Pencarian

Bunga Neraka 1

Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka Bagian 1


1 Waktu terus menyeret malam. Terengah-engah. Tapi bukankah itu kodrat yang harus
dijalani" Memang begitu kehendak Yang Maha Pencipta. Siang adalah waktu untuk
bekerja. Dan malam untuk beristirahat.
Tapi herannya, masih ada saja dua sosok yang berkelebat, menembus hutan lebat.
Arah yang mereka tuju jelas ke utara.
Ketika tiba di sebuah tempat yang agak terbuka dan banyak ditumbuhi semak
belukar setinggi dada, dua sosok ini berhenti. Mereka memandang ke sekeliling
tanpa bersuara. Bahkan, getar napas pun tak terdengar.
"Aku yakin, daerah inilah yang disebut Gerbang Neraka...," bisik sosok yang
sukar sekali melukiskan wajahnya, karena pekatnya malam. Tapi yang jelas,
seorang lelaki tinggi tegap.
"Dan kau yakin juga tentang berita Bunga Neraka itu?" tanya sosok satu lagi.
Tubuhnya agak pendek, namun suaranya lebih besar.
"Ya. Menurut kabar, barang siapa yang mendapatkan Bunga Neraka, maka akan
memiliki kesaktian sangat tinggi. Bahkan boleh dikatakan, tak akan pernah ada
yang mengalahkannya!" sahut lelaki tinggi tegap, menjelaskan.
Kembali tak ada yang bersuara. Keduanya memperhatikan berkeliling, berusaha
menembus gelapnya malam dengan mata yang lebih terbuka. Tiba-tiba pandangan
mereka tertuju pada sebuah batu besar di depan.
Bukan batu itu yang mengejutkan, justru sosok kerempeng dengan jenggot menjuntai
hingga batu yang di dudukinya.
"Gila! Siapa makhluk aneh itu?" mata lelaki tinggi tegap melotot berusaha
menegaskan penglihatannya.
Tak juga berhasil. Terlalu gelap bila hanya ditembus sepasang mata. "Aku baru
melihatnya sekarang."
Lelaki pendek tak bersuara. Matanya juga memperhatikan sosok kerempeng yang
terdiam itu. Tetapi mereka bisa melihat tatapan setajam serigala milik si tubuh
kerempeng. Sebelum menyadari siapa orang itu, mendadak kedua orang yang tak jelas wajahnya
ini terjungkal ke belakang disertai teriakan keras. Namun dengan kemarahan yang
sudah mencapai ubun-ubun mereka segera bangkit.
"Kita hantam manusia keparat itu!" dengus lelaki tinggi tegap. Serempak mereka
menyergap tubuh kerempeng yang masih duduk di atas batu besar.
Sementara, bau busuk menebar dari sana.
Kalau melihat gerakannya, serangan yang dilakukan dua sosok itu bukanlah
serangan sembarangan. Buktinya tenaga dalam mereka yang diimbangi gerakan tubuh secepat
kilat siap menghancurkan sosok kerempeng itu. Malah mungkin saja batu yang
didudukinya pun akan pecah berantakan.
Aneh.... Tubuh kerempeng yang duduk di batu nampaknya tenang-tenang saja. Dan
ini membuat kedua penyerangnya semakin bernafsu menghabisi-nya.
"Heaaa...!"
Diawali bentakan keras, mendadak saja tubuh kerempeng itu mengangkat kedua
tangannya. Gerakannya sangat cepat, nyaris tak terlihat. Tahu-
tahu.... Wuuut! Prak! Wuuut! Prak! Dua buah serangan balik dilancarkan sosok kerempeng sekaligus, membuat kedua
penyerangnya terlempar ke belakang dengan kepala pecah. Begitu mencium tanah tak
ada gerakan lagi. Selebihnya sunyi.
Tubuh kerempeng itu juga membisu, sebisu dua orang yang baru dibunuhnya.
Sementara bau busuk menyebar dari tubuhnya. Memuakan sekali.
Tanpa disadari, seorang lelaki tua berpakaian kuning sejak tadi menatap tak
berkesiap pada tubuh kerempeng. Caping bambunya bergerak-gerak ketika kepalanya
menggeleng-geleng. Tiba-tiba kakinya menggeduk ke bumi.
Bukan main akibatnya. Bumi seketika seolah bergoyang. Malah beberapa pohon
tumbang secara mendadak. Tetapi, aneh! Sosok kerempeng yang men-duduki batu
besar itu tak bergeming sedikit pun!
Bahkan batu besar yang didudukinya tak bergoyang!
Bagai ditantang dan merasa diremehkan, si tua bercaping menggeram. Kakinya
lantas melangkah perlahan mendekati tubuh kerempeng.
"Prana Bantoro! Kau yang dikenal sebagai Penjaga Gerbang Neraka rupanya masih
mempunyai taring!"
bentak si tua berpakaian kuning-kuning itu. "Kalau dulu aku tak berhasil
mendapatkan Bunga Neraka, hari ini jangan harap bisa mengusir Halimun Baju
Kuning lagi!"
Tubuh kerempeng berjuluk Penjaga Gerbang Neraka tetap tak berkutik dari
tempatnya. Entah karena malas, atau karena menganggap remeh.
Bahkan napasnya pun tak terdengar.
Sementara, si tua bercaping berjuluk Halimun Baju Kuning semakin marah. Harga
dirinya merasa diinjak-injak. Maka tiba-tiba saja kakinya menjejak kembali.
Kali ini dua kali.
Duk! Duk! Akibatnya, puluhan pohon besar yang ada di sana bertumbangan dengan suara
bergemuruh. Tetapi batu besar yang diduduki Penjaga Gerbang Neraka tetap tak
bergeming. Bagai api disiram minyak, amarah Halimun Baju Kuning kian membakar. Wajahnya
memerah. Tiba-tiba tangannya bergerak ke arah batu besar itu.
Wuuut! Blammm...! Seperti suara meriam di sundut, batu besar yang diduduki Penjaga Gerbang Neraka
meledak dan hancur seketika. Sementara sosok kerempeng di atasnya tadi sudah
tidak nampak lagi.
Halimun Baju Kuning celingukan sambil tetap bersiaga. Wajahnya kian memerah.
"Lebih baik pergi dari sini, Halimun Baju Kuning!
Urungkan niatmu untuk mendapatkan Bunga Neraka.
Karena, siapa pun yang tiba di Gerbang Neraka, maka akan mampus! Seperti
Sepasang Bayangan Maut tadi!"
Tiba-tiba terdengar suara dari samping Halimun Baju Kuning berbalik. Tampak
Penjaga Gerbang Neraka seperti sedang menundukkan kepalanya.
Namun dirasakannya getaran-geraran maut yang seolah terpancar dari tubuh
kerempeng itu. "Jangan sesumbar! Tunjukkan kepadaku jalan menuju Gerbang Neraka! Maka, kau akan
hidup lebih lama lagi!"
Penjaga Gerbang Neraka tetap masih menunduk-
kan kepalanya. "Tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, nyawamu tak akan pernah lagi melekat di
tubuh gempalmu itu!"
dingin terdengar suara si kerempeng.
Halimun Baju Kuning tak kuasa lagi menahan amarahnya. Lima bulan yang lalu, dia
gagal mengalahkan Penjaga Gerbang Neraka. Maka hari ini tekadnya sudah bulat
untuk kembali menaklukannya.
Sekaligus, memaksa Penjaga Gerbang Neraka untuk memberitahu jalan menuju Gerbang
Neraka! Bagai disentak tenaga kuat, mendadak saja Halimun Baju Kuning meluruk ke arah
Penjaga Gerbang Neraka. Gerakan tubuhnya benar-benar menimbulkan kesiur angin
yang sangat keras.
Namun seperti tadi, Penjaga Gerbang Neraka tetap tak bergerak. Dan ketika tubuh
si tua bercaping sudah mendekat, barulah dengan gerakan secepat kilat sebelah
kakinya diangkat.
Wuuut! Halimun Baju Kuning sigap membuang tubuh gempalnya ke kiri secara bergulingan.
Namun... Tak! Belum lagi Halimun Baju Kuning bisa bangkit, sebelah kakinya dirasakan sudah
patah. "Keluar kau dari sini sebelum amarahku tak bisa lagi kupendam!"
Rupanya Halimun Baju Kuning masih menyayangi selembar nyawanya. Sambil menggeram
murka, dia tertatih-tatih bangkit meninggalkan tempat itu. Sejuta dendam membara
membaluri hatinya. Sia-sia saja dia melatih diri selama empat bulan untuk
menaklukkan Penjaga Gerbang Neraka!
*** 2 Hutan Kegelapanlah nama yang pantas bagi hutan belantara besar yang saat ini
dilintasi seorang pemuda tampan berbaju hijau pupus. Padahal siang hari ini
matahari menyorot garang. Tapi, tetap saja tak mampu menembus rimbunnya
pepohonan. Namun si pemuda dengan kain bercorak catur di bahu terus melangkah seperti tanpa
dosa. Langkahnya begitu tenang sambil bersiul-siul tak beraturan.
Matanya memperhatikan berkeliling, hingga suatu ketika....
"Wallaaahhh...!" desisnya sambil berhenti melangkah seraya menatap pepohonan
yang berjajar. "Jangan-jangan aku salah jalan...!"
Kembali si pemuda melangkah. Agak ragu-ragu.
Sepertinya, kakinya berat sekali dilangkahkan.
"Gila! Ini sih tempat jin buang anak...! Aku harus buru-buru keluar dari sini
sebelum menemukan anak jin!"
Sebelum si pemuda melangkah lagi, dilihatnya satu sosok tubuh berkelebat cepat
dari arah berlawanan.
"Hei!" seru si pemuda, langsung menghadang.
Namun, sosok yang dihadang malah melenting ke atas, lalu kembali berkelebat
tanpa menghiraukan si pemuda yang terheran-heran.
Si pemuda berbalik.
"Hup...!"
Dalam empat kali lentingan saja, pemuda tampan itu berhasil mengejar sosok
gempal bercaping dan
berbaju serba kuning.
Sosok bercaping berbalik. Matanya menatap dingin dengan wajah memerah.
"Siapa kau"!" tegur lelaki tua yang tak lain Halimun Baju Kuning.
Si pemuda menyeringai.
"Walah, sombongnya. Bertemu orang malah melengos.... Perkenalkan, namaku Andika.
Pak tua, apakah kau bisa memberitahukanku untuk keluar dari hutan ini?" tanya si
pemuda yang tak lain Pendekar Slebor.
Halimun Baju Kuning memperhatikan seksama pemuda berambut gondrong dengan alis
hitam seperti kepakan elang.
"Carilah sendiri!" ujarnya sambil berkelebat lagi.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Seperti tak mau menyerah, si pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan ini mengempos
tubuhnya lagi, mengejar Halimun Baju Hijau.
"Pak tua.... Aku hanya menanyakan jalan keluar dari sini!" paksa Andika ketika
berhasil menghadang Halimun Baju Kuning kembali.
Sekali lagi si tua bercaping memperhatikan dengan seksama.
"Siapa sebenarnya kau ini?"
Andika tertawa setengah gusar.
"Ah, mengapa kau jadi curiga terus menerus?"
Namaku Andika. Aku hanya ingin tahu jalan keluar dari hutan ini."
"Pergilah ke arah selatan."
"Bukankah kau sedang menuju ke selatan" Kalau begitu, kau juga hendak keluar
dari hutan ini, bukan?"
Tanpa menjawab, Halimun Baju Kuning kembali berkelebat meneruskan lesatannya.
"Sombong...! Mungkin ibunya tak pernah mengajar sopan santun...!"
Sementara pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu menggerutu panjang pendek. Dan
segera melangkah ke arah selatan seperti yang dikatakan sosok gempal berbaju
kuning itu. Namun baru saja Pendekar Slebor melangkah dua puluh tindak, tiba-tiba terdengar
suara derap langkah kuda bergemuruh. Bila mendengar langkahnya saja, bisa
diperkirakan kalau kuda-kuda itu berjumlah sekitar dua puluh ekor.
"Hup!"
Andika cepat melenting ke atas, lalu hinggap dengan ringan di salah sebuah dahan
pohon. Ditunggunya orang-orang berkuda itu muncul.
*** Sekitar dua puluh ekor kuda seperti saling ber-lomba berpacu ke arah Pendekar
Slebor bersembunyi. Di deretan terdepan, berlari seekor kuda tinggi gagah
berwarna coklat. Penunggangnya seorang lelaki berewok memakai sehelai kain
ditekuk, berbentuk topi menjuntai ke belakang. Pakaian merah dengan celana
berwarna hitam. Di per-gelangan tangannya melingkar dua buah gelang bahar yang
besar. Dan di punggungnya terdapat dua buah pedang yang bersilang dengan
warangka dihiasi benang-benang emas menjuntai.
Lelaki brewok terus menggebrak kudanya,
menyusul dua puluh ekor kuda yang penunggangnya berpakaian merah-merah. Di
pinggang mereka terdapat sebilah pedang berwarangka hitam.
Dari tempat persembunyiannya, Andika jadi ber-
tanya-tanya sendiri.
"Ada apa ini?"
Rasa ingin tahu Pendekar Slebor menyingkap benaknya. Dan dengan ringannya si
pemuda berlompat turun dari tempat persembunyiannya. Keinginannya untuk segera
keluar dari Hutan Kegelapan urung, saat rasa ingin tahunya terusik oleh orang-
orang tadi. Menurut Andika, di hutan ini sudah tentu tak ada sepotong manusia kecuali hewan.
Namun tadi, dia sudah berjumpa manusia bertubuh gempal yang kini entah ke mana.
Kemudian, puluhan manusia yang menunggang kuda.
Adakah sesuatu yang menarik di hutan ini"
Andika terus membuntuti dengan hati-hati. Sampai akhirnya di satu tempat agak
terbuka yang dipenuhi semak belukar setinggi dada, Andika melihat orang brewok
berpakaian merah itu mengangkat tangannya sambil menghentikan laju kudanya.
Begitu pula yang di belakangnya.
Andika yang mengintip dari balik semak mengerutkan keningnya. Dia melihat orang-
orang itu segera mencabut pedang. Yang membuatnya merasa aneh, apakah ada bahaya
yang mengancam orang-orang itu"
"Kita harus berhati-hati sekarang. Aku yakin, di sinilah pintu masuk menuju
Gerbang Neraka," ujar yang berpedang dua di punggung. Sikapnya nampak tegar,
meskipun matanya memancarkan sedikit gelisah.
"Tak seorang pun kuizinkan untuk masuk ke Gerbang Neraka."
Tiba-tiba terdengar suara dingin bersamaan dengan hembusan angin kuat.
Bagai disengat kalajengking, orang-orang itu tersentak. Sementara kening
Pendekar Slebor yang sedang mengintip pun berkerut. Sepasang matanya menyipit.
"Penjaga Gerbang Neraka! Aku Siluman Pedang Kembar, datang untuk mencari jalan
menuju ke Gerbang Neraka!" teriak lelaki brewok berjuluk Siluman Pedang Kembar.
Lagaknya seperti ingin menggetarkan si pemilik suara.
"Hanya orang-orang serakah yang menginginkan Bunga Neraka."
"Bangsat hina! Cepat tampakkan wajah jelekmu!
Aku sudah tidak sabar untuk menghancurkan mulut lancangmu itu!" teriak Siluman
Pedang Kembar. Gayanya, seperti dia sendiri yang tampan. Padahal, seekor monyet betina pun akan
berpikir dua kali bila bercinta dengannya.
Terdengar helaan napas berat yang sangat keras.
"Aku bukanlah orang yang kejam. Lebih baik, tinggalkan tempat ini sebelum nyawa
kalian akan pindah dari jasad kotor kalian!"
"Keparaaattt...!"
Di awali teriakan kemurkaan, Siluman Pedang Kembar mengibaskan pedang yang
berada di tangan kirinya. Seketika tampak sebuah cahaya yang sekilas menerangi
tempat itu. Dan tiba-tiba saja, tiga buah pohon bertumbangan sekaligus.
"Keluar kau!" maki lelaki brewok itu.
Sedangkan Andika yang terus mengintip hanya menggeleng-geleng. Bukan main jurus
yang diperlihatkan Siluman Pedang Kembar!
Pendekar Slebor menunggu, untuk melihat sosok yang bersuara tadi. Tetapi, tak
satu sosok pun yang muncul. Hanya suaranya saja yang semakin dingin.
"Jangan unjuk gigi di hadapanku. Tak ada gunanya...."
"Keparat!"
Kali ini Siluman Pedang Kembar benar-benar murka. Kedua tangannya yang memegang
pedang mendadak bergerak. Sinar-sinar aneh yang keluar dari kedua pedangnya
berkelebat lagi. Dan kali ini lebih banyak pepohonan yang tumbang.
"Keluar kau!" bentaknya dengan suara memekik.
Sementara para pengikutnya semakin bersiaga.
Tak ada sahutan apa-apa, kecuali gemuruhnya pepohonan yang tumbang. Namun tiba-
tiba saja.... "Aaa...!"


Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasa terkejut menyentak. Apalagi begitu beberapa orang pengikut Siluman Pedang
Kembar berjatuhan dengan kepala pisah dari tubuh.
Melihat hal itu, semakin murkalah Siluman Pedang Kembar. Kedua pedangnya semakin
liar dikibaskan.
Sinar-sinar aneh yang berbahaya itu semakin banyak berdesingan dan kembali
menumbangkan pepohonan. Suaranya benar-benar bagaikan serom-bongan gajah
mengamuk! Andika sampai menekap kedua telinganya.
"Edan! Kenapa dia jadi marah-marah begitu?" maki Andika dalam hati. "Siapa pula
yang membunuh orang-orang yang bersama si Siluman Pedang Kembar" Lagi pula, apa
yang ditanyakan oleh Siluman Pedang Kembar tadi" Jalan masuk ke Gerbang Neraka"
Apa-apaan ini"
Belum lagi Andika berhasil menemukan jawabannya. Kembali terlihat tujuh buah
kepala terpental.
Buk! Buk...! Persis butiran kelapa jatuh dari pohon. Darah memancur tinggi dengan tubuh
roboh. "Siapa orang gila yang bertindak kejam seperti ini?"
tanya Andika lagi.
Sementara Siluman Pedang Kembar semakin
bertambah geram dan marah. Sedangkan kedua pedangnya terus dikibaskan.
"Rupanya kau berada di sana, Kerempeng!"
dengus lelaki brewok ini.
"Sejak tadi aku berada di sini. Hanya matamu saja yang mendadak menjadi buta,"
sahut sosok kerempeng yang memang Penjaga Gerbang Neraka dingin, sambil
menundukkan kepala.
Andika sendiri hanya mengucak-ngucak matanya.
Gila! Sejak kapan manusia kerempeng itu duduk di sebuah batang kayu yang
tumbang" "Penjaga Gerbang Neraka! Tunjukkan jalan menuju Gerbang Neraka!" seru Siluman
Pedang Kembar. Kedua tangannya siap mengibaskan kedua pedangnya.
"Lebih baik urungkan seluruh niatmu itu, Siluman Pedang Kembar. Karena, kau tak
akan pernah berhasil mendapatkannya."
"Keparaaattt...!"
Kali ini Siluman Pedang Kembar mengibaskan kedua pedangnya ke arah Penjaga
Gerbang Neraka yang tetap duduk dengan kepala tertunduk. Seolah bahaya
mengancamnya tak disadari.
Sret! Sret! Dua larik sinar yang bergerak bagaikan potongan pedang menderu ke arah lelaki
kerempeng itu. *** 3 Andika sendiri sampai melongo. Edan! Apakah orang kerempeng itu memang ingin
mencari mampus"
Tetapi sesaat kemudian matanya terbelalak. Karena dengan ringannya, lelaki
kerempeng itu mengangkat kedua tangannya.
Wuuus! Wuuuus! Dua larik sinar itu berbalik arah, menderu kembali kepada pemiliknya. Siluman
Pedang Kembar membuang jauh-jauh tubuhnya. Namun malang bagi para
pengikutnya....
Crasss! "Aaa...!"
Seluruhnya menjerit setinggi langit. Semuanya ambruk dengan perut terbelah!
Siluman Pedang Kembar berdiri lagi dengan wajah pias. Keringat sudah mengalir di
tubuhnya. Namun, sebagai seorang tokoh yang disegani pantang mundur baginya.
"Heaaa...!"
Siluman Pedang Kembar melesat cepat luar biasa, bagai ingin memusnahkan segala
persoalannya. Padahal tindakannya mengandung bahaya amat besar. Kedua pedangnya tiba-tiba saja
memancarkan sinar berwarna merah.
Kali ini Penjaga Gerbang Neraka melompat laksana kilat. Batang kayu yang tadi
didudukinya tadi tercacah menjadi potongan ranting terkena sambaran pedang
Siluman Pedang Kembar.
Bukan hanya sampai di situ saja Siluman Pedang
Kembar menyerang. Begitu serangannya gagal, tubuhnya kembali meluruk.
Dikirimkannya serangan-serangan sangat berbahaya.
Namun yang menarik, lagi-lagi Penjaga Gerbang Neraka tak bergerak. Bahkan
kepalanya tetap menunduk.
Ketika dua buah pedang di tangan Siluman Pedang Kembar sejengkal lagi menebas,
tiba-tiba saja Penjaga Gerbang Neraka mengangkat sebelah kakinya yang kurus
penuh bulu. Wuuut! Prak! "Aaakh...!"
Gerakan lelaki kerempeng itu benar-benar cepat tak terlihat, bagaikan angin.
Namun akibatnya, Siluman Pedang Kembar memekik keras. Tangan kirinya terhantam
satu tendangan keras sekali. Bukan hanya patah, tapi copot dari sendinya.
Siluman Pedang Kembar bergulingan sambil menjerit-jerit kesakitan. Sementara
Penjaga Pintu Neraka tetap berdiri tetap dengan kepala tertunduk.
"Pergilah dari sini! Urungkanlah niatmu untuk masuk ke Gerbang Neraka!" usir
lelaki kerempeng.
Meskipun rasa sakitnya seperti hendak menjebol dadanya, tetapi Siluman Pedang
Kembar bukanlah orang yang pantang menyerah. Kejadian tadi dianggap belum apa-
apa, dibanding angan-angannya untuk memiliki Bunga Neraka.
Saat itu juga, lelaki brewok ini melesat dengan sebelah pedang di tangan kanan
siap dikibaskan. Di benaknya yang ada hanya Bunga Neraka. Dia tak ingin kembali
dengan sia-sia. Kalau perlu, mengadu jiwa sekalian.
"Rupanya, kau-memang ingin mati! Baiklah.... Kau
akan kukirim ke neraka!"
Penjaga Gerbang Neraka berdiri bagaikan menunggu. Dan ketika Siluman Pedang
Kembar sudah tidak di dekatnya, mendadak saja tangannya mengibas.
Wuuus! *** Ajal Siluman Pedang Kembar sudah benar-benar di ambang mata. Manusia satu ini
benar-benar meng-andalkan kenekatan saja. Padahal, dia sudah tahu kalau ilmu
lawan lebih tinggi!
Namun sebelum serangan balik Penjaga Gerbang Neraka menelan korban, tiba-tiba
saja berkelebat bayangan hijau yang langsung menyambar tubuh Siluman Pedang
Kembar. Brosshh...! Sementara, pukulan yang dilancarkan Penjaga Gerbang Neraka langsung menghantam
sebatang pohon hingga hangus seketika.
"Rupanya, masih ada orang yang menolong orang serakah!" desisnya tetap
menundukkah kepala.
Siluman Pedang Kembar yang baru lolos dari maut menatap penolongnya. Seorang
pemuda tampan berbaju hijau pupus yang sekarang sedang me-nantang Penjaga
Gerbang Neraka.
"Maaf, Pak Tua Kerempeng. Bukannya aku usil.
Tapi lawanmu sudah tidak berdaya. Apa kau tidak kasihan melihat orang yang sudah
terkencing-kencing di celana...?" ucap pemuda yang tidak lain Pendekar Slebor.
Siluman Pedang Kembar terjingkat. Cepat diraba-nya bagian benda terlarangnya.
Basah! Lalu tangan-
nya diangkat ke hidung. Bau...! Bahkan bibirnya sampai mengerucut dengan hidung
ditarik. Tanpa sadar, saking ketakutannya, lelaki brewok ini terkencing-kencing
di celana. "Aku tak pernah memberi hati pada orang lancang, Anak Muda...," sahut lelaki
kerempeng. "Baiklah kalau begitu. Sekarang kita berlaku bagaikan seorang sahabat."
Penjaga Gerbang Neraka terdiam sebentar.
"Anak muda.... Aku belum tahu, siapa kau sebenarnya. Tetapi kata-katamu terasa
enak terdengar di telingaku."
Andika mengerutkan keningnya. Enak" Si pemuda dari Lembah Kutukan ini rasanya
mau terbahak-bahak. Burung gagak saja terbirit-birit mendengar suaranya.
"Sebenarnya ada apa, Pak Tua?" tanya Andika.
"Hmm..., ketahuilah. Selama seratus tahun aku berdiam di hutan ini, baru hari
ini ada yang datang dengan pertanyaan ada apa. Bukan bertanya tentang Bunga
Neraka." "Ah...! Sudahlah, jangan bicara soal bunga. Toh kau bukan lintah darat" Aku
hanya ingin, kau jangan main bunuh saja...," tukas Andika, mengucapkan tanya.
"Jangan beri ampun manusia kerempeng itu, Anak Muda. Selama seratus tahun pula
dia membunuh orang-orang yang ingin mencari tahu jalan masuk menuju Gerbang
Neraka!" Justru Siluman Pedang Kembar yang berkata sambil meringis menahan rasa nyeri di
tangannya. Wajahnya sudah pucat karena hampir-hampir kehabisan darah.
Kening Andika berkerut. Lagi-lagi jalan menuju Gerbang Neraka. Di manakah jalan
itu" Setahunya,
sepanjang mata memandang yang ada hanya hutan belantara saja"
"Itulah yang kumaksudkan dengan orang-orang serakah, Anak Muda," kata Penjaga
Gerbang Neraka tetap dengan kepala tertunduk. "Apakah mereka tidak menginginkan
aku hidup tenang" Mengapa mereka menginginkan Bunga Neraka" Padahal, hanya ada
sekuntum saja bunga itu. Kalaupun ada yang berhasil memilikinya, yang
kukhawatirkan hanyalah untuk kesenangan semata! Untuk menjadikan dirinya
digdaya." "Biarpun ilmumu setinggi dewa, aku tak akan mundur sebelum kudapatkan Bunga
Neraka!" sambar Siluman Pedang Kembar, seraya menerjang kembali ke arah lejaki
tua kerempeng. "Tahaaan...!" seru Andika terkejut.
Tetapi tubuh Siluman Pedang Kembar sudah dekat dengan Penjaga Gerbang Neraka.
Dan kali ini, gerakan satu tangannya disertai tenaga dalam penuh.
Pada saat yang sama, si lelaki kerempeng telah mengibaskan tangannya.
Wuuus! Duaarrr!
Bunyi dentuman terdengar bersamaan hancurnya tubuh Siluman Pedang Kembar.
Tubuhnya menjadi serpihan bagaikan dedaunan yang dirancah.
Pendekar Slebor memerah wajahnya.
"Aku heran! Mestinya di usia yang sudah bau tanah, kau harus sudah bertobat.
Bukannya malah mengumbar kekejaman...!"
Entah ingin mencoba kekuatan si tua kerempeng itu, atau memang ingin melumpuhkan
kepandaian-nya, Andika meluncur ke arah Penjaga Gerbang Neraka.
"Kekejaman itu hanyalah merupakan sebuah alat,"
sahut Penjaga Gerbang Neraka sambil mengangkat sebelah tangannya.
Wuuus...! Andika merasa sebuah angin bagaikan tusukan ratusan lembing menderu ke arahnya.
Seketika tubuhnya di buang ke kanan. Namun tak urung celananya yang sebelah kiri
koyak hingga sebatas dengkul.
Begitu bangkit Pendekar Slebor menggelenggeleng, kaget sekaligus takjub. Jurus
yang sangat aneh dan hebat, pujinya.
"Anak muda! Kepada orang-orang seperti kaulah aku tak menginginkan menurunkan
tangan telengas.
Aku tahu, kau menyerangku bukanlah untuk mendapatkan jalan menuju Gerbang
Neraka, tapi sekadar tak suka melihat tindakanku...."
"Aku memang ingin menghukummu!" seru Andika lagi.
Dengan tenaga 'inti petir' tingkat keduabelas, Pendekar Slebor melesat kembali
ke arah Penjaga Gerbang Neraka. Namun, kali ini lelaki kerempeng nampak
terjingkat dan membuang dirinya ke kiri.
"Hei"! Bukankah itu jurus Ki Saptacakra"!" seru Penjaga Gerbang Neraka kaget dan
berdiri tegak. Kali ini kepalanya terangkat.
Andika cepat menghentikan serangannya. Dan dia ladi bergidik melihat wajah yang
mengerikan. Terutama bila mata Penjaga Gerbang Neraka yang tak ubahnya mata
serigala kelaparan.
"Anak muda.... Apa hubunganmu dengan Ki Saptacakra Penguasa Lembah Kutukan?"
tanya Penjaga Gerbang Neraka.
"Dia Eyang buyutku," sahut Andika, masih menampakkan ketidaksenangannya.
"Oh! Bagaimanakah kabarnya dia sekarang?"
Kali ini Andika tidak menjawab. Diperhatikannya wajah mengerikan di hadapannya
dengan seksama.
"Urusan ini tak ada hubungannya dengan Eyang buyutku."
"Tahan! Ketahuilah, aku sangat menghormatinya."
"Kalau begitu, lebih baik tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin keonaran terjadi
lagi." Penjaga Gerbang Neraka menghembuskan napasnya.
"Aku tahu, apa yang kulakukan ini hanyalah menumpahkan darah belaka. Tetapi,
ketahuilah. Bila tempat ini kutinggalkan, maka banjir darah akan semakin banyak.
Apalagi, bila aku mengatakan jalan masuk menuju Gerbang Neraka. Bukan hanya
tempat ini yang akan banjir darah, melainkan seluruh isi persada ini!"
Andika terdiam, mencoba menelaah kata-kata Penjaga Gerbang Neraka. Rasa
penasarannya pun mulai bermain di hatinya. Bunga Neraka.... Bunga apa itu. Dan
jalan menuju Gerbang Neraka, di manakah jalan masuknya"
"Di dunia ini tak ada yang aneh, Anak Muda.
Seperti kau yang mengaku sebagai cucu terakhir dari Ki Saptacakra. Sangat sulit
dipercaya kalau Ki Saptacakra adalah Eyang buyutmu."
"Mau percaya ya syukur, tidak percaya ya sudah,"
kata Andika, menelan rasa dongkolnya mentah-mentah.
(Untuk mengetahui Ki Saptacakra, silakan baca
"Lembah Kutukan" serta "Dendam dan Asmara").
"Tetapi melihat tenaga 'inti petir' yang kau pergunakan tadi, sedikit banyaknya
aku yakin tentang hal itu. Karena, tak seorang pun yang memiliki tenaga
'inti petir', kecuali Ki Saptacakra yang telah bertahun-tahun menjaga 'Buah Inti
Petir'. Dan pasti kau telah memakannya, bukan?"
Andika terdiam. Rupanya manusia kerempeng ini tahu tentang dirinya.
"Karena aku sekarang yakin kalau kau keturun dari Ki Saptacakra, maka kau akan
kuberitahukan jalan menuju Gerbang Neraka."
Andika terkejut. Tapi dia mendengus dalam hati.
Lagi-lagi Gerbang Neraka! Seperti apa sih tempat itu"
Rasa penasaran semakin mengusik hatinya. Namun Pendekar Slebor bukanlah orang
bodoh yang mau menelan mentah-mentah semua itu. Barangkali ini suatu jebakan.
Terbukti, sudah disaksikannya bagaimana Penjaga Gerbang Neraka mempertahan-kan
jalan rahasia itu kepada Siluman Pedang Kembar. Entah, kepada siapa lagi.
Mungkin telah ratusan orang yang ingin mengetahui jalan menuju Gerhang Neraka.
"Mengapa kau begitu mudah ingin mengatakannya kepadaku?" tanya Pendekar Slebor,
memancing. "Karena, keturunan Ki Saptacakra kuyakini tak pernah berdusta atau berlaku
munafik." "Bagaimana kalau aku dusta" Toh kau bilang tadi, bila ada yang berhasil masuk ke
Gerbang Neraka dan memetik Bunga Neraka, berarti darah akan semakin bersimbah di
persada ini."
"Karena, aku yakin kau pasti akan berada di jalan lurus. Sepertinya, Bunga
Neraka berjodoh denganmu, Anak Muda."
Andika kembali terdiam. Dicobanya merangkaikan kata-kata itu.
"Maaf, meskipun aku penasaran sekali ingin mengetahui di mana Gerbang Neraka dan
sejenis apa Bunga Neraka, aku menolak untuk memenuhi per-mintaanmu," ucap Andika.
"Dengan kata lain, kau akan membiarkan aku menjadi seorang pembunuh?" tukas si
lelaki kerempeng.
"Kau bisa mengendalikan amarahmu."
"Dengan begitu, akulah yang mati. Dengan matinya aku, maka seluruh orang serakah
yang menginginkan Bunga Neraka akan berdatangan dan saling adu kehebatan untuk
mendapatkannya."
Kembali Andika terdiam. Di satu segi, dia ingin tahu tentang hal itu. Tetapi di
segi lain, dia sesungguhnya memang tak berminat untuk menge-tahuinya. Hanya
saja, apa yang dikatakan Penjaga Gerbang Neraka memang benar.
"Mengapa kau menjadi lemah seperti itu" Padahal kau nampaknya mati-matian
menyembunyikan jalan rahasia menuju Gerbang Neraka?" tanya Pendekar Slebor.
"Ki Saptacakra telah merelakan 'Buah Inti Petir'nya kau makan. Aku pun merelakan
Bunga Neraka untuk dipetik dan kau cium wanginya."
"Karena aku keturunan dari Ki Saptacakra, kau merelakannya begitu saja?"
"Sudah tentu tidak. Aku hanya memberitahu jalan masuk menuju Gerbang Neraka. Dan
tentunya juga kau tak semudah itu untuk memakan 'Buah Inti Petir'
di Lembah Kutukan, bukan?"


Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berarti, memang ada bahaya yang mengancam.
"Baiklah.... Aku setuju dengan keinginanmu itu.
Akan kupetik Bunga Neraka dan kupersembahkan kepadamu."
Penjaga Gerbang Neraka terbahak-bahak. Suaranya begitu menggema sekali. Dedaunan
pun banyak yang rontok seketika. Untuk pertama kalinya Andika melihat Penjaga Gerbang
Neraka tak lagi berwajah bengis.
"Anak muda.... Jiwa kesatria dan hati suci benar-benar kau miliki. Sudah tentu
aku tidak menginginkan Bunga Neraka, karena aku adalah pemilik dan penjaganya.
Aku telah memberikannya kepadamu.
Bila kau memang berkenan untuk mendapatkannya, hiruplah sari Bunga Neraka
tersebut. Maka kau akan merasakan sesuatu yang lain pada dirimu."
"Mengapa begitu?"
"Kau bisa melihatnya nanti. Sekarang, pejamkan matamu. Atur napas dari perut ke
dada, dan tahan sampai kuperintahkan untuk bernapas kembali. Kau sudah bersedia
untuk melakukannya, bukan?"
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika, meskipun bayang-bayang keraguan masih
berputar-putar di benaknya. Di satu segi, hatinya memang sangat penasaran
terhadap Bunga Neraka. Bukan semata karena ingin memilikinya, tapi karena ingin
melihat seperti apa. Di segi lain, dia pun membenarkan kata-kata Penjaga Gerbang
Neraka. Bila saja ada orang dari golongan sesat yang mendapatkannya, niscaya
akan bertindak kejam melebihi Raja Iblis sekali pun.
"Bila memang kau percaya kepadaku, aku akan melakukannya," kata Pendekar Slebor
kemudian. Penjaga Gerbang Neraka tersenyum.
"Dan aku yakin, Ki Saptacakra tidak akan marah keturunannya kupinjam untuk
sementara."
"Dipinjam" Memang aku barang rongsokan"!"
Andika mendengus dalam hati, mendengar istilah pijam itu. Lalu diturutinya kata-
kata Penjaga Gerbang Neraka.
Kedua mata Pendekar Slebor terpejam. Pikirannya
dikosongkannya dengan segera. Lalu napasnya diatur melalui perut hingga ke dada.
Di dadalah napasnya ditahan.
Sesaat Andika merasakan seluruhnya gelap gulita.
Bahkan tak ada suara-suara yang terdengar. Namun mendadak saja, si anak muda ini
melihat sebuah titik cahaya bersinar keemasan yang semakin lama semakin
mendekatinya. Berpendar-pendar dan memberikan penerangan seketika.
Andika tidak tahu, kalau tiba-tiba saja tubuh Penjaga Gerbang Neraka bagaikan
limbung. Namun lelaki tua kerempeng ini berusaha untuk menjaga keseimbangan dan
mengirimkan alam pikiran gaibnya kepada Andika.
Dan yang membuat Andika merasa aneh, saat ini dirasakannya hawa panas yang
bergejolak. Tubuhnya seketika mengeluarkan keringat.
Rasa panas itu bukan hanya bagaikan membakar tubuh Andika, tetapi seluruh
jiwanya. Pendekar Slebor berusaha meronta dan menjerit. Namun, tak ada gerakan
apa-apa. Bahkan jeritan pun tak bisa dilakukan.
"Bernapaslah!" seru lelaki tua kerempeng ini tiba-tiba.
Yang dirasakan Pendekar Slebor kemudian, tubuhnya tiba-tiba terlontar ke satu
alam yang sangat jauh.
Dan rasa panas pun semakin menyengat. Samar-samar terlihat satu sosok tubuh
berpakaian hitam-hitam dengan rambut merah acak-acakan pun terlontar
mengikutinya! Siapakah dia"
*** 4 Tubuh Andika terhempas di sebuah tempat yang sangat tandus. Begitu pantatnya
terhenyak di pasir putih, saat itu juga si pemuda langsung bangkit.
Betapa tidak, pasir itu terasa panas menyengat sekali!
"Busyet! Inikah yang dinamakan Gerbang Neraka?"
keluh Andika sambil memandang sekeliling.
Apa yang dilihat seluruhnya hanyalah lautan pasir panas belaka. Udara yang
berhembus pun begitu panas. Keringat sudah langsung membanjir di tubuhnya.
"Uhh.... Kalau tahu begini sih, lebih baik tak usah ke sini!" makinya jengkel.
Lantas mendapat petunjuk dari mana, Andika segera mengalirkan tenaga dalam ke
seluruh tubuhnya. Terutama, ke kedua kakinya, untuk menahan rasa panas yang
menusuk-nusuk. Mulai Andika melangkah. Dan yang membuatnya merasa aneh, ketika
mendongak ke atas, tak dirasakannya sinar matahari yang menyengat.
"Edan! Apakah tidak ada matahari di sini" Lalu dari mana hawa panas ini?"
Andika terus melangkah menyongsong udara panas dan pasir menyengat. Tiba-tiba
saja pendengarannya menangkap suara raungan dan jeritan minta ampun. Seketika,
Andika menghentikan langkahnya. Bersiaga!
Di luar sepengetahuan Pendekar Slebor, ada sosok lain yang memperhatikan.
Sementara suara jeritan
dan tangisan minta ampun terus terdengar. Andika terus melangkah menuju sumber
suara. Tapi, mendadak saja si pemuda dari Lembah Kutukan tersentak. Karena, di
hadapannya ber-geletakan puluhan sosok tubuh yang sedang me-lolong kesakitan.
Seluruhnya berada dalam keadaan telanjang bulat. Tidak perempuan, tidak laki-
laki. Juga, tua dan muda. Semuanya berguling-guling di atas pasir yang sangat panas.
Bahkan lamat-lamat terlihat kobaran api di bawah tubuh-tubuh itu. Seakan bara
api yang sedang memanggang.
"Gila! Kenapa mereka" Siapa mereka" Dan, bagaimana tahu-tahu bisa berada di
hadapanku" Tadi kan tidak ada apa-apa?" desis Andika, bingung.
Sesaat Pendekar Slebor melihat satu sosok tubuh dengan wajah seperti Siluman
Pedang Kembar sedang kelojotan berguling. Tubuhnya sudah meng-hitam dengan darah
terus mengalir.
Sadarlah Andika, kalau mereka adalah orang-orang yang menginginkan masuk ke
Gerbang Neraka.
Mereka telah dibunuh oleh Penjaga Gerbang Neraka, dan roh-roh mereka tidak
kembali ke Sang Pencipta, tapi terus tinggal di sini dulu untuk menebus segala
dosa. Entah berapa lama.
Kepala Andika cepat berpaling, tak tega melihat penderitaan orang-orang itu. Ini
benar-benar mengerikan. Lebih mengerikan ketika dia terdampar di Alam Sunyi,
negeri bangsa siluman! (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka Di
Keraton Barat").
Ketika berpaling kembali untuk melihat lagi bagaimana penderitaan orang-orang
itu, Andika menjadi terperangah. Karena, tak satu pun yang nampak di depan
matanya. Semuanya lenyap mendadak.
"Banyak keanehan selama ini yang kualami. Tetapi
apa yang kualami sekarang ini lebih aneh lagi,"
gumam Pendekar Slebor seraya berbalik lagi. "Hmm...
di mana aku harus mencari Bunga Neraka."
Andika melangkah lagi, melewati dataran pasir yang panas dan kobaran api yang
sesekali menyem-bur ke atas. Terus terang, hatinya kecut juga. Jangan-jangan,
bila salah melangkah akan termakan api yang mendadak berkobar.
Dan apa yang dikhawatirkan terbukti. Karena tiba-tiba saja pasir yang dipijak
bergerak. Sebelum terjadi ancaman yang bisa merenggut nyawa, Pendekar Slebor
sudah melompat bergulingan. Saat itu juga kobaran api yang luar biasa besar dan
panasnya menyembul keluar!
"Gila! Bisa mampus aku di sini!" rutuk Andika sambil menepuk-nepuk seluruh
tubuhnya karena pasir-pasir panas itu menempel. Pakaian yang dikenakannya sudah
bolong-bolong. Tetapi, kain bercorak catur warisan dari Ki Saptacakra tetap
utuh! Otak si pemuda yang cerdik segera melepaskan kain pusakanya, lalu meletakkannya
di pasir panas.
Tetap utuh. Karena penasaran, ditekan kain itu dengan kedua tangannya. Tak
merasa panas. Bahkan terasa sejuk.
Sadarlah Andika, kalau kain pusaka ini mampu melindunginya dari panas. Maka,
dikerudungkannya kain bercorak catur di kepala. Sehingga panas yang menyengat
tidak lagi dirasakannya. Bahkan seluruh tubuhnya seolah dilindungi kesejukan
semata. Mata Andika memandang ke sekeliling.
"Di mana aku harus mencari Bunga Neraka?" tanya si pemuda sambil melangkah tak
tentu arah. Rasanya telah lama sekali Pendekar Slebor melangkah. Tetapi padang tandus itu
tak habis-habisnya
membentang. Menurut perkiraannya, di alam sana saat ini pasti sudah menjelang
malam. Namun berada di sini, nampaknya tak akan pernah ada malam.
Bahkan hawa panas yang menusuk-nusuk itu pun tak berubah. Untungnya, Pendekar
Slebor sudah menyelimuti tubuhnya dengan kain pusaka bercorak catur.
"Aduhhh...!"
Tiba-tiba saja Andika mengaduh keras. Tubuhnya bukan hanya terjajar ke belakang.
Bahkan terpelanting beberapa kali. Sambil berdiri tegak kembali, pemuda pewaris
ilmu Lembah Kutukan itu menatap ke depan dengan kening berkerut.
"Heran" Kenapa aku jadi begini?" desisnya bingung. "Padahal tak ada apa-apa di
hadapanku."
Rasa penasaran mulai bergumpal di hati Andika.
Kakinya melangkah kembali. Dan lagi-lagi bagaikan ada sebuah dinding tebal,
tubuhnya terpentok dan terpental kembali ke belakang. Kali ini keningnya benjut
sebesar telur puyuh.
Kepalanya terasa pusing sesaat. Tetapi bukan itu yang dirasakan Andika.
Penasaran di hatinya telah berubah menjadi kejengkelan.
"Monyet pitak! Kutu kudis! Apa sih yang menghalangi langkahku!" maki Pendekar
Slebor. Lalu dengan gagahnya Andika melangkah lagi. Kali ini kedua tangannya meraba-raba
bagai orang buta.
Tetapi anehnya sampai melangkah cukup jauh, tangannya tak menyentuh apa-apa.
Bahkan, seakan tak ada dinding penghalang apa pun di hadapannya.
Karena heran, Andika berhenti melangkah.
"Kenapa jadi begini" Mana yang menghalangiku tadi. Mana?" Andika marah-marah
sendiri. Kembali Andika melangkah lagi tanpa meraba-raba bagai orang buta. Dan....
Duukkk! Kesombongan Andika terbalas. Tubuhnya kembali terpental ke belakang dan
bergulingan. Bahkan lebih jauh dari yang pertama dan kedua. Sambil terduduk,
Pendekar Slebor mengusap-usap kepalanya. Dan bingung bercampur geram. Masih
untung kain pusakanya masih membaluti tubuhnya. Kalau tidak, sudah pasti akan
tersengat pasir-pasir panas yang melekat di sekujur tubuhnya.
"Brengsek!" maki Andika, sewot sendiri. "Mau nantang, ya"!"
Andika bangkit. Begitu melangkah, kali ini kedua tangannya bergerak bagaikan
meraba-raba lagi.
"Apakah aku harus terus-menerus melangkah bagaikan orang buta?" dengusnya,
ketika melang-kahkan kedua kakinya, lagi-lagi tak menyentuh apa-apa. Bahkan
tubuhnya dengan mulus bergerak.
Bagaikan tak terhalangi lagi.
Sambil melangkah, Andika terus memaki-maki dirinya.
"Monyet pitak! Aku benar-benar dikerjai! Kenapa sih mau-maunya datang ke Gerbang
Neraka ini. Mana perut sudah keroncongan lagi! Eh, apakah ada warung pojok di
sini?" *** Apa yang dialami oleh Penjaga Gerbang Neraka sepeninggalan Andika" Sesuatu yang
tak disangka memang dialami Penjaga Gerbang Neraka.
Rupanya tanpa setahu mereka, satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam dengan
rambut merah dan jenggot merah pula mengintai apa yang sedang dilakukan Penjaga
Gerbang Neraka terhadap Andika.
Manusia itu tersenyum dan menyeringai sendirian.
Diam-diam dia telah menebarkan ajian 'Buyar Sukma', sehingga kedatangannya tak
diketahui Penjaga Gerbang Neraka dan Pendekar Slebor.
Seringai lebar semakin nyata ketika lelaki berjenggot merah itu mengetahui apa
yang sedang dilakukan Penjaga Gerbang Neraka terhadap Andika.
Ini adalah saat-saat yang ditunggunya. Seketika terdiam dengan kedua tangan
mengatup di dada. Lalu dengan ilmu batinnya, sosok yang di kalangan persilatan
dikenal sebagai Manusia Jenggot Merah itu mengirimkan kendali pikirannya untuk
menyadap pikiran Penjaga Gerbang Neraka.
Saat itu, memang Penjaga Gerbang Neraka
merasa keanehan luar biasa pada dirinya. Pikiran untuk menembus jalan masuk ke
Gerbang Neraka terasa terpecah. Seolah petunjuknya dikirimkan kepada dua orang.
Meskipun merasakan keheranan itu, Penjaga Gerbang Neraka terus mengirimkan
pikiran alam gaibnya. Karena dia tahu, apa akibatnya bila menghentikan
tindakannya. Andika seketika bisa mampus dengan tubuh hancur lebur!
Dan keheranan itu semakin dirasakan ketika angin berkesiur cepat ke arahnya. Dan
ini semakin membuatnya untuk bertahan agar kesimbangannya jangan sampai hilang.
Sementara Andika sendiri tidak tahu akan hal itu, karena masih harus menahan
napasnya. Hingga saat Penjaga Gerbang Neraka membentak menyuruh Andika bernapas, dan
bersamaan dengan terpentalnya si pemuda ke alam yang aneh dan panas itu, Manusia
Jenggot Merah pun terlontar pula.
Lelaki berjengot merah berputaran beberapa kali, dan tiba di Gerbang Neraka
setelah beberapa saat
Pendekar Slebor tiba di sana. Matanya yang memancarkan sinar merah memperhatikan
sekelilingnya. Tak dilihatnya tubuh pemuda berpakaian hijau pupus itu.
Tetapi Manusia Jenggot Merah sudah merasa puas, karena tak perlu bersusah payah
untuk mendapatkan jalan masuk menuju Gerbang Neraka.
Tekadnya sudah bulat sekarang. Dia harus membunuh pemuda berbaju hijau pupus
itu. Karena kini di Gerbang Neraka, hanya ada dua anak manusia yang akan
memperebutkan Bunga Neraka!
Sementara, Penjaga Gerbang Neraka yang terbanting ke belakang dengan mulut dan
hidung mengeluarkan darah, seketika meraung keras, bagaikan serigala lapar!
Memang, lelaki kerempeng ini baru menyadari kalau ada satu sosok tubuh lain yang
tak diinginkan telah masuk pula ke Gerbang Neraka. Untuk sekali ini, lelaki yang
telah seratus tahun menjaga Gerbang Neraka kecolongan. Untuk sekali ini, lelaki
tua yang gagah itu menangis menyadari kebodohannya!
*** Kehidupan pada alam yang dinamakan Gerbang
Neraka sangat berbeda dengan kehidupan alam nyata. Saat ini, Pendekar Slebor
bukan hanya merasa tenaganya sudah terkuras karena terus menerus melangkah,
melainkan perutnya yang sudah kelaparan dengan rasa puas menyengat.
Hawa panas itu terus menyergap kejam, lebih kejam dari panggangan api unggun.
Semuanya tak memungkinkan Andika untuk beristirahat sekali pun.
Apalagi tak satu batang pohon pun yang hidup di
sana. Juga, tak ada gubuk atau rumah yang seperti diharapkan Pendekar Slebor
sekarang ini. Hanya kebulatan hatinya saja sehingga Andika terus melangkah untuk mencari Bunga
Neraka yang masih dipikirkannya. Seperti apa bunga itu" Di mana letaknya"
Pertanyaan kedua itulah yang paling penting bagi Pendekar Slebor. Karena sampai
sejauh ini, pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan melangkah tak sekali pun melihat
tumbuhan hidup di sana. Kedua tangannya masih terus meraba-raba, bagaikan orang
buta. Tentu saja, Andika tidak ingin kepalanya harus ter-bentur dinding tak terlihat
lagi. Dan dia tak tahu harus berapa lama lagi melakukannya.
Otot-otot di pangkal lengan sudah terasa nyeri, sedikit menegang. Perasaan
Andika saat ini benar-benar tak karuan.
Tiba-tiba saja Pendekar Slebor berhenti melangkah. Matanya yang setajam elang
berkeliling, karena telinganya menangkap sebuah gemuruh yang keras sekali. Malah
semakin lama semakin keras.
Belum lagi Andika menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja pasir yang
dipijaknya longsor. Amblas ke dalam bumi!
Andika memekik keras sambil berusaha mengempos tubuhnya untuk keluar dari
longsoran pasir yang tiba-tiba itu. Namun bagaikan ada sebuah tenaga gaib yang
menyedotnya, tak kuasa Andika menahan.
Sukar ditentukan, tempat mana yang bisa dijadikan pijakan kakinya. Kalang kabut
dia. Sekuat tenaga Pendekar Slebor mengerahkan segenap kemampuan agar tidak tersedot
kekuatan gaib yang kuat dan aneh itu. Kalau tadi dia mengalami dua bahaya
beruntun, tetapi bahaya yang
sekarang ini lebih mengerikan.
Wajah tampannya terasa ditampar tenaga kasat mata yang menyedot tubuhnya. Sekuat
tenaga Andika bertahan. Dan saat itu dilepaskan kain bercorak caturnya yang
sejak tadi menyelimuti kepalanya.
Wuuut...! Sekuat tenaga, Andika mengebut kain pusaka itu ke arah tenaga yang menyedotnya.


Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali dia merasakan kalau tenaga gaib itu hilang. Dirinya kini sedikit
terbebas. Namun, kembali tiba-tiba saja tenaga itu datang.
Bahkan lebih mengerikan lagi. Seluruh tanah berpasir panas itu bagaikan melesak
ke dalam! Kali ini Andika tak mampu berbuat apa-apa, karena kesimbangannya telah hilang.
Dan tubuhnya terus meluncur deras ke dalam bumi.
*** 5 Lain yang dialami Andika, lain pula yang dialami Prana Bantoro alias Penjaga
Gerbang Neraka sekarang ini. Meskipun hatinya sedih sekaligus geram, namun
telinganya tetap bekerja dengan baik ketika mendengar satu sosok tubuh ramping
datang mendekatinya.
Kepala Prana Bantoro tak terangkat. Hatinya luka penuh amarah.
Sosok ramping yang baru datang itu cukup aneh.
Tubuhnya bungkuk, ada punuk seperti onta di atasnya. Pakaiannya compang-camping.
Rambutnya panjang menjuntai ke bawah setiap kali melangkah.
Di tangannya terdapat sebuah tongkat berkepala ular di ujungnya.
Sosok bungkuk itu terkekeh. Suaranya tak ubahnya burung hantu. Dari kekehannya
bisa diketahui kalau dia adalah seorang wanita.
"Prana Bantoro.... Aku, Dewi Ular Hitam, kembali lagi untuk menghadapimu...."
Prana Bantoro alias Penjaga Gerbang Neraka tak menyahut.
Si nenek yang ternyata berjuluk Dewi Ular Hitam mengeluarkan kekehannya lagi.
Lima puluh tahun yang lalu, dia pernah mencoba mengalahkan Penjaga Gerbang
Neraka, sekaligus mencari tahu jalan menuju Gerbang Neraka.
Meskipun pernah dikalahkan, Dewi Ular Hitam tak pernah kapok. Hatinya memang
telah tumpul, terbalut dendam. Lima puluh tahun itu adalah waktu yang
sangat lama menyimpan dendam. Dan dia telah menggembleng dirinya dengan ajian-
ajian aneh yang hebat. Kali ini kedatangannya selain mencari tahu jalan masuk
menuju Gerbang Neraka, juga untuk menghancurkan sekaligus membalas dendamnya
pada Prana Bantoro.
"Apakah kau sudah melupakanku, Kerempeng?"
usik Dewi Ular Hitam. "Aku datang untuk mencabut nyawa hinamu! Hhh! Kau lihat
hasil pukulanmu lima puluh tahun yang lalu! Tubuhku yang bagus, kini harus
membungkuk terus menerus. Bahkan ada punuk yang tiba-tiba tumbuh, karena terlalu
keras mengerahkan seluruh tenaga dalamku untuk menahan luka yang kuderita!"
Penjaga Gerbang Neraka tetap tak menyahut. Dia masih merutuki diri sendiri,
menyesali kebodohannya karena ada orang lain yang berhasil masuk ke Gerbang
Neraka. Kalau begini akhirnya, rasanya sia-sia saja menjaga Gerbang Neraka
selama seratus tahun.
Lelaki kerempeng itu tak menggubris setiap kata-kata Dewi Ular Hitam yang selalu
disertai makian.
Bahkan dibiarkannya saja tubuhnya terbanting, ketika Dewi Ular Hitam mengibaskan
tongkatnya. Dari mulut Prana Bantoro mengeluarkan darah.
Tetapi dia tetap tak bergeming.
"Hhh! Apakah kau sudah melupakan kehebatan dan kesombonganmu itu, Penjaga
Gerbang Neraka"!"
bentak Dewi Ular Hitam.
"Apa pun yang hendak kau lakukan, aku menerimanya, Dewi Ular Hitam...."
Tiba-tiba terdengar kata-kata Penjaga Gerbang Neraka. Pelan, penuh helaan napas.
Seolah sifat dan sikapnya yang asli telah berubah. Prana Bantoro
benar-benar merasa tak ada artinya lagi karena kecolongan secara mudah.
"Permainan apa lagi yang kau berikan ini, hah"!"
bentak Dewi Ular Hitam sengit.
Penjaga Gerbang Neraka tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya.
"Apakah kau pikir, aku akan membiarkanmu hidup, setelah kau menyiksaku selama
lima tahun"! Tidak, Kerempeng! Kau harus mampus!" bentak si perempuan bungkuk
lagi. "Lakukanlah...."
Dewi Ular Hitam benar-benar merasa diejek oleh pernyataan Penjaga Gerbang
Neraka. Tiba-tiba saja tubuhnya meluruk laksana kilat. Tongkatnya dikibaskan ke
arah Penjaga Gerbang Neraka. Tongkat itu bukan hanya akan mengepruk hancur
kepala, bahkan akan melumat tubuh Prana Bantoro.
"Heaaa...!"
Trak! Dewi Ular Hitam mundur dengan wajah berubah ketika serangan mautnya dihalangi
sambaran lain. Si perempuan bungkuk ini berdiri sigap di tempatnya kembali.
"Rupanya ada orang iseng yang ingin memperebutkan Bunga Neraka!" bentaknya.
Dari salah satu semak yang rimbun, seorang lelaki berpakaian putih-putih muncul.
Sorban berwarna hitam bertengger di kepalanya yang lonjong. Di tangannya,
terdapat sebuah tongkat berwarna putih.
Wajahnya yang penuh keriput masih memperlihatkan sisa-sisa ketampanannya di masa
muda. Sepasang matanya begitu lembut. Yang aneh, rambutnya bak untai emas yang
sangat indah. Teratur.
"Dewi Ular Hitam rupanya siap mencabut nyawa
orang tak berdaya...," tegur sosok bermata bijaksana itu.
Kening Dewi Ular Hitam berkerut dengan mata memicing. Dari mulutnya terdengar
dengusan pelan bernada gusar.
"Kalau tidak salah, yang datang adalah Penghulu Segala Ilmu...."
Lelaki tua tampan berambut emas itu hanya tersenyum saja.
"Rupanya, julukan yang tak berarti itu masih ada saja yang mengingatnya," kata
lelaki berjuluk Penghulu Segala Ilmu.
"Siapa yang tak mengenal Penghulu Segala Ilmu"
Sosok yang dulu bertualang sampai ke seberang lautan, dan sekarang menjadi
penunggu rumah tua!"
sahut Dewi Ular Hitam, mengejek.
Penghulu Segala Ilmu terbahak-bahak.
"Aku sudah tua.... Itulah sebabnya aku tidak pernah lagi bertualang. Tetapi,
naluri petualangku ini pun selalu memanggil-manggilku."
Dewi Ular Hitam memandang geram. Dia tahu, siapa Penghulu Segala Ilmu. Nama
besarnya sampai sekarang masih berkumandang meskipun telah lama tidak nongol
dalam rimba persilatan. Penghulu Segala Ilmu mempunyai seorang murid yang
kehebatan ilmunya tak perlu disangsikan lagi. Beberapa bulan lalu, Pendekar
Slebor pun pernah dibuat kocar-kacir oleh Malaikat Peti Mati yang merupakan
murid Penghulu Segala Ilmu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Malaikat Peti
Mati"). "Lalu apa maumu hadir di Hutan Kegelapan ini?"
"Mana aku tahu" Toh aku cuma berjalan-jalan saja. Hei, Sobat!" seru Penghulu
Segala Ilmu pada Penjaga Gerbang Neraka yang masih berdiam diri
dengan menundukkan kepala. "Kulihat kau seperti sedang bermuram durja" Apakah
ada sesuatu yang merisaukanmu?"
Penjaga Gerbang Neraka tak menjawab. Justru Dewi Ular Hitam yang meledakkan
kemarahannya. Dia berpikir, dengan hadirnya Penghulu Segala Ilmu yang merupakan dedengkotnya
golongan lurus, bisa dipastikan segala niatan dan keinginannya tak bisa
terlaksana. Belum lagi Prana Bantoro menyahuti kata-kata Penghulu Segala Ilmu, Dewi Ular
Hitam sudah menerjang dengan kibasan dahsyat tongkatnya.
Werrr...! Angin laksana topan badai bertiup saat Dewi Ular Hitam menghibaskan tongkatnya.
"Heran... Masih ada saja orang yang telengas seperti kau ini!" desah Penghulu
Segala Ilmu tanpa beranjak dari tempatnya.
Namun begitu serangan Dewi Ular Hitam mendekat, tiba-tiba saja lelaki tua ini
menggerakkan tongkatnya yang berwarna putih.
Wuuut! Bummm! Dua tongkat yang telah dialirkan tenaga dalam tinggi bertemu, menimbulkan
ledakan dahsyat. Bumi seketika bergetar. Pepohonan bukan hanya tumbang, tapi
tercabut hingga akarnya yang terdalam. Tubuh Penjaga Gerbang Neraka pun
terpelanting ke tanah.
Namun seolah tak ada kejadian itu, dia kembali berdiri dengan kepala tetap
tertunduk. Dewi Ular Hitam semakin murka. Maka jurus-jurus aneh yang penuh tenaga dalam dan
menebarkan maut dilancarkannya dengan gencar. Sementara, Penghulu Segala Ilmu
pun menghadapinya dengan kecepatan sama.
Blammm! Hingga yang terdengar hanyalah suara bagaikan ledakan. Dan bumi pun bergoyang
berkali-kali. Dalam sekilas saja, lima jurus aneh menggidikkan pun terbuang sia-sia tanpa ada
yang kalah atau menyerah. Kalau Penghulu Segala Ilmu menyerang tetap menggunakan
perasaan keadilannya, lain halnya Dewi Ular Hitam. Wanita bungkuk ini mencecar
membabibuta, menginginkan kematian Penghulu Segala Ilmu secepatnya. Karena
lelaki tua itu dianggap telah mengacaukan seluruh rencananya.
Benturan tongkat tadi sebenarnya telah menimbulkan rasa ngilu dan kesemutan di
tangan masing-masing. Namun mereka tetap nampak tegar. Masing-masing tetap pada
jalur kekuatannya.
Keanehan terjadi. Ketika lima jurus berlalu kembali, Penghulu Segala Ilmu tahu-
tahu lenyap begitu saja dari pandangan Dewi Ular Hitam. Dan sesungguhnya, dia
tidak menghilang. Tetapi mempergunakan kecepatannya yang dinamakan ajian 'Lari
Sukma' yang bisa membuatnya bergerak laksana hantu. Bahkan desir angin saat
tubuhnya bergerak tak terdengar!
Selagi Dewi Ular Hitam celingukan heran, tiba-tiba merasakan angin berkesiur
cepat di belakangnya.
Sigap, tongkatnya digerakkan. Tubuhnya berbalik dan menangkis.
Trak! Dalam keadaan membelakangi seperti itu sudah bisa dipastikan kekuatan yang
keluar tidak penuh.
Apalagi, Penghulu Segala Ilmu bagaikan tinggal menggetok lawan yang tak berdaya.
Akibatnya, Dewi Ular Hitam bergulingan karena terdorong tenaga pukulan tongkat
Penghulu Segala
Ilmu. Tangannya benar-benar terasa patah. Dia merasa ajalnya sudah tiba. Tetapi
perempuan ber-punuk ini membelalakkan matanya. Ternyata Penghulu Segala Ilmu
hanya berdiri tegap dengan tatapan dingin.
"Kuampuni nyawamu, Dewi Ular Hitam," gumam si lelaki tua.
"Persetan dengan ucapanmu itu! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
Sehabis berkata begitu, Dewi Ular Hitam mengempos tubuhnya lagi. Tongkatnya
diputar di atas bagaikan baling-baling. Angin yang keluar sangat dahsyat dan
mengerikan. Malah sorban hitam yang dikenakan Penghulu Segala Ilmu sampai
terbang! "Kau terlalu memaksa!" desis Penghulu Segala Ilmu.
"Mampuslah kau!"
Dikawal gerengan keras, Dewi Ular Hitam bergerak menyerbu dengan kecepatan dan
kekuatan penuh.
Pusaran angin yang ditimbulkan tongkatnya, membuat Penghulu Segala Ilmu
merasakan dirinya bagaikan diserbu ribuan jarum tajam.
Maka dengan gerakan luar biasa tubuh Penghulu Segala Ilmu berputar. Kecepatannya
lebih daripada yang diperlihatkan tongkat Dewi Ular Hitam.
Dan tiba-tiba saja, Dewi Ular Hitam terjengkang ke belakang dan bergulingan.
Wajahnya tadi bagaikan ditampar oleh pukulan aneh yang tak terlihat.
Rambutnya yang panjang semakin acak-acakan.
Rontok, pula! Menyadari hal itu, piaslah wajah Dewi Ular Hitam.
Apalagi ketika hendak bangkit. Dia langsung menjerit setinggi langit. Karena,
tulang iganya yang sudah bengkok patah beberapa buah!
Namun kegeraman dan kesombongannya semakin menjadi-jadi. Matanya menatap penuh
amarah. "Kau telah lancang mengganggu kesenanganku, Orang Tua! Suatu saat, kau akan
merasakan bagaimana sakitnya mati dalam keadaan tersiksa!" ancam si perempuan
bungkuk, mendesis.,
Penghulu Segala Ilmu hanya menyeringai saja.
Sekujur tubuhnya pun terasa linu. Lalu dilihatnya Dewi Ular Hitam berkelebat
membawa dendam.
Penghulu Segala Ilmu menghela napas. Ditariknya hawa murninya melalui mulut,
lalu dialirkannya pada seluruh tubuhnya. Sesaat kemudian badannya terasa sudah
segar kembali. Kini si tua bersorban itu menghampiri Penjaga Gerbang Neraka yang masih berdiri
dengan kepala tertunduk.
"Sobat..., mengapa kau murung?" sapa Penghulu Segala Ilmu.
"Sobat Penghulu Segala Ilmu.... Akulah orang tua yang paling malang di dunia
ini," sahut Penjaga Gerbang Neraka, mendesah.
"Ceritakanlah masalahmu...."
Penjaga Gerbang Neraka pun bercerita, apa yang menjadi kesusahan darinya.
"Kalau sudah begitu, mengapa tidak segera menyusulnya saja?" tanya Penghulu
Segala Ilmu kemudian.
Penjaga Gerbang Neraka menggeleng.
"Bila ada yang masuk kembali ke Gerbang Neraka, maka akan hancur seketika
terkena kobaran api yang sangat panas. Ilmu jenis apa pun tak akan mampu
menahannya," jelas Prana Bantoro.
"Hei"! Mengapa bisa begitu?" tanya Penghulu Segala Ilmu, ingin tahu.
"Ada pantangan yang tak bisa dilanggar di Gerbang Neraka. Tak boleh lebih dari
dua orang yang memasuki tempat itu. Karena orang ketiga yang masuk, akan punah
seketika. Kecuali, bila dua orang yang pertama masuk tadi, sudah keluar
keduanya. Atau salah seorang dari mereka."
"Kalau begitu, apa yang harus dicemaskan?" tanya Penghulu Segala Ilmu lagi. "Aku
yakin, Pendekar Slebor akan mampu menjaga diri."
"Bukan soal itu yang kucemaskan. Bukan pula soal manusia laknat yang masuk
dengan menyadap pikiranku. Melainkan, aku tak bisa mengendalikan Pendekar Slebor
dan menunjukkan tempat Bunga Neraka berada. Karena, Gerbang Neraka hanyalah
sebuah tempat maut yang tak bisa dilupakan orang.
Sekali seseorang datang, maka dia bertekad tak akan pernah mendatanginya lagi."
Penghulu Segala Ilmu terdiam. Samar-samar dicobanya membayangkan bagaimana kejam
dan mengerikannya tempat yang dinamakan Gerbang Neraka. Entah dengan cara
bagaimana, Penjaga Gerbang Neraka menemukannya.
"Seratus lima tahun yang lalu, aku tak sengaja tiba di Hutan Kegelapan ini. Saat
itu, aku sangat letih sekali hingga tertidur. Dalam tidurku, aku didatangi
sesosok bayangan putih yang memancarkan hawa panas luar biasa. Yang teristimewa,
sekujur tubuh itu mengeluarkan api berkobar-kobar. Dan seperti halnya peristiwa
gaib yang tak kumengerti, bayangan putih itu mengadakan perjanjian denganku. Dia
akan menurunkan ilmu-ilmu aneh yang dahsyat kepadaku, dengan imbalan agar aku
menjaga Bunga Neraka.
Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa. Dalam mimpiku, aku mengiyakan saja.
Dan mendadak saja,
aku bagaikan dilatih ilmu-ilmu yang dahsyat, sekaligus mengerikan. Lalu, aku pun
diajak menuju tempat yang dinamakannya Gerbang Neraka. Di sanalah aku
diperlihatkan Bunga Neraka yang sangat langka dan aneh. Malah kabarnya
mengandung khasiat yang sangat luar biasa. Sekali lagi di sana aku diminta untuk
menjaga Bunga Neraka dengan seluruh jiwa dan ragaku. Bahkan sampai akhir
hayatku. Aku diperkenankan untuk memberikan Bunga Neraka pada seseorang yang
memang berjiwa mulia. Dan tentunya, tepat menurut pilihanku. Karena, bila aku
salah memberikan, akibatnya bencanalah yang akan terjadi," tutur Prana Bantoro.
Sejenak lelaki ini terdiam. Berusaha mengumpul-kan ingatannya.
"Ketika aku terbangun, aku hanya menganggapnya sebuah mimpi saja. Makanya, aku
langsung meninggalkan tempat itu. Maksudku, tempat yang kita pijak sekarang ini.
Tetapi yang terasa aneh, ketika dalam perjalanan, aku dihadang lima begundal
bersenjata parang besar. Padahal selama ini, aku tak pernah merasa memiliki
kepandaian apa-apa. Akan tetapi, saat secara tak sengaja aku mengibaskan tangan,
mereka terpental! Bukan hanya itu saja yang terjadi.
Mereka bahkan mati seketika. Saat itulah aku berpikir tentang diriku. Masih tak
percaya apa yang terjadi, kukibaskan lagi tanganku pada pohon-pohon.
Hasilnya, pohon-pohon itu berterbangan. Sadarlah aku, apa yang terjadi. Rupanya,
mimpi yang kualami bukanlah mimpi biasa. Melainkan, mimpi yang luar biasa!"
Kembali Prana Bantoro terdiam. Kali ini untuk mengairi tenggorokannya.
"Lalu, aku teringat pada janjiku. Hingga akhirnya,
kuputuskan untuk kembali lagi dan menjaganya sampai saat ini. Aku juga diberi
petunjuk menuju Gerbang Neraka. Dan sekarang, selama seratus tahun menjaganya,
aku baru saja kecolongan oleh orang serakah yang berhasil menyusup masuk."
Penghulu Segala Ilmu terdiam mendengarkan cerita Penjaga Gerbang Neraka. Memang
cerita yang tak masuk akal. Namun pada nyatanya, semuanya itu terjadi begitu
saja.

Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, petunjuk apa lagi yang hendak kau sampai-kan pada Pendekar Slebor?" tanya
si tua bersorban pelan.
Sejak bercakap-cakap dengan Penghulu Segala Ilmu, baru kali ini Penjaga Gerbang
Neraka mengangkat kepalanya. Matanya yang setajam tatapan serigala, kini
meredup. "Ada tempat-tempat aneh yang sangat mengerikan dan mampu membuat nyawanya
melayang," sahut Prana Bantoro.
"Aku yakin, dengan seluruh ilmu yang dimiliki dan kecerdikannya, Pendekar Slebor
akan mampu mengatasi berbagai rintangan. Aku percaya padanya, karena sekali
pernah berjumpa dengannya. Meskipun..., dia hanyalah seorang manusia biasa.
Seperti kita yang terkadang mempunyai keapesan," kata Penghulu Segala Ilmu,
setelah lama tercenung.
"Itulah yang kukhawatirkan. Ada 'Semburan Api', Dinding Neraka'. Dan yang paling
mengerikan, 'Kuburan Neraka'. Entahlah, apakah dia akan mampu mengatasinya. Terutama,
'Kuburan Neraka'. Karena aku sendiri tidak pernah diberitahukan, bagaimana
caranya ke luar atau mengatasi tempat yang dinamakan "Kuburan Neraka'. Dan aku
tak tahu, rahasia apalagi yang ada di Gerbang Neraka. Mungkin tidak
ada, mungkin pula masih banyak yang tidak kuketahui," desah Prana Bantoro.
Tak ada yang bersuara. Masing-masing dicekami alam pikiran. Peristiwa itu begitu
gaib. Begitu sulit diterima akal. Namun pada kenyataannya, memang seperti
itulah. "Apakah tak ada jalan lain lagi untuk masuk menuju Gerbang Neraka?" tanya
Penghulu Segala Ilmu, memecah keheningan.
*** 6 Andika yakin, tubuhnya saat ini terbanting di tempat yang jauh sekali. Menyusul,
rasa perih yang menyiksa akibat butiran pasir yang seakan menyelimuti tubuhnya.
Masih untung matanya bisa dipejamkan sehingga tak kemasukan sebutir pasir pun.
Namun harapan untuk keluar dari sana, Andika benar-benar pusing tujuh keliling.
Karena begitu tubuhnya terhempas ke dasar bumi, tiba-tiba pasir-pasir itu
mengatup kembali!
Seketika suasana menjadi gelap. Andika tak berani membuka matanya. Dan napasnya
terasa sesak luar biasa. Butiran pasir telah masuk ke hidungnya, mengganggu
jalan pernapasannya. Selebihnya yang dirasakan hanya gelap.
Entah berapa lama Andika tersekap di tempat yang sebenarnya bernama 'Kuburan
Neraka'. Yang jelas, tahu-tahu napasnya terasa lapang. Bahkan himpitan keras
'Kuburan Neraka' tak lagi dirasakannya. Tubuhnya pun bisa digerakkan.
Perlahan-lahan Andika membuka matanya. Dan dirasakannya suatu perubahan aneh.
Begitu matanya membuka, justru keheranan yang terjadi. Keningnya berkerut dengan
mata memicing. Matanya langsung memperhatikan sekelilingnya yang jauh berbeda
dengan apa yang dialaminya tadi.
Tempat di mana Pendekar Slebor berada sekarang ini berupa tempat berdinding
empat. Ada sebuah pintu berukiran kobaran api. Dinding-dinding itu berwarna
biru. Dan yang lebih mengejutkannya,
tubuhnya terasa berdenyut pelan, empuk, dan nyaman. Dan si pemuda terperangah
ketika menyadari berada di sebuah kasur yang empuk dengan aroma wangi.
"Busyet! Di mana aku ini" Apakah sebenarnya yang terjadi" Aku bermimpi?"
tanyanya tak mengerti.
Pendekar Slebor mengangkat tubuhnya yang ber-baring. Terasa desir angin dingin
mengusap sampai daerah terlarangnya.
"Edan! Aku telanjang bulat!" sentak Andika, langsung melotot.
Memang, saat ini Pendekar Slebor hanya di-selimuti sehelai kain berwarna biru,
bersulamkan kobaran api. Dan di balik selimut tubuhnya tak mengenakan sehelai
benang pun! "Ampun.... Siapa orang yang iseng menelanjangiku begini rupa!" maki si pemuda
setengah kaget setengah jengkel.
Belum lagi Andika mengetahui apa yang dialaminya, pintu berukiran kobaran api
itu terbuka. Muncul satu sosok ramping berpakaian merah menyala dengan langkah
gemulai. Wajahnya bagaikan dewi kayangan dalam dongeng. Bibirnya tipis, tersaput
pemerah yang menawan. Hidungnya bangir menambah kelengkapan kecantikannya.
Matanya lembut dengan bulu mata lentik dan sepasang alis hitam. Rambutnya indah
tergerai panjang. Kedua pipinya bening sehalus pualam. Yang lebih mengejutkan
Andika, pakaian merah menyala yang dikenakannya tembus pandang, hingga
memperlihatkan kesempurnaan lekuk tubuhnya. Sayang, di balik pakaian
merawangnya, dia mengenakan dua helai kain berwarna biru yang menutupi auratnya.
Sesaat Pendekar Slebor melotot dengan dada tak
karuan. Hatinya semakin heran menyadari semua itu.
Di manakah dia berada saat ini" Bukankah tadi berada di Gerang Neraka" Dan,
siapakah gadis jelita yang menggairahkan ini"
"Kau sudah bangun, Orang Asing...," sapa si gadis.
Suaranya merdu, mengandung kekuatan menggoda.
Sesaat Andika hanya bisa mengangguk saja.
Sementara, matanya yang nakal terus memperhatikan wajah dan tubuh gadis itu.
Tetapi sesaat kemudian wajahnya menjadi memerah dan buru-buru memalingkan
kepalanya. "Enakkah tidurmu?"
Gadis itu mendekati. Semakin dekat, penciuman Pendekar Slebor semakin lekat
mengendus aroma wangi di hadapannya.
Si pemuda masih ingin melampiaskan kedong-kolannya. Karena tubuhnya ditelanjangi
seperti itu. "Enak, enak! Pakaianku mana"!" maki Andika.
Tanpa peduli, gadis cantik ini mengangkat sebuah teko yang berwarna keemasan,
juga bergambar kobaran api di tengahnya. Diangkatnya sebuah cangkir yang mungil.
Dituangnya isi teko itu. Cairan berwarna merah. Lalu dengan gerakan yang gemulai
disodorkannya pada Andika.
"Minumlah, Orang asing..., ujar si gadis.
Andika mengerutkan keningnya. "Mana pakaianku" Apa aku akan dibiarkan kedinginan
tanpa pakaian. Hm.... Aku ada usul, bagaimana kalau kita sama-sama bu....
"Sebentar lagi pakaianmu akan diantarkan.
Silahkan minum!" potong si gadis, tak ingin si pemuda mengumbar suara.
"Soal minum gampang!" kali ini Andika membentak.
Di tempat yang sangat asing seperti ini, sudah tentu Pendekar Slebor tak
menginginkan kejadian yang lebih mengerikan lagi. Dia harus berhati-hati.
Makanya, cangkir yang disodorkan tak diraihnya.
Dipandanginya gadis jelita yang duduk di tepi ranjang yang ditidurinya.
"Kau ini siapa sih?" tanya Andika.
Gadis itu meletakkan kembali cangkir yang berisi cairan merah.
"Namaku Rawangi. Siapa namamu, Orang Asing?"
"Andika. Eh, kalau boleh tahu, aku berada di penginapan apa" Kok bagus benar
tempatnya?" tanya Andika, lugu.
"Kau berada di dalam Istana Gerbang Neraka.
Kalau saja aku tidak melihatmu, kau pasti sudah mati tersedot pasir di 'Kuburan
Neraka'. Andika mengingat-ingat lagi kejadian yang dialaminya. Semuanya terulang bagai
rekaman belaka dan membuatnya benar-benar tak mengerti.
"Istana Gerbang Neraka?"
"Ya! Kau berada di Istana Gerbang Neraka, Andika."
"Ah, kalau begitu aku mau pulang saja. Mana pakaianku?"
Gadis bernama Rawangi tersenyum geli.
"Pulang" Bagaimana caranya kalau kau bisa pulang" Andika.... Kau telah masuk ke
Istana Gerbang Neraka, maka selamanya akan menjadi penghuni di sini."
Andika melotot.
"Tidak..., tidak.... Aku lebih suka di alam bebas.
Bisa mandi di sungai, main di sawah, dan sebagainya.
Lalu Pendekar Slebor menyingkapkan selimutnya.
Tetapi sesaat kemudian ditariknya kembali dengan
wajah memerah. Brengsek! Maki Andika dalam hati begitu melihat Rawangi terkikik
sambil berpaling.
"Mana pakaianku"!" tanya Pendekar Slebor, sewot.
Tanpa menoleh Rawangi bertepuk tangan dua kali.
Pintu di kamar itu terbuka. Lagi-lagi muncul satu sosok ramping berpakaian
berwarna biru tembus pandang. Di tangannya terdapat pakaian berwarna hijau pupus
dan sehelai kain bercorak catur.
Rawangi berdiri.
"Berikan pakaian itu kepadanya," ujar Rawangi sambil melangkah keluar.
"Baik,Tuan Putri...."
Andika langsung menyambar pakaiannya. Dan matanya terbelalak ketika gadis yang
mengantarkan pakaian masih berada di sana, duduk bersimpuh.
"Eh! Keluar sana! Aku mau berpakaian!"
"Tuan Putri memperintahkan hamba untuk melayani Paduka."
"Paduka...?"
Andika menghentikan cerocosnya. Siapa yang dimaksud dengan Paduka" Lalu,
diperhatikannya gadis itu yang menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, otak jahil
Andika muncul. "Kalau tidak mau keluar, jangan salahkan kalau kau menjerit melihat ular kadut!"
Andika yakin, wajah gadis itu bersemu merah.
Dipikirnya, gadis itu akan meninggalkan tempat itu.
Tetapi, nyatanya masih bersimpuh di sana.
Baik-baik! Kata Andika dalam hati. Lalu si pemuda pun bangkit sambil memegang
selimutnya. "Kuhitung sampai tiga, aku akan membukanya."
Tetapi gadis itu tetap tak bergeming sedikit pun.
Justru Andika yang menggaruk-garuk kepalanya.
Walah, gadis ini tak bisa digertak dengan ular kadut!
Mungkin urat malunya telah putus! Rutuk Pendekar Slebor jengkel.
Hingga akhirnya Andika sendiri yang kerepotan mengenakan pakaiannya kembali.
"Kalau kau mau melayani aku dan menuruti perintahku, keluar sana," ujar Andika,
enteng. "Oh, ya.
Siapa namamu?"
Gadis itu mengangkat kepalanya.
"Srisisi, Paduka," sahut si gadis.
"Siapa yang kau panggil Paduka?"
"Paduka sendiri. Dan, bukankah Paduka akan menikah dengan Tuan Putri Rawangi?"
tukas gadis bernama Srisisi.
"Menikah...?"
Andika melengak dengan mata melotot. Namun kemudian dia teringat sesuatu.
"Hei, kau tahu di mana Bunga Neraka berada?"
tanya Pendekar Slebor.
Kali ini Andika melihat wajah itu mengerjap berkali-kali.
"Paduka jangan membicarakan soal Bunga Neraka disini. Kalaupun Paduka ingin
tahu, jangan bertanya pada hamba...."
Andika menyadari perubahan wajah yang terjadi pada Srisisi. Gadis itu tiba-tiba
ketakutan sekali, seolah memang ada pantangan yang tak boleh dilanggar.
"Kenapa?"
"Maaf.... Maatkan hamba, Paduka," ucap Srisisi cepat. Kepalanya menggeleng-
geleng pucat, lalu berdiri terburu-buru. "Paduka tadi meminta hamba keluar,
bukan" Maka, hamba akan keluar...."
Andika cepat menyambar tangan yang halus itu.
"Tunggu! Aku ingin meminta penjelasan darimu."
"Oh...! Tidak, Paduka.... Jangan...."
"Kenapa kau takut seperti itu" Kenapa memang-nya" Ada apa sebenarnya?" kejar
Andika. Srisisi tetap menolak permintaan Andika yang justru semakin penasaran. Dan
sebelum kelanjutan itu terjadi, pintu sudah terbuka.
Rawangi muncul dengan tatapan memerah.
Srisisi menundukkan kepalanya, penuh ketakutan.
Tubuhnya menggigil tak karuan. Andika melepaskan cekalan tangannya sambil
nyengir kuda. "Kalau kau ingin melihat tubuhku sekali lagi, kau terlambat. Aku sudah
mengenakan pakaianku," kata Andika, berlagak garang.
Rawangi tak menghiraukan kata-kata Andika itu.
Justru dia menatap tajam Srisisi.
"Kembali ke tempatmu!" ujar Rawangi, tegas.
Bagaikan menemukan napas kembali, Srisisi langsung keluar dengan tubuh
terbungkuk-bungkuk.
Andika bertambah penasaran saja. Ada apa sebenarnya" Dia teringat lagi pada
Penjaga Gerbang Neraka yang mengirimnya ke Gerbang Neraka.
Apakah Penjaga Gerbang Neraka mengetahui semua ini" Atau, tidak sama sekali" Ah!
Bodohnya dia mau masuk ke Gerbang Neraka yang aneh dan penuh kegaiban itu!
Sementara Rawangi kini sedang menatap tajam-tajam pada Andika.
"Jangan bertindak bodoh di sini!" desis Rawangi.
Andika tertawa.
"Kau akan terkejut mengetahui, betapa cerdiknya aku," selorohnya.
Rawangi mengeluarkan dengusan dingin. "Bila kau sudah selesai berpakaian, aku
mengundangmu makan."
Andika tiba-tiba merasa perutnya sangat lapar.
Menurut perasaannya, sudah berhari-hari cacing-cacing dalam perutnya tak
diempani. "Undangan yang sangat kutunggu...."
Rawangi tak menjawab. Dia mendahului melangkah.
*** Selesai makan, Andika diajak ke sebuah taman yang benar-benar seperti surga. Ada
kolam yang penuh bunga mirip teratai, hanya saja berwarna biru bersih. Beberapa
ekor ikan berenang ke sana kemari.
Di tengah kolam, air mancur melenggak-lenggok keluar dari mulut patung berbentuk
gadis kecil. Di ujung sana, tumbuh sebuah tanaman berbuah sangat lebat.
Sungguh, Andika tidak bisa mengerti dengan apa yang dialaminya sekarang. Kalau
sebelum menjumpai padang pasir yang tandus dan panas menyengat, keadaan di sini
jauh berbeda. Benar-benar tak ubahnya berada di surga!
Beberapa orang gadis berpakaian biru datang membawa buah-buah segar, lalu keluar
dari taman setelah Rawangi menganggukkan kepalanya.
Rawangi duduk di tepi kolam, sementara Andika masih tak mengerti dengan apa yang
dialaminya. "Andika, mengapa kau bertanya soal Bunga Neraka?" tanya Rawangi.
Mendengar pertanyaan itu Andika tercekat sejenak, lalu tertawa.
"Memangnya kenapa?" si pemuda balik bertanya.
"Apa yang kau ketahui tentang Bunga Neraka?"
"Yang kuketahui" Tak ada."
"Jangan berdusta."
"Aku pantang berdusta kalau tidak terpaksa,"
sahut Andika seenak perutnya.
Tiba-tiba kepala Rawangi menoleh. Matanya tajam menatap Andika.
"Jangan berdusta, Andika!"
Andika menyeringai. Agak ngeri juga hatinya melihat tatapan yang menggidikkan
itu. "Aku tidak berdusta," sahut Andika.
Tetapi kau tahu tentang bunga itu," desak Rawangi.
Andika mengangguk lalu duduk di sebelah kiri Rawangi. Seketika gadis itu
menggeser duduknya.
Tatapannya masih sengit pada Andika.
"Berita tentang Bunga Neraka telah terdengar sampai ke tempatku. Bahkan banyak
yang mem-perebutkannya. Kalaupun kau memaksaku ingin mengetahui secara pasti,
terus terang hanya itu saja yang kuketahui."
"Andika.... Tak seorang pun yang bisa memasuki Gerbang Neraka, kecuali para
penghuninya yang memang mendatangi alammu. Lalu, bagaimana kau bisa datang ke
sini?" Kali ini Andika terdiam. Jelas sekali telinganya menangkap nada tak senang dari
suara Rawangi. Dia harus berhati-hati, agar jangan salah mengucap.
"Aku sendiri tidak tahu. Mendadak saja, aku telah tiba di sini. Wah.... Terus
terang, aku sendiri tidak betah di sini," sahut Pendekar Slebor, berbohong.
"Jangan dusta."
"Kau sejak tadi tidak percaya kata-kataku" Kenapa sih" Apakah aku memang
berdusta?"
"Berapa tahun usiamu, Andika?" tanya Rawangi, bukannya menjawab.
"Kenapa?" balik Andika.
"Jawab pertanyaanku itu."
"Dua puluh satu tahun."
"Hmm.... Kau masih kanak-kanak, menurut ukuran penghuni Gerbang Neraka."
Andika melotot.


Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih kanak-kanak" Kau sendiri berapa usiamu, hah"!"
"Kau tak akan percaya kalau kukatakan. Usiaku, tujuh puluh tujuh tahun."
Andika berjingkat terkejut.
"Tujuh puluh tujuh tahun" Edan! Kau tak lebih baru berusia delapan belas tahun, Rawangi!"
"Ya! Dan aku masih kanak-kanak menurut penghuni Gerbang Neraka."
Edan! Kalaupun ada masalah aneh, baru kali ini Andika benar-benar berada dalam
alam aneh. "Untuk apa kau bertanya tentang Bunga Neraka?"
usik Rawangi lagi dengan suara ditekan.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Itu lagi! Apa tidak ada pembicaraan yang menarik lainnya?"
"Aku hanya ingin tahu saja."
Rawangi berdiri.
"Kuperingatkan kepadamu, Andika.... Jangan sekali-sekali lagi menyebut tentang
bunga itu."
"Kenapa?"
Tatapan Rawangi semakin dingin.
"Karena, akibatnya akan berbahaya sekali! Dan kau akan mengalami kejadian yang
paling menyakit-kan seumur hidupmu."
Ditantang seperti itu, justru Andika menjadi geram.
Dan kegeramannya diperlihatkannya.
"Bagaimana kalau aku memaksa?" tantang
Pendekar Slebor.
"Kau akan menyesal."
Tiba-tiba saja dengan gerakan yang cepat Andika menyergap Rawangi. Gadis itu
memekik pelan, lalu menggerakkan tangannya.
Des! Andika terhuyung ke belakang ketika merasakan satu pukulan keras menghantam
dadanya. Mulutnya sempat meringis kesakitan.
Rawangi menatap tajam. "Jangan memaksaku untuk berbuat lebih, Andika!"
Dengan konyolnya pemuda tampan berbaju hijau pupus itu nyengir.
"Justru aku penasaran! Barangkali saja aku bisa merangkulmu!" balas si pemuda,
makin keterlaluan.
*** 7 Manusia Jenggot Merah memaki-maki sendiri ketika tubuhnya terpental kembali
ketika hendak melangkah.
"Bangsat! Benda apa sebenarnya ini!"
Seketika lelaki ini merangkum pukulan saktinya.
Dikawal bentakan keras, dilontarkannya pukulan itu dengan kecepatan kilat.
Blarrr...! Suara bagai ledakan terdengar. Namun mendadak dia memekik sendiri ketika pukulan
yang dilancarkannya berbalik ke arahnya. Cepat tubuhnya bergulingan sambil
memaki-maki. "Dinding sialan! Peduli setan! Aku harus mencari Bunga Neraka itu!"
Kali ini Manusia Jenggot Merah menyatukan kedua tangannya di dada, seraya
menggosok-gosoknya.
Asap hitam langsung mengepul bersamaan dengan tubuhnya yang menggigil hebat.
Lalu ditingkahi teriakan keras sekali, kedua tangannya dikibaskan ke depan.
Duaarrr! Pasir di depan Manusia Jenggot Merah seketika berserakan. Sementara dinding
kasat mata yang sejak tadi menghalangi langkahnya pun punah seketika. Manusia
Jenggot Merah terbahak-bahak.
"Bangsa siluman mana pun, tak akan mampu menghalangi ajian 'Tutup Sukma'
milikku!" Dengan langkah gagah, lelaki ini berjalan kembali.
Butiran pasir dan hawa panas menderu-deru ke
arahnya. Dengan punahnya dinding siluman yang kasat mata akibat gedoran ajian
Pendekar Binal 4 Dewi Ular 84 Racun Kecantikan Bagus Sajiwo 10
^