Pencarian

Patung Iblis Banci 1

Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci Bagian 1


PATUNG IBLIS BANCI Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU TUBUH kurus mirip tulang dibungkus
kulit segera naik ke atas sebongkah batu datar lebar. Rimbunan dedaunan bambu
hutan membentuk lengkung bagai lorong beratap rimbun. Di bawah rimbunan
dedaunan bambu hutan itulah batu datar setinggi dada orang dewasa itu tergeletak
berlumut. Dan tubuh kurus tanpa baju kecuali hanya celana pangsi hitam segera
duduk bersila dl atas batu tersebut.
"Kurasa tempat ini sangat cocok untuk bertapa! Selain suasananya tenang, hawa
angkernya terasa meniup-niup tengkuk kepalaku," pikir orang tersebut. Lalu ia
mulai memejamkan mata perlahan-lahan setelah posisi duduknya terasa enak. Tapi
pikirannya masih sempat bicara pada diri sendiri,
"Wah, kalau tadi dari rumah bawa bantal enak juga, ya" Jadi pantatku tidak sakit
duduk di atas batu ini. Sayang sekali aku tadi lupa membawa bekal nasi dan
oseng-oseng pete. Coba kalau aku tak lupa membawanya, pasti tempat bersuasana
ini sangat cocok sekali bust dipakai menikmati nasi putih dan oseng-oseng pete
saja. Ah, lupakan dulu soal itu. Yang penting aku harus bertapa untuk meminta
bisikan para dewa mengenai cara
melepaskan diri dari tuduhan serong oleh
istriku itu. Moga-moga dewata memberiku petunjuk bagaimana cara melakukan serong
yang baik agar tak diketahui istri dan para tetangga di rumah!" Lelaki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu segera menarik napas panjang-panjang.
Suuutttt...! Tiba-tiba dari kejauhan terdengar
suara orang berseru dengan keras dan lantang,
"Banjiiirrr...!"
Lelaki kurus buka mata seketika.
Blaakk...! Bola mata bundar itu segera melirik lebar ke arah datangnya suara
tersebut. Dahinya berkerut, batinnya berucap kata, "Banjir..."! Ah, mungkin itu
hanya suara godaan saja. Maklum, namanya orang lagi mau bertapa pasti ada-ada
saja godaannya. Aku harus tabah!"
Mata bundar beralis tipis itu
terpejam kembali pelan-pelan. Namun baru saja mau merapat, mata itu kembali
terbelalak karena suara teriakan tadi terdengar lebih jelas lagi.
"Banjiiirrr...! Banjiiirrr...!"
Batin orang yang bertapa itu
bertanya-tanya, "Sepertinya suara itu nyata-nyata ada! Bukan halusinasi saja.
Hmmm... bagaimana ini" Apakah aku harus teruskan tapaku" Bagaimana kalau benar-
benar ada banjir dari selatan" Bisa-bisa saat aku bertapa disapu banjir"!"
Di sebelah selatan memang ada sungai yang langganan jebol tanggulnya. Setiap
tahun sedikitnya dua kali desa sebelah timur itu disapu banjir dari selatan.
Maklum, sungai yang mengalir ke timur lebih lebar daripada yang mengalir ke
utara. Tak heran jika orang yang mau bertapa itu menjadi tegang dan was-was.
Ia berdiri di atas batu itu memandang ke arah datangnya suara. Tampak seorang
pemuda sedang berlari-lari dan berseru kembali,
"Banjiiir...! Banjiiirr...!"
Orang itu segera lompat dari atas
batu. Wajah si kurus tanpa baju itu menjadi bertambah tegang. Ia segera berlari
ke arah desanya yang tak seberapa jauh dari situ. Sambil berlari kencang ia
serukan kata yang sama dengan seruan si pemuda berpakaian ungu dan berambut
panjang belakang tadi.
"Banjiiir...! Banjiiir...! Lekas mengungsi, ada banjiiir...!" Suaranya yang
keras mulai didengar oleh para petani yang ada di sawah. Para petani kaget dan
segera berlari pulang sambil berseru keras-keras secara ketakutan,
"Banjiiir...! Banjir datang...! Banjir!"
Siapa orang yang tidak kaget
mendengar kabar bencana itu" Hanya orang tuli saja yang tenang-tenang sambil
bersiul walau orang bertubuh kurus yang
mau bertapa tadi sudah ngotot meneriakkan kata 'banjir' di seberang kupingnya.
Hal yang wajar jika orang menjadi panik mendengar kabar datangnya banjir.
Pikiran mereka serempak membayangkan sungai di sebelah selatan. Bayangan mereka
serempak membentuk gambaran air bah yang
bergulung-gulung mengerikan menyapu ladang, rumah, dan ternak mereka.
Masyarakat desa tersebut menjadi
tunggang-langgang. Ada yang sibuk memukul kentongan dengan bernafsu sekali dan
ada yang bingung menyelamatkan ternak, harta, serta barang-barang lainnya.
Bahkan saking emosinya yang memukul kentongan tak sadar kalau yang dipukul sudah
bukan lagi kentongan bambu melainkan lengan anaknya sendiri yang mau
diselamatkan. Tentu saja si anak jejeritan dengan suara tak kalah lengking dengan suara seruan
'banjir' tersebut.
"Ayo, cepat sedikit, Dul! Sudah tahu ada banjir mau datang malah enak-enakan
bikin surat cinta kau ini" Konyol!" omel seorang kakak kepada adik
lelakinya. Pemuda itu pun bergegas mengemasi barang-barang, terutama surat cintanya untuk
sang kekasih nanti.
"Lepaskan gulingmu itu! Kenapa kau bawa-bawa ke sana-sini"!"
"Lho, jadi yang kubawa dari tadi ini guling tong"! Ya, ampuun...! Lalu ke mana
anak bayiku tadi"! Aduh, celaka! Pasti ketinggalan di atas dipan! Kaaang...
tunggu! Anak kita ketinggalan, Kang"!"
seru seorang istri karena paniknya jadi salah comot.
Sementara itu, seorang sesepuh desa dan beberapa orang lainnya menanyai lelaki
kurus yang tadi mau bertapa itu,
"Apa benar kau melihat banjir
datang"!"
"Melihat sih tidak, Wak! Tapi anak muda berbaju ungu itu berlari dari
selatan dan mengabarkan hal itu. Karena anak muda itulah yang melihat air sungai
meluap dan tanggul jebol lagi!"
"Anak muda yang mana"!"
Orang itu melongok sebentar, lalu
memandang ke arah perbatasan desa. Ia menuding ke arah sana, "Nah, itu dia anak
muda yang kumaksudkan, Wak! Dia sedang berjalan kemari!"
Anak muda yang dimaksud adalah
seorang pemuda berpakaian serba ungu.
Bajunya nyaris tanpa lengan berbintik-bintik putih bening seperti tetesan embun,
celananya juga demikian tapi tepian celana berumbai-rumbai mirip celana jeans
belel. Rambutnya panjang belakang tapi bagian depannya pendek, potongan punk-
rock. Pemuda itu mengenakan anting putih metalik di kuping kirinya.
Wajahnya, wow... tampan sekali. Mirip
wajah bintang film bule. Badannya tinggi, tegap dan tampak kekar. Dadanya
bertato gambar bunga mawar merah. Kedua pergelangan tangannya kenakan gelang
kulit berbintik-bintik paku metalik.
Bagi para tokoh rimba persilatan
tentu merasa tak asing lagi dengan anak muda tersebut, yang tak lain adalah
Pandu Puber, si Pendekar Romantis. Banyak orang yang menjulukinya sebagai
'pendekar penjerat hati wanita', walau julukan itu sebenarnya tidak diakui oleh
para pemuda lainnya yang bertampang lebih jelek dari Pandu Puber.
Memasuki desa itu, Pandu Puber
menjadi serba bingung. Ada dua kebingungan yang menggenang di otaknya; pertama
melihat suasana menjadi kalang kabut dan serba panik itu, kedua mencari sesuatu
yang ternyata tidak dilihatnya sejak tadi. Pandu Puber melangkah dengan tergesa-
gesa namun tetap tampak gagah.
Hatinya membatin,
"Mengapa penduduk desa menjadi panik"
Mengapa barang-barang mereka dikeluarkan semua, sepertinya mau mengungsi" Ada
bencana apa yang terjadi di desa ini?"
Sambil melangkah dan membatin, Pandu Puber kembali berseru dalam keadaan
menengok ke kiri,
"Banjiirr....!"
Rombongan sesepuh desa dan si orang
kurus mendekati Pandu Puber. Pendekar Romantis mulai kerutkan
dahi sedikit sebagai tanda bahwa ia menaruh curiga dengan mendekatnya rombongan orang tua
itu. "Anak muda, benarkah kau melihat tanggul sungai jebol"!" sapa sesepuh desa itu.
Pandu Puber makin kerutkan dahinya.
"Jebol"! Siapa bilang tanggul sungai jebol"!"
Rombongan sesepuh desa
saling pandang. Orang kurus yang tadi mau
bertapa itu jadi sorotan mata mereka.
Orang itu bingung sendiri. Ia berkata kepada sesepuh desa,
"Sumpah mati, Wak Kober! Pemuda inilah yang tadi mengabarkan bencana tersebut
pertama kalinya. Aku dengar sendiri, Wak!"
Sesepuh desa berkata lagi kepada
Pandu Puber, "Anak muda, kumohon kau jangan berlagak bego, nanti bego tujuh
turunan baru tahu rasa kau! Katakan saja yang sejujurnya, apa yang telah kau
lihat di daerah selatan sana"!"
Pandu Puber baru saja mau mengatakan sesuatu kepada sesepuh desa yang tadi
didengarnya bernama Wak Kober itu, tetapi matanya segera menangkap kedatangan
seorang anak lelaki berusia lima belas tahun, memakai rompi abu-abu dan celana
abu-abu, berikat kepala merah dengan
wajah polos dan badan agak kurus. Pandu Puber segera menghampiri anak lelaki itu
dan berseru dengan nada jengkel,
"Sumo Banjir! Sial betul kau ini! Ke mana saja kau, hah"! Aku mencarimu sampai
puyeng tapi kau meninggalkan aku
seenaknya saja. Ayo kita pergi ke arah bukit itu, Sumo Banjir! Jangan jauh-jauh
lagi dariku, nanti kalau kau ada apa-apa aku tak bisa menolongmu!"
Orang kurus yang tadi mau bertapa
terbengong, "Sumo Banjir"!" ucapnya lirih dengan nada kesal. Lalu ia bertanya kepada Pandu
Puber yang sedang mau mendengar ucapan anak lelaki tersebut.
"Jadi, kau tadi berteriak banjir itu bukan memberitahukan bahwa di selatan ada
banjir datang kemari"!"
"Aku berteriak 'banjir' karena aku memanggil temanku ini. Anak ini memang
namanya Sumo Banjir"!"
Sesepuh desa menggeram jengkel sambil menjulekkan kepala orang kurus itu,
"Kampret! Ada orang memanggil nama temannya dikabarkan ada bencana banjir
datang! Dasar kuping terowongan!"
Pendekar Romantis dan Sumo Banjir
tertawa cekikikan. Orang kurus itu
kemudian diuber-uber orang satu desa karena dituduh membuat ketegangan yang
menghebohkan masyarakat. Sedangkan Pandu
Puber dan Sumo Banjir segera meninggalkan desa itu menuju Bukit Jengkal Demit.
Ada apa di Bukit Jengkal Demit"
Para tokoh rimba persilatan dari
aiiran hitam maupun putih saat ini sedang ramai membicarakan tentang Bukit
Jengkal Demit. Ada yang membicarakannya secara bisik-bisik, ada pula yang
membicarakannya secara terang-terangan. Percakapan mereka seragam, yaitu tentang
lahirnya sebuah pusaka maut yang ditunggu-tunggu oleh para tokoh rimba
persilatan. Pusaka itu bernama: 'Patung Iblis Banc!'.
Pandu Puber pernah mendengar
percakapan dua-tiga orang di sebuah kedai yang membicarakan tentang Patung iblis
Banci itu. "Patung Iblis Banci adalah pusaka yang mempunyai kekuatan sakti sangat tinggi.
Siapa yang memegang atau memiliki Patung Iblis Banci, dia akan menjadi orang
kebal." Temannya menyahut, "Kalau cuma mau jadi orang kebal sih nggak perlu harus susah
payah mencari pusaka Patung Iblis Banci. Dengan pelajari ilmu Kulit Baja sudah
bisa bikin tebal tubuh kita.
Dibacok nggak mempan, dikapak nggak somplak, diclurit nggak menjerit, tapi
kecocok paku tetanus juga sih!"
"Pusaka itu bukan hanya bikin
pemiliknya kebal saja, tapi juga bisa
membunuh lawan dari jarak jauh. Patung Iblis Banci bisa dijadikan utusan raga
lawan. Dengan membayangkan wajah lawan, kita bisa membunuh atau melukai lawan
yang ada di tempat jauh, syaratnya kita harus melukai atau menusukkan sesuatu ke
tubuh Patung Iblis Banci itu. Kalau yang kita tusuk bagian jantung patung, maka
lawan kita di tempat jauh pun jantungnya akan pecah karena tertusuk kekuatan
gaib yang tersalurkan melalui patung tersebut."
"Jadi singkatnya, patung itu adalah wakil dari lawan atau musuh kita, begitu"!"
"Benar. Ke mana pun kita pergi, jika membawa patung itu, maka sama saja kita
membawa atau menangkap lawan kita."
"Pusaka itu sebenarnya milik siapa sih?"
"Sebenarnya pusaka itu milik seorang tokoh sesat berilmu tinggi yang bergelar si
Iblis Banci. Kira-kira dua ratus tahun yang lalu nama si Iblis Banci sangat
dikenal di rimba persilatan dan sangat ditakuti. Ilmunya yang tinggi itu
dipertahankan terus dengan cara meminum darah manusia."
"Ih, apa enak tuh?"
"Yaah... menurutnya sih enak saja.
Mungkin lebih enak lagi kalau diminum pake sedotan. Sedotan itu ialah...."
"Sudah, sudah... bicara soal Iblis Banci saja, jangan bicara soal sedotan."
Setelah omongannya dipotong sang
teman, orang itu lanjutkan lagi ceritanya tentang si Iblis Banci.
"Guruku mendapat cerita itu dari kakeknya. Katanya sih, yang namanya Iblis Banci
itu benar-benar tokoh sakti yang banci, lelaki tapi berparas wanita dan gayanya
juga seperti wanita. Dia tidak pernah mempunyai murid, jadi hidupnya sepanjang
jaman hanya sendirian. Hanya di akhir hidupnya ia punya seorang kekasih, pemuda
tampan dimasa itu yang bernama Layang Petir. Kepada kekasihnya itulah ilmu si
Iblis Banci ingin diturunkan.
Namun belum sampai seluruh ilmunya
diturunkan, ia sudah keburu koit, alias mati."
"Dimakamkannya di mana?"
"Ya di Bukit Jengkal Demit itu. Nah, menurut kabar yang bocor dari mulut Layang
Petir, jenazah Iblis Banci akan menggumpal dan menyusut di alam kuburnya.
Jadi raga Iblis Banci tidak akan hancur dimakan rayap. Pada suatu saat nanti
jenazah itu akan muncul dari makam
tersebut berupa patung sakti. Tanda-tanda kemunculannya apabila ada rembulan
muncul dengan warna hitam dibayang-bayangi awan.
Jika sampai titik purnama rembulan masih
hitam, berarti saat itulah Patung Iblis Banci akan muncul sendiri dari alam
kuburnya."
Percakapan itulah yang membuat Pandu Puber tertarik untuk menyusuri kebenaran
cerita tentang Patung Iblis Banci. Pada waktu itu sang Pendekar Romantis belum
tahu di mana letak kuburan si Iblis Banci itu. Bahkan arah Bukit Jengkal Demit
pun belum diketahui. Mau tanya sama orang yang ngobrol di kedai, Pandu merasa
malu. Sebab dulu ia pernah menanyakan alamat seseorang tapi dicuekin sama orang yang
ditanya. Pandu jadi trauma untuk bertanya tentang
alamat sesuatu tempat. Pikir
punya pikir, ia segera menghubungi
sahabatnya yang tinggal di desa tempat kedai itu berada dan dibangun tanpa IMB.
Temannya itu bernama Bocang. Entah
apa maksudnya kok diberi nama Bocang, mungkin singkatan dari Bohongan Kencang
atau apa, Pandu tak mau tahu soal nama itu. Yang jelas ia pernah punya kenalan
bernama Bocang dan tinggal di desa
tersebut. Pandu ingat rumahnya, karena dia pernah datang ke rumah Bocang dua
kali, saat Bocang pingsan dari jatuhnya dan saat Bocang mengundang Pandu untuk
kondangan dalam rangka sunatan adik Bocang.
"Lho, apa Nak Pandu belum tahu," kata tantenya Bocang yang juga tinggal serumah
dengan anak itu.
"Belum tahu soal apa, Bibi?"
"Bocang kan sudah meninggal."


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah..." Meninggal"!"
"Iya. Sudah empat puluh hari ini.
Kami mau selametan empat puluh harinya nanti malam. Kalau Nak Pandu mau hadir,
silakan hadir nanti malam. Kebetulan nanti malam kami panggil dukun segala untuk
menghadirkan rohnya Bocang."
Pandu Puber kerutkan dahi memandangi bibinya Bocang yang masih berusia sekitar
tiga puluh lima tahun, tapi masih belum menikah alias perawan tua itu. Pandu
bertanya dalam keraguan ucap, "Buat apa menghadirkan rohnya Bocang, Bi?"
"Buat mengetahui, siapa yang
membunuhnya di hutan sana!"
"Lho, jadi Bocang matinya dibunuh orang?"
"Lha iyalah... masa' mati dibunuh kambing?"
Pada saat menghadiri selamatan empat puluh harinya Bocang itulah Pandu Puber
kenal dengan anak remaja bernama Sumo Banjir. Ketika itu Sumo Banjir sedang ada
kasus menegangkan. Ia dikejar-kejar seseorang hingga lari masuk ke rumah Bocang.
Padahal rumah itu masih digunakan untuk selamatan beberapa orang yang menghadiri
kendurinya almarhum Bocang.
Anak itu langsung saja melompati makanan-
makanan yang ada di tengah lingkaran para pakar kenduri. Tentu saja perbuatan
itu membuat beberapa orang menjadi marah.
"Siapa anak itu?"
"Tetangga kami, temannya Bocang juga!" jawab bibinya Bocang.
Sumo Banjir segera dimarahi oleh
sesepuh yang hadir.
"Maa... maafkan saya, Bapak-bapak...!
Saya... saya terpaksa lari bersembunyi di sini yang banyak orangnya, karena saya
mau dibunuh orang. Saya masih malas mati, jadi saya lari!" kata Sumo Banjir
memberikan alasan dengan wajah polosnya yang ketakutan itu.
Orang-orang tak mau percaya, Sumo
Banjir tetap dimarahi dan diperingatkan agar tidak mengulangi hal itu lagi.
Lalu, Sumo Banjir disuruh pulang oleh bibinya Bocang, tapi ia tak mau pulang. la
takut pulang ke rumahnya sendiri. Ia ingin bersembunyi di tempat yang banyak
orangnya. Maka, bersembunyilah Sumo Banjir di dapur sambil membantu
menyiapkan minuman untuk para pakar kenduri itu.
Dan kesempatan itu digunakan oleh
Pandu untuk mendekati Sumo Banjir.
"Siapa yang mau membunuhmu Sumo Banjir?"
"Raga Paksa, Kang."
"Siapa Raga Paksa itu?"
"Orang Perguruan Musang Terbang,"
jawabnya lugu dan mengharukan.
"Kenapa kau sampai berurusan dengan Raga Paksa?" Pandu mendesak dengan rasa
ingin tahunya yang lebih besar lagi.
"Aku dianggap orang yang melihat pembunuh si Bocang. Padahal aku tidak
melihatnya sama sekali. Sebab kala itu aku dan Bocang sedang mencari kayu bakar
tapi beda tempat."
Laporan anak itu segera dibahas oleh para sesepuh setempat hingga mereka
akhirnya menyimpulkan, pembunuh si Bocang adalah Raga Paksa, atau setidaknya
orang Perguruan Musang Terbang. Tapi apa alasan pembunuhan itu, tak ada yang
tahu, sebab tak ada yang berani menanyakan atau menuntut Raga Paksa. Orang yang
bernama Raga Paksa itu terkenal sadis, bengis, dan amis. Dia memang salah satu
preman yang menguasai desa tersebut. Karenanya setelah mengetahui siapa pembunuh
Bocang, mereka tidak pernah mau membahas kematian Bocang lagi.
Namun tidak begitu halnya dengan
Pandu Puber. Dia tidak mau tetap diam dan menahan rasa penasarannya. Didekatinya
lagi Sumo Banjir, diajak bicara dengan persahabatan yang akrab. Akhirnya Sumo
Banjir mengaku juga, "Hanya Bocang dan aku yang mengetahui di mana letak kuburan
si Iblis Banci itu."
"Aku dan Bocang pernah tersesat di Bukit Jengkal Demit gara-gara cari
burung, Kang. Lalu, kami temukan kuburan bercahaya. Kuburan itu mengeluarkan
seberkas sinar membias dari dalam menuju ke langit. Waktu itu keadaan sudah
remang-remang, petang mau datang. Jadi bias sinar biru yang menuju ke atas itu
terlihat jelas oleh kami. Lalu kami ketakutan dan lari meninggalkan tempat itu.
Bocang cerita-cerita sama beberapa orang. Akhirnya didengar oleh Raga Paksa.
Aku pernah dengar pengaduan Bocang bahwa ia pernah dipaksa oleh orang Perguruan
Musang Terbang itu untuk beritahukan di mana letak kuburan tersebut, tapi Bocang
tidak bisa kasih penjelasan arahnya.
Bocang disuruh antarkan mereka ke kuburan itu, tapi Bocang tidak mau karena
takut. Ia dipaksa dan lari ketakutan. Waktu itu ia bisa selamat, tapi mungkin waktu
cari kayu bersamaku, ia kepergok Raga Paksa tapi tetap tak mau antarkan ke
kuburan itu, mungkin merasa jengkel Raga Paksa pun membunuhnya."
Pendekar Romantis yang bertampang
ganteng itu manggut-manggut mendengarkan cerita Sumo Banjir. Setelah termenung
sesaat, ia pun segera ajukan tanya kepada remaja berusia lima belas tahun itu,
"Kau sendiri masih ingat tempat tersebut, kan?"
"Wah, ya tentu saja masih, Kang.
Sebab sejak aku dan Bocang temukan
kuburan itu, malamnya aku nggak pernah bisa tidur dengan nyenyak kok, Kang.
Selalu saja dibayang-bayangi suara itu."
Pandu kerutkan dahi, "Suara apa maksudmu?"
"Suara orang yang tidak kukenal, nadanya seperti suara perempuan tapi agak besar
seperti suara lelaki."
"Jangan-jangan itu suara banci?"
"Nggak tahu, Kang. Pokoknya kami tak lihat suara itu. Maksudku, siapa yang
ngomong tidak bisa kami lihat."
"Apa kata suara itu?"
"Suara itu bilang begini: 'Hai, bocah-bocah bagus..." Sumo Banjir menirukan gaya
suara yang didengarnya seperti suara perempuan manja. Lanjutnya lagi,
'jika kalian dengar suaraku,
catatlah kata-kataku ini, bahwa sebentar lagi rembulan akan menjadi hitam
kesaktianku akan hidup kembali
berkeliaran ke mana-mana. Jika kalian mau, ambillah kesaktianku dan pergunakan
untuk menjadikan diri kalian sebagai orang kuat yang tak terkalahkan. Sekian dan
terima kasih'. Nah, kira-kira begitu suara yang kami dengar, Kang Pandu. Tapi
kami segera lari ngibrit, tak sempat tanya ini-itu kepada suara gaib
tersebut."
"Tak salah lagi," ucap Pandu Puber dalam renungan,"... itu pasti suara si Iblis
Banci. Pantas kalau kau pun
dikejar-kejar Raga Paksa, karena sebenarnya kau pun akan dipaksa agar
menunjukkan di mana letak kuburan si Iblis Banci Itu. Bukan sekadar ingin
dibunuhnya!"
"Mungkin saja begitu, sebab Bocang ceritakan hal itu sampai sekecil-kecilnya
sih. Kalau aku kan nggak pernah cerita sama siapa-siapa, kecuali hanya kepada
sembilan orang di kedai Ki Somat!" Sumo Banjir bicara bagai orang tak berdosa,
Pandu hanya tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. Terpesona oleh kebodohan Sumo
Banjir. DUA BERKAT kelihaian Pendekar Romantis
merayu, akhirnya Sumo Banjir bersedia antarkan Pandu ke Bukit Jengkal Demit.
Anak itu masih ingat jalan menuju ke kuburan si Iblis Banci. Memang pada mulanya
Sumo Banjir takut disuruh kembali ke kuburan itu, maklum wajahnya sendiri sudah
seperti kuburan, jika ia bercermin sering takut dengan wajah sendiri. Tapi
secara tak langsung Pandu telah tunjukkan kebolehannya dalam keberanian dan
kehebatan bertarungnya.
Ketika Pandu sedang membujuk Sumo
Banjir sambil ikut membantu mencari kayu bakar di hutan, tiba-tiba Raga Paksa
dan dua orang temannya datang menemui Sumo Banjir. Dua orang temannya itu sama-
sama bertubuh gemuk; yang berpakaian kuning bernama Genjotpati, dan yang
berpakaian hijau bernama Tampar Geni. Raga Paksa sendiri bertubuh tidak seberapa
gemuk, namun berotot kekar, tinggi, berkumis tipis, usianya sekitar empat puluh
tahun kurang sedikit, sama dengan usia Genjotpati dan Tampar Geni. Ia mengenakan
pakaian serba hitam tapi dari bahan kain lebih mahal dari kedua temannya.
"Kang, Kang...," bisik Sumo Banjir,
"Itu dia orangnya yang bernama Raga Paksa. Dia sedang menuju kemari bersama si
Genjotpati dan Tampar Geni, Kang! Ayo, kita lari! Cepat lari, Kang!" sambil Sumo
Banjir membuang kayunya dan tampak gugup sekali.
"Tenang aja. Nggak perlu lari."
"Tapi mereka orang-orang bengis dari Perguruan Musang Terbang! Kalau marah bisa
bunuh siapa saja, Kang! Nanti kalau kita dibunuh, kita akan kehilangan nyawa,
seperti Bocang!"
Sumo Banjir belum tahu siapa Pandu
Puber sebenarnya. Tak heran kalau ia cemas dan takut dicelakai Raga Paksa
walau di situ ada Pandu Puber. Tapi melihat Pandu Puber tenang-tenang saja
ketika beradu wajah dengan tiga orang Perguruan Musang Terbang itu, Sumo Banjir
merasa heran dan menganggap Pandu Puber sok jago.
Batin anak itu berkata, "Wah, Kang Pandu ini agaknya memang orang sombong!
Sok berani. Belum tahu kegalakan Raga Paksa sih. Sekali tampol bisa rengat wajah
tampannya itu. Uuh... dasar orang bodoh! Diajak lari malah nyamperin musuh.
Cari penyakit aja dia sih"!"
Singkat cerita, Raga Paksa ingin
menyiksa Sumo Banjir jika anak itu tidak mau membawa mereka ke kuburan si Iblis
Banci. Pandu hanya berkata pelan, "Kalau nggak mau ya jangan dipaksa dong! Itu
namanya pelanggaran hak azasi manusia.
Apa di perguruanmu nggak diajarkan
bagaimana menghargai hak azasi manusia?"
"Celeng sunat!" bentak Tampar Geni, galak. Matanya yang kecil dilebarkan melotot
seperti sepasang kelereng bopak.
Ia hampiri Pandu dengan menghardik lagi,
"Kau berani-beraninya ngomong begitu kepada kami, apakah kau belum tahu siapa
kami, hah"!"
"Wah, napas jengkolnya ini yang baunya nggak tahan disedot...," pikir Pandu
sambil melengos saat Tampar Geni membentak 'hah' tadi. Ia menepiskan
hidungnya yang mancung untuk hilangkan bau jengkol dari mulut Tampar Geni.
Setelah itu baru berkata kepada orang berambut botak tengahnya itu.
"Kami tahu, kalian orang Perguruan Musang Terbang. Justru kami heran,
mengapa kalian tidak bisa menghargai hak azasi manusia, sehingga mau menyiksa
Sumo Banjir hanya untuk diantarkan ke kuburan si Iblis Banci saja" Itu kan
kelewatan namanya, Oom!"
"E, eh... masih berani menasihati orangtua hah"! Nih, rasakan tapak
tanganku yang bisa bikin matang telur dadar! Heaahh...!"
Wuuuttt...! Tangan si Tampar Geni yang kondang
bisa bikin hangus pohon itu berkelebat ke wajah Pandu Puber. Tapi dengan cekatan
Pandu kelebatkan tangannya juga hingga tamparan tersebut tertangkis oleh tangan
kirinya. Plaakk...! Dan pada saat itu juga telapak tangan sang Pendekar Romantis
menyodok ke depan, tepat kenai dada lawannya yang gemuk.
Buugh...! Wuusss...! Bruugh...!
Semua mata melebar, walau tidak lebar sekali. Jelasnya, semua orang merasa heran
dan kaget melihat tubuh gemuk Tapak Geni bisa terhempas bagai terbang ke
belakang saat disodok oleh tangan Pandu.
Padahal sodokan tangan Pandu tidak tampak keras dan penuh kerahan tenaga. Hanya
tampak biasa-biasa saja dan cepat.
Sumo Banjir terheran-heran melihat
tubuh gemuk itu bagaikan daun kering yang dihempaskan angin kencang. Jatuhnya
sekitar lima tombak ke belakang. Bahkan tangan Tampar Geni yang terpental
terbang itu sempat mengenai wajah Genjotpati tanpa disengaja.
Plok! "Wadow...!" Genjotpati menjerit spontanitas. Tubuhnya yang gemuk dan berperut
buncit itu melintir ke kiri, muter dua kali dan jatuh terpelanting membentur
pohon. Wajah yang terkena benturan tangan temannya itu menjadi merah pertanda
panas dan sakit.
"O, rupanya bocah ganteng ini punya mainan juga" Hmm... boleh, boleh,
boleh...," pikir Raga Paksa sambil manggut-manggut.
Genjotpati bangkit dengan marah.
Matanya yang lebar membelalak mendelik makin lebar seperti sepasang onde-onde
mau lompat. Ia bergegas hampiri Pandu, tapi pemuda beranting satu itu tak mau
pergi, malah berdiri dengan tenang.
Menunggu kedatangan lawan.
"Kau benar-benar anak monyet!" maki Genjotpati dalam jarak satu jangkauan di
depan Pandu. "Kau buat wajahku jadi
bengkak begini, hah"! Lihat... sakit nih!
Sakiiit...!" sambil menuding wajahnya sendiri. Pandu Puber sempat-sempatnya
nyengir. "Yang mengenai bukan aku, kok yang kena marah aku sih"!"
"Iya, tapi ini gara-gara pukulanmu yang membuat Tampar Geni terbang dan
membentur wajahku! Aku harus membalas padamu! Hiaat...!"
Orang berambut ikal itu mengandalkan genjotannya. Makanya ia berjuluk
Genjotpati, cita-citanya sekali genjot orang pasti mati. Maka tak heran jika ia
segera lepaskan kepalan tinjunya ke wajah Pandu Puber. Kepalan itu cukup besar
dan keras. Kabarnya bisa untuk memecahkan batu sebesar anak sapi.
Wuuutt...! Tab...! Pandu Puber menangkap genggaman tinju lawannya dengan satu tangan. Genggaman itu
bagai ingin diremas oleh tangan Pandu Puber. Hal itu cukup mencengangkan mata
Sumo Banjir, bahkan mata Raga Paksa sendiri ikut terbelalak lebar.
"Belum pernah ada yang bisa menangkap pukulan si Genjotpati selama ini.
Biasanya pukulan itu menghancurkan benda apa saja yang dihantamnya. Tapi tulang
tangan anak muda itu tidak menjadi remuk, dan bahkan ia kelihatan ingin
meremukkan genggaman si Genjotpati. Alangkah
hebatnya! Murid dari perguruan mana dia sebenarnya"!"
Kecamuk batin Raga Paksa terhenti,
berubah menjadi sentakan mengagetkan ketika ia melihat
wajah Genjotpati
menyeringai kesakitan sambil memekik panjang. Terdengar pula suara tulang
berderak. Krakk! "Waooow...!" pekik Genjotpati kelojotan di tempat. Karena sakitnya maka ia pun
segera lepaskan pukulan tangan
kirinya yang bertelapak tangan membuka.
Wuuuttt..! Pandu menadah pukulan itu dengan tangan kanan membuka pula.
Plaakkk...! Blaarr...!
Ledakan itulah yang mengagetkan Raga Paksa dan Sumo Banjir. Kilatan cahaya merah
yang memercik dari benturan dua telapak tangan itu menimbulkan gelombang hentak
cukup kuat, sehingga Genjotpati terlempar ke belakang tak beraturan, lalu jatuh
terkapar dalam jarak enam langkah dari tempatnya berdiri tadi, sedangkan Pandu
Puber hanya tersentak mundur dua langkah dan tetap berdiri tegak.
"Edan benar nih anak!" gumam Raga Paksa, lalu ia berseru kepada Genjotpati dan
Tampar Geni, "Serang dia! Keroyok berdua!"
Perintah itu seperti perintah seorang
komandan yang harus dipatuhi anak
buahnya. Maka kedua orang gemuk itu pun segera menyerang bersama dengan lompatan
dari arah kanan-kiri. Tapi Pandu Puber segera sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya
melayang ke atas pada saat kedua orang gemuk itu hendak menerjangnya. Dalam
seketika itu, kedua kaki Pendekar
Romantis menendang ke samping kanan-kiri secara bersamaan.
Wuuutt...! Prookkk...!
Lompatan Pandu yang sedikit lebih
tinggi dari posisi layang kedua lawannya membuat kedua kakinya dapat menendang
telak di wajah masing-masing lawan.
Tendangan itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga kedua orang gemuk yang
terkena tendangannya terjungkir balik di udara, kemudian saling jatuh seperti
dua buah nangka busuk.
Sumo Banjir yang melihat adegan itu dari balik pohon tempatnya bersembunyi,
ternyata sejak tadi tak bisa kedipkan mata lagi akibat terkagum-kagum dengan
kehebatan Pandu Puber.
"Wow...! Hebat sekali"! Pantas Kang Pandu berani berhadapan dengan kedua orang


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemuk itu, rupanya dia punya ilmu yang mengagumkan. Tapi jika melawan Raga Paksa
apakah dia bisa menang"!"
Melihat wajah kedua temannya menjadi bonyok, Raga Paksa mulai menggeram tak
sabar. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Otot di lengannya tampak mengeras
dan bertonjolan. Sementara itu, Tampar Geni yang bocor hidungnya dan Genjotpati
yang pecah bibirnya sudah mulai mencabut senjata masing-masing : kapak dan
golok. Tetapi Raga Paksa memberi kode dengan gerakkan tangannya yang membuat kedua
orang gemuk itu mundur, tak jadi
menyerang dengan senjata. Sebab mereka merasa kalah tinggi tingkatannya dengan
Raga Paksa. Mereka percaya, jika Raga Paksa yang maju pasti
lawan dibuat tumbang dalam satu gebrakan.
"Sudah waktunya kau menghadapiku, Bocah Konyol!" kata Raga Paksa dengan suara
berat pertanda menahan kejengkelan hati. "Tapi sebelumnya mengakulah, dari
perguruan mana kau sebenarnya" Siapa gurumu?"
Pendekar Romantis merapikan rambut
depannya dan tersenyum tenang. Setelah merapikan rambut, menggosokkan kedua
telapak tangan bagaikan siap menghadapi pertarungan dengan lebih serius lagi.
"Kau tak akan tahu nama perguruanku dan juga nama guruku, sebab aku tidak punya
perguruan dan tidak punya guru!"
"Mustahil kau tidak punya guru!"
sentak Raga Paksa sudah sangat tak sabar.
"Katakan, supaya aku puas menumbang-kanmu!"
"Kau memang pantas dinamakan Raga Paksa, karena kau suka memaksa orang dalam hal
apa pun! Sekarang kalau aku tak sebutkan siapa guruku, lantas kau mau apa"!"
Raga Paksa makin dibakar amarah
mendengar nada ucapan si ganteng yang berlagak menantang itu. Namun orang
berpakaian serba hitam itu masih
penasaran sekali, karena ia sangat ingin tahu siapa guru Pandu Puber sebenarnya.
Ia tak tahu bahwa Pandu Puber adalah anak dewa yang ilmunya merupakan ilmu
titisan, mewaris dengan sendirinya pada saat ia lahir dari kandungan ibunya,
(Kalau nggak percaya, baca deh serial Pendekar
Romantis dalam kisah: "Hancurnya Samurai Cabul"-seru juga lho).
"Sebutkan namamu, dan akan kukirim ke neraka nama itu secepatnya!" bentak Raga
Paksa setelah tak berhasil mendesak Pandu untuk sebutkan nama gurunya.
"Kalau nama, aku punya. Namaku Pandu Puber! Jelas" Puas?"
"Lagakmu sudah kayak jagoan saja!
Benci aku melihatmu! Heaaah...!" Raga Paksa lepaskan pukulan tenaga dalam jarak
jauh dari hentakkan kedua tangannya yang membentuk cakar ke depan. Pukulan tanpa
sinar itu datang dengan tiba-tiba sekali, mengejutkan Pandu, sehingga Pendekar
Romantis sedikit telat menangkis.
Akibatnya ia terpental berjungkir balik ke belakang karena hempasan tenaga dalam
lawan itu. Wuuuttt...! Brruusss...!
Pandu Puber masuk ke semak-semak.
Sebelum disusul Raga Paksa untuk diserang kembali, Pendekar Romantis sudah
lompat dari kedalaman semak. Braasss...!
Tubuhnya melenting ke atas bersalto satu kali. Gerakan itu disambut oleh Raga
Paksa dengan pukulan bersinar hijau dari telapak tangan kanan yang disentakkan
ke depan. Wuuuttt...! Claappp...! Sinar hijau itu seperti gumpalan kapas yang melesat
cepat ke tubuh Pandu Puber.
Dalam keadaan bersalto, Pendekar
Romantis masih sempat melihat kelebatan sinar hijau tersebut. Maka serta-merta
ia lepaskan jurus 'Jempol Syahdu', berupa sinar putih perak yang melesat dari
jempol kakinya. Sinar putih perak
menghantam tepat sinar hijau dan ter-jadilah dentuman menggelegar yang sempat
mengguncangkan pepohonan di sekeliling mereka.
Blegeerrr...! Gelombang hentak dari dentuman itu
menyebarkan hawa panas dan kekuatan daya sentak cukup kuat. Dua pohon saja
hampir tumbang karena daya sentak gelombang tersebut. Pohon itu hanya retak dan
terkelupas sebagian kulitnya. Sedangkan Raga Paksa sendiri terpelanting ke
belakang dan jatuh tersungkur di depan Tampar Geni yang terbentur sebuah pohon
dalam keadaan berdiri.
Buuhg...! Genjotpati terguling-guling di tanah karena terkena hentakan agak kuat,
posisinya waktu itu ada di dekat Raga Paksa, Pandu Puber sendiri terpental tak
seberapa jauh, tapi ia masih mampu kuasai keseimbangannya sehingga masih mampu
berdiri tegak saat daratkan kaki ke tanah. Matanya memandang tajam kepada lawan-
lawannya. Ia tersenyum tipis
melihat Raga Paksa mengeluarkan darah pada hidung dan telinganya. Sementara itu,
Sumo Banjir tampak aman di
persembunyiannya, tapi masih belum bisa kedipkan mata melihat kehebatan
pertarungan tokoh-tokoh yang menurut anggapannya berilmu tinggi itu.
"Baru sekarang ada orang berani melawan Raga Paksa dan bisa membuat Raga Paksa
berdarah!" pikirnya dengan polos.
"Kalau begitu, Kang Pandu ini sebenarnya orang sakti dong" Tapi kok nggak punya
kumis dan jenggot panjang, ya?"
Preman yang ditakuti penduduk desa
itu membatin, "Dadaku panas sekali!
Sialan, jurusnya mampu membuat jurusku pecah menjadi dua kali lipat lebih
kekuatannya! Kalau kuteruskan, dadaku bisa jebol dan nyawaku tinggal seupil nih"
Sebenarnya aku mau muntah, tapi...
tahan dulu, ah! Gengsi kalau muntah di depan anak itu!"
Genjotpati berkata pelan, "Bagaimana kalau kita serang bertiga memakai
senjata"! Pasti dia tidak berkutik lagi!"
Raga Paksa berpikir sebentar, lalu
berkata dalam bisikan pula,
"Sia-sia. Dia punya jurus yang sulit dicari kelemahannya. Gerakannya selalu
bersifat mendadak dan tiba-tiba, diluar dugaan pikiran kita.... Sebaiknya, bawa
kabur saja si Sumo Banjir itu dan kita paksa anak itu di tempat lain. Culik dia,
aku dan Tampar Geni akan menghalangi langkah si pemuda setan itu!"
"Baik! Akan kubawa kabur anak itu.
Alihkan perhatian Pandu Puber agar
matanya tidak mengawasi ke arah Sumo Banjir!"
Raga Paksa segera dekati Tampar Geni dan membisikkan rencana tersebut. Tetapi
mata Pandu mulai menaruh kecurigaan dan hatinya berkata pada diri sendiri,
"Hati-hati, dia mau gunakan siasat. Mungkin mau menyerang bersama-sama atau
entah melakukan siasat apa" Kayaknya Raga Paksa membisikkan sesuatu kepada Tampar
Geni." Sebentar kemudian terdengar suara
Raga Paksa berseru lantang,
"Anak tikus! Sudah tak ada waktu lagi buatmu. Kami tak akan main-main lagi.
Sekarang tinggal giliran mencabut nyawamu yang sok usil mau ikut campur urusan
orang itu. Hiaaah...!"
"Hiaaatt...!" Tampar Geni ikut berteriak sambil lepaskan jurus
andalannya. Telapak tangannya dapat menyemburkan api yang bergulung-gulung
menyerang Pandu, sedangkan telapak tangan Raga
Paksa keluarkan angin kencang,
seakan mengobarkan gumpalan apinya si Tampar Geni. Wooosss...!
Jurus 'Inti Dewa' dilepaskan.
Pendekar Romantis berwajah ganteng itu segera rapatkan kedua telapak tangannya
di dada, lalu disentakkan membuka ke depan secara bersamaan dengan kedua kaki
merenggang rendah. Wuuutt...! Slaaapp ..!
Sinar putih perak berukuran besar
melesat dari kedua telapak tangan Pandu Puber. Sinar putih perak besar itu
menghantam gulungan api bercampur angin kencang. Maka, menggelegarlah dentum
tabrakan kedua kekuatan tersebut.
Bleggeerrr...! Daya sentaknya lebih kuat dan lebih besar. Melebar ke berbagai penjuru.
Menumbangkan Tampar Geni dan Raga Paksa hingga mereka terpelanting-pelanting
saling berbenturan. Sedangkan Genjotpati yang sedang mendekati Sumo Banjir ingin
menyambarnya juga terpental ke arah lain, kepalanya membentur pohon dengan
sangat keras. Praakkk...! "Aaaaow...!" teriaknya
kesakitan. Kepala itu pun retak dan tak ayal lagi kalau menjadi bocor.
Sumo Banjir merasa ketakutan, sebab saat ia melihat Genjotpati mendekatinya,
anak itu tahu kalau dirinya akan dibawa lari. Maka sebelum rencana itu terulang
kembali, Sumo Banjir segera larikan diri tak peduli lagi dengan ketiga orang
Perguruan Musang Terbang. Karena tubuhnya sendiri terlempar tinggi saat terjadi
ledakan besar tadi, tapi untung jatuh di semak-semak.
"Tinggalkan tempat ini! Cepat, laporkan pada Guru!" teriak Raga Paksa, sehingga
mereka bertiga berlarian
menghindari Pandu Puber dalam keadaan berdarah. Pandu Puber sendiri menjadi
tegang karena ia kehilangan Sumo Banjir.
Ia pun segera lari mencari Sumo Banjir sambil memanggil-manggil, "Banjiiirr...
Banjiiirr... Banjiiirr...!"
TIGA MERASA yakin bahwa keselamatan
jiwanya bisa dilindungi oleh Pendekar Romantis, otomatis Sumo Banjir menjadi
punya keberanian untuk datang kembali ke makam yang waktu itu dilihatnya
bersinar. Kehebatan jurus-jurus Pandu membuat Sumo Banjir merasa bangga jika bisa dampingi
sang jagoan yang tampan itu. Bahkan dalam hati Sumo Banjir menaruh harap bisa
menjadi muridnya Pandu Puber.
"Aku sendiri tak pernah menjadi murid seseorang, bagaimana aku bisa mempunyai
murid" Aku tidak tahu bagaimana cara mengajarkan ilmuku kepada seseorang,"
kata Pandu Puber dalam perjalanan menuju Bukit Jengkal Demit.
"Jadi, kau tak ingin punya murid, Kang?" tanya Sumo Banjir. Ia belum berani
mengungkapkan keinginan yang sebenarnya.
Malu dan takut.
"Untuk saat sekarang aku nggak mikirin soal murid atau guru. Aku cuma mikirin
tentang nasib diriku sendiri yang belum pasti bisa setenang hidupmu, Sumo
Banjir." "Masa' sudah berilmu tinggi kok belum tenang sih, Kang?"
"Justru orang berilmu itu yang banyak musuhnya dan banyak godaannya. Soalnya
kalau...."
Sumo Banjir heran, mengapa Pandu
berhenti bicara" Langkah Pandu sendiri juga terhenti. Anak itu heran melihat
sikap Pandu yang diam saja seperti sedang renungkan sesuatu dengan mata
memandang ke samping kiri. Karena ingin tahu, maka Sumo Banjir bertanya pelan,
"Kenapa berhenti, Kang" Bukit Jengkal Demit masih beberapa langkah lagi dari
sini. Pokoknya kalau sudah melewati lorong ini, baru kita bisa melihat bukit
itu. Ayo, jalan lagi, Kang. Kalau kau capek, mari kuderek, alias kugendong. Hi,
hi, hi...."
Pendekar Romantis hanya tersenyum
tipis, tak ceria. Lalu ia berkata dengan suara berbisik,
"Ada orang yang mengikuti langkah kita dari belakang, Sumo!"
Bocah itu menengok ke belakang, tapi ia tidak melihat siapa-siapa di belakang
mereka. "Ah, nggak ada siapa-siapa kok, Kang.
Mungkin itu perasaanmu saja."
"Orangnya bersembunyi di semak-semak belakang dua pohon yang tumbuh dengan rapat
itu," Pandu mengulang bisikannya.
Tapi menurut penglihatan Sumo Banjir, di semak-semak yang dimaksud Pandu itu
tidak ada tanda-tanda orang bersembunyi. Tak ada gerakan, tak ada suara apa pun.
Sumo Banjir pun menyanggah.
"Ah, nggak ada orang kok. Kurasa itu hanya bayanganmu saja, Kang!"
Pandu Puber balikkan badan. "Lihat saja nih...," katanya pelan kepada Sumo
Banjir. Lalu, sang Pendekar Romantis
segera gunakan jurus 'Sentak Bumi'
peninggalan dari ayahnya; Batara Kama.
Dengan cara menghentakkan kakinya ke
tanah dialiri tenaga dalam tinggi, maka seseorang yang bersembunyi di balik
semak-semak itu terlempar ke atas
bagaikan ada kekuatan yang membuangnya terbang.
Dugg...! Wuuut...!
Wes, wess...! Orang itu pun bersalto dua kali sambil menjaga keseimbangan
tubuhnya. Dalam kejap berikut orang tersebut sudah mendarat di depan Pandu Puber
dan Sumo Banjir dalam jarak enam langkah. Sumo Banjir terbengong melompong
melihat kehebatan jurus 'Sentak Bumi, dan segera heran melihat sosok berwajah
cantik jelita berdiri di depannya. Sosok cantik jelita itu berambut
sepundak, lurus dan lemas dengan rambut depan diponi, tanpa ikat kepala. Wajah cantik
berhidung bangir itu mempunyai mata bundar bening dan bibir mungil melenakan
jika dipagut. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Wajahnya semi oval.
Pakaiannya serba merah menyala dari kain satin tipis mengkilap berbelahan dada
agak lebar, menampakkan kulit dadanya yang kuning langsat tapi mulus tanpa cacat
seujung rambut pun. Bahkan
kelihatan sekal dan kencang.
Gadis cantik berpakaian merah menyala itu mengenakan ikat pinggang dari kain
selendang warna kuning. Di selipan ikat pinggangnya itu terdapat senjata tajam
berupa pedang seukuran satu lengan
panjangnya. Pedang itu bersarung tembaga dan gagangnya pun terbuat dari tembaga
merah. Ujung gagangnya berbentuk ukiran kepala burung hantu.
Dilihat dari caranya memandang, gadis itu mempunyai sikap tegas dan berani.
Kemanjaannya nyaris tak terlihat ada padanya. Justru kegalakannya tampak samar-
samar melalui ekspresi wajah
ketusnya saat memandang ke arah Pandu Puber. Senyum yang dilemparkan Pandu Puber
tidak disambutnya dengan ramah.
Nyaris tanpa sambutan apa-apa.
"Apakah dia kakak perempuanmu, Sumo"!" tanya Pandu sengaja dikeraskan supaya
didengar oleh gadis judes itu.
"Wah, kalau aku punya kakak perempuan seperti dia, aku nggak mau kau ajak pergi
ke mana-mana, Kang. Mendingan nonton wajah kakakku terus-terusan atau minta
dipangku dia setiap hari."
"Aku juga begitu kalau aku punya kakak perempuan secantik dia!"
"Kang, Nona itu cantik sekali, kawini sajalah biar nggak dilamar orang lain
lebih dulu!"
"Enak saja kau ngomong!" ujar Pandu sambil tertawa pelan, sang gadis hanya
memandangi dengan nada ketus.
"Menurutku Nona itu pasti mau, Kang!"
"Maksudmu, mau menjadi istriku?"
"Mau muntah jika menjadi istrimu,"
jawab Sumo Banjir berkelakar. Rupanya bocah itu juga kepingin melihat senyuman
si gadis, tapi harapan mereka tidak terkabul karena si gadis tetap berwajah
judes. Pandu Puber segera mengawali
sapaannya dengan suara lembutnya dan senyum penjerat hati wanita yang sukar
dihadapi oleh perempuan binal mana pun juga.
"Apa maksudmu mengikutiku, Nona?"
"Urusan pribadiku," jawab gadis itu dengan nada ketus. Wajahnya makin lama
semakin berkesan angkuh.
"Rasa-rasanya kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin kita sudah punya urusan
pribadi" Kau belum tahu namaku, dan aku pun belum tahu namamu, Nona."
"Namamu adalah Pandu Puber, Pendekar Romantis dari Gunung Ismaya!"
"Lho, kok tahu sih"!" sambil Pandu nyengir kampungan.
Gadis itu hanya cibirkan bibirnya
dengan sinis. Ia melangkah ke sisi lain, tapi matanya masih melirik tajam ke
arah Pandu, bersikap bermusuhan. Sementara itu, Pandu segera ajukan tanya
padanya, "Jika kau sudah tahu namaku, lantas bagaimana caraku mengetahui nama wajah


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantikmu itu, Nona" Maukah kau
menyebutkannya?"
Gadis itu malahan berkata, "Tentunya kau masih ingat tentang nama Hantu
Congkak"!"
"Hmmm... maksudmu, Hantu Congkak yang menjadi kakak perguruannya Sikat Neraka
itu?" "Benar! Hantu Congkak adalah guruku!
Kau telah mengalahkannya dan aku
ditugaskan menebus kekalahan itu. Karena itu, bersiaplah sekarang juga, aku akan
tumbangkan kesombonganmu, Pandu!"
"Lho, tunggu, tunggu...! Jangan serang dulu!" Pandu Puber nyengir sambil bingung
sendiri. "Kok aku bisa dibilang sombong sih" Kalau aku bisa kalahkan gurumu itu
lantaran gurumu ilmunya
rendah. Jadi bukan karena aku berwatak sombong, Nona. Hmmm... siapa namamu
sebenarnya" Sebutkanlah, Nona!"
"Hadapi dulu pembalasanku ini, Hiaaat...!"
Satu sentakan tangan ke depan dengan cepat membuat dua jari lentik itu
keluarkan sinar merah lurus menghantam
ulu hati Pandu Puber.
Clapp...! "Eit...! Gawat nih cewek"!" pikir Pandu sambil berkelit miringkan badan ke
samping dan sinar itu meleset dari
dadanya, menghantam pohon, lalu pohon yang terhantam sinar merah itu retak
seketika. Kraak! "Lawan, Kang! Lawan...! Jangan takut menghadapi gadis cantik! Buat apa dia
cantik kalau jahat sama kita. Lawan, Kang...!" Sumo Banjir kasih spirit kepada
Pandu, tapi Pandu tidak mau terpengaruh oleh spirit bocah itu. Pandu hanya diam
saja, tak mau membalas, hanya melangkah menjauhi Sumo karena takut serangan
berikutnya meleset dan mengenai Sumo
Banjir. Di bibirnya masih tersungging senyum yang lebih pantas dikatakan
sebagai kegiatan nyengir rutin.
Sekalipun nyengir, tapi Pandu Puber masih tetap tampakkan pesona ketampanan-nya
yang semestinya membuat hati gadis itu terpikat. Tapi nyatanya si gadis kok
nggak terpikat juga" Mungkin karena merasa mengemban tugas pembalasan dari
gurunya; si Hantu Congkak.
Bayangan wajah tua si Hantu Congkak yang pernah dilawannya, terpampang jelas di
benak Pendekar Romantis, (Pertarungan mereka di serial Pendekar Romantis dalam
kisah: "Hancurnya Samurai Cabul" cukup seru kok).
Gadis itu lepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Gelombang panas dilepaskan
dengan maksud merebus tubuh Pandu. Tapi sang Pendekar Romantis justru melesat
naik, tahu-tahu ada di atas pohon,
hinggap di sana seperti burung perkutut.
Sikap itu makin membuat sang gadis
jengkel sendiri, maka dilepaskanlah pukulan yang memancarkan cahaya
berlingkar-lingkar dari genggaman tangannya. Clappp...! Cahaya merah itu
menghantam Pandu Puber, namun tubuh itu bagaikan lenyap, tahu-tahu sudah
berpindah di dahan pohon lainnya. Bukan gadis itu saja yang kebingungan mencari
Pandu, namun Sumo Banjir pun sempat bengong ketika akhirnya ia mengetahui Pandu
ada di pohon lain, jauh dari pohon pertama.
"Bagaimana cara lompatnya, ya?" pikir Sumo Banjir sambil garuk-garuk kepala.
Sambil mendongak gadis itu berteriak,
"Serang aku! Jangan hanya bisa menghindar saja, Tolol!"
"Sebutkan dulu namamu, nanti aku akan menyerangmu!"
Gadis itu menatap tajam dan penuh
pancaran kebencian, tapi akhirnya ia pun berkata dengan nada kian ketus,
"Namaku Awan Sari! Puas?"
"Belum. Mana bisa puas, diapa-apakan
saja belum kok sudah disuruh puas?" ledek Pandu sengaja bikin jengkel hati si
cantik itu. Bahkan Pandu Puber berseru lagi dari atas pohon,
"Yang benar namamu Awan Sari atau Sari Awan?"
"Mulutmu itu yang kena penyakit sariawan!" sentaknya makin tampak jelas
kejengkelannya. Hati pendekar tampan yang konyol itu merasa gembira bisa membuat
gadis secantik Awan Sari bersungut
cemberut penuh kedongkolan. Bahkan Awan Sari segera lepaskan pukulan bersinar
merah seperti tadi, namun lagi-lagi hanya dihindari oleh Pandu dengan pergunakan
gerakan kilatnya yang dinamakan jurus
'Angin Jantan' itu. Itulah sebabnya tahu-tahu Pandu Puber sudah ada di bawah dan
posisinya ada di belakang Awan Sari.
Sedangkan pukulan Awan Sari membuat pohon tempat Pandu berdiri tadi menjadi
retak sebagian.
"Aku di sini, Sayang...!" sapa Pandu ketika Awan Sari kebingungan mencari Pandu
di atas pohon. Gadis itu sedikit kaget ketika mengetahui Pandu sudah ada di
belakangnya. la buru-buru berpaling dan cepat cabut pedangnya. Sreet...!
Pandu mengangkat kedua tangannya ke depan dan berkata dalam gerakan mundur
sedikit, "Sabar, sabar...! Tunggu dulu, jangan main bacok saja. Kita bicara
baik- baik tanpa pergunakan pedang, Awan Sari."
"Aku tak punya waktu untuk ngobrol denganmu, Pendekar Romantis! Aku butuh
selesaikan tugas dari Guru secepatnya!
Hiaaat...!"
Wuuut...! Awan Sari melompat cepat
bagai bayangan berkelebat. Pedangnya menebas bagai ingin membelah dada Pandu
Puber dari atas samping kanan ke bawah samping kiri. Weesss...!
"Hei, tunggulah... jangan tergesa-gesa!" seru Pandu sambil
lompat ke belakang dan pedang itu tidak kenai sasarannya. Tapi di luar dugaan ujung pedang
itu menebarkan serbuk racun yang terhirup ke dalam hidung Pandu Puber.
Wrreesss...! Dalam sekejap saja Pandu Puber jatuh terkulai lemas. Brukk...! Napasnya sesak,
badannya terasa panas. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya nyut-nyutan. Kulitnya
gatal, tulangnya terasa remuk, sehingga tak bisa menggaruk kulit yang gatal.
Mulutnya terasa kering bagaikan
kehilangan air ludah. Tenggorokannya terasa tersumbat sesuatu yang membuatnya
sukar menelan ludah atau napas.
"Celaka"! Kenapa aku ini" Oh, racun itu...! Gila, racun itu ganas sekali.
Matilah aku kalau begini caranya!" pikir Pandu Puber dengan masih berusaha untuk
bisa menggerakkan tangan dan kakinya.
Tapi urat-uratnya makin lama dirasakan semakin lemah dan tak mampu mengeras
sedikit pun. Pada saat itu, Sumo Banjir yang tegang segera lari ketakutan. Jika
Pandu yang berilmu saja bisa dibuat lumpuh oleh si cantik bermata bundar itu,
apalagi dirinya. Maka tak ada jalan terbaik baginya kecuali melarikan diri jauh-
jauh. Awan Sari tidak peduli dengan Sumo
Banjir. Ia butuh Pandu Puber, sehingga ia segera hampiri pemuda tampan itu.
Senyumnya tersungging sinis dan pedangnya masih di tangan, siap untuk memenggal
kepala sewaktu-waktu. Awan Sari sempat berkata,
"Tak ada yang bisa melawan 'Racun Kembang Kubur'-ku, Pandu! Sebentar lagi
seluruh cairan dalam tubuhmu akan
mengering, termasuk darahmu, sumsummu, dan apa saja. Kau akan mati dalam keadaan
kering bagaikan batang-batang pohon yang kekurangan air!"
"Kkaau... jaaah... jaahat...!" dengan susah payah akhirnya Pandu dapat ucapkan
kata itu. Tapi dalam hati ia sibuk
salurkan hawa murninya untuk melawan keganasan 'Racun Kembang Kubur" itu.
Ternyata usahanya sia-sia.
Ia ditertawakan dengan nada dingin oleh lawannya.
"Jangan anggap kau menang melawan
guruku lalu bisa unggul pula melawan muridnya" Hmmm...! Awan Sari bukan
seorang murid yang bodoh. Semua ilmu yang kudapat kuolah kembali dengan akal
pikiranku, sehingga tugas membalas
kekalahan guruku adalah tugas yang ringan bagiku!"
Baru saja selesai bicara begitu,
tiba-tiba sebarisan logam berbentuk seperti mata pisau kecil melesat dari
belakang, sasarannya ke punggung Awan Sari. Tapi gadis itu rupanya mempunyai
ketajaman rasa, sehingga dengan cepat ia berputar balik dan pedangnya dikibaskan
beberapa kali ke sana-sini menangkis logam-logam runcing tersebut.
Trang, tring, trang, tring,
trelng...! Dalam sekejap logam berbentuk mata pisau runcing Itu tersapu habis
oleh gerakan jurus pedangnya yang cukup hebat.
"Siapa yang punya niat membela Pandu edan ini"! Keluar dari persembunyianmu!
Lekas...!" bentaknya dengan lantang.
"Aku orangnya!"
Oh, rupanya suara itu justru datang dari belakang Pandu, padahal Pandu sedang
dipungggungi oleh Awan Sari. Kontan Awan Sari berpaling ke arah semula dan
melihat sesosok tubuh seksi berwajah cantik pula berdiri di belakang Pandu Puber
yang terpuruk dekat pohon. Wajah cantik dengan rambut disanggul rapi itu
melangkah ke samping pemuda tampan yang tak berdaya itu.
Agaknya si Awan Sari sudah kenal
dengan perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun yang sebenarnya usia
aslinya sekitar dua atau tiga kali lipat keadaannya sekarang ini. Perempuan
berjubah merah jambu dengan pakaian dalamnya pinjung hijau muda itu tak dari
adalah Ratu Geladak Hitam alias
Dardanila, (Soal cewek yang ini bisa diperoleh dalam serial Pendekar Romantis
episode: "Geger Di Kayangan" - nggak baca rugi lho).
Dalam kisah tentang "Pedang Siluman", Dardanila terkena racun 'Pemikat Surga'
dari Pandu, tapi hal itu tidak disadari.
Racun itu terpancar melalui hubungan intim dan membuat si wanita tergila-gila
sampai mati kepada sang anak dewa itu.
Sekarang pun Dardanila
dalam upaya mencari Pandu Puber, karena racun
'Pemikat Surga' kian menuntut kehangatan batin yang menyiksa jiwa jika tak
terlampiaskan, (Soal racun 'Pemikat Surga' bisa ditemui dalam serial Pendekar
Romantis episode: "Pedang Siluman" - hot juga lho, swear!).
Makanya nggak heran kalau Dardanila marah melihat Pandu Puber dilumpuhkan
begitu. Urat-uratnya mengendor dan tak berfungsi lagi. Tentu saja Dardanila
sangat sakit hati, sebab ia tahu jika keadaan pendekar tampan seloyo itu, maka
apa yang dicari Dardanila pun akan dalam keadaan loyo juga. Sedangkan racun
'Pemikat Surga' tidak bisa membuat
Dardanila berselera bercumbu dengan pria lain. Yang bisa membangkitkan dan
menyelesaikan tuntutan gairahnya hanyalah Pandu Puber, sebab pemuda itulah
pemilik racun 'Pemikat Surga'. Repotnya lagi, sampai detik ini Pandu tidak tahu
kalau dia mempunyai kekuatan racun seperti itu dalam darah kejantanannya.
"Kau mau ikut campur urusan
pribadiku, Dardanila"!" sapa Awan Sari dengan ketus. Dardanila tak mau kalah
ketus. "Karena kau telah mengusik kegemaran pribadiku dengan racunmu itu, maka aku pun
terpaksa akan mengusik nyawamu, Awan Sari!"
"Tak ada yang kutakuti sedikit pun pada dirimu, Dardanila! Cuma kuminta
pertimbangkanlah langkahmu nanti. Jika kau berurusan denganku, maka kau akan
berurusan dengan guruku; si Hantu Congkak!"
"Kau pikir gurumu punya kekuatan untuk melumpuhkan aku"! Justru gurumu si Hantu
Congkak akan kubuat bertekuk lutut dan menyembah-nyembah dl depanku, bila mana
perlu sampai menciumi telapak kakiku
karena muridnya telah mengganggu hobi pribadiku!"
"Lancang sekali mulutmu, Dardanila!
Jangan salahkan aku kalau kau sebentar lagi kehilangan kepala dan pulang nyasar-
nyasar!" "Buktikan kecongkakanmu! Terima dulu jurus 'Pancaran Maut'-ku ini, Awan Sari!
Hiaaah...!"
Clappp...! Sinar kuning melesat dari ujung kuku jari telunjuk kiri Dardanila.
Sinar kuning itu berbentuk panjang dan lurus, gerakannya sangat cepat. Awan Sari
menangkisnya dengan menegakkan pedang di depan dada. Pedang itu melepaskan sinar
hijau dari pertengahan mata pedangnya.
Clappp...! Blegarrr...! Bumi berguncang karena ledakan
dahsyat dari benturan dua sinar bertenaga dalam tinggi itu. Suara gemuruh
terdengar dari gugurnya tanah dan bebatuan yang longsor di sekitar tempat itu.
Sedangkan kedua perempuan itu sama-sama terpental ke belakang, saling berjauhan,
karena gelombang ledak mengeluarkan hentakan angin badai sekilas berkekuatan
tiga tenaga kuda. Mereka saling tumbang di tempat berbeda. Tapi keadaan mereka
masih saling utuh, artinya tanpa luka apa pun kecuali hanya luka lecet akibat
tergores ranting kering.
"Keparat kau, Dardanila! Heaaat...!"
Awan Sari melayang bagaikan terbang dengan pedang terarah ke depan, sedangkan
Dardanila yang tidak merasa gentar
sedikit pun segera melompat juga dengan gerakan mirip seekor merpati liar
terbang. Wuuut...! Werrsss...!
Walau tanpa senjata, tapi Dardanila mampu berkelebat cepat menghindari
tebasan pedang lawannya. Tangan dan kaki dipergunakan dengan cepat, sehingga
tiga sinar beda warna tahu-tahu melesat dari jari, telapak tangan, dan mata kiri
Dardanila. Slappp...! Crabbb...!
Duarrr...! Blegarrr...! Guncangan bumi terasa kian jelas dan keras. Seperti akan terjadi gempa bumi yang
mengerikan di tempat itu. Pedang milik Awan Sari terpental lepas dari tangannya,
terbang ke belakang. Tapi tubuhnya sendiri juga terbang ke belakang berguling-
guling kehilangan jejak.
Akhirnya ia jatuh tersungkur di samping pedangnya dalam keadaan hidung, telinga,
dan mulut menyemburkan darah kental.
Sedangkan Dardanila memang terpental juga, tapi tak mengalami luka apa pun
kecuali hanya pusing sedikit karena kepalanya membentur pohon.
"Oh, dadaku panas sekali. Rasanya mau jebol. Uh..., aku tak kuat! Aku harus
pulang dan minta obat pada Guru. Tak ada kesempatan untuk membalas Dardanila
saat sekarang. Racunku tersembur habis kepada Pandu. Ooh... sakitnya! Aku harus
segera kabur sebelum ia melepaskan pukulannya yang berbahaya!" pikir Awan Sari,
lalu cepat-cepat melesat meninggalkan tempat.
Dardanila menjadi bimbang; mengejar lawan atau membawa pergi Pandu secepatnya"
EMPAT HUJAN turun secara mendadak. Tak ada waktu buat Dardanila untuk membawa pulang
Pandu ke Benteng Geladak Hitam. Kebetulan tak jauh dari tempatnya memanggul
Pandu Puber terlihat sebuah gua. Kalau bukan orang bermata jeli, tak mudah
temukan gua itu. Soalnya gua itu tertutup bongkahan batu dan gundukan cadas
berilalang rimbun. Cara masuknya saja sedikit rapat dengan sisi gundukan cadas tersebut.
Hanya ada gang sempit dan tak muat untuk dua orang.
Barangkali saja karena sepasang mata Dardanila sudah dipengaruhi oleh tempat-
tempat strategis untuk bercumbu, maka ia dapat melihat celah sempit itu sebagai
pintu masuk ke sebuah gua. Pandu Puber
dibawanya masuk ke gua tersebut dengan segudang harapan berbunga-bunga di hati
Dardanila. Gua itu ternyata cukup luas dan
mempunyai lorong yang dalam. Langit-langit gua cukup tinggi. Salah satu sisi
langit-langit tampak berlobang seperti retak memanjang. Dari situlah cahaya
matahari bisa masuk ke gua tersebut, juga air hujan membocori gua bagian sisi
kirinya. Air menggenang di sisi kiri.
Ternyata lantai gua yang biasa terkena bocoran air hujan membentuk kubangan
mirip bak penadah air hujan. Panjangnya dua kali ukuran lesung penumbuk padi.
Di dalam gua itu juga terdapat tanah datar berumput tipis, seperti jenis rumput
lumut yang empuk. Tanah berumput tipis itu cukup luas, membentang dari
pertengahan gua sampai ke dalam. Di samping sebidang tanah berumput tipis, juga
terdapat bebatuan dengan berbagai ukuran. Ada yang besarnya seukuran tinggi
manusia dewasa, ada yang besarnya
seukuran kerbau, ada pula yang cuma sebesar bayi nungging.


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cahaya yang bisa masuk ke gua
tersebut datang dari celah atap yang retak itu. Tapi Dardanila berhasil
temukan beberapa potong kayu di mulut gua. Memang sedikit basah, tapi masih bisa
disusun dan dinyalakan sebagai api
unggun dengan cara melepaskan tenaga dalamnya yang mengandung inti api dari
ujung telunjuk kanannya itu. Maka suasana di dalam gua pun menjadi terang dengan
adanya api unggun itu.
Kalau tidak ada Dardanila, Pandu
Puber pasti mati. 'Racun Kembang Kubur'
sangat ganas. Tak mau diajak kompromi sedikit pun. Cairan darah dalam tubuh
Pandu nyaris kering kerontang, bagaikan sebotol tippex kekurangan minyak
thinner. Tapi untunglah Dardanila mempunyai jurus pemunah 'Racun Kembang Kubur' yang dulu
dipelajari dari seorang tabib kawakan di dataran Tiongkok.
Proses penyembuhannya sedikit memakan waktu. Kalau tak sabar bisa bikin hati
memendam kedongkolan. Semburan hawa murni Dardanila dicampur dengan tenaga dalam
berhawa panas, ternyata mampu mencairkan darah Pandu. Tapi untuk penyembuhannya
terpaksa dilakukan dengan cara
yang sedikit kena sensor. Habis, pakaian Pandu harus dilepaskan semuanya, dan telapak
tangan Dardanila merayap dari kepala pasiennya sampai ke telapak kakinya.
Setiap sentuhan kedua telapak
tangan mengandung kekuatan semburan hawa murni dan hawa panas. Dengan begitu apa pun
yang membeku menjadi cair kembali, urat-urat yang lemas menjadi kaku dan elastis
kembali. Singkat cerita, Pandu Puber sembuh, normal kembali walau masih dalam keadaan
pingsan. Semua organ tubuhnya telah berfungsi seperti sedia kala.
Berkobar-kobar hasrat wanita itu
memandangi wajah Pandu. Keinginan yang terpendam cukup lama dan membuat badannya
kurus, hampir terserang TBC, membuat Dardanila tak sabar menunggu Pendekar
Romantis siuman.
"Luar biasa. Memang anak ini benar-benar anak aneh. Pingsan saja masih bisa
menantang, apalagi kalau dalam keadaan sadar. Oh, aku tak bisa bertahan lagi."
Sistem penyembuhan untuk
menghancurkan Racun Kembang Kubur telah membuat kepekaan tinggi dari semua urat
saraf di tubuh sang Pendekar Romantis.
Karenanya, pemuda itu bagaikan pria yang rajin minum ginseng dan makan telur-
madu. Perempuan yang sudah telanjur menjadi korban racun 'Pemikat Surga' dari darah
kejantanan si anak blaster dewa dengan jin itu, akhirnya terkulai lemas sendiri.
Cahaya matanya berbinar-binar penuh kelegaan. Wajahnya berseri bagai telah
menemukan segunung kegembiraan yang didambakan.
Apa yang terjadi jika Pandu Puber
sadar pada saat Dardanila menjadi pilot penerbangan menuju ambang surga
cintanya" Marahkah Pandu Puber melihat dirinya yang
pingsan dimanfaatkan oleh Dardanila"
Ternyata tidak. Wah, edan lagi nih.
Pandu Puber malah memberikan respon yang lebih agresif lagi. Hal itu disebabkan
karena sistem penyembuhan tadi telah membuat sang batin Pandu sendiri menuntut
kuat, dan tak bisa ditangguhkan walau sebentar pun. Bahkan Pendekar Romantis
bertato bunga mawar di dadanya itu
seolah-olah tak menyadari apa yang telah dilakukannya dan diberikannya kepada
Dardanila. Namun toh hal itu membuat Dardanila kegirangan dan merelakan
dirinya disikat habis tak tersisa sedikit pun.
Setelah akhirnya mereka berdua sampai di puncak perlawanan, setelah mereka
berdua sama-sama nongkrong di puncak kehangatan, barulah Pandu Puber mulai sadar
dan berkata dalam gumam, "Mengapa harus terjadi sampai seperti ini"
Seharusnya aku tidak seliar tadi."
Dardanila yang bermandi peluh
menggelendot di punggung Pandu dan
berkata dalam desah membisik, "Jangan sesali. Toh aku amat menyukai!"
Di luar gua, hujan turun dengan
deras. Masih sederas tadi. Udara dingin merembas masuk gua. Udara dingin itulah
yang membuat Pandu Puber diam saja dalam pelukan Dardanila, karena ia sendiri
merasakan pelukan itu menghadirkan
kehangatan dan keindahan tersendiri.
Tapi tiba-tiba Pandu Puber ingat
dengan seraut wajah polos milik Sumo Banjir.
Ia mulai tegang, maksudnya,
otaknya yang mulai tegang memikirkan Sumo Banjir.
"Ke mana perginya anak itu" Apakah ia selamat atau terculik orang-orang
Perguruan Musang Terbang?"
"Apakah kau punya urusan dengan orang Perguruan Musang Terbang yang diketuai
oleh si Malaikat Bisu itu?"
"Apakah kau kenal dengan pihak Perguruan Musang Terbang?"
Perempuan cantik yang menggondol
seribu medali kebahagiaan batin itu menganggukkan kepala sambil sunggingkan
senyum tipis. Lalu ia juga berucap kata pelan,
"Malaikat Bisu, ketua Perguruan Musang Terbang, pernah kubuat lari
terbirit-birit dan ia paling jera
berhadapan denganku. Jika memang kau punya persoalan dengan pihak Malaikat Bisu,
serahkan padaku. Aku yang akan menghadapinya!"
"Sebenarnya aku hanya menyelamatkan bocah berusia sekitar lima belas tahun yang
bernama Sumo Banjir itu...,"
kemudian Pandu Puber menceritakan
kisahnya bersama Sumo Banjir. Ketika menyinggung-nyinggung pusaka Patung Iblis
Banci, wajah Dardanila menjadi sedikit tegang, dahinya berkerut, pandangan
matanya serius, tampak tertarik sekali dengan pembicaraan tersebut. Pandu Puber
semakin banyak menceritakan apa yang ia tahu tentang Patung Iblis Banci. Apa
yang ia dengar dari orang-orang di kedai pun diceritakan kembali kepada
Dardanila. Tapi Dardanila segera memotong kata-katanya,
"Tak usah terlalu banyak kau
ceritakan, aku sudah cukup tahu tentang pusaka Patung Iblis Banci yang akan
muncul tak lama lagi. Aku hanya merasa heran, karena ternyata pendekar semuda
kau sudah banyak mengetahui tentang pusaka tersebut."
"Apa saja yang kau ketahui tentang pusaka itu?" pancing Pandu, ingin menguji
pengetahuan tokoh tua yang awet muda itu.
"Patung itu menjadi incaran para tokoh. Tentu saja untuk mendapatkannya tidak
semudah mendapatkan singkong rebus di sebuah kedai. Paling tidak harus melalui
proses pertarungan adu nyawa. Dan mereka yang memburu pusaka itu tidak segan-
segan korbankan nyawa sendiri asal pusaka itu pada akhirnya dapat
dimilikinya. Karena barang siapa memiliki Patung Iblis Banci, maka boleh jadi ia
termasuk orang terkuat di antara para tokoh paling berbahaya, karena kesaktian
pada patung itu dapat membuatnya
bertindak seenak perutnya sendiri,"
Dardanila mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan,
"Kalau patung itu jatuh di tangan tokoh sesat, maka akan sulitlah
mengalahkan orang tersebut. Dunia
persilatan akan dikuasai oleh tokoh sesat itu. Dan kalau patung itu jatuh ke
tangan musuhmu, kujamin dalam waktu singkat kau akan mati walau kau lari ke
ujung bumi."
"Itulah sebabnya aku ingin mendapatkan patung itu atau menghancurkannya, agar
tidak menjadi sumber malapetaka bagi kedamaian di permukaan bumi ini!"
"Kalau begitu aku harus membantumu."
"Bukankah kau sendiri ingin memiliki pusaka Patung Iblis Banci itu?" pancing
Pandu Puber dengan sikap curiga.
Tapi Dardanila gelengkan kepala
sambil sunggingkan senyum awet mudanya itu. ia berkata, "Kalau aku mau, aku akan
minta bantuanmu secara terang-terangan.
Tapi aku tidak inginkan patung itu semasa kau menginginkannya. Justru aku ingin
lindungi keselamatanmu dalam mendapatkan Patung Iblis Banci itu. Karena jika kau
celaka, habislah riwayat hidupku. Mungkin aku juga akan mati, karena tak bisa
dapatkan kemesraan sehangat yang
kurenggut darimu tadi."
"Ah, kau kan bisa mendapatkannya dari
pria lain?"
Dardanila menggeleng. "Dulu memang bisa begitu. Tapi sejak kudapatkan darimu
pertama kalinya, aku tak pernah berselera lagi dengan lelaki Iain, Pandu.
Tergugah pun tak pernah."
Pendekar Romantis mencibir, karena
rayuan seperti itu tertimbun segudang penuh di dalam benaknya. Sebenarnya Pandu
Puber ingin ucapkan kata lagi untuk membalas rayuan itu. Tetapi tiba-tiba mata
mereka melihat sekelebat bayangan masuk ke dalam gua tersebut. Pandu Puber
segera lompat ke balik gundukan batu besar, Dardanila mengikutinya dengan
lompatan tanpa timbulkan bunyi. Setelah di balik batu besar, barulah mereka
sama-sama bingungnya.
"Celaka! Pakaian kita masih
tertinggal di sana!" bisik Pandu.
"Astaga! Iya, ya..."! Dari tadi kita nggak mau mengenakannya kembali sih,"
Dardanila memandangi keadaan tubuhnya sendiri.
"Diamlah di sini dulu, biar kuambil pakaian kita itu!"
Gerak cepat dari jurus 'Angin Jantan'
membuat orang yang baru masuk ke dalam gua itu tidak melihat kalau Pandu habis
menyambar pakaian mereka. Lalu keduanya sibuk sendiri mengenakannya di balik
gugusan batu hitam setinggi kepala mereka
lebih sedikit. "Siapa orang yang baru masuk tadi?"
bisik Pandu, "Entah. Aku hanya melihat bayangannya saja."
"Selidikilah dia, aku akan
mengawasimu dari sini!"
Merasa hatinya telah damai batinnya telah terpenuhi, sekalipun di tempatnya
Dardanila dipanggil sebagai Gusti Ratu dan sering keluarkan perintah, tapi di
depan pemuda tampan menggiurkan itu ia tak mampu keluarkan perintah bahkan
menolak perintah pun tak sanggup.
Dardanila mengendap-endap mendekati bagian dekat mulut gua. Pandu Puber
membayang-bayangi dari kejauhan. Nyala api unggun tak sempat dipadamkan. Mudah-
mudahan orang yang baru masuk tadi tidak sempat menangkap nyala api unggun yang
ada di kedalaman lorong gua tersebut.
Tapi seandainya orang itu mengetahui ada nyala api unggun, Pandu Puber sudah
punya rencana sendiri untuk orang tersebut.
Tamu gua itu ternyata seorang lelaki berambut putih panjangnya sepunggung.
Rambut putihnya diikat ke belakang dengan seutas tali yang sepertinya dari jenis
akar pepohonan. Kumis dan jenggotnya cukup lebat tapi lemas, berwarna putih
rata. Wajah tuanya mempunyai sepasang mata cekung. Mata itu memancarkan rasa
dingin yang tidak bisa ditebak apa yang terpendam di hati orang itu.
Dardanila belum pernah jumpa dengan orang tersebut. Tapi dilihat dari
penampilannya, Dardanila yakin kakek tersebut berilmu tinggi. Mengenakan jubah
biru lusuh dengan pakaian dalamnya putih lusuh juga. Ikat pinggangnya sabuk
hitam dari kulit binatang. Tubuhnya tak terlalu kurus, tapi juga tidak tergolong
gemuk. Tingginya sedang-sedang saja. Bukan termasuk lelaki jangkung. Di tubuhnya tak
ada senjata apa pun kecuali sebuah
seruling ular. Seruling itu mempunyai tempat penampung suara menggelembung di
tengahnya, biasa dipakai oleh para pawang ular di India. Dardanila menduga,
mungkin itulah senjata sang kakek tak dikenal.
Agaknya sang kakek sedang berteduh
menghindari hujan. Tapi anehnya Dardanila tak melihat tetesan air membekas pada
jubahnya. Pakaian itu kering tanpa air sedikit pun
"Kalau tidak berilmu tinggi, tak mungkin pakaiannya bisa kering tanpa bekas
tetesan air hujan. Padahal hujan di luar sana cukup deras."
Tiba-tiba kakek berjubah biru lusuh itu ucapkan kata bagai bicara sendiri, namun
terdengar jelas dari tempat
Dardanila bersembunyi.
"Keluarlah dari situ. Untuk apa
mengintaiku terus?"
Dardanila jadi tak enak hati. Kakek itu tahu kalau sedang diintai, padahal saat
bicara tadi ia memunggungi
Dardanila, memandang ke arah luar gua.
Hampir-hampir Dardanila menyangka kakek itu bicara dengan seseorang yang ada di
luar gua sana. "Keluarlah, daripada kupaksa dengan kekerasan. Aku tak suka diintip begitu.
Kayak maling saja! Kalau mau bicara padaku, datanglah kemari, akan kulayani
dengan baik-baik!" ucap sang kakek lagi.
Pendekar Romantis juga mendengar
ucapan itu. Batinnya juga menduga sama seperti apa yang diduga Dardanila tentang
kakek tersebut. Karenanya, ketika
Dardanila melirik ke arah Pandu Puber, pemuda itu memberi isyarat dengan kedipan
mata yang berarti Dardanila disuruh muncul secara terang-terangan. Dardanila
ganti memberi kode dengan gerakkan
tangannya, ia minta mereka berdua muncul bersama. Maka, akhirnya kedua pengintai
itu pun sama-sama muncul menemui kakek berjubah biru.
"Begitu lebih baik daripada sembunyi-sembunyi di belakangku." kata sang kakek
dengan kalem dan
berkesan dingin.
"Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya setelah Pandu dan Dardanila tersenyum
meramahkan diri, walau tidak mendapat
sambutan seirama.
"Kami meneduh di sini, sama halnya dengan dirimu, Kek!" jawab Dardanila, lalu
dilanjutkan oleh suara Pandu Puber,
"Tak ada jeleknya kalau kita
berkenalan, Pak Tua. Namaku Pandu Puber dan dia bernama Dardanila," sambil Pandu
menunjuk sang Ratu Geladak Hitam. "Lalu, kau sendiri siapa, Pak Tua?"
"Panggil saja seperti itu: Pak Tua.
Itu sudah cukup bagiku. Cukup
menghormat."
"Tentunya kau punya nama julukan kalau tak mau sebutkan nama aslimu, Pak Tua?"
tanya Dardanila dengan kalem.
Pak Tua diam, memandang ke arah hujan di luar gua. Dardanila dan Pandu saling
pandang sebentar. Sebelum Pandu ajukan tanya, Pak Tua sudah kembali perdengarkan
suaranya yang bulat, jenis alto tanpa serak sedikit pun. Suara besarnya itu yang
membuat ia tampak punya kharisma dan berwibawa di depan orang semuda Pandu.
"Kudengar kalian tadi bicara tentang Patung Iblis Banci."
"Ya, memang benar!" jawab Pandu apa adanya, karena ia ingin tahu apa reaksi Pak
Tua terhadap percakapan Patung Iblis Banci.
"Apakah kau berminat mendapatkan pusaka patung itu, Pak Tua?" Dardanila bertanya
pelan sambil berdiri tegak
bersedekap tangan di dadanya.
"Aku sama sekali tak tertarik dengan isapan jempol itu!" kata Pak Tua dengan
tetap memandang ke arah hujan.
"Jempolnya siapa yang dihisap, Pak Tua?" tanya Pandu salah dengar dengan sengaja
atau memang salah mengartikan, tak jelas maksudnya. Yang jelas Pak Tua palingkan
pandangan ke arah Pandu dan berkata dengan nada ketus,
"Sebodoh itukah otakmu, Pandu"
Percuma saja kau dapat tumbangkan
Shoguwara dan merebut gelar pendekarnya kalau kata-kata seperti itu saja tak
bisa kau artikan dengan benar!"
"Rupanya kau banyak tahu tentang diriku, Pak tua?" kata Pandu setelah nyengir
sedikit malu. Ia tetap tenang.
Sama tenangnya dengan Dardanila dan Pak Tua.
"Namamu kudengar sejak kau berhasil hancurkan Samurai Cabul! Wajahmu kulihat
saat kau tinggalkan pertarungan dengan Shoguwara di depan rumah Lila Anggraeni!"
"Wah, kacau. Ini orang banyak tahu soal diriku. Tapi apakah dia tahu juga
tentang jati diriku?" pikir Pandu dalam senyum tersipu-sipu yang dipaksakan.
"Jadi pada saat aku tumbangkan Samurai Cabul, kau ada di sana?"
"Aku terlambat datang," jawab Pak Tua. "Padahal aku punya urusan sendiri


Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Shoguwara. Sayang sekali ia sudah telanjur kabur. Tapi aku yakin dia akan
muncul di Bukit Jengkal Demit untuk ikut memperebutkan Patung Iblis Banci itu!"
"Pak Tua," Dardanila menyela kata,
Patung Dewi Kwan Im 2 Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Pendekar Lengan Buntung 4
^