Pencarian

Satria Pedang Asmara 1

Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Bagian 1


SATRIA PEDANG ASMARA Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Satria Pedang Asmara
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Lembah Patah Hati merupakan sebuah dataran
curam yang selalu berselimut kabut abadi hampir se-
panjang musim. Sangat jarang mahluk hidup betah
tinggal di sana. Tidak dapat ditaksir seberapa dalam
lembah yang selalu memberi kesan angker itu. Karena
tak seorangpun manusia yang berani menjejakinya.
Sepintas lalu, tempat itu tidak menarik perhatian. Ju-
stru di sana tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidu-
pan. Sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sampai
saat ini, telah banyak kalangan persilatan dari berba-
gai golongan. Yang mencoba-coba untuk menyingkap
rahasia Lembah Patah Hati, hilang raib tak tentu rim-
banya. Bahkan tak satu pun diantara orang-orang ne-
kad itu ada yang kembali dengan selamat.
Namun di luar sepengetahuan kalangan mana-
pun, beberapa tahun terakhir. Setiap malam menjelang
saat-saat bulan purnama memancarkan cahaya kun-
ing kemilau. Dari lembah yang sangat sunyi itu, ter-
dengar lantunan sair-sair yang begitu menyentuh kal-
bu. Dewa kayangankah yang telah melantunkan bait-
bait sair bernada sebuah keputus asaan itu" Ataukah
hantu yang bergentayangan atau sebangsa iblis yang
merasa kecewa karena tak mampu menggoda hati seo-
rang Brahma" Tak seorangpun yang mampu menga-
takan begitu. Tapi apabila kita mau melihat secara le-
bih dekat lagi apa sesungguhnya yang terjadi di tempat itu. Maka akan
terlihatlah sosok tubuh bertelanjang
dada sedang duduk di atas sebongkah batu besar. Me-
lalui cahaya rembulan yang hanya mampu menembus
kepekatan kabut secara samar-samar itu, dengan jelas
bahwa sosok tubuh itu merupakan ujud seorang ma-
nusia yang berusia masih begitu muda. Bahkan
mungkin usianya baru berkisar dua puluh lima tahun.
Pemuda itu dalam keadaan duduk bersila, di
pangkuannya terlihat sebuah pedang dengan rangka
berbentuk selembar daun Waru, sedangkan di tengah-
tengah bentuk daun Waru itu terlihat pula sebuah hia-
san lain yang merupakan sebatang anak panah yang
menembus daun Waru tadi. Kira-kira seperti itulah
bentuk warangka pedang yang berada dalam pang-
kuan laki-laki muda berbadan kekar tinggi, namun
berwajah totol-totol bagai orang yang pernah terserang penyakit cacar. Tidak
tampan, namun justru memberi
kesan angker. Siapakah pemuda berpenampilan angker dengan
sorot mata dingin dan hampa ini" Tak seorangpun ka-
langan persilatan yang mengenalnya. Bahkan asal
usulnya pun tidak jelas. Hanya sang waktu sajalah
yang mengetahuinya. Bahkan mulai saat pertama kali
dia menerjunkan dirinya ke dasar jurang Lembah Pa-
tah Hati. Saat itu dengan caranya yang nekad dia ber-
harap maut segera akan menjemputnya. Dia ingin me-
ninggalkan dunia ini dengan membawa sejuta kecewa
dan penderitaan batin yang kian menghimpit kehidu-
pannya. Ah, sayang dengan caranya itu kiranya maut
masih belum sudi membebaskan dirinya dari derita
panjang. Lembah Patah Hati rupanya ditumbuhi den-
gan pohon-pohon menjalar dan berdaun rindang. Tu-
buh yang sudah pasrah dalam menyongsong belaian
sang maut itu tersangkut di atas ranting-ranting pohon yang tidak terhitung
jumlahnya. Dia merasa putus asa
dan mulai mencaci maki keadaan. Hanya keadaanlah
yang dapat dipersalahkannya.
Dalam hati sering kali dia bertanya-tanya, men-
gapa dulu dia tak terlahir dari rahim seorang ibu yang kaya raya, bapak
berpangkat dan memiliki pengaruh
yang luas dalam lingkungan masyarakatnya. Sehingga
semua orang akan menghormati dirinya atau bahkan
menjunjung dirinya tinggi-tinggi, karena pangkat dan
keberadaan orang tuanya. Tapi mengapa justru dia ter-
lahir dari rahim seorang ibu pedagang Ikan Asin dan
bapak seorang juragan Tape Uli. Yang selama hidup-
nya tak pernah memberi kasih sayang yang cukup dan
bahkan sering pula menyiksa dirinya. Ketika pemuda
muka totol-totol itu mendapatkan dirinya tidak juga
mati, saat dia telah menghempaskan tubuhnya ke da-
lam jurang. Betapa hatinya merasa sangat kecewa. Se-
benarnya pemuda itu ingin bunuh diri dengan mem-
pergunakan senjata tajam. Namun dia merasa tak
mampu untuk melakukannya ketika melihat kilatan
pisau yang begitu tajam. Jalan satu-satunya adalah
dengan cara yang telah ditempuhnya itu, namun tidak
juga berhasil. Sebuah ketololan memang pernah dia
lakukan, namun hal itu telah berlalu kira-kira tiga tahun yang lalu. Ketika itu,
dia merupakan seorang pe-
muda biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa,
jangankan lagi yang berupa harta benda. Kini setelah
tiga tahun berada di dasar lembah yang sangat,. me-
nakutkan itu, keadaannya telah berubah sama sekali.
Baik pisik maupun kekuatan batin. Saat sekarang dia
telah berubah menjadi seorang Andika yang memiliki
kepandaian sangat tinggi bahkan mustahil dapat dika-
lahkan oleh siapapun.
Dengan pedangnya yang bernama Pedang Asma-
ra, pemuda itu merasa begitu yakin mampu memenuhi
ambisi sebagai pelampiasan sakit hati yang selama ini
hampir membuat dirinya celaka. Lesmana, saudagar
Legawa dan Bergawa Hitam adalah nama-nama yang
tidak dapat dia lupakan. Namun pabila pemuda berwa-
jah, totol-totol itu teringat kembali pada orang-orang ini. Rasa penasarannya
kian memuncak, hati panas
bagai terbakar. Lalu dia pun menggeram marah:
"Hemm... Orang-orang sombong, harta dunia menjadi tolak ukur tinggi rendahnya
derajat dan martabat seseorang. Lesmana berlegalah kau karena menjadi seo-
rang anak Tumenggung. Dan saudagar Legawa, manu-
sia tengik tak tahu diri. Gila kehormatan namun tak
pernah menghiraukan penderitaan anak sendiri... ah...
sedangkan aku...!" Kata-kata Andika itu terhenti tiba-tiba. Wajahnya menunduk
dengan air mata hampir
runtuh. Namun terburu-buru dia tengadahkan wajah-
nya agar air mata yang telah lama mengering tidak lagi menggelinding jatuh.
Hatinya terasa sedih bagai tertu-suk-tusuk sembilu.
Di saat lain Andika teringat pada sesosok wajah
seorang gadis yang begitu sangat dicintainya. Wajah
orang yang sangat dikasihinya itu kembali menari-nari
di pelupuk matanya. Gadis itu memang tidak begitu
cantik, bahkan lebih cantik bila dibandingkan kekasih-
kekasihnya yang dulu. Cintanya yang pertama harus
berakhir dengan kekecewaan, karena orang tuanya te-
lah menjodohkan kekasihnya itu dengan seorang kepa-
la desa. Kemudian Andika membina hubungan lagi
dengan seorang gadis keturunan tiongkok, semuanya
berjalan begitu baik. Bahkan gadis yang bernama Lan
Sui itu memberinya cinta yang berlebih. Namun hu-
bungan itu tak begitu lama, karena gadis berkulit pu-
tih itu meninggal dunia dengan penyakit yang tak begi-
tu jelas. Saat itu Andika memang benar-benar merasa
sangat kehilangan sekali, selama ini dia memang ku-
rang begitu memperhatikan Lan Sui yang sangat setia
itu. Dalam beberapa bulan hanya sekali saja dia me-
nemui Lan Sui. Barulah ketika ajal datang menjemput.
Andika menyadari, betapa dia merasa kehilangan
seorang kekasih yang selama ini selalu merindukan
kehadirannya. Mulai saat itu dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari
seorang pengganti. Andainya
penggantinya itu dia dapatkan, Andika bertekad untuk
menjadikannya seorang istri sampai akhir hidupnya.
Kenyataannya dalam perantauannya itu dia menemu-
kan seorang gadis yang tidak begitu cantik. Entah
mengapa Andika tertarik dan jatuh cinta kepadanya.
Gadis itu terdidik dalam ilmu agama yang sangat diya-
kininya. Mungkin hal itu yang membuat dia merasa
tertarik. Sayang, orang tuanya yang saudagar itu tak
memberinya restu. Bahkan pada Andika selalu bersi-
kap sinis. Tiada pertemuan yang terjadi di antara me-
reka, terkecuali pabila larut malam. Dan itu-pun seca-
ra rahasia dan saling berbisik pada sebuah tembok.
Sampai suatu saat, Andika mendengar pembica-
raan suami istri saudagar itu. Tidak sengaja, hanya secara kebetulan belaka. Ah
betapa saudagar itu ingin
menjodohkan anaknya dengan putra seorang Tumeng-
gung. Selain itu dia juga mendengar kata-kata yang
sangat menyakitkan. Hatinya terasa perih, tiada dia
menyangka orang sebaik saudagar Legawa memiliki
prinsip lain dalam soal harta keduniawian. Padahal dia merupakan seorang
penganut agama yang taat. Mulai
saat itu, Andika yang menjadi tetangga saudagar Le-
gawa sudah tidak ingin memikirkan tentang Indah De-
wi kekasihnya. Tapi semudah itu telah dia mampu me-
lupakannya" Ternyata tidak semudah itu, setiap saat
Andika ingin membunuh cinta, tetapi justru rasa
sayang itu semakin melekat. Dia tidak mampu, inilah
satu ketololan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Akhirnya dengan membawa kekecewaan yang menda-
lam pergilah pemuda itu, satu tujuan yang pasti. Dia
ingin secepatnya sampai di Lembah Patah Hati
Kembali pada si pemuda berwajah totol-totol yang
masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketika itu uda-ra di dasar Lembah Patah
Hati terasa begitu dingin
menggigit. Tetapi Andika yang sudah terbiasa dengan
keadaan seperti itu tidak pernah menghiraukannya.
Tubuhnya yang telanjang dada seolah tiada merasakan
hawa dingin itu. Lewat keremangan cahaya bulan di-
perhatikannya batu demi batu yang menjadi dinding
Lembah Patah Hati. Pada permukaan batu pualam
yang licin lagi keras, tertulis tulisan-tulisan yang berupa guratan tangan yang
pernah dibuatnya sendiri da-
lam beberapa tahun yang lalu. Andika tersenyum sinis
ketika membaca tulisan-tulisan itu.
Tiada kesan lucu, sebaliknya terasa menyakitkan
dan menusuk. Untuk beberapa saat, pemuda itu diam
mematung. Namun tanpa disadarinya jemari-jemari
tangannya mengejang. Tiba-tiba dia melompat ke de-
pan batu lainnya yang masih bersih dan belum terja-
mah oleh sentuhan tangan. Selanjutnya dengan ujung
jemari tangannya yang telah dialiri tenaga sakti, Andi-ka mulai menggores batu
berpermukaan rata itu:
Kepada nasib yang tidak pernah berpihak pada
kaum yang lemah.
Sang waktu bergulir, enggan menyapa...
Dan aku berdiri di sini dalam sunyi sendiri
Karena aku hanya sebentuk Biang Lala...
Malam senandungkan sebait syair duka,
Di atas setumpuk surat cinta yang hampir basi
Rohku mengambang dihempas keputusasaan.
Namun sang maut kuharap
Tidak kunjung datang.....
Ohh.... Hempasan angin malam, datang dan datanglah...
Terbangkan diri dari sebuah nama,
Enyahkan cinta yang selalu datang membelenggu
Agar jiwa menjadi damai.....
Selesai menggoreskan kata-kata hatinya di atas
batu mar-mar yang berada di depannya pemuda ber-
wajah totol-totol itu nampak memperhatikannya seje-
nak. Mendadak sepasang matanya yang selalu mena-
tap hampa itu berubah menjadi liar dan beringas.
"Para dewata yang agung! Mengapa aku tak
mampu melupakannya hingga sampai saat ini" Kepa-
raaat...!" maki Andika. Saat itu entah apa yang sedang bergejolak di dalam
hatinya. Mendadak bagai orang
yang sedang kesurupan, Andika rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Sebentar saja kedua tangan
yang terangkap itu nampak menggeletar, wajahnya
yang berkulit kuning langsat itu, tiba-tiba berubah kelam membesi. Selanjutnya
dengan dibarengi teriakan
melengking tinggi dan terasa menggetarkan dinding-
dinding lembah pemuda itu hantamkan kedua tangan-
nya ke arah sebungkah batu sebesar gajah;
"Wuuuuss.....!"
Serangkum gelombang sinar yang menimbulkan
rebawa aneh, melesat sedemikian cepatnya dengan
menimbulkan hembusan angin yang sangat kencang.
Rebawa aneh itu terus melesat bersama hembusan an-
gin dan langsung menghantam sasarannya.
"Broool....!"
"Gleduk! Gleduk.... Gledukh...!"
Lamping batu pualam putih hancur berkeping-
keping. Debu dan serpihan-serpihan batu kecil ber-
hamburan. Lembah Patah Hati bagai dilanda gempa
bumi dengan guncangan yang sangat hebat. Namun ti-
dak sampai di situ saja tindakan Andika, diliriknya sebatang pohon yang memiliki


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ranting sangat rapat dan
berdaun rimbun. Begitu teringat jurus Pedang Asmara,
tanpa ragu lagi dia mencabut senjata sakti yang memi-
liki kekuatan gaib itu.
"Triiing...!"
Mula-mula begitu senjata sakti itu tergenggam di
tangannya. Andika tiada merasakan apa-apa. Pedang
Asmara seperti tak memiliki pamor seperti apa yang
tertulis di dinding gua. Lama dipandanginya senjata
sakti itu. Tak ada yang berubah, namun ketika pemu-
da itu teringat pada Indah Dewi, dan orang-orang yang
telah membenci dirinya. Mendadak senjata itu menge-
luarkan bunyi mendengung. Seperti ada tenaga yang
tak terlihat menggerakkan pedang itu. Suara menden-
gung yang ditimbulkannya, semakin lama semakin
bertambah keras. Andika jadi terpengaruh dengan
adanya sesuatu yang tiada terlihat merasuki jiwanya.
"Haiiiiaaat.....!"
Pemuda berwajah totol-totol inipun kembali men-
geluarkan bentakan kerasnya. Dengan kecepatan yang
sangat sulit untuk diikuti kasat mata, tubuhnya me-
lenting ke arah pohon tadi.
"Brees...! Craak...! Craaak...!"
Hanya dalam waktu beberapa detik setelah pe-
dangnya berkelebat, ranting-ranting pohon yang beru-
kuran lumayan besar terbabat habis bahkan nyaris
gundul sampai ke pucuknya.
"Jliigkh....!"
Setelah selesai memainkan jurus pertama dengan
membuat gundul pohon tadi, Andika berjumpalitan di
udara beberapa kali. Dengan mulus sepasang kakinya
mendarat di atas sebongkah batu licin berlumut. Na-
mun Pedang Asmara masih juga memperdengarkan
suara mendengung. "Jurus kedua adalah jurus di
Tinggal Kekasih!" Membatin pemuda itu, seterusnya dengan kaki agak ditekuk,
pedang di tangannya terangkat tinggi-tinggi persis orang yang berniat melakukan
bunuh diri. Lalu terjadilah gerakan-gerakan aneh.
Pedang di tangan bukan sebagaimana lajimnya, me-
nyerang ke arah muka. Namun sebaliknya Pedang As-
mara selalu bergerak menusuk ke sisi kiri dan kanan.
Sambaran angin menderu-deru. Hawa aneh terasa
menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi pemuda itu terus
bergerak-gerak, begitu lincah dan sangat cepat.
"Heeeiit.....!"
Serta merta gerakan silat si pemuda terhenti. Ta-
tapan matanya semakin bertambah dingin, namun te-
tap hampa. Dalam keadaan diam seperti itu, hanya sesaat sa-
ja terjadi. Selanjutnya tanpa menghiraukan keringat
yang telah membasahi sekujur tubuhnya, Andika me-
lanjutkan jurus ketiga. Jurus ketiga ini, sebagaimana
tertulis pada pelajaran di bagian dinding gua dan telah dikuasainya bernama
jurus pedang 'Menanti Kekasih
Tak Kunjung Datang'. Detik selanjutnya nampak si
pemuda merapatkan kedua kakinya. Tangannya bersi-
dekap dengan pedang menyilang ke depan dada. Se-
langkah demi selangkah dia menggeser kaki kirinya ke
arah samping. Selanjutnya dengan diiringi gerakan
menggeledek, pemuda berwajah totol-totol itu ba-
batkan pedangnya ke arah depan. Lalu memutar tu-
buh sembilan puluh derajat, kembali babatkan pe-
dangnya ke arah atas, bawah dan samping kanan kiri.
Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Sampai akhir-
nya Andika merasa sudah cukup.
Permainan Pedang Asmara itu ditutup dengan
empat jurus. Jurus terakhir yang telah berhasil dikua-
sainya adalah jurus pedang 'Hidup Hampa'. Inilah
tingkatan yang paling dahsyat. Terlihat senjata di tangan Andika bergetar hebat,
kekuatan aneh benar-
benar dapat dia rasakan telah menguasai diri pemuda
itu. "Wuaaaa..... ngiiiing.... siiiiing.....!"
Angin kencang menderu dahsyat saat senjata di
tangan Andika berkelebat menyambar ke segala penju-
ru arah, anehnya tubuhnya seperti terbetot mengikuti
gerakan tangannya. Secara reflek pemuda itu terus
mengikuti gerak senjatanya sendiri, semakin lama
langkahnya semakin terseret jauh mendekati sebatang
pohon yang cukup besar. Tanpa dapat dikendalikan
lagi, pedang itupun menghantam pohon tadi.
"Breees.....!"
Pohon sebesar batang kelapa itupun ambruk ter-
babat Pedang Asmara dengan menimbulkan bunyi
berdebum. Tapi nampaknya gerakan pedang itu terlalu
sulit untuk dihentikan, Andika menjadi bingung sendi-
ri. Sekujur tubuhnya saat itu telah bermandikan ke-
ringat, tapi senjata di tangan terus memaksa dirinya
untuk terus bergerak.
"Senjata aneh, tapi memiliki kekuatan yang san-
gat hebat! Eee... aku jadi teringat pada pesan yang tertulis di dinding gua!
Bahwa pabila telah mencapai ju-
rus paling puncak, senjata akan terus bergerak tak wa-
jar. Pedang Asmara baru mau diam pabila telah masuk
rangkanya. Hhh. Mengapa aku sampai lupa pada pe-
san itu...!" Batin pemuda berwajah dingin itu pada dirinya sendiri. Selanjutnya
dengan gerakan cepat dia
angkat rangka pedang itu tinggi-tinggi. Begitu pedang
di tangan meluncur ke arah depan, dengan mengerah-
kan segenap kemampuan yang ada. Andika membe-
lokkan pedang itu ke arah sarungnya.
"Sreeek....!"
Lega hati pemuda berwajah totol-totol itu, kerin-
gat sebesar-besar jagung terus bergulir membasahi se-
kujur tubuhnya. Sesaat dipandangi dan ditimangnya
pedang di tangan. Disertai sesungging senyum sinis,
Andika berucap pelan:
"Dengan senjata dan kesaktian yang kumiliki
saat ini. Sangat mustahil orang dengan seenaknya
menghina diriku. Lesmana putranya Tumenggung
Jayeng Rono dan saudagar Legawa itu bagiku sudah
tak ada apa-apanya...!"
"Inilah saat yang tepat bagiku untuk keluar dari
Lembah Patah Hati....!" ucapnya pula. Kemudian setelah memberi penghormatan di
depan makam tokoh
sakti yang terletak di mulut gua. Andika mulai berge-
rak meninggalkan Lembah Patah Hati yang selama ini
dikenal sebagai sebuah daerah yang cukup angker oleh
kalangan persilatan.
*** 2 Suara irama gamelan terdengar sayup-sayup di
kejauhan, berbagai tari-tarian tradisi adat sudah sejak siang tadi dimulai.
Sesungguhnya pesta perkawinan
itu memang berlangsung sangat meriah. Tamu-tamu
yang hadir pun terdiri dari berbagai kalangan pembe-
sar istana, pejabat daerah, juga dari kalangan persilatan. Sang mempelai yang
sedari tadi duduk di pelami-
nan nampak didampingi oleh sepasang suami istri ber-
pakaian mentereng dan mahal. Laki-laki setengah baya
itu, sejak tadi nampak tersenyum-senyum puas. Saat
itu hatinya memang sedang diliputi kegembiraan yang
berlebih-lebihan. Apalagi dia merasa telah berhasil
menjodohkan anak perempuannya dengan putra seo-
rang Tumenggung. Orang yang sangat berpengaruh da-
lam masyarakat. Kehadiran sang menantu sudah ba-
rang tentu dia harapkan membuat masyarakatnya se-
makin menghormatinya.
Sedangkan di atas pelaminan mempelai wanita
nampak terus-menerus tundukkan wajah, hatinya me-
rasa begitu terpukul dengan perjodohan paksa yang te-
lah dilakukan oleh orang tuanya. Hanya gadis itu sen-
dirilah yang tahu apa yang sedang terjadi dalam ha-
tinya. Walau bagaimanapun dia tak bisa melupakan
sebuah nama yang selama ini sangat dikasihinya, dan
nama itu mencintai dirinya dengan sepenuh hati. Kua-
sakah dia menolak kehendak orang tuanya" Kenya-
taannya sampai saat ini dia telah menjadi istri orang
yang tidak dicintainya.
"Dengan dandanan pengantin seperti ini kau
nampak bertambah cantik, putriku!" kata laki-laki setengah baya berkumis tipis
yang sejak tadi mendam-
pingi putrinya. Yang diajak bicara nampak diam tiada
menyahut. Sebaliknya mempelai pria yang duduk di
sebelah mempelai wanita, sembari tersenyum penuh
arti langsung menyahuti: "Bapak mertua! Adik Indah Dewi, kalau mantu lihat malam
ini tak ubahnya bagai
bidadari yang turun dari kayangan. Aku bangga mem-
punyai seorang istri seperti dia...!"
"Aah... ah... mantuku! Engkau memang seorang
suami yang sangat berbakti pada istrinya....!" ujar saudagar Legawa lalu tertawa
lebar. "Anakku ini memang penuh pengertian, besan
Legawa! Maklum sejak kecil kami se-bagai orang tua,
berusaha mendidiknya dengan berbagai disiplin yang
sangat ketat...!" yang bicara seperti itu adalah seorang laki-laki berpakaian
bangsawan berbadan tegap. Dengan wajah menyiratkan kebengisan.
"Terima kasih, terimakasih....! Semua hajat yang
kita inginkan selama ini, kini terkabullah sudah. Lihatlah anak-anak kita nampak
bahagia sekali... semoga
kehidupan mereka kekal sampai ke anak cucu. Hari ini
sebagai tuan rumah aku merasa berbesar hati. Sebab
hajatku untuk bermenantukan orang terpandang dan
terhormat telah terpenuhi....!" Kata saudagar Legawa begitu bangga.
"Aku pun sangat bersyukur besan, Legawa! Kare-
na hari ini hajatku untuk berbesan pada seorang sau-
dagar kaya juga telah kesampaian....!" sahut Tumenggung Jayeng Rono. Masing-
masing besan itu memang
nampak sedang diliputi kegembiraan, namun mereka
sesungguhnya tak mengetahui apa yang sedang terjadi
di hati kedua mempelai.
Sementara itu, dalam kegelapan malam di atas
genteng dan persis di kamar mempelai nampak seso-
sok tubuh sedang mengendap-endap. Bayangan tubuh
misterius itu nampak merogoh sesuatu dari dalam sa-
ku celananya. Kemudian dia membuka salah sebuah
genteng, lalu melemparkan sesuatu ke dalamnya. Ben-
da yang dilemparkannya tadi jatuh tepat di atas meja
rias. Sekejap sepasang matanya nampak berkaca-kaca
memandang ke bawah sana. Tiba-tiba dia merasakan
sesuatu yang telah menghunjam ulu hatinya. Tubuh
bayangan itupun tampak menegang. Pandangan ma-
tanya berubah dingin, tapi bayangan itupun nampak-
nya tak ingin berlama-lama berada di sana. Dengan ge-
rakan yang tidak menimbulkan suara, sekali bayangan
itu berkelebat. Maka bayangan tadi lenyap dalam kege-
lapan malam. Saat itu di dalam ruangan besar beranda depan,
tamu-tamu undangan pun sudah berpulangan. Bunyi
tabuhan dan alat-alat musik lainnya telah terhenti se-
jak sejam yang lalu. Rumah saudagar Legawa keliha-
tan sunyi sepi. Tumenggung Jayeng Rono, istri berikut
para pengikutnya juga sudah pulang ke Katemenggun-
gan. Di ruangan lain Legawa nampak sedang berca-
kap-cakap dengan bapak, ibu dan saudagar mempelai
perempuan lainnya. Sementara itu mempelai wanita
sejak tadi telah berada di dalam kamarnya. Pintu ka-
mar sengaja dia kunci, hal itu dia lakukan semata ha-
nyalah ingin mencari ketenangan batin. Karena saat
itu sedang terjadi perang batin yang begitu hebat di da-
lam jiwanya. Terkadang timbul juga pertanyaan, ha-
ruskah demi orang tua dia menyerahkan kehormatan-
nya pada pemuda yang tidak dicintai dan mencin-
tainya. Hatinya begitu sedih, gadis itupun menangis.
Tiba-tiba Indah Dewi teringat pada Andika, seorang
pemuda biasa, yang dulu begitu menyayangi dirinya.
Dia pun merasa menyesal dulu dia tiada begitu meng-
hiraukan kata-kata pemuda itu, bahkan dia sering
mengacuhkan keberadaan pemuda itu. Kini setelah
pemuda itu pergi, betapa dia sering merindukan keha-
dirannya, gadis itu merasa kehilangan dan bersalah.
Indah Dewi terisak, menyesali dirinya sendiri. Dia terkadang menyadari betapa
selama ini keegoisan selalu
bercokol di dalam hatinya. Tapi apalah gunanya segala
penyesalan yang ada, pemuda yang pernah mencin-
tainya dengan sepenuh hati telah pergi dengan mem-
bawa penderitaan batin yang hebat. Ah! Seandainya
pemuda itu masih berada di sisinya, pasti dia akan
mengadukan segala unek-unek yang terasa menggan-
jal di hatinya. "Kakang Andika maafkanlah atas segala keegoisanku. Kini aku baru
menyadarinya, aku menyadari segala kesalahanku padamu. Aku tak pernah
mampu mencintai laki-laki pilihan orang tuaku...!" Jerit hati Indah Dewi dan air
matanya pun semakin de-
ras menetes. Masih dalam keadaan terisak-isak, gadis itu be-
ranjak dari atas ranjang pengantin. Langkahnya gontai
menghampiri meja rias, agak lama dia berkaca di sana.
Dia melihat matanya telah membengkak karena terlalu
banyak menangis. Lalu pengantin baru itupun me-
nangkupkan kedua tangan pada wajahnya yang basah
oleh air mata. Lagi-lagi, batinnya menjerit: "Kakang Andika, aku begitu menyesal
telah mengecewakan ha-rapanmu! Ya aku merasa sangat menyesal sekali... du-
lu aku merasa begitu bangga bila telah mampu mem-
buat hatimu susah. Bahkan tanpa menghiraukan ba-
gaimana perasaanmu aku tertawa-tawa di depanmu,
saat itu... oh... tidak! Maafkan aku kakang....!" Tanpa sadar Indah Dewi
bermaksud kembali menuju ranjang
pengantin, tapi saat kaki terasa menginjak sesuatu di
lantai dekat meja rias. Dengan perasaan enggan Indah
Dewi memungut benda itu yang tak lain merupakan
selembar kain kecil yang setelah dibuka terdapat tuli-
san-tulisan yang begitu rapi. Jantung pengantin baru


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berdetak keras, darah berdesir dengan hati berde-
bar tak menentu. Masih dalam keadaan berdiri, Indah
Dewi mulai membaca isi surat itu.
Indah Dewi.... Di atas kenangan-kenangan indah, sebuah luka-
luka lama kini telah terobek kembali. Dan kau yang telah merobeknya. Luka itu
mengucurkan banyak darah, dan air mata ini. Bukan lagi air mata duka, lebih
menyakitkan dari sekedar itu.
Dewi...! Sepanjang jalan onak duri yang ku lalui. Dilingkup kabut hitam yang sangat sulit
untuk ditembus kasat mata. Adalah kau dan aku berada di simpang jalan
yang berbeda. Mana pungguk merindukan hadirnya
sang rembulan, itulah diriku yang tercabik-cabik sebuah tradisi.
Hemm... cinta bukanlah teori dan logika, tapi me-
rupakan sebuah perasaan dan naluri. Dan aku adalah si miskin papa yang selalu
terhempas ke dalam jurang ketiadaberdayaan.
Pengantin baru...!
Kau lihatlah sebuah gambar daun waru yang ter-
tusuk anak panah ini, betapa darah tak pernah mengering disana. Itulah sepotong
hati yang dulu hampir musnah dalam belenggu ketololannya. Hehh. Kelak kata-
kataku terbukti, harta bukan jaminan kebahagiaan.
Bersukurlah andai pendampingmu berlaku setia, jujur, dan saling sayang
menyayangi! Sang pengantin.
Usah kau ingat-ingat aku lagi, karena antara kau
dan aku bukanlah yang dulu lagi.
Dariku Satria Pedang Asmara
Usai membaca tulisan di atas selembar kain itu,
bergetarlah tubuh Indah Dewi, sepasang lututnya tera-
sa goyah bagai tak memiliki kekuatan apa-apa. Dengan
tubuh sempoyongan dia menghempaskan tubuhnya di
atas ranjang pengantin. Tanpa sadar bibirnya mende-
sis: "Kakang Andika! Kau datang tapi tak pernah
membawaku pergi. Aku yakin kau tak pernah berubah.
Oh... ayah juga sangat keterlaluan sekali, mereka tak
pernah mau mengerti bagaimana perasaanku...!" Jerit hati Indah Dewi, lalu
kembali menangis.
"Took! Took.... Tok....!"
Terdengar daun pintu diketuk seseorang dari
luar. Indah Dewi buru-buru menyusut air matanya.
"Siapa...?" tanyanya dengan perasaan waswas.
"Aku! Suamimu...!" sahut sebuah suara dari luar kamar. Untuk tidak memancing
terjadinya keributan,
Indah Dewi membukakan pintu. Setelah pintu terbuka,
si pengantin pria cepat-cepat masuk langsung men-
gunci pintu. Begitu dia membalikkan tubuh, segera di-
peluknya tubuh Indah Dewi. Selanjutnya dengan sikap
brutal dia menjatuhkan ciuman-ciuman ganas pada is-
trinya. Indah Dewi berontak mendapat perlakuan se-
perti itu. Namun dekapan kokoh tangan Lesmana se-
makin lama terasa semakin kencang.
"Beginikah caramu sebagai seorang suami....?"
sentak Indah Dewi sambil menghindari ciuman-
ciuman ganas yang dilakukan oleh suaminya. Dengan
nafas memburu, di sela-sela kesibukannya Lesmana
menyahut: "Cara bagaimanapun bagiku sama saja!
Sudah lama aku merindukan malam pertamamu...!"
"Malam pertamaku, jadi bukan malam pertama-
mu juga....!" desis Indah Dewi dengan mata membelalak. "Tidak....! Yang begini
bagiku sudah biasa kulakukan pada orang-orang yang kusukai....!" jawab Lesmana
tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Indah
Dewi. Semakin terkejut sajalah gadis itu dibuatnya. Ti-ba-tiba Indah Dewi
mendorongkan tubuh Lesmana
kuat-kuat sehingga menyebabkan tubuh tinggi ceking
itu terjerembab menghantam kursi dekat meja rias.
"Laki-laki bajingan! Jadi kau tidak mencintaiku,
rupanya....!" dengus Indah Dewi nampak marah sekali.
Sebaliknya Lesmana seperti tidak pernah terjadi apa-
apa dengan dirinya kembali memburu.
"Sudah kukatakan aku mencintai wanita mana-
pun yang aku suka....!" kata Lesmana tenang.
"Keparat! Jadi untuk apa kau menikahi diriku...?"
"Aku hanya ingin berbakti pada orang tua yang
kuhormati! Sudahlah, malam ini adalah malam yang
indah bagi kita, disinilah sorga dunia itu....!" kata Lesmana dengan pandangan
bernafsu. Tanpa buang-buang waktu lagi, pemuda itupun kembali memeluk
Indah Dewi. Namun gadis itu terus meronta sehingga
menimbulkan bunyi gaduh. Orang tua Indah Dewi
hanya tersenyum-senyum di ruangan depan, me-
nyangka semua itu ulah pengantin.
"Aku tak mau dengan cara kasar seperti ini...."
"Hei... mengapa tak mau, engkau istriku, milik-
ku...!" tukas Lesmana nampak mulai menanggalkan
pakaian istrinya. Gadis itu terus meronta dan beron-
tak, tapi apalah daya tenaga seorang wanita, bila di-
bandingkan dengan tenaga Lesmana yang telah dira-
suki iblis. Indah Dewi hanya mampu menitikkan air
mata, saat-saat Lesmana menindih tubuhnya. Tinggal-
lah gerakan-gerakan tubuh Lesmana yang menggila,
tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Indah Dewi,
dia terus melampiaskan nafsunya. Tangis gadis itu ak-
hirnya meledak saat mana dia merasakan sesuatu
yang sangat berharga selama ini telah direnggut oleh
laki-laki yang tidak dicintainya. Pedih hatinya melebihi rasa perih di bagian
selangkangannya. Sementara tanpa menghiraukan sang istri Lesmana kembali menge-
nakan pakaiannya dengan sesungging senyum puas.
"Kau benar-benar masih murni!" kata laki-laki bejat anak Tumenggung Jayeng Rono
itu sambil mere-bahkan tubuhnya di sisi Indah Dewi. Sebentar saja la-
ki-laki itupun telah mendengkur bagai seekor kerbau
kelelahan. Tinggallah Indah Dewi yang terus menangis
menyesali nasib.
Pada saat itu di luar sepengetahuan penghuni
rumah maupun pengawal saudagar Legawa yang bera-
da di bagian depan. Tampak tiga sosok bayangan tu-
buh berjalan mengendap-endap di atas genteng. Gera-
kan mereka begitu ringan, sehingga tidak menimbul-
kan suara mencurigakan. Langkah mereka baru ter-
henti ketika telah sampai di atas kamar pengantin. Se-
saat tiga sosok bayangan itu nampak saling berbisik
sesamanya. Kemudian dua orang diantaranya lang-
sung berjongkok dan menyingkapkan genteng. Setelah
memperhatikannya dengan seksama, secara hampir
bersamaan tubuh ketiga orang itu melayang turun. In-
dah Dewi sempat melihat gelagat yang tak baik itu,
namun dia menyangka salah seorang dari ketiga orang
itu merupakan Andika, bekas kekasihnya. Sehingga
dia hanya diam saja, bahkan hatinya bersorak kegi-
rangan malah. Tapi ketika secara mendadak Indah
Dewi mendapat satu totokan bagian urat leher, sadar-
lah pengantin baru itu, bahwa kedatangan mereka
dengan membawa maksud-maksud tak baik. Dia beru-
saha menjerit, namun suaranya hanya sampai sebatas
kerongkongan saja. Beberapa saat kemudian tubuh ti-
ga orang bayangan itu melesat kembali ke atas genteng
dengan membawa Indah Dewi di bagian pundaknya.
*** 3 Sungai Bilah Hulu, merupakan sebuah sungai
yang memiliki lebar empat puluh meter, dengan pan-
jang tidak terukur. Setiap hari sungai itu dilalui oleh para nelayan yang akan
pergi ke laut. Sungai Bilah
Hulu bermuara ke laut tiongkok, hampir setiap hari
sungai itu mengalami pasang surut, akibat pasang
naiknya air laut di bagian muaranya. Pabila malam ha-
ri, sungai itu merupakan sebuah tempat yang sangat
sunyi lagi angker. Tak sebuah perahu pun yang berani
melintasi daerah itu, pabila malam menjelang. Kalau-
pun nelayan-nelayan penangkap ikan itu merasa ke-
malaman pulang melaut, maka mereka lebih memilih
tinggal di tengah lautan untuk sementara menunggu
matahari terbit. Atau berkumpul di bagian muara ber-
sama para nelayan lain. Malam hari, Sungai Bilah Hu-
lu merupakan tempat berkeliarannya para begal dan
bajak sungai. Jarang ada orang yang bisa selamat me-
lintasi daerah itu pabila malam hari. Selain merampoki harta benda, juga tak
segan-segan mereka membunuhi
setiap mangsanya.
Pelayaran melalui Sungai Bilah Hulu pabila ma-
lam hari di samping harus berhadapan dengan para
begal, juga harus berhadapan dengan sekawanan ma-
syarakat buaya tembaga, yang terkadang panjangnya
saja ada yang mencapai enam belas meter. Namun ter-
lepas dari semua itu, malam itu nampak seorang pe-
muda bercapil dengan rambut dikuncir di bagian bela-
kang. Hanya dengan mempergunakan sepotong kayu
sebesar tangan tampak melewati daerah yang terkenal
rawan itu. Seandainya kejadian itu dilihat oleh orang
lain, tentu mereka akan langsung membelalakkan ma-
tanya melihat ulah si pemuda itu. Bagaimana tidak.
Pemuda itu melakukan perjalanan lewat air bukan
dengan mempergunakan sebuah sampan atau sejenis-
nya. Sebaliknya hanya mempergunakan sepotong kayu
kering sebesar lengan bocah bayi dan panjangnya pun
tak lebih dari setengah depa. Kayu kering yang diper-
gunakan oleh si pemuda tidak tenggelam, mengapung
dan bahkan nampak meluncur dengan lajunya. Bila di-
ingat sampai ke situ, betapa pemuda yang tengah me-
lakukan perjalanan di atas air itu memiliki ilmu men-
gentengi tubuh sudah begitu sempurna.
Demikianlah tombak demi tombak dia lalui, tan-
pa ada kesulitan bahkan tiada pula rasa curiga. Na-
mun beberapa meter di depannya, si pemuda meng-
hentikan gerakan meluncur pada kayu yang menyang-
gah berat tubuhnya. Pandangan matanya yang setajam
mata elang, menatap lurus ke depannya. Apa yang di-
lihat oleh pemuda itu adalah berpasang-pasang mata
merah yang meluncur deras di depannya di atas per-
mukaan air. Agaknya mahluk-mahluk air itu mengeta-
hui adanya mangsa yang telah berada begitu dekat
dengan mereka. Dengan gerakan yang tiada mencuri-
gakan pemilik berpasang-pasang mata itu terus me-
luncur mendekati si pemuda. Si pemuda berkuncir
yang sudah tak asing lagi buat kita ini nampak sung-
gingkan seulas senyum.
"Oh sobat! Kau lapar ya, dagingku enggak enak!
Kalau pahit memang iya...!" kata si pemuda yang tak lain pendekar Hina Kelana
adanya. Sesaat pemuda itu
terdiam, dengan cepat dia mengerahkan kekuatan ba-
tinnya untuk mengetahui lebih jelas apakah mahluk
air itu merupakan mahluk siluman atau mahluk biasa.
Ternyata mahluk melata itu bukan mahluk siluman.
"Oh, pantas binatang-binatang itu tidak dapat ku pengaruhi. Jumlah mereka tidak
sedikit, lucu sekali andai aku sampai mandi pada saat malam dan dingin-dingin
begini. Weii... binatang-binatang itu kini telah menge-pungku!" kata pemuda itu,
gerakan selanjutnya dengan mengegoskan kayu yang dipergunakannya untuk
meluncur, pemuda ini mulai menghindari taring-taring
yang tajam serta kibasan ekor yang mirip gergaji dari
puluhan buaya yang menyerangnya dengan ganas. Se-
kali dua pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara,
anehnya kayu yang menjadi tumpuannya berpijak te-
tap melekat sedemikian eratnya. Tiada membuang
waktu lagi, begitu tubuhnya melayang turun di atas
permukaan air. Buang Sengketa hantamkan pukulan
Empat Anasir Kehidupan ke arah buaya-buaya tadi.
Empat ekor buaya berwarna kuning dengan ukuran
sangat panjang tampak menggelupur di atas permu-
kaan air. Tempat di sekitarnya berubah memerah, air
sungai bergolak-golak menimbulkan gelombang yang
sangat besar. Tapi pendekar berwajah sangat tampan
itu tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali lagi dia lepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Selarik
gelombang sinar Ultra Violet melesat sedemikian cepat
ke arah buaya-buaya lain memburu dirinya dengan be-
ringas sekali. "Blaaar....!"
Kembali kawanan buaya-buaya itu menggelepar
mati dengan kepala hangus, dan langsung tenggelam
ke dasar sungai. Lama kelamaan melihat kematian
kawan-kawannya, agaknya yang masih hidup menjadi
jerih. Terbukti beberapa saat kemudian buaya-buaya
yang tersisa berlarian menjauhi Buang Sengketa, pe-
muda itu tersenyum-senyum sendiri. Lalu pemuda ini
pun kembali menggerakkan kayu yang menyanggah
tubuhnya. Baru dua tombak pemuda itu meninggalkan
tempat kejadian. Detik selanjutnya terdengar benta-
kan-bentakan yang terasa begitu menusuk gendang-
gendang telinga. Buang Sengketa sadar, pastilah pemi-
lik suara tadi memiliki tenaga dalam yang sangat ting-
gi. Buang pun tak mau kalah, dan langsung menyam-
butnya dengan gelak tawa yang disertai dengan penge-
rahan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh. Terdengar su-
ara tawa serasa merobek kegelapan malam. Si orang
tak dikenal yang berada di sebuah tempat terlindung
nampak terkejut bukan alang kepalang. Sedikit pun
dia tiada menyangka kalau pemuda yang tengah mela-
kukan perjalanan dengan mempergunakan kayu di
atas permukaan air itu. Selain memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat hebat, juga memiliki kele-
bihan lain yang tiada terduga.
Orang itu sendiri pun merasa andai tidak cepat-
cepat menutup indera pendengarannya pasti dia sudah
terjengkang sebagaimana lima orang kawannya. Ke-
nyataan ini membuat orang itu menjadi marah, sedetik
kemudian dia pun membentak kembali.
"Hebat.... setelah membunuh buaya-buaya milik-
ku. Dengan ilmu setan itu kau telah pula membunuh
lima orangku sekaligus...!" Bergetar suara itu hingga membuat bulu kuduk si
pemuda merinding.
"Mereka telah mengganggu perjalananku. Se-


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dangkan kematian kawan-kawanmu! Hemm. Kurasa
itu kesalahanmu sendiri, membentak-bentak orang
yang lewat!"
"Kurang ajar! Melihat tampangmu, rasanya baru
kali ini aku bertemu seorang saudagar gembel melinta-
si daerah kekuasaanku. Tapi kau telah begitu berani
jual lagak di depan Iblis Sungai Bilah Hulu. Sangat keterlaluan....!"
Pemuda itu mendengus: "Setiap iblis yang berku-
asa atas sungai-sungai yang tiada bertuan. Pastilah
mereka itu sebangsa tikus perampok yang perlu men-
dapat ganjaran yang setimpal...!" Ucapannya itu sebenarnya hanya berupa gertak
belaka, karena sedetik
kemudian dengan tanpa menoleh-noleh lagi, Buang
Sengketa sudah kembali meneruskan perjalanannya.
Tetapi baru saja dia menggenjot kakinya yang berpijak
pada sepotong ranting kayu, dari sisi kanan dan sisi
kiri pinggiran sungai meluncur beberapa buah senjata
milik bajak laut. Senjata itu berupa sebuah jangkar
yang dibagian ujungnya bersisi tajam. Senjata tadi te-
rus bergerak, mengikuti kemana saja tubuh si pemuda
berkelit. Karena senjata itu memiliki tali yang panjang, maka dengan mudahnya
pemilik senjata itu menarik
dan mengulurkannya.
"Minggirlah! Atau kau segera tenggelam menjadi
santapan buaya-buaya milikku yang kelaparan...!" teriak para bajak laut di sisi
kanan dan kiri Sungai Bilah Hulu. "Siiing.... Weert....!"
Senjata-senjata maut itu nyaris menghantam tu-
buhnya, hanya mengandalkan jurus si Gila Mengamuk
sajalah Buang Sengketa berhasil mengelakkan samba-
ran senjata-senjata itu dengan baik. Kenyataan ini su-
dah barang tentu membuat sekawanan bajak sungai
berpakaian hitam itu menjadi sangat berang sekali. Se-
lama hampir lima belas tahun berkuasa di Sungai Bi-
lah Hulu belum pernah seorang korban pun yang da-
pat selamat dari serangan senjata-senjata ini. Bahkan
saudagar Legawa yang kaya raya itu sampai bersedia
memberi mereka semacam setoran wajib, hanya kare-
na saudagar itu tidak ingin mendapat gangguan dari
bajak Laut Sungai Bilah Hulu.
Tapi malam itu seorang pemuda berperiuk den-
gan begitu mudahnya mampu menghindari setiap se-
rangan beruntun yang mereka lakukan" Hal ini benar-
benar diluar dugaan mereka.
"Hiyaaa....!"
Bentakan-bentakan menggeledek menyertai ber-
kelebatnya beberapa buah senjata jenis lainnya.
"Zet.... Set... Wreet...!"
Si pemuda dapat merasakan adanya sambaran
angin yang sangat keras ke arahnya. Sekejap dia men-
jadi gugup, karena senjata-senjata itu datangnya dari
berbagai penjuru dan mengancam bagian-bagian yang
mematikan. Buang Sengketa segera mengambil tinda-
kan yang sangat cepat.
"Hemm....!" Si pemuda mendengus, lalu hantamkan kedua tangannya ke arah empat
penjuru mata an-
gin. Selarik gelombang berwarna Ultra Violet menderu
dahsyat memapasi datangnya senjata-senjata itu.
"Braaak....!"
"Ihhh....!"
Terdengar seruan tertahan saat mana senjata-
senjata di tangan mereka membalik. Bahkan beberapa
diantaranya hancur berantakan dihantam pukulan
Empat Anasir Kehidupan.
"Tikus-tikus pada kurang ajar semua! Ingin kuli-
hat bagaimana tampangnya kunyuk yang mengaku se-
bagai begal sialan itu...!"
"Heeuuuuup.....!"
Dengan meminjam daya kambang yang dimiliki
sepotong kayu tadi, pendekar Hina Kelana nampak
melesat ke arah sisi kanan sungai itu. Selagi tubuhnya masih berjumpalitan di
udara. Tanpa diduga-duga, beberapa senjata rahasia menyongsong tubuhnya.
"Keparaaat....!" maki si pemuda sambil membuang tubuhnya ke arah pinggiran
sungai. Sungguh pun dia berusaha
menghindarkan diri supaya tidak sampai kecebur ke
dalam sungai, namun tetap saja.
"Byuuur....!"
Terdengar suara tawa bergelak-gelak menyertai
terceburnya tubuh Buang Sengketa ke dalam sungai.
Sekejap tubuh si pemuda lenyap, begitu muncul ke
permukaan air, dengan sangat cepat dia menepi. Den-
gan keadaan tubuh basah kuyup, pemuda itu kembali
melompat. Sesampainya di daratan serangan-serangan
ganas datang menyambut-nya.
"Kurang ajar...!" maki Buang Sengketa. Tak ayal lagi dia menyambutnya dengan
jurus silat tangan kosong diberi nama Membendung Gelombang Menimba
Samudra. Tak dapat disangkal, pertarungan sengit
pun segera terjadi. Karena mengetahui pihak lawan
memiliki kepandaian lumayan, maka begitu bergebrak
para bajak sungai itu langsung mempergunakan jurus-
jurus andalan. Saat pertarungan itu berlangsung, dari arah se-
berang sungai nampak meluncur tiga buah perahu
anggota kawanan bajak lainnya. Buang Sengketa tiada
menghiraukan orang-orang itu, sebaliknya si pemuda
nampak mulai mengerahkan jurus Si Jadah Terbuang.
Tingkatan jurus andalan ini dipergunakan untuk
memporak porandakan pertahanan lawannya.
"Splaak...! Dees.... Dees....!"
Tiga orang dari lima pengeroyoknya nampak ter-
pelanting roboh, melihat kejadian yang dialami oleh
kawan-kawannya. Yang menjadi kepala dari para begal
itu menjadi gusar dan langsung cabut senjatanya yang
berupa sebuah tombak berwarna hitam, sedangkan di
bagian ujungnya terdapat sebuah kaitan yang menye-
rupai sebuah arit yang memiliki dua sisi yang sangat
tajam. Senjata itu menyambar-nyambar memburu ke
arah lawannya. Buang Sengketa merasakan adanya
hawa dingin menyertai sambaran senjata itu. Sadarlah
dia betapa senjata di tangan lawannya mengandung
racun yang sangat keji.
Sementara para bajak lainnya yang berada di se-
berang sungai telah pula bergabung dengan kawan-
kawannya yang sedang melakukan pengeroyokan. Me-
rasa dikerubuti sedemikian rupa, Buang akhirnya
nampak mulai keteter. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-
purna, tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Jeritan Il-
mu Pemenggal Roh pun dia kerahkan.
"Heiiigkh....!"
Beberapa orang pengeroyok kembali mengalami
nasib sial. Tubuh mereka terpelanting roboh dengan
darah mengalir dari bagian telinga. Sekejap saja tubuh mereka berkelejotan, lalu
diam untuk selama-lamanya.
Kepala bajak sungai yang bernama Baja Kuning, wa-
laupun menjadi keder namun juga diliputi kemarahan
yang meluap-luap. Kenyataan gugurnya beberapa ang-
gota merupakan pukulan yang sangat pahit bagi di-
rinya. Bagaimana nanti andai ketua tertinggi kaum ba-
jak sungai sampai mengetahuinya" Pasti dia kena di-
damprat, terlebih-lebih apa yang mereka perjuangkan
saat itu bukanlah pertempuran yang memperebutkan
harta benda. Hanya melawan seorang pemuda gembel
yang tidak ada apa-apanya.
"Dasar manusia kampret...!" desis Baja Kuning, dibakar amarah. Laki-laki baju
hitam tampang ambu-radul itu kembali hantamkan senjata mautnya ke arah
bagian lambung dan leher lawannya. Sementara dari
arah lain, menyusul pula serangan berbagai senjata
aneh milik kawanan para begal itu. Kali ini Buang
Sengketa merasakan nyawanya berada di ujung tan-
duk. Tiada diduga-duga, pemuda titisan Raja Piton
Utara dari Negeri Bunian ini mengerahkan pula jurus
Koreng Seribu. Dalam keadaan pasrah, pemuda ini
menyambut: "Creep....!"
Berbagai jenis senjata nampak melekat erat se-
demikian erat di bagian tangan maupun bagian tubuh
lainnya. Masing-masing lawannya tampak terkejut luar
biasa, kemudian dengan sekuat tenaga mereka beru-
saha menyentakkan senjata yang melekat di tubuh
Buang Sengketa. Celakanya semakin keras mereka
membetot senjata itu, maka semakin sulitlah bagi me-
reka untuk membebaskan senjata-senjata miliknya.
"Ilmu Iblis....!"
Terdengar suara Baja Kuning dalam rasa penasa-
ran yang tiada terkirakan. Sementara itu si pemuda
nampak menyeringai, penyaluran tenaga dalam dari
pihak lawan untuk membebaskan senjatanya. Bagi si
pemuda merupakan keuntungan tersendiri, tanpa dis-
adari oleh mereka, secara perlahan namun pasti Jurus
Koreng Seribu telah menyedot tenaga lawan-lawannya,
sehingga pemuda itu mendapat tambahan tenaga yang
tidak sedikit. "Ha... ha... ha! Sobat begal goblok. Terima kasih atas bantuan dan kebaikan
kalian. Sekarang aku sudah tidak membutuhkannya! Hiaaat....!" teriak Pendekar
Hina Kelana sambil mengibaskan tangannya. Sen-
jata berikut pemiliknya berpelantingan dengan tubuh
lemah lunglai bagai sudah tiada memiliki tenaga lagi.
"Pergilah sebelum kesabaranku habis...!" Bentak pemuda itu, lalu memandang tajam
pada lawan-lawannya. Dengan tergopoh-gopoh dan rasa penasaran
yang terpendam. Kawanan bajak sungai itu tanpa me-
nunggu lebih lama lagi langsung tunggang langgang
meninggalkan tempat. Ketika mereka menjauh dan le-
nyap ditelan kegelapan malam.
Terdengar suara Baja Kuning dalam ancaman-
nya: "Kau jangan merasa menang, pemuda berperiuk.
Suatu saat kelak kami pasti mencarimu untuk mena-
gih hutang nyawa....!"
"Hmmm..... aku tak perlu takut menghadapi ka-
lian. Sekalian saja bapak moyangmu suruh berhada-
pan denganku, aku tak pernah gentar...!" kata Buang Sengketa tanpa maksud
menyombongkan diri. Dari
kawanan bajak sungai tiada jawaban apa pun, namun
dari arah lainnya terdengar suara gumaman seseorang
yang disampaikan melalui ilmu mengirimkan suara.
"Sobat! Di daerah yang penuh dengan keangka-
ramurkaan ini. Jangan sekali-kali kau menjual lagak
dengan ilmu picisan yang kau miliki. Bisa-bisa nya-
wamu menjadi taruhannya...!" kata suara itu mengancam. "Siapakah kau! Aku merasa
tidak pernah berbuat apapun. Aku hanya memberi pelajaran kepada mereka.
Agar mereka tak mengulangi pekerjaan yang busuk
itu...!" jawab pemuda itu melalui ilmu yang sama. Terdengar sebuah tawa yang
begitu dingin menggidikkan.
Lalu disambung dengan kata-kata yang mengandung
ancaman: "Jangan kau ganggu mereka! Mereka dalam
pengawasan-ku. Kau ingat itu....?"
"Hemm. Kalau begitu, kau pasti kepalanya pe-
rampok-perampok tengik itu...!"
"Tak perlu kau tahu...!" kata suara tadi menunjukkan kemarahannya. Hal ini
membuat Buang Seng-
keta menjadi penasaran. "Aku jadi ingin tahu, bagaimana kunyuk yang bersembunyi
dalam kegelapan itu!"
Pemuda ini membatin. Kemudian tanpa diduga-duga,
Buang Sengketa melesat ke arah tempat suara itu be-
rasal. "Brebet....!"
Orang yang dikejarnya bergerak mendahului me-
ninggalkan tempat itu. Tak dapat dihindari lagi, kejar-kejaran pun terjadi. Tapi
orang yang berada di depan-
nya berlari kencang laksana setan. Semakin lama ja-
raknya diantara mereka semakin bertambah menjauh.
Begitu si pemuda teringat pada ajian Sepi Angin yang
menjadi ilmu lari cepatnya. Orang yang dikejarnya pun
telah lenyap dari pandangan mata.
*** 4 Kabar hilangnya Indah Dewi dalam waktu seke-
jap telah tersebar di seantero penjuru Katemenggun-
gan. Berbagai reaksi timbul di kedua belah pihak ke-
luarga yang baru saja mengikat hubungan persauda-
raan itu. Hilangnya Indah Dewi membuat saudagar Le-
gawa merasa begitu terpukul, apalagi dengan ditemu-
kannya surat di dalam kamar putrinya. Bagi Legawa,
begitu melihat tulisan itu langsung dapat menebak
siapa kiranya yang telah melakukan penculikan atas
diri putrinya. Tulisan di atas selembar kain itu dia
kenal sebagai tulisan milik Andika, bekas kekasih pu-
trinya. Tapi bagaimana mungkin pemuda dusun yang
telah diusirnya itu kini muncul kembali pada saat hari pernikahan anaknya.
Padahal menurut keterangan
orang-orang kepercayaannya yang mengantar keper-
gian Andika dari tempat tinggalnya, tiga tahun yang la-lu memberi laporan,
pemuda yang sangat dibencinya
itu telah membunuh diri di Lembah Patah Hati. Mung-
kinkah orang-orang kepercayaannya itu telah memberi
laporan palsu kepada saudagar itu" Kemungkinan itu
bisa saja terjadi, dan sebenarnya persoalan yang diha-
dapi oleh saudagar Legawa tidak serumit itu, andai sa-
ja Lesmana yang menjadi menantunya tidak memberi
laporan padanya, bahwa pada saat malam pertama itu,
Indah Dewi sudah tak memiliki kehormatan lagi. Me-
nurut pemuda itu hal ini merupakan satu penghinaan
dan penipuan yang tak dapat dimaafkan. Bahkan se-
belum meninggalkan rumah kediaman Legawa menuju
Katemenggungan tempat tinggal orang tuanya, pemuda
ini sempat mengancam. Andai Indah Dewi tidak dapat
ditemukan dalam waktu satu purnama. Maka Lesma-
na akan menuntut ganti rugi atas penghinaan yang te-
lah dilakukan oleh putri saudagar Legawa. Tidak tang-
gung-tanggung, sebagai ganti rugi atas penipuan itu,
Lesmana akan menyita seluruh kekayaan yang dimiliki
oleh saudagar Legawa. Betapa kecut hati Legawa men-


Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar keputusan mantunya itu. Bagaimana tidak,
Lesmana adalah seorang putra Tumenggung yang pe-
rintahnya selalu dituruti oleh orang tuanya. Tuduhan
Lesmana bahwa putri Legawa yang pada malam per-
tama itu tidak memiliki keperawanan lagi, bagi sang
saudagar merupakan sebuah tamparan keras yang
membuat dirinya kehilangan muka. Seandainya itu
disebarkan oleh Lesmana ke seantero penjuru negeri,
betapa saudagar yang selalu silau dengan kemilaunya
dunia itu akan merasa sangat malu sekali. Seingat Le-
gawa, satu-satunya orang yang pernah membina hu-
bungan cinta dengan Indah Dewi hanyalah pemuda
yang bernama Andika itu. Pasti semua itu akibat per-
buatan pemuda kere yang telah diusirnya beberapa ta-
hun yang lalu. Laki-laki setengah baya itu kemudian
berfikir, sebelum ancaman menantunya menjadi ke-
nyataan, lebih baik dia menyewa kalangan persilatan
untuk mencari Andika dan Indah Dewi. Yang menurut
perhitungan Legawa telah melarikan diri secara ber-
sama-sama. Demikianlah, siang itu saudagar Legawa nampak
sedang bercakap-cakap dengan istrinya yang bernama
Nendang Asri. Wajahnya yang kusut masai menanda-
kan bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun itu se-
dang menghadapi masalah yang sangat rumit dan ku-
rang istirahat.
"Kejadian ini benar-benar sangat memalukan se-
kali. Indah Dewi anak yang tidak tahu berbakti pada
orang tua...! Coba kau bayangkan mau ditaruh di ma-
na mukaku ini, istriku....!"
"Selalu saja kita menyalahkan seorang anak! Co-
ba kakang pikir, tidak kelirukah tindakan kita menjo-
dohkan Indah Dewi dengan Lesmana, yang ku tahu se-
lama ini memiliki sifat yang sangat jauh berbeda seba-
gaimana layaknya anak kalangan terhormat lain-
nya....?" bantah Nendang Asri, seolah ingin protes pada suaminya.
"Hei... kau tahu apa" Tumenggung Jayeng Rono
adalah orang terhormat! Merupakan kebanggaan bagi
kita, karena kita telah berhasil menjodohkan anak kita dengan putranya orang
berpangkat....!" sentak Legawa merasa tersinggung.
"Selama ini kau banyak disibuki dengan segala
urusan perdagangan, kakang! Kau tak mungkin bisa
melihat apa-apa saja yang telah dilakukan oleh Les-
mana dalam kehidupan sehari-hari...!"
"Heh.... kau jangan memburuk-burukkan mantu
kita. Terbukti anak kitalah yang tidak berbakti pada
orang tuanya. Coba kau lihat apa yang kini telah terja-di! Andika telah merusak
kehormatan Indah Dewi. Le-
bih dari itu, pemuda keparat itu juga telah begitu be-
rani membawa lari anak kita....!" kata saudagar Lega-
wa begitu sengit.
"Adatmu memang terlalu keras, kakang! Sebagai
istri aku telah melakukan segala-galanya untuk kebai-
kan keluarga kita. Mungkin ini satu karma karena
engkau telah membunuh orang tua Andika....!" Semakin bertambah memerah wajah
Legawa begitu men-
dengar kata-kata istrinya. Dengan tubuh gemetaran
karena menahan amarah, laki-laki itupun membentak:
"Cukup! Tak perlu kau menggurui aku. Orang tua pemuda tak tahu diri itu memang
sudah selayaknya ma-
ti. Aku tak pernah merasa berdosa telah membunuh-
nya, bahkan kali ini aku juga akan mencari Andika."
ucap Legawa. Se-pasang matanya nampak berkilat-
kilat me-nyimpan dendam. "Sungguh pun aku seorang saudagar, namun aku juga
seorang pendekar yang
sangat disegani. He... he... he....! Andika bocah ingusan.... kau harus
mempertanggung jawabkan semua
perbuatanmu....!" gumam saudagar Legawa. Selanjutnya tanpa dapat dicegah lagi,
dengan disertai beberapa orang kepercayaan, laki-laki berkumis tipis itupun
membedal kudanya menuju ke arah matahari terbit.
* * * Kaki bukit Malabar sepintas lalu kelihatan sunyi
sepi sepanjang hari. Tidak ada tanda-tanda berkelia-
rannya manusia di sana. Tidak juga anak-anak gemba-
la yang biasanya mengembalakan ternak-ternaknya
yang berupa puluhan ekor domba. Sungguh pun begi-
tu bukan berarti tak ada kegiatan di sana. Kalau di-
perhatikan lebih teliti lagi, nun jauh menelusuri jalan setapak menuju
lengkungan bukit. Terdapat sebuah
tenda dengan penjagaan beberapa orang pengawal tak
resmi. Mereka yang melakukan penjagaan bergilir itu
terdiri dari orang-orang bertampang sadis, rambut ter-
gerai sampai ke pinggang. Dengan senjata menggelan-
tung di bagian bahunya. Lalu apakah isi di dalam ten-
da itu, sehingga belasan orang-orang bertampang se-
ram itu melakukan penjagaan sedemikian ketat" Bila
diperhatikan secara lebih dekat lagi, maka dari dalam
tenda itu terdengar suara rintihan seorang wanita. Di
lain saat terdengar pula suara seorang laki-laki sedang membujuk.
"Kembalikan aku ke rumah orang tuaku! Aku tak
mengenal kalian, aku... aku muak melihat tampang
kalian... bencii....!" Di luar tenda terdengar suara bergelak-gelak penjaga,
menyambut. "Aku tak dapat mengembalikan mu sampai
ayahmu mau membawa tebusan yang cukup besar un-
tuk ketua...!" terdengar suara berat dari dalam tenda.
"Siapakah ketuamu yang telah begitu berani
mempertaruhkan nyawa itu...?" bentak si wanita dengan suara bergetar.
"Hoho.... ketua kami sudah barang tentu lebih
hebat dari suamimu yang suka main paksa itu....!"
"Kurang ajar! Jangan kau sebut-sebut dia!" kata si wanita yang tak lain Indah
Dewi adanya, dengan suara keras. Kembali terdengar suara serak si laki-laki
yang berada di dalam tenda: "Kau pasti tak suka pada suamimu itu. He... he...
he... Saudagar Legawa memang orang yang paling suka memaksakan kehendak-
nya untuk sesuatu yang terlalu berbau keduniaan!"
kata laki-laki berbadan tinggi kurus, kulit keriput mu-ka cekung seperti pada
dirinya sendiri.
"Laki-laki ceriwis! Siapakah engkau ini....?" Yang ditanya keluarkan suara tawa
bergelak-gelak. Sesaat
laki-laki kurus itu memandangi Indah Dewi dengan
mata berkilat-kilat. Sementara air liurnya nampak me-
netes-netes bagai seekor anjing yang baru saja berlarilari dengan jarak yang
cukup jauh. Pengantin baru pu-
tri tunggalnya saudagar Legawa itu nampak mulai ke-
takutan, dengan keadaan tangan terikat ke depan dia
beringsut-ingsut menjauh.
"Kau tak tahu siapa aku ini" Bagusnya kau me-
mang tak usah tahu siapa diriku. Aku hanya utusan-
nya sang Pangeran, untuk menculikmu dan memaksa
saudagar Legawa menyerahkan sebagian hartanya se-
bagai tebusan kebebasan anaknya....!"
"Kurang ajar! Kau dan pangeranmu itu pasti tak
akan mendapatkannya....!" teriak Indah Dewi nampak semakin bertambah gusar.
"Kau tak tahu apa-apa tentang hidup dan kehi-
dupan ini bocah! Di depanku kau jangan banyak rewel.
Salah-salah aku bisa menelanjangimu....!" kata laki-laki kurus itu menggeram
marah. "Aku tak perduli! Bagiku hidup pun sudah tak
berarti banyak.... aku tak suka pada Lesmana yang te-
lah kurang ajar itu...!" Di luar tenda kembali terdengar suara beberapa orang
penjaga tergelak-gelak. Disambut dengan suara sumbang seseorang: "Kerjain saja
kakang.... kita sudah bosan menanti, namun pangeran
belum juga muncul....!"
"Diam kalian....!" bentak laki-laki kurus yang berada di dalam tenda. Sesaat
suasana menjadi hening
sepi, namun kesunyian itu kemudian dipecahkan den-
gan adanya suara laki-laki itu.
"Aku tak akan mendengar berbagai ma-cam ala-
san. Apa pun yang akan terjadi, orang tuamu harus
menyerahkan apa yang diinginkan oleh pangeran ka-
mi....!" "Tanyakan saja hal itu pada mereka. Aku berha-
rap kedua orang tuaku tak menyerahkan apa pun pa-
da kalian....!"
"Kuraaang ajar...!" maki laki-laki berbadan kurus kering yang dikalangan
persilatan lebih dikenal dengan
Bergawa Hitam. Makian itu disertai dengan dua tam-
paran yang cukup keras, sehingga tubuh Indah Dewi
terjajar ke dinding tenda, bekas tamparan itu nampak
memerah. Dari sudut bibirnya nampak mengalirkan
darah kental. Begitu nanar gadis itu memandangi laki-
laki keriputan itu. Tiba-tiba kebenciannya kepada laki-laki itu muncul.
"Biadab.... Kau benar-benar laki-laki biadab....!"
jerit Indah Dewi. Dalam pada itu, dari kejauhan di atas bukit sana, mendadak
terdengar suara sayup-sayup.
Seperti sudah mengenal siapa mereka yang berada di
bawah bukit itu.
"Bergawa Hitam! Aku yang datang....!" Nampaknya Bergawa Hitam begitu menghormati
pemilik suara itu, terbukti baik Bargawa Hitam maupun orang-orang
yang berada di luar tenda membungkukkan tubuhnya
memberi hormat.
"Apa yang pangeran inginkan telah kami laksa-
nakan! Sekarang ini kami tinggal menunggu perintah
selanjutnya....!" kata Bargawa Hitam memberi laporan.
Sementara itu, Indah Dewi begitu mendengar suara
orang yang disebut pangeran nampak sangat terperan-
jat. Suara itu rasa-rasanya seperti dia kenal secara
samar-samar. Bedanya suara itu hanya sedikit agak
sengau. Dia berusaha mengingat-ingat siapakah orang
yang sedang bicara dengan jarak cukup jauh itu"
"Pekerjaan kalian memang patut untuk mendapat
penghargaan. Tapi penyelesaian dengan imbalan yang
memuaskan masih cukup jauh.... banyak rintangan
yang akan kita hadapi. Wilayah Sungai Bilah Hulu saat
ini juga sedang menghadapi persoalan yang cukup ru-
nyam. Baja Kuning memberi laporan padaku tentang
kehadiran seorang pemuda asing dengan kepandaian-
nya yang cukup tinggi. Nah... untuk sementara waktu
kau uruslah putrinya saudagar Legawa itu, aku telah
mengutus seorang kurir ke rumahnya untuk menyam-
paikan surat yang membicarakan masalah tebusan
dan kebebasannya."
"Pangeran sendiri hendak kemana....?" tanya
Bergawa Hitam dengan perasaan sungkan. Terdengar
suara gelak tawa, dari siempunya suara tadi.
"Aku.... he.... he... he...! Sudah barang tentu mau menemui Baja Kuning.....
ingin ku tahu seberapa hebatnya orang yang telah begitu berani mencampuri se-
gala urusanku....!" jawabnya berwibawa.
"Kami selalu mematuhi apa yang pangeran pe-
sankan pada kami!" ujar Bergawa Hitam. Sebagaimana kedatangannya tadi,
kepergiannya pun tanpa kata.
Hanya kesunyian alam sekitar sebagai tanda pemilik
suara yang disebut pangeran itu sudah tak berada di
tempat. Seperginya orang yang nampak begitu dihor-
mati oleh Bergawa Hitam dan kawan-kawannya. Indah
Dewi langsung pula menghamburkan kata-katanya.
"Aku seperti mengenal pemilik suara tadi....! Pastilah dia... aku merasa yakin
sekali....!"
"Dia siapa...?" sentak Bergawa Hitam, dengan sorot mata menyelidik.
"Hemm.... aku yakin dialah orangnya....!" gu-mamnya lagi seperti pada dirinya
sendiri. "Bekas kekasihmu...?" pancing Bergawa Hitam.
"Keparaaat! Kau tak layak menyebut-nyebut
orang itu....?"
"Dua orang itu suaranya sama betul! Mungkin-
kah orang-orang seperti mereka mau mengerjakan pe-
kerjaan sekeji ini" Atau semuanya ini hanyalah meru-
pakan sebuah perangkap, yang akhirnya menjeru-
muskan ayah pada jurang kemelaratan....?" batin Indah Dewi mulai merasa was-was.
"Kini mengapa kau diam" Pasti kau mulai merin-
dukan kehangatan suamimu itu?" dengus Bergawa Hi-
tam dengan sesungging senyum mengejek.
"Cacing kurus! Kau benar-benar membuat aku
mau muntah... pergilah....!"
"Bisa berbuat apakah, kau...! Jangan kira kalau
aku mau, aku tak mampu berbuat apa pun atas diri-
mu....!" "Semua laki-laki memang iblis....!" teriak Indah Dewi dalam kegusarannya.
*** 5 Pada saat itu di luar sepengetahuan mereka, dari
tempat yang agak tersembunyi. Sepasang mata berki-
lat-kilat nampak menatap kosong ke arah tenda. Su-
dah hampir satu jam dia berada di situ mengawasi
daerah sekitar dengan pandangan nanar. Ketika dia
merasa tiada kelompok lain lagi yang berada di daerah
itu, maka melantunlah suaranya bagai bait-bait se-
buah syair: Hitam darah beku dari goresan luka lama dan ba-
ru Nyanyian anak unggas, merintih ditinggal induk-
nya. Jiwa hampa meluluh latahkan ganasnya angkara, Yang berdiri di atas jiwa-
jiwa merana Aku kini bukanlah serapuh yang dulu lagi
Duduk bersimpuh mengharap kasih raja
Tidak juga ketika kasih terhempas dilanda
Badai prahdra......
Jiwa ini menjadi suka bertarung melawan maut
Dan setiap jiwa pasti akan terenggut
Dalam hatiku hanya satu yang kutuntut
Enyahkan angkara murka dengan pedang asmara
Karena diucapkan dengan pengerahan tenaga da-
lam, maka suara yang ditimbulkannya merambah jauh
sampai ke ujung lembah. Sudah barang tentu baik
orang yang berada di luar maupun di dalam tenda
mendengar suara yang disertai pengerahan tenaga da-
lam itu. Setelah menotok jalan darah Indah Dewi, ma-
ka Bergawa Hitam nampak berkelebat keluar mening-
galkan tenda.

Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa....?" tanyanya begitu telah bergabung dengan sebelas orang kawannya.
"Seseorang nampaknya sedang mengawasi dae-
rah kita ini, ketua Bergawa Hitam! Seorang bertelan-
jang dada dengan sebuah golok besar di tangannya
memberi laporan pada Bergawa Hitam.
"Hemm. Kalau begitu, daerah ini telah diketahui
oleh orang lain. Ada baiknya kalau kalian periksa siapa kunyuknya yang telah
begitu berani mendengar pembicaraan orang....!" kata Bergawa Hitam. Baru saja
se-tindak lima dari sebelas orang itu melangkahkan ka-
kinya menuju tempat persembunyian si pelantun syair.
Serta merta dari semak-semak belukar, nampak mele-
sat sesosok tubuh mendekati Bergawa Hitam. Dengan
gerakan tanpa menimbulkan suara. Pemuda bertelan-
jang dada itu menjejakkan kedua kakinya persis di de-
pan Bergawa Hitam. Sekejap pemuda berwajah totol-
totol dan berpenampilan dingin itu nampak memper-
hatikan Bergawa Hitam dan orang-orangnya. Kemu-
dian terlihat dengan jelas, sesungging senyum tipis
menghias di bibirnya.
"Bocah muka macan tutul! Berani sekali engkau
menunjukkan tampang di depan hidungku....?" Ter-
dengar suara mendengus, mengisyaratkan rasa keti-
daksenangannya.
"Secara kebetulan aku melewati daerah ini....!"
jawabnya acuh. Sudah barang tentu sikap yang ditun-
jukkan oleh si pemuda membuat Bergawa Hitam men-
jadi tersinggung
"Kalau memang secara kebetulan kau melewati
daerah ini. Maka aku mengampuni jiwamu. Untuk itu,
cepat-cepatlah kau menyingkir dari hadapanku...!"
bentak Bergawa Hitam dengan suara sengaja dike-
raskan. Tetapi tingkah si pemuda benar-benar di luar
dugaannya. Pemuda berwajah totol-totol itu bukannya
bergegas meninggalkan tempat itu, sebaliknya malah
kembali tersenyum dingin, sementara sepasang ma-
tanya melirik ke arah tenda.
"Aku baru segera berlalu dari daerah ini jika pe-
rempuan yang kau sekap itu, kau bebaskan sekarang
juga...!" "Kurang ajar...! Dikasih hati malah meminta jan-
tung...! Sungguh keterlaluan...! Bergawa Hitam pasti
tak akan mengampuni jiwamu....!" teriak laki-laki berbadan kurus kering ini
dengan wajah merah padam.
"Jerangkong hidup! Ha... ha... ha...! Pikirkanlah keselamatan dirimu! Karena aku
pun tak akan mengampuni jiwa Setiap orang-orang yang kujumpai....!"
geram pemuda bertelanjang baju yang telah sama kita
ketahui bernama Andika.
"Cuih! Kalau begitu kau memang ingin mencari
perkara dengan Bergawa Hitam....?" Kata laki-laki ber-senjatakan Kebutan itu,
dengan kemarahan yang su-
dah tiada terbendung lagi.
"Tak usah banyak mulut! Cepat cabutlah senjata
kalian, jika tak ingin mati percuma...!" Tak terkirakan betapa Bergawa Hitam
sudah tak mampu menguasai
dirinya lagi, serta merta laki-laki bertubuh tengkorak
itupun memberi isyarat pada kawan-kawannya. Hanya
dalam waktu sekejap, sebelas orang kawan-kawan
Bergawa Hitam langsung menyerbu. Pemuda berwajah
totol-totol menyambutnya dengan tawa dingin menye-
ramkan, lalu dilanjutkan pula dengan bentakan men-
gancam: "Lembah Patah Hati telah begitu jauh ku ting-galkan. Tiada sisa-sisa
kenangan terkecuali sebuah
duka lama dan sebuah kekecewaan....! Ah, orang-
orang malang! Betapa Pedang Asmara tak mungkin
kembali ke dalam sarungnya, terkecuali telah menghi-
sap darah kalian... nah, bersiap-siaplah kalian untuk
mampus....!"
"Chaaaat.....!"
Di awali dengan satu lengkingan panjang, pemu-
da wajah totol-totol itu langsung melompat dan mela-
kukan tendangan kaki ke bagian tangan lawannya
yang memegang senjata. Tendangan kilat itu membuat
dua orang yang berada di dekatnya menjerit roboh.
Senjata di tangan mental, sedangkan bagian tulang
iganya remuk. Gebrakan mematikan yang dilakukan
oleh si pemuda membuat Bergawa Hitam terbelalak
matanya. Sama sekali dia tiada menyangka pemuda
bertelanjang dada itu memiliki kepandaian yang begitu
hebat. Sesaat laki-laki kurus itu menjadi lebih terkejut lagi saat mana
mendengar jeritan tiga orang kawannya.
Tubuh orang-orang itu roboh dengan luka memanjang
di depan dada. Sementara dari luka itu tak terlihat
adanya darah yang mengalir keluar. Pabila Bergawa
Hitam menoleh ke arah si pemuda, maka sebilah pe-
dang berwarna biru kehitam-hitaman nampak tergeng-
gam di tangannya. Pada ujung pedang itu terlihat sisa-
sisa darah yang telah mengering. Yang membuat Ber-
gawa Hitam sangat terkejut, adalah selain pedang di
tangan lawannya nampak bergetar, juga pedang itu
sendiri mengeluarkan suara mendengung-dengung
menggiriskan hati.
"Lima ekor tikus telah mampus! Tapi rasa dahaga
pedangku tak kan pernah kunjung berkesudahan se-
belum darah kalian dihirupnya....!"
"Setan.... keparaaat....!" maki laki-laki kurus kering. Kemudian segera mencabut
senjatanya yang beru-
pa kebutan. Dengan senjata itu, Bergawa Hitam bersama
enam orang lainnya segera pula mengepung Andika
dari berbagai jurusan. Tiada kata-kata yang terucap
dari mulut laki-laki bertampang dingin itu terkecuali
suara angin bersiuran disertai suara mendengung yang
berkepanjangan. Sungguh pun Bergawa Hitam dan
orang-orangnya telah mengerahkan segenap kemam-
puannya. Bahkan mereka pun telah pula mempergu-
nakan jurus andalannya masing-masing, sejauh itu
mereka masih belum juga mampu menguasai perta-
rungan. Melihat kenyataan ini, Bergawa Hitam menjadi
sangat gusar sekali. Pertama-tama dia putar kebutan-
nya sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah
pertahanan yang begitu kuat. Dengan pertahanan se-
perti itu, Bergawa Hitam sedikit demi sedikit mulai me-rangsak ke depan. Namun
gerakan itu kemudian ter-
tahan, manakala Andika memutar pedangnya ke arah
si laki-laki kurus. Semakin lama tubuh Bergawa Hitam
semakin terdorong ke depan. Laki-laki kurus itu untuk
selanjutnya hantamkan senjatanya untuk membubar-
kan rebawa aneh yang telah mulai menguasai dirinya.
"Weet..... Breees....."
Tanpa terduga Pedang Asmara di tangan si pe-
muda menyambut. "Jreees...!"
"Uhh.....!"
Senjata kebutan milik Bergawa Hitam berantakan
menjadi serpihan-serpihan kecil dihantam pedang di
tangan lawan yang memiliki rebawa aneh itu. Tidak
sampai di situ saja, sebaliknya tubuh laki-laki kurus
itupun terdorong tiga tindak. Andai saja Bergawa Hi-
tam tidak memiliki tenaga dalam yang kuat sudah pas-
ti tubuhnya terjengkang. Sebelum laki-laki kurus ma-
cam jerangkong itu siap dengan posisinya, lagi-lagi
terdengar satu jeritan dari mulut dua orang kawannya.
Orang itu langsung roboh, kepala mereka nyaris terpi-
sah dari tubuhnya. Sama halnya seperti dialami oleh
korban-korban terdahulu. Kali inipun dari bekas-bekas
luka itu tak terlihat adanya darah yang mengalir.
"Senjata iblis....!" teriak Bergawa Hitam, dengan wajah pucat. Pemuda wajah
totol-totol kembali sung-gingkan seulas senyum. Selanjutnya tertawa tergelak-
gelak: "Ha... ha... ha...! Cacing kurus.... kau lihat Pedang Asmara yang tetap
haus dengan darah. Dan kau
lihat pula Jurus di Tinggal Kekasih yang ingin kuper-
sembahkan sebagai Kidung Pengantar Maut....
hiaaat....!" Satu teriakan menggelegar menyertai suara mendengung yang
ditimbulkan oleh senjata di tangan
Andika. Baik senjata maupun tubuh pemuda wajah to-
tol-totol berkelebat lenyap. Hawa aneh dapat dirasakan oleh lawan-lawan si
pemuda yang sedang melakukan
pengeroyokan. Kembali senjata-senjata jenis lainnya
menderu, Andika menyambutnya dengan...
"Traaaang.... Jraas.....!"
"Arggkh....!"
Senjata di tangan lawannya hancur berkeping-
keping, sebaliknya Pedang Asmara di tangan Andika
terus meluncur menghantam sisi perut bagian kiri.
Kawan Bergawa Hitam yang cuma tinggal satu-satunya
keluarkan jeritan tertahan. Laki-laki itu terjengkang
dengan isi perut memburai. Kini tinggallah Bergawa
Hitam seorang diri, wajah laki-laki kurus itu nampak
pucat masai. Tapi nampaknya dia pun tiada pernah
merasa putus asa, dengan mengandalkan pukulan Ka-
but Hitam. Laki-laki berbadan kurus kering itu nam-
pak merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Pendekar Latah 7 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 15
^