Tak Putus Dirundung Malang 3
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana Bagian 3
teruna itu kebadannya. Laminah mencoba dengan segala kekuatannya hendak
melepaskan dirinya dari pegangan yang erat itu, tetapi sia-sia belaka.
Berapa besarkah kekuatan perempuan dibandingkan dengan kekuatan bekas kuli
kontrak yang biasa bekerja berat itu!
Badan perawan remaja itu tiada bergaya lagi dan diserahkannya semuanya
kepada Allah subhanahu wata'ala.
Sesungguhnya Tuhan berbuat sekehendaknya atas hambanya. Dengan kodrat
iradatnya, maka pada ketika itu tergelincirlah Sarmin, laki-laki yang kukuh dan
tegap itu, di taris batu yang penuh lumut dan licin itu dan jatuh bergulingguling.
Dalam saat itu juga, entah dari mana agaknya, Laminah mendapat tenaganya
kembali dan dengan sekuat-kuatnya direnggutkannya badannya dan iapun
terlepaslah. Melihat mangsanya itu terlepas dari tangannya, hilanglah kenangan manusia
binatang itu; dan buas seperti raja singa yang berhari- hari tiada makan,
diterkamnyalah Laminah yang baru hendak melarikan diri. Dapat ia memegang kaki
anak gadis yang suci itu, tetapi mujurlah, pada ketika itu Laminah berteriak
dengan sekuat-kuatnya minta tolong.
Sarmin terperanjat mendengar teriak itu dan tiada sengaja dilepaskan lagi
kai mangsanya itu. Pada saat itu juga gemuruh bunyi bujang-bujang lain dari dapur berebutrebut masuk ke dalam kamar mandi yang tiada terkunci itu, akan melihat apa yang
terjadi. Telah lama mereka itu mendengar subuk dekat sumur, tetapi pada persangkaan
mereka tiada apa-apa dan oleh sebab itulah tiada dipedulikannya.
Sekarang dalam sekejap mata saja mengertilah meeka apa yang didengarnya
tadi dan apa sebabnya maka Laminah berteriak. Tetapi seorangpun tak berani
mengeluarkan sepatah perkataan, usahkan membela, sebab takut pada Sarmin, orang
yang bernyawa murah itu. Sarmin berdiri perlahan-lahan dan digigitnya bibirnya, alamat kesal dan
kecewa, sebab maksudnya yang hina itu tiada dapat disampaikannya. Di hati
kecilnya bersumpah ia, bahwa ia belum akan berhenti berusaha, sebelum
kehendaknya itu dilangsungkannya.
"Apa yang dilihat-lihat disini!" teriaknya dengan bengis pada bujang yang
tersenyum-senyum berdiri dekat pintu. "Tak ada yang ditonton, nyahlah kalau
tiada mau merasa tanganku."
Kecut mereka mendengar hardik yang kasar itu dan masing-masingpun pergilah
meneruskan pekerjaannya, sambil tergelak-gelak mempercakapkan yang baru kejadian
itu. Sementara itu Laminah telah lari ke tempat tidurnya. Lekas digantinya
pakaiannya yang koyak dan direbahkannya badannya, sambil menangis.
Amat malu ia memikirkan keaiban yang telah menimpa dirinya itu. Apakah
kata saudaranya nanti kalau didengarnya semuanya yang baru terjadi itu"
Bagaimanakah ia menghapus arang di mukanya"
Sungguh, ia malu memperlihatkan diriny pada manusia.
Pada ketika itu tokeh belum pulang-pulang dari pasar Minggu dan nyonya
duduk di luar bermain-main dengan anaknya yang kecil sekali,
Laminah tiada sekali-kali bermaksud akan mengadukan hal yang terjadi atas
dirinya itu, sebab terpikir olehnya, bahwa semuanya itu tak akan berpaedah
sedikit juga. Lebih baiklah ia diam-diam saja, makin banyak orang tahu makin malu ia.
Keaiban itu sekarang telah terjadi dan tiada dapat diubah lagi. Yang harus
dijaganya ialah hari kemudian. Sebab itu dipastikannya dalam hatinya, bahwa ia
hari itu juga harus meninggalkan toko roti itu.
Kira-kira pukul dua belas pulanglah tokeh dengan Mansur dari pekan. Tiada
dapat, dikatakan bagaimana terperanjatnya Mansur melihat adiknya di tempat tidur
menangis tersedu-sedu. Mukanya basah oleh air mata dan matanya kemerah-merahan.
Seketika Mansur tiada berkata-kata, heran melihat adiknya itu. Tetapi
dengan segera dipegangnya bahu Laminah dan dioyak-oyaknya, seraya berbisik
dengan tergesa-gesa: "Minah, Minah, mengapa engkau" Siapa mengganggumu?"
Laminah tiada menjawab. Melihat saudaranya itu makin keras ia tersedu dan
air matanya bercucuran seperti air hujan.
Mansur makin lama makin gusar. Payah ia memikirkan apakah sebabnya, maka
adiknya menangis serupa itu benar. Beberapa lamanya diulangnya pertanyaan dan
dioyaknya bahu saudaranya itu tetapi Laminah tinggal diam dan tak putus-putus
mencucurkan air mata. Mukanya dibenamkannya ke bantal yang telah basah-lecap dan
sebentar-bentar terlonjak-lonjak badannya oleh sedu sedan yang tiada dapat
ditahan-tahan. Beberapa lamanya Mansur tak tahu apa yang harus dikerjakannya. Duduk ia
disisi Laminah dan dirabanya perlahan-lahan rambut adiknya yang tebal dan hitam
itu. Sebentar-bentar ia berkata dengan suara yang lemah-lembut penuh kecintaan:
"Minah! Mengapakah Minah tak mau menceritakannya kepada kakak" Diamlah dan
hapuslah air matamu! Masakan kakak tak mau menolong. Apakah yang Minah takutkan"
Kalau terus begini, kesudahannya nanti kakak hilang akal. Mari, ceritakanlah
sebenarnya!" Kira-kira seperempat jam lamanya redalah Laminah menangis. Hanya sekali-
kali ia tersedu-sedu. Maka ujarnya: "Malu " Minah diperbuat " bekas kontrak
jahanam itu..." "Si Sarmin?" tanya Mansur dengan nyaring, sambil matanya berputar-putar,
"dipengapakannya engkau tadi?"
Mendengar kata adiknya itu berubahlah muka Mansur. Darahnya seakan-akan
mendidih dan tangannya gemetar. Payah ia menahan amarahnya.
Laminah cemas hatinya melihat kakaknya itu dan terdiam seketika.
"Mengapakah engkau diam?" kata Mansur dengan suara yang parau, "ayuh,
katakanlah semuanya" Apakah yang engkau takutkan" Boleh aku bunuh ia nanti
dengan sewahku ini."
Yang penghabisan ini dikeluarkan Mansur sambil memegang sewahnya disisinya
sebelah kanan. Laminah tak menampak itu dan iapun mulailah menceritakan segala yang
terjadi dari mula sampai akhirnya. Sementara itu payah Mansur menahan marahnya.
Duduknya gelisah seakan-akan ia duduk diatas bara. Sebentar-sebentar hilang
penglihatannya dan dirabanya pisaunya.
Ketika Laminah menceritakan manusia-binatang itu mendakapnya, Mansur tak
dapat menahan hatinya lagi. Pemandangannya bermanik-manik dan dalam sekejap mata
iapun berdirilah. Dicabutnya sewahnya dan hendak dicarinya Sarmin.
Laminah terkejut melihat saudaranya itu. Sebagai kilat ia duduk dan
dipeluknya kaki Mansur erat-erat dengan kedua belah tangannya, sambil ia berkata
dengan sesak napas: "Hendak mengapakah kakak sekarang" Duduklah dahulu, boleh
Minah ceritakan semuanya. Apakah gunanya kakak keluarkan sewah itu. Tidak! kakak
tidak boleh melawan orang yang tak berhati berjantung itu."
Sebentar berhenti Laminah, serta dilihatnya saudaranya itu dengan mata
yang penuh iba, seperti orang yang minta dikasihani.
"Kakak!" katanya lagi dengan suara yang hampir-hampir tiada kedengaran,
"tiadakah kakak kasihan pada Minah" Duduklah! Janganlah kakak pedulikan jahanam
itu." Lembut hati Mansur mendengar kata adiknya itu. Dilepaskannya perlahanlahan kakinya dari pegangan Laminah dan iapun duduklah. Laminah meneruskan
ceritanya, bagaimana ia terlepas dari tangan Sarmin. Diperlihatkannya bajunya
yang cabik sambil ia berkata: "Tetapi kakak, semuanya itu biarkanlah. Jangan
sekali-kali kakak hendak membalasnya, sebab orang yang serupa itu bukan lawan
kita. Baiklah kita beralah saja. Tambahan pula cobalah kakak pikir: kalau kakak
dendam dengan orang yang bernyawa murah itu, tentu lebih banyak orang yang tahu
keaiban yang telah menimpa Minah itu dan kita juga yang malu. Manakala kakak
binasakan dia,,,, kakak masuk jil dan Minah..." Minah akan terkatung-katunglah
seorang diri dinegeri orang ini. Tetapi bagaimana pula halnya, kalau kakak dan
bukan orang jahanam, itu yang binasa...." Cobalah kakak kaji dalam-dalam.
Sesungguhnya tak ada kebaikannya melawan manusia serupa itu...Sekarang hanya
harus kita jaga saja, supaya semuanya itu jangan diulangnya lagi dan pada
pikiran Minah sebaik-baiknyalah kita hari ini juga meninggalkan toko roti ini.
Janganlah lagi kita menunggu habis bulan...ddPada pikiran Minah, kita harus hari
ini juga berpindah dari sini."
Mansur termenung seketika mendengar segala kata adiknya itu. Terkenang ia
akan semua yang diceritakan Laminah kepadanya tiga hari yang telah lalu.
Jadi inilah makna perasaan adinya yang tak senang itu. Menyesal ia tiada
hari itu juga meninggalkan toko roti itu. Tentu semuanya ini tak kan terjadi.
Tetapi apa boleh buat, sekarang nasi telah menjadi bubur.
Perkataan Laminah yang penghabisan dari hal menuntut bela itu, benar
semua, terasa olehnya. Melawan orang yang hidup matipun jadi itu, sebenarnya
tiada sedikit jua mendatangkan kebaikan.
Tetapi sebagai sekalian yang remaja, payah ia menahan darah muda yang
mendebur di dadanya itu. Payah ia melawan sifat pendendam yang terdapat pada
tiap-tiap pemuda. Bukankah adat hidup balas-membalas" Tinju disambut dengan tinju, sepak
dengan sepak dan hinaan dengan hinaan pula!
Laminah tahu, bahwa hati saudaranya itu bercabang. Sebab itu berkatalah ia
dengan suara yang penuh dendam keibaan: "Kakak! Kalau kakak sungguh kasih pada
Minah, turutlah kata Minah sekali ini. Biarkan jahanam itu! Yang sudah itu
tinggal sudah. Tentu binasa Minah, kalau kakak turutkan hati kakak itu."
Seketika berhenti Laminah; sudah itu ia berkata pula: "Kakak! berjanjilah
kakak pada Minah, takkan mendendam manusia binatang itu!"
Mansur tak jua menyahut. Laminah tak dapat lagi menahan air matanya. Dipandangnya saudaranya itu
dan perlahan-lahan diletakkannya kepalanya di dada Mansur, sambil tersedu-sedu
bermula. Kasihan Mansur melihat adiknya itu. Apakah yang harus dikatakannya akan
menyenangkan hati Laminah" Sungguh, tak sampai hatinya tiada membalas keaiban
itu! Sekonyong-konyong ujarnya: "Janganlah engkau amat gusar Minah! Kalau benar
begitu kehendakmu, jadilah, boleh aku turut."
Seketika diam ia. Terasa olehnya, bahwa perkataannya itu tak keluar dari
sanubarinya. Sebab itulah ia berkata pula: "Tetapi sebaik-baiknya orang yang
serupa itu diajar benar-benar sampai ia jera untuk seumur hidupnya. Jangan ia
menyangka, bahwa di dunia ini semuanya dapat dikerjakannya sekehendak hatinya.
Cobalah lihat! Kalau didiam-didiamkan, seidkit hari lagi semuanya itu diulangnya
pula, tak pada kita, pada orang lain."
"Ah!" sahut Laminah, "jangan kakak pikirkan itu! Biarlah orang lain
mengajarnya. Apakah gunanya kalau kita telah binasa nanti" Sekarang kita jauhkan
diri dari padanya. Ya, kakak" Kakak tak akan mendendam"'
Yang penghabisan ini dikatakan Laminah, sambil memandang saudaranya itu
dengan pandangan yang jelas menunjukkan besar harapannya. Mansur menganggukkan
kepalanya. Biarlah, serupa itu kehendak Laminah! Apa boleh buat, sekali ini
baiklah diikutnya. Telah cukuplah derita adiknya yang malang itu, sehingga tak
usah lagi dibesarkannya. Asal saja Laminah berbesar hati, semua hendak
diturutkannya, usahkan yang serupa itu lagi.
Sejurus mereka berdua bersaudara itu tidak bercakap-cakap masing-masing
memikirkan hati yang akan datang.
Laminah telah berhenti menangis dan duduk bersimpuh disisi kakaknya diatas
tikar. Sebentar katanya: "Pergi kemanakah kita kelak kak" Tahukah kakak tempat
yang baik untuk kita?"
"Inilah yang aku pikirkan sekarang," sahut Mansur. "Dibelakang benteng,
tahu aku ada rumah yang ksoong. Sukakah engkau kalau kita menyewa rumah itu"
Dalam sehari dua ini boleh aku mencari pekerjaan dan engkau tinggalkah di
rumah." "Apa salahnya?" kata Laminah, "uang kita ada pula sedikit untuk belanja
sebelum dapat pekerjaan."
Mansur termenung sejurus. Sudah itu ujarnya: "Kalau begitu baiklah kita
sekarang pergi menghadap tokeh membentangkan maksud kita ini. Apa lagi kita
nunggu; lekas selesai, lekas pula kita berangkat dari sini."
Orang berdua itupun berdirilah. Laminah memperbaiki sanggulnya, digosoknya
matanya dan dilicinkannya bajunya.
Tiba-tiba tampak olehnya pisau belati di sisi Mansur. Darahnya berdebardebar dan gusarnyapun timbul kembali. Tak percaya ia akan janji saudaranya tadi.
Sebab itulah berkata ia: "Kakak, pisau itu baiklah Minah sembunyikan. Minah
sebenarnya belum begitu percaya. Hendaklah kita awas sebelum terjadi!"
Mansur tak mengeluarkan kata sepatah juapun.
Laminah mengambil pisau belati itu dari pinggang saudaranya dan
diletakkannya dibawah bantal.
Tokeh pada ketika itu sedang makan. Mansur dan Laminah menunggu dimuka
pintu dapur. Didalam dapur duduk bujang-bujang yang lain bersenda-gurau. Olok dan
gelaknya hampir-hampir kedengaran sampai ke jalan besar.
"Alangkah riang mereka itu!" bisik Mansur.
"Ah, apa pula yang akan disusahkannya," sahut Laminah, "lain kita, orang
yang sial, yang tak berhenti-henti dikunjungi duka-nestapa. Entah apa pula lagi
ini yang akan datang di kemudian hari. Sebenarnya, kakak, makin sehari makin
berkurang kepercayaan Minah akan keadilan dimuka bumi ini. Mengapakah kita
selama-lamanya harus menanggung kesakitan dunia ini" "Mengapakah kita tiada
putus-putus dikunjungi marabahaya" Ada-ada saja datang menimpa, seolah-olah tak
terhitung-hitung lagi dosa yang telah kita perbuat...
Payah Minah memikirkan apakah sebabnya maka yang buruk selalu datang pada
kita, yang baik dan yang bagus pada orang. Lihat sajalah teman-teman kita
sekerja ini. Selama kita disini, belum pernah Minah melihat mereka berdukacita.
Tiap-tiap hari terdengar guraunya, terdengar tempik-soraknya!"
"Jangan engkau bercakap begitu!" kata Mansr perlahan-lahan. "Tuhan itu
amat adilnya dan mahakuasa. Dalam sekejap saja ia menukar tangis itu dengan
gelak dan dalam sekejap saja ia membuat matahari yang ditutup awan yang tebal
itu bercahaya gilang-gemilang atau sebaliknya."
"Dan pula jangan benar kau sangka, bahwa orang lain itu tak pernah
berdukacita. Semua mahkluk di muka bumi ini mempunyai bebannya masing-masing.
Ya, sebenarnya manusia ini berat yang dipikulnya, manusia itu ringan. Tetapi
jangan engkau lupa, bahwa hidup kita ini tak berapa lama. Dunia ini seolah-olah
tempat perhentian saja. Dimuka kita terbentang akhirat yang tiada berhingga.
Siapa tahu, barangkali disana nanti kita beruntung dan berbahagia. Ah, adikku,
semuanya itu kehendak Allah. Ia yang menjadikan kita dan ia pula yang memegang
nasib kita. Baiklah kita serahkan saja diri kepadanya dengan tulus dan ikhlas,
dengan sepenuh-penuh hati. Sungguh! Tuhan itu mahakuasa, mahabesar dan mahaadil.
Sekalian pekerjaannya penuh rahmat dan cermat..."
lain. Laminah diam, tiada mau membantah saudaranya itu, meskipun pendapatnya
Sedang mereka itu berdiri menunggu-nunggu tokeh sudah makan, sekonyongkonyong lalulah Sarmin. Amat tajam matanya melihat Laminah dan mulutnya
dikerutkannya seakan-akan hendak mengatakan, bahwa hatinya belum puas.
Laminah menundukkan kepalanya. Belum hilang lagi ngerinya melihat orang
yang keji itu. Sementara itu Mansur tiada putus-putusnya mengamat-amati musuh besarnya
itu. Jantungnya berdebar-debar seperti hendak memecahkan dadanya. Amat payah ia
menahan nafsunya hendak mencabik-cabik bekas kuli kontrak itu.
Tidak berapa lama antaranya melintas lagi Sarmin dimuka orang berdua
beradik itu. Perbuatannya demikian itu diulangnya beberapa kali, seolah-olah ia
hendak memperlihatkan keberaniannya.
Laminah bertambah lama bertambah takut. Mukanya pucat seperti tadi dan
perasaannya tiada tentu. Melihat Sarmin itu, Mansur tiada dapat lagi menahan hatinya. Tidak! Tak
mau ia dipermain-mainkan orang seperti itu. Apa saja kesudahannya tiada
dipedulikannya. Masakan dapat dibiarkan orang memperhinakannya seakan-akan ia patung yang
tiada bernyawa" Ketika Sarmin kelima kalinya lalu dimukanya, dikumpulkannya sekalian
tenaganya dan dengan sekuat-kuatnya diterjangkannya bekas kuli kontrak itu.
Sarmin jatuh ke lantai batu, laksana pohon yang besar rebah di tanah yang
keras. Dari mulutnya keluar maki dan sumpah yang tiada berapa terang kedengaran.
Seketika laki-laki yang besar dan kukuh itu tak dapat berdiri. Mansur tak
lepas-lepas diamat-amatinya dengan matanya yang kemerah-merahan seperti hendak
ditelannya bulat-bulat. Disingsingkannya lengan bajunya dan diam sekejap-mata ia
pun berdirilah. Dengan suara yang digumam diteriakkannya: "Ayuh, cobalah!"
Buas, diterkamnya Mansur dan...mereka berdua itupun bergumullah, tak
banyak ubahnya dengan perkelahian kerbau dengan harimau.
Mansur kecil tetapi lebih cepat dari kerbau yang besar dan mahakuat itu.
Sarmin percaya akan tenaganya yang lebih besar dan yang tetap akan
memusnahkan musuhnya. Pasti ia akan menang dalam perjuangan itu, kalau dibiarkan
orang sampai habis. Laminah tiada berhenti-henti menjerit sekuat-kuatnya, sejak ia melihat
saudaranya menerjangkan bekas kuli kontrak itu.
Mendengar itu gempar bujang-bujang di dapur dan berlari-lari mereka
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat perkelahian yang hebat itu; tetapi seorangpun tak ada yang berani
mendekati, sebab takut terbawa-bawa.
Tokehpun tergopoh-gopoh meninggalkan piring nasinya pergi ke tempat
perkelahian itu. Setelah nampak olehnya, lekas ia masuk ke bilik mengambil
pistol dan pergi ia mendekati orang yang berkelahi itu.
Tetapi bagaimana juga usahanya, tak dapat ia memisahkan orang dua itu;
masing-masing tak mau melepaskan musuhnya, sebelum ditewaskannya.
Sebentar dapat Mnsur mengimpit musuhnya itu, sebab ia berkelahi dengan
gembira. Bukankah ia membela saudaranya yang amat dicintainya?""
Tetapi seketika lagi dapat Sarmin memegang punggungnya dan dibantingkannya
Mansur ke taris. Seperti bola karet melantun anak muda itu berdiri kembali
melompati lawannya. Demikanlah beberapa kali.
Tetapi makin lama makin kelihatan, bahwa kesudahannya tetap Mansur akan
kalah, sebab sarmin jauh lebih kuat.
Sementara itu tak kunjung-kunjung berhenti tokeh mencoba melarai
perbantahan itu. Tetapi sia-sia saja.
Keputusan akal diletuskannya sekali pistolnya ke udara, seraya ia berseru
kepada bujang yang lain dengan nyaring: "Mengapakah kamu sekalian berdiri saja
tak menolong memisah. Takutkah kamu" Siapa yang berani memukulmu, nanti ia akan
aku binasakan dengan pistolku ini."
itu. Muka tokeh kelihatan merah-padam. Telah hilang sabarnya melihat perjuangan
Mendengar seru itu sekalian bujangpun mendekat menolong memisahkan orang
berdua itu. Meskipun orang sebanyak itu, lama juga lagi maka perkelahian itu
berhenti. Masing-masing amat kuat, sehingga payah orang itu memegangnya.
Tetapi mujurlah sekarang Mansur dan Sarmin telah dipisahkan dan
diantaranya tegak tokeh sambil mengacu-ngacukan pistolnya.
"Cobalah lagi!" gertaknya, "siapa yang berani mendekat, boleh kutembak
seperti anjing di tempat ini juga."
Keduanya tak menjawab. Sarmin belum puas lagi hatinya. Tanganya gemetar
dan matanya tiada putus-putus mengawasi musuhnya.
Tetapi rupanya agak takut ia melihat pistol tokeh itu dan sebab itulah
ditahannya nafsunya yang ganas.
"Masakah tak ada lagi saat yang baik," pikirnya.
Mansur telah amat lesu. Dadanya kelihatan turun naik dan napasnya
kedengaran dari jauh. "Sekarang," kata tokeh, "Mansur! turut akukeluar dan engkau Sarmin tinggal
disini sampai aku panggil. Jangan engkau coba-coba membuat sekehendak hatimu
disini, kalau engkau tak mau merasa senjataku ini."
Mansur pergi keluar diikuti oleh Laminah yang tiada berhenti-henti
menangis. Melihat itu berteriak Sarmin dengan buasnya, sambil memperlihatkan
tinjunya: "Hati-hati engkau, aku tiada akan berhenti, sebelum engkau punah."
"Ssst, diam!" kata tokeh itu dengan pendek.
Tiba diluar diceritakan Mansur segala asal mukanya. Tokeh tiada putusputus menganggukkan kepalanya.
Telah diam Mansur, katanya: "Sungguh salahku dahulu menerima orang serupa
itu. Pada persangkaanku bekas kuli kontrak itu menjadi manusia biasa tinggal
disini, tetapi rupanya tak benar pikiranku itu. Sekarang sudahlah! Nanti Sarmin
itu boleh kuusir. Apa yang telah terjadi itu jangalah engkau berdua pikirkam
amat. Lain kali akan aku jaga benar-benar siapa yang aku terima bekerja padaku,
supaya yang serupa itu jangan berulang lagi. Kini pergilah ke tempatmu masingmasing, boleh aku bercakap penghabisan dengan Sarmin."
Habis perkataan tokeh itu, Mansur berkata, katanya: "Tidak, tokeh! Kami
tidak dapat lagi tinggal disini. Sebenarnya amat senang hidup pada tokeh dan
kami hendak bekerja disini sampai mati. Tetapi apa boleh buat. Tokeh lihatlah
Laminah ini, amat pucat mukanya. Dalam beberapa minggu yang penghabisan ini ia
selalu merasa tak senang. Makan, tidur, ya, semua dirasanya tiada enak. Telah
beberapa kali ia mengajak aku pindah dari sini, tetapi selalu aku katakan
kepadanya bahwa meninggalkan toko roti ini sama maknanya dengan meninggalkan
kesentosaan pergi ke kemelaratan. Tadi dibujuknya lagi aku pergi ke tempat lain.
Ah, tokeh, kasihan aku melihatnya. Makin sehari makin layu ia, seperti bunga
yang tiada pernah disiram-siram. Apakah kesudahannya nanti" Baiklah kami mencari
untung kami ditempat yang lain. Tambahan pula sekarang. Laminah malu melihat
bujang-bujang yang lain, yang tahu keaiban yang telah menimpanya. Percayalah
tokeh, amat sedih hati kami meninggalkan pekerjaan ini. Tokeh selalu dermawan
dan budiman kepada kami dan penghidupan kami sederhana, tak jurang dan tak pula
melebih-lebihi. Tetapi...apa boleh buat. Laminah rupanya tidak sesuai lagi
dengan pergaulan disini."
Takjub tokeh mendengar sekalian perkataan Mansur itu. Sebenarnya tak
sebesar ujung rambut disangkanya akan mendapat jawaban serupa itu.
O, sekarang baru mengerti ia perubahan Laminah dalam beberapa minggu yang
akhir ini. Jadi itulah sebabnya, maka ia pendiam dan enggan, seolah-olah ia
takut pada orang. Dahulu sangkanya, bahwa semua itu berhubung dengan usia
perawannya yang baru naik dan sebab itulah tiada dipedulikannya.
Maka katanya kepada Laminah: "Mengapakah maka semuanya itu tak pernah
engkau ceritakan kepadaku, Laminah" Tiada mungkin aku tak hendak menolongmu.
Katakanlah sekarang, apakah yang menyebabkan perubahan perasaanmu itu!"
Laminah menundukkan kepalanya dan menjawab kemalu-maluan: "Entahlah,
tokeh! Tak dapat Minah katakan, apa yang menyebabkan itu. Tetapi setiap waktu
terasa oleh Minah, seakan-akan Minah akan ditimpa marabahaya yang besar.
"Si Sarmin barangkali?" ujar tokeh lagi.
"Sungguh tiada tahu Minah," jawab gadis yang malang itu, "tetapi dahulu
sebelum ia tiba disini, perasaan yang serupa itu telah ada juga. Sekarang pada
pikiran Minah, sebaik-baiknya Minah pergi dahulu dari sini dan kalau perasaan
yang tiada enak itu telah hilang sama sekali, suka benar Minah bekerja lagi
disini. Maukah tokeh menerima kami lagi nanti"
Yang penghabisa ini dikatakan Laminah sambil dipandangnya orang Cina yang
baik hati itu dengan matanya yang lembut.
"Kalau begitu, sayang benar," kata tokeh, "Aku selalu berbesar hati
melihat engkau berdua bekerja disini dan maksudku tiada berapa lama lagi akan
menaikkan gajimu. Tetapi, sudahlah! Kebesaran hati itu tak ada bandingnya, sebab
itu tak boleh aku menahan engkau berdua beradik di tokoku ini. Nanti, kalau
misalnya engkau berdua dalam kesukaran, yang tak sekali-kali kuharap, setiap
waktu boleh engkau datang kemari minta pertolongan padaku. Sekarang pergilah
mengumpulkan barang-barang dan kelak boleh kubayar gajimu."
"Payah kita mendapat induk semang sebaik ini," bisik Mansur kepada
adiknya. Laminah menganggukkan kepalanya.
8. PEKERJAAN BARU Minah! Minah! aku telah dapat pekerjaan!" teriak Mansur pada suatu hari
dari muka pintu kepada adiknya, sedang mukanya berseri-seri oleh kegirangan.
Laminah tergesa-gesa keluar mendapatkan saudaranya akan menanyakan
pekerjaan baru itu. Kecil gunung dibandingkan dengan hatinya pada ketika itu.
Sampai hari itu cukup benar delapan hari lamanya ia berdua beradik
meninggalkan toko roti pindah ke rumah kecil dibalik benteng "Marlborough".
Dalam waktu selama itu Mansur belum juga mendapat pekerjaan yang lain. Tiap hari
ia masuk toko keluar toko, tetapi tak satu juga yang dapat menerimanya, sebab
sekaliannya cukup pegawainya.
Hal ini amat menyusahkan hati Mansur dan Laminah. Ya, sebenarnya, dalam
dua tiga minggu lagi masih dapat mereka hidup dari uang simpanan dan gaji yang
penghabisan; tambah pula ketika mereka itu mengatakan selamat tinggal pada
tokeh, mereka mendapat anugerah uang kertas lima rupiah sehelai. Jadi untuk
sementara tak usah mereka takut mati kelaparan.
Tetapi apakah kesudahannya hidup serupa itu"
"Dapat kerja dimanakah , kak!" tanya Laminah pada Mansur yang sedang
menyangkutkan bajunya pada paku di dinding.
Mansur berbalik dan berdiri sekarang berhadapan dengan adiknya; maka
katanya: "Dengarlah boleh aku ceritakan dari mulanya. Pagi-pagi tadi ketika aku
berdiri-diri di bom melihat orang turun-naik sekoci, terdengar olehku
dibelakangku seorang bercakap pada temannya mengatakan, bahwa ia baru pagi-pagi
itu benar minta keluar dari pekerjaannya pada toko orang Jepang di kampung Cina.
Mendengar itu terpikir sekali olehku, bahwa barangkali aku dapat
menggantikannya. Pendeknya dengan selekas-lekasnya aku pergi ke toko orang
Jepang itu. Mujurlah ia belum mendapat orang lain, sehingga aku diterimanya
dengan segala senang hati, apalagi setelah dilihatnya pula surat keterangan aku
dari toko yang baik bunyinya itu."
"Apabilakah kakak akan mulai bekerja dan berapakah gaji sebulan?" tanya
Laminah tergesa-gesa. "Ah, sabar dahulu! Ceritaku belum habis lagi," sahut Mansur, "besok pukul
tujuh pagi-pagi aku mesti ada di sana akan menjawat pekerjaanku untuk pertama
kali dan buat sementara aku akan diberikan lima belas rupiah sebulan. Kerjaku
sehari-hari ialah melayani orang-orang yang datang membeli ini dan itu.
"Lima belas rupiah sebulan?" tanya Laminah, serta mengerutkan keningnya,
"cukupkah itu untuk kita berdua, kak" Sewa rumah saja telah empat rupiah."
"Entahlah!" sahut Mansur, "kita cobalah dahulu. Sekarang tak tahu aku
jalan yang lain. Dari pada aku setiap hari tiada tentu hilir-mudik, jauh lebih
baiknya aku bekerja disana. Dapat juga aku tiap-tiap habis bulan membawa lima
belas rupiah pulang ke rumah. Nanti kalau ada ditempat lain pekerjaan terbuka
yang lebih besar bayarannya, apa salahnya aku pindah kesana."
Laminah menganggukkan kepalanya. Sekarang terasa olehnya, bagaimana
susahnya mencahari penghidupan yang sederhana.
Sungguh, senang benar hidup di toko roti itu dahulu. Makan tiada usah
dibayar dan tempat tidur dapat dengan percuma. Gaji hanya dipakai untuk membeli
pakaian saja. Tetapi kini"apa saja yang dikehendaki dan yang perlu harus memakai
duit. "Sampai pukul berapakah kakak mesti bekerja tiap-tiap hari?" tanya Laminah
sekonyong-konyong, setelah ia beberapa lamanya berdiam diri.
"Pagi-pagi aku harus masuk pukul tujuh dan pukul dua belas tengah hari aku
boleh pulang makan. Pukul dua aku harus masuk lagi sampai pukul delapan malam,"
jawab Mansur. "O, tentang pekerjaan ini lain benar dari dahulu, tetapi apa
hendak dikata?" Laminah menundukkan kepalanya, seraya berkata hampir-hampir tiada
kedengaran: "Aduh, alangkah lamanya Minah tinggal seorang diri di rumah."
Sesudah itu tiadalah lagi mereka itu mempercakapkan pekerjaan yang baru
dapat itu. Masing-masing tahu, bahwa semuanya itu akan menyusahkan hati saja.
Keesokan harinya, ketika Mansur telah pergi bekerja, duduklah Laminah
seorang diri memikirkan hidupnya pada waktu yang akhir ini.
O, alangkah payahnya! Sehari-hari harus dipikirkannya, bagaimanakan
menjalankan uang, supaya dapat hidup dengan semurah-murahnya. Hari ini dicoba
berhemat pada gulai, esok dicoba pula pada kayu api dan keesokan harinya lagi
pada lada, garam dan sebagainya.
Demikianlah setiap hari tiada putus-putusnya ia berikhtiar, berusaha,
supaya duit yang sedikit itu cukupeajangan kekurangan, supaya jangan lebih besar
pasak dari tiang yang kecil itu, jangan panjang bayang-bayang dari badan yang
pendek. Sekaranglah baru terasa oleh Laminah, bagaimana beratnya pekerjaan seorang
ibu yang mengemudikan rumah sendiri.
Sekaranglah baru tahu ia, apa sebabnya maka banyak benar orang tiada
putus-putusnya membuat utang kesana-kemari.
Dan sekaranglah baru mengerti ia, apa sebabnya maka rumah gadai tiada
pernah sunyinya. Sungguh! Payah seorang ibu bertenggang!
Apalagi kalau bertenggan itu dengan uang sedikit!
Pada ketika itu tiada dapat Laminah menjauhkan kenang-kenangannya pada
hari baru silam. Sebentar-sebentar nampak olehnya penghidupan yang bebas, yang
tak mempunyai jagaan itu.
Tak usah ia dahulu memikirkan berapa harus dikeluarkannya sehari-hari
untuk pembeli ini itu! Tak usah ia dahulu mengagak-agak, supaya lampu jangan terlalu banyak
menghabiskan minyak. Tak usah ia dahulu memayahkan benaknya memikirkan apakah gulai pagi dan
pula sore nanti! Dan tak usah pula ia dahulu memayahkan dirinya berusaha, supaya sajian
enak dan nyaman rasanya, sehingga yang menyantapnya bersenang hati.
Tetapi sekarang! Rasa-rasa hendak pulang lagi ia ke toko roti, apalagi ia ingat akan
kebaikan tokehnya yang tiada berhingga. Sebenarnya payah mencari tempat bekerja
yang serupa itu. Induk semang manakah yang memberi pegawainya yang minta berhenti hadiah
uang dan pakaian beberapa lembar"
Dan induk semang manakah pula yang seramah itu pada bujangnya yang
meninggalkannya. Dalam seratus payah bertemu satu!
Demikianlah berapa lamanya Laminah membanding-bandingkan kesukarannya
sekarang dengan kesenangannya pada masa yang telah lalu. Payah ia menahan ibanya
dan sebentar-bentar bercucuran air matanya dengan tiada diketahuinya.
Apa benarkah salahnya dan berapa benar dosanya maka tidak boleh ia seperti
orang lain hidup dengan sentosa. Tidak! Tiada sekali-kali dikehandakinya
mengecap kenikmatan dunia ini dengan sepuas-puasnya. Jauh, beribu-ribu kali jauh
dari situ. Yang dikehendakinya hanyalah hidup yang sentosa dan sederhana, tak
sekali-kali melebih-lebihi seperti kebanyakan manusia.
Tetapi..., itu saja tak dapat olehnya. Ada-ada saja yang datang
mengalangi. Seketika teringat ia akan Sarmin, manusia yang bertabiat binatang itu
Sejurus gemetar sendi tulangnya mengenangkan kekejian dan kerendahan bekas kuli
kontrak itu. O, jangan lagi hendaknya ia bertemu dengan hal yang serupa itu! Ngeri ia
memikirkan. Kira-kira pukul delapan pergilah Laminah ke sumur membawa pakaian yang
kotor untuk disesah. Dan kalau telah pulang dari sana mulailah ia membersihkan
rumah dan bertanak menggulai untuk saudaranya yang pukul dua belas akan pulang
makan. Tetapi apa benarlah yang harus dibersihkan dan diselesaikannya di rumahnya
yang kecil itu dan berapa benarlah yang akan dimasaknya untuk ia berdua beradik"
Lebih kurang dalam dua jam telah siap semuanya dan mulailah ia menurutkan
arus pikirannya. Sesak kalbunya mengenangkan, bahwa mulai dari sekarang sehari-harian ia
akan tinggal di rumah seorang diri. Tak ada tempat ia bercakap-cakap dan tak ada
tempat ia melimpahkan duka-nestapanya!
Berapa lamakah akan dideritanya kesunyian ini dan apakah kesudahannya
nanti" Macam-macam pikiran dan kenang-kenangan menggoda kepadanya. Sebentarbentar terasa olehnya, bahwa ia harus mencahari pekerjaan. Kesunyian serupa itu
lambat-laun pasti akan membawa ia binasa. Sebab itulah ia harus selekas-lekasnya
mencari kerja untuk melipurkan hatinya dan melupakan kemalangannya. Dan tambahan
juga kalau dapat ia pekerjaan, tentu akan bertambah pula pendapatan saudaranya
yang sedikit itu. Tetapi bagaimanakan mencahari maksudnya itu" Menjadi koki atau babu tentu
tak sanggup ia, sebab tiap-tiap hari ia harus menyajikan makanan untuk
saudaranya. Pekerjaan itu mesti dapat dikerjakannya di rumah, kalau pekerjaannya
sehari-hari sebagai ibu dirumah tak ada lagi atau telah selesai.
Lama ia memikirkan hal itu, tetapi tiada juga ia mendapat jalan yang baik.
Waktu Mansur pulang tengah hari, mula-mula sekali ditanyakan Laminah
perihal pekerjaan kakaknya.
Mansur menceritakan semua dari mula sampai akhir. Pekerjaannya itu,
sebenarya jauh dari berat. Berapalah payahnya melayani sekalian pembeli yang
keluar-masuk" Asal ia telah tahu harga sekalian barang-barang itu, tentu
semuanya amat mudah. Tetapi yang amat mengesalkan hatinya ialah sehari-harian
tinggal di toko itu sebentar duduk dan berdiri. Pemandanganpun tak lain dari
pada barang jualan dan lemari-lemari.
Laminah mendengar perkataan saudaranya itu dengan hati-hati. Setelah
habis, maka ujarnya: "Minahpun hilang akal tinggal sendiri di rumah ini. Tiada
tentu perasaan Minah, apalagi kalau pekerjaan telah selesai sama sekali. Berjamjam Minah termenung, sebab teman bercakap-cakap tak ada. Sebaik-baiknya sekarang
Minah dapat pekerjaan yang dapat Minah kerjakan di rumah, supaya kesunyian itu
tiada begitu terasa. Dan lagi kalau ada pekerjaan Minah, dapat pula Minah
menokok belanja kita serupiah dua rupiah. Tahukah kakak barangkali suatu akal"
Sebabnya, kalau lama-lama serupa ini, boleh jadi Minah menjadi gila tiada
keruan. Cobalah kakak carikan pekerjaan yang berpadanan."
Mansur berpikiran sejurus. Terasa olehnya, bahwa perkataan adiknya itu
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengandung kebenaran. Beberapa lama antaranya, aktanya: "O, sekarang tahu aku! Maukah engkau
barangkali mengambil upahan mencuci pakaian. Pekerjaan itu berat, tetapi dapat
engkau kerjakan apabila engkau hendak."
Mendengar itu, Laminah menganggukkan kepalanya, seraya katanya dengan muka
bercahaya-cahaya: "Tetapi, siapakah yang hendak mengupahkan menyesah pakaiannya
pada Minah?" "O, itu perkara kecil!" jawab Mansur, "nanti boleh aku carikan. Pertamatama orang Jepang tempat aku bekerja itu tentu dapat aku bujuk. Dan diantara
orang Cina yang banyak itu, pasti ada juga yang suka. Dari cucian jangan engkau
kuatir. Bahkan aku takut kalau-kalau tiada akan tekerjakan oleh engkau, karena
beratnya pekerjaan itu."
Laminah tersenyum, sebab ia tahu bahwa yang penghabisan ini dikatakan
saudaranya hendak mempermain-mainkannya.
Mansur menepati janjinya. Senja itu juga ia membawa sebungkusan pakaian
untuk disesah adiknya. Demikianlah setiap hari, sehingga Laminah tak ada waktu
lagi untuk bermenung, karena selalu ada kerjanya.
Pagi-pagi ia pergi mencuci dan sesudah itu ia menyediakan makanan
kakaknya. Petang hari sebelum ia pergi ke dapur diangkatnya cuciannya dan
dilipatnya bagus-bagus. Dengan hal yang serupa itu tiadalah terasa lagi oleh Laminah
kelengangannya dan tiap-tiap bulan dapatlah ia beberapa rupiah akan menambah
gaji saudaranya, sehingga pendapatannya berdua beradik cukup benar untuk belanja
sehari-hari. 9. BIDUK KARAM Adakah engkau dengar, Dar, bahwa Mansur ditahan dalam penjara, karena ia
disangka orang mencuri uang orang Jepang tempat ia bekerja itu?" kata Malik pada
suatu hari pada temannya Darwis.
"Mansur" Siapa itu?" tanya Darwis serta mengerutkan keningnya, seolah-olah
hendak membangunkan ingatannya.
"Ah, alangkah pelupamu! ujar Malik dan dipukulnya beberapa kali bahu
temannya. "Kalau kusebut saja satu nama yang lain, pasti saat itu juga engkau
teringat akan orang itu."
"Sungguh, benar aku tak kenal akan dia," kata Darwis lagi, "lekaslah
sebutkan siapa itu!"
"Jangan engkau main-main, seperti tak tahu benar," ujar Malik pula,
"masakan engkau tak kenal akan dia, padahal adiknya puas engkau belikan penganan
dan bermacam-macam perhiasan."
"Siapa benar itu" tanya Darwis lagi," tiada teringat aku membeli-belikan
orang penganan atau benda-benda yang lain."
"AI, AI! Jangan pula engkau membohongi aku!" olok-olok Malik. Dipukulnya
lagi keras-keras bahu Darwis, seraya serunya dengan nyaring: "Laminah, tidak"
Darwis sedikitpun tidak marah kena pukulan itu. Mendengar nama Laminah
tiada dapat ia menahan senyumnya dan mukanya pun kemerah-merahan, seperti jambu
air yang ranum. Sekarang teringat lagi ia akan anak perawan yang tujuh delapan bulan yang
telah lalu sangat membangkitkan berahinya itu.
O, alangkah gilanya ia dahulu pada Laminah! Lebih dari setengah hari dari
gajinya dipakainya untuk memikat gadis itu.
Tetapi bagaimana juga usahanya, makdsudnya tak sampai sebab Laminah, anak
yang cui itu, menganggap kebaikannya sebagai persaudaraan.
Menurut jalan yang lain, jalan kekerasan seperti Sarmin, tiada berani
Darwis, sebab takut pada Mansur yang berlipat ganda lebih kuat daripadanya.
Dengan hal yang demikian angan-angannya tak dapat menjelma menjadi sebenarnya.
Sejak orang berdua beradik itu meninggalkan toko roti itu, tak pernah lagi
ia bertemu dengan mereka itu, sehingga makin sehari makin lupa ia akan Laminah.
Tetapi sekarang mendengar nama yang dahulu siang malam menjadi ingatannya
itu, berahi lamanyapun bangkit kembali, laksana bunga segar kembali kena hujan
sejuk. "O, Mansur itu!" ujarnya dengan heran. "Jadi selama ini ia tinggal di
negeri ini. Tetapi mengapa aku tiada pernah bertemu dengan dia?"
"Ia bekerja dari pagi sampai malam, sehingga tak pernah ia berjalanjalan," jawab Malik. "Aku dahulu bertemu dengan dia, ketika aku masuk toko orang
Jepang dimuka kelenteng Cina itu. Lama kami bercakap-cakap. Menurut katanya tak
tahan ia bekerja disana, sebab sehari-harian ia harus tegak duduk melayani
orang. Tambahan pula gajinya hanya lima belas rupiah dan dengan yang sedikit itu
semua harus dibayarnya. Tetapi oleh sebab ia tiada dapat mencahari pekerjaan
lain, ditunggunya juga disana. Sebenarnya salah benar ia meninggalkan toko roti
ini dahulu. Bukankah Sarmin pada itu juga diusir oleh tokeh"
"Tahukan engkau rumahnya?" tanya Darwis yang tak dapat lagi menahan
hatinya mendengar cerita temannya itu...
Apakah persangkutan dengan Mansur" Dan apa pula gunanya diketahuinya halikhwalnya" Bukankah ia hanya berhubungan dengan Laminah yang telah banyak
menghabiskan uangnya "Mengapa pula aku tak tahu?" sahut Malik, "Semuanya diceritakan Mansur
kepadaku. Ia tinggal di rumah bambu yang terpencil dibalik benteng itu dan besok
aku akan pergi kesana...."
"O, kalau begitu Laminah ada disana sekarang," ujar Darwis dengan cepat.
"Mengapakah engkau tergesa-gesa serupa itu benar?" ujar Malik, "seakanakan girang engkau mendengar Mansur masuk jil itu."
"Kata siapa pula aku tiada girang?" jawab Darwis. "Sangkamu agaknya uangku
untuk membelanjai Laminah dahulu itu, aku buang saja" Kalau begitu salah sekali
pikiranmu..." Darwis mengatakan yang akhir ini, sambil ia mengisar kedua belah tangannya
dan di mulutnya terbayanglah senyum yang keji, yang jelas menandakan kebesaran
hatinya oleh harapan akan menyampaikan maksudnya.
"O, jadi tinggal disini orang berdua beradik itu dalam delapan bulan ini!"
katanya pula, serta diangguk-anggukkannya kepalanya. "Kalau aku tahu itu tentu
telah lama kuminta piutangku, apalagi Mansur sehari-harian tiada di rumah."
Malik benci mendengar kata temannya itu.
Sesungguhnya ia berahi pada perawan itu, tetapi maksudnya tiada jahat.
Kalau Laminah suka padanya akan dijadikannya isterinya sehidup-semati dengan
dia. Amat berlainan pahamnya dengan Darwis yang semata-mata hendak memuaskan
nafsunya yang rendah saja. Sebab itulah kata Malik: "Dar! mengapakah engkau
bercakap begitu" Tiadakah engkau menaruh kasihan pada gadis yang malang itu.
Tentu ia sekarang kehilangan akal memikirkan saudaranya masuk penjara itu. Coba
engkau pikirkan, misalnya engkau seorang perempuan dan tinggal seorang diri di
rantau orang terkatung-katung, jauh dari sanak-saudara. Engkau pikirlah dalamdalam! Sekarang engkau telah hendak mengganggunya pula! O, engkau sungguh kejam,
tak menaruh iba-kasihan sesama manusia!"
Semuanya itu dikeluarkan Malik perlahan-lahan seolah-olah tiap-siap suku
dan huruf keluar dari hati kecilnya.
"Ah, janganlah engkau pura-pura alim dan lurus benar1' sahut Darwis,
sambil menertawakan Malik. "Ya, engkau barangkali hendak masuk surga...Tetapi
jangan pula engkau coba menipu aku, sebab bukan baharu sehari dua kita
bercampur-gaul. Kasihan" Aku tak menaruh kasihan pada orang lain dan orang
lainpun aku lihat tak kasihan padaku."
Mendengar kata Darwis itu payah Malik menahan amarahnya. Dengan tiada
mengeluarkan sepatah kata juapun ia pergi dari tempat itu. Sebabnya, kalau lama
ia lagi bercakap dengan Darwis, tentu akan terjadi perkelahian. Olok-olok
temannya itu tak dapat didengarnya. Baiklah ia beralah dan menjauhkan diri.
Berbantah dengan orang serupa itu tak sedikit juapun mendatangkan manfaat. Dalam
hatinya telah dipastikannya, bahwa ia besok akan pergi ke rumah Laminah akan
menolong perawan yang malang itu sedapatnya. Sungguh amat belas hatinya!
Sejurus lamanya Darwis tiada bergerak-gerak dari tempatnya.
"Sekarang tahu aku apa maksud Malik itu," pikirnya. "Pura-pura ia kasihan
pada Laminah, tetapi coba lihat! Kalau aku terlambat sedikit, tentu ia akan
mendahului aku. Tetapi jangan ia menyangka aku tak tahu kehendaknya itu. Kalau
telah habis pekerjaanku kelak, aku akan pergi selekas-lekasnya kebalik benteng
akan menemui..." Iapun tersenyum seketika.
Dari pagi-pagi tadi Laminah tiada berhenti-henti menangis. Air matanya
telah habis dan hanya sebentar-bentar kedengaran bunyi ia tersedu-sedu.
Satu apapun tak dapat dikerjakannya, sejak kakaknya tadi dijemput oleh dua
orang opas dan dibawa ke penjara.
Sedikitpun tiada ia mengerti apa yang terjadi. Kata opas itu kakaknya
dituduh mencuri uang orang Jepang, tempat ia bekerja, lebih dari dua ratus
rupiah. Laminah tiada percaya akan hal itu. Masakan saudaranya sejahat itu mau
mencuri uang orang" Apakah guna uang itu kepadanya" Pendapatan ia berdua beradik
cukup benar, tak berlebih dan tak pula kurang untuk dimakannya berdua. Tambahan
pula, kalau ada terjadi sesuatu hal, masakan kakaknya menyembunyikannya
kepadanya. Itu tiada termakan oleh akal.
Tiada, tak boleh tidak saudaranya kena aniaya, kena fitnah.
Sejurus teringat Laminah akan kata Mansur semalam, bahwa kemarin amat
ramai orang datang membeli, sebab dua hari lagi akan hari Raya Idulfitri. Siapa
tahu barangkali seseorang dari pembeli yang banyak itu yang mencuri uang itu.
Mengapakah maka saudaranya benar yang dituduh orang"
O, sebab ia bekerja disana! Tetapi orang lain yang keluar-masuk itu"
Heran Laminah! Hidupnya tak bedanya dengan tikus yang telah ditangkap oleh
kucing. Sebentar dilepaskan oleh kucing itu mangsanya, tetapi baru saja tikus
itu bergerak hendak melepaskan dirinya, kuku yang ganas dan kejam itu telah tiba
lagi. Demikianlah berulang-ulang.
Apakah kesudahannya nanti"
Dahulu, ketika ayahnya baru meninggaleahidupnya senang. Madang, menjaganya
sebagai menjaga anak kandungnya. Tetapi semuanya itu tiada berapa lama. Ketika
itulah tiba terkaman "kucing nasib" yang pertama kali.
Sesudah itu hidupnya senang lagi di toko roti.
Itupun tak kekal. Tiada berapa lama antaranya datang terkaman yang kedua.
Sekarang hidupnya jauh dari senang. Tetapi jadilah dikatakan sengsarapun
tak pula boleh. Inipun rupa-rupanya sudah terlalu banyak...dd"kucing nasib"
telah tiba pula dengan kukunya yang runcing.
Apabilakah akan berhenti ini kelak" Akan samakah nasibnya dua bersaudara
yang malang itu dengan nasib tikus yang...
Allah jua yang lebih mengetahui.
Demikianlah Laminah tiada putus-putusnya menyadar untungnya dan sementara
itu tiada juga ia berhenti-henti menangis.
Matahari terus menempuh jalannya seperti sediakala dan perawan yang sial
itu lupa akan makan dan minum, lupa akan mandi dan lain-lain. Hanya yang
teringat olehnya kemalangannya dan kecelakaannya.
Pakaian kotor yang akan dicucinya beronggok-onggok dan di dapur berserak
bertaburan perkakas bertanak menggulai. Sedikitpun tak timbul di hati Laminah
akan menyelesaikan rumahnya.
Pikirannya amat sesak oleh gundah gulana.
Apakah akan dikerjakannya sekarang"
Ia seorang diri di rantau orang dan Mansur belum tentu lagi apabila
dibebaskan. Siapa tahu, boleh jadi berbulan-bulan tinggal dalam penjara. Dan
sementara itu kemanakah ia harus pergi dan dimanakah ia akan mendapat makan"
Uang simpanan dahulu telah lama habis pembeli pakaian dan keperluan rumah dan
dapur dan uang simpanan yang lain boleh dikatakan tak ada. Untuk makan seharihari mujur cukup pendapatan ia berdua!
Sejurus teringat Laminah akan toko roti. Dahulu ada tokeh berkata
kepadanya, bahwa ia setiap waktu siap akan menolong ia berdua beradik.
Tetapi malu ia rasanya kembali lagi ketempat yang telah ditinggalkannya
itu. Tiada akan terpandang olehnya mata orang yang mengetahui halnya dengan si
Sarmin jahanam itu. Merah mukanya, jengang telinganya, bila ia terkenang akan
kejadian di toko roti itu. Tambahan pula takut ia kalau baba itu telah berubah
dan tak mau lagi menerimanya.
Bukankah segala isi dunia ini berubah dan tiada kekal"
Tetapi bagaimana kalau ia pulang ke Ketahun, ke datuk Halim dan andung
Saripah atau ke uncu Jepisah?"
Dan Mansur..." O, tak boleh ia meninggalkan saudaranya itu......Ia wajib
tinggal di Bengkulu sampai kakaknya keluar dari tutupan.
Sungguh, payah ia memikirkan apakah yang sebaik-baiknya dikerjakannya
sekarang. Untuk sehari dua ini pasti ia akan tinggal dirumah itu, tetapi sudah
itu kemanakah ia akan mencari perlindungan. Akan terpaksa jugakah ia agaknya
kembali ke tempat ia diberi malu orang itu..."
Hari petang juga. Seketika Laminah tertidur oleh kepayahan berpikir. Tetapi tiada berapa
lama antaranya ia terbangun lagi, karena orang mengetuk pintu yang sejak Mansur
berangkat, tiada dibuka-buka.
Laminah terkejut, "Siapa pula itu?" pikirnya, sebab ia tak ada berkenalan
dan tak pernah dikunjungi orang.
Sekejap terkilat dikepalanya, barangkali saudaranya yang mengetuk itu. Ya,
boleh jadi ia dilepaskan orang, sebab ia tiada bersalah.
Dengan tergopoh-gopoh perawan itu berdiri. Rambutnya kusut masai dan
matanya bakup oleh menangis.
Perlahan-lahan ia menuju ke pintu; sementara itu hatinya berdebar-debar,
entah keriangan, entah oleh kesusahan.
Tetapi, alangkah kecewanya ia, ketika pintu telah dibukanya dan dilihatnya
bukan saudaranya yang berdiri dimukanya. Sendi tulangnya menjadi lemah dan tentu
ia rebah ke lantai, kalau pada ketika itu ia tak dapat berpegang pada daun
pintu. "Benarkah, Laminah, Mansur masuk penjara?" tanya laki-laki yang tegak
berhadapan dengan dia. Laminah terperanjat mendengar suara itu.
"Siapakah ini?" katanya dalam hatinya. "Selama kami disini belum pernah
orang ini datang kemari. Tetapi muka dan perawakan yang serupa ini mesti telah
ada kutemui dahulu. Siapa benar gerangan orang muda ini?"
Tampak oleh Darwis, bahwa perawan itu tak tahu benar, siapa yang berdiri
dimukanya, sebab itulah katanya: "Tiadakah engkau kenal lagi padaku" Darwis"
Temanmu sekerja di toko roti tujuh delapan bulan yang telah lalu?"
"O, Darwis!" sahut Laminah. "Telah lama benar aku tiada melihatmu dan
sebab itulah ragu aku mula-mula tadi. Masihkah engkau bekerja ditempat dahulu"
Malik baharu ini bertemu dengan saudaraku di tempat ia bekerja, di toko orang
Jepang, di kampung Cina."
"Ya," sambung Darwis, "ialah yang mengatakan kepadaku pagi tadi, bahwa
Mansur masuk jil dan ialah yang menunjukkan rumah ini kepadaku. Benarkah kakakmu
itu dituduh orang mengambil yang orang Jepang itu?"
Laminah menganggukkan kepalanya, seraya berkata: "Ada-ada saja datang
menimpa kami. sungguh, aku tiada percaya, bawa saudaraku itu mencuri uang.
Tetapi sudahlah, rupanya telah dari dahulu tertulis serupa ini. Kalau malang
akan tumbuh itu dak dapat dielakkan."
Darwis menundukkan kepalanya, pura-pura turut berdukacita, sambil
mengeluh: "Beginilah rupanya, kalau kita orang bodoh dan miskin. Semua yang
buruk dicari orang pada kita. Ada kecurian, kita, yang disangka, ada kerusakan
kita disyak mengerjakannya dan sebagainya. Itulah adat dunia: menimbun yang
telah tinggi dan menggali yang telah rendah!"
Mendengar kata Darwis itu Laminah terdiam: terasa olehnya kebenaran
peribahasa itu. Darwis pada ketika itu tiada putus-putusnya mengamat-amati muka gadis itu.
Bersukacita ia melihat, bahwa Laminah percaya kepadanya. "Ha! Sekali ini, tiada
lepas engkau dari jaringku!" tertawa ia dalam hatinya...
"Ah! Begitulah," kata Darwis meneruskan percakapan itu, mengambil hati
Laminah, "kita harus tawakkal saja dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang
Mahabesar dan Mahaadil. Masakan dibiarkannya hambanya yang tiada berdosa kena
aniaya. Janganlah engkau amat bersusah hati. Coba lihat, sehari dua ini Mansur
tetap akan keluar dari tutupan. Kalau kita berdiri pada kebenaran sama artinya
kita berdiri disisi Tuhan semesta alam."
Laminah, gadis yang tiada menyangka suatu apapun itu, makin lama makin
tertarik mendengar perkataan Darwis yang sedap dan tepat-tepat itu.
"Moga-mogalah serupa itu!" jawabnya hampir-hampir tiada kedengaran.
Berapa lamanya orang berdua itu tiada mengeluarkan kata sepatah juapun.
Darwis memikirkan kemenangannya dan Laminah mengenang kemelaratannya.
Tiba-tiba ujar Darwis: "Jadi malam ini akan tinggal disinikah engkau
sendirian" Tiadakah engkau takut?"
Laminah mengangguk: "Akan pergi kemana pula aku, kalau tidak tinggal
disini. Sanak saudara tak ada! Berani tak berani mesti aku beranikan."
"Sungguh amat payah itu!" kata Darwis. "Sebenarnya aku hendak menemani
engkau disini, tetapi aku takut engkau tiada percaya kepadaku!"
Habis perkataannya itu, Darwis menjeling Laminah; tahu ia, bahwa
perkataannya itu sampai ke tempat yang ditujunya.
Perawan yang tiada berdosa itu tiada menjawab.
Dari dahulu tahu ia, bahwa Darwis baik hati dan suka menolong dan
membantunya, sehingga sedikitpun tak heran ia mendengar perkataan yang manismanis itu.
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampai sekarang dipandangnya keramahan yang timbul dari perasaan
persaudaraan. Tiada sekali-kali terpikir olehnya bahwa dibelakang sopan-santun
dan kebaikan itu berdiri singa yang ganas dengan kukunya yang runcing dan
saingnya yang tajam, yang setiap waktu menantikan saat yang baik akan menerkam
mangsanya. O, sungguh banyak mati kerbau oleh rumput muda dan semut oleh manisan!
"Ah, baiklah jangan!" jawab Laminah tiba-tiba. "Tetapi jangan pula engkau
salah sangka; bukan aku tiada percaya, o, jauh sekali dari itu! Tetapi pada
perasaanku tak baik rupanya dipandang orang. Cobalah pikir: adakah seorang lakilaki muda menemui seorang anak gadis" Amat sumbang itu pada mata orang banyak.
Jadi, biarkanlah aku tinggal sendiri saja disini!"
Semuanya yang dikatakan Laminah itu keluar dari sanubarinya yang jernih.
Kalau ia tiada takut ada sindiran orang, mengapakah pula ia tiada mau ditemani"
Bahkan, hendak ia mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan hati itu.
Darwis amat bersukacita mendengar jawaban itu. Sekarang anak perawan itu
telah dalam tangannya; sedikit saja dikatakannya dan......Laminah takkan
membantah lagi. "Pikiranmu itu benar! ujar Darwis, sambil ia memain-mainkan tangannya.
"Engkau sebagai seorang perawan harus menjaga namamu.
Tetapi engkau lupa, bahwa aku, sebagai kenalan, ya, boleh kukatakan,
sebagai saudara amat sia-sia, kalau aku biarkan engkau seorang diri di rumah
ini. Tidak Laminah! Itu tidak mungkin. Sekarang aku tahu suatu akal. Nanti kalau
hari telah malam aku kembali kemari diam-diam, sehingga tak tahu orang, bahwa
aku mengawani engkau......
Seketika berhenti ia menunggu jawab Laminah. Tetapi setelah dilihatnya,
bahwa Laminah takkan menjawab, terus ia berkata: "O, tidak! Tak boleh aku
biarkan engkau tinggal seorang diri disini. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas
dirimu" Bukankah malu aku sebagai temanmu dan teman saudaramu" Tidak! Tidak! Itu
tidak boleh; aku wajib menjaga keselamatanmu...Tetapi sekarang baiklah aku pergi
dahulu dari sini, supaya orang jangan salah sangka " Nah! Laminah nanti aku
kembali lagi!" Habis perkataannya, Darwis menjauhkan diri. Sukacitanya lebih-lebih dari
sukacita seorang pahlawan yang pulang dari padang kemenangan. Kini telah sampai
maksudnya; tak ada lagi yang dapat mengalangi cita-citanya.
Sekonyong-konyong teringat ia akan Malik. Bagaimanakah kalau ia kelak
datang pula ke rumah Laminah" Tetapi...itu tidak mungkin. Bukankah tadi katanya,
bahwa ia besok baru akan pergi kesana.
Ah, meskipun ia datang sekalipun, apakah yang ditakutkannya. Ia seorang
laki-laki dan mengadu kekuatan dengan orang seperti Malik sedikitpun tiada
menggentarkannya. O, tidak! Sekali ini mangsanya itu tidak akan dilepaskannya! Lebih suka
lagi ia melepaskan jiwanya.
Menunggu-nunggu hari malam ia berjalan-jalan kesana-kemari, tetapi
pikirannya tiada beralih-alih dari rumah kecil dibalik benteng itu.
Beberapa lamanya Laminah memikirkan jasa Darwis kepadanya; takkan terbalas
olehnya kebaikan itu. Dari bersama-sama bekerja di toko roti itu dahulu telah
dikecapnya sifat penyayang dan penolong itu.
Bagaimanakah pula ia dapat
menemaninya" Sebenar-benarnya ia
itu. Siapa tahu, kalau-kalau ada
Betapa besarnya kekuatan seorang
mencegah bujang teruna yang baik hati itu
tiada berani sendiri di rumah yang terpencil
orang yang hendak berbuat jahat atas dirinya!
perempuan" Sesudah itu mulai lagi ia terkenang akan saudaranya dan akan nasibnya yang
celaka. Air matanyapun mulai pula berhamburan, tiada tertahan...
Kira-kira pukul delapan malam Laminah membukakan Darwis pintu; berbagai
buah-buahan dan makanan dibawanya.
Sesudah ia duduk katanya: "Makanlah ini, Laminah! Semuanya ini sengaja aku
bawa untukmu, sebab aku tahu, bahwa engkau dari pagi tadi tak makan sedikit
juapun." Mendengar itu barulah teringat Laminah, bahwa sehari-harian ini tak lain
kerjanya dari menangis. Dicobanya memakan pembawaan Darwis itu, tetapi dengan segera berhenti ia,
sebab sedikitpun tak ada seleranya.
"Ah, Darwis!" keluhnya, "payah saja engkau membawa penganan ini. Entahlah,
perutku rupa-rupanya tak mau menerima sesuatu apa."
"O, kalau seleramu sekarang masih tertutup," sahut Darwis, "simpanlah
dahulu semuanya itu; barangkali kelak terbit laparmu. Sebenarnya tiada baik
berperut kosong, tetapi, jika tak dapat engkau makan, apa boleh buat. Apakah
gunanya kalau semuanya nanti engkau muntahkan kembali."
Laminah tiada menjawab sedikit juapun; disimpannya semuanya dan ia pun
berkata: "Aku amat letih sekarang, dan barangkali sebaik-baiknya aku tidur
sekejap untuk melupakan kemalanganku."
Iapun membawa bantal dan tikar untuk tempat tidur Darwis dan sudah itu
masuk ia ke dalam kamar akan merebahkan dirinya.
Sebanarnya bukan ia hendak tidur, tetapi hendak mengasingkan dirinya.
Bukankah orang dalam duka-nestapa itu tiada suka berbaur dengan orang
lain" Bilik tempat Laminah tidur itu cukup benar untuk ia seorang. Mansur
biasanya tidur di tempat Darwis sekarang. Pintu kamar itu tiada dapat dikunci
dari dalam tiap-tiap malam, kalau Laminah hendak tidur dikatupkannya saja daun
pintu itu. Demikian juga malam ini. Beberapa lamanya gadis itu terbaring di tempat tidurnya, tetapi matanya
tak dapat dipicingkannya sekejap juapun. Selalu saja teringat ia akan
saudaranya" "Bagaimanakah halnya sekarang" Dimanakah tidurnya" Apakah ia diberi
orang makan tadi" Tentu ia agaknya gusar memikirkan adiknya tinggal
sendirian...!" Syahdan tersebutlah Malik yang beberapa lamanya menantikan temannya
pulang, sebab biasanya orang berdua bersahabat itu bercakap-cakap dan berjalanjalan dahulu sebelum tidur.
Kini hari telah hampir larut mala dan Darwis belum jua kembali. Kemanakah
gerangan ia pergi" Mengapakah ia berjalan sekali ini diam-diam, tak berkata-kata
dan tak mengajak karibnya"
Tiba-tiba terkenang Malik akan percakapannya dengan Darwis siang tadi.
Bulu romanya berdiri dan hatinya menjadi kecut."
"O, jangan-jangan ia sekarang pergi ke rumah Laminah akan melangsungkan
maksudnya yang rendah," pikirnya dan sendi tulangnya menjadi lemah, seperti
orang yang ketakutan. Beberapa lamanya laki-laki muda itu agak tiada bergerak-gerak; dimukanya
terbayang-bayang Laminah, perawan yang malang itu.
O, alangkah sial nasibnya! Bukan sehari lagi saudaranya dimasukkan orang
dalam penjara dan kini dirinya sendiri diancam oleh bahaya yang mahabesar.
Malik terkenang akan adiknya yang perempuan dikampung. Aduhai, kalau
adiknya itu dibuat orang begitu pula...Ia menekan geramannya, mengepalkan
tinjunya... Tidak! Tidak! Itu tak boleh dibarkan!
Sebagai kilat Malik mengambil bajunya dan dalam sekejap ia telah di jalan
besar. Malam itu amat gelapnya. Langit hitam oleh awan yang tebal dan satu
bintangpun tak ada kelihatan. Udara sunyi-senyap, berat dan jauh sekali dari
sejuk, suatu alamat yang tiada pernah mungkir, bahwa tiada berapa lama lagi akan
turun badai yang amat keras.
Tetapi Malik tak mengindahkan semuanya itu. Pikirannya hanya satu, yaitu:
ia harus memperlindungi perawan muda itu. Siapa sekalipun takkan dapat
mengalanginya, usahkan mencegah. Sebagai suatu petunjuk Ilahi terasa olehnya
sampai ke sumsum, sampai ke hati kecil, bahwa ia pada waktu itu harus dekat
Laminah, harus dekat gadis yang suci dan yang tiada berdosa itu akan membela.
Malik berjalan amat cepatnya; batu-batu yang tajam di jalan sedikirpun tak
dipedulikannya, seolah-olah kakinya dari karet, bukan dari daging, yang tahu
merasa sakit. Dengan hal yang demikian sampailah ia ke rumah kecil dibalik benteng
"Marlborough." Pintu muka terbuka dan dari dalam keluar cahaya pelita minyak
tanah yang keluar. Malik tak berpikir panang lagi; dengan segera masuk ia
kedalam, terus ke bilik dan ke dapur. Beberapa kali ia keluar-masuk, seperti
orang gila yang tak tahu apa yang dikerjakannya. Sebentar pergi ia kedalam
kamar, diangkat dan dibaliknya kasur, tikar dan selimut. Heran ia melihat
mengapakah sekaliannya itu berserak simpang-siur seakan-akan orang baru
berkelahi diatasnya. Sebentar lagi pergi ia ke dapur membawa pelita dan
diperiksanya tiap-tiap sudut, kalau-kalau ada orang bersembunyi disana.
Demikianlah beberapa lamanya ia mencari Laminah, tetapi sia-sia belaka.
Keputusan akal berlari ia setengah jalan; disana tegak ia tiada bergerak-gerak
seperti patung. Kemanakah gerangan perawan muda itu" Mengapakah maka rumah itu tinggal
terbuka dan kusut masai" Dan kemanakah pula perginya Darwis" Tidak, ia pasti
disini tadi! Tetapi kemanakah dibawanya sekarang gadis yang lemah, yang tiada
berdaya itu" Malik tiada malam sekejap itu bahwa Laminah tak tetapi kini lebih percaya akan dirinya. Bermimpikah ia" Digosoknya matanya dan
juga ia berlari masuk rumah kecil itu kembali. Tak percaya ia,
ada disana. Semuanya diperiksanya pula sebagai sebermula,
tenang dan teliti dari tadi.
Beberapa lama antaranya ia keluar pula. Sungguh rumah itu kosong, sebenarbenarnya kosong!
Sementara itu telah turun angin topan yang amat mendahsyatkan, seolah-olah
hendak memusnahkannya sekalian yang hidup dan tumbuh di muka bumi ini. Batangbatang kayu yang menderu-deru, sebentar seperti orang tertawa. Dari laut
kedengaran bunyi ombak berderum-derum, laksana tempik-sorak bala tentara iblis
dan setan yang menakutkan dan menecilkan hati.
Tetapi Malik sedikitpun tak merasa ngeri. Ditinggalkannya rumah kosong itu
dan ia pergi menuju ke pelabuhan. Di sebelah kiri tegak benteng "Marlborough",
hitam dan tegap seolah-olah bukit batu yang besar, yang tak ditumbuhi satu
apapun. Di sebelah kanan terbentang tanah lapang rumput yang lebat sampai ke
tapak Paderi. Sekonyong-konyong sekaliannya itu terang-cuaca oleh kilat. Semuanya yang
tadi diselimuti oleh gelap-gulita, kini tampai terang hampir-hampir seperti pada
siang hari. Malik terkejut dan dengan tiada diketahuinya ia berhenti. Apakah yang
dilihatnya keputih-putihan dalam cuaca sekejap tadi itu dekat tapak Paderi"
Manusia atau jin atau hantukah"....
Angin badai berciut-ciut mengembus pohon-pohon yang tumbnuh di tepi jalan,
seolah-olah suara manusia minta tolong......
Bujang muda itu melompat dan sebagai anak panah lepas dari busurnya
berlari ia menuju ke arah bayang-bayang yang tampak olehnya dalam kilat tadi
itu. Dalam kalbunya masuk suatu sangka yang makin lama makin keras, sehingga
lupa ia akan gelap gulita malam, akan angin topan dan akan kesunyian Tapak
Paderi. Sekonyong-konyong sekaliannya itu terang-cuaca oleh kilat. Semuanya yang
tadi diselimuti oleh gelap-gulitaeakini tampak terang hampir-hampir seperti pada
siang hari. Malik terkejut dan dengan tiada diketahuinya ia berhenti. Apakah yang
dilihatnya keputih-putihan dalam cuaca sekejap tadi itu dekat tapak Paderi"
Manusia atau jin atau hantukah"....
Angin badai berciut-ciut mengembus pohon-pohon yang tumbuh di tepi jalan,
seolah-olah suara manusia minta tolong....
Bujang muda itu melompat dan sebagai anak panah lepas dari busurnya
berlari ia menuju ke arah bayang-bayang yang tampak olehnya dalam kilat tadi
itu. Dalam kalbunya masuk suatu sangka yang makin lama makin keras, sehingga
lupa ia akan gelap gulita malam, akan angin topan dan akan kesunyian Tapak
Paderi. Dimukanya terlihat-lihat olehnya Laminah, gadis yang sial, yang tak
putus dirundung malang itu...
Sesungguhnya sangka Malik itu tak salah. Bayang-bayang putih yang
dilihatnya tadi itu sebenarnya Laminah, yang berjalan tergesa-gesa menuju ke
tapak Paderi, tak melihat ke kiri ke kanan dan tak mengindahkan satu apapun
seolah-olah ia dimasuki oleh suatu kekuatan yang tak dapat dilawannya. Dalam
gelap-gulita dan angin topan yang mendahsyatkan itu tak ubah rupanya seperti
hantu yang pulang ke kuburan. Baju, kain dan rambutnya yang terurai melayang ke
kiri ke kanan ditiup oleh angin. Ia melangkah tegap dan tetap, jauh sekali
berlainan dengan perawan muda-teruna yang lembut, pengasih dan penyayang yang
kita kenali. Bunyi pohon-pohon kayu diadu oleh badai yang besar itu sedikitpun
tak diindahkannya; badannya laksana ditarik oleh nyanyian iblis laut yang
mahadahsyat dan mahakuasa dengan kesaktian yang tak ada bandingnya. Bertambah
dekat ia pada tempat yang ditujunya, bertambah lekas ia berjalan. Terus, terus
ia mendudu, makin lama makin tiada dapat ditahan....
Tiba di tepi tapak yang penuh iblis dan setan itu berhenti ia sebentar,
sebab dimukanya terlihat olehnya bayang-bayang Mansur, saudaranya mengembangkan
kedua belah tangan mencegah ia mengerjakan pekerjaan yang ngeri itu.
Laminah surut beberapa langkah.
Digosoknya matanya dan diamat-amatinya kelilingnya. Bayang-bayang kakaknya
hilang-lenyap, tiada tahu ia kemana perginya.
Apakah maknanya ini"
Teringat ia akan saudaranya yang amat dikasihinya itu. Apakah katanya
nanti, kalau didengarnya adiknya telah tak ada lagi"
Memikirkan hal itu Laminah menjadi kecut. Tiada sampai hatinya melukakan
hati saudaranya serupa itu! Iapun duduk diatas rumput dan air matanya bercucuran
. Tetapi bagaimanakah ia akan menentang mata saudaranyaeayang senantiasa
memandangnya dengan kepercayaan yang tiada berhingga" Malu ia kepada dirinya
sendiri memikirkan bencana yang telah menimpanya. Rasa hilang bumi tempat ia
berpijak. Sekonyong-konyong terkejut Laminah oleh bunyi yang menyamai tagar
dilangit. Tanah tempat ia berdiri itu gegar seakan-akan hendak runtuh dan pada
ketika itu juga badannya basah kuyup oleh air asin yang terambung dari bawah.
Laut gemuruh itu tiada tertahan lagi menunggu mangsanya....
Laminah berdiri kembali. Pada ketika itu juga terdengar olehnya
dibelakangnya bunyi langkah orang tergopoh-gopoh dan suara orang meneriakkan
namanya. Ia tiada berpikir panjang lagi.
O, tidak, tiada berani ia bertemu dengan saudaranya....
Seperti seorang pahlawan yang mahaperkasa menyeburkan dirinya ditengahtengah musuh, perawan yang putus asa itu melompat ke dalam laut yang bergelora.
Air berkuak dan...Laminah lenyap kedalam beberapa lamanya.
Seketika ia timbul kembali.
Lautan yang tiada berbatas itu terang-benderang oleh kilat. Muka Laminah
tampak seperti muka seorang yang telah berpuluh-puluh musim mendaki gunung dan
sekarang baru sampai dipuncaknya.
Dengan tempik-sorak kemenangan datang ombak yang tinggi melata dari tengah
memukul gadis yang malang itu ke tebing, hancur-luluh...
Di tepi tegak Malik tiada bergerak-gerak, seolah-olah badannya menjadi
batu melihat yang terjadi dalam sekejap itu....
Angin reda dan hujan turun bercucuran seperti air mata bidadari dari
langit... Tetapi ombak belum juga berhenti memukul tebing, seakan-akan mangsa
seorang itu belum cukup untuknya!
"Kucing nasib" telah menjatuhkan pukulannya yang penghabisan.
10. PENUTUP Lima belas tahun kemudian.
Hari parak siang. Negeri Bengkulu lagi sunyi-senyap, laksana seorang dewi yang masih tidur
lelap. Disebelah timur langit telah mulai keungu-unguan suatu tanda kepada
sekalian makhluk, bahwa raja siang akan memperlihatkan wajahnya yang berseriseri dan yang tiada dapat dipandang nyata. Bintang dilangit makin berkurang satu
per satu menyembunyikan dirinya seakan-akan malu mereka memperlihatkan cahayanya
yang kabur kepada matahari. Angin daratan berembus lemah-lembut membawa udara
yang jernih dan sejuk dari gunung yang ke hitam-hitaman, gunung yang seperti
buta besar dan mahakuasa, duduk bersela.
Di pelabuhan berkelip-kelip dua buah lentera, satu merah dan satu biru,
pedoman kepada kapal-kapal yang berlayar di lautan dalam gelap-gulita malam.
Dari jauh kelihatan pula sebentar-sebentar lentera laut pulau Tikus, seperti
kunang-kunang yang menjaga kerajaan Nyai Roro Kidul yang tiada berhingga itu.
Di pantai ombak memecah berderu-deru, tiada berhenti-henti, se-akan-akan
belum puas hatinya, kalau tapak-tapak itu belum runtuh.
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kokok ayam berbalas-balasan dan disana-sini telah kedengaran bunyi-bunyi
burung membangunkan temannya.
Di pelabuhan telah tampak beberapa pegawai hilir mudik, sebab sebentar
lagi akan tiba kapal dari Betawi. Anak-anak perahu duduk berkumpul-kumpul sambil
bercakap-cakap; masing-masing berkelumun kain oleh kedinginan dan sebentarsebentar membubung asap yang tebal dari mulutnya yang menggugam rokok daun nipah
itu. Lautan Bengkulu yang kemana-mana termasyhur buruknya, sekali ini amat
tenang, tiada bedanya dengan sebuah tasik yang permai; perahu-perahu yang
tertambat di tepi hampir tiada bergerak-gerak.
Sebentar-sebentar mendengung pilu, dan mengibakan hati dendang tukang jaga
lentera di muka air itu menyadar untungnya.
O, alangkah dalamnya meresap nyanyian pada waktu subuh serupa itu!
Jauh di tepi langit kelihatan antara nampak dengan tidak, cahaya lentera
sebesar titik, alamat sebuah kapal menghala ke pelabuhan Bengkulu. Noda cahaya
itu bertambah lama bertambah besar dan nyata.
Anak perahu bersiap dan tiada lama antaranya bertolak-lah mereka meng-eluelukan raja lautan itu; sorak tempiknya memenuhi udara, seakan-akan bangkit
gembiranya menelan udara laut yang amat sejuk itu.
Kira-kira sejam lamanya sampailah kapal di pelabuhan dan sauh pun
dijatuhkan oranglah. Dengan jelas dan tangkas anak-anak perahu bersilekas
memanjat tali-temali, berlumba-lumba siapa yang banyak sekali mendapat
penumpang. Gemuruh suara mereka itu berebut-rebut, ditambahi pula dengan hirukpikuk materos-materos mengangkat balok-balok dan menepikan terpal. Tengah hirukpikuk itu tiba bunyi mesin, seakan-akan semuanya itu masih kurang ribut.
Sementara itu hari telah siang. Matahari kelihatan rendah disebelah timur
seperti nyiru emas yang berkilau-kilauan dan diapit oleh awan puspa warna.
Benteng "Marlborough" yang kukuh itu, seolah-olah orang pertapa yang tahu
dan insaf akan harga dirinya dan tiada mau mencampuri perkara dunia, sebab ia
maklum, bahwa semuanya itu kecil dan picik dan tiada bersepadanan dengan
derajatnya. Air laut biru tua dan amat jernih. Ombak berkejar-kejaran menuju ke tapak,
makin dekat makin besar. Gegap dan mendahsyatkan bunyinya memukul tebing,
seolah-olah akan meruntuhkan. Air yang segar dan jernih itupun bercerai-berai
melanting ke segenap penjuru dan jatuh lagi menjadi buih yang keputih-putihan.
Demikianlah berulang-ulang, tiada kunjung berhenti.
Disebelah utara membentang Bukit Barisan, laksana laskar raksasa yang
tiada dapat dikalahkan. Gunung Bungkuk tegak seperti hulubalang dalam hikayat
tua-tua, penuh kepercayaan, sakti dan tahu akan tipu-muslihat perang, menantikan
musuhnya datang. Mega, yang menyelubungi kepala mereka itu dan yang kena sinar
matahari emas urai, memberi suatu tamasya yang indah dan tak mudah luput dari
kenangan. Di tangga kapal orang tiada berhenti turun-naik menurunkan barang-barang
ke perahu. Hari amat baik dan lautpun amat tenang untuk pelabuhan Bengkulu.
Sungguhpun demikian sekoci-sekoci tiada jemah tetap oleh alun yang besar-besar,
sebentar terambang tinggi dan sebentar lagi hilang ditengah-tengah gelombang.
Anak-anak perahu telah biasa akan semuanya itu. Dengan tangkasnya mereka
melompat dari perahu ke tangga dan dari tangga ke perahu, seakan-akan mereka di
daratan. Orang asing pasti takjub melihat ketangkasan yang tak ada bandingannya
itu. Di dek hiruk mesin pengangkat barang memuat perahu-perahu K.P.M. yang
besar-besar dan kukuh-kukuh itu. Seorang-orang putih tiada berhenti menuliskan
sekalian barang-barang yang diturunkan dan sebentar-sebentar ia menghardik dan
mencegah materos-materos yang bekerja dekatnya dengan muka yang merah dan penuh
keringat. Di tempat-tempat yang lain berbaringan penumpang, berimpit-impitan oleh
kesesakan, sedikit pun tak teratur. Yang mabuk bergulingan juga dan muntah tiada
putus-putus. Yang segar bergurau, dan seketika terbahak-bahak, seperti hendak
memecahkan anak telinga. Ditengah kacau-balau dan hiruk-pikuk itu berjalan hilir-mudik kapitan
kapal melihat-lihat menjaga keamanan dalam daerahnya.
Tetapi, siapakah yang termenung diburitan itu" Rasa-rasanya ada kita
bertemu dengan orang serupa itu dahulu. Pakaiannya pakaian kelasi. Ia bersandar
pada terali dan tangan kanannya yang besar dan penuh bulu roma itu menopang
dagunya. Mukanya lebar dan kehitam-hitaman dan dari jauh telah kelihatan
membenteng alis yang lebat seolah-olah dua buah bulan sabit. Diatas bibirnya
melentik kumis seperti ijuk enau. Perawakannya pendek dan bidang dan sekali
lihat saja telah kita tahu kita, bahwa ia kuat dan tiada dapat dipermainmainkan.
Tetapi alangkah lembut dan tenang yojana matanya, itu, seakan-akan tiada
berpadanan dengan badannya yang kukuh dan sigap!
Mengapakah tiada putusnya ia membenang ke daratan melihat Tapak Paderi dan
gudang-gudang yang kemerah-merahan kena cahaya matahari itu"
Dan apakah gerangan yang memilukan hatinya maka ia sebentar-sebentar
menunduk dan menghapus air matanya yang berlinang-linang
O, ya, itulah Mansur, saudara Laminah dahulu.
Alangkah banyak perubahannya dalam lima belas tahun ini. Sekarang ia telah
menjadi laki-laki yang telah berumur lebih dari tiga puluh tahun dan sekarang
telah tahu isi liku-liku dan kelik-kelik jalan hidup didunia ini. Kilat dan
petus ya, apa yang belum ditemuinya selama ia hidup....
Lima hari setelah Laminah terjun ke laut, di Tapak Paderi, Mansur
dilepaskan orang dari tahanan, sebab pencuri uang orang Jepang itu yang
sebenarnya dapat ditangkap. Setiba dirumah dan mendengar cerita orang dari hal
kelenyapan adiknya, anak yang malang itu hampir ia gila oleh kehilangan akal.
Beberapa hari ia termangu-mangu saja, seperti orang yang tiada berjiwa lagi.
Tiada ia makan-makan, tiada ia bercakap-cakap dan tiada ia bergerak-gerak.
Matanya bakup, mukanya pucat dan badannya kurus seperti orang yang baru sembuh
dari sakit berbulan-blan.
Pada suatu hari berserak berita di negeri Bengkulu, bahwa tukang kali di
Pondok Besi mendapat mayat seorang perempuan yang telah busuk.
Pergi ia kesana melihat; mayat itu tiada dapat dikenali lagi, tetapi
hatinya bulat mengatakan itu mayat adiknya.
Berhari-hari ia memikirkan apakah sebabnya maka Laminah sampai ke
laut...ddtetapi sia-sia belaka. Hanya Malik yang tahu akan hal itu, tetapi ia
tak pernah membuka mulutnya, sebab takut ia akan terbawa-bawa. Dengan hal yang
demikian rahasia kegaiban yang sedih itu selama-lamanya tersembunyi, tak
diketahui manusia. Ah, bukankah di dunia ini banyak benar kesedihan dan dukacita yang
tersuruk, yang tak tampak oleh pergaulan, yang tak sampai di neraca keadilan.
Beberapa kali timbul dihatinya niat yang buruk hendak membunuh diri,
sebabnya apakah gunanya ia hidup lagi, sebatang kara, tiada beribu, tiada
berbapa dan tiada pula bersaudara. Tetapi selalu ia akan mengerjakan pekerjaan
yang ngeri itu terpikir olehnya, bahwa mati yang serupa itu mati fasik, mati
orang yang tiada bertuhan.
Dengan hal yang demikian bangkitlah hasrat hatinya hendak meninggalkan
negeri Bengkulu akan menempuh lautan yang lebar. Apakah ditunggunya disini"
Terlalu banyak kenang-kenangan yang merusakkan hatinya.
Demikianlah asalnya ia menjadi kelasi kapal.
Sekarang telah lebih dari lima belas tahun ia berlayar mengelilingi
kepulauan Hindia yang kaya dan makmur ini. Dan dalam lima belas tahun itu ia
senantiasa seperti orang berkhalwat. Teman atau karibnya tak ada dan kelasikelasi yang lain itu tiada dipedulikannya. Selalu kalau telah habis pekerjaannya
ia menjauhkan diri, seolah-olah tiada mau ia berdekatan dengan manusia. Suaranya
jarang didengar orang' sat patah perkataannya seakan-akan berharga berpuluhpuluh rupiah. Kalau tak ada keperluan ia tiada membuka mulut. Mukanya keras dan
mati seperti patung, tiada pernah berubah-ubah, tak dapat menerka atau menduga
apa yang mendebur di dadanya.
Mula-mula dahulu heran materos-materos yang lain melihat perangainya yang
ganjil itu, tetapi lambat bangat keheranan itu hilang.
Ah, bukankah lekas benar manusia ini biasa akan sesuatu"
Tahu mereka, bahwa ia tiada hendak berjinak-jinakkan dan mereka pun
tiadalah mendekat-dekatinya.
Mansur digelarkan orang "kerbau jarang". Gelaran itu sangat berpandanan
padanya menilik pada kekukuhan badannya dan pekertinya yang ganjil dan tiap-tiap
kapalpun tahu, siapa yang dimaksud dengan nama itu.
Ketika ia baru menjadi kelasi dahulu, sering ia diusik dan ditertawatawakan orang, tetapi sekali diperlihatkannya kekuatannya dan sejak itu ia tahu
orang, bahwa ia tiada boleh dipermudah-mudah.
Demikianlah hidup Mansur bertahun-tahun.
Tiada pernah ia menyertai pekerjaan materos-materos yang lain, seolah-olah
benci ia akan kenakalan dan keganasan orang laut yang tak semena-mena itu.
Pegawai kapal yang tinggi amat sayang padanya, sebab ia senantiasa bekerja
berhati-hati dan tiada sekali juga mengerjakan pekerjaan yang tiada senonoh.
Dalam hatinya Mansur selalu terkenang akan Laminah dan akan keraibannya
yang ajaib. Berapa lama telah dicobanya akan melupakan semuanya itu, tapi siasia belaka. Bayang-bayang adiknya, seolah-olah setiap ketika menurutnya kemanamana sekalipun. Dengan hal yang demikian timbullah lambat-laun di sanubarinya
suatu kasad yang makin sehari makin teguh, yaitu: kalau ia mati ia hendak
berkubur bersama-sama dengan adiknya yang dicintainya di dalam lautan yang tiada
berhingga. Inilah pula sebabnya maka ia lima belas tahun tiada jemu-jemu menjadi
kelasi kapal. Tiap-tiap hari ditunggunya putus nyawanya dan dilemparkan orang ke
dalam laut. Sebabnya, apakah dinanti-nantinya lagi di negeri yang fana ini"
Ayah-bunda dan adiknya telah mendahuluinya berpindah ke negeri yang baka.
Akan dikecapnyakah berpindah sekalian nikmat dan kemanisan madu di dunia ini"
Tidak! Tiada terima olehnya! Sejak Laminah tak ada lagi, semuanya itu telah
diharamkannya dan ia telah bersumpah pada dirinya akan menurut mereka itu di
jalan "derita dan kesengsaraan."
Tetapi seperti sekalian di muka bumi ini, tiap-tiap yang ditunggu-tunggu
dan diharap-harap, lambat tibanya dan yang tak disangka-sangka atau dimimpimimpikan terjadi dengan sekejap.
Sementara itu raksasa "waktu" terus juga berjalan dan penderitaan
Mansurpun tiada juga kunjung-kunjung berhenti. Allah saja yang mengetahui
bagaimana ia hasrat sebangat-bangatnya akan kedatangan hari ia mengatakan
selamat tinggal kepada sekalian isi dunia, akan kedatangan hari ia menurut ibubapanya dan adiknya yang dikasihinya di negeri ruh dan arwah...
Mansur telah lebih dari tiga tahun tiada melihat-lihat negeri Bengkulu,
sebab kapal yang diturutnya itu selama ini harus berlayar pulang balik ke pulaupulau Sunda Kecil. Tetapi sejak minggu ini ia mulai lagi menyisir pantai barat
pulau Sumatera. Hal ini bukan main membesarkan hati Mansur. Tiada terkata-kata
rindunya pada negeri tempat perceraiannya dengan adiknya itu. Sejak dari kemarin
meninggalkan Krui, hatinya tiada tentu lagi. Segala pekerjaannya tiada menjadi,
sebab pikirannya tiada tetap. Sebentar-sebentar terbayang combayang dimukanya
Laminah, adiknya yang lembut dan penyayang itu. Iba hatinya tiada tertahan-tahan
dan badannya seolah-olah tiada bergaya lagi.
Semalam ia minta permisi, sebab katanya ia hendak melihat-lihat negeri
kecilnya, yang telah lima belas tahun ditinggalkannya itu. Segala pegawaipegawai kapal yang tinggi tahu, bahwa ia seorang yang rajin dan oleh sabab
itulah kehendaknya itu dengan mudah didapatnya. Tetapi sejak kapal berlabuh
tadi, hilang sekalian nafsunya hendak turun ke daratan menengok-nengok.
Siapakah yang akan ditemuinya disana, pikirnya dalam hatinya. Lebih
baiklah ia tinggal di kapal daripada membangkit-bangkit kenang-kenangan yang
memilukan. Inilah sebabnyaeamaka kita temui ia sekarang diburitan, bersandar di
terali sambil bertongkat tuas. Ia memandang ke daratan, ke negeri Bengkulu dan
ke gunung-gunung yang kebiru-biruan.
Lupa ia akan sekelilingnya dan lupa ia akan hidupnya dalam beberapa tahun
yang akhir ini. Di matanya terbentang masa kecilnya. Nampak olehnya negeri Ketahun dan
sungai yang lebar itu, nampak olehnya kubur ayah-bundanya yang sepi dan sunyisenyap di rimba api-api dan nampak olehnya rumah uncu Jepisah di kampung
Terendam. Rasa-rasa didengarnya lagi suara Madang yang ganas dan kejam itu
memarahi dan memaki-maki dia dua beradik; terlihat-lihat olehnya hari yang
penghabisan ia di Ketahun, ketika Madang memukul adiknya. Laminah, anak yang
tiada berdaya itu, sampai pingsan. Alangkah baiknya datuk Halim dan andung
Saripah! Tiadakah terbalas kasih orang dua suami istri itu olehnya. Entah
kemanakah, entah telah berpulangkah agaknya orang tua berdua yang saleh lagi
berbakti itu! Mansur memandang seketika ke langit dan dimintanya kepada Allah,
supaya mereka yang pengasih dan penyayang itu dilindunginya.
Terkenang pula ia akan Marzuki. Telah sebesar siapakah ia sekarang" Dan
apakah kabar Jepisah, uncunya yang baik hati itu" Rupa-rupanya percampuran ia
bertiga malam dahulu itu ialah percampuran penghabisan. Sudah itu teringat pula
ia akan mamak Palikeaorang tani yang sejati itu, dan akan sekalian petuanya.
"Ah, kalau begitu banyak juga orang yang budiman dan dermawan di muka bumi
ini," pikir Mansur. Penghidupannya berdua beradik di Bengkulu dahulu mula-mula berbahagia.
Semuanya sederhana dan tokehnya orang yang rendah hati. Tetapi sejak Sarmin,
bekas kuli kontrak itu, datang mulailah lagi ia berdua masuk "genggaman" nasib
yang celaka. Tiba kepada kelenyapan Laminah, Mansur tiada dapat lagi menahan air
matanya. O, alangkah malang adiknya itu dulu! Tiada berhenti-hentinya ia
dikunjungi malapetaka! Lepas yang satu, datang yang lain pula.
Mansur mengeluh: "Ya, Allah, ya Tuhanku, apabilakah Engkau pulangkan aku
ke asalku" Mengapakah maka engkau azab lagi aku lama-lama di neraka hidup ini"
Bukankah telah lama kuserahkan jiwaku kepadamu dan apakah lagi Engkau tunggutunggu; aku telah lama rela."
Demikianlah Mansur termenung berjam-jam lamanya mengenangkan untungnya.
Matahari sekarang telah lewat ubun-ubun dan panasnya seakan-akan hendak membelah
benak. Sementara itu orang terus juga bekerja. Sekalian barang-barang yang harus
diturunkan telah tiba di daratan dan barang yang akan dinaikkan-pun tinggal
tiada seberapa lagi. Penumpang-penumpang yang akan pergi ke Padang telah di
kapal semuanya. Disebelah barat dengan tiada diketahui berkumpul-kumpul awan yang tebal
dan hitam. Anginpun bertambah lama bertambah kuat. Laut yang pagi tadi tenang,
sekarang bukan main geloranya dan disana-sini kelihatan bunga ombak yang
keputih-putihan. Orang yang biasa di laut telah tahu akan arti semua tanda-tanda
itu: tiada lama lagi tetap akan badai yang amat sangat.
Kapal yang besar dan kuku itu makin lama makin oleng dan perahu-perahu
taklah banyak ubahnya dengan tempurung yang kosong, hilang-timbul ditengahtengah ombak yang makin lama makin besar. Di dek orang bergulingan dan sebentarsebentar kedengaran bunyi yang muntah.
Kira-kira pukul dua Mansur dipanggil orang sebab permisinya habis.
Sekarang ia harus menolong materos-materos lain memasang terpal untuk melindungi
pesisir-pesisir dari pada hujan dan panas. Lekas ia memanjat keatas dan mulai
sekali bekerja. Tetapi pikirannya tiada tentu, sebentar-sebentar ia berhenti dan
termenung. Demikianlah beberapa lamanya.
Peluit kapal berbunyi ketiga kali dan baling-baling pun berputarlah.
Negeri Bengkulu makin lama makin jauh.
Mansur seakan-akan tiada bergaya lagi, mukanya pucat, air matanya
berlinang-linang dan hatinya berdebar-debar.
Akan ditinggalkannyakah negeri Bengkulu"
Mengapakah hatinya berat sekali ini, seakan-akan tiada tertinggalkan
olehnya" Mengapakah bayang-bayang Laminah tiada hendak lenyap dari matanya dan
mengapakah terasa olehnya seolah-olah ada yang menariknya, yang menahan ia
menurut kapal api itu"
Dengan segala tenaganya dikeraskannya hatinya. Digigitnya bibirnya dan
iapun terus bekerja. Tetapi sebentar lagi tiba-tiba lemah badannya dan
penglihatannya bertambah lama bertambah kabur. Tempat ia berjejak seolah-olah
hilang, lenyap...ddMansur, laki-laki yang kukuh tegap itu rebah,
jatuh...Materos-materos lain segera mengejar hendak menolongnya, tetapi...siasia belaka, sebab ia terguling-guling dan jatuh ke laut.
Seketika mereka diam, tiada dapat mengeluarkan sepatah kata juapun dan
menunduk ke air, ke ombak yang tinggi-tinggi. Masing-masing heran, tiada
mengerti segala yang terjadi dalam sekejap itu...
Insaf, mereka berteriak sekuat-kuatnya dan tiada berapa lama antaranya
kapalpun berhentilah. Sekoci dan apung-apung diturunkan.
Lebih dari setengah jam orang mencari Mansur.
Sekoci-sekoci terambung-ambung di gelombang, seakan-akan hendak karam,
mengerikan siapa yang melihat. Tetapi semua usaha sia-sia. Sekarang kapitan
kapal memberi perintah meneruskan pelayaran.
Kapal terus menuju ke Padang, seperti tak ada yang kejadian. Hanya disanasini, di sudut-sudut orang mempercakapkan jatuh dan hilangnya Mansur yang ajaib
itu. Seorang mengatakan ia sakit sawan dan sial benar ia menjadi bajak laut.
Seorang lagi menyangka ia demam panas dan yang ketiga menerka, bahwa ia telah
beberapa hari tiada makan, sehingga badannya amat lemah.
Demikianlah masing-masing mencoba mengeluarkan pikirannya tentang masalah
yang gelap itu. Tetapi, bagaimana juga mereka mencoba menerka-nerka, masalah itu tinggal
gelap juga, gelap untuk selama-lamanya.
Tiada ada orang yang tahu apa sebabnya Mansur meninggalkan negeri
Bengkulu; tiada ada orang yang tahu apa sebabnya Mansur menjadi kelasi kapal dan
tiada pula ada orang yang tahu apa asal mulanya ia jatuh ke dalam laut....
Hanya Mansur sendiri yang maklum berapa berat beban hidupnya, berapa besar
penderitaannya dan berapa besar rahmat Allah kepadanya, ketika ia lepas akan
menurut ibu-bapanya, dan adiknya ke negeri yang baka.
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amin, amin, summa amin...
Dunia terus berputar pada sumbunya. Sedikitpun tiada terasa olehnya
kehilangan yang kecil, yang "tak sebesar tuma" itu...
Aduh, nasib yang ganas, yang buas, yang tak menaruh
iba-kasihan! Alangkah sampai
hatimu merebut apung-apung
dari orang, yang baru hendak
menyeberang lautan yang penuh
gelora, memadamkan suluh orang
yang hendak menempuh rimba
yang lebat dalam gelap gulita!
Aduh, nasib yang kejam, mengapakah engkau merendahkan
apa yang telah rendah, mematahkan
apa yang telah terkulai"
Dunia ini penuh keajaiban
dan keheranan! Disini orang tak berhenti
dirundung azab-sengsara, di sana orang seolah-olah
diturut oleh kemujuran, keuntungan, kesejahteraan
dan kemuliaan. Pusaka Jala Kawalerang 6 Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak Mencari Bende Mataram 18
teruna itu kebadannya. Laminah mencoba dengan segala kekuatannya hendak
melepaskan dirinya dari pegangan yang erat itu, tetapi sia-sia belaka.
Berapa besarkah kekuatan perempuan dibandingkan dengan kekuatan bekas kuli
kontrak yang biasa bekerja berat itu!
Badan perawan remaja itu tiada bergaya lagi dan diserahkannya semuanya
kepada Allah subhanahu wata'ala.
Sesungguhnya Tuhan berbuat sekehendaknya atas hambanya. Dengan kodrat
iradatnya, maka pada ketika itu tergelincirlah Sarmin, laki-laki yang kukuh dan
tegap itu, di taris batu yang penuh lumut dan licin itu dan jatuh bergulingguling.
Dalam saat itu juga, entah dari mana agaknya, Laminah mendapat tenaganya
kembali dan dengan sekuat-kuatnya direnggutkannya badannya dan iapun
terlepaslah. Melihat mangsanya itu terlepas dari tangannya, hilanglah kenangan manusia
binatang itu; dan buas seperti raja singa yang berhari- hari tiada makan,
diterkamnyalah Laminah yang baru hendak melarikan diri. Dapat ia memegang kaki
anak gadis yang suci itu, tetapi mujurlah, pada ketika itu Laminah berteriak
dengan sekuat-kuatnya minta tolong.
Sarmin terperanjat mendengar teriak itu dan tiada sengaja dilepaskan lagi
kai mangsanya itu. Pada saat itu juga gemuruh bunyi bujang-bujang lain dari dapur berebutrebut masuk ke dalam kamar mandi yang tiada terkunci itu, akan melihat apa yang
terjadi. Telah lama mereka itu mendengar subuk dekat sumur, tetapi pada persangkaan
mereka tiada apa-apa dan oleh sebab itulah tiada dipedulikannya.
Sekarang dalam sekejap mata saja mengertilah meeka apa yang didengarnya
tadi dan apa sebabnya maka Laminah berteriak. Tetapi seorangpun tak berani
mengeluarkan sepatah perkataan, usahkan membela, sebab takut pada Sarmin, orang
yang bernyawa murah itu. Sarmin berdiri perlahan-lahan dan digigitnya bibirnya, alamat kesal dan
kecewa, sebab maksudnya yang hina itu tiada dapat disampaikannya. Di hati
kecilnya bersumpah ia, bahwa ia belum akan berhenti berusaha, sebelum
kehendaknya itu dilangsungkannya.
"Apa yang dilihat-lihat disini!" teriaknya dengan bengis pada bujang yang
tersenyum-senyum berdiri dekat pintu. "Tak ada yang ditonton, nyahlah kalau
tiada mau merasa tanganku."
Kecut mereka mendengar hardik yang kasar itu dan masing-masingpun pergilah
meneruskan pekerjaannya, sambil tergelak-gelak mempercakapkan yang baru kejadian
itu. Sementara itu Laminah telah lari ke tempat tidurnya. Lekas digantinya
pakaiannya yang koyak dan direbahkannya badannya, sambil menangis.
Amat malu ia memikirkan keaiban yang telah menimpa dirinya itu. Apakah
kata saudaranya nanti kalau didengarnya semuanya yang baru terjadi itu"
Bagaimanakah ia menghapus arang di mukanya"
Sungguh, ia malu memperlihatkan diriny pada manusia.
Pada ketika itu tokeh belum pulang-pulang dari pasar Minggu dan nyonya
duduk di luar bermain-main dengan anaknya yang kecil sekali,
Laminah tiada sekali-kali bermaksud akan mengadukan hal yang terjadi atas
dirinya itu, sebab terpikir olehnya, bahwa semuanya itu tak akan berpaedah
sedikit juga. Lebih baiklah ia diam-diam saja, makin banyak orang tahu makin malu ia.
Keaiban itu sekarang telah terjadi dan tiada dapat diubah lagi. Yang harus
dijaganya ialah hari kemudian. Sebab itu dipastikannya dalam hatinya, bahwa ia
hari itu juga harus meninggalkan toko roti itu.
Kira-kira pukul dua belas pulanglah tokeh dengan Mansur dari pekan. Tiada
dapat, dikatakan bagaimana terperanjatnya Mansur melihat adiknya di tempat tidur
menangis tersedu-sedu. Mukanya basah oleh air mata dan matanya kemerah-merahan.
Seketika Mansur tiada berkata-kata, heran melihat adiknya itu. Tetapi
dengan segera dipegangnya bahu Laminah dan dioyak-oyaknya, seraya berbisik
dengan tergesa-gesa: "Minah, Minah, mengapa engkau" Siapa mengganggumu?"
Laminah tiada menjawab. Melihat saudaranya itu makin keras ia tersedu dan
air matanya bercucuran seperti air hujan.
Mansur makin lama makin gusar. Payah ia memikirkan apakah sebabnya, maka
adiknya menangis serupa itu benar. Beberapa lamanya diulangnya pertanyaan dan
dioyaknya bahu saudaranya itu tetapi Laminah tinggal diam dan tak putus-putus
mencucurkan air mata. Mukanya dibenamkannya ke bantal yang telah basah-lecap dan
sebentar-bentar terlonjak-lonjak badannya oleh sedu sedan yang tiada dapat
ditahan-tahan. Beberapa lamanya Mansur tak tahu apa yang harus dikerjakannya. Duduk ia
disisi Laminah dan dirabanya perlahan-lahan rambut adiknya yang tebal dan hitam
itu. Sebentar-bentar ia berkata dengan suara yang lemah-lembut penuh kecintaan:
"Minah! Mengapakah Minah tak mau menceritakannya kepada kakak" Diamlah dan
hapuslah air matamu! Masakan kakak tak mau menolong. Apakah yang Minah takutkan"
Kalau terus begini, kesudahannya nanti kakak hilang akal. Mari, ceritakanlah
sebenarnya!" Kira-kira seperempat jam lamanya redalah Laminah menangis. Hanya sekali-
kali ia tersedu-sedu. Maka ujarnya: "Malu " Minah diperbuat " bekas kontrak
jahanam itu..." "Si Sarmin?" tanya Mansur dengan nyaring, sambil matanya berputar-putar,
"dipengapakannya engkau tadi?"
Mendengar kata adiknya itu berubahlah muka Mansur. Darahnya seakan-akan
mendidih dan tangannya gemetar. Payah ia menahan amarahnya.
Laminah cemas hatinya melihat kakaknya itu dan terdiam seketika.
"Mengapakah engkau diam?" kata Mansur dengan suara yang parau, "ayuh,
katakanlah semuanya" Apakah yang engkau takutkan" Boleh aku bunuh ia nanti
dengan sewahku ini."
Yang penghabisan ini dikeluarkan Mansur sambil memegang sewahnya disisinya
sebelah kanan. Laminah tak menampak itu dan iapun mulailah menceritakan segala yang
terjadi dari mula sampai akhirnya. Sementara itu payah Mansur menahan marahnya.
Duduknya gelisah seakan-akan ia duduk diatas bara. Sebentar-sebentar hilang
penglihatannya dan dirabanya pisaunya.
Ketika Laminah menceritakan manusia-binatang itu mendakapnya, Mansur tak
dapat menahan hatinya lagi. Pemandangannya bermanik-manik dan dalam sekejap mata
iapun berdirilah. Dicabutnya sewahnya dan hendak dicarinya Sarmin.
Laminah terkejut melihat saudaranya itu. Sebagai kilat ia duduk dan
dipeluknya kaki Mansur erat-erat dengan kedua belah tangannya, sambil ia berkata
dengan sesak napas: "Hendak mengapakah kakak sekarang" Duduklah dahulu, boleh
Minah ceritakan semuanya. Apakah gunanya kakak keluarkan sewah itu. Tidak! kakak
tidak boleh melawan orang yang tak berhati berjantung itu."
Sebentar berhenti Laminah, serta dilihatnya saudaranya itu dengan mata
yang penuh iba, seperti orang yang minta dikasihani.
"Kakak!" katanya lagi dengan suara yang hampir-hampir tiada kedengaran,
"tiadakah kakak kasihan pada Minah" Duduklah! Janganlah kakak pedulikan jahanam
itu." Lembut hati Mansur mendengar kata adiknya itu. Dilepaskannya perlahanlahan kakinya dari pegangan Laminah dan iapun duduklah. Laminah meneruskan
ceritanya, bagaimana ia terlepas dari tangan Sarmin. Diperlihatkannya bajunya
yang cabik sambil ia berkata: "Tetapi kakak, semuanya itu biarkanlah. Jangan
sekali-kali kakak hendak membalasnya, sebab orang yang serupa itu bukan lawan
kita. Baiklah kita beralah saja. Tambahan pula cobalah kakak pikir: kalau kakak
dendam dengan orang yang bernyawa murah itu, tentu lebih banyak orang yang tahu
keaiban yang telah menimpa Minah itu dan kita juga yang malu. Manakala kakak
binasakan dia,,,, kakak masuk jil dan Minah..." Minah akan terkatung-katunglah
seorang diri dinegeri orang ini. Tetapi bagaimana pula halnya, kalau kakak dan
bukan orang jahanam, itu yang binasa...." Cobalah kakak kaji dalam-dalam.
Sesungguhnya tak ada kebaikannya melawan manusia serupa itu...Sekarang hanya
harus kita jaga saja, supaya semuanya itu jangan diulangnya lagi dan pada
pikiran Minah sebaik-baiknyalah kita hari ini juga meninggalkan toko roti ini.
Janganlah lagi kita menunggu habis bulan...ddPada pikiran Minah, kita harus hari
ini juga berpindah dari sini."
Mansur termenung seketika mendengar segala kata adiknya itu. Terkenang ia
akan semua yang diceritakan Laminah kepadanya tiga hari yang telah lalu.
Jadi inilah makna perasaan adinya yang tak senang itu. Menyesal ia tiada
hari itu juga meninggalkan toko roti itu. Tentu semuanya ini tak kan terjadi.
Tetapi apa boleh buat, sekarang nasi telah menjadi bubur.
Perkataan Laminah yang penghabisan dari hal menuntut bela itu, benar
semua, terasa olehnya. Melawan orang yang hidup matipun jadi itu, sebenarnya
tiada sedikit jua mendatangkan kebaikan.
Tetapi sebagai sekalian yang remaja, payah ia menahan darah muda yang
mendebur di dadanya itu. Payah ia melawan sifat pendendam yang terdapat pada
tiap-tiap pemuda. Bukankah adat hidup balas-membalas" Tinju disambut dengan tinju, sepak
dengan sepak dan hinaan dengan hinaan pula!
Laminah tahu, bahwa hati saudaranya itu bercabang. Sebab itu berkatalah ia
dengan suara yang penuh dendam keibaan: "Kakak! Kalau kakak sungguh kasih pada
Minah, turutlah kata Minah sekali ini. Biarkan jahanam itu! Yang sudah itu
tinggal sudah. Tentu binasa Minah, kalau kakak turutkan hati kakak itu."
Seketika berhenti Laminah; sudah itu ia berkata pula: "Kakak! berjanjilah
kakak pada Minah, takkan mendendam manusia binatang itu!"
Mansur tak jua menyahut. Laminah tak dapat lagi menahan air matanya. Dipandangnya saudaranya itu
dan perlahan-lahan diletakkannya kepalanya di dada Mansur, sambil tersedu-sedu
bermula. Kasihan Mansur melihat adiknya itu. Apakah yang harus dikatakannya akan
menyenangkan hati Laminah" Sungguh, tak sampai hatinya tiada membalas keaiban
itu! Sekonyong-konyong ujarnya: "Janganlah engkau amat gusar Minah! Kalau benar
begitu kehendakmu, jadilah, boleh aku turut."
Seketika diam ia. Terasa olehnya, bahwa perkataannya itu tak keluar dari
sanubarinya. Sebab itulah ia berkata pula: "Tetapi sebaik-baiknya orang yang
serupa itu diajar benar-benar sampai ia jera untuk seumur hidupnya. Jangan ia
menyangka, bahwa di dunia ini semuanya dapat dikerjakannya sekehendak hatinya.
Cobalah lihat! Kalau didiam-didiamkan, seidkit hari lagi semuanya itu diulangnya
pula, tak pada kita, pada orang lain."
"Ah!" sahut Laminah, "jangan kakak pikirkan itu! Biarlah orang lain
mengajarnya. Apakah gunanya kalau kita telah binasa nanti" Sekarang kita jauhkan
diri dari padanya. Ya, kakak" Kakak tak akan mendendam"'
Yang penghabisan ini dikatakan Laminah, sambil memandang saudaranya itu
dengan pandangan yang jelas menunjukkan besar harapannya. Mansur menganggukkan
kepalanya. Biarlah, serupa itu kehendak Laminah! Apa boleh buat, sekali ini
baiklah diikutnya. Telah cukuplah derita adiknya yang malang itu, sehingga tak
usah lagi dibesarkannya. Asal saja Laminah berbesar hati, semua hendak
diturutkannya, usahkan yang serupa itu lagi.
Sejurus mereka berdua bersaudara itu tidak bercakap-cakap masing-masing
memikirkan hati yang akan datang.
Laminah telah berhenti menangis dan duduk bersimpuh disisi kakaknya diatas
tikar. Sebentar katanya: "Pergi kemanakah kita kelak kak" Tahukah kakak tempat
yang baik untuk kita?"
"Inilah yang aku pikirkan sekarang," sahut Mansur. "Dibelakang benteng,
tahu aku ada rumah yang ksoong. Sukakah engkau kalau kita menyewa rumah itu"
Dalam sehari dua ini boleh aku mencari pekerjaan dan engkau tinggalkah di
rumah." "Apa salahnya?" kata Laminah, "uang kita ada pula sedikit untuk belanja
sebelum dapat pekerjaan."
Mansur termenung sejurus. Sudah itu ujarnya: "Kalau begitu baiklah kita
sekarang pergi menghadap tokeh membentangkan maksud kita ini. Apa lagi kita
nunggu; lekas selesai, lekas pula kita berangkat dari sini."
Orang berdua itupun berdirilah. Laminah memperbaiki sanggulnya, digosoknya
matanya dan dilicinkannya bajunya.
Tiba-tiba tampak olehnya pisau belati di sisi Mansur. Darahnya berdebardebar dan gusarnyapun timbul kembali. Tak percaya ia akan janji saudaranya tadi.
Sebab itulah berkata ia: "Kakak, pisau itu baiklah Minah sembunyikan. Minah
sebenarnya belum begitu percaya. Hendaklah kita awas sebelum terjadi!"
Mansur tak mengeluarkan kata sepatah juapun.
Laminah mengambil pisau belati itu dari pinggang saudaranya dan
diletakkannya dibawah bantal.
Tokeh pada ketika itu sedang makan. Mansur dan Laminah menunggu dimuka
pintu dapur. Didalam dapur duduk bujang-bujang yang lain bersenda-gurau. Olok dan
gelaknya hampir-hampir kedengaran sampai ke jalan besar.
"Alangkah riang mereka itu!" bisik Mansur.
"Ah, apa pula yang akan disusahkannya," sahut Laminah, "lain kita, orang
yang sial, yang tak berhenti-henti dikunjungi duka-nestapa. Entah apa pula lagi
ini yang akan datang di kemudian hari. Sebenarnya, kakak, makin sehari makin
berkurang kepercayaan Minah akan keadilan dimuka bumi ini. Mengapakah kita
selama-lamanya harus menanggung kesakitan dunia ini" "Mengapakah kita tiada
putus-putus dikunjungi marabahaya" Ada-ada saja datang menimpa, seolah-olah tak
terhitung-hitung lagi dosa yang telah kita perbuat...
Payah Minah memikirkan apakah sebabnya maka yang buruk selalu datang pada
kita, yang baik dan yang bagus pada orang. Lihat sajalah teman-teman kita
sekerja ini. Selama kita disini, belum pernah Minah melihat mereka berdukacita.
Tiap-tiap hari terdengar guraunya, terdengar tempik-soraknya!"
"Jangan engkau bercakap begitu!" kata Mansr perlahan-lahan. "Tuhan itu
amat adilnya dan mahakuasa. Dalam sekejap saja ia menukar tangis itu dengan
gelak dan dalam sekejap saja ia membuat matahari yang ditutup awan yang tebal
itu bercahaya gilang-gemilang atau sebaliknya."
"Dan pula jangan benar kau sangka, bahwa orang lain itu tak pernah
berdukacita. Semua mahkluk di muka bumi ini mempunyai bebannya masing-masing.
Ya, sebenarnya manusia ini berat yang dipikulnya, manusia itu ringan. Tetapi
jangan engkau lupa, bahwa hidup kita ini tak berapa lama. Dunia ini seolah-olah
tempat perhentian saja. Dimuka kita terbentang akhirat yang tiada berhingga.
Siapa tahu, barangkali disana nanti kita beruntung dan berbahagia. Ah, adikku,
semuanya itu kehendak Allah. Ia yang menjadikan kita dan ia pula yang memegang
nasib kita. Baiklah kita serahkan saja diri kepadanya dengan tulus dan ikhlas,
dengan sepenuh-penuh hati. Sungguh! Tuhan itu mahakuasa, mahabesar dan mahaadil.
Sekalian pekerjaannya penuh rahmat dan cermat..."
lain. Laminah diam, tiada mau membantah saudaranya itu, meskipun pendapatnya
Sedang mereka itu berdiri menunggu-nunggu tokeh sudah makan, sekonyongkonyong lalulah Sarmin. Amat tajam matanya melihat Laminah dan mulutnya
dikerutkannya seakan-akan hendak mengatakan, bahwa hatinya belum puas.
Laminah menundukkan kepalanya. Belum hilang lagi ngerinya melihat orang
yang keji itu. Sementara itu Mansur tiada putus-putusnya mengamat-amati musuh besarnya
itu. Jantungnya berdebar-debar seperti hendak memecahkan dadanya. Amat payah ia
menahan nafsunya hendak mencabik-cabik bekas kuli kontrak itu.
Tidak berapa lama antaranya melintas lagi Sarmin dimuka orang berdua
beradik itu. Perbuatannya demikian itu diulangnya beberapa kali, seolah-olah ia
hendak memperlihatkan keberaniannya.
Laminah bertambah lama bertambah takut. Mukanya pucat seperti tadi dan
perasaannya tiada tentu. Melihat Sarmin itu, Mansur tiada dapat lagi menahan hatinya. Tidak! Tak
mau ia dipermain-mainkan orang seperti itu. Apa saja kesudahannya tiada
dipedulikannya. Masakan dapat dibiarkan orang memperhinakannya seakan-akan ia patung yang
tiada bernyawa" Ketika Sarmin kelima kalinya lalu dimukanya, dikumpulkannya sekalian
tenaganya dan dengan sekuat-kuatnya diterjangkannya bekas kuli kontrak itu.
Sarmin jatuh ke lantai batu, laksana pohon yang besar rebah di tanah yang
keras. Dari mulutnya keluar maki dan sumpah yang tiada berapa terang kedengaran.
Seketika laki-laki yang besar dan kukuh itu tak dapat berdiri. Mansur tak
lepas-lepas diamat-amatinya dengan matanya yang kemerah-merahan seperti hendak
ditelannya bulat-bulat. Disingsingkannya lengan bajunya dan diam sekejap-mata ia
pun berdirilah. Dengan suara yang digumam diteriakkannya: "Ayuh, cobalah!"
Buas, diterkamnya Mansur dan...mereka berdua itupun bergumullah, tak
banyak ubahnya dengan perkelahian kerbau dengan harimau.
Mansur kecil tetapi lebih cepat dari kerbau yang besar dan mahakuat itu.
Sarmin percaya akan tenaganya yang lebih besar dan yang tetap akan
memusnahkan musuhnya. Pasti ia akan menang dalam perjuangan itu, kalau dibiarkan
orang sampai habis. Laminah tiada berhenti-henti menjerit sekuat-kuatnya, sejak ia melihat
saudaranya menerjangkan bekas kuli kontrak itu.
Mendengar itu gempar bujang-bujang di dapur dan berlari-lari mereka
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat perkelahian yang hebat itu; tetapi seorangpun tak ada yang berani
mendekati, sebab takut terbawa-bawa.
Tokehpun tergopoh-gopoh meninggalkan piring nasinya pergi ke tempat
perkelahian itu. Setelah nampak olehnya, lekas ia masuk ke bilik mengambil
pistol dan pergi ia mendekati orang yang berkelahi itu.
Tetapi bagaimana juga usahanya, tak dapat ia memisahkan orang dua itu;
masing-masing tak mau melepaskan musuhnya, sebelum ditewaskannya.
Sebentar dapat Mnsur mengimpit musuhnya itu, sebab ia berkelahi dengan
gembira. Bukankah ia membela saudaranya yang amat dicintainya?""
Tetapi seketika lagi dapat Sarmin memegang punggungnya dan dibantingkannya
Mansur ke taris. Seperti bola karet melantun anak muda itu berdiri kembali
melompati lawannya. Demikanlah beberapa kali.
Tetapi makin lama makin kelihatan, bahwa kesudahannya tetap Mansur akan
kalah, sebab sarmin jauh lebih kuat.
Sementara itu tak kunjung-kunjung berhenti tokeh mencoba melarai
perbantahan itu. Tetapi sia-sia saja.
Keputusan akal diletuskannya sekali pistolnya ke udara, seraya ia berseru
kepada bujang yang lain dengan nyaring: "Mengapakah kamu sekalian berdiri saja
tak menolong memisah. Takutkah kamu" Siapa yang berani memukulmu, nanti ia akan
aku binasakan dengan pistolku ini."
itu. Muka tokeh kelihatan merah-padam. Telah hilang sabarnya melihat perjuangan
Mendengar seru itu sekalian bujangpun mendekat menolong memisahkan orang
berdua itu. Meskipun orang sebanyak itu, lama juga lagi maka perkelahian itu
berhenti. Masing-masing amat kuat, sehingga payah orang itu memegangnya.
Tetapi mujurlah sekarang Mansur dan Sarmin telah dipisahkan dan
diantaranya tegak tokeh sambil mengacu-ngacukan pistolnya.
"Cobalah lagi!" gertaknya, "siapa yang berani mendekat, boleh kutembak
seperti anjing di tempat ini juga."
Keduanya tak menjawab. Sarmin belum puas lagi hatinya. Tanganya gemetar
dan matanya tiada putus-putus mengawasi musuhnya.
Tetapi rupanya agak takut ia melihat pistol tokeh itu dan sebab itulah
ditahannya nafsunya yang ganas.
"Masakah tak ada lagi saat yang baik," pikirnya.
Mansur telah amat lesu. Dadanya kelihatan turun naik dan napasnya
kedengaran dari jauh. "Sekarang," kata tokeh, "Mansur! turut akukeluar dan engkau Sarmin tinggal
disini sampai aku panggil. Jangan engkau coba-coba membuat sekehendak hatimu
disini, kalau engkau tak mau merasa senjataku ini."
Mansur pergi keluar diikuti oleh Laminah yang tiada berhenti-henti
menangis. Melihat itu berteriak Sarmin dengan buasnya, sambil memperlihatkan
tinjunya: "Hati-hati engkau, aku tiada akan berhenti, sebelum engkau punah."
"Ssst, diam!" kata tokeh itu dengan pendek.
Tiba diluar diceritakan Mansur segala asal mukanya. Tokeh tiada putusputus menganggukkan kepalanya.
Telah diam Mansur, katanya: "Sungguh salahku dahulu menerima orang serupa
itu. Pada persangkaanku bekas kuli kontrak itu menjadi manusia biasa tinggal
disini, tetapi rupanya tak benar pikiranku itu. Sekarang sudahlah! Nanti Sarmin
itu boleh kuusir. Apa yang telah terjadi itu jangalah engkau berdua pikirkam
amat. Lain kali akan aku jaga benar-benar siapa yang aku terima bekerja padaku,
supaya yang serupa itu jangan berulang lagi. Kini pergilah ke tempatmu masingmasing, boleh aku bercakap penghabisan dengan Sarmin."
Habis perkataan tokeh itu, Mansur berkata, katanya: "Tidak, tokeh! Kami
tidak dapat lagi tinggal disini. Sebenarnya amat senang hidup pada tokeh dan
kami hendak bekerja disini sampai mati. Tetapi apa boleh buat. Tokeh lihatlah
Laminah ini, amat pucat mukanya. Dalam beberapa minggu yang penghabisan ini ia
selalu merasa tak senang. Makan, tidur, ya, semua dirasanya tiada enak. Telah
beberapa kali ia mengajak aku pindah dari sini, tetapi selalu aku katakan
kepadanya bahwa meninggalkan toko roti ini sama maknanya dengan meninggalkan
kesentosaan pergi ke kemelaratan. Tadi dibujuknya lagi aku pergi ke tempat lain.
Ah, tokeh, kasihan aku melihatnya. Makin sehari makin layu ia, seperti bunga
yang tiada pernah disiram-siram. Apakah kesudahannya nanti" Baiklah kami mencari
untung kami ditempat yang lain. Tambahan pula sekarang. Laminah malu melihat
bujang-bujang yang lain, yang tahu keaiban yang telah menimpanya. Percayalah
tokeh, amat sedih hati kami meninggalkan pekerjaan ini. Tokeh selalu dermawan
dan budiman kepada kami dan penghidupan kami sederhana, tak jurang dan tak pula
melebih-lebihi. Tetapi...apa boleh buat. Laminah rupanya tidak sesuai lagi
dengan pergaulan disini."
Takjub tokeh mendengar sekalian perkataan Mansur itu. Sebenarnya tak
sebesar ujung rambut disangkanya akan mendapat jawaban serupa itu.
O, sekarang baru mengerti ia perubahan Laminah dalam beberapa minggu yang
akhir ini. Jadi itulah sebabnya, maka ia pendiam dan enggan, seolah-olah ia
takut pada orang. Dahulu sangkanya, bahwa semua itu berhubung dengan usia
perawannya yang baru naik dan sebab itulah tiada dipedulikannya.
Maka katanya kepada Laminah: "Mengapakah maka semuanya itu tak pernah
engkau ceritakan kepadaku, Laminah" Tiada mungkin aku tak hendak menolongmu.
Katakanlah sekarang, apakah yang menyebabkan perubahan perasaanmu itu!"
Laminah menundukkan kepalanya dan menjawab kemalu-maluan: "Entahlah,
tokeh! Tak dapat Minah katakan, apa yang menyebabkan itu. Tetapi setiap waktu
terasa oleh Minah, seakan-akan Minah akan ditimpa marabahaya yang besar.
"Si Sarmin barangkali?" ujar tokeh lagi.
"Sungguh tiada tahu Minah," jawab gadis yang malang itu, "tetapi dahulu
sebelum ia tiba disini, perasaan yang serupa itu telah ada juga. Sekarang pada
pikiran Minah, sebaik-baiknya Minah pergi dahulu dari sini dan kalau perasaan
yang tiada enak itu telah hilang sama sekali, suka benar Minah bekerja lagi
disini. Maukah tokeh menerima kami lagi nanti"
Yang penghabisa ini dikatakan Laminah sambil dipandangnya orang Cina yang
baik hati itu dengan matanya yang lembut.
"Kalau begitu, sayang benar," kata tokeh, "Aku selalu berbesar hati
melihat engkau berdua bekerja disini dan maksudku tiada berapa lama lagi akan
menaikkan gajimu. Tetapi, sudahlah! Kebesaran hati itu tak ada bandingnya, sebab
itu tak boleh aku menahan engkau berdua beradik di tokoku ini. Nanti, kalau
misalnya engkau berdua dalam kesukaran, yang tak sekali-kali kuharap, setiap
waktu boleh engkau datang kemari minta pertolongan padaku. Sekarang pergilah
mengumpulkan barang-barang dan kelak boleh kubayar gajimu."
"Payah kita mendapat induk semang sebaik ini," bisik Mansur kepada
adiknya. Laminah menganggukkan kepalanya.
8. PEKERJAAN BARU Minah! Minah! aku telah dapat pekerjaan!" teriak Mansur pada suatu hari
dari muka pintu kepada adiknya, sedang mukanya berseri-seri oleh kegirangan.
Laminah tergesa-gesa keluar mendapatkan saudaranya akan menanyakan
pekerjaan baru itu. Kecil gunung dibandingkan dengan hatinya pada ketika itu.
Sampai hari itu cukup benar delapan hari lamanya ia berdua beradik
meninggalkan toko roti pindah ke rumah kecil dibalik benteng "Marlborough".
Dalam waktu selama itu Mansur belum juga mendapat pekerjaan yang lain. Tiap hari
ia masuk toko keluar toko, tetapi tak satu juga yang dapat menerimanya, sebab
sekaliannya cukup pegawainya.
Hal ini amat menyusahkan hati Mansur dan Laminah. Ya, sebenarnya, dalam
dua tiga minggu lagi masih dapat mereka hidup dari uang simpanan dan gaji yang
penghabisan; tambah pula ketika mereka itu mengatakan selamat tinggal pada
tokeh, mereka mendapat anugerah uang kertas lima rupiah sehelai. Jadi untuk
sementara tak usah mereka takut mati kelaparan.
Tetapi apakah kesudahannya hidup serupa itu"
"Dapat kerja dimanakah , kak!" tanya Laminah pada Mansur yang sedang
menyangkutkan bajunya pada paku di dinding.
Mansur berbalik dan berdiri sekarang berhadapan dengan adiknya; maka
katanya: "Dengarlah boleh aku ceritakan dari mulanya. Pagi-pagi tadi ketika aku
berdiri-diri di bom melihat orang turun-naik sekoci, terdengar olehku
dibelakangku seorang bercakap pada temannya mengatakan, bahwa ia baru pagi-pagi
itu benar minta keluar dari pekerjaannya pada toko orang Jepang di kampung Cina.
Mendengar itu terpikir sekali olehku, bahwa barangkali aku dapat
menggantikannya. Pendeknya dengan selekas-lekasnya aku pergi ke toko orang
Jepang itu. Mujurlah ia belum mendapat orang lain, sehingga aku diterimanya
dengan segala senang hati, apalagi setelah dilihatnya pula surat keterangan aku
dari toko yang baik bunyinya itu."
"Apabilakah kakak akan mulai bekerja dan berapakah gaji sebulan?" tanya
Laminah tergesa-gesa. "Ah, sabar dahulu! Ceritaku belum habis lagi," sahut Mansur, "besok pukul
tujuh pagi-pagi aku mesti ada di sana akan menjawat pekerjaanku untuk pertama
kali dan buat sementara aku akan diberikan lima belas rupiah sebulan. Kerjaku
sehari-hari ialah melayani orang-orang yang datang membeli ini dan itu.
"Lima belas rupiah sebulan?" tanya Laminah, serta mengerutkan keningnya,
"cukupkah itu untuk kita berdua, kak" Sewa rumah saja telah empat rupiah."
"Entahlah!" sahut Mansur, "kita cobalah dahulu. Sekarang tak tahu aku
jalan yang lain. Dari pada aku setiap hari tiada tentu hilir-mudik, jauh lebih
baiknya aku bekerja disana. Dapat juga aku tiap-tiap habis bulan membawa lima
belas rupiah pulang ke rumah. Nanti kalau ada ditempat lain pekerjaan terbuka
yang lebih besar bayarannya, apa salahnya aku pindah kesana."
Laminah menganggukkan kepalanya. Sekarang terasa olehnya, bagaimana
susahnya mencahari penghidupan yang sederhana.
Sungguh, senang benar hidup di toko roti itu dahulu. Makan tiada usah
dibayar dan tempat tidur dapat dengan percuma. Gaji hanya dipakai untuk membeli
pakaian saja. Tetapi kini"apa saja yang dikehendaki dan yang perlu harus memakai
duit. "Sampai pukul berapakah kakak mesti bekerja tiap-tiap hari?" tanya Laminah
sekonyong-konyong, setelah ia beberapa lamanya berdiam diri.
"Pagi-pagi aku harus masuk pukul tujuh dan pukul dua belas tengah hari aku
boleh pulang makan. Pukul dua aku harus masuk lagi sampai pukul delapan malam,"
jawab Mansur. "O, tentang pekerjaan ini lain benar dari dahulu, tetapi apa
hendak dikata?" Laminah menundukkan kepalanya, seraya berkata hampir-hampir tiada
kedengaran: "Aduh, alangkah lamanya Minah tinggal seorang diri di rumah."
Sesudah itu tiadalah lagi mereka itu mempercakapkan pekerjaan yang baru
dapat itu. Masing-masing tahu, bahwa semuanya itu akan menyusahkan hati saja.
Keesokan harinya, ketika Mansur telah pergi bekerja, duduklah Laminah
seorang diri memikirkan hidupnya pada waktu yang akhir ini.
O, alangkah payahnya! Sehari-hari harus dipikirkannya, bagaimanakan
menjalankan uang, supaya dapat hidup dengan semurah-murahnya. Hari ini dicoba
berhemat pada gulai, esok dicoba pula pada kayu api dan keesokan harinya lagi
pada lada, garam dan sebagainya.
Demikianlah setiap hari tiada putus-putusnya ia berikhtiar, berusaha,
supaya duit yang sedikit itu cukupeajangan kekurangan, supaya jangan lebih besar
pasak dari tiang yang kecil itu, jangan panjang bayang-bayang dari badan yang
pendek. Sekaranglah baru terasa oleh Laminah, bagaimana beratnya pekerjaan seorang
ibu yang mengemudikan rumah sendiri.
Sekaranglah baru tahu ia, apa sebabnya maka banyak benar orang tiada
putus-putusnya membuat utang kesana-kemari.
Dan sekaranglah baru mengerti ia, apa sebabnya maka rumah gadai tiada
pernah sunyinya. Sungguh! Payah seorang ibu bertenggang!
Apalagi kalau bertenggan itu dengan uang sedikit!
Pada ketika itu tiada dapat Laminah menjauhkan kenang-kenangannya pada
hari baru silam. Sebentar-sebentar nampak olehnya penghidupan yang bebas, yang
tak mempunyai jagaan itu.
Tak usah ia dahulu memikirkan berapa harus dikeluarkannya sehari-hari
untuk pembeli ini itu! Tak usah ia dahulu mengagak-agak, supaya lampu jangan terlalu banyak
menghabiskan minyak. Tak usah ia dahulu memayahkan benaknya memikirkan apakah gulai pagi dan
pula sore nanti! Dan tak usah pula ia dahulu memayahkan dirinya berusaha, supaya sajian
enak dan nyaman rasanya, sehingga yang menyantapnya bersenang hati.
Tetapi sekarang! Rasa-rasa hendak pulang lagi ia ke toko roti, apalagi ia ingat akan
kebaikan tokehnya yang tiada berhingga. Sebenarnya payah mencari tempat bekerja
yang serupa itu. Induk semang manakah yang memberi pegawainya yang minta berhenti hadiah
uang dan pakaian beberapa lembar"
Dan induk semang manakah pula yang seramah itu pada bujangnya yang
meninggalkannya. Dalam seratus payah bertemu satu!
Demikianlah berapa lamanya Laminah membanding-bandingkan kesukarannya
sekarang dengan kesenangannya pada masa yang telah lalu. Payah ia menahan ibanya
dan sebentar-bentar bercucuran air matanya dengan tiada diketahuinya.
Apa benarkah salahnya dan berapa benar dosanya maka tidak boleh ia seperti
orang lain hidup dengan sentosa. Tidak! Tiada sekali-kali dikehandakinya
mengecap kenikmatan dunia ini dengan sepuas-puasnya. Jauh, beribu-ribu kali jauh
dari situ. Yang dikehendakinya hanyalah hidup yang sentosa dan sederhana, tak
sekali-kali melebih-lebihi seperti kebanyakan manusia.
Tetapi..., itu saja tak dapat olehnya. Ada-ada saja yang datang
mengalangi. Seketika teringat ia akan Sarmin, manusia yang bertabiat binatang itu
Sejurus gemetar sendi tulangnya mengenangkan kekejian dan kerendahan bekas kuli
kontrak itu. O, jangan lagi hendaknya ia bertemu dengan hal yang serupa itu! Ngeri ia
memikirkan. Kira-kira pukul delapan pergilah Laminah ke sumur membawa pakaian yang
kotor untuk disesah. Dan kalau telah pulang dari sana mulailah ia membersihkan
rumah dan bertanak menggulai untuk saudaranya yang pukul dua belas akan pulang
makan. Tetapi apa benarlah yang harus dibersihkan dan diselesaikannya di rumahnya
yang kecil itu dan berapa benarlah yang akan dimasaknya untuk ia berdua beradik"
Lebih kurang dalam dua jam telah siap semuanya dan mulailah ia menurutkan
arus pikirannya. Sesak kalbunya mengenangkan, bahwa mulai dari sekarang sehari-harian ia
akan tinggal di rumah seorang diri. Tak ada tempat ia bercakap-cakap dan tak ada
tempat ia melimpahkan duka-nestapanya!
Berapa lamakah akan dideritanya kesunyian ini dan apakah kesudahannya
nanti" Macam-macam pikiran dan kenang-kenangan menggoda kepadanya. Sebentarbentar terasa olehnya, bahwa ia harus mencahari pekerjaan. Kesunyian serupa itu
lambat-laun pasti akan membawa ia binasa. Sebab itulah ia harus selekas-lekasnya
mencari kerja untuk melipurkan hatinya dan melupakan kemalangannya. Dan tambahan
juga kalau dapat ia pekerjaan, tentu akan bertambah pula pendapatan saudaranya
yang sedikit itu. Tetapi bagaimanakan mencahari maksudnya itu" Menjadi koki atau babu tentu
tak sanggup ia, sebab tiap-tiap hari ia harus menyajikan makanan untuk
saudaranya. Pekerjaan itu mesti dapat dikerjakannya di rumah, kalau pekerjaannya
sehari-hari sebagai ibu dirumah tak ada lagi atau telah selesai.
Lama ia memikirkan hal itu, tetapi tiada juga ia mendapat jalan yang baik.
Waktu Mansur pulang tengah hari, mula-mula sekali ditanyakan Laminah
perihal pekerjaan kakaknya.
Mansur menceritakan semua dari mula sampai akhir. Pekerjaannya itu,
sebenarya jauh dari berat. Berapalah payahnya melayani sekalian pembeli yang
keluar-masuk" Asal ia telah tahu harga sekalian barang-barang itu, tentu
semuanya amat mudah. Tetapi yang amat mengesalkan hatinya ialah sehari-harian
tinggal di toko itu sebentar duduk dan berdiri. Pemandanganpun tak lain dari
pada barang jualan dan lemari-lemari.
Laminah mendengar perkataan saudaranya itu dengan hati-hati. Setelah
habis, maka ujarnya: "Minahpun hilang akal tinggal sendiri di rumah ini. Tiada
tentu perasaan Minah, apalagi kalau pekerjaan telah selesai sama sekali. Berjamjam Minah termenung, sebab teman bercakap-cakap tak ada. Sebaik-baiknya sekarang
Minah dapat pekerjaan yang dapat Minah kerjakan di rumah, supaya kesunyian itu
tiada begitu terasa. Dan lagi kalau ada pekerjaan Minah, dapat pula Minah
menokok belanja kita serupiah dua rupiah. Tahukah kakak barangkali suatu akal"
Sebabnya, kalau lama-lama serupa ini, boleh jadi Minah menjadi gila tiada
keruan. Cobalah kakak carikan pekerjaan yang berpadanan."
Mansur berpikiran sejurus. Terasa olehnya, bahwa perkataan adiknya itu
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengandung kebenaran. Beberapa lama antaranya, aktanya: "O, sekarang tahu aku! Maukah engkau
barangkali mengambil upahan mencuci pakaian. Pekerjaan itu berat, tetapi dapat
engkau kerjakan apabila engkau hendak."
Mendengar itu, Laminah menganggukkan kepalanya, seraya katanya dengan muka
bercahaya-cahaya: "Tetapi, siapakah yang hendak mengupahkan menyesah pakaiannya
pada Minah?" "O, itu perkara kecil!" jawab Mansur, "nanti boleh aku carikan. Pertamatama orang Jepang tempat aku bekerja itu tentu dapat aku bujuk. Dan diantara
orang Cina yang banyak itu, pasti ada juga yang suka. Dari cucian jangan engkau
kuatir. Bahkan aku takut kalau-kalau tiada akan tekerjakan oleh engkau, karena
beratnya pekerjaan itu."
Laminah tersenyum, sebab ia tahu bahwa yang penghabisan ini dikatakan
saudaranya hendak mempermain-mainkannya.
Mansur menepati janjinya. Senja itu juga ia membawa sebungkusan pakaian
untuk disesah adiknya. Demikianlah setiap hari, sehingga Laminah tak ada waktu
lagi untuk bermenung, karena selalu ada kerjanya.
Pagi-pagi ia pergi mencuci dan sesudah itu ia menyediakan makanan
kakaknya. Petang hari sebelum ia pergi ke dapur diangkatnya cuciannya dan
dilipatnya bagus-bagus. Dengan hal yang serupa itu tiadalah terasa lagi oleh Laminah
kelengangannya dan tiap-tiap bulan dapatlah ia beberapa rupiah akan menambah
gaji saudaranya, sehingga pendapatannya berdua beradik cukup benar untuk belanja
sehari-hari. 9. BIDUK KARAM Adakah engkau dengar, Dar, bahwa Mansur ditahan dalam penjara, karena ia
disangka orang mencuri uang orang Jepang tempat ia bekerja itu?" kata Malik pada
suatu hari pada temannya Darwis.
"Mansur" Siapa itu?" tanya Darwis serta mengerutkan keningnya, seolah-olah
hendak membangunkan ingatannya.
"Ah, alangkah pelupamu! ujar Malik dan dipukulnya beberapa kali bahu
temannya. "Kalau kusebut saja satu nama yang lain, pasti saat itu juga engkau
teringat akan orang itu."
"Sungguh, benar aku tak kenal akan dia," kata Darwis lagi, "lekaslah
sebutkan siapa itu!"
"Jangan engkau main-main, seperti tak tahu benar," ujar Malik pula,
"masakan engkau tak kenal akan dia, padahal adiknya puas engkau belikan penganan
dan bermacam-macam perhiasan."
"Siapa benar itu" tanya Darwis lagi," tiada teringat aku membeli-belikan
orang penganan atau benda-benda yang lain."
"AI, AI! Jangan pula engkau membohongi aku!" olok-olok Malik. Dipukulnya
lagi keras-keras bahu Darwis, seraya serunya dengan nyaring: "Laminah, tidak"
Darwis sedikitpun tidak marah kena pukulan itu. Mendengar nama Laminah
tiada dapat ia menahan senyumnya dan mukanya pun kemerah-merahan, seperti jambu
air yang ranum. Sekarang teringat lagi ia akan anak perawan yang tujuh delapan bulan yang
telah lalu sangat membangkitkan berahinya itu.
O, alangkah gilanya ia dahulu pada Laminah! Lebih dari setengah hari dari
gajinya dipakainya untuk memikat gadis itu.
Tetapi bagaimana juga usahanya, makdsudnya tak sampai sebab Laminah, anak
yang cui itu, menganggap kebaikannya sebagai persaudaraan.
Menurut jalan yang lain, jalan kekerasan seperti Sarmin, tiada berani
Darwis, sebab takut pada Mansur yang berlipat ganda lebih kuat daripadanya.
Dengan hal yang demikian angan-angannya tak dapat menjelma menjadi sebenarnya.
Sejak orang berdua beradik itu meninggalkan toko roti itu, tak pernah lagi
ia bertemu dengan mereka itu, sehingga makin sehari makin lupa ia akan Laminah.
Tetapi sekarang mendengar nama yang dahulu siang malam menjadi ingatannya
itu, berahi lamanyapun bangkit kembali, laksana bunga segar kembali kena hujan
sejuk. "O, Mansur itu!" ujarnya dengan heran. "Jadi selama ini ia tinggal di
negeri ini. Tetapi mengapa aku tiada pernah bertemu dengan dia?"
"Ia bekerja dari pagi sampai malam, sehingga tak pernah ia berjalanjalan," jawab Malik. "Aku dahulu bertemu dengan dia, ketika aku masuk toko orang
Jepang dimuka kelenteng Cina itu. Lama kami bercakap-cakap. Menurut katanya tak
tahan ia bekerja disana, sebab sehari-harian ia harus tegak duduk melayani
orang. Tambahan pula gajinya hanya lima belas rupiah dan dengan yang sedikit itu
semua harus dibayarnya. Tetapi oleh sebab ia tiada dapat mencahari pekerjaan
lain, ditunggunya juga disana. Sebenarnya salah benar ia meninggalkan toko roti
ini dahulu. Bukankah Sarmin pada itu juga diusir oleh tokeh"
"Tahukan engkau rumahnya?" tanya Darwis yang tak dapat lagi menahan
hatinya mendengar cerita temannya itu...
Apakah persangkutan dengan Mansur" Dan apa pula gunanya diketahuinya halikhwalnya" Bukankah ia hanya berhubungan dengan Laminah yang telah banyak
menghabiskan uangnya "Mengapa pula aku tak tahu?" sahut Malik, "Semuanya diceritakan Mansur
kepadaku. Ia tinggal di rumah bambu yang terpencil dibalik benteng itu dan besok
aku akan pergi kesana...."
"O, kalau begitu Laminah ada disana sekarang," ujar Darwis dengan cepat.
"Mengapakah engkau tergesa-gesa serupa itu benar?" ujar Malik, "seakanakan girang engkau mendengar Mansur masuk jil itu."
"Kata siapa pula aku tiada girang?" jawab Darwis. "Sangkamu agaknya uangku
untuk membelanjai Laminah dahulu itu, aku buang saja" Kalau begitu salah sekali
pikiranmu..." Darwis mengatakan yang akhir ini, sambil ia mengisar kedua belah tangannya
dan di mulutnya terbayanglah senyum yang keji, yang jelas menandakan kebesaran
hatinya oleh harapan akan menyampaikan maksudnya.
"O, jadi tinggal disini orang berdua beradik itu dalam delapan bulan ini!"
katanya pula, serta diangguk-anggukkannya kepalanya. "Kalau aku tahu itu tentu
telah lama kuminta piutangku, apalagi Mansur sehari-harian tiada di rumah."
Malik benci mendengar kata temannya itu.
Sesungguhnya ia berahi pada perawan itu, tetapi maksudnya tiada jahat.
Kalau Laminah suka padanya akan dijadikannya isterinya sehidup-semati dengan
dia. Amat berlainan pahamnya dengan Darwis yang semata-mata hendak memuaskan
nafsunya yang rendah saja. Sebab itulah kata Malik: "Dar! mengapakah engkau
bercakap begitu" Tiadakah engkau menaruh kasihan pada gadis yang malang itu.
Tentu ia sekarang kehilangan akal memikirkan saudaranya masuk penjara itu. Coba
engkau pikirkan, misalnya engkau seorang perempuan dan tinggal seorang diri di
rantau orang terkatung-katung, jauh dari sanak-saudara. Engkau pikirlah dalamdalam! Sekarang engkau telah hendak mengganggunya pula! O, engkau sungguh kejam,
tak menaruh iba-kasihan sesama manusia!"
Semuanya itu dikeluarkan Malik perlahan-lahan seolah-olah tiap-siap suku
dan huruf keluar dari hati kecilnya.
"Ah, janganlah engkau pura-pura alim dan lurus benar1' sahut Darwis,
sambil menertawakan Malik. "Ya, engkau barangkali hendak masuk surga...Tetapi
jangan pula engkau coba menipu aku, sebab bukan baharu sehari dua kita
bercampur-gaul. Kasihan" Aku tak menaruh kasihan pada orang lain dan orang
lainpun aku lihat tak kasihan padaku."
Mendengar kata Darwis itu payah Malik menahan amarahnya. Dengan tiada
mengeluarkan sepatah kata juapun ia pergi dari tempat itu. Sebabnya, kalau lama
ia lagi bercakap dengan Darwis, tentu akan terjadi perkelahian. Olok-olok
temannya itu tak dapat didengarnya. Baiklah ia beralah dan menjauhkan diri.
Berbantah dengan orang serupa itu tak sedikit juapun mendatangkan manfaat. Dalam
hatinya telah dipastikannya, bahwa ia besok akan pergi ke rumah Laminah akan
menolong perawan yang malang itu sedapatnya. Sungguh amat belas hatinya!
Sejurus lamanya Darwis tiada bergerak-gerak dari tempatnya.
"Sekarang tahu aku apa maksud Malik itu," pikirnya. "Pura-pura ia kasihan
pada Laminah, tetapi coba lihat! Kalau aku terlambat sedikit, tentu ia akan
mendahului aku. Tetapi jangan ia menyangka aku tak tahu kehendaknya itu. Kalau
telah habis pekerjaanku kelak, aku akan pergi selekas-lekasnya kebalik benteng
akan menemui..." Iapun tersenyum seketika.
Dari pagi-pagi tadi Laminah tiada berhenti-henti menangis. Air matanya
telah habis dan hanya sebentar-bentar kedengaran bunyi ia tersedu-sedu.
Satu apapun tak dapat dikerjakannya, sejak kakaknya tadi dijemput oleh dua
orang opas dan dibawa ke penjara.
Sedikitpun tiada ia mengerti apa yang terjadi. Kata opas itu kakaknya
dituduh mencuri uang orang Jepang, tempat ia bekerja, lebih dari dua ratus
rupiah. Laminah tiada percaya akan hal itu. Masakan saudaranya sejahat itu mau
mencuri uang orang" Apakah guna uang itu kepadanya" Pendapatan ia berdua beradik
cukup benar, tak berlebih dan tak pula kurang untuk dimakannya berdua. Tambahan
pula, kalau ada terjadi sesuatu hal, masakan kakaknya menyembunyikannya
kepadanya. Itu tiada termakan oleh akal.
Tiada, tak boleh tidak saudaranya kena aniaya, kena fitnah.
Sejurus teringat Laminah akan kata Mansur semalam, bahwa kemarin amat
ramai orang datang membeli, sebab dua hari lagi akan hari Raya Idulfitri. Siapa
tahu barangkali seseorang dari pembeli yang banyak itu yang mencuri uang itu.
Mengapakah maka saudaranya benar yang dituduh orang"
O, sebab ia bekerja disana! Tetapi orang lain yang keluar-masuk itu"
Heran Laminah! Hidupnya tak bedanya dengan tikus yang telah ditangkap oleh
kucing. Sebentar dilepaskan oleh kucing itu mangsanya, tetapi baru saja tikus
itu bergerak hendak melepaskan dirinya, kuku yang ganas dan kejam itu telah tiba
lagi. Demikianlah berulang-ulang.
Apakah kesudahannya nanti"
Dahulu, ketika ayahnya baru meninggaleahidupnya senang. Madang, menjaganya
sebagai menjaga anak kandungnya. Tetapi semuanya itu tiada berapa lama. Ketika
itulah tiba terkaman "kucing nasib" yang pertama kali.
Sesudah itu hidupnya senang lagi di toko roti.
Itupun tak kekal. Tiada berapa lama antaranya datang terkaman yang kedua.
Sekarang hidupnya jauh dari senang. Tetapi jadilah dikatakan sengsarapun
tak pula boleh. Inipun rupa-rupanya sudah terlalu banyak...dd"kucing nasib"
telah tiba pula dengan kukunya yang runcing.
Apabilakah akan berhenti ini kelak" Akan samakah nasibnya dua bersaudara
yang malang itu dengan nasib tikus yang...
Allah jua yang lebih mengetahui.
Demikianlah Laminah tiada putus-putusnya menyadar untungnya dan sementara
itu tiada juga ia berhenti-henti menangis.
Matahari terus menempuh jalannya seperti sediakala dan perawan yang sial
itu lupa akan makan dan minum, lupa akan mandi dan lain-lain. Hanya yang
teringat olehnya kemalangannya dan kecelakaannya.
Pakaian kotor yang akan dicucinya beronggok-onggok dan di dapur berserak
bertaburan perkakas bertanak menggulai. Sedikitpun tak timbul di hati Laminah
akan menyelesaikan rumahnya.
Pikirannya amat sesak oleh gundah gulana.
Apakah akan dikerjakannya sekarang"
Ia seorang diri di rantau orang dan Mansur belum tentu lagi apabila
dibebaskan. Siapa tahu, boleh jadi berbulan-bulan tinggal dalam penjara. Dan
sementara itu kemanakah ia harus pergi dan dimanakah ia akan mendapat makan"
Uang simpanan dahulu telah lama habis pembeli pakaian dan keperluan rumah dan
dapur dan uang simpanan yang lain boleh dikatakan tak ada. Untuk makan seharihari mujur cukup pendapatan ia berdua!
Sejurus teringat Laminah akan toko roti. Dahulu ada tokeh berkata
kepadanya, bahwa ia setiap waktu siap akan menolong ia berdua beradik.
Tetapi malu ia rasanya kembali lagi ketempat yang telah ditinggalkannya
itu. Tiada akan terpandang olehnya mata orang yang mengetahui halnya dengan si
Sarmin jahanam itu. Merah mukanya, jengang telinganya, bila ia terkenang akan
kejadian di toko roti itu. Tambahan pula takut ia kalau baba itu telah berubah
dan tak mau lagi menerimanya.
Bukankah segala isi dunia ini berubah dan tiada kekal"
Tetapi bagaimana kalau ia pulang ke Ketahun, ke datuk Halim dan andung
Saripah atau ke uncu Jepisah?"
Dan Mansur..." O, tak boleh ia meninggalkan saudaranya itu......Ia wajib
tinggal di Bengkulu sampai kakaknya keluar dari tutupan.
Sungguh, payah ia memikirkan apakah yang sebaik-baiknya dikerjakannya
sekarang. Untuk sehari dua ini pasti ia akan tinggal dirumah itu, tetapi sudah
itu kemanakah ia akan mencari perlindungan. Akan terpaksa jugakah ia agaknya
kembali ke tempat ia diberi malu orang itu..."
Hari petang juga. Seketika Laminah tertidur oleh kepayahan berpikir. Tetapi tiada berapa
lama antaranya ia terbangun lagi, karena orang mengetuk pintu yang sejak Mansur
berangkat, tiada dibuka-buka.
Laminah terkejut, "Siapa pula itu?" pikirnya, sebab ia tak ada berkenalan
dan tak pernah dikunjungi orang.
Sekejap terkilat dikepalanya, barangkali saudaranya yang mengetuk itu. Ya,
boleh jadi ia dilepaskan orang, sebab ia tiada bersalah.
Dengan tergopoh-gopoh perawan itu berdiri. Rambutnya kusut masai dan
matanya bakup oleh menangis.
Perlahan-lahan ia menuju ke pintu; sementara itu hatinya berdebar-debar,
entah keriangan, entah oleh kesusahan.
Tetapi, alangkah kecewanya ia, ketika pintu telah dibukanya dan dilihatnya
bukan saudaranya yang berdiri dimukanya. Sendi tulangnya menjadi lemah dan tentu
ia rebah ke lantai, kalau pada ketika itu ia tak dapat berpegang pada daun
pintu. "Benarkah, Laminah, Mansur masuk penjara?" tanya laki-laki yang tegak
berhadapan dengan dia. Laminah terperanjat mendengar suara itu.
"Siapakah ini?" katanya dalam hatinya. "Selama kami disini belum pernah
orang ini datang kemari. Tetapi muka dan perawakan yang serupa ini mesti telah
ada kutemui dahulu. Siapa benar gerangan orang muda ini?"
Tampak oleh Darwis, bahwa perawan itu tak tahu benar, siapa yang berdiri
dimukanya, sebab itulah katanya: "Tiadakah engkau kenal lagi padaku" Darwis"
Temanmu sekerja di toko roti tujuh delapan bulan yang telah lalu?"
"O, Darwis!" sahut Laminah. "Telah lama benar aku tiada melihatmu dan
sebab itulah ragu aku mula-mula tadi. Masihkah engkau bekerja ditempat dahulu"
Malik baharu ini bertemu dengan saudaraku di tempat ia bekerja, di toko orang
Jepang, di kampung Cina."
"Ya," sambung Darwis, "ialah yang mengatakan kepadaku pagi tadi, bahwa
Mansur masuk jil dan ialah yang menunjukkan rumah ini kepadaku. Benarkah kakakmu
itu dituduh orang mengambil yang orang Jepang itu?"
Laminah menganggukkan kepalanya, seraya berkata: "Ada-ada saja datang
menimpa kami. sungguh, aku tiada percaya, bawa saudaraku itu mencuri uang.
Tetapi sudahlah, rupanya telah dari dahulu tertulis serupa ini. Kalau malang
akan tumbuh itu dak dapat dielakkan."
Darwis menundukkan kepalanya, pura-pura turut berdukacita, sambil
mengeluh: "Beginilah rupanya, kalau kita orang bodoh dan miskin. Semua yang
buruk dicari orang pada kita. Ada kecurian, kita, yang disangka, ada kerusakan
kita disyak mengerjakannya dan sebagainya. Itulah adat dunia: menimbun yang
telah tinggi dan menggali yang telah rendah!"
Mendengar kata Darwis itu Laminah terdiam: terasa olehnya kebenaran
peribahasa itu. Darwis pada ketika itu tiada putus-putusnya mengamat-amati muka gadis itu.
Bersukacita ia melihat, bahwa Laminah percaya kepadanya. "Ha! Sekali ini, tiada
lepas engkau dari jaringku!" tertawa ia dalam hatinya...
"Ah! Begitulah," kata Darwis meneruskan percakapan itu, mengambil hati
Laminah, "kita harus tawakkal saja dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang
Mahabesar dan Mahaadil. Masakan dibiarkannya hambanya yang tiada berdosa kena
aniaya. Janganlah engkau amat bersusah hati. Coba lihat, sehari dua ini Mansur
tetap akan keluar dari tutupan. Kalau kita berdiri pada kebenaran sama artinya
kita berdiri disisi Tuhan semesta alam."
Laminah, gadis yang tiada menyangka suatu apapun itu, makin lama makin
tertarik mendengar perkataan Darwis yang sedap dan tepat-tepat itu.
"Moga-mogalah serupa itu!" jawabnya hampir-hampir tiada kedengaran.
Berapa lamanya orang berdua itu tiada mengeluarkan kata sepatah juapun.
Darwis memikirkan kemenangannya dan Laminah mengenang kemelaratannya.
Tiba-tiba ujar Darwis: "Jadi malam ini akan tinggal disinikah engkau
sendirian" Tiadakah engkau takut?"
Laminah mengangguk: "Akan pergi kemana pula aku, kalau tidak tinggal
disini. Sanak saudara tak ada! Berani tak berani mesti aku beranikan."
"Sungguh amat payah itu!" kata Darwis. "Sebenarnya aku hendak menemani
engkau disini, tetapi aku takut engkau tiada percaya kepadaku!"
Habis perkataannya itu, Darwis menjeling Laminah; tahu ia, bahwa
perkataannya itu sampai ke tempat yang ditujunya.
Perawan yang tiada berdosa itu tiada menjawab.
Dari dahulu tahu ia, bahwa Darwis baik hati dan suka menolong dan
membantunya, sehingga sedikitpun tak heran ia mendengar perkataan yang manismanis itu.
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampai sekarang dipandangnya keramahan yang timbul dari perasaan
persaudaraan. Tiada sekali-kali terpikir olehnya bahwa dibelakang sopan-santun
dan kebaikan itu berdiri singa yang ganas dengan kukunya yang runcing dan
saingnya yang tajam, yang setiap waktu menantikan saat yang baik akan menerkam
mangsanya. O, sungguh banyak mati kerbau oleh rumput muda dan semut oleh manisan!
"Ah, baiklah jangan!" jawab Laminah tiba-tiba. "Tetapi jangan pula engkau
salah sangka; bukan aku tiada percaya, o, jauh sekali dari itu! Tetapi pada
perasaanku tak baik rupanya dipandang orang. Cobalah pikir: adakah seorang lakilaki muda menemui seorang anak gadis" Amat sumbang itu pada mata orang banyak.
Jadi, biarkanlah aku tinggal sendiri saja disini!"
Semuanya yang dikatakan Laminah itu keluar dari sanubarinya yang jernih.
Kalau ia tiada takut ada sindiran orang, mengapakah pula ia tiada mau ditemani"
Bahkan, hendak ia mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan hati itu.
Darwis amat bersukacita mendengar jawaban itu. Sekarang anak perawan itu
telah dalam tangannya; sedikit saja dikatakannya dan......Laminah takkan
membantah lagi. "Pikiranmu itu benar! ujar Darwis, sambil ia memain-mainkan tangannya.
"Engkau sebagai seorang perawan harus menjaga namamu.
Tetapi engkau lupa, bahwa aku, sebagai kenalan, ya, boleh kukatakan,
sebagai saudara amat sia-sia, kalau aku biarkan engkau seorang diri di rumah
ini. Tidak Laminah! Itu tidak mungkin. Sekarang aku tahu suatu akal. Nanti kalau
hari telah malam aku kembali kemari diam-diam, sehingga tak tahu orang, bahwa
aku mengawani engkau......
Seketika berhenti ia menunggu jawab Laminah. Tetapi setelah dilihatnya,
bahwa Laminah takkan menjawab, terus ia berkata: "O, tidak! Tak boleh aku
biarkan engkau tinggal seorang diri disini. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas
dirimu" Bukankah malu aku sebagai temanmu dan teman saudaramu" Tidak! Tidak! Itu
tidak boleh; aku wajib menjaga keselamatanmu...Tetapi sekarang baiklah aku pergi
dahulu dari sini, supaya orang jangan salah sangka " Nah! Laminah nanti aku
kembali lagi!" Habis perkataannya, Darwis menjauhkan diri. Sukacitanya lebih-lebih dari
sukacita seorang pahlawan yang pulang dari padang kemenangan. Kini telah sampai
maksudnya; tak ada lagi yang dapat mengalangi cita-citanya.
Sekonyong-konyong teringat ia akan Malik. Bagaimanakah kalau ia kelak
datang pula ke rumah Laminah" Tetapi...itu tidak mungkin. Bukankah tadi katanya,
bahwa ia besok baru akan pergi kesana.
Ah, meskipun ia datang sekalipun, apakah yang ditakutkannya. Ia seorang
laki-laki dan mengadu kekuatan dengan orang seperti Malik sedikitpun tiada
menggentarkannya. O, tidak! Sekali ini mangsanya itu tidak akan dilepaskannya! Lebih suka
lagi ia melepaskan jiwanya.
Menunggu-nunggu hari malam ia berjalan-jalan kesana-kemari, tetapi
pikirannya tiada beralih-alih dari rumah kecil dibalik benteng itu.
Beberapa lamanya Laminah memikirkan jasa Darwis kepadanya; takkan terbalas
olehnya kebaikan itu. Dari bersama-sama bekerja di toko roti itu dahulu telah
dikecapnya sifat penyayang dan penolong itu.
Bagaimanakah pula ia dapat
menemaninya" Sebenar-benarnya ia
itu. Siapa tahu, kalau-kalau ada
Betapa besarnya kekuatan seorang
mencegah bujang teruna yang baik hati itu
tiada berani sendiri di rumah yang terpencil
orang yang hendak berbuat jahat atas dirinya!
perempuan" Sesudah itu mulai lagi ia terkenang akan saudaranya dan akan nasibnya yang
celaka. Air matanyapun mulai pula berhamburan, tiada tertahan...
Kira-kira pukul delapan malam Laminah membukakan Darwis pintu; berbagai
buah-buahan dan makanan dibawanya.
Sesudah ia duduk katanya: "Makanlah ini, Laminah! Semuanya ini sengaja aku
bawa untukmu, sebab aku tahu, bahwa engkau dari pagi tadi tak makan sedikit
juapun." Mendengar itu barulah teringat Laminah, bahwa sehari-harian ini tak lain
kerjanya dari menangis. Dicobanya memakan pembawaan Darwis itu, tetapi dengan segera berhenti ia,
sebab sedikitpun tak ada seleranya.
"Ah, Darwis!" keluhnya, "payah saja engkau membawa penganan ini. Entahlah,
perutku rupa-rupanya tak mau menerima sesuatu apa."
"O, kalau seleramu sekarang masih tertutup," sahut Darwis, "simpanlah
dahulu semuanya itu; barangkali kelak terbit laparmu. Sebenarnya tiada baik
berperut kosong, tetapi, jika tak dapat engkau makan, apa boleh buat. Apakah
gunanya kalau semuanya nanti engkau muntahkan kembali."
Laminah tiada menjawab sedikit juapun; disimpannya semuanya dan ia pun
berkata: "Aku amat letih sekarang, dan barangkali sebaik-baiknya aku tidur
sekejap untuk melupakan kemalanganku."
Iapun membawa bantal dan tikar untuk tempat tidur Darwis dan sudah itu
masuk ia ke dalam kamar akan merebahkan dirinya.
Sebanarnya bukan ia hendak tidur, tetapi hendak mengasingkan dirinya.
Bukankah orang dalam duka-nestapa itu tiada suka berbaur dengan orang
lain" Bilik tempat Laminah tidur itu cukup benar untuk ia seorang. Mansur
biasanya tidur di tempat Darwis sekarang. Pintu kamar itu tiada dapat dikunci
dari dalam tiap-tiap malam, kalau Laminah hendak tidur dikatupkannya saja daun
pintu itu. Demikian juga malam ini. Beberapa lamanya gadis itu terbaring di tempat tidurnya, tetapi matanya
tak dapat dipicingkannya sekejap juapun. Selalu saja teringat ia akan
saudaranya" "Bagaimanakah halnya sekarang" Dimanakah tidurnya" Apakah ia diberi
orang makan tadi" Tentu ia agaknya gusar memikirkan adiknya tinggal
sendirian...!" Syahdan tersebutlah Malik yang beberapa lamanya menantikan temannya
pulang, sebab biasanya orang berdua bersahabat itu bercakap-cakap dan berjalanjalan dahulu sebelum tidur.
Kini hari telah hampir larut mala dan Darwis belum jua kembali. Kemanakah
gerangan ia pergi" Mengapakah ia berjalan sekali ini diam-diam, tak berkata-kata
dan tak mengajak karibnya"
Tiba-tiba terkenang Malik akan percakapannya dengan Darwis siang tadi.
Bulu romanya berdiri dan hatinya menjadi kecut."
"O, jangan-jangan ia sekarang pergi ke rumah Laminah akan melangsungkan
maksudnya yang rendah," pikirnya dan sendi tulangnya menjadi lemah, seperti
orang yang ketakutan. Beberapa lamanya laki-laki muda itu agak tiada bergerak-gerak; dimukanya
terbayang-bayang Laminah, perawan yang malang itu.
O, alangkah sial nasibnya! Bukan sehari lagi saudaranya dimasukkan orang
dalam penjara dan kini dirinya sendiri diancam oleh bahaya yang mahabesar.
Malik terkenang akan adiknya yang perempuan dikampung. Aduhai, kalau
adiknya itu dibuat orang begitu pula...Ia menekan geramannya, mengepalkan
tinjunya... Tidak! Tidak! Itu tak boleh dibarkan!
Sebagai kilat Malik mengambil bajunya dan dalam sekejap ia telah di jalan
besar. Malam itu amat gelapnya. Langit hitam oleh awan yang tebal dan satu
bintangpun tak ada kelihatan. Udara sunyi-senyap, berat dan jauh sekali dari
sejuk, suatu alamat yang tiada pernah mungkir, bahwa tiada berapa lama lagi akan
turun badai yang amat keras.
Tetapi Malik tak mengindahkan semuanya itu. Pikirannya hanya satu, yaitu:
ia harus memperlindungi perawan muda itu. Siapa sekalipun takkan dapat
mengalanginya, usahkan mencegah. Sebagai suatu petunjuk Ilahi terasa olehnya
sampai ke sumsum, sampai ke hati kecil, bahwa ia pada waktu itu harus dekat
Laminah, harus dekat gadis yang suci dan yang tiada berdosa itu akan membela.
Malik berjalan amat cepatnya; batu-batu yang tajam di jalan sedikirpun tak
dipedulikannya, seolah-olah kakinya dari karet, bukan dari daging, yang tahu
merasa sakit. Dengan hal yang demikian sampailah ia ke rumah kecil dibalik benteng
"Marlborough." Pintu muka terbuka dan dari dalam keluar cahaya pelita minyak
tanah yang keluar. Malik tak berpikir panang lagi; dengan segera masuk ia
kedalam, terus ke bilik dan ke dapur. Beberapa kali ia keluar-masuk, seperti
orang gila yang tak tahu apa yang dikerjakannya. Sebentar pergi ia kedalam
kamar, diangkat dan dibaliknya kasur, tikar dan selimut. Heran ia melihat
mengapakah sekaliannya itu berserak simpang-siur seakan-akan orang baru
berkelahi diatasnya. Sebentar lagi pergi ia ke dapur membawa pelita dan
diperiksanya tiap-tiap sudut, kalau-kalau ada orang bersembunyi disana.
Demikianlah beberapa lamanya ia mencari Laminah, tetapi sia-sia belaka.
Keputusan akal berlari ia setengah jalan; disana tegak ia tiada bergerak-gerak
seperti patung. Kemanakah gerangan perawan muda itu" Mengapakah maka rumah itu tinggal
terbuka dan kusut masai" Dan kemanakah pula perginya Darwis" Tidak, ia pasti
disini tadi! Tetapi kemanakah dibawanya sekarang gadis yang lemah, yang tiada
berdaya itu" Malik tiada malam sekejap itu bahwa Laminah tak tetapi kini lebih percaya akan dirinya. Bermimpikah ia" Digosoknya matanya dan
juga ia berlari masuk rumah kecil itu kembali. Tak percaya ia,
ada disana. Semuanya diperiksanya pula sebagai sebermula,
tenang dan teliti dari tadi.
Beberapa lama antaranya ia keluar pula. Sungguh rumah itu kosong, sebenarbenarnya kosong!
Sementara itu telah turun angin topan yang amat mendahsyatkan, seolah-olah
hendak memusnahkannya sekalian yang hidup dan tumbuh di muka bumi ini. Batangbatang kayu yang menderu-deru, sebentar seperti orang tertawa. Dari laut
kedengaran bunyi ombak berderum-derum, laksana tempik-sorak bala tentara iblis
dan setan yang menakutkan dan menecilkan hati.
Tetapi Malik sedikitpun tak merasa ngeri. Ditinggalkannya rumah kosong itu
dan ia pergi menuju ke pelabuhan. Di sebelah kiri tegak benteng "Marlborough",
hitam dan tegap seolah-olah bukit batu yang besar, yang tak ditumbuhi satu
apapun. Di sebelah kanan terbentang tanah lapang rumput yang lebat sampai ke
tapak Paderi. Sekonyong-konyong sekaliannya itu terang-cuaca oleh kilat. Semuanya yang
tadi diselimuti oleh gelap-gulita, kini tampai terang hampir-hampir seperti pada
siang hari. Malik terkejut dan dengan tiada diketahuinya ia berhenti. Apakah yang
dilihatnya keputih-putihan dalam cuaca sekejap tadi itu dekat tapak Paderi"
Manusia atau jin atau hantukah"....
Angin badai berciut-ciut mengembus pohon-pohon yang tumbnuh di tepi jalan,
seolah-olah suara manusia minta tolong......
Bujang muda itu melompat dan sebagai anak panah lepas dari busurnya
berlari ia menuju ke arah bayang-bayang yang tampak olehnya dalam kilat tadi
itu. Dalam kalbunya masuk suatu sangka yang makin lama makin keras, sehingga
lupa ia akan gelap gulita malam, akan angin topan dan akan kesunyian Tapak
Paderi. Sekonyong-konyong sekaliannya itu terang-cuaca oleh kilat. Semuanya yang
tadi diselimuti oleh gelap-gulitaeakini tampak terang hampir-hampir seperti pada
siang hari. Malik terkejut dan dengan tiada diketahuinya ia berhenti. Apakah yang
dilihatnya keputih-putihan dalam cuaca sekejap tadi itu dekat tapak Paderi"
Manusia atau jin atau hantukah"....
Angin badai berciut-ciut mengembus pohon-pohon yang tumbuh di tepi jalan,
seolah-olah suara manusia minta tolong....
Bujang muda itu melompat dan sebagai anak panah lepas dari busurnya
berlari ia menuju ke arah bayang-bayang yang tampak olehnya dalam kilat tadi
itu. Dalam kalbunya masuk suatu sangka yang makin lama makin keras, sehingga
lupa ia akan gelap gulita malam, akan angin topan dan akan kesunyian Tapak
Paderi. Dimukanya terlihat-lihat olehnya Laminah, gadis yang sial, yang tak
putus dirundung malang itu...
Sesungguhnya sangka Malik itu tak salah. Bayang-bayang putih yang
dilihatnya tadi itu sebenarnya Laminah, yang berjalan tergesa-gesa menuju ke
tapak Paderi, tak melihat ke kiri ke kanan dan tak mengindahkan satu apapun
seolah-olah ia dimasuki oleh suatu kekuatan yang tak dapat dilawannya. Dalam
gelap-gulita dan angin topan yang mendahsyatkan itu tak ubah rupanya seperti
hantu yang pulang ke kuburan. Baju, kain dan rambutnya yang terurai melayang ke
kiri ke kanan ditiup oleh angin. Ia melangkah tegap dan tetap, jauh sekali
berlainan dengan perawan muda-teruna yang lembut, pengasih dan penyayang yang
kita kenali. Bunyi pohon-pohon kayu diadu oleh badai yang besar itu sedikitpun
tak diindahkannya; badannya laksana ditarik oleh nyanyian iblis laut yang
mahadahsyat dan mahakuasa dengan kesaktian yang tak ada bandingnya. Bertambah
dekat ia pada tempat yang ditujunya, bertambah lekas ia berjalan. Terus, terus
ia mendudu, makin lama makin tiada dapat ditahan....
Tiba di tepi tapak yang penuh iblis dan setan itu berhenti ia sebentar,
sebab dimukanya terlihat olehnya bayang-bayang Mansur, saudaranya mengembangkan
kedua belah tangan mencegah ia mengerjakan pekerjaan yang ngeri itu.
Laminah surut beberapa langkah.
Digosoknya matanya dan diamat-amatinya kelilingnya. Bayang-bayang kakaknya
hilang-lenyap, tiada tahu ia kemana perginya.
Apakah maknanya ini"
Teringat ia akan saudaranya yang amat dikasihinya itu. Apakah katanya
nanti, kalau didengarnya adiknya telah tak ada lagi"
Memikirkan hal itu Laminah menjadi kecut. Tiada sampai hatinya melukakan
hati saudaranya serupa itu! Iapun duduk diatas rumput dan air matanya bercucuran
. Tetapi bagaimanakah ia akan menentang mata saudaranyaeayang senantiasa
memandangnya dengan kepercayaan yang tiada berhingga" Malu ia kepada dirinya
sendiri memikirkan bencana yang telah menimpanya. Rasa hilang bumi tempat ia
berpijak. Sekonyong-konyong terkejut Laminah oleh bunyi yang menyamai tagar
dilangit. Tanah tempat ia berdiri itu gegar seakan-akan hendak runtuh dan pada
ketika itu juga badannya basah kuyup oleh air asin yang terambung dari bawah.
Laut gemuruh itu tiada tertahan lagi menunggu mangsanya....
Laminah berdiri kembali. Pada ketika itu juga terdengar olehnya
dibelakangnya bunyi langkah orang tergopoh-gopoh dan suara orang meneriakkan
namanya. Ia tiada berpikir panjang lagi.
O, tidak, tiada berani ia bertemu dengan saudaranya....
Seperti seorang pahlawan yang mahaperkasa menyeburkan dirinya ditengahtengah musuh, perawan yang putus asa itu melompat ke dalam laut yang bergelora.
Air berkuak dan...Laminah lenyap kedalam beberapa lamanya.
Seketika ia timbul kembali.
Lautan yang tiada berbatas itu terang-benderang oleh kilat. Muka Laminah
tampak seperti muka seorang yang telah berpuluh-puluh musim mendaki gunung dan
sekarang baru sampai dipuncaknya.
Dengan tempik-sorak kemenangan datang ombak yang tinggi melata dari tengah
memukul gadis yang malang itu ke tebing, hancur-luluh...
Di tepi tegak Malik tiada bergerak-gerak, seolah-olah badannya menjadi
batu melihat yang terjadi dalam sekejap itu....
Angin reda dan hujan turun bercucuran seperti air mata bidadari dari
langit... Tetapi ombak belum juga berhenti memukul tebing, seakan-akan mangsa
seorang itu belum cukup untuknya!
"Kucing nasib" telah menjatuhkan pukulannya yang penghabisan.
10. PENUTUP Lima belas tahun kemudian.
Hari parak siang. Negeri Bengkulu lagi sunyi-senyap, laksana seorang dewi yang masih tidur
lelap. Disebelah timur langit telah mulai keungu-unguan suatu tanda kepada
sekalian makhluk, bahwa raja siang akan memperlihatkan wajahnya yang berseriseri dan yang tiada dapat dipandang nyata. Bintang dilangit makin berkurang satu
per satu menyembunyikan dirinya seakan-akan malu mereka memperlihatkan cahayanya
yang kabur kepada matahari. Angin daratan berembus lemah-lembut membawa udara
yang jernih dan sejuk dari gunung yang ke hitam-hitaman, gunung yang seperti
buta besar dan mahakuasa, duduk bersela.
Di pelabuhan berkelip-kelip dua buah lentera, satu merah dan satu biru,
pedoman kepada kapal-kapal yang berlayar di lautan dalam gelap-gulita malam.
Dari jauh kelihatan pula sebentar-sebentar lentera laut pulau Tikus, seperti
kunang-kunang yang menjaga kerajaan Nyai Roro Kidul yang tiada berhingga itu.
Di pantai ombak memecah berderu-deru, tiada berhenti-henti, se-akan-akan
belum puas hatinya, kalau tapak-tapak itu belum runtuh.
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kokok ayam berbalas-balasan dan disana-sini telah kedengaran bunyi-bunyi
burung membangunkan temannya.
Di pelabuhan telah tampak beberapa pegawai hilir mudik, sebab sebentar
lagi akan tiba kapal dari Betawi. Anak-anak perahu duduk berkumpul-kumpul sambil
bercakap-cakap; masing-masing berkelumun kain oleh kedinginan dan sebentarsebentar membubung asap yang tebal dari mulutnya yang menggugam rokok daun nipah
itu. Lautan Bengkulu yang kemana-mana termasyhur buruknya, sekali ini amat
tenang, tiada bedanya dengan sebuah tasik yang permai; perahu-perahu yang
tertambat di tepi hampir tiada bergerak-gerak.
Sebentar-sebentar mendengung pilu, dan mengibakan hati dendang tukang jaga
lentera di muka air itu menyadar untungnya.
O, alangkah dalamnya meresap nyanyian pada waktu subuh serupa itu!
Jauh di tepi langit kelihatan antara nampak dengan tidak, cahaya lentera
sebesar titik, alamat sebuah kapal menghala ke pelabuhan Bengkulu. Noda cahaya
itu bertambah lama bertambah besar dan nyata.
Anak perahu bersiap dan tiada lama antaranya bertolak-lah mereka meng-eluelukan raja lautan itu; sorak tempiknya memenuhi udara, seakan-akan bangkit
gembiranya menelan udara laut yang amat sejuk itu.
Kira-kira sejam lamanya sampailah kapal di pelabuhan dan sauh pun
dijatuhkan oranglah. Dengan jelas dan tangkas anak-anak perahu bersilekas
memanjat tali-temali, berlumba-lumba siapa yang banyak sekali mendapat
penumpang. Gemuruh suara mereka itu berebut-rebut, ditambahi pula dengan hirukpikuk materos-materos mengangkat balok-balok dan menepikan terpal. Tengah hirukpikuk itu tiba bunyi mesin, seakan-akan semuanya itu masih kurang ribut.
Sementara itu hari telah siang. Matahari kelihatan rendah disebelah timur
seperti nyiru emas yang berkilau-kilauan dan diapit oleh awan puspa warna.
Benteng "Marlborough" yang kukuh itu, seolah-olah orang pertapa yang tahu
dan insaf akan harga dirinya dan tiada mau mencampuri perkara dunia, sebab ia
maklum, bahwa semuanya itu kecil dan picik dan tiada bersepadanan dengan
derajatnya. Air laut biru tua dan amat jernih. Ombak berkejar-kejaran menuju ke tapak,
makin dekat makin besar. Gegap dan mendahsyatkan bunyinya memukul tebing,
seolah-olah akan meruntuhkan. Air yang segar dan jernih itupun bercerai-berai
melanting ke segenap penjuru dan jatuh lagi menjadi buih yang keputih-putihan.
Demikianlah berulang-ulang, tiada kunjung berhenti.
Disebelah utara membentang Bukit Barisan, laksana laskar raksasa yang
tiada dapat dikalahkan. Gunung Bungkuk tegak seperti hulubalang dalam hikayat
tua-tua, penuh kepercayaan, sakti dan tahu akan tipu-muslihat perang, menantikan
musuhnya datang. Mega, yang menyelubungi kepala mereka itu dan yang kena sinar
matahari emas urai, memberi suatu tamasya yang indah dan tak mudah luput dari
kenangan. Di tangga kapal orang tiada berhenti turun-naik menurunkan barang-barang
ke perahu. Hari amat baik dan lautpun amat tenang untuk pelabuhan Bengkulu.
Sungguhpun demikian sekoci-sekoci tiada jemah tetap oleh alun yang besar-besar,
sebentar terambang tinggi dan sebentar lagi hilang ditengah-tengah gelombang.
Anak-anak perahu telah biasa akan semuanya itu. Dengan tangkasnya mereka
melompat dari perahu ke tangga dan dari tangga ke perahu, seakan-akan mereka di
daratan. Orang asing pasti takjub melihat ketangkasan yang tak ada bandingannya
itu. Di dek hiruk mesin pengangkat barang memuat perahu-perahu K.P.M. yang
besar-besar dan kukuh-kukuh itu. Seorang-orang putih tiada berhenti menuliskan
sekalian barang-barang yang diturunkan dan sebentar-sebentar ia menghardik dan
mencegah materos-materos yang bekerja dekatnya dengan muka yang merah dan penuh
keringat. Di tempat-tempat yang lain berbaringan penumpang, berimpit-impitan oleh
kesesakan, sedikit pun tak teratur. Yang mabuk bergulingan juga dan muntah tiada
putus-putus. Yang segar bergurau, dan seketika terbahak-bahak, seperti hendak
memecahkan anak telinga. Ditengah kacau-balau dan hiruk-pikuk itu berjalan hilir-mudik kapitan
kapal melihat-lihat menjaga keamanan dalam daerahnya.
Tetapi, siapakah yang termenung diburitan itu" Rasa-rasanya ada kita
bertemu dengan orang serupa itu dahulu. Pakaiannya pakaian kelasi. Ia bersandar
pada terali dan tangan kanannya yang besar dan penuh bulu roma itu menopang
dagunya. Mukanya lebar dan kehitam-hitaman dan dari jauh telah kelihatan
membenteng alis yang lebat seolah-olah dua buah bulan sabit. Diatas bibirnya
melentik kumis seperti ijuk enau. Perawakannya pendek dan bidang dan sekali
lihat saja telah kita tahu kita, bahwa ia kuat dan tiada dapat dipermainmainkan.
Tetapi alangkah lembut dan tenang yojana matanya, itu, seakan-akan tiada
berpadanan dengan badannya yang kukuh dan sigap!
Mengapakah tiada putusnya ia membenang ke daratan melihat Tapak Paderi dan
gudang-gudang yang kemerah-merahan kena cahaya matahari itu"
Dan apakah gerangan yang memilukan hatinya maka ia sebentar-sebentar
menunduk dan menghapus air matanya yang berlinang-linang
O, ya, itulah Mansur, saudara Laminah dahulu.
Alangkah banyak perubahannya dalam lima belas tahun ini. Sekarang ia telah
menjadi laki-laki yang telah berumur lebih dari tiga puluh tahun dan sekarang
telah tahu isi liku-liku dan kelik-kelik jalan hidup didunia ini. Kilat dan
petus ya, apa yang belum ditemuinya selama ia hidup....
Lima hari setelah Laminah terjun ke laut, di Tapak Paderi, Mansur
dilepaskan orang dari tahanan, sebab pencuri uang orang Jepang itu yang
sebenarnya dapat ditangkap. Setiba dirumah dan mendengar cerita orang dari hal
kelenyapan adiknya, anak yang malang itu hampir ia gila oleh kehilangan akal.
Beberapa hari ia termangu-mangu saja, seperti orang yang tiada berjiwa lagi.
Tiada ia makan-makan, tiada ia bercakap-cakap dan tiada ia bergerak-gerak.
Matanya bakup, mukanya pucat dan badannya kurus seperti orang yang baru sembuh
dari sakit berbulan-blan.
Pada suatu hari berserak berita di negeri Bengkulu, bahwa tukang kali di
Pondok Besi mendapat mayat seorang perempuan yang telah busuk.
Pergi ia kesana melihat; mayat itu tiada dapat dikenali lagi, tetapi
hatinya bulat mengatakan itu mayat adiknya.
Berhari-hari ia memikirkan apakah sebabnya maka Laminah sampai ke
laut...ddtetapi sia-sia belaka. Hanya Malik yang tahu akan hal itu, tetapi ia
tak pernah membuka mulutnya, sebab takut ia akan terbawa-bawa. Dengan hal yang
demikian rahasia kegaiban yang sedih itu selama-lamanya tersembunyi, tak
diketahui manusia. Ah, bukankah di dunia ini banyak benar kesedihan dan dukacita yang
tersuruk, yang tak tampak oleh pergaulan, yang tak sampai di neraca keadilan.
Beberapa kali timbul dihatinya niat yang buruk hendak membunuh diri,
sebabnya apakah gunanya ia hidup lagi, sebatang kara, tiada beribu, tiada
berbapa dan tiada pula bersaudara. Tetapi selalu ia akan mengerjakan pekerjaan
yang ngeri itu terpikir olehnya, bahwa mati yang serupa itu mati fasik, mati
orang yang tiada bertuhan.
Dengan hal yang demikian bangkitlah hasrat hatinya hendak meninggalkan
negeri Bengkulu akan menempuh lautan yang lebar. Apakah ditunggunya disini"
Terlalu banyak kenang-kenangan yang merusakkan hatinya.
Demikianlah asalnya ia menjadi kelasi kapal.
Sekarang telah lebih dari lima belas tahun ia berlayar mengelilingi
kepulauan Hindia yang kaya dan makmur ini. Dan dalam lima belas tahun itu ia
senantiasa seperti orang berkhalwat. Teman atau karibnya tak ada dan kelasikelasi yang lain itu tiada dipedulikannya. Selalu kalau telah habis pekerjaannya
ia menjauhkan diri, seolah-olah tiada mau ia berdekatan dengan manusia. Suaranya
jarang didengar orang' sat patah perkataannya seakan-akan berharga berpuluhpuluh rupiah. Kalau tak ada keperluan ia tiada membuka mulut. Mukanya keras dan
mati seperti patung, tiada pernah berubah-ubah, tak dapat menerka atau menduga
apa yang mendebur di dadanya.
Mula-mula dahulu heran materos-materos yang lain melihat perangainya yang
ganjil itu, tetapi lambat bangat keheranan itu hilang.
Ah, bukankah lekas benar manusia ini biasa akan sesuatu"
Tahu mereka, bahwa ia tiada hendak berjinak-jinakkan dan mereka pun
tiadalah mendekat-dekatinya.
Mansur digelarkan orang "kerbau jarang". Gelaran itu sangat berpandanan
padanya menilik pada kekukuhan badannya dan pekertinya yang ganjil dan tiap-tiap
kapalpun tahu, siapa yang dimaksud dengan nama itu.
Ketika ia baru menjadi kelasi dahulu, sering ia diusik dan ditertawatawakan orang, tetapi sekali diperlihatkannya kekuatannya dan sejak itu ia tahu
orang, bahwa ia tiada boleh dipermudah-mudah.
Demikianlah hidup Mansur bertahun-tahun.
Tiada pernah ia menyertai pekerjaan materos-materos yang lain, seolah-olah
benci ia akan kenakalan dan keganasan orang laut yang tak semena-mena itu.
Pegawai kapal yang tinggi amat sayang padanya, sebab ia senantiasa bekerja
berhati-hati dan tiada sekali juga mengerjakan pekerjaan yang tiada senonoh.
Dalam hatinya Mansur selalu terkenang akan Laminah dan akan keraibannya
yang ajaib. Berapa lama telah dicobanya akan melupakan semuanya itu, tapi siasia belaka. Bayang-bayang adiknya, seolah-olah setiap ketika menurutnya kemanamana sekalipun. Dengan hal yang demikian timbullah lambat-laun di sanubarinya
suatu kasad yang makin sehari makin teguh, yaitu: kalau ia mati ia hendak
berkubur bersama-sama dengan adiknya yang dicintainya di dalam lautan yang tiada
berhingga. Inilah pula sebabnya maka ia lima belas tahun tiada jemu-jemu menjadi
kelasi kapal. Tiap-tiap hari ditunggunya putus nyawanya dan dilemparkan orang ke
dalam laut. Sebabnya, apakah dinanti-nantinya lagi di negeri yang fana ini"
Ayah-bunda dan adiknya telah mendahuluinya berpindah ke negeri yang baka.
Akan dikecapnyakah berpindah sekalian nikmat dan kemanisan madu di dunia ini"
Tidak! Tiada terima olehnya! Sejak Laminah tak ada lagi, semuanya itu telah
diharamkannya dan ia telah bersumpah pada dirinya akan menurut mereka itu di
jalan "derita dan kesengsaraan."
Tetapi seperti sekalian di muka bumi ini, tiap-tiap yang ditunggu-tunggu
dan diharap-harap, lambat tibanya dan yang tak disangka-sangka atau dimimpimimpikan terjadi dengan sekejap.
Sementara itu raksasa "waktu" terus juga berjalan dan penderitaan
Mansurpun tiada juga kunjung-kunjung berhenti. Allah saja yang mengetahui
bagaimana ia hasrat sebangat-bangatnya akan kedatangan hari ia mengatakan
selamat tinggal kepada sekalian isi dunia, akan kedatangan hari ia menurut ibubapanya dan adiknya yang dikasihinya di negeri ruh dan arwah...
Mansur telah lebih dari tiga tahun tiada melihat-lihat negeri Bengkulu,
sebab kapal yang diturutnya itu selama ini harus berlayar pulang balik ke pulaupulau Sunda Kecil. Tetapi sejak minggu ini ia mulai lagi menyisir pantai barat
pulau Sumatera. Hal ini bukan main membesarkan hati Mansur. Tiada terkata-kata
rindunya pada negeri tempat perceraiannya dengan adiknya itu. Sejak dari kemarin
meninggalkan Krui, hatinya tiada tentu lagi. Segala pekerjaannya tiada menjadi,
sebab pikirannya tiada tetap. Sebentar-sebentar terbayang combayang dimukanya
Laminah, adiknya yang lembut dan penyayang itu. Iba hatinya tiada tertahan-tahan
dan badannya seolah-olah tiada bergaya lagi.
Semalam ia minta permisi, sebab katanya ia hendak melihat-lihat negeri
kecilnya, yang telah lima belas tahun ditinggalkannya itu. Segala pegawaipegawai kapal yang tinggi tahu, bahwa ia seorang yang rajin dan oleh sabab
itulah kehendaknya itu dengan mudah didapatnya. Tetapi sejak kapal berlabuh
tadi, hilang sekalian nafsunya hendak turun ke daratan menengok-nengok.
Siapakah yang akan ditemuinya disana, pikirnya dalam hatinya. Lebih
baiklah ia tinggal di kapal daripada membangkit-bangkit kenang-kenangan yang
memilukan. Inilah sebabnyaeamaka kita temui ia sekarang diburitan, bersandar di
terali sambil bertongkat tuas. Ia memandang ke daratan, ke negeri Bengkulu dan
ke gunung-gunung yang kebiru-biruan.
Lupa ia akan sekelilingnya dan lupa ia akan hidupnya dalam beberapa tahun
yang akhir ini. Di matanya terbentang masa kecilnya. Nampak olehnya negeri Ketahun dan
sungai yang lebar itu, nampak olehnya kubur ayah-bundanya yang sepi dan sunyisenyap di rimba api-api dan nampak olehnya rumah uncu Jepisah di kampung
Terendam. Rasa-rasa didengarnya lagi suara Madang yang ganas dan kejam itu
memarahi dan memaki-maki dia dua beradik; terlihat-lihat olehnya hari yang
penghabisan ia di Ketahun, ketika Madang memukul adiknya. Laminah, anak yang
tiada berdaya itu, sampai pingsan. Alangkah baiknya datuk Halim dan andung
Saripah! Tiadakah terbalas kasih orang dua suami istri itu olehnya. Entah
kemanakah, entah telah berpulangkah agaknya orang tua berdua yang saleh lagi
berbakti itu! Mansur memandang seketika ke langit dan dimintanya kepada Allah,
supaya mereka yang pengasih dan penyayang itu dilindunginya.
Terkenang pula ia akan Marzuki. Telah sebesar siapakah ia sekarang" Dan
apakah kabar Jepisah, uncunya yang baik hati itu" Rupa-rupanya percampuran ia
bertiga malam dahulu itu ialah percampuran penghabisan. Sudah itu teringat pula
ia akan mamak Palikeaorang tani yang sejati itu, dan akan sekalian petuanya.
"Ah, kalau begitu banyak juga orang yang budiman dan dermawan di muka bumi
ini," pikir Mansur. Penghidupannya berdua beradik di Bengkulu dahulu mula-mula berbahagia.
Semuanya sederhana dan tokehnya orang yang rendah hati. Tetapi sejak Sarmin,
bekas kuli kontrak itu, datang mulailah lagi ia berdua masuk "genggaman" nasib
yang celaka. Tiba kepada kelenyapan Laminah, Mansur tiada dapat lagi menahan air
matanya. O, alangkah malang adiknya itu dulu! Tiada berhenti-hentinya ia
dikunjungi malapetaka! Lepas yang satu, datang yang lain pula.
Mansur mengeluh: "Ya, Allah, ya Tuhanku, apabilakah Engkau pulangkan aku
ke asalku" Mengapakah maka engkau azab lagi aku lama-lama di neraka hidup ini"
Bukankah telah lama kuserahkan jiwaku kepadamu dan apakah lagi Engkau tunggutunggu; aku telah lama rela."
Demikianlah Mansur termenung berjam-jam lamanya mengenangkan untungnya.
Matahari sekarang telah lewat ubun-ubun dan panasnya seakan-akan hendak membelah
benak. Sementara itu orang terus juga bekerja. Sekalian barang-barang yang harus
diturunkan telah tiba di daratan dan barang yang akan dinaikkan-pun tinggal
tiada seberapa lagi. Penumpang-penumpang yang akan pergi ke Padang telah di
kapal semuanya. Disebelah barat dengan tiada diketahui berkumpul-kumpul awan yang tebal
dan hitam. Anginpun bertambah lama bertambah kuat. Laut yang pagi tadi tenang,
sekarang bukan main geloranya dan disana-sini kelihatan bunga ombak yang
keputih-putihan. Orang yang biasa di laut telah tahu akan arti semua tanda-tanda
itu: tiada lama lagi tetap akan badai yang amat sangat.
Kapal yang besar dan kuku itu makin lama makin oleng dan perahu-perahu
taklah banyak ubahnya dengan tempurung yang kosong, hilang-timbul ditengahtengah ombak yang makin lama makin besar. Di dek orang bergulingan dan sebentarsebentar kedengaran bunyi yang muntah.
Kira-kira pukul dua Mansur dipanggil orang sebab permisinya habis.
Sekarang ia harus menolong materos-materos lain memasang terpal untuk melindungi
pesisir-pesisir dari pada hujan dan panas. Lekas ia memanjat keatas dan mulai
sekali bekerja. Tetapi pikirannya tiada tentu, sebentar-sebentar ia berhenti dan
termenung. Demikianlah beberapa lamanya.
Peluit kapal berbunyi ketiga kali dan baling-baling pun berputarlah.
Negeri Bengkulu makin lama makin jauh.
Mansur seakan-akan tiada bergaya lagi, mukanya pucat, air matanya
berlinang-linang dan hatinya berdebar-debar.
Akan ditinggalkannyakah negeri Bengkulu"
Mengapakah hatinya berat sekali ini, seakan-akan tiada tertinggalkan
olehnya" Mengapakah bayang-bayang Laminah tiada hendak lenyap dari matanya dan
mengapakah terasa olehnya seolah-olah ada yang menariknya, yang menahan ia
menurut kapal api itu"
Dengan segala tenaganya dikeraskannya hatinya. Digigitnya bibirnya dan
iapun terus bekerja. Tetapi sebentar lagi tiba-tiba lemah badannya dan
penglihatannya bertambah lama bertambah kabur. Tempat ia berjejak seolah-olah
hilang, lenyap...ddMansur, laki-laki yang kukuh tegap itu rebah,
jatuh...Materos-materos lain segera mengejar hendak menolongnya, tetapi...siasia belaka, sebab ia terguling-guling dan jatuh ke laut.
Seketika mereka diam, tiada dapat mengeluarkan sepatah kata juapun dan
menunduk ke air, ke ombak yang tinggi-tinggi. Masing-masing heran, tiada
mengerti segala yang terjadi dalam sekejap itu...
Insaf, mereka berteriak sekuat-kuatnya dan tiada berapa lama antaranya
kapalpun berhentilah. Sekoci dan apung-apung diturunkan.
Lebih dari setengah jam orang mencari Mansur.
Sekoci-sekoci terambung-ambung di gelombang, seakan-akan hendak karam,
mengerikan siapa yang melihat. Tetapi semua usaha sia-sia. Sekarang kapitan
kapal memberi perintah meneruskan pelayaran.
Kapal terus menuju ke Padang, seperti tak ada yang kejadian. Hanya disanasini, di sudut-sudut orang mempercakapkan jatuh dan hilangnya Mansur yang ajaib
itu. Seorang mengatakan ia sakit sawan dan sial benar ia menjadi bajak laut.
Seorang lagi menyangka ia demam panas dan yang ketiga menerka, bahwa ia telah
beberapa hari tiada makan, sehingga badannya amat lemah.
Demikianlah masing-masing mencoba mengeluarkan pikirannya tentang masalah
yang gelap itu. Tetapi, bagaimana juga mereka mencoba menerka-nerka, masalah itu tinggal
gelap juga, gelap untuk selama-lamanya.
Tiada ada orang yang tahu apa sebabnya Mansur meninggalkan negeri
Bengkulu; tiada ada orang yang tahu apa sebabnya Mansur menjadi kelasi kapal dan
tiada pula ada orang yang tahu apa asal mulanya ia jatuh ke dalam laut....
Hanya Mansur sendiri yang maklum berapa berat beban hidupnya, berapa besar
penderitaannya dan berapa besar rahmat Allah kepadanya, ketika ia lepas akan
menurut ibu-bapanya, dan adiknya ke negeri yang baka.
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amin, amin, summa amin...
Dunia terus berputar pada sumbunya. Sedikitpun tiada terasa olehnya
kehilangan yang kecil, yang "tak sebesar tuma" itu...
Aduh, nasib yang ganas, yang buas, yang tak menaruh
iba-kasihan! Alangkah sampai
hatimu merebut apung-apung
dari orang, yang baru hendak
menyeberang lautan yang penuh
gelora, memadamkan suluh orang
yang hendak menempuh rimba
yang lebat dalam gelap gulita!
Aduh, nasib yang kejam, mengapakah engkau merendahkan
apa yang telah rendah, mematahkan
apa yang telah terkulai"
Dunia ini penuh keajaiban
dan keheranan! Disini orang tak berhenti
dirundung azab-sengsara, di sana orang seolah-olah
diturut oleh kemujuran, keuntungan, kesejahteraan
dan kemuliaan. Pusaka Jala Kawalerang 6 Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak Mencari Bende Mataram 18