pemuda kayak aku begini?"
"Jawabannya akan kau dengar jika kau berada di Tebing Galah."
"Wah berarti aku harus ke sana dong?"
Bunga Taring Liar angkat pundak
dan berkata, "Terserah...!"


Pendekar Romantis 08 Buronan Darah Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandu segera membatin, "Ah,
nggak usahlah! Aku seorang pendekar, nggak boleh punya pikiran nakal terus-
terusan. Aku harus bisa jaga diri dan tahan harga. Biar dia cantik dan ber-dada
'wow' tapi aku nggak boleh ter-giur oleh keadaan seperti itu. Apalagi aku punya
calon istri yang harus kubu-ru; Dian Ayu Dayen. Kalau aku hanya menuruti
keinginan batinku yang menuntut kecupan hangat gadis itu, wah...
harga diriku sebagai seorang pendekar bisa jatuh sih! Cuma... nah, cumanya ini
yang bikin aku bingung. Kalau kesempatan ini nggak kumanfaatkan, kira-kira aku
bakal menyesal tujuh turunan nggak, ya?"
EMPAT PERJALANAN dari Pantai Buaya
Dampar menuju Tebing Galah memakan
waktu separo hari lebih. Itu bagi manusia biasa. Tapi bagi para tokoh silat yang
memiliki ilmu peringan tubuh dan dapat berlari seperti angin, tentunya
perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu lebih singkat lagi.
Jarak itu bisa lebih pendek jika ditempuh lewat utara, dan itu berarti harus
melewati kaki Bukit Guiana. Sedangkan kaki Bukit Guiana merupakan wilayah
kekuasaan Ratu Cadar Jenazah.
"Jangan lewat utara. Berbahaya bagi dirimu jika lewat utara. Sebaiknya kita
lewat selatan saja. Agak
jauh, tapi aman bagimu!" ujar Bunga Taring Liar. Gadis ini bersifat melin-dungi
Pandu Puber, seolah-olah ia merasa keselamatan Pandu Puber adalah tanggung
jawabnya. Sebegitu tanggung jawabnya si gadis sampai-sampai Pandu merasa heran
dan menanyakan alasannya.
Gadis itu hanya menjawab,
"Tugasku hanya menyelamatkan dirimu sampai di Tebing Galah, karena nyawamu
merupakan nyawaku yang paling depan. Begitu pesan Nyai Guru saat aku ditugaskan
mencarimu, Pandu!"
"Apa alasan gurumu sampai membe-bani tanggung jawab begitu berat pada muridnya?"
"Kau bisa tanyakan sendiri pada Guru setibanya di Tebing Galah!" jawab Bunga
Taring Liar yang selalu berkesan tegas, jarang tersenyum, sekali tersenyum bikin
jantung nyaris rontok.
"Aku ingin segera bertemu dengan gurumu. Jadi kita lewat arah utara sa-ja!" kata
Pandu sambil menguji kebolehan si gadis cantik itu. ternyata gadis itu nggak mau
banyak berdebat, ia menurut saja apa kata Pandu walau dalam hatinya segera
meningkatkan kewas-padaan karena yakin akan ada bahaya yang merintanginya.
Keyakinan itu terbukti ketika
mereka berada di sebuah lembah, tak jauh dari kaki Bukit Guiana sebelah utara.
Hambatan pertama datang dari tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi Bunga Taring
Liar. Tokoh yang muncul di hadapan Pandu Puber adalah seorang lelaki berbadan
gemuk namun berwajah angker. Kulit wajahnya hitam dan tebal, mirip kulit badak.
"Pucuk dicinta ulam tiba," ujar orang bergelang bahar besar itu dengan suaranya
yang besar pula.
"Mundurlah, biar kuhadapi dia!"
bisik Bunga Taring Liar.
"Siapa orang ini, Bunga?"
"Badak Gemulai, mantan nakhoda kapal bajak laut yang dipensiun karena sering
memotong jatah pembagian awak kapalnya. Kerjanya sekarang jadi pem-
bunuh bayaran."
"Mau apa dia menghadang kita?"
"Mau apa lagi kalau bukan me-
nangkapmu dan menyerahkannya kepada Ratu Cadar Jenazah?" jawab Bunga Taring Liar
dengan suara bisik. "Tetaplah di tempatmu, aku akan maju menghada-pinya."
Badak Gemulai memakai pakaian
serba hitam dengan ikat kepala merah dan sabuk merah. Di pinggangnya terse-lip
sebilah golok besar, sesuai dengan potongan tubuhnya yang tinggi dan gemuk itu.
Ketika matanya menatap Pandu, sepasang mata lebarnya itu tampak be-ringas dan
ganas. Kumisnya yang lebat diusap dengan mantap, seakan yakin betul bahwa ia
telah menemukan mang-
sanya. Ia memang tampak angker, mena-kutkan bagi orang bernyali ciut. Lengannya
yang tampak besar dan tidak
mengenakan kain baju berlengan itu
tampak besar, ada tato gambar rantang susun yang melambangkan keserakahan
jiwanya. Namun gadis secantik Bunga Tar-
ing Liar tampak tegar dan tenang menghadapi orang angker itu. Bahkan dengan
lantangnya Bunga Taring Liar menyapa Badak Gemulai dalam jarak lima langkah dari
tempat Pandu berdiri.
"Matamu memancarkan kebuasan,
Badak Gemulai. Aku tahu kau menyimpan harapan besar untuk menjadi suami Ratu
Cadar Jenazah!"
"Tepat sekali dugaanmu, murid
Payung Cendana! Baru saja aku bertemu dengan sang Ratu dan meyakinkan sayem-
baranya itu. Harapanku sangat besar untuk mempunyai istri secantik dia.
Sebab itu, tak peduli apa hubunganmu dengan pemuda bertato mawar di dadanya itu,
yang jelas aku harus menangkapnya hidup-hidup dan menyerahkan kepada calon
istriku!" "Kau harus melangkahi mayatku
dulu, Badak Gemulai!"
"Ha, ha, ha, ha...!" tawanya menggelegar bagai ingin memecah beba-tuan yang ada
di sekitar situ. "Pihak-mu nggak ada masalah apa-apa dengan pribadiku, Bunga!
Tapi jika kau memang ingin membuka masalah dengan menjadi penghalang niatku,
maka aku pun nggak bakalan mundur darimu! Majulah kalau kau ingin segera menjadi
mayat!" "Aku hanya ingin mengingatkan
kebodohanmu, Badak Gemulai. Sebaiknya urungkan niatmu menangkap Pandu Puber
karena ia dalam tanggung jawabku! Tapi jika kau nggak mau dengar peringatanku
ini, maka jangan salahkan aku kalau sampai kehilangan masa depanmu, Badak
Gemulai!" Badak Gemulai merasa ditantang
terang-terangan. Ia menggeram dalam ucapan, "Perempuan bermulut besar kau,
Bunga! Kau perlu dapat pelajaran dari-
ku biar tahu betul siapa Badak Gemulai ini! Heeaat...!"
Badak Gemulai menerjang dengan
kecepatan tinggi. Wuusss...! Gerakannya seperti hembusan angin topan yang
membuat orang biasa akan terpental
hanya karena hembusan angin gerakannya saja. Tapi Bunga Taring Liar nggak mau
terpental, sebab ia segera kerahkan tenaga dalamnya yang tersalur melalui tangan
dan kaki. Terjangan orang bertubuh gemuk dengan perut mirip beduk itu
dihadapinya menggunakan jurus pukulan jarak jauh. Sebelum terjangan itu sampai,
kedua tangan Bunga Taring Liar menghentak ke depan bersamaan.
Wuttt...! Buhhkk... Blammm...!
Badak Gemulai bagai dihantam
dengan sebongkah batu gunung sebesar kerbau. Tenaga dalam yang dilepaskan Bunga
Taring Liar membuat tubuhnya
membalik arah dan jatuh berguling-
guling di tanah. Wajahnya menghantam akar pohon pipih dengan keras.
"Aaow...!" pekiknya ketika wajah mencium akar pohon yang mirip lempengan baja
itu. "Bangsat kau, Bunga! Ku-remukkan wajah cantikmu biar nggak la-ku kawin
seumur hidup! Heaat...!"
Tiba-tiba tubuh gemuk itu mampu
melenting tinggi ke udara dalam keadaan bertumpu dengan kedua tangan.
Hentakan tangan yang menapak di tanah itu membuat tubuh gemuknya seperti se-
lembar daun ringan yang melayang di udara dan bersalto dua kali menuju ke arah
Bunga Taring Liar. Wutt,
wuttt...! Tendangan kakinya beruntun ke
arah kepala Bunga Taring Liar. Gerakan tendangan kaki beruntun termasuk cepat,
sukar dilihat arah gerakannya.
Tetapi mata gadis cantik itu ternyata setajam mata kucing. Tendangan itu
berhasil ditangkis semua. Plak, plak, plak, plak...!
Jleng...! Badak Gemulai yang
ternyata bertubuh elastis itu mampu mendaratkan kakinya dengan tegak di belakang
Bunga Taring Liar. Mereka
saling beradu punggung, namun sebelum Bunga Taring Liar berpaling, kaki Badak
Gemulai yang bertelapak lebar dan jeber itu menendang ke belakang,
wuttt.,.! Buhkk!
Lengan kiri gadis itu terkena
tendangan. Ternyata tendangan tersebut berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Tubuh gadis cantik itu terlempar enam langkah jauhnya seperti kapas dihempas
badai. Brruk...! Tubuh sexy yang sekal itu membentur pohon dan jatuh terpuruk
sambil menahan rasa sakit.
"Tulangku terasa ngilu semua.
Tendangannya mengandung hawa pembeku darah!" pikir si gadis sambil kerahkan hawa
murninya "Ajalmu telah tiba sekarang ju-
ga, Bunga! Heeaaah...!"
Srett...! Badak Gemulai mencabut
golok besarnya. Ia menerjang si gadis dengan mengibaskan goloknya dari atas ke
samping bawah. Sasarannya adalah merobek dada Bunga Taring Liar yang menonjol
bagai penuh tantangan untuk dirobek dengan golok itu. Tetapi ternyata gadis itu
lebih cepat menyambar gagang pedang di punggungnya, sehingga dalam gerakan yang
hampir tak terlihat, pedang itu sudah di tangannya dan berkelebat menangkis
senjata lawan. Trangng...! Wuttt...! Bunga Taring Liar ber-
guling ke depan, menerobos gerakan lawan. Pedangnya sempat berkelebat dalam
gerakan kedua tangan membuka. Ia berlutut satu kaki pada saat pedang menyambar
ke samping. Brett...!
"Uuhg...!" Badak Gemulai terpe-kik kaget. Ia bu-ru-buru mendekap
pinggang kirinya dengan tangan kiri.
Pinggang itu robek karena sabetan pedang Bunga Taring Liar. Bekas lukanya
menyemburkan darah, darah itu bukan merah segar melainkan kehitam-hitaman.
Pandu Puber berkerut dahi dan berkata dalam hati,
"Pedangnya beracun! Kurasa racun itu berbahaya bagi si Geladak Gemulai.
Tuh!, wajahnya mulai tampak pucat kan"
Pasti darahnya sudah dicemari oleh racun yang ada di pedang Bunga! Hmmm...
hebat juga jurus pedang si Bunga itu.
Kusangka ia hanya akan menghindari serangan lawan, nggak tahunya punya gerak
tipuan yang membuat lawan nggak menduga akan dirobek punggungnya. Boleh,
boleh...!" Pandu manggut-manggut sendiri.
Badak Gemulai makin terbakar
emosinya. Dengan teriakan buas ia maju menyerang menebaskan goloknya tanpa
peduli akan luka lebarnya yang mengu-curkan darah terus itu.
"Modar kau, Bungaaa...!
Heeaaahh...! Trang, trang, wuttt, trang,
wuss...! Crasss...!
"Aahg...!" suara Badak Gemulai memekik tertahan jelas sekali. Perta-rungan golok
dengan pedang membuat dadanya robek dari kanan bawah ke kiri atas dekat pundak.
Sabetan pedang Bunga Taring Liar hanya kenai ujungnya, tapi justru di ujung
pedang itulah terdapat racun yang paling berbahaya dari racun bagian tepian pedang.
"Jahanam kau!" geram Badak Gemulai dengan mata mendelik menyeramkan.
Napasnya terengah-engah, wajahnya yang hitam menjadi pucat pasi. Lukanya sih
nggak dalam, cuma menggores saja. Tapi kekuatan racun pedang Bunga yang membuat
sekujur tubuh Badak Gemulai bagaikan dirajang ratusan mata pisau tajam.
"Kalau nggak cepat-cepat cari
obat penawar, aku bisa mampus dimakan racun pedangnya itu! Bangsat betul itu
anak! Terpaksa kabur deh, daripada ma-ti di ujung pedangnya!" pikir Badak
Gemulai sambil pandangi Bunga Taring Liar yang diam bagaikan patung dengan kedua
tangan masih menggenggam gagang pedang yang diangkat ke samping atas kanan, siap
tebas kembali. "Tunggu pembalasanku, Iblis be-tina! Tunggu pembalasanku, itu pun kalau aku
selamat!" lanjutnya dalam ha-ti, lalu Badak Gemulai melesat pergi tinggalkan
mangsanya."
"Hebat sekali jurus pedangmu.
Aku mengaguminya, Bunga!" ujar Pandu memberi pujian supaya si gadis tersenyum
Ksatria Negeri Salju 2 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Istana Kumala Putih 8
^