Pencarian

Hancurnya Samurai Cabul 2

Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul Bagian 2


Sebetulnya menghadap sang Adipati tidak
sembarangan orang bisa. Dan tidak setiap tamu berkenan ditemui oleh sang
Adipati. Apalagi hanya seorang bocah sekumal Pandu Puber. tetapi karena kabar
yang diterima sang Adipati adalah tentang bocah yang diutus seorang tabib sakti
untuk bawakan obat buat Permaisuri, maka mau tak mau sang Adipati menerima Pandu
di serambi paseban.
"Eyang Tabib wanti-wanti agar saya diharuskan bicara berdua saja dengan Kanjeng
Adipati," kata Pandu Puber.
Setelah dipertimbangkan sesaat, Adipati menyuruh
orang-orangnya meninggalkan tempat itu. Tapi para pengawal tetap menjaga dari
kejauhan. "Jelaskan maksudmu!" kata sang Adipati.
"Eyang Tabib Teh Kolak menangis saat menemui saya, Kanjeng."
"Kenapa?"
"Karena dia bisa merasakan sakit yang amat berat dan tahu bahwa sakit itu akan
membuatnya mati. Tapi ternyata rasa sakit itu bukan tertuju pada dirinya,
melainkan tertuju pada Permaisuri di sini."
"Tabib Teh Kolak bilang begitu"!"
"Benar, Kanjeng. Makanya dia mengutus saya
menyampaikan obat yang terbuat dari daun Tapak Peri ini.
Kalau saya terlambat memberikan daun itu, katanya Gusti Permaisuri akan menemui
ajalnya. Jadi saya diwanti-wanti agar cepat sampai sini!"
Diam-diam sang Adipati masih punya kecurigaan yang meragukan pendapatnya. Lalu
ia berkata "Apakah kau yakin kalau orang itu seorang tabib?"
"Entah tabib entah orang sakti, pokoknya dia mengaku bernama Tabib Teh Kolak,
Kanjeng. Malahan dia tanya pada saya, apakah istri Raja di sini bernama
Kadarwati"
Saya bilang bahwa saya tidak tahu, sebab saya belum pernah kenalan sama Gusti
Permaisuri."
"Ya, ya.... Memang benar!" jawab sang Adipati mulai heran dan terpengaruh. Padahal
Pandu tahu nama istri Adipati dari percakapannya dengan penjaga gerbang tadi.
Ia mencatat di otaknya nama Kadarwati yang disebutkan penjaga tadi.
"Terus, dia bilang apa lagi?"
"Hmm...anu... Eyang Tabib bilang juga, daun ini jangan sampai disentuh oleh tangan
seseorang yang bernama Dokoh Darah, khasiat daun bisa hilang sebab orang yang
berama Dokoh Darah adalah orang yang tidak jujur. Saya bilang, di kadipaten
tidak ada yang bernama Dokoh Darah.
Orang kadipaten terutama para petugas istana, pasti namanya bagus-bagus. Tapi
Eyang Tabib tetap ngotot, katanya di istana ada yang bernama Dokoh Darah."
"Iya. Benar itu! Memang ada! Dia penjaga penjara!"
"Oooo..." Pandu Puber manggut-manggut dengan wajah
poloSikat Nerakaya. Dalam hati ia ingin tertawa melihat sang Adipati percaya
betul dengan ucapannya. Padahal nama Dokoh Darah itu juga dikenal Pandu dari
mulut si penjaga pintu gerbang tadi.
"Saya nggak tahu kalau di sini ada yang bernama
Dokoh Darah. Maafkan saya, Kanjeng."
"Ya, ya...tak apa. Aku maklum karena kau memang tak pernah masuk kemari. Tapi aku
kagum dengan orang itu.
jelas dia bukan sekedar seorang tabib saja, pasti dia seorang petapa sakti juga.
Kalau bukan orang sakti, tak mungkin dia bisa sebutkan nama istriku dan nama
kepala penjara di sini."
"Ngakunya sih dia pernah bertapa di puncak Gunung Krakatau, Kanjeng."
"Ooo...pantas!" sang Adipati manggut-manggut. "Terus bagaimana lagi?"
"Daun ini harus segera diminum Murti Kumalaan untuk Gusti Permaisuri. Caranya
dengan direbus, airnya jangan banyak-banyak, begitu mendidih langsung dituang ke
dalam mangkok. Setelah dingin diminumkan."
Pandu Puber menyerahkan daun itu. Adipati tampak
gembira, yakin betul daun itu berkhasiat tinggi untuk pemyembuhan.
"Cuman delapan lembar, ya?"
"Betul, Kanjeng. Katanya delapan lembar itu
melambangkan delapan penjuru angin. Ah, saya nggak ngerti maksudnya. Pokoknya
cuma itu yang saya dapat dari Tabib The Kolak. O, ya... dalam merebus daun ini,
katanya harus dibubuhi merica lembut dua jimpit, dan garam tiga jimpit. Airnya
dua mangkok. Cara merebusnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain, harus
kanjeng sendiri. Sebab kata Tabib Teh Kolak, jamu itu akan mujarab kalau direbus
oleh suami orang yang sakit."
"Ya, ya, ya....akan kulakukan sendiri supaya lebih
cespleng!" katanya. "Lalu apa lagi pesennya?"
"O,ya.... Tabib Teh Kolak berpesan, kalau sekiranya di sini ada orang yang namanya
pakai Duri, harus segera diusir. Entah pelayan, entah perajurit, atau pegawai
tinggi istana, kalau namanya pakai Duri, harus diusir dan tidak boleh tinggal di
kadipaten. Sebab katanya orang yang pakain nama Duri itulah penyebab datangnya
penyakit. Nantinya akan menyebar menjadi wabah penyakit. Kalau orangnya dibunuh, malah
bisa menyebarkan penyakit lebih ganas lagi. Jadi, Eyang Tabib hanya berpesan
orang yang namanya pakai Duri harus diusir dari kadipaten dan tidak boleh
tinggal di kadipaten lagi, itu kalau Kanjeng ingin warganya selamat dari
penyakit berbahaya."
Kelebihan bicara Pandu Puber dalam batas usia sekedil itu membuat sang Adipati
semakin yakin. Bahkan sang Adipati beranggapan, "Anak ini sepertinya bukan
bicara dalam kesadarannya. Pasti ada roh gaib yang memakai raganya untuk bicara
sendiri. Mungkin roh sakti sang tabib sendiri."
Pandu segera berkata, "Saya rasa sudah cukup
keperluan saya, Kanjeng. Semua pesan Eyang Tabib Teh Kolak sudah saya sampaikan.
Saya mohon pamit."
"Tunggu, tunggu...!" sang Adipati menahan langkah
Pandu. "Kalau yang pakai nama Duri harus diusir, ya?"
"Betul, Kanjeng. Tak perduli itu pejabat istana atau perajurit biasa, harus
cepat-cepat diusir sejauh-jauhnya."
"Di sini yang pakai nama Duri ada dua, Dewi Widuri keponakanku sendiri. Lalu.....
Wirya Kenduri, juru
tamanku." "Lho....kata Eyang Tabib ada tiga" Kok cuma dua?"
"O, ya...yang satu lagi tawananku, namanya Mirah Duri.
Tapi..." Adipati sempat bimbang sebentar. Pandu Puber berdebar-debar, lalu
berkata. "Pokoknya kalau Kanjeng mau selamat seluruh
rakyatnya ya harus mengusir nama-nama itu!"
"Ya deh! Dari pada rakyatku diserang wabah penyakit yang diawali dari istriku,
lebih baik aku melakukan pesan Eyang Tabib Teh Kolak itu!"
"Kalau begitu, saya permisi, Kanjeng!"
"Tunggu sebentar!" Adipati mengambil uang dalam
kantong kain kecil. "Ini kuberi uang untuk jajan di jalan."
"Wah, terima kasih, Kanjeng. Eyang Tabib melarang saya menerima upah dalam tugas
ini. Kalau saya terima upah, saya sendiri bisa jadi sakit seperti Gusti
Permaisuri."
"Ooo...begitu, ya sudah kalau memang begitu pesan
Eyang Tabib!" sang Adipati tambah yakin lagi. Maka tiga nama yang memakai Duri
tadi diusir dari istana. Bahkan diarak beberapa perajurit agar keluar dari batas
wilayah kadipaten. Tentu saja hal itu sempat mendapat gugatan dari dua nama yang
tidak bersalah itu, Wirya Kenduri dan Dewi Widuri. Mereka protes mengecan
keputusan sang Adipati. Tapi bagi Mirah Duri hal itu sangat
menguntungkan. Mirah Duri sendiri heran, siapa anak kecil yang
membawa kabar seperti itu. Ia hanya mendengar cerita selintas tentang sang bocah
yang datang membawa pesan seorang tabib.
Tetapi ketika ia bergegas melarikan diri dari batas wilayah kadipaten, tiba-tiba
langkahnya terhenti karena kemunculan Pandu Puber dari balik pohon. Bocah itu
langsung nyengir dan berkata.
"Naah... sudah beres kan?"
"Hei, kau... kau bocah yang bersama guruku itu, kan?"
"Betul. Aku yang bernama Pandu Puber, Yu! Aku
mendengar kau ditawan di kadipaten dari kakekku.
Sekarang gurumu ada di rumah kakekku. Lalu aku
berusaha membebaskanmu biar tidak ditukar nyawa Ki Parut Melepuh!"
"Ja...jadi kau yang datang ke kadipaten dan
menyampaikan kabar dari seorang tabib sakti itu?"
"Betul. Habis kau tidak punya cara lain untuk
melepaskan dirimu, Yu! Kalau melawan orang sekadipaten ya belum tentu menang."
"Ya jelas, nggak bakalan menang!"
"Makanya aku pakai cara seperti itu. Tapi...kasihan juga ya, dua orang yang pakai
nama Duri itu jadi ikut-ikutan diusir. Kupikir cuma kamu yang bernama Duri sih.
Nggak tahunya ada dua orang lagi."
Mirah Duri geleng-geleng kepala. "Wah, wah, wah... kau ini akalnya ada-ada saja,
Pandu!" "Yang penting bisa membebaskan kamu, Yu! Aku nggak suka kalau kamu sijadikan
sandera dan ditukar dengan nyawa gurumu. Kamukan nggak salah."
"Memang. Dan...aku patut berterima kasih padamu,
Pandu." "Kasih hadiah dong!"
"Baik. Akan kuberi hadiah. Kau minta hadiah apa?"
"Sun...!" sambil sodorkan pipinya.
"Hahh..."!" Mirah Duri kaget dan tertegun bengong.
*** -----------------------------------------------------------------------------
EMPAT ------------------------------------------------------------------------------
ALAU saja Pandu Puber tahu, dia akan terbengong-
bengong. Kalau saja orangtuanya tahu, mereka
K akan terheran-heran. Suatu yang di luar dugaan
terjadi gara-gara ulah sang bocah nekat yang ingin membebaskan Mirah Duri.
Daun pare pemberian Pandu Puber ternyata benar-
benar sembuhkan penyakit sang Permaisuri. Siang minum air rebusan daun pare
sesuai petunjuk Pandu, sorenya sang Permaisuri sehat dan badannya merasa segar
bugar. Tidak lemas lagi, tidak muntah-muntah lagi, bahkan makannya banyak. Sampai-
sampai suaminya sendiri
bergidik melihat makannya sang Permaisuri. Tentu saja sang Adipati Sihombreng
memuji-muji Pandu Puber di depan siapa saja.
"Bocah itu benar-benar membawa keberuntungan!
Kalau tak ada dia, istriku tak akan sesehat ini dalam waktu singkat. Dia dan
Tabib Teh Kolak memang pantas kuberi perhargaan tinggi. Sayang di mana mereka
berada, aku tak tahu!"
Dewi Widuri juga menemui keberuntungan besar
setelah diusir dari istana kadipaten. Di perjalanan ia bertemu dengan rombongan
Raja Muda Purwanegara yang sedang berburu. Sang raja yang masih single itu
terpikat oleh Dewi Widuri. Tanpa banyak basa-basi lagi, Dewi Widuri dibawa ke
istana Kerajaan SIngosani. Selanjutnya Dewi Widuri dipersunting oleh Raja Muda
Purwanegara, dan jadilah ia seorang Permaisuri yang bahagia hidupnya.
Proses perkawinan itu sangat cepat, sampai-sampai Dewi Widuri sendiri merasa
seperti mimpi tanpa konsep.
Lalu bagaimana dengan Wirya Kenduri" Oh, ia juga
punya nasib yang sama dengan Dewi Widuri. Juru taman itu pulang ke rumahnya, di
kaki Bukit Lumas. Anaknya
ternyata sedang hendak dilamar oleh Pangeran Tambala dari Negeri Tanah Manca.
Pangeran Tumbala adalah
pewaris penguasa Negeri Tanah Manca yang kaya raya dan subur makmur itu.
Perkawinan tersebut membuat Wirya Kenduri diangkat menjadi kepala rumah tangga
negeri tersebut, sejajar dengan para pejabat istana lainnya.
Praktis Wirya Kenduri menjadi OKB alias Orang Kaya Baru yang hidupnya serba
mewah dan glamour. Ia sangat beruntung dan merasa kehadiran bicah nekat itu
telah merubah jalan hidupnya. Seandainya bocah nekat itu tidak menghadap Adipati
Sihombreng, mungkin Ki Wirya Kenduri tidak akan menjadi OKB tapi tetap menjadi
BKO alias Baru Kaya Orang.
Lalu tentang Mirah Duri sendiri"
Wah, tuh cewek punya keberuntungan ganda. Pertama bebas dari penjara kadipaten.
Kedua, setelah memberikan ciuman di pipi bocah nekat itu, ia langsung diserang
musuh lamanya yang bernama Cukilakila. Tapi orang yang
bernama Cukilakila menjadi gemetar ketika mengetahui Mirah Duri dibantu oleh
Pandu Puber. "Ternyata kau ada di pihaknya, Nak?" Kata Cukilakila yang berusia sekitar empat
puluh tahun itu.
"Ya, aku ada di pihak Mirah Duri, Paman!" tegas Pandu Puber.
"Maafkan Paman, Nak. Paman tidak tahu dan belum
mengerti dengan pasti siapa Mirah Duri sebenarnya.
Setahu Paman dulu dia menyerang Paman dan membuat Paman jatuh ke jurang. Untung
tak mengalami cidera berat. Tapi Paman masih penasaran, ingin membalas kekalahan
Paman pada Mirah Duri."
"Paman harus melawanku kalau mau melawan Yu
Mirah!" "Tidak. Paman tidak berani. Maafkan Paman sekali lagi, Nak!"
Melihat Cukilakila ketakutan, Mirah Duri merasa heran, lalu bertanya kepada
Pandu Puber, "Ada hubungan apa sebenarnya antara kau dan dia?"
"Paman Cukilakila adalah perajurit kakekku yang
bertugas menjadi mata-mata bagi siapa saja yang ingin menyerang Pulau Iblis!
Sudah tiga kali ia ditugaskan menjemputku dari Gunung Ismaya untuk dibawa ke
Pulau Iblis saar kakek rindu padaku."
Keberuntungan ketiga bagi Mirah Duri, ia segera
dibawa ke Pulau Iblis dan bertemu dengan gurunya Ki Panut Palipuh. Alangkah
senang hati Mirah Duri melihat gurunya masih selamat. Sang Gurupun sangat
gembira melihat muridnya bebas dari ancaman maut Adipati
Sihombreng. Keuntungan keempat bagi Mirah Duri Raja Jin Kala
Bopak, kakek Pandu itu, berkenan mengangkat Mirah Duri untuk menjadi pegawai
istananya yang bertugas mengatur para pelayan, sekaligus menjadi petugas
penerima tamu yang akan menghadap Raja Kala Bopak. Penghasilannya menjadi
berganda. Pokoknya bahagia sekali masa depan Mirah Duri semasa Pulau Iblis belum
ditenggelamkan para dewa.
Sedangkan Pandu Puber sendiri begitu pulang ke
rumah dihajar habis oleh ibunya. Bahkan distrap tidak diberi makan selama sehari
penuh. Bocah itu menderita, tapi punya rasa bangga bisa menolong Mirah Duri.
Pahanya memang menjadi biru-biru karena dicubiti ibunya. Namun rasa sakit itu
tidak dirasakan karena bayangan indah dicium Mirah Duri masih membekas di
hatinya. Bocah itupun tidak merasa sakit hati oleh hajaran ibunya, karena memang
ia sudah siap untuk dihajar sehingga berani lompat jendela malam hari.
Hal-hal seperti itu banyak dilakukan Pandu Puber
sampai ibunya kewalahan memikirkan bagaimana cara mengurangi kenakalan sang anak
supaya tidak sebegitu bandelnya. Sampai usia sepuluh tahun, Pandu Puber masih
sering bertindak yang mencemaskan hati ibunya.
Sang Ayah tidak pernah merasa cemas, karena sang Ayah tahu betul kapasitas
kemampuan anaknya dalam
melakukan sesuatu yang dianggap bahaya bagi anak
seusia itu. "Dihajar bolak-balik nggak pernah kapoknya tuh anak,"
gerutu sang Ibu kepada sang Ayah menjelang tidur malam.
"Aku bisa tertekan kalau begini caranya! Cobalah kau bertindak menghajarnya,
Yud! Jangan hanya cengar-cengir saja kalau lihat anakmu kuhajar! Aku capek
menghajarnya!"
"Lha apa kita perlu menyewa orang khusus untuk
menghajarnya?" kata Yuda Lelana dengan kalem. Masih tanpa emosi, selayaknya
seorang yang punya kesabaran tinggi.
"Ya nggak gitu maksudku!" Murti Kumala cemebrut.
"Sekali-kali kau turun tangan dong, biar anakmu ngak sebandel itu. Kalau tahu
itu anak bakal jadi anak bandel aku ngak mau kawin sama kamu!"
Yuda Lelana tertawa dalam gumam, "Apa anak itu perlu dimasukkan lagi ke dalam
perutmu lewat jalur semula"!"
goda Yuda Lelana.
"Uuh...! Ngaco!" dengus Murti Kumala sambil buang
muka. Tidurnya memunggungi sang suami.


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yuda Lelana tertawa kecil, lalu memeluk istrinya dari belakang sambil mencium
tengkuk sang istri yang cantik itu. Yuda Lelana berkata setelah sang istri
mengibaskan ciuman itu, tapi tetap diam ketika dipeluk dari belakang.
"Namanya saja anak, bandel itu wajar. Toh bandelnya tidak kepada kita.
Kebandelannya akibat darah
kependekaran yang tumbuh dalam jiwanya. Nanti kalau anakmu nggak bandel, diam
saja nggak ada suaranya, kau jadi kebingungan. Dikira tuh anak kena sawan
celeng" Giliran anaknya bandel, mengeluh dan uring-uringan terus.
Kalau sudah begitu yang rugi siapa" Kan diri sendiri juga.
Dan lagi....."
Yuda Lelana tak jadi lanjutkan ucapannya. Susah payah ia menyusun kata untuk
memberi pengertian kepada
istrinya, ternyata sang istri sudah tertidur dengan dengkuran halus. Yuda Lelana
menggerutu dalam hati sambil menghela napas dalam-dalam.
"Yaaah...libur lagi deh malam ini"!" Iapun hanya bisa garuk-garuk ekpala sambil
menekan rasa kesal di hatinya.
Yuda Lelana segera terbayang tingkah laku anak
tunggalnya itu. Jiwa kependekaran begitu besar tertanam dan berkembang dalam
diri anak itu. Pada usia tiga belas tahun saja sang anak sudah berani melawan
Ketua Perampok Tulang yang bernama si Cacah Rusuk. Konon orang ganas itu dibuat lari
tunggang langgang oleh Pandu Puber dan tak berani muncul di rimba persilatan
sampai beberapa waktu lamanya.
Adipati Sihombreng sendiri sejak tahu siapa Pandu Puber tak berani mengejar-
ngejar Ki Panut Palipuh lagi.
Sebutan Pandu sebagai 'cucu raja jin' membuat Adipati Sihombreng ngeper
mendekati Ki Panut Palipuh karena ia tahu orang itu bersahabat akrab dengan
Pandu Puber. Selain merasa berhutang budi kepada Pandu Puber,
Adipati Sihombreng sendiri juga tak berani ambil resiko lebih berbahaya lagi
jika ia nekat mengejar Ki Panut Palipuh.
Mendengar sepak terjang anaknya, Yuda Lelana hanya geleng-geleng kepala. "Anak
itu benar-benar nggak punya rasa takut kepada siapapun" Aku sendiri nggak sangka
lho kalau bakalan punya anak yang memiliki keberanian senekat itu?" pikir Yuda
Lelana. Bagaimana tidak dikatakan nekat keberanian Pandu
Puber itu, jika dalam usia lima belas tahun berani melawan tokoh tua yang
bergelar Sikat Neraka. Yuda Lelana dam Murti Kumala hanya mendengar cerita
pertarungan tersebut dari mulut Cukilakila yang saat itu juga mendapat cerita dari salah
satu anak buah Sikat Neraka.
Orang yang bernama Sikat Neraka adalah tokoh tua
aliran hitam yang berdarah dingin. Bahkan di rimba persilatan ia dikenal sebagai
salah satu dari sekian banyak orang sakti yang menjadi guru untuk aliran hitam.
Bagi Sikat Neraka, membunuh itu sudah merupakan kegemaran setiap harinya. Sama
seperti orang yang sudah kecanduan olah raga jogging setiap paginya. Sehari saja
tidak jogging, badan terasa pegal-pegal. Demikian juga Sikat Neraka, sehari saja
tidak membunuh orang, tulang-tulangnya jadi ngilu dan urat-uratnya pegal.
Sikat Neraka tak pernah pandang bulu dalam
membantai lawannya. Bayipun kalau perlu disikatnya habis. Seorang nenek tua
renta pun tak segan-segan ditebas dengan golok lebarnya jika macam-macam
kepadanya. Sikat Neraka mempunyai kawanan perampok sendiri yang beroperasi di
wilayah utara. Biasanya ia tampil sebagai Ketua Kapal Bajak Laut. Sebuah kapal
yang sedang berlayar di wilayah lau utara, jika melihat kapal hitam berlayar
marah gambar tengkorak berjambul, pasti para awak kapal titu akan gemetaran
semua. Sebab mereka tahu kapal berlayar merah dengan gambar hitam membentuk wajah tengkorak
berjambul itu adalah Kapal Bajak Laut Sikat Neraka. Kapal apapun yang berpapasan
dengan Kapal Bajak Sikat Neraka tak pernah ada yang selamat. Jika awak kapalnya
ada yang hidup itu suatu keberuntungan besar bagi kapal tersebut. Karena Sikat
Neraka dalam membajak kapal tak pernah menyisakan nyawa para penumpang kapal
yang dibajak. Di laut dia berjaya, di daratpun Sikat Neraka terkenal sebagai perampok berdarah
beku. Siapa saja yang
dirampoknya tak pernah ada yang selamat. Bukan harta saja yang dirampasnya, tapi
nyawa pun ikut dirampas.
Karena itu, tak heran jika nama Sikat Neraka menjadi nama yang ditakuti orang.
Seandainya kala itu Murti Kumala mendengar Pandu
Puber akan bertarung dengan Sikat Neraka, pasti dia akan lari lebih dulu mencari
anaknya dan membawanya pulang lalu dihajar habis-habisan. Tapi cerita yang
dituturkan Cukilakila itu didengar oleh Yuda Lelana dan Murti Kumala setelah
peristiwa pertarungan tersebut selesai dilakukan Pandu Puber yang baru berusia
lima belas tahun. Yuda Lelana dan Murti Kumala hanya bisa geleng-geleng kepala
saja sambil menunggu anaknya pulang untuk dimarahi.
Kisahnya diawali dari perkenalan Pandu Puber dengan seorang gadis putri saudagar
kaya yang bernama Lila Anggraeni. Gadis ini usianya sedikit lebih tua dari
Pandu, sekitar tujuh belas tahun. Cantik sekali dan sexi-nya bukan main. Lila
Anggraeni mempunya bodi yang penuh
tantangan bercumbu bagi setiap laki-laki.
Yang membuat gadis itu kian tambah manis adalah tahi lalat di atas bibir, sebelah kiri. Kecil sih, tapi manfaatnya sangat besar sekali
bagi daya tarik kecantikannya.
Ditambah lagi rambutnya lurus lemas sebatas pundak dan diponi depannya.
Hidungnya mancung miri hidung cewek bule. Matanya indah, bibirnya sendual dan
dada sendiri sangat wow. Dada itu bisa bikin mata lelaki terbelalak seketika dan
bingung mengedipkannya kembali.
Apalagi pakaian yang dikenakan Lila Anggraeni sangat seronok. Baju atasnya kain
tipis warna cokla ttua mengkilap, seperti dari bahan satin. Potongan bajunya itu
tanpa lengan, bagian depannya dikancingkan dengan satu tali pengikat yang sekali
tarik akan terbuka byaak...!
Sedangkan bagian dalam baju itu tidak ada lapisan kain apa-apa lagi. Padahal
belahan kain baju itu cukup lebar, sehingga nyaris separo bukitnya tampak
menantang dengan mulusnya.
Baju itu diikat dengan angkin sederhana warna putih.
Celananya ketat, dari bahan kain sejenis beludru.
Warnanya coklat muda, tinggi sebatas betis. Sebagian betisnya tampak mulus.
Putih tanpa cacat. Ia gadis yang tergolong tinggi, tapi sesuai dengan kesekalan
tubuhnya. Awal perjumpaan dengan Pandu Puber ditandai dengan gemuruh suara kaki kuda
berlari kencang dan sang kuda meringkik-ringkik. Di sela ringkikkan itu,
terdengar pula suara jeritan yang memanjang.
"Tolooooong...! Toloooong...!"
Pandu Puber yang sedang menuruni bukit mendengar
suara itu. Ia paling getol jika mendengar suara perempuan menjerit. Tanpa
menunggu pertimbangan ini itu, Pandu Puber langsung saja lari ke arah datangnya
suara tersebut.
Tak perduli bajunya yang ungu itu tersangkut duri dan robek sedikit, Pandu Puber
segera hadi ke sisi tebing berjurang curam.
Ia berdiri di ketinggian tempat. Matanya memandang ke arah timur, melihat dengan
jelas munculnya seekor kuda yang berlari dengan binal. Di atas kuda ada cewek
kece. Cewek itu ketakutan. Rupanya ia tak bisa hentikan lari sang kuda. Ia
ketakutan. Apalagi sang kuda sesekali mengangkat kedua kaki depannya sambil
meringkik liar.
Sang gadis nyaris jatuh terlempar dari punggung kuda.
Pada saat kuda berlari lagi dengan gerakan liar, Pandu Puber segera melompat
dari ketinggian dan menghadang langkah sang kuda. Sang gadis semakin ketakutan
melihat anak muda belasan tahun berdiri di depannya sementara sang kuda tak bisa
dihentikan dari larinya.
"Awaaas...! Minggir...! Minggiiir...!" teriak gadis itu. tapi Pandu Puber tak mau
minggir, malah bersikap
menghadang laju sang kuda. Sang gadis takut kalau kudanya menabrak pemuda remaja
itu, sehingga ia
berteriak makin keras. Pandu Puber segera menggerakkan tangannya ke atas. Satu
tangan kanan yang diangkat ke atas itu ditarik turun pelan-pelan dengan jari-
jari megar. Tangan kirinya ada di dada dalam keadaan telapak tangan terbuka ke samping dan
tegak ke atas. Setelah tangan kanan yang diturunkan itu mendekati dada, kedua
tangannya segera didorong ke depan dengan pelan-pelan penuh tenaga. Sang kuda
yang berjarak tujuh langkah darinya itu segera mengangkat kedua kaki depannya
dan meringkik keras.
"Iieeehhhk...!"
Gelombang tenaga dalam berhawa sejuk tersalur lepas dari kedua tangan Pandu
Puber. Gelombang itu tak bisa dilihat kecuali dirasakan oleh sang kuda. Sang
kuda mengibaskan kepalanya, dan hentikan langkahnya. Pandu Puber masih luruskan
dua tangan ke depan. Gelombang hawa salju masih menyembur dari kedua telapak
tangannya. Jurus itu bernama jurus 'Hati Damai'. Tapi Pandu Puber tidak tahu
nama jurus itu karena jurus itu titisan dari ayahnya. Hanya saja ia mampu
bergerak bagai dituntun oleh nalurinya sendiri.
"Iiieeehhhkk...!" sang kuda meringkik tapi tak melonjak.
"Minggir kau! Minggir....!" Seru gadis itu dengan tegang.
"Kau yang minggir!" sentak Pandu Puber. "Cepat turun dan tinggalkan kuda itu!
Dia akan menjadi liar lagi jika masih ditunggangi. Ayo, turun!"
"Tur....turun....turun ke aman"!" gadis itu panik.
"Ya turun ke bawah tolol! Masa' turun ke atas"!"
"Maksudku.....o, iya! Aku harus segera turun!" gadis panik itu akhirnya melompat
turun dan berlari ke arah belakang kuda, menjauhi kuda itu, diam di bawah sebuah
pohon berdahan besar dan berdaun rindang.
Sang kuda tampak tenang. Pandu Puber mendekatinya sambil berseru kepada sang
gadis yang masih memandang dengan tegang dan ngos-ngosan.
"Kuda ini punya penyakit kejiwaan! Rada-rada gila!"
"Mungkin!" jawab sang gadis dari kejauhan.
"Makanya lain kali kalau mau naik kuda hati-hati dan pilih dengan teliti. Jangan
naik kuda gila!" sambil Pandu mengusap-usap leher kuda yang tampaknya mulai
jinak. Lalu ia memeriksa kuda itu, sampai akhirnya ditemukan sebuah jarum menancap di
bawah pelana kuda.
"Ooo... ada orang jahil ingin celakakan kamu, Nona!
Ada yang memasang jarum di bawah pelana ini, jadi kalau kau duduk di atas pelana
maka kuda ini merasa kesakitan ditusuk jarum." Pandu Puber mencabut jarum itu
dan menunjukkan dari tempatnya. Sang gadis terbengong heran.
Pandu Puber berkata lagi sambil mengusap-usap
punggung kuda. "Kuda seperti ini tidak boleh mendengar suara teriakan. Semakin
kita panik, semakin panik juga dirinya. Jadi harus diusap dengan lembut dan
mesra, supaya tidak nakal....!"
Begitu selesai bicara, tiba-tiba Pandu terkejut dan tak sempat menghindar. Kuda
itu melonjak dengan dua kaki belakang terangkat, lalu ia menyepak dengan kuat
tepat pada saat Pandu ada di bagian belakang kuda.
Wuuutt...! Buueehg...!
"Heeegh...!"
"Iiiiieeehhkk...!" kuda meringkik bagai kegirangan lalu lari dengan liar lagi.
Sedangkan Pandu Puber terpental dan terguling-guling karena sepakan kaki kuda
terkena telak pada bagian dadanya. Tubuh Pandu melayang dan jatuh tepat di depan
gadis itu, dua langkah dari tempat sang gadis berdiri.
Gadis itu tak hiraukan Pandu yang meringis menahan sakit, sesak napasnya. Gadis
itu berlari sambil berseru,
"Kudaku..."! Kudaku..."! Oh...!" Gadis itu makin gugup, lalu kembali menemui Pandu
Puber yang sudah berdiri dengan sedikit membungkuk dan memegangi dadanya.
"Kudaku...! Kudaku lari...! Oh, larilah kudaku, eh...
anu....kudaku lari!" Gadis itu mendorong-dorong punggung Pandu. "Kejar....! Cepat
kudaku mengejar!
Eh...anu....kudaku dikejar. Cepat dikejar! Kudakuuu...!"
"Kudaku, kudaku!" bentak Pandu dengan jengkel.
"Dadaku ini bagaimana?"
Gadis itu mau lari mengejar, tapi tak jadi dan kembali lagi. Duduk di batu
setinggi pinggulnya dan berwajah murung sedih. Sementara itu Pandu Puber
menggerutu dengan suara jelas.
"Dada mau jebol disuruh ngejar kuda! Yang benar aja.
Hilang kuda sih masih bisa beli lagi, tapi kalau hilang dada mau beli di mana"
Mau diganti dada ayam juga nggak pantas!"
"Tapi...tapi aku tak bisa pulang tanpa kuda. Rumahku jauh...." Gadis itu mau
menangis. Pandu menjadi tegang dan mulai panik.
"Ja...jangan....jangan menangis. Jangan menangis, ya?"
"Rumahku jauh...oooh...aku tak bisa pulang," gadis itu mulai menangis.
Pandu terbayang wajah ibunya jika sedang meanngis.
Pandu paling tidak bisa melihat ibunya menangis. Maka ketika gadis itu menangis,
Pandu menjadi gemetar.
Tubuhnya terasa lemas sekali.
"Jang...jangan menangis...jangan....!" Ucapnya pelan
sekali. Lama-lama berdirinya menjadi limbung. Gadis itu menangis dengan
bersuara. Pandu jatuh terkulai lemas.
Matanya menerawang sayu, terbayang wajah ibunya jika sedang menangis. Napas
Pandu selalu terengah-engah jika melihat sang Ibu menangis, karena ia sangan
sayang kepada sang Ibu dan tak mau melihat sang Ibu menitikkan air mata. Pandu
lebih suka melihat ibunya marah dan menghajarnya daripada menangis di depannya.
"Ibuuu..." Pandu lirih, badannya bagai tak bertenaga lagi. Semakin mendengar
rintih tangis gadis itu, semakin terpuruk raga bocah tampan itu.
"Ibuuu...jangan menangis..." ucapan itu nyaris tak
terdengar siapapun.
Kian lama sang gadis menyadari, bahwa dengan
menangis saja ia tak akan sampai di rumah secara gaib. Ia harus mencari cara
bagaimana supaya bisa pulang ke rumahnya. Maka satu-satunya sarana yang akan di-
manfaatkan adalah anak muda tampan itu. Setidaknya bisa dimintai bantuan untuk
menuntunnya ke arah jalan menuju pulang, sebab sang gadis sudah lupa lewat mana
saja kudanya tadi membawa lari.
Tangis itu dihentikan, Pandu yang terengah-engah
dengan duduk bersandar pohon segera didekati. Wajah sedih sang gadis cantik
masih tampak jelas.
"Maukah kau mengatarku pulang?"
"Yaah..." jawab Pandu lemas. "Tapi...tapi jangan
menangis lagi."
Sang gadis menyusutkan air matanya. "Tidak. Aku tidak menangis lagi. Tapi...
menangis sedikit nggak apa-apa kan?"
"Jangan...aku...aku tak bisa melihat gadis menangis,"
jawab Pandu sambil napasnya terhela berat sehingga bicaranya terpotong-potong.
"Anak ini gila," pikir gadis itu sambil berusaha
mengeringkan air mata. "Yang nangis aku kok yang lemas dia" Tapi...ah, ternyata
dia anak yang tampan.
Hmm...benar. Mataku tak rusak karena tangis. Mataku masih jelas menilai ketampanan
soerang pemuda. Sayang usianya kayaknya masih muda. Tapi...nggak apa-apa deh.
Biar muda usianya tua pengalamannya, boleh juga!"
Gadis itu lalu jongkok di samping Pandu Puber yang pucat pasi itu, Pandu
memandang dengan mata sayu dan berkata, "Aku...hampir pingsan. Aku lemas."
"Karena melihat tangisku?"
Pandu mengangguk. Gadis itu mencoba untuk
tersenyum. Lalu berkata,
"Aku tidak menangis lagi. Lihatlah....aku sudah bisa tersenyum kan?"
"Ya, tapi...tapi aku masih tetap lemas. Kakiku seperti tak bertulang lagi."
"Lho, ke mana tulangnya?"
"Hanya seperti, bego!" ucapnya dngan pelan tapi
mengandung kejengkelan. "Sepertinya tak bertulang. Tapi kalau diraba sih ya
masih ada tulangnya."
"Jadi...jadi kau tidak bisa mengantarku pulang dong?"
"Entahlah. Aku tak bisa berjalan."
"Kok jadi begitu sih" Lalu bagaimana caranya
memulihkan kekuatanmu?"
Pandu diam memandang tak mau berkedip. Gadis itu
makin lama makin tertarik. Tatapan matanya tak mau berkedip. Pandangan Pandu
tanpa sadar telah memancarkan suatu kekuatan magis. Jurus 'Mata Dewata' milik
ayahnya yang menitis padanya bekerja dengan sendirinya.


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jurus itu mampu membuat hati seorang gadis menjadi luluh, trenyuh, iba dan
akhirnya menjadi sayang kepadanya. Hal itu dirasakan betul oleh gadis tersebut.
Hati sang gadis bergetar, makin lama getarannya makin kuat, makin tak bisa
dibendung lagi. Bunga-bunga indah muncul menggoda hatinya. Pandu Puber segera
pejamkan mata pelan-pelan dalam keadaan wajah terdongak sedikit.
Gadis itu semakin dicekam perasaan yang tak dimengerti apa artinya, hanya bisa
dirasakan begitu indah dan bahagianya. Urat-urat tengkuk mengeras, kepalanya
bagaikan didorong oleh debaran indah di hati. Kepala itu mendekat. Hati kecil
menolak, tapi hati besar memaksa untuk lebih dekat. Dan akhirnya bibi gadis itu
mencium kening Pandu Puber. Cuup...!
Ceeesss...! Tubuh Pandu bagaikan disiram air surgawi. Air segar yang bagaikan menyiram
sekujur tubuh itu membuatnya menjadi begolak. Darah menghangat, urat mengejang
pelan. Kekuatannya mulai tumbuh kembali. Detak
jantungnya normal. Tensi darahnya pun normal. Napas terhela lega. Plong rasanya.
Lalu ia bangkit menegakkau duduknya. Tersenyum penuh keceriaan. Wajah pucat
hilang, yang ada tinggal kecerahan yang kian menawan hati. Sedangkan sang gadis
cepat menjauh dan buang muka karena malu. Hatinya membatin, "Kok aku jadi
menciumnya sih" Aih... gila amat aku ini! Malu-maluin aja!
Aduh, gimana ya kalau udah begini?"
Dari situlah awal perkenalan mereka. Sang gadis yang mengaku bernama Lila
Anggraeni segera diantarkan
pulang oleh Pandu Puber. tentu saja sepanjang perjalanan pulang, Pandu Puber
banyak bicara tentang keindahan yang ada pada diri Lila Anggraeni. Pandu Puber
banyak memuji kecantikan Lila Anggraeni yang nada pujiannya seperti pujian
lelaki dewasa. Sang gadispun hanyut dalam pujian itu, sehingga tak segan-segan
menggandeng tangan Pandu Puber walau dalam hatinya membatin "Sayang dia masih
berusia lima belas tahun. Tapi, ya...lumayanlah!"
Lila Anggraeni kelihatan sebagai anak orang kaya.
Perhiasan yang dikenakan sanagn menyolok dan berharga mahal. Pandu Puber
langsung saja menebak.
"Ayahmu seorang Adipati?"
"Bukan. Ayahku seorang saudagar. Pemilik kapal
dagang dan..."
"Dan kau pasti putri tunggalnya. Iya, kan?"
"Aku putri sulungnya. Adikku masih ada dua lagi."
Pandu Puber hanya nyengir karena tebakannya selalu salah. Ia garuk-garuk kepala
sambil berkata, " Sebenarnya aku mau bilang begitu. Tapi aku tak tega kalau
tebakanku benar semua. Kau nanti akan kaget dan kalau kau pingsan aku
kebingungan membawamu pulang."
"Ah, kau bisa aja!" Lila Anggraeni mencubit lengan Pandu Puber. hati Pandu Puber
berdesir indah, tapi kulitnya terasa panas karena cubitan itu. Jadi Pandu hanya
bisa nyengir, antara girang dan sakit.
"Kalau aku pingsan," kata Lila Anggraeni, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Hmm...yah, paling-paling membawamu ke kotaraja lalu meletakkan kau ke tengah
kotaraja. Nanti kalau ada orang yang mengenalimu pasti kau akan dibawanya
puang." "Hanya begitu?" pancing Lila Anggraeni.
"Habis, mau diapakan lagi?" Pandu Puber tersenyum geli. Sang gadis hanya bisa
tersenyum. Tapi kepalanya disandarkan di pundak Pandu dan kakinya melangkah
sedikit bergelayut.
Mesra sekali. Romantis sekali perjalanan itu. Pandu Puber sengaja menegakkan
badannya membusungkan
Dian Ayu Dayena dalam melangkah biar tampak gagah.
Tiba-tiba dari atas pohon bermunculan manusia-
manusia berpakaian hitam. Mereka saling berlompatan menghadang Pandu Puber dan
Lila Anggraeni. Jumlah orang-orang berbaju hitam itu ada lima. Mereka rata-rata
bertampang bengis. Senjata mereka golok. Sepertinya golok pembagian jatah,
sehingga bentuk dan rupanya sama persis. Dari arah gerumbulan semak depan
melompat seorang berpakaian merah. Wuuusss...! Jleeg...!
Lila Anggraeni makin ketakutan, makin merapatkan
tubuh ke badan Pandu Puber, setengah memeluk erat-erat.
Pandu Puber sedikit tegang, tapi sempat berbisik,
"Jangan takut! Ada aku!"
"Kau berani melawan mereka?"
"Untung-untungan," jawabnya dengan suara pelan
sekali. Orang berpakaian serba merah itu berambut panjang, tapi putih warnanya. Sudah
tua, tapi masih tampak tegar dan gagah. Tubuhnya memang kurus, tapi sorot
matanya tajam penuh tantangan dan keberanian. Orang itu berkuku panjang, tanpa
senjata apapun. Usianya yang sudah sekitar delapan puluh tahun itu menimbulkan
kesan bahwa ia tokoh tua yang beilmu tinggi. Buktinya ketika ia melompat dari
semak-semak, ketik akakinya mendarat ke bumi, terasa jelas getaran yang
ditimbulkan karena kaki itu. tanah bergetar tipis, walau tak sampai menumbangkan
pohon sekecil apapun.
"Mau apa kau, Pak Tua"!" sapa Pandu Puber lebih
dulu, menunjukkan bahwa ia tak kalah mental dengan tokoh tua itu.
"Apakah kau belum mengenalku?"
"Kalau sudah kenal aku tidak kaget melihatmu, Pak Tua."
Senyum sinis itu dingin sekali. Pak tua berpakaian serba merah segera berkata
dengan melangkah lebih dekat lagi.
"Akulah yan berjuluk Sikat Neraka!"
"Apakah aku harus takut dengan julukanmu?" tanya
Pandu Puber sepertinya terucap dengan polos itu. Sikat Neraka menggeram jengkel.
Hasrat membunuhnya mulai berkobar. Ia berkata dengan mata sedingin salju.
"Sebenarnya aku hanya ingin merampas perhiasan
Nona itu! Tapi karena bicaramu lancang, sok berani, maka aku terpaksa harus
membunuhmu, Bocah!"
"Aku akan melawan!" kata Pandu bagai tanpa dipikir dulu.
Sikat Neraka rentangkan tangannya ketika lima anak buahnya ingin bergerak
menyerang Pandu. Rentangan tangan itu sebuah isyarat bahwa mereka tak boleh
bergerak menyerang. Ia ingin menangani bocah muda itu sendiri. Maka ia pun maju
dua tindak lagi. Matanya tetap tajam memandang Pandu, seakan ingin menembus
batok kepala bocah itu.
"Mundurlah sedikit," kata Pandu pelan kepada Lila Anggraeni. Gadis itu cemas,
namun akhirnya mundur juga.
Tapi tak berani jauh dari Pandu. Sebab hanya Pandu-lah satu-satunya harapan
keselamatan bagi jiwanya, walaupun akhirnya ia sangsi, apakah Pandu bisa
diharapkan sebagai pelindungnya"
"Cukup satu jurus kau akan kubuat tak bernapas
selamanya, Bocah Tolol!"
"Mudah-mudahan aku masih punya napas cadangan,
Sikat Neraka!"
"Bangsat!" geramnya penuh kemarahan. "Hiaaah...!"
Kedua tangan menyentak ke depan. Dari kedua telapak tangan melesar tenaga dalam
besar tanpa sinar dan tak dapat dilihat. Pandu Puber sempat terpaku sejenak. Dan
saaat itulah tenaga dalam besar menghantam tubuhnya.
Buuhg! Weess...! Buuurrk...!
Pandu Puber terlempar jauh dan jatuh karena
membentur pohon. Lila Anggraeni menjerit, "Pandduuu...!"
ia berlari menghampiri Pandu dengan penuh kecemasan.
Tapi sebelum ia tiba di tempat Pandu, pemuda itu bangkit dengan satu hentakan
kaki dan berdiri tegak lagi.
Wajahnya memang memucat, pertanda terkena pukulah tenaga dalam. Tapi agaknya
luka itu tidak dihiraukan. Ia tetap maju menuju tempat semula."Aku tidak apa-
apa. Tenang saja. Menepilah, biar kuhadapi orang itu!"
Sikat Neraka terperanjat melihat Pandu masih bisa berdiri dan berjalan. Hatinya
membatin, "Biasanya orang yang terkena pukulanku itu langsung remuk seluruh
tulangnya, tak mampu berdiri dan tak mampu bernapas lagi. Tapi bocah ini agaknya
punya ilmu awer muda. Atau mungkin ia memang punya napas cadangan" Hmm...
agaknya aku harus gunakan jurus yang lebih hebat lagi.
Malu sama anak buah, kalau aku tak bisa membunuhnya dalam satu-dua jurus!"
Pandu Puber berdiri dengan kaki sedikit merenggang.
Sikat Neraka menggeram dengan kedua tangan mengepal kuat-kuat hingga tulang-
tulangnya terdegnar gemeretak.
"Sudah kubilang aku akan melawanmu, Pak Tua!"
"Jahanam, hiaaah...!"
Sikat Neraka keluarkan jurus lebih tinggi dari yang tadi.
Seberkas sinar kuning dari tengah dahinya setelah ia hentakan kaki ke bumi.
Slaapp...! Sinar itu memandang lurus tanpa putus. Sasarannya ke dada Pandu. Tapi
pada saat itu, Pandupun mengeluarkan jurus penangkis sinar kuning.
Jurus 'Cakram Biru' melesat dari pergelangan
tangannya. Sinat itu berwarna biru berbentuk piringan cakram. Sinar biru itu
menghantam ujung sinar kuning yang akan mengarah kepadanya.
Blegaaarr...! Dentuman dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
alam sekeliling. Asap tebal mengepul dari benturan dua sinar tadi. Dua anak buah
Sikat Neraka jatuh tunggang-langgang akibat gelombang sentakan yang menggelegar
itu. Tiga lainnya terhuyung-huyung mundur nyaris jatuh.
Pandu Puber sendiri terpental ke belakang, tapi tak sampai jatuh. Sedangkan Lila
Anggraeni terpelanting jatuh dan memekik. Pandu segera menolongnya. Lila
Anggraeni segera memeluk penuh perasaan takut.
"Tenang, tenang...! Sudah tak meledak lagi kok.
Tenang, Lila....!" Bujuk Pandu dengan rasa takut kalau-kalau gadis itu tahu-tahu
menangis. Dalam keadaan seperti itu sangant berbahaya jika Lila Anggraeni
menangis. Kekuatan Pandu Puber bisa lenyap seketika.
Tapi ketika asap tebal tadi lenyap, mereka sama-sama memandang keadaan Sikat
Neraka yang mirip orang
dicabik-cabik seratus singa lapar. Pakaiannya tak ada yang utuh. Tambutnya yang
putih terbakar sebagian. Wajahnya penuh dengan sayatan. Berdirinyapun gemetar.
Anak buahnya terbengong melompong karena baru kali itu mereka melihat Sikat
Neraka dibuat separah itu.
"Tunggulah saatnya! Kukenali wajah dan namamu! Kita akan jumpa lagi!" ucapnya,
lalu segera memberi isyarat kepada anak buahnya agar pergi, dan ia sendiri
melesat meninggalkan tempat dengan gerakan tak selincah
semula. *** ------------------------------------------------------------------------------
LIMA ------------------------------------------------------------------------------
NAK buah Sikat Neraka sendiri yang menyebarkan
cerita pertarugnan singkat ketuanya dengan bocah A kemarin sore bernama Pandu.
Mereka menceritakan hal itu di kedai tanpa sadar telah menjatuhkan nama besar si
tokoh sesat itu dan membuat nama Pandu mulai
direnungkan orang banyak. Cerita pertarungan itulah yang pada akhirnya sampai ke
telinga Yuda Lelana dan Murti Kumala.
"Awas kalau anak itu pulang nanti!" geram Murti
Kumala sebagai ibu yang sebenarnya amat sayang pada anaknya. Gara-gara selalu
dicekam kecemasan dan
kekawatiran akan keselamatan sang anak, akibatnya rasa jengkelnya timbul dalam
hati dan membuatnya sering menghajar sang anak.
Yuda Lelana membujuk isterinya dengan sabar, "Anak itu jangan terlalu sering kau
marahi hanya gara-gara seperti itu."
"Kalau sampai kenapa-kenapa bagaimana" Kalau
sampai dia cedera siapa yang repot, siapa yang rugi" Apa musuhnya itu yang
rugi?" "Beri semangat pada anakmu untuk menjadi seorang
penegak kebenaran dan keadilan. Kau tak perlu cemaskan dirinya, karena
sebenarnya kekuatanku dan kekuatanmu-lah yang menyatu dalam dirinya dan menjadi
sang penantang kejahatan! Mestinya kau bangga punya anak berani menentang kejahatan!"
"Ah, kau dan dia memang sama saja. Setali tiga uang!"
"Apa maksudmu?"
"Ya uang-uang juga!" sambil Murti Kumala ngeloyor pergi ke belakang. Tapi dalam
hatinya segera membatin,
"Benarkah yang ada pada anak itu adalah kekuatanku juga" Benarkah anak itu mampu
tundukkan segala bentuk kejahatan" Oh, tak kusangka anakku bisa jadi pahlawan
kebenaran. Biar itu anak nakalnya melebihi anak setan, tapi ternyata dalam
jiwanya tersimpan sifat satria!"
Kesadaran Murti Kumala akan sifat satria sang anak membuatnya tak begitu nyap-
nyap ketika sang anak
pulang. Memang suaranya menegur lantang, tapi tak sampai turun tangan.
"Ngeluyur terus, Pandu! Tak perlu ingat pulang deh!
Pergi terus sana!" Pandu Puber mendekati ibunya dengan cengar cengir takut.
"Dari mana saja kau"!"
"Dari kotaraja, Bu."
"Ngapain ke sana" Kotaraja kan jauh?"
"Kalau dekat saya tiap hari datang ke sana, Bu."
"Perlu apa kau sampai ke kotaraja?"
"Nganterin cewek, Bu!"
"Cewek lagi, cewek lagi...! Kau ini playboy cap
semprong apa pendekar"!"
Pandu Puber malah tertawa. Dasar bocah konyol, kata-kata ibunya sampai
membuatnya terpingkal-pingkal geli.
"Kenapa tertawa"!" bentak ibunya saat sang ayah
muncul di belakangnya.
Pandu menjawab, "Ibu ini ada-ada saja. Masa' anaknya sendiri dikatakan playboy
cap semprong" Ah,
Ibu....semprong kan tipis, Bu. Kalau kena api bisa hitam kayak wajahnya Kakek Kala
Bopak! Ibu ini ngatain anaknya apa ngatai bapaknya sendiri?"
"Dasar bandel kau ini!" Pandu disabet pakai baju basah yang sedang mau dijemur,
tapi sengaja tidak dikenakan, karena sang Ibu sendiri menahan geli. Melihat sang
suami ada di situ, Murti Kumala segera berkata kepada Pandu.
"Tuh lihat bapakmu! Kalau mau jadi playboy kayak dia tuh. Cukup satu wanita dan
nggak pernah ganti-ganti." Lalu berkata pelan, "Nggak tahu juga kalau di
belakangku. Mungkin ganti seratus kali."
"Huuuh...!" Yuda mencibir sewot sambil menahan geli.
Anaknya berkata,
"Kalau aku playboy cap semprong, berarti Ayah playboy cap kerupuk bantat!"
"Kok bisa begitu?" protes sang Ibu.
"Habis kawinnya sama penggorengan sih!"
"Eee, eeehh... kurang ajar kau, ya" Ngatain Ibu seperti penggorengan"!" Murti
Kumala mengejar anaknya ang berlari sambil tertawa keliling rumah. Yuda Lelana
hanya geleng-geleng kepala di tempat. Menggerutu pelan
sendirian. "Wah, wah, wah... baru sekarang ada penggorengan
mengejar semprong teplok! Untung kerupuk bantat tidak ikut-ikut lari..." Lalu ia
tertawa geli tanpa suara. Hatinya merasa damai dan bahagia melihat rumah
tangganya tampak harmonis, walau sering terjadi hal-hal yang membuat Murti Kumala ngomel.
Tapi Yuda Lelana menyadari bahwa ngomel adalah sebagian dari iman wanita. Wanita
yang tidak ngomel menurutnya adalah wanita sariawan.
Menjelang sore sang Ayah terlibat pembicaraan dengan sang anak di samping rumah.
Murti Kumala sedang
mengangkat jemurannya.
"Tiba-tiba tanganku bergerak sendiri, Ayah" tutur sang anak. "Lalu dari
pergelangan tanganku keluar sinat biru berbetuk piringan, dan sinar itulah yang
menghantam sinar kuningnya Sikat Neraka, Ayah!"
"Itu namanya jurus 'Cakra Biru'" kata Yuda Lelana menjelaskan. "Benda apapun
jika terkena jurus 'Cakra Biru' akan hancur."
"Tapi tubuh Sikat Neraka tidak hancur, Ayah. Dia hanya luka tercabik-cabik
seperti disambar tiga belas petir."
"Tiga belas atau empat belas" Kamu salah hitung,
kali..."!"
"Tiga belas petir kok, Ayah. Yang satu petir lagi sedang ngangkatin jemuran,"
sambil Pandu melirik ibunya. Ibunya melirik sewot. Sang Ayah berkata pelan tapi


Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didengar oleh sang Ibu.
"Kalau yang itu sih bukan petir, tapi gledek!"
"Terus aja ngomongin Ibu, nanti lama-lama Ibu pelintir kepalamu, Pandu!"
"Alaaah... gitu aja marah"!" Pandu merayu mendekati ibunya dari belakang. "Gitu
aja cemberut. Jangan cemberut dong, Bu. Nanti kawat jemuran bisa putus kesodok
bibir Ibu!"
"Bodo...!" sentaknya melengos. Pandu tertawa, lalu
memeluk ibunya dari belakang dan menciumnya dengan penuh kasih sayang. Ayahnya
mendekat dari belakang dan menepak kepala anaknya. Plok...!
"Jangan cium dia. Dia istriku!" kata sang Ayah
membuat anak dan ibu tertawa geli. Yuda Lelana berlagak bersungut-sungut
cemburu. Tapi begitulah sebenarnya canda Yuda Lelana dalam mengakrabkan hubungan
batin antara suami, istri dan anak. Suasana ceria itulah yang membuat Pandu
kadang tak tega jika harus pergi tanpa pamit ayah dan ibunya.
Pertumbuhan anak dalam lingkungan keluarga bahagia penuh tawa dan keakraban
membuat Pandu Puber seperti masih anak-anak jika dalam lingkungan keluarga.
Sekarang usianya sudah tujuh belas tahun. Sudah perjaka dan tampak ganteng.
Badannya kelihatan kekar. Tato mawar merah di Dian Ayu Dayenanya tampak mekar.
Sesuai dengan Dian Ayu Dayenanya yang membusung
keras dan berkesan gagah.
Tapi dia masih seperti anak kecil. Masih sering manja kepada ibunya. Masih
sering tiduran di pangkuan sang Ibu.
Masih sering menciumi ibunya. Masih sering juga
menggoda ayah dan ibunya jika sedang bicara dari hati ke hati. Bahkan tidurnya
masih campur dengan ayah dan ibunya. Kadang jika ayahnya memeluk sang Ibu, Pandu
Puber iri dan ia mendusal di tengah, sehingga menjadi dipeluk sang Ibu dan Ayah.
Sikap itu segera disadari oleh pasangan suami istri Yuda Lelana dan Murti
Kumala. Mereka menjadi cemas, takut kalau anaknya menjadi cengeng, manja dan tak
bisa mandiri. Mereka kawatir kalau-kalau Pandu Puber menjadi pemuda yang selalu
merengek pada orangtua dan tidak mempunyai sikap sendiri dalam menentukan
langkahnya. Maka pada suatu senja, sang Ayah mengajak anaknya bicara jauh dari rumah. Sebuah
pancuran sungai dipilih sebagai tempat pembicaraan mereka. Di sana banyak batu
berbongkah-bongkah besarnya. Di antara batu-batu itulah mereka berada dan
bicara. "Kuperhatikan pertumbuhanmu sekarang sudah
semakin dewasa, Pandu. Ayah menjadi tua, karena
memang proses ketuaan ini lebih cepat daripada manusia biasa. Ayah takut
sewaktu-waktu sang Hyang Guru Dewa memanggil dan Ayah harus kembali ke
kayangan."
"Apakah Ibu tetap akan diajak ke kayangan?"
"Ya. Dia menjadi manusia yang berhak tinggal di
kayangan, di antara pada dewa, karena ibumu seorang istri yang setia, jujur dan
penuh cinta kasih dalam melayani anak dan suaminya. Ibumu terpilih menjadi
perempuan suci hati, walau sebenarnya ia anak jin."
Pandu diam menunduk. Ia menyimak kata-kata
ayahnya dengan penuh hikmat. Ketika ia mendongak, ternyata sang Ayah sudah tidak
ada di tempat. Sang Ayah ada di atas batu besar. Pandu Puber tak memperhatikan
saat sang Ayah memanjat batu itu. maka ia segera
menyusul dengan cara menghentakkan kaki, dan tubuhnya melesat ke ats lalu
hinggap di batu tersebut. Wuus...! Jleg!
Sang Ayah langsung berkata.
"Ilmu peringan tubuhmu masih harus kau latih terus.
Mestinya kau menapak di batu ini tanpa suara dan tanpa getaran sedikitpun."
"Aku akan melatihnya terus, Ayah!"
"Bagus!" sang Ayah tersenyum bangga sambil enepuk pundak anaknya yang gagah dan
rupawan itu. "Anak Ayah harus bagus, kan?" senyum Pandu
tersungging, sama menawannya dengan senyum Yuda
Lelana sebelum menikah dengan Murti Kumala.
"Segala apa yang ada pada Ayah seolah-olah tercurah kepadamu, Pandu. Ilmu Ayah
menitis kepadamu, sifat Ayah juga ada padamu, lagak-lagu Ayah juga menurun
padamu. Pokoknya kau boleh dikata 'foto copy'-nya Yuda Lelana.
Kalau kau ingin tahu Ayah semasa muda, bercerminlah, dan itulah Ayah semasa
muda. Gagah, tegap, konyol, bandel...."
"Tapi gantengnya nggak sama dong. Masih gantengan aku sedikit kan?"
Yuda Lelana sambil menonjok pertu anaknya. Duug...!
Sang anak tidak menggubris tonjokan itu karena memang tidak terasa. Yuda Lelana
bicara serius lagi.
"Pandu, kau harus sudah siap ditinggal Ayah dan Ibu.
Kau tak boleh sedih. Karena kelak kau sendiri akan tinggal di kayangan jika kau
menikah dengan seorang bidadari.
Kau sendiri sebenarnya adalah dewa. Tapi nama
kedewaanmu baru bisa kau pakai setelah kau tinggal di kayangan bersama istrimu."
"Siapa nama dewa untukku sebenarnya, Ayah?"
"Dewa Indo!"
"Apa itu maksud nama Indo, Ayah?"
"Artinya dewa campuran. Darah dewaku bercampur
dengan darah jin dan manusia yang ada pada ibumu. Maka jadilah dirimu sebagai
Dewa Indo. Tapikalau kau menikah dengan manusia, maka hak kedewaanmu hilang dan
kau tak akan bisa masuk kayangan."
"Ooo..." calon Dewa Indo itu manggut-manggut. Lalu ia segera berkata.
"Tapi, Ayah... belakangan ini aku seperti melihat
bayangan seorang gadis cantik berjubah putih. Kadang dia seperti lesat di
depanku, kadang seperti mengikutiku dari belakang. Tapi kalau kudekati tak ada,
Ayah. Dan aku memimpikan gadis itu tadi malam. Gadis itu mengaku bernama Dian
Ayu Dayen!"
"Itulah calon istrimu! Itulah bidadari penguasa
kecantikan. Aku kenal dengannya. Dia punya lesung pipit jika tersenyum, kan?"
"Benar, Ayah! Benar sekali!" jawab Pandu dengan
berapi-api seperti korek api. "Hidungnya mancung, matanya membelalak indah,
bibirnya seperti kuncup mawar basah dan...wah... pokoknya oke banget deh, Ayah!"
Yuda Lelana manggut-manggut sambil tersenyum tipis.
"Itulah bidadari penguasa kecantikan, Dian Ayu Dayen.
Agaknya dialah calon istrimu yang harus kau kejar ke manapun dia pergi. Kau
harus bisa menaklukkan hatinya, karena bidadari Dian Ayu Dayen adalah bidadari
berhati beku. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Tapi menurut kodrat
kedewaannya, dia akan mengikuti calon suaminya ke manapun dia pergi. Jika ada
lelaki yang dibayang-bayangi Dian Ayu Dayen, maka itu pertanda kebekuan hatinya
mulai akan mencair, tinggal kepandaian si lelaki untuk merayu dan menundukkan
hatinya. Tentu saja ia tidak akanmudah pasrah dan menyerah kepada rayuan lelaki.
Ia akan melawn dengan jurus 'Hati Beku'-nya."
"Bagaimana cara meluluhkan hatinya itu, Ayah"
Rayuan apa yang harus kugunakan" Beri aku manteranya, Ayah."
"Kalau Ayah punya manteranya sudah Ayah taklukkan sewaktu ayah belum dibuang ke
bumi!" Yuda Lelana.
"Tugasmu adalah mencari cara menaklukkan hatinya. Kau boleh pacaran dengan
seribu wanita, tapi pada akhir perjalanan cintamu kau harus kawin dengan Dian
Ayu Dayen. Dengan begitu kau bisa berkumpul dengan Ayah dan Ibu di kayangan."
"Akan kuingat pesan Ayah ini!"
"Dan ingat pula, barang siapa menjadi gurumu atau pelayan setiamu, maka ia akan
diangkat ke kayangan juga sebagai manusia yang berhak menikmati kehidupan di
sana." "Apakah aku masih perlu seorang guru, Ayah?"
"Menuntut ilmu itu tidak ada habisnya sampai manusia ke liang kubur. Jangan kau
merasa paling jago walau kau mewarisi ilmu Ayah. Kau masih punya banyak
kelemahan, Pandu. Kau membutuhkan seorang guru, walau bukan
berarti guru ilmu kanuragan. Falsafah sebuah kehidupan masih perlu kau timba
dari seseorang. Pengetahuan lainnya masih kau butuhkan. Ayah, Ibu, kakekmu, itu
bukan gurumu! Mereka adalah pembimbingmu."
Pandu manggut-manggut lagi dalam sikap berdiri yang gagah.
"Ingat-ingat betul nama jurus-jurus yang Ayah
beritahukan itu, Pandu. Kelak jika tanganmu atau tubuhmu bergerak sendiri
Memanah Burung Rajawali 24 Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B. Chandra Satria Pedang Asmara 1
^