Pencarian

Azab Dan Sengsara 2

Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar Bagian 2


memelihara dan menyayangi anaknya yang seorang itu, lebih daripada
orang tuanya. Akan tetapi tiadalah dipikirkannya. Betapakah nasib
anaknya dalam tangan menantunya itu, bila dia tiada lagi"
Ada juga barang dan uang peninggalan mandiang si ibu, meskipun
tiada banyak, tapi cukuplah untuk orang kebanyakan. Setahun lamanya
anak perempuan itu hidup dengan suaminya barulah ia tahu benar,
suaminya itu orang pemboros benar. Nafsu bekerja tak ada padanya,
kesukaannya hanya menyenang-nyenangkan diri saja. Sudah tentu
sekalian uang peninggalan mentuanya itu habis dan barang-barang diangkut ke rumah gadai. Pencarian istrinya itu pun, karena ia masih
tetap juga bekerja di rumah tuannya, tiada tinggal, tandas sama sekali,
sebagai hujan jatuh ke pasir. Uang habis, barang sudah tersimpan di
gudang rumah gadai, si suami hilang lenyap, pergi entah ke mana.
Siapakah dapat mencari dia, di kota yang seluas dan sebesar itu" Kalau
ia lari ke Bandung, Semarang, Medan, biar setahun pun dicari, tak akan
berhasil. Lagi pula siapakah yang menyusul dia, polisi" Tentu tidak. la
tiada membunuh orang atau membongkar rumah.
Perempuan yang malang itu tiada mempunyai ibu dan bapak lagi,
tinggallah seorang diri, dengan tiada mempunyai uang sepeser dan
barang sepotong juga, lain daripada pakaian yang lekat di badannya.
Sekarang ia tinggal di kampung, dalam sebuah rumah bambu, sebuah
pondok, karena dua minggu yang lewat ia sudah berhenti bekerja di
rumah tuannya. Sebab ia tiada kuat lagi, karena percampurannya
dengan suaminya diberkati Tuhan dan hampirlah genap bulannya anak
itu dalam kandungannya. Tuannya perlu memakai pembantu, tentu
perempuan itu harus dilepaskan, akan mengambil orang lain. Dengan
menyerahkan nasibnya kepada Allah, perempuan yang sedang
mengandung itu, diam di kampung, dalam sebuah pondok kecil, karena
itu sewanya yang murah. Tenang dan sabar si ibu yang belum berumur
tujuh belas tahun itu, memikirkan untungnya, sebab ia menunggununggu kelahiran anaknya. "Kalau anakku ini lahir dengan selamat,
barangkali ia membawa perubahan dalam kehidupanku. Sudah tentu
bapaknya bergirang hati melihat tetesan darahnya iVu. Bila ia berbesar
hati, karena kelahiran anak kami ini, sudah tentu terbitlah kecintaan
dalam hatinya, kecintaan kepada anak dan istri, karena akulah yang
melahirkan kesukaan hatinya itu. Aku pun dapatlah mencari pekerjaan
dan suamiku pun tentu berubah kelakuannya, karena ia sekarang
memikirkan keselamatan kami. Anak-beranak hidup bercinta-cintaan,
dan di mana cinta dan sayang itu, di situlah damai dan kesenangan,"
demikianlah pikiran dan harapan perempuan yang sedang hamil itu.
Betul amat sakit penanggungannya dalam pondok bambu yang
berlantaikan: tanah itu, akan tetapi harapannya itulah yang membagi
dia kekuatan akan memikul kemiskinan yang pahit itu. Dan apalah
gunanya dia terlampau bersusah hati, cincin, ikat pinggang, kalau perlu
baju dan sarung, masih ada yang akan digadaikan akan pembeli beras
untuk dimakan. Lagi pun yang ditunggu-tunggu, tak akan lama lagi,
yakni kelahiran anaknya itu. Bukankah anaknya itu nanti sebagaimana
harapannya yang akan membawa sinar kesukaan dan mengusir awan
kedukaan, sebagai kabut yang lenyap oleh sinar matahari pagi"
Dua hari lagi sebelum ia melahirkan, itulah kiranya waktu suaminya
meninggalkan dia. la tinggal seorang diri, tiada mempunyai kaum atau
kenalan. Aduh, betapakah sedihnya hal sebagai ini bagi perempuan itu!
Betapa penanggungan pikiran dan badannya pada waktu ia hamil itu,
pada waktu ia nanti melahirkan anak, anak yang diterimanya dari
suaminya, anak yang akan diserahkan kepada suaminya. Ah, sungguh
amat sedih! Kesedihan itu rasanya tak dapat dituliskan dengan pena,
karena sudah lebih daripada yang patut.
Hari yang dinantikan si ibu pun tibalah, anak yang dikandungnya itu
lahirlah dengan selamat. Tiga minggu lamanya dapatlah ia turun dan
bekerja sedikit, sekadar mencuci dan menanak nasi yang akan dimakannya. Syukurlah dalam waktu yang sekian lama itu, orang yang
berdekatan dengan dia, menaruh kasihan kepadanya. Adapun anak
yang lahir itu, seorang anak laki-laki. Amatlah bersih dan bagus, gemuk
dan subur tubuhnya. Tak salah ibunya bergirang hati, sebagai ibu yang
lain setelah anaknya lahir.
Bukankah penanggungan perempuan yang sedang melahirkan itu,
penanggungan manusia yang sesakit-sakitnya di atas dunia ini" Akan
tetapi bagaimanapun sakitnya penanggungan itu, demikianlah besarnya
kegirangan hati si ibu itu, setelah ia melihat anaknya itu. Adakah lagi
barang yang kita peroleh di bawah langit ini, yang lebih menghiburkan
hati si ibu itu daripada kelahiran seorang anaknya"
Anak sudah lahir, harapan si ibu pun telah terbang semuanya.
Benarlah anaknya itu membawa perubahan, tetapi perubahan yang
buruk juga. Langit itu makin tebal ditutupi awan; kabut semakin gelap,
sehingga matahari pun tiada lagi memancarkan cahayanya.
Demikianlah kehidupan perempuan yang malang itu. Dahulunya
kurang percayanya, suaminya itu benar-benar meninggalkannya,
sekarang barulah ia tahu, karena genaplah sudah umur anaknya itu
sebulan, suatu pun tiada ia mendengar kabar suaminya itu. Apakah
daya si ibu itu sekarang" Barang yang akan dijual tak ada lagi. Hendak
bekerja, tiada kuat, karena badan kurus dan tiada bertenaga. Bukankah
banyak dirasa dan ditanggung si ibu, waktu anaknya lahir" Jadi tiadalah
mengherankan, kalau si ibu yang tiada dapat pemeliharaan yang baik
dan makanan yang cukup, menjadi kurus dan pucat. Kadang-kadang
menjadi bahaya bagi jiwanya.
Ibu yang muda itu pun sampailah kemelaratannya. Bagaimanakah ia
hendak mencari pekerjaan, kalau badan kurus dan sakit-sakit" Betapakah tiada demikian, karena sejak ia melahirkan anak, tiadalah memakan
makanan yang menguatkan badan. Syukurlah ia tiada mati kelaparan,
sebab masih ada orang yang membagi nasi kepadanya, karena iba hatinya melihat. Memberi yang lebih dari itu, takkan mungkin, karena yang
berdekatan rumah dengan dia itu pun orang miskin pula. Betul
perempuan yang melarat itu tahu, bahwa sisa-sisa makanan dari meja
tuannya kadang-kadang dapat dimakannya, waktu ia bekerja, akan
tetapi sekarang tentu tiada berguna lagi ia mengharapkan semuanya itu.
Apakah pertaliannya sekarang dengan tuannya yang dahulu" Bukankah
ia sudah lepas, dan orang lain yang menggantikannya" Boleh jadi
dalam kemelaratan yang sangat itu, timbul kadangkadang pikiran yang
demikian, "Aku mati kelaparan, tetapi orang yang kaya makan berlebih-lebihan."
Akan tetapi sudahlah demikian halnya, manusia itu mempunyai
nasib bermacam-macam, dan bumi itu penuh dengan rupa-rupa tamasya
dan kejadian. Semua ada ukurannya. Jikalau tabung itu diisi terlampau penuh,
sudah tentu ia rebah dan isinya tertumpah sama sekali. Si ibu sakit dan
kurus, air susu pun tentu jadi kurang, kelak anak dan ibu sama-sama
melarat. Inilah yang akan dihindarkan perempuan itu. Ibu amat cinta
kepada anaknya dan kecintaan ibu itu acap kali menjadikan orang lupa
akan dirinya; ia mengurbankan badan dan nyawanya untuk keselamatan
anaknya. "Aku binasa tiada mengapa, asal anakku ini selamat," pikir
ibu yang malang itu. la pun memberikan anaknya itu kepada seorang
kaya. Orang itu sudah lama menyuruhkan orang meminta anaknya itu,
karena ia tiada beranak. Lagi amatlah inginnya melihat anak yang
bagus dan gemuk itu. Uang pembelinya pun tiada dipedulikannya,
seberapa akan diminta oleh ibu anak itu, sebegitu dibayarnya.
Bukankah sebenarnya dunia ini penuh dengan kejadian" Orang kaya
itu bercintakan anak, akan tetapi istrinya tiada melahirkan anak.
Kelahiran anak menyusahkan ibu sebagai tersebut dalam cerita ini,
akan tetapi perkawinannya dengan suaminya diberkati Allah yang
mahatinggi. Bukanlah hal itu mengherankan hati" Akan tetapi
demikianlah rupanya keadaan dunia ini.
"Berapa ratus rupiah kauminta?" tanya orang kaya itu kepada ibu
anak yang mengantarkan buah hatinya itu.
"Aku tiada ingin beroleh uang, Tuan," sahut perempuan itu
perlahan-lahan. "Sebabnya aku serahkan anakku ini ke tangan tuan,
tuan maklum juga, bukan sebab memandang uang, hanyalah keselamatan anakku ini di belakang hari ...."
Di sini terpaksa perempuan itu terdiam, lidahnya tiada berdaya
meneruskan percakapannya, hanya air matanya saja yang mengalir di
pipi yang pucat dan cekung itu, menunjukkan kepada orang yang melihat dia, betapa beratnya perasaan si ibu bercerai dengan anaknya.
"Ya, ya, jangan susah, jangan susah hati," sahut orang kaya itu,
sambil menggoyang kursinya. Ia pun membuka pundi-pundinya lalu
mengeluarkan uang kertas beberapa helai, lalu katanya, "Pulanglah,
bawalah uang ini akan belanjamu!"
"Tunggu dahulu, Tuan," jawab perempuan itu, seraya memberikan
anaknya yang lagi tidur nyenyak, tiada tahu akan dirinya, bahwa sejak
dari waktu itu tiada akan merasa air susu ibunya lagi, kepangkuan istri
orang kaya itu. "Uang tuan itu tak dapat kuterima, sebab tiada berguna bagiku;
bahkan uang itu sebagai racun bagiku. Uang yang tuan berikan akan
harga anakku itu akan kubelanjakan, sekali-kali tidak, karena tiadalah
sampai hati kuberbuat yang demikian itu, yaitu hidup dengan harga
badan dan nyawa anakku. Bukankah aku seolah-olah memakan daging
dan meminum darahnya, jika aku menerima uang itu" Tak usah Tuan!
Hanya permintaanku yang dua pasal ini, yang kuharap tuan lakukan
dua laki-istri. Pertama: tuan peliharakanlah anakku yang malang ini
sebagai anak tuan sendiri. Kedua, kalau ia nanti sudah besar dan bila ia
bertanyakan orang tuanya, berkata benarlah tuan, sebab tuan pun tahu
juga halku. Jangan tuan lupa menyebutkan, apa sebabnya ia kuserahkan
ke tangan tuan. Itu pun kalau ia bertanyakan orang tuanya, kalau tiada,
tuan rahasiakan sajalah. Kalau ia nanti hendak mencariku, tuan larang,
sebab tiada gunanya, sudah tentu aku takkan didapatnya lagi; rasanya
matahari yang akan terbit besok pagi, sinarnya takkan kulihat. Inilah
tanda peringatanku untuk dia," ujar perempuan itu sambil memberikan
perhiasan rantai lehernya. Di tengah-tengah perhiasan yang bundar itu
ada gambarnya yang berpinggirkan emas.
Orang kaya itu pun menerima tanda peringatan itu, lalu dimasukkannya ke kantungnya. Setelah itu ia pun berkata, "Uangmu ini
hendak kusimpan, dan apabila berguna bagimu, beri kabar kepadaku,
nanti kukirim ke tempat tinggalmu."
Perempuan itu tiada menjawab, matanya tiada lepas daripada anaknya, yang tidur dengan nyenyaknya di atas pangkuan istri orang kaya
itu. Tengoklah, bagaimana si ibu itu bercerai dengan anaknya, anak
yang dilahirkannya dalam penanggungan yang tiada terderitakan itu.
Matanya tiada kering oleh air mata. Dengan tersedu-sedu ia memegang
kedua belah tangan anaknya itu dengan perlahan, supaya ia jangan terbangun dari tidurnya.
"Selamat ... selamat tinggal ... cahaya mataku, buah hati ibumu ....!
Di dunia kita bercerai ... di akhirat kita bertemu." Lebih panjang tiada
dapat ibu muda itu berkata lagi. Kepalanya ditundukkannya, dipeluknya budak itu, serta diciumnya berulangulang, yaitu cium yang penghabisan sekali.
"Selamat tinggal anakku yang amat kucintai!" berseru si ibu sekali
lagi, lalu ia pun berjalan ke luar rumah itu. Sekali lagi ia menengok ke
belakang, akan melihat kesayangannya itu. Itulah pandang yang
penghabisan. Demikianlah kesudahannya cerita yang sedih ini. Bagaimanakah kesudahan si ibu dan si anak itu"
Kesudahannya tiadalah diketahui. Tetapi dari perkataannya, "Esok
hari takkan kulihat lagi cahaya matahari naik," menyatakan, bahwa ia
tak ada di dunia lagi. Bagaimana kematiannya, sudah tentu sungguh
sedih dan ngeri! Tapi apa boleh buat, karena orang yang pendek akalnya, kalau hidupnya sudah terlampau melarat, tiada ia memandang
nyawanya lagi. "Daripada hidup serupa ini, lebih baik mati membuang
diri." Begitulah kebiasaan keputusan pikiran orang, yang menanggung
serupa itu. Nyatalah sekarang betapa berbahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai cinta kasih keduanya.
Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu akan membuang adat itu dan kebiasaan yang mendatangkan kecelakaan kepada
manusia itu. Bukankah perkawinan yang lekas-lekas itu membinasakan
perempuan" la dikawinkan oleh orang tuanya dengan orang yang tiada
disukainya. Apa sebabnya ia tiada suka kepada orang itu" Sudah tentu
karena ia tiada mengenalnya. Perkawinan yang serupa itu kerap kali
disudahi kengerian. Sungguh benar! Yang tersebut di atas ini; hanyalah
sekedar keterangan saja. Kalau diceritakan sekalian apa yang dilihat
tentang kemelaratan orang yang kawin, yang tiada dikukuhkan oleh
suka, sayang dan cinta, tentu buku ini penuh dengan kisah sedih-sedih.
Tengoklah sekeliling kita, tidak kurang yang sebagai itu. Kalau kita
bertempat tinggal di negeri besar-besar sebagai Jakarta, Bandung,
Semarang, Medan dan lain-lain tentulah akan terlihat dengan mudahnya
kemelaratan manusia disebabkan talak. Berapa puluh, berapa ratus
perempuan yang berkeliaran pada waktu malam, ya, juga pada siang
hari, melakukan pekerjaan yang tiada senonoh. Mereka itu tiada menghargakan kehormatannya lagi; agama tiada diindahkannya dan kalau
dapat, undang-undang pun hendak dilanggarnya.
Akan kemelaratan dan kecelakaan yang ditimbulkan perempuan
yang serupa itu, tiadalah akan diuraikan di sini, melainkan semua orang
telah memakluminya, betapa hina dan buruknya pekerjaannya itu,
karena bukanlah agama saja yang melarang, tetapi adat pun mengutuknya.
Sekarang tentu ada orang yang akan bertanya: Apakah sebabnya,
maka perempuan-perempuan itu tiada memandang kehinaan, tiada
takut akan Tuhan dan agama" Karena kalau mereka itu masih
mengindahkan sekalian yang tersebut, tentu mereka tiada akan berlaku
sehina itu. Sebabnya memang ada; karena perempuan-perempuan yang sedemikian itu, bukannya lahir ke dunia, supaya menjadi orang yang
serupa itu. Dengan ringkas dapat dijawab pertanyaan itu. Kebanyakan disebabkan talak. Sesudah ia diceraikan oleh lakinya, tentu keadaannya
semakin buruk. Badan sudah bertambah tua, tiada berada, kaum kerabat
pun tak ada atau jauh tempatnya. Hendak kawin sekali lagi tak
mungkin, karena rupa sudah berkurang eloknya. Jadi apa kesudahannya" Disebabkan hati susah, dipaksa kemiskinan, ia pun lupa akan
Tuhan, lalu menjadi perempuan .... Ada pula setengahnya kawin dua
tiga kali lagi, tetapi karena selalu diceraikan si laki-laki yang tiada berperasaan itu, ia pun ingkar dan tiada lagi mempedulikan malu dan aib.
Dalam hal ini kesalahan itu tak dapat dijatuhkan kepada perempuanperempuan yang malang itu, tetapi semata-mata laki-lakilah yang bersalah besar. Oleh sebab perbuatan laki-laki itulah, maka perempuan
sesamanya makhluk Allah itu, gugur ke lubang kemelaratan, sehingga
badan dan jiwanya rusak binasa.
Allah subhanahu wa taala menjadikan laki-laki dan perempuan dan
mempersatukan mereka itu dengan maksud, supaya mereka itu
berkasih-kasihan; si perempuan menyenangkan hati suaminya dan si
suami menghiburkan hati istrinya. Maka seharusnyalah mereka itu
sehidup-semati, artinya; sengsara sama ditanggung, kesenangan sama
dirasa. Itulah kewajiban orang yang berlaki-istri. Maka perkawinan
yang serupa itu adalah membawa bahagia kepadanya. Sebab itu seharusnya janganlah dilupakan akan ujudnya perkawinan yang diaturkan
Tuhan itu. Janganlah ada lagi kita, yang memandang dia, sebagai
perkara kecil dan mempergunakan aturan yang suci itu akan keperluan
sendiri, sehingga kesudahannya pihak perempuan banyak yang jatuh
terjerumus ke dalam ngarai, yang penuh dengan azab dan sengsara
yang tiada berkesudahan! Sudah jauh kita meninggalkan pokok cerita ini, disebabkan paparan
tentang ibu Sutan Baringin yang mengawinkan anaknya itu dengan
lekas-lekas. Akan meneruskan cerita ini, baiklah diceritakan dahulu
kisah kehidupannya dan hal perkawinannya dengan istrinya itu.
Adapun anak dara yang dijodohkan ibunya itu, adalah seorang
perempuan yang mempunyai kelakuan yang baik. Seberang tingkahlakunya sedikit pun tiada dapat dicela. Tertib dan sikapnya pun adalah
menunjukkan kebangsawanannya, artinya setia dan penyabar. Keadaan
itu tampak pada air mukanya yang jernih dan pada matanya yang bercahaya. Bila dilihat pakaian dan perhiasan dirinya, tahulah kita, bahwa
ia seorang perempuan yang tiada menyukai pakaian yang berlebih-
lebihan, karena sekalian barang yang terlekat pada badannya, adalah
menunjukkan, ia orang perendah dan gemar kepada kesederhanaan.
Akan tetapi meskipun ia memakai dengan sederhana, adalah rupa dan
romannya bertambah cantik, karena kecantikannya itu mengalahkan keelokan pakaiannya itu. Tiadalah sebagai kebanyakan perempuan, yakni
perhiasan lebih bagus daripada badan yang dihiasi; kesudahannya yang
dihiasi itu bertambah buruk atau kebagusannya makin kurang, oleh
sebab dialahkan barang yang menghiasi tubuhnya itu. Adapun tabiat
dan adat perempuan itu berlawanan dengan fiil Sutan Baringin. Ia
penyabar dan tutur bahasanya lemah-lembut; suaminya orang yang
suka marah-marah dan perkataannya pun tiada berapa menyenangkan
hati orang yang mendengarkan. Perempuan itu pengiba, peramah serta
tahu menghormati orang; akan Sutan Baringin adalah sebaliknya:
bengis, angkuh dan hatinya amat tinggi, tiada tahu ia akan hormat
kepada orang lain. Tentang kebaikan perempuan itu dan keburukan
perangai yang laki-laki itu akan terlihat lagi kelak di belakang hari.
Akan tetapi sekarang pun sudah diketahui juga akan tabiat orang itu,
masing-masing jauhlah daripada bunyi pantun ini:
Jeruju dengan durinya,

Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di tepi jalan orang berlari.
Setuju dengan istrinya, seperti bulan dengan matahari.
Karena itu dapatlah dimaklumi, bahwa percampuran yang demikian
itu kurang kekalnya; dan nikmatnya pun tentu hilang. Meskipun Sutan
Baringin kurang menyayangi istrinya itu, cinta yang sebenar-benarnya
tiadalah terkandung di dadanya terhadap kepada Nuria adalah pada
pemandangan orang luar, perkawinan mereka itu tiada kurang suatu
apa. Nuria seorang perempuan sejati, selamanya mengusahakan dirinya
akan menutup barang sesuatu apa yang kurang antara kedua mereka itu,
serta menerbitkan kecintaan di dalam hati suaminya. Tahulah ia
rupanya, apa-apa kewajiban perempuan kepada suaminya. Oleh sebab
itu tiadalah ia jemu dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan
sepenuh-penuh hati. Seorang pun tiada mengetahui hal itu, hanya ia
sendirilah yang tahu, karena dirasanya benar-benar; acap kali ia
bertanya dalam hatinya, "Apakah sebabnya hati dan pikiranku kurang
terikat kepada suamiku" Kalau ia dalam perjalanan, kuranglah rinduku
kepadanya. Kadang-kadang adalah aku melupakan dia.
Pada waktu mudaku, aku pernah menanggung rindu kepada orang
yang acap kali datang bertandang*) ke rumahku.
Ini aku sudah kawin dengan dia dan kami sudah sekian lama
bersama-sama. Tetapi sungguhpun demikian, tiadalah berapa cintaku
kepadanya. Ia, suamiku, kurang kucintai; orang muda pertandangku**)
kurindui. Sudah tentu aku berdosa kepada suamiku.
Akan tetapi apakah sebabnya itu, karena bukan kusengaja. Tiadalah
kusengaja dahulu menaruh rindu kepada orang muda itu; karena
persahabatan kami timbul dari pergaulan. Di belakang hari
persahabatan itu makin dalam di hati kami, sehingga di antara kami
berdua tumbuh percintaan. Tumbuh percintaan" Memang, karena
bukan kulihat dia sebagai pohon kayu tumbuh, tetapi kurasa; terasa
benar-benar dalam hatiku: Makin lama makin besar cinta itu, sebagai
tanam-tanaman. Lama-lama berurat dan berakar, sehingga aku menaruh
rindu dendam kepadanya. Dia pun demikian juga. Meskipun pada
mulanya aku sembunyikan perasaan itu, tapi pada suatu ketika, sedang
kami duduk berdua saja, ia berkata, "Nuria, selama ini perasaanku
kurahasiakan. Sekarang aku tiada dapat menahan dia lagi, dan
terpaksalah aku mengatakannya: Aku cinta kepadamu. Sekarang
haraplah aku, Nuria berkata benar, adakah Nuria menaruh sedikit
perasaan kepada diriku ini." Mendengar itu, air mukaku berubah,
seraya jawabku, "Perasaanku kepada tuan tiada sedikit, tuanlah yang
menjadi buah angan-anganku."
Sejak itu makin kukuh persahabatan kami, sehingga orang berkata,
bahwa dialah yang akan menjadi jodohku di belakang hari. Sayang!
Orang tuaku tiada setuju. Kalau jadi, sudah tentu aku dapat mengecap
kenikmatan orang berlaki-istri itu, sebagaimana kukenang-kenangkan
pada waktu hari mudaku. Akan tetapi cita-cita itu sudah lenyap, sebagai
kabut ditiup angin. Yang lain, yang tiada disangkasangkakan, itulah
yang terletak di hadapanku sekarang. Sungguh amat menyusahkan hati,
sedang badanku masih muda. Inilah dia waktu yang pertama dalam
perkawinanku, sudah pula begini halnya, betapa pula di belakang hari.
Tapi suatu pun tiada faedahnya aku berkata-kata demikian, karena
perkawinan sudah lalu, tiadalah dapat diundurkan lagi; orang berumah
*) "Martandang" bahasa Batak; dalam bahasa Melayu
"bertandang". Adapun arti semata perkataan "martandang"
itu, ialah mengunjungi orang, dengan maksud hendak
bercakap-cakap. Martandang itu dipakai biasanya kepada
orang muda-muda, karena dalam adat orang Batak bebaslah
orang muda laki-laki datang martandang (mengunjungi)
perempuan-perempuan muda. Maka pada waktu itulah
mereka mendapat waktu yang baik akan berkenal-kenalan.
Adat ini memudahkan bagi laki-laki akan mencari anak dari
yang disetujuinya menjadi istrinya.
*) Pertandang, yaitu laki-laki yang mengunjungi perempuan, ke
rumah untuk berkenal-kenalan.
itu tiada sebagai berdayung, kalau ada barang yang mengalang biduk
dapat dikelokkan. Baiklah aku sabar, dan siapa tahu nanti, barangkali
jerih payahku berbuah. Dan kuusahakanlah diriku untuk suamiku,
karena dialah yang mempunyai aku, dialah yang menjadi tuan dan
rajaku." Sebenarnyalah perkataan Nuria itu, maksudnya itu pun amat suci,
tetapi amatlah susah diperolehnya. Bagaimanakah ia dapat mencintai
suaminya dengan sepenuh-penuh hatinya, jika yang dicintai tiada
menaruh cinta kepadanya" Sudah tentu tangan kita sebelah kiri tiada
dapat bertepuk, kalau tangan kanan tiada turut.
"Berumah itu tiada sebagai berdayung, yakni kalau biduk tertumbuk, boleh dikelokkan," katanya tadi.
Akan meluaskan pemandangan dan akan mengetahui sedikit adat
lembaga orang di tanah Batak, baiklah diterangkan arti kalimat itu.
Kalimat itu sebenarnya peribahasa orang Batak, dan adalah kira-kira
begini salinannya dalam bahasa Indonesia. Dari peribahasa itu tahulah
kita, bahwa perkawinan di sana amat kukuhnya. Perkara talak satu, dua,
tiga, amatlah jarangnya kejadian. Kehinaan besar dipadang orang kalau
seorang laki-laki menceraikan bininya. Perempuan yang meminta talak
itu pun tiada berharga di mata orang; kawin kedua kalinya amat susah
bagi dia, karena orang berkata dalam hatinya: "Perempuan itu tiada
baik, ia tak setia kepada suaminya. Sudah tentu orang tiada mau
mengambil dia akan istri. Sepanjang adat pun amatlah beratnya
hukuman orang yang menceraikan kawan sehidupnya itu."
Hal itu menunjukkan juga, bagaimana kuat perkawinan orang Batak
yang sejati. Lebih lima belas tahun saya tinggal di kampung
kelahiranku, yang tiada berapa jauh dari Sipirok, tempat cerita ini
terjadi; tiadalah lebih dari dua kali saja, yang kulihat dan kuketahui
orang yang cerai. Sungguh amat jarang, bukan" Di negeri Medan hal
cerai-mencerai itu adalah seperti kejadian sehari-hari, sedang kawinmengawinkan itu tiada ubahnya di mata mereka sebagai kebiasaan. Di
sana dengan mudah seorang laki-laki mengusir istrinya dan perempuan
yang meminta talak kepada lakinya tiada kurang. Demikianlah
banyaknya yang nampak seharihari. Jadi nyatalah bagi kita, bahwa
perkawinan orang di negeri ramai itu kuranglah kukuhnya, bila
dibandingkan dengan negeri kecil-kecil, meskipun penduduknya,
belum maju, sebagai sebutsebutan orang pada zaman ini. Maka barang
di mana perkawinan itu kukuh, di situlah langkah serong jarang
kejadian. Akan tetapi sayang, karena orang-orang yang diam di
kampung pun sekarang mulai mempermudah-mudahkan perkawinan
itu. Apakah gerangan yang menyebabkan ini" Sebab orang kampung
yang diam di tanah hulu-huluan juga sudah menurut kemajuan orang
kotakah" Sebabnya dikatakan demikian, karena pada waktu ini makin acap
kalilah terdengar perceraian itu. Yang tersebut ini di daerah negeri
Sipirok. Karena dalam waktu empat tahun, selama saya meninggalkan
negeriku, lebihlah banyak terdengar orang yang menceraikan kawan
sehidupnya, bila dibandingkan dengan waktu lima belas tahun, waktu
saya masih tinggal di kampung. Bila kupandang hal perubahan yang
buruk itu pada lingkungan bangsaku, amatlah menyedihkan hati.
Hatiku sedih, karena, saya mencintai tanah airku. Maka barang siapa
mencintai tanah airnya itu, sudah tentu bangsanya yang mendiami
tanah itu, disayanginya juga. Kalau ada suatu penyakit atau kecelakaan
yang akan atau sudah menimpa bangsanya, sudah tentu ia mencari
daya-upaya akan menolong bangsanya, karena itulah suatu tanda yang
menunjukkan cinta tanah air.
Kesentosaan dan kenikmatan perkawinan di antara bangsaku terancam oleh pengaruh talak, dan hal itu amat memilukan hatiku. Apakah
yang menyebabkan itu" Kemajuan yang salahkah atau karena dunia
sudah tua" Sebabnya yang pasti, belumlah kuketahui benar-benar, tapi
sungguh pun demikian saya mengusahakan diriku akan menolong
bangsaku itu. Tiap-tiap orang bekerja menurut kekuatan dan kepandaiannya; saya
pun menolong bangsaku dengan hal yang demikian itu juga, sebab
dengan menulis buku inilah suatu jalan yang mudah bagiku
menunjukkan jasaku kepadanya. Cerita ini adalah suatu kumpulan apaapa yang sudah kejadian, dengan maksud, supaya dibaca bangsaku.
Dan saya percaya, yang pembacaan ini membawa kebajikan. Oleh
sebab itu baca dan perhatikanlah. Moga-moga dia membawa bahagia
bagi lingkungan bangsaku yang miskin. Ya, sebenarnyalah bangsaku
miskin; karena tiada menaruh ilmu yang tinggi, sedang pembacaan
masih amat sedikit sekali.
Kita kembali kepada Sutan Baringin dengan istrinya si Nuria. Sudah
sepuluh tahun lamanya mereka bersama-sama. Dalam waktu yang
sekian lama itu tiadalah seberapa yang kejadian di antara mereka itu
anak-beranak. Ibunya masih hidup lagi dan istri nya telah melahirkan
dua orang anak. Yang sulung perempuan, bernama Mariamin, dan yang
bungsu laki-laki, baru berumur tiga bulan. Akan tetapi janganlah
disangkakan, mereka itu hidup dalam kesenangan. Betul bila dilihat
dari luar, tak boleh tidak orang akan berkata, "Orang beruntung
benarlah yang mendiami rumah ini."
Rumahnya besar dan bagus, sawah dan ladangnya lebar, harta
banyak, sedang bangsa pun cukup.*) Jika ditilik demikian, tiadalah
suatu jua yang menyusahkan orang itu. Akan tetapi hal itu sekalian,
tiada lebih daripada tirai yang menghambati pemandangan saja. Bila
kita mengangkat tirai itu dan menengok ke dalam, niscaya tahulah kita,
betapa mereka itu yang sebenarnya. Sutan Baringin anak yang terlalu
amat manja waktu mudanya. Sudah besar, tiadalah berubah
kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta pemboros.
Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya; jadi bukan
yang dicarinya dengan keringatnya. Semua tabiatnya yang buruk itu
dilihat oleh ibunya dengan hati kesal, karena takutlah ia, kalau-kalau
anaknya itu jatuh miskin; oleh karena sekalian nasihatnya tiada
diindahkan oleh Sutan Baringin. Sekarang barulah ia tahu kebenaran
perkataan suaminya itu: waktu kecil kayu itu dapat dibungkukkan, jika
sudah besar tak dapat lagi.
Kalau si ibu itu lama hidup lagi, tentu -ia melihat betapa kesudahan
hidup anaknya, yaitu rusak binasa dan amat melarat. Tapi syukurlah
baginya, karena ia meninggalkan dunia, setahun lebih dahulu daripada
kejadian yang akan diceritakan di sini. Sungguhpun demikian, amatlah
ia menyesal, setelah dilihatnya, anaknya itu, bukan seorang bapak yang
baik sebagai suaminya, ayah Sutan Baringin. Akan tetapi suatu pun
tiada lagi faedahnya sesalnya itu, hanya memahitkan kehidupannya
sampai pada saat yang penghabisan.
Setelah ibu Sutan Baringin meninggal, amatlah masygul hati
istrinya itu, karena tahulah ia benar-benar, bahwa suaminya itu tiada
akan mengubah kelakuannya itu lagi. Lebih-lebih sekarang, tiadalah
yang akan melarang atau memberi nasihat kepada dia; ibunya tiada
lagi, dan hidupnya sudah tentu menjadi lepas-lelas, suatu pun tak ada
lagi, yang mengalang-alangi kesukaannya. Apa yang ditakutkan mak
Mariamin itu benarlah kejadian. Pada permulaan Sutan Baringin
bertambah kerap kali meninggalkan rumah malam hari, karena ia pergi
ke kedai nasi atau ke rumah kopi. Maka di sanalah ia selalu bercakapcakap dengan orangorang banyak; sudah tentu orang itu masuk
golongan orang yang kurang baik. Kalau ia pergi itu belum makan,
terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa
orang, akan tetapi hatinyalah yang memaksa dia berbuat begitu.
*) Sebagaimana sudah dikatakan pada permulaan cerita ini adalah ayah Sutan
Baringin orang kaya dan golongan orang bangsawan, karena dia masih
keturunan raja-raja di Sipirok, tapi sudah agak jauh. Tandanya ia bersuku
Siregar, dan kebanyakan raja-raja di sana mempunyai suku Siregar. Jadi
bolehlah dikatakan suku Siregar itu golongan bangsawan di daerah Sipirok,
tetapi di tempat lain, lain pula. Umpama di Mandailing, Lubis, dan di
Angkola, Harahap. Akan tetapi sebagai di mana-mana, adalah kebangsawanan
itu sudah jauh kurang dipandang orang. Siapa yang pandai, kaya, serta
berilmu, ialah yang lebih dari orang bangsawan.
"Seharusnyalah kami bersama-sama makan, karena kuranglah baiknya,
kalau istri itu lebih dahulu makan daripada suaminya." Demikianlah
pikiran ibu yang setia itu. Kalau sudah berbunyi pukul delapan ia pun
memberi makan anaknya yang dua orang itu, lalu ditidurkannya;
kemudian pergilah ke kamar makan, di sanalah ia menantinanti
kedatangan suaminya. Akan mengurangkan perasaan bosan, ia selalu
mengerjakan pekerjaan yang ringan: menganyam tikar atau menjahit
pakaian anaknya yang koyak, karena siang hari ia tiada sempat
melakukan itu, oleh karena banyak urusannya. Maklumlah, suaminya
itu tiada suka bekerja, oleh sebab itu terpaksalah ia jadi tahanan
sekalian pekerjaan orang berumah tangga itu. Sungguh amat berat
beban yang dipikul si ibu yang penyabar itu. Bila suaminya itu pulang,
tiadalah pernah ia bermuka masam. Dengan suara yang lemah-lembut
ia menanya Sutan Baringin, kalau-kalau ia hendak makan. Jikalau
mereka itu bersama-sama, ia pun selalu menghiburkan hati suaminya
dengan rupa-rupa jalan, misalnya dengan menceritakan ini dan itu atau
apa yang kejadian. Kadang-kadang ia bertanyakan rupa-rupa hal
kepada dia, dengan maksud, suaminya itu suka bercakap-cakap dengan
dia. Rumah dan pekarangan selalu bersih nampaknya dan letaknya
sekalian perkakas rumah rapi dan beraturan. Dan meskipun ia tiada
menghiasi dirinya atau memakai pakaian yang mahal-mahal, tiadalah
kurang kecantikan parasnya. Sebaliknya, kebaya dan sarung yang
sederhana itu seolah-olah menambah kebagusannya. Lagi pun
sebagaimana rapinya bekerja, begitulah hati-hatinya memeliharakan
dirinya. Kalau dilihat air mukanya, suatu pun tiada pertukaran, yang
diubahkan kelahiran anaknya yang dua itu; seri dan cahaya romannya
sebagai pada waktu mudanya juga. Benarlah Sutan Baringin amat
beruntung sekali beroleh kawan sehidup yang serupa itu, akan tetapi
sebagai sudah kita lihat, tiadalah ia mengetahui untungnya itu, atau
lebih terang, kalau dikatakan: tiadalah ia menghargakan dia. Amat
besarnya bahagia laki-laki itu, bila ia beroleh perempuan yang baik dan
setia. Akan tetapi sudahlah menjadi tabiat oleh manusia, yakni jikalau
barang itu sudah hilang, barulah diketahui harganya. Seorang sahabat
yang karib itu kurang karib terasa selagi dalam bergaul. Tetapi sesudah
bercerai, tahulah bahwa ia amat perlu bagi kita. Harga kesehatan badan
itu pun baru diketahui orang, kalau ia di dalam berpenyakit.
Demikianlah halnya dengan Sutan Baringin. Tiadalah ia mencintai
istrinya, sungguhpun si ibu itu mengusahakan dirinya untuk dia. Kalau
ia menaruh kasih dan sayang tentulah ia berlaku manis kepada istrinya
itu, sebagai istrinya kepada dia. Akan segala budi bahasa si ibu yang
ramah-tamah itu, tiadalah menerbitkan suatu apa dalam hatinya. Ia
tiada menaruh perasaan kepada tutur yang manis, bahasa yang rendah
dan perbuatan yang baik, karena anak yang manja waktu mudanya itu,
orang pembengis juga di belakang hari. Manusia yang serupa itu amat
buruknya dan akan hal itu diketahui Nuria benar-benar. Itulah kadangkadang yang menjadi awan kedukaan bagi dia. Kerap kali kalau hari
sudah jauh malam, sedang ia sendiri tinggal di rumah bersama-sama
dengan anaknya yang sedang tidur itu, dipandang anaknya itu dengan
hati yang sedih. Perasaannya lain, karena terasa olehnya dalam hatinya,
bahwa tali yang mengikat perkawinan mereka itu makin rapuh.
Daripada pihak suaminya tak ada yang diharapkan. Kekuatannya
harnpir-hampir habis. Sepuluh tahunlah sudah ia berusaha itu, suatu
pun tiada hasilnya. Bukanlah ia bosan, tetapi khawatir, kalau-kalau ia
kehabisan tenaga dan ..., kesudahannya perkawinannya putus dan dia
serta anaknya melarat. Tangannya gemetar, peluhnya ke luar, disebabkan pikiran yang serupa itu. Dengan tiada disengajanya, ia pun
memeluk anaknya itu, diciumnya dengan cinta yang sepenuhpenuhnya,
sambil air matanya bercucuran, laksana mutiara yang gugur dari
karangannya. Malam itu amat dingin, karena angin amat kencang, bercampur
hujan rintik-rintik. Sekali-sekali kilat menunjukkan sinarnya, seolaholah menerangi dewi malam yang memenuhi alam ini. Itu semua jadi
alamat hujan akan turun dengan lebatnya, karena langit berwarna hitam
dipalut awan yang tebal, sehingga cahaya bintang-bintang yang berjutajuta itu hilang lenyap semuanya.
Semalam-malaman itu Sutan Baringin tiada pulang, dan istrinya
tidur penuh dengan kemasygulan. Akan tetapi apakah gunanya ia
pulang, karena meskipun diketahuinya apa yang diderita istrinya itu,
takkanlah ada berfaedah, karena sebagaimana telah dimaklumi, tiadalah


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu tempat dalam hatinya untuk istrinya; bagi anaknya pun susah
ditentukan. Adalah pada pikirannya, perempuan itu diadakan Tuhan
akan sekedar penyertai laki-laki saja. Apabila laki-laki itu merasa perlu
akan bersama-sama dengan perempuan, di situlah waktunya bagi dia
kawin. Kawin artinya si laki mengambil perempuan, sebab ia perlu
kepadanya. Oleh sebab orang itu ada gunanya bagi dia, haruslah ia
menyediakan belanja untuk istrinya. Itu sajalah kewajiban si laki
kepada si istri. Tetapi perempuan itu harus menyerahkan badan dan
hatinya kepada suaminya. Adalah kewajiban bagi dia mengusahakan
dirinya untuk kesenangan lakinya, karena lakinya mengambil dia untuk
kesenangannya. Ia harus menaruh cinta kepada lakinya, akan tetapi
tiada perlu ia mendapat balasan cinta itu. Pendeknya tiada berwatas
kewajiban perempuan itu. Demikianlah rukun yang diketahui dan yang
patut pada timbangan Sutan Baringin. Yang lebih ganjil lagi:
"Perempuan itu tiada menaruh jiwa; kalau ia sudah mati, habis hidupnya. Akan akhirat tiada berguna bagi dia". Begitulah persangkaan
Sutan Baringin. Hujan yang lebat itu, suara guruh dan halilintar yang seperti hendak
membelah bumi, semuanya didengar Nuria. Meskipun ia memejamkan
matanya dan membulatkan pikirannya, tiadalah juga ia tertidur. Apabila
pikirannya hampir-hampir hilang sebab hendak tertidur, tiba-tiba ia terbangun kembali, sebagai terperan-jat. Ia duduk sebentar, memikirkan
sebabnya, tetapi tiadalah diketahuinya. Sesudah ia membetulkan
selimut anaknya yang tidur dengan nyenyaknya itu, ia pun merebahkan
dirinya pula, sambil mengeluh.
Sesudah tengah malam barulah ia tertidur dengan nyenyak, karena
badannya telah lesu. Maka ia pun bermimpilah: "Sedang matahari baru
ke luar dan memancarkan sinarnya, tiba-tiba diselimuti awan yang amat
hitam serta dengan tebalnya, makin lama makin hilanglah matahari itu
dan cahayanya pun tiada dapat lagi menerusi awan yang gelap itu.
Puncak gunung tinggi-tinggi itu lenyaplah dari pemandangan mata, dan
dataran tinggi Sipirok pun penuhlah oleh kabut. Perlahan-lahan
kedengaran bunyi guruh yang mendayu-dayu; mula-mula jauh,
kemudian makin dekat dan makin keras, sedang gunung Sibualbuali
adalah asyik bekerja memuntahkan asap yang bergumpal-gumpal.
Tanah pun gemetarlah oleh sebab digoyang gempa. Masing-masing
orang berlari ke luar dengan terkejut, karena pada persangkaan orang
adalah mara bahaya besar yang akan datang itu. la pun berlari ke luar
seraya mendukung dan memangku anaknya kedua-duanya. Setelah
sampai ke luar ia pun menengok ke belakang. Maka nampaklah olehnya tanah perumahan mereka itu mereiigkah. Dengan sekejap itu rumah
dan pekarangan mereka jatuh ke dalam lubang yang terbuka itu. Ia terkejut serta menangis, karena suaminya, Sutan Baringin, masih di dalam
rumah yang ditelan bumi itu. Maka tanah itu pun kembali tertutup dan
rumah mereka terkubur dalam sekajap itu juga. Pada saat itu juga
kedengaranlah suara yang amat gemuruh. Sibual-buali yang berapi itu
meletus. Asap dan belerang yang cair mengalir membinasakan segala
yang dilaluinya: kebun, sawah, kampung dan lain-lain. Sawah-ladang
mereka pun telah binasa sama sekali, akan tetapi ia dan anaknya itu
sempat lagi melarikan diri."
Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Tiada berapa lama kedengaranlah olehnya bunyi ayam berkokok. Sejak itu tiadalah ia dapat tidur lagi.
Hatinya gundah gulana, karena ia tiada mengerti akan takwil mimpinya
itu. Setelah fajar menyingsing, ia pun berdirilah, lalu mengambil air
sembahyang. Perempuan yang saleh itu pun menyerahkan dirinya
kepada Tuhan. "Mimpiku ini sebagai tanda, yang memberitahukan apa
yang akan datang atas diriku. Akan tetapi apa-apa yang akan datang itu,
kepada-Mu-lah kuserahkan, ya, Allah yang pengasih dan penyayang."
Setelah ia mengucapkan perkataan itu, maka ia pun sembahyang
subuhlah. Sehabisnya menyembah Tuhan Yang Maha Akbar itu, hatinya merasa lebih senang. Mimpinya itu pun hampir hilang dari kenangkenangannya. Kemudian ia kembali ke tempat tidur, tempat anaknya
yang tiada mengetahui kesusahan dunia itu ditidurkannya. Si ibu yang
pengasih dan penyayang itu membetulkan selimut mereka itu. Sudah
itu ia pun menundukkan kepalanya lalu mencium dahi si jantung
hatinya itu berganti-ganti.
Matahari masih tersembunyi di balik dolok*) Sipipisan yang permai
itu; binatang-binatang yang mendiami rimba belantara masih tidur
semuanya, akan tetapi ibu yang rajin dan setia itu, . telah sibuk di dapur
menguruskan pekerjaan rumah tangga. Kalau diperhatikan mukanya,
tahulah kita, betapa perubahan romannya, karena penanggungannya
yang selama itu. Betul ia tiada merasa sakit atau mendapat luka di
badan, akan tetapi penanggungan hati dan jiwa itu lebih berat dari yang
lain-lain, sehingga badannya pun menderita juga olehnya. Demikianlah
halnya dengan ibu itu, amatlah berubah roman mukanya, karena kejadian semalam itu.
*) dolok = gunung 5. JATUH MELARAT "Ayah sudah datang, sajikanlah nasi itu Mak, saya pun sudah lapar,"
kata Mariamin, budak yang berusia tujuh tahun itu.
"Baik," jawab si ibu, lalu meletakkan tikar*) yang tengah dianyamnya. "Panggillah ayahmu, supaya kita bersama-sama makan. Ini sudah
hampir setengah delapan**), nanti Riam terlambat datang ke sekolah."
Setelah itu Mariamin pun pergilah ke bawah, mendapatkan ayahnya.
Ibunya pergi ke kamar makan menyediakan makanan untuk mereka itu
anak-beranak. Tiada berapa lama Mariamin datang, seraya berkata,
"Ayah belum hendak makan."
"Di manakah ia sekarang?" tanya si ibu.
"Di muka rumah itu, lagi bercakap-cakap dengan orang lain. Ia
sudah kupanggil tetapi ia menyuruh saya makan dahulu."
"Baiklah anakku dahulu makan, hari sudah tinggi. Ibulah nanti
kawan ayahmu makan."
Sedang anak itu makan, maka ibunya meneruskan pekerjaannya,
menganyam tikar. Meskipun ia dapat membeli tikar di pasar dengan
uang dua rupiah, tiadalah suka ia mengeluarkan uangnya, kalau tidak
perlu. Benar uang dua rupiah itu tiada seberapa, bila dibandingkan
dengan kekayaan mereka itu. Tetapi ia seorang perempuan dan ibu
sejati. Bukanlah orang yang miskin saja yang harus berhemat, orang
yang berada pun patut demikian juga.
Daripada uang dikeluarkan dengan percuma, lebih baik diberikan
kepada orang yang papa. Demikianlah pikiran mak Mariamin. Anaknya
itu pun diajarnya berpikiran demikian; bibit hati kasihan ditanamkannya dalam kalbu anaknya itu. Betul itu tiada susah baginya, karena
anaknya itu lahir membawa tabiat si ibu. Syukur tiada seperti si bapak,
orang yang kurang beradab itu. Tadi pagi sebelum Mariamin makan,
ibunya telah menyuruh dia membawa beras dan ikan serta beberapa
butir telur kepada seorang perempuan tua yang amat miskin.
Tempatnya ada sekira-kira sepal dari rumahnya.
*) Meletakkan tikar yang tengah dianyamnya. Biasanya perempuan-perempuan di
kampung duduk bekerja, umpamanya menjahit, merenda; orang yang menganyam
tikar itu pun duduk juga. Kakinya diulurkannya ke muka, tikar yang dikerjakannya itu
diletakkannya di atas kakinya itu. Demikianlah perempuan itu bekerja. Menganyam
tikar itu suatu kerajinan pula; biasanya dibuat dari pandan. Tikar yang halus berharga
kadang-kadang sampai empat rupiah, karena amatlah perlunya bagi orang kampung.
Jamu duduk biasanya di atas tikar, akan tempat tidur pun dipakai juga.
**) Tempo dahulu sekolah rendah masuk pukul delapan.
Oleh sebab melalui jalan yang sejauh itulah, maka Mariamin jadi
lapar, sebagai katanya tadi. Pekerjaan itu, yakni mengantar-antarkan
sedekah ke rumah orang lain, tiadalah paksaan bagi Mariamin, tetapi
itulah kesukaannya. Kadang-kadang ia tegur ibunya, sebab terlampau
lama tinggal bercakap-cakap di rumah orang yang menerima
pembawaannya itu. Mariamin amat bersenang hati campur gaul dengan
orang miskin, tiadalah pernah ia memandang orang yang serupa itu
dengan hati yang jijik sebagai beribu-ribu anak orang kaya.
"Riam, Riam!" panggil seorang budak laki-laki dari bawah.
Mariamin berlari ke jendela itu, karena suara itu telah dikenalnya.
Dengan tersenyum ia berkata, "Naiklah sebentar Angkang, saya hendak
betukar baju lagi." "Lekaslah sedikit, Riam, biarlah kunanti di sini. Ini sudah hampir
masuk sekolah, kawan-kawan sudah dahulu," jawab Aminu'ddin,
seraya ia melihat matahari yang sedang naik itu. Takutlah ia, kalaukalau akan terlambat.
Setelah Mariamin turun, mereka itu pun berjalanlah bersamasama
menuju rumah sekolah, dengan langkah yang cepat. Budak yang dua itu
berjalan serta dengan riangnya, tiada ubahnya sebagai orang yang bersaudara yang karib. Persahabatan siapa lagi yang lebih rapat daripada
mereka itu; bukankah mereka itu masih dekat lagi perkaumannya"
Kelakuan mereka itu pun bersamaan, yang seorang setuju dengan
kehendak seorang. Lebih karib dan rapat lagi mereka itu, sesudah
Aminu'ddin melepaskan adiknya itu daripada bahaya banjir dahulu itu.
Mariamin adalah seorang anak yang cerdik, pengiba dan suka berpikir. Hal ini ternyata dari pertanyaan-pertanyaannya yang selalu dikemukakannya kepada ibunya, tatkala mereka itu pada suatu ketika
duduk di hadapan rumah mereka. Barang apa yang dilihatnya selalu diperhatikannya, dan kalau ia tak mengerti atau tiada dapat menimbang
sesuatu hal yang dilihatnya itu, ia pun bertanyakan kepada ibunya.
"Mak, apakah sebabnya kita kaya, dan ibu si Batu amat miskin"
Makanan mereka itu hanya ubi, jarang-jaranglah ibunya bertanak nasi,
kalau tiada sedekah orang. Bukankah mak sebutkan dahulu: Tuhan
pengiba; kalau begitu, mengapa mereka semiskin itu?" demikianlah
pertanyaan Mariamin kepada ibunya.
Si ibu tercengang sebentar mendengar perkataan anak itu. la tersenyum seraya bertanya, "Dari manakah anak tahu, bahwa kita kaya?"
"Kita kaya; sawah lebar, kerbau banyak dan uang ayah pun banyak,
demikianlah kata orang saya dengar. Tiada benarkah itu, Mak?"
Budak itu memegang tangan ibunya, seraya memandang mukanya
dengan pandang yang lemah.
Ibunya memeluk dan mencium cahaya matanya itu, seraya berkata,
"Ibu tidak menidakkan pemberian Allah, nafkah kita cukup selamanya,
dan Riam lebih daripada permata yang mahal bagi ibu."
Sudah tentu si anak itu kurang mengerti akan perkataan ibunya itu.
Sebab itu ia melihat muka ibunya lagi dengan herannya.
"Anakku bertanya tadi, apa sebabnya ada orang kaya dan ada pula
orang miskin, sedang Tuhan itu menyayangi sekalian yang diadakanNya. Apa sebabnya orang itu miskin, tak usah saya katakan. Akan
tetapi sebabnya, orang kaya itu kaya, ada. Ibu sudah berkata dahulu,
Tuhan itu amat menyayangi manusia iiu, bukan?"
"Ya, Mak!" sahut Mariamin.
"Bagus. Allah yang rahim amat mencintai hambanya. Oleh sebab itu
haruslah manusia itu menaruh sayang kepada sesamanya manusia.
Mereka itu harus tolong-menolong. Riam berkata tadi ibu si Batu
miskin, kita kaya. Jadi sepatutnya bagi kita menolong mereka itu, itulah
kesukaan Allah. Riam pun haruslah mengasihi urang yang papa lagi
miskin, dan rajin disuruh mak mengantarkan makanan ke rumah orang
yang serupa itu. Sudahkah mengerti Riam, apa sebabnya orang kaya itu
kaya?" "Sudah, yakni akan menolong manusia yang miskin," sahut si anak
yang cerdik itu. "Benar, begitulah kehendak Allah!" kata si ibu serta mencium
kening anaknya itu berulang-ulang, matanya basah oleh air mata; dalam
hatinya ia berkata, "Mudah-mudahan Allah memeliharakan anakku ini
dan memberikan hati yang pengiba bagi dia."
Ibu Mariamin lagi menunggu-nunggu suaminya datang, supaya
mereka itu makan pagi. Meskipun perutnya sudah lapar, karena pada
waktu itu telah pukul sembilan, tiadalah sampai hatinya makan lebih
dahulu. Sedang ia menanti-nanti itu, ia pun meneruskan menganyam
tikar dan karung untuk padi di sawah yang sudah masak. Tengah ia
bekerja itu, datanglah suaminya, ia tiada mengetahui kedatangan Sutan
Baringin itu, karena pikirannya tiada lepas daripada mimpinya semalam
itu. "Apakah gerangan makna mimpiku itu?" tanyanya berulang-ulang
dalam hati. Sutan Baringin itu baru datang dari kantor pos, membawa sebuah
bungkusan kiriman orang dari Deli. Itulah sebabnya ia terlambat
datang. Kiriman itu diiringi sepucuk surat yang bunyinya demikian:
Kakanda yang tercinta! Bahwa dengan surat ini tiadalah suatu apa yang adinda
kirimkan, hanya sekadar salam dan doa, mudah-mudahan
kakanda anak-beranak, di dalam sehat walafiat adanya.
Demikian juga umur usia kakanda barang dilanjutkan Allah
kiranya dan rezeki pun direndahkannya.
Dengan surat yang secarik ini adinda permaklumkan juga
kabar yang menyenangkan hati, yakni adinda telah mendapat
surat pindah ke Sipirok. Dalam sepuluh hari ini adinda
berangkat dari Binjai. Mudah-mudahan, kalau tiada aral
melintang adalah adinda di sini dalam sebulan ini.
Di sini kakanda terimalah dengan senang hati kiriman
adinda yang tiada dengan sepertinya, yaitu sehelai kain BatuBara *).
Kabar yang lain ada baik.
Salam dan takzim waltakrim,
BAGINDA MULIA "Bulan di muka ia datang, tiada lama lagi; tepat sesudah padi di
sawah disabit. Jadi pada waktu memangkur sawah ini, sudah tentu ia
meminta sawah bagiannya. Kerbau yang di Padang Lawas itu sudah
tentu akan diselesaikan pula. Utangku, yaitu bagiannya yang
kuhabiskan, haruslah pula kubayar, karena tiada dapat disembunyikan
lagi. Tapi siapa tahu, aku harus mencari akal." Demikianlah Sutan
Baringin berpikir-pikir, setelah surat Baginda Mulia itu dibacanya.
Kain kiriman yang mahal dan bagus itu tiada dipedulikannya lagi.
Pikiran yang buruk itulah timbul dalam hatinya; maksud yang tiada
senonoh itulah balasan hati Baginda Mulia yang baik itu. Ia
memandang Sutan Baringin saudaranya yang menaruh cinta akan dia,
akan tetapi dia dipandang Sutan Baringin sebagai orang yang
menyusah-nyusahkan dia. Demikianlah budi Sutan Baringin terhadap kepada saudaranya yang
datang dari tanah rantau itu. Hati cemburu, loba, tamak, dengki, dan
khizit, sekaliannya itu sudah berurat berakar dalam darahnya; itulah
yang akan merusakkan diri Sutan Baringin.
Setelah mereka itu dua laki-istri selesai makan, istrinya bertanya,
sekadar akan melawan suaminya bercakap-cakap.
"Dari manakah diri tadi, sehingga kita terlambat makan?"
"Pergi ke kantor pos menerima pospaket kiriman adik kita dari
Binjai," sahut Sutan Baringin dengan ringkas.
*) Kain Batu-Bara itu berasal dari negeri Batu-Bara. Kain ini
terkenal ke mana-mana, karena tenunannya halus dan
benangnya benang sutera; raginya pun amat indah-indah.
Biasanya bertenun kain itu pekerjaan perempuan; boleh
dikatakan itulah, pencarian mereka itu di sana. Tetapi bertenun
itu amat lambat, kadang-kadang tiga minggu barulah siap
sehelai. Harganya pun mahal, sampai dua puluh rupiah.
"Adakah dia dalam selamat saja?" tanya istrinya, karena ia ingin
mengetahui hal saudaranya itu.
"Inilah dia suratnya, bacalah!" jawab suaminya, seraya ia bangun,
lalu pergi ke beranda, duduk-duduk melihat-lihat orang lalu-lintas.
Akan tetapi segala orang yang berjalan di hadapan rumahnya itu, tiada
nampak olehnya, karena kerasnya ia berpikir, betapa jalan hendak
menyembunyikan bagian saudaranya yang akan datang itu.
Bagaimanakah persaudaraan mereka itu"
Nenek mereka itu, yang laki-laki, satu, istrinya dua. Yang muda
itulah nenek perempuan Baginda Mulia. Waktu bapak Baginda Mulia
masih muda, ia pergi merantau ke Deli, karena pada zaman itu adalah
kebilangan ke mana-mana, pekerjaan amat mudah di Sumatera Timur
itu. Orang yang pandai menulis tiada susah beroleh gaji yang besar, dan
pencarian pun amat mudah. Dengan jalan berdagang, berjualan dan
lain-lain banyaklah orang menjadi kaya, karena pada waktu itu negeri
Deli negeri baru, kebun banyak dibuka dan pencarian amat banyak,
sedang anak negeri asli belum banyak yang bersekolah. Beratus orang
muda dan tua yang merantau tiap-tiap tahun ke Sumatera Timur, bukan
dari Tapanuli saja, dari Minangkabau pun banyak juga. Itulah jalannya
maka sampai sekarang amat banyak orang Batak (Tapanuli) dan orang
Minangkabau di daerah Sumatera Timur yang subur.
Merantau ke negeri orang itu tiada selamanya mendatangkan untung
yang baik, karena manusia itu tiada selamanya dapat men-capai
maksudnya; sebaliknya adalah beribu-ribu orang yang bercintakan ini,
tetapi beroleh yang lain. Demikianlah langkah bapak Baginda Mulia itu
langkah kiri, karena bahagia yang dimimpimimpikannya, tatkala ia di
tempat kelahirannya, hilang lenyap sebagai kabut dipanasi matahari
terbit. Anaknya baru seorang, istrinya pun meninggal dunia. la kembali


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke negerinya dengan anaknya yang lagi kecil itu, akan tetapi tiada
berapa tahun antaranya, ia pun mendapatkan istrinya ke dunia yang
lain. Anak piatu itu merasa dirinya kurang senang di tengah-tengah
orang kampung. Setelah ia berusia lima belas tahun, pergilah ia
merantau ke Deli. la lebih beruntung daripada bapaknya. Berkat
usahanya, dapatlah ia bekerja menjadi guru pada sebuah sekolah desa.
Kemudian ia ditempatkan pada sekolah Gubernemen. "Setinggi-tinggi
batu melambung, surutnya ke tanah juga," kata pepatah. Begitu jugalah
halnya dengan Baginda Mulia. Jemulah rasanya ia hidup di rantau
orang, rindu ke negeri sendiri makin keras, sehingga ia minta
dipindahkan ke negerinya. Syukurlah, maksudnya itu dikabulkan.
Waktu berangkat dari kampung dulu hanya dengan sehelai baju,
pulang dari rantau membawa pangkat. Dan yang didapatkan di
kampung pun ada, yakni harta pusaka peninggalan orang tuanya, lebih
baik dikatakan peninggalan neneknya.
Setelah ia menerima surat pindahan itu, ia pun berkirim surat
kepada Sutan Baringin akan menceritakan kegirangan hatinya itu. Hati
persaudaraan adalah lebih rapat padanya daripada Sutan, Baringin. la
tiada mempunyai kakak atau adik yang kandung, oleh sebab itu adalah
pada perasaannya, Sutan Baringin itu jadi kakak kandung bagi dia.
Waktu kesusahan dan kedukaan mereka itu selalu berkirim-kirim surat.
Baginda Mulia berbuat demikian karena cintanya akan saudara; Sutan
Baringin sebab muslihat. Hal yang serupa itu acap kali terlihat di atas bumi ini. Jauhlah bertambah kerasnya cinta dan kasih sayang itu, bila orang yang berkaum
atau bersaudara itu tinggal berjauhan, sedang tinggal bersama-sama itu
kerap mendatangkan perselisihan. Dua cabang yang sepokok, kalau
rapat bergesel juga; telur ayam yang seraga itu bergesel juga, meskipun
tiada berkakitangan. Surat Baginda Mulia yang sekali itu ditulisnya dengan hati yang
suci. Dengan suratnya itu ia menyuruh saudaranya bergirang hati,
karena sedikit hari lagi mereka itu akan bersua.
Bukankah Sutan Baringin selalu menulis di bawah suratnya:
"Terima salam dan takzim daripada kakakmu yang rindu". Di atas ia
menulis: "Adinda yang tercinta". Perkataan itu semua amat mengeraskan cinta Baginda Mulia kepada kakaknya. Lagi pula tiada satu dua
kali saja Sutan Baringin berkata dalam suratnya, "Ah, kalau adinda
datang mengunjungi kami, betapakah besarnya hati kami anak-beranak!
Belumkah bosan adinda di negeri orang itu?"
Sekarang tak usah lagi ia bertanya kedatangan adiknya, karena
sebulan lagi sudah ada ia di Sipirok. Adakah Sutan Baringin bergirang
hati menerima adiknya itu" Maukah ia berkata, "Bahagialah atasmu.
Tinggallah bersama-sama dengan kami. Ini bagianmu dari harta
peninggalan nenek kita. Terimalah dia dengan hati yang ikhlas!"
Semuanya itu takkan kejadian. Tengoklah bagaimana Sutan
Baringin duduk di kursinya. Mukanya asam, dahinya berkerut, alamat
ia sedang sibuk berpikir. Akan tetapi sayang seribu kali sayang, karena
suara iblis yang berbisik dalam hatinyalah yang didengarnya, sedang
pikiran yang baik tiada diindahkannya lagi.
Tatkala ia duduk-duduk itu datanglah istrinya dari belakang. Surat
itu telah dibaca oleh istrinya dan amatlah ia bersukacita, karena
kedatangan adiknya itu. "Inikah dia kain kiriman adik kita itu?" tanyanya seraya mengembangkan kain Batu-Bara yang masih terletak di atas meja. la
mengamat-amati raginya yang bagus dan benangnya yang halus itu.
"Ya, itulah dia!" jawab Sutan Baringin sambil mengerutkan
mukanya. "Tentu mahal harganya kain ini. Rupanya tiadalah si Tongam*)
melupakan kita. Setiap tahun kita selalu menerima kirimannya. Tahun
ini sudah dua kali, tetapi untukku sendiri belum sebuah juga dalam
tahun ini. Kakaknya sajalah rupanya yang diingatnya, maklumlah orang
bersaudara, sedang perempuan ini orang lain saja."
Istrinya berkata demikian itu sekadar bergurau saja. Akan tetapi
Sutan Baringin tiada mengindahkan percakapan istrinya itu, karena
lainlah yang dipikirkannya. Sejurus lamanya, ia pun berkata, "Si
Tongam itu tiada dapat dipercayai. Tiadakah engkau, tahu orang yang
biasa di negeri ramai itu amat pintarnya; tetapi pintar dalam kejahatan.
Tuturnya manis seperti madu, sehingga kita tiada mengetahui anak
panah yang di dalamnya. Surat si Tongam pun selalu manis bahasanya,
tapi maksudnya amat dalam. Karena engkau seorang perempuan, tentu
tiadalah engkau tahu menduga hatinya. Perempuan mudah diperdayakan. Akan aku, meskipun si Tongam berbuat seolah-olah hatinya baik
dan rapat kepada kita, kuketahui juga tipunya itu. Sekarang ia sudah
putus asa, karena tiada diperolehnya kekayaan yang berjuta-juta di Deli
itu. Haluannya sekarang ditukarnya, yaitu pulang ke kampung, dan ...
segala harta kita sudah tentu akan dimintanya separuh. Aku tahu benarbenar. Tapi bolehlah dilihatnya nanti, bagaimana kesudahannya. Aku
akan bersedia, sebelum ia datang. Kalau payungku telah berkembang,
tak pedulilah aku, bagaimana sekalipun lebatnya hujan itu."
Sekalian perkataan Sutan Baringin itu amat mengherankan istrinya;
karena tiada disangkanya suaminya akan mempunyai pikiran yang
seburuk itu terhadap kepada saudaranya.
"Bersungguh-sungguhkah kakanda bercakap itu?" tanya istrinya
dengan muka yang tenang. "Ya, memang," sahut Sutan Baringin dengan suara yang tetap dan
nyaring. "Adakah patut kita berbuat seperti itu kepada adik kita" Kita hanya
sebatang kara, dia pun demikian. Betapakah bagusnya kalau kita hidup
dengan dia berkasih-kasihan sebagai orang yang bersaudara kandung;
apalagi ia belum jauh. Diri berkata tadi, si Tongam orang yang tiada
patut dipercayai. Sepanjang dugaanku, adalah ia orang yang berbudi;
dari suratnya tahulah kita, betapa kasihnya akan kita; bukan
perkataannya saja, tetapi dikerjakannya juga. Bukankah kita beroleh
kiriman dari dia setiap tahun" Tiadalah patut kita menaruh bimbang
dan menyangkakan ia orang yang jahat. Sekalipun ia demikian,
*) Si Tongam, nama kecil Baginda Mulia. Arti perkataan itu:
mulia (bahasa Batak). Biasanya nama pertama itu acap kali
bersamaan artinya dengan gelar.
haruslah kita lebih dahulu menegur dia. Tentang harta bagiannya sudah
tentu harus kita serahkan semuanya dengan baik dan damai kepadanya.
Janganlah kita dengar asut-asutan serta ajaran orang, yang hendak mencelakakan kita."
Nasihat istrinya yang mulia itu tiada diterima Sutan Baringin,
karena ia telah penuh oleh pikiran yang buruk. Dengan amarah ia
berkata, "Betullah perempuan tiada berotak, gampang ditipu engkau
ini. Lebih baik kaudiam, aku lebih tahu apa yang akan aku perbuat."
Itulah jawab yang diterima istrinya yang penyabar itu; itulah
balasan nasihatnya yang dituturkan dengan perkataan yang lemahlembut itu. Hal yang serupa itu tiada jarang. Berapa kali sudah istrinya
yang setia itu menerima hardik dan dengking daripada suaminya, akan
ganti terima kasih. Akan tetapi ia selalu sabar. Tiadalah ia pernah menunjukkan muka yang asam, melainkan semuanya itu ditahannya dalam
hatinya. Tetapi bila ia duduk seorang diri saja, tiadalah teduh air matanya bercucuran, karena terkenang akan nasib perkawinannya yang
celaka itu. "Diri, perhatikan juga hendaknya perkataan adinda itu, karena sesal
kemudian tak berguna," ujar istrinya dengan suara yang lembut, supaya
suaminya itu jangan bertambah marah kepadanya.
Tutur yang lemah-lembut itu tiada berguna lagi. Bukanlah dia akan
melembutkan hati Sutan Baringin, tetapi menerbitkan nafsu marah saja.
Dengan suafa yang merengus dan keras ia berkata, "Diamlah engkau,
apakah gunanya engkau berkata-kata itu?"
Kemudian ia pun turunlah, hendak pergi mendapatkan sahabatnya
Marah Sait, yang telah kenamaan karena pandainya berkatakata,
apalagi bersoal-jawab, karena ia seorang pokrol bambu.
Sambil mengeluh karena putus asa, ibu Mariamin merebahkan
dirinya ke atas sebuah kursi, duduk bertongkat ruas. Matanya memandang kepada suaminya. Tiada berapa lama lenyaplah ia dari
pemandangan istrinya itu.
Sementara itu matahari sudah rembang, segala makhluk dan tanamtanaman beriang hati, karena bumi itu penuh dengan sinar yang amat
bagus itu. Akan tetapi tiadalah diindahkan oleh perempuan itu cahaya
matahari yang menyinari kalbunya. Di atas kepalanya langit dipenuhi
awan yang hitam, alamat kedukaan, sedang lubang yang di hadapannya
makin dalam adanya. "Hidupku ini penuh dengan percintaan," katanya mengeluh, seraya
berdiri meninggalkan beranda muka itu.
Ia pergi ke dapur, karena matahari sudah di pertengahan langit,
yakni waktu hendak menyediakan makanan tengah hari. Dengan lekas-
lekas ia pun menghidupkan api di dapur, dengan maksud akan menghilangkan hatinya yang susah itu, karena tahulah ia kalau orang
bekerja, lebih kurang dirasanya pikiran yang mendesak di hati daripada
ia duduk diam saja. Akan tetapi sekali ini tiadalah dapat ia melupakan
adat suaminya yang kasar itu, dan mimpinya yang semalam itu pun
selalu terasa-rasa dalam hatinya.
Setelah pekerjaannya di dapur itu selesai dan makanan sudah
tersedia semuanya, kedengaranlah suara tabuh, menandakan waktu
lohor sudah datang. Suara orang azan pun memperingatkan hamba
Allah, supaya mereka menunaikan kewajibannya. Ibu Mariamin mengambil air sembahyang. Dengan sepenuh-penuh hati ia menyembah
Allah yang akbar itu dan bermohon supaya Ia mengampuni dosa dan
kesalahannya. Sesudah sembahyang, pergilah ia ke beranda muka
menantikan kedatangan Mariamin dari sekolah. Jalan besar makin
ramai, karena murid-murid sekolah makin banyak yang pulang, ada
yang berlari-lari, ada yang berkejar-kejaran, ada pula yang berguraugurau sepanjang jalan, masing-masing dengan kesukaannya.
"Tertawa dan beriang hatilah kamu, hai anak-anak yang berbahagia!
Waktu masih anak-anak itulah hidupmu yang sesenangsenangnya, pada
hari tuamu kegirangan itu amat jarang, karena makin banyak
penanggungan!" kata ibu Mariamin dalam hatinya. Dari jauh Mariamin
telah melihat ibunya. Maka ia pun berlari-lari mendapatkan rumah
mereka itu. Aminu'ddin menurut perlahan-lahan dari belakang, karena
malulah ia berlari sebab melihat ibu Mariamin itu.
"Di manakah ayah" Aku sudah lapar!" kata Mariamin, seraya memegang tangan ibunya. Ia melompat seraya mendakap leher ibunya.
Maka mulutnya dirapatkannya ke muka ibunya, dan bibir yang halus
dan tipis itu pun mencium pipi ibunya. Barulah sekarang si ibu lupa
akan susahnya itu, karena matahari kesukaannya, telah menyinari hatinya yang gundah gulana itu.
"Di manakah ayah?" tanya Mariamin pula.
"Mak tiada tahu, makanlah anakku dahulu!" sahut ibunya.
Mariamin pun makanlah. Tiadalah dilihatnya muka ibunya berubah,
karena menanggung gundah dari semalam sampai hari itu.
Di manakah Sutan Baringin" Ia masih sibuk lagi bercakap-cakap
dengan sahabatnya Marah Sait. Dengarlah percakapan mereka itu!
Setelah Sutan Baringin menceritakan akan kedatangan Baginda
Mulia dan maksudnya itu sekaliannya, maka ia pun bertanyakan ikhtiar
yang akan diperbuatnya. "Itu mudah," jawab Marah Sait serta tersenyum-senyum. "Bukankah
sudah lebih dua puluh tahun ia di rantau" Kalau ia nanti datang, kata-
kan saja ia bukan bersaudara dengan engkau. Ringkasnya kamu berdua
tiada waris-mewarisi. Meskipun di muka pengadilan engkau haruslah
tetap mengatakan yang demikian itu. Apakah nanti perkataannya
kepada hakim, suatu pun tiada keterangannya, bahwa ia ada mewarisi
nenekmu itu." "Kalau ia nanti mendapat orang yang akan jadi saksinya, bahwa ia
waris dari nenekku, apakah nanti yang akan kuperbuat?" tanya Sutan
Baringin. "Itu tiada mengapa; asal kita cari dahulu saksi kita yang memberi
pengakuan, bahwa mereka itu tiada mengenal Baginda Mulia, dan dia
itu tiada apa-apa dengan engkau," sahut pokrol bambu yang pandai itu.
"Dapatkah kita beroleh saksi serupa itu" Tapi ingat, mereka itu
harus menahan sumpah," kata Sutan Baringin.
"Bersumpah" Apalah susahnya itu. Takutkah engkau dimakan
sumpah" Akulah yang akan mencari orang itu sampai dapat asal
engkau menyediakan ini ...." Ia berkata itu sambil mempergesekkan
telunjuk dengan ibu jarinya yang maksudnya menyediakan uang.
"Pasal itu jangan takut, seratus dua ratus boleh kubagi sekarang,"
ujar Sutan Baringin dengan gembiranya. Demikianlah bodohnya itu;
perkataan yang tiada beralasan, yang tersembur saja dari mulut seorang
pokrol bambu, dipercayainya semua. Berapakah bagusnya kalau ia
mengerti akan maksud orang yang hendak mengambil uangnya itu
dengan tiada mempedulikan bahaya yang akan menimpa dirinya"
Kasihan, sebab dia menurut gerak lidah pokrol yang jahat itu!
Kasihan, karena dia sendiri menggali lubang bagimu! Kasihan, sebab
mereka yang tiada bersalah, terperosok juga kelak ke dalamnya!
Percakapan Sutan Baringin yang lain dari itu dengan sahabatnya
Marah Sait, tiadalah guna dituliskan di sini supaya cerita ini jangan
membosankan, karena semua perkataan pokrol yang pintar itu hanya
yang tiada mungkin dan yang bukan-bukan saja. Tetapi sebab
pandainya berkata-kata serta dengan petah lidahnya, dapatlah ia
memperbodoh-bodohkan sahabatnya itu. Waktu Sutan Baringin hendak
pergi, ia memasukkan uang kertas ke tempat rokok Marah Sait. Berapa
banyaknya, tiadalah diketahui, hanya Sutan Baringin terdengar berkata,
"Lepas dua tiga hari ini kita pergi ke Padang Lawas akan menjual
kerbau barang lima enam ekor."
"Kalau tiada alangan yang menghambat, baiklah," jawab orang itu
dengan girangnya. Mukanya berseri-seri, karena tahulah ia waktu itulah
dapat menohok kawan seiring dan menggunting dalam lipatan.
"Kerbau enarn ekor, tiada sedikit uangnya, sekurang-kurangnya
empat-lima ratus rupiah," katanya dalam hatinya, sambil tersenyum-
senyurn melihat Sutan Baringin yang berjalan turun rumahnya.
Habis hari berganti minggu, habis minggu berganti bulan, habis
bulan berganti tahun. Demikianlah berturut-turut sehingga lima tahun.
Umur manusia itu pun demikian juga makin lama makin panjang, dan
hari matinya pun makin dekat, meskipun seratus tahun sekalipun ia
hidup di dunia ini. Mati itulah suatu "pekerjaan" jaan" banyak orang
mengatakan "hal" yang harus kita lakukan. Segala yang hidup
bernapas, makan dan akhirnya mati. Ketiga perkara itu harus kita
lakukan, oleh sebab kita hidup, dan itulah tandanya suatu benda yang
hidup. Manusia itu harus bernapas dan makan, oleh sebab itu harus
pulalah ia mati. Akan tetapi beratus beribulah manusia pada zaman ini
yang takut meninggalkan dunia ini. Sungguh heran, apakah gunanya
ditakuti, karena yang mesti terjadi tak dapat tiada kejadian" Apalah
gunanya bersusah hati, kalau matahari itu tenggelam ke sebelah barat,
karena tahu jugalah kita, besok hari dia terbit pula di timur?"
Lima tahun genaplah sudah waktunya yang telah lewat; sejak
daripada percakapan Sutan Baringin dengan Marah Sait. Apa yang
sudah dikerjakan itu tentu tinggal begitu, tidak dapat lagi diulangulang, sebab sudah lewat, lewat dan lalu sebagai hari dan tahun yang
silih berganti. Hari semalam itu tak guna ditunggukan lagi, karena telah
lalu hari besok dapat disongsong. Demikian juga perbuatan kita. Apa
yang telah kita perbuat, buruk atau baik, tak dapat diulangi lagi.
Perbuatan yang baik menyenangkan hati. Kesenangan itu tiada hilang,
meskipun bagaimana lamanya; kalau kita ingat terasa pula di hati kita.
Perbuatan yang jahat mendatangkan sesal, karena tiada pernah lepas
dari pikiran kita, sungguhpuu telah bertahun-tahun. Tetapi apalagi akan
dibuat, yang sudah tinggal sudah, dan sesal kemudian tak berguna.
Oleh sebab itu sudah seharusnya tiap-tiap kita selalu berhati-hati
melakukan pekerjaan waktu kita hidup di dunia ini. Di dalam hadis ada
tersebut: "Rajin-rajinlah bekerja, bagaikan engkau akan hidup selamalamanya, tetapi kuat-kuatlah berbuat ibadat, bagaikan esok ajalmu akan
sampai." Cukuplah sudah lima tahun, sejak Sutan Baringin menghardik istrinya akan balas nasihat yang diterimanya. Apakah hasilnya sekarang"
Sesal yang tiada berkeputusan sampai hari ini matinya.
Bagaimana keadaannya sekarang"
Setelah Baginda Mulia datang dari Deli, tiadalah pernah Sutan
Baringin melawan dia bercakap, menyapa dengan sepatah kata pun
tidak. Betapa herannya Baginda Mulia, tak usah dikatakan lagi; tiadalah
mengerti ia akan sebabnya itu. Akan tetapi di belakang hari barulah
diketahui maksud saudaranya yang pura-pura baik hati itu. Karena
Baginda Mulia seorang yang tenang dan penyabar, tak sukalah ia
menurut nafsu marah dan asutan orang luaran. Ia mengumpulkan kaum
keluarga mereka itu akan memberi nasihat kepada Sutan Baringin dan
memperdamaikan mereka itu. Di antara kaum keluarganya itu bapak
Aminu'ddinlah yang tertua dan ialah yang lebih berkuasa mendamaikan
perselisihan itu. Lagi pun ia seorang kepala kampung, lebih berderajat,
tentu perkataannya lebih dihargai orang.


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sutan Baringin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya,
tiada mempunyai hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak,
dengki dan khianat, itu sajalah yang memenuhi pikirannya. Herankah
lagi kita, kalau segala jerih payah bapak Aminu'ddin itu sia-sia belaka"
Sutan Baringin tinggal bersitegang urat leher saja, perkataan siapa pun
tiada diindahkannya, lain daripada asutan-asutan pokrol bambu yang
cerdik itu. Setelah dilihat Baginda Mulia saudaranya itu tiada terpujuk oleh
kaum-kaum mereka lagi, maka ia pun memikirkan jalan yang lain akan
menawari hati Sutan Baringin. Pada suatu malam sedang waktu amat
dingin karena hujan datang rintik-rintik, pergilah Baginda Mulia ke
rumah kakaknya itu. "Untung baik," pikirnya, "karena seorang pun
tiada kawan dia di sini." Adapun maksudnya datang itu hendak melawan Sutan Baringin bermupakat.
Dengan taklimnya ia duduk bersila di hadapan kakaknya itu, tiadalah ditunggunya Sutan Baringin menegur dia dengan sepatah kata.
Dengan suara yang lemah-lembut serta perlahan-lahan, ia pun berkata,
"Adapun maksud adinda ini datang berjumpa dengan kakanda, yakni
hendak menyerahkan badan diri adinda. Kakandalah yang menjadi ibu
dan bapak bagi adinda yang sebatang kara ini. Kalau sekiranya ada
kesalahan adinda, atau disebabkan adinda kurang hormat dan kurang
bahasa kepada kakanda, besarlah harapan adinda, kakanda akan mengampuni kesalahan adinda itu semuanya. Tentang pusaka mendiang
nenek kita tiadalah berapa adinda pikirkan, hanya adinda mengharap
dapat bagian barang sedikit, sebagai tanda persaudaraan kita. Sekalikali tiadalah niat dan maksud adinda berperkara, sebagai asutan orang.
Tentang banyaknya bagian adinda kakandalah yang maklum akan dia,
bukanlah adinda minta seperdua. O, sekali-kali tidak, karena adinda
pun maklum juga, kakandalah yang sulung. Apalah gunanya kita
berselisih karena harta peninggalan nenek kita. Bukankah kebaikan
antara orang bersaudara itu lebih berharga daripada emas dan perak"
Itu pun haraplah adinda ini akan kemurahan kakanda, eloklah kita
berdamai, supaya semangat mendiang nenek kita jangan gusar atas
perbuatan kita itu."
Setelah itu maka ia pun diam menantikan jawab Sutan Baringin.
Matanya tiada lepas dari muka saudaranya itu. Sutan Baringin duduk
termenung, tiada berkata-kata. Entah disebabkan ia terkejut akan
kedatangan adiknya itu, atau karena kekuatan perkataan Baginda Mulia
itu. Maka tiada berapa lama antaranya, ia pun berkata, "Aku sudah
mengerti tajamnya akalmu. Orang sedunia ini kaukumpulkan,
kemudian engkau sendiri datang ke mari, akan tetapi aku takkan
percaya akan orang yang bermulut manis."
Demikianlah dijawabnya akan perkataan saudaranya yang ke luar
dari hati yang ikhlas itu. Akan tetapi apa boleh buat, siapa yang telah
dimasuki setan itu tentu membenci kebaikan.
"Sampai hatikah kakanda menolak permintaan adinda itu" Lebih
sukakah kakanda akan orang daripada kaum sedarah kakanda?" sahut
Baginda Mulia yang putus asa itu.
"Diam, tak kukenal kau, engkau datang ke sini sebagai pencuri
tengah malam, ayoh, nyah!" kata Sutan Baringin dengan suara kasar.
"Sarung yang bengkok dimakan pisau," sahut Baginda Mulia,
sambil berdiri meninggalkan tempat itu.
Setelah lewat sebulan, sampailah perkara itu ke tangan pengadilan
di Padangsidempuan, ibu negeri Pengadilan Angkola dengan Sipirok.
Pada masa itu Asisten-Residenlah yang menjadi kepala pengadilan itu.
Hal itu acap kali kelihatan di negeri yang sunyi: jabatan pengadilan
biasa ditempelkan kepada pegawai pemerintah. Hal itu tentu kuranglah
baiknya. Syukurlah pada waktu ini sudah banyak yang diubah, dan
pemerintahan serta jalan-jalan keadilan pun tentu jauh lebih baik.
Pada hari yang ditentukan dibukalah perkara Sutan Baringin dan
Baginda Mulia itu. Amatlah banyaknya orang yang datang hendak
menyaksikan, dan pokrol bambu pun datanglah dari segenap pihak.
Adalah hal itu sebagai kebiasaan penduduk orang Sipirok. Mungkin di
negeri-negeri lain begitu juga halnya. Bila tiada pekerjaannya yang
perlu, umpamanya habis menyabit padi, datanglah mereka itu berkumpul-kumpul sekeliling pesanggrahan Sipirok*). Di situlah mereka
mendengar bagaimana kesudahan perkara-perkara orang yang
bermacam-macam. Pokrol-pokrol bambu mendengarkan orang bersoaljawab itu tentu dengan maksud belajar, supaya tahu ia nanti akan putarputar bicara. Perkara Sutan Baringin itu telah kebilangan ke manamana, oleh sebab itu amatlah banyaknya orang menonton.
Sebagaimana kebiasaan, setelah orang yang beperkara sudah naik,
maka Asisten-Residen yang menjadi kepala pengadilan itu, memberi
*) Pesanggrahan di Sipirok, yakni gedung besar, kebiasaan
tempat orang-orang Belanda bermalam, karena di sana tiada
hotel seperti di negeri ramai, Pesanggrahan yang di Sipirok itu
dipergunakan juga sebagian tempat persidangan, karena kantor
pengadilan tak ada. nasihat kepada kedua mereka itu, Sutan Baringin dengan Baginda
Mulia, supaya mereka itu suka berdamai.
"Tiadakah ada familimu yang menyelesaikan perselisihan ini"
Bukankah lebih baik kamu berdamai saja" Berapa besarnya kerugianmu, kalau perkara diperiksa oleh hakim" Ongkos rapat, uang
borong pasti dibayar, mana lagi waktu kamu yang terbuang;
perseteruan makin dalam pula di antara kamu yang bersaudara."
Begitulah ujar kepala Pengadilan itu, tetapi tiadalah Sutan Baringin
suka berdamai dengan Baginda Mulia. Jawabnya ringkas saja, "Orang
ini tiada apa-apa kepada saya, Tuan."
"Kalau demikian, kamu jangan menyesal, rapat tentu melakukan
keadilan, karena itulah kewajibannya. Dan ingat-ingatlah, orang yang
beperkara itu amat susah: yang menang menjadi bara, yang kalah
menjadi abu. Sekarang pemeriksaan dimulai," kata Kepala Pengadilan.
Yang busuk itu ketahuan juga. Sarung yang bengkok itu dimakan
mata pisau, kata peribahasa orang tua-tua. Begitu juga halnya dengan
perkara ini. Setelah tiga hari lamanya memeriksa perkara itu,
keputusannya dibaca oleh garipir.
"Sebab sudah terang, Baginda Mulia saudara Sutan Baringin, yakni
saudara senenek, maka rapat memutuskan Baginda Mulia menerima
separuh daripada harta pusaka neneknya itu. Ongkos rapat dan uang
borong harus dibayar oleh Sutan Baringin."
Keputusan sudah terjadi, kebenaran telah ke luar, yang bengkok
sudah nyata, akan tetapi Sutan Baringin mendengar petuah pokrolnya
lagi. la pun minta banding lagi ke Pengadilan Tinggi di Padang. Berapa
ratus kerugian yang sudah-sudah tidak dipedulikannya. Pokrol bambu
pun telah menerima bagiannya, mana lagi upah saksi palsu. "Akan
tetapi tidak mengapa, asal menang juga kesudahannya. Bukankah di
Padang pengadilan yang sebenarnya, di sana diperiksa sekalian perkara
dengan teliti dan tenang," begitulah perkataan Marah Sait, yang
mencelakakan Sutan Baringin yang bodoh itu.
Hati masih panas, bujukan Marah Sait amat manis. Pendek kisah
Sutan Baringin minta banding lagi. Akan tetapi sekali ini haruslah
mereka bersungguh-sungguh, yakni mereka itu berdua akan pergi
sendiri ke Padang, supaya dapat menghadiri persidangan itu. Boleh jadi
ia beroleh pengacara yang pandai di sana. Akan belanja dalam
perjalanan yang sejauh itu sudah tentu berguna uang beratus-ratus pula,
ya beribu-ribu lagi, asal ada, sudah tentu pokrol harus diberi upah yang
cukup, di jalan pun naik kereta saja.
Waktu itu perjalanan ke Padang jauh lebih susah daripada sekarang.
Jadi sudah tentu ongkos pun jauh lebih banyak.
Itu semua tiada dipikirkan Sutan Baringin; ya, kerbau di Padang
Lawas masih banyak. Sekarang haruslah sekaliannya itu dijual, supaya
ada penutup ongkos-ongkos perkara dan perjalanan.
Belanja di jalan, belanja di Padang, ongkos surat-menyurat, untuk
ini itu lagi, semuanya mengosongkan kantung Sutan Baringin. Belanja
pulang pun hampir tiada lagi, sedang yang dimaksud tiada dapat.
Adakah manusia itu dapat membuat yang bengkok itu menjadi lurus,
sungguhpun bagaimana kuatnya uang itu"
Ibu Mariamin yang duduk di rumah dengan masygulnya, ber oleh
surat kawat, supaya ia menjual sawah lima piring dan uangnya harus
dikirimkan dengan segera, supaya ada belanja pulang. Perempuan yang
setia dan penyabar itu pun berbuat sebagai perintah suaminya itu.
Betapa kedatangan Sutan Baringin kembali ke Sipirok, tak usahlah diceritakan lagi.
Dari Padang ia membuat rekes lagi ke Jakarta kepada Pengadilan
Tertinggi di sana. "Semua ikhtiar haruslah kita perbuat, supaya kita
jangan menyesal di belakang hari," kata pokrol yang cerdik itu. Akan
tetapi ia berkata demikian itu akan mencari untung yang lebih banyak
lagi; membuat rekes tentu mendatangkan upah baginya. Dan Sutan
Baringin masih ada harapan lagi, sebagai orang yang berpenyakit
sering menaruh harapan akan kesehatan, bila ia mendengar orang menceritakan kernujaraban suatu obat.
Ya, barulah tahu ia sekarang kebenaran perkataan istrinya yang baik
hati itu, kebenaran nasihat kaumnya, kebetulan nasihat Kepala
Pengadilan Sipirok. Akan tetapi sudahlah janjinya, bahwa yang kalah
itu harus menjadi abu. Sekarang tiadalah terhingga sesalnya, karena ia
menolak permintaan saudaranya dan mengusir dia pada malam itu.
Tetapi apalah gunanya sesalnya itu, karena sudah terjadi.
Sekarang pulanglah ia ke kampung seorang diri, membawa malu,
kehinaan, mendukung kemiskinan dan kemelaratan, karena harta telah
habis musnah dalam waktu yang sekian pendek itu.
Memang seorang diri, karena Marah Sait telah mengambil jalan
yang lain, akan menyisihkan Sutan Baringin. Ya, apakah yang dipedulikannya lagi; habis manis sepah terbuang, bukan"
Kini baiklah kita melayangkan pemandangan dahulu ke rumah
Sutan Baringin di Sipirok, supaya dapat melihat hal si ibu anakberanak
sebelum si bapak kembali.
Dengan hati yang gundah gulana si ibu menantikan suaminya
pulang kembali. Malu, kemiskinan, kemelaratan tiada jauh lagi pada
pemandangannya. Malu melihat orang banyak; miskin karena keadaan
telah licin tandas, ada yang tinggal, harus dibagikan kepada Baginda
Mulia; melarat, karena perbuatan suaminya itu. Akan tetapi apa boleh
buat, semuanya itu harus ditanggung ibu yang malang itu dengan sabar
juga; kepada siapakah akan dikeluhkan, kalau tangan kanan melukai
tangan kiri" Demikianlah ia berpikir-pikir pada suatu petang, ketika matahari
hampir terbenam. Tatkala itu ia duduk di kebun, yang di belakang
rumah mereka, sedang anaknya yang laki-laki bermain di tempat itu.
Mariamin yang berumur dua belas tahun itu lagi mengerjakan
pelajarannya, yang dibawanya dari sekolah.
Tengah ibu Mariamin duduk berangan-angan itu, nampaklah
olehnya anak itu mengejar seekor kupu-kupu. Kupu-kupu itu hinggap
pada sekuntum bunga melati. Anaknya itu mengambil sepotong kayu
akan memukul binatang itu, karena amat inginnya hendak beroleh dia.
Akan tetapi dengan sebentar itu juga ibu itu berlari, lalu menangkap
tangan anaknya itu. "Jangan dibunuh binatang itu, Buyung!" katanya, sambil merneluk
dan memangku budak itu, lalu dibawanya ke tempat duduknya.
Anak itu menangis, seraya katanya, "Bukan, Mak, saya hendak
menangkap kupu-kupu itu saja. Tengoklah, Mak, betapa elok sayapnya
itu, berkilat kena sinar matahari. Tangkaplah, Mak! Saya ingin hendak
memegang binatang itu."
"O, jangan!" sahut ibunya, "anakku tiada boleh menyakiti binatang."
"Bukan saya hendak menyakiti, hanya hendak memegang saja."
"Ya, Anakku, akan tetapi kalau engkau memegang sayapnya yang
halus itu, tentu dia koyak. Dan binatang itu merasa sakit. Ah, jangan,
Buyung; ia hidup di dunia hanya sehari saja."
"Kalau saya pegang sayapnya itu, ia merasa sakit, Mak" Adakah
kupu-kupu itu mempunyai perasaan, seperti kita?"
"Ya, tentu. Tengoklah betapa riangnya binatang itu hinggap di atas
bunga itu. Ia diayun-ayunkan angin yang lemah-lembut itu. Kalau ibu
membuai-buaikan engkau, tentu hati anakku girang, bukan?"
Budak yang kecil itu berdiri mengamat-amati kupu-kupu itu. Ibunya
berdiri juga dekat pohon bunga melati itu, tangan anaknya itu dipegangnya. Sejurus panjang lamanya budak itu pun bertanya, "Kalau
demikian ada juga perasaan binatang itu, ya, Mak?"
"Ya, tentu dia merasa sakit dan senang sebagai kita juga."
"Perasaan saya ada juga, Mak?"
"Ya." "Di manakah tempatnya?"
"Pada seluruh badanmu, dan di dalam hati. Tengok, kalau kau jatuh,
engkau menangis, sebab kakimu sakit. Kalau hujan datang, anakku
kedinginan. Jadi perasaan itu ada pada seluruh badan kita."
"Dalam hati ada juga, Mak?"
"Ya, Nak. Kalau Riam mengganggu engkau, engkau menangis.
Sebab hati anakku sakit. Hati bunda pun sakit juga, kalau anakku nakal.
Kalau anak manis, mak riang, karena hati mak senang melihatnya."
Budak itu mendekap ibunya, seraya berkata, "Ibu, jangan, saya tidak
mau nakal." Si ibu memeluk anaknya itu lalu diciumnya berulang-ulang, air
matanya jatuh berlinang-linang, karena perkataan anaknya itu.
Kupu-kupu itu mengembangkan sayapnya yang permai itu, lalu
terbang mencari makanannya.
"Selamat jalan, hai kupu-kupu yang riang! Engkau hidup sebentar di
dunia, akan tetapi suatu pun tak ada yang kaususahkan. Berbahagialah
orang yang serupa engkau," kata ibu yang baik hati itu, sambil
menurutkan dengan matanya kupu-kupu itu terbang, sehingga lenyap
dari pemandangannya. "Mak! Bunga melati yang kembang itu halus juga. Adakah juga ia
mempunyai perasaan?" tanya budak itu.
Si ibu tiada menjawab pertanyaan anaknya itu: barangkali tiada
didengarnya, karena pada sekejap itu juga Mariamin datang berlari-lari
mendapat mereka. Dari jauh ia telah berseru dengan riangnya, "Apa
pekerjaan mak di sini?"
Setelah ia dekat, lalu berkata pula, "Sukakah ibu mendengar syair"
Saya membawa Suluh Pelajar, yang kupinjam dari Engku Guru."
Si ibu pun duduklah di atas bangku, Mariamin membuka Suluh
Pelajar itu lalu dibacanya syair yang di dalam itu. Meskipun perkataan
dan kalimatnya terlampau tinggi bagi dia, akan tetapi dirasainya juga
akan kenikmatan syair itu.
Beginilah bunyi syair itu:
Apabila bunda membuaikan kita,
Berapa banyak nyanyi dan kata:
"Besarlah buyung intan permata,
Buah hati permainan mata.
Buah hati pengarang jantung,
Tempat bunda mengatakan untung,
Dunia akhirat tempat bergantung,
Harapan bunda janganlah buntung.
Ya Allah, Tuhan sernesta!
Anak 'ku junjung bagai makota,
Akan pakaian permainan mata,
Pengganti gelang cincin permata.
Anakku kandung emas dan urai,
Biarlah sama terjun di ngarai,
Habis daging, tulang berkirai,
Tandanya bunda enggan bercerai.
Bunda tak suka cerai dan genggang,
Biar ke laut ke gunung kerang,
Meskipun dalam tohok dan perang,
Penghabisan kasih anakku seorang.
Jerat semata oleh bunda kandung,
Waktu panas tempat berlindung,
Waktu hujan keganti tudung,
Harapan bunda janganlah kudung.
Putus ... tak ada akan penghubung,
Ke langit rasanya bunda membubung,
Bak rumah tiris tidak berabung.
Bagaikan padi tak berlumbung.
Habislah bulan tahun berganti,
Besarnya anak dinanti-nanti,
Perintah bunda anak turuti,
Dari sekarang sampai 'ku mati.
Besarlah anak bundaku julang,


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak mencari apa yang hilang,
Pada masa kurang tempat menyelang,
Yang jauh ia akan menjelang.
Haraplah bunda anaknda ingat,
Apa yang di dada bunda tersurat,
Biarpun tuan di dunia melarat,
Asal selamat dalam akhirat."
Pada waktu itu matahari yang menerangi alam itu pun sudahlah
masuk ke balik Sibualbuali; rupanya telah payah, sedang makhluk yang
mendiami bumi itu pun telah bercintakan hari malam, supaya ia
berhenti melepaskan lelahnya. Angin gunung yang lemah dan sejuk
pun bertiuplah membawa udara yang harum dan wangi serta dengan
segarnya. Sejurus panjang lamanya si ibu itu terdiam, karena hatinya terkena
oleh bunyi syair yang dibacakan anak itu. Sayu dan rayu perasaannya
mendengar suara anaknya itu dan dalam hatinya ia berkata,
"Demikianlah harapan ibu, akan tetapi anakku ini sudah tentu melarat
di belakang hari, meskipun mereka itu tiada bersalah. Ya, Allah, ya,
Tuhanku, janganlah balas dosa orang tuanya kepada umat-Mu yang
tiada bersalah ini."
Tabuh magrib berbunyilah di mesjid besar, si ibu dengan anaknya
itu pun naiklah ke rumah, karena sudah mulai gelap.
Kota Sipirok suatu pun tiada perubahan, akan tetapi dalam rumah
tangga Sutan Baringin sebagai siang dengan malam pertukarannya.
Di manakah rumahnya, karena rumahnya yang dahulu itu telah
didiami orang lain" Itulah rumahnya, yaitu rumah bambu yang di pinggir sungai itu.
Suatu perubahan yang tak mungkin rupanya, karena seminggu yang
lalu mereka itu masih diam di rumah yang besar serta dengan
bagusnya. Itu memang benar. Karena baru Sutan Baringin pulang dari
Padang, segala hartanya yang tinggal sudah terserah kepada yang
berhak. Rumah dan barang-barang sudah terjual akan pembayar utang.
Sekarang terpaksalah mereka itu anak-beranak membawa periuk,
piring dua tiga buah, ke rumah kecil yang di tepi sungai itu. Sungguh
amat kasihan. Dahulu tinggal di gedung besar, sekarang dalam pondok
kecil dan bambu. Perkakas dan perhiasan rumah yang dahulu itu telah
hilang, hanya yang buruk-buruk sajalah yang tinggal.
Sekarang baiklah kita masuk ke dalam pondok kecil itu, akan
mempersaksikan pertukaran yang amat besar itu.
Seorang laki-laki tidur di atas sebuah tikar pandan. Bantal
pengalang kepalanya hanya sebuah serta dengan kotornya, dan
selimutnya pun telah koyak-koyak karena tuanya. Lihatlah bagaimana
kurus dan pucatnya orang yang tidur itu. Sudah tentu dia itu orang
sakit. Matanya ditutupnya, akan tetapi ia tiada tertidur. Dadanya turun
naik, karena napasnya yang kencang itu, alamat orang itu sakit panas.
Peluhnya mengalir di mukanya; sebentarsebentar dihapus seorang
perempuan yang duduk dekat kepala si sakit, dengan sehelai sapu
tangan. Dengan suara yang mengeluh si sakit meminta air akan
memuaskan dahaganya. "Diri kehausan, baiklah diri meminum obat ini, karena dia itu pun
dingin juga. Kalau kakanda meminum air banyak-banyak, tentu tiada
baik, karena badan kakanda masih hangat," sahut perempuan itu
dengan suara yang lemah-lembut.
"Tak usah adinda lagi membagi kakanda obat, kakanda sudah jemu
di dunia ini. Lagi pula penyakitku tak akan baik lagi. Baiklah adinda
menyenangkan hatiku," kata orang sakit itu perlahan-lahan.
Perempuan itu tiada menjawab, hanya air matanya yang menitik ke
atas bantal orang sakit. "Benarlah rupanya aku ini orang yang malang;
kalau suamiku ini meninggal, apatah jadinya nasib kami anakberanak?" pikir perempuan itu dalam hatinya. Ia pun termenungmenung, tiada memandang ke kiri dan ke kanan. Matanya melihat ke
arah dinding saja, akan tetapi suatu pun tak ada yang tampak olehnya,
karena mata hatinya meninjau ke muka, ke tempat yang jauh, yakni
halnya yang akan datang. Adalah ia melihat jalan kehidupannya makin
lama makin sempit dan berbatu-batu pula. Sekarang temannya dalam
perjalanan itu akan meninggalkan dia. Wah, betapakah jadinya dia
anak-beranak, sedang tempat mengadu pun tiada lagi"
Sambil berpikir-pikir demikian itu, tiadalah diketahuinya air
matanya jatuh bertitik-titik, sebagai air mayang enau baru dipancung.
Orang sakit itu membuka matanya, kesal serta sedih rasa hatinya,
karena tahulah ia yang disusahkan istrinya itu. Melihat muka yang
muram serta air mata yang berlinang-linang itu, hancurlah hati laki-laki
yang keras kepala itu. Ia segan akan berkata. Matanya dipejamkannya
kembali serta ia mengenangkan perbuatannya yang sudah-sudah itu.
Siapakah yang sakit itu, tak lain daripada Sutan Baringin, dan
perempuan yang menjaganya ialah istrinya. Baru ia datang dari
perjalanan dan sesudah harta bendanya jatuh ke tangan orang, ia pun
jatuh sakit. Penyakitnya itu bertambah-tambah, meskipun istrinya,
sudah bersungguh-sungguh mencarikan obat ke sana-sini. Asal mula
penyakit Sutan Baringin itu mungkin karena dukacita yang sudah
terlampau, sebagai katanya tadi, lebih sukalah ia mati daripada hidup
menanggung malu dan kemelaratan yang besar itu. Sungguhpun obat
diminumnya juga, akan tetapi tak adalah ia mengharap akan baik
kembali. Ya, benarlah yang demikian itu, ia pun telah merasa ajalnya
sudah dekat. Sutan Baringin, amatlah sengsaranya! Dia seorang bangsawan dan
hartawan, sekarang menjadi hina dan dina di mata orang. Semenjak
dari kecil sampai besar hidup dalam kesenangan dan kekayaan,
sekarang waktu akan mengembuskan napas yang penghabisan dalam
azab dan sengsara. Sungguhlah hidupnya yang penghabisan itu penuh
dengan kemelaratan! Akan tetapi kepada siapakah akan disesalkan, karena sekaliannya
itu kesalahannya sendiri. Pujuk dan rayu, dibuangnya ke belakang saja,
tegur dan nasihat tak dipedulikannya. Di antara kaum keluarganya jauh
dan dekat, seorang pun tiada yang bersalah. Ya, cuma seorang sajalah
tempat dia menyesal, yakni ibunya, yang mendidik jadi anak manja.
Kalau sekiranya ia tiada memanjakan semasa hari mudanya, barangkali
dia tiada semelarat itu, tetapi ya, sudah telanjur. Besarlah tanggungan
ibu dan bapak, kalau anak yang diserahkan Tuhan itu kepada mereka
binasa budi pekertinya. "Nuria," seru Sutan Baringin dengan suara yang hamper-hampir
putus. Perempuan itu terkejut serta memandang suaminya.
"Berilah aku air barang sedikit. Tiada tertahan olehku panasnya ini,
kerongkonganku sudah kering dan lidahku pun rasa terbakar."
Dengan perlahan-lahan perempuan itu memberi minum suaminya.
Si sakit itu pun berkumur-kumur, lalu minum. Matanya tiada lepas dari
muka istrinya itu, tetapi sepatah kata pun tiada keluar dari dalam
mulutnya. Kemudian ia pun menyapu air matanya; pilu rasanya hatinya
melihat istrinya, kawan sepenanggungannya itu.
"Nuria, marilah adinda dekat-dekat, supaya adinda dengar suaraku
dengan nyata!" kata suaminya kemudian.
Istrinya pun duduklah dekat bantal si sakit, seraya telinganya
dipasangnya baik-baik, supaya segala perkataan suaminya itu dapat
didengarnya dengan nyata.
"Sebelum kekuatanku habis," kata Sutan Baringin, "selama kakanda
dapat berkata, kakanda hendak mengeluarkan apa yang terisi dalam
dada kakanda ini, supaya adinda mendengar dia. Besok lusa, tak sempat
lagi rasanya, karena ajalku sudah dekat. Keraskan hatimu Nuria,
engkau jangan menangis, karena air matamu yang bercucuran itu
memilukan hatiku. Tiadakah adinda menaruh kasihan kepada kakanda,
hidupku tiada lama lagi" Sudikah adinda mendengar bicaraku ini dan
maukah nanti adinda berkata benar menjawab pertanyaanku?"
Si ibu menganggukkan kepalanya, hendak berkata tak dapat lagi.
"Nuria, adakah adinda kasih akan kakanda ini?"
"Sejak mulai kita kawin sampai saat ini tiadakah kakanda merasa
cintaku?" dengan air mata bercucuran. "Sekali lagi adinda katakan:
Adinda ini amat kasih akan kakanda, sungguh amat kasih, lebih
daripada yang lain. Aduh, betapakah melaratnya adinda anak-beranak
kalau kakanda meninggalkan kami dalam keadaan sebagai ini.
Siapakah lagi gerangan kawan adinda membagi susah dan duka"
Siapakah orang yang mau mendengar keluh kami anak-beranak?"
"Adinda jangan berkata demikian. Sekarang kakanda mengucap
syukur kepadamu. Tiadalah seharusnya bagiku menerima kasih dan
sayang daripadamu, karena selama ini tiadalah kakanda mencintai
adinda sebagaimana yang patut. Sungguh hatimu amat mulia, tiadalah
berpadanan dengan kelakuanku yang hina ini. Oleh sebab itu haraplah
kakanda, adinda mengampuni kesalahanku itu.
Kedua: barulah sekarang kakanda menyesal, sebab tiada mendengar
nasihat adinda. Engkau sampailah rasanya menarik kita semua dengan
sekuat-kuat tenagamu, supaya kita anak-beranak jangan sampai terjerumus ke lautan kemiskinan; akan tetapi kakandalah yang menenggelamkan kita sekalian. Itu sudah dengan takdir Allah. Kakanda
orang celaka, itulah yang menyebabkan sengsara besar ini. Dan
seharusnyalah itu akan membalas perbuatanku; akan tetapi adinda dan
anak kita yang dua orang itu menanggung azab juga. Sungguh amat
berat kesalahan kakanda itu. Pikiran yang demikian itulah yang
menyakiti hatiku. Akan tetapi apa boleh buat, sesalku itu tak berguna
lagi. Hanya satu sajalah sekarang yang dapat kuperbuat, yakni mohon
kerahiman Allah yang rahmat, mudah-mudahan dosaku itu diampuniNya. Adinda yang tinggal pun kakanda doakan juga; mudah-mudahan
Allah yang mengasihi makhluknya, memelihara adinda dari bencana
dunia. Terimalah tanganku ini!" di sini Sutan Baringin mengangkat
tangannya, istrinya menerima tangan itu. "Itulah tanda kasihku akan
adinda. Bila kita nanti sudah bercerai, janganlah adinda berkata, "Ia
sudah meninggal, laki yang tiada mengasihi istri. Karena meskipun
dahulu adinda kurang kuindahkan, sekarang mengakulah kakanda,
adindalah cahaya dan biji mataku, adindalah jiwa kakanda, sayang
kakanda yang celaka ini tiada menurut nasihat adinda menuju jalan
yang sempurna itu. Tapi sudahlah takdir Allah yang akbar demikian."
Di sini terhentilah katanya, karena napasnya makin kencang, ia pun
tiada dapat berkata-kata lagi, matanya terbelalang dan ia pun
pingsanlah. Sejurus lamanya sadarlah ia.
"Adinda Nuria," katanya pula, "makin lemah rasanya perasaanku,
kekuatanku hampir tak ada lagi, pikiranku pun sudah jauh dari dunia
ini. Sudah datangkah si Riam?"
Maka dipeluk dan dicium oleh Sutan Baringin anaknya itu bergantiganti dan air matanya bercucuranlah. Sekaliannya menangislah tersedusedu.
"Selamat tinggal kepada kamu sekalian, adinda yang kucintai
dengan anakku berdua yang malang. Tuhan-lah mengampuni dosaku
yang besar itu!" ujar Sutan Baringin.
Kemudian ia memberi tanda, supaya istrinya pergi ke luar. Maka ia
pun memutar kepalanya lalu tidur.
Berat rupanya beban yang dipikul si sakit itu, tetapi lebih berat lagi
beban si ibu itu, karena suaminya hendak meninggalkan dunia yang
fana ini. Akan tetapi bagi si ibu" Sekarang ialah yang menjadi ayah dan
bunda budak yang dua itu. Ialah yang akan memikul segala
tanggungan, baik di dalam atau di luar rumah. Akan tetapi ia tiada
pernah putus asa. "Pada waktu kesukaan aku tak melupakan Tuhan, dan
pada waktu kedukaan pun tidak. la tiada melupakan hamba-Nya,"
demikianlah perempuan itu berkata dalam hatinya. Syair puji-pujian
pun keluarlah dari mulutnya, sedang ia duduk di rusuk rumahnya
memandang ke arah sungai yang mengalir di tempat itu.
Adapun syair itu dipelajarinya tatkala ia anak-anak. Daripada
ibunya, seorang perempuan yang kuat beribadat. Sayang sedikit syair
itu dalam bahasa Batak. Bacalah, adalah kira-kira begini salinannya.
Isinya yang amat dalam dan berat itulah yang menyenangkan hati
pembaca : Dalam tanganmu, ya Allah, ya Tuhanku,
Terserah badan dan jiwa serta nasibku,
Engkau Tuhan sarwa sekalian alam,
Sekalian yang ada: Bulan dan bintang, Manusia dan binatang,
Engkau pelihara dengan sempurna.
Dalam rahmat-Mu, ya Allah, ya Tuhanku,
Bergantung sekalian cinta harapanku,
Hebat dan keras gelombang memukul,
Haluan perahuku di tengah lautan,
Lautan kemiskinan dan kemelaratan,
Tetapi hambamu tiada masygul,
Karena Engkau-Lah yang memelihara,
Sekalian umat-Mu yang sengsara.
Betul hamba kerap kali tersesat,
Dari jalan yang lurus kebenaran,
Disebabkan ombak gelombang dunia,
Akan tetapi, meskipun hamba-Mu sarat,
Oleh karena bala pengajaran,
Tiada hamba berhenti mohon kurnia,
Karena Engkau-lah Tuhan kami sekalian,
Umat yang hina Engkau jadikan.
Keras ombak di lautan, Angin topan bersiut-siut,
Perahuku hampir tenggelam-tenggelam,
Bulu romaku sudah seram-seram,
Akan tetapi badan dan jiwaku,
Engkau-lah memelihara, ya Tuhanku!
Meskipun ombak makin besar,
Laut bergelora sekuat-kuatnya,
Meskipun hidupku makin sukar,
Azab dunia menunjukkan bisanya,
Tiadalah dia kuindahkan, Karena"lepas ajalku"
Engkau menerima jiwaku Dengan Kurnia-Mu, ya Allah yang dermawan.
Hati siapakah yang tiada sayu" Matahari itu makin lama makin
tinggi, akan tetapi cahayanya dihambat oleh awan yang bergumpalgumpal. Dataran tinggi Sipirok yang jongkat-jangkit itu tiada beroleh
sinar raja siang, karena dilindungi oleh awan yang hitam itu. Angin pun
tiada berembus dan daun kayu-kayuan pun tidak bergerak semuanya.
Lengang dan sunyi rupanya kota Sipirok yang indah itu, sedang orang
banyak pun telah pergi ke ladang dan kebun kopi mereka masingmasing. Dari mulut Gunung Sibualbuali yang berapi itu keluarlah
perlahan-lahan asap yang bergumpal-gumpal naik lurus ke atas, karena
udara yang memalut bumi ini tiada berjalan adanya.
Bunyi burung-burung, seperti balam dan tekukur pun tiada kedengaran, sedangkan murai yang biasa berkicau itu pun tiada kedengaran bunyinya. Semuanya diam dan termenung, seolah-olah
perempuan janda yang berkabung. Hanya bunyi siamanglah yang
kedengaran sekali-kali dalam hutan yang menutup lereng Sibualbuali
itu. Bunyi siamang yang tiada pada waktunya itu, adalah sepanjang
kepercayaan orang kampung alamat ada orang yang akan meninggal.
Hati siapakah yang tiada pilu melihat kejadian di dalam rumah
miskin yang di pinggir Sungai Sipirok itu"
Sutan Baringin memberi isyarat, supaya istrinya menelengkan
telinganya dekat mulutnya. Perempuan itu pun berbuat yang demikian
itu. Kemudian berkatalah Sutan Baringin, "Ajalku sudah sampai ...
peliharakan anak yang ... dua orang itu. Selamat ..., selamat tinggal!"
Ia pun menarik napas yang panjang. Anak dan istrinya duduk
berkeliling, menanti-nantikan perceraian dunia itu.
Kaki dan tangan si sakit itu tiada bergerak lagi, dadanya pun telah
diam. Tiba-tiba ia membukakan matanya yang telah hilang cahayanya,
seperti lampu yang malap. Sekali lagi ia menarik napas, dan matanya
yang hidup itu memandang muka mereka yang berkeliling itu, mulai
dari anak yang bungsu sampai kepada si ibu.
Itulah pandang yang penghabisan, karena sebentar itu juga ia pun
menutupkan matanya. Arwahnya pun keluarlah meninggalkan jasadnya
(tubuh), karena badan itu hendak kembali kepada asalnya.
6. MAKIN JAUH Hal Ihwal penduduk rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu


Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah kita maklumi. Siapa Mariamin, siapa ayah bundanya, telah
dikenal benar-benar. Jadi tiadalah kita heran jagi, apa sebabnya si ibu
bersusah hati, waktu ia sakit itu, sebagai sudah tersebut pada awal
cerita ini. Nyawa manusia tiada dapat ditentukan, kalau ia mati, apa
pulakah jadinya anak yang dua itu" Yang dipikulnya pun telah berat
sejak suaminya meninggal dunia. Harta habis, bangsa pun hilang. Akan
tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras hati. Beban itu
dipikulnya dengan pikiran yang tenang. Karena, meskipun hidupnya di
dunia ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya
bertambah teguh. Sekalian penanggungannya yang berat itu diserahkannya kepada Tuhan Yang Pengasih, karena tahulah ia, bahwa di
dunia ini suatu pun tiada yang kekal. Mereka anak-beranak dalam
kemelaratan, siapa tahu besok lusa datang perubahannya. Meskipun
Petualangan Dilembah Maut 4 Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu Meet Sennas 2
^