Pencarian

Hancurnya Samurai Cabul 1

Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul Bagian 1


------------------------------------------------------------------------------
SATU ------------------------------------------------------------------------------
MBAK laut bergulung-gulung menuju pantai. Terlihat sesosok tubuh tua berdiri
sendirian di tepi pantai.
O Matanya memandang ke arah laut. Mungkin juga ia sedang terheran-heran melihat
air sebanyak itu, sebab biasanya yang dilihat hanya air sebatas di ember.
Tak seorangpun tahu apa sebabnya tokoh tua itu
berdiri di pantai sendirian. Yang jelas ia diam tak bergerak sejak tadi.
Tongkatnya menancap di pasir pantai. Jubah birunya melambai-lambai bagaikan
robekan layar perahu.
Rambutnya yang putih rata seperti jambul kuda itu diikat dengan ikat kepala
warna hitam. Jenggotnya tipis, kira-kira hanya dua puluh empat lembar. Kumisnya
ikut-ikutan tipis, entah berapa banyak tak sempat ada yang menghitungnya.
Tubuhnya kurus, mungkin sering puasa atau memang
nggak pernah punya beras, entahlah! Matanya agak kecil, tapi tajam memandang.
Setajam-tajamnya tak setajam ujung bambu runcing.
Kakek jubah biru bertongkat hitam itu hanya menarik napas, karena memang menarik
napas mudah dilakukan daripada menarik perahu. Hatinya sempat berdecak heran.
Rupanya ia melihat bocah kecil berusia delapan tahun bermain selancar di atas
gulungan ombak besar. Papan selancar yang digunakan adalah pelepah daun pisang
muda. Bocah bercelana ungu dan berompi pendek ungu pula itu tampak gembira
sekali. Tubuhnya melayang-layang mengiukti irama ombak sambil berdiri di atas
pelepah daun pisang. Rupanya sang kakek merasa lebih tertarik dengan tontonan
itu ketimbang harus nonton atraksi lumba-lumba.
"Bocah gendeng!" belum-belum sudah memaki. "Anak
setan mana dia sehingga mampu bermain ombak di atas selembar daun pisang"!"
Bocah berusia delapan tahun dengan rambut lebat
agak panjang berteriak kegiangan. Ombak melambungkan dirinya.
"Yihuuuu.....! Hiaaaah.....! Asyiiikkk....!"
Kakek jubah biru hanya geleng-geleng kepala sebentar.
Tapi ia masih diam memandang bocah itu dengan segepok kata di dalam hatinya.
"Daun pisang itu tidak robek sedikitpun, tidak
tenggelam walau dipakai berdiri. Apakah bocah itu punya ilmu peringan tubuh"
Jika benar begitu, alangkah hebatnya dia" Masih kecil sudah bisa berdiri di atas
daun pisang, apalagi kalau sudah besar nanti, mungkin bisa berdiri di atas daun
jendela!" Tokoh tua itu manggut-manggut sebagai pernyataan
kagumnya. sebentar kemudian matanya terkesiap agak kaget. Ombak datang lebih
besar dan lebih kencang lagi.
Bocah itu masih berdiri di atas gulungan ombak beralaskan daun pisang. tapi kini
sang ombak melemparkan bocah itu hingga sang bocah melayang terpisah dari daun
pisang. Mungkin sang ombak jengkel sejak tadi diinjak-injak seorang bocah, dianggap sang
bocah tak tahu sopan santun. Maka terbuanglah bocah itu dan jatuh di pantai
berpasir putih.
"Waaaaoooow.....!"
Buuuhg....! Tubuh kecil itu terbanting dalam keadaan terlentang.
Sang kakek merasa cemas. Hatinya membatin, "Wah, mati tuh anak! Setidaknya gegar
otak! Jatuhnya dari keadaan yang cukup tinggi. terbantingnya keras sekali.
Celaka. Dia tidak bergerak-gerak. Aku harus segera menolongnya!"
Kakek bertongkat hitam segera mendekat. jaraknya
cukup jauh dari tempatnya berdiri. Ia menggunakan gerak bertenaga peringan
tubuh, sehingga dalam sekelebatan sang kakek sudah tiba di samping bocah bandel
itu. Ternyata bocah itu dalam keadaan matanya terbuka.
Melotot tak berkedip.
Sang kakek tampak cemas memperhatikannya. Bocah
itu bicara bagai orang kesurupan. Pelan dan datar.
"Aku terbang.....terbang tinggi....! Apakah aku mimpi"
Oh, ya.... aku mimpi. Mimpi bertemu kodok laut. Hiii....
menyeramkan. Besar sekali! Rupanya kodok laut itu punya jenggot dan kumis
putih.....?"
Sang kakek menepuk-nepuk pipi bocah itu.
Pluk, pluk, pluk.....
"Hei, hei.....sadar. Yang kau lihat ini aku, manusia.
Bukan kodok laut!"
Bocah itu sadar dan segera bangkit terluruk. Matanya mempertegas penglihatannya
ke arah sang kakek.
"O, iya.....manusia," gumamnya serius sekali.
Sang kakek menggerutu, "Sialan! Aku disangkanya
kodok laut. Konyol juga bocah ini"! Kalau tak ingat masih kecil, sudah kutampar
dia!" Bocah itu bergegas bangkit, lalu berlari mendekati perairan laut. Sang kakek
segera berseru, "Hoi, mau ke mana kau?"
"Main ombak luncur lagi!" serunya. Ia tak menoleh sedikitpun. Seakan cuek saja
terhadap sang kakek.
Sementara sang kakek penuh kecemasan melihat bocah itu mendekati pelepah daun
pisang yang terdampar di pantai juga. Ia tak ingin bocah itu main selancar lagi,
sebab menurut perhitungannya permainan itu cukup berbahaya untuk bocah seusia
anak itu. maka daun pisang tersebut segera dihantam dengan pukulan jarak jauhnya
bersinar merah sebesar lidi. Claap....! Braass....! Daun pisang itu robek.
Karena robeknya kecil-kecil maka dikatakan daun pisang itu hancur.
Bocah berompi ungu kaget dan kecewa. Ia memandang ke arah sang kakek yang sedang
bergerak mendekati sambil bawa-bawa tongkat seperti seorang penggembala.
Mungkin saja dia memang seorang penggembala ikan di laut. "Kenapa daun pisangku
kau hancurkan, Pak Tua!"
protes sang bocah dengan cemberut. "Dasar orang tua sirik!" gerutunya tambah
bersungut-sungut.
"Apakah kau tak jera dilemparkan ombak sekeras itu"!
Kepalamu bisa pecah kalau tadi terbentur karang!"
"Pecah ya beli lagi!" jawab sang bocah bersungut-
sungut juga. "Nak, kalau orang mengalami pecah kepala, tidak akan bisa diganti dengan yang
baru. Orang itu pasti akan mati, sebab kepalanya pecah."
"Ah, masa'....."! Coba kau beri contohnya kalau pecah kepala, Aku ingin lihat
apakah kau mati atau tidak!"
"Oooo....bocah gendeng!" gerutu sang kakek.
Dengan suara direndahkan sang kakek bertanya lagi,
"Siapa namamu, Nak?"
"Namamu sendiri siapa, Pak Tua?"
Kakek berambut putih pendek itu tarik napas melihat kebandelan sang bocah. Ia
menahan rasa jengkel dengan menatap ke arah lain sebentar. Setelah dirasakan
memperoleh kesabaran, iapun kembali memandangi
bocah itu. "Kau bisa memanggilku Ki Panut Palipuh."
"Siapa" Ki Parut Melepuh?"
"Ki Panut Pelipuh! Budek!" sentaknya jengkel.
"Ooo... namamu Ki Panut Palipuh Budek" Aneh sekali nama itu?"
"Budeknya nggak dipakai!" sentak sang kakek makin kesal hatinya. Sang bocah
tertawa cekikikan. Sang kakek cemberut dan buang muka.
"Tapi namamu lebih indah Ki Parut Melepuh kok, Pak Tua. Mudah diingat."
"Terserah kaulah!" geramnya sambil cemberut.
"Sebutkan namamu!" sentaknya.
"Namaku Pandu," jawab sang bocah. "Pandu Puber!"
Ki Panut Palipuh menatap ke arah dada sang bocah.
Baru sadar ia bahwa di dada bocah itu ada tato gambar bunga mawar merah dengan
tangkai dan daun dua helai warna biru tinta. Tentunya karena waktu itu belum ada
tinta, maka warna biru itu pasti terbuat dari getah singkong racun. Bagitu
menurut perkiraan Ki Panut Palipuh. Ia membatin kata,"Kecil-kecil sudah
bertato.....!"
Gambar bunga mawar itu dulu waktu bayi masih
menguncup, sekarang sedikit mekar, namun belum
melebar semuanya. Ki Panut Palipuh tidak tahu kalau bocah itu adalah anak Yuda
Lelana dengan Murti Kumala, putri raja jin yang bermukim di Pulau Iblis, (Baca
serial Pendekar Romantis dalam episode : "Geger di Kayangan"
seru deh!) "Pandu Puber," kata Ki Panut Palipuh, "Kuperhatikan sejak tadi kau sudah sangat
lama bermain. Apakah kau tidak takut dimarahi orangtuamu" Sebaiknya kau lekas
pulang, pasti ayah dan ibumu mencarimu, Nak!"
"Kau sendiri kenapa tidak pulang, Ki Parut Melepuh"
Kuperhatikan sejak tadi kau memandangiku bermain
ombak luncur. Apakah kau tidak takut dimarahi oleh istrimu, Pak Tua?"
"Kecil-kecil pandai ngomong juga kau ini?"
"Habis, Ki Parut Melepuh tua-tua juga masih pintar ngomong sih."
"Wah, wah, wah.....!" Ki Panut Palipuh geleng-geleng kepala, merasa kewalahan
menasehati bocah itu. sang bocah juga geleng-geleng kepala dan ikut berkata,
"Wah, wah, wah....!"
Dari arah barat muncul dua orang menunggang kuda.
Mereka menuju ke arah Pandu Puber dan Ki Panut Palipuh.
derap suara kaki kuda memancing perhatian mereka
berdua. Ki Panut Palipuh terkesiap sesaat.
"Gawat! Mereka akhirnya menemukanku juga di sini!"
pikir Ki Panut Palipuh. Maka ia segera berkata pada Pandu Puber, "Cepat pergi!
Cari tempat sembunyi yang aman.
Cepat......cepat.....!" sambil mendorong-dorong Pandu Puber.
"Ngapain pergi"! Aku mau lihat kuda kok! Di tempatku tak ada kuda."
"Tapi.....tapi mereka orang jahat. Mereka mau
menyerangku. Nanti kau ikut-ikutan diserangnya! Lekas pergi sana."
"Nggak mau!" bocah itu ngotot. "Aku mau lihat kuda!"
Di puncak Gunung Isamaya si bocah tinggal bersama kedua orang tuanya. Tentu saja
di sana tidak ada kuda.
Seekor kuda malas mendaki sampai ke puncak gunung yang tinggi itu. Risiko patah
tulang dan masuk jurang membuat para kuda enggan bercita-cita ingin ke puncak
gunung itu. Makanya bocah bandel itu kegirangan melihat kuda datang. Seumur
hidupnya baru tiga kali itu ia melihat binatang yang bernama kuda.
Ki Panut Palipuh segera tinggalkan bocah itu,
menyongsong kehadiran dua orang berpakaian serba
hitam. Pikirnya, seandainya terjadi apa-apa biar jauh dari sang bocah, jadi sang
bocah luput dari salah sasaran. Tapi ternyata Pandu Puber justru mengikuti Ki
Panut Palipuh dengan rasa ingin tahu tentang kuda. Ki Panut Palipuh tak sempat
mengusir, karena jaraknya dengan dua
penunggang kuda itu sudah cukup dekat. Konsentrasi Ki Panut Palipuh lebih
dititik beratkan kepada mereka berdua.
"Akhirnya kita bertemu juga, Ki Panut Palipuh!" ujar salah seorang penunggang
kuda yang berambut abu-abu panjang sebatas punggung. Rambutnya itu diikat dengan
tali putih, dikuncir ke balakang. Wajah orang itu cukup angker, karena punya
alis naik, kumis melengkung ke bawah, jengot gersang alias tak ada. Wajahnya
lonjong seperti timun suri. Matanya kecil berkesan bengis.
Senjatanya golok di pinggang kiri.
"Rupanya kau masih penasaran padaku, Jabang
Demit!" Orang yang di sampingnya menyahut, "Sebelum
kepalamu terpenggal kami tetap memburumu, Panut
Palipuh!" Orang yang bicara agak kasar itu berpakaian htiam-hitam juga. Usianya agak muda
dari Jabang Demit. Tanpa kumis, tanpa jenggot, tanpa alis, sehingga wajahnya
seram tapi lucu. Rambutnya pendek berwarna hitam, jidatnya lebar sehingga
seperti batok depan. Matanya bulat sehingga seperti kacang atom raksasa.
Tubuhnya lebih gemuk dari Jabang Demit. Ia bersenjata kapak lebar bergagang
panjang. Kapak itu putih berkilauan terkena pantulan sinar matahari. Tentu saja
tajamnya bukan hanya bisa untuk mencukur jengot tapi juga bisa untuk mencukur
kepala manusia. Ujung kapak itu runcing seperti mata tombak. orang itu berjuluk
si Mayat Melambai, karena wajahnya lebar tanpa kumis, jenggot dan alis itu mirip
wajah mayat. "Mayat Melambai, kau mendesakku untuk menghabisi
nyawamu! Jangan salahkan tongkatku kalau sampai
membuat kepalamu remuk seketika!"
Wuuut...! Wuuut...! Jleg, jleg...!
Kedua orang itu melompat turun dari punggung kuda.
Jabang Demit yang beusia sekitar enam puluh tahun dan berbadan lebih kurus dari
Mayat Melambai itu mendekati Ki Panut Palipuh, berhenti dalam jarak lima
langkah. Tangannya mulai memegang gagang goloknya, tapi belum mencabut sang golok.
"Panut Palipuh, sekali lagi kuingatkan, lebih baik kau menyerah dan kuserahkan
kepada sang Adipati, daripada kepalamu saja yang kuserahkan!"
"Kali ini kami tidak main-main, Panut Palipuh!" timpal si Mayat Melambai.
Ki Panut Palipuh hanya sunggingkan senyum sinis.
Matanya sempat melirik ke arah Pandu Puber. Bocah itu mendekati kuda dan
mengamati-amati dengan tersenyum-senyum girang. Sejenak kemudian ia berlari
menemui si Mayat Melambai dan mengguncang-guncang lengan orang itu sambil
berkata, "Paman, Paman.... kudamu itu jantan apa betina?"
"Diam kau!" bentak si Mayat Melambai.
"Yaaa.... gitu aja marah," ujar Pandu Puber. "Akukan cuma ingin tahu, kudamu
jantan atau betina. Sebab sejak tadi melirikku terus!"
Plakk.....! Mayat Melambai mengibaskan tangannya, menampar wajah Pandu Puber.
Tamparan itu kena di
wajah dan membuat Pandu Puber terpental jatuh. Tapi bocah itu tidak mengaduh
atau meringis kesakitan. Ia hanya menggigit bibir dan segera berdiri lagi.
"Apakah itu cucumu, Panut Palipuh"!" hardik Mayat Melambai.
"Bukan!" jawab Ki Panut Palipuh tegas. "Jangan
libatkan anak itu!"
Jabang Demit menyeringai kegirangan bagaikan men-
dapat ide baru. Ia berkata kepada Mayat Melambai,
"Tangkap bocah itu, biar si tua peot mau dipenggal atau diserahkan kepada sang
Adipati!" Mayat Melambai ragu dan mendesah, "Ah, dia cuma
anak-anak!"
"Hei, biar dia anak-anak tapi bisa buat pemancing kelemahan si Panut Palipuh!
Kau mau hadiah besar nggak sih"!"
"Kuingatkan sekali lagi, jangna libatkan anak itu!"
sentak Ki Panut Palipuh. Tetapi rupanya Mayat Melambai segera tertarik dengan
ide barunya Jabang Demit. maka ia segera bergerak menyambar Pandu Puber.
Wuuuttt...! Pandu Puber lari ke arah Ki Panut Palipuh. saat itu tangan kiri lepaskan pukulan
tenaga dalam tanpa sinar.
Wuuukk...! Beehg!
"Uuhg...!" Mayat Melambai tersentak mundur dengan badan melengkung dan wajah
menahan sakit. Kalau tidak ditangkap Jabang Demit ia sudah jatuh terkapar. Ki
Panut Palipuh mendorong kepala Pandu Puber dengan sentakkan kegemasan.
"Kubilang lari kok malah mendekati mereka! Goblok!
Uuuh...!" bocah yang disodok kepalanya dengan telunjuk itu tersentak hampir
jatuh. tapi bocah itu hanya menyingkir pelan-pelan sambil bersungut-sungut dan
melirik dongkol.
"Keparat betul kau, Panut Palipuh! Hiaaah...!" Mayat Melambai menyerang dengan
kapaknya. Satu lompatan mengarah kepada kakek berjubah bitu itu. Kapaknya
berkrelebat menebas kepala sang kakek. Wuungg...!
Traakk....! Kapak itu terhenti sebelum melintasi kepala karena dihadang oleh
tongkat hitam. Tongkat berujung cabang itu menahan gerakan kapak yang ditekan
dengan disaluri tenaga dalam. Ternyata tongkat itupun beraliran tenaga dalam
tinggi. Mereka saling kerahkan tenaga dalam hingga tubuh mereka bergetar dan
pertemuan tongkat dengan kapak itu mengepulkan asap putih samar-samar.
Pada waktu itu, Jabang Demit segera berkelebat
menangkap Pandu Puber. Bocah itu menjerit, "Nggak mau.....! Nggak mau...!
Jijik...!"
Wuuut...! Jabang Demit berhasil menyambar tubuh
bocah kecil itu, langsung diraih dalam gendongannya.


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandu Puber meronta-ronta sambil berteriak.
"Jijik...! Jijik...! Nggak mau...!"
Tangannya bergerak-gerak menghantam wajah Jabang
Demit beberapa kali. Plak, plok, plak, plok, plak, plok....!
"Lepaskan! Lepaskan aku! Geli....geli....!" teriaknya meronta-ronta.
Jabang Demit segera melepaskan dengan cara mem-
buang bocah itu. Weerrr...! Pandu Puber jatuh terduduk di pasir. Buuuhg....!
Sedangkan Jabang Demit langsung duduk di gundukan batu setinggi pantatnya.
"Hiaaah...!" Mayat Melambai menyentakkan kakinya
untuk menendang pinggang Ki Panut Palipuh. Tapi kaki Ki Panut Palipuh
menyongsongnya sehingga mereka beradu tendangan berkekuatan tenaga dalam tinggi.
Duaarr...! Mereka terpental karena telapak kaki mereka yang beradu itu memrcikkan nyala
sinar merah dan menimbulkan
gelombang hentakan cukup kuat. Mayat Melambai jatuh terduduk dan segera bangkit
lagi, sedangkan Ki Panut Palipuh hanya terhuyung-huyung ke belakang, lalu tegak
kembali denan tongkatnya.
"Jabang Demit..."!" Mayat Melambai terkejut, matanya melebar hampir lompat
keluar seperti kelereng mau lepas daru mulut bocah. "Jabang Demit"! Kenapa kau"!
Hei..." Kenapa bisa jadi begini"!"
Ki Panut Palipuh ikut-ikutan terbengong seperti kerbau ompong. Rasa heran tubuh
dengan subur di hati kakek berjubah biru itu. Bagaimana tak heran jika melihat
wajah lonjong seperti timun suri itu tiba-tiba berubah bengkak seperti labu
siam" Jabang Demit tak bisa bicara karena menahan sakit.
Tulang pipinya bengkak dan membiru, seprti habis
dihantam dengan palu besi. Jidatnya juga membengkak besar sebelah kanan. Biru
matang, bahkan tampak empuk seperti mangga golek mau busuk. Mulutnya juga
bengkak membiru, bibirnya melepuh besar. bahkan bibir bawahnya pecah. Giginya
ada yang rontok dua, sehingga saat menyeringai ia tampak ompong. Pelipis
kanannya seperti habis dibenturkan ke pilar beton beberapa kali. Bukan hanya
bengkak namun juga lecet-lecet. Matanya yang kecil menjadi lebih kecil lagi
karena tulang matanya ikut membengkak besar. Praktis wajah Jabang Demit menjadi
dua kali lebih besar dari bentuk aslinya. Pembengkakan itu terjadi tidak merata,
sehingga wajah itu berkesan pletat-pletot.
"Jabang Demit, katakan apa sebabnya wajahmu jadi
bonyok dan simpang siur begini, hah"! Siapa yang me-lakukannya"! Siapa"!"
Jabang Demit tak bisa bicara karena kebesaran
bibir.Tapi tangannya menuding ke arah Pandu Puber yang berdiri di samping
gugusan batu karang dengan
menundukkan kepala, antara takut dan benci.
"Bocah cilik itu"! Hanya bocah sekecil itu kau bisa dibuatnya seperti ubi
raksasa begini"! Ah, yang benar aja, Bang....!" ujar Mayat Melambai tak percaya.
Ia tak melihat kala Jabang Demit menggendong Pandu Puber dan anak itu meronta
sambil memukul-mukul wajah Jabang Demit.
Rupanya pukulan itu punya kekuatan hebat tersendiri yang mampu membuat wajah
Jabang Demit menjadi seperti
kentang rebus. Ki Panut Palipuh sendiri tak percaya kalau Jabang Demit rusak parah gara-gara
bocah sekecil Pandu Puber. Ki Panut Palipuh hanya pandangi bocah itu, dan
sengaja membiarkan Mayat Melambai menghampiri si bocah.
"Benar kau yang mengacak-acak wajah temanku itu,
hah"!" bentak Mayat Melambai kepada Pandu. Karena bocah itu diam saja dan
menunduk, Mayat Melambai
terpaksa jongkok di depan Pandu Puber.
"Hei, dengar! Jawab pertanyaanku! Benar kau yang
membuat wajah temanku jadi bonyok begitu, hah"!"
"Benar!" jawabnya menyentak dengan wajah tampak
memendam kebencian.
"Anak setan kau, ya! Hihh....!"
Wuutt...! Tangan Mayat Melambai berkelebat me-
nampar wajah Pandu Puber. Ploook...! Wajah cilik itu telak sekali terkena
tamparan. Tapi tubuh sang bocah hanya guncang ke kiri, lalu tagak lagi. Bocah
itu tidak menangis, tapi malahan memandang dengan berani. Ki Panut Palipuh
sengaja membiarkan karena menjadi semakin kagum
melihat keberanian bocah itu.
"Kenapa kau rusak wajah temanku itu, hah"!
kenapa"!" bentak Mayat Melambai. Wajahnya yang tepat ada di depan Pandu Puber
itu segera ditabok dengan seenaknya. Plook...! Lalu bocah itu lari ke tempat
lain dengan ketakutan. Ia bersembunyi di balik gundukan batu lainnya.
Mayat Melambai diam mematung begitu terkena
tabokan tangan si bocah. Tubuhnya gemetar karena
menahan rasa sakit. Ki Panut Palipuh terbelalak. Rupanya tabokan tangan bocah
itu membekas hitam di wajah lebar Mayat Melambai. Dari mulut sampai batang
hidung dan matak kanan kiri tampak hitam hangus. bahkan kini semakin berasap.
Kulit wajah yang hangus bergerak-gerak melepuh. Barulah rasa sakit itu tak bisa
ditahan, sehingga Mayat Melambai berteriak kesakitan sambil berusaha pegangi
wajahnya. "Aaaoowww...! Panasss...! Panasss...!" ia berlari ke tepi pantai dan
menghamburkan diri, menceburkan wajah ke permukaan air laut. Jooosss...!
"Uuuaaowww...!" ia menjerit semakin keras karena rasa perih tidak tertahankan
lagi. Luka bakar terkena air garam, ya tentu saja perihnya setinggi langit.
Dasar goblok! Akibatnya wajah itu kian memborok dan menjijikkan. Mayat Melambai kebingungan,
salah tingkah sendiri, tak tahu harus mengatasi rasa sakit dengan apa.
"Uuuh...! Uuuh...! Aauuhh...! Jabang Demit, cepat pergi dari sini! Ada anak
setan! Cepat pergi....! Aaauuh...!"
Jabang Demit tak bisa bilang apa-apa, ternyata
kepalanya makin membengkak. Lebih besar lagi dari tadi.
Bahkan jalannya meraba-raba karena matanya tertutup tulang dan kulit kelopak
yang membengkak.
Dua ekor kuda berlari meninggalkan pantai. Ki Panut Palipuh diam terpaku
memandangi kepergian orang-orang yang mengincar kepalanya itu. Kakek tua
tersebut masih terheran-heran dan nyaris tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Maka, sesaat kemudian ia mendekati Pandu Puber yang sudah muncul
dari tempat persembunyiannya di balik sebongkah batu besar. Pandu Puber masih
cemberut, seakan takut disalahkan oleh Ki Panut Palipuh.
"Bagaimana mungkin kau bisa membuat mereka lari
terbirit-birit" Mereka orang-orang bayaran sang Adipati yang ilmunya tidak
rendah. Mereka kebal dengan pukulan bertenaga dalam. Kalau toh luka tidak sampai
begitu. Tapi kau....." Kau hanya sekali tabok saja bisa bikin wajah si Mayat
Melambai menjadi memborok bagitu" Siapa kau sebenarnya, Nak!"
Pandu Puber diam menunduk, mulutnya runcing karena cemberut. Sikapnya seakan
mewakili batinnya yang tak mau disalahkan. Ki Panut Palipuh segera meraih kedua
tangan Pandu Puber. Telapak tangan itu diperiksanya. Ki Panut Palipuh
terbelalak. Ternyata telapak tangan bocah itu tidak mempunyai garis sedikitpun,
kecuali hanya pada bagian ruas-ruas jari saja. Telapak tangan itu mulus tanpa
lipatan apapun, seperti permukaan paha perawan. Putih dan lembut. Selembut kulit
bayi. Telapak tangan Ki Panut Palipuh juga lembut seperti kulit bayi, tapi bayi
gorila. "Tangannya tak bergaris"! Kehebatan inikah yang
membuat wajah Mayat Melambai sekali tabok langsung bonyok"!" pikir Ki Panut
Palipuh. Tiba-tiba dari arah hutan pantai terdengar suara seruan memanggil.
"Guru.....! Guru....!"
Ki Panut Palipuh berpaling, Pandu Puber segera angkat wajah dan memandang ke
arah orang yang berseru.
Ternyata seorang gadis berpakaian kuning dengan ikat pinggang merah, rambutnya
dikepang dua. Cantik dan mungil. Usianya sekitar dua puluh tahun.
"Mirah Duri...." Ada apa kau kemari"!" Ki Panut Palipuh agak tegang karena gadis
itu berlari-lari dengan wajah tegang.
"Guru, orang-orang Rampok Tulang menyerang ke
perguruan! Mereka mencari guru. Katanya mereka akan penggal kepala Guru untuk
mendapatkan hadiah dari sang Adipati Sihombreng!"
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Yang lain lari entah pada ke mana, tak mau pada
kasih alamat, Guru! Yang jelas, perguruan kita sudah diobrak-abrik oleh orang-
orang Rampok Tulang!"
Pandu Puber yang tertarik dengan kehadiran gadis
cantik itu ikut bertanya, "Yang dirampok tulangnya siapa, Yu?"
"Tulangnya mbahmu!" sentak Mirah Duri.
"Kok mbahku dibawa-bawa...." Gumam Pandu tak
berani bertanya lagi.
"Guru, aduuh.... Bagaimana sih" Mereka mengamuk
dengan brutal! Mereka mencari Guru. Mereka
memperkirakan Guru ada di pantai. Aku takut kalau mereka datang ke mari dan
bertemu dengan Guru....!"
Mirah Duri menghentak-hentakkan kaki menandakan
kemanjaannya terhadap sang Guru.
"Aku memang sedang diburu oleh sang Adipati. Dia sangat benci padaku dan
menyimpan dendam kesumat tak ada habisnya."
"Kenapa bisa begitu sih?" cemas Mirah Duri.
"Aku membunuh ayahnya dalam suatu pertarungan
antar perguruan. Sihombreng waktu itu masih kecil, dan belum tahu bahwa
pertarungan itu semata-mata menjaga citra dan martabat perguruan. Setelah dia
berhasil menjabat sebagai adipati, dendamnya itu tercurahkan kepadaku.
Diperintahkanlah beberapa pembunuh bayaran untuk menangkapku atau memengaal
kepalaku. Barang siapa bisa membawa pulang kepalaku akan mendapat
hadiah sejumlah emas permata dan uang yang tidak
sedikit jumlahnya."
"Kalau begitu, Guru harus sembunyi! Jangan kembali ke perguruan karena pasti
akan banyak orang mencari Guru untuk memenggal kepala Guru!"
"Aku harus menghadapi kenyataan ini, Mirah Duri!"
"Tidak. Tidak! Guru tidak boleh ke sana. Guru harus sembunyi! Tentunya yang
mencari Guru bukan orang
berilmu rendah saja. Guru harus bersembunyi!"
"Sembunyi ke mana"!"
Pandu Puber menyahut, "Ke rumahku saja, Ki!"
"Memangnya kau punya rumah?" ejek Mirah Duri.
"Punya dong! Apa dikiranya aku anak celeng, kok nggak punya rumah"!"
"Rumahmu di mana?"
"Di puncak gunung!" jawab Pandu Puber dengan nada bangga.
"Gunung apa" Di sini banyak gunung!"
Pandu Puber melengos. "Yang jelas bukan gunungmu.
Itu gunung ayahku!"
"Memangnya ayahmu punya gunung!"
"Punya! Sebelum aku lahir, Ayah sudah membeli
gunung dua."
"Bohong!" sentak Mirah Duri yang masih kekanan-
kanakan. "Nggak percaya ya sudah. Tanyakan saja pada ibuku."
Pandu bersungut-sungut.
Ki Panut Palipuh bertanya, "Pandu Puber, di puncak gunung apa kau tinggal
bersama kedua orangtuamu itu?"
"Di Gunung Ismaya!"
"Hahh..."!" Ki Panut Palipuh terkejut, matanya
memandang murid perempuannya yang manja dan centil itu. Mirah Duri juga
terperanjat mendengar jawaban Pandu Puber. Tapi ia segera tak percaya.
"Jangan hiraukan jawaban bocah gendeng itu, Guru!
Kusarankan Guru minta perlindungan kepada Nyai Kandagi Suri, bekas istri Guru
dulu itu!"
"Gengsi, ah..." gumam Ki Panut Palipuh.
"Demi keselamatan Guru, lupakan dulu soal gengsi!
Kalau Guru nekat hadapi mereka, ya kalau Guru menang, kalau ternyata Guru kalah
dan mati, bagaimana?"
"Kamu kok malah nyumpahin aku mati?"
"Maksudku kalau Guru kalah, lalu tewas, maka Guru tak bisa mewariskan seluruh
ilmu kepada para murid. Lalu siapa nanti yang akan meneruskan dan mengembangkan
aliran silat "Cakar Mega" ?"
Ki Panut Palipuh diam termenung. Hatinya membatin,
"Benar juga.... Kalau aku mati, aliran "Cakar Mega" tak ada yang meneruskan. Tapi,
haruskan aku bersembunyi di balik jubah bekas istriku Kandagi Suri itu" Gengsi
nggak ya?"
*** ------------------------------------------------------------------------------
DUA ------------------------------------------------------------------------------
OCAH bertato dihajar ibunya. Pantatnya dipukul
berkali-kali. Plak, plok, plak, plok.....! Masih kurang B puas sang Ibu mengambil
sandal, plok! "Ampun, Ibu! Ampun.....!"
"Kapok nggak kau, hah" Kapok nggak"! Kalau main
nggak ingat waktu, nggak ingat pulang!"
Plook...! "Ampun, Bu. Aku kapok, Bu!"
Plaak...! "Main ke mana saja kau, hah" Dua minggu baru pulang"! Bocah apaan kau ini"!
Bandel amat sih" Berapa kali Ibu harus menghajarmu supaya kalau main ingat
pulang"!"
Tangan sang Ibu meraih telinga dan dipelintirnya
telinga itu. Cuiit! Sang bocah meringis kesakitan berjinjit-jinjit.
"Ke mana saja kau, hah" Ke mana saja"!"
"Ber....ber....berkelana, Bu!"
Plaak....! Punggungnya ditabok sang Ibu. "Mau jadi apa kau ini, hah" Kecil-kecil
sudah berlagak berkelana"! Mau jadi apa kau, hah"!"
"Ja....jadi.... jadi pendekar, Bu!"
Plaak...! Punggung ditabok lagi. "Pendekar itu tidak bandel! Pendekar itu menurut
dengan nasihat orang tua!
Ampun nggak kau! Ampun nggak"!"
"Ampun, Bu! Ampun sekali!" kata sang bocah dengan perasaan takut. Telingapun
dilepas kembali. Sang bocah menundukkan kepala dengan cemberut. Rasa hormat dan
takut kepada sang Ibu tetap ada. Ia tak membantah ketika sang Ibu ngomel
panjang-lebar. Sang Ayah, Yuda Lelana, muncul dari depan rumah
samping. Tangannya dikebelakangkan. Tampil dengan tenang dan kalem walau
rambutnya sudah putih beruban rata karena termakan proses ketuaan yang cepat
itu. Saat itu sang Ibu mengomel dari sumur, sang anak ada di depan pintu
samping. "Anak kok bandelnya kayak bapaknya! Kalau main
nggak ingat pulang! Kalau sampai ketukar ayam bagaimana kau, hah" Kalau ada apa-
apa siapa yang rugi" Ibu membesarkan kamu bukan untuk menjadi anak yang
bandel, tapi supaya kamu menjadi anak yang patuh
kepada orang tua! Dasar anak dewa, kalau ngelayap lupa pulang!" Dan sebaris
omelan lagi yang sulit dimengerti orang lain.
Sang Ayah dekati Pandu dan tersenyum, geleng-geleng kepala. Anak itu melirik
ayahnya, cemberut. Sang Ayah malah geli, tertawa tanpa suara.
"Makanya, lain kali kalau pergi bermain jangan sampai seminggu baru pulang.
Kalau bisa setahun baru pulang!"
"Uuuh...! Ayah!" anak itu bersungut-sungut.
"Nggak apa-apa. Dipukul Ibu anggap saja latihan
kekebalan tubuh! Nah, sekarang bikin hati ibumu reda amarahnya!"
"Takut, ah!"
"Ibumu suka kalau mendengar kau menyanyi. Ayo
menyanyilah, biar ibumu terhibur dan tidak marah lagi."
Pandu Puber akhirnya pergi ke sumur, ia naik di atas batu penggilasan tempat
mencuci pakaian. Di sana ia bernyanyi dengan suara lantang dan melenggak-
lenggok. Lagunya mirip lagu "Aku Anak Sehat".
"Aku anak dewa, tubuhku segar.


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena ibuku rajin menghajar.
Sewaktu aku pulang, Ibu langsung mengemplang.
Tanpa perut kenyang, tapi penuh kasih sayang.
Bentuk badanku selalu dipandang, teringat masa
ditimang-timang.
Bila aku tak pulang, tangan Ibu melayang.
Tujuh kali di pipi, lima kali di pantat....!"
Sang Ibu tersenyum. Bangkit dan hampiri Pandu. Suara anak itu ingin mengulangi
lagu tadi. "Aku anak dewa, tubuhku....."
"Cukup!" bentak sang Ibu. Suara itupun putus seketika.
Wajah ceria surut karena takut. Suara tawa mengikik terdengar di belakang Murti
Kumala. Ternyata sang Ayah yang merasa geli melihat perubahan wajah Pandu dalam
seketika, hanya satu kali mendengar bentakkan sang ibu, wajah itu langsung
berubah seperti kembang kol.
"Dengar, Pandu....! Kalau kau masih bandel lagi, Ibu akan jewer kupingmu sampai
putus! Ngerti"!"
"Ngerti, Bu...." Jawab Pandu pelan.
Wuuusss...! Seketika itu angin berhembus terasa aneh.
Yuda Lelana dan Murti Kumala segera tanggap dengan hembusan angin aneh itu.
Aroma rempah-rempah
mengabar bercampur bau kemenyan. Mereka berdua
segera bergegas ke depan rumah batunya. Ternyata
dugaan mereka benar, ada tamu yang datang. Tamu itu tak asing lagi bagi mereka.
Tubuhnya tinggi, besar, hitam, berwajah angker, namun cukup akrab dan dekat
dengan mereka. Sang Ibu langsung berseru, "Panduuu...! Kemarilah, tuh kakekmu datang!"
Pandu Puber girang dan berlari ke depan sambil
berseru, "Kakeeekk...!"
"Hoi, ho, ho, ho, ho...!" Raja Kala Bopak, raja jin yang menjadi ayah Murti
Kumala, tertawa terhoho-hoho
menyambut larinya sang cucu tersayang. Kedua tangannya direntangkan, dan sang
cucu segera melompat. Wuuutt...!
Langsung menclok di dada besar raja jin itu. Plook...!
"Hoh, hoh, hoh, hoh... sedang apa kau cucuku sayang, hah?"
"Sedang ditimang-timang Ibu, Kek!"
"Bagus. Ibumu memang penuh kasih sayang dalam
mendidikmu. Dulu kakek juga sering menimang-nimang ibumu sewaktu ibumu seusia
kau!" "Tapi, Kek.... Kenapa sih kakek betah pakai topeng.
Copot dong!"
"Ho, ho, ho, ho....! Ini bukan topeng, Nak. Ini wajah kakek yang asli. Yang memang
begini wajah dari sononya.
Jangan heran lagi!"
"Amit-amit....." Apa nggak ada yang lebih jelek lagi, Kek?"
"Hoh, hoh, hoh, hoh... untung kau cucuku, kalau bukan kupelintir kepalamu, Nak!"
Raja jin itu walau wajahnya buruk dan menyeramkan, tapi sangat sayang kepada
cucunya. Pandu Puber bagai buah hati yang amat dibanggakan oleh si Raja Kala
Bopak. Kadang-kadang bocah itu dicolong, dibawa terbang ke Pulau Iblis dan diajak
bermain di sana.
Sikap Raja Kala Bopak yang dulu muak sama Yuda
Lelana karena merasa pernah dikalahkan, kini menjadi baik setelah Murti Kumala
melahirkan bayi lelaki itu. Entah mengapa sampai bayi itu sekrang berusia
delapan tahu, Murti Kumala belum hamil lagi. Mungkin memang jatahnya hanya
dikaruniai satu orang anak saja. Yang jelas, Pandu Puber menjadi buah hati bagi
Ayah, Ibu, dan kakeknya.
Sang kakek sering berkunjung ke puncak Gunung Ismaya hanya sekedar kangen kepada
cucunya. Kadang jika ia datang oleh-olehnya satu-dua jurus yang segera diajarkan
kepada bocah itu.
"Asal datang oleh-olehnya jurus! Sekali-sekali kek datang dengan oleh-oleh
jeruk, atau rambutan, mangga atau yang lainnya. Jangan juruuus.... Terus! Mau kau
jadikan apa anakku nanti, Ayah?" kata Murti Kumala.
"Jeruk atau makanan lainnya, dalam sekejap bisa
habis. Tapi ilmu, sampai masuk ke liang kuburpun tak akan hilang! Bekal yang
baik untuk anak adalah ilmu," kata Kala Bopak yang bersuara gema. "Ilmu tidak
akan habis di-makan rayap. Semakin tua malah semakin hebat. Dan aku ingin anak
ini menjadi anak yang hebat!"
"Ah, nanti kerjanya berantem melulu! Pusing aku
ngurusin anak yang suka berantem terus!"
"Berantem demi membela kebenaran kan nggak apa-
apa," sahut Yuda Lelana, bersifat mendukung gagasan mertuanya. "Kau sendiri
sering mengajarkan jurus
"Tembang Keramat" apa nggak punya tujuan untuk
berantem?"
"Lho, itukan sekadar untuk membela diri saja!" debat Murti Kumala.
Jurus "Tembang Keramat" sering diajarkan oleh Murti Kumala kepada Pandu. Jurus
itu dulu diperoleh dari ibunya, yang juga seroang pendekar wanita tapi sudah
meninggal ketika Murti Kumala berusia tujuh belas tahun. Jurus
"Tembang Keramat" dikembangkan oleh Kala Bopak
sehingga menjadi banyak jenisnya.
Pada dasarnya, Murti Kumala cukup bangga mem-
punyai anak pemberani seperti Pandu Puber. Tapi ia tak ingin Pandu Puber menjadi
hanyut dengan kehebatannya dan menyepelekan orang tua. Karenanya Murti Kumala
selalu bersikap seolah-olah tak suka jika Pandu Puber nakal dan konyol. Padahal
Murti Kumala tak pernah cemas bila anaknya pergi ke manapun, karena ia tahu
seluruh ilmu suaminya yang aslinya adalah dewa itu telah menitis masuk ke dalam
raga anaknya. Tetapi sikap mendidik ibu tetap diterapkan oleh Murti Kumala,
supaya sang anak tidak menjadi anak salah asuhan.
Itulah sebabnya, walaupun Pandu Puber punya
kekuatan tersendiri dalam tubuhnya, tapi ia tetap takut dan hormat kepada orang
tua. Anak itu sangat sayang kepada ayah dan ibunya. Sebenarnya ia bisa saja
melawan pukulan ibunya pada saat dihajar seperti tadi. Tapi ia tidak mau, dan bocah itu
bisa merasakan bahwa dirinya
memang patut dihajar, layak dimarahi dan tak perlu membalas dengan gerakan
apapun. Sekalipun ilmu Yuda Lelana menitis kepada Pandu
Puber, jurus "Tembang Keramat" diajarkan oleh Murti Kumala kepada anaknya,
jurus-jurus maut lainnya sering diberikan Kala Bopak sebagai oleh-oleh buat sang
cucu, tapi mereka bertiga merasa bukan sebagai guru Pandu Puber. Malahan sang
Ayah pernah berkata, "Kelak, kalau kau sudah dewasa, carilah seorang guru yang
dapat mengajarkan padamu bagaimana menjalani hidup dan
kehidupan di dunia ini. Seorang guru itu perlu kau miliki, karena dialah yang
akan menjadi tempatmu bertanya ini-itu. Karenanya kau harus mencari guru yang
benar-benar serba tahu, yang ilmunya lebih tinggi darimu."
"Mengapa bukan Ayah saja yang menjadi tempatku
bertanya?"
"Ayah akan kembali ke kayangan bersama-sama ibumu jika waktunya telah tiba. Tapi
kaupun kelak akan menyusul kami pula di kayangan kalau kau bisa memenuhi syarat-
syaratnya!"
Pikiran bocah yang polos itu akhirnya dilontarkan kepada sang kakek ketika hari
itu sang kakek datang.
"Kek, benarkah Ayah dan Ibu akan pergi ke kayangan?"
"Benar. Karena ayahmu tu sebenarnya seroang dewa
yang bernama Batara Kama. Dulu ayahmu diusir dari kayangan, karena melakukan
kesalahan. Dulu kakek juga nggak tahu kalau ayahku itu dewa. Kakek pikir tukang
jual kangkung! Eh, bagitu tarung sama kakek, ternyata kakek kalah. Pantesan
kakek kalah, wong dia itu dewa kok dilawan!"
"Hi, hi, hi...!" anak itu tertawa bangga. "Tapi kakekkan raja jin" Masa' kalah
sama dewa sih?"
"Raja jin kalau raja jin sesat ya tetap kalah dengan dewa. Tapi sejak ayahmu
kawin dengan ibumu, kakek sudah nggak mau jadi jin sesat lagi. Kakek takut kalau
dihajar oleh ayahmu."
"Kek, kalau Ayah dan Ibu naik ke kayangan, lalu aku sama siapa?"
"Jangan takut. Kakek akan mendampingimu sampai
kapanpun. Kakek akan merubah diri menjadi sebuah
pusaka yang bernama "Pedang Siluman" dan tempatnya ada di dalam tubuhmu. Kau
bisa pergunakan kekuatan kakek kalau kau dalam bahaya yang mendesak."
"Jadi sekarang kakek ke sini karena mau berubah jadi pedang?"
"Hoh, hoh, hoh, hoh....! Nggak sekarang, Nak. Itu nanti kalau kau sudah dewasa.
Sekarang kakek ada urusan dengan ayahmu. Kau bermainlah dulu dengan Ibu, ya"
Awas, jangan nakal sama Ibu. Dia anakku lho!"
Urusan penting itu memang segera dibicarakan kepada Yuda Lelana. Tapi tak jauh
dari mereka ada Murti Kumala yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka
bersama. Pandu Puber membantu menyiapkan makan
siang. Murti Kumala mendengar percakapan ayahnya
dengan suaminya.
"Ada sedikit madalah yang ingin kutanyakan kepada-mu, Yuda Lelana."
"Soal apa itu, Mertua?"
"Masalahnya begini," kata Kala Bopak yang tetap berdiri karena tak ada tempat
duduk yang muat untuk tubuhnya yang besar itu.
"Sahabatku seorang manusia, sedang diburu oleh
orang banyak. Seorang adipati yang bernama Adipati Sihombreng membuka sayembara,
barang siapa bisa
menangkap hidup-hidup atau memenggal kepala Ki Panut Palipuh, ia akan diberi
hadiah sekotak perhiasan dan sejumlah uang."
"Atas dasar apa sang Adipati ingin memenggal kepala Ki Panut Palipuh?"
"Dendam turunan. Ayahnya dibunuh oleh Panut Palipuh dalam suatu pertarungan
membela perguruan. Jadi,
masalahnya adalah masalah antar perguruan. Tidak antar pribadi. Tapi masalah itu
diangkat menjadi masalah pribadi oleh Adipati Sihombreng, sehingga ia belum
merasa puas dan tenang hidupnya jika belum bisa memenggal kepala Panut Palipuh.
Hadiah besar yang dijanjikan itu membuat para tokoh sakti yang haus harta segera
tampil memburu Panut Palipuh. Lalu, ia datang ke Pulau Iblis dan meminta
bantuanku. Untuk sementara ini aku hanya memberikan suaka padanya. Ia kubiarkan
tinggal di Pulau Iblis. Siapa pun yang masuk ke Pulau Iblis dengan alasan mau
memenggal kepala Panut Palipuh, tetap akan kutuduh
melanggar wilayah kekuasaanku. Aku bisa bertindak."
"Itu baik, Pak Mertua."
"Tapi Panut Palipuh minta bantuanku untuk membunuh sang Adipati! Aku bingung
memberi jawaban pasti
kepadanya. Menurutmu aku harus bagaimana?"
"Jangan menyerang ke kadipaten, Pak Mertua!" kata Yuda Lelana dengan tegas.
"Pancing saja supaya orang kadipaten atau siapapun datang ke Pulau Iblis. Dengan
begitu Pak Mertua bisa bertindak apa saja terhadap orang yang melanggar batas
wilayah kekuasaan Pak Mertua.
Kalau perlu pancing si Adipati itu supaya datang ke Pulau Iblis dengan
sendirinya. Pak Mertua bisa sadarkan dia, kalau tak mau disadarkan ya apa boleh
buat, terserah mau diapakan itu tergantung kemauan Pak Mertua."
"Tapi masalahnya sekarang adalah, murid Panut
Palipuh yang bernama Mirah Duri ditawan oleh pihak kadipaten, dijadikan sandera
untuk memancing kehadiran Panut Palipuh. Gadis itu akan dilepaskan kalau Panut
Palipuh menyerahkan diri. Pada dasarnya Panut Palipuh mau pasrah demi
keselamatan muridnya itu. Tapi aku melarang, sebab kulihat sifat Adipati
Sihombreng itu licik.
Panut Palipuh bisa ditangkap dan dibunuh, tapi Mirah Duri belum tentu segera
dibebaskan. Bisa-bisa dijadikan bulan-bulanan oleh pihak kadipaten.
Yuda Lelana diam berpikir. Rupanya Pandu Puber
mendengar percakapan itu, dan segera mendekati sang Ayah, lalu berkata.
"Ayah, aku minta izin untuk bebaskan Yu Mirah Duri!"
"Husy! Kamu ini apa-apaan sih, kok ikut campur urusan orang tua saja!" hardik
ibunya. "Soalnya aku kenal dengan Yu Mirah Duri, Ibu. Aku juga kenal dengan Ki Parut
Melepuh itu."
"Panut Palipuh!" Kala Bopak membenarkan.
"Ya. Tapi aku lebih senang memanggilnya Parut
Melepuh, Kek!"
"Terserah deh!" Kala Bopak tak mau berdebat dengan cucunya.
"Ayah, aku minta izin sekali ini saja untuk menolong Yu Mirah Duri."
"Atas dasar apa kau menolong?"
"Yu Mirah Duri tidak bersalah, Ayah. Dia malah dikejar-kejar orang yang disebut
Rampok Tulang."
"Hei, kau tahu nama gerombolan Rampok Tulang
segala, Nak?" sahut Kala Bopak agak heran.
"Yu Mirah Duri yang ceritakan tentang orang-orang Rampok Tulang, Kek." Lalu,
bocah itu mendesak ayahnya lagi, "Izinkan aku ke kadipaten ya, Ayah?"
Sang Ayah diam berpikir. Tapi sang anak berbisik agak keras, didengar oleh
ibunya yang ada di belakangnya.
"Ayah, Yu Mirah Duri itu cantik lho...."
"Nah, nah, nah..... mulai ganjen lu ya" Masih anak-anak sudah berpikir soal
kecantikan seorang gadis! Dasar anaknya Yuda ganjen!"
"Tapi sama Ibu masih cantik Ibuuu....!" Katanya meng-alihkan anggapan. Sang Ayah
tertawa tanpa suara. Sang kakek juga tertawa dengan mulut dibekap. Ibunya hanya
bersungut-sungut tapi tak jadi marah.
"Pandu," kata Yuda Lelana. "Kau masih kecil. Belum pantas tampi menjadi sang
pembela kebenaran. Walaupun kau punya ilmu titisan dari Ayah, tapi kodratmu
belum memungkinkan untuk lakukan cita-citamu itu."
"Apakah anak kecil tak boleh membela kebenaran?"
katanya tengil sekali.
Sang Ayah diam sebentar, memandang mertuanya.
Sang mertua hanya angkat bahu. Artinya, tidak melarang keinginan si bocah, juga
tidak menyuruh si bocah lakukan keinginannya. Semua diserahkan kepada sang Ayah.
"Pandu, pada dasarnya memang kebenaran harus di-
bela. Membela kebenaran perlu ditanamkan sejak usia muda. Tapi.....soal ini Ayah
tak bisa tentukan jawabannya.
Mintalah izin kepada ibumu saja. Ayah tak mau disalahkan Ibu."
Pandu Puber segera mendekati ibunya, tapi belum-
belum sang Ibu sudah berkata, "Tidak! Kau tak boleh pergi ke kadipaten!"
Sang Ibu menuju tempat makan. Anaknya mengikuti,
"Ibu, aku ingin menjadi anak kebanggaan Ibu. Kalau aku bisa bebaskan Yu Mirah
Duri, pasti orang akan bertanya:
'anak siapa itu, kok pintar sekali"'. Dan aku akan menajawab: 'aku anak Ibu.
Ibuku bernama Murti Kumala.
Dia cantik dan bijaksana. Tidak ada perempuan lain yang bisa kalahkan kecantikan
Ibuku. Kalau masak pasti enak.
Ibuku orang yang rajin. Bangun pagi langsung gosok gigi.
Kalau marahpun masih kelihatan cantik'. Nah, kalau sudah begitukan yang dapat
nama harum adalah Ibu sendiri....."
"Hei, kau masih kecil!" tegas Ibunya. "Kecil-kecil sudah pintar merayu! Dasar
anak dewa ganjen lu!"
"Yaaah....sekali ini saja deh, Bu," bujuk Pandu Puber.
"Tidak! Sekali Ibu bilang tidak, ya tidak! Titik!"
Sang anak yang dipandangi Ayah dan kakeknya segera melapor kepada sang Ayah,
"Ayah.....sudah titik tuh!"
"Ya sudah. Itu keputusan Ibumu!"
Pandu Puber akhirnya murung. Tak ada keceriaan lagi di wajahnya. Sang Ibu
bagaikan tidak perduli. Bahkan ketika makan malam bersama, sang anak tampak
tidak berselera. Diajak bercanda oleh kakeknya pun diam saja.
Sang kakek sempat bicara kepada Murti Kumala dan Yuda Lelana secara diam-diam.
"Anakmu itu penuh keberanian. Kalau tak dipupuk
terus, keberaniannya akan hilang dan ia akan menjadi anak banci atau pengecut!"
"Keberaniannya tidak harus berkembang sejak
sekarang!" kata Murti Kumala. "Anak itu masih perlu bimbingan supaya kelak bisa
memanfaatkan keberaniannya dengan baik, tidak menjadi liar dan ganas!"
Darah pendekar mengusik jiwa Pandu. Bergolak terus membuatnya susah tidur.
Bayangan wajah Ki Panut
Palipuh dan Mirah Duri bermunculan dalam ingatannya.
Pandu juga bisa mengeluh, "Kasihan mereka...."


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lewat tengah malam, pergolakan batin bocah itu luar biasa hebatnya. Ia tak tahan
lagi memendam keinginannya. Maka dengan hati-hati iapun keluar lewat jendela.
Gelap malam di luar rumah tak dihiraukan. Udara dingin yang menggigilkan badan
tak dipikirkan. Pandu Puber akhirnya melarikan diri dari rumah menuju kedipaten.
Tekadnya hanya satu, membebaskan Mirah Duri dari
tawanan sang Adipati Sihombreng. Bagaimana caranya" Ia sendiri belum tahu. Yang
penting ia harus segera ke kadipaten dan melihat suasana di sana.
"Ibu pasti marah padaku. Tapi biarlah aku dihajar Ibu, toh tidak akan sampai
mati. Kalau aku bernyanyi
kemarahan Ibu reda kembali," pikir si bocah bandel itu.
"Dari pada aku bebas dari hajaran Ibu tapi Yu Mirah Duri celaka di tangan orang
jahat, lebih baik aku dihajar Ibu tapi Yu Mirah Duri selamat. Setelah dia
selamat, terserah mau ngapain aku tak perduli lagi. Tapi.....berani menungging
mendadak deh, Yu Mirah itu cantik sekali kok. Sumpah!
Memang kalau dibandingkan dengan Ibu masih cantik Ibu.
Tapi aku lebih suka memandang wajah Yu Mirahm sebab dia bukan ibuku. Mau
dipandangi apanya saja bebas. Hi, hi, hi, hi....! Kalau aku bisa membebaskan Yu
Mirah, aku mau minta hadiah di-sun sama dia, ah!"
Gawat tuh anak. Kecil-kecil pikirannya sudah ke arah sun-sunan. Cerdas memang
cerdas, tapi kalau sudah sampai memikirkan kecantikan dan sun-sunan itu
namanya kelewat cerdas. Barangkali memang begitulah kodratnya sebagai bocah yang
kelak menjadi seorang pendekar; Pendekar Romantis. Toh dari kecilpun ia sudah
terbiasa merayu ibunya untuk minta ini-itu. Berarti dia punya kelihaian merayu
wanita juga. Buat para gadis kayaknya perlu hati-hati juga kalau berhadapan dengan Pendekar
Romantis. *** ------------------------------------------------------------------------------
TIGA ------------------------------------------------------------------------------
OCAH nekad itu sampai di kadipaten. Pada mulanya
anak itu clingak clinguk penuh keheranan dan
B kekaguman melihat bangunan-bangunan indah di
kawasan kadipaten. Maklum, selama hidup di puncak gunung yang dilihat hanya
pohon. Ia memandangi tiang bendera yang ada di tengah alun-alun itu sambil
hatinya membatin, "Pohon apa ini namanya, ya" Kok nggak ada daunnya" Kalau
berbuah, buahnya kayak apa ya?"
kebetulan tiang bendera itu sedang tidak dipakai untuk mengibarkan bendera.
Di pinggiran alun-alun terpasang panji-panji kadipaten berkeliling. Terbuat dari
kain panjang digantungkan pada tiang bambu. Bocah nekat itu membatin, "Orang
kadipaten ini gila-gila, ya" Jemur angkin saja sampai segini banyak-nya" Apa tak
punya jemuran di belakang rumah mereka?"
Akhirnya Pandu Puber dekati pintu gerbang istana
kadipaten. Ia diam sesaat mencari akal bagaimana caranya bisa masuk ke sana. Apa
alasannya jika harus menjawab pertanyaan penjaga gerbang"
Pandu Puber urungkan niat mendekati pintu gerbang kadipaten. Ia diam di bawah
pohon terduh beberapa saat.
Mencoba berpikir mencari cara untuk masuk ke benteng istana. Pada saat itu dari
gerbang benteng tampak dua lelaki tua keluar dari dalam benteng. Dua lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun itu berjalan menuju ke arah selatan, melewati
jalanan depan Pandu Puber. bocah usia delapan tahun itu memperhatikan orang
tersebut tanpa mengerti apa sebabnya memperhatikan orang itu. Rasa tertarik
untuk memperhatikan mungkin disebabkan karena kedua orang itu berpakaian mewah
dan indah. Hiasan benang emas dan kerlip-kerlip di pakaian itulah yang
mengundang minta Pandu untuk mengaguminya.
Tanpa disengaja Pandu ternyata mendengar
percakapan mereka.
"Lha iya, sakit kayak gitu kok dianggap enteng! Sang Adipati salah juga. Kalau
tahu permaisuri sudah sering berkeringat dingin dan muntah-muntah, mestinya
beliau segera tanggap dong. Itu tandanya sang permaisuri sedang hamil."
"Lho, mulanya kan dianggap masuk angin biasa?"
"Tapi masuk angin kok terus-terusan" Apa anginnya bandel nggak mau keluar-
keluar" Kalau sudah sampai pingsan-pingsan begini baru kelabakan. Tak urung yang
repot kita juga, disuruh mencari tabib dalam waktu sehari!"
"Tapi menurutku sang permaisuri belum tentu hamil muda. Mungkin memang benar-
benar menderita sakit.
Cuma sakitnya apa itukan belum jelas?"
"Sudahlah, nggak perlu diperdebatkan. Yang penting tugas kita mencari tabib.
Yang kita pikirkan tabib mana yang mujarab" Sebab kalau tabib yang kita bawa
nggak mujarab, Kanjeng Adipati bisa marah sama kita-kita orang!"
Percakapan itu menjauh sebab kedua orang tersebut segera membelok di tikungan
jalan. Bocah nekat itu berpikir sesaat.
"Tabib...." Permaisuri sakit" Hmm..... enaknya aku
pura-pura jadi tabib. Ah, tapi aku masih kecil sih. Pasti nggak dipercaya jadi
tabib. Hmm..... o, ya....begini saja! Aku punya akal."
Pandu Puber pergi sebentar. Ia mencari beberapa
lembar daun. Kebetulan yang didapt daun pare yang tumbuh di samping rumah
penduduk. Delapan daun pare itu dibawanya. Nekat betul anak itu. Ia dekati
penjaga pintu gerbang dan berkata dengan wajah polos.
"Kang, aku mau menghadap Kenjeng Adipati."
"Husy! Sembarangan saja. Anak kecil sepertimu tak diizinkan menghadap Kanjeng
Adipati!" kata penjaga sebelah kiri. Penjaga yang sebelah kanan segera berkata
pula. "Badan kumal dan kotor begitu mau menghadap
Kanjeng Adipati" Bisa dicambuk dua belas kali kau, Jang!"
"Namaku bukan Ujang, namaku Pandu Puber, Kang!"
protes bocah itu.
"Mau Pandu Puber apa Pandu Puser, terserah! Yang
penting kau tidak kami izinkan untuk masuk!"
"Aku diutus kok, Kang."
"Diutus oleh siapa?"
"Oleh seorang tabib sakti bernama..... bernama....."
Pandu Puber mengarang-ngarang nama. "O, ya....namanya Tabib Teh Kolak."
"Siapa....?" Penjaga sebelah kanan tertawa kecil. "Teh Kolak" Kok namanya aneh
sekali?" "Aku nggak tahu, Kang. Pokoknya dia ngakunya
bernama Tabib Teh Kolak, asalnya dari Laut Merah."
"Laut Merah di negeri Cina sana?"
"Iya, kali! Aku sendiri nggak tahu Laut Merah itu di mana," kata Pandu asal
sebut nama laut dan ternyata diartikan nama laut di negeri Cina. Padahal di
negeri Cina belum tentu ada laut yang bernama Laut Merah.
"Eyang Tabib itu menemuiku ketika aku menggembala kambing, Kang. Dia minta
tolong padaku. Katanya dia merasakan sakit sekujur badannya. Setelah dia
bertapa, ternyata rasa sakit itu datang dari Permaisuri di kadipaten ini. Lalu
karena dia ada keperluan di tempat lain, dia minta tolong padaku untuk
menyerahkan obat kepada Kanjeng Adipati. Obat ini harus diminum oleh Gusti
Permaisuri."
"Mana obatnya?"
"Lha ini.... yang kupegang ini!"
"Cuma daun saja?"
"Iya. Pokoknya dia cuma kasih aku daun ini dan disuruh serahkan Kanjeng
Adipati!" Penjaga sebelah kanan berkata kepada penjaga
sebelah kiri, "Berarti tabib itu cukup sakti, dia bisa tahu kalau Gusti
Permaisuri kita sedang sakit. Hebat juga ilmu si tabib itu, ya?"
"Iya! Tapi bagaimana dengan anak ini" Apa diizinkan masuk?"
Penjaga yang satunya berkata kepada Pandu, "Kalau begitu begini saja, Dik.....
Berikan daun itu kepadaku nanti akan kusampaikan kepada Kanjeng Adipati. Pasti
akan segera diborehkan ke tubuh Gusti Permaisuri Kadarwati!"
"Wah, nggak bisa begitu, Kang. Pesan Eyang Tabib, daun ini harus kuserahkan
sendiri kepada Kanjeng Adipati, lalu aku harus memberitahukan bagaimana cara
mengobati Gusti Permaisuri memakai daun ini."
"Daun apa sih itu?" tanya penjaga yang satunya.
"Kata Eyang Tabib... daun ini namanya daun Tapak
Peri." "Ah, kayaknya daun pare deh?"
"Memang daun Tapak Peri mirip sekali daun pare,"
kata bocah itu pintar saja menghindari kecurigaan.
"Kamu jangan bohong lho! Kalau bohong kamu bisa
diserahkan kepada Dokoh Darah lho!"
"Dokoh Darah itu siapa?"
"Algojo yang bertugas menghajar tiap penjahat yang masuk kadipaten!"
"Yaaah.... Kalau kalian nggak percaya, ya sudah. Aku pulang saja!"
Pandu berlagak ingin pergi, penjaga berseru, "Tunggu, tunggu....!"
Langkah Pandu Puber sengaja dihentikan tapi berlagak cuek, hanya menengok saja
dan berkata, "Aku harus mengurus kambing-kambingku, Kang! Nggak punya waktu
untuk ngobrol sama kamu. Kalau kamu nggak percaya padaku, daun ini kubuang saja,
walau konon carinya sampai ke puncak Gunung Krakatau!"
"Eeeh, eh....tunggu dulu! Hmm.... iya deh, kamu boleh masuk. Mari kuantarkan, Dik!"
kata penjaga sebelah kiri.
Lalu, Pandu Puber diantar menghadap Adipati Sihombreng.
Adipati itu ternyata masih muda. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Andaikata lewat ya lewat sedikit.
Mungkin karena makannya terjamin dan kehidupannya makmur, ditunjang dengan
pakaian serba mewah,
makanya wajahnya tampak masih muda, berkumis tipis.
Sorot matanya menandakan dirinya orang egois, tapi tidak cukup cerdas. Ia
sedikir angkuh, terlihat dari cara memandangnya yang selalu mengangkat dagu
sedikit. Patung Emas Kaki Tunggal 12 Istana Kumala Putih Karya O P A Matahari Esok Pagi 3
^