Sengsara Membawa Nikmat 4
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati Bagian 4
kepada kakanda apa yang tersimpan dalam dada Adinda. Tetapi kakanda
berlipat ganda daripada itu. Harapan kakanda besar, cita-cita kakanda tinggi
terhadap kepadamu, Adikku! Kakanda minta dengan sangat, harapan kakanda
yang mulia dan suci bersih itu, janganlah kiranya Adinda putuskan. Jika Adinda
abaikan, nyawa kakanda tentangannya. Sebab itu sudilah kiranya Adinda mengikat erat, menyimpai
teguh untuk sementara waktu. Kepergian kakanda ini tersebab Adinda dan
keperluan kita berdua. Peluk cium kakanda, MIDUN
Setelah sudah surat itu dilipatnya, lalu dimasukkannya ke saku bajunya. Maka Midun
pun tidurlah dengan nyenyaknya, sebab pikirannya sudah tetap. Pagi-pagi benar ia sudah
bangun. Sudah minum pagi mereka pun pergilah bersama-sama mengantarkan Midun. Baru
saja sampai di stasiun, Halimah pergi membeli karcis ke Betawi. Kemudian karcis itu
diberikannya kepada Midun. Karena Midun merasai selain daripada karcis ada pula sebuah
surat, maka waktu itu Midun segera pula mengambil surat yang dibuatnya semalam, lalu
diberikannya kepada Halimah. Hal itu seorang pun tak ada yang melihat, karena bapak ibu
dan famili yang lain sudah masuk ke dalam stasiun.
Kereta sudah datang, maka mereka itu pun bersalamsalaman. Yang pergi meminta
maaf dan memberi selamat tinggal, yang tinggal begitu pula, lalu memberi selamat jalan.
Ketika Midun bersalam dengan Halimah, tangan mereka gemetar, s.ama-sama tak hendak
melepaskan. Sesaat kemudian Midun berkata, "Halimah, jangan saya dilupakan!"
Midun melepaskan tangan Halimah, lalu melompat naik kereta. Sampai kereta api
berangkat, ia tidak memperlihatkan mukanya ke jendela kereta. Amat sedih hatinya bercerai
dengan kekasihnya itu. Tetapi apa hendak dikatakan, karena ia terpaksa meninggalkan
gadis yang dicintainya itu. Halimah pun lebih-lebih lagi, sekuat-kuatnya ditahannya
kesedihan hatinya, karena takut akan diketahui ayahnya, ibu tiri, dan familinya. Sungguhpun
demikian mukanya sangat pucat, air matanya berlinang-linang dan ia sebagai terpaku di
muka stasiun itu. Sampai kereta api hilang dari matanya, baru ia pulang. Itu pun kalau tidak
ditarik adiknya, tidaklah ia sadarkan dirinya.
Setelah kereta api berangkat, Midun segera mengambil surat Halimah dari sakunya.
Untung surat itu bertulis dengan tulisan Arab. Dalam surat itu dilampirkannya sehelai uang
kertas f 50,-. Surat itu demikian bunyinya:
Bogor, 20 Februari 19 ....
Paduka Kakanda yang tercinta! Dengan hormat!
Setelah jauh tengah malam, baru adinda maklum apa maksud Kakanda
meninggalkan adinda. Sekarang insaflah adinda akan ujud perkataan Kakanda
kepada ayah yang mengatakan "maksud baik" kemarin. Dan adinda mengerti
pula, apa sebabnya Kakanda menyimpan rahasia hati Kakanda selama ini
terhadap kepada adinda. Pergilah Kakanda, pergilah! Lamun Halimah tidakkan
ke mana. Adinda akan setia dari dunia lalu ke akhirat kepada Kakanda. Sebab
itu janganlah Kakanda siasiakan pengharapan adinda, anak piatu ini. Adinda
siap akan menyerahkan nyawa dan badan adinda, bilamana saja Kakanda
kehendaki. Bersama ini adinda sertakan uang sedikit untuk belanja di jalan. Harap
Kakanda terima dengan segala suci hati. Selamat jalan!
Peluk cium adinda, HALIMAH Surat ini dimasukkan Midun kembali ke sakunya perlahanlahan. Pikirannya melayang
kepada pergaulannya kelak, manakala ia sudah menjadi suami istri dengan Halimah.
Kemudian teringat pula oleh Midun akan perjalanannya itu. la belum pernah ke Betawi,
hanya melihat kota itu dari atas kereta api saja. Ke manakah ia akan pergi, karena seorang
pun belum ada yang kenal kepadanya di Betawi"
Dalam Midun berpikir-pikir demikian itu, sambil melihat ke luar dari jendela kereta api,
kedengaran olehnya suara orang, katanya, "Assalamu'alaikum!"
Midun melihat lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam!" Seorang Arab bersalam dengan
Midun, lalu duduk dekatnya, karena di situ ada tempat terluang. Setelah orang Arab itu
duduk, ia berkata pula, "Bang hendak ke mana?"
"Hendak ke Betawi!" jawab Midun dengan hormatnya. "Kalau saya tidak salah, Bang
tinggal di Empang, betul?"
"Betul, Tuan juga acap kali saya lihat lalu lintas pada jalan di muka rumah tempat saya
tinggal. Tuan tinggal di Empang jugakah?"
"Tidak. Saya cuma menumpang saja di situ, di rumah saudara saya. Sudah dua bulan
lamanya sampai sekarang. Rumah tempat tinggal saya di Betawi. Saya di Bogor, sebab ada urusan perniagaan."
"Kalau begitu, berniagakah Tuan di Betawi?"
"Ya, betul. Maksud Bang ke Betawi apa pula" Abang orang berniaga seperti saya
juga?" Mendengar pertanyaan itu, Midun berbesar hati. Dari tadi ia memikirkan, ke mana ia
akan pergi setelah sampai di Betawi. Sekarang ia sudah berkenalan dengan seorang yang
tinggal di Betawi. Kata Midun dalam hatinya.
"Sekaranglah yang sebaik-baiknya akan menceritakan hal saya terus terang kepada
orang Arab ini. Biarlah saya katakan saja apa maksud saya ke Betawi. Mudah-mudahan
karena ia seorang Arab, berasal dari Tanah Suci, sudi ia menolong saya. Ah, kalau ia suka
mengajar saya berniaga, alangkah baiknya. Maka Midun berkata, katanya, "Saya ini bukan
saudagar, Tuan! Saya baru datang ke tanah Jawa ini. Sampai sekarang baru sebulan saya
di sini. Maksud saya ke Betawi ini, hendak mencari penghidupan. Saya amat ingin hendak
menjadi orang berniaga. Sudikah Tuan mengajar saya berniaga?"
"Jadi Abang orang mana?"
"Saya orang Padang."
"Belum pernahkah Abang ke Betawi?"
"Tidak pernah sekali juga. Dari Padang saya terus saja ke Bogor."
"Baiklah. Kalau Bang suka, dengan karena Allah saya suka menolong dan mengajar
Abang berniaga." "Terima kasih banyak, Tuan! Asal Tuan suka mengajar saya berniaga, sekalipun akan
Tuan jadikan orang suruh-suruhan dulu, saya terima dengan segala suka hati."
"Baiklah. Nanti kalau kereta sudah sampai di Betawi, ikutlah ke rumah saya! Nama
Bang siapa?" "Nama saya Midun. Saya harap karena Tuan sekarang sudah saya pandang sebagai
induk semang saya, jangan lagi Tuan memanggil 'abang' kepada saya. Sebut sajalah nama
saja!" "Baiklah. Begitu pula sebaliknya, sebab Midun sudah mengaku induk semang kepada
saya, tentu Midun harus pula mengetahui nama saya. Saya bernama Syekh Abdullah
al-Hadramut. Sekarang saya mau bertanya sedikit, tapi saya harap jangan gusar. Waktu
Midun datang ke Bogor tempo hari, saya lihat bersama istri. Tentu saja istri Midun itu orang
Padang pula, sebab Midun belum pernah kemari. Apakah sebabnya
ditinggalkan di rumah orang Sunda di Bogor" Di manakah Midun berkenalan dengan
dia?" Lama Midun berpikir akan menjawab pertanyaan orang Arab itu. Akan dikatakannya
bukan istrinya, memang gadis itu bakal istrinya juga.
"Ah, lebih baik dikatakan istri saya saja," kata Midun dalam hatinya. Maka katanya,
"Istri saya itu orang sini, dan kawin dengan saya waktu di Padang dahulu. Tempatnya
menumpang di Empang itu, rumah orang tuanya sendiri. Jadi sementara saya mencari
pekerjaan, saya suruh ia tinggal bersama orang tuanya dahulu."
"Oooo, begitu!"
Setelah sampai di stasiun Betawi, Midun pergilah bersama Syekli Abdullah
al-Hadramut, ke rumahnya di Kampung Pekojan. Maka tinggallah Midun bersama-sama,
dengan dia di rumahnya. Ada sebulan lamanya Midun berjalan hilir mudik saja menurutkan
Arab itu berniaga. Dengan hal demikian, ia telah mengetahui jalan-jalan di kota Betawi.
Bahasa negeri itu pun sudah mahir pula kepadanya. Begitu pula tentang hal berniaga, ia
sudah agak paham. Maka Midu n pun mulailah berniaga. Uang yang f 50,- yang diberikan
Halimah diambilnya akan jadi pokok. Syekh Abdullah al-Hadramut memberikan kain seharga
f 100,- kepadanya. Maka ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Harga kain ini f 100,-. Jadi
kita berpokok f 50,- seorang. Kalau beruntung, kita bagi tiga. Sepertiga untuk saya dan dua
per tiga keuntungan bagimu. Sukakah engkau dengan aturan begitu?"
Karena Midun sangat percaya kepada orang Arab, ia pun menganggukkan kepala
saja. Dan menurut aturan berniaga, memang sudah sepatutnya. Tetapi dalam pada itu
Syekh Abdullah sudah mengambil keuntungan lebih dulu daripada harga kain itu. Penipuan
itu sekali-kali Midun tidak mengetahui. Bahkan akan menyelidiki benar tidaknya harga kain
sekian tidak pula terpikir di hatinya, karena kepercayaannya penuh kepada orang Arab itu.
Enam bulan Midun berjaja, pada suatu malam ia berkata kepada Syekh Abdullah,
katanya, "Tuan, rupanya agak kurang cepat menjual kain di kota ini. Dalam sehari hanya
laku limaenam helai saja. Tidak baikkah kalau saya pergi ke negeri yang dekat-dekat di sini,
misalnya ke Tangerang, Kebayoran, dan lain-lain?"
"Kalau begitu Midun belum pandai berniaga," ujar Syekh
Abdullah. "Mari saya tunjuki jalannya, supaya lekas tebal. Memang jika dijual tunai,
susah melakukannya di sini. Sebab itu lebih baik Midun perutangkan di kampung-kampung.
Bayarannya pungut tiap-tiap hari Sabtu, sebab kebanyakan orang sini gajian satu kali
seminggu. Jika diutangkan, taruh harga kain itu lebih mahal, menurut beberapa ia berani
mengangsur tiap-tiap minggu, Misalnya kalau harga 13,20,-. Jadi tiap-tiap minggu ia harus
membayar f 0,40,-. Bukankah dengan jalan itu kita beruntung besar" Kesusahannya tidak
ada, sebab Midun berjalan juga tiap-tiap hari."
Perkataan itu tidak sesuai sedikit jua dengan pikiran Midun. Pada pikirannya
perbuatan itu jahat, sebab terlampau memakan benak orang. Meskipun dia yang
sudah-sudah menurut saja apa yang dikatakan induk semangnya, tetapi sekali ini
pengajaran itu tidak sedikit jua sesuai dengan kemauannya.
Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh Abdullah yang demikian itu. Akan
diteruskannya jua menjajakan kain ke kampung, pasti tidak akan laku. Tiba-tiba timbul
pikiran lain dalam hati Midun, lalu ia berkata katanya, "Sekarang lebih baik saya jangan
menjajakan kain lagi, Tuan! Saya ingin hendak berkedai di pasar, di tepi-tepi jalan. Biarlah
saya beli saja di toko. Tetapi pokok saya sekarang, tentu tidak mencukupi. Sudikah Tuan
meminjami saya uang barang f 100,-" Jika Tuan pinjami lagi saya uang f 100,- jumlah uang
Tuan pada saya dengan yang dahulu f 150,-. Sekarang baiklah kita hitung laba rugi selama
saya menjajakan kain."
"Itu lebih baik lagi," ujar Syekh Abdullah, "supaya Midun dapat belajar sendiri
mengemudikan perniagaan. Saya pun lebih suka, kalau saya tidak campur. Dan saya suka
memberi uang pinjaman, tetapi Midun tahu sendiri, tentu saya mengambil untung sedikit."
"Tentu saja, Tuan!" ujar Midun. "Dalam hal itu saya ada timbangan bagaimana yang
patut, karena uang Tuan saya pakai."
Setelah selesai mereka itu membagi keuntungan penjualan kain yang sudah, maka
Syekh Abdullah al-Hadramut menulis sepucuk surat utang. Surat utang itu disuruhnya tanda
tangani oleh Midun. Dengan tidak berpikir lagi, ia menandatangani surat itu dengan tulisan
Arab, lalu uang itu diambilnya. Ia berjanji, bahwa uang itu dalam 8 bulan akan
dikembalikannya. Dengan senang hati Midun pergi, karena ia tidak lagi berjalan kian kemari
di seluruh kota Betawi. Ia memuji-muji kebaikan Syekh Abdullah al-Hadramut, karena
mempercayai dia meminjamkan uang f 150,- itu. Dalam hatinya ia berjanji, manakala
beruntung, akan dibelikannya barang sesuatu untuk istri Syekh Abdullah. Maka Midun
berjalan mencari rumah tempat membayar makan. Ia mencari rumah yang agak dekat Pasar
Senen, sebab ia bermaksud di sana akan membuka kedai. Setelah didapatnya rumnh
tempat tinggal di Kampung Kwitang, lalu Midun pergi membeli barang. Pada keesokan
harinya, ia pun mulai berkedai di Pasar Senen. Setelah sudah berkedai segala kain itu
dibawa oleh seorang kuli pulang ke rumahnya. Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Adapun akan Syekh Abdullah al-Hadramut, sekali seminggu datang juga ke kedai
Midun. Belum cukup sebulan Midun berkedai. pada suatu hari ia disuruh datang oleh induk
semangnya ke Pekojan. Pada malam yang dijanjikan itu, Midun datanglah ke rumah induk
semangnya. Setelah sudah makan minum, maka Syekh Abdullah berkata, "Adakah baik
jalannya selama engkau berkedai, Midun?"
"Baik juga, Tuan!" ujar Midun. "Sekurang-kurangnya dalam sehari terjual seharga f
50,-. Kadang-kadang dicapainya sampai f 75,-."
"Baik benar kalau begitu. Tidak lama lagi hari akan puasa. Tidak perlukah Midun
menambah pokok lagi?"
"Jika Tuan percaya dan sudi meminjami saya, terima kasih banyak, Tuan! Memang
dengan pokok sebanyak sekarang tak dapat saya mencukupi kehendak orang. Ada yang
meminta kain ini, kain itu, tetapi tidak ada saya taruh. Sedangkan sekarang demikian
keadaannya, apalagi kalau sedikit hari lagi."
"Baiklah, ini saya tambah f 100,- lagi untuk pokok. Tetapi supaya terang berapa uang
saya kepada Midun, tentu engkau harus menekan surat utang pula."
"Tentu saja, Tuan! Jika tidak demikian, tidak terang, berapa uang Tuan pada saya."
Midun menekan surat utang pula sehelai lagi. Uang diterimanya f 100,-. Jadi jumlah
utang Midun sudah f 250,- dengan yang f 150,dahulu itu.
Maka berniagalah Midun dengan sungguh-sungguh hati. Karena ia tidak banyak
mengambil untung tiap-tiap helai kain, amat banyak orang membeli kain kepadanya. Pada
pikiran Midun, biar sedikit untung, tetapi banyak laku. Dengan hal demikian, ada kira-kira
empat bulan Midun berniaga.
Pada suatu malam, Midun menghitung berapa keuntungannya selama berkedai kain.
Dengan tidak disangka-sangkanya, dengan pokok lebih kurang f 300,-, ia mendapat
keuntungan bersih hampir f 200,-. Midun lalu berkata dalam hatinya, "Lain daripada barang,
uang kontan sekarang ada pada saya f 350,-. Supaya saya jangan bersangkut paut juga
pada induk semang saya, lebih baik besok saya bayar uangnya sama sekali. Setelah itu
saya berikan uang untuk istrinya f 50,-, atau saya belikan barang yang harga sekian itu.
Sudah itu saya berniaga dengan pokok saya sendiri. Insya Allah, jika Tuhan menurunkan
rahmatnya sebagai yang sudah-sudah jua, barangkali dalam 2 atau 3 bulan lagi sampai apa
yang saya citacitakan dengan Halimah. Ah, alangkah senangnya kami berniaga berdua!
Aduhai?" Pada keesokan harinya Midun tidak berkedai. Ia pergi ke rumah induk semangnya ke
Pekojan. Dari jauh Midun sudah tersenyum, ketika Syekh Abdullah melihatnya dari beranda
muka rumahnya. Setelah sampai, Midun dan induk semangnya bercakap-cakaplah tentang
perkara perniagaan. Sesudah minum kopi, Midun berkata, "Jika tidak ada Tuan, tidaklah
saya jadi begini. Tuanlah yang mengajar saya berniaga. Meskipun saya belum pandai benar
berniaga, tetapi memadailah ajaran Tuan selama ini untuk berniaga-niaga kecil. Buktinya,
dalam empat bulan saja saya jalankan, sudah beruntung lebih kurang f,200,-. Oleh sebab
itu, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah
membukakan mata saya dari pada yang gelap kepada yang terang.
Jika ada izin Tuan, saya bermaksud_ hendak tegak sendiri. Artinya, iztang saya yang f
250,- kepada Tuan itu akan saya bayar sekarang. Dan saya mulai berniaga pula dengan
pokok saya sendiri. Menurut aturan, sebab uang Tuan sudah sekian lama saya pakai, tentu
tidak akan saya lupakan. Maka demikian, akan selamanya saya Tuan tolong, tentu tidak
mungkin. Bila masanya lagi saya akan berdiri sendiri. Sebab itu Tuan izinkanlah kiranya
saya, biarlah saya cobacoba pula berniaga sendiri. Sungguhpun begitu, saya harap Tuan
ulangulangi juga saya ke kedai saya. Siapa tahu, jika ada hal apaapa yang menimpa diri
saya, sebab malang dan mujur tidak bercerai, hanya Tuanlah yang saya harap akan
menolong saya di Betawi ini. Tak ada yang lain harapan saya, melainkan Tuan."
"Jika Midun mau berniaga dengan pokok sendiri, bagi saya tidak ada alangan," ujar
Syekh Abdullah. "Itu lebih bagus lagi, dan saya pun mau menolong Midun bilamana perlu.
Sekarang kalau Midun hendak membayar utang Midun kepada saya, bayarlah!"
Dengan segera Midun mengeluarkan uang dari saku bajunya sebelah dalam, lalu
dihitungnya f 250,-, sebanyak yang diberikan Syekh Abdullah kepadanya. Pada pikirannya,
setelah uang itu diterima induk semangnya, ia akan pergi ke belakang, kepada istri Syekh
Abdullah memberikan uang f 50,- lagi atau dibelikannya barang menurut kehendak istri
induk semangnya itu. Setelah uang itu dihitung Syekh Abdullah al-Hadramut, ia pun berkata, "Mana lagi,
Midun" Ini belum cukup."
"Yang lain maksud saya akan saya belikan barang untuk istri Tuan!" ujar Midun.
"Ah, itu tidak perlu. Biarlah saya sendiri membelikan dia. Kemarikanlah uang itu!
Berapa?" "Kalau begitu, baiklah!" ujar Midun dengan heran, sebab pada pikirannya, kalau uang
diberikan, samalah halnya dengan bunga uang. Hal itu terlarang menurut agama. Maka
Midun mengeluarkan uang pula f 50,- lalu berkata pula, "Hanya sebeginilah maksud saya
hendak memberikan kepada istri Tuan, sebab uang Tuan telah sekian lama saya pakai.
Uang ini akan saya berikan kepada beliau, melainkan sebagai hadiah saya, karena saya
sudah beruntung berniaga. Tetapi Tuan meminta uang ini. Jika Tuan terima uang ini,
tidaklah sebagai bunga uang namanya" Bukankah hal itu terlarang dalam agama kita"
Lupakah Tuan akan itu?"
"Apa" Bunga uang?" ujar Syekh Abdullah al-Hadramut. "Ini bukan perkara bunga.
Uang yang f 250,- ini belum cukup. Midun mesti bayar sebanyak yang ditulis dalam kedua
surat utang Midun; jumlahnya semua f 500,-."
Terperanjat sungguh Midun mendengar perkataan Syekh Abdullah itu. la tahu uang
yang dipinjamnya, cuma f 250,- tibatiba sekarang jadi f 500,-. Maka ia pun berkata dengan
cemasnya, katanya, "Berapa, Tuan" f 500,-" Mengapa jadi f 500,-, padahal saya terima
uang dari Tuan cuma f 250,-?"
"Ya, f 500,-!" ujar Syekh Abdullah pula. "Midun mesti bayar f 500,- sekarang, sebab
sekian ditulis dalam surat utang."
Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum, bahwa ia sudah tertipu.
Amat sakit hatinya kepada orang Arab itu. Ia tidak dapat lagi menahan hati, karena sangat
panas hatinya. Ketakutannya hilang, kehormatannya kepada orang Arab lenyap sama
sekali. Maka ia pun berkata, katanya, "Selama ini saya takut dan hormat betul kepada Tuan.
Pada pikiran saya Tuan seorang yang suci, sebab berasal dari tanah Arab. Apalagi Tuan
sudah syekh, saya percaya sungguh. Rupanya persangkaan saya itu salah. Kalau begitu,
Tuan seorang penipu besar, sama halnya dengan lintah darat yang dikutuki Tuhan.
Rupanya saya sudah Tuan jerat. Apakah maksud Tuan dengan uang yang f 250,- lagi itu"
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan jadi bunganyakah"
Tidakkah Tuan tahu, bahwa menurut agama Islam terlarang memperbungakan uang"
Bukankah memakan riba dengan cara demikian itu" Sungguh tidak saya sangka hal ini
terjadi pada orang Arab."
"Diam, engkau jangan berkata begitu sekali lagi," kata Syekh Abdullah dengan marah.
"Jangan terlalu kurang ajar kepada saya.
Saya amat baik kepadamu, tetapi dengan ini engkau balas. Jika engkau berani
berkata sekali lagi, nanti saya adukan. Engkau boleh saya bawa perkara, supaya engkau
tahu bahwa saya seorang baik."
"Macam Tuan ini, orang pemakan riba, seorang baik?" ujar Midun dengan sengit.
"Orang gila agaknya orang yang menyangka demikian itu. Tuan hendak membawa saya
perkara" Ke langit Tuan adukan, saya tidak takut perkara dengan orang macam ini. Saya
berdiri atas kebenaran, ke mana pun jua saya mau perkara."
Midun segera mengambil uangnya yang f 300,- itu kembali, lalu dimasukkannya ke
dalam saku bajunya. Sambil berjalan keluar rumah itu, ia pun berkata pula, katanya, "Tak
ada gunanya kita berbalah jua, adukanlah ke mana Tuan suka! Saya tidak hendak
membayar utang saya, sebelum perkara."
Sepanjang jalan pikiran Midun berkacau saja. Hatinya amat panas, karena tertipu
pula. Midun tidak mengerti apa sebabnya Arab itu berbuat demikian kepadanya. Lagi pula ia
amat heran, sebab seorang Arab seberani itu menipu orang. Maka kata Midun dalam
hatinya, "Sungguh ajaib, sepuluh kali ajaib, karena hal ini terjadi pada seorang Arab dan
syekh pula. Siapa yang akan menyangka, orang yang demikian itu suka memakan
riba. Benar ajaib dunia ini, jika kurang awas, binasa diri. Pada pikiran saya, orang Arab
ini baik belaka, apalagi yang sudah syekh. Kiranya ada pula yang lebih jahat dan lebih
busuk lagi tabiatnya. Bahkan tidak bermalu pula; senang saja ia mengatakan uang f 250,jadi f 500,- bermuka-muka. (Ia tidak tahu bahwa dalam surat yang kedua f 300,-. Itulah
kemalangannya tidak tahu di mata surat.) Lain daripada saya, tentu banyak lagi agaknya
orang yang sudah terjerat macam saya ini. Amat panas hatiku mengenangkan penipuan
yang sangat halus dan menyakitkan hati itu. Biarlah, saya tidak akan membayar utang itu.
Hendak diapakannya saya. Meskipun ia mengadu, saya tidakkan takut."
Demikianlah pikiran Midun, sebentar begini, sebentar begitu. Dengan tidak
disangka-sangkanya, ia telah sampai di rumah tempatnya membayar makan. Sampai di
rumahnya, segala barang-barangnya yang masih tinggal dibawanya ke Pasar Senen, lalu
dijualnya semua kepada kawan-kawannya yang sama berniaga dengan dia. Uang itu, yang
jumlahnya semua lebih f 500,- disimpannya dalam saku bajunya, sedikit pun tak bercerai
dengan dia. Ia tidak berkedai lagi, melainkan bersenang-senangkan diri saja. Jika
ditanyakan orang, apa sebab Midun tidak berkedai lagi, jawabnya, hendak bersenangsenangkan diri dulu barang satu atau dua bulan.
Bab 13: Memperebutkan Pusaka. "CING, picing, piiiicing," bunyi murai, waktu senjakala di atas sepohon kayu di
belakang rumah orang tua Midun. Kemudian kedengaran pula bunyi burung serak di dalam
parak dekat rumah. Menurut kepercayaan, manakala ada orang sakit kedengaran bunyi
demikian, alamat ada yang tidak baik akan datang. Karena Pak Midun masa itu dalam sakit
payah, darah anak istrinya tersirap mendengar bunyi itu. Juriah memandang kepada ibunya
dengan sayu, lalu menyelimuti bapaknya. Ibunya segera meminumkan obat sambil
mengusap dahi suaminya. Manjau yang baru saja menutup pintu kandang ayam, melompat
ke rumah mendekati ayahnya. Ibu dan kedua anak itu dalam kecemasan amat sangat.
Tegak resah, duduk gelisah, sedikit pun tidak senang diam. Sebentar-sebentar si istri
memandang kepada suaminya, si anak melihat kepada bapaknya. Mereka itu percaya
sungguh kepada tahayul, hanya Manjau yang agak kurang, sebab sudah hersekolah.
Adapun Pak Midun, sejak menerima surat anaknya dari Padang, selalu dalam
bersusah hati. Sungguhpun Maun datang juga kepadanya tiap-tiap hari, tetapi lamun
anaknya yang sulung itu tidaklah dapat dilupakan orang tua itu. Berbagai ikhtiar Maun, agar
kenangkenangan Pak Midun lenyap kepada Midun, tetapi sia-sia belaka. Kedatangan Maun
jangankan menyenangkan hatinya, bahkan makin menambah dalam susah hatinya. Asal ia
menampak Maun, Midun sudah terbayang di matanya. Ia sendiri ada juga berusaha supaya
Midun dapat dilupakannya, tetapi sia-sia saja. Hancur luluh hati Pak Midun bilamana melihat
teman Midun di kampung itu. Keadaannya tak ubahnya sebagai orang yang kurang
sempurna akal, sejak ditinggalkan anaknya yang sangat dikasihinya itu. Pekerjaan Pak
Midun pun tidak berketentuan lagi. Kerap kali ia bermenung kemudian menengadah,
seakan-akan memasukkan air mata yang hendak jatuh kembali, yang disukainya pergi ke
tepi sungai, duduk seorang diri sambil memandangi air hilir. Pikirannya seperti air itu pula,
berhanyut-hanyut entah ke mana. Tidak seorang-dua yang memberi nasihat, agar Midun
dilupakannya, tetapi sia-sia saja. Lebih-lebih Haji Abbas dan Pendekar Sutan, acapkali
datang menasihati Pak Midun. Mendengar keterangan Haji Abbas, ia berjanji tidak akan
mengenang-ngenangkan Midun lagi. Dia sendiri ada mengatakan kepada Haji Abbas,
"Memang anak laki-laki sudah demikian. Anak kita hanya dari umur 13 tahun ke bawah.
Lewat daripada itu bukan anak kita lagi. Dan lagi bukankah tidak Midun seorang saja anak
saya. Masih ada dua orang lagi yang akan menggantikannya."
Tetapi setelah Haji Abbas pergi, pikirannya kepada Midun timbul pula kembali.
Rupanya Pak Midun bersedih hati bukan karena Midun meninggalkannya pergi merantau ke
negeri orang, melainkan hal yang menyebabkan perceraian itulah yang sangat melukai
hatinya. Apalagi Kacak musuh Midun, masa itu sudah menjadi Penghulu Kepala. Maka
semakin putuslah harapannya akan bertemu dengan Midun.
Demikianlah hal Pak Midun habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan. Ia
selalu bercintakan Midun, sedikit pun tidak hendak luput dari pikirannya. Badan Pak Midun
makin lama makin bertambah kurus. Kesudahannya ia pun jatuh sakit. Berbagai-bagai obat
yang telah dimakannya, jangankan menyembuhkan, melainkan penyakitnya bertambah
dalam. Anak istri Pak Midun berusaha sedapat-dapatnya, mudahmudahan penyakit itu
sembuh, tetapi sia-sia saja. Sungguhpun demikian, ibu dan anak itu belum putus
harapannya. Mereka membela dengan sungguh-sungguh hati, karena mereka itu tahu
bahwa orang tua itulah tempatnya bergantung.
Sebulan Pak Midun sakit, datanglah famili Pak Midun menjemput si sakit akan
dibawanya ke rumah saudaranya. Didapati mereka mamak Manjau yang menjadi penghulu
kaumnya ada pula di situ. Setelah sudah makan minum, maka kemenakan Pak Midun yang
bergelar Sutan Menindih berkata kepada mamak Manjau katanya, "Mamak! Kedatangan
saya kemari, ialah menurut adat kebiasaan yang sudah kita pakaikan jua. Karena mamak
saya sakit, kami bermaksud hendak membawa beliau ke rumah kami. Sebab itu saya harap
Mamak dan Ibu sudi mengizinkan."
"Memang kedatangan Sutan ini sudah menurut adat," ujar Datuk Paduka Raja.
"Sungguhpun demikian, karena sakit Pak Midun saya lihat masih berat, tidakkah dapat
ditangguhkan dulu sampai sakit beliau ringan sedikit?"
"Sudah sebulan beliau sakit di sini, rasanya sudah patut kami jemput. Jika lebih lama
lagi beliau di sini, tentu pada pemandangan orang, kami sebagai tidak mengacuhkan
mamak kami." "Benar kata Sutan itu. Bagi saya atau pun ibu Juriah tentu tidak ada alangannya. Kami
tidak kuasa menahannya, karena sudah menjadi adat kebiasaan kepada kita begitu. Tetapi
cobalah Sutan tanyakan dulu kepada Pak Midun, adakah kurang sakit beliau dan
sanggupkah berjalan?"
"Hal itu tidaklah akan menjadi alangan, Mamak. Jika beliau tidak dapat berjalan,
biarlah kami tandu bersama-sama dengan kursi."
Maka Sutan Menindih masuk ke bilik tempat Pak Midun sakit, lalu berkata-katanya,
"Saya datang kemari akan menjemput Mamak. Dapatkah Mamak berjalan atau kami tandu
bersama-sama?" Pak Midun yang sudah kurus kering dan pucat itu membuka matanya perlahan-lahan.
Ia melihat orang yang berkata kepadanya, lalu berkata, "Engkau Midun, anakku?"
"Bukan Mamak, saya Sutan Menindih," ujar Sutan Menindih. "Kami datang kemari
akan menjemput Mamak."
"Tidak sampai hati kami melepaskan Mamak Sutan," ujar ibu Juriah dengan sedih.
"Lihatlah, badannya sudah tinggal kulit pembalut tulang. Rupanya pucat sebagai kain putih.
Ia selalu mengigau menyebut Midun saja. Jangankan berjalan, menggerakkan badan ia pun
tidak dapat." "Biarlah kami papah perlahan-lahan ke tandu dan kami pikul lambat-lambat," ujar
Sutan Menindih pula. Pak Midun melihat sekali lagi. Setelah nyata kepadanya bahwa kemenakannya yang
berkata itu, maka katanya perlahan-lahan, "Saya tak dapat berjalan, tak dapat bergerak,
seluruh tubuh saya sakit. Sebab itu saya jangan dibawa, saya tidak suka."
"Kalau begitu Mamak hendak memberi malu kami," ujar Sutan Menindih. "Tentu kami
dibodohkan dan dihinakan orang, sebab Mamak kami biarkan sakit di sini."
Pak Midun menutupkan matanya sebagai menahan sakit. Napasnya turun naik amat
deras, mukanya makin bertambah pucat. Juriah segera merasai kaki ayahnya. Sambil
meminumkan obat, ia pun berkata, "Ibu, ayah pingsan!"
Segala isi rumah itu cemas mendengar perkataan Juriah. Lebih-lebih ibu Juriah,
sangat terkejut mendengar perkataan anaknya. Dengan segera ia mendekati, lalu
meraba-raba badan Pak Midun. Orang tua itu tidak berdaya lagi. Jika tidak dirasai
dadanya, tak dapat tiada orang menyangka ia sudah mati. Sudah dua kali ia selap
dengan itu; tetapi yang sekali ini payah benar. Orang di rumah itu semuanya berdiam diri,
seorang pun tak ada yang berani bergerak, apa pula berkata-kata. Setengah jam kemudian,
Pak Midun membukakan mata pula, lalu berkata, "Jika sekiranya akan memberi malu orang
Tanjung saya di sini, bawalah! Tetapi ibu Juriah mesti mengikut, karena dia perlu membela
saya." Maka dibuat oranglah sebuah tandu daripada kursi. Setelah selesai, Pak Midun
diangkat bersama-sama ke tandu itu. Maka diusung oranglah ia perlahan-lahan menuju
rumah familinya. Ibu Juriah dan Manjau pergi pula mengiringkan tandu itu. Yang tinggal di
rumah hanya Juriah dengan mamaknya. Tidak lama orang itu pergi, Juriah berkata kepada
mamaknya, katanya, "Mamak! Apakah sebabnya Sutan Menindih tadi mengatakan 'memberi
malu kalau ayah sakit di sini?"
"Kau rupanya belum mengerti," ujar Datuk Paduka Raja, "dengarlah saya terangkan!
Adapun ayahmu itu, menurut kata adat, 'abu di atas tunggul' di rumah kita. Artinya, bila
ditiup angin ia terbang. Ayahmu adalah orang semenda bagi kaum kita. Jadi ia famili karena
perkawinan ibu dan ayahmu. Jikalau kita tidak suka kepadanya atau kebalikannya, boleh
pergi sembarang waktu. Oleh sebab itu, ayahmu adalah sebagai orang menumpang di
rumah ini. Boleh diusir dan dia pun boleh pergi bilamana ia suka. Karena itu tentu Sutan
Menindih mengatakan 'memberi malu', mamaknya suka di rumah penumpangan."
"Tetapi bukankah ayah sakit di rumah anak kandung beliau" Kamilah yang
menyelenggarakan beliau dalam sakit. Lain perkara kalau kami orang lain, sudah patut ia
berkata begitu." "Dalam hal ini Juriah tidak disebut-sebut," ujar Datuk Paduka Raja yang agak
tersentak oleh pertanyaan kemenakannya. "Pertanyaanmu itu memang sulit. Menurut kata
adat, 'adat bersendi syara', syara' bersendi adat.' Artinya, syara' dan adat kita sandar
menyandar atau sejalan. Jika menurut syara', anaklah yang diutamakan, tetapi menurut
adat, 'kemenakan'. Jadi hal itu nyatalah sudah berlawanan. Oleh sebab itu, saya sendiri
ragu-ragu, entah mana yang benar kedua perkataan itu. Perasaan saya itu sudah saya
perbincangkan dengan beberapa penghulu di sini. Banyak mereka yang mengatakan,
bahwa anak dengan bapak, menurut adat, tak ada pertaliannya. Sebab orang semenda itu
adalah sebagai orang diselang dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sebab itu
kemenakan pulang kepada mamaknya, tidak kepada bapaknya. Tetapi menurut pikiran saya
tidaklah demikian. Pada hemat saya, anak itu pulang kepada bapaknya. Artinya
bapaknyalah yang harus menyelenggarakan anaknya. Begitu pula si anak wajib membela
bapak bilamana perlu. Anak itulah yang lebih dekat kepada bapak daripada kemenakan.
Manakala sudah demikian, sudah sesuai dengan kata adat: adat bersendi syara' dan
syara' bersendi adat. Banyak lagi hal lain yang bersalah-salahan orang memakainya.
Mereka melakukan adat itu banyak sesat, agaknya karena salah pengertian jua. Bahkan
saya sendiri pun banyak yang kurang paham, sebab kurang selidik."
Ketika Datuk Paduka Raja akan meneruskan perkataannya pula, tiba-tiba Manjau
berseru di halaman sambil menangis, katanya, "Juriah, ayah sudah meninggal!"
Juriah terkejut, lalu menangis amat sedihnya. Ia melompat hendak pergi melihat
ayahnya, tetapi lekas dipegang mamaknya. Datuk Paduka Raja mengucap, katanya, "Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un. Tidakkah sampai ayahmu ke rumah" Juriah, jangan menangis
juga! Nanti kita sama-sama pergi."
"Tidak," ujar Manjau, "Ketika orang memikul tandu naik ke rumah, anak tangga patah.
Orang itu terjatuh, ayah pun jatuh pula. Untung lekas saya sambut. Sungguhpun demikian,
sampai di rumah ayah pingsan pula. Tidak lama beliau membukakan mata, lalu memanggil
ibu dekat kepada beliau. Entah apa yang beliau katakan tidaklah saya tahu, sebab ayah
berkata berbisik. Sudah itu ayah menarik napas ... lalu meninggal."
"Jika sekiranya Pak Midun tidak dibawa, boleh jadi ia sembuh kembali," kata Datuk
Paduka Raja sendirinya. "Sekarang apa jadinya, karena takut malu jadi lebih malu lagi.
Tentu pada persangkaan orang Pak Midun tidak mati seajalnya, melainkan mati jatuh.
Jangan-jangan disangka orang sengaja dijatuhkan. Sungguh kasihan Pak Midun, boleh jadi
juga ia mati beragan, karena ditinggalkan anaknya Midun. Tentu mereka itu semua
menyesali perbuatannya. Tetapi apa hendak dikatakan: sesal dahulu pendapatan, sesal
kemudian tidak berguna."
Pada hari itu juga Pak Midun dikuburkan dengan selamatnya. Tujuh hari lamanya
orang mengaji dan makan minum di rumah famili Pak Midun. Waktu meniga hari dan
menujuh hari diadakan kenduri besar, mendoakan supaya arwah Pak Midun dilapangkan
Allah di dalam kubur. Tidak sedikit uang habis untuk penyelamatkan si mati itu. Oleh famili
Pak Midun, tak kayu jenjang dikeping, yang tidak ada, diadakan. Dua tumpak sawah
tergadai untuk memenuhi keperluan itu. Ibu Juriah dalam tujuh hari itu bekerja keras di
rumah iparnya. Tidak sedikit jua ia menghentikan tangan, karena jamu tidak berkeputusan
dan selalu makan minum. Setelah sudah menujuh hari, barulah ibu Juriah dan anaknya
pulang. Sehari sesudah menujuh hari, Sutan Menindih dan beberapa orang saudaranya
datang ke rumah Ibu Juriah. Setelah sudah makan minum, dan setelah dianjurkannya
dengan perkataan yang panjang lebar, Sutan Menindih berkata, "Ibu, saya harap Ibu jangan
gusar dan jangan pula berkecil hati. Kedatangan kami kemari ini, ialah menurut sepanjang
adat, yaitu akan mengambil harta peninggalan mamak kami."
"Benar, Sutan," ujar ibu Juriah, "tetapi apalah peninggalan mamak Sutan. Uang tak
ada, hanya pakaiannyalah yang ada."
"Ah, rupanya Ibu bersembunyi di balik lalang sehelai. Yang terang saja hak kami,
sawah dan huma. Bukankah itu mamak saya yang membeli dan peninggalan beliau?"
Mendengar perkataan itu ibu Juriah sangat terkejut. Lebihlebih Manjau, merah
mukanya karena menahan marah. Maka ibu Juriah berkata pula, katanya, "Itu jangan Sutan
sebutsebut, sebab pencaharian kami berdua. Berdikit-dikit kami menyimpan uang; setelah
agak banyak kami belikan tanah untuk kami usahakan. Pendeknya, yang Sutan sebutkan itu
usaha kami berdua, yang sudah kami untukkan bagi anak kami. Pak Midun sendiri sudah
mengatakan waktu ia hidup, bahwa segala pencahariannya diuntukkannya kepada
anak-anaknya." "Biar bagaimana juapun keterangan Ibu, kami maklum bahwa tanah itu pusaka mamak
kami. Kami berhak mengambil bilamana kami sukai. Jadilah, jika benar sudah diuntukkan
mamak kami bagi anaknya, mana keterangannya?"
"Keterangan tentu tidak ada," ujar ibu Juriah sebagai kehilangan akal.
"Sekarang begini saja, Ibu! Kalau kita bertengkar juga, kesudahannya menjadikan
perselisihan. Faedahnya tidak ada, melainkan kita beranak bapak putus-putus. Sebab itu Ibu
bertanyalah kepada Mamak Datuk Paduka Raja. Ibu terangkanlah kepada beliau
kedatangan kami kemari. Kami berhak mengambil harta pusaka mamak kami bilamana saja.
Kalau Ibu berkeras juga, tentu kami terpaksa minta tolong kepada Penghulu Kepala yang
memerintah kampung ini. Sekianlah, kami hendak pulang dulu."
Baru saja habis Sutan Menindih berkata, kedengaran orang batuk di halaman. Orang
itu ialah Datuk Paduka Raja. Setelah naik ke rumah, ia pun berkata, katanya, "Sudah lama
Sutan datang?" "Lama juga, Mamak," ujar Sutan Menindih. "Dari mana Mamak tadi?"
"Dari pasar, sudah rapat dengan Tuan Kemendur."
"O, ya, saya lihat tadi pagi banyak benar penghulu-penghulu ke pasar."
Demikianlah percakapan mereka itu, hingga habis rokok sebatang seorang. Juriah
meletakkan kopi dan penganan untuk mamaknya dan jamu itu. Sesudah minum kopi, Sutan
Menindih pun berkata, katanya, "Mamak! Sebenarnya kedatangan kami ini, ada sesuatu
hajat yang besar jua. Tadi sudah saya bicarakan juga dengan ibu, tetapi belum lagi putus
percakapan kami. Sekarang kebetulan Mamak datang, jadi lebih baik lagi. Biarlah saya
ulang sekali lagi, apa maksud saya datang kemari ini."
"Baik, Sutan, katakanlah apa yang terasa di hati, terkalang di mata, supaya sama kita
dengar!" "Kedatangan saya kemari, ialah menurut adat yang sudah dilazimkan jua. Karena
mamak saya Pak Midun sudah meninggal dunia, saya sebagai seorang kemenakan dari
beliau, tentu menuntut hak kami. Sebab itu haraplah saya, Mamak izinkan dan tunjukkan
mana-mana yang harus saya ambil harta peninggalan mamak saya."
"Benar kata Sutan itu. Memang kedatangan Sutan sudah menurut adat sebab pusaka
turun kepada kemenakan. Tentu saja Sutan kemari ini sudah seizin Datuk Raja Bendahara
mamak Sutan, akan menuntut hak Sutan itu. Benarkah demikian?"
"Betul, Mamak! Memang sudah sepakat dengan beliau. Jika tidak seizin beliau, tentu
saya tidak berani kemari. Mamak Datuk Raja Bendahara sudah menerangkan kepada saya,
manamana pusaka peninggalan mamak saya. Oleh sebab itu Mamak izinkanlah saya
mengambil harta pusaka saya itu."
"Baiklah, Sutan! Hak milik Sutan itu tidak akan ke mana. Tapi saya harap Sutan
jangan terburu nafsu benar. Saya minta
kepada Sutan, hal ini jangan mendatangkan yang kurang baik antara kedua pihak.
Sebab itu baiklah kita bicarakan dengan tenang, supaya selamat kesudahannya."
"Baik Mamak! Tapi saya rasa tentu tidak akan demikian jadinya, sebab yang saya
ketengahkan ini, menurut adat di Minangkabau ini."
"Benar, benar, Sutan! Jadilah, menurut pemandangan Sutan apaapakah peninggalan
Mamak Sutan itu?" "Hal ini tentu Mamak sudah maklum, yaitu tanah, misalnya huma dan tanah
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peruntahan ini serta sawah."
"Ini betul, tapi Sutan jangan pula lupa, bahwa menurut yang saya ketahui, segala
tanah yang dibeli Pak Midun, ialah pencahariannya dua laki istri. Lagi pula tadi Sutan
mengatakan, hendak mengambil rumah ini. Jadi rumahnya bagaimana" Akan Sutan suruh
angkatkah kepada kami?" ujar Datuk Paduka Raja agak gusar, sebab mendengar perkataan
Sutan Menindih itu. "Itu pulang maklum kepada Mamak. Bagi saya, mana yang hak saya tentu saya ambil.
Mamak mengatakan pencaharian berdua. Itu kata Mamak, kata saya tentu tidak begitu. Bagi
kami ada alasan, bahwa segala tanah itu kami yang punya."
"Kalau begitu tentu mendatangkan yang kurang baik, Sutan!" kata Datuk Paduka Raja
dengan sabar pula. "Saya harap dalam hal ini hendaklah sebagai menghela rambut dalam
tepung. Rambut jangan putus, tepung jangan terserak. Artinya Sutan beranak bapak jangan
berputus-putus karena itu. Jika Sutan sekeras itu benar hendak mengambil hak milik Sutan,
bersalahsalahan dengan beberapa peribahasa orang kita, yang menunjukkan kasih sayang
kaum Sutan kepada anaknya. Bukankah ada menurut kata peribahasa, misalnya: Ba' lalo' di
rumah baki* (Sebagai tidur di rumah saudara ayah yang perempuan, maksudnya enak dan
bebas, sehingga tidak sadar hari telah tinggi, karena senangnya tidur. Jadi tak dapat tiada
anak di rumah bako itu amat dimanjakan dan disenangkan oleh saudara-saudara ayahnya
yang perempuan) dan anak berpisau tajam, bako badagieng taba* (Anak berpisau tajam,
saudara ayah yang perempuan berdaging tebal. Artinya: anak bebas mengambil apa yang
dikehendakinya atas harta benda bakonya. Jadi anak itu sebebasbebasnya: boleh berbuat
semau-maunya asal tidak melanggar tertib sopan santun di dalam pergaulan umum)
Nah, menilik arti kedua peribahasa itu, sampai hatikah Sutan menyuruh mengangkat
rumah ini kepada Juriah dan Maninjau" Akan Sutan usirkah mereka itu berumah tangga di
tanah ini" Di manakah lagi tinggalnya sifat'bako' yang pemurah
kepada anak, seperti yang ' dinyatakan oleh kedua peribahasa itu" Cobalah Sutan
renungkan dan pikirkan dalam-dalam hal ini.-Sepatutnya, setelah Pak Midun meninggal,
Sutan dengan famili Sutan menaruh belas kasihan sedikit kepada anaknya. Tetapi sekarang
demikian, tentu mereka itu: sudah jatuh ditimpa tangga pula."
Mendengar keterangan Datuk Paduka Raja, terbenar pula pada hati Sutan Menindih.
Lama ia termenung memikirkan perkataan mamak Juriah itu. Tetapi karena ia diasut orang,
ia pun berkata, "Sungguhpun demikian, saya terpaksa meminta hak saya juga, Mamak!"
"Sekarang beginilah, Sutan! Biarlah hal ini saya bicarakan dengan mamak Sutan,
Datuk Raja Bendahara. Sebab itu pulanglah Sutan dahulu! Dalam sepekan ini, tentu akan
mendengar bagaimana putusannya." .
"Jika demikian baiklah, Mamak bicarakanlah dengan mamak saya. Saya mohon
pulang dulu, Mamak!"
"Baiklah! Lebih baik kami sama-sama penghulu menyelesaikan perkara ini."
Sepeninggal Sutan Menindih, Datuk Paduka Raja tidak bersenang hati atas
kedatangan kemenakan Pak Midun itu. Menurut pikirannya, ibu Juriah dengan
anak-anaknya ada berhak juga menerima pusaka itu. Karena pusaka itu tidak sedikit
harganya, ia berjanji dengan dirinya akan menyelesaikan perkara itu selekaslekasnya. Maka
Datuk Paduka Raja berkata dalam hatinya, "Kalau dilalai-lalaikan boleh mendatangkan
bahaya. Sekalipun rugi mengadakan rapat adat untuk menimbang hal ini, apa boleh buat.
Jika saya tidak bersenang hati mendengar putusan rapat adat, biar saya jadikan perkara.
Bilamana sudah putusan pemerintah saya kalah, sudah puas hati saya. Di sana nanti tentu
hitam putihnya." Maka ia pun pergi mendapatkan Datuk Raja Bendahara, penghulu; kaum Sutan
Menindih, akan memperbincangkan hal itu. Setelah putus mufakat kedua penghulu itu,
seminggu kemudian diadakanlah rapat adat. Rapat itu dikepalai oleh Datuk Seri Maharaja,
karena dalam hal adat dialah pucuk bulat, urat tunggang di negeri itu. Di antara segala
penghulu, bangsa kaum Datuk Seri Maharaja itu sama tinggi dengan bangsa kaum Tuanku
Laras, di bawahnya baru Datuk Paduka Raja. Ada 30 orang penghulu yang ternama rapat
hari itu. Sesudah minum makan, rapat adat pun dimulai. Maka Datuk Maharaja berkata,
katanya, "Datuk Paduka Raja! Kami sudah hadir semua, ketengahkanlah apa yang terasa di
hati, terkalang di mata maka Datuk mengadakan rapat ini, supaya boleh kami pertimbangkan!"
Datuk Paduka Raja lalu menerangkan duduknya pusaka yang ditinggalkan Pak Midun.
Bagaimana penghidupan Pak Midun laki istri sejak mulai kawin diceritakannya dengan
panjang lebar. Kemudian diterangkannya pula pendakwaan orang Tanjung hendak merebut
pusaka itu. Setelah berkata pula, katanya, "Penghulu seadat, Tuanku ('alim) sekitab. Datuk sendiri
sudah maklum, bahwa di Alam Minangkabau ini pusaka turun kepada kemenakan.
Bukannya dia, melainkan Datuk sendiri rupanya yang mendakwa, padahal Datuk sudah
mengetahui. Sungguh heran, saya kurang mengerti dalam hal ini. Orang Tanjung itu
sekali-kali tidak merebut, melainkan mereka berhak mengambil pusaka kaumnya yang telah
meninggal." "Benar kata Datuk itu," ujar Datuk Paduka Raja. "Tetapi lupakah Datuk akan kata adat:
Harta pembawaan pulang, harta tepatan tinggal, harta suarang (pencaharian) dibagi" Dan
sebuah lagi menurut kata adat: adat bersendi syara' dan syara' bersendi adat"
Menilik kedua kata adat itu, nyatalah bahwa anak Pak Midun berhak pula menerima
pusaka bapaknya itu. Harta itu ialah harta pencahariannya dua laki istri, sebab itu harus
dibagi. Saya tahu benar bagaimana penghidupan mereka itu sejak mulai kawin. Menurut
pengetahuan saya, sesen pun tak ada Pak Midun membawa harta orang Tanjung. Dan
menurut kata adat yang saya sebutkan, kemudian tadi, mesti pusaka itu diberikan kepada
anaknya. Jika tidak, tentu tidak sendi-menyendi lagi adat dengan syara'. Sekianlah
permohonan saya. Saya berharap segala perkataan saya itu, moga-moga menjadi
pertimbangan hendaknya kepada kerapatan yang hadir."
Kerapatan itu tenang, masing-masing memikirkan masalah itu. Termasuk pada pikiran
mereka akan kebenaran perkataan Datuk Paduka Raja. Dalam pada itu berkatalah Datuk
Raja Bendahara, katanya, "Kata adat menurut yang Datuk katakan itu, memang
sebenarnya. Penghulu tidaklah akan lupa sekalian itu, sebab sudah pakaiannya. Seseorang
penghulu jika lupa atau tidak tahu selukbeluk adat, tentu sia-sia ia dijadikan penghulu.
Bagi saya, sebagai seorang famili dari Pak Midun, mengetahui bahwa harta Pak
Midun itu masuk harta pembawaan, sekali-kali tidak harta suarang. Keterangan saya itu
dikuatkan oleh beberapa orang saksi. Bilamana perlu, boleh saya unjukkan saksi itu, bahwa
harta pusaka Pak Midun itu hak milik orang Tanjung."
Maka kerapatan itu pun ramailah membicarakan bagaimana duduk pusaka itu dan ke
mana jatuhnya. Ada kira-kira dua jam kerapatan itu menimbang, dan mengeluarkan buah
pikiran masingmasing. Melihat kepada keadaan rapat itu, nyata ada berudang di balik batu
yang datangnya dari seseorang yang berkuasa di kampung itu. Begitu pula mengingat
penjawaban saksi-saksi yang kurang terang itu untuk mempertahankan keterangan Datuk
Raja Bendahara, tampak nyata bahwa saksisaksi itu dicari dan diupah. Kesudahannya maka
diputuskan bahwa pusaka itu dijatuhkan kepada kemenakan Pak Midun. Setelah itu rapat
adat lalu ditutup, dan orang pulang ke rumahnya masing-masing.
Sungguhpun rapat adat di negeri itu sudah memutuskan demikian, tetapi Datuk
Paduka Raja belum lagi bersenang hati. Maka ia pun membawa perkara itu kepada Hakim
Pemerintah. Dimintanya kepada Tuanku Laras, supaya perkara itu dibawa ke Bukittinggi,
baik pihak anak, baik pun kemenakan sama-sama memakai pokrol.
Beberapa hari perkara itu ditimbang di Landraad, kesudahannya menang juga di
kemenakan. Tetapi kemenakan itu hanya menerima kurang dari seperempat pusaka itu lagi,
sebab sudah habis untuk pembayar ongkos pokrol.
Ibu Juriah dengan anak-anaknya terpaksa memindahkan rumahnya ke tanah kaumnya
sendiri. Dua bulan kemudian daripada itu, Ibu Juriah terkenang akan pesan Pak Midun
waktu akan meninggal dunia. Maka disuruhnyalah familinya ke rumah orang tua Maun akan
menanyakan kalau-kalau Maun mau beristri. Pesan Pak Midun yang mengatakan bahwa
Juriah harus dipersuamikan dengan Maun, dikatakannya pula. Hal itu pun disampaikan ibu
Maun kepada anaknya. Maun dengan segala suka hati menerima permintaan ibu Juriah.
Tidak saja mengingat persahabatannya dengan Midun, tetapi ia sendiri memang sudah lama
bercintakan Juriah. Hati Maun sangat tertarik melihat rupa dan tingkah laku Juriah yang
hampir bersamaan dengan Midun, sahabatnya yang karib itu. Seminggu kemudian, maka
perkawinan itu dilangsungkan dengan selamatnya. Maka Maun dan Juriah menjadi suami
istri, hidup berkasihkasihan setiap hari.
Manjau kerjanya hilir mudik saja di kampung tiap-tiap hari. Akan bekerja, tidak ada
pekerjaan yang akan dikerjakannya. Hatinya tidak senang lagi tinggal di kampung itu. Amat
sedih ia memikirkan peninggalan bapaknya diambil orang sama sekali. Usikan Penghulu
Kepala Kacak pun hampir-hampir tidak tertahan lagi olehnya. Maka diputuskannya
pikirannya, lalu ia pergi meninggalkan kampung, berjalan ke negeri orang membawa untung
nasibnya. Bab 14: Bahagia SEBERMULA rupanya perkataan Syekh Abdullah al-Hadramut "hendak mengadukan"
Midun itu tiadalah gertaknya saja. Tiada berapa lama antaranya Midun sudah terpanggil ke
muka pengadilan. Bagaimana juga Midun menerangkan bahwa uangnya tidak sebanyak itu
yang tertulis di atas surat utang itu, hakim tidak dapat membenarkannya, sebab tidak ada
saksi atau buktinya. Hakim menjatuhkan hukuman, ia mesti membayar utang yang f 500,itu, tambah ongkos-ongkos perkara kira-kira f 35,-.
Beberapa lamanya sesudah putusan itu, Syekh Abdullah datang mendapatkan Midun.
Ditagihnya dengan lemah lembut. Tetapi Midun, karena ia sudah tertipu itu sudah
menetapkan niatnya tidak akan membayar utangnya itu. Dia tidak tahu betapa kekuatan
acceptatie itu. Dia belum mendengar, bahwa orang yang berutang itu, boleh ditahan di
dalam penjara. Dalam pada itu Syekh Abdullah tidak putus-putusnya membujuk Midun.
Demi dilihatnya Midun tidak mau membayar, dan pada sangkanya Midun tidak sanggup
membayar, ketika itulah hendak disampaikannya cita-citanya yang selama ini dikandungnya.
Kalau dapat Midun mengusahakan Halimah, yang disangkakan oleh Syekh Abdullah
istri Midun menjadi istri Syekh Abdullah, maka segala uang Midun akan dilunaskannya.
Mendengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun, lalu orang Arab itu
diusirnya sebagai anjing. Orang Arab itu pun pergilah dengan mengandung niat yang jahat
akan melepaskan sakit hatinya.
Tidak berapa lamanya sesudah itu, datanglah deurwaarder dengan polisi mengambil
Midun, mengantarkannya ke penjara. Walaupun Midun tidak mengerti betul, apa sebabnya
ia dipenjarakan, perintah itu terpaksa juga diturutnya. Setelah beberapa lamanya Midun
dipenjarakan, datanglah pula orang Arab itu membujuknya, tetapi itu pun tidak berhasil juga.
Sudah dua-tiga kali ia datang membujuk Midun ke penjara, dengan halus budi
bahasanya, tetapi dibalas Midun dengan maki dan nista jua. Ia mau terkurung selama
hidupnya, asal jangan karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang
itu. Akhirnya Syekh Abdullah datang sendiri mendapatkan perempuan yang sangat
diharapkannya itu. Setelah dibujuknya dengan lemah lembut, tetapi tiada berhasil juga,
maka akhirnya digertaknya, bahwa Midun sekarang di bawah kekuasaannya dan terpenjara
di bui Glodok. "Selama Midun tidak sanggup membayar utangnya kepada saya," kata orang Arab itu,
"dia akan saya tahan juga dalam penjara itu, dan Neng boleh menantikan laki yang
dirindukan itu sampai tumbuh uban di kepala Neng. Tetapi sebaliknya, jikalau Neng mau
mengabulkan permintaanku itu, segera ia kukeluarkan dari bui."
Mendengar perkataan yang demikian, Halimah pun marah, dan Arab itu diusirnya.
Tetapi sepeninggal orang Arab itu, sangatlah susah hatinya memikirkan Midun terpenjara
itu. Maka dibuatnyalah mufakat dengan ayahnya akan membayar utang Midun itu. Segala
barang perhiasannya dijualnya untuk melepaskan kekasihnya dari penjara. Maka pergilah ia
ke Betawi dengan bapaknya, tetapi sebab Midun sendiri ada mempunyai uang f 500,- tidak
seberapa ia menambah untuk membayar utang itu.
Mulanya Midun tak mau sedikit juga membayar.utangnya itu. Tetapi setelah dimufakati
dengan panjang lebar dan setelah mendengarkan bujukan Halimah, diturutnya jugalah
kehendak kekasihnya. Tetapi permintaan Halimah dan ayahnya supaya ia pergi
bersama-sama ke Bogor, tidak diperkenankannya. Sebabnya ialah karena dia hendak
mencari penghidupan yang lebih sempurna di Betawi.
Selama Midun dalam penjara itu, ada seorang hukuman bekas orang yang bersekolah
juga, yang mengajarkan menulis dan membaca dan menceritakan berbagai-bagai ilmu
pengetahuan, sehingga banyaklah tokok tambahnya pengetahuan Midun selama dalam
penjara itu. Orang itu Mas Sumarto namanya. Ketika ia akan meninggalkan bui itu, maka
ditemuinyalah orang itu. Sesudah mengucapkan terima kasih atas nasihat-nasihat dan
kesudian Mas Sumarto mengajarnya menulis dan membaca selama dalam bui, Midun
memberi selamat tinggal kepada gurunya itu.
Ia berjalan ke luar bui, lalu naik trem yang hendak ke Kramat. Sudah dua bulan ia di
dalam bui, tak ada ubahnya sebagai burung di dalam sangkar. Sekarang dapat pula ia
melepaskan pemandangannya kian kemari, melihat-lihat kota
Betawi yang indah itu. Amat lega hati Midun masa itu, dadanya lapang, pikirannya
senang. Sampai di Kramat ia pergi ke Kwitang, ke rumah tempatnya membayar makan
dahulu. Induk semangnya heran melihat kedatangannya itu, karena dengan tidak berkata
sepatah jua Midun pergi, sekarang tiba-tiba datang pula kembali. Setelah mereka itu duduk
lalu diceritakan Midun nasibnya selama meninggalkan rumah itu. Mendengar ceritanya itu,
mereka belas kasihan dan menasihati Midun, menyuruh ingat-ingat menjaga diri yang akan
datang. Maka ia pun tinggal pula di sana membayar makan.
Pada petang hari Midun pergi berjalan-jalan. Sampai di Pasar Senen, ia bertemu
dengan Salekan, temannya sama-sama berkedai dahulu.
"Ke mana engkau, Midun?" ujar Salekan. "Sudah lama saya tidak melihat engkau."
"Ah, saya pergi bertapa dua bulan ke Glodok," ujar Midun.
"Bertapa bagaimana" Ceritakanlah kepada saya yang sebenar-benarnya saja, Midun."
"Baik, engkau tidak berkedai hari ini?"
"Tidak, sudah dua hari dengan sekarang. Saya hendak tempo dulu barang seminggu
ini, karena ada urusan sedikit."
"Kalau begitu, marilah kita ke Pasar Baru! Saya ingin hendak makan nasi goreng,
sebab sudah dua bulan tidak mengecap makanan itu. Nanti di jalan saya ceritakan
pertapaan saya yang dua bulan itu kepadamu."
"Baiklah." Sepanjang jalan diceritakanlah oleh Midun, bagaimana halnya yang dua bulan itu.
Dalam mereka asyik bercerita, tibatiba kedengaran olehnya orang berseru, "Awas, serdadu
mengamuk! Lekas lari!"
Midun terkejut, lalu melihat ke sana kemari. Waktu itu ia sudah sampai dekat pintu
masuk ke Pasar Baru. Temannya, Salekan, baru saja mendengar suara orang menyuruh
lari, ia sudah membuat langkah seribu. Sekonyong-konyong kelihatan oleh Midun seorang
serdadu memegang sebuah pisau yang datangnya dari arah Kemayoran. Mana yang dapat,
apalagi orang yang mengalangi, terus saja diamuknya. Serdadu itu terus juga lari mengejar
seorang sinyo yang baru berumur 12 atau 13 tahun. Sinyo itu sudah payah, napasnya turun
naik, agaknya sudah lama ia dikejar serdadu itu. Hampir saja ia dapat kena tikam, karena
tidak jauh lagi antaranya. Midun tidak berpikir lagi, seraya berkata, "Jangan lari, Sinyo,
berdiri saja di belakang saya!"
Baru saja sinyo itu mendengar suara Midun, ia berhenti. Memang ia hampir tak kuat
lagi berlari, sebab sudah payah. Sambil terengah-engah, sinyo itu pun berkata, "Tolong
saya, Bang, dia hendak menikam saya."
Setelah dekat, Midun melompat menangkap pisau serdadu itu. Maka kedua mereka itu
pun berkelahi, di tengah jalan itu. Setelah pisau serdadu itu dapat oleh Midun, lalu dilemparkannya, seraya berkata, katanya, "Ambil pisau itu, Sinyo!"
Ketika pisau itu tak ada lagi, serdadu itu pun menyerang Midun dengan garangnya.
Tetapi dengan mudah Midun dapat menyalahkan serangannya. Midun melepaskan
kekuatannya pula. Tidak lama antaranya, ia pun dapat menangkap serdadu itu: Midun
berkata pula, "Sinyo, coba ambil ikat pinggang saya pengikatnya!"
"Ini ada ikat pinggang saya, Bang," ujar sinyo sambil memberikan ikat pinggangnya.
Sekaliannya terjadi dalam beberapa saat saja.
Setelah serdadu itu diikat Midun, maka opas pun berlompatan akan menangkapnya.
Ketika ia akan dibawa ke kantor Commissaris, sinyo berkata, "Tak usah dibawa ke sana.
Ikut saya saja!" Maka serdadu itu pun dibawa oleh sinyo itu kepada sebuah gedung yang tidak berapa
jauhnya dari sana, diiringkan oleh orang banyak yang berkerumun sesudah si pengamuk itu
tertangkap. Setelah sampai, sinyo terus saja masuk ke dalam. Kemudian ia ke luar bersama
dengan seorang tuan. Adapun tuan itu ialah Hoofdcommissaris, bapak sinyo yang ditolong Midun itu. Di
muka bapak dan ibunya, diterangkanlah oleh sinyo itu bagaimana halnya dengan serdadu
yang mengamuk itu. Nyonya Hoofdcommissaris menjerit mendengar cerita anaknya yang
sangat ngeri itu. Tetapi ia bergirang hati, karena anaknya terlepas dari bahaya. Demikian
pula Hoofdcommissaris, amat senang hatinya kepada Midun yang menolong anaknya itu.
Hoofdcommissaris menelpon, dan tidak lama antaranya datanglah beberapa orang
politie-opziener akan membawa serdadu yang mengamuk itu.
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih karena keberanianmu menolong anak
saya di dalam bahaya," ujar Hoofdcommissaris kepada Midun.
"Terima kasih kembali, Tuan!" jawab Midun dengan hormatnya.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Midun."
"Negerimu di mana?"
"Negeri saya di Padang."
"Apa kerjamu di sini?"
"Tidak bekerja, Tuan!" Maka Midun pun menceritakan nasibnya kepada
Hoofdcommissaris, sejak mulai sampai ke Betawi. Mendengar cerita Midun, tuan dan
nyonya itu amat belas kasihan. Kemudian Hoofdcommissaris berkata pula, "Kamu pandai
menulis?" "Pandai, Tuan."
"Baiklah. Besok kamu datang ke kantor saya pukul 8 betul, ya!"
"Baik, Tuan." "Sekarang kamu boleh pulang. Jangan lupa, besok mesti datang di kantor saya."
"Ya, Tuan." Midun keluar dari gedung itu. Orang banyak yang berkerumun melihat Midun,
mengiringkannya dari belakang. Berbagai-bagailah pertanyaan orang kepadanya. Midun
amat malu diiringkan orang banyak, lalu ia naik bendi ke Pasar Baru. Sampai di situ terus
masuk ke kedai orang menjual nasi goreng. Di tempat itu lain tidak yang didengar Midun,
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percakapan orang tentang serdadu mengamuk itu saja. Tetapi Midun berdiam diri saja;
sesudah makan nasi goreng, ia naik bendi pulang ke Kwitang.
Di atas bendi Midun berkata dalam hatinya, "Apa pulakah yang akan terjadi atas diri
saya besok pagi" Celaka pulakah yang akan datang, sebab saya menangkap serdadu" Tak
boleh jadi, serdadu itu tak ada yang bercela badannya oleh saya. Lagi pula mendengar
perkataan Hoofdcommissaris, tak mungkin saya akan dihukum karena itu. Tak dapat tiada,
sinyo anaknya itu tidak akan membiarkan saya, karena saya menolongnya."
Sampai di Kwitang, induk semangnya bertanya pula tentang orang mengamuk di
Pasar Baru, kalau-kalau Midun mendengar kabar itu. Tetapi Midun menerangkan pura-pura
tidak tahu saja, karena ia ke Meester, katanya.
Pada keesokan harinya pagi-pagi Midun sudah bangun. Sesudah sembahyang dan
minum kopi, maka ia pun berpakaian.
Kira-kira pukul 7 Midun berangkat dari rumahnya menuju ke kantor Hoofdcommissaris.
Baru saja ia sampai, datang seorang politieopziener mendekatinya.
"Kamu yang bernama Midun?" kata politie-opziener. "Saya, Tuan!" ujar Midun.
Midun dibawa masuk ke dalam sebuah kamar yang terasing letaknya di kantor itu.
Tiba-tiba kelihatan oleh Midun, tuan yang menyuruhnya datang kemarin itu.
"Tabik, Midun, ada baik?" kata Hoofdcommissaris.
"Baik juga, Tuan," ujar.Midun dengan sopannya.
"Kemarin kamu katakan, kamu tidak bekerja. Mau kamu bekerja di sini?"
"Kalau Tuan mau menerima saya, dengan segala suka hati saya terima."
"Baiklah. Sekarang boleh Midun mulai bekerja."
Setelah Hoofdcommissaris bercakap beberapa lamanya di telepon, Midun dibawa ke
dalam sebuah kamar besar. Di situ dilihatnya amat banyak orang bekerja. Maka Midun pun
mulailah bekerja sebagai juru tulis di kantor Hoofdcommissaris.
Dengan rajin dan sungguh Midun bekerja di kantor itu. Di dalam dua bulan saja, sudah
kelihatan kecakapannya bekerja. Ia selalu hati-hati dan hemat dalam pekerjaannya. Tidak
lama Midun disuruh mengambil pekerjaan mata-mata. Sebabnya ialah karena masa itu amat
banyak penggelapan candu.
Di dalam pekerjaan itu pun Midun sangat pandai. Tidak sedikit ia dapat menangkap
candu gelap. Pandai benar ia menjelmakan diri akan mengintip orang membawa candu
gelap itu. Bermacam-macam ikhtiar dijalankannya. Kadang-kadang waktu kapal masuk
pelabuhan, ia menjadi kuli, turut mengangkat barang dari anggar ke stasiun. Bahkan kuli-kuli
itu dapat pula dipikatnya dengan menjanjikan persen, manakala dapat menunjukkan orang
yang membawa candu gelap. Ada yang ditangkap Midun candu itu di perut perempuan
orang Tionghoa yang pura-pura hamil. Padahal sebenarnya candu gelap yang dibalutnya
dengan kain di perutnya itu. Ada pula yang ditangkapnya dalam perban kaki orang, yang
pura-pura sakit kaki. Pendeknya, di dalam hal yang sulit-sulit, yang tak mungkin pada
perasaan orang candu itu ditaruhnya di sana, dapat ditangkap Midun.
Enam bulan Midun bekerja, nyatalah kepada orang di atas akan kecakapannya dalam
pekerjaannya. Maka ia pun diangkat
menjadi menteri polisi di Tanjung Priok. Seiring dengan keangkatannya itu, ia
mendapat anugerah pula dari pemerintah beberapa ribu rupiah. Uang itu ialah persen dari
candu yang sudah ditangkapnya. Berlinang-linang air mata Midun sebab suka, waktu
menerima uang sekian itu. Tidak disangkasangkanya ia akan mendapat uang sebanyak itu.
Segala uang itu dimasukkannya ke bank.
Karena suka dan girang amat sangat mendapat uang dan menerima angkatan itu,
Midun segera menulis surat ke Bogor kepada ayah Halimah. Maka dinyatakannya hasratnya
yang selama ini dikandungnya. Midun takut Halimah yang sangat dikasihinya itu akan dapat
bencana. Sebab itu hendak disegerakannya supaya ia menjadi suami istri dengan gadis itu.
Demikian bunyi surat Midun kepada Halimah:
Weltevreden, 9 Desember 19..
Kekasihku Halimah! Berkat doa Adinda yang makbul jua, kakanda sekarang sudah menjadi
menteri polisi di Tanjung Priok. Oleh sebab itu, saat inilah yang sebaik-baiknya
untuk melangsungkan cita-cita kita yang selama irii. Bersamaan dengan surat ini
ada kakanda kirim surat kepada bapak, yang isinya menyatakan hasrat kakanda
itu. Di dalam surat itu kakanda sertakan pula uang banyaknya f 400,- untuk
belanja perkawinan kita. Pada tangga115 Desember ini kakanda perlop, lamanya 14 hari. Waktu
itulah kakanda dating kemari. Untuk keperluan Adinda, kakanda bawa bersama
kakanda nanti. Bagaimana permufakatan bapak dan Halimah, kakanda menurut.
Sehingga inilah dulu, nanti seminggu lagi sambungannya.
Peluk cium kakanda, MIDUN Midun dapat perlop, lamanya 14 hari. Beserta dengan beberapa orang kawan dari
Betawi, ia pun berangkatlah ke Bogor. Sampai di Bogor, didapatinya ayah Halimah sudah
siap. Di muka rumah sudah terdiri sebuah dangau-dangau besar, dihiasi dengan bagusnya.
Orang sedang sibuk bekerja,
mengerjakan ini itu mana yang perlu. Rupanya perkawinan itu akan dilangsungkan
ayah Halimah dengan peralatan yang agak besar, sebab hanyalah Halimah anaknya yang
perempuan. Kedatangan Midun diterima ayah Halimah dengan segala suka hati. Maka Midun pun
menceritakan halnya sejak keluar dari bui sampai menjadi menteri polisi di hadapan
Halimah, ayahnya dan beberapa orang lain famili mereka itu. Segala yang mendengar cerita
Midun itu amat bergirang hati. Lebihlebih Halimah, karena bakal suaminya sudah menjadi
ambtenar pula. Tiga hari kemudian, perkawinan Midun dan Halimah dilangsungkan. Dua hari dua
malam diadakan peralatan, sangat ramai, karena banyak sahabat kenalan ayah Halimah
hadir dalam peralatan itu. Begitu pula sahabat kenalan Midun banyak datang dari Betawi.
Dengan tidak kurang suatu apa, selesailah peralatan itu. Setelah seminggu Midun
tinggal bersama mertuanya, ia pun berangkat ke Betawi. Ayah, ibu tiri, dan beberapa orang
famili Halimah turut ... mengantarkannya ke Tanjung Priok: Midun memang sudah siap
dengan sebuah rumah yang sederhana, cukup dengan perkakasnya, bakal mereka itu
tinggal dua laki istri. Maka tinggallah mereka suami istri di rumah itu, hidup selalu dalam
berkasih-kasihan, seia sekata dan turut-menurut dalam segala hal. Demikianlah pergaulan
mereka itu dari sehari ke sehari.
Midun sudah bekerja sebagai menteri polisi. Namanya termasyhur di Tanjung Priok.
Baik kuli baik pun tidak, amat segan dan takut kepada menteri polisi Midun. Polisi orang
Melayu atau pun Belanda segan pula kepadanya. Sebabnya ialah ketika terjadi perkelahian
beberapa orang kelasi kapal yang memperebutkan perempuan durjana. Tidak ubah sebagai
perang kecil waktu terjadi perjuangan itu. Perkelahian yang asal mulanya dua orang kelasi
yang berlainan-lainan kapal tempatnya bekerja, menjadi ramai sebab mereka mempertahankan teman masing-masing. Polisi tak dapat lagi memisahkan, sebab sangat sibuknya.
Segala orang yang mempunyai toko menutup tokonya karena ketakutan. Yang berkedai
mengemasi kedainya, lalu mencari tempat persembunyian. Amat banyak orang berlarian ke
sana kemari menjauhi perkelahian itu. Huru-hara, tidak berketentuan lagi. Tidak sedikit polisi
baik pun kelasi yang luka. Jika tidak ada Midun, entah berapa agaknya bangkai terhantar,
sebab mereka itu sudah memakai senjata tajam dalam perjuangan itu. Menteri polisi
Midunlah yang terutama berusaha memadamkan perkelahian yang hebat itu. Oleh karena
itu ia sangat terpuji oleh orang di atas dalam pekerjaannya.
Belum cukup enam bulan Midun di Tanjung Priok, ia menerima surat pindah ke
Weltevreden. Menerima surat pindah itu, Midun bersukacita. Di Tanjung Priok hampir ia tak
dapat menidurkan badan. Ada-ada saja yang mesti diuruskannya, baik siang atau pun
malam. Kadang-kadang lewat tengah malam orang memanggil dia, karena ada sesuatu
yang terjadi dan perlu diselesaikan. Tiga hari kemudian daripada itu, Midun suami istri
berangkat ke Weltevreden. Maka ia. pun bekerjalah dengan rajinnya di Weltevreden.
Sekali peristiwa Midun dipanggil Hoofdcommissaris datang ke kantornya. Sampai di
kantor, Hoofdcommissaris pun berkata, "Midun, sekarang kamu mesti berlayar."
"Ke mana, Tuan?" ujar Midun dengan hormatnya.
"Kami dengar kabar ada penggelapan candu yang sangat besar. Pusat penggelapan
itu di Medan, dan ada pertaliannya di Jawa ini. Sebab itu kamu mesti berangkat minggu di
muka ini ke Medan, akan menyelidiki benar tidaknya kabar itu. Saya harap, pekerjaanmu di
sana memberi hasil yang baik. Nah, selesaikanlah mana yang perlu, dan berangkatlah
minggu di muka ini!"
"Baik, Tuan!" lalu Midun pulang ke rumahnya.
Setelah perintah itu dikabarkan Midun kepada istrinya, maka ia pun berkirim surat ke
Bogor menyuruh datang mentuanya ke Betawi. Masa itu mentua Midun sudah pensiun. Dua
hari kemudian, datanglah mentuanya laki istri. Midun mengabarkan bahwa ia tiga hari lagi
berangkat ke Medan. Dimintanya, selama ia di Medan, supaya mentuanya menemani
Halimah. Setelah mustaid barang-barang yang perlu dibawa Midun, ia pun berangkatlah ke
Medan. Waktu ia akan berangkat, tidak dibiarkannya seorang jua mengantarkannya ke
kapal. Midun ke Medan menjelma sebagai seorang saudagar. Sebab itu, ia menumpang di
atas geladak kapal saja. Sampai di Medan, dengan ditemani oleh seorang matamata, Midun pun bekerjalah
menyelidiki kabar penggelapan candu yang besar itu. Ada sebulan ia menyelidiki kabar itu
dengan rajinnya. Bermacam-macam ikhtiar dijalankan Midun. Kemudian nyatalah, bahwa
kabar itu bohong belaka. Menurut pendapatnya, kabar itu hanya dibuat-buat orang saja,
untuk menjalankan maksudnya di tempat lain. Dua hari lagi akan berangkat ke Betawi,
Midun memakai seperti biasa.
la pun pergilah berjalan-jalan dengan temannya itu melihat-lihat keindahan kota
Medan. Setelah hari malam, terus menonton komidi gambar. Ketika akan pulang lalu diajak
oleh temannya minum-minum kepada sebuah hotel. Baru saja duduk, datang seorang
jongos membawa buku tulis.
"Minum apa, Engku?" ujar Ahmad, temannya itu.
"Apa saja yang Engku sukai," jawab Midun.
Ketika Ahmad menuliskan nama minuman yang akan diminta, Midun memandang
kepada jongos yang berdiri di belakang kawannya itu. Tiba-tiba ia terperanjat, karena
dilihatnya jongos itu serupa benar dengan adiknya Manjau. Hatinya tertarik, lalu
diperhatikannya tingkah laku jongos hotel yang seorang itu. Midun amat heran karena
jongos itu sebentar menyeringai, sebentar pula duduk, seolah-olah menahan sakit.
Perjalanannya pun tidak sebagai biasa, melainkan agak lambat. Maka Midun berkata dalam
hatinya, "Tidak boleh jadi Manjau akan sampai kemari. Tentu saja ia tidak diizinkan ibu dan
ayah meninggalkan kampung, karena saya sudah pergi. Lagi pula tidak akan sampai hatinya
meninggalkan orang tua, yang telah bersedih hati kehilangan anaknya yang sulung itu. Ah,
agaknya pemandangan saya yang salah, tidak sedikit orang yang serupa di atas dunia ini.
Tetapi apakah sebabnya dia selalu memandang saya" Dan apakah sebabnya jongos itu
selalu menyeringai dan sebentar-sebentar duduk" Tidak lain tentu karena korban
perempuan-perempuan dukana yang berkeliaran seluruh kota ini agaknya.
Di dalam Midun termenung memikirkan jongos hotel itu, tiba-tiba Ahmad kawannya itu
berkata, katanya, "Mengapakah Engku termenung saja dari tadi saya lihat" Apakah yang
Engku menungkan?" "Tidak apa-apa," ujar Midun menghilangkan pikirannya, sambil memperbaiki
duduknya. "Pikiran saya melayang ke tanah Jawa."
"Di sini pun tidak kurang kepelesiran seperti di tanah Jawa, bahkan lebih agaknya.
Lihatlah ke jendela tingkat hotel ini. Di tanah Jawa tidakkan lebih, samalah dengan di sini
agaknya." "Benar, sama dengan di sini. Sungguh berbahaya benar perempuan-perempuan jahat
itu. Tidak sedikit orang yang telah menjadi korban penyakit itu. Di Betawi lebih-lebih lagi
yang buta, buta juga, anggotanya pun banyak yang rusak. Sungguh berbahaya benar
penyakit jahanam itu."
"Sebenarnyalah perkataan Engku itu. Di sini pun begitu pula. Bahkan banyak hotel di
sini dipergunakan untuk itu saja. Dipelihara di situ perempuan-perempuan dukana itu, untuk
pemuaskan hawa nafsu orang yang baru datang atau yang ada di negeri ini. Seolah-olah
sengaja rupanya orang memperkembang biak penyakit keparat itu."
"Benar, kalau begitu sama keadaannya dengan Betawi. Hal ini tidak boleh sekali-kali
dibiarkan. Patut benar pemerintah berikhtiar, supaya musna kupu-kupu malam yang
berkeliaran di kota-kota di tanah Hindia ini."
Adapun jongos hotel itu terkejut pula ketika melihat muka Midun. Ia amat heran karena
orang itu selalu memandang kepadanya. Pada pemandangannya tidak ubah sebagai
saudaranya Midun. Dengan darah berdebar-debar, jongos itu berkata dalam hatinya, "Dari
tadi saya diperhatikan orang itu. Rupanya bersamaan benar dengan saudara saya Midun.
Nyata kepada saya, bahwa sebenarnyalah dia kakak saya. Tetapi tidak boleh ia segagah ini.
Temannya memanggilkan dia "Engku". Tentu ia seorang berpangkat. Mustahil, sedang
menulis pun Midun tidak pandai dan tidak pula bersekolah. Lagi pula ia dihukum ke Padang,
masakan orang hukuman menjadi orang berpangkat. Agaknya orang itu serupa dengan
Midun. Menurut suratnya ke kampung dahulu, ia pergi ke tanah Jawa. Suatu hal yang tidak
boleh jadi ia di sini."
Kira-kira pukul sebelas malam, Midun membayar beli minuman. Maka ia pun
pulanglah ke rumah tempatnya menumpang. Sampai di rumah hati Midun tidak senang
sedikit jua. Jongos hotel itu tidak hendak hilang dalam pikirannya. Kemudian diputuskannya
pikirannya hendak kembali ke hotel itu, akan menanyakan siapa dan orang mana jongos
hotel itu. Sampai di sana, lalu dipanggilnya jongos itu. Maka ia dibawa Midun kepada suatu
tempat yang terpisah. Midun berkata, katanya, "Saya harap kamu jangan gusar, karena
saya hendak bertanya sedikit."
"Baiklah, Engku," ujar jongos itu dengan hormatnya.
"Kamu orang mana?"
"Saya orang Minangkabau, Engku."
"Di mana negerimu di Minangkabau?"
"Di Bukittinggi."
"Namamu siapa?"
"Nama saya Manjau."
Mendengar nama itu hati Midun hampir tidak tertahan lagi. Ketika itu sudah nyata
kepadanya, bahwa orang yang bercakap dengan dia itu, adiknyalah. Tetapi dengan
sekuat-kuatnya ia menahan hati, lalu meneruskan pertanyaannya, katanya, "Adakah engkau
bersaudara?" "Ada, Engku." "Siapa namanya?"
"Midun." "Manjau, adikku kiranya ini," ujar Midun sambil melompat memeluk Manjau.
Kedua mereka itu bertangis-tangisan,
karena pertemuan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tidak lama mereka itu insaf akan diri. Midun meneruskan
pertanyaannya pula, katanya, "Sudah lamakah engkau di sini" Ayah bunda dan adikku di
mana" Diizinkan mereka itukah engkau merantau kemari" Adakah ia sehat-sehat saja
sampai sekarang?" Manjau menceritakan dengan panjang lebar penyakit ayahnya waktu akan meninggal
dunia dan perkara pusaka yang diambil oleh kemanakan ayahnya. Begitu pula perkawinan
Juriah dengan Maun, pesan ayahnya waktu akan berpulang. Dengan tidak diketahuinya, air
mata Midun berlinang-linang, karena amat sedih hatinya mengenangkan kematian ayahnya
yang dicintainya itu. Maka ia pun berkata, "Ayah sudah meninggal, apa pula yang engkau
turut kemari! Tentu ibu canggung engkau tinggalkan, suami mati, anak dua orang sudah
hilang." "Saya pergi sudah seizin beliau. Akan tinggal juga saya di kampung tak ada pekerjaan
saya, sebab harta kita sudah habis sama sekali. Usikan Penghulu Kepala Kacak tidak pula
tertanggung oleh saya. Tidak ada berselang sepekan saya sudah disuruhnya pula berodi,
jaga, ronda malam, dan lain-lain. Karena itu saya mufakat dengan Maun. la sendiri
mengizinkan juga saya pergi. Kata Maun, "Pergilah, Manjau, mudah-mudahan engkau
bertemu dengan Midun. Saya sendiri pun akan meninggalkan kampung ini pula, sebab saya
tidak senang diam oleh si Kacak musuh kami dahulu. Biarkanlah ibu dan Juriah tinggal.
Sayalah yang akan menjaga keselamatan ibu. Ke mana saya pergi, tentu beliau saya
bawa." Maka saya pun pergilah ke Bukittinggi. Mula-mula saya bekerja menjadi jongos
kepada seorang Belanda. Belum lama saya bekerja, diajak oleh induk semang saya itu
kemari. Tiga bulan saya bekerja dengan dia, induk semang saya itu pun perlop ke negeri
Belanda. Saya tinggal seorang diri, lalu mencari pekerjaan lain. Dengan seorang kawan
bernama Sabirin, orang Minangkabau juga, kami pergi meminta pekerjaan kepada sebuah
onderneming yang jauhnya lebih kurang 30 pal dari sini. Kami dapat pekerjaan pada
onderneming itu. Saya jadi juru tulis kontrak dan teman saya itu jadi mandor. Habis tahun
kami dapat perlop 14 hari dan ekstra gaji 3 bulan.
Sebab kami biasa tinggal di hutan, maka kami pergi kemari. Di sini pelesir
menyenang-nyenangkan hati, akan melepaskan lelah bekerja terus setahun itu. Ke pelesiran
itu rupanya menjadi sesalan kepada saya sekarang. Teman saya Sabirin itu meninggal
dunia baru sebulan. Sebabnya ialah karena mendapat penyakit ... perempuan.
Ia mendapat penyakit yang nomor satu. Saya untunglah dapat yang enteng. Sudah
dua bulan sampai sekarang saya menanggung penyakit itu. Akan kembali ke onderneming
sudah malu, dan rasanya saya tidak kuat lagi bekerja. Maka saya carilah pekerjaan yang
ringan di sini, yaitu menjadi jongos hotel. Demikianlah hal saya selama Kakak tinggalkan."
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita adiknya itu. Maka
Manjau disuruhnya berhenti bekerja di hotel itu. Setelah itu dibawanyalah ke rumah
tempatnya menumpang. Sampai di rumah, sesudah Midun berganti pakaian, maka ia
menceritakan nasibnya kepada Manjau sejak meninggalkan kampung. Tetapi yang
diceritakannya, hanyalah mana yang patut didengarkan adiknya saja. Ketika sampai kepada
menceritakan halnya digoda perempuanperempuan di Betawi, di situ diperpanjang oleh
Midun. Ditanyakannya kepada Manjau bagaimana keimanannya dalam hal itu. Begitu pula
tentang pergaulan hidup dan caranya berteman dengan orang. Mendengarkan cerita Midun
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat panjang itu, Manjau insaf benar-benar akan dirinya. la menekur dan menyesal
amat sangat perbuatannya yang sudah-sudah. Lebih-lebih ketika Midun menceritakan
bahaya penyakit perempuan itu, maka Manjau pucat sebagai orang ketakutan.
Menteri polisi Midun berangkat pula kembali ke Betawi. Manjau dibawanya
bersama-sama. Dengan selamat Midun sampai ke Betawi. Maka Midun menceritakan hal
pertemuannya dengan adiknya itu.
Setelah mendengar keterangan Midun, orang di rumah itu pun girang hatinya.
Tiga bulan Manjau berulang ke rumah sakit, barulah sembuh benar penyakitnya.
Tetapi setelah sembuh ia harus memakai tesmak, karena pemandangannya sudah kurang
terang. Manjau tidak dibiarkan Midun bekerja, melainkan bersenang-senangkan diri saja di
rumah. Sekali-sekali jika Midun membawa pekerjaan pulang, ditolongnya bekerja di rumah.
Kemudian Manjau dimasukkan Midun bekerja di kantor Roofdcommissaris.
Bab 15: Pertemuan SEKALI peristiwa pada suatu petang. Midun dengan istrinya duduk-duduk di beranda
muka rumahnya makan-makan angin. Sedang ia minum-minum teh, tiba-tiba berlarilah
anaknya dari dalam. Anak itu sudah berumur tiga tahun lebih. Ia membawa sebuah surat
kabar mingguan pada tangannya. Maka anak itu pun berkata, "Papa, apa ini?"
Anak itu menunjuk sebuah gambar pada surat berkala itu. Midun melihat, lalu
diperhatikannya gambar itu. Kemudian ia berkata, "Ini gambar negeri bapak. Anak mau
pergi ke Padang?" "Mau," jawab anaknya, yang barangkali kurang mengerti benar akan perkataan
bapaknya. "Coba lihat!" ujar Halimah meminta gambar itu. "Gambar itu ialah gambar ngarai atau
'Karbauwengat' di Bukittinggi benar. Kalau saya tidak salah, hanya 10 menit perjalanan."
Midun terkenang akan negerinya. Tampak-tampak olehnya jalan-jalan di kampungnya.
Ia bermenung, pikirannya melayang ke kampung. Tiba-tiba terbayang ibu dan adiknya
Juriah, yang sangat dikasihinya itu. Setelah beberapa lamanya dengan hal demikian itu,
Midun berkata kepada istrinya, "Halimah! Jika saya tidak salah, ketika kita berjalan-jalan di
Kebun Raya dahulu, kau ada berkata, 'Tahun mana musim pabila dan dengan jalan apakah
lagi, maka dapat saya melihat negeri Padang yang saya cintai itu'. Perkataanmu itu,
sebenarnyalah atau untuk bersenda gurau saja?"
Midun tersenyum, ia terkenang akan halnya masa dahulu, waktu berjalan-jalan
dengan Halimah di Kebun Raya. Halimah kemalu-maluan. Sambil tersenyum, ia pun
berkata, "Apakah sebabnya sekarang Udo menanyakan hal itu" Belumkah tampak oleh
Udo, bahwa perkataan saya itu sebenarnya?"
"Bagaimana pula akan tampak, karena kita sudah hampir 6 tahun di sini saja."
"Sudah sebesar ini si Basri anak kita, belumlah tampak oleh Udo, bahwa perkataan
saya itu sungguh-sungguh?"
"O, jadi yang kau maksud 'negeri Padang' dahulu itu si Midun kiranya." Midun
tersenyum pula. Kemudian ia berkata lagi, katanya, "Perkataan saya ini sebetul-betulnya,
Halimah. Sudah hampir 6 tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui ibu dan adik
saya Juriah. Cukuplah ayah meninggal dunia karena bercintakan saya, tetapi janganlah
hendaknya terjadi pula sekali lagi pada ibu hal yang demikian itu."
"Menurut pikiran Udo, bagaimana yang akan baiknya?"
"Pikiran saya, jika sepakat dengan Halimah, saya bermaksud hendak memasukkan
rekes meminta pindah ke negeri saya. Sukakah kau, jika kita kembali pula ke Padang?"
"Menurut hemat saya, hal itu tidak perlu Udo tanyakan lagi kepada saya. Jika saya
akan dua hati juga kepada Udo, tidaklah saya bersuamikan Udo. Jangankan ke Padang. Ke
laut api sekalipun saya turutkan, jika Udo mau membawa saya, anak yatim ini. Lain tidak
hanya Udolah bagi saya, ketika panas tempat berlindung, waktu hujan tempat berteduh."
"Saya sudah maklum tentang hatimu. Bukankah baik juga kita mufakat apa yang harus
kita kerjakan. Kalau demikian, baiklah. Besok saya hendak menghadap Hoofdcommissaris,
akan memohonkan permintaan, mudah-mudahan dikabulkannya dan dapat pertolongan pula
daripadanya." Pada keesokan harinya pagi-pagi Midun pergilah ke kantor Hoofdcommissaris. Dari
jauh Midun sudah dipanggil Hoofdcommissaris, karena waktu ia akan masuk kantor, sudah
kelihatan kepadanya. Senang benar hati tuan itu bertemu dengan dia, karena tidak saja
Midun sudah bertanam budi kepadanya, dalam pekerjaan pun cakap dan terpuji pula.
"Apa kabar, Midun?" ujar Hoofdcommissaris. "Ada baik saja dalam pekerjaan?"
"Baik, Tuan," ujar Midun dengan hormat, "tidak kurang suatu apa."
"Sekarang apa maksudmu datang kemari?"
"Jika tak ada alangan pada Tuan; saya ada hendak memohonkan permintaan sedikit."
"Boleh, katakanlah apa yang hendak kamu minta itu!"
"Sudah hampir enam tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui ibu dan
adik-adik saya. Entah masih hidup juga mereka itu sekarang entah tidak. Oleh sebab itu jika
izin Tuan, saya hendak memohonkan, bagaimana baiknya agar citacita saya itu sampai."
"Jadi Midun ingin bekerja di negeri sendiri?"
"Saya, Tuan. Tetapi kalau tak ada alangan pada Tuan dan dengan pertolongan Tuan
jua." "Baiklah. Buatlah rekes kepada Residen Padang. Sesudah kamu buat, berikan kepada
saya. Nanti saya sendiri mengirimkan ke Padang."
"Terima kasih banyak, Tuan," ujar Midun dengan girang.
Dengan petunjuk beberapa orang pegawai kantor itu, maka dibuatlah oleh Midun
rekes kepada Residen Padang memohonkan suatu pekerjaan di Sumatra Barat. Setelah
sudah, lalu diberikannya kepada Hoofdcommissaris. Kemudian ia pergi menjalankan
pekerjaannya seperti biasa.
Sepuluh hari kemudian daripada itu, pagi-pagi, ketika Midun mengenakan pakaian di
rumahnya, kedengaran olehnya di muka orang mengatakan "Pos". Halimah segera keluar.
Tidak lama ia kembali, lalu berkata, "Telegram, Udo."
Setelah ditekan Midun surat tanda penerimaan telegram itu, diletakkannya di atas
meja. Sesudah berpakaian, dengan darah berdebar-debar dan harap-harap cemas, lalu
dibukanya telegram itu. Tiba-tiba ia terperanjat, karena di dalam telegram itu tersebut,
bahwa Midun diangkat jadi assisten demang di negerinya sendiri, dan mesti
selekas-lekasnya berangkat.
Tidak dapat dikatakan bagaimana kegirangan hati Midun masa itu. Diciumnya
anaknya beberapa kali akan menunjukkan sukacitanya. Halimah jangan dikatakan lagi.
Amat girang hatinya karena suaminya menjadi assisten demang.
Dengan suka dan girang, Midun berangkat ke kantor Hoofdcommissaris. Sampai di
sana, ia terus saja masuk ke kamar Hoofdcommissaris, sambil memegang surat kawat di
tangannya. Midun berkata dengan gagap, diunjukkannya telegram itu katanya, "Saya diangkat jadi
assisten demang di negeri saya, Tuan!"
Hoofdcommissaris membaca telegram itu. Setelah dibacanya, ia pun berkata dengan
girang, "Selamat, selamat, Midun! Yang kamu cita-citakan sudah dapat. Keangkatanmu ini
tentu menyenangkan hatimu, karena kamu dipindahkan ke negerimu sendiri."
Hoofdcommissaris itu berdiri, lalu ditepuk-tepuknya bahu Midun. Maka ia pun berkata
pula, katanya, "Pemandanganmu sudah luas, pengetahuanmu pun sudah dalam. Sebab itu
pandai-pandai memerintah dan memajukan negerimu. Saya harap kamu hati-hati dalam
pekerjaan, jangan kami dapat malu karena kamu. Jika kamu rajin bekerja,tidak lama tentu
kamu diangkat jadi demang. Pergilah sekarang juga menghadap Tuan Residen,
memberitahukan keangkatanmu ini. Dialah yang terutama mengenalkan kamu dalam hal ini.
Balik dari sana kemari lagi. Nanti saya buat sepucuk surat untuk tuan Residen Padang.
Kamu harus berangkat dengan lekas ke Padang."
Midun tidak dapat menjawab perkataan Hoofdcommissaris lagi, karena disuruh pergi.
Dengan menganggukkan kepala saja, Midun terus pergi menghadap Tuan Residen, akan
mengucapkan terima kasih atas usulnya itu.
Sepekan kemudian daripada itu, Midun dua laki istri dan Manjau berangkatlah ke
Padang. Dengan selamat dan tidak kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk
Bayur. Setelah diantarkannya istrinya ke rumah salah seorang kenalannya di sana, Midun
terus menghadap Tuan Residen akan memberikan surat dari Hoofdcommissaris Betawi.
Surat itu dibaca Tuan Residen, dan sambil memberi selamat, Midun dinasihatinya dengan
panjang lebar. Setelah itu ia kembali pulang ke tempatnya menumpang. Midun dengan istrinya pergi
mengunjungi kubur ibu Halimah. Sudah itu ia pergi mendapatkan Pak Karto ke Ganting.
Amat girang hati Pak Karto bertemu dengan Midun. Apalagi setelah mendengar kabar,
bahwa Midun sudah menjadi assisten demang, ia sangat bersukacita. Maka ditinggalkan
Midun uang f 100,- untuk Pak Karto. Disuruhnya ganti kubur ibu Halimah dengan batu,
lebihnya untuk Pak Karto.
Pada keesokan harinya pagi-pagi, Midun berangkat ke Bukittinggi. Maka sampailah
mereka itu dengan selamat di negeri tumpah darahnya. Midun pergi menghadap Tuan
Assisten Residen, akan memberitahukan bahwa ia sudah datang dan memohonkan perlop
barang sebulan, karena ia sudah 6 tahun tidak pulang ke negerinya. Permintaannya itu
dikabulkan oleh Assisten Residen.
Adapun di kampung Midun pada hari itu Tuan Kemendur mengadakan rapat besar.
Sudah 3 bulan lamanya kampung Midun dengan daerahnya diwakili oleh demang lain
memerintah di situ, sebab belum datang gantinya. Rapat hari itu ialah rapat besar, akan
menentukan penghulu-penghulu, mana yang harus diberi bersurat dan mana yang tidak.
Oleh sebab itu, segala penghulu kepala dan penghulu-penghulu yang ternama hadir belaka,
membicarakan bagaimana caranya pengatur hal itu.
Rapat hampir habis, yaitu kira-kira pukul 11, Midun laki istri dan Manjau sampai di
kampungnya dengan selamat. Didapatinya orang sedang rapat di pasar di kampungnya dan
Tuan Kemendur ada pula di sana. Maka Midun pun pergilah menemui Tuan Kemendur.
Setelah beberapa lamanya Midun bercakap dengan Tuan Kemendur, Tuan Kemendur
memberitahukan pada kerapatan, bahwa Midunlah yang akan menjadi assisten demang di
negeri itu. Sesudah itu Midun menerangkan pula dengan pandak, atas kepindahannya dari
Betawi ke negerinya sendiri.
Datuk Paduka Raja, mamak Midun yang masa itu ada pula hadir dalam rapat itu,
melompat karena girang mendengar kabar Midun menjadi assisten demang. Dengan suka
amat sangat ia pun pergi mendapatkan kemenakannya. Baru saja Midun melihat
mamaknya, dengan segera ia menjabat tangan Datuk Paduka Raja. Keduanya
berpandang-pandangan, air matanya berlinang-linang, karena pertemuan yang sangat
menyenangkan hati itu. Segala penghulu kepala dan penghulupenghulu bersalam kepada
Midun dengan hormatnya. Bagaimana pulalah halnya dengan Penghulu Kepala Kacak"
Dengan malu dan takut, ia datang juga bersalam kepada Midun. Itu pun sudah kemudian
sekali, yakni setelah orang-orang habis bersalam dengan Midun. Midun sangat hormat dan
merendahkan diri kepada Kacak. Dirasanya tangan Kacak gemetar bersalam dengan dia.
Sedang bersalam, Midun berkata, "Senang benar hati saya melihat Engku sudah menjadi
penghulu kepala. Karena Engku sahabat saya yang sangat akrab masa dahulu, tentu saja
kita akan dapat bekerja bersamasama memajukan negeri kita. Sebab itu saya harap,
moga-moga pergaulan kita sekarang mendatangkan kebaikan kepada negeri ini."
Kacak ketakutan, warna mukanya pucat seperti kain putih. Sepatah pun ia tidak berani
menjawab perkataan Midun itu. Segala penghulu-penghulu dan penghulu kepala yang lain
amat heran, karena Midun sangat hormat dan merendahkan diri kepada Penghulu Kepala
Kacak. Apalagi melihat muka Kacak yang pucat itu, semakin takjub orang memandanginya.
Tetapi penghulupenghulu yang mengetahui hal Kacak dan Midun masa dahulu,
mengangguk-anggukkan kepala saja, karena mereka maklum akan sindiran assisten
demang yang demikian itu.
Rapat itu disudahi sebab sudah habis. Midun suami istri dan Manjau serta mamaknya
terus ke rumah familinya. Di jalan dikabarkan Datuk Paduka Raja, bahwa ibu Midun baru
sepekan di rumah. Ia pergi ke Bonjol menurutkan Maun bekerja.
Sebabnya Maun ke Bonjol, diterangkan Datuk Paduka Raja, bahwa Maun selalu
diganggu Penghulu Kepala Kacak di kampung. Kepulangan ibunya itu hanya karena hari
akan hari raya saja. Baru saja Midun naik ke rumah, sudah tampak kepadanya ibunya, Juriah, dan
sahabatnya-sekarang telah menjadi iparnya duduk di tengah rumah. Mereka itu berlompatan
melihat Midun dan Manjau. Tak ubahnya sebagai orang kematian di rumah itu. Mereka itu
empat beranak berpeluk-pelukan dan bertangistangisan amat sangat. Lebih-lebih Midun dan
Maun dua orang sahabat yang sangat akrab dahulu. Tidak insaf, kedua mereka itu lagi,
bahasa ia sudah beripar besan. Sama-sama tidak mau melepaskan pelukan
masing-masing. Halimah sendiri turut pula menangis melihat pertemuan suaminya itu. Ada
setengah jam lamanya, barulah tenang pula di rumah itu. Tidak berapa lama antaranya,
Midun berkata, "Inilah menantu Ibu, namanya Halimah. Dan ini cucu Ibu, namanya Basri."
Ibu Midun baru insaf akan diri, bahwa beserta Midun ada pula menantu dan cucunya.
Halimah segera mendapatkan mentuanya lalu menyembah. Ibu Midun mendekap
menantunya itu. Kemudian diambilnya cucunya, dipangku dan diciumnya beberapa kali. Maka Halimah
diperkenalkan Midun dengan seisi rumah, dan diterangkannya jalari apa kepadanya orang
itu masingmasing. Ratap tangis mulanya tadi, bertukar dengan girang dan suka. Tertawa
pun tidak pula kurang. Masing-masing menceritakan halnya sejak bercerai. Ibu Midun
bercerita sambil menangis karena sedih atas kematian Pak Midun. Maka Midun pun berkata,
katanya, "Janganlah Ibu kenangkan juga hal yang sudah-sudah itu. Harta dunia dapat kita
cari. Sekarang kami sudah pulang, senangkanlah hati Ibu."
Kabar Midun menjadi assisten demang di negerinya itu, sebentar saja sudah tersiar ke
seluruh kampung itu. Amat banyak teman sejawat Midun dahulu datang mengunjunginya.
Haji Abbas dan Pendekar Sutan datang pula ke rumah. Sehariharian itu tidak ubahnya
sebagai orang beralat di rumah gedang itu. Hanya famili ayah Midun saja yang tidak datang.
Agaknya mereka itu malu dan takut menemui Midun, karena perbuatannya yang
sudah-sudah itu. Pada keesokan harinya, Midun mufakat dengan Datuk Paduka Raja dan Maun, akan
membuat rumah dari batu untuk
Juriah. Begitu pula akan membeli sawah untuk ibunya dua beranak. Lain daripada itu,
Midun hendak membuat gedung pula untuk tempat tinggalnya dengan anak istrinya.
Sesudah permufakatan itu, Datuk Paduka Raja berkata, "Sudah hampir 50 tahun umur saya,
tak sanggup lagi saya memegang gelar pusaka nenek moyang kita. Tidak kuat lagi rasanya
saya memegang jabatan ini, sampai kepada 'mati bertongkat budi'. Oleh sebab itu saya
hendak 'hidup berkerelaan' dengan Midun. Midun sekarang sudah menjadi assisten
demang, jadi sudah layaknya pula memegang gelar itu. Bahkan sudah pada tempatnya
benar-benar." "Bagaimana pikiran Mamak, saya menurut," ujar Midun. "Tapi mufakatlah Mamak
dahulu dengan kaum keluarga kita, karena gelar itu pusaka kita bersama."
"Hal itu sudah mestinya. Saya rasa tentu tidak akan seorang jua kaum kita yang akan
membantahnya." Sepekan kemudian daripada itu, Midun dijadikan penghulu, bergelar Datuk Paduka
Raja. Oleh sebab itu Midun mengadakan peralatan yang sangat besarnya. Disembelihnya
beberapa ekor jawi dan kerbau untuk peralatan itu. Peralatan itu diramaikan dengan tari,
pencak, gung, telempong, dan sebagainya, segala permainan anak negeri ada belaka.
Sungguh alamat ramai, dari mana-mana orang datang. Dari bukit orang menurun, dari lurah
orang mendaki yang buta datang berbimbing yang lumpuh datang berdukung, yang patah
datang bertongkat. Tuan Luhak dan Tuan Kemendur pun datang pula mengunjungi
peralatan itu. Begitu pula assisten demang dan demang banyak yang datang ke peralatan
itu. Setelah selesai peralatan itu, Datuk Paduka Raja pun memerintahlah di negerinya.
Dengan sungguh hati ia bekerja memajukan negeri. Karena anak negeri amat suka
diperintahi D,atuk Paduka Raja, makin sehari negeri anak makin maju. Apalagi karena
assisten demang itu sudah luas pemandangannya dan banyak pengetahuannya,
bermacam-macam ikhtiarnya untuk memajukan negeri.
Demikianlah hal Midun gelar Datuk Paduka Raja, seorang yang amat baik budi
pekertinya itu. Dengan sabar dan tulus ikhlas diterimanya segala cobaan atau bahaya.
Biarpun apa jua yang terjadi atas dirinya. Midun tidak pernah berputus asa, karena ia
maklum, bahwa tiap-tiap celaka itu ada gunanya atau kesengsaraan itu kerap kali membawa
nikmat. Imannya teguh dan tidak pernah hilang akal, kendatipun silih berganti bencana yang
datang kepadanya. Karena pengharapannya yang tidak putus-putus itu, selalu ia
mengikhtiarkan diri akan memperbaiki nasibnya.
Adapun penghulu kepala musuh Datuk Paduka Raja yang sangat bengis dahulu itu,
sejak pertemuan di pasar waktu assisten demang baru datang, sudah melarikan diri entah
ke mana. Rupanya ia takut dan malu kepada Datuk Paduka Raja, musuhnya dahulu. Dan
boleh jadi juga sebab yang lain maka ia melenyapkan diri itu. Hal itu segera diberitahukan
Datuk Kemendur. Maka Tuan Kemendur bersama dengan juru tulisnya datang dari
Bukittinggi akan memeriksa buku-buku dan keadaan beberapa uang kas negeri. Setelah
diperiksa, kedapatan ada beberapa rupiah uang belasting yang tidak disetornya. Kacak
dicari, didakwa menggelapkan uang belasting. Sebulan kemudian daripada itu, Kacak dapat
ditangkap orang di Lubuksikaping. Dengan tangan dibelenggu, ia pun dibawa polisi ke
Bukittinggi terus dimasukkan ke penjara. Enam bulan sesudah itu, perkara Kacak diperiksa.
Karena terang ia bersalah, maka Kacak dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.
SELESAI Suling Emas 1 Mrs Mcginty Sudah Mati Mrs Mcgintys Dead Karya Agatha Christie Lentera Maut 11
kepada kakanda apa yang tersimpan dalam dada Adinda. Tetapi kakanda
berlipat ganda daripada itu. Harapan kakanda besar, cita-cita kakanda tinggi
terhadap kepadamu, Adikku! Kakanda minta dengan sangat, harapan kakanda
yang mulia dan suci bersih itu, janganlah kiranya Adinda putuskan. Jika Adinda
abaikan, nyawa kakanda tentangannya. Sebab itu sudilah kiranya Adinda mengikat erat, menyimpai
teguh untuk sementara waktu. Kepergian kakanda ini tersebab Adinda dan
keperluan kita berdua. Peluk cium kakanda, MIDUN
Setelah sudah surat itu dilipatnya, lalu dimasukkannya ke saku bajunya. Maka Midun
pun tidurlah dengan nyenyaknya, sebab pikirannya sudah tetap. Pagi-pagi benar ia sudah
bangun. Sudah minum pagi mereka pun pergilah bersama-sama mengantarkan Midun. Baru
saja sampai di stasiun, Halimah pergi membeli karcis ke Betawi. Kemudian karcis itu
diberikannya kepada Midun. Karena Midun merasai selain daripada karcis ada pula sebuah
surat, maka waktu itu Midun segera pula mengambil surat yang dibuatnya semalam, lalu
diberikannya kepada Halimah. Hal itu seorang pun tak ada yang melihat, karena bapak ibu
dan famili yang lain sudah masuk ke dalam stasiun.
Kereta sudah datang, maka mereka itu pun bersalamsalaman. Yang pergi meminta
maaf dan memberi selamat tinggal, yang tinggal begitu pula, lalu memberi selamat jalan.
Ketika Midun bersalam dengan Halimah, tangan mereka gemetar, s.ama-sama tak hendak
melepaskan. Sesaat kemudian Midun berkata, "Halimah, jangan saya dilupakan!"
Midun melepaskan tangan Halimah, lalu melompat naik kereta. Sampai kereta api
berangkat, ia tidak memperlihatkan mukanya ke jendela kereta. Amat sedih hatinya bercerai
dengan kekasihnya itu. Tetapi apa hendak dikatakan, karena ia terpaksa meninggalkan
gadis yang dicintainya itu. Halimah pun lebih-lebih lagi, sekuat-kuatnya ditahannya
kesedihan hatinya, karena takut akan diketahui ayahnya, ibu tiri, dan familinya. Sungguhpun
demikian mukanya sangat pucat, air matanya berlinang-linang dan ia sebagai terpaku di
muka stasiun itu. Sampai kereta api hilang dari matanya, baru ia pulang. Itu pun kalau tidak
ditarik adiknya, tidaklah ia sadarkan dirinya.
Setelah kereta api berangkat, Midun segera mengambil surat Halimah dari sakunya.
Untung surat itu bertulis dengan tulisan Arab. Dalam surat itu dilampirkannya sehelai uang
kertas f 50,-. Surat itu demikian bunyinya:
Bogor, 20 Februari 19 ....
Paduka Kakanda yang tercinta! Dengan hormat!
Setelah jauh tengah malam, baru adinda maklum apa maksud Kakanda
meninggalkan adinda. Sekarang insaflah adinda akan ujud perkataan Kakanda
kepada ayah yang mengatakan "maksud baik" kemarin. Dan adinda mengerti
pula, apa sebabnya Kakanda menyimpan rahasia hati Kakanda selama ini
terhadap kepada adinda. Pergilah Kakanda, pergilah! Lamun Halimah tidakkan
ke mana. Adinda akan setia dari dunia lalu ke akhirat kepada Kakanda. Sebab
itu janganlah Kakanda siasiakan pengharapan adinda, anak piatu ini. Adinda
siap akan menyerahkan nyawa dan badan adinda, bilamana saja Kakanda
kehendaki. Bersama ini adinda sertakan uang sedikit untuk belanja di jalan. Harap
Kakanda terima dengan segala suci hati. Selamat jalan!
Peluk cium adinda, HALIMAH Surat ini dimasukkan Midun kembali ke sakunya perlahanlahan. Pikirannya melayang
kepada pergaulannya kelak, manakala ia sudah menjadi suami istri dengan Halimah.
Kemudian teringat pula oleh Midun akan perjalanannya itu. la belum pernah ke Betawi,
hanya melihat kota itu dari atas kereta api saja. Ke manakah ia akan pergi, karena seorang
pun belum ada yang kenal kepadanya di Betawi"
Dalam Midun berpikir-pikir demikian itu, sambil melihat ke luar dari jendela kereta api,
kedengaran olehnya suara orang, katanya, "Assalamu'alaikum!"
Midun melihat lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam!" Seorang Arab bersalam dengan
Midun, lalu duduk dekatnya, karena di situ ada tempat terluang. Setelah orang Arab itu
duduk, ia berkata pula, "Bang hendak ke mana?"
"Hendak ke Betawi!" jawab Midun dengan hormatnya. "Kalau saya tidak salah, Bang
tinggal di Empang, betul?"
"Betul, Tuan juga acap kali saya lihat lalu lintas pada jalan di muka rumah tempat saya
tinggal. Tuan tinggal di Empang jugakah?"
"Tidak. Saya cuma menumpang saja di situ, di rumah saudara saya. Sudah dua bulan
lamanya sampai sekarang. Rumah tempat tinggal saya di Betawi. Saya di Bogor, sebab ada urusan perniagaan."
"Kalau begitu, berniagakah Tuan di Betawi?"
"Ya, betul. Maksud Bang ke Betawi apa pula" Abang orang berniaga seperti saya
juga?" Mendengar pertanyaan itu, Midun berbesar hati. Dari tadi ia memikirkan, ke mana ia
akan pergi setelah sampai di Betawi. Sekarang ia sudah berkenalan dengan seorang yang
tinggal di Betawi. Kata Midun dalam hatinya.
"Sekaranglah yang sebaik-baiknya akan menceritakan hal saya terus terang kepada
orang Arab ini. Biarlah saya katakan saja apa maksud saya ke Betawi. Mudah-mudahan
karena ia seorang Arab, berasal dari Tanah Suci, sudi ia menolong saya. Ah, kalau ia suka
mengajar saya berniaga, alangkah baiknya. Maka Midun berkata, katanya, "Saya ini bukan
saudagar, Tuan! Saya baru datang ke tanah Jawa ini. Sampai sekarang baru sebulan saya
di sini. Maksud saya ke Betawi ini, hendak mencari penghidupan. Saya amat ingin hendak
menjadi orang berniaga. Sudikah Tuan mengajar saya berniaga?"
"Jadi Abang orang mana?"
"Saya orang Padang."
"Belum pernahkah Abang ke Betawi?"
"Tidak pernah sekali juga. Dari Padang saya terus saja ke Bogor."
"Baiklah. Kalau Bang suka, dengan karena Allah saya suka menolong dan mengajar
Abang berniaga." "Terima kasih banyak, Tuan! Asal Tuan suka mengajar saya berniaga, sekalipun akan
Tuan jadikan orang suruh-suruhan dulu, saya terima dengan segala suka hati."
"Baiklah. Nanti kalau kereta sudah sampai di Betawi, ikutlah ke rumah saya! Nama
Bang siapa?" "Nama saya Midun. Saya harap karena Tuan sekarang sudah saya pandang sebagai
induk semang saya, jangan lagi Tuan memanggil 'abang' kepada saya. Sebut sajalah nama
saja!" "Baiklah. Begitu pula sebaliknya, sebab Midun sudah mengaku induk semang kepada
saya, tentu Midun harus pula mengetahui nama saya. Saya bernama Syekh Abdullah
al-Hadramut. Sekarang saya mau bertanya sedikit, tapi saya harap jangan gusar. Waktu
Midun datang ke Bogor tempo hari, saya lihat bersama istri. Tentu saja istri Midun itu orang
Padang pula, sebab Midun belum pernah kemari. Apakah sebabnya
ditinggalkan di rumah orang Sunda di Bogor" Di manakah Midun berkenalan dengan
dia?" Lama Midun berpikir akan menjawab pertanyaan orang Arab itu. Akan dikatakannya
bukan istrinya, memang gadis itu bakal istrinya juga.
"Ah, lebih baik dikatakan istri saya saja," kata Midun dalam hatinya. Maka katanya,
"Istri saya itu orang sini, dan kawin dengan saya waktu di Padang dahulu. Tempatnya
menumpang di Empang itu, rumah orang tuanya sendiri. Jadi sementara saya mencari
pekerjaan, saya suruh ia tinggal bersama orang tuanya dahulu."
"Oooo, begitu!"
Setelah sampai di stasiun Betawi, Midun pergilah bersama Syekli Abdullah
al-Hadramut, ke rumahnya di Kampung Pekojan. Maka tinggallah Midun bersama-sama,
dengan dia di rumahnya. Ada sebulan lamanya Midun berjalan hilir mudik saja menurutkan
Arab itu berniaga. Dengan hal demikian, ia telah mengetahui jalan-jalan di kota Betawi.
Bahasa negeri itu pun sudah mahir pula kepadanya. Begitu pula tentang hal berniaga, ia
sudah agak paham. Maka Midu n pun mulailah berniaga. Uang yang f 50,- yang diberikan
Halimah diambilnya akan jadi pokok. Syekh Abdullah al-Hadramut memberikan kain seharga
f 100,- kepadanya. Maka ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Harga kain ini f 100,-. Jadi
kita berpokok f 50,- seorang. Kalau beruntung, kita bagi tiga. Sepertiga untuk saya dan dua
per tiga keuntungan bagimu. Sukakah engkau dengan aturan begitu?"
Karena Midun sangat percaya kepada orang Arab, ia pun menganggukkan kepala
saja. Dan menurut aturan berniaga, memang sudah sepatutnya. Tetapi dalam pada itu
Syekh Abdullah sudah mengambil keuntungan lebih dulu daripada harga kain itu. Penipuan
itu sekali-kali Midun tidak mengetahui. Bahkan akan menyelidiki benar tidaknya harga kain
sekian tidak pula terpikir di hatinya, karena kepercayaannya penuh kepada orang Arab itu.
Enam bulan Midun berjaja, pada suatu malam ia berkata kepada Syekh Abdullah,
katanya, "Tuan, rupanya agak kurang cepat menjual kain di kota ini. Dalam sehari hanya
laku limaenam helai saja. Tidak baikkah kalau saya pergi ke negeri yang dekat-dekat di sini,
misalnya ke Tangerang, Kebayoran, dan lain-lain?"
"Kalau begitu Midun belum pandai berniaga," ujar Syekh
Abdullah. "Mari saya tunjuki jalannya, supaya lekas tebal. Memang jika dijual tunai,
susah melakukannya di sini. Sebab itu lebih baik Midun perutangkan di kampung-kampung.
Bayarannya pungut tiap-tiap hari Sabtu, sebab kebanyakan orang sini gajian satu kali
seminggu. Jika diutangkan, taruh harga kain itu lebih mahal, menurut beberapa ia berani
mengangsur tiap-tiap minggu, Misalnya kalau harga 13,20,-. Jadi tiap-tiap minggu ia harus
membayar f 0,40,-. Bukankah dengan jalan itu kita beruntung besar" Kesusahannya tidak
ada, sebab Midun berjalan juga tiap-tiap hari."
Perkataan itu tidak sesuai sedikit jua dengan pikiran Midun. Pada pikirannya
perbuatan itu jahat, sebab terlampau memakan benak orang. Meskipun dia yang
sudah-sudah menurut saja apa yang dikatakan induk semangnya, tetapi sekali ini
pengajaran itu tidak sedikit jua sesuai dengan kemauannya.
Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh Abdullah yang demikian itu. Akan
diteruskannya jua menjajakan kain ke kampung, pasti tidak akan laku. Tiba-tiba timbul
pikiran lain dalam hati Midun, lalu ia berkata katanya, "Sekarang lebih baik saya jangan
menjajakan kain lagi, Tuan! Saya ingin hendak berkedai di pasar, di tepi-tepi jalan. Biarlah
saya beli saja di toko. Tetapi pokok saya sekarang, tentu tidak mencukupi. Sudikah Tuan
meminjami saya uang barang f 100,-" Jika Tuan pinjami lagi saya uang f 100,- jumlah uang
Tuan pada saya dengan yang dahulu f 150,-. Sekarang baiklah kita hitung laba rugi selama
saya menjajakan kain."
"Itu lebih baik lagi," ujar Syekh Abdullah, "supaya Midun dapat belajar sendiri
mengemudikan perniagaan. Saya pun lebih suka, kalau saya tidak campur. Dan saya suka
memberi uang pinjaman, tetapi Midun tahu sendiri, tentu saya mengambil untung sedikit."
"Tentu saja, Tuan!" ujar Midun. "Dalam hal itu saya ada timbangan bagaimana yang
patut, karena uang Tuan saya pakai."
Setelah selesai mereka itu membagi keuntungan penjualan kain yang sudah, maka
Syekh Abdullah al-Hadramut menulis sepucuk surat utang. Surat utang itu disuruhnya tanda
tangani oleh Midun. Dengan tidak berpikir lagi, ia menandatangani surat itu dengan tulisan
Arab, lalu uang itu diambilnya. Ia berjanji, bahwa uang itu dalam 8 bulan akan
dikembalikannya. Dengan senang hati Midun pergi, karena ia tidak lagi berjalan kian kemari
di seluruh kota Betawi. Ia memuji-muji kebaikan Syekh Abdullah al-Hadramut, karena
mempercayai dia meminjamkan uang f 150,- itu. Dalam hatinya ia berjanji, manakala
beruntung, akan dibelikannya barang sesuatu untuk istri Syekh Abdullah. Maka Midun
berjalan mencari rumah tempat membayar makan. Ia mencari rumah yang agak dekat Pasar
Senen, sebab ia bermaksud di sana akan membuka kedai. Setelah didapatnya rumnh
tempat tinggal di Kampung Kwitang, lalu Midun pergi membeli barang. Pada keesokan
harinya, ia pun mulai berkedai di Pasar Senen. Setelah sudah berkedai segala kain itu
dibawa oleh seorang kuli pulang ke rumahnya. Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Adapun akan Syekh Abdullah al-Hadramut, sekali seminggu datang juga ke kedai
Midun. Belum cukup sebulan Midun berkedai. pada suatu hari ia disuruh datang oleh induk
semangnya ke Pekojan. Pada malam yang dijanjikan itu, Midun datanglah ke rumah induk
semangnya. Setelah sudah makan minum, maka Syekh Abdullah berkata, "Adakah baik
jalannya selama engkau berkedai, Midun?"
"Baik juga, Tuan!" ujar Midun. "Sekurang-kurangnya dalam sehari terjual seharga f
50,-. Kadang-kadang dicapainya sampai f 75,-."
"Baik benar kalau begitu. Tidak lama lagi hari akan puasa. Tidak perlukah Midun
menambah pokok lagi?"
"Jika Tuan percaya dan sudi meminjami saya, terima kasih banyak, Tuan! Memang
dengan pokok sebanyak sekarang tak dapat saya mencukupi kehendak orang. Ada yang
meminta kain ini, kain itu, tetapi tidak ada saya taruh. Sedangkan sekarang demikian
keadaannya, apalagi kalau sedikit hari lagi."
"Baiklah, ini saya tambah f 100,- lagi untuk pokok. Tetapi supaya terang berapa uang
saya kepada Midun, tentu engkau harus menekan surat utang pula."
"Tentu saja, Tuan! Jika tidak demikian, tidak terang, berapa uang Tuan pada saya."
Midun menekan surat utang pula sehelai lagi. Uang diterimanya f 100,-. Jadi jumlah
utang Midun sudah f 250,- dengan yang f 150,dahulu itu.
Maka berniagalah Midun dengan sungguh-sungguh hati. Karena ia tidak banyak
mengambil untung tiap-tiap helai kain, amat banyak orang membeli kain kepadanya. Pada
pikiran Midun, biar sedikit untung, tetapi banyak laku. Dengan hal demikian, ada kira-kira
empat bulan Midun berniaga.
Pada suatu malam, Midun menghitung berapa keuntungannya selama berkedai kain.
Dengan tidak disangka-sangkanya, dengan pokok lebih kurang f 300,-, ia mendapat
keuntungan bersih hampir f 200,-. Midun lalu berkata dalam hatinya, "Lain daripada barang,
uang kontan sekarang ada pada saya f 350,-. Supaya saya jangan bersangkut paut juga
pada induk semang saya, lebih baik besok saya bayar uangnya sama sekali. Setelah itu
saya berikan uang untuk istrinya f 50,-, atau saya belikan barang yang harga sekian itu.
Sudah itu saya berniaga dengan pokok saya sendiri. Insya Allah, jika Tuhan menurunkan
rahmatnya sebagai yang sudah-sudah jua, barangkali dalam 2 atau 3 bulan lagi sampai apa
yang saya citacitakan dengan Halimah. Ah, alangkah senangnya kami berniaga berdua!
Aduhai?" Pada keesokan harinya Midun tidak berkedai. Ia pergi ke rumah induk semangnya ke
Pekojan. Dari jauh Midun sudah tersenyum, ketika Syekh Abdullah melihatnya dari beranda
muka rumahnya. Setelah sampai, Midun dan induk semangnya bercakap-cakaplah tentang
perkara perniagaan. Sesudah minum kopi, Midun berkata, "Jika tidak ada Tuan, tidaklah
saya jadi begini. Tuanlah yang mengajar saya berniaga. Meskipun saya belum pandai benar
berniaga, tetapi memadailah ajaran Tuan selama ini untuk berniaga-niaga kecil. Buktinya,
dalam empat bulan saja saya jalankan, sudah beruntung lebih kurang f,200,-. Oleh sebab
itu, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah
membukakan mata saya dari pada yang gelap kepada yang terang.
Jika ada izin Tuan, saya bermaksud_ hendak tegak sendiri. Artinya, iztang saya yang f
250,- kepada Tuan itu akan saya bayar sekarang. Dan saya mulai berniaga pula dengan
pokok saya sendiri. Menurut aturan, sebab uang Tuan sudah sekian lama saya pakai, tentu
tidak akan saya lupakan. Maka demikian, akan selamanya saya Tuan tolong, tentu tidak
mungkin. Bila masanya lagi saya akan berdiri sendiri. Sebab itu Tuan izinkanlah kiranya
saya, biarlah saya cobacoba pula berniaga sendiri. Sungguhpun begitu, saya harap Tuan
ulangulangi juga saya ke kedai saya. Siapa tahu, jika ada hal apaapa yang menimpa diri
saya, sebab malang dan mujur tidak bercerai, hanya Tuanlah yang saya harap akan
menolong saya di Betawi ini. Tak ada yang lain harapan saya, melainkan Tuan."
"Jika Midun mau berniaga dengan pokok sendiri, bagi saya tidak ada alangan," ujar
Syekh Abdullah. "Itu lebih bagus lagi, dan saya pun mau menolong Midun bilamana perlu.
Sekarang kalau Midun hendak membayar utang Midun kepada saya, bayarlah!"
Dengan segera Midun mengeluarkan uang dari saku bajunya sebelah dalam, lalu
dihitungnya f 250,-, sebanyak yang diberikan Syekh Abdullah kepadanya. Pada pikirannya,
setelah uang itu diterima induk semangnya, ia akan pergi ke belakang, kepada istri Syekh
Abdullah memberikan uang f 50,- lagi atau dibelikannya barang menurut kehendak istri
induk semangnya itu. Setelah uang itu dihitung Syekh Abdullah al-Hadramut, ia pun berkata, "Mana lagi,
Midun" Ini belum cukup."
"Yang lain maksud saya akan saya belikan barang untuk istri Tuan!" ujar Midun.
"Ah, itu tidak perlu. Biarlah saya sendiri membelikan dia. Kemarikanlah uang itu!
Berapa?" "Kalau begitu, baiklah!" ujar Midun dengan heran, sebab pada pikirannya, kalau uang
diberikan, samalah halnya dengan bunga uang. Hal itu terlarang menurut agama. Maka
Midun mengeluarkan uang pula f 50,- lalu berkata pula, "Hanya sebeginilah maksud saya
hendak memberikan kepada istri Tuan, sebab uang Tuan telah sekian lama saya pakai.
Uang ini akan saya berikan kepada beliau, melainkan sebagai hadiah saya, karena saya
sudah beruntung berniaga. Tetapi Tuan meminta uang ini. Jika Tuan terima uang ini,
tidaklah sebagai bunga uang namanya" Bukankah hal itu terlarang dalam agama kita"
Lupakah Tuan akan itu?"
"Apa" Bunga uang?" ujar Syekh Abdullah al-Hadramut. "Ini bukan perkara bunga.
Uang yang f 250,- ini belum cukup. Midun mesti bayar sebanyak yang ditulis dalam kedua
surat utang Midun; jumlahnya semua f 500,-."
Terperanjat sungguh Midun mendengar perkataan Syekh Abdullah itu. la tahu uang
yang dipinjamnya, cuma f 250,- tibatiba sekarang jadi f 500,-. Maka ia pun berkata dengan
cemasnya, katanya, "Berapa, Tuan" f 500,-" Mengapa jadi f 500,-, padahal saya terima
uang dari Tuan cuma f 250,-?"
"Ya, f 500,-!" ujar Syekh Abdullah pula. "Midun mesti bayar f 500,- sekarang, sebab
sekian ditulis dalam surat utang."
Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum, bahwa ia sudah tertipu.
Amat sakit hatinya kepada orang Arab itu. Ia tidak dapat lagi menahan hati, karena sangat
panas hatinya. Ketakutannya hilang, kehormatannya kepada orang Arab lenyap sama
sekali. Maka ia pun berkata, katanya, "Selama ini saya takut dan hormat betul kepada Tuan.
Pada pikiran saya Tuan seorang yang suci, sebab berasal dari tanah Arab. Apalagi Tuan
sudah syekh, saya percaya sungguh. Rupanya persangkaan saya itu salah. Kalau begitu,
Tuan seorang penipu besar, sama halnya dengan lintah darat yang dikutuki Tuhan.
Rupanya saya sudah Tuan jerat. Apakah maksud Tuan dengan uang yang f 250,- lagi itu"
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan jadi bunganyakah"
Tidakkah Tuan tahu, bahwa menurut agama Islam terlarang memperbungakan uang"
Bukankah memakan riba dengan cara demikian itu" Sungguh tidak saya sangka hal ini
terjadi pada orang Arab."
"Diam, engkau jangan berkata begitu sekali lagi," kata Syekh Abdullah dengan marah.
"Jangan terlalu kurang ajar kepada saya.
Saya amat baik kepadamu, tetapi dengan ini engkau balas. Jika engkau berani
berkata sekali lagi, nanti saya adukan. Engkau boleh saya bawa perkara, supaya engkau
tahu bahwa saya seorang baik."
"Macam Tuan ini, orang pemakan riba, seorang baik?" ujar Midun dengan sengit.
"Orang gila agaknya orang yang menyangka demikian itu. Tuan hendak membawa saya
perkara" Ke langit Tuan adukan, saya tidak takut perkara dengan orang macam ini. Saya
berdiri atas kebenaran, ke mana pun jua saya mau perkara."
Midun segera mengambil uangnya yang f 300,- itu kembali, lalu dimasukkannya ke
dalam saku bajunya. Sambil berjalan keluar rumah itu, ia pun berkata pula, katanya, "Tak
ada gunanya kita berbalah jua, adukanlah ke mana Tuan suka! Saya tidak hendak
membayar utang saya, sebelum perkara."
Sepanjang jalan pikiran Midun berkacau saja. Hatinya amat panas, karena tertipu
pula. Midun tidak mengerti apa sebabnya Arab itu berbuat demikian kepadanya. Lagi pula ia
amat heran, sebab seorang Arab seberani itu menipu orang. Maka kata Midun dalam
hatinya, "Sungguh ajaib, sepuluh kali ajaib, karena hal ini terjadi pada seorang Arab dan
syekh pula. Siapa yang akan menyangka, orang yang demikian itu suka memakan
riba. Benar ajaib dunia ini, jika kurang awas, binasa diri. Pada pikiran saya, orang Arab
ini baik belaka, apalagi yang sudah syekh. Kiranya ada pula yang lebih jahat dan lebih
busuk lagi tabiatnya. Bahkan tidak bermalu pula; senang saja ia mengatakan uang f 250,jadi f 500,- bermuka-muka. (Ia tidak tahu bahwa dalam surat yang kedua f 300,-. Itulah
kemalangannya tidak tahu di mata surat.) Lain daripada saya, tentu banyak lagi agaknya
orang yang sudah terjerat macam saya ini. Amat panas hatiku mengenangkan penipuan
yang sangat halus dan menyakitkan hati itu. Biarlah, saya tidak akan membayar utang itu.
Hendak diapakannya saya. Meskipun ia mengadu, saya tidakkan takut."
Demikianlah pikiran Midun, sebentar begini, sebentar begitu. Dengan tidak
disangka-sangkanya, ia telah sampai di rumah tempatnya membayar makan. Sampai di
rumahnya, segala barang-barangnya yang masih tinggal dibawanya ke Pasar Senen, lalu
dijualnya semua kepada kawan-kawannya yang sama berniaga dengan dia. Uang itu, yang
jumlahnya semua lebih f 500,- disimpannya dalam saku bajunya, sedikit pun tak bercerai
dengan dia. Ia tidak berkedai lagi, melainkan bersenang-senangkan diri saja. Jika
ditanyakan orang, apa sebab Midun tidak berkedai lagi, jawabnya, hendak bersenangsenangkan diri dulu barang satu atau dua bulan.
Bab 13: Memperebutkan Pusaka. "CING, picing, piiiicing," bunyi murai, waktu senjakala di atas sepohon kayu di
belakang rumah orang tua Midun. Kemudian kedengaran pula bunyi burung serak di dalam
parak dekat rumah. Menurut kepercayaan, manakala ada orang sakit kedengaran bunyi
demikian, alamat ada yang tidak baik akan datang. Karena Pak Midun masa itu dalam sakit
payah, darah anak istrinya tersirap mendengar bunyi itu. Juriah memandang kepada ibunya
dengan sayu, lalu menyelimuti bapaknya. Ibunya segera meminumkan obat sambil
mengusap dahi suaminya. Manjau yang baru saja menutup pintu kandang ayam, melompat
ke rumah mendekati ayahnya. Ibu dan kedua anak itu dalam kecemasan amat sangat.
Tegak resah, duduk gelisah, sedikit pun tidak senang diam. Sebentar-sebentar si istri
memandang kepada suaminya, si anak melihat kepada bapaknya. Mereka itu percaya
sungguh kepada tahayul, hanya Manjau yang agak kurang, sebab sudah hersekolah.
Adapun Pak Midun, sejak menerima surat anaknya dari Padang, selalu dalam
bersusah hati. Sungguhpun Maun datang juga kepadanya tiap-tiap hari, tetapi lamun
anaknya yang sulung itu tidaklah dapat dilupakan orang tua itu. Berbagai ikhtiar Maun, agar
kenangkenangan Pak Midun lenyap kepada Midun, tetapi sia-sia belaka. Kedatangan Maun
jangankan menyenangkan hatinya, bahkan makin menambah dalam susah hatinya. Asal ia
menampak Maun, Midun sudah terbayang di matanya. Ia sendiri ada juga berusaha supaya
Midun dapat dilupakannya, tetapi sia-sia saja. Hancur luluh hati Pak Midun bilamana melihat
teman Midun di kampung itu. Keadaannya tak ubahnya sebagai orang yang kurang
sempurna akal, sejak ditinggalkan anaknya yang sangat dikasihinya itu. Pekerjaan Pak
Midun pun tidak berketentuan lagi. Kerap kali ia bermenung kemudian menengadah,
seakan-akan memasukkan air mata yang hendak jatuh kembali, yang disukainya pergi ke
tepi sungai, duduk seorang diri sambil memandangi air hilir. Pikirannya seperti air itu pula,
berhanyut-hanyut entah ke mana. Tidak seorang-dua yang memberi nasihat, agar Midun
dilupakannya, tetapi sia-sia saja. Lebih-lebih Haji Abbas dan Pendekar Sutan, acapkali
datang menasihati Pak Midun. Mendengar keterangan Haji Abbas, ia berjanji tidak akan
mengenang-ngenangkan Midun lagi. Dia sendiri ada mengatakan kepada Haji Abbas,
"Memang anak laki-laki sudah demikian. Anak kita hanya dari umur 13 tahun ke bawah.
Lewat daripada itu bukan anak kita lagi. Dan lagi bukankah tidak Midun seorang saja anak
saya. Masih ada dua orang lagi yang akan menggantikannya."
Tetapi setelah Haji Abbas pergi, pikirannya kepada Midun timbul pula kembali.
Rupanya Pak Midun bersedih hati bukan karena Midun meninggalkannya pergi merantau ke
negeri orang, melainkan hal yang menyebabkan perceraian itulah yang sangat melukai
hatinya. Apalagi Kacak musuh Midun, masa itu sudah menjadi Penghulu Kepala. Maka
semakin putuslah harapannya akan bertemu dengan Midun.
Demikianlah hal Pak Midun habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan. Ia
selalu bercintakan Midun, sedikit pun tidak hendak luput dari pikirannya. Badan Pak Midun
makin lama makin bertambah kurus. Kesudahannya ia pun jatuh sakit. Berbagai-bagai obat
yang telah dimakannya, jangankan menyembuhkan, melainkan penyakitnya bertambah
dalam. Anak istri Pak Midun berusaha sedapat-dapatnya, mudahmudahan penyakit itu
sembuh, tetapi sia-sia saja. Sungguhpun demikian, ibu dan anak itu belum putus
harapannya. Mereka membela dengan sungguh-sungguh hati, karena mereka itu tahu
bahwa orang tua itulah tempatnya bergantung.
Sebulan Pak Midun sakit, datanglah famili Pak Midun menjemput si sakit akan
dibawanya ke rumah saudaranya. Didapati mereka mamak Manjau yang menjadi penghulu
kaumnya ada pula di situ. Setelah sudah makan minum, maka kemenakan Pak Midun yang
bergelar Sutan Menindih berkata kepada mamak Manjau katanya, "Mamak! Kedatangan
saya kemari, ialah menurut adat kebiasaan yang sudah kita pakaikan jua. Karena mamak
saya sakit, kami bermaksud hendak membawa beliau ke rumah kami. Sebab itu saya harap
Mamak dan Ibu sudi mengizinkan."
"Memang kedatangan Sutan ini sudah menurut adat," ujar Datuk Paduka Raja.
"Sungguhpun demikian, karena sakit Pak Midun saya lihat masih berat, tidakkah dapat
ditangguhkan dulu sampai sakit beliau ringan sedikit?"
"Sudah sebulan beliau sakit di sini, rasanya sudah patut kami jemput. Jika lebih lama
lagi beliau di sini, tentu pada pemandangan orang, kami sebagai tidak mengacuhkan
mamak kami." "Benar kata Sutan itu. Bagi saya atau pun ibu Juriah tentu tidak ada alangannya. Kami
tidak kuasa menahannya, karena sudah menjadi adat kebiasaan kepada kita begitu. Tetapi
cobalah Sutan tanyakan dulu kepada Pak Midun, adakah kurang sakit beliau dan
sanggupkah berjalan?"
"Hal itu tidaklah akan menjadi alangan, Mamak. Jika beliau tidak dapat berjalan,
biarlah kami tandu bersama-sama dengan kursi."
Maka Sutan Menindih masuk ke bilik tempat Pak Midun sakit, lalu berkata-katanya,
"Saya datang kemari akan menjemput Mamak. Dapatkah Mamak berjalan atau kami tandu
bersama-sama?" Pak Midun yang sudah kurus kering dan pucat itu membuka matanya perlahan-lahan.
Ia melihat orang yang berkata kepadanya, lalu berkata, "Engkau Midun, anakku?"
"Bukan Mamak, saya Sutan Menindih," ujar Sutan Menindih. "Kami datang kemari
akan menjemput Mamak."
"Tidak sampai hati kami melepaskan Mamak Sutan," ujar ibu Juriah dengan sedih.
"Lihatlah, badannya sudah tinggal kulit pembalut tulang. Rupanya pucat sebagai kain putih.
Ia selalu mengigau menyebut Midun saja. Jangankan berjalan, menggerakkan badan ia pun
tidak dapat." "Biarlah kami papah perlahan-lahan ke tandu dan kami pikul lambat-lambat," ujar
Sutan Menindih pula. Pak Midun melihat sekali lagi. Setelah nyata kepadanya bahwa kemenakannya yang
berkata itu, maka katanya perlahan-lahan, "Saya tak dapat berjalan, tak dapat bergerak,
seluruh tubuh saya sakit. Sebab itu saya jangan dibawa, saya tidak suka."
"Kalau begitu Mamak hendak memberi malu kami," ujar Sutan Menindih. "Tentu kami
dibodohkan dan dihinakan orang, sebab Mamak kami biarkan sakit di sini."
Pak Midun menutupkan matanya sebagai menahan sakit. Napasnya turun naik amat
deras, mukanya makin bertambah pucat. Juriah segera merasai kaki ayahnya. Sambil
meminumkan obat, ia pun berkata, "Ibu, ayah pingsan!"
Segala isi rumah itu cemas mendengar perkataan Juriah. Lebih-lebih ibu Juriah,
sangat terkejut mendengar perkataan anaknya. Dengan segera ia mendekati, lalu
meraba-raba badan Pak Midun. Orang tua itu tidak berdaya lagi. Jika tidak dirasai
dadanya, tak dapat tiada orang menyangka ia sudah mati. Sudah dua kali ia selap
dengan itu; tetapi yang sekali ini payah benar. Orang di rumah itu semuanya berdiam diri,
seorang pun tak ada yang berani bergerak, apa pula berkata-kata. Setengah jam kemudian,
Pak Midun membukakan mata pula, lalu berkata, "Jika sekiranya akan memberi malu orang
Tanjung saya di sini, bawalah! Tetapi ibu Juriah mesti mengikut, karena dia perlu membela
saya." Maka dibuat oranglah sebuah tandu daripada kursi. Setelah selesai, Pak Midun
diangkat bersama-sama ke tandu itu. Maka diusung oranglah ia perlahan-lahan menuju
rumah familinya. Ibu Juriah dan Manjau pergi pula mengiringkan tandu itu. Yang tinggal di
rumah hanya Juriah dengan mamaknya. Tidak lama orang itu pergi, Juriah berkata kepada
mamaknya, katanya, "Mamak! Apakah sebabnya Sutan Menindih tadi mengatakan 'memberi
malu kalau ayah sakit di sini?"
"Kau rupanya belum mengerti," ujar Datuk Paduka Raja, "dengarlah saya terangkan!
Adapun ayahmu itu, menurut kata adat, 'abu di atas tunggul' di rumah kita. Artinya, bila
ditiup angin ia terbang. Ayahmu adalah orang semenda bagi kaum kita. Jadi ia famili karena
perkawinan ibu dan ayahmu. Jikalau kita tidak suka kepadanya atau kebalikannya, boleh
pergi sembarang waktu. Oleh sebab itu, ayahmu adalah sebagai orang menumpang di
rumah ini. Boleh diusir dan dia pun boleh pergi bilamana ia suka. Karena itu tentu Sutan
Menindih mengatakan 'memberi malu', mamaknya suka di rumah penumpangan."
"Tetapi bukankah ayah sakit di rumah anak kandung beliau" Kamilah yang
menyelenggarakan beliau dalam sakit. Lain perkara kalau kami orang lain, sudah patut ia
berkata begitu." "Dalam hal ini Juriah tidak disebut-sebut," ujar Datuk Paduka Raja yang agak
tersentak oleh pertanyaan kemenakannya. "Pertanyaanmu itu memang sulit. Menurut kata
adat, 'adat bersendi syara', syara' bersendi adat.' Artinya, syara' dan adat kita sandar
menyandar atau sejalan. Jika menurut syara', anaklah yang diutamakan, tetapi menurut
adat, 'kemenakan'. Jadi hal itu nyatalah sudah berlawanan. Oleh sebab itu, saya sendiri
ragu-ragu, entah mana yang benar kedua perkataan itu. Perasaan saya itu sudah saya
perbincangkan dengan beberapa penghulu di sini. Banyak mereka yang mengatakan,
bahwa anak dengan bapak, menurut adat, tak ada pertaliannya. Sebab orang semenda itu
adalah sebagai orang diselang dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sebab itu
kemenakan pulang kepada mamaknya, tidak kepada bapaknya. Tetapi menurut pikiran saya
tidaklah demikian. Pada hemat saya, anak itu pulang kepada bapaknya. Artinya
bapaknyalah yang harus menyelenggarakan anaknya. Begitu pula si anak wajib membela
bapak bilamana perlu. Anak itulah yang lebih dekat kepada bapak daripada kemenakan.
Manakala sudah demikian, sudah sesuai dengan kata adat: adat bersendi syara' dan
syara' bersendi adat. Banyak lagi hal lain yang bersalah-salahan orang memakainya.
Mereka melakukan adat itu banyak sesat, agaknya karena salah pengertian jua. Bahkan
saya sendiri pun banyak yang kurang paham, sebab kurang selidik."
Ketika Datuk Paduka Raja akan meneruskan perkataannya pula, tiba-tiba Manjau
berseru di halaman sambil menangis, katanya, "Juriah, ayah sudah meninggal!"
Juriah terkejut, lalu menangis amat sedihnya. Ia melompat hendak pergi melihat
ayahnya, tetapi lekas dipegang mamaknya. Datuk Paduka Raja mengucap, katanya, "Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un. Tidakkah sampai ayahmu ke rumah" Juriah, jangan menangis
juga! Nanti kita sama-sama pergi."
"Tidak," ujar Manjau, "Ketika orang memikul tandu naik ke rumah, anak tangga patah.
Orang itu terjatuh, ayah pun jatuh pula. Untung lekas saya sambut. Sungguhpun demikian,
sampai di rumah ayah pingsan pula. Tidak lama beliau membukakan mata, lalu memanggil
ibu dekat kepada beliau. Entah apa yang beliau katakan tidaklah saya tahu, sebab ayah
berkata berbisik. Sudah itu ayah menarik napas ... lalu meninggal."
"Jika sekiranya Pak Midun tidak dibawa, boleh jadi ia sembuh kembali," kata Datuk
Paduka Raja sendirinya. "Sekarang apa jadinya, karena takut malu jadi lebih malu lagi.
Tentu pada persangkaan orang Pak Midun tidak mati seajalnya, melainkan mati jatuh.
Jangan-jangan disangka orang sengaja dijatuhkan. Sungguh kasihan Pak Midun, boleh jadi
juga ia mati beragan, karena ditinggalkan anaknya Midun. Tentu mereka itu semua
menyesali perbuatannya. Tetapi apa hendak dikatakan: sesal dahulu pendapatan, sesal
kemudian tidak berguna."
Pada hari itu juga Pak Midun dikuburkan dengan selamatnya. Tujuh hari lamanya
orang mengaji dan makan minum di rumah famili Pak Midun. Waktu meniga hari dan
menujuh hari diadakan kenduri besar, mendoakan supaya arwah Pak Midun dilapangkan
Allah di dalam kubur. Tidak sedikit uang habis untuk penyelamatkan si mati itu. Oleh famili
Pak Midun, tak kayu jenjang dikeping, yang tidak ada, diadakan. Dua tumpak sawah
tergadai untuk memenuhi keperluan itu. Ibu Juriah dalam tujuh hari itu bekerja keras di
rumah iparnya. Tidak sedikit jua ia menghentikan tangan, karena jamu tidak berkeputusan
dan selalu makan minum. Setelah sudah menujuh hari, barulah ibu Juriah dan anaknya
pulang. Sehari sesudah menujuh hari, Sutan Menindih dan beberapa orang saudaranya
datang ke rumah Ibu Juriah. Setelah sudah makan minum, dan setelah dianjurkannya
dengan perkataan yang panjang lebar, Sutan Menindih berkata, "Ibu, saya harap Ibu jangan
gusar dan jangan pula berkecil hati. Kedatangan kami kemari ini, ialah menurut sepanjang
adat, yaitu akan mengambil harta peninggalan mamak kami."
"Benar, Sutan," ujar ibu Juriah, "tetapi apalah peninggalan mamak Sutan. Uang tak
ada, hanya pakaiannyalah yang ada."
"Ah, rupanya Ibu bersembunyi di balik lalang sehelai. Yang terang saja hak kami,
sawah dan huma. Bukankah itu mamak saya yang membeli dan peninggalan beliau?"
Mendengar perkataan itu ibu Juriah sangat terkejut. Lebihlebih Manjau, merah
mukanya karena menahan marah. Maka ibu Juriah berkata pula, katanya, "Itu jangan Sutan
sebutsebut, sebab pencaharian kami berdua. Berdikit-dikit kami menyimpan uang; setelah
agak banyak kami belikan tanah untuk kami usahakan. Pendeknya, yang Sutan sebutkan itu
usaha kami berdua, yang sudah kami untukkan bagi anak kami. Pak Midun sendiri sudah
mengatakan waktu ia hidup, bahwa segala pencahariannya diuntukkannya kepada
anak-anaknya." "Biar bagaimana juapun keterangan Ibu, kami maklum bahwa tanah itu pusaka mamak
kami. Kami berhak mengambil bilamana kami sukai. Jadilah, jika benar sudah diuntukkan
mamak kami bagi anaknya, mana keterangannya?"
"Keterangan tentu tidak ada," ujar ibu Juriah sebagai kehilangan akal.
"Sekarang begini saja, Ibu! Kalau kita bertengkar juga, kesudahannya menjadikan
perselisihan. Faedahnya tidak ada, melainkan kita beranak bapak putus-putus. Sebab itu Ibu
bertanyalah kepada Mamak Datuk Paduka Raja. Ibu terangkanlah kepada beliau
kedatangan kami kemari. Kami berhak mengambil harta pusaka mamak kami bilamana saja.
Kalau Ibu berkeras juga, tentu kami terpaksa minta tolong kepada Penghulu Kepala yang
memerintah kampung ini. Sekianlah, kami hendak pulang dulu."
Baru saja habis Sutan Menindih berkata, kedengaran orang batuk di halaman. Orang
itu ialah Datuk Paduka Raja. Setelah naik ke rumah, ia pun berkata, katanya, "Sudah lama
Sutan datang?" "Lama juga, Mamak," ujar Sutan Menindih. "Dari mana Mamak tadi?"
"Dari pasar, sudah rapat dengan Tuan Kemendur."
"O, ya, saya lihat tadi pagi banyak benar penghulu-penghulu ke pasar."
Demikianlah percakapan mereka itu, hingga habis rokok sebatang seorang. Juriah
meletakkan kopi dan penganan untuk mamaknya dan jamu itu. Sesudah minum kopi, Sutan
Menindih pun berkata, katanya, "Mamak! Sebenarnya kedatangan kami ini, ada sesuatu
hajat yang besar jua. Tadi sudah saya bicarakan juga dengan ibu, tetapi belum lagi putus
percakapan kami. Sekarang kebetulan Mamak datang, jadi lebih baik lagi. Biarlah saya
ulang sekali lagi, apa maksud saya datang kemari ini."
"Baik, Sutan, katakanlah apa yang terasa di hati, terkalang di mata, supaya sama kita
dengar!" "Kedatangan saya kemari, ialah menurut adat yang sudah dilazimkan jua. Karena
mamak saya Pak Midun sudah meninggal dunia, saya sebagai seorang kemenakan dari
beliau, tentu menuntut hak kami. Sebab itu haraplah saya, Mamak izinkan dan tunjukkan
mana-mana yang harus saya ambil harta peninggalan mamak saya."
"Benar kata Sutan itu. Memang kedatangan Sutan sudah menurut adat sebab pusaka
turun kepada kemenakan. Tentu saja Sutan kemari ini sudah seizin Datuk Raja Bendahara
mamak Sutan, akan menuntut hak Sutan itu. Benarkah demikian?"
"Betul, Mamak! Memang sudah sepakat dengan beliau. Jika tidak seizin beliau, tentu
saya tidak berani kemari. Mamak Datuk Raja Bendahara sudah menerangkan kepada saya,
manamana pusaka peninggalan mamak saya. Oleh sebab itu Mamak izinkanlah saya
mengambil harta pusaka saya itu."
"Baiklah, Sutan! Hak milik Sutan itu tidak akan ke mana. Tapi saya harap Sutan
jangan terburu nafsu benar. Saya minta
kepada Sutan, hal ini jangan mendatangkan yang kurang baik antara kedua pihak.
Sebab itu baiklah kita bicarakan dengan tenang, supaya selamat kesudahannya."
"Baik Mamak! Tapi saya rasa tentu tidak akan demikian jadinya, sebab yang saya
ketengahkan ini, menurut adat di Minangkabau ini."
"Benar, benar, Sutan! Jadilah, menurut pemandangan Sutan apaapakah peninggalan
Mamak Sutan itu?" "Hal ini tentu Mamak sudah maklum, yaitu tanah, misalnya huma dan tanah
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peruntahan ini serta sawah."
"Ini betul, tapi Sutan jangan pula lupa, bahwa menurut yang saya ketahui, segala
tanah yang dibeli Pak Midun, ialah pencahariannya dua laki istri. Lagi pula tadi Sutan
mengatakan, hendak mengambil rumah ini. Jadi rumahnya bagaimana" Akan Sutan suruh
angkatkah kepada kami?" ujar Datuk Paduka Raja agak gusar, sebab mendengar perkataan
Sutan Menindih itu. "Itu pulang maklum kepada Mamak. Bagi saya, mana yang hak saya tentu saya ambil.
Mamak mengatakan pencaharian berdua. Itu kata Mamak, kata saya tentu tidak begitu. Bagi
kami ada alasan, bahwa segala tanah itu kami yang punya."
"Kalau begitu tentu mendatangkan yang kurang baik, Sutan!" kata Datuk Paduka Raja
dengan sabar pula. "Saya harap dalam hal ini hendaklah sebagai menghela rambut dalam
tepung. Rambut jangan putus, tepung jangan terserak. Artinya Sutan beranak bapak jangan
berputus-putus karena itu. Jika Sutan sekeras itu benar hendak mengambil hak milik Sutan,
bersalahsalahan dengan beberapa peribahasa orang kita, yang menunjukkan kasih sayang
kaum Sutan kepada anaknya. Bukankah ada menurut kata peribahasa, misalnya: Ba' lalo' di
rumah baki* (Sebagai tidur di rumah saudara ayah yang perempuan, maksudnya enak dan
bebas, sehingga tidak sadar hari telah tinggi, karena senangnya tidur. Jadi tak dapat tiada
anak di rumah bako itu amat dimanjakan dan disenangkan oleh saudara-saudara ayahnya
yang perempuan) dan anak berpisau tajam, bako badagieng taba* (Anak berpisau tajam,
saudara ayah yang perempuan berdaging tebal. Artinya: anak bebas mengambil apa yang
dikehendakinya atas harta benda bakonya. Jadi anak itu sebebasbebasnya: boleh berbuat
semau-maunya asal tidak melanggar tertib sopan santun di dalam pergaulan umum)
Nah, menilik arti kedua peribahasa itu, sampai hatikah Sutan menyuruh mengangkat
rumah ini kepada Juriah dan Maninjau" Akan Sutan usirkah mereka itu berumah tangga di
tanah ini" Di manakah lagi tinggalnya sifat'bako' yang pemurah
kepada anak, seperti yang ' dinyatakan oleh kedua peribahasa itu" Cobalah Sutan
renungkan dan pikirkan dalam-dalam hal ini.-Sepatutnya, setelah Pak Midun meninggal,
Sutan dengan famili Sutan menaruh belas kasihan sedikit kepada anaknya. Tetapi sekarang
demikian, tentu mereka itu: sudah jatuh ditimpa tangga pula."
Mendengar keterangan Datuk Paduka Raja, terbenar pula pada hati Sutan Menindih.
Lama ia termenung memikirkan perkataan mamak Juriah itu. Tetapi karena ia diasut orang,
ia pun berkata, "Sungguhpun demikian, saya terpaksa meminta hak saya juga, Mamak!"
"Sekarang beginilah, Sutan! Biarlah hal ini saya bicarakan dengan mamak Sutan,
Datuk Raja Bendahara. Sebab itu pulanglah Sutan dahulu! Dalam sepekan ini, tentu akan
mendengar bagaimana putusannya." .
"Jika demikian baiklah, Mamak bicarakanlah dengan mamak saya. Saya mohon
pulang dulu, Mamak!"
"Baiklah! Lebih baik kami sama-sama penghulu menyelesaikan perkara ini."
Sepeninggal Sutan Menindih, Datuk Paduka Raja tidak bersenang hati atas
kedatangan kemenakan Pak Midun itu. Menurut pikirannya, ibu Juriah dengan
anak-anaknya ada berhak juga menerima pusaka itu. Karena pusaka itu tidak sedikit
harganya, ia berjanji dengan dirinya akan menyelesaikan perkara itu selekaslekasnya. Maka
Datuk Paduka Raja berkata dalam hatinya, "Kalau dilalai-lalaikan boleh mendatangkan
bahaya. Sekalipun rugi mengadakan rapat adat untuk menimbang hal ini, apa boleh buat.
Jika saya tidak bersenang hati mendengar putusan rapat adat, biar saya jadikan perkara.
Bilamana sudah putusan pemerintah saya kalah, sudah puas hati saya. Di sana nanti tentu
hitam putihnya." Maka ia pun pergi mendapatkan Datuk Raja Bendahara, penghulu; kaum Sutan
Menindih, akan memperbincangkan hal itu. Setelah putus mufakat kedua penghulu itu,
seminggu kemudian diadakanlah rapat adat. Rapat itu dikepalai oleh Datuk Seri Maharaja,
karena dalam hal adat dialah pucuk bulat, urat tunggang di negeri itu. Di antara segala
penghulu, bangsa kaum Datuk Seri Maharaja itu sama tinggi dengan bangsa kaum Tuanku
Laras, di bawahnya baru Datuk Paduka Raja. Ada 30 orang penghulu yang ternama rapat
hari itu. Sesudah minum makan, rapat adat pun dimulai. Maka Datuk Maharaja berkata,
katanya, "Datuk Paduka Raja! Kami sudah hadir semua, ketengahkanlah apa yang terasa di
hati, terkalang di mata maka Datuk mengadakan rapat ini, supaya boleh kami pertimbangkan!"
Datuk Paduka Raja lalu menerangkan duduknya pusaka yang ditinggalkan Pak Midun.
Bagaimana penghidupan Pak Midun laki istri sejak mulai kawin diceritakannya dengan
panjang lebar. Kemudian diterangkannya pula pendakwaan orang Tanjung hendak merebut
pusaka itu. Setelah berkata pula, katanya, "Penghulu seadat, Tuanku ('alim) sekitab. Datuk sendiri
sudah maklum, bahwa di Alam Minangkabau ini pusaka turun kepada kemenakan.
Bukannya dia, melainkan Datuk sendiri rupanya yang mendakwa, padahal Datuk sudah
mengetahui. Sungguh heran, saya kurang mengerti dalam hal ini. Orang Tanjung itu
sekali-kali tidak merebut, melainkan mereka berhak mengambil pusaka kaumnya yang telah
meninggal." "Benar kata Datuk itu," ujar Datuk Paduka Raja. "Tetapi lupakah Datuk akan kata adat:
Harta pembawaan pulang, harta tepatan tinggal, harta suarang (pencaharian) dibagi" Dan
sebuah lagi menurut kata adat: adat bersendi syara' dan syara' bersendi adat"
Menilik kedua kata adat itu, nyatalah bahwa anak Pak Midun berhak pula menerima
pusaka bapaknya itu. Harta itu ialah harta pencahariannya dua laki istri, sebab itu harus
dibagi. Saya tahu benar bagaimana penghidupan mereka itu sejak mulai kawin. Menurut
pengetahuan saya, sesen pun tak ada Pak Midun membawa harta orang Tanjung. Dan
menurut kata adat yang saya sebutkan, kemudian tadi, mesti pusaka itu diberikan kepada
anaknya. Jika tidak, tentu tidak sendi-menyendi lagi adat dengan syara'. Sekianlah
permohonan saya. Saya berharap segala perkataan saya itu, moga-moga menjadi
pertimbangan hendaknya kepada kerapatan yang hadir."
Kerapatan itu tenang, masing-masing memikirkan masalah itu. Termasuk pada pikiran
mereka akan kebenaran perkataan Datuk Paduka Raja. Dalam pada itu berkatalah Datuk
Raja Bendahara, katanya, "Kata adat menurut yang Datuk katakan itu, memang
sebenarnya. Penghulu tidaklah akan lupa sekalian itu, sebab sudah pakaiannya. Seseorang
penghulu jika lupa atau tidak tahu selukbeluk adat, tentu sia-sia ia dijadikan penghulu.
Bagi saya, sebagai seorang famili dari Pak Midun, mengetahui bahwa harta Pak
Midun itu masuk harta pembawaan, sekali-kali tidak harta suarang. Keterangan saya itu
dikuatkan oleh beberapa orang saksi. Bilamana perlu, boleh saya unjukkan saksi itu, bahwa
harta pusaka Pak Midun itu hak milik orang Tanjung."
Maka kerapatan itu pun ramailah membicarakan bagaimana duduk pusaka itu dan ke
mana jatuhnya. Ada kira-kira dua jam kerapatan itu menimbang, dan mengeluarkan buah
pikiran masingmasing. Melihat kepada keadaan rapat itu, nyata ada berudang di balik batu
yang datangnya dari seseorang yang berkuasa di kampung itu. Begitu pula mengingat
penjawaban saksi-saksi yang kurang terang itu untuk mempertahankan keterangan Datuk
Raja Bendahara, tampak nyata bahwa saksisaksi itu dicari dan diupah. Kesudahannya maka
diputuskan bahwa pusaka itu dijatuhkan kepada kemenakan Pak Midun. Setelah itu rapat
adat lalu ditutup, dan orang pulang ke rumahnya masing-masing.
Sungguhpun rapat adat di negeri itu sudah memutuskan demikian, tetapi Datuk
Paduka Raja belum lagi bersenang hati. Maka ia pun membawa perkara itu kepada Hakim
Pemerintah. Dimintanya kepada Tuanku Laras, supaya perkara itu dibawa ke Bukittinggi,
baik pihak anak, baik pun kemenakan sama-sama memakai pokrol.
Beberapa hari perkara itu ditimbang di Landraad, kesudahannya menang juga di
kemenakan. Tetapi kemenakan itu hanya menerima kurang dari seperempat pusaka itu lagi,
sebab sudah habis untuk pembayar ongkos pokrol.
Ibu Juriah dengan anak-anaknya terpaksa memindahkan rumahnya ke tanah kaumnya
sendiri. Dua bulan kemudian daripada itu, Ibu Juriah terkenang akan pesan Pak Midun
waktu akan meninggal dunia. Maka disuruhnyalah familinya ke rumah orang tua Maun akan
menanyakan kalau-kalau Maun mau beristri. Pesan Pak Midun yang mengatakan bahwa
Juriah harus dipersuamikan dengan Maun, dikatakannya pula. Hal itu pun disampaikan ibu
Maun kepada anaknya. Maun dengan segala suka hati menerima permintaan ibu Juriah.
Tidak saja mengingat persahabatannya dengan Midun, tetapi ia sendiri memang sudah lama
bercintakan Juriah. Hati Maun sangat tertarik melihat rupa dan tingkah laku Juriah yang
hampir bersamaan dengan Midun, sahabatnya yang karib itu. Seminggu kemudian, maka
perkawinan itu dilangsungkan dengan selamatnya. Maka Maun dan Juriah menjadi suami
istri, hidup berkasihkasihan setiap hari.
Manjau kerjanya hilir mudik saja di kampung tiap-tiap hari. Akan bekerja, tidak ada
pekerjaan yang akan dikerjakannya. Hatinya tidak senang lagi tinggal di kampung itu. Amat
sedih ia memikirkan peninggalan bapaknya diambil orang sama sekali. Usikan Penghulu
Kepala Kacak pun hampir-hampir tidak tertahan lagi olehnya. Maka diputuskannya
pikirannya, lalu ia pergi meninggalkan kampung, berjalan ke negeri orang membawa untung
nasibnya. Bab 14: Bahagia SEBERMULA rupanya perkataan Syekh Abdullah al-Hadramut "hendak mengadukan"
Midun itu tiadalah gertaknya saja. Tiada berapa lama antaranya Midun sudah terpanggil ke
muka pengadilan. Bagaimana juga Midun menerangkan bahwa uangnya tidak sebanyak itu
yang tertulis di atas surat utang itu, hakim tidak dapat membenarkannya, sebab tidak ada
saksi atau buktinya. Hakim menjatuhkan hukuman, ia mesti membayar utang yang f 500,itu, tambah ongkos-ongkos perkara kira-kira f 35,-.
Beberapa lamanya sesudah putusan itu, Syekh Abdullah datang mendapatkan Midun.
Ditagihnya dengan lemah lembut. Tetapi Midun, karena ia sudah tertipu itu sudah
menetapkan niatnya tidak akan membayar utangnya itu. Dia tidak tahu betapa kekuatan
acceptatie itu. Dia belum mendengar, bahwa orang yang berutang itu, boleh ditahan di
dalam penjara. Dalam pada itu Syekh Abdullah tidak putus-putusnya membujuk Midun.
Demi dilihatnya Midun tidak mau membayar, dan pada sangkanya Midun tidak sanggup
membayar, ketika itulah hendak disampaikannya cita-citanya yang selama ini dikandungnya.
Kalau dapat Midun mengusahakan Halimah, yang disangkakan oleh Syekh Abdullah
istri Midun menjadi istri Syekh Abdullah, maka segala uang Midun akan dilunaskannya.
Mendengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun, lalu orang Arab itu
diusirnya sebagai anjing. Orang Arab itu pun pergilah dengan mengandung niat yang jahat
akan melepaskan sakit hatinya.
Tidak berapa lamanya sesudah itu, datanglah deurwaarder dengan polisi mengambil
Midun, mengantarkannya ke penjara. Walaupun Midun tidak mengerti betul, apa sebabnya
ia dipenjarakan, perintah itu terpaksa juga diturutnya. Setelah beberapa lamanya Midun
dipenjarakan, datanglah pula orang Arab itu membujuknya, tetapi itu pun tidak berhasil juga.
Sudah dua-tiga kali ia datang membujuk Midun ke penjara, dengan halus budi
bahasanya, tetapi dibalas Midun dengan maki dan nista jua. Ia mau terkurung selama
hidupnya, asal jangan karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang
itu. Akhirnya Syekh Abdullah datang sendiri mendapatkan perempuan yang sangat
diharapkannya itu. Setelah dibujuknya dengan lemah lembut, tetapi tiada berhasil juga,
maka akhirnya digertaknya, bahwa Midun sekarang di bawah kekuasaannya dan terpenjara
di bui Glodok. "Selama Midun tidak sanggup membayar utangnya kepada saya," kata orang Arab itu,
"dia akan saya tahan juga dalam penjara itu, dan Neng boleh menantikan laki yang
dirindukan itu sampai tumbuh uban di kepala Neng. Tetapi sebaliknya, jikalau Neng mau
mengabulkan permintaanku itu, segera ia kukeluarkan dari bui."
Mendengar perkataan yang demikian, Halimah pun marah, dan Arab itu diusirnya.
Tetapi sepeninggal orang Arab itu, sangatlah susah hatinya memikirkan Midun terpenjara
itu. Maka dibuatnyalah mufakat dengan ayahnya akan membayar utang Midun itu. Segala
barang perhiasannya dijualnya untuk melepaskan kekasihnya dari penjara. Maka pergilah ia
ke Betawi dengan bapaknya, tetapi sebab Midun sendiri ada mempunyai uang f 500,- tidak
seberapa ia menambah untuk membayar utang itu.
Mulanya Midun tak mau sedikit juga membayar.utangnya itu. Tetapi setelah dimufakati
dengan panjang lebar dan setelah mendengarkan bujukan Halimah, diturutnya jugalah
kehendak kekasihnya. Tetapi permintaan Halimah dan ayahnya supaya ia pergi
bersama-sama ke Bogor, tidak diperkenankannya. Sebabnya ialah karena dia hendak
mencari penghidupan yang lebih sempurna di Betawi.
Selama Midun dalam penjara itu, ada seorang hukuman bekas orang yang bersekolah
juga, yang mengajarkan menulis dan membaca dan menceritakan berbagai-bagai ilmu
pengetahuan, sehingga banyaklah tokok tambahnya pengetahuan Midun selama dalam
penjara itu. Orang itu Mas Sumarto namanya. Ketika ia akan meninggalkan bui itu, maka
ditemuinyalah orang itu. Sesudah mengucapkan terima kasih atas nasihat-nasihat dan
kesudian Mas Sumarto mengajarnya menulis dan membaca selama dalam bui, Midun
memberi selamat tinggal kepada gurunya itu.
Ia berjalan ke luar bui, lalu naik trem yang hendak ke Kramat. Sudah dua bulan ia di
dalam bui, tak ada ubahnya sebagai burung di dalam sangkar. Sekarang dapat pula ia
melepaskan pemandangannya kian kemari, melihat-lihat kota
Betawi yang indah itu. Amat lega hati Midun masa itu, dadanya lapang, pikirannya
senang. Sampai di Kramat ia pergi ke Kwitang, ke rumah tempatnya membayar makan
dahulu. Induk semangnya heran melihat kedatangannya itu, karena dengan tidak berkata
sepatah jua Midun pergi, sekarang tiba-tiba datang pula kembali. Setelah mereka itu duduk
lalu diceritakan Midun nasibnya selama meninggalkan rumah itu. Mendengar ceritanya itu,
mereka belas kasihan dan menasihati Midun, menyuruh ingat-ingat menjaga diri yang akan
datang. Maka ia pun tinggal pula di sana membayar makan.
Pada petang hari Midun pergi berjalan-jalan. Sampai di Pasar Senen, ia bertemu
dengan Salekan, temannya sama-sama berkedai dahulu.
"Ke mana engkau, Midun?" ujar Salekan. "Sudah lama saya tidak melihat engkau."
"Ah, saya pergi bertapa dua bulan ke Glodok," ujar Midun.
"Bertapa bagaimana" Ceritakanlah kepada saya yang sebenar-benarnya saja, Midun."
"Baik, engkau tidak berkedai hari ini?"
"Tidak, sudah dua hari dengan sekarang. Saya hendak tempo dulu barang seminggu
ini, karena ada urusan sedikit."
"Kalau begitu, marilah kita ke Pasar Baru! Saya ingin hendak makan nasi goreng,
sebab sudah dua bulan tidak mengecap makanan itu. Nanti di jalan saya ceritakan
pertapaan saya yang dua bulan itu kepadamu."
"Baiklah." Sepanjang jalan diceritakanlah oleh Midun, bagaimana halnya yang dua bulan itu.
Dalam mereka asyik bercerita, tibatiba kedengaran olehnya orang berseru, "Awas, serdadu
mengamuk! Lekas lari!"
Midun terkejut, lalu melihat ke sana kemari. Waktu itu ia sudah sampai dekat pintu
masuk ke Pasar Baru. Temannya, Salekan, baru saja mendengar suara orang menyuruh
lari, ia sudah membuat langkah seribu. Sekonyong-konyong kelihatan oleh Midun seorang
serdadu memegang sebuah pisau yang datangnya dari arah Kemayoran. Mana yang dapat,
apalagi orang yang mengalangi, terus saja diamuknya. Serdadu itu terus juga lari mengejar
seorang sinyo yang baru berumur 12 atau 13 tahun. Sinyo itu sudah payah, napasnya turun
naik, agaknya sudah lama ia dikejar serdadu itu. Hampir saja ia dapat kena tikam, karena
tidak jauh lagi antaranya. Midun tidak berpikir lagi, seraya berkata, "Jangan lari, Sinyo,
berdiri saja di belakang saya!"
Baru saja sinyo itu mendengar suara Midun, ia berhenti. Memang ia hampir tak kuat
lagi berlari, sebab sudah payah. Sambil terengah-engah, sinyo itu pun berkata, "Tolong
saya, Bang, dia hendak menikam saya."
Setelah dekat, Midun melompat menangkap pisau serdadu itu. Maka kedua mereka itu
pun berkelahi, di tengah jalan itu. Setelah pisau serdadu itu dapat oleh Midun, lalu dilemparkannya, seraya berkata, katanya, "Ambil pisau itu, Sinyo!"
Ketika pisau itu tak ada lagi, serdadu itu pun menyerang Midun dengan garangnya.
Tetapi dengan mudah Midun dapat menyalahkan serangannya. Midun melepaskan
kekuatannya pula. Tidak lama antaranya, ia pun dapat menangkap serdadu itu: Midun
berkata pula, "Sinyo, coba ambil ikat pinggang saya pengikatnya!"
"Ini ada ikat pinggang saya, Bang," ujar sinyo sambil memberikan ikat pinggangnya.
Sekaliannya terjadi dalam beberapa saat saja.
Setelah serdadu itu diikat Midun, maka opas pun berlompatan akan menangkapnya.
Ketika ia akan dibawa ke kantor Commissaris, sinyo berkata, "Tak usah dibawa ke sana.
Ikut saya saja!" Maka serdadu itu pun dibawa oleh sinyo itu kepada sebuah gedung yang tidak berapa
jauhnya dari sana, diiringkan oleh orang banyak yang berkerumun sesudah si pengamuk itu
tertangkap. Setelah sampai, sinyo terus saja masuk ke dalam. Kemudian ia ke luar bersama
dengan seorang tuan. Adapun tuan itu ialah Hoofdcommissaris, bapak sinyo yang ditolong Midun itu. Di
muka bapak dan ibunya, diterangkanlah oleh sinyo itu bagaimana halnya dengan serdadu
yang mengamuk itu. Nyonya Hoofdcommissaris menjerit mendengar cerita anaknya yang
sangat ngeri itu. Tetapi ia bergirang hati, karena anaknya terlepas dari bahaya. Demikian
pula Hoofdcommissaris, amat senang hatinya kepada Midun yang menolong anaknya itu.
Hoofdcommissaris menelpon, dan tidak lama antaranya datanglah beberapa orang
politie-opziener akan membawa serdadu yang mengamuk itu.
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih karena keberanianmu menolong anak
saya di dalam bahaya," ujar Hoofdcommissaris kepada Midun.
"Terima kasih kembali, Tuan!" jawab Midun dengan hormatnya.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Midun."
"Negerimu di mana?"
"Negeri saya di Padang."
"Apa kerjamu di sini?"
"Tidak bekerja, Tuan!" Maka Midun pun menceritakan nasibnya kepada
Hoofdcommissaris, sejak mulai sampai ke Betawi. Mendengar cerita Midun, tuan dan
nyonya itu amat belas kasihan. Kemudian Hoofdcommissaris berkata pula, "Kamu pandai
menulis?" "Pandai, Tuan."
"Baiklah. Besok kamu datang ke kantor saya pukul 8 betul, ya!"
"Baik, Tuan." "Sekarang kamu boleh pulang. Jangan lupa, besok mesti datang di kantor saya."
"Ya, Tuan." Midun keluar dari gedung itu. Orang banyak yang berkerumun melihat Midun,
mengiringkannya dari belakang. Berbagai-bagailah pertanyaan orang kepadanya. Midun
amat malu diiringkan orang banyak, lalu ia naik bendi ke Pasar Baru. Sampai di situ terus
masuk ke kedai orang menjual nasi goreng. Di tempat itu lain tidak yang didengar Midun,
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percakapan orang tentang serdadu mengamuk itu saja. Tetapi Midun berdiam diri saja;
sesudah makan nasi goreng, ia naik bendi pulang ke Kwitang.
Di atas bendi Midun berkata dalam hatinya, "Apa pulakah yang akan terjadi atas diri
saya besok pagi" Celaka pulakah yang akan datang, sebab saya menangkap serdadu" Tak
boleh jadi, serdadu itu tak ada yang bercela badannya oleh saya. Lagi pula mendengar
perkataan Hoofdcommissaris, tak mungkin saya akan dihukum karena itu. Tak dapat tiada,
sinyo anaknya itu tidak akan membiarkan saya, karena saya menolongnya."
Sampai di Kwitang, induk semangnya bertanya pula tentang orang mengamuk di
Pasar Baru, kalau-kalau Midun mendengar kabar itu. Tetapi Midun menerangkan pura-pura
tidak tahu saja, karena ia ke Meester, katanya.
Pada keesokan harinya pagi-pagi Midun sudah bangun. Sesudah sembahyang dan
minum kopi, maka ia pun berpakaian.
Kira-kira pukul 7 Midun berangkat dari rumahnya menuju ke kantor Hoofdcommissaris.
Baru saja ia sampai, datang seorang politieopziener mendekatinya.
"Kamu yang bernama Midun?" kata politie-opziener. "Saya, Tuan!" ujar Midun.
Midun dibawa masuk ke dalam sebuah kamar yang terasing letaknya di kantor itu.
Tiba-tiba kelihatan oleh Midun, tuan yang menyuruhnya datang kemarin itu.
"Tabik, Midun, ada baik?" kata Hoofdcommissaris.
"Baik juga, Tuan," ujar.Midun dengan sopannya.
"Kemarin kamu katakan, kamu tidak bekerja. Mau kamu bekerja di sini?"
"Kalau Tuan mau menerima saya, dengan segala suka hati saya terima."
"Baiklah. Sekarang boleh Midun mulai bekerja."
Setelah Hoofdcommissaris bercakap beberapa lamanya di telepon, Midun dibawa ke
dalam sebuah kamar besar. Di situ dilihatnya amat banyak orang bekerja. Maka Midun pun
mulailah bekerja sebagai juru tulis di kantor Hoofdcommissaris.
Dengan rajin dan sungguh Midun bekerja di kantor itu. Di dalam dua bulan saja, sudah
kelihatan kecakapannya bekerja. Ia selalu hati-hati dan hemat dalam pekerjaannya. Tidak
lama Midun disuruh mengambil pekerjaan mata-mata. Sebabnya ialah karena masa itu amat
banyak penggelapan candu.
Di dalam pekerjaan itu pun Midun sangat pandai. Tidak sedikit ia dapat menangkap
candu gelap. Pandai benar ia menjelmakan diri akan mengintip orang membawa candu
gelap itu. Bermacam-macam ikhtiar dijalankannya. Kadang-kadang waktu kapal masuk
pelabuhan, ia menjadi kuli, turut mengangkat barang dari anggar ke stasiun. Bahkan kuli-kuli
itu dapat pula dipikatnya dengan menjanjikan persen, manakala dapat menunjukkan orang
yang membawa candu gelap. Ada yang ditangkap Midun candu itu di perut perempuan
orang Tionghoa yang pura-pura hamil. Padahal sebenarnya candu gelap yang dibalutnya
dengan kain di perutnya itu. Ada pula yang ditangkapnya dalam perban kaki orang, yang
pura-pura sakit kaki. Pendeknya, di dalam hal yang sulit-sulit, yang tak mungkin pada
perasaan orang candu itu ditaruhnya di sana, dapat ditangkap Midun.
Enam bulan Midun bekerja, nyatalah kepada orang di atas akan kecakapannya dalam
pekerjaannya. Maka ia pun diangkat
menjadi menteri polisi di Tanjung Priok. Seiring dengan keangkatannya itu, ia
mendapat anugerah pula dari pemerintah beberapa ribu rupiah. Uang itu ialah persen dari
candu yang sudah ditangkapnya. Berlinang-linang air mata Midun sebab suka, waktu
menerima uang sekian itu. Tidak disangkasangkanya ia akan mendapat uang sebanyak itu.
Segala uang itu dimasukkannya ke bank.
Karena suka dan girang amat sangat mendapat uang dan menerima angkatan itu,
Midun segera menulis surat ke Bogor kepada ayah Halimah. Maka dinyatakannya hasratnya
yang selama ini dikandungnya. Midun takut Halimah yang sangat dikasihinya itu akan dapat
bencana. Sebab itu hendak disegerakannya supaya ia menjadi suami istri dengan gadis itu.
Demikian bunyi surat Midun kepada Halimah:
Weltevreden, 9 Desember 19..
Kekasihku Halimah! Berkat doa Adinda yang makbul jua, kakanda sekarang sudah menjadi
menteri polisi di Tanjung Priok. Oleh sebab itu, saat inilah yang sebaik-baiknya
untuk melangsungkan cita-cita kita yang selama irii. Bersamaan dengan surat ini
ada kakanda kirim surat kepada bapak, yang isinya menyatakan hasrat kakanda
itu. Di dalam surat itu kakanda sertakan pula uang banyaknya f 400,- untuk
belanja perkawinan kita. Pada tangga115 Desember ini kakanda perlop, lamanya 14 hari. Waktu
itulah kakanda dating kemari. Untuk keperluan Adinda, kakanda bawa bersama
kakanda nanti. Bagaimana permufakatan bapak dan Halimah, kakanda menurut.
Sehingga inilah dulu, nanti seminggu lagi sambungannya.
Peluk cium kakanda, MIDUN Midun dapat perlop, lamanya 14 hari. Beserta dengan beberapa orang kawan dari
Betawi, ia pun berangkatlah ke Bogor. Sampai di Bogor, didapatinya ayah Halimah sudah
siap. Di muka rumah sudah terdiri sebuah dangau-dangau besar, dihiasi dengan bagusnya.
Orang sedang sibuk bekerja,
mengerjakan ini itu mana yang perlu. Rupanya perkawinan itu akan dilangsungkan
ayah Halimah dengan peralatan yang agak besar, sebab hanyalah Halimah anaknya yang
perempuan. Kedatangan Midun diterima ayah Halimah dengan segala suka hati. Maka Midun pun
menceritakan halnya sejak keluar dari bui sampai menjadi menteri polisi di hadapan
Halimah, ayahnya dan beberapa orang lain famili mereka itu. Segala yang mendengar cerita
Midun itu amat bergirang hati. Lebihlebih Halimah, karena bakal suaminya sudah menjadi
ambtenar pula. Tiga hari kemudian, perkawinan Midun dan Halimah dilangsungkan. Dua hari dua
malam diadakan peralatan, sangat ramai, karena banyak sahabat kenalan ayah Halimah
hadir dalam peralatan itu. Begitu pula sahabat kenalan Midun banyak datang dari Betawi.
Dengan tidak kurang suatu apa, selesailah peralatan itu. Setelah seminggu Midun
tinggal bersama mertuanya, ia pun berangkat ke Betawi. Ayah, ibu tiri, dan beberapa orang
famili Halimah turut ... mengantarkannya ke Tanjung Priok: Midun memang sudah siap
dengan sebuah rumah yang sederhana, cukup dengan perkakasnya, bakal mereka itu
tinggal dua laki istri. Maka tinggallah mereka suami istri di rumah itu, hidup selalu dalam
berkasih-kasihan, seia sekata dan turut-menurut dalam segala hal. Demikianlah pergaulan
mereka itu dari sehari ke sehari.
Midun sudah bekerja sebagai menteri polisi. Namanya termasyhur di Tanjung Priok.
Baik kuli baik pun tidak, amat segan dan takut kepada menteri polisi Midun. Polisi orang
Melayu atau pun Belanda segan pula kepadanya. Sebabnya ialah ketika terjadi perkelahian
beberapa orang kelasi kapal yang memperebutkan perempuan durjana. Tidak ubah sebagai
perang kecil waktu terjadi perjuangan itu. Perkelahian yang asal mulanya dua orang kelasi
yang berlainan-lainan kapal tempatnya bekerja, menjadi ramai sebab mereka mempertahankan teman masing-masing. Polisi tak dapat lagi memisahkan, sebab sangat sibuknya.
Segala orang yang mempunyai toko menutup tokonya karena ketakutan. Yang berkedai
mengemasi kedainya, lalu mencari tempat persembunyian. Amat banyak orang berlarian ke
sana kemari menjauhi perkelahian itu. Huru-hara, tidak berketentuan lagi. Tidak sedikit polisi
baik pun kelasi yang luka. Jika tidak ada Midun, entah berapa agaknya bangkai terhantar,
sebab mereka itu sudah memakai senjata tajam dalam perjuangan itu. Menteri polisi
Midunlah yang terutama berusaha memadamkan perkelahian yang hebat itu. Oleh karena
itu ia sangat terpuji oleh orang di atas dalam pekerjaannya.
Belum cukup enam bulan Midun di Tanjung Priok, ia menerima surat pindah ke
Weltevreden. Menerima surat pindah itu, Midun bersukacita. Di Tanjung Priok hampir ia tak
dapat menidurkan badan. Ada-ada saja yang mesti diuruskannya, baik siang atau pun
malam. Kadang-kadang lewat tengah malam orang memanggil dia, karena ada sesuatu
yang terjadi dan perlu diselesaikan. Tiga hari kemudian daripada itu, Midun suami istri
berangkat ke Weltevreden. Maka ia. pun bekerjalah dengan rajinnya di Weltevreden.
Sekali peristiwa Midun dipanggil Hoofdcommissaris datang ke kantornya. Sampai di
kantor, Hoofdcommissaris pun berkata, "Midun, sekarang kamu mesti berlayar."
"Ke mana, Tuan?" ujar Midun dengan hormatnya.
"Kami dengar kabar ada penggelapan candu yang sangat besar. Pusat penggelapan
itu di Medan, dan ada pertaliannya di Jawa ini. Sebab itu kamu mesti berangkat minggu di
muka ini ke Medan, akan menyelidiki benar tidaknya kabar itu. Saya harap, pekerjaanmu di
sana memberi hasil yang baik. Nah, selesaikanlah mana yang perlu, dan berangkatlah
minggu di muka ini!"
"Baik, Tuan!" lalu Midun pulang ke rumahnya.
Setelah perintah itu dikabarkan Midun kepada istrinya, maka ia pun berkirim surat ke
Bogor menyuruh datang mentuanya ke Betawi. Masa itu mentua Midun sudah pensiun. Dua
hari kemudian, datanglah mentuanya laki istri. Midun mengabarkan bahwa ia tiga hari lagi
berangkat ke Medan. Dimintanya, selama ia di Medan, supaya mentuanya menemani
Halimah. Setelah mustaid barang-barang yang perlu dibawa Midun, ia pun berangkatlah ke
Medan. Waktu ia akan berangkat, tidak dibiarkannya seorang jua mengantarkannya ke
kapal. Midun ke Medan menjelma sebagai seorang saudagar. Sebab itu, ia menumpang di
atas geladak kapal saja. Sampai di Medan, dengan ditemani oleh seorang matamata, Midun pun bekerjalah
menyelidiki kabar penggelapan candu yang besar itu. Ada sebulan ia menyelidiki kabar itu
dengan rajinnya. Bermacam-macam ikhtiar dijalankan Midun. Kemudian nyatalah, bahwa
kabar itu bohong belaka. Menurut pendapatnya, kabar itu hanya dibuat-buat orang saja,
untuk menjalankan maksudnya di tempat lain. Dua hari lagi akan berangkat ke Betawi,
Midun memakai seperti biasa.
la pun pergilah berjalan-jalan dengan temannya itu melihat-lihat keindahan kota
Medan. Setelah hari malam, terus menonton komidi gambar. Ketika akan pulang lalu diajak
oleh temannya minum-minum kepada sebuah hotel. Baru saja duduk, datang seorang
jongos membawa buku tulis.
"Minum apa, Engku?" ujar Ahmad, temannya itu.
"Apa saja yang Engku sukai," jawab Midun.
Ketika Ahmad menuliskan nama minuman yang akan diminta, Midun memandang
kepada jongos yang berdiri di belakang kawannya itu. Tiba-tiba ia terperanjat, karena
dilihatnya jongos itu serupa benar dengan adiknya Manjau. Hatinya tertarik, lalu
diperhatikannya tingkah laku jongos hotel yang seorang itu. Midun amat heran karena
jongos itu sebentar menyeringai, sebentar pula duduk, seolah-olah menahan sakit.
Perjalanannya pun tidak sebagai biasa, melainkan agak lambat. Maka Midun berkata dalam
hatinya, "Tidak boleh jadi Manjau akan sampai kemari. Tentu saja ia tidak diizinkan ibu dan
ayah meninggalkan kampung, karena saya sudah pergi. Lagi pula tidak akan sampai hatinya
meninggalkan orang tua, yang telah bersedih hati kehilangan anaknya yang sulung itu. Ah,
agaknya pemandangan saya yang salah, tidak sedikit orang yang serupa di atas dunia ini.
Tetapi apakah sebabnya dia selalu memandang saya" Dan apakah sebabnya jongos itu
selalu menyeringai dan sebentar-sebentar duduk" Tidak lain tentu karena korban
perempuan-perempuan dukana yang berkeliaran seluruh kota ini agaknya.
Di dalam Midun termenung memikirkan jongos hotel itu, tiba-tiba Ahmad kawannya itu
berkata, katanya, "Mengapakah Engku termenung saja dari tadi saya lihat" Apakah yang
Engku menungkan?" "Tidak apa-apa," ujar Midun menghilangkan pikirannya, sambil memperbaiki
duduknya. "Pikiran saya melayang ke tanah Jawa."
"Di sini pun tidak kurang kepelesiran seperti di tanah Jawa, bahkan lebih agaknya.
Lihatlah ke jendela tingkat hotel ini. Di tanah Jawa tidakkan lebih, samalah dengan di sini
agaknya." "Benar, sama dengan di sini. Sungguh berbahaya benar perempuan-perempuan jahat
itu. Tidak sedikit orang yang telah menjadi korban penyakit itu. Di Betawi lebih-lebih lagi
yang buta, buta juga, anggotanya pun banyak yang rusak. Sungguh berbahaya benar
penyakit jahanam itu."
"Sebenarnyalah perkataan Engku itu. Di sini pun begitu pula. Bahkan banyak hotel di
sini dipergunakan untuk itu saja. Dipelihara di situ perempuan-perempuan dukana itu, untuk
pemuaskan hawa nafsu orang yang baru datang atau yang ada di negeri ini. Seolah-olah
sengaja rupanya orang memperkembang biak penyakit keparat itu."
"Benar, kalau begitu sama keadaannya dengan Betawi. Hal ini tidak boleh sekali-kali
dibiarkan. Patut benar pemerintah berikhtiar, supaya musna kupu-kupu malam yang
berkeliaran di kota-kota di tanah Hindia ini."
Adapun jongos hotel itu terkejut pula ketika melihat muka Midun. Ia amat heran karena
orang itu selalu memandang kepadanya. Pada pemandangannya tidak ubah sebagai
saudaranya Midun. Dengan darah berdebar-debar, jongos itu berkata dalam hatinya, "Dari
tadi saya diperhatikan orang itu. Rupanya bersamaan benar dengan saudara saya Midun.
Nyata kepada saya, bahwa sebenarnyalah dia kakak saya. Tetapi tidak boleh ia segagah ini.
Temannya memanggilkan dia "Engku". Tentu ia seorang berpangkat. Mustahil, sedang
menulis pun Midun tidak pandai dan tidak pula bersekolah. Lagi pula ia dihukum ke Padang,
masakan orang hukuman menjadi orang berpangkat. Agaknya orang itu serupa dengan
Midun. Menurut suratnya ke kampung dahulu, ia pergi ke tanah Jawa. Suatu hal yang tidak
boleh jadi ia di sini."
Kira-kira pukul sebelas malam, Midun membayar beli minuman. Maka ia pun
pulanglah ke rumah tempatnya menumpang. Sampai di rumah hati Midun tidak senang
sedikit jua. Jongos hotel itu tidak hendak hilang dalam pikirannya. Kemudian diputuskannya
pikirannya hendak kembali ke hotel itu, akan menanyakan siapa dan orang mana jongos
hotel itu. Sampai di sana, lalu dipanggilnya jongos itu. Maka ia dibawa Midun kepada suatu
tempat yang terpisah. Midun berkata, katanya, "Saya harap kamu jangan gusar, karena
saya hendak bertanya sedikit."
"Baiklah, Engku," ujar jongos itu dengan hormatnya.
"Kamu orang mana?"
"Saya orang Minangkabau, Engku."
"Di mana negerimu di Minangkabau?"
"Di Bukittinggi."
"Namamu siapa?"
"Nama saya Manjau."
Mendengar nama itu hati Midun hampir tidak tertahan lagi. Ketika itu sudah nyata
kepadanya, bahwa orang yang bercakap dengan dia itu, adiknyalah. Tetapi dengan
sekuat-kuatnya ia menahan hati, lalu meneruskan pertanyaannya, katanya, "Adakah engkau
bersaudara?" "Ada, Engku." "Siapa namanya?"
"Midun." "Manjau, adikku kiranya ini," ujar Midun sambil melompat memeluk Manjau.
Kedua mereka itu bertangis-tangisan,
karena pertemuan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tidak lama mereka itu insaf akan diri. Midun meneruskan
pertanyaannya pula, katanya, "Sudah lamakah engkau di sini" Ayah bunda dan adikku di
mana" Diizinkan mereka itukah engkau merantau kemari" Adakah ia sehat-sehat saja
sampai sekarang?" Manjau menceritakan dengan panjang lebar penyakit ayahnya waktu akan meninggal
dunia dan perkara pusaka yang diambil oleh kemanakan ayahnya. Begitu pula perkawinan
Juriah dengan Maun, pesan ayahnya waktu akan berpulang. Dengan tidak diketahuinya, air
mata Midun berlinang-linang, karena amat sedih hatinya mengenangkan kematian ayahnya
yang dicintainya itu. Maka ia pun berkata, "Ayah sudah meninggal, apa pula yang engkau
turut kemari! Tentu ibu canggung engkau tinggalkan, suami mati, anak dua orang sudah
hilang." "Saya pergi sudah seizin beliau. Akan tinggal juga saya di kampung tak ada pekerjaan
saya, sebab harta kita sudah habis sama sekali. Usikan Penghulu Kepala Kacak tidak pula
tertanggung oleh saya. Tidak ada berselang sepekan saya sudah disuruhnya pula berodi,
jaga, ronda malam, dan lain-lain. Karena itu saya mufakat dengan Maun. la sendiri
mengizinkan juga saya pergi. Kata Maun, "Pergilah, Manjau, mudah-mudahan engkau
bertemu dengan Midun. Saya sendiri pun akan meninggalkan kampung ini pula, sebab saya
tidak senang diam oleh si Kacak musuh kami dahulu. Biarkanlah ibu dan Juriah tinggal.
Sayalah yang akan menjaga keselamatan ibu. Ke mana saya pergi, tentu beliau saya
bawa." Maka saya pun pergilah ke Bukittinggi. Mula-mula saya bekerja menjadi jongos
kepada seorang Belanda. Belum lama saya bekerja, diajak oleh induk semang saya itu
kemari. Tiga bulan saya bekerja dengan dia, induk semang saya itu pun perlop ke negeri
Belanda. Saya tinggal seorang diri, lalu mencari pekerjaan lain. Dengan seorang kawan
bernama Sabirin, orang Minangkabau juga, kami pergi meminta pekerjaan kepada sebuah
onderneming yang jauhnya lebih kurang 30 pal dari sini. Kami dapat pekerjaan pada
onderneming itu. Saya jadi juru tulis kontrak dan teman saya itu jadi mandor. Habis tahun
kami dapat perlop 14 hari dan ekstra gaji 3 bulan.
Sebab kami biasa tinggal di hutan, maka kami pergi kemari. Di sini pelesir
menyenang-nyenangkan hati, akan melepaskan lelah bekerja terus setahun itu. Ke pelesiran
itu rupanya menjadi sesalan kepada saya sekarang. Teman saya Sabirin itu meninggal
dunia baru sebulan. Sebabnya ialah karena mendapat penyakit ... perempuan.
Ia mendapat penyakit yang nomor satu. Saya untunglah dapat yang enteng. Sudah
dua bulan sampai sekarang saya menanggung penyakit itu. Akan kembali ke onderneming
sudah malu, dan rasanya saya tidak kuat lagi bekerja. Maka saya carilah pekerjaan yang
ringan di sini, yaitu menjadi jongos hotel. Demikianlah hal saya selama Kakak tinggalkan."
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita adiknya itu. Maka
Manjau disuruhnya berhenti bekerja di hotel itu. Setelah itu dibawanyalah ke rumah
tempatnya menumpang. Sampai di rumah, sesudah Midun berganti pakaian, maka ia
menceritakan nasibnya kepada Manjau sejak meninggalkan kampung. Tetapi yang
diceritakannya, hanyalah mana yang patut didengarkan adiknya saja. Ketika sampai kepada
menceritakan halnya digoda perempuanperempuan di Betawi, di situ diperpanjang oleh
Midun. Ditanyakannya kepada Manjau bagaimana keimanannya dalam hal itu. Begitu pula
tentang pergaulan hidup dan caranya berteman dengan orang. Mendengarkan cerita Midun
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat panjang itu, Manjau insaf benar-benar akan dirinya. la menekur dan menyesal
amat sangat perbuatannya yang sudah-sudah. Lebih-lebih ketika Midun menceritakan
bahaya penyakit perempuan itu, maka Manjau pucat sebagai orang ketakutan.
Menteri polisi Midun berangkat pula kembali ke Betawi. Manjau dibawanya
bersama-sama. Dengan selamat Midun sampai ke Betawi. Maka Midun menceritakan hal
pertemuannya dengan adiknya itu.
Setelah mendengar keterangan Midun, orang di rumah itu pun girang hatinya.
Tiga bulan Manjau berulang ke rumah sakit, barulah sembuh benar penyakitnya.
Tetapi setelah sembuh ia harus memakai tesmak, karena pemandangannya sudah kurang
terang. Manjau tidak dibiarkan Midun bekerja, melainkan bersenang-senangkan diri saja di
rumah. Sekali-sekali jika Midun membawa pekerjaan pulang, ditolongnya bekerja di rumah.
Kemudian Manjau dimasukkan Midun bekerja di kantor Roofdcommissaris.
Bab 15: Pertemuan SEKALI peristiwa pada suatu petang. Midun dengan istrinya duduk-duduk di beranda
muka rumahnya makan-makan angin. Sedang ia minum-minum teh, tiba-tiba berlarilah
anaknya dari dalam. Anak itu sudah berumur tiga tahun lebih. Ia membawa sebuah surat
kabar mingguan pada tangannya. Maka anak itu pun berkata, "Papa, apa ini?"
Anak itu menunjuk sebuah gambar pada surat berkala itu. Midun melihat, lalu
diperhatikannya gambar itu. Kemudian ia berkata, "Ini gambar negeri bapak. Anak mau
pergi ke Padang?" "Mau," jawab anaknya, yang barangkali kurang mengerti benar akan perkataan
bapaknya. "Coba lihat!" ujar Halimah meminta gambar itu. "Gambar itu ialah gambar ngarai atau
'Karbauwengat' di Bukittinggi benar. Kalau saya tidak salah, hanya 10 menit perjalanan."
Midun terkenang akan negerinya. Tampak-tampak olehnya jalan-jalan di kampungnya.
Ia bermenung, pikirannya melayang ke kampung. Tiba-tiba terbayang ibu dan adiknya
Juriah, yang sangat dikasihinya itu. Setelah beberapa lamanya dengan hal demikian itu,
Midun berkata kepada istrinya, "Halimah! Jika saya tidak salah, ketika kita berjalan-jalan di
Kebun Raya dahulu, kau ada berkata, 'Tahun mana musim pabila dan dengan jalan apakah
lagi, maka dapat saya melihat negeri Padang yang saya cintai itu'. Perkataanmu itu,
sebenarnyalah atau untuk bersenda gurau saja?"
Midun tersenyum, ia terkenang akan halnya masa dahulu, waktu berjalan-jalan
dengan Halimah di Kebun Raya. Halimah kemalu-maluan. Sambil tersenyum, ia pun
berkata, "Apakah sebabnya sekarang Udo menanyakan hal itu" Belumkah tampak oleh
Udo, bahwa perkataan saya itu sebenarnya?"
"Bagaimana pula akan tampak, karena kita sudah hampir 6 tahun di sini saja."
"Sudah sebesar ini si Basri anak kita, belumlah tampak oleh Udo, bahwa perkataan
saya itu sungguh-sungguh?"
"O, jadi yang kau maksud 'negeri Padang' dahulu itu si Midun kiranya." Midun
tersenyum pula. Kemudian ia berkata lagi, katanya, "Perkataan saya ini sebetul-betulnya,
Halimah. Sudah hampir 6 tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui ibu dan adik
saya Juriah. Cukuplah ayah meninggal dunia karena bercintakan saya, tetapi janganlah
hendaknya terjadi pula sekali lagi pada ibu hal yang demikian itu."
"Menurut pikiran Udo, bagaimana yang akan baiknya?"
"Pikiran saya, jika sepakat dengan Halimah, saya bermaksud hendak memasukkan
rekes meminta pindah ke negeri saya. Sukakah kau, jika kita kembali pula ke Padang?"
"Menurut hemat saya, hal itu tidak perlu Udo tanyakan lagi kepada saya. Jika saya
akan dua hati juga kepada Udo, tidaklah saya bersuamikan Udo. Jangankan ke Padang. Ke
laut api sekalipun saya turutkan, jika Udo mau membawa saya, anak yatim ini. Lain tidak
hanya Udolah bagi saya, ketika panas tempat berlindung, waktu hujan tempat berteduh."
"Saya sudah maklum tentang hatimu. Bukankah baik juga kita mufakat apa yang harus
kita kerjakan. Kalau demikian, baiklah. Besok saya hendak menghadap Hoofdcommissaris,
akan memohonkan permintaan, mudah-mudahan dikabulkannya dan dapat pertolongan pula
daripadanya." Pada keesokan harinya pagi-pagi Midun pergilah ke kantor Hoofdcommissaris. Dari
jauh Midun sudah dipanggil Hoofdcommissaris, karena waktu ia akan masuk kantor, sudah
kelihatan kepadanya. Senang benar hati tuan itu bertemu dengan dia, karena tidak saja
Midun sudah bertanam budi kepadanya, dalam pekerjaan pun cakap dan terpuji pula.
"Apa kabar, Midun?" ujar Hoofdcommissaris. "Ada baik saja dalam pekerjaan?"
"Baik, Tuan," ujar Midun dengan hormat, "tidak kurang suatu apa."
"Sekarang apa maksudmu datang kemari?"
"Jika tak ada alangan pada Tuan; saya ada hendak memohonkan permintaan sedikit."
"Boleh, katakanlah apa yang hendak kamu minta itu!"
"Sudah hampir enam tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui ibu dan
adik-adik saya. Entah masih hidup juga mereka itu sekarang entah tidak. Oleh sebab itu jika
izin Tuan, saya hendak memohonkan, bagaimana baiknya agar citacita saya itu sampai."
"Jadi Midun ingin bekerja di negeri sendiri?"
"Saya, Tuan. Tetapi kalau tak ada alangan pada Tuan dan dengan pertolongan Tuan
jua." "Baiklah. Buatlah rekes kepada Residen Padang. Sesudah kamu buat, berikan kepada
saya. Nanti saya sendiri mengirimkan ke Padang."
"Terima kasih banyak, Tuan," ujar Midun dengan girang.
Dengan petunjuk beberapa orang pegawai kantor itu, maka dibuatlah oleh Midun
rekes kepada Residen Padang memohonkan suatu pekerjaan di Sumatra Barat. Setelah
sudah, lalu diberikannya kepada Hoofdcommissaris. Kemudian ia pergi menjalankan
pekerjaannya seperti biasa.
Sepuluh hari kemudian daripada itu, pagi-pagi, ketika Midun mengenakan pakaian di
rumahnya, kedengaran olehnya di muka orang mengatakan "Pos". Halimah segera keluar.
Tidak lama ia kembali, lalu berkata, "Telegram, Udo."
Setelah ditekan Midun surat tanda penerimaan telegram itu, diletakkannya di atas
meja. Sesudah berpakaian, dengan darah berdebar-debar dan harap-harap cemas, lalu
dibukanya telegram itu. Tiba-tiba ia terperanjat, karena di dalam telegram itu tersebut,
bahwa Midun diangkat jadi assisten demang di negerinya sendiri, dan mesti
selekas-lekasnya berangkat.
Tidak dapat dikatakan bagaimana kegirangan hati Midun masa itu. Diciumnya
anaknya beberapa kali akan menunjukkan sukacitanya. Halimah jangan dikatakan lagi.
Amat girang hatinya karena suaminya menjadi assisten demang.
Dengan suka dan girang, Midun berangkat ke kantor Hoofdcommissaris. Sampai di
sana, ia terus saja masuk ke kamar Hoofdcommissaris, sambil memegang surat kawat di
tangannya. Midun berkata dengan gagap, diunjukkannya telegram itu katanya, "Saya diangkat jadi
assisten demang di negeri saya, Tuan!"
Hoofdcommissaris membaca telegram itu. Setelah dibacanya, ia pun berkata dengan
girang, "Selamat, selamat, Midun! Yang kamu cita-citakan sudah dapat. Keangkatanmu ini
tentu menyenangkan hatimu, karena kamu dipindahkan ke negerimu sendiri."
Hoofdcommissaris itu berdiri, lalu ditepuk-tepuknya bahu Midun. Maka ia pun berkata
pula, katanya, "Pemandanganmu sudah luas, pengetahuanmu pun sudah dalam. Sebab itu
pandai-pandai memerintah dan memajukan negerimu. Saya harap kamu hati-hati dalam
pekerjaan, jangan kami dapat malu karena kamu. Jika kamu rajin bekerja,tidak lama tentu
kamu diangkat jadi demang. Pergilah sekarang juga menghadap Tuan Residen,
memberitahukan keangkatanmu ini. Dialah yang terutama mengenalkan kamu dalam hal ini.
Balik dari sana kemari lagi. Nanti saya buat sepucuk surat untuk tuan Residen Padang.
Kamu harus berangkat dengan lekas ke Padang."
Midun tidak dapat menjawab perkataan Hoofdcommissaris lagi, karena disuruh pergi.
Dengan menganggukkan kepala saja, Midun terus pergi menghadap Tuan Residen, akan
mengucapkan terima kasih atas usulnya itu.
Sepekan kemudian daripada itu, Midun dua laki istri dan Manjau berangkatlah ke
Padang. Dengan selamat dan tidak kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk
Bayur. Setelah diantarkannya istrinya ke rumah salah seorang kenalannya di sana, Midun
terus menghadap Tuan Residen akan memberikan surat dari Hoofdcommissaris Betawi.
Surat itu dibaca Tuan Residen, dan sambil memberi selamat, Midun dinasihatinya dengan
panjang lebar. Setelah itu ia kembali pulang ke tempatnya menumpang. Midun dengan istrinya pergi
mengunjungi kubur ibu Halimah. Sudah itu ia pergi mendapatkan Pak Karto ke Ganting.
Amat girang hati Pak Karto bertemu dengan Midun. Apalagi setelah mendengar kabar,
bahwa Midun sudah menjadi assisten demang, ia sangat bersukacita. Maka ditinggalkan
Midun uang f 100,- untuk Pak Karto. Disuruhnya ganti kubur ibu Halimah dengan batu,
lebihnya untuk Pak Karto.
Pada keesokan harinya pagi-pagi, Midun berangkat ke Bukittinggi. Maka sampailah
mereka itu dengan selamat di negeri tumpah darahnya. Midun pergi menghadap Tuan
Assisten Residen, akan memberitahukan bahwa ia sudah datang dan memohonkan perlop
barang sebulan, karena ia sudah 6 tahun tidak pulang ke negerinya. Permintaannya itu
dikabulkan oleh Assisten Residen.
Adapun di kampung Midun pada hari itu Tuan Kemendur mengadakan rapat besar.
Sudah 3 bulan lamanya kampung Midun dengan daerahnya diwakili oleh demang lain
memerintah di situ, sebab belum datang gantinya. Rapat hari itu ialah rapat besar, akan
menentukan penghulu-penghulu, mana yang harus diberi bersurat dan mana yang tidak.
Oleh sebab itu, segala penghulu kepala dan penghulu-penghulu yang ternama hadir belaka,
membicarakan bagaimana caranya pengatur hal itu.
Rapat hampir habis, yaitu kira-kira pukul 11, Midun laki istri dan Manjau sampai di
kampungnya dengan selamat. Didapatinya orang sedang rapat di pasar di kampungnya dan
Tuan Kemendur ada pula di sana. Maka Midun pun pergilah menemui Tuan Kemendur.
Setelah beberapa lamanya Midun bercakap dengan Tuan Kemendur, Tuan Kemendur
memberitahukan pada kerapatan, bahwa Midunlah yang akan menjadi assisten demang di
negeri itu. Sesudah itu Midun menerangkan pula dengan pandak, atas kepindahannya dari
Betawi ke negerinya sendiri.
Datuk Paduka Raja, mamak Midun yang masa itu ada pula hadir dalam rapat itu,
melompat karena girang mendengar kabar Midun menjadi assisten demang. Dengan suka
amat sangat ia pun pergi mendapatkan kemenakannya. Baru saja Midun melihat
mamaknya, dengan segera ia menjabat tangan Datuk Paduka Raja. Keduanya
berpandang-pandangan, air matanya berlinang-linang, karena pertemuan yang sangat
menyenangkan hati itu. Segala penghulu kepala dan penghulupenghulu bersalam kepada
Midun dengan hormatnya. Bagaimana pulalah halnya dengan Penghulu Kepala Kacak"
Dengan malu dan takut, ia datang juga bersalam kepada Midun. Itu pun sudah kemudian
sekali, yakni setelah orang-orang habis bersalam dengan Midun. Midun sangat hormat dan
merendahkan diri kepada Kacak. Dirasanya tangan Kacak gemetar bersalam dengan dia.
Sedang bersalam, Midun berkata, "Senang benar hati saya melihat Engku sudah menjadi
penghulu kepala. Karena Engku sahabat saya yang sangat akrab masa dahulu, tentu saja
kita akan dapat bekerja bersamasama memajukan negeri kita. Sebab itu saya harap,
moga-moga pergaulan kita sekarang mendatangkan kebaikan kepada negeri ini."
Kacak ketakutan, warna mukanya pucat seperti kain putih. Sepatah pun ia tidak berani
menjawab perkataan Midun itu. Segala penghulu-penghulu dan penghulu kepala yang lain
amat heran, karena Midun sangat hormat dan merendahkan diri kepada Penghulu Kepala
Kacak. Apalagi melihat muka Kacak yang pucat itu, semakin takjub orang memandanginya.
Tetapi penghulupenghulu yang mengetahui hal Kacak dan Midun masa dahulu,
mengangguk-anggukkan kepala saja, karena mereka maklum akan sindiran assisten
demang yang demikian itu.
Rapat itu disudahi sebab sudah habis. Midun suami istri dan Manjau serta mamaknya
terus ke rumah familinya. Di jalan dikabarkan Datuk Paduka Raja, bahwa ibu Midun baru
sepekan di rumah. Ia pergi ke Bonjol menurutkan Maun bekerja.
Sebabnya Maun ke Bonjol, diterangkan Datuk Paduka Raja, bahwa Maun selalu
diganggu Penghulu Kepala Kacak di kampung. Kepulangan ibunya itu hanya karena hari
akan hari raya saja. Baru saja Midun naik ke rumah, sudah tampak kepadanya ibunya, Juriah, dan
sahabatnya-sekarang telah menjadi iparnya duduk di tengah rumah. Mereka itu berlompatan
melihat Midun dan Manjau. Tak ubahnya sebagai orang kematian di rumah itu. Mereka itu
empat beranak berpeluk-pelukan dan bertangistangisan amat sangat. Lebih-lebih Midun dan
Maun dua orang sahabat yang sangat akrab dahulu. Tidak insaf, kedua mereka itu lagi,
bahasa ia sudah beripar besan. Sama-sama tidak mau melepaskan pelukan
masing-masing. Halimah sendiri turut pula menangis melihat pertemuan suaminya itu. Ada
setengah jam lamanya, barulah tenang pula di rumah itu. Tidak berapa lama antaranya,
Midun berkata, "Inilah menantu Ibu, namanya Halimah. Dan ini cucu Ibu, namanya Basri."
Ibu Midun baru insaf akan diri, bahwa beserta Midun ada pula menantu dan cucunya.
Halimah segera mendapatkan mentuanya lalu menyembah. Ibu Midun mendekap
menantunya itu. Kemudian diambilnya cucunya, dipangku dan diciumnya beberapa kali. Maka Halimah
diperkenalkan Midun dengan seisi rumah, dan diterangkannya jalari apa kepadanya orang
itu masingmasing. Ratap tangis mulanya tadi, bertukar dengan girang dan suka. Tertawa
pun tidak pula kurang. Masing-masing menceritakan halnya sejak bercerai. Ibu Midun
bercerita sambil menangis karena sedih atas kematian Pak Midun. Maka Midun pun berkata,
katanya, "Janganlah Ibu kenangkan juga hal yang sudah-sudah itu. Harta dunia dapat kita
cari. Sekarang kami sudah pulang, senangkanlah hati Ibu."
Kabar Midun menjadi assisten demang di negerinya itu, sebentar saja sudah tersiar ke
seluruh kampung itu. Amat banyak teman sejawat Midun dahulu datang mengunjunginya.
Haji Abbas dan Pendekar Sutan datang pula ke rumah. Sehariharian itu tidak ubahnya
sebagai orang beralat di rumah gedang itu. Hanya famili ayah Midun saja yang tidak datang.
Agaknya mereka itu malu dan takut menemui Midun, karena perbuatannya yang
sudah-sudah itu. Pada keesokan harinya, Midun mufakat dengan Datuk Paduka Raja dan Maun, akan
membuat rumah dari batu untuk
Juriah. Begitu pula akan membeli sawah untuk ibunya dua beranak. Lain daripada itu,
Midun hendak membuat gedung pula untuk tempat tinggalnya dengan anak istrinya.
Sesudah permufakatan itu, Datuk Paduka Raja berkata, "Sudah hampir 50 tahun umur saya,
tak sanggup lagi saya memegang gelar pusaka nenek moyang kita. Tidak kuat lagi rasanya
saya memegang jabatan ini, sampai kepada 'mati bertongkat budi'. Oleh sebab itu saya
hendak 'hidup berkerelaan' dengan Midun. Midun sekarang sudah menjadi assisten
demang, jadi sudah layaknya pula memegang gelar itu. Bahkan sudah pada tempatnya
benar-benar." "Bagaimana pikiran Mamak, saya menurut," ujar Midun. "Tapi mufakatlah Mamak
dahulu dengan kaum keluarga kita, karena gelar itu pusaka kita bersama."
"Hal itu sudah mestinya. Saya rasa tentu tidak akan seorang jua kaum kita yang akan
membantahnya." Sepekan kemudian daripada itu, Midun dijadikan penghulu, bergelar Datuk Paduka
Raja. Oleh sebab itu Midun mengadakan peralatan yang sangat besarnya. Disembelihnya
beberapa ekor jawi dan kerbau untuk peralatan itu. Peralatan itu diramaikan dengan tari,
pencak, gung, telempong, dan sebagainya, segala permainan anak negeri ada belaka.
Sungguh alamat ramai, dari mana-mana orang datang. Dari bukit orang menurun, dari lurah
orang mendaki yang buta datang berbimbing yang lumpuh datang berdukung, yang patah
datang bertongkat. Tuan Luhak dan Tuan Kemendur pun datang pula mengunjungi
peralatan itu. Begitu pula assisten demang dan demang banyak yang datang ke peralatan
itu. Setelah selesai peralatan itu, Datuk Paduka Raja pun memerintahlah di negerinya.
Dengan sungguh hati ia bekerja memajukan negeri. Karena anak negeri amat suka
diperintahi D,atuk Paduka Raja, makin sehari negeri anak makin maju. Apalagi karena
assisten demang itu sudah luas pemandangannya dan banyak pengetahuannya,
bermacam-macam ikhtiarnya untuk memajukan negeri.
Demikianlah hal Midun gelar Datuk Paduka Raja, seorang yang amat baik budi
pekertinya itu. Dengan sabar dan tulus ikhlas diterimanya segala cobaan atau bahaya.
Biarpun apa jua yang terjadi atas dirinya. Midun tidak pernah berputus asa, karena ia
maklum, bahwa tiap-tiap celaka itu ada gunanya atau kesengsaraan itu kerap kali membawa
nikmat. Imannya teguh dan tidak pernah hilang akal, kendatipun silih berganti bencana yang
datang kepadanya. Karena pengharapannya yang tidak putus-putus itu, selalu ia
mengikhtiarkan diri akan memperbaiki nasibnya.
Adapun penghulu kepala musuh Datuk Paduka Raja yang sangat bengis dahulu itu,
sejak pertemuan di pasar waktu assisten demang baru datang, sudah melarikan diri entah
ke mana. Rupanya ia takut dan malu kepada Datuk Paduka Raja, musuhnya dahulu. Dan
boleh jadi juga sebab yang lain maka ia melenyapkan diri itu. Hal itu segera diberitahukan
Datuk Kemendur. Maka Tuan Kemendur bersama dengan juru tulisnya datang dari
Bukittinggi akan memeriksa buku-buku dan keadaan beberapa uang kas negeri. Setelah
diperiksa, kedapatan ada beberapa rupiah uang belasting yang tidak disetornya. Kacak
dicari, didakwa menggelapkan uang belasting. Sebulan kemudian daripada itu, Kacak dapat
ditangkap orang di Lubuksikaping. Dengan tangan dibelenggu, ia pun dibawa polisi ke
Bukittinggi terus dimasukkan ke penjara. Enam bulan sesudah itu, perkara Kacak diperiksa.
Karena terang ia bersalah, maka Kacak dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.
SELESAI Suling Emas 1 Mrs Mcginty Sudah Mati Mrs Mcgintys Dead Karya Agatha Christie Lentera Maut 11