Pencarian

Harimau Harimau 3

Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis Bagian 3


Yang mereka perlukan ialah waktu. Dengan penuh khawatir
mereka melihat pada terang matahari di luar atap daun-daun
kayu di atas kepala. Matahari telah lebih berat turun ke arah barat. Mereka
tak dapat menunggu lama-lama. Jika mereka menunggu
terlalu lama, maka malam akan turun. Dan jika mereka masih
berada di hutan, sedang malam telah turun, maka harimau
mendapat kelebihan. Senapan mereka tak banyak artinya di
malam hari. Harimau lebih dapat melihat dalam gelap dari
mereka. Hati mereka berdebar-debar menunggu.
Di sekeliling mereka hutan masih penuh dengan bunyibunyi unggas dan beruk. Malahan beberapa puluh meter dari
pohon tempat mereka bersembunyi sekumpulan beruk yang
berbulu kelabu panggil-memanggil dan berayun-ayun dari
sebuah cabang ke cabang yang lain.
Serangga kecil-kecil berterbangan di udara dekat pohon
mereka. Beberapa ekor burung melintas melalui pohon. Sanip
menggores beberapa ekor pacet yang melekat di kaki dengan
parangnya. Tiba-tiba Buyung merasa hasrat yang amal besar untuk
merokok. Dan berat sekali terasa olehnya melawan
keinginannya hendak merokok ini. Lalu dia teringat pada Pak
Balam, Pak Haji dan Sutan. Apa yang mereka lakukan kini"
Pikirannya kemudian membawanya kembali ke kampungnya.
Apa kerja Zaitun kini" Teringat pada Zaitun menyebabkan dia
teringat pula pada Siti Rubiyah. Apa kerja Siti Rubiyah
sekarang" Bagaimana dengan Wak Hitam" Sudah matikah
dia" Atau telah sembuh dia"
Sanip teringat pada istrinya. Dan tiba-tiba timbul
hasratnya yang besar untuk tidur dengan istrinya. Teringat
dia malammalam dia memeluk badan istrinya terasa ke
dadanya buah dada istrinya " sentuhan paha istrinya ke
pahanya - wangi rambut istrinya yang selalu diminyakinya
dengan minyak kelapa yang dimasak dengan bunga melati
dan bunga mawar dan irisan daun pandan wangi " wangi
bedak beras yang dipakai istrinya di pipinya dan di badannya
" dengan jelas benar dia dapat membayangkan istrinya di
depan matanya. Wak Katok menunggu dengan hati yang penuh amarah.
Dia marah kepada harimau. Dia marah kepada Pak Balam.
Pak Balamlah yang memulai semua kesusahan ini.
Seandainya dia tak diterkam harimau, maka mereka tidak
akan sampai begini. Pak Balam tidak akan membuka rahasia
kejahatankejahatannya yang selama ini telah tertutup rapat
dan dianggapnya tidak akan terbongkar lagi selama-lamany.
Dalam hatinya tak ada kepercayaan kawan-kawannya akan
menyimpan rahasianya seperti selama ini. Hanya dengan
suatu perbuatan yang hebat, seperti jika dia berhasil
membunuh harimau, maka mereka mungkin akan kembali
hormat dan segan padanya seperti dahulu. Hanya jika dia
yang membunuh harimau, dan dengan demikian dialah yang
menyelamatkan jiwa mereka semua, barulah dengan ikatan
serupa ini mereka akan menutup mulutnya. Wak Katok pun
tahu, bahwa tak ada yang lebih hina dan celaka dari seorang
pemimpin yang gagal, dari seorang raja yang gagal, yang
kelemahan-kelemahannya telah terbongkar dan tak berhasil
pula membuktikan kekeramatan dirinya sendiri, yang selama
ini dipuja-puja orang. Dia telah mengatakan, bahwa harimau
itu adalah harimau biasa. Timbul sedikit rasa menyesal dalam
dirinya, mengapa dia tidak mengatakan, bahwa harimau itu
adalah harimau siluman. Jadi sesuatu yang gaib yang
mungkin tak terlawan oleh daya manusia biasa, betapa pun
tinggi ilmunya seperti Wak Katok. Karena siapa yang dapat
melawan kehendak Allah Yang Maha Kuasa"
Akan tetapi mulanya dia tak hendak mengaku bahwa
harimau itu harimau siluman adalah untuk menotak ucapan
Pak Balam, bahwa harimau dikirim oleh Tuhan untuk
menghukum dosa-dosa mereka. Dia juga marah terhadap Pak
Haji, terhadap Sutan, terhadap Buyung, terhadap Talib dan
terhadap Sanip yang telah ikut mengetahui dosa-dosanya, dan
karena mereka telah mengetahuinya, maka kini dia harus
menghadapi bahaya harimau, harus memburu dan
membunuh mati harimau. Dia marah pada mereka. Karena
dia kini mesti melakukan pekerjaan yang amat berbahaya.
Sedang dalam hatinya dia merasa takut. Ya, selamanya dia
merasa takut. Orang mengatakan dia tukang silat yang ulung,
pemburu yang mahir, dukun yang tinggi ilmunya, akan tetapi
dalam hatinya dia selalu merasa takut, sejak dahulu, sejak
waktu mudanya. Apa yang dilakukannya adalah untuk menyembunyikan
ketakulannya. Karena itu waktu dahulu, sejak waklu
mudanya. Waktu dahulu pecah pemberontakan melawan
Belanda dialah yang berbuat paling ganas dan kejam dalam
pasukannya. Dialah yang belajar menuntut ilmu dukun
bertahun-tahun, supaya orang di kampungnya segan dan
hormat padanya. Karena itu dia selalu berusaha unluk
menjadi pemburu yang mahir. Akan tetapi dia selalu takut.
Dia tak dapat meninggalkan rasa takutnya. Dia tak dapat
damai dengan takutnya. Karena itu selalu dia lerpaksa untuk
melakukan halhal berlebihan untuk menutupinya. Dan dia
selalu pandai mengatur semua perbuatan beraninya
sedemikian rupa, hingga dia selalu selamat. Tetapi tak pernah
dia mengambil risiko sebesar sekarang. Dia dengan dua orang
anak muda yang tak bersenjata.
Dahulu ketika berontak dia selalu berlindung di belakang
kawan-kawannya. Dan jika keadaan telah mereka kuasai,
maka dialah yang mulai membunuh, merampok atau
memperkosa. Akan tetapi karena berbuat demikian, maka
dialah yang dianggap paling berani. Dan waktu berburu pun
dia selalu beruntung. Belum pernah dia memburu harimau
seperti yang dilakukannya kini. Dan sejak tadi pagi pun yang
sebenarnya bekerja mengikuti jejak harimau adalah Buyung.
Akan tetapi Wak Katok amat pandainya membuat usaha orang
lain kelihatan seakan dilakukan di bawah pimpinannya. Dia
telah belajar berbuat demikian sejak lama. Sejak mudanya dia
telah belajar untuk memakai topeng, dan memakai
warna-warna yang berlainanlainan, disesuaikan dengan waktu
dan keadaan. Dia telah belajar untuk selalu selamat dalam
keadaan apa pun juga, dan mendapat nama pula dari sesuatu
pekerjaan yang sebenarnya orang lain yang berpikir dan
bekerja. Dan sejak tahun-tahun terakhir, ketika namanya telah
terkenal sebagai guru silat yang ulung, sebagai seorang dukun
yang mahir dan sebagainya pemburu yang utama, ketika
semua orang di kampungnya telah percaya pada keunggulan
ilmunya, keunggulan kecakapannya, keunggulan pimpinannya, maka peran yang harus dimainkannya
bertambah mudah terasa olehnya. Dia kini dapat memberikan
obat, melawan jin dan membaca mantera. Jika berhasil, maka
namanya bertambah harum, akan tetapi jika si sakit mati,
maka dia dapat berkata, bahwa si sakit goyang imannya, dan
karena itu tak berhasil dimanterainya dan diobatinya. Dia
telah biasa menerima sanjungan dan dimuliakan orang
banyak, hingga semakin lama semakin panjang waktu agar
lupa pada ketakutannya dan kelemahan-kelemahan dirinya,
dan percaya sungguh, bahwa dia adalah apa yang
dibayangkan orang, dan apa yang disangka orang banyak.
Jarang-jaranglah dia selama ini menyadari kelemahan-kelemahannya. Sejak serangan harimau yang pertama, dan sejak Pak
Balam membongkar rahasia kejahatan-kejahatannya di waktu
dulu, Wak Katok telah berada di bawah tekanan jiwa yang
semakin hari semakin besar. Dia merasa kelemahankelemahannya yang dirahasiakannya selama ini telah
terbongkar, dan membuat dia lemah kembali. Dan serangan
harimau yang kedua terhadap Talib telah lebih memperbesar
tekanan ini. Dan kini sambil menunggu-nunggu harimau,
datang tekanan lebih besar lagi. Bagaimana jika dia
menembak tak tepat" Jika harimau lolos kembali" Atau jika
dia menembaknya hanya luka, dan harimau dalang
mengamuk menyerang mereka" Mereka kini tidak berada di
alas pohon yang aman. Ingin dia sebenarnya mengusulkan
supaya mereka pindah tempat, naik ke atas pohon, membuat
tempat menunggu di atas pohon. Akan tetapi dia lahu, bahwa
usulnya akan didengar dengan perasaan aneh dan ganjil oleh
Buyung. Karena keadaan kini tidak mengizinkan mereka
berburu cara demikian. Kini soalnya mengadu kemahiran berburu dan kekuatan
hati dengan harimau. Dan inilah yang dirasakan sekarang
amat kurang cukup dimilikinya. Dia bukan saja takut
menghadapi harimau yang kini datang semakin dekat ke
tempatnya bersembunyi, akan tetapi dia pun tak kurang
takutnya, nanti akan terbukti, di depan mata Sanip dan
Buyung, jika gagal menembak. Bagaimana jika ketika melihat
dan mendengar auman harimau, badannya jadi beku dan
kaku" Alangkah senangnya jika dia dapat mencari alasan untuk
memberikan senapan kepada Buyung. Biarlah Buyung yang
menembak. Jika meleset, maka Buyunglah yang salah. Akan
dikatakankah, bahwa tangannya sakit, atau kaku, semutan..."
Akan tetapi hatinya amat enggan melepaskan senapan dari
tangannya. Sejak bahaya mengancam, tak pernah dia melepaskan
senapan dari tangannya lagi, jika tak amat perlu sekali. Dia
mendapatkan sesuatu perasaan aman dari besi laras
senapannya. Senapannya itulah yang memberikan padanya
kedudukan pimpinan dan kekuasaan antara mereka kini.
Tanpa senapannya dia tak punya arti. Wak Katok, meskipun
seluruh tampangnya dan mukanya menunjukkan kekukuhan
dan kekerasan dan ketegangan, sebenarnya jauh dalam lubuk
hatinya, adalah seorangyang rusuh hatinya, kacau perasaannya, ragu-ragu pikirannya, penuh dilanda kebimbangan, keraguan dan kekhawatiran. Tangan beku dan
jari-jari beku, ketakutan pun meremas-remas hatinya tak
berhenti-henlinya. Lama mereka menunggu. Mereka memandang ke atas mengikuti jalan matahari,
dan kecemasan mereka semakin besar. Petang telah
bertambah dekat, dan jika harimau tak muncul dalam waktu
setengah jam lagi, mereka akan harus berangkai, jika masih
ingin tiba di tempat bermalam sebelum saat magrib. Jika
mereka menunggu terlalu lama, mereka akan kemalaman di
jalan, dan keadaan mereka akan amat berbahaya sekali. Akan
tetapi seandainya pun mereka berangkat sekarang, keadaan
mereka tetap berbahaya, karena mungkin kini sang harimau
bersembunyi menghadang di suatu tempat dijalan yang harus
mereka tempuh untuk kembali.
Mereka tak tahu lagi sebenarnya siapa kini yang menjadi
pemburu, dan siapa yang diburu.
Matahari bergerak juga terus perlahan-lahan di langit.
Udara di bawah daun-daun hutan terasa panas. Tanah
hutanyanglembabperlahan-lahan
menguapkanairyang membuat udara jadi panas dan basah. Mereka tak berani
mengusir atau memukul nyamuk yang dalang menyerang dan
harus menahan gigitan nyamuk dengan sabar dan tahan
sekali. Kadang-kadang Buyung merasa seakan hendak
melompat dan memekik, dan memukul nyamuk di tangan,
kaki dan tengkuknya dengan keras, demikian rasanya
tekanan di dalam dirinya mendesak-desak menyuruhnya
berbuat sesuatu. Akan tetapi Buyung pun menginsyafi, bahwa
kini keselamatan mereka tergantung dari kekuatan hati
mereka menunggu, dan menunggu, dan menunggu.
Tak ada kesenangan hal terasa dalam menunggu
demikian. Lain halnya dengan menunggu yang dilakukan
orang ketika mengail ikan, dan berjam-jam dapat mengalir
lewat dan hati merasa tenang dan enak, menunggu tarikan
mulut ikan yang perlama pada umpan pancing di dalam air.
Atau menunggu burung belibis lewat di atas kepala, sedang
pemburu bersembunyi di dalam belukar rawa. Atau
menunggu rusa dalang minum ke tempat air di tengah hutan.
Atau menunggu kekasih yang dalang terlambat.
Di dalam menunggu serupa ini ada terasa bahagia yang
terdiri dari campuran harap-harap dan tak sabar. Akan tetapi
menunggu seperti yang mereka lakukan ini adalah satu
siksaan. Akan tetapi karena sadar, bahwa untuk dapat hidup
terus mereka harus dapat menahan siksaan ini, maka mereka
pun diam dan menunggu. Untuk dapat hidup terus manusia
bersedia berbuat banyak sekali. Tidak saja mengorbankan
kesenangan diri, harta dan kekayaan, akan tetapi menjual
kehormatannya sendiri pun banyak orang yang bersedia
melakukannya. Hidup penuh kemanisan, sedang janji-janji
surga bagi orang yang beramal saleh belum ada seorang
manusia pun yang dapat membuktikannya, baik bagi dirinya
sendiri, apalagi untuk orang lain.
Karena itu orang ingin memperpanjang hidupnya
sebanyak mungkin. Peminta-minta yang paling sengsara
sekalipun akan mencoba juga sedapat mungkin memperpanjang hidupnya, sedang hidupnya telah begitu getir
dan pahit.

Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menunggu terus. BUYUNG yang mula-mula menegakkan kepalanya dan
memasang telinganya baik-baik. Beberapa saat dia demikian,
sedang Wak Katok dan Sanip ikut pula memasang telinganya.
Mereka tak mendengar sesuatu apa. Hanya bunyi angin di
antara daun-dauan dan bunyi-bunyi hutan yang biasa.
Buyung berbisik amat halus sekali:
"Saya seakan memanggil-manggil!" mendengar suara orang Mereka bertiga tegang menajamkan pendengarannya.
Akan tetapi mereka tak mendengar seuatu apa pun juga.
Setelah menunggu beberapa saat lagi dan tidak juga
mendengar sesuatu apa, kembali mereka mengendurkan
panca inderanya, akan tetapi tetap awas menunggu
kedatangan harimau. Lima menit kemudian Buyung
mengangkat kepalanya kembali, dan berbisik perlahan sekali:
"Aku dengar kembali seperti suara orang memanggil!"
Sanip dan Wak Katok memasang telinganya. Mereka
menunggu. Benar, tak lama kemudian, jauh sekali, sayupsayup sampai, mereka mendengar suara. Akan tetapi apa
yang dipanggil suara itu tak jelas pada pendengarannya.
Suara itu menghilang begitu terdengar ke telinga. Hingga
mereka belum begitu yakin benar, bahwa ada mereka
mendengarnya. Kini ketegangan memuncak dan berkumpul ketat serta
padat dalam diri mereka. Menunggu kembali. Suara itu
terdengar kembali - sebuah suara seperti seorang berteriak
'oooo-oooo!!!!!' - ataukah 'toooolooooong!!!!!' yang lalu segera
menghilang pula kembali. Adakah orang minta lolong jauh di sana" Adakah orang
lain di hutan besar ini, yang kini diserang harimau" Mereka
berpandangan. Mereka merasa amat tegang sekali. Kini suara
datang lebih jelas, dan kini dapat mereka mendengar jelas
'...toooooookkkkk!!!!' Orang memanggil Wak Katokkah" Sanip
teringat pada cerita-cerita tentang orang halus di dalam hutan
yang didengarnya waktu kecil, yang kadang-kadang menyaru
sebagai seorang yang dikenal lalu membawanya sesat jauh ke
dalam hutan. Apakah suara itu kini suara orang halus rimba
yang hendak menyesalkan mereka"
Apakah itu suara harimau siluman yang hendak
mengumpan mereka, supaya meninggalkan tempat persembunyian mereka" Nah, kini suara teriak orang
bertambah jelas " datangnya seakan dari arah hutan yang
telah mereka tempuh tadi, di jalan yang mereka lalui,
mengikuti jejak harimau yang akhirnya membawa mereka ke
tepi sungai, tempat mereka berhenti dan makan sebentar.
Kini mata mereka menuju ke arah hutan yang telah
mereka tinggalkan. Mereka menunggu. Mereka menunggu.
Mereka menunggu. Tiba-tiba seluruh urat syaraf mereka mengencang amat
sangat, dari tempat mereka makan di pinggir sungai, mereka
mendengar suara auman harimau, dan jerit orang yang
kesakitan dan penuh ketakutan, jeritan suara manusia yang
merobek hati dan jantung, merobek dada dan hati dan perut.
Yang merobek-robek seluruh rasa manusia. Jeritan yang
tajam menembus ke langit, menembus ke dalam bumi yang
menggetarkan seluruh daun-daun di seluruh rimba raya,
jeritan maut yang mengheningkan seluruh bunyi dan suara di
dalam hutan. Jeritan yang membekukan darah mereka
bertiga... harimau telah menyerang korbannya yang ketiga.
Kali ini kebekuan darah dan panca indera mereka lebih
lama bertaku. Dan ketika panca indera mereka mulai bekerja
kembali Sanip menutup mukanya dengan kedua tangannya,
dan bersuara seakan orang yang hendak menangis. Buyung
kaku seluruh mukanya, dan nalurinya yang pertama ialah
hendak melompat memburu ke tempat harimau menerkam
mangsanya, menolong sang korban. Dalam hatinya Wak Katok
merasakan ketakutan yang amat sangat. Dia dapat
membayangkan dirinya sebagai sang korban. Tetapi ia merasa
agak lega, karena harimau telah menyerang sasaran lain. Wak
Katok berdiri, dan mengambil jalan pintas mengambil arah
kembali ke tempat mereka bermalam.
Buyung memegang lengan bajunya
"Tidakkah kita ke sana menolong orang itu?"
dan berbisik: Wak Katok berbisik kembali dengan suara marah:
"Dungunya engkau. Kita tak dapat menolongnya kini.
Jika kita tiba di sana, dia telah hancur dimakan harimau.
Paling cepat dua puluh menit baru kita dapat tiba di sana.
Petang telah larut. Kita mesti cepat pulang."
Wak Katok meneruskan langkahnya cepat-cepat. Buyung
hendak memprotes, akan tetapi dalam hatinya dia pun merasa
senang Wak Katok memutuskan yang demikian. Dia tak
terlalu gembira untuk berlari menuju tempat harimau
menerkam mangsanya. Mereka berlari sejarak beberapa ratus meter terakhir
ketika akan tiba di tempat bermalam. Dari jauh mereka telah
melihat asap api unggun. Asap menunjukkan tanda hidup,
dan mereka ingin cepat dapat merangkul kehidupan. Pak Haji
datang menyongsong mereka berlari, yang menimbulkan
pertanyaan dalam diri mereka. Telah matikah Pak Balam" Pak
Haji telah terdengar berseru-seru dari jauh, tetapi suaranya
tak jelas terdengar. Baru setelah dekat, mereka mendengar
seruan Pak Haji, yang bertanya:
"Bertemukah kalian dengan Sutan?"
Dan tiba-tiba mereka terhenti dekat pondok mendengar
teriak Pak Haji. Pak Haji pun berhenti berlari menyongsong
mereka. Seluruh kedahsyatan kejadian kini menguasai diri
mereka. Sutanlah yang diterkam harimau! Akan tetapi
mengapa dia meninggalkan tempat bermalam" Bukankah dia
dan Pak Haji harus menjaga
Pak Balam" Apa yang telah terjadi" Mengapa Sutan
meninggalkan Pak Haji dan Pak Balam" Ke mana dia"
Wak Katok menyumpah-nyumpah dengan hebat. Buyung
menceritakan kepada Pak Haji apa yang mereka dengar. Pak
Haji menceritakan apa yang telah terjadi.
"Pak Balam bertambah parah kini," katanya, "aku
khawatir dia tak sampai pagi dapat hidup."
Mereka tergesa menuju pondok hendak melihat Pak
Balam. Pak balam terbaring di tanah, mengerang
perlahan-lahan, napasnya berat, dana kelihatan bahwa
demam karena infeksi luka-lukanya kini telah menyerang
seluruh tubuhnya Dia telah bertambah jauh meninggalkan
cahaya hidup, dan telah lebih dekat pada pinggir jurang
kegelapan kematian. Tetapi Buyung tak dapat lama-lama
memperhatikan Pak Balam, yang kini tetap tak sadar dan tak
mengenalnya, meskipun matanya terus terbuka. Buyung
teringat pada Sutan, dan dia mendesak:
"Bagaimana" Apa yang mesti kita lakukan" Tidakkah kita
harus kembali ke sana" Akan kita biarkan Sutan dimakan
harimau?" Mereka memandang padanya. Mereka memandang
berkeliling pada hutan yang mulai diselimuti oleh selendangselendang senja tipis dan amat halus, yang pertama turun
dari langit di sebelah Barat, yang mulai mengurangi
kecemerlangan cahaya petang hari. Dan Buyung pun insyaf
bahwa tak ada gunanya kini bagi mereka untuk kembali.
Belum mereka tiba di tempat itu, Sutan, jika seandainya
dialah yang menjadi korban harimau, telah lama mati dan
habis dikoyak-koyak harimau. Akan tetapi mungkinkah
bukan Sutan itu" Barangkali orang lain" Dan Sutan ke mana
dia" Tiba-tiba Buyung menyesal mengapa dia tadi tidak lebih
kuat mengajak Wak Katok dan Sanip untuk segera mengejar
ke tempat auman harimau menerkam orang.
Pikirannya bingung. Mengapa Sutan melakukan apa yang
telah dilakukannya" Mengapa dia hendak mencekik Pak
Balam yang sakit" Mengapa dia tak tahan mendengar
kata-kata dosa yang diucapkan Pak Balam yang mengigau"
Kini pun sekalikali Pak Balam masih mengucapkan kata itu.
Dosa besar apakah yang disimpan Sutan, hingga dia bertaku
demikian" Susah benar hati Buyung. Dia merasa seakan
dunia yang dikenalnya selama ini telah runtuh di
sekelilingnya. Orang-orang yang selama ini dikenalnya
disayanginya, dihormati, dan diseganinya, kini seakan terbuka
topeng mereka sehari-hari, dan mereka memperlihatkan
wajah-wajah yang lain. Pak Balam yang begitu pendiam, Wak
Katok yang disegani dan dihormatinya, gurunya, Talib yang
dianggapnya orang baikbaik di kampung. Dan bagaimana
dengan Pak Haji" Dia tentu juga punya dosa-dosa yang
disembunyikannya dari orang lain.
Tiba-tiba Buyung teringat pada dosa-dosanya sendiri,
dan pikirannya bertambah kacau. Mengapa selama ini,
meskipun masing-masing berdosa, mereka dapat hidup biasa"
Mengapa baru kini dosa-dosa ini menonjol begitu tajamnya,
dan menguasai semua pikiran dan perbuatannya" Apakah
semua orang demikian, berubah dari yang biasa jika berada di
bawah tekanan bahaya, atau tekanan lain yang terlalu berat"
Maka lalu dia tak dapat lagi damai dengan dosa-dosanya, dan
api yang selama ini membakar jauh di lubuk hatinya, lalu
mencari jalan ke luar dengan berbagai cara" Buyung sendiri
merasakan ketegangan yang amat sangat. Dia pun bingung
dan rusuh, akan tetapi satu hal tetap jelas baginya, dia tidak
akan menceritakan apa yang telah terjadi antara dia dengan
Siti Rubiyah kepada kepada siapa pun juga. Lebih baik dia
mati, daripada harus mengakui.
Sejak mereka mulai menunggu datangnya harimau di
tempat persembunyian mereka, Buyung dapat merasakan
sesuatu perubahan di dalam diri Wak Katok. Air mukanya
yang keras kini seakan goyah. Seakan Wak Katok meragukan
kekerasan dirinya sendiri. Sesuatu yang goyah yang dapat
membahayakan, bukan saja diri Wak Katok sendiri, akan
tetapi diri mereka semua.
"Pasti Sutan itu," kata Pak Haji kemudian, menyimpulkan
apa yang telah diputuskan sejak semula dalam hati masingmasing,
akan tetapi tak ada yang mau mulai mengeluarkannya. Setelah Pak Haji memastikannya, mereka amat merasa
sekali betapa telah tiga orang di antara mereka bertuj uh yang
telah jadi korban harimau. Kini mereka tinggal berempat. Pak
Balam hanya menunggu saatnya yang terakhir saja. Tak
seorang juga di antara mereka yang kini berpikir Pak Balam
akan dapat sembuh. Dan di antara mereka yang berempat siapakah lagi yang
akan mejadi korban sebelum mereka dapat tiba selamat di
kampungnya" Masing-masing berkeyakinan dan berharap
dialah yang akan selamat, dan biarkan yang lain menjadi
korban harimau, jika perlu.
Mereka terlalu letih mengikuti jejak harimau sepanjang
hari, hingga setelah makan malam, meskipun Pak Balam
terus mengigau, dan hati mereka diberati dengan kematian
Sutan yang diterkam harimau dan bahaya yang masih
mengancamnya, Buyung dan Sanip tertidur juga. Tetapi
mereka tidur dengan gelisah. Wak Katok dan Pak Haji berdua
yang metaksanakan sembahyang magrib dan sembahyang Isa.
Biasanya Wak Katok membangunkan Buyung dan Sanip,
menurut giliran mereka untuk berjaga-jaga, selelah mereka
mulai diserang harimau. Akan tetapi malam itu Wak Katok tak
hendak melepaskan senapan dari pegangannya. Dia duduk
sendiri dekat api. Tiap sebentar matanya mengawasi hutan
gelap di luar lingkaran cahaya api. Semakin lama ketegangan
yang menekan itu semakin besar, dan semakin besar pula dan
semakin besar, dan ada beberapa kali seakan Wak Katok pun
tak dapat menahan rasa takut yang memeras hati dengan
amat kuatnya, dan dia merasa ingin melompat dan menjerit,
melakukan sesuatu kekerasan untuk menghapuskan rasa
takut demikian dari hatinya.
Beberapa kali hatinya berdebar-debar amat kerasnya
mendengar bunyi berkeresekan di antara belukar gelap di luar
cahaya api unggun, dan timbul hasratnya untuk
membangunkan Pak Haji, atau Buyung, atau membangunkan
mereka semua. Akan tetapi ditahannya dirinya. Takut dia
akan merasa malu, mereka akan tahu, bahwa dia merasa
takut. Karena bukankah dia adalah Wak Katok, orang yang
paling berani di kampungnya, yang tidak takut pada setan, jin
atau iblis, seorang dukun yang amat tinggi ilmunya, yang
dapat mengobati segala penyakit, yang dapat memanggil angin
dan hujan, menundukkan api, menundukkan racun dan
gunaguna, seorang pemburu yang merajai semua rimba, guru
silat yang tak ada tandingannya"
Demikianlah dia duduk sendiri, dekat api unggun,
seorang manusia yang menganggap dirinya besar, di dalam
dunia kecil lingkaran api unggun, di dalam perut kegelapan
malam dan hutan raya. Dan semakin lama ketakutannya itu
semakin menguasai dirinya, dan semakin menguasai dirinya
... kenang-kenangan timbul dari lubuk hatinya, naik ke atas,
seperti ikan-ikan yang lama bersembunyi di dalam lumpur
dasar lubuk, dan ketika datang gangguan yang menggoyang
lumpur, maka ikan-ikan berenang naik ke atas, menonjolkan
kepala ke alas permukaan air yang ditimpa sinar matahari,
dan mata-mata ikan terasa silau dan terbakar melihat terang
yang nyalang. Wak Katok ingat, ingatannya kembali pada
semua yang dilakukannya di masa dahulu.
Dia pun tahu bahwa memang dia telah berdosa, akan
tetapi dengan segera pula rasa takutnya mengakui berdosa
menguasai dirinya kembali, dan dia menolak dosadosa itu
sebagai dosa. Dia akan menghapuskannya dari ingatannya
dan dari ingatan kawan-kawannya. Dia menoleh kepada


Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang sedang tidur. Alangkah mudahnya pikirnya - kini
saatnya, bunuh saja mereka yang tinggal " Pak Haji, Sanip
dan Buyung. Pak Balam tak lama lagi akan mati. Dan dia
pulang sendiri ke kampung. Mayat mereka akan segera habis
dimakan oleh harimau. Laporkan ke kampung bahwa dari mereka bertujuh
hanya dia sendiri yang tinggal selamat. Orang kampung
malahan akan lebih segan dan hormat lagi dan akan lebih
percaya lagi, bahwa sungguhsungguh tuahnya besar,
keramatnya hebat sekali, hingga dari mereka bertujuh hanya
dia sendiri saja yang dapat selamat. Dia akan dapat
mengatakan kepada orang kampung, bahwa harimau itu
adalah harimau siluman yang datang mengejar orang-orang
bcdosa di antara mereka. Dan meskipun dia telah mencoba
menotaknya, akan tetapi kawan-kawannya yang menjadi
korban rupanya terlalu besar dosanya, hingga sia-sia
usahanya. Nyaris dia sendiri pun hampir jadi korban, jika
tidak ilmunya kuat sekali. Dan dia akan dapat menambahkan
dengan suara yang saleh, ya apa daya kita, jika sudah
kehendak Tuhan untuk menjatuhkan hukuman kepada
hambaNya, maka tak ada suatu kekuasaan di dunia yang fana
ini yang akan dapat menahannya.
Dia hendak bergerak melakukan niatnya, ketika tiba-tiba
sesuatu dalam hatinya menahannya. Jika dibunuhnya mereka
bertiga maka dia akan tinggal sendiri. Membayangkan dirinya
tinggal sendiri di malam gelap itu, dengan harimau menunggu
di dalam gelap di luar batas cahaya api unggun, menimbulkan
takut lebih besar lagi dalam dirinya. Dia masih menghadapi
empat hari empat malam perjalanan lagi, sebelum tiba di
kampung. Dia harus mencari akal agar dia masih mempunyai
kawan hingga malam terakhir. Siang hari terakhir dapatlah
dia sendiri menuju kampung dengan membawa senapannya.
Lebih baik dia menunggu lebih dahulu. Kesempatan untuk
melakukan niatnya masih banyak.
Setelah mengambil keputusan serupa ini hati Wak Katok
merasa lebih senang. Dengan tak disadarinya dia tertidur
pula. Dia dan kawan-kawannya yang lain terbangun oleh
bunyi kokok ayam-ayam hutan yang berderai-derai ketika
fajar tiba. Dan segera pula mereka merasakan sesuatu yang
baru di tempat mereka bermalam. Dengan terkejut mereka
menyadari tak mendengar lagi igauan Pak Balam. Dengan
cepat mereka memeriksa Pak Balam yang terbaring di tanah
... dan melihat Pak Balam terbaring kaku dan diam. Mereka
pun tahu, bahwa Pak Balam telah berhenti hidup.
Kembali ketegangan menguasai diri mereka, dan hati
mereka jadi rusuh dan pikiran mereka jadi kacau kembali.
Ketakutan kembali datang melanda. Mereka bersembahyang
subuh, dan seruanAllahu Akbar!Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Pak Haji terdengar bertambah khusuk, dan dalam hati mereka
pun lebih-lebih lagi menyerahkan diri mereka ke bawah
perlindungan Allah Yang Maha Kuasa. Setiap orang di antara
mereka menambah doa dalam hatinya, supaya dialah yang
diselamatkan Tuhan. Kemudian mereka memandikan mayat Pak Balam dan
membungkusnya dengan kain sarung. Bekas luka-luka di
badan dan kaki Pak Balam telah membusuk sama sekali.
Mayatnya berbau busuk. Mereka kemudian menggali
kuburan. Setelah kuburan mereka tutup kembali tiba-tiba
Buyung tak dapat menahan dirinya.
"Wak Katok," katanya, "mari sekarang kita buru harimau
itu sampai dapat. Hatiku panas sekali. Pak Balam, Talib dan
Sutan harus dituntut bela."
Wak Katok memandang kepadanya kemudian kepada Pak
Haji, dan Sanip. Tak ada terniat sebenarnya dalam hatinya
untuk memburu harimau. Satu-satunya rencana ialah secepat
mungkin meneruskan perjalanan untuk kembali ke kampung
dan untuk menyelamatkan dirinya. Tetapi ini, anak muda
yang menjadi muridnya pula, berani mengusulkan agar
mereka pergi memburu harimau.
"Diam engkau dulu, Buyung. Tunggu orang-orang tua
berunding dulu," kata Wak Katok mendiamkan Buyung.
Buyung hendak membantah, akan tetapi menahan
dirinya. Dia melihat kepada Pak Haji dan Sanip, seakan
hendak meminta bantuan dari mereka. Akan tetapi Pak Haji
diam saja, dan Sanip menundukkan mukanya, lebih suka
membiarkan orang lain saja mengambil putusan. Sejak Talib
diterkam harimau, dan kemarin Sutan, seakan sesuatu patah
di dalam dirinya, dan Sanip yang penggembira dulu seakan
tak ada lagi. Ia kelihatannya lesu sekali. Kecemerlangan
hatinya yang penggembira telah hilang. Seakan cahaya hidup
telah padam dalam dirinya. Sinar matanya pun pudar, tak
berkilauan. Pak Haji berunding dengan Wak Katok, Pak Haji
mengatakan bahwa putusan terserah pada Wak Katok, karena
Wak Katok yang membawa senapan dan Wak Katoklah yang
ahli berburu. Memang kemungkinan besar Sutan telah lama
habis dimakan harimau. Akan tetapi selalu pula ada
kemungkinan dia berhasil melepaskan diri, dan mungkin kini
bersembunyi di atas pohon. Mungkin dia luka. Tidakkah
dalam keadaan demikian kewajiban mereka untuk menolongnya" Dan bagaimana jika mereka kembali ke
kampung dan kemudian ternyata Sutan masih hidup, dan
berhasil pula kembali ke kampung" Apa kata orang kampung
nanti tentang diri mereka"
Ucapan Pak Haji yang terakhir inilah yang menyebabkan
Wak Katok memutuskan untuk kembali ke tempat mereka
mendengar Sutan diserang harimau. Dia lebih takut lagi jika
namanya akan rusak di kampung, jika orang kampung akan
tahu, bahwa dia takut, apalagi setelah Buyung yang
mengusulkan supaya mereka kembali. Mulut anak muda itu
tak akan berhenti-henti nanti bercerita, pikirnya dengan
marah, bahwa dia telah mengusulkan agar kembali, tetapi
Wak Katok tak mau. Dia takut dan ingin cepat lari ke
kampung. Serasa terdengar olehnya maki-makian orang
kampung terhadap dirinya, jika terjadi yang demikian. Tidak,
hal yang demikian tak dapat dibiarkannya terjadi. Dia harus
tetap memelihara keseganan dan hormat orang kampung
terhadap dirinya. Dia merasa tak dapat hidup, jika dia tidak
lagi dihormati, disegani, dan dipuji-puji orang di kampung.
Dia akan lebih menegaskan lagi pimpinannya dan dia akan
memulai sekarang. Dia menguatkan hatinya, dan berkata:
"Memang aku telah memutuskan untuk memburunya sampai
dapat. Sebelum kita berangkat, aku buat dahulu jimat yang
lebih kuat lagi untuk melindungi diri kalian terhadap
serangannya." Wak Katok pergi menyendiri ke dalam pondok, dan
mengeluarkan beberapa batu dari dalam kantong ikat
pinggangnya, yang dibungkusnya dalam potongan-potongan
kain putih yang dibawanya, kemudian dijampinya beberapa
lama. Kemudian batu yang telah dibungkusnya diberikannya
kepada mereka seorang satu.
"Turutlah segala perintahku baik-baik," kata Wak Katok,
"yang kita buru bukan sembarang lawan. Hanya jika kalian
menurut semua petunjukku dengan cermat, baru kita akan
berhasil." Mereka masak, makan pagi, menyiapkan perbekalan.
7 Wak Katok membawa mereka memintas jalan menuju
tempat mereka mendengar Sutan diserang oleh harimau.
Meskipun Wak Katok telah mengatakan, bahwa dia akan
memimpin mereka memburu harimau, akan tetapi dalam
hatinya dia masih mencari jalan ke luar dari tugas ini.
Putusannya untuk memintas jalan merupakan juga sebuah
usahanya untuk menghindarkan selama mungkin kembali ke
tempat jejak harimau mulai. Alasannya benar. Katanya,
supaya mereka lebih lekas sampai dan untuk mengelakkan
diri dari buruan harimau, jika mereka mengikuti jejak
harimau yang lama. Karena harimau telah tahu, bahwa
mereka memburunya, seperti terbukti kemarin.
Buyung sendiri pun sepaham dengan Wak Katok.
Putusannya tepat dan benar, dan sama sekali tidak
menimbulkan kecurigaan tentang maksud-maksudnya yang
sebenarnya. Setelah mereka berjalan ada-sejam lamanya
melintasi tebing dan ngarai, mereka tiba di sebuah bahagian
hutan yang lebat sekali. Sinar matahari hampir tak dapat
masuk. Di tengah hutan udara separuh gelap. Tanah basah
dan di banyak tempat becek sekali. Daun-daun basah, dan air
menetes-netes terus dari daun yang paling atas hingga ke
daun yang paling bawah. Tak seekor burung pun terbang di
bahagian hutan yang gelap ini. Di sini hanya beterbangan
nyamuk, dan serangan pacet amat hebat. Tiap sebentar
mereka harus menggosok tangan dan kaki dan tengkuk
dengan air tembakau. Tak seorang pun di antara mereka yang telah pernah
memasuki hutan ini. Mungkin sejak dunia mulai terhampar
belum pernah manusia memasukinya. Margasatwa hutan
yang biasa pun tak senang tinggal di hutan serupa ini, kecuali
barangkali babi atau badak.
Ketika mereka melalui hutan gelap itu mereka tak
mendengar sesuatu apa. Hutan seakan sunyi sepi, tak ada
penghuninya, kecuali serangga-serangga kecil. Tak ada bunyi
himbauan beruk atau siamang. Tak ada bunyi paluan burung
pelatuk, tak ada bunyi burung-burung.
Seakan-akan mereka melalui bahagian hutan yang
dikosongkan, yang lain dari yang lain. Udara di dalamnya
panas, lembab dan basah, dan jalan yang mereka lalui berat
sekali, karena mereka harus membuka jalan antara pandanpandan dan rotan-rotan berduri. Semakin dalam mereka
memasuki hutan, semakin gelap udara di dalam hutan, dan
tanah yang mereka lalui tiap sebentar dilintasi oleh anak-anak
sungai kecil yang mengalir dengan lamban. Jika orang dalam
mimpi pernah memasuki hutan-hutan jahat yang keramat dan
bertuah, tempat orang disesatkan oleh tukang-tukang sihir
yang gaib, dan ditakdirkan akan berputar-putar berkeliling
tersesat di dalam hutan sampai akhir jaman, maka inilah
hutan itu. Rupa pohon-pohon dalam hutan pun menakutkan.
Pohon dan cabang-cabang tebal ditutupi lumut yang panjangpanjang, dan tanaman yang menjalar memasang sulursulurnya dari pohon ke pohon, hingga tak ubahnya seakan
ada seekor laba-laba raksasa yang memasang jaring-jaringnya
di seluruh hutan. Seluruh suasana hutan menekan perasaan dan mereka
berjalan dengan diam-diam. Tak seorang juga berselera
hendak bercakap-cakap. Masing-masing melangkah dengan
pikiran-pikirannya, membawa perasaan-perasaan-nya yang
tambah lama terasa tambah berat.
Buyung merasa setengah menyesal karena telah
mengambil jalan memintas yang tak pernah ditempuh orang
ini. Entah berapa lama lagi mereka harus mengarungi rimba
jahat ini. Mereka akan lebih terlambat tiba di tempat harimau
menyerang Sutan. Mereka tak dapat berjalan cepat, dan
kerapkali harus berhenti untuk memotong dahan-dahan dan
daun-daun pandan yang berduri. Dan jika memotongnya
menimbulkan bunyi yang terlalu keras, Wak Katok akan
menggeram: "Jangan terlalu ribut kalian."
Bagaimana dapat memotong daun dan dahan tak
bersuara" Mereka menyesal mengikuti Wak Katok yang
membawa mereka melalui hutan ini. Dalam hutan ini orang
tak lagi dapat mengikuti kedudukan matahari. Orang tak
dapat lagi memeriksa ke arah mana dia menuju. Entah di
mana Timur, entah di mana Barat, Selatan atau Utara.
Mereka mungkin tersesat jika keadaan hutan begini terus.
Dalam khayalannya Buyung membayangkan mereka
tersesat, kehabisan makanan, hilang tak tentu rimbanya di
dalam hutan yang dahsyat. Akan tetapi dia menahan hatinya,
tak hendak membiarkan dirinya dihanyutkan oleh pikiranpikiran
yang demikian. Dia teringat nasihat pamannyayangtua, yang mengatakan kepadanya, bahwa
orang tak boleh memikirkan atau membiarkan pikiran-pikiran
yang merugikan tumbuh dalam kepalanya. Karena pikiran-pikiran demikian dapat mempengaruhi diri orang. Dan
terjadilah hal-hal yang tak dikehendaki atau ditakuti.
Karena itu Buyung menahan arus pikirannya yang
demikian. Dia mengalihkannya dengan mencoba mengingat
Zaitun. Apa kiranya kerja Zaitun kini" Sedang memasakkah
dia di rumahnya" Atau dia menjahit" Teringat pada Zaitun
membawa pula ingatannya kepada Siti Rubiyah. Dia masih
tak mengerti benar apa perasaanya sebenarnya terhadap Siti
Rubiyah, tetapi tak serupa dengan apa yang dirasakannya
terhadap Zaitun. Dia merasa hanya dapat hidup dengan
Zaitun. Hanya jika dia kawin dengan Zaitun baru dia merasa
dirinya lengkap, baru hidupnya sempurna, baru terisi
kekosongan yang ada di samping dirinya. Kemudian dia
menahan pikirannya kembali, dia tak hendak memikirkan apa
yang harus dilakukannya jika mereka telah kembali ke
kampung, dengan janjinya kepada Siti Rubiyah.
Sanip berjalan dengan diam, dan menebas daun dan
dahan dengan gerak tangan seakan tak disadarinya, akan
tetapi yang bekerja sendiri secara otomatis. Hatinya penuh
gundah gulana. Dia ingin benar cepat-cepat meneruskan
perjalanan pulang ke kampung. Dalam hatinya dia tak setuju
mereka kembali memburu harimau. Lebih baik pulang ke
kampung dan minta bantuan di sana untuk mencari Sutan.
Apa yang dapat mereka lakukan berempat dengan sebuah
senapan tua Wak Katok" Meskipun hatinya agak terobat,
karena diberi jimat baru oleh Wak Katok, akan tetapi
keraguannya belum hilang. Tidakkah Pak Balam memakai
jimat, juga Talib dan Sutan" Dan bukankah mereka juga
diserang sampai mati" Tetapi dia mendiamkan bisikan hatinya


Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak percaya, karena ini lebih membesarkan kerusuhan
hatinya saja. Lebih baik dia mengingat istrinya ...
Pak Haji yang berada paling belakang berjalan penuh
dengan pikirannya sendiri pula. Hatinya pun segan untuk
mengikuti jalan pikirannya. Selama umurnya yang telah enam
puluh tahun, dari berbagai pengalamannya yang pahit-pahit,
dia sejak lama telah mengambil kesimpulan untuk tidak
hendak mencampuri urusan orang lain. Baginya bersamasama mencari damar dengan kawan-kawannya yang lain
adalah kerjasama yang sama-sama menguntungkan pada diri
masing-masing. Ia tak hendak mencampuri soal-soal pribadi
mereka, dan dia tidak mengundang orang lain mencampuri
persoalan dirinya. Masing-masing orang wajib mengurus
dunianya sendiri, itulah semboyannya.
Dia tidak percaya adanya manusia yang berjuang dan
memikirkan dan malahan sampai memberikan jiwanya untuk
kepentingan umum yang lebih besar, untuk kebahagiaan
manusia-manusia lain yang lebih banyak. Pengalamannya
dalam hal-hal serupa ini telah terlalu banyak dan terlalu
pahit. Telah amat sering dia tertipu dahulu, waktu mudanya,
ketika ia mengembara ke seluruh dunia, betapa orang-orang
yang datang kepadanya dan mengatakan hendak menolongnya, sebaliknya telah menimbulkan celaka padanya.
Berkali-kali dia mengalami yang serupa itu sejak waktu
mudanya. Bukan saja dia telah kehilangan kepercayaannya
terhadap sesama manusia, akan tetapi kepercayaannya
terhadap Tuhan pun sebenarnya telah hilang dari
hatinya. Dia memang telah naik haji, telah menunaikan rukun
Islam yang kelima. Dia memang berpuasa dan bersembahyang, akan tetapi semua ini dilakukannya supaya
dia jangan kelihatan berbeda dengan orang lain. Dia
melakukannya karena hal ini perlu dilakukannya untuk dapat
hidup damai dengan orang lain di kampung.
Tak pernah dia menjumpai manusia yang benar dan yang
adil yang terlebih dahulu melepaskan kepentingan dirinya
untuk kepentingan orang banyak. Dia telah terlalu banyak
mengikuti orang-orang yang berkata demikian, yang terlebih
dahulu lari menyelamatkan dirinya. Karena itu, ketika dia
pulang dari bertualang ke dunia luar, dan tiba di kampungnya
dia selalu menotak untuk dituakan dan dijadikan pemimpin.
Selalu dia dapat memberi alasan mengapa dia tak hendak
memimpin sembahyang, atau melakukan khotbah, atau
dikemukakan dalam berbagai pekerjaan yang dilakukan orang
kampung bersama-sama. Lama-lama orang di kampung biasa
dengan sikapnya yang tak hendak mencampuri sesuatu, dan
membiarkan dia sendiri. Orang tetap memanggilnya Pak Haji,
dan menghormati umurnya yang tua, akan tetapi dia tak
terpandang sebagai salah seorang pemimpin di kampung.
Pak Haji merasa puas dengan kedudukan serupa ini. Dia
tak perlu mengikuti seseorang pemimpin, dan dia pun tak
perlu memberikan pimpinan. Dia tak mencampuri soal-soal
orang lain di kampung dan persoalan dirinya tak pula
dicampuri orang lain Tentang kepercayaan pada Tuhan, terutama sekali
disebabkan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri yang
pahit. Pernah dia ketika menetap di India, jatuh cinta kepada
seorang perempuan di sana dan mereka menikah. Ketika itu
dia berumur tiga puluh tahun. Inilah cintanya yang pertama,
dan dia merasa bahagia sekali. Dia bekerja sebagai pesuruh
sebuah toko, dan gajinya jauh dari cukup, akan tetapi dia dan
istrinya berbahagia dalam kemiskinan mereka Kemudian
istrinya melahirkan anak.
Seorang anak laki-laki yang amat disayanginya. Ketika
itu Pak Haji (dia belum jadi haji di kala itu) memutuskan
untuk pulang ke kampung, membawa istri dan anaknya. Dia
berusaha sekuat mungkin menyimpan dan mendapat
penghasilan yang lebih banyak untuk ongkos mereka pulang.
Akan tetapi ketika bayinya berumur enam bulan, anak itu
jatuh sakit, dan uang simpanannya yang sedikit dengan cepat
habis untuk membeli obat dan membayar tabib. Ketika
uangnya telah habis, dan penyakit anaknya belum juga
sembuh, dia pernah menawarkan dirinya akan bekerja tanpa
digaji selama setahun pada seorang tabib, asal tabib mau
mengobati anaknya sampai sembuh. Akan tetapi tak ada
seorang tabib yang bersedia menolongnya dengan syarat
demikian. Dia sampai memberanikan hatinya memasuki
tempat bekerja seorang dokter kulit putih, akan tetapi
bertemu saja pun dia tak dapat dengan dokter itu.
Ketika mencari tabib dan dokter itu sepanjang hari, dia
terus juga menggendong anaknya. Dalam putus asanya dia
mendoa kepada Tuhan supaya Tuhan menolong anaknya "
hanya Engkau saja lagi yang tinggal, yang dapat menolong
anak hamba, serunya dalam hatinya. Akan tetapi esok harinya
anaknya mati. Sejak itu kepercayaannya kepada Tuhan
tergoncang sekali. Dan ketika enam bulan kemudian istrinya
meninggal pula akibat sakit disentri, maka dia pun
meneruskan pengembaraannya. Dia mengembara hingga tiba
di negeri Arab, dan di sana dia ikut naik haji, karena tuannya
yang diikutinya pergi melakukan ibadah haji. Selama
petualangannya tak ada yang baik yang dilihatnya di antara
sifat manusia. Dia hanya melihat manusia menindas manusia, manusia
menipu manusia, manusia merusak manusia, manusia
merampas dan memperkosa manusia. Dia bergerak melalui
lapisan-lapisan kelas rakyat yang terendah di semua negeri
itu, dan yang dilihatnya hanyalah orang kecil yang ditipu,
dipergunakan, diinjak, dan diperas dan diperkosa, dizalimi
oleh orang-orang yang berkuasa, yang kaya, yang kuat.
Rakyat yang diperkosa itu masihlah merupakan jumlah yang
terbesar dari manusia yang terinjak di atas dunia kita. Dia
telah pernah ikut mogok, dia pernah ikut demonstrasi, dia
pernah ikut berontak, dan hasilnya hanyalah dia jadi alat
orang yang berkuasa memukuli mereka, menangkapi mereka,
dan membunuhi mereka. Pak Haji telah patah hati ketika dia pulang ke
kampungnya. Dan apa yang dilihatnya terjadi di kampungnya
tak banyak berbeda dari apa yang dialaminya di dunia luar.
Sebuah contoh yang dekat saja, lihatlah Wak Katok. Alangkah
angkuhnya dan sombongnya dia, ketika dia berada dalam
lingkungan kampungnya yang aman.
Di sana dia dapat berlagak sebagai guru silat yang besar,
dukun yang berilmu tinggi, pemburu yang perkasa. Semua
orang segan dan hormat padanya. Malahan banyak yang takut
pada ilmu-ilmu gaibnya. Jika dia berbicara pantang disangkal.
Semua kata-katanya hendaknya diaminkan saja. Pak Haji
sejak lama telah dapat melihat kelemahan-kelemahan dalam
pribadi Wak Katok dan juga kelemahan dalam ilmu yang
dimashur-mashurkan orang tentang Wak Katok. Akan tetapi
dia berdiam diri. Apa perlunya" Mengapa dia harus
membongkar kedok Wak Katok pada orang-orang sekampungnya" Jika mereka senang dan berbahagia
mengikuti Wak Katok, mengangkatnya jadi pemimpin dan
gurunya, maka itu persoalan mereka. Apa untungnya baginya
membuka mata orang banyak" Dialah yang akan celaka. Dia
akan dibenci orang jika dia berbuat demikian. Dia hanya akan
mendapat musuh saja. Dan dia telah bosan pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain. Di hari tuanya dia ingin hidup tak
terganggu dan tak mengganggu orang lain. Suka hati orang
lainlah apa yang hendak mereka lakukan.
Hidup mereka adalah hidup mereka, dan hidupnya
adalah hidupnya sendiri. Dia tak percaya pada ilmu-ilmu,
manteramantera dan jimat-jimat Wak Katok, akan tetapi jika
diberikan padanya, diterimanya juga, demi untuk menjaga
keadaan, supaya jangan ada perasaan dan hati yang
terganggu. Itulah yang dikehendaki Pak Haji kini dalam
hidupnya. Supaya dia dibiarkan sendiri. Sejak dia kembali ke
kampung sikap ini dapat dipertahankannya. Akan tetapi kini,
dirinya langsung diceburkan ke dalam sebuah keadaan yang
penuh bahaya. Dia tahu bahwa Wak Katok menghadapi krisis dalam
dirinya. Dari ucapan-ucapan dan tingkah laku Wak Katok,
Pak Haji dapat menyimpulkan, bahwa tekanan yang lebih
besar akan mungkin meledakkan krisis ini, dan tak seorang
juga yang dapat mengatakan apa yang akan dilakukan Wak
Katok. Perbuatannya mungkin akan menimbulkan bencana
bagi mereka semua. Apakah dia akan berdiam diri, dan membiarkan dirinya
ditarik ke dalam kehancuran oleh seorang pemimpin yang tak
hendak mengakui ketidakmampuannya, dan terus hendak
menutup kelemahan-kelemahannya, ketakutan-ketakutannya,
dan kebodohan-kebodohannya sendiri, dengan memberikan
perintah-perintah baru, manteramatera baru dan jimat-jimat
baru" Dan memaksa dan mengancam orang supaya mengikuti
semua kata dan kehendaknya" Yang berkeras mengatakan,
bahwa hanya dia sendiri yang benar" Sikap Wak Katok tak
hendak melepaskan senapan dari tangannya, lambang
kekuatan dan kekuasaannya, sejak harimau datang
menyerang, sebenarnya tak lain dari sebuah pengakuan
kelemahan yang terkandung dalam dirinya sendiri.
Demikianlah dalam berbagai hal yang hampir-hampir tak
kelihatan, sikapnya caranya berbicara dan berbuat mulai
mengalami perubahan, sedikit demi sedikit, hampir-hampir
tak kelihatan, kecuali oleh orang yang mengamatinya dengan
seksama. Pak Haji mengamatinya dengan seksama sejak
semula, karena Pak Haji bertekad dalam hatinya, tak hendak
menjadi korban pemimpin palsu.
Akan dibicarakannyakah perasaan-perasaannya ini
dengan Buyung dan Sanip" Dia merasa, bahwa Buyung akan
mudah sependapat dengan dia, akan tetapi Sanip akan
ragu-ragu. Akan tetapi haruskah dia berbuat demikian"
Tidakkah ini berarti dia membawa campur orang lain ke
dalam hidup dirinya" Akan tetapi jika yang lain tak
diberitahunya, mungkin mereka akan jadi korban.
Buyung dan Sanip masih muda. Akan dibiarkannyakah
mereka tak mengetahui kelemahan dan kepalsuan Wak
Katok" Tetapi seandainya mereka jadi korban, akibat mereka
tak dapat menembus topeng kepalsuan Wak Katok, bukankah
itu tanggung jawab mereka sendiri dan bukan persoalannya"
Bukankah persoalannya yang utama kini, bagaimana dapat
menyelamatkan dirinya sendiri, dan masa bodoh dengan
orang lain" Ia ingat ketika sebuah biduk yang ditumpanginya
karam di sungai Kuning di negeri Cina, dan betapa ketika dia
hendak naik ke rakit yang telah banyak berisi orang, dia
didorong kembali ke dalam air. Untunglah dia dapat
berpegang kemudian pada sebuah tiang kayu yang terapung.
Dia cukup merasa puas dibiarkan sendiri dalam hidup
ini, dan dia kini tidak akan mulai membawa orang lain ke
dalam hidupnya. Tiba-tiba Wak Katok mengambil putusan dalam dirinya.
Kini dia tahu akal bagaimana mengelakkan memburu
harimau. Dia akan membawa mereka sesat, hingga dekat
malam, dan mereka tidak lagi dapat memburu. Dengan suara
yang tegas dia berkata: "Buyung, Sanip, Pak Haji. Berhentilah
kini memotong daun dan dahan. Rasanya kita tak jauh lagi,
nanti terdengar padanya. Mereka dapat menerima kebenaran perintah ini.
Meskipun kini perjalanan mereka jadi bertambah sukar,
karena mereka tak dapat memotong jalan, dan baju dan kulit
mereka acap tergores oleh duri daun-daun pandan, mereka
menguatkan hati untuk cepat dapat ke luar dari hutan gelap.
Di banyak tempat mereka terpaksa berjalan membungkuk,
belukar lebat dan rapat sekali.
Mereka tak dapat lagi mengira-ngirakan telah berapa
lama mereka berjalan demikian. Seluruh badan mereka
rasanya sakit dan letih. Mereka juga tidak dapat mengetahui
telah jam berapa kini, karena matahari tetap tak terlihat dari
bawah. Hutan gelap yang basah itu seakan telah menelan
mereka. Dan hutan itu terasa seakan tak ada akhirnya. Napas
mereka terengah-engah, bukan saja karena keletihan, akan
tetapi juga karena hawa panas dan lembab yang memberat di
dalam hutan. Ketika mereka tiba di pinggir sebuah anak sungai kecil
yang mengalir lambat, Buyung membungkuk dan menunjuk
pada jejak-jejak di pinggirnya, di dalam lumpur. Kelihatannya
jejak baru sekali, karena air masih mengisinya perlahan-lahan. "Badak," bisik Buyung.
Sanip merasa lega ketika dia melihat, bahwa bukan jejak
harimau. Wak Katok juga. Dan Pak Haji.
"Mari kita makan di sini," kata Wak Katok.
Selama makan mereka pun tak bercakap-cakap. Mereka
terlalu letih. Hanya Buyung yang bertanya, ketika mereka
diajak Wak Katok meneruskan perjalanan.
"Berapa lama lagi kita ke luar dari hutan ini?"
"Tak lama lagi!" kata Wak Katok. Dan Wak Katok terus
melangkah menembus belukar. Sejak mereka dilarangnya
menebas pohon dan dahan, Wak Katoklah yang berjalan di
depan. Karena dialah yang jadi pemimpin, dan yang tahu jalan
dan arah. Buyung sendiri pun merasa seakan kehilangan


Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah. Dia tak lagi dapat mengatakan dengan tegas arah mana
yang akan membawa mereka ke tempat Sutan diserang
harimau. Mata angin tak dapat ditentukan karena matahari
tak tampak lagi. Karena itu pun dia puas menyerahkan pada
Wak Katok untuk menentukan arah yang harus mereka ambil.
Akan tetapi ketika menurut perkiraannya telah tiba
waktu sembahyang asyar, dan mereka masih juga
mengharungi hutan yang gelap, yang basah dan panas lembab
itu, dan kelihatannya hutan masih tetap luas dan tebal di
sekelilingnya, mulai timbul keraguan dalam pikiran Buyung,
apakah Wak Katok juga tahu ke arah mana dia membawanya.
Kelihatannya seakan dia tahu, karena dia berjalan dan
melangkah seakan tak ragu-ragu. Buyung memandang
kepada Pak Haji dan Sanip, mencoba untuk mengajuk
perasaannya. Apakah mereka tak merasakan keraguan yang
kini dirasakannya Tetapi tak dapat dia membaca sesuatu apa di muka
Sanip. Dan ketika dia melihat ke wajah Pak Haji ... Buyung
melompat amat cepat mendekati Pak Haji ... parang
panjangnya dihayunkannya, Pak Haji terdorong ke pinggir
terkejut ... nah, kena dia!! Buyung berseru gembira ... muka
Pak Haji pucat ketika melihat badan dan kepala ular hijau
yang kini bergerak-gerak jatuh di tanah yang lembab. Ular
yang amat berbisa. Dia hampir saja dipatuk oleh ular yang
berbisa itu yang turun dari pohon ketika ia lewat. Untunglah
Buyung memalingkan mukanya hendak melihat wajah Pak
Haji. Mereka semua terhenti. Wak Katok kembali beberapa
langkah. Dan dengan diam memandangi ular yang telah
bercerai kepala dari badannya di atas tanah. Pak Haji
beberapa saat tak dapat berkata-kata. Wajahnya pucat. Dia
masih amat terkejut. Sanip pun terdiam. Mereka semua
terkejut. Ular selalu merupakan alamat buruk.
"Terima kasih, Buyung. Engkau telah menyelamatkan
jiwaku," kata Pak Haji.
Kemudian Wak Katok berpaling dan meneruskan
perjalanan. Untuk pertama kalinya Pak Haji merasakan
sesuatu yang ganjil di dalam hidupnya. Ada orang yang telah
menolongnya. Malahan telah menyelamatkan jiwanya. Dan
orang itu tidak meminta sesuatu dari dia. Pertolongan
diberikan padanya tanpa diminta dan dengan cepat sekali,
tanpa memperhitungkan bahaya terhadap dirinya sendiri.
Karena jika tebasan parang Buyung tidak tepat, maka dialah
yang akan diserang ular berbisa. Pak Haji mempercepat
langkahnya, dan mendekati Buyung dan berkata kembali:
"Terima kasih Buyung. Engkau bersedia membahayakan
jiwamu untuk menolong aku?"
Buyung memandang kepadanya agak heran.
"Tentu aku bersedia menolong Pak Haji, siapa saja yang
dalam bahaya," katanya dengan sederhana. "Dan tak ada
bahayanya bagiku," tambahnya kemudian.
Pak Haji membiarkan Buyung berjalan dahulu dan dia
berpikir. Aneh, aneh pikirnya, ada juga orang yang serupa itu,
yang bersedia menolong orang lain, tanpa memikirkan bahaya
untuk dirinya sendiri. Dan tak pula dia mengharapkan balas
jasa. Ah, katanya kemudian, mungkin karena Buyung masih
terlalu muda, belum banyak makan pahit garam
penghidupan, karena itu dia berbuat demikian. Akan tetapi
pikiran Pak Haji tidak pula dapat menghapuskan kenyataan
yang telah terjadi, bahwa Buyung telah cepat dan tanpa
berpikir panjangpanjang datang menolongnya, mengelakkan
dia, dari bahaya maut yang tak dilihatnya. Kenyataan itu tetap
ada, tak dapat dihilangkan dengan berbagai dalil-dalil yang
dibuat. Apakah Buyung kurang makan garam pahit
penghidupan karena dia masih muda, atau karena
kebodohannya, semua ini tidak dapat menghapuskan
kenyataan yang telah terjadi. Merubah nilai-nilai yang
dipegang teguh selama hidup di hari tuanya, memang sukar
bagi setiap orang. Pak Haji pun tak begitu mudah hendak
melepaskan ukuran-ukuran yang telah dipasangnya selama
ini. Dia kembali mempercepat langkahnya mendekati Buyung
yang berjalan di depannya.
"Buyung," katanya, "sungguh perlukah engkau rasa kita
memburu dan membunuh harimau?"
Buyung memalingkan kepalanya melihat kepada Pak
Haji.' "Aku bukan pemburu, dan aku tak tahu bagaimana
harus memburu binatang buas yang berbahaya serupa itu,"
Pak Haji memberikan penjelasan.
"Perlu," kata Buyung.
"Untuk apa" Apakah hanya untuk membalas dan
menuntut bela kematian ketiga kawan kita saja?" tanya pak
Haji. Belum sempat Buyung menjawab, Pak Haji meneruskan:
"Kalau sekedar hanya untuk menuntut bela saja, biarpun
harimau itu kita bunuh, kawan kita yang bertiga tidak akan
hidup lagi, bukan?" "Untuk menuntut bela, karena harimau telah bersalah
membunuh kawan-kawan kita," jawab Buyung kemudian,
"dan jika tak kita buru kini, maka harimau akan datang ke
kampung, menyerang ternak. Akan habis lembu dan kambing,
dan siapa tahu orang kampung pun akan jadi korbannya."
"Tetapi tidakkah itu menjadi urusan orang sekampung
nanti?" kata Pak Haji, "mengapa kita saja yang memikul tugas
membunuhnya?" "Tak sampai ke sana pikiranku," kata Buyung, "menurut
rasa hatiku, di mana kita bertemu dengan yang jahat, dan
hendak merusak kita, atau merusak orang lain, merusak
orang banyak, maka kita yang paling dekat wajib melawannya.
Masa harus kita tunggu dulu diri kita yang kena bala maka
baru kita bangkit melawannya" Masa kita berdiam diri selama
diri kita yang tak kena?"
Dalam hatinya Buyung merasa heran, mengapa Pak Haji
berpikir demikian. Tak disangkanya Pak Haji akan berkata
serupa itu. Akan tetapi dalam hati Buyung timbul ingatan,
mungkin Pak Haji hendak mencoba-coba hatinya.
Buyung tersenyum, memalingkan kepalanya ke depan.
Adaada saja Pak Haji, bisiknya pada dirinya sendiri. Dan Pak
Haji kembali menimbang-nimbang apa yang dikatakan
Buyung. Pak Haji tersentak bangun dari arus pikiran-pikirannya
ketika mendengar Buyung berseru:
"Wak Katok, kita tersesat sudah. Kita kembali lagi ke
tempat yang sudah kita lalui!" Dan Buyung menunjuk pada
daun-daun pandan berduri dan dahan kayu bekas kena tebas
parang, dan ke bekas jejak-jejak kaki di tanah.
Wak Katok berpaling menghadapi mereka. Mukanya
keras. Memang sejak mereka habis makan, dia telah sengaja
membuat mereka tersesat dalam hutan gelap.
Disengajanya berbuat demikian, agar mereka terlambat
tiba di tempat Sutan diterkam. Tak ada maksudnya untuk
membawa mereka kembali ke bekas-bekas yang telah mereka
lalui. Rupanya mereka telah berputar-putar saja sepanjang
hari di dalam hutan gelap. Tetapi dia tahu bahwa waktu asyar
telah lewat, dan beberapa jam lagi malam akan tiba, dan
mereka akan terpaksa menghentikan pemburuan, dan
memasang pondok dan menyatakan api. Dan dia akan
selamat semalam lagi. Dan siapa tahu dalam semalam
harimau akan pindah, mencari mangsanya ke tempat lain.
Akan tetapi mata Buyung yang tajam telah melihat
bekasbekas tebasan daun dan dahan.
"Mengapa tersesat" Sengaja memang aku bawa kalian ke
mari karena jalan terus lebih berat lagi. Ini soal biasa jika kita
mencoba memintas hutan," jawabnya dengan singkat.
Dengan enggan Buyung menahan dirinya. Kembali
mengikuti jalan yang telah mereka tempuh dari pagi akan
mengambil waktu yang begitu lama, hingga mereka akan
beruntung jika dapat ke luar dari hutan gelap sebelum magrib
tiba. Sedang jika mereka memintas siapa tahu, mereka akan
dapat keluar hutan lebih cepat. Akan tetapi dia menutup
mulutnya, karena dia sendiri pun tak terlalu yakin kini arah
mana sebenarnya tempat Sutan diterkam harimau. Dengan
perasaan amat lega, mereka melihat pohon-pohon tumbuh
bertambah jarang, dan tak lama kemudian mereka keluar dari
kegelapan hutan, dan tiba di tempat yang lebih terbuka. Wak
Katok mempercepat langkah, menuruni sebuah lereng bukit
yang ditumbuhi semak-semak, menuju sebuah anak sungai
kecil yang mengalir di antara batu-batu besar. Mereka berlari
menuju sungai, mencuci muka dan tangan mereka, dan
minum air dengan lahapnya.
Air sungai terasa segar dan sejuk sekali. Dengan cepat
mereka kemudian memasang pondok, mengumpulkan kayu
bakar dan memasang api unggun. Mereka cepat-cepat mandi,
segera memasak. Waktu makan mereka tak banyak bercakapcakap. Pada waktu magrib itu tak seorang juga yang
sembahyang. Pak Haji pun tidak Mereka semuanya merasa
terlalu letih untuk dapat bangkit lagi selelah makan.
Masing-masing duduk dekat api dengan pikiran-pikirannya sendiri. Kampung mereka, di mana
keselamatan menunggu, rasanya amat jauh sekali. Tiba-tiba
Buyung melihat kepada Wak Katok yang duduk memangku
senapannya. Buyung berdiri dan meraihkan tangannya, dan
seakan-akan ia hendak mengambil senapan, tapi Wak Katok
menyentakkan senapan jauh dari jangkauan tangan Buyung,
dan membentak: "Engkau hendak mengambil senapanku?"
Buyung agak terkejut melihat kerasnya reaksi Wak
Katok, dan berkata: "Maksudku hanya hendak mengingatkan Wak Katok
untuk memeriksa apakah mesiu di dalam masih kering, dan
tidaklah lebih baik senapan dibersihkan dan dikeringkan lagi,
setelah lewat hutan yang basah tadi?"
Wak Katok melihat padanya penuh curiga, dan kemudian
memandangi Pak Haji dan Sanip dengan air muka yang sama.
Sejak Buyung mengatakan mereka tersesat di hutan
gelap, hatinya bertambah tak enak. Dan dia tahu, bahwa Pak
Haji dan Buyung berbisik-bisik sepanjang jalan di hutan gelap
di belakangnya. Apa yang mereka gunjingkan" Tahukah
mereka, bahwa dia takut" Bahwa dia enggan mengejar
harimau" Tidak percaya lagikah mereka pada pimpinannya, pada
kesaktiannya, pada kejagoannya" Mengapa mereka tak
bercakap-cakap, akan tetapi diam saja. Sungguh sikap
mereka kelihatannya telah berubah kini. Sanip sendiri pun
hanya duduk terpekur saja, dengan kepala terkulai. Yang
mesti diawasi oleh Wak Katok adalah Buyung dan Pak Haji.
Dari mereka bahaya mungkin tiba Apa maksud Buyung
hendak meraih senapan. Apakah Pak Haji dan Buyung telah
berkomplot untuk merebut senapan dari tangannya" Guna
menyelamatkan dirinya sendiri"
Tidak, dia tidak begitu bodoh akan mengeluarkan peluru
dan mesiu dari senapannya. Jika dia berbuat demikian, maka
senjatanya yang ampuh akan tak berdaya. Dia akan
kehilangan kekuatannya menghadapi mereka. Sungguh licin
juga akal mreka untuk membuat dirinya tak berdaya. Tidak,
dia lebih pintar lagi dari mereka. Wak Katok tertawa sendiri.
Mereka memandang padanya keheranan.
"Ha-ha-ha," kata Wak Katok. "Kalian sangka aku bodoh"
Ha-ha-ha!!!" Dia memeluk senapannya lebih kuat, dan
mengamat-amati mereka. Pak Haji, Sanip dan Buyung berpandangan heran.
"Ya, berpandanganlah kalian, berbuat pura-pura bodoh,
tak tahu sesuatu apa, akan tetapi aku tahu apa yang ada
dalam kepala kalian," kata Wak Katok, "tidak sia-sia aku
menuntut pelajaran jadi dukun puluhan tahun, ha-ha-ha-!
kalian hendak selamat pulang ke kampung?" tanyanya
kemudian, suaranya ganjil, keras dan kaku. "Jika hendak
selamat, maka turutlah kataku. Akuilah dosa-dosa kalian
padaku. Mintalah ampun! Mulailah engkau Sanip!"
perintahnya. "Tetapi aku sudah mengakui dosa-dosaku," kata Sanip.
"Ya, engkau pencuri, pendusta, pembohong!" kata Wak
Katok, dan dia tertawa, buruk dan jahat sekali. "Dan aku
mesti melindungi dan menyelamatkan kalian, orang-orang
yang berdosa ini" ejeknya. "Dan kalian berdua, Pak Haji, dan
Buyung, aku belum mendengar kalian mengakui dosa-dosa
kalian. Apakah kalian berdua orang suci, yang tak berdosa
sama sekali" Ha-ha-haa-haaaa!"dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Apakah kalian menyangka, kalian tidak usah mengakui dosadosa kalian, sedang kalian sudah mengetahui dosa-dosa orang
lain?" "Nah, Buyung!!! "tiba tiba dia berpaling galak kepada
Buyung. "Berceritalah engkau tentang dosa-dosamu. Apa
kejahatan yang telah engkau lakukan" Engkau telah mencuri,
engkau telah khianat, engkau telah mengambil hak orang lain,
engkau telah berzinah?"
Dia tertawa lebih keras melihat sikap Buyung yang
terkejut. "Ha-haaaa, engkau juga telah melakukan semuanya, ya,
sama juga dengan orang lain" Tetapi engkau ingin pura-pura
suci, anak muda yang bersih, anak muda yang alim, anak
muda yang santun eh?"" Ha-aaaaa!!! Kalian merasa diri kalian
lebih baik dan lebih suci dari aku, ya?"?" Wak Katok berdiri
menghadapi mereka. "Dan Pak Haji, baiklah pula Pak Haji mengakui dosadosanya. Pak Haji yang angkuh hati, yang tak hendak campur
dengan orang kampung, tak hendak ikut dengan orang
banyak. Apa benar yang istimewa pada Pak Haji" Karena Pak
Haji sudah lama dan banyak merantau" Mana ilmu yang Pak
Haji kumpulkan" Mengapa tak disiarkan kepada orang
banyak?" Wak Katok tertawa keras. "Pak Haji apakah orang
suci, apakah orang tak berdosa" Ayuh, ceritalah, akuilah
dosadosa kalian. Mulailah engkau, Buyung".
Buyung tinggal duduk dan memandangi Wak Katok
dengan sinar mata yang keras. Dia telah memutuskan untuk
tidak bercerita kepada siapa pun juga tentang apa yang terjadi
antara dia dengan Siti Rubiyah.
"Engkau tak hendak bicara, engkau hendak melawan
akuuuu?" teriak

Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wak Katok dengan marah. Dia mengacungkan senapannya kepada Buyung. "Aku bunuh
engkau, aku tembak engkau, jika engkau tidak hendak
mengakui dosa-dosamu. Engkau telah mendengar dari mulut
Pak Balam tentang diriku. Adillah jika kini engkau
menceritakan pula dosa-dosamu! Hayo, lekas!" dan Wak Katok
mengacungkan laras senapannya ke dada Buyung.
Buyung berdiri perlahan-lahan.
"Sungguh hendak Wak Katok tembakkah aku" tanyanya
dengan suara yang agak tergoncang, karena menahan rasa
marahnya. "Aku tidak main-main, hayo, lekas!" bentak Wak Katok.
"Apakah hak Wak Katok memaksaku?" tanya Buyung,
"dosa-dosaku adalah soalku sendiri. Mengapa aku harus
dipaksa mengakuinya?"
"Karena aku menghendakinya, karena aku adalah
gurumu, karena aku adalah pemimpinmu, karena akulah
yang berkuasa. Engkau lihat ini, senapan lantak ini dapat aku
memaksa siapa pun juga mengikuti keinginanku. Mengertikah
engkau?" "Aku tak hendak bercerita," kata Buyung dengan singkat,
"tembaklah aku, jika itu yang Wak Katok inginkan!"
Keraguan terlintas di belakang mata Wak Katok
menghadapi kepala batu Buyung. Pak Haji yang sejak tadi
memperhatikan mereka, dengan tak disadarinya, menyela:
"Sabarlah kalian berdua...."
Tetapi Wak Katok cepat berpaling kepadanya, dan
membentak: "Jangan Pak Haji campuri perkara ini. Giliran Pak Haji
segera juga akan datang. Tunggulah hingga giliran Pak Haji
tiba." Tetapi Pak Haji menguatkan hatinya:
"Dengarlah kataku dahulu," katanya dengan suara yang
tenang dan sabar. "Mengapa kita jadi begini" Tidakkah kita
masih menghadapi bahaya bersama?"
"Untuk menyelamatkan kalianlah, maka aku menyuruh
kalian mengakui dosa-dosa kalian. Sudah lupakah kalian
pada kata-kata Pak Balam?" balas Wak Katok.
"Baiklah, baiklah," kata Pak Haji, "tetapi kita tak boleh
melakukan paksaan. Ada orang yang tak hendak mengakui
dosanya, malahan pada Tuhan sekalipun dia tak hendak
mengakui dosanya. Tak ada gunanya dipaksa orang yang
demikian. Kalau Wak Katok merasa perlu mendengar dosa-
dosaku, maka dengan terus terang akan aku akui. Aku telah
melakukan segala dosa yang dilakukan orang di dunia ini,
dari semenjak Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan Tuhan ke
dunia. Aku pun telah mengalami hampir segala dosa yang
dapat dilakukan orang terhadap diriku sebagai manusia.
Kalau akan aku sebutkan satu persatu segala dosa yang aku
lakukan, yang aku lihat dilakukan orang, atau yang dilakukan
orang terhadap diriku, maka sampai pagi aku bercerita,
belumlah akan habis ceritanya. Aku sudah menipu, aku
sudah berzinah, aku sudah merampok, aku sudah berdusta,
aku sudah membunuh, aku sudah mendengki, aku sudah
khianat, dan aku pun sudah ditipu, sudah dirampok, sudah
didustai, sudah didengki, sudah dikhianati orang. Di dunia ini
dosa-dosa yang telah aku lakukan dan yang dilakukan orang
terhadap diriku telah bayar-membayar. Karena itu aku
menyendiri, karena itu aku tak hendak mencampuri soal
orang lain, orang banyak, orang sekampung, karena itu aku
ingin dibiarkan hidup sendiri saja, jangan diganggu karena aku sudah
kehilangan kepercayaanku pada manusia. Orang hanya
dapat hidup untuk dirinya sendiri saja, itulah kepercayaanku
selama ini. Nah itulah supaya Wak Katok tahu, dan jangan
aku diganggu lagi." Pak Haji duduk membelakangi Wak Katok. Wak Katok
merasa marah sekali, tidak saja dengan Pak Haji, akan tetapi
juga dengan Buyung, dengan Sanip dan dengan semua
manusia. Tetapi dia merasa sikap tak perduli Pak Haji sebagai
sebuah tembok yang sukar dipecahkannya. Dan dia belum
siap untuk menembus tembok tak perduli itu dengan peluru
atau dengan kekerasan lain.
Karena itu dia mengalihkan perhatian kembali kepada
Buyung. "Engkau Buyung, engkau masih belum bercerita. Ayolah
sekarang, dan cepat...!!!"
Tetapi Buyung tetap tinggal diam, dan hanya
memandangi muka Wak Katok. Air mukanya pun keras dan
tegang. Mata mereka berpandangan. Wak Katok mengangkat
laras senapannya, membidik dada Buyung.
"Aku hitung sampai tiga," katanya, "satu..." Buyung
memandang terus padanya dengan keras.
"Dua..." Buyung tak membuka mulutnya.
"Ti... ketika itulah mereka mendengar auman harimau
yang dahsyat, yang datang tak jauh dari hutan yang gelap di
sekelilingnya. Wak Katok terkejut, berpaling memandang ke
hutan yang gelap di luar lingkaran cahaya api. Sanip, Pak Haji
dan Buyung terlompat berdiri. Buyung segera menghunus
parang panjangnya, diikuti oleh Sanip dan Pak Haji. Dengan
hati berdebar-debar dan perasaan tergoncang, dengan penuh
takut mata mereka mencari-cari berkeliling. Wak Katok
merasa hatinya diremas dan terhimpit oleh batu besar
ketakutan. Ingin dia hendak lari. Akan tetapi kemana hendak
lari" Harimau itu mengaum kembali, keras dan penuh
mengandung ancaman dan kengerian. Dan masih juga belum
dapat mereka menentukan kira-kira dari mana datangnya
arah aumannya. Wak Katok kelihatan mulutnya komat-kamit,
entah karena membaca mantera-manteranya, entah karena
ketakutan. Buyung membesarkan api unggun dengan
menambah kayu-kayu ke dalam api. Cahaya api meluas, dan
lidah-lidah api unggun melonjak ke atas, menerangi lingkaran
yang lebih besar lagi. Tiba-tiba mereka mendengar bunyi dahan kering dipijak
" kretek! Dan mereka berpaling ke arah itu. Dan kini mereka
melihat sang harimau " dua buah mata yang bersinar hijau,
seperti sinar belerang di dalam gelap, di antara semak-semak.
"Tembak, Wak! Tembak di antara dua mata hijau itu!"
bisik Buyung dengan amat sangat. Suaranya meminta dan
mendesak dengan kerasnya. Wak Katok seperti orang yang
terpukau, mengangkat senapan ke bahunya, membidik,
lama-lama, sepasang mata itu diam saja, seakan tak bergerak,
dan kemudian Wak Katok menarik pelatuk senapan ...
berbunyi tik! Senapan tak meletus! Dia telah mengabaikan
nasihat Buyung untuk mengganti mesiu, dan kini mesiu yang
telah basah tak hendak meletus.
Ketika mendengar bunyi " tik! Buyung terus mengerti,
dia melompat ke api unggun, sambil berseru: "Lemparkan
kayu menyala!" dan cepat Buyung melompat melontarkan
sebuah kayu besar yang terbakar menyala ke arah kedua
mata yang bersinar hijau, disusul oleh lemparan Pak Haji dan
Sanip, dan mereka melihat kedua mata itu berbalik, dan
menghilang, dan suara menggeram-geram.
"Cepat Wak Katok, tukar mesiu baru!" kata Buyung, dan
dia berlari kembali ke api unggun, menyiapkan sebuah kayu
yang menyala di tangannya, sambil berseru pada Sanip,
supaya melemparkan kayu lebih banyak lagi ke atas api.
Mereka menunggu apakah harimau akan kembali. Akan
tetapi setelah beberapa lama mereka menunggu penuh
ketegangan, mereka tak lagi mendengar suaranya mengeram
atau mengaum, dan baru Buyung berpaling melihat pada Wak
Katok telah selesai mengisi senapan dengan mesiu baru.
Alangkah terperanjatnya mereka melihat senapan terlempar
ke tanah dan Wak Katok menggulungkan badannya di dalam
pondok, seakan seorang yang ingin menyembunyikan dirinya
ke dalam perut bumi, jauh dari segala ancaman dan bahaya di
atas dunia. Dalam sekejap mata, Buyung, Sanip dan Pak Haji insyaf,
bahwa Wak Katok amat ketakutan. Sanip tiba-tiba melompat
dan menarik Wak Katok berdiri, dan menyerangnya. Suara
Sanip penuh amarah, benci.
"Inikah Wak Katok yang gagah perkasa itu, guru paling
besar, dukun paling besar, guru silat yang paling pandai,
pemimpin yang paling besar. Mengapa Wak Katok kini hendak
bersembunyi ke dalam tanah" Engkau guru palsu. Lihat ini
..." Dia membuka ikatan jimat-jimat di pinggangnya, dan
dilemparkannya ke tanah. "Jimat-jimatmu palsu, manteramanteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh
Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah, di mana mereka
kini, karena mempercayai engkau... mereka telah mati, telah
binasa. Engkau memaksa orang mengakui dosa-dosa, tetapi
bagaimana dengan dosa-dosamu sendiri, dan bukan saja
dosa-dosamu yang diberitahukan oleh Pak Balam. Akan aku
ceritakankah padamu dosamu...?" Wak Katok diam saja.
"Ya," Sanip terus juga berbicara, "aku lihat engkau
dengan Siti Rubiyah ..."
Buyung memandangnya dengan terkejut.
Sedang Sanip berkata, Wak Katok mengambil senapannya kembali, dan dengan tangan gemetar dan
tergopoh-gopoh mengeluarkan peluru dan mesiu, membersihkan senapannya, dan memasang mesiu dan peluru
baru. "Ya, kalian mungkin tak percaya, tetapi aku lihat dengan
mata kepataku sendiri. Pangkal celaka kita tak lain adalah
Wak Katok sendiri. Harimau yang datang menyerang kita
adalah harimau Wak Hitam. Karena Wak Katok telah
memaksa istri Wak Hitam, aku lihat, di pinggir sungai..."
"Berhenti engkau berbicara, bangsat!" serunya, "oh,
engkau lihat, ya" Tapi matamu tak cukup tajam. Aku tak
paksa dia. Engkau tahu, aku bayar dia. Dan dia pun akan
mau tidur dengan siapa saja yang mau memberinya uang atau
membelikannya baju. Kalian juga bernafsu hendak tidur
dengan dia, bukan" Kalau tidak mengapa engkau di sana,
Sanip, kalau tidak mengintipnya sedang mandi, bukan" Tapi
kalian bukan jantan, kalian takut pada Wak Hitam, bukan?"
Dia memandangi mereka dengan air muka penuh
kemenangan, Buyung tak tahu apa yang dirasakannya. Rasa
kecewa, bercampur dengan rasa lega. Bukan dia sendiri ...
akan tetapi entah bagaimana, dia merasa seakan kehilangan
sesuatu, sesuatu yang bersih ...
Tiba-tiba Wak Katok berseru:
"Pergi kalian sekarang juga dari sini! Siapa yang tak pergi
aku tembak!" Kelihatan benar pada mereka, bahwa Wak Katok tak
dapat diajak berbicara lagi. Mereka akan ditembaknya.
Biarpun sekali bertiga mereka melompat hendak merebut
senapannya, akan tetapi salah seorang dari mereka pasti akan
jadi korban. Masuk ke dalam hutan yang gelap, di mana
harimau berjalan mondar-mandir, menunggu kesempatan
untuk menerkam berarti maut juga. Akan tetapi maut ini lebih
dekat. Manusia akan memilih maut yang lebih jauh dari maut
yang lebih dekat. Mereka bertiga berdiri, mengambil bungkusan mereka
dari pondok, memegang parang mereka, dan perlahan-lahan
melangkah, dengan langkah yang berat dan hati enggan,
melintasi dunia kecil yang terang dan panas yang diciptakan
oleh api unggun, dan ketika mereka menghilang ke dalam
gelap, Wak Katok berseru:
"Matilh kalian Ha-ha-ha-haaa!" dimakan harimau di sana. KETIKA tiba di kegelapan diluar batas terang api unggun
Buyung berhenti, dan berteriak kepada Pak Haji dan Sanip:
"Tak mungkin kita meneruskan perjalanan dalam gelap.
Kita harus kembali, dan merebut senapan dari Wak Katok."
Mereka bertiga berbisik-bisik mengatur siasat, bagaimana
hendak menyerbu dan merampas senapan dari Wak Katok.
Tiba-tiba Wak Katok merasa sekali, bahwa dia tinggal
sendiri. Hanya dia dengan api unggun, dan hutan besar yang
gelap gulita. Dan lalu hatinya jadi sejuk diremas ketakutan,
karena dia ingat harimau yang berada di dalam gelap hutan.
Akan datangkah harimau kembali" Tidak, harimau akan
menyerang mereka bertiga. Akan tetapi jika harimau datang
terlebih dahulu kepadanya" Dan bagaimana kalau mesiunya
yang baru tak pula meledak" Apa yang mesti dilakukannya"
Dia hanya tinggal sendiri. Rasa takut datang melanda-landa,
seperti ombak yang setinggi pohon kelapa, membantingbanting hatinya, hingga peluh dingin meleleh di keningnya,
membasahi mukanya, tengkuknya, dan seluruh badannya.
Hingga ke perut dan selangkangnya terasa basah.
Aduh, ada akal! Dia akan memasang api unggun
berkeliling, dan dia akan aman di tengah lingkaran api. Dia
memandang berkeliling, memasang telinganya tajam-tajam,
dan memegang senapannya kuat-kuat. Telinganya dipaksakannya untuk mendengar dan menafsirkan pada
semua bunyi yang terdengar olehnya. Akan tetapi seluruh
hutan rasanya sunyi dan sepi. Bunyi-bunyi serangga malam
yang biasanya memenuhi rimba pun seakan berhenti. Tibatiba
dia terkejut amat sangat. Dia seakan mendengar bunyi yang


Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berat dan keras dung-dung-dung - memukul-mukul, dia
memandang berkeliling penuh ketakutan, tetapi tiba-tiba dia
sadar, bahwa yang didengarnya adalah bunyi pukulan
jantungnya sendiri, yang berdebar-debar amat hebatnya. Dia
melepaskan napasnya perlahan-lahan, napas yang ditahannya
entah berapa lama. Karena tahu kini, bahwa suara yang
mengejutkannya tadi adalah pukulan jantungnya sendiri, dia
merasa agak lega, ketegangan yang menekan dirinya agak
kendur. Akan tetapi ketegangan dan ketakutannya kembali
dengan cepat, dan lebih hebat lagi, karena tiba-tiba dia
berpikir, alangkah baiknya jika dia tak mengusir kawan-
kawannya tadi. Maka dia masih punya kawan-kawan yang
mendampinginya menghadapi harimau.
Bagaimana kalau harimau datang menyerangnya, dan
mereka bertiga yang selamat pulang ke kampung. Bagaimana
jika harimau itu sungguh harimau yang dikirim oleh Wak
Hitam untuk membalas dendamnya, karena dia telah
meniduri Siti Rubiyah" Tiba-tiba dia memutar badannya
dengan cepat, melihat ke belakang. Telinganya seakan
mendengar langkah yang halus, yang datang perlahan,
kaki-kaki berjingkat-jingkat supaya jangan terdengar.
Matanya mencoba menembus hitam daun-daun rapat dan
gelap gulita di antara daun-daun. Kemudian dia melompat
berbalik lagi, dan mencoba menembus gelap. Seakan kini dia
mendengar telapak datang dari arah yang lain.
Lalu dia mengambil keputusan dengan cepat. Dia berlari
mengambil beberapa potong kayu yang menyala, tangannya
gemetar, dan menyusun kayu di tempat lain. Dia hendak
membuat api unggun yang melingkarinya dan dengan
demikian menyelamatkannya. Karena kegugupannya
nyala api berhenti dan hanya ujung kayu yang merah
membara saja yang tinggal. Dengan terburu-buru dia
membungkuk, menghembus-hembus bara merah, dan setelah
api menyala, dia berlari kembali mengambil lagi beberapa
potong kayu yang menyala, dan disusunnya menjadi api
unggun yang kedua. Kemudian dia mengambil potongan-potongan dari onggokannya, dan membesarkan api
unggunnya yang kedua. Lalu dia melompat memasang api
unggun yang ketiga. Seluruh gerakgeriknya cepat dan penuh
kegugupan. Rasanya dia seakan tak sabar hendak
menyalakan api unggun sekaligus, akan tetapi kakinya hanya
dua dan tangannya hanya dua. Jika dia tak berhasil
menyatakan api pada percobaan yang pertama atau yang
kedua, maka rasa tak sabarnya bertambah tinggi, dan
ketegangan yang dirasakannya serasa tak tertahan lagi
olehnya. Ketika dia memasang api unggun yang keempat, Buyung
memberi isyarat, bunyi burung hantu, dan melompat
menyerbu hendak menyergap Wak Katok. Sanip dan Pak Haji
datang menyerang dari jurusan yang lain. Wak Katok
mengangkat kepalanya, tak mengetahui Buyung datang
menyerang dari belakangnya. Dia hanya melihat Pak Haji
muncul dari semak-semak di depannya. Wak Katok yang
memegang senapan dengan tangan kirinya memindahkannya
ke tangan kanannya, dan tanpa membidik menembak ke arah
Pak Haji. Pak Haji jatuh tersungkur, dan Buyung tiba di
punggung Wak Katok. Mereka terjatuh bergumul. Sanip
datang, akan tetapi dalam kehebatan pergumulan, yang tiap
sebentar berpindah tempat, bahkan sampai-sampai terjatuh
ke atas api, untuk berputar ke tanah kembali, sukar Sanip
untuk dapat memberikan bantuan kepada Buyung. Wak
Katok berkelahi dengan hebat, didorong oleh ketakutannya
dan kemarahan hatinya yang amat sangat. Dia lebih kuat dari
Buyung dan memang lebih mahir ilmu silatnya. Buyung mulai
payah, dan kecepatan pergumulan mereka mulai berkurang.
Ketika itulah Sanip mendapat kesempatan dan menghayunkan sepotong kayu ke kepala Wak Katok. Wak
Katok terjatuh, tak sadarkan dirinya. Buyung berdiri,
menggosok-gosok seluruh badannya yang kesakitan.
"Kuat sekali dia, si tua ini," kata Buyung kepada Sanip.
Dengan cepat Buyung dan Sanip mendekati Pak Haji
yang masih tersungkur di tanah. Mereka membalikkan Pak
Haji, dan melihat darah memenuhi dadanya. Mereka
mengangkat Pak Haji ke dekat api.
"Coba periksa lukanya. Aku isi dulu senapan dengan
peluru," kata Buyung. Dia bergegas mengambil mesiu dan
peluru dari kantong mesiu dan peluru yang disandang Wak
Katok, dan mengisi senapan dengan cepat. Kemudian dia
mendatangi Sanip yang sedang membersihkan luka di dada
kanan Pak Haji. Buyung membasahi sepotong kain dengan
air, dan menggosok kening dan muka Pak Haji. Kemudian
mereka membatut luka Pak Haji dan menutup pakaiannya
kembali, dan membaringkannya baik-baik di dalam pondok.
Wak Katok masih terlentang pingsan di tanah. Buyung
pergi memeriksanya. "Tak pecah kepalanya," kata Buyung, "nanti juga dia
sadar sendiri." "Tak kusangka dia akan begitu," kata Sanip, suaranya
masih gemetar, dirinya masih dikuasai ketegangan yang amat
sangat yang baru saja mereka alami.
"Sudah gila dia," kata Buyung, "dan dia guru silat kita,
dukun kita. Mengapa selama ini kita tidak tahu?"
Mereka mendengar Pak Haji mengerang. Buyung dan
Sanip bergegas mendekati Pak Haji. Pak Haji membuka
matanya, memandang pada mereka. Matanya berisi
pertanyaan. Buyung mengangkatkan senapan memperlihatkannya kepada Pak Haji. Senyum kecil timbul di
mulut Pak Haji. "Syukurlah," katanya perlahan. Kemudian matanya
terbuka kembali, mencari Buyung dan Sanip, dan dia berkata:
"Kalian masih muda, ambillah pelajaran dari apa yang
terjadi... aku pun kini sadar ... kita tak hidup sendiri di dunia
... manusia sendiri-sendiri tak dapat hidup sempurna, dan tak
mungkin hidup sebagai manusia, tak mungkin lengkap
manusianya. Manusia yang mau hidup sendiri tak mungkin
mengembangkan kemanusiaannya. Manusia perlu manusia
lain. Sungguh kini aku sadari. Aku salah selama ini,
kehilangan kepercayaan pada manusia dan pada Tuhan.
Tuhan ada, anak-anak, percayalah. Tapi jangan paksakan
Tuhanmu pada orang lain, seperti juga jangan paksakan
kemanusiaanmu pada orang lain. Manusia perlu manusia lain
... manusia harus belajar hidup dengan kesalahan dan
kekurangan manusia lain. Wak Katok jangan dibenci.
Maafkan dia. Ampuni dia. Kita harus selalu bersedia
mengampuni dan memaafkan kesalahan dan dosa-dosa orang
lain. Juga kita harus selalu memaafkan dan mengampuni
orang-orang yang berdosa terhadap diri kita sendiri ...
Ingatlah ucapan Bismillahhirrokhmanirrokhiim... Tuhan
adalah yang Maha Pemurah dan Pengampun. Di sinilah kunci
kemanusiaannya manusia yang diturunkan Tuhan kepada
manusia. Sedang Tuhan dapat mengampuni segala dosa jika
yang berdosa datang padanya dengan kejujuran dan
penyesalan yang sungguh. Apalagi kita, manusia yang biasa
dan daif ini, di mana kekuasaan kita untuk menjadi hakim
yang mutlak, dan menjatuhkan hukuman tanpa ampun
kepada sesama manusia" Aku tersesat selama ini, aku telah
menghukum seluruh manusia, dan dengan itu menghukum
diriku sendiri ... aku tahu kini, akulah yang paling berdosa.
Aku lah yang paling tua, akan tetapi hatiku dan pikiranku
buta. Aku terlalu sombong dan angkuh ... aku menghendaki
manusia sempurna, sedang manusia hanya dapat berikhtiar
dan berusaha menjadi sempurna... kini aku sadar,
kemanusiaan hanya dapat dibina dengan mencinta, dan
bukan dengan membenci. Orang yang membenci tidak saja
hendak merusak manusia lain, tetapi pertama sekali merusak
manusia dirinya sendiri... kasihani Wak Katok ... Orang yang
berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu berbuat zalim...
ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga ... sebelum
kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih
dahulu harimau dalam hatimu sendiri ... mengertikah kalian...
percayalah pada Tuhan ... Tuhan ada... manusia perlu
bertuhan...Ashaduala ilaha Mallah, wa asyhadu amia
Muhammadarrosulullah ... ampuni dosa-dosaku, Ya Tuhanku
... Engkau tak dapat hidup sendiri... cintailah manusia...
bunuhlah harimau dalam hatimu..." dan tiba-tiba kepalanya
terkulai, dan sesuatu seakan bergerak dalam dadanya, darah
mengalir ke luar dari mulutnya... Pak Haji pun telah
meninggalkan mereka. Buyung dan Sanip amat sangat terkejut. Sanip sampai
menggoncang-goncang bahunya, dan berseru-seru: "Pak Haji!
Pak Haji!" Akan tetapi Buyung menahannya, dan berkata
dengan sederhana: "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un ..."*
Mereka melipatkan tangan Pak Haji ke atas dadanya,
menutupkan kelopak matanya.
"Tinggal berdua kita, dan dia itu!" kata Sanip.
"Ya, jika bukan karena dia, Pak Haji masih hidup."
"Kita apakan dia?" tanya Sanip.
Baru Buyung berpikir, bahwa mereka harus mengambil
sikap terhadap Wak Katok. Tak terlintas dalam kepalanya
untuk melakukan sesuatu terhadap diri Wak Katok, selelah
mereka berhasil merebut senapan. Kini dia sadar, bahwa Wak
Katok adalah pembunuh Pak Haji, dan malahan dia telah
bersedia untuk membunuh mereka bertiga, dengan mengusir
mereka ke dalam hutan yang gelap.
"Ikat dia baik-baik!" kata Buyung. Dengan sendirinya,
Buyung kini yang mengambil pimpinan antara mereka berdua.
Sedang Sanip mengikat Wak Katok, Buyung memadamkan
api-api unggun lain yang telah dipasang Wak Katok.
"Tak cukup kayu hingga pagi, jika api unggun begitu
banyak dipasang semuanya," kata Buyung.
Kemudian mereka pindahkan Wak Katok yang masih
pingsan ke dalam pondok, dan mereka duduk di depan
pondok dekat api, bertekad untuk tak tidur sepanjang malam,
akan tetapi akan berjaga-jaga terus.
Ketika Wak Katok sadar dari pingsannya, dia mencoba
duduk, akan tetapi dia tak dapat menggerakkan tangan dan
kakinya, dan kemudian dia tahu, bahwa dia diikat. Kemudian
dia teringat apa yang telah terjadi. Pak Haji yang jatuh
tersungkur ditembaknya, dan kemudian pergumulannya
dengan Buyung. Dia membalikkan kepalanya dan melihat
mayat Pak Haji di sampingnya. Dia terkejut. Kemudian
diangkatnya kepalanya sedikit, dan melihat Buyung dan Sanip
yang duduk membelakangi pondok dekat api. Hati Wak katok
jadi senang sedikit. Buyung dan Sanip akan dapat
dikalahkannya. Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Dia akan dapat menakuti mereka. Dia
mengangkat suaranya, memanggil Buyung. Buyung dan Sanip
berdiri dan masuk ke pondok.
"Lepaskan aku," kata Wak Katok, dan sinar matanya
mengandung kemarahan dan kebencian.
Buyung dan Sanip diam saja.
"Lepaskan aku, mengapa kalian ikat aku?"
"Wak Katok sudah membunuh Pak Haji," kata Buyung.
"Bukan salahku. Mengapa aku kalian serang?"
"Wak Katok mengirim kami mati," kata Buyung.
"Lepaskan aku, kalau tidak aku malerai kalian. Akan
mati kalian, mati dengan perut gembung, aku kirim setan dan
jin menyerang kalian, aku sumpahi kalian tujuh turunan ..."
dia berhenti, melihat Buyung
Buyung mengambil jalan memintas, tetapi mengelakkan
hutan gelap. Dekat sembahyang lohor, mereka tiba di sungai
kecil tempat mereka makan di pinggirnya. Buyung membawa
mereka ke dalam sungai, berjalan memudiki sungai di dalam
air, meloncat dari batu ke batu, dan turun sungai. Kadangkadang hingga ke pinggang mereka tinggi air.
Mereka berjalan berhati-hati sekali, sebanyak mungkin
tidak membuat bunyi dan ribut. Ketika mereka tiba di tempat
mereka makan, Buyung lama berdiri di tengah sungai, dan
memasang telinganya dan memperhatikan rimba di
sekelilingnya dengan cermat. Kemudian dia memberi tanda,
dan mereka naik ke darat. Buyung mengikuti jalan yang
pernah mereka tempuh, yang tak kelihatan oleh mata biasa.
Buyung hanya dapat mengenalnya karena melihat bekasbekas
daun yang dipatahkan mereka dulu. Dan setelah sepuluh
menit berjalan, tiba-tiba Buyung menunduk memeriksa tanah
di depannya. Dia melihat jejak harimau yang sudah tua, yang
telah beberapa hari umurnya samar-samar di tanah. Mereka
berjalan perlahan-lahan, dan tiba-tiba Buyung berhenti
kembali. Dia melihat sepotong kain yang sobek, sobek dirobek
oleh kuku harimau, terletak di tanah... dan dari tempat itu
mereka mudah mengikuti apa yang telah terjadi... Di sana
Sutan diserang harimau, dia terus rebah ke tanah, dan
mereka melihat bekas-bekas darah tersebar di mana-mana,
sampai ke daun-daun di belukar ... Buyung memberi isyarat
kepada Sanip. Sanip dan Wak Katok datang mendekat. Sanip
dan Wak Katok menahan napas, mereka terkejut ... Mereka
melihat apa yang tinggal dari Sutan tulang belulang, pakaian
yang robek, sarung parangnya, dan kemudian mereka melihat
parangnya terlempar di bawah semak tak jauh dari sana.
Buyung merasa hatinya seakan berhenti berdetak. Tetapi
dengan sekuat tenaganya dia menguasai dirinya dan cepat
bekerja mengumpulkan bekas-bekas Sutan yang sudah
busuk, memasukkannya ke dalam buntelan yang dibuatnya


Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari kain sarungnya. Kemudian dia memberi isyarat kembali, dan dengan hatihati dia mencari jejak harimau. Sejam kemudian dia melihat,
bahwa jejak harimau mengikuti jejak-jejak mereka kembali ke
tempat bermalam. Buyung tahu bahwa harimau masih terus
memburu setelah dia menyerang dan memakan Sutan. Dia
tahu juga, bahwa harimau itu akan terus memburu. Dalam
kepalanya dia menyusun rencana untuk menunggu harimau.
Dia membawa mereka ke sebuah tempat yang agak terbuka
tak jauh dari sana. Ketika tiba di bawah sebuah pohon,
Buyung memberi isyarat supaya mereka berhenti.
"Mulai kini, diam-diamlah kita semua," katanya berbisik,
"jangan merokok, jangan batuk, dan jangan ribut sedikit pun
juga. Mari kita makan dulu."
Mereka makan dalam keadaan siap sedia. Setelah selesai
makan, Buyung berbisik pada Sanip, dan kemudian memberi
isyarat pada Wak Katok. "Kaki Wak Katok kami ikat lagi," katanya.
"Mengapa?" tanya Wak Katok.
"Ikut sajalah perintah," kata Buyung.
Akan tetapi Wak Katok hendak lari, dan Buyung berseru,
"Larilah, harimau menunggu."
Dan Wak Katok berhenti, tertegun, ketakutannya pada
harimau lebih besar lagi. Dia membiarkan kainnya diikat, dan
kemudian Buyung dan Sanip menyandarkannya ke pohon,
dan sebelum Wak Katok menyadari apa yang mereka lakukan
terhadap dirinya, maka Buyung dan Sanip telah mengikatkan
badannya ke pohon. Tiba-tiba Wak Katok sadar apa yang dilakukan mereka.
Dan dengan suara yang gemetar penuh takut dan ngeri, dia
berkata: "Kalian buat aku jadi umpan harimau?" Matanya
terbelatak, dan lidahnya hampir kelu.
"Ya," kata Buyung, "tetapi jangan takut, kami lindungi
jiwa Wak Katok." "Tapi bagaimana kalau tembakanmu meleset?" tanya Wak
Katok dengan suara gemetar.
"Pakailah segala ilmu Wak Katok
tembakanku tepat sekali," jawab Buyung.
untuk membuat "Tidak, tidak, tak boleh engkau buat begitu," seru Wak
Katok "Apa dosaku, maka aku disiksa serupa ini?"
"Dosa Wak Katok?" kata Buyung, "dengarlah, dosa-dosa
Wak Katok dahulu kami lupakan, dosa Wak Katok hendak
membunuh kami, dan telah membunuh Pak Haji, kami
maafkan, dan biarlah hakim yang mengadili Wak Katok di
dunia ini, dan Tuhan nanti di akhirat untuk dosa-dosa itu
semuanya. Tetapi Wak Katok telah menipu orang banyak, Wak
Katok katanya guru dan pemimpin, tapi Wak Katok telah
memberi pelajaran palsu, mantera palsu, jimat palsu,
pimpinan palsu. Dalam hati Wak Katok selama ini bukan
manusia yang bersarang, tetapi harimau yang buas. Kami
hanya hendak mengumpan harimau dengan harimau
Lalu Buyung memberi isyarat pada Sanip, dan mereka
berdua menjauhkan diri, kira-kira lima belas meter dari
tempat Wak Katok terikat di pohon. Mula-mula Wak Katok
diam, akan tetapi ketakutannya semakin membesar.
Hutan terasa hening dan sepi. Daun-daun seakan tak
bergerak sedikit pun juga. Dia menoleh-nolehkan kepalanya
mencari Sanip dan Buyung, akan tetapi tak dilihatnya
mereka. Dia tak lagi dapat menahan diri, dia hendak
berteriak, akan tetapi tiba-tiba timbul pula takutnya lebih
besar lagi, jika dia berteriak, harimau akan lebih mudah
mendengarnya, dan akan lebih cepat tiba. Akan tetapi jika dia
tak berteriak, maka harimau pun akan datang ... Ah, telah
tibakah harimau, itu suara napas menghembus-hembus di
dalam belukar... kretekkretek dahan dan daun kering ... Wak
Katok tak lagi dapat menahan dirinya, dan berteriak
sekeras-kerasnya, teriak manusia yang dicekik kengerian dan
ketakutan hati, teriak manusia primitip ketika melihat maut
hendak datang hinggap di bahunya.
"Buyuuuuuuuuung dimana engkauuuuuuuuu?"?"
Aduuuuuuuuuh, tolooooooong!!!! Tolooooooooooong!!! Kalian
tinggalkan aku sendiriiiiiiiii! Bohong kalian, kalian lari
meninggalkan akuuuuuuuu! Buyuuuuuuuung!!! Toloooooooooong!!" Lama dia berteriak dan menjerit demikian, hingga
suaranya serak, dan setelah dia letih berteriak, maka dia
menangis terisak-isak, dan lalu menjanjikan uang, sawah dan
rumah kepada Buyung dan Sanip, dan ketika ini juga tak
berhasil, lalu dia mencoba mengadu Sanip melawan Buyung,
menjanjikan Sanip uang, ilmu, harta, asal Sanip mau
melepaskannya. Kemudian dia menangis kembali, dadanya seakan
hendak pecah. Sanip sampai tak tahan, dan berbisik pada
Buyung, "Tak kasihan engkau?"
Tetapi Buyung menggelengkan kepalanya. Kemudian
tibatiba Buyung mengangkat kepalanya. Sebuah tali nalurinya
seakan dipetik berdenting ... dia mengangkat senapan
perlahan-lahan. Belum ada sesuatu yang terdengar.
Mereka menunggu dengan hati berdebar-debar. Kemudian mereka mendengar seakan ada sesuatu bergerak
dalam belukar di depannya. Perlahan dan halus sekali. Hanya
mata yang amat tajam sekali dan yang memperhatikannya
dengan seksama dapat membedakan gerakan itu dengan
gerakan daun dan dahan yang dibuai angin. Perlahan-lahan
belukar di depan mereka tersibak, dan mereka melihat muka
harimau muncul, muka harimau yang telah memburu-buru
mereka berhari-hari, yang telah menimbulkan korban begitu
banyak diantara mereka. Kini mereka berhadap-hadapan.
Harimau itu memperhatikan tempat yang agak terbuka di
hadapannya dan kemudian dia menegangkan tubuhnya dan
sebuah geram kecil timbul di dalam rongga dadanya. Dia
melihat kepada Wak Katok yang terikat bersandar ke pohon di
hadapannya, dengan kepala terkulai. Wak Katok telah
beberapa waktu diam, karena keletihaan. Akan tetapi dia
mengangkat kepalanya ketika mendengar harimau mengeram
kecil, dan melihat muka harimau, hanya sepuluh meter di
depannya, dia membuka mulutnya hendak menjerit, akan
tetapi tiba-tiba kepalanya jatuh terkulai, dan yang ke luar dari
mulutnya hanyalah bunyi napas yang dikejutkan ke luar, dan
bunyi erang ketakutan yang menyayat hati. Harimau itu
merendahkan badannya, siap hendak melompat ... Buyung
membidik hati-hati ... membidikkan senapan tepat ke tengah
antara kedua mata harimau. Dengan gembira dia melihat
tangannya tak gemetar. Sepanjang hari hatinya selalu
bertanya-tanya, dan dia merasa khawatir, apakah dia tidak
akan ketakutan dan tak kuasa membidik, tangannya dan
seluruh badannya akan gemetar jika melihat harimau. Akan
tetapi kini dia merasa seluruh badan dan pikirannya tenang.
Dia tahu apa yang dilakukannya, dia menginsyafi bahaya
besar yang mereka hadapi, dia yakin pada dirinya sendiri.
Kemudian melintas dalam kepalanya, dia dapat juga
membiarkan hariamau menerkam Wak Katok dahulu, biarlah
Wak Katok dibunuh harimau, dan kemudian baru dia
menembak ... Hatinya tertarik pada pikiran ini ... tetapi dia
seakan mendengar bisikan Pak Haji - bunuhlah dahulu
harimau dalam hatimu sendiri ... Buyung membidik hati-hati,
memberatkan jari telunjuknya pada pelatuk senapan,
menunggu ... dan ketika harimau membuka mulutnya
mengaum yang dahsyat berkumandang bergelombang di
dalam hutan, bercampur dengan pekik erang sang harimau,
dan mereka melihat seakan harimau ditahan oleh sebuah
tangan raksasa yang maha kuat di udara, dan harimau
terhempas di tanah satu meter dari tempatnya melompat,
meronta-ronta sebentar di tanah, dan kemudian diam, mati
terbujur. Buyung dengan cepat mengisi senapan kembali, dan
beberapa saat mereka menunggu, melihat apakah harimau
benar-benar telah mati. Kemudian dengan hati-hati Buyung
dan Sanip mendekati harimau, dan keduanya lalu berteriak
kegirangan melihat harimau telah mati. Peluru tepat mengenai
tempat di tengah-tengah kedua matanya. Sanip melompatlompat dan melonjak-lonjak kegirangan. Habislah mengalir
lalu segala ketegangan dan ancaman ketakutan yang dahsyat
dan ngeri yang mereka derita sejak berhari-hari. Tinggallah
hanya kini kenangan sayu pada kawan-kawan yang telah jadi
korban. Harimau itu sungguh besar. Buyung melepaskan tali
ikatan Wak Katok, dan Wak Katok tergelincir jatuh ke tanah.
Dengan cemas Buyung memeriksa pukulan jantungnya. Dia
menarik napas lega. Wak Katok masih hidup. Dia hanya jatuh
pingsan ketakutan. Dan Buyung melihat bahwa celana Wak
Katok basah. "Mari kita kuliti dia cepat, dan kita memasang pondok di
tepi sungai," kata Buyung, "kita bermalam saja di sini malam
ini." Petang itu mereka masih sempat menguburkan sisa-sisa
Sutan. Dalam malam ketika mereka duduk dekat api unggun
yang mereka pasang lebih besar dari biasa, dan Wak Katok
duduk terikat kaki dan tangannya dekat api, Buyung dan
Sanip duduk diam-diam. Mereka tak bernafsu untuk
berbicara banyak kini. Wak Katok tak pernah lagi membuka
mulutnya sejak dia sadar dari pingsannya. Buyung duduk
memandangi lidah-lidah api yang menari-nari. Kegembiraan
yang terasa olehnya duduk demikian dekat api unggun seperti
dulu masih belum kembali. Dia teringat pada apa yang telah
terjadi selama beberapa hari yang lalu. Seakan di celah
lidah-lidah api dia dapat melihat Siti Rubiyah. Jika demikian
dirinyalah yang dipikat oleh Siti Rubiyah. Akan tetapi dia tak
menyesal, dan dia tak merasa benci pada Siti Rubiyah.
Sebuah kesadaran baru timbul dalma dirinya. Dia akan
memasang jerat lain untuk menangkap kancil untuk Zaitun...
Buyung tersenyum pada dirinya sendiri ... kemudian dia
teringat pada saat penuh ketegangan, ketika dia membidik
harimau, dan jari menekan pelatuk senapan, di saat itu
sungguh dia amat terpedaya oleh suara iblis yaip
membisikkan ke telinganya untuk menahan pelatuk, agar
harimau menerkam Wak Katok lebih dahulu - akan tetapi dia
sadar, ingat pada kata-kata Pak Haji, bahwa harimau dalam
hatinyalah yang berbisik demikian, dan dia melawannya
dengan kuat. Dan dia merasakan, ketika dia menarik pelatuk,
bahwa bukan saja dengan tarikan pelatuk senapan dia telah
menembak mati harimau rimba yang buas, akan tetapi juga
harimau di dalam dirinya sendiri.
Sebuah kesadaran baru tentang hidup dan manusia
terasa tumbuh dalam dirinya. Dia tahu benar kini, mereka
esok akan pulang ke kampung dan tahu, dia tak akan kembali
memenuhi janjinya pada Siti Rubiyah. Apa yang terjadi antara
Siti Rubiyah dengan dia adalah sebagai air sungai yang telah
mengalir jauh di belakang -telah tertutup, telah habis - dia
kini tahu bahwa hidup manusia tak semudah yang
disangkanya. Siapakah yang menyangka hal-hal yang
demikian dalam diri Pak Balam, Sanip, Wak Katok, Pak Haji,
Talib dan Sutan ..."
Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga
kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri,
dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang
menimpa diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada
dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya
terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia
harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia
haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam
dirinya. Dia kini mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pak
Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam
dirimu .... Untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang
sendiri tak dapat hidup sebagai manusia... ya, dia akan
mencintai manusia, dia akan mulai mencintai Zaitun ... dia
akan belajar dan berusaha jadi manusia yang hidup dengan
manusia lain .... Buyung merasa sesuatu yang segar
memasuki dirinya, seakan sebuah beban berat yang selama
ini menimpa kepala dan seluruh dirinya telah terangkat.
Alangkah enaknya merasa jadi manusia kembali, lepas dari
ikatan takhyul, ikatan mantera dan ikatan jimat yang palsu.
Pinggangnya terasa bebas lepas dari ikatan jimat-jimat
palsu yang diberikan Wak Katok .... Buyung tersenyum, dan
berpaling pada Sanip, dan berkata : "Sanip, ada yang aku
sayangkan kita membuang jimat-jimat Wak Katok ke dalam
api." "Mengapa?" tanya Sanip heran.
"Karena di antara batu-batu jimat itu, ada sebuah batu
yang sebenarnya baik dibuat cincin, diikat dengan suasa,
warnanya merah hati ayam, bagus sekali kalau digosok."
Sanip tertawa: "Jika engkau ingin batu cincin, esok kita cari di sungai..."
TAMAT BIO DATA PENULIS MOCHTAR LUBIS - pengarang
ternama ini dilahirkan tanggal 7 Maret
1922 di Padang. Sejak zaman Jepang ia
telah aklif dalam lapangan penerangan.
Ia turut mendirikan Kantor Berita
'Antara', kemudian mendirikan dan
memimpin harian Indonesia Raya yang
lelah dilarang terbit. Ia mendirikan
majalah sastra Horizon bersama-sama
kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Sukarno,

Harimau Harimau Karya Mochtar Lubis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia dijebloskan ke dalam penjara hampir
sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun
1966. Selain sebagai wartawan ia dikenal sebagai sastrawan.
Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku SiJamal
(1950) dan Perempuan (1956). Sedangkan romannya yang
telah terbit: Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung
(1952) yang mendapat hadiah sastra dari BMKN, Senja di
Jakarta yang mula-mula terbit dalam bahasa Inggris dengan
judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa
Melayu tahun 1964. Selain itu, romannya yang mendapat
sambutan luas dengan judul Harimau! Harimau! (Pustaka
Jaya 1975) telah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama
sebagai buku terbaik tahun 1975. Sedangkan Maut dan Cinta
(Pustaka Jaya 1971) mendapat hadiah Yayasan Jaya Raya.
Kadang-kadang ia pun menulis esai dengan nama
samaran Savitri dan juga menterjemahkan beberapa karya
sastra asing seperti Tiga Cerita dari Negeri Dollar (1950),
Kisah-kisah dari Eropa (1952).
Pada tahun 1950 ia mendapat hadiah alas laporannya
tentang Perang Korea dan tahun 1966 mendapat hadiah
Magsaysay untuk karya-karya jurnalistiknya.
Hong Lui Bun 14 Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu Malaikat Gerbang Neraka 1
^